upaya pengembalian kerugian masyarakat dalam...
Embed Size (px)
TRANSCRIPT

UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM
PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI MELALUI INSTRUMEN
PERDATA
(Penggabungan Gugatan Ganti Kerugian Berdasarkan Pasal 98 Ayat (1)
KUHAP)
Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S. Sy)
Oleh:
WIWIN WINATA
1110043200020
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2015/1436



iv
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar strata satu (S1) di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, 4 Juni 2015
Wiwin Winata

v
ABSTRAK
Wiwin Winata. NIM 1110043200020. Upaya Pengembalian Kerugian Masyarakat Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Melalui Instrumen Perdata (Penggabungan Gugatan Ganti Kerugian Berdasarkan Pasal 98 Ayat (1) KUHAP). Konsentrasi Perbandingan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam era pembangunan dewasa saat ini tindak pidana korupsi dianggap sebagai sebuah penyakit yang telah melanda masyarakat Indonesia. Tidak hanya di kalangan pejabat saja, tetapi juga kalangan masyarakat biasa bahkan aparat penegak hukumnya. Tindak pidana korupsi saat ini menjadi masalah yang sudah mengakar hampir diseluruh birokrasi pemerintah, hal ini menjadi cukup fenomenal di tengah pembangunan Indonesia yang telah terpuruk dalam pembangunan dewasa ini. Oleh karena itu, di samping tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional. Maka salah satu hal lain yang dapat dilakukan oleh masyarakat yaitu dengan melalui tuntutan ganti kerugian sebagaimana diatur di dalam Bab XIII KUHAP adalah penggabungan perkara gugatan ganti kerugian, yang ditimbulkan oleh tindak pidana itu sendiri. Mekanisme ini berlaku untuk tindak pidana umum atau khusus. Melalui pasal 98 ayat (1) KUHAP korban tindak pidana dapat mengajukan tuntutan ganti kerugian atas kerugian yang dialami terhadap terdakwa. Secara umum tujuan dari penulisan ini adalah penulis ingin mengetahui dan memberikan pemahaman kepada masyarakat pada umumnya tentang hak dan kewenangan masyarakat untuk mengajukan gugatan ganti kerugian atas kerugian yang dialami masyarakat kepada pelaku korupsi (tersangka atau terdakwa) melalui instrumen perdata. Metode penelitian yang digunakan adalah dengan menggunakan kajian pendekatan hukum normatif yaitu untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun dokrtin-doktrin hukum untuk menjawab permasalahan hukum yang dihadapi. Kesimpulan dari penulisan skripsi ini adalah: (1) Bahwa tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, serta menutup jalan terciptanya keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, masyarakat yang merasa dirugikan akibat tindak pidana tersebut, dapat mengajukan gugatan perdata ganti kerugian yang ditimbulkan tindak pidana korupsi melalui pasal 98 ayat (1) KUHAP. (2) Bahwa upaya pengembalian kerugian masyarakat melalui instrumen hukum perdata dapat dilakukan setelah putusan pidana dan perdata (assesor) berkekuatan hukum tetap. Kata Kunci : Tindak Pidana Korupsi, Gugatan Perdata, Gabungan Ganti Kerugian Pembimbing : Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag
Daftar Pustaka : Tahun 1983 s.d Tahun 2014

vi
KATA PENGANTAR
بسم هللا الرحمن الرحیم
Alhamdulillah, segala puji penulis panjatkan ke hadirat Allah yang telah
memberikan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada
pemimpin kaum muslimin Nabi Muhammad, keluarganya, para sahabatnya, dan
seluruh kaum muslimin yang senantiasa mengikuti petunjuknya.
Suatu kebanggaan bagi penulis dapat menyelesaikan skripsi ini untuk
mengejar cita-cita serta harapan yang tinggi, terselesaikannya skripsi ini merupakan
langkah awal bagi penulis untuk senantiasa dan terus berusaha menitik jejak-jejak
kehidupan yang dapat bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri dan juga bagi
bangsa dan negara.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari akan pentingnya orang-orang
yang telah memberikan pemikiran dan dukungan secara moril maupun spiritual
sehingga skripsi ini dapat terselesaikan sesuai yang diharapkan, tidak sedikit
kesulitan dan hambatan yang penulis temukan, namun berkat rahmat dan ridha-
Nya, serta dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, baik langsung maupun tidak
langsung segala kesulitan dapat diatasi dengan sebaik-baiknya sehingga pada
akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, sudah sepantasnya dengan
kerendahan hati, pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terima kasih
yang sedalam-dalamnya kepada :

vii
1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, selaku Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Khamami Zada, M.A., dan Ibu Hj. Siti Hanna M.A., selaku Ketua
Prodi dan Sekretaris Prodi Perbandingan Madzhab Hukum, Fakultas Syariah
dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag. selaku dosen pembimbing yang telah
meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran selama membimbing penulis.
4. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si dan Abang Ainul Yaqin, S.HI, yang
telah memberikan arahan dan pengetahuan dalam penyusunan skripsi.
5. Segenap Bapak dan Ibu Dosen serta staf pengajar pada lingkungan Prodi
Perbandingan Madzhab Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu
pengetahuannya kepada penulis selama duduk di bangku perkuliahan.
6. Segenap jajaran staf dan karyawan akademik Perpustakaan Fakultas Syariah
dan Hukum dan Perpustakaan Utama, serta Perpustakaan Universitas
Indonesia yang telah membantu penulis dalam pengadaan referensi-referensi
sebagai bahan rujukan skripsi.
7. Doa dan harapan penulis panjatkan kepada keluarga tercinta Ayahanda Salim
dan Ibunda Amah, serta Almarhumah Ibunda tercinta Anah Suanah, Kakak
Wiwi Wiharti, S.Pd, Keponakan hebat Ihsan Dzaki Daniswara dan Kenzo
Mirza Alghani yang senantiasa memberikan dukungan sejak awal
perkuliahan sampai penulis dapat menyelesaikan skripsi.

