universitas indonesia analisis praktik klinik keperawatan...
TRANSCRIPT
UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN
KESEHATAN MASYARAKAT PERKOTAAN PADA NENEK G DENGAN MASALAH RISIKO JATUH
DI WISMA BUNGUR SASANA TRESNA WERDHA KARYA BHAKTI
KARYA ILMIAH AKHIR NERS
JUSNIMAR
1006823356
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI PROFESI KEPERAWATAN
DEPOK
JULI 2013
Analisis praktik ..., Jusnimar, FIK UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN
KESEHATAN MASYARAKAT PERKOTAAN PADA NENEK G DENGAN MASALAH RISIKO JATUH
DI WISMA BUNGUR SASANA TRESNA WERDHA KARYA BHAKTI
KARYA ILMIAH AKHIR NERS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Ners
JUSNIMAR
1006823356
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI PROFESI KEPERAWATAN
DEPOK
JULI 2013
Analisis praktik ..., Jusnimar, FIK UI, 2013
ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Karya Ilmiah Akhir Ners ini adalah hasil karya saya sendiri,
dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar
Nama : Jusnimar
NPM : 1006823356
Tanggal : 10 Juli 2013
Tanda Tangan :
Analisis praktik ..., Jusnimar, FIK UI, 2013
iii
HALAMAN PENGESAHAN
Karya Ilmiah Akhir Ners ini diajukan oleh :
Nama : Jusnimar NPM : 1006823356 Program Studi : Profesi Keperawatan
Judul KIA-Ners : Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan Pada Nenek G Dengan Masalah
Risiko Jatuh Di Wisma Bungur Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk
memperoleh gelar Ners pada Program Studi Profesi Keperawatan, Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
DEWAN PENGUJI
Pembimbing : Widyatuti, S.Kep., M.Kes, Sp. Kom (……………………)
Penguji : Ns. Ibnu Abas, S.Kep (..………………....)
Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 10 Juli 2013
Analisis praktik ..., Jusnimar, FIK UI, 2013
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan nikmat
dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah akhir Ners
(KIA-N). Penulisan KIA-N ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu
syarat untuk meraih gelar Ners di Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia. Penulis menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai
pihak, dari masa praktik profesi sampai pada penyusunan, sangatlah sulit bagi
penulis untuk menyelesaikan KIA-N ini. Oleh karena itu, penulis ingin
mengucapkan terimakasih kepada :
(1) Bapak Ns. Ibnu Abas, S.Kep, selaku pembimbing klinik di Sasana Tresna
Werdha Karya Bhakti, yang telah memberikan bimbingan selama praktik
profesi
(2) Ibu Riri Maria, SKp., MANP, selaku koordinator mata ajar karya ilmiah akhir
Ners, yang telah memberikan bimbingannya
(3) Ibu Widyatuti, S.Kep., M.Kes, Sp. Kom, selaku dosen pembimbing yang telah
menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan penulis dalam
penyusunan karya ilmiah akhir Ners
(4) Orangtua dan adik-adikku, Syarimulyati dan Ahmad Gunturiadi, yang telah
memberikan bantuan dukungan material dan moral
(5) Teman-teman yang telah membantu penulis dalam memotivasi untuk
menyelesaikan karya ilmiah akhir Ners, dan ;
(6) Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah
memberikan dukungan moral bagi penulis.
Akhir kata, penulis berharap semoga Allah SWT berkenan membalas segala
kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga KIA-N ini membawa
manfaat bagi pengembangan ilmu keperawatan.
Depok, Juli 2013
Penulis
Analisis praktik ..., Jusnimar, FIK UI, 2013
v
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR
UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah
ini:
Nama : Jusnimar
NPM : 1006823356
Fakultas : Ilmu Keperawatan
Jenis Karya : Karya Ilmiah Akhir Ners
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Indonesia. Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty-
Free Right) atas karya ilmiah akhir Ners saya yang berjudul:
Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan Pada Nenek G
Dengan Masalah Risiko Jatuh Di Wisma Bungur Sasana Tresna Werdha Karya
Bhakti
Dengan hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak
menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data
(database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap
mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Jakarta Pada tanggal : 10 Juli 2013
Yang menyatakan
( Jusnimar )
Analisis praktik ..., Jusnimar, FIK UI, 2013
vi Universitas Indonesia
ABSTRAK
Nama : Jusnimar Program Studi : Profesi Keperawatan Judul : Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat
Perkotaan Pada Nenek G Dengan Masalah Risiko Jatuh Di Wisma Bungur Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti
Risiko jatuh adalah masalah yang sering terjadi pada lansia, karena adanya perubahan pada sistem muskuloskeletal seiring dengan pertambahan usia. Karya ilmiah ini
bertujuan untuk memaparkan hasil asuhan keperawatan yang diberikan pada salah satu lansia dengan masalah risiko jatuh di STW Karya Bhakti. Intervensi keperawatan
yang dilakukan salah satunya adalah latihan keseimbangan. Evaluasi yang didapatkan bahwa lansia mengatakan kaki lebih kuat untuk berdiri dan adanya peningkatan keseimbangan tubuhnya. Saran yang diberikan untuk pencegahan jatuh agar pihak
STW memberi tanda khusus bagi lansia yang berisiko jatuh, agar semua petugas menjadi lebih waspada untuk mengantisipasi jatuh.
Kata Kunci: risiko jatuh, latihan keseimbangan
Analisis praktik ..., Jusnimar, FIK UI, 2013
vii Universitas Indonesia
ABSTRACT
Name : Jusnimar
Study Program : Nursing Profession Title : Analysis of Clinical Practice of Urban Problem Health Nursing
for Mrs. G with Issues of the risk of fall at Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti
The risk of falls is a common problem in the elderly, because of changes in their musculoskeletal system with age. This paper aims to present the result of nursing care
for elderly with a risk of falling in STW Karya Bhakti. Nursing intervent ions performed one of which is the balance exercises. The evaluation found that the elderly said stronger legs to stand up and postural balance increased. Advice given to
the prevention of falls in order to identification or give the specific sign for the elderly at risk of falling, so that all the officer to be more vigilant in anticipation of
fall.
Keywords: the risk of falls, balance exercises
Analisis praktik ..., Jusnimar, FIK UI, 2013
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ......................................... ii HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ iii
KATA PENGANTAR .................................................................................... iv LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ................... v ABSTRAK ...................................................................................................... vi
DAFTAR ISI................................................................................................... viii DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. x
BAB 1 PENDAHULUAN .............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang Masalah .................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah ........................................................................... 7 1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................... 8
1.3.1 Tujuan Umum .......................................................................... 8 1.3.2 Tujuan Khusus.......................................................................... 8
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................. 6
1.4.1 Untuk Pelayanan ..................................................................... 9 1.4.2 Untuk Keilmuan ....................................................................... 9
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA..................................................................... 10
2.1 Konsep Lansia.................................................................................... 10
2.1.1 Pengertian Lansia...................................................................... 10 2.1.2 Teori Menua.............................................................................. 10
2.1.3 Perubahan Sistem Muskuloskeletal .......................................... 12 2.1.4 Masalah Jatuh Pada Lansia ....................................................... 16 2.1.5 Faktor faktor Penyebab jatuh .................................................... 16
2.1.6 Pencegahan Jatuh Pada Lansia ................................................. 18 2.1.7 Latihan Keseimbangan............................................................. 20
2.2 Kesehatan Lansia Di Perkotaan ......................................................... 22 2.2.1 Pengertian Kota........................................................................ 22 2.2.2 Lansia di perkotaan .................................................................. 22
2.2.3 Keperawatan Kesehatan Perkotaan .......................................... 23
BAB 3 LAPORAN KASUS KELOLAAN ................................................... 25
3.1 Pengkajian ........................................................................................... 25 3.2 Analisa Data ........................................................................................ 28
3.3 Diagnosa Keperawatan ....................................................................... 29 3.4 Rencana Asuhan Keperawatan............................................................ 29
3.5 Implementasi ....................................................................................... 30 3.6 Evaluasi ............................................................................................... 32
Analisis praktik ..., Jusnimar, FIK UI, 2013
ix
BAB 4 ANALISA SITUASI .......................................................................... 34
4.1 Profil STW .......................................................................................... 34 4.2 Analisa Pengkajian ............................................................................ 35
4.3 Analisa Diagnosa Keperawatan ......................................................... 36 4.4 Analisa Hasil Rencana, Implementasi, dan Evaluasi......................... 39
BAB 5 PENUTUP………………………………………………………….. 45
5.1 Kesimpulan………………………………………………………… 45 5.2 Saran………………………………………………………………...46
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………… 48 Lampiran
Analisis praktik ..., Jusnimar, FIK UI, 2013
1 Universitas Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Lansia adalah tahapan dimana individu ada pada usia tertentu, yang dikategorikan
sebagai berikut: lansia awal (young old) antara 65 sampai 74 tahun, lansia
pertengahan (middle old) antara 75 sampai 84 tahun dan lansia akhir ( old-old) 85
tahun atau lebih (Miller, 2012). Menjadi lansia atau menjadi tua tidak bisa dihindari,
karena akan terjadi pada setiap orang.
Menua (menjadi tua) adalah proses alamiah dan tidak bisa dihindari oleh siapapun di
dunia ini (Depkes, 2001). Pada lansia akan mengalami proses degeneratif
(kemunduran) atau terjadi perubahan baik fisik, psikologis, dan sosial (Miller, 2012).
Perubahan fisik yang terjadi pada lansia salah satunya adalah sistem muskuloskeletal.
Perubahan yang terjadi pada sistem muskuloskeletal, yaitu: penurunan massa dan
tonus otot, serat otot berkurang ukurannya, kekuatan otot berkurang sebanding
dengan penurunan massa otot (Potter & Perry, 2006). Tulang kehilangan densitas
(cairan) dan semakin rapuh, kekuatan dan stabilitas tulang menurun, terjadi kifosis,
gangguan gaya berjalan, tendon mengerut dan mengalami sklerosis, atrofi serabut
otot, serabut otot mengecil sehingga gerakan menjadi lamban, otot kram, dan menjadi
tremor, aliran darah ke otot berkurang sejalan dengan proses menua. Semua
perubahan tersebut dapat mengakibatkan kelambanan dalam gerak, langkah kaki yang
pendek, kekuatan otot menurun terutama ekstremitas bawah (Darmojo, 2004). Kaki
tidak dapat menapak dengan kuat dan cenderung mudah goyah, lansia menjadi
lambat mengantisipasi bila terjadi gangguan terpeleset, tersandung, mengalami
gangguan keseimbangan dan akhirnya berisiko jatuh.
Analisis praktik ..., Jusnimar, FIK UI, 2013
2
Universitas Indonesia
Lansia sangat berisiko mengalami jatuh. Hal ini disebabkan oleh faktor aktivitas,
penurunan kemampuan fisik, penyakit yang diderita dan faktor lingkungan
(Nugroho,2008). Sebagian besar jatuh terjadi pada saat lansia melakukan aktivitas
berjalan, naik atau turun tangga, merubah posisi atau saat lansia dengan banyak
kegiatan dan olahraga yang menyebabkan kelelahan. Penyebab jatuh pada lansia juga
bisa karena penyakit yang diderita seperti Parkinson, osteoporosis, stroke dan lain-
lain. Sedangkan faktor dari lingkungan adalah lantai yang licin, jalan yang tidak rata,
pencahayaan yang kurang, dan tidak adanya handraill pada tangga. Jika lansia
mengalami jatuh tentu akan menimbulkan masalah baru dan berdampak pada
kesehatan lansia.
Akibat dari jatuh adalah terjadi cidera kepala, cidera jaringan lunak dan fraktur.
Komplikasi dari fraktur jika tidak ditangani dengan tepat adalah timbulnya dekubitus
akibat tirah baring yang berkepanjangan, perdarahan, trombosis vena dalam, emboli
paru, infeksi pneumonia atau infeksi saluran kencing akibat tirah baring lama,
gangguan nutrisi, dan sebagainya (Ariawan, Kuswardhani, & Aryana, 2010). Dampak
buruk dari risiko jatuh bisa dialami lansia di rumah ataupun di panti, karena lansia
ada yang tinggal di rumah bersama keluarga dan ada yang tinggal di institusi seperti
di panti werdha.
Lansia di perkotaan saat ini cenderung tinggal di panti werdha, baik karena keinginan
sendiri atau karena tidak ada yang merawat di rumah. Kehidupan di perkotaan,
menuntut individu untuk aktif bekerja, agar bisa hidup dengan layak, serta tuntutan
profesi atau pekerjaan menyita hampir seluruh waktu seorang anak, sehingga tidak
lagi mempunyai kesempatan untuk memberikan perhatian dan perawatan kapada
orang tuanya. Orang tua yang memasuki masa lanjut usia semakin terabaikan secara
sosial, budaya dan psikologis, sehingga merasa kesepian dan terlantar dalam rumah.
Fenomena ini mengakibatkan dibangunnya sebuah institusi yang akan menjalankan
atau mengambil alih fungsi- fungsi yang telah ditinggalkan atau diabaikan oleh
keluarga, yaitu panti werdha (Kemensos RI, 2008). Keberadaan panti werdha di masa
Analisis praktik ..., Jusnimar, FIK UI, 2013
3
Universitas Indonesia
akan datang semakin dibutuhkan, sehingga kedepan panti werdha akan menjadi
sebuah pilihan dan solusi atas perubahan sosial yang terjadi dimasyarakat. Lansia
yang tinggal di panti akan mendapat pengawasan kesehatan dari perawat yang
memberikan asuhan keperawatan.
Keperawatan lansia diharapkan mampu memberikan suatu alternatif penatalaksanaan
terhadap pemenuhan kebutuhan dalam pemberian pelayanan kesehatan lansia yang
lebih komprehensif. Pelayanan keperawatan bagi lansia bukan saja dilakukan pada
tataran pelayanan di klinik (kuratif), akan tetapi lebih ditekankan pada upaya
peningkatan (promotif) dan pencegahan (preventif) melalui upaya pelayanan
kesehatan komunitas atau kelompok sehingga jauh lebih efektif dan efisien karena
memiliki jangkauan yang lebih luas dan memerlukan dana yang jauh lebih murah
(Stanhope & Lancaster, 2004).
Sasaran utama dari pelayanan di panti adalah lansia, dalam memberikan asuhan
keperawatan memiliki tantangan tersendiri bagi perawat, karena lansia cenderung
kembali seperti anak kecil yang selalu ingin dimengerti, dan memiliki banyak
keinginan yang harus dipenuhi sehingga perawat harus memiliki ketrampilan khusus
dalam berkomunikasi dan merawat lansia serta harus berkoordinasi dengan disiplin
ilmu lainnya untuk mencapai kepuasan hasil yang dicapai setiap individu. Jumlah
perawat di panti tidak sebanding dengan jumlah lansia, sehingga pengawasan menjadi
kurang adekuat. Hal ini menyebabkan beberapa masalah, salah satunya adalah lansia
yang tinggal di panti cenderung mengalami jatuh, karena tinggal sendiri di kamar,
dan tidak ada yang mengawasi 24 jam penuh.
.
Angka kejadian jatuh di negara maju seperti Amerika, didapatkan sekitar 30% lansia
dengan usia lebih dari 65 tahun jatuh setiap tahunnya, setengah dari angka tersebut
mengalami jatuh berulang. Lansia ada yang tinggal di rumah bersama keluarga, dan
ada yang tinggal di institusi seperti dipanti werdha. Insiden di rumah-rumah
Analisis praktik ..., Jusnimar, FIK UI, 2013
4
Universitas Indonesia
perawatan (nursing home) 3 kali lebih banyak dan 5% dari penderita jatuh ini
memerlukan perawatan di rumah sakit (Tinetti, 1992 dalam Darmojo, 2004).
Indonesia sebagai negara berkembang, prevalensi jatuh pada lansia seperti yang
dilaporkan RS. Cipto Mangunkusumo sebagai rumah sakit rujukan nasional, pada
tahun 2000 ada 285 kasus (15,53%). Pada tahun 2001 ada 42 pasien yang dirawat
karena fraktur femur akibat jatuh (Supartondo, Setiati & Soejono, 2003). Di Jakarta,
berdasarkan data yang diperoleh dari empat Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW)
yang berada di wilayah Pemda DKI Jakarta yaitu PSTW Cipayung, PSTW Ciracas,
PSTW Cengkareng, dan PSTW Margaguna, masing-masing PSTW ini angka
kejadian jatuh lansia sepanjang tahun 2008 berjumlah 13 orang (13,1 %); 8 orang
(6,8 %); 1 orang (0,6 %); dan 19 orang (12 %) (Maryam Siti, 2009).
Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti (STWKB), salah satu panti milik swasta yang
ada di Jakarta, dikelola oleh Yayasan RIA Pembangunan yang diprakarsai oleh Ibu
Hj. Siti Hartinah Soeharto dan diresmikan pada tanggal 14 Maret 1984. STWKB
merupakan institusi yang bergerak di bidang pelayanan kesejahteraan khusus kepada
generasi lanjut usia. Fasilitas yang tersedia antara lain: fasilitas hunian, klinik werdha,
fasilitas penunjang kesehatan lansia, dan fasilitas lain yang mendukung. Fasilitas
klinik werdha antara lain Wisma Wijaya Kusuma yang memberi pelayanan 24 jam.
Fasilitas penunjang pelayanan lansia antara lain Wisma Soka, Wisma Mawar, Wisma
Kamboja, dan Wisma Kenanga. Fasilitas hunian meliputi Wisma Aster, Wisma
Dahlia, Wisma Cempaka, dan Wisma Bungur.
Berdasarkan hasil pengkajian di Wisma Bungur pada Bulan Mei 2013 didapatkan
masalah muskuloskeletal (postur tubuh tidak seimbang, skoliosis, kiphosis,
deformitas) lansia sebanyak 55,56%, lansia yang menggunakan alat bantu berjalan
27,78%, sehingga memiliki keterbatasan aktivitas dan berisiko jatuh. Lansia yang
mengatakan pernah jatuh dalam 3 bulan terakhir sebanyak 33,33%, lansia yang
memiliki keterbatasan penglihatan sebanyak 33,33% yang menyebabkan
Analisis praktik ..., Jusnimar, FIK UI, 2013
5
Universitas Indonesia
kecenderungan risiko terjadinya cedera meningkat. Hasil pengkajian MFS (Morse
Fall Scale) didapatkan sebanyak (33,33%) lansia tidak berisiko jatuh, sebanyak
(22,22%) lansia berisiko rendah terhadap jatuh, sebanyak (44,44%) lansia berisiko
tinggi terhadap jatuh.
STW Karya Bhakti, telah membuat kegiatan untuk mencegah risiko jatuh, yaitu:
mengadakan senam 4x seminggu, latihan ROM (range of motion) untuk menguatkan
otot-otot lansia, agar tidak mengalami jatuh. Berdasarkan hasil observasi terhadap
kegiatan senam tersebut didapatkan bahwa lansia di Wisma Bungur, yang mengikuti
kegiatan senam hanya sebesar 30%, dan hanya 20% yang aktif mengikuti senam dari
awal sampai akhir. Selain senam atau ROM yang dilakukan oleh STW untuk
mengatasi masalah risiko jatuh pada lansia adalah memodifikasi lingkungan dengan
memasang handrail di koridor. Evaluasi senam terhadap kekuatan otot lansia atau
pengkajian risiko jatuh seperti MFS (Morse Fall Scale) tidak dilakukan secara
reguler. Penilaian BBT (Berg Balance Test) untuk mengetahui keseimbangan lansia
juga belum pernah dilakukan.
Lansia yang mengalami gangguan keseimbangan, salah satunya adalah Nenek G,
selama di STW sudah 3x mengalami jatuh, selalu rutin mengikuti senam yang ada di
STW, namun belum bisa mengatasi gangguan keseimbangan yang dialaminya.
