universitas indonesia manusia dalam konflik sosial: suatu telaah
TRANSCRIPT
UNIVERSITAS INDONESIA
MANUSIA DALAM KONFLIK SOSIAL:
SUATU TELAAH FILOSOFIS
DISERTASI
MASYKUR
NPM 1006784033
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA
PROGRAM STUDI ILMU FILSAFAT
DEPOK
JUNI 2015
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
UNIVERSITAS INDONESIA
MANUSIA DALAM KONFLIK SOSIAL:
SUATU TELAAH FILOSOFIS
DISERTASI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
MASYKUR
NPM 1006784033
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA
PROGRAM STUDI ILMU FILSAFAT PROGRAM DOKTOR
KEKHUSUSAN ILMU FILSAFAT
DEPOK
JUNI 2015
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
UNIVERSITAS INDONESIA
MANUSIA DALAM KONFLIK SOSIAL:
SUATU TELAAH FILOSOFIS
DISERTASI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
dalam bidang Ilmu Pengetahuan Budaya, Program Studi Ilmu Filsafat
Dipertahankan di hadapan Sidang Akademik Universitas Indonesia
di bawah Pimpinan Rektor Universitas Indonesia
Prof. Dr. Ir. Muhammad Anis, M.Met
pada hari Selasa, 23 Juni 2015, pukul 10.00 WIB
di Kampus Universitas Indonesia
MASYKUR
NPM 1006784033
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA
PROGRAM STUDI ILMU FILSAFAT PROGRAM DOKTOR
KEKHUSUSAN ILMU FILSAFAT
DEPOK
JUNI 2015
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
v
Universitas Indonesia
KATA PENGANTAR/UCAPAN TERIMA KASIH
Segala puja dan puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Atas
berkat dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan disertasi ini. Penulisan
ringkasan disertasi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk
mencapai gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Filsafat Departemen Filsafat
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa
tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai
pada penyusunan disertasi ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan
disertasi ini. Oleh karena itu, saya memberikan penghargaan setinggi-tinggi dan
mengucapkan terima kasih kepada:
Yang terhormat seseorang yang terlibat konflik sosial di dalam tragedi Poso,
Ambon, dan Cikeusik, yang telah menjadi inspirator untuk menjelaskan dan
memahami secara filosofis manusia dalam konflik sosial dan sekaligus mengolah
konflik sebagai penyelesaikan konflik yang dialami oleh mereka;
Yang terhormat Dr. V. Irmayanti Meliono selaku Promotor, yang telah
menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk membimbing, mendiskusikan dan
mengarahkan substansi dan teknik penyusunan disertasi ini, mulai dari judul
hingga kontribusi kekinian. Selain itu, beliau selalu melogiskan secara metodologi
filosofis jika ada pemikiran tidak logis, mengingatkan jika lama tidak melakukan
konsultasi, dan selalu memberi motivasi; Yang terhormat Prof. Dr. Soerjanto
Poespowardojo selaku Kopromotor, yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan
pikiran untuk membimbing, mendiskusikan, dan mengarahkan penulisan disertasi
yang koheren dan metodologis berdasarkan sistematika filsafat;
Yang terhormat Prof. Riris K. Toha-Sarumpaet, Ph.D. selaku Penguji dan Ketua
Departemen Filsafat, yang telah meyakinkan untuk memiliki disertasi filsafat ini
sebagai karya pemikiran sendiri dengan meyakinkan kepada orang lain melalui
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
vi
Universitas Indonesia
penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan tepat; Yang terhormat Dr. Mikael
Dua selaku Penguji, yang telah menguatkan metodologi filsafat pada setiap
penjelasan dan pemahaman pemikiran filsuf yang diajak dialog di dalam disertasi;
Yang terhormat Dr. Budiarto Danujaya selaku Penguji, yang telah memberi
diskursus filsafat sosial politik pada pemahaman multikulturalisme dan selalu
mengingatkan agar mencari critical aspect ketika mengungkapkan pemikiran;
Yang terhormat Dr. Donny Gahral Adian selaku Penguji, yang senantiasa
mempertanyakan kefilsafatan pada sebuah pemikiran sosial politik, terutama
menuntut sisi filosofis pada pemikiran multikulturalisme Bhikhu Parekh; Yang
terhormat Dr. Naupal selaku Penguji dan Sekretaris Departemen Filsafat Filsafat,
yang senantiasa memberi masukan konstruktrif atas pemikiran Bhikhu Parekh,
terutama pada penyelesaian konflik yang redistributif;
Yang terhormat Dr. Adrianus L.G. Waworuntu selaku Dekan Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya, yang telah memfasilitasi segala kebutuhan belajar dan
mengajar untuk menjalani proses perkuliahan Program Doktor dengan penuh
edukatif, ramah sesama mahasiswa, penjaja bisnis makanan, dan lingkungan;
Yang terhormat Dr. Embun Kenyowati Ekosiwi selaku Pembimbing Akademik,
yang telah sabar membimbing dan memahami apa yang terbaik dan tepat selama
menjadi seorang mahasiswa Program Doktor; Yang terhormat Dr. Akhyar Yusuf
Lubis, yang telah mendiskusikan dengan penuh semangat dan akrab ragam
multikulturalisme di dunia filsafat, dari multikulturalisme konservatif hingga
multikulturalisme radikal; Yang terhormat Vincent Yohanes Jolasa, Ph.D selaku
Pengajar metodologi penelitian filsafat, yang telah menjejakkan metodologi
penelitian filsafat dan meyakinkan untuk terus-menerus menulis karya filsafat;
Yang terhormat Prof. Dr. Mohammad Ishom Yusai selaku Sekretaris Direktorat
Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI; Dr. Imam Syafi’i selalu
Kasudit Ketenagaan Direktorat Pendidikan Tinggi Islam Kementerian Agama RI;
Prof. Dr. Fauzul Iman selaku Rektor IAIN “SMH” Banten; Prof. Dr. Udi Mufrodi
selaku Dekan IAIN “SMH” Banten; Prof. Dr. H.E. Syibli Syarjaya; dan seluruh
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
vii
Universitas Indonesia
sahabat IAIN “SMH” Banten, yang telah berkontribusi untuk memberi
kesempatan menulis disertasi dan sekaligus memperoleh Beasiswa Studi
Kementerian Agama RI;
Yang terhormat sahabat yang telah banyak menemani dan membantu dalam
menyelesaikan disertasi ini, yaitu Ibu Munawaroh, Syarif Abu Bakar, Zulham, Ari
Harsono, Asep Furqonuddin, Dr. Andi Rosa, Dr. Mohammad Shoheh, Mba
Nurunnisa’ di Wahid Institute, dan sahabat lainnya;
Yang terhormat Mimi Hj. Mahmudah; Ibu Nyai Hj. Muryati; Abah H. Abdul
Wahid yang telah menjejakkan pendidikan taman anak-anak; Bapak KH.
Mukhdzir yang telah menjejakkan pesantren Cipari; kandidat Dr. KH. Marzuki
Wahid yang mengajari berpikir kritis; Nyai Hj. Lia Aliyah Himmah yang telah
menjejakkan pesantren puteri al-Qur’an; kandidat Dr. Mahrus El-Mawa yang
mengajari berperilaku kultural; kandidat Dr. Ala’i Najib; Muhammad Musni
Wahid; Nany Zubaidah; kandidat Dr. Maryam El-Wahdah; kandidat Dr. Iwan
Zainul Fuad; Zaenab Mahmudah; Sigit Santoso, H. Hasbullah Sidiq, Kiai Khairul
Mawahib, dan keluarga besar Cipari, yang telah berkontribusi untuk dukungan
material dan moral, terutama pandangan masa depan untuk pengembangan
peradaban masyarakat di Losari dan Cipari. Tak terlupakan, isteri tersayang
Roikhatul Jannah dan puteri tercinta Jossie Elaine Wahid, yang merupakan bagian
semangat hidup dari penulisan disertasi ini.
Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala
kebaikan semua pihak yang telah berpartisipasi. Semoga disertasi ini membawa
manfaat bagi pengembangan ilmu-ilmu kemanusiaan, terutama ilmu filsafat.
Wallahul muwafiq ila aqwamith thariq.
Depok, 23 Juni 2015Penulis
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
ix
Universitas Indonesia
ABSTRAK
Nama : Masykur
Program Studi : Ilmu Filsafat
Judul : Manusia dalam Konflik Sosial: Suatu Telaah Filsofis
Disertasi ini adalah kajian filosofis tentang manusia dalam konflik sosial di
masyarakat multikultur. Dilatarbelakangi realitas konflik sosial dan konstruksi
negara yang menjamin keragaman agama dan etnik, studi ini membahas relasi
antarindividu yang memproduksi konflik sosial nuansa agama dan etnik. Mengacu
kepada teori multikulturalisme Bhikhu Parekh, melalui metode studi pustaka,
fenomenologi kehidupan religius, dan refleksi kritis, disimpulkan bahwa konflik
sosial (a) dimunculkan oleh seorang individu di dalam perilaku sosialnya yang
menginterpretasikan perbedaan pandangan moral dan budaya; dan (b) terjadi di
dalam negara yang melakukan politik keseragaman. Penyelesaiannya, konflik
sosial harus dikelola oleh seorang individu melalui dialog budaya dengan tindakan
dialog antarbudaya dan rekognisi sosial. Dengan dialog budaya itu, dapat
ditemukan kembali manusia yang harmonis di dalam kehidupan sosial.
Kata kunci: Manusia, konflik, multikulturalisme, masyarakat multikultur,
keragaman, rekognisi sosial, dialog antarbudaya, harmoni.
ABSTRACT
Name : Masykur
Study Program : Philosophy
Title : Human Being in Social Conflict: Philosophical Studies
This dissertation is a philosophical study about human being in social conflict
among multicultural society. Based on the background of social conflicts
phenomenon and state construction that guarantees religious and ethnic diversity,
it discusses the relationships between individuals who produce social conflict of
ethnic and religious nuance. Referring to the theory of multiculturalism from
Bhikhu Parekh, literature study method, phenomenology of religious life method,
and critical reflection method, it is concluded that the social conflicts (a) emerged
from an individual behavior that interprets moral and cultural in different view;
and (b) happened in countries those provide political uniformity. These social
conflicts should be cultivated by an individual through cultural dialogues and the
actions of intercultural dialogue and social recognition. The dialogue is expected
to rediscover harmony in social life.
Keywords: Human being, conflict, multiculturalism, multicultural society,
diversity, social recognition, intercultural dialogue, harmony.
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
x
Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
Halaman Judul ……………………………………………………………… i
Surat Pernyataan Bebas Plagiarisme ………………………………………. ii
Halaman Pernyataan Orisinalitas ………………………………………….. iii
Halaman Pengesahan ……………………………………………………… iv
Kata Pengantar/Ucapan Terima Kasih …………………………………….. v
Halaman Pernyataan Persetujuan Publikasi ……………………………….. viii
Abstrak ……………………………………………………………………... ix
Daftar Isi ……………………………………………………………………. x
Daftar Bagan dan Gambar ………………………………………………….. xiii
BAB I PENDAHULUAN …...……………………………………………… 1
1.1 Latar Belakang Masalah ……..………………………………………….. 1
1.2 Permasalahan dan Rumusan Masalah …………...………………………. 5
1.3 Pernyataan Tesis ………………………………………………………… 6
1.4 Pertanyaan Penelitian ………………………….…………...……………. 7
1.5 Tujuan dan Kegunaan Penelitian ……………………………..…………. 7
1.6 Kerangka Teori dan Konsep ………………………………..……………. 8
1.7 Kajian Pustaka …...……………………….……………………………… 21
1.8 Metode Penelitian ……………….…………………………………….…. 28
1.9 Sistematika Penelitian …….……………………………………………… 38
BAB II PERBEDAAN PANDANGAN MORAL DAN BUDAYA …..….. 40
2.1 Pengantar ………………………………………………………………… 40
2.2 Bentuk-bentuk Pandangan Moral dan Budaya ………………………….. 40
2.2.1 Pandangan Monisme Moral terhadap Moral dan Budaya …..……. 44
2.2.2 Pandangan Pluralisme terhadap Moral dan Budaya ……………… 50
2.2.3 Pandangan Liberalisme terhadap Moral dan Budaya ….………..... 57
2.2.4 Pandangan Universalisme Pluralis terhadap Moral dan Budaya .… 66
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
xi
Universitas Indonesia
2.3 Respons terhadap Bentuk-bentuk Pandangan Moral dan Budaya ………. 64
2.4 Ikhtisar …………………………………………………………………… 70
BAB III KONSTRUKSI SOSIAL MASYARAKAT MULTIKULTUR .. 72
3.1 Pengantar ………………………………………………………………… 72
3.2 Unsur-unsur Pembentuk Masyarakat Multikultur ..………....………….. 72
3.2.1 Keragaman Moral dan Budaya ………………………..…………… 77
3.2.2 Identitas Sosial ……………………………....…………………….. 80
3.2.3 Keadilan dan Kesetaraan dalam Perbedaan ......…………………… 83
3.2.4 Agama dan Etnik dalam Kehidupan Publik ..……………………… 87
3.3 Keterbatasan Masyarakat Multikultur ...…………………………………. 88
3.4 Ikhtisar …………………………………………………………………… 89
BAB IV KONFLIK SOSIAL MASYARAKAT MULTIKULTUR …….. 91
4.1 Pengantar …………………………………….…….…………………….. 91
4.2 Memahami Konflik Sosial dalam Masyarakat Multikultur ..……………. 91
4.3 Corak Konflik dalam Masyarakat Multikultur ……….………………….. 107
4.3.1 Konflik Nuansa Agama ……………………………….………….... 107
4.3.2 Konflik Nuansa Etnik ……………………………………………… 114
4.4 Kritik atas Manusia sebagai Makhluk Berkonflik ….………………..….. 115
4.5 Ikhtisar ………………………..……………………..…………………… 120
BAB V DIALOG BUDAYA MASYARAKAT MULTIKULTUR ……… 122
5.1 Pengantar …………………………………………………..…………….. 122
5.2 Mengolah Konflik Sosial Masyarakat Multikultur …………..………….. 122
5.2.1 Dialog Antarbudaya sebagai Pendamai Konflik .……………........... 125
5.2.2 Rekognisi Sosial sebagai Peredam Konflik …..…..……………….. 131
5.3 Menemukan Kembali Manusia yang Harmonis ……….………………… 137
5.4 Ikhtisar …………………………………………………………………… 155
BAB VI PENUTUP …………………………………...……………………. 157
6.1 Kesimpulan ……………………………………………………………… 157
6.2 Catatan Kritis ………………………………………………..…………... 157
6.3 Kontribusi dalam Kehidupan Kekiniaan ………………………...……… 158
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
xii
Universitas Indonesia
GLOSARIUM ………………………………………………………………. 159
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………. 160
LAMPIRAN ……………………………………………………………....... 168
RIWAYAT HIDUP PENULIS ……..………………………………………. 175
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
xiii
Universitas Indonesia
DAFTAR BAGAN DAN GAMBAR
A. Bagan
Bagan 1. Rumusan Masalah .……………………………………………… 6
Bagan 2. Multikulturalisme Parekh serta Pemikiran Taylor dan Gadamer . 15
Bagan 3. Penerapan Multikulturalisme Bhikhu Parekh ………..…………. 21
Bagan 4. Posisi Filsafat Sosial dalam Studi Masyarakat ………………….. 29
Bagan 5. Fenomenologi Kehidupan Religius ………………………….….. 35
Bagan 6. Penerapan Fenomenologi Kehidupan Religius …………….…… 36
Bagan 7. Triadik Kehidupan Manusia dalam Keharmonisan ……………... 38
B. Gambar (dalam Lampiran)
Gambar 1. Peta Wilayah Konflik di Indonesia …..……………………….. 168
Gambar 2. Peta Wilayah Konflik di Poso ….……………………….…….. 169
Gambar 3. Kondisi Manusia Bersenjata di Poso ..………………………... 169
Gambar 4. Aksi Kekerasan Manusia di Poso …………………………….. 170
Gambar 5. Aksi Penghancuran Manusia di Poso ………………………… 170
Gambar 6. Peta Wilayah Konflik di Ambon ………………….………….. 171
Gambar 7. Aksi Kekerasan Manusia di Jalan Tulukabesi Ambon ……….. 171
Gambar 8. Aksi Kekerasan Manusia di Jalan A.M. Sangadji Ambon …… 172
Gambar 9. Aksi Penghancuran Manusia di Popilo Tobelo Maluku Utara .. 172
Gambar 10. Peta Wilayah Konflik di Cikeusik …………………………... 173
Gambar 11. Aksi Penyerangan Manusia di Cikeusik ………………...…… 173
Gambar 12. Aksi Pembunuhan Manusia di Cikeusik …………….………. 174
Gambar 13. Aksi Penghancuran Manusia di Cikeusik …….……………… 174
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
1
Universitas Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Konflik antarindividu seringkali diproduksi di dalam masyarakat
multikultur, meskipun gerakan sosial, politik, dan budaya senantiasa menuntut
perdamaian sosial. Dalam perilaku sosial, konflik antarindividu tersebut dapat
memproduksi konflik sosial. Sebaliknya, konflik sosial dapat juga memproduksi
konflik antarindividu. Masyarakat Indonesia termasuk masyarakat multikultur di
mana setiap individu berada pada negara yang mengakui keragaman moral dan
budaya.1 Pada awal reformasi Mei 1998, konflik sosial telah terjadi beberapa kali
di dalam masyarakat Indonesia, misalnya di Poso, Ambon, dan Cikeusik. Di
dalam fenomena konflik sosial tersebut identitas individual memainkan peranan
yang penting atas konflik yang terjadi. Pelaku konflik pada umumnya
dilatarbelakangi oleh identitas individual sebagai subyek mayoritas atau subyek
minoritas. Penentuan subyek mayoritas atau minoritas pada identitas individual di
dalam konflik sosial memosisikan manusia sebagai individu yang tak manusiawi
(inhuman). Oleh sebab itu, konflik antarindividu secara sosial tak pernah
memosisikan identitas individual sesuai harkat dan martabat manusia di dalam
masyarakat multikultur.
Di dalam sejarah peradaban manusia, penentuan subyek mayoritas atau
minoritas pada identitas individual didasarkan pada pandangan moral dan budaya
yang diyakininya, terutama interpretasi terhadap agama dan etnik. Agama dan
etnik merupakan subkultur yang dibentuk oleh manusia sebagai individu
1 Lihat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 36A bahwa lambang negara adalah Garuda Pancasila
dengan semboyan bhineka tunggal ika.
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
2
Universitas Indonesia
masyarakat (Tylor, 1871: 1).2 Pandangan moral dan budaya yang berbeda-beda di
dalam masyarakat multikultur, tak dapat dipungkiri, berkontribusi pada produksi
konflik sosial. Padahal, negara yang mengakui keragaman moral dan budaya
seharusnya dapat menjamin perbedaan pandangan moral dan budaya yang
diyakini dan dipraktikkan oleh warganya secara damai. Namun dalam
implementasinya, kearifan lokal, undang-undang dasar, dan perjanjian
internasional kembali dipertanyakan ketika konflik sosial direproduksi. Apakah
undang-undang penanganan konflik sosial dapat diimplementasikan oleh negara
untuk memastikan warganya hidup secara damai di dalam keragaman moral dan
budaya?3 Pertanyaan ini merefleksikan mengapa fenomena konflik sosial di Poso,
Ambon, dan Cikeusik diproduksi di dalam masyarakat multikultur.
Kita dapat memahami fenomena konflik sosial yang terjadi di tiga wilayah
tersebut. Fenomena konflik sosial di Poso yang diproduksi oleh konflik
antarindividu dilakukan oleh tiga pemuda Kristiani yang memukul seorang
pemuda Muslim di dalam tempat ibadah umat Islam di kampung Sayo. Dengan
adanya identitas agama yang dianut oleh individu-individu yang berkonflik dan
tempat terjadi konflik, konflik dijustifikasi sebagai konflik sosial bernuansa
agama. Fenomena yang kontradiktif di mana konflik sosial diproduksi oleh
individu-individu yang beragama di dalam negara yang mengakui keragaman
moral dan budaya. Di dalam realitas kehidupan sosial, konflik di Poso telah
memproduksi tindakan kekerasan, penyerangan, perusakan dan pembakaran
material, bahkan pembunuhan antarindividu yang bersaudara (Buchanan, 2011:
52-54). Konflik telah menghancurkan kehidupan manusia dan alam sekitarnya,
sehingga akar moral dan budaya antarkomunitas tercerabut dari relung kehidupan
sosial. Begitu dahsyatnya pembunuhan antarindividu di Poso dapat diilustrasikan
dalam gambar (lihat lampiran kondisi tragis manusia sosial di Poso).
2 “Culture or civilization, taken in its wide ethnographic sense, is that complex whole the which
includes knowledge, belief, arts, morals, law, custom, and any other capabilities and habits
acquired by man as a member of society”. 3 Lihat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial; dan Peraturan
Pemerintah Nomor 2 Tahun 2015 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2012 tentang Penanganan Konflik Sosial.
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
3
Universitas Indonesia
Tak berbeda dengan di Poso, di Ambon fenomena konflik sosial juga
diproduksi oleh konflik antarindividu yang dilakukan oleh seorang pemuda
Kristen pribumi dari Mardika dengan seorang pemuda Muslim nonpribumi dari
Batumerah. Dengan adanya identitas agama dan etnik yang dianut oleh individu-
individu yang berkonflik, konflik sosial di Ambon dijustifikasi tak hanya
bernuansa agama, melainkan juga bernuansa etnik karena adanya identitas
pribumi Ambon dan nonpribumi Ambon yang tertanam dari Sulawesi Selatan,
seperti Bugis, Buton, dan Makassar (Buchanan, 2011: 15). Konfrontasi antaretnik
kontradiktif dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang
mengakui keragaman moral dan budaya. Konflik di Ambon tak kurang
dahsyatnya dengan konflik di Poso, yang telah memproduksi tindakan kekerasan,
pemaksaan, pengusiran, penjarahan, perusakan, dan pembakaran material, bahkan
pembunuhan antarindividu. Tindakan kekerasan menyebar tidak hanya di Ambon,
melainkan juga di Popilo, Tobelo, Maluku Utara. Tindakan kekerasan dan
penghancuran kehidupan manusia dan alam sekitarnya di Ambon dapat
diilustrasikan dalam gambar (lihat lampiran kondisi tragis manusia sosial di
Ambon).
Bahkan di Cikeusik, fenomena konflik sosial juga diproduksi oleh konflik
antarindividu yang dilakukan oleh Ismail Suparman dan Atep Suratep sebagai
anggota jamaah Ahmadiyah dan individu-individu yang berkelompok sekitar
2.000 orang yang menyerbu jamaah Ahmadiyah. Dengan adanya kesamaan
identitas agama yang dianut oleh individu-individu yang berkonflik, konflik di
Cikeusik dijustifikasi sebagai konflik sosial bernuansa internal agama. Dalam
konflik di Cikeusik, tiga orang Ahmadiyah dibunuh oleh orang-orang yang
menyerbunya. Selain pembunuhan manusia, konflik sosial bernuansa internal
agama juga memproduksi tindakan kekerasan, perusakan, penyerangan, dan
pemaksaan (KontraS, 2012: 11-12). Dengan adanya konflik di Cikeusik,
keputusan Majelis Ulama Indonesia yang mewajibkan negara untuk melarang
ajaran Ahmadiyah kontradiktif dengan Undang-Undang Dasar Negara yang
menjamin kebebasan warganya beribadah sesuai dengan keyakinannya masing-
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
4
Universitas Indonesia
masing.4 Efek dahsyat dari keputusan pelarangan ajaran Ahmadiyah, tindakan
kekerasan terhadap jamaah Ahmadiyah itu ternyata tak hanya diproduksi di
Cikeusik, tetapi juga hampir di seluruh Indonesia, seperti Jawa, Makassar, dan
Nusa Tenggara Barat. Pada tahun 2007 tercatat ada 15 kasus, pada tahun 2008
terdapat 238 kasus, dan pada tahun 2009 ada 33 kasus konflik sosial yang serupa.
Di Jawa, misalnya, tindakan kekerasan diproduksi di daerah Kuningan, Bogor,
Tasikmalaya, dan Garut (Purwanto, 2011: 25). Tindakan kekerasan dan
pembunuhan di Cikeusik diproduksi oleh manusia dalam konflik sosial bernuansa
internal agama yang lebih dahsyat lagi daripada di Poso dan Ambon, sebagaimana
diilustrasikan di dalam gambar (lihat lampiran kondisi tragis manusia sosial di
Cikeusik).
Fenomena konflik antarindividu di atas menjelaskan kontradiksi-
kontradiksi antara realitas diferensial (perbedaan pandangan moral dan budaya),
dan idealitas konstitusional (undang-undang dasar negara yang diakui).
Kontradiksi antarpandangan moral dan budaya yang berbeda-beda memproduksi
adanya gesekan antara nilai-nilai nasional dan nilai-nilai lokal, nilai-nilai publik
dan nilai-nilai personal, serta mengkonstruksi adanya benturan antara komunitas
mayoritas dan minoritas. Padahal perbedaan pandangan moral dan budaya yang
diyakini seharusnya dapat diolah oleh negara yang memiliki undang-undang dasar
yang mengakui keragaman moral dan budaya sebagai dinamika perubahan sosial,
politik, dan budaya. Pengolahan dan perdamaian konflik sosial bernuansa agama
dan etnik sebenarnya telah diatur oleh negara di dalam peraturan yang spesifik
dan strategis. Sementara itu, agama dan etnik bagi manusia secara sosial
sebenarnya merupakan juru selamat dari kekerasan dan kehancuran, serta pengikat
yang damai dari konflik. Namun, walaupun dialog antarpandangan moral dan
budaya yang berbeda-beda di dalam negara ini semakin ditingkatkan, konflik
4 Lihat Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 11/Munas VII/MUI/15/2005 tentang Aliran
Ahmadiyah bahwa “Pemerintah berkewajiban untuk melarang penyebaran faham Ahmadiyah di
seluruh Indonesia dan membekukan organisasi serta menutup semua tempat kegiatannya”; dan
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat 2 bahwa “negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu”.
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
5
Universitas Indonesia
sosial bernuansa agama dan etnik semakin meluas. Oleh karenanya, konflik sosial
menjadi perhatian dan kepedulian kita bersama.
Di dalam penelitian ini, konflik merupakan sebuah konsep sentral di dalam
filsafat sosial politik, seperti kasus pemberontakan atau oposisi seorang individu
kepada negara, revolusi atau oposisi seorang individu yang kharismatik terhadap
negara sehingga perubahan sosial terjadi drastis, yakni perubahan di dalam
masyarakat, bukan hanya pada tingkat individual atau antarpersonal, dan terjadi
kemudian, reformasi di mana perubahan sosial terjadi meskipun tidak drastis
(Iannone, 2001: 445).5 Dengan berpijak pada ontologi konflik sosial di Poso,
Ambon, dan Cikeusik tersebut yang terjadi pada awal reformasi atau implikasi
reformasi, peneliti melakukan reduksi fenomenologis atas konflik sosial tersebut
menjadi konflik antarindividu. Subyek penelitian adalah relasi antarindividu yang
mengalami konflik di dalam masyarakat multikultur. Oleh karena itu, dalam
pendekatan filsafat sosial, penelitian ini mengambil tema fenomena konflik
antarindividu di dalam masyarakat multikultur. Multikulturalisme sebagai
kerangka teori menjadi perhatian filsafat kontemporer sekaligus penelitian ini
diharapkan mampu meredam dan menyelesaikan konflik. Dari tema tersebut,
judul penelitian ini adalah “manusia dalam konflik sosial: suatu telaah filosofis”.
1.2. Permasalahan dan Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang masalah di atas, permasalahan penelitian
ini adalah konflik antarindividu yang disebabkan oleh perbedaan pandangan
moral dan budaya di dalam masyarakat multikultur. Dalam perilaku sosial, konflik
antarindividu tersebut memproduksi konflik sosial yang bernuansa agama dan
etnik di dalam negara yang mengakui keragaman moral dan budaya.
5 “A central concept in sociopolitical philosophy is that of conflict, e.g. as in rebellion or the
opposition of an individual to the State; as in revolution, or the opposition of enough influential
individuals to the State so that drastic social change, i.e. change at the societal and not just the
individual or interpersoanal levels, ensues; and as in the wide range of instances of reform, where
social change, though not drastic, occurs”.
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
6
Universitas Indonesia
Manusia adalah satu-satunya makhluk yang memiliki kemampuan
menginterpretasikan pandangan moral dan budaya di dalam kehidupan sosial.
Akan tetapi dalam kenyataannya, perbedaan pandangan moral dan budaya
menyebabkan konflik antarindividu karena masing-masing individu saling
mempertahankan pandangan yang diyakini. Padahal, manusia yang memiliki
agama dan etnik seharusnya secara damai saling meneguhkan moral dan budaya
yang diyakini masing-masing. Negara yang mengakui keragaman moral dan
budaya seharusnya mengolah, bukan sekadar mengelola, perbedaan pandangan
moral dan budaya dengan dialog antarbudaya. Dengan dialog antarbudaya,
pandangan moral dan budaya seharusnya menjadi perekat relasi sosial
antarindividu yang memiliki agama dan etnik yang berbeda-beda. Oleh karena itu,
fenomena konflik antarindividu di dalam masyarakat multikultur menandai
adanya misrekognisi dalam praktik dialog selama ini.
Permasalahan tersebut dapat dirumuskan menjadi dua masalah. Pertama,
konflik dimunculkan oleh individu di dalam masyarakat multikultur. Kedua,
konflik sosial nuansa agama dan etnik diproduksi di dalam negara yang mengakui
keragaman moral dan budaya. Rumusan masalah itu dibagankan sebagai berikut:
Bagan 1. Rumusan Masalah
1.3. Pernyataan Tesis
Sebagai homo socius di dalam masyarakat multikultur, seorang manusia
seharusnya berpartisipasi mengolah perbedaan pandangan moral dan budaya yang
memiliki kemungkinan konflik sosial melalui dialog antarbudaya dan rekognisi
sosial sebagai penyelesaian konflik.
Konflik dimunculkan oleh
individu
di dalam masyarakat
multikultural
Fenomena konflik sosial
di negara yang mengakui
diversitas moral dan budaya
Konflik dimunculkan oleh
individu
di dalam masyarakat
multikultur
Fenomena konflik sosial
di negara yang mengakui
keragaman moral dan budaya
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
7
Universitas Indonesia
1.4. Pertanyaan Penelitian
Atas dasar permasalahan tersebut, muncul pertanyaan penelitian sebagai
berikut:
a) Apakah benar dalam perilaku sosial seorang manusia memunculkan konflik di
dalam masyarakat multikultur?
b) Mengapa fenomena konflik sosial nuansa agama dan etnik diproduksi di dalam
suatu negara yang mengakui keragaman budaya dan moral?
1.5. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
A. Tujuan
Berdasarkan pertanyaan penelitian di atas, ada dua tujuan penelitian,
yakni:
a) Menjelaskan secara filosofis bahwa dalam perilaku sosial seorang manusia
yang menginterpretasikan pandangan moral dan budaya seyogyanya dapat
menyelesaikan konflik di dalam masyarakat multikultur.
b) Menjelaskan bahwa fenomena konflik sosial nuansa agama dan etnik yang
diproduksi di dalam negara yang mengakui keragaman budaya dan moral dapat
diolah melalui rekognisi sosial dan dialog antarbudaya.
B. Kegunaan
Ada empat kegunaan penelitian ini, yakni:
a) Penelitian ini dapat digunakan sebagai literatur filsafat sosial yang
merefleksikan relasi manusia di dalam fenomena konflik sosial.
b) Penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai diskursus filsafat untuk
mendialogkan dan memberi pemecahan masalah konflik sosial di dalam
masyarakat multikultur.
c) Penelitian ini bisa dimanfaatkan sebagai pijakan filosofis untuk memahami dan
mengimplementasikan Konstitusi yang dijabarkan dalam Undang-Undang
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
8
Universitas Indonesia
Penanganan Konflik Sosial sebagai regulasi negara untuk menyelesaikan
konflik sosial.
d) Penelitian ini dapat memberikan kontribusi pemikiran untuk pendidikan filsafat
Program Doktor mengenai manusia dalam konflik sosial atas dasar teori
multikulturalisme Bhikhu Parekh.
1.6. Kerangka Teori dan Konsep
Ada empat hal yang akan dijelaskan di dalam pembahasan kerangka teori
dan konsep, yaitu multikulturalisme Parekh, riwayat hidup Parekh, konsep
manusia dan konflik, dan rancangan penerapan teori.
A. Multikulturalisme Bhikhu Parekh
Kerangka teori yang digunakan di dalam penelitian ini adalah
multikulturalisme menurut Bhikhu Parekh. Di dalam multikulturalisme Parekh
terkandung pemikiran Charles Taylor mengenai rekognisi dan pemikiran George-
Hans Gadamer mengenai dialog. Oleh karena itu, kedua pemikiran filsuf tersebut
digunakan untuk mendukung analisis kritis dalam penelitian ini.
Alasan memilih multikulturalisme Parekh sebagai kerangka teori dalam
penelitian ini sebagai berikut. Multikulturalisme dipahami oleh Parekh dalam
karyanya Rethinking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political Theory
(2000) adalah “suatu perspektif mengenai kehidupan manusia, bukan doktrin
politik yang berisi program atau teori filsafat mengenai manusia dan dunia”
(Parekh, 2000: 336).6 Meski diakuinya bukan sebagai doktrin politik atau teori
filsafat, namun Parekh menjelaskan multikulturalisme secara filosofis yang
didasarkan pada beberapa pemikiran filsuf, antara lain Gadamer dan Taylor.
Secara teoretis, multikulturalisme Parekh merupakan tinjauan kritis atas filsuf
politik pluralisme kultural, dan laporannya mengenai budaya, nilai manusia, serta
6 “Multiculturalism…is best seen neither as a political doctrine with a programmatic content nor
as a philosophical theory of man and the world, but as a perspective on human life”.
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
9
Universitas Indonesia
makna keadilan dan kesetaraan di dalam masyarakat multikultur.7 Bahkan,
multikulturalisme Parekh mencapai tingkat koherensi teoretis dan kedalaman
wawasan yang langka dan impresif.8 Taylor mengakui bahwa multikulturalisme
Parekh ditulis oleh seorang yang tidak saja ahli teori politik, tetapi juga memiliki
pengalaman mendalam terhadap masalah yang dihadapinya di dalam lebih dari
satu negara. Parekh merasakan hidup berbagai situasi besar, serta berbagai
masalah, ketegangan, dan konflik”.9 Dengan alasan tersebut, multikulturalisme
Parekh sebagai sebuah kerangka teori sebab dapat merasionalkan, menjelaskan,
dan memahami manusia dan dunianya (Popper, 2002: 37-38).10
Istilah multikulturalisme dapat dipahami dengan terlebih dahulu
memahami istilah multikultur. Multikulturalisme bukan semata-mata mengenai
perbedaan dan identitas, serta tidak seperti perbedaan yang muncul dari pilihan
seorang individu, melainkan mengenai “keragamaan budaya atau perbedaan yang
tertanam secara budaya” (Parekh, 2000: 2-3).11
Lebih distingtif, perbedaan kedua
istilah tersebut dalam pengertian praktisnya. Multikultur (dan kata sifatnya
multikultural) berarti “mengacu pada fakta keragaman budaya”, sedangkan
multikulturalisme berarti “merespons secara normatif terhadap fakta keragaman
budaya” (Parekh, 2000: 6).12
Dalam konteks keragaman budaya multikultur
sebagai fenomena faktual, sedangkan multikulturalisme sebagai pandangan
normatif.
7 “Parekh offers much that is fresh and original both in his critical review of political philosophers
on cultural pluralism, and in his account of culture, human value, and the meaning of justice and
equality in a multicultural society” (Irish Marion Young di dalam komentar karya Parekh, 2000). 8 “It achieves a level of theoritical coherence and a depth of insight that rare and impressive”
(Joseph H. Carens di dalam komentar karya Parekh, 2000). 9 “One of the things which make the book so valuable is that it is written by a political theorist who
has had hands-on experience of the problems involved, and in more than one country. Its author
has a lively sense of the immense range of situations, and the variety of problems, tensions and
conflicts” (Taylor di dalam komentar karya Parekh, 2000). 10
“Theories are nets cast to catch what we call ‘the world’: to rationalize, to explain, and to
master it. We endeavour to make the mesh ever finer and finer”. 11
“Multiculturalism is not about difference and identity per se… Unlike differences that spring
from individual choices, …(but) is about cultural diversity or culturally embedded differences”. 12
“The term multicultural refers to the fact of cultural diversity, the term 'multiculturalism' to a
normative response to that fact”.
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
10
Universitas Indonesia
Multikulturalisme Parekh menjelaskan tiga perspektif mengenai kehidupan
manusia yang diformulasikan secara rasional, eksplanatif, dan terperinci. Tiga
perspektif Parekh saling melengkapi dan saling mempengaruhi secara kreatif.
Multikulturalisme Parekh merupakan normativitas (respons normatif) terhadap
keragaman budaya. Tiga perspektif dalam multikulturalisme Parekh yang
dimaksud adalah bahwa (a) manusia tertanam secara budaya; (b)
ketakterhindarkan sekaligus kebutuhan terhadap keragaman budaya dan dialog
antarbudaya; dan (c) setiap budaya plural secara internal (Parekh, 2000: 338).
Perspektif pertama bahwa eksistensi manusia tertanam secara budaya
(culturally embedded). Dengan ketertanaman secara budaya, manusia tumbuh dan
berkembang di dalam dunia yang dikonstruksi oleh budaya. Manusia
mengorganisasikan kehidupan dan relasi sosialnya di dalam sistem makna dan
tanda, sehingga manusia memosisikan nilai besar pada identitas budayanya.13
Ketertanaman secara budaya pada eksistensi manusia tersebut merupakan sebuah
konstruksi, tetapi bukan berarti bahwa manusia ditentukan oleh budaya di mana
manusia harus kritis mengevaluasi keyakinan dan praktik budaya, serta
memahami dan bersimpati kepada sesamanya. Di dalam ketertanaman secara
budaya, manusia dapat mengatasi sebagian pengaruh budaya dan memandang
dunia yang didasarkan pada budaya, baik yang diwarisi dan diterima secara tidak
kritis, direvisi secara reflektif, ataupun diadopsi secara sadar dalam kasus tertentu
(Parekh, 2000: 336).
Perspektif kedua bahwa ketakterhindarkan sekaligus kebutuhan terhadap
keragaman budaya dan dialog antarbudaya.14
Keragaman budaya ditunjukkan oleh
adanya budaya yang berbeda-beda. Perbedaan budaya tersebut merepresentasikan
perbedaan sistem makna dan pandangan good life (Parekh, 2000: 336; 338).15
Perbedaan budaya itu disadari sebab adanya keterbatasan kapasitas dan emosi
manusia dari keseluruhan eksistensi manusia. Adanya keterbatasan itu, setiap
13
“Human beings are culturally embedded in the sense that they grow up and live within a
culturally structured world, organize their lives and social relations in terms its system of meaning
and significance, and place considerable value on their cultural identity”. 14
“The inescapability and desirability of cultural diversity and intercultural dialogue”. 15
“Different cultures represent different systems of meaning and visions of the good life”.
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
11
Universitas Indonesia
budaya membutuhkan budaya lain untuk memahami lebih baik budayanya,
memperluas horizon intelektual dan moralnya, meregangkan imajinasinya, dan
menjaga dari pemutlakan budayanya. Kebutuhan kepada budaya lain menjelaskan
bahwa kehidupan bersama yang setara adalah kehidupan yang baik. Oleh
karenanya, semua perbedaan budaya layak dihargai.16
Tidak ada budaya yang
sempurna. Semua budaya punya hak untuk menanamkan budayanya di dalam
budaya lain. Dengan begitu, budaya terbaik secara umum diubah dari dalam
(Parekh, 2000: 336-337).
Dengan keterbatasan budaya, dialog merupakan keuntungan timbal balik
antarbudaya. Dialog menjaga interaksi antarbudaya atas adanya bias-bias,
keuntungan sendiri, kemungkinan mereduksi, dan memperluas horizon
intelektual. Konsep dialog didasarkan pada pemikiran Gadamer bahwa:
“Untuk berada di dalam percakapan (dialog), bagaimanapun, berarti
berada di luar diri sendiri, berpikir dengan yang lain, dan untuk kembali ke
diri sendiri seolah-olah ke yang lain.”
[“To be in a conversation, however, means to be beyond oneself, to think
with the other and to come back to oneself as if to another”] (Gadamer,
1989: 110).
Atas dasar pemikiran ini, syarat dialog akan terpenuhi jika setiap budaya
menerima budaya lain sebagai pasangan percakapan yang setara, sumber ide
kritis, dan bertanggung jawab menjelaskan budayanya. Dengan percakapan seperti
itu, tujuan dialog akan tercapai jika partisipan menikmati kesetaraan yang
meliputi kepercayaan-diri, kekuasaan ekonomi dan politik, serta akses ruang
publik (Parekh, 2000: 337-338).
Perspektif ketiga bahwa seluruh budaya bersifat plural secara internal,
kecuali budaya yang paling primitif. Budaya yang plural merepresentasikan
percakapan lebih lanjut antara tradisi yang berbeda dan untaian pemikiran
(Parekh, 2000: 337).17
Sebaliknya, budaya yang paling primitif merupakan budaya
16
“…all cultural differences deserve to be valued”. 17
“All but the most primitive cultures are internally plural and represent a continuing
conversation between their different traditions and strands of thought”.
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
12
Universitas Indonesia
yang terisolasi dari pertemuan antartradisi yang berbeda dan terkungkung pada
pemikiran sendiri. Budaya yang plural itu menandai identitas yang plural dan cair,
namun bukan tanpa koherensi internal dan identitas. Budaya yang plural tumbuh
dan berkembang dari interaksi antara satu dengan yang lain secara sadar dan tidak
sadar. Dari perkembangan budaya yang plural itu, beberapa identitas didefinisikan
di dalam istilah “apa yang diambil untuk menjadi yang lain secara signifikan”.
Beberapa budaya yang plural seperti itu merupakan multikultur di dalam asal usul
dan konstitusi. Oleh karena itu, setiap budaya membawa sedikit yang lain dalam
dirinya dan jarang sui generis, bukan tidak memiliki kekuatan untuk menentukan
sendiri dan dorongan batin, melainkan menyerap dan tunduk pada pengaruh
eksternal yang menginterpretasi dan mengasimilasi dengan cara otonom (Parekh,
2000: 337).
Di dalam budaya yang plural, relasi sosial dibentuk oleh budayanya dan
relasinya dengan yang lain. Apresiasi terhadap budaya lain berarti apresiasi
terhadap budaya sendiri dan budaya yang plural. Suatu budaya merasa damai
dengan perbedaan dari budaya lain apabila budaya itu merasa damai dengan
perbedaan internal budayanya.18
Di dalam budaya yang plural, dialog budaya
mensyaratkan adanya keterbukaan diri terhadap pengaruh dan kerelaan belajar
dari yang lain. Syarat dialog budaya itu menuntut kewajiban setiap budaya untuk
kritis diri, rela, dan partisipasi di dalam dialog dengan dirinya (Parekh, 2000: 337-
338).
Di dalam masyarakat multikultur, konflik sosial di atas tidak hanya
dialami oleh antarindividu, melainkan juga dialami oleh antarkomunitas. Konflik
antarkomunitas terjadi ketika penghargaan otonomi komunitas budaya seringkali
sebagai satu-satunya cara menjaga komunitas budaya di dalam komunitas politik
yang lebih luas, seperti di Israel, atau sebagai bentuk interaksi dan pengembangan
model relasi dengan masyarakat yang lebih luas, seperti di India, Nigeria, Sudan,
dan di beberapa masyarakat multikultur lain dengan fenomena sejarah konflik
antarkomunitas. Dalam beberapa kasus konflik antarkomunitas terjadi ketika
18
“A culture cannot be at ease with it differences from them unless it is also at ease with its own
internal differences”.
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
13
Universitas Indonesia
komunitas mayoritas memaksakan pandangan good life terhadap komunitas
minoritas, seperti di India, Indonesia, dan negara-negara berkembang lainnya,
atau ketika komunitas minoritas hidup berbeda dan mandiri, seperti etnik Amish
di Amerika Serikat, etnik Aborigin di Australia, etnik Sunda Wiwitan Baduy di
Indonesia, dan komunitas etnik di India. Walaupun demikian, kita semua
mengakui bahwa otonomi budaya dapat menambah keragaman budaya pada
masyarakat dengan segala kelebihannya (Parekh, 2000: 205).
Konflik sosial tersebut diolah melalui dialog budaya. Dalam kehidupan
sosial, dialog budaya dipraktikkan dengan dialog antarbudaya. Apabila terjadi
konflik antarkomunitas, yakni antara komunitas mayoritas dan komunitas
minoritas, maka dialog antarbudaya dipusatkan pada dua strategi. Pertama, dialog
antara nilai-nilai praktis komunitas minoritas dan publik operatif masyarakat.
Kedua, dialog antara way of life komunitas minoritas dan publik masyarakat.
Dialog antarbudaya tersebut tidak membutuhkan polarisasi secara umum, karena
dialog dikonsepsikan dengan percakapan (Parekh, 2000: 271).19
Namun,
misrekognisi terjadi di antara individu-individu yang berpartisipasi secara
prinsipil di dalam kehidupan sosial, sehingga seringkali komunitas memisahkan
atau mengasingkan diri karena takut akan penolakan dan cemoohan atau keluar
karena rasa terasing yang mendalam.
Dalam kondisi sosial seperti itu rekognisi sosial harus dilakukan sebagai
pengakuan identitas dan harga diri individu, karena misrekognisi bisa benar-benar
merusak identitas dan harga diri tersebut (Parekh, 2000: 343).20
Konsep rekognisi
sosial didasarkan pada pemikiran Taylor bahwa:
“Rekognisi secara umum dibangun di dalam identitas yang diperoleh
secara sosial berdasarkan pada fakta bahwa hal itu didasarkan pada
kategori sosial yang mana semua orang mengambil untuk diberikan.”
19
“The dialogue is therefore, bifocal, centring both on the minority practice and the society’s
operative public values, both on the minority’s and the wider society’s way of life”. 20
“Social recognition is central to the individual’s identity and self-worth, and mis recognition
can gravely damage both”.
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
14
Universitas Indonesia
[General recognition was built into the socially derived identity by virtue
of the very fact that it was based on social categories that everyone took
for granted] (Taylor, 1994: 34).
Sebaliknya, misrekognisi atau nonrekognisi dapat menimbulkan kerugian,
menjadi bentuk penindasan, memenjarakan seseorang dalam kepalsuan,
terdistorsi, dan menjadi mode reduksi.21
Identitas yang diperoleh secara sosial
berarti sifat identitas yang tergantung pada masyarakat. Dalam ketergantungan
pada masyarakat, identitas individu sebagian dibentuk oleh rekognisi atau
absensitas (Taylor, 1994: 25; 34). Oleh karena itu, rekognisi tersebut disebut
dengan “rekognisi sosial”. Di dalam konflik sosial, misrekognisi yang
ditimbulkan memiliki dasar budaya dan material. Untuk menyelesaikan konflik,
misrekognisi hanya dapat diatasi dengan kritik tajam terhadap budaya yang
dominan dan secara radikal merestrukturisasi ketidaksetaraan kekuasaan ekonomi
dan politik yang berlaku (Parekh, 2000: 343).
Pengolahan konflik sosial melalui dialog antarbudaya dan rekognisi sosial
di atas menunjukkan bahwa multikulturalisme Parekh merupakan perspektif
filosofis yang dipengaruhi oleh pemikiran Taylor dan Gadamer. Dalam perilaku
sosial, multikulturalisme direalisasikan oleh seorang manusia untuk mengolah
perbedaan pandangan moral dan budaya, keragaman moral dan budaya, fenomena
budaya yang plural secara internal, budaya yang dominan, serta kekuasaan
ekonomi dan politik yang hegemonik.
Dengan demikian, penjelasan kerangka teori multikulturalisme Parekh
yang dipengaruhi oleh pemikiran Gadamer dan Taylor di atas dibagankan berikut
ini:
21
“Nonrecognition or misrecognition can inflict harm, can be a form of oppression, imprisoning
someone in a false, distorted, and reduced mode of being”.
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
15
Universitas Indonesia
Bagan 2. Multikulturalisme Parekh serta Pemikiran Taylor dan Gadamer
B. Riwayat Hidup Bhikhu Parekh
Lord Bhikhu Chotalal Parekh adalah seorang profesor filsafat politik dan
ahli teori sosial di mana pemikirannya dipengaruhi oleh Gadamer, Taylor, Jeremy
Bentham, Karl Marx, Mahatma Gandhi, dan Hannah Arendt. Bhikhu Parekh
dilahirkan pada tahun 1935 di Amalsad, Gujarat, India. Ayahnya adalah seorang
tukang emas dengan pendidikan dasar. Parekh menimba ilmu di University of
Bombay pada usia 15 tahun, dan memperoleh gelar Sarjana pada tahun 1954
sekaligus gelar Master pada tahun 1956. Selanjutnya, beliau mulai belajar di
London School of Economics pada tahun 1959, dan menerima gelar Ph.D pada
tahun 1966. Perhatian dan kepedulian akademik utamanya meliputi filsafat
politik, sejarah pemikiran politik, teori sosial, pemikiran politik India kuno dan
modern, dan filsafat hubungan etnik.
Dalam pengabdiannya, beliau mengajar di London School of Economics
dan University of Glasgow sebelum menemukan posisi jangka panjang di
University of Hull. Parekh juga adalah seorang profesor visiting di beberapa
Keragaman
budaya
Manusia tertanam
secara budaya
Setiap budaya plural
secara internal
Rekognisi
(sosial)
Taylor
Dialog
(antarbudaya)
Gadamer
Multikulturalisme
Bhikhu Parekh
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
16
Universitas Indonesia
universitas, antara lain: British Columbia, Concordia, McGill, Harvard, Pompeu
Fabra (Barcelona), Pennsylvania dan Institute of Advanced Studies di Wina.
Aktivitas yang telah dijalani oleh Parekh, antara lain pernah diangkat life
peer pada tahun 2000 sebagai Baron Parekh, Kingston upon Hull di East Riding
of Yorkshire. Pada tahun 1981-1984, beliau adalah Wakil Rektor di Maharaja
Sayajirao University of Baroda, India. Beliau juga pernah memegang jabatan
profesor centennial di Center for the Study of Global Governance di London
School of Economics, profesor filsafat politik di University of Westminster, dan
profesor emeritus teori politik di University of Hull. Parekh adalah rekan dari
Royal Society of Arts. Beliau adalah Ketua Runnymede Commission on the Future
of Multi-Ethnic Britain (1998-2000) di dalam laporannya, The Future of Multi-
Ethnic Britain, yang diterbitkan pada tahun 2000. Beliau adalah Wakil Ketua
Gandhi Foundation, wali dari Anne Frank Educational Trust, dan anggota
National Commission on Equal Opportunity. Pada tahun 2002, beliau menjabat
sebagai presiden pada Academy of the Learned Societies for Social Sciences.
Karya-karya beliau dalam bentuk buku yang telah diterbitkan, antara lain
sebagai berikut: Rethinking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political
Theory (2000); Colonialism, Tradition and Reform: An Analysis of Gandhi's
Political Discourse (1989); Gandhi's Political Philosophy (1989); Contemporary
Political Thinkers (1982); Karl Marx's Theory of Ideology (1982); Hannah Arendt
and the Search for a New Political Philosophy (1981); Bentham's Political
Thought (1973); Gandhi's Political Philosophy (1991); The Future of Multi-
Ethnic Britain: Report of the Commission on the Future of Multi-Ethnic Britain
(2000); Gandhi: A Very Short Introduction (2001); Europe and the Muslim
Question: Does Intercultural Dialogue Make Sense? (2007); dan A New Politics
of Identity: Political Principles for an Interdependent World (2008). Beliau
menulis juga beberapa “The Rushdie Affair and the British Press: Some Salutary
Lessons” bagi Commission for Racial Equality (1990). Selain itu, editor Colour,
Culture and Consciousness: Immigrant Intellectuals in Britain (1974).
