universitas indonesia rancang bangun high power …

134
UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER AMPLIFIER PADA SISTEM TRANSMITER INDONESIAN INTER UNIVERSITY SATELLITE SKRIPSI RIZKY AGUNG TRI ATMAJA 0706267963 FAKULTAS TEKNIK PROGRAM STUDI TEKNIK ELEKTRO DEPOK JUNI 2011 Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Upload: others

Post on 20-Oct-2021

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

UNIVERSITAS INDONESIA

RANCANG BANGUN HIGH POWER AMPLIFIER PADA SISTEM TRANSMITER INDONESIAN INTER UNIVERSITY

SATELLITE

SKRIPSI

RIZKY AGUNG TRI ATMAJA 0706267963

FAKULTAS TEKNIK PROGRAM STUDI TEKNIK ELEKTRO

DEPOK JUNI 2011

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 2: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

i

UNIVERSITAS INDONESIA

RANCANG BANGUN HIGH POWER AMPLIFIER PADA SISTEM TRANSMITER INDONESIAN INTER UNIVERSITY

SATELLITE

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik

RIZKY AGUNG TRI ATMAJA 0706267963

FAKULTAS TEKNIK PROGRAM STUDI TEKNIK ELEKTRO

DEPOK JUNI 2011

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 3: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

iii

Universitas Indonesia

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, Dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar

Nama : Rizky Agung Tri Atmaja

NPM : 0706267963

Tanda Tangan :

Tanggal : 12 Juni 2011

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 4: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

iii

Universitas Indonesia

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini diajukan oleh : Nama : Rizky Agung Tri Atmaja NPM : 0706267963 Program Studi : Teknik Elektro Judul Skripsi : Rancang Bangun High Power Amplifier pada

Sistem Transmiter Indonesian Inter University Satellite

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar sarjana Teknik pada Program Studi Teknik Elektro, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia.

DEWAN PENGUJI Pembimbing : Ir. Muhammad Asvial, M.Eng, PhD. ( ) (NIP: 196804061994031001) Penguji 1 : Prof. Dr. Ir. Eko Tjipto Rahardjo M.Sc. ( ) (NIP: 195804221982031003) Penguji 2 : Dr. Ir. Arman D. Diponegoro ( ) (NIP: 194811131985031001) Ditetapkan di : Depok Tanggal : 27 Juni 2011

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 5: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

iv

Universitas Indonesia

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas segala

nikmat, rahmat, dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Penulisan dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mendapatkan gelar

Sarjana Teknik Jurusan Teknik Elektro pada Fakultas Teknik Universitas Indonesia.

Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, mulai dari

masa perkuliahan hingga proses penulisan seminar ini, akan sangat sulit bagi penulis

untuk dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis ingin

mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ir. Muhammad Asvial M.Eng, PhD., selaku dosen pembimbing yang telah

menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan penulis dalam

penulisan seminar ini;

2. Prof. Dr. Ir. Eko Tjipto Raharjo M.Sc. atas segala masukan dan bimbingan yang

diberikan kepada penulis mengenai materi pada seminar ini;

3. Slamet Widodo dan Christina Dwi Martaningsih selaku ayah dan ibu penulis atas

segala bentuk dukungan yang diberikan selama proses penulisan seminar ini;

4. Cynthia Rindang Kusumaningtyas dan Indra Dwi Atmaja selaku kakak dari

penulis yang senantiasa memberikan dukungan kepada penulis;

5. Dr. Gunawan Setyo Prabowo atas kesempatan yang diberikan kepada penulis

untuk mengikuti forum INSPIRE sebagai research student;

6. Bapak Dwiyanto atas berbagai macam masukan dalam pengerjaan seminar

penulis;

7. Rhyando Anggoro Adi sebagai teman kelompok dalam melakukan pengerjaan

riset perancangan sistem transceiver pada IiNusat;

8. Aisyah Ardanareswari atas segala dukungan moril selama pengerjaan skripsi ini;

9. Erwin Sugijono, Teguh Firmansyah, Rudi Saputra, Hakim Agung atas segala

bantuan masukan materi pengerjaan skripsi ini;

10. Ardy Thiotrisno, Chandra Gunawan, Danang Tribroto, Azlul Fadli Oka, Irwan

Sukma atas masukan pada pembuatan simulasi rangkaian;

11. Semua teman-teman yang turut membantu penulis dalam mengerjakan penulisan

skripsi ini.

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 6: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

v

Universitas Indonesia

Akhir kata, penulis berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan

semua pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini mampu membawa manfaat bagi

pengembangan ilmu.

Depok, 12 Juni 2011

Penulis

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 7: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

vi

Universitas Indonesia

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di

bawah ini :

Nama : Rizky Agung Tri Atmaja

NPM : 0706267963

Program Studi : Teknik Elektro

Departemen : Teknik Elektro

Fakultas : Teknik

Jenis Karya : Skripsi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada

Universitas Indonesia hak bebas royalty noneksklusif (Non-exclusive Royalty Free

Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :

RANCANG BANGUN HIGH POWER AMPLIFIER PADA SISTEM TRANSMITER INDONESIAN INTER UNIVERSITY SATELLITE

Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalty

Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan,

mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),

merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencatumkan nama

saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik hak cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Depok

Pada Tanggal : 12 Juni 2010

Yang menyatakan

(Rizky Agung Tri Atmaja)

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 8: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

vii

Universitas Indonesia

ABSTRAK

Nama : Rizky Agung Tri Atmaja Program Studi : Teknik Elektro Judul : Rancang Bangun High Power Amplifier Pada SistemTransmiter

Indonesian Inter University Satellite Power amplifier merupakan salah satu subsistem dalam rangkaian transmitter yang sangat penting. Power amplifier berfungsi untuk menaikkan daya dari sinyal yang akan dikirimkan sehingga sinyal masih mampu dideteksi oleh rangkaian penerima. Power Amplifier yang dirancang diperuntukan sebagai bagian dari sistem transmitter Indonesian Inter University Satellite (Iinusat). Iinusat merupakan sebuah satelit berkriteria nano yang dikembangkan oleh beberapa perguruan tinggi di Indonesia. Power amplifier yang akan dirancang didisain sehingga memiliki Maximum Available Gain (MAG) > 17 dB pada frekuensi downlink 436.9 MHz dengan faktor kestabilan (K) > 1. Selain itu, parameter yang juga harus diperhatikan dari perancangan power amplifier ini adalah nilai Voltage Standing Wave Ratio (VSWR) yang memiliki nilai 1≤VSWR≤1.2, dimana hal ini merepresentasikan banyaknya nilai sinyal terpantul. Pada kedua port power amplifier, baik input maupun output, diberikan rangkaian matching agar nilainya menjadi konjugasi dari nilai impedansi sistem untuk memaksimalkan daya yang mampu diteruskan oleh divais. Proses perancangan dilakukan dengan menggunakan piranti lunak advanced design system (ADS). Berdasarkan simulasi, hasil akhir rangkaian adalah bandwidth sebesar 1.5 MHz, faktor kestabilan 1.187, dan nilai VSWR sebesar 1.147. Kata kunci: Nanosatelit, transmiter, Iinusat, power amplifier, MAG, K, matching

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 9: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

viii

Universitas Indonesia

ABSTRACT

Name : Rizky Agung Tri Atmaja Study Program: Electrical Engineering Title : High Power Amplifier for Indonesian Inter University Satellite

Transmitter System Power amplifier is one of many subsystems in transmitting circuitry which can be considered very important. Power amplifier can boost signal’s power up in order to be able to be transmitted in a quite long distance and still can be well detected by the receiver’s circuit. This Power amplifier is designed as a part of transmitter system in Indonesian Inter University Satellite (Iinusat). Iinusat is a nanosatellite built by several Indonesian universities. The designed power amplifier has maximum available gain (MAG) >17 dB and stability factor (K)>1. other parameter that is being considered in the design is the Voltage Standing Wave Ratio (VSWR), which the value is 1≤VSWR≤1.2. A making of microstrip line as a path of the signal and a connector between two components is required in this project to obtain a better result in designing the power amplifier subsystem. Both in the input and output port of this power amplifier, there are matching networks which are used as matching system so that the input and output port values are the conjugation of the system impedance. Advanced design system (ADS) is used in the designing process. The simulation yields bandwidth of the signal 1.5 MHz, stability factor 1.187, and the VSWR 1.147. Key words: Nanosatellite, transmiter, Iinusat, power amplifier, MAG, K, matching

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 10: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

ix

Universitas Indonesia

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................... II

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS .................................................. III

HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... III

KATA PENGANTAR .......................................................................................... IV

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR

UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ............................................................. VI

ABSTRAK ........................................................................................................... VII

ABSTRACT ........................................................................................................ VIII

DAFTAR ISI ......................................................................................................... IX

DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... XII

DAFTAR TABEL ............................................................................................. XVII

DAFTAR GRAFIK .......................................................................................... XVIII

BAB 1 PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

1.1 LATAR BELAKANG ................................................................................... 1

1.2 TUJUAN PENELITIAN ................................................................................ 4

1.3 BATASAN MASALAH ................................................................................ 4

1.4 MANFAAT PENELITIAN ........................................................................... 4

1.5 SISTEMATIKA PENULISAN ...................................................................... 5

BAB 2 SISTEM KOMUNIKASI SATELIT .......................................................... 6

2.1 SATELIT ....................................................................................................... 6

2.1.1 SPACE SEGMENT ................................................................................. 7

2.1.2 GROUND SEGMENT ........................................................................... 13

2.1.3 CONTROL SEGMENT ......................................................................... 13

2.2 JENIS-JENIS ORBIT .................................................................................. 14

2.3 ALOKASI FREKUENSI ............................................................................. 15

2.4 PAYLOAD KOMUNIKASI ......................................................................... 16

2.4.1 AMPLIFIER .......................................................................................... 17

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 11: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

x

Universitas Indonesia

2.4.1.1 Transmision Line, Standing Wave Ratio (SWR), Coefficient

Reflection, dan Return Loss ....................................................................... 17

2.4.1.2 Scattering Parameter ..................................................................... 21

2.4.1.3 Smitch Chart .................................................................................. 22

2.4.1.4 Bipolar Transistor .......................................................................... 24

2.4.1.5 Klasifikasi Amplifier ...................................................................... 25

2.4.1.5.1 Class-A Amplifier .................................................................... 26

2.4.1.5.2 Class-AB Amplifier .................................................................. 28

2.4.1.5.3 Class-B Amplifier .................................................................... 29

2.4.1.5.4 Class-C Amplifier .................................................................... 30

2.4.1.6 Transistor Biasing .......................................................................... 31

2.4.1.7 Gain ................................................................................................ 36

2.4.1.8 Stability Factor .............................................................................. 38

2.4.1.9 Impedance Matching ...................................................................... 39

BAB 3 PERANCANGAN POWER AMPLIFIER PADA SISTEM

TRANSMITER NANOSATELIT ........................................................................ 41

3.1 SPESIFIKASI UMUM SATELIT ............................................................... 41

3.2 ARSITEKTUR TRANSMITER PAYLOAD KOMUNIKASI ..................... 41

3.3 DIAGRAM ALIR PERANCANGAN POWER AMPLIFIER .................... 42

3.4 SPESIFIKASI POWER AMPLIFIER ......................................................... 43

3.5 PEMILIHAN TRANSISTOR ...................................................................... 44

3.6 PEMILIHAN KELAS AMPLIFIER ............................................................ 45

3.7 TRANSISTOR BIASING ............................................................................ 45

3.7 FAKTOR KESTABILAN ........................................................................... 49

3.8 IMPEDANCE MATCHING ........................................................................ 54

3.8.1 Impedance Matching dengan Rumus .................................................... 56

BAB 4 SIMULASI DAN ANALISIS ................................................................... 59

4.1 SIMULASI .................................................................................................. 59

4.1.1 SIMULASI NILAI KESTABILAN DENGAN RUMUS .......................... 59

4.1.2 SIMULASI NILAI KESTABILAN DENGAN OPTIMASI SOFTWARE . 60

4.1.3 SIMULASI PERBAIKAN NILAI VSWR ................................................ 66

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 12: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

xi

Universitas Indonesia

4.1.4 SIMULASI MATCHING IMPEDANSI ................................................. 69

4.1.5 SIMULASI DIVAIS DENGAN CONNECTOR MIKROSTRIP .............. 79

4.1.5.1 SIMULASI JALUR MIKROSTRIP DENGAN PANJANG TETAP

.................................................................................................................... 80

4.2 ANALISIS ................................................................................................... 83

4.2.1 PEMILIHAN TRANSISTOR NE662M04 .............................................. 83

4.2.2 RANGKAIAN BIAS TRANSISTOR ....................................................... 83

4.2.3 PEMILIHAN KELAS AMPLIFIER ....................................................... 86

4.2.4 NILAI FAKTOR KESTABILAN ............................................................ 86

4.2.5 IMPEDANCE MATCHING .................................................................. 89

4.2.6 FAKTOR JALUR TERHADAP FREKUENSI ....................................... 91

4.2.7 HASIL FABRIKASI RANGKAIAN ........................................................ 96

4.2.8 SIMULASI RANGKAIAN HASIL FABRIKASI ..................................... 96

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 100

5.1 KESIMPULAN ......................................................................................... 100

5.2 SARAN ...................................................................................................... 100

DAFTAR REFERENSI ...................................................................................... 101

LAMPIRAN ........................................................................................................ 103

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 13: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

xii

Universitas Indonesia

DAFTAR GAMBAR

GAMBAR 2. 1 SATELLITE COMMUNICATION SYSTEM [3] ............................ 6

GAMBAR 2. 2 STRUKTUR BENDPIPE PAYLOAD [4] ...................................... 7

GAMBAR 2. 3 TRANSPARENT PAYLOAD ORGANISATION [3] ....................... 8

GAMBAR 2. 4 CONTOH TRANSPONDER HOPPING [4] .................................. 8

GAMBAR 2. 5 CONTOH BEAM SWITCHING (SS/TDMA) [4] .......................... 9

GAMBAR 2. 6 STRUKTUR REGENERATIVE PAYLOAD [4] .......................... 10

GAMBAR 2. 7 REGENERATIVE PAYLOAD ORGANISATION [3] ................... 11

GAMBAR 2. 8 STRUKTUR PARTIAL PROCESSING PAYLOAD [3] .............. 12

GAMBAR 2. 9 STRUKTUR STASIUN BUMI. (RF = RADIO FREQUENCY, IF

= INTERMEDIATE FREQUENCY) [3] ................................................................ 13

GAMBAR 2. 10 ATENUASI DARI FREKUENSI BAND YANG BERBEDA

DIKARENAKAN A: HUJAN, B: KABUT, C: GAS [7] ..................................... 15

GAMBAR 2. 11 REPRESENTASI DUA KABEL KONDUKTOR SALURAN

TRANSMISI[13] .................................................................................................. 18

GAMBAR 2. 12 REPRESENTASI SALURAN TRANSMISI DENGAN

LUMPED ELEMENTS[13] ................................................................................... 18

GAMBAR 2. 13 PENGGAMBARAN GELOMBANG YANG MELALUI

SUATU BLACK BOX[14] .................................................................................... 21

GAMBAR 2. 14 SMITH CHART .......................................................................... 23

GAMBAR 2. 15 NPN BJT WITH FORWARD-BIASED E-B JUNCTION AND

REVERSE-BIASED B-C JUNCTION[14] .......................................................... 24

GAMBAR 2. 16 KARAKTERISTIK TRANSFER DARI AMPLIFIER

LINEAR[14] ......................................................................................................... 27

GAMBAR 2. 17 TRANSISTOR KELAS A SEDERHANA[15] ......................... 28

GAMBAR 2. 18 TRANSISTOR KELAS AB SEDERHANA[15] ...................... 29

GAMBAR 2. 19 TRANSISTOR KELAS B SEDERHANA[15] ......................... 30

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 14: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

xiii

Universitas Indonesia

GAMBAR 2. 20 TRANSISTOR KELAS C SEDERHANA[15] ......................... 31

GAMBAR 2. 21 VOLTAGE DIVIDER BJT BIASING[15] ................................... 32

GAMBAR 2. 22 REPRESENTASI RANGKIAN PADA SISI INPUT[15] ........ 33

GAMBAR 2. 23 SHORT CIRCUIT SUMBER TEGANGAN UNTUK MENCARI

RTH[15] .................................................................................................................. 33

GAMBAR 2. 24 PENGGABUNGAN RANGKAIAN GANTI THEVENIN[15] 34

GAMBAR 2. 25 PARTIAL BIAS CIRCUIT UNTUK MENCARI NILAI VB[15] 35

GAMBAR 2. 26 PROSES AMPLIFIKASI SINYAL[14] .................................... 36

GAMBAR 2. 27 TWO-PORT NETWORK DENGAN IMPEDANSI SUMBER

DAN BEBAN[14] ................................................................................................. 37

GAMBAR 2. 28 RANGKAIAN IMPEDANCE MATCHED ANTARA SUMBER

DAN BEBAN[14] ................................................................................................. 40

GAMBAR 3. 1 RF FRONT END [8] .................................................................... 42

GAMBAR 3. 2 DIAGRAM ALIR PEMBUATAN POWER AMPLIFIER .......... 43

GAMBAR 3. 3 RANGKAIAN PEMBENTUK GRAFIK KARAKTERISTIK VCE

VS IC ..................................................................................................................... 46

GAMBAR 3. 4 RANGKAIAN BIASING TRANSISTOR NE662M04 .............. 49

GAMBAR 3. 5 SIMULASI S-PARAMETER UNTUK RANGKAIAN BIAS

TRANSISTOR ...................................................................................................... 50

GAMBAR 3. 6 SIMULASI S-PARAMETER UNTUK RANGKAIAN BIAS

TRANSISTOR DENGAN RTAMBAHAN ................................................................. 52

GAMBAR 3. 7 AMPLIFIER’S S-PARAMETER, NOISE FIGURE, GAIN,

STABILITY, CIRCLES, AND GROUP DELAY DESIGNGUIDE .................... 55

GAMBAR 3. 8 SMITH CHART TOOLS .............................................................. 55

GAMBAR 3. 9 RANGKAIAN EKUIVALEN IMPENDANSI MASUKKAN

AWAL ................................................................................................................... 56

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 15: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

xiv

Universitas Indonesia

GAMBAR 3. 10 RANGKAIAN INPUT MATCHING BERDASARKAN RUMUS

............................................................................................................................... 57

GAMBAR 3. 11 RANGKAIAN EKUIVALEN IMPENDANSI KELUARAN

AWAL ................................................................................................................... 57

GAMBAR 3. 12 RANGKAIAN OUTPUT MATCHING BERDASARKAN

RUMUS ................................................................................................................ 58

GAMBAR 4. 1 S-PARAMETER, NOISE FIGURE, GAIN, STABILITY,

CIRCLES, AND GROUP DELAY VS FREQUENCY SIMULATION ............. 59

GAMBAR 4. 2 HASIL SIMULASI TRANSISTOR DC BIAS DENGAN

RUMUS ................................................................................................................ 60

GAMBAR 4. 3 TRANSISTOR BIAS UTILITY ................................................... 61

GAMBAR 4. 4 BIAS POINT SELECTION .......................................................... 61

GAMBAR 4. 5 HASIL SIMULASI BIAS POINT SELECTION .......................... 62

GAMBAR 4. 6 RANGKAIAN TRANSISTOR DC BIAS ................................... 63

GAMBAR 4. 7 NILAI-NILAI TEGANGAN DAN ARUS PADA TRANSISTOR

DC BIAS ............................................................................................................... 64

GAMBAR 4. 8 HASIL SIMULASI TRANSISTOR DC BIAS DENGAN

OPTIMASI SOFTWARE ....................................................................................... 64

GAMBAR 4. 9 MODIFIKASI RANGKAIAN TRANSISTOR DC BIAS

DENGAN RTAMBAHAN ........................................................................................... 65

GAMBAR 4. 10 HASIL SIMULASI TRANSISTOR DC BIAS DENGAN

RTAMBAHAN ............................................................................................................. 66

GAMBAR 4. 11 SIMULASI IMPEDANSI INPUT DAN OUTPUT ................... 67

GAMBAR 4. 12 SIMULASI IMPEDANSI INPUT DAN OUTPUT DENGAN

TAMBAHAN DC COUPLING PADA EMITTER ............................................... 68

GAMBAR 4. 13 PLOT TITIK IMPEDANSI KELUARAN AMPLIFIER PADA

SMITCH CHART ................................................................................................... 70

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 16: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

xv

Universitas Indonesia

GAMBAR 4. 14 SIMULASI PERANCANGAN RANGKAIAN OUTPUT

MATCHING .......................................................................................................... 71

GAMBAR 4. 15 OUTPUT MATCHING NETWORK .......................................... 71

GAMBAR 4. 16 PENAMBAHAN RANGKAIAN OUTPUT MATCHING ........ 72

GAMBAR 4. 17 HASIL SIMULASI PENAMBAHAN RANGKAIAN OUTPUT

MATCHING .......................................................................................................... 72

GAMBAR 4. 18 PLOT TITIK IMPEDANSI MASUKAN AMPLIFIER PADA

SMITCH CHART ................................................................................................... 73

GAMBAR 4. 19 SIMULASI PERANCANGAN RANGKAIAN INPUT

MATCHING .......................................................................................................... 74

GAMBAR 4. 20 INPUT MATCHING NETWORK .............................................. 74

GAMBAR 4. 21 PENAMBAHAN RANGKAIAN INPUT MATCHING ............ 75

GAMBAR 4. 22 HASIL SIMULASI PENAMBAHAN RANGKAIAN INPUT

MATCHING .......................................................................................................... 75

GAMBAR 4. 23 RANGKAIAN POWER AMPLIFIER DENGAN INPUT SERTA

OUTPUT MATCHING .......................................................................................... 76

GAMBAR 4. 24 HASIL SIMULASI POWER AMPLIFIER DENGAN INPUT

DAN OUTPUT MATCHING ................................................................................ 77

GAMBAR 4. 25 SIMULASI TUNING MATCHING NETWORK ....................... 77

GAMBAR 4. 26 INPUT DAN OUTPUT MATCHING NETWORK SETELAH

TUNING ................................................................................................................ 78

GAMBAR 4. 27 RANGKAIAN POWER AMPLIFIER DENGAN TUNED

INPUT AND OUTPUT MATCHING NETWORK................................................. 78

GAMBAR 4. 28 HASIL SIMULASI RANGKAIAN POWER AMPLIFIER

DENGAN TUNED INPUT AND OUTPUT MATCHING NETWORK ................ 79

GAMBAR 4. 29 RANGKAIAN POWER AMPLIFIER DENGAN JALUR

MIKROSTRIP ...................................................................................................... 80

GAMBAR 4. 30 VOLTAGE DIVIDER TRANSISTOR BIASING[15] .................. 84

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 17: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

xvi

Universitas Indonesia

GAMBAR 4. 31 VOLTAGE DIVIDER TRANSISTOR BIASING DENGAN

TAMBAHAN CE[15] ............................................................................................ 85

GAMBAR 4. 32 PENAMBAHAN KOMPONEN RESISTIF PADA BAGIAN

INPUT DIVAIS, (A) RESISTANSI SECARA SERI, (B) KONDUKTANSI

SECARA PARALEL[17] ..................................................................................... 87

GAMBAR 4. 33 PENAMBAHAN KOMPONEN RESISTIF PADA BAGIAN

OUTPUT DIVAIS, (A) RESISTANSI SECARA SERI, (B) KONDUKTANSI

SECARA PARALEL[17] ..................................................................................... 88

GAMBAR 4. 34 DUA L-NETWORK YANG DIRANGKAI SERI[14] ............... 90

GAMBAR 4. 35 THREE ELEMENTS PI NETWORK[14] ................................... 90

GAMBAR 4. 36 RANGKAIAN EKUIVALEN UNTUK BEBERAPA

DISKONTINUITAS MIKROSTRIP. (A) OPEN-ENDED MICROSTRIP. (B)

GAP IN MICROSTRIP. (C) CHANGE IN WIDTH. (D) T-JUNCTION. (E) COAX-

TO-MICROSTRIP JUNCTION[13] ...................................................................... 91

GAMBAR 4. 37 RANGKAIAN OPTIMUM POWER AMOLIFIER ................... 94

GAMBAR 4. 38 HASIL SIMULASI RANGKAIAN AMPLIFIER OPTIMUM . 95

GAMBAR 4. 39 RANGKAIAN HASIL FABRIKASI ........................................ 96

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 18: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

xvii

Universitas Indonesia

DAFTAR TABEL

TABEL 2. 1 PLATFORM SATELIT [3]............................................................... 12

TABEL 2. 2 FREKUENSI BAND DARI SISTEM SATELIT [7] ....................... 16

TABEL 3. 1: HASIL SIMULASI S-PARAMETER UNTUK RANGKAIAN

BIAS TRANSISTOR ............................................................................................ 50

TABEL 3. 2 HASIL SIMULASI S-PARAMETER UNTUK RANGKAIAN BIAS

TRANSISTOR DENGAN RTAMBAHAN ................................................................. 52

TABEL 4. 1 HASIL SIMULASI IMPEDANSI INPUT DAN OUTPUT ............. 67

TABEL 4. 2 HASIL SIMULASI IMPEDANSI INPUT DAN OUTPUT DENGAN

TAMBAHAN DC COUPLING PADA EMITTER ............................................... 69

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 19: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

xviii

Universitas Indonesia

DAFTAR GRAFIK

GRAFIK 2. 1 TITIK KERJA TRANSISTOR[18] ................................................ 26

GRAFIK 3. 1 COLLECTOR CURRENT VS COLLECTOR TO EMITTER

VOLTAGE[20] ..................................................................................................... 45

GRAFIK 3. 2 KARAKTERISTIK ADS NE662M04 VCE VS IC ......................... 47

GRAFIK 4. 1 PENGARUH VARIASI A DAN B TERHADAP PARAMETER

KERJA AMPLIFIER ............................................................................................. 81

GRAFIK 4. 2 PENGARUH VARIASI A DAN B TERHADAP S-PARAMETER

AMPLIFIER .......................................................................................................... 81

GRAFIK 4. 3 PENGARUH VARIASI A DAN B TERHADAP FAKTOR

KESTABILAN AMPLIFIER ................................................................................ 82

GRAFIK 4. 4 PENGARUH VARIASI A DAN B TERHADAP NILAI VSWR

AMPLIFIER .......................................................................................................... 82

GRAFIK 4. 5 PARAMETER S11 RANGKAIAN HASIL FABRIKASI .............. 97

GRAFIK 4. 6 PARAMETER S22 RANGKAIAN HASIL FABRIKASI .............. 97

GRAFIK 4. 7 PARAMETER S21 RANGKAIAN HASIL FABRIKASI .............. 98

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 20: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

1

Universitas Indonesia

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Tingkat kebutuhan manusia dalam berkomunikasi saat ini telah mencapai

level dimana kapasitas informasi yang mampu dikirimkan cukup besar disertai

dengan kecepatan proses transmisi informasi yang singkat, dan yang terpenting

adalah mampu menjangkau daerah yang berjarak jauh. Kebutuhan ini telah

mendorong penemuan teknologi satelit untuk dapat memenuhi hal-hal seperti itu.

Pada dasarnya ada dua medium yang dapat digunakan untuk dapat

menyampaikan informasi yang akan kita kirim ke tujuan, yaitu:

• Medium kabel fisik (wired)

• Medium nirkabel (wireless)

Setiap medium memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing.

Namun dalam perkembangannya, penggunaan medium nirkabel menunjukkan

tren peningkatan seiring ditemukannya teknologi gelombang mikro yang mampu

membawa informasi dalam kapasitas besar dan dengan jarak yang relatif jauh.

Namun, untuk dapat mentransmisikan informasi antara dua tempat di

bumi yang jaraknya sangat jauh, kita tidak bisa melakukan proses pengiriman

sinyal dengan cepat dan efisien tanpa adanya bantuan teknologi satelit yang

berfungsi sebagai signal’s repeater untuk dapat sampai ke tempat tujuan.

Coverage area satelit pada Geostationary Earth Orbit (GEO) mampu mencakup

sedikitnya sepertiga wilayah bumi [1], sehingga banyak sekali manfaat yang dapat

diberikan melalui teknologi satelit, contohnya proses pengawasan daerah

perbatasan dan sumber daya (surveilance), ship’s tracking, Radio Detection and

Ranging (Radar), dll.

Indonesia merupakan suatu negara kepulauan terbesar di dunia.

