upaya pencegahan perkawinan beda agama di...

208
UPAYA PENCEGAHAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI KABUPATEN TORAJA UTARA Tesis Diajukan untuk Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Magister dalam Bidang Ilmu Studi Hukum Islam (M.H.) Oleh MASHURI NIM 18.19.2.03.0012 PASCASARJANA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI IAIN PALOPO 2020

Upload: others

Post on 04-Feb-2021

17 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • UPAYA PENCEGAHAN PERKAWINAN BEDA AGAMA

    DI KABUPATEN TORAJA UTARA

    Tesis

    Diajukan untuk Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Magisterdalam Bidang Ilmu Studi Hukum Islam (M.H.)

    Oleh

    MASHURINIM 18.19.2.03.0012

    PASCASARJANAINSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

    IAIN PALOPO2020

  • ii

    UPAYA PENCEGAHAN PERKAWINAN BEDA AGAMADI KABUPATEN TORAJA UTARA

    Tesis

    Diajukan untuk Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Magister

    dalam Bidang Ilmu Studi Hukum Islam (MH)

    Oleh

    MASHURINIM 18.19.2.03.0012

    Pembimbing:

    1. Dr. Hj. Nuryani, M.A.2. Dr. Mardi Takwim, M.H.I.

    PASCASARJANAINSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

    IAIN PALOPO2020

  • vii

    PRAKATA

    ِحْیِم ِ الرَّ ْحَمِن الرَّ َّ بِْسِم ا

    الَ ِ َرّبِ اْلعَلَِمْیَن. َوالصَّ َّ ِ ٍد َو َعلَى اَ اَْلَحْمدُ ِلِھ َو اَْصَحا بِِھ اَْجَمِعْیَن,ةُ َو الَّسَّالَُم َعلَى َسیِِّدنَا ُمَحمَّ

    .اما بعد

    Alhamdulillah, puji dan syukur Peneliti panjatkan kepada Allah swt

    yang telah memberikan kemudahan serta kelancaran. Shalawat dan salam

    semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw. Dengan perjuangan

    yang tidak mudah akhirnya tesis yang berjudul “Upaya Pencegahan

    Perkawinan Beda Agama di Kabupaten Toraja Utara” telah dirampungkan

    oleh Peneliti.

    Tesis ini merupakan salah satu syarat memperoleh gelar Magister

    Hukum Islam pada Institut Agama Islam Negeri Palopo. Dalam

    menyelesaikan tesis ini tentu tidak lepas dari bantuan serta bimbingan berbagai

    pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini Peneliti mengucapkan terima

    kasih kepada:

    1. Prof. Dr. Abdul Pirol, M.Ag. selaku Rektor IAIN Palopo.,

    2. Dr. H. Muammar Arafat, S.H. M.H, Wakil Rektor Bidang Akademik

    dan Pengembangan Kelembagaan.

    3. Dr. Ahmad Syarief Iskandar, S.E, M.M, Wakil Rektor Bidang

    Adimistrasi Umum, Perencanaan dan keuangan.

  • vii

    4. Dr. Muhaimin, M.A, Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan

    Kerjasama.

    5. Dr. H. M. Zuhri Abu Nawas, Lc., MA. selaku Direktur Pascasarjana

    IAIN Palopo.

    6. Dr. H. Firman Muhammad Arif, Lc. M. HI, selaku Ketua Prodi Hukum

    Islam Pascasarjana IAIN Palopo.

    7. Dr. Hj, Nuryani, M.A dan Dr. Mardi Takwim, M. H.I, selaku

    pembimbing I dan pembimbing II yang telah memberikan bimbingan,

    masukan dan mengarahkan dalam rangka penyelesaian tesis.

    8. Seluruh Dosen beserta seluruh staf pegawai IAIN Palopo yang telah

    mendidik penulis selama berada di IAIN Palopo dan memberikan

    bantuan dalam penyusunan tesis ini.

    9. H. Madehang, S.Ag., M. Pd. selaku Kepala Unit Perpustakaan beserta

    Karyawan dan Karyawati dalam ruang lingkup IAIN Palopo, yang

    telah banyak membantu, khususnya dalam mengumpulkan literature

    yang berkaitan dengan pembahasan tesis ini.

    10. Pretty Lamban Gasong.S. Th. M.Adm. SDA, selaku Kepala Kantor

    Kementerian Agama Kabupaten Toraja Utara yang telah memberi izin

    kepada penulis untuk meneliti dan mengambil data yang relevan dengan

    penulisan tesis tersebut.

    11. Terkhusus kepada kedua orang tuaku tercinta ayahanda Djini Tumanang

    Dan Ibunda Hj. Husnah,yang telah mengasuh dan mendidik penulis

  • vii

    dengan penuh kasih sayang sejak kecil hingga sekarang, dan segala yang

    telah diberikan kepada anak-anaknya, serta semua saudara dan

    saudariku yang selama ini membantu dan mendoakanku. Mudah-

    mudahan Allah swt.mengumpulkan kita semua dalam surga-Nya kelak.

    12. Mertuaku Talatta dan Ibunda mertuaku Hanisa (al-marhumah) Dan

    terkhusus istriku tercinta Runeni.,S.Pd.I dan anak-anak saya:

    Muhammad Mursyid Najiha dan Nurul Sahri Maqfirah, yang setia

    menemani dan mendampingi sampai larut malam menyelesaikan tesis

    ini.

    13. Rekan kerja yang setia di Kantor Urusan Agama Kecamatan Rantepao

    dan seluruh karyawan Kantor Kementerian Agama Kabupaten Toraja

    Utara yang selalu membantu dan menyiapkan data yang dibutuhkan

    dalam penelitian.

    14. Sahabat-sahabat dan rekan-rekan mahasiswa angkatan 2018 Program

    Pascasarjana Hukum Islam, khususnya teman seperjuangan dalam

    menuntut ilmu, yang tidak bosan mengkritik dan memberi masukan,

    kalian adalah saudara baruku yang saya temukan dalam hamparan

    gelombang ilmu dengan membawa karakter dan budaya yang beragam

    dari daerah masing-masing.

    Peneliti menyadari bahwa tesis ini jauh dari kesempurnaan,

    olehnya itu kritik dan saran yang sifatnya membangun dari berbagai

    pihak, sangat diharapakan demi penyempurnaan penelitian berikutnya.

  • vii

    Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat dalam khasanah

    pengembangan ilmu pengetahuan dan menjadi amal jahiah kelak.

    Aaminn.

    Toraja Utara,09 September 2020.

    Penulis

  • vii

  • vi

    PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB LATIN

    Berdasarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Agama RI dan Menteri

    Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 158/1987 dan 0543 b/U/1987, tanggal

    22 Januari 1988.

    1. Konsonan Tunggal

    HurufArab

    Nama HurufLatin

    Keterangan

    ا ب ت ث ج

    Alifba’ta’sa’jim

    Tidak dilambangkanbtṡj

    Tidak dilambangkanBeTe

    Es (dengan titik diatas)Je

    ح خ د ذ ر

    ha’kha’dalzalra’

    ḥkhdżr

    Ha (dengan titik di bawah)Ka dan Ha

    DeZet (dengan titik di atas)

    Er

    ز س ش

    ص ض

    zaisinsyinsaddad

    zssyṣḍ

    ZetEs

    Es dan YeEs (dengan titik di bawah)De (dengan titik dibawah)

    ط ظ ع غف

    Taza‘aingainfa’

    ṭẓ‘gf

    Te (dengan titik dibawah)Zet (dengan titik dibawah)

    Koma terbalik diatasGeEf

    ق كل

    qafkaflam

    qkl

    QiKaEl

  • vii

    م ن

    mimnun

    mn

    EmEn

    و ه ءي

    wawuha’

    hamzahya’

    wh’Y

    WeHa

    ApostrofYe

    2. Vokal

    Vokal bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri atas vokal

    tunggal (monoftong) dan vokal rangkap (diftong). Vokal tunggal bahasa Arab

    lambangnya berupa tanda atau harakat, yaitu fathah untuk vokal (ـــــــَــــ) a,

    kasroh untuk vokal (ــــــــِـــــ) i, dandhummah ( ــــــــــُـــ ) untuk vokal u. Vokal

    rangkap bahasa Arab lambangnya berupa gabungan antara harakat dan

    huruf yaitu au yaitu harakat a (fathah) diikuti wawu sukun(و) (mati), dan ai

    yaitu harakat a (fathah) diiringi huruf ya’ (ي) sukun (mati).

    Contoh vokal tunggal : َكثَرَ ditulis kasara

    Contoh vokal rangkap : َجعَلَ ditulis ja’ala

    a.Fathah + yā’ tanpa dua titik yang dimatikan ditulis ai .(أي)

    Contoh : َكْیفَ ditulis kaipa

    b.Fathah + wāwu mati ditulis au .(او)

    Contoh : ََھْول ditulis haula

  • viii

    3. Madda

    Maddah atau vokal panjang yang di dalam bahasa Arab dilambangkan

    dengan harakat dan huruf, transliterasinya berupa huruf dan tanda. Vokal

    panjang ditulis,

    Tanda Nama Huruf Latin Nama

    ◌َ …ا Fathah dan alif a dengan garis di atas

    ◌َ ...ي Atau fathah dan ya

    ◌ِ ◌...ي Kasrah dan ya Î i dengan garis di atas

    ◌ٌ ◌...و Dammah dan wau Û u dengan garis di atas

    masing-masing dengan tanda hubung (-) diatasnya.

    Contoh: لقَا ditulis qala

    قِْیلَي ditulis qiila

    یَقٌْولُ ditulis yaquulu

    4. Ta’ marbutah

    Transliterasi untuk ta’ marbutah ada dua, yaitu : ta’ marbutah yang

    hidup atau mendapat harakat fathah, kasrah, dan dammah, transliterasinya

    adalah [t]. Sedangkan ta’ marbutah yang mati atau mendapat harkat sukun,

    transliterasinya adalah.

    Kalau pada kata yang berakhir dengan ta’ marbutah diikuti oleh kata

    yang menggunakan kata sandang al- serta bacaan kedua kata itu terpisah, maka

    ta marbutah itu ditransliterasikan dengan ha (h).

  • ix

    Contoh : َرْوَضةَ االَْطفَا لَ : raudah al-atfal

    ِضلَةاَْلَمِد ْینَةٌ اَْلفَا : al-madinah al-fadilah

    اَْلِحْكَمة : al-hikmah

    5. Syaddah

    Syaddah/ tasydid dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan

    tanda tasydid, dalam transliterasi ini dilambangkan dengan perulangan huruf

    yang diberi tanda syaddah.

    Jika huruf ى ber-tasydid di akhir sebuah kata dan didahului oleh huruf

    kasrah ىــــِـ , maka ia ditransliterasi seperti huruf maddah (i).

    Contoh : َربَّنَا : rabbana

    ْینَا نَجَّ : najjaena

    6. Kata Sandang Alif + Lam (ال)

    Transliterasi kata sandang dibedakan menjadi dua macam, yaitu :

    a. Kata sandang diikuti huruf syamsiah

    Kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiah ditransliterasikan sesuai

    dengan bunyinya, yaitu huruf yang sama dengan huruf yang langsung

    mengikuti kata sandang itu atau huruf lam diganti dengan huruf yang

    mengikutinya.

