uin syarif hidayatullah jakarta aktivitas inhibisi...
TRANSCRIPT
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
AKTIVITAS INHIBISI FRAKSI AKTIF EKSTRAK DAUN BELUNTAS
(Pluchea indica (L) Less.) TERHADAP TARGET OBAT ANTIMALARIA
Plasmodium falciparum MALATE QUINONE OXIDOREDUCTASE
(PfMQO)
SKRIPSI
IRHAM PRATAMA PUTRA
NIM: 1112102000036
PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
JAKARTA
2017
ii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
AKTIVITAS INHIBISI FRAKSI AKTIF EKSTRAK DAUN BELUNTAS
(Pluchea indica (L) Less.) TERHADAP TARGET OBAT ANTIMALARIA
Plasmodium falciparum MALATE QUINONE OXIDOREDUCTASE
(PfMQO)
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi
IRHAM PRATAMA PUTRA
NIM: 1112102000036
PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
JAKARTA
2017
iii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
HALAMAN PERNYATAAN ORISINILITAS
Skripsi ini adalah karya saya sendiri, bagian dari kerja sama Internasional
Universitas Nagasaki Jepang, Badan Pengkajian dan Penerangan Teknologi
(BPPT), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Semua sumber baik yang dikutip
maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar
iv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING
Nama : Irham Pratama Putra
NIM : 1112102000036
Program Studi : Farmasi
Judul Skripsi :..
Disetujui Oleh :
AKTIVITAS INHIBISI FRAKSI AKTIF EKSTRAK DAUN
BELUNTAS (Pluchea indica (L) Less.) TERHADAP
TARGET OBAT ANTIMALARIA Plasmodium falciparum
MALATE QUINONE OXIDOREDUCTASE (PfMQO)
v UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI
Skripsi ini diajukan oleh:
Nama : Irham Pratama Putra
NIM : 1112102000036
Program Studi : Strata-1 Farmasi
Judul Skripsi :..
Telah berhasil dipertahankan dihadapan Dewan Penguji dan diterima
sebagai persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana
Farmasi pada Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
Ditetapkan di : Ciputat
Tanggal : 4 Oktober 2017
AKTIVITAS INHIBISI FRAKSI AKTIF EKSTRAK DAUN
BELUNTAS (Pluchea indica (L) Less.) TERHADAP
TARGET OBAT ANTIMALARIA Plasmodium falciparum
MALATE QUINONE.OXIDOREDUCTASE (PfMQO)
vi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ABSTRAK
Nama : Irham Pratama Putra
NIM : 1112102000036
Program Studi : Farmasi
Judul :..Aktivitas Inhibisi Fraksi Aktif Ekstrak Daun Beluntas
...(Pluchea indica (L) Less.) Terhadap Target Obat
...Antimalaria Plasmodium ...falciparum Malate Quinone
...Oxidoreductase\(PfMQO)
Daun beluntas (Pluchea indica (L) Less.) merupakan salah satu tanaman yang
banyak ditemui di Indonesia dan memiliki kandungan flavonoid, alkaloid,
tanin,dan fenol. Ekstrak daun beluntas dilaporkan memiliki aktivitas
antiplasmodium. Tujuan dari penelitiaan ini adalah untuk mengetahui aktivitas
fraksi aktif ekstrak daun beluntas terhadap salah satu target potensial
antiplasmodium yakni enzim MQO dari P. falciparum pada penyakit malaria.
dengan menggunakan metode in vitro. Tahapan dalam penelitian ini adalah
Ekstraksi simplisia daun beluntas, fraksinasi ekstrak, uji inhibisi in vitro, isolasi
ekstrak dengan kromatografi kolom, dari proses maserasi diperoleh ekstrak
sebanyak 3 fraksi. Fraksi ekstrak di kolom kromatografi, menghasilkan 7 fraksi n-
heksan dan 14 fraksi etil asetat. dan masing-masing fraksi diuji aktivitas secara in
vitro, instrumen yang digunakan pada uji in vitro ini adalah spektrofotometer UV-
Vis. Dari 21 fraksi ekstrak yang didapatkan, aktivitas antiplasmodium yang
tertinggi adalah fraksi F3 untuk pelarut n-heksan dengan persentasi sebesar 92%
dan fraksi F4 untuk pelarut etil asetat persentasi sebesar 91% pada pada
konsentrasi 100 µg/ml.
Kata kunci : Antiplasmodium, daun beluntas (Pluchea indica (L) Less.), in vitro,
.fraksi ekstrak,
vii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ABSTRACT
Name : .Irham Pratama Putra
NIM : .1112102000036
Programme Study : Farmasi
Title :..Activity Inhibition of Active Fraction Leaf Extract
...Beluntas (Pluchea indica (L) Less.) Against
...Antimalarial Drug Target Plasmodium falciparum
...Malate Quinone Oxidoreductase (PfMQO)
Beluntas leaf [Pluchea indica (L) Less.] is one of the many plants found in
Indonesia and contains flavonoids, alkaloids, tannins, and phenols. Beluntas leaf
extract is reported to have antiplasmodium activity. The purpose of this research
is to know the activity of active fraction of beluntas leaf extract to one of
antiplasmodium potential targets ie MQO enzyme from P. Falciparum in malaria
disease. using in vitro method. The steps used in this study was including
Beluntas leaf simplicia extraction, fractionation extract, in vitro inhibition test,
extract isolation with column chromatography, 3 fractions of extracts obtained
from maceration process. The fraction of the extract in the chromatographic
column, yielded 7 n-hexane fractions and 14 ethyl acetate fractions. and each
fraction activity was tested by in vitro test method, the instrument used in this in
vitro test is a UV-Vis spectrophotometer. From the 17 extract fractions obtained,
the highest antiplasmodium activity was the F3 fraction of n-hexane solvent with
percentage 92% and F4 fraction of etil acetate solvent with percentage 91% at 100
μg / ml concentration.
Key words : .antiplasmodium, beluntas leaf (Pluchea indica (L) Less.), in vitro,
extract fraction
viii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji dan syukur kepada Allah SWT
yang telah melimpahkan rahmat, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan penelitian dan menyusun skripsi berjudul “Aktivitas Inhibisi
Fraksi Aktif Ekstrak Daun Beluntas (Pluchea indica (L) Less.) Terhadap Target
Obat Antimalaria Plasmodium falciparum Malate Quinone Oxidoreductase
(PfMQO)” dengan baik. Shalawat serta salam senantiasa penulis curahkan kepada
Nabi Besar Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat serta para pengikut
di jalan yang diridhoi-Nya.
Penulis menyadari bahwa dalam penelitian sampai penyusunan skripsi ini
tidak akan terwujud tanpa adanya bantuan, bimbingan, dan dukungan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis tidak lupa
mengucapkan terima kasih banyak kepada :
1. Kedua orang tua tercinta Ayahanda Zulkifli dan Ibunda Makhyar yang
senantiasa memberikan kasih sayang, dukungan baik moril maupun
materil, serta doa tiada henti yang selalu menyertai setiap langkah penulis.
2. Bapak Hendri Aldrat, PhD.,Apt dan Ibu Eka Putri M.Si., Apt selaku
pembimbing, yang senantiasa memberikan bimbingan, ilmu, masukan,
dukungan, dan suntikan semangat kepada penulis.
3. Daniel Ken Inaoka PhD., terimakasih telah bersedia memberikan
bimbingan, ilmu dan waktu kepada penulis selama penelitian berlangsung.
4. Prof. Drs. Arif Sumantri, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Ibu Dr. Nurmeilis, M.Si, Apt selaku Ketua dan Ibu Nelly Suryani, Ph.D,
Apt selaku Sekretaris Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Prof. Dr. Atiek Soemiati, M.Si, Apt selaku pembimbing akademik yang
telah memberikan arahan selama masa perkuliahan.
7. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan yang telah memberikan ilmunya kepada penulis.
8. Fatih Mabruroh yang selalu menemani, memberikan dukungan semangat
dan doa selama penyelesaian skripsi ini.
9. Teman-teman “soulmate” Akbar, Nurul, Muzi, Hanum, Naya, Riqo atas
dukungan, kecerian, bantuan, dan kerjasama yang telah diberikan.
10. Teman-teman kontrakan ceria : Thantowi, Hari, Vano, Okin, Galih,
Gunawan, Adia, Ghilman, Brendy, Ivan, Bahri, Angga, Boy, Agung, Beni
sebagai keluarga terdekat yang selalu memberikan kecerian dan semangat
dalam menyelesaikan skripsi ini.
11. Teman-teman seperjuangan, Tharlis, Dwi, Intan atas semua keceriaan,
bantuan dan motivasi kepada penulis.
ix UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
12. Laboran Farmasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Kak Eris, Kak Tiwi,
Kak Walid, Kak Lisna, Kak Rani, Kak Yaenap, Kak Rahmadi, Kak Lisa
yang membantu penulis selama penelitian.
13. Teman-teman farmasi 2012 atas segala bantuan, kebersamaan, motivasi
selama pengerjaan skripsi ini maupun selama di bangku perkuliahan.
14. Semua pihak yang telah membantu selama penelitian dan penyelesaian
naskah skripsi baik secara langsung maupun tidak langsung yang namanya
tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih belum sempurna
dan banyak kekurangan. Oleh karena itu saran serta kritik yang membangun
sangat diharapkan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis pada
khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Amin Ya Robbal’alamin.
Ciputat, Oktober 2017
Penulis
x UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIK
Sebagai civitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta, saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Irham Pratama Putra
NIM : 1112102000036
Program Studi : Farmasi
Fakultas : Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Jenis Karya : Skripsi
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi/karya
ilmiah saya dengan judul:
AKTIVITAS INHIBISI FRAKSI AKTIF EKSTRAK DAUN BELUNTAS
(Pluchea indica (L) Less.) TERHADAP TARGET OBAT ANTIMALARIA
Plasmodium falciparum MALATE QUINONE OXIDOREDUCTASE
(PfMQO)
Untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital
Library Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
untuk kepentingan akademik sebatas sesuai Undang-Undang Hak Cipta.
Demikian persetujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan sebenarnya.