Berdasarkan hasil survey dan verifikasi terakhir dari Kementrian Kelautan dan

Perikanan (KKP), jumlah pulau di wilayah Indonesia yang tersebar dari Sabang

sampai Merauke berjumlah kurang lebih 13.000 pulau [2]. Banyaknya jumlah

pulau tersebut memaksa Indonesia untuk memiliki sebuah teknologi satelit yang

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 21: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

2

Universitas Indonesia

dapat difungsikan sebagai sebuah teknologi pengawasan, karena Indonesia

berbatasan langsung dengan beberapa negara seperti Malaysia, Singapura, Timor

Leste, Papua New Guinea, Thailand, dan Australia. Masalah perbatasan

merupakan permasalahan yang sensitif, sehingga dibutuhkan suatu teknologi yang

mampu menjaga integritas Negara Indonesia.

Selain jumlah pulau yang sangat banyak, Negara Indonesia juga

merupakan negara dengan titik gempa tebanyak di dunia, yaitu sebanyak 129 titik.

Menurut Gubernur Lemhanas (Lembaga Ketahanan Nasional) Republik

Indonesia, Prof. Dr. Ermaya Suradinata, titik gempa tersebut meliputi wilayah

selatan Indonesia, mulai dari Pulau Sabah hingga Nusa Tenggara Timur, lalu terus

naik hingga ke Pulau Papua. Banyaknya titik gempa tersebut membuat Indonesia

berpotensi untuk mengalami bencana alam.

Saat bencana alam terjadi, seperti bencana tsunami yang menerjang

Banda Aceh pada 26 Desember 2006, infrastruktur komunikasi dan listrik di

wilayah tersebut hancur berantakan sehingga tidak ada seorangpun diluar Aceh

yang mengerti kondisi di tempat kejadian pasca terjadinya bencana tersebut. Hal-

hal seperti yang telah disebutkan di atas semakin memperkuat kenyataan bahwa

Indonesia memerlukan suatu teknologi satelit, bukan hanya dalam fungsi

pengawasan, namun juga dapat berfungsi sebagai repeater panggilan darurat

bencana. Didasarkan pada fakta inilah, maka penulis mengambil tema mengenai

perancangan power amplifier pada sistem transmiter nanosatelit dalam rangka

pemenuhan tugas akhir sebagai syarat kelulusan sarjana teknik strata satu.

Dalam proses pentransmisian sinyal, salah satu komponen yang penting

adalah power amplifier. Amplifier sendiri memiliki fungsi sebagai penguat sinyal

yang dilakukan dengan mengambil energi dari penyuplai tegangan untuk

kemudian mengontrol nilai sinyal keluaran agar sesuai dengan bentuk sinyal

masukkan namun dengan amplitudo yang lebih besar. Penguatan sinyal sangat

dibutuhkan dalam proses transmisi, terlebih transimsi informasi jarak jauh, untuk

memastikan bahwa informasi yang ingin dikirimkan masih mampu diterima dan

dideteksi oleh sistem receiver sehingga informasi yang diterima tidak mengalami

perubahan.

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 22: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

3

Universitas Indonesia

Sementara itu, power amplifier pada sistem radio frequency (RF)

merupakan divais yang berhubungan dengan daya yang diberikan oleh penyuplai

tegangan kepada output dan/atau input. Power amplifier secara umum merupakan

komponen yang diletakkan terakhir dalam suatu sistem transmitter sehingga

memerlukan perhatian khusus terutama pada efisiensi daya.

Saat ini, teknologi nanosatelit dan pikosatelit sedang menjadi topik

hangat yang dibahas di banyak negara. Hal ini dikarenakan banyak keuntungan

yang didapat oleh pengembangan teknologi tersebut, di antaranya adalah faktor

jangka waktu pengembangan satelit yang relatif singkat dan juga biaya

pabrikasinya yang relatif lebih murah dibandingkan dengan pengembangan

teknologi satelit konvensional. Selain itu, kedua alasan tersebut menyebabkan

teknologi nanosatelit dapat menjadi arena pembelajaran langsung dan

pengembangan diri bagi pelajar untuk dapat merancang dan membangun

teknologi satelit buatan sendiri. Beberapa negara besar telah berhasil merancang

dan bahkan meluncurkan nanosatelit buatan siswa-siswanya antara lain Belanda,

yang mampu meluncurkan satelit Delfi-C3 pada 28 April 2008[10] yang kemudian

diteruskan oleh satelit Delfi generasi berikutnya dengan nama Delfi-N3XT yang

rencananya akan diluncurkan pada tahun 2010, buatan salah satu perguruan tinggi

Belanda, TU Delft. Selain itu ada juga Swisscube yang dibuat oleh mahasiswa-

mahasiswa di Swiss. Berikut ini merupakan beberapa contoh penggunaan jenis

payload pada nanosatelit yang telah berhasil dibuat:

• Referensi pertama adalah satelit buatan TU Delft yang diberi nama Delfi-

C3. Nanosatelit ini memiliki misi yaitu sebagai sarana eksperimen seperti

pendemonstrasian teknologi thin film solar cell oleh Dutch Space,

kemudian juga adalah eksperimen pembuktian konsep dari teknologi

wireless sun-sensor. Melalui jurnal yang dibuat oleh Chris Verhoeven dan

Wounter jan Ubbels, ditulis bahwa payoad yang digunakan oleh

nanosatelit Delfi-C3 adalah payload jenis regenerative dikarenakan

komponen-komponen yang digunakan pada satelit tersebut diatur dengan

sinyal perintah digital. Transceiver yang digunakan adalah ISIS TRXUV

VHF/UHF Transceiver Module, dimana semua subsistem yang digunakan

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 23: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

4

Universitas Indonesia

untuk proses penerimaan dan pentransmisian sinyal menggunakan

integrated circuit (IC).

• Sementara untuk nanosatelit Delfi-N3xt, dijelaskan didalam thesis karya

Dwi Hartanto bahwa nanosatelit tersebut menggunakan module

transceiver keluaran ISIS dengan nama ITRX. Power amplifier pada

modul tersebut memiliki tingkat efisiensi yang tinggi.

• Pada referensi ketiga mengenai Swisscube yang ditulis oleh Prakash

Egambaram Thoppay, dijelaskan oleh Prakash bahwa perancangan sistem

RF dari satelit Swisscube yang menggunakan payload dengan jenis

regenerative. Hal ini terlihat dari proses pengolahan sinyal digital yang

terjadi di dalam nanosatelit. Khusus untuk divais power amplifier yang

digunakan adalah IC RF5510G buatan RF Micro Devices®.

Pada perancangan sistem High Power Amplifier ini digunakan rangkaian

resonansi LC, baik seri maupun paralel, sebagai rangkaian matching pada bagian

input dan output power amplifier. Transistor yang digunakan adalah transistor

jenis BJT NPN silicon dengan nomor transistor NE662M04 High Frequency

Transistor.

1.2 TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk merancang suatu High Power

Amplifier pada sistem transmiter yang mampu diimplementasikan ke dalam

nanosatelit dengan fungsi untuk emergency call pada frekuensi 436.9 MHz.

1.3 BATASAN MASALAH

Penelitian ini akan membahas mengenai subsistem High Power Amplifier

pada sistem transmiter dari nanosatelit. Proses analisis akan meliputi hasil yang

didapatkan pada simulasi dibandingkan dengan hasil yang didapatkan dengan

hardware yang dibuat berdasarkan perhitungan serta ketersediaan komponen.

1.4 MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini memiliki beberapa manfaat, baik bagi penulis maupun bagi

Negara Indonesia dalam rangka pengembangan teknologi satelit nano seperti yang

dapat dilihat di bawah:

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 24: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

5

Universitas Indonesia

• Memberikan kesempatan pada penulis untuk dapat menerapkan

pengetahuannya secara teori dalam perancangan transmiter satelit secara

nyata

• Menjadi masukan bagi subsistem nanosatelit secara keseluruhan yang

mungkin akan dikembangkan oleh Pemerintah Indonesia

• Menjadi referensi untuk penelitian lebih lanjut mengenai pengembangan

satelit dengan dimensi dan bobot yang lebih kecil, yaitu pikosatelit

1.5 SISTEMATIKA PENULISAN

BAB I PENDAHULUAN

Terdiri dari latar belakang, tujuan penelitian, batasan masalah, manfaat

penelitian, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II SISTEM KOMUNIKASI SATELIT

Akan dibahas mengenai sistem satelit, jenis-jenis orbit, payload

komunikasi, power amplifier beserta komponen pembentuknya.

BAB III PERANCANGAN HIGH POWER AMPLIFIER PADA

NANOSATELIT

Perancangan high power amplifier pada sistem transmiter satelit

berdasarkan ketentuan agar dapat memenuhi kriteria nano dan juga

mengelaborasi dengan rangkaian-rangkaian nanosatelit yang sudah

terlebih dahulu diluncurkan.

BAB IV SIMULASI DAN ANALISIS

BAB V KESIMPULAN

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 25: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

6

Universitas Indonesia

BAB 2

SISTEM KOMUNIKASI SATELIT

2.1 SATELIT

Satelit adalah suatu benda di ruang angkasa yang mengorbit benda lain

dengan periode revolusi dan rotasi tertentu. Satelit memiliki beberapa fungsi,

antara lain sebagai sebuah repeater komunikasi, alat pengawasan wilayah, Global

Positioning Satellite (GPS), dll. Adapun jenis-jenis satelit yang ada saat ini

meliputi satelit astronomi, satelit komunikasi, satelit pengamat bumi, satelit

navigasi, satelit angkasa, satelit cuaca, satelit miniatur. Berikut ini adalah

pengelompokan bagian kerja dari sistem satelit.

Gambar 2. 1 Satellite Communication System [3]

Pada gambar terlihat proses pembagian tiga segmen dalam komunikasi

satelit. Kelompok pertama adalah space segment yang melingkupi peralatan di

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 26: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

7

Universitas Indonesia

angkasa, lalu kelompok kedua yaitu ground segment yang berisikan peralatan

komunikasi di bumi, serta kelompok terkahir yaitu control segment untuk bagian

pengontrolan alat-alat pada space segment agar tetap dalam jangkauan dan

pengawasan operasi.

2.1.1 SPACE SEGMENT

Bagian ini terdiri dari satu atau lebih satelit yang terorganisasi di ruang

angkasa. Satelit terdiri dari bagian yang disebut payload dan platform. Payload

pada satelit terdiri dari antena pengirim dan penerima serta seluruh peralatan

elektronik yang mendukung pentransmisian sinyal carrier. Ada 3 jenis payload

yang dapat diterapkan pada satelit, yaitu tranparent payload, regenerative

payload, dan partial-processing payload.

Transparent payload biasa juga disebut dengan bendpipe dimana

proses yang ada pada satelit dengan jenis payload seperti ini hanya mengkonversi

frekuensi sinyal uplink menjadi sinyal downlink sebelum ditransmisikan kembali

ke stasiun bumi atau perangkat-perangkat yang ada di bumi. Keuntungan dari

satelit dengan payload ini adalah arsitektur payload-nya yang paling sederhana

dibandingkan payload jenis lain. Proses routing dari satelit dilakukan pada level

transponder dikarenakan satelit dengan transparent payload tidak mengubah

sinyal kedalam bentuk level-level bit untuk dilakukan on-board processing (sinyal

masih berrupa analog).

Gambar 2. 2 Struktur Bendpipe Payload [4]

Pada gambar mengenai struktur bendpipe payload diatas terlihat bahwa

satelit hanya memiliki fungsi sebagai pengubah frekuensi dari frekuensi uplink

menjadi frekuensi downlink. Hal inilah yang menyebabkan struktur pada satelit ini

menjadi yang paling sederhana dibandingkan dengan dua struktur satelit lainnya.

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 27: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

8

Universitas Indonesia

Selain tidak adanya proses pengkonversian dari sinyal analog menjadi sinyal

digital, di dalam payload jenis ini juga tidak terjadi proses pengolahan sinyal.

Gambar 2. 3 Transparent Payload Organisation [3]

Gambar diatas menunjukkan struktur dari satelit dengan bendpipe

payload dimana proses yang terjadi pada satelit di ruang angkasa hanya

pengkonversian saja. Untuk proses routing dilakukan dengan menggunakan

teknik transponder hopping.

Gambar 2. 4 Contoh Transponder Hopping [4]

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 28: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

9

Universitas Indonesia

Pada teknik ini, konsep dasarnya adalah penggunaan prinsip frequency

division multiplexing (FDM), dimana frekuensi band Bij ditujukan kepada user

yang ada pada beam i untuk dapat berkomunikasi dengan user pada beam j.

Diantara user pada frekuensi Bij, teknik time division multiple access (TDMA),

frequency division multiple access (FDMA), serta demand assigned multiple

access (DAMA) dapat digunakan.

Namun, teknik transponder hopping ini memiliki kekurangan pada satelit

yang memiliki jumlah beam yang banyak karena jumlah transponder yang harus

dimiliki oleh satelit harus sesuai dengan jumlah beam dari satelit tersebut

sehingga payload akan menjadi sangat berat dan tidak dapat dipraktekkan dalam

keadaan sesungguhnya.

Untuk mengatasi masalah ini, maka ditemukan suatu teknik on-board

beam switching pada satelit dengan payload bendpipe yang disebut satellite

switching time division multiple access (SS/TDMA). Arsitektur dari sistem

SS/TDMA dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 2. 5 Contoh Beam Switching (SS/TDMA) [4]

Pada gambar diatas, user yang berada di beam i menggunakan time frame

Tij untuk dapat berkomunikasi dengan user di beam j. Beam Switching dikontrol

oleh suatu unit pengontrol sinyal uplink dan downlink yang bekerja berdasarkan

time stamped switch matrix. Dengan teknik ini, maka transponder dapat

digunakan bersama-sama berdasarkan pembagian waktu terhadap koneksi yang

berbeda-beda sehingga jumlah transponder tidak lagi sama dengan jumlah beam.

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 29: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

10

Universitas Indonesia

Kekurangan lain yang dimiliki oleh bendpipe payload adalah komponen

penyusunnya yang bersifat analog sehingga bobot payload akan menjadi sangat

berat dan juga boros energi sehingga masa pakai satelit akan jauh berkurang serta

biaya yang tinggi, baik untuk pembuatan maupun peluncuran.

Jenis berikutnya adalah regenerative payload atau biasa juga dikenal

dengan full proccessing payload. Payload jenis ini menggunakan modem dan

coder yang mampu digunakan di ruang angkasa. Adanya modem serta coder ini

memungkinkan sinyal yang diterima satelit didemodulasi dan didekodekan

menjadi sinyal informasinya. Arsitektur dari payload jenis ini dapat dilihat di

bawah:

Gambar 2. 6 Struktur Regenerative Payload [4]

Untuk struktur satelit seperti gambar diatas, perbedaan utamanya dapat

terlihat jika dibandingkan dengan struktur satelit tipe bendpipe. Pada struktur ini,

satelit tidak hanya memiliki fungsi sebagai pengkonversi frekuensi uplink menjadi

downlink saja, namun juga ada proses pengolahan sinyal seperti

modulasi/demodulasi, pengarahan area pancar (beam switching), serta proses

coding/decoding. Proses-proses ini memungkinkan penggunaan komponen yang

bersifat digital sehingga ukuran satelit dapat direduksi.

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 30: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

11

Universitas Indonesia

Gambar 2. 7 Regenerative Payload Organisation [3]

Pada arsitektur jenis ini, sinyal yang diterima satelit diubah menjadi

sinyal informasi awal sehingga proses routing dapat dilakukan pada level paket,

dimana data dari masing-masing user dibagi kedalam paket-paket yang juga

memuat alamat tujuan.

Routing subsistem jenis ini dapat dilakukan dengan menggunakan

kombinasi komponen digital serta analog sehingga power yang dibutuhkan

menjadi semakin kecil dan juga bobot payload menjadi lebih ringan. Namun

kekurangannya adalah tingkat kerumitan yang tinggi untuk dapat

mengimplementasikan satelit dengan payload jenis ini karena banyaknya proses

yang harus dilalui sinyal, seperti demodulasi, dekode, rekode, dan remodulasi.

Jenis yang ketiga adalah partial processing payload yang merupakan

penggabungan dari 2 jenis payload sebelumnya. Perbedaannya dengan

regenerative payload adalah ketiadaan proses dekode dan rekode seperti

ditunjukkan pada arsitekturnya berikut:

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 31: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

12

Universitas Indonesia

Gambar 2. 8 Struktur Partial Processing Payload [3]

Pada struktur seperti ini, bisa didapatkan trade off antara struktur jenis

bendpipe dan regenerative. Perbedaan dengan struktur regenerative adalah

ketidakadaan proses coding/decoding, sementara keberadaan proses

modulasi/demodulasi membuatnya berbeda dengan struktur bendpipe.

Keuntungan dari payload jenis ini adalah berkurangnya kerumitan dalam

pembuatan payload namun dengan konsekuensi berkurangnya BER sinyal jika

dibandingkan dengan regenerative payload karena tidak adanya gain coding.

Selain payload, space segment juga terdiri dari platform yang terdiri dari

seluruh subsistem-subsistem seperti yang ditunjukkan pada tabel di bawah

sehingga payload satelit dapat berfungsi.

Tabel 2. 1 Platform Satelit [3]

Subsistem Principal Functions Characteristic Attitude and Orbit Control (AOCS)

Attitude stabilisation, orbit determination Accuracy

Propulsion Provision of velocity increments

specific impulse, mass of propellant

Electric power supply Provision of electrical energy Power, voltage stability

Telementry, tracking and command (TTC)

Exchange of housekeeping information

Number of channels, security of communications

Thermal control Temperature maintenance Dissipation capability

Structure Equipment support Rigidity, lightness

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 32: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

13

Universitas Indonesia

2.1.2 GROUND SEGMENT

Terdiri dari seluruh stasiun bumi yang kemudian terhubung langsung ke

perangkat user dengan jaringan terestrial maupun secara langsung seperti

contohnya very small aperture terminal (VSAT).

Gambar 2. 9 Struktur Stasiun Bumi. (RF = radio frequency, IF = intermediate frequency) [3]

Pada gambar ditunjukkan proses yang terjadi pada ground segment.

Semua peralatan komunikasi satelit yang berada di bumi dapat dikategorikan di

dalam ground segment ini, mulai dari user (telepon genggam, komputer, VSAT,

dll), ground station, antena, hingga sistem pengontrolan satelit di bumi.

2.1.3 CONTROL SEGMENT

Bagian ini sesungguhnya sudah termasuk ke dalam ground segment.

Namun pada bagian ini, yang diatur hanyalah fungsi pengontrolan dan monitor

satelit yang dikenal dengan TTC (Tracking, Telementry, dan Command). Fungsi

lainnya juga melingkupi traffic management serta pengaturan komponen-

komponen yang ada di dalam satelit.

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 33: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

14

Universitas Indonesia

2.2 JENIS-JENIS ORBIT

Orbit merupakan suatu lintasan yang dilalui oleh satelit untuk

berrevolusi. Pola lintasan yang dimiliki oleh satelit bervariasi berdasarkan

ketinggian satelit dari bumi, dan orbit ini menjadi hal yang sangat penting bagi

sistem satelit karena akan berimplikasi langsung dengan coverage area satelit

tersebut. Semakin tinggi satelit berada dari permukaan bumi, maka satelit akan

beredar lebih lambat terhadapt bumi. Adapun beberapa jenis orbit yang ada pada

sistem satelit adalah:

• Geostationary Earth Orbit (GEO)

Merupakan orbit yang paling umum sebagai orbit edar satelit

konvensional. Ketinggian orbit ini dari bumi sekitar 35,790 km yang

berimplikasi pada waktu rotasi satelit yang sama seperti waktu rotasi bumi

sehingga coverage area satelit akan tetap di area tersebut [6].

• Low Earth Orbit (LEO)

Merupakan orbit yang memiliki ketinggian kurang lebih 1000 km dari

permukaan bumi [6]. Terdapat satu jenis sub-orbit yang tergolong LEO,

yaitu:

o Sun Synchronous Orbits

• Medium Earth Orbit (MEO)

• Eliptical Orbit

Selain ketinggian yang menjadi bahan pertimbangan dalam penentuan

orbit satelit, hal lain yang patut untuk diperhitungkan adalah lingkungan di sekitar

bumi yang sesungguhnya tidak kosong seperti yang terlihat. Adapun beberapa

rintangan-rintangan yang harus diperhitungkan pada linkungan di ruang angkasa

antara lain meliputi:

• Sabuk radiasi Van Allen dimana banyak proton serta elektron yang mampu

memberikan kerusakan pada komponen elektronik di satelit.

• Sabuk Space Debris yang dapat merusak jaringan satelit terutama pada

konstelasinya dan juga misi ruang angkasa satelit di masa mendatang.

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 34: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

15

Universitas Indonesia

2.3 ALOKASI FREKUENSI

Frekuensi merupakan salah satu sumber daya terbatas yang sifatnya tidak

dapat diperbaharui. Untuk itu, regulasi mengenai penggunaan frekuensi dalam

berbagai aspek kehidupan, contohnya satelit, harus jelas, baik dari segi

pengalokasian maupun perijinannya. Spektrum frekuensi radio terbentang mulai

dari 3 kHz hingga 300 GHz, dimana penggunaan frekuensi diatas 60 GHz untuk

telekomunikasi hingga kini masih belum dapat diimplementasikan karena

keterbatasan energi yang diperlukan serta biaya komponen yang sangat mahal [7].

Saat akan menentukan alokasi frekuensi yang akan digunakan di dalam

sistem satelit, maka lingkungan propagasi antara satelit dengan bumi harus

diperhatikan. Parameter-parameter seperti hujan, salju, kabut serta faktor-faktor

non-alam seperti energi yang terbatas pada satelit akan berdampak langsung pada

pemilihan bandwidth satelit. Gambar 2.11 menunjukan atenuasi dari frekuensi

band yang berbeda dikarenakan faktor alam, seperti hujan, salju, dan kabut.

Gambar 2. 10 Atenuasi dari Frekuensi Band yang Berbeda Dikarenakan A: hujan, B: kabut, C: gas [7]

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 35: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

16

Universitas Indonesia

Alokasi frekuensi untuk sistem telekomunikasi di dunia diatur

penggunaannya oleh International Telecommunication Union (ITU). Ada

beberapa rentang frekuensi yang dialokasikan untuk teknologi sistem satelit

seperti yang ditunjukkan oleh gambar 2.12 berikut ini.

Tabel 2. 2 Frekuensi Band dari Sistem Satelit [7]

Denomination Frequency bands (GHz)

UHF 0.3-1.12 L band 1.12-2.6 S band 2.6-3.95 C band 3.95-8.2 X band 8.2-12.4 Ku band 12.4-18 K band 18-26.5 Ka band 26.5-40

2.4 PAYLOAD KOMUNIKASI

Payload merupakan salah satu sistem yang dimiliki oleh satelit. Fungsi

utama dari payload komunikasi adalah untuk mengatur sinyal informasi yang

diterima oleh satelit untuk kemudian diproses demi keperluan komponen-

komponen dalam satelit atau langsung dikirimkan kembali ke tujuan informasi di

bumi. Payload komunikasi ini terdiri dari 3 bagian utama, yaitu RF front end,

modem, dan mikrokontroler.

RF front end berfungsi untuk memproses sinyal pada frekuensi radio,

baik sebelum dan sesudah melalui bagian modem. RF front end ini terdiri dari

bagian transmitter dan bagian receiver. Pada bagian receiver, sinyal yang diterima

oleh satelit akan diproses oleh beberapa komponen seperti Low Noise Amplifier

(LNA), Bandpass Filter, dan mixer sebelum kemudian diteruskan ke dalam

modem. Setelah dari bagian modem, maka sinyal tersebut akan menuju

transmitter untuk berikutnya diteruskan ke alamat tujuan informasi. Pada bagian

transmitter, sinyal akan dikuatkan oleh power amplifier agar sinyal mampu

sampai ke bumi dengan ketentuan BER yang disepakati pada pembuatan satelit.

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 36: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

17

Universitas Indonesia

Modem dan mikrokontroler sesungguhnya merupakan bagian dari

transmitter, namun dipisahkan penjelasannya dikarenakan pada modem dan

mikrokontroler, sinyal akan diproses secara digital. Modem berfungsi sebagai

modulator dan demodulator sinyal agar dapat diproses pada bentuk informasi

awalnya. Kemudian, modem juga berhubungan dengan mikrokontroler untuk

dapat mengkodekan sinyal yang akan dikirim. Setelah seluruh kegiatan

pemrosesan sinyal, maka sinyal info tersebut akan kembali didemodulasi sebelum

ditransmisikan oleh transmiter.

2.4.1 AMPLIFIER

Amplifier dalam artian general memiliki tujuan menerima sinyal input

dan membuatnya menjadi lebih kuat, yang dalam artian teknis yaitu penguatan

amplitudo. Sementara itu, RF (radio frequency) power amplifier merupakan

amplifier elektronik yang digunakan untuk mengkonversi sinyal frekuensi radio

berdaya rendah menjadi sinyal yang lebih besar dengan daya sinyal yang lebih

signifikan. Biasanya amplifier dioptimasi sehingga mendapatkan tingkat efisiensi

dan kompresi daya keluaran yang tinggi, return loss pada input dan output serta

gain yang baik, dan disipasi panas yang optimal.

Salah satu faktor penting dalam pembentukan power amplifier adalah

mengenai transistor biasing. Jenis transistor yang digunakan dalam proses

perancangan amplifier adalah Bipolar Junction Transistor (BJT) dan Field Effect

Transistor (FET). Pada proses transistor biasing, penentuan titik bias memiliki

peran penting yang tidak bisa dianggap remeh karena berpengaruh langsung pada

parameter Y dan S dari transistor.

2.4.1.1 Transmision Line, Standing Wave Ratio (SWR), Coefficient Reflection,

dan Return Loss

Saluran transmisi merupakan medium atau struktur yang membentuk

suatu lintasan yang menghubungkan satu titik ke titik lain dalam fungsi

pendistribusian energi, seperti gelombang elektromagnetik atau gelombang

akustik, ataupun juga transmisi daya listrik.

Teori saluran transmisi berbeda dengan teori pada sirkit RF. Hal ini

disebabkan karena saluran transmisi merupakan jaringan dengan parameter yang

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 37: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

18

Universitas Indonesia

terdistribusi, dimana tegangan dan arus dapat bervariasi amplitudo dan fasanya

sepanjang saluran transmisi tersebut. Saluran transmisi biasanya direpresentasikan

sebagai dua buah garis kabel karena saluran transmisi selalu terdiri dari minimal

dua buah konduktor seperti gambar berikut ini:

Gambar 2. 11 Representasi Dua Kabel Konduktor Saluran Transmisi[13]

Bentuk representasi saluran transmisi diatas dapat diganti dengan

representasi dari kombinasi seri antara resistansi, induktansi, serta kombinasi

paralel antara konduktansi dan kapasitansi. Representasi dalam bentuk ini dapat

dilihat pada gambar berikut:

Gambar 2. 12 Representasi Saluran Transmisi dengan Lumped Elements[13]

Gelombang yang melalui saluran transmisi dapat kita hitung berdasarkan

nilai tegangan ataupun arusnya. Persamaan pada tegangan dan arus yang melalui

saluran transmisi adalah sebagai berikut:

( ) ( ) ,022

2

=− zVdz

zVd γ (2.1)

( ) ( ) 022

2

=− zIdz

zId γ (2.2)

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 38: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

19

Universitas Indonesia

dimana, ( )( )CjGLjRj ωωβαγ ++=+= (2.3)

Persamaan (2.1) dan (2.2) dapat diturunkan untuk mendapatkan persamaan

gelombang berjalan pada saluran transmisi, baik dalam representasi tegangan

maupun arus, yaitu:

( ) ,00zz eVeVzV γγ −−+ += (2.4)

dan ( ) zz eIeIzI γγ −−+ += 00 (2.5)

Perbandingan antara nilai tegangan dengan arus yang melalui saluran transmisi

dengan sifat lossless akan menghasilkan suatu parameter baru, yaitu:

+

+

=0

00 I

VZ (2.6)

dimana Z0 merupakan nilai impedansi dari saluran transmisi.

Namun apabila saluran transmisi mengalami suatu terminasi oleh beban

(load) di ujungnya seperti pada gambar 3.1, maka ketidaksamaan antara nilai ZL

dengan Z0 akan menyebabkan terjadinya pantulan gelombang yang dikirimkan

oleh sumber melalui saluran transmisi tersebut. Nilai ZL dapat kita cari dengan

persamaan berikut jika tegangan yang dikirimkan dan tegangan yang dipantulkan

diketahui, yaitu:

000

00 ZVVVV

Z L −+

−+

+= (2.7)

Oleh karena adanya gelombang yang dipantulkan, maka kita dapat

mencari suatu koefisien untuk mengetahui nilai perbandingan antara amplitudo

dari gelombang yang dipantulkan dengan gelombang yang dikirimkan. Koefisien

ini disebut juga dengan koefisien refleksi. Koefisien ini dapat dicari dengan nilai

ZL dan Z0 yang didapatkan dari persamaan sebelumnya, yaitu:

0

0

0

0

ZZZZ

VV

L

L

+−

==Γ +

(2.8)

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 39: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

20

Universitas Indonesia

Dari persamaan (2.4) dan (2.5), dapat terlihat bahwa tegangan dan arus di

dalam saluran merupakan hasil superposisi dari gelombang yang datang dengan

gelombang yang dipantulkan, dimana gelombang seperti itu dinamanakan dengan

standing wave. Apabila saluran transmisi bersifat lossless atau diterminasi dengan

nilai ZL= Z0, maka akan didapatkan nilai Γ=0 atau tidak ada gelombang yang

dipantulkan. Hal inilah yang nantinya akan menjadi tujuan dilakukannya

impedance matching agar nilai dari divais yang ingin disambungkan dengan

divais lain memiliki nilai impedansi sistem sebesar impedansi saluran transmisi.