Aktivitas sehari-hari menggunakan kursi roda dan kadang-kadang mencoba
menggunakan walker untuk berpindah dari tempat tidur ke kursi, tetapi kakinya
masih terasa lemah dan sering tidak kuat berdiri lama-lama. Penulis mencoba
memberikan latihan keseimbangan yang belum pernah diajarkan sebelumnya,
respon Nenek G sangat antusias mengikuti latihan dan motivasinya sangat tinggi
untuk bisa berjalan kembali.
Keseimbangan adalah suatu proses mempertahankan pusat gravitasi tubuh pada
dasar penyangga tubuh dan memerlukan penyesuaian diri terus-menerus oleh kerja
otot dan posisi sendi (Barnedh, 2006). Pada lansia, seiring bertambahnya usia,
Analisis praktik ..., Jusnimar, FIK UI, 2013
6
Universitas Indonesia
kekuatan otot menurun, khususnya extremitas bawah sehingga lansia cendrung
mengalami gangguan keseimbangan. Jika hal ini tidak ditangani, maka lansia akan
berisiko mengalami jatuh, dan akibat jatuh akan terjadi cidera atau fraktur yang akan
merugikan kesehatan lansia. Olehkarena itu perlu adanya latihan keseimbangan pada
lansia untuk mencegah masalah tersebut. Salah satu latihan untuk keseimbangan
lansia adalah latihan keseimbangan Berg.
Latihan keseimbangan Berg adalah latihan yang terdiri dari 14 teknik latihan yaitu
latihan duduk ke berdiri, berdiri tanpa bantuan, duduk tanpa sandaran punggung,
berdiri ke duduk, berpindah ke kursi lain, berdiri dengan mata tertutup, dan
seterusnya. Rentang nilai 0-4, dimana 0 berarti lansia tidak mampu melakukan dan 4
berarti lansia mampu melakukan tanpa bantuan (Debra, 2003). Penelitan yang
dilakukan oleh Jalalin (2000) di Panti Werdha Pucang Gading Semarang, didapatkan
bahwa terdapat perbedaan skala keseimbangan yang bermakna antara sebelum dan
sesudah latihan keseimbangan (P<0,05).
Latihan keseimbangan merupakan salah satu intervensi mandiri perawat untuk
pencegahan jatuh pada lansia, yang merupakan bagian dari asuhan keperawatan
(Prasansuk, 2004). Perawat memberikan asuhan keperawatan yang berkualitas
dalam rangka memenuhi kebutuhan lansia dan untuk mencapai tingkat kesehatan
berdasarkan standar dan kompetensi. Asuhan keperawatan yang diberikan pada lansia
mulai dari pengkajian, merumuskan masalah dan diagnosa keperawatan, membuat
rencana keperawatan, melakukan implementasi, dan akhirnya mengevaluasi tindakan
yang telah diberikan secara komprehensif. Perawat berperan bukan saja sebagai
pemberi asuhan keperawatan, melainkan juga sebagai pendidik, advokat, konsultan,
komunikator, dan sebagai manajer (Potter & Perry, 2006). Berdasarkan hal tersebut,
maka penulis tertarik untuk memberikan asuhan keperawatan pada Nenek G dengan
masalah risiko jatuh di Wisma Bungur STW Karya Bhakti, dengan salah satu
intervensi atau karya inovasi memberikan latihan keseimbangan Berg.
Analisis praktik ..., Jusnimar, FIK UI, 2013
7
Universitas Indonesia
1.2 Perumusan Masalah
Lansia adalah usia dimasa pensiun, rentang usia antara 65 dan 75 tahun (Potter &
Perry, 2006). Menurut UU Nomor 13 Tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia,
definisi lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas, baik pria
maupun wanita. Menjadi lansia atau menjadi tua tidak bisa dihindari, karena akan
terjadi pada setiap orang.
Lansia akan mengalami perubahan fisiologis, kognitif dan kesehatan psikososial
(Potter & Perry, 2006). Perubahan fisik meliputi semua sistem tubuh, yang salah
satunya sistem muskuloskeletal. Perubahan yang terjadi pada sistem muskuloskeletal,
yaitu: penurunan massa dan tonus otot, serat otot berkurang ukurannya, kekuatan otot
berkurang sebanding dengan penurunan massa otot (Potter & Perry, 2006).
Perubahan tersebut dapat mengakibatkan kelambanan dalam gerak, langkah kaki
yang pendek, kekuatan otot menurun terutama ekstremitas bawah (Darmojo, 2004).
Kaki tidak dapat menapak dengan kuat dan cenderung mudah goyah, lansia menjadi
lambat mengantisipasi bila terjadi gangguan terpeleset, tersandung, mengalami
gangguan keseimbangan dan akhirnya berisiko jatuh. Risiko jatuh bisa terjadi pada
lansia yang tinggal di rumah bersama keluarga ataupun yang tinggal di panti.
Hasil survei yang dilakukan di Unit Pelayanan Sosial Tresna Werdha (UPSTW)
Bangkalan, didapatkan sekitar 63% lansia mengeluh gangguan keseimbangan tubuh
akibat kelemahan otot ekstremitas bawah. Dari 65% lansia tersebut sekitar 57% lansia
pernah mengalami jatuh. Risiko jatuh pada lansia jika tidak dilakukan pencegahan
akan memberikan dampak buruk bagi kesehatan lansia.
Akibat dari jatuh adalah timbulnya cidera kepala dan fraktur, yang jika dibiarkan
akan menimbulkan komplikasi seperti timbulnya dekubitus akibat tirah baring yang
berkepanjangan, perdarahan, trombosis vena dalam, emboli paru, infeksi pneumonia
atau infeksi saluran kencing akibat tirah baring lama, gangguan nutrisi, dan
Analisis praktik ..., Jusnimar, FIK UI, 2013
8
Universitas Indonesia
sebagainya (Ariawan, Kuswardhani, dan Aryana, 2010). Olehkarena itu diperlukan
upaya pencegahan untuk mengatasi masalah risiko jatuh pada lansia.
Upaya pencegahan yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah risiko jatuh, salah
satunya dengan mengajarkan latihan fisik atau latihan keseimbangan, yang bertujuan
untuk meningkatkan keseimbangan tubuh lansia.. Latihan keseimbangan pada lansia
diajarkan oleh perawat profesional. Selain itu, perawat juga berperan dalam
memberikan asuhan keperawatan yang komprehensif, mulai dari pengkajian,
merumuskan diagnosa keperawatan, membuat rencana keperawatan, implementasi
keperawatan dan evaluasi. Berdasarkan fenomena tersebut, maka penulis tertarik
melakukan asuhan keperawatan pada Nenek G dengan masalah risiko jatuh di Wisma
Bungur STW Karya Bhakti.
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Tujuan Umum
Teridentifikasi asuhan keperawatan pada Nenek G dengan masalah risiko
jatuh di Wisma Bungur STW Karya Bhakti.
1.3.2 Tujuan Khusus
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 7 minggu, akan teridentifikasi:
a. Pengkajian pada Nenek G yang mengalami masalah risiko jatuh di Wisma
Bungur STW Karya Bhakti.
b. Masalah dan diagnosis keperawatan pada Nenek G di Wisma Bungur
c. Rencana asuhan keperawatan pada Nenek G di Wisma Bungur
d. Implementasi keperawatan pada Nenek G di Wisma Bungur
e. Evaluasi hasil implementasi pada Nenek G di Wisma Bungur
Analisis praktik ..., Jusnimar, FIK UI, 2013
9
Universitas Indonesia
1.4 Manfaat Penulisan
1.4.1 Untuk Pelayanan
Karya ilmiah akhir Ners ini dapat menjadi data masukan dan sebagai sumber
informasi bagi perawat di STW Karya Bhakti dalam memberikan asuhan
keperawatan pada lansia dengan masalah risiko jatuh.
1.4.2 Untuk Keilmuan
a. Institusi Pendidikan
Karya ilmiah ini bisa bermanfaat sebagai pengembangan pengetahuan
dalam keilmuan keperawatan gerontik khususnya tentang masalah risiko
jatuh.
b. Penelitian
Karya ilmiah ini dapat menjadi sarana peneliti untuk mengembangkan
pengetahuan dalam keilmuan keperawatan gerontik khususnya tentang
masalah risiko jatuh, sehingga bisa diteliti lebih mendalam tentang
efektifitas latihan keseimbangan untuk mencegah risiko jatuh pada lansia.
Analisis praktik ..., Jusnimar, FIK UI, 2013
10 Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Lansia
2.1.1 Pengertian lansia
Menurut UU Nomor 13 Tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia, definisi lansia
adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas, baik pria maupun
wanita. Lansia adalah tahapan dimana individu ada pada usia tertentu, yang
dikategorikan sebagai berikut: lansia awal (young old) antara 65 sampai 74 tahun,
lansia pertengahan (middle old) antara 75 sampai 84 tahun dan lansia akhir ( old-
old) 85 tahun atau lebih (Miller, 2012). Menjadi lansia atau menjadi tua tidak bisa
dihindari, karena akan terjadi pada setiap orang.
Menua adalah menghilangnya secara perlahan- lahan kemampuan jaringan untuk
memperbaiki diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya, sehingga
tidak dapat bertahan terhadap jejas termasuk infeksi dan memperbaiki kerusakan
yang diderita (Constantides, 1994 dalam Nugroho, 2008). Menurut Depkes RI (2001)
menua adalah suatu proses alami yang tidak dapat dihindari, berjalan terus menerus
dan berkesinambungan. Selanjutnya akan menyebabkan perubahaan anatomis,
fisiologis dan biokimia pada tubuh, sehingga akan mempengaruhi fungsi dan
kemapuan tubuh secara keseluruhan.
2.1.2 Teori Menua
Teori menua dikelompokkan menjadi 2, yaitu teori biologi dan psikososial (Stanley
dan Patricia, 2002). Teori biologis memusatkan perhatian pada proses penuaan yang
terjadi pada tingkat seluler. Sedangkan teori psikososial menjelaskan bagaimana
proses penuaan dipandang dalam kaitan dengan kepribadian dan perilaku. Teori
bilogi terdiri dari:
Analisis praktik ..., Jusnimar, FIK UI, 2013
11
Universitas Indonesia
1) Teori genetika
Penuaan dipengaruhi oleh pembentukan gen dan dampak lingkungan pada
pembentukan kode etik. Penuaan adalah suatu proses yang secara tidak sadar
di wariskan yang berjalan dari waktu mengubah sel atau struktur jaringan.
Dengan kata lain, perubahan rentang hidup dan panjang usia telah ditentukan
sebelumnya.
2) Teori imunitas
Seiring bertambahnya usia maka imunitas menjadi menurun, pada lansia
kekebalan terhadap penyakit akan menurun sehingga lansia rentan terhadap
penyakit. Penyakit yang dialami lansia akan berpengaruh pada kesehatannya,
sehingga lansia membatasi aktivitasnya, mengalami gangguan mobilisasi dan
akibatnya berisiko jatuh.
3) Teori wear and tear
Teori ini terjadi karena kelebihan usaha dan stress yang menyebabkan sel-sel
tubuh menjadi lelah (pemakaian). Hal ini berkaitan dengan kekuatan otot,
sendi dan tulang pada lansia, karena pertambahan umur, maka kekuatan otot
menjadi menurun, sehingga lansia cendrung mengalami gangguan
keseimbangan sehingga berisiko jatuh.
4) Teori Lingkungan
Menurut teori ini, faktor- faktor di dalam lingkungan (misalnya, karsinogen
dari industri cahaya matahari, trauma dan infeksi) dapat membawa perubahan
dalam proses penuaan. Walaupun faktor-faktor ini diketahui dapat
mempercepat penuaan, dampak dari lingkungan lebih merupakan dampak
sekunder dan bukan merupakan faktor utama dalam penuaan.
5) Teori Neoendokrin
Teori ini berhubungan dengan perubahan yang terjadi di tingkat sel, adanya
perubahan hormone. Perubahan sistem saraf dan hormone menimbulkan
lansia cenderung mengalami gangguan kognitif, demensia, yang mana hal
tersebut menimbulkan resiko jatuh pada lansia.
Analisis praktik ..., Jusnimar, FIK UI, 2013
12
Universitas Indonesia
2.1.3 Perubahan Sistem Muskuloskeletal Pada Lansia
Perubahan pada sistem muskuloskeletal meliputi: tulang kehilangan densitas (cairan)
dan semakin rapuh, kekuatan dan stabilitas tulang menurun, terjadi kifosis, gangguan
gaya berjalan, tendon mengerut dan mengalami sklerosis, atrofi serabut otot, serabut
otot mengecil sehingga gerakan menjadi lamban, otot kram, dan manjadi tremor,
aliran darah ke otot berkurang sejalan dengan proses menua (Maryam, 2008). Semua
perubahan tersebut dapat mengakibatkan kelambanan dalam gerak, langkah kaki
menjadi pendek, dan adanya gangguan dalam berjalan. Kaki yang tidak dapat
menapak dengan kuat dan lebih mudah goyah, lansia lambat mengantisipasi bila
terjadi gangguan terpeleset, tersandung, mengalami gangguan keseimbangan
sehingga mudah terjatuh.
Perubahan sistem muskuloskeletal yang lain, sebagai berikut (Pujiastuti & Utomo,
2003):
1) Jaringan penghubung (kolagen dan elastin). Kolagen sebagai protein pendukung
utama pada kulit, tendon, tulang, kartilago, dan jaringan pengikat mengalami
perubahan menjadi bentangan cross linking yang tidak teratur. Bentangan yang
tidak teratur dan penurunan hubungan tarikan linier pada jaringan kolagen
merupakan salah satu alasan penurunan mobilitas pada jaringan tubuh. Setelah
kolagen mencapai puncak fungsi atau daya mekaniknya karena penuaan, tensile
strength dan kekakuan dari kolagen mulai menurun. Kolagen dan elastin
merupakan jaringan ikat pada jaringan penghubung mengalami perubahan
kulitatif dan kuantitatif sesuai penuaan. Perubahan pada kolagen itu merupakan
penyebab turunnya fleksibilitas pada lansia sehingga menimbulkan dampak
berupa nyeri, penurunan kemampuan untuk meningkatkan kekuatan otot,
kesulitan bergerak dari duduk ke berdiri, jongkok, dan berjalan, dan hambatan
dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
Analisis praktik ..., Jusnimar, FIK UI, 2013
13
Universitas Indonesia
2) Kartilago. Jaringan kartilago pada persendian menjadi lunak dan mengalami
granulasi dan akhirnya permukaan sendi menjadi rata. Selanjutnya, kemampuan
kartilago untuk regenerasi berkurang dan degenerasi yang terjadi cenderung kea
rah progresif. Proteoglikan yang merupakan komponen dasar matriks kartilago
erkurang atau hilang secara bertahap. Setelah matriks mengalami deteriorasi,
jaringan fibril pada kolagen kehilangan kekuatannya, dan akhirnya kartilago
cenderung mengalami fibrilasi. Kartilago mengalami kalsifikasi di beberapa
tempat, seperti padatulang rusuk dan tiroid. Fungsi kartilago menjadi tidak
efektif, tidak hanya sebagai peredam kejut, tetapi juga sebagai sendi yang
berpelumas. Konsekuensinya, kartilago pada persendian menjadi rentan terhadap
gesekan. Perubahan tersebut sering terjadi pada sendi besar penumpu berat
badan. Akibat perubahan itu sendi mudah mengalami peradangan, kekakuan,
nyeri, keterbatasan gerak, dan terganggunya aktivitas sehari-hari.
3) Tulang. Berkurangnya kepadatan tulang, merupakan fisiologis karena proses
menua. Trabekula longitudional menjadi tipis dan trabekula transversal
terabsorpsi kembali. Akibat perubahan itu, jumlah tulang spongiosa berkurang
dan tulang kompakta menjadi tipis. Perubahan lain adalah penurunan estrogen
sehingga produksi osteoklas tidak terkendali, penurunan penyerapam calsium di
usus, peningkatan kanal haversi sehingga tulang menjadi keropos. Berkurangnya
jaringan dan ukuran tulang secara keseluruhan menyebabkan kekuatan dan
kekakuan tulang menurun. Dampak berkurangnya kepadatan tulang akan
mengakibatkan osteoporosis, yang mengakibatkan timbulnya nyeri, deformitas,
dan fraktur.
4) Otot. Perubahan struktur otot pada penuaaan sangat bervariasi. Penurunan
jumlah dan dan ukuran serabut otot, peningkatan jaringan penghubung, dan
jaringan lemak pada otot mengakibatkan efek negatif. Perubahan morfologis otot
pada penuaaan: penurunan jumlah serabut otot, atrofi beberapa serabut otot dan
fibril menjadi tidak teratur, dan hipertropi pada beberapa serabut otot yang lain,
Analisis praktik ..., Jusnimar, FIK UI, 2013
14
Universitas Indonesia
berkurangnya 30% masa otot, penumpukan lipofusin, peningkatan jaringan
lemak dan penghubung, degenerasi myofibril. Dampak perubahan morfologis
tersebut adalah penurunan kekuatan otot, penurunan fleksibilitas, peningkatan
waktu reaksi, dan penurunan kemampuan fungsional otot.
Kekuatan, ketahanan dan koordinasi otot akan mengalami penurunan seiring
bertambahnya usia. Mulai usia 40 tahun, kekuatan otot akan menurun secara
bertahap, dan pada usia 80 tahun penurunan kekuatan otot sekitar 30%-50%,
terutama terjadi pada ekstremitas bawah (Miller, 2012). Menurunnya kekuatan
otot disebabkan oleh berkurangnya masa otot pada lansia. Menurunnya
ketahanan otot dan koordinasi disebabkan oleh perubahan pada otot dan sistem
saraf pusat yang berhubungan dengan proses menua. Akibat perubahan tersebut
maka lansia akan mudah mengalami kelelahan otot saat latihan atau olahraga
yang berdurasi pendek sekalipun.
5) Sendi. Pada lansia jaringan ikat sekitar sendi seperti tendon, ligament, dan fasia
mengalami penurunan elastisitas. Ligamen, kartilago, dan jaringan periartikular
mengalami penurunan daya lentur dan elastisitas. Terjadi degenerasi, erosi, dan
kalsifikasi pada kartilago dan kapsul sendi. Sendi kehilangan fleksibilitasnya
sehingga terjadi penurunan luas gerak sendi. Kelainan akibat perubahan sendi,
antaralain; osteoarthritis, arthritis rheumatoid, Gout, dan pseudogout. Kelainan
tersebut menimbulkan gangguan berupa bengkak, nyeri, kekauan sendi,
keterbatasan ruang gerak sendi, gangguan jalan, dan keterbatasan aktivitas.
Penurunan fungsi sendi mengakibatkan penurunan rentang gerak, penurunan rentang
gerak lengan atas sehingga mengalami keterbatasan atau kesulitan beraktivitas
seperti; menulis, makan. Penurunan rentang gerak fleksi punggung bawah, fleksi
panggul dan rotasi eksternal, fleksi lutut, dan gerakan dorsofleksi kaki, yang
mengakibatkan lansia sulit meletakkan sepatu atau membuka kaos kaki, dan menaiki
tangga. Penurunan fungsi sendi secara umum mengakibatkan kemampuan lansia
Analisis praktik ..., Jusnimar, FIK UI, 2013
15
Universitas Indonesia
menjadi melambat dalam merespon terhadap stimulus dari lingkungan dan dalam
melakukan aktivitas sehari-hari.
Perubahan sistem muskuloskeletal karena penambahan usia mengakibatkan
perubahan cara berjalan, dan lambat dalam beraktivitas sehari-hari. Perubahan
mobilisasi dan keamanan pada lansia (Miller, 2012), antara lain: Berkurangnya masa
otot dan perubahan sistem saraf pusat, mengakibatkan menurunnya kekuatan oot,
ketahanan dan fungsi koordinasi; Perubahan degenerative dan jaringan penghubung
serta struktur sendi, yang mengakibatkan terbatasnya rentang gerak semua sendi,
sehingga lansia mengalami kesulitan dalam melakukan aktivitas sehari-hari;
Osteoporosis, yang mengakibatkan meningkatnya risiko fraktur pada lansia dan;
Perubahan fungsi penglihatan, gaya berjalan, keseimbangan, mobilitas dan sistem
saraf mengakibatkan meningkatnya risiko jatuh.