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................................ ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINILITAS .............................................................. iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................. iv
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................................... v
ABSTRAK ......................................................................................................................... vi
ABSTRACT ....................................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ....................................................................................................... viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH .................................. x
DAFTAR ISI .................................................................................................................... xi
DAFTAR TABEL ............................................................................................................. xiv
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................................... xv
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................................... xvi
BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................................ 1
1.1. Latar Belakang ................................................................................................ 1
1.2. Rumusan Masalah ............................................................................................ 3
1.3. Tujuan Penelitian ............................................................................................. 4
1.4. Manfaat Penelitian ........................................................................................... 4
xii
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................... 5
2.1. Tanaman Beluntas ............................................................................................ 5
2.1.1. Taksonomi Tanaman Beluntas ........................................................ 6
2.1.2. Nama Daerah Tanaman Beluntas .................................................... 6
2.1.3. Kandungan Kimia Tanaman Beluntas ............................................ 6
2.1.4. Manfaat Tanaman Beluntas............................................................. 7
2.2. Malaria ............................................................................................................ 7
2.3. Produksi Energi Pada Mahluk Hidup ............................................................. 10
2.4. Simplisia ........................................................................................................ 13
2.4.1. Penyiapan Simplisia ........................................................................ 14
2.5. Ekstrak Dan Ekstraksi ..................................................................................... 16
2.6. Metode Ekstraksi ........................................................................................... 18
2.7. Pelarut ............................................................................................................ 19
2.8. Vacuum Rotary Evaporator ............................................................................ 21
2.9. Kromatografi .................................................................................................. 21
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN ......................................................................... 23
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ......................................................................... 23
3.2. Alat dan Bahan .............................................................................................. 23
3.2.1. Alat-alat ........................................................................................... 23
3.2.2. Bahan............................................................................................... 24
3.3. Prosedur Penelitian.......................................................................................... 24
3.3.1. Determinasi Tumbuhan ................................................................... 24
3.3.2. Penyiapan Simplisia ........................................................................ 24
3.3.3. Pembuatan Dan Partisi Ekstrak ....................................................... 24
3.3.4. Penentuan Parameter-Parameter Standarisasi ................................. 25
3.3.5. Isolasi Dan Pemurnian Ekstrak ....................................................... 27
3.3.6. Uji Aktivitas Fraksi Ekstrak Beluntas Terhadap Enzim PfMQO ... 28
3.3.6.1.Produksi Enzim MQO ......................................................... 28
xiii
3.3.6.2. Persiapan Ekstrak ............................................................... 28
3.3.6.3. Perhitungan Aktivitas Enzim ............................................. 29
3.3.6.4. Penyiapan KLT Preparatif.................................................. 29
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................. 31
4.1. .Hasil Determinasi ........................................................................................... 31
4.2. .Penyiapan Simplisia ....................................................................................... 31
4.3. .Pembuatan Ekstrak ......................................................................................... 31
4.4. .Pengukuran Kadar Air Ekstrak ...................................................................... 33
4.5. .Pengukuran Kadar Abu Ekstrak ..................................................................... 33
4.6. .Penapisan Fitokimia ....................................................................................... 34
4.7. .Uji Aktivitas Ekstrak Daun Beluntas Terhadap Enzim PfMQO .................... 35
4.8. .Isolasi Dan Pemurnian Ekstrak ...................................................................... 36
4.9. .Uji Aktivitas Fraksi Ekstrak Daun Beluntas Terhadap Enzim PfMQO ......... 38
4.10..Uji Aktivitas Isolat Fraksi Ekstrak Daun Beluntas Terhadap Enzim
PfMQO ........................................................................................................... .. 40
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................. 44
5.1. Kesimpulan .................................................................................................... 44
5.2. Saran .............................................................................................................. 44
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 45
LAMPIRAN ....................................................................................................................... 48
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1. Peta Letak Ekstrak Larutan Induk ...................................................................... 28
Tabel 3.2. Peta Letak Ekstrak Pengujian ............................................................................ 29
Tabel 4.1. Hasil Perhitungan Rendemen Ekstrak ............................................................... 32
Tabel 4.2. Hasil Perhitungan Kadar Air Ekstrak ................................................................ 33
Tabel 4.3. Hasil Perhitungan Kadar Abu Ekstrak ............................................................... 34
Tabel 4.4. Hasil Skrining Fitokimia Ekstrak ....................................................................... 34
Tabel 4.5. Hasil Perhitungan % Inhibisi Ekstrak ................................................................ 35
Tabel 4.6. Hasil Perhitungan % Inhibisi Fraksi Ekstrak n-heksan ...................................... 38
Tabel 4.7. Hasil Perhitungan % Inhibisi Fraksi Ekstrak etil asetat ..................................... 39
Tabel 4.8. Hasil Perhitungan % Inhibisi Spot Fraksi Ekstrak n-heksan ............................. 41
Tabel 4.9. Hasil Perhitungan % Inhibisi Spot Fraksi Ekstrak etil asetat ............................ 42
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Tanaman Beluntas ......................................................................................... 5
Gambar 2.2. Siklus Transmisi Malaria .............................................................................. 9
Gambar 2.3. Proses Glikolisis ............................................................................................ 11
Gambar 2.4. Proses Pembentukan Asetil Koenzim A......................................................... 11
Gambar 2.5. Proses Siklus Kreb ......................................................................................... 12
Gambar 2.6. Proses Transpor Elektron ............................................................................... 12
Gambar 4.1. Profil Spot Fraksi F3 n-heksan dan F4 etil asetat........................................... 40
Gambar 4.2. Profil Aktivitas Inhibisi Spot Fraksi F3 n-heksan .......................................... 41
Gambar 4.3. Profil Aktivitas Inhibisi Spot Fraksi F4 etil asetat ......................................... 42
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Hasil Determinasi (Pluchea indica (L) Less.) .............................................. 49
Lampiran 2. Alur Penelitian .............................................................................................. 50
Lampiran 3. Alur kerja Ekstraksi Daun Beluntas ............................................................. 51
Lampiran 4. Perhitungan Rendemen Ekstrak.................................................................... 52
Lampiran 5. Perhitungan Parameter Ekstrak .................................................................... 53
Lampiran 6. Alur kerja Persiapan Fraksi Ekstrak Daun Beluntas .................................... 54
Lampiran 7. Perhitungan Pengenceran Konsentrasi Ekstrak ............................................ 55
Lampiran 8. Perhitungan Uji % inhibisi Ekstrak .............................................................. 57
Lampiran 9. Berat Hasil Fraksi Kolom Kromatografi ........................................................ 58
Lampiran 10. Tanaman Beluntas ........................................................................................ 59
Lampiran 11. Foto Ekstrak dan Fraksi Kolom Kromatografi Daun Beluntas .................... 60
Lampiran 12. Hasil Skrining Fitokimia Ekstrak Daun Beluntas ........................................ 62
Lampiran 13. Alat dan Bahan Saat Penelitian .................................................................... 63
1
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hubungan manusia dengan tanaman erat sekali. Tanaman tidak
hanya berfungsi sebagai sumber pangan, sandang dan papan, tapi yang tak
kalah pentingnya adalah peran tanaman sebagai bahan obat-obatan.
Manusia sepanjang sejarah telah memanfaatkan tanaman sebagai bahan
obat untuk mengatasi sakit yang mereka derita dan untuk pemeliharaan
kesehatan. Efek penyembuhan atau farmakologis dari tanaman tentu saja
erat kaitannya dengan kandungan kimiawi tanaman itu sendiri
(Rahmawati, E, & A, 2012).
Kandungan metabolit sekunder pada tanaman seperti alkaloid,
flavonoid, kumarin dan lain-lain biasanya memiliki aktivitas farmakologis
yang menentukan khasiat dari suatu tanaman. Kandungan metabolit
sekunder ini juga memungkinkan tanaman mempertahankan diri dari
serangan bakteri, jamur, ataupun serangan makhluk hidup lainnya
(Vickery & Vickery, 1981). Data yang berasal dari World Health
Organization (WHO) mengungkapkan bahwa 80% penduduk dunia masih
menggunakan tanaman sebagai sumber obat-obatan tradisional. Sampai
sekarang pun obat-obatan modern banyak yang berasal dari bahan aktif
yang diisolasi dan dikembangkan dari tanaman (Radji, 2012).
Salah satu tanaman obat yang memiliki potensi sebagai bahan obat
adalah beluntas (Pluchea indica (L.) Less.). Daun beluntas biasanya
digunakan masyarakat sebagai lalapan yang berkhasiat menghilangkan bau
badan. rematik, dan pegal linu (Ardiansyah & Andarwulan, 2003). Hasil
skrining fitokimia yang telah dilakukan oleh penelitian sebelumnya
melaporkan bahwa ada beberapa golongan senyawa aktif yang
teridentifikasi, diantaranya flavonoid, fenol, tanin, alkaloid, saponin, dan
minyak atsiri (Ardiansyah & Andarwulan, 2003). Aktivitas daun beluntas
yang telah dilaporkan sejauh ini adalah efek antimikroba tanaman tersebut
2
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
terhadap Stapylococcus aureus, Pseudomonas fluorescens, Escherichia
coli, dan Salmonela typhi (Ardiansyah & Andarwulan, 2003). Beluntas
juga dilaporkan memiliki efek antioksidan (Widyawati, Wijaya,
Hardjosworo, & Sajuthi, 2011). Ekstrak beluntas juga dilaporkan memiliki
efek antimalaria pada Plasmodium berghei (Rahayu, 2012).
Malaria merupakan penyakit infeksi dengan gejala demam
berkala yang disebabkan oleh parasit Plasmodium (Protozoa) yang
ditularkan oleh nyamuk Anopheles betina. Malaria salah satu penyakit
yang serius dan dapat menyebabkan kematian terutama pada pasien
dengan risiko tinggi seperti bayi, balita dan ibu hamil. Selain itu malaria
juga dapat menyebabkan anemia sehingga produktifitas pasien akan
berkurang (Kemenkes, 2013). Menurut (Kemenkes, 2013), pada tahun
2010 sebanyak 65% kabupaten endemis malaria, 45 % dari penduduknya
beresiko tertular malaria. Pasien penderita malaria 1,85 per 1.000
penduduk pada tahun 2009 mengalami peningkatan pada tahun 2010
menjadi 1,96 per 1000 penduduk. Sementara itu, tingkat kematian akibat
malaria mencapai 1,3%. Pada tahun 2011 kematian akibat dari malaria
mencapai 388 kasus. Menurut data dari WHO pada tahun 2015 3,2 milyar
jiwa atau hampir separuh penduduk dunia berisiko tertular penyakit
Malaria dan terjadi 214 juta kasus malaria di dunia dan 438.000
mengalami kematian.
Pengobatan malaria biasanya menggunakan terapi tunggal dari
klorokuin, amodiakuin, sulfadoksin-pirimethamin (SP). Namun ditemukan
kasus resistensi parasit malaria Plasmodium falciparum, dan Plasmodium
vivax terhadap klorokuin di Kalimantan Timur pada tahun 1973 dan di
Pulau Nias sejak tahun 1990, resistensi berkembang ke seluruh Indonesia.
Penggunaan SP sudah ditemukan resitensi di beberapa wilayah Indonesia.
Semakin banyaknya kasus resistensi obat terhadap parasit malaria ini
dapat menyebabkan meningkatnya morbiditas dan mortalitas penyakit
malaria. Untuk mengatasi masalah resitensi ini sehingga perlu upaya untuk
mengembangkan dan menemukan obat baru untuk mengobati malaria
(Kemenkes, 2013).
3
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pemerintah telah merekomendasikan obat pilihan pengganti
klorokuin dan SP, yaitu kombinasi derivate artemisinin dengan obat anti
malaria lainnya yang biasa disebut dengan artemisinin based combination
therapy (ACT). (Kemenkes, 2013). ACT sangat efektif untuk menurunkan
morbiditas dan mortalitas penyakit malaria di seluruh dunia. Sayangnya
baru-baru ini telah ditemukan terjadinya resistensi terhadap artemisinin P.
falciparum di Asia Selatan dan Asia Timur (WHO, 2015).
Beberapa strategi untuk mengatasi resistensi malaria adalah
menemukan sumber obat baru yang lebih aman dan spesifik serta mencari
target obat baru yang efektif dalam melumpuhkan parasit yang invasif.
MQO (malate quinone oksidoreductase) merupakan salah satu target obat
yang bagus untuk mengatasi invasi Plasmodium di dalam tubuh. MQO
merupakan suatu enzim membran yang berfungsi sebagai katalis oksidasi
dari malat ke oksaloasetat (Kather, Stingl, van der Rest, Altendorf, &
Molenaar, 2000).
Penelitian sebelumnya telah mengungkapkan bahwa daun
beluntas memiliki efek antiplasmodium, namun efeknya terhadap target
obat antiplasmodium enzim Plasmodium falciparum MQO sejauh ini
belum pernah dilaporkan.
1.2 Rumusan Masalah
Sejauh ini belum ada laporan aktivitas inhibisi fraksi aktif ekstrak
daun beluntas terhadap salah satu target potensial antiplasmodium yakni
enzim MQO dari P. falciparum pada penyakit malaria.
4
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas inhibisi fraksi
aktif ekstrak daun beluntas terhadap salah satu target potensial
antiplasmodium yakni enzim MQO dari P. falciparum pada penyakit
malaria.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis : penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah
ilmu pengetahuan dan memberikan informasi ilmiah mengenai potensi
kearifan lokal tanaman obat di Indonesia khususnya daun beluntas.
2. Manfaat metodologis : penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi
untuk penelitian selanjutnya dan sebagai acuan metodologi khususnya
aktivitas antimalaria dari daun beluntas.
3. Manfaat aplikatif : penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai
landasan ilmiah penggunaan daun beluntas sebagai obat dalam upaya
peningkatan kesehatan dan pemanfaatannya di bidang industri farmasi.
5
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Beluntas
Beluntas merupakan tanaman yang biasanya tumbuh di daerah
kering berbatu dan juga sebagai tanaman pagar. Banyak ditemukan di
daerah pantai sampai ketinggian 1000 m dpl. tanaman pardu kecil, tumbuh
tegak tinggi mencapai 2 m lebih. Memiliki cabang banyak, memiliki
rambut lembut dan berusuk halus. Bentuk daun bulat telur sungsang
dengan ujung lancip, warna hijau terang. Beluntas memiliki bunga
majemuk yang keluar dari ketiak daun dan ujung tangkai. Bunga
berbentuk bonggol dan bergagang, bunga dari beluntas berwarna putih
kekuningan (Dalimartha, 1999).
Gambar 2.1 Tanaman Beluntas
Sumber: (Koleksi Pribadi, 2017)
6
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.1.1 Taksonomi Tanaman Beluntas
Secara kedudukan taksonomi dari beluntas di tatanama
sistematika tanaman beluntas termasuk :
Kingdom : Plantae
Super Divisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Sub Kelas : Asteridae
Ordo : Asterales
Famili : Asteraceae
Genus : Pluchea
Spesies : Pluchea indica (L.) Less.
(Dalimartha, 1999).