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
17
Universitas Indonesia
Dengan pengabdian, aktivitas dan karyanya, Parekh telah menerima banyak
penghargaan sepanjang karirnya, antara lain: Sir Isaiah Berlin Prize untuk
kontribusi seumur hidup pada filsafat politik dari Political Studies Association
(2002); Distinguished Global Thinker Award dari India International Centre
Delhi (2006); Inderdependence Prize dari kampanye untuk Demokrasi (New
York, 2006); dan kehormatan Padma Bhushan di daftar India Republic Day
Honours (2007).
C. Konsep Manusia dan Konflik
Ada dua kerangka konsep yang penting dipahami di dalam penelitian ini,
yaitu manusia dan konflik. Konsep manusia dan konflik memiliki kondisi yang
sama, yakni sama-sama condition sine qua non (kondisi yang harus dipenuhi,
tanpa itu berarti tiada) pada individu manusia.
Konsep manusia (human being) secara substantif adalah “makhluk yang
tertanam secara budaya”. Konsepsi manusia tersebut dipahami dari relasi sosial di
dalam masyarakat multikultur, yakni relasi antara seorang manusia, individu
anggota komunitas, dan keragaman budaya. Secara internal, budaya bersifat
plural. Tindakan manusia berada di dalam kondisi yang plural. Dalam kehidupan
sosial politik, fenomena yang plural merupakan kondisi yang khusus, tidak hanya
conditio sine qua non, akan tetapi conditio per quam (kondisi inheren), dari semua
kehidupan sosial politik (Arendt, 1998: 7).22
Dalam kondisi khusus itu, relasi
sosial merupakan interaksi timbal balik yang saling membentuk. Keragaman
budaya dibentuk oleh individu anggota komunitas, dan sebaliknya individu
anggota komunitas juga dibentuk oleh keragaman budaya. Proses pembentukan di
dalam relasi sosial bukan berarti budaya menentukan seorang manusia, melainkan
22
“While all aspects of the human condition are somehow related to politics, this plurality is
specifically the condition - not only the conditio sine qua non, but the conditio per quam - of all
political life”.
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
18
Universitas Indonesia
seorang manusia sendiri yang menentukan budayanya masing-masing (Parekh,
2008: 220).23
Konsepsi manusia itu, selain itu, dipahami dari pemikiran filsafat
tradisional di dalam empat argumentasi. Pertama, manusia yang tertanam secara
budaya tidak menghilangkan semua yang mencirikan manusia sebagai spesies.24
Ketertanaman secara budaya membentuk eksistensi manusia secara eksternal atau
antarpersonal, bukan bagian internal manusia, dan merupakan kondisi manusia
atau prediksi, bukan bagian fitrah manusia. Kedua, pemikiran filsafat tradisional
tentang evolusi manusia benar-benar ahistoris. Sebaliknya, manusia yang tertanam
secara budaya menjelaskan bahwa dengan kapasitas dan wataknya secara historis
manusia diinstitusionalisasi dan direproduksi secara generatif, dan menjadi bagian
warisan atau sifat spesies (Parekh, 2000: 118-119).25
Ketiga, manusia yang tertanam secara budaya menunjukkan karakter
manusia yang dibentuk secara sosial. Pembentukan sosialnya terlihat pada
masyarakat yang mengalami disintegrasi di mana bukan sifat kasar manusia
sebagai penyebabnya, akan tetapi karakter manusia yang dibentuk dalam kondisi
kekacauan dan ketidakpastian.26
Keempat, manusia yang tertanam secara budaya
berarti bahwa manusia dilahirkan, dibesarkan, dan dibentuk di dalam komunitas
budaya secara mendalam (Parekh, 2000: 119-120).27
Dalam proses sosialisasinya
dengan ketertanaman secara budaya, karakter manusia dibentuk secara sosial.
Dalam pembentukan sosial budaya pada manusia itu dipahami bahwa:
“Kemanusiaan adalah ragam sosial budaya. Dengan kata lain, tidak ada
sifat manusia dalam arti substratum yang ditetapkan secara biologis yang
menentukan perubahan pada pembentukan sosial budaya. …Dengan
mengamati fenomena manusia secara spesifik, kita memasuki ranah sosial.
23
“Because of their unique capacities, human beings are capable of self-dtermination, pursuing
self-chosen goals, leading fulfilling lives, accepting responsibility for their actions, entering into
relationships of reciprocity with each other, and forming part of a moral community. In other
words, they are moral persons or agents. 24
“Human nature does not exhaust all that characterizes human beings as a species”. 25
“These historically acquired capacities and dispositions are institutionalized and reproduced
during successive generations, and become part of their species heritage or nature”. 26
“When societies disintegrate, their members’ behavior does not reveal raw human nature but
their socially shaped character in a climate of chaos and uncertainity”. 27
“Human beings are culturally embedded in the sense that they are born into, raised in and
deeply shaped by their cultural communities”.
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
19
Universitas Indonesia
Kemanusiaan yang khas pada manusia dan fenomena sosialnya adalah
saling terkait. Homo sapiens selalu, dan dalam ukuran yang sama, homo
socius.”
[Humanness is socio-culturally variable. In other words, there is no
human nature in the sense of a biologically fixed substratum determining
the variability of socio-cultural formations. … As soon as one observes
phenomena that are specifically human, one enters the realm of the social.
Man's specific humanity and his sociality are inextricably intertwined.
Homo sapiens is always, and in the same measure, homo socius] (Berger,
1966: 66, 69).
Dalam perilaku sosial, individu-individu tersebut mengalami konflik
budaya ketika individu-individu menganut atau hidup dengan dua sistem makna
dan arti yang berbeda, baik secara keseluruhan ataupun sebagian (Parekh, 2000:
149).28
Konflik merupakan persoalan antarindividu dalam relasi sosial. Dengan
fakta bahwa kondisi sosial, politik, dan budaya yang membentuk karakter manusia
berarti bukan karakter manusia yang menyebabkan konflik sosial. Oleh karena itu,
tindakan manusia yang dibentuk oleh kondisi sosial dan politik adalah penyebab
konflik sosial.
Konsep konflik (conflict) adalah “pengganggu pikiran, sine qua non
refleksi dan kecerdikan” (Dewey, 1922: 300).29
Ketiadaan condition sine qua non
terhadap refleksi dan kecerdikan membentuk konflik antarindividu. Di dalam
beberapa kasus, konflik meliputi semua ranah kehidupan signifikan, seperti kasus
individu yang benar-benar merasa tertarik pada Islam tradisional atau Katolik,
serta pandangan hidup liberal dan sekuler modern, akan tetapi tidak dapat
mendamaikan atau membuat pikirannya berada di antara keduanya. Di dalam
kasus lain, konflik dibatasi pada ranah kehidupan tertentu, seperti kasus individu
yang berada terpisah di antara, pandangan seksualitas Hindu tradisional dan Barat
modern, relasi dengan orang tuanya, atau sikap terhadap orang asing, anak-anak
dan saudara kandung. Padahal, konflik terbatas tersebut merupakan bagian dari
28
“Individuals experience cultural conflict when they subscribe to or live by two different systems
of meaning and significance either wholly or partially”. 29
“Conflict is the gadfly of thought. …conflict is a sine qua non of reflection and ingenuity”.
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
20
Universitas Indonesia
kehidupan di dalam hampir setiap masyarakat modern di mana individunya secara
umum mengetahui bagaimana menyelesaikannya. Kasus-kasus itu menunjukkan
bahwa konflik yang dalam dan komprehensif tidak mudah didamaikan dan dapat
menyebabkan kekacauan moral, skizofrenia, bahkan pembunuhan diri (Parekh,
2000: 149). Oleh sebab itu, selain masalah budaya, konflik juga merupakan
masalah moral--di mana moral adalah masalah hasrat dan intelegensi (Dewey,
1922: 300).30
D. Penerapan Teori
Atas dasar kerangka teori dan konsep sebagaimana dijelaskan di atas,
penelitian ini dibahas sebagai berikut. Pertama, penjelasan tentang perbedaan
pandangan moral dan budaya yang didasarkan pada pemahaman manusia yang
tertanam secara budaya terhadap realitas keragamaan moral dan budaya.
Perbedaan pandangan dari beberapa pemikiran filsafat yang amat berpengaruh
pada peradaban manusia, seperti monisme moral, liberalisme, pluralisme, dan
universalisme pluralis. Kedua, penjelasan mengenai konstruksi sosial masyarakat
multikultur yang didasarkan pada fakta keragamaan moral dan budaya. Konstruksi
sosial masyarakat multikultur merupakan konteks di mana fenomena konflik
sosial dapat diolah di dalam negara yang mengakui keragaman moral dan budaya.
Konstruksi sosial masyarakat multikultur dibentuk oleh empat unsur, yaitu
keragaman moral dan budaya, identitas sosial, perbedaan di mana keadilan dan
kesetaraan seharusnya dipahami, dan kehidupan publik di mana agama dan etnik
seharusnya dipahami.
Adanya perbedaan pandangan moral dan budaya di dalam masyarakat
multikultur, kemungkinan konflik sosial nuansa agama dan etnik terjadi ketika
negara tidak mengolah perbedaan tersebut. Selain itu, kemungkinan konflik sosial
diproduksi oleh tindakan seseorang manusia dengan kekerasan bahkan
peperangan. Oleh sebab itu, konflik sosial harus diolah melalui dialog budaya
30
“The problem of morals is the problem of desire and intelligence”.
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
21
Universitas Indonesia
masyarakat multikultur. Ketiga, penjelasan dialog budaya masyarakat multikultur
didasarkan pada realitas konflik sosial. Dialog budaya sebagai pengolahan konflik
sosial dilakukan melalui rekognisi sosial dan dialog antarbudaya. Dengan
demikian, penelitian ini merupakan sebuah penerapan multikulturalisme Parekh.
Penerapan teori di dalam penelitian ini dibagankan, sebagai berikut:
Bagan 3. Penerapan Multikulturalisme Bhikhu Parekh
1.7. Kajian Pustaka
Dalam kajian pustaka ini akan diulas beberapa penelitian, antara lain
penelitian yang telah dilakukan oleh Fred R. Dallmayr dan Joshua Braody Preiss,
dan penelitian sebelumnya tentang multikulturalisme Parekh di dalam persoalan
budaya dan moral. Selain itu, multikulturalisme yang dipahami di Indonesia untuk
mengantisipasi, mencegah, dan mendamaikan kemungkinan konflik melalui
kesadaran etis dan dialog.
Perbedaan pandangan
moral dan budaya
Konstruksi sosial
masyarakat multikultur
Konflik
nuansa agama
Multikulturalisme
Bhikhu Parekh
(lihat bagan 3)
Konflik
nuansa etnik
Dialog budaya
masyarakat multikultur
Konflik sosial
masyarakat multikultur
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
22
Universitas Indonesia
Dallmayr dalam karyanya “Multiculturalism and the Good Life:
Comments on Bhikhu Parekh” dalam jurnal The Good Society (2003) menjelaskan
bahwa multikulturalisme Parekh bukan tentang apa saja dan segala macam
perbedaan, melainkan hanya sekitar “yang tertanam dalam dan ditopang oleh
budaya,”31
yaitu dengan "tubuh dari keyakinan dan praktik di mana sekelompok
orang memahami diri mereka dan dunia, serta mengatur individu dan kehidupan
kolektif.” Tidak seperti selera individu atau pilihan, perbedaan budaya berasal
“ukuran otoritas” yang tumbuh dari “kebersamaan dan sejarah mewarisi sistem
arti dan makna”. Pemikiran tersebut mengingat struktur komunal atau kolektif
masyarakat multikultur, perbedaan budaya sering memiliki implikasi politik yang
biasanya tidak terkait dengan pilihan pribadi: pada dasarnya, masyarakat dalam
dirinya memiliki potensi mendamaikan bentrokan budaya dengan
menggarisbawahi kerja keras bernegosiasi perdamaian.
Multikulturalisme Parekh dipahami dari keragaman sosial yang datang di
dalam berbagai bentuk dan susunan, sehingga tidak semua harus disebut
“multikultur.” Oleh karena itu, perbedaan “subkultur” memikirkan praktik
konvensional dalam kerangka budaya yang menyeluruh, dan sedangkan
perbedaan “perspektif” merefleksikan pandangan partisan yang dihukum atau
diabaikan oleh kerangka budaya. Keragaman “multikultur” berlabuh di sejumlah
komunitas budaya yang berbeda, karenanya lebih "kuat dan ulet" dibandingkan
jenis lainnya (Dallmayr, 2003: 40).
Preiss melengkapi pemikiran Dallmayr, yaitu multikulturalisme Parekh
dikonstruksi oleh budaya yang menciptakan pilihan. Dalam karyanya
“Multiculturalism and Equal Human Dignity: An Essay on Bhikhu Parekh” dalam
jurnal Res Publica (2011), Preiss mengungkapkan bahwa klaim Parekh sering
mengandalkan penjelasan dialog moral Kantian dan kepribadian moral, namun dia
tidak mau mengakui (Preiss, 2011: 141). Dasar Kantian Parekh di dalam
penjelasan bahwa budaya memfasilitasi pilihan dan kendalanya. Budaya yang
31
“Multiculturalism is not about any and all kinds of differences, but only about those that are
embedded in and sustained by culture”.
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
23
Universitas Indonesia
menyetabilkan dan membatasi dunia moral dan sosial, menciptakan kondisi
pilihan. Parekh menjelaskan bahwa:
“Karena nilai-nilai operatif publik merepresentasikan masyarakat yang
bersama-sama struktur moralnya dan nilai-nilainya yang berbeda dari
orang-orang pada bagian itu, serta mereka menyediakan hanya sudut
pandang moral yang valid dari mana mengevaluasi praktik minoritas.
Ketika praktik minoritas menyinggung terhadap nilai-nilai publik
masyarakat, itulah manfaat ketidaksetujuan.”
[Since the operative public values represent the society’s shared moral
structure and its values as distinct from those of a section of it, they
provide the only valid moral standpoint from which to evaluate minority
practices. … When a minority practice offends against the society’s public
values, it merits disapproval] (Parekh, 2000: 270).
Dari penjelasan budaya tersebut, dialog moral antarbudaya Parekh sangat
mirip dengan karya Kantian kontemporer terkemuka, bahwa:
“Dialog membutuhkan sebuah komitmen pada pikiran, yaitu
menyelesaikan konflik kepentingan dan nilai-nilai dengan diskusi,
kompromi dan akomodasi timbal balik, serta keadilan, yaitu kesediaan
mengakui dan menghormati klaim orang lain yang sah dan tidak mengejar
kepentingan seseorang dengan mengorbankan mereka.”
[Dialogue, I have argued, requires a commitment to reason - that is to
solve conflicts of interest and values by discussion, compromise and
mutual accommodation - and to justice - that is, the willingness to
recognize the legitimate claims of others and not to pursue one’s interests
at the expense of theirs”] (Parekh, 2008: 178).
Dengan pemikiran Parekh tersebut, cara terbaik untuk memahami usulan
pemikiran Parekh dengan melihatnya sebagai sesuatu yang muncul dari
penjelasan Kantian mengenai martabat manusia. Meskipun klaim berulang kali
sebaliknya, konsepsinya tentang kelayakan yang adil dapat, harus, cukup tebal
untuk membenarkan klaim moral di antara budaya, untuk memberikan kekuatan
pada banyak usulan kebijakan yang khusus. Jika tidak, Parekh meyakinkan bahwa
tak ada pemikiran bagi masyarakat untuk mengubah nilai-nilai publik operatif
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
24
Universitas Indonesia
yang tidak toleran dalam kasus di mana mayoritas mungkin melihat perubahan
seperti bertentangan dengan kepentingannya. Pemikiran yang diusulkan Parekh
tersebut menarik, karena didasarkan pada komitmen bersama semacam pemikiran
yang beliau tidak mengartikulasikan atau mengklaim, dan pada gilirannya ia
mengkritik orang lain (Preiss, 2011: 155).
Dengan memosisikan pada persoalan individu, multikulturalisme sebagai
pengolahan konflik dijelaskan oleh Meliono dalam karyanya “Membangun
Kesadaran Etis dan Persepsi Multikultural pada Kebhinekaan Masyarakat di
Indonesia” dalam Jurnal Etika (2009). Atas dasar latar kebhinekaan masyarakat
Indonesia, fenomena yang plural dan heterogen masyarakat Indonesia merupakan
kekayaan masyarakat, namun sering memunculkan perbedaan pandangan yang
mendiskriditkan arti plural dan heterogen bahkan berpotensi menimbulkan konflik
(Meliono, 2009: 281). Untuk mengolah konflik, dibutuhkan kesadaran multikultur
yang terbentuk dengan baik jika setiap individu benar-benar memahami fenomena
yang plural atau keragaman dan perbedaan yang ada pada individu masing-
masing. Pada setiap individu itu kesadaran “it-self” membentuk pola pikirnya
melalui proses belajar yang cukup lama. Di samping itu, kesadaran individu
dibentuk di dalam konstruksi budaya mengenai apa yang ingin atau tidak ingin
diketahuinya (Meliono, 2009: 290). Kesadaran multikultur individu pada akhirnya
akan menjadi kesadaran multikultur kolektif dengan berbasis pada keragaman dan
fenomena yang plural suku, etnis, wilayah budaya, agama, etnosentrisme dan
relativisme budaya, sikap menafikan pada prejudice, stereotip, diskriminasi, dan
konflik. Kesadaran multikultur tersebut harus diimbangi dengan kesadaran etis
melalui perilaku etis dari pelaku budaya. Oleh karena itu, pendidikan
multikulturalisme merupakan sebuah strategi untuk merekonstruksi kesadaran etis
dan persepsi multikultur bagi pendidik dan anak didik. Kesadaran itu memiliki
karakter yang kuat, dinamis, kreatif, demokratis, nondiskriminatif, plural, dan
heterogen (Meliono, 2009: 292-293).
Kesadaran etika multikulturalisme muncul melalui dialog. Zubair
menjelaskan kesadaran etika multikulturalisme dalam karyanya “Membangun
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
25
Universitas Indonesia
Kesadaran Etika Multikulturalisme di Indonesia” dalam Jurnal Etika (2009).
Dengan latar kebhinekaan tunggal ika Indonesia, keragaman atau fenomena yang
plural menjadi potensi bangsa, akan tetapi berpotensi juga menjadi argumentasi
disintegrasi jika tidak mengantisipasinya. Pancasila dalam fungsinya sebagai
sistem penopang dan pengawal subsistem norma yang ada, terbukti efektif, baik
terhadap perbedaan maupun kesatuan Indonesia. Secara fenomena filosofis-
ideologis Pancasila diyakininya sebagai norma universal bangsa Indonesia.
Pancasila seharusnya dibuktikan terus menerus di dalam dimensi fleksibilitas pada
perubahan yang alamiah dan akulturatif (Zubair, 2009: 46-47). Di situlah,
menurut Zubair, kesadaraan etika pluralisme dan multikulturalisme dipentingkan.
Etika yang dipahami oleh Zubair tidak hanya menyebut aturan-aturan yang
absolut, melainkan secara kritis mempertanyakan bagaimana manusia
bertanggung jawab terhadap produk keputusannya sendiri (Zubair, 2009: 38).
Atas dasar pemahaman etika itu, kesadaran etika multikulturalisme dikonstruksi
dengan beberapa cara di antaranya adalah mengembangkan dialog. Dialog
difungsikan untuk mengembalikan esensi kehidupan masyarakat plural pada
tindakan yang tidak mengabsolutkan hukum, ritus, dan adat istiadat masing-
masing yang berlatar belakang sosial budaya (Zubair, 2009: 48).
Kesadaran etis muncul juga di dalam fenomena etnik. Pada karya
“Ethnocracy and Multiculturalism: A Preliminary Study of the Cultural Aspects of
the Besemah People at Pagaralam, Palembang dalam Makara, Sosial Humaniora
(2011), lebih tajam secara kasuistik, Meliono menjelaskan fenomena etnik orang-
orang Besemah dari sisi positif untuk mengembangkan multikulturalisme. Etnik
Besemah memiliki prinsip dan norma sebagai kerangka rumusan kebijakan untuk
merespons tantangan globalisasi (Meliono, 2011: 59). Multikulturalisme yang
dikembangkan oleh orang-orang Besemah terdiri dari unsur-unsur budaya, yaitu
sistem pemerintahan tradisional, kolonialisme Belanda, serta persepsi komunitas
lokal dan global. Multikulturalisme itu berkaitan dengan prinsip etnokrasi
masyarakat Besemah. Etnokrasi masyarakat Besemah pada sekitar Abad ke-18
dan 19 secara prinsip, di samping memunculkan identitas nasionalisme untuk
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
26
Universitas Indonesia
melawan kolonialisme Belanda dan pendudukan Jepang, juga memunculkan
kebebasan mengikuti sistem demokrasi dalam bernegara. Etnokrasi saat ini
menjanjikan ketika negara mempromosikan untuk meningkatkan kualifikasi
orang-orang, tidak hanya mendidik untuk memenuhi kebutuhan internal, tetapi
mempersiapkan untuk berkompetisi dengan orang lain. Etnokrasi sendiri memiliki
karakteristik tertentu untuk mengontrol aplikasi demokrasi pada institusi lokal
agama, budaya, dan bahasa (Meliono, 2011: 64). Namun, ada dampak negatif dari
etnokrasi yang didasarkan pada politik etnis, identitas budaya, agama, dan bahasa
di dalam sistem kontrol demokrasi. Dampak negatif dari etnokrasi memungkinkan
diskriminasi terhadap minoritas, represi, dan konflik, kecuali negara merespons
dampak negatif tersebut dengan multikulturalisme. Hal penting dalam persepsi
komunitas lokal dan global adalah adanya relasi budaya dengan budaya lain yang
menyebabkan pandangan dualistik orang-orang Besemah terhadap isu-isu sosial,
yaitu tetap mempertahankan budaya lokal, dan berkembang menjadi masyarakat
dinamis karena cukup terbuka dalam menerima perbedaan yang ada (Meliono,
2011: 65).
Multikulturalisme di Indonesia tersebut, menurut Suparlan pada karyanya
“Bhineka Tunggal Ika: Keanekaragaman Sukubangsa atau Kebudayaan?” dalam
Antropologi Indonesia 72 (2003), menjadi pelik dan kontroversial di mana pada
masa Orde Lama Soekarno pernah melarang partisipasi etnik melalui partai-partai
politik etnis di dalam arena politik nasional maupun daerah, karena khawatir
partai-partai politik ini menjadi acuan bagi politisasi yang memproduksi
disintegrasi kehidupan berbangsa menjadi negara-negara etnis. Keyakinan agama
juga bersifat primordial dan memiliki potensi memproduksi disinetgrasi bangsa
melalui batas-batas sosial budaya yang diperkuat oleh keyakinan agama bahkan
dikembangsuburkan. Fenomena kasus-kasus di Aceh, Ambon, Maluku Utara, dan
Poso, merefleksikan makna dari keyakinan agama yang berkaitan dengan
potensinya dalam gejolak yang membahayakan integrasi bangsa (Suparlan, 2003:
34). Relasi antara individu, komunitas, dan negara yang berada dalam kesetaraan
derajat hanya mungkin terealisasi jika didukung oleh sistem hukum dan
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
27
Universitas Indonesia
penegakan hukum yang harus adil dan demokratis. Semua warga negara patut
mengingat Konstitusi bahwa “kebudayaan bangsa adalah puncak-puncak
kebudayaan di daerah”. Bahkan, pada masa Orde Baru budaya di daerah
dihilangkan menjadi hanya daerahnya saja dan kata daerah diberi makna sebagai
sebuah provinsi dengan sebuah etnik yang dominan di provinsi tersebut. Model
masyarakat yang dibentuk oleh Orde Baru adalah hanya masyarakat plural,
sedangkan para pelopor dan bapak bangsa Indonesia untuk mengatur dan
mentransformasi masyarakat plural dengan multikulturalisme. Penekanan
lambang bhineka tunggal ika dengan mengacu pada pernyataan konstitusional itu
jelas menunjukkan keragaman budaya, bukan keragaman etnik (Suparlan, 2003:
36). Keragaman budaya itulah dikonstruksi untuk dapat meredam fenomena etnik
yang berpotensi memunculkan konflik.
Dari kajian pustaka di atas, penelitian sebelumnya memosisikan
multikulturalisme Parekh sebagai keragaman budaya di dalam komunitas
subkultur di mana individu memiliki pilihan untuk menentukan harkat dan
martabatnya secara sosial. Di Indonesia, multikulturalisme difungsikan untuk
merespons kemungkinan konflik sosial di dalam keragaman dan fenomena budaya
yang plural melalui kesadaran etis dan dialog antarindividu. Penelitian ini
diposisikan pada pemahaman multikulturalisme Parekh yang menjelaskan dialog
antarbudaya dan rekogisi sosial sebagai pengolahan konflik sosial. Dialog
antarbudaya dijelaskan dengan mengungkapkan pemikiran Gadamer. Sementara
rekognisi sosial dijelaskan dengan mengungkapkan pemikiran Taylor. Kedua
filsuf tersebut sangat mempengaruhi pemikiran Parekh dalam menjelaskan
multikulturalisme. Pengolahan konflik dilakukan oleh seorang manusia atau
komunitas budaya ataupun negara yang mengakui keragaman budaya dan moral.
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
28
Universitas Indonesia
1.8. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode studi pustaka,
metode fenomenologi kehidupan religius, dan metode refleksi kritis. Sebelum
dijelaskan metode penelitian, akan dijelaskan terlebih dahulu filsafat sosial
sebagai pendekatan penelitian.
Filsafat sosial (social philosophy) dalam sistematika filsafat merupakan
cabang filsafat. Filsafat sosial merupakan “sebuah telaah mengenai isu-isu
fundamental di mana program politik terbagi, yakni tentang apa seharusnya dan
mengapa prinsip-prinsip kehidupan sosial.”32
Misalnya, bagaimana seharusnya
relasi antara laki-laki dan perempuan, orang tua dan anak, harus dikonsepsikan.
Ketika pertanyaan itu didiskusikan di antara gerakan pemikiran liberal dan
sosialis, komunis dan kiri baru, serta sosialis dan feminis, yang didorong di luar
polemik permukaan, atau perdebatan tentang taktik, maka diskusi itu disebut
filsafat sosial (Fink, 1981: 3).
Berdasarkan pemahaman tersebut, landasan fundamental filsafat sosial
adalah pemikiran Plato yang menjelaskan konsep man is a social being dalam
karyanya The Republic dengan menawarkan ide keadilan untuk mengharmoniskan
di antara dua oposisional (Plato, 2012: 27).33
Selanjutnya, pemikiran Plato
tersebut dikembangkan oleh Aristoteles untuk melengkapi kondisi manusia
dengan konsep man is by nature political animal sebagai penjelasan mengenai
entitas negara yang mengangkat tinggi harkat dan martabat manusia (Aristoteles,
1999: 5).34
Dalam penelitian ini, filsafat sosial didefinisikan sebagai “studi
reflektif tentang nilai-nilai etis dalam relasi manusia (individual atau kolektif) di
dalam kehidupan sosial”. Definisi filsafat sosial itu lebih dekat dengan definisi
etika sosial (social ethics), yang membicarakan nilai-nilai etis individu manusia di
dalam masyarakat. Etika sosial dapat dipahami dengan pernyataan berikut ini:
32
“Social philosophy is about the fundamental issues on which political programmes divide: it is
about what the principles of social life ought to be and why”. 33
“In seeking to establish the purely internal nature of justice, he is met by the fact that man is a
social being, and he tries to harmonise the two opposite theses as well as he can”. 34
“Hence it is evident that the state is a creation of nature, and that man is by nature a political
anima. And he who by nature and not by mere accident is without a state, is either a bad man or
above humanity, he is like ‘Tribeless, lawless, hearthless one".
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
29
Universitas Indonesia
“Ia sama sekali tidak mempunyai maksud untuk mendukung sikap orang-
orang yang menjalankan percobaan-percobaan medis atas diri manusia di
Auschwitz, dengan pernyataannya bahwa pandangan-pandangan moral
konvensional mengenai pembunuhan tidaklah memuaskan” (Teichmann,
1998: 5).
Pandangan-pandangan moral konvensional yang dimaksud adalah membunuh
orang-orang yang tak bersalah. Etika sosial menjelaskan fenomena moral,
kemanusiaan, egoisme, relativisme, konsekuensialisme, kematian, feminisme,
kebebasan berpikir dan berekspresi, serta kelompok kiri, kanan dan hijau dalam
merespons kenyataan sosial.
Ruang lingkup dari filsafat sosial merupakan sebagai tradisi umum, bukan
tradisi khusus, di antara filsafat moral, filsafat politik, filsafat hukum, filsafat
sejarah, dan filsafat ilmu-ilmu sosial (Fink, 1981: 5). Sebagai tradisi umum, ruang
lingkup dari filsafat sosial dipahami di dalam relasi filsafat sosial dengan ilmu-
ilmu lainnya yang saling bertautan dan saling melengkapi secara komprehensif
untuk merefleksikan kondisi manusia. Relasi filsafat sosial dengan ilmu-ilmu
lainnya dibagan berikut ini:
Bagan 5. Posisi Filsafat Sosial dalam Studi Masyarakat
Nilai-nilai etis
Masyarakat
Filsafat budaya
Filsafat hukum
Filsafat politik
Filsafat sejarah
Filsafat
ilmu-ilmu sosial
Filsafat Sosial
Filsafat moral
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
30
Universitas Indonesia
Ruang lingkup dari filsafat sosial di antara ilmu-ilmu lainnya tersebut
dapat menajamkan penjelasan terhadap permasalahan penelitian ini. Nilai-nilai
etis masyarakat merupakan obyek material yang menjadi pusat perhatian telaah
filsafat. Filsafat mendekati nilai-nilai etis masyarakat melalui forma yang
berbeda-beda. Filsafat sosial melalui relasi manusia dalam kehidupan sosial.
Filsafat politik melalui relasi kekuasaan dalam negara. Filsafat moral melalui
relasi kebaikan dan kejahatan antarindividu. Filsafat hukum melalui keadilan
sosial. Filsafat sejarah melalui kesadaran manusia. Filsafat budaya melalui cipta
manusia. Filsafat ilmu-ilmu sosial (sosiologi, antropologi, psikologi) melalui
keterikatan manusia pada masyarakat. Dalam perspektif sosiologi, filsafat sosial
dipahami sebagai sosiologi pengetahuan, seperti di dalam pemikiran Karl
Mannheim, yang dianalisis secara kritis dalam perspektif humanisme oleh Peter L.
Berger dan Thomas Luckmann dengan istilah konstruksi kenyataan sosial.
Pertama, metode studi pustaka (literature study). Metode studi pustaka
digunakan untuk mengumpulkan ide, gagasan, konsep dan fenomena faktisitas
tentang permasalahan penelitian ini. Tujuan dari metode studi pustaka, yaitu: (a)
untuk mengamati perkembangan penelitian saat ini yang relevan dengan
permasalahan tersebut. Kemudian, positioning penelitian ini dapat dijelaskan di
dalam konstelasi perkembangan pemikiran filsafat kontemporer. (b) Untuk
mengidentifikasikan tokoh, karya, teori dan temuan yang relevan dengan
permasalahan tersebut. Secara inheren, identifikasi filosof, sosiolog, historian,
atau antropolog dijelaskan di dalam penggunaan teori-teorinya. (c) Untuk
mengidentifikasikan perbedaan pemikiran yang berkembang mengeni
permasalahan dalam pendekatan filsafat sosial (Bhattacherjee, 2012: 21).35
Kedua, metode fenomenologi kehidupan religius (phenomenology of
religious life). Metode fenomenologi kehidupan religius yang digunakan
berdasarkan pemikiran Martin Heidegger untuk menganalisis konflik sosial.
35
“The purpose of a literature review is three-fold: (1) to survey the current state of knowledge in
the area of inquiry, (2) to identify key authors, articles, theories, and findings in that area, and (3)
to identify gaps in knowledge in that research area”.
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
31
Universitas Indonesia
Awalnya fenomenologi dipahami oleh Edmund Husserl yang berarti “psikologi
deskriptif”. Fenomenologi selanjutnya menjadi radikal dalam filsafat daripada
praktis dalam sistem. Dengan radikalitas dan gaya antitradisional dalam
berfilsafat, fenomenologi menekankan usaha untuk menemukan kebenaran dari
permasalahan, mendeskripsikan fenomena, dalam makna yang luas sebagai apa
pun yang tampak dengan caranya menampakkan, karena manifestasinya kepada
kesadaran (Moran, 2000: 4-5). Posisi Heidegger dalam cakrawala fenomenologi
Husserl tampak pada pengakuannya bahwa Husserl terlalu Cartesian dan
intelektualis dalam menjelaskan keterlibatan manusia di dalam dunia. Oleh sebab
itu, Heidegger meninggalkan benar-benar penggunaan istilah “kesadaran” dan
“intensionalitas.” Menurut Heidegger, kini manusia selalu terjebak di dalam dunia
sebagai penemuan diri yang terlempar, yang mengungkapkan diri dalam suasana
hati, yang disebut “being-in-the-world” (Moran, 2000: 13).36
Dengan konsepsi being-in-the-world, karakteristik fenomenologi
kehidupan religius dipahami dengan memperoleh pemahaman sebelumnya demi
originalitas (Heidegger, 2004: 47).37
Originalitas pemahaman fenomenologi
kehidupan religius didasari pada filsafat agama. Dalam perspektif filsafat agama
Heidegger menjelaskan bahwa:
“Agama harus dipahami secara kritis filosofis. Yang dipahami adalah
konteks yang diproyeksikan pada agama. Oleh sebab itu, konsepsi
filosofisnya menentukan pemahaman terhadap agama.”
[Religion is to be projected into an understandable context. Thus the
position of the problem of the philosophy of religion depends upon the
concept of philosophy] (Heidegger, 2004: 52).
Konteks agama berarti mengutamakan fenomena religius historis daripada
fenomena religius doktrinal. Fenomena kesadaran adalah yang dipahami di dalam
36
“Martin Heidegger, who claimed Husserl remained too Cartesian and intellectualist in his
account of human engagement with the world, decided that the only way to avoid what he
regarded as sterile epistemological formulations was to abandon the use of the terms
'consciousness' and 'intentionality' altogether. Humans are always already caught up in a world
into which they find themselves thrown, which reveals itself in moods, the overall nature of which
is summed up by Heidegger's notion of 'Being-in-the-world' (In-der-Welt-sein)”. 37
“Characteristic of the phenomenological-religious understanding is gaining an advance
understanding for an original way of access”.
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
32
Universitas Indonesia
fenomena religius historis. Melalui kesadaran, pemahaman fenomenologis
merupakan jembatan pemahaman fenomena religius historis dan fenomena
religius filosofis. Bahkan dalam sejarah agama modern, fenomenologi digunakan
untuk dekonstruksi (deconstruction). Dekonstruksi fenomenologis dalam sejarah
agama harus ditentukan dengan prakonsepsi, yang terhubung dengan sejarah.
Dasar dari penentuan fenomena religius adalah dekonstruksi fenomenologis
terhadap kesadaran yang dibimbing oleh konsepsi-masa-depan, bukan rasional
atau irrasional dari fenomena religius doktrinal. Jelasnya, fenomena religius
tersebut adalah pengalaman hidup umat beragama. Sejarah adalah pengalaman
hidup umat beragama secara faktual. Oleh karena itu, fenomena religius berada
pada ruang yang temporal, kontekstual dan diferensial (Heidegger, 2004: 53-55).38
Dalam penerapan fenomenologi kehidupan religius (lihat bagan 7.
Fenomenologi kehidupan religius pada hlm. 35-36) fenomena religius individu
pada komunitas umat yang memiliki agama dan etnik dan mengalami konflik
sosial dapat dipahami dengan tiga langkah berikut ini.
(a) Langkah pertama, setiap individu komunitas terlibat dan mengalami
konflik sosial. Eksistensi individu komunitas didasarkan pada diferensiasi
pandangan, bukan stratifikasi sosial. Ada dua ketentuan individu komunitas dalam
konflik sosial. (1) Individu mengalaminya dengan kehadiran [memiliki-menjadi].
(2) Individu mengalaminya dengan pengetahuan [kamu tahu]. Kehadiran [datang,
menjadi] dan pengetahuan [kamu lihat, kamu tahu] pada individu komunitas yang
terlibat dan mengalami konflik menghasilkan sebuah sejarah dalam dirinya dan
komunitasnya [kamu ingat]. Dua ketentuan pengalaman individu tersebut berada
dalam pemahaman historis dan terjadi secara berulang-ulang dari kehadiran
(keterlibatan) ke pengetahuan yang menghasilkan ingatan historis. Keberulangan
pengalaman itu berbeda dengan keberulangan peristiwa alam, karena
keberulangan pengalaman tidak hanya terjadi secara natural akan tetapi juga
secara sosial.
38
“…religiosity is in life experience… Factial life experience is historical. …religiosity lives
temporality…”.
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
33
Universitas Indonesia
(b) Langkah kedua, setiap individu komunitas mengubah [berbalik]
dirinya dalam konflik sosial. Maksudnya adalah perubahan diri yang berbalik-
dekat secara mutlak kepada Tuhan sebagai tujuan utama dan sekaligus yang
berbalik-jauh kepada citra-berhala sebagai ilusi. Sebelum terjadi perubahan diri,
individu yang hadir mengalami konflik dipahami dengan penerimaan
(acceptance) dalam komunitas yang memiliki relasi yang efektif dengan Tuhan.
Penerimaan tentang bagaimana perilaku diri (self-conduct) dalam kehidupan
fenomena yang faktual. Penerimaan itu ditentukan melalui penyambutan
[acceptance] dan penjamuan [recievance]. Setelah terjadi perubahan diri, individu
menuju ke dalam makna yang ditetapkan pada kehidupan fenomena faktual di
mana konflik sosial bergejolak, yang dieksplisitkan di dalam dua petunjuk:
melayani [to serve] dan menanti [to wait]. Dalam suasana konflik pelayanan dan
penantian individu komunitas merupakan sebuah transformasi di hadapan Tuhan
dan terus menerus menanti (Heidegger, 2004: 65-66).
(c) Langkah ketiga, setiap individu komunitas memaknai di dalam
melayani [to serve] dan menjamu [to receive] yang menentukan referensi lain
sebagai petunjuk fundamental dalam konflik sosial. Melayani dan menjamu
dimaknai sebagai karya keimanan [the work of faith], penderitaan cinta [the
suffering of love] dan pupus harapan [the endurance of hope], yang
dikonseptualisasi di dalam harapan, kesucian dan kebahagiaan [hope, glory, joy].
Konsep harapan, kesucian dan kebahagiaan memiliki makna khusus, akan tetapi
juga dapat bermakna kontradiktif (keputus-asaan, kenistaan dan kesengsaraan).
Pengetahuan yang menjelaskan menerima [to accept] dimaknai sebagai karakter
pupus harapan dalam penderitaan hidup; sedangkan menjamu [to receive]
dimaknai sebagai karakter kemenangan hidup dalam relasi efektif dengan Tuhan.
Dalam tradisi agama diketahui bahwa menjamu (memberi) lebih bernilai daripada
menerima. Pengetahuan komunitas agama dan etnis yang hadir mengalami adalah
titik awal dan asal usul teologi.39
Penerimaan merupakan diri-masuk-ke dalam
penderitaan. Penderitaan merupakan karakteristik fundamental dan perhatian
39
“Knowledge of one's having-become is the starting point and the origin of theology”.
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
34
Universitas Indonesia
mutlak dalam cakrawala penerimaan. Penerimaan adalah transformasi di hadapan
Tuhan. Oleh sebab itu, kondisi penderitaan diperkenankan ke dalam dunia diri di
hadapan Tuhan [in front of God] (Heidegger, 2004: 66-67).
Dengan langkah-langkah tersebut, bagan fenomenologi kehidupan religius
akan digunakan untuk menganalisis manusia yang beragama dan etnik di dalam
konflik sosial. Metode itu dipilih, bukan fenomenologi kehidupan sosial Alfred
Schutz sebagai pengembangan dari fenomenologi Heidegger, dikarenakan secara
fenomena kehidupan religius yang seringkali mengalami konflik di beberapa
wilayah Indonesia. Kehidupan religius memilik sejarah di dalam pergolakan
masyarakat pada masa negara ini dibentuk hingga saat ini, misalnya terukir di
dalam sila pertama dari ideologi Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa. Di
samping itu, negara harus melindungi warganya yang menganut agama dan
kepercayaan (pada etnik) sesuai dengan keyakinannya masing-masing. Tiga
langkah fenomenologi kehidupan religius mengungkapkan tiga perilaku manusia
yang memiliki agama dan etnik dalam konflik sosial, yaitu dialog antarbudaya,
rekognisi sosial, dan manusia yang harmonis.
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
35
Universitas Indonesia
Bagan 6. Fenomenologi Kehidupan Religius (Heidegger, 2004: 68)
front of God]
Step II Step III
[to become, to come]
[to see, to know]
[to accept]
[to receive]
[to turn]
[to serve]
[to wait]
[the work of faith]
[the endurance of hope]
[the suffering of love]
Step I
[in front of God]
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
36
Universitas Indonesia
Bagan 7. Penerapan Fenomenologi Kehidupan Religius
Melayani dan menjamu
dimaknai sebagai keimanan
Tuhan, penderitaan cinta,
dan pupus harapan di
hadapan Tuhan.
Perubahan diri kepada Tuhan
sebagai tujuan utama dan
sekaligus kepada citra-berhala
sebagai ilusi secara terus-
menerus
[melayani]
[pupus harapan]
TAHAP II
Individu komunitas
mengubah dirinya dalam
konflik sosial
TAHAP III
Individu komunitas memaknai
dalam melayani dan menjamu yang
lain di dalam konflik sosial
[datang, menjadi]
[melihat, mengetahui]
[menerima]
[menjamu]
[berbalik]
[menanti]
[karya keimanan]
[penderitaan cinta]
TAHAP I
Individu komunitas terlibat dan
mengalami konflik sosial
[di hadapan Tuhan]
Mengalaminya dengan
kehadiran pengetahuan
berulang-ulang secara sosial
Rekognisi sosial Dialog antarbudaya Harmoni sosial
[manusia]
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
37
Universitas Indonesia
Ketiga, metode refleksi kritis (critical reflection). Untuk merefleksikan
manusia dalam konflik sosial secara kritis, kritis yang digunakan berdasarkan
pada pemikiran teori kritis. Teori yang dimaksud adalah teori yang melekat pada
pengetahuan manusia di dalam konflik sosial. Pengetahuan adalah “hanya yang
benar-benar dapat mengarahkan pada pengetahuan yang membebaskan dirinya
dari kepentingan manusia belaka dan didasarkan pada idea. Dengan kata lain,
pengetahuan yang mengambil sikap teoretis.”40
Berkaitan dengan fenomenologi
kehidupan religius, istilah “teori” dari theoros dipahami memiliki asal usul agama
(keyakinan). Theoros merupakan representasi dari kota-kota Yunani pada
perayaan publik. Melalui theoria, yakni melalui pengelihatan, manusia
meninggalkan dirinya dengan kejadian sakral. Konsep teori dan hidup dalam teori
menentukan signifikansi filsafat sepanjang masa. Berdasarkan pertimbangan itu,
realitas dipahami secara positivistik dan ontologi tradisional. Positivisme tampak
pada ilmu pengetahuan empiris analitik, sedangkan ontologi tradisional tampak
pada ilmu pengetahuan historis hermeneutik. Adanya relasi itu, konsepsi teori
sebagai proses penanaman personal menjadi apokrif. Oleh sebab itu, tampak
kesesuaian mimesis jiwa dengan proporsi alam semesta, yang tampak dapat
diakses oleh kontemplasi, hanya mengambil pengetahuan teoretis ke dalam
pelayanan internalisasi norma-norma dan dengan itu terasing dari tugas yang
legitimit (Habermas, 1971: 301-304).
Manusia dalam konflik sosial tak dapat dilepaskan dari kepentingan
pengetahuan konstitutif manusia (knowledge-constitutive human interests).
Kepentingan pengetahuan konstitutif menjelaskan pengetahuan dan kepentingan.
Fenomena konflik sosial menampakkan idea “melayani” sebagai tindakan
pembenaran motif pada ruang yang nyata. Tindakan pembenaran itu pada tingkat
individual disebut “rasionalisasi”, dan pada tingkat kolektif disebut “ideologi”.
Kedua tindakan pembenaran berisi kesadaran palsu yang terikat tidak
direfleksikan pada kepentingan, walaupun ilusinya otonom. Dengan demikian,
40
“The only knowledge that can truly orient is knowledge that frees itself from mere human
interests and is based on Ideas - in other words, knowledge that has taken a theoretical attitude”.
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
38
Universitas Indonesia
eksplorasi komprehensif atas dialog budaya dalam masyarakat multikultur
dipahami dengan metode refleksi kritis terhadap konsepsi mengenai dialog
antarbudaya dan rekognisi sosial. Refleksi kritis terhadap konsepsi-konsepsi itu
yang menyusupi pengetahuan dan keyakinan eksistensi manusia dalam kehidupan
sosial, akan menemukan kembali eksistensi manusia yang harmonis. Dengan
demikian, fenomenologi kehidupan religius dan refleksi kritis sama-sama
mengungkapkan triadik kehidupan manusia dalam keharmonisan, yaitu dialog
antarbudaya, rekognisi sosial dan harmoni sosial. Triadik kehidupan manusia
dalam keharmonisan dibagankan berikut ini:
Bagan 8. Triadik Kehidupan Manusia dalam Keharmonisan
1.9. Sistematika Penelitian
Sistematika penelitian ini disusun menjadi enam bab, yang dapat
dijelaskan sebagai berikut.
Bab I merupakan bab pendahuluan. Sebagai pendahuluan, dijelaskan latar
belakang masalah, permasalahan dan rumusan masalah, pernyataan tesis,
pertanyaan penelitian, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teori dan konsep,
kajian pustaka, metode penelitian, dan sistematika penelitian.
Bab II, III, IV dan V merupakan bab pembahasan penelitian ini. Dalam
bab II akan dijelaskan perbedaan pandangan moral dan budaya sebagai landasan
rasional manusia membedakan diri sendiri dari yang lain di dalam masyarakat
multikultur. Ada beberapa bentuk pandangan moral dan budaya, yaitu monisme
Harmoni
sosial
Dialog
antarbudaya
Rekognisi
sosial
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
39
Universitas Indonesia
moral, pluralisme, liberalisme, dan universalisme pluralis. Bab dua diakhiri
dengan respons terhadap bentuk-bentuk pandangan moral dan budaya.
Dalam bab III akan dijelaskan unsur-unsur pembentuk masyarakat
multikultur sebagai pijakan secara sosial seorang individu berelasi dengan yang
lain. Ada beberapa unsur pembentuk masyarakat multikultur, yaitu keragaman
moral dan budaya, identitas sosial, perbedaan, dan kehidupan publik. Bab ketiga
diakhiri dengan memunculkan keterbatasan masyarakat multikultur.
Dalam bab IV akan dijelaskan konflik sosial masyarakat multikultur
sebagai masalah utama manusia di dalam kehidupan sosial, politik, dan budaya.
Penjelasan konflik sosial diawali dengan memahami konflik sosial. Dari
pemahaman konflik sosial, dapat dijelaskan corak konflik masyarakat multikultur,
yaitu konflik nuansa agama dan konflik nuansa etnik. Bab keempat diakhiri
dengan kritik atas manusia sebagai makhluk berkonflik.
Dalam bab V akan dijelaskan dialog budaya masyarakat multikultur
sebagai pengolahan konflik sosial yang dimunculkan oleh seorang manusia.
Dialog budaya dijelaskan melalui dua tindakan, yaitu dialog antarbudaya sebagai
pendamai konflik dan rekognisi sosial sebagai peredam konflik. Bab kelima
diakhiri dengan menemukan kembali manusia yang harmonis.
Bab VI merupakan bab penutup yang akan menjelaskan kesimpulan,
catatan kritis, dan relevansi dalam kehidupan kekinian.
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
40
Universitas Indonesia
BAB II
PERBEDAAN
PANDANGAN MORAL DAN BUDAYA
2.1 Pengantar
Di dalam bab dua ini akan dijelaskan bentuk-bentuk pandangan moral dan
budaya yang berbeda-beda dalam sejarah peradaban manusia. Subyek pandangan
moral dan budaya adalah keragaman budaya di dalam masyarakat. Pandangan
moral dan budaya diproduksi oleh pemikiran rasional manusia di dalam
kehidupan sosial. Interpretasi individu terhadap pandangan moral dan budaya
yang berbeda-beda seringkali menimbulkan konflik antarindividu dalam perilaku
sosialnya. Bentuk-bentuk pandangan moral dan budaya, yaitu monisme moral,
pluralisme, liberalisme, dan universalisme pluralis. Di samping itu, akan
dijelaskan respons terhadap pandangan moral dan budaya yang berbeda-beda
tersebut.
2.2 Bentuk-bentuk Pandangan Moral dan Budaya
Pandangan moral dan budaya merupakan bentuk interpretasi seorang
manusia di dalam relasi sosial sebagai pandangan hidup. Interpretasi seorang
manusia terhadap moral dan budaya merupakan fenomena titik pijak seorang
individu dalam memahami realitas alam semesta dan berperilaku dalam
kehidupan sosial. Pandangan hidup dikonstruksi oleh pandangan dunia (world
view) seorang manusia di dalam kehidupan sosial. Pandangan dunia muncul dari
refleksi menyeluruh terhadap dunia dan Dasein (being-in-the-world) manusia.
Pandangan dunia disadari secara individual hadir dengan cara yang berbeda-beda.
Konstruksi pandangan dunia yang berbeda-beda dikategorikan menjadi dua, yaitu
pandangan dunia individual atau budaya dan pandangan dunia alamiah.
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
41
Universitas Indonesia
Pandangan dunia individual dibentuk oleh lingkungan sosial, seperti orang lain,
etnisitas, kelas sosial, dan tahap budaya yang berkembang. Setiap pandangan
dunia yang dibentuk secara individual berarti keluar dari pandangan dunia
alamiah (Heidegger, 1982: 5-6).1 Oleh karenanya, pandangan moral dan budaya
dikonstruksi oleh interpretasi rasional seseorang yang dominan dan kondisi sosial
yang melingkupinya.
Istilah “moral” dalam pandangan moral berasal dari bahasa Latin “mos,
moris” dan bentuk plural “mores” (adat istiadat), yang berarti awalnya hanya cara-
cara di mana orang berperilaku. Istilah moral berkembang pesat pada cara di mana
ia merasa diinginkan, benar atau tepat (right or proper) bahwa orang harus
bersikap dan memberi dimensi normatif dengan istilah deskriptif sebelumnya dari
“ethos” dalam bahasa Yunani. Dari perkembangan itu, kemudian penekanan pada
pedoman moral yang cepat memperoleh status dan kekuatan preskripsi atau aturan
dalam kaitannya dengan tindakan, keinginan, niat atau karakter orang (Aspin,
2000: 31).2 Peraturan dan norma dalam kehidupan sosial menandai ketertanaman
budaya pada moralitas yang tampak pada cara di mana adat, perayaan, dan ritual
budaya mewujudkan dan memberi makna pada nilai-nilai moralnya. Oleh sebab
itu, dapat dipahami di sini bahwa:
“Moralitas adalah yang berkaitan dengan jenis kehidupan yang layak
dijalani, aktivitas yang layak dikerjakan, dan bentuk relasi manusia yang
layak diolah.”
[Morality is concerned with what kind of life is worth living, what
activities are worth pursuing, and what forms of human relations worth
cultivating] (Parekh, 2000: 114).