viii
8. Sahabat-sahabat hebat penulis yang telah memberikan bantuan dan
aspirasinya selama dalam organisasi. Ahmad Fahrudin, Abdul Muslim, Abdul
Gofur, Ridwan Mawardi, Achmad Kamal Badri, Anas dan Khoirul Anas,
serta terutama Nasruddin, S.Sy., atas kebaikan dan keikhlasannya telah
memberi pinjaman notebook untuk penulisan skripsi ini.
9. Sahabat-sahabat seperjuangan penulis yang selalu bersama-sama nongkrong
di DPR (Di Bawah Pohon Rindang) Ramdani, M Aidzbillah, teman-teman
kostan Ilyas Fadillah, Bambang Tri Nugraha, M. Syaban Effendy, Achmad
Turmuzi, Laka Ramadhan Mubarok, Teddy Sudarna, Ahmad Sandi, Ridwan
Annas, dan teman-teman Perbandingan Hukum 2010 yang tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu. Suatu saat kita harus menjadi orang yang dipercayakan,
bukan lagi orang yang mempercayakan. Terus berjuang semoga kalian
sukses.
10. Semua Keluarga Besar Adhoc Dewan Perwakilan Mahasiswa Universitas
2010, Gerakan Nurani Nusantara, dan Anggota KKN Respect 2013 yang
tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah mendukung penulis
dalam menyelesaikan skripsi ini.
Semoga amal baik mereka dibalas oleh Allah dengan balasan yang berlipat
ganda. Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis
khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun senantiasa penulis harapkan untuk kesempurnaan skripsi ini.
Jakarta, 4 Juni 2015

ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................. i
PENGESAHAN PEMBIMBING ......................................................... ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN ...................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN .................................................................. iv
ABSTRAK ............................................................................................. v
KATA PENGANTAR ........................................................................... vi
DAFTAR ISI .......................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN .............................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................... 1
B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah ............. 6
C. Tujuan Serta Manfaat Penelitian ................................... 6
D. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu .............................. 7
E. Metode Penelitian.......................................................... 8
F. Sistematika Penulisan ................................................... 11
BAB II DESKRIPSI UMUM TENTANG TINDAK
PIDANA KORUPSI ........................................................... 12
A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi ................................ 12
B. Unsur- Unsur Tindak Pidana Korupsi ............................ 16
C. Pengembalian Harta Hasil Korupsi ................................ 22
1. Peran Masyarakat dalam Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi ......................................................... 27
2. Prosedur Penyelesaian Perkara Gugatan Perdata
Ganti Kerugian ......................................................... 30

x
BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN WACANA
PEMISKINAN KORUPTOR ............................................ 35
A. Pertanggungjawaban Pidana dan Subjek
Delik Korupsi ................................................................. 35
B. Sanksi Hukum bagi Pelaku Tindak Pidana Korupsi ...... 45
C. Konsep Pemiskinan Koruptor sebagai Sanksi Takzir .... 51
BAB IV MEKANISME PENGGABUNGAN GUGATAN GANTI
KERUGIAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI ... 59
A. Upaya Memasukkan Gugatan Perdata dalam Tindak
Pidana Korupsi ............................................................... 59
B. Pembebanan Ganti Kerugian dan Mekanisme Pengembalian
Harta Hasil Korupsi Kepada Masyarakat ....................... 66
BAB V PENUTUP ........................................................................... 69
A. Kesimpulan .................................................................... 69
B. Saran ............................................................................... 70
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 72

1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia yang memiliki UUD 1945 sebagai hierarki perundang-undangan
yang tertinggi seharusnya dijadikan pedoman bagi pelaksanaan penegakan
hukum, baik oleh legislatif, eksekutif maupun yudikatif. Dalam UUD 1945
diterangkan bahwa Indonesia berdasarkan atas hukum Rechstaat dan tidak
berdasarkan atas kekuasaan belaka Machstaat. Hal ini berarti bahwa negara
Indonesia menjunjung tinggi hukum bukan menjunjung tinggi kekuasaan, di mana
dalam menerapkan hukum, Indonesia harus memandang semua subjek hukum
adalah sama, tidak memandang itu pejabat, orang terkenal, atau orang minoritas
yang termarginalkan.1
Tindak pidana korupsi terlihat seperti sebuah kejahatan yang bersifat seperti
jamur yang tumbuh di musim hujan di mana tidak hanya dilakukan oleh kalangan
atas, tetapi juga kalangan bawah. Tidak hanya dalam urusan pemerintahan,
keuangan negara, hak asas, ideologi, perekonomian, maupun moral bangsa.
Dengan adanya bahaya seperti itu, diharapkan penegak hukum dapat menjalankan
wewenangnya sebagaimana mestinya.2
Korupsi menurut Transparency International adalah perilaku pejabat publik,
baik politikus atau politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan
1 Lina Maulimah, Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi. http:// writing-
contest.bisnis.com. diakses 20 Juli 2014, pukul 08.14 2 Ibid

2
tidak legal memperkaya diri dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang
dipercayakan kepada mereka. Dalam era pembangunan di Indonesia saat ini
terjadi sebuah tindak pidana yang dianggap sebagai sebuah penyakit yang telah
melanda masyarakat Indonesia. Tidak hanya di kalangan pejabat saja, tetapi juga
kalangan masyarakat biasa bahkan aparat penegak hukumnya. Hal ini adalah
masalah korupsi yang cukup fenomenal di tengah pembangunan Indonesia yang
telah terpuruk dalam pembangunan dewasa ini. Tindak pidana ini tidak hanya
merugikan keuangan negara tetapi juga merugikan dan meresahkan kehidupan
sosial ekonomi masyarakat. Sebagaimana yang telah tertuang dalam pancasila
terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan apa yang terkandung dalam
Pancasila tersebut.3
Maka dari itu, sebagaimana tertuang dalam Undang-undang tindak pidana
korupsi bahwa korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara dan menghambat pembangunan nasional. Maka salah satu hal lain yang
dapat dilakukan oleh masyarakat yaitu dengan melalui tuntutan ganti kerugian
sebagaimana diatur di dalam Bab XIII KUHAP adalah tuntutan ganti kerugian,
yang ditimbulkan oleh tindak pidana itu sendiri. Mekanisme ini berlaku untuk
tindak pidana umum maupun tindak pidana khusus.4
Dalam mekanisme pengadilan khusus, kita bisa temukan pada kasus
pelanggaran HAM berat. Pasal 35 ayat (1) UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM, menyebutkan: “setiap korban dan saksi dalam pelanggaran
3 Ibid 4 KRHN. Legal Opini for Popular Legal Action in Corruption Cases
.http://reformasihukum.org. diakses 20 Juli 2014, pukul 08.34

