universitas indonesia analisis yuridis perjanjian …
TRANSCRIPT
UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS YURIDIS PERJANJIAN AKIBAT PERCERAIAN MENURUT
KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG –
UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN
(STUDI KASUS PERJANJIAN AKIBAT PERCERAIAN ANTARA
TUAN A- NYONYA B DAN TUAN X – NYONYA Y)
SKRIPSI
MEITHA RIA RIZKITA TARIGAN
0906519993
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM TENTANG HUBUNGAN ANTAR
SESAMA ANGGOTA MASYARAKAT
DEPOK
JANUARI 2013
Analisis yuridis..., Meitha Ria Rizkita Tarigan, FH UI, 2013
ABSTRAK
Nama : Meitha Ria Rizkita Tarigan
Program Studi : Ilmu Hukum
Judul : Analisis Yuridis Perjanjian Akibat Perceraian Menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang No.1 tahun
1974 tentang Perkawinan (Studi Kasus Perjanjian Akibat
Perceraian antara Tuan A – Nyonya B dan Tuan X – Nyonya Y)
Setiap manusia pasti mempunyai keinginan untuk melangsungkan perkawinan,
yang bersifat kekal, satu kali untuk selamanya. Namun mempertahankan
perkawinan yang menyatukan dua pribadi berbeda dengan kepentingan yang
berbeda pula itu sulit sehingga pada akhirnya banyak perkawinan berakhir dengan
perceraian. Perceraian sendiri seringkali malah menimbulkan masalah baru yang
akhirnya menyebabkan banyak pihak berinisiatif untuk membuat Perjanjian untuk
mencegah masalah tersebut yaitu Perjanjian Akibat Perceraian. Seperti pada kasus
Tuan A – Nyonya B dan Tuan X – Nyonya Y yang mengikat diri dalam Perjanjian
Akibat Perceraian. Akan tetapi, baik dalam KUHPerdata maupun UU No.1 tahun
1974 tentang Perkawinan belum ditemukan ketentuan yang mengatur secara jelas
dan spesifik mengenai Perjanjian Akibat Perceraian secara satu kesatuan.
Sehingga dasar hukum dari berlakunya Perjanjian Akibat Perceraian ini harus
dilihat dari dua sisi, sisi materilnya yaitu pasal 41 UU No.1 tahun 1974 tentang
Perkawinan dan sisi formilnya yaitu pasal 1320 KUHPerdata. Isi dari Perjanjian
Akibat Perceraian ini pun harus tetap mengikuti ketentuan dalam KUHPerdata
dan UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Kata Kunci : Perkawinan, Perceraian, Perjanjian
Analisis yuridis..., Meitha Ria Rizkita Tarigan, FH UI, 2013
ABSTRACT
Name : Meitha Ria Rizkita Tarigan
Study Program : Law
Title : Juridical Analysis of The Agreement Due to A Divorce
According to Code of Civil Law and Act No.1 of 1974 on
Marriage (A Case Study of The Agreement as A Result Of
Divorce Between Mr.A – Mrs.B and Mr.X- Mrs.Y)
Every human being must have desire to create an everlasting marriage, once and
for all. But the retained the marriage uniting two different people with different
interests si hard so that in the end a a lot of marriages ended in divorce. Divorce
itself even cause problems that eventually led to the many people who take the
initiative to make arrangements to prevent those problems, namely The
Agreement Due to A Divorce. As in the case of Mr. A – Mrs. B and Mr. X – Mrs.
Y which is binding themselves in the agreement due to a Divorce. However, both
in The Code of Civil Law as well as Act No.1 of 1974 about Marriage is not
found the provisions that regularry clearly and specially about The Agreement
Due To A Divorce in one unit. So the legal basis of the enactment of The
Agreement Due To A Divorce should be viewed from two sides, the material side
based on Article 41 of Act. No.1 of 1974 about Mariage and The Formyl based
on Article 1320 of The Code of Civil Law. The content of The Agreement Due to
A Divorce must still follow the provisions in The Code of Civil Law and Act No.1
of 1974 about Marriage.
Keywords : Marriage, Divorce, Agreement
Analisis yuridis..., Meitha Ria Rizkita Tarigan, FH UI, 2013
PENDAHULUAN
Manusia adalah makhluk sosial atau bisa disebut juga makhluk
bermasyarakat, artinya dalam kehidupan bermasyarakat manusia tidak dapat
hidup sendiri melainkan selalu hidup bersama dengan orang lain, baik itu
dengan yang sama jenis maupun yang berlainan jenis (laki-laki ataupun
perempuan). Manusia juga dikatakan sebagai makhluk sosial karena dalam
diri manusia selalu ada dorongan dan kebutuhan untuk
berhubungan/berinteraksi dengan orang lain, manusia juga hanya bisa hidup di
antara manusia lainnya. Manusia baru bisa dikatakan menjadi manusia
sempurna apabila Ia hidup berhubungan atau bersama dengan orang lain.
Sebagai makhluk sosial, manusia juga memiliki banyak kebutuhan dalam
menjalani hidupnya, dimana salah satu kebutuhan yang harus dipenuhi
manusia adalah kebutuhan biologis seperti kebutuhan akan kasih sayang,
melahirkan dan juga memelihara keturunan. Berdasar pada status dasar
manusia yang adalah makhluk sosial dan juga adanya dorongan pemenuhan
kebutuhan biologis sehingga pada akhirnya penting bagi manusia untuk
melakukan suatu Perkawinan.
Pasal 1 UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan sendiri memberikan
definisi Perkawinan sebagai berikut : “Perkawinan adalah ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga/rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
KeTuhanan Yang Maha Esa”. Dengan dilaksanakannya perkawinan antara
laki-laki dan wanita, maka lahirlah hubungan hukum antara suami-istri
tersebut. Selain melahirkan hubungan hukum, perkawinan juga melahirkan
hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sebagai akibat dari dari
dilangsungkannya suatu perkawinan. Dalam Undang-Undang No.1 tahun
1974 diatur tentang hak dan kewajiban dari pihak suami dan juga istri sebagai
berikut :
1. Pasal 30-34 UU No.1 tahun 1974 mengatur tentang hubungan antara
suami-istri satu sama lain sebagai anggota masyarakat.