1 “A world-view always includes a view of life. A world-view grows out of an all-inclusive
reflection on the world and the human Dasein, and this again happens in different ways, explicitly
and consciously in Individuals or by appropriating an already prevalent world-view. …must
distinguish the individually formed world-view or the cultural world-view from the natural world-
view.” 2 “The word 'moral' comes from the Latin ('mos, moris', plural mores') and meant initially simply
the ways in which people behaved.”
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
42
Universitas Indonesia
Moralitas mensyaratkan kriteria kelayakan atau arti, yang selanjutnya
mensyaratkan sistem makna atau budaya. Setiap sistem moralitas ditanamkan dan
dipelihara oleh budaya yang lebih luas dan hanya dapat diubah dengan mengubah
yang mutakhir. Budaya membentuk dan menstrukturisasi kehidupan moral
termasuk cakupan, isi, otoritas, dan jenis emosi yang berkaitan dengannya. Dalam
perilaku sosial banyak budaya tradisional melihat alam sebagai totalitas spiritual
dan menganggap sikap manusia kepada alam sebagai keprihatinan moral. Namun,
kebanyakan masyarakat modern berpandangan yang “tidak mengikat” mengenai
alam dan memosisikan relasi manusia dengan alam di luar lingkup moralitas.
Misalnya, dalam beberapa budaya, makanan dilihat sebagai anugerah Tuhan atau
sarana memertahankan tubuh yang diberi Tuhan, dan apa yang dimakan,
bagaimana dan dengan siapa adalah urusan moral. Namun, dalam budaya lain,
makanan tidak memiliki arti moral. Banyak budaya Protestan menekankan
dimensi internal moralitas dan memperlakukannya sebagai aspek kehidupan yang
terpisah dan otonom. Cina, Hindu, dan beberapa masyarakat Afrika menanamkan
moralitas di dalam sistem ritual dan konvensi sosial, serta beberapa yang lain
tidak punya kata terpisah. Oleh sebab itu, penghormatan terhadap kehidupan
manusia tidak selalu merupakan prinsip moral abstrak, akan tetapi juga dapat
diwujudkan dalam prinsip moral konkret, seperti adat dan ritual yang mengelilingi
kita (Parekh, 2000: 144-145).
Istilah “budaya” yang dimaksud pada pandangan budaya adalah untuk
mengacu kepada suatu sistem, seperti pada keyakinan dan praktik. Budaya berasal
dari bahasa Latin colere yang berarti “untuk sampai” atau “mengolah”. Istilah
budaya mulai digunakan pada Abad ke-18 dan sekarang digunakan secara luas
pada keragaman semantik (Iannone, 2001: 130).3 Misalnya, istilah budaya
dimaknai dengan istilah “bildung” dan bentuk-bentuk yang terkait, seperti
“pengolahan,” “diolah.” Gadamer mendefinisikan budaya sebagai cara
mengembangkan bakat dan kapasitas seorang manusia secara tepat (Gadamer,
3 “Culture from the Latin colere, i.e. „to till‟ or „cultivate.”
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
43
Universitas Indonesia
2004: xii). Dalam istilah bildung tersebut terdapat akar kata bild, “bentuk,”
“imajinasi” dan lebih khusus, “gambar.” Oleh sebab itu, pengolahan adalah proses
“membentuk” diri sesuai di dalam “imajinasi” ideal dari manusia.4 Dengan
maksud penggunaan itu, dapat dijelaskan bahwa:
“Budaya adalah suatu sistem makna dan arti yang dibuat secara historis
atau, apa yang hadir pada sesuatu yang sama, sistem keyakinan dan
praktik di mana sekelompok manusia memahami, meregulasi dan
menstrukturisasi kehidupan manusia secara individual dan kolektif.”
[Culture is a historically created system of meaning and significance or,
what comes to the same thing, a system of beliefs and practices in terms of
which a group of human beings understand, regulate and structure their
individual and collective lives] (Parekh, 2000: 143).
Budaya dapat diartikulasikan di dalam beberapa tingkat. Pada tingkat yang
paling dasar, budaya direfleksikan di dalam “bahasa”, sebab itu budaya
ditanamkan dalam bentuk pribahasa, pepatah, mitos, ritual, simbol, memori
kolektif, lelucon, bahasa tubuh, model komunikasi nonbahasa, adat istiadat,
tradisi, institusi, dan tata cara percakapan. Pada tingkat yang terstruktur dan tertata
di kehidupan manusia, budaya diartikulasikan dalam “peraturan dan norma” yang
mengatur aktivitas dasar dan relasi sosial, seperti bagaimana, di mana, kapan dan
dengan siapa orang makan, menikah dan bercinta, bagaimana orang berkabung
dan melupakan kematian, serta memperlakukan orang tua, anak-anak, isteri,
tetangga, dan orang asing (Parekh, 2000: 143-144).
Moral dan budaya tersebut didasarkan pada interpretasi apa yang diyakini
dan dipraktikkan oleh seorang individu di dalam kehidupan sosial. Interpretasi
seseorang terhadap dirinya, orang lain atau apa pun mengkonstruksi perbedaan
pandangan. Realitas tersebut menjelaskan bahwa pandangan moral dan budaya di
4 “Bildung is translated by „culture‟ and related forms such as „cultivation,‟ „cultivated.‟ …
Gadamer defines Bildung as properly human way of developing one's natural talents and
capacities. … „Cultivation‟ is a process of „forming‟ the self in accordance within an ideal
„image‟ of the human.”
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
44
Universitas Indonesia
dalam kehidupan sosial menjadi berbeda-beda. Berikut ini disampaikan bentuk-
bentuk pandangan moral dan budaya di dalam kehidupan sosial.
2.2.1 Pandangan Monisme Moral terhadap Moral dan Budaya
Monisme secara filosofis adalah sikap seorang manusia yang merespons
realitas kehiduapan secara normatif dengan sudut pandang tunggal terhadap
pemahaman dualistik, terutama budaya dan alam sekitarnya (Weir, 2012: 1).5
Pandangan monisme moral terhadap moral dan budaya dapat dijelaskan ke dalam
tiga bentuk perspektif, yaitu monisme rasionalis filsafat Yunani, monisme teologis
Kristen, dan monisme regulatif liberalisme klasik. Monisme moral termasuk
pandangan moral yang paling tua dan berpengaruh di dalam peradaban manusia.
Pandangan monisme moral mengacu pada pemikiran bahwa:
“Hanya ada satu jalan hidup yang benar-benar manusiawi, atau yang
terbaik, sedangkan yang lainnya cacat karena kekurangan.”
[Only one way of life is fully human true, or the best, and that all others
are defective to the extent that they fall short of it] (Parekh, 2000: 16).
Yang baik, seperti kebenaran, bersifat tunggal atau keseragaman dalam kehidupan
sosial, sedangkan kejahatan, seperti kesalahan, bersifat keragaman dalam
kehidupan sosial. Meskipun monisme moral mengakui keyakinannya yang
terbaik, namun mereka tidak memaksakan seluruh manusia atau masyarakat untuk
harus hidup dengan keyakinannya (Parekh, 2000: 16).
Pemikiran filosofis yang diyakini oleh monisme moral didasarkan pada
empat keyakinan fundamental. (a) Keseragaman sifat manusia. Dengan
keseragaman sifat, semua manusia, meski berbeda ruang dan waktu, sama-sama
memiliki kapasitas yang unik, watak, dan hasrat.6 Perbedaan hanya menentukan
5 “Against dualistic understandings of human reality, thet seek to analyze nature and culture from
a single vantage point. Philosophically, this stance is called monism.” 6 “The uniformity of human nature, that is, all human beings, however much they are divided by
time and space, share a common consisting of certain unique capacities, dispositions and desires”.
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
45
Universitas Indonesia
partikularitas manusia, bukan humanitasnya. (b) Keutamaan moral dan ontologis
adalah kesamaan atas perbedaan.7 Kesamaan jauh lebih penting secara ontologis
daripada perbedaan. (c) Karakter manusia transendental secara sosial.8 Meski
berkembang di dalam masyarakat, namun karakter manusia tidak dipengaruhi oleh
masyarakat. (d) Sifat manusia sebagai dasar kehidupan yang baik, atau apa yang
terlintas dalam sesuatu, menegaskan kesatuan yang baik dan benar.9 Sifat manusia
demikian itu merupakan differentia specifica pada spesies manusia, yakni
intelektual teoretis, cinta Tuhan, atau kapasitas bagi kehendak diri dan otonomi
(Parekh, 2000: 16-18). Empat fundamen pemikiran filosofis tersebut dapat dilacak
pada tiga bentuk monisme moral berikut.
Pertama, monisme rasionalis filsafat Yunani. Dua filsuf Yunani kuno yang
sangat berpengaruh pada monisme rasionalis, yaitu Plato dan Aristoteles. Plato
mengatakan bahwa “manusia tidak berbeda, di mana spesies yang berbeda
membentuk hierarki yang didasarkan pada sejauh mana menyadari totalitas
kebaikan atau Ide dari yang Baik”.10
Sifat manusia, menurut Plato, terdiri dari
rasio, jiwa, dan hasrat. Rasio dijelaskan sebagai sesuatu yang bersifat teoretis dan
sekaligus praktis. Jiwa adalah sumber energi psikologis yang mengungkapkan
emosi, seperti rasa hormat, ambisi, dan kemarahan. Hasrat merupakan unsur yang
berhubungan dengan tubuh dan kebutuhan lainnya. Dari tiga sifat tersebut, rasio
adalah sumber pengetahuan yang tertinggi tentang good life. Walaupun
mengatakan manusia tidak berbeda, akan tetapi Plato membedakan bahwa antara
good life dalam pandangan masyarakat Yunani dan masyarakat Phoenix atau
Mesir (Parekh, 2000: 19).
Pembedaan antara Yunani dan non Yunani mengimplikasi adanya relasi
antara yang diatur oleh prinsip-prinsip yang berbeda dengan yang mengatur.
7 “The moral and ontological primacy is similarities over differences.”
8 “The socially transcendental character is human nature.”
9 “Human nature as the basis of good life or, what comes to the something, asserts the unity of
good and truth.” 10
“Human beings were no different,…Different species formed a hierarchy based on the degree to
which they realized the totality of goodness or the Idea of the Good.”
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
46
Universitas Indonesia
Menurut Plato, semua orang Yunani merupakan orang tunggal, kerabat, dan
bersahabat dengan alam. Namun, antarindividu Yunani seringkali saling
berkelahi, sebab adanya perbudakan, sedangkan individu-individu non Yunani
adalah musuh alamiah individu Yunani. Konflik sosial untuk nasionalisme bangsa
Yunani tersebut merupakan penguasaan subyek-subyek inferior (Parekh, 2000:
20-21).
Aristoteles juga meyakini bahwa rasio adalah kemampuan manusia
tertinggi, serta bersifat teoretis dan praktis. Rasio teoretis adalah ilahi dan abadi,
meskipun bagian integral dari sifat manusia, yang masuk dari sisi luar. Rasio
teoretis lebih tinggi dari rasio praktis karena mandiri, bebas dari kendala duniawi,
dan memungkinkan manusia untuk berpartisipasi dalam eksistensi menyerupai
Tuhan.11
Berbeda dengan kehidupan rasio praktis, yang melibatkan
pengembangan dan pelaksanaan kebaikan moral dan politik, seperti keadilan dan
keberanian yang memerlukan manusia lain, kehidupan rasio teoretis yang
ditujukan untuk kontemplasi adalah mandiri dan bebas dari respons kontingen
orang lain (Parekh, 2000: 21).
Plato dan Aristoteles memposisikan manusia pada antara Tuhan dan
binatang.12
Rasio teoretis adalah yang paling tinggi, sedangkan hasrat merupakan
yang paling rendah karena lebih dekat dengan binatang. Plato mengatakan bahwa
manusia adalah binatang yang rasional dan Aristoteles mengatakan bahwa
manusia adalah binatang yang berpolitik. Bahkan, monisme moral memisahkan
rasio dan moralitas dari budaya yang melekat pada masyarakat. Plato hanya
mengakui dominasi rasio, spirit dan hasrat di dalam masyarakat, akan tetapi tidak
memiliki makna budaya. Begitu juga, Aristoteles hanya menekankan signifikansi
kelas-kelas sosial dan relativitas kriteria keadilan (Parekh, 2000: 22-23).
Kedua, monisme teologis Kristen. Ada dua filsuf sekaligus teolog yang
mempengaruhi pandangan ini, yaitu Santo Agustinus dan Santo Thomas Aquinas.
11
“It was higher than practical reason because it was self-sufficient, free from worldly constraints,
and enabled human beings to participate in God-like existence.” 12
“Humans occupied an intermediate position between God and animals.”
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
47
Universitas Indonesia
Pandangan monisme teologis Kristen didasarkan pada keyakinan bahwa “hanya
agama Kristen yang merepresentasikan agama yang satu dan benar.”13
Augustinus
dan Aquinas meyakini bahwa “agama adalah benar-benar dasar hidup yang baik,
hanya agama Kristen adalah agama yang benar, hanya Gereja Katolik sebagai
penjaga yang diberi otoritas, dan hanya satu keyakinan itu yang tidak dapat
dipertanyakan merupakan jalan menuju keselamatan”.14
Sedangkan, moralitas
hanya merupakan langkah menuju kehidupan dunia lain yang merepresentasikan
takdir manusia akhir. Oleh sebab itu, kehidupan moral sebenarnya membutuhkan
dasar religius di mana semakin berkualitas moralitasnya semakin benar agama
yang mendasarinya (Parekh, 2000: 24).
Monisme teologis Kristen dalam kehidupan sosial mengenalkan ide-ide
universalisme moral, dan karya misionaris.15
Dengan pengenalan ide-ide tersebut
pandangan ini menghadapi dua masalah, baik secara internal maupun eksternal.
Secara internal pandangan monisme teologis Kristen seharusnya menghargai
pluralisme hermeneutik ketika doktrin utama diinterpretasikan dengan cara yang
berbeda-beda. Secara eksternal pandangan itu seharusnya merangkul pluralisme
religius ketika fenomena kekristenan berkonfrontasi dengan agama-agama lain,
seperti Yudaisme, Paganisme, dan Islam (Parekh, 2000: 25). Konfrontasi dengan
Yudaisme ditunjukkan pada interpretasi bahwa fenomena kekristenan adalah satu-
satunya agama yang benar, yang menggantikan Yudaisme, dan seorang Yahudi
yang memahami keyakinannya harus konversi ke agama Kristen, akan tetapi
realitasnya bahkan terjadi konflik antara Kristen dan Yudaisme (Parekh, 2000: 27;
30).16
Kini konfrontasi tersebut sudah didialogkan dengan reinterpretasi kitab
suci. Dalam kitab suci Perjanjian Baru, Yesus berfirman bahwa “orang-orang non
13
“The belief was that Christianity alone represented the „one and true‟ religion.” 14
“Religion was the basis of the truly good life, Christianity was the only true religion, the
Catholic Church was the only authorized custodian of it, and an unquestioning faith in it was the
only way to salvation.” 15
“Christian monism introduced the ideas of moral universalism, and missionary work.” 16
“His main concern was to show that it was a false and immoral religion”.
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
48
Universitas Indonesia
Yahudi akan berbagai kerajaan surga dan akan dinilai pada dasar yang sama
sebagai orang-orang beriman”. Monisme teologis Kristen pun menyadari bahwa
pandangannya telah menjadi sumber bagi banyak sikap intoleran dan kekerasan
atas orang-orang Yahudi, Muslim, etnik asli Indian, dan lainnya. Atas kesadaran
itu, pandangan teologis Kristen telah mendamaikan semuanya dengan komitmen
terhadap cinta dan antikekerasan (Parekh, 2000: 32-33).
Ketiga, monisme liberalisme klasik. Pandangan ini berasal dari
rasionalisme Yunani dan universalisme Kristen. Ada dua filsuf yang
dikategorikan sebagai monisme liberalisme klasik, yaitu John Locke dan John
Stuart Mill. Monisme liberalisme klasik berpandangan bahwa “fenomena
kekristenan merupakan satu-satunya agama yang mengembangkan nilai-nilai
liberal atas martabat manusia, kebebasan, kesetaraan, bahkan perbedaan pendapat,
dan sendirian layak menjadi manusia bebas”.17
Pandangan ini tidak dapat
dilepaskan dari kondisi sosial dan ideologi kolonialisme sebagai fenomena
historis eksternal. Selain itu, monisme liberalisme klasik menekankan dan
menginstitusionalisasikan ide-ide, seperti peraturan hukum, kesetaraan warga
negara, individu sebagai pemegang satu-satunya hak dan kewajiban, serta relasi
langsung dan tak termediasikan relasi antara warga dan negara (Parekh, 2000: 33-
34).
Pemikiran Locke dan Mill didasarkan pada keyakinan bahwa “hidup yang
baik sebagai ikatan universal dan menilai semua masyarakat, serta jalan hidup
menurut diri mereka sendiri”.18
Locke mengatakan bahwa “semua manusia
memiliki martabat dan hak-hak yang setara”. Dengan konsepsi manusia itu,
menurut Locke, masyarakat rasional diperintah oleh hukum postif dan umum
yang disahkan oleh badan legislatif tertinggi, bukan oleh praktik-praktik dan adat
17
“Christianity was the only religion to develop the liberal values of human dignity, freedom,
equality and even dissent, and was alone worthy of a free man.” 18
“… the good life as universally binding and judged all societies and ways of life in terms of
them.”
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
49
Universitas Indonesia
istiadat tradisional.19
Di samping itu, Mill menambahkan bahwa manusia adalah
makhluk yang paling tinggi di bumi dan harus memimpin kehidupan yang bernilai
dengan statusnya (Parekh, 2000: 36-37; 40).20
Dengan demikian, pandangan monisme moral di atas sebagai sikap
filosofis memiliki beberapa kekurangan dalam kehidupan masyarakat multikultur.
Kekurangan pandangan monisme moral ketika menjelaskan manusia yang
tertanam secara budaya di mana budaya tidak hanya memberi sifat dan struktur
pada kapasitas manusia bersama melainkan juga mengembangkan sendiri hal-hal
baru. Dengan pandangan seperti, kapasitas manusia mengalami konflik karena
tiga alasan. Pertama, secara intrinsik, karena manusia seringkali membutuhkan
keterampilan, sikap dan watak yang berbeda-beda, bahkan saling berlawanan.
Kedua, limitasi kondisi manusia, karena energi, motivasi dan sumber daya
manusia perlu dibatasi dan seseorang hanya bisa mengolah beberapa kapasitasnya.
Ketiga, hambatan kehidupan sosial, karena setiap tatanan sosial memiliki struktur
yang spesifik dengan kecenderungan yang tak terhindarkan untuk
mengembangkan beberapa kapasitas lebih daripada yang lainnya, dan hanya
membiarkan cara-cara penggabungannya secara tertentu. Atas dasar alasan
tersebut, pandangan monisme moral telah melakukan bahaya konstan yang
merupakan kesalahpahaman besar bagi cara hidup yang lain dan mengakibatkan
bencana hermeneutik. Selain itu, monisme moral memandang bahwa perbedaan
sebagai penyimpangan, sebagai ekspresi patologi moral (Parekh, 2000: 47-49).
19
“… All human beings had equal dignity and rights …” A rational society was governed not by
customs and traditional practices but by general and „positive laws‟ enacted by the supreme
legislative”. 20
“Man is the highest being on earth and should lead a life worthy of his status”.
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
50
Universitas Indonesia
2.2.2 Pandangan Pluralisme terhadap Moral dan Budaya
Pluralisme dalam pandangan terhadap moral dan budaya yang
dimaksudkan adalah sebuah teori tentang sifat manusia dari nilai-nilai yang
direalisasikannya yang membuat good life.21
Perhatian utama pluralisme kepada
relasi di mana nilai-nilai itu hadir antara satu sama lain, identitas nilai-nilai
pluralis, qua pluralis, dan hanya yang relevan untuk memahami relasi pluralis.
Singkatnya, pluralisme merupakan sebuah teori tentang salah satu aspek dari good
life (Kekes, 1993: 9). Pandangan pluralisme terhadap moral dan budaya
didasarkan pada keyakinan bahwa “keragaman budaya merupakan substansi dari
setiap masyarakat di seluruh dunia”. Dalam pandangan pluralisme ada tiga
pemikiran filsuf, yaitu Giambattista Vico, Baron de Montesquieu, dan Johann
Gottfried von Herder.
Sifat manusia, menurut Vico, adalah produk historis, bukan substansi
transhistoris, yang dikembangkan secara berbeda, serta diekspresikan dalam epos
dan masyarakat yang berbeda.22
Adanya perbedaan di dalam masyarakat, menurut
Montesquieu, menjelaskan keragaman budaya adalah sifat kehidupan manusia
yang berkembang perlahan-lahan dan mutlak.23
Oleh karena itu, setiap masyarakat
mempunyai adat, praktik, cara, sistem hukum, struktur keluarga, dan bentuk
pemerintahan yang berbeda. Perbedaan dalam masyarakat itu, menurut Herder,
menunjukkan budaya yang secara unik dikaitkan dengan pengalaman kelompok
masyarakat, nenek moyang dan keturunan historisnya, dan mengungkapkan cara
di mana para anggota kelompok masyarakat itu memahami dan secara imajinatif
menginterpretasikan pengalamannya (Parekh, 2000: 52; 56; 67).24
Vico menekankan keunikan setiap masyarakat “atas dasar keadaan
geografis, historis dan bentuk pemahaman diri yang beragam, masyarakat yang
21
“Pluralism is a theory about the nature of the values whose realization would make lives good.” 22
“Human nature was a product of history not a transhistorical substance, and was differently
developed and expressed in different epochs and societies.” 23
“Cultural diversity was a pervasive and inescapable feature of human life.” 24
“Every culture was uniquely associated with the experiences of a volk, its progenitor and
historical bearer, and expressed the way in which its members understood and imaginatively
interpreted these experiences.”
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
51
Universitas Indonesia
berbeda mengorganisasi dirinya sendiri pada prinsip-prinsip yang berbeda”. 25
Dengan dasar ini, manusia mengembangkan kapasitas, kebutuhan, ide-ide
keunggulan, bentuk rekognisi, model imajinasi dan sistem keyakinan yang
berbeda, serta memunculkan bentuk yang berbeda dari aktivitas artistik dan
literasi. Oleh sebab itu, manusia bertanya dengan pertanyaan yang berbeda
tentang hidup dan dunianya, serta menjawabnya dengan caranya sendiri yang
unik. Menurutnya, setiap masyarakat adalah komunitas budaya yang berbeda-beda
di dalam sebuah bangsa (nation).26
Vico adalah salah satu pemikir yang pertama
menggunakan istilah bangsa dalam pandangan modern. Misalnya, heroisme,
Homer dan Achilles, hanya mungkin di Yunani kuno, tidak bisa direproduksi pada
tempat lain (Parekh, 2000: 50-51).
Konsep manusia Vico, meskipun kurang substantif daripada Plato dan
kurang esensial daripada Aristoteles, tidak formal murni bahwa “sebagai anggota
dari spesies umum, manusia bersama-sama menggunakan beberapa sifat umum”.
Manusia memiliki keinginan yang identik, sifat buruk yang umum dalam bentuk
kebuasaan, ketamakan dan ambisi, serta kapasitas umum, misal berpikir,
imajinasi, dan pandangan umum atau penilaian tanpa refleksi. Manusia juga
bersama-sama menggunakan bahasa mental umum atau kosa-kata umum yang
diletakkan pada dasar dan diekspresikan secara berbeda dalam bahasa yang
berbeda, sehingga mengapa pepatah dan peribahasa dari masyarakat yang berbeda
secara substansial bermakna sama dan mudah dipahami oleh orang lain. Oleh
sebab itu, manusia memulai sejarahnya dilengkapi dengan sifat yang sama
(Parekh, 2000: 52).
Zaman manusia menandai tahap ketiga dan terakhir. Namun, Vico tidak
menjelaskan ketiga zaman itu, akan tetapi berpikir bahwa zaman terakhir dimulai
di Eropa dengan kebangkitan Republik Roma. Dalam pola teleologisnya
dikatakan bahwa tiap zaman merupakan tahap dalam peningkatan realisasi sifat
25
“Thanks to their varying geographical circumstances, history and forms of self-understanding,
different societies organized them-selves on different principles”. 26
“Every society was a district cultural community, a „nation”.
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
52
Universitas Indonesia
manusia yang benar dan tepat atau “humanitas rasional”. Realisasi paling utuh
dari humanitas rasional adalah representasi tahap tertinggi dari perkembangan
manusia. Menurutnya, secara umum realisasi itu terjadi di dalam harmoni rasio
dan agama. Selain itu, hanya masyarakat yang mengharmoniskan keduanya
merupakan realisasi dari potensi manusia dan jaminan stabilitas dan kebaikan.
Dalam visinya humanitas rasional dikembangkan untuk menilai agama,
masyarakat dan epos historis yang berbeda. Penilaian Vico bahwa:
“Hanya fenomena kekristenan adalah agama yang benar, karena
menyadarkan pada ide Tuhan yang murni dan sempurna, artikulasi visi
kebaikan yang tertinggi yang mulia dan noninstrumental, berisi kebenaran
yang mendalam yang menarik perhatian para filsuf yang terpelajar dari
orang-orang non Yahudi dan merekonsiliasikan kearifan otoritas wahyu
dan rasio.”
[Christianity was the only „true‟ religion because, among other things, it
rested on an „infinitely pure and perfect idea of God‟, articulated a noble
and non-instrumental vision of the highest good, contained truths so
profound that they attracted the „most learned philosophers of gentiles‟,
and reconciled the „wisdom of revealed authority with that of reason]
(Parekh, 2000: 54).
Montesquieu memiliki sensitivitas keragaman budaya sebagai sifat hidup
manusia yang pervasif dan mutlak.27
Setiap masyarakat mempunyai adat, praktik,
cara, sistem hukum, struktur keluarga dan bentuk pemerintahan, serta masing-
masing mendorong hasrat, moral, kebaikan dan sikap perilaku yang berbeda,
bentuk keunggulan dan konsepsi hidup yang baik. Keragaman budaya
menimbulkan dua pertanyaan, eksplanatoris dan normatif. Pertama, mengapa
masyarakat memunculkan praktik-praktik dan adat-adat yang berbeda? Kedua,
bagaimana menilai hal itu? Praktik adalah bukan kebetulan atau absurd, tapi
rasional, kebutuhan, alami atau mudah dipahami. Eksplanasi adalah aktivitas
nonpenilaian, tapi untuk memahami dan eksplorasi rasionalitas explicandum.
27
“Cultural diversity was a pervasive and inescapable feature of human life”.
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
53
Universitas Indonesia
Misalnya, rasionalitas praktik perbudakan dan poligami yang mengundang kritik
(Parekh, 2000: 55-56).
Kaitan praktik dan struktur sosial sebagai alasan fisik dan moral yang
saling berpengaruh.28
Bagi Montesquieu, alasan fisik bersifat independen terhadap
agensi manusia dan meliputi, seperti ukuran, daratan dan lokasi negara, sifat
tanah, sumber ekonomi dan di atas semuanya iklim. Alasan moralnya mengacu
pada tindakan manusia dan institusi, khususnya bentuk pemerintahan, hukum dan
agama. Dengan saling berpengaruhnya kedua alasan, setiap masyarakat
mengembangkan genius atau spirit nasional yang berbeda, meskipun derivasi
sifatnya memunculkan pengaruh independen dan praktik, dan institusi sosial yang
integral ke dalam keseluruhan secara koheren. Iklim memainkan pengaruh yang
menentukan di dalam masyarakat terbelakang. Misalnya, praktik poligami secara
luas di negara beriklim panas. Alasan fisiknya, perempuan dewasa lebih dini dan
siap menikah lama sebelum berkembang pemikirannya. Selain itu, kebutuhan
orang lebih sedikit dan lebih mudah dipenuhi untuk mempertahankan keluarga
besar. Sebaliknya, di negara beriklim dingin, praktik poligami sangat tidak
disetujui. Alasan moralnya, iklim berdasarkan justifikasi agama dan hukum,
sebagai institusi manusia yang paling kuat. Menurutnya, ada tiga sumber standar
moral universal, yaitu sifat segala sesuatu, hukum sifat manusia, dan analisis
sosiologis pengalaman manusia (Parekh, 2000: 56-58).
Atas dasar tiga sumber standar moral universal itu, Montesquieu
memberikan visi yang berbeda tentang good life dan tubuh standar moral
universal, yaitu:
“Keamanan, kebebasan, keluarga stabil, relasi kesehatan antar jenis
kelamin, pengendalian diri, kelembutan gairah, industri dan penghindaran
dogmatisme, serta keyakinan yang kuat merupakan kualitas yang
diinginkan secara universal. Begitu juga, kesetaraan, rasa keadilan, cinta,
humanitas, otonomi personal, spirit penyelidikan bebas, toleransi, hukum
umum dan tetap, check and balance dalam ranah kehidupan personal,
28
“Montesquieu explained social structures and practices in terms of what he called physical and
moral causes”.
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
54
Universitas Indonesia
keluarga dan politik, serta pengendalian konstitusional pada kekuatan
politik. Agama menjadi basis kehidupan sosial yang dibutuhkan.”
[Security, liberty, stable family, healthy relations between the sexes, self-
restraint, mildness of passion, industry and avoidance of strong
convictions and dogmatism were all universally desirable qualities, and so
too were equality, a sense of justice, love, humanity, personal autonomy,
the spirit of free inquiry, toleration, settled and general laws, checks and
balances in personal, familial and political areas of life, and
constitutional restraints on political power. …religion was the necessary
basis of social life] (Parekh, 2000: 59).
Di samping itu, Montesquieu sangat simpatik kepada masyarakat modern
komersial sebagai liberalisme konservatif. Pandangannya bahwa masyarakat itu
telah menciptakan kondisi good life, yaitu peningkatan penguasaan manusia atas
alam, memelihara moderasi, mengecilkan nafsu dan keyakinan yang kuat, serta
menguatkan kelembutan watak dan perasaan. Pada sisi yang lain masyarakat
modern komersial meningkatkan konsumerisme, mengecilkan kebaikan yang
berjalan melampaui keadilan yang pasti, seni yang vulgar, menciptakan iklim
yang di dalamnya segala sesuatu hanya dilakukan demi uang, dan lainnya.
Montesquieu berpikir bahwa “meski tidak sempurna, masyarakat komersial
berada pada kesimbangan yang lebih baik daripada semua masyarakat masa lalu
dan paling baik dalam harmoni dengan pengetahuan tentang sifat dan kehidupan
manusia.” Oleh sebab itu, pada masyarakat non Eropa akan banyak membantu
memperbaiki kekerasan yang kejam dan perkembangan spirit rasional yang baru
(Parekh, 2000: 61).
Herder menolak pandangan monisme bahwa “budaya adalah hasil warisan
banyak produk yang berbeda dari alam manusia yang dimiliki bersama secara
universal”.29
Menurut Herder, sifat manusia adalah lumpur liat yang berbeda
dicetak oleh budaya yang berbeda.30
Atas dasar itu, komunitas budaya merupakan
titik awal filsafat moral dan politik, bukan individu abstrak dari imajinasi
29
“Cultures were so many different by products of a universally shared human nature”. 30
“Human nature was a „pliant clay‟ differently moulded by different cultures”.
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
55
Universitas Indonesia
kontraktualis, bukan pula sifat manusia yang diajukan filsuf-filsuf Yunani kuno.
Oleh sebab itu, secara unik setiap budaya dikaitkan dengan pengalaman
komunitas, nenek moyang dan keturunan historisnya, dan mengungkapkan cara di
mana anggota memahami dan menginterpretasikan pengalaman-pengalamannya
secara imajinatif. Alam telah meletakkan tendesi menuju keragaman di dalam hati
manusia (Parekh, 2000: 67-68).
Posisi Herder di antara Vico dan Montesquieu terletak pada penekanan
bahasa sebagai batasan budaya. Menurut Herder, setiap komunitas budaya
memiliki bahasa sendiri dan sebagai komunitas bahasa yang berbeda. Bahasa
adalah basis dan media pemikiran. Setiap bangsa berbicara dengan caranya
berpikir, dan berpikir dengan caranya bicara.31
Penggunaan bahasa merupakan
bentuk partisipasi dalam hidup, mengalami dan memandang dunia dengan cara
partikular, terikat dengan sesama pengguna bahasa dalam ikatan yang indissoluble
(tak berwujud) dan intangible (tak terpecah) dari memori, sentimen, tradisi dan
kebanggaan bersama. Kehendak tak dapat bebas, akan tetapi manusia dapat bebas.
Rasio tak transenden secara alamiah, akan tetapi tertanam secara budaya, dan
model fungsinya diikat erat dengan tradisi budaya. Komitmen pada budaya
didasarkan pada prasangka (prejudice), penerimaan penuh warisan dengan nilai
kebanggaan dan keyakinan, bukan keyakinan rasional atas pertimbangan
utilitarian. Oleh sebab itu, Herder menegaskan bahwa “semua moralitas adalah
konkret dan kontekstual”.32
Bukan universalisme moral yang dipikirkan oleh
Montesquieu. Misalnya, perbudakan itu pelanggaran, bukan sebab semua manusia
sama pada dasarnya, akan tetapi sebab telah merenggut manusia dari habitat alam
dan sosial yang memproduksi kegilaan, kebingungan, keputusasaan dan pasti
semua manusia tidak ingin diperbudak (Parekh, 2000: 68-70).
Herder mengritik keras pemikiran zaman Pencerahan sebab mereka asyik
dengan ras dan mendukung rasisme, baik eksplisit ataupun implisit. Selain itu, ia
mengutuk negara Romawi kuno sebab menghancurkan peradaban asli, serta
31
“Every nation speaks in the manner it thinks and thinks in the manner it speaks”. 32
“All morality was concrete and contextual”.
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
56
Universitas Indonesia
mengritik keras misionaris Kristen sebab mengubah agama orang lain dengan
paksa atau dengan iming-iming uang dan kebutuhan lainnya kepada manusia pada
kerajaan Eropa besar. Dari beberapa kritik itu, Herder merupakan pemikir liberal,
seperti Mill, Tocqueville, dan lainnya. Baginya, liberalisme memerlukan spirit
kuat nasionalitas dan kesatuan budaya. Maksudnya bahwa negara lemah, karena
itu diperlukan prasyarat kebebasan individual. Budaya adalah “produk imajinasi
manusia, kreativitas, dan pencarian terhadap pemahaman dirinya” (Parekh, 2000:
71-72).33
Atas dasar pandangan pluralisme terhadap moral dan budaya di atas, ada
tujuh kekeliruan di dalam memahami budaya, sebagai berikut.
Pertama, fallacy of holism (keliru holisme). Keliru jika budaya dipandang
sebagai satu kesatuan organis dan terintegrasi, serta menolak keragaman dan
ketegangan internal. Kedua, fallacy of distibentunctness (keliru pembedaan).
Keliru jika budaya diasumsikan sebagai unit tersendiri, yang memiliki keunikan
spirit, etos atau prinsip organisasi, dapat diindividualisasi dan dibedakan dengan
mudah antara satu dan lainnya. Ketiga, positivist, historicist or end-of-history
fallacy (keliru positivis, historis atau akhir-sejarah). Keliru jika budaya dipandang
statis. Budaya dikatakan sebagai produk historis yang panjang, tetapi harus
dipertahankan secara lebih utuh. Bahkan, budaya dikatakan sebagai representasi
capaian tertinggi manusia yang menandai akhir-sejarah (Parekh, 2000: 77-78).
Keempat, fallacy of ethnocization of culture (keliru etnikisasi budaya).
Keliru jika budaya dilihat sebagai ekspresi yang unik dan organis dari spirit, jiwa,
karakter nasional, tingkat perkembangan mental atau hasrat dan insting terdalam
dari komunitas. Kelima, fallacy of closure (keliru penutupan). Keliru jika budaya
diasumsikan menjadi integrasi menyeluruh, sehingga perubahan terkecil dianggap
konsekuensi yang tak terprediksikan. Oleh sebab itu, reformasi harus dihindari
atau ditangani dengan serius. Keenam, fallacy of cultural determinism (keliru
determinisme budaya). Keliru jika budaya dipandang memiliki dominasi spirit
33
“Cultures … were products of human imagination, creativity and the search for self-
understanding.”
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
57
Universitas Indonesia
atau prinisip berorganisasi dengan mewajibkan atau mengatur anggotanya
bertindak dengan cara tertentu. Tak heran, jika teori-teori budaya hanya
menyisakan ruang kebebasan terbatas. Ketujuh, fallacy cultural autonomy (keliru
otonomi budaya). Keliru jika budaya dipisahkan dari struktur politik dan ekonomi
masyarakat. Dengan mengabaikan politik dan ekonomi budaya, keliru memahami
proses penciptaan, konsolidasi, dan basis kekuatannya (Parekh, 2000: 78-79).
2.2.3 Pandangan Liberalisme terhadap Moral dan Budaya
Liberalisme merupakan sebuah pemikiran filsafat politik, terutama
berkaitan dengan relasi antara individu dan negara, dan dengan membatasi
gangguan negara pada kebebasan masyarakat warga.34
Liberalisme mengandung
lebih luas relasi antara individu dan masyarakat, khususnya anggota individu
dalam komunitas dan budaya (Kymlicka, 1991: 1). Pandangan liberalisme
terhadap moral dan budaya berkeyakinan bahwa “keragaman moral dan budaya
dikonstruksi oleh struktur sosial yang berbeda”. Ada tiga filsuf dalam pandangan
liberalisme terhadap moral dan budaya, yaitu John Rawls, Will Kymlicka, dan
Joseph Raz.
Rawls menjelaskan bahwa ide-ide kebebasan, kesetaraan dan sistem
kerjasama yang sukarela merupakan inti dari budaya politik dalam masyarakat
demokrasi. Atas dasar ide-ide tersebut, liberalisme politik atau konsepsi politik
tentang keadilan menjadi jawaban baru untuk fakta pluralisme (Parekh, 2000: 83).
Liberalisme politik terbatas pada dunia pengetahuan politik yang didefinisikan
secara luas untuk memenuhi struktur dasar masyarakat. Liberalisme politik tidak
berbicara tentang manusia tetapi warga negara, bukan rasio manusia tetapi rasio
publik atau rasio warga negara, bukan pribadi manusia tetapi konsepsi politik
personal, bukan kekuasaan manusia tetapi kekuasaan warga negara. Susunan
34
“Liberalism, as a political philosophy, is often as being primarily concerned with the
relationship between the individual and the state, and with limiting state intrusions on the liberties
society of citizens.”
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
58
Universitas Indonesia
kebaikan-kebaikan utama berasal dari dalam konsepsi politik keadilan, sehingga
warga negara menata urusan bersama menurut rasio publik.35
Rawls mengklaim
bahwa liberalisme politik mampu menyelesaikan problem bagaimana warga
negara yang menganut doktrin komprehensif dan konsepsi yang berbeda
mengenai kebaikan, bisa menciptakan pemerintahan yang adil, stabil, dan
meninggalkan ruang yang cukup untuk keragaman (Parekh, 2000: 83-84).36
Rawls mengatakan bahwa “institusi sosial ekonomi dan politik utama
sebagai struktur dasar masyarakat sangat mempengaruhi pelaksanaan hak-hak,
kebebasan dan prospek di dalam kehidupan, yang merupakan subyek utama
keadilan”.37
Fakta pluralisme dalam kehidupan moral dapat dijawab oleh Rawls
dengan liberalisme politik dan keadilan sebagai konsepsi politik. Selain konsep
politik atas keadilan perlu didukung dengan budaya masyarakat demokratis dan
beberapa pemikiran filosofis, perlu juga dukungan doktrin-doktrin komprehensif
yang masuk akal. Liberalisme politik itu menyediakan tiga asumsi. (a) Keadilan
adalah kebajikan pertama masyarakat dan kesepakatan tentang keadilan adalah
prasyarat atas stabilitas politik. (b) Dua prinsip keadilan adalah hanya konsisten
dengan gagasan dasar dari warga negara dan masyarakat yang “bebas” dan
“setara” sebagai sistem kerjasama yang sukarela. (c) Prinsip-prinsip itu berlaku
bebas dan tidak mensyaratkan liberalisme komprehensif. Institusi-institusi publik,
misalnya negara, harus aktif didorong untuk mereinterpretasikan doktrin-doktrin
komprehensif dari perspektif konsepsi politik atas keadilan. Contohnya, kitab
suci, al-Qur’an dan Injil, perlu direinterpresikan dari perspektif prinsip-prinsip
demokratis, kesetaraan gender, dan kebebasan kesadaran (Parekh, 2000: 81; 84-
85; 88).
35
“The index of primary goods is also derived from within the political conception of justice.” 36
“Rawls‟s political liberalism claims to solve the problem of how citixens holding different
comprehensive doctrines and conceptions of the good can create a polity that is just, stable and
leaves „enough space‟ for diversity.” 37
“Since major social economic and political institutions or what he called the basic structure of
society profoundly affected citizens‟ exercise of their rights, liberties and prospects in life. …they
were the primery subject of justice.”
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
59
Universitas Indonesia
Etos liberalisme politik bisa dengan mudah menembus doktrin-doktrin
agama dan filsafat, yang menekankan pemahaman dan artikulasi diri dalam
idiom-idiom standar liberal, dan hampir mengeliminasi pemikiran nonliberal.
Misalnya, Locke mengubah Kristen menjadi doktrin yang rasional dari misteri
teologis, menyederhanakan moralitas yang saling menguntungkan dengan kaum
borjuis, dan mengubah gereja menjadi asosiasi sukarela. Dari etos itu, liberalisme
politik lebih bersahabat pada perbedaan moral dan budaya, tetapi sangat
membatasi ruang perbedaan. Contohnya, penganut agama yang berpihak pada
pendirian antiaborsi yang rigid, akan beresiko dicap kejam dan opresif (Parekh,
2000: 88-89).
Pemikiran Raz dipengaruhi oleh pemikiran Aristotoles bahwa “pencarian
kesejahteraan manusia merupakan telos atau setidaknya prinsip kehidupan
manusia yang inspiratif, dan tercapai dalam pencarian kesuksesan terhadap tujuan
yang bermanfaat sepanjang waktu”.38
Sifat dan isi kesejahteraan personal itu
kontekstual secara alamiah dan bervariasi dari satu masyarakat ke masyarakat
lain, sehingga otonomi merupakan komponen universal dari kesejahteraan
manusia, akan tetapi terbatas pada masyarakat liberal Barat modern. Nilai
otonomi personal bagi masyarakat liberal adalah suatu fakta hidup dan sama
sekali tidak terbuka untuk memilih cara hidup lain yang berbeda. Secara struktural
nilai otonomi derivasi dari syarat fungsional masyarakat modern dan tidak
tergantung pada pilihan (Parekh, 2000: 90-91).
Pilihan adalah otonom, bagi Raz, jika memenuhi persyaratan berikut.
Pertama, pilihan harus bebas, tidak dipaksa dan dimanipulasi. Kedua, pilihan
harus disengaja dan didasarkan pada penilaian yang seksama terhadap pemikiran
yang relevan. Ketiga, pilihan harus berelasi dengan urusan penting, seperti
pernikahan, pekerjaan, relasi sosial, bentuk-bentuk kehidupan dan proyek-proyek
jangka panjang. Keempat, pilihan harus tulus dalam arti yang dibuat antara opsi-
opsi yang signifikan berbeda dan setara bernilai. Otonomi Raz itu merupakan
38
“The pursuit of human well-being is the telos or at least the inspiring principle of human life,
and consists in successful pursuit of worthwhile goals over lifetime”.
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
60
Universitas Indonesia
sentral bagi masyarakat Barat modern. Lalu, apa yang harus dilakukan oleh
kelompok imigran, masyarakat pribumi, dan komunitas agama yang tidak
menetapkan otonomi tersebut. Menurut Raz, budaya-budaya non Barat adalah
inferior dan menyakiti anak-anak. Bahkan, Raz menyimpulkan bahwa budaya non
Barat tidak layak mendapat penghormatan, kemudian apakah harus ditoleransi.
Menurut pandangan Raz, ditoleransi jika budaya non Barat dapat terus bertahan
hidup, tidak menyakiti orang asing dan menawarkan kehidupan yang mencukupi
dan memuaskan kepada anggotanya. Selain ditoleransi, cara hidup nonliberal pun
harus diasimilasi dan dipaksa jika perlu, supaya kehidupannya dapat terus
berlangsung (Parekh, 2000: 92-94).
Perbedaan moral dan budaya dalam masyarakat mendorong beragam
pilihan yang berbeda dan bentuk-bentuk kesejahteraan yang berbeda. Dengan kata
lain, perbedaan moral dan budaya dalam kehidupan masyarakat, bagi Raz,
memberikan otonomi pribadi manusia dan kesejahteraan sosial. Otonomi menurut
Raz adalah “proses penciptaan diri terus menerus melalui keputusan-keputusan
kecil dan besar tentang area signifikan dari kehidupan personal.”39
Budaya-
budaya masyarakat yang memenuhi syarat-syarat minimum, layak menerima rasa
hormat dan dukungan setara. Oleh karena itu, semua manusia tertanam secara
budaya dan tergantung pada budayanya demi kebebasan, identitas, kesejahteraan,
dan berhak untuk memelihara dan melanjutkannya kepada generasi baru (Parekh,
2000: 92; 96).
Raz menjelaskan inti pemikirannya mengenai keragaman budaya secara
lebih eksplisit dari sudut yang berbeda. Kelompok-kelompok nonliberal yang
diyakini Raz sebagai kelompok pinggiran, kini dilihat sebagai bagian integral dari
masyarakat liberal juga multikultur.40
Dengan kata lain, Raz berniat sedikit
mengembangkan teori liberal “hak-hak minoritas” sebagai teori liberal
39
“Autonomy means a continuous process of self-creation by means of small and large decisions
concerning significant areas of one‟s life”. 40
“These groups are now seen as an integral part of society which, although liberal, is also
multicultural”.
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
61
Universitas Indonesia
multikulturalisme. Pengembangannya dari “masyarakat yang memiliki budaya
tunggal” menjadi “masyarakat yang mungkin terdiri dari beberapa budaya”.41
Multikulturalisme melihat budaya menampilkan dua fungsi signifikan. Pertama,
struktur dunia persepsi dan moral anggotanya memberi makna pada aktivitas dan
relasi, membantu anggota memahami diri sendiri, memungkinkan anggota
membuat pilihan yang cerdas dan memberikan basis yang diperlukan untuk
kebebasan dan otonomi. Kedua, budaya memberi anggotanya rasa keberakaran,
fokus identifikasi dan definisi identitas. Selain itu, budaya mengangkat
kesejahteraan dan basis yang sangat diperlukan bagi hidup yang baik. Dari fungsi
itu, Raz menyadari adanya ketegangan di antara dua dimensi budaya,
kesejahteraan atau otonom, seperti dalam masyarakat hierarkis dan tradisional.
Raz berpikir bahwa “tidak ada budaya yang harus dinilai hanya oleh budaya yang
lain”. 42
Oleh sebab itu, budaya yang berada di antara budaya yang lain, harus
bersedia bertoleransi dan hidup secara damai dengan yang lain (Parekh, 2000: 95).
Kymlicka menjelaskan keragaman budaya didasari oleh prinsip dasar
liberalisme bahwa “manusia memiliki perhatian yang esensial dalam menjalani
good life”.43
Dengan prinsip dasar tersebut, otonomi merupakan dasar dari teori
politik liberal. Di dalam otonomi itu good life menghendaki supaya individu
mampu hidup berdasarkan kepercayaan, tanpa takut pada hukuman. Selain itu,
politik liberal menghendaki kebebasan sipil dan individu, pemerintahan
konstitusional, dan kebebasan kesadaran. Politik liberal memposisikan individu
sebagai agen moral dan pembawa hak-hak dan kewajiban. Oleh sebab itu,
masyarakat tidak mempunyai status moral dan akan dinilai berdasarkan kontribusi
masyarakat atas good life dari warganya. Menurut Kymlicka, kapasitas otonomi
mengenalkan konsep budaya sebagai dasar yang dibutuhkan. Konsepsi budaya
bahwa “manusia adalah makhluk budaya”, dalam arti budaya signifikan bagi
perkembangan manusia, bukan dalam arti komunitarian yang dikonstruksi oleh
41
“Society had a single culture … society might contain several cultures”. 42
“Raz ...thinks that no culture should be judged by either alone”. 43
“Human beings have an essential interest in leading a good life”.
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
62
Universitas Indonesia
budaya.44
Ada dua argumentasi Kymlicka tentang signifikansi budaya bagi
perkembangan manusia. (a) Budaya menetapkan dan menyusun dunia manusia.
Artinya, budaya berperan untuk membangun otonomi manusia. (b) Budaya
memberi kontribusi bagi kesejahteraan manusia dan penciptaan masyarakat yang
stabil (Parekh, 2000: 99-100).
Tidak seperti Raz, Kymlicka memahami bahwa otonomi merupakan “nilai
sentral liberal dan budaya harus dinilai terutama dalam kemampuan menyediakan
pilihan yang bermakna dan berharga bagi anggotanya serta mengolah
kapasitasnya bagi otonomi individual”.45
Budaya dimaknai lebih paradigmatik
yang didasarkan pada politik keseragaman oleh Kymlicka, adalah:
“Mengacu pada komunitas antargenerasi, lebih atau kurang lengkap secara
institusional, menempati suatu wilayah atau tanah air tertentu, dan berbagi
bahasa dan sejarah yang berbeda.”
[It refers to an intergenerational community, more or less institutionally
complete, occupying a given territory of homeland, sharing a distinct
language and history] (Parekh, 2000: 101).
Kebebasan yang dituntut, bukan kebebasan bergerak melampaui historisitas dan
budaya manusia, akan tetapi bergerak di dalamnya. Otonomi yang dicari tidak
mengacu pada kesempatan mengeksplorasi dan bereksperimen dengan budaya
yang lain, akan tetapi menanyakan keyakinan dan praktik sendiri. Oleh sebab itu,
kelompok liberal berharap negara melindungi tidak hanya hak-hak individual,
tetapi juga budaya nasional (Parekh, 2000: 100-101).
Di dalam masyarakat multikultur Kymlicka menolak konsep asimilasi dari
liberalisme klasik dan memakai teori keadilan Rawlsian sebagai dasar teori
multikulturalisme. Secara teoretis asimilasi mengingkari budaya sebagai
pembangunan manusia yang signifikan, karena menyingkirkan hak minoritas atas
44
“Human beings are cultural creatures”. 45
“Autonomy is the central liberal value and that a culture should be judged primarily in terms of
its ability to provide its members with meaningful and worthwhile options and cultivate their
capacity for individual autonomy”.
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
63
Universitas Indonesia
budayanya, dan prinsip keadilan Rawls menuntut bahwa minoritas dan mayoritas
harus menikmati hak-hak budaya yang sama dan menggunakannya dengan sama-
sama efektif. Secara praktis asimilasi dilaksanakan dengan paksaan dan cenderung
mengarah pada disorientasi psikologis dan moral. Padahal, aecara logis bangsa
minoritas tidak berbeda dengan bangsa mayoritas.46
Bangsa minoritas pun harus
menikmati hak-hak membuat kebijakan budaya dan bahasa sendiri, membatasi
penjualan tanah, dan lainnya. Oleh karena itu, budaya hanya bernilai sebagai
syarat pembangunan otonomi (Parekh, 2000: 102).
Kymlicka meyakinkan bahwa supaya bangsa minoritas secara internal
liberal, karena jika tidak, akan merusak haknya atas otonomi kolektif. Misalnya,
imigran adalah minoritas etnik, bukan minoritas bangsa dan bukan pengunjung
tidak tetap, akan tetapi warga negara dalam masa penantian (citizens-in-waiting).
Imigran dapat mengajukan klaim budaya dan klaim politik yang sama, seperti
warga negara yang lain, namun bukan klaim hak-hak nasional atas pemerintahan
sendiri dan otonomi budaya. Selanjutnya, dalam masyarakat polietnisitas
kelompok minoritas digabungkan ke dalam budaya nasional. Dalam masyarakat
multinasional dibutuhkan pembangunan “rasa yang cukup kuat”, identifikasi
mutual antara kelompok mayoritas, dan dorongan melanjutkan hidup bersama
(Parekh, 2000: 103-104).
