ulumul hdits

3
PENGERTIAN Lafadz “jarh”, menurut muhaddistin ialah sifat seorang rowi yang dapat mencacatkan keadilan dan kehafalanya. Men-jarh atau men-tajrih seorang rowi berarti menyifati seorang rowi dengan sifat-sifat yang dapat nenyebabkan kelemahan atau tetolak apa yang diriwayatkanya. Sedangkan rowi dikatakan “’adil” ialah orang yang dapat mengendalikan sifat-sifat yang dapat menodai agama dan keperwaraanya. Memberikan sifat-sifat yang terpuji kepada rowi, hingga apa yang diriwayatkanya dapat diterima disebut men-ta’dilkan. KEGUNAAN Kegunaan ilmu jarh wa ta’dil ialah ialah menetapkan apakah periwayatan seorang rowi itu dapat di trima atau di tolak sama sekali. Apabila seorang rowi di jarh ole para ahli sebagai rowi yang cacat, maka periwayatanya harus di tolak dan apabila seorang rowi di puji sebagai orang yang adil, niscaya periwayatanya diterima, selama syarat-syarat yang lainuntuk menerima hadist dipenuhi. LAFADZ-LAFADZ YANG DI GUNAKAN UNTUK MEN-TA’DIL DAN MEN-JARH. Lafadz-lafadz yang di gunakan untuk men-ta’dilkan dan men-jarhkan rowi-rowi itu bertingkat-tingkat. Menurut ibn abi hatim, ibn as-sholah dan ibn nawawy, lafadz-lafadz itu di susun mmenjadi 4 tingkatan, menurut al-hafidz ad-dzahaby dan al-‘iroqy menjadi 5 tingkatan dan ibn hajar menyusunnya menjadi 6 tingkatan, yakni: Tingakatan untuk menta’dilkan rowi-rowi. Pertama: segala sesuatu yang mengandung kelebihan rowi dalam keadilan dengan menggunakan lafadz-lafadz yang membentuk af’alut-tafdil atau ungkapan lain yang mengandung penertian yang sejenis. Misalnya: Kedua: memperkuat ketsiqohan rowi dengan membubuhi satu sifat dari sifat-sifat yang menunjuk keadilan dan kedhobitanya, baik sifatnya

Upload: mushlihshafiyullah

Post on 19-Jun-2015

59 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: ulumul hdits

PENGERTIAN

Lafadz “jarh”, menurut muhaddistin ialah sifat seorang rowi yang dapat mencacatkan keadilan dan

kehafalanya. Men-jarh atau men-tajrih seorang rowi berarti menyifati seorang rowi dengan sifat-sifat

yang dapat nenyebabkan kelemahan atau tetolak apa yang diriwayatkanya.

Sedangkan rowi dikatakan “’adil” ialah orang yang dapat mengendalikan sifat-sifat yang dapat menodai

agama dan keperwaraanya. Memberikan sifat-sifat yang terpuji kepada rowi, hingga apa yang

diriwayatkanya dapat diterima disebut men-ta’dilkan.

KEGUNAAN

Kegunaan ilmu jarh wa ta’dil ialah ialah menetapkan apakah periwayatan seorang rowi itu dapat di

trima atau di tolak sama sekali. Apabila seorang rowi di jarh ole para ahli sebagai rowi yang cacat, maka

periwayatanya harus di tolak dan apabila seorang rowi di puji sebagai orang yang adil, niscaya

periwayatanya diterima, selama syarat-syarat yang lainuntuk menerima hadist dipenuhi.

LAFADZ-LAFADZ YANG DI GUNAKAN UNTUK MEN-TA’DIL DAN MEN-JARH.

Lafadz-lafadz yang di gunakan untuk men-ta’dilkan dan men-jarhkan rowi-rowi itu bertingkat-tingkat.

Menurut ibn abi hatim, ibn as-sholah dan ibn nawawy, lafadz-lafadz itu di susun mmenjadi 4 tingkatan,

menurut al-hafidz ad-dzahaby dan al-‘iroqy menjadi 5 tingkatan dan ibn hajar menyusunnya menjadi 6

tingkatan, yakni:

Tingakatan untuk menta’dilkan rowi-rowi.

Pertama: segala sesuatu yang mengandung kelebihan rowi dalam keadilan dengan menggunakan lafadz-

lafadz yang membentuk af’alut-tafdil atau ungkapan lain yang mengandung penertian yang sejenis.

Misalnya:

Kedua: memperkuat ketsiqohan rowi dengan membubuhi satu sifat dari sifat-sifat yang menunjuk

keadilan dan kedhobitanya, baik sifatnya yang di bubuhkan itu selafadz (dengan mengulangnya) maupun

semakna, misal :

Ketiga: menunjuk keadilan dengan suatu lafadz yang mengandung arti kuat ingatan. Misalnya:

Keempat: menunjuk keadilan dan kedzabitan, tetapi dengan lafadz yang tidak mengandung arti kuat

inatan dan adil(tsiqah). Misal:

Kelima: menunjuk kejujuran rowi, tetapi tidak terpaham adanya kedzabitan. Misal:

Keenam: menunjuk arti mendekati cacat. Seperti sifat-sifat tersebut di atas yang di ikuti dengan lafadz

“insya allah”, atau lafadz tersebut di-tashghir-kan (pengecilan arti), atau lafadz yang dikaitkan dengan

suatu pengharapan. Misal:

Page 2: ulumul hdits

Para ahli ilmu menggunakan hadist-hadist yang diiwayatkan oleh rowi-rowi yan g di ta’dilkan menurut

tingkatan pertama sampai tingkatan keempat sebagai hujjah. Sedang hadist-hadist para rowi yang di

ta’dilkan menurut tingkatan kelima dan keenam hanya dapat di tulis, dan baru dapat dipergunakan bila

dikuatkan oleh hadist perawi lain.

Pertama: menunjuk kepada keterlaluan si rawi tentang cacatnya dengan menggunakan lafadz-lafadz

yang berbentuk af’a-lut-tafdlil atau ungkapan lain yang mewngandung pengertian yang sejenisnya

dengan itu. Misal:

Kedua: menunjuk kesangatan cacat dengan menggunaka laadz berbentuk shighot muballaghoh. Misal:

Ketiga : menunjukan kepada tuduhan dusta, bohong atau lain sebagainya. Misal:

Keempat: menunjukkan kepada berkesangatan lemahnya. Misalnya:

Kelima: menunjukan kepada kelemahan dan kekacauan rawi mengenai hafalanya. Misalnya:

Keenam: menyifati rawi dengan sifa-sifat yang menunjukkan kelemahannya, tetapi sifat itu berdekatan

dengan adil. Misalnya:

orang-orang yang di tajrih menurut tingkat pertama sampai dengan tingkatan keempat,

hadistnya tidak di buat hujjah sama sekali. Adapun orang-orang yag di tajrih menurut tingkatan

kelima dan keenam, hadistnya masih bisa di pakai sebagai i’tibar (tempat membandingkan).