tujuan hukum (studi kasus pelanggaran lalu lintas)
DESCRIPTION
Tugas mata kuliah Sistem Hukum Indonesia. Penjelasan tentang tujuan hukum beserta contoh kasusnya.TRANSCRIPT
Achmad Ali menyatakan bahwa hukum adalah seperangkat kaidah atau aturan yang
tersusun dalam suatu sistem, yang menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh
dilakukan oleh manusia sebagai warga masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, yang
bersumber dari masyarakat sendiri maupun dari sumber lain, yang diakui berlakunya oleh
otoritas tertinggi dalam masyarakat tersebut, serta benar-benar diberlakukan oleh warga
masyarakat (sebagai suatu keseluruhan) dalam kehidupannya, dan jika kaidah tersebut dilanggar
akan memberikan kewenangan bagi otoritas tertinggi untuk menjatuhkan sanksi yang sifatnya
eksternal.
Setelah mengetahui pengertian dari dua kata di atas, secara umum dapat diartikan bahwa
tujuan hukum adalah arah atau sasaran yang hendak dicapai hukum dalam mengatur masyarakat.
Dalam banyak buku tentang Ilmu Hukum, pembahasan mengenai tujuan hukum sering
dipisahkan dari pembahasan tentang fungsi hukum. Hal seperti ini menurut Achmad Ali kurang
tepat, sebab bagaimanapun pertalian antara tujuan hukum dengan fungsi hukum adalah suatu
pertalian yang sangat erat.
Yang pertama-tama yang perlu diketahui, tentu saja adalah tujuan hukum, sebab hanya
telah ditetapkannya apa yang menjadi tujuan dari hukum itu, kita dapat menentukan pula fungsi
yang harus dijalankan hukum agar dapat mencapai tujuannya.
Berbagai pakar di bidang hukum maupun bidang ilmu sosial lainnya, mengemukakan
pandangannya masing-masing tentang tujuan hukum, sesuai dengan titik tolak serta sudut
pandang mereka, diantaranya:
Wirjono Prodjodikoro, dalam bukunya “Perbuatan Melanggar Hukum” mengemukakan
bahwa tujuan hukum adalah mengadakan keselamatan, kebahagiaan dan tata tertib dalam
masyarakat.
Subekti, dalam bukunya “Dasar-dasar Hukum dan Pengadilan” mengemukakan bahwa
hukum itu mengabdi pada tujuan negara yang intinya ialah mendatangkan kemakmuran dan
kebahagiaan rakyatnya, dengan cara menyelenggarakan “keadilan” dan “ketertiban”.
Apeldoorn, dalam bukunya “Inleiden tot de studie van het Nederlandse recht”
menyatakan bahwa tujuan hukum adalah mengatur tata tertib dalam masyarakat secara damai
dan adil.
Aristoteles, dalam bukunya “Rhetorica”, mencetuskan teorinya bahwa, tujuan hukum
menghendaki semata-mata dan isi dari pada hukum ditentukan oleh kesadaran etis mengenai apa
yang dikatakan adil dan apa yang tidak adil.
Jeremy Bentham, dalam bukunya “Introduction to The Morals and Legislation”
mengatakan bahwa hukum bertujuan semata-mata apa yang berfaedah bagi orang.
Van Kan, berpendapat bahwa hukum bertujuan menjaga kepentingan tiap-tiap manusia
supaya kepentingan-kepentingan itu tidak dapat diganggu.
Rusli Effendy mengemukakan bahwa tujuan hukum dapat dapat dikaji melalui tiga sudut
pandang, yaitu:
1. Dari sudut pandang ilmu hukum normatif, tujuan hukum dititik beratkan pada
segi kepastian hukum.
2. Dari sudut pandang filsafat hukum, maka tujuan hukum dititikberatkan pada
segi keadilan.
3. Dari sudut pandang sosiologi hukum, maka tujuan hukum dititikberatkan pada
segi kemanfaatan.
Adapun tujuan hukum pada umumnya atau tujuan hukum secara universal, dapat dilihat
dari tiga aliran konvensional :
1. Aliran Etis
Aliran ini menganggap bahwa pada asasnya tujuan hukum adalah semata-mata untuk
mencapai keadilan. Hukum ditentukan oleh keyakinan yang etis tentang adil dan yang tidak adil,
dengan perkataan lain hukum menurut aliran ini bertujuan untuk merealisir atau mewujudkan
keadilan. Pendukung aliran ini antara lain, Aristoteles, Gery Mil, Ehrliek, Wartle.