    Contoh : اَلرَّ ٌجلٌ : ar-rajulu

    اَلشَّْمسُ : as-syamsu

  • x

    b. Kata sandang diikuti huruf qamariah

    Kata sandang yang diikuti oleh huruf qamariah ditulis al-.

    Contoh : اَْلَمِلكٌ : al-maliku

    اَ ْلقَلَمٌ : al-qalamu

    7. Hamzah

    Hamzah (ء) yang terletak di awal kata mengikuti vokalnya tanpa diberi

    tanda apa pun. Jika ia terletak di tengah atau di akhir kata, maka ditulis dengan

    tanda apostrof (’).

    8. Penulisan Kata

    Pada dasarnya setiap kata, baik fi’il, isim maupun huruf, ditulis terpisah.

    Bagi kata-kata tertentu yang penulisannya dengan huruf Arab yang sudah

    lazim dirangkaikan dengan kata lain karena ada huruf atau harakat yang

    dihilangkan maka dalam transliterasi ini penulisan kata tersebut bisa dilakukan

    dengan dua cara, bisa terpisah per kata dan bisa pula dirangkaikan.

    Contoh : اِزقِْین َواِنَّ هللاَ لٌَھَو َخْیٌر اَلرَّ : Wa innallâha lahuwa khair al-

    râziqîn

    9. Lafz al-Jalalah (هللا)

    Kata “Allah” yang didahului partikel seperti huruf jar dan huruf lainnya

    atau berkedudukan sebagai mudaf ilaih (frasa nominal), ditransliterasi tanpa

    huruf hamzah.

    Contoh : هللاِ ِدْینٌ đīnullāh ِ بِا billāh

  • xi

    Adapun ta marbutah di akhir kata yang disandarkan kepada lafz al-jalalah,

    ditransliterasi dengan huruf (t).

    Contoh : ِ ٌھْم فِْي َرْحَمِة َّ ا hum fi rahmatillah

    10. Huruf Kapital

    Walaupun dalam sistem huruf Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam

    transliterasi ini huruf kapital tetap digunakan. Penggunakan huruf kapital

    sesuai dengan EYD, di antaranya huruf kapital digunakan untuk penulisan

    huruf awal, nama diri, dan permulaan kalimat. Bila nama diri itu didahului

    oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal

    nama diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya. Penggunaan huruf

    capital untuk Allah hanya berlaku bila dalam tulisan arabnya memang lengkap.

  • 12

  • 13

  • 14

  • 15

  • 16

  • 17

  • 18

  • xv

    DAFTAR ISI

    HALAMAN SAMPUL .................................................................................... i

    HALAMAN JUDUL........................................................................................ ii

    PERNYATAAN KEASLIAN TESIS.............................................................. iii

    HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... iv

    PRAKATA....................................................................................................... v

    PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB LATIN............................................. ix

    DAFTAR ISI.................................................................................................... xv

    DAFTAR AYAT.............................................................................................. xvii

    DAFTAR HADIS ............................................................................................ xviii

    DAFTAR TABEL............................................................................................ xix

    DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xx

    ABSTRAK ....................................................................................................... xxi

    BAB I PENDAHULUAN...................................................................... 1

    A. Latar Belakang Masalah......................................................... 1

    B. Batasan Masalah.................................................................... 12

    C. Rumusan Masalah................................................................... 12

    D. Defisi Operasional .................................................................. 13

    E. Tujuan dan Manfaat Penelitian............................................... 13

    BAB II KAJIAN PUSTAKA ................................................................... 15

    A. Penelitian Terdahulu yang Relevan......................................... 15B. Tinjauan Teoretis..................................................................... 18

    1. Pengertian Perkawinan......................................................... 182. Syarat Sah Perkawinan......................................................... 263. Larangan Perkawinan........................................................... 324. Pencegahan Perkawinan....................................................... 355. Pembatalan Perkawinan ....................................................... 376. Akibat Perkawinan ............................................................... 39

  • xv

    7. Pengertian Perkawinan Beda Agama ................................... 45C. Kerangka Pikir ........................................................................ 61

    BAB III METODE PENELITIAN ............................................................ 63

    A. Desain Penelitian dan Pendekatan yang Digunakan .............. 63B. Lokasi dan Waktu................................................................... 63C. Subjek dan Objek Penelitian .................................................. 64D. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data ............................. 65E. Validitasas dan Reliabilitas Data ............................................ 67F. Teknik Pengolahan dan Analisis Data .................................... 69

    BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN........................... 71

    A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ...................................... 71B. Penyebab Maraknya Perkawinan Beda Agama di Kabupaten

    Toraja Utara............................................................................ 85C. Upaya Pencegahan Perkawinan Beda Agama di Kabupaten

    Toraja Utara............................................................................ 107D. Solusi terhadap Maraknya Perkawinan Beda agama di

    Kabupaten Toraja Utara.......................................................... 124

    BAB V PENUTUP..................................................................................... 139

    A. Simpulan ................................................................................ 139B. Implikasi Penelitian ................................................................ 140

    DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 142

    LAMPIRAN-LAMPIRAN

    DAFTAR RIWAYAT HIDUP

  • xvii

    Daftar Kutipan Ayat

    Kutipan Ayat 1 QS ar-Rum/30: 21................................................................... 2

    Kutipan Ayat 2 QS al-Maidah/5: 5 .................................................................. 47

    Kutipan Ayat 3 QS al-Baqarah/2: 221 ............................................................. 48

    Kutipan Ayat 4 QS al-Mumtahanah/60: 10 ..................................................... 49

    Kutipan Ayat 5 QS al-Baqarah/2:221 .............................................................. 50

  • xviii

    DAFTAR HADIS

    Hadis 1 Hadis tentang kategori pemilihan jodoh ............................................ 46

    Hadis 2 Hadis tentang kategori anjuran untuk menikah .................................. 50

    Hadis 3 Hadis tentang kategori kesucian seorang anak .................................. 52

    Hadis 4 Hadis Aisyah tentang kategori nikah sebagai sunnah Nabi ............. 53

  • xix

    DAFTAR TABEL

    Tabel 1 Uraian Hasil Penelitian Terdahulu ................................................................ 17

    Tabel 2 Nama-nama Penjabat Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Toaraja Utarabeserta priode masa jabatan............................................................................ 72

    Tabel 3 Nama-nama majelis Ta’lim tahun berdirinya dan nama ketuanya ................ 110

  • xx

    DAFTAR GAMBAR

    Gambar 1 Yoges friani Rondong, Barana Kabupaten Toraja Utara............... 92

    Gambar 2 Trisno, Rantepao Kabupaten Toraja Utara. .................................. 97

    Gambar 3 Noberthus Ramme, Buntao Kabupaten Toraja Utara ................... 99

    Gambar 4 Anti Pali’Rose’Sesean, Kabupaten Toraja Utara ................................. 10

    Gambar 5 Ahmad Kausar H, Karambe, Kabupaten Toraja Utara .................. 10

    Gambar 6 Pretty Lamban Gasong,Rantepao,Kabupaten Toraja Utara........... 10

    Gambar 7 Foto kegiatan Pembinanaan ,Rantepao, Kabupaten Toraja Utara . 113

    Gambar 8 Photo kegiatan Pembinaan,Rindingallo, Kabupaten Toraja Utara 114

    Gambar 9 Photo Kegiatan Pembinaan,Rantebua, Kabupaten Toraja Utara ... 115

    Gambar 10 Photo Plt. Kepala KUA Rantebua, Kabupaten Toraja Utara......... 117

    Gambar 11 Photo Pengajian HIPMUS, Kabupaten Toraja Utara. ................... 118

    Gambar 12 Luter Kananna, Buka,, Kabupaten Toraja Utara ........................... 120

    Gambar 13 Drs. H. Tarauna Bin Tumanan” Ketua MUI Kab. Toraja Utara.... 126

  • xxi

    ABSTRAK

    MASHURI, 2020, “ Upaya Pencegahan Perkawinan Beda Agama di KabupatenToraja Utara”. Dibimbing oleh Dr. Hj. Nuryani, M.A dan Dr. MardiTakwin, M. H.I.

    Penelitian ini adalah studi tentang “Upaya Pencegahan Perkawinan BedaAgama Kabupaten Toraja Utara. Pokok permasalahannya:1. Apa penyebab maraknyaperkawinan beda agama, 2. Upaya apa yang dilakukan unuk meminimalisirmaraknya perkawinan beda agama, 3. Apa solusi maraknya pernikahan beda agama?.Tujuannya adalah Boleh atau tidaknya Perkawinan beda agama dilangsungkanmenurut agama yang ada di Indonesia, semuanya tergantung pada aturan hukum darimasing-masing agama yang mengatur.

    Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif, denganpendekatan syariat, yuridis formal dan pendekatan sosiologis. Metode pengumpulandata; observasi, interview, dan dokumentasi, dengan teknik analisis data; reduksidata, display data, dan penarikan kesimpulan.

    Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari segi analisis problematika perlu diketahui penyebab terjadinya perkawinan beda agama ditimbulkan, karena adanyapengaruh budaya lingkungan, daya tarik lahiriah, rasa cinta, ekonomi dan hamildiluar nikah. Agar tidak terjadinya hal seperti itu perlunya turut andil pelaku upayapencegahan perkawinan beda agama yaitu Kepala Kantor Urusan Agama (KUA)untuk mensosialisasikan Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yangmenyatakan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukummasing-masing agama dan kepercayaannya itu. Dan bahwasanya melaksanakanperkawinan di luar aturan hukum, perkawinan tersebut tidak sah karena melanggarketentuan aturan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah dan tidak ada celaah untukmelakukan perkawinan beda agama. Yang dilakukan oleh pelaku pencegahanperkawinan beda agama adalah melakukan pendekatan intensif melalui tokoh-tokohagama, dengan melakukan pembinaan agama lewat komunikasi yang sehat,memberikan gambaran kriteria dalam memilih pasangan aqidah. Sehingga dalammembangun bahtera kehidupan rumah tangga tanpa adanya ketimpangan satu denganyang lainnya dalam membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah dan warahmah.Solusi dalam penyelesaian problematika pernikahan beda agama, yang pertama yakniharus tunduk pada undang-undang yang telah ditentukan, baik hukum formil maupunhukum Islam , menggiatkan ceramah-ceramah di mesjid tentang hukum perkawinanmenurut syariat agama Islam, adanya sanksi yang tegas terhadap pelaku perkawinanbeda dan memaksimalkan peran lembaga keagamaan dan ormas yang mampumemberikan pandangan keagamaan yang mendalam, terhadap permasalahan danmemberikan solusi yang bijak, dan tepat terhadap persoalan perkawinan bedaagama.

    Kata Kunci: Pencegahan, Perkawinan Beda Agama, Penerimaan Informasi

  • ABSTRACT

    MASHURI, 2020, “Prevention of Interfaith Marriage in North Toraja Regency”.Guided by Dr. Hj. Nuryani, M. A and Dr. Mardi Takwin, M. H. I.

    This research is a study on “Prevention of Marriage with Different Religion inNorth Toraja Rigency. Main per what causes the rise of inferfaith marriages, 2. Whatefforts are being made to minimize the prevalence of interfaith marriages, 3. What isthe solution to the increase in interfaith marriages?. Whether or not interfaithmarriages are carried out according to the exiting religions in Indonesia, it all dependson the legal rules of each religion that governs.