3
hak asasi manusia yang berat dan atau ahli warisnya dapat memperoleh
kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi”. Namun dalam kasus tindak pidana
korupsi, mekanisme ini tidak disebut di dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi maupun UU Nomor 46
Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Meskipun begitu, jika kita mencermati dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu Undang-undang No. 8 Tahun 1981, pada
Bab XIII pasal 98 sampai 101, telah diatur mengenai Penggabungan Perkara
Gugatan Ganti Kerugian. Dalam hal ini, tuntutan ganti kerugian yang diakibatkan
oleh tindak pidana tersebut, ditujukan kepada Terdakwa (si pelaku tindak pidana).
Menurut M. Yahya Harahap (2003, hal 81), tuntutan ganti rugi yang dibebankan
kepada Terdakwa, berpotensi menimbulkan kekecewaan dalam pelaksanaan ganti
rugi tersebut. Hal ini karena belum tentu Terdakwa mampu membayar kerugian
secara cepat. Untuk memberikan jaminan bahwa korban segera mendapatkan
penggantian atas kerugiannya, Yahya Harahap menyarankan agar negara
membayar terlebih dahulu, kemudian Terdakwa menggantinya dengan system
reimburse. Hak gugat ini didasarkan pada prinsip “keseimbangan” yang diatur
dalam KUHAP, yang intinya bahwa hukum pidana bukan hanya mementingkan
perlindungan hak dan martabat Terdakwa tetapi juga memberi perlindungan
kepada kepentingan orang lain, dalam hal ini kepentingan orang yang menderita
kerugian akibat tindak pidana yang dilakukan oleh Terdakwa.5
5 KRHN. Legal Opini for Popular Legal Action in Corruption Cases
.http://reformasihukum.org. diakses 20 Juli 2014, pukul 08.34

4
Kerugian yang bisa digugat hanya sebatas kerugiaan materiil, sedangkan
kerugian immateriil harus digugat tersendiri melalui mekanisme gugatan perdata
biasa. Pasal 99 ayat (2) KUHAP menyatakan : Kecuali dalam hal pengadilan
negeri menyatakan tidak berwenang mengadili gugatan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) atau gugatan dinyatakan tidak dapat diterima, putusan hakim hanya
memuat tentang penetapan hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan
oleh pihak yang dirugikan.
Pembatasan ini didasarkan pada pertimbangan praktis yaitu karena kerugian
materiial lebih mudah dibuktikan dan tidak menghambat proses pembuktian
perkara pidananya. Pembatasan ini berimplikasi pada putusan pengadilan jika ada
tuntutan ganti kerugian immaterial terhadap tuntutan kerugian immaterial maka
putusannya adalah “tidak bisa diterima”. Namun demikian, putusan “tidak bisa
diterima” tersebut tidak berdampak pada nebis in idem, artinya korban bisa
mengajukan lagi gugatan ke pengadilan perdata untuk kerugian immaterial
tersebut.6
Hal yang paling mendasar yang menimbulkan kerugian dalam tindak pidana
korupsi adalah merampas hak-hak orang lain, memberikan dampak buruk
terhadap masyarakat, terganggunya sistem perekonomian dan terlebih lagi unsur
fasad atau kerusakan yang ditimbulkannya bisa sangat meluas. Lebih jauh lagi,
dalam ajaran Islam korupsi merupakan tindakan yang bertentangan dengan prinsip
keadilan, akuntabilitas, dan tanggung jawab. Korupsi dengan segala negatifnya
6 KRHN. Legal Opini for Popular Legal Action in Corruption Cases
.http://reformasihukum.org. diakses 20 Juli 2014, pukul 08.34

5
yang menimbulkan berbagai distorsi, kerusakan terhadap kehidupan negara dan
masyarakat, dapat dikategorikan termasuk kerusakan di muka bumi yang sangat di
benci Allah.7
Dalam hukum Islam pun berkata demikian bahwa janganlah memakan harta
sesama dengan cara yang batil, sebagaimana firman-Nya dalam surat An-Nisa
ayat 29:
���
��ٱ� ��� � � � �
���� �
�
���
أ�ا
��
��
�
��� ءا���ا
�� �
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil. (QS. An Nisa/4. 29)
Maka berdasarkan latar belakang masalah tersebut, penulis merasa perlu
untuk melakukan penelitian tentang pengembalian kerugian masyarakat dalam
perkara tindak pidana korupsi melalui mekanisme penggabungan gugatan ganti
kerugian. Maka dari itu penulis memilih satu judul yang akan dibahas dalam
skripsi ini, yaitu: “UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT
DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI MELALUI
INSTRUMEN PERDATA (Penggabungan Gugatan Ganti Kerugian
Berdasarkan Pasal 98 Ayat (1) KUHAP).”
7 M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam. (Jakarta: Amzah, Cet Kedua,
2012), h 8.

