ulumul hdits
TRANSCRIPT
![Page 1: ulumul hdits](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022073011/5571f43849795947648f32cc/html5/thumbnails/1.jpg)
PENGERTIAN
Lafadz “jarh”, menurut muhaddistin ialah sifat seorang rowi yang dapat mencacatkan keadilan dan
kehafalanya. Men-jarh atau men-tajrih seorang rowi berarti menyifati seorang rowi dengan sifat-sifat
yang dapat nenyebabkan kelemahan atau tetolak apa yang diriwayatkanya.
Sedangkan rowi dikatakan “’adil” ialah orang yang dapat mengendalikan sifat-sifat yang dapat menodai
agama dan keperwaraanya. Memberikan sifat-sifat yang terpuji kepada rowi, hingga apa yang
diriwayatkanya dapat diterima disebut men-ta’dilkan.
KEGUNAAN
Kegunaan ilmu jarh wa ta’dil ialah ialah menetapkan apakah periwayatan seorang rowi itu dapat di
trima atau di tolak sama sekali. Apabila seorang rowi di jarh ole para ahli sebagai rowi yang cacat, maka
periwayatanya harus di tolak dan apabila seorang rowi di puji sebagai orang yang adil, niscaya
periwayatanya diterima, selama syarat-syarat yang lainuntuk menerima hadist dipenuhi.
LAFADZ-LAFADZ YANG DI GUNAKAN UNTUK MEN-TA’DIL DAN MEN-JARH.
Lafadz-lafadz yang di gunakan untuk men-ta’dilkan dan men-jarhkan rowi-rowi itu bertingkat-tingkat.
Menurut ibn abi hatim, ibn as-sholah dan ibn nawawy, lafadz-lafadz itu di susun mmenjadi 4 tingkatan,
menurut al-hafidz ad-dzahaby dan al-‘iroqy menjadi 5 tingkatan dan ibn hajar menyusunnya menjadi 6
tingkatan, yakni:
Tingakatan untuk menta’dilkan rowi-rowi.
Pertama: segala sesuatu yang mengandung kelebihan rowi dalam keadilan dengan menggunakan lafadz-
lafadz yang membentuk af’alut-tafdil atau ungkapan lain yang mengandung penertian yang sejenis.
Misalnya:
Kedua: memperkuat ketsiqohan rowi dengan membubuhi satu sifat dari sifat-sifat yang menunjuk
keadilan dan kedhobitanya, baik sifatnya yang di bubuhkan itu selafadz (dengan mengulangnya) maupun
semakna, misal :
Ketiga: menunjuk keadilan dengan suatu lafadz yang mengandung arti kuat ingatan. Misalnya:
Keempat: menunjuk keadilan dan kedzabitan, tetapi dengan lafadz yang tidak mengandung arti kuat
inatan dan adil(tsiqah). Misal:
Kelima: menunjuk kejujuran rowi, tetapi tidak terpaham adanya kedzabitan. Misal:
Keenam: menunjuk arti mendekati cacat. Seperti sifat-sifat tersebut di atas yang di ikuti dengan lafadz
“insya allah”, atau lafadz tersebut di-tashghir-kan (pengecilan arti), atau lafadz yang dikaitkan dengan
suatu pengharapan. Misal:
![Page 2: ulumul hdits](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022073011/5571f43849795947648f32cc/html5/thumbnails/2.jpg)
Para ahli ilmu menggunakan hadist-hadist yang diiwayatkan oleh rowi-rowi yan g di ta’dilkan menurut
tingkatan pertama sampai tingkatan keempat sebagai hujjah. Sedang hadist-hadist para rowi yang di
ta’dilkan menurut tingkatan kelima dan keenam hanya dapat di tulis, dan baru dapat dipergunakan bila
dikuatkan oleh hadist perawi lain.
Pertama: menunjuk kepada keterlaluan si rawi tentang cacatnya dengan menggunakan lafadz-lafadz
yang berbentuk af’a-lut-tafdlil atau ungkapan lain yang mewngandung pengertian yang sejenisnya
dengan itu. Misal:
Kedua: menunjuk kesangatan cacat dengan menggunaka laadz berbentuk shighot muballaghoh. Misal:
Ketiga : menunjukan kepada tuduhan dusta, bohong atau lain sebagainya. Misal:
Keempat: menunjukkan kepada berkesangatan lemahnya. Misalnya:
Kelima: menunjukan kepada kelemahan dan kekacauan rawi mengenai hafalanya. Misalnya:
Keenam: menyifati rawi dengan sifa-sifat yang menunjukkan kelemahannya, tetapi sifat itu berdekatan
dengan adil. Misalnya:
orang-orang yang di tajrih menurut tingkat pertama sampai dengan tingkatan keempat,
hadistnya tidak di buat hujjah sama sekali. Adapun orang-orang yag di tajrih menurut tingkatan
kelima dan keenam, hadistnya masih bisa di pakai sebagai i’tibar (tempat membandingkan).