Lansia mengalami kemunduran atau perubahan morfologis pada otot yang
menyebabkan perubahan fungsional otot, yaitu terjadi penurunan kekuatan dan
kontraksi otot, elastisitas dan fleksibilitas otot, serta kecepatan dan waktu reaksi.
Penurunan fungsi dan kekuatan otot akan mengakibatkan penurunan kemampuan
mempertahankan keseimbangan postural atau keseimbangan tubuh lansia. Lans ia
merupakan kelompok umur yang paling beresiko mengalami gangguan keseimbangan
postural (Ceranski, 2006). Ada beberapa hal yang dapat menyebabkan gangguan
keseimbangan postural, diantaranya adalah efek penuaan, kecelakaan, maupun karena
faktor penyakit. Namun dari tiga hal ini, faktor penuaan adalah faktor utama
penyebab gangguan keseimbangan postural pada lansia (Avers, 2007). Jika
keseimbangan postural lansia tidak dikontrol, maka akan dapat meningkatkan resiko
jatuh pada lansia (Siburian, 2006).
Analisis praktik ..., Jusnimar, FIK UI, 2013
16
Universitas Indonesia
2.1.4 Masalah Jatuh Pada Lansia
Jatuh merupakan masalah fisik yang sering dialami oleh lansia akibat proses penuaan
(Pudjiastuti, 2003). Jatuh adalah suatu peristiwa yang dilaporkan penderita atau saksi
mata yang melihatnya, mengakibatkan seseorang tersebut menjadi terduduk atau
terbaring tanpa sengaja di lantau atau tempat yang lebih rendah, dengan atau tanpa
kehilangan kesadara (Tinetti, 2003). Menurut Nanda (2011), risiko jatuh adalah
peningkatan kerentanan untuk jatuh yang dapat menyebabkan bahaya fisik.
2.1.5 Faktor-faktor penyebab jatuh pada lansia
Stabilitas seseorang untuk berdiri dan beraktivitas itu ditentukan oleh : sistem
sensorik, sistem syaraf pusat, kognitif, dan sistem muskuloskeletal. Pada sistem
sensorik yang berperan di dalamnya adalah penglihatan (visus) dan pendengaran.
Semua gangguan atau perubahan pada mata akan menimbulkan gangguan
penglihatan. Begitu pula semua penyakit telinga akan menimbulkan gangguan
pendengaran. Vertigo tipe perifer sering terjadi pada lansia yang diduga karpena
adanya perubahan fungsi vestibuler akibat proses manua. Neuropati perifer dan
penyakit degeneratif leher akan mengganggu fungsi proprioseptif. Gangguan sensorik
tersebut menyebabkan hampir sepertiga penderita lansia mengalami sensasi abnormal
pada saat dilakukan uji klinik. Sistem saraf pusat (SSP), bila ada penyakit yang
berhubungan dengan saraf seperti stroke dan Parkinson yang sering di derita oleh
lansia dan menyebabkan gangguan fungsi SSP sehingga berespon tidak baik terhadap
input sensorik (Tinetti, 2003).
Faktor risiko jatuh menurut Nanda (2011), yaitu usia 65 tahun atau lebih, memiliki
riwayat jatuh, tinggal sendiri, prosthesis ekstremitas bawah, penggunaan alat bantu
(tongkat, walker), penggunaan kursi roda, penurunan kognitif atau status mental.
Sedangkan faktor lingkungan yang meningkatkan risiko jatuh, antaralain: lingkungan
yang tidak teratur, ruang dengan pencahayaan yang redup, lantai yang licin, keset
atau karpet yang tertekuk, tidak adanya handrail di kamar mandi atau di shower.
Analisis praktik ..., Jusnimar, FIK UI, 2013
17
Universitas Indonesia
Faktor lain yaitu medikasi, seperti: penggunaan alkohol, anti ansietas, anti hipertensi,
diuretik, obat penenang, dan anti depresi.
Penambahan usia dan perubahan yang terjadi karena menua memberikan kontribusi
faktor risiko terhadap tingginya insiden jatuh pada lansia, terutama lansia
perempuan. Prevalensi lansia wanita yang jatuh 3x lebih tinggi dibandingkan lansia
laki- laki, 45% lansia mengalami jatuh saat menjalani proses perawatan yang lama,
30-50% lansia yang berusia 65-69 tahun berisiko jatuh (Tideiksaar,1989 dalam
Miller, 2012).
Penyebab dan faktor risiko jatuh menurut Miller (2012):
1) Perubahan fisik karena menua
Penurunan fungsi penglihatan dan pendengaran, osteoporosis, melambatnya
lansia dalam berespon atau bereaksi terhadap stimulus dari lingkungan,
perubahan gaya berjalan, mudah goyah atau gangguan keseimbangan,
hipotensi postural, dan nokturia.
2) Masalah kesehatan yang umum terjadi pada lansia
Demensia atau bingung, penyakit jantung (aritmia, miokardiak infark),
gangguan saraf (Parkinson, hemiplegi), gangguan metabolic (dehidrasi,
ketidakseimbangan elektrolit, hipotiroid), masalah musculoskeletal
(osteoartitis), serangan iskemik yang sementara, katarak, dan glaucoma.
3) Faktor psikologis
Depresi, anxietas, dan distraksi
4) Obat-obatan
Anticholinergic, obat penenang, anti depresan, antihipertensi, vasodilator,
obat-obatan anti inflamasi nonsterod, dan interkasi obat.
Analisis praktik ..., Jusnimar, FIK UI, 2013
18
Universitas Indonesia
5) Faktor ekstrinsik
Alat pengikat fisik, cahaya yang silau, pencahayaan yang kurang atau redup,
handrail yang rusak, lantai yang licin, karpet atau keset yang tertekuk,
lingkungan yang tidak dikenal lansia, lantai atau keramik yang tidak rata (ada
undakan), ukuran atau tinggi tempat tidur, kursi dan toilet yang tidak tepat.
2.1.6 Pencegahan jatuh pada lansia
Pencegahan jatuh pada lansia di rumah sakit dan panti (Miller, 2012)
1) Identifikasi lansia yang berisik jatuh. Selama pengkajian awal, identifikasi
risiko jatuh ( seperti; obat-obatan, riwayat jatuh, kerusakan kognitif,
penurunan fungsi penglihatan, gangguan mobilisasi, lansia yang berumur
75 tahun atau lebih). Kaji dan dokumentasikan faktor risiko jatuh
menggunakan pengkajian khusus risiko jatuh pada lansia (Morse Fall
Scale atau Berg Balance Test). Kaji kembali risiko jatuh secara reguler
untuk mengantisipasi (misalnya tiap shift, setiap hari, saat terjadi
perubahan fungsi dan status kesehatan lansia). Gunakan kode warna
(misalnya menggunakan stiker berwarna terang, menggunakan pita atau
gelang berwarna pada lengan lansia yang berisiko jatuh, atau meletakkan
tanda tersebut di tempat tidur atau di pintu kamar) yang mengindikasikan
lansia berisiko jatuh dan sedang mengikuti program pencegahan jatuh
2) Beri pendidikan kesehatan pada petugas, lansia, dan keluarga.
Instruksikan pada lansia dan keluarga tentang program pencegahan jatuh
menggunakan brosur yang berisi informasi tentang cara pencegahan jatuh
dan cara memperoleh bantuan jika terjadi jatuh pada lansia. Berikan
pelatihan dan pendidikan kesehatan tentang program pencegahan jatuh,
faktor risiko jatuh pada lansia, terutama faktor- faktor tersebut berpengaruh
terhadap petugas (misalnya pemasangan restraints, penggunaan sepatu).
Pasang poster tentang pencegahan jatuh pada lansia, agar petugas atau
karyawan menjadi lebih peduli terhadap masalah tersebut.
Analisis praktik ..., Jusnimar, FIK UI, 2013
19
Universitas Indonesia
3) Intervensi untuk diimplementasikan pada semua lansia yang berisiko
jatuh. Pertahankan agar bel berada dalam posisi yang mudah dijangkau
lansia, dekat tempat tidur. Pastikan posisi tempat tidur lansia rendah dan
roda tempat tidur dalam keadaan terkunci. Jika menggunakan reistraint,
evaluasi kembali penggunaannya setiap shift. Orientasikan lansia terhadap
lingkungan sekitarnya setiap shift. Tawarkan lansia untuk memiliki asisten
atau caregiver untuk membantu aktivitas sehari-hari dan untuk
mengantisipasi kebutuhan lansia sebelum memanggil perawat untuk
meminta bantuan. Memberitahukan lansia untuk memencet bel atau
memanggil perawat jika membutuhkan pertolongan. Dokumentasikan
intervensi pencegahan jatuh pada status lansia.
Peran perawat pada masalah risiko jatuh, yaitu: perawat panti memulai implementasi
dengan memberikan perhatian khusus pada lansia yang berisiko jatuh dan melakukan
program pencegahan jatuh. Kunci utama pada pencegahan jatuh adalah
mengidentifikasi lansia yang berisiko jatuh dan secara konsisten melakukan
implementasi tindakan pencegahan oleh semua petugas atau karyawan. Program yang
penting adalah memberikan pendidikan kesehatan pada semua petugas yang
professional ataupun petugas yang tidak professional yang kontak dengan lansia.
Pendidikan kesehatan tentang strategi untuk meningkatkan kepedulian petugas
terhadap masalah risiko jatuh dan cara untuk menurunkan risiko jatuh lansia. Perawat
juga melakukan pengkajian identifikasi risiko jatuh lansia, misalnya adanya hewan
peliharaan di rumah, penggunaan restraint. Pencegahan jatuh pada lansia dengan
memodifikasi lingkungan agar tidak membahayakan lansia, melatih fisik lansia untuk
meningkatkan kekuatan otot, sendi dan keseimbangan postural lansia. Salah satu
latihan yang bisa dilakukan adalah latihan keseimbangan.
Analisis praktik ..., Jusnimar, FIK UI, 2013
20
Universitas Indonesia
2.1.7 Latihan keseimbangan
Keseimbangan didefinisikan sebagai kemampuan untuk menjaga posisi tegak selama
seseorang berada pada posisi berdiri tenang atau diam. Karena tubuh manusia secara
absolut tidak pernah stabil maka diperlukan kontrol keseimbangan untuk
mengembalikan tubuh pada titik keseimbangannya dimana menjaga pusat gravitasi
tubuh tetap berada dalam batas basis penyangga tubuh dan mengantisipasi setiap
pergerakan yang mengakibatkan perpindahan pusat gravitasi tubuh (Haerer, 1992
dalam Barnedh, 2006).
Latihan keseimbangan adalah latihan khusus yang ditujukan untuk membantu
meningkatkan kekuatan otot pada anggota bawah (kaki) dan untuk meningkatkan
sistem vestibular/kesimbangan tubuh. Latihan keseimbangan sangat penting pada
lansia (lanjut usia) karena latihan ini sangat membantu mempertahankan tubuhnya
agar stabil sehingga mencegah terjatuh yang sering terjadi pada lansia. Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Kusnanto, Indarwati dan Mufidah (2007) juga
mengungkapkan bahwa latihan balance exercise yang dilakukan 3 kali seminggu
selama 3 minggu dapat menimbulkan kontraksi otot pada lansia yang kemudian dapat
mengakibatkan peningkatan serat otot (hipertropi), serat otot yang hipertropi ini
mengalami peningkatan komponen sistem metabolisme fosfagen, termasuk ATP dan
fosfokreatin sehingga dapat meningkatkan kekuatan otot pada lansia. Dengan adanya
peningkatan kekuatan otot ini maka dapat meningkatkan keseimbangan postural pada
lansia.
Latihan keseimbangan adalah latihan fisik untuk meningkatkan keseimbangan lansia,
meningkatkan kekuatan otot, khususnya otot ekstremitas bawah (Ceranski, 2006) .
Salah satu jenis latihan keseimbangan yaitu Berg Balance. Prasansuk (2004) juga
menyimpulkan bahwa salah satu keuntungan dari latihan keseimbangan adalah untuk
meningkatkan keseimbangan postural lansia, sehingga bisa mencegah terjadinya
jatuh. Hasil survei yang dilakukan peneliti di tempat penelitian yaitu di Unit
Pelayanan Sosial Tresna Werdha (UPSTW) Bangkalan, didapatkan sekitar 63%
Analisis praktik ..., Jusnimar, FIK UI, 2013
21
Universitas Indonesia
lansia disana mengeluh gangguan keseimbangan tubuh akibat kelemahan otot
ekstremitas bawah. Dari 65% lansia tersebut sekitar 57% lansia pernah mengalami
jatuh. Penurunan keseimbangan postural akibat penurunan kekuatan otot dapat
ditingkatkan dengan melakukan latihan fisik yang berguna untuk menjaga agar fungsi
otot dan postur tubuh tetap baik (Budiharjo, 2004).
Berg Balance Test terdiri dari 14 perintah yang dinilai menggunakan skala ordinal
(Langley & Mackintosh, 2007). Katherine Berg, merupakan orang yang membuat
Berg Balance Test pada tahun 1989. Katherine menyelesaikan penelitiannya terhadap
183 lansia yang 70 orang di antaranya mengalami stroke. Kemudian, Berg Balance
Test dikembangkan pada tahun 1990-an yang didesain untuk membantu menentukan
perubahan fungsi keseimbangan baik statis (saat diam) maupun dinamis (saat
bergerak) pada lansia (Berg et al., 1992 dalam Barnes, et al., 2005).
Tujuan latihan ini untuk mengukur keseimbangan pada lansia dengan gangguan
fungsi keseimbangan, menentukan risiko jatuh pada lansia (rendah, sedang, atau
tinggi), dan menilai kemampuan klien dalam memelihara posisi. Selain itu tes ini
untuk menilai kemampuan dalam mempertahankan keseimbangan, baik secara statis
atau saat melakukan berbagai pergerakan fungsional, beberapa di antaranya
memerlukan perubahan pada basis penyangga tubuh (Piotrowski & Cole, 1994).
Rentang nilai 0-4, dimana 0 berarti lansia tidak mampu melakukan dan 4 berarti
lansia mampu melakukan tanpa bantuan. Skor maksimum adalah 56. Nilai kurang
dari 45 berarti terdapat gangguan keseimbangan dan menjadi faktor risiko untuk
jatuh. Interpretasi lain dari hasil penilaian keseimbangan ini adalah untuk nilai 0-20
membutuhkan kursi roda, nilai 21-40 berarti membutuhkan bantuan dalam berjalan,
dan nilai 41-56 dapat mandiri. Menurut Colon-Emeric (2002) nilai sensitifitas BBS
ini adalah 55-82 % yang berarti kemampuan instrumen ini untuk mengidentifikasi
secara benar lansia yang berisiko jatuh sebesar 55-82 %. Sedangkan nilai spesifisitas
Analisis praktik ..., Jusnimar, FIK UI, 2013
22
Universitas Indonesia
BBS ini adalah 87-95 % yang berarti kemampuan instrument ini untuk
mengidentifikasi secara benar lansia yang tidak berisiko jatuh sebesar 87-95 %.
2.2 Kesehatan Lansia Di Perkotaan
2.2.1 Pengertian kota
Kota adalah pemukiman yang relatif besar padat dan permanen serta dihuni oleh
orang orang yang heterogen kehidupan sosialnya. Akibatnya hubungan sosial menjadi
longgar, acuh tak acuh dan tidak bersifat pribadi. Kota adalah istilah untuk lokasi
geografis dan densitas populasi yang digambarkan dalam jarak dan waktu yang
dibutuhkan untuk sampai ke pusat kota (Stanhope & Lancaster, 2004 )
2.2.2 Lansia di Perkotaan
Kehidupan di perkotaan, menuntut individu untuk aktif bekerja, agar bisa hidup
dengan layak, serta tuntutan profesi atau pekerjaan menyita hampir seluruh waktu
seorang anak, sehingga tidak lagi mempunyai kesempatan untuk memberikan
perhatian dan perawatan kapada orang tuanya. Orang tua yang memasuki masa lanjut
usia semakin terabaikan secara sosial, budaya dan psikologis, sehingga merasa
kesepian dan terlantar dalam rumah. Fenomena ini mengakibatkan dibangunnya
sebuah institusi yang akan menjalankan atau mengambil alih fungsi- fungsi yang telah
diabaikan oleh keluarga, yaitu panti werdha (Kemensos RI, 2008). Keberadaan panti
werdha di masa akan datang semakin dibutuhkan, sehingga kedepan panti werdha
akan menjadi sebuah pilihan dan solusi atas perubahan sosial yang terjadi
dimasyarakat.
50% dari total populasi lansia, 25% lansia yang berusia di atas 65 tahun, memolih
tinggal di panti (Stanhope & Lancaster, 2004). Panti werdha menyediakan lingkungan
yang aman, aktivitas dan diet khusus, ada perawatan rutin kesehatan , pengobatan dan
manajemen perawatan kesehatan seperti rehabilitasi. Panti bertujuan untuk
menyediakan hunian yang nyamandan untuk meningkatkan kesehatan lansia. Salah
Analisis praktik ..., Jusnimar, FIK UI, 2013
23
Universitas Indonesia
satu panti werdha yang ada di Jakarta adalah Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti
(STWKB).
STW Karya Bhakti didirikan pada tahun 1984 atas prakarsa Ibu Tien Soeharto, yang
saat ini memiliki slogan sebagai hunian pilihan lanjut usia masa kini. Pelayanan yang
ada di STW bagi para lansia untuk menjaga kualitas hidup meliputi pelayanan
kesehatan berupa konsultasi dokter, asuhan keperawatan, fisioterapi, farmasi, rawat
jalan, rawat inap, rujukan RS dan kegawatdaruratan; pelayanan sosial berupa
pembinaan mental spiritual sesuai keyakinan, senam, seni tradisional (angklung),
bernyanyi, kegiatan keterampilan membuat anyaman atau menyulam, berkebun, dan
kegitan bincang-bincang dengan beberapa tokoh atau instansi.
2.2.3 Keperawatan Kesehatan Perkotaan
Keperawatan kesehatan masyarakat adalah suatu bidang dalam keperawatan
kesehatan yang merupakan perpaduan antara keperawatan dan kesehatan masyarakat
dengan dukungan peran serta aktif masyarakat, serta mengutamakan pelayanan
promotif, preventif secara berkesinambungan tanpa mengabaikan pelayanan kuratif
dan rehabilitatif secara menyeluruh dan terpadu yang ditujukan kepada individu,
keluarga, kelompok, dan masyarakat sebagai satu kesatuan yang utuh melalui
pendekatan proses keperawatan untuk meningkatkan fungsi kehidupan manusia
secara optimal sehingga mandiri dalam upaya kesehatannya (Depkes, 2006).
Model keperawatan kesehatan perkotaan digunakan sebagai acuan perawat dalam
melakukan dan memberikan asuhan keperawatan untuk mengatasi masalah kesehatan
perkotaan (Stanhope & Lancaster, 2004). Ruang lingkup praktik keperawatan pada
masyarakat perkotaan meliputi: upaya-upaya peningkatan kesehatan (promotif),
pencegahan (preventif), pemeliharaan kesehatan dan pengobatan (kuratif), pemulihan
kesehatan (rehabilitatif) dan mengembalikan serta memfungsikan kembali baik
individu, keluarga, kelompok dan masyarakat ke lingkungan sosial dan
masyarakatnya (Stanhope & Lancaster, 2004).