Analisis yuridis..., Meitha Ria Rizkita Tarigan, FH UI, 2013
2. Pasal 45-49 UU No.1 tahun 1974 mengatur tentang hak dan kewajiban
suami-istri terhadap anak dalam perkawinan
3. Pasal 35-37 UU No.1 tahun 1974 mengatur tentang hubungan atau hak dan
kewajiban suami-istri terhadap harta benda mereka.
Dalam melaksanakan perkawinan pun merupakan hal yang wajar apabila
setiap pasangan laki-laki dan wanita ingin melaksanakan perkawinan yang kekal,
yang hanya sekali dalam seumur hidup. Hal ini juga sesuai dengan definisi dari
perkawinan itu sendiri yang menyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir
batin pria-wanita yang kekal. Akan tetapi, tidak mudah untuk menjaga keutuhan
atau kekekalnan perkawinan tersebut dikarenakan perkawinan berarti menyatukan
dua manusia dengan jenis kelamin yang berbeda, dimana perbedaan jenis kelamin
laki-laki dan perempuan telah mengakibatkan adanya perbedaan dalam perilaku,
peran, dan posisi serta kepentingan dan juga kebutuhan antara laki-laki dan
perempuan. Apalagi bila pria dan wanita sebagai suami dan istri tidak
menjalankan hak dan kewajibannya masing-masing dengan baik, jelas akan
menimbulkan kesalahpahaman, percecokan, kekhilafan, dan pertentangan.
Permasalahan-permasalahan yang timbul dalam perkawinan hampir dihadapi oleh
semua pasangan yang telah menikah, hanya saja ada pasangan-pasangan yang
menganggap bahwa masalah yang ada merupakan hal yang wajar dalam
perkawinan dan mereka mampu mengatasi serta mencari jalan keluarnya. Namun
ada juga pasangan yang tidak dapat atau tidak mampu mengatasi segala
permasalahan yang muncul dalam perkawinan yang kemudian pada akhirnya
menyebabkan perkawinan tidak dapat dipertahankan lagi. Menurut pasangan yang
seperti ini, apabila perkawinan tetap dipertahankan maka baik pihak suami
maupun istri dan juga anak-anak (bila ada) akan mengalami penderitaan, sehingga
kebahagiaan dan kesejahteraan yang merupakan tujuan utama dari suatu
perkawinan malahan tidak akan tercapai.1
Dalam kondisi perkawinan yang terus-menerus diwarnai dengan
pertentangan dan percecokan, UU No.1 tahun 1974 yang merupakan landasan
hukum dari perkawinan di Indonesia memberikan jalan keluar yang baik yang
1 Lili Rasjidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia. Cet.1.
(Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 1991). Hal. 203
Analisis yuridis..., Meitha Ria Rizkita Tarigan, FH UI, 2013
dianggap dapat menyelesaikan permasalahan yang ada yaitu dengan adanya
lembaga perceraian, guna mencegah kerusakan lebih parah dari kedua pasangan
tersebut dan menghindarkan kerugian yang lebih besar apabila perkawinan tetap
dilanjutkan.
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik
anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana
ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak Pengadilan memberi
keputusannya;
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam
kenyataannya tidak dapat memberi kewajiban tersebut pengadilan
dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan
biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas
istri.
Dengan adanya pasal tersebut dapat dilihat bahwa UU sendiri telah
memberikan penegasan bahwa suami masih memiliki kewajiban untuk
melindungi istri dan memberikan biaya penghidupan kepada istri, walaupun
telah terjadi perceraian yang memutuskan perkawinan dan dengan demikian
statusnya berubah menjadi mantan istri.
Akan tetapi, pada kenyataannya yang sering terjadi di lapangan adalah
persoalan mengenai akibat-akibat hukum pasca perceraian, terutama dalam hal
nafkah. Padahal sudah jelas-jelas ditegaskan dalam pasal 41 UU No.1 tahun
1974 tersebut bahwa nafkah dari suami merupakan hak istri, dimana suami
sebagai kepala rumah tangga mempunyai kewajiban untuk memberikan
nafkah kepada istri baik ketika masih terikat dalam hubungan perkawinan
maupun juga pasca perceraian.
Selain dalam hal nafkah, permasalahan-permasalahan lain sering juga
muncul pasca perceraian antara lain suami tidak menjalankan putusan
pengadilan karena alasan-alasan tertentu, menjalankan keputusan pengadilan
tapi jumlah nafkah yang diberikan kepada mantan istri tidak sesuai dengan
keputusan pengadilan cenderung lebih kecil atau lebih sedikit, masalah hak
asuh dan biaya anak, istri melarang suami bertemu anak-anak (jika anak ikut
istri) atau bahkan masalah agama atau kepercayaan anak pun bisa
Analisis yuridis..., Meitha Ria Rizkita Tarigan, FH UI, 2013
mengakibatkan munculnya sengketa atau permasalahan baru pasca perceraian.
Banyaknya permasalahan baru yang muncul akibat dari perceraian, baik itu
mengenai harta, nafkah, dan juga bahkan mengenai hak asuh anak, membuat
banyak pihak pada akhirnya tertarik untuk membuat suatu perjanjian yang
mengatur mengenai akibat-akibat hukum setelah perceraian yang dikenal
dengan nama Perjanjian Akibat Perceraian. Dimana banyak pihak
menganggap dengan membuat suatu perjanjian setelah perceraian yang
mengatur mengenai aspek-aspek hukum setelah putusnya perkawinan, dapat
meminimalisir munculnya sengketa atau masalah baru yang berhubungan
dengan akibat-akibat perceraian. Dengan adanya Perjanjian Akibat Perceraian
ini, baik pihak suami atau istri yang dulunya terikat dalam suatu lembaga
perkawinan dapat mengatur hak dan kewajiban yang akan diperoleh masing-
masing pihak setelah putusnya perkawinan akibat perceraian, sehingga
diharapkan tidak akan membuat masalah atau sengketa baru yang timbul
setelah perceraian.