6
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang pembahasan tersebut di atas, agar pembahasan
tidak meluas dan lebih terfokus dalam pembuatan skripsi ini. Maka dari itu,
penulis membatasi pembahasan dalam skripsi ini. Dalam skripsi ini penulis
berusaha mengkaji masalah pengembalian kerugian masyarakat dalam perkara
tindak pidana korupsi melalui instrumen perdata.
Adapun rumusan masalah yang akan penulis bahas di dalam skripsi ini
yaitu sebagai berikut:
1. Bagaimana gugatan perdata masuk dalam tindak pidana korupsi?
2. Bagaimana upaya pengembalian kerugian masyarakat dalam perkara
tindak pidana korupsi melalui instrumen hukum perdata?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Sejalan dengan perumusan masalah di atas, tujuan dari penulisan ini adalah
penulis ingin mengetahui tentang hak dan kewenangan masyarakat sebagai korban
tindak pidana korupsi, khususnya mengetahui tentang:
1. Untuk mengetahui dan menjelaskan gugatan perdata masuk dalam
tindak pidana korupsi.
2. Untuk mengetahui upaya pengembalian kerugian masyarakat yang
ditimbulkan tindak pidana korupsi melalui instrumen hukum perdata.

7
Adapun manfaat yang penulis harapkan dalam penulisan skripsi ini yaitu:
1. Dapat memperluas wawasan dan khazanah ilmu dalam bidang
hukum terutama dalam hal tindak pidana korupsi.
2. Dapat memberikan pandangan hukum baru tentang upaya
penggabungan gugatan ganti kerugian perkara korupsi.
3. Dapat mengetahui gambaran mekanisme penggabungan gugatan
ganti kerugian perkara korupsi.
4. Dapat memberikan pengaruh kepada masyarakat untuk berperan
aktif dalam upaya pemberantasan korupsi melalui instrumen perdata.
D. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu
Dalam penelitian ini, penulis mencoba review studi terdahulu. Penulis
membaca beberapa hasil penelitian yang kiranya berkaitan dengan judul dan tema
yang penulis angkat untuk dijadikan penelitian.
1. Skripsi karya Irmawati, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004, mengenai Tinjauan Hukum
Islam Tentang Pengembalian Uang Pengganti Tindak Pidana Korupsi,
menjelaskan tentang tinjauan hukum Islam terhadap uang pengganti
dalam tindak pidana korupsi.
Dari review studi terdahulu penulis tidak menemukan skripsi yang
membahas mengenai materi yang terkandung dalam judul yang penulis angkat
yakni mengenai Upaya Pengembalian Kerugian Masyarakat dalam Perkara
Tindak Pidana Korupsi melalui Instrumen Perdata. Untuk itu, penulis merasa
perlu melakukan penelitian ini dalam sebuah karya tulis skripsi.

8
E. Metode Penelitian
Untuk menggali makna lebih jauh dari aturan hukum, tidak cukup dilakukan
penelitian dalam ruang lingkup dogmatik hukum, melainkan lebih mendalam lagi
memasuki teori hukum. Apabila penelitian dalam ruang lingkup dogmatik hukum,
isu hukum mengenai ketentuan hukum yang di dalamnya mengandung pengertian
hukum berkaitan dengan fakta hukum yang dihadapi, untuk penelitian pada
tataran teori hukum, isu hukum harus mengandung konsep hukum. Konsep hukum
dapat dirumuskan sebagai suatu gagasan yang dapat direalisasikan dalam
kerangka berjalannya aktivitas hidup bermasyarakat secara tertib.
Dalam hal ini, metode penelitian yang dipergunakan adalah penelitian
hukum normatif yaitu untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip-prinsip
hukum, maupun dokrtin-doktrin hukum untuk menjawab permasalahan hukum
yang dihadapi.8
1. Jenis Penelitian
Dengan menggunakan kajian pendekatan hukum normatif tertulis yaitu
mengumpulkan bahan-bahan peraturan perundang–undangan dari bidang-bidang
tertentu, yang menjadi pusat perhatian dari peneliti. Klasifikasi dapat dibuat atas
dasar kronologi, bagian-bagian yang diatur oleh peraturan tersebut, dan
seterusnya.
8 Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarief Hidayatullah Jakarta, Desember 2010), h.31.

9
Kemudian diadakan suatu analisa, dengan mempergunakan pengertian-pengertian
dasar dari sistem hukum, analisa hanya dilakukan terhadap pasal-pasal yang
isinya merupakan kaedah (hukum).9 Penelitian hukum normatif mencakup:
a. Penelitian terhadap azas-azas hukum,
b. Penelitian terhadap sistematika hukum,
c. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum,
d. Penelitian sejarah hukum,
e. Penelitian perbandingan hukum.10
Pada skripsi ini menggunakan penelitian terhadap sistematika hukum, yaitu
mengadakan identifikasi terhadap pengertian pokok dalam hukum seperti subyek
hukum, hak dan kewajiban, peristiwa hukum dalam peraturan perundang-
undangan. Dalam skripsi ini menjadi tumpuannya adalah peraturan perundang-
undangan dan ditopang oleh pendapat-pendapat para ahli.
2. Jenis dan Sumber Data
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan dua jenis data. Data yang
digunakan yaitu data Primer dan data Sekunder. Untuk penelitian normatif data
primer yang digunakan adalah undang-undang yang di terapkan atau berlaku di
Indonesia yang berkaitan dengan masalah yang penulis kaji.
9 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta,Cetakan ke-3, 1984), h. 255.
10 Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, h.31.

10
Sedangkan sumber sekundernya adalah berupa komentar dan buku-buku,
dokumen-dokumen, serta artikel-artikel yang terkait.
3. Pengumpulan Data
Untuk pendekatan penelitian normatif dilakukan dengan cara studi
kepustakaan, yaitu dengan menelusuri bahan-bahan tertulis atau pustaka yang
terkait dengan judul dan masalah yang penulis teliti. Baik berupa peraturan
perundang-undangan, putusan, atau dokumen-dokumen resmi yang di keluarkan
yang terkait dengan skripsi ini.
4. Analisis Data
Penelitian ini menggunakan content anayisis, yaitu menganalisa dengan
mendeskripsikan putusan tindak pidana korupsi yang dipadukan dengan
komentar-komentar dan studi kepustakaan yang terkait.
5. Teknik Penulisan
Penulisan skripsi ini menggunakan acuan dari Buku Pedoman Penulisan
Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Syarief Hidayatullah Jakarta, tahun 2012.

