uas ppis

8
Universitas Indonesia Pemikiran Musdah Mulia Tentang Peran Politik Perempuan MAKALAH DIAJUKAN SEBAGAI TUGAS AKHIR MATA KULIAH PEMIKIRAN POLITIK ISLAM NungkyKusumawardhani NPM. 1306384454 Program StudiIlmuPolitik

Upload: kynungky

Post on 15-Nov-2015

214 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Pemikiran Musdah Mulia TentangPeran Politik Perempuan

TRANSCRIPT

Universitas IndonesiaPemikiran Musdah Mulia TentangPeran Politik Perempuan

MAKALAHDIAJUKAN SEBAGAI TUGAS AKHIR MATA KULIAHPEMIKIRAN POLITIK ISLAM

NungkyKusumawardhaniNPM. 1306384454

Program StudiIlmuPolitikFakultasIlmuSosialdanIlmuPolitikDesember 2014I. PendahuluanI.1 Latar BelakangIslam adalah syariat Allah terakhir yang diturunkan-Nya kepada penutup para nabi dan rasul-Nya, Muhammad bin Abdullah shallallahu alaihi wasallam. Ia merupakan satu-satunya agama yang benar. Allah tidak menerima agama dari siapapun selainnya. Dia telah menjadikannya sebagai agama yang mudah, tidak ada kesulitan dan kesusahan di dalamnya. Allah tidak mewajibkan dan tidak pula membebankan kepada para pemeluknya apa-apa yang mereka tidak sanggup melakukannya. Islam adalah agama yang dasarnya tauhid, syiarnya kejujuran, porosnya keadilan, tiangnya kebenaran, ruhnya kasih sayang. Ia merupakan agama agung yang mengarahkan manusia kepada seluruh hal yang bermanfaat, serta melarang dari segala hal yang membahayakan bagi agama dan kehidupan mereka di dunia.[footnoteRef:2] [2: Askar, Zulfi. Mengenal Islam (Introduction to Islam in Indonisian Language).Penerbit Darul Qasim diterjemahkan oleh Divisi Indonesia.//[pdf] Dapat di unduh melalui: http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=0CB0QFjAA&url=http%3A%2F%2Fd1.islamhouse.com%2Fdata%2Fid%2Fih_articles%2Fid_brief_presentation_of_islam.pdf&ei=2G2KVJKBCcwuAS0ioLoCQ&usg=AFQjCNFMII9b6B1PMHvQjjKuv_S1A_5XPw&bvm=bv.81456516,d.c2E/di akses pada 12/12/2014 pukul 11.10]

Berbicara tentang Islam, tentu tidak terlepas dari hak dan kewajiban bagi seorang muslim. Diskursus mengenai hak perempuan dan laki-laki sedari dulu telah menjadi perbincangan. Terlebih setelah munculnya gerakan feminisme yang tujuan utamanya yakni menyuarakan serta memperjuangkan hak-hak perempuan, isu mengenai hak-hak perempuan semakin hangat saja. Menyinggung sejarah masa lalu, yaitu ketika zaman Jahiliyah, perempuan sama sekali tidak berharga. Permpuan hanya di jadikan sebuah barang atau hanya sebatas objek kesenangan kaum lelaki. Namun Islam datang dan membawa kabar baik bagi kaum perempuan yaitu dengan menempatkan perempuan sebagai makhluk yang terhormat dan sejajar dengan laki-laki. Islam tidak membedakan manusia berdasarkan jenis kelaminnya. Laki-laki dan perempuan disisi Allah tidak ada bedanya, yang membedakan hanyalah ketakwaannya kepada Allah.[footnoteRef:3] [3: Syahid, Maulan. Peran Politik Perempuan Dalam Pandangan Siti Musdah Mulia. Skripsi. UIN Yogyakarta. 2014. Hal. 1]

Namun demikian diakui atau tidak atau tidak, mayoritas umat Islam memiliki cara pandang yang kurang fair yakni perempuan harus dibelakang laki-laki. Pemahaman tersebut ternyata berakar dari, salah satu teologi penciptaan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki0laki. Hal ini jelas tidak relefan dengan ayat 1 surat An-Nisa yang menurut penafsiran Yusuf Ali diyakini bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan dari spesies yang sama. Kesalahan teologis di atas ternyata mempengaruhi budaya masyarakat, yang mengakibatkan profesi yang dihargai masyarakat harus diberikan kepada laki-laki dan yang kurang diminatinya barulah disisakan untuk perempuan.[footnoteRef:4] [4: Tari Siwi Utami, Perempuan Politik di Parlemen (Yogyakarta: Gama Media, 2001). Hal. 11]

Secara historis, streotip perempuan dapat dilihat dari tiga aspek: biologis, psikologis, dan mitologis. Secara biologis (fisik), perempuan lebih lemah daripada laki-laki, secara psikologis perempuan merupakan sosok yang lebih dikendalikan oleh emosi dalam bertindak, suka dilindungi, tidak menyukai tantangan, dan serba lembut, sedang secara mitologis yang bersumber dari ajaran agama dan mite-mite tertentu, hampir selalu menempatkan perempuan merupakan subordinasi laki-laki. Secara kultural, budaya Jawa berpandangan bahwa tugas seorang perempuan adalah macak berhias, masak memasak, dan manak melahirkandengan wilayah operasi dapur, sumur, dan kasur. Dalam pandangan hidup orang jawa, juga dikenaltiga kesetiaan seorang perempuan, yakni ketika kecil harus patuh kepada orang tua, ketika dewasa harus patuh kepada suami, dan ketika tua harus patuh kepada anakanaknya. Sedangkan secara sosial, nilai-nilai di atas dilembagakan dalam semua aspek kehidupan: hukum, politik, dan pranata sosial. Berbagai faktor itulah yang akhirnya membentuk stereotip perempuan.[footnoteRef:5] [5: Suyanto Aw & Sri Puji Astuti. (2010), Stereotip Perempuan Dalam Bahasa Indonesia Dalam RanahRumah Tangga Diunduh Dari Http://Staff.Undip.Ac.Id/Sastra/Suyanto/ di akses pada 12/12/2014 pukul 12.03 ]