    To discuss this problem qualitative research method are used, with a syar’iapproach, formal juridical and sociological approaches. Observation, interview, anddocumentation, with data analysis techniques; data reduction, data display anddrawing conclusions.

    The result show that form a pro analysis point of view, we need to know thecauses of interfaith marriages due to cultural influences environment, attractiveness,ahiriah, love, economy, hami outside of marriage, so as not to happen yes, such athing is necessary for the participation of actors in efforts to prevent interfaithmarriages, namely the Head of the Office of Religious Affairs to socialize Law No 1of 1974 concerning marriage which states that marriage is legal, if it is carried outaccording to the law of each religion and belief. And bales carry out marriagesoutside the legal provisions, such marriages are invalid because they violate theprovisions of the legal rules established by the government and there is no criticismof having interfaith marriages. Efforts made by interfaith marriage prevention actorsare take an intersive approach through religious leaders, by conducting agdevelopment through a healthy person, providing an overview of the criteria forpairing with aqidah. So that in building the ark of the life of minah and ladder withoutone another in forming a healthy family. There are several alternative solutions insolving the problems of interfaith marriage., invite lectures in mosques on the law ofmarriage according to the syuiat of the Islamic religion, the existence of strictsanctions against actors of different marriages and maximize the role of religiousinstitutions and mass organizations that are able to provide deep kei views, onproblems and provide wise, and appropriate solutions to interfaith marriage issue.

    Key Words: Prevention, Interfaith Marriage, The Acceptance of Information

  • جتريد البحث

    مصحور: االسم18192030012: رقم الطلبة

    مبنطقة توراجا الشماليةمنع الزواج بین األدیان فيالجھود المبذولة ل: عنوان الرسالة

    . ما ھو 1المشاكل الرئیسیة: ھذا البحث ھو دراسة عن "جھود الوقایة من الزواج بین األدیان في شمال توراجا ریجنسي. . ما ھو الحل 3. ما ھي الجھود التي بذلت للحد من ارتفاع الزیجات بین األدیان ، 2سبب زیادة الزیجات بین األدیان ،

    الرتفاع الزیجات بین األدیان؟. والھدف ھو ما إذا كان الزواج بین األدیان یعقد أم ال وفقا لألدیان في إندونیسیا ، وكلھا على القواعد القانونیة لكل دین یحكم. ألن األدیان الخمسة ھي: اإلسالم والمسیحیة البروتستانتیة والكاثولیكیة تعتمد

    والھندوسیة والبوذیة ، ویعارض بشدة وجود زواج بین األدیان یمكن استبعاده في بعض الحاالت یمكن السماح بھ ولكن ین الخضوع لسیادة القانون واإلجراءات ما ھي الطریقة الدینیة التيفي حالة االختالفات الدینیة ، یجب على كال الطرف

    .سیتم اختیارھا للزواج

    النھج الشرعي ، والقانونیة الرسمیة والمنھج االجتماعي. لمناقشة المشكلة ، یتم استخدام طرق البحث النوعي ، باستخدام طریقة جمع البیانات ؛ المالحظة والمقابلة والوثائقي بتقنیات تحلیل البیانات ؛ تخفیض البیانات وعرض البیانات ورسم

    .االستنتاج

    لمختلفة للزواج بین األدیان أوضحت النتائج أنھ من حیث تحلیل المشكالت التي تحدث غالبًا في مجتمعنا حول األسباب ا. ھناك جاذبیة خارجیة للجمال للنساء 1في شمال توراجا ریجنسي بسبب اإلحساس الذي ینشأ في القلب بسبب الرؤیة:

    . الحامل خارج إطار الزواج. لكل 4. العوامل االقتصادیة ، 3. ھناك شعور كبیر بالحب ، 2والمظھر للرجال. ذكر ، ق مختلفة للتعامل معھا. في محاولة لتجنب الزواج بین األدیان ، نحتاج إلى تجنب االتصال شریك مشاكلھ الخاصة وطر

    المباشر ومنعھ ، واكتشاف االختالط الجنسي الذي یؤھل العشاق للقیام بشيء غیر مرغوب فیھ ، وال یحتاجون إلى د عن وجود حب الزوج والصراع واألذى الحصول على مكافآت مالیة ، وتجنب األنشطة التي یتم تنفیذھا معًا ، واالبتعا

    وعدم الوالء والخیانة بینھما. ھناك العدید من الحلول البدیلة في حل مشاكل الزواج بین األدیان ، أولھا أنھا یجب أن تمتثل للقوانین التي تم تحدیدھا ، ال یزال ھناك شيء مثل موافقة الوالدین (ولي األمر) ، والمساواة في اإلیمان ،

    وف المدعوین ، والتشاور مع شخص أو مؤسسة قادرة إعطاء نظرة دینیة عمیقة ، والمرونة في رؤیة المشاكل والضی.وتقدیم حلول حكیمة ومناسبة ومسؤولة علمیا .

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Indonesia dikenal dengan beraneka ragam budaya adat istiadat yang

    sudah tertanam dari nenek moyang mereka sebelumnya serta agama dan

    kepercayaan yang berbeda-beda. Tentunya masing-masing memiliki aturan yang

    berbeda-beda pula. Sama halnya dengan perkawinan. Budaya perkawinan dan

    aturan yang berlaku di Indonesia yang mana masyarakatnya begitu heterogen

    dalam segala aspeknya, tentu tidak terlepas dari pengaruh adat-istiadat dan agama

    yang berkembang di Indonesia. Seperti pengaruh agama Hindu, Budha, Kristen

    Protestan, Katolik dan Islam, bahkan dipengaruhi budaya perkawinan Barat.

    Keseluruhan faktor tersebut membuat begitu beragamnya hukum perkawinan di

    Indonesia. Di antara beberapa faktor tersebut, faktor agama adalah faktor yang

    paling dominan mempengaruhi hukum perkawinan yang ada di Indonesia.

    Keseluruhan agama tersebut masing-masing memiliki tata cara dan aturan

    perkawinan sendiri-sendiri. Hukum perkawinan yang berlaku bagi tiap-tiap

    agama tersebut satu sama lain ada perbedaan, akan tetapi tidak saling

    bertentangan.1

    Keheterogenan Indonesia menyebabkan adanya beberapa hukum yang

    1 Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), h. 6.

  • 2

    mengatur tentang perkawinan. Hukum yang mengatur perkawinan tersebut satu

    sama lain tidak sama. Sehingga apabila terjadi perkawinan yang berbeda agama,

    suku ataupun adat, maka akan menimbulkan akibat yang rumit. Dalam hal yang

    demikian ini tetap ada kepastian hukum akan tetapi berlakunya hukum tersebut

    hanya untuk golongan tertentu, sedangkan golongan yang lainnya mengatur

    hukumnya sendiri.

    Mendambakan pasangan merupakan fitrah sebelum dewasa, dan dorongan

    yang sulit dibendung setelah dewasa. Oleh karena itu, agama mensyariatkan

    dijalinnya pertemuan antara pria dan wanita, dan kemudian mengarahkan

    pertemuan itu sehingga terlaksananya”perkawinan” dan beralihlah kerisauan pria

    dan wanita menjadi ketenteraman atau sakinah sebagaimana dijelaskan dalam

    Firman Allah swt dalam Q.S ar-Rum (30) : 21.

    َودَّٗة وَ ٗجا لِّتَۡسُكنُٓواْ إِلَۡیَھا َوَجعََل َبۡیَنُكم مَّ ۡن أَنفُِسُكۡم أَۡزَوٰ تِِھۦٓ أَۡن َخلََق لَُكم ّمِ َرۡحَمةًۚ َوِمۡن َءایَٰ

    ٖت لِّقَۡوم ِلَك َألٓیَٰ َیتََفكَُّرونَ إِنَّ فِي ذَٰTerjemahnya:

    Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmuisteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasatenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tandabagi kaum yang berfikir.2

    Sebelum diberlakukan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

    perkawinan, ketentuan yang mengatur perkawinan di Indonesia belum ada

    keseragaman, sehingga perkawinan pada waktu itu dilaksanakan berdasarkan

    2 Kementerian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Yayasan Penerjemah al-Qur’an, 2012), h. 410.

  • 3

    hukum dan golongannya masing-masing. Karena itu, perkawinan antara orang

    yang berlainan agama merupakan perkawinan antara sistem hukum. Seperti yang

    terjadi perkawinan seorang laki-laki Tionghoa dengan wanita Indonesia asli, yang

    oleh pak KUA dinikahkan dengan prosedur perkawinan dan hukum Islam.

    Padahal menurut hukum positif, bahwa perkawinan harus dilakukan menurut

    hukum pihak mempelai laki-laki. Secara yuridis anak yang dilahirkan tersebut

    tetap anak yang tidak sah dan untuk dapat menjadi ahli waris anak tersebut harus

    mendapat pengakuan yang sah dari orang tuanya.3

    Dalam kompilasi Hukum Islam (KHI) diberlakukan dengan intruksi

    Presiden Nomor 1 tahun 1991, melarang seorang muslim melakukan perkawinan

    beda agama. Pasal 40 huruf c KHI berisikan tentang perkawinan seorang dengan

    wanita yang tidak beragana Islam.4

    Sementara larangan menikah beda agama bagi wanita muslimah diatur

    dalam pasal 44 KHI: “seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan

    dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.” Secara normatif larangan bagi

    wanita muslimah ini tidak menjadi persoalan, karena sejalan dengan ketentuan

    dalam Al-Qur’an yag disepakati kalangan fuqaha.

    Di Indonesia pernikahan beda agama merupakan pernikahan yang menarik

    perhatian masyarakat. Meskipun pernikahan ini dianggap berbeda dengan

    kebiasaan masyarakat pada umumnya. Namun, pada kenyataannya fenomena

    pernikahan beda agama sering dijumpai. Karena memang penduduk Indonesia

    3 Sution Usman, Kawin Lari dan Kawin Antar Agama (Yogyakarta: Liberty, 1989), h.112.

    4 Afrian Raus, Perkawinan Antar Pemeluk Agama di Indonesia, volume 14 nomor 1 Juni2015, h. 75.

  • 4

    memeluk bermacam-macam agama menurut keyakinan masing-masing. Setiap

    agama tentunya menghendaki pernikahan atas dasar kesamaan imam yang

    dimiliki pasangan yang akan menikah. Bahkan akhir-akhir ini fenomena

    perkawinan beda agama menjadi fenomena yang up to date dan ramai diberitakan

    oleh masyarakat, salah satunya yakni berita tentang perkawinan “ Helmi Tandi

    (Muallaf) dengan pasangan Isra Ali Sinau (Muslimah), sudah menjalin hubungan

    cinta selama 4 tahun. Keduanya saling mencintai dan sangat cocok dalam segala

    hal; komunikasi, intelektual, emosional, semuanya klop seperti sudah jodoh dari

    sananya. Semua orang iri melihat kemesraan mereka. Namun, kebahagian

    tersebut harus berakhir tragis karena kedua orang tua tidak menyetujui atas dasar

