universitas indonesia keabsahan perbuatan hukum...
TRANSCRIPT
i Universitas Indonesia
UNIVERSITAS INDONESIA
KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM OLEH PIHAK YANG
TERKAIT PERKARA PIDANA MELALUI AKTA NOTARIS
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Kenotariatan
Dewi Susanti
1006828022
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN
SALEMBA
JANUARI 2013
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Tesis ini adalah hasil karya sendiri,
dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar.
Nama Dewi Susanti
NPM 1006828022
Tanda Tangan ~ Tanggal 21 Januari 2013
11 Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
iv Universitas Indonesia
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini
dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar
Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak,
dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan tesis ini, sangatlah sulit bagi saya
untuk menyelesaikan tesis ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Bapak Dr. Drs. Widodo Suryandono, S.H., M.H., selaku Ketua
Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas
Indonesia;
2. Bapak Pieter E. Latumeten, S.H., M.H., selaku dosen pembimbing
yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk
mengarahkan saya dalam penyusunan tesis ini;
3. Ibu Chairunnisa Said Selenggang, S.H., M.Kn. dan Ibu Wismar ’Ain
Marzuki, S.H., M.H., selaku dosen penguji yang sangat menginspirasi
saya, dan telah menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk menguji
dan memberikan masukan terkait tesis ini;
4. Para Dosen yang telah memberikan ilmunya kepada saya dan teman-
teman selama menjalankan studi di Program Magister Kenotariatan
Fakultas Hukum Universitas Indonesia;
5. Seluruh Staff Sekretariat Program Megister Kenotariatan Fakultas
Hukum Universitas Indonesia;
6. Alam Ginting dan Ida selaku kedua orang tua serta adik-adik tercinta
saya antara lain Yanwar Alamdo, Melyanti dan Mazmur Daud Ginting,
yang telah senantiasa memberikan bantuan dukungan material dan
moral;
7. G-Dragon, Tablo, Wooyoung, dan pria idaman lainnya yang senantiasa
memberikan inspirasi dan dukungan moral kepada saya terutama
ketika penyusunan tesis ini;
8. Sahabat-sahabat saya selama 2 (dua) tahun terakhir dalam menempuh
jenjang pendidikan Kenotariatan antara lain Astrid Triana Fabia dan
Oliv Fabia, Cicilia Julyani Tondy, Chikita Goenawan dan Ko
Christian, David Santosa, Mbak Delny Teoberto dan Mas Aji, Elza
Huzaifah Nirmaliana dan Arieeess, Lee DC, Mbak Meidicianawati dan
Om Adi, Nani Norseva, Nessya Chandra, Mbak Novi Herawati dan
Abang Satya Wijayantara, Sari Jacob dan Umi, serta Veneranda Julia
Belinda yang telah banyak membantu saya dalam menyelesaikan tesis
ini;
9. Sahabat seperjuangan dan sepenanggungan dalam rangka bimbingan
dan penulisan tesis, yaitu Mbak Sally dan Mbak Rahmania;
10. Sahabat-sahabat MKn UI saya lainnya antara lain Thia, Tommy Liem,
Karina Nadia, Airin, Dyah Kusumaningrum dan Hari Fitriansyah,
Clara Riza, Jeannette Lesmana, Cici Shuei, Ci Shilviana, Ci Way,
April, Monika Yulianty, dan seluruh teman-teman Magister
Kenotariatan angkatan 2010 Salemba yang tidak dapat disebutkan satu
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
v Universitas Indonesia
persatu, yang telah bekerja sama dan membantu saya dalam
menyelesaikan penulisan tesis ini baik secara materiil maupun
immaterial.
11. Sahabat-sahabat saya di Universitas Padjdjaran antara lain Christin
Anggrainy, Lita Natalia, Maria Yashinta, Meiske G.T Panggabean,
Monica Arindra, Trinzky Syulivany Ginting, dan Vica Paulma, yang
senantiasa membantu saya secara moral;
12. Sahabat-sahabat sewaktu saya masih remaja, antara lain Renny
Oktavia, Nathania Yandhi, Mama Amy, Olivia Jeniffer, Lavinda,
Priscilla, Birgitta, Ivonne TD, Angelina Febrina, Mely, Kharisma
Wulandari Guntur dan Made Setiawan, Fina Jessica, Gede, Candika
Fenny yang senantiasa membantu saya;
13. Teman-teman kantor yang senantiasa mendukung dan membimbing
saya dalam menuntut ilmu baik di bangku kuliah maupun di dalam
dunia kerja, antara lain Ibu Dra. Ayu Tiara Siregar, S.H., Mbak Upik,
Mbak Dwi Puspita Sari, S.H., M.Kn., Pak Pardi, Pak Ramli, dan Ical;
Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas
segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Saya menyadari bahwa
penulisan tesis ini jauh dari sempurna, dan masih terdapat banyak kekurangan.
Oleh karena itu, saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun
untuk lebih menyempurnakan tesis ini. Semoga tesis ini membawa manfaat bagi
pengembangan ilmu, khususnya ilmu hukum.
Jakarta, Januari 2013
Penulis
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLlKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama Dewi Susanti NPM 1006828022 Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Jenis karya : Tesis
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive RoyaltyFree Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :
Keabsahan Perbuatan Hukum Oleh Pihak Yang Terkait Perkara Pidana Melalui Akta Notaris
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/ fonnatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pemyataan ini saya buat dengan sebenamya.
Dibuat di : Depok Pada tanggal : 21 Januari 2013
Yang menyatakan,
_ .........~_o
VI Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
vii Universitas Indonesia
ABSTRAK
Nama : Dewi Susanti
Program Studi : Magister Kenotariatan
Judul : Keabsahan Perbuatan Hukum Oleh Pihak Yang Terkait
Perkara Pidana Melalui Akta Notaris
Keabsahan dan implikasi perbuatan hukum yang dilakukan oleh pihak yang
terkait perkara pidana yang dituangkan melalui akta notaris yang merupakan akta
otentik dengan kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat para pihak.
Pasal 3 KUHPerdata menegaskan bahwa tidak ada satu pun hukuman yang dapat
menghilangkan keperdataan seseorang. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun
seseorang yang terkait perkara pidana bahkan ditahan sekalipun tetap dapat
menjalankan hak keperdataannya dalam kehidupan bermasyarakat namun
tentunya tidaklah dapat dilakukan dengan bebas atau dengan kata lain lingkup hak
keperdataannya adalah terbatas. Misalnya dalam perkara tindak pidana korupsi,
hak keperdataan seseorang menjadi dibatasi terutama untuk melakukan perbuatan
hukum tertentu yang berkaitan dengan perkara pidana korupsi yang sedang
dijalaninya. Organisasi profesi notaris dengan lembaga penegak hukum lainnya
seperti lembaga kepolisian, penuntut umum, dan lembaga lainnya diperlukan
adanya kerja sama dan perlu dibuatnya suatu nota kesepahaman khususnya
mengenai akta notaris yang berisi perbuatan hukum yang dilakukan oleh pihak
yang terkait perkara pidana, serta perlu lebih banyak diadakan sosialisasi
mengenai prinsip kehati-hatian yang harus diterapkan oleh para notaris dalam
menjalankan tugas jabatannya.
Kata kunci:
Keabsahan, akta notaris, perbuatan pidana
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
viii Universitas Indonesia
ABSTRACT
Name : Dewi Susanti
Study Program : Notary Magister
Judul : The Validity of Legal Act Conducted by Party Involved in
Criminal Case Through Notary Deed
The validity and implication of legal act conducted by party involved in criminal
case which implemented in deed of notary as an authentic deed with impeccable
evidentiary function and binds the parties. Article 3 of Civil Code stipulates that
no punishment can annul the civil right of any individual. This assertion
concludes that although a person involved in criminal case or even imprisoned,
such person still can perform his civil right in social life, yet, such right can’t be
performed in a liberty manner or in other words, the civil right scope is limited.
For instance, in corruption case, the civil right of person is limited particularly in
certain legal acts related to the ongoing corruption case. Organization of Notary
Profession and another law enforcement institutions such as police, prosecutor,
and others need to cooperate and enter into Memorandum of Understanding
particularly regarding deed of notary containing legal act conducted by party
involved in criminal case, also, socialization of prudent principle implemented by
the notary in performing their duties.
Keywords :
Validity, notary deed, crime
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
ix Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................... i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ........................................ ii
HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................... iii
KATA PENGANTAR .................................................................................. iv
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH .................... vi
ABSTRAK ................................................................................................... vii
ABSTRACT ................................................................................................. viii
DAFTAR ISI ................................................................................................ ix
1. PENDAHULUAN ................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ....................................................................................... 1
1.2 Pokok Permasalahan .............................................................................. 8
1.3 Metode Penelitian ................................................................................... 9
1.4 Sistematika Penulisan ............................................................................. 12
2. TINJAUAN KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM YANG
DILAKUKAN OLEH PIHAK YANG TERKAIT PERKARA
PIDANA MELALUI AKTA NOTARIS ............................................ 14
2.1 Manusia Sebagai Subjek Hukum ........................................................... 14
2.2 Tinjauan Umum tentang Perbuatan Hukum ........................................... 19
2.2.1 Perjanjian sebagai Perbuatan Hukum ........................................... 24
2.2.2 Asas-asas dalam Hukum Perjanjian ............................................. 27
2.2.3 Syarat Sahnya Perjanjian .............................................................. 37
2.2.4 Akibat Hukum Suatu Perjanjian ................................................... 44
2.2.4.1 Perjanjian hanya berlaku di antara para pihak
yang membuatnya ........................................................... 44
2.2.4.2 Kebatalan dalam Perjanjian ............................................. 46
2.3 Tinjauan Umum tentang Notaris ............................................................ 49
2.3.1 Penghadap sebagai Pihak dalam Akta Notaris ............................. 57
2.3.2 Tugas, Kewenangan dan Larangan Notaris .................................. 61
2.3.3 Daerah Jabatan Notaris ................................................................. 71
2.3.4 Pengaturan Pembuatan Akta Notaris ............................................ 73
2.3.5 Sanksi terhadap Notaris Berkaitan dengan Akta
yang Dibuatnya ............................................................................
74
2.4 Perbuatan Hukum Oleh Pihak yang Terkait Perkara Pidana Melalui
Akta Notaris ........................................................................................... 76
2.4.1 Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 3641K/PDT/2001 .......... 76
2.4.2 Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 792 K/Pdt/2002 ............ 81
2.5 Keabsahan dan Kebatalan Suatu Perbuatan Hukum Yang Dilakukan
Oleh Pihak Yang Terkait Perkara Pidana Melalui Akta Notaris ............ 83
2.6 Implikasi Hukum Terhadap Keabsahan Suatu Perbuatan Hukum
dan Tanggung Jawab Notaris dimana Salah Satu Pihak Terkait
Perkara Pidana ........................................................................................
97
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
x Universitas Indonesia
3. PENUTUP ............................................................................................... 106
3.1 Simpulan ................................................................................................. 106
3.2 Saran ....................................................................................................... 108
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 110
LAMPIRAN
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembangunan nasional yang merupakan usaha peningkatan kualitas
manusia dan masyarakat Indonesia diarahkan pada pengembangan potensi,
inisiatif, dan daya kreasi sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia serta
diupayakan pelaksanaannya secara berkelanjutan, berlandaskan kemampuan
nasional dengan memanfaatkan segala modal atau sumber daya yang
dimiliki guna mewujudkan Tujuan Nasional, salah satunya adalah
meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat, sebagaimana termaktub
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.1
Salah satu aspek yang menjadi prioritas pembangunan nasional
Indonesia adalah aspek di bidang hukum mengingat bahwa Negara
Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum yang berlandaskan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yang menjamin ketertiban, keadilan, perlindungan serta kepastian
hukum bagi seluruh warga negara Indonesia.
Hukum merupakan sesuatu yang berkenaan dengan manusia
terutama dalam hubungannya dengan manusia lainnya dalam suatu
pergaulan hidup. Tanpa pergaulan hidup (masyarakat) tidak akan ada
hukum (ibi societas ibi ius, zoon politicon). Hukum berfungsi untuk
mengatur hubungan pergaulan antarmanusia. Namun tidak semua perbuatan
manusia itu memperoleh pengaturannya, hanya perbuatan atau tingkah laku
1 Laboratorium Pancasila IKIP Malang, Pendidikan Pancasila Di Perguruan Tinggi
Berdasarkan Keputusan DIRJEN DIKTI No. 25/DIKTI/Kep./1985, (Malang: Penerbit IKIP
Malang, 1990), h. 267.
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
2
yang diklasifikasikan sebagai perbuatan hukum saja yang menjadi
perhatiannya.2
Perbuatan hukum adalah setiap perbuatan subyek hukum yang
dilakukan secara sengaja untuk menimbulkan hak-hak dan kewajiban yang
dikehendaki oleh pelaku yang bersangkutan. Perbuatan hukum dapat terdiri
dari perbuatan hukum sepihak seperti pembuatan surat wasiat dan perbuatan
hukum dua pihak seperti persetujuan jual beli.
Untuk menjamin terciptanya ketertiban, keadilan, perlindungan
serta kepastian hukum, dalam kehidupan bermasyarakat dibutuhkan adanya
suatu alat bukti mengenai keadaan, peristiwa ataupun perbuatan hukum
yang dapat menentukan dengan jelas hak dan kewajiban seseorang sebagai
subyek hukum dalam masyarakat.
Saat ini, manusia dalam melakukan hubungan dalam kehidupan
bermasyarakat dengan sengaja membuat alat-alat bukti dalam bentuk
tulisan, dengan maksud bahwa bukti-bukti tersebut dapat dipergunakan di
kemudian hari. Alat bukti dalam bentuk tulisan dapat dibedakan dalam akta
dan surat bukan akta, yang kemudian akta masih dapat dibedakan lagi
menjadi akta otentik dan akta di bawah tangan.
A. Pitlo berpendapat bahwa, “Akta adalah suatu surat yang
ditandatangani, diperbuat untuk dipakai sebagai bukti, dan untuk
dipergunakan oleh orang, untuk keperluan siapa surat itu dibuat”.3 Dengan
adanya penandatanganan dalam suatu akta tersebut, seseorang dianggap
menjamin tentang kebenaran dari apa yang ditulis dan diuraikan dalam akta
tersebut.
Salah satu alat bukti yang sering dipergunakan dan diakui di
Indonesia adalah akta otentik yang merupakan alat bukti terkuat dan
terpenuh sehingga mempunyai peranan yang sangat penting dalam setiap
hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini ditegaskan pula
dalam Pasal 1867 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, untuk selanjutnya
dalam tesis ini disebut KUHPerdata, yang menyatakan bahwa pembuktian
2 Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, (Bandung: Alumni, 1985), h. 7.
3 A. Pitlo, Pembuktian dan Daluwarsa, (Jakarta: Intermasa, 1978), h. 52.
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
3
dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik maupun dengan
tulisan-tulisan di bawah tangan. Kebutuhan akan alat bukti tertulis berupa
akta otentik semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya tuntutan akan
kepastian hukum di tiap aspek kehidupan bermasyarakat.
Pentingnya akta otentik dalam suatu perbuatan hukum yang
dilakukan oleh subyek hukum adalah untuk memberikan perlindungan baik
kepada para pihak yang melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan
maupun kepada pihak ketiga dalam hal ini masyarakat, melalui faktor
kepastian hukum yang dijamin serta diberikan oleh akta notaris sebagai alat
bukti yang sempurna. Hal ini dikarenakan akta otentik mengandung nilai
kepastian dalam hubungan hukum antara para pihak, yang meletakkan hak
dan kewajiban secara timbal balik, mengingat apa yang dicantumkan dalam
akta tersebut merupakan kesepakatan para pihak mengenai hak dan
kewajiban yang dibuat berdasarkan Pasal 1320 juncto Pasal 1338
KUHPerdata. Selain itu, undang-undang telah memberikan nilai pembuktian
yang sempurna dan mengikat kepada akta otentik artinya apabila salah satu
pihak mengajukan suatu akta otentik dalam suatu perkara di pengadilan,
hakim harus menerimanya dan menganggap bahwa apa yang dituangkan di
dalam akta otentik tersebut sungguh-sungguh adalah benar sehingga hakim
tidak boleh memerintahkan penambahan pembuktian lainnya, sebagaimana
diatur dalam Pasal 1870 dan Pasal 1871 KUHPerdata.
Akta otentik, menurut Pasal 1868 KUHPerdata, adalah suatu akta
yang di dalam bentuk ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau
dihadapan pejabat umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta
dibuatnya. Salah satu pejabat umum yang dimaksud oleh Pasal 1868
KUHPerdata adalah seorang Notaris.
Ketentuan Pasal 1868 KUHPerdata juga menunjukkan bahwa akta
otentik masih dapat dibedakan lagi menjadi akta otentik yang dibuat oleh
pejabat umum dan akta otentik yang dibuat dihadapan pejabat umum. Suatu
akta yang dibuat oleh pejabat umum merupakan suatu laporan yang memuat
catatan atau berita acara dari apa yang telah dialami atau disaksikan oleh
Notaris, antara lain apa yang ia lihat, ia dengar atau apa yang dilakukannya.
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
4
Akta tersebut disebut juga akta verbal (verbaal acte). Hal ini berarti inisiatif
dari isi akta tersebut tidak datang dari orang yang diberitakan tentang
sesuatu hal di dalam akta yang bersangkutan.4
Akta yang dibuat dihadapan pejabat umum merupakan suatu
laporan mengenai suatu perbuatan dan/atau kejadian selain memuat catatan
tentang apa yang disaksikan dan dialami oleh Notaris, juga memuat apa
yang diperjanjikan atau ditentukan oleh pihak yang menghadap Notaris, dan
akta tersebut dibuat atas permintaan para pihak yang berkepentingan untuk
itu. Jadi, pejabat umum hanya mendengar apa yang dikehendaki oleh pihak
yang berkepentingan yang menghadap dan menyatakan atau mewujudkan
kehendak tersebut di dalam suatu akta. Dengan kata lain, akta otentik yang
dibuat dihadapan pejabat umum yang juga dapat disebut sebagai akta para
pihak (partij acte) berisikan keterangan dari para pihak sendiri dan
keterangan tersebut diperkuat dengan keterangan notaris dalam kalimat
pembukaan dan penutup akta.5
Dalam Akta Pejabat atau akta verbal, akta tersebut masih sah
sebagai suatu alat pembuktian walaupun satu atau lebih di antara
penghadapnya tidak menandatangani akta tersebut tetapi oleh Notarisnya
disebutkan alasan mereka tidak menandatangani akta tersebut. Berbeda
halnya dengan Akta Pihak, apabila salah satu pihak dalam akta tidak
menandatangani akta tersebut, tentu dapat menimbulkan masalah karena hal
tersebut dapat diartikan bahwa ia sebagai pihak yang tidak menandatangani
akta tersebut tidak menyetujui isi akta yang bersangkutan, kecuali
didasarkan atas alasan yang kuat misalnya tidak dapat menandatangani akta
karena tangannya sakit dan alasan kuat lainnya, namun alasan tersebut tetap
harus dicantumkan dengan jelas oleh Notaris dalam akta tersebut.
Fungsi akta yang paling penting di dalam hukum adalah akta
4 Teguh Samudera, Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata, (Bandung: Alumni, 2004),
h. 41.
5 Ibid., h. 42-44.
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
5
sebagai alat pembuktian, dan oleh karenanya akta mempunyai 3 (tiga)
macam kekuatan pembuktian yaitu:6
a. Kekuatan pembuktian luar/lahiriah ( uitwendige bewijskracht ),
yaitu syarat-syarat formal yang diperlukan agar akta notaris
dapat berlaku sebagai akta otentik.
b. Kekuatan pembuktian formal ( formale bewijskracht ), yaitu
kepastian, bahwa suatu kejadian dan fakta tersebut dalam akta
betul-betul dilakukan oleh notaris atau diterangkan oleh pihak-
pihak yang menghadap.
c. Kekuatan pembuktian materiil ( materiele bewijskracht), yaitu
kepastian bahwa apa yang tersebut dalam akta tersebut
merupakan pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak yang
membuat akta atau mereka yang mendapat hak dan berlaku
umum, kecuali ada pembuktian sebaliknya (tegenbewijs).
Ketentuan Pasal 1868 KUHPerdata juga menunjukkan bahwa tanpa
adanya kedudukan seorang pejabat umum, maka seseorang tidak
mempunyai wewenang untuk membuat suatu akta otentik. Adapun yang
dimaksud dengan pejabat umum itu sendiri adalah apabila ia diangkat dan
diberhentikan oleh pemerintah dan diberi wewenang serta kewajiban untuk
melayani publik dalam hal-hal tertentu, dan juga ikut melaksanakan
kewibawaan dari pemerintah. Namun ada perbedaan antara pejabat umum
dengan pegawai negeri yang diatur dalam peraturan perundang-undangan
tentang pegawai negeri. Antara pegawai negeri dengan pemerintah terdapat
hubungan kedinasan tetapi hal itu tidak berlaku bagi Notaris, meskipun
Notaris diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah.
Notaris, menurut Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, selanjutnya dalam tesis ini
disebut dengan Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN), menyebutkan
bahwa “Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta
otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-
undang ini.” Undang-Undang Jabatan Notaris menegaskan bahwa Notaris
6 R.Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia Suatu Penjelasan, (Jakarta:
CV. Rajawali Pers, 1982), h.55.
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
6
sebagai Pejabat Umum berwenang untuk membuat suatu akta otentik, yang
dalam menjalankan jabatannya berkewajiban bertindak jujur, saksama,
mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam
perbuatan hukum, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 16 ayat 1 huruf a
UUJN. Oleh karena itu, Notaris mengemban kepercayaan dari masyarakat
umum terutama dalam rangka menjalankan jabatannya membuat akta
otentik yang berisi kehendak para pihak yang membuatnya. Kewenangan
membuat akta otentik ini menuntut notaris harus bebas dari segala pengaruh
khususnya pengaruh eksekutif.
Notaris adalah pejabat umum (openbare ambtenaar) dan bukan
merupakan pegawai menurut undang-undang/peraturan-peraturan
kepegawaian negeri, ia tidak menerima gaji, bukan bezoldigd staatsambt,
tetapi menerima honorarium dari kliennya berdasarkan peraturan yang
berlaku.7 Notaris diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia Republik Indonesia, dan hal ini menunjukkan bahwa notaris
adalah profesi terhormat yang menuntut kualifikasi tersendiri.
Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata juga
menyiratkan bahwa fungsi utama/pokok seorang notaris yaitu pembuatan
akta-akta otentik yang harus dilakukan oleh atau dihadapan notaris seperti
akta-akta wasiat, perjanjian kawin, kuasa hipotik, pendirian perseroan
terbatas dll. Hal ini sejalan dengan Peraturan Jabatan Notaris 1860 yang
menegaskan bahwa pekerjaan Notaris adalah pekerjaan resmi (ambtelijke
verrichtingen) dan satu-satunya pejabat umum yang berwenang membuat
akta otentik, sepanjang tidak ada peraturan yang memberi wewenang serupa
kepada pejabat lain.
Mengingat tugas yang diembannya sangat berat, notaris dalam
melakukan tugas melaksanakan jabatannya harus dengan penuh tanggung
jawab dan dengan keterampilannya melayani kepentingan masyarakat yang
meminta jasanya dengan selalu mengindahkan ketentuan undang-undang,
7 Komar Andasasmita, Notaris I, (Bandung: Sumur Bandung, 1984), h. 45.
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
7
etika, ketertiban umum dan berbahasa Indonesia yang baik.8 Seorang
Notaris dalam menjalankan jabatannya membuat suatu akta terkait erat
dengan kode etik seorang Notaris baik berasal dari UUJN maupun kode etik
organisasi dalam hal ini organisasi Ikatan Notaris Indonesia.
Wewenang umum notaris terbatas pada lapangan hukum perdata
(privaat rechtelijk terrein). Tanpa alasan yang kuat (berdasar) Notaris tidak
boleh menolak melakukan pekerjaan yang bertalian dengan jabatannya dan
diminta untuk melakukannya. Jika notaris mengira adanya alasan kuat untuk
menolaknya, maka ia dapat memberitahukannya secara tertulis kepada
orang yang meminta jasa notaris itu. Jika orang yang bersangkutan tetap
menghendaki jasa notaris itu, maka ia dapat mengajukan tuntutan kepada
dan/atau dengan melalui hakim perdata, dengan mengemukakan surat alasan
penolakan dari notaris yang bersangkutan.9
Dalam pembuatan akta otentik, seorang notaris harus kenal dengan
pihak, lebih sering dikenal dengan istilah penghadap, yang meminta
dibuatkan akta notaris, bahkan kenal itu harus disebutkan dengan tegas
dalam akta. Apabila notaris tidak kenal dengan penghadap, maka tidak
boleh dibuatkan aktanya. Yang dimaksud dengan penghadap itu adalah
mereka yang datang sengaja menghadap kepada notaris.10
Setiap orang dapat mendatangi seorang notaris untuk meminta
dibuatkan suatu akta otentik perihal yang dikehendaki yang bersangkutan,
dan notaris tidak boleh menolak untuk memberikan pelayanan hukum
kepada masyarakat khususnya pihak yang meminta dibuatkan akta tersebut.
Namun demikian, tidak semua orang dalam kedudukannya selaku subyek
hukum dapat menjadi penghadap dalam suatu akta otentik yang dibuat oleh
seorang notaris. Hanya subyek hukum yang sudah cakap hukum dan
memang berhak untuk melakukan tindakan hukum sebagaimana yang
dimaksudkan dalam akta tersebutlah yang berhak menjadi seorang
8 C.S.T.Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pokok-Pokok Etika Profesi Hukum, (Jakarta:
PT. Pradnya Paramita, 2003), h. 98.
9 Ibid.
10
A. Kohar, Notaris dalam Praktek Hukum, (Bandung: Alumni, 1983), h. 38.
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
8
penghadap. Salah satu hal yang menjadi perhatian penulis adalah bagaimana
jika seorang yang tersangkut perkara pidana baik dalam kedudukannya
sebagai tersangka, terdakwa maupun terpidana melakukan perbuatan hukum
melalui akta notaris.
Pasal 3 KUHPerdata menyatakan bahwa tidak ada satu pun
hukuman yang dapat menghilangkan keperdataan seseorang, hal ini
menunjukkan bahwa walaupun seseorang yang terkait perkara pidana tetap
dapat menjalankan hak keperdataannya dalam kehidupan bermasyarakat
namun tentunya tidaklah dapat dilakukan dengan bebas. Lebih lanjut, baik
di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
maupun Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
25 Tahun 2003 tidak diatur secara khusus apakah seseorang yang terkait
perkara korupsi ataupun perkara pencucian uang dapat melakukan perbuatan
hukum atau larangan untuk melakukan perbuatan hukum tertentu.
Dalam praktek masih diketemukan adanya kurang kesepahaman
ketika seseorang yang terkait perkara pidana hendak membuat akta otentik
perihal perbuatan hukum yang akan dilakukannya, terutama terkait
keabsahan perbuatan hukum yang dituangkan melalui akta notaris tersebut.
Oleh karenanya tak jarang diketemukan notaris yang sangat berhati-hati dan
bahkan menolak permintaan pihak yang berkepentingan tersebut. Hal
tersebut tentunya sangat bertolak belakang dengan larangan bahwa notaris
tidak boleh menolak untuk membuatkan akta bagi para pihak yang meminta
untuk dibuatkan akta tersebut.
1.2 Pokok Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka
dapat ditarik identifikasi permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah keabsahan dan kebatalan suatu perbuatan hukum
yang dilakukan oleh pihak yang terkait perkara pidana melalui
akta notaris?
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
9
2. Bagaimanakah implikasi hukum terhadap keabsahan suatu
perbuatan hukum dan tanggung jawab Notaris dimana salah satu
pihak terkait perkara pidana?
1.3 Metode Penelitian
Dalam melaksanakan penelitian ini, Penulis memerlukan metode
penelitian yang berguna untuk mempermudah penelitian sehingga akan
mendapatkan suatu hasil penelitian yang jelas serta akurat.
Bentuk penelitian yang penulis gunakan adalah penelitian yuridis
normatif atau yang lebih dikenal dengan penelitian kepustakaan, dengan
pendekatan yang bersifat deskriptif analisis. Penelitian yuridis normatif
lebih menekankan pada penggunaan data sekunder yang berupa norma
hukum tertulis atau bahan hukum yang lain. Pendekatan deskriptif analisis
ialah bahwa data-data yang diperoleh akan dianalisis secara kualitatif tanpa
menguji hipotesis, dalam rangka untuk mendapatkan gambaran mengenai
peran notaris serta keabsahan perbuatan hukum yang dilakukan oleh pihak
yang terkait perkara pidana.
Penelitian ini juga merupakan penelitian preskriptif yang akan
memberikan jalan keluar dari pokok permasalahan penelitian ini serta
menggunakan tipe penelitian mono-disiplin, dimana Penulis hanya
menggunakan 1 (satu) disiplin ilmu yaitu ilmu hukum.
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan kasus dengan menggunakan analisa logika Deduktif ke Induktif,
yaitu pencarian pengetahuan yang benar harus berlangsung menurut
prosedur atau kaedah hukum, yaitu berdasarkan logika. Aplikasi dari logika
dapat disebut dengan penalaran dan pengetahuan yang benar dapat disebut
dengan pengetahuan ilmiah. Untuk memperoleh pengetahuan ilmiah dapat
digunakan dua jenis penalaran, yaitu penalaran deduktif dan penalaran
induktif. Namun, dalam penelitian ini yang digunakan adalah penalaran
induktif yang merupakan prosedur yang berpangkal dari peristiwa khusus
sebagai hasil pengamatan empirik dan berakhir pada suatu kesimpulan atau
pengetahuan baru yang bersifat umum.