11
F. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah penulisan dalam membahas permasalahan, penulis
menyusun dengan sistematika sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan. Pada Bab ini penulis membahas tentang latar
belakang masalah, batasan masalah dan perumusan masalah, tujuan serta maanfaat
penelitian, review (kajian) studi terdahulu, metode penelitian, serta sistematika
penulisan.
BAB II : Deskripsi Umum Tindak Pidana Korupsi dan Sanksi Tindakan.
Pada Bab ini penulis membahas bagaimana pengertian tindak pidana korupsi,
unsur-unsur tindak pidana korupsi, dan prosedur pengembalian harta hasil korupsi
BAB III : Pertanggungjawaban Pidana dan Wacana Pemiskinan Koruptor.
Pada Bab ini penulis membahas bagaimana konsep pertanggungjawaban tindak
pidana korupsi, subjek delik korupsi, sanksi hukum pelaku tindak pidana korupsi,
dan konsep pemiskinan sebagai sanksi takzir.
BAB IV : Mekanisme Penggabungan Gugatan Ganti Kerugian dalam
Tindak Pidana Korupsi. Pada bab ini penulis membuat analisa hukum terhadap
gugatan ganti kerugian, dasar hukum, upaya gugatan perdata melaui mekanisme
penggabungan gugatan ganti kerugian, pembebanan ganti kerugian.
BAB V : Penutup. Pada bab ini penulis memaparkan kesimpulan dan saran-
saran dari seluruh pembahasan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya.

12
BAB II
DESKRIPSI UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI DAN
PENGEMBALIAN HARTA
A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi
Mengawali deskripsi tentang pengertian asal kata korupsi, ada ungkapan yang
pernah dikemukakan oleh Lord Acton dalam Dani Krinawati dkk, sebagai berikut:
“Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”, yaitu kekuasaan
cenderung untuk korupsi dan kekusaan yang absolut cenderung korupsi absolut. Hal
tersebut dapat dibuktikan bahwa di mana pun di belahan bumi ini kekuasaan selalu
sangat rentan terhadap tindak pidana korupsi.1
Sebagaimana ungkapan Lord Acton tersebut Piers Beirne and James
Messerschmidt dalam Dani Krinawati dkk, memperkuat ungkapan tersebut dengan
membagi empat tipe perbuatan korupsi yang berkaitan erat dengan kekuasan, yaitu;
Political Bribery adalah kekuasan di bidang legislatif sebagai badan pembentuk
Undang-Undang, yang secara politis badan tersebut dikendalikan oleh suatu
kepentingan luar yang bertindak sebagai penyandang dana, Political Kicbacks adalah
kegiatan korupsi yang berkaitan dengan sistem kontrak pekerjaan borongan, antara
1 Djaja, Ermansjah, Tipologi Tindak Pidan Korupsi di Indonesia, (Bandung: Mandar Maju,
2010), h 19.

13
pejabat pelaksana atau pejabat terkait dengan pengusaha, sehingga dapat memberikan
keuntungan pada kedua belah pihak, Election Fraud adalah korupsi yang berkaitan
langsung dengan kecurangan-kecurangan dalam pelaksanaan pemilihan umum, baik
yang dilakukan oleh calon penguasa atau anggota parlemen atau lembaga pelaksana
pemilihan umum, dan Corrupt Campaign Practice adalah korupsi yang berkaitan
dengan kegiatan kampanye dengan menggunakan fasilitas dan uang Negara oleh
calon penguasa yang saat itu memegang kekuasaan.2
Definisi tentang korupsi dapat dipandang dari berbagai aspek bergantung pada
disiplin ilmu yang dipergunakan3 sebagaimana dikemukan oleh Benveniste dalam
Suyatno, korupsi didefinisikan menjadi empat jenis, sebagai berikut:
1) Discretionary Corruption, ialah korupsi yang dilakukan karena adanya
kebebasan dalam menentukan kebijakansanaan, sekalipun nampaknya bersifat
sah, bukanlah praktek-praktek yang dapat diterima oleh para anggota
organisasi.
2) Illegal Corruption, ialah suatu jenis tindakan yang bermaksud mengacaukan
bahasa atau maksud-maksud hukum, peraturan dan regulasi tertentu.
3) Mercenary Corruption, ialah jenis tindak pidana korupsi yang dimaksud
untuk memperoleh keuntungan pribadi, melalui penyalahgunaan wewenang
dan kekuasaan.
2 Ibid, h 20. 3 Suyatno, Korupsi, Kolusi, Nepotisme. (Jakarta: Pustika Sinar Harapan, 2005), h 17.

14
4) Ideological Corruption, ialah jenis korupsi illegal maupun discretionary yang
dimaksudkan untuk mengejar tujuan kelompok.4
Adapun pengertian atau asal kata korupsi menurut Fockema Andreae5 kata
korupsi berasal dari bahasa Latin corruptio atau corruptus yang berarti kerusakan
atau kebobrokan. Dari bahasa Latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti
Inggris yaitu corruption, corrupt; Perancis yaitu corruption; Belanda yaitu corruptie
(korruptie); dan dari bahasa Belanda itulah turun ke dalam bahasa Indonesia yaitu
“korupsi”.6
Istilah korupsi yang telah diterima dalam perbendaharan kata bahasa Indonesia
itu, disimpulkan oleh Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia:
“Korupsi ialah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang
sogok dan sebagainya,” sedangkan menurut Henry Campbell Black, mengartikan
korupsi sebagai “Suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan
suatu keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajiban resmi dan hak-hak dari pihak
lain.”7 Dengan pengertian korupsi secara harfiah itu dapatlah ditarik suatu kesimpulan
bahwa korupsi itu memiliki arti yang sangat luas.
4 Djaja, Ermansjah, Tipologi Tindak Pidan Korupsi di Indonesia, h 21-22. 5 Fockema Andreae, Kamus Hukum. (Bandung: Bina Cipta, 1983, hurup c, Terjemahan Bina
Cipta). 6 Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional.
(Jakarta, Raja Grafindo, 2005), h 4. 7 Elwi Danil, Korupsi (Konsep, Tindak PIdana, dan Pemberantasannya). (Jakarta: Raja
Grafindo, 2011), h 3.