    agama mereka yang berbeda. Mereka berdua diancam bakal akan diusir dari

    rumah bila keras menikah. Dengan akibat tekanan yang bertubi-tubi dari keluarga

    dan saudara kedua pasangan tersebut tak akan putus asa dan tetap optimis dengan

    keyakinan yang kuat akan melangsungkan perkawinan dengan pasangan sejati

    yang ia cintai. Bapak Helmi Tandi yang punya komitmen kuat yang harus

    berhadapan dengan keluarga dengan keyakinan optimis apa yang ia harus jalani

    tetap harus meminta izin kepada keluarganya dan tetap harus menanggung resiko

    kedepannya. Dengan berbagai pertimbangan dan resiko yang ia dapatkan dari

    keluarganya karena ingin menikahi pujaan hatinya tetap memegang prinsip apa

    yang telah didiskusikan dari keluarganya dan bertanggungjawab segala resiko

    yang ia hadapi kedepannya, dengan izin dari keluarga bapak Helmi Tandi ingin

    menikahi wanita tersebut dan tetap meminta restu dari orang tuanya. Mendapat

    restu dari orang tua yang susah payah dan penuh pengorbanan yang cukup berat,

  • 5

    Bapak Helmi Tandi dengan wajah penuh kecerian dengan segera datang kekantor

    KUA Rantepao menanyakan prosedur perkawinan secara syari’at Islam. Dengan

    jawaban yang ia dapatkan dari KUA Rantepao, Bapak Helmi Tandi dengan

    matang dan berkeyakinan menjadi seorang muallaf pada tanggal 17 Agustus 2019

    dan beberapa hari kemudian melangsung pernikahan pada tanggal 21 Agustus

    2019. Dengan rintangan dan beban yang penuh lika-liku karena ingin menikahi

    pujaan hatinya maka terjawablah dengan jawaban menikahi secara sah yang

    dianjurkan oleh syari’at Islam.5

    Kondisi hukum yang seperti itu telah berakhir dengan lahirnya Undang-

    Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang tersebut

    merupakan perwujudan dari unifikasi pekawinan yang ada di Indonesia. Lahirnya

    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan secara relatif telah

    dapat menjawab kebutuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang

    mengatur perkawinan secara seragam dan untuk semua golongan masyarakat di

    Indonesia. Namun, tidak berarti bahwa Undang-Undang ini telah mengatur semua

    aspek yang terkait dengan perkawinan. 6Salah satu hal yang tidak diatur secara

    tegas dalam Undang- Undang ini adalah masalah perkawinan beda agama.

    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengatur perkawinan yang

    dilakukan pasangan beda agama. Akan tetapi Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang

    5 Helmi Tandi, jabatan: wiraswasta, wawancara: Sanggalangi, Kabupaten Toraja Utara,pada tanggal 23 Maret 2020.

    6 Rusli & T. Tama, Perkawinan Antar Agama dan Masalahnya (Bandung: Pioner Jaya,2006), h. 11.

  • 6

    Nomor 1 Tahun 1974 mengatakan bahwa perkawinan adalah sah, apabila

    dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.

    Dari pasal 2 ayat (1) tersebut dapat ditafsirkan bahwa suatu perkawinan

    hanya diakui oleh Negara sepanjang perkawinan tersebut diperbolehkan dan

    dilakukan menurut agama dan kepercayaannnya masing-masing. Begitu pula

    dengan perkawinan beda agama, sepanjang perkawinan agama tersebut diakui

    dan dilaksanakan dengan sah menurut hukum agama yang bersangkutan adalah

    sah menurut Negara. Apabila menurut agama masing- masing tidak

    diperbolehkan dan tidak diakui keabsahannya, maka tidak sah pula menurut

    Negara. Maka sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, sahnya

    perkawinan menurut hukum agama di Indonesia bersifat menentukan. Dengan

    demikian tidak ada lagi perkawinan diluar hukum agama masing-masing.

    Di Indonesia secara khusus historis unifikasi hukum sendiri sebenarnya

    baru seumur jagung, hanya saja perkembangan terkini lebih mengarah pada

    unifikasi sejalan dengan terbentuknya negara. Sementara pluralisme hukum sudah

    ada jauh sebelum terbentuknya negara, sehingga ketika datang budaya unifikasi,

    pluralisme hukum terancam keberadaannya. Keberadaan hokum-hukum lain yang

    sudah lama berada di Indonesia seperti hukum Islam dan hukum-hukum adat

    masyarakat Indonesia yang berbeda-bedapun terancam juga.

    Unifikasi Hukum merupakan keseragaman (kesatuan, kesamaan) hukum

    bagi seluruh warga Indonesia. Di Indonesia unifikasi sudah terwujud dalam

    bidang-bidang hukum public (seperti:hukum tata negara, hukum admistrasi

    negara, hukum pajak, hukum acara pidana). Sedangkan dalam hukum privat

  • 7

    masih pluralistic, kecuali dalam bidang-bidang hukum tertentu seperti: UU No.

    5/1960 tentang UUP, UU No. 1/1974 tentang perkawinan, UU No. 4/1996

    tentang hak tanggungan, UU No. 42/1999 tentang jaminan fidusia, UU

    No.16/2001 tentang yayasan dan lai-lain.

    Dari pengertian tersebut, maka unifikasi hukum dapat diartikan sebagai

    penyatuan berbagai hukum menjadi satu kesatuan hukum secara sistematis yang

    berlaku bagi seluruh warga Negara di suatu Negara.

    Beberapa hukum yang telah diunifikasikan di Indonesia misalnya sebagai

    berikut.

    1. Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-

    pokok Agraria.

    2. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.

    3. Berbagi Undang-undang lainnya, seperti Undang-undang Anti

    korupsi, Undang-undang antisubversi, Undang-undang Narkotika, dan

    sebagainya, yang mana kesemua Undang-undang ini berlaku tanpa

    kecuali bagi seluruh bangsa dan di seluruh wilayah Indonesia.

    Tujuan dilakukan unifikasi suatu hukum pada dasarnya ialah sebagai

    berikut.

    a. Untuk menjamin kepastian hukum, dalam arti kepastian berlakunya

    suatu hukum bagi seluruh masyarakat di negara yang bersangkutan,

    mengingat hukum itu telah diseragamkan berlakunya bagi semua

    orang di negara tersebut, tanpa adanya perbedaan menurut suku,

    golongan, agama, atau berbagai faktor lainnya.

  • 8

    b. Untuk lebih memudahkan masyarakat dalam mengetahui dan

    menaatinya.

    c. Sependapat mungkin mencegah hal-hal dibawah ini.

    1. Kesimpangsiuran pengetahuan dan pengertian masyarakat tentang

    hukum yang berlaku bagi diri tiap-tiap warga untuk ditaatinya.

    2. Mencegah berbagai kemungkinan penyelewengan hukum, baik

    yang tidak disengaja maupun yang disengaja, yang umumnya

    beralasan pada kesalahpahaman tentang hukum yang berlaku,

    mengingat memang begitu banyaknya hukum yang berbeda-beda

    cara pengaturannya bila hukum itu belum diunifikasikan.

    3. Keadaan berlatut-larut dari tidak mengertinya atau belum

    mengertinya banyak warga masyarakat mengenai hukum mana

    yang berlaku bagi dirinya, bila seandainya hukum itu belu

    diunifikasikan.7

    Di dalam penggabungan antara kodifikasi dan unifikasi hukum akan

    terdapat kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut.

    Hukum itu telah dikodifikasikan dan telah pula diunifikasikan, misalnya:

    1. Hukum pidana dalam kita Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

    2. Hukum dagang dalam kitab Undang-undang Hukum Dagang

    (KHUD).

    3. Hukum Acara Pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara

    7 Halim, Ridwan, Pengantar Ilmu Hukum Dalam Tanya Jawab, Bogor: Ghalia Indonesia,h. 8

  • 9

    Pidana (KUHAP).

    Hukum ini telah dikodifikasikan tetapi belum diunifikasikan.

    Contoh:

    Hukum perdata yang telah dikodifikasikan dalam Kitab Undang-Undang

    Hukum Perdata (KUHPer), tetapi masih tetap membeda-bedakan berlakunya bagi

    warga-warga masyarakat menurut golongannya. Akibatnya, isi pengaturannya

    bersifat pluralistis.

    Hukum itu telah diunifikasikan, tetapi belum dikodifikasikan.

    Contoh:

    1. Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-

    pokok Agraria

    2. Undang-undang antisubversi

    3. Undang-undang Anti Korupsi dan sebagainya.

    Untuk dapat diakui oleh Negara suatu perkawinan harus didaftarkan atau

    dicatatkan. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang- undangan

    yang berlaku, sebagaimana amanah dari Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974.

    Bagi mereka yang beragama Islam perkawinan dicatat di Kantor Urusan Agama

    (KUA), sedangkan bagi mereka yang beragama non-Islam perkawinan dicatatkan

    melalui Kantor Catatan Sipil. Untuk dapat dicatatkan, suatu perkawinan harus sah

    menurut hukum agama dan kepercayaannya. Artinya baik KUA maupun Kantor

    Catatan Sipil tidak dapat mencatatkan suatu perkawinan jika perkawinan tersebut

    tidak dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya masing-masing.

    Pencatatan perkawinan sangat penting dilakukan karena dengan pencatatan ini

  • 10

    pasangan suami istri mempunyai bukti yang sah bahwa hukum Negara secara sah

    mengakui perkawinan dan segala akibat yang timbul dari perkawinan tersebut.

    Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang

    Administrasi Kependudukan, kini Kantor Catatan Sipil memiliki kewenangan

    untuk mencatat perkawinan beda agama yang telah mendapatkan penetapan dari

    pengadilan. Jadi dengan adanya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang

    Administrasi Kependudukan ini memungkinkan pasangan beda agama dicatatkan

    perkawinannya asalkan melalui penetapan pengadilan. Pada pasal 35 huruf a

    Undang-Undang Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan

    menyatakan:“Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam pasal 34

    berlaku pula bagi Perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan”.8

    Dalam Penjelasan pasal 35 huruf a ini disebutkan bahwa:“Yang

    dimaksud dengan “perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan” adalah

    perkawinan yang dilakukan antar umat yang berbeda agama”9

    Perkawinan antar agama yang terjadi dalam kehidupan masyarakat,

    seharusnya tidak terjadi jika dalam hal ini negara atau pemerintah secara tegas

    melarangnya dan menghilangkan sikap mendua dalam mengatur dan

    melaksanakan suatu perkawinan bagi rakyatnya. Sikap ambivalensi pemerintah

    dalam perkawinan beda agama ini terlihat menurut aturan perundang - undangan

    itu sebenarnya tidak dikehendaki.dalam praktek bila tidak dapat diterima oleh

    8 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Adminduk), Pasal 35 Huruf (a).

    9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Penjelasan Pasal 35 Huruf(a).

  • 11

    Kantor Urusan Agama, dapat dilakukan di Kantor Catatan Sipil dan menganggap

    sah perkawinan berbeda agama yang dilakukan. Dari kenyataan yang terjadi di

    dalam masyarakat terhadap perkawinan beda agama. 10

    Menikah beda Agama. Saya Kristen (Debi) dengan suaminya Islam (Asri).