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
10
Data-data yang Penulis gunakan dalam penulisan tesis ini
bersumber dari data sekunder, yaitu data yang telah dalam keadaan siap
pakai, bentuk dan isinya telah disusun penulis terdahulu dan dapat diperoleh
tanpa terikat waktu dan tempat.11
Penulis memperoleh data langsung
melalui penelusuran kepustakaan atau dokumentasi, di antaranya adalah
Undang-Undang Dasar 1945, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003, peraturan
tertulis lainnya, buku-buku yang berkaitan dengan masalah yang Penulis
teliti, artikel hukum dan lain sebagainya.
Untuk menunjang penelitian ini, penulis menggunakan bahan
hukum yang terdiri dari:
a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai
kekuatan mengikat atau yang membuat masyarakat mentaati dan
menghargai hukum seperti peraturan perundang-undangan.
Bahan hukum primer ini sangatlah penting dalam rangka untuk
mendapatkan landasan hukum dari permasalahan penelitian ini.
Bahan hukum primer yang diteliti adalah peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas,
yaitu Undang-Undang Dasar 1945, Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana dan peraturan tertulis lainnya.
b. Bahan Hukum Sekunder (secondary sources), yaitu bahan-
bahan yang memberikan informasi atau hal-hal lain yang
berkaitan yang mendukung sumber primer serta
implementasinya dan digunakan untuk melakukan analisis data,
seperti buku karangan R.Soegondo Notodisoerjo yang berjudul
11
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia-
Press, 2010), h.37.
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
11
”Hukum Notariat di Indonesia Suatu Penjelasan”, buku
karangan Komar Andasasmita dengan judul ”Notaris I”, dan
berbagai bahan hukum sekunder lainnya.
c. Bahan Hukum Tersier (tertierary sources), adalah bahan-bahan
yang memberikan petunjuk maupun penjelasan yang
mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,
meliputi buku petunjuk, kamus-kamus hukum, ensiklopedia dan
sebagainya.
Dalam penelitian ini, Penulis menggunakan alat pengumpulan data
yaitu Studi Kepustakaan/Dokumen. Studi kepustakaan yang dimaksud
adalah dengan menelaah asas-asas hukum serta ketentuan-ketentuan yang
termuat dalam pelbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan pokok permasalahan penelitian ini.
Data-data yang telah diperoleh untuk menunjang penelitian ini
kemudian akan dianalisis dan dipresentasikan secara analisis kualitatif yang
sesuai dengan bentuk penelitian yuridis normatif yang Penulis gunakan
dalam penelitian ini. Hal ini disebabkan data yang dianalisis bersifat
menyeluruh dan merupakan satu kesatuan (holistic), serta Penulis tidak
menentukan hasil kajian atas penelitian dalam bentuk numerik atau jumlah
melainkan dari analisa. Selain itu, penelitian ini menekankan pada aspek
analisis subyektif peneliti dengan menekankan pada data yang diperoleh,
perspektif komprehensif peneliti dan pendekatan terhadap pokok
permasalahan yang dilakukan oleh peneliti.
Adapun bentuk hasil penelitian ini adalah deskriptif analitis
sekaligus preskriptif analitis. Hasil dari penelitian yang Penulis lakukan
adalah memberikan penilaian umum tentang data yang telah diperoleh
termasuk peraturan perundang-undangan yang terkait. Gambaran umum ini
dapat menjadi acuan untuk memberikan jalan keluar (solusi) dari pokok
permasalahan dalam penelitian ini.
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
12
1.4 Sistematika Penulisan
Penulisan tesis ini dibagi dalam 3 (tiga) bab yang mempunyai
hubungan yang terikat satu sama lain sehingga menjadi satu kesatuan yang
utuh dalam pemahaman permasalahan dan diakhiri dengan suatu simpulan
dan saran. Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
Bab 1 Pendahuluan
Bab 1 yang merupakan bab pendahuluan memuat secara singkat
mengenai latar belakang penelitian khususnya manakala seseorang
yang terkait perkara pidana meminta dibuatkan akta notaris perihal
perbuatan hukum yang dilakukannya. Bab 1 ini juga berisi pokok
permasalahan yang menjadi sasaran penelitian, metode penelitian,
dan sistematika penulisan.
Bab 2 Tinjauan Keabsahan Perbuatan Hukum Yang Dilakukan Oleh
Pihak yang Terkait Perkara Pidana melalui Akta Notaris
Bab 2 ini menguraikan kerangka konseptual dan kerangka teori
termasuk aspek-aspek yuridis untuk menganalisis serta menjawab
permasalahan hukum yang diteliti dalam penelitian ini, diantaranya
mengenai manusia sebagai subyek hukum, tinjauan umum tentang
perbuatan hukum termasuk salah satu bentuknya adalah mengenai
perjanjian, serta tinjauan umum tentang notaris yang berisi
kewenangan, larangan, daerah jabatan notaris, dan teori lainnya.
Dalam bab ini juga menguraikan hasil penelitian yang telah
dianalisis terutama mengenai keabsahan dan implikasi hukum
perbuatan hukum oleh pihak yang terkait perkara pidana dan
mengenai tanggung jawab notaris terhadap akta yang dibuatnya
perihal perbuatan hukum tersebut.
Bab 3 Penutup
Bab 3 yang merupakan bab terakhir dalam penulisan tesis ini
berisikan beberapa simpulan yang merupakan hasil kristalisasi
antara pertanyaan-pertanyaan yang telah diidentifikasi sebelumnya
dan pembahasan atau analisis atas pertanyaan-pertanyaan tersebut
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
13
yang pada akhirnya akan diperoleh jawaban atas pertanyaan-
pertanyaan yang diteliti, sebagai hasil penelitian. Salah satunya
adalah meskipun seseorang terkait perkara pidana dan dikenakan
penahanan terhadap dirinya, ia tetap dapat melakukan perbuatan
hukum dan dituangkan dalam suatu akta notaris perihal perbuatan
hukum tersebut, dengan batasan perbuatan hukum yang
dilakukannya tidak mempunyai hubungan/keterkaitan dengan
perkara pidana yang sedang diperiksa terhadapnya. Selain itu, bab
ini juga berisikan saran-saran yang pada dasarnya merupakan
usulan atau masukan dari penulis yang sifatnya operasional dan
konkrit, yang dapat diberikan sehubungan dengan permasalahan
yang menjadi objek penelitian ini.
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
14
BAB 2
TINJAUAN KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM YANG DILAKUKAN
OLEH PIHAK YANG TERKAIT PERKARA PIDANA MELALUI
AKTA NOTARIS
2.1 Manusia sebagai Subyek Hukum
Subyek hukum ialah pemegang hak dan kewajiban menurut
hukum, sehingga dapat melakukan suatu perbuatan hukum, seperti
mengadakan persetujuan-persetujuan, menikah, membuat wasiat, dan
sebagainya. Dalam kehidupan sehari-hari, yang menjadi subyek hukum
dalam sistem hukum Indonesia, ialah individu (orang) dan badan hukum
(perusahaan, organisasi, institusi).
Manusia sebagai pengertian biologis ialah gejala dalam alam,
gejala biologika yaitu makhluk hidup yang mempunyai panca-indera dan
mempunyai budaya, sedangkan orang sebagai pengertian yuridis ialah gejala
dalam hidup bermasyarakat. Dalam hukum yang menjadi pusat perhatian
adalah orang atau person.12
Oleh karena itu, setiap manusia (naturlife
persoon) diakui sebagai subyek hukum (rechtspersoonlijkheid) yaitu
pendukung hak dan kewajiban.
Hak dan kewajiban perdata tidak bergantung kepada agama,
golongan, jenis kelamin, umur, ataupun kewarganegaraan seseorang. Hak
dan kewajiban perdata seseorang juga tidak bergantung pula kepada status
sosial seseorang, kaya atau miskin, kedudukan tinggi atau rendah dalam
masyarakat, penguasa (pejabat) ataupun rakyat biasa, semuanya sama di
hadapan hukum.
12
Achmad Ichsan, Hukum Perdata IA, cet. I, (Jakarta: Pembimbing Masa, 1969), h.68.
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
15
Setiap manusia sudah menjadi subyek hukum secara kodrati atau
secara alami, yaitu mulai sejak lahir dan baru berakhir apabila mati atau
meninggal dunia. Apabila ia meninggal dunia maka hak dan kewajibannya
telah berakhir dan akan beralih kepada ahli warisnya. Anak-anak serta balita
pun sudah dianggap sebagai subyek hukum. Pengecualian mulainya
mendukung hak dan kewajiban dalam KUHPerdata diatur dalam Pasal 2
yang menyebutkan bahwa anak (bayi) yang masih berada dalam kandungan
seorang perempuan dianggap sebagai telah dilahirkan, dalam hal terdapat
urusan atau kepentingan si anak menghendakinya. Ketentuan ini
menegaskan bahwa hak dan kewajiban si anak baru dianggap ada jika ia
dilahirkan hidup, apabila ia dilahirkan mati maka haknya dianggap tidak
ada, misalnya kepentingan si anak untuk menjadi ahli waris dari orang
tuanya, walaupun ia masih berada dalam kandungan ia dianggap telah
dilahirkan dan oleh karena itu harus diperhitungkan hak-haknya sebagai ahli
waris. Apabila si anak mati atau meninggal dunia sewaktu dilahirkan, maka
ia dianggap tidak pernah telah ada. Ketentuan yang termuat dalam Pasal 2
KUHPerdata ini sering disebut “rechtsfictie”, dan sangat penting dalam hal
warisan misalnya.
Meskipun setiap orang tidak ada yang dikecualikan adalah sebagai
pendukung hak dan kewajiban atau subyek hukum, tetapi tidak semuanya
cakap atau tidak dapat bertindak sendiri untuk melakukan perbuatan hukum
(rechtsbekwaamheid). Adapun orang-orang yang menurut undang-undang
dinyatakan tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum antara lain:
a. Orang-orang yang belum dewasa, yaitu anak yang belum
mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan
perkawinan, sebagaimana diatur dalam Pasal 1330 KUHPerdata
juncto Pasal 47 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, untuk selanjutnya dalam tesis ini disebut UU
Perkawinan;
b. Orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan, yaitu orang-
orang dewasa tapi dalam keadaan dungu, gila, mata gelap dan
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
16
pemboros, sebagaimana diatur dalam Pasal 1330 KUHPerdata
juncto Pasal 433 KUHPerdata;
c. Orang-orang yang dilarang undang-undang untuk melakukan
perbuatan-perbuatan hukum tertentu, misalnya orang yang
dinyatakan pailit, sebagaimana diatur dalam Pasal 1330
KUHPerdata juncto Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang yang selanjutnya dalam tesis ini disebut UU Kepailitan.
Menurut KUPerdata, seseorang dikatakan sudah dewasa adalah
saat berusia 21 tahun bagi laki-laki dan 19 tahun bagi wanita, sedangkan
menurut UU Perkawinan, kedewasaan seseorang adalah saat berusia 19
tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi wanita. Lain hal pula menurut hukum
adat, kedewasaan seseorang apabila sudah mampu bekerja atau mencari
nafkah sendiri. Meskipun demikian, acuan yang dipakai pada umumnya
adalah berdasarkan KUHPerdata karena ketentuan ini masih berlaku secara
umum, sedangkan ketentuan lainnya yaitu UU Perkawinan dan hukum adat
hanya berlaku secara khusus.
Orang-orang yang belum dewasa dalam melakukan perbuatan
hukum diwakili oleh orang tuanya ataupun walinya, sedangkan bagi orang-
orang yang ditaruh dibawah pengampuan (curatele) dalam melakukan
perbuatan hukum diwakili oleh pengampunya (curator).
Yang membedakan antara subyek hukum yang cakap dengan
subyek hukum yang tidak cakap adalah berkaitan dengan pemenuhan
tanggung jawab. Subyek hukum yang tidak cakap tidak dapat dikenakan
tanggung jawab secara langsung atas perbuatan hukum yang dilakukannya,
namun tanggung jawab tersebut dikenakan melalui pengampunya. Hal yang
sama berlaku pula untuk subyek hukum yang belum dewasa.
Setiap orang adalah subyek hukum (rechtspersoonlijkheid) yakni
pendukung hak dan kewajiban, tetapi tidak setiap orang cakap untuk
melakukan perbuatan hukum. Cakap melakukan perbuatan hukum artinya
subyek hukum tersebut dapat melakukan atau bertindak baik sendiri maupun
bersama orang lain di dalam menjalankan hak dan kewajibannya. Orang
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
17
yang cakap untuk melakukan perbuatan hukum adalah orang yang telah
dewasa dan sehat akal pikirannya serta tidak dilarang oleh suatu undang-
undang untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum tertentu.
Pentingnya arti kecakapan menurut hukum tentunya mempunyai 2
(dua) maksud, antara lain pertama adalah maksud yang dilihat dari sudut
keadilan yaitu perlunya orang yang melakukan perbuatan hukum, misalnya
membuat perjanjian, mempunyai cukup kemampuan untuk menginsyafi/
menyadari secara benar akan tanggung jawab yang dipikulnya dengan
perbuatan tersebut. Kedua, maksud yang dilihat dari sudut ketertiban
hukum, yaitu bahwa orang yang membuat perjanjian tersebut dengan kata
lain berarti mempertaruhkan kekayaannya.
Pada prinsipnya setiap orang tidak kecuali dapat memiliki dan
melaksanakan hak-hak akan tetapi tidak semua orang dinyatakan cakap di
dalam melaksanakan hak-haknya tersebut. Untuk dapat dikatakan cakap
melakukan perbuatan hukum, subyek hukum tersebut harus memenuhi
beberapa syarat sebagai berikut :
a. Orang tersebut telah mencapai usia 21 tahun atau telah menikah.
b. Orang tersebut mempunyai kewenangan untuk melaksanakan
hak dan kewajiban tersebut, misalnya ia memang berwenang
untuk menjual sebuah barang yang adalah benar miliknya.
c. Orang tersebut harus memiliki jiwa dan akal yang sehat.
Orang yang cakap untuk melakukan perbuatan hukum
(rechtsbekwaamheid) tidak selalu berwenang untuk melakukan perbuatan
hukum (rechtsbevoegheid).13
Dengan demikian, rechtsbekwaamheid adalah
syarat umum sedangkan rechtsbevoegheid adalah syarat khusus bagi subyek
hukum untuk melakukan perbuatan hukum.
Dalam ketentuan KUHPerdata, kecakapan merupakan salah satu
syarat untuk sahnya suatu perikatan/perjanjian yang berarti bahwa segala
perikatan yang dilakukan oleh seseorang yang tidak cakap dapat dibatalkan
atau diminta pembatalannya melalui hakim. Namun sebaliknya dalam hal
perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad), ketidakcakapan seseorang
13
H. Riduan Syahrani, Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, (Bandung: Alumni,
2006), h. 45.
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
18
tidak mempengaruhi timbul atau tidaknya “akibat hukum” dari perbuatan
tersebut.
Berakhirnya seseorang sebagai pendukung hak dan kewajiban
dalam perdata adalah apabila ia meninggal dunia. Hal ini berarti selama
seseorang masih hidup selama itu pula ia mempunyai kewenangan berhak.
Pasal 3 KUHPerdata menyatakan dengan tegas bahwa, “Tiada suatu
hukumanpun mengakibatkan kematian perdata atau kehilangan segala hak
perdata”.
Akan tetapi, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi
kewenangan berhak seseorang yang sifatnya membatasi kewenangan berhak
tersebut antara lain:14
a. Kewarga-negaraan, misalnya dalam Pasal 21 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria, untuk selanjutnya dalam tesis ini disebut UUPA,
disebutkan bahwa hanya warga negara Indonesia saja yang
dapat mempunyai hak milik atas tanah;
b Tempat tinggal, misalnya dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1960 dan Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor
41 Tahun 1964 (Tambahan Pasal 3a sampai dengan Pasal 3e)
juncto Pasal 10 ayat (2) UUPA disebutkan larangan pemilikan
tanah pertanian oleh orang yang bertempat tinggal di luar
kecamatan tempat letak tanahnya;
c. Kedudukan atau jabatan, misalnya hakim dan pejabat hukum
lainnya tidak boleh memperoleh barang-barang yang masih
dalam perkara;
d. Tingkah laku atau perbuatan, misalnya dalam Pasal 49 dan Pasal
53 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
disebutkan bahwa kekuasaan orang tua dan wali dapat dicabut
dengan keputusan pengadilan dalam hal ia sangat melalaikan
kewajibannya sebagai orang tua/wali atau bahkan berkelakukan
buruk sekali.
14
Ibid., h. 43-44.
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
19
Disamping itu, Pasal 467 juncto Pasal 468 juncto Pasal 469
KUHPerdata menyatakan bahwa seseorang dianggap telah meninggal dunia
jika hilang atau tidak diketahui dimana ia berada dan tidak ada kepastian
apakah ia masih hidup dalam tenggang waktu setelah lewat 5 (lima) tahun
sejak ia meninggalkan tempat kediamannya itu.
2.2 Tinjauan Umum tentang Perbuatan Hukum
Setiap manusia adalah subyek hukum tidak ada yang dikecualikan,
yang erat kaitannya dengan peristiwa-peristiwa hukum dalam kehidupan
bermasyarakat. Peristiwa hukum adalah peristiwa yang menimbulkan akibat
hukum yaitu menimbulkan hak dan kewajiban yang diberikan oleh hukum
kepada para pihak yang terlibat dalam peristiwa yang bersangkutan. Hukum
juga mengatur lahir dan hapusnya hak-hak subyektif dan akibat hukum
lainnya dari para pihak yang terlibat dalam peristiwa tersebut.
Peristiwa hukum merupakan peristiwa-peristiwa kemasyarakatan
yang timbul dari hubungan anggota masyarakat yang oleh hukum diberikan
akibat-akibat hukum, dapat dibedakan menjadi 2 (dua) kategori, antara lain :
a. Perbuatan subyek hukum (manusia dan badan hukum), apabila
akal budi manusia dapat menguasai atau mengaturnya, dengan
kata lain bahwa orang yang bersangkutan mempunyai kekuasaan
untuk menentukan ada atau tidaknya peristiwa seperti itu.
b. Peristiwa hukum yang bukan perbuatan subyek hukum atau
“peristiwa hukum yang lain”, terjadi diluar jangkauan manusia
untuk mengatur/menguasainya, dan terjadi tanpa
memperhitungkan kehendak para pihak yang terkait.
Setiap manusia mempunyai kebebasan untuk melakukan perbuatan
apa saja dalam kehidupannya. Namun demikian tidak semua perbuatan
manusia memperoleh pengaturannya, hanya perbuatan yang dapat
diklasifikasikan sebagai perbuatan hukum saja yang diatur oleh hukum.
Perbuatan subyek hukum dapat pula dibedakan menjadi 2 (dua)
kategori yaitu Perbuatan Hukum dan Perbuatan lain yang bukan perbuatan
hukum. Perbuatan hukum adalah setiap perbuatan subyek hukum yang
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
20
dilakukan secara sengaja untuk menimbulkan hak-hak dan kewajiban. Suatu
perbuatan merupakan perbuatan hukum apabila perbuatan itu oleh hukum
diberi akibat (mempunyai akibat hukum) dan akibat itu dikehendaki oleh
pelaku yang bersangkutan. Perbuatan hukum dapat kita bedakan menjadi 2
(dua) bagian, yaitu:
a. Perbuatan hukum sepihak yaitu perbuatan hukum yang
dilakukan oleh satu pihak saja dan menimbulkan hak dan
kewajiban pada satu pihak pula misalnya pembuatan surat
wasiat, pengakuan anak, pembebasan hutang dan sebagainya.
Untuk lahirnya/timbulnya akibat hukum yang dikehendaki
tersebut, cukup dengan pernyataan kehendak dari satu orang
tersebut saja.
b. Perbuatan hukum dua pihak, yang lebih dikenal dengan istilah
perjanjian, adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua
pihak dan menimbulkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi
kedua belah pihak misalnya membuat persetujuan jual beli, sewa
menyewa, dan sebagainya. Pada perbuatan hukum dua pihak ini
dibutuhkan pernyataan kehendak dari kedua belah pihak yang
saling bertemu.
Sama halnya dengan perbuatan hukum, perbuatan (manusia) yang
lain dan bukan perbuatan hukum juga dapat dibedakan :
a. Zaakwaarneming, yaitu perbuatan memperhatikan (mengurus)
kepentingan orang lain dengan tidak diminta oleh orang itu
untuk memperhatikan kepentingannya. Perbuatan yang
akibatnya diatur oleh hukum, meskipun tidak dikehendaki oleh
pihak yang melakukan perbuatan itu, tetapi perbuatan tersebut
bukanlah perbuatan hukum. Menurut Pasal 1354 KUHPerdata,
pengertian zaakwaarneming adalah mengambil alih tanggung
jawab dari seseorang sampai yang bersangkutan sanggup lagi
untuk mengurus dirinya sendiri. Pasal 1354 KUHPerdata
menyebutkan, ”jika seseorang dengan sukarela, dengan tidak
mendapat perintah untuk itu, mewakili orang lain dengan atau
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
21
tanpa pengetahuan orang tersebut, maka dia secara diam-diam
telah mengikatkan dirinya untuk meneruskan serta
menyelesaikan urusan tersebut, hingga orang yang diwakili
kepentingannya itu dapat mengerjakan sendiri urusan tersebut.
Ia diwajibkan pula mengerjakan segala kewajiban yang harus
dipikulnya, seandainya ia dikuasakan dengan suatu pemberian
kuasa yang dinyatakan dengan tegas. Sebagai contoh adalah bila
terdapat kasus kecelakaan yang mengakibatkan seseorang luka
parah dan harus dioperasi secepatnya maka dokter harus
mengoperasinya tanpa meminta ijin kepada orang tersebut atau
keluarganya, dan dalam posisi bahwa yang mengurus (dokter)
tidak memiliki hubungan dengan si sakit, namun dokter dengan
niat sendiri mengurus si sakit.
b. Onrechtmatigedaad adalah suatu perbuatan yang bertentangan
dengan hukum. Akibat suatu perbuatan yang bertentangan
dengan hukum diatur juga oleh hukum, meskipun akibat itu
memang tidak dikehendaki oleh yang melakukan perbuatan
tersebut. Dalam hal ini siapa yang melakukan suatu perbuatan
yang bertentangan dengan hukum harus mengganti kerugian
yang diderita oleh yang dirugikan karena perbuatan itu. Jadi,
karena suatu perbuatan bertentangan dengan hukum timbullah
suatu perikatan untuk mengganti kerugian yang diderita oleh
yang dirugikan. Asas ini terdapat dalam Pasal 1365
KUHPerdata.
Peristiwa hukum yang bukan perbuatan subyek hukum atau
peristiwa hukum lainnya adalah peristiwa hukum yang terjadi dalam
masyarakat yang tidak merupakan akibat dari perbuatan subyek hukum,
misalnya kelahiran seorang bayi, kematian seseorang, atau lewat waktu
(daluarsa).
Setiap perbuatan hukum erat kaitannya dengan hubungan hak dan
kewajiban para pihak yang timbul dari perbuatan tersebut. Hubungan
tersebut merupakan perikatan. Perikatan itu sendiri adalah hubungan hukum
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
22
antara dua pihak di dalam lapangan harta kekayaan, dimana pihak yang satu
(kreditur) berhak atas prestasi dan pihak yang lain (debitur) berkewajiban
memenuhi prestasi itu.15
Hak dan kewajiban tersebut merupakan akibat
hubungan hukum, yaitu hubungan antara 2 (dua) subyek hukum atau lebih
dimana hak dan kewajiban di satu pihak berhadapan dengan hak dan
kewajiban di pihak yang lain dan kesemuanya diatur oleh hukum. Tiap
hubungan hukum mempunyai 2 (dua) segi yakni : kekuasaan/hak
(bevoegheid) dan kewajiban (plicht). Selain itu, hubungan hukum juga harus
mempunyai dasar hukum yang mengatur hubungan tersebut. Suatu
hubungan hukum memiliki 3 unsur, antara lain:
a. Orang-orang yang berhak/kewajibannya saling berhadapan
b. Obyek terhadap nama hak/kewajiban diatas tadi berlaku
c. Hubungan antara pemilik hak dan pengemban kewajiban atau
hubungan terhadap obyek yang bersangkutan.
Tiap perbuatan hukum menimbulkan perikatan bagi pihak yang
melakukan perbuatan tersebut. Pengertian perikatan (verbintenis) memiliki
pengertian yang lebih luas daripada pengertian perbuatan hukum salah
satunya perjanjian (overeenkomst). Perikatan merupakan suatu hubungan
hukum yang melekatkan hak dan kewajiban diantara para pihaknya, yang
lahir baik karena adanya suatu persetujuan (Pasal 1338 KUHPerdata)
maupun karena undang-undang (Pasal 1352 KUHPerdata). Oleh karena itu,
“perikatan” lebih bersifat abstrak, sedangkan perjanjian lebih bersifat
“nyata” atau riil. Hal ini dikarenakan suatu perikatan hanya merupakan
bentuk dari suatu hubungan hukum antara para pihak.
Pasal 1233 KUHPerdata menyatakan bahwa perikatan bersumber
dari perjanjian dan undang-undang. Perikatan yang bersumber dari
perjanjian diatur dalam titel II yaitu Pasal 1313 sampai dengan Pasal 1351
KUHPerdata dan titel V sampai dengan titel XVIII yaitu Pasal 1457 sampai
dengan Pasal 1864 Buku III KUHPerdata. Perikatan yang bersumber dari
undang-undang diatur dalam titel III yaitu Pasal 1352 sampai dengan Pasal
1380 Buku III KUHPerdata.
15
H. Riduan Syahrani, Op.cit., h. 196.
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
23
Sumber-sumber perikatan dan pembeda-pembedanya dapat
diskemakan sebagai berikut:16
Perikatan
Bersumber dari
(Pasal 1233 KUHPerdata)
Perjanjian Undang-Undang
Pasal 1313 KUHPerdata Pasal 1352 KUHPerdata
Undang-Undang saja Undang-Undang karena
Perbuatan Manusia
Pasal 1353 KUHPerdata
Perbuatan yang sesuai dengan hukum Perbuatan yang melawan
(rechtmatige) hukum (onrechtmatige)
Pasal 1354 KUHPerdata (zaakwaarneming) Pasal 1365 sampai
Pasal 1359 KUHPerdata (onverschuldigde betaling) dengan Pasal
1380 KUHPerdata
Vollmar, Pitlo, H. Drion, dan Meyers dalam ajaran umumnya
menyatakan bahwa tidak ada pertentangan (tegenstelling) yang hakiki antara
perikatan yang bersumber dari perjanjian dan perikatan yang bersumber dari
undang-undang. Sebab pada akhirnya selalu undang-undang yang memberi
sanksinya meskipun yang menjadi sumbernya perjanjian. Meskipun
demikian, tidak perlu ada keberatan terhadap pembagian yang diadakan
Pasal 1233 KUHPerdata itu.17
16
H. Riduan Syahrani, Op.cit., h. 201-202.
17
R. Soetojo Prawirohamidjojo, Hukum Perikatan, (Surabaya: Bina Ilmu, 1979), h. 22.
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
24
Namun demikian, sumber perikatan yang terpenting adalah
perjanjian, karena dengan melalui perjanjian para pihak mempunyai
kebebasan untuk membuat segala macam perikatan, baik perikatan bernama
yang tecantum dalam titel V sampai dengan titel XVIII Buku III
KUHPerdata maupun perikatan yang tidak bernama. Hal ini sesuai dengan
asas kebebasan berkontrak (contract vrijheid) sebagai salah satu asas yang
menjadi dasar lembaga-lembaga hukum yang disebutkan pada titel V
sampai dengan titel XVIII sebagai perjanjian bernama, juga menjadi dasar
lembaga-lembaga hukum yang tidak disebutkan di dalam titel-titel itu
sebagai perjanjian yang tidak bernama.18
2.2.1 Perjanjian sebagai Perbuatan Hukum
Perbuatan hukum yang menjadi fokus utama dalam konteks
tesis ini adalah perbuatan hukum dua pihak khususnya perjanjian.
Pasal 1313 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu perjanjian adalah
suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Dengan kata lain,
perjanjian hanya mungkin terjadi jika ada suatu perbuatan nyata,
baik dalam bentuk ucapan maupun tindakan secara fisik, dan tidak
hanya dalam bentuk pikiran semata-mata. Atas dasar inilah
kemudian dikenal adanya perjanjian konsensuil, perjanjian formil
dan perjanjian riil.19
Dalam perjanjian konsensuil, kesepakatan yang dicapai oleh
para pihak secara lisan, melalui ucapan saja dengan segera telah
mengikat para pihak.20
Agak berbeda dari perjanjian konsensuil,
dalam perjanjian formil, kesepakatan atau perjanjian lisan semata-
mata antara para pihak yang berjanji belum melahirkan kewajiban
yang mengikat di antara mereka, sebagai contoh dalam perjanjian
18
H. Riduan Syahrani, Op.cit., h. 203.
19
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian,
(Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2003), h. 7-8.
20
Ibid.
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
25
mengenai hibah yang diatur dalam Pasal 1682 KUHPerdata, yaitu
mengenai formalitas yang harus dipenuhi yaitu hibah dibuat dengan
akta notaris agar hibah menjadi sah dan mengikat bagi para pihak,
serta adanya ancaman batal jika formalitas tersebut tidak dipenuhi.
Adapun yang dimaksud dengan perjanjian riil adalah suatu
perjanjian yang baru melahirkan perikatan atau kewajiban setelah
adanya perbuatan nyata, misalnya perbuatan nyata dari Penerima
Hibah yaitu dalam bentuk pernyataan kesediaannya untuk menerima
hibah secara tertulis semasa Pemberi Hibah masih hidup
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1683 KUHPerdata. Contoh
lain perjanjian riil ialah penitipan barang yang sejati, diatur dalam
Pasal 1697 KUHPerdata, yaitu tidak akan terlaksana sebelum
dilakukan penyerahan barangnya secara nyata atau secara
dipersangkakan.