Untuk kasus dimana saluran transmisi diterminasi dengan beban yang

nilai impedansinya tidak sama dengan nilai impedansi saluran transmisi, maka

nilai Γ≠0 yang mengindikasikan tidak seluruh daya diteruskan oleh divais

tersebut. Sehingga saat kondisi mismatched ini terjadi, akan terjadi suatu loss

yang disebut dengan return loss. Disebut sebagai loss karena adanya daya yang

tidak diteruskan oleh divais. Return loss dapat dicari dengan persamaan:

Γ−= log20RL dB (2.9)

Untuk saluran dengan ZL= Z0, maka nilai return loss-nya adalah tak terhingga,

yang artinya tidak ada daya yang dipantulkan.

Karena rangkaian mismatched menyebabkan adanya gelombang pantul,

maka seperti telah dijelaskan sebelumnya, sepanjang saluran transmisi akan

terjadi suatu superposisi antara gelombang datang dan gelombang pantul. Hal ini

menyebabkan akan terjadinya suatu nilai maksimum apabila superposisi antara

kedua gelombang berada pada titik maksimum, dan juga nilai minimum apabila

superposisi terjadi saat kedua gelombang sedang bernilai minimum. Nilai

tegangan maksimum terjadi saat fasa dari tegangan bernilai ( ) 12 =− lje βθ , sehingga

didapatkan persamaan nilai tegangan maksimum:

( )Γ+= + 10VVmaks (2.10)

Sementara nilai tegangan minimum terjadi saat nilai fasa ( ) 12 −=− lje βθ , sehingga

didapatkan persamaan untuk tegangan minimum:

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 40: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

21

Universitas Indonesia

( )Γ−= + 10min VV (2.11)

Perbandingan antara tagangan maksimum dan tegangan minimum inilah

yang disebut dengan voltage standing wave ratio (VSWR), dimana persamaannya

merupakan pembagian antara persamaan (2.10) dengan persamaan (2.11), yaitu:

Γ−Γ+

==11

minVV

VSWR maks (2.12)

Dimana untuk nilai VSWR=1 merupakan representasi dari saluran transmisi yang

diterminasi oleh beban dengan nilai ZL= Z0.

2.4.1.2 Scattering Parameter

Scattering parameter atau biasa dikenal dengan s-parameter merupaka

suatu bentuk persamaan pada gelombang elektrik frekuensi tinggi (biasanya s-

parameter digunakan pada RF dan gelombang mikro), yang digunakan untuk

menggambarkan perilaku pada jaringan elektrik linear. Perilaku elektris inilah

yang nantinya akan melambangkan beberapa parameter penting dalam pembuatan

suatu divais RF elektronik, seperti VSWR, gain, return loss, dan juga koesisien

refleksi.

Dengan menggangap suatu divais atau rangkaian yang akan dilewati oleh

gelombang sebagai suatu black box, maka kita dapat melihat perilaku dari

gelombang yang melalui black box tersebut dengan menggunakan persamaan

pada s-parameter. Ilustrasi dari s-parameter adalah sebagai berikut:

Gambar 2. 13 Penggambaran Gelombang yang Melalui Suatu Black Box[14]

Black box

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 41: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

22

Universitas Indonesia

Dari gambar dapat dilihat bahwa a merupakan amplitudo dari gelombang

yang menuju port black box, sementara b merupakan amplitudo dari gelombang

yang dipatulkan dan/atau diteruskan oleh black box. Persamaan umum dari s-

parameter pada rangkaian dua port yang umum digunakan adalah:

2121111 aSaSb += (2.13)

2221212 aSaSb += (2.14)

Properties s-parameter pada persamaan diatas memiliki fungsi untuk

melambangkan beberapa parameter penting, seperti S11 dan S22 yang

melambangkan koefisien refleksi pada port masukan dan port keluaran secara

berturut-turut, kemudian gain yang dilambangkan oleh S21 apabila rangkian yang

dilewati oleh gelombang merupakan rangkaian penguat (amplifier), serta

perhitungan VSWR yang dapat menggunakan S11 pada input dan S22 pada output.

11

11

11

SS

VSWRinput −+

= (2.15)

22

22

11

SS

VSWRoutput −+

= (2.16)

2.4.1.3 Smitch Chart

Untuk menyelesaikan masalah yang timbul pada saluran transmisi,

seperti ketidakmatchingan impedansi beban dengan impedansi saluran, optimasi

nilai-nilai return loss, gain, dll, maka penggunaan alat bantu grafik smith chart

sangatlah penting. Smith chart dapat terlihat seperti gambar berikut ini:

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 42: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

23

Universitas Indonesia

Gambar 2. 14 Smith Chart

Smith chart bekerja dalam fungsi polar, sehingga parameter seperti

koefisien refleksi harus didefinisikan dalam bentuk polar, seperti θjeΓ=Γ ,

dimana Γ merupakan magnitudo yang diplot sebagai radius yang diukur dari titik

tengah smith chart. Sementara itu, sudut θ diukur dari sisi kanan diameter

horizontal dengan besar -1800≤θ≤1800.

Dengan menggunakan alat bantu ini, koefisien refleksi dapat

dikonversikan menjadi impedansi (admitansi) yang sudah dinormalisasi.

Konstanta normalisasi biasanya merupakan karakteristik impedansi dari saluran.

Sehingga didapatkan persamaan normalisasi impedansi sebagai berikut:

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 43: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

24

Universitas Indonesia

0ZZz = (2.17)

Dengan mensubstitusi persamaan (2.8) dengan persamaan (2.17), maka akan

didapatkan persamaan impedansi beban ternormalisasi sebagai berikut:

θ

θ

j

j

L eez

−+

=11 (2.18)

2.4.1.4 Bipolar Transistor

BJT merupakan divais semikonduktor kaki tiga yang biasanya digunakan

dalam proses amplifikasi sinyal analog dan digital. BJT terdiri dari tiga bagian

yang disebut collector, base, dan emitter dimana base merupakan bagian yang

diapit oleh collector dan emitter.

Tipe utama dari BJT ada dua, yaitu tipe NPN dan PNP. Perbedaan dari

kedua tipe salah satunya adalah perbedaan tipe material yang digunakan pada

masing-masing bagian transistor. Namun, pada pengimplementasiaanya, BJT

yang sering digunakan adalah tipe NPN karena mampu memeberika performa

yang lebih baik, seperti mampu melewatkan arus yang lebih besar dan operasi

amplifikasi yang lebih cepat. Proses analogi kerja dari BJT tipe NPN dapat dilihat

pada gambar di bawah ini.

Gambar 2. 15 NPN BJT with forward-biased E-B junction and reverse-biased B-C junction[14]

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 44: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

25

Universitas Indonesia

Pada proses yang dapat dilihat di gambar, emitter-base dicatu forward,

sementara base-collector dicatu reverse. Saat tegangan positif diberikan pada

emitter dan base, elektron serta medan listrik di daerah deplesi menjadi tidak

seimbang yang menyebabkan elektron yang tereksitasi berdifusi dari daerah

dengan konsentrasi elektron tinggi di sekitar emitter menuju daerah dengan

konsentrasi elektron yang rendah di sekitar collector. Sementara itu, base-

collector yang dicatu reverse menyebabkan hanya sedikit penambahan elektron

yang terjadi dari collector menuju base.

Keuntungan dari bipolar transistor dibandingkan dengan FET adalah

BJT mampu memindahkan sinyal dalam kecepatan yang tinggi dan juga BJT

dapat menerima arus yang sangat besar saat difungsikan sebagai high power

amplifier. Sementara itu, ketidakunggulan dari BJT dibandingkan dengan FET

adalah BJT tidak bisa seefektif FET saat bekerja pada proses amplifikasi sinyal

lemah dan juga sirkit yang membutuhkan impedansi tinggi. Untuk mengatasi

kekurangan yang terdapat pada BJT, diciptakanlah Heterojunction Bipolar

Transistor (HBT) yang dapat menangani sinyal sampai dengan beberapa ratus

gigahertz.

2.4.1.5 Klasifikasi Amplifier

Pada divais amplifier, terdapat beberapa kelas operasi amplifier yang

dapat ditentukan sesuai kebutuhan. Beberapa parameter yang diperhatikan dalam

penentuan kelas amplifier tersebut adalah efisiensi daya dan lineartas.

Berdasarkan klasifikasinya, maka amplifier dibagi ke dalam empat kelas, yaitu

kelas A, B, AB, dan C. Kelas-kelas ini didasarkan pada grafik karakteristik

transistor seperti gambar berikut ini:

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 45: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

26

Universitas Indonesia

Grafik 2. 1 Titik Kerja Transistor[18]

Masing-masing kelas pada amplifier memiliki keunggulan dan

kekurangan masing-masing jika dibandingkan kelas yang lain. Oleh karena itu,

fungsi dari amplifier yang akan dirancang sangat mempengaruhi pada pemilihan

kelas dari transistor yang digunakan.

2.4.1.5.1 Class-A Amplifier

Amplifier kelas A didefinisikan sebagai amplifier yang diberikan bias

sedemikian hingga arus keluaran mengalir setiap saat. Dibandingkan dengan

kelas-kelas amplifier yang lain, amplifier kelas A memberikan nilai linearitas

yang paling tinggi, dimana linearitas merupakan suatu pengukuran sampai sejauh

mana tingkat kemiripan antara sinyal masukan dan sinyal keluaran. Pada

amplifier kelas A ini, transistor menggunakan seluruh siklus dari sinyal masukan

(conduction angle = 3600).

Amplifier kelas ini merupakan amplifier dengan tingkat linearitas paling

tinggi dibandingkan dengan kelas-kelas yang lain. Adapun grafik karakteristik

untuk amplifier kelas A dapat ditunjukkan dengan gambar berikut ini:

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 46: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

27

Universitas Indonesia

Gambar 2. 16 Karakteristik Transfer dari Amplifier Linear[14]

Dari gambar dapar terlihat bahwa sinyal keluaran akan berubah secara

linear terhadap sinyal masukkan namun dengan amplitudo yang lebih besar sesuai

persamaan AVinVout = .

Namun pada kenyataannya tidak ada transistor yang benar-benar linear.

Hal ini disebabkan adanya distorsi sehingga transfer function dari transistor tidak

lagi berbentuk garis lurus seperti gambar diatas. Untuk mencapai tingkat linearitas

yang tinggi, maka penentuan nilai IC dan VCC harus berada pada daerah kerja

linear transistor. Rangkaian amplifier kelas A sederhana dapat ditunjukkan pada

gambar berikut ini:

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 47: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

28

Universitas Indonesia

Gambar 2. 17 Transistor Kelas A Sederhana[15]

Seperti dijelaskan sebelumnya, terlihat bahwa sinyal keluaran merupakan

hasil tiruan yang sama dengan sinyal masukkan namun berbeda amplitudonya.

Efisiensi dari amplifier merujuk pada jumlah daya yang dikirimkan menuju output

dibandingkan dengan daya yang disuplai ke rangkaian amplifier. Karena amplifier

beroperasi penuh terhadap sinyal masukan, maka amplifier memerlukan daya

yang yang lebih besar jika dibandingkan dengan amplifier yang bekerja pada

setengah siklus sinyal masukkan. Hal inilah yang menyebabkan nilai efisiensi

pada amplifier kelas A menjadi lebih kecil dibandingkan dengan kelas-kelas yang

lain.

2.4.1.5.2 Class-AB Amplifier

Amplifier kelas ini merupakan amplifier yang diberikan bias sedemikian

hingga arus tidak mengalir setiap waktu. Sinyal keluaran dari amplifier tidak

memiliki bentuk yang sama persis seperti sinyal masukkan. Rangkaian sederhana

untuk amplifier kelas AB dapat dilihat pada gambar berikut:

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 48: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

29

Universitas Indonesia

Gambar 2. 18 Transistor Kelas AB Sederhana[15]

Dari gambar terlihat bahwa sinyal keluaran amplifier terdapat bagian

yang cut off dikarenakan kurangnya arus yang disuplai ke transistor sehingga

amplifier tidak bekerja pada saat itu.

Amplifier kelas AB memiliki tingkat efisiensi yang lebih baik dari

amplifier kelas A, namun tingkat linearitasnya lebih rendah. Amplifier ini

merupakan penguat yang bekerja diantara amplifier kelas A dan amplifier kelas B.

2.4.1.5.3 Class-B Amplifier

Jika amplifier kelas A bekerja sepenuhnya terhadap sinyal masukkan dan

amplifier kelas AB bekerja diantara daerah kerja amplifier kelas A dan B, maka

amplifier kelas B merupakan divais yang bekerja setengah dari siklus sinyal

masukkan. Rangkaian sederhana amplifier kelas B adalah sebagai berikut:

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 49: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

30

Universitas Indonesia

Gambar 2. 19 Transistor Kelas B Sederhana[15]

Bias yang diberikan pada base-emitter seperti pada rangkaian sederhana

tersebut tidak meneruskan sinyal saat berada pada daerah positif, sehingga hanya

bagian negatif sinyal yang diteruskan oleh amplifier untuk kemudian

diamplifikasi magnitudonya.

Fungsi kerja amplifier kelas B hampir serupa dengan divais rectifier yang

hanya meneruskan setengah siklus sinyal masukkan. Hal yang membedakan

kedua divais ini adalah tidak adanya proses amplifikasi sinyal masukkan pada

rectifier. Tingkat efisiensi penguat kelas ini bisa mencapai dua kali lipat jika

dibandingkan dengan efisiensi amplifier kelas A karena hanya mengolah setengah

siklus sinyal masukkan saja.

2.4.1.5.4 Class-C Amplifier

Pada amplifier kelas ini, proses pengolahan sinyal masukan tidak sampai

setengah dari siklus sinyalnya. Hanya sebagian kecil bagian dari sinyal masukkan

yang diproses oleh amplifier kelas C untuk kemudian diamplifikasi. Rangkaian

sederhananya adalah sebagai berikut:

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 50: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

31

Universitas Indonesia

Gambar 2. 20 Transistor Kelas C Sederhana[15]

Pengaturan nilai tegangan pada base-emitter yang nantinya akan menentukan

apakah amplifier akan bekerja pada kelas B atau pada kelas C.

2.4.1.6 Transistor Biasing

Agar BJT dapat bekerja dengan baik, maka divais tersebut harus dibias

dengan benar sesuai dengan datasheet yang disediakan masing-masing pembuat

transistor. Amplifier yang akan dioperasikan pada suhu dengan kategori ekstrim,

membuat beberapa pertimbangan dan perhitungan seperti gain, noise figure, dan

lain-lain dalam pembentukkan rangkaian bias DC menjadi penting. Hal ini dapat

dilihat pada grafik Y dan S parameter, dimana perubahan pada titik bias transistor

dapat mengubah seluruh karakteristik operasi RF.

Ada dua karakteristik dasar transistor yang berpengaruh langsung pada

titik operasi DC transistor terhadap suhu, yaitu ΔVBE dan Δβ. Untuk mengurangi

efek dari parameter-parameter tersebut, maka dapat digunakan rangkaian seperti

di dalam gambar berikut;

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 51: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

32

Universitas Indonesia

Gambar 2. 21 Voltage Divider BJT Biasing[15]

Pada BJT yang digunakan, biasanya dipakai jenis yang berbahan dasar

silicon dimana BJT jenis ini memiliki VBE sebesar 0.7 V. Seiring meningkatnya

suhu, maka tegangan base-to-emitter (VBE) menurun sebesar 2.5 mV/oC dari nilai

pada suhu ruangan [x]. Hal yang tidak kita inginkan dari kejadian ini adalah

semakin besarnya arus collector yang disebabkan arus peningkatan base karena

penurunan VBE. Persamaan penting dalam pemodelan dari rangkaian biasing

adalah sebagai berikut:

E

CBEC V

IVI Δ−≈Δ (2.19)

Dimana:

• ΔIc adalah perubahan pada arus collector

• Ic adalah nilai tetap dari arus collector

• ΔVBE adalah perubaha tegangan base-to-emitter

• VE adalah nilai tetap tegangan emitter

Dapat disimpulkan bahwa pada kriteria desain bias, parameter penting

yang dapat kita kontrol adalah tegangan emitter (VE) bukan hambatan emitter

(RE).

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 52: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

33

Universitas Indonesia

Untuk mendapatkan nilai-nilai pada rangkaian biasing pembagi tegangan ini,

maka analisis berikut ini harus dilakukan. Bagian input dari rangkaian tersebut

dapat diganti dengan rangkaian seperti:

Gambar 2. 22 Representasi Rangkian pada Sisi Input[15]

Dengan menganggap bahwa blok kiri sebagai suatu blok terpisah, maka

analisis Thevenin dapat dilakukan sehingga didapatkan nilai RTh dengan men-

short circuit-kan sumber tegangan seperti gambar berikut ini:

Gambar 2. 23 Short Circuit Sumber Tegangan untuk Mencari RTh[15]

Sehingga didapatkan persamaan untuk RTh:

21

21

RRRRRTh +

= (2.20)

Dan karena rangkaian Thevenin dianggap open circuit, maka dapat ditentukan

nilai ETh:

21

22 RR

VRVE CC

RTh +== (2.21)

Dengan mensubstitusi nilai ( ) BE II 1+= β , maka akan didaptkan nilai IB:

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 53: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

34

Universitas Indonesia

( ) ETh

BEThB RR

VEI

1++−

(2.22)

Dengan didaptkannya parameter-parameter pada analisis Thevenin, maka

rangkaian ganti Thevenin tersebut dapat disambungkan dengan rangkaian bas

pembagi tegangan sebelumnya. Rangkaian ganti Thevenin dapat dilihat pada

gambar berikut:

Gambar 2. 24 Penggabungan Rangkaian Ganti Thevenin[15]

Setelah nilai-nilai tadi didapatkan, maka nilai berikutnya yang harus

dicari adalah VCE yang bisa didapatkan dengan menggunakan persamaan sebagai

berikut:

( )ECCCCCE RRIVV +−= (2.23)

Langkah berikutnya yang harus dilakukan adalah mengganti rangkaian bias

pembagi tegangan dengan rangkaian berikut ini:

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 54: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

35

Universitas Indonesia

Gambar 2. 25 Partial Bias Circuit untuk Mencari Nilai VB[15]

Resistor Ri merupakan resistansi ekuivalen antara base dengan ground

dengan nilai resistansi emitter RE. ( ) Ei RR 1+= β mendefinisikan resistansi pantul

antara base dengan emitter. Dimana, jika nilai dari Ri jauh lebih besar dari nilai

R2, maka arus IB akan jauh lebih kecil dari nilai I2, sehingga nilai I2 ≈ I1. Dengan

perumpamaan bahwa nilai IB sangat kecil sekali atau nol, dengan nilai I1=I2 serta

R1 dirangkai seri dengan R2, maka akan didapatkan persamaan untuk VB sebagai

berikut:

21

2

RRVR

V CCB += (2.24)

Untuk bisa dilakukan analisis dengan penggantian rangkaian seperti

gambar 2.18, maka ada syarat yang harus dipenuhi sehingga keakuratan dari

perhitungan yang didapatkan bisa lebih tinggi. Syaratnya adalah sebagai berikut:

210RRR ≥β (2.25)

Apabila nilai VB sudah ditentukan, maka langkah berikutnya yang harus

dikerjakan adalah mencari nilai VE dengan rumus:

BEBE VVV −= (2.26)

Lalu dari persamaan (2.26), dapat kita cari nilai VCE dengan menggunakan rumus:

( )ECCCCCE RRIVVQ

+−= (2.27)

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 55: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

36

Universitas Indonesia

Persamaan (2.27) inilah yang menegaskan bahwa dalam rangkaian bias

pembagi tegangan, pengaruh β dapat dieliminasi sehingga faktor suhu dapat

diminimalisir. Sesungguhnya dengan semakin tinggi nilai tegangan emitter, maka

semakin baik transistor bekerja. Namun, nilai VE yang tinggi juga memiliki

beberapa kerugian, seperti pemborosan daya serta pengurangan gain sinyal AC.

Untuk masalah gain, hal ini dapat diatasi dengan cara memasang kapasitor secara

paralel dengan RE. Namun hal ini tidak serta merta mengatasi permasalahan

tentang pemborosan daya.

2.4.1.7 Gain

Gain dari amplifier merupakan hubungan antara sinyal terukur pada

bagian input dengan sinyal keluaran amplifier. Oleh karena sinyal terdiri dari tiga

komponen, yaitu tegangan, arus, dan daya, maka gain yang ada pada amplifier

juga ada tiga, yaitu, gain tegangan (Av), gain arus (Ai), dan gain daya (Ap).

Perbedaan dari ketiga gain itu merupakan parameter yang dibandingkan pada sisi

keluaran dengan sisi masukan.

Gambar 2. 26 Proses Amplifikasi Sinyal[14]

Untuk menghitung power gain (Ap), persamaan umum yang dapat digunakan

adalah:

in

out

in

outivp I

IVV

AAA ⋅=⋅= (dB) (2.28)

Sementara itu, pada proses perhitungan gain daya, terdapat tiga tipe lagi

dari gain daya ini, yaitu power gain (G) yang menbandingkan daya yang

terdisipasi pada beban ZL dengan daya dari masukkan two port network, available

gain (GA) yang membandingkan daya maksimum yang dapat diberikan ke beban

dengan daya sumber, lalu yang ketiga adalah transducer gain (GT) yang

membandingkan daya yang tersedia di two port network dengan daya sumber.

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 56: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

37

Universitas Indonesia

Adapun gambar mengenai sistem dua port yang sudah tersambung

dengan beban dan sumber adalah sebagai berikut:

Gambar 2. 27 Two-port Network dengan Impedansi Sumber dan Beban[14]

Untuk mendapatkan nilai-nilai G, GA, dan GT, maka kita harus

menggunakan persamaan (2.8), dimana dari persamaan tersebut bisa didapatkan

koefisien refleksi sumber dan koefisien refleksi beban, yaitu:

0

0

0

0

ZZZZZZZZ

S

SS

L

LL

+−

+−

(2.29)

Dengan pendefinisian tentang s-parameter, didapatkan hubungan tegangan pantul

dengan tegangan datang adalah sebagai berikut: −+− Γ+= 2121111 VSVSV L (2.30) −+− Γ+= 2221212 VSVSV L (2.31)

Untuk mendapatkan persamaan Pin dan PL yang nantinya akan dikombinasikan

untuk mendapatkan nilai G, GA, dan GT, maka persamaan (2.29), (2.30), dan

(2.31) disubstitusikan ke persamaan Pin dan PL, sehingga didapatkan persamaan:

( )22

2

0

2

11

18 in

inS

SSin Z

VP Γ−

ΓΓ−

Γ−= (2.32)

Dan, ( )2

0

2

21

2 LL Z

VP Γ−=

(2.33)

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 57: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

38

Universitas Indonesia

Daya maksimum yang dikirimkan menuju rangkaian dapat terjadi apabila

impedansi masukan dari rangkaian terminasi dimatchingkan, sehingga didapatkan

persamaan Pavs:

( )2

2

0

2

1

18*

S

SSinavs Z

VPP

Sin Γ−

Γ−==

Γ=Γ (2.34)

Sementara Pavn merupakan daya maksimum yang dapat dikirimkan menuju beban:

( )( )22

11

2211

0

2

11

18*

outS

SSLavn

S

SZ

VPP

outL Γ−Γ−

Γ−==

Γ=Γ (2.35)

Persamaan (2.32), (2.33), (2.34), dan (2.35) akan menentukan nilai G, GA, dan GT,

yaitu:

( )( ) 2

222

2221

11

1

Lin

L

in

L

S

SPPG

Γ−Γ−

Γ−== (2.36)

( )( )22

11

2221

11

1

outS

S

avs

avnA

S

SPP

GΓ−Γ−

Γ−== (2.37)

Dan, ( )( )

222

2

22221

11

11

LSin

LS

avs

LT

S

SPPG

Γ−ΓΓ−

Γ−Γ−== (2.38)

2.4.1.8 Stability Factor

Parameter berikutnya yang sangat penting untuk diperhatikan dalam

perancangan amplifier adalah tentang faktor kestabilan. Dalam perancangan

amplifier, kestabilan merujuk kepada ketahanan divais terhadap osilasi yang tidak

diperlukan. Keadaan unconditial stability terjadi saat nilai real impedansi bernilai

positif. Dimana dengan mengaplikasikan kondisi ini ke persamaan koefisien

refleksi, maka akan didapatkan persamaan:

L

Lin S

SSS

Γ−Γ

+=Γ22

211211 1

<1 (2.39)

Dan, S

Sout S

SSS

Γ−Γ

+=Γ11

211222 1

<1 (2.40)

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 58: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

39

Universitas Indonesia

Cara untuk mengetahui nilai kestabilan dari suatu divais adalah dengan

menghitung nilai Rollet’s stability factor (K) yang dapat dihitung menggunakan

komponen pada s-parameter di frekuensi kerja divais dengan persamaan K, yaitu:

2112

2222

211

21

SSSS

K⋅

Δ+−−= >1 (2.39)

Dimana, 21122211 SSSS −=Δ <1 (2.40)

Dengan didapatkannya persamaan K, maka parameter penting lain yang bisa

didapatkan dalam perancangan amplifier adalah maximum available gain (MAG),

dengan rumus:

1log10log10 2

12

21 −±+= KKSS

GMAX (2.41)

Dimana untuk menentukan nilai positif atau negatif yang digunakan, maka

terlebih dahulu dihitung:

2222

2111 1 Δ−−+= SSB (2.42)

Polaritas dari B1 akan menentukan tanda positif atau negatif dari persamaan

(2.41). Apabila B1 bernilai positif, maka persamaan (2.41) harus menggunakan

polaritas negatif, begitu juga sebaliknya.

2.4.1.9 Impedance Matching

Semua nilai dari parameter yang dibutuhkan dalam perancangan

amplifier akan menjadi sia-sia jika kondisi rangkaian input dan output dari

amplifier tidak sesuai dengan impedansi karakteristik saluran (Z0).

Ketidaksesuaian ini bisa mengakibatkan terpantulnya semua sinyal yang

dikirimkan oleh sumber dari rangkaian penguat. Oleh sebab itu, untuk membuat

kondisi antara rangkaian dengan saluran menjadi mathced, dibutuhkan suatu

rangkaian matching pada masing-masing port masukkan dan keluaran. Proses

penambahan rangkaian ini dinamakan dengan impedance matching. Selain agar

daya yang dikeluarkan oleh amplifier bernilai maksimum, proses impedance

matching ini juga berfungsi agar terjadinya peningkatan signal-to-noise ratio pada

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 59: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

40

Universitas Indonesia

sistem penerima yang sensitif seperti antena dan low noise amplifier, selain itu

fungsi lainnya adalah agar mereduksi eror fasa dan amplitudo pada rangkaian

pendistribusi daya.

Pada prinsipnya, proses impedance matching bertujuan agar sumber

“melihat” impedansi beban sebagai konjugasi dari nilai impedansinya. Sehingga

apabila nilai impedansi sumber adalah A+jB, maka nilai dari impedansi beban

harus A-jB untuk mendapatkan pentransmisian daya yang maksimal. Berikut ini

adalah gambar rangkaian yang matched:

Gambar 2. 28 Rangkaian Impedance Matched Antara Sumber dan Beban[14]

Nilai impedansi XS saling menghilangkan dengan nilai impedansi XL,

inilah yang disebut dengan nilai konjugasi. Saat RS=RL, maka daya yang

disalurkan akan menjadi maksimal.

Untuk merekayasa rangkaian sedemikian rupa sehingga nilai impedansi

beban adalah konjugasi dari nilai impedansi sumber, dapat dilakukan dengan

beberapa metode, diantaranya rangkaian L, rangkaian T dengan tiga elemen, dan

rangkaian Pi dengan tiga elemen. Namun metode untuk melakukan proses

impedance matching tidak terpaku hanya dengan tiga rangkaian ini saja. Semakin

banyak elemen yang digunakan dalam proses ini, maka akan ada nilai-nilai yang

berubah, seperti bandwidth serta disipasi daya.