    Kuncinya 3: cinta, yakin dan tutup kuping dari komentar nyinyiran tetangga. Ia

    menceritakan awal kisah pertemuaannya dengan suami karena bekerja di kantor

    yang sama. Sewaktu memutuskan menjalin kasih, mereka sudah membicarakan

    perbedaan agama itu dan siap lanjut dengan segala risiko. Tantangan mulai datang

    ketika mereka sepakat melanjutkan hubungan ketahap serius. Salah satu pihak ingin

    mereka sepakat iman dulu. Banyak pertanyaan dari keluarga yang menyudutkan

    mereka perihal agama. Tapi mereka bisa menyakinkan keluarga, hingga semua

    sepakat untuk menikah, drama berlanjut saat mereka mengurus berkas-berkas

    pernikahan, siwanita tersebut harus menjadi muallaf dengan terdaftarnya

    pertanggal 10 Agustus 2019 di KUA Rantepao dan tak lama kemudian karena

    saling cinta yang cukup lama, dengan melewati berbagai tantangan, akhirnya

    kedua pasangan tersebut mendaftarkan diri kekantor KUA Rantepao dan

    melangsungkan pernikahan pada tanggal 15Agustus 2019.

    Karena di Toraja Utara masyarakatnya yang heterogen, jadi salah satu

    sering yang kita alami di KUA (Kantor Urusan Agama), tentang persoalan yang

    menyangkut masalah perbedaan perkawinan beda agama. Dimana ketika terjadinya

    insiden seperti adanya kasus-kasus di luar nikah dan mereka itu terbentur pada

    10 Blog Gudang Ilmu Hukum, Perkawinan Beda Agama di Indonesia, di akses tanggal 14Desember 2014.

  • 12

    persoalan keyakinan beda agama dan itupun sangat susah disesuaikan karena itu

    pilihan hidup hak asasi individu, sehingga muncul kekhawatiran dari kami karena

    maraknya pernikahan beda agama, sehingga kami mengangkat dipermukaan untuk

    menelitinya.

    Melihat latarbelakang di atas, kiranya diperlukan penelitian yuridis

    normatif terkait keabsahan perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun

    1974. Oleh karena itu judul penelitian ini adalah “Upaya Pencegahan Perkawinan

    Beda Agama Di Kabupaten Toraja Utara”.

    B. Batasan Masalah

    Berdasarkan latar belakang tersebut, dapat diidentifikasi beberapa masalah

    diantaranya adalah :

    1. Adat dan budaya membawa dampak negative dalam pergaulan para remaja

    2. Banyaknya kasus fasadnya (rusaknya) pernikahan akaibat salah satu pihak

    kembali kekeyakinan semula (murtad)

    3. Maraknya pernikahan yang tidak sesuai UU Perkawinan No.I tahun 1974

    Dan melanggar syariat Islam.

    C. Rumusan Masalah

    Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

    1. Apakah penyebab maraknya pernikahan beda agama di Kabupaten Toraja

    Utara ?

    2. Bagaimanakah upaya yang dilakukan untuk meminimalisir maraknya

    perkawinan beda agama di Kabupaten Toraja Utara ?

  • 13

    3. Apakah solusi terhadap maraknya pernikahan beda agama di Kabupaten

    Toraja Utara ?

    D. Definisi Operasional

    Perkawinan beda agama, akhirnya menjadi polemik tersendiri. UU

    Perkawinan yang tidak mengatur secara jelas tentang perkawinan beda agama,

    membuat pelaksanaan perkawinan beda agama tersebut menjadi relatif sulit.

    Dalam UU perkawinan Pasal 2 bahkan disebutkan bahwa: perkawinan adalah sah

    apabila dilaksanakan menurut agama dan kepercayaan masing-masing.

    Berdasarkan pasal 2 UU Perkawinan penulis berpendapat jika urusan

    perkawinan SAH dikembalikan ke agama masing berarti secara implisit

    perkawinan beda agama tidak dibenarkan baik secara agama dan hukum positif

    Indonesia.

    E. Tujuan dan Manfaat Penelitian

    1. Tujuan Penelitian

    Adapun tujuan penelitian ini jika dikaitkan dengan fokus penelitian

    tersebut di atas adalah:

    a. Untuk mengetahui legalitas status perkawinan Beda Agama menurut Hukum

    Islam dan Undang-Undang No. I Tahun 1974 tentang Perkawinan.

    b. Untuk mengetahui bagaimana upaya pencegahan perkawinan Beda Agama.

    c. Untuk meminimalisir maraknya Perkawinan Beda Agama di Kabupaten Toraja

    Utara.

    2. Manfaat Penelitian

    a. Manfaat Teoretis

  • 14

    Diharapkan penelitian ini dapat dijadikan sebagai pedoman dalam

    upayanya meningkatkan pengetahuan mengenai masyarakat yang berlaku di

    Indonesia dan memberikan sumbangan pemikiran dan perkembangan hukum

    perkawinan di Indonesia.

    b. Manfaat Praktis

    1. Bagi mahasiswa, diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai

    pernikahan beda agama dikaitkan dengan undang-undang perkawinan No. I Tahun

    1974 dan menurut hukum Islam serta menurut hukum formal.

    2. Bagi masyarakat, diharapkan dapat dijadikan bahan masukan untuk

    menghindari perkawinan yang beda agama tidak sesuai syariat agama dan

    melanggar ketentuan yang berlaku.

    c. Deskripsi Fokus

    1. Mendeskripsikan tentang pernikahan Beda Agama menurut tinjauan

    Undang-Undang Perkawinan dan menurut Hukum Islam

    2. Mendeskripsikan upaya pencegahan Perkawinan Beda Agama.

  • 15

    BAB II

    KAJIAN PUSTAKA

    A. Penelitian Terdahulu yang Relevan

    Dalam penyusunan penelitian ini, penulis membahas tentang Upaya

    Pencegahan Perkawinan Beda Agama di Kabupaten Tana Toraja Utara, metode

    penelitian yang dilakukan adalah metode kualitatif dengan model penelitian

    lapangan (field reasearch). Untuk penguatan penelitian, maka dibutuhkan

    penelitian yang relevan sebelumnya, penulis mendapatkan 3 (tiga) judul penelitian

    yang sama diantaranya:

    1. A. Mulia, melakukan penelitian tesis di Universitas Islam Negeri Alauddin

    Makassar (2017) dengan judul, “Pernikahan Beda Agama (Kajian Sosio-

    Historis)”. Dalam penelitian ini dibahas tentang sejarah terjadinya nikah beda

    agama di masa Nabi Muhammad saw.1

    Dalam penelitian ini A. Mulia menggunakan metode kualitatif dengan

    melakukan wawancara. Tesis ini membahas tentang sejarah nikah beda agama

    dalam dinamika perubahan sosial, dengan menemukan hasil penelitian yang

    mengungkap tentang pernikahan beda agama yang dilakukan pada masa nabi

    sebagai jalan dakwah sekaligus mengandung aspek sosial yang tujuannya semata-

    mata melindungi kaum lemah yaitu para wanita yang tertindas. Maka dari itu,

    1 A. Mulia, “Pernikahan Beda Agama (Kajian Sosio-Historis)”, (Makassar, Tesis,Pascasarjana Universitas Islam Negeri Alauddin, 2017), h. 7.

  • 16

    penulis dalam tesis ini mengkaji tentang pencegahan terjadinya beda agama di

    Kabupaten Tana Toraja Utara.

    2. Muh. Rusli, melakukan sebuah penelitian tesis di UIN Alauddin Makassar

    (2010) yang berjudul, “Pencegahan Perkawinan Beda Agama ditinjau dari

    Hukum Positif.” Dalam penelitian ini, Muh. Rusli menjelaskan bahwa dengan

    adanya hukum positif yang diajarkan dalam agama Islam kepada para

    penganutnya adalah perkawinan (pernikahan) yang dibenarkan oleh Allah swt.

    adalah suatu perkawinan yang didasarkan pada satu akidah, di samping cinta dan

    ketulusan hati dari keduanya. Dengan landasan dan naungan keterpaduan itu,

    kehidupan suami-istri akan tenteram, penuh rasa cinta dan kasih sayang. Keluarga

    mereka akan bahagia dan kelak memperoleh keturunan yang sejahtera lahir batin.

    Tetapi jika terjadi yang namanya perkawinan beda agama maka akan

    menimbulkan sanksi yang menurut kedua pandangan hukum tersebut berupa

    pengucilan dalam masyarakat dan berupa sanksi moral serta terputusnya ahli

    waris dalam keluarganya.2

    Sementara dalam tesis penulis membahas tentang upaya yang dilakukan

    dalam pencegahan pernikahan beda agama agar tidak terjadi.

    3. Nurwahyuni, telah melakukan penelitiannya dalam tesis di Universitas Muslim

    Indonesia (2017) yang berjudul: . “Larangan Menikah Beda Agama terhadap

    Pendidikan Anak dalam Keluarga.3

    2 Muh. Rusli, Pencegahan Perkawinan Beda Agama ditinjau dari Hukum Positif(Makassar: Tesis UIN Alauddin, 2010), h. 13.

    3 Nurwahyuni, Larangan Menikah Beda Agama terhadap Pendidikan Anak dalamKeluarga (Makassar, Tesis, Universitas Muslim Indonesia, 2017), h. 7.

  • 17

    Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi tentang bagaimana

    menjalankan Rumah Tangga terutama dalam mendidik anak harus ada keserasian,

    keharmonisan antara suami dan istri, sehingga pendidikan anak benar-benar dalam

    bentuk keseriusan dan kesungguhan.

    Tabel 1Uraian Hasil Penelitian Terdahulu

    Nama Peneliti Judul Penelitian Persamaan Perbedaan

    1 A. Mulia “PernikahanBeda Agama(Kajian Sosio-Historis)”.

    Menjalankanstrukturprosedurmelaluiperaturanpemerintahyang telahditetapkan.

    Dari aspeksosialmengandungyang tujuannyasemata-matamelindungikaum lemahyaitu parawanita yangtertindas.

    2 Muh. Rusli “PencegahanPerkawinanBeda Agamaditinjau dariHukum Positif.”

    suatuperkawinanyangdidasarkanpada satuakidah, disamping cintadan ketulusanhati darikeduanya.Denganlandasan dannaunganketerpaduanitu, kehidupansuami-istriakan tenteram,penuh rasacinta dan kasihsayang.

    Tetapi jikaterjadi yangnamanyaperkawinanbeda agamamaka akanmenimbulkansanksi yangmenurut keduapandanganhukum tersebutberupapengucilandalammasyarakat danberupa sanksimoral sertaterputusnya ahliwaris dalamkeluarganya.

  • 18

    3 Nurwahyuni, “LaranganMenikah BedaAgamaterhadapPendidikanAnak dalamKeluarga.”

    menjalankanRumah Tanggaterutama dalammendidik anakharus adakeserasian,keharmonisanantara suamidan istri,sehinggapendidikananak benar-benar dalambentukkeseriusan dankesungguhan.

    Di dalam polakehidupanrumah, seoranganak pastidalammenentukansuatu keputusandalampengambilanhak pasti sangatberat.

    B. Tinjauan Teoretis

    1. Pengertian Perkawinan

    Dalam perspektif sejarah, kelahiran Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

    Tentang Perkawinan sebagai sumber konstitusional yang mengatur perkawinan

    warga negara Indonesia telah memakan waktu panjang dan melewati proses

    konstitusi yang berlarut-larut. 4 Berbagai hukum tertulis tentang perkawinan bagi

    berbagai golongan telah berlaku di Indonesia sebelum adanya hukum perkawinan

    secara nasional. Bagi golongan Bumiputera yang beragama Islam, tuntutan untuk

    memiliki hukum tertulis tentang perkawinan telah menjadi persoalan sejak masa

    penjajahan, sebab S. 1895 Nomor 198 bukanlah peraturan tentang pencatatan

    perkawinan saja, seperti halnya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 jo

    Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan

    Rujuk.