Salah satu pendukung aliran ini adalah Geny. Sedangkan penentang aliran ini pun cukup
banyak, antara lain pakar hukum Sudikno Mertokusumo:
“Kalau dikatakan bahwa hukum itu bertujuan mewujudkan keadilan, itu berarti bahwa hukum itu
identik atau tumbuh dengan keadilan, hukum tidaklah identik dengan keadilan. Dengan demikian
berarti teori etis itu berat sebelah.”
Tegasnya keadilan atau apa yang dipandang sebagai adil sifatnya sangat relatif, abstrak
dan subyektif. Ukuran adil bagi tiap-tiap orang bisa berbeda-beda. Olehnya itu tepat apa yang
pernah diungkapkan oleh N.E. Algra bahwa :
“Apakah sesuatu itu adil (rechtvaardig), lebih banyak tergantung pada Rechtmatig heid
(kesesuaian dengan hukum) pandangan pribadi seseorang penilai. Kiranya lebih baik tidak
mengatakan “itu adil”, tetapi itu mengatakan hal ini saya anggap adil memandang sesuatu itu
adil, terutama merupakan sesuatu pendapat mengenai nilai secara pribadi.”
2. Aliran Utilistis
Menurut aliran ini mengaggap bahwa pada asasnya tujuan hukum adalah semata-mata
untuk menciptakan kemanfaatan atau kebahagiaan yang sebsar-besarnya bagi manusia dalam
jumlah yang sebanyak-banyaknya. Jadi pada hakekatnya menurut aliran ini, tujuan hukum adalah
manfaat dalam mengahasilkan kesenangan atau kebahagiaan yang terbesar bagi jumlah orang
yang terbanyak.
Aliran utilistis ini mempunyai pandangan bahwa tujuan hukum tidak lain adalah
bagaiamana memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi warga masyarakat (ajaran moral
praktis).
3. Aliran Yuridis Dogmatik
Menurut aliran ini menganggap bahwa pada asasnya tujuan hukum adalah semata-mata
untuk menciptakan kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum, fungsi hukum
dapat berjalan dan mampu mempertahankan ketertiban.
Penganut aliran yuridis dogmatik ini bahwa adanya jaminan hukum yang tertuang dari
rumusan aturan perundang-undangan adalah sebuah kepastian hukum yang harus diwujudkan.
Kepastian hukum adalah syarat mutlak setiap aturan, persoalan keadilan dan kemanfaatan hukum
bukan alasan pokok dari tujuan hukum tetapi yang penting adalah kepastian hukum.
Bagi penganut aliran ini, janji hukum yang tertuang dalam rumusan aturan tadi
merupakan kepastian yang harus diwujudkan, penganut aliran ini melupakan bahwa sebenarnya
janji hukum itu bukan suatu yang harus, tetapi hanya suatu yang seharusnya.
Dari ketiga aliran tujuan hukum di atas tidaklah bersifat baku, dalam artian masih ada
pendapat-pendapat lain tentang tujuan hukum yang bisa dilambangkan dengan melihat latar
belakang konteks sosial masyarakat yang selalu berubah.
Pembahasan mengenai tujuan hukum tidak lepas dari sifat hukum dari masing-masing
masyarakat yang memiliki karakteristik atau kekhususan karena pengaruh falsafah yang
menjelma menjadi ideologi masyarakat atau bangsa yang sekaligus berfungsi sebagai cita
hukum.
Dari landasan teori yang dikemukakan di atas terlihat dengan jelas perbedaan-perbedaan
pendapat dari para ahli tentang tujuan hukum, tergantung dari sudut pandang para ahli tersebut
melihatnya, namun semuanya tidak terlepas dari latar belakang aliran pemikiran yang mereka
anut sehingga dengannya lahirlah berbagai pendapat yang tentu saja diwarnai oleh aliran serta
faham yang dianutnya.
Adapun tujuan hukum pada umumnya atau tujuan hukum secara universal menurut
Gustav Radbruch yaitu menggunakan asas prioritas sebagai tiga nilai dasar hukum atau sebagai
tujuan hukum, masing-masing: keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum sebagai landasan
dalam mencapai tujuan hukum yang diharapkan.