Semakin banyak pihak yang tertarik untuk membuat Perjanjian Akibat
Perceraian ini menimbulkan suatu pertanyaan baru yaitu mengenai dasar
hukum dari Perjanjian Akibat Perceraian itu sendiri, dimana baik UU No.1
tahun 1974 dan juga KUHPerdata belum mengatur secara spesifik dan
terperinci mengenai Perjanjian Akibat Perceraian tersebut. Belum ada pasal
dalam kedua kitab undang-undang tersebut yang mengatur secara jelas
mengenai Perjanjian Akibat Perceraian ini. Oleh karena inilah, penulis merasa
tertarik untuk melakukan penelitian hukum sehubungan dengan dasar hukum
pembentukan Perjanjian Akibat Perceraian.
Sehingga dalam karya ilmiah ini, terdapat dua pokok permasalahan
yang akan dibahas yaitu :
1. Bagaimanakah ketentuan-ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata dan juga Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
mengatur mengenai keabsahan suatu Perjanjian Akibat Perceraian?
2. Bagaimanakah Perjanjian Akibat Perceraian mengatur mengenai akibat-
akibat yang muncul dari suatu perceraian mencakup hak dan kewajiban
masing-masing pihak?
Analisis yuridis..., Meitha Ria Rizkita Tarigan, FH UI, 2013
PEMBAHASAN
1.1 Kasus Posisi
1.1.1 Perjanjian Akibat Perceraian antara Tuan A dan Nyonya B
Perjanjian Akibat Perceraian ini berlangsung di antara Tuan A
yang selanjutnya disebut sebagai Pihak Pertama dan Nyonya B yang
selanjutnya disebut sebagai Pihak Kedua. Dalam perjanjian ini
disebutkan bahwa Pihak Pertama berusia 29 tahun dan berprofesi
sebagai Dokter, sedangkan Pihak Kedua berusia 31 tahun dan
berprofesi sebagai Pegawai Swasta, dan kedua pihak tersebut
sebelumnya telah melangsungkan perkawinan yang tercatat di Kantor
Urusan Agama Kabupaten/Kotamadya Jakarta Pusat.
Disebutkan dalam Perjanjian bahwa penyebab terjadinya
perceraian adalah bahwa para pihak menyadari perkawinan tersebut
telah lama berlangsung tanpa adanya keharmonisan, para pihak
merasakan tidak ada lagi kecocokan, sehingga para pihak merasa jika
perkawinan ini tetap dipertahankan maka kehidupan rumah tangga
tersebut akan membawa ketidakbahagiaan dan memberikan dampak
negatif bagi para pihak dan jalan keluar terbaik yang dipilih para pihak
adalah mengakhiri perkawinan mereka melalui perceraian.
Selain sepakat untuk mengakhiri perkawinan, para pihak juga
sepakat dan menyetujui akibat-akibat yang ditimbulkan dari perceraian
yang terjadi di antara mereka yang dituangkan dalam Perjanjian Akibat
Perceraian, seperti yang dijelaskan di bawah ini :
1. Pihak pertama akan menanggung nafkah Pihak Kedua selama
berlangsungnya gugatan perceraian sebesar Rp 1.500.000,00 (satu
juga lima ratus ribu rupiah) per bulan, yang dibayarkan secara
keseluruhan paling lambat 3 hari setelah tanggal putusan sidang
dibacakan majelis hakim, sesuai pasal 24 ayat (2) angka a PP No. 9
Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No.1 Tahun
1974 tentang Perkawinan;
Analisis yuridis..., Meitha Ria Rizkita Tarigan, FH UI, 2013
2. Pihak Pertama akan memberikan biaya penghidupan Pihak Kedua,
sampai Pihak Kedua menikah lagi sebesar Rp 1.500.000,00 (satu
juta lima ratus ribu rupiah) setiap bulannya yang akan diserahkan
atau dibayarkan Pihak Pertama selambat-lambatnya tanggal 15
(lima belas) tiap bulannya kepada rekening bank atas nama Pihak
Kedua, berdasarkan ketentuan pasal 41 angka c UU No.1 Tahun
1974 tentang Perkawinan;
3. Para pihak akan menanggung secara bersama-sama, masing-
masing seperdua, seluruh biaya kuasa hukum Pihak Kedua dan
biaya yang timbul atas perkara perceraian ini.
Selain poin-poin diatas, dalam Perjanjian Akibat Perceraian
ini para pihak juga berjanji bahwa dengan diajukannya
permasalahan perceraian atau Gugatan Perceraian ini ke
Pengadilan Agama Jakara Pusat oleh salah satu pihak, maka pihak
lain tidak akan mengajukan upaya hukum perlawanan, tangkisan
atau bantahan dan akan menerima putusan majelis hakim jika
putusan tersebut selaras dengan maksud perjanjian ini.
Hal terakhir yang harus diperhatikan bahwa dalam
Perjanjian tersebut juga dinyatakan bahwa Perjanjian ini baru
berlaku setelah putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat
diputuskan dengan diktum yang selaras dengan Perjanjian ini.
1.1.2 Perjanjian Akibat Perceraian antara Tuan X dan Nyonya Y
Perjanjian kedua yang akan dianalisis dalam karya ilmiah ini
adalah Perjanjian Kesepakatan Akibat Perceraian antara Tuan X dan
Nyonya Y, dimana Tuan X berusia 34 tahun dan Nyonya Y berusia 37
tahun dan keduanya tercatat pernah melangsungkan perkawinan dan
tercatat di Kantor Catatan Sipil Kotamadya Jakarta Pusat.
Dalam Perjanjian tersebut juga disebutkan bahwa dari
perkawinan antara Tuan X dan Nyonya Y tersebut telah lahir dua
orang anak laki-laki, dimana yang pertama lahir pada tanggal 29 Juli
1992 dan yang kedua lahir pada tanggal 25 Juli 1995.