Dari pandangan liberalisme, ada pencegahan atas pengembangan respons
liberal secara koheren dan persuasif terhadap keragaman budaya dan moral.
Pertama, meski kaum liberal mengawali untuk menghargai ketertanaman budaya
pada manusia, akan tetapi masih sulit sekali memecahkan padangan transkultural
tradisional mengenai manusia. Kedua, secara langsung atau tidak dan halus atau
kasar, kaum liberal terus-menerus mengabsolutkan liberalisme. Kontradiktif
dengan klaimnya menerima kekuatan penuh pluralisme moral dan budaya, serta
pengakuan atas good life yang dijalani dengan berbagai cara yang berbeda.
Ketiga, sentral karakter budaya masyarakat liberal yang diwariskan secara
46
“A minority nation is logically no different from the majority nation”.
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
64
Universitas Indonesia
historis, persuasi teologis dan liberal deontologis. Persuasi teologis liberal
menimbulkan banyak kekerasan dan kesombongan moral terhadap kaum
nonliberal. Liberal deontologis melanggar otonomi moral dengan memaksa isi
minimum dan universal liberal kepada kaum nonliberal. Dengan demikian, jika
kaum liberal mengatakan bahwa selama masyarakat Barat modern adalah liberal
yang berarti diberi kuasa meminta anggotanya untuk hidup atas dasar nilai-nilai
liberal, maka terjadi homogenisasi, penyederhaan, monopoli moral dan budaya
atas masyarakatnya serta perlakuan yang lain sebagai penyusup ilegal dan
menyulitkan. Inilah salah paham logika batin dan kekuatan kaum liberal terhadap
kaum nonliberal ketika berusaha mengubahnya menjadi satu (Parekh, 2000: 109-
113).
2.2.4 Pandangan Universalisme Pluralis terhadap Moral dan Budaya
Pandangan universalisme pluralis merupakan kritik Parekh terhadap
pandangan monisme moral, pluralisme dan liberalisme di atas dan sekaligus
respons yang paling koheren terhadap keragaman moral dan budaya.
Universalisme pluralis berpandangan bahwa “nilai-nilai moral universal adalah
nilai-nilai yang diyakini layak akan kesetiaan semua manusia, dan dalam arti
secara universal berlaku dan mengikat”.47
Nilai-nilai moral universal ditujukan
untuk meregulasi hidup manusia. Nilai moral universal dicapai dengan dialog
lintas budaya atau universal (Parekh, 2000: 127-128).
Manusia memiliki kapasitas yang unik dan berharga, seperti berpikir,
rasio, berbahasa, berpandangan good life, memasuki relasi moral satu sama
lainnya, kritis atas diri sendiri, dan mencapai tingkat unggul secara bertahap. Nilai
moral universal untuk mengatakan bahwa manusia memiliki kelayakan daripada
binatang dan makhluk lainnya di dunia ini. Dengan kata lain, kelayakan pada
manusia dengan memiliki martabat. Tidak seperti kelayakan, martabat adalah
47
“Universal moral values are those we have good reason to believe to be worthy of the
allegiance of all human beings, and are in that sense universally valid of binding”.
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
65
Universitas Indonesia
“konsep aristokrasi atau hierarkis dan mendiskripsikan status yang
diistimewakan”.48
Status pada individu yang diistimewakan dari individu yang
lain adalah martabat. Jelasnya bahwa:
“Martabat tidak melekat pada diri manusia, melainkan status manusia
dirundingkan pada diri manusia sendiri dalam praktik pengakuan atas
kapasitas unik bersama, bukan merupakan properti alamiah, melainkan
praktik moral yang meregulasi relasi manusia antara satu sama lain.”
[Dignity is not inherent in human beings, but is a status they confer on
themselves in acknowledgement of their uniquely shared capacities, not a
natural property but a moral practice regulating their relations with each
other] (Parekh, 2000: 130).
Oleh sebab itu, martabat bukan merupakan status individual, melainkan status
kolektif, karena individu memperoleh dengan menjadi bagian dari spesies
manusia dan menguasai kapasitas spesifik spesies tertentu.
Parekh menegaskan bahwa “martabat manusia adalah kelayakan manusia
dilihat dalam perspektif komparatif, sebab itu bukan sumber independen dari
prinsip-prinsip moral, melainkan hanya menambah dimensi baru bagi kehidupan
moral”.49
Perbedaan tajam antara manusia dan nonmanusia dalam konsep
martabat manusia pada tradisi pemikiran, seperti Yunani, Kristen, dan Islam,
menjadi pertimbangan yang penting. Sedangkan, pada tradisi pemikiran, seperti
Hindu dan Budha, perbedaan tersebut dalam konsep martabat manusia menjadi
relatif. Selain rekognisi kelayakan dan martabat manusia, dibutuhkan promosi
kesejahteraan manusia atau kepentingan fundamental manusia, kesetaraan, serta
totalitas kemungkinan nilai-nilai moral universal (Parekh, 2000: 131; 133).
Nilai-nilai moral universal dalam peradaban manusia telah dipromosikan
oleh Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB tahun 1948 sebagai titik awal
dialog lintas budaya. Meski bernilai moral universal, Deklarasi Universal HAM
48
“Unlike worth, dignity is an aristocratic or hierarchical concept and describes a privileged
status”. 49
“Human dignity is human worth seen in a comparative perspective, it is not an independent
source of moral principles but it does add a new dimension to moral life”.
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
66
Universitas Indonesia
memiliki kelemahan, adanya bias liberal yang berbeda, seperti hak kebebasan
berekspresi yang kurang lebih tak terbatas, hak pernikahan yang didasarkan pada
“persetujuan penuh dan bebas” antara pihak-pihak yang terlibat, dan hak properti
yang relatif tak terbatas. Bahkan, Deklarasi Universal tersebut mengebiri
kepercayaan universalis dan kritis, serta membuat kesalahan dalam mengacaukan
hak asasi manusia dengan struktur institusional khusus (Parekh, 2000: 134).
Dalam implementasinya, nilai-nilai moral universal yang telah
dipertahankan secara legitimit benar-benar bersifat umum, perlu diinterpretasikan,
diprioritaskan, dan diadopsi. Apabila ada konflik, nilai-nilai moral universal
direkonsiliasikan dalam sudut pandangan budaya dan suasana masing-masing
masyarakat. Penghormatan terhadap hidup manusia adalah nilai universal, namun
masyarakat yang berbeda-beda tidak menyepakati kapan hidup manusia berawal
dan berakhir, dan hal apa yang mengakibatkannya. Oleh sebab itu, penghormatan
martabat manusia menuntut bahwa seorang manusia seharusnya tidak
menghinakan atau merendahkan sesama manusia atau memperlakukan manusia
dengan tindakan kejam dan pelecehan, apalagi kekerasan. Nilai-nilai universal
dapat terlibat konflik dengan nilai-nilai sentral yang diterima bebas pada
komunitas budaya, karenanya dibutuhkan dialog lintas budaya (Parekh, 2000:
135).
2.3 Respons atas Pandangan Moral dan Budaya
Perbedaan pandangan moral dan budaya di atas adalah sebuah keniscayaan
bagi relasi manusia dalam kehidupan sosial. Pandangan monisme moral,
pluralisme, liberalisme, dan universalisme pluralis berusaha menghormati
kelayakan dan martabat manusia pada ruang dan waktu masing-masing sepanjang
peradaban manusia. Empat pandangan moral dan budaya yang berbeda sangat
mungkin dapat bertemu langsung di dalam suatu negara yang mengakui
keragaman moral dan budaya. Indonesia sebagai negara transisi demokrasi
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
67
Universitas Indonesia
memberikan ruang pertemuan empat pandangan tersebut yang dapat
memunculkan konflik sosial yang melecehkan dan menodai harkat dan martabat
manusia itu sendiri. Seperti, konflik sosial yang terjadi di Poso, Ambon dan
Cikeusik merupakan ranah konflik antara empat pandangan moral dan budaya
yang berbeda-beda tersebut. Fenomena konflik sosial awal reformasi tersebut
telah meruntuhkan tatanan sosial masyarakat Indonesia yang berpandangan pada
keragaman moral dan budaya atas dasar konstitusi negara.
Keragaman moral dan budaya masyarakat Indonesia dijelaskan di dalam
normativitas dan faktisitas yang disepakati bersama secara sosial, politik dan
budaya. Normativitas pandangan moral dan budaya didasarkan pada konstitusi
negara, yang menjelaskan relasi individu di dalam masyarakat. Ada tiga nilai
moral dan budaya yang diakui di dalam kehidupan sosial. Pertama, keragaman
dalam identitas nasional. Manusia Indonesia merupakan keragaman dari berbagai
budaya dan bangsa yang berbeda-beda dan bersama-sama mengakui identitas
nasional. Keragaman dalam identitas nasional terdiri dari individu-individu yang
berasal dari orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain, sehingga
masyarakat warga negara ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang
bertempat tinggal di Indonesia.50
Kedua, kesetaraan atau kebersamaan di dalam
hukum dan pemerintahan. Kesetaraan manusia sebagai warga negara wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan, sehingga berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Dalam kesetaraan setiap individu
berhak dan wajib berpartisipasi membela negara.51
Ketiga, kebebasan atau
kemerdekaan dalam kehidupan sosial. Kebebasan individual untuk berserikat dan
berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya sesuai
regulasinya.52
Oleh karenanya, sebagaimana pandangan liberalisme, manusia
Indonesia menolak teori dan praktik asimilasi moral dan budaya. Sedangkan,
50
Lihat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 26 ayat 1 dan 2. 51
Lihat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 ayat 1 dan 2. 52
Lihat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28.
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
68
Universitas Indonesia
kesetaraan dan kebebasan yang dianut oleh manusia Indonesia sebagaimana
pandangan universalisme pluralis.
Nilai-nilai moral dan budaya Indonesia tersebut secara universal
diinterpretasikan di dalam hak asasi manusia bahwa “setiap orang berhak untuk
hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Hak asasi manusia
Indonesia tersebut diperoleh di dalam ranah kehidupan privat dan kehidupan
publik, seperti hak keluarga, hak agama, hak pertahanan dan keamanan, hak
pendidikan, serta hak perekonomian dan kesejahteraan sosial.53
Hak asasi manusia
Indonesia bukan dalam pandangan monisme moral, pluralisme, dan liberalisme,
karena hak harus dibarengi dengan kewajiban bahwa:
“(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam
tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (2) Dalam
menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud
semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai
dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban
umum dalam suatu masyarakat demokratis”.54
Sementara itu, berbeda pula dengan pandangan universalisme pluralis,
penghormatan martabat manusia sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai
agama, keamanan dan ketertiban publik dalam suatu masyarakat demokratis,
bukan nilai universal. Dengan kata lain, nilai-nilai moral dan budaya masyarakat
lokal menjadi pertimbangan sebagai masyarakat demokratis untuk rekognisi dan
penghormatan martabat manusia.
Faktisitas pandangan moral dan budaya Indonesia tidak sebagaimana
normativitasnya, melainkan sebaliknya seringkali terjadi kontradiksi dan
konfrontasi nilai-nilai moral dan budaya dalam interpretasinya yang berakibat
pada konflik di dalam kehidupan sosial. Konflik nuansa agama dan etnik
53
Lihat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28A, 28B, 28C, 28D, 28E, 28F, 28G, 28H, 28I, 28J,
29, 30, 31, 32, 33, dan 34. 54
Lihat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28J.
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
69
Universitas Indonesia
merupakan subyek utama karena nilai-nilai moral dan budaya menjadi
pertimbangan untuk rekognisi dan penghormatan martabat manusia. Padahal,
kehadiran negara di dalam relasi manusia yang berkonflik seharusnya sebagai
berikut:
“(1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. (2) Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu”.55
Negara tidak berpandangan pada monisme moral teologis agama tertentu
atau etnisitas tertentu, melainkan berpandangan pada kehidupan religius, yaitu
cara hidup yang diberkati rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa dan keinginan luhur,
supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas dan merdeka. Dasar atas
“Ketuhanan Yang Maha Esa” di dalam Pancasila harus bersamaan dengan sila
lainnya, misalnya “kemanusiaan yang adil dan beradab”, sehingga merupakan
landasan moral dan budaya, bukan monisme moral teologis atau pluralisme
budaya ataupun liberalisme politik, karena landasan moral dan budaya tersebut
harus diberkati oleh rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa. Yang Maha Esa dan Yang
Maha Kuasa merupakan sifat dzat Tuhan yang harus diinterpretasikan oleh
manusia Indonesia di dalam kehidupan sosial, politik dan budaya. Dalam konteks
itu, etnik-etnik Indonesia memiliki pandangan moral dan budaya. Bahkan,
atheisme juga memiliki pandangan moral dan budaya. Ateisme (atheism) adalah
ide sederhana yang mendalam, yang berasal dari bahasa Yunani a berarti “tidak
atau tanpa” dan theos berarti “Tuhan”. Istilah ateisme itu hanya menunjukkan
sebuah posisi, bukan “keyakinan”, yang mencakup atau menegaskan tidak ada
dewa.56
Dalam praktiknya istilah ateisme merupakan satu bentuk penghakiman
dan penilaian negatif (Eller, 2010: 1). Atheisme memiliki keyakinan, namun
bukan pada Tuhan yang diyakini oleh agama yang lain. Dengan begitu, negara
55
Lihat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29. 56
“Atheism is a profoundly simple idea: derived from the Greek a - for "no/without" and theos for
“god,” it merely designates a position (not a “belief”) that includes or asserts no god(s).”
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
70
Universitas Indonesia
menjamin kemerdekaan setiap individu untuk memeluk agamanya masing-masing
menurut agama dan kepercayaannya itu.
Selain itu, untuk mewujudkan kesejahteraan sosial dengan rekognisi dan
penghormatan martabat manusia, negara seharusnya bertindak sebagai berikut:
“(1) Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. (2)
Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan
memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan
martabat kemanusiaan. (3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan
fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”.57
Dengan tanggung jawab negara yang mengakui keragaman moral dan budaya
seperti itu, keadilan dan kesejahteraan sosial dapat direalisasikan bersama dengan
partisipasi setiap individu sebagai warga negara.
2.4 Ikhtisar
Bab dua ini telah menjelaskan empat bentuk pandangan moral dan budaya
yang berbeda-beda, yaitu monisme moral, pluralisme, liberalisme, dan
universalisme pluralis. Bentuk-bentuk pandangan moral dan budaya dimunculkan
oleh interpretasi seorang individu dalam relasi manusia terhadap keragaman moral
dan budaya. Monisme moral berpandangan bahwa hanya ada satu jalan hidup
yang benar-benar manusiawi, atau yang terbaik, sedangkan yang lainnya memiliki
kekurangan. Pluralisme berpandangan bahwa keragaman moral dan budaya
merupakan substansi dari setiap masyarakat di seluruh dunia. Liberalisme
berpandangan bahwa perbedaan moral dan budaya dikonstruksi oleh struktur
sosial yang berbeda. Terakhir, universalisme pluralis berpandangan bahwa nilai-
nilai moral universal adalah nilai-nilai yang diyakini layak akan kesetiaan semua
manusia, dan dalam arti secara universal berlaku dan mengikat.
57
Lihat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 34.
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
71
Universitas Indonesia
Atas dasar perbedaan pandangan tersebut, pandangan moral dan budaya
Indonesia berbeda dengan monisme moral, pluralisme, liberalisme dan
univeralisme pluralis. Perbedaan pandangan moral dan budaya Indonesia dengan
pandangan lainnya di dalam rekognisi dan penghormatan martabat manusia.
Pandangan moral dan budaya Indonesia mempertimbangkan nilai-nilai moral dan
budaya masyarakat lokal untuk rekognisi dan penghormatan martabat manusia.
Dengan pertimbangan nilai-nilai moral dan budaya lokal, keragaman moral dan
budaya masyarakat Indonesia dijelaskan di dalam normativitas dan faktisitas yang
disepakati bersama secara sosial, politik dan budaya. Secara normatif ada tiga
nilai moral dan budaya yang diakui di dalam kehidupan sosial. Pertama,
keragaman dalam identitas nasional. Kedua, kesetaraan atau kebersamaan di
dalam hukum dan pemerintahan. Ketiga, kebebasan atau kemerdekaan dalam
kehidupan sosial. Namun, secara faktual seringkali terjadi kontradiksi dan
konfrontasi di antara nilai-nilai moral dan budaya dalam interpretasinya yang
berakibat pada konflik di dalam kehidupan sosial.
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
72
Universitas Indonesia
BAB III
KONSTRUKSI SOSIAL
MASYARAKAT MULTIKULTUR
3.1 Pengantar
Perbedaan pandangan moral dan budaya dimunculkan oleh intepretasi
seorang manusia terhadap moral dan budaya di dalam masyarakat multikultur,
seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Dalam bab ketiga ini akan
dijelaskan unsur-unsur pembentuk masyarakat multikultur, yaitu keragaman moral
dan budaya, identitas sosial, perbedaan, dan kehidupan publik. Di dalam unsur-
unsur pembentuk masyarakat multikultur ada isu-isu penting yang perlu
diwacanakan dan didialogkan di dalam kehidupan sosial, yaitu keadilan dan
kesetaraan, serta agama dan etnik. Selain itu, akan dijelaskan keterbatasan
masyarakat multikultur yang dapat memberi ruang kemungkinan konflik
antarindividu terjadi.
3.2 Unsur-unsur Pembentuk Masyarakat Multikultur
Masyarakat multikultur berbeda dengan masyarakat plural atau masyarakat
majemuk. Istilah “masyarakat multikultur” perlu dijelaskan lebih dahulu di dalam
konstruksi sosialnya. Istilah masyarakat multikultur adalah “keragaman komunal”,
karena secara logis distingtif dan menimbulkan pertanyaan yang unik, merupakan
obyek investigasi yang koheren dan mandiri, serta layak sebagai istilah yang
spesifik.1 Secara definitif masyarakat multikultur adalah “keragaman komunal
yang mencakup dua atau lebih komunitas budaya” (Parekh, 2000: 4; 6).2
Pengertian masyarakat multikultur sudah diungkapkan oleh Taylor lebih dahulu
1 “Furthermore since communal diversity is logically distinct and raises questions that are unique
to it, it constitutes a coherent and self-contained object of investigation, and deserves a name
specific to it.” 2 “A multicultural society, then, is one that includes two or more cultural communities.”
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
73
Universitas Indonesia
ketika menjelaskan politik rekognisi (Taylor, 1994: 61).3 Sementara itu,
masyarakat plural dijelaskan pertama kali oleh seorang ekonom dengan
pengalaman yang cukup dari kolonial Timur Jauh. Dalam tulisannya masyarakat
plural dijelaskan sebagai berikut:
“Di Burma, seperti di Jawa, mungkin hal pertama yang pengunjung temui
adalah masyarakat campuran, Eropa, Cina, India, dan asli. Hal ini dalam
arti campuran yang ketat, karena mereka mencampur tetapi tidak
menggabungkan. Masing-masing kelompok memiliki agama sendiri,
budaya dan bahasa sendiri, ide-ide dan cara-cara sendiri. Sebagai individu
mereka bertemu, hanya di pasar, tempat untuk membeli dan menjual. Ada
sebuah masyarakat plural, dengan bagian yang berbeda dari masyarakat
hidup berdampingan, tetapi terpisah, dalam unit politik yang sama. Bahkan
di bidang ekonomi, ada pembagian kerja didasarkan pada garis ras.”
[In Burma, as in Java, probably the first thing that strikes the visitor is the
medley of peoples - European, Chinese, Indian, and native. It is in the
strictest sense a medley, for they mix but do not combine. Each group
holds by its own religion, its own culture and language, its own ideas and
ways. As individuals they meet, buat only in the market-place, in buying
and selling. There is a plural society, with different sections of the
community living side by side, but separately, within the same political
unit. Even in the economic sphere, there is a division of labour along
racial lines] (Furnivall, 1948: 304, 1967: xv).
Masyarakat plural merupakan keragaman agama, budaya, bahasa, ide dan cara
hidup di dalam kesatuan komunitas politik. Masyarakat plural secara historis
terbentuk sejak kolonialisasi. Dalam cengkraman kolonialisme masyarakat plural
muncul di dalam kekuatan ekonomi yang dibebaskan dari kontrol kehendak sosial
(Furnivall, 1984: 306).4 Dalam masyarakat plural seperti itu keadilan dan
kesetaraan serta agama dan etnik dalam kehidupan publik menjadi gangguan
kebebasan warga negara.
Komunitas budaya dalam masyarakat modern memiliki beberapa bentuk.
Secara umum ada tiga bentuk komunitas budaya secara kategoris, yaitu komunitas
subkultural, komunitas perspektif, dan komunitas komunal.
3 “…more and more societies today are turning out to be multicultural, in the sense of including
more than one cultural community that wants to survive.” 4 “The plural society arises where economic forces are exempt from control by social will.”
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
74
Universitas Indonesia
Pertama, komunitas subkultural. Bentuk komunitas subkultural adalah
representasi dari satu budaya umum yang berisi beberapa keyakinan dan praktik
yang berbeda karena bidang hidup tertentu dan gaya hidup yang berbeda,
misalnya komunitas nelayan, petani, gay, dan lesbian.5 Abdurrahman Wahid
(dipanggil Gus Dur) memposisikan pondok pesantren sebagai subkultural karena
perbedaan tradisi pesantren yang khas dari budaya masyarakat di sekitarnya
(Wahid, 2001: xviii). Kedua, komunitas perspektif. Bentuk komunitas perspektif
merupakan representasi dari masyarakat yang sangat kritis atas prinsip sentral atau
nilai budaya yang berlaku dan berusaha mengungkapkan kembali pada garis yang
sesuai, misalnya gerakan kritis feminis terhadap budaya patriarkhi.6 Fahmina
Institute, misalnya, adalah komunitas perspektif gender yang memelihara Islam
tradisional untuk menegakkan keadilan dan kemanusiaan kontemporer. Ketiga,
komunitas komunal. Komunitas komunal merupakan bentuk representasi dari
kebanyakan masyarakat modern yang terdiri dari komunitas yang sadar diri dan
terorganisasi dengan baik, serta hidup dengan sistem keyakinan dan praktik yang
berbeda, misalnya jamaah Ahmadiyah, jamaah Syiah, dan Sunda Wiwitan Baduy
(Parekh, 2000: 3-4).7 Ketiga bentuk komunitas budaya tersebut cepat tumbuh dan
berkembang di dalam masyarakat multikultur, karena komitmen penghormatan
kepada perbedaan dan identitas.
Istilah “multikultur” pertama kali digunakan pada tahun 1941.
Kemunculan istilah multikultur pada empat dekade terakhir abad ke-19 ketika
gerakan kaum intelektual dan politik yang dipimpin oleh komunitas yang berbeda-
beda muncul, seperti orang pribumi, minoritas nasional, bangsa etnik budaya,
imigran baru dan lama, feminis, gay dan lesbian, serta komunitas hijau (Parekh,
2000: 1). Dengan kata lain, istilah multikultur muncul dari kehadiran
multikulturalisme sebagai sebuah gerakan komunitas. Pada tahun 1960-an di
Inggris, serta tahun 1970-an di Australia dan Kanada, multikulturalisme
5 “Although its members share a broadly common culture, some of them either entertain different
beliefs and practices concerning particular areas of life or evolve relatively distinct ways of life of
their own.“ 6 “Some members of society are highly critical of some of the central principles or values of the
prevailing culture and seek to reconstitute it along appropriate line.” 7 “Most modern societies also include several self-conscious and more or less well-organized
communities entertaining and living by their own different systems of beliefs and practices.”
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
75
Universitas Indonesia
merupakan gerakan yang signifikan secara politis dan ideologis, karena
penolakannya terhadap tuntutan beberapa asimilasionis pada masyarakat yang
lebih luas (Parekh, 2000: 5). Di Indonesia ada tuntutan etnik Sunda Wiwitan
Baduy dan jamaah Ahmadiyah terhadap negara supaya keyakinannya diakui
sebagai agama formal, sebagaimana Islam, Protestan, Katolik, Budha, Hindu, dan
Konghucu.
Dengan banyaknya masyarakat multikultur di beberapa negara, seperti
Indonesia, Inggris, Prancis, Belanda, Jerman, Australia, dan Amerika, dapat
dibedakan secara faktual dan signifikan empat karakter masyarakat multikultur
kontemporer dari karakter masyarakat pramodern, yaitu: (a) Masyarakat
multikultur kontemporer dapat menolak status politik inferior. (b) Masyarakat
multikultur kontemporer menyadari lebih baik daripada dogmatisme moral. (c)
Masyarakat multikultur kontemporer secara integral terikat dengan proses
globalisasi. (d) Masyarakat multikultur kontemporer muncul dengan latar
belakang beberapa abad dari homogenisasi kultural.
Pertama, masyarakat pramodern secara umum terdiri dari komunitas
minoritas yang menerima status subordinat, ruang sosial terbatas, dan bahkan
ruang geografisnya yang dibatasi oleh kelompok dominan.8 Sementara itu,
masyarakat multikultur kontemporer dapat menolak status politik inferior, dan
menuntut hak politik yang adil. Kedua, karena adanya kolonialisme, perbudakan,
Holocaust, dan penderitaan hebat yang disebabkan oleh tirani komunis,
masyarakat multikultur kontemporer menyadari lebih baik daripada masyarakat
pramodern bahwa “dogmatisme moral dan seiring semangat agresivitas
pembenaran diri, tidak hanya mengarahkan kepada kekerasan yang mengerikan,
melainkan juga sangat membutakan dan menumpulkan kepekaan moral” (Parekh,
2000: 7-8).9
8 “In premodern societies minority communities generally accepted their subordinate status and
remained confined to the social and even the geographical spaces assigned them by the dominant
groups.” 9 “Thanks to colonialism, slavery, the Holocaust, and the enormous suffering caused by the
communist tyrannies, we realize better than before that moral dogmatism and the concomitant
spirit of aggressive self-rughteousness not only lead to egregious violence but also blind us to
enormity and blunt our moral sensibility.”
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
76
Universitas Indonesia
Ketiga, masyarakat multikultur kontemporer secara integral terikat dengan
proses globalisasi ekonomi dan budaya yang sangat kompleks. Dalam proses
globalisasi itu tidak ada masyarakat yang dapat bungkam dan terisolasi.10
Keempat, masyarakat multikultur kontemporer muncul dengan latar belakang
beberapa abad dari homogenisasi budaya pada negara-bangsa.11
Sebelumnya,
masyarakat pramodern memposisikan komunitas budaya secara luas dianggap
sebagai pemegang hak kolektif dan dibiarkan bebas mengikuti adat kebiasaan dan
praktik-praktiknya. Negara modern bertumpu pada pandangan yang sangat
berbeda mengenai kesatuan sosial, sehingga hanya individu yang memegang hak
dan menciptakan ruang hukum homogen yang terdiri dari unit-unit politik yang
seragam dan hanya tunduk pada hukum dan institusi yang sama. Negara mulai
memilah komunitas lama yang terbentuk dan menyatukan individu-individu
“emansipasi” atas dasar struktur otoritas yang disepakati secara kolektif dan
terpusat. Latar belakang homogenisasi budaya negara-bangsa itu mengajarkan
mengenai perbedaan antara kesatuan dan homogenitas, serta kesetaraan dan
keseragaman (Parekh, 2000: 8-9).
Dengan mengakui universalitas dan partikularitas manusia, pembentuk
komunitas budaya didasarkan pada konsep sifat manusia yang valid dan layak.
Konsepsi manusia direfleksikan atas realitas manusia sebagai makhluk berpikir
dalam menghadapi lingkungan alamiah dan sosial yang berbeda-beda. Dari
lingkungan sosialnya, ada konstruksi sosial yang membentuk masyarakat
multikultur, sehingga kokoh bangunan masyarakat yang dibentuknya. Konstruksi
sosialnya dibentuk oleh empat unsur yang saling mengikat satu sama lain untuk
menguraikan relasi manusia yang tertanam secara budaya. Oleh sebab itu, ada
beberapa unsur pembentuk masyarakat multikultur, yaitu keragaman moral dan
budaya, identitas sosial, perbedaan, dan kehidupan publik.
Unsur-unsur pembentuk tersebut ditujukan untuk menghindari kekeliruan
dari lima asumsi tradisi filsafat moral dan politik yang didominasi oleh pandangan
10
“Contemporary multicultural societies are integrally bound up with the immensely complex
process of economic and cultural globalization.” 11
“Contemporary multicultural societies have emerged against the background of several
centuries of the culturally homogenizing nation-state.”
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
77
Universitas Indonesia
monisme moral, yaitu keseragaman sifat manusia, keutamaan ontologis atas
perbedaan, karakter transendental sosial atas sifat manusia, totalitas pada sifat
manusia, dan sifat manusia sebagai dasar bagi good life (Parekh, 2000: 124).
Unsur-unsur pembentuk masyarakat multikultur yang dimaksud, sebagai berikut.
3.2.1 Keragaman Moral dan Budaya
Keragaman budaya (cultural diversity) merupakan kata kunci dari
masyarakat multikultur. Istilah “budaya” yang dimaksud pada keragaman budaya
adalah mengacu kepada suatu sistem, seperti pada keyakinan dan praktik. Dengan
ketertanaman budaya di dalam aktivitas dan relasi manusia, budaya menjadi pusat
perhatian agama dan etnik. Relasi antara budaya dan agama terkait erat. Budaya
dan agama saling mempengaruhi satu sama lain pada berbagai tingkat. Budaya
dapat mempengaruhi bagaimana agama diinterpretasikan, ritual dilakukan, dan
tempat ibadah ditetapkan di dalam kehidupan sosial. Sebaliknya, agama dapat
mengkonstruksi sistem keyakinan dan praktik pada budaya ketika individu atau
komunitas berpindah agama, cara berpikir dan hidupnya akan mengalami
perubahan penting. Oleh sebab itu, mengapa individu berganti agama membawa
budayanya ke dalam agama barunya, seperti perbedaan di antara individu Muslim
di Indonesia, India, Iran, dan Aljazair, atau Kristianitas di Cina, Mesir, dan
Amerika. Dari realitas relasi agama dan budaya, tak ada agama yang “bebas-
budaya” dan kehendak Tuhan tidak dapat memperoleh makna manusia yang
sudah ditentukan tanpa “mediasi budaya”. Dalam agama Kristen diyakini bahwa
Kristus adalah Tuhan, akan tetapi kepastian kekristenan (Kristinitas) adalah
fenomena budaya (Parekh, 2000: 147). Begitu pula, etnisitas adalah fenomena
budaya. Komunitas etnik memiliki sistem keyakinan dan praktik yang diwujudkan
di dalam adat, ritual, dan perayaan budaya, misalnya etnik Bugis, Buton,
Makassar dan etnik lainnya. Etnik Bugis, misalnya, adalah fenomena budaya
faktual yang mempertemukan dan saling mempengaruhinya antara agama dan
etnik di mana budaya sebagai mediator.
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
78
Universitas Indonesia
Dengan demikian, keragaman moral dan budaya merupakan faktisitas
budaya di dalam masyarakat multikultur. Ada empat argumentasi filosofis atas
keragaman moral dan budaya yang didasarkan pada realitas keragaman pandangan
moral dan budaya.
Pertama, keragaman moral dan budaya dapat “meningkatkan berbagai
pilihan yang tersedia dan memperluas kebebasan memilih”. Hal itu penting tetapi
membatasi, karena menilai budaya-budaya lain sebagai obyek pilihan potensial
tidak menghormati budaya-budaya yang realistis, seperti masyarakat pribumi,
komunitas etnik, jamaah Ahmadiyah. Kedua, keragaman budaya merupakan
“hasil yang tak terhindarkan dan legitimit terhadap pelaksanaan hak” (Parekh,
2000: 165-166). Dengan keragaman yang tak terhindarkan masyarakat harus
menciptakan kondisi kondusif, tidak cukup sekadar memberi hak formal pada
budaya, seperti menghormati perbedaan, memelihara keyakinan diri minoritas,
dan penyediaan sumber daya tambahan kepada yang membutuhkan.
Ketiga, keragaman budaya dapat “menciptakan dunia yang kaya,
bervariasi, serta menyenangkan dan menstimulasi secara estesis”. Namun,
keragaman yang didasarkan pada estetika tidak meyakinkan dunia moral dan
sosial yang seragam bahkan antara keduanya seringkali konflik. Keempat,
keragaman budaya dapat “mendorong kompetisi yang sehat antara sistem yang
berbeda dari ide-ide dan cara hidup, dan keduanya mencegah dominasi salah
satunya serta memfasilitasi kebenaran baru muncul”. Namun, kompetisi dalam
individualitas dan progresivitas itu berpandangan pada keunggulan manusia, akan
tetapi instrumental dan tidak apresiatif terhadap nilai intrinsik, seperti tidak
mampu mempertahankan hak-hak masyarakat pribumi, jamaah Ahmadiyah,
komunitas religius ortodok, dan lainnya untuk menemukan kebenaran baru
(Parekh, 2000: 165-167).
Argumentasi filosofis keragaman moral dan budaya tersebut menjelaskan
bahwa moral dan budaya yang berbeda memperbaiki dan melengkapi satu sama
lain mengeni bentuk baru pemenuhan manusia, seperti keselarasan dengan alam,
satu rasa akan keseimbangan ekologis, kepuasan, kejujuran, dan kesederhanaan.
Dalam konteks itu keragaman moral dan budaya merupakan penentu dan kondisi
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
79
Universitas Indonesia
kebebasan manusia. Selain itu, keragaman moral dan budaya menyadarkan kepada
manusia akan adanya keragaman moral dan budaya dalam dirinya, seperti
mendorong dialog internal budaya, menciptakan ruang pemikiran kritis dan
independen, dan mempertahankan kemampuan eksperimental. Sebaliknya, budaya
atau agama homogen akan menghapus perbedaan dan memunculkan ambiguitas
internal. Oleh sebab itu, keragaman moral dan budaya menciptakan iklim dialog
yang saling menguntungkan (Parekh, 2000: 167-168).
Meski demikian, dalam keunggulan keragaman moral dan budaya itu,
“moral dan budaya mudah melemahkan, akan tetapi sulit menciptakan”. Misalnya,
dikatakan bahwa masyarakat homogen secara budaya memiliki kelebihan, satu
perasaan dalam komunitas, solidaritas, komunikasi antarpersonal lebih mudah,
mempertahankan satu budaya yang besar, relatif mudah disatukan, ekonomis
secara psikologis dan politis, dan dapat mengandalkan mobilitas loyalitas anggota,
akan tetapi masyarakat homogen itu cenderung tertutup, intoleran, antiperubahan,
menyesakkan dan menindas, melemahkan perbedaan, ketidaksepakatan, dan
eksperimen dalam hidup. Dengan demikian, multikulturalisme tidak berkomitmen
pada pandangan bahwa “hanya cara hidup yang terbuka secara budaya terbaik”,
akan tetapi mengakui bahwa “good life dapat menyebabkan beberapa cara yang
berbeda termasuk mandiri secara budaya dan menemukan ruang kedua”.12
Namun
demikian, jika yang lain dianggap setara, maka “cara hidup yang terbuka dan
budaya yang berbeda lebih baik daripada cara hidup yang mandiri secara budaya”
(Parekh, 2000: 167-172).13
Atas dasar kesetaraan, keragaman moral dan budaya
membutuhkan argumentasi keadilan, karena tak mungkin masyarakat mayoritas
akan menerima kewajiban keadilan terhadap masyarakat minoritas tanpa
kepercayaan bahwa masyarakat mayoritas akan memperoleh sesuatu dalam proses
tersebut (Kymlicka, 1995: 127).
12
“Only the culturally open way of life is the best, …the good life can be led in several different
ways including the culturally self-contained, and finds space for the latter.” 13
“It does, of course, hold that, other things being equal, there is more to be said for a culturally
open and diverse than for a culturally self-contained way of life.”
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
80
Universitas Indonesia
3.2.2 Identitas Sosial
Identitas sosial yang plural membentuk masyarakat multikultur. Identitas
sosial merupakan perpaduan dari normativitas dan kekuasaan, yang dilegitimasi
dalam bahasa tubuh keyakinan yang berlaku dan ditopang oleh relasi kekuasaan
yang berlaku.14
Atas dasar pengertian identitas sosial itu, masyarakat adalah
sebuah sistem identitas yang diartikulasikan dengan baik, masing-masing tunduk
pada norma-norma tertentu, membawa hak atau milik pribadi tertentu, dan
ditegakkan oleh sanksi formal dan informal yang membentuk bagian dari rezim
disiplinnya. Dalam masyarakat yang sadar ras, hitam dan putih kategori sosial
yang signifikan, dan masyarakat diklasifikasikan menjadi sasaran norma-norma
tertentu, bentuk relasi, stereotip, dan cara penanganan (Parekh, 2008: 16).
Istilah “identitas” (identity) dipahami secara berbeda-beda dalam
penggunaannya. Identitas diartikan adalah “suatu rasa kesamaan atau kesatuan
personalitas”, dan dapat juga untuk menyebut “otentisitas” (Parekh, 2008: 279).15
Dalam masyarakat multikultur identitas lebih tepat diartikan dengan otentisitas.
Masyarakat multikultur memiliki beberapa identitas sosial, di mana tidak semua
masyarakat setara dalam jangkauan dan kedalaman, karena adanya perbedaan
otentisitasnya. Oleh sebab itu, dalam pluralitas identitas sosial, identitas agama
dan etnik cenderung memainkan peran bagi sebagian besar seorang individu di
dalam masyarakat (Parekh, 2008: 21).
Identitas sosial merupakan cara di mana individu menempatkan dan
mengorientasikan diri di dunia. Untuk itu, penting dijelaskan identitas individual
yang merupakan tiga dimensi yang saling terkait tak terpisahkan. Pertama,
identitas pribadi. Sebagai identitas pribadi, manusia merupakan “individu yang
unik, pusat kesadaran diri yang berbeda, memiliki tubuh yang berbeda, rincian
biografis, kehidupan batin yang tak tereliminasi, dan rasa kedirian atau
14
“Social identities represent a blend of normativity and power, being legitimized in terms of the
prevailing body of beliefs and sustained by the prevailing relations of power.” 15
“Sometimes he takes it to mean a sense of sameness or unity of personality, while in other
occasions he takes it to refer to authenticity.”
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
81
Universitas Indonesia
subjektivitas”.16
Kedua, identitas sosial. Sebagai identitas sosial, dijelaskan
bahwa:
“Manusia tertanam secara sosial, sebagai anggota dari etnik, agama,
budaya, pekerjaan, nasional, dan kelompok yang berbeda lainnya, serta
terkait dengan orang lain dalam berbagai cara, baik formal dan informal.”
[They are socially embedded, members of different ethnic, religious,
cultural, occupational, national and other groups, and are related to
others in countless fomal and informal ways] (Parekh, 2008: 9).
Dalam kehidupan sosial, idenitas sosial seorang individu dalam masyarakat
mendefinisikan dan membedakan diri, serta didefinisikan dan dibedakan oleh
orang lain. Ketiga, identitas individual atau identitas keseluruhan. Sebagai
identitas individual, manusia berbeda di alamnya, muncul dalam cara yang
berbeda, dapat dan harus dibedakan untuk melawan tendensi pada saat yang luas
untuk menyamakan identitas individu dengan salah satu dari identitas pribadi atau
sosial (Parekh, 2008: 9).17
Sebagaimana identitas individual, identitas nasional lebih dari itu, sangat
kompleks, berlapis-lapis, terdiri dari yang berbeda dan seringkali mengalami
konflik pemikiran, pola perilaku, nilai-nilai dan cita-cita yang terakumulasi
selama berabad-abad. Kompleksitivitas identitas nasional memiliki keuntungan
dan kerugian. Keuntungannya sebagai rekaman historis, debat publik, dan
artikulasi institusional. Kerugiannya sebagai peleburan banyak orang, masa lalu
yang panjang, kepentingan yang dominan dan manipulasi ideologis. Atas dasar
itu, Parekh mengartikan identitas nasional adalah:
“Komunitas politik yang memiliki sejarah tertentu, tradisi, keyakinan,
kualitas karakter, dan memori historis, yang membatasi berbagai alternatif
membukanya.”
[It has a certain history, traditions, beliefs, qualities of character and
historical memories, which delimit the range of alternatives open to it]
(Parekh, 2008: 61).
16
“Human being are unique individuals, distinct centres of self-consciousness, have different
bodies, biographical details, an ineliminable inner life and a sense of selfhood or subjectivity.” 17
“They are, however, different in their nature, arise in different ways, and can and should be
distinguished in order to counter the widespread current tendency to equate individual identity
with one of these, usually the personal or social identity.”
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
82
Universitas Indonesia
Dari pengertian tersebut, identitas nasional bukan fakta hidup yang primordial,
kasar dan tak dapat diubah, serta pasif diwarisi oleh setiap generasi. Oleh sebab
itu, identitas nasional bukan substansi, melainkan kluster intensi yang saling
terkait yang seringkali menarik dalam arah yang berbeda, dan setiap generasi
harus mengidentifikasi nilai-nilai dan cita-cita yang terlalu tidak pernah transparan
dan tidak ambigu (Parekh, 2008: 60-61).
Identitas nasional dalam praktiknya merupakan istilah yang digunakan di
dalam dua arti yang terkait tetapi berbeda, yaitu antara identitas individual dan
identitas nasional. Identitas individual mengacu pada “anggota dari komunitas
politik sebagai perbedaan jenis lain dari komunitas”, sedangkan identitas nasional
mengacu pada “identitas komunitas politik” (Parekh, 2008: 56).18
Misalnya, orang
Indonesia adalah identitas nasional, orang Kristen atau Bugis adalah identitas
individual religius atau etnis, sedangkan Indonesia adalah komunitas politik
daripada lainnya.
Identitas nasional adalah bagian penting dan sering dihargai oleh identitas
individual. Pada sisi gelap identitas nasional dapat mudah menjadi sumber konflik
dan perpecahan.19
Hal itu terjadi karena identitas nasional merupakan hasil
seleksi, yang menekankan salah satu pandangan moral dan budaya, dan
mendelegitimasi pandangan yang lain. Bahkan, identitas nasional dapat menjadi
wahana membungkam suara-suara pembangkang dan membentuk seluruh
masyarakat dalam imaginasi tertentu dengan segala implikasinya yang otoriter dan
represif.20
Di dalam masyarakat multikultur identitas nasional menimbulkan
bahaya terjadinya keragaman yang tak terhindarkan atas nilai, visi good life, dan
interpretasi historis (Parekh, 2000: 231).
Dengan demikian, begitu penting identitas sosial yang plural di dalam
masyarakat multikultur, karena setiap identitas sosial merupakan cara tertentu
18
“The term national identity is used in two related but different senses. …it refers to an
individual's identity as a member of a political community as different from that of other kinds of
community. …national identity refers to the identity of a political community.” 19
“…also has a dark underside and can easily become a source of conflict and division.” 20
“…can also become a vehicle of silencing dissident voices and moulding the entire society in a
particular image with all its authoritarian and repressive implications.”
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
83
Universitas Indonesia
dalam memandang dunia. Identitas sosial yang plural berarti individu
berperspektif plural, di mana masing-masing melengkapi wawasan dan
mengoreksi keterbatasan lainnya. Secara kolektif masyarakat membuat posibilitas
pandangan dunia yang lebih luas, lebih bernuansa, dan dapat dibedakan (Parekh,
2008: 24).
3.2.3 Kesetaraan dan Keadilan dalam Perbedaan
Perbedaan sebagai pembentuk ontologis masyarakat multikultur.
Perbedaan mengubah struktur sosial masyarakat monokultur menjadi masyarkat
multikultur, monoetnik menjadi multietnik, monisme menjadi pluralisme atau
liberalisme, dan homogenitas menjadi heterogenitas. Kesetaraan dan keadilan
merupakan nilai-nilai utama untuk merealisasikan perbedaan dalam kesejahteraan
dan harmoni masyarakat multikultur. Untuk menghormati perbedaan, negara
merupakan salah satu sumber persatuan, memberikan fokus untuk hidup bersama,
dan diharapkan memberi contoh tentang bagaimana untuk mengatasi prasangka
dan sudut pandang komunal yang sempit.21
Negara melalui lembaga yudikatif
(kepolisian, kejaksaan dan pengadilan) seharusnya memperlakukan dengan adil
terhadap anggota komunitas-komunitas yang berbeda. Selain itu, negara
konstitusional harus memastikan bahwa warganya menikmati perlakuan
kesetaraan dalam seluruh ranah kehidupan yang signifikan, seperti pekerjaan,
peradilan pidana, pendidikan, dan pelayanan publik (Parekh, 2000: 209-210).22
Eksistensi komunitas dan seluruh ranah kehidupan tersebut dibentuk berdasarkan
pada perbedaan sosial.
Perbedaan sosial disebut juga diferensiasi struktural dalam pandangan
teori perubahan sosial fungsionalis. Istilah perbedaan atau diferensiasi dalam
perspektif sosiologis itu berasal dari istilah biologis untuk menjelaskan
21
“Its role is even greater in a multicultural society in which it is one of the few sources of unity,
provides a focus to the shared life, and is expected to set an example of how to rise above narrow
communal prejudices and points of view.” 22
“…the state needs to ensure that is citizens enjoy equality of treatment in all significant areas of
life such as employment, criminal justice, education and public service.”
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
84
Universitas Indonesia
spesialisasi fungsi masyarakat dalam sebuah proses evolusi sosial.23
Perbedaan
dapat dipahami pada suatu aktivitas institusional yang terbagi, dan lebih khusus
dalam dua atau lebih aktivitas institusional yang terpisah. Oleh sebab itu,
perbedaan secara fungsional untuk meningkatkan integrasi dan saling
ketergantungan. Misalnya, pemisahan dan spesialisasi fungsi produksi ekonomi
dari institusi keluarga yang memelihara fungsi reproduksi dan sosialisasi bayi
(David Jary & Julia Jary, 1991: 581). Perbedaan sosial lebih luas dijelaskan oleh
Kaare Svalastoga ketika memahami interaksi sebagai hakikat hidup berkelompok.
Perbedaan sosial adalah “kecenderungan ke arah perkembangan sosial yang
berlawanan, seperti perbedaan menurut ciri-ciri biologis antar-manusia”. Dalam
interaksi tersebut ada integrasi sosial yang dituntut. Integrasi sosial adalah
“kecenderungan untuk saling menarik, tergantung, dan menyesuaikan diri.” Dari
pengertian tersebut, dengan jelas Svalastoga memposisikan perbedaan sosial
sebagai oposisi dari integrasi sosial. Selain itu, perbedaan sosial dipahami
didasarkan pada perbedaan sosial secara horizontal, bukan stratifikasi sosial.
Di dalam masyarakat multikultur terdapat empat jenis perbedaan sosial
yang dapat mempengaruhi terjadinya perubahan sosial budaya, agama, dan
politik. Empat jenis tersebut terdiri dari tiga jenis perbedaan sosial menurut
Svalastoga dan satu jenis lagi menurut Ralf Dahrendorf. Pertama, perbedaan
tingkat. Perbedaan tingkat dalam kehidupan sosial disebabkan oleh persediaan
sumber daya alam yang terbatas untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup.
Keterbatasan alam yang tersedia itu harus didistribuskan secara adil dan merata.
Ketidakadilan dan ketidakmerataan itu niscaya menimbulkan ketidaksetaraan
sosial. Oleh sebab itu, perbedaan tingkat sosial niscaya menimbulkan
ketidaksetaraan sosial jika sumber daya alam yang tersedia tidak didistribusikan
secara adil dan merata. Kedua, perbedaan fungsi. Dalam kehidupan sosial
perbedaan fungsi dibutuhkan karena adanya pembagian kerja yang harus
dilakukan dalam aktivitas sosial. Pembagian kerja yang profesional dilaksanakan
sesuai fungsinya masing-masing. Aktivitas sosial yang semakin berkembang dan
23
“Differentiation is a term derived from biology to describe the specialization of functions in
society in a process of social evolution.”
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
85
Universitas Indonesia
modern tidak dapat terhindar dari kerja-kerja profesional. Perbedaan fungsi sosial
tak lain merupakan akibat dari globalisasi pada aktivitas sosial yang menuntut
profesionalitas dan modernitas.
Ketiga, perbedaan adat istiadat. Perbedaan adat istiadat didasarkan pada
aturan perilaku masyarakat yang memiliki realitas kondisional dan situasional
sosial yang beragam. Aturan perilaku sosial dikonstruksi di dalam budaya
masyarakat lokal. Budaya masyarakat senantiasa berkembang dinamis selaras
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dinamika budaya masyarakat
menimbulkan perbedaan keyakinan dan pandangan hidup. Di dalam masyarakat
multikultur perbedaan adat istiadat sebagai keniscayaan dari realitas sosial yang
beragam (Svalastoga, 1989: 1). Perbedaan adat istiadat sangat erat berkaitan
dengan dinamika perubahan kehidupan religius dan etnis pada masyarakat
multikultur. Keempat, perbedaan distribusi otoritas. Menurut Dahrendorf,
perbedaan distribusi otoritas dalam kehidupan sosial mengakibatkan konflik sosial
yang sistematis.24
Dalam masyarakat multikultur industrial perbedaan sosial yang
paling berpengaruh terhadap perubahan sosial ditentukan oleh perbedaan otoritas
yang didistribusikan. Otoritas melekat pada posisi sosial. Otoritas dalam setiap
masyarakat bersifat dikotomis antara superordinasi atau dominasi dan subordinasi
atau minoritas (Dahrendorf, 1959: 165).
Adanya perbedaan sosial tersebut, masyarakat multikultur membutuhkan
dua macam kesetaraan, yaitu kesetaraan negatif dan kesetaraan positif.
Kesetaraan negatif melibatkan absensi diskriminasi langsung dan
deliberasi; atau tak langsung dan institusionalisasi.25
Diskriminasi langsung dan
deliberasi terjadi ketika orang-orang yang bertanggung jawab atas pengambilan
keputusan dipandu oleh prasangka terhadap kelompok tertentu. Sementara itu,
diskriminasi tak langsung dan institusional ketika aturan dan prosedur yang diikuti
mengandung bias diskriminatif tanpa diketahui dan bekerja pada kerugian
sistematis bagi komunitas atau kelompok tertentu (Parekh, 2000: 210).
24
“…differential distribution of authority invariably becomes the determining factor of systematic
social conflicts of a type that is germane to class conflicts in the traditional (Marxian) sense of this
term.” 25
“Negatively equal treatment involves absence of direct and deliberate or indirect and
institutionalized, discrimination.”
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
86
Universitas Indonesia
Kesetaraan positif memerlukan kesetaraan hak dan kesempatan. Seluruh
warga negara harus menikmati hak yang setara, dan seharusnya mencakup bukan
hanya pemenuhan hak-hak sipil, politik, ekonomi, dan hak lain, melainkan juga
hak budaya.26
Hak budaya mengacu pada hak-hak yang dimiliki oleh seseorang
ataupun juga komunitas yang mengekspresikan, mempertahankan, dan
menanamkan identitas budayanya. Budaya merupakan bagian integral dari
perasaan identitas dan kesejahteraan individual. Oleh sebab itu, hak-hak budaya
merupakan bagian dari hak asasi manusia, dan masyarakat yang baik harus
menjamin adanya hak-hak budaya bagi seluruh warganya (Parekh, 2000: 211).
Keadilan menuntut bahwa dengan tunduk pada limitasinya, kesempatan
yang sama harus diperluas sampai kepada masyarakat minoritas.27
Dengan
memperluas interaksi dengan masyarakat minoritas, hak budaya menuntut
loyalitas dan niat untuk memfasilitasi penyatuan. Prinsip-prinsip keadilan
mengatur signifikansi hidup yang baik dan berelasi dengan konstruksi dasar
masyarakat. Konstruksi dasar masyarakat bukan hanya menyangkut politik dan
ekonomi saja, akan tetapi juga budaya. Keadilan adalah “keutamaan pertama pada
institusi sosial, dan sebagai kebenaran pada sistem pemikiran”.28
Keutamaan
pertama menjadi aktivitas manusia pada institusi sosial, menempatkan relasi
kebenaran dan keadilan tanpa kompromi. Prinsip-prinsip keadilan tertentu
dibenarkan karena masyarakat sepakat pada situasi awal, kesetaraan (Rawls, 1999:
3; 19).
