unduh laporan dialog publik menjelang cop 22: pendanaan
TRANSCRIPT
I n s t i t u t e f o r E s s e n t i a l
S e r v i c e s R e f o r m ( I E S R )
J l . M a m p a n g P r a p a t a n
V I I I N o . R - 1 3 , J a k a r t a
1 2 7 9 0
P h : 0 2 1 - 7 9 9 2 9 4 5
F a x : 0 2 1 - 7 9 9 6 1 6 0
1 1 / 1 / 2 0 1 6
Institute for Essential Services
Reform (IESR)
Laporan ini merupakan hasil diskusi dari dialog publik yang
dilaksanakan oleh IESR pada tanggal 31 Oktober 2016 di
Hotel Oria. Dialog publik ini diadakan menjelang COP 22,
dan memiliki fokus pada isu pendanaan perubahan iklim.
Laporan Dialog Publik Menjelang COP 22: Pendanaan Perubahan Iklim
DIALOG PUBLIK MENJELANG
COP 22:
PENDANAAN PERUBAHAN IKLIM
Hotel Oria, 31 Oktober 2016
1 Pembukaan Kegiatan ini merupakan kegiatan tahunan yang dilakukan oleh IESR yang mengundang instansi atau
pihak-pihak yang punya kewenangan atau yang bertugas untuk membawa posisi Indonesia di dalam
negosiasi perubahan iklim. Pada tahun-tahun sebelumnya yang lazim diangkat adalah isu terkait COP
yang cukup luas. Tahun lalu, sehubungan dengan Paris Agreement, maka seluruh aspek dalam Paris
Agreement itu, dibahas. Namun, untuk tahun ini, karena banyak isu dalam Paris Agreement yang masih
'dibentuk', maka IESR hanya mengangkat satu tema, yaitu mengenai pendanaan perubahan iklim.
Pendanaan merupakan salah satu dari tiga pendukung yang menjadi agenda COP dan selalu disebut
sebagai Means of Implementation (MoI): teknologi, capacity building, dan pendanaan. Terkait dengan
pendanaan perubahan iklim, menarik untuk melihat kemajuan di Indonesia. Hal ini terlihat dari
bagaimana Indonesia mempersiapkan institusi-institusi pendanaan, maupun mekanisme pendanaan di
tingkat domestik, untuk mendanai aksi-aksi perubahan iklim, baik adaptasi maupun mitigasi. Untuk
Adaptation Fund, saat ini sudah ada accredited implementing entity di Indonesia, yaitu Kemitraan.
Dialog ini juga diperlukan untuk mengetahui apa yang sebenarnya ingin dilakukan oleh Kemitraan terkait
dengan Adaptation Fund.
Indonesia juga telah menetapkan NDA untuk Green Climate Fund. Indonesia juga memiliki institusi
seperti ICCTF yang dibentuk oleh Bappenas, serta inisiatif-inisiatif lain yang saat ini berkembang untuk
mengakses pendanaan tersebut. KADIN juga saat ini tengah mempersiapkan suatu inisiatif. Ada juga
NGO lain yang memiliki inisiatif untuk mendanai kota. Namun, yang menjadi isu saat ini adalah
bagaimana mekanisme-mekanisme pendanaan tersebut, dapat memenuhi kebutuhan pendanaan untuk
aksi adaptasi maupun mitigasi perubahan iklim di Indonesia.
Selain daripada itu, mekanisme GCF yang merupakan mekanisme pendanaan terbesar untuk perubahan
iklim, juga sudah mulai, dan sudah siap 'belanja'. Modalitasnya sudah tersedia, instrumennya sudah ada,
dan saat ini sudah siap untuk menyalurkan dana, sehingga negara-negara termasuk institusi-institusi dari
negara-negara berkembang yang menjadi anggota dari UNFCCC, dapat memanfaatkan dana-dana
tersebut. Untuk mengakses pendanaan tersebut, tentunya harus kembali ke kapasitas nasional
Indonesia untuk mengakses pendanaan-pendanaan tersebut.
Sejak kesepakatan Paris tahun lalu, dan Indonesia juga sudah meratifikasi kesepakatan Paris, dengan
perkembangan terkini melalui inisiatif pendanaan lingkungan, perlu untuk dilihat bagaimana
pendanaan-pendanaan yang ada di Indonesia saat ini untuk siap dan dapat bersinergi dengan kebutuhan
pendanaan yang ada. Kebutuhan pendanaan memang sangat banyak. Contohnya, jika berbicara
mengenai target untuk energi terbarukan yang sesuai dengan KEN, 23%, pada tahun 2025, untuk
mencapai bauran energi 23%, maka berdasarkan hitung-hitungan dari kementerian ESDM, paling tidak
diperlukan 1600 T sampai dengan tahun 2025. Jika dilihat kemampuan pendanaan BUMN seperti PLN,
anggaran dari APBN, APBD, total kemampuannya mungkin tidak sampai 20% dari kebutuhannya. Itu
sebabnya, sebagian besar dari pendanaan ini memang harus didanai oleh investasi swasta.
Pendanaan investasi swasta ini juga tidak mudah, karena energi terbarukan masih dianggap sangat
beresiko. Jadi sebenarnya, banyak pihak masih berharap, khususnya dari METI (Masyarakat Energi
Terbarukan Indonesia), untuk mengakses pendanaan perubahan iklim seperti GCF sebagai salah satu
cara atau jalan untuk membiayai energi terbarukan. Permasalahan adalah dana tersedia, namun untuk
mengakses dana tersebut tidak dapat dilakukan dengan begitu saja, ada prosedur, mekanisme, dan
kesiapan institusi untuk mengakses pendanaan tersebut.
Pendanaan adaptasi sebagaimana yang tercantum di dalam RAN API, juga memiliki kebutuhan
pendanaan yang cukup besar. Hingga hari ini, belum ada gambaran mengenai sumber pendanaan selain
dari APBN. Hal ini menjadi latar belakang dari dialog ini, terkait dengan fokus dialog ini, yaitu pada aspek
pendanaan perubahan iklim.
Pendanaan perubahan iklim juga ditentukan oleh konstelasi politik, sehingga konstelasi politik
perubahan iklim global paska Paris perlu juga untuk dicermati. Bagaimana kemungkinan konstelasi
politik dengan terpilihnya Presiden Amerika Serikat, yang salah satu kandidatnya pada saat kampanye
pemilihan Presiden, sudah menyatakan bahwa yang akan dilakukan pertama kali sebagai Presiden,
adalah membatalkan keikutsertaan Amerika di dalam Paris Agreement. Apabila hal ini terjadi, apakah ini
tidak mengulangi pengalaman Kyoto Protokol dulu? Lalu kemudian, terkait dengan komitmen. Salah
satu komitmen di dalam Paris Agreement adalah mobilisasi pendanaan USD 100 milyar, yang diharapkan
bisa naik lagi.
Jika negara-negara besar seperti Amerika, yang dikuatirkan akan mundur dari PA, bagaimana
implikasinya dengan janji-janji yang terkait dengan pendanaan, pengembangan kapasitas, transfer
teknologi dan lain sebagainya? Hal-hal ini tentu saja sangat terkait dengan politik perubahan iklim.
Dalam konteks ini, IESR meminta kesediaan dari Bapak Prof. (HC) Dr. Rachmat Witoelar, Utusan Khusus
Presiden untuk Perubahan Iklim, agar dapat menyampaikan perspektif atau gambaran konstelasi politik
perubahan iklim global paska Paris Agreement, serta memberikan overview terkait dengan konteks di
Indonesia sendiri seperti apa, dan kira-kira apa yang sudah disiapkan oleh Indonesia untuk COP 22 di
Marakesh, sehingga, bila memungkinkan untuk mengundang masukan dari peserta yang hadir, terkait
dengan posisi-posisi kunci.
IESR juga mengundan Direktur Jenderal untuk Pengendalian Perubahan Iklim dari Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yaitu, Ibu Nur Masripatin, yang diwakilkan oleh Ibu Drs. Sri Tantri
Arundhati, M.Sc., terkait dengan Adaptation Fund. KLHK merupakan NDA untuk Adaptation Fund. IESR
juga mengundang Yayasan Kemitraan juga, yang merupakan accredited entity untuk Adaptation Fund
untuk Indonesia. Terkait dengan pendanaan Green Climate Fund, IESR juga mengundang Bapak Dr.
Syurkani Ishak Kasim, dari PKPPIM (Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral), di
mana kementerian keuangan adalah NDA untuk GCF di Indonesia. IESR juga mengundang Bapak
Medrilzam, Direktur Lingkungan Hidup dari Bappenas. Bappenas membentuk ICCTF di tahun 2009, dan
saat ini dalam proses transisi karena awalnya mau menjadikan ICCTF sebagai transformation fund. ICCTF
bisa mendukung mitigasi dan adaptasi, walau demikian, saat ini masih menyalurkan hibah untuk
adaptasi dan mitigasi yang cukup besar sebenarnya, terutama dalam dua tahun terakhir, ada pendanaan
dari USAID, lalu ada juga dari UK, dan terakhir bekerja sama dengan BRG, untuk pendanaan gambut.
Walau demikian, Bapak Medrilzam berhalangan hadir dikarenakan rapat internal yang harus dihadiri.
IESR juga mengundang Bapak Paul Butarbutar dari South Pole, yang akan mengulas mengenai
pendanaan berbasis pasar, khususnya untuk mitigation action.
2 Pemetaan politik dalam negosiasi perubahan iklim Terkait mengenai peran negara di dalam konteks UNFCCC, sebenarnya organisasi seperti UNFCCC atau
badan PBB lainnya, berupaya untuk memberikan peluang yang sebaik-baik bahwa negara itu berfungsi.
Salah satu prioritas yang harus dicari jalan keluarnya adalah isu terkait dengan peran private sector.
Pengharapan yang ditimbulkan oleh Paris Agreement itu tinggi sekali, dan dicoba agar tetap
dilaksanakan, dijabarkan, diimplementasikan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Untuk melakukan
hal ini, perlu penjabaran di institusi antar negara yang telah disebutkan di atas. Apa yang diputuskan di
Paris, tidak bisa dipisahkan dengan keputusan-keputusan yang sebelumnya terjadi.