2.1.2 Nama Daerah Tanaman Beluntas
Beluntas tersebar di berbagai daerah Indonesia dan dikenal
dengan nama daerah yang berbeda–beda: beluntas (Sumatera), baruntas
(Sunda), luntas (Jawa Tengah), baluntas (Madura), lamutasa (Makasar).
Sedangkan di luar Indonesia beluntas dikenal dengan nama lenabou
(Timor), beluntas (Malaysia), beluntas (Singapura), dan khlu (Thailand)
(Dalimartha, 1999).
2.1.3 Kandungan Kimia Tanaman Beluntas
Daun beluntas mengandung flavonoid, fenol, tanin, alkaloid,
saponin, dan minyak atsiri, Bagian akar dari beluntas mengandung
flavonoid dan tanin (Dalimartha, 1999).
7
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.1.4 Manfaat Tanaman Beluntas
Beluntas umumnya digunakan sebagai tanaman pagar, namun
secara tradisional masyarakat memanfaatkan tanaman beluntas sebagai
obat untuk menghilangkan bau badan, obat demam, obat batuk, obat
malaria, obat anti diare. Rebusan dari daun beluntas juga sering dijadikan
obat penyakit kulit, dan dapat juga dikonsumsi sebagai lalapan (M.
Winarno & Sundari, 1996) (Rahayu, 2012).
2.2 Malaria
2.1. Etiologi dan Patogenesis
Malaria adalah kata yang berasal dari bahasa Italia, yang artinya
mal : buruk dan area : udara, jadi secara harfiah berarti penyakit yang
sering timbul di daerah dengan udara buruk akibat dari lingkungan yang
buruk. Malaria adalah penyakit menular yang disebabkan oleh parasit
(Protozoa) dari genus Plasmodium, yang dapat ditularkan melalui gigitan
nyamuk anopheles (Depkes RI, 2008).
2.2 Penyebab Penyakit Malaria
Penyebab malaria adalah Plasmodium termasuk dalam famili
Plasmodiae. Parasit ini menyerang eritrosit dan ditandai dengan
ditemukannya bentuk aseksual di dalam darah. Pembiakan seksual
Plasmodium terjadi dalam tubuh nyamuk, yaitu anopheles betina. Selain
menginfeksi manusia Plasmodium juga menginfeksi binatang seperti
golongan burung, reptil dan mamalia. Pada manusia, Plasmodium
menginfeksi sel darah merah dan mengalami pembiakan aseksual di
jaringan hati dan eritrosit (Depkes RI, 2008).
Di seluruh dunia terdapat sekitar 2.000 spesies anopheles, 60
spesies diantaranya diketahui sebagai penular malaria. Di Indonesia ada
sekitar 80 jenis anopheles, 24 spesies diantaranya telah terbukti penular
malaria. Sifat masing-masing spesies berbeda-beda tergantung banyak
faktor, seperti penyebaran geografis, iklim, dan tempat perindukannya.
Semua nyamuk malaria hidup sesuai dengan kondisi ekologi setempat,
8
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
contohnya nyamuk malaria yang hidup di air payau (Anopheles sundaicus
dan Anopheles subpictus), di sawah (Anopheles aconitus), atau air bersih
di pegunungan (Anopheles maculatus) (Depkes RI, 2008).
Nyamuk anopheles hidup di daerah iklim tropis dan subtropis,
tetapi juga bisa hidup di daerah yang beriklim sedang. Nyamuk ini jarang
ditemukan pada daerah dengan ketinggian lebih dari 2.000 – 2.500 meter.
Tempat perindukannya bervariasi tergantung spesies, dan dapat dibagi
menjadi tiga kawasan, yaitu pantai, pedalaman dan kaki gunung. Biasanya,
nyamuk anopheles betina menggigit manusia pada malam hari atau sejak
senja hingga subuh. Jarak terbangnya tidak lebih dari 0,5–3 km dari
tempat perindukannya, kecuali jika ada tiupan angin kencang bisa terbawa
sejauh 20 – 30 km. Nyamuk anopheles juga dapat terbawa mobil, pesawat
terbang atau kapal laut, dan menyebarkan malaria ke daerah non-endemis.
Umur nyamuk anopheles dewasa di alam bebas belum banyak diketahui,
tetapi di laboratorium dapat mencapai 3–5 minggu (Depkes RI, 2008).
2.2.1 Jenis Parasit Plasmodium
Penyakit malaria disebabkan oleh Protozoa genus Plasmodium. Terdapat
empat spesies yang menyerang manusia yaitu :
P. falciparum (Welch, 1897) menyebabkan malaria falciparum atau
malaria tertiana maligna/malaria tropika/malaria pernisiosa.
P. vivax (Labbe, 1899) menyebabkan malaria vivax atau malaria
tertiana benigna.
P. ovale (Stephens, 1922) menyebabkan malaria ovale atau malaria
tertiana benigna ovale.
P. malariae (Grassi dan Feletti, 1890) menyebabkan malaria malariae
atau malaria kuartana.
Penyebab terbanyak di Indonesia adalah P. falciparum dan P.
vivax. Untuk P. falciparum menyebabkan suatu komplikasi yang
berbahaya, sehingga disebut juga dengan malaria berat ciri utama genus
9
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
plasmodium adalah adanya dua siklus hidup, yaitu siklus hidup aseksual
dan siklus seksual.
Gambar 2.2. Siklus Transmisi Malaria
Sumber : klein EY. Antimalarial drug resistance : a review of the biology and
strategies to delay emergence and speard. International Journal antimicrob agents
(2013)
1. Fase aseksual
Fase aseksual dimulai ketika anopheles betina menggigit manusia
sporozoit yang terdapat dalam air liurnya ke dalam sirkulasi darah manusia
selama kurang lebih 30 menit. Setelah itu sporozoit akan masuk ke dalam
sel parenkhim hati dan berkembang biak membentuk skizon hati yang
mengandung ribuan merozoit hati. Siklus ini di sebut siklus eksoeritorisiter
yang berlansung sekitar 2 minggu. Pada akhir fase mesozoid yang berasal
dari skizon hati yang pecah akan masuk ke dalam peredaran darah dan
menginfeksi sel darah merah. Kemudian parasit tersebut mengalami proses
skizogoni yaitu berkembang dari stadium tropozoid sampai skizon.
Selanjutnya terjadi proses eritrositer yaitu eritrosit yang terinfeksi skizon
10
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
pecah dan merozoid yang keluar akan menginfeksi sel darah merah lainya.
Setelah terjadi 2-3 siklus skizogoni darah sebagian merozoid yang
menginfeksi sel darah merah dan membentuk stadium seksual yaitu
gametosit jantan dan betina (Depkes RI, 2008).
2. Fase seksual
Jika nyamuk anopheles betina mengisap darah manusia yang
mengandung parasit malaria, parasit bentuk seksual masuk ke dalam perut
nyamuk. Bentuk ini mengalami pematangan menjadi mikrogametosit dan
makrogametosit, yang kemudian terjadi pembuahan membentuk zygote
(ookinet). Selanjutnya, ookinet menembus dinding lambung nyamuk dan
menjadi ookista. Jika ookista pecah, ribuan sporozoit dilepaskan dan
bermigrasi mencapai kelenjar air liur nyamuk. Pada saat itu sporozoit siap
menginfeksi jika nyamuk menggigit manusia (Depkes RI, 2008).
1.3 Produksi Energi Pada Mahluk Hidup
1. Glikolisis
Proses glikolisis merubah glukosa menjadi piruvat dan akan
menghasilkan ATP. Glikolisis dimulai dengan satu molekul glukosa yang
memiliki 6 atom karbon pada rantainya (C6H12O6) dan akan dipecahkan
menjadi dua molekul piruvat yang masing-masing memiliki 3 atom karbon
(C3H3O3) yang merupakan hasil akhir bagi proses ini (Irawan, 2007).
proses glikolisis ini juga akan menghasilkan molekul 4 ATP dan 2 NADH
total akan dihasilkan 10 ATP pada tahap awal proses ini memerlukan 2
molekul ATP dan 2 molekul ATP untuk mentransfer 2 NADH ke
mitokondria. Sebagai hasil akhir, akan terbentuk 6 molekul ATP (Marks et
al., 2005).
11
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Gambar 2.3 proses glikolisis
Sumber: Biologi, sembiring.L
2. Dekarboksilasi Oksidatif
Dekarboksilasi oksidatif adalah reaksi yang mengubah asam
piruvat dari hasil proses glikolisis menjadi asetil koenzim A dan karbon
dioksida di dalam mitokondria pada proses ini terbentuk 6 ATP (Tortora,
2009).
Gambar 2.4 Proses pembentukan asetil koenzim A
Sumber: Biologi, sembiring.L
3. Siklus Kreb
Siklus Kreb terjadi di dalam mitokondria. Molekul asetil-KoA
yang merupakan produk akhir dari proses konversi piruvat kemudian akan
masuk ke dalam siklus Kreb. Perubahan yang terjadi dalam siklus ini
adalah mengubah 2 atom karbon yang terikat di dalam molekul asetil-KoA
menjadi 2 molekul karbon dioksida (CO2), membebaskan koenzim A serta
memindahkan energi dari siklus ini ke dalam senyawa NADH, FADH2 dan
GTP. Untuk melanjutkan proses metabolisme energi, molekul NADH dan
FADH2 yang dihasilkan dalam siklus ini akan diproses kembali secara
aerobik di dalam membran sel mitokondria melalui proses electron
12
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
transpor chain atau rantai transpor elektron untuk menghasilkan produk
akhir berupa ATP dan air (Galambos, Terry, Moyle, & Locke, 2005).
Gambar 2.5 proses siklus kreb
Sumber: M.W.King (1996)
4. Rantai Transpor Elektron
Pada proses transpor elektron, NADH dan FADH2 yang
mengandung elektron akan melepaskan elektron tersebut ke dalam
akseptor utama yaitu oksigen. Pada akhir dari proses ini, akan
menghasilkan 3 molekul ATP dari 1 molekul NADH dan 2 molekul ATP
dihasilkan dari 1 molekul FADH2. 1 molekul glukosa akan menghasilkan 6
NADH + 2 FADH2 + 2ATP, Total ATP yang akan terbentuk selama proses
keseluruhan adalah 36 ATP. (Irawan, 2007).
Gambar 2.6 proses transpor elektron
Sumber: www.khanacademy.org
13
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
1.3.1 Enzim Malate Quinon Oxidoreductase (MQO)
Enzim adalah protein yang berfungsi sebagai katalisator, senyawa
yang meningkatkan kecepatan reaksi kimia. Enzim berikatan dengan
substrat. Dengan adanya enzim, molekul awal yang disebut substrat akan
dipercepat perubahannya menjadi molekul lain yang disebut produk
(Marks, Marks, & Smith, 2000). Enzim dapat diproduksi oleh mikroba
atau bahan lainnya seperti hewan dan tanaman. Enzim juga dapat diisolasi
dalam bentuk murni (F. Winarno, 1986)
Malate quinon oxidoreductase (MQO) adalah enzim kunci yang
terlibat di siklus TCA, siklus fumarat dan rantai respirasi. Pada siklus TCA
menghubungkan rantai respirasi dengan mentransfer elektron dari malat ke
ubiquinone untuk memproduksi oksaloasetat dan ubiquinol. PfMQO
dianggap sebagai target obat yang potensial (Inaoka et al., 2016).
2.4 Simplisia
Menurut (Depkes RI, 2000), simplisia adalah bahan alami yang
digunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga
kecuali dikeringkan. Simplisia terbagi beberapa jenis simplisia nabati,
hewani, dan simplisia mineral. Simplisia nabati adalah simplisia yang
berupa tanaman utuh, bagian tanaman atau ekdsudat tanaman. Simplisia
hewani adalah simplisia yang berupa hewan utuh, bagian hewan atau zat-
zat berguna yang dihasilkan oleh hewan dan belum berupa zat kimia
murni. Simplisia pelikan atau mineral adalah simplisia yang berupa bahan
pelikan atau mineral yang belum diolah dan telah diolah dengan cara
sederhana dan belum berupa zat kimia murni.
Sumber simplisia di Indonesia sangat melimpah di setiap daerah
terdapat tanaman obat. Pemilihan simplisia yang baik merupakan sesuatu
yang sangat penting untuk menjamin mutu suatu obat tradisional. Industri
obat tradisional seharusnya mempunyai standar minimal untuk simplisia
yang digunakan untuk memberi jaminan kualitas simplisia yang digunakan
(Departemen Kesehatan, 1999).