Secara khusus masing-masing jenis hukum mempunyai tujuan spesifik, sebagai contoh
hukum pidana tentunya mempunyai tujuan spesifik dibandingkan dengan hukum perdata,
demikian pula hukum formal mempunyai tujuan spesifik jika dibandingkan dengan hukum
materil, dan lain sebagainya.
Kalau dikatakan bahwa tujuan hukum adalah sekaligus keadilan, kemanfaatan dan
kepastian hukum, apakah ini tidak menimbulkan masalah dalam kenyataan (komentar Rusli
Effendy dkk terhadap Gustav Radbruch). Sebagaimana diketahui, di dalam kenyataanya sering
sekali antara kepastian hukum terjadi benturan dengan kemanfaatan, atau antara keadilan dengan
kepastian hukum, antara keadilan terjadi benturan dengan kemanfaatan. Sebagai contoh dalam
kasus-kasus hukum tertentu, kalau hakim menginginkan keputusannya adil (menerut persepsi
keadilan yang dianut oleh hukum tersebut tentunya) bagi si penggugat atau tergugat atau bagi si
terdakwa, maka akibatnya sering merugikan kemanfaatan bagi masyarakat luas,sebaliknya kalau
kemanfaatan masyarakat luas dipuaskan, perasaan keadilan bagi orang tertentu terpaksa
dikorbankannya. Oleh karena itu bagaimana keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.
Olehnya itu asas prioritas yang dikemukakan Gustav Radbruch pertama-tama kita harus
memprioritaskan keadilan barulah kemanfaatan dan terakhir adalah kepastian hukum. Idealnya
diusahakan agar setiap putusan hukum, baik yang dilakukan oleh hakim, jaksa, pengacara
maupun aparat hukum lainnya, seyogyanya ketiga nilai dasar hukum itu dapat diwujudkan secara
bersama-sama, tetapi manakala tidak mungkin, maka haruslah diprioritaskan keadilan,
kemanfaatan dan kepastian hukum.
Dengan penerapan asas prioritas ini, sisten hukum kita dapat tetap tegak terhindar dari
konflik intern yang dapat menghancurkan.
Untuk mencapai tujuan yang dapat menciptakan kedamaian, ketentraman dan ketertiban
dalam masyarakat, terutama masyarakat yang kompleks dan mejemuk seperti di Indonesia, maka
penulis untuk sementara menerima pandangan yang dikemukakan baik Rusli Effendy maupun
Achmad Ali yang menganggap sangat realistis kalau kita menganut asas prioritas yang kasuistis
yang ketika tujuan hukum diprioritaskan sesuai kasus yang dihadapi dalam masyarakat, sehingga
pada kasus tertentu dapat diprioritaskan salah satu dari ketiga asas tersebut sepanjang tidak
mengganggu ketenteraman dan kedamaian merupakan tujuan akhir dari hukum itu sendiri.
Aktivitas hukum sering dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Sebuah tindakan
disebut perbuatan hukum jika mempunyai akibat yang dapat dipertanggungjawabkan secara
hukum atau diakui oleh negara. Hukum atau ilmu hukum sendiri adalah suatu sistem aturan
atau adat, yang secara resmi dianggap mengikat dan dikukuhkan oleh penguasa, pemerintah
atau otoritas melalui lembaga atau institusi hukum. Banyak sekali dijumpai permasalahan yang
berkaitan dengan pelanggaran hukum, mulai dari yang ringan hingga yang berat khususnya di
KotaSemarang yang merupakan Ibu Kota Provinsi Jawa Tengah.
Pelanggaran ringan yang kerap terjadi salah satunya adalah tentang pelanggaran lalu
lintas tertentu atau yang lebih dikenal dengan istilah tilang. Permasalahan ini sudah tidak asing
lagi di kalangan masyarakat khususnya di Kota Semarang. Pelanggaran lalu lintas tertentu
(tilang) sudah membudaya di kalangan masyarakat, sehingga setiap kali dilakukan operasi tertib
lalu lintas di jalan raya yang dilakukan oleh Polantas, pasti banyak terjaring kasus pelanggaran
lalu lintas tertentu (tilang). Menurut pihak kepolisian, tidak sedikit pengendara yang
mengabaikan keselamatan dan kenyamanan saat di jalan raya serta tidak menyadari bahwa
kecelakaan bermula dari pelanggaran lalu lintas.