Selain itu, perjanjian dapat dibedakan lagi menjadi perjanjian
sepihak dan perjanjian timbal balik. Perjanjian sepihak adalah
perjanjian, dimana – sebagai akibat hukumnya – di satu pihak ada
hak (saja) dan di lain pihak ada (kewajiban) saja.21
Namun tentu saja
karena ia merupakan perjanjian maka paling sedikit harus ada 2
(dua) pihak yang saling berhadapan satu sama lain dan saling
memberikan persetujuannya. Contohnya adalah pemberian hadiah
sesuatu benda (hibah), yang diatur dalam Pasal 1666 KUHPerdata,
yang menimbulkan kewajiban bagi pemberi hibah untuk
menyerahkan benda hibah dan menimbulkan hak untuk menuntut
penyerahan benda tersebut bagi penerima hibah.
Pada perjanjian timbal balik, hak dan kewajiban yang muncul
sebagai akibat hukumnya, ada pada kedua belah pihak.22
Sebagai
contoh adalah jual beli (Pasal 1457 KUHPerdata), tukar-menukar,
sewa menyewa (Pasal 1548 KUHPerdata). Munculnya hak dan
kewajiban sebagai akibat hukum ditutupnya perjanjian tersebut.
21
J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Pada Umumnya, (Bandung: Alumni, 1999),
h.49. 22
Ibid.
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
26
Dalam perkembangan doktrin ilmu hukum dikenal adanya 3
(tiga) unsur dalam perjanjian yang merupakan perwujudan dari asas
kebebasan berkontrak yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata
dan Pasal 1339 KUHPerdata, antara lain:23
a. Unsur esensialia, yang mewakili ketentuan-ketentuan berupa
prestasi-prestasi yang wajib dilakukan oleh salah satu atau lebih
pihak, yang mencerminkan sifat dari perjanjian tersebut, yang
membedakannya secara prinsip dari jenis perjanjian lainnya.
Unsur ini pada umumnya dipergunakan dalam memberikan
rumusan, definisi atau pengertian dari suatu perjanjian. Misalnya
perjanjian jual beli yang diatur dalam Pasal 1457 KUHPerdata
dibedakan dari perjanjian tukar menukar yang diatur dalam Pasal
1541 KUHPerdata. Tanpa keberadaan unsur ini, maka perjanjian
yang dimaksudkan untuk dibuat dan diselenggarakan oleh para
pihak dapat menjadi berbeda dan karenanya menjadi tidak sejalan
dan sesuai dengan kehendak para pihak.
b. Unsur naturalia, adalah unsur yang pasti ada dalam suatu
perjanjian tertentu, setelah unsur esensialianya diketahui secara
pasti. Misalnya dalam perjanjian yang mengandung unsur
esensialia jual beli, pasti akan terdapat unsur naturalia berupa
kewajiban dari penjual untuk menanggung kebendaan yang dijual
dari cacat-cacat tersembunyi. Ketentuan ini tidak dapat
disimpangi oleh para pihak, karena sifat dari jual beli
menghendaki hal yang demikian. Hal tersebut sejalan dengan
Pasal 1339 KUHPerdata yang menyatakan bahwa: “Perjanjian-
perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas
dinyatakan didalamnya, melainkan juga untuk segala sesuatu yang
menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan
atau undang-undang”.
c. Unsur aksidentalia, adalah unsur pelengkap dalam suatu
perjanjian, yang merupakan ketentuan-ketentuan yang dapat
23
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.cit., h.84-90.
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
27
diatur secara menyimpang oleh para pihak, sesuai dengan
kehendak para pihak, yang merupakan persyaratan khusus yang
ditentukan secara bersama-sama oleh para pihak. Unsur ini pada
hakekatnya bukan merupakan suatu bentuk prestasi yang harus
dilaksanakan atau dipenuhi oleh para pihak. Misalnya dalam jual
beli adalah ketentuan mengenai tempat dan saat penyerahan
kebendaan yang dijual atau dibeli.
2.2.2 Asas-asas dalam Hukum Perjanjian
Di dalam hukum perjanjian terdapat beberapa asas yang harus
diperhatikan bagi para pihak yang membuat perjanjian. Hal ini
penting untuk menjadi pegangan dalam proses dan pelaksanaan
perjanjian serta jika di kemudian hari terdapat permasalahan hukum
berkaitan dengan perjanjian yang dibuat tersebut. Beberapa asas
dalam hukum perjanjian yang dimaksud antara lain sebagai berikut:
a. Asas kebebasan mengadakan perjanjian (partij autonomie) atau
lebih dikenal dengan istilah Asas Kebebasan Berkontrak
Sistem hukum perjanjian bersifat terbuka, maka pada
waktu perjanjian yang berlaku tidak hanya pada Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata dan/atau Hukum Adat saja, tetapi berlaku
pula nilai-nilai hukum lainnya yang hidup di masyarakat sesuai
dengan kepatutan, keadilan, perikemanusiaan dan/atau larangan
penyalahgunaan keadaan/kesempatan dan/atau larangan
penyalahgunaan ekonomi yang berlaku secara berdampingan
menjadi satu kesatuan.
Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang
menyatakan bahwa setiap orang pada dasarnya boleh membuat
kontrak (perjanjian) yang berisi dan macam apapun asal tidak
bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban
umum.24
Dengan asas kebebasan berkontrak ini, para pihak yang
membuat dan mengadakan perjanjian diperbolehkan untuk
24
R. Subekti, Hukum Perjanjian, cet. VI., (Jakarta: Intermasa, 1979), h. 13.
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
28
menyusun dan membuat kesepakatan atau perjanjian yang
melahirkan kewajiban apa saja, selama dan sepanjang prestasi
atau kewajiban pada salah satu pihak tersebut bukanlah sesuatu
yang terlarang, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1337
KUHPerdata yang menyatakan bahwa suatu sebab adalah
terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila
berlawanan dengan kesusilaan baik ataupun ketertiban umum.
Selain itu, asas ini juga sejalan dengan asas Pacta Sunt
Servanda yaitu bahwa perjanjian yang sudah disepakati berlaku
sebagai undang-undang bagi para pihak yang bersangkutan.
Sebagai perikatan yang dibuat dengan sengaja, atas kehendak
para pihak secara sukarela, maka segala sesuatu yang telah
disepakati atau disetujui oleh para pihak harus dilaksanakan oleh
para pihak sebagaimana yang telah dikehendaki oleh mereka.
Dalam hal salah satu pihak dalam perjanjian tidak
melaksanakannya, maka pihak lain dalam perjanjian berhak untuk
memaksakan pelaksanaannya melalui mekanisme dan jalur
hukum yang berlaku.25
Dalam hukum perdata, asas kebebasan berkontrak yang
dianut Buku III KUHPerdata ini merupakan sistem (materiil)
terbuka sebagai lawan sistem (materiil) tertutup yang dianut Buku
II KUHPerdata (Hukum Benda).26
Hal ini berarti bahwa dengan
kebebasan membuat perjanjian tersebut, para pihak diberi
kesempatan untuk membuat klausula-klausula yang menyimpang
dari ketentuan Buku III KUHPerdata, yang selanjutnya untuk
diatur sendiri dalam perjanjian, sebab perjanjian yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1338 ayat (1)
KUHPerdata. Namun demikian, kebebasan berkontrak ini bukan
berarti tiap orang boleh membuat kontrak (perjanjian) secara
25
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.cit., h. 59.
26
Ibid.
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
29
bebas tidak terbatas, tetapi kontrak (perjanjian) tersebut juga
harus tetap dibuat dengan memperhatikan syarat-syarat untuk
sahnya suatu perjanjian, baik syarat umum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1320 KUHPerdata maupun syarat khusus
untuk perjanjian-perjanjian tertentu. Ketentuan yang dapat
disimpangi adalah ketentuan yang bersifat optional atau pilihan,
sedangkan ketentuan yang bersifat memaksa tidak dapat
disimpangi atau dilanggar oleh para pihak.
Sumber dari kebebasan berkontrak adalah kebebasan
individu yang merupakan pancaran hak asasi manusia, sehingga
yang merupakan titik tolaknya adalah kepentingan individu pula.
Dengan demikian dapat dipahami, bahwa kebebasan individu
memberikan kepadanya kebebasan untuk berkontrak.
Berlakunya asas konsensualisme menurut hukum
perjanjian Indonesia, menegaskan adanya asas kebebasan
berkontrak. Tanpa sepakat dari salah satu pihak yang membuat
perjanjian, maka perjanjian yang dibuat dapat dibatalkan. Orang
tidak dapat dipaksa untuk memberikan sepakatnya, khususnya
untuk memberikan pilihan kepadanya, yaitu untuk setuju
mengikatkan diri pada perjanjian yang dimaksud, atau menolak
mengikatkan diri pada perjanjian. Sepakat yang diberikan dengan
paksa dikenal dengan istilah Contradictio interminis. Adanya
paksaan menunjukkan tidak adanya sepakat yang mungkin
dilakukan oleh pihak lain, dan dapat berakibat transaksi yang
diinginkan menjadi tidak terlaksana.
Dengan adanya kebebasan berkontrak, kedudukan pasal-
pasal pada titel V sampai dengan titel XVIII Buku III
KUHPerdata banyak yang hanya bersifat sebagai hukum
pelengkap (aanvullens recht) saja, yaitu pasal-pasal tersebut boleh
dikesampingkan penggunaannya sekiranya para pihak pembuat
perjanjian menghendakinya. Selain itu, para pihak pembuat
perjanjian juga diperbolehkan menciptakan ketentuan sendiri
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
30
yang mengatur kepentingan-kepentingan mereka sesuai dengan
apa yang mereka kehendaki dan sepakati bersama. Pasal-pasal
yang bersifat sebagai hukum pelengkap tersebut baru mengikat
terhadap para pihak pembuat perjanjian, jika mereka tidak
mengatur sendiri kepentingannya dalam perjanjian yang
dimaksud ataupun mengaturnya dalam perjanjian tetapi tidak
lengkap sehingga soal-soal yang tidak diatur tersendiri itu
diberlakukan pasal-pasal dalam KUHPerdata. Dengan kata lain,
hukum yang bersifat sebagai hukum pelengkap akan menambah
kekosongan yang ada dalam perjanjian, terutama mengenai suatu
hal tertentu yang tidak diberikan pengaturannya oleh para pihak
yang bersangkutan.
Asas kebebasan berkontrak berhubungan dengan isi
perjanjian, yaitu kebebasan menentukan “apa” dan dengan
“siapa” perjanjian itu diadakan. Perjanjian yang diperbuat sesuai
dengan Pasal 1320 KUHPerdata ini mempunyai kekuatan
mengikat. Undang-undang sendiri tidak memberikan patokan
yang pasti untuk menetapkan mana undang-undang yang bersifat
memaksa dan mana undang-undang yang bersifat menambah.
Pada umumnya orang menafsirkan dari bunyi ketentuan yang
bersangkutan, dihubungkan dengan tuntutan masyarakat.27
Dengan adanya asas kebebasan berkontrak, perjanjian-
perjanjian dengan sebutan perjanjian bernama itu hanyalah
sebagai contoh belaka. Oleh karena itu, tiap orang boleh membuat
perjanjian yang lain daripada perjanjian bernama dalam
KUHPerdata atau bahkan membuatnya secara sama dengan salah
satu daripadanya sesuai dengan kebutuhan para pihak pembuat
perjanjian.
Sehubungan dengan pembatasan terhadap asas kebebasan
berkontrak, Asikin Kusuma Atmaja dalam makalahnya
menyatakan bahwa Hakim berwenang untuk memasuki/meneliti
27
J. Satrio, Op.cit, h.37.
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
31
isi suatu kontrak, apabila diperlukan, karena isi dan pelaksanaan
suatu kontrak bertentangan dengan nilai-nilai dalam masyarakat.28
Dengan demikian, asas kebebasan berkontrak yang terdapat
dalam Pasal 1338 KUHPerdata tidak lagi bersifat absolut, yang
berarti dalam keadaan tertentu hakim berwenang melalui tafsiran
hukum untuk meneliti dan menilai serta menyatakan bahwa
kedudukan para pihak dalam suatu perjanjian berada dalam
keadaan yang tidak seimbang sedemikian rupa, sehingga salah
satu pihak dianggap tidak bebas untuk menyatakan kehendaknya.
Lebih lanjut, Asikin Kusuma Atmaja mengatakan bahwa
kebebasan berkontrak yang murni/mutlak, khususnya mengenai
kedudukan seimbang sepenuhnya para pihak, praktis tidak ada,
karena dalam prakteknya selalu ada pihak yang lebih lemah dari
pihak yang lainnya. Beliau mengilustrasikan dengan suatu cerita
lama yang mengandung moral, yang ada kaitannya dengan
tafsiran perjanjian. Ada seorang gadis yang orang tuanya miskin
dan mempunyai hutang yang besar, karena meminjam uang untuk
menyekolahkan anak gadis tersebut. Apabila hutangnya tidak
segera dibayar, maka satu-satunya harta berupa rumah dan
pekarangannya akan dilelang. Sang penolong yang mempunyai
kekuasaan ekonomis datang dan mengadakan perjanjian dengan
orang tua gadis tersebut, bahwa hutang akan dilunasi asal gadis
tersebut dikawinkan dengan anak lelaki sang penolong tersebut,
sedangkan anak gadis tersebut telah mempunyai tunangan.
Kemudian terjadilah perjanjian antara sang penolong dengan
orang tua yang miskin tersebut. Dalam hal ini terkandung nilai
moral bahwa janganlah mencari kesempatan dalam kesempitan
atau jangan menyalahgunakan kesempatan.29
28
R.Z, Asikin Kusuma Atmaja, Pembatasan Renternir Sebagai perwujudan pemerataan
keadilan, Varia Keadilan, Vol. II, Tahun 1987.
29
Ibid.
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
32
Dalam ilmu hukum, moral di atas disebut misbruik van
omstandigheden (penyalahgunaan kesempatan atau
penyalahgunaan keadaan). Penyalahgunaan kesempatan dapat
digunakan sebagai kategori cacat terutama dalam menentukan
kehendaknya untuk memberikan persetujuan. Hal ini merupakan
alasan untuk menyatakan batal atau membatalkan suatu perjanjian
yang tidak diatur dalam undang-undang, serta merupakan suatu
konstruksi yang dapat dikembangkan melalui yurisprudensi.
Sesuai dengan hukum, kebutuhan konstruksi
penyalahgunaan kesempatan/keadaan merupakan atau dianggap
sebagai faktor yang membatasi dan/atau yang mengganggu
adanya kehendak yang bebas, untuk menentukan persetujuan
antara kedua belah pihak. Salah satu keadaan yang dapat
disalahgunakan ialah adanya kekuasaan ekonomi pada salah satu
pihak, yang dapat menggangu keseimbangan antara kedua belah
pihak, sehingga tidak adanya kehendak yang bebas untuk
memberikan persetujuan yang dengan kata lain telah terjadi cacat
kehendak. Menurut Asikin Kusuma Atmaja, yang penting ialah
menciptakan beberapa titik taut yang merupakan dasar bagi hakim
untuk menilai secara adil apakah suatu keadaan dapat ditafsirkan
sebagai kekuasaan ekonomi yang disalahgunakan, sehingga
mengganggu keseimbangan antara pihak dan membatasi
kebebasan kehendak pihak yang bersangkutan untuk memberikan
persetujuan. Di sini terletak wewenang hakim untuk
menggunakan interpretasi, sebagai sarana hukum untuk
melumpuhkan perjanjian yang tidak seimbang.30
Banyak faktor yang dapat memberikan indikasi, tentang
adanya penyalahgunaan kekuasaan ekonomi untuk
dipertimbangkan oleh hakim. Apabila umpamanya ternyata ada
syarat-syarat yang diperjanjikan yang sebenarnya tidak masuk
akal atau yang tidak patut atau bertentangan dengan
30
Ibid.
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
33
perikemanusiaan (on redelijkecontractsvoorwaarden atau un
faircontractterms), maka hakim wajib memeriksa dan meneliti
faktor-faktor apa yang bersifat tidak masuk akal, tidak patut, atau
tidak berperikemanusiaan tersebut. Begitu pula apabila tampak
atau ternyata pihak debitur berada dalam keadaan tertekan (dwang
positie), maka hakim wajib meneliti apakah terjadi
penyalahgunaan ekonomis. Selanjutnya juga apabila terdapat
keadaan dimana bagi debitur tidak ada pilihan lain kecuali
mengadakan perjanjian dengan syarat-syarat yang memberatkan,
yang dapat disebut sebagai keadaan dimana nilai dan hasil
perjanjian tersebut sangat tidak seimbang kalau dibandingkan
dengan prestasi timbal balik dari para pihak. Dalam hal tersebut,
hakim wajib meneliti apakah terjadi penyalahgunaan kekuasaan
ekonomis atau tidak. Dengan demikian, maka jelas bahwa asas
kebebasan berkontrak tidak mempunyai arti yang tidak terbatas,
akan tetapi terbatas oleh tanggung jawab para pihak, dan dibatasi
oleh kewenangan hakim untuk menilai isi dari setiap kontrak.
Selain itu, meskipun KUHPerdata Indonesia telah
mengakomodir kebebasan bagi seluruh subyek hukum untuk
membuat perjanjian/kontrak, namun kebebasan tersebut tidaklah
mutlak melainkan tetap terdapat beberapa batasan-batasan
terutama dalam kaitannya dengan syarat sahnya perjanjian/
kontrak tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 1320
KUHPerdata.
Di dalam perkembangannya asas kebebasan berkontrak ini
semakin sempit dilihat dari beberapa segi yaitu dari segi
kepentingan umum, dari segi perjanjian baku (standard) dan dari
segi perjanjian dengan pemerintah.
b. Asas konsensualisme
Hukum perjanjian menganut asas konsensualisme yang
berarti bahwa perjanjian sudah mengikat para pihak yang
membuatnya, sejak detik tercapainya kata sepakat mengenai hal-
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
34
hal yang diperjanjikan. Dengan demikian perjanjian sudah sah
dan mengikat para pihak tanpa perlu suatu formalitas atau
perbuatan tertentu.31
Asas konsensualisme yang terdapat dalam Pasal 1320
KUHPerdata mengandung arti adanya “kemauan” (will) para
pihak untuk saling berpartisipasi, dan adanya kemauan untuk
saling mengikatkan diri satu sama lain.
Kemauan ini membangkitkan kepercayaan (vertrouwen)
bahwa perjanjian itu dipenuhi. Kepercayaan ini merupakan nilai
etis yang bersumber pada moral. Menurut Eggens, manusia
terhormat akan memelihara janjinya. Grotius juga mencari dasar
konsesus itu dalam Hukum Kodrat. Ia mengatakan bahwa pacta
sunt servanda yang berarti bahwa janji itu mengikat, dan
promissorum implendorum obligatio yang berarti bahwa kita
harus memenuhi janji kita.32
Asas konsensualisme ini mempunyai hubungan yang erat
dengan asas kebebasan berkontrak (contractvrijheid) dan asas
kekuatan mengikat yang terdapat dalam Pasal 1338 ayat 1
KUHPerdata, yang berbunyi bahwa “semua persetujuan yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya.” Kata-kata “semua” menunjukkan bahwa
setiap orang diberi kesempatan untuk menyatakan keinginannya
(will), yang dirasanya baik untuk menciptakan perjanjian.
c. Asas personalia
Asas ini diatur dan dapat kita temukan dalam ketentuan
Pasal 1315 KUHPerdata, yang berbunyi “pada umumnya tak
seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau
31
Sri Soesilowati Mahdi, Surini Ahlan Sjarif, Akhmad Budi Cahyono, Hukum Perdata
(Suatu Pengantar), (Jakarta: Gitama Jaya, 2005), h. 145.
32
Mariam Darus Badrulzaman, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III tentang
Hukum Perikatan dengan Penjelasan, (Bandung: Alumni, 2005), h. 109.
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
35
meminta ditetapkannya suatu janji selain untuk dirinya sendiri”.33
Dari ketentuan tersebut, pada dasarnya suatu perjanjian yang
dibuat oleh seseorang dalam kapasitasnya sebagai individu,
subyek hukum pribadi, hanya akan berlaku dan mengikat untuk
dirinya sendiri.
Ketentuan Pasal 1315 KUHPerdata juga menunjuk pada
kewenangan bertindak dari seseorang sebagai individu pribadi
khususnya sebagai subyek hukum pribadi yang mandiri, yang
memiliki kewenangan bertindak untuk dan atas nama dirinya
sendiri dalam rangka membuat atau mengadakan perjanjian.
Dengan kapasitas kewenangan tersebut, sebagai seorang yang
cakap bertindak dalam hukum, maka setiap perbuatan yang
dilakukannya sebagai subyek hukum pribadi yang mandiri, akan
mengikat diri pribadi tersebut, dan dalam lapangan perikatan akan
mengikat seluruh harta kekayaan yang dimilikinya secara pribadi,
sebagaimana diatur dalam Pasal 1131 KUHPerdata.
d. Asas kepercayaan (vertrouwensbeginsel)
Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain,
menumbuhkan kepercayaan di antara kedua belah pihak bahwa
satu sama lain akan memegang janjinya, dengan kata lain akan
memenuhi prestasinya di kemudian hari. Tanpa adanya
kepercayaan itu, maka perjanjian tidak mungkin akan diadakan
oleh para pihak. Dengan kepercayaan ini, kedua belah pihak
mengikatkan dirinya dan untuk keduanya tersebut perjanjian itu
mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang.
e. Asas kekuatan mengikat
Di dalam perjanjian terkandung suatu asas kekuatan
mengikat, yaitu terikatnya para pihak pada perjanjian itu tidak
semata-mata terbatas pada apa yang diperjanjikan, akan tetapi
juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh
33
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.cit., h. 14-15.
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
36
kebiasaan, kepatutan dan moral yang juga akan mengikat para
pihak.
f. Asas persamaan hukum
Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan
derajat, tidak ada perbedaan, walaupun ada perbedaan kulit,
bangsa, kekayaan, kekuasaan, jabatan dan perbedaan lainnya.
Masing-masing pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan
mengharuskan kedua pihak untuk menghormati satu sama lain
sebagai manusia ciptaan Tuhan.
g. Asas keseimbangan
Asas ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan
hukum dan menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan
melaksanakan perjanjian yang dibuatnya. Kreditor mempunyai
kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat
menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun
kreditur memikul pula beban untuk melaksanakan perjanjian itu
dengan itikad baik. Dapat dilihat di sini bahwa kedudukan
kreditor yang kuat diimbangi dengan kewajibannya untuk
memperhatikan itikad baik, sehingga kedudukan kreditor dan
debitor menjadi seimbang.
h. Asas kepastian hukum
Perjanjian yang dibuat oleh para pihak haruslah
mengandung kepastian hukum yang terungkap dari kekuatan
mengikat perjanjian tersebut yaitu sebagai undang-undang bagi
para pihak yang membuatnya.
i. Asas moral
Asas ini terlihat dalam perikatan wajar, dimana suatu
perbuatan sukarela dari seseorang tidak menimbulkan hak
baginya untuk menggugat kontraprestasi dari pihak debitor. Asas
ini juga terlihat dalam zaakwaarneming, yaitu ketika seseorang
yang melakukan suatu perbuatan dengan sukarela (moral) yang
bersangkutan mempunyai kewajiban (hukum) untuk meneruskan
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
37
dan menyelesaikan perbuatannya. Dengan kata lain, faktor-faktor
yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan melakukan
perbuatan hukum itu berdasarkan pada kesusilaan (moral),
sebagai panggilan dari hati nuraninya.
j. Asas kepatutan
Asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 KUHPerdata. Asas
ini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian. Menurut
Mariam Darus Badrulzaman, asas kepatutan ini harus
dipertahankan, karena melalui asas ini ukuran tentang hubungan
ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat.34
k. Asas kebiasaan
Asas ini diatur dalam Pasal 1339 juncto Pasal 1347
KUHPerdata, yang dipandang sebagai bagian dari perjanjian.
Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa yang secara
tegas diatur, akan tetapi juga hal-hal yang dalam keadaan dan
kebiasaan yang lazim diikuti.
Berdasarkan Pasal 1339 juncto Pasal 1347 KUHPerdata,
dapat disimpulkan bahwa elemen-elemen dari perjanjian antara
lain :
1) isi perjanjian itu sendiri, yaitu apa yang dinyatakan
secara tegas oleh kedua pihak mengenai hak dan
kewajiban mereka di dalam perjanjian tersebut;
2) kepatutan;
3) kebiasaan; dan
4) undang-undang.
2.2.3 Syarat Sahnya Perjanjian
Tiap orang sebagai subyek hukum dan cakap untuk melakukan
perbuatan hukum dapat membuat perjanjian secara bebas untuk
menentukan atau menetapkan isi dan macamnya perjanjian yang
dimaksud, sepanjang perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan
34
Ibid., h. 115.
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
38
undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum, sebagaimana
diatur dalam Pasal 1338 dan Pasal 1337 KUHPerdata. Dengan kata
lain, para pihak pembuat perjanjian tersebut dalam keadaan bebas
dan tetap selalu berada dalam ruang gerak yang dibenarkan atau
sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia, termasuk
dalam hal harus memenuhi syarat-syarat tertentu untuk sahnya suatu
perjanjian.
Syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian diatur dalam Pasal
1320 KUHPerdata antara lain:
a. Syarat Subyektif, meliputi :
1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2) Cakap untuk membuat suatu perjanjian;
b. Syarat Objektif, meliputi :
1) Suatu hal tertentu;
2) Suatu sebab yang halal
Syarat subyektif dan syarat objektif tersebut memiliki akibat
hukum yang berbeda jika syarat tersebut tidak terpenuhi dalam suatu
perjanjian. Apabila syarat subyektif yang erat kaitannya dengan para
pihak (subyek) yang mengadakan perjanjian tidak terpenuhi, maka
perjanjian yang dibuat tersebut dapat dibatalkan oleh hakim atas
permintaan pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan
kesepakatan secara tidak bebas. Hak untuk meminta pembatalan
perjanjian ini dibatasi dalam jangka waktu 5 (lima) tahun,
sebagaimana diatur dalam Pasal 1454 KUHPerdata. Selama tidak
dibatalkan meskipun syarat subyektif tidak terpenuhi, perjanjian
tersebut tetap mengikat.
Apabila syarat objektif yang erat kaitannya dengan objek
perjanjian tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut batal demi
hukum. Hal ini berarti bahwa sejak semula tidak pernah dilahirkan
suatu perjanjian dan tidak pernah ada perikatan, sehingga tidak ada
dasar untuk saling menuntut di muka pengadilan. Jika perjanjian
batal maka prestasi atau obyek perjanjian yang sudah dilakukan oleh
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
39
salah satu pihak harus dikembalikan sehingga kembali ke dalam
keadaan semula.
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya mengandung makna
bahwa para pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau kedua
pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak dan terdapat
persesuaian kehendak di antara keduanya atau saling menyetujui
kehendak masing-masing pihak yang dilahirkan oleh para pihak
dengan tidak ada unsur paksaan, kekeliruan dan penipuan. Paksaan
(dwang), kekeliruan (dwaling), dan penipuan (bedrog) merupakan
tiga hal yang mengakibatkan kesepakatan menjadi tidak sempurna,
sebagaimana diatur dalam Pasal 1321 KUHPerdata sampai dengan
Pasal 1328 KUHPerdata.
Pasal 1321 KUHPerdata menegaskan bahwa tidak ada sepakat
yang sah apabila sepakat tersebut diberikan karena kekhilafan, atau
diperolehnya dengan paksaan ataupun penipuan. Pasal 1322
KUHPerdata mengenal adanya 2 (dua) macam kekhilafan
(kesesatan) yaitu kesesatan mengenai orangnya dinamakan error in
persona dan kesesatan mengenai hakekat barang yang diperjanjikan
dinamakan error in substantia.35
Pasal 1323 dan Pasal 1324 KUHPerdata mengatur bahwa yang
dimaksud dengan paksaan bukanlah paksaan dalam arti yang absolut,
sebab dalam hal yang demikian perjanjian sama sekali tidak terjadi,
misalnya jika seseorang yang lebih kuat memegang tangan seseorang
yang lemah dan membuat ia mencantumkan tanda tangan di bawah
sebuah perjanjian. Yang dimaksud dengan paksaan dalam
pembuatan perjanjian adalah kekerasan jasmani atau ancaman (akan
membuka rahasia) dengan sesuatu yang diperbolehkan hukum yang
menimbulkan ketakutan pada seseorang sehingga ia membuat
perjanjian. Paksaan tersebut harus benar-benar menimbulkan suatu
ketakutan bagi yang menerima paksaan.36
35
Ibid., h. 100.
36
Ibid., h. 101.
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
40
Kesepakatan para pihak yang membuat perjanjian dapat
dinyatakan baik secara tegas maupun secara diam-diam. Pengertian
sepakat dilukiskan sebagai pernyataan kehendak yang disetujui
(overeenstemende wilsverklaring) antara pihak-pihak. Pernyataan
pihak yang menawarkan dinamakan tawaran (offerte), sedangkan
pernyataan pihak yang menerima tawaran dinamakan akseptasi
(acceptatie).37
Terdapat empat teori yang mencoba memberikan
penyelesaian mengenai kapan kesepakatan itu terjadi, antara lain:
a. Uitings theorie (teori saat melahirkan kemauan).
Menurut teori ini, perjanjian terjadi apabila atas penawaran telah
dilahirkan kemauan menerimanya dari pihak lain. Kemauan ini
dapat dikatakan telah dilahirkan pada waktu pihak lain mulai
menulis surat penerimaan.
b. Verzend theorie (teori saat mengirim surat penerimaan).
Menurut teori ini perjanjian terjadi pada saat surat penerimaan
dikirimkan kepada si penawar.
c. Ontvangs theorie (teori saat menerima surat penerimaan).
Menurut teori ini perjanjian terjadi pada saat menerima surat
penerimaan sampai di alamat si penawar.
d. Vernemings theorie (teori saat mengetahui surat penerimaan).
Menurut teori ini perjanjian baru terjadi, apabila si penawar telah
membuka dan membaca surat penerimaan itu.