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 60: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

41

Universitas Indonesia

BAB 3

PERANCANGAN POWER AMPLIFIER PADA SISTEM TRANSMITER NANOSATELIT

3.1 SPESIFIKASI UMUM SATELIT

Berdasarkan forum Indonesian Nano Satellite Platform Initiative for

Research and Education (INSPIRE) untuk pembuatan Indonesian Inter-

University Satellite (Iinusat), didapatkan beberapa spesifikasi yang diperlukan

untuk membangun sistem payload komunikasi yang akan dibangun, dimana

transmiter merupakan salah satu bagian dari payload komunikasi. Spesifikasi

tersebut antara lain [8]:

• Orbit : LEO Sun Synchronous

• Ketinggian : ±700 km

• Sudut inklinasi : 980

• Dimensi : d = 30 cm, t = 35 cm

• Massa payload komunikasi : 2 kg

• Daya payload komunikasi : 3.6 W

3.2 ARSITEKTUR TRANSMITER PAYLOAD KOMUNIKASI

Perangkat transmiter yang dirancang untuk sistem nanosatelit Iinusat

harus mampu memenuhi spesifikasi dari satelit yang telah ditetapkan seperti di

atas. Frekuensi yang akan digunakan adalah frekuensi radio amatir very high

frequency (VHF) untuk transmisi uplink serta ultra high frequency (UHF) untuk

transmisi downlink. Pemakaian kedua frekuensi tersebut pada proses transmisi

dikarenakan keterbatasan daya yang disediakan nanosatelit untuk mengakomodir

kebutuhan energi transmisi payload komunikasi. Proses yang terjadi di dalam

payload komunikasi dapat dilihat dari gambar 3.1.

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 61: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

42

Universitas Indonesia

Gambar 3. 1 RF Front End [8]

Sinyal mengalami beberapa proses mulai dari saat sinyal informasi

diterima hingga sinyal tersebut kembali dikirimkan menuju bumi. Beberapa

proses yang terjadi adalah proses Digital to Analog Converter (DAC), amplifikasi

oleh Low Noise Amplifier (LNA), konversi frekuensi radio sinyal menjadi

intermediate frequency oleh IF Mixer, rekonversi intermediate frequency kembali

menjadi frekuensi radio oleh RF Mixer, pemfilteran oleh Low Pass Filter (LPF),

serta Analog to Digital Converter (DAC).

Untuk sistem komunikasi satelit sendiri digunakan sistem full duplex,

karena dengan sistem ini, satelit dapat secara simultan mengirim dan menerima

informasi dari/ke bumi. Selain itu, penggunaan sistem full duplex juga dilatar-

belakangi oleh proses pengontrolan satelit dari bumi sehingga tidak terjadi

collision (tabrakan) antara perintah command yang dikirim dari stasiun bumi

dengan informasi yang dikirimkan oleh satelit.

3.3 DIAGRAM ALIR PERANCANGAN POWER AMPLIFIER

Berikut ini merupakan diagram alir (flowchart) untuk proses perancangan

power amplifier pada Iinusat.

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 62: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

43

Universitas Indonesia

Mulai

Spesifikasi HPA

Pemilihan Transistor

Transistor DC Bias

Pemilihan Kelas Amplifier

Unconditionaly Stable?1<VSWR<1.5

Impedance Matching

Return Loss < ‐10 dB?Matched?

Ya

Ya

Tidak

Jalur Transmisi

Return Loss < ‐10 dB?Gain > 17 dBMatched?

Optimasi Rangkaian

Return Loss < ‐10 dB?Gain > 17 dBMatched?

Selesai

Ya

Ya

Tidak

Tidak

A

A

Tidak

Gambar 3. 2 Diagram Alir Pembuatan Power Amplifier

3.4 SPESIFIKASI POWER AMPLIFIER

Secara teori, daya yang diinginkan dalam proses pentransmisian

informasi adalah sebesar-besarnya sehingga didapatkan margin yang juga besar,

namun pada kasus satelit, hal ini hampir sulit dilakukan karena permasalahan daya

masih menjadi halangan dalam perancangan nanosatelit. Sehingga effisiensi yang

terbaik yang mungkin bisa didapatkan oleh satelit adalah sebesar 40-45% [9].

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 63: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

44

Universitas Indonesia

Selain permasalahan keterbatasan daya yang dapat disuplai oleh sistem

pencatuan nanosatelit, hal lain yang menjadi penghalang adalah daya yang

didisipasikan oleh power amplifier itu sendiri, dimana semakin tinggi daya yang

dikirim, maka semakin besar pula daya yang terdisipasi. Oleh karena itu, dalam

perancangan suatu power amplifier, ada tiga parameter utama yang harus

diperhatikan, yaitu efisiensi daya, gain, dan daya output.

Pada perancangan power amplifier untuk Iinusat ini, digunakan transistor

dengan tipe NE662M04 buatan NEC. Transistor ini memiliki Maximum Stable

Gain sebesar 20 dB pada frekuensi 2 GHz. Berdasarkan datasheet dari transistor

ini, NE662M04 baik digunakan dalam pembuatan amplifier dan oscillator dengan

frekuensi kerja mulai dari 100 MHz sampai 10 GHz.

Power amplifier yang dirancang beroperasi pada frekuensi 436.9 MHz

dengan gain amplifier sekurang-kurangnya adalah 15 dB. Untuk mendapatkan

nilai kestabilan K yang lebih besar dari satu, maka penggunaan sumber tegangan

suplai 5 V dan arus drain yang kecil sudah mencukupi. Spesifikasi lain yang

sangan penting adalah S11 atau return loss yang nilainya harus di bawah -12 dB

agar didapatkan nilai voltage wave standing ratio (VSWR) yang baik

(1≤VSWR≤1.5) dengan bandwidth sinyal dibawah 20 MHz.

3.5 PEMILIHAN TRANSISTOR

Pada perancangan power amplifier ini, transistor yang digunakan adalah

transistor buatan NEC dengan jenis NE662M04. Pemilihan transistor ini

dilandaskan pada beberapa alasan, antara lain:

• High maximum stable gain sebesar 20 dB pada frekuensi 2.0 GHz

• Low noise figure sebesar 1.1 dB pada frekuensi 2.0 GHz

• Mampu digunakan dalam rentang frekuensi 100 MHz hingga 10 GHz

Transistor ini merupakan transistor yang banyak digunakan dalam fungsinya

sebagai oscillator maupun amplifier berdasarkan karakteristik yang ditunjukkan

diatas.

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 64: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

45

Universitas Indonesia

3.6 PEMILIHAN KELAS AMPLIFIER

Seperti dijelaskan sebelumnya, maka amplifier memiliki beberapa kelas

operasi, yaitu kelas A, AB, B, dan C. Dikarenakan perancangan amplifier ini

adalah sebagai elemen terakhir dalam suatu sistem transmitter, maka kelas yang

dipilih adalah amplifier kelas A. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa sinyal

keluaran dari amplifier kelas A yang hampir menyerupai sinyal masukkannya

namun magnitudonya yang berbeda akan menyebabkan proses pendeteksian

sinyal yang lebih baik sehingga informasi akan semakin akurat saat diterima oleh

receiver.

3.7 TRANSISTOR BIASING

Untuk mendapatkan nilai-nilai pada titik operasi transistor, dapat

dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan melihat datasheet yang disediakan oleh

pengembang dari transistor tersebut atau dengan menggunakan piranti lunak

Advanced Design System (ADS). Pada datasheet yang ada, grafik karakteristik

VCE vs IC diperlihatkan seperti gambar di bawah ini:

Grafik 3. 1 Collector Current vs Collector to Emitter Voltage[20]

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 65: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

46

Universitas Indonesia

Selain dari datasheet, grafik karekteristik tersebut juga bisa didapatkan

melalui simulasi yang dilakukan menggunakan piranti lunak ADS. Proses

mendapatkan grafik karakteristik tersebut dapat dilihat pada gambar berikut:

BJT Curv e Tracer

DCDC1

Step=0.1Stop=10Start=0SweepVar="VCE"

DC

ParamSweepSweep1

Step=25 uAStop=355 uAStart=5 uASimInstanceName[6]=SimInstanceName[5]=SimInstanceName[4]=SimInstanceName[3]=SimInstanceName[2]=SimInstanceName[1]="DC1"SweepVar="IBB"

PARAMETER SWEEP

my kit_includemy kit_include

MY KIT INCLUDE

NE662M04X1

VARVAR1VCE =0 VIBB =0 A

EqnVar

Display Templatedisptemp1"BJT_curv e_tracer"

TempDisp

I_ProbeIC

V_DCSRC1Vdc=VCE

I_DCSRC2Idc=IBB

Gambar 3. 3 Rangkaian Pembentuk Grafik Karakteristik VCE vs IC

Pasa simulasi dengan menggunakan piranti lunak ADS, base dari

transistor NE662M04 dihubungkan dengan sumber arus yang nilainya akan

divariasikan mulai dari 5 µA sampai 355 µA dengan perubahan nilai arus sebesar

25 µA. Selain itu, bagian collector transistor dihubungkan dengan sumber

tegangan yang nilainya akan divariasikan juga, mulai dari 0 V sampai 10 V

dengan variasi tegangan sebesar 0.1 V. Bagian emitter transistor beserta dengan

bagian negatif sumber arus dan sumber tegangan akan dihubungkan dengan

ground.

Dari simulasi diatas, didapatkan suatu grafik dimana sumber arus akan

mendefinisikan IBB, sumber tegangan mendefinisikan VCE, lalu I_Probe akan

menghitung arus yang mengalir menuju collector (IC). Grafik karakteristik VCE vs

IC dapat dilihat pada gambar berikut:

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 66: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

47

Universitas Indonesia

m1VCE=IC.i=0.020IBB=0.000280

2.0002 4 6 80 10

0

10

20

30

-10

40

IBB=5.000E-6IBB=3.000E-5IBB=5.500E-5IBB=8.000E-5IBB=1.050E-4IBB=1.300E-4IBB=1.550E-4IBB=1.800E-4IBB=2.050E-4IBB=2.300E-4IBB=2.550E-4IBB=2.800E-4IBB=3.050E-4IBB=3.300E-4IBB=3.550E-4

VCE

IC.i,

mA

m1

m1VCE=IC.i=0.020IBB=0.000280

2.000

2.000 0.040

VCE

Device PowerConsumption atm1 bias point,Watts

Move Marker m1 to update values below:

Use with BJT_curve_tracer Schematic Template

Grafik 3. 2 Karakteristik ADS NE662M04 VCE vs IC

Dari grafik tersebut, titik yang ditunjukkan oleh m1 menunjukkan nilai-

nilai sebagai berikut:

• VCE = 2 V

• IC = 20 mA

• IBB = 280 µA

Dengan menggunakan nilai-nilai yang didapatkan diatas, maka dapat

dibentuk suatu rangkaian biasing transistor. Rangkaian bias transistor yang dipilih

merupakan rangkaian pembagi tegangan, karena pada rangkaian ini tidak terlalu

terpengaruh oleh parameter β yang berkaitan dengan faktor suhu dimana transistor

bekerja. Perhitungan nilai-nilai pada rangkaian bias transistor dapat dilakukan

dengan menggunakan rumus-rumus yang telah dijabarkan pada subbab 2.4.1.6.

Adapun langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 67: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

48

Universitas Indonesia

1. Penentuan operating point dari transistor:

o VCE = 2 V

o IC = 20 mA

o VCC = 5 V

2. VVV CCE 5.05101

101

≅×≅≅

3. Ω≈×

≈= − 2510205.0

3E

EE I

VR ; IE ≈ IC

4. Ω=×−−

=−−

=−

= − 1251020

5.0253

C

ECECC

C

CCCC I

VVVI

VVR

5. VB = VE + VBE = 0.5 + 0.7 = 1.2 V ; VBE (Si) = 0.7 V

6. 704.71102801020

6

3

≅=××

== −

B

C

II

β

7.

Ω≅Ω≤

××≤

210210

3070101

101

2

2

2

2

RR

R

RR Eβ

8.

Ω=⎟⎠⎞

⎜⎝⎛ −

×=

⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛ −=

+=

6652.1

2.152101

21

21

2

R

VVV

RR

VRR

RV

B

BCC

CCB

Sehingga rangkaian bias transistor menjadi seperti berikut ini:

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 68: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

49

Universitas Indonesia

V_DCVccVdc=5 V

RRCR=125 Ohm

RRER=25 Ohm

DC_BlockDC_Block2

PortOutput

PortInput DC_Block

DC_Block1

DC_FeedDC_Feed4

RR2R=210 Ohm

RR1R=665 Ohm

DC_FeedDC_Feed3

DC_FeedDC_Feed2

DC_FeedDC_Feed1

ne662m04X1

Gambar 3. 4 Rangkaian Biasing Transistor NE662M04

Pada rangkaian bias transistor tersebut ditambahkan komponen

DC_Block dan DC_Feed. Fungsi dari komponen DC_Block tersebut adalah

memblok sinyal DC yang diberikan oleh sumber tegangan DC menuju jalur sinyal

RF, sementara pada komponen DC_Feed berfungsi untuk memblok sinyal RF

agar tidak memasuki daerah biasing transistor. Nilai kapasitansi dan induktansi

untuk DC_Feed dan DC_Block secara berturut-turut berdasarkan paduan piranti

lunak ADS adalah 0.1 µF dan 1 mH.

3.7 FAKTOR KESTABILAN

Setelah dilakukan proses pembentukan rangkaian bias, maka hal

berikutnya yang harus dilakukan adalah perhitungan nilai kestabilan dari

rangkaian bias yang telah dibentuk sebelumnya. Untuk mengerahui nilai s-

parameter dari rangkaian, maka dilakukan simulasi dengan piranti lunak ADS,

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 69: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

50

Universitas Indonesia

yaitu menghubungkan port masukan dan keluaran rangkaian bias transistor

dengan terminal sehingga bisa dilakukan simulasi s-parameter.

S_ParamSP1

Step=0.1 MHzStop=0.5 GHzStart=0 GHz

S-PARAMETERS

V_DCVccVdc=5 V

RR2R=210 Ohm

RReR=25 Ohm

RRcR=125 Ohm

RR1R=665 Ohm

DC_BlockDC_Block2

TermTerm1

Z=50 OhmNum=1

TermTerm2

Z=50 OhmNum=2

DC_BlockDC_Block1

DC_FeedDC_Feed1

DC_FeedDC_Feed4

DC_FeedDC_Feed3

DC_FeedDC_Feed2

S_NE662M04_2SC5508NB1Package="F4TSMM_M05"

Gambar 3. 5 Simulasi S-parameter untuk Rangkaian Bias Transistor

Simulasi dilakukan dari rentang frekuensi 0 GHz sampai 500 GHz

dengan step size frekuensi sebesar 0.1 MHz. Dari rangkaian simulasi s-parameter

tersebut, didapatkan hasil sebagai berikut:

Tabel 3. 1: Hasil Simulasi S-parameter untuk Rangkaian Bias Transistor

f req436.8 MHz

S(1,1)0.424 / -77.589

S(1,2)0.027 / 62.717

S(2,1)22.707 / 131.527

S(2,2)0.695 / -40.710

Frekuensi kerja dari power amplifier yang dirancang adalah 436.9 MHz,

sehingga nilai-nilai s-parameter pada frekuensi tersebut adalah:

• S11=0.424∠ -77.589

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 70: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

51

Universitas Indonesia

• S22=0.695∠ -40.71

• S21=22.707∠ 131.527

• S12=0.027∠ 62.717

Dari nilai-nilai s-parameter pada frekuensi 436.9 MHz tersebut, dapat

ditentukan nilai kestabilan rangkaian tersebut dengan menggunakan persamaan

(2.39), yaitu:

( )( ) ( )( )( ) ( )

467.0

486.13467.0

76.165613.03.118295.0

527.131707.22717.62027.0710.40695.0587.77424.021122211

−∠=Δ

−∠−−∠=Δ

∠∠−−∠−∠=Δ

−=Δ SSSS

Sehingga,

( ) ( )( )( )

452.0613.02

218.0483.018.01527.131707.22717.62027.02

467.0695.0424.01

21

222

2112

2222

211

+−−=

∠∠+−−

=

Δ+−−=

K

K

K

SSSS

K

Untuk meningkatkan nilai kestabilan hingga lebih besar dari satu, maka

penambahan komponen resistif pada bagian input amplifier diperlukan. Setelah

dilakukan penambahan komponen resistif seperti pada gambar berikut:

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 71: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

52

Universitas Indonesia

S_ParamSP1

Step=0.1 MHzStop=0.5 GHzStart=0 GHz

S-PARAMETERS

V_DCSRC1Vdc=5 V

RR4R=25 Ohm

RR3R=210 Ohm

RR2R=125 Ohm

RR1R=665 Ohm

TermTerm2

Z=50 OhmNum=2

TermTerm1

Z=50 OhmNum=1

DC_BlockDC_Block2

RR5R=40 Ohm

DC_BlockDC_Block1

DC_FeedDC_Feed2

DC_FeedDC_Feed3

DC_FeedDC_Feed4

DC_FeedDC_Feed1

ne662m04X1

Gambar 3. 6 Simulasi S-parameter untuk Rangkaian Bias Transistor dengan RTambahan

Hasil untuk rangaian seperti Gambar 3.8 ditunjukkan berikut ini:

Tabel 3. 2 Hasil Simulasi S-parameter untuk Rangkaian Bias Transistor dengan RTambahan

freq

436.9 MHz

S(1,1)

0.377 / -35.584

S(1,2)

0.019 / 55.787

S(2,1)

16.529 / 124.592

S(2,2)

0.592 / -53.438

Zin1

81.105 - j41.505

Zin2

50.333 - j73.709

Dengan memasukkan nilai s-parameter yang didapatkan dengan hasil

simulasi kedalam persamaan seperti proses pencarian nilai kestabilan pada bagian

sebelumnya, maka adan didapatkan:

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 72: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

53

Universitas Indonesia

( )( ) ( )( )( ) ( )

389.0

307.35389.0

61.179314.0012.89223.0

6.124531.16791.55019.0431.53592.0581.35377.021122211

−∠=Δ

∠−−∠=Δ

∠∠−−∠−∠=Δ

−=Δ SSSS

Sehingga didapatkan,

( ) ( )( )( )

063.1314.02

151.035.0142.016.124531.16791.55019.02

389.0592.0377.01

21

222

2112

2222

211

+−−=

∠∠+−−

=

Δ+−−=

K

K

K

SSSS

K

Dapat terlihat dengan penambahan komponen resistif dengan nilai

resistansi yang tepat, maka didapatkan nilai faktor kestabilan yang lebih baik

dibandingkan dengan sebelum ditambahkan komponen tersebut. Untuk

mendapatkan nilai resistansi yang tepat, maka dilakukan simulasi dengan

memvariasikan nilai resistansi dari 10 Ω sampai 100 Ω. Nilai 40 Ω dipilih karena

nilai ini merupakan nilai minimum dimana nilai kestabilan bisa dikatakan sama

dengan satu atau transistor berada dalam kondisi unconditionaly stable.

Dari nilai kestabilan yang didapat, maka dapat ditentukan nilai maximum

available gain (MAG). Untuk mencari nilai MAG, dapat digunakan persamaan

(2.41). Namun pertama-tama, harus dicari dahulu nilai B1 untuk menentukan

penggunaan polaritas pada persamaan yang digunakan.

64.0389.0592.0377.01

1

1

2221

2222

2111

=−−+=

Δ−−+=

BB

SSB

Karena nilai B1 bernilai positif, maka polaritas yang digunakan pada persamaan

(2.41) adalah pengurangan, sehingga didapatkan MAG:

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 73: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

54

Universitas Indonesia

( )dBG

G

KKSS

G

MAX

MAX

MAX

862.27

1063.1063.1log10019.0531.16log10

1log10log10

2

2

12

21

=

−−+=

−±+=

Terlihat bahwa nilai MAG mmenunjukkan angka 27.862 dB, sehingga nilai ini

memenuhi spesifikasi. Dengan nilai K dan MAG yang sesuai spesifikasi, maka

hal berikutnya yang harus dilakukan agar proses pengamplifikasian sinyal

menjadi lebih baik adalah dengan melakukan proses impedance matching pada

sisi input dan output.

3.8 IMPEDANCE MATCHING

Berikutnya, setelah mendapatkan rangkaian biasing dengan nilai

kestabilan lebih dari satu, maka harus dilakukan proses matching agar impedansi

input dan outputnya bernilai 50 Ω. Hal ini dilakukan agar nilai return loss

rangkaian power amplifier yang dirancang semakin kecil. Selain untuk

mengurangi nilai return loss, matching impedansi juga dapat memperbaiki faktor

kestabilan dari transistor yang digunakan.

Proses matching impedansi ini juga dilakukan dengan menggunakan

piranti lunak ADS. Proses pertama dalam penentuan matching network adalah

melihat Zsource dan Zload rangkaian yang telah dibentuk. Untuk mendapatkan nilai

ini maka dilakukan Amplifier’s S-parameter, Noise Figure, Gain, Stability,

Circles, and Group Delay Design Guide seperti dibawah ini:

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 74: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

55

Universitas Indonesia

S-Parameters, Noise Figure, Gain, Stability,Circles, and Group Delay versus Frequency

Set SystemImpedance Z0:

Set S-parameter analysis frequencyrange. If an S-parameter file without noise data is used, the noisesimulation results will be invalid.

Computation ofStability factorsand circles:

S_ParamSP1

CalcNoise=yesStep=1 MHzStop=1 GHzStart=0 MHz

S-PARAMETERS

DA_SmithChartMatch_SP_NF_GainMatchKDA_SmithChartMatch2

DA_SmithChartMatch_SP_NF_GainMatchKDA_SmithChartMatch1

S2PSNP1File="AT310113C.s2p"

21

Ref TermTerm2

Z=Z0Num=2

TermTerm1

Z=Z0Num=1

VARVAR1Z0=50

EqnVar

OptionsOptions1

Tnom=25Temp=16.85

OPTIONS

MeasEqnmeas1Eqn

Meas

Gambar 3. 7 Amplifier’s S-parameter, Noise Figure, Gain, Stability, Circles, and Group Delay DesignGuide

Rangkaian tersebut akan menghasilkan nilai perhitungan dasar Zsource dan

Zload yang nilainya akan menentukan komponen impedance matching yang akan

diletakkan pada bagian input dan output. Penentuan nilai komponen-komponen

tersebut juga dilakukan dengan kembali menggunakan piranti lunak ADS. Tools

yang digunakan pada piranti lunak tersebut adalah Smith Chart seperti yang

ditunjukkan pada gambar berikut ini:

Gambar 3. 8 Smith Chart Tools

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 75: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

56

Universitas Indonesia

Dengan menggunakan tools ini, maka kita dapat membawa nilai Zsource

dan Zload ke nilai 50 Ω. Apabila nilai return loss ≤ -10 dB sudah terpenuhi dan

juga nilai Zsource dan Zload sudah mendekati 50 Ω, maka proses impedance

matching ini telah selesai. Namun apabila nilai-nilai tersebut masih belum bisa

didapatkan, maka hal yang harus dilakukan adalah proses tuning. Proses ini akan

mengubah nilai dari induktor maupun kapasitor pada matching network sehingga

nilai-nilai yang diinginkan bisa didapatkan. Proses perubahan nilai induktor dan

kapasitor ini tidak sampai merubah nilai-nilai tersebut secara radikal, namun

hanya perubahan secara manual yang nilainya bisa dikatakan kecil.

3.8.1 Impedance Matching dengan Rumus

Pertama-tama ditentukan nilai Q yang ingin digunakan. semakin besar Q

yang ditetapkan, maka bandwidth sinyal akan semakin sempit. Nilai Q awal

ditentukan sebesar 10. Untuk rangkaian input matching, digunakan T-network.

Dengan melihat tabel 3.2, didapatkan nilai impedansi masukan sebesar 81.105-

j41.505. Rangkaian ekuivalen untuk impedansi ini adalah sebagai berikut:

PortInput

RRSR=50 Ohm

V_ACSource C

C1C=8.78 pF

RRLR=81.105 Ohm

Gambar 3. 9 Rangkaian Ekuivalen Impendansi Masukkan Awal

Nilai kapasitor yang dirangkai paralel dengan resistor didapatkan dari

nilai –j41.505. Polaritas negatif menandakan bahwa komponen yang digunakan

bersifat kapasitif, sehingga komponen yang digunakan. Besarnya nilai kapasitansi

didapatkan dari rumus CfXC π2

1= , dengan frekuensi sebesar 436.9 MHz,

sehingga didapatkan nilai kapasitansi sebesar 8.78 pF. Untuk menghilangkan efek

pada kapasitor ini, maka diparalelkan suatu induktor dengan nilai tertentu

sehingga kapasitor dan induktor akan beresonansi. Nilai induktor didapatkan dari

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 76: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

57

Universitas Indonesia

persamaan nHCL 12.1512 == ω

. Dengan menggunakan rumus pada rangkaian

T untuk impedance matching, maka didapatkan nilai:

Sehingga rangkaian input matching amplifier akan menjadi seperti ebriktu ini:

LL1

R=L=1.8 nH

LL2

R=L=18.4 mH

LL3

R=L=15.12 nH

CC2C=40 pF

V_ACSource

RRSR=50 Ohm

PortInput

CC1C=8.78 pF

RRLR=81.105 Ohm

Gambar 3. 10 Rangkaian Input Matching Berdasarkan Rumus

Hal yang sama dilakukan pada bagian output dari divais dengan nilai

50.333-j73.709. Rangkaian ekuivalen untuk nilai impedansi tersebut adalah

sebagai berikut:

RRLR=50 Ohm

CC1C=4.94 pF

RR1R=50.333 Ohm

PortOutput

Gambar 3. 11 Rangkaian Ekuivalen Impendansi Keluaran Awal

( ) ( )

nHLQR

X

RRQ

mHL

QRX

pFC

QRLX

QRR

S

S

source

8.1

98.4

05.1050

50501

4.18109.43614.32

5050050500505010

4011.9109.43614.32

1

11.910

1.915050110501

3

13

1

6

2

61

1

22

=

Ω==

==−=

=⋅⋅⋅

=

Ω=⋅==

=⋅⋅⋅⋅

=

Ω===

=+=+=

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 77: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

58

Universitas Indonesia

Dengan langkah yang sama pada proses sebelumnya, maka didapatkan nilai-nilai

komponen sebagai berikut:

Sehingga rangkaian impedance matching pada bagian output adalah

sebagai berikut:

CC3C=73.2 pF

LL1

R=L=1.83 nH

CC2C=7.21 f F

PortOutput

CC1C=4.94 pF

RR1R=50.333 Ohm

RRLR=50 Ohm

Gambar 3. 12 Rangkaian Output Matching Berdasarkan Rumus

( ) ( )

pFCQR

X

RRQ

fFC

QRX

nHL

QRLX

QRRnHCL

S

S

load

2.73

98.4

05.1050

50501

21.750500109.43614.32

150500505010

83.1109.43614.32

033.5

033.510333.50

50501105019.261

3

13

1

62

2

61

1

22

2

=

Ω==

==−=

=⋅⋅⋅⋅

=

Ω=⋅==

=⋅⋅⋅

=

Ω===

=+=+=

== ω

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 78: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

59

Universitas Indonesia

BAB 4

SIMULASI DAN ANALISIS

4.1 SIMULASI

4.1.1 SIMULASI NILAI KESTABILAN DENGAN RUMUS

Pada subbab 3.7, telah diperlihatkan proses perhitungan biasing

transistor. Untuk melihat apakah nilai-nilai yang didapatkan berdasarkan rumus

akan menghasilkan nilai kestabilan yang baik (K>1), maka simulasi dengan

menggunakan piranti lunak ADS dilakukan. Rangkaian yang ada pada Subbab 3.7

tersebut ditempatkan pada percobaan simulasi S-parameter, Noise figure, Gain,

Stability, Circles, and Group Delay vs Frequency.

S-Parameters, Noise Figure, Gain, Stability,Circles, and Group Delay versus Frequency

Set SystemImpedance Z0:

Set S-parameter analysis frequencyrange. If an S-parameter file without noise data is used, the noisesimulation results will be invalid.

Computation ofStability factorsand circles:

S_ParamSP1

CalcNoise=yesStep=1 MHzStop=500 MHzStart=0 MHz

S-PARAMETERS

transistorbiasingdenganrumusX1

VARVAR1Z0=50

EqnVar

TermTerm1

Z=Z0Num=1

TermTerm2

Z=Z0Num=2

OptionsOptions1

Tnom=25Temp=16.85

OPTIONS

MeasEqnmeas1

EqnMeas

Gambar 4. 1 S-parameter, Noise figure, Gain, Stability, Circles, and Group Delay vs Frequency simulation

Hasil yang didapatkan dari simulasi pada rangkaian diatas adalah sebagai

berikut:

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 79: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

60

Universitas Indonesia

Mov e marker m1 to select f req point. All listings and impedances on Smith Chartwill be updated.

