uji efek hepatorepair ekstrak …eprints.ums.ac.id/42454/17/naskah publikasi.pdfmencapai derajat...
TRANSCRIPT
UJI EFEK HEPATOREPAIR EKSTRAK TEMULAWAK (Curcuma
xanthorrhiza Roxb) PADA TIKUS PUTIH JANTAN GALUR WISTAR
YANG DIINDUKSI PARACETAMOL
NASKAH PUBLIKASI
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan
Mencapai Derajat Sarjana Kedokteran
Diajukan Oleh :
MUHAMMAD TEGUH HADINATA
J 50012 0015
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2016
ABSTRAK
UJI EFEK HEPATOREPAIR EKSTRAK TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza
Roxb) PADA TIKUS PUTIH JANTAN GALUR WISTAR YANG DIINDUKSI
PARACETAMOL
Muhammad Teguh Hadinata1, Nurhayani2, Rochmadina Suci Bestari2
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Latar belakang: Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb) memiliki kandungan senyawa
kurkumin, minyak atsiri, pati, zat tepung, glikosida, toluil, metil, protein, serat, dan
kalium. Kandungan senyawa kurkumin yang memiliki efek hepatorepair. Penelitian ini
menggunakan rimpang temulawak. Kandungan pada rimpang temulawak yakni kurkumin
berfungsi sebagai hepatorepair.
Tujuan penelitian: Untuk mengetahui efek hepatorepair ekstrak temulawak (Curcuma
xanthorriza Roxb) pada tikus putih jantan galur wistar yang di induksi paracetamol.
Metode penelitian: Penelitian eksperimental dengan metode pre an post test control
group design. Kelompok I diberikan aquadest sebagai kontrol negatif, kelompok II
diberikan paracetamol sebagai kontrol positif, kelompok III diberikan ekstrak temulawak
dengan dosis 400 mg/kgBB, kelompok IV diberi ekstrak temulawak dengan dosis 800
mg/kgBB, dan kelompok V diberi ekstrak temulawak dengan dosis 1600 mg/kgBB.
Hasil penelitian: Uji ANNOVA didapatkan nilai p=0, 000 untuk SGOT dan p=0,02 untuk
SGPT. Dari hasil kadar SGOT dan SGPT maka dapat diartikan bahwa kedua nilai p<0,05
yang berarti menyatakan bahwa ekstrak temulawak memiliki efek hepatorepair dengan
hasil yang didapatkan pada hasil uji ANNOVA.
Kesimpulan: ekstrak temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb) mempunyai efek
hepatorepair pada tikus putih jantan galur wistar yang di induksi paracetamol.
Kata kunci: Temulawak, Hepatorepair, Rattus norvegicus
1Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta 2Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
ABSTRACT
THE HEPATOREPAIR EFFECT OF GINGER EXTRACT (Curcuma
xanthorrhiza Roxb) ON MALE WISTAR STRAIN RATS INDUCED BY
PARACETAMOL
Muhammad Teguh Hadinata1, Nurhayani2, Rochmadina Suci Bestari2,
Medical Faculty of Muhammadiyah Surakarta University
Background: Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb) compounds curcumin,
essential oil, glycosides, toluil, protein, and calium. Curcumin has the effect
hepatorepair. This research use ginger rhizome. Ginger rhizome serves as
hepatorepair.
Objective: This study aimed to find out hepatorepair effect of Temulawak
(Curcuma xanthorrhiza Roxb) on male wistar strain rats induced by paracetamol.
Methods: The method was experimental research with pre and postest control
group design. Treatment group I was given distilled water (aquadest) as negative
control, group II was given paracetamol as positive control, group III was given of
ginger extract at a dose of 400 mg/kgBB, group IV was given of ginger extract at
a dose of 800 mg/kgBB, group V was given of ginger extract at a dose of 1600
mg/kgBB.
Result: ANNOVA test p value 0,000 for SGOT, and 0,002 for SGPT. It means
that these two value <0,05 which can be interpreted to have the effect of ginger
extract hepatorepair with the result obtained in the ANNOVA test.
Conclusion: Ginger extract (Curcuma xanthorrhiza Roxb) had hepatorepair effect
on male wistar strain rats induced by paracetamol.