Dalam masyarakat multikultur desentralisasi kekuasaan memiliki peran
yang sangat penting untuk memastikan keadilan.29
Dengan desentralisasi
kekuasaan, institusi lokal dan regional mudah mengakomodasi perbedaan
daripada pemerintahan sentral, karena penyesuaian yang diperlukan lebih mudah
diidentifikasi, terbatas dalam skala, tidak terlalu mahal, dan umumnya bebas dari
26
“Positive equality requires equality of rights and opportunities. All citizens should enjoy equal
rights, and these should include not only the usual repertoire of civil, political, economic and
other rights but also cultural rights.” 27
“Justice requires that, subject to the limits…, the same opportunity should be extended to the
minority communities as well.” 28
“Justice is the first virtue of social institutions, as truth is of systems of thought.” 29
“Decentralization of power has a particularly important role to play in ensuring justice in
multicultural societies.”
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
87
Universitas Indonesia
sorotan publisitasi. Oleh karena itu, penting untuk membangun unit pemerintah
lokal dan regional yang kuat dan menggunakannya untuk memperkuat budaya
masyarakat. Ketegangan antarkomunal lebih sedikit terjadi dan lebih mudah
diolah ketika ada jaringan lintas komunal formal dan informal yang
mempertahankan modal sosial, saling percaya dan kerja sama (Parekh, 2000:
212).
3.2.4 Agama dan Etnik dalam Kehidupan Publik
Kehidupan publik adalah suatu ruang untuk menguatkan keragaman,
identitas, dan perbedaan seorang individu komunitas dengan yang lain secara
sosial, politik, dan budaya. Sebagai ruang, kehidupan publik memposisikan antara
individu, masyarakat dan negara, di mana diskusi publik yang kritis mengenai
persoalan kepentingan umum yang dijamin secara institusional, yang mengambil
bentuk dalam keadaan historisitas tertentu (Habermas, 1991: xi). Agama dan etnik
dalam kehidupan publik merupakan salah satu komunitas dalam membentuk
masyarakat multikultur. Agama dan etnik tetap menjadi kekuatan penting dalam
kehidupan masyarakat. Agama dan etnik tidak hanya hidup hari ini, melainkan
juga menolak untuk tetap terbatas pada ruang privat. Agama dan etnik menjadi
dalam kehidupan publik menjadi kekuatan komunitas yang memiliki keyakinan
religius dan kearifan lokal bagi beberapa aktivis sosial, politik dan budaya, seperti
gerakan lingkungan, gerakan antikekerasan, organisasi antiras, kampanye hak-hak
pribumi, perjuangan kesetaraan gender, perjuangan antikemiskinan, gerakan
perdamaian dan pelucutan senjata, serta kampanye hak asasi manusia dan keadilan
dunia (Parekh, 2000: 323-324).
Agama dan etnik adalah sebuah fakta kehidupan sosial.30
Tak ada satu
negara pun yang dapat bersikap acuh tak acuh kepada fakta tersebut. Partisipasi
warga negara di dalam tatanan publik, moralitas publik, kesehatan publik,
harmoni sosial, dan kebebasan individual, didasari oleh keyakinan religius yang
sangat mendalam. Negara tidak dapat mengabaikan partisipasi warganya dengan
30
“Religion (and ethnic) is a fact of social life…”
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
88
Universitas Indonesia
tanpa merusak integritas moral dan mengundang resistensi. Oleh sebab itu, fakta
sosial itu menolak pandangan sekulerisme dari kaum sekuler, liberal dan
konservatif yang membentuk pemisahan antara agama, etnik dan negara. Sejarah
menjelaskan bahwa agama telah menjadi sumber dari banyak gerakan emansipasi.
Antiperbudakan, antikapitalis, antifasis, dan gerakan-gerakan lainnya, seringkali
dipimpin oleh pemikir religius yang kuat (Parekh, 2000: 327-328).
Selain itu, agama dan etnik merupakan pengimbang yang berharga bagi
negara, memelihara sensibilitas dan nilai yang diabaikan atau dipaksakan.31
Seperti partai oposisi, institusi nonnegara memiliki kekuatan untuk memeriksa
negara. Misi agama dan etnik menyediakan sumber-sumber alternatif moralitas
dan komitmen, serta mengingatkan bahwa “seorang manusia adalah lebih penting
dari seorang warga negara”.32
Dengan demikian, fakta itu bukan menyangkal
bahwa agama dan etnik seringkali mendukung nasionalisme yang agresif dan
perang yang kejam, melainkan menyatakan bahwa agama dan etnik memiliki
dimensi universalis dan humanitarian yang dapat digunakan untuk mengritik,
memalukan, dan memuat cenderung nasionalis (Parekh, 2000: 328).
3.3 Keterbatasan Masyarakat Multikultur
Keterbatasan masyarakat multikultur adalah konstruksi sosial masyarakat
yang dibentuk tetap menyimpan ruang kemungkian konflik antarindividu atau
antarkomunitas yang sangat berbahaya hingga lenyapnya martabat manusia yang
tertanam secara budaya. Ruang kemungkinan konflik disimpan oleh semua unsur
yang membentuk konstruksi sosial di dalam masyarakat multikultur. Karakteristik
masyarakat multikultur yang berbeda-beda mempengaruhi konstruksi sosial yang
dipenuhi dengan konflik dalam diskursus yang dikategorikan secara sosial, seperti
masyarakat komunal pribumi dan nonpribumi, masyarakat minoritas dan
mayoritas, aborsi, poligami, nikah beda agama, konversi agama, dan ajaran sesat.
31
“Religion (and ethnic) also provides a valuable counterweight to the state, nurturing
sensibilities and value the latter ignores or suppresse.” 32
“…a human being is more than a citizen.”
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
89
Universitas Indonesia
Pertama, di dalam keragaman moral dan budaya, masyarakat homogen
yang tertutup, intoleran, antiperubahan, menyesakkan dan menindas, melemahkan
perbedaan, ketidaksepakatan, dan eksperimen dalam hidup, berkontribusi besar
pada ruang kemungkinan konflik antarindividu. Masyarakat intoleran hanya akan
memunculkan kekerasan kepada yang lain, baik berbentuk fisik maupun nonfisik.
Masyarakat yang melemahkan perbedaan hanya akan menutup rapat ruang
kehidupan publik, terutama bagi kebebasan religius dan etnis. Kedua, di dalam
identitas nasional yang menjadi wahana membungkam suara-suara pembangkang
dan membentuk seluruh masyarakat dalam imaginasi tertentu dengan segala
implikasinya yang otoriter dan represif, hanya akan memunculkan protes
destruktif dan konflik sosial.
Ketiga, ketidaksetaraan dan ketidakadilan dalam perbedaan hanya akan
menimbulkan ketimpangan dan ketidakadilan baru yang mengakibatkan konflik
sosial yang berkepanjangan. Di samping itu, ketidakadilan dalam perbedaan
mewujudkan kemiskinan dan pemberontakan individu atau komunitas budaya
terhadap negara. Keempat, pemisahan agama, etnik dan negara di dalam
masyarakat multikultur akan merusak relasi triadik di antara ketiganya, yaitu
mengancam martabat manusia, mengelimitasi kebebasan hati nurani manusia,
serta merusak moral dan integritas religius individual. Kerusakan pada relasi
triadik tersebut akan menimbulkan konflik antarindividu yang didasari oleh
prasangka dan sudut pandangan yang sempit.
3.4 Ikhtisar
Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa ada empat unsur pembentuk
masyarakat multikultur, yaitu keragaman moral dan budaya, identitas sosial,
perbedaan, dan kehidupan publik. Keragaman moral dan budaya merupakan
faktisitas budaya di dalam masyarakat multikultur. Identitas sosial merupakan
perpaduan dari normativitas dan kekuasaan, yang dilegitimasi dalam bahasa tubuh
keyakinan yang berlaku dan ditopang oleh relasi kekuasaan yang berlaku, seperti
identitas agama atau etnik. Perbedaan harus diproduksi oleh kesetaraan dan
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
90
Universitas Indonesia
keadilan yang dilakukan oleh negara kepada warga negaranya dan sebaliknya
warga negara kepada negaranya. Kehidupan publik merupakan ranah sosial,
politik dan budaya di mana agama dan etnik memiliki peran yang signifikan untuk
menghormati martabat manusia.
Oleh karena itu, konstruksi sosial pada masyarakat multikultur memiliki
ciri-ciri, sebagai berikut: relasi sosial didasarkan pada keragaman moral dan
budaya, identitas sosial pada individu dipengaruhi identitas nasional, kualitas
kesejahteraan yang berbeda-beda didasarkan pada kesetaraan dan keadilan, dan
kebebasan berkeyakinan dalam kehidupan publik dijamin negara yang mengakui
keragaman moral dan budaya. Namun demikian, ciri-ciri tersebut tetap
menyimpan ruang kemungkinan konflik antarindividu, karena unsur-unsur
pembentuk konstruksi sosial masyarakat multikultur menyimpan sesuatu tak
terhindarkan yang berisi diskursus yang kontradiktif dan kontroversial dalam
kategori sosial, seperti masyarakat komunal pribumi dan nonpribumi, masyarakat
minoritas dan mayoritas, aborsi, poligami, nikah beda agama, konversi agama,
dan ajaran sesat.
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
91
Universitas Indonesia
BAB IV
KONFLIK SOSIAL
MASYARAKAT MULTIKULTUR
4.1 Pengantar
Konstruksi sosial masyarakat multikultur yang telah dijelaskan pada bab
tiga merupakan landasan normatif bagi individu, masyarakat dan negara untuk
memahami konflik sosial yang diproduksi. Dalam bab empat ini akan dijelaskan
konflik antarindividu yang memproduksi fenomena konflik sosial yang terjadi di
dalam masyarakat multikultur. Dengan reduksi fenomenologis terhadap fenomena
konflik sosial tersebut, akan dijelaskan bahwa perilaku sosial seorang manusia
yang memunculkan konflik, dan dua corak konflik sosial yang diproduksi di
dalam negara yang mengakui keragaman moral dan budaya. Dua corak konflik
masyarakat multikultur, yaitu konflik nuansa agama dan konflik nuansa etnik.
Pada akhir bab ini akan dijelaskan kritik terhadap konsep manusia sebagai
makhluk yang berkonflik.
4.2 Memahami Konflik Sosial dalam Masyarakat Multikultur
Konflik sosial dipahami atas dasar fenomenologi kehidupan religius di
dalam masyarakat multikultur. Dalam fenomenologi kehidupan religius, konflik
sosial dijelaskan melalui pengalaman religius individual seseorang yang meyakini
adanya Tuhan sebagai pandangan moral dan budaya. Pengalaman kehidupan
religius individual dapat diperoleh di dalam komunitas agama dan etnik. Oleh
karena itu, dari fenomena konflik sosial di Poso, Ambon, dan Cikeusik, akan
dijelaskan pengalaman religius pada individu-individu yang telah mengalami
konflik antarkomunal. Untuk menjelaskan pengalaman kehidupan religius
seseorang, lebih dahulu dijelaskan pengertian konflik sosial, fenomena konflik
sosial, dan konflik antarindividu, sebagai berikut.
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
92
Universitas Indonesia
A. Pengertian Konflik Sosial
Konflik telah didefinisikan sebagai pengganggu pikiran, sine qua non
refleksi dan kecerdikan (Dewey, 1922: 300; Coser, 1957: 198).1 Dalam ranah sosial,
konflik ditunjukkan dengan tindakan yang mengganggu pikiran, seperti memukul
orang lain, mencaci maki orang lain, atau berpikir buruk atas orang lain. Istilah
“konflik” sendiri berasal dari bahasa Latin conflictus yang berarti “tindakan
menyerang bersama-sama”, atau confligere yang berarti “menyerang bersama-
sama”. Atas dasar asal bahasanya, definisi tersebut menjelaskan bahwa konflik
sosial merupakan masalah moralitas individual yang mengalami gangguan pikiran
bersama orang lain di dalam kehidupan masyarakat, misalnya kebimbangan
eksistensial seseorang menganut sebuah agama di dalam masyarakat yang berbeda
agama yang dianutnya, atau kegelisaan seseorang berperilaku sosial dalam
masyarakat yang berpandangan budaya adat tetapi dirinya berpandangan religius.
Ada banyak pengertian dalam memahami konflik yang dipengaruhi oleh intensi
seseorang pada disiplin ilmu masing-masing. Dalam fenomenologi kehidupan
religius konflik disebut dengan adanya “pergaulan aneh” dari berbagai relasi
sosial dalam pengalaman hidup faktis atau kegiatan yang ramai.2 Pencampuran
yang dihadirkan oleh ketakutan, keinginan, dan nafsu membawa konflik baru
dalam dirinya sendiri. Konflik itu akan menjadi dasar perilaku seseorang yang
antitesis dialektis, intoleran (Heidegger, 2004: 153).
Di dalam ranah filsafat pemikiran tentang konflik dapat ditelusuri dari
tulisan-tulisan filsuf kuno, seperti Plato, Thucydides, Niccolò Machiavelli dan
Thomas Hobbes. Selajutnya, filsuf modern yang banyak dirujuk oleh para pemikir
sosial adalah Marx. Penekanan Marx dan Engels dalam menjelaskan landasan
konflik adalah kondisi-kondisi material, seperti konflik kelas yang didasarkan
pada relasi-relasi kepemilikan. Namun, pada tahun 1960-an, terutama di negara-
negara yang berbahasa Inggris, pemikiran Marx tersebut banyak dikritik oleh para
filsuf sosial. Dahrendorf mengkritik bahwa relasi-relasi kekuasaan yang
melandasi konflik sosial, bukan relasi-relasi kepemilikan. Antonio Gramsci
1 “Conflict is the gadfly of thought. …conflict is a sine qua non of reflection and ingenuity.”
2 “If we call this peculiar commingling of the various senses of the relation of concern in the
factical experience of life (or its bustling activity) a ‘conflict”.
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
93
Universitas Indonesia
menekankan bahwa hegemoni budaya pada kelas penguasa sebagai bentuk
dominasi, yang melandasi konflik sosial (Kuper, 2000: 156).
Pada sisi lain dalam ranah sosiologis, konflik dipahami secara positif
konstruktif bahwa konflik tidak hanya memproduksi norma-norma baru, institusi-
institusi baru, bahkan mendorong perkembangan langsung dalam bidang ekonomi
dan teknologi (Coser, 1957: 198). Misalnya, konflik tidak hanya menciptakan
institusi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menebarkan misi perdamaian, akan
tetapi juga mereproduksi terus-menerus senjata atom dan nuklir yang canggih.
Selain itu, konflik dipahami secara negatif destruktif dari yang didasari oleh
ketimpangan fundamental dari struktur sosial. Dengan kata lain, konflik sosial
adalah ketimpangan kekuasaan dan otoritas, termasuk organisasi sosial
(Dahrendorf, 1959: 64).3 Dengan adanya ketimpangan tersebut, konflik dipahami
sebagai bentuk pemaksaan, termasuk kekerasan, sebagai cara utama untuk
menciptakan kontrol, meskipun mengakui adanya simbol dalam konflik, baik
pada tingkat individual maupun sosial struktural (Kuper, 2000: 156).
Konstitusi negara Indonesia penting dipahami sebagai konteks di mana
konflik sosial terjadi. Dalam konstitusi negara pengertian konflik adalah “sebuah
perseteruan dan/atau benturan fisik dengan kekerasan antara dua kelompok
masyarakat atau lebih yang berlangsung dalam waktu tertentu dan berdampak luas
yang mengakibatkan ketidakamanan dan disintegrasi sosial sehingga mengganggu
stabilitas nasional dan menghambat pembangunan nasional”.4 Dalam pemahaman
konstitusional konflik ditunjukkan dengan proses sosial dalam dua atau lebih
komunitas komunal bahwa bermula dari benturan dengan kekerasan,
mengakibatkan ketidakamanan dan disintergrasi sosial, serta menghasilkan
gangguan stabilitas nasional dan hambatan pembangunan nasional. Oleh karena
itu, secara kontekstual konflik sosial dalam negara adalah gangguan stabilitas
nasional dan hambatan pembangunan nasional yang diproduksikan oleh benturan
dengan kekerasan antarkomunitas.
3 “…the fundamental inequality of social structure, and the lasting determinant of social conflict,
is the inequality of power and authority which inevitably accompanies social organization.” 4 Lihat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial.
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
94
Universitas Indonesia
B. Fenomena Konflik Sosial
Konflik sosial paling lama berlangsung dalam sejarah peradaban manusia
di dunia, yakni konflik antara Israel dan Palestina. Konflik sosial antara Israel dan
Palestina tentunya menghilangkan jiwa manusia yang tak ternilai harganya dan
merusak lingkungan hidup yang paling parah di antara beberapa konflik sosial
lainnya. Bahkan, konflik itu menyulut emosi masyarakat di banyak negara,
termasuk Indonesia. Konflik antara Israel dan Palestina mulai berlangsung pada
akhir tahun 1940-an, terus bergulir hingga menembus abad ke-20, dan kini
memasuki abad ke-21. Titik perdamaian di antara keduanya pun tak pernah
muncul, sehingga tidak aneh jika pada suatu saat konflik antara Palestina dan
Israel akan dilupakan.
Di Indonesia konflik yang berbasis primordialisme mungkin masih akan
terus terjadi. Konflik di Poso, Ambon, dan Cikeusik pada awal reformasi Mei
1998 dipandang sebagai fenomena konflik sosial yang bernuansa primordialisme.
Rezim awal reformasi menandai rezim Orde Baru dalam kondisi sosial
pembangunan yang tidak adil, sebab itu selama itu modernitas negara hanya semu
belaka. Ada ketimpangan sosial yang sangat berjarak di antara sendi-sendi
kehidupan manusia. Masyarakat secara umum mengetahui bahwa kondisi sosial
pada saat itu disebabkan oleh cara negara mengolah perbedaan pandangan moral
dan budaya yang tidak sehat di mana merajalelanya korupsi, kolusi, dan
nepotisme (Hendrajaya, dkk., 2010: 2).
Protes dan kritik sosial seringkali diungkapkan, akan tetapi rezim Orde
Baru seolah-olah tidak melihat, mendengar, bahkan masyarakat yang tidak setuju
terhadap kebijakan negara selalu dituduh sebagai komunis, subversif, dan
sebagainya. Pada pertengahan tahun 1997 Indonesia dilanda krisis ekonomi,
harga-harga mulai membumbung tinggi sehingga daya beli rakyat sangat lemah,
bahkan banyak perusahaan yang terpaksa melakukan pemutusan hak kerja
terhadap buruhnya. Kondisi sosial politik bangsa diperparah lagi dengan nilai kurs
rupiah terhadap dolar sangat rendah. Dalam kondisi seperti itu para mahasiswa,
akademisi, dan masyarakat mulai berani mengadakan demonstrasi memprotes
kebijakan rezim Orde Baru. Setiap hari mahasiswa dan masyarakat mengadakan
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
95
Universitas Indonesia
demonstrasi hingga mencapai puncaknya pada Mei 1998, dengan meneriakkan
reformasi bidang sosial, politik, ekonomi, dan hukum. Dengan demikian, rezim
awal reformasi secara simbolik pada 21 Mei 1998 berdasarkan Pasal 8 Undang-
Undang Dasar 1945, ditandai dengan penyerahan kepemimpinan negara dan
kepemerintahan Presiden Soeharto kepada Wakil Presiden B.J. Habibie.
Kondisi awal rezim reformasi tersebut memberi ruang kemungkinan
konflik sosial yang dahsyat bagi masyarakat multikultura yang berada di sudut-
sudut wilayah kekuasaan negara. Konflik sosial tak lepas dari realitas sosial homo
homini lupus di mana masyarakat terdiri dari individu-individu yang menganggap
diri orang lain sebagai serigala (Magnis-Suseno, 1999: 202). Lebih mendalam,
Jacques Derrida menjelaskan adanya “dikotomi” serigala dalam pandangan
Machiavelli terhadap realitas sosial homo homini lupus tersebut, yang secara
literal dari Plautus, jauh sebelum Michel de Montaigne dan Hobbes. Menurut
Machiavelli dalam The Prince, serigala itu loud and dear (Derrida, 2009: 79).
Oleh sebab itu, tidak keliru apabila konflik sosial dipahami secara sederhana
sebagai seekor serigala yang “garang” sekaligus “penyayang.”
Atas fenomena konflik sosial di atas, konflik merupakan masalah
heteronomi eksistensial manusia di dalam masyarakat multikultur, bukan lagi
masalah dikotomi eksistensial manusia. Heteronomi eksistensial manusia yang
tertanam secara budaya sangat mudah dipengaruhi oleh diskusus globalisasi yang
terbentuk di dalam identitas individual, sosial, dan nasional. Pengaruh diskursus
globalisasi seiring dengan keragaman moral dan budaya di dalam kehidupan
manusia. Pengaruh globalisasi, serta keragaman moral dan budaya, konflik sosial
tak dapat dihindari. Oleh sebab itu, konstruksi sosial masyarakat multikultur tak
dapat menghindar dari konflik sosial. Fenomena konflik sosial di dalam
masyarakat multikultur dapat dijelaskan dalam bentuk perilaku sosial atas
tindakan kekerasan, perang, serta perang dan kepentingan PBB.
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
96
Universitas Indonesia
A. Perilaku kekerasan
Kemunculan konflik sosial di atas sebagai fakta krisis budaya yang
mereproduksi tindakan kekerasan. Reproduksi kekerasan dalam konteks tiga
tragedi konflik sosial di Poso, Ambon dan Cikeusik menjelaskan bahwa
religiusitas dan etnisitas menjadi legitimasi etis relasi sosial pada masyarakat
multikultur (Haryatmoko, 2012: 84). Legitimasi etis relasi sosial dipengaruhi oleh
interpretasi umat beragama dan etnik terhadap teks kitab sucinya dan praktik
formalisasi agama dan etiniknya di dalam negara yang mengakui keragaman
moral dan budaya pada arus globalisasi. Gandhi sangat menyesalkan pemikiran
yang meyakini bahwa “eksistensi manusia tidak mungkin terhindar dari kekerasan
adalah fakta”.5 Keyakinan itu menjelaskan bahwa tubuh adalah “rumah
pembantaian” dan manusia dipaksa untuk “meminum kemarau kekerasan yang
pahit” pada setiap detik kehidupannya. Tubuh manusia yang dipaksa itu
menghancurkan jutaan organisme hidup dalam proses bernafas, berjalan, makan,
minum, mengolah tanah dengan insektisida dan desinfektan, menyalakan api, dan
membangun rumah. Reproduksi kekerasan di sekitar manusia itu dipahami bahwa
“dunia terikat di dalam rantai kehancuran” (Parekh, 1989: 127).6
Kekerasan adalah karakter manusia yang tidak hanya pada perilakunya,
melainkan juga pada pikirannya.7 Pikiran yang merugikan orang lain adalah
bentuk kekerasan, sebelum konvensi sosial, di mana tidak adanya kesempatan dan
pertimbangan kepentingan jangka panjang untuk bertindak. Pikiran adalah
konstruksi karakter seorang individu. Jika pikiran menjadi kebiasaan dan menjadi
bagian dari beberapa jenis pemikiran, maka dari waktu ke waktu pikiran
cenderung tampil alami dan bukti eksistensinya, tumpul sensibilitas dan bertindak
tidak relevan, serta melegitimasi tindakannya sendiri. Oleh sebab itu, pikiran
kekerasan membuka jalan bagi perilaku kekerasan, dan keduanya sama-sama
buruk (Parekh, 1989: 117-118).
Tindakan kekerasan pada tiga tragedi konflik sosial menjelaskan bahwa
kekerasan merupakan sebagian besar sanksi dari agama, sebab itu kita harus jujur
5 “…fact that human existence was impossible without violence.”
6 “The world is bound in a chain of destruction.”
7 “Violence was a property not only of conduct but also thought.”
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
97
Universitas Indonesia
menghadapi masalah kekerasan dan teks suci. Kristen, Islam, dan etnisitas berakar
pada teks-teks paralel, namun terjadi konflik interpretasi, sehingga membuat
klaim-klaim tentang Tuhan dan sejarah menurut pandangannya masing-masing.
Setiap teks suci didominasi oleh tradisi kekerasan Tuhan. Meskipun legitimasi
teks kekerasan tidak mengarah secara otomatis terhadap kekerasan manusia.
Namun hal itu, bagaimanapun, membuat kekerasan lebih mungkin di tengah-
tengah konflik (Pallmeyer, 2005: xiii-xiv).8
B. Perilaku Perang
Tindakan kekerasan yang sistematis dalam perilaku seorang manusia,
yaitu perang. Perang sebagai ultima ratio, warisan tua dari politik dengan cara
kekerasan, dalam urusan luar negeri negara terbelakang tidak ada argumen
terhadap pepatah kuno itu, serta fakta bahwa hanya negara kecil tanpa senjata
nuklir dan biologis yang hanya bisa membelinya sebagai penghiburan (Arendt,
1970: 6).9 Perang merupakan konflik antarkomunitas politik, yang lebih parah
daripada konflik antarkomunitas budaya atau konflik antarindividu. Perang
menunjukkan perilaku relasi individu yang dipenuhi oleh kekerasan global di
masyarakat multikultur.
Dalam pandangan yang berbeda, perang merupakan “tindakan kekerasan
yang ditujukan untuk memaksa orang lain supaya memenuhi kemauan orang yang
memaksa” (Clausewitz, 2006: 14).10
Perang sebagai deskripsi yang penggunaan
kekerasan, bukan cara damai, untuk menyelesaikan konflik sosial di dalam
kehidupan manusia. Dengan demikian, perang dianalogikan seperti perusahaan
yang ganas, namun tetap menjadi pusat sejarah manusia. Paradoks tindakan
peperangan tersebut dapat mengungkapkan aspek yang sangat mengganggu
karakter manusia, terutama dorongan untuk mendominasi orang lain.
8 “In a world fracturing because of violence, much of it sanctioned by religion, we must honestly
face the problem of violence and "sacred" texts. …rooted in parallel and yet conflicting texts,
make competing claims about God and history. Each "sacred" text is dominated by violence-of-
God traditions. Violence-legitimating texts do not lead automatically to human violence.” 9 “That war is still the ultima ratio, the old continuation of politics by means of violence, in the
foreign affair soft he underdeveloped countries is no argument against its obsoleteness, and the
fact that only small countries without nuclear and biological weapons can still afford it is no
consolation.” 10
“War therefore is an act of violence intended to compel our opponent to fulfil our will.”
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
98
Universitas Indonesia
C. Perilaku Perang dan Kepentingan PBB
Perang disadari benar memiliki relasi dengan kepentingan tersembunyi
PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa). Kepentingan PBB adalah memfasilitasi
perang sebagai arena berkompetisi bagi negara-negara adikuasa, seperti Amerika
Serikat, Rusia, dan Inggris, sebelum Perang Dunia I. Padahal, PBB yang didirikan
pada 26 Juni 1945 di San Fransisco, pada penutupan Konferensi PBB tentang
Organisasi Internasional, dan mulai berlaku pada 24 Oktober 1945, hanya
memiliki tujuan untuk perdamaian dan keamanan internasional, sebagaimana
termaktub dalam Pasal 1 bahwa:
(a) Memelihara perdamian dan keamanan internasional dan untuk tujuan
itu: melakukan tindakan-tindakan bersama yang efektif untuk mencegah
dan melenyapkan ancaman-ancaman terhadap pelanggaran-pelanggaran
terhadap perdamaian; dan akan menyelesaikan dengan jalan damai, serta
sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan hukum internasional, mencari
penyelesaian terhadap pertikaian-pertikaian internasional atau keadaan-
keadaan yang dapat mengganggu perdamaian. (b) Mengembangkan
hubungan persahabatan antar bangsa-bangsa berdasarkan penghargaan atas
prinsip-prinsip persamaan hak dan untuk menentukan nasib sendiri, dan
mengambil tindakan-tindakan lain yang wajar untuk memperteguh
perdamaian universal. (c) Mengadakan kerja sama internasional guna
memecahkan persoalan-persoalan internasional di bidang ekonomi, sosial,
budaya, atau yang bersifat kemanusiaan, demikian pula dalam usaha-usaha
memajukan dan mendorong penghormatan terhadap hak-hak asasi
manusia dan kebebasan-kebebasan dasar seluruh umat manusia tanpa
membedakan ras, jenis kelamin, bahasa atau agama, dan. (d) Menjadi
pusat bagi penyelarasan segala tindakan bangsa-bangsa dalam mencapai
tujuan-tujuan bersama tersebut (Piagam PBB dan Statuta Mahkamah
Internasional).11
11
Lihat Charter of the United Nations and Statute of the International Court of Justice, 1945
bahwa “(a) to maintain international peace and security, and to that end: to take effective
collective measures for the prevention and removal of threats to the peace, and for the suppression
of acts of aggression or other breaches of the peace, and to bring about by peaceful means, and in
conformity with the principles of justice and international law, adjustment ot settlement of
international disputes or situations which might lead to a breach of the peace; (b) to develop
friendly realations among nations based on respect for the principle of equal rights and self-
determination of peoples, and to take other appropriate measures to strengthen universal peace;
(c) to achieve international cooperation in solving international problems of an economic, social,
cultural, or humanitarian character, and in promoting and encouraging respect for human rights
and for fundamental freedoms for all without distinction as to race, sex, language, or religion; and
(d) to be a center for harmonizing the actions of nations in the attainment of these common ends”.
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
99
Universitas Indonesia
Dengan tujuannya itu, resolusi Dewan Keamanan PBB seringkali
menangani perang sangat kontradiktif dan kontroversial. Dalam perang Teluk
Persia yang terjadi pada 2 Agustus 1991 hingga 27 Februari 1991, misalnya,
dijelaskan bahwa tindakan-tindakan antimiliter belum cukup ditempuh, sebelum
dipergunakan kekuatan militer terhadap Irak, sebagaimana yang dipersyaratkan
Piagam PBB ayat 42. Bahkan, dalam resolusi Dewan Keamanan PBB sendiri
tidak tercantum pemakaian kekuatan militer, melainkan segala tindakan yang
diperlukan. Di samping itu, absensi RRC sebenarnya telah menggagalkan resolusi
Dewan Keamanan PBB itu, karena aturannya harus disetuji oleh semua anggota
tetap Dewan Keamanan. Komite Staf Militer juga tidak dibentuk untuk
perencanaan penggunaan kekuatan militer, sebagaimana disyaratkan Piagam PBB
ayat 46 (Jacob, 1992: 173).
Puncak dari konflik sosial kontemporer yang diharapkan adalah perang
nuklir. Negara yang memproduksi senjata nuklir sebagai pengharap pertama dan
utama. Pada tahun 1992 dikatakan bahwa “senjata nuklir yang ada sekarang sudah
lebih dari cukup untuk membunuh sampai beberapa kali setiap orang dari 5 biliun
masyarakat dunia”. Sebelum difungsikan di dalam perang, senjata nuklir harus
diuji coba secara teratur supaya dijamin keaktifannya dan diperbaharui dari waktu
ke waktu supaya tidak ketinggalan dari negara lain. Bahkan, dalam
pembaharuannya, senjata nuklir ditambahkan terus daya penghancur manusia dan
alam semesta supaya lebih unggul dari negara lain. Pembaharuan senjata nuklir itu
disadari sudah mereduksi kepentingan kesejahteraan sosial yang teramat sangat
penting, yang berupa dana pendidikan, dana kesehatan, dan dana pembangunan
ekonomi. Dampak dari reduksi kepentingan kesejahteraan, berbentuk
pembodohan, penyebaran penyakit, dan menambah kemiskinan yang merajalela di
negara-negara yang lemah dan komunitas lemah di dalam negara-negara yang
kuat (Jacob, 1992: 132-133).
Dengan demikian, perang nuklir hanya mengakibatkan kehancuran
manusia dan alam semesta. Ledakan bom nuklir berakibat lebih luas ke luar
perbatasan negara, bahkan hingga ke belahan bumi yang lain. Kota Hiroshima
adalah bukti sejarah kekuatan bom atom yang hanya sebesar 15 kiloton. Dalam
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
100
Universitas Indonesia
perang nuklir bom atom akan diarahkan pada sasaran kehancurannya, yakni
perangkat keras militer, seperti silo peluru kendali, lapangan terbang, pangkalan
laut, fasilitas perindustrian, pertambangan bahan strategis, industri strategis,
pembangkit tenaga listrik dan wilayah pertanian. Dewasa ini negara yang
memproduksi senjata nuklir sudah mampu menciptakan senjata atom lebih dari 1
megaton. Dalam perang nuklir nanti setiap negara dapat memfungsikan beberapa
buah bom atom hingga 25 megaton. Dengan kekuatan bom atom itu, gelombang
ledakannya berkali-kali lebih besar daripada taufan, kabel listrik, dan kaca jendela
akan pecah-pecah, bahkan manusia dan benda-benda beterbangan menenuhi isi
udara. Oleh karena itu, dapat ditegaskan bahwa: “perang nuklir adalah kekerasan
kemanusiaan maha dahsyat yang melenyapkan hak manusia yang paling asasi,
yakni hak hidup, dan memusnahkan seluruh makhluk di bumi” (Jacob, 1992: 134-
136). Selain itu, dalam fenomena kehidupan religius perang nuklir merupakan
kriminalisasi hak-hak Tuhan, yakni hak menghidupkan dan mematikan makhluk-
makhluk lain yang secara misterius dalam wujud-Nya.
C. Konflik Antarindividu
Tindakan kekerasan dan perang di atas merupakan perilaku sosial seorang
manusia dalam masyarakat multikultur. Perilaku sosial individu tersebut tertanam
atau dilatarbelakangi oleh kondisi sosial dan konteks budaya yang menumbuhkan
dan mengembangkannya. Perilaku sosial antarindividu yang berkonflik memiliki
konteks historis. Konteks kejadian tragedi konflik sosial di Poso, Ambon,
Cikeusik, sebagai berikut.
Pertama, konteks konflik masyarakat Poso. Konflik di dalam masyarakat
Poso pertama kali terjadi pada 24 Desember 1998, tepatnya pada malam Natal di
bulan Ramadhan. Poso merupakan salah satu kabupaten di provinsi Sulawesi
Tengah. Pada saat itu berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 18 tahun
2013, luas wilayah provinsi adalah 61.841,29 km2. Dengan luas provinsi tersebut
wilayah kabupaten Poso adalah 7.112,25 km2 yang dikelilingi oleh dua belas
kabupaten/kota, yaitu: Banggai Kepulauan, Banggai, Morowali, Donggala,
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
101
Universitas Indonesia
Tolitoli, Buol, Parigi Moutong, Tojo Una-Una, Sigi, Banggai Laut, Morowali
Utara, dan Palu. Masyarakat Poso berjumlah 225.379 jiwa, yang terdiri dari
116.827 jiwa berjenis kelamin laki-laki dan 108.552 jiwa berjenis kelamin
perempuan. Komposisi kehidupan religius memiliki keragaman moral dan
budaya. Dalam perspektif agama-agama yang diakui negara kehidupan religius
terdiri dari agama yang berbeda-beda: Islam 43,99%, Kristen Protestan 47,42%,
Kristen Katolik 1,62%, Hindu 6,74%, dan Budha 0,22% (Badan Pusat Statistik
Provinsi Sulawesi Tengah, 2013). Dalam kehidupan religius internal Kristen,
Protesan sebagai mayoritas dan Katolik sebagai minoritas. Dalam kehidupan
religius, Kristen sebagai agama mayoritas dan Islam sebagai agama minoritas.
Komposisi kehidupan sosial masyarakat Poso terdiri dari masyarakat
pribumi dan nonpribumi. Masyarakat pribumi di dalam masyarakat Poso berasal
dari etnik yang berbeda-beda: Etnik Kaili, Pamoa, Mori, dan Wana. Masyarakat
nonpribumi dalam masyarakat Poso berasal dari daerah yang berbeda-beda:
Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Jawa, Gorontalo, Lombok, Bali, dan sebagian
kecil dari daerah yang lain. Komposisi kehidupan sosial tersebut memproduksi
afiliasi etnik, seperti paguyuban Jawa, Bugis-Makassar, Bali, dan Gorontalo.
Afiliasi etnik diperkuat lagi dengan afiliasi religius. Kehidupan afiliasi religius
masyarakat Poso didominasi oleh Islam dan Kristen yang dianut oleh masyarakat
nonpribumi. Mayoritas penduduk pribumi menganut kehidupan religius Kristen
sekaligus bagian dari etnik Pamona dan Mori (Darlis, 2012: 29-30).
Pada tahun 2012 pasca konflik terorisme tumbuh subur di wilayah Poso,
sebagaimana dilaporkan oleh Lembaga Pusat Studi Hak Asasi Manusia (LPS-
HAM) Sulawesi Tengah yang menilai bahwa kepolisian harus ikut bertanggung
jawab atas tewasnya dua anggotanya di Poso, yang diduga dibunuh kelompok
teroris. Bahkan, menurut deklarator Malino I dan tokoh agama, Pendeta Rinaldy
Damanik, pemulihan Poso pasca konflik masih terabaikan. Politik pembiaran
dilakukan dengan tidak memulihkan sama sekali bangunan di kompleks
masyarakat Muslim dan Kristen. Trauma kekerasan yang dialami masyarakat
tetap dibiarkan. Negara tidak melakukan peningkatan kesejahteraan yang
disinergikan dengan program penegakan hukum dan peningkatan keamanan.
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
102
Universitas Indonesia
Dalam catatannya konflik Poso pada tahun 1998-2000 sudah membunuh lebih
dari 3.000 orang (http://indonesia.ucanews.com/2012/10/18/pusat-studi-ham).
Kedua, konteks konflik masyarakat Ambon. Konflik masyarakat Ambon
mulai terjadi pada 19 Januari 1999 ketika liburan hari raya Idul Fitri. Ambon
dewasa ini merupakan wilayah kabupaten kota di provinsi Maluku, yang memiliki
luas 359,45 km2. Wilayah Ambon dikelilingi oleh sepuluh wilayah
kapubaten/kota yang berbeda-beda, yaitu: Maluku Tenggara Barat, Maluku
Tenggara, Maluku Tengah, Buru, Kepulauan Aru, Seram Bagian Barat, Seram
Bagian Timur, Maluku Barat Daya, Buru Selatan, dan Kota Tual (Bappeda
Provinsi Maluku). Komposisi gender masyarakat Ambon yang berjumlah 379.615
jiwa, terdiri dari: laki-laki 189.728 jiwa dan perempuan 189.887 jiwa (Badan
Pusat Statistik Provinsi Maluku, 2013).
Pasca konflik pada tahun 2012, bahkan para tokoh Republik Maluku
Serikat (RMS) bersuka cita atas fenomena konflik sosial itu, dengan segala bentuk
propagandanya yang seolah-olah mengajak para pemuka agama di Maluku untuk
bertanggung jawab dan melakukan perlawanan terhadap negara. Perlawanan
masyarakat Maluku dilatarbelakangi bahwa negara telah membuat masyarakat
Islam dan Kristen untuk menderita atas kejahatan dan kekejaman aparat keamanan
dan intelijennya. Selain itu, para tokoh RMS juga mengajak anggota legislatif
selaku representasi masyarakat lokal untuk memprotes dan membenci kepada
negara (http://hankam.kompasiana.com/2012/05/25).
Ketiga, konteks konflik masyarakat Cikeusik. Konflik sosial yang ketiga
terjadi pada 6 Februari 2011 di dalam masyarakat Cikeusik. Wilayah Cikeusik
sekarang ini merupakan wilayah kecamatan di kabupaten Pandeglang, provinsi
Banten, dengan luas wilayah 322,76 km2. Wilayah Cikeusik dikelilingi oleh 34
wilayah kecamatan yang berbeda-beda, yaitu: kecamatan Sumur, Cimanggu,
Cibaliung, Cibitung, Cigeulis, Panimbang, Sobang, Munjul, Angsana,
Sindangresmi, Picung, Bojong, Sketi, Cisata, Pagelaran, Patia, Sukaresmi,
Labuan, Carita, Jiput, dan Cikedal, Menes, Pulosari, Mandalangi, Cimanuk,
Cipeucang, Banjar, Kaduhejo, Mekarjaya, Pandeglang, Majasari, Cadasari,
Karangtanjung, dan Koroncong. Wilayah Cikeusik dibatasi secara administratif di
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
103
Universitas Indonesia
sebelah utara, kabupaten serang; di sebelah selatan, samudera Indonesia; di
sebelah barat, selat Sunda; dan di sebelah timur, kabupaten Lebak. Penduduk
masyarakat Cikeusik berjumlah 52,281 jiwa. Komposisi gender masyarakat
Cikeusik terdiri dari jenis kelamin perempuan 25.552 jiwa dan laki-laki 26.729
jiwa (Badan Pusat Statistik Kabupaten Pandeglang, 2012).
Dari konteks fenomena konflik sosial di atas, dapat dijelaskan bahwa
perilaku sosial seorang manusia yang memunculkan konflik sosial. Fenomena
konflik sosial tersebut benar merupakan konflik antarindividu di dalam
masyarakat multikultur. Konflik antarindividu dipahami dari tiga perilaku seorang
individu, sebagai berikut. Pertama, adanya individu-individu dari komunitas yang
terlibat dan mengalami konflik sosial adalah anggota komunitas moral dan budaya
yang berbeda. Kedua, setiap individu dari komunitas moral dan budaya yang
terlibat dalam konflik meyakini bahwa Tuhan adalah tujuan utama dan sekaligus
yang mutlak. Ketiga, setiap individu dari komunitas moral dan budaya memaknai
kehidupan religiusitas dan etnisitasnya merupakan bentuk penderitaan dan
penerimaan di dunia atas kehendak Tuhan.
Atas dasar perilaku sosial individu dari komunitas yang terlibat di dalam
konflik di atas, ada tiga unsur fundamental yang memunculkan konflik sosial di
dalam negara yang mengakui keragaman moral dan budaya. (a) Pertama,
keseragaman identitas. Masyarakat multikultur di dalam sebuah negara-bangsa
tentunya membutuhkan identitas nasional, akan tetapi identitas nasional telah
mereduksi identitas individual setiap warga negara. Reduksi identitas nasional
dalam bentuk keseragaman identitas. Identitas nasional dapat dengan mudah
menjadi sumber konflik dan perpecahan, karena setiap definisi identitas nasional
tentunya selektif dan harus relatif sederhana untuk mencapai tujuan yang
diharapkan, maka identitas nasional menekankan salah satu dari untaian
pemikiran dan pandangan serta mendelegitimasi atau meminggirkan yang lain”.12
Keseragaman identitas melalui identitas nasional telah menjadikan kendaraan
12
“…its national identity…can easily become a source of conflict and divison. Since every
definition of national identity is necessarily selective and must be relatively simple to achieve its
intended purposes, it stresses one of these strands and visions and delegitimizes or marginalizes
others.”
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
104
Universitas Indonesia
pembungkam suara kritis dan membentuk seluruh masyarakat dalam citra tertentu
yang implikasinya otoritarian dan represif (Parekh, 2000: 231). Rezim otoritarian
Orde Baru telah menanamkan definisi keseragaman identitas nasional bahwa
“Pancasila adalah asas tunggal”. Dalam praktiknya rezim Orde Baru didominasi
oleh etnik Jawa. Konflik Poso dan Ambon dipicu oleh dominasi etnik nonpribumi,
seperti Jawa atau Bugis.
(b) Kedua, klaim kebenaran pandangan moral dan budaya. Setiap
masyarakat yang memiliki kehidupan religius, menganut agama dan etnik tertentu
dengan klaim kebenaran pandangan moral dan budaya masing-masing. Benturan
klaim kebenaran moral dan budaya di dalam masyarakat multikultur tidak dapat
dihindari. Konflik Poso dan Ambon merupakan benturan pandangan antara klaim
kebenaran agama Kristen dan Islam. Bahkan, benturan antar pandangan Islam,
antara Islam Ahmadiyah dan Islam mainstream di dalam konflik Cikeusik.
Absensi negara terhadap benturan klaim kebenaran pandangan tersebut menandai
bentuk pembiaran negara, dan kegagalan negara sebagai pengolah perbedaan
pandangan moral dan budaya. Rezim Orde Baru dan Orde Reformasi telah
menanamkan klaim kebenaran pandangan moral dan budaya dalam bentuk agama
resmi negara. Dengan adanya agama resmi negara itu, rezim Orde Baru menolak
Konghucu sebagai agama, serta rezim Orde Baru dan Orde Reformasi menolak
Islam Ahmadiyah sebagai agama resmi. Relasi agama dan negara harus dijaga
dengan rekognisi Pancasila sebagai pandangan moral dan budaya yang universal
dan plural. Sementara itu, agama dan etnik seharusnya menjadi sumber alternatif
moralitas dan kesetiaan, serta terus mengingatkan bahwa menjadi manusia lebih
bermartabat daripada menjadi warga negara (Parekh, 2000: 328).
(c) Ketiga, keseragaman sosial dalam keragaman moral dan budaya.
Keseragaman sosial terhadap masyarakat multikultur hanya mereproduksi
resistensi bahkan konflik sosial. Padahal, masyarakat multikultur mengandung
keragaman agama dan etnik yang memiliki perbedaan pandangan moral dan
budaya yang berbeda-beda, yaitu keyakinan dan praktik good life yang berbeda-
beda. Pelarangan, pemaksaan dan penyesatan terhadap jamaah dan doktrin
Ahmadiyah supaya mengikuti agama mainstream atau membentuk agama
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
105
Universitas Indonesia
nonIslam merupakan bentuk keseragaman sosial yang dilakukan negara supaya
mengikuti agama resmi. Keseragaman sosial itu tak lain adalah penghilangan
kebebasan beragama dan menganut kepercayaan etnik setiap warga negara,
sehingga konflik antarindividu memunculkan tragedi konflik Cikeusik.
Keseragaman sosial tersebut sebagai pemikiran monisme moral yang memandang
bahwa “perbedaan sebagai penyimpangan, sebagai ungkapan patologi moral”
(Parekh, 2000: 49). Selama rezim Orde Baru dan rezim Reformasi semboyan
bhineka tunggal ika di dalam negara-bangsa yang multikultur hanya semata-mata
simbol, tanpa mengajarkan dan mempraktikkan nilai-nilai perbedaan dan identitas
yang menanamkan keragaman moral dan budaya, serta prinsip memanusiakan
manusia.
Tiga unsur fundamental di atas sangat berkaitan erat dengan kondisi sosial
yang membentuk karakter manusia yang berbeda-beda dalam kehidupan bersama.
Dalam mitos Phaedrus Plato menjelaskan karakter manusia yang berbeda-beda
berada di dalam kebaikan dan kejahatan (good and evil). Karakter baik dan jahat
kembali hadir di dalam konflik antarindividu yang dipengaruhi oleh gairah atau
kemarahan pada satu sisi. Pada sisi lain konflik antarindividu dipengaruhi oleh
nafsu dan naluri hewani. Mitos dalam pemikiran Plato tersebut serupa dengan apa
yang dapat disebut agama bawah tanah dalam segala usia dan negara (Plato, 1999:
51; 56).
Baik dan jahat dalam kehidupan sosial disebabkan oleh “konflik
antarindividu yang disebabkan oleh sikap egois seorang manusia.” Sikap egois
menimbulkan derita kepada orang lain. Sikap egois (selfishness) dapat dipahami
dengan membedakan dari sikap mementingkan diri (self-interest). Keegoisan
adalah perilaku seorang manusia yang menempatkan diri sendiri di atas orang lain
dan mengejar kepentingan diri sendiri atas biaya orang lain. Sementara itu,
kepentingan diri adalah perilaku seseorang yang mengamankan kondisi-kondisi
dengan mempertimbangkan eksistensi good life seutuhnya. Oleh karena itu,
diyakini bahwa “tak ada konflik di antara kepentingan diri pada seluruh
manusia.”13
Konflik sosial berawal dari pikiran (interpretasi) seseorang dalam
13
“…no conflict between the self-interests of all men.”
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
106
Universitas Indonesia
memahami kepentingan diri dan kepentingan orang lain dalam kehidupan sosial.
Dalam proses berpikir seseorang mengalami konflik yang dipengaruhi moralitas
sosial. Secara moral seseorang yang memenuhi kepentingan diri sesuai dengan
tatanan sosial yang legitimit, karena secara rasional sesuai dengan hasrat manusia
yang tepat. Meski demikian, seseorang seringkali memenuhi kepentingan diri
melebihi dari aturan sosial yang berlaku, bahkan merampas dan menindas
kepentingan orang lain (Parekh, 1989: 117).
Padahal, kehidupan manusia sudah difasilitasi dengan aturan sosial secara
konstitusional yang termaktub di dalam UUD 1945. Aturan sosial konstitusional
terhadap hak dan kewajiban warga negara yang patuh. Dalam teks Pembukaan
UUD 1945 alinea pertama tertulis bahwa “sesungguhnya kemerdekaan itu ialah
hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus
dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.
Kemerdekaan manusia sebagai bangsa adalah hak. Manusia yang merdeka berarti
individu yang memiliki hak kebebasan dari penjajahan, karena tidak
perikemanusian dan perikeadilan. Makna manusia yang merdeka diperdalam di
dalam Universal Declaration of Human Rights (1948) pada Pasal 1 bahwa “semua
manusia dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak yang sama.
Mereka dikaruniai akal budi dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu dengan
yang lain dalam semangat persaudaraan”.14
Legitimasi konstitusional universal terhadap martabat manusia yang
merdeka berkat perikemanusiaan dan perikeadilan seharusnya dirawat dalam
semangat persaudaraan. Hal itu yang seharusnya menjadi kesadaran bersama
bahwa warga negara memiliki perbedaan dan identitas dalam keragaman moral
dan budaya. Namun, bangsa Indonesia dewasa ini mengalami krisis moral dan
budaya dalam kehidupan sosial yang berujung pada tiga tragedi konflik sosial.
Corak konflik nuansa agama dan nuansa etnik di berbagai wilayah Indonesia
merupakan fakta krisis moral dan budaya.
14
Lihat Universal Declaration of Human Rights 1948 Article 1 bahwa “all human beings are born
free and equal in dignity and rights. They are endowed with reason and conscience and should
act towards one another in a spirit of brotherhood”.
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
107
Universitas Indonesia
4.2 Corak Konflik Masyarakat Multikultur
Dengan adanya perbedaan pandangan moral dan budaya, konflik sosial di
Indonesia dapat dijelaskan bahwa “agama tidak hanya mentransformasi dirinya
menjadi identitas moral dan budaya atau bahkan menjadi identitas politik dan
nasional sehingga agama dapat menjadi faktor afiliasi bagi komunitas atau
masyarakat tertentu, melainkan juga pada saat yang sama ia dapat menjadi faktor
disafiliasi di antara komunitas atau masyarakat yang beragama” (Abdullah,
2003:177). Agama dalam konflik sosial dapat dimaknai secara dikotomis, sebagai
afiliasi sekaligus disafiliasi, serta sebagai identitas budaya sekaligus identitas
nasional. Hal itu menunjukkan bahwa umat beragama dan etnik yang menentukan
interpretasi agama dan etnik dalam konflik sosial, bukan agama atau etnik sebagai
sumber konflik sosial.
Dari fenomena konflik sosial di atas, ada corak konflik yang khas yang
diproduksi di dalam negara yang mengakui keragaman moral dan budaya. Corak
konflik sosial telah diproduksi oleh konflik antarindividu di dalam ketidakpastian
good life bagi masyarakat multikultur. Ketidakpastian good life mempengaruhi
kehidupan agama dan etnik. Dalam ranah kehidupan publik, agama, etnik dan
negara tidak harmonis yang dipenuhi prasangka di antara ketiganya. Dalam
fenomena kehidupan religius, agama dan etnik tersebut merupakan dua corak
konflik masyarakat multikultur, yaitu konflik nuansa agama dan nuansa etnik.