Analisis yuridis..., Meitha Ria Rizkita Tarigan, FH UI, 2013
Disebutkan dalam Perjanjian bahwa penyebab dari terjadinya
perceraian adalah dimana Para Pihak sama-sama menyadari bahwa
telah lama perkawinan berlangsung tanpa adanya keharmonisan dan
kebahagiaan, yang berujung pada dirasakannya tidak ada lagi
kecocokan di antara Para Pihak. Para Pihak merasa bahwa apabila
perkawinan di antara mereka tetap dipertahankan, maka kehidupan
rumah tangga tersebut akan semakin memburuk dan membawa
dampak negatif bagi Para Pihak dan juga bagi anak-anak. Oleh karena
itu, Para Pihak secara musyawarah dan mufakat tanpa tekanan dan
dilandasi atas kesadaran dan keikhlasan yang mendalam sepakat
untuk mengakhiri perkawinan di antara mereka.
Selain sepakat untuk mengakhiri perkawinan di antara mereka,
Para Pihak juga melakukan kesepakatan dan persetujuan mengenai
akibat-akibat perceraian yang antara lain adalah sebagai berikut :
1. Para pihak sepakat bahwa kedua anak berada dalam pemeliharaan,
bimbingan, dan asuhan dari Pihak Kedua, dikarenakan selama ini
anak-anak lebih banyak berada bersama dan juga lebih dekat
dengan Pihak Kedua. Akan tetapi meskipun kedua anak tinggal
bersama Pihak Kedua, Pihak Pertama tetap dapat mengunjungi
dan/atau membawa anak berlibur bersamanya untuk waktu-waktu
tertentu sesuai dengan kesepakatan dan musyawarah dengan Pihak
Kedua;
2. Para Pihak sepakat bahwa dengan adanya perceraian ini, Pihak
Pertama tetap membiayai keperluan sehari-hari (sandang, pangan,
papan, kesehatan) bagi kedua anak sampai dengan kedua anak
tersebut dapat hidup secara mandiri, dimana tiap bulannya Pihak
Pertama akan menyerahkan atau membayar sebesar ± Rp
2.000.000,00 (dua juta Rupiah) yang akan diserahkan atau
dibayarkan selambat-lambatnya tanggal 3 tiap bulannya kepada
Pihak Kedua melalui rekening bank Pihak Kedua;
3. Para Pihak sepakat bahwa biaya keperluan sehari-hari anak yang
menjadi kewajiban Pihak Pertama seperti yang tertulis pada poin 2
Analisis yuridis..., Meitha Ria Rizkita Tarigan, FH UI, 2013
diatas, akan disesuaikan setiap tahunnya dengan penambahan nilai
10% per tahun atau juga disesuaikan dengan inflasi atau kenaikan
harga yang terjadi, juga akan ditinjau kembali oleh Para Pihak
apabila terdapat kejadian tertentu seperti krisis ekonomi;
4. Para Pihak sepakat bahwa harta bersama selama perkawinan yang
berupa satu buah rumah diberikan menjadi milik Pihak Kedua;
5. Para Pihak sepakat bahwa keduanya tidak saling menyalahkan,
tetap saling menghormati, menghargai, menjaga martabat, nama
baik dan keharmonisan satu sama lain terutama demi kepentingan
anak-anak;
6. Para Pihak Sepakat bahwa salah satu pihak tidak akan mengajukan
upaya hukum perlawanan, tangkisan atau bantahan dan akan
menerima putusan majelis hakim jika putusan tersebut selaras
dengan maksud perjanjian ini;
7. Para Pihak sepakat akan tetap memprioritaskan kepentingan,
kesejahteraan dan kebahagiaan hidup kedua anak sampai mereka
menjadi dewasa, menikah dan/atau hidup mandiri.
Selain poin-poin yang telah dijelaskan di atas, dalam
Perjanjian tersebut juga dinyatakan bahwa Perjanjian ini baru
berlaku setelah putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat
diputuskan dengan diktum yang selaras dengan Perjanjian ini.
1.2 Analisis
Sebelum membahas Perjanjian Akibat Perceraian secara menyeluruh,
pertama-tama harus dilihat dulu pengaturan pasal 208 KUHPerdata yang
menyatakan bahwa “Perceraian perkawinan sekali-kali tidak dapat terjadi
hanya dengan persetujuan bersama.” Dimana pasal ini memberi arti bahwa
tidak boleh diadakan kesepakan di antara para pihak yang telah menikah untuk
bercerai. Perceraian bukanlah suatu hal yang bisa diperjanjikan. Apabila
terbukti bahwa perceraian tersebut dilakukan dengan ada perjanjian atau
kesepakatan untuk bercerai sebelumnya, apalagi di saat para pihak belum
Analisis yuridis..., Meitha Ria Rizkita Tarigan, FH UI, 2013
menikah, maka perceraian tersebut harus dibatalkan dan dianggap tidak sah
dikarenakan melanggar pasal 208 KUHPerdata.
Akan tetapi Perjanjian Akibat Perceraian yang dimaksud disini
memiliki definisi yang berbeda dengan Perjanjian Perceraian, bahwa
Perjanjian Akibat Perceraian merupakan perjanjian yang mengatur
kesepakatan para pihak mengenai akibat-akibat yang akan terjadi dari suatu
perceraian (akibat perceraian). Sedangkan Perjanjian Percerian sendiri adalah
perjanjian yang menyatakan kesepakatan para pihak untuk bercerai. Perjanjian
Perceraian jelas melanggar pasal 208 KUHPerdata, sedangkan Perjanjian
Akibat Perceraian belum diatur secara khusus baik dalam UU No.1 tahun
1974 maupun KUHPerdata.