Keywords: Temulawak, Hepatorepair, Rattus norvegicus
1Medical Student of Muhammadiyah Surakarta University 2Lecture of Medical Faculty of Muhammadiyah Surakarta University
PENDAHULUAN
Hepar adalah salah satu organ metabolik terbesar dan yang vital di
tubuh yang berfungsi untuk tempat biokimia tubuh. Hepar juga memiliki fungsi
penting dalam pencernaan. Sel dalam hepar yakni sel hepatosit berfungsi
sebagai fagosit yang akan dilakukan oleh makrofag (Sherwood, 2012). Di
dalam hepar juga bisa terjadi radang yang disebabkan oleh berbagai macam
penyebab salah satunya yakni infeksi. Salah satu penyakit infeksi pada hepar
adalah hepatitis yang dapat disebabkan oleh infeksi virus. Hepatitis ialah suatu
infeksi sistemik yang dominan menyerang hepar. Secara global virus hepatitis
merupakan penyebab utama viremia yang persisten (Sanityoso, 2009).
Berdasarkan data di Indonesia, hepatitis A masih merupakan bagian
terbesar dari kasus-kasus hepatitis akut yang dirawat yaitu berkisar
39,8%-68,3%, sebagian besar didapat pada awal kehidupan. Prevalensi hepatitis
B berkisar dari 2,5% di Banjarmasin sampai 25,61% di Kupang, sebagian besar
pada bayi yang dilahirkan dari ibu dengan HBeAg positif. Sedangkan untuk
hepatitis C, angka kejadian di Indonesia 15,5%-46,4% menempati urutan kedua
setelah hepatitis A(39,8%-68,3%) sedangkan urutan ketiga ditempati oleh
hepatitis B (6,4%-25,9% (Sanityoso, 2009).
Pada pengobatan hepar dirasa oleh masyarakat cukup mahal sehingga
banyak dari masyarakat beralih ke pengobatan tradisional karena dirasa cukup
berhasil dan lebih murah serta lebih efektif. Adapun beberapa faktor yang
menyebabkan masyarakat beralih ke pengobatan tradisional dari pengobatan
modern antara lain adalah karena komunikasi medis dirasa kurang, takut
operasi, serta akibat ekonomi yang tidak mencukupi untuk membeli
obat-obatan modern (Jauhari et al, 2008).
Penggunaan obat tradisional di Indonesia sudah berlangsung sejak
ribuan tahun yang lalu sebelum obat modern ditemukan dan dipasarkan.
Indonesia yang beriklim tropis merupakan negara dengan keanekaragaman
hayati kedua didunia setelah Brazil. Indonesia memiliki sekitar 25.000-30.000
spesies tanaman yang merupakan 80% dari jenis tanaman yang ada di dunia dan
90% dari jenis tanaman di Asia (Dewoto, 2007). World Health Organazation
(WHO) telah merekomendasikan penggunaan obat herbal dalam bidang
kesehatan guna melakukan pencegahan serta penanganan suatu penyakit
terhadap penyakit kronis serta degeneratif. WHO juga memperkirakan 80%
penduduk dunia saat ini bergantung pada pengunaan obat herbal dalam aspek
kesehatan primer (WHO, 2015).
Indonesia memiliki sekitar 400 suku bangsa (etnis dan sub etnis).
Masing-masing etnis dan sub etnis memiliki berbagai pengetahuan yang
diwariskan dari generasi ke generasi, diantaranya pengetahuan tradisional
dibidang pengobatan. Bagi masyarakat Jawa dan Madura obat tradisional lebih
dikenal dengan sebutan jamu, baik dalam bentuk rajangan maupun dalam
bentuk serbuk (Depkes, 2007). Salah satu tumbuhan yang dapat digunakan
untuk pengobatan tradisional dalam masyarakat adalah Temulawak (Curcuma
xhanthorriza Roxb) karena dipercaya kandungan dalam temulawak yakni
kurkumin dapat digunakan sebagai antioxidant (Rosidi et al, 2013).