R. Subekti menyatakan bahwa menurut ajaran yang lazim
dianut sekarang, perjanjian harus dianggap dilahirkan pada saat
dimana pihak yang melakukan penawaran (efferte) menerima yang
termaktub dalam surat tersebut, sebab detik itulah dapat dianggap
sebagai detik lahirnya kesepakatan. Bahwasanya mungkin ia tidak
membaca surat itu, hal itu menjadi tanggung jawabnya sendiri. Ia
37
Ibid., h. 98.
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
41
dianggap sepantasnya membaca surat-surat yang diterimanya dalam
waktu yang sesingkat-singkatnya.38
Syarat subyektif yang kedua adalah cakap untuk membuat
suatu perjanjian. Pasal 1329 KUHPerdata menegaskan bahwa setiap
orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan jika oleh
undang-undang tidak dinyatakan tak cakap.
Cakap (bekwaam) merupakan syarat umum untuk dapat
melakukan perbuatan hukum secara sah yaitu harus sudah dewasa,
sehat akal pikiran dan tidak dilarang oleh suatu peraturan perundang-
undangan untuk melakukan sesuatu perbuatan tertentu, dan hal ini
terkait erat dengan Bab II KUHPerdata mengenai Hukum Orang.
Dilihat dari sudut rasa keadilan memang benar-benar perlu
bahwa orang yang membuat perjanjian, yang nantinya akan terikat
oleh perjanjian yang dibuatnya itu, harus benar-benar mempunyai
kemampuan untuk menginsyafi segala tanggung jawab yang bakal
dipikulnya karena perbuatannya itu.39
Lain halnya bila dilihat dari
sudut ketertiban umum, karena orang yang membuat perjanjian itu
mempertaruhkan kekayaannya, sehingga sudah seharusnya orang
tersebut sungguh-sungguh berhak berbuat bebas terhadap harta
kekayaannya.40
Suatu hal tertentu dalam perjanjian adalah barang yang
menjadi objek suatu perjanjian. Menurut Pasal 1333 KUHPerdata
barang yang menjadi objek suatu perjanjian ini harus tertentu,
setidak-tidaknya harus ditentukan jenisnya, sedangkan jumlahnya
tidak perlu ditentukan, asalkan dapat ditentukan atau diperhitungkan
di kemudian hari. Selain itu, barang-barang yang baru akan ada di
kemudian hari juga dapat menjadi objek suatu perjanjian,
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1334 ayat (1) KUHPerdata.
Namun, Pasal 1334 ayat (2) KUHPerdata menegaskan bahwa
38
R. Subekti, Op.cit., h. 29-30.
39
Ibid., h. 18-19.
40
Achmad Ichsan, Op.cit., h. 126.
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
42
barang-barang yang akan masuk hak warisan seseorang dilarang
dijadikan objek suatu perjanjian, meskipun perjanjian tersebut telah
disepakati oleh orang yang akan meninggal dunia dan akan
meninggalkan barang-barang warisan itu. Adanya larangan ini
karena menjadikan barang yang akan diwarisi sebagai objek
perjanjian bertentangan dengan kesusilaan.41
Lain halnya jika barang
yang akan diwarisi itu dihibahkan oleh calon suami kepada calon
isteri dalam perjanjian kawin atau oleh pihak ketiga kepada calon
suami atau calon isteri, ini diperkenankan.42
Pasal 1332 KUHPerdata menentukan bahwa barang-barang
yang dapat dijadikan objek perjanjian hanyalah barang-barang yang
dapat diperdagangkan. Barang-barang yang dipergunakan untuk
kepentingan umum seperti jalan umum, pelabuhan, dan sebagainya
tidak dapat dijadikan objek perjanjian karena dianggap sebagai
barang-barang di luar perdagangan.
Syarat terakhir untuk sahnya suatu perjanjian adalah adanya
suatu sebab yag halal yang diatur dalam Pasal 1335 KUHPerdata
yang menyatakan bahwa suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang
telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak
mempunyai kekuatan. Dari sejumlah interpretasi dan penjelasan para
ahli, dapat disimpulkan bahwa pengertian perkataan sebab tersebut
adalah sebagai berikut :43
a. Perkataan sebab sebagai salah satu syarat perjanjian adalah sebab
dalam pengertian Ilmu Pengetahuan Hukum yang berbeda dengan
pengertian Ilmu Pengetahuan lainnya.
b. Perkataan sebab itu bukan pula motif (desakan jiwa yang
mendorong seseorang melakukan perbuatan tertentu) karena motif
adalah soal bathin yang tidak diperdulikan oleh hukum.
41
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, cet. VII, (Bandung: Sumur
Bandung, 1973), h. 22-23.
42
H. Riduan Syahrani, Op.cit., h. 210.
43
Wirjono Prodjodikoro, Op.cit., h. 35.
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
43
c. Perkataan sebab secara letterlijk berasal dari Bahasa Belanda
yaitu oorzaak atau causa dalam Bahasa Latin yang menurut
riwayatnya bahwa yang dimaksud dengan perkataan itu dalam
perjanjian adalah tujuan yakni apa yang dimaksudkan oleh kedua
pihak dengan mengadakan perjanjian. Dengan perkataan lain
sebab berarti isi perjanjian itu sendiri.
d. Kemungkinan perjanjian tanpa sebab yang dibayangkan dalam
Pasal 1335 KUHPerdata adalah suatu kemungkinan yang tidak
akan terjadi, karena perjanjian itu sendiri adalah isi bukan tempat
yang harus diisi.
Menurut yurisprudensi yang ditafsirkan dengan “sebab”
(causa) adalah isi atau maksud dari perjanjian. Syarat ini merupakan
upaya untuk menempatkan perjanjian di bawah pengawasan
Hakim.44
Hakim dapat menguji apakah tujuan dari perjanjian itu
dapat dilaksanakan dan apakah isi perjanjian bertentangan atau tidak
dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum,
sebagaimana diatur dalam Pasal 1337 KUHPerdata. Selain itu,
hakim mempunyai wewenang untuk mengawasi pelaksanaan
perjanjian supaya tidak bertentangan dengan rasa keadilan dan
perjanjian dilaksanakan dengan mengedepankan prinsip itikad baik,
sebagaimana tersirat dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata. Pasal
1335 KUHPerdata menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat dengan
sebab yang dilarang undang-undang atau berlawanan dengan
kesusilaan baik atau ketertiban umum tidak mempunyai kekuatan.
Syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian ini merupakan
syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh para pihak pembuat
perjanjian guna melindungi kepentingan para pihak yang
bersangkutan sendiri dan melindungi kepentingan pihak ketiga
dalam hal ini adalah masyarakat.
Suatu perjanjian yang dibuat secara sah, adalah perjanjian yang
mengikat dan akibat hukum dari adanya perikatan adalah para pihak
44
Mariam Darus Badrulzaman, Op.cit., h. 106.
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
44
yang membuat perjanjian menjadi terikat pada isi perjanjian dan juga
kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang, hal ini diatur dalam Pasal
1338, Pasal 1339 jo Pasal 1340 KUHPerdata.
Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik (good faith),
hal ini diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata. Itikad baik
sangat erat kaitannya dengan kepatutan atau keadilan dan ukuran
itikad baik ini harus ada pada para pihak. Menurut Yurisprudensi
(Arres HR 9 Februari 1923), unsur-unsur itikad baik dan kepatutan
itu ada bila tidak melakukan segala sesuatu yang tidak masuk akal,
sedangkan pendapat para ahli lainnya yang menganggap itikad baik
dapat juga diterjemahkan atau diartikan sebagai kejujuran.45
Dalam Pasal 1339 KUHPerdata, menyatakan bahwa perjanjian
tidak dapat mengikat untuk hal yang dengan tegas dinyatakan
didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat
perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau undang-
undang. Atas dasar unsur-unsur pada Pasal 1339 KUHPerdata dapat
diketahui hal-hal yang mengikat para pihak perjanjian antara lain :
a. Isi dari perjanjian itu sendiri;
b. Kepatutan;
c. Kebiasaan; dan
d. Undang-undang.
2.2.4 Akibat Hukum Suatu Perjanjian
2.2.4.1 Perjanjian hanya berlaku di antara para pihak yang
membuatnya
Menurut ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata, semua perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya, tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan
kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang cukup menurut
undang-undang dan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Pasal
1338 KUHPerdata mengandung suatu asas yang dikenal dengan asas
45
Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia Dan Common Law, (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan,1993), h. 119-120.
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
45
partij autonomie, yaitu semua orang mempunyai kebebasan
(otonomi) untuk membuat perjanjian diantaranya. Selain itu istilah
“secara sah” dalam Pasal 1338 KUHPerdata mengandung makna
bahwa pembuatan perjanjian harus menurut hukum. Semua
perjanjian/persetujuan yang dibuat menurut hukum atau dibuat
secara sah sesuai Pasal 1320 KUHPerdata adalah mengikat pihak-
pihak sebagai undang-undang. Hal ini mengandung adanya asas
kepastian hukum dalam hukum perjanjian.
Oleh karena itu, dapat diuraikan adanya 3 (tiga) unsur akibat
suatu perjanjian itu sah yaitu :
a. Berlaku sebagai undang-undang
Pasal 1340 ayat (1) KUHPerdata menyatakan bahwa
perjanjian-perjanjian yang dibuat hanya berlaku di antara para
pihak yang membuatnya. Hal ini berarti bahwa perjanjian
mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa serta memberi
kepastian hukum kepada pihak-pihak yang membuatnya, dan para
pihak harus mentaati perjanjian itu sama halnya dengan mentaati
undang-undang. Jika ada pihak yang melanggar perjanjian yang
mereka buat, ia dianggap sama melanggar undang-undang,
sehingga diberi akibat hukum tertentu yaitu sanksi hukum. Jadi
siapa yang melanggar perjanjian, ia dapat dituntut dan diberi
hukuman seperti yang ditetapkan dalam undang-undang
(perjanjian).
b. Tidak dapat ditarik kembali secara sepihak
Oleh karena perjanjian merupakan persetujuan kedua belah
pihak, maka jika akan ditarik kembali atau dibatalkan adalah
wajar jika disetujui oleh kedua belah pihak pula, tetapi apabila
ada alasan yang cukup menurut undang-undang, perjanjian dapat
ditarik kembali atau dibatalkan secara sepihak.
c. Pelaksanaan dengan itikad baik (good faith)
Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata menyatakan bahwa
perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Itikad baik
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
46
dalam perjanjian mengacu pada kepatutan dan keadilan, sehingga
dalam pelaksanaan perjanjian disyaratkan dilaksanakan dengan
itikad baik.
Pasal 1338 KUHPerdata adalah ukuran objektif untuk
menilai pelaksanaan perjanjian, apakah pelaksanaan perjanjian itu
mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan, apakah
pelaksanaan perjanjian itu telah berjalan di atas rel yang benar,
dengan melihat arti kepatutan yang mengandung arti kepantasan,
kelayakan, kesesuaian, kecocokan, sedangkan kesusilaan, artinya
kesopanan dan keadaban. Dari arti kata-kata ini dapat
digambarkan, kiranya kepatutan dan kesusilaan itu sebagai “nilai
yang patut, pantas, layak, sesuai, cocok, sopan dan beradab”
sebagaimana sama-sama dikehendaki oleh masing-masing pihak
yang berjanji.46
Itikad baik ini juga menegaskan bahwa suatu perjanjian
yang dibuat hendaknya dari sejak perjanjian ditutup, perjanjian
tersebut sama sekali tidak dimaksudkan untuk merugikan baik
kepentingan debitor dan kreditor maupun pihak ketiga lainnya di
luar perjanjian. Oleh karena itu, itikad baik harus selalu ada pada
setiap pihak yang melakukan transaksi.
2.2.4.2 Kebatalan dalam Perjanjian
Dalam perjanjian konsensuil, keabsahannya ditentukan oleh
terpenuhi atau tidaknya syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-
undang, dalam hal ini Pasal 1320 KUHPerdata. Jika suatu perjanjian
yang dibuat tersebut tidak memenuhi salah satu atau lebih
persyaratan yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata, maka
perjanjian terancam batal.
Adapun kebatalan dalam perjanjian dapat dikategorikan
menjadi 2 (dua) yaitu berdasarkan alasan kebatalannya dan
46
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 2000), h. 235.
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
47
berdasarkan sifat kebatalannya. Kebatalan yang berdasarkan alasan
kebatalannya dapat dibedakan antara lain: 47
a. Perjanjian yang dapat dibatalkan
Suatu perjanjian yang telah dibuat dapat dibatalkan jika
perjanjian tersebut dalam pelaksanaannya akan merugikan pihak-
pihak tertentu tidak hanya pihak dalam perjanjian tersebut, tetapi
meliputi juga setiap individu yang merupakan pihak ketiga di luar
para pihak yang mengadakan perjanjian. Dalam hal ini
pembatalan tersebut dapat terjadi, baik sebelum maupun setelah
perikatan yang lahir dari perjanjian itu dilaksanakan.
Pembatalan perjanjian tersebut dapat dimintakan manakala
tidak terpenuhinya syarat subyektif sahnya perjanjian, antara lain:
1) tidak telah terjadi kesepakatan bebas dari para pihak yang
membuat perjanjian, baik karena telah terjadi kekhilafan,
paksaan ataupun penipuan, sebagaimana diatur dalam Pasal
1321 sampai dengan Pasal 1328 KUHPerdata.
2) salah satu pihak dalam perjanjian tidak cakap untuk bertindak
dalam hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 1330 sampai
dengan Pasal 1331 KUHPerdata dan atau tidak memiliki
kewenangan untuk melakukan tindakan atau perbuatan
hukum tertentu.
b. Perjanjian yang batal demi hukum
Suatu perjanjian dikatakan batal demi hukum, dalam
pengertian tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya jika terjadi
pelanggaran terhadap syarat obyektif dari sahnya suatu perjanjian.
Keharusan akan adanya suatu hal tertentu yang menjadi obyek
dalam perjanjian ini dirumuskan dalam Pasal 1332 sampai dengan
Pasal 1334 KUHPerdata. Tanpa adanya suatu obyek dalam
perjanjian maka jelas perjanjian tidak pernah ada dan karenanya
tidak pernah pula menerbitkan perikatan di antara para pihak.
Selanjutnya diikuti dengan Pasal 1335 sampai dengan Pasal 1336
47
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.cit., h. 182-183.
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
48
KUHPerdata yang mengatur mengenai rumusan sebab yang halal,
yaitu sebab yang tidak dilarang oleh undang-undang dan tidak
berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Dalam
hal ini yang terpenting adalah pelaksanaan prestasi yang
dilakukan oleh salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian,
karena suatu causa yang halal tidaklah mudah ditemukan
rumusnya dalam suatu perjanjian.
Disamping ketidakpemenuhan syarat obyektif sahnya
perjanjian, undang-undang juga merumuskan secara konkrit untuk
tiap-tiap perbuatan hukum, terutama pada perjanjian formil, yang
mensyaratkan dibentuknya perjanjian dalam bentuk yang
ditentukan oleh undang-undang, yang jika tidak dipenuhi maka
perjanjian tersebut akan batal demi hukum, dengan pengertian
bahwa perjanjian tersebut tidak memiliki kekuatan hukum dan
tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya.48
Sebagai contoh adalah
Pasal 1687 KUHPerdata yang menegaskan bahwa hibah harus
dibuat dengan akta notaris, dengan ancaman batal jika hibah
tersebut tidak dibuat dengan akta notaris.
Kebatalan yang berdasarkan sifat kebatalannya juga dapat
dibedakan ke dalam kebatalan relatif dan kebatalan mutlak. Suatu
kebatalan disebut dengan relatif, jika kebatalan tersebut hanya
berlaku terhadap individu orang perorangan tertentu saja, dan disebut
juga dengan mutlak jika kebatalan tersebut berlaku umum terhadap
seluruh anggota masyarakat tanpa kecuali. Suatu perjanjian yang
dapat dibatalkan dapat saja berlaku relatif atapun mutlak, meskipun
tiap-tiap perjanjian yang batal demi hukum pasti berlaku mutlak.49
Di samping pemberlakuan kebatalan tersebut di atas,
KUHPerdata juga mengatur ketentuan mengenai pengecualian
pemberlakuan kebatalan, sebagaimana diatur dalam Pasal 1341 ayat
(2) KUHPerdata, yang melindungi hak-hak pihak ketiga yang telah
48
Ibid.
49
Ibid., h. 184.
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
49
diperolehnya dengan itikad baik atas segala kebendaan yang menjadi
pokok perjanjian yang batal tersebut.
2.3 Tinjauan Umum tentang Notaris
Sebelum adanya ketentuan pelaksanaan dari Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, pengertian Notaris diatur
dalam Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris (Stb.1860:3), yang berbunyi
sebagai berikut :
“Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk
membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan
penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh
yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu
akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya,
memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang
pembuatan akta itu oleh peraturan umum tidak juga ditugaskan atau
dikecualikan kepada pejabat atau orang lain.”
Setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris, dalam Pasal 1 angka 1 disebutkan bahwa Notaris
adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan
kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang tersebut.
Dalam Pasal 1 tersebut terdapat hal penting yang tersirat, yaitu ketentuan
dalam permulaan pasal tersebut, bahwa notaris adalah pejabat umum
(openbaar ambtenaar), dimana kewenangannya atau kewajibannya yang
utama ialah membuat akta-akta otentik.50
Bila rumusan pengertian Notaris dalam Peraturan Jabatan Notaris
(untuk selanjutnya dalam tesis ini disebut PJN) dibandingkan dengan
rumusan pengertian Notaris pada UUJN, rumusan UUJN sedikit berbeda
dibandingkan dengan PJN, namun keduanya masih memiliki esensi yang
sama tentang Notaris, yakni sebagai pejabat umum yang berwenang
membuat akta.
Terminologi wewenang (bevoegd) dalam PJN dan UUJN
diperlukan karena berhubungan dengan ketentuan Pasal 1868 KUHPerdata
yang menyatakan bahwa :
50
R. Soegondo Notodisoeryo, Op.cit., h. 42.
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
50
“Suatu akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk
ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pejabat
umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta dibuatnya.”
Sebagai pelaksanaan Pasal 1868 KUHPerdata tersebut, pembuat undang-
undang harus membuat peraturan perundang-undangan untuk menunjuk
para pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik. Oleh
karena itu, para Notaris ditunjuk sebagai pejabat yang demikian tersebut
berdasarkan PJN dan UUJN.51
Pengertian Notaris sebagai pejabat umum satu-satunya yang
berwenang membuat akta dalam rumusan PJN tidak lagi digunakan dalam
UUJN. Penggunaan kata satu-satunya (uitsluitend) dalam rumusan PJN
dimaksudkan untuk memberi penegasan bahwa untuk membuat akta otentik,
seseorang harus mempunyai kedudukan sebagai “pejabat umum“, dan
Notaris adalah satu-satunya yang mempunyai wewenang umum itu, tidak
turut pejabat lainnya. Semua pejabat lain hanya berwenang tidak lebih
daripada pembuatan akta otentik yang secara tegas ditugaskan kepada
mereka oleh undang-undang. Itulah sebabnya bahwa apabila di dalam
peraturan perundang-undangan untuk suatu perbuatan hukum diharuskan
adanya akta otentik maka hal itu hanya dapat dilakukan dengan suatu akta
Notaris, terkecuali peraturan perundang-undangan yang ada yang
menyatakan dengan tegas bahwa selain dari Notaris, juga pejabat umum
lainnya turut berwenang atau sebagai satu-satunya yang berwenang untuk
itu.52
Dalam UUJN, terminologi satu-satunya (uitsluitend) tidak lagi
dicantumkan. Meskipun demikian pengertian Notaris tidak berubah secara
radikal. Hal ini dikarenakan terminologi uitsluitend telah tercakup dalam
penjelasan UUJN yang menyatakan bahwa Notaris adalah pejabat umum
51
Abdul Ghofur, Lembaga Kenotariatan Indonesia, Perspektif Hukum dan Etika,
(Yogyakarta : UII Press, 2009), h. 14.
52
G.H.S. Lumban Tobing, Op.cit., h. 34.
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
51
yang berwenang membuat akta otentik tertentu, tidak dikhususkan bagi
pejabat umum lainnya.53
Menurut Muchlis Patahna, Notaris adalah lembaga atau organ
negara yang diberi wewenang untuk membuat akta otentik dan
menyimpannya sebagai dokumen atau arsip negara.54
Menurut Paulus Effendi Lotulung, pengertian jabatan dan profesi
itu berbeda. Kehadiran lembaga Notariat merupakan Beleidsregel dari
Negara dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris. Dengan kata lain, Jabatan Notaris sengaja diciptakan Negara
sebagai implementasi dari Negara dalam memberikan pelayanan kepada
rakyat, khususnya dalam pembuatan alat bukti otentik yang diakui oleh
Negara, sedangkan profesi lahir sebagai hasil interaksi diantara sesama
anggota masyarakat, yang lahir dan dikembangkan dan diciptakan oleh
masyarakat sendiri. 55
Pekerjaan yang dilimpahkan kepada seorang Notaris adalah sesuatu
yang demikian berharga, sehingga harus dilaksanakan dengan sebaik-
baiknya. Seorang notaris harus menjunjung tinggi tugas tersebut serta
melaksanakan dengan tepat dan jujur serta bertindak menurut kebenaran
sesuai dengan sumpah jabatan notaris, karena pekerjaan notaris tersebut
harus dapat dipertanggungjawabkan dan juga notaris sebagai pejabat umum
yang terpercaya yang akta-aktanya harus menjadi alat bukti yang sempurna
apabila terjadi sengketa hukum di muka pengadilan.
Notaris sebagai jabatan wajib bertindak profesional, baik
profesional dalam pikiran maupun profesional dalam tindakan, dalam
melaksanakan tugas jabatannya sesuai dengan standar jabatan yang diatur
dalam UUJN, yaitu memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada
masyarakat. Perlu juga dipahami bahwa yang profesional bukan hanya harus
53
Ghofur, Op.cit., h. 15.
54
Muchlis Patahna dan Joko Purwanto, Notaris Bicara Soal Kenegaraan, (Jakarta:
Watampone Press, 2003), h. 262.
55
Paulus Effendi Lotulung, “Perlindungan Hukum Bagi Notaris Selaku Pejabat Umum
Dalam Menjalankan Tugasnya,” (makalah disampaikan pada Kongres dan Upgrading-Refreshing
Course Ikatan Notaris Inonesia, Bandung, 23 Januari 2003), h. 2.
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
52
dilakukan oleh suatu profesi. Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat
disimpulkan bahwa Notaris di Indonesia adalah suatu jabatan, bukan
merupakan suatu profesi.
Menurut Habib Adjie, jabatan Notaris diadakan atau kehadirannya
dikehendaki oleh suatu aturan hukum dengan maksud untuk membantu dan
melayani masyarakat yang membutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat
otentik mengenai keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum. Dengan dasar
seperti ini, mereka yang diangkat sebagai Notaris harus mempunyai
semangat untuk melayani masyarakat. Atas pelayanan tersebut, masyarakat
yang telah merasa dilayani oleh Notaris sesuai dengan tugas jabatannya,
dapat memberikan honorarium kepada Notaris. Oleh karena itu, Notaris
tidak berarti apa-apa jika masyarakat tidak membutuhkannya. Dengan
demikian, Notaris merupakan suatu jabatan publik yang mempunyai
karakteristik, yaitu:56
a. Sebagai jabatan.
UUJN merupakan unifikasi di bidang pengaturan jabatan
Notaris, artinya satu-satunya aturan hukum dalam bentuk
undang-undang yang mengatur jabatan Notaris di Indonesia,
sehingga segala hal yang berkaitan Notaris di Indonesia harus
mengacu kepada UUJN.
b. Notaris mempunyai kewenangan tertentu.
Setiap wewenang yang diberikan kepada jabatan harus ada
aturan hukumnya, sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan
dengan baik dan tidak bertabrakan dengan wewenang jabatan
lainnya. Dengan demikian jika seorang pejabat (Notaris)
melakukan suatu tindakan di luar wewenang yang telah
ditentukan, dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar
wewenang. Wewenang Notaris hanya dicantumkan dalam pasal
15 ayat (1), (2), dan (3) UUJN.
56
Habib Adjie, Op.cit.,h. 15.
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
53
c. Diangkat dan diberhentikan oleh Menteri
Pasal 2 UUJN menentukan bahwa Notaris diangkat dan
diberhentikan oleh Menteri, dalam hal ini Menteri yang
membidangi kenotariatan (Pasal 1 angka 14 UUJN). Notaris
meskipun secara administratif diangkat dan diberhentikan oleh
Menteri tidak berarti Notaris menjadi subordinasi (bawahan)
yang mengangkatnya yaitu Menteri.
Dengan demikian, Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya :
a. Bersifat mandiri (autonomous);
b. Tidak memihak siapa pun (impartial);
c. Tidak tergantung kepada siapa pun (independent), yang berarti
dalam menjalankan tugas jabatannya tidak dapat dicampuri oleh
pihak yang mengangkatnya ataupun oleh pihak lain.
d. Tidak menerima gaji atau pensiun dari yang mengangkatnya
meskipun Notaris diangkat dan diberhentikan oleh Pemerintah.
Notaris hanya menerima honorarium dari masyarakat yang telah
dilayaninya atau dapat memberikan pelayanan cuma-cuma
untuk mereka yang tidak mampu.
e. Akuntabilitas atas pekerjaannya kepada masyarakat
Kehadiran Notaris untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
yang memerlukan dokumen hukum berupa akta otentik dalam
bidang hukum perdata, sehingga Notaris mempunyai tanggung
jawab untuk melayani masyarakat. Pada dasarnya, masyarakat
dapat menggugat Notaris secara perdata dan menuntut biaya,
ganti rugi dan bunga, jika ternyata akta tersebut dapat
dibuktikan dibuat tidak sesuai dengan aturan hukum yang
berlaku. Hal ini merupakan bentuk akuntabilitas Notaris kepada
masyarakat.
Selain dari sifat-sifat yang disebutkan di atas sebagai Pejabat
Umum yang diangkat oleh Pemerintah, dalam diri Notaris juga melekat
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
54
asas-asas Pemerintahan yang Baik (AUPB) yang dikenal dengan asas-asas
sebagai berikut:57
a. Asas Persamaan;
Notaris tidak boleh membeda-bedakan masyarakat yang
meminta untuk dibuatkan akta berdasarkan status sosial dan
status lainnya.
b. Asas kepercayaan;
Jabatan Notaris merupakan jabatan kepercayaan yang harus
selaras dengan mereka yang menjalankan tugas jabatan Notaris
sebagai orang yang dipercaya. Antara Jabatan Notaris dan
Pejabatnya yaitu yang menjalankan tugas jabatan Notaris harus
sejalan bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat
dipisahkan. Oleh karena itu, Notaris mempunyai kewajiban
untuk merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang
dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna
pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali
undang-undang menentukan lain, bahwa Notaris tidak wajib
merahasiakan dan memberikan keterangan yang diperlukan
yang berkaitan dengan akta tersebut, sebagaimana diatur dalam
Pasal 16 ayat (1) huruf f UUJN. Dengan demikian batasannya
hanya undang-undang saja yang dapat memerintahkan Notaris
untuk membuka rahasia isi akta dan keterangan/pernyataan yang
diketahui oleh Notaris yang berkaitan dengan pembuatan akta
yang dimaksud.
Sumpah/janji sebagai Notaris mengandung makna yang
sangat dalam yang harus dijalankan dan mengikat selama
menjalankan tugas jabatan sebagai Notaris. Sumpah atau janji
tersebut mengandung dua hal yang harus dipahami, yaitu :
1) Notaris wajib bertanggung jawab kepada Tuhan, karena
sumpah atau janji yang diucapkan berdasarkan agama
masing-masing, dengan demikian artinya segala sesuatu yang
57
Habib Adjie, Op.cit., h. 33.
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
55
dilakukan Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya akan
diminta pertanggungjawabannya dalam bentuk yang
dikehendaki Tuhan;
2) Notaris wajib bertanggung jawab kepada Negara dan
masyarakat, artinya Negara telah memberi kepercayaan untuk
menjalankan sebagian tugas Negara dalam bidang Hukum
Perdata, yaitu dalam pembuatan alat bukti berupa akta yang
mempunyai kekuatan pembuktian sempurna, dan kepada
masyarakat yang telah percaya bahwa Notaris mampu
memformulasikan kehendaknya ke dalam bentuk akta
Notaris, dan percaya bahwa Notaris mampu merahasiakan
segala keterangan atau ucapan yang diberikan di hadapan
Notaris.
c. Asas kepastian hukum;
Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya wajib berpedoman
secara normatif kepada aturan hukum yang berkaitan dengan
segala tindakan yang akan diambil untuk kemudian dituangkan
dalam akta. Bertindak berdasarkan aturan hukum yang berlaku
akan memberikan kepastian hukum kepada para pihak, bahwa
akta yang dibuat dihadapan atau oleh Notaris telah sesuai
dengan aturan hukum yang berlaku, sehingga jika terjadi
permasalahan, akta Notaris dapat dijadikan pedoman oleh para
pihak.
d. Asas kecermatan;
Notaris dalam mengambil suatu tindakan harus dipersiapkan dan
didasarkan pada aturan hukum yang berlaku. Meneliti semua
bukti yang diperlihatkan kepada Notaris dan mendengarkan
keterangan atau pernyataan para pihak wajib dilakukan sebagai
bahan dasar untuk dituangkan dalam akta. Asas kecermatan ini
merupakan penerapan dari Pasal 16 ayat (1) huruf a UUJN, yaitu
dalam menjalankan tugas jabatannya wajib bertindak seksama.