15
Adapun yang tercantum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
secara tersirat memuat pengertian tindak pidana korupsi. Salah satunya terdapat
dalam pasal 2 ayat 1 dikatakan bahwa: “Setiap orang yang secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri atau orang lain atau suatu korporasi yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.”
Secara yuridis, pengertian korupsi tidah hanya terbatas kepada perbuatan yang
memenuhi rumusan delik karena melawan hukum, menyalahgunakan kewenangan,
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, penggelapan uang negara,
pemalsuan dokumen, dan sebagainya untuk mengalihkan uang negara. Akan tetapi,
meliputi juga perbuatan-perbuatan yang terkait dengan perilaku menyimpang dari
penyelenggara negara yang merugikan masyarakat atau perseorangan, serta
gratifikasi, pemerasan dalam jabatan, bahkan turut serta dalam pemborongan dan
rekanan.8 Selain itu, korupsi juga mengarah kepada keburukan, ketidakbaikan,
kecurangan bahkan kezaliman, yang akibatnya akan merusak dan menghancurkan
tata kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa, dan bahkan Negara pun bisa bangkrut
disebabkan korupsi.9 Dengan demikian, dari uraian mengenai kata korupsi di atas,
8 Marwan Effendy, Sistem Peradilan Pidana, Tinjauan Terhadap Beberapa Perkembangan
Hukum Pidana, (Jakarta: Referensi, 2012), h 81. 9 M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Pidana Islam, (Jakarta: Amzah, Cet Kedua, 2012), h. 36.

16
dapat disimpulkan bahwa arti korupsi memiliki makna kandungan yang sangat luas
bergantung pada aspek dan disiplin ilmu yang dipergunakan.
B. Unsur-Unsur Tindak Pidana Korupsi
Berdasarkan ketentuan pasal 2 ayat 1 dan pasal 3 Undang-Undang Nomor. 31
Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang termasuk ke dalam
unsur-unsur pidana korupsi adalah sebagai berikut:
1. Setiap Orang Termasuk Korporasi
2. Melakukan Perbuatan Melawan Hukum
3. Memperkaya Diri Sendiri
4. Dapat Merugikan Keuangan Negara
1. Setiap Orang Termasuk Korporasi
Dalam pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 menyebutkan
bahwa setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi, yaitu
kumpulan orang dan atau kekayaan terorganisasi baik merupakan badan hukum atau
bukan badan hukum, maupun siapa saja yang menjadi subjek hukum pidana, yang
melakukan tindak pidana dan diancam pidana, dan dapat dimintai
pertanggungjawaban pidana, serta tidak ada alasan pemaaf atau alasan pembenar
yang menghapuskan ancaman pidana.

17
2. Melakukan Perbuatan Melawan Hukum
Dalam penjelasan pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999
disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” mencakup
perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni
meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam perundang-undangan, namun apabila
perbuatan tersebut dianggap tercela, karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau
norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat maka perbuatan tersebut dapat
dipidana.
Dengan adanya kata “maupun” dalam penjelasan tersebut, dapat diketahui
bahwa Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 mengikuti dua ajaran sifat melawan
hukum secara alternatif yaitu:
a. Ajaran sifat melawan hukum formil, atau
b. Ajaran sifat melawan hukum materiil
Roeslan Saleh mengemukakan, menurut ajaran melawan hukum, yang disebut
melawan hukum materiil tidaklah hanya sekadar bertentangan dengan hukum tertulis,
tetapi juga bertentangan dengan hukum tidak tertulis. Sebaliknya ajaran melawan
hukum formil berpendapat bahwa melawan hukum adalah bertentangan dengan
hukum tertulis saja. Jadi menurut ajaran materiil, di samping memenuhi syarat-syarat

18
formil, yaitu memenuhi semua unsur yang disebut dalam rumusan delik, perbuatan
harus benar-benar dirasakan masyarakat sebagai tidak boleh atau tidak patut.10
Dalam kepustakaan hukum pidana, terdapat dua fungsi dari ajaran sifat
melawan hukum materiil, yaitu:
a. Ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif, yang
suatu perbuatan, meskipun oleh peraturan perundang-undangan tidak
ditentukan sebagai melawan hukum, tetapi jika menurut penilaian masyarakat
perbuatan tersebut bersifat melawan hukum, maka perbuatan yang dimaksud
tetap merupakan perbuatan yang bersifat melawan hukum.
b. Ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif, yang
suatu perbuatan, meskipun menurut peraturan perundang-undangan
merupakan perbuatan yang bersifat melawan hukum, tetapi jika menurut
penilaian masyarakat perbuatan tersebut tidak bersifaat melawan hukum,
maka perbuatan perbuatan yang dimaksud adalah perbuatan yang tidak
bersifat melawan hukum.11
Oleh karena penjelasan pasal 2 ayat 1 menyebutkan bahwa yang dimaksud
dengan “secara melawan hukum” dalam pasal 2 ayat 1 mencakup perbuatan yang
tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam
masyarakat, meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-
10 R Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h 32-34. 11 Ibid, h 34.