Dalam beberapa penelitian tentang Temulawak (Curcuma xanthorriza
Roxb) dikatakan bahwa Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb) memiliki
efek anti radang, antibakteri, hepatoprotektor. Senyawa yang ada dalam
temulawak antara lain adalah kurkuminoid, minyak atsiri, dan pati. Salah satu
kandungan temulawak yaitu minyak atsiri berguna sebagai agen penginduksi
apoptosis, antiinflamasi, antibakteri, dan antioksidan. Selain itu senyawa
kurkuminnya mempunyai aktivitas hepatoprotektif yang berfungsi dalam
mencegah penyakit hepar (Utami et al, 2012). Sedangkan dalam dunia
kedokteran Curcuma xhanthorriza Roxb digunakan sebagai pengobatan
penyakit hepatitis, diabetes, hipertensi dan antikanker (Devaraj et al, 2010).
Dari penelitian sebelumnya dikatakan bahwa temulawak berkhasiat untuk
penyakit hepar. Hal tersebut disebabkan oleh komposisi kimia rimpang
temulawak yang mengandung protein, kurkumin, dan minyak atsiri. Kandungan
dalam temulawak yakni kurkumin berperan dalam menjaga dan sekaligus
sebagai hepatoprotektor (Dalimartha, 2008).
Dari penelitian sebelumnya diketahui kandungan dalam temulawak
dapat digunakan sebagai hepatoprotektor salah satunya adalah kurkumin.
Penelitian tersebut menyatakan bahwa pada rimpang temulawak terkandung
senyawa hepatoprotektor dan antioksidan yang berupa kurkumin. Senyawa
kurkumin ini bersifat hepatoprotektor dan antioksidan (Devaraj et al, 2010).
Dengan latar belakang yang telah dijabarkan di atas, penulis ingin
meneliti tentang efek hepatorepair temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb)
pada tikus putih jantan galur wistar yang diinduksi paracetamol.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini bersifat experimental laboratorium dengan rancangan
penelitian pretest and postest control group design. Penelitian dilaksanakan di
Laboratorium Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Surakarta, Laboratorium Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Surakarta dan Laboratorium Biologi Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan (FKIP). Subjek yang digunakan penelitian pada penelitian ini
adalah rimpang temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb). Obyek penelitian
yaitu tikus putih jantan galur wistar (Rattus noregicus) yang dipilih secara
purposive sampling dengan syarat usia 2-3 bulan dengan berat badan150-250
gram. Penentuan besar sampel pada setiap kelompok ditentukan berdasarkan
rumus perhitungan Federer yang diperoleh hasil 5 ekor tikus pada setiap
kelompok (5 kelompok). Sehingga jumlah keseluruhan sampel yang digunakan
sebanyak 25 ekor tikus. Penelitian ini dierikan kelompok perlakuan yaitu
kelompok kontrol negatif diberikan aquades, kelompok kontrol positif dierikan
paracetamol dosis 1,35 gr/kgbb, kelompok perlakuan esktrak temulawak dosis I
diberikan 400 mg/kgbb, dosis II diberikan 800 mg/kgbb, dosis III diberikan
1600 mg/kgbb. Identifikasi variabel terdiri dari variabel bebas: ekstrak
temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb) (skala:rasio), variabel terikat: efek
hepatorepair (skala:rasio). Sebelum diberikan perlakuan terlebih dahulu semua
hewan uji diadaptasi selama 6 hari. Pada hari ke-1 dilakuan pengambilan
sampel darah dan dilakukan penghitungan kadar SGOT dan SGPT pada masin
kelompok. Pada hari ke-7 dilakukan induksi paracetamol selama 1 minggu
kemudian dilakukan pengambilan sampel darah dan dilakukan penghitungan
kadar SGOT dan SGPT kembali setelah perlakuan. Pada hari ke-14 dilakukan
induksi ekstrak temulawak selama 1 minggu dan dilakukan pengambilan
sampel darah dan dilakukan penghitungan kadar SGOT dan SGPT kembali
setelah induksi paracetamol. Pada hari ke-14 dilakukan pengukuran kadar
SGOT dan SGPT awal, pretest dan postest dan dibandingkan dengan kadar
SGOT dan SGPT pretest.
Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis menggunakan uji statistik.
Uji statistik yang digunakan adalah:
1. Uji statistik Shapiro Wilk, digunakan untuk menguji distribusi data yang
diperoleh dengan uji sampel (<50)
2. Uji statistik t berpasangan, digunakan untuk mengetahui apakah terdapat
perbedaan pada saat sebelum dan sesudah diberikan perlakuan.
3. Uji statistik Test Of Homogenity of Variance, digunakan untuk menguji
homogenitas dari varian disetiap data kelompok.