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
56
e. Asas pemberian alasan;
Setiap akta yang dibuat dihadapan atau oleh Notaris harus
mempunyai alasan dan fakta yang mendukung untuk akta yang
bersangkutan atau mempunyai pertimbangan hukum yang harus
dijelaskan kepada para pihak/penghadap.
f. Larangan penyalahgunaan wewenang;
Pasal 15 UUJN merupakan batas kewenangan Notaris dalam
menjalankan tugas jabatannya. Penyalahgunaan wewenang yaitu
suatu tindakan yang dilakukan oleh Notaris di luar dari
wewenang yang telah ditentukan. Jika Notaris membuat suatu
tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan, maka
tindakan Notaris dapat disebut sebagai tindakan penyalahgunaan
wewenang yang dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan
melawan hukum. Jika tindakan tersebut juga merugikan para
pihak maka para pihak yang merasa dirugikan dapat menuntut
penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris.
g. Larangan bertindak sewenang-wenang;
Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya dapat menentukan
tindakan para pihak dapat dituangkan dalam bentuk akta Notaris
atau tidak. Sebelum sampai pada keputusan seperti itu, Notaris
harus mempertimbangkan dan melihat semua dokumen yang
diperlihatkan kepada Notaris. Keputusan yang diambil harus
berdasarkan pada alasan hukum yang harus dijelaskan kepada
para pihak.
h. Asas proporsionalitas;
Dalam pasal 16 ayat (1) huruf a UUJN, Notaris dalam
menjalankan tugas jabatannya wajib menjaga kepentingan para
pihak yang terkait dalam perbuatan hukum atau dalam
menjalankan tugas jabatannya Notaris wajib mengutamakan
adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban para pihak yang
menghadap Notaris.
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
57
i. Asas profesionalitas.
Dalam pasal 16 ayat (1) huruf d UUJN, Notaris wajib
memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam UUJN,
kecuali ada alasan untuk menolaknya. Asas ini mengutamakan
keahlian (keilmuan) Notaris dalam menjalankan tugas
jabatannya berdasarkan UUJN dan Kode Etik Jabatan Notaris.
Tindakan profesional Notaris dalam menjalankan tugas
jabatannya diwujudkan dalam melayani masyarakat dengan
membuatkan akta yang dibuat dihadapan atau oleh Notaris.
Dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, Notaris harus
bertanggung jawab kepada diri sendiri dan kepada masyarakat. Bertanggung
jawab kepada diri sendiri berarti Notaris yang bersangkutan bekerja karena
integritas moral, intelektual dan profesional sebagai bagian dari
kehidupannya. Dalam memberikan pelayanannya, seorang Notaris akan
selalu mempertahankan cita-cita luhur profesi sesuai dengan tuntutan
kewajiban hati nuraninya.58
Bertanggung jawab kepada masyarakat mengandung arti kesediaan
memberikan pelayanan sebaik mungkin sesuai dengan profesinya, sehingga
menghasilkan layanan yang bermutu yang berdampak positif bagi
masyarakat. Pelayanan yang diberikan tidak semata-mata bermotif hanya
untuk mencari keuntungan, melainkan juga dalam rangka pengabdian
kepada sesama manusia. Dalam arti luas, bertanggung jawab berarti berani
menanggug segala resiko yang timbul akibat pelayanan yang telah
diberikannya tersebut.
2.3.1 Penghadap sebagai Pihak dalam Akta Notaris
Pembuat akta adalah orang atau para pihak yang
menyatakan/berjanji tentang sesuatu dan meminta kepada Notaris
untuk menuangkannya ke dalam suatu akta, yang lebih dikenal
dengan istilah penghadap. Pasal 39 ayat (2) UUJN menegaskan
bahwa penghadap harus dikenal oleh Notaris atau diperkenalkan
58
Abdulkadir Muhammad, Op.cit., h. 60.
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
58
kepadanya oleh 2 (dua) orang saksi pengenal. Dalam berbagai akta
Notaris banyak digunakan kata untuk membuktikan bahwa yang
bersangkutan datang kepada Notaris atas kemauannya sendiri,
misalnya kata “menghadap” atau “telah menghadap” atau
“berhadapan” atau “telah hadir di hadapan”. Bahwa yang dimaksud
sebenarnya yang bersangkutan adalah kehadiran yang nyata
(verschijnen) secara fisik atau digunakan kata menghadap
terjemahan dari verschijnen, yang berarti datang menghadap yang
dimaksudkan dalam arti yuridisnya adalah kehadiran nyata.
Yang dimaksud dengan penghadap itu adalah mereka yang
datang sengaja menghadap kepada Notaris, jadi orang yang diwakili
umpamanya bukanlah penghadap.59
Yang dimaksud dengan “para
penghadap” dalam Pasal 24 P.J.N. hanya mereka yang datang
menghadap kepada Notaris untuk pembuatan akta itu, bukan mereka
yang diwakili dalam akta itu, baik yang diwakili secara lisan maupun
secara tertulis ataupun dalam kedudukan atau jabatan.60
Identitas dari para penghadap harus dikenal oleh notaris, sebab
jika tidak, mungkin terjadi pemalsuan mengenai diri seseorang
dihadapan notaris, dan hal ini dapat berakibat bahwa sesuatu akta
notaris menjadi batal. Misalnya, seseorang mengaku dirinya bernama
A, padahal ia sesungguhnya bernama B, membuat suatu akta jual
beli dihadapan notaris, dimana ia bertindak sebagai penjual, dan oleh
karena itu terjadilan suatu penipuan (bedrog). Ataupun notaris
mengira bahwa ia berhadapan dengan A, tetapi yang dihadapinya
ialah B, sehingga terjadilah suatu kekeliruan (dwaling). Dalam hal-
hal tersebut di atas, maka perjanjian yang dibuat dihadapan Notaris
adalah dapat dibatalkan, sebagaimana diatur pula dalam Pasal 1320
KUHPerdata. Oleh karena itu, dikenalinya identitas penghadap oleh
notaris adalah syarat mutlak untuk sahnya suatu akta. Dalam hal
identitas itu tidak dikenal oleh Notaris, maka penghadap harus
59
A.Kohar, Op.cit., h. 39.
60
G.H.S. Lumban Tobing, Op.cit., h. 177.
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
59
diperkenalkan oleh 2 (dua) orang saksi yang fungsinya semata-mata
hanya memperkenalkan identitas dari penghadap kepada Notaris.
Mereka ini bukan saksi instrumentair dalam akta, sebagaimana diatur
dalam Pasal 22 dan 23 Peraturan Jabatan Notaris, melainkan mereka
itu adalah saksi-saksi pengenal atau saksi-saksi atestasi (atesterende
getuigen).61
Pengertian dikenal bukan dalam arti kenal akrab, misalnya
sebagai teman atau sudah kenal lama, kalaupun para penghadap
sudah dikenal sebelumnya oleh Notaris hal ini merupakan nilai
tambah untuk Notaris saja, tetapi kenal yang dimaksud dalam arti
yuridis, artinya ada kesesuaian antara nama dan alamat yang
disebutkan oleh orang yang bersangkutan dihadapan Notaris dan
juga dengan alat-alat bukti atau identitas atas dirinya yang
diperlihatkan kepada Notaris. Mengenal juga berarti penunjukkan
orang dalam akta harus sama dengan penunjukkannya, yang
dengannya ia dapat dibedakan dan diindividualisasi dari orang-orang
dalam masyarakat. Kenal tersebut tidak terbatas seperti tersebut
diatas, tetapi juga harus diperhatikan bahwa yang bersangkutan
mempunyai wewenang untuk melakukan suatu tindakan hukum yang
akan disebutkan dalam akta. Dalam kalimat yang sederhana kenal
tersebut dalam hubungannya membuat akta dan yang bersangkutan
datang ke hadapan Notaris.62
Pada pengertian pertama sebagaimana diuraikan diatas,
penghadap secara langsung dikenal oleh Notaris, Notaris dapat
melakukan pengenalan dengan cara penghadap diperkenalkan
kepadanya (Notaris) oleh 2 (dua) orang saksi pengenal. Cara
pengenal seperti itu perlu diatur dalam UUJN karena Notaris tidak
mungkin mengenal setiap orang yang datang kepadanya, akan tetapi
hal ini tidak boleh menyebabkan, bahwa seseorang yang tidak
dikenal Notaris, tidak dapat membuat akta (otentik) dihadapan
61
R. Soegondo Notodisoerjo, Op.cit., h. 148.
62
Ibid., h. 172.
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
60
Notaris. Untuk kepentingan masyarakat umum harus diciptakan
kemungkinan bahwa Notaris sekalipun ia tidak mengenal orang yang
datang menghadap kepadanya untuk membuat akta tetap dapat
membuat akta otentik. Apabila kemungkinan sedemikian tidak ada,
maka sudah barang tentu Notaris akan menolak permintaan
seseorang yang tidak dikenalnya untuk membuat sesuatu akta. Itu
pulalah sebabnya pembuat undang-undang memberikan jalan dengan
cara memperkenalkan (bekenmaking) para penghadap oleh 2 (dua)
orang saksi, yang mana dapat dikatakan sebagai pengganti
(surrogaat) dari pengenalan (bekendheid).63
Dalam perspektif yang
lain, bahwa cara pengenalan seperti tersebut diatas dilakukan karena
ketiadaan atau kekurangan atau ketidakjelasan alat bukti berupa
identitas para penghadap, dan juga kekurangjelasan kewenangan
yang bersangkutan untuk melakukan suatu tindakan hukum
dihadapan Notaris, sehingga tidak ada keraguan untuk membuat akta
Notaris atas permintaan para penghadap tersebut, dan saksi pengenal
tersebut akan turut bertanggungjawab terhadap identitas dan
kewenangan penghadap yang diperkenalkannya.
Salah satu kewajiban Notaris dalam menjalankan tugas
jabatannya sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf i
UUJN, yaitu membacakan akta dihadapan penghadap dengan
dihadiri oleh paling sedikti 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani
pada saat itu juga oleh penghadap, saksi dan Notaris, dalam
penjelasannya ditegaskan bahwa Notaris harus hadir secara fisik dan
menandatangani akta dihadapan penghadap dan saksi. Substansi
pasal tersebut bila dikaitkan dengan Pasal 39 ayat (2) dan (3) UUJN,
menegaskan bahwa Notaris harus mengenal para penghadap, dan
pengenalan tersebut harus dinyatakan secara tegas dalam akta dan
demikian pula halnya pengenalan untuk saksipun disebutkan dalam
Pasal 40 ayat (3) dan (4) UUJN. Substansi pasal-pasal tersebut baik
para penghadap dan para saksi harus dikenal Notaris berdasarkan
63
Ibid., h. 179-180.
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
61
identitasnya yang diperlihatkan kepada Notaris, dan berada pada
tempat yang sama pada saat itu juga serta hadir secara fisik, baik
para saksi, penghadap maupun Notaris.
2.3.2 Tugas, Kewenangan dan Larangan Notaris
Seorang Notaris mempunyai tugas dan kewenangan yang harus
dipatuhi. Tugas Notaris yang utama dan pada pokoknya adalah
membuat akta-akta otentik yang berfungsi sebagai alat bukti terkuat
dan terpenuh yang mempunyai peranan penting dalam hubungan
hukum dalam kehidupan bermasyarakat. Di dalam pembuatan akta-
akta otentik tersebut, Notaris mempunyai peranan yang sangat
penting, yaitu melayani kepentingan umum terutama dalam hal
pelayanan hukum pembuatan akta-akta otentik mengenai hubungan
keperdataan yang terjadi diantara mereka.
Seorang Notaris dalam menjalankan tugasnya selain harus
memiliki pengetahuan secara teoritis dan pengalaman secara teknis,
juga harus ditambah memiliki tanggung jawab etika hukum yang
tinggi berupa nilai atau ukuran-ukuran etika, penghayatan terhadap
keluhuran dan tugas jabatannya, serta integritas dan moral yang baik.
Sumpah jabatan Notaris juga menyebutkan bahwa seorang
Notaris haruslah menjalankan jabatannya dengan jujur, seksama, dan
tidak memihak. Seorang Notaris juga harus patuh dan taat terhadap
semua peraturan-peraturan dan nilai moral bagi jabatan Notaris yang
sedang berlaku atau akan diadakan. Hal ini berarti bahwa seorang
Notaris harus tetap memperhatikan seluruh peraturan perundang-
undangan yang ada dan masih berlaku di Indonesia agar dapat
menyesuaikan dengan akta yang dibuatnya tersebut. Oleh karena itu,
Notaris dapat menghindari kesalahan-kesalahan yang mungkin dapat
terjadi karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang ada dan dapat mengakibatkan hilangnya keotentisitasan akta
yang dibuatnya.
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
62
Notaris diwajibkan memberikan penyuluhan dan nasehat
hukum serta memberikan penjelasan mengenai peraturan perundang-
undangan yang berlaku kepada pihak yang datang kepadanya. Hal
ini berarti bahwa sebelum para pihak menuangkan kehendaknya
dalam akta, Notaris harus terlebih dahulu memberikan nasihat
seperlunya kepada para pihak, antara lain mengenai siapa yang boleh
menurut hukum sehubungan dengan akta yang hendak dibuatnya,
serta apa yang harus dilengkapi untuk keperluan pembuatan akta
tersebut dan lain sebagainya.64
Wewenang atau sering pula ditulis dengan istilah kewenangan
merupakan suatu tindakan hukum yang diatur dan diberikan kepada
suatu jabatan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku yang mengatur jabatan yang bersangkutan. Dengan
demikian, setiap wewenang ada batasannya sebagaimana yang
tercantum dalam peraturan perundang-undangan yang mengaturnya.
Wewenang Notaris terbatas sebagaimana peraturan perundang-
undangan yang mengatur jabatan Pejabat yang bersangkutan, dalam
hal ini UUJN. Wewenang yang diperoleh suatu jabatan mempunyai
sumber asalnya. Dalam Hukum Administrasi, wewenang bisa
diperoleh secara Atribusi, Delegasi atau Mandat.65
Penjelasan lebih lanjut menyebutkan bahwa wewenang secara
Atribusi adalah pemberian wewenang yang baru kepada suatu
jabatan berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan atau aturan
hukum. Wewenang secara Delegasi merupakan pemindahan/
pengalihan wewenang yang ada berdasarkan suatu peraturan
perundang-undangan atau aturan hukum. Mandat sebenarnya bukan
pengalihan atau pemindahan wewenang, tapi karena yang
berkompeten berhalangan.
Berdasarkan UUJN, Notaris sebagai Pejabat Umum
memperoleh wewenang secara Atribusi, karena wewenang tersebut
64
A.Kohar, Op.cit., h. 27.
65
Habib Adjie, Op.cit., h. 77.
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
63
diciptakan dan diberikan oleh UUJN sendiri. Jadi, wewenang yang
diperoleh Notaris bukan berasal dari lembaga lain, misalnya
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Setiap wewenang
harus ada dasar hukumnya, sehingga jika seorang Pejabat melakukan
tindakan di luar wewenang disebut sebagai perbuatan melanggar
hukum.66
Notaris mempunyai kewenangan untuk membuat akta otentik,
yang merupakan bukti tertulis mengenai perbuatan hukum para
pihak dalam bidang hukum perdata. Otentisitas dari akta notaris
bersumber dari Pasal 1 angka 1 UUJN, yaitu akta yang dibuat oleh
notaris dalam kedudukannya selaku pejabat umum memperoleh sifat
akta otentik, seperti yang dimaksud dalam Pasal 1868 KUHPerdata.
Dalam Pasal 1 angka (7) UUJN menyebutkan bahwa, “Akta
Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris
menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam undang-undang
ini.” Jadi, suatu akta yang hendak memperoleh stempel otentisitas,
harus memenuhi ketiga unsur, yaitu:
a. Akta itu harus dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum
b. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh
undang-undang
c. Pejabat umum oleh atau dihadapan siapa akta itu dibuat, harus
mempunyai wewenang untuk membuat akta itu.
Menurut Habib Adjie, kewenangan Notaris tersebut dalam
pasal 15 ayat (1) sampai dengan ayat (3) UUJN dapat dibagi
menjadi:
a. Kewenangan Umum Notaris
Dalam Pasal 15 ayat (1) UUJN menyebutkan suatu kewenangan
Notaris yakni Notaris berwenang membuat akta otentik
mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang
diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau
dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam
66
Ibid., h. 78.
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
64
akta otentik. Pasal tersebut juga menegaskan bahwa salah satu
kewenangan Notaris, yaitu membuat akta secara umum.67
Hal ini
disebut sebagai Kewenangan Umum Notaris, dengan batasan
sepanjang :
1) Tidak dikecualikan kepada pejabat lain yang ditetapkan oleh
Undang-Undang;
2) Menyangkut akta yang harus dibuat atau berwenang
membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian,
dan ketetapan yang diharuskan oleh aturan hukum atau
dikehendaki oleh yang bersangkutan;
3) Mengenai subyek hukum (orang atau badan hukum) untuk
kepentingan siapa akta itu dibuat atau dikehendaki oleh yang
berkepentingan.
Wewenang Notaris adalah membuat akta, bukan membuat surat,
seperti surat pada umumnya atau membuat surat lain, mengenai
semua perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan
perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang
berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik.
b. Kewenangan Khusus Notaris
Kewenangan khusus ini diatur dalam Pasal 15 ayat (2) UUJN.
Selain itu, Notaris juga berwenang untuk membetulkan
kesalahan tulis atau kesalahan ketik yang terdapat dalam Minuta
akta yang telah ditandatangani, dengan cara membuat Berita
Acara Pembetulan, dan Salinan atas Berita Acara Pembetulan
tersebut wajib disampaikan oleh Notaris kepada para pihak,
sebagaimana diatur dalam Pasal 51 UUJN.
c. Kewenangan Notaris yang Akan Ditentukan Kemudian
Pasal 15 ayat (3) UUJN merupakan wewenang yang akan
ditentukan kemudian berdasarkan aturan hukum lain yang akan
67
Menurut Lubbers, bahwa Notaris tidak hanya mencatat saja (ke dalam bentuk akta),
tapi juga mencatat dan menjaga, artinya mencatat saja tidak cukup, harus dipikirkan juga bahwa
akta itu harus berguna di kemudian hari jika terjadi keadaan yang khas. Lubbers dalam Tan Thong
Kie, Studi Notariat & Serba-Serbi Praktek Notaris, (Jakarta: PT. Ihtiar Baru Van Hoeve, 1994), h.
452.
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
65
datang kemudian (ius constituendum). Berkaitan dengan
wewenang tersebut, jika Notaris melakukan tindakan di luar
wewenang yang telah ditentukan, maka produk atau akta Notaris
tersebut tidak mengikat secara hukum atau tidak dapat
dilaksanakan (nonexecutable), dan mereka yang merasa
dirugikan oleh tindakan Notaris di luar wewenang tersebut dapat
menggugat Notaris secara perdata ke Pengadilan Negeri.
Wewenang Notaris yang akan ditentukan kemudian merupakan
wewenang yang akan muncul dan akan ditentukan berdasarkan
peraturan perundang-undangan. Dalam kaitan ini perlu diberikan
batasan mengenai peraturan perundang-undangan yang
dimaksud. Batasan perundang-undangan dapat dilihat dalam
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara, bahwa yang dimaksud dengan
peraturan perundang-undangan dalam Undang-Undang tersebut
ialah semua peraturan yang bersifat mengikat secara umum
termasuk semua keputusan badan atau pejabat tata usaha negara,
baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.
Berdasarkan uraian di atas, kewenangan Notaris yang akan
ditentukan kemudian tersebut dalam peraturan perundang-
undangan yang dibentuk oleh lembaga Negara (Pemerintah
bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat) akan
mengikat secara umum.
Tugas utama seorang notaris selaku pejabat umum adalah
membuat akta. Adapun akta yang dibuat oleh Notaris dapat
dibedakan menjadi 2 (dua) jenis, yaitu :68
a. Akta yang dibuat “oleh” (door) Notaris atau yang dinamakan
pula “akta relaas” ataupun “akta pejabat” (ambetelijke akten),
yaitu misalnya berupa berita acara rapat umum pemegang saham
dalam Perseroan Terbatas dimana Notaris dalam aktanya
menerangkan mengenai segala sesuatu yang ia lihat, ia dengar,
68
G.H.S. Lumban Tobing, Op.cit., h. 51-52.
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
66
dan dialaminya dalam rapat dengan dituangkan ke dalam akta
yang dibuatnya. Dalam hal ini, Notaris bersifat aktif dalam
pengertian bahwa Notaris tersebut harus menuliskan segala
sesuatu apa yang ia lihat dan dengar, serta diputuskan dalam
rapat atau yang dikenal dengan risalah rapat.
b. Akta yang dibuat “dihadapan” (ten overstaan) Notaris atau yang
dikenal dengan “akta partij” (partij akten). Misalnya akta kerja
sama, akta sewa menyewa. Dimana di dalam akta ini
dicantumkan secara jelas mengenai keterangan-keterangan
mengenai apa yang hendak mereka cantumkan dalam akta dari
para pihak yang hadir dihadapan Notaris yang bertindak sebagai
pihak-pihak dalam akta tersebut. Para pihak dalam akta bersifat
aktif, artinya bahwa akta itu tidak dibuat oleh Notaris melainkan
berdasarkan kesepakatan para pihak sendiri mengenai yang akan
dimasukkan ke dalam akta tersebut dan Notaris hanya membantu
mengkonstantir keterangan-keterangan dari para pihak untuk
disusun dalam bentuk akta.
Akta otentik sebagai alat bukti tertulis dalam hal-hal tertentu,
merupakan bukti yang kuat (lengkap) bagi pihak-pihak yang
bersangkutan, mereka yang menandatangani suatu akta bertanggung
jawab dan terikat akan isi akta.69
Akta Notaris sebagai akta otentik
mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, sehingga tidak
perlu dibuktikan atau ditambah dengan alat bukti lainnya. Jika ada
orang/pihak yang menilai atau menyatakan bahwa akta tersebut tidak
benar, maka orang/pihak yang menilai atau menyatakan tidak benar
tersebut wajib membuktikan penilaian atau pernyataannya sesuai
aturan hukum yang berlaku. Kekuatan pembuktian akta Notaris ini
berhubungan dengan sifat publik dari jabatan Notaris.
Pada dasarnya suatu akta otentik mempunyai tiga macam
kekuatan pembuktian, yaitu antara lain :70
69
Komar Andasasmita, Op.cit., h. 47.
70
Ibid., h. 55.
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
67
a. Kekuatan pembuktian lahiriah (uitwendige bewijksracht).
Kekuatan pembuktian lahiriah adalah kemampuan dari akta itu
sendiri untuk membuktikan dirinya sebagai akta otentik,
sehingga apabila suatu akta yang kelihatannya sebagai akta
otentik artinya menandakan dirinya dari luar, ataupun kata-
katanya sebagai yang berasal dari seorang pejabat umum, maka
terhadap setiap orang haruslah dianggap sebagai akta otentik,
sampai dapat dibuktikan sebaliknya. Hal ini berbeda dengan akta
di bawah tangan, dimana baru berlaku sah apabila berasal dari
orang terhadap siapa akta itu dipergunakan dan pihak-pihak yang
menandatangani akta tersebut telah mengakui kebenaran dari
tanda tangannya tersebut.
b. Kekuatan pembuktian formal (formele bewijskracht)
Kekuatan pembuktian formal dimaksudkan bahwa pejabat yang
bersangkutan telah menyatakan dalam tulisan itu, bahwa apa
yang tercantum dalam akta itu merupakan hal yang benar karena
telah disaksikan sendiri oleh pejabat (notaris) yang bersangkutan
dalam menjalankan jabatannya.
c. Kekuatan pembuktian material (materiele bewijskracht)
Maksud dari kekuatan pembuktian material adalah bahwa apa
yang tercantum dalam akta merupakan keterangan yang
sebenarnya karena telah dibuktikan dalam isi yang terkandung
dalam akta. Notaris menerima keterangan dan menjamin
keterangan yang diberikan penghadap sebagai suatu keterangan
yang benar dan keterangan tersebut dibuktikan dalam suatu isi
atau materi akta tersebut.
Seorang notaris dalam menjalankan tugas jabatannya dalam
membuat akta otentik membutuhkan tingkat kecermatan yang
memadai karena berkaitan dengan setiap kata yang dibuat dalam akta
yang harus terjamin otentisitasnya. Ketentuan mengenai keharusan
bertindak cermat ini diatur dalam beberapa pasal UUJN, antara lain :
a. Cermat dalam mengenal para penghadap.
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
68
Pasal 39 ayat (2) UUJN menegaskan bahwa para penghadap
harus dikenal oleh notaris atau diperkenalkan kepadanya oleh 2
(dua) orang saksi yang memenuhi syarat untuk memberikan
kesaksian di muka pengadilan. Notaris dalam memperoleh
keterangan-keterangan tentang pengenalan itu, diharuskan untuk
dapat memperoleh keterangan-keterangan dari orang yang
dikenalnya dan dapat dipercayainya, Notaris dapat melihat
identitas seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP), Paspor dan surat-
surat lain dari orang-orang yang bersangkutan, meminta
informasi lainnya dan masih banyak cara lain bagi Notaris untuk
meyakinkan dirinya bahwa orang yang datang menghadap
kepadanya itu benar-benar adalah sama dengan orang yang
namanya dicantumkan dalam kartu identitasnya, termasuk dalam
aktanya sebagaimana orang itu juga dikenal dalam masyarakat.
b. Cermat dalam menyerap maksud dan tujuan dari keterangan para
pihak.
Para penghadap harus menghadap secara bersama-sama untuk
mengutarakan maksud dan tujuan para pihak, dengan tujuan
untuk dibuatkan akta. Dalam prakteknya, mungkin yang
memberikan keterangan kepada Notaris hanya salah satu dari
para penghadap, akan tetapi para penghadap dapat menyimak
secara langsung dan memiliki kesempatan dalam meluruskan
atau menyangkal terhadap hal-hal yang dianggap menyimpang
atau merugikan dirinya dari kesepakatan semula atau menolak
terhadap hal-hal yang tidak disetujuinya. Jika di antara para
pihak ada yang tidak hadir dan memberikan kuasa kepada pihak
yang hadir, maka surat kuasa itu sendiri harus menunjukkan
tentang hal-hal yang disepakati untuk dibuatkan aktanya. Dengan
demikian, Notaris dapat mengambil sikap untuk tidak menerima
keinginan, maksud dan tujuan para pihak yang hadir, jika
menyimpang atau bertentangan dengan maksud dan tujuan
pemberi kuasa. Notaris mempunyai hak dan kewajiban untuk
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
69
mengingatkan atau menolak dimasukkannya keinginan, maksud
dan tujuan para penghadap, jika hal itu bertentangan dengan
peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Notaris dapat
juga memberikan saran-saran, jika terjadi perbedaan pendapat di
antara para pihak dengan memberikan masukan kepada mereka
tentang bagaimana seharusnya permasalahan itu ditempatkan
berlandaskan kepada peraturan perundang-undangan.
c. Cermat dalam penulisan akta.
Hal ini diatur secara terperinci dalam Pasal 42, Pasal 43, Pasal
48, Pasal 49, Pasal 50 UUJN dengan sanksi kehilangan otensitas
akta yang dibuat atau hukuman denda berupa penggantian biaya,
ganti rugi serta bunga kepada Notaris. Pasal-pasal tersebut antara
lain mengatur tentang :
1) Pengaturan pembuatan akta, kecermatan dan bahasa.
2) Keharusan untuk menjelaskan dalam akta, jika salah satu dari
para pengahadap tidak bersedia membubuhkan tandatangan
pada akta.
3) Tata cara perubahan, tambahan dan pencoretan.
d. Cermat dalam pendataan, pengarsipan dan laporan.
Pendataan, pengarsipan dan laporan ini mengatur juga tentang
penyimpanan, pengambilalihan minuta, daftar-daftar dan
reportorium dalam hal Notaris meninggal dunia, pensiun,
diangkat sebagai pejabat negara dan/atau diberhentikan atau
pindah wilayah yang terdiri dari Pasal 58 sampai dengan Pasal
66 UUJN.
e. Cermat dalam penyerahan Grosse, Salinan dan Kutipan
Penyerahan suatu grosse hanya boleh dilakukan oleh Notaris
kepada pihak yang berkepentingan, meskipun dalam suatu akta
grosse telah diuraikan dengan jelas dan akurat tentang siapa yang
berkepentingan, dan untuk apa akta tersebut dibuat, tetapi jika
terjadi kesalahan penyerahan grosse, salinan dan kutipan kepada
pihak yang tidak berkepentingan akan berisiko terjadinya
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
70
penyalahgunaan serta tidak terjaminnya kerahasiaan atas akta
tersebut yang wajib dijunjung tinggi oleh Notaris.
Tegasnya notaris harus menghindari sejauh mungkin suatu
perbuatan melawan hukum yang dapat merugikan para pihak, karena
kurang cermat atau lalai, terlebih lagi karena kesalahan yang
disengaja.
Dalam menjalankan tugas jabatannya, Notaris juga memikul
tanggung jawab sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UUJN yang
wajib dipenuhi. Dalam pasal 16 ayat (1) huruf d UUJN, terdapat
alasan yang mengakibatkan Notaris untuk menolak pembuatan akta,
antara lain:71
a. Apabila Notaris sakit sehingga tidak dapat memberikan jasanya,
berhalangan karena fisiknya;
b. Apabila Notaris tidak ada karena dalam masa cuti;
c. Apabila surat-surat yang diperlukan untuk membuat suatu akta,
tidak diserahkan kepada Notaris;
d. Apabila penghadap atau saksi instrumentair yang diajukan oleh
penghadap tidak dikenal oleh Notaris atau tidak diperkenalkan
kepadanya;
e. Apabila karena pemberian jasa tersebut, Notaris melanggar
sumpah jabatannya atau melakukan perbuatan melanggar
hukum;
f. Apabila pihak-pihak menghendaki bahwa Notaris membuat akta
dalam bahasa yang tidak dikuasai olehnya, atau apabila orang-
orang yang menghadap berbicara dengan bahasa yang tidak jelas,
sehingga Notaris tidak mengerti apa yang dikehendaki mereka.
Dalam pasal 17 UUJN disebutkan bahwa dalam menjalankan
kewenangannya, Notaris dibatasi oleh berbagai larangan, yaitu
bahwa Notaris dilarang :
a. Menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya;
71
R.Soegondo Notodisoerjo, Op.cit., h. 97-98.