Terkait dengan suasana psikologi politis, masih ada satu bidding position di antara negara-negara maju
dan negara berkembang, walaupun ini tidak seperti dulu. Bidding position yang ada di waktu yang
terdahulu, bersifat lebih antagonis; kalau sekarang berbeda, lebih bersahabat, walaupun jalannya tetap
tidak mudah. Lalu dengan konsep everyone on board, memiliki implikasi bahwa keputusan yang akan
diambil, berlaku untuk kita semua, tidak lagi memiliki dua kutub antara negara-negara maju dan negara-
negara berkembang. Maka untuk itu, dibentuklah beberapa alur-alur perundingan resmi. Marakesh
misalnya, memiliki 6 (enam) jalur perundingan resmi, yaitu: SBSTA 45, SBI 45, APA 1.2, COP 22, CMP12
dan CMA 1. Jalur perundingan yang baru adalah CMA. CMA ini terkait dengan perihal ratifikasi. Terkait
dengan ratifikasi ada ketentuan agar Paris Agreement bisa entry into force pada saat jumlah negara
yang meratifikasi memenuhi 55% emissions dan 55 countries. Jika persyaratan ini dipenuhi, maka Paris
Agreement akan entry into force satu bulan setelahnya. Secara formal Indonesia memang tidak
termasuk dalam CMA 1 (hanya sebagai obverser). Namun, karena sebelum COP 22 di Marrakech yang
lalu hanya sekitar 80 negara yang meratifikasi, diputuskan bahwa CMA 1 itu akhirnya hanya akan dibuka,
untuk kemudian ditutup (suspend).
INDC juga merupakan sebuah komitmen kita. INDC yang kemudian akan dijadikan menjadi NDC. NDC
akan menjadi pegangan bagi seluruh negara, karena NDC memuat kesempatan bagi negara-negara
berkembang untuk menyampaikan rencana-rencananya, khususnya mengenai emission cut yang terikat
secara internasional. Jika NDC Indonesia sudah bisa dinyatakan secara definite, maka itu bisa menjadi
satu menu untuk UNFCCC mengalokasi dana-dana yang tersedia. Dana-dana Adaptation Fund akan
diutamakan bagi negara-negara yang membutuhkannya, khususnya negara berkembang dan most
vulnerable. Kalau itu NDC Indonesia bisa didaftarkan sebagai yang kredibel dan mengikuti proses-proses
yang sebaik-baiknya di negara masing-masing, maka NDC akan bisa menjadi acuan dari pelaksanaan
inisiatif-inisiatif yang ada.
Pada akhirnya upaya-upaya implementasi paska tahun 2020 harus dapat disampaikan. Seperti yang
telah diketahui, implementasi aksi paska tahun 2020 pada dasarnya dilaksanakan berdasarkan hasil dari
periode komitmen kedua dari Protokol Kyoto. Pada kenyataannya sampai dengan saat ini baru 71
negara yang telah menerima dan meratifikasi the Doha Amendment, yang sebenarnya merupakan legal
basis dari implementation periode kedua dari Protokol Kyoto.
Oleh karena itu, salah satu posisi Indonesia adalah untuk memastikan negara-negara maju, bersama
dengan negara-negara berkembang yang lain, mendorong negara maju untuk memenuhi persyaratan
EIF dengan penerimaan dan ratifikasi oleh 144 negara pihak pada Protokol Kyoto. Kenyataan bahwa
peran masing-masing Pihak di bawahPersetujuan Paris, tidak akan sama dengan apa yang selama ini
diterapkan di bawah UNFCCC dan Protokol Kyoto, memerlukan adanya kejelasan aturan main sebelum
implementasi efektif dapat dijalankan. Bagi negara berkembang seperti Indonesia, aturan mengenai
NDC, mitigasi dan transparansi merupakan hal penting, mengingat selama ini negara berkembang tidak
memiliki target dan kewajiban, sementara di bahwa Persetujuan Paris semua Para Pihak memiliki target
dan kewajibannya. Sebagaimana dipahami untuk ketiganya akan ada perbedaan titik awal, namun
diharapkan pada waktu tertentu semua Para Pihak akan melakukan implementasi yang sama. Transisi
yang baik merupakan kunci dari kesuksesan Persetujuan Paris dan karenanya aturan main untuk
memastikan transisi yang baik harus dapat disepakati dalam waktu dekat.
Means of Implementation, merupakan isu penting, terutama yang terkait dengan kejelasan pendanaan
jangka panjang, serta peran GCF, selain itu juga kejelasan teknologi dan capacity building, termasuk
bagaimana kelanjutannya di Paska 2020. High level ministerial dialogue on climate finance yang
dilaksanakan pada tanggal 16 November 2016, juga akan menjadi salah satu sinyal mengenai pendanaan
perubahan iklim. Marakesh, diharapkan dapat menghasilkan beberapa keputusan kunci. Sebagaimana
yang disampaikan mengenai isu-isu penting yang disampaikan oleh Indonesia, tentunya dari
perundingan tersebut diharapkan dapat menghasilkan keputusan-keputusan, baik di COP 22, CMP 12,
maupun CMA 1, maupun SBSTA 45, SBI 45, dan APA 1.2. Keputusan terpenting bagi Indonesia, yang
terkait MoI terutama mengenai kejelasan pendanaan, adalah dalam hal mobilisasinya untuk mendukung
negara berkembang dan pada saat yang bersamaan akan mendukung operasionalisasi efektif terkait
dengan GCF, serta berbagai mekanisme pendanaan lain di bawah COP dan CMP.
Terkait dengan capacity building, Indonesia juga mengharapkan dapat dihasilkan keputusan yang
memungkinkan untuk dilaksanakannya Paris Committee on Capacity Building, PCCB. Indonesia juga
menargetkan untuk dapat menjadi anggota dari PCCB, mengingat cukup besarnya kepentingan
Indonesia dalam hubungannya dengan kapasitas, yang dapat merata di seluruh wilayah Indonesia.
Sejalan dengan implementasi persetujuan paris di dalam negeri, ada beberapa hal yang harus disiapkan
sebelum tahun 2020, termasuk, finalisasi dari NDC, sebagai bentuk komitmen Indonesia, dalam upaya
global dan pada saat yang bersamaan, sebagai arah pembangunan nasional, yang rendah emisi gas
rumah kaca dan memiliki ketahanan terhadap dampak perubahan iklim.
NDC merupakan komponen vital, yang harus disiapkan secara seksama, dan harus disepakati oleh
sektor-sektor terkait. NDC juga harus direfleksikan dalam rencana pembangunan nasional. Target yang
disampaikan ke dunia internasional, cukup dalam bentuk penurunan emisi nasional. Sehingga
penurunan emisi untuk masing-masing sektor diatur dalam aturan yang sesuai dan mengikat pada
semua pihak di dalam negeri. Karena keputusan-keputusan Paris memberikan dampak kepada semua
Para Pihak, maka implementasinya akan memiliki implikasi yang sama sekali berbeda di Indonesia
dengan apa yang ada di luar Konvensi dan Protokol Kyoto.
Untuk itu bukan hanya dengan mitigasi, tapi juga adaptasi serta dukungan aksi berupa pendanaan,
teknologi, dan peningkatan kapasitas. Harus ada pencatatan dan pendataan dengan metodologi yang
dapat diterima, dan mencakup seluruh aksi program dan kegiatan yang ada, karenanya lembaga untuk
memastikan hal ini, dapat berjalan dengan baik, seperti merupakan suatu keharusan.
Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah memastikan pendanaan, terutama pendanaan dalam negeri
baik APBN, maupun sumber pendanaan non-publik, yang akan mendukung aksi-aksi iklim. perencanaan
pembangunan yang sejalan dengan NDC, akan mengucurkan kepastian-kepastian pendanaan yang tidak
dapat lagi bersifat sesaat melainkan harus bersifat jangka panjang, terencana dengan baik, dan
komprehensif.
Mengingat lingkup implementasi Persetujuan Paris yang sangat luas, maka diperlukan peraturan
perundangan yang tepat yang dapat berlaku dan mengingat semua pihak dan seluruh masyarakat
Indonesia. UU Perubahan Iklim yang bersifat multi-sektor dan mencakup wilayah NKRI, menjadi penting
untuk memastikan kekuatan hukum dari implementasi Persetujuan Paris, dimana berbagai pihak,
termasuk, terutama, pemerintah daerah, akademisi, pihak swasta dan masyarakat menjadi hal yang
penting dalam implementasi yang efektif. Koordinasi akan aksi ini secara menyeluruh mrupakan hal yang
mutlak. Apa yang disampaikan oleh Indonesia sebagai Pihak yang meratifikasi Persetujuan Paris,
tentunya akan merefleksikan upaya Indonesia, sebagai satu kesatuan yang utuh. Kelembagaan untuk
memastikan koordinasi dan juga untuk memastikaan implementasi oleh pihak-pihak terkait, juga
merupakan kunci. Terkait dengan proses keseluruhan ini, maka lembaga yang dimaksud harus memiliki
otoritas serta sumberdaya yang prima, sehingga perannya dapat berjalan maksimal, akuntabel, dan
transparan. Hal yang juga penting adalah, yang memainkan peran sebenarnya bukan pemerintah, tapi
masyarakat.
2.1 Isu-isu yang muncul di dalam diskusi Beberapa isu yang muncul terkait dengan topik konstelasi politik dari diskusi ini adalah:
1. Pemerintah Indonesia cukup memiliki komitmen terkait dengan isu perubahan iklim, terlepas dari
proses ratifikasi yang tidak secepat yang diharapkan. Salah satu bentuk komitmen yang dapat dilihat
adalah Presiden Jokowi masih memutuskan untuk memiliki Utusan Khusus yang bergerak khusus di
bidang Perubahan Iklim. Walau demikian, isu yang juga diangkat adalah terkait dengan kesiapan
Indonesia sendiri, misalnya terkait dengan penanganan bencana, dan bagaimana Indonesia melihat
adaptasi sebagai isu yang penting. Saat ini hal yang masih dibicarakan adalah persoalan seputar gambut
dan kebakaran, namun perihal banjir belum dibicarakan. Dibentuknya BRG merupakan salah satu
inisiatif yang positif, dan diharapkan BRG dapat memperlihatkan kemajuan yang positif di dalam
beberapa bulan ke depan.
2. Konteks nasional akan merefleksikan apa yang ada di global. Ada usulan bahwa sebaiknya 70%
pembiayaan infrastruktur itu, dialokasikan kepada infrastruktur untuk ketangguhan, dimana perubahan
iklim menjadi pertimbangan di dalamnya. Sayangnya, hal ini tidak muncul. Itu sebabnya, pertanyaan
mengenai sejauh mana komitmen Indonesia, di tingkat nasional, terhadap perubahan iklim menjadi
valid.