4. Uji Post Hoc, digunakan untuk mengetahui signifikasi perbedaan antar
kelompok perlakuan
HASIL PENELITIAN
Rendemen
Rendemen ekstrak ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan
antara ekstrak dengan simplisia temulawak (Curcuma xhanthorriza Roxb).
Rendemen dihitung dengan membandingkan jumlah ekstrak yg diperoleh
dengan simplisia awal.
Perbandingan rerata kadar SGOT dan SGPT awal, pretest, dan postes
Tabel 1. Hasil Penghitungan Rerata Kadar SGOT
Kelompok Hasil Pemberian
H0 H7 H14
Kontrol Negatif 165,25 37,915 170,25 41,468 171,40 39,217
Kontrol Positif 122,00 30,408 549,50 228,742 557,25 230,006
Dosis 1 183,25 29,341 555,25 247,905 501,00 248,887
Dosis 2 214,75 38,274 544,50 43,677 444,25 44,918
Dosis 3 190,00 82,733 499,50 84,910 204,00 20,083
Sumber: data primer, 2016
Tabel 2. Hasil penghitungan rerata kadar SGPT
kelompok Hasil Pemberian
H0 H7 H14
Kontrol Negatif 92,50 43,162 94,75 43,370 98,00 42,810
Kontrol Positif 43,25 3,848 150,25 41,987 240,25 66,188
Dosis 1 53,75 9,430 131,50 38,957 124,25 26,082
Dosis 2 73,75 18,392 193,75 47,098 115,25 37,889
Dosis 3 82,00 42607 173,25 32,449 115,00 35,870
Sumber: data primer, 2016
Hasil Analisis Data
Uji normalitas pada penelitian ini menggunakan Shapiro-Wilk, karena
data yang digunakan <50. Hasil dari uji normalitas pada pretest didapatkan
nilai p=0,149 untuk SGOT dan p=0,259 untuk SGPT, sehingga dapat diartikan
kadar SGOT dan SGPT normal (p 0,05). Sedangkan pada uji normalitas kadar
SGOT dan SGPT sebelum diberikan perlakuan didapatkan nilai p=0,481 untuk
SGOT dan p=0,04 untuk SGPT data tidak normal dan dilakukan transformasi
data sehingga didapatkan nilai p=0,299 untuk SGPT, sehingga dapat diartikan
kadar SGOT dan SGPT normal (p 0,05).
Kemudian dilakukan uji normalitas setelah diberikan perlakuan atau
postest, pada pemeriksaan didapatkan nilai p=0,06 untuk SGOT, distribusi data
tidak normal dan dilakukan transformasi data didapatkan nilai p=0,161,
sehingga dapat diartikan kadar SGOT normal (p 0,05) dan nilai p=0,08 untuk
SGPT, distribusi data tidak normal dan dilakukan transformasi data sehingga
didapatkan p=0,97 sehingga dapat diartikan kadar SGPT normal (p 0,05).
Pada kontrol negatif didapatkan nilai p=0,481 untuk SGOT, distribusi data
normal (p 0,05), dan p=0,04 untuk SGPT, distribusi data tidak normal dan
dilakukan transformasi data sehingga didapatkan nilai p=0,299 untuk SGPT,
sehingga dapat diartikan kadar SGPT normal pada kelompok kontrol negatif
(p 0,05).
Berdasarkan data Pretest-Postest kemudian dilakukan uji t
berpasangan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan penurunan yang
signifikan terhadap kadar SGOT sebelum dan setelah diberikan perlakuan.
Dilakukan analisis data didapatkan nilai p=0,000. Dari hasil analisis data
didapatkan penurunan kadar SGOT yang signifikan setelah perlakuan
(p 0,05).
Kemudian berdasarkan data Pretes-Postest dilakukan uji t
berpasangan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan penurunan yang
signifikan terhadap kadar SGPT sebelum dan setelah diberikan perlakuan.
Dilakukan analisis data didapatkan nilai p=0,000. Dari hasil analisis data
didapatkan penurunan kadar SGPT yang signifikan setelah perlakuan (p 0,05).