50.0M

100.M

150.M

200.M

250.M

300.M

350.M

400.M

450.M

0.000

500.M

m1

RF Frequency Selector

2.208E-6

MaximumAvailablePower Gain, dB Simultaneous Match

Zsource

50.000

Simultaneous MatchZload

50.000

dB(S11)

-1.981E-4dB(S21)

-26.936dB(S12)

-26.936dB(S22)

-1.981E-4

Matching For Gain

436.0 MHz

RF Frequency

SystemImpedance

50.000

1.000Stability FactorZsource Zload

DUT*

Gambar 4. 2 Hasil Simulasi Transistor DC Bias dengan Rumus

Terlihat bahwa walaupun ditunjukkan stability factor bernilai 1.000, serta

Zsource dan Zload yang menyerupai system impedance 50 Ω, namun hal ini

membuktikan bahwa rangkaian yang didapat dengan menggunakan rumus masih

kurang tepat. Selain karena nilai kestabilan yang sulit untuk sama dengan satu,

nilai S21 yang negatif menandakan bahwa sinyal yang diteruskan oleh rangkaian

amplifier ini sangatlah kecil. Oleh sebab itu proses optimasi perlu dilakukan agar

didapatkan rangkaian yang menyebabkan titik kerja transistor yang diinginkan

bisa dicapai.

Selain dengan simulasi ini, transistor tidak akan bekerja dengan baik

dikarenakan nilai kestabilannya dibawah satu dengan perhitungan menggunakan

persamaan 2.39 di subbab 3.7. Karena hal ini, maka amplifier akan berosilasi

sehingga tidak didapatkan output sesuai dengan yang diinginkan.

4.1.2 SIMULASI NILAI KESTABILAN DENGAN OPTIMASI SOFTWARE

Untuk mengoptimalkan nilai-nilai elemen pada rangkaian yang

didapatkan dengan rumus, maka penentuan titik operasi transistor dapat dilakukan

dengan designguide amplifier piranti lunak ADS seperti yang ditunjukkan pada

gambar berikut ini:

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 80: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

61

Universitas Indonesia

DA_BJTBias_untitled1DA_BJTBias1

Vcc

CE

B

NE662M04X1

Gambar 4. 3 Transistor Bias Utility

Dari rangkaian diatas, dapat dibuat rangkaian untuk menentukan titik

bias operasi transistor seperti ditunjukkan pada gambar berikut:

Set characteristic impedance, and base current and collector v oltage sweep limits as needed.

In the event that this templatedoes not provide the required informationfor the application, it can be appropriatelymodified.

VARVAR3

VCEstep=0.1 VVCEmax=10 VVCEmin=0 VIBBstep=25 uAIBBmax=355 uAIBBmin=5 uAZ0=50

EqnVar

NE662M04X1

ParamSweepSweep1

Step=IBBstepStop=IBBmaxStart=IBBminSimInstanceName[6]=SimInstanceName[5]=SimInstanceName[4]=SimInstanceName[3]=SimInstanceName[2]=SimInstanceName[1]="DC1"SweepVar="IBB"

PARAMETER SWEEPDCDC1

Step=VCEstepStop=VCEmaxStart=VCEminSweepVar="VCE"

DC

OptionsOptions1

Tnom=25Temp=16.85

OPTIONS

VARVAR1

Rload=50 _ohmsIBB=0 AVCE=0 V

EqnVar

DC_BlockDC_Block2

DC_BlockDC_Block1

DC_FeedDC_Feed2

DC_FeedDC_Feed1

I_DCSRC2Idc=IBB

TermTerm1

Z=Z0Num=1

V_DCSRC1Vdc=VCE

I_ProbeIC

TermTerm2

Z=Z0Num=2

Gambar 4. 4 Bias Point Selection

Dengan hasil simulasinya sebagai berikut:

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 81: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

62

Universitas Indonesia

m1VCE=IC.i=19.85mIBB=0.000280

2.000 m2VCE=IC.i=7.099mIBB=0.000105

400.0m

2 4 6 80 10

0.00

0.01

0.02

0.03

0.04

0.05

0.06

0.07

0.08

-0.01

0.09

IBB=5.00uIBB=30.0uIBB=55.0uIBB=80.0uIBB=105.uIBB=130.uIBB=155.uIBB=180.uIBB=205.uIBB=230.uIBB=255.uIBB=280.uIBB=305.uIBB=330.uIBB=355.u

VCE

IC.i,

A

m1

m2

line_

opt

VCEvals

ICm

axlin

e

m1VCE=IC.i=19.85mIBB=0.000280

2.000 m2VCE=IC.i=7.099mIBB=0.000105

400.0m

39.71 m

Eqn VCEmax=10

1352.290

-10.20 m -25.70

Eqn PDmax=0.05

Follow these steps:1) Move marker m2 to the knee of the I-V curve. This sets the maximum collector current during AC operation.2) Specify maximum allowed VCE, VCEmax. The optimal bias point values are determined from the load line between marker m2 and the (IC=0, VCE=VCEmax) point.3) Specify maximum allowed DC power dissipation, PDmax, in Watts. 4) Position marker m1 at some other bias point, if desired. (Must be less than VCEmax.)5) DC power consumption, average output power in linear operation, DC-to-RF efficiency at marker m1 bias point are all calculated.

8.519 m 5.200

3.550 m

-125.438

18.46 m

46.15

50.0u

100.u

150.u

200.u

250.u

300.u

350.u

0.000

400.u

1000

2000

3000

0

4000

IBB

Bet

a

Beta versus IBB, at ICEspecified by marker m1

DC-to-RF Efficiency,%

DC PowerConsumptionRload

Output PowerWatts dBm

DC-to-RF Efficiency,%

Optimal VCE

Optimal ICE

DC Power Consumption at Optimal Bias

Output Powerat Optimal BiasWatts dBm

Rload atOptimal Bias

Optimal Class A bias point values.

Marker m1 bias point values, (Assuming Class A, AC current limited to marker m2 value and AC voltage nohigher than VCEmax.)

9.304

16.97 / 53....

Device IV Curves, Load Lines,and Maximum DC Dissipation Curve

Equations are on the "Equations" page.

Gambar 4. 5 Hasil Simulasi Bias Point Selection

Dari hasil simulasi amplifier design guide ADS, nilai IC dari transistor

adalah 3.550 mA, VCE sebesar 5.2 V, daya keluaran sebesar 9.304 dBm, dan

konsumsi daya pada titik optimum adalah 18.46 mW. VCC untuk proses biasing ini

haruslah lebih tinggi jika dibandingkan dengan nilai VCE.

Dari nilai-nilai yang didapatkan pada simulasi ADS, kita dapat

menghitung nilai-nilai resistansi pada rangkaian power amplifier yang akan

dibuat. Atau dengan cara menggunakan simulasi lanjutan dari penentuan titik

operasi transistor seperti dijelaskan sebelumnya. Tapi dikarenakan nilai daya

keluaran yang masih relatif kecil, untuk menyesuaikan nilainya agar menjadi

optimal, maka nilai IC dan VCE yang digunakan merupakan nilai yang didapat dari

grafik karakteristik transistor pada datasheet, yaitu 20 mA dan 2 V, sehingga

rangkaian biasing power amplifier-nya akan ditunjukkan seperti dalam gambar

berikut ini:

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 82: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

63

Universitas Indonesia

DC_FeedDC_Feed3

DC_FeedDC_Feed2

DC_FeedDC_Feed1

PortP4Num=4

PortP3Num=3

PortP2Num=2Port

P1Num=1

RR4R=213.464432 Ohm

RR3R=24.654457 Ohm

RR2R=536.805675 Ohm

RR1R=125 Ohm

Gambar 4. 6 Rangkaian Transistor DC Bias

Rangkaian biasing transistor dengan menggunakan rumus dan simulasi

menunjukkan adanya perbedaan yang cukup signifikan pada resistor R2.

Penjelasan mengenai perbedaan nilai ini akan dijabarkan lebih detil pada bagian

analisis.

Kemudian, simulasi seperti pada subbab 4.1.1 kembali dilakukan.

Simulasi tersebut untuk melihat apakah proses optimasi yang dilakukan dengan

menggunakan piranti lunak ADS mampu memberikan nilai kestabilan dan S21

yang lebih baik dari sebelum dilakukan optimasi. Nilai-nilai pada rangkaian

transistor DC bias yang sudah dioptimasi dapat dilihat pada gambar hasil simulasi

berikut ini:

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 83: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

64

Universitas Indonesia

2.00 20.0 m

1.38 V 280. uA 2.50 V 20.0 mA 500. mV 20.3 mA

Achiev ed Bias Perf ormance

Achiev ed Bias Voltage/Current

Desired Bias Perf ormance

Vce

Ib Vc Ic Ve IeVb

2.00 20.0 mA

Ic

Gambar 4. 7 Nilai-nilai Tegangan dan Arus pada Transistor DC Bias

Kemudian hasil dari simulasi S-parameter, Noise figure, Gain, Stability,

Circles, and Group Delay vs Frequency dapat dilihat dari gambar berikut ini:

Mov e marker m1 to select f req point. All listings and impedances on Smith Chartwill be updated.

50.0M

100.M

150.M

200.M

250.M

300.M

350.M

400.M

450.M

0.000

500.M

m1

RF Frequency Selector

29.377

MaximumAvailablePower Gain, dB Simultaneous Match

Zsource50.000

Simultaneous MatchZload

50.000

dB(S11)

-7.511dB(S21)

27.183dB(S12)

-31.572dB(S22)

-3.149

Matching For Gain

436.9 MHz

RF Frequency

SystemImpedance

50.000

0.455Stability FactorZsource Zload

DUT*

Gambar 4. 8 Hasil Simulasi Transistor DC Bias dengan Optimasi Software

Dengan pengoptimasian rangkaian transistor DC bias oleh piranti lunak

ADS, didapatkan hasil yang lebih baik dibandingkan saat belum dilakukan proses

optimasi. Hal itu dapat dilihat dari nilai S21 yang semakin tinggi serta nilai

maximum available gain yang mencapai angka 29.377 dB. Namun rangkaian

optimasi ini masih kurang sempurna karena nilai kestabilan rangkaian masih lebih

kecil dari satu. Hal ini akan berimplikasi pada amplifier yang berosilasi sehingga

hasil sinyal keluaran dari amplifier tidak akan serupa dari sinyal masukkannya.

Oleh sebab itu, penambahan komponen dapat dilakukan untuk meningkatkan

tingkat kestabilan divais. Dengan menambahkan sebuah resistor yang dirangkai

seri dengan inputan amplifier, maka akan didapatkan nilai kestabilan yang

meningkat menjadi lebih besar dari satu. Adapun rangkian amplifier akan menjadi

seperti berikut:

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 84: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

65

Universitas Indonesia

V_DCVccVdc=5 V

PortOutput

PortInput

RR5R=40 Ohm

DC_BlockDC_Block1

DC_BlockDC_Block2

DC_FeedDC_Feed1

RR2R=536.805675 Ohm

DC_FeedDC_Feed4

RR4R=213.464432 Ohm

DC_FeedDC_Feed3

RR3R=24.654457 Ohm

DC_FeedDC_Feed2

RR1R=125 Ohm

ne662m04X1

Gambar 4. 9 Modifikasi Rangkaian Transistor DC Bias dengan Rtambahan

Dengan menambahkan nilai resistansi pada inputan amplifier sebesar 40

Ω, maka akan didapatkan nilai simulasi S-parameter, Noise figure, Gain, Stability,

Circles, and Group Delay vs Frequency seperti gambar berikut ini:

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 85: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

66

Universitas Indonesia

Mov e marker m1 to select f req point. All listings and impedances on Smith Chartwill be updated.

50.0M

100.M

150.M

200.M

250.M

300.M

350.M

400.M

450.M

0.000

500.M

m1

RF Frequency Selector

28.283

MaximumAvailablePower Gain, dB Simultaneous Match

Zsource

17.772 + j63.999

Simultaneous MatchZload

12.641 + j74.201

dB(S11)

-8.498dB(S21)

24.429dB(S12)

-34.337dB(S22)

-4.538

Matching For Gain

436.9 MHz

RF Frequency

SystemImpedance

50.000

1.032Stabil ity FactorZsource Zload

DUT*

Gambar 4. 10 Hasil Simulasi Transistor DC Bias dengan Rtambahan

Hasil ini menunjukkan bahwa nilai kestabilan dari amplifier telah lebih

besar dari satu, yaitu bernilai 1.034. Dengan begitu, proses biasing DC transistor

telah mencapai spesifikasi yang diinginkan.

Namun, patut diperhatikan bahwa nilai Zsource dan Zload rangkaian belum

sama dengan nilai system impedance. Kemudian nilai return loss (S11) serta S22

belum mencapai nilai yang diinginkan pada spesifikasi ( < -10 dB). Oleh karena

itu, proses berikutnya yang dilakukan adalah menyimulasikan tahap impedance

matching dengan menggunakan piranti lunak ADS. Proses impedance matching

sangat penting untuk mendapatkan nilai spesifikasi yang diinginkan dan juga

untuk mendapatkan bandwidth sinyal yang sesuai.

4.1.3 SIMULASI PERBAIKAN NILAI VSWR

Untuk mendapatkan nilai return loss (S11) dibawah -10 dB, nilai Zsource

dan Zload yang mendekati nilai system impedance, yaitu 50 Ω, serta bandwidth

sinyal keluaran sebesar ±20 MHz, maka penambahan matching network baik di

sisi input maupun output merupakan suatu keharusan. Untuk mendapatkan jenis-

jenis komponen beserta nilainya, maka digunakan tools smitch chart pada piranti

lunak ADS. Pertama-tama, simulasi untuk mendapatkan nilai impedansi input dan

output dilakukan, yaitu:

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 86: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

67

Universitas Indonesia

StabFactStabFact1StabFact1=stab_fact(S)

StabFact

S_ParamSP1

Step=0.1 MHzStop=0.5 GHzStart=0 GHz

S-PARAMETERS

VSWRVSWR1VSWR1=vswr(S11)

VSWR

DC_BlockDC_Block1

ne662m04X1

TermTerm2

Z=50 OhmNum=2

ZinZin2Zin2=zin(S22,PortZ2)

Zin

N

ZinZin1Zin1=zin(S11,PortZ1)

Zin

N

TermTerm1

Z=50 OhmNum=1

RR3R=40 Ohm

RReR=24.9 Ohm

RR2R=214 Ohm

RR1R=537 Ohm

RRcR=125 Ohm

V_DCVccVdc=5 V

DC_BlockDC_Block2

DC_FeedDC_Feed1

DC_FeedDC_Feed4

DC_FeedDC_Feed3

DC_FeedDC_Feed2

Gambar 4. 11 Simulasi Impedansi Input dan Output

Pada simulasi ini, dilakukan proses simulasi dari rentang frekuensi 0 Mhz

sampai 500 MHz dengan besar step frekuensi 0.1 MHz. Hasil dari simulasi

tersebut terdapat pada gambar berikut ini:

Tabel 4. 1 Hasil Simulasi Impedansi Input dan Output

freq436.0 MHz436.1 MHz436.2 MHz436.3 MHz436.4 MHz436.5 MHz436.6 MHz436.7 MHz436.8 MHz436.9 MHz437.0 MHz437.1 MHz437.2 MHz437.3 MHz437.4 MHz437.5 MHz437.6 MHz437.7 MHz437.8 MHz437.9 MHz438.0 MHz438.1 MHz438.2 MHz438.3 MHz438.4 MHz438.5 MHz438.6 MHz438.7 MHz438.8 MHz438.9 MHz439.0 MHz439.1 MHz

Zin1118.200 + j4.230 118.200 + j4.231 118.200 + j4.232 118.200 + j4.233 118.200 + j4.234 118.200 + j4.235 118.200 + j4.236 118.199 + j4.237 118.199 + j4.238 118.199 + j4.239 118.199 + j4.240 118.199 + j4.241 118.199 + j4.242 118.199 + j4.243 118.199 + j4.244 118.199 + j4.245 118.199 + j4.246 118.199 + j4.247 118.199 + j4.248 118.199 + j4.249 118.199 + j4.250 118.199 + j4.251 118.199 + j4.252 118.199 + j4.253 118.199 + j4.254 118.199 + j4.255 118.198 + j4.256 118.198 + j4.257 118.198 + j4.258 118.198 + j4.259 118.198 + j4.260 118.198 + j4.261

Zin2118.200 + j4.230 118.200 + j4.231 118.200 + j4.232 118.200 + j4.233 118.200 + j4.234 118.200 + j4.235 118.200 + j4.236 118.199 + j4.237 118.199 + j4.238 118.199 + j4.239 118.199 + j4.240 118.199 + j4.241 118.199 + j4.242 118.199 + j4.243 118.199 + j4.244 118.199 + j4.245 118.199 + j4.246 118.199 + j4.247 118.199 + j4.248 118.199 + j4.249 118.199 + j4.250 118.199 + j4.251 118.199 + j4.252 118.199 + j4.253 118.199 + j4.254 118.199 + j4.255 118.198 + j4.256 118.198 + j4.257 118.198 + j4.258 118.198 + j4.259 118.198 + j4.260 118.198 + j4.261

StabFact11.0001.0001.0001.0001.0001.0001.0001.0001.0001.0001.0001.0001.0001.0001.0001.0001.0001.0001.0001.0001.0001.0001.0001.0001.0001.0001.0001.0001.0001.0001.0001.000

VSWR12.3682.3682.3682.3682.3682.3682.3682.3682.3682.3682.3682.3682.3682.3682.3682.3682.3682.3682.3682.3682.3682.3682.3682.3682.3682.3682.3682.3682.3682.3682.3682.368

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 87: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

68

Universitas Indonesia

Dari hasil simulasi, didapatkan nilai-nilai sebagai berikut:

• Impedansi masukan=118.198+j4.261

• Impedansi keluaran= 118.198+j4.261

• VSWR=2.368

• Faktor kestabilan K=1.000

Untuk meningkatkan nilai-nilai diatas, maka penambahan DC Coupling

dilakukan pada bagian emitter rangkaian bias seperti ditunjukkan pada gambar

berikut ini:

VSWRVSWR1VSWR1=vswr(S11)

VSWR

StabFactStabFact1StabFact1=stab_fact(S)

StabFact

ZinZin2Zin2=zin(S22,PortZ2)

Zin

N

ZinZin1Zin1=zin(S11,PortZ1)

Zin

N

S_ParamSP1

Step=0.1 MHzStop=0.5 GHzStart=0 GHz

S-PARAMETERS

DC_BlockDC_Block1

ne662m04X1

DC_BlockDC_Block3

TermTerm2

Z=50 OhmNum=2

TermTerm1

Z=50 OhmNum=1

RR3R=40 Ohm

RReR=24.9 Ohm

RR2R=214 Ohm

RR1R=537 Ohm

RRcR=125 Ohm

V_DCVccVdc=5 V

DC_BlockDC_Block2

DC_FeedDC_Feed1

DC_FeedDC_Feed4

DC_FeedDC_Feed3

DC_FeedDC_Feed2

Gambar 4. 12 Simulasi Impedansi Input dan Output dengan Tambahan DC Coupling pada Emitter

Penambahan DC_Block3 dengan nilai 0.1 µF pada bagian emitter dari

rangkaian bias amplifier menyebabkan perbaikan nilai kestabilan, impedansi

masukan dan keluaran, serta VSWR dibandingkan dengan sebelum penambahan

komponen. Hasil dari simulasi pada Gambar 4.13 dapat dilihat pada gambar

berikut ini:

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 88: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

69

Universitas Indonesia

Tabel 4. 2 Hasil Simulasi Impedansi Input dan Output dengan Tambahan DC Coupling pada Emitter

freq436.0 MHz436.1 MHz436.2 MHz436.3 MHz436.4 MHz436.5 MHz436.6 MHz436.7 MHz436.8 MHz436.9 MHz437.0 MHz437.1 MHz437.2 MHz437.3 MHz437.4 MHz437.5 MHz437.6 MHz437.7 MHz437.8 MHz437.9 MHz438.0 MHz438.1 MHz438.2 MHz438.3 MHz438.4 MHz438.5 MHz438.6 MHz438.7 MHz438.8 MHz438.9 MHz439.0 MHz439.1 MHz

Zin149.890 + j2.840 49.890 + j2.841 49.890 + j2.842 49.890 + j2.842 49.890 + j2.843 49.890 + j2.843 49.890 + j2.844 49.890 + j2.845 49.890 + j2.845 49.890 + j2.846 49.890 + j2.847 49.890 + j2.847 49.890 + j2.848 49.890 + j2.849 49.890 + j2.849 49.890 + j2.850 49.890 + j2.851 49.890 + j2.851 49.890 + j2.852 49.890 + j2.853 49.891 + j2.853 49.891 + j2.854 49.891 + j2.855 49.891 + j2.855 49.891 + j2.856 49.891 + j2.857 49.891 + j2.857 49.891 + j2.858 49.891 + j2.859 49.891 + j2.859 49.891 + j2.860 49.891 + j2.860

Zin220.262 + j3.047 20.262 + j3.047 20.262 + j3.048 20.262 + j3.049 20.262 + j3.050 20.262 + j3.050 20.262 + j3.051 20.262 + j3.052 20.262 + j3.052 20.262 + j3.053 20.262 + j3.054 20.262 + j3.055 20.262 + j3.055 20.262 + j3.056 20.262 + j3.057 20.262 + j3.057 20.262 + j3.058 20.262 + j3.059 20.262 + j3.060 20.262 + j3.060 20.262 + j3.061 20.262 + j3.062 20.262 + j3.063 20.262 + j3.063 20.261 + j3.064 20.261 + j3.065 20.261 + j3.065 20.261 + j3.066 20.261 + j3.067 20.261 + j3.068 20.261 + j3.068 20.261 + j3.069

StabFact11199.0431198.7871198.5311198.2751198.0191197.7641197.5081197.2521196.9971196.7411196.4861196.2311195.9751195.7201195.4651195.2101194.9551194.7001194.4451194.1901193.9351193.6801193.4251193.1701192.9161192.6611192.4071192.1521191.8981191.6431191.3891191.134

VSWR11.0591.0591.0591.0591.0591.0591.0591.0591.0591.0591.0591.0591.0591.0591.0591.0591.0591.0591.0591.0591.0591.0591.0591.0591.0591.0591.0591.0591.0591.0591.0591.059

Hasil dari simulasi dengan tambahan DC Coupling pada frekuensi 436.9

MHz adalah sebagai berikut:

• Impedansi masukan=49.890+j2.846

• Impedansi keluaran=20.262+j3.053

• Faktor kestabilan K=1196.741

• VSWR=1.059

Nilai tersebut menunjukkan peningkatan dibandingkan dengan rangkaian

sebelum ditambahkan dengan komponen DC Coupling, dimana nilai VSWR harus

berada dalam cakupan 1≤VSWR≤~. Dari cakupan nilai tersebut, semakin nilai

VSWR mendekati 1, maka nilai tersebut menyatakan bahwa daya yang terpantul

semakin sedikit.

4.1.4 SIMULASI MATCHING IMPEDANSI

Dari hasil simulasi impedansi input dan output dengan tambahan DC

Coupling pada emitter yang tertera pada Gambar 4.14, didapatkan nilai impedansi

masukan sebesar 49.890+j2.846, serta impedansi keluaran sebesar 20.262+j3.053.

Tujuan dari dilakukannya proses matching impedansi ini agar, baik port masukan

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 89: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

70

Universitas Indonesia

serta port keluaran melihat impedansi sistem power amplifier ini sebagai

konjugasi dari impedansi masukan dan keluaran yang sebesar 50 Ω. oleh karena

itu, penggunaan smitch chart sangat diperlukan untuk penyelesaian proses ini.

Tools yang digunakan adalah smitch chart utility dari piranti lunak ADS

seperti ditunjukkan pada Gambar 3.9. Pertama-tama, yang dilakukan adalah

memplot titik impedansi keluaran dari hasil simulasi sebelumnya ke dalam grafik

smitch chart.

Gambar 4. 13 Plot Titik Impedansi Keluaran Amplifier pada Smitch Chart

Pada grafik tersebut, titik impedansi beban akan dibawa menuju titik

impedansi sumber. Proses pemindahan tersebut dilakukan dengan melakukan

penambahan rangkaian matching Pi yang memerlukan tiga komponen reaktif.

Proses pemindahan titik impedansi beban menuju impedansi sumber ditunjukkan

pada gambar berikut:

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 90: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

71

Universitas Indonesia

Gambar 4. 14 Simulasi Perancangan Rangkaian Output Matching

Setelah proses pembentukan rangkaian output matching, langkah

berikutnya adalah memasang rangkaian tersebut kebagian output dari power

amplifier seperti Gambar 4.13. Rangkaian output matching ditunjukkan pada

gambar berikut ini:

PortOutputNum=3

PortLoadNum=4

CC4C=37.222826 pF t

CC3C=18.235677 pF t

LL2

R=1e-12 OhmL=9.5123798 nH t

Gambar 4. 15 Output Matching Network

Sehingga saat rangkaian output matching ini disambungkan dengan

rangkaian pada Gambar 4.13 akan menjadi seperti berikut ini:

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 91: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

72

Universitas Indonesia

TermTerm2

Z=50 OhmNum=2

RR3R=40 Ohm

TermTerm1

Z=50 OhmNum=1

ne662m04X1

LL1

R=1e-12 OhmL=9.5123798 nH t

CC2C=18.235677 pF t

CC1C=37.222826 pF t

S_ParamSP1

Step=0.1 MHzStop=0.5 GHzStart=0 GHz

S-PARAMETERS

VSWRVSWR1VSWR1=vswr(S11)

VSWR

StabFactStabFact1StabFact1=stab_fact(S)

StabFact

ZinZin2Zin2=zin(S22,PortZ2)

Zin

N

ZinZin1Zin1=zin(S11,PortZ1)

Zin

N

DC_BlockDC_Block2

DC_BlockDC_Block1

DC_BlockDC_Block3

RReR=24.9 Ohm

RR2R=214 Ohm

RR1R=537 Ohm

RRcR=125 Ohm

V_DCVccVdc=5 V

DC_FeedDC_Feed1

DC_FeedDC_Feed4

DC_FeedDC_Feed3

DC_FeedDC_Feed2

Gambar 4. 16 Penambahan Rangkaian Output Matching

Hasil untuk impedansi keluaran setelah dilakukan proses penambahan

rangkaian output matching seperti pada Gambar 4.18 dapat terlihat pada gambar

dibawah ini:

m1freq=dB(S(2,2))=-34.167

436.9MHz

m2freq=dB(S(2,2))=-10.041

426.2MHz

m3freq=dB(S(2,2))=-10.031

447.0MHz

50 100 150 200 250 300 350 400 4500 500

-30

-25

-20

-15

-10

-5

-35

0

freq, MHz

dB(S

(2,2

))

m1

m2m3 m1freq=dB(S(2,2))=-34.167

436.9MHz

m2freq=dB(S(2,2))=-10.041

426.2MHz

m3freq=dB(S(2,2))=-10.031

447.0MHz

freq

436.9 MHz

Zin2

51.972 + j0.304

Zin1

41.610 - j47.426

Gambar 4. 17 Hasil Simulasi Penambahan Rangkaian Output Matching

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 92: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

73

Universitas Indonesia

Dari hasil tersebut, terlihat jelas bahwa terjadi perubahan nilai impedansi

pada ouput dari power amplifier yang semula bernilai 20.262+j3.053 menjadi

mendekati impedansi sistem sebesar 51.972+j0.304. Penambahan rangkaian

matching pada output divais turut serta mengubah nilai impedansi masukan divais

tersebut. Oleh karena itu, penambahan rangkaian matching pada input juga

diperlukan untuk mendapatkan nilai impedansi masukan sehingga menjadi nilai

konjugasi dari impedansi sistem atau sumber sebesar 50 Ω.