14
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.4.1 Penyiapan Simplisia
a. Pengumpulan Bahan Baku
Kandungan kadar senyawa yang terkandung dalam simplisia
dapat berbeda–beda dipengaruhi beberapa faktor seperti bagian tanaman
yang digunakan, umur tanaman, waktu panen dan lingkungan tempat
tumbuh (Depkes RI, 1985).
b. Sortasi Basah
Pada sortasi basah dilakukan pemisahan kotoran–kotoran atau
bahan asing lainnya yang ada pada simplisia yang tidak digunakan. Seperti
kerikil, ranting, tanah, serta pengotor lainnya (Depkes RI, 1985).
c. Pencucian
Pencucian dilakukan untuk menghilangkan tanah dan pengotoran
lainnya yang melekat pada bahan simplisia. Pencucian dilakukan dengan
air bersih yang mengalir. Bahan simplisia yang mengandung zat yang
mudah larut dalm air yang mengalir, pencucian agar dilakukan dalam
waktu sesingkat mungkin untuk menghindari kehilangan zat lebih banyak
(Depkes RI, 1985).
d. Perajangan
Perajangan bahan simplisia dilakukan untuk mempermudah
proses pengeringan, penggilingan dan penyimpanan (Depkes RI, 1985).
e. Pengeringan
Tujuan pengeringan adalah untuk mendapatkan simplisia yang
tidak mudah rusak, sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lebih lama.
Dengan mengurangi kadar air dan menghentikan reaksi enzimatik akan
dicegah penurunan mutu atau perusakan simplisia. Hal-hal yang perlu
diperhatikan selama proses pengeringan adalah suhu pengeringan,
kelembaban udara, aliran udara, waktu pengeringan dan luas permukaan
bahan. Suhu pengeringan tergantung kepada bahan simplisia dan cara
pengeringannya. Bahan simplisia dapat dikeringkan pada suhu 30ºC
15
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
sampai 90ºC, tetapi suhu yang terbaik adalah tidak melebihi 60ºC. Bahan
simplisia yang mengandung senyawa yang tidak tahan terhadap panas atau
mudah menguap harus dikeringkan pada suhu serendah mungkin,
misalnya 30ºC sampai 45ºC (Depkes RI, 1985).
f. Sortasi Kering
Sortasi setelah pengeringan sebenarnya merupakan tahap akhir
pembuatan simplisia. Tujuan sortasi untuk memisahkan benda-benda asing
seperti bagian bagiian tanaman yang tidak diinginkan dan pengotoran-
pengotoran lainnya yang masih tertinggal pada simplisia kering (Depkes
RI, 1985).
g. Penghalusan
Penghalusan bertujuan untuk memperbesar luas permukaan dan
mempercepat ekstraksi jika simplisia ingin dijadikan ekstrak kental
ataupun cair (Depkes RI, 1985)
h. Pengepakan dan Penyimpanan
Tujuan pengepakan adalah agar simplisia yang telah jadi dapat
disimpan dalam jangka waktu yang lama dan mutunya tetap terjaga
(Depkes RI, 1985).
2.4.2 Pemeriksaan Mutu Simplisia
Pemeriksaan dilakukan dengan cara pemeriksaan organoleptik
(makroskopik), pemeriksaan mikroskopik (anatomi histologi simplisia),
memisahkan bahan organik lain, pemeriksaan cemaran mikroba, cemaran
jamur dan cemaran pestisida (Gunawan & Mulyani, 2004).
16
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.5 Ekstrak dan Ekstraksi
Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan
mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia menggunakan pelarut yang
sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa
atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku
yang telah ditetapkan. Dalam proses pembuatan ekstrak ada beberapa hal
yang perlu diperhatikan, diantaranya (Depkes RI, 2000).
2.5.1 Pembuatan Serbuk Simplisia
Proses awal pembuatan ekstrak adalah tahapan pembuatan serbuk
simplisia kering. Dari simplisia dibuat serbuk simplisia dengan peralatan
tertentu sampai derajat kehalusan tertentu. Proses ini dapat mempengaruhi
mutu ekstrak. Semakin halus serbuk simplisia, proses ekstraksi semakin
efektif dan efisien, namun, semakin halus serbuk, maka akan akan banyak
pelarut yang digunakan dan sulit dalam tahapan filtrasi.
2.5.2 Cairan Pelarut
Cairan pelarut dalam proses pembuatan ekstrak adalah pelarut
yang baik (optimal) untuk senyawa kandungan yang berkhasiat, dengan
demikian senyawa tersebut dapat terpisahkan dari bahan dan senyawa
kandungan lainnya, serta ekstrak hanya mengandung sebgaian besar
senyawa yang diinginkan. Faktor utama yang dipertimbangkan pada
pemilihan cairan penyari diantaranya: selektivitas, kemudahan bekerja dan
proses dengan cairan tersebut (ekonomis, ramah lingkungan dan
keamanan).
2.5.3 Separasi dan Pemurnian
Tujuan tahapan ini adalah menghilangkan senyawa yang tidak
dikehendaki semaksimal mungkin tanpa berpengaruh pada senyawa
kandungan yang dikehendaki, sehingga diperoleh ekstrak yang lebih
murni. Proses-proses pada tahap ini adalah pengendapan, pemisahan dua
cairan tak tercampur, sentrifugasi, dekantasi, filtrasi serta adsorpsi dan
penukar ion.
17
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.5.4 Pemekatan atau Penguapan
Pemekatan berarti jumlah parsial senyawa pelarut (solute) secara
penguapan pelarut tanpa sampai menjadi kondisi kering, ekstrak hanya
menjadi kental atau pekat.
2.5.5 Rendemen
Rendemen adalah perbandingan antara ekstrak yang diperoleh
dengan simplisia awal.
Ekstraksi adalah proses penyarian senyawa kimia yang terdapat
dalam tanaman atau bahan alam lainnya. Ada beberapa metode ekstraksi
yang dikenal. Beberapa metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut
dibagi menjadi dua cara, yaitu cara panas dan cara dingin (Depkes RI,
2000).
Menurut (Depkes RI, 2010) mutu ekstrak dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor, faktor biologi dan faktor kimia.
a. Faktor biologi
Faktor eksternal, lokasi asal tempat tanaman seperti kondisi tanah,
atmosfer, cahaya, temperatur.
Lama waktu tumbuh tanaman sebelum diambil, ini menetukan
kualitas metabolisme tanaman itu sehingga berpengaruh pada
kandungan kimianya.
Proses penyiapan tanaman dapat berpengaruh pada stabilitas
bahan, banyak kontaminan.
b. Faktor kimia
Faktor internal, meliputi jenis senyawa aktif dalam bahan,
komposisi kualitatif dan kuantitatif senyawa aktif.
Faktor eksternal, meliputi metode ekstraksi, ukuran, kekerasan, dan
keringanan bahan, pelarut yang digunakan dalam ekstraksi,
kandungan logam berat serta kandungan pestisida.
18
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Hal–hal pada saat metode ekstraksi yang dapat mempengaruhi kuantitas
dan kandungan metabolit sekunder dari ekstrak, yaitu :
Tipe ekstraksi
Waktu ekstraksi
Suhu ekstraksi
Konsentrasi pelarut
2.6 Metode Ekstraksi
2.6.1 Cara Dingin
a. Maserasi
Suatu metode ekstraksi menggunakan pelarut dengan beberapa
kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar).
Secara teknologi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian
konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi kinetik berarti dilakukan
pengadukan yang kontinu (terus menerus). Remaserasi berarti dilakukan
pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat
pertama dan seterusnya (Depkes RI, 2000).
b. Perkolasi
Proses ekstraksi dengan pelarut yang baru sampai sempurna
(exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada temperatur
ruangan. Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi
antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak),
terus menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali
bertahan (Depkes RI, 2000).
2.6.2 Cara Panas
a. Refluks
Proses ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya,
selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan
dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses
19
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses
ekstraksi sempurna (Depkes RI, 2000).
b. Soxhlet
Proses ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang
umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu
dengan jumlah pelarut relative konstan dengan adanya pendingin balik
(Depkes RI, 2000).
c. Digesti
Proses maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada
temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu secara
umum dilakukan pada temperatur 40 – 50⁰C (Depkes RI, 2000).
d. Infus
Proses ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air
(bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur
96-98oC selama waktu tertentu (15–20 menit) (Depkes RI, 2000).
e. Dekok
Proses infus pada waktu yang lebih lama ≥ 30 menit dan
temperature sampai titik didih air (Depkes RI, 2000).
2.7 Pelarut
Pelarut merupakan zat yang digunakan sebagai media untuk
melarutkan zat lain. Jenis pelarut yang digunakan dalam prosedur ekstraksi
sangat menentukan senyawa aktif dari tanaman yang akan diperoleh. Sifat
pelarut yang baik untuk ekstraksi yaitu toksisitas dari pelarut yang rendah,
mudah menguap pada suhu rendah, dapat mengekstraksi komponen
senyawa dengan cepat (Tiwari, Kumar, Kaur, Kaur, & Kaur, 2011).
Berbagai pelarut yang digunakan dalam prosedur ekstraksi antara lain :
20
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
a. Air
Air adalah pelarut universal, biasanya digunakan untuk
mengekstraksi produk tanaman dengan aktivitas antimikroba. Meskipun
pengobatan secara tradisional menggunakan air sebagai pelarut, tetapi
ekstrak tanaman dari pelarut organik telah ditemukan untuk memberikan
aktivitas antimikroba lebih konsisten dibanding dengan ekstrak air (Tiwari
et al., 2011).
b. Aseton
Aseton digunakan untuk melarutkan komponen senyawa
hidrofilik dan lipofilik dari tanaman. Keuntungan pelarut aseton yaitu
dapat bercampur dengan air, mudah menguap dan memiliki toksisitas
rendah (Tiwari et al., 2011).
c. Alkohol
Etanol lebih mudah untuk menembus membran sel untuk
mengekstrak sel, untuk mengekstrak bahan intraseluler dari bahan
tanaman. Methanol lebih polar dibanding etanol. Polifenol pada etanol
lebih tinggi dari pada di air. Sehingga aktivitas antioksidan pada pelarut
etanol lebih tinggi dibandingkan pelarut air. Senyawa flavonoid terdeteksi
dengan etanol 70% karena polaritasnya yang lebih tinggi daripada etanol
murni (Tiwari et al., 2011).
d. Kloroform
Terpenoid lakton telah diperoleh dengan ekstraksi berturut-turut
menggunakan n-heksan, kloroform dan methanol dengan konsentrasi
aktivitas tertinggi terdapat dalam fraksi kloroform. Senyawa tannin dan
terpenoid ditemukan dalam fase air, tetapi lebih sering diperoleh dengan
pelarut semipolar (Tiwari et al., 2011).
e. Eter
Eter pada umumnya digunakan secara selektif untuk ekstraksi
kumarin dan asam lemak (Tiwari et al., 2011).
21
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
f. N-heksan
N-heksan mempunai karakteristik sangat tidak polar, volatile,
mempunyai bau khas yang dapat menyebabkan pingsan (Daintith, 1987).
n-heksan biasanya digunakan sebagai pelarut untuk ekstraksi minyak
nabati (Tiwari et al., 2011).
2.8 Vacuum Rotary Evaporator
Vacuum rotary evaporator adalah alat yang berfungsi untuk
memisahkan suatu larutan dari pelarutnya sehingga dihasilkan ekstrak
dengan kandungan kimia tertentu sesuai yang diinginkan. Cairan yang
ingin diuapkan biasanya ditempatkan dalam suatu labu yang kemudian
dipanaskan dengan bantuan penangas, dan diputar. Uap cairan yang
dihasilkan didinginkan oleh suatu pendingin (kondensor) dan ditampung
pada suatu tempat (receiver flask). Setelah pelarutnya diuapkan, akan
dihasilkan ekstrak yang dapat berbentuk ekstrak kental atau cair (Prijono,
1999).
Prinsip kerja alat ini didasarkan pada titik didih pelarut dan
adanya tekanan yang menyebabkan uap dari pelarut terkumpul di atas,
serta adanya kondensor (suhu dingin) yang menyebabkan uap ini
mengembun dan akhirnya jatuh ke tabung penerima (receiver flask).
2.9 Kromotografi
Kromatografi menurut Union of Pure and Applied Chemistry
(IUPAC) adalah suatu metode yang digunakan dalam pemisahan
komponen–komponen dalam suatu sampel yang terdistribusi dalam dua
fasa yaitu fasa diam fasa gerak. Fasa diam dapat berupa padat, cair, atau
gel. Sedangkan fase geraknya berupa gas atau cairan (Rubiyanto, 2016).