    4 Bismar Siregar, Islam dan Hukum (Jakarta: Penerbit Grafikatama Jaya, 2002), h. 7.

  • 19

    Usaha pemerintah untuk memiliki Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

    Tentang Perkawinan tersendiri telah dirintis sejak tahun 1950 melalui

    pembentukan Panitia Penyelidik Peraturan Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk

    oleh Menteri Agama dengan SK Nomor B/2/4299 tanggal 1 Oktober 1950,

    diketuai oleh Mr. Teuku Moh. Hasan. Akhir tahun 1952, panitia yang sempat

    mengalami perubahan dan tambahan melalui SK Menteri Agama Nomor

    B/2/8315 tanggal 1 April 1951 ini telah berhasil menyusun Rancangan Undang-

    undang (RUU) Perkawinan (Umum). RUU tersebut oleh golongan-golongan

    agama ditanggapi sebagai UU yang bersifat umum, dan dikehendaki RUU

    Perkawinan menurut masing- masing agama, maka disepakati adanya : (1) RUU

    Perkawinan menurut Agama Islam, (2) RUU Perkawinan menurut Agama Kristen,

    (3)RUU Perkawinan menurut Agama Katolik, dan (4) RUU Perkawinan menurut

    golongan lainnya.5

    Yang pasti, kelahiran sistem normatif ini sesungguhnya melalui

    mekanisme yang demokratis dan sesuai dengan aturan main prosesi kelahiran

    sebuah perundang-undangan. Kelahiran Undang-undang Nomor 1 tahun 1974

    tentang Perkawinan, yang secara resmi mulai diberlakukan pada tanggal 2

    Januari 1974 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 1 tahun 1974;

    tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1974 nomor 3019, 6 tidak

    dapat diartikan sebagai intervensi pemerintah dalam arti negatif dalam persoalan

    5 Arso Sosroatmojo dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia (Jakarta:Bulan Bintang, 1978), h. 9.

    6 Tim Penyusun Kementerian Agama RI, Kumpulan Peraturan Perundang-undangDalam Lingkungan Peradilan Agama (Jakarta : Yayasan al-Hikmah, 2002), h. 23.

  • 20

    privacy (keperdataan) warga negarannya. Justru Negara dalam hal ini pemerintah

    menginginkan keteraturan dan ketertiban sehingga kekacauan dalam masyarakat

    dapat dihindari sebagai akibat dari tidak adanya aturan baku yang mengatur hal

    ihwal perkawinan bagi segenap bangsa Indonesia. Dapat dibayangkan, betapa

    kacaunya praktik perkawinan di dalam masyarakat, apabila tidak ada aturan yang

    memiliki kekuatan hukum yang mengikat dan berlaku menyeluruh di tengah-

    tengah bangsa yang sangat majemuk ini. Oleh karenanya, intervensi Negara

    dalam hal ini sangat diperlukan.

    Dari aspek politis, kelahiran Undang-undang Nomor 1

    Tahun 1974 Tentang Perkawinan sesungguhnya telah memenuhi kriteria sebuah

    hukum yang baik. Materi Undang-Undang merupakan aturan yang tumbuh dan

    berkembang dari nilai-nilai kultural dan norma-norma, serta kepercayaan

    yang hidup dalam masyarakat bangsa Indonesia. Di sisi lain, orang

    mempersoalkan materi Undang-Undang Perkawinan yang sangat condong

    dengan aspirasi umat Islam sehingga terkesan adanya keberpihakan dan

    diskriminasi.7Undang-Undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974 melambangkan

    kemenangan politik umat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

    Sebagian orang beranggapan bahwa, kelahiran Undang-Undang ini tidak lepas

    dari peran politis ABRI (sekarang TNI) dan kalangan umat Islam, dalam hal ini

    kader-kader Nahdhatul Ulama (NU) yang duduk di parlemen, yang ketika itu

    memperjuangkan dengan sangat gigih sehingga RUU Perkawinan yang

    7 Saekan Erniati Effendi, Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia,(Surabaya: Arkola 1997), hlm.12-13. Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar IlmuHukum Dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : Raja Gratindo Persada, 1998), h. 48-50.

  • 21

    diajukan umat Islam berhasil di sepakati. TNI punya andil yang cukup besar

    bagi kelahiran Undang- Undang ini. Yang pasti diterimanya RUU Perkawinan

    dari umat Islam pada waktu itu sesungguhnya menunjukkan aspirasi umat Islam

    sebagai mayoritas bangsa.8

    Sementara dari aspek sosiologi hukum, materi Undang-Undang

    Perkawinan sesungguhnya merupakan cermin dari nilai-nilai yang hidup dalam

    mayoritas bangsa Indonesia, yakni umat Islam. 9 Dengan demikian, tidak

    bijaksana apabila kelahiran Undang-Undang Perkawinan dianggap telah

    dipolitisasi sedemikian rupa oleh pihak tertentu dan atau dengan

    mengatasnamakan suatu agama tertentu. Apabila ada kasus-kasus yang

    menyimpang, hal itu tak lebih dari pengecualian. Proses legislasi Undang-

    undang tersebut telah berjalan secara konstitusional, demokratis dan terlepas

    dari persoalan puas atau tidak puas. Ketidakpuasan tersebut boleh jadi

    merupakan bagian dari unsur-unsur politis, dalam pengertian bahwa setiap orang

    dapat saja menggunakan kendaraan politiknya (politisasi) dalam rangka

    memperoleh keinginannya.

    Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, sebagaimana disebut

    dalam penjelasan umumnya, undang-undang ini merupakan undang-undang

    Perkawinan Nasional, jadi berlaku untuk semua warga Negara dan seluruh

    wilayah Indonesia. Sebagai undang-undang perkawinan nasional, undang-

    8 Daud Ali, Hukum Islam, h. 49.

    9 M. Masranai Basran dan Zaini Dahlan, "Kodifikasi Hukum Islam di Indonesia" dalamPerkembangan Mutakhir Hukum Islam di Asia Tenggara, (Surabaya: Arkola, 1993), h. 55-56.

  • 22

    undang ini berusaha untuk menampung prinsip-prinsip dan memberikan

    landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah

    berlaku bagi ber bagai golongan dalm masyarakat kita. Di samping itu ia juga

    sekaligus telah meletakkan asas-asas hukum perkawinan nasional.

    Pengertian perkawinan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun

    1974 Tentang Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan

    seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah

    tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

    Penjelasan Pasal 1 menjelaskan bahwa: Sebagai negara yang berdasarkan

    Pancasila, di mana sila yang pertamanya ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka

    perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian,

    sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi unsur

    batin/rohani juga mempunyai peranan yang penting. Membentuk keluarga yang

    bahagia rapat hubungannya dengan keturunan yang pula merupakan tujuan

    perkawinan, pemeliharaan, dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang

    tua.10

    Pengertian perkawinan berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1

    Tahun 1974 yang menentukan “perkawinan adalah ikatan lahir batin antara

    seorang pria dengan seorang wanita untuk membentuk rumah tangga (keluarga)

    yang bahagia dan kekal berdassarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dapat ditafsirkan

    sebagai berikut:

    10 Djubaidah, Pencatatan Perkawinan & Perkawinan Tidak Dicatat: Menurut HukumTertulis di Indonesia dan Hukum Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 212.

  • 23

    1. Di dalam negara Republik Indonesia tidak boleh terjadi atau

    tidak boleh berlaku “Hukum Perkawinan” yang bertentangan dengan kaidah-

    kaidah Islam bagi orang-orang Islam, atau “Hukum Perkawinan” yang

    bertentangan dengan kaidah-kaidah Nasrani bagi umat Nasrani, atau “Hukum

    Perkawinan” yang bertentangan dengan kaidah-kaidah Hindu bagi Umat Hindu,

    atau “Hukum Perkawinan” yang bertentangan dengan kesusilaan agama Budha

    bagi umat Budha, atau “Hukum Perkawinan” yang tidak bertentangan dengan

    ajaran Kong Hu Cu bagi orang penganut Kong Hu Cu.

    2. Negara Indonesia wajib menjalankan Syariat atau Hukum

    (Perkawinan) Islam bagi orang Islam, Hukum (Perkawinan) Nasrani bagi orang

    Nasrani, Hukum (Perkawinan) Hindu bagi orang Hindu, Hukum (Perkawinan)

    berdasarkan agama Budha bagi orang Budha, dan Hukum (Perkawinan)

    berdasarkan ajaran Kong Hu Cu bagi orang Kong Hu Cu, sekadar dalam

    menjalankan hukum perkawinan itu memerlukan bantuan atau perantaraan

    kekuasaan negara.11

    Perkawinan menurut hukum masing-masing agamanya berdasarkan Pasal

    2 ayat 1 adalah merupakan “Peristiwa Hukum” peristiwa hukum tidak dapat

    dianulir oleh adanya “Peristiwa Hukum” yang ditentukan dalam Pasal 2 ayat (2),

    bahwa “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan

    yang berlaku” dengan perumusan Pasal 2 ayat (1) tidak ada perkawinan di luar

    hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya sesuai dengan Undang-

    11Djubaidah, Pencatatan Perkawinan & Perkawinan Tidak Dicatat: Menurut HukumTertulis di Indonesia dan Hukum Islam, h. 213.

  • 24

    Undang Dasar 1945.12 Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya

    dan kepercayaannya termasuk ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi golongan

    agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak

    ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.

    Konsepsi Perkawinan Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974

    tentang Perkawinan:

    Perkawinan merupakan salah satu dimensi kehidupan yang sangat penting

    dalam kehdupan manusia di dunia manapun. Hal ini dikarenakan perkawinan

    menciptakan suatu hubungan hukum antara suami isteri, hubungan orang tua

    dengan anaknya dan hubungan hukum suami isteri dengan keluarganya yang

    menimbulkan hak dan kewajiban diantara pasangan suami isteri tersebut. Bahkan

    karena begitu pentingnya perkawinan, tidak mengherankan jika seluruh agama

    mengatur masalah perkawinan bahkan tradisi atau adat masyarakat dan juga

    institusi Negara tidak ketinggalan mengatur perkawinan yang berlaku di kalangan

    masyarakatnya.

    Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun

    1974. Menurut Pasal 1 undang-undang ini, perkawinan diartikan sebagai suatu

    ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri

    dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal

    berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 13Dari rumusan Pasal 1 tersebut dapat

    dilihat adanya dua pokok pengertian, yaitu arti dan tujuan perkawinan. Sehingga

    12 Djubiadah, Larangan Pernikahan Beda Agama (Jakarta: Ciputat, 2010), h. 214.

    13 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan.

  • 25

    jelaslah bahwa pengertian perkawinan itu tidak dapat dilepaskan dari tujuan

    perkawinan itu sendiri.

    Pengertian perkawinan terdapat dalam anak kalimat pertama dari Pasal 1

    tersebut, “perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang

    wanita sebagai suami isteri”. Dari sini bisa dilihat bahwa ikatan dalam

    perkawinan bukan hanya ikatan lahir semata melainkan juga merupakan ikatan

    batin.