Corak konflik tersebut penting dijelaskan untuk menyelesaian konflik yang lebih
humanis.
4.2.1 Konflik Nuansa Agama
Konflik nuansa agama diproduksi oleh konflik antarindividu yang
dijustifikasi konflik antaragama di mana identitas religius tertanam secara budaya
pada masing-masing individu yang mengalami konflik. Konflik nuansa agama
dideskripsikan pada fenomen konflik sosial di Poso, Ambon dan Cikeusik. Dalam
konflik nuansa agama, pandangan moral dan budaya menjustifikasi apa yang
dibuat oleh komunitas budaya yang tersembunyi kepentingannya dan menafsirkan
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
108
Universitas Indonesia
realitas sosial sedemikian rupa, sehingga justifikasinya dibuat rasional (Berger,
1966: 130).15
Pandangan hidup dari Pancasila mengajarkan ketuhanan dan
kemanusiaan di dalam sila pertama dan kedua. Sila pertama bahwa ketuhanan
Yang Maha Esa. Sila kedua bahwa kemanusiaan yang adil dan beradab. Dalam
pengajaran pandangan Pancasila, hanya diajarkan pengetahuan mengenai agama,
Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha dan Konghucu. Padahal, pandangan
hidup dari Pancasila seharusnya mengajarkan pendidikan multikulturalisme, yang
arahnya pada pemahaman hakiki dari keutuhan manusia yang ditentukan oleh
pandangan moral dan budaya. Dalam dimensi moral dan budaya, manusia adalah
misteri yang tetap mempertahankan identitas individual, kebebasan, dan
martabatnya (Poespowardjojo, 1989: 85). Ada dua aspek munculnya konflik
sosial nuansa agama pada tiga tragedi, yaitu: segregasi agama dan etnik, serta
segregasi agama dan moral.
A. Segregasi Agama dan Etnik
Secara historis di Ambon, Maluku sejak abad ke-17 sudah terjadi
konstruksi sosial yang membedakan identitas kampong didasarkan pada agama,
yaitu kampung Islam dan Kristen. Namun, pada abad ke-19 masa kolonial
Belanda di bawah VOC, muncul perjanjian antara kolonial dengan sultan-sultan
Islam yang meminta dan menjamin adanya stabilitas agama. Perjanjian tentang
pembersihan agama. Jika orang-orang Islam ingin tinggal di kampung Kristen,
maka dipaksa kembali ke kampung halamannya. Batavia menjadi kota yang
didominasi oleh komunitas Kristen, sedangkan agama yang lain tidak dibiarkan
hidup dan kuil-kuil Cina atau masjid Islam dianggap ilegal (Steenbrink, 2003:
153). Konflik perbedaan pandangan, seperti berdampak pada masa sekarang.
Pandangan moral dan budaya seringkali datang dari luar. Bahkan, konflik nuansa
agama di Indonesia dijelaskan sebagai “konflik yang hanya diperkuat oleh
beberapa aktivis dari luar, seperti Lasykar Jihad pada komunitas Islam dan
15
“In each case, ideology both justifies what is done by the group whose vested interest is served
and interprets social reality in such a way that the justification is made plausible.”
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
109
Universitas Indonesia
pejuang Republik Maluku Selatan (RMS) untuk memerdekakan Republik Maluku
pada komunitas Kristen” (Steenbrink, 2003: 150).
Segregasi didasarkan pada agama dan etnik sejak awal terjadi di Poso.
Segregasi antara Islam dan Kristen ditandai dengan perkembangan pengaruh
Islam dan Kristen di beberapa wilayah yang berbeda-beda. Wilayah pesisir
didominasi oleh komunitas Islam yang berkaitan dengan jalur perdagangan masa
lalu yang dikuasai oleh masyarakat lokal dengan komunitas Islam dari Ternate,
Bugis dan Gorontalo. Sementara itu, di wilayah pedalaman dan pegunungan
bersamaan dengan kolonialisme pada sekitar tahun 1890-an, misi Kristen
disebarkan oleh A.C. Kruyt dan N. Adriani yang dikukuhkan dengan berdirinya
Gereja Kristen Sulawesi Tengah pada tahun 1947 (Darlis, 2012: 36). Segregasi
agama dan etnik merupakan perilaku sosial pada seorang individu yang
didasarkan pada ketiadaan identitas nasional untuk menyatukan pandangan moral
dan budaya yang berbeda-beda.
Segregasi agama dan etnik muncul pada identitas nasional. Identitas
individual sebagai seorang warga negara dalam kehidupan religius adalah penting
dan membutuhkan rekognisi sosial dari negara. Kartu tanda penduduk elektronik
(KTP-el) merupakan instrumen negara untuk mengakui identitas individual
sebagai warga negara yang beragama sebagai identitas nasional, akan tetapi masih
ada beberapa agama minoritas yang belum diakui oleh negara. Oleh sebab itu,
negara mengusulkan untuk mengosongkan identitas individual di dalam KTP-el
apabila agama belum diakui oleh negara.16
Kepemilikan KTP-el diwajibkan bagi
setiap warga negara apabila telah memenuhi persyaratan. KTP-el merupakan
tanda pengenal identitas nasional. Agama yang belum diakui oleh negara berarti
16
Lihat Undang-Undang nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan Pasal 1 Ayat 14 Bahwa Kartu Tanda
Penduduk Elektronik, Selanjutnya Disingkat Ktp-El, Adalah Kartu Tanda Penduduk yang
dilengkapi cip yang merupakan identitas resmi penduduk sebagai bukti diri yang diterbitkan oleh
Instansi Pelaksana; dan Pasal 64 ayat 5 bahwa elemen data penduduk tentang agama sebagaimana
dimaksud pada ayat 1 bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan
ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap
dilayani dan dicatat dalam database kependudukan.
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
110
Universitas Indonesia
di luar enam agama formal, yaitu Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan
Konghucu, bukan di luar agama dan kepercayaan yang dilindungi negara.17
Atas dasar pengertian identitas dan sebagai pelayanan publik kepada
warga negara, usulan negara pengosongan kolom agama itu mendiskriminasikan
agama dan kepercayaan minoritas (nonresmi) atas identitas individual setiap
warga negara yang dilindungi negara. Identitas individual bagi warga negara dan
komunitas sosial sangat menentukan untuk membedakan dirinya dari orang lain
dan komunitas lainnya. Tidak hanya untuk membedakan secara deskripsi empiris,
melainkan juga identitas melibatkan interpretasi dan penilaian. Oleh sebab itu,
seorang individu dapat keliru terhadap apa yang diperlukan untuk menjadi
identitas dirinya atau orang lain (Parekh, 2008: 9).
Ketidakadilan dan ketidaksetaraan yang dialami oleh individu dalam
kehidupan religius menjelaskan bahwa identitas sosial untuk menyederhanakan
relasi eksternal warga negara. Padahal, identitas sosial juga merupakan kebutuhan
manusia untuk memiliki martabat yang ditransformasikan ke dalam komunitas
komunalnya. Hal demikian sangat membahayakan terjadinya konflik nuansa
agama. Identitas sosial menjelaskan bahwa individu-individu dalam komunitas
komunal itu berbeda-beda. Perbedaan identitas sosial yang menghasilkan bentuk-
bentuk tindakan komunitas komunal yang dapat dikenali. Identitas sosial
menguraikan proses yang memposisikan individu dalam komunitas komunal dan
pada saat yang sama memposisikan komunitas komunal di dalam individu.
Demikian itu terdapat intensi primordial dan keterikatan pada tradisi, terutama
berdasarkan agama, masih sangat kuat di antara komunitas Ambon (Ratnawati,
2003: 13).
Dalam komunitas komunal keluarga penting dideskripsikan sebagai suatu
komunitas moral. Pada awal Inggris modern diungkapkan bahwa kontras budaya
antara berbagai macam pemukiman di lingkungan yang berbeda-beda. Perbedaan
antara tanah yang baik untuk ditanami dan padang rumput, misalnya dikaitkan
dengan perbedaan tingkat melek huruf dan bahkan dengan sikap religius
17
Lihat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat 2 bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-
tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya
dan kepercayaannya itu.
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
111
Universitas Indonesia
komunitasnya atau dengan membandingkan kesetiaan komunitas selama perang
saudara. Hasil pembedaannya bahwa di daerah yang berpohon-pohon, ukuran
perkembangannya kecil-kecil, lebih terisolasi, kurang melek huruf, dan sikap
komunitasnya lebih konservatif dibanding orang-orang di daerah pertanian
jagung. Oleh karena itu, ditekankan bahwa pada relasi antara komunitas dan
lingkungannya, terbebas dari dua bahaya yang timbul akibat memperlakukan desa
seakan-akan sebuah pulau terpencil (Burke, 1992: 82).
Berdasarkan pemahaman “tidak ada doktrin politik atau ideologi yang
dapat merepresentasikan kebenaran utuh tentang kehidupan manusia”,
menjelaskan bahwa pandangan moral dan budaya sangat menentukan konflik
antarindividu terjadi.18
Pandangan monisme moral, liberalisme, pluralisme, atau
universalisme plural terikat pada moral dan budaya tertentu yang
merepresentasikan pandangan good life untuk mewujudkan masyarakat lokal yang
baik. Pandangan good life memperdulikan nilai-nilai humanitas yang mulia,
martabat manusia, otonomi, kebebasan, pemikiran kritis, dan kesetaraan. Dengan
pandangan good life, masyarakat yang baik, bukan berkomitmen pada doktrin
politik atau pandangan hidup tertentu, karena mungkin doktrin politik atau
pandangan hidup tertentu tidak dapat diterima oleh sebagian masyarakat dan
menghambat pembangunan masa depan, akan tetapi secara dialogis masyarakat
perlu mulai menerima realitas dan membutuhkan keragaman moral dan budaya
sebagai konstruksi kehidupan sosial (Parekh, 2000: 338-339).
B. Segregasi Agama dan Moral
Secara historis agama dan moral sangat berperan sebagai konstruksi
konflik nuansa agama. Kenapa Socrates dihukum mati? Karena, konflik yang
dipengaruhi oleh moral dan agama muncul, di mana keduanya sulit diverifikasi.
Plato dalam Euthypro menjelaskan bahwa “ketika kesalehan diartikan dengan
yang dicintai oleh para Dewa, menentukan perbedaan antara keadaan dan
tindakan.” Tindakan itu sebelum keadaan, seperti dalam pemikiran Aristoteles,
energeia mendahului dumanis. “Keadaan dicintai didahului oleh tindakan
18
“…no political doctrine or ideology can represent the full truth of human life.”
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
112
Universitas Indonesia
dicintai.” Kesalehan didahului oleh tindakan yang saleh, bukan oleh tindakan
yang dicintai. Berbeda antara kesalehan dan tindakan yang dicintai. Socrates
menggunakan dialetika antara pikiran dan perasaan. Mencintai para Dewa hanya
mengekspresikan atribut saja, bukan esensi dari kesalehan. Dalam realitas sosial
“kesalehan diartikan sebagai bagian dari keadilan, yang memposisikan agama di
atas dasar moral”. Plato berusaha merealisasikan harmoni moralitas dan agama
sebagai harapan universal seluruh manusia (Plato, 1999: 7-9). Namun demikian,
dialektika Socrates terus menerus memproduksi konflik nuansa agama, ketika
ketidakadilan hadir kembali di dalam kebebasan beragama.
Dengan pemahaman konflik moral dan agama, segregasi agama dari
negara sebagai penjaga moralitas, semakin tajam dalam kehidupan sosial yang
plural, karena lebih tinggi justifikasi dengan iman yang menentukan konstruksi
komunitas baru dengan aturan moral sendiri (Dewey, 1922: 5). Keragaman tidak
dengan sendirinya menimbulkan konflik, tetapi menimbulkan ruang kemungkinan
konflik, dan ruang kemungkinan itu direalisasikan di dalam fakta (Dewey, 1922:
52).19
Ruang kemungkinan konflik, misalnya, terjadi di dalam kebiasaan makan
yang merupakan penyatuan organisme dan alam. Dalam kebiasaan makan itu
mungkin terjadi konflik dengan kebiasaan lain yang obyektif, atau dalam harmoni
dengan lingkungannya. Oleh karena itu, semua lingkungan tidak dari satu bagian,
rumah manusia terbagi dalam dirinya sendiri, melawan dirinya sendiri. Dengan
keragaman sosial, konflik antarkomunitas memberikan ruang kemungkinan
individu bertindak untuk memproduksi konflik (Dewey, 1922: 66).
Dalam diri manusia secara sosial dijelaskan bahwa ada dua jenis kebaikan,
yaitu intelektual dan moral. Secara esensial kebaikan intelektual bertumpu pada
pengajaran, karena membutuhkan pengalaman dan waktu, dalam kelahiran dan
perkembangannya. Sementara itu, kebaikan moral lahir sebagai akibat dari
kebiasaan, yang dinamakan ethike, yaitu salah satu yang dikonstruksi oleh sedikit
perbedaan dari kata ethos (habit). Kebaikan itu direkonstruksi sekaligus
didekonstruksi, seperti seni. Dalam seni bermain kecapi ditemukan bahwa baik
19
“Diversity does not of itself imply conflict, but it implies the possibility of conflict, and this
possibility is realized in fact.”
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
113
Universitas Indonesia
dan jahat dikonstruksi oleh pemain kecapi (Aristoteles, 1999: 20-21). Realitasnya,
mayoritas manusia secara sosial dalam memenuhi kesenangan individual dengan
saling konflik antara satu sama lain. Padahal, konflik bukan sifat yang
menyenangkan, karena sejatinya para pecinta yang mulia menemukan kesenangan
sebab sifatnya menyenangkan. Kesenangan yang menyenangkan adalah tindakan
baik (Aristoteles, 1999: 13).
Realitas konflik pada manusia secara sosial sebagai determinasi sosial atas
perilaku seorang individu. Determinasi sosial tidak hanya menimbulkan konflik
antara kelas kapitalis borjuis dan kelas proletar, atau antara produksi sosial dan
penghisapan individual, akan tetapi determinasi sosial antara keyakinan dan
praktik agama bukan sebagai sumber nilai-nilai eksternal dan organisasi,
melainkan bagian dan ikatan dari konflik-konflik dan ketegangan-ketegangan
ekonomis yang sama. Agama yang sangat emosional dan militan merupakan
ekspresi dari alienasi kelas proletar terhadap eksistensinya. Sebaliknya, agama
sebagai sarana yang digunakan oleh kelas berkuasa untuk mengalihkan energi-
energi kelas menderita dari kegiatan politis ke agama yang relatif tidak merugikan
(Campbell, 1981: 129). Oleh sebab itu, konflik sosial nuansa agama, terutama
antara Islam dan Kristen, pada dasarnya tidak lepas dari kebencian, dan karena
tidak dapat menerima yang berbeda. Agama hanya diperankan secara fungsional
pandangan moral untuk legitimasi kekuasaan dan landasan simbolis kekerasan
(Haryatmoko, 2012: 83). Bahkan, dengan determinasi sosial, masyarakat
multikultur akan menghadapi anarki yang mengerikan. Indonesia telah
menyaksikan ledakan kekerasan komunal pada akhir tahun 1950-an dan 1965.
Lebih mengejutkann kembali, Indonesia dibakar oleh kekerasan agama dan etnik
yang membara dari 1996 hingga 2001 (Hefner, 2001: 7).20
Tindakan anarki
masyarakat multikultur ternyata terjadi sampai pada tahun 2011 di mana
kekerasan begitu keji terhadap jamaah Ahmadiyah Cikeusik.
20
“Indonesia saw outbreaks of communal violence in the late 1950s and 1965; more shocking yet,
Indonesia was shaken by bitter ethnoreligious violence from 1996 to 2001.”
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
114
Universitas Indonesia
4.2.2 Konflik Nuansa Etnik
Konflik nuansa etnik diproduksi oleh konflik antarindividu yang
dijustifikasi konflik antaretnik di mana identitas etnik tertanam pada seseorang
yang terlibat konflik. Pada konflik sosial di Ambon dijelaskan bahwa ada identitas
pribumi Ambon di dalam individu yang mengalami konflik dengan nonpribumi
dari Sulawesi Selatan, seperti Bugis, Buton dan Makassar (Buchanan, 2011: 15).
Di Poso juga konflik sosial didasarkan pada perbedaan individu dari masyarakat
pribumi dan individu dari masyarakat nonpribumi (Darlis, 2012: 29). Perbedaan
pandangan budaya dimunculkan oleh individu-individu di dalam konflik sosial.
Sebagaimana dijelaskan di atas, secara historis konflik sosial nuansa etik awalnya
dari segregasi agama dan etnik yang dilakukan negara sejak pemerintahan
kolonialisme.
Pada dasarnya Indonesia adalah negara-bangsa yang ditempati oleh
komunitas budaya yang plural. Pluralitas budaya Indonesia tampak jelas pada
semboyan negara bhineka tunggal ika yang diusulkan oleh Muhammad Yamin
dari Kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular pada abad ke-14 untuk
merepresentasikan realitas masyarakat Indonesia pada saat itu, sebagai berikut:
Konon dikatakan bahwa wujud Buddha dan Siwa itu berbeda. Mereka
memang berbeda. Namun, bagaimana kita bisa mengenali perbedaannya
dalam selintas pandang. Karena kebenaran yang diajarkan Buddha dan
Siwa itu sesungguhnya satu jua. Mereka memang berbeda-beda. Namun,
pada hakikatnya sama. Karena tidak ada kebenaran yang mendua
(Kakawin Sutasoma, pupuh 139, bait 5).21
Semboyan negara bhineka tunggal ika yang berarti “berbeda-beda tetapi tetap satu
juga” itu hingga kini masih sesuai untuk merepresentasikan kondisi masyarakat
Indonesia modern dalam arus globalisasi. Masyarakat multikultur dibentuk dari
pemersatuan masyarakat-masyarakat etnik dengan sistem nasional. Pembentukan
masyarakat multikultur itu biasanya dipaksakan sebagai bangsa di dalam sebuah
negara (Suparlan, 2004). Pemaksaan disebabkan adanya konflik sosial antara
dominasi dan minoritas. Dengan kata lain, pemaksaan dalam konflik tidak hanya
21
“Rwāneka dhātu winuwus wara Buddha Wiśwa, bhinnêki rakwa ring apan kěna parwanosěn,
mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal, bhinnêka tunggal ika tan hana dharmma
mangrwa.”
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
115
Universitas Indonesia
dilakukan oleh mayoritas terhadap minoritas. Pemaksaan tepatnya meniadakan
dialog sebagai pengolahan konflik untuk mewujudkan realitas sosial yang adil dan
damai.
Dalam pembukaan UUD 1945 kedaulatan negara Indonesia didasarkan
pada Pancasila. Sebagai dasar negara, Pancasila berisi mengenai ketuhanan Yang
Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawatan/perwakilan, dan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia.22
Semboyan negara dijelaskan
adalah bhineka tunggal ika.23
Semboyan bhinneka tunggal ika adalah pepatah
lama yang pernah dipakai oleh pujangga ternama Mpu Tantular. Kata bhinneka
merupakan gabungan dua kata, bhinna dan ika diartikan “berbeda-beda tetapi
tetap satu” dan kata tunggal ika diartikan bahwa “di antara pusparagam bangsa
Indonesia adalah satu kesatuan”. Semboyan itu digunakan untuk menggambarkan
persatuan dan kesatuan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.24
Dengan demikian, terjadinya konflik nuansa etnik karena bhineka tunggal
ika sebagai semboyan bangsa dan negara yang diartikan “berbeda-beda tetapi
tetap satu juga” merupakan paradigma pengalaman Pancasila yang didasarkan
pada politik keseragaman sebagai asas tunggal dan pandangan hidup yang
tertutup. Namun, jika didasarkan pada politik perbedaan atau keragaman yang
tertanam secara budaya, bhineka tunggal ika dapat diinterpretasikan di dalam
realitas keragaman moral dan budaya.
4.3 Kritik terhadap Konsep Makhluk yang Berkonflik
Kritik terhadap konsepsi “manusia sebagai makhluk yang berkonflik”
dipahami dengan adanya heteronomi eksistensial manusia. Heteronomi
eksistensial membuka ikatan dikotomi eksistensial manusia yang selama ini
membelenggu di dalam konflik. Heteronomi eksistensial muncul didasarkan pada
22
Lihat Undang-Undang Dasar 1945 Pembukaan. 23
Lihat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 36A bahwa lambang negara ialah Garuda Pancasila
dengan semboyan bhineka tunggal ika. 24
Lihat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara,
serta Lagu Kebangsaan Pasal 46.
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
116
Universitas Indonesia
perbedaan sosial. Perbedaan sosial tidak dapat menghindari pandangan moral dan
budaya yang berbeda-beda. Konsepsi itu tidak hanya didasari oleh realitas sosial
di mana manusia sebagai makhluk alamiah dan sekaligus makhluk sosial, akan
tetapi manusia sebagai makhluk religi.
Adanya kekuatan agama dan etnik yang tertanam pada masyarakat
multikultur, sumber esensial konflik adalah heteronomi eksistensial manusia di
dalam kehidupan sosial. Sumber esensial konflik itu merupakan refleksi filosofis
atas manusia sebagai makhluk yang berkonflik. Namun, jarang karakteristik
manusia ditemukan sebagai sumber konflik sosial, akan tetapi secara umum para
ilmuwan sosial mengatakan bahwa sumber konflik sosial adalah relasi-relasi
sosial, politik dan ekonomi. Walaupun demikian, dalam regulasi negara dijelaskan
bahwa konflik sosial dijelaskan bersumber dari: (a) permasalahan yang berkaitan
dengan politik, ekonomi, dan sosial budaya; (b) perseteruan antarumat beragama
dan/atau interumat beragama, antarsuku, dan antaretnis.25
Regulasi negara Indonesia tersebut dengan jelas merespons eksistensi
manusia dalam perseteruan antarumat beragama dan antaretnik. Ada tiga sumber
konflik. Pertama, konflik ekonomi yang melibatkan motif kompetisi untuk
mencapai sumber daya yang langka. Kedua, konflik nilai yang melibatkan
ketidakcocokan dalam cara hidup, ideologi sebagai preferensi, prinsip dan
praktik-praktik keyakinan. Ketiga, konflik kekuasaan yang terjadi ketika masing-
masing pihak ingin mempertahankan atau memaksimalkan jumlah pengaruh yang
diberikannya dalam relasi dan pengaturan sosial (Fisher, 2000: 1-2). Konflik nilai
sebagai sumber konflik menegaskan bahwa konflik berbasis pada eksistensi umat
beragama dan etnik.
Sebagai pribadi, manusia adalah makhluk yang paradoks. Penjelasan
konsepsi tersebut didasarkan pada penamaan filsafat manusia adalah antropologi
filosofis (Leahy, 1981: 1-2). Paradoks manusia dalam realitas sosial seringkali
menjadi konflik. Sejarah filsafat menceritakan secara fenomenologis manusia
sosial berkonflik terus menerus. Kenapa manusia berkonflik terus menerus?
Dalam antropologi filosofis fenomena konflik sosial di atas direfleksikan dengan
25
Lihat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial Pasal 5.
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
117
Universitas Indonesia
menyebut makhluk yang berkonflik (Magnis-Suseno, 1999). Dalam konteks itu
filosofi itu ditujukan untuk sebuah penggalian esensi manusia secara alamiah dan
sosial di dalam masyarakat multikultur. Manusia secara alamiah senantiasa
mengalami konflik yang berkaitan dengan keterikatannya kepada sumber daya
alam yang terbatas. Manusia secara sosial juga selalu berkonflik berhubungan
dengan keterikatan komunikasi bersama orang lain. Konflik yang tak
berkesudahan pada manusia secara alamiah dan sosial terjadi semata-mata hanya
untuk kelanjutan hidup, pemenuhan kebutuhan dasar dan pengembangan dirinya.
Sebagai makhluk yang berkonflik, eksistensi manusia dapat menemukan
penyelesaian konflik yang baik. Filosofi makhluk yang berkonflik diasumsikan
pada tiga pandangan murni logis konseptual. Pertama, perdamaian adalah salah
satu dari dua nilai fundamental kehidupan bersama. Nilai lainnya adalah
kebenaran. Kedua, perdamaian hanya benar jika didasarkan pada keadilan. Ketiga,
konflik terbuka dengan kekerasan terbatas yang seringkali dapat dibenarkan
sebagai cara akhir untuk membuka struktur-struktur yang tidak adil (Magnis-
Suseno, 1999: 201-202). Pembedaan manusia secara alamiah dan sosial
menjelaskan bahwa sumber konflik yang diperebutkan adalah keterbatasan
alamiah dan ketergantungan sosial.
Secara filosofis dijelaskan bahwa “konflik ada secara esensial, bukan
kenyataan empiris.” Suami dan isteri yang berdiskusi secara timbal-balik
menandakan bahwa konflik tetap ada sebagai kenyataan. Di dalam kenyataan
tidak adanya konflik berarti konflik dapat diolah dengan baik. Dalam regulasi
bernegara di Indonesia, konflik dipahami dalam istilah “konflik sosial” yang
sungguh amat sempit pengertiannya, baik dipandang secara filosofis maupun
sosiologis. Definisi yang sempit itu mengakibatkan pengolahan konflik yang tidak
tepat dan pembiaran negara pada tindakan kekerasan.
Esensi konflik itu menegaskan bahwa adanya konflik bukan kenyataan
empiris, melainkan esensial. Adanya kemarahan seseorang disebabkan adanya
konflik dengan orang lain, namun tidak adanya kemarahan seseorang pun tetap
menunjukkan adanya konflik dengan orang lain yang disebabkan seseorang itu
mampu mengolah konflik dengan baik. Lebih terperinci dikategorikan bahwa sifat
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
118
Universitas Indonesia
konflik menjadi dua, yakni “konflik obyektif-lahiriah” dan “konflik subyektif-
batiniah”. Konflik obyektif-lahiriah merupakan “tindakan fisik yang berhubungan
dengan hal-hal yang dapat menjadi materi sebuah hak”. Tindakan fisik yang
dimaksud, misalnya masalah hak milik, melakukan kegiatan, dan mendambakan
kesempatan. Sedangkan, konflik subyektif batiniah merupakan “tindakan rasa
yang berkaitan dengan gesekan komunikasi langsung dan berakar dalam berbagai
emosi yang menyertainya”. Contoh dari konflik subyektif batiniah adalah jengkel,
benci, tersinggung, dan bosan. Kedua kategori sifat konflik itu memungkinkan
saling terkait satu sama lainnya, karena dikotomi manusia sebagai makhluk
alamiah sekaligus makhluk sosial. Konsepsi manusia itu termasuk dalam kategori
konflik obyektif-lahiriah (Magnis-Suseno, 1999: 200-201).
Dengan esensi konflik itu, dapat dipahami secara dikotomis bahwa konflik
sebagai “situasi interaktif yang dapat menimbulkan konflik terbuka berupa
tabrakan, perkelahian, atau perang” (Magnis-Suseno, 1999: 203). Pemahaman
konflik itu “mengesampingkan” konflik yang bersifat subyektif-batiniah sebagai
kondisi manusia yang tidak terelakkan. Dengan pemahaman tersebut, diyakini
bahwa:
“Konflik berubah menjadi tabrakan, perkelahian dan perang berarti pihak-
pihak yang bersangkutan tidak mau memecahkannya secara damai,
melainkan memilih jalan hendak memaksa pemecahan konflik itu (1999:
203-204).
Dengan keyakinan itu, ada penawaran penyelesaian konflik dengan dua cara, yaitu
damai atau paksaan. Paksaan berupa fisik, rohani dan sosial, misalnya saling
pukul memukul, saling mengancam agar tidak berpendapat, dan saling memaksa
untuk mengusir dari tempat tinggalnya. Penyelesaian konflik yang ditawarkan
beliau pun bersifat dikotomis. Dikotomi pada resolusi konflik itu bersumber pada
tujuan final dari sebuah konflik yang ditemukan, yakni keadilan atau
ketidakadilan, dan kebenaran atau kepalsuan. Jika pilihannya perkelahian berarti
tindakan yang merendahkan martabat hingga ke tingkat submanusiawi. Juga,
berarti semua pihak yang terlibat dalam mencapai tujuannya dengan siapa yang
menang atau yang paling kuat, tanpa memperhatikan martabat manusia
(kehendak, otonomi) pada pihak yang lain (Magnis-Suseno, 1999: 204).
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
119
Universitas Indonesia
Hasil dari konflik yang dijelaskan dalam konsep manusia tersebut
didasarkan pada analisa formal Hegel adalah “mesti selalu berakhir dalam
kematian (atau pelumpuhan) satu pihak. Sementara itu, jika tidak berakhir dalam
kematian satu pihak, niscaya menciptakan hubungan kekuasaan baru.” Hasil itu,
disebabkan oleh adanya interaksi yang ditentukan dan dipertahankan dengan daya
pengancam pemenang. Oleh karena itu, dengan tanpa pengakuan bebas atau
paksaan, niscaya konflik hanya akan mereproduksi konflik baru sebagai
penyelesaian buruk (Magnis-Suseo, 1999: 208).
Lingkaran setan dari hasil konflik tersebut merupakan fenomena sosial
yang tepat untuk direfleksikan secara kritis tentang konsep manusia sebagai
makhluk yang berkonflik. Oleh sebab itu, ada tiga kritik terhadap konsep tersebut.
Pertama, pemikiran dikotomis. Konsepsi itu selalu berpikir dikotomis
untuk menjelaskan manusia dengan menganggap realitas sosial dan manusia
hanya memahami esensi makhluk alamiah dan sekaligus makhluk sosial, realitas
sosial dan fenomena konflik hanya menjelaskan konflik obyektif lahiriah dan
konflik subyektif batiniah, penyelesaian konflik hanya dapat dilakukan dengan
damai atau paksaan, serta hasil konflik hanya menghasilkan berakhir dalam
kematian satu pihak atau tidak berakhir dalam kematian satu pihak. Pemikiran
dikotomis tersebut tidak akan banyak memberikan alternatif untuk resolusi
konflik, padahal seharusnya diberikan banyak alternatif untuk resolusi konflik
sebagai penghormatan pada martabat manusia yang memiliki kebebasan dalam
berpikir dan berkehendak secara otonom. Banyak alternatif didasarkan pada
keragaman budaya dengan perbedaan pandangan moral dan budaya.
Kedua, dikotomi eksistensial manusia. Pandangan dikotomi eksistensial
manusia yang mana hanya tersusun dari jiwa dan tubuh, hanya dapat menjelaskan
esensi manusia sebagai makhluk alamiah dan sekaligus makhluk sosial. Padahal,
dengan adanya heteronomi eksistensial manusia yang mana tersusun dari jiwa
(dan eksistensi Tuhan) serta tubuh, esensi manusia tidak hanya sebagai makhluk
alamiah dan sekaligus makhluk sosial, namun sebagai makhluk religius juga,
sebagaimana dijelaskan oleh Durkheim. Atas dasar fenomena religius, asumsi
Durkheim pada dualisme manusia untuk menjelaskan konsep manusia sebagai
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
120
Universitas Indonesia
makhluk religius. Dualisme manusia terdiri dari jiwa sebagai hal yang sakral dan
tubuh sebagai hal profan. Jiwa dan tubuh itu saling bertentangan, akan tetapi pada
ruang sakralitas ada keilahian di dalam kehidupan dunia di mana tubuh hidup
beraktivitas (Durkheim, 2005: 42). Konflik jiwa dan tubuh menunjukkan adanya
keterbatasan. Di dunia keterbatasan tidak hanya pada ketersediaan alam dan
ketergantungan komunikasi dengan orang lain, akan tetapi eksistensi adanya
manusia juga terbatas. Ketidakterbatasan hanya dimiliki oleh eksistensi Tuhan.
Ketiga, pengesampingan konflik yang bersifat subyektif batiniah. Pelaku
utama dalam konflik adalah manusia sebagai subyek. Dengan pendekatan
antropologi konflik yang bersifat subyektif batiniah dapat menemukan pelaku
utama dalam konflik. Namun, konsepsi itu mengesampingkan sifat subyektif
batiniah untuk menjelaskan konflik yang bersifat obyektif lahiriah.
Pengesampingan sifat subyektif batiniah berarti mengesampingkan manusia
sebagai pelaku dan sekaligus korban dalam konflik. Dengan pengesampingan itu,
konflik tidak dapat diolah dengan rekognisi perbedaan siapa yang terlibat dalam
konflik atau pemaafan terhadap korban, dengan tetap memperdulikan keadilan
dan kesejahteraan bagi setiap manusia sebagai tujuan final.
Meskipun demikian, konsepsi tersebut menjelaskan bahwa “konflik harus
diolah dengan berorientasi pada idea keadilan dan bukan melalui perkelahian,
perang atau paksaan.” Pengolahan konflik dalam konsepsi itu begitu abstrak. Oleh
karenanya, dibutuhkan pengolahan konflik yang lebih konkret, yaitu konflik harus
diolah dengan asas humanitas melalui dialog budaya. Di Indonesia asas humanitas
yang dimaksud adalah kemanusiaan yang adil dan beradab.
3.6 Ikhtisar
Berdasarkan pada penjelasan di atas, dapat diikhtisarkan bahwa konflik
antarindividu memproduksi fenomena konflik sosial yang terjadi di dalam
masyarakat multikultur. Perbedaan pandangan moral dan budaya mempengaruhi
konflik antarindividu di dalam negara yang mengakui perbedaan moral dan
budaya. Dari fenomena konflik sosial tersebut, dapat dijelaskan bahwa perilaku
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
121
Universitas Indonesia
sosial seorang manusia memunculkan konflik disebabkan oleh pandangan moral
dan budaya yang berbeda-beda. Perbedaan pandangan moral dan budaya
seringkali dengan sadar mempengaruhi atau menggerakkan antarindividu
berkonflik di dalam kehidupan religius untuk mempertahankan identitas, baik
identitas individual maupun identitas sosial, masing-masing.
Dalam masyarakat multikultur dengan adanya fenomena konflik sosial di
Ambon, Poso dan Cikeusik, dapat dijelaskan bahwa ada dua corak konflik sosial
yang seringkali terjadi, yaitu konflik nuansa agama dan konflik nuansa etnik. Dua
nuansa konflik sosial tersebut diproduksi di dalam negara yang mengakui
keragaman moral dan budaya, karena negara menerapkan paradigma keseragaman
identitas nasional, klaim kebenaran pandangan moral dan budaya, dan
keseragaman sosial masyarakat multikultur. Di samping itu, tiga unsur
fundamental itu berkaitan dengan karakter manusia, baik dan jahat, dalam konflik
sosial. Konflik antarindividu hanya disebabkan oleh keegoisan lawan dari
kepentingan diri. Keegoisan menyebabkan derita orang lain. Secara eksistensial
konflik antarindividu telah memposisikan perilaku seorang individu yang
bertindak kekerasan dan perang berada dalam kondisi inhuman di mana harkat
dan martabatnya dihancurkan.
Oleh karena itu, tepat dijelaskan bahwa fenomena konflik sosial di dalam
masyarakat multikultur direfleksikan melalui konsep manusia sebagai makhluk
yang berkonflik. Konsepsi manusia tersebut dipahami secara esensial dari
dikotomi eksistensial manusia sebagai makhluk sosial dan makhluk alamiah.
Padahal, dalam masyarakat multikultur perbedaan dan keragaman moral dan
budaya secara kritis memunculkan heteronomi eksistensial manusia di mana
manusia tidak hanya sebagai makhluk sosial dan makhluk alamiah, akan tetapi
juga sebagai makhluk religius.
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
122
Universitas Indonesia
BAB V
DIALOG BUDAYA
MASYARAKAT MULTIKULTUR
5.1 Pengantar
Konflik sosial masyarakat multikultur pada bab sebelumnya telah
memposisikan eksistensi manusia pada kondisi inhuman di mana harkat dan
martabatnya telah diluluhkan. Atas dasar kondisi inhuman tersebut, dalam bab
kelima ini akan dijelaskan dialog budaya masyarakat multikultur untuk mengolah
konflik sosial tersebut. Dialog budaya dilakukan melalui dua tindakan, yaitu
rekognisi sosial dan dialog antarbudaya. Rekognisi sosial dipahami sebagai
peredam konflik, dan dialog antarbudaya sebagai pendamai konflik. Pada akhir
bab ini akan dijelaskan penemuan kembali manusia yang harmonis dari perilaku
sosial seseorang yang mengolah konflik sosial.
5.2 Mengolah Konflik Sosial Masyakarat Multikultur
Kondisi inhuman dalam masyarakat multikultur akibat konflik sosial
tersebut mewajibkan seorang individu sebagai warga negara untuk melakukan
sebuah pengolahan konflik dengan memahami dialog budaya. Istilah mengolah
dalam konflik sosial diambil dari istilah “budaya” (Iannone, 2001: 130).1 Dalam
penggunannya, misalnya, mengolah kapasitas manusia untuk otonomi individual
(Parekh, 2000: 100).2 Dalam konsepsi manusia sebagai makhluk budaya,
dipahami bahwa budaya hanya mungkin karena individu memiliki kapasitas dan
watak yang diderivasi tertentu yang dapat distrukturisasi dan dimodifikasi, akan
tetapi tidak dapat dihilangkan. Bahkan, dipahami pula bahwa tidak ada
masyarakat yang dapat berfungsi tanpa mengolah daya pikir para anggotanya, dan
1 “Culture from the Latin colere, i.e. „cultivate.”
2 “…cultivate their capacity for individual autonomy.”
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
123
Universitas Indonesia
masyarakat tidak dapat sepenuhnya memprediksi atau mengontrol arah yang
mungkin diambil (Parekh, 2000: 157).3 Oleh karena itu, mengolah konflik sosial
yang dimaksudkan adalah pengolahan kapasitas, watak dan daya pikir individu
yang mengganggunya dalam relasi sosial di dalam negara yang mengakui
keragaman moral dan budaya.
Pengolahan gangguan kapasitas, watak, dan daya pikir manusia di dalam
masyarakat multikultur melalui dialog budaya. Pengolahan konflik sosial dengan
dialog budaya merupakan keuntungan timbal-balik antarbudaya. Dialog budaya
menjaga interaksi antarbudaya atas adanya bias-bias, keegoisan, dan posibilitas
mereduksi dan memperluas horizon intelektual. Oleh sebab itu, budaya dipahami
bukan kultus dan etnik, tetapi struktur makna di mana manusia memberi bentuk
pengalamannya, politik tanpa kudeta dan konstitusional, akan tetapi salah satu
arena utama di mana struktur tersebut mengungkapkan publikisitas (Geertz, 1973:
312).4 Dalam kehidupan publik setiap identitas sosial merupakan cara tertentu
memandang dunia, identitas jamak berarti perspektif jamak, masing-masing
melengkapi horizon dan mengoreksi keterbatasan lain, dan secara kolektif
masyarakat membuat kemungkinan pandangan yang lebih luas dan lebih
bernuansa yang dibedakan dunia (Parekh, 2008: 24).
Adanya kehidupan publik, multikultur merupakan realitas sosial, bukan
hanya realitas budaya. Perjumpaan manusia secara sosial dengan keragaman
moral dan budaya menunjukkan multikultur secara sosial. Fenomena sosial
seorang manusia dijelaskan bahwa “manusia berbagi sifat umum, kondisi
eksistensial umum, pengalaman hidup, situasi sulit, dan lainnya. Akan tetapi,
manusia pun mengonseptualisasikan dan merespons hal itu di dalam cara yang
berbeda dan menghasilkan budaya yang berbeda (Parekh, 2000: 123-124).”5
Perbedaan moral dan budaya yang diproduksi oleh manusia secara sosial
3 “...no society can function without cultivating its members‟ powers of thought, and it cannot
wholly predict or control the direction these might take.” 4 “Culture is not cults and customs, but the structures of meaning through which men give shape to
their experience; politics is not coups and constitutions, but one of the principal arenas in which
such structures publicly unfold.” 5 “Human beings share a common nature, common conditions of existence, life experiences,
predicament, and so on. They also, however, conceptualize and respond to these in quite different
ways and give rise to different cultures.”
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
124
Universitas Indonesia
merekonstruksi sebuah identitas. Identitas pada manusia adalah “produk
dialektika yang saling mempengaruhi antara yang universal dan yang partikular,
antara apa yang dibagi seluruhnya dan apa yang secara budaya spesifik.”6 Dengan
begitu, manusia dalam masyarakat multikultur merupakan bagian dari spesies
umum dan sekaligus bagian dari budaya yang distingtif. Dengan kata lain, adanya
manusia karena adanya orang lain (Parekh, 2000: 123-124).
Kondisi manusia tersebut penuh sesak dengan perbedaan antara buruh,
pekerjaan, dan tindakan; antara kekuasaan, kekerasan, dan kekuatan; antara bumi
dan dunia; antara properti dan harta kekayaan; dan masih banyak lagi, sering
dibentuk melalui eksplorasi etimologis (Arendt, 1989: 21).7 Perbedaan relasi
manusia dalam kehidupan sosial memosisikan manusia sebagai makhluk sosial,
makhluk politik, makhluk ekonomi, dan makhluk religius. Eksistensi manusia
sesuai dengan pemosisian dirinya di dalam peta sosial. Pemosisian itu
menjelaskan eksistensi manusia berada pada titik persimpangan di antara
kekuatan-kekuatan sosial tertentu. Di dalam peta sosial manusia dapat dipahami
dengan dua pertanyaan. Apa yang mungkin manusia lakukan di dalam masyarakat
dan apa yang dapat manusia harapkan dari kehidupan sosial (Berger, 1966: 82).
Perilaku dan harapan manusia dalam keragaman moral dan budaya
seringkali memproduksi konflik sosial dengan kekerasan. Konflik sosial dalam
masyarakat multikultur secara kritis selalu membutuhkan untuk menemukan cara
mendamaikan antara tuntutan legitimasi kesatuan dan keragaman, mencapai
kesatuan politik tanpa keseragaman budaya, menjadi inklusif tanpa asimilasi,
mengolah akal sehat kepemilikan warganya dengan menghormati legitimasi
perbedaan budaya, dan penghargaan identitas budaya plural tanpa melemahkan
identitas bersama dan berharga pada warganya (Parekh, 2000: 343). Oleh karena
itu, untuk mengolah konflik sosial dalam masyarakat multikultur dibutuhkan dua
tindakan, yaitu dialog antarbudaya dan rekognisi sosial.
6 “Identity is a product of a dialectical interplay between the universal and the particular, between
what they all share and what is culturally specific.” 7 “The human condition is crammed with distinctions: between labor, work, and action; between
power, violence, and strength; between the earth and the world; between property and wealth; and
many more, often established through etymological explorations.”
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
125
Universitas Indonesia
5.2.1 Dialog Antarbudaya sebagai Pendamai Konflik
Dialog antarbudaya merupakan prasyarat terwujudnya tatanan sosial
masyarakat multikultur. Dialog antarbudaya melekat secara ontologis pada
keragaman moral dan budaya. Dialog (dialogue) dalam pemikiran Gadamer
adalah “sebuah percakapan” (conversation). Untuk berada di dalam percakapan,
bagaimanapun, berarti berada di luar diri sendiri, berpikir dengan yang lain, dan
untuk kembali ke diri sendiri seolah-olah ke yang lain” (Gadamer, 1989: 110).
Percakapan terjadi dengan syarat dialog terpenuhi jika seseorang berpartisipasi
untuk mengolah konflik di dalam kehidupan publik.
Percakapan dalam dialog antarbudaya didukung dengan saling tanya
jawab. Percakapan dilakukan untuk menghindari adanya prasangka. Dalam
percakapan setiap partisipan berbicara dengan bahasa publik. Spirit dialog untuk
menguatkan argumen orang lain, bukan untuk memenangkan dalam melewati
batas diskusi. Gadamer menekankan bahwa “pemahaman dalam dialog bukan
sebagai metode atau sesuatu yang abstrak, akan tetapi sebuah mode menjadi”
(mode of being). Oleh karena itu, dialog merupakan pemahaman langsung di
mana masing-masing individu membawa horizon “mengenai visi yang meliputi
segala sesuatu yang dapat dilihat dari sudut pandang tertentu”.8 Kata dalam dialog
menunjukkan pemikiran yang terkait dengan determinasi yang terbatas (Marshall,
2004: 123-125).
Dalam menyelesaikan konflik sosial di Poso, Ambon dan Cikeusik, dialog
antarbudaya sangat tergantung pada kewajiban negara melalui proyek
perdamaian. Padahal, negara dalam proses dialog antar-udaya hanya sebagai
fasilitator atau mediator penyelesaian konflik. Perdamaian dalam tiga kasus
konflik sosial menghasilkan deklarasi Malino I pada bulan Desember 2011 dan
deklarasi Malino II pada bulan Februari 2012. Namun, dialog perdamaian tidak
partisipatif, karena masyarakat lokal diabaikan dalam proses perencanaan dan
pelaksaan perdamaian, hanya sebagai obyek pemulihan fisik, rekonstruksi dan
8 “To the dialogue in which understanding takes place, each individual brings a horizon, „the
range of vision that includes everything that can be seen from a particular vantage point.”
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
126
Universitas Indonesia
penerima bantuan darurat pengungsi (Buchanan, 2011:11). Dengan kata lain,
selama ini dialog dalam perdamaian Malino merupakan dialog yang diskriminatif
dan hegemonik di mana ada tindakan pengabaian identitas sosial yang beda di
dalam masyarakat multikultur. Tindakan perdamaian tersebut seharusnya hanya
dapat dikatakan benar jika didasarkan pada keadilan. Plato mengatakan bahwa
“keadilan merupakan norma dasar keabsahan suatu tatanan sosial, di mana hak
setiap manusia terjamin”. Akan tetapi, adanya diskriminasi dan hegemoni negara
menunjukkan adanya struktur ketidakadilan di dalam masyarakat multikultur
(Magnis-Suseno, 1999: 209 dan 211).
Perdamaian dalam konflik Ambon didekati dengan ekonomi
kesejahteraan. Konflik sosial di Ambon dan Maluku dimediasi oleh ketua tim
mediator, Jusuf Kalla selaku Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat,
melalui perdamaian pada “Pertemuan Malino untuk Maluku” pada 11-12 Februari
2002. Pertemuan itu dihadiri oleh tokoh-tokoh kedua komunitas dan para
penggerak lapangan dalam konflik. Pertemuan Malino untuk Maluku tersebut
menghasilkan 11 butir kesepakatan yang ditandatangani oleh masing-masing 35
Kristen dan 35 tokoh Islam. Dalam perdamaian itu Jusuf Kalla mengatakan bahwa
“Korban jiwa yang besar (sekitar 10 ribu orang) jelas merupakan kerugian
yang tidak bernilai. Tapi, sesudah itu masih ada lagi bencana hebat yang
menghadang, manakala konflik Ambon tidak segera diakhiri, yakni terjadi
lost generation, pupusnya sebuah generasi, mengingat hampir seluruh
sekolah dan perguruan tinggi lumpuh” (Lebang, 2007: 57).
Selain itu, sebagai refleksi dari konflik sosial, Jusuf Kalla mengatakan bahwa:
“Kita sadar betul bahwa orang dapat makmur kalau dia bekerja. Kalau dia
berkonflik, bagaimana dia dapat bekerja? Bagaimana bisa berpenghasilan?
Di dunia yang terbuka ini salah satu kondisinya adalah datangnya orang
lain yang menanamkan modal. Tidak ada di dunia ini negara yang dapat
berkembang tanpa adanya suatu sinergi dari luar dan dari dalam negeri. Di
China yang masuk ke sana 80% modalnya berasal dari luar negeri. Begitu
juga dengan di Jawa, sebagian besar industrinya berasal dari luar,
sedangkan di Maluku, jangankan modal mau datang, modal yang sudah
ada lari ke luar” (Lebang, 2007: 57-58).
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
127
Universitas Indonesia
Pasca konflik di Ambon dan Maluku tidak tampak kembali konflik terbuka
dengan kekerasan. Namun, dentuman bom berkali-kali masih terdengar yang
direspons dingin oleh kedua komunitas yang berkonflik (Lebang, 2007: 58).
Di Poso proyek perdamaian digelar, termasuk program kearifan lokal
“Sintuwu Maroso” (bersatu untuk kuat) pada masa Presiden RI Abdurrahman
Wahid. Setelah itu, ketua tim mediator, Jusuf Kalla selaku Menteri Koordinator
bidang Kesejahteraan Rakyat, memprakarsai pelaksanaan “Pertemuan Malino
untuk Poso”. Di Malino Jusuf Kalla mendalami konflik Poso dari berbagai sisi,
politik, ekonomi, sosial budaya, hingga psikologi. Pendalamannya dengan
sejumlah pertemuan nonformal dari hati ke hati dengan masing-masing tokoh
komunitas yang bertikai. Sebagian kemarahan para elite komunitas diserap
terlebih dahulu, lalu dikelola menjadi energi positif untuk merespons mereka maju
ke pertemuan dengan semangat perdamaian. Proses yang penting dicatat menuju
perdamaian Malino untuk Poso pada 26 Agustus 2003 adalah perkataan Jusuf
Kallah bahwa:
“Tatkala hendak mendamaikan kedua pihak, saya mempelajari sebaik-
baiknya sejarah daerah konflik itu. Baik sosial ekonomi, latar belakang
agama, geografis maupun aspek-aspek lain yang berhubungan dengan
dominasi, hegemoni, „supremasi‟, dan potensi ketidakadilan. Saya
mempelajari dengan saksama struktur penduduk sebelum kemerdekaan,
sesudah kemerdekaan, dekade 70-an, dekade 80-an, dan dekade 90-an.
Pihak A dalam posisi seperti apa, dan pihak B juga seperti apa. Dan, apa
persoalan yang membuat warga kedua daerah itu bertikai dan saling benci
sedemikiran rupa juga saya pelajari. Saya mendekati kedua pihak yang
berkonflik, dan mengajak mereka untuk meninggalkan perbedaan, untuk
maju dengan persamaan-persamaan ke meja perundingan” (Lebang. 2007:
52-53).
Pertemuan Malino I dikatakan berhasil dengan lebih dari 50 tokoh dari
kedua komunitas, ditambah peninjau dan perwakilan pemerintah, mencapai
kesepakatan untuk menghentikan konflik Poso, melakukan pelucutan senjata, dan
sementara pemerintah mengambil peran melakukan rehabilitasi dan penegakan
hukum. Keberhasilan formal perdamaian direspons baik secara praksis oleh
masyarakat Poso dengan terhentinya aksi kekerasan yang bersifat masif.
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
128
Universitas Indonesia
Meskipun, ada sebagian warga yang merasakan langsung dampak buruk dari
konflik, kurang baik merespons langkah perdamaian itu (Lebang, 2007: 53).
Pada pasca perdamaian Malino untuk Poso hingga tahun 2006 aksi
kekerasan, terutama teror bom dan penembakan yang menelan korban jiwa,
bahkan aksi pembunuhan, masih tampak terjadi. Namun, kondisi pasca
perdamaian tidak sesuram pada awal tahun 2000-an. Kondisi pasca perdamaian
itu disadari oleh Jusuf Kalla dengan penekanan pada penegakan keadilan bahwa:
“Soal ini yang menjadi pekerjaan rumah, bahwa kalau menginginkan
rakyat menikmati ketenteraman dan keadilan, harus ada perlakuan yang
sama. Pembangunan harus merata. Jangan daerah ini menikmati
infrastruktur yang hebat, tetapi daerah lain tidak mendapat yang
semestinya. Janganlah pengusaha besar menikmati suku bunga rendah, dan
pengusaha kecil diberi suku bunga amat besar” (Lebang, 2007: 54).
Dialog antarbudaya sebagai pendamai menjadi kunci atas kasus konflik
masa lalu. Perdamaian didasarkan pada pemberian maaf bangsa kepada kejahatan
berat masa lalu. Pemberiaan maaf dikenal dengan amnesti. Namun, pemerintah
juga tidak begitu saja melupakan masa lalu itu. Perdamaian sebatas memberikan
desains penyelamatan masa depan bangsa atau dikenal dengan nonprosekusi.