Di Indonesia sendiri, dengan adanya unifikasi hukum dan juga
ditambah adanya asas Lex Specialis Lex Generalis, Hukum Perkawinan diatur
secara terperinci menggunakan UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan,
tidak lagi menggunakan aturan yang diatur dalam buku II tentang orang Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Meskipun menurut unifikasi hukum dan
juga menurut asas Lex Specialis Lex Generalis pengaturan mengenai
perkawinan harus mengikuti aturan dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, tetapi dalam ketentuan pasal 66 UU No.1 tahun 1974 tentang
Perkawinan dikatakan bahwa :
Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan
perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya
Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-
undang Hukum Perdata, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen No.74,
Peraturan Perkawinan Campuran dan Peraturan-peraturan lain yang
mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang
ini, dinyatakan tidak berlaku.
Sehingga dengan adanya ketentuan ini, UU No. 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan yang merupakan dasar hukum dan landasan dari ketentuan hukum
yang mengatur mengenai Perkawinan menyatakan bahwa apabila ada
ketentuan-ketentuan yang sebelumnya telah diatur dalam KUHPerdata,
Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen No. 74 tahun 1933, Peraturan
Perkawinan Campuran dan juga peraturan lain sehubungan dengan
Analisis yuridis..., Meitha Ria Rizkita Tarigan, FH UI, 2013
perkawinan, dan kemudian diatur kembali atau diatur lebih lanjut dalam UU
No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, maka ketentuan yang dipakai adalah
ketentuan yang terdapat dalam UU No. 1 tahun 1974, tidak lagi ketentuan
yang terdapat dalam peraturan-peraturan yang telah ada sebelumnya.
Akan tetapi, ketentuan ini juga bisa bermakna lain dimana ketentuan
ini juga bisa berarti bahwa apabila ada hal-hal mengenai Perkawinan yang
ketentuannya tidak diatur dalam UU No.1 tahun 1974, tetapi dalam kenyataan
sudah sering dipraktekkan sehingga membutuhkan dasar hukum untuk
melindunginya, maka pengaturan mengenai hal tersebut bisa kembali mengacu
kepada peraturan-peraturan yang sebelumnya telah ada dan mengatur
mengenai perkawinan seperti KUHPerdata, Ordonansi Perkawinan Indonesia
No. 74 tahun 1933 dan juga Peraturan Perkawinan Campuran serta peraturan
lainnya.
Pasal inilah yang kemudian menjadi dasar atau acuan dari pembahasan
Perjanjian Akibat Perceraian dalam karya ilmiah ini dimana ketentuan dasar
hukum dari Perjanjian Akibat Perceraian tidak atau belum diatur dalam UU
No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, sehingga pembahasan pengaturan
mengenai Perjanjian Akibat Perceraian ini bisa kembali mengacu kepada
KUHPerdata, Ordonansi Perkawinan Indonesia No. 74 dan juga Peraturan
Perkawinan Campuran serta peraturan lainnya yang mengatur mengenai
Perkawinan sebelum disahkannya UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Tetapi, meskipun belum diatur dalam UU No. 1 tahun 1974, pembahasan
mengenai Perjanjian Akibat Perceraian ini harus tetap memperhatikan
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam UU No. 1 tahun 1974 sebagai
peraturan dasar dari pelaksanaan perkawinan di Indonesia.
Dengan demikian dikarenakan belum ada ketentuan hukum yang
secara khusus mengenai Perjanjian Akibat Perceraian untuk mempermudah
pembahasan Perjanjian Akibat Perceraian ini maka pembahasan perjanjian ini
akan dilihat dari dua sisi yaitu secara formil dan materil. Untuk mempermudah
pemahaman, maka hal yang akan dibahas terlebih dahulu adalah dari materil
atau isi Perjanjian Akibat Perceraian tersebut.
Analisis yuridis..., Meitha Ria Rizkita Tarigan, FH UI, 2013
Sesuai seperti namanya Perjanjian Akibat Perceraian, maka isi dari
Perjanjian ini adalah mengatur mengenai Akibat Perceraian. Pengaturan
mengenai Akibat Perceraian bisa dilihat dalam UU No.1 tahun 1974 tentang
Perkawinan pasal 41 yang menyatakan bahwa :
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :
a. Baik Ibu atau Bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik
anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak,
bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak,
Pengadilan memberi keputusan.
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaa dan
pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana Bapak dalam
kenyataannya tidak dapat memberi kewajiban tersebut Pengadilan
dapat menentukan bahwa Ibu ikut memikul biaya tersebut.
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk
memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu
kewajiban bagi bekas isteri.
Selain dalam UU No. 1 tahun 1974, KUHPerdata juga mengatur
mengenai akibat dari perceraian yang antara lain terdiri dari :.
a. Pembagian harta bersama
Berdasarkan pasal 119 dan pasal 126 BW disebutkan bahwa sejak
saat dilangsungkan perkawinan terjadi percampuran harta antara suami
istri yang dikenal dengan istilah harta bersama. Percampuran harta (harta
bersama) ini terjadi selama tidak ditentukan lain oleh para pihak dalam
bentuk perjanjian perkawinan.
Harta bersama bubar atau berakhir demi hukum hanya karena
alasan kematian salah satu pihak, perceraian, pisah meja dan ranjang dan
juga karena pemisahan harta yang dituangkan dalam perjanjian sebelum
terjadinya perkawinan. Pasal 127 BW juga lebih lanjut mengatur bahwa
setelah bubarnya harta bersama, kekayaan yang diperoleh selama masa
perkawinan dibagi dua antara suami dan istri atau antara para pewaris
tanpa mempersoalkan pihak asal barang-barang tersebut.
b. Munculnya tanggung jawab memberi nafkah
Setelah perceraian dikabulkan, akan muncul kewajiban suami atau
istri untuk memberikan tunjangan kepada pihak istri atau suami yang
gugatannya dikabulkan dalam tuntutan perceraian. Hal ini diatur dalam
Analisis yuridis..., Meitha Ria Rizkita Tarigan, FH UI, 2013
pasal 222 KUHPerdata. Kewajiban memberikan tunjangan nafkah ini baru
akan berakhir apabila pihak suami atau istri yang menerima tunjangan
nafkah ini meninggal (pasal 227 KUHPerdata).
c. Pemegang hak asuh anak
Perceraian disamping menimbulkan adanya pembagian terhadap
harta bersama juga menimbulkan mengenai pihak yang memegang hak
asuh anak. Dimana menurut pasal 229 KUHPerdata, Pengadilan yang akan
menetapkan siapa dari kedua orang tua yang akan melakukan perwalian
atau memegang hak asuh atas tiap-tiap anak, kecuali jika kedua orang tua
tersebut telah dipecat atau dilepaskan dari kekuasaan orang tua.