3. Jika kepentingan Indonesia di dalam konteks global adalah pendaaan, maka bagaimana Indonesia
membangun strategi-strategi yang ada di dalam pendanaan nasional, itu seharusnya dibangun
berdasarkan arsitektur yang utuh dan menyeluruh. Karena perubahan iklim itu seringkali ditanggapi
dengan keliru. Hal ini merupakan peluang bagi Indonesia, di mana pola pembangunan Indonesia bisa
menyeluruh, yang diterjemahkan untuk bisa mendapatkan koordinasi antar kementerian. Misalnya
hitungan kasar kami, investasi untuk adaptasi di tahun 2016 yang sudah terdapat di dalam anggaran itu
lebih dari 100 triliun. Tapi pertanyaannya apakah kemudian 100 T itu, itu benar-benar membangun
suatu ketangguhan wilayah atau tidak, atau kembali, pembangunannya ini hanyalah business as usual
(BAU), dengan tempelan perubahan iklim. Tahun 2013 kalau tidak salah, Amerika kalau tidak salah
sudah mengumumkan ke seluruh dunia. Bahwa bantuan Amerika, harus selalu dikaitkan dengan
adaptasi dan kebencanaan, selalu dikaitkan dengan kedua hal itu, di dokumen besarnya. Di Indonesia
pun akhirnya terkena dengan hal itu, pola pembangunan di Amerika harus selalu terkait dengan adaptasi
dan kebencanaan agar kemudian negara berkembang bisa membantu. Tentu ini pasti ada politiknya,
bantuan itu makin lama akan semakin kecil. Karena diasumsikan negara berkembang itu akan semakin
tangguh.
4. Indonesia sebaiknya tidak lagi berbicara mengenai negara maju sebagai individu negara maju. Tapi
sebagai blok pemikiran, negara-negara berkembang akan selalu merujuk kepada vulnerability, capacity,
tapi juga pada niatnya. Indonesia yang saat ini berusaha memberikan dana untuk poverty alleviation
sambil mengatasi masalah-masalah climate change, merupakan suatu tindakan yang terpuji. Misalnya
untuk memenuhi rasio elektrifikasi desa. Bagaimana dapat memberikan akses listrik ke desa, namun
pada saat yang bersamaan tidak akan memberikan dampak negatif pada climate change. Hal ini yang
harus disampaikan secara luas.
5. Pertanyaan lanjutan mengenai penyiapan infrastruktur untuk adaptasi. Bagaimana strategi
pemerintah untuk melakukan hal tersebut, serta sektor mana yang diutamakan? Serta bagaimana
pemerintah memastikan kesiapan masyarakat di lapangan? Fakta yang terjadi di lapangan adalah
dampak dari perubahan iklim sudah terjadi, dan masyarakat yang terkena dampak langsung itu seperti
petani, terutama petani di wilayah timur, di mana kekeringan semakin memanjang, kemudian abrasi di
wilayah pesisir itu semakin tinggi. Bagaimana dari sisi pemerintah sendiri, terutama dari sisi agrikultur,
strategi apa yang diberlakukan untuk mengatasi hal ini, dan bagaimana hubungannya dengan
kementerian yang terkait? Isu terkait dengan climate change, selalu harus bicara ke KLHK, padahal
sebenarnya masih banyak kementerian lain yang terkait. Kementerian ekonomi, seperti pertanian
misalnya. Bagaimana kementerian terkait melihat perubahan iklim ini? Apakah sudah mengintegrasikan
secara aktual adaptasi perubahan iklim, terhadap rencananya mereka sendiri, atau belum? Hal ini akan
diperhatikan oleh direktorat adaptasi dari KLHK.
6. Isu lain yang muncul adalah perihal mengenai kearifan lokal dan strategi up-scalingnya. ICCTF bekerja
sama dengan UI, untuk masyarakat di lombok timur dididik untuk menjadi petani. Masyarakat itu dididik
dan diakui cukup efektif dalam menghadapi perubahan iklim, terkait dengan tanggapan-tanggapan
efektif untuk pola tanam. Banyak negara maju yang berpikir bahwa mengatasi masalah climate change
itu tidak semata-mata dengan teknologi. Ada solusi tersendiri yang harus sesuai dengan masyarakat di
mana kegiatan tersebut diperlukan. Terkait dengan masyarakat Indonesia, local wisdom perlu
dikembangkan dan dipublikasikan.
3 Pendanaan Perubahan Iklim melalui Green Climate Fund (GCF) Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral (PKPPIM) memiliki komponen pendanaan
perubahan iklim dan multilateral di dalam cakupan kerjanya. Artinya, PKPPIM juga menangani
pendanaan dari lembaga-lembaga pendanaan yang non-perubahan iklim. Perubahan iklim ini menjadi
satu portfolio di PKPPIM, yang menyebabkan padatnya isu yang ditangani oleh PKPPIM. Saat ini PKPPIM
menjadi National Designated Authority (NDA) dari Green Climate Fund (GCF). Walau demikian, PKPPIM
juga menangani isu-isu terkait pendanaan perubahan iklim secara general, termasuk budget tagging.
Paris Agreement menyatakan bahwa Green Climate Fund dan Global Environment Facility (GEF), yang
merupakan operating entities dari financial mechanism di bawah Article 11 dari Konvensi, akan menjadi
operating entities dari implementasi Paris Agreement. Itu sebabnya, menjadi sangat kritikal untuk
Indonesia dapat memahami dan menggunakan Green Climate Fund secara optimal, sehingga Indonesia
dapat mengimplementasikan apa yang menjadi kesepakatan Paris.
Gambar 1 Overview dari mayoritas sumber pendanaan perubahan iklim, data terakhir 2015/6, publikasi dari climatefundsupdate.org
Gambar 1 merupakan landscape yang menunjukkan posisi Indonesia, terkait dengan Green Climate
Fund, dan juga seluruh pendanaan yang ada baik di skala nasional maupun yang internasional, di mana
Indonesia terlibat atau pun menggunakan. Posisi Green Climate Fund saat ini adalah USD 10 milyar,
walaupun di 2020 diharapkan ini bisa naik menjadi USD 100 milyar. Saat ini memang GCF dilihat sebagai
pundi pendanaan perubahan iklim yang paling besar. Namun sebenarnya, jika dibandingkan dengan
kebutuhan pendanaan, apa yang sudah ada di GCF sangat jauh dari yang dibutuhkan.
Potensi Indonesia dari estimasi awal untuk mengakses GCF, Indonesia sebenarnya berada di posisi ke-5,
dilihat dari apa yang bisa digunakan di dalam negeri, terkait dengan adaptasi dan mitigasi. Berdasarkan
angka dana potensial yang mungkin bisa di-tap oleh Indonesia, yang bisa disalurkan mencapai USD 2.7
milyar, hingga tahun 2020. Jika dibandingkan dengan negara lain, negara yang setingkat dengan
Indonesia, potensi Indonesia untuk pendanaan ini masih cukup tinggi. Perhitungan ini dilakukan
berdasarkan program-program nasional yang sudah diidentifikasi, baik di sisi adaptasi dan mitigasi.
Adalah tantangan bagi Indonesia untuk dapat men-tap kebutuhan tersebut.
Kementerian Keuangan melihat posisi climate finance dari sisi kebijakan fiskal dan makro ekonomi.
Climate finance (pendanaan perubahan iklim) berada di kebijakan fiskal, karena ini terkait dengan
kemampuan APBN yang tidak mencukupi. Kementerian Keuangan sebenarnya berupaya untuk me-
mainstream-kan pemahaman bahwa perubahan iklim itu tidak harus selamanya bersifat cost center. Ini
penting untuk dilakukan, karena seringkali muncul pemikiran kalau ada sesuatu yang baru, maka harus
langsung dialokasikan anggaran. Hal ini berimplikasi pada anggaran yang biaya atau belanjanya akan
jauh di atas penerimaan. Itu sebabnya, penting juga untuk melihat dan mengelola dengan baik,
bagaimana melakukan implementasi dan penanganan perubahan iklim dengan pendanaan dari
alternatif lain, dan tidak harus dari anggaran pemerintah. Tentu saja, kontribusi pemerintah akan tetap
tinggi di situ.
Kedua terkait dengan makro-ekonomi. Pertumbuhan ekonomi menjadi concern bagi Kementerian
Keuangan, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang, terutama dengan kondisi ekonomi dunia
sekarang yang cenderung melambat, harga komoditas juga tidak terlalu baik, yang mungkin ada harapan
untuk harga minyak naik. Tapi, komoditas lain masih sangat rendah, suku bunga juga rendah, harga
minyak juga rendah, ini adalah kondisi yang tidak ideal. Hal-hal ini kemudian menjadi perhatian, dengan
pertanyaan apakah dengan melaksankan aksi-aksi perubahan iklim, dalam bentuk apa pun, baik
commercial project atau social, bisa mendorong pemberdayaan masyarakat. Apakah pemberdayaan
masyarakat itu bisa mendorong kepada pertumbuhan ekonomi secara bersamaan, sehingga bisa
diterapkan sebagai komitmen bersama terkait dengan perubahan iklim.
Beberapa hal di kementerian sebenarnya sudah dicoba untuk dilakukan, terutama di kementerian lain,
seperti dengan KHLK dan Bappenas. Kementerian Keuangan juga ada upaya untuk ke daerah, untuk
memasang apa yang telah diciptakan, dan bagaimana economic value-nya bisa ditingkatkan, dengan
cara meningkatkan pemahaman kepada masyarakat atau pun membangun di sisi infrastrukturnya. Pada
saat yang bersamaan, isu climate finance atau climate change, akan menjadi isu utama yang diusung.
3.1 Keberadaan NDA GCF di Indonesia Sebelumnya, pada saat DNPI masih ada, NDA GCF adalah Bapak Rachmat Witoelar, sesuai dengan
penunjukkan atau pun penugasan yang diberikan sebelumnya. Namun, dengan adanya kebijakan baru,
keputusan yang diambil berdasarkan dari diskusi pimimpinan antara Kemenkeu dan KLHK, diputuskan
untuk membentuk NDA sementara. Alasan dari pembentukan ini dikarenakan oleh adanya potensi dana
yang besar, dengan estimasi kasar di angka USD 2,7 milyar.