Analisis praktik ..., Jusnimar, FIK UI, 2013
24
Universitas Indonesia
Peran perawat dalam melakukan promosi kesehatan, pencegahan penyakit dan
meningkatkan kesehatan lansia. Peran perawat tersebut bisa dilaksanakan dengan
melibatkan lansia, melakukan konseling, pendidikan kesehatan, advokasi, dan
manajemen perawatan (Stanhope & Lancaster, 2004). Tujuan asuhan keperawatan
untuk meningkatkan kesehatan lansia, yang di dalam prosesnya dibutuhkan
kolaborasi dengan tim kesehatan lainnya seperti dokter, fisioterpis, ahli gizi, dan lain-
lain. Tindakan preventif yang menjadi fokus utama perawat, terdiri dari pencegahan
primer, sekunder dan tersier.
Pencegahan primer adalah pencegahan lansia dari pneumonia, dengan melakukan
vaksin pnemokokus atau imunisasi masal untuk lansia. Pencegahan sekunder meliputi
pengkajian yang komprehensif, dengan melibatkan partisipasi aktif lansia. Misalnya
melakukan pengukuran tekanan darah, kolesterol, dan lain- lain. Pencegahan tersier,
dengan menyediakan klinik DM, lansia yang mempunyai penyakit DM diajarkan dan
cara pencegahan komplikasi luka di kaki, merubah gaya hidup untuk mengatasi
penyakit kronoik (Stanhope & Lancaster, 2004).
Analisis praktik ..., Jusnimar, FIK UI, 2013
25 Universitas Indonesia
BAB 3
LAPORAN KASUS KELOLAAN
3.1 Pengkajian
Nenek G (83 tahun) tinggal di Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti (STWKB) sejak
Desember 2009, atas keinginan pribadi dan tidak ada paksaan dari pihak keluarga,
ataupun pihak lain. Alasan ingin tinggal di panti, karena residen tinggal sendirian di
rumah, tidak ada suami (sudah meninggal) dan tidak mempunyai anak.
Masalah kesehatan yang dimiliki Nenek G adalah: sakit hipertensi, yang terkontrol
dengan rutin minum obat anti hipertensi Amlodipin 1x 5 mg; pernah dioperasi usus
buntu tahun 1961. Masalah kesehatan yang saat ini dirasakan adalah: merasa
keseimbangannya terganggu sehingga tidak kuat berdiri lama sehingga menggunakan
kursi roda, untuk aktivitas dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari dibantu caregiver;
selama di STW pernah jatuh 3x, karena kakinya terasa lemah karena proses menua;
mengeluh insomnia, sering terbangun pada dini hari (pukul 02.00 wib) dan sulit
untuk tidur kembali. Masalah kesehatan keluarga, menurut Nenek G, ada yang
menderita hipertensi dan stroke, yaitu kakak dan orangtua. Penyakit seperti diabetes
melitus, dan kanker tidak ada.
Pola makan Nenek G, makan 3x/hari, yaitu jam 7 pagi, jam 12 siang, dan jam 7
malam. Jenis makanan yang dikonsumsi, yaitu: bubur, sayur, lauk-pauk, dan buah-
buahan yang disediakan STW. Residen selalu menghabiskan makanannnya setiap
makan. Makanan favoritnya adalah perkedel jagung, sedangkan makanan yang tidak
disukai tidak ada. Pola minum Oma G: minum susu 1 cangkir saat sarapan, minum
air putih 1-1,5 liter setiap hari. Minuman disediakan dalam teko yang diisi
caregiver.
Nenek G mengatakan bahwa waktu tidurnya kurang. Malam hari tidur pukul 22.00
dan sering terbangun pada pukul 02.00 dini hari, lalu sulit untuk tidur kembali. Saat
Analisis praktik ..., Jusnimar, FIK UI, 2013
26
Universitas Indonesia
siang hari tidak terbiasa tidur, hanya bersantai di atas tempat tidur sambil menonton
TV. Residen mengatakan suka merasa pusing dan sulit berkonsentrasi di pagi hari,
akibat kurang tidur. Hasil pengkajian, ditemukan data bahwa residen mengalami
insomnia, terdapat kantung mata, dan suka menguap disiang hari atau saat
wawancara.
Pola eliminasi buang air besar (BAB) dan buang air kecil (BAK) Nenek G, sebagai
berikut: BAK 5-8 kali perhari, tidak ada kesulitan dan tidak ada nyeri saat BAK; pola
BAB 1-2 hari sekali yaitu pada pagi hari saat mandi, feses lunak dan mudah
dikeluarkan, sehingga tidak pernah menggunakan obat pencahar.
Aktivitas sehari-hari Nenek G, yaitu: memulai aktivitas pagi hari dengan mandi jam
5 pagi, dibantu caregiver, lalu sarapan jam 7 pagi, dilanjutkan dengan mengecek
tekanan darah di klinik Wijaya Kusuma. Berjemur di depan klinik sampai pukul
07.30 WIB, lalu kembali ke kamar untuk membaca novel atau mengisi teka-teki
silang (TTS). Jam 9 pagi, mengikuti kegiatan seperti: senam, terapi musik, latihan
relaksasi, dan lain- lain. Saat siang hari residen istirahat di kamar. Saat sore hari,
mengikuti kegiatan yang dilakukan STW (kebaktian) atau kegiatan yang diadakan
mahasiswa di jam 4 sore. Saat diobservasi, residen tampak aktif dalam kegiatan
yang diadakan di STW, meskipun menggunakan kursi roda. Kegiatan sehari-hari
seperti mandi, perawatan kuku, mencuci piring, dan toileting sebagian dibantu oleh
caregiver. Nenek G jarang berekreasi keluar panti, karena sulit untuk mobilisasi/jalan
dan menggunakan kursi roda, terakhir rekreasi 2 bulan yang lalu ke kota tua, bersama
para lansia di STW.
Kondisi psikososial Nenek G, nampak emosi stabil, tidak mudah marah, tidak merasa
kesepian, sangat kooperatif dan mudah menerima kehadiran orang baru, terlihat
sangat ramah dan murah senyum. Saat ini status residen adalah janda (suami
meninggal tahun 2004) dan tidak mempunyai anak. Keluarga sangat mendukung
keputusan Nenek G untuk tinggal di STW, dibuktikan dengan membiayai akomodasi
Analisis praktik ..., Jusnimar, FIK UI, 2013
27
Universitas Indonesia
di STW, keponakan dan adik ipar residen rutin datang berkunjung 1 bulan sekali dan
selalu membawa makanan kesukaaan klien atau membawa novel-novel baru yang
disukai residen. Di Wisma Bungur, hubungan residen dengan residen lain cukup baik,
terlihat sangat ramah dan suka menyapa residen lainnya, berhubungan baik dengan
para caregiver, perawat atau mahasiswa dan koas yang sedang praktek, tidak pernah
menolak mahasiswa yang ingin berinteraksi, selalu menyambut dengan hangat dan
dengan senyum manis.
Spiritual Nenek G, sebagai berikut: beragama Kristen, aktif mengikuti kebaktian
3x/minggu, selalu rutin ke Gereja yang dekat STW setiap hari Minggu, untuk
beribadah. Menurut Nenek G, sakit yang dialaminya adalah cobaan dari Tuhan dan
selalu berusaha untuk selalu tetap bersyukur dan berusaha untuk sembuh dan sehat,
karena sehat adalah hal yang sangat penting agar bisa berkativitas dengan normal.
Pemeriksaan fisik yang dilakukan pada Nenek G didapatkan hasil sebagai berikut:
keadaan umum baik, telihat bersih. Kesadaran compos mentis. Tanda-tanda vital:
TD: 130/70 mmhg, nadi: 80x/menit, pernapasan 20x/menit dan suhu 36°C. Tinggi
badan 155 cm, berat badan 55 kg, indeks masa tubuh (IMT) 22,9kg/m2 (normal).
Rambut Nenek G: lurus, rambut sebagian mulai beruban, dan tampak bersih. Kondisi
mata: mata kanan pernah dioperasi katarak, menggunakan kacamata untuk membaca,
konjungtiva berwarna merah muda (tidak anemis), sklera tidak ikterik dan pupil
isokor. Hidung : simetris, bersih, tidak ada massa, tidak ada sekret. Tidak ada
gangguan penciuman. Mulut : gigi sebagian sudah tanggal, yang tersisa hanya 5 gigi
dibagian depan bawah. Keadaan gigi berwarna putih. Lidah bersih, lesi tidak ada,
mukosa tidak kering. Telinga : simetris atara telinga kanan dan kiri, tidak ada
serumen, tidak ada masalah pendengaran. Leher : tidak ada pembesaran kelenjar
betah bening, tidak ada benjolan/massa di leher dan tidak ada distensi vena jugularis.
Analisis praktik ..., Jusnimar, FIK UI, 2013
28
Universitas Indonesia
Kondisi thoraks Nenek G sebagai berikut: dada simetris, palpasi pada paru Tactil
Fremitus antara toraks posterior dan anterior sama, perkusi paru bunyi resonance,
auskultasi paru hasilnya suara paru vesikuler, ronkhi dan wheezing tidak ada.
pemeriksaan fisik sistem sirkulasi didapatkan data sebagai berikut: warna kulit tidak
pucat, penonjolan mata disekitar preorbital tidak ada, bibir tidak tampak sianosis,
konjungtiva tidak anemis, tidak ada pembesaran vena jugularis, bunyi jantung (BJ),
BJ I – II normal, murmur tidak ada, gallop tidak ada.
Pemeriksaan fisik abdomen Nenek G, sebagai berikut: tampak buncit, tidak ada
kemerahan, scar tidak ada, tidak ada tanda – tanda infeksi, bising usus 8x/menit, saat
diperkusi suara timpani, nyeri tekan abdomen tidak ada, nyeri ketuk pada ginjal tidak
ada. Abdomen teraba lemas dan lunak, limfa tidak teraba, ginjal tidak teraba.
Ekstremitas Nenek G sebagai berikut: aktivitas menggunakan kursi roda dan jarang
menggunakan walker, tidak ada kontraktur ekstremitas, kaki kanan nampak bengkak,
kekuatan otot 5555 555 Palpasi : Capilarry Refill Time : <3 detik, turgor kulit
elastis. 4444 4444
3.2 Analisa Data
Setelah melakukan pengkajian dan mendapatkan semua data Nenek G, lalu data
dikelompokkan dan dianalisis sehingga dirumuskan ada tiga masalah keperawatan
utama, yaitu hambatan mobilisasi fisik, risiko jatuh dan insomnia. Masalah tersebut
dirumuskan berdasarkan data fokus (data subjektif dan objektif) yang terdapat pada
Nenek G (lampiran 2).
Data subjektif yang ditemukan antaralain: Nenek G mengatakan tidak kuat berdiri
lama (lebih dari 2 menit), ingin bisa berdiri mandiri dan bisa berjalan kembali,
mobilisasi menggunakan kursi roda, menggunakan walker hanya untuk latihan
berpindah dari duduk ke berdiri dan sebaliknya, pernah jatuh 3x selama di STW,
aktivitas sebagian dibantu oleh caregiver. Keluhan lain adanya kesulitan untuk tidur,
merasa tidurnya kurang cukup, tidur jam 22.00 wib, dan sering terbangun pukul
Analisis praktik ..., Jusnimar, FIK UI, 2013
29
Universitas Indonesia
02.00 dinihari, dan sulit untuk tidur kembali. Akibat kurang tidur, pagi hari sering
merasa ngantuk dan lemas, sulit berkonsentrasi.
Data Obyektif yang didapatkan pada Nenek G, antara lain: terlihat beraktivitas
menggunakan kursi roda, Nilai Indeks Kazt (tingkat kemandirian): 4, artinya tingkat
kemandirian sebagian atau gangguan fungsional sebagian, Nilai BBT (Berg Balance
test): 26, artinya klien memiliki risiko jatuh sedang, dan perlu menggunakan alat
bantu jalan, kaki kanan terlihat agak bengkak, tidak ada kontraktur pada ekstremitas,
semua ekstremitas bisa digerakkan dengan mandiri, latihan ROM rutin setiap pagi
selama 30 menit, latihan berdiri dan berpindah dari duduk ke berdiri menggunakan
bantuan walker di kamar. Kebutuhan sehari-hari seperti mandi, mobilisasi, sebagian
dibantu oleh caregiver. Kekuatan otot 5555 5555
4444 4444
3.3 Diagnosa Keperawatan
Data dikelompokkan berdasarkan masalah keperawatan, dan membuat analisis data,
maka langkah selanjutnya adalah merumuskan diagnosa keperawatan untuk
menentukan intervensi yang tepat sebagai solusi untuk mengatasi diagnosa Nenek G.
Diagnosa keperawatan yang dirumuskan, ada 3 diagnosa utama yaitu: hambatan
mobilisasi fisik, risiko jatuh dan insomnia. Diagnosa utama yang dibahas oleh penulis
dan menjadi fokus dalam karya ilmiah ini adalah diagnosa risiko jatuh, namun
diagnosa lainnya tetap menjadi perhatian dan tetap dilakukan intervensi untuk
mengatasi masalah tersebut.
3.4 Rencana Asuhan Keperawatan
Rencana asuhan keperawatan yang penulis buat untuk mengatasi diagnosa
keperawatan risiko jatuh antaralain, tujuan umum: Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 7 minggu resiko jatuh tidak terjadi. Tujuan khususnya: Setelah
dilakukan intervensi diharapkan lansia mampu: mempertahankan mobilitas fisik pada
Analisis praktik ..., Jusnimar, FIK UI, 2013
30
Universitas Indonesia
tingkat yang optimal, menyatakan keinginan untuk berpartisipasi dalam aktivitas,
mempertahankan atau meningkatkan kekuatan dan fungsi yang sakit, dan
menunjukkan perilaku untuk melakukan aktivitas.
Intervensi keperawatannya, yaitu: observasi cara lansia menggunakan alat bantu dan
cara berjalan lansia, evaluasi kembali kekuatan otot lansia dan tingkat risiko jatuh
menggunakan FMS dan BBT, latih lansia cara berjalan yang benar dan cara
menggunakan alat bantu walker, evaluasi dan pantau rasa sakit atau nyeri pada sendi,
motivasi lansia untuk berpartisipasi pada latihan fisik atau senam yang ada di panti
sesuai kemampuan lansia, motivasi lansia membuat jadwal aktivitas untuk
memberikan periode istirahat diantara aktivitas atau kegiatan, tunjukkan dan latih
lansia latihan rentang gerak aktif atau pasif (ROM) dan latihan keseimbangan,
orientasikan lingkungan dan beri peringatan atau tanda pada tempat yang berbahaya.
Rencana lainnya yaitu: atur letak barang lansia dengan rapi dan mudah dijangkau,
motivasi lansia menggunakan alas kaki anti selip dan yang tidak licin, bantu lansia
saat ambulasi dan aktivitas sehari-hari,dan kolaborasi dengan pihak panti dalam
memodifikasi lingkungan yang aman untuk lansia, misalnya memberi tanda khusus
pada lansia yang berisiko jatuh. Rencana keperawatan untuk diagnosa lainnya ada
dalam lampiran 3.
3.5 Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan dilakukan pada Minggu ke 2-6, yaitu tanggal 13 Mei
sampai 15 juni 2013. Penulis hanya akan memaparkan implementasi untuk diagnosa
risiko jatuh, dengan intervensi yang diberikan yaitu latihan keseimbangan. Pada
minggu pertama difokuskan untuk membina hubungan saling percaya, membantu
aktivitas mobilisasi, dan melakukan pengkajian terhadap Nenek G secara
menyeluruh, yang meliputi pengkajian khusus lansia seperti pengkajian depresi,
kemandirian, skala jatuh menggunakan penilaian MFS, BBT, dan kemampuan
kognitif (terlampir di lampiran 1).
Analisis praktik ..., Jusnimar, FIK UI, 2013
31
Universitas Indonesia
Implementasi dimulai pada minggu kedua tanggal 13-18 Mei 2013 yaitu:
mengobservasi cara lansia menggunakan alat bantu dan cara berjalan lansia,
mengevaluasi kembali kekuatan otot lansia dan tingkat risiko jatuh menggunakan
penilaian MFS dan BBT, memberi pendidikan kesehatan tentang risiko jatuh dan cara
pencegahannya, memotivasi dan melatih lansia cara berjalan yang benar dan cara
menggunakan alat bantu walker, mengevaluasi dan memantau rasa sakit atau nyeri
pada sendi, memotivasi lansia untuk berpartisipasi pada latihan fisik atau senam yang
ada di panti sesuai kemampuan lansia, motivasi lansia membuat jadwal aktivitas
untuk memberikan periode istirahat diantara aktivitas atau kegiatan, menunjukkan
dan melatih lansia latihan rentang gerak aktif dan pasif (ROM) dan latihan
keseimbangan.
Implementasi pada minggu ke 3, yaitu: melatih dan memantau latihan ROM dan
Latihan keseimbangan Berg, mendiskusikan dan mengorientasikan lingkungan lansia
dan memberi peringatan atau tanda pada tempat yang berbahaya, misalnya di kamar
mandi, adanya keset atau lantai yang tidak rata. Menjelaskan dan mengatur letak
barang lansia dengan rapi dan mudah dijangkau, memotivasi lansia menggunakan
alas kaki anti selip dan yang tidak licin, membantu lansia saat ambulasi dan aktivitas
sehari-hari. Memotivasi dan menganjurkan Nenek G, untuk latihan ROM rutin setiap
pagi hari dan latihan keseimbangan Berg (latihan fisik untuk meningkatkan
keseimbangan yang gerakannya, antaralain: berdiri dari posisi duduk, berdiri tanpa
bantuan, duduk dengan punggung tidak disangga, duduk dari posisi berdiri, berpindah
tempat, berdiri dengan mata tertutup, berdiri dengan kaki dirapatkan, menjangkau ke
depan, meletakkan dan mengambil barang dari lantai, melihat ke belakang, berputar
360 derajat, menempatkan kaki bergantian di bangku kecil, berdiri dengan satu kaki
di depan kaki lain, dan berdiri di atas satu kaki) setiap sore hari selama 30 menit.
Latihan ini harus dalam pengawasan petugas, mahasiswa atau caregiver, karena
berisiko jatuh saat latihan, jadi harus didampingi selama latihan keseimbangan,
menjelaskan pada caregiver bahwa Nenek G berisiko jatuh sehingga perlu
Analisis praktik ..., Jusnimar, FIK UI, 2013
32
Universitas Indonesia
diperhatikan dan diawasi kegiatannya jangan sampai jatuh atau cidera, memotivasi
lansia untuk aktif mengikuti senam dan kegiatan lain yang diadakan di STW,
memberikan pujian jika lansia aktif mengikuti kegiatan.
Minggu ke tiga dan ke enam implementasi keperawatan pada Nenek G difokuskan
pada latihan keseimbangan dengan latihan ekstremitas atas dan bawah, yaitu latihan
keseimbangan Berg dengan teknik 14 latihan, yaitu latihan duduk ke berdiri, berdiri
tanpa bantuan, duduk tanpa sandaran punggung tetapi kaki sebagai tumpuan di lantai,
berdiri ke duduk, berpindah dari 1 kursi ke kursi lain, berdiri dengan mata tertutup,
berdiri dengan kedua kaki dirapatkan, tangan lurus ke depan sambil berdiri,
mengambil obyek di lantai, melihat ke belakang melewati bahu kanan dan kiri ketika
berdiri, berputar 360°, berdiri dengan satu kaki di depan kaki lainnya, dan berdiri
dengan satu kaki. Latihan ini diharapkan mampu mengatasi masalah keseimbangan
yang dialami lansia. Nenek G diukur tanda tanda vital sebelum dan sesudah latihan.
Latihan ini dilakukan selama 30 menit selama 6x dalam seminggu.
3.6 Evaluasi Keperawatan
Evaluasi dilakukan pada minggu ke 7, yaitu saat minggu terakhir praktik, sekaligus
menyiapkan untuk terminasi pada Nenek G, yang akan dipaparkan adalah evaluasi
untuk diagnosa risiko jatuh saja, namun pada pelaksanaannya semua diagnosa
keperawatan dilakukan implementasi dan evaluasi semuanya, hanya penulisannya
saja untuk 1 diagnosa, yaitu risiko jatuh.