Berikut ini merupakan proses plotting impedansi masukan dari amplifier

ke dalam grafik smitch chart:

Gambar 4. 18 Plot Titik Impedansi Masukan Amplifier pada Smitch Chart Lalu dengan menggunakan rangkaian matching menggunakan dua L-

network yang dirangkai secara seri, didapatkan proses matching sebagai berikut:

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 93: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

74

Universitas Indonesia

Gambar 4. 19 Simulasi Perancangan Rangkaian Input Matching Dari hasil pembentukan rangkaian input matching, didapatkan

rangkaiannya sebagai berikut:

PortInputNum=4

PortSourceNum=3

LL8

R=1e-12 OhmL=8.1 nH t

LL7

R=1e-12 OhmL=5.86 nH t

LL6

R=1e-12 OhmL=20 nH t

CC6C=10.5 pF t

Gambar 4. 20 Input Matching Network Sehingga setelah input matching network tersebut dirangkai dengan

rangkaian power amplifier maka rangkaiannya akan menjadi:

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 94: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

75

Universitas Indonesia

TermTerm1

Z=50 OhmNum=1

LL4

R=1e-12 OhmL=20 nH t

LL5

R=1e-12 OhmL=8.1 nH t

CC5C=10.5 pF t

TermTerm2

Z=50 OhmNum=2

LL3

R=1e-12 OhmL=5.86 nH t

S_ParamSP1

Step=0.1 MHzStop=1 GHzStart=0 GHz

S-PARAMETERS

VSWRVSWR1VSWR1=vswr(S11)

VSWR

StabFactStabFact1StabFact1=stab_fact(S)

StabFact

ZinZin2Zin2=zin(S22,PortZ2)

Zin

N

ZinZin1Zin1=zin(S11,PortZ1)

Zin

N

RR3R=40 Ohm

DC_BlockDC_Block2

DC_BlockDC_Block1

ne662m04X1

DC_BlockDC_Block3

RReR=24.9 Ohm

RR2R=214 Ohm

RR1R=537 Ohm

RRcR=125 Ohm

V_DCVccVdc=5 V

DC_FeedDC_Feed1

DC_FeedDC_Feed4

DC_FeedDC_Feed3

DC_FeedDC_Feed2

Gambar 4. 21 Penambahan Rangkaian Input Matching Hasil dari rangkaian pada gambar 4.23 diatas ditunjukkan pada gambar berikut:

m1freq=dB(S(1,1))=-45.038

436.9MHzm2freq=dB(S(1,1))=-10.117

425.0MHzm3freq=dB(S(1,1))=-10.034

450.2MHz

50 100 150 200 250 300 350 400 4500 500

-40

-30

-20

-10

-50

0

freq, MHz

dB(S

(1,1

))

m1

m2m3

m1freq=dB(S(1,1))=-45.038

436.9MHzm2freq=dB(S(1,1))=-10.117

425.0MHzm3freq=dB(S(1,1))=-10.034

450.2MHz

freq436.9 MHz

Zin149.459 - j0.134

Zin235.683 - j62.754

Gambar 4. 22 Hasil Simulasi Penambahan Rangkaian Input Matching

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 95: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

76

Universitas Indonesia

Dari hasil simulasi terlihat bahwa nilai impedansi masukan saat

ditambahkan rangkaian input matching saja, maka nilai impedansi masukan relatif

sama dengan nilai impedansi sistem sebesar 50 Ω. Namun penambahan rangkaian

input matching turut serta mengubah nilai impedansi keluaran menjadi sebesar

35.683+j62.754. Saat kedua rangkaian matching, baik input maupun output,

dipasang bersamaan, maka rangkaian untuk power amplifier adalah sebagai

berikut:

LL1

R=1e-12 OhmL=11.8828562 nH t

TermTerm2

Z=50 OhmNum=2

CC1C=24.1 pF t

S_ParamSP1

Step=0.1 MHzStop=0.5 GHzStart=0 GHz

S-PARAMETERS

ZinZin1Zin1=zin(S11,PortZ1)

Zin

N

ZinZin2Zin2=zin(S22,PortZ2)

Zin

NStabFactStabFact1StabFact1=stab_fact(S)

StabFact

VSWRVSWR1VSWR1=vswr(S11)

VSWR

LL2

R=1e-12 OhmL=11.98017 nH t

LL3

R=1e-12 OhmL=9.442927 nH t

LL4

R=1e-12 OhmL=14.9961779 nH t

CC3C=7.085014 pF t

CC2C=13.235677 pF t

TermTerm1

Z=50 OhmNum=1

RR3R=40 Ohm ne662m04

X1

DC_BlockDC_Block2

DC_BlockDC_Block1

DC_BlockDC_Block3

RReR=24.9 Ohm

RR2R=214 Ohm

RR1R=537 Ohm

RRcR=125 Ohm

V_DCVccVdc=5 V

DC_FeedDC_Feed1

DC_FeedDC_Feed4

DC_FeedDC_Feed3

DC_FeedDC_Feed2

Gambar 4. 23 Rangkaian Power Amplifier dengan Input serta Output Matching Hasil dari rangkaian power amplifier dengan rangkaian input serta output

matching yang sudah dipasang pada bagian masukan serta keluaran dari divais

tersebut ditunjukkan pada gambar berikut ini:

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 96: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

77

Universitas Indonesia

m1freq=dB(S(1,1))=-13.388

436.9MHz

m2freq=dB(S(2,2))=-11.994

436.9MHz

50 100 150 200 250 300 350 400 4500 500

-25

-20

-15

-10

-5

-30

0

freq, MHz

dB(S

(1,1

)) m1

dB(S

(2,2

))

m2

m1freq=dB(S(1,1))=-13.388

436.9MHz

m2freq=dB(S(2,2))=-11.994

436.9MHz

freq

436.9 MHz

Zin1

36.618 + j13.142

Zin2

47.439 + j25.165

Gambar 4. 24 Hasil Simulasi Power Amplifier dengan Input dan Output Matching

Dari hasil simulasi tersebut didapatkan bahwa nilai impedansi masukan

dan keluaran belum menunjukkan nilai yang sesuai dengan nilai impedansi

sistem. Untuk mendapatkan nilai yang sesuai, maka proses tuning pada piranti

lunak ADS dapat digunakan. Proses ini merupakan proses pengubahan nilai

komponen secara satu-persatu, dimana efek dari pengubahan nilai ini diperhatikan

pada bagian hasil simulasi.

Gambar 4. 25 Simulasi Tuning Matching Network

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 97: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

78

Universitas Indonesia

Dari proses tuning yang dilakukan, didapatkan rangkaian input dan

output matching sebagai berikut:

LL7

R=1e-12 OhmL=6 nH t

LL6

R=1e-12 OhmL=26 nH t

PortSource

CC6C=10.5 pF t

PortLoad

PortOutput

PortInput

LL8

R=1e-12 OhmL=5.9 nH t

LL9

R=1e-12 OhmL=24.1 nH t

CC7C=20 pF t

CC8C=2.1 pF t

Gambar 4. 26 Input dan Output Matching Network Setelah Tuning Dan setelah rangkaian power amplifier disambung dengan rangkaian input dan

output matching yang telah melalui proses tuning, maka rangkaiannya akan

menjadi seperti berikut ini:

TermTerm2

Z=50 OhmNum=2

CC5C=20 pF t

LL5

R=1e-12 OhmL=24.1 nH t

TermTerm1

Z=50 OhmNum=1

LL4

R=1e-12 OhmL=26 nH t

LL2

R=1e-12 OhmL=6 nH t

CC3C=10.5 pF t

LL3

R=1e-12 OhmL=5.9 nH t

RR3R=40 Ohm

DC_BlockDC_Block2

CC4C=2.1 pF t

S_ParamSP1

Step=0.1 MHzStop=0.5 GHzStart=0 GHz

S-PARAMETERS

ZinZin1Zin1=zin(S11,PortZ1)

Zin

N

ZinZin2Zin2=zin(S22,PortZ2)

Zin

N StabFactStabFact1StabFact1=stab_fact(S)

StabFact

VSWRVSWR1VSWR1=vswr(S11)

VSWR

ne662m04X1

DC_BlockDC_Block1

DC_BlockDC_Block3

RReR=24.9 Ohm

RR2R=214 Ohm

RR1R=537 Ohm

RRcR=125 Ohm

V_DCVccVdc=5 V

DC_FeedDC_Feed1

DC_FeedDC_Feed4

DC_FeedDC_Feed3

DC_FeedDC_Feed2

Gambar 4. 27 Rangkaian Power Amplifier dengan Tuned Input and Output Matching Network Hasil simulasi dari rangkaian pada Gambar 4.29 ditunjukkan pada

gambar berikut ini:

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 98: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

79

Universitas Indonesia

m2freq=dB(S(1,1))=-21.799

436.9MHzm3freq=dB(S(1,1))=-10.136

440.7MHzm1freq=dB(S(1,1))=-10.002

432.5MHz

m4freq=dB(S(2,2))=-28.503

436.9MHz

50 100 150 200 250 300 350 400 4500 500

-40

-35

-30

-25

-20

-15

-10

-5

-45

0

freq, MHz

dB(S

(1,1

)) m2

m3m1

dB(S

(2,2

))

m4

m2freq=dB(S(1,1))=-21.799

436.9MHzm3freq=dB(S(1,1))=-10.136

440.7MHzm1freq=dB(S(1,1))=-10.002

432.5MHz

m4freq=dB(S(2,2))=-28.503

436.9MHz

freq

436.9 MHz

StabFact1

1.035

VSWR1

1.177

Zin1

51.656 + j8.123

Zin2

49.077 + j3.609

Gambar 4. 28 Hasil Simulasi Rangkaian Power Amplifier dengan Tuned Input and Output Matching Network

Hasil dari rangkaian power amplifier yang telah disambungkan dengan tuned

input dan output matching network menunjukkan nilai impedansi masukan serta

keluaran, faktor kestabilan, dan VSWR yang sesuai dengan parameter yang

diinginkan. Bandwidth dari power amplifier yang dirancang tersebut adalah

sebesar 8.2 MHz.

4.1.5 SIMULASI DIVAIS DENGAN CONNECTOR MIKROSTRIP

Untuk mendapatkan hasil yang maksimal saat proses fabrikasi dilakukan,

maka jalur yang menghubungkan antar komponen dari rangkaian power amplifier

juga harus ditentukan dengan baik. Untuk melakukan pengoptimasian pada

perancangan jalur rangkaian power amplifier, digunakan tools layout pada piranti

lunak ADS. Pertama-tama adalah melihat pengaruh faktor ukuran dari jalur

mikrostrip yang digunakan pada frekuensi kerja divais.

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 99: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

80

Universitas Indonesia

4.1.5.1 SIMULASI JALUR MIKROSTRIP DENGAN PANJANG TETAP

Simulasi pertama dilakukan dengan merancang nilai jalur mikrostrip

yang menghubungkan setiap komponen besarnya sama. Berikut ini adalah

skematik dari rangkaian power amplifier dengan jalur konektor mikrostrip yang

memiliki nilai panjang dan lebar tetap di setiap konektor mikrostripnya:

CC6C=2. 1 pF

S_Par amSP1

St ep=0. 1 M HzSt op=0. 5 G HzSt ar t =0 G Hz

S-PARAM ETERS

ZinZin2Zin2=zin( S22, Por t Z2)

Zin

N

ZinZin1Zin1=zin( S11, Por t Z1)

Zin

N

St abFactSt abFact 1St abFact 1=st ab_f act ( S)

St abFactVSWRVSWR1VSWR1=vswr ( S11)

VSWR

Ter mTer m 2

Z=50 O hmNum =2

Ter mTer m 1

Z=50 O hmNum =1

CC5C=20 pF t

LL5

R=1e- 12 O hmL=24. 1 nH t

DC_BlockDC_Block3

DC_BlockDC_Block1

RReR=24. 9 O hm

DC_FeedDC_Feed2

RR2R=214 O hm

DC_FeedDC_Feed3

ne662m 04X1

DC_FeedDC_Feed4

DC_FeedDC_Feed1

RRcR=125 O hm

RR4R=537 O hm

V_DCVccVdc=5 V

LL8

R=1e- 12 O hmL=5. 9 nH t

RR3R=40 O hm

DC_Block

DC_Block2

CC4C=10. 5 pF t

LL7

R=1e- 12 O hmL=6 nH t

LL6

R=1e- 12 O hmL=26 nH t

f ixjalur m ikr ost r ip

Gambar 4. 29 Rangkaian Power Amplifier dengan Jalur Mikrostrip Nilai-nilai yang divariasikan pada jalur penghubung antar komponen power

amplifier adalah lebar serta panjangnya. Simulasi pertama dilakukan variasi, baik

lebar jalur (a), dan juga panjang jalur (b) dengan nilai yang sama, yaitu 1 mm

sampai 20 mm dengan kenaikan variasi sebesar 1 mm setiap simulasi. Hasil dari

simulasi pengaruh perubahan jalur konektor ditunjukkan pada grafik berikut ini:

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 100: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

81

Universitas Indonesia

Grafik 4. 1 Pengaruh Variasi a dan b Terhadap Parameter Kerja Amplifier

Grafik diatas menunjukkan pengaruh perubahan nilai parameter a dan b

terhadap frekuensi dimana nilai impedansi masukan dan keluaran merupakan

konjugasi dari nilai impedansi sistem.

Grafik 4. 2 Pengaruh Variasi a dan b Terhadap S-parameter Amplifier Untuk Grafik 4.2 menampilkan hasil pengaruh perubahan nilai parameter a dan b

terhadap return loss, S22, dan gain dari amplifier yang telah dirancang.

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 101: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

82

Universitas Indonesia

Grafik 4. 3 Pengaruh Variasi a dan b Terhadap Faktor Kestabilan Amplifier Grafik diatas menunjukkan perubahan nilai faktor kestabilan seiring dengan

perubahan dari parameter a dan b pada rangkaian amplifier yang dirancang. Dan

yang hasil terakhir pada simulasi pengaruh perubahan parameter a dan b terhadap

parameter kerja amplifier ditunjukkan pada grafik berikut ini:

Grafik 4. 4 Pengaruh Variasi a dan b Terhadap Nilai VSWR Amplifier Untuk Grafik tersebut, nilai VSWR mengalami perubahan seiring dengan

perubahan panjang dan lebar dari jalur pada rangkaian power amplifier yang telah

dirancang.

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 102: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

83

Universitas Indonesia

Berikutnya dilakukan simulasi untuk mengetahui pengaruh salah satu

parameter saja pada frekuensi kerja dari power amplifier yang dirancang. Pada

dua simulasi berikut ini, masing-masing parameter, baik a dan b, akan

divariasikan salah satunya saja. Berikut ini merupakan simulasi dengan nilai

parameter b yang divariasikan sementara nilai parameter a tetap sebesar 5 mm.

Simulasi berikutnya adalah dengan menentukan nilai parameter b tetap

sebesar 5 mm. Sementara itu nilai parameter a divariasikan dari 1 mm hingga 20

mm dengan step kenaikan nilai 1 mm.

4.2 ANALISIS

4.2.1 PEMILIHAN TRANSISTOR NE662M04

Pada perancangan power amplifier ini, digunakan transistor buatan

perusahaan NEC dengan jenis NE662M04. Transistor ini merupakan transistor

dengan jenis silicon NPN. Pemilihan jenis NPN transistor dikarenakan arus pada

transistor dengan jenis NPN ditentukan oleh jumlah elektron yang mengalir dari

emitter menuju collector melalui P-type base. Arus yang ditentukan dari

pergerakan elektron ini membuat mobilitas elektron lebih tinggi dibandingkan

mobilitas hole di dalam semiconduktor yang berakibat pada aliran arus yang jauh

lebih besar dengan tingkat operasi yang lebih cepat dibandingkan dengan tipe

PNP.

Kemudian, pemilihan jenis transistor NE662M04 dikarenakan pada

beberapa alasan, yaitu gain bandwidth yang tinggi dengan frekuensi threshold

sebesar 25 GHz, maximum stable gain yang tinggi, serta frekuensi operasi dari

100 MHz hingga 10 GHz. Selain beberapa faktor tersebut, dari datasheet

transistor ini dapat dilihat bahwa performa transistor dapat bekerja dengan baik

meskipun diberikan suplai tegangan dan arus yang kecil.

4.2.2 RANGKAIAN BIAS TRANSISTOR

Perancangan power amplifier ini menggunakan rangkaian bias transistor

dengan jenis voltage divider (pembagi tegangan). Hal ini dilandaskan pada

beberapa keuntungan yang dimiliki rangkaian bias ini dibandingkan dengan

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 103: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

84

Universitas Indonesia

rangkaian bias lain dalam kaitannya dengan tujuan penggunaan dari divais

tersebut.

Gambar 4. 30 Voltage Divider Transistor Biasing[15] Untuk membagi tegangan di dalam rangkaian seperti pada Gambar 4.32,

digunakan ekternal resistor R1 dan R2. Arus yang mengalir melalui R2, yaitu I2,

akan menyebabkan adanya tegangan pada resistor itu. Tegangan tersebut akan

mem-forward bias persimpangan emitter. Dari penentuan nilai resistor R1 dan R2

inilah dapat ditentukan Q-point atau titik kerja transistor yang akan digunakan. hal

ini mengeliminasi kegunaan dari parameter β yang digunakan pada rangkaian bias

lain dalam penentuan titik kerja tersebut. Untuk menstabilkan nilai Q-point,

digunakan resistor pada bagian emitter, dimana nilai resistor ini yang menentukan

perubahan dari IC. Hal tersebut ditunjukkan pada persamaan berikut ini:

( ) PE

BECC

BC RR

V

RR

V

II++

−+

==1

12

1

βββ (4.1)

RP merupakan rangkaian ekuivalen dari R1 dan R2 yang dirangkaian secara

paralel. Agar nilai IC independen dari β, maka persamaan berikut ini harus

terpenuhi:

( ) ER1+β >> PR (4.2)

Untuk memenuhi persamaan tersebut, maka ada dua cara yang dapat dilakukan,

yaitu dengan menggunakan nilai RE yang cukup besar, atau dengan menggunakan

kombinasi R1 dan R2 yang kecil sehingga didapatkan nilai RP yang kecil juga.

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 104: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

85

Universitas Indonesia

Rangkaian voltage divider tersebut memang memberikan kestabilan pada

Q-point transistor terhadap perubahan suhu. Namun rangkaian seperti ini juga

akan mengurangi gain tegangan AC dari amplifier. Untuk mengatasinya, maka

digunakan komponen kapasitor tambahan yang dirangkai secara paralel dengan

RE sehingga rangkaian akan menjadi seperti:

Gambar 4. 31 Voltage Divider Transistor Biasing dengan Tambahan CE[15] Dengan penambahan kapasitor CE, maka untuk sinyal AC, RE seolah-

olah merupakan short circuit yang langsung terhubung dengan ground. Pada

konfigurasi seperti ini, feedback hanya bisa dilakukan oleh sinyal DC untuk

proses penstabilan Q-point transistor. Nilai kapasitor CE yang digunakan juga

harus dipilih dengan baik agar memiliki nilai reaktansi yang kecil agar proses pen-

short circuit-an bagian emitter bisa terjadi.

Hal yang sama dilakukan dengan penambahan DC_Block (kapasitor)

serta DC_Feed (induktor) pada rangkaian transistor bias seperti ditunjukkan pada

Gambar 3.6. Nilai induktansi dan kapasitansi dari induktor dan kapasitor yang

digunakan haruslah cukup besar. Hal ini dilakukan agar sinyal AC tidak

memasuki jalur dari sinyal DC, begitupun sebaliknya. Hal tersebut dapat

dijelaskan dari dua persamaan berikut ini:

LfX L ⋅⋅⋅= π2 (4.3)

Dan, Cf

X C ⋅⋅⋅=

π21 (4.4)

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 105: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

86

Universitas Indonesia

Terlihat bahwa semakin besar nilai induktansi dan kapastiransi dari

induktor dan kapasitor yang besar akan membuat nilai XL yang besar serta XC

yang kecil. Nilai XL yang besar membuat sinyal AC tidak dapat memasuki jalur

yang dimiliki sinyal DC karena induktor akan dianggap seperti open circuit.

Sementara nilai XC yang kecil akan membuat kapasitor yang dipasang pada jalur

AC seolah-olah merupakan short circuit. Besaran nilai induktor dan kapasitor

sebaliknya tidak memiliki pengaruh terhadap sinyal DC, karena untuk sinyal DC,

berapapun nilai induktansi dan kapasitansi dari induktor dan kapasitor, induktor

akan tetap dilihat sebagai short circuit, sementara kapasitor dilihat sebagai open

circuit.

4.2.3 PEMILIHAN KELAS AMPLIFIER

Kelas amplifier yang digunakan pada perancangan ini adalah amplifier

kelas A yang memiliki tingkat linearitas yang tinggi dikarenakan seluruh sinyal

input diproduksi ulang pada bagian output tanpa adanya operasi saturasi maupun

cut off. Ketiadaan dua operasi tersebut sebenarnya merupakan kerugian karena

meskipun tidak ada sinyal yang mengalir melalui amplifier, namun divais tersebut

akan tetap menyala sehingga akan menjadi panas untuk jangka waktu yang lama.

Hal ini menyebabkan efisiensi transistor akan menjadi kurang baik.

Namun, karena amplifier ini digunakan di dalam suatu sistem nanosatelit

dengan suplai daya yang relatif kecil untuk setiap subsistemnya, maka pemilihan

amplifier kelas A menjadi pilihan baik, karena pemborosan daya akan relatif

kecil, rangkaian yang lebih mudah, dan juga umur pakai satelit nano yang

tergolong singkat. Dengan trade off antara keuntungan dan kerugian dari masing-

masing kelas amplifier, serta dengan memperhitungkan kegunaan dari amplifier

yang akan dirancang, maka pemilihan amplifier kelas A menjadi valid.

4.2.4 NILAI FAKTOR KESTABILAN

Faktor kestabilan merupakan parameter penting dalam perancangan

amplifier. Nilai faktor kestabilan (K) harus dibuat lebih besar dari satu agar

amplifier berada pada kondisi uncoditionaly stable. Pada kondisi ini, amplifier

tidak akan mengalami osilasi sehingga sinyal output dari divais tersebut

menyerupai bentuk dari sinyal input namun dengan magnitudo yang lebih besar.

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 106: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

87

Universitas Indonesia

Apabila nilai K lebih kecil dari satu, maka amplifier akan berada dalam kondisi

potentialy unstable sehingga osilasi pada bagian ouput divais dapat terjadi.

Faktor kestabilan dipengaruhi oleh nilai s-parameter dari transistor yang

digunakan. Nilai kestabilan terbagi kedalam dua jenis, yaitu Linvill stability factor

(C) dan Rollet stability factor (K). Namun di dalam perancangan power amplifier

ini, hanya K yang diperhitungkan, karena Rollet stability factor memprediksikan

suatu kestabilan pada rangkaian sementara Linvill stability factor berguna untuk

menentukan kestabilan suatu transistor.

Perbedaan kecil terjadi untuk nilai K antara perancangan dengan

menggunakan rumus, dengan rancangan menggunakan optimasi piranti lunak. Hal

ini disebabkan pada perhitungan dengan menggunakan rumus, ada nilai-nilai yang

masih dalam kondisi range, seperti β dan R2. Hal ini berimplikasi pada rangkaian

bias transistor yang nantinya akan merubah nilai-nilai s-parameter untuk

menghitung nilai faktor kestabilan.

Baik pada rumus maupun pada simulasi rangkaian menggunakan piranti

lunak ADS, didapatkan hasil faktor kestabilan yang lebih baik saat ditambahkan

komponen resistor pada input dari amplifier yang dirancang. Hal ini didasarkan

pada penambahan beban, baik pada sisi input ataupun output, akan

mengkompensasi kontribusi negatif dari inZRe terhadap SZRe .

Gambar 4. 32 Penambahan Komponen Resistif pada Bagian Input Divais, (a) Resistansi Secara Seri, (b) Konduktansi Secara Paralel[17]

Sehingga hubungan antara ketiga parameter tersebut adalah sebagai berikut:

Sinin ZRZ ++ 'Re > 0 atau Sinin YGY ++ 'Re > 0

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 107: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

88

Universitas Indonesia

Hal yang sama berlaku pada penambahan komponen resistif pada bagian output

divais seperti pada gambar:

Gambar 4. 33 Penambahan Komponen Resistif pada Bagian Output Divais, (a) Resistansi Secara Seri, (b) Konduktansi Secara Paralel[17]

Hubungan antara ketiga parameter impedansi tetap sama seperti pada penambahan

di bagian input, yaitu:

Loutout ZRZ ++ 'Re > 0 atau Loutout YGY ++ 'Re > 0

Penentuan nilai resistansi yang tepat akan meminimalisasi kerugian yang

dialami akibat penambahan komponen tersebut, yaitu semakin rumitnya proses

impedance matching, adanya daya yang hilang, serta noise figure yang nilainya

menjadi kurang baik. Untuk menanggulangi permasalahan pada proses impedance

matching, maka proses penentuan nilai faktor kestabilan Rollet dilakukan setelah

melakukan pembuatan rangkaian bias transistor. Hal ini menyebabkan proses

impedance matching baru dikerjakan setelah proses penentuan nilai kestabilan ini

selesai sehingga tidak berpengaruh pada proses matching.

Sementara untuk daya yang hilang, hal ini merupakan hal yang tidak bisa

dielakkan. Namun dengan pemilihan nilai resistansi yang tidak terlalu besar, maka

nilai daya yang terdisipasi oleh resistor menjadi tidak terlalu besar. Sedangkan

untuk parameter noise figure, pada perancangan high power amplifier (HPA),

parameter ini tidak menjadi perhatian utama karena HPA merupakan subsistem

terakhir dari rangkaian transceiver dimana noise pada rangkaian sudah dieliminasi

oleh subsistem-subsistem sebelumnya seperi low noise amplifier dan filter.

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 108: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

89

Universitas Indonesia

4.2.5 IMPEDANCE MATCHING

Proses impedance matching ini sangat penting agar daya yang dikirimkan

oleh sumber mampu diteruskan dan diamplifikasi dengan optimal oleh amplifier.

Matching dilakukan pada kedua port divais, baik masukkan maupun keluaran,

dengan tujuan agar nilai impedansi masukkan dan keluaran dari amplifier

merupakan konjugasi dari impedansi sumber dan impedansi beban. Saat kondisi

tersebut terealisasi, kondisi ini dapat dikatakan sebagai kondisi yang matched.

Proses impedance matching ini dapat dilakukan dengan dua metode,

yaitu metode perhitungan matematis dan dengan menggunakan grafik smith chart.

Pada perancangan power amplifier ini, digunakan metode penggunaan smith chart

untuk proses impedance matching. Hal ini dikarenakan kemudahan yang

diberikan oleh grafik simth chart dalam penentuan nilai impedance matching

network sehingga nilai dari impedansi masukkan dan keluaran menjadi bernilai

konjugasi dari impedansi sumber dan beban.

Dengan nilai impedansi masukkan dan keluaran yang didapatkan dari

simulasi, nilai tersebut kemudian diplot dalam grafik smith chart kemudian nilai

tersebut “dibawa” menuju nilai impedansi sumber dan impedansi beban dengan

cara penambahan komponen reaktif. Untuk memperkecil nilai impedansi yang

didapat, maka dilakukan proses normalisasi. Proses ini dilakukan agar peletakkan

titik impedansi masukkan dan keluaran tidak terlalu ke bagian kanan dari grafik

smith chart. Proses normalisasi adalah pembagian nilai impedansi masukkan dan

keluaran dengan nilai impedansi sistem (sumber dan beban), yaitu 50 Ω.

Pada perancangan, di sisi input digunakan expanded version dari

rangkaian impedance matching T, sementara pada bagian output, digunakan

rangkaian impedance matching Pi. Berikut merupakan gambaran dari rangkaian

tersebut:

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 109: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

90

Universitas Indonesia

Gambar 4. 34 Dua L-network yang Dirangkai Seri[14]

Gambar 4. 35 Three Elements Pi Network[14]

Kedua rangkaian tersebut dipilih karena memiliki kelebihan dibandingkan dengan

L network yang umum digunakan pada rangkaian matching. Hal ini dilakukan

agar bandwidth sinyal bisa ditentukan melalui penentuan Q factor dari rangkaian.

Semakin tinggi nilai Q factor yang ditentukan, maka nilai bandwidth juga akan

semakin sempit.

Perbedaan yang terjadi antara hasil penentuan impedance matching

network dengan menggunakan rumus dan simulasi adalah perbedaan penetapan Q.

Pada perhitungan dengan menggunakan rumus, ditetapkan nilai Q sebesar 10,

sementara pada simulasi atau dengan menggunakan smith chart, tidak ada

penentuan Q. Yang dilakukan hanyalah membawa impedansi port masukan dan

keluaran menjadi bernilai konjugasi dari impedansi sistem. Penggunaan

komponen yang banyak dimaksudkan agar bandwidth sinyal bisa semakin sempit

dan mendekati nilai yang diinginkan (<20 MHz).

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 110: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

91

Universitas Indonesia

4.2.6 FAKTOR JALUR TERHADAP FREKUENSI

Proses penggunaan jalur transmisi tembaga pada printed circuit board

(PCB) ternyata berpengaruh pada frekuensi kerja dari divais yang digunakan.

Pengaruh panjang dan lebar yang berbeda dari jalur transmisi divais telah

ditunjukkan pada Gambar 4.1, Gambar 4.2, Gambar 4.3, dan Gambar 4.4 untuk

setiap parameter kerjanya. Pada jalur transmisi di dalam amplifier pasti terdapat

suatu discontinuity atau perbedaan nilai ukuran antara satu jalur dengan jalur yang

lain. Hal ini akan memberikan efek pada karakterisasi dari rangkaian yang dibuat.