Apa yang menjadi peran dari NDA untuk GCF? Peran yang diharapkan dari NDA adalah untuk dapat
melakukan strategic oversight, yang kemudian dijabarkan ke dalam country programme. Country
programme ini merupakan alignment antara prioritas nasional, seperti NDC, NAMAs, RAD (Rencana Aksi
Daerah), RAN (Rencana Aksi Nasional), dan juga kebijakan lainnya yang berhubungan dengan perubahan
iklim. Ini yang sebenarnya menjadi dasar untuk menyusun country programme. Hal ini diperlukan agar
project-project yang akan diajukan kepada GCF, yang memerlukan persetujuan dari NDA, tidak
melenceng jauh dari ini. Walaupun proposal yang diajukan adalah kegiatan dalam bentuk project,
namun kegiatan tersebut harus berada di dalam kerangka country programme. Dalam penyusunan
country programme ini, NDA GCF menyatakan akan melibatkan kementerian-kementerian terkait,
termasuk ke dalamya adalah masyarakat non-pemerintah, yang akan disertakan untuk konsultasi. Draft
awal dari country programme sudah tersedia dan ada di Kementerian Keuangan, dan akan
dikembangkan kembali.
Gambar 2 Concept note dari Indonesia's Country Programme
Gambar 2 menunjukkan concept note yang awal, area kerjanya, kebutuhan, yang disusun berdasarkan
masukan dari kementerian dan lembaga yang relevan, terkait dengan lima area yang diajukan sebagai
country programme Indonesia. Namun demikian, dokumen ini masih memiliki potensi untuk perubahan.
Artinya masih ada area-area yang dapat dipertimbangkan untuk dimasukkan, selain melihat dari arah
GCF itu sendiri.
Peran NDA yang kedua adalah, sebagai wadah untuk dilakukannya stakeholders consultation. NDA ini
dianggap sebagai perpanjangan tangan dari GCF, menjadi penghubung baik dari Pemerintah ke GCF
maupun GCF ke Pemerintah. Itu sebabnya, peran dari NDA menjadi kritikal, dalam rangka agar
stakeholders di Indonesia dapat memahami dan mendapatkan informasi yang cukup dari NDA, baik dari
sisi Pemerintah, dari sisi CSO, atau dari sisi swasta.
NDA juga memiliki peran untuk mengeluarkan No-Objection Letter (NOL). Project yang diajukan bisa
pada skala komersial, namun, bisa juga program-program yang sifatnya lebih kepada community based.
Salah satu contoh, Kementerian Pertanian sudah mengajukan untuk petani atau pekebun kegiatan di
wilayah Indonesia Timur, untuk diajukan kepada GCF.
3.2 Akreditasi, pengajuan proposal, dan kriteria investasi GCF Akreditasi memungkinkan entitas-entitas yang terakreditasi untuk mengakses langsung pendanaan dari
GCF. Entitas terakreditasi bisa berupa perusahaan, maupun lembaga atau yayasan, yang memiliki track
record. Proses akreditasi meliputi beberapa tahapan: akreditasi tahap 1 merupakan tahap dimana
dilakukan completeness check. Tahap 2, merupakan tahapan dimana review dan keputusan dari Board
dilaksanakan. Tahap yang ketiga adalah legal arrangement.
Gambar 3 Tahapan proses akreditasi di GCF
Prosesnya sebenarnya sudah dimulai ketika aplikasi untuk akreditasi diterima oleh Sekretariat GCF.
Sekretariat GCF tidak akan menerima aplikasi tersebut, jika tidak ada persetujuan dari NDA negara
terkait. Bagi NDA di Indonesia, yang saat ini berada di Kementerian Keuangan, proses ini tidak dapat
dilakukan sendiri. Kementerian Keuangan membutuhkan kementerian dan lembaga terkait yang lain,
terutama untuk membantu mengkonfirmasikan atau pun menyampaikan, atau memasukkan input,
bahwa ini sebenarnya menjadi prioritas utama. Mandat yang juga didapatkan dari pimpinan di
Kementerian Keuangan adalah, agar semua proses terkait dapat berlangsung secara transparan. Itu
sebabnya, tidak mungkin bagi BKF untuk memberikan NOL untuk akreditasi bagi institusi tertentu saja.
Itu sebabnya penting untuk NDA dalam menyusun kriteria lembaga yang dapat diakreditasi. Kriteria ini
sedang dicoba untuk dikembangkan, dan nanti akan dilihat strukturnya ke depan.
Gambar 4 menggambarkan struktur dari akreditasi: termasuk track record institusi paling tidak 3 tahun
ke belakang, kemudian project size yang dipilih (mulai yang paling kecil USD 10 juta, sampai yang kelas A
itu yang sampai 250 juta).
Gambar 4 Persyaratan akreditasi GCF
Gambar 5 merupakan persyaratan terkait dengan fiduciary standards dan environmental and social
safeguards yang harus dipenuhi oleh entitas yang akan mengajukan akreditasi.
Gambar 5 Basic Fiduciary Standard dan Environmental and Social Safeguard (ESS)
Gambar 6 menunjukkan proses penerbitan NOL untuk pengajuan proposal. Pada awalnya diminta
concept note, namun yang paling dibutuhkan adalah proposal, sedangkan concept note bersifat
voluntary. Jika suatu entitas mengajukan proposal, maka proposal ini yang akan dikirimkan ke
Sekretariat GCF dan kemudian akan di-review oleh Independent Technical Advisory Panel (ITAP).
Berdasarkan rekomendasi dari ITAP, proposal ini kemudian akan di bawa ke Board untuk disetujui. Jika
proposal tersebut disetujui, maka akan dilanjutkan dengan proses penyusunan business contract-nya,
sebagai bentuk legal arrangement-nya. Posisi NDA adalah pada tahap memberikan No-Objection Letter
(NOL).
Gambar 6 Proses pengajuan proposal kegiatan kepada GCF
Ada proses lainnya di dalam sebelum penyusunan proposal, yaitu pada saat masih menyusun concept
note. Contohnya adalah, saat ini ada satu lembaga internasional, yang mengajukan pendanaan dan
bermitra dengan salah satu K/L Indonesia, yang kemudian meminta letter of support dari NDA. NDA
dalam hal ini tidak memiliki kapasitas untuk memberikan letter of support, karena project tersebut
masih dalam proses inisiasi. NDA GCF menyatakan bahwa, jika pada waktu yang akan datang, akan ada
dari pihak kementerian lain, atau dari CSO dan NGO, yang ingin mengajukan proposal dan bekerja sama
dengan pihak internasional, sebaiknya pada tahap awal, pihak tersebut berkomunikasi dengan NDA dan
pihak-pihak terkait. Untuk beberapa lembaga asing yang membutuhkan letter of support sebagai bentuk
dukungan awal agar lembaga asing tersebut dapat beroperasi di Indonesia, maka yang seharusnya
memberikan itu adalah kementerian terkait, dengan siapa lembaga asing tersebut akan bermitra.
Gambar 7 Area-area pembiayaan GCF untuk kegiatan mitigasi dan adaptasi
Gambar 7 adalah investment criteria yang ditetapkan oleh GCF. Pertimbangan pertama yang
diberlakukan terkait dengan investasi ini adalah dampak yang akan dihasilkan, selain dari memenuhi
prioritas negara.
Gambar 8 Readiness GCF untuk NDA Indonesia 2016
3.3 Isu-isu yang muncul di dalam diskusi Beberapa pertanyaan yang muncul di dalam diskusi adalah:
1. Prioritas Pemerintah pada saat ini ada di area mana. Contohnya, bagi masyarakat yang tinggal di
pulau-pulau kecil, apakah masyarakat miskin yang tinggal di pulau-pulau kecil tersebut, yang terkena
dampak climate change, menjadi prioritas? Terutama karena kemampuan mereka mereka untuk
beradaptasi sangat rendah, dan ancaman kenaikan muka air laut memberikan dampak bagi mereka yang
tinggal di pulau-pulau kecil. Akses terhadap listrik bagi masyarakat yang tinggal di pulau-pulau kecil di
Indonesia juga menjadi masalah. Prioritas pemerintah terkait pendanaan memang tidak ada yang
spesifik. Kementerian Keuangan tidak dalam posisi untuk mengatakan bahwa pendanaan harus mengalir
ke project A atau project B. Selama kegiatan tersebut sudah masuk ke Bappenas, masuk ke prioritas
nasional, kemudian mengajukan proposal dan anggaran secara umum; jika itu sudah dipenuhi, maka
anggarannya sudah bisa di-approve. Mekanisme yang umumnya terjadi di dalam Pemerintah adalah
karena dana APBN terbatas, maka diberlakukan pagu indikatif, dan itu tidak mungkin untuk dirubah.
Kementerian Keuangan memiliki mekanisme yang disebut dengan budget tagging, termasuk di
dalamnya adalah isu tematik climate change dan lingkungan, mencakup adaptasi dan mitigasi. Ini juga
dapat dilihat oleh publik, di mana sistem penganggaran saat ini sangat transparan.
Tahun depan Kementerian Keuangan berencana untuk mencoba mekanisme budget tagging ini dengan
daerah. Namun kesulitannya dengan daerah adalah cara penganggaran daerah antar propinsi itu
berbeda, dinasnya juga beda. Dinas perkebunan dan kehutanan di satu propinsi bisa jadi pertanian dan
perkebunan di propinsi yang lain. Hal ini memiliki dampak bahwa pekerjaan yang ada kadang-kadang
tercampur satu sama yang lain.
2. Terkait dengan pendanaan dari Green Climate Fund (GCF). Green Climate Fund bisa diakses oleh
swasta dan juga oleh NGO yang ingin membangun kegiatan-kegiatan yang bersifat non-komersial. Dalam
konteks tersebut, apakah ada prioritas dari pemerintah untuk memastikan bahwa dana ini akan
digunakan untuk masyarakat yang disebutkan di atas?
Dana GCF ini sebenarnya sangat concern dengan prioritas pemerintah. Jadi, Pemerintah yang akan
menyusun apakah area tertentu menjadi area yang diinginkan oleh Indonesia atau tidak. Dalam
implementasinya, Pemerintah bisa memanfaatkan tetapi swasta juga bisa memanfaatkan. Di dalam
assessment proyek atau programmnya nanti bisa dilihat, apakah ada impact terhadap marginal group,
misalnya, atau tidak. Jika masyarakatnya ingin langsung mendapatkan dana ini, bisa dilakukan lewat
berbagai macam cara, namun tetap harus melalui accredited entities.
3. Jika pendanaan GCF memang tersedia untuk masyarakat, apakah lembaga masyarakat atau swasta
tersebut, ketika ingin mengakses pendanaan GCF ini, harus melalui kementerian tertentu dan apakah
harus sesuai dengan RPJMD? Sejauh mana kementerian dan pemda mengetahui mengenai keberadaan
GCF ini? Ini terkait dengan fakta bahwa Indonesia malah belum dapat mengakses dana GCF sama sekali,
apakah memang ada isu dengan Kementerian, dan juga terhadap Pemda? Bagaimana proses yang ada
dapat memastikan bahwa pelaku di lapangan, ikut terlibat. Apakah GCF bisa digunakan sebagai subsidi
untuk anggaran yang disusun untuk penggunaan dana desa, mengingat banyak sekali desa yang
sebenarnya sangat membutuhkan program-program terkait dengan climate change ini.