Implementasi latihan keseimbangan telah dilakukan selama 5 minggu, dan hasilnya
Nenek G menunjukkan kemajuan, yaitu: mampu melakukan latihan ROM secara
mandiri dengan pengawasan setiap sore hari, mampu latihan keseimbangan secara
mandiri setiap pagi dengan pengawasan caregiver, aktif mengikuti senam yang
diadakan di STW, edema pada kaki berkurang, menggunakan walker selama aktivitas
di kamar seperti ke kamar mandi, berjalan dari tempat tidur ke kursi, secara verbal
mengatakan tubuhnya terasa lebih bugar, dan kakinya sudah lebih kuat menopang
Analisis praktik ..., Jusnimar, FIK UI, 2013
33
Universitas Indonesia
tubuh saat berdiri dibandingkan sebelum latihan, merasa senang atas kemajuan yang
dialaminya dan akan terus berlatih agar bisa berjalan kembali tanpa bantuan. Ada
peningkatan nilai BBT dari 26 menjadi 35. Penilaian MFS dari nilai 40 menjadi 30,
sehingga risiko jatuh sedikit menurun.
Respon yang didapatkan: Nenek G mau melakukukan Latihan ROM setiap sore hari,
selalu aktif mengikuti senam dan kegiatan lain yang ada di STW, motivasi sangat
tinggi untuk bisa berjalan kembali, minimal kuat menggunakan walker. Nenek G
sangat bersemangat selama latihan keseimbangan ini, karena sebelumnya tidak ada
yang mengajarkan latihan ini, dan merasa sangat bermanfaat agar kakinya menjadi
kuat dan berharap bisa mampu berdiri dan berjalan kembali. Kemampuan berpindah
Nenek G dari duduk ke berdiri sudah lebih mudah menggunakan walker, sudah bisa
berdiri selama 2 menit tanpa berpegangan.
Rencana tindak lanjut yang penulis rekomendasikan pada pihak STW, antaralain:
menyampaikan kepada perawat dan PJ Wisma Bungur untuk mengawasi Nenek G
selama latihan keseimbangan dan latihan ROM, memantau jadwal latihan ROM
setiap pagi jam 07.00 WIB dan latihan keseimbangan jam 16.00 WIB, melakukan
penilaian MFS dan BBT setiap 3 bulan sekali.
Analisis praktik ..., Jusnimar, FIK UI, 2013
34 Universitas Indonesia
BAB 4
ANALISA SITUASI
4.1 Profil Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti
Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti (STWKB) terletak diwilayah Kecamatan
Cibubur Kotamadya Jakarta Timur. STW Karya Bhakti didirikan pada tahun 1984
atas prakarsa Ibu Tien Soeharto, seiring waktu STWKB mengalami kemajuan dan
mulai tertata menjadi hunian yang asri dan nyaman bagi lansia.
Pelayanan yang ada di Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti bagi para lansia untuk
menjaga kualitas hidup meliputi pelayanan kesehatan berupa konsultasi dokter,
asuhan keperawatan, fisioterapi, farmasi, rawat jalan, rawat inap, rujukan RS dan
kegawatdaruratan; pelayanan sosial berupa pembinaan mental spiritual sesuai
keyakinan, senam, seni tradisional (angklung), bernyanyi, kegiatan keterampilan
membuat anyaman atau menyulam, berkebun, dan kegitan bincang-bincang dengan
beberapa tokoh atau instansi.
Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti memiliki slogan sebagai hunian pilihan lansia
masa kini. Dengan slogan tersebut, bertujuan agar para lansia menyadari bahwa
menjadi tua patut disyukuri dan bahagia di hari tua merupakan pilihan hati. Dengan
demikian, tidak ada kesan menyesal, keterpaksaan, ataupun merasa terkucilkan jika
tinggal di panti. Oleh karena itu, terdapat beberapa persyaratan bagi lansia yang ingin
menetap di STWKB, yaitu: berusia di atas 60 tahun, sehat jasmani maupun rohani,
mandiri, memiliki penanggung jawab keluarga, dan yang terpenting adalah tidak ada
paksaan.
Fasilitas yang tersedia, antara lain: fasilitas hunian, klinik werdha, taman yang asri,
ruang kreasi untuk lansia, alat musik dan perlengkapan seni untuk menyalurkan hobi
lansia. Fasilitas klinik werdha antara lain Wisma Wijaya Kusuma yang member i
Analisis praktik ..., Jusnimar, FIK UI, 2013
35
Universitas Indonesia
pelayanan 24 jam. Fasilitas penunjang pelayanan lansia antara lain Wisma Soka,
Wisma Mawar, Wisma Kamboja, dan Wisma Kenanga. Fasilitas hunian meliputi
wisma Aster, Wisma Bungur, Wisma Cempaka, dan Wisma Dahlia.
Wisma Bungur adalah wisma yang diperuntukkan bagi lansia yang sehat dan mampu
memenuhi kebutuhannya secara mandiri. Lansia yang parsialcare juga boleh tinggal
di wisma ini, tetapi harus memiliki caregiver pribadi untuk membantu kebutuhan
lansia tersebut. Kapasitas kamar Wisma Bungur ada 25, yang masing-masing kamar
ada kamar mandinya. Fasilitas yang ada di Wisma Bungur, antaralain: ruang TV yang
juga bisa digunakan sebagai ruang kegiatan lansia di Wisma Bungur, ruang makan
bersama, 2 buah kulkas, dapur, taman yang asri dan teras, serta ada ruang setrika.
4.2 Analisis Pengkajian
Berdasarkan hasil pengkajian, didapatkan data bahwa Nenek G, berusia 83 tahun
yang dikategorikan sebagai lansia. Hal ini sesuai dengan UU Nomor 13 Tahun 1998
tentang kesejahteraan lansia, yang menyebutkan bahwa lansia adalah seseorang
yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas, baik pria maupun wanita. Menurut Miller
(2012), lansia dikategorikan sebagai berikut: lansia awal (young old) antara 65
sampai 74 tahun, lansia pertengahan (middle old) antara 75 sampai 84 tahun dan
lansia akhir (old-old) 85 tahun atau lebih. Berdasarkan kategori tersebut, maka Nenek
G termasuk kategori lansia pertengahan (middle old) karena berusia 83 tahun.
Data yang didapat selama pengkajian, tentang faktor risiko jatuh pada Nenek
G,yaitu: usia 83 tahun dan selama di STW sudah jatuh 3x. Hal ini sesuai dengan
teori yang mengatakan bahwa jatuh merupakan masalah fisik yang sering dialami
oleh lansia akibat proses penuaan (Pudjiastuti, 2003). Teori lain yang mendukung
adalah Nanda (2011) bahwa usia diatas 65 tahun meningkatkan risiko jatuh.
Penelitian yang mendukung hal ini adalah prevalensi lansia wanita yang jatuh 3x
lebih tinggi dibandingkan lansia laki- laki, 45% lansia mengalami jatuh saat
menjalani proses perawatan yang lama, 30-50% lansia yang berusia 65-69 tahun
Analisis praktik ..., Jusnimar, FIK UI, 2013
36
Universitas Indonesia
berisiko jatuh (Tideiksaar,1989 dalam Miller, 2012). Hal ini karena Nenek G seiring
pertambahan usia maka terjadi perubahan fisik, yang salah satunya perubahan
muskuloskeletal, dimana kekuatan otot terutama ekstremitas bawah menurun,
rentang gerak sendi terbatas, ridak mampu berdiri tanpa berpegangan lebih da ri 2
menit, karena mengalami gangguan keseimbangan, sehingga bisa berisiko jatuh.
Penyebab lain karena faktor tempat tinggal lansia pada masa muda adalah di kota,
dimana kehidupan perkotaan, karakteristik individunya antaralain: malas bergerak
atau berolahraga, selalu sibuk sehingga waktu luang lebih sering digunakan untuk
tidur atau rekreasi ke tempat hiburan, dibandingkan untuk berolahraga. Kebiasaan
tersebut akan mempengaruhi kondisi masa tua, dimana ekstremitas, khususnya
ekstremitas bawah, yaitu kaki menjadi lemah karena jarang latihan fisik, ditambah
lagi adanya faktor menua. Seiring pertambahan umur dan proses menua, terjadi
perubahan fisik, yaitu daya penglihatan menurun, sehingga mengggunakan alat
bantu kacamata, aktivitas menurun, karena mengalami kelemahan pada ekstremitas
bawah dan gangguan keseimbangan sehingga aktivitas menggunakan kursi roda,
dan sebagian aktivitas dibantu oleh caregiver. Hal ini sejalan dengan teori, bahwa
pada lansia dapat terjadi penurunan sistem-sistem seperti sistem visual, neural,
sensori, muskuloskeletal yang mempengaruhi keseimbangan. Penurunan ini
mengakibatkan menurunnya kualitas hidup dan meningkatnya resiko jatuh
(Pudjiastuti, 2003).
4.3 Analisis Diagnosa keperawatan
Diagnosis keperawatan utama yang diambil pada kasus ini adalah risiko jatuh. Hal ini
didasarkan pada data-data baik data subjektif maupun data objektif yang didapatkan
selama pengkajian berlangsung, Nenek G mempunyai keluhan sebagai berikut:
selama di STW sudah jatuh 3x, mengalami gangguan keseimbangan sehingga tidak
kuat berdiri lebih dari 2 menit, belum pernah dilatih keseimbangan dan hanya latihan
senam ROM (range of motion). Nenek G mengatakan ingin bisa berdiri dengan
Analisis praktik ..., Jusnimar, FIK UI, 2013
37
Universitas Indonesia
mandiri dan bisa berjalan lagi dan motivasi sangat tinggi terhadap latihan fisik untuk
menguatkan otot kaki dan meningkatkan keseimbangan tubuh agar bisa berjalan.
Data objektif yang mendukung diagnosa risiko jatuh, yaitu: Nenek G berusia 83
tahun, mendapat terapi anti hipertensi Amlodipin 1x 5 mg, aktivitas di kursi roda,
menggunakan alat bantu kacamata, menggunakan walker saat mau berpindah dari
tempat tidur ke kursi, tidak bisa berdiri tanpa berpegangan lebih dari 2 menit, karena
gangguan keseimbangan seiring pertambahan usia. Penilaian BBT (Berg Balance
Test): 26, artinya memiliki risiko jatuh sedang, penilaian MFS (Morse Fall Scale) 40,
artinya memiliki resiko jatuh rendah. Lingkungan di kamar Nenek G, lantai kamar
mandi agak licin, tidak ada tanda khusus di kamar yang mengidentifikasi lansia
berisiko jatuh, sehingga oranglain yang berinteraksi tidak mengetahui masalah
tersebut, sering tinggal sendirian di kamar sehingga tidak ada yang mengawasi, CG
yang bertugas lebih sering berada di luar kamar
Berdasarkan data tersebut maka diagnosa ini ditegakkan agar bisa diberikan
intervensi keperawatan untuk mencegah risiko jatuh kembali. Perumusan diagnosa ini
sejalan dengan diagnosa Nanda, yang menyebutkan bahwa faktor risiko jatuh
menurut, yaitu usia 65 tahun atau lebih, memiliki riwayat jatuh, tinggal sendiri,
prosthesis ekstremitas bawah, penggunaan nalat bantu (tongkat, walker), penggunaan
kursi roda, penurunan kognitif atau status mental. Sedangkan faktor lingkungan yang
meningkatkan risiko jatuh, antaralain: lingkungan yang tidak teratur, lantai yang licin,
keset atau karpet yang tertekuk. Faktor lain yaitu medikasi, seperti: penggunaan
alcohol, anti ansietas, anti hipertensi, diuretik, obat penenang, dan anti depresi
(Nanda, 2011).
Teori yang sesuai dengan hasil dari pengkajian yang ditemukan pada Nenek G,
karena seiring proses menua terjadi perubahan fisik, yang salah satunya terjadi
perubahan sistem muskuloskeletal pada Nenek G. Perubahan pada sistem
muskuloskeletal lansia, meliputi: tulang kehilangan densitas (cairan) dan semakin
Analisis praktik ..., Jusnimar, FIK UI, 2013
38
Universitas Indonesia
rapuh, kekuatan dan stabilitas tulang menurun, terjadi kifosis, gangguan gaya
berjalan, tendon mengerut dan mengalami sklerosis, atrofi serabut otot, serabut otot
mengecil sehingga gerakan menjadi lamban, otot kram, dan manjadi tremor, aliran
darah ke otot berkurang sejalan dengan proses menua (Maryam, 2008). Semua
perubahan tersebut dapat mengakibatkan kelambanan dalam gerak, langkah kaki
menjadi pendek, dan adanya gangguan dalam berjalan. Kaki yang tidak dapat
menapak dengan kuat dan lebih mudah goyah, lansia lambat mengantisipasi bila
terjadi gangguan terpeleset, tersandung, mengalami gangguan keseimbangan
sehingga mudah terjatuh.
Teori lain yang mendukung hal tersebut, menyebutkan bahwa lansia mengalami
perubahan-perubahan akibat proses penuaan (penurunan pendengaran, penurunan
visus sebesar 2%, penurunan status mental (bingung) sebesar 5 %, penurunan fungsi
indera yang lain, lambatnya pergerakan, hidup sendiri (faktor gaya hidup), gangguan
muskuloskeletal seperti kelemahan otot ekstremitas bawah, gangguan keseimbangan
dan gaya berjalan sebesar 17 % serta serangan tiba-tiba sebesar 9 % (Shobha, 2005).
Penelitian yang mendukung teori tentang risiko jatuh pada lansia oleh Tinetti (1992)
dalam Darmojo (2004), menyebutkan bahwa angka kejadian jatuh di Amerika,
didapatkan sekitar 30 % lansia dengan usia lebih dari 65 tahun jatuh setiap tahunnya,
setengah dari angka tersebut mengalami jatuh berulang. Di Indonesia, prevalensi
jatuh pada lansia seperti yang dilaporkan RS. Cipto Mangunkusumo sebagai rumah
sakit rujukan nasional, pada tahun 2000 ada 285 kasus (15,53%). Pada tahun 2001
ada 42 pasien yang dirawat karena fraktur femur akibat jatuh (Supartondo, Setiati &
Soejono, 2003). Lansia yang tinggal dip anti lebih berisiko mengalami jatuh.
Insiden di rumah-rumah perawatan (nursing home) di Amerika, 3 kali lebih banyak
dan 5% dari penderita jatuh yang memerlukan perawatan di rumah sakit (Tinetti,
1992 dalam Darmojo, 2004). Di Jakarta, berdasarkan data yang diperoleh dari empat
Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) yang berada di wilayah Pemda DKI Jakarta
yaitu PSTW Cipayung, PSTW Ciracas, PSTW Cengkareng, dan PSTW Margaguna,
Analisis praktik ..., Jusnimar, FIK UI, 2013
39
Universitas Indonesia
masing-masing PSTW ini angka kejadian jatuh lansia sepanjang tahun 2008
berjumlah 13 orang (13,1 %); 8 orang (6,8 %); 1 orang (0,6 %); dan 19 orang (12 %)
(Maryam Siti, 2009). Hasil survei yang dilakukan di Unit Pelayanan Sosial Tresna
Werdha (UPSTW) Bangkalan, didapatkan sekitar 63% lansia mengeluh gangguan
keseimbangan tubuh akibat kelemahan otot ekstremitas bawah. Dari 65% lansia
tersebut sekitar 57% lansia pernah mengalami jatuh.
STWKB belum ada penelitian tentang prevalensi jatuh, namun berdasarkan
pengkajian di salah satu wisma, yaitu Wisma Bungur pada bulan Mei 2013,
didapatkan data bahwa lansia yang mengatakan pernah jatuh dalam 3 bulan terakhir
sebanyak 33,33%, lansia yang memiliki keterbatasan penglihatan sebanyak 33,33%
menyebabkan kecenderungan resiko terjadinya cedera meningkat. Hasil pengkajian
MFS (Morse Fall Scale) 22,22% lansia beresiko rendah terhadap jatuh dan 44,44%
lansia beresiko tinggi terhadap jatuh. Pada kasus Nenek G yang tinggal di panti
sangat berisiko mengalami jatuh, hal ini karena lansia tinggal di kamar sendirian,
tidak ada yang mengawasi setiap saat, dan kondisi fisik yang melemah berhubungan
faktor usia (83 tahun). Sebenarnya ada caregiver (CG) yang membantu aktivitas
sehari-hari, namun tidak semuanya bekerja dengan optimal dalam merawat lansia,
dan terkadang lebih sering berada di luar kamar lansia bercengkrama dengan CG
lainnya, atau meninggalkan lansia sendirian untuk pergi ke tempat ibadah, dan
kadang-kadang Nenek G sungkan untuk selalu meminta bantuan, sehingga terjadilah
insiden jatuh.
4.4 Analisis Hasil Rencana, Implementasi, dan Evaluasi Keperawatan
Masalah risiko jatuh pada Nenek G diharapkan teratasi dengan menggunakan
rencana perawatan (renpra) yang telah disusun berdasarkan pedoman NIC NOC
(nursing interventions classification, Nursing outcomes classification). Renpra yang
dibuat, yaitu: Observasi cara lansia menggunakan alat bantu dan cara berjalan lansia,
evaluasi kembali kekuatan otot lansia dan tingkat risiko jatuh menggunakan FMS dan
BBT, latih lansia cara berjalan yang benar dan cara menggunakan alat bantu walker,
Analisis praktik ..., Jusnimar, FIK UI, 2013
40
Universitas Indonesia
evaluasi dan pantau rasa sakit atau nyeri pada sendi, motivasi lansia untuk
berpartisipasi pada latihan fisik atau senam yang ada di panti sesuai kemampuan
lansia, motivasi lansia membuat jadwal aktivitas untuk memberikan periode istirahat
diantara aktivitas atau kegiatan, tunjukkan pada lansia latihan rentang gerak aktif atau
pasif (ROM) dan latihan keseimbangan, orientasikan lingkungan dan beri peringatan
atau tanda pada tempat yang berbahaya.
Rencana lainnya yaitu: atur letak barang lansia dengan rapi dan mudah dijangkau,
motivasi lansia menggunakan alas kaki anti selip dan yang tidak licin, bantu lansia
saat ambulasi dan aktivitas sehari-hari,dan kolaborasi dengan pihak panti dalam
memodifikasi lingkungan yang aman untuk lansia, misalnya memberi tanda khusus
pada lansia yang berisiko jatuh. Semua rencana tersebut dilakukan kecuali kolaborasi
dengan pihak panti untuk modifikasi lingkungan untuk pencegahan jatuh, misalnya
dengan memberikan tanda khusus pada lansia yang berisiko jatuh dengan
memberikan gelang risiko jatuh atau stiker yang ditempel di depan kamar lansia. Hal
ini tidak dilakukan karena keterbatasan waktu penulis, oleh karena itu akan
dimasukkan dalam rencana tindak lanjut pada pihak STW untuk melanjutkan
intervensi terhadap masalah risiko jatuh.
Tahap implementasi yang dilakukan pertama kali adalah mengidentifikasi masalah
risiko jatuh, seperti penyebab, proses terjadi, tanda dan gejala, serta akibat.
Implementasi keperawatan dilakukan pada Minggu ke 2-6, yaitu tanggal 13 Mei
sampai 15 juni 2013. Pada minggu pertama difokuskan untuk membina hubungan
saling percaya dan melakukan pengkajian terhadap Nenek G secara menyeluruh,
yang meliputi pengkajian khusus lansia seperti pengkajian depresi, kemandirian,
skala jatuh, dan kemampuan kognitif.