    Menurut Prof. R. Sardjono SH, sebagaimana dikutip oleh Asmin,

    menerangkan “ikatan lahir” berarti bahwa para pihak yang bersangkutan karena

    perkawinan itu, secara formil merupakan suami-isteri baik bagi mereka dalam

    hubungannya satu sama lain maupun bagi mereka dalam hubungannya dengan

    masyarakat luas. Sedangkan pengertian ikatan batin dalam perkawinan berarti

    bahwa dalam batin suami-istri yang bersangkutan terkandung niat yang sungguh-

    sungguh untuk hidup bersama sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk

    dan membina keluarga bahagia dan kekal.14

    Dari rumusan Pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 tersebut dengan jelas

    dapat dipahami bahwa perkawinan bukan hanya menyangkut unsur lahiriah

    semata, melainkan juga menyangkut unsur batiniah. Undang- Undang tersebut

    memandang sangat penting mengenai keharusan adanya suatu ikatan lahir batin

    dalam perkawinan, hal demikian juga tercermin dari penegasan yang tampak

    pada penjelasan Pasal 1 UU Nomor 1 tahun 1974.

    14 Asmin. Status Perkawinan Antar Agama: Ditinjau dari Undang-UndangPerkawinan Nomor 1 Tahun 1974 (Cet. X. Jakarta: Dian Rakyat, 2006), h. 16-20.

  • 26

    2. Syarat Sah Perkawinan

    Perkawinan adalah suatu perbuatan hukum yang mempunyai akibat-

    akibat hukum. Sah atau tidaknya suatu perbuatan hukum ditentukan oleh hukum

    positif. Hukum positif di bidang perkawinan di Indonesia adalah Undang-

    Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974. Dengan demikian sah atau tidaknya

    suatu perkawinan ditentukan oleh ketentuan-ketentuan yang ada dalam undang-

    undang tersebut.15

    Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No.1 Tahun 1974

    tentang perkawinan disebutkan:

    “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.

    Penjelasan pasal 2 ayat (1) itu menjelaskan bahwa:

    ”Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya dan kecercayaannya itu sesuaidengan Undang-Undang Dasar 1945. Yang dimaksud bagigolongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidakbertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-Undang ini”.

    Dari rumusan tersebut dapat disimpulkan bahwa sah atau tidaknya suatu

    perkawinan adalah semata-mata ditentukan oleh ketentuan agama dan

    kepercayaan mereka yang hendak melaksankan perkawinan. Ini berarti syarat-

    syarat perkawinan itu sendiri mestinya juga harus didasarkan kepada syarat-

    syarat perkawinan sebagai yang diatur menurut hukum agamanya dan

    kepercayaannya itu. Sehingga suatu perkawinan yang dilaksanakan

    bertentangan dengan ketentuan hukum agama, maka dengan sendirinya menurut

    15 Asmin. Status Perkawinan Antar Agama, h. 22.

  • 27

    Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 perkawinan ini dianggap tidak sah dan tidak

    mempunyai akibat hokum sebagai ikatan perkawinan.16

    Dari ketentuan pasal 2 ayat (1) beserta penjelasannya tersebut, Hazairin

    menafsirkan bahwa dengan demikian hukum yang berlaku menurut Undang-

    Undang ini pertama-tama adalah hukum masing-masing agama dan

    kepercayaan bagi masing-masing pemeluknya 17 .Jadi bagi warganegara

    Indonesia yang beragama Islam apabila hendak melaksanakan perkawinan

    supaya sah harus memenuhi ketentuan-ketentuan tentang perkawinan yang telah

    diatur dalam Hukum Perkawinan Islam. Demikian juga bagi mereka yang

    beragama Kristen, Hindu, Budha dan yang lainnya, hukum agama merekalah

    yang menjadi dasar pelaksanaan yang menentukan sahnya perkawinan.

    Pencatatan perkawinan menjadi hal yang sangat penting dalam suatu

    perkawinan. Menurut Sidus Syahar, pentingnya pendaftaran dan pencatatan

    perkawinan sebagai berikut.

    1. Agar ada kepastian hukum dengan adanya alat bukti yang kuat bagi yang

    berkepentingan mengenai perkawinannya, sehingga memudahkannya dalam

    melakukan hubungan dengan pihak ketiga.

    2. Agar lebih menjamin ketertiban masyarakat dalam hubungan kekeluargaan

    sesuai dengan akhlak dan etika yang dijunjung tinggi oleh masyarakat dan

    Negara.

    16 H. Aminur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam diIndonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih UU No. 1/1974 sampai KHI(Jakarta : Prenada Media, 2004), h. 60.

    17 Hazairin, Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan, 2017, h. 6.

  • 28

    3. Agar ketentuan undnag-undang yang bertujuan membina perbaikan social

    (social reform) lebih efektif.

    4. Agar nilai-nilai dan norma keagamaan dan kepentingan umum lainnya sesuai

    dengan dasar Negara Pancasila lebih dapat ditegakkan.18

    Agar dapat melangsungkan perkawinan, maka harus memenuhi syarat-

    syarat perkawinan yaitu:

    a. Syarat Materiil, Syarat mengenai orang-orang yang hendak melangsungkan

    perkawinan terutama mengetahui persetujuan, izin, syarat-syarat materiil diatur

    dalam pasal 6 s/d pasal 11 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang dibedakan

    lagi dalam syarat materiil yang absolut atau mutlak dan syarat materiil yang

    relatif.

    1) Syarat Materiil Mutlak merupakan syarat-syarat yang berlaku dengan tidak

    membeda-bedakan dengan siapa dia akan melangsungkan perkawinan, yang

    meliputi :

    a) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan calon mempelai. (Pasal 6 ayat 1

    UUP Nomor 1 Tahun 1974).

    b) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua

    puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua. (Pasal 6 ayat 2 UUP

    Nomor 1 Tahun 1974).

    18 Saidus Syahar, Undang-Undang Perkawinan dan Masalah Pelaksanaannya Ditinjaudari Segi Hukum Islam (Bandung, Alumni, 2001), h. 108.

  • 29

    c) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan

    pihak wanita sudah mencapai umur 19 tahun.berdasarkan UU nomor 16 tahun

    2019 tentang perubahan atas UU nomor 1 tahun 1974 pasal 7 ayat 1.

    2) Syarat Materiil Mutlak merupakan syarat yang melarang perkawinan antara

    seorang dengan seorang tertentu, yaitu : a) Larangan kawin antara orang-orang

    yang mempunyai hubungan keluarga yakni hubungan kekeluargaan

    karena darah dan perkawinannya, yang ditentukan pada pasal 8 Undang-Undang

    Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974:

    a) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah maupun keatas.

    (Pasal 8 huruf a UU No 1 Tahun 1974).

    b) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara

    orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya. (Pasal 8 huruf b UU

    No 1 Tahun 1974).

    c) Berhubungan semendan yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu bapak atau

    tiri. (Pasal 8 huruf c UU No 1 Tahun 1974).

    d) Berhubungan susuan yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan, dan

    bibi atau paman susuan. (Pasal 8 huruf d UU No 1 Tahun 1974).

    e) Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri

    dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang. (Pasal 8 huruf e UU No 1

    Tahun 1974).

    f) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku

    dilarang kawin. (Pasal 8 huruf f UU No 1 Tahun 1974) b) Tidak terikat tali

    perkawinan dengan orang lain, kecuali dalam hal yang diijinkan oleh Pasal 3

  • 30

    ayat 4 dan pasal 4. (Pasal 9 UU No 1 Tahun 1974) c) Larangan perkawinan

    antara dua orang yang telah bercerai untuk kedua kalinya, sepanjang hukum

    masing-masing agama dan kepercayaannya menentukan lain. (Pasal 10 UU No

    1 Tahun 1974) d) Untuk seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku

    jangka waktu tunggu. (Pasal 11 UU No 1 Tahun 1974) b. Syarat Formil, Syarat

    yang merupakan formalitas yang berkaitan dengan upacara nikah. Syarat formil

    yang merupakan syarat yang harus dipenuhi sebelum perkawinan

    dilangsungkan. Diatur dalam PP Nomor 9 Tahun 1975 yang terdiri dari tiga

    tahap, yaitu: 1) Tahap Pertama a) Pemberitahuan kehendak akan

    melangsungkan perkawinan kepada pegawai pencatat perkawinan. (Pasal 3

    ayat 1 PP No 9 Tahun 1975) b) Pemberitahuan dilakukan secara lisan atau

    tertulis oleh calon mempelai, atau oleh orang tua atau wakilnya. (Pasal 4 PP No

    9 Tahun 1975), c) Pemberitahuan memuat nama, umur, agama, pekerjaan,

    tempat kediaman calon mempelai dan apabila salah seorang atau keduanya

    pernah kawin disebutkan juga nama istri atau suaminya terdahulu. (Pasal 5 PP

    No 9 Tahun 1975) 2) Tahap Kedua a) Penelitian yang dilakukan oleh pegawai

    pencatat apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak

    terdapat halangan menurut UndangUndang. (Pasal 6 ayat 1 PP No 9 1975). b)

    Pegawai pencatat meneliti pula: Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir

    calon mempelai, keterangan mengenai nama, agama, pekerjaan dan tempat

    tinggal orang tua calon mempelai. (Pasal 6 ayat 2 PP No 9 Tahun 1975).

    3). Tahap Ketiga, Pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan

    perkawinan, setelah dipenuhinya tata cara dan syarat-syarat serta tiada sesuatu

  • 31

    halangan perkawinan. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk

    melangsungkan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

    adalah sebagaimana disebutkan dalam pasal 6 s/d 12 sebagai berikut :

    a) Adanya persetujuan calon mempelai.

    b) Usia calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan usia calon mempelai

    wanita sudah mencapai 19 tahun. UU nomor 16 tahun 2019 sebagai perubahan

    atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.

    c) Adanya izin kedua orang tua atau wali bagi calo mempelai yang belum berusia

    21 tahun.

    d) Antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita tidak dalam hubungan

    darah atau keluarga yang tidak boleh kawin.

    e) Tidak berada dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain.

    f) Bagi suami istri yang sudah bercerai, lalu kawin lagi satu sama lain dan bercerai

    lagi untuk kedua kalinya, agama dan kepercayaan mereka tidak melarang

    mereka kawin untuk ketiga kalinya.

    g) Tidak berada dalam waktu tunggu bagi calon wanita yang janda.

    Mengatur larangan kawin Pasal 10 Undang-Undang Perkawinan,

    larangan kawin kepada mereka yang telah putus perkawinannya karena cerai 2

    (dua) kali dengan pasangan yang sama. Jadi, setelah cerai yang kedua kalinya

    mereka tidak dapat kawin lagi untuk yang ketiga pada orang yang sama. Hal ini

    dimaksudkan agar suami dan isteri dapat membentuk keluarga yang kekal, maka

    suatu tindakan yang mengakibatkan putusnya perkawinan harus benar-benar dapat

    dipertimbangkan dan dipikirkan masak-masak. Ketentuan pada pasal 10 UUP

  • 32

    bertujuan agar mencegah tindakan kawin-cerai berulang kali, sehingga suami

    maupun isteri benar-benar dapat menghargai satu sama lain.

    3. Larangan Perkawinan

    Keanekaragaman masyarakat di Indonesia yang menyatu dalam

    pergaulan hidup bersama serta ditunjang dengan kemajuan teknologi yang

    semakin berkembang, menyebabkan terkikisnya jurang pemisah dalam interaksi

    antar manusia dengan manusia yang lain. Dalam pergaulan hidup masyarakat

    tersebut sering kali mereka mengadakan perbuatan hukum, antara lain saling

    mengikatkan diri dalam suatu perkawinan, tidak terkecuali perkawinan beda

    agama.