Tidak dapat dipungkiri stereotip mengenai perempuan membuat gerak perempuan terbilang terbatas dan tidak sebanding dengan laki-laki. Bayangkan ketika Megawati Soekarno Puteri menjadi Presiden Indonesia pada tahun 2004. Sontak memicu berbagai penolakan dari berbagai pihak. Tidak jarang pula kalangan yang menolak tersebut berargumen bahwa perempuan dalam Islam haram hukumnya menjadi pemimpin, perempuan harus di belakang laki-laki. Penolakan terhadap Presiden wanita, misalnya adalah semata-mata karena menurut syariat Islam wanita itu tidak boleh memimpin Negara. ..... Dalam Hadits sudah dinyatakan bahwa selama Negara di pimpin wanita, ia tidak akan sukses. [footnoteRef:6] [6: Afadlal. Irewati, Arawani. Dhurorudin, Mashad. Zaenudin, Dundin. Purwoko, Dwi. Turmudi, Endang. Hisyam, Muhammad. Sihbudi, Riza. Islam dan Radikalisme. Jakarta: LIPI Press, 2005. Hal. 252]

Seiring berjalannya waktu, nilai dan norma sosial terus berubah, perempuan juga mengalami berbagai kemajuan dan menunjukkan peningkatan dari segi kualitas dan kuantitas di bidang pendidikan, sosial, dan ketenagakerjaan meski belum secara signifikan. Kogres perempuan pertama di Yogyakarta pada tahun 1928 menandai bahwa kesadaran politik perempuan Indonesia mulai tumbuh. Kemudian diikuti munculnya sejumlah organisasi perempuan sampai pada masa kemerdekaan, seperti Perwani dan Kowani. Partisipasi nyata dan dijaminnya hak-hak perempuan tercermin pada pemilu 1955 dimana perempuan Indonesia berhak untuk dipilih dan memilih.[footnoteRef:7] [7: Sihite, Romany. Perempuan, Kesetaraan dan Keadilan : Suatu Tinjauan Berwawasan Gender, (Jakarta. Raja grafindo persada. 2007) Hal. 155]

Apabila di lihat dari segi keterwakilan perempuan di kancah perpolitikan Indonesia yang tercermin dari lembaga Eksekutif, Legislatif, maupun Yudikatif, perempuan masih jauh tertinggal di banding laki-laki. Mengingat jumlah perempuan yang andil dalam pemilu cukup besar, namun keterwakilannya dalam lembaga-lembaga di pemerintah terbilang sedikit. Menyikapi hal itu, Siti Musdah Mulia yang beraliran feminisme menyuarakan pandangannya mengenai peran politik perempuan melalui karyanya yang berjudul Muslimah Reformis.

I.2 Rumusan Masalah1. Bagaimana peran politik perempuan pemikiran Musdah Mulia?2. Bagaimana diskursus yang menjadi perdebatan terkait pemikiran Musdah Mulia tentang peran politik perempuan?

I. Pembahasan

II.1 Peran politik perempuan dalam pemikiran Musdah Mulia

Melihat perempuan dalam dunia politik memang sudah tidak asing lagi. Meskipun peran dan partisipasi politik perempuan telah legal di mata hukum, namun rasanya perempuan dan politik masih merupakan dua hal yang tidak mudah ditautkan. Terbukti dengan jumlah keterwakilan perempuan baik di kursi legislatif maupun keanggotaan dalam partai politik. Siti Musdah Mulia dalam bukunya Muslimah Reformis Perempuan Pembaru Keagamaan dipaparkan bahwa politik pada hakikatnya adalah kekuasaan (power) dan pengambilan keputusan, yang lingkupnya dari institusi keluarga hingga institusi politik formal tinggi. Oleh karena itu, pengertian politik pada prinsipnya juga meliputi masalah-masalah pokok dalam kehidupan sehari-hari yang pada kenyataannya selalu melibatkan perempuan. Keterlibatan perempuan dalam politik bukanlah dimaksudkan untuk menjatuhkan, menurunkan, atau merebut kekuasaan dari tangan laki-laki, melainkan dimaksudkan agar bisa menjadi mitra sejajar laki-laki.[footnoteRef:8] [8: Siti Musdah Mulia. Muslimah Reformis Perempuan Pembaru Keagamaan. (Bandung: Mizan 2005) hal. 275]

http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=6&cad=rja&uact=8&ved=0CDIQFjAF&url=http%3A%2F%2Fejournal.undip.ac.id%2Findex.php%2Fpolitika%2Farticle%2Fdownload%2F4863%2F4411&ei=X3aKVMHoHNC0uAT134H4BA&usg=AFQjCNFmHcaUAdX6xCkpFq3JyZlaJ99koA&bvm=bv.81828268,d.c2E