22
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.9.1 Kromatografi Kolom
Prinsip kerja kromatografi kolom adalah cuplikan senyawa di
bawa oleh zat cair mengalir melalui fase diam sehingga terjadi interaksi
berupa adsorbsi senyawa–senyawa oleh padatan dalam kolom. Hasil yang
di peroleh berupa fraksi–fraksi senyawa yang ditampung pada bagian
bawah kolom. Untuk dapat hasil yang maksimal perlu pemilihan fase diam
dan fase gerak yang tepat. Faktor yang diperhatikan saat memilih fase
diam dan fase gerak adalah polaritas dan kelarutan (Rubiyanto, 2016).
23
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan dibeberapa Laboratorium Program Studi
Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang diantaranya Laboratorium
Farmakognosi Fitokimia, Laboratorium Penelitian I dan II, dan penelitian
ini juga dilakukan di Balai Pengkajian Bioteknologi Serpong. Penelitian
ini dilakukan pada bulan Januari sampai Juni 2017.
3.2. Alat dan Bahan Penelitian
3.2.1. Alat Penelitian
Alat-alat yang digunakan terdiri dari tabung reaksi (Pyrex), pipet
tetes, erlenmeyer, beaker glass, gelas ukur, spatula, batang pengaduk, kaca
arloji, cawan penguap, vial, kurs porselen, timbangan analitik (Mettlee
toledo AB 204-s/FOC), lumpang, alu, blender, hot plate, kapas, kertas
saring, rotary evaporator (Buchi), Lampu UV Hand Held timbangan,
baskom, botol maserasi, kolom kromatografi (Pyrex) dengan diameter 2
cm dan panjang 30 cm, oven, spektrofotometri UV-Vis (Spectramax,
Paradigm), Microtubes MCT-150-c 1,5 ml, Pipet Tips 10 µL, 200 µL
Biologix, Pipet tips 1-1000 µL (Axygen), Microplate 96 well no 269787
(NuncTM
), Micropipet Multiple, dan Micropipet single. tip, pipa kapiler
(Pupik Med). Chamber KLT, dll.
3.2.2 Bahan Penelitian
1. Tanaman
Bahan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun
tanaman beluntas segar yang diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman
Rempah dan Obat (Balitro) Bogor.
24
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan yaitu; n-heksan yang didestilasi, etil
asetat yang didestilasi, etanol 96 % yang didestilasi, asam sulfat 2N,
pereaksi Meyer, pereaksi Dragendrof, serbuk magnesium, HCl pekat,
FeCl3 1%, kloroform, pereaksi Lieberman Burchard, HCl 2N, dan asam
asetat anhidrat. aquadest, DMSO 100%, enzim MQO P. falciparum
(Wako).
3.3 Prosedur Penelitian
3.3.1 Determinasi Tanaman
Determinasi tanaman beluntas di Herbarium Bogoriense Bidang
Botani, Puslit Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI),
Bogor
3.3.2 Penyiapan Simplisia
Daun beluntas segar diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman
Rempah dan Obat bogor, kemudian disortasi basah untuk memisahkan
kotoran–kotoran lalu dicuci dengan air mengalir dan dikering anginkan.
Simplisia yang telah kering disortasi kering lalu dihaluskan dengan
blender. Simplisia selanjutnya ditimbang dan diekstraksi dengan pelarut n-
heksan, etil asetat, dan etanol 96%.
3.3.3 Pembuatan dan Partisi Ekstrak
Simplisia yang telah dihaluskan dan ditimbang kemudian
diekstraksi dengan cara maserasi bertingkat dengan pelarut n-heksan, etil
asetat, etanol 96%. Pertama simplisia ditimbang 1 kg dimasukan ke dalam
botol gelap direndam dengan pelarut n–heksan hingga sampel terendam 3
cm dibawah pelarut. Perendaman dilakukan 3 hari sambil sesekali botol
diaduk dan dikocok. Hasil maserasi disaring menggunakan kapas untuk
memisahkan ampasnya. Setelah disaring dengan kapas, maserat disaring
kembali dengan kertas saring. Ampas kembali dimaserasi dengan n-heksan
selama 3 hari dan disaring. Proses ini diulang hingga 3 kali. Setelah tiga
kali ampas diangin–anginkan selama setengah jam. Lalu ampas kembali
25
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dimasukan ke dalam botol gelap dan direndam dengan pelarut etil asetat
selama 3 hari lalu disaring dengan kapas dan kertas saring. Proses ini
diulang 4 kali.
Ampas dari penyaringan maserasi etil asetat kembali dimasukan
ke dalam botol dan direndam dengan pelarut etanol 96 % selama 3 hari.
Proses ini diulang selama 2 kali. Larutan maserat dari fraksi n-heksan, etil
asetat, etanol dipekatkan dengan vaccum rotary evaporator hingga
diperoleh ekstrak kental. Dihitung persen rendemennya. Ekstrak yang
telah kental disimpan didalam kulkas pada suhu 4ºC. Untuk menghitung
rendemen ekstrak digunakan persamaan berikut.
%Rendemen ekstrak =
X100%
3.3.4 Penentuan Parameter-Parameter Standarisasi
1. Parameter Spesifik
a. Skrining Fitokimia Ekstrak
Skrining fitokimia dilakukan untuk mengetahui metabolit
sekunder yang terkandung didalam ekstrak daun beluntas. Pengujian
kualitatif terhadap metabolit sekunder alkaloid, flavonoid, saponin,
triterpenoid, steroid, fenol, tanin.
1. Penentuan Golongan Alkaloid
Sebanyak 0,5 gram ekstrak dilarutkan dalam asam klorida 1% dan
disaring. Filtrat dibagi menjadi dua bagian, satu bagian ditetesi dengan
pereaksi Mayer dan yang lain ditetesi dengan pereaksi Dragendorf. Hasil
positif ditunjukkan dengan terbentuknya endapan putih dengan pereaksi
Mayer dan endapan merah dengan pereaksi Dragendorf (Ahmad, Singh, &
Pandey, 2013).
2. Penetuan Golongan Flavonoid
Sebanyak 0,5 gram ekstrak dilarutkan dengan 2 mL etanol 70%
dan ditambahkan 3 tetes larutan NaOH. Terjadinya perubahan intensitas
26
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
warna kuning menjadi tidak berwarna pada penambahan asam sulfat
mengindikasikan adanya senyawa flavonoid (Tiwari et al., 2011).
3. Pengujian Golongan Saponin
Sebanyak 0,5 gram ekstrak dimasukkan ke dalam tabung reaksi,
ditambahkan 10 ml air panas, didinginkan dan kemudian dikocok vertikal
selama 10 detik. Pembentukan busa setinggi 1–10 cm yang stabil selama
tidak kurang dari 10 menit menunjukkan adanya saponin. Pada
penambahan 1 tetes HCl 2N, busa tidak hilang (Departemen Kesehatan,
1989).
4. Pengujian Golongan Terpenoid dan Steroid
Kandungan metabolit sekunder golongan terpenoid dan steroid
dapat dideteksi dengan menggunakan reaksi Liebermann-Burchard.
Sebanyak 0,5 gram ekstrak ditambahkan 5 mL kloroform, kemudian
ditambahkan asam asetat anhidrida dan beberapa tetes asam sulfat pekat.
Hasil uji positif untuk terpenoid bila terbentuk warna hijau gelap. Hasil uji
positif untuk steroid bila terbentuk warna merah muda atau merah (Ahmad
et al., 2013).
5. Pengujian Golongan Tannin dan Polifenol
Sebanyak 0,5 gram ekstrak dilarutkan dalam 5 mL air aquadest
kemudian diteteskan larutan besi (III) klorida 10%, jika terjadi warna biru
tua atau hitam kehijauan menunjukkan adanya tanin dan polifenol (Ahmad
et al., 2013).
2. Parameter Non Spesifik
a. Penetapan Kadar Air Ekstrak
Kadar air dari ekstrak menurut Depkes RI dapat ditentukan
dengan metode gravimetri, krus porselen kosong dikonstankan dengan
pemanasan pada suhu 105ºC selama 2 jam. Didinginkan dalam desikator.
Kemudian 1 gram ekstrak ditimbang dengan wadah yang sudah ditara.
Ekstrak dikeringkan pada suhu 105ºC selama 5 jam dan dinginkan dalam
27
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
desikator lalu timbang kembali. Lakukan secara berulang sampai beratnya
konstan/ 2 penimbangan 2 kali berturut – turut perbedaannya tidak lebih
dari 0,25%.. Kadar air dihitung dalam persen dibagi dengan bobot awal.
(Depkes RI, 2010)
b. Penetapan Kadar Abu Ekstrak
Kadar abu ekstrak dapat ditentukan dengan menimbang seksama
sebanyak 1 gram ekstrak (W1) dimasukkan dalam krus silikat yang
sebelumnya telah dipijarkan dan ditimbang (W0). Setelah itu ekstrak
dipijar dengan menggunakan tanur secara perlahan-lahan (dengan suhu
dinaikkan secara bertahap hingga 600±25º C hingga arang abis. Kemudian
ditimbang hingga bobot tetap (W2) (Arifin, Anggraini, Handayani, &
Rasyid, 2006).
W0 = berat krus kosong
W1 = berat ekstrak awal
W2 = berat cawan + ekstrak setelah dioven.
3.3.5 Isolasi dan Pemurnian Ekstrak (Harborne, 1987)
3.3.5.1 Kromatografi Kolom
Sistem kromatografi kolom yang digunakan adalah kromatografi
kolom fase normal, dimana fase diamnya adalah silika gel 60 GF254 yang
bersifat polar dan fase geraknya adalah kombinasi sistem eluen yang
sesuai dengan perbandingan tingkat kepolaran secara bergradien.
1. Penyiapan Kolom Kromatografi.
Pertama-tama kolom kromatografi yang digunakan memiliki
ukuran tinggi 30 cm dan diameter 2 cm. Bagian dasar kolom disumbat
menggunakan kapas. Kolom dialiri dengan pelarut n-heksana dan kapas
ditekan-tekan dengan batang pengaduk hingga tidak ada udara yang
terjerap. Ditimbang silika gel seberat 30 kali berat ekstrak kental,
28
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
kemudian dimasukkan ke dalam beaker glass dan ditambahkan pelarut n-
heksana sehingga menghasilkan silika dengan konsistensi seperti bubur,
kemudian diaduk hingga terbentuk suspensi. Suspensi silika gel yang telah
terbentuk, dimasukkan ke dalam kolom kromatografi yang telah berisi n-
heksan sedikit demi sedikit sambil diketuk-ketuk. Pelarut yang mengalir
ke ujung kolom ditampung, kemudian dimasukkan kembali ke dalam
kolom. Hal ini dilakukan secara berulang-ulang hingga silika gel menjadi
padat. Lalu kolom didiamkan semalaman.
3.3.6 Uji Aktivitas Fraksi Ekstrak Beluntas terhadap Enzim PfMQO
3.3.6.1. Produksi Enzim MQO
Membran enzim diperoleh dari BPPT, Serpong hasil penelitian
Inaoka (Inaoka et al., 2016).
3.3.6.2. Penyiapan Ekstrak
Ditimbang secara seksama ekstrak 3–10 mg, dimasukan ke dalam
tabung lalu tambahkan DMSO 100% sebanyak ekstrak yang diambil agar
konsentrasi ekstrak didalam tube 10 mg/ml. Lalu divortex dan disonikasi
agar ektrak dan DMSO homogen. Masukan 100 µl ekstrak dari dalam
tabung ke dalam V plate yang sudah disediakan..
Tabel 3. 1 Peta Letak Ekstrak Larutan Induk
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
A
DM
SO
100 µ
l
100%
Ekstrak 100 µl
DM
SO
100%
B
C
D
E
F
G
H
Dimasukan 0,4 µl dan 2 µl dari larutan induk ke dalam plate uji yang
memiliki 96 well plate. Seperti tabel dibawah.
29
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel 3. 2 Peta Letak Ekstrak Saat Pengujian
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
A
DM
SO
100 µ
l 100%
tanpa
subst
rat
mal
at
Ekstrak 0,4 µl
DM
SO
100 µ
100%
den
gan
substrat
malat
B
C Ekstrak 2 µl D
E Ekstrak 0,4 µl F
G Ekstrak 2 µl H
3.3.6.3. Perhitungan Aktivitas Enzim
Persen inhibisi dari ekstrak beluntas terhadap enzim PfMQO
dapat dihitung dengan menggunakan rumus.
%inhibisi =100 -
x100%
(Ghosal, 2012).