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
71
b. Meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 (tujuh) hari kerja
berturut-turut tanpa alasan yang sah;
c. Merangkap sebagai pegawai negeri;
d. Merangkap jabatan sebagai pejabat negara;
e. Merangkap jabatan sebagai advokat;
f. Merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai Badan
Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah atau Badan
Usaha Swasta;
g. Merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah diluar
wilayah jabatan Notaris;
h. Menjadi Notaris Pengganti;
i. Melakukan pekerjaaan lain yang bertentangan dengan norma
agama, kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi
kehormatan dan martabat jabatan Notaris.
Terkait pembuatan akta, Notaris tidak boleh menolak untuk
memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat khususnya
kepada orang yang mendatangi seorang Notaris untuk meminta
dibuatkan suatu akta otentik perihal yang dikehendakinya.
2.3.3 Daerah Jabatan Notaris
Daerah jabatan Notaris adalah daerah kerja Notaris dalam
melaksanakan tugas jabatannya. Notaris hanya bisa menjalankan
tugas dan jabatannya di daerah hukum yang telah ditentukan
kepadanya dan hanya di daerah itulah Notaris berwenang untuk
memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat khususnya dalam
pembuatan akta otentik.
Setiap Notaris harus ditentukan daerah jabatannya agar Notaris
terjamin dalam melaksanakan pelayanan jabatannya di lingkungan
yang telah ditetapkan dan juga agar para masyarakat yang
membutuhkan pelayanan Notaris dapat lebih mudah untuk
menjumpai Notaris yang mereka inginkan baik pada waktu siang
maupun pada waktu malam hari, dan di samping itu untuk mencegah
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
72
terjadinya persaingan yang tidak sehat di kalangan para Notaris.
Mengenai ruang lingkup kerja notaris diatur dalam Pasal 18, Pasal
19 dan Pasal 20 UUJN.
Dalam Pasal 17 butir a UUJN, Notaris dilarang menjalankan
jabatan di luar wilayah jabatannya. Apabila Notaris membuat akta di
luar daerah jabatannya, maka akta tersebut hanya berlaku sebagai
akta di bawah tangan, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1869
KUHPerdata, yaitu: “Suatu akta yang karena tidak berkuasa atau
tidak cakapnya pegawai termaksud di atas, atau karena suatu cacat
dalam bentuknya, tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik
namun demikian mempunyai kekuatan sebagai tulisan di bawah
tangan jika ia ditandatangani oleh kedua belah pihak”.
Akan tetapi ada kalanya Notaris dapat juga membuat akta di
luar daerah jabatannya, antara lain seperti yang dimaksud dalam
pasal 942 jo Pasal 937 KUHPerdata. Ketentuan-ketentuan dalam
pasal-pasal tersebut di atas mengharuskan Notaris untuk
menjalankan jabatannya di luar daerahnya. Penyerahan surat wasiat
rahasia atau surat olografis tertutup untuk dibuka oleh Balai Harta
Peninggalan termasuk dalam tugas jabatan Notaris (notariele
ambisbediening) dan penyerahan surat-surat wasiat sedemikian
menurut Pasal 942 KUHPerdata harus dilakukan kepada Balai Harta
Peninggalan di dalam daerah siapa warisan itu terbuka. Apabila
Balai Harta Peninggalan yang akan melakukan pembukaan surat
wasiat itu dan pembuatan berita acara penyerahannya tidak
berkedudukan dalam daerah tempat Notaris menjalankan jabatannya,
maka untuk memenuhi ketentuan dalam Pasal 942 jo 937
KUHPerdata, Notaris terpaksa dalam hal tersebut menjalankan
jabatannya di luar daerahnya. Dengan demikian pasal ini merupakan
pengecualian dari ketentuan dalam Pasal 17 juncto Pasal 19 UUJN.
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
73
2.3.4 Pengaturan Pembuatan Akta Notaris
Akta Notaris merupakan akta otentik sehingga pembuatannya
tidak boleh dilakukan secara sembarang. Dalam Undang-undang
Jabatan Notaris, mengenai pembuatan akta Notaris diatur secara
khusus dalam Pasal 42, Pasal 43 dan Pasal 44 UUJN. Akta yang
dibuat dihadapan atau oleh Notaris bentuknya sudah ditentukan
dalam pasal 38 UUJN, bahwa setiap akta notaris terdiri atas:
a. Awal akta atau kepala akta memuat judul akta; nomor akta; Jam,
hari, tanggal, bulan dan tahun; dan Nama lengkap dan
kedudukan notaris;
b. Badan akta memuat nama lengkap, tempat dan tanggal lahir,
kewarganegaraan, pekerjaan, jabatan, kedudukan, tempat tinggal
para penghadap dan/atau orang yang mereka wakili; Keterangan
mengenai kedudukan bertindak menghadap; Isi akta yang
merupakan kehendak dan keinginan dari pada para pihak tang
berkepentingan; dan Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir
serta pekerjaan , jabatan, kedudukan dan tempat tinggal dari
tiap-tiap saksi pengenal; dan
c. Akhir atau penutup akta memuat uraian tentang pembacaan akta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf I atau
Pasal 16 ayat (7) UUJN; uraian tentang penandatangan dan
tempat penandatangan atau penerjemahan akta bila ada; nama
lengkap, tempat kedudukan dan tanggal lahir, pekerjaan,
jabatan, kedudukan dan tempat tinggal tiap-tiap saksi akta; dan
uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam
pembuatan akta atau uraian tentang adanya perubahan yang
dapat berupa penambahan, pencoretan atau penggantian.
Salah satu bagian akta notaris yang mempunyai peranan
penting adalah mengenai komparisi. Perkataan komparisi berasal
dari bahasa Belanda comparitie yang berarti verschijning van
partijen atau tindakan menghadap dalam hukum atau dihadapan
pejabat umum, seperti Notaris dan openbaar ambtenaar lainnya.
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
74
Dalam dunia notariat perkataan ”komparisi” mengandung arti yang
lebih luas. Komparisi tidak hanya persoalan apakah orang yang
menghadap itu mempunyai kecakapan bertindak (rechtsbekwaam),
tetapi juga apakah dia mempunyai hak untuk melakukan tindakan
(rechtsbevoegd) mengenai soal yang dinyatakan (geconstateerd)
dalam surat akta.72
Komparisi ini merupakan salah satu bagian yang penting sekali
dari suatu akta notaris atau akta pejabat lainnya, karena sah atau
batalnya akta otentik itu antara lain tergantung pada benar atau
tidaknya komparisi yang bersangkutan. Komparisi (comparitie:
verschijning van partijen, menghadap) merupakan bagian suatu akta
yang menyebutkan nama-nama para pihak yang membuat perjanjian,
lengkap dengan penyebutan pekerjaan dan identitas serta tempat
tinggal yang bersangkutan. Identitas di sini bukan dalam arti jati diri
yang menyebutkan ciri-ciri khusus seseorang, melainkan mengenai
pekerjaan, tempat tinggal dan biasanya juga mencakup kewenangan
para pihak sehingga yang bersangkutan berhak melakukan tindakan
hukum sebagaimana dinyatakan dalam akta.
2.3.5 Sanksi terhadap Notaris Berkaitan dengan Akta yang Dibuatnya
Sanksi pada hakikatnya merupakan instrumen yuridis yang
biasanya diberikan apabila kewajiban-kewajiban atau larangan-
larangan yang ada dalam suatu ketentuan hukum telah dilanggar.
Hakikat sanksi sebagai suatu paksaan berdasarkan hukum untuk
memberikan penyadaran kepada pihak yang melanggarnya, bahwa
suatu tindakan yang telah dilakukannya tersebut tidak sesuai dengan
suatu aturan hukum yang berlaku, dan untuk mengembalikan pihak
yang bersangkutan agar bertindak sesuai dengan aturan hukum yang
berlaku, guna menjaga keseimbangan berjalannya suatu aturan
hukum.
72
Tan Thong Kie, Op. cit., h. 50.
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
75
Sanksi yang ditujukan terhadap Notaris adalah sebagai upaya
penyadaran, bahwa Notaris dalam melakukan tugas jabatannya telah
melanggar ketentuan-ketentuan mengenai pelaksanaan tugas jabatan
Notaris sebagaimana tercantum secara tegas dalam UUJN, dan untuk
mengembalikan tindakan Notaris dalam melaksanakan tugas
jabatannya untuk tertib sesuai dengan UUJN. Pemberian sanksi
terhadap Notaris bertujuan untuk melindungi masyarakat dari
tindakan Notaris khususnya dalam menjalankan tugas jabatannya
yang dapat merugikan masyarakat. Sanksi tersebut bertujuan pula
untuk menjaga kehormatan dan martabat lembaga Notaris sebagai
lembaga kepercayaan, karena jika Notaris melakukan pelanggaran
tentunya dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap
Notaris itu sendiri.
Adapun sanksi terhadap Notaris diatur pada bagian akhir
UUJN, yaitu pada Pasal 84 dan Pasal 85 UUJN. Pasal 84 UUJN
menegaskan jika Notaris melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf i dan k, pasal 41, Pasal 44,
Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51 dan Pasal 52, maka akta yang
dibuat oleh Notaris yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan
pembuktian sebagai akta di bawah tangan ataupun bahkan suatu akta
menjadi batal demi hukum, dan hal tersebut dapat dijadikan alasan
bagi para penghadap yang menderita kerugian untuk menuntut
penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris. Tuntutan
para pihak terhadap Notaris tersebut berupa penggantian biaya, ganti
rugi dan bunga merupakan akibat yang akan diterima Notaris jika
akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian
sebagai akta dibawah tangan atau akta menjadi batal demi hukum.
Sanksi untuk memberikan ganti rugi, biaya dan bunga seperti dalam
Pasal 84 UUJN dapat dikategorikan sebagai sanksi perdata.
Pasal 85 UUJN menegaskan jika Notaris melanggar ketentuan
Pasal 7, Pasal 16 ayat (1) huruf a sampai dengan k, Pasal 17, Pasal
20, Pasal 27, Pasal 32, Pasal 37, Pasal 54, Pasal 58, Pasal 59
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
76
dan/atau Pasal 63 UUJN maka Notaris dapat dijatuhi sanksi berupa:
teguran lisan; teguran tertulis; pemberhentian sementara;
pemberhentian dengan hormat; dan pemberhentian tidak hormat.
2.4 Perbuatan Hukum oleh Pihak yang Terkait Perkara Pidana Melalui
Akta Notaris
2.4.1 Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor:
3641K/PDT/2001
MADEOKA MASAGUNG selaku Penguggat, adalah seorang
pengusaha di Jakarta, berdasarkan Laporan Kepolisian ia telah
ditahan dalam Rumah Tahanan (Rutan), sejak Mei 1997 sampai
dengan Desember 1997 oleh Kepolisian POLDA METRO JAYA,
dengan Surat Perintah Penangkapan Nomor
Pol.SPP/155/V/1997/Ditserse, tanggal 5 Mei 1997, disusul dengan
Surat Penahanan Nomor SPP/48/V/1997/Ditserse dari Kepolisian
dan diperpanjang oleh Kejaksaan Negeri serta Pengadilan Negeri,
karena sangkaan Tindak Pidana Korupsi Perbankan dan Pemalsuan.
Pada saat Penggugat berada di dalam tahanan tersebut, antara
bulan Oktober dan November 1997, seseorang membawa berkas
akta-akta Notaris di Jakarta datang ke rumah tahanan menemuinya,
agar Penggugat bersedia menandatangani Akta Notaris dan Akta
Pernyataan.
Akta-akta Notaris yang diminta untuk ditandatangani oleh
Penggugat tersebut berupa 3 (tiga) buah Akta Notaris yaitu :
a. Akta Notaris Nomor 41 tanggal 29 Oktober 1997; dan
b. Akta Notaris Nomor 42, tanggal 29 Oktober 1997;
Akta Notaris Nomor 41 memuat pernyataan bahwa Penggugat
masih mempunyai hutang kepada PT. BANK ARTHA GRAHA
selaku Tergugat I, yang belum diselesaikan seluruhnya berjumlah
Rp.215.837.382.000,- (duaratus limabelas milyar delapanratus
tigapuluh tujuh juta tigaratus delapanpuluh dua ribu rupiah), yang
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
77
ditentukan harus bayar kepada Tergugat I sebesar
Rp.100.000.000.000,- (seratus milyar rupiah), yaitu :
a. Sebesar 20 % atau Rp.20.000.000.000,- (duapuluh milyar
rupiah), akan dibayar tunai atau dengan penyerahan assetnya
atas milik pihak manapun yang oleh Tergugat dinilai memiliki
nilai ekonomis sebesar itu yang dilaksanakan selambat-
lambatnya 60 (enam puluh) hari, terhitung sejak dikabulkannya
penangguhan penahanan oleh yang berwajib.
b. Sebesar 80% atau Rp.80.000.000.000,- (delapanpuluh milyar
rupiah), akan dibayar seketika dan sekaligus dengan uang tunai
Rp.15.000.000.000,- (limabelas milyar rupiah), yang wajib
dilakukan selambat-lambatnya dalam jangka waktu 180 (seratus
delapanpuluh) hari terhitung sejak dikabulkannya permohonan
penangguhan penahanan.
Pada saat dalam tahanan tersebut, Penggugat diminta untuk
membuka rekening di PT. BANK ARTHA GRAHA bersamaan
dengan diajukannya Akta Notaris Nomor 41 untuk
ditandatanganinya, selanjutnya diminta untuk menandatangani 2
(dua) cheque PT. BANK ARTHA GRAHA masing-masing :
a. No. CA.574711, dengan nilai Rp.20.000.000.000,- (duapuluh
milyar rupiah)
b. No. CA.574712, dengan nilai Rp.15.000.000.000,- (limabelas
milyar rupiah)
Akta Notaris Nomor 42 merupakan penegasan dan perincian
ketentuan yang dibuat para Tergugat pada Akta Nomor 41 sepanjang
menyangkut Penggugat dengan mengkaitkan pihak lain yaitu
KETUT ABDURAHMAN MASAGUNG dan PUTRA
MASAGUNG sebagai orang yang menjamin (Penjamin) atas
utangnya kepada PT. BANK ARTHA GRAHA (Tergugat I).
Selain akta-akta tersebut diatas, telah dibuat dan
ditandatangani Akta Nomor 31, sebagai perubahan atas Akta Nomor
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
78
42, yang mengganti penjamin (borgtocht) pihak lain tersebut dengan
harta kekayaan Penggugat berupa:
a. Tanah 4.500 M2 di Permata Hijau, Blok A-5, 6 dan 7;
b. Apartemen Four Seaseon Park-Singapore Blok 2 Type D Nomor
25.01.50 Cuscaden Walk yang terdaftar atas nama Groschen
Ltd.
Penggugat dalam keadaan frustasi karena sedang ditahan di
Kepolisian tersebut, akhirnya menandatangani semua akta notaris
tersebut serta 2 (dua) buah cheque dengan janji dari PT. BANK
ARTHA GRAHA akan membantu untuk penangguhan dari
penahanan Kepolisian, dengan membuat surat permohonan kepada
Penyidik, Penuntut Umum dan Pengadilan yang isinya penahanan
atas Penggugat ditangguhkan dengan alasan PT. BANK ARTHA
GRAHA tidak dirugikan.
Harta Kekayaan Penggugat yang beralih kepada PT. BANK
ARTHA GRAHA akibat terbitnya Akta Nomor 41 dan Akta Nomor
42, berupa:
a. Tanah SHM No.639/Grogol Utara
b. Tanah SHM No.761/Grogol Utara
c. Tanah HGB No.1907/Grogol Utara
d. Tanah Hak Pakai seluas 312 M2 Permata Hijau
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang mengadili terdakwa,
dalam hal ini Penggugat, memberikan putusan: Terdakwa
dibebaskan dari dakwaan melakukan tindak pidana korupsi. Oleh
karena merasa dirugikan, maka Penggugat melalui kuasa hukumnya
mengajukan gugatan perdata terhadap para tergugat.
Dalam gugatannya, pihak Penggugat mengajukan Petitumnya
yang diantaranya adalah menyatakan Para Tergugat melakukan
Perbuatan Melawan Hukum dan membatalkan atau menyatakan batal
akta-akta yang telah ditandatangani Penggugat tersebut, antara lain
Akta Nomor 41 tanggal 29 Oktober 1997, Akta Nomor 42 tanggal 29
Oktober 1997, serta menyatakan tidak sah dan karenanya tidak
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
79
mengikat Penggugat atas Akta Nomor 31 tanggal 26 November
1997, yang seluruhnya dibuat dihadapan Notaris KOESBIONO
SARMANHADI, SH. Selain itu, Penggugat juga mengajukan
petitum yang menghukum Para Tergugat terkait untuk
mengembalikan harta Penggugat yang diambil.
Dengan adanya gugatan perdata tersebut di atas, pihak
Tergugat melalui Kuasa Hukumnya menanggapi gugatan tersebut
baik berupa eksepsi maupun materi pokok sengketa. Eksepsi yang
diajukan oleh Tergugat menyatakan, bahwa keberadaan Penggugat
dalam tahanan karena adanya sangkaan melakukan Tindak Pidana
Korupsi, tidak dapat dijadikan awal adanya “Perbuatan Melawan
Hukum” oleh Tergugat I (PT. BANK ARTHA GRAHA), pembinaan
para tahanan didalam Rutan/LP tidak memungkinkan Penggugat
berada dibawah tekanan, paksaan, ancaman, juga tidak mungkin
Tergugat IV selaku Notaris berprilaku negatif, ia menyadari setiap
proses pembuatan Akta.
Terhadap materi pokok perkara, Tergugat menyangkal dalil
gugatan Penggugat dengan menyatakan bahwa Akta-Akta dan Surat
Peryataan adalah tidak cacat hukum dan tetap sah serta berlaku asas
“pacta sunt servada”. Demikian pula dalil gugatan yang menyatakan
Para Tergugat telah melakukan “Perbuatan Melawan Hukum”
karenanya ditolak.
Majelis Hakim tingkat pertama yang mengadili perkara ini
dalam putusannya tertanggal 11 Mei 2000 Nomor:
442/Pdt.G/1999/PN.Jkt.Sel., memberi putusan yang amar pokoknya
menyatakan para Tergugat telah melakukan perbuatan melawan
hukum, menyatakan batal perjanjian dan/atau pernyataan akta-akta
Notaris yang dibuat oleh KOESBIONO SARMANHADI, SH,
Notaris di Jakarta, masing-masing yang termuat dalam akta-akta
Nomor 41, Nomor 42, dan Nomor 31 sepanjang mengenai
kepentingan dan harta kekayaan Penggugat terhitung saat dibuatnya
akta-akta tersebut, serta menyatakan para Tergugat untuk
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
80
mengembalikan harta Penggugat yang meliputi Tanah SHM
No.639/Grogol Utara, Tanah SHM No.761/Grogol Utara, Tanah
HGB No.1907/Grogol Utara, dan Tanah Hak Pakai seluas 312 M2
Permata Hijau.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memberikan
putusan tersebut dengan salah satu pertimbangannya adalah bahwa
kondisi Penggugat yang terampas kemerdekaannya dalam tahanan
yang berwajib, ia dalam keadaan yang terjepit itu, Penggugat diminta
Tergugat untuk menandatangani Akta-Akta Notaris, maka Tergugat
telah melakukan “misbruik van de omstandingheden”
(penyalahgunaan keadaan atau kesempatan), yang merupakan
pelanggaran tata krama dan kesusilaan yang mengakibatkan kerugian
orang lain. Selain itu terdapat fakta yang mengenai adanya cacat
kehendak atau cara memaksakan kehendak persetujuan yang disalah
gunakan, sesuai dengan Pasal 1321 dan Pasal 1324 KUHPerdata dan
dengan demikian, maka perjanjian atau pernyataan yang melibatkan
Penggugat dalam akta notaris mengandung cacat hukum dan
dinyatakan batal sejak penandatangan akta-akta notaris yang dibuat
dihadapan Tergugat IV (Notaris).
Tidak puas dengan putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan tersebut, para Tergugat mengajukan upaya hukum
banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta. Putusan Pengadilan Tinggi
Jakarta Nomor: 393/PDT/2000/PT.DKI membatalkan Putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tanggal 11 Mei 2000
No.442/Pdt.G/2000/PN.Jkt Sel, yang dimohonkan banding tersebut,
dengan beberapa pertimbangan diantaranya bahwa penyelesaian
masalah dalam Akta Nomor 41, Akta Nomor 42, dan Akta Nomor 31
tanggal 29 Oktober 1997 dilakukan oleh tim yang dibentuk oleh
Penggugat sendiri terdiri dari orang yang berintegritas tinggi, serta
Penggugat tidak berhasil membuktikan adanya paksaan dalam
pembuatan ketiga akta tersebut, sehingga dengan demikian adalah
akta-akta tersebut sah, termasuk perjanjian-perjanjian yang dibuat
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
81
yang didasarkan atas alasan hak dari akta-akta tersebut diatas adalah
sah juga.
Majelis hakim Mahkamah Agung yang mengadili perkara ini
dalam putusannya menilai bahwa putusan Pengadilan Tinggi salah
menerapkan hukum, sehingga putusan-putusan tersebut harus
dibatalkan dan Majelis Mahkamah Agung dalam Putusan Mahkamah
Agung Republik Indonesia No. 3641K/Pdt/2001 menyatakan para
Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum, menyatakan
batal perjanjian atau pernyataan Akta Nomor 41, Akta Nomor 42,
dan Akta Nomor 31 yang dibuat oleh KOESBIONO
SARMANHADI, SH. Notaris di Jakarta sepanjang mengenai
kepentingan dan harta kekayaan Penggugat terhitung saat dibuatnya
akta-akta tersebut, dan menghukum para Tergugat untuk
mengembalikan harta Penggugat.
2.4.2 Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor :
792K/Pdt/2002
JAYA SUPARMAN selaku Penggugat dengan Ir. WU KUO
WAH selaku Tergugat terdapat hubungan hukum kerja sama dalam
bidang usaha PT. BINTANG LAJU SENTOSA, yang didirikan oleh
Penggugat pada tanggal 18 Mei 1990 dihadapan Notaris IMAS
TARWIAH SUDRAJAT, SH. Nomor 3. Pada tanggal 1 September
1995 diadakan kerja sama antara Penggugat dan Tergugat, yang
dibuat dihadapan Notaris IMAS TARWIAH SUDRAJAT, SH.,
sesuai dengan risalah Rapat PT. BINTANG LAJU SENTOSA,
dengan akta Nomor 3 tertanggal 1 September 1995, yang
berdasarkan Akta tersebut, Penggugat adalah Direktur Utama,
Tergugat adalah Direktur Persero dan WAHYU ISKANDAR adalah
Presiden Komisaris, ketiganya adalah pemegang Saham dari
PT.BINTANG LAJU SENTOSA;
Pada bulan Agustus 1998, Penggugat dipanggil oleh
KAPOLRES BANDUNG untuk menghadap atas laporan Tergugat
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
82
karena menurut Tergugat, Penggugat telah melakukan Tindak Pidana
Penipuan dan Penggelapan atas pinjaman Penggugat kepada
Tergugat guna modal usaha PT. BINTANG LAJU SENTOSA.
Meskipun berkas perkara dikembalikan lagi oleh Kejaksaan
kepada Kepolisian, sehubungan dengan dasar bukti-buktinya tidak
cukup dalam tindak pidana tersebut, Penggugat dipanggil lagi dan
akhirnya ditahan di RUTAN Kls I KEBONWARU sejak tanggal 10
Juni 1999 s/d 18 Agustus 1999.
Pada saat Penggugat asli berada dalam tahanan terdapat Surat
dari Ketua Majelis Hakim Bale Bandung AYUB O. TAULO, SH.
No.292/Pid.B/1999/PN.BB, tertanggal 7 Agustus 1999 yang
ditujukan kepada Bapak Kepala Kejaksaan Negeri Bale Bandung,
bahwa Penggugat diizinkan (dibon) untuk menghadap Notaris
KIKIT WIRIANTI SUGANDA, SH selaku Turut Tergugat dalam
rangka menandatangani Akta Perjanjian Perdamaian atas dasar
peminjaman tahanan, hal mana Penggugat maupun isteri Penggugat
tidak pernah mengajukan permohonan untuk berdamai dan
menandatangani surat-surat untuk kepentingan tersebut. Dengan
demikian terbit Akta Perdamaian Nomor 18 tertanggal 7 Agustus
1999.
Mahkamah Agung dalam Putusan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor : 792 K/Pdt/2002 menyatakan Penggugat telah
ingkar janji atau melawan hukum dan menyatakan Penggugat
berhutang pada Tergugat dengan sisa hutang sebesar Rp.
100.000.000,- (seratus juta rupiah) dari jumlah hutang sebesar Rp.
165.420.429,- (seratus enampuluh lima juta empatratus duapuluh
ribu empatratus duapuluh sembilan rupiah), yang dengan kata lain,
Akta Perdamaian Nomor 18 tersebut tetap sah dan berlaku.
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
83
2.5 Keabsahan dan Kebatalan Suatu Perbuatan Hukum yang Dilakukan
oleh Pihak yang Terkait Perkara Pidana Melalui Akta Notaris
Setiap orang adalah subyek hukum (rechtspersoonlijkheid) yakni
pendukung hak dan kewajiban, tetapi tidak setiap orang cakap untuk
melakukan perbuatan hukum. Orang yang cakap untuk melakukan
perbuatan hukum adalah orang yang telah dewasa dan sehat akal pikirannya
serta tidak dilarang oleh suatu undang-undang untuk melakukan perbuatan-
perbuatan hukum tertentu.
Kedua kasus di atas menunjukkan bahwa para pihak yang terlibat
adalah subyek hukum yang telah dewasa dan cakap untuk melakukan
perbuatan hukum yang dituangkan dalam akta notaris. Namun yang menarik
pada kedua kasus tersebut adalah bahwa salah satu pihak dalam akta notaris
tersebut adalah subyek hukum yang sedang terkait perkara pidana dan
karenanya ditahan oleh pihak yang berwajib dengan sangkaan melakukan
tindak pidana.
Pada kasus pertama dengan Putusan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor: 3641K/PDT/2001, akta-akta notaris ditandatangani oleh
Penggugat yang sedang berada dalam tahanan karena adanya sangkaan
melakukan tindak pidana korupsi. Para Tergugat memberikan selipan
kalimat di dalam akta-akta tersebut mengenai akan ditangguhkannya
penahanan Penggugat yang telah terbukti dalam kasus ini memang benar
adanya surat permohonan dari Tergugat I kepada Kepolisian, Penuntut
Umum dan Pengadilan Jakarta Selatan untuk memohon penangguhan
penahanan terhadap Penggugat dengan alasan bahwa Penggugat tidak
merugikan pihak Pelapor dalam hal ini Tergugat I.
Pembuatan dan penandatanganan akta-akta notaris yang dilakukan
oleh Penggugat yang berada dalam tahanan dan Tergugat tetap mengacu
pada ketentuan-ketentuan yang diatur dalam KUHPerdata khususnya
mengenai syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320
KUHPerdata. Syarat cakap untuk melakukan perbuatan hukum dalam kasus
ini telah terpenuhi yaitu Penggugat telah dewasa, tidak dilarang oleh
undang-undang untuk melakukan perbuatan hukum tertentu dan Penggugat
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
84
memiliki kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terkait akta-akta
yang ditandatanganinya karena objek dari akta-akta tersebut adalah terkait
harta kekayaan Penggugat sendiri. Syarat mengenai suatu hal tertentu juga
telah terpenuhi yaitu dalam akta-akta tersebut disebutkan secara jelas dan
tegas mengenai objek perjanjian salah satu diantaranya adalah sebidang
tanah dengan sertipikat Hak Milik Nomor 639/Grogol Utara. Kedua syarat
sahnya perjanjian tersebut telah dipenuhi oleh para pihak yang
bersangkutan, namun berkaitan dengan syarat lainnya yaitu sepakat bagi
mereka yang mengikatkan dirinya menimbulkan keraguan apakah sepakat
tersebut diberikan oleh para pihak secara bebas atau tidak, serta syarat
mengenai suatu sebab yang halal.
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya mengandung makna
bahwa para pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak dan terdapat
persesuaian kehendak di antara mereka dengan tidak ada unsur paksaan,
kekeliruan dan penipuan. Pasal 1321 KUHPerdata menegaskan bahwa tidak
ada sepakat yang sah apabila sepakat tersebut diberikan karena kekhilafan,
atau diperolehnya dengan paksaan ataupun penipuan. Pasal 1323 dan Pasal
1324 KUHPerdata mengatur bahwa yang dimaksud dengan paksaan dalam
pembuatan perjanjian adalah kekerasan jasmani atau ancaman dengan
sesuatu yang diperbolehkan hukum yang menimbulkan ketakutan pada
seseorang sehingga ia membuat perjanjian.
Dalam kasus ini tidak terdapat kekerasan jasmani yang dialami
oleh Penggugat melainkan adanya keterpaksaan Penggugat dalam
menandatangani akta-akta tersebut karena adanya ketakutan yang timbul
jika Penggugat ditahan lebih lama oleh pihak yang berwajib. Ketakutan
Penggugat tersebut disadari oleh para Tergugat dan kemudian menggunakan
kesempatan tersebut untuk memberikan selipan kalimat di antara akta-akta
bahwa akan ditangguhkannya penahanan Penggugat. Pasal 1324
KUHPerdata menyatakan bahwa paksaan telah terjadi, apabila perbuatan itu
sedemikian rupa hingga dapat menakutkan seseorang yang berpikiran sehat,
dan apabila perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut
bahwa dirinya atau kekayaannya terancam dengan suatu kerugian terang dan
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
85
nyata. Suatu keterpaksaan (ketidakbebasan kehendak) juga harus dibuktikan
secara materiil dan pembuktian materiil tersebut harus memperhatikan pada
ada tidaknya unsur kerugian yang dialami oleh pihak yang
membuat/menandatanganinya sebagai akibat perjanjian tersebut. Hal ini
sejalan dengan apa yang terjadi kepada Penggugat yang dengan
keterpaksaan menandatangani akta-akta notaris yang berkaitan dengan suatu
hutang yang bukan merupakan hutang Penggugat melainkan hutang dari PT.