Akan tetapi meskipun setelah perceraian hak asuh anak hanya
dipegang oleh salah satu dari kedua orang tua, tetapi hal ini tidak berarti
tanggung jawab orang tua yang tidak memegang hak asuh atas anak
menjadi terputus. Hal ini diatur secara tegas dalam pasal 45 UU No. 1
tahun 1974 yang menyatakan bahwa :
(1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak
mereka sebaik-baiknya
(2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini
berlaku sampai anak-anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri
kewajiban mana berlaku terus menerus meskipun perkawinan antara
kedua orang tua putus.
Pasal tersebut jelas mengatur bahwa kewajiban orang tua untuk
memelihara dan mendidik anak-anak mereka berlaku terus sampai anak
tersebut kawin atau dapat berdiri sendiri. Dinyatakan dengan jelas juga bahwa
kewajiban ini terus melekat pada kedua orang tua meskipun telah terjadi
perceraian di antara mereka berdua. Perceraian atau putusnya perkawinan
tidak melepaskan kewajiban orang tua terhadap anak. Sehingga dikatakan
bahwa biasanya yang diatur setelah terjadi perceraian adalah hanya siapa dari
kedua orang tua yang dianggap paling baik untuk memegang hak asuh
terhadap anak, akan tetapi kewajiban mengurus dan mendidik anak-anak tetap
melekat pada kedua orang tua, tidak hanya orang tua yang memegang hak
asuh atas anak.
Analisis yuridis..., Meitha Ria Rizkita Tarigan, FH UI, 2013
Berdasarkan pada penjelasan yang telah dipaparkan diatas, dilihat
bahwa isi dari Perjanjian Akibat Perceraian seharusnya mengikuti akibat
perceraian baik menurut UU No.1 tahun 1974 dan juga KUHPerdata.
Setelah mengetahui bahwa akibat perceraian ini telah diatur dalam UU
No.1 tahun 1974 dan juga KUHPerdata maka diperlukan bentuk khusus atau
bentuk formil yang mengatur mengenai akibat perceraian tersebut agar lebih
mengikat para pihak untuk melaksanakannya. Para pihak memilih bentuk
Perjanjian sebagai bentuk formil atau tertulis untuk mengatur akibat
perceraian tersebut. Dikarenakan Para Pihak memilih mengikatkan diri dalam
perjanjian, makanya kesepakatan para pihak ini disebut sebagai Perjanjian
Akibat Perceraian.
Meskipun tidak ada ketentuan dalam KUHPerdata yang secara jelas
mengatur mengenai Perjanjian Akibat Perceraian, tetapi dikarenakan para
pihak mengikatkan diri dalam perjanjian, maka perjanjian yang dibuat ini jelas
harus mengikuti ketentuan-ketentuan mengenai sahnya suatu perjanjian seperti
yang diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dasar hukum keberlakukan
Perjanjian Akibat Perceraian bisa dilihat dari dua segi yaitu segi formil dan
materiil. Segi materiil mengikuti ketentuan dalam Pasal 41 Undang-Undang
No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan sedangkan pengaturan mengenai formil
atau bentuk dari pengaturan akibat perceraian ini dikarenakan disepakati
dalam bentuk Perjanjian maka mengikuti ketentuan yang diatur dalam pasal
1320 KUHPerdata.
Analisis yuridis..., Meitha Ria Rizkita Tarigan, FH UI, 2013
PENUTUP
1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penulisan karya ilmiah ini, maka dapat diberikan
kesimpulan untuk menjawab pokok permasalahan yang ada, yakni sebagai
berikut:
1. Dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata tidak ditemukan adanya ketentuan atau pasal
khusus yang mengatur mengenai Perjanjian Akibat Perceraian. Sehingga
untuk mengetahui dasar hukum yang bisa dijadikan landasan Perjanjian
Akibat Perceraian analisis harus dilakukan dari dua sisi Perjanjian Akibat
Perceraian tersebut, yaitu dari sisi formil dan sisi materil.
Dilihat dari sisi materil terlebih dahulu yaitu dari sisi isi atau objek
Perjanjian Akibat Perceraian dimana objek dari Perjanjian Akibat
Perceraian adalah akibat perceraian. Akibat Perceraian menurut
KUHPerdata adalah sebagai berikut :
a. Pembagian harta bersama (Pasal 119 jo. pasal 126 KUHPerdata)
b. Munculnya tanggung jawab memberi nafkah (Pasal 227 KUHPerdata)
c. Pemegang hak asuh anak (Pasal 229 KUHPerdata)
Selain dalam KUHPerdata, akibat perceraian juga diatur dalam pasal 41
UU No. 1 tahun 1974 yaitu :
d. Baik Ibu atau Bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik
anak-anaknya
e. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak itu
f. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan
biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas
isteri.