Implementasi dilakukaan sesuai dengan renpra yang sudah dibuat untuk mengatasi
masalah risiko jatuh, namun penulis lebih memfokuskan pada salah satu intervensi
atau kegiatan inovasi, yaitu mengajarkan latihan keseimbangan Berg pada Nenek G
Analisis praktik ..., Jusnimar, FIK UI, 2013
41
Universitas Indonesia
selama 5 minggu, dari senin sampai sabtu, selama setengah jam. Latihan
keseimbangan Berg adalah latihan yang terdiri dari 14 teknik latihan yaitu latihan
duduk ke berdiri, berdiri tanpa bantuan, duduk tanpa sandaran punggung, brdiri ke
duduk, berpindah ke kursi lain, berdiri dengan mata tertutup, dan seterusnya. Rentang
nilai 0-4, dimana 0 berarti lansia tidak mampu melakukan dan 4 berarti lansia mampu
melakukan tanpa bantuan. Nilai maksimum pada skala keseimbangan ini adalah 56
(Debra, 2003). Nilai kurang dari 45 berarti terdapat gangguan keseimbangan dan
menjadi faktor risiko untuk jatuh. Interpretasi lain dari hasil penilaian keseimbangan
ini adalah untuk nilai 0-20 membutuhkan kursi roda, nilai 21-40 berarti
membutuhkan bantuan dalam berjalan, dan nilai 41-56 dapat mandiri.
Rencana keperawatan yang telah dibuat, hampir semuanya berhasil dikerjakan sesuai
rencana, hanya ada satu intervensi yang belum dilakukan, yaitu memodifikasi
lingkungan, bekerjasama dengan pihak STW untuk pencegahan jatuh dengan
memasang tanda khusus pada Nenek G agar semua petugas atau oranglain yang
berinteraksi menjadi tahu bahwa Nenek G berisiko jatuh dan harus waspada untuk
mengantisipasinya. Hal ini karena,keterbatasan waktu dan penulis praktik lebih sering
sore hari (karena pagi hari bekerja di rumah sakit) yang mengakibatkan jarang
bertemu dengan penanggung jawab wisma atau pihak STW, sehingga mengalami
kesulitan untuk berkomunikasi dan berkolaborasi.
Modifikasi lingkungan adalah salah satu cara untuk pencegahan jatuh pada lansia, ini
didukung oleh teori Miller (2012), yang menyatakan bahwa untuk mencegah jatuh
dengan modifikasi lingkungan, menggunakan kode warna (misalnya menggunakan
stiker berwarna terang, menggunakan pita atau gelang berwarna pada lengan lansia
yang berisiko jatuh, atau meletakkan tanda tersebut di tempat tidur atau di pintu
kamar) yang mengindikasikan lansia berisiko jatuh dan sedang mengikuti program
pencegahan jatuh, atau memasang poster risiko jatuh, sehingga semua petugas
menjadi lebih waspada dan lebih peduli terhadap masalah risiko jatuh pada lansia.
Teori lain yang mendukung tentang pentingnya modifikasi lingkungan dalam
Analisis praktik ..., Jusnimar, FIK UI, 2013
42
Universitas Indonesia
pencegahan jatuh adalah menurut Carpino (2007) faktor lingkungan merupakan salah
satu faktor eksternal yang mempengaruhi kejadian jatuh pada lansia. Kejadian jatuh
akan cenderung menurun pada lingkungan yang sudah dikenal. Kondisi lingkungan
seperti posisi closet, kamar mandi, posisi tempat tidur yang terlalu rendah,
penerangan yang kurang dapat memberikan risiko terhadap jatuh.
Kasus pada Nenek G untuk pencegahan jatuh dengan modifikasi lingkungan di
STW, sudah cukup baik, misalnya sudah ada handrail di sepanjang koridor,
pencahayaan di kamar atau di ruangan yang ada di STW sudah cukup baik, yang
belum hanyalah mengidentifikasi lansia yang berisiko jatuh dan memberi tanda pada
lansia yang berisiko jatuh, untuk meningkatkan kewaspadaan petugas dalam
mengantisipasi masalah jatuh. Selain faktor ekstrinsik (lingkungan), faktor intrinsik
lebih berpengaruh untuk mencegah jatuh, yaitu dengan memberikan implementasi
pada Nenek G latihan keseimbangan untuk meningkatkan keseimbangan dan
kekuatan otot ekstremitas bawah lansia.
Alasan penulis melakukan implementasi latihan keseimbangan Berg, karena latihan
ini belum pernah dilakukan Nenek G sebelumnya, biasanya hanya latihan atau senam
ROM yang ada di STW, dan respon lansia sangat bersemangat selama latihan karena
merasa dirinya memang mengalami gangguan keseimbangan sehingga latihan ini
sangat bermanfaat agar keseimbangan tubuhnya bisa membaik dan bisa berjalan lagi.
Alasan lain, karena penyebab utama jatuhnya Nenek G sebelumnya adalah karena
masalah gangguan keseimbangan. Latihan keseimbangan bermanfaat untuk
meningkatkan keseimbangan lansia, sesuai dengan teori, yang menyebutkan bahwa
tujuan latihan ini untuk menilai kemampuan dalam mempertahankan keseimbangan,
baik secara statis atau saat melakukan berbagai pergerakan fungsional, beberapa di
antaranya memerlukan perubahan pada basis penyangga tubuh (Piotrowski & Cole,
1994). Penelitian terkait yang mendukung teori ini adalah penelitian yang dilakukan
oleh Kusnanto, Indarwati dan Mufidah (2007), mengungkapkan bahwa latihan
balance exercise yang dilakukan 3 kali seminggu selama 3 minggu dapat
Analisis praktik ..., Jusnimar, FIK UI, 2013
43
Universitas Indonesia
menimbulkan kontraksi otot pada lansia yang kemudian dapat mengakibatkan
peningkatan serat otot (hipertropi), serat otot yang hipertropi ini mengalami
peningkatan komponen sistem metabolisme fosfagen, termasuk ATP dan fosfokreatin
sehingga dapat meningkatkan kekuatan otot pada lansia. Dengan adanya peningkatan
kekuatan otot ini maka dapat meningkatkan keseimbangan postural pada lansia.
Penilaian risiko jatuh yang ada di STW hanya ada MSF, sedangkan BBT (berga
balance test) belum ada, selain itu dengan latihan keseimbangan Berg maka akan
mudah menilai kemajuan latihan lansia, yaitu dengan membandingkan nilai BBT
sebelum dan sesudah latihan selama 5 minggu. Hambatan yang didapatkan saat
melakukan latihan adalah mengatur jadwal latihan antara lansia dengan jadwal
praktik penulis, yang kadang agak sulit mencocokkannya, selain itu adanya kegiatan
yang dilakukan mahasiswa dari institusi lain, sehingga lansia merasa kelelahan,
akibatnya latihan ini tidak bisa dilakukan atau latihannya menjadi kurang optimal.
Implementasi latihan keseimbangan tidak selalu rutin dilakukan, ada 4 kali pertemuan
yang tidak dilakukan latihan, karena saat itu Nenek G sedang dalam kondisi tidak
sehat karena sedang sakit batuk pilek, setelah sembuh, maka latihan keseimbangan
dilanjutkan kembali. Evaluasi dilakukan pada minggu ke 7, yaitu saat minggu
terakhir praktik. Setelah diberi implementasi selama 5 minggu, Nenek G,
menunjukkan kemajuan, yaitu: mampu melakukan latihan ROM secara mandiri
dengan pengawasan setiap sore hari, mampu latihan keseimbangan secara mandiri
setiap pagi dengan pengawasan caregiver, aktif mengikuti senam yang diadakan di
STW, edema pada kaki berkurang, menggunakan walker selama aktivitas di kamar
seperti ke kamar mandi, berjalan dari tempat tidur ke kursi, secara verbal mengatakan
tubuhnya terasa lebih bugar, dan kakinya sudah lebih kuat menopang tubuh saat
berdiri dibandingkan sebelum latihan, merasa senang atas kemajuan yang dialaminya
dan akan terus berlatih agar bisa berjalan kembali tanpa bantuan. Ada peningkatan
nilai BBT dari 26 menjadi 35. Penilaian MFS dari nilai 40 menjadi 30, sehingga
resiko jatuh sedikit menurun.
Analisis praktik ..., Jusnimar, FIK UI, 2013
44
Universitas Indonesia
Sesuai dengan teori yang menyebutkan bahwa latihan keseimbangan adalah latihan
fisik untuk meningkatkan keseimbangan lansia, meningkatkan kekuatan otot,
khususnya otot ekstremitas bawah (Ceranski, 2006) . Prasansuk (2004) juga
menyimpulkan bahwa salah satu keuntungan dari latihan keseimbangan adalah untuk
meningkatkan keseimbangan postural lansia, sehingga bisa mencegah terjadinya
jatuh. Penelitan yang mendukung teori tersebut adalah penelitian yang dilakukan
oleh Jalalin (2000) di Panti Werdha Pucang Gading Semarang, didapatkan bahwa
terdapat perbedaan skala keseimbangan yang bermakna antara sebelum dan sesudah
latihan keseimbangan (P<0,05).
Implementasi yang dilakukan belum bisa membuat Nenek G menjadi mampu berjalan
kembali atau menggunakan walker untuk aktivitas sehari-hari, hal ini karena
keseimbangan tubuhnya belum meningkat dengan optimal, hal ini terjadi karena
terbatasnya waktu hanya 5 minggu implementasi. Penilaian MFS dan BBT minimal
dilakukan kembali setelah latihan selama 3 bulan. Dan saat di 3 hari terakhir pe nulis
praktik, Nenek G mengalami jatuh, saat mahasiswa dari institusi lain mengadakan
terminasi untuk berpamitan, mahasiswa tersebut setelah memeluk lansia dengan
kondisi berdiri tanpa ada pegangan melepas pelukannya, akibatnya nenek G terjatuh
karena kaget tiba-tiba dilepas mahasiswa dan belum siap dengan posisi berdiri yang
tidak adekuat dan keseimbangan tubuh yang belum optimal, maka akhirnya terjadilah
jatuh.
Pemecahan masalah untuk mengatasinya agar hal tersebut tidak terulang kembali
adalah dengan memodifikasi lingkungan, yaitu dengan memberi tanda risiko jatuh
pada Nenek G, bisa dengan memberikan gelang merah resiko jatuh seperti yang
sudah diterapkan di Rumah Sakit, sehingga orang lain atau petugas kesehatan yang
sedang berinteraksi dengan lansia menjadi lebih waspada dan melakukan pencegahan
agar lansia tidak mengalami jatuh atau menempelkan stiker risiko jatuh di depan
pintu kamar lansia.
Analisis praktik ..., Jusnimar, FIK UI, 2013
45
Universitas Indonesia
Penelitian yang dilakukan Pakpahan, Waluyo, Singgih & Poerwanto (2009) di Wreda
Rineksa Kelurahan Kelapa Dua Cimanggis Depok, dinyatakan bahwa latihan
keseimbangan berhasil meningkatkan keseimbangan lansia secara bermakna
(p<0,05). Peneliti lain, yaitu Maryam (2009) menunjukkan bahwa keseimbangan
tubuh lebih baik pada lansia sesudah diberikan latihan keseimbangan pada kelompok
intervensi (p<0,05). Berdasarkan penelitian tersebut maka penulis menyusun renpra
salah satunya adalah melatih keseimbangan pada Nenek G untuk menyelesaikan
masalah atau diagnosa risiko jatuh.
Hasil evaluasi dan hasil penelitian tersebut ada kesenjangan, hal itu bisa terjadi,
karena beberapa alasan, yaitu keterbatasan waktu latihan yang hanya dilakukan
selama 5 minggu, idealnya latihan keseimbangan dilakukan selama 3-6 bulan untuk
menghasilkan yang signifikan terhadap peningkatan keseimbangan tubuh lansia, dan
ada 4 kali pertemuan latihan yang tidak dilakukan lansia karena sedang sakit, hal ini
mengakibatkan jadwal latihan menjadi tidak berlanjut sebagaimana seharusnya,
ditambah lagi faktor usia (83 tahun), dimana sudah hampir masuk katego ri lansia
akhir. Selain itu karena tidak adanya tanda khusus risiko jatuh pada lansia pada
sehingga orang lain yang berinteraksi dengan Nenek G kurang waspada terhadap
bahaya jatuh, sehingga tidak melakukan pencegahan jatuh dan tidak bisa menurunkan
risiko jatuh pada lansia.
Tujuan utama perawatan lansia adalah mempertahankan lansia semandiri mungkin,
untuk selama mungkin dalam sebuah lingkungan yang aman. Lingkungan yang aman
adalah lingkungan yang memberikan stabilitas, perlindungan, ketentraman, dan
bebas dari rasa takut, cemas, serta keributan. Bagi lansia, keselamatan dan keamanan
merupakan kebutuhan yang sama pentingnya dengan kebutuhan fisiologis dasar,
seperti makanan dan air (Stockslager & Schaeffer, 2008). Berdasarkan teori tersebut,
dengan memodifikasi lingkungan seperti yang ada dalam renpra bertujuan agar
lansia terpenuhi kebutuhan rasa aman dan bisa mencegah risiko jatuh.
Analisis praktik ..., Jusnimar, FIK UI, 2013
45 Universitas Indonesia
BAB 5
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Asuhan keperawatan yang dilakukan pada Nenek G selama 7 minggu, dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Lansia yang tinggal di Wisma Bungur, memungkinkan mengalami risiko
jatuh, karena proses menua, seiring pertambahan usia terjadi penurunan
kekuatan otot dan massa tulang, dan terbatasnya rentang gerak sendi. Faktor
penyebab lain risiko jatuh adalah lansia tinggal sendiri di kamar, tidak ada
yang selalu mengawasi aktivitas dan kegiatannya. Identifikasi lansia yang
berisiko jatuh adalah hal yang paling penting. Pengkajian skala jatuh Morse
dan test keseimbangan Berg juga perlu dilakukan dalam mengidentifikasi
lansia yang berisiko jatuh.
2. Masalah yang terjadi pada lansia dengan risiko jatuh bisa dirumuskan jika ada
faktor risiko seperti ada riwayat jatuh, usia di atas 65 tahun, tinggal sendiri di
kamar, prosthesis ekstremitas bawah, penggunaan alat bantu (tongkat,
walker), penggunaan kursi roda, penurunan kognitif atau status mental.
Sedangkan faktor lingkungan yang meningkatkan risiko jatuh, antaralain:
lingkungan yang tidak teratur, ruang dengan pencahayaan yang redup, lantai
yang licin, keset atau karpet yang tertekuk, tidak adanya handrail di kamar
mandi atau di shower. Faktor lain yaitu medikasi, seperti: penggunaan
alkohol, anti ansietas, anti hipertensi, diuretic, obat penenang, dan anti
depresi.
3. Rencana asuhan keperawatan untuk mengatasi risiko jatuh, tidak hanya
diperuntukkan pada lansia, tetapi juga pada lingkungan atau orang-orang di
sekitar lansia untuk melakukan modifikasi lingkungan pencegahan jatuh,
seperti tidak menaru barang-barang di area handrail koridor, meletakkan
barang dengan rapi, keset tidak tertekuk, cahaya cukup.
Analisis praktik ..., Jusnimar, FIK UI, 2013
46
Universitas Indonesia
4. Implementasi yang diberikan untuk mencegah risiko jatuh, salah satunya
dengan melakukan latihan keseimbangan yang rutin setiap hari selama 30
menit, dan selama latihan lansia harus selalu diawasi, karena latihan sendiri
pada lansia juga berisiko jatuh. Modifikasi lingkungan juga diperlukan untuk
mencegah jatuh, dalam hal ini Sasana Tresna Werdha sudah cukup baik
dengan membuat handrail pada koridor, dan di kamar mandi lansia.
Kepedulian petugas dan lansia lain juga dibutuhkan untuk mencegah risiko
jatuh dengan melakukan pengawasan dan waspada untuk mengantisipasi jika
ada risiko jatuh.
5. Evaluasi yang bisa dilakukan untuk masalah risiko jatuh adalah menggunakan
penilaian skala jatuh Morse atau skala keseimbangan Berg, yang harus dinilai
pada lansia secara reguler tiap 3 bulan sekali. Evaluasi yang diharapkan
dengan penilaian tersebut bahwa risiko jatuh pada lansia menjadi menurun
ataupun tidak ada risiko jatuh.
5.2 Saran
5.2.1 Bagi Pelayanan Kesehatan di Sasana Tresna Werdha Karya B hakti
(STWKB)
Karya ilmiah ini diharapkan dapat menjadi masukkan bagi STWKBRP untuk
melakukan pencegahan risiko jatuh pada lansia, misalnya dengan melakukan
penilaian risiko jatuh dengan MFS dan BBT secara reguler 3 bulan sekali,
memberi tanda khusus (gelang merah atau stiker di kamar) pada lansia yang
berisiko jatuh, sehingga petugas atau orang yang sedang berinteraksi bisa lebih
waspada untuk mengantisipasi jatuh pada lansia, selain itu dengan memberikan
latihan keseimbangan melalui kegiatan senam yang ada di STWKBRP
Analisis praktik ..., Jusnimar, FIK UI, 2013
47
Universitas Indonesia
5.2.3 Penelitian
5.2.3.1 Karya ilmiah ini dapat dijadikan bahan pembelajaran dan
pengembangan ide untuk penelitian yang selanjutnya yang berkaitan
dengan asuhan keperawatan pada lansia dengan masalah risiko jatuh.
5.2.3.2 Karya ilmiah ini dapat dilanjutkan kembali untuk meneliti tentang
pengaruh latihan keseimbangan Berg pada lansia yang mengalami
gangguan keseimbangan di Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti.
Analisis praktik ..., Jusnimar, FIK UI, 2013
48 Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Ariawan, Kuswardhani, Astika & Aryana. (2010). Hubungan antara activities specific
balance confidence scale dengan umur dan falls pada lansia di Poliklinik Geriatri RSUP Sanglah Denpasar.
Avers. (2007). What you need to know about balance and falls http://www.apta.org/AM/Template.cfm?Section=Search&template=/CM/HTMLDis play fm&ContentID=20396. Diakses tanggal 22 Juni 2013. Pukul 11.30.
Barnedh, H., Sitorus, F., & Ali, W. (2006). Penilaian Keseimbangan menggunakan Skala Keseimbangan Berg pada Lansia di Kelompok lansia Puskesmas Tebet. Tesis.
Jakarta:FKUI. Barnes, Michael, et al. (2005). Recovery after stroke. New York: Cambridge University
Press.
Budiharjo, S., Romi, M.M., & Prakosa, D. (2004). Pengaruh latihan fisik intensitas sedang terhadap persentase lemak badan wanita lanjut usia. Berkala Ilmu Kedokteran,
Vol. 36, No.4: 195-200. Budiharjo. (2005). Pengaruh senam aerobic low impact intensitas sedang terhadap
kelenturan badan pada wanita lanjut usia terlatih. Berkala Ilmu Kedokteran,
37(4:178). Carpino, Chris. (2007). New ideas in Balance and Falls Prevention 3 ed, St.Louis: Elsevier
Saunders. hal: 51. Ceranski, Sandy. (2006). Fall Prevention and modifable risk factor. www.rfw.org.
Diunduh tanggal 24 juni 2013. Pukul 19.00 WIB.
Colon-Emeric, C.S. (2002). Falls in older adults: assessment and intervention in primary care. Journal Hospital Physician, 55-66
Darmojo, R.B, & Martono, H.H. (2004). Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Debra J. Rose, 2003, Berg Balance Scale Champaign, IL: Human Kinetics
Depkes RI. (2001). Pedoman Pembinaan Kesehatan Usia Lanjut bagi Petugas Kesehatan. Jakarta: Direktorat Bina Kesehatan Keluarga.
Depkes. (2006). Distribusi penyakit sistem cerna pasien rawat inap menurut golongan sakit di Indonesia tahun 2004. Diambil dari http://bankdata.depkes.go.id. Diakses tanggal 22 juni 2013.
Jalalin (2000). Hasil latihan keseimbangan berdiri pada penghuni Panti Werdha Pucang Gading. Semarang: FK Universitas Diponegoro.