Kenyataannya, diskontinuitas saluran transmisi dapat direpresentasikan

dengan suatu rangkaian ekuivalen. Rangkaian ekuivalen untuk diskontinuitas

saluran transmisi tersebut dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 4. 36 Rangkaian Ekuivalen Untuk Beberapa Diskontinuitas Mikrostrip. (a) Open-ended Microstrip. (b) Gap in Microstrip. (c) Change in Width. (d) T-junction. (e) Coax-to-microstrip

Junction[13]

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 111: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

92

Universitas Indonesia

Diskontinuitas mikrostrip dapat menghasilkan reaktansi parasitik yang mampu

menghasilkan kesalahan fasa dan amplitudo, missmatch pada bagian input dan

output, dan kemungkinan coupling antar jalur mikrostrip. Persamaan berikut ini

dapat mendeskripsikan reaktansi secara seri yang merepresentasikan

diskontinuitas pada stripline yang telah dibuktikan oleh Altschuler dan Oliner

dalam jurnalnya yang berjudul discontinuities in the center conductor of

symmetric strip transmission line, yaitu:

⎥⎥⎦

⎢⎢⎣

⎡⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛= *

1

*2

*101

2cosln

2WWec

WZL π

λω (4.5)

Dimana:

ωL adalah impedansi diskontinuitas dari representasi reaktansi secara seri;

Z01 adalah impedansi karakteristik dari bagian transformer;

W1,2* adalah equivalent stripwidth;

λ adalah panjang gelombang.

Untuk saluran transmisi mikrostrip, persamaan W1,2* dapat diganti dengan

persamaan:

( )2,1,1 21

0

* =⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

∈= n

ZhR

Weffn

cn

Dimana:

h adalah ketebalan substrat;

Rc adalah impedansi gelombang di free-space;

∈eff adalah konstanta dielektrik efektif dari saluran transmisi mikrostrip;

Z01 impedansi karakteristik dari quarter-wave transformer;

Z02 impedansi karakteristik dari jalur yang berdekatan dengan transformer.

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 112: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

93

Universitas Indonesia

Berdasarkan percobaan yang hasilnya ditunjukkan oleh Gambar (4.1)

sampai Gambar (4.4), terlihat bahwa dengan menaikkan nilai panjang dan lebar

dari saluran transmisi mikrostrip, maka frekuensi dimana nilai impedansi

masukkan dan impedansi keluaran bernilai sama dengan nilai konjugasi dari

impedansi sistem akan bergeser mendekati nol. Di satu nilai saluran transmisi,

frekuensi dari divais akan meningkat. Hal ini disebabkan karena frekuensi yang

terukur merupakan frekuensi harmoniknya.

Untuk mendapatkan nilai bandwidth yang relatif kecil (<1 MHz),

dibutuhkan nilai komponen yang sangat kecil nilainya. Namun apabila digunakan

mikrosrip sebagai pengganti dari komponen yang nilainya sangat kecil tersebut,

maka dimensi divais akan menjadi relatif besar. Oleh sebab itu, pada perancangan

akhir, digunakan trade off antaran penggunaan komponen dengan penggunaan

mikrostrip sebagai pengganti komponen. Komponen yang diganti oleh mikrostrip

adalah beberapa komponen induktor yang nilainya sangat kecil (<5nH). Oleh

sebab itu, rangkaian akhir untuk divais power amplifier yang dirancang adalah

sebagai berikut:

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 113: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

94

Universitas Indonesia

Gambar 4. 37 Rangkaian Optimum Power Amolifier

Hasil dari rangkaian optimum tersebut adalah sebagai berikut:

MT

EE

_A

DS

Te

e3

W3

=i1

m

m

W2

=e

1

mm

W1

=h

m

mS

ub

st

="

MS

ub

1"

ML

IN

TL

64

L=

14

.2

36

7

mm

W=

e1

m

mS

ub

st

="

MS

ub

1"

ML

IN

TL

17

L=

17

.8

29

7

mm

W=

e1

m

m

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

V_

DC

SR

C1

Vd

c=

5

V

MS

AB

ND

_M

DS

Be

nd

5

M=

0.

3A

ng

le=

90

W=

e1

m

m

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

ML

IN

TL

21

L=

0.

86

83

24

m

m

W=

h

mm

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

MS

TE

P

St

ep

8

W2

=5

0.

0

mil

W1

=j2

m

m

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

ML

IN

TL

22

L=

1.

67

7

mm

W=

f

mm

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

MT

EE

_A

DS

Te

e4

W3

=j1

m

m

W2

=h

m

m

W1

=f

m

mS

ub

st

="

MS

ub

1"

MG

AP

Ga

p1

4

S=

5

mm

W=

h

mm

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

L L2

R=

L=

1.

0

mH

ML

IN

TL

20

L=

14

.7

48

6

mm

W=

h

mm

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

MG

AP

Ga

p1

3

S=

25

m

mW

=h

m

m

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

R R3

R=

12

5

Oh

m

ML

IN

TL

19

L=

1.

71

29

5

mm

W=

h

mm

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

MC

RO

SO

Cr

os

1

W4

=g

m

m

W3

=f

m

m

W2

=e

1

mm

W1

=c

m

m

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

ne

66

2m

04

X1

Op

tim

Op

tim

1

En

ab

leC

oc

kp

it=

ye

s

Sa

ve

Cu

rr

en

tE

F=

no

Us

eA

llGo

als

=y

es

Us

eA

llOp

tV

ar

s=

ye

s

Sa

ve

AllI

te

ra

tio

ns

=n

o

Sa

ve

No

min

al=

no

Up

da

te

Da

ta

se

t=

ye

s

Sa

ve

Op

tim

Va

rs

=n

o

Sa

ve

Go

als

=y

es

Sa

ve

So

lns

=y

es

Se

ed

=

Se

tB

es

tV

alu

es

=y

es

No

rm

aliz

eG

oa

ls=

no

Fin

alA

na

lys

is=

"N

on

e"

St

at

us

Le

ve

l=4

De

sir

ed

Er

ro

r=

0.

0

Ma

xI

te

rs

=3

00

0

Op

tim

Ty

pe

=G

ra

die

nt

OPT

IM

Go

al

Op

tim

Go

al3

We

igh

t=

1

Sim

In

st

an

ce

Na

me

="

SP

1"

Ex

pr

="

dB

(S

(2

,2

))

"

GO

AL

Go

al

Op

tim

Go

al2

We

igh

t=

1S

imI

ns

ta

nc

eN

am

e=

"S

P1

"

Ex

pr

="

dB

(S

(1

,1

))

"

GO

AL

Go

al

Op

tim

Go

al1

We

igh

t=

1

Sim

In

st

an

ce

Na

me

="

SP

1"

Ex

pr

="

dB

(S

(2

,1

))

"

GO

AL

S_

Pa

ra

m

SP

1

St

ep

=0

.1

M

Hz

St

op

=5

00

M

Hz

St

ar

t=

0

MH

z

S-PA

RAM

ETER

S

ML

IN

TL

35

L=

19

.0

40

4

mm

o

W=

j2

mm

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

ML

IN

TL

34

L=

1.

92

57

5

mm

o

W=

j2

mm

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

ML

IN

TL

58

L=

50

4.

04

u

m

op

t

50

0

um

t

o

20

m

m

W=

s

mm

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

ML

IN

TL

41

L=

80

8.

66

8

um

o

pt

5

00

u

m

to

2

0

mm

W=

s

mm

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

ML

IN

TL

26

L=

1.

58

06

5

mm

o

W=

g

mm

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

ML

IN

TL

6

L=

51

8.

95

2

um

o

pt

5

00

u

m

to

2

0

mm

W=

a

mm

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

ML

EF

TL

67

L=

11

.2

69

9

mm

o

W=

b2

m

m

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

ML

IN

TL

71

L=

10

.6

30

9

mm

o

W=

b1

m

m

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

ML

IN

TL

46

L=

15

.4

28

5

mm

o

W=

1

mm

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

ML

IN

TL

45

L=

4.

47

13

1

mm

o

W=

1

mm

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

ML

IN

TL

51

L=

9.

85

09

8

mm

o

W=

w

mm

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

ML

EF

TL

61

L=

7.

42

96

5

mm

o

W=

w

mm

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

ML

IN

TL

48

L=

4.

02

14

6

mm

o

W=

u

mm

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

ML

IN

TL

72

L=

3.

19

76

9

mm

o

W=

d1

m

mS

ub

st

="

MS

ub

1"

ML

IN

TL

60

L=

14

.5

11

1

mm

o

W=

x1

m

m

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

ML

IN

TL

49

L=

14

.7

44

4

mm

o

W=

v1

m

m

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

ML

EF

TL

62

L=

8.

12

59

8

mm

o

W=

v1

m

m

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

ML

EF

TL

66

L=

3.

67

97

4

mm

o

W=

d2

m

m

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

ML

EF

TL

70

L=

5.

55

60

9

mm

o

W=

l m

m

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

ML

EF

TL

69

L=

7.

88

64

2

mm

o

W=

s

mm

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

ML

IN

TL

8

L=

6.

28

84

5

mm

o

W=

d

mm

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

ML

IN

TL

63

L=

8.

23

32

8

mm

o

W=

b

mm

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

ML

IN

TL

42

L=

2.

36

45

6

mm

o

W=

r

mm

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

ML

IN

TL

59

L=

10

.3

84

3

mm

o

W=

r

mm

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

ML

IN

TL

36

L=

19

.9

96

7

mm

o

W=

n

mm

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

ML

IN

TL

32

L=

19

.9

55

8

mm

o

W=

l m

m

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

ML

IN

TL

7

L=

9.

56

m

m

o

W=

q

mm

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

ML

IN

TL

18

L=

7.

54

57

7

mm

o

W=

i1

mm

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

ML

SC

TL

31

L=

7.

14

77

1

mm

o

W=

k

mm

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

ML

IN

TL

30

L=

3.

81

11

2

mm

o

W=

k

mm

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

ML

IN

TL

29

L=

3.

54

52

6

mm

o

W=

k

mm

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

ML

IN

TL

28

L=

11

.3

11

8

mm

o

W=

f

mm

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

ML

SC

TL

27

L=

9.

12

88

7

mm

o

W=

g

mm

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

ML

IN

TL

25

L=

12

.5

72

5

mm

o

W=

g

mm

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

ML

IN

TL

13

L=

9.

19

35

4

mm

o

W=

c

mm

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

ML

IN

TL

2

L=

18

.7

23

1

mm

o

W=

1

mm

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

ML

EF

TL

68

L=

19

.9

11

4

mm

o

W=

r

mm

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

ML

IN

TL

11

L=

18

.0

87

2

mm

o

W=

c

mm

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

ML

IN

TL

12

L=

18

.8

11

9

mm

o

W=

c

mm

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

ML

IN

TL

24

L=

19

.5

68

4

mm

o

W=

g

mm

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

ML

IN

TL

73

L=

19

.9

99

8

mm

o

W=

x

mm

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

VA

R

VA

R1

j2=

12

.2

65

2

o

a

3=

0.

52

35

46

o

a2

=1

9.

96

9

o

a1

=1

9.

77

66

o

x1

=1

2.

76

49

o

d1

=1

5.

09

36

o

d2

=1

8.

23

64

o

b2

=1

9.

99

92

o

b1

=0

.9

20

90

7

o

x=

10

o

w=

0.

50

59

19

o

v1

=1

.3

32

21

o

u=

19

.9

97

2

o

t=

14

.1

80

8

o

s=

19

.9

98

8

o

r=

0.

58

10

25

o

q=

19

.9

85

1

o

p=

0.

50

05

55

o

o=

15

.9

05

9

o

n

=0

.5

42

48

9

o

l=1

9.

99

89

o

k=

19

.8

22

8

o

j1=

19

.8

91

9

i1=

8.

61

15

8

o

h=

12

.3

42

4g

=5

.1

93

75

o

f=

2.

45

44

1

e1

=4

.4

20

33

d=

13

.7

30

8

o

c=

0.

75

83

89

o

b=

4.

80

56

4

o

a

=1

2.

76

09

o

X=

11

.0

40

1

o

Eq

nV

ar

MT

EE

_A

DS

Te

e6

W3

=n

m

m

W2

=j2

m

m

W1

=1

m

mS

ub

st

="

MS

ub

1"

MG

AP

Ga

p2

1

S=

22

m

mW

=j2

m

m

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

C C4

C=

1.

0

uF

ML

IN

TL

23

L=

41

.7

4

mm

W=

f

mm

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"M

TE

E_

AD

S

Te

e1

1

W3

=w

m

mW

2=

v1

m

m

W1

=u

m

m

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

L L9

R=

L=

22

n

H

C C3

C=

9

pF

C C2

C=

1.

5

pF

R R7

R=

40

O

hm

C C1

C=

1.

0

uF

R R6

R=

24

.9

O

hm

R R5

R=

14

O

hm

R R4

R=

20

0

Oh

mL L

4

R=

L=

1.

0

mH

C C9

C=

1.

0

uF

L L3

R=

L=

1.

0

mH

L L1

R=

L=

1.

0

mH

R R2

R=

1

Oh

m

R R1

R=

53

6

Oh

mC C

6

C=

1

pF

C C5

C=

1.

2

pF

L L1

0

R=

L=

22

n

H

C C8

C=

1.

0

pF

C C7

C=

20

.1

p

F

t

MS

UB

MS

ub

1

Ro

ug

h=

0

mil

Ta

nD

=0

.0

2

T=

0.

03

5

mm

Hu

=3

.9

e+

03

4

mil

Co

nd

=1

.0

E+

50

Mu

r=

1

Er

=4

.3

H=

1.

6

mm

MSu

b

ML

IN

TL

65

L=

19

.0

65

4

mm

W=

h

mm

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

ML

IN

TL

16

L=

12

.7

73

m

m

W=

e1

m

m

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

ML

IN

TL

15

L=

3.

47

14

7

mm

W=

e1

m

mS

ub

st

="

MS

ub

1"

ML

IN

TL

14

L=

17

.1

79

4

mm

W=

e1

m

m

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

MS

AB

ND

_M

DS

Be

nd

9

M=

0.

3

An

gle

=9

0W

=b

1

mm

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

MS

TE

P

St

ep

2

W2

=b

2

mm

W1

=b

1

mm

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

MT

EE

_A

DS

Te

e8

W3

=q

m

m

W2

=p

m

m

W1

=p

m

m

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"ML

IN

TL

39

L=

a1

m

m

W=

p

mm

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

MS

AB

ND

_M

DS

Be

nd

2

M=

0.

3

An

gle

=9

0

W=

p

mm

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

ML

IN

TL

55

L=

a2

m

m

W=

p

mm

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

MG

AP

Ga

p4

S=

4

mm

W=

p

mm

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

ML

IN

TL

54

L=

a2

m

m

W=

p

mm

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

MS

AB

ND

_M

DS

Be

nd

1

M=

0.

3

An

gle

=9

0

W=

p

mm

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

ML

IN

TL

37

L=

a1

m

m

W=

p

mm

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

MT

EE

_A

DS

Te

e7

W3

=a

m

m

W2

=p

m

m

W1

=p

m

m

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

MS

TE

P

St

ep

1

W2

=x

1

mm

W1

=1

m

m

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

MG

AP

Ga

p2

4

S=

1

mm

W=

1

mm

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

ML

IN

TL

57

L=

a2

m

m

W=

p

mm

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

ML

IN

TL

56

L=

a2

m

m

W=

p

mm

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

ML

IN

TL

40

L=

a3

m

m

W=

p

mm

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

ML

IN

TL

38

L=

a3

m

m

W=

p

mm

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

MT

EE

_A

DS

Te

e1

0

W3

=u

m

m

W2

=3

.1

1

mm

W1

=x

m

m

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

MG

AP

Ga

p1

S=

1

mm

W=

1

mm

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

ML

IN

TL

74

L=

5

mm

W=

1

mm

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

MS

TE

P

St

ep

7

W2

=1

m

m

W1

=3

.1

1

mm

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

ML

IN

TL

1

L=

10

.5

m

m

W=

3.

11

m

m

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

Te

rm

Te

rm

1

Z=

50

O

hm

Nu

m=

1

MT

EE

_A

DS

Te

e1

W3

=b

m

m

W2

=a

m

m

W1

=1

m

m

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

MG

AP

Ga

p2

7

S=

6

mm

W=

w

mm

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

MS

TE

P

St

ep

6

W2

=x

m

m

W1

=x

1

mm

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

Te

rm

Te

rm

2

Z=

50

O

hm

Nu

m=

2

MG

AP

Ga

p2

6

S=

5

mm

W=

v1

m

m

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"ML

IN

TL

53

L=

10

.5

m

mW

=3

.1

1

mm

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

MS

TE

P

St

ep

5

W2

=d

2

mm

W1

=d

1

mm

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

MS

TE

PS

te

p4

W2

=d

1

mm

W1

=d

m

m

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"M

ST

EP

St

ep

3

W2

=b

1

mm

W1

=b

m

m

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

MG

AP

Ga

p2

0

S=

22

m

m

W=

l m

m

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

MS

AB

ND

_M

DS

Be

nd

6

M=

0.

3A

ng

le=

90

W=

h

mm

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

MG

AP

Ga

p9

S=

22

m

m

W=

c

mm

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

MG

AP

Ga

p2

3

S=

6

mm

W=

r

mm

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

MG

AP

Ga

p1

9

S=

8

mm

W=

k

mm

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

MG

AP

Ga

p5

S=

4

mm

W=

p

mm

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

MG

AP

Ga

p1

7

S=

10

m

mW

=g

m

m

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

MG

AP

Ga

p1

6

S=

10

m

m

W=

g

mm

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

MG

AP

Ga

p1

2

S=

10

m

mW

=e

1

mm

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

MG

AP

Ga

p1

1

S=

8

mm

W=

e1

m

m

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

MS

AB

ND

_M

DS

Be

nd

7

M=

0.

3

An

gle

=9

0W

=s

m

m

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

MG

AP

Ga

p2

2

S=

5

mm

W=

s

mm

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

MS

AB

ND

_M

DS

Be

nd

8

M=

0.

3

An

gle

=9

0

W=

r

mm

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

MT

EE

_A

DS

Te

e9

W3

=n

m

m

W2

=s

m

m

W1

=r

m

mS

ub

st

="

MS

ub

1"

MS

AB

ND

_M

DS

Be

nd

4

M=

0.

3

An

gle

=9

0

W=

p

mm

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

MS

AB

ND

_M

DS

Be

nd

3

M=

0.

3A

ng

le=

90

W=

p

mm

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

St

ab

Fa

ct

St

ab

Fa

ct

1

St

ab

Fa

ct

1=

st

ab

_f

ac

t(

S)

St

ab

Fa

ct

VS

WR

VS

WR

1

VS

WR

1=

vs

wr

(S

11

)

VS

WR

MG

AP

Ga

p1

0

S=

5

mm

W=

e1

m

m

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

MT

EE

_A

DS

Te

e2

W3

=d

m

m

W2

=c

m

m

W1

=q

m

m

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

MG

AP

Ga

p1

8

S=

5

mm

W=

k

mm

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

MT

EE

_A

DS

Te

e5

W3

=l

mm

W2

=f

m

mW

1=

k

mm

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

MG

AP

Ga

p1

5

S=

5

mm

W=

g

mm

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

MG

AP

Ga

p8

S=

5

mm

W=

c

mm

Su

bs

t=

"M

Su

b1

"

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 114: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

95

Universitas Indonesia

m1freq=dB(S(1,1))=-10.132

436.0MHzm2freq=dB(S(1,1))=-10.3

437.5MHzm4freq=dB(S(1,1))=-23.299

436.9MHz

50 100 150 200 250 300 350 400 4500 50

-30

-25

-20

-15

-10

-5

-35

0

freq, MHz

dB(S

(1,1

))

m1m2

m4

m1freq=dB(S(1,1))=-10.132

436.0MHzm2freq=dB(S(1,1))=-10.3

437.5MHzm4freq=dB(S(1,1))=-23.299

436.9MHz

m3freq=dB(S(2,1))=25.996

436.9MHz

50 100 150 200 250 300 350 400 4500 500

-60

-40

-20

0

20

-80

40

freq, MHz

dB(S

(2,1

))

m3

m3freq=dB(S(2,1))=25.996

436.9MHz

freq

436.9 MHz

StabFact1

1.187

VSWR1

1.147

Gambar 4. 38 Hasil Simulasi Rangkaian Amplifier optimum

Dengan nilai bandwidth ±1.5 MHz, faktor kestabilan 1.251, VSWR 1.413, serta

gain sebesar 25.909 dB, rancangan power amplifier ini diharapkan mampu

memenuhi spesifikasi yang ditentukan diawal pembuatan divais.

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 115: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

96

Universitas Indonesia

4.2.7 HASIL FABRIKASI RANGKAIAN

Untuk rangkaian hasil fabrikasi dapat dilihat pada gambar dibawah ini:

Gambar 4. 39 Rangkaian Hasil Fabrikasi

Pada gambar tersebut terlihat bahwa rangkaian memiliki dimensi kurang lebih

(35x15) cm dengan menggunakan komponen analog pada proses

pengimplementasiannya.

4.2.8 SIMULASI RANGKAIAN HASIL FABRIKASI

Simulasi untuk rangkaian yang telah difabrikasi tersebut menggunakan

alat bantu network analyzer. Dari alat tersebut akan terlihat grafik s-parameter

yang dimiliki oleh rangkaian. Untuk nilai S11 dapat dilihat pada gambar berikut

ini:

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 116: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

97

Universitas Indonesia

Grafik 4. 5 Parameter S11 Rangkaian Hasil Fabrikasi

Range frekuensi grafik adalah mulai dari frekuensi 10 MHz hingga 2 GHz. Dari

grafik diatas terlihat bahwa nilai S11 rangkaian telah bergeser hingga frekuensi

±1.71 GHz, jauh melebihi nilai frekuensi kerja amplifier yang diinginkan.

Sementara untuk grafik S22 dari rangkaian dapat dilihat berikut ini:

Grafik 4. 6 Parameter S22 Rangkaian Hasil Fabrikasi

Kembali dari grafik diatas terlihat bahwa untuk nilai parameter S22 juga

mengalami pergeseran, namun kali ini bergeser ke frekuensi ±500 MHz.

Pergeseran kedua nilai s-parameter ini menyatakan bahwa rangkaian

sudah tidak lagi dalam kondisi matched, atau nilai impedansi input dan output

sudah tidak lagi merupakan nilai konjugasi dari impedansi sistem sebesar 50Ω.

Ketidak-matching-an rangkaian ini menyebabkan banyaknya sinyal yang terpantul

saat melewati amplifier. Oleh sebab itu, gain yang dimiliki oleh amplifier hampir

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 117: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

98

Universitas Indonesia

bisa dipastikan akan berkurang atau bahkan menjadi loss. Hal tersebut dapat

ditunjukkan pada grafik S21 yang merepresentasikan gain berikut ini:

Grafik 4. 7 Parameter S21 Rangkaian Hasil Fabrikasi

Grafik diatas membuktikan bahwa rangkaian yang difabrikasi memiliki

gain yang nilainya minus, atau dengan kata lain memberikan loss. Hal ini

disebabkan ketidak-matching-an amplifier dengan sistem. Ada beberapa faktor

fabrikasi yang menyebabkan terjadinya ketidak-matching-an tersebut, antara lain:

• Penggunaan komponen-komponen analog yang sensitif terhadap

perubahan nilai frekuensi kerja;

• Kaki-kaki komponen yang digunakan merupakan jalur tambahan pada

rangkaian;

• Pembulatan nilai-nilai komponen;

• Ketersediaan nilai komponen yang diinginkan di pasaran;

• Dan, proses penyolderan komponen.

Faktor-faktor inilah yang sangat mungkin menyebabkan terjadinya ketidak-

matching-an dari rangkaian hasil fabrikasi. Untuk poin pertama, kesensitifitasan

dari rangkaian yang dimaksudkan juga terdapat pada poin nomor dua. Seperti

telah dibuktikan pada simulasi rangkaian secara software, dinyatakan bahwa jalur

antar komponen mejadi faktor yang mempengaruhi frekuensi kerja dari amplifier.

Sementara banyak komponen yang digunakan pada rangkaian fabrikasi memiliki

kaki-kaki yang seolah-olah menjadi jalur tambahan pada rangkaian dimana hal

tersebut luput dari perhitungan secara simulasi.

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 118: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

99

Universitas Indonesia

Kemudian, pembulatan nilai juga dilakukan dikarenakan pada hasil

optimal yang didapatkan secara simulasi, nilai-nilai komponen banyak yang

memiliki angka di belakang koma. Nilai komponen seperti ini sangat sulit

didapatkan di pasaran, sehingga pembulatan nilai komponen pun harus dilakukan.

Pembulatan ini sudah barang tentu akan mengubah hasil akhir simulasi dari

rangkaian, walaupun perubahan ini telah dilakukan optimasi sehingga tidak sangat

mengubah hasil akhirnya.

Faktor lainnya adalah kembali mengenai ketersediaan komponen. Proses

pembulatan yang dilakukan tidak serta merta menghasilkan suatu nilai yang

tersedia di pasaran. Oleh sebab itu, proses seri dan/atau paralel komponen harus

dilakukan untuk mendapatkan nilai yang sesuai. Dampak dari faktor ini lebih

kearah dimensi dari amplifier yang semakin besar dengan dampak pada frekuensi

kerja rangkaian tidak terlalu banyak.

Yang terakhir adalah proses penyolderan. Pada simulasi secara software,

masing-masing jalur mikrostrip memiliki port diujung jalurnya. Port ini

merupakan tempat dimana komponen akan diletakkan pada rangkaian hasil

perancangan. Namun pada kenyataannya, proses penyolderan dilakukan tanpa

memperhatikan poin ini, sehingga ada beberapa komponen yang letaknya tidak

berada diujung jalur mikrostrip tersebut. Hal ini tentu akan mereduksi jarak efektif

dari mikrostrip tersebut sehingga akan mengakibatkan ketidak-matching-an pada

rangkaian. Hal ini kembali telah dibuktikan pada simulasi tentang pengaruh jalur

pada respon frekuensi dari rangkaian yang dirancang.

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 119: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

100

Universitas Indonesia

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 KESIMPULAN

• Power amplifier yang dirancang mampu mencapai nilai sesuai spesifikasi

yang ditentukan pada awal perancangan divais, yaitu bandwidth ±1.6 5Hz,

faktor kestabilan 1.187, VSWR 1.147, serta gain sebesar 25.996 dB

• Berdasarkan perhitungan, maka biasing menggunakan jenis voltage

divider terbukti bahwa β tidak mempengaruhi perubahan VCE terhadap

perubahan suhu

• Proses pengoptimasian rangkaian, baik biasing maupun matching, mampu

meningkatkan nilai parameter kerja dari divais

• Berdasarkan simulasi, dimensi dari divais yang dirancang masih memiliki

ukuran yang relatif besar, yaitu ±25 cm

• Pada pengimplementasian nanosatelit, lebih diutamakan penggunaan IC

untuk masing-masing subsistemnya agar tidak terjadi pemborosan ruang

5.2 SARAN

• Pada pengerjaan selanjutnya atau penelitian sejenis, lebih diutamakan

penggunaan IC untuk teknologi nano, karena dimensi menjadi penghalang

utama untuk pembentukan divais dengan komponen-komponen analog

• Untuk frekuensi tinggi, diharuskan memperhatikan pengaruh jalur

transmisi pada divais karena sangat berpengaruh pada parameter kerja

divais

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 120: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

101

Universitas Indonesia

DAFTAR REFERENSI

[1] Ricardo. (2001). C/Ku GEO-ORBIT SATELLITE QUICK LOOK. Maret

29, 2001. http://www.geo-orbit.org/sizepgs/geodef.html

[2] ANTARA New. (2010). Hasil Survey Terbaru Jumlah Pulau Indonesia.

Agustus 17, 2010. http://www.antaranews.com/berita/1282043158/hasil-

survei-terbaru-jumlah-pulau-indonesia [3] Maral, Gerard., & Bousquet, Michel. (2009). Satellite Communications

Systems. Singapore: John Willey & Sons Ltd.

[4] Wang, C.C. & Nguyen, T.M., & Goo, G.W. (1999). Satellite Payload

Architectures For Wideband Communications Systems: IEEE

[5] RPC Telecommunication. (2002). Satellite Orbits. November 11, 2002.

http://www.satcom.co.uk/article.asp?article=11

[6] Paul. Types of orbits.

http://marine.rutgers.edu/mrs/education/class/paul/orbits2.html

[7] Sun, Zhili. Satellite Networking Principles and Protocols. (2005).

England: John Willey & Sons.

[8] LAPAN. Indonesian Inter University Satellite Preliminary Design Review.

2010

[9] Thoppay, P.E. Design of RF System for Cubesat. 2006

[10] Verhoeven, C.J.M., & Ubbels, W.J. Delfi-C3, past, present and future.

Oktober 17, 2010. Delft University of Technology, & Innovative Solutions

in Space BV, Netherland.