Setelah dilakukan uji normalitas dan homogenitas, analisis data
dilanjutkan dengan uji ANNOVA. Dari uji ANNOVA didapatkan nilai p=0,000
untuk SGOT dan p=0,002 untuk SGPT. Dari kedua data tersebut dapat
diartikan bahwa kedua nilai p<0,05 yang menyatakan bahwa hipotesis dapat
diterima dengan adanya perbedaan yang bermakna pada hasil uji ANNOVA.
Analisis Post Hoc LSD untuk menunjukan perbedaan yang signifikan
antara kelompok untuk pengambilan keputusan berdasarkan nilai probabilitas.
Jika nilai p<0,05 maka terdapat perbedaan yang bermakna,sedangkan jika nilai
p>0,05 maka terdapat perbedaan yang tidak bermakna yang dapat dilihat pada
Tabel 3 dan 4.
Tabel 3. Hasil Uji Post Hoc kadar SGOT
kelompok Nilai "p" Keterangan
KN - KP 0,000 Berbeda bermakna
KN - Dosis 1 0,000 Berbeda bermakna
KN - Dosis 2 0,000 Berbeda bermakna
KN - Dosis 3 0,074 Tidak berbeda bermakna
KP - Dosis 1 0,568 Tidak berbeda bermakna
KP - Dosis 2 0,522 Tidak berbeda bermakna
KP - Dosis 3 0,000 Berbeda bermakna
Dosis 1 - Dosis 2 0,944 Tidak berbeda bermakna
Dosis 1 - Dosis 3 0,000 Berbeda bermakna
Dosis 2- Dosis 3 0,000 Berbeda bermakna
Sumber: data primer, 2016
PEMBAHASAN
Penelitian yang dilakukan di Laboratorium Farmakologi Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiya Surakarta ini bertujuan untuk
mengetahui ada tidaknya efek hepatorepair esktrak temulawak (Curcuma
xhanthorriza Roxb) pada tikus putih jantan galur wistar yang diinduksi
paracetamol. Penelitian ini terdiri dari 5 kelompok yang terdiri dari 25 ekor
tikus dan terdapat 5 ekor tikus pada setiap kelompok. Kelompok I sebagai
kontrol negatif (aquadest), kelompok II sebagai kontrol positif (paracetamol
1,35 mg/kgBB), kelompok III sebagai kelompok perlakuan I (400 mg/kgBB),
kelompok IV sebagai kelompok perlakuan II (800 mg/kgBB), kelompok V
sebagai kelompok perlakuan III (1600 mg/kgBB).
Penelitian ini menggunakan hewan uji tikus yang pada kelompok I
diberi aquadest sebagai kontrol negatif dan kelompok II, III, IV, V diinduksi
paracetamol pada awal perlakuan. Kadar SGOT dan SGPT diukur sebanyak 3
kali pengukuran selama penelitian berlangsung. Kadar SGOT dan SGPT awal
diukur dari hari pertama penelitian dimaksudkan sebagai nilai normal dari
kadar SGOT dan SGPT pada tikus yang mana akan dibandingkan setelah
diberikan induksi paracetamol dan diberikan perlakuan dengan induksi
temulawak. Selanjutnya hasil penelitian dilakukan uji t untuk melihat apakah
terdapat perbedaan pada awal penelitian dan setelah penelitian, pretest maupun
postest.
Pada penurunan kadar SGOT dan SGPT dilakukan dengan
menggunakan tikus yang diinduksi paracetamol untuk dapat meningkatkan
kadar SGOT dan SGPT pada hewan uji tikus. Setelah diinduksi paracetamol
pada hewan uji tikus, kemudian tikus diinduksi ekstrak temulawak secara
peroral dengan 3 varian dosis. Pada hari ke-14 setelah pemberian ekstrak
temulawak (Curcuma xhanthorriza Roxb) dilakukan penghitungan kembali
kadar SGOT dan SGPT pada hewan uji tikus untuk mengetahui apakah
terdapat penurunan kadar SGOT dan SGPT pada hewan uji tersebut.
Selanjutnya dilakukan analisis data untuk mengetahui apakah terdapat
penurunan yang signifikan pada kadar SGOT dan SGPT pada hewan uji
tersebut. Analisis data dilakukan dengan menggunakan SPSS versi 20.