Siapa pun sebenarnya boleh mengakses dana GCF, asalkan lembaga tersebut terakreditasi. Jadi, jika ada
satu lembaga swasta atau masyarakat yang ingin mengakses dana GCF, yang harus dilakukan pertama
kali adalah siapa yang akan menjadi mitranya, atau accredited entities yang mana. Indonesia masih
belum memiliki accredited entities1.
4. Apakah untuk kegiatan yang kecil-kecil misalnya seperti kegiatan mikro, apakah mungkin untuk
mendapatkan grant dalam bentuk loan?
Pendanaan GCF yang diakses, apakah itu dalam bentuk grant atau loan, akan sangat tergantung dengan
sifat alami project-nya. Kalau memang itu lebih kepada social programme, atau community
empowerment programme, grant merupakan instrumen yang lebih tepat dalam hal ini, bukan loan.
Pemda juga bisa ikut di dalam mengakses pendanaan ini. Misalnya, dalam kegiatan yang akan diajukan
oleh Kementerian Pertanian, mereka akan mengajak Pemda NTT, yang akan menggunakan BUMD dan
bank daerah-nya, sebagai alat untuk men-tap pendanaannya dengan cara melengkapi SOP
pendanaannya. Hal itu sangat memungkinkan, selama memenuhi kriteria yang telah ditetapkan oleh
GCF.
5. Terkait dengan country programme atau country priorities untuk Indonesia yang diajukan kepada GCF.
Saat ini yang tertera di dalam country programme terkait dengan kategorisasi adaptasi, adalah kegiatan
adaptasi yang bisa memberikan co-benefit untuk kegiatan mitigasi. Sementara kebutuhan Indonesia
untuk kegiatan adaptasi bukanlah yang kegiatan adaptasi yang memberikan co-benefit terhadap
mitigasi. Apakah RAN API tidak menjadi satu arahan untuk penentuan country programme untuk
Indonesia, terutama untuk kategori adaptasi?
NDA GCF saat ini masih menerima masukan terkait dengan country programme, termasuk bagaimana
country programme harus inline dengan RPJMD, termasuk RAN API. Walaupun demikian, nantinya akan
ada kebijakan yang mungkin tidak dapat memuaskan semua pihak. Ada prioritas terkait mana yang
harus masuk dulu dan mana yang tidak.
6. GCF memiliki target untuk tercapainya balance antara adaptasi dan mitigasi. Apakah GCF juga
memiliki target untuk balance melalui dana dari lembaga-lembaga multilateral lainnya, dan juga yang
dari National Implementing Entities? Bagaimana pun juga bagi negara-negara tertentu akan sulit sekali
untuk mendapatkan dana GCF melalui multilateral implementing entities. Kunci dari GCF adalah
mendapatkan akreditasi. Mengakses dana GCF harus lewat lembaga yang terakreditasi; lokal, nasional,
maupun internasional. Itu sebabnya, Indonesia sedang mengupayakan untuk mendapatkan akreditasi.
6. Bagaimana koordinasi antara Kementerian Keuangan dan Kementerian Perekonomian terkait dengan
TLFF (Tropical Landscape Finance Facility) dan bagaimana pelaksanaannya. Walaupun TLFF merupakan
1 Diskusi ini dilakukan sebelum GCF Board Meeting 15 dilakukan. Sehingga, status Indonesia pada saat itu belum
memiliki accredited entity.
pendanaan yang berasal dari swasta untuk swasta, namun Sekretariat TLFF akan membutuhkan
dukungan dari Pemerintah.
Pendanaan TLFF dinilai masih belum jelas terkait dengan bagaimana mekanisme pendanaan yang akan
diberlakukan. Bagi Kementerian Keuangan, ini bukan masalah swasta memberikan pendanaan kepada
masyarakat kecil, namun lebih kepada peran intermediary yang ada, siapa yang akan tanggung jawab
kalau ada yang di-post dan siapa yang akan ditugaskan? Hal ini perlu untuk ditinjau kembali, agar tidak
menimbulkan konsekuensi pada pendanaan APBN di kemudian hari.
4 Pendanaan perubahan iklim melalui Adaptation Fund (AF) Terkait dengan isu Adaptation Fund, KLHK masih dalam tahap awal untuk memulai NDA Adaptation
Fund. Sehingga, belum ada mekanisme seperti yang dimiliki oleh NDA untuk GCF di Indonesia. Statusnya
saat ini adalah KLHK berupaya untuk meneruskan apa yang menjadi tugas dari NDA AF ketika masih
ditangani oleh DNPI. Hal lainnya adalah saat ini Indonesia telah memiliki accredited entity untuk
Adaptation Fund, yaitu Kemitraan. Saat ini yang menjadi fokus dari KLHK adalah penyusunan RPP
mengenai instrumen ekonomi untuk lingkungan dan perubahan iklim. Terkait dengan Adaptation Fund
sendiri, NDA AF, KHLK, belum membuat semacam aturan baku untuk diterapkan di dalam negeri.
Indonesia sebenarnya telah mendapatkan pendanaan dari Adaptation Fund melalui WFP (World Food
Programme). Walau demikian, WFP ternyata mengalami down-sizing sehingga tidak dapat melanjutkan
proyek tersebut. Adaptation Fund memiliki ketentuan berupa cap senilai yang USD 10 juta, sedangkan
WFP telah mengajukan sekitar USD 6 juta, untuk kegiatan di Lombok.
Secara garis besar, mekanisme dari Adaptation Fund hampir sama dengan GCF, di mana sistem
menggunakan implementing entities untuk mengakses dana tersebut, menjadi keunikan tersendiri.
Kemitraan sebagai national implementing entities Indonesia untuk Adaptation Fund, akan mengajukan
proposal terkait dengan kegiatan-kegiatan adaptasi yang mungkin dilakukan di Indonesia. Saat ini,
Kemitraan sebenarnya sedang dalam proses pengajuan pendanaan tersebut.
Adaptasi sendiri memiliki cakupan yang luas di seluruh Indonesia. Jadi, memang perlu disusun
mekanismenya seperti apa. Prioritas memang sebaiknya mengacu pada RPJMN Indonesia, karena itu lah
yang menjadi arahan nasional untuk pembangunan nasional. KLHK mengharapkan tersedianya data iklim
nasional yang bisa dimanfaatkan, di mana Indonesia memprogramkan perencanaan pembangunan ke
depannya, berdasarkan apa yang memang dibutuhkan.
4.1 Isu-isu yang muncul di dalam diskusi Beberapa pertanyaan yang muncul di sesi ini adalah sebagai berikut:
1. Terkait dengan isu pendanaan perubahan iklim baik mitigasi maupun adaptasi, pasti akan selalu
terkait dengan Means of Implementation (MoI). Bagi negara-negara pemberi bantuan, sekaligus dalam
konteks transparency of action sebagaimana yang ada di dalam Paris Agreement, yang ingin dilihat
adalah hasil atau outcome atau result dari aksi-aksi mitigasi maupun adaptasi yang didukung tersebut.
Baik itu jumlah emisi yang diturunkan untuk mitigasi, atau pun tingkat kerentanan yang berkurang untuk
adaptasi. Apakah saat ini di KLHK sudah disiapkan instrumen untuk transparansi aksi mitigasi atau
adaptasi perubahan iklim, serta jenis MoI yang diberikan, baik pendanaan maupun peningkatan
kapasitas?
2. Adaptation Fund merupakan pendanaan yang dapat digunakan untuk mendanai kegiatan-kegiatan
yang diarahkan kepada concrete projects, dan tidak diarahkan untuk kajian. Jadi sebenarnya untuk
menjawab kebutuhan negara berkembang agar dapat memiliki ketangguhan yang lebih cepat, itu
pertama. Kegiatan-kegiatan ini juga harus dilaksanakan bekerja sama dengan kementerian atau
lembaga, tidak bisa pemerintah daerah. Tantangannya adalah untuk kegiatan adaptasi di satu daerah,
seringkali harus melibatkan kerja sama dengan beberapa kementerian.
3. Terkait dengan pusat informasi yang dapat menyampaikan dan meletakkan kemudian diukur dananya
berapa. Karena apa, karena korelasinya dengan apa yang diperjuangkan di internasional. Di tingkat
internasional, konteks yang digunakan selalu dalam MoI, salah satunya adalah pendanaan. Namun, yang
kita perlu ketahui adalah berapa banyak potensi pendanaan yang ada dan dapat menurunkan
kerentanan atau meningkatkan ketangguhan sampai berapa banyak? Hal ini menyebabkan urgensi
terkait dengan kebutuhan instrumen dan sistem yang tepat untuk hal ini. Bukan tidak mungkin ketika
dikumpulkan, ternyata dana yang tersedia atau dimintakan, ternyata melebihi dari yang dibutuhkan,
yang kemudian akan memicu munculnya masalah interest dan efisiensi. Adaptasi merupakan konsep
yang dibangun berdasarkan kerentanan, kajian kerentanan, kemudian sektor mana saja yang perlu
diprioritaskan. Pertanyaannya adalah apakah para pelaku adaptasi taat pada prinsip seperti itu?
4. Kemitraan saat ini telah mengirimkan concept note pada tanggal 1 Agustus 2016, yang kemudian
mendapatkan balasan dari Adaptation Fund. Proses yang harus dijalani diakui cukup panjang dan
complicated. Adaptation Fund memiliki format tersendiri untuk pengajuan concept note. Berdasarkan
submisi concept note yang telah dilakukan, Kemitraan kemudian mendapatkan feedback untuk
ditindaklanjuti. Kemitraan berencana untuk mengakses dana sekitar USD 4 juta, dengan mengambil
tema membangun ketangguhan di kota pesisir. Lokasi dari proyek yang akan diajukan adalah di Jawa
Tengah, tepatnya di Demak, Pekalongan dan Jepara. Proyek tersebut direncanakan untuk dimulai pada
Januari 2017, namun karena hingga bulan November 2016 concept note masih belum disetujui,
sedangkan untuk implementasi proyek diperlukan full proposal, maka ada kemungkinan proyek tersebut
diundur pelaksanaannya. Proyek ini direncanakan akan dilakukan dalam jangka waktu 36 bulan.