[11] Milliano, Martijn., & Verhoeven, Chris. (2008). Towards The Next

Generation of Nanosatellite Communication System. Delft University of

Technology. Paper is presented on International Astronautical Congress,

2008, Glasgow

[12] Pranajaya, F.M., & Zee, R.E. THE GENERIC NANOSATELLITE BUS.

2009 First International Conference on Advances in Satellite and Space

Communications, 978-0-7695-3694-1/09. 2009. IEEE.

[13] Pozar, David M. Microwave Engineering. USA : John Wiley & Sons, Inc. 2nd edition. 1998.

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 121: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

102

Universitas Indonesia

[14] Bowick, Chris., Blyler, John., & Ajluni, Cheryl., RF Circuit Design. USA: Elsevier. 2nd edition. 2008

[15] Boylestad, Robert L., & Nashelsky, Louis. Electronic Devices and Circuit

Theory. USA: Pearson Prentice Hall. 9th edition. 2006

[16] Hayt, William H. Jr., & Buck, John A. Elektromagnetika. Indonesia:

Penerbit Erlangga. Edisi ketujuh. 2006

[17] Ludwig, Reinhold & Bretchko, Pavel. RF Circuit Design Theory and Applications. USA : Prentice –Hall. Inc. 2000.

[18] Sugijono, Erwin. Perancangan Dual Band High Power Amplifier Untuk

Mobile WiMax dan LTE pada Frekuensi 2.35 GHz dan 2.65 GHz.

Seminar. 2010

[19] Adi, Rhyando A. Perancangan Low Noise Amplifier dan Bandpass filter

pada Sistem Receiver Payload Komunikasi Iinusat. Seminar. 2010

[20] “Data-sheet NE662M04” NPN Silicon High Frequency Transistor. 10 November

2010.

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 122: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

103

Universitas Indonesia

LAMPIRAN

Lampiran 1. Transistor NE662M04

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 123: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

104

Universitas Indonesia

(Lanjutan)

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 124: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

105

Universitas Indonesia

(Lanjutan)

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 125: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

106

Universitas Indonesia

(Lanjutan)

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 126: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

107

Universitas Indonesia

(Lanjutan)

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 127: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

108

Universitas Indonesia

Lampiran 2. Penjelasan Gambar 4.37

n e 6 6 2 m 0 4

X 1

O p t im

O p t im 1

E n a b le C o c k p it = y e s

S a v e C u r r e n t E F = n o

U s e A llG o a ls = y e s

U s e A llO p t V a r s = y e s

S a v e A llI t e r a t io n s = n o

S a v e N o m in a l= n o

U p d a t e D a t a s e t = y e s

S a v e O p t im V a r s = n o

S a v e G o a ls = y e sS a v e S o ln s = y e s

S e e d =

S e t B e s t V a lu e s = y e s

N o r m a liz e G o a ls = n o

F in a lA n a ly s is = " N o n e "

S t a t u s L e v e l= 4D e s ir e d E r r o r = 0 . 0

M a x I t e r s = 3 0 0 0

O p t im T y p e = G r a d ie n t

O PTI M

G o a l

O p t im G o a l3

W e ig h t = 1

S im I n s t a n c e N a m e = " S P 1 "

E x p r = " d B ( S ( 2 , 2 ) ) "

G O AL

G o a l

O p t im G o a l2

W e ig h t = 1S im I n s t a n c e N a m e = " S P 1 "

E x p r = " d B ( S ( 1 , 1 ) ) "

G O AL

G o a lO p t im G o a l1

W e ig h t = 1

S im I n s t a n c e N a m e = " S P 1 "

E x p r = " d B ( S ( 2 , 1 ) ) "

G O AL

S _ P a r a m

S P 1

S t e p = 0 . 1 M H z

S t o p = 5 0 0 M H z

S t a r t = 0 M H z

S- PARAM ETERS

M L I N

T L 3 5

L = 1 9 . 0 4 0 4 m m o W = j2 m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M L I N

T L 3 4

L = 1 . 9 2 5 7 5 m m o W = j2 m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M L I NT L 5 8

L = 5 0 4 . 0 4 u m o p t 5 0 0 u m t o 2 0 m m

W = s m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M L I N

T L 4 1

L = 8 0 8 . 6 6 8 u m o p t 5 0 0 u m t o 2 0 m m

W = s m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M L I N

T L 2 6

L = 1 . 5 8 0 6 5 m m o

W = g m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M L I N

T L 6

L = 5 1 8 . 9 5 2 u m o p t 5 0 0 u m t o 2 0 m m

W = a m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M L E F

T L 6 7

L = 1 1 . 2 6 9 9 m m o

W = b 2 m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M L I N

T L 7 1

L = 1 0 . 6 3 0 9 m m o

W = b 1 m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M L I N

T L 4 6

L = 1 5 . 4 2 8 5 m m o W = 1 m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M L I N

T L 4 5

L = 4 . 4 7 1 3 1 m m o W = 1 m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M L I N

T L 5 1

L = 9 . 8 5 0 9 8 m m o

W = w m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M L E FT L 6 1

L = 7 . 4 2 9 6 5 m m o

W = w m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M L I N

T L 4 8

L = 4 . 0 2 1 4 6 m m o

W = u m mS u b s t = " M S u b 1 "

M L I N

T L 7 2

L = 3 . 1 9 7 6 9 m m o

W = d 1 m mS u b s t = " M S u b 1 "

M L I N

T L 6 0

L = 1 4 . 5 1 1 1 m m o W = x 1 m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M L I NT L 4 9

L = 1 4 . 7 4 4 4 m m o

W = v 1 m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M L E F

T L 6 2

L = 8 . 1 2 5 9 8 m m o W = v 1 m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M L E F

T L 6 6

L = 3 . 6 7 9 7 4 m m o

W = d 2 m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M L E F

T L 7 0

L = 5 . 5 5 6 0 9 m m o

W = l m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M L E F

T L 6 9

L = 7 . 8 8 6 4 2 m m o W = s m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M L I NT L 8

L = 6 . 2 8 8 4 5 m m o

W = d m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M L I N

T L 6 3

L = 8 . 2 3 3 2 8 m m o

W = b m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M L I N

T L 4 2

L = 2 . 3 6 4 5 6 m m o

W = r m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M L I N

T L 5 9

L = 1 0 . 3 8 4 3 m m o W = r m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M L I N

T L 3 6

L = 1 9 . 9 9 6 7 m m o

W = n m mS u b s t = " M S u b 1 "

M L I N

T L 3 2

L = 1 9 . 9 5 5 8 m m o

W = l m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M L I N

T L 7

L = 9 . 5 6 m m o

W = q m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M L I N

T L 1 8

L = 7 . 5 4 5 7 7 m m o

W = i1 m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M L S C

T L 3 1

L = 7 . 1 4 7 7 1 m m o

W = k m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M L I N

T L 3 0

L = 3 . 8 1 1 1 2 m m o

W = k m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M L I N

T L 2 9

L = 3 . 5 4 5 2 6 m m o W = k m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M L I NT L 2 8

L = 1 1 . 3 1 1 8 m m o

W = f m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M L S C

T L 2 7

L = 9 . 1 2 8 8 7 m m o

W = g m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M L I N

T L 2 5

L = 1 2 . 5 7 2 5 m m o

W = g m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M L I N

T L 1 3

L = 9 . 1 9 3 5 4 m m o

W = c m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M L I N

T L 2

L = 1 8 . 7 2 3 1 m m o

W = 1 m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M L E F

T L 6 8

L = 1 9 . 9 1 1 4 m m o W = r m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M L I N

T L 1 1

L = 1 8 . 0 8 7 2 m m o

W = c m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M L I N

T L 1 2

L = 1 8 . 8 1 1 9 m m o

W = c m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M L I NT L 2 4

L = 1 9 . 5 6 8 4 m m o

W = g m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M L I N

T L 7 3

L = 1 9 . 9 9 9 8 m m o W = x m m

S u b s t = " M S u b 1 "

V A R

V A R 1

j2 = 1 2 . 2 6 5 2 o a 3 = 0 . 5 2 3 5 4 6 o

a 2 = 1 9 . 9 6 9 o

a 1 = 1 9 . 7 7 6 6 o x 1 = 1 2 . 7 6 4 9 o

d 1 = 1 5 . 0 9 3 6 o

d 2 = 1 8 . 2 3 6 4 o

b 2 = 1 9 . 9 9 9 2 o

b 1 = 0 . 9 2 0 9 0 7 o

x = 1 0 o w = 0 . 5 0 5 9 1 9 o

v 1 = 1 . 3 3 2 2 1 o

u = 1 9 . 9 9 7 2 o

t = 1 4 . 1 8 0 8 o

s = 1 9 . 9 9 8 8 o

r = 0 . 5 8 1 0 2 5 o q = 1 9 . 9 8 5 1 o

p = 0 . 5 0 0 5 5 5 o

o = 1 5 . 9 0 5 9 o n = 0 . 5 4 2 4 8 9 o

l= 1 9 . 9 9 8 9 o

k = 1 9 . 8 2 2 8 o

j1 = 1 9 . 8 9 1 9

i1 = 8 . 6 1 1 5 8 o

h = 1 2 . 3 4 2 4g = 5 . 1 9 3 7 5 o

f = 2 . 4 5 4 4 1

e 1 = 4 . 4 2 0 3 3

d = 1 3 . 7 3 0 8 o

c = 0 . 7 5 8 3 8 9 o

b = 4 . 8 0 5 6 4 o a = 1 2 . 7 6 0 9 o

X = 1 1 . 0 4 0 1 o

E q nV a r

M S T E P

S t e p 8

W 2 = 5 0 . 0 m il

W 1 = j2 m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M T E E _ A D S

T e e 6

W 3 = n m m

W 2 = j2 m m

W 1 = 1 m mS u b s t = " M S u b 1 "

M G A P

G a p 2 1

S = 2 2 m mW = j2 m m

S u b s t = " M S u b 1 "

C

C 4

C = 1 . 0 u F

M L I N

T L 2 2

L = 1 . 6 7 7 m m

W = f m mS u b s t = " M S u b 1 "

M L I N

T L 2 3

L = 4 1 . 7 4 m m

W = f m m

S u b s t = " M S u b 1 "M T E E _ A D S

T e e 1 1

W 3 = w m mW 2 = v 1 m m

W 1 = u m m

S u b s t = " M S u b 1 "

L

L 9

R =

L = 2 2 n H

C

C 3

C = 9 p F

C

C 2

C = 1 . 5 p F

R

R 7

R = 4 0 O h m

C

C 1

C = 1 . 0 u F

R

R 6

R = 2 4 . 9 O h m

R

R 5

R = 1 4 O h m

R

R 4

R = 2 0 0 O h mLL 4

R =

L = 1 . 0 m H

C

C 9C = 1 . 0 u F

L

L 3

R =

L = 1 . 0 m H

L

L 1

R =

L = 1 . 0 m H

RR 2

R = 1 O h m

R

R 1

R = 5 3 6 O h m

R

R 3

R = 1 2 5 O h m

L

L 2

R =L = 1 . 0 m H

C

C 6

C = 1 p F

C

C 5

C = 1 . 2 p F

LL 1 0

R =

L = 2 2 n H

C

C 8

C = 1 . 0 p F

C

C 7C = 2 0 . 1 p F t

M S U B

M S u b 1

R o u g h = 0 m ilT a n D = 0 . 0 2

T = 0 . 0 3 5 m m

H u = 3 . 9 e + 0 3 4 m il

C o n d = 1 . 0 E + 5 0

M u r = 1

E r = 4 . 3H = 1 . 6 m m

M Sub

M T E E _ A D S

T e e 4

W 3 = j1 m m

W 2 = h m m

W 1 = f m mS u b s t = " M S u b 1 "

M L I N

T L 2 1

L = 0 . 8 6 8 3 2 4 m m

W = h m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M L I N

T L 2 0

L = 1 4 . 7 4 8 6 m m

W = h m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M L I NT L 1 9

L = 1 . 7 1 2 9 5 m m

W = h m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M L I N

T L 6 5

L = 1 9 . 0 6 5 4 m mW = h m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M L I N

T L 6 4

L = 1 4 . 2 3 6 7 m mW = e 1 m m

S u b s t = " M S u b 1 "M L I NT L 1 7

L = 1 7 . 8 2 9 7 m m

W = e 1 m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M L I N

T L 1 6

L = 1 2 . 7 7 3 m m

W = e 1 m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M L I N

T L 1 5

L = 3 . 4 7 1 4 7 m m

W = e 1 m mS u b s t = " M S u b 1 "

M L I N

T L 1 4

L = 1 7 . 1 7 9 4 m m

W = e 1 m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M C R O S O

C r o s 1

W 4 = g m m

W 3 = f m m

W 2 = e 1 m mW 1 = c m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M S A B N D _ M D S

B e n d 9

M = 0 . 3

A n g le = 9 0W = b 1 m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M S T E P

S t e p 2

W 2 = b 2 m m

W 1 = b 1 m mS u b s t = " M S u b 1 "

M T E E _ A D S

T e e 8

W 3 = q m m

W 2 = p m m

W 1 = p m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M L I N

T L 3 9

L = a 1 m m

W = p m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M S A B N D _ M D S

B e n d 2

M = 0 . 3

A n g le = 9 0

W = p m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M L I N

T L 5 5

L = a 2 m m

W = p m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M G A P

G a p 4

S = 4 m m

W = p m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M L I N

T L 5 4

L = a 2 m m

W = p m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M S A B N D _ M D S

B e n d 1

M = 0 . 3

A n g le = 9 0

W = p m mS u b s t = " M S u b 1 "

M L I N

T L 3 7

L = a 1 m m

W = p m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M T E E _ A D S

T e e 7

W 3 = a m m

W 2 = p m m

W 1 = p m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M S T E P

S t e p 1

W 2 = x 1 m m

W 1 = 1 m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M G A P

G a p 2 4

S = 1 m mW = 1 m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M L I NT L 5 7

L = a 2 m m

W = p m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M L I NT L 5 6

L = a 2 m m

W = p m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M L I N

T L 4 0

L = a 3 m m

W = p m mS u b s t = " M S u b 1 "

M L I N

T L 3 8

L = a 3 m m

W = p m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M T E E _ A D S

T e e 1 0

W 3 = u m m

W 2 = 3 . 1 1 m m

W 1 = x m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M G A P

G a p 1

S = 1 m m

W = 1 m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M L I N

T L 7 4

L = 5 m m

W = 1 m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M S T E P

S t e p 7

W 2 = 1 m m

W 1 = 3 . 1 1 m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M L I N

T L 1

L = 1 0 . 5 m m

W = 3 . 1 1 m m

S u b s t = " M S u b 1 "

T e r m

T e r m 1

Z = 5 0 O h m

N u m = 1

M T E E _ A D S

T e e 1

W 3 = b m m

W 2 = a m m

W 1 = 1 m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M G A P

G a p 2 7

S = 6 m m

W = w m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M S T E P

S t e p 6

W 2 = x m m

W 1 = x 1 m m

S u b s t = " M S u b 1 "

T e r m

T e r m 2

Z = 5 0 O h m

N u m = 2

M G A P

G a p 2 6

S = 5 m m

W = v 1 m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M L I N

T L 5 3

L = 1 0 . 5 m mW = 3 . 1 1 m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M S T E P

S t e p 5

W 2 = d 2 m m

W 1 = d 1 m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M S T E PS t e p 4

W 2 = d 1 m m

W 1 = d m m

S u b s t = " M S u b 1 "M S T E P

S t e p 3

W 2 = b 1 m mW 1 = b m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M G A P

G a p 2 0

S = 2 2 m m

W = l m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M S A B N D _ M D S

B e n d 6

M = 0 . 3A n g le = 9 0

W = h m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M G A P

G a p 9

S = 2 2 m m

W = c m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M G A P

G a p 2 3

S = 6 m m

W = r m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M G A P

G a p 1 9

S = 8 m mW = k m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M G A PG a p 5

S = 4 m m

W = p m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M G A P

G a p 1 7

S = 1 0 m mW = g m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M G A P

G a p 1 6

S = 1 0 m m

W = g m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M G A P

G a p 1 2

S = 1 0 m mW = e 1 m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M G A P

G a p 1 3

S = 2 5 m mW = h m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M G A PG a p 1 1

S = 8 m m

W = e 1 m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M S A B N D _ M D S

B e n d 7

M = 0 . 3

A n g le = 9 0W = s m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M G A PG a p 2 2

S = 5 m m

W = s m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M S A B N D _ M D S

B e n d 8

M = 0 . 3

A n g le = 9 0

W = r m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M T E E _ A D S

T e e 9

W 3 = n m m

W 2 = s m m

W 1 = r m mS u b s t = " M S u b 1 "

M G A P

G a p 1 4

S = 5 m m

W = h m mS u b s t = " M S u b 1 "

M S A B N D _ M D S

B e n d 4

M = 0 . 3

A n g le = 9 0

W = p m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M S A B N D _ M D S

B e n d 3

M = 0 . 3A n g le = 9 0

W = p m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M S A B N D _ M D S

B e n d 5

M = 0 . 3

A n g le = 9 0

W = e 1 m m

S u b s t = " M S u b 1 "

S t a b F a c tS t a b F a c t 1

S t a b F a c t 1 = s t a b _ f a c t ( S )

S t a b F a c t

V S W RV S W R 1

V S W R 1 = v s w r ( S 1 1 )

V S W R

M T E E _ A D S

T e e 3

W 3 = i1 m m

W 2 = e 1 m m

W 1 = h m mS u b s t = " M S u b 1 "

M G A P

G a p 1 0

S = 5 m mW = e 1 m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M T E E _ A D S

T e e 2

W 3 = d m m

W 2 = c m m

W 1 = q m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M G A PG a p 1 8

S = 5 m m

W = k m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M T E E _ A D S

T e e 5

W 3 = l m m

W 2 = f m mW 1 = k m m

S u b s t = " M S u b 1 "

M G A P

G a p 1 5

S = 5 m m

W = g m m

S u b s t = " M S u b 1 "

V _ D C

S R C 1

V d c = 5 V

M G A P

G a p 8

S = 5 m m

W = c m m

S u b s t = " M S u b 1 "

1

2

3

4

5

7

6

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 128: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

109

Universitas Indonesia

Lampiran 3. Bagian (1) dari Gambar 4.37

MLEFTL67

L=11.2699 mm oW=b2 mmSubst="MSub1"

MLINTL71

L=10.6309 mm oW=b1 mmSubst="MSub1"

MLINTL63

L=8.23328 mm oW=b mmSubst="MSub1"

MLINTL2

L=18.7231 mm oW=1 mmSubst="MSub1"

LL9

R=L=22 nH

MSABND_MDSBend9

M=0.3Angle=90W=b1 mmSubst="MSub1"

MSTEPStep2

W2=b2 mmW1=b1 mmSubst="MSub1"

MGAPGap1

S=1 mmW=1 mmSubst="MSub1"

MLINTL74

L=5 mmW=1 mmSubst="MSub1"

MSTEPStep7

W2=1 mmW1=3.11 mmSubst="MSub1"

MLINTL1

L=10.5 mmW=3.11 mmSubst="MSub1"

TermTerm1

Z=50 OhmNum=1

MTEE_ADSTee1

W3=b mmW2=a mmW1=1 mmSubst="MSub1"

MSTEPStep3

W2=b1 mmW1=b mmSubst="MSub1"

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 129: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

110

Universitas Indonesia

Lampiran 4. Bagian (2) dari Gambar 4.37

MLINTL6

L=518.952 um opt 500 um to 20 mm W=a mmSubst="MSub1"

MLINTL7

L=9.56 mm oW=q mmSubst="MSub1"

CC3C=9 pF

CC2C=1.5 pF

MTEE_ADSTee8

W3=q mmW2=p mmW1=p mmSubst="MSub1"

MLINTL39

L=a1 mmW=p mmSubst="MSub1"

MSABND_MDSBend2

M=0.3Angle=90W=p mmSubst="MSub1"

MLINTL55

L=a2 mmW=p mmSubst="MSub1"

MGAPGap4

S=4 mmW=p mmSubst="MSub1"

MLINTL54

L=a2 mmW=p mmSubst="MSub1"

MSABND_MDSBend1

M=0.3Angle=90W=p mmSubst="MSub1"

MLINTL37

L=a1 mmW=p mmSubst="MSub1"

MTEE_ADSTee7

W3=a mmW2=p mmW1=p mmSubst="MSub1"

MLINTL57

L=a2 mmW=p mmSubst="MSub1"

MLINTL56

L=a2 mmW=p mmSubst="MSub1"

MLINTL40

L=a3 mmW=p mmSubst="MSub1"

MLINTL38

L=a3 mmW=p mmSubst="MSub1"

MGAPGap5

S=4 mmW=p mmSubst="MSub1"

MSABND_MDSBend4

M=0.3Angle=90W=p mmSubst="MSub1"

MSABND_MDSBend3

M=0.3Angle=90W=p mmSubst="MSub1"

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 130: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

111

Universitas Indonesia

Lampiran 5. Bagian (3) dari Gambar 4.37

MLINTL72

L=3.19769 mm oW=d1 mmSubst="MSub1"

MLEFTL66

L=3.67974 mm oW=d2 mmSubst="MSub1"

MLINTL8

L=6.28845 mm oW=d mmSubst="MSub1"

MLINTL13

L=9.19354 mm oW=c mmSubst="MSub1"

MLINTL11

L=18.0872 mm oW=c mmSubst="MSub1"

MLINTL12

L=18.8119 mm oW=c mmSubst="MSub1"

RR7R=40 Ohm

CC1C=1.0 uF

MSTEPStep5

W2=d2 mmW1=d1 mmSubst="MSub1"

MSTEPStep4

W2=d1 mmW1=d mmSubst="MSub1"

MGAPGap9

S=22 mmW=c mmSubst="MSub1"

MTEE_ADSTee2

W3=d mmW2=c mmW1=q mmSubst="MSub1"

MGAPGap8

S=5 mmW=c mmSubst="MSub1"

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 131: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

112

Universitas Indonesia

Lampiran 6. Bagian (4) dari Gambar 4.37 MCROSOCros1

W4=g mmW3=f mmW2=e1 mmW1=c mmSubst="MSub1"

ne662m04X1

MLINTL26

L=1.58065 mm oW=g mmSubst="MSub1"

MLEFTL70

L=5.55609 mm oW=l mmSubst="MSub1"

MLINTL32

L=19.9558 mm oW=l mmSubst="MSub1"

MLSCTL31

L=7.14771 mm oW=k mmSubst="MSub1"

MLINTL30

L=3.81112 mm oW=k mmSubst="MSub1"

MLINTL29

L=3.54526 mm oW=k mmSubst="MSub1"

MLINTL28

L=11.3118 mm oW=f mmSubst="MSub1"

MLSCTL27

L=9.12887 mm oW=g mmSubst="MSub1"

MLINTL25

L=12.5725 mm oW=g mmSubst="MSub1"

MLINTL24

L=19.5684 mm oW=g mmSubst="MSub1"

MLINTL23

L=41.74 mmW=f mmSubst="MSub1"

RR6R=24.9 Ohm

RR5R=14 Ohm

RR4R=200 Ohm

LL4

R=L=1.0 mH

CC9C=1.0 uF

LL3

R=L=1.0 mH

MGAPGap20

S=22 mmW=l mmSubst="MSub1"

MGAPGap19

S=8 mmW=k mmSubst="MSub1"

MGAPGap17

S=10 mmW=g mmSubst="MSub1"

MGAPGap16

S=10 mmW=g mmSubst="MSub1"

MGAPGap18

S=5 mmW=k mmSubst="MSub1"

MTEE_ADSTee5

W3=l mmW2=f mmW1=k mmSubst="MSub1"

MGAPGap15

S=5 mmW=g mmSubst="MSub1"

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 132: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

113

Universitas Indonesia

Lampiran 7. Bagian (5) dari Gambar 4.37

MTEE_ADSTee3

W3=i1 mmW2=e1 mmW1=h mmSubst="MSub1"

MLINTL64

L=14.2367 mmW=e1 mmSubst="MSub1"

MLINTL17

L=17.8297 mmW=e1 mmSubst="MSub1"

V_DCSRC1Vdc=5 V

MSABND_MDSBend5

M=0.3Angle=90W=e1 mmSubst="MSub1"

MLINTL21

L=0.868324 mmW=h mmSubst="MSub1"

MSTEPStep8

W2=50.0 milW1=j2 mmSubst="MSub1"

MLINTL22

L=1.677 mmW=f mmSubst="MSub1"

MTEE_ADSTee4

W3=j1 mmW2=h mmW1=f mmSubst="MSub1"

MGAPGap14

S=5 mmW=h mmSubst="MSub1"

LL2

R=L=1.0 mH

MLINTL20

L=14.7486 mmW=h mmSubst="MSub1"

MGAPGap13

S=25 mmW=h mmSubst="MSub1"

RR3R=125 Ohm

MLINTL19

L=1.71295 mmW=h mmSubst="MSub1"

MLINTL18

L=7.54577 mm oW=i1 mmSubst="MSub1"

LL1

R=L=1.0 mH

RR2R=1 Ohm

RR1R=536 Ohm

MLINTL65

L=19.0654 mmW=h mmSubst="MSub1"

MLINTL16

L=12.773 mmW=e1 mmSubst="MSub1"

MLINTL15

L=3.47147 mmW=e1 mmSubst="MSub1"

MLINTL14

L=17.1794 mmW=e1 mmSubst="MSub1"

MSABND_MDSBend6

M=0.3Angle=90W=h mmSubst="MSub1"

MGAPGap12

S=10 mmW=e1 mmSubst="MSub1"

MGAPGap11

S=8 mmW=e1 mmSubst="MSub1"

MGAPGap10

S=5 mmW=e1 mmSubst="MSub1"

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 133: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

114

Universitas Indonesia

Lampiran 8. Bagian (6) dari Gambar 4.37

MLINTL35

L=19.0404 mm oW=j2 mmSubst="MSub1"

MLINTL34

L=1.92575 mm oW=j2 mmSubst="MSub1"

MLINTL58

L=504.04 um opt 500 um to 20 mm W=s mmSubst="MSub1"

MLINTL41

L=808.668 um opt 500 um to 20 mm W=s mmSubst="MSub1"

MLINTL45

L=4.47131 mm oW=1 mmSubst="MSub1"

MLEFTL69

L=7.88642 mm oW=s mmSubst="MSub1"

MLINTL42

L=2.36456 mm oW=r mmSubst="MSub1"

MLINTL59

L=10.3843 mm oW=r mmSubst="MSub1"

MLINTL36

L=19.9967 mm oW=n mmSubst="MSub1"

MLEFTL68

L=19.9114 mm oW=r mmSubst="MSub1"

MTEE_ADSTee6

W3=n mmW2=j2 mmW1=1 mmSubst="MSub1"

MGAPGap21

S=22 mmW=j2 mmSubst="MSub1"

CC4C=1.0 uF

CC6C=1 pF

CC5C=1.2 pF

LL10

R=L=22 nH

MGAPGap24

S=1 mmW=1 mmSubst="MSub1"

MGAPGap23

S=6 mmW=r mmSubst="MSub1"

MSABND_MDSBend7

M=0.3Angle=90W=s mmSubst="MSub1"

MGAPGap22

S=5 mmW=s mmSubst="MSub1"

MSABND_MDSBend8

M=0.3Angle=90W=r mmSubst="MSub1"

MTEE_ADSTee9

W3=n mmW2=s mmW1=r mmSubst="MSub1"

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011

Page 134: UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN HIGH POWER …

115

Universitas Indonesia

Lampiran 9. Bagian (7) dari Gambar 4.37

MLINTL46

L=15.4285 mm oW=1 mmSubst="MSub1"

MLINTL51

L=9.85098 mm oW=w mmSubst="MSub1"

MLEFTL61

L=7.42965 mm oW=w mmSubst="MSub1"

MLINTL48

L=4.02146 mm oW=u mmSubst="MSub1"

MLINTL60

L=14.5111 mm oW=x1 mmSubst="MSub1"

MLINTL49

L=14.7444 mm oW=v1 mmSubst="MSub1"

MLEFTL62

L=8.12598 mm oW=v1 mmSubst="MSub1"

MLINTL73

L=19.9998 mm oW=x mmSubst="MSub1"

MTEE_ADSTee11

W3=w mmW2=v1 mmW1=u mmSubst="MSub1"

CC8C=1.0 pF

CC7C=20.1 pF t

MSTEPStep1

W2=x1 mmW1=1 mmSubst="MSub1"

MTEE_ADSTee10

W3=u mmW2=3.11 mmW1=x mmSubst="MSub1"

MGAPGap27

S=6 mmW=w mmSubst="MSub1"

MSTEPStep6

W2=x mmW1=x1 mmSubst="MSub1"

TermTerm2

Z=50 OhmNum=2

MGAPGap26

S=5 mmW=v1 mmSubst="MSub1"

MLINTL53

L=10.5 mmW=3.11 mmSubst="MSub1"

Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011