Sebelum melakukan uji One Way ANNOVA dan LSD dilakukan uji
distribusi data dan homogenitas varian. Uji distribusi data dilakukan dengan
jumlah sampel <50 menggunakan uji Shapiro-Wilk dan didapatkan nilai
p=0,149 (p 0,05), sehingga dapat diartikan data terdistribusi normal. Data
selanjutnya di uji homogenitas varian dengan menggunakan Levene Test
didapatkan pada hari ke-14 nilai p=0,259 (p>0,05), sehingga dapat diartikan
data tersebut homogen. Pada uji One Way ANNOVA didapatkan nilai p=0,000
untuk SGOT dan p=0,02 untuk SGPT, sehingga dapat diartikan nilai p<0,05,
terdapat perbedaan yang bermakna terhadap penurunan kadar SGOT dan
SGPT. Dari hasil uji One Way ANNOVA dapat disimpulkan bahwa hipotesis
peneliti dapat diterima. Oleh karena itu ekstrak temulawak (Curcuma
xhanthorriza Roxb) terbukti dapat menurunkan kadar SGOT dan SGPT pada
hewan uji tikus.
Dari hasil uji statistik yang dilakukan, hasil penelitian menunjukan
terdapat perbedaan yang bermakna. Pada kelompok dosis III memiliki rerata
kadar SGOT dan SGPT paling rendah dan terdapat perbedaan yang bermakna
sesuai dengan hasil uji statistik dibandingkan dengan rerata kadar SGOT dan
SGPT pada kelompok dosis II dan kelompok dosis I terdapat perbedaan tetapi
tidak bermakna sesuai dengan hasil uji statistik..
Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa ekstrak temulawak
(Curcuma xhanthrriza Roxb) pada kelompok perlakuan dosis III mempunyai
efek hepatorepair yang lebih efektif karena terdapat perbedaan yang bermakna
sesuai dengan hasil uji statistik dibandingkan dengan kelompok perlakuan
dosis II dan kelompok perlakuan dosis I yang terdapat perbedaan namun tidak
berbeda bermakna sesuai dengan hasil uji statistik.
Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Utami (2012),
ekstrak temulawak (Curcuma xhanthorriza Roxb) memiliki efek hepatorepair
terhadap tikus putih jantan galur wistar yang diinduksi asetaminofen. Kadar
SGOT rata-rata pada kelompok I sebesar 152 U/L, kelompok II sebesar 1098
U/L. Sedangkan kadar SGPT rata-rata pada kelompok I sebesar 48 U/L dan
318 U/L pada kelompok II. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian
sebelumnya adalah varian dosis yang ditambahkan, waktu penelitian serta
metode penelitian.
Pada penelitian sebelumnya juga yang dilakukan oleh Rosidi (2013),
bahwa ekstrak temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb) memiliki efek
hepatorepair pada tikus putih jantan galur wistar yang diinduksi CCL4. Hasil
dari percobaan tersebut adalah rata-rata untuk SGOT 156,80 9,39 U/L, dan
249,80 3,57 U/L untuk SGPT pada kelompok I dengan dosis pemberian 200
mg/kgBB, pada kelompok II nilai SGOT 150,30 8,05 U/L dan SGPT
237,50 3,13 U/L dengan dosis pemberian 400 mg/kgBB. Penelitian ini
menjelaskan semakin besar pemberian dosis ke hewan uji maka semakin besar
pula efek hepatorepair yang terdapat pada hewan uji tikus yang diinduksi
CCL4.
Hasil penelitian uji efek hepatorepair ekstrak temulawak (Curcuma
xhanthorriza Roxb) pada tikus putih jantan galur wistar yang diinduksi
paracetamol ini didapatkan kadar SGOT dan SGPT terjadi perbedaan yang
jauh. Ini disebabkan karena SGOT (serum glutamic-oxaloacetic transaminase)
merupakan enzim yang terdapat pada hepar, ginjal, dan otot rangka (Sherwood,
2012). Sedangkan pada SGPT (serum glutamic-pyruvic transaminase)
merupakan enzim yang terdapat pada sitoplasma sel hepatosit sehingga kadar
SGOT didapatkan lebih tinggi dibandingkan dengan kadar SGPT. SGPT
digunakan pada penilaian diagnostik dari hepatitis oleh karena virus karena
SGPT terdapat pada sitoplasma sel hepatosit sehingga dapat dijadikan
parameter kerusakan sel hati (Sherwood, 2012).