5. Terkait dengan isu pendanaan adaptasi perubahan iklim yang masih menjadi project-based, ternyata
memberikan dampak yang tidak baik pada keberlanjutan kegiatan. Adaptasi perubahan iklim juga
menyangkut gaya hidup dari orang-orang di mana kegiatan adaptasi tersebut dilakukan, yang
memerlukan waktu yang cukup lama yang seharusnya mendapatkan pendanaan yang bersifat multi-
year, dan bukan anggaran tahunan. Apakah apa mekanisme untuk proyek-proyek adaptasi ini tidak lagi
dibiayai secara tahunan, namun per lima tahun? Mungkin kah di dalam mekanisme tersebut untuk juga
melibatkan modal sosial di masyarakat dan juga kearifan lokal, sehingga masyarakat memiliki perspektif
yang berubah? Atau adakah cara lain untuk mendanai kegiatan-kegiatan adaptasi? Jika ada, bagaimana
caranya?
Berhadapan dengan upaya-upaya adaptasi perubahan iklim itu berbeda dengan upaya-upaya mitigasi
dan tidak bisa disamakan metodenya. Adaptasi akan lebih banyak pada masalah kemasyarakatan atau
penjangkauan orang. UNFCCC sendiri memberikan pendekatan bahwa adaptasi itu mencakup metode
untuk bertahan/survive dari orang atau sekelompok orang. Dengan memiliki perspektif seperti ini,
seharusnya sudah dapat diperhitungkan berapa kebutuhan pendanaan untuk adaptasi.
Terkait dengan sistem registry, KLHK telah menyusun sistem ini yang disebut dengan Sistem Registry
Nasional (SRN). Tujuan dari diluncurkannya SRN ini adalah untuk mengetahui, kira-kira upaya terkait
perubahan iklim apa saja yang telah dilakukan, dan berapa dana yang sudah dikucurkan, baik untuk
kegiatan adaptasi maupun mitigasi, baik yang berasal dari APBD maupun dari APBN, atau pun dari dana
luar. SRN ini juga telah dikaitkan dengan public registry yang ada di UNFCCC. Ke depannya diharapkan
KLHK juga dapat memiliki basis yang kuat terkait dengan pencapaian dan juga upaya-upaya pendanaan.
Sistem ini juga memungkinkan untuk Indonesia dapat melihat gap yang muncul antara kebutuhan dan
pasokan dana.
5 Pendanaan perubahan iklim dengan menggunakan mekanisme pasar Private sector dalam kaitannya dengan pendanaan perubahan iklim, bisa melakukan banyak hal. South
Pole di Swiss misalnya, mengelola dana pemerintah untuk loan guarantee dan credit guarantee. Bagi
private sector yang mau ekspansi, bisa mendapatkan bantuan perbankan, namun, mereka mendapatkan
jaminan dari Pemerintah untuk pinjaman mereka. Skema ini sudah dijalankan bertahun-tahun.
Di Indonesia, South Pole bekerja sama dengan investor, untuk investasi di energi sekitar 200 MW, senilai
kira-kira USD 500 juta. Pemerintah sama sekali tidak perlu berperan di sini. Dari investor tersebut akan
ada satu pihak yang bisa berpengaruh ke local community, karena investor tersebut bisa menyediakan
sebagian dari dividen, untuk kegiatan-kegiatan yang terkait dengan lingkungan, sosial, dan lain
sebagainya. Jadi, komunitas yang berada di lokasi di mana project tersebut akan dibangun, akan
mendapatkan pendanaan yang cukup besar. Targetnya adalah dari seluruh project tersebut akan
tersedia pendanaan sekitar USD 25 juta/tahun. Pendanaan ini mungkin dapat digunakan untuk
menyelesaikan kesulitan keberlanjutan pendanaan yang dialami oleh masyarakat.
5.1 Mekanisme pasar Jika kita ingin mendapatkan gambaran terkait dengan hal-hal yang akan dilakukan untuk menurunkan
emisi gas rumah kaca atau untuk meng-address perubahan iklim, maka ada 4 pilihan yang tersedia.
Pertama adalah bahwa Pemerintah berinventasi secara langsung di infrastruktur, ada juga menerapkan
market based mechanism, atau juga mengeluarkan regulasi yang berhubungan dengan command and
control, dan ada juga yang sifatnya voluntary. Pada saat berbicara tentang market based mechanism,
yang dibicarakan sebenarnya adalah hal-hal yang terkait dengan emissions trading, perdagangan emisi,
dan juga pajak. Kalau di perdagangan emisi, ada yang menyangkut baseline dan credit serta cap and
trade. Sedangkan yang terkait dengan pajak karbon (carbon tax), terdapat pajak karbon yang dikenakan
pada konten karbon atau emisinya, atau pajak terkait dengan konten energi atau volumenya.
Per definisi, mekanisme pasar karbon sebenarnya sama dengan hukum supply dan demand, yang
menentukan jumlah dan harga dari satu komoditas yang ditawarkan di pasar. Selama ini terdapat 2
pendekatan pasar, pendekatan yang terkait dengan emisi, di mana kita bisa membatasi jumlah
emisinya, sehingga si pengemisi bisa membeli dan menjual ijin untuk menghasilkan emisi tersebut.
Dalam hal ini juga bisa jumlah emisi dibatasi atau bisa juga ditentukan berapa biaya yang bisa
dibayarkan oleh penghasil emisi pada saat mereka mengemisikan, yang biasanya akan dikaitkan dengan
pajaknya. Keduanya memiliki kesamaan, di mana terdapat harga emisi.
Ada juga mekanisme yang merupakan hybrid antara keduanya, di mana mekanisme tersebut dapat
dikategorikan sebagai carbon trade, dengan menetapkan ceiling price, maximum price, harga maksimum
yang diijinkan untuk mendapatkan ijin tambahan, atau harga dasar yang bisa digunakan oleh si pembeli
ijin untuk membeli. Ini bisa dilakukan seperti di penggunaan listri, di mana pada jam-jam tertentu, harga
listrik bisa dinaikkan, atau kita menggunakan mengkonsumsi listrik misalnya berapa kWh per bulan.
Model-model seperti ini bisa diberlakukan di sini.
Pada dasarnya semuanya akan ditentukan dari bagaimana menentukan harga dasar yang akan
ditetapkan untuk satu komoditas, dalam hal ini ijin emisi. Harga dasar dapat ditentukan agak tinggi pada
saat jumlah ijin untuk mengemisikan tersebut rendah. Jika harganya tinggi, maka orang akan dituntut
untuk bekerja dengan lebih efisien. Hal ini memungkinka orang untuk berbuat lebih banyak untuk
menurunkan emisinya, karena memiliki potential saving.
Terkait dengan di mana pajak emisi akan diberlakukan, maka upstream dan downstream akan menjadi
pertanyaan. Apakah pajak emisi akan ditetapkan di hulu, seperti apa pajak tersebut akan diterapkan?
Jika pajak diterapkan di hulu, maka harga produksi akan semakin tinggi, sehingga orang akan terdorong
untuk melakukan produksi dengan lebih efisien.
Jika pajak emisi diterapkan di downstream, maka pajak emisi tersebut akan diterapkan di tingkat
pengguna. Eropa misalnya memiliki pajak karbon untuk kendaraan, bahan bakar. Di beberapa negara,
revenue yang didapatkan dari pajak atau pun untuk carbon market, biasanya digunakan untuk berbagai
hal yang terkait dengan upaya mitigasi emisi. Swiss memiliki mekanisme yang disebut dengan
Klimarappen. Klimarappen menerapkan bahwa dari setiap penjualan 1 L bensin, akan dipungut 1
rappen, yang senilai dengan 1 sen. Uang ini digunakan untuk membeli carbon credit untuk membantu
pengurangan emisi. Jadi, revenue dapat digunakan untuk berbagai hal yang terkait dengan penurunan
emisi. Di Indonesia, mekanisme yang serupa adalah adanya pungutan untuk sawit, untuk CPO, yang
dikembalikan ke sektornya.
Hal-hal yang terpenting mengenai mekanisme pasar adalah keberadaan beberapa hal berikut ini,
sehingga pasarnya dapat bekerja dengan baik dan bisa memberikan integritas ekonomi dan lingkungan.
Hal-hal tersebut adalah segala sesuatu yang memungkinkan untuk dilakukannya pengukuran,
measurement dan monitoring. Measurement harus dapat bekerja dengan baik. Kemudian ada
transparency. Menyertai komponen measurement, harus juga melibatkan verifikasi, akuntabilitas,
fungibilitas, kemudian ada juga konsistensi. Sehingga, saat berbicara mengenai EU ETS di Eropa, maka
hal-hal tersebut sudah dibuat dengan aturan yang jelas, akuntabel, dan juga konsisten di dalam
penerapannya. Hal ini sangat dipentingkan saat berbicara mengenai mekanisme pasar. Pada akhirnya,
yang ingin dipastikan oleh orang lain terkait dengan pasar karbon adalah orang ingin melihat bahwa jika
yang dibeli adalah 1 ton karbon, maka emisi yang diturunkan juga sebesar 1 ton karbon.
Gambar 9 Aliran rantai produksi yang memungkinkan untuk penerapan pajak karbon
Mengambil contoh tentang Pasal 7 di UU No. 30 tahun 2007,di mana disebutkan bahwa harga energi
disesuaikan dengan harga keekonomian, di mana poin pentingnya adalah bagaimana harga energi harus
merefleksikan biaya produksi energi, termasuk biaya lingkungan dan biaya konservasi energi . Di sisi lain,
di PP 79/2004 pasal 20, harus bersaing dengan harga energi dan sumber energi yang berlaku di satu
wilayah. Poinnya disini adalah jika RPP tersebut sudah berjalan dengan baik, dan terdapat klausul atau
pasal yang memperbolehkan pajak karbon atau carbon pricing, maka hal ini akan dapat diterapkan di
sektor energi, sehingga di perpajakan, terdapat konten untuk pasokan energi.
Beberapa waktu yang lalu, Mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Sudirman Said,
mengumumkan untuk mengambil sebagian dari hasil penjualan minyak untuk dana ketahanan energi,
sebenarnya memiliki tujuan untuk menerapkan prinsip polluters pay principles, di mana semakin besar
seseorang menggunakan energi fosil, maka semakin besar pula kontribusinya untuk upaya-upaya
penanganan emisi.
Gambar 10 Cakupan gas rumah kaca di berbagai Emission Trading Scheme
Gambar 10 menunjukkan berbagai emisi yang tercakup di berbagai pasar tersebut. Jika diperhatikan,
maka sebenarnya ini merupakan contoh dari berbagai macam pasar karbon yang ada, yang sudah
befungsi dengan baik di negara-negara ini, kemudian ada juga yang sedang direncanakan, misalnya
untuk Cina secara keseluruhan (nasional). Sayangnya, Indonesia belum mencapai titik tersebut.