19
undangan, maka dapat diketahui bahwa ajaran sifat melawan hukum materiil yang
diikuti oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 adalah ajaran sifat melawan
hukum dalam fungsinya yang positif.
Hal tesebut dilakukan, dapat diketahui dalam penjelasan umum Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 dimaksudkan untuk dapat menjangkau berbagai
modus operandi penyimpangan keuangan negara dan perekonomian negara semakin
canggih dan rumit. Sebagai contoh dari penerapan ajaran sifat melawan hukum
materiil dapat diketahui melalui putusan Mahkamah Agung RI Nomor
275K/Pid/1983 dalam pertimbangan hukumnya antara lain disebutkan:
“Menimbang bahwa menurut Mahkamah Agung penafsiran terhadap sebutan
“melawan hukum” tidak tepat, jika hal itu hanya dihubungkan dengan policy
perkreditan direksi yang menurut Pengadilan Negeri tidak melanggar peraturan
hukum yang ada sanksi pidananya, akan tetapi sesuai pendapat yang sudah
berkembang dalam ilmu hukum, seharusnya hal itu diukur berdasarkan asas-asas
yang bersifat umum menurut kepatutan dalam masyarakat.”
“Menimbang bahwa menurut kepatutatan dalam masyarakat, khususnya dalam
perkara tindak pidana korupsi, apabila seorang pegawai negeri menerima fasilitas
yang berlebihan serta keuntungan lainnya dari seorang lain dengan maksud agar
Pegawai Negeri itu menggunakan kekuasaanya atau wewenangnya yang melekat
pada jabatannya serta menyimpang, hal itu sudah merupakan “perbutan melawan
hukum”, karena menurut kepatutatan perbuatan itu merupakan perbuatan yang tercela
atau perbuatan yang menusuk perasaan hati masyarakat.”

20
Menurut Indriyanto Seno Adji, penerapan ajaran sifat melawan hukum materiil
dalam fungsinya yang positif memerlukan syarat, alasan, dan kriteria yang tegas serta
dengan segala pertimbangan kondisi yang situasional dan kasuistis.
3. Memperkaya Diri
Unsur memperkaya diri atau orang lain atau suatu badan hukum kerap kali sulit
untuk dibuktikan di depan pengadilan karena sering pembuktian diarahkan kepada
adanya pemberian sesuatu yang berhubungan dengan penyalahgunaan wewenang
oleh seorang pejabat. Sebenarnya kalau memang ada penyuapan telah didapati pasal
dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pegawai Negeri atau
Hakim yang menerima suap, juga siapapun yang menyuap Pegawai Negeri atau
Hakim, merupakan tindak pidana korupsi. Oleh karena itu unsur memperkaya diri
diartikan bahwa pendapatan seseorang itu tidak sesuai dengan gaya hidupnya. Jadi
memperkaya diri adalah tidak sebandingnya antara gaji seorang pegawai negeri
dengan gaya hidupnya.12
Dalam hubungan seperti itu Undang-Undang Pemberantasan Tindak Korupsi
mengatur tentang ajaran pembuktian yang berbeda dari ajaran pembuktian yang
selama ini dikenal dalam hukum pidana. Di dalam Undang-Undang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, seorang yang dituduh korupsi dapat membuktikan bahwa
kekayaannya bukan didapat dari korupsi. Apabila ternyata dapat membuktikan bahwa
12 Loqman, Loebby, Masalah Tindak Pidana Korupsi di Indonesia. (Jakarta:Badan Pembinaan
Hukum Nasional, 1999), h 31-32.

21
kekayaannya bukan hasil korupsi, Jaksa Penuntut Umum masih harus membuktikan
bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. Artinya apabila seorang
yang dituduh korupsi tidak dapat membuktikan bahwa kekayaannya bukan hasil dari
korupsi, maka pihak Jaksa Penuntut Umum masih tetap dibebankan untuk
membuktikan kesalahan terdakwa dalam tindak pidana korupsi.13
Tidak seperti halnya di Malaysia di mana dianut beban pembuktian berbalik.
Jika seorang dituduh korupsi yang tidak dapat membuktikan bahwa kekayaannya
bukan hasil dari korupsi, maka secara sendirinya terdakwa dinyatakan bersalah tanpa
perlu adanya pembuktian dari Penuntut Umum. Adapun di Negara Indonesia, apabila
terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa hartanya bukan dari hasil korupsi dianggap
hal yang merugikan dalam pembuktian di depan pengadilan. Sebaliknya apabila dia
dapat membuktikan bahwa hartanya bukan hasil dari korupsi, Jaksa tetap harus
membuktikan kesalahan terdakwa. Sedangkan pembuktian bahwa harta terdakwa
bukan hasil korupsi digunakan sebagai hal yang menguntungkan bagi terdakwa dalam
sidang yang memeriksanya. Itulah sebabnya dalam kaitan unsur memperkaya diri
tidak harus melalui suatu pembuktian adanya pemberian suap, akan tetapi cukup
dibuktikan bahwa adanya suatu keadaan di mana tidak seimbang antara pendapatan
pejabat itu dengan kehidupannya.14
13 Ibid, h 32. 14 Ibid, h 33.

22
4. Dapat Merugikan Keuangan dan Perekonominan Negara
Dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang
dimaksudkan keuangan negara adalah “seluruh kekayaan negara dalam bentuk
apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala
bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena :
a. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat
lembaga Negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah;
b. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan
Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum,
dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang
menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara..”
Dengan tetap berpegang teguh pada arti kata “merugikan” yang sama artinya
dengan menjadi rugi atau menjadi berkurang, maka apa yang dimaksud dengan unsur
“merugikan perekonomian negara” adalah sama artinya dengan perekonomian negara
menjadi rugi atau perekonomian negara menjadi kurang berjalan.15
C. Pengembalian Harta Hasil Korupsi
Menuntut ganti kerugian adalah hak setiap orang yang merasa dirinya dirugikan
suatu perbuatan. Negara Indonesia memberikan jaminan akan hal ini. Dalam perkara
pidana, jaminan tersebut diberikan oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
15 R Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, h 41.