Target pertama perdamaian bukan untuk mencari keadilan, melainkan bertujuan
“menyelamatkan masa depan dengan lebih adil dan sejahtera bagi generasi bangsa
mendatang”. Sebagaimana dikatakan oleh Jusuf Kalla selaku Wakil Presiden RI
pada pertemuan dengan masyarakat Indonesia di Afrika Selatan, pada 24
September 2005 bahwa: “spiritnya ialah saling memaafkan, tapi tidak melupakan
forgiven but not forgetten. Artinya, sesuatu yang telah terjadi diikhlaskan, mari
kita lihat ke depan, dengan masa lalu sebagai pelajaran” (Lebang, 2007: 79).
Dialog antarbudaya masih dibutuhkan untuk menganalisis terorisme di
negeri hukum dan multikultur ini sebagai kekerasan kriminal ektraordinari.
Kekerasan terorisme akan dilihat dalam aksi bom bunuh diri yang berakibat
banyaknya korban kemanusiaan, baik yang merasa takut, cedera maupun hilang
nyawa. Tindakan bom bunuh diri jelas merepresentasikan keyakinan monisme
moral seorang individu yang mengorbankan beberapa hilang nyawa individu lain.
Tindakan ini benar merupakan kekerasan kriminal ekstraordinari di dalam
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
129
Universitas Indonesia
kehidupan masyarakat yang menganut padangan moral dan budaya Pancasila dan
prinsip bhineka tunggal ika. Oleh karena itu, antikekerasan dalam pemikiran
Gandhi dapat menjelaskan tindakan kekerasan bom bunuh diri yang dilakukan
oleh teroris dalam masyarakat multikultur. Tindakan antikekerasan memosisikan
moderasi antara penganut Islam dan Kristen yang seringkali melakukan tindakan
kekerasan kriminal ekstraordinari itu.
Tindakan antikekerasan merupakan teori ahimsa Gandhi sebagai teologi
antikekerasan dalam agama Hindu. Teori antikekerasan ini menjelaskan bahwa
“Alam semesta umumnya diambil untuk menjadi abadi, dan karenanya
pertanyaan tentang penciptaan tidak pernah mendominasi pikiran Hindu.
Hal itu meresap, terstruktur dan diatur oleh berbagai kekuatan kosmik
yang digambarkan, umumnya dipahami bukan sebagai substansi statis
tetapi sebagai prinsip aktif yang menginformasikan atau 'mengalir melalui'
segala sesuatu di alam semesta dan mewujudkan dirinya dalam bentuk
yang berbeda pada spesies yang berbeda dari makhluk.”
[The universe is generally taken to be eternal… It is permeated, structured
and regulated by a variously described cosmic power, generally conceived
not as a static substance but as an active principle informing of „flowing
through‟ everything in the universe and manifesting itself in different
forms in different species of beings] (Parekh, 1989: 108).
Dengan teori tersebut, semua manusia mewujudkan kekuatan kosmik,
mereka tidak hanya sama atau saudara tapi satu. Pada tingkat yang berbeda,
seluruh kehidupan adalah satu, pada tingkat tertinggi semua ciptaan diliputi
dengan yang ilahi dan, karena itu, satu.
Semua kehidupan adalah manifestasi dari Brahman, dan karenanya sakral.
Untuk yang lain, semua makhluk hidup adalah anggota sah dari kosmos dan,
dengan demikian, berhak untuk dihormati dan otonomi untuk mengganggu hanya
ketika mereka melanggar batas-batas alami mereka yang ditahbiskan dan
mengancam untuk menyakiti orang lain. Diakui bahwa secara tradisional, ahimsa
berarti noncedera dan nonpembunuhan. Nonluka atau nonmembunuh tidak
dengan sendirinya merupakan ahimsa, itu seperti hanya ketika lahir dari kasih
sayang. Dalam pandangan universalisme pluralis, antikekerasan itu merupakan
keinginan yang tidak menimbulkan kerusakan atau kehancuran, yaitu “unsur sadar
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
130
Universitas Indonesia
kasih sayang” yang merupakan esensi antikekerasan. Di mana ada kasih sayang,
tidak ada ahimsa. Pengujian ahimsa adalah kasih sayang. Dalam tindakan
antikekerasan, dibedakan dua pandangan. Dalam pandangan literal, rasio
“negatif” atau “pasif”, itu berarti menahan diri dari menyebabkan kerusakan dan
kehancuran bagi orang lain. Dalam pandangan “positif” dan “aktif”, itu berarti
mempromosikan kesejahteraan mereka. Dalam kedua pandangan, ahimsa
didasarkan pada kasih sayang atau cinta, dalam satu, cinta diekspresikan negatif,
di sisi lain, secara positif. Gandhi menyimpulkan bahwa ahimsa benar-benar sama
dengan cinta: hal itu adalah “cinta yang aktif”.
Secara jelas dapat dipahami bahwa ahimsa dilakukan melalui tiga langkah
penting. Teori antikekerasan disamakan dengan kasih sayang dan yang terakhir
dengan cinta, dan cinta didefinisikan dalam hal duniawi dan aktivis. Cinta yang
terlibat sangat berbeda dari apa yang dicari untuk identifikasi bergairah dengan
semua makhluk hidup, mengambil duniawi menderita serius dan mensyaratkan
layanan sosial yang aktif. Dapat dikatakan bahwa:
“Antikekerasan bukanlah suatu kebajikan tertutup yang dipraktikkan oleh
individu untuk perdamaian dan keselamatan akhir, tetapi aturan perilaku
bagi masyarakat jika ingin hidup secara konsisten dengan martabat
manusia”.
[Non-violence is not a cloistered virtue to be practiced by the individual
for his peace and final salvation, but a rule of conduct for society if it is to
consistenly with human dignity”] (Parekh, 1989: 114).
Konsepsi tradisional antikekerasan sebagai dialog antarbudaya dalam
resolusi konflik diperdalam dalam analisis teologi antikekerasan. Menurut
Gandhi, “agama antikekerasan tidak dimaksudkan semata-mata untuk resi dan
orang-orang kudus. Hal ini dimaksudkan untuk orang-orang biasa juga” (Parekh,
1989: 114).9 Antikekerasan wajib pada semua, bukan hanya para pertapa, dan
menyebutnya agama. Oleh karenanya, agama baginya cara hidup yang melibatkan
transformasi total dari semua relasi manusia, sambutannya memiliki daya dorong
9 “The religion of non-violence is not meant merely for the rishis and saints. It is meant for the
common people as well.”
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
131
Universitas Indonesia
sosial yang radikal. Dia mengamati bahwa “hormat tidak harus menjadi
spiritualitas pasif yang menghabiskan dirinya dalam meditasi menganggur, tetapi
harus menjadi hal yang aktif yang akan membawa perang ke perkemahan musuh”
(Parekh, 1989).
Dialog antarbudaya dapat dipahami juga sebagai penjaga lingkungan
hidup. Komunitas etnik yang tertanam dalam lingkungan hidup yang
ditempatinya, seperti komunitas Pamona di Poso Sulawesi Tengah, komunitas
etnik Ambon Maluku, komunitas Baduy di Pandeglang Banten, dan komunitas
Korowai di pedalaman Papua. Penjaga juga yang dimaksudkan adalah pemerintah
yang mengurusi lingkungan hidup atau institusi-institusi yang peduli dengan
lingkungan hidup. Dengan demikian, syarat dialog antarbudaya di dalam
masyarakat multikultur tersebut menuntut kewajiban seseorang warga negara
untuk kritis diri, kerelaan, dan partisipasi dalam dialog diri.
5.2.2 Rekognisi Sosial sebagai Peredam Konflik
Rekognisi sosial masyarakat multikultur ditunjukkan dalam bentuk
penghormatan dan perlakuan yang setara terhadap identitas yang termarginalkan
dan direndahkan. Lebih mendalam, Taylor menegaskan bahwa “rekognisi secara
general dibangun di dalam identitas yang diderivasi secara sosial berdasarkan
fakta bahwa rekognisi itu didasarkan pada kategori sosial yang setiap orang
mengambil untuk diberikan” (Taylor, 1994: 34). Identitas yang diderivasi secara
sosial berarti identitas yang tergantung pada masyarakat, sehingga disebut dengan
rekognisi sosial (social recognition). Untuk itu, rekognisi sosial melibatkan
negara sebagai komunitas politik, masyarakat sebagai komunitas sosial, dan
individu sebagai warga negara.
Setelah dialog antarbudaya dilakukan, namun misrekognisi terjadi
terhadap identitas yang termarginalkan dan direndahkan, maka misrekognisi
bukan hanya kurang hormat, akan dapat menimbulkan luka pedih, membebani
korban dengan melumpuhkan diri kebencian. Rekognisi sosial sungguh sebagai
kebutuhan manusia yang menentukan hidup dan mati. Rekognisi sosial
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
132
Universitas Indonesia
seharusnya dilakukan dengan dua tindakan. (a) Pertama, penghormatan.
Penghormatan kepada seorang individu dengan memberikannya beberapa
penghargaan publik, karena tidak semua orang memilikinya. Penghormatan secara
intrinsik mengenai pilihan. Dengan penghormatan itu, pilihan seseorang kembali
dimiliki. (b) Kedua, perlakuan yang setara. Kesetaraan kepada seorang individu di
dalam kehidupan publik untuk memelihara hak-hak semua manusia. Dengan
kesetaraan tersebut, martabat seseorang kembali dihormati (Taylor, 1994: 27).
Selain itu, rekognisi sosial perlu diikuti gerakan-gerakan sosial, seperti
antidiskriminasi, interpretasi dan aplikasi hukum yang sensitif secara budaya,
pembebasan dari aturan dan praktik tertentu, aplikasi kebijakan publik yang
sensitif komunitas, hak dan sumber daya tambahan, mendorong penghormatan
publik untuk identitas termarginalkan, memastikan perwakilan yang memadai
dalam institusi-institusi publik, dan mengakui kehadiran komunitas marginal
dalam definisi identitas nasional (Parekh, 2008: 42). Rekognisi negara terhadap
jamaah Ahmadiyah atau komunitas marginal yang lain di dalam identitas nasional
perlu dilakukan sebagai bentuk perlakuan yang setara.
Rekognisi sosial tersebut seharusnya diiringi dengan redistribusi
(redistribution), terutama mengacu pada sumber daya material yang dapat
melanjutkan kesetaraan. Redistribusi dapat memungkinkan komunitas budaya
marginal untuk menjalani kehidupan yang layak tanpa secara radikal mengurangi
kesenjangan di seluruh bidang kehidupan (Parekh, 2004: 200). Redistribusi seperti
itu berkaitan erat dengan rekognisi sosial untuk menciptakan sebuah identitas
kolektif. Redistribusi memfasilitasi rekognisi sosial, bukan hanya untuk
menghormati, akan tetapi juga untuk kesetaraan hidup bersama. Sebaliknya,
rekognisi identitas memerluas pengertian solidaritas sosial dengan memasukkan
komunitas budaya yang termarginalkan dan direndahkan menjadi identitas
kolektif bersama dan membantu redistribusi, bukan hanya untuk menghormati,
akan tetapi juga untuk memelihara kebebasan dan keragaman. Secara empiris dan
normatif relasi antara rekognisi dan redistribusi dapat memberi keadilan bagi
kesejahteraan sosial (Parekh, 2008: 55).
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
133
Universitas Indonesia
Rekognisi sosial secara substantif menekankan adanya “identitas kolektif”
di mana semakin banyak komunitas budaya yang berpartisipasi, semakin
menegaskan identitas mereka yang diwarisi secara historis dalam nama otentisitas
dan kebebasan, dan semakin mereka mengekspresikan dan mengabadikan
heteronomi eksitensial mereka (Parekh, 2008: 37).
Secara praktis rekognisi negara terhadap keragaman moral dan budaya
diungkapkan di dalam konstitusi UUD 1945 dan regulasi penanganan konflik
sosial pada seluruh ranah kehidupan manusia. Di dalam konstitusi, negara
memfasilitasi hak warga negaranya untuk terpenuhinya kebutuhan hidup yang
baik dan martabat manusia melalui berbagai bentuk program kebijakan sosial,
yaitu perlindungan, kebebasan, jaminan, pekerjaan dan penghidupan, serta
pelayanan kesehatan dan pelayanan umum.10
Untuk mengolah konflik sosial dalam masyarakat multikultur, rekognisi
sosial digunakan sebagai peredam konflik, baik untuk meredakan konflik yang
sedang berlangsung maupun mendeteksi potensi konflik. Dalam regulasi
penanganan konflik sosial, negara berkewajiban meredam potensi konflik dalam
masyarakat dengan:
a) melakukan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan yang
memerhatikan aspirasi masyarakat;
b) menerapkan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik;
c) melakukan program perdamaian di daerah potensi Konflik;
d) mengintensifkan dialog antarkelompok masyarakat;
10
“Mengenai diversitas budaya lihat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28G ayat 1 bahwa setiap
orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang
di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan
untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi; Pasal 28G ayat 2 bahwa setiap
orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat
manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain; Pasal 28H ayat 3 bahwa setiap
orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai
manusia yang bermartabat; dan Pasal 34 ayat 2 bahwa negara mengembangkan sistem jaminan
sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai
dengan martabat kemanusiaan; dan mengenai diversitas moral lihat Pasal 27 ayat 2 bahwa tiap-tiap
warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan; Pasal 28D
ayat 2 bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil
dan layak dalam hubungan kerja; dan Pasal 34 ayat 3 bahwa negara bertanggung jawab atas
penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak; Pasal 28H
ayat 1 bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan
kesehatan.”
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
134
Universitas Indonesia
e) menegakkan hukum tanpa diskriminasi;
f) membangun karakter bangsa;
g) melestarikan nilai Pancasila dan kearifan lokal; dan
h) menyelenggarakan musyawarah dengan kelompok masyarakat untuk
membangun kemitraan dengan pelaku usaha di daerah setempat.11
Selain negara berkewajiban meredam potensi konflik, di dalam regulasi
penanganan konflik sosial, negara memfasilitasi kewajiban warganya melalui
penguatan capacity building, pendidikan kewarganegaraan, pendidikan budi
pekerti, pendidikan agama, dan menanamkan nilai-nilai integrasi bangsa.
Kewajiban warga negara sebagai individu untuk mengolah konflik sosial dengan
memelihara kondisi damai di dalam masyarakat, sebagai berikut:
a) mengembangkan sikap toleransi dan saling menghormati kebebasan
menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya;
b) menghormati perbedaan suku, bahasa, dan adat istiadat orang lain;
c) mengakui dan memerlakukan manusia sesuai dengan harkat dan
martabatnya;
d) mengakui persamaan derajat serta persamaan hak dan kewajiban asasi
setiap manusia tanpa membedakan suku, keturunan, agama,
kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, dan warna kulit;
e) mengembangkan persatuan Indonesia atas dasar kebhineka-tunggal-
ikaan; dan/atau
f) menghargai pendapat dan kebebasan orang lain.12
Rekognisi sosial tersebut diperkuat dengan penjelasan oposisional bahwa
antirekognisi atau misrekognisi dapat menimbulkan kerugian, dapat menjadi
bentuk penindasan, memenjarakan seseorang dalam kepalsuan, dan model
menjadi yang menyimpang (Taylor, 1994: 25).13
Antirekognisi terhadap jamaah
Ahmadiyah yang dilakukan oleh MUI dan komunitas Islam lainnya merupakan
fakta bentuk penindasan dan memenjarakan sesorang dalam kepalsuan.
Pemahaman konflik sosial dengan antirekognisi tidak hanya akan menimbulkan
konflik sosial baru, akan tetapi juga dapat terjadi disafiliasi yang memunculkan
jamaah Ahmadiyah lainnya yang berbeda. Oleh karena itu, ditekankan pentingnya
11
Lihat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial Pasal 9. 12
Lihat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial Pasal 7. 13
“Nonrecognition or misrecognition can inflict harm, can be a form of oppression, imprisoning
someone in a false, distorted, and reduced mode of being.”
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
135
Universitas Indonesia
rekognisi yang universal untuk dihargai di dalam satu bentuk atau yang berbeda.
Pada bidang yang lekat, semua manusia wajib menyadari bagaimana identitas
dapat dibentuk atau perbedaan dibentuk oleh relasi sesama manusia, diri sendiri
dengan orang lain, secara signifikan (Taylor, 1994: 36).14
Dengan rekognisi sosial sebagai peredam konflik, dibutuhkan evaluasi
budaya dari komitmen keragaman moral dan budaya yang memberi istilah tetap
bahwa “tiap budaya terlalu multi-alur, cair, dan berakhir terbuka”.15
Misalnya,
kontestasi memaknai ajaran Islam antara mainstream dan jamaah Syiah.
Keduanya sama-sama menilai ajaran Islam di dalam sumber daya budaya Islam,
akan tetapi kesimpulan keduanya kontradiktif. Kesimpulan jamaah Syiah untuk
mempertahankan sistem imamah, sebaliknya mainstream untuk menghilangkan
sistem imamah dalam budaya Islam. Selain itu, kontestasi memaknai kesetaraan
sebagai nilai antara kaum liberal dan sosialis. Meski keduanya bersepakat tentang
makna dan implikasinya, namun berbeda kesimpulannya. Kesimpulan liberal
memaknai kesetaraan formal atas hak-hak, dan sosialis memaknai kesetaraan atas
kekuasaan dan sumber daya. Oleh karena itu, kontestasi menjadi evaluasi budaya
yang terjadi di dalam semua kasus antara pandangan konservatif yang lebih setia
pada tradisi daripada reformis yang agak tidak jujur. Kesetiaan lebih terhadap teks
atau historisnya, konservatif beresiko kehilangan kesetiaan penganut terasing dan
merusak keberlangsungan budayanya. Meski kritik reformis kadang dijustfifikasi,
akan tetapi kritikus tidak tepat memahami sifat budaya dan inti kontestasi
hermeneutik. Namun demikian, reformis mungkin salah atau bahkan tidak tulus
dalam interpretasinya, akan tetapi setidak-tidaknya menjaga budaya tetap hidup
dan dinamis (Parekh, 2000: 174-175).
Fenomena kontestasi di dalam masyarakat sebagai evaluasi budaya
dibutuhkan penghormatan budaya dari rekognisi sosial. Penghormatan budaya
berarti penghormatan hak komunitas terhadap budaya, isi serta karakter
14
“The importance of recognition is now universally acknowledged in one form or another; on an
intimate plane, we are all aware of how identity can be formed or malformed through the course
of our contact with significant others.” 15
“Every culture is too multistranded, fluid and open-ended to have „fixed terms‟ in which to
evaluate it.”
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
136
Universitas Indonesia
budayanya.16
Seorang manusia harus bebas memutuskan bagaimana hidup,
sehingga budaya terikat dengan sejarah dan identitas, dan seterusnya. Setiap
komunitas mempunyai hak terhadap budaya sebaik hak terhadap budaya yang
lain. Artinya, tidak ada dasar ketidaksetaraan hak terhadap budaya, karena setiap
budaya memberi stabilitas dan makna terhadap hidup manusia, menampung
anggotanya bersama-sama sebagai komunitas, menampilkan energi kreatif, dan
lainnya.17
Oleh sebab itu, secara kritis dikatakan bahwa “penghormatan martabat
manusia harus ditekankan, tetapi tidak harus bingung dengan individualisme
liberal, dan ranah pilihan personal yang juga sangat penting untuk kesejahteraan
manusia, tetapi tidak harus disamakan dengan otonomi berskala penuh yang
didefinisikan” (Parekh, 2000: 176-177).18
Apabila komunitas budaya menghormati kelayakan dan martabat manusia,
menjaga kepentingan dasar manusia dalam batas-batas sumber dayanya, tidak
memberikan ancaman terhadap pihak lain dan menikmati loyalitas sebagian besar
anggotanya, memberikan kondisi dasar hidup yang baik, maka komunitas itu
layak dihormati dan ditinggalkan sendiri. Oleh karenanya, bukan pemikiran
monisme moral yang membuat kekeliruan pada konsentrasi isi budaya dan
mengabaikan hak komunitas budaya untuk menghormati dasar budaya masing-
masing. Tak luput dari kritik juga, perlu diyakini bahwa asumsi reformis Barat
sangat tidak mendasar dan menjadi sumber lebih kolonial, neokolonial dan bentuk
kekerasan lain. Reformis Barat berasumsi bahwa masyarakat lain kurang sumber
daya reformis serta membutuhkan petunjuk dan kepemimpinan moral Barat. Ada
perbedaan besar antara kepedulian moral yang terhormat untuk kesejahteraan
masyarakat lain dan gertakan tak sensitif dalam spirit superioritas moral.
Kepedulian moral diterima dengan senang hati dan superioritas moral dihindari
dengan segala pengorbanan (Parekh, 2000: 177-178).
16
“Respect for a culture means respect for a community‟s right to its culture and for the content
and character of that culture.” 17
“Since every culture gives stability and meaning to human life, holds its member together as a
community, displays creative energy, and so on.” 18
“Respect for human dignity should be insisted upon, but it should not be confused with liberal
individualism, and similarly the area of personal choice is crucial to human well-being, but should
not be equated with full-scale autonomy…”
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
137
Universitas Indonesia
Dalam konstruksi sosial, politik dan ekonomi rekognisi sosial di atas
merupakan pusat identitas individual dan kelayakan diri. Bahkan, tanpa rekognisi
sosial, keduanya dapat rusak. Oleh sebab itu, diyakini bahwa “tidak ada
masyarakat multikultur dapat stabil dan bersemangat, kecuali menjamin
masyarakat konstituennya menerima keduanya hanya dengan rekognisi dan
berbagi kekuasaan ekonomi dan politik” (Parekh, 2000: 343).19
Dengan demikian,
untuk memahami konflik sosial yang dipenuhi perilaku kekerasan, harus
dikatakan bahwa “daripada bertanya kapan kekerasan dijustifikasi, seharusnya
kita bertanya kapan pelanggaran antikekerasan mungkin bisa dimaafkan” (Parekh,
1989: 128). Untuk memaafkan perilaku kekerasan dengan menghilangkan jiwa
manusia, hanya dibutuhkan penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia.
Rekognisi sosial yang dilakukan di dalam masyarakat multikultur merefleksikan
hakikat manusia sebagai makhluk yang berdialog. Tanpa rekognisi sosial, dialog
hanyalah kepalsuan eksistensial manusia dalam konflik sosial.
5.3 Menemukan Kembali Manusia yang Harmonis
Refleksi kritis pada bab lima ini secara esensial mengkonstruksi hakikat
dikotomi antara cara dan tujuan. Cara yang tepat ditentukan untuk tujuan yang
baik. Begitu juga, sebaliknya, cara yang bengis ditentukan untuk tujuan yang
nista. Akan tetapi, kepentingan dan kesadaran palsu manusia secara sosial
memungkinkan untuk memutarbalikkan dikotomi antara cara dan tujuan itu.
Tragedi kemanusiaan pada pemboman menara kembar World Trade Center
(WTC) di Mannhantan Amerika Serikat, misalnya, merepresentasikan sebuah
tragedi konflik global. Setiap bangsa, masyarakat, komunitas dan individu yang
berbeda-beda agama dan etniknya terlibat di dalam konflik global itu. Konflik
global itu tak lain merupakan representasi dari konflik sosial di dalam masyarakat
multikultur.
19
“No multicultural society can be stable and vibrant unless it ensures that its constituent
communities recieve both just recognition and a just share of economic and political power.”
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
138
Universitas Indonesia
Fenomena manusia sosial dalam konflik tersebut dapat menekan bahwa
“dewasa ini membela manusia tidak lagi dapat dilakukan dengan menyingkirkan
ataupun mengabaikan agama, seperti yang dilakukan oleh humanisme sekuler
modern” (Hardiman, 2012: 72-73). Meski konflik nuansa agama dan etnik
seringkali direproduksi, seorang manusia tetap mempunyai kekuatan untuk
menghormati harkat dan martabat manusia di dalam kehidupan sosial.
Manusia dilahirkan oleh manusia lain di dunia. Kelahiran manusia dalam
bentuk tubuh dan jiwa. Jiwa membedakan manusia sebagai makhluk hidup dari
makhluk hidup yang lain. Hewan dan tumbuhan merupakan makhluk hidup yang
tidak memiliki jiwa. Adanya jiwa di dalam tubuh menyebabkan manusia hidup.
Sebaliknya, tidak adanya jiwa di dalam tubuh menyebabkan manusia tidak hidup.
Akan tetapi, tidak adanya jiwa, hewan dan tumbuhan tetap dapat hidup. Oleh
sebab itu, jiwa adalah karakteristik manusia. Dengan adanya jiwa, manusia hanya
tepat dipahami dengan memahami manusia yang lain. Meskipun, ada beberapa
filsuf yang memahami manusia dengan memahami hewan atau tumbuhan.
Padahal, kemanusiaan tidak dapat digali di dalam tubuh nonmanusia.
Manusia berada di dunia secara eksistensial. Eksistensi manusia di dunia
disebabkan oleh adanya jiwa di dalam tubuh yang menentukan untuk bertindak,
berpikir, dan berkehendak. Jean-Paul Sartre menjelaskan bahwa apabila tubuh
nyata sebagai obyek benar-benar bertindak pada substansi berpikir, yang lain
menjadi representasi murni, esse is a simple percipi, yaitu “eksistensi yang diukur
dengan pengetahuan yang kita miliki” (Sartre, 1957: 224).20
Di samping itu,
dengan kehendak bebasnya untuk menentukan, selain membedakan manusia dari
hewan dan tumbuhan, jiwa membedakan manusia yang satu dengan manusia yang
lain. Dengan adanya ketentuan itu, apakah relasi jiwa dan tubuh pada eksistensi
manusia berada pada perjumpaan keduanya secara dikotomis atau heteronomis?
Pemahaman dikotomi dan heteronomi manusia tidak bisa dilepaskan dari
pemikiran tiga aliran filsafat besar, yaitu idealisme, realisme kritis dan
20
“If the body is a real object really acting on thinking substance, the Other becomes a pure
representation, whose esse is a simple percipi; that is, one whose existence is measured by the
knowledge which we have of it.”
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
139
Universitas Indonesia
materialisme. Relasi perjumpaan jiwa dan tubuh di dalam tiga aliran filsafat itu,
dijelaskan sebagai berikut.
Pertama, aliran idealisme menemukan manusia di dalam dunia idea, yaitu
jiwa yang nonmaterial. Bagi idealisme, jiwa sebagai prinsip hidup untuk manusia.
Dalam aliran idealisme banyak filsuf menjelaskan siapakah manusia. Plato
memandang bahwa manusia terdiri dari jiwa dan tubuh sebagai dualisme, bukan
kesatuan tapi bersatu. Dualisme menjelaskan bahwa jiwa merupakan dunia idea
(eidos) yang nonmaterial, sedangkan tubuh merupakan dunia pengamatan yang
material. Bahkan, jiwa dan tubuh manusia adalah dualisme paralel, adanya jiwa
lebih dahulu dari manusia (praexistensi). René Descartes memandang bahwa
manusia terdiri dari jiwa dan tubuh sebagai dualisme dualistis, bukan kesatuan
tapi saling mempengaruhi. Dualisme dualistis Descartes menjelaskan bahwa jiwa
merupakan reflexio yang berkesadaran, sedangkan tubuh merupakan extentio yang
berkeluasan. Jiwa dan tubuh tersebut saling mempengaruhi, misalnya ketika jiwa
merasa sedih maka tubuh mengeluarkan air mata. Neoplatonisme dari Plotinos
memandang bahwa manusia terdiri dari jiwa dan tubuh sebagai pantheisme,
kesatuan yang bersatu. Pantheisme menjelaskan bahwa jiwa dan tubuh manusia
merupakan kesatuan yang disatukan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Lebih lanjut,
Baruch Spinoza menjelaskan bahwa pantheisme memandang Tuhan berada di
dalam jiwa dan tubuh manusia sebagai inti yang terpendam pada materi, bukan
Pencipta. Dalam pantheisme Hegel memandang bahwa manusia dalam
totalitasnya adalah Tuhan di dunia. Dalam lingkup pantheisme Brahmanisme
memandang bahwa manusia adalah Brahma yang konkret. Brahma adalah inti
alam, ada yang mutlak. Pantheisme Jawa memandang bahwa manusia adalah
Tuhan sendiri secara intisari. Relasi antara manusia dan Tuhan merupakan
identitas, yang mengandung ketidakmungkinan dualitas, tak ada yang mengabdi,
tak perlu ada yang memper-Tuhan (Poedjawijatna, 1987: 66-79). Dengan begitu,
pandangan-pandangan aliran idealisme terhadap relasi bersatunya jiwa dan tubuh
manusia disebut dengan dualisme dan pantheisme.
Kedua, aliran realisme kritis memandang kesatuan jiwa dan tubuh manusia
sebagai realitas. Realisme kritis dibedakan dengan realisme belaka. Bagi realisme
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
140
Universitas Indonesia
belaka, realitas hanya dapat diterima karena tampak. Sedangkan, realisme kritis
menerima realitas karena sungguh-sungguh ada, tidak perlu tampak pada manusia.
Jiwa dan tubuh merupakan prinsip hidup. Jiwa sebagai prinsip hidup non-matrial.
Tubuh sebagai prinsip hidup materi. Jiwa diakui sebagai prinsip hidup sebab
ternyata ada pada tindakan manusia, yaitu berpikir dan berkehendak. Berpikir
adalah daya tahu manusia yang memproduksi tahu dengan menggunakan
pengertian-pengertian yang abstrak, nonmaterial. Berkehendak adalah daya pilih
manusia yang menentukan tindakannya sendiri, bukan ditentukan oleh obyek
semata-mata atau situasi-situasi yang merangsangnya. Manusia yang tidak
ditentukan oleh materi menandakan adanya kehendak yang non-material. Karena
dengan daya tahu dalam berpikir, manusia mempunyai daya memilih dalam
berkehendak. Ada beberapa filsuf yang termasuk dalam aliran realisme kritis.
Aristoteles memandang manusia sebagai realitas sepenuhnya, tidak hanya yang
tampaknya saja. Menurutnya, manusia adalah kesatuan hule dan morfe. Hule
berarti materi yang konkret. Morfe berarti bentuk yang membentuk manusia
menjadi manusia, bukan bentuk material yang memiliki ukuran dan bangun. Pada
abad Pertengahan Agustinus meyakini bahwa manusia sungguh-sungguh ada
dengan adanya Tuhan, karena manusia adalah ciptaan Tuhan, sebagai realitas.
Selama di dunia jiwa dan tubuh manusia adalah kesatuan. Jiwa bersifat rohani
yang abadi dan tubuh bersifat jasmani yang tidak-abadi. Aliran fenomenologi,
filsafat hidup dan eksistensialisme benar-benar menjelaskan manusia sebagai
realitas (Poedjawijatna, 1987: 82-86).
Ketiga, aliran materialisme disamakan dengan realisme belaka. Keduanya
sama-sama mengakui bahwa alam adalah dunia materi sebagai obyek pengalaman
dalam perubahan dan ketidak-tetapanya. Realitas tidak lain adalah materi belaka.
Semua non-material yang bersifat rohani merupakan bentuk atau fungsi dari
materi. Aliran materialisme memunculkan beberapa pemikiran dan pandangan
tentang manusia. Dalam materialisme ekstrim Julien Offray de Lamettrie
mengatakan bahwa manusia merupakan materi atau benda-alam belaka, yang
berarti mesin karena pada dasarnya alam adalah mesin. Semua gerak atau
tindakan manusia hanya merupakan produk dari hukum alam belaka. Materi dapat
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
141
Universitas Indonesia
bertindak tanpa prinsip hidup. Seluruh dunia dapat dijelaskan dengan perubahan
dan gerak mekanis alam, termasuk tubuh, jiwa, sejarah, susastra dan segala
perkembangan masyarakat manusia. Ludwig Feuërbach hanya mengakui realitas
alam, sehingga manusia merupakan benda-alam juga. Karl Voght menjelaskan
bahwa pikiran manusia berhubungan dengan otak sama dengan empedu dengan
hati dan tindakan manusia merupakan proses kimia. Sebagai penganut
evolusionisme, Herbert Spencer mengatakan bahwa manusia merupakan produk
evolusi. Evolusi menurutnya adalah proses dari ada sebagai materi (matter), yang
berkembang menurut hukum-hukum tertentu (motion and force), maka terjadi
pengikatan dalam materi (integration) dan menjalar dalam keragaman
(dissipation). Evolusionisme hanya dapat menjelaskan realitas alam sampai
kepada pengalaman, the great Unknowable.
Dalam materialisme vitalistis, marxisme dan psikologi-dalam menerima
prinsip hidup pada manusia. Hidup manusia ditentukan oleh kondisi ekonomi.
Segala produk tindakan manusia, seperti ilmu, agama, budaya, dan lainnya adalah
derivasi dari kondisi ekonomi. Kondisi ekonomi itu sendiri ditentukan oleh
sejarah. Dengan sejarah, yang dikatakan manusia adalah masyarakat, manusia
dalam kelompok, bukan manusia individual. Manusia hidup hanya terarah pada
kebutuhan terhadap sandang, pangan dan papan yang material. Karena itu, prinsip
hidup manusia adalah materi. Sejarah manusia pun adalah sejarah materi.
Materialisme Marx itu disebut dengan materialisme historis. Dalam pandangan
psikologi-dalam, Sigmund Freud mengatakan bahwa tindakan manusia, baik yang
disadari maupun yang tidak disadari, didorong oleh kecenderungan untuk mencari
kepuasan rasa yang disebut libido (asmara), ketidaksadaran. Karena itu, libido tak
lain dari materi. Lebih lanjut, Alfred Adler menjelaskan bahwa pendorong
tindakan manusia yang ada pada ketidaksadaran cenderung kekuasaan. Manusia
dari kecil sampai dewasa adalah kumpulan cenderung kekuasaan. Manusia ingin
dihargai, ingin menonjolkan diri, dan ingin kuasa (Poedjawijatna, 1987: 56-64).
Kritik Erich Fromm terhadap skema Freud tentang perkembangan libido
(infantil, laten dan genital) dengan ide tentang diversitas orientasi karakter
produktif (cinta yang produktif, pikiran yang produktif, kebahagiaan dan suara
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
142
Universitas Indonesia
hati) dan karakter non-produktif (menerima, eksploitatif, penimbun, nekrofilia dan
pasar). Sebagai tesis utama psikoanalisis humanistik, Fromm menjelaskan bahwa
“nafsu dasar manusia tidak berakar di dalam kebutuhan naluriah (tubuh), akan
tetapi di dalam kondisi tertentu eksistensi manusia, yang membutuhkan untuk
menemukan keterkaitan baru terhadap manusia dan alam setelah kehilangan
keterkaitan utama pada tahap pra-manusia” (Fromm, 2002: xi).21
Atas dasar tesis
itu, Fromm menjelaskan bahwa manusia sebagai makhluk hidup (mortality) tidak
dapat bebas dari dikotomi eksistensial (existential dichotomy). Dikotomi antara
tubuh dan jiwa (body and mind) melekat pada eksistensi manusia di dunia. Jiwa
dan tubuh merupakan prinsip hidup manusia. Dengan jiwa, manusia mampu hidup
selama-lamanya. Namun, dengan tubuh, manusia akan mengalami kematian
selama-lamanya. Kehidupan jiwa hanya berada di dalam tubuh ketika manusia
berada di dunia.
Lebih jelas, Fromm mendefinisikan dikotomi eksistensial dengan arti
“kondisi manusia yang tidak pernah bebas dari jiwa walaupun menginginkannya,
akan tetapi tidak bisa pula bebas dari tubuh selama masih hidup, karena hanya
tubuh membuat manusia ingin hidup” (Fromm, 2002: 23).22
Menurut David
Ingleby, pemikiran Fromm itu didasarkan pada kondisi manusia yang dikonstruksi
dengan ketegangan antara anugerah alam dan esensi kesetaraan karakteristik non-
biologis, kesadaran-diri, nalar dan imajinasi.23
Meskipun, Freud meyakini bahwa
kondisi manusia dikonstruksi oleh kontradiksi antara kebutuhan individu dan
tuntutan budaya.24
Oleh karena itu, kondisi manusia menurut Fromm tampak
sebagai kodrat a priori, bukan produk budaya. Kodrat a priori pada dikotomi
manusia diyakini di dalam tradisi agama-agama. Kodrat a priori memproduksi
21
“…the basic passions of man are not rooted in his instinctive needs, but in the specific
conditions of human existence, in the need to find a new relatedness to man and nature after
having lost the primary relatedness of the pre-human stage.” 22
“Never is he free from the dichotomy of his existence: he cannot rid himself of his mind, even if
he should want to; he cannot rid himself of his body as long as he is alive - and his body makes
him want to be alive.” 23
“…the human condition as constructed by the tension between these natural endowments and
the equally essential but "non-biological" characteristics of self-awareness, reason and
imagination.” 24
“…the contradictions which lie at the heart of the human are those between the needs of the
individual and the demands of culture.”
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
143
Universitas Indonesia
keunikan eksistensi manusia di dunia, sebagaimana diyakini bahwa manusia
merupakan sebagian ilahi, sebagian hewan, sebagian terbatas dan sebagian tak-
terbatas (Ingleby dalam Fromm, 2002: xxvi).
Dalam konsepsi kodrat a priori manusia mempunyai karakter yang
manusiawi, yakni kebutuhan akan keterbukaan hubungan, transendensi,
keberakaran, rasa identitas serta kebutuhan akan kerangka orientasi dan
pengabdian. Dikotomi eksistensial manusia itu lebih dipertajam kembali oleh
Fromm dalam konsep “kesehatan mental” (mental health) manusia. Fromm
menjelaskan bahwa:
“Kesehatan mental adalah karakter manusia yang mampu mencintai dan
menciptakan, yang lepas dari hubungan incest suku dan tanah, dengan rasa
identitas yang didasarkan pada pengalaman diri sebagai subjek dan agen
kekuasaan, serta dengan pemahaman realitas diri di dalam dan di luar,
yakni pengembangan objektivitas dan nalar.”
[Mental health is characterized by the ability to love and to create, by the
emergence from incestuous ties to clan and soil, by a sense of identity
based on one's experience of self as the subject and agent of one's powers,
by the grasp of reality inside and outside of ourselves, that is, by the
development of objectivity and reason] (Fromm, 2002: 67).
Konsep kesehatan mental (jiwa) diyakini dapat dipahami secara universal bagi
manusia pada segala masa dan semua budaya. Dalam kehidupan sosial konsep
kesehatan mental secara esensial sesuai dengan norma-norma yang dipostulatkan
oleh para filsuf atau agamawan (Fromm, 2002: 67). Dikotomi eksistensial secara
substansial didasarkan pada totalitas personal manusia dalam interaksinya dengan
dunia, alam dan manusia, bukan pada tubuh atau materialisme. Hal itu
menegaskan bahwa praktik kehidupan manusia sebagai hasil dari kondisi
eksistensi manusia (Fromm, 2002: 68).25
Selain dari kondisi manusia, kesehatan mental harus dipandang dari situasi
manusia. Dalam situasi manusia, kesehatan mental harus didefinisikan dengan
“penyesuaian masyarakat terhadap kebutuhan manusia,” bukan dengan definisi
25
“The substratum is not a physical one, but the total human personality in its interaction with the
world, nature and man; it is the human practice of life as it results from the conditions of human
existence.”
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
144
Universitas Indonesia
penyesuaian individu terhadap masyarakat, dengan melihat perannya memajukan
atau menghambat kesehatan mental.26
Fromm menjelaskan bahwa struktur sosial
yang mampu mengembangkan personalitas manusia, bukan persoalan individu
manusia. Sebab itu, Fromm mengatakan bahwa “masyarakat yang tidak sehat
adalah “struktur sosial yang menciptakan saling bermusuhan, tidak percaya, yang
mengubah manusia menjadi hanya instrumen dan eksploitasi bagi orang lain, yang
merampas harga diri, kecuali sejauh manusia tunduk kepada orang lain atau
menjadi robot.”27
Dalam realitasnya mayoritas masyarakat, menurut Fromm,
berada pada antara dua fungsi sosial, yakni sebagai agen kemajuan dan sekaligus
penghambat perkembangan kesehatan manusia (Fromm, 2002: 70). Karena itu,
dikotomi manusia telah memposisikan mayoritas masyarakat pada ruang antara
dua fungsi sosial tersebut. Posisi masyarakat pada ruang antara itu menjelaskan
bahwa otonomi kehendak pada manusia telah bergeser menuju dan menjadi
heteronomi kehendak.
Heteronomi dijelaskan oleh Immanuel Kant dengan memahami makna
otonomi kehendak. Istilah heteronomi sendiri didefinisikan dengan
“ketergantungan pada hukum fisik (legalitas),”28
sedangkan otonomi adalah
ketergantungan pada hukum moral (moralitas). Sebelumnya, Plato dan Aristoteles
mendasarkan pada jiwa dan tubuh manusia sebagai makhluk hidup (living
creature) yang menjelaskan individu dan negara dalam kompleksitas kehidupan
manusia. Individu merupakan citra negara dalam kompleksitas kehidupan dan
organisasinya (Jawett, 1885: 16).29
Pemikiran kedua filosof Yunani kuno yang
berbeda aliran itu, idealisme dan realisme kritis, menjelaskan adanya heteronomi
antara relasi jiwa dan tubuh pada manusia. Karena itu, heteronomi manusia yang
dimaksud di sini adalah ketergantungan individu kepada “yang lain,” baik
26
“…that it must be defined in terms of the adjustment of society to the needs of man…” 27
“An unhelth society is one which creates mutual hostility, distrust, which transforms man into an
instrument of use and exploitation for others, which deprives him of a sense of self, except
inasmuch as he submits to others or becomes an automaton.” 28
“…there results heteronomy of the elective will, namely, dependence on the physical law that we
should follow some impulse or inclination.” 29
“The living creature, as soon as we begin to analyse it, is found to consist of soul and body‟. …
The individual is the image of the state in the complexity of his life and organization....”
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
145
Universitas Indonesia
individu lain maupun selain individu, seperti struktur sosial atau peraturan-
peraturan yang diciptakan oleh masyarakat.
Relasi dikotomi antara jiwa dan tubuh pada eksistensi manusia telah
mencair. Kant mengatakan bahwa “spekulasi transendental atas rasio berkaitan
dengan tiga hal, yakni kebebasan kehendak, keabadian jiwa dan eksistensi Tuhan
(Kant, 2010a: 447).”30
Kant telah menghadirkan eksistensi Tuhan di antara
dikotomi eksistensial manusia. Kebebasan kehendak berkaitan dengan fenomena
atau ekspresi dari tindakan manusia dalam ketaatan yang imperatif kategoris.
Keabadian jiwa menunjukkan empiristik tubuh yang tidak abadi. Menurutnya,
tubuh dipahami dengan mengacu pada pengalaman inderawi, yang menjelaskan
mengenai warna, kekerasan atau kelembutan, berat badan, bahkan kekebalan.
Tubuh di dunia akan lenyap, akan tetapi ruang yang ditempatinya tetap ada.31
Eksistensi Tuhan merupakan bukti keabadian jiwa setelah kematian manusia di
dunia yang melampaui pikiran publik (Kant, 2010a: 18; 29).32
Kant dikenal
sebagai filsuf yang berdiri di antara dua aliran filsafat, antara idealisme dan
realisme kritis, antara rasionalisme dan empirisme. Relasi jiwa dan tubuh tersebut
dipahami oleh Kant dengan memertimbangkan kritik atas rasio murni, kritik atas
rasio praktis, dan kritik atas kuasa pertimbangan.
Heteronomi menurut Kant merupakan kontradiksi dari otonomi. Otonomi
yang dimaksud oleh Kant adalah otonomi kehendak. Otonomi kehendak
merupakan prinsip moralitas. Moralitas disusun sebagai kebutuhan obyektif,
karena berlaku bagi setiap manusia yang mempunyai rasio dan kehendak.33
Kehendak obyektif tak lain adalah kehendak Tuhan. Moralitas merupakan rasio
murni praktis yang dapat menjadi hukum universal dalam kehidupan manusia.
Otonomi kehendak manusia adalah kebebasan yang merdeka dan didasarkan pada
ajaran moral yang rasional. Kebebasan yang merdeka tentunya melibatkan
30
“The transcendental speculation of reason relates to three things: the freedom of the will, the
immortality of the soul, and the existence of God.” 31
“…if we take away by degrees from our conceptions of a body all that can be referred to mere
sensuous experience—colour, hardness or softness, weight, even impenetrability—the body will
then vanish; but the space which it occupied still remains…” 32
“…the proof of the continued existence of the soul after death…” 33
“The moral law, however, is conceived as objectively necessary, only because it holds for
everyone that has reason and will.”
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
146
Universitas Indonesia
tanggung jawab kepada orang lain sebagai hukum universal. Moralitas bertujuan
pada kesejahteraan. Kesejahteraan merupakan kebahagiaan bagi hidup manusia,
baik secara personal maupaun secara sosial. Karena itu, otonomi kehendak
merupakan imperatif kategoris, yakni suatu keharusan tanpa syarat (Kant, 2010b:
32; 37). 34
Sedangkan, heteronomi kehendak merupakan imperatif hipotetis, yakni
suatu kewajiban yang bersyarat. Misalnya, saya wajib menyejahterakan rakyat,
karena saya adalah seorang menteri sosial dalam melaksanakan program-program
pemerintah yang telah menjadi undang-undang negara.
Adanya heteronomi kehendak tersebut, dalam kehidupan masyarakat
industrial dewasa ini Stanislaw Ossowski mengritik dikotomi dari Marx,
khususnya ideologi Marxisme, yang menjelaskan struktur sosial secara dikotomis:
kapitalis dan proletar. Atas dasar kritik itu, Svalastoga menemukan heteronomi
struktur sosial di dalam Manifesto Komunis, yaitu aristokrat, borjuis, borjuis
kecil, proletar dan proletar compang-camping (Svalastoga, 1989: 69-70). Dengan
demikian, kajian ontologis kodrat manusia diakhiri dengan pemikiran
Poedjawijatna yang menjelaskan tentang akhir dari manusia individual bahwa:
“Tiap manusia mengakhiri hidupnya di dunia ini dengan matinya. Ini
pengalaman kita. … Waktu dan ruang sudah tak ada arti baginya, yang
berarti ialah hasil tugas yang telah dilakukan, tugas menjadi pribadi yang
baik, berwatak luhur, pengabdi masyarakat dan dunia yang setia, selalu
berjalan lurus kepada arah tujuannya. Manusia yang demikian itu akan
mendapat kebahagiaan sebagai orang yang telah mencapai tujuan
tugasnya. Ia puas karena dalam usahanya di dunia ini bertindak sebagai
manusia yang benar, manusia yang menerima tugas kemanusiaan”
(Poedjawijatna, 1987: 144-146).
Dengan demikian, pergeseran makna dikotomi eksistensial menuju
heteronomi eksistensial mengantarkan manusia kepada kebermaknaan penuh
manusia secara sosial yang terlibat di dunia. Kemudian, realitas sosial menjadi
arena yang menentukan manusia untuk menerima tugas kemanusiaan. Dalam
praktik menunaikan tugas kemanusiaannya, heteronomi eksistensial manusia
menimbulkan perbedaan sosial.
34
“… The moral law is an imperative, which commands categorically, because the law is
unconditioned…”
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
147
Universitas Indonesia
Realitas sosial menjelaskan fenomena yang nyata di mana interaksi,
interelasi dan timbal balik antar manusia terjadi sebagai suatu kehidupan sosial.
Di dunia nyata ini kondisi manusia lekat pada situasi manusia dalam eksistensi
Tuhan. Eksistensi dan dunia merupakan realitas manusia. Secara ontologis realitas
diposisikan oleh Heidegger sebagai masalah being dan demonstrability dunia
eksternal (Heigedder, 1996: 187). Dalam realitas itu secara substansial manusia
atau dikenalkan oleh Heidegger dengan istilah Da-sein dimaknai dengan
eksistensi, tidak hanya “being-in-the-world” (Hegedder, 1996: 189).35
Sebagaimana yang dikatakan oleh Berger bahwa being pada realitas, yaitu
kualitas fenomena yang disadari manusia karena terlepas dari kehendaknya.
Berdasarkan pada data-data sosiologis empiris dan metode analisis
fenomenologis, Berger dan Luckmann menjelaskan bahwa “kehidupan sehari-hari
merepresentasikan sebagai realitas yang diinterpretasikan oleh manusia dan
memiliki makna subyektif bagi manusia sebagai dunia yang koheren.36
Dalam
analisis humanistiknya, manusia adalah manusia, bukan non-manusia. Dengan
memosisikan manusia sebagai subyek, dunia kehidupan sehari-hari itu pada
dasarnya merupakan pikiran dan tindakan manusia sendiri sebagai fenomena yang
nyata. Oleh sebab itu, secara epistemologis realitas sosial mengalami
obyektivikasi dari proses dan makna subyektif yang hadir di mana dunia common-
sense intersubyektif dikonstruksi. Sebagai subyek, kesadaran manusia senantiasa
intensional, yakni terarah terhadap obyek. Obyeknya adalah masyarakat sebagai
bagian dari dunia manusia, yakni ciptaan manusia yang dihuni manusia, sehingga
eksistensi manusia terus-menerus berproses dalam historisitas. Dalam prosesnya
obyek yang berbeda merepresentasikan pada kesadaran sebagai konstituen
35
“An understanding of being belongs to the kind of being of the being which we call Da-sein.” ….
“The fact that beings having the kind of being of Da-sein cannot be comprehended in terms of
reality and substantiality has been expressed by thesis that the substance of human being is
existence.” 36
“Everyday life presents itself as reality interpreted by men and subjectively meaningful to them
as a coherent world.”
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
148
Universitas Indonesia
berbagai lingkungan realitas yang berbeda (Berger and Luckmann, 1991: 33;
35).37
Realitas sosial dalam kehidupan sehari-hari yang hadir secara empiris di
dalam masyarakat adalah interaksi sosial. Berger dan Luckmann menegaskan
bahwa “dalam interaksi sosial pengalaman manusia yang terpenting adalah
interelasi dengan orang lain (others) yang berlangsung dalam situasi tatap
muka.”38
Dalam situasi tatap muka itulah orang lain dihadirkan pada waktu yang
jelas dan ruang yang sama. Dengan kata lain, dalam situasi tatap muka
subyektivitas orang lain terbuka kepada yang dijumpai melalui gejala maksimal.
Namun, tak dapat dihindari, dalam interaksi sosial orang lain dipahami dengan
skema tipikasi, yaitu sapaan orang lain untuk dipahami dan diperlakukan dalam
perjumpaan tatap muka.39
Misalnya, kenal orang lain dengan sapaan “orang
Baduy,” “orang Madura,” “orang Ahmadiyah,” “anggota FPI (Front Pembela
Islam),” “Ahok,” dan lainnya. Tipikasi itu menjadi semakin anonim ketika
semakin jarang interaksi sosial dalam situasi tatap muka. Adanya reproduksi
tipikasi yang memengaruhi relasi personal dalam interaksi sosial, menjelaskan
bahwa struktur sosial adalah esensi dari realitas kehidupan sehari-hari (Berger and
Luckmann, 1991: 35; 45; 48).40
Potensi obyektivikasi, menurut Berger dan Luckman, dapat diproduksi
oleh subyek sebagai ekspresitas manusia dalam kehidupan sehari-hari melalui
situasi tatap muka.41
Keimanan manusia terhadap Tuhannya dapat
diobyektivasikan dengan ekspresi religiusitas dalam memproduksi masjid, gereja,
candi, vihara atau tempat ibadah lainnya. Kebaikan manusia terhadap yang lain
dapat diobyektivasikan dengan ekspresi kemanusiaan dalam memproduksi
fasilitas-fasilitas publik, seperti sekolah, universitas atau lainnya. Sebaliknya,
37
“Different objects present themselves to consciousness as constituents of different spheres of
reality.” 38
“The most important experience of others takes place in the face-to-face situation, which is the
prototypical case of social interaction.” 39
“I apprehend the other by means of typificatory schemes even in the face-to-face situation, …” 40
“Social structure is an essential element of the reality of everyday life.” 41
“Human expressivity is capable of objectivation, that is, it manifests itself in products of human
activity that are available both to their producers and to other men as elements of a common
world.”