Pelanggaran lalu lintas tertentu atau yang sering disebut dengan tilang merupakan kasus
dalam ruang lingkup hukum pidana yang diatur dalam UU Nomor 14 Tahun 1992. Hukum
pidana mengatur perbuatanperbuatan yang dilarang oleh undang-undang dan berakibat
diterapkannya hukuman bagi barang siapa yang melakukannya dan memenuhi unsur-unsur
perbuatan yang disebutkan dalam undang-undang pidana. Tujuan hukum pidana adalah untuk
menakut-nakuti orang agar tidak melakukan perbuatan yang tidak baik dan mendidik seseorang
yang pernah melakukan perbuatan yang tidak baik menjadi baik dan dapat diterima.
Hukum pidana juga dikenal dua jenis perbuatan yaitu kejahatan dan pelanggaran,
kejahatan ialah perbuatan yang tidak hanya bertentangan dengan undang-undang tetapi juga
bertentangan dengan nilai moral, nilai agama dan rasa keadilan masyarakat, contohnya mencuri,
membunuh, berzina, memperkosa dan sebagainya. Sedangkan pelanggaran ialah perbuatan yang
hanya dilarang oleh undang-undang, seperti tidak memakai helm, tidak menggunakan sabuk
pengaman dalam berkendara, dan sebagainya. Pelanggaran terhadap aturan hukum pidana segera
diambil tindakan oleh aparat hukum tanpa ada pengaduan atau laporan dari pihak yang
dirugikan, kecuali tindak pidana yang termasuk delik aduan seperti perkosaan, kekerasan dalam
rumah tangga dan pencurian oleh keluarga. Sedangkan hukuman terdakwa yang terbukti
kesalahannya dapat dipidana mati/dipenjara/kurungan atau denda bisa juga dengan pidana
tambahan seperti dicabut hak-hak tertentu. Pelanggaran lalu lintas tertentu atau tilang yang
sering biasanya adalah pelanggaran terhadap Pasal 54 mengenai kelengkapan surat kendaraan
SIM dan STNK serta Pasal 59 mengenai muatan berlebihan truk angkutan kemudian pelanggaran
Pasal 61 seperti salah memasuki jalur lintas kendaraan.
Namun seringkali dalam penyelesaian perkara pelanggaran lalu lintas tidak sesuai dengan
ketentuan hukum yang berlaku. Banyak kasus pelanggaran lalu lintas yang diselesaikan di
tempat oleh oknum aparat penegak hukum atau Polantas, dengan kata lain perkara pelanggaran
tersebut tidak sampai diproses menurut hukum.
Pemberian suap kepada Polantas dapat dikenakan tindak pidana terhadap penguasa umum
dengan pidana penjara paling lama 2 tahun delapan bulan (Pasal 209 KUHP). Bahkan usaha atau
percobaan untuk melakukan kegiatan tersebut juga dapat dipidana penjara (Pasal 53 (1) (2) jo
Pasal 209 KHUP). Sedangkan bagi Polantas yang menerima suap dapat dikenakan tindak pidana
dengan ancaman penjara paling lama lima tahun (Pasal 419 KUHP).
Singkatnya, persidangan kasus lalu lintas adalah Acara Pemeriksaan Cepat, dalam proses
tersebut para terdakwa pelanggaran ditempatkan di suatu ruangan. Kemudian hakim akan
memanggil nama terdakwa satu persatu untuk membacakan denda. Setelah denda dibacakan
hakim akan mengetukkan palu sebagai tanda keluarnya suatu putusan.
Kasus pelanggaran lalu lintas tertentu atau tilang ini diproses di Pengadilan Negeri. Banyaknya
kasus tilang ini menyebabkan terjadinya antrian di persidangan Pengadilan Negeri Semarang.
Hal inilah yang menarik penulis untuk melakukan penelitian terhadap antrian persidangan
pelanggaran lalu lintas tertentu (tilang) di Pengadilan Negeri. Pelanggan dalam sistem antrian
persidangan kasus pelanggaran lalu lintas tertentu atau tilang adalah kasus pelanggaran lalu
lintas tertentu atau tilang, sedangkan hakim sebagai server atau pelayan antrian. Distribusi
jumlah kedatangan maupun distribusi waktu pelayanan dapat berupa Distribusi Poisson maupun
Distribusi Eksponensial, dengan disiplin pelayanan dapat menggunakan FCFS (First Come First
Served), LCFS (Last Come First Served) ataupun SIRO (Service Random In Random Order),
dan jumlah maksimum yang diijinkan dalam sistem (Queue dan System) serta ukuran sumber
pemanggilan dapat berupa terbatas maupun tidak terbatas.