3.3.6.4. Penyiapan KLT Preparatif
Proses pembuatan KLT preparatif pertama siapkan kaca berukuran
10X10 cm sebagai cetakan plat KLT preparatif, buat bubur silika dengan
menimbang silika gel 60 GF 254 sebanyak 5 gram lalu tambahkan 11 ml
aquades, aduk sampai homogen, lalu tuangkan secara merata pada pelat
kaca, Biarkan mengiring selama 1 hari. Sebelum KLT preparatif
digunakan di oven pada suhu 100ºC selama satu jam hal ini dilakukan
untuk mengaktifkan fasa diam KLT preparatif, dan menghilangkan air
yang terdapat pada pelat KLT preparatif. (Sastrohamidjojo, 2007)
Fraksi n-heksan dan etil asetat diencerkan dengan pelarutnya
masing-masing lalu totolkan pada KLT preparatif secara berulang
sehingga didapat noda berupa pita garis lurus. Plat dimasukan ke dalam
chamber yang berisi eluen n-heksan 8:2 etil asetat yang telah jenuh,
30
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
biarkan hingga eluen naik sampai batas garis atas. Keluarkan plat dan
biarkan mengering lalu amati pola bercak pada lampu UV 254. Pola
bercak berupa pita di kerok dan dilarutkan dengan pelarutnya masing-
masing untuk memisahkan silika dan isolat dengan menggunakan kolom
kromatografi. Isolat yang didapat lalu diuji persentase inhibisinya ke
enzim PfMQO (Harborne, 1987).
31
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Determinasi
Determinasi dilakukan untuk memastikan identitas tanaman yang di
gunakan. Proses determinasi tanaman dilakukan di Herbarium Bogoriense,
Pusat Penelitian Biologi LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia)
Kebun Raya, Bogor. Hasil determinasi sampel yang digunakan adalah
tanaman Pluchea indica (L) Less. yang berasal dari suku Asteraceae
(Lampiran 1)
4.2 Penyiapan Simplisia
Bagian tanaman yang digunakan pada penelitian ini adalah daun
tanaman beluntas. Beluntas yang digunakan berasal dari Balitro Bogor,
Jawa Barat. Umumnya tanaman ini banyak tumbuh liar ataupun sengaja
ditanam oleh masyarakat sebagai tanaman pagar.
Sebanyak 6 kg daun beluntas segar disortasi basah dengan cara
dicuci menggunakan air mengalir untuk dipisahkan dari kotoran kotoran
yang menempel. Sampel dikering anginkan pada suhu kamar 25ºC dan
terhindar dari sinar matahari langsung, hal ini dilakukan untuk
menghindari adanya kerusakan kandungan kimia akibat pemanasan dan
pengeringan dilakukan sampai sampel kering (Harborne, 1987). Sampel
yang telah kering disortasi kering untuk dipisahkan dari sisa kotoran-
kotoran yang masih tertinggal dan dihaluskan dengan blender hingga
menjadi serbuk, kemudian ditimbang. Serbuk simplisia disimpan dalam
wadah tertutup rapat (Depkes RI, 1985).
4.3 Pembuatan Ekstrak
Proses pembuatan ekstrak menggunakan metode ekstraksi cara
dingin, yaitu dengan cara maserasi bertingkat (Depkes RI, 2000). Pada
proses maserasi menggunakan tiga jenis pelarut dengan tiga tingkat
32
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
kepolaran yang berbeda yaitu pelarut non polar (n-heksan), pelarut semi
polar (etil asetat), dan pelarut polar (etanol 96%).
Keuntungan ekstraksi dengan cara maserasi bertingkat adalah
metodenya sederhana dan alat-alat yang digunakan mudah didapat
(Wardhani & Sulistyani, 2012). Maserasi awal dilakukan dengan
menggunakan pelarut n-heksan, simplisia yang digunakan sebanyak 1 kg.
Proses maserasi dilakukan selama 2 sampai 3 hari. Prosedur diulangi
hingga 4 kali proses maserasi. Total pelarut n-heksana yang digunakan
untuk maserasi sebanyak 6,2 L. Hasil maserasi disaring dan filtrat yang
diperoleh dipekatkan dengan vaccum rotary evaporator pada suhu 48ºC
dan diperoleh ekstrak kental n-heksana sebanyak 8,648 gram.
Residu maserasi n–heksan. Lalu dilakukan maserasi dengan pelarut
semi polar (etil asetat) sebanyak 3 kali. Total pelarut etil asetat yang
digunakan untuk maserasi sebanyak 6,8 L. Hasil maserasi disaring dan
filtrat yang diperoleh dipekatkan dengan vaccum rotary evaporator pada
suhu 48ºC dan diperoleh ekstrak kental etil asetat sebanyak 16,02 gram.
Residu maserasi etil asetat kemudian dimaserasi dengan pelarut
polar (etanol) sebanyak 3 kali. Total pelarut etanol yang digunakan untuk
maserasi sebanyak 3,8 L. Hasil maserasi disaring dan filtrat yang diperoleh
dipekatkan dengan vaccum rotary evaporator pada suhu 48ºC dan
diperoleh ekstrak kental etanol sebanyak 19,23 gram.
Setiap ekstrak dihitung rendemen yang diperoleh dengan
membandingkan antara ekstrak yang diperoleh dengan simplisia awal
(Depkes RI, 2000).
Tabel 4.1 Hasil Perhitungan Rendemen Ekstrak
Fraksi Berat Ekstrak (gram) Rendemen (%)
n-heksan 8,648 0,86 %
Etil asetat 16,02 1,60 %
Etanol 96% 19,23 1,92 %
33
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.4 Pengukuran Kadar Air Ekstrak
Pengukuran kadar air ekstrak bertujuan untuk memberikan rentang
batas kandungan air dalam ekstrak. Hasil pengukuran kadar air ekstrak
dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 4.2 Hasil Perhitungan Kadar Air Ekstrak
Ekstrak Kadar air (%)
n-heksan 8,396
Etil asetat 10,75
Etanol 96% 9,372
Rentang kadar air tergantung jenis ekstrak yang diinginkan. Pada
ekstrak kering kadar air yang di perbolehkan < 5%, ekstrak kental 5-30 %,
dan ekstrak cair > 30%. Menurut Depkes RI batasan kadar air 10%.
Semakin sedikit kadar air pada ekstrak maka semakin sedikit
kemungkinan ekstrak terkontaminasi jamur Voigh, 1994 dalam (Saifudin
& Viesa, 2011).
Kadar air merupakan salah satu parameter penting yang
menentukan daya tahan ekstrak selama penyimpanan. Ekstrak yang
mempunyai kadar air yang tinggi lebih mudah ditumbuhi oleh
mikroorganisme. Ekstrak dengan kadar air rendah relatif lebih stabil dalam
penyimpanan jangka panjang dibandingkan ekstrak yang berkadar air
tinggi (Pardede, Ratnawati, & Putranto, 2013).
4.5 Pengukuran Kadar Abu Ekstrak
Penentuan kadar abu dilakukan untuk memberikan gambaran
kandungan mineral internal dan eksternal yang berasal dari proses awal
sampai terbentuknya ekstrak. Hasil Perhitungan kadar abu ekstrak dapat
dilihat pada tabel 4.3 di bawah ini.
34
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel 4.3 Hasil Perhitungan Kadar Abu Ekstrak
Ekstrak Kadar abu (%)
n-heksan 2,37
Etil asetat 5,6
Etanol 96% 4,14
Kadar abu yang didapatkan dari ekstrak n-heksan, etilasetat, dan
etanol 96% masih di ambang batas standart yaitu 16%.
4.6 Penapisan Fitokimia
Penapisan fitokimia dilakukan untuk mengidentifikasi kandungan
metabolit sekunder yang terdapat di dalam ekstrak n-heksan, etil asetat dan
etanol 96% daun beluntas, sehingga dapat diketahui metabolit sekunder
yang berpotensi memiliki aktivitas antimalaria. Hasil penapisan fitokimia
yang dilakukan dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 4.4 Hasil Skrining Fitokimia Ekstrak
Metabolit
Sekunder Ekstrak
n-heksan
Ekstrak
etil asetat
Ekstrak
Etanol 96%
Flavonoid + + +
Saponin - + +
Tanin + + +
Alkaloid + + +
Polifenol + + +
Keterangan + = ada, - = tidak ada
Penapisan fitokimia ekstrak n-heksan positif terhadap flavonoid,
tanin, alkaloid, polifenol, negatif terhadap saponin, sedangkan ekstrak etil
asetat (pelarut semi polar) menunjukkan hasil positif terhadap pengujian
flavonoid, saponin, tannin, alkaloid, dan polifenol. Pada ekstrak etanol
96% menunjukkan hasil positif terhadap flavonoid, saponin, tannin,
alkaloid, polifenol.
Pelarut n-heksan bersifat sangat tidak polar sehingga tidak mampu
mengekstraksi kandungan saponin pada ekstrak yang bersifat lebih polar,
sedangkan pada ekstrak etil asetat dan etanol 96% semua kandungan
metabolit sekunder berhasil di ekstraksi (Tiwari et al., 2011).
35
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.7 Uji Aktivitas Ekstrak Daun Beluntas Terhadap Enzim PfMQO
Uji aktivitas inhibisi ekstrak daun beluntas terhadap enzim PfMQO
dilakukan terhadap ketiga ekstrak dari hasil maserasi bertingkat. Ekstrak
dari hasil maserasi diencerkan dengan DMSO 100% dengan konsentrasi
akhir 10 mg/ml. DMSO adalah pelarut yang di gunakan untuk pengujian
bioassay.
Ekstrak fraksi daun beluntas yang telah diencerkan diuji dengan
larutan assay mix. Kontrol positif yang digunakan yaitu DMSO, assay mix,
tanpa substrat malat, sedangkan untuk kontrol negatif digunakan DMSO,
assay mix, dan ditambah substrat malat. Serapan diukur pada
spektrofotometri UV-Vis pada panjang gelombang 600nm pada suhu
37ºC. Panjang gelombang 600 nm adalah panjang gelombang optimum
untuk penyerapan warna biru.
Hasil uji aktivitas inhibisi dari tiga fraksi ekstrak beluntas terhadap
enzim PfMQO dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 4.5 Hasil Perhitungan %inhibisi Ekstrak
Ekstrak Hasil inhibisi (%)
100 µg/ml 10 µg/ml 1 µg/ml 0,1 µg/ml
n-heksan 85 10 1 3
Etil asetat 64 4 1 2
Etanol 96% 42 2 2 4
Berdasarkan tabel di atas, diketahui persen inhibisi ekstrak daun
beluntas yang paling besar terdapat pada ekstrak dengan konsentrasi 100
µg/ml, dan yang memiliki persen inhibisi di atas 50% adalah ekstrak daun
beluntas fraksi n-heksan dan fraksi etil asetat yaitu 85% dan 64%.
Selanjutnya fraksi n-heksan dan etil asetat dilakukan fraksinasi dan di uji
kembali.
Hal ini menunjukan bahwa senyawa yang yang terkandung di fraksi
n-heksan dan fraksi etil asetat dapat mengambat kerja enzim PfMQO,
Namun belum banyak dilaporkan penelitian mengenai khasiat dari masing-
36
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
masing senyawa aktif yang terkandung di dalam daun tanaman beluntas
ini. Karena pada penelitian ini menunjukkan bahwa ekstrak daun beluntas
mempunyai efek antiplasmodium maka kemungkinan besar tanaman ini
dapat dikembangkan sebagai obat alternatif antimalaria. Oleh karena itu
perlu dilakukan penelitian lanjutan dari tanaman beluntas ini untuk
mengetahui senyawa aktif yang mana dari tanaman beluntas ini yang
mempunyai khasiat antiplasmodial.
Menurut literatur senyawa yang berperan sebagai antimalaria adalah
senyawa golongan alkaloid dan flavonoid. Sejalan dengan hasil penelitian
di atas dapat diduga senyawa marker yang berperan sebagai anti malaria
merupakan senyawa dari golongan alkaloid dan flavonoid.
4.8 Isolasi dan Pemurnian Ekstrak (Harborne, 1987)
Ekstrak n-heksan dan etil asetat daun beluntas difraksinasi dengan
menggunakan kromatografi kolom. Fase diam yang digunakan adalah
silika gel 60 (0,063–0,200 mm) dan fase gerak yang digunakan adalah
campuran pelarut n-heksan dan etil asetat dengan perbandingan tingkat
kepolaran secara gradien.
Kolom kromatografi yang digunakan memiliki ukuran tinggi 100 cm
dan diameter 2 cm. Bagian dasar kolom disumbat menggunakan kapas.