Selama ini terdapat dua pasar karbon yang sering dibicarakan orang, yaitu: CDM dan EU ETS. CDM pada
awalnya di tahun 2004, banyak dibicarakan hingga beberapa proyek kemudian menjadi proyek CDM,
yang kemudian berkembang hingga tahun 2012, dan mengalami puncaknya. Paska tahun 2012, jumlah
project yang masuk ke mekanisme ini turun secara drastis. Hal ini disebabkan karena CDM adalah
mekanisme yang sangat rigid, sangat kaku. Sehingga membuat orang enggan untuk mengajukan project.
Jikalau mereka memutuskan untuk investasi di project CDM, mereka akan enggan untuk menyisihkan
waktu tambahan sekedar untuk melakukan validasi dan verifikasi. Terutama pada saat harga karbon
sudah mulai menurun. Kemudian, pada kenyataannya, untuk proyek-proyek CDM yang terkait dengan
methan, banyak sekali project-project CDM yang kemudian under-perform.
Penyebab lainnya dari murungnya pasar untuk CDM adalah, ketika EU menyatakan keurungannya untuk
menerima CER dari negara berkembang, kecuali dari LDC. Hal ini disebabkan karena EU melihat bahwa
CDM telah memberikan efek pasar yang baik, terutama dari return-nya.
Sampai sekarang yang menjadi masalah untuk CDM itu adalah pasarnya yang terbatas. Negara di luar EU
tidak pernah mau menerima CER. Jika dibandingkan dengan EU ETS di Eropa, EU ETS dibagi hingga 3
fase. Fase pertama itu sampai tahun 2007, kemudian 2008-2012, lalu yang ketiga dari 2013-2020. Di fase
pertama itu, carry forward tidak diperbolehkan. Jika mereka sudah mendapatkan ijin di fase pertama,
maka kelebihan ijin tersebut tidak boleh digunakan di fase kedua. Inilah yang menyebabkan harga
allowance menjadi hampir nol, di akhir fase pertama. Hal ini sebenarnya bukan merupakan masalah,
karena pada awalnya, pasar ini juga memulai dari harga nol, karena sebagian besar diberikan gratis oleh
Pemerintah EU.
Pada saat carry forward diperbolehkan di fase kedua dan ketiga, banyak sekali yang menyimpan
kelebihan allowance, untuk digunakan di fase berikutnya. EU pada saat itu juga masih menerbitkan ijin-
ijin baru, sehingga over-supply di pasar pun menjadi tidak terhindarkan. Akibatnya, harga allowance
untuk EU menjadi sangat rendah, yang awalnya mencapai EUR 30, saat ini berada di tataran EUR 6-8.
Penurunan harga ini membuat perusahaan menjadi tidak terlalu kreatif lagi untuk berinvestasi di
teknologi. Berbeda ketika harga allowance-nya masih EUR 30, ada dana yang cukup besar untuk
berinvestasi. Dampak lainnya dari over-supply ini menyebabkan EU menyatakan bahwa mereka tidak
lagi memerlukan CER di fase ketiga, kecuali tadi dari LDC. Ini pun dikarenakan EU ingin membantu
negara-negara dari LDC, bukan karena mereka membutuhkan CER. Pengalaman ini jelas menunjukkan
bahwa tidak ada yang namanya supply-control mechanism di pasar, sehingga terjadi over-supply yang
berimplikasi pada penurunan harga CER.
Gambar 11 Harga CER pada periode 2005-2014 di pasar EU ETS
Pada fase-fase pertama EU ETS, harga CER tercatat sangat tinggi hingga mencapai EUR 30. Namun, di
tahun 2007, harganya menjadi nol. Awal-awal tahun 2008 juga harga CER masih rendah sekali, namun
setelah itu, harga CER meningkat sangat tinggi, kemudian nol lagi.
Tahun 2012 merupakan tahun di mana harga CER sangat rendah, sehingga tidak lagi feasible untuk
melakukan investasi, dengan model carbon credit yang digunakan. Walaupun demikian ada beberapa
fasilitas khusus yang disediakan oleh beberapa bank pembangunan, yang bisa memberikan harga yang
bagus untuk carbon credit. Baru-baru ini misalnya ada pilot action untuk Metana, yang dimotori oleh
Bank Dunia, di mana pembelian carbon credit atau penurunan emisi dari Metana, yang terverifikasi,
masih dilakukan dengan harga EUR 3.4. Hal yang sama juga dilakukan untuk N2O, lalu ada juga negara-
negara Nordic yang membeli CER dengan harga EUR 4.
Di periode tahun 2007-2010, terdapat pergerakan harga antara minyak, karbon dan batubara. Ketika
kebutuhan fossil fuel itu tinggi, sehingga ekonominya berjalan dengan baik, maka harga karbon juga
akan menjadi lebih baik, sehingga mereka membutuhkan ijin atau CER lebih banyak untuk meng-offset
emisi mereka. Pola ini berlaku sampai sekitar tahun 2011; namun setelah itu, pola ini jadi berantakan.
Gambar 12 Perbandingan harga karbon-minyak-batu bara
Market stability reserve tidak pernah ada di EU ETS. Market stability reserve ini dapat mengerem upaya
penerbitan allowance atau mengerem upaya pembelian allowance dari pasar, jika diketahui jumlah
allowance terlalu banyak di pasar. Market stability reserve saat ini belum ada, dan rencananya baru akan
mulai diimplementasikan di tahun 2021. Itu sebabnya, sampai dengan saat ini, harga karbon baru ada di
kisaran EUR 6 atau EUR 7. Jika market stability reserve sudah diimplementasikan, maka harga karbon
seharusnya sudah bisa naik lagi, karena sudah bisa membatasi supply dari carbon credit atau allowance
yang ada di pasar.
Gambar 13 Market stability reserve
Bagaimana mekanisme pasar bisa berpengaruh pada pemenuhan target emisi? Jika melihat pola
penurunan emisi di Eropa, maka yang digambarkan pada Gambar 14 adalah historical emission yang
berdasarkan EU ETS yang telah mereka implementasikan. Bidang yang berwarna hijau adalah emisi yang
di-cover di EU ETS, sedangkan yang di atasnya tidak. Ini adalah limit atau cap yang diberikan oleh pasar.
Jadi ke depannya diharapkan targetnya akan seperti ini, dan kecenderungannya menurun, sehingga
emisi akan berkurang sampai di tahun 2025. Di tahun 2025 emisi akan berkurang hingga 1.1% dan
setelah itu di atas 2%.
Gambar 14 Peran mekanisme pasar untuk memenuhi target emisi
Seandainya ada perusahaan dengan mekanisme pasar yang berfungsi dengan baik, dengan harga yang
baik, pasti akan banyak perusahaan yang berupaya untuk tidak mencapai cap ini, karena mereka bisa
mendapatkan insentif akibat dari harga CER yang bagus. Kalau misalnya harga tidak terlalu bagus, maka
mereka hanya akan berupaya untuk memastikan harga emisinya ada di cap ini. Tidak ada insentif bagi
mereka untuk berbuat lebih baik lagi.
Harga yang baik bisa mendorong tercapainya penurunan emisi di bawah cap ini. Keberadaan market
stability reserve memungkinkan untuk pengaturan sedemikian rupa, di mana pada saat pasokan
berlimpah di pasar, maka pasokan akan dikurangi, dan yang ada di pasar akan di ambil sebagian. Ini
tentunya akan mendorong harga CER untuk naik. Ini juga menjadi satu pembelajaran penting, jika
Indonesia mau membuat pasar karbon domestik ke depannya.
Artikel 6 dari Paris Agreement membuka kesempatan untuk voluntary cooperation, antara dua atau tiga
pihak, untuk kegiatan-kegiatan mitigasi dan adaptasi, dengan rekoknisi dari CMA. Kerja sama seperti ini
diharapkan dapat mendorong negara-negara Pihak untuk mencapai target NDC yang lebih ambisius.
Poin yang penting di artikel ini adalah masalah environmental integrity dan sustainable development.
Pertanyaannya adalah, jika Indonesia ingin mendapatkan manfaat dari mekanisme pasar ini, apa yang
harus kita lakukan?
Pertama, Indonesia harus benar-benar meningkatkan kapasitas internal Indonesia. Inisiatif seperti SRN
itu harus dilihat dengan lebih mendalam lagi mengenai apa yang terdapat di dalamnya. Apakah
banyaknya CO2 harus dilihat lebih rinci lagi agar dapat di-clain sebagai penurunan emisi dari Indonesia?
Selain itu berapa banyak yang masih mungkin diperjualbelikan baik melalui mekanisme VCS, CER, atau
mekanisme lainnya. Berapa yang bisa kita dapat dari JCM, berapa dari REDD+ dan lain sebagainya.
Kedua, di PP yang terkait denagn retribusi di sektor kehutanan, diwajibkan untuk membayar 10% dari
pembayaran karbon. Belum ada mekanisme yang memungkinkan untuk mengetahui apakah karbon
tersebut sudah dibayar atau tidak, karena memang tidak dilaporkan. Seharusnya, SRN dapat
memberikan informasi berapa banyak karbon asset yang dimiliki oleh Indonesia dan berapa banyak yang
bisa di-transfer ke cooperative partners, dan berapa yang bisa digunakan untuk memenuhi kewajiban
untuk NDCs. Untuk itu, diharapkan bahwa nantinya akan ada satu unit yang kuat, apakah itu merupakan
institusi yang sudah ada, apakah itu nanti di KLHK atau di institusi lainnya, yang bisa melakukan
monitoring. Untuk Indonesia bisa memanfaatkan pasar karbon yang baru, Indonesia harus benar-benar
memiliki sistem MRV yang kuat, sistem registry-nya, juga mekanisme pasarnya.
Unit yang akan melakukan monitoring ini, juga harus bisa memastikan bahwa mitigation outcome yang
dilaporkan benar-benar dapat diverifikasi menggunakan metodologi yang baku, dan bukannya
menggunakan metodologi yang tidak baku. Saat berbicara mengenai penurunan emisi, harus diingat
bahwa itu adalah project specific dan location specific, sehingga tidak bisa digeneralisir.
Hal lainnya yang juga harus diperhatikan adalah apa yang berlaku di pasar global, skema global saat ini.
Contohnya ICAO, yang sudah setuju untuk menggunakan market based mechanism. Artinya adalah perlu
untuk melihat project apa yang eligible yang tepat untuk kerangka ini.