Kemensos RI (2008). Komisi Nasional Lanjut Usia. Diunduh tanggal 24 Juni 2013. http://www.kemsos.go.id/
Kusnanto, Indarwati, Retno., Mufidah, Nisfil. (2007). Peningkatan stabilitas postural pada
lansia melalui balance exercise. Diunduh pada tanggal 23 Juni 2013 dari ejournal.undip.ac.id/index.php/medianers/article/download/716/pdf.
Analisis praktik ..., Jusnimar, FIK UI, 2013
49
Universitas Indonesia
Langley, F., A. & Mackintosh, S., F., H. (2007). Balance assessment of older community
dwelling adults: A systematic review of the literature. Australia: University of South Australia.
Maryam, Raden Siti., Sahar, Junaiti. dan Nasution, Yusran. (2009.) Pengaruh latihan
keseimbangan tubuh lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Wilayah Pemda DKI Jakarta. Diambil pada 24 juni 2013 dari
http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/2110917_2085- 8930.pdf Maryam.(2008). Mengenal usia lanjut dan perawatannya. Jakarta: Salemba Medika Miller, Carol A. (2012). Nursing for wellness in older adults (6th ed.). Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins Nanda. (2011). Diagnosis keperawatan: Definisi dan klasifikasi 2009-2011 (Sumawarti,
Widiarti & Tiar, Penerjemah.). Jakarta: EGC Nugroho, W. (2008). Keperawatan Gerontik. Jakarta: EGC. Pakpahan, Waluyo, Singgih, & Poerwanto. (2010). Pengaruh program latihan
keseimbangan dinamik terhadap jangkauan fungsional ke depan pada wanita usila di Wreda Rineksa Kelurahan Kelapa Dua Cimanggis Depok. Jakarta: Stikes
Binawan Piotrowski, A., & Cole, J. (1994). Clinical measures of balance and functional assessment in elderly persons. Australian Journal Physiotherapy, Vol.40,3, 183-188.
Prasansuk, et al. 2004. Balance disorders in the elderly and the benefit of balance exercise. J.Medicine Association Thailand. 87(10:1225-1233)
Potter, P.A & Perry, A.G.(2006). Fundamentals of nursing (6th ed.). St. Louis, Missouri: Mosby, Inc
Pudjiastuti, S.S & Utomo Budi (2003). Fisioterapi pada lansia. Jakarta: EGC
Shobha, S.R. (2005). Prevention of falls in older patients. American Academy of Family Physicians, 72, 81-8, 93-4.
Siburian, P. (2006). Mengenal Lansia yang Mudah Terserang Penyakit. Diunduh tanggal 24 Juni 2013. http://www.waspada.co.id/serba_serbi/kesehatan/artikel.php?article_id=79402
Skelton, D.A. (2001). Effects of physical activity on postural stability. Journal Age and Ageing, 30-S4, 33-39.
Stanhope, M., & Lancaster, J. (2004). Community and public health nursing (6th ed.). St. Louis: Mosby, Inc. Stanley & Beare. (2007). Buku Ajar Keperawatan Gerontik . Edisi 2. Jakarta: EGC.
Stanley Mickey & Patricia Gautlett Bare. (2006). Buku Ajar Keperawatan Gerontik . Jakarta: EGC. Hal: 274, 290- 292.
Stocklager, Jaime & Schaeffer, Liz. (2008). Buku Saku Asuhan Keperawatan Geriatrik (Nike Budhi Subekti, Penerjemah.). Jakarta: EGC.
Supartondo, Setiati, S., & Soejono, C.H. (2003). Penatalaksanaan Pasien Geriatri dengan
Pendekatan Interdisiplin. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan FKUI. Tinetti, M.E. (2003). Preventing Falls in Elderly Persons. The New England Journal of
Medicine, 348;1.
Analisis praktik ..., Jusnimar, FIK UI, 2013
Lampiran 1
PENGKAJIAN PADA LANSIA (Nenek G)
A. Geriatric Depression Scale
Beri tanda ceklist (√) antara jawaban ya atau tidak pada tiap pertanyaan.
Beri tanda silang ( √ ) di Kolom yang telah diberikan Ya Tidak
1. Apakah anda puas dengan kehidupan anda? √
2. Apakah anda mengurangi banyak aktivitas dan hobi anda? √
3. Apakah anda merasa kehidupan anda terasa hampa? √
4. Apakah anda senantiasa bosan? √
5. Apakah anda memiliki harapan pada masa depan? √
6. Apakah anda terganggu dengan pikiran yang tidak dapat dilupakan? √
7. Apakah anda bersemangat setiap waktu? √
8. Apakah anda takut tentang sesuatu yang buruk yang akan menimpa anda? √
9. Apakah anda merasa bahagia setiap waktu? √
10. Apakah anda merasa tidak berdaya? √
11. Apakah anda merasa gelisah dan gugup? √
12. Apakah anda lebih memilih di dalam rumah daripada berjalan-jalan ke luar dan
melakukan sesuatu yang baru?
√
13. Apakah anda selalu khawatir akan masa depan anda? √
14. Apakah anda memiliki masalah pada ingatan? √
15. Apakah anda berfikir bahwa luar biasa anda diberikan kehidupan sampai
sekarang?
√
16. Apakah anda selalu merasa kecewa dan sedih? √
17. Apakah anda merasa tidak berguna? √
18. Apakah anda mengkhawatirkan masa lalu anda? √
19. Apakah anda menemukan kehidupan yang menyenangkan? √
20. Apakah anda memiliki kesulitan untuk memulai hal yang baru? √
21. Apakah anda memiliki energi maksimal? √
22. Apakah anda merasa situasi anda saat ini tidak tertolong? √
23. Apakah anda berfikir bahwa orang lain lebih baik dari anda? √
24. Apakah anda selalu menangisi hal-hal kecil? √
25. Apakah anda selalu merasa ingin menangis? √
26. Apakah anda memiliki kesulitan dalam berkonsentrasi? √
27. Apakah anda menikmati suasana bangun di pagi hari? √
28. Apakah anda lebih memilih untuk menghindari perkumpulan sosial? √
29. Apakah anda mudah untuk membuat keputusan? √
30. Apakah pikiran anda jernih? √
Jumlah Score: 3, artinya Nenek G tidak mengalami depresi.
Analisis praktik ..., Jusnimar, FIK UI, 2013
(Lanjutan)
Panduan penilaian
Beri tanda silang ( √ ) di Kolom yang telah diberikan Ya Tidak
1. Apakah anda puas dengan kehidupan anda? 0 1
2. Apakah anda mengurangi banyak aktivitas dan hobi anda? 1 0
3. Apakah anda merasa kehidupan anda terasa hampa? 1 0
4. Apakah anda senantiasa bosan? 1 0
5. Apakah anda memiliki harapan pada masa depan? 0 1
6. Apakah anda terganggu dengan pikiran yang tidak dapat dilupakan? 1 0
7. Apakah anda bersemangat setiap waktu? 0 1
8. Apakah anda takut tentang sesuatu yang buruk yang akan menimpa anda? 1 0
9. Apakah anda merasa bahagia setiap waktu? 0 1
10. Apakah anda merasa tidak berdaya? 1 0
11. Apakah anda merasa gelisah dan gugup? 1 0
12. Apakah anda lebih memilih di dalam rumah daripada berjalan-jalan ke luar dan
melakukan sesuatu yang baru?
1 0
13. Apakah anda selalu khawatir akan masa depan anda? 1 0
14. Apakah anda memiliki masalah pada ingatan? 1 0
15. Apakah anda berfikir bahwa luar biasa anda diberikan kehidupan sampai
sekarang?
0 1
16. Apakah anda selalu merasa kecewa dan sedih? 1 0
17. Apakah anda merasa tidak berguna? 1 0
18. Apakah anda mengkhawatirkan masa lalu anda? 1 0
19. Apakah anda menemukan kehidupan yang menyenangkan? 0 1
20. Apakah anda memiliki kesulitan untuk memulai hal yang baru? 1 0
21. Apakah anda memiliki energi maksimal? 0 1
22. Apakah anda merasa situasi anda saat ini tidak tertolong? 1 0
23. Apakah anda berfikir bahwa orang lain lebih baik dari anda? 1 0
24. Apakah anda selalu menangisi hal-hal kecil? 1 0
25. Apakah anda selalu merasa ingin menangis? 1 0
26. Apakah anda memiliki kesulitan dalam berkonsentrasi? 1 0
27. Apakah anda menikmati suasana bangun di pagi hari? 0 1
28. Apakah anda lebih memilih untuk menghindari perkumpulan sosial? 1 0
29. Apakah anda mudah untuk membuat keputusan? 0 1
30. Apakah pikiran anda jernih? 0 1
Interpretasi Hasil
Nilai 0-9 : normal
Nilai 10-19 : depresi ringan
Nilai 20-30 : depresi berat
Analisis praktik ..., Jusnimar, FIK UI, 2013
(Lanjutan)
B. Mini Mental State Examination (MMSE)
Max Score
Orientation
5 ( 5 ) Sebutkan (tahun) (bulan) (tanggal) (hari) (musim/ jam)?
5 ( 5 ) Dimanakah kita sekarang (kamar) (wisma) (kota) (provinsi) (negara)?
Registration
3 ( 3 ) Sebutkan 3 ojek benda.: 1 detik utuk menyebutkan masing- masing.
Kemudian tanyakan kepada lansia setelah kita menyebutkan 3 benda
tersebut. Beri nilai 1 untuk masing-masing jawaban yang benar. Ulangi
sampai lansia dapat menyebutkan semuanya. HItung berapa kali lansia
mencoba menyebutkan. Mencoba _______
Attention and Calculation
5 ( 5 ) Menghitung kelipatan 7 sampai 5 kali, atau jika tidak mampu dengan
hitungan uang. Atau jika tidak bisa memakai angka minta nenek
menyebutkan bacaan kebalik dari satu kata
Recall
3 ( 3 ) Sebutkan kembali 3 benda yang disebutkan di awal. Beri 1 poin untuk
jawaban yg benar
Language
2 ( 2 ) Menyebutkan 2 benda yang ada di meja/sekitar
1 ( 1 ) Buat/Ulangi satu kalimat tidak boleh ada penghubung (jangan lebih
dari 5 kata).Contoh matahari terbit dari timur
3 ( 3 ) Ikuti 3 Perintah “ Ambil kertas di tangan mu, lipat menjadi dua dan
letakan diatas lantai”
1 ( 1 ) Baca dan ikuti perintah: Tutup matamu
1 ( 1 ) Tulis kalimat
1 ( 1 ) Gambarkan kembali gambar berikut. (yang dinilai jumlah sisi dan ada
yang beririsan)
Jumlah skor: 30 (Normal)
Analisis praktik ..., Jusnimar, FIK UI, 2013
(Lanjutan)
Interpretasi Hasil
Nilai maksimal 30
Nilai < 23 : gangguan kognitif
Nilai 23-30 : Normal
A. Pengkajian Tingkat Kemandirian: Indeks Katz
Total Skor:___4___
Interpretasi Hasil
Nilai 6 : Kemandirian penuh
Nilai 4: Gangguan fungsional sebagian (kemandirian sebagian)
Nilai 0-2 : Gangguan fungsional berat (Ketergantungan tinggi)
Aktivitas
Skor (1 atau 0)
Mandiri
(Skor 1) Tanpa pengawasan, pengarahan, atau
bantuan orang lain.
Tergantung
(Skor 0) Dengan Pengawasan,
pengarahan, dan bantuan orang lain.
MANDI
Skor:
_______1___
(Skor 1) Melakukan mandi secara mandiri atau
memerlukan bantuan hanya untuk bagian tertentu
saja misalnya punggung atau bagian yang
mengalami gangguan.
(Skor 0) Perlu bantuan lebih dari satu
bagian tubuh, perlu bantuan total.
BERPAKAIAN
Skor:
______1____
(Skor 1) Bisa memakai pakaian sendiri, kadang
perlu bantuan untuk menalikan sepatu.
(Skor 0) Perlu bantuan lebih dalam
berpakaian atau bahkan perlu
bantuan total.
KE TOILET
Skor:
______0____
(Skor 1) Bisa pergi ke toilet sendiri , membuka
melakukan BAB BAK sendiri.
(Skor 0) Perlu bantuan dalam
eliminasi
BERPINDAH
Skor:
______0____
(Skor 1) Bisa berpindah tempat sendiri tanpa
bantuan, alat bantu gerak diperkenankan
(Skor 0) Perlu bantuan dalam
berpindah dari bed ke kursi roda,
bantuan dalam berjalan.
KONTINEN
Skor:
______1____
(Skor 1) Bisa mengontrol eliminasi (Skor 0) inkontinensia sebagian atau
total baik bladder maupun bowel.
MAKAN
Skor:
______1____
(Skor 1) bisa melakukan makan sendiri. Makanan
dipersiapkan oleh orang lain diperbolehkan.
(Skor 0) Perlu bantuan dalam makan,
nutrisi parenteral
Analisis praktik ..., Jusnimar, FIK UI, 2013
(Lanjutan)
Pengkajian Resiko Jatuh: Morse Fall Scale (MFS) Skala Jatuh dari Morse
Pengkajian Skala Nilai
1. Riwayat jatuh; apakah lansia pernah jatuh dalam 3 bulan terakhir Tidak 0
Ya 25
_____0_____
2. Diagnosa sekunder; apakah lansia memiliki lebih dari satu penyakit Tidak 0
Ya 15
______15____
3. Alat bantu jalan;
- Bed rest/ dibantu perawat
- Kruk/ tongkat/ walker
- Berpegangan pada benda-benda di sekitar (kursi, lemari, meja)
0
15
30
15
________
4. Terapi intravena; apakah saat ini lansia terpasang infus? Tidak 0
Ya 20
_____0_____
5. Gaya berjalan/ cara berpindah
- Normal/ bed rest/ immobile (tidak dapat bergerak sendiri)
- Lemah (tidak bertenaga)
- Gangguan/ tidak normal (pincang/ diseret)
0
10
20
____10_____
6. Status Mental
- Lansia menyadari kondisi dirinya sendiri
- Lansia mengalami keterbatasan daya ingat
0
15
______0___
Total Nilai 40
Interpretasi Hasil
Nilai 0-24 : Tidak memiliki risiko jatuh√
Nilai 25-50: Risiko jatuh rendah
Nilai ≥51 : Risiko jatuh tinggi
Analisis praktik ..., Jusnimar, FIK UI, 2013
(Lanjutan)
BERG BALANCE TEST (BBT)
Perintah dalam Berg Balance Test
1. Duduk ke berdiri
Instruksi: tolong berdiri, cobalah untuk tidak menggunakan tangan sebagai sokongan
( ) 4 mampu berdiri tanpa menggunakan tangan
( √ ) 3 mampu untuk berdiri namun menggunakan bantuan tangan
( ) 2 mampu berdiri menggunakan tangan setelah beberapa kali mencoba
( ) 1 membutuhkan bantuan minimal untuk berdiri
( ) 0 membutuhkan bantuan sedang atau maksimal untuk berdiri
2. Berdiri tanpa bantuan
Instruksi: berdirilah selama dua menit tanpa berpegangan
( ) 4 mampu berdiri selama dua menit
( ) 3 mampu berdiri selama dua menit dengan pengawasan
( ) 2 mampu berdiri selama 30 detik tanpa bantuan
( ) 1 membutuhkan beberapa kali untuk mencoba berdiri selama 30 detik tanpa
bantuan
( √ ) 0 tidak mampu berdiri selama 30 detik tanpa bantuan
3. Duduk tanpa sandaran punggung tetapi kaki sebagai tumpuan di lantai
Instruksi: duduklah sambil melipat tangan Anda selama dua menit
( √ ) 4 mampu duduk dengan aman selama dua menit
( ) 3 mampu duduk selama dua menit di bawah pengawasan
( ) 2 mampu duduk selama 30 detik
( ) 1 mampu duduk selama 10 detik
( ) 0 tidak mampu duduk tanpa bantuan selama 10 detik
4. Berdiri ke duduk
Instruksi: silahkan duduk
( ) 4 duduk dengan aman dengan pengguanaan minimal tangan
( √ ) 3 duduk menggunakan bantuan tangan
( ) 2 menggunakan bantuan bagian belakan kaki untuk turun
( ) 1 duduk mandiri tapi tidak mampu mengontrol pada saat dari berdiri ke duduk
( ) 0 membutuhkan bantuan untuk duduk
Analisis praktik ..., Jusnimar, FIK UI, 2013
(Lanjutan)
5. Berpindah
Instruksi: buatlah kursi bersebelahan. Minta klien untuk berpindah ke kursi yang
memiliki penyagga tangan kemudian ke arah kursi yang tidak memiliki penyangga
tangan
( ) 4 mampu berpindah dengan sedikit penggunaan tangan
( √ ) 3 mampu berpindah dengan bantuan tangan
( ) 2 mampu berpindah dengan isyarat verbal atau pengawasan
( ) 1 membutuhkan seseorang untuk membantu
( ) 0 membutuhkan dua orang untuk membantu atau mengawasi
6. Berdiri tanpa bantuan dengan mata tertutup
Instruksi: tutup mata Anda dan berdiri selama 10 detik
( ) 4 mampu berdiri selama 10 detik dengan aman
( √ ) 3 mampu berdiri selama 10 detik dengan pengawasan
( ) 2 mampu berdiri selama 3 detik
( ) 1 tidak mampu menahan mata agar tetap tertutup tetapi tetap berdiri dengan
aman
( ) 0 membutuhkan bantuan agar tidak jatuh
7. Berdiri tanpa bantuan dengan dua kaki rapat
Instruksi: rapatkan kaki Anda dan berdirilah tanpa berpegangan
( ) 4 mampu merapatkan kaki dan berdiri satu menit
( √ ) 3 mampu merapatkan kaki dan berdiri satu menit dengan pengawasan
( ) 2 mampu merapatkan kaki tetapi tidak dapat bertahan selama 30 detik
( ) 1 membutuhkan bantuan untuk mencapai posisi yang diperintahkan tetapi
mampu berdiri selama 15 detik
( ) 0 membutuhkan bantuan untuk mencapai posisi dan tidak dapat bertahan selama
15 detik
8. Meraih ke depan dengan mengulurkan tangan ketika berdiri
Instruksi: letakkan tangan 90 derajat. Regangkan jari Anda dan raihlah semampu
Anda (penguji meletakkan penggaris untuk mengukur jarak antara jari dengan tubuh)
( ) 4 mencapai 25 cm (10 inchi)
( ) 3 mencapai 12 cm (5 inchi)
( ) 2 mencapai 5 cm (2 inchi)
Analisis praktik ..., Jusnimar, FIK UI, 2013
(Lanjutan)
( √ ) 1 dapat meraih tapi memerlukan pengawasan
( ) 0 kehilangan keseimbangan ketika mencoba/memerlukan bantuan
9. Mengambil objek dari lantai dari posisi berdiri
Instruksi: Ambilah sepatu/sandal di depan kaki Anda
( ) 4 mampu mengambil dengan mudah dan aman
( ) 3 mampu mengambil tetapi membutuhkan pengawasan
( ) 2 tidak mampu mengambil tetapi meraih 2-5 cm dari benda dan dapat menjaga
keseimbangan
( ) 1 tidak mampu mengambil dan memerlukan pengawasan ketika mencoba
( √ ) 0 tidak dapat mencoba/membutuhkan bantuan untuk mencegah hilangnya
keseimbangan atau terjatuh
10. Melihat ke belakang melewati bahu kanan dan kiri ketika berdiri
Instruksi: tengoklah ke belakang melewati bahu kiri. Lakukan kembali ke arah kanan
( ) 4 melihat ke belakang dari kedua sisi
( ) 3 melihat ke belakang hanya dari satu sisi
( √ ) 2 hanya mampu melihat ke samping tetapi dapat menjaga keseimbangan
( ) 1 membutuhkan pengawasan ketika menengok
( ) 0 membutuhkan bantuan untuk mencegah ketidakseimbangan atau terjatuh
11. Berputar 360 derajat
Instruksi: berputarlah satu lingkaran penuh, kemudian ulangi lagi dengan arah yang
berlawanan
( ) 4 mampu berputar 360 derajat dengan aman selama 4 detik atau kurang
( ) 3 mampu berputar 360 derajat hanya dari satu sisi selama empat detik atau
kurang
( √ ) 2 mampu berputar 360 derajat, tetapi dengan gerakan yang lambat
( ) 1 membutuhkan pengawasan atau isyarat verbal
( ) 0 membutuhkan bantuan untuk berputar
12. Menempatkan kaki secara bergantian pada sebuah pijakan ketika beridiri tanpa
bantuan
Instruksi: tempatkan secara bergantian setiap kaki pada sebuah pijakan. Lanjutkan
sampai setiap kaki menyentuh pijakan selama 4 kali.