Sedangkan apabila dilihat dari sisi formilnya, dikarenakan para pihak
memilih mengikatkan diri dalam bentuk perjanjian yaitu Perjanjian Akibat
Perceraian, maka Perjanjian Akibat Perceraian tersebut harus memenuhi
asas-asas suatu perjanjian yaitu :
Analisis yuridis..., Meitha Ria Rizkita Tarigan, FH UI, 2013
1. Asas kebebasan berkontrak
2. Asas Personalia
3. Asas Konsensualisme
4. Asas Pacta Sunt Servanda
5. Asas Itikad Baik
6. Asas Kepercayaan
7. Asas Kekuatan Mengikat
8. Asas Persamaan Hak – Asas Keseimbangan
9. Asas kepatutan
10. Asas kepastian hukum
Selain asas-asas perjanjian, suatu Perjanjian Akibat Perceraian harus
memenuhi syarat sahnya suatu Perjanjian sesuai pasal 1320 KUHPerdata
yaitu :
1. Sepakat mereka yang mengadakan perjanjian.
2. Kecakapan untuk membuat perjanjian.
3. Suatu hal tertentu.
4. Suatu sebab yang halal
Dengan demikian dasar hukum suatu Perjanjian Akibat Perceraian dapat
dilihat dari dua sisi yaitu apabila dari sisi materinya mengikuti ketentuan
akibat percerain seperti yang sudah diatur dalam KUHPerdata dan UU
No.1 Tahun 1974. Sedangkan dari sisi formilnya sebagai suatu perjanjian,
Perjanjian Akibat Perceraian harus mengikuti ketentuan sahnya suatu
Perjanjian menurut pasal 1320 KUHPerdata.
2. Sesuai dengan namanya Perjanjian Akibat Perceraian, maka suatu
Perjanjian Akibat Perceraian akan mengatur mengenai akibat-akibat yang
ditimbulkan dari adanya suatu perceraian. Akibat Perceraian yang boleh
diatur atau disepakati dalam suatu Perjanjian Akibat Perceraian mencakup
hal-hal dibawah ini yaitu :
a. Pembagian harta bersama
Analisis yuridis..., Meitha Ria Rizkita Tarigan, FH UI, 2013
Ketentuan ini diatur dalam pasal 119 jo. Pasal 126 KUHPerdata yaitu
mengatur mengenai pembagian harta bersama yang diperoleh selama
perkawinan para pihak dimana dengan adanya perceraian maka akan
membubarkan harta bersama.
b. Pemberian nafkah atau biaya penghidupan istri
Diatur dalam pasal 227 KUHPerdata dan pasal 41 huruf (c) UU No. 1
Tahun 1974 yang menyatakan bahwa suami tetap bertanggung jawab
untuk memberikan nafkah kepada si istri sampai dengan meninggalnya
salah satu pihak.
c. Pemberian hak asuh anak
Diatur dalam pasal 229 KUHPerdata dimana perceraian juga
menimbulkan munculnya tanggung jawab hak asuh anak yang
dipegang oleh salah satu pihak bisa suami atau istri. Hal yang diatur
hanyalah pemegang hak asuh, bukan kewajiban orang tua terhadap
anak dimana kewajiban orang tua terhadap anak tidak putus karena
perceraian dan tetap berlaku sampai anak itu dewasa.
d. Pemberian biaya penghidupan anak
Diatur dalam pasal pasal 41 (a) UU No.1 Tahun 1974 dimana biasanya
tanggung jawab biaya penghidupan anak diserahkan kepada pihak
Bapak selaku pencari nafkah.
Bahwa penjelasan diatas menyatakan bahwa menurut ketentuan
KUHPerdata dan UU No.1 tahun 1974 suatu Perjanjian Akibat Perceraian
akan mengatur mengenai akibat perceraian sesuai keempat poin diatas.
Tetapi apabila para pihak hendak melakukan kesepakatan-kesepakatan lain
sehubungan dengan akibat perceraian yang akan dituangkan dalam
Perjanjian Akibat Perceraian, hal tersebut tetap diperbolehkan berdasarkan
asas kebebasan berkontrak dalam suatu perjanjian selama hal yang
diperjanjikan tersebut tidak melanggar ketertiban umum, mengganggu
kepentingan umum dan melanggar kesusilaan.
Analisis yuridis..., Meitha Ria Rizkita Tarigan, FH UI, 2013
2. Saran
1. Mengingat semakin tingginya angka perceraian di Indonesia dan
semakin banyak pihak-pihak yang tertarik untuk membuat Perjanjian
Akibat Perceraian, untuk menjamin kepastian hukum dari Perjanjian
Akibat Perceraian itu sendiri lebih baik dirumuskan suatu bab atau
pasal di dalam UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang secara
khusus mengatur mengenai Perjanjian Akibat Perceraian secara
keseluruhan. Sehingga kemudian ke depannya, Bab atau Pasal dalam
UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut bisa digunakan
sebagai landasan hukum keberlakukan Perjanjian Akibat Perceraian
dan mengakomodir seluruh aspek mengenai Perjanjian Akibat
Perceraian.
2. Untuk menjamin kepastian hukum dari Perjanjian Akibat Perceraian
itu sendiri, ada lebih baiknya untuk ke depannya juga ada ketentuan
hukum yang mengharuskan pembuatan Perjanjian Akibat Perceraian
harus diikuti dengan pendaftaran ke Notaris, seperti pada pembuatan
Perjanjian Perkawinan. Hal ini untuk memberikan kepastian hukum
bagi para pihak dan memberi wewenang kepada para pihak untuk
melakukan eksekusi sesuai isi Perjanjian dan mengajukan gugatan
apabila terjadi wanprestasi terhadap Perjanjian Akibat Perceraian
tersebut.
Analisis yuridis..., Meitha Ria Rizkita Tarigan, FH UI, 2013
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Asfinawati, Erna Ratnaningsih dan Ines Thicren, Bila Anda Harus Bercerai : Hak
hak Perempuan Seputar Perceraian, cet.1, (Jakarta : Lembaga Bantuan
Hukum (LBH) Jakarta, 2004), hal.11
Badrulzaman, Mariam Darus, et.al., Kompilasi Hukum Perikatan. Bandung : Citra
Aditya Bakti,2001.
Damanhuri, H.A. Segi-Segi Hukum Perjanjian Perkawinan Harta Bersama. Cet.I.
Bandung : CV Mandar Maju, 2007.
Darmabrata, Wahyono. Hukum Perkawinan Perdata – Syarat Sahnya
Perkawinan,
Hak dan Kewajiban Suami Istri, Harta Benda Perkawinan. Jilid I. Jakarta:
Rizkita, 2009.