    Masalah perkawinan bukan sekedar merupakan masalah pribadi dari

    mereka yang akan melangsungkan perkawinan itu saja, tetapi juga merupakan

    masalah yang berkaitan dengan keagamaan yang erat sekali hubungannya

    dengan kerohanian seseorang. Sebagai masalah keagamaan, karena setiap agama

    memunyai aturan sendiri-sendiri tentang perkawinan, maka pada prinsipnya

    perkawinan diatur dan tunduk pada ketentuan dari ajaran agama yang dianut.

    Di samping sebagai perbuatan keagamaan, karena perkawinan juga

    menyangkut masalah hubungan antar manusia maka perkawinan dapat dianggap

    juga sebagai suatu perbuatan hukum. Dalam kenyataannya, dimanapun juga

    pengaruh agama yang paling dominan terhadap peraturan-peraturan hukum

    adalah dalam bidang hukum perkawinan.

    Perkawinan merupakan sesuatu peristiwa hukum yang sangat penting,

    sama pentingnya dengan peristiwa hukum lainnya. Selain itu, tidak kalah

  • 33

    pentingnya adalah menyangkut masalah akibat hukum yang ditimbulkan dari

    peristiwa hukum perkawinan.

    Sebenarnya seluruh agama menghendaki terjadinya perkawinan antara

    dua orang yang sama penganut agamanya (seagama), karena perkawinan tersebut

    merupakan perkawinan yang sangat ideal. Dilihat dari dampak yang ditimbulkan

    dari perkawinan beda agama cenderung menimbulkan berbagai masalah di

    kemudian hari. Masalah tersebut menyangkut hubungan suami isteri dan

    berimbas kepada anak-anak apabila memiliki keturunan.

    Dilihat dari aspek psikologis, di antara dampak dari perkawinan beda

    agama antara lain adalah, memudarnya rumah tangga yang telah dibina.

    Pasangan yang kawin beda agama yang awalnya hanya didasari dengan rasa

    cinta perbedaan itu dianggap sepele, lama kelamaan seiring bertambahnya usia

    pasti akan merasakan akibatnya. Perbedaan yang ada seiring berjalannya waktu

    akan mengakibatkan keretakan dalam rumah tangga yang menyebabkan

    kerenggangan hubungan. Masalah perkawinan beda agama juga akan

    berpengaruh terhadap kedudukan serta mental anak dan bagaimana menjaga

    hubungan baik antara anak dan orang tua mengenai perkawinan beda agama.

    Jadi, dapat disimpulkan bahwa secara psikologis perkawinan beda agama

    menyimpan masalah yang bisa menggerogoti kebahagiaan maupun

    keharmonisan dalam rumah tangga. Dengan adanya akibat yang terjadi, tentunya

    banyak perkawinan beda agama berakhir dengan perceraian.

  • 34

    Undang-Undang Perkawinan menentukan beberapa larangan untuk

    melangsungkan perkawinan yang dimuat dalam Pasal 8, 9 dan 10. Dapat

    digolongkan menjadi 7 macam sebagai berikut.

    a. Karena adanya hubungan darah : yaitu Perkawinan antara keluarga sedarah

    dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas (Pasal 8a), Perkawinan

    antara keluarga sedarah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara,

    antara seorang dengan saudara orang tua, antara seorang dengan saudara nenek

    (Pasal 8b).

    b. Karena adanya hubungan semenda yaitu perkawinan antara keluarga semenda

    yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri (Pasal bc).

    c. Karena adanya hubungan susuan yaitu perkawinan antara orang tua susuan,

    anak susuan dan bibi/paman susuan (Pasal 8d).

    d. Karena hubungan dalam perkawinan poligami yaitu perkawinan antara seorang

    suami dengan istri, bibi atau kemenakan istri (Pasal 8c).

    e. Karena larangan agama yaitu perkawinan antara orang-orang yang oleh

    agamanya dilarang (Pasal 8f).

    f. Karena masih terikat dalam perkawinan yaitu perkawinan seorang yang masih

    terikat dalam perkawinan (Pasal 9).

    g. Karena bercerai dua kali yaitu perkawinan antara bekas suami dan bekas istri

    yang telah cerai kawin lagi dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua

    kalinya. (Pasal 10)19

    19 Saleh Wantjik, Pernikahan Beda Agama (Surabaya: Guna Ilmu, 2000), h. 27.

  • 35

    Sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari

    yang bersangkutan tidak menentukan lain.

    4. Pencegahan Perkawinan

    Sebagaimana telah dikemukakan bahwa untuk dapat melangsungkan

    perkawinan seseorang harus memenuhi syarat-syarat tertentu dan prosedur

    tertentu yang telah ditentukan. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahhun 1974

    pencegahan perkawinan diatur pada Pasal 13 sampai dengan Pasal 21. Perkawinan

    dapat dicegah apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk

    melangsungkan perkawinan atau tidak memenuhi prosedur yang ditentukan.

    Adapun orang-orang yang dapat mencegah perkawinan adalah:

    1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari salah

    seorang calon mempelai.

    2. Saudara dari salah seorang calon mempelai.

    3. Wali nikah dari salah seorang calon mempelai.

    4. Wali dari salah seorang calon mempelai.

    5. Pengampu dari salah seorang calon mempelai.

    6. Pihak-pihak yang berkepentingan.

    7. Suami atau istri dari salah seorang calon mempelai.

    8. Pejabat yang ditunjuk. Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan

    dalam daerah hukum dimana perkawinan akan dilangsungkan dengan

    memberitahukan juga kepada Pegawai Pencatat Perkawinan. Kemudian

    Pegawai Pencatat Perkawinan memberitahukan mengenai permohonan

    pencegahan perkawinan termaksud kepada calon mempelai. Apabila ada

  • 36

    pencegahan perkawinan, maka Pegawai Pencatat Perkawinan tidak boleh

    melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan. Malahan

    Pegawai Pencatat Perkawinan tidak boleh melangsungkan atau membantu

    melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran dari

    ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 12 Undang-

    Undang meskipun tidak ada pencegahan perkawinan, yaitu bilamana:

    a. Calon mempelai pria belum mencapai usia 19 tahun dan calon

    mempelai wanita belum mencapai usia 19 tahun.

    b. Antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita berhubungan

    darah/keluarga yang tidak boleh kawin.

    c. Calon mempelai masih terikat perkawinan dengan pihak lain.

    d. Antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita satu sama lain telah

    bercerai untuk kedua kalinya, sedangkan agamanya dan kepercayaannya melarang

    kawin untuk ketiga kalinya.

    e. Perkawinan yang akan dilangsungkan tidak memenuhi prosedur (tata cara) yang

    telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.20

    Selama orang berada dalam keadaan pencegahan perkawinan selama itu

    pula ia tidak dapat melangsungkan perkawinan karena akan mengalami beban

    yang harus ditanggung oleh pasangan tersebut. ebelum pencegahan perkawinan

    itu dicabut, baik dengan ketetapan pengadilan maupun diratik kembali oleh si

    pemohon.

    20 Ridwan, Penjelasan Ringkas Undang-Undang Perkawinan (Jakarta: Pustaka Ilmu,2010), h. 123.

  • 37

    5. Pembatalan Perkawinan

    Perihal pembatalan perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun

    1974 diatur pada Pasal 22 sampai dengan 28, yang diatur lebih lanjut dalam

    Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 pada Pasal 37 dan 38. Pasal 22

    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan: “Perkawinan dapat

    dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk

    melangsungkan perkawinan”.

    Dalam penjelasannya disebutkan pengertian dapat pada pasal ini diartikan

    bisa batal atau bisa tidak batal, bilamana menurut ketentuan hukum agamanya

    masing-masing tidak menentukan lain. Dengan demikian, alasan untuk mencegah

    perkawinan dan alasan untuk membatalkan perkawinan mengandung persamaan,

    yakni apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan

    perkawinan. Permohonan pembatalan perkawinan harus disampaikan kepada

    pengadilan daerah hukum di mana perkawinan yang dimohonkan pembatalannya

    itu dilangsungkan atau di tempat tinggal suami istri, suami atau istri (Pasal 24).

    Permohonan pembatalan perkawinan hanya boleh diajukan oleh pihak yang

    berhak yang disebut dalam Pasal 23, 24, 26 dan 27 Undang-Undang Nomor 1

    Tahun 1974 yaitu :

    1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri.

    2. Suami atau Istri.

    3. Pejabat yang berwenang.

    4. Pejabat yang ditunjuk.

    5. Jaksa.

  • 38

    6. Suami atau istri dari yang melangsungkan perkawinan.

    7. Orang yang mempunyai kepentingan hukumsecara langsung terhadap

    perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus tata cara

    mengajukan permohonan pembatalan perkawinan dilakukan sesuai dengan tata

    cara mengajukan gugatan perceraian (Pasal 38 ayat (2) PP No 9/1975).21

    Hal-hal yang berhubungan dengan pemanggilan dilakukan sesuai dengan

    ketentuan yang termuat dalam Pasal 20 s.d 36 Peraturan Pemerintah No 9 Tahun

    1975. Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan

    mempunya kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya

    perkawinan. Akan tetapi, keputusan tidak berlaku surut terhadap:

    a. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut artinya anak-anak

    tersebut adalah anak yang sah dari suami istri yang bersangkutan.

    b. Suami atau istri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap

    harta bersama bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan

    lain yang lebih dahulu.

    c. Orang-orang ketiga lainnya sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan

    itikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum

    tetap.22

    Misalnya orang-orang ketiga itu menerima hadiah dari suami istri yang

    bersangkutan, maka apa yang dihadiahkan itu merupakan haknya yang sah.

    21 Djubaidah, Pencatatan Perkawinan & Perkawinan Tidak Dicatat: Menurut HukumTertulis di Indonesia dan Hukum Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 90.

    22 Ridwan, Penjelasan Ringkas Undang-Undang Perkawinan (Jakarta: Pustaka Ilmu,2010), h. 123.

  • 39

    Misalnya orang-orang ketiga itu menerima hadiah dari suami istri yang

    bersangkutan, maka apa yang dihadiahkan itu merupakan haknya yang sah.

    6. Akibat Perkawinan

    Akibat yang timbul dengan dilangsungkannya suatu perkawinan

    menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974, pada umumnya terkait dengan

    bagaimana hubungan yang timbul antara para pihak dalam hal ini

    suami dan isteri. Hal itu akan menimbulkan hubungan hak dan kewajiban

    antara suami isteri, selain itu akan menimbulkan hubungan suami isteri

    dengan anak yang dilahirkan sehingga menimbulkan adanya kekuasaan

    orang tua dan suami istri terhadap harta perkawinan. Akibat perkawinan

    menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 ini menimbulkan adanya :

    1. Hubungan Suami dan Istri itu sendiri dengan dilangsungkan perkawinan

    mengakibatkan hak dan keawajiban antara suami istri (Pasal 30-34):

    a. Menegakkan rumah tangga, yaitu berusaha menciptakan rumah

    tangga yang utuh, sehingga yang diatur dalam Pasal 30 yaitu suami

    istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang

    menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat, sesuai tujuan p