GUNUNG AGUNG GROUP yangmana hutang tersebut timbul pada saat
Penggugat masih menjadi pemilik dan pengurus atas perseroan tersebut.
Penandatanganan suatu akta notaris di dalam Rumah Tahanan yang
berisi suatu janji akan membayar suatu jumlah hutang yang bukan
hutangnya melainkan hutang pihak lain yaitu PT. GUNUNG AGUNG
GROUP hanya dapat dilakukan karena terpaksa atau dalam keadaan tidak
bebas. Keadaan seperti itu jelas dialami oleh Penggugat karena Penggugat
tidak hanya tidak bebas secara fisik tetapi juga secara psikis yaitu secara
fisik telah ditahan di rumah tahanan selama 7 (tujuh) bulan tanpa kepastian
untuk dibebaskan, sehingga tidak sempat berpikir secara jernih, dan
manakala Tergugat memberikan selipan kalimat di dalam akta-akta tersebut
mengenai akan ditangguhkannya penahanan Penggugat, Penggugat
senantiasa percaya dan menandatangani akta-akta tersebut tanpa menyadari
bahwa akta-akta tersebut berisi janji akan membayar suatu hutang yang
bukan merupakan hutang pribadinya sendiri bahkan hingga membebankan
pula pada sejumlah harta kekayaan Penggugat untuk menjadi jaminan atas
pelunasan hutang yang dimaksud dalam akta-akta tersebut.
Dengan adanya selipan kalimat tersebut di atas telah jelas bahwa
Tergugat I juga telah melakukan penyalahgunaan keadaan dan kesempatan
yang merupakan pelanggaran tata krama dan kesusilaan yang berakibat
timbulnya kerugian bagi Penggugat. Tidak berimbangnya prestasi dan
kontra prestasi hanyalah salah satu indikator yang harus dibuktikan lebih
jauh apakah lahirnya suatu perjanjian itu didahului oleh adanya
penyalahgunaan keadaan. Harus dibuktikan bahwa ketidakseimbangan
prestasi tersebut terjadi karena adanya tekanan keadaan, yang oleh salah
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
86
satu pihak disalahgunakan. Tekanan keadaan dan ketidakseimbangan saja
juga tidak cukup, yang penting justru dibuktikan adanya penyalahgunaan
dari keadaan ekonomis atau psikologis.73
Oleh karena itu, perbuatan hukum yang dilakukan oleh Penggugat
yang terkait perkara pidana dalam kasus pertama adalah tidak sah sebab
tidak terpenuhinya salah satu syarat subyektif sahnya perjanjian dan oleh
karenanya Penggugat selaku salah satu pihak mengajukan pembatalan
terhadap akta-akta tersebut. Pembatalan (annullability, voidability) dipilih
bila semata-mata kepentingan salah satu pihak perlu dilindungi, dalam hal
ini kepentingan Penggugat.
Terkait syarat objektif sahnya suatu perjanjian yaitu adanya suatu
sebab yang halal tidak terpenuhi khususnya dalam pembuatan akta Nomor
41 yang ditandatangani oleh Penggugat, yang memuat pernyataan bahwa
Penggugat masih mempunyai pinjaman/hutang kepada Tergugat I.
Pembuatan akta tersebut tidaklah mempunyai suatu landasan sebab yang
halal karena hutang yang dimaksud dalam Akta Nomor 41 tersebut
bukanlah hutang pribadi Penggugat melainkan hutang PT. GUNUNG
AGUNG GROUP kepada Tergugat I pada saat Penggugat masih menjadi
pemilik saham dan pengurus perseroan tersebut. Pada 1 Februari 1994
terjadi jual beli saham PT. KOSGORO dan PT. TRIMUDA JAYA yang
merupakan bagian dari PT. GUNUNG AGUNG GROUP antara Penggugat
selaku pemilik dengan SUGIANTO KUSUMA dan PT. BINAJAYA
PADUKREASI (Tergugat V dan VI) selaku pembeli atas saham-saham
tersebut. Berdasarkan Perjanjian Jual Beli tertanggal 1 Februari 1994,
terhitung sejak beralihnya saham-saham PT. GUNUNG AGUNG GROUP
tersebut kepada Tergugat V dan VI yaitu pada tanggal 17 Desember 1993,
maka seluruh hutang PT. GUNUNG AGUNG GROUP telah beralih
seluruhnya kepada Tergugat V dan VI. Dengan demikian, sejak tanggal
peralihan tersebut, Penggugat tidak lagi menjadi pemilik saham dan
pengurus dari PT. GUNUNG AGUNG GROUP.
73
J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari perjanjian Buku I, (Bandung:
PT Citra Aditya Bakti, 2001), h. 322-323.
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
87
Baik Akta Nomor 41, Nomor 42 maupun Nomor 31 memuat
pernyataan bahwa Penggugat masih mempunyai hutang kepada Tergugat I,
dan atas sisa hutang tersebut terdapat jaminan perorangan yang selanjutnya
diubah dengan jaminan kebendaan berupa harta kekayaan Penggugat.
Pembuatan ketiga akta tersebut tentunya tidak didasari oleh alas hak adanya
hutang Penggugat kepada Tergugat I. Hutang yang dimaksud dalam ketiga
akta tersebut pada dasarnya merupakan hutang PT. GUNUNG AGUNG
GROUP kepada Tergugat I, dan oleh karenanya tidak ada satu alasan pun
yang dapat membebankan Penggugat atas hutang-hutang PT. GUNUNG
AGUNG GROUP termasuk pembebanan jaminan terhadap harta kekayaan
pribadi Penggugat karena Penggugat tidak lagi menjadi pemilik sekaligus
pengurus perseroan tersebut, meskipun lahirnya hutang dengan adanya
perjanjian pinjaman antara PT. GUNUNG AGUNG GROUP dengan
Tergugat I ketika Penggugat masih menjadi pemilik dan pengurus perseroan
tersebut.
Terkait kasus pertama ini, kepentingan Penggugat perlu dilindungi
karena terkait pengalihan sebagian besar harta kekayaan Penggugat tanpa
didasari alas hukum yang sah untuk itu yaitu untuk pelunasan hutang yang
bukan hutang Penggugat melainkan hutang perseroan dimana Penggugat
tidak lagi menjadi pemilik dan pengurus perseroan tersebut. Selain itu, akta-
akta yang telah ditandatangani Penggugat pun juga mengandung unsur
penyalahgunaan keadaan. Sejalan dengan hal tersebut, Mahkamah Agung
pun dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor:
3641K/PDT/2001 membatalkan akta-akta yang dibuat oleh para pihak
tersebut.
Lain halnya dengan kasus yang pertama, Mahkamah Agung dalam
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 792 K/Pdt/2002
tidak membatalkan akta perdamaian yangmana salah satu pihak dalam hal
ini Penggugat juga terkait perkara pidana dan ditahan oleh pihak berwajib.
Penggugat terbukti bersalah melakukan tindak pidana penipuan dan
penggelapan kekayaan serta tidak mempertanggungjawabkan keuangan
milik perusahaan, sebagaimana telah diputus dan telah berkekuatan hukum
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
88
tetap dengan putusan Pengadilan Negeri Bale Bandung tertanggal 18
Agustus 1999 No.292/Pid.B/1999/PN.BB.
Perjanjian Perdamaian adalah suatu perjanjian dengan mana kedua
belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang,
mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung atau mencegah timbulnya
suatu perkara. Perjanjian ini tidaklah sah, melainkan jika dibuat secara
tertulis, sebagaimana diatur dalam Pasal 1851 KUHPerdata. Dalam
perdamaian tersebut kedua belah pihak saling melepaskan sebagian tuntutan
mereka demi untuk mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung atau
untuk mencegah timbulnya suatu perkara. Dalam prakteknya suatu
perjanjian perdamaian adalah merupakan suatu akta karena perjanjian
tersebut sengaja dibuat oleh pihak-pihak yang bersangkutan untuk dijadikan
alat bukti dengan tujuan untuk menyelesaiakan sengketa. Dalam kasus ini,
perjanjian perdamaian yang tertuang dalam Akta Perdamaian Nomor 18 dan
ditandatangani oleh para pihak merupakan akta perdamaian dalam rangka
pelunasan hutang Penggugat selaku debitur kepada Tergugat selaku
kreditur.
Terkait salah satu syarat subyektif sahnya perjanjian yaitu
kesepakatan, dalam pembuatan Akta Perdamaian Nomor 18 tersebut telah
terjadi kesepakatan tanpa adanya paksaan, dalam arti yang ditentukan Pasal
1324 juncto Pasal 1859 KUH Perdata, dari para pihak untuk membuat dan
menandatangani akta tersebut, sebagaimana diperkuat dengan keterangan
saksi dibawah sumpah yang diajukan Tergugat. Dengan kata lain, dalam
pembuatan perjanjian tersebut tidak ada penyalahgunaan keadaan, karena
Penggugat masih dapat memilih untuk tidak membuat perjanjian tersebut.
Penggugat pun terbukti telah ingkar janji atau melawan hukum dan
Penggugat masih mempunyai sisa hutang yang wajib dibayar kepada
Tergugat, dan tidak terdapat satu alasan pun untuk membatalkan perjanjian
yang telah dibuat di antara kedua belah pihak. Selain itu, Penggugat pada
waktu penandatangan, tersebut walaupun dalam status penahanan, adalah
cakap menurut hukum untuk membuat perjanjian, karena ia tidak termasuk
sebagai orang yang tidak cakap sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1330
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
89
KUHPerdata. Perjanjian Perdamaian yang disepakati oleh kedua belah
pihak, tanpa ada paksaan dan para pihak cakap untuk membuat perjanjian,
meski salah satu pihak dalam status penahanan, perjanjian tersebut adalah
sah. Dengan kata lain, syarat sahnya perjanjian telah dipenuhi oleh para
pihak dan karenanya perbuatan hukum yang dilakukan oleh para pihak
adalah sah dan perjanjian yang telah dibuat di antara kedua belah pihak
berlaku sebagai undang-undang yang mengikat para pihak tersebut serta
tidak ada satu alasan pun yang dapat membatalkan atau tidak melaksanakan
perjanjian tersebut.
Keabsahan suatu perbuatan hukum salah satunya perjanjian tidak
terlepas dari ketentuan yang bersifat memaksa dalam Buku III KUHPerdata
khususnya Pasal 1320 KUHPerdata mengenai syarat sahnya perjanjian.
Ketentuan dalam pasal tersebut merupakan syarat mutlak yang harus
dipenuhi dalam membuat suatu perjanjian. Jika tidak terpenuhi seluruh
syarat sahnya suatu perjanjian, dapat menimbulkan akibat hukum antara lain
dapat dimintakan batalnya perjanjian yang sudah dibuat tersebut ke
pengadilan ataupun batal demi hukum perjanjian tersebut seolah-olah tidak
pernah dibuatnya perjanjian yang dimaksud.
Keempat syarah sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320
KUHPerdata, khususnya syarat subyektif, sama sekali tidak mengatur
mengenai status ataupun kedudukan subyek hukum selaku pihak yang
membuat perjanjian, melainkan lebih menegaskan mengenai adanya
kecakapan pihak dalam melakukan perbuatan hukum dan adanya kebebasan
dari para pihak untuk menyatakan sepakat dibuatnya perjanjian yang akan
mengikat para pihak layaknya undang-undang.
Pasal 1320 KUHPerdata mengatur bahwa salah satu syarat sahnya
perjanjian adalah bahwa para pihak adalah cakap untuk melakukan
perbuatan hukum. Para pihak yang melakukan perbuatan hukum dalam
kedua kasus diatas merupakan subyek hukum yang cakap untuk melakukan
perbuatan hukum meskipun salah satu pihak terkait perkara pidana dan
karenanya ditahan oleh pihak yang berwajib. Hal ini sering menimbulkan
keraguan bagi para Notaris manakala salah satu pihak, yang akan
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
90
melakukan perbuatan hukum meminta untuk dibuatkan akta notaris, terlibat
perkara pidana.
Sekalipun tersangka atau terdakwa berada dalam penahanan, bukan
berarti dapat diperlakukan sewenang-wenang. Penahanan sebagai upaya
paksa, tidak menghilangkan harkat martabat tahanan, dan tidak dapat
melenyapkan hak asasi yang melekat pada dirinya secara keseluruhan.
Dengan ditimpakan upaya paksa penahanan terhadap tersangka atau
terdakwa, hak asasinya telah dibatasi. Namun demikian sepanjang yang
berkenaan dengan hak asasi yang berhubungan dengan harkat martabat serta
hak yang perlu untuk melindungi kepentingan pribadinya tidak boleh
dikurangi, dan harus dijamin oleh hukum sekalipun dia berada dalam
penahanan. Hukum harus melindungi haknya untuk mendapat perlakuan
yang adil dan beradab, dan untuk mendapat kedudukan yang sederajat di
hadapan hukum.74
Perlindungan kepada tersangka atau terdakwa tersebut
juga meliputi pemberian jaminan bagi seseorang untuk tetap dapat
melakukan perbuatan hukum karena ia tidak akan kehilangan hak
keperdataannya dan tetap merupakan subyek hukum. Pasal 3 KUHPerdata
telah menyatakan dengan tegas bahwa “tiada suatu hukumanpun
mengakibatkan kematian perdata atau kehilangan segala hak perdata”. Hak
keperdataan seseorang hanya berakhir apabila ia meninggal dunia serta
dilarang oleh undang-undang untuk melakukan suatu perbuatan hukum
tertentu. Pasal 3 KUHPerdata ini menegaskan bahwa meskipun seseorang
selaku subyek hukum terkait perkara pidana dan bahkan mendapatkan
hukuman atas perbuatan pidananya tersebut tidak serta merta
menghilangkan hak dan kebebasan keperdataan orang yang bersangkutan.
Dengan adanya hukuman yang diterimanya, kebebasan pihak yang menjadi
terpidana tersebut menjadi terbatas termasuk kebebasan keperdataannya.
Hal ini berarti bahwa seorang terpidana yang telah dewasa dan cakap
sekalipun tetaplah merupakan subyek hukum yang dapat melakukan
perbuatan hukum melalui akta notaris sepanjang tidak dilarang oleh suatu
peraturan perundang-undangan tertentu.
74
M. Yahya Harahap, Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan
dan Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 197.
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
91
Hak seorang yang terkait perkara pidana untuk dapat melakukan
perbuatan hukum sejalan dengan beberapa asas yang diterapkan dalam
hukum perjanjian di Indonesia yaitu asas persamaan hukum, asas
keseimbangan, asas personalia, asas konsensualisme, dan asas kebebasan
berkontrak. Asas persamaan hukum menekankan adanya persamaan derajat
di antara para pihak dan mengharuskan para pihak untuk menghormati satu
sama lain, meskipun salah satu pihak terkait perkara pidana. Asas
keseimbangan menghendaki agar kedua belah pihak menghormati,
memenuhi dan melaksanakan perjanjian yang telah dibuatnya, dengan
mengutamakan pelaksanaan dengan itikad baik di antara para pihak. Asas
personalia menekankan bahwa setiap perbuatan yang dilakukan oleh pihak
yang terkait perkara pidana sekalipun sebagai subyek hukum pribadi yang
mandiri, akan mengikat diri pribadi tersebut, dan dalam lapangan perikatan
akan mengikat seluruh harta kekayaan yang dimilikinya secara pribadi. Hal
ini menegaskan bahwa walaupun salah satu pihak terkait perkara pidana dan
bahkan ditahan oleh pihak yang berwajib, tetap harus melaksanakan
perjanjian yang telah dibuatnya tersebut meskipun dalam keadaan yang
tidak bebas.
Salah satu perhatian terkait perbuatan hukum yang dilakukan pihak
terkait perkara pidana adalah apakah ia telah memenuhi syarat cakap untuk
melakukan perbuatan hukum. Orang yang cakap untuk melakukan
perbuatan hukum adalah orang yang telah dewasa dan sehat akal pikirannya
serta tidak dilarang oleh suatu undang-undang untuk melakukan perbuatan-
perbuatan hukum tertentu. Misalnya, putusan pernyataan pailit mengubah
status hukum seseorang menjadi tidak cakap untuk melakukan perbuatan
hukum, menguasai dan mengurus harta kekayaannya sejak putusan
pernyataan pailit diucapkan oleh pengadilan, sebagaimana juga dipertegas
dalam Pasal 1330 KUHPerdata juncto UU Kepailitan. Larangan tersebut
dalam rangka melindungi kreditor pada khususnya dan melindungi
masyarakat pada umumnya, untuk mencegah orang yang bersangkutan
mengalihkan harta kekayaannya sehingga tidak dapat membayar utang-
utangnya kepada seluruh kreditor.
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
92
Seandainya orang-orang yang tidak cakap bertindak melakukan
suatu perbuatan hukum, perbuatan hukum yang mereka lakukan dianggap
sah-sah saja atau tetap berlaku, sepanjang para pihak belum menuntut
pembatalan perbuatan hukum yang dilakukan kepada hakim pengadilan. Ini
berarti ketidakcakapan mereka bertindak dalam melakukan perbuatan
hukum tidak menyebabkan perbuatan hukum yang mereka lakukan menjadi
batal dengan sendirinya, namun harus dimintakan pembatalan terlebih
dahulu kepada hakim pengadilan.75
Ketentuan dalam Pasal 1331
KUHPerdata menyatakan bahwa para pihak yang tidak cakap melakukan
perbuatan hukum tetapi terlanjur melakukan perbuatan hukum dapat saja
menuntut pembatalan perikatan-perikatan yang telah mereka lakukan
kepada hakim pengadilan. Oleh karena itu, apabila para pihak meminta
Notaris untuk membuatkan akta perihal suatu perbuatan hukum, Notaris
harus cermat dan teliti terutama dalam menilai kecakapan seseorang
dikaitkan dengan Pasal 1330 KUHPerdata, terutama apabila pihak yang
bersangkutan terkait perkara pidana.
Berbeda halnya dengan UU Kepailitan, baik Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana selanjutnya disingkat dengan KUHPidana maupun Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana selanjutnya
dalam tesis ini disebut KUHAP, tidak mengatur secara khusus mengenai
hak-hak yang dimiliki pihak yang terkait perkara pidana baik dalam
statusnya sebagai tersangka, terdakwa ataupun terpidana untuk membuat
akta yang berhubungan dengan perbuatan hukum yang akan dilakukannya.
Sama halnya dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi maupun Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 2003 tidak diatur secara khusus mengenai perihal
tersebut.
Penghormatan harkat dan martabat manusia telah diatur dalam
KUHPidana. Namun demikian, dalam beberapa hal pengaturannya masih
75
Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 85.
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
93
belum memberikan perlindungan hukum terhadap hak asasi manusia, salah
satunya terhadap hak asasi tersangka dan terdakwa dalam penahanan
terutama dalam pembuatan akta notaris. Adapun mengenai hak-hak seorang
tersangka ataupun terdakwa diatur secara tegas dalam Pasal 50 sampai
dengan Pasal 68 KUHAP, antara lain:
a. Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan,
tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara
bebas kepada penyidik atau hakim (Pasal 52);
b. Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak
mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat
hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat
pemeriksaan (Pasal 54);
c. Tersangka atau terdakwa berhak menghubungi dan menerima
kunjungan dari pihak yang mempunyai hubungan
kekeluargaan atau lainnya dengan tersangka atau terdakwa
guna mendapatkan jaminan bagi penangguhan penahanan
ataupun untuk usaha mendapatkan bantuan hukum (Pasal 60);
d. Tersangka atau terdakwa berhak secara langsung atau dengan
perantaraan penasihat hukumnya menghubungi dan menerima
kunjungan sanak keluarganya dalam hal yang tidak ada
hubungannya dengan perkara tersangka atau terdakwa untuk
kepentingan pekerjaan atau untuk kepentingan kekeluargaan
(Pasal 61); dan hak-hak lainnya.
KUHAP tidak mengatur secara khusus mengenai hak seorang yang terkait
perkara pidana untuk dapat meminta dibuatkan akta Notaris terkait
perbuatan hukum yang akan dilakukannya. Namun demikian, Pasal 60
juncto Pasal 61 KUHAP dapat diterapkan manakala seseorang yang terkait
perkara pidana baik sebagai tersangka maupun sebagai terdakwa meminta
kepada Notaris untuk dibuatkan suatu akta terkait perbuatan hukum yang
akan dilakukannya. Pasal 60 KUHAP menegaskan adanya hak bagi
tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan bantuan hukum, termasuk
diantaranya bantuan hukum yang dapat diperoleh dari seorang Notaris
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
94
terutama dalam membuat akta otentik terkait perbuatan hukum yang
bersangkutan. Pasal 61 KUHAP juga menekankan bahwa meskipun
seseorang terkait perkara pidana dan berstatus sebagai tersangka ataupun
sebagai terdakwa, seseorang tetap dapat menjalin komunikasi dengan pihak
lain untuk kepentingan pekerjaan ataupun untuk kepentingan keluarganya
dalam hal yang tidak ada hubungannya dengan perkara tersangka atau
terdakwa. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa KUHAP secara tersirat
juga menjamin hak-hak tersangka ataupun terdakwa dalam meminta Notaris
untuk dibuatkan akta otentik terkait perbuatan hukum yang dilakukannya,
dengan batasan tidak ada hubungan antara perbuatan hukum yang dilakukan
dengan perkaranya.
Sejalan dengan Pasal 61 KUHAP, Pasal 12 ayat (1) huruf g
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi menyatakan bahwa dalam melaksanakan tugasnya,
Komisi Pemberantasan Korupsi, selanjutnya dalam tesis ini disebut KPK,
berwenang untuk menghentikan sementara suatu transaksi keuangan,
transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara
perizinan, lisensi serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka
atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada
hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa
terhadapnya. Tersangka atau terdakwa yang diduga melakukan tindak
pidana korupsi tidak dapat melakukan perbuatan hukum yang ada
keterkaitannya dengan perkara yang sedang diperiksa terhadapnya,
termasuk perjanjian yang sudah dibuat pun tetap dapat dihentikan sementara
oleh KPK.
Hal ini merupakan bentuk penyimpangan terhadap Pasal 3
KUHPerdata yang menjamin tiada suatu hukumanpun yang dapat
menghilangkan hak perdata, akan tetapi hak keperdataan yang dimiliki
seorang pihak yang terkait perkara pidana menjadi dibatasi khususnya
dalam melakukan perbuatan hukum yang ada kaitannya dengan perkara
pidana yang sedang diperiksa terhadapnya.
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
95
Meskipun KPK berwenang untuk menghentikan suatu perjanjian
yang diduga ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa,
namun Pasal 19 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
mengakomodir perlindungan terhadap pihak ketiga yang beritikad baik,
yaitu dengan memungkinkan pihak ketiga untuk mengajukan keberatan
apabila hak-hak pihak ketiga tersebut akan dirugikan dengan adanya
putusan pengadilan mengenai perampasan barang-barang terkait perkara.
Perlindungan terhadap pihak ketiga yang beritikad baik ini sangatlah
penting karena juga melindungi kepentingan seluruh masyarakat, sekaligus
menjamin kepastian dan penegakan hukum di Indonesia.
Selain cakap untuk melakukan perbuatan hukum, kesepakatan atau
sepakat bagi mereka yang mengikatkan dirinya juga menjadi syarat penting
untuk sahnya suatu perjanjian. Pentingnya kata sepakat atau persesuaian
kehendak diantara para pihak yang membuat perjanjian merupakan bentuk
riil dari asas konsensualisme yang berlaku dalam hukum perjanjian. Notaris
sebagai Pejabat Umum yang satu-satunya berwenang membuat akta otentik
harus cermat dan teliti untuk melihat apakah terdapat kesepakatan atau
sepakat diantara para pihak yang melakukan perbuatan hukum yang akan
dituangkan melalui akta yang dibuatnya. Kesepakatan ini penting karena
terkait Pasal 1321 KUHPerdata yang menyatakan bahwa tiada sepakat yang
sah apabila sepakat itu diberikan karena khilapan atau diperoleh dengan
paksaan atau penipuan.
Kesepakatan para pihak juga sangat berkaitan erat dengan asas
kebebasan berkontrak yang diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata. Asas
kebebasan berkontrak tidaklah bersifat mutlak, dan sering terjadi dalam
praktek bahwa kedudukan para pihak dalam keadaan yang tidak seimbang
sedemikian rupa, sehingga salah satu pihak dianggap tidak bebas untuk
menyatakan kehendaknya dan seolah-olah perjanjian tersebut terjadi secara
sepihak. Seseorang dalam kapasitasnya sebagai subyek hukum pribadi
meskipun sedang terkait perkara pidana tetap dapat mempunyai kebebasan
individu untuk ikut serta menentukan dan menyampaikan kehendak
bebasnya untuk selanjutnya dengan kehendak bebas yang dimilikinya pula
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
96
menyetujui suatu perjanjian yang telah dibuatnya sepanjang tidak ada
hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa terhadapnya. Suatu
perjanjian yang dibuatnya tersebut hanya akan berlaku dan mengikat untuk
dirinya sendiri. Dalam hal seseorang tidak menjadi pihak dalam suatu
perjanjian, maka ia tidak terikat dengan perjanjian tersebut.
Berdasarkan yang telah diuraikan di atas, keabsahan perbuatan
hukum yang dilakukan oleh seseorang yang terkait perkara pidana erat
kaitannya dengan syarat subyektif sahnya perjanjian, sehingga hal-hal yang
berhubungan dengan syarat-syarat sahnya perjanjian pada umumnya harus
dikuasai dengan baik oleh seorang Notaris, terutama yang berhubungan
dengan kewenangan bertindak para pihak untuk membuat suatu perjanjian,
sebab apabila syarat ini tidak dipenuhi maka perjanjian yang dibuat dapat
dibatalkan. Selain itu, keabsahan perbuatan hukum tersebut juga erat
kaitannya dengan syarat obyektif sahnya perjanjian khususnya mengenai
adanya kausa atau sebab yang halal untuk melakukan perbuatan hukum
yang dimaksud. Dalam hal yang demikian, Notaris harus senantiasa berhati-
hati, seksama dan mengedepankan integritas jabatannya dalam menilai
apakah para pihak melakukan perbuatan hukum tersebut dengan itikad baik
atau tidak, termasuk cermat terhadap motif para pihak yang melakukan
perbuatan hukum tersebut agar jangan sampai perbuatan hukum tersebut
justru merupakan perbuatan hukum yang dilarang oleh undang-undang
untuk dilakukan. Sebagai contoh, seorang terpidana tindak pidana korupsi
dilarang untuk melakukan perbuatan hukum apapun yang mempunyai
tujuan baik langsung maupun tidak langsung untuk mengalihkan harta
kekayaannya yang berindikasi hasil tindak pidana korupsi. Jika ternyata
Notaris yang bersangkutan tidak cermat terhadap ada atau tidaknya kausa
yang halal atas suatu perbuatan hukum, akan berakibat batal demi hukum
akta yang dimaksud, dan nama baik Notaris yang bersangkutan pun
dipertaruhkan.
Suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh pihak yang terkait
perkara pidana ataupun tidak tetap mengacu pada ketentuan dalam
KUHPerdata khususnya ketentuan mengenai syarat sahnya perjanjian dan
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
97
berlaku pula asas kebebasan berkontrak sebagaimana diatur dalam Pasal
1338 KUHPerdata. Tidak ada perbedaan yang khusus perihal status subyek
hukum yang melakukan perbuatan hukum baik yang sedang terkait perkara
pidana maupun tidak. Dalam hal ini, Notaris harus bersikap cermat,
seksama, adil terutama dalam melindungi kepentingan para pihak agar
seimbang dan menjamin kepastian hukum, serta melindungi kepentingan
pihak ketiga yang beritikad baik termasuk melindungi kepentingan
kehormatan dan martabat jabatan Notaris yang bersangkutan.
2.6 Implikasi Hukum Terhadap Keabsahan Suatu Perbuatan Hukum dan
Tanggung Jawab Notaris dimana Salah Satu Pihak Terkait Perkara
Pidana
Sebagaimana telah diuraikan di atas, meskipun seseorang terkait
perkara pidana namun ia tetaplah merupakan subyek hukum yang diakui
kedudukannya dan mempunyai persamaan dengan subyek hukum lainnya di
mata hukum. Ia sebagai subyek hukum juga tetap dapat melakukan
perbuatan hukum meskipun ia terkait perkara pidana dan bahkan ditahan
oleh pihak yang berwajib dengan syarat ia telah cakap dan memang ia
berwenang untuk melakukan perbuatan hukum yang dimaksud. Hal ini
sejalan dengan Pasal 3 KUHPerdata yang menegaskan bahwa hak
keperdataan seseorang hanya dapat berakhir ketika ia meninggal dunia atau
secara khusus dilarang oleh undang-undang untuk melakukan suatu
perbuatan hukum tertentu. Dengan demikian, setiap orang bahkan seorang
tersangka ataupun terdakwa sekalipun tetap dapat melakukan hak-hak
keperdataan namun sifatnya terbatas. Salah satu contoh pembatasan
pelaksanaan hak keperdataan seorang tersangka atau terdakwa adalah bahwa
seorang tersangka ataupun seorang terdakwa tidak boleh melakukan
perbuatan hukum yang berkaitan dengan perkara yang sedang dijalaninya.
Pembatasan tersebut sejalan dengan apa yang diatur dalam Pasal 61
KUHAP.