Hasbullah, Frieda Husni. Hukum Kebendaan Perdata : Hak-Hak Yang Memberi
Kenikmatan. Jilid I. cet III. Jakarta : Penerbit Ind – Hil – Co, 2005.
Loudoe, J.Z dan S.Riwoe Loupatty, Ajaran Umum Perikatan dan Persetujuan
menurut KitabUndang-Undang Hukum Perdata. Surabaya : Kasnendra
Suminar, 1983, hal. 1.
Mamudji, Sri, et al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta : Badan
Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.
Mahdi, Sri Soesilawati, Surini Ahlan Sjarif dan Akhmad Budi Cahyono, Hukum
Perdata Suatu Pengantar, (Jakarta : Gitama Jaya, 2005), hal.147.
Miru, Ahmadi. Hukum Kontrak : Perancang Kontrak. Jakarta : PT Raja Grafindo
Analisis yuridis..., Meitha Ria Rizkita Tarigan, FH UI, 2013
Persada, 2007
Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja. Perikatan yang lahir dari Perjanjian.
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada 2003
Prodjodikoro, Wirjono (a). Hukum Perkawinan Di Indonesia. Jakarta : Sumur
Bandung,1981.
_________ (b). Asas Hukum Perjanjian, Bandung : Sumur Bandung,
Prodjohamidjojo, Martiman (a). Hukum Perkawinan Indonesia, cet.2, Jakarta :
IndonesiaLegal Center Publishing, 2007
_________ (b). Tanya Jawab Undang-Undang Perkawinan, cet. 3, Jakarta : Legal
Center Publishing, 2004.
Rasjidi, Lili. Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia.
Cet.1.Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 1991.
Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, edisi revisi,
Bandung :Alumni,2006.
Rusli, Hardijan. Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law. Jakarta : Pustaka
Sinar Harapan, 1993.
Satrio,J (a). Hukum Perikatan yang lahir dari Perjanjian Buku II. Bandung : Citra
Aditya Bakti, 2001.
_______ (b). Hukum Harta Perkawinan. Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 1991.
Setiawan, R. Pokok-pokok Hukum Perikatan. (Bandung : Binacipta, 1994), hal.
65.
Analisis yuridis..., Meitha Ria Rizkita Tarigan, FH UI, 2013
Soekanto, Soerjono. Intisari Hukum Keluarga. (Bandung : Alumni, 1980), hal 16-
17.
Soemiyati. Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan (UU No.1
tahun 1974 tentang Perkawinan), cet.2, Yogyakarta : Liberty, 1986.
Subekti (a), Hukum Perjanjian, Jakarta : Intermasa, 2001
______ (b). Pokok-pokok Hukum Perdata, cet.31, Jakarta : Intermasa, 2003.
Subekti, Wienarsih Imam dan Sri Soesilowati Mahdi. Hukum Perorangan dan
Kekeluargaan Perdata Barat, Jakarta : Gitama Jaya, 2005.
Sudarsono. Hukum Perkawinan Nasional. Cet.III. Jakarta : PT Rineke Cipta,
2005.
Suharnoko. Hukum Perjanjian : Teori dan Analisa Kasus. Jakarta : Prenada
Media,2004.
Sulistini, Elise T dan Rudi T. Erwin, Petunjuk Praktis Menyelesaikan Perkara
Perkara Perdata. Jakarta : Bina Aksara, 1987
Suryodiningrat,R.M. Asas-asas Hukum Perikatan, Bandung : Tarsito, 1982.
Soimin, Soedharyo. Hukum Orang dan Keluarga – Perspektif Hukum Perdata
Barat/BW,Hukum Islam dan Hukum Adat. Cet.I. Jakarta : Sinar Grafika,
2002.
Usman, Rachmadi. Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan Di
Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika.2006.
Analisis yuridis..., Meitha Ria Rizkita Tarigan, FH UI, 2013
Widjaya, I.G.Ray. Merancang Suatu Kontrak, Jakarta : Kesaint Blanc, 2008.
Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan Lainnya
Indonesia. Undang-Undang Tentang Perkawinan, UU No. 1 tahun 1974, LN No.1
tahun 1974, TLN No.3019, ps.66
Indonesia. Undang-Undang tentang Perkawinan, UU No.1 tahun 1974, LN No.1
tahun 1974, TLN No. 3019.
Indonesia. Peraturan Pemerintah tentang Perkawinan, PP No.9 tahun 1975. Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek). Diterjemahkan
oleh R.Subekti dan R. Tjitrosudibio. Jakarta : Pradnja Paramita.1996.
Indonesia. Undang-Undang tentang Perlindungan Anak, UU No.23 tahun 2002.
LN No. 109 Tahun 2002. TLN No. 4235.
Internet
Anjar Nugroho, “Hak-hak Perempuan dalam Perkawinan : Perspektif Kesetaraan
Laki-Laki dan Perempuan dalam Islam”
http://pemikiranislam.wordpress.com/2007/07/27/hak-hak-perempuan-
dalam-perkawinan/. Diakses pada 27Juli 2007.
Hukum Keluarga dan Waris Pembagian Harta Gono-Gini,
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl1208/pembagian-harta-gono-
gini, diakses pada tanggal 6 November 2012.
Makalah, Skripsi, Tesis, Desertasi
S. Sewu, Lindawaty. Aspek Hukum Perjanjian Baku dan Posisi Berimbang Para
Pihak dalam Perjanjian Waralaba,” (Disertasi Doktor Universitas Katolik
Parahyangan, Bandung, 2007),
Analisis yuridis..., Meitha Ria Rizkita Tarigan, FH UI, 2013
Kamus dan Ensiklopedia
Em Zul Fajri dan Ratu Prilia Senja, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Jakarta :
Difa Publisher)
Garner, Bryan A., (ed). Black’s Law Dicitonary, 7th
Edition. St. Paul Minn : West
Publishing Co. 1990.
Poeawadarminta, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Cet.6 (Jakarta :Balai
Pustaka, 1983), hal.402.
Analisis yuridis..., Meitha Ria Rizkita Tarigan, FH UI, 2013