Kolom dialiri dengan pelarut n-heksana dan kapas yang ditekan dengan
batang pengaduk hingga tidak ada udara yang terjerap. Silika gel yang
ditimbang sebanyak 30 kali berat ekstrak kental, kemudian dimasukkan ke
dalam beaker glass dan ditambahkan pelarut n-heksan sehingga
menghasilkan silika dengan konsistensi seperti bubur, kemudian diaduk
hingga terbentuk suspensi. Suspensi silika gel yang telah terbentuk,
dimasukkan ke dalam kolom kromatografi yang telah berisi n-heksan
sedikit demi sedikit sambil diketuk-ketuk. Pelarut yang mengalir ke ujung
kolom ditampung, kemudian dimasukkan kembali ke dalam kolom. Hal ini
dilakukan secara berulang-ulang hingga silika gel menjadi padat. Lalu
kolom didiamkan semalaman.
37
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Sistem pelarut yang digunakan yaitu sistem gradien, dimulai
dengan n-heksan 100% sebanyak 300 ml. Lalu ditingkatkan kepolarannya
10 % dengan menggunakan etil asetat. Setiap perbandingan digunakan 300
ml eluen.
Saat proses fraksinasi hal yang pertama dilakukan adalah
menimbang dengan seksama ekstrak n-heksan dan etil asetat seberat 3
gram lalu diencerkan kemudian dimasukan ke dalam kolom. Eluen dimulai
dari kepolaran rendah 300 ml n-heksan 100% dimasukan ke dalam kolom
kromatografi sedikit demi sedikit. kemudian kran kromatografi kolom
dibuka sehingga eluen akan menetes. Eluen yang menetes ditampung
dengan vial–vial yang sebelumnya telah diberi nomer berurutan dan
ditimbang bobot kosongnya. Setelah eluen pertama habis di ganti dengan
eluen selanjutnya n – heksan 9 : 1 etil asetat sebanyak 300 ml, dan eluen
yang menetes ditampung ke vial sama seperti sebelumnya. Hal ini
dilakukan sampai eluen 100 % etil asetat sebanyak 300 ml habis. Vial –
vial yang telah menampung hasil eluat ditutup dengan alumunium foil
yang diberi lubang dengan jarum untuk proses penguapan pelarut. Dari
hasil pemisahan kromatografi kolom, diperoleh eluen sebanyak 229 vial
pada ekstrak n-heksan daun beluntas dan eluen sebanyak 198 vial pada
ekstrak etil asetat.
Hasil eluen selanjutnya diamati pola pemisahannya pada KLT
didapatkan jumlah fraksi 7 fraksi pada ekstrak n-heksan dan 14 fraksi
ekstrak etil asetat. Selanjutnya dilakukan uji aktivitas inhibisi enzim MQO
dari P. falciparum pada penyakit malaria.
38
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.9 Uji Aktivitas Fraksi Ekstrak Daun Beluntas Terhadap Enzim PfMQO
Uji aktivitas inhibisi fraksi ekstrak daun beluntas terhadap enzim
PfMQO dilakukan terhadap fraksi ekstrak n-heksan dan fraksi ekstrak etil
asetat. Fraksi ekstrak dari hasil kolom diencerkan dengan DMSO dengan
konsentrasi akhir 10 mg/ml. DMSO adalah pelarut yang digunakan untuk
pengujian bioassay.
Fraksi ekstrak daun beluntas yang telah diencerkan diuji dengan
larutan assay mix.
Kontrol positif yang digunakan yaitu DMSO, assay mix, tanpa
substrat malat, sedangkan untuk kontrol negatif digunakan DMSO, assay
mix, dan ditambah substrat malat. Di uji pada spektro UV-Vis pada
panjang gelombang 600 nm pada suhu 37ºC . Panjang gelombang 600 nm
adalah panjang gelombang optimum untuk penyerapan warna biru.
Hasil uji aktivitas inhibisi dari fraksi aktif ekstrak beluntas terhadap
enzim PfMQO dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 4.6 Hasil Perhitungan %inhibisi Fraksi Ekstrak n-heksan
Ekstrak n-heksan Hasil inhibisi (%)
100 µg/ml 10 µg/ml 1 µg/ml 0,1 µg/ml
F1 41 5 1 0
F2 50 3 1 0
F3 92 35 2 0
F4 83 10 0 2
F5 63 3 0 2
F6 41 2 2 3
F7 34 0 2 3
39
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel 4.7 Hasil Perhitungan %inhibisi Fraksi Ekstrak Etil asetat
Ekstrak etil
asetat
Hasil inhibisi (%)
100 µg/ml 10 µg/ml 1 µg/ml 0,1 µg/ml
F1 35 0 2 3
F2 28 2 2 3
F3 50 2 3 5
F4 91 40 2 5
F5 30 6 3 4
F6 1 2 5 4
F7 0 1 5 6
F8 44 0 0 0
F9 55 4 2 1
F10 2 2 2 1
F11 1 2 1 0
F12 1 2 1 0
F13 0 2 1 0
F14 23 1 1 0
Berdasarkan tabel di atas, diketahui persen inhibisi fraksi daun
beluntas yang paling besar terdapat pada fraksi F3 ektrak n-heksan dengan
konsentrasi 100 µg/ml, dan yang memiliki persen inhibisi 92% dan fraksi
F4 ekstrak etil asetat yaitu 91%.
Fraksi F3 ekstrak n-heksan merupakan hasil kolom kromatografi
dengan perbandingan eluen n-heksan–etil asetat 8:2. Sedangkan pada
fraksi F4 ekstrak etil asetat hasil kolom kromatografi n-heksan-etil asetat
9:1. Dari hasil pengujian didapat fraksi dengan gradien eluen yang sifatnya
non polar memiliki persen inhibisi yang lebih besar dibanding hasil yang
lain. Hal ini semakin menguatkan dugaan bahwa senyawa yang berperan
sebagai anti malaria adalah golongan alkaloid dan flavonoid.
40
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.10 Uji Aktivitas Isolat Fraksi Ekstrak Daun Beluntas Terhadap Enzim
PfMQO
Fraksi F3 ekstrak n-heksan dan fraksi F4 ekstrak etil asetat yang
memiliki aktivitas inhibisi tertinggi selanjutnya dilakukan KLT preparatif
untuk melihat aktivitas inhibisinya pada tingkat isolat. Fraksi diencerkan
dengan pelarutnya masing-masing lalu ditotolkan pada plat KLT preparatif
secara berulang agar didapatkan isolat yang banyak, selanjutnya elusi plat
klt preparatif, masukan plat KLT preparatif pada chamber yang telah di
jenuhkan dengan eluen perbandingan n-heksan-etil asetat 8:2. Amati pada
sinar UV 254. Hasil pengamatan didapatkan 3 spot isolat pada ekstrak n-
heksan dan 5 spot isolat pada ekstrak etil asetat. Isolat diujikan pada
enzim PfMQO.
Ekstrak Gambar Keterangan
N-heksan
Fraksi 3
Eluen N-heksan 8:2
etil asetat
terdapat 3 spot
Etil asetat
Fraksi 4
Eluen n-heksan 8:2
etil asetat
terdapat 5 spot
Gambar 4.1 Profil Spot Fraksi F3 n-heksan dan F4 Etil asetat
3
2
1
5
4
3
2
1
41
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Uji aktivitas inhibisi isolat fraksi aktif ekstrak daun beluntas terhadap
enzim PfMQO dilakukan terhadap 3 isolat fraksi ekstrak n-heksan dan 5
isolat fraksi ekstrak etil asetat. Isolat Fraksi aktif Ekstrak di encerkan
dengan DMSO dengan konsentrasi akhir 10 mg/ml. DMSO adalah pelarut
yang di gunakan untuk pengujian bioassay.
Isolat fraksi aktif ekstrak daun beluntas yang telah diencerkan di uji
dengan larutan assay mix.
Kontrol positif yang digunakan yaitu DMSO, assay mix, tanpa
substrat malat, sedangkan untuk kontrol negatif digunakan DMSO, assay
mix, dan ditambah substrat malat. Di uji pada spektro UV-Vis pada
panjang gelombang 600nm pada suhu 37ºC.
Tabel 4.8 hasil perhitungan %inhibisi spot fraksi ekstrak n-heksan
Ekstrak n-
heksan
Hasil % inhibisi
100 µg/ml 2 µg/ml
Spot 1 80 32
Spot 2 81 35
Spot 3 94 65
Gambar 4.2 Profil Aktivitas Inhibisi Spot Fraksi F3 n-heksan
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Spot 1 Spot 2 Spot 3
100 µg/ml 20 µg/ml
42
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel 4.9 Hasil Perhitungan %inhibisi Spot Fraksi Ekstrak Etil asetat
Ekstrak etil
asetat
Hasil % inhibisi
100 µg/ml 2 µg/ml
Spot 1 88 47
Spot 2 95 69
Spot 3 84 37
Spot 4 94 73
Spot 5 89 58
Gambar 4.3 Profil Aktivitas Inhibisi Spot Fraksi F4 Etil asetat
Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa isolat hasil KLT
preparatif dari fraksi F3 ekstrak n-heksan dan fraksi F4 ekstrak etil asetat
berhasil menghambat kerja dari enzim PfMQO. Isolat yang memiliki %
inhibisi yang paling besar pada fraksi ekstrak n-heksan terdapat pada spot
3 dengan konsentrasi 100 µg/ml yaitu % inhibisi 94% dan pada fraksi
ekstrak etil asetat persen inhibisi tertinggi pada spot 2 yaitu 95%.
Berdasarkan seluruh hasil penelitian yang didapat bisa disimpulkan
bahwa senyawa yang berperan sebagai antimalaria pada penelitian ini
adalah senyawa yang bersifat non polar. Senyawa non polar yang diduga
memiliki aktivitas tersebut adalah golongan senyawa alkaloid dan
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Spot 1 Spot 2 Spot 3 Spot 4 Spot 5
100 µg/ml 20 µg/ml
43
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
flavonoid. Berdasarkan literatur senyawa golongan alkaloid dan flavonoid
bersifat antiplasmodium. Dapat diduga senyawa golongan alkaloid dan
flavonoid yang terkandung dalam sampel ekstrak daun beluntas memiliki
aktivitas menghambat kerja dari enzim PfMQO.
44
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Ekstrak daun beluntas (Pluchea indica (L) Less) memiliki aktivitas
inhibisi terhadap enzim PfMQO yang merupakan target obat potensial
antiplasmodium. Fraksi yang memiliki aktivitas inhibisi tertinggi yaitu
pada fraksi n-heksan 8:2 dengan 92%. dan fraksi 9:1 ekstrak etil asetat
dengan 91%.
5.2 Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai isolasi senyawa
bioaktif dari ekstrak daun beluntas (Pluchea indica (L) Less.) sehingga
diperoleh senyawa murni sebagai kandidat obat untuk penyakit
malaria.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut uji aktivitas inhibisi ekstrak
beluntas pada enzim PfMQO secara in vivo.
45
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, T., Singh, S. B., & Pandey, S. (2013). Phytochemical Screening and
Physicochemical Parameters of Crude Drugs: A Brief Review.
International Journal of Pharma Research and Review, 2, 53-60.
Ardiansyah, N. L., & Andarwulan, N. (2003). Aktivitas Antimikroba Ekstrak
Daun Beluntas (Plucea indica L) dan Stabilitas Aktivitasnya pada
Berbagai Konsentrasi Garam dan Tingkat pH. dalam Jurnal Tekhnologi
dan Industri Pangan, 14(2).
Arifin, H., Anggraini, N., Handayani, D., & Rasyid, R. (2006). Standarisasi
Ekstrak Etanol Daun Eugenia cumini Merr. J. Sains Tek. Far, 11(2), 88-
93.
Daintith, J. (1987). A Concise Dictionary of Chemistry: New York.
Dalimartha, S. (1999). Beluntas (Pluchea indica L. Less). Atlas Tumbuhan Obat
Indonesia. Jilid, 1.
Departemen Kesehatan, R. (1989). Materia Medika Indonesia. Jilid V. Jakarta,
15.
Departemen Kesehatan, R. (1999). Cara Pengelolaan Simplisia Yang Baik:
Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan, Jakarta.
Depkes RI. (1985). Cara Pembuatan Simplisia. Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta.
Depkes RI. (2000). Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 9-12.
Depkes RI. (2008). Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria di Indonesia.
Depkes RI. (2010). Farmakope Indonesia (Edisi IV). Jakarta., Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
Galambos, S. A., Terry, P. C., Moyle, G. M., & Locke, S. A. (2005).
Psychological Predictors of Injury Among Elite Athletes. British journal
of sports medicine, 39(6), 351-354.
46
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Ghosal, M. M., P. (2012). Phytochemical screening and antioxidant activities of
two selected 'Bihi' fruits used as vegetables in Darjeeling Himalaya.
International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences.
Gunawan, D., & Mulyani, S. (2004). Ilmu Obat Alam (Farmakognosi). Jilid, 1,
31-34.
Harborne, J. (1987). Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisis
Tumbuhan, diterjemahkan oleh Kosasih Padmawinata dan Iwang Soediro.