Status seorang subyek hukum sebagai seorang tersangka ataupun
terdakwa tidaklah mempengaruhi syarat sahnya perjanjian yang
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
98
dilakukannya, karena dalam Pasal 1320 KUHPerdata tidak diatur secara
tegas mengenai kedudukan dan status pihak yang membuat perjanjian. Pasal
1320 KUHPerdata mengatur secara tegas dan terbatas (limitatif) mengenai
syarat sahnya perjanjian pada 4 (empat) elemen yaitu cakap seorang yang
membuat perjanjian, adanya kata sepakat di antara para pihak, adanya suatu
hal tertentu dan adanya sebab yang halal. Keempat syarat tersebut tidak
menekankan pada status pihak dalam perjanjian, dengan demikian jika suatu
perjanjian yangmana salah satu pihak sedang terkait perkara pidana dan
dikenakan penahanan tetap dibuat dengan memperhatikan dan memenuhi
keempat syarat sahnya perjanjian tersebut, maka tidak ada alasan apapun
yang dapat meminta dibatalkan atau batal demi hukum perjanjian yang
dimaksud. Oleh karena itu, perjanjian yang dibuat tersebut adalah sah dan
harus dilaksanakan secara penuh untuk kepentingan kedua belah pihak
secara berimbang.
Dalam kasus pertama, perbuatan hukum yang dilakukan oleh
Penggugat yang terkait perkara pidana terbukti tidak dilakukan secara bebas
melainkan terindikasi adanya penyalahgunaan keadaan yang dilakukan oleh
Tergugat sehingga dengan demikian perbuatan hukum tersebut adalah tidak
sah dan tidak mengikat para pihak khususnya Penggugat. Selain itu, timbul
pula implikasi hukum terhadap akta-akta yang telah dibuat dihadapan
Koesbiono Sarmanhadi, SH selaku Notaris yaitu terhadap akta-akta Notaris
yang berkaitan dengan perbuatan hukum dalam kasus ini adalah menjadi
tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan pembuktian sebagaimana layaknya
akta otentik pada umumnya yang mempunyai kekuatan pembuktian yang
sempurna. Oleh karena itu, baik perbuatan hukum maupun akta-akta notaris
yang berkaitan dengan perbuatan hukum tersebut menjadi tidak sah
sekaligus tidak mengikat kedua belah pihak, termasuk pihak ketiga yaitu
masyarakat. Bagi pihak yang merasa dirugikan, dalam hal ini khususnya
Penggugat, dapat menggugat Notaris secara perdata dan menuntut biaya,
ganti rugi dan bunga, sebagai salah satu bentuk tanggung jawab Notaris
dalam menjalankan tugas jabatannya khususnya tanggung jawab terhadap
akta yang telah dibuatnya.
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
99
Hal tersebut berbeda dalam kasus kedua yaitu perbuatan hukum
yang dilakukan oleh pihak terkait perkara pidana tetaplah sah karena
terbukti bahwa Penggugat telah ingkar janji atau melawan hukum, dan
Penggugat masih berhutang pada Tergugat, sehingga Akta Perdamaian
Nomor 18 yang ditandatangani oleh Penggugat yang sedang terkait perkara
pidana dan dikenakan penahanan tersebut tetap sah dan berlaku di antara
para pihak. Oleh karena itu, timbul 3 (tiga) unsur akibat atas sahnya Akta
Perdamaian tersebut, antara lain:
a. Berlaku sebagai undang-undang
Akta Perdamaian tersebut mempunyai kekuatan mengikat dan
memaksa serta memberi kepastian hukum baik kepada
Penggugat selaku debitor maupun Tergugat selaku kreditor.
Para pihak harus mentaati Akta Perdamaian tersebut sama
halnya dengan mentaati undang-undang. Jika ada pihak yang
melanggar perjanjian sebagaimana tertuang dalam Akta
Perdamaian Nomor 18, maka ia dapat dituntut dan diberi
hukuman seperti yang ditetapkan dalam undang-undang,
khususnya dalam perjanjian.
b. Tidak dapat ditarik kembali secara sepihak
Oleh karena Akta Perdamaian tersebut merupakan persetujuan
kedua belah pihak, maka jika akan ditarik kembali atau
dibatalkan adalah wajar jika disetujui oleh kedua belah pihak,
tetapi apabila ada alasan yang cukup menurut undang-undang,
perjanjian dapat ditarik kembali atau dibatalkan secara sepihak.
c. Pelaksanaan dengan itikad baik (good faith)
Oleh karena Akta Perdamaian Nomor 18 dinyatakan tetap sah
dan berlaku, maka Penggugat dengan itikad baik berkewajiban
memenuhi prestasinya termasuk membayar sisa hutangnya
kepada Tergugat. Kewajiban pelaksanaan dengan itikad baik ini
sangatlah penting karena para pihak telah menggunakan haknya
untuk menerapkan asas kebebasan berkontrak dalam membuat
Akta Perdamaian tersebut sehingga sudah selayaknya jika para
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
100
pihak wajib melaksanakan dengan itikad baik akta tersebut
dalam rangka melindungi kepentingan para pihak yang
bersangkutan dan melindungi pihak ketiga yang beritikad baik
termasuk masyarakat.
Suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak haruslah mempunyai
kebebasan dalam berkehendak terutama untuk menyetujui perjanjian yang
dibuat itu, sebagai salah satu syarat sahnya perjanjian khususnya tentang
adanya kata sepakat, terutama dengan adanya itikad baik dari para pihak
yang membuatnya. Hal tersebut sejalan dengan Pasal 1338 ayat (3) juncto
Pasal 1339 KUHPerdata yang menyatakan bahwa perjanjian harus
dilaksanakan dengan itikad baik dan perjanjian tidak hanya mengikat
terhadap apa yang secara tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga kepada
segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan,
kebiasaan atau undang-undang. Pasal-pasal tersebut merupakan sebagian
kecil dari pembatasan dari suatu perjanjiaan atau persetujuan.
Itikad baik ini sangatlah penting terutama dalam melindungi para
pihak dalam perjanjian pada khususnya dan melindungi masyarakat pada
umumnya. Tanpa adanya penerapan itikad baik ini, suatu perjanjian dapat
dikatakan tidaklah terlaksana dengan baik, dan akan menimbulkan kerugian
pada salah satu pihak dalam perjanjian.
Untuk meminimalisir kemungkinan terjadinya kerugian bagi salah
satu pihak dalam perjanjian termasuk jika salah satu pihak terkait perkara
pidana, para pihak pada umumnya meminta kepada Notaris untuk dibuatkan
akta otentik terkait perbuatan hukum yang dilakukan. Hal ini berkaitan erat
dengan tugas Notaris yang utama dan pada pokoknya yaitu membuat akta-
akta otentik yang berfungsi sebagai alat bukti terkuat dan terpenuh yang
mempunyai peranan penting dalam hubungan hukum dalam kehidupan
bermasyarakat. Di dalam pembuatan akta-akta otentik tersebut, Notaris
mempunyai peranan yang sangat penting, yaitu melayani kepentingan
umum terutama dalam hal pelayanan hukum pembuatan akta-akta otentik
mengenai hubungan keperdataan yang terjadi diantara mereka.
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
101
Salah satu kewajiban Notaris sebagai Pejabat Umum adalah bahwa
Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya dalam hal ini khususnya dalam
pembuatan akta otentik berkewajiban untuk bertindak jujur, saksama,
mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam
perbuatan hukum, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 16 UUJN. Terkait
kasus yang pertama, KOESBIONO SARMANHADI, SH telah tidak
menjalankan kewajibannya sebagaimana ditegaskan dalam UUJN terutama
dalam hal ketidakcermatan Notaris tersebut dalam memeriksa alas hak yang
melandasi pembuatan ketiga akta yang disengketakan, terutama bahwa
pembuatan ketiga akta tersebut tidak dilandasi oleh adanya hutang
Penggugat terhadap Tergugat I, melainkan dilandasi oleh hutang suatu
perseroan yang pernah dimiliki dan diurus oleh Penggugat sebelum saham-
saham perseroan yang dimaksud dialihkan kepada Tergugat V dan VI.
Dengan beralihnya saham-saham yang dimiliki Penggugat kepada Tergugat
V dan VI, maka seluruh hutang perseroan juga telah beralih seluruhnya
kepada Tergugat V dan VI selaku pembeli. Oleh karena itu, pembuatan Akta
Nomor 41, Nomor 41, dan Nomor 31 tidaklah didasari alas hak yang sah,
termasuk pembebanan jaminan terhadap harta kekayaan Penggugat pun juga
tidak sah. KOESBIONO SARMANHADI, SH. sebagai Notaris yang
membuatkan ketiga akta tersebut jelas tidaklah cermat dalam menjalankan
tugas jabatannya, sekaligus tidak menjaga kepentingan para pihak
khususnya dalam hal ini kepentingan Penggugat yang pada dasarnya tidak
memiliki kewajiban untuk membayar sisa hutang yang dimaksud oleh
Tergugat I, dan bahkan membebankan harta kekayaannya Penggugat
sebagai jaminan pelunasan hutang tersebut. Terhadap tindakan Notaris
KOESBIONO SARMANHADI, SH. dapat dikenai Pasal 85 UUJN yang
dapat berupa teguran lisan; teguran tertulis; pemberhentian sementara;
pemberhentian dengan hormat; dan pemberhentian tidak hormat. Selain itu,
terhadap akta Nomor 41, Nomor 41, dan Nomor 31 tersebut menjadi tidak
sah dan dibatalkan sepanjang mengenai kepentingan dan harta kekayaan
Penggugat terhitung sejak dibuatnya akta-akta tersebut.
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
102
Berbeda halnya dengan Notaris yang membuatkan Akta
Perdamaian Nomor 18 dalam kasus yang kedua. KIKIT WIRIANTI
SUGANDA, SH telah menjalankan tugas jabatannya sebagaimana
diamanatkan dalam UUJN, khususnya kewajiban untuk bertindak jujur,
saksama, mandiri, tidak berpihak serta menjaga kepentingan para pihak
yang terkait. KIKIT WIRIANTI SUGANDA, SH membuat Akta
Perdamaian dengan dilandasi alas hak yang sah yaitu adanya hutang
Penggugat terhadap Tergugat sebagaimana diperkuat dengan putusan
perkara pidana yang dijatuhkan terhadap Penggugat. Dengan sikap jujur,
mandiri serta kecermatan KIKIT WIRIANTI SUGANDA, SH, para pihak
baik Penggugat maupun Tergugat terlindungi kepentingannya terutama
dalam rangka pelunasan hutang yang dimaksud dalam Akta Perdamaian
Nomor 18 tersebut, yaitu bahwa Penggugat selaku debitur terlindungi yaitu
dengan hanya membayar sisa jumlah hutang yang menjadi kewajibannya
tersebut dan Tergugat selaku kreditur terlindungi dengan adanya janji akan
dibayarnya sisa jumlah hutang oleh Penggugat.
Sesuai dengan perkembangan jaman, institusi Notaris telah menjadi
bagian dari masyarakat Indonesia, dan dengan lahirnya UUJN semakin
meneguhkan institusi Notaris dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat, Notaris tidak boleh membeda-
bedakan satu dengan yang lainnya berdasarkan keadaaan sosial-ekonomi
atau alasan lainnya. Alasan-alasan seperti keadaan sosial-ekonomi atau
alasan apapun lainnya tidak dibenarkan untuk dilakukan oleh Notaris dalam
melayani masyarakat, melainkan hanya alasan hukum sajalah yang dapat
dijadikan dasar bahwa Notaris dapat tidak memberikan jasa kepada yang
menghadap Notaris. Bahkan dalam keadaan tertentu, Notaris wajib
memberikan jasa hukum di bidang kenotariatan secara cuma-cuma kepada
yang tidak mampu, sebagaimana diatur dalam Pasal 37 UUJN. Hal ini
dikarenakan Notaris wajib melakukan perintah tugas jabatannya sesuai
dengan isi sumpah pada waktu hendak menerima/memangku jabatan
Notaris. Batasan seorang Notaris dikatakan mengabaikan tugas dan
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
103
kewajiban jabatan, apabila Notaris tidak melakukan perintah imperatif
Undang-Undang yang dibebankan kepadanya.
Seorang Notaris juga berkewajiban untuk memberikan penyuluhan
dan nasehat hukum serta memberikan penjelasan mengenai peraturan
perundang-undangan yang berlaku kepada pihak yang datang kepadanya.
Sebelum para pihak menuangkan kehendaknya dalam akta, Notaris harus
terlebih dahulu memberikan nasihat seperlunya kepada para pihak, antara
lain mengenai syarat-syarat yang harus dilengkapi untuk keperluan
pembuatan akta tersebut serta mengenai siapa yang boleh menurut hukum
sehubungan dengan akta yang hendak dibuatnya dengan mengingat bahwa
ketidakcakapan seseorang untuk melakukan perbuatan hukum dapat pula
disebabkan oleh undang-undang yang melarang seseorang tersebut untuk
melakukan perbuatan hukum tertentu. Notaris juga harus mempunyai
keyakinan mengenai kemampuan dan kewenangan masing-masing pihak
yang melakukan perbuatan hukum tersebut.
Apabila para pihak dalam akta notaris memasukkan pengertian
yang kurang tepat atau mempunyai arti ganda sehingga mudah
mengakibatkan terjadinya sengketa hukum, atau tidak mempunyai akibat
hukum, atau dapat diperkirakan dengan jelas bahwa suatu ketentuan
bermaksud untuk menguntungkan salah satu pihak yang mengadakan
perjanjian, maka Notaris harus mengemukakannya kepada para pihak
tentang keberatan-keberatan itu dan memberitahukannya secara layak.
Dalam hal para pihak tetap pada ketentuannya, maka Notaris harus
melaksanakannya, tetapi dengan mencantumkan secara tegas tentang
keberatan-keberatan yang telah diajukannya.76
Terkait kewajiban memberikan penyuluhan hukum tersebut,
Notaris merupakan pihak yang netral dan tidak membela kepentingan pihak
manapun. Hal ini juga merupakan salah satu bentuk tanggung jawab seorang
Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya sebagai pengemban
kepercayaan masyarakat, dengan mengingat bahwa otoritas Notaris
diberikan oleh Undang-Undang dalam rangka untuk pelayanan kepentingan
76
R. Soegondo Notodisoeryo, Op.cit., h.60.
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
104
publik, dan bukan untuk kepentingan diri pribadi Notaris yang
bersangkutan.
Notaris dilarang untuk menolak memberikan pelayanan hukum
kepada masyarakat khususnya pihak yang meminta dibuatkan akta tersebut,
maka secara garis besar notaris dapat menjalankan tugas jabatannya untuk
membuat akta yang berisi kehendak pihak yang datang kepada notaris,
meskipun salah satu pihak sedang terkait perkara pidana, sebagai contoh
Notaris dapat membuat akta wasiat yang diminta untuk dibuatkan oleh
seorang terpidana sekalipun. Namun demikian, Notaris tetap harus
menjalankan tugas jabatannya dengan mengedepankan prinsip kehati-hatian
terutama dalam melihat dan menilai apakah para pihak adalah memang
berwenang untuk melakukan perbuatan hukum yang dimaksud dan apakah
tidak ada peraturan perundang-undangan yang melarang para pihak
khususnya bagi pihak yang terkait perkara pidana untuk melakukan
perbuatan hukum yang dimaksud tersebut. Notaris juga harus sangat
berhati-hati, teliti, seksama dan menggunakan hati nurani dalam menilai
kondisi jasmani dan rohani pihak yang meminta dibuatkan akta, apakah ia
dalam kondisi yang sehat dan memungkinkan untuk dibuatkan akta atas
perbuatan hukum yang dilakukannya atau tidak. Kondisi jasmani dan rohani
pihak yang meminta dibuatkan akta tersebut akan sangat berpengaruh
terhadap unsur kesadaran dalam kebebasan menyatakan kehendak dan unsur
sepakat yang diperlukan sebagai syarat sahnya perjanjian. Dengan kata lain,
Notaris juga harus peka terhadap kondisi psikis para pihak yang meminta
dibuatkan akta, guna melindungi kepentingan para pihak yang bersangkutan
di kemudian hari sekaligus guna melindungi kepentingan jabatan Notaris
sendiri.
Dalam pembuatan akta mengenai perbuatan hukum yang dilakukan
pihak terkait perkara pidana tetap mengacu pada UUJN, salah satunya
adalah mengenai daerah jabatan notaris. Notaris hanya bisa menjalankan
tugas dan jabatannya di daerah hukum yang telah ditentukan kepadanya dan
hanya di daerah itulah Notaris berwenang untuk memberikan pelayanan
hukum pada masyarakat khususnya dalam pembuatan akta otentik. Oleh
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
105
karena itu, meskipun salah satu pihak sedang terkait perkara pidana dan
berada dalam tahanan, Notaris tetap dapat membuatkan akta yang diminta
oleh para pihak meskipun tidak dilakukan di kantor Notaris yang
bersangkutan asalkan masih dalam wilayah jabatannya. Hal ini untuk
memudahkan salah satu pihak yang terkait perkara pidana dengan
terbatasnya kebebasan yang dimilikinya untuk memperoleh bantuan hukum
berupa pembuatan akta notaris terkait perbuatan hukum yang akan
dilakukannya. Apabila suatu akta telah dibuat oleh notaris yang tidak
berwenang di tempat dimana akta itu dibuat, akta tersebut menjadi tidak
otentik dan hanya masih mempunyai kekuatan seperti akta yang dibuat di
bawah tangan, apabila akta itu ditandatangani oleh para pihak yang
bersangkutan.77
Mengingat betapa besarnya tanggung jawab seorang Notaris
terutama dalam mengemban kepercayaan dari masyarakat, Notaris tetap
harus jujur, cermat, teliti dan berusahan menjaga kepentingan para pihak
secara seimbang sesuai dengan kehendak para pihak semula sebelum
melakukan perbuatan hukum yang dimaksud, dengan melakukan berbagai
tindakan preventif yang diperlukan terutama sebelum pembuatan akta.
Notaris juga harus aktif memperhatikan serta mengikuti perkembangan
setiap peraturan perundang-undangan bahkan peraturan internal instansi
terkait sekalipun, mengingat perubahan masyarakat yang sifatnya dinamis.
77
G.H.S. Lumban Tobing, Op.cit., h. 104.
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
106
BAB 3
PENUTUP
3.1 Simpulan
3.1.1 Setiap orang adalah subyek hukum yang diakui sama di depan
hukum. Meskipun dikenai suatu hukuman tertentu, tidak ada yang
dapat menyebabkan kematian perdata atau kehilangan hak
keperdataan seseorang, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 3
KUHPerdata. Dengan dikenainya suatu hukuman kepada seseorang,
baik hak-hak asasi maupun hak-hak keperdataannya pun menjadi
terbatas, sebagai contoh seseorang yang dijatuhi hukuman penjara
tidak dapat bebas melakukan kegiatan usahanya layaknya orang yang
tidak dijatuhi hukuman penjara, termasuk dalam perbuatan hukum
yang dilakukannya melalui akta Notaris. Pihak yang terkait perkara
pidana tetap dapat melakukan perbuatan hukum, layaknya warga
negara pada umumnya, sepanjang perbuatan tersebut tidak
berhubungan langsung dengan perkara yang dijalaninya dan
perbuatan tersebut memenuhi ketentuan-ketentuan KUHPerdata yang
sifatnya memaksa seperti Pasal 1320 KUHPerdata. Keabsahan suatu
perbuatan yang dilakukan oleh para pihak tidaklah bergantung pada
status para pihak yang bersangkutan yaitu manakala salah satu pihak
terkait perkara pidana atau tidak, melainkan tetap bergantung pada
syarat sahnya perjanjian yang diatur secara limitatif pada Pasal 1320
KUHPerdata. Jika keempat syarat yang diatur dalam Pasal 1320
KUHPerdata telah dipenuhi, maka perbuatan hukum, dalam hal ini
perjanjian, yang dilakukan manakala salah satu pihak terkait perkara
pidana adalah sah dan kepada para pihak mengikat berlaku sebagai
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
107
undang-undang. Dengan kata lain, tidak ada perbedaan atau
klafisikasi yang khusus antara perbuatan hukum yang dilakukan oleh
pihak yang terkait perkara pidana ataupun dilakukan oleh pihak yang
tidak terkait perkara pidana. Kedua perihal tersebut walaupun dengan
status subyek yang berbeda, yaitu terkait perkara pidana atau tidak,
tetap mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan
peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus lainnya terutama
mengenai larangan bagi pihak yang terkait perkara pidana untuk
melakukan perbuatan hukum tertentu. Namun demikian, Notaris juga
harus memperhatikan itikad baik dari para pihak yang melakukan
perbuatan hukum, dalam rangka untuk melindungi kepentingan para
pihak, kepentingan masyarakat dan melindungi Notaris yang
bersangkutan.
3.1.2 Suatu perbuatan hukum dimana salah satu pihak terkait perkara
pidana adalah sah sepanjang memenuhi ketentuan yang sifatnya
wajib dipenuhi seperti dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Dengan
dipenuhinya keempat syarat dalam Pasal 1320 KUHPerdata dan
mengakibatkan sahnya suatu perbuatan hukum, mengakibatkan
perbuatan hukum tersebut mengikat para pihak serta akta yang dibuat
mengenai perbuatan hukum tersebut juga tetap sah, sehingga para
pihak harus melaksanakan perbuatan hukum tersebut dengan itikad
baik, baik untuk kepentingan para pihak khususnya maupun untuk
kepentingan masyarakat termasuk kepentingan Notaris yang
bersangkutan pada umumnya. Notaris sebagai pejabat umum yang
wajib mengedepankan kepentingan publik dibandingkan kepentingan
dirinya sendiri, mempunyai tanggung jawab untuk membuatkan akta
otentik yang akan menjadi bukti sempurna perihal perbuatan hukum
yang dilakukan oleh para pihak, termasuk memberikan penyuluhan
hukum yang akan membantu para pihak. Notaris berkewajiban pula
untuk bertindak jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga
kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum. Notaris
mempunyai beban dan tanggung jawab moral sebagai pengemban
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
108
kepercayaan masyarakat yang bertugas melayani kepentingan
masyarakat khususnya dalam membuat akta otentik, serta menjamin
kepastian hukum dan bersikap adil dalam melindungi kepentingan
para pihak terkait akta yang dibuatnya tersebut.
3.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan simpulan sebagaimana yang telah
diuraikan sebelumnya, penulis memberikan saran yaitu :
a. Perlunya dibuat suatu nota kesepahaman dan kerja sama antara
organisasi yang menaungi notaris dalam hal ini Ikatan Notaris
Indonesia (INI) dengan lembaga penegak hukum lainnya seperti
lembaga kepolisian, penuntut umum, komisi pemberantasan korupsi,
dan lembaga pembina masyarakat. Nota kesepahaman dan kerja sama
ini nantinya akan sangat membantu khususnya bagi para notaris dalam
membuat akta yang diminta dibuatkan oleh pihak yang terkait perkara
pidana, terutama dalam membantu penerapan prinsip kehati-hatian yang
harus diterapkan notaris dalam proses pembuatan akta. Misalnya,
sebelum membuatkan suatu akta oleh pihak terkait perkara pidana,
Notaris dapat meminta keterangan/pernyataan secara tertulis terkait
perkara pidana yang sedang diperiksa terhadapnya dari Pejabat yang
berwenang terhadap penahanan dan/atau perkara pidananya tersebut.
Hal ini untuk mencegah pihak yang terkait perkara pidana melakukan
perbuatan hukum yang justru dilarang oleh undang-undang dan
kemudian dituangkan dalam akta notaris.
b. Perlunya kegiatan pembinaan yang sifatnya berkala dan kontinyu
terhadap para notaris pada khususnya dan terhadap para penegak
hukum pada umumnya mengenai keabsahan perbuatan hukum yang
dilakukan oleh pihak yang terkait perkara pidana, dalam rangka
meningkatkan penerapan prinsip kehati-hatian dalam menjalankan tugas
jabatannya. Hal ini dikarenakan masih terdapat Notaris yang ragu untuk
memberikan jasa pembuatan akta notaris atas suatu perbuatan hukum
yang dilakukan oleh pihak yang terkait perkara pidana, sehingga tidak
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
109
jarang pihak yang terkait perkara pidana tersebut mengalami kesulitan
untuk memperoleh bantuan hukum berupa pembuatan akta otentik,
termasuk sulitnya meminta dibuatkan akta otentik secara cuma-cuma
karena terkendala biaya yang dimilikinya.
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
110
DAFTAR PUSTAKA
BUKU:
Andasasmita, Komar. Notaris I. Bandung: Sumur Bandung. 1984.
Adjie, Habib. Hukum Notaris Indonesia Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30
Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. Bandung: PT. Refika Aditama.
2008.
Adjie, Habib. Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai
Pejabat Publik. Cet. 2. Bandung: PT. Refika Aditama. 2009.
Badrulzaman, Mariam Darus. Kompilasi Hukum Perikatan. Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti. 2001.
Badrulzaman, Mariam Darus. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III
tentang Hukum Perikatan dengan Penjelasan. Bandung: Alumni. 2005.
Harahap, M. Yahya. Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP,
Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika. 2007.
Hernoko, Agus Yudha. Hukum Perjanjian, Asas Proporsionalitas dalam Kontrak
Komersial. Cet.1. Yogyakarta: LaksBang Mediatama. 2008.
Ichsan, Achmad. Hukum Perdata IA. Cet.1. Jakarta: Pembimbing Masa. 1969.
Kansil, C.S.T. dan Christine S.T. Kansil. Pokok-Pokok Etika Profesi Hukum.
Jakarta: PT. Pradnya Paramita. 2003.
Kie, Tan Thong. Studi Notariat dan Serba Serbi Praktek Notaris. Jakarta: PT.
Ichtiar baru Van Hoeve. 2007.
Kohar, A. Notaris Dalam Praktek Hukum. Bandung: Alumni. 1983.
Laboratorium Pancasila IKIP Malang. Pendidikan Pancasila Di Perguruan Tinggi
Berdasarkan Keputusan DIRJEN DIKTI No. 25/DIKTI/Kep./1985.
Malang: Penerbit IKIP Malang. 1990.
Lubis, Suhrawardi. Etika Profesi Hukum. Jakarta: Sinar Grafika. 2008.
Mahdi, Sri Soesilowati, Surini Ahlan Sjarif dan Akhmad Budi Cahyono. Hukum
Perdata (Suatu Pengantar). Jakarta: Gitama Jaya. 2005.
Muhammad, Abdulkadir. Etika Profesi Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
2006.
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
111
Muhammad, Abdulkadir. Hukum Perjanjian. Bandung: Alumni. 1980.
Muhammad, Abdulkadir. Hukum Perikatan. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
1992.
Muhammad, Abdulkadir. Hukum Perdata Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti. 2000.
Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja. Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian.
Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada. 2003.
Notodisoeryo, R. Soegondo. Hukum Notariat di Indonesia Suatu Penjelasan.
Jakarta: CV.Rajawali Pers. 1982.
Pitlo, A. Pembuktian dan Daluwarsa. Jakarta:Intermasa. 1978.
Prawirohamidjojo, R. Soetojo. Hukum Perikatan. Surabaya: Bina Ilmu. 1979.
Prodjodikoro, Wirjono. Asas-asas Hukum Perjanjian. Cet. VII. Bandung: Sumur
Bandung. 1973.
Rasjidi, Lili. Dasar-Dasar Filsafat Hukum. Bandung: Alumni. 1985.
Rusli, Hardijan. Hukum Perjanjian Indonesia Dan Common Law. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan. 1993.
Salim. Perkembangan Hukum Kontrak diluar KUHPerdata. Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada. 2006.
Samudera, Teguh. Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata. Edisi Pertama.
Bandung: Alumni. 2004.
Satrio, J. Hukum Perikatan, Perikatan Pada Umumnya. Bandung: Alumni. 1999.
Satrio, J. Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari perjanjian Buku I.
Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. 2001.
Setiawan. Pokok-Pokok Hukum Perikatan. Bandung: Bina Cipta. 1979.
Sjahdeini, Sutan Remy. Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang
Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia. Jakarta:
Institut Bankir Indonesia. 1993.
Soesanto. Tugas, Kewajiban dan Hak-hak Notaris dan Wakil Notaris. Jakarta:
PT. Pradnya Paramita. 1982.
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
112
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas
Indonesia-Press. 2010.
Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen. Hukum Perjanjian. Cet. XVI. Jakarta: PT.
Intermasa. 1996.
Subekti, R. Aneka Perjanjian. Cet. X. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. 1995.
Subekti, R. Hukum Perjanjian, Cet. XVI. Jakarta: Intermasa. 1996.
Supriadi. Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia. Jakarta: Sinar
Grafika. 2006.
Syahrani, Riduan. Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata. Bandung: Alumni.
2006.
Tedjasaputro, Liliana. Etika Profesi Notaris (dalam Penegakan Hukum Pidana).
Yogyakarta: BIGRAF Publishing. 1995.
Tobing, G.H.S. Lumban. Peraturan Jabatan Notaris. Cet. 3. Jakarta: Erlangga.
1983.
Usman, Rachmadi. Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di
Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. 2006.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN:
Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.
(Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 76 Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3209)
Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 134 Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4150)
Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (Lembaran Negara Tahun 2002
Nomor 137 Tambahan Lembaran Negara Nomor 4250)
Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.
(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 31 Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3472).
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Subekti dan R.
Tjitrosudibio. Jakarta: PT.Pradnya Paramita. 2006.
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
113
MAJALAH:
Atmaja, R.Z. Asikin Kusuma. Pembatasan Renternir Sebagai Perwujudan
Pemerataan Keadilan. Varia Keadilan. Volume II. Tahun 1987.
Ghofur, Abdul. Lembaga Kenotariatan Indonesia: Perspektif Hukum dan Etika.
Yogyakarta : UII Press. Tahun 2009.
Patahna, Muchlis dan Joko Purwanto. Notaris Bicara Soal Kenegaraan. Jakarta:
Watampone Press. 2003.
Setiawan, Wawan. Sikap Profesionalisme Notaris Dalam Pembuatan Akta
Otentik. Media Notariat. Edisi Mei dan Juni 2004.
INTERNET:
Heryanto. Notaris Antara Profesi dan Jabatan.
http://arsip.pontianakpost.com/berita/index.asp?berita=opini&id=102865.
Diakses pada tanggal 23 Oktober 2012.
Haryantho. Boedi. Penyalahgunaan Sebagai Alasan Pembatalan Perjanjian.
http://www.scribd.com/doc/39221558/. Diakses pada tanggal 01 Desember
2012.
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013