Analisis praktik ..., Jusnimar, FIK UI, 2013
(Lanjutan)
( ) 4 mampu berdiri mandiri dan melakukan 8 pijakan dalam 20 detik
( ) 3 mampu berdiri mandiri dan melakukan 8 kali pijakan > 20 detik
( ) 2 mampu melakukan 4 pijakan tanpa bantuan
( √ ) 1 mampu melakukan >2 pijakan dengan bantuan minimal
( ) 0 membutuhkan bantuan untuk mencegah jatuh/tidak mampu melakukan
13. Berdiri tanpa bantuan satu kaki di depan kaki lainnya
Instruksi: tempatkan langsung satu kaki di depan kaki lainnya. Jika merasa tidak bisa,
cobalah melangkah sejauh yang Anda bisa
( ) 4 mampu menempatkan kedua kaki (tandem) dan menahan selama 30 detik
( ) 3 mampu memajukan kaki dan menahan selama 30 detik
( ) 2 mampu membuat langkah kecil dan menahan selama 30 detik
( √ ) 1 membutuhkan bantuan untuk melangkah dan mampu menahan selama 15
detik
( ) 0 kehilangan keseimbangan ketika melangkah atau berdiri
14. Berdiri dengan satu kaki
Instruksi: berdirilah dengan satu kaki semampu Anda tanpa berpegangan
( ) 4 mampu mengangkat kaki dan menahan >10 detik
( ) 3 mampu mengangkat kaki dan menahan 5-10 detik
( ) 2 mampu mengangkat kaki dan menahan >3 detik
( ) 1 mencoba untuk mengangkat kaki, tidak dapat bertahan selama 3 detik tetapi
dapat berdiri mandiri
( √ ) 0 tidak mampu mencoba
Total Skor:____26______
Interpretasi Hasil
Nilai 0-20 : Lansia memiliki risiko jatuh tinggi dan perlu menggunakan alat antu jalan berupa
kursi roda
Nilai 21-40 : Lansia (Nenek G) memiliki risiko jatuh sedang dan perlu menggunakan
alat bantu jalan seperti tongkat, kruk dan walker
Nilai 41-56 : Lansia memiliki risiko jatuh rendah dan tidak memerlukan alat bantu
Analisis praktik ..., Jusnimar, FIK UI, 2013
Lampiran 2
ANALISA DATA
Data Fokus Masalah Keperawatan
Subjektif
- Nenek G mengatakan tidak kuat berdiri
lama (lebih dari 2 menit), sehingga
menggunakan kursi roda, kadang-
kadang menggunakan walker untuk
latihan berdiri dan berpindah dari
tempat tidur ke kursi
- Nenek G merasa ingin bisa berdir i
dengan mandiri dan ingin bisa berjalan
lagi dan semangat jika latihan senam
- Nenek G mengatakan aktivitasnya
sebagian dibantu oleh caregiver, karena
Nenek G sulit berdiri dan berjalan.
- Nenek G mengatakan untuk kebutuhan
sehari-hari, mandi, membersihkan
pakaian dan mobilisasi dibantu CG,
sedangkan kebutuhan yang lain mampu
mandiri.
- Nenek G mengatakan jarang rekreas i
karena sulit mobilisasi dan berjalan,
karena menggunakan kursi roda.
Objektif
- Nenek G beraktivitas menggunakan
kursi roda
Hambatan mobilitas fisik
Analisis praktik ..., Jusnimar, FIK UI, 2013
(Lanjutan)
- Nenek G terlihat lemah
- Nilai indeks Kazt (tingakat
kemandirian): 4, artinya tingkat
kemandirian sebagian atau gangguan
fungsional sebagian
- Nilai BBT (Berg Balance test): 26,
artinya Nenek G memiliki resiko jatuh
sedang, dan perlu menggunakan alat
bantu jalan
- Kaki kanan terlihat agak bengkak
- Tidak ada kontraktur pada ekstremitas
- Nenek G latihan berdiri dan berpindah
menggunakan bantuan walker
- Saat mandi, membersihkan pakaian,
terlhat Nenek G dibantu oleh caregiver
- Kemampuan berpindah dari duduk ke
berdiri dan sebaliknya menggunakan
bantuan walker atau berpegangan kursi
- Nenek G mampu menggerakkan
ekstremitas, rutin latihan ROM tiap pagi
- Kekuatan otot :
5555 5555
4444 4444
Subjektif:
- Nenek G mengatakan selama di STW
sudah jatuh 3x
- Nenek G mengatakan mengalami
Risiko jatuh
Analisis praktik ..., Jusnimar, FIK UI, 2013
(Lanjutan)
gangguan keseimbangan sehingga tidak
kuat berdiri lebih dari 2 menit
- Nenek G mengatakan belum pernah
dilatih keseimbangan, hanya latihan
senam ROM (range of motion).
- Nenek G mengatakan ingin bisa berdiri
dengan mandiri dan bisa berjalan lagi
- Nenek G mengatakan motivasi sangat
tinggi terhadap latihan fisik untuk
menguatkan otot kaki dan
meningkatkan keseimbangan tubuh
agar bisa berjalan
Objektif:
- Nenek G aktivitas di kursi roda
- Nenek G menggunakan alat bantu
kacamata
- Nenek G menggunakan walker saat
mau berpindah dari tempat tidur ke
kursi
- Penilaian BBT (Berg Balance Test):
26, artinya memiliki risiko jatuh
sedang,
- Penilaian MFS (Morse Fall Scale) 40,
artinya memiliki resiko jatuh rendah
- Nenek G terlihat tidak bisa berdiri tanpa
berpegangan lebih dari 2 menit, karena
gangguan keseimbangan seiring
Analisis praktik ..., Jusnimar, FIK UI, 2013
(Lanjutan)
pertambahan usia
- Nenek G berusia 83 tahun.
- Nenek G mengkonsumsi obat anti
hipertensi Amlodipin 1x 5 mg
- Lingkungan di kamar Nenek G, lantai
kamar mandi agak licin, tidak ada tanda
khusus di kamar yang mengidentifikasi
bahwa Nenek G berisiko jatuh,
sehingga oranglain yang berinteraksi
tidak mengetahui
- Nenek G mampu berpindah dari duduk
ke berdiri menggunakan bantuan walker
atau berpegangan pada kursi
- Nenek G sering tinggal sendirian di
kamar, tidak ada yang mengawasi, CG
yang bertugas lebih sering berada di
luar kamar
Subjektif
- Nenek G mengatakan bahwa merasa
tidurnya kurang cukup
- Nenek G mengatakan bahwa ia tidur
jam 22.00 wib, dan sering terbangun
pukul 02.00 dinihari, dan sulit untuk
tidur kembali
- Nenek G mengatakan karena kurang
tidur, pagi hari sering merasa ngantuk
Insomnia
Analisis praktik ..., Jusnimar, FIK UI, 2013
(Lanjutan)
dan lemas
Objektif
- Nenek G terlihat sering menguap saat pagi
hari
- Nenek G terlihat lemah, lemas dan kurang
bergairah
- Tampak kantung mata pada mata Nenek G,
dan ada garis hitam dibawah kelopak
mata
- Nenek G mengeluh sulit berkonsentrasi,
dan suka merasa pusing karena kurang
tidur
- Kesadaran compos mentis, TD; 130/80
mmHg, nadi 80x/menit, suhu: 36°C
Analisis praktik ..., Jusnimar, FIK UI, 2013
Lampiran 3
RENCANA KEPERAWATAN NENEK G
Diagnosis Keperawatan Tujuan Kriteria Evaluasi Intervensi Rasional
Hambatan mobilitas fisik
TUM: Hambatan mobilitas fisik meningkat setelah diberikan tindakan keperawatan dalam waktu 7 minggu TUK:
1. Teridentifikasinya tingkat kekuatan otot dan kemampuan mobilitas fisik lansia
2. Lansia dapat mendemostra sikan tindakan-tindakan untuk meningkatkan mobili tas fisik dan mencegah kekakuan sendi
3. Lansia mampu melakukan latihan untuk meningkatkan kekuatan otot dan sendi secara mandiri
Individu akan: - Memperlihatkan
penggunaan alat bantu secara benar dengan pengawasan
- Meminta bantuan untuk aktivitas mobilisasi jika diperlukan
- Berjalan dengan menggunakan langkah sejauh 50-100 meter
- Mampu berpindah dari tempat tidur ke kursi atau berjalan
MANDIRI
Observasi kemampuan mobilitas lansia secara fungsional setiap pagi
Evaluasi dan validasi keadaan lansia saat ini
Evalusi tingkat motivasi lansia untuk mempertahankan atau mengembalikan mobilitas sendi dan otot
Diskusikan dengan lansia tentang masalah kekakuan sendi dan otot yang dialami klien
Diskusikan bersama lansia mengenai perawatan yang dilakukan untuk mengurangi nyeri sendi
Latih lansia dan pantau penggunaan alat bantu mobilitas misalnya tongkat, walker, kruk atau kursi roda
Latih dan bantu lansia dalam
- Menentukan pilihan intervensi yang tepat
pada lansia
- Intervensi yang dilakukan sesuai dengan keadaan lansia saat ini
- Motivasi yang kuat untuk mempertahankan atau mengembalikan mobilitas sendi dan otot mempercepat proses penyembuhan dan meningkatkan partisipasi lansia dalam melakukan aktivitas
- Untuk mengetahui secara jelas penyebab
kekakuan pada sendi dan otot yang dialami
- Mengetahui sejauh mana usaha lansia menyelesaikan masalah
- Mendukung alat mobilitas yang tepat
- Melatih lansia menggunakan postur tubuh
Analisis praktik ..., Jusnimar, FIK UI, 2013
(Lanjutan)
proses berpindah misalnya dari tempat tidur ke kursi
Ingatkan lansia untuk mengubah posisi minimal setiap dua jam
Berikan penguatan positif
Motivasi dan bantu lansia untuk menggunakan alas kaki anti selip yang mendukung untuk berjalan
Latih lansia dalam latihan ROM aktif atau pasif
Motivasi lansia memprak tekkan latihan ROM yang telah dilatih bersama-sama
Motivasi lansia melakukan latihan ROM tiap pagi setelah bangun tidur dan sore hari sebelu mandi
Dokumentasikan tingkat
dan mekanika tubuh yang benar
- Mencegah terjadinya penekanan pada kulit dan mencegah terjadinya dekubitus
- Meningkatkan motivasi dan harga diri lansia
- Mencegah terjadinya cedera jatuh saat ambulasi
- Meningkatkan pengetahuan lansia dalam
mmpertahankan dan meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot serta meningkatkan sirkulasi
- Meningkatkan dan mempertahankan kekuatan otot dan sendi serta meningkatkan sirkulasi secara berkelompok
- Meningkatkan dan mempertahankan
kekuatan otot dan sendi serta meningkatkan sirkulasi secara mandiri
- Melihat perkembangan sebelum dan
sesudah dilakukan intervensi
Analisis praktik ..., Jusnimar, FIK UI, 2013
(Lanjutan)
kekuatan otot lansia KOLABORASI
Konsultasikan ke ahli terapi fisik dan okupasi
Berikan analgesik sebelum memulai latihan fisik
- Sumber untuk mengembangkan
perencanaan aktivitas lansia - Membantu mengurangi nyeri sebelum
melakukan mobilitas
Analisis praktik ..., Jusnimar, FIK UI, 2013
(lanjutan)
RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN NENEK G
Diagnosa Keperawatan Tujuan/ Kriteria Hasil Intervensi Rasional
Risiko Jatuh Tujuan Umum:
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 7 minggu
resiko jauh tidak terjadi
Tujuan Khusus
Setelah dilakukan intervensi
diharapkan lansia mampu:
1. Mempertahankan
mobilitas fisik pada
tingkat yang optimal.
2. Menyatakan keinginan
untuk berpartisipasi dalam
aktivitas
3. Mempertahankan atau
meningkatkan kekuatan
dan fungsi yang sakit
4. Menunjukkan perilaku
untuk melakukan aktivitas
a. Observasi cara lansia menggunakan alat
bantu dan cara berjalan lansia
b. Evaluasi kembali kekuatan otot lansia
c. Evaluasi kembali tingkat risiko jatuh
menggunakan FMS dan BBT
d. Latih lansia cara berjalan yang benar
e. Latih lansia untuk berjalan dengan
berpegagan, menggunakan alat bantu
walker dan mencari tempat yang aman
f. Evaluasi dan pantau rasa sakit atau
nyeri pada sendi
g. Motivasi lansia untuk berpartisipasi
pada latihan fisik atau senam yang ada
di panti sesuai kemampuan lansia dan
a. Mengetahui kebiasaan lansia
menggunakan alat bantu dan
berjalan lansia apakah sudah benar
atau belum
b. Mengetahui rentang kekuatan otot
c. Mengetahui risiko jatuh agar dapat
memberikan penangan risiko jatuh
yang tepat
d. Berjalan yang benar mengurangi
risiko jatuh
e. Mengurangi risiko jatuh
f. Nyeri menghambat mobilisasi
lansia
g. Meningkatkan semangat lansia
untuk latihan fisik yang bisa
meningkatkan kekuatan otot dan
Analisis praktik ..., Jusnimar, FIK UI, 2013
(lanjutan)
Diagnosa Keperawatan Tujuan/ Kriteria Hasil Intervensi Rasional
beri pendkes tentang risiko jatuh lansia
h. Motivasi lansia membuat jadwal
aktivitas untuk memberikan periode
istirahat diantara aktivitas atau kegiatan
i. Tunjukkan dan latih lansia latihan
rentang gerak aktif/pasif (ROM) dan
latihan keseimbangan
j. Orientasikan lingkungan dan beri
peringatan atau tanda pada tempat yang
berbahaya
k. Atur letak barang lansia dengan rapi
dan mudah dijangkau
l. Motivasi lansia menggunakan alas kaki
anti selip dan yang tidak licin
m. Bantu lansia saat ambulasi dan aktivitas
sehari-hari
n. Diskusikan dan delegasikan pada
caregiver untuk mengawasi dan
memperhatikan kegiatannya lansia
meningkatkan pengetahuan agar
waspada terhadap risiko jatuh
h. Mencegah kelelahan dan
mempertahankan kekuatan otot
dan sendi
i. Mempertahankan/meningkatkan
fungsi sendi, kekuatan otot dan
stamina umum, dan keseimbanagn
lansia.
j. Mempertahankan lingkungan yang
aman bagi lansia, menurangi risiko
jatuh
k. Memudahkan lansia mengambil
benda yang dibutuhkan
l. Menurunkan risiko jatuh
m. Memenuhi kebutuhan dasar lansia
dan memudahkan ambulasi
n. Mencegah dan menurunkan risiko
jatuh
Analisis praktik ..., Jusnimar, FIK UI, 2013
(lanjutan)
Diagnosa Keperawatan Tujuan/ Kriteria Hasil Intervensi Rasional
jangan sampai jatuh atau cidera
o. Kolaborasi dengan pihak panti dalam
memodifikasi lingkungan yang aman
untuk lansia, misalnya memberi tanda
khusus pada lansia yang berisiko jatuh
o. Memfasilitasi lingkungan yang
aman untuk lansia
Analisis praktik ..., Jusnimar, FIK UI, 2013
(lanjutan)
Diagnosa
Keperawatan
Tujuan Rencana Tindakan Rasional
Umum Khusus
Insomnia Setelah
dilakukan tindakan
keperawatan selama 5 minggu,
masalah insomnia
teratasi
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan selama
5 minggu, kriteria hasil yang diharapkan :
- Menyatakan waktu tidur
cukup - Menyatakan
dapat tidur
dengan nyenyak - Mengungkapkan
saat bangun tidur terasa segar
- Lansia mudah
berkonsentrasi dan tidak
mengantuk di pagi hari
- Lansia mengatakan
tidak mengalami kesulitan untuk tidur
MANDIRI:
- Diskusikan dan berikan kesempatan lansia
untuk menyampaikan keluhan yang
menyebabkan sulit tidur.
- Pantau lansia, adakah masalah gangguan fisik
yang menyebabkan insomnia, seperti adanya
nyeri, penyakit jantung, penyakit paru,
gangguan neurologi seperti demensia, atau
masalah eliminasi urin yang dapat
mengganggu tidur.
- Pantau pola eliminasi urin lansia, dan
penggunaan obat diuretik. Latih lansia untuk
mengurangi minum saat malam hari atau
menjelang tidur. Dan pastikan lansia minum
obat diuretik hanya di pagi hari, bukan di sore
atau malam hari
- Pantau apakah lansia merasa cemas atau
mengalami depresi
- Anjukan lansia untuk makan keju, kacang-
- Mendengar aktif dapat membantu
menentukan penyebab kesulitan
tidur.
- Gangguan tidur pada lansia
mungkin merupakan interaksi yang
kompleks dari perubahan yang
berkaitan dengan usia dan karena
ada masalah patologis
- Banyak minum pada malam hari
dan minum obat diuretik pada
malam hari, mengakibatkan
nokturia, yang dapat mengganggu
tidur lansia
- Perasaan cemas atau depresi
menyebabkan insomnia
- Susu dan beberapa kudapan tinggi
Analisis praktik ..., Jusnimar, FIK UI, 2013
(lanjutan)
- Tidak tampak
kantung mata atau garis hitam dibawah mata
kacangan atau minum susu sebelum waktu
tidur
- Ciptakan lingkungan yang kondusif untuk
tidur lansia, seperti matikan lampu, suasana
tenang/tidak ribut, ventilasi yang cukup
- Diskusikan bersama lansia setiap pagi tentang
kualitas tidur malam sebelumnya.
- Motivasi lansia untuk meningkatkan aktivitas
di siang hari, dan hindari tidur di siang hari
- Berikan pendidikan kesehatan kepada lansia
dan latih tentang teknik relaksasi seperti
imajinasi terbimbing, napas dalam, relaksasi otot progresif, dan meditasi
- Delegasikan dengan caregiver dalam
observasi tidur malam lansia dan pelaksanaan
latihan relaksasi sebelum tidur saat malam
hari
protein, seperti keju dan kacang,
mengandung L-trytophan, yang
dapat mempermudah tidur.
- Tindakan ini dapat memudahkan
lansia untuk istirahat dan tidur.
- Tindakan ini membantu mendeteksi
adanya gangguan tidur lansia
- Agar memudahkan tidur saat
malam hari, karena sudah lelah di
siang hari
- Upaya relaksasi yang bertujuan
biasanya dapat membantu
meningkatkan tidur.
- Memberikan informasi yang
berkelanjutan tentang tidur lansia di
malam hari, dan tentang efktivitas
tenik relaksasi untuk mengatasi
masalah tidur lansia
Analisis praktik ..., Jusnimar, FIK UI, 2013
(lanjutan)
KOLABORASI:
- Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian
pengobatan yang diprogramkan untuk
meningkatkan pola tidur normal lansia
- Agens hipnotik memicu tidur, obat
penenang menurunkan ansietas
Analisis praktik ..., Jusnimar, FIK UI, 2013