CONTOH KASUS:
Kasus pelanggaran lalu lintas yang melibatkan anak di bawah umur atau remaja semakin marak
di Kota Makassar.
Berdasarkan data Satuan Lalu Lintas Polrestabes Makassar,dalam sepekan terakhir terdapat 222
kasus pelanggaran yang melibatkan anak di bawah umur. Dari 222 kasus pelanggaran oleh anaka
di bawah umur itu, 11 kasus di antaranya terjadi kecelakaan lalu lintas (lakalantas).
Dari seluruh kasus tersebut, pelanggaran umumnya berupa balapan liar dan pengendara tidak
memiliki kelengkapan kendaraan. Kepala Satuan Lalu Lintas Kepolisian Resort Kota Besar
(Polrestabes) Makassar, AKBP M Hidayat mengatakan, salah satu pemicu maraknya
pelanggaran dan kejadian kecelakaan oleh anak-anak di jalan disebabkan minimnya kepedulian
orang tua terhadap anak.
“Pengawasan kepada anak saat ini masih kurang karena orang tua masih memberikan
kesempatan kepada anaknya menggunakan kendaraan. Seharusnya itu tidak terjadi karena
mereka belum cukup umur,” ujarnya kemarin.
Dia mengakui selama ini telah melakukan sosialisasi tentang bahaya anak di bawah umur
menggunakan kendaraan. Sosialisasi antara lain dilakukan dengan cara memutarkan film
dokumenter terkaitlakalantaskepadaanakusia sekolah.Itu diharapkan bisa menjadibahan renungan
dan pelajaran buat anak-anak untuk tidak melakukan hal serupa.
“Berdasarkan penelitian, anak di bawah umur itu belum bisa mengendalikan emosinya dan
mentalnya masih labil.Juga bisa dilihat banyak pelaku balap liar yang masih di bawah umur,”
ujarnya.
Sosiolog dari Unhas Dr Darwis mengatakan, penyebab utama anak-anak terlibat pelanggaran lalu
lintas adalah longgarnya orang tua dalam mengawasi anak-anaknya. “Orang tua kadang tidak
tepat mengekspresikan rasa sayang kepada anaknya. Karena alasan sayang, mereka membelikan
sepeda motor kepada anak, padahal usianya si anak belum mencukupi untuk berkendara,”
ujarnya.
Dia mencontohkan kasus tabrakan Honda Jazz yang melibatkan anak di bawah umur di Jalan
Daeng Tata Makassar beberapa waktu lalu. Saat itu orang tua si anak mengaku tidak tahu
anaknya mengambil mobil untuk dikendarai.
“Jadi ini bukan karena soal kenakalan anak-anak saja, melainkan orang tua memang perlu
pengawasan yang lebih kepada anak,” ujarnnya.
Faktor lain adalah pengaruh lingkungan di mana anak tersebut tumbuh. Di lingkungan pergaulan
ini anak dengan mudah menemukan kendaraan untuk mereka gunakan.
Untuk itu, arwismengharapkanorangtuamelakukan pengawasan dan pendidikan yang ekstra
kepada anak untuk menghindari hal-hal yang bisa mencelakakn anak, termasuk kecelakaan di
jalan raya. Untuk mengeliminir kasus pelanggaran lalu lintas oleh anak-anak ini, arwis juga
mengimbau aparat kepolisian lebih tegas menindak setiap pelaku pelanggaran.
Menurutnya, polisi tidak perlu melakukan hukuman badan kepada si anak, melanikan cukup
memberikan denda.
“Saat orang tua anak datang, polisi bisa memberi pengarahan dan imbauan agar mereka
membantu polisi. Dengan begitu orang tua bisa memahami dampak bahaya bagi anak di bawah
umur yang berkendara,” tandasnya.
Sistem Hukum Indonesia
CONTOH KASUS TUJUAN HUKUM
(Pelanggaran Lalu Lintas)
Oleh:
Hendrik Yuda Wahyu Alex 070913093
Mario Yodia Prayoga 070913098
Rizkal Ula 070913014
Parastri Indah 070913024
Meyrza Ashrie Tristyana 070913042
Departemen Politik
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
UNIVERSITAS AIRLANGGA 2012