Penerbit ITB, Bandung, 9-71.
Inaoka, D. K., Kuroda, M., Komatsuya, K., Balogun, E. O., Amalia, E., Saimoto,
H., . . . Kita, K. (2016). Functional Expression Of Mitochondrial
Malate:Quinone Oxidoreductase From Plasmodium falciparum In
Bacterial Membrane And Identification Of Nanomolar Inhibitor.
International Congress for Tropical Medicine and Malaria, Brisbane
Australia.
Irawan, M. A. (2007). Glukosa & Metabolisme Energy. Sport Science Brief,
1(06).
Kather, B., Stingl, K., van der Rest, M. E., Altendorf, K., & Molenaar, D. (2000).
Another Unusual Type of Citric Acid Cycle Enzyme in Helicobacter
Pylori: the Malate: Quinone Oxidoreductase. Journal of bacteriology,
182(11), 3204-3209.
Kemenkes. (2013). Pedoman Tata Laksana Malaria.pdf.
Marks, D. B., Marks, A. D., & Smith, C. M. (2000). Biokimia Kedokteran Dasar:
Sebuah Pendekatan Klinis. Terjemahan oleh Brahm U. Pendit.
Pardede, A., Ratnawati, D., & Putranto, A. M. (2013). Ekstraksi dan Karakterisasi
Pektin dari Kulit Kemiri (Alleurites mollucana willd). Media Sains, 5(1),
1-6.
Prijono, D. (1999). Prospek dan Strategi Pemanfaatan Insektisida Alami dalam
PHT. Dalam: Nugroho BW, Dadang, dan Prijono D, penyunting. Bahan
47
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pelatihan Pengembangan dan Pemanfataan Insektisida Alami. Bogor:
Pusat Kajian Pengendalian Hama Terpadu, IPB. hal, 1-7.
Radji, M. (2012). Peranan Bioteknologi dan Mikroba Endofit dalam
Pengembangan Obat Herbal. Pharmaceutical Sciences and Research
(PSR), 2(3).
Rahayu, N. (2012). Uji Aktivitas Antimalaria Ekstrak Diklorometana Daun
Beluntas (Pluchea indica L.) Pada Mencit Terinfeksi Plasmodium berghei.
Universitas Airlangga.
Rahmawati, U., E, S., & A, M. (2012). Pengembangan Repository Pengetahuan
Berbasis Ontologi (Ontology-Driven Knowledge Repository) untuk
Tanaman Obat Indonesia. Jurnal Teknik Pomits, 1(1), 1-6.
Rubiyanto, D. (2016). Teknik Dasar Kromatografi: Deepublish.
Saifudin, A., & Viesa, R. (2011). Standardisasi Bahan Obat Alam. Standardisasi
Bahan Obat Alam. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sastrohamidjojo, H. (2007). Spektroskopi. Yogyakarta: Liberty.
Tiwari, P., Kumar, B., Kaur, M., Kaur, G., & Kaur, H. (2011). Phytochemical
Screening and Extraction: A Review. Internationale pharmaceutica
sciencia, 1(1), 98-106.
Tortora, G. (2009). Principles of Anatomy and Physiology, International
Student/Gerard J. Tortora, Bryan Derrickson. ed: Wiley [Chichester: John
Wiley, distributor], Hoboken, NJ.
Vickery, M. L., & Vickery, B. (1981). Secondary Plant Metabolism: Macmillan
Press.
Wardhani, L. K., & Sulistyani, N. (2012). Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etil
Asetat Daun Binahong (Anredera scandens (L.) moq.) terhadap Shigella
flexneri beserta Profil Kromatografi Lapis Tipis. Pharmaciana, 2(1).
WHO. (2015). Guidelines for the treathment of malaria-3rd edition. 3rd.
48
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Widyawati, P. S., Wijaya, C., Hardjosworo, P., & Sajuthi, D. (2011). Evaluasi
Aktivitas Antioksidatif Ekstrak Daun Beluntas (Pluchea indica)
Berdasarkan Perbedaan Ruas Daun. Rekapangan Jurnal Teknologi
Pangan, 5(1), 1-14.
Winarno, F. (1986). Enzim Pangan. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Winarno, M., & Sundari, D. (1996). Pemanfaatan Tumbuhan Sebagai Obat Diare
di Indonesia. Cermin Dunia Kedokteran, 109, 25-32.
49
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 1. Hasil Determinasi (Pluchea indica (L) Less.)
50
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 2. Alur Penelitian
Penyiapan Simplisia
Simplisia
Determinasi Tanaman
Ekstrak etil asetat Ekstrak n-heksan Ekstrak etanol 96%
Ekstrak aktif
Kolom kromatografi
Uji % inhibisi fraksi
Fraksi aktif
KLT preparatif fraksi aktif
% inhibisi isolat fraksi aktif
Ekstraksi
Pelarut n-heksan
Pelarut etil
asetat
Pelarut etanol
96%
Uji % inhibisi ekstrak
Uji % inhibisi isolat fraksi aktif
51
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 3. Alur kerja Ekstraksi Daun Beluntas
Simplisia daun
beluntas kering
1kg
Dimaserasi dengan n-heksan
Fraksi n-heksan
8,68 gram Residu
Fraksi etil asetat
16,02 gram Residu
Fraksi etanol
96% 19,23 gram Residu
Uji
% inhibisi
pada
enzim
PfMQO
Fraksi Aktif di kolom
kromatografi
Dimaserasi dengan etanol 96%
Dimaserasi dengan etil asetat
Daun beluntas segar 6kg
o Sampel segar
o Sortasi basah
o Pencucian
o Pengeringan
o penghalusan
52
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 4. Perhitungan Rendemen Ekstrak
Rendemen =
x100
o Ekstrak n-heksan daun beluntas
Rendemen =
x100 = 0,8648%
o Ekstrak etil asetat daun beluntas
Rendemen =
x100 = 1,602%
o Ekstrak etanol 96% daun beluntas
Rendemen =
x100 = 1,9234 %
53
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 5. Perhitungan Parameter Ekstrak
o Kadar Air ekstrak
Kadar Air =
x100%
o Ekstrak n-heksan daun beluntas
Kadar Air =
x100%= 9,3722%
o Ekstrak etil asetat daun beluntas
Kadar Air =
x100%= 10,75%
o Ekstrak etanol 96% daun beluntas
Kadar Air =
x100%= 8,396%
o Kadar Abu ekstrak
Kadar abu =
x100%
o Ekstrak n-heksan daun beluntas
Kadar abu =
x100%= 2,37%
o Ekstrak etil asetat daun beluntas
Kadar abu =
x100%= 5,656%
o Ekstrak etanol 96% daun beluntas
Kadar abu =
x100%= 4,14%
54
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 6. Alur kerja Persiapan Fraksi Ekstrak Daun Beluntas
Fraksi n-heksan
dan etil asetat
Fraksi F3 n-heksan dan fraksi F4 etil asetat
KLT preparatif
Spot 1-5 fraksi
etil asetat F4
Spot 1-3 fraksi
n-heksan F3
Fraksi etil asetat
F1-F14
Fraksi n-heksan
F1-F7
Kolom kromatografi
Uji %inhibisi enzim PfMQO
Uji %inhibisi enzim PfMQO
55
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 7. Perhitungan pengenceran konsentrasi ekstrak
V1 X N1 = V2 X N2
V1 = volume yang diambil dari larutan stock
N1 = konsentrasi larutan stock
V2 = volume larutan yang akan dibuat
N2 = konsentrasi larutan yang akan dibuat
Ekstrak awal dari stock konsentrasi 10.000 µg/ml
o 10.000 µg/ml
V1 X N1= V2 X N2
2 µl X 10.000 µg/ml = 200 µl X N2
N2 = 100 µg/ml
o 1000 µg/ml
V1 X N1 = V2 X N2
V1 X 10.000 µg/ml = 50 µl X 1000 µg/ml
V1 = 5 µl
Diambil 2 µl
V1 X N1 = V2 X N2
2 µl X 1000 µg/ml = 200 µl X N2
N2 =10 µg/ml
56
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
o 100 µg/ml
V1 X N1 = V2 X N2
V1 X 1000 µg/ml = 50 µl x 100 µg/ml
V1 = 5 µl
Diambil 2 µl
V1 X N1 = V2 X N2
2µl X 100 µg/ml = 200 µl X N2
N2 = 1 µg/ml
o 10 µg/ml
V1 X N1 = V2 X N2
V1 X 100 µg/ml = 50 µl X 1 µg/ml
V1 = 5 µl
Diambil 2 µl
V1 X N1 = V2 X N2
2 µl X 10 µg/ml = 200 µg/ml X N2
N2 = 0,1 µg/ml
o 0,4 µl
V1 X N1 = V2 X N2
0,4 µl X 10000 µg/ml = 200 µl X N2
N2 = 20 µg/ml
o 100 µl
V1 X N1 = V2 X N2
2 µl X 10000 µg/ml = 200 µl X N2
N2 = 100 µg/ml
57
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 8. Perhitungan Uji %inhibisi Ekstrak
%inhibisi =100 -
x100%
o %inhibis ekstrak n-heksan daun beluntas
%inhibisi =100 -
x100% = 85%
%inhibisi =100 -
x100% = 84%
Rata- rata % inhibisi =
= 85%
o %inhibisi ekstrak etil asetat daun beluntas
%inhibisi =100 -
x100% = 64%
%inhibisi =100 -
x100% = 63%
Rata- rata % inhibisi =
= 64%
o %inhibisi ekstrak etanol 96% daun beluntas
%inhibisi =100 -
x100% = 42%
%inhibisi =100 -
x100% = 41%
Rata- rata % inhibisi =
= 42%
58
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 9. Berat Hasil Fraksi Kolom Kromatografi
a) Berat hasil fraksi kolom kromatografi ekstrak n-heksan
Sampel fraksi Berat (mg)
n-heksan fraksi 1 76
n-heksan fraksi 2 1.084
n-heksan fraksi 3 551
n-heksan fraksi 4 98
n-heksan fraksi 5 25
n-heksan fraksi 6 39
n-heksan fraksi 7 35
b) Berat hasil fraksi kolom kromatografi ekstrak etil asetat
Sampel fraksi Berat (mg)
Etil asetat fraksi 1 48
Etil asetat fraksi 2 318
Etil asetat fraksi 3 159
Etil asetat fraksi 4 480
Etil asetat fraksi 5 187
Etil asetat fraksi 6 121
Etil asetat fraksi 7 218
Etil asetat fraksi 8 79
Etil asetat fraksi 9 108
Etil asetat fraksi 10 79
Etil asetat fraksi 11 80
Etil asetat fraksi 12 70
Etil asetat fraksi 13 50
Etil asetat fraksi 14 100
59
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 10. Tanaman Beluntas
Pohon beluntas (Pluchea indica (L) Less.)
Daun beluntas (Pluchea indica (L) Less.)
60
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 11. Foto Ekstrak dan Fraksi Kolom Kromatografi Daun Beluntas
Ekstrak n-heksan Ekstrak etil asetat Ekstrak etanol 96%
1. Fraksi n-heksan Hasil Kolom Kromatografi
Fraksi 1 Fraksi 2 Fraksi 3 Fraksi 4 Fraksi 5
Fraksi 6 Fraksi 7
61
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Fraksi etil asetat Hasil Kolom Kromatografi
Fraksi 1 Fraksi 2 Fraksi 3 Fraksi 4 Fraksi 5
Fraksi 6 Fraksi 7 Fraksi 8 Fraksi 9 Fraksi 10
Fraksi 11 Fraksi 12 Fraksi 13 Fraksi 14
62
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 12. Hasil Skrining Fitokimia Ekstrak Daun Beluntas
1. Hasil skrining fitokimia ekstrak n-heksan
Flavonoid
(+)
Alkaloid
meyer (+)
Alkaloid
dragendorf
(+)
Saponin
(-)
Tanin
(+)
Polifenol
(+)
2. Hasil skrining fitokimia ekstrak etil asetat
Flavonoid
(+)
Alkaloid-
meyer (+)
Alkaloid
dragendorf
(+)
Saponin
(+)
Tanin
(+)
Polifenol
(+)
3. Hasil skrining fitokimia ekstrak etanol 96%
Flavonoid (+)
Alkaloid
meyer (+)
Alkaloid
dragendorf
(+)
Saponin
(+)
Tanin
(+)
Polifenol
(+)
63
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 13. Alat dan Bahan Saat Penelitian
Serbuk simplisia
beluntas Botol maserasi Rotary evaporator
Spektrofotometri UV-Vis Kolom kromatografi Vortek
Ekstrak saat pengujian Sonikator