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
149
Universitas Indonesia
kemarahan atau kekerasan dapat diobyektivasikan dengan memroduksi senjata-
senjata tajam dan senjata-senjata perang, seperti pedang, rudal atau lainnya.
Obyektivikasi itu dalam pandangannya merupakan tanda yang diproduksi oleh
makna subyektif. Tanda-tanda itu selanjutnya diklasifikasikan menjadi sistem.
Oleh sebab itu, tanda dan sistem itu merupakan obyektivikasi yang dapat
diproduksi melampaui batas ekspresi subyek. Misalnya, Pasukan Brimob dan Tim
Patroli Polres Poso menemukan senjata api dan bom rakitan di tempat kejadian
perkara kontak senjata antara aparat kepolisian dengan kelompok terduga
pimpinan Santoso di perbatasan Desa Taunca, Poso Pesisir Selatan, Poso,
Sulawesi Tengah (Gatranews, 2014). Senjata api dan bom rakitan diproduksi
sebagai bukan sebagai tanda dan sistem pertahanan negara untuk menjaga
keamanan negaranya dan melindungi bangsanya, akan tetapi sebaliknya sebagai
tanda dan sistem tindakan terorisme. Selain itu, dengan bahasa manusia dapat
menciptakan simbolisme dan bahasa simbol yang merupakan konstituen esensial
dari realitas kehidupan sehari-hari dan dari penangkapan common sense tentang
realitas sosial (Berger and Luckmann, 1991: 49; 55).42
Oleh karena itu, fenomena
perbedaan sosial yang dikonstruksi di dalam budaya, agama, filsafat dan ilmu
pengetahuan merupakan ekspresi dari sistem simbol yang diproduksi oleh
manusia dalam kehidupan sosial.
A. Manusia dalam Kehidupan Sosial
Manusia sosial dapat menempatkan heteronomi eksistensialnya dalam
kehidupan yang didasarkan pada tiga dimensi kemanusiaan: peran manusia,
sosiologi pengetahuan, dan kelompok referensi.
Pertama, peran manusia di dalam masyarakat menimbulkan identitas baru
yang melekat pada perannya.43
Peran eksistensial manusia sosial di dalam
masyarakat beragam bentuknya, seperti peran profesional, peran rasial, peran
moralis, atau peran gender. Peran manusia sosial itu jelas berbeda dengan peran
secara biologis. Proses rekonstruksi manusia sosial dimulai sejak manusia
42
“Symbolism and symbolic language become essential constituents of the reality of everyday life
and of the common-sense apprehension of this reality.” 43
“Every role in society has attacted to it a certain identity.”
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
150
Universitas Indonesia
dilahirkan di dalam kehidupan masyarakat. Proses itu di mana “anak menemukan
siapa dirinya ketika belajar memainkan peran, “mengambil peran the other,” di
dalam masyarakat.”44
Dalam proses itu manusia sosial mengalami significant
others dan generalized other. Significant others adalah “seseorang yang berelasi
dengan orang lain secara intim dan sikap orang lain itu menentukan bentuk
konsepsi dirinya sendiri”.45
Sementara itu, generalized other adalah orang lain
pun turut menuntut menjadi baik, bersih dan dapat dipercaya, selain orang tuanya
sendiri. Oleh karenanya, identitas merupakan rekognisi sosial, bukan sesuatu yang
given (Berger, 1966: 115-117).46
Kedua, sosiologi pengetahuan menjelaskan bahwa eksistensi manusia
sosial ditentukan oleh ide-ide. Bahkan, pemikiran abstrak juga ditentukan oleh
konteks sosial. Misalnya, “kata siapa” bahwa konflik Poso disebabkan
fundamentalisme Islam. “Kata siapa” menandakan adanya pemikiran yang
menjelaskan realitas sosial yang terjadi di wilayah Poso. Adanya realitas sosial
itu, ideologi, menurut Berger, merupakan ide tertentu yang berfungsi sebagai
kepentingan tertanam di dalam masyarakat.47
Oleh sebab itu, ideologi dapat
memberikan legitimasi bagi tindakan kolektivitas manusia. Bahkan, ideologi
menginterpretasikan realitas sosial sedemikian rupa hingga justifikasi dibuat
masuk akal.48
Sosiologi agama merupakan salah satu bidang dari sosiologi
pengetahun yang berhasil mengamati fenomena agama. Weber dalam teodisi,
misalnya, menjelaskan bagaimana agama memaknai penderitaan dengan
mengubah sumber revolusi menjadi alat penembusan. Hal itu menununjukkan
bahwa universalitas agama dapat dijelaskan dalam fungsi sosial. Bahkan,
perubahan pola agama dalam perjalanan historis dapat diinterpretasikan dalam
perspektif sosiologis. Berger memberikan contoh, aktivitas religious menunjukkan
status kelas menengah, sebaiknya tidak aktif dalam religiusitas menjadi karakter
44
“The child finds out who he is as he learns what society is. He learns to play roles properly
belonging to him by learning, …„to take the role of the other.‟” 45
“… person who deal with him intimately and whose attitudes are decisive for the formation of
his conception of himself.” 46
“Identity is not something „given‟, but is bestowed in acts of social recognition.” 47
“An ideology when a certain idea serves a vested interest in society.” 48
“The ideology interprets social reality in such a way that the justification is made plausible.”
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
151
Universitas Indonesia
kelas pekerja. Dalam realitas sosial seperti itu individu berpandangan dunia secara
sosial sebagaimana menderivasi peran dan identitasnya. Realitas sosial itu sebagai
world taken for granted, yakni sistem asumsi yang tampak evidensi dan validasi
dengan sendirinya mengenai dunia yang dihasilkan dalam perjalanan historis.
Dengan begitu, eksistensi, pandangan dunia dan aturan pengalaman manusia
diinterpretasikan oleh masyarakat melalui aparatus simbolik fundamental (Berger,
1966: 130; 134; 136).
Ketiga, eksistensi manusia sosial ditentukan oleh kolektivitas, yang
dijelaskan dalam teori kelompok referensi. Berger mengartikan kelompok
referensi adalah “opini, keyakinan, dan tindakan kolektivitas yang menentukan
opini, keyakinan dan tindakan mereka sendiri” (Berger, 1966: 137).49
Istilah kunci yang dipergunakan oleh sosiologi untuk mengacu kepada
fenomena relasi manusia adalah internalisasi. Apa yang terjadi di dalam
sosialisasi adalah bahwa dunia sosial diinternalisasikan di dalam diri anak. Proses
yang sama, meskipun mungkin lebih lemah dalam kualitasnya, terjadi setiap
waktu orang dewasa itu diinisiasi ke dalam konteks sosial baru atau kelompok
sosial baru. Dengan demikian, masyarakat tidak saja sesuatu “di luar sana”, akan
tetapi juga “di dalam sini”, sebagian diri kita yang paling dalam. Hanya
pemahaman internalisasi memberikan arti terhadap fakta yang luar biasa bahwa
banyak sekali kontrol eksternal seringkali berlangsung bagi sangat banyak orang
di dalam masyarakat. Masyarakat tidak saja mengontrol gerakan kita, tetapi
membentuk identitas kita, pikiran kita dan emosi kita. Konstruksi sosial dalam
masyarakat menjadi kesadaran kita sendiri. Masyarakat tidak berhenti di
permukaan kulit kita. Masyarakat menembusi diri kita sekuatnya masyarakat
menutupi kita. Perbudakan kita kepada masyarakat lebih-lebih dibangun karena
perbenturan daripada oleh penaklukan. Memang, kadang-kadang kita dibanting
untuk takluk. Juah lebih sering lagi kita terjebak oleh hakikat sosial kita sendiri.
Dinding kepenjaraan kita sudah ada sebelum kita tampil ke panggung, tetapi
49
“Collectivity whose opinions, convictions and courses of action are decisive for the formation of
our opinions, convictions and courses of action.”
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
152
Universitas Indonesia
dinding-dinding itu senantiasa dibangun kembali oleh diri kita sendiri. Kita
dikhianati dan terpenjara dengan kerja sama dari pihak diri sendiri.
Di dalam konteks kebangsaan, mengacu pada Undang-Undang Dasar
1945, konsepsi itu sesuai dengan keberadaan dan pengamalan sila pertama dan
sila kedua Pancasila di dalam kehidupan sosial. Pancasila sebagai ideologi bangsa
memosisikan eksistensi Tuhan di dalam sila pertama “Ketuhanan Yang Maha
Esa.” Sila kedua “kemanusian yang adil dan beradab” diposisikan sebagai
eksistensi manusia. Positioning kedua sila tersebut pada bangsa Indonesia bukan
didasarkan pada stratifikasi sosial, akan tetapi diferensiasi sosial. Manusia
Indonesia tidak hanya mengakui jiwa dan tubuh sebagai warga negara yang
memiliki kebebasan berkehendak dan otonomi, akan tetapi juga bebas meyakini
adanya Tuhan yang Maha Esa. Oleh karena itu, dalam kenyataannya kebebasan
manusia itu terus menerus mereproduksi konflik sosial dalam nuansa agama dan
etnik. Kepedulian negara untuk mengolah konflik yang tak dapat dihindari, maka
dikonstruksi sila kelima “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, bukan
memaksakan sila ketiga “persatuan Indonesia”.
Konflik benar menjadi permasalahan pada manusia sosial ketika tindakan
konflik merusak eksistensi manusia dalam masyarakat multikultur. Masyarakat
multikultur merupakan identitas bangsa Indonesia (Poespowardojo, 1991: 97).
Ada tiga ratus lebih etnik yang dianut oleh masyarakat Indonesia, antara lain Bali,
Baduy, Betawi, Batak, Bugis, Dayak, Madura, Jawa, Sunda dan Tionghoa. Ada
enam agama yang diakui oleh negara Indonesia, yaitu Islam, Protestan, Katolik,
Hindu, Budha dan Konghucu. Selain itu, ada ratusan aliran kepercayaan yang
dianut oleh masyarakat etnik dan agama, namun tidak diakui oleh negara sebagai
agama. Bahkan, sebagai produk negara, lembaga Majelis Ulama Indonesia (MUI)
menetapkan bahwa “aliran Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat dan
menyesatkan, serta orang Islam yang mengikutinya adalah murtad (keluar dari
Islam).50
50
Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 11/Munas VII/MUI/15/2005 tentang Aliran
Ahmadiyah.
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
153
Universitas Indonesia
Ketiadaan rekognisi apalagi resistensi negara dan masyarakat terhadap
eksistensi umat beragama dan etnik melebarkan konflik menjadi terbuka di mana
terjadi kekerasan dan terorisme. Padahal, identitas dan ideologi yang tertanam di
dalam kehidupan sosial umat beragama dan etnik membutuhkan rekognisi sosial.
Konflik yang seringkali terjadi di negara Indonesia adalah konflik identitas dalam
nuansa etnik, misalnya konflik Sampit, Kalimantan Tengah, pada tahun 2001.
Konflik Sampit diawali dengan tindakan pembakaran rumah warga di jalan Padat
Karya, Sampit. Pelaku pembakaran diduga adalah warga etnik Madura. Tindakan
pembakaran itu dibalas dengan serangan warga etnik Dayak. Tindakan saling
serang antar dua etnik tersebut mengakibatkan pembunuhan ratusan jiwa manusia
Sampit (Alexander, 2005: 6).
B. Fenomena Sosial dalam Manusia
Fenomena sosial dalam manusia merefleksikan adanya tiga dimensi sosial
yang memenjarakan manusia di dalam kehidupan masyarakat, yaitu kontrol sosial,
stratifikasi sosial, dan pelembagaan. Pertama, kontrol sosial merupakan instrumen
yang difungsikan oleh negara untuk mengembalikan warganya kepada peraturan
yang telah ditentuknya jika ada penyelewengan atau penyimpangan (Berger,
1966: 83).51
Metode kontrol yang diterapkan beragam sesuai dengan tujuan dan
sifat masyarakat yang terkait. Bahkan, mekanisme kontrol sosial berfungsi
sebagai penyingkiran orang-orang yang tidak diharapkan. Misalnya, penyingkiran
komunitas minoritas jamaah Ahmadiyah di wilayah Cikeusik, Pandeglang,
Banten, dengan argumentasi yang didasarkan pada fatwa Majlis Ulama Islam
(MUI) supaya komunitas Islam mayoritas tidak dicemari oleh aliran sesat.
Kekerasan fisik tak dapat dihindari dari sistem kontrol sosial itu. Oleh sebab itu,
kepolisian dan militer sebagai instrumen kekuatan yang bersenjata senantiasa
difungsikan oleh negara sebagai sistem kontrol.
Kekerasan yang diperankan oleh sistem negara terhadap warganya tak
dapat dihindari. Kenyataan sosial tersebut menjelaskan bahwa “kekerasan adalah
51
“It refers to the various means used by a society to being its recalcitrant members back into
line.”
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
154
Universitas Indonesia
landasan dasar paling akhir pada tiap tatanan politik.”52
Kekerasan seharusnya
tidak boleh direproduksi oleh sistem negara. Dalam negara demokrasi kekerasan
dapat diminamalkan dengan tekanan ideologis pada kepatuhan sukarela terhadap
peraturan legislatif (Berger, 1966: 84). Kekerasan sebagai instrumen kontrol
terakhir dalam urusan politik dan hukum, juga tekanan ekonomi. Selain itu, sistem
kontrol sosial yang menekankan seorang tokoh, ahli atau figur kharismatik adalah
moralitas, adat istiadat dan sopan santun.
Kedua, sosialitas manusia dalam stratifikasi sosial terdapat pada realitas
sosial yang mempunyai sistem tingkatan (system of ranking). Berger memberikan
konsep stratifikasi yang didasarkan pada realitas masyarakat yang terdiri dari
tingkatan-tingkatan yang saling berelasi antara superordinasi dan subordinasi,
dalam kekuasaan, privilese atau prestise”.53
Stratifikasi sosial beragam sesuai
dengan kriteria masyarakat yang berbeda. Misalnya, stratifikasi pada strata
masyarakat Hindu tradisional berbeda dengan stratifikasi pada masyarakat modern
industrial. Dalam masyarakat modern stratifikasi sosial yang paling banyak
dipraktekkan adalah sistem kelas (class system) yang menentukan posisi manusia
dalam kriteria ekonomi. Kelas yang didefinisikan oleh Weber berkaitan dengan
harapan manusia dalam kehidupan, yakni “kepemilikan individual yang
memungkinkan secara rasional” (Berger, 1966: 94-95).54
Posisi kelas sosialitas
manusia menentukan kemungkinan kepemilikan pada benda-benda material dan
fasilitas publik yang ada. Posisi kelas individual menentukan akses pada fasilitas
publik, seperti pendidikan dan kesehatan. Misalnya, fasilitas kesehatan ditentukan
oleh tinggi atau rendahnya pendapatan dari pekerjaan seseorang.
Ketiga, institusionalisasi merupakan kompleksitas tindakan sosial yang
distingtif dalam sosialitas manusia. Lebih jelas, Arnold Gehlen mengatakan
bahwa “institusi sebagai agensi regulator, menyalurkan tindakan-tindakan
52
“Violence is the ultimate foundation of any political order.” 53
“…any society will consist of levels that relate to each other in terms of super ordination and
subordination, be in in power, privilege and prestige.” 54
“…an individual may reasonably have.”
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
155
Universitas Indonesia
manusia dengan cara sebagaimana naluri menyalurkan perilaku binatang”.55
Pemikiran Gehlen menjelaskan bahwa institusi sebagai prosedur yang memberi
pola pada tindakan manusia, yang dipaksakan berjalan, di dalam alur yang
dianggap patut oleh masyarakat. Misalnya, institusi pernikahan bagi pemuda dan
pemudi yang sedang berpacaran disamakan dengan naluri kucing melihat tikus.
Jika kucing melihat tikus muncul naluri makan, makan dan makan, maka pemuda
dan pemudi yang sedang pacaran memunculkan tindakan kawin, kawin dan
kawin. Jika naluri kucing dan tikus merupakan kodrat sejak lahir, maka tindakan
pemuda dan pemudi yang pacaran itu telah diindoktrinasikan oleh norma adat
istiadat, pendidikan moral, agama, media massa dan iklan. Bahkan, dikatakan oleh
Berger bahwa institusi menghilangkan pilihan lain dari kesadaran manusia.56
Dengan demikian, struktur institusional dalam sosialitas manusia memberikan
tipologi tindakan pada eksistensi warganya. Sosialitas manusia, bagi Berger,
adalah entitas historis yang merentang secara temporal di luar jangkauan biografi
individual.57
Dengan kata lain, sosialitas manusia tak lain hanya merupakan
dinding kepenjaraan eksistensi manusia di dalam sejarah (Berger, 1966: 104-105;
109).
Oleh karena itu, kondisi sosial dalam manusia menjelaskan kesadaran
“heteronomi” yang diungkapkan dalam sebutan “mereka” dari “kami” dalam
kehidupan sehari-hari. Sebutan “mereka” sebenarnya adalah sistem kekuasan atau
prestise, bukan individu atau kelompok tertentu. “Mereka” itulah yang mengatur,
menentukan dan membuat peraturan (Berger, 1966: 82).58
Misalnya, konflik
identitas merupakan konflik yang diproduksi oleh sebutan “mereka” pada salah
satu pihak di antara individu atau masyarakat yang terlibat konflik.
55
“An institution is commonly defined as a distinctive complex of social actions. …an institution
as a regulatory agency, channeling human actions in much the same way as instincts channel
animal behavior.” 56
“It even bars these other options from his consciousness.” 57
“Society is an historical entity that extends temporally beyond any individual biography.” 58
“They‟ have things fixed in a certain way, „they‟ call the tune, „they‟ make the rules.”
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
156
Universitas Indonesia
5.4 Ikhtisar
Dalam bab kelima ini, dapat diikhtisarkan bahwa kondisi inhuman
eksistensi manusia akibat konflik sosial harus diolah di dalam masyarakat
multikultur yang melibatkan negara sebagai komunitas politik, masyarakat
sebagai komunitas sosial, dan individu sebagai warga negara. Partisipasi ketiga
unsur pengolah konflik sosial harus bekerja sama secara sinergis dan dinamis.
Pengolahan konflik sosial melalui dialog budaya dilakukan dengan dua tindakan
yang berbasis pada pandangan universalisme pluralis, yaitu dialog antarbudaya
dan rekognisi sosial. Dialog antarbudaya sebagai pendamai konflik dan rekognisi
sosial sebagai peredam konflik. Dialog antarbudaya sebagai pendamai konflik
untuk memberikan penyelesaikan konflik dengan tindakan antikekerasan dalam
kehidupan religius dan penjaga lingkungan hidup dalam kehidupan etnik
Selanjutnya, bila terjadi misrekognisi dalam dialog, maka rekognisi sosial sebagai
peredam konflik dapat dilakukan dalam proyek perdamaian yang seharusnya
melibatkan partisipasi penuh masyarakat, bukan hanya mengharapkan intervensi
negara. Tanpa partisipasi individu dalam rekognisi sosial mengakibatkan dialog
yang diskriminatif dan hegemonik di mana ada tindakan pengabaian identitas
sosial yang beda di dalam masyarakat multikultur. Rekognisi sosial seharusnya
diiringi dengan redistribusi untuk perlakuan yang setara dan menegakkan keadilan
sosial.
Dari dialog budaya tersebut, dapat ditemukan kembali harmoni manusia
sosial dari perilaku sosial seseorang mengolah konflik sosial melalui pemahaman
manusia dalam kehidupan sosial dan fenomena sosial dalam manusia. Refleksi
kritis atas manusia dalam kehidupan sosial dan fenomena sosial dalam manusia
merupakan perubahan dari dikotomi eksistensial menjadi heteronomi eksistensial
manusia. Konflik tanpa penyelesaian diakibatkan oleh dikotomi eksistensial
manusia. Sebaliknya, penyelesaian konflik dapat ditemukan di dalam heteronomi
eksistensial manusia. Harmoni manusia secara sosial ditemukan kembali dengan
memosisikan kembali harkat dan martabat manusia pada kesadaran heteronomi
eksistensial, yang mewajibkan penggunaan nilai-nilai etis di dalam relasi manusia.
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
157
Universitas Indonesia
BAB VI
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Pengolahan konflik melalui dialog budaya merupakan sebuah temuan dari
penelitian ini. Temuan penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut.
Pertama, tepat dan benar bahwa dalam perilaku sosial seorang manusia
dapat memunculkan konflik di dalam masyarakat multikultur. Konflik muncul
dikarenakan adanya keterbatasan kemampuan pada diri seorang manusia dalam
menginterpretasikan pandangan moral dan budaya yang berbeda-beda. Kedua,
dari ketepatan dan kebenaran yang nyata tersebut, ada politik keseragaman dan
keegoisan individual pada fenomena konflik sosial nuansa agama dan etnik yang
diproduksi di dalam negara yang mengakui keragaman moral dan budaya. Konflik
sosial nuansa agama dan enik diproduksi, karena negara menerapkan politik
keseragaman melalui identitas nasional, klaim kebenaran pandangan moral dan
budaya, serta keseragaman sosial masyarakat multikultur. Di samping itu, konflik
nuansa agama dan etnik diproduksi berkaitan dengan karakter manusia dalam
perilaku sosial, yaitu keegoisan individual yang menentang kepentingan diri.
Keegoisan individual itu menyebabkan derita orang lain.
6.2 Catatan Kritis
Berdasarkan kesimpulan penelitian di atas, ada dua catatan kritis.
Pertama, secara teoritis dalam multikulturalisme Bhikhu Parekh telah
ditemukan dua pemikiran filosofis, dialog menurut Gadamer dan rekognisi
menurut Taylor. Dua pemikiran filosofis tersebut sangat signifikan dalam
pemahaman multikulturalisme Parekh. Signifikansinya dialog antarbudaya
dipahami sebagai bentuk percakapan langsung antarindividu dalam ruang publik
dengan menggunakan bahasa publik. Rekognisi sosial dibutuhkan untuk meredam
konflik jika terjadi misrekognisi. Selain itu, rekognisi sosial harus diiringi dengan
redistribusi untuk mewujudkan solidaritas, kesetaran, dan keadilan.
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
158
Universitas Indonesia
Kedua, secara praktis implementasi regulasi penanganan konflik sosial
membutuhkan perspektif multikulturalisme Parekh. Dialog dalam penanganan
konflik sosial selama ini hanya dilakukan secara formalitas antara negara dan
perwakilan daerah yang berkonflik, tanpa melibatkan langsung individu-individu
yang mengalami konflik, tanpa percakapan langsung dengan bahasa publik di
dalam ruang publik. Sebaliknya, dialog perdamaian selama ini dilakukan di luar
daerah yang mengalami konflik.
Dari dua catatan kritis di atas, penelitian ini menampakkan kelemahannya
pada kekurangdalaman eksplorasi filosofis dalam menjelaskan dialog antarbudaya
dalam pemikiran Gadamer dan rekognisi sosial dalam pemikiran Taylor. Oleh
karena itu, dibutuhkan penelitian lanjutan yang lebih mendalam dan lebih kritis
filosofis mengenai dialog dan rekognisi dalam filsafat.
6.3. Kontribusi dalam Kehidupan Sosial Kekinian
Berdasarkan pemahaman multikulturalisme Bhikhu Parekh dalam
pengolahan konflik sosial di Indonesia, ada sebuah kontribusi dalam kehidupan
sosial kekinian, yaitu pembentukan komunitas subkultural dengan identitas
kolektif. Komunitas subkultural ini merupakan refleksi kritis atas interpretasi
identitas kolektif yang menaungi identitas individual, sosial, dan nasional.
Identitas kolektif dibutuhkan untuk menolak identitas nasional yang
membungkam kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Komunitas subkultural dengan identitas kolektif sebagai mediator
penyelesaian konflik sosial di dalam masyarakat multikultur. Komunitas
subkultural ini sebagai representasi dari warga negara yang meyakini agama dan
kepercayaan yang dijamin oleh negara. Dalam perilaku sosial, komunitas
subkultural ini mampu menyadari dan mengubah sudut pandang bahwa semua
manusia membutuhkan “kebersamaan yang setara dan adil” dari perbedaan
pandangan moral dan budaya. Dengan perubahan sudut pandangan ini, diharapkan
seluruh gerakan sosial budaya turut berpartisipasi di dalam aktivitas komunitas
subkultural ini.
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
159
Universitas Indonesia
GLOSARIUM
Agama : Suatu doktrin yang diyakini dan dipraktikkan
oleh penganutnya berdasarkan wahyu.
Budaya : Suatu sistem makna dan arti yang dibuat secara
historis yang diyakini dan dipraktikkan secara
individual dan kolektif di dalam kehidupan
bersama.
Etnik : Suatu doktrin yang diyakini dan dipraktikkan
oleh penganutnya berdasarkan adat istiadat.
Identitas : Suatu rasa kesamaan atau kesatuan personalitas
atau otentisitas.
Keragaman budaya : Dua atau lebih komunitas yang meyakini dan
mempraktikkan sistem makna dan arti secara
historis di dalam kehidupan bersama.
Konflik : Suatu gangguan pikiran pada seorang individu,
baik secara internal maupun eksternal.
Manusia : Makhluk yang tertanam secara budaya.
Moral : Jenis kehidupan yang layak dijalani, aktivitas
yang layak dikerjakan, dan bentuk relasi
manusia yang layak diolah.
Masyarakat multikultur : Keragaman komunal yang mencakup dua atau
lebih komunitas budaya.
Mulitikultur : Fakta keragaman budaya.
Multikulturalisme : Sebuah perspektif yang mengacu pada respons
normatif terhadap fakta keragaman budaya.
Rekognisi : Pengakuan identitas komunitas budaya yang
termarginalkan dan direndahkan
Dialog : Percakapan langsung antarpersonal secara
tatap muka dengan bahasa umum di dalam
ruang publik.
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
160
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
A. Konstitusi dan Regulasi
Charter of the United Nations and Statute of the International Court of Justice.
1945. San Fransisco.
Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 11/Munas VII/MUI/15/2005 tentang
Aliran Ahmadiyah.
Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2015 tentang Peraturan Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial
Undang-Undang Dasar 1945.
Universal Declaration of Human Rights. 1948.
Undang-Undang Dasar 1945.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial.
B. Buku
Abdullah, Masykuri. 2003. “Toleransi Beragama dalam Masyarakat Demokrasi
dan Multikultural.” Konflik Komunal di Indonesia Saat ini. Suaidi Asy‟ari
(terj.). Jakarta: INIS Universiteit Leiden dan PBB UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Adam, Kuper dan Jessica Kuper. 2000. Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial. Haris
Munandar, et.al. (terj.). Ed. I. Cet. I Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Arendt, Hannah. 1970. On Violence. New York: Harcourt, Brace & World, Inc.
_____________. 1998. The Human Condition. Originally published: Chicago:
The University of Chicago Press, 1959. Second Ed. Chicago: The
University of Chicago Press.
Aristotle. 1999. Politics. Benjamin Jowett (trans.). Kitchener: Batoche Books.
_______. 1999. Nicomachean Ethics. W.D. Ross (trans.). Kitchener: Batoche
Books.
Aspin, David. 2000. “A Clarification of Some Key Terms in Values Discussions.”
Mal Leicester, Celia Modgil and Sohan Modgil (eds.). Moral Education
and Pluralism. Vol. IV. London: Palmer Press.
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
161
Universitas Indonesia
Berger, Peter L. 1966. Invitation to Sociology: A Humanistic Perspective.
England: Penguin Book Ltd.
____________. 1967. The Sacred Canopy: Elements of Sociology Theory of
Religion. New York: Doubleday & Company, Inc.
____________ and Thomas Luckmann. 1991. The Social Construction of Reality:
A Treatise in the Sociology of Knowledge. England: Penguin Book Ltd.
Bhattacherjee, Anol. 2012. Social Science Research: Principles, Methods and
Practices. Florida: USF Tampa Bay Open Access Textbooks Collection.
Buchanan, Cate (ed.). 2001. Pengelolaan Konflik di Indonesia: Sebuah Analisis
Konflik di Maluku, Papua dan Poso. Jakarta: LIPI, Current Asia and the
Centre for Humanitarian Dialogue.
Burke, Peter. 1992. Sejarah dan Teori Sosial. (terj.) Jakarta: Yayasan Pustaka
obor Indonesia dan Adikarya IKAPI Program Pustaka.
Campbell, Tom. 1981. Seven Theories of Human Society. Oxford: Clarendon
Press.
Dahrendorf, Ralf. 1959. Class and Class Conflict in Industrial Society. California:
Stanford University Press.
Darlis, Andi Muh. 2012. Konflik Komunal: Studi dan Rekonsiliasi Konflik Poso.
Yogyakarta: Buku Litera.
Derrida, Jacques. 2009. The Beast and the Sovereigns. Michel Lisse, Marie-
Louise Mallet, and Ginette Michaud (ed.). Geoffrey Bennington (trans.).
Vol. I. Chicago and London: The University of Chicago Press.
Dewey, John. 1922. Human Nature and Conduct: An Introduction to Social
Psychology. New York: Henry Holt and Company.
Durkheim, Émile. 2005. The Dualism of Human Nature and its Social Conditions.
Oxford: Berghahn Journals.
Eller, Jack David. 2010. “What is Atheism?” Phil Zuckerman (ed.). Atheism and
Secularity. Vol. 1 & 2. California: Greenwood Publishing Group.
Fink, Hans. 1981. Social Philosophy. New York: Methuen.
Furnivall, J.S. 1948. Colonial Policy and Practice: A Comparative Study of
Burma and Netherlands India. Cambridge: Cambridge University Press.
___________. 1967. Netherlands India: A Study of Plural Economy. Cambridge:
Cambridge University Press.
Fromm, Erich. 2002. The Sane Society. London and New York: Routledge
Classics.
Gadamer, Hans-Georg. 1989. “Destruktion and Deconstruction.” Michelfelder,
Diane P. dan Richard E. Palmer (ed.). Dialogue and Deconstruction: The
Gadamer-Derrida Encounter. Geoff Waite and Richard E. Palmer (trans.)
Albany: State University of New York.
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
162
Universitas Indonesia
__________________. 2004. Truth and Method. First published 1975: second
edition 1989. New York: Continuum International Publishing Group.
Geertz, Clifford. 1973. The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books.
Habermas, Jürgen. 1971. “Knowledge and Human Interests: A General
Perspective.” Knowledge and Human Interests. Jeremy J. Shapiro (trans.).
Boston: Beacon Press.
________________. 1991. The Structural Transformation of the Public Sphere:
An Inquiry into a Category of Bourgeois Society. Thomas Burger (trans.).
Cambridge, Massachusetts: The MIT Press.
Hardiman, F. Budi, 2012. Humanisme dan Sesudahnya: Meninjau Ulang Gasasan
Besar tentang Manusia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Haryatmoko. 2012. Dominasi Penuh Muslihat: Akar Kekerasan dan Diskriminasi.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Hefner, Robert W. 2001. “Introduction: Multiculturalism and Citizenship in
Malaysia, Singapore, and Indonesia.” Hefner, Robert W. (ed). The Politics
of Multiculturalism: Pluralism and Citizenship in Malaysia, Singapore
and Indonesia. Honolulu: University of Hawai‟i Press.
Heidegger, Martin. 1982. The Basic Problems of Phenomenology. Albert
Hofstadter (trans.). Revised Edition. Bloomington & Indianapolis: Indiana
University Press.
_______________. 1996. Being And Time. Joan Stambaugh (Trans.) Albany:
State University of New York Press.
_______________. 2004. The Phenomenology of Religious Life. Matthias Fritsch
and Jennifer Anna Gosetti-Ferencei (trans.). Bloomington and
Indianapolis: Indiana University Press.
Jacob, T., 1992. Polemologi: Bacaan tentang Perang dan Damai. Jakarta: Balai
Pustaka.
Jary, David & Julia Jary, 1991. Collins Dictionary of Sociology. Great Britain:
HarperCollinsPublishers.
Jolasa, Vincent Yohanes. 2009. “Bahasa dan Paradigma Teori Kritis dan
Komunikasi Interkultural.” A. Setyo Wibowo (ed.). Manusia: Teka-Teki
yang Mencari Solusi. Yogyakarta: Kanisius.
Jowett, Benjamin. 1885. The Politics of Aristotle. Vol. II, Part 1. London: Oxford
University Press.
Kant, Immanuel. 2010a. The Critique of Practical Reason. Thomas Kingsmill
Abbott (trans.). The Pennsylvania State University: An Electronic Classics
Series Publication.
_____________. 2010b. The Critique of Pure Reason. J. M. D. Meiklejohn
(trans.). The Pennsylvania State University: An Electronic Classics Series
Publication.
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
163
Universitas Indonesia
Iannone, A. Pablo. 2001. Dictionary of World Philosophy. London and New
York: Routledge.
Kekes, John. 1993. The Morality of Freedom. Princeton: Princeton University
Press.
Kymlicka, Will. 1991. Liberalism, Community and Culture. First published 1989.
New York: Oxford University Press Inc.
____________. 1995. Multicultural Citizenship: A Liberal Theory of Minority
Rights. New York: Oxford University Press Inc.
Leahy, Louis. 1984. Manusia, Sebuah Misteri: Sintesis Filosofis tentang Makhluk
Paradoksal. Jakarta: PT Gramedia.
Lebang, Tomi. 2007. Berbekal Seribu Akal Pemerintahan dengan Logika: Sari
Pati Pidato Wakil Presiden Jusuf Kalla. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Levy, Sheldon G. 1999. “Mass Conflict and the Participants, Attitudes toward.”
Lester Kurtz (ed.). Encyclopedia of Violence, Peace & Conflict. Vol. 2.
San Diego: Academic Press.
Magnis-Suseno, Franz. 1992. Filsafat Kebudayaan Politik: Butir-Butir Pemikiran
Kritis. Suwandi S. Brata (ed.). Cet. I. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
___________________. 1999. Berfilsafat dari Konteks. Cet. III. Y. Priyono
Utomo (ed.). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
___________________. 2003. “Faktor-faktor yang Mendasari Terjadinya Konflik
Antara Kelompok Etnis dan Agama di Indonesia: Pencegahan dan
Pemecahan.” Konflik Komunal di Indonesia Saat Ini. Seri INIS XLI.
Jakarta: INIS Universiteit Leiden dan PBB UIN Syarif Hidayatullah.
Mannheim, Karl. 1952. Essay on Sociology of Knowledge. London: Routledge &
Kegan Paul Ltd.
Marcuse, Herbert. 1964. One-Dimensional Man: Studies in the Ideology of
Advanced Industrial Society. Boston: Beacon Press.
Marshall, Donald G. “On Dialogue to its Cultured Despisers.” 2004. Bruce
Krajewski (ed.). Gadamer's Repercussions: Reconsidering Philosophical
Hermeneutics. California: University of California Press.
Moran, Dermot. 2000. Introduction to Phenomenology. London and New York:
Routledge.
Nelson-Pallmeyer, Jack. 2005. Is Religion Killing Us? Violence in the Bible and
the Quran. New York: The Continuum International Publishing Group.
Noerhadi, Toeti Heraty. 1984. Aku dalam Budaya: Suatu Telaah Filsafat
mengenai Hubungan Subyek-Obyek. Cet. I. Jakarta: Pustaka Jaya.
Parekh, Bhikhu. 1982. Marx’s Theory of Ideology. Baltimore and London: The
John Hopkins University Press.
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
164
Universitas Indonesia
_____________. 1989. Colonialism, Tradition and Reform: An Analysis of
Gandhi’s Political Discourse. Revised Edition. New Delhi: Sage
Publications.
_____________. 1997. Gandhi: A Very Short Introduction. New York: Oxford
University Press.
_____________. 2000. Rethinking Multiculturalism: Cultural Diversity and
Political Theory. London: Mcmillan Press Ltd.
_____________. 2004. “Redistribution or Recognition? A Misguided Debate.”
Stephen May, Tariq Modood and Judith Squires (ed.) Ethnicity,
Nationalism and Minority Rights. Cambridge: Cambridge University
Press.
_____________. 2008. A New Politics of Identity: Political Principles for an
Interdependent World. New York: Palgrave Macmillan Press.
Poespowardojo, Soerjanto. 1983. “Menuju kepada Manusia Seutuhnya.”
Soerjanto Poespowardojo dan K. Bertens (red.) Sekitar Manusia: Bunga
Rampai tentang Filsafat Manusia. Jakarta: PT Gramedia.
_______________________. 1989. Strategi Kebudayaan: Suatu Pendekatan
Filosofis, Jakarta: PT Gramedia.
_______________________. 1991. Filsafat Pancasila: Sebuah Pendekatan
Sosio-Budaya. Jakarta: PT Gramedia.
Poedjawijatna, I.R. 1987. Manusia dengan Alamnya (Filsafat Manusia). Cet. IV.
Jakarta: Bina Aksara.
_______________. 1994. Pembimbing ke Arah Alam Filsafat. Cet. IX. Jakarta:
PT Rineka Cipta.
Popper, Karl. 2002. The Logic of Scientific Discovery. Logik der Forschung first
published 1935 by Verlag von Julius Springer, Vienna, Austria. London
and New York: Routledge Classics.
Plato. The Republic. http://www.idph.net, diunduh pada tanggal 27 Juni 2012.
____. 1999. Euthyphro. Trans. Benjamin Jowett. Pennsylvania State University:
An Electronic Classics Series Publication.
____. 1999. Phaedrus. Trans. Benjamin Jowett. Pennsylvania State University:
An Electronic Classics Series Publication.
Purwanto, Wawan H. 2011. Cikeusik Tragedy: A Lesson from Ahmadiyah Case.
Jakarta: CMB Press.
Ratnawati, Tri. 2003. “Mencari Kedamaian di Maluku: Suatu Pendekatan Historis
Politis.” Konflik Komunal di Indonesia Saat Ini. Suaidi Asy‟ari (terj.).
Jakarta: INIS Universiteit Leiden dan PBB UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Rawls, John. 1999. A Theory of Justice. Cambridge, Massachusetts: The Belknap
Press of Harvard University Press.
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
165
Universitas Indonesia
Sartre, Jean-Paul. 1957. Being and Nothingness. Hazel Barnes (trans.). London:
Methuen.
Steenbrink, Karel. 2003. “Apakah Kajian Perbandingan Dapat Membantu?
Dekade Bencana Yugoslavia Dilihat dari Perspektif Indonesia. Konflik
Komunal di Indonesia Saat Ini. Suaidi Asy‟ari (terj.). Jakarta: INIS
Universiteit Leiden dan PBB UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Svalastoga, Kaare. 1989. Diferensiasi Sosial. Alimandan (terj.). Jakarta: Bina
Aksara.
Tantular, Mpu. 2009. Kakawin Sutasoma. Dwi Woro Retno Mastuti dan Hastho
Bramantyo (terj.). Jakarta: Komunitas Bambu.
Taylor, Charles. 1994. “The Politics of Recognition.” Gutmann, Amy (ed.).
Multiculturalism: Examining the Politics of Recognition. Expended
edition: Multiculturalism and the Politics of Recognition, 1992. Princeton:
Princeton University Press.
Teichmann, Jenny. Etika Sosial: A Student’s Guide. A. Sudirja, SJ (terj.)
Yogyakarta: Kanisius.
Tylor, Edward Burnett. 1871. Primitive Culture: Researches into the Development
of Mythology, Philosophy, Religion, Art, and Custom. Vol.1. London: John
Murray, Albemarle Street.
Wahid, Abdurrahman. 2001. Menggerakkan Tradisi: Esai-esai Pesantren. Hairul
Salim H.S. (ed.). Cet. I. Yogyakarta: LKiS.
Weir, Todd H. 2012. “The Riddle of Monism: An Introductory Essay.” Todd H.
Weir (ed.). Monism: Science, Philosophy, Religion, and the History of a
World Worldview. New York: Palgrave Macmillan.
C. Jurnal, Makalah, dan Laporan Penelitian
Alexander, Robert. 2005. “Konflik Antar Etnis dan Penanggulangannya: Suatu
Tinjauan Kriminologi dalam Kasus Kerusahan Etnis di Sampit Kalimantan
Tengah.” Tesis. Semarang: Universitas Diponegoro.
Coser, Lewis A. 1957. “Social Conflict and the Theory of Social Change.” The
British Journal of Sociology. Vol. 8, No. 3, hlm. 197-207.
Dahrendorf, Ralf. 1958. “Toward a Theory of Social Conflict”. The Journal of
Conflict Resolution, Vol. 2, No. 2 (Jun), p. 170-183. Sage Publications,
Inc.
Dallmayr, Fred R. 2003. “Multiculturalism and the Good Life: Comments on
Bhikhu Parekh”. The Good Society. Journal. Vol. 12. No. 2. University
Park, PA: The Pennsylvania State University.
Fisher, Ron. 2000. Sources of Conflict and Methods of Conflict Resolution
International Peace and Conflict Resolution School of International
Service the American University. Revisi. http://www.ulstergaa.ie/wp-
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
166
Universitas Indonesia
content/uploads/coaching/team-management-2012/unit-3/sources-of-
conflict-and-methods-of-resolution.pdf diunduh pada tanggal 21 Oktober
2014.
Hendrajaya, Lilik, dkk. 2010. “Ragam Konflik di Indonesia: Corak Dasar dan
Resolusinya”. Laporan Akhir. Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Pertahanan RI.
KontraS. 2012. Laporan Pemantauan Pemolisian & Hak atas Berkeyakinan,
Beragama, dan Beribadah (Jamaah Ahmadiyah Indonesia di Manis Lor,
Ciputat, Cikeusik & Jemaat Kristen HKBP Ciketing dan GKI Taman
Yasmin). Jakarta: KontraS.
Kasim, Ifdhal, dkk. 2005. “Tutup Buku dengan „Transitional Justice‟? Menutup
Lembaran Hak Asasi Manusia 1999-2004 dan Membuka Lembaran Baru
2005”. Laporan HAM. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat
(ELSAM).
Meliono, Irmayanti. 2009. “Membangun Kesadarn Etis dan Persepsi Multikultural
pada Kebhinekaan Masyarakat di Indonesia”. Jurnal Etika. Vol. 1, No. 2,
November, hlm. 280-293.
Pamuji, M. Nanang, dkk. 2008. “Success Story Mekanisme Komunitas dalam
Penanganan dan Pencegahan Konflik: Studi Kasus di Desa Wayame
(Ambon) dan Desa Tangkura (Poso)”. Laporan Penelitian. Jakarta: Institut
Titian Perdamian dan FES in Indonesia.
Preiss, Joshua Broady. 2011. “Multiculturalism and Equal Human Dignity: An
Essay on Bhikhu Parekh.” Res Publica. A Journal of Moral, Legal and
Social Philosophy. Springer Science and Business Media.
________________. 2011. “Ethnocracy and Multiculturalism: A Preliminary
Study of the Cultural Aspects of the Besemah People at Pagaralam,
Palembang.” Makara, Sosial Humaniora. Vol. 15, No. 1, Juli, hlm. 59-66.
Suparlan, Parsudi. 2003. “Bhineka Tunggal Ika: Keanekaragaman Sukubangsa
atau Kebudayaan?” Jurnal Antropologi Indonesia 72, hlm. 24-37.
_______________. 2004”Masyarakat Majemuk, Masyarakat Multikultural, dan
Minoritas: Memperjuangakan Hak-hak Minoritas.” Workshop Yayasan
Interseksi, Hak-hak Minoritas dalam Landscape Multikultural,
Mungkinkah di Indonesia? 10 Agustus. Jakarta: Wisma PKBI.
Zubair, Achmad Charris. 2009. “Membangun Kesadaran Etika Multikulturalisme
di Indonesia.” Jurnal Etika. Vol. 1, No. 2, November, hlm. 33-50.
E. Media Sosial sebagai Pendukung
Gatranews, 6 Februari 2014 dalam http://www.gatra.com/nusantara-1 diunduh
pada tanggal 7 Juli 2013.
http://agama.kompasiana.com/2011/02/08 diunduh pada tanggal 25 Oktober
2014.
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
167
Universitas Indonesia
www.fica.org diunduh pada tanggal 25 Oktober 2014.
http://hankam.kompasiana.com/2012/05/25/konflik-ambon diunduh pada tanggal
25 Oktober 2014.
http://indonesia.ucanews.com/2012/10/18/psat-studi-ham diunduh pada tanggal
25 Oktober 2014.
http://hankam.kompasiana.com/2013/05/18 diunduh pada tanggal 25 Oktober
2014.
http://www.tempo.co/read/news/2011/02/09/ diunduh pada tanggal 25 Oktober
2014.
http://www.asiatour.com/jakarta/peta diunduh pada tanggal 25 Oktober 2014.
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
168
Universitas Indonesia
LAMPIRAN
A. PETA WILAYAH KONFLIK DI INDONEISA
Gambar 1. Peta Wilayah Konflik di Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
169
Universitas Indonesia
B. KONDISI TRAGIS MANUSIA SOSIAL DI POSO
Gambar 2. Peta Wilayah Konflik di Poso
(http://indonesia.ucanews.com/2012/10/18/pusat-studi-ham)
Gambar 3. Kondisi Manusia Bersenjata di Poso
(www.fica.org)
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
170
Universitas Indonesia
Gambar 4. Aksi Kekerasan Manusia di Poso
(www.fica.org)
Gambar 5. Aksi Penghancuran Manusia di Poso
(www.fica.org)
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
171
Universitas Indonesia
C. KONDISI TRAGIS MANUSIA SOSIAL DI AMBON
Gambar 6. Peta Wilayah Konflik di Ambon
(https://ilonagutandjala.files.wordpress.com/maps/)
Gambar 7. Aksi Kekerasan Manusia di Jalan Tulukabesi Ambon
(http://hankam.kompasiana.com/2012/05/25/konflik-ambon)
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
172
Universitas Indonesia
Gambar 8. Aksi Kekerasan Manusia di Jalan A.M. Sangadji Ambon
(https://khairilanas354.wordpress.com)
Gambar 9. Aksi Penghancuran Manusia di Popilo Tobelo
Maluku Utara
(http://sejarahku2011.blog.com)
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
173
Universitas Indonesia
D. KONDISI TRAGIS MANUSIA SOSIAL DI CIKEUSIK
Gambar 10. Peta Wilayah Konflik di Cikeusik
(https://humaspdg.wordpress.com/profil-pandeglang/)
Gambar 11. Aksi Penyerangan Manusia di Cikeusik
(http://agama.kompasiana.com/2011/02/08)
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
174
Universitas Indonesia
Gambar 12. Aksi Pembunuhan Manusia di Cikeusik
(http://hankam.kompasiana.com/2013/05/18)
Gambar 13. Aksi Penghancuran Manusia di Cikeusik
(http://www.tempo.co/read/news/2011/02/09/)
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
175
Universitas Indonesia
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Pada tanggal 17 Juni 1976 tubuh dan jiwa seorang manusia yang diberi nama
Masykur dilahirkan di sebuah desa yang dikenal dengan nama Losari Lor, Losari,
Cirebon. Di desa itu Masykur mulai dikenalkan baca dan tulis secara informal di
Tajug (tempat ibadah umat Islam namun tidak untuk shalat Jum‟at). Dari Tajung
ke Madrasah Ibtidaiyah di mana penulis belajar ilmu pengetahuan dari berbagai
sumber, seperti kehidupan sosial, kitab suci atau buku ilmiah.
Tak puas mencari ilmu pengetahuan di Madrasah Ibtidaiyah, pada tahun 1989
penulis hijrah ke Yogyakarta untuk belajar menjadi manusia secara sosial di
Pondok Pesantren Krapyak “Al-Munawwir” dan Madrasah Tsanawiyah Negeri
Yogyakarta II. Demi memenuhi rasa penasaran atas pendidikan tingkat atas,
penulis memilih belajar di Madrasah Aliyah Negeri Yogyakarta I.
Pada tahun 1995 Masykur memilih jurusan Aqidah Filsafat sebagai tambatan
dasar dari segala ilmu pengetahuan yang dicari selama ini dalam pendidikan
tinggi di IAIN (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Untuk lebih mendalami dan
mempertajam pikir kritis, penulis hijarah kembali ke Depok dan memilih program
studi Ilmu Filsafat pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI Depok dalam
Program Magister pada tahun 2001 dan Program Doktor pada tahun 2010.
Disertasi ini merupakan jejak Masykur sebagai seorang manusia yang
merefleksikan ilmu filsafat di dalam kehidupan sosial yang dipenuhi oleh konflik.
Selain menulis, pada tahun 2002 dengan nama pena Masykur Wahid sebagai
pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Islam “45” Bekasi.
Kemudian, sejak tahun 2004 hingga kini sebagai pengajar untuk berbagi ilmu
filsafat bersama mahasiswa/i di IAIN “Sultan Maulana Hasanuddin” Banten dan
tutorial online Universitas Terbuka.
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
176
Universitas Indonesia
Karya tulis yang dihasilkan, antara lain: “Hubungan Agama dan Filsafat dalam
Perspektif Posmodernisme,” Skripsi, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2000);
“Penerapan Syariat Islam: Persepsi Masyarakat Garut,” Jurnal ISTiQRO, Diktis
Kemenag RI Jakarta (2002); “KH. „Abbas Buntet”, dalam Mohammad Ishom El-
Saha (ed.), Intelektual Pesantren Potret dan Cakrawala Pemikiran di Era
Keemasan Pesantren, Penerbit Diva Pustaka Jakarta (2003); “Interpretasi Teks
dalam Hermeneutika Paul Ricoeur,” Tesis, UI Depok (2004); “Memahami Tradisi
Pesantren: Eksistensi Kyai dalam Praktik Tarekat”, Jurnal ISTiQRO, Diktis
Kemenag RI Jakarta (2004); “Pola Komunikasi antar Umat Beragama: Studi atas
Dialog Umat Islam dan Kristen di Kota Cilegon Banten,” Jurnal Tela’ah, IAIN
SMH Banten (2006); “From Traditionalist Being Revivalist Muslims: Story on the
Members of NU Who Join HTI in Serang Banten,” Jurnal Electronic Research
Network, Diktis Kementerian Agama RI Jakarta (2007); “Fenomena Perpindahan
Orang NU ke Komunitas HTI di Serang Banten,” dalam Irwan Abdullah, Ferry
M. Siregar dan Muhammad Zain (ed.), Dialektika Teks Suci Agama: Strukturasi
Makna Agama dalam Kehidupan Masyarakat, Penerbit Sekolah Pascasarjana
UGM dan Pustaka Pelajar Yogyakarta (2008); “Agama, Etnisitas dan
Radikalisme: Pluralitas Masyrakat Kota Sala,” Jurnal Al-Qalam, IAIN SMH
Banten (2008); “Membaca Kembali Pemberontakan Petani Banten 1888 dalam
Strukturasi Giddens”, Jurnal Dedikasi, IAIN SMH Banten (2010); “Etika
Kebangsaan Gus Dur: Studi Etika Politik PKB Era Gus Dur,” Jurnal Aqlania,
IAIN SMH Banten, 2011; “Bingkai Kebhinekaan Indonesia: Artikulasi Islam
Banten dalam Tragedi Cikeusik,” Jurnal Aqlania, IAIN SMH Banten (2011);
“Sunda Wiwitan Baduy: Agama Penjaga Lindung di Desa Kanekes Banten,”
Jurnal el-Harakah, UIN Maulana Malik Malang (2011); “Religious Conflict,
Islam and Multiculturalism: Trances Domination, Hegemony and Freedom in
Indonesia,” dalam Conference Proceedings Annual International Conference on
Islamic Studies (AICIS) XII, IAIN Sunan Ampel Surabaya (2012); dan Teori
Interpretasi Paul Ricoeur, Buku, LKiS dan ELKAFI, Yogyakarta (2015).
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.