Gambar 15 MRV dan Registry sebagai key issues
Di sektor energi, telah ada target untuk menaikkan komposisi energi terbarukan menjadi 23% di tahun
2025. Ini sebenarnya merupakan masalah tersendiri bagi Indonesia, karena harus dicapai dalam waktu
sekitar 10 tahun ke depan, dan ini tidak mungkin kalau hanya menggunakan apa yang sudah dilakukan
hingga saat ini.
Indonesia sebenarnya dapat mendorong apa yang disebut dengan aggressive policy. Contohnya adalah
ada draft PP yang bisa memasukkan pasal tentang kewajiban dari perusahaan yang menggunakan energi
fosil untuk mengembangkan energi terbarukan. Jadi diharapkan, jika target energi terbarukan di tahun
2025 adalah 23%, maka logikanya adalah perusahaan tersebut juga harus berkontribusi untuk
melakukan sebesar itu. Jika mereka tidak dapat melakukan hal itu, maka perusahaan tersebut dapat
dikenakan pajak, atau diwajibkan untuk membeli REC (Renewable Energy Certificate). Jadi perusahaan-
perusahaan yang sudah mengembangkan energi terbarukan, dapat memproduksi REC dan ini dapat
menjadi insentif untuk mengembangkan energi terbarukan yang lain. Hal ini akan mendorong sektor
energi terbarukan untuk membangun lebih banyak energi terbarukan, sehingga penurunan emisi juga
bisa dicapai dengan baik.
5.2 Isu-isu yang muncul di dalam diskusi Beberapa pertanyaan yang muncul di dalam diskusi ini adalah:
1. Terkait dengan instrumen yang dapat digunakan untuk mencapai target NDC, dan apakah emisi akan
turun hanya dari proyek pemerintah saja atau secara economy wide. Pendekatan yang digunakan oleh
NDC Indonesia adalah economy-wide target. Hal ini berarti bahwa sektor-sektor ekonominya yang harus
berkontribusi, bukan hanya proyek-proyek APBN dan APBD.
2. Terkait dengan sistem registry yang terintegrasi, hal ini sebenarnya mengenai kaitan antara proyek
yang bisa di-registry, yang bisa dihitung, dan ini bukan hanya mencakup emisi dari proyek-proyek
pemerintah tapi seluruh project yang terkait dengan non-state actors.
Hal yang juga menjadi pertanyaan adalah bagaimana bisa melakukan registry dan monitoring program
yang ada di masyarakat. Misalnya, dalam program ekonomi yang dilakukan oleh World Vision Indonesia
(WVI) ada yang disebut sebagai local value chain development dan juga market for the poor, di mana
bargaining power petani dapat ditingkatkan dengan mengumpulkan mereka, menyamakan standard
produksi, sehingga mereka bisa memiliki standard yang lebih tinggi lagi. Atau, bagaimana dengan
kelompok-kelompok petani untuk sustainable agriculture saja contohnya, yang sudah bisa mengurangi
emisi. Apakah mungkin bagi perusahaan-perusahaan yang membutuhkan pengurangan emisi, mereka
juga bisa membeli dari petani? Kemudian, terkait dengan konversi minyak tanah ke LPG, apakah itu tidak
dapat di-claim?
Untuk kegiatan yang melibatkan kegiatan-kegiatan atau kelompok-kelompok kecil, maka di CDM ada
yang namanya PoA, Programmes of Activities. Tujuan dari skema ini adalah untuk mengadopsi project-
project kecil yang dilakukan oleh masyarakat.
Terkait dengan konversi minyak tanah ke LPG, kegiatan ini memang tidak tercantum di RAN GRK.
Perhitungan emisi yang dapat dikurangi melalui kegiatan ini adalah dari 40 juta ton, hingga 160 juta ton,
jika program ini diteruskan. Angka ini jauh melampaui target di sektor energi, sehingga kemudian
Kementerian Keuangan melaporkan ke Bappenas dan KLHK, yang akan mempertimbangkan kegiatan ini
untuk masuk di revisi RAN GRK.
3. Sejauh manakah potensi Indonesia untuk pasar atau tax? Jika pilihannya adalah pasar, apakah
transaction cost untuk market monitoring tidak akan menjadi sangat besar? Apabila menerapkan pajak
langsung, maka uangnya bisa masuk ke pool of fund yang dapat dikontrol?
Penentuan pilihan di sini akan sangat tergantung tujuannya. Jika pemerintah memiliki target untuk
mengumpulkan uang, sehingga uang tersebut akan digunakan untuk kegiatan itu, maka Pemerintah
sebaiknya memilih tax. Namun, jika pemerintah memiliki tujuan untuk mendorong bisnis supaya bisa
perform dengan baik, maka Pemerintah akan mendorong pasar karbon, yang sifatnya Business to
Business.
4. Apakah mungkin untuk menerapkan konsep pasar ini untuk adaptasi?
Kemudian, apakah bisa di adaptasi. Ini sebenarnya menjadi pertanyaan menarik. Kita sebenarnya pernah
membuat corat-coret, dengan Pak Medril kalau tidak salah waktu itu, gimana kita bisa membuatnya
sesuai dengan adaptasi. Kalau kita misalnya menggambarkan satu kawasan, kita bisa melihat misalnya
mencoba untuk menghitung tingkat kerawanan daerah tersebut, dan implikasinya ke private sector di
sana. Jadi, berdasarkan data itu sebenarnya, berdasarkan hasil perhitungan itu, kita bisa mendorong
market based adaptation di sana. Tapi harus kita design sedemikian rupa supaya si private sector itu
membeli kegiatan yang dilaksanakan oleh masyarakat atau katakanlah oleh komunitas atau siapa pun
berdasarkan tingkat vulnerability dari masing-masing perusahaan itu. Ini bisa juga kita coba untuk
diskusikan.
5. Jika Indonesia ingin menggunakan mekanisme pasar dalam pencapaian NDC, apa yang menjadi
langkah pertama yang harus dilakukan?
Langkah pertama untuk dapat menggunakan mekanisme pasar dalam pencapaian NDC terletak di RPP
instrumen ekonomi yang saat ini sedang disusun. RPP tersebut menyebutkan bahwa dimungkinkan
untuk menerapkan pasar karbon. Bisa jadi sebenarnya Indonesia membutuhkan Undang-Undang khusus
untuk Perubahan Iklim. Karena kalau untuk pasar karbon, tidak didukung dengan kewajiban untuk
menurunkan emisi, maka hal tersebut akan sulit untuk dicapat. Penurunan emisi tidak bisa hanya
didukung oleh regulasi di tingkat PerMen. RPP juga tidak kuat, karena tidak memiliki regulasi di atasnya
yang menyebutkan bahwa satu pihak harus menurunkan emisi, demikian pula dengan UU No. 32. Ini jika
tujuan penggunaan pendekatan pasar untuk mencapai target NDC, namun, jika menggunakan
mekanisme pasar yang bersifat voluntary, RPP pun cukup. Namun, jika sifatnya mandatory, maka yang
pertama yang harus dilakukan adalah menyusun UU Perubahan Iklim.
Jika Indonesia menginginkan untuk menggunakan mekanisme pasar dalam pencapaian NDC, maka UU
Perubahan Iklim harus selesai dalam waktu 2 tahun, agar dapat memberikan cukup waktu untuk dapat
men-design carbon market sebagai bagian dari strategi pencapaian NDC. Ini juga yang seharusnya
menjadi inisiatif DPR.
6. Terkait dengan analisis resiko iklim yang berbasis ilmiah, pada umumnya tidak pernah
mengkaitkannya dengan valuasi nilai ekonomi. Tantangannya adalah ketika mencoba untuk
dikonversikan ke nilai-nilai ekonomi yang bisa dibeli oleh sektor swasta itu, ditemukan bahwa akan ada
banyak nilai-nilai yang hilang. Jika diterapkan dengan ekosistem services, juga sulit, karena ada
perubahan peranan ekosistem setempat. Sedangkan ketika melakukan evaluasi, maka yang akan
dilakukan adalah melakukan evaluasi terutama yang ada hubungannya dengan perubahan ekosistem
setempat, di mana ada jasa-jasa ekosistem yang hilang. Bagaimana caranya mengembangkan analisis
tersebut, tanpa mengubah nilai sosial, kultural, monetizing itu, tidak terjadi reduksi nilai ekosistem itu
sendiri.
Saat ini South Pole sedang mengembangkan satu program untuk satu perusahaan asuransi. Ketertarikan
mereka itu sebenarnya untuk membantu untuk banjir di Jakarta, terutama di sungai Ciliwung.
Perusahaan asuransi ini tertarik untuk melakukan hal ini, karena nantinya akan berhubungan dengan
masalah pembayaran claim nantinya. Perusahaan asuransi tersebut sedang mencoba untuk melihat
peluang apakah mereka bisa membantu untuk mengurangi potensi terjadinya banjir yang sifatnya
kegiatan adaptasi, atau tidak. Hal ini berarti bahwa claim yang akan diterima oleh perusahaan asuransi
tersebut akan berkurang. Yang artinya adalah perusahaan asuransi tersebut meningkatkan
ketahanan/ketangguhan, melalui pembayaran premi yang terkumpulkan setiap bulan.
6 Penutup Diskusi ditutup dengan beberapa isu yang dapat ditindaklanjuti pembahasannya, yaitu:
1. Kemungkinan untuk Indonesia menyusun UU Perubahan Iklim
2. Menggali isu pasar karbon lebih dalam
3. Instrumen-instrumen pembiayaan untuk adaptasi
4. Sistem Registry di Indonesia
Ada ekspektasi yang menyatakan bahwa negosiasi internasional saat ini mungkin belum terlalu penting
dibandingkan dengan implementasi di dalam negeri. Memang masih ada banyak aspek yang perlu
diperbaiki, atau building block-nya belum lengkap. Beberapa building block-nya yang telah teridentifikasi
di antaranya adalah, perlunya regulasi setingkat UU, instrumen regulasi, ada institusinya, mekanisme,
yang hanya dapat dikembangkan dalam waktu singkat. Politik anggaran menjadi penting, sistem
anggaran, dan penganggaran harus berubah dengan adanya Paris Agreement. Masih ada waktu 3 tahun
dengan pemerintah sekarang, untuk meletakkan fondasi yang kokoh agar Indonesia siap
mengimplementasikan Paris Agreement di tahun 2020.
7 Rujukan Dr. Syurkani Ishak Kasim. NDA GCF Indonesia - Mendukung Aksi Adaptation Mitigasi RI. Disampaikan
pada dialog publik IESR untuk COP 22, 31 Oktober 2016.
Paul Butarbutar. Market mechanism to address climate change. Disampaikan pada dialog publik IESR
untuk COP 22, 31 Oktober 2016.