Pada penelitian ini masih banyak kekurangan salah satunya adalah
kurangnya varian dosis untuk menghasilkan dosis terbaik untuk menurunkan
kadar SGOT dan SGPT serta adanya kemungkinan human error dalam
melakukan pemberian obat dan ekstrak pada hewan uji serta peran senyawa
aktif yang berperan dari ekstrak temulawak (Curcuma xhanthorriza Roxb)
yang dapat menurunkan kadar SGOT dan SGPT serta jumlah tikus tidak
merata pada tiap kelompok.
Untuk penelitian selanjutnya hendaknya dilakukan dengan
menggunakan dosis yang tinggi dan masa perlakuan yang lebih lama untuk
mengetahui dosis toksik dan efek samping serta waktu pemkaian yang lebih
efektif.
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian efek pemberian ekstrak temulawak
(Curcumaxhanthorriza Roxb) dengan menggunakan dosis bervariasi sesuai
dengan hasil uji statistik dan pembahasan adalah :
1. Ekstrak temulawak (Curcuma xhanthorriza Roxb) pada dosis
400mg/200gramBB, 800mg/200gramBB terdapat perbedaan dibandingkan
dengan kontrol positif tetapi tidak berbeda bermakna secara statistik. Pada dosis
1600mg/200gramBB terdapat perbedaan bermakna secara statistik dibandingkan
dengan dosis I dan II
2. Ekstrak temulawak (Curcuma xhanthorriza Roxb) dengan dosis
1600mg/200gramBB memiliki efek lebih besar dan terdapat perbedaan bermakna
secara statistik dibandingkan dengan dosis 400mg/200gramBB dan 800
mg/200gramBB terdapat perbedaan tetapi tidak bermakna secara statistik.
B. Saran
Saran yang dapat diberikan pada penelitian ini adalah :
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan waktu penelitian yang lebih
lama sehingga dapat diketahui waktu yang efektif untuk menurunkan kadar SGOT
dan SGPT yang lebih maksimal.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan beberapa varian dosis yang
lebih tinggi dan sampel yang lebih banyak sehingga dapat diketahui dosis mana
yang lebih efektif menurunkan kadar SGOT dan SGPT secara maksimal.
3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap temulawak (Curcuma
xhanthorriza Roxb) dalam bentuk kombinasi antara temulawak (Curcuma
xhanthorriza Roxb) dengan herbal atau bahan natural lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Dalimartha, S. 2008. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia Jilid 2. Jakarta: Trubus
Agriwidya
Depkes. 2007. Kebijakan Obat Tradisional.
http://binfar.depkes.go.id/dat/lama/1206328790_Buku%20Kebijakan%20
Obat%20Tradisional%20Nasional%20Tahun%202007.pdf. Diakses 14
September 2015
Devaraj, S., Esfahani, A.S., Ismail, S., Ramanathan, S., Yam, M.F., 2010.
Evaluation of the Antinoceptive and Acute Oral Toxicity of Standardized
Ethanolic Extract of the Rhizome of Curcuma xanthorrhiza Roxb.
Molecules. Vol 15(4): 2925-2934
Dewoto, H.R. 2007. Pengembangan Obat Tradisional Indonesia Menjadi
Fitofarmaka. Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Vol. 57(7): 205-211
Jauhari, A.H., Utami, M.S., Padmawati, R.S., Motivasi dan Kepercayaan Pasien
untuk Berobat ke Dokter. Jurnal Kedokteran Universitas Gajah Mada. Vol
24(1): 1-7
Rosidi, A., Setiawan, B., Riyadi, H., Briawan, D., 2013. Effect of Temulawak
(Curcuma xhanthorriza roxb) Extract on Reduction of MDA
(Malondialdehyde) Level. Pakistan Journal of Nutrition. Vol 12(9):
842-850
Sanityoso, A. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid 1. Jakarta:
InternaPublising
Sherwood, L. 2012. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem. Edisi ke 6. Jakarta:
EGC pp.669-672
Utami, A., Meryalita, R., Prihatin, N.A., Ambarsari, L., Kurniatin, P.A., et al.,
2012. Variasi Metode DNA Daun Temulawak (Curcuma xhanthorriza
roxb). Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa. ISBN:
978-979-028-550-7
WHO, 2015. Traditional Medicine Strategy.
www.who.int/iris/bitstream/10665/92455/1/9789241506090. Diakses 10
September 2015