23
tentang Hukum Acara Pidana yang biasa disebut sebagai KUHAP. Konsep ganti rugi
dalam KUHAP ada dua macam yang berupa kompensasi dan restitusi.
Bila dalam hal kompensasi, pelaku tindak pidana berkedudukan sebagai korban
proses peradilan (penangkapan, penahanan, penyidikan, penuntutan ataupun
penjatuhan hukuman yang keliru atau dianggap tidak sah) dan oleh karenanya
menerima ganti rugi dari Negara. Maka dalam hal restitusi, pelaku tindak pidana
sebagai pihak yang memberikan ganti rugi terhadap korban yang timbul akibat tindak
pidana yang dilakukannya. Khusus mengenai konsep restitusi, KUHAP mengaturnya
dalam Bab XIII tentang Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian. Konsep
ganti rugi yang ditawarkan dalam bab tersebut, murni merupakan restitusi dengan
tidak membuka peluang bagi negara untuk turut memberi kompensasi pada korban
tindak pidana.
Pada praktiknya, seringkali tuntutan ganti rugi terhadap pelaku tindak pidana
berakhir sia-sia, disebabkan oleh ketidakmampuan terhukum untuk membayarnya
karena dari segi ekonomi, situasi dan kondisi terhukum tidak memungkinkan untuk
mengatasi masalah ini, Menurut Yahya Harahap, jika terjadi hal demikian di mana
pelaku tindak pidana tidak memiliki kemampuan untuk membayarnya, sebagai
berikut: “Ganti kerugian baru efektif bila dibebankan kepada negara. Negara

24
mengambil alih pembayaran kepada korban atau orang yang dirugikan dan negara
meminta pembayaran itu kembali dari terdakwa/terpidana dengan jalan reimburse.”16
Adapun menurut penjelasan pasal 98 KUHAP, maksud atau tujuan dari
penggabungan perkara ini adalah supaya perkara gugatan tersebut pada sutau ketika
yang sama diputus sekaligus dengan perkara pidana yang bersangkutan. Dengan
demikian, menurut Yahya Harahap sebenarnya ada dua tujaun utama dari
penggabungan perkara ini, yaitu:
“ Pertama; untuk menyederhanakan proses pemeriksaan dan pengajuan gugatan ganti
kerugian itu sendiri, sehingga dapat dicapai makna yang terkandung dalam asas
peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. Kedua; agar sesegera mungkin
orang yang dirugikan mendapat ganti kerugian tanpa melalui proses gugatan perdata
biasa.17
Dalam penjelasan pasal 98 ayat (1) KUHAP, disebutkan bahwa yang dimaksud
dengan “kerugian bagi orang lain” termasuk kerugian pihak korban. Dari kalimat
tersebut, terlihat bahwa korban bukanlah satu-satunya pihak yang dapat menuntut
ganti rugi dalam penggabungan perkara ini, dan tidak ada perincian lebih lanjut dari
KUHAP mengenai siapa saja yang memiliki hak untuk menuntut ganti kerugian
tersebut.
16 Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang
Pengadilan, Banding, Kasasi,dan Peninjauan Kembali, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h 81-82. 17 Ibid, h 81.

25
Mengenai hal tersebut Andi Hamzah berpendapat sebagai berikut:
1. Pasal 98 KUHAP menyatakan “Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar
dakwaan di dalam suatu pemeriksaan pidana oleh pengadilan negeri
menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas
permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara
gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu.” Kemudian dijelaskan
dalam pasal itu bahwa yang dimaksud dengan kerugian bagi orang lain
termasuk pihak korban. Jadi korban bukan satu-satunya ‘orang lain’ itu. Tidak
limitatif pada korban delik saja.
2. Menurut pasal 101 KUHAP, ketentuan hukum acara perdata bagi gugatan
ganti rugi sepanjang KUHAP tidak menentukan lain, sebagaimana diketahui
gugatan perdata itu luas ruang lingkupnya. Jadi semua pihak yang merasa
dirugikan oleh pelaku delik dapat mengajukan gugatan”18
Persoalan mengenai siapa yang berhak mengajukan tuntutan ganti kerugian
dalam perkara penggabungan gugatan ini menjadi penting artinya dalam perumusan
gugatan sebab menyangkut personal standing masing-masing pihak. Dengan tidak
adanya batasan yang jelas tentang siapa saja yang berhak menuntut ganti kerugian
dalam perkara penggabungan perkara ini, maka hakim mempunyai wewenang yang
besar untuk mengabulkan diterima atau tidaknya penggabungan perkara ini. Sebab
18 Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985),
h 208.

26
tidak ada keharusan bagi hakim ketua sidang untuk menerima permintaan
penggabungan perkara ganti kerugian tersebut.
Dalam hal suatu gugatan juga diajukan terhadap pihak lain selain pelaku tindak
pidana tersebut, maka hakim ketua sidang tidak salah jika menolak penggabungan
gugatan ganti kerugian tersebut”.19 Hal ini menurut Leden Marpaung berdasarkan
Keputusan Menteri Nomor M.01.PW.07.03 Tahun 1982 tentang Pedoman
Pelaksanaan KUHAP yang dimuat pada bidang pengadilan, antara lain dirumuskan
sebagai berikut:
“gugatan ganti rugi dari korban yang sifatnya perdata digabungkan pada perkara
pidananya, ganti rugi tersebut dipertanggungjawabkan kepada pelaku tindak
pidana.”20
Secara perdata tidak hanya pelaku saja yang dapat dipertanggungjawabkan akan
kerugian yang ditimbulkan akibat perbuatannya, tetapi bisa juga ahli orang tua, wali
atau ahli waris sesuai dengan pasal 1367 KUHPerdata. Seyogianya dalam
penggabungan perkara ganti kerugian ini, tidak hanya terdakwa saja yang dimintai
pertanggungjawaban, namun pihak-pihak lain yang terlibat secara tidak langsung
sebagaimana dalam ketentuan KUHPerdata tersebut, juga dapat dimintai
pertanggungajawaban untuk membayar kerugian tersebut.
19 Leden Marpaung, Proses Tuntutan Ganti Kerugian dan Rehabilititasi dalam Hukum Pidana,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), h 83. 20 Ibid, h. 83.

27
1. Peran Masyarakat dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Sebuah sistem politik akan timpang jika negara terlalu kuat dan masyarakat
dipinggirkan peranannya. Dalam konteks pemberantasan korupsi, pemberian ruang
dan jaminan perlindungan hukum terhadap peran publik sangat dibutuhkan untuk
menjaga keseimbangan sisten politik tersebut. Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga memberikan pengaturan
yang hampir sama tentang peran masyarakat dalam pemberantasan korupsi.
Meskipun terdapat kesan penurunan derajat peran masyarakat yang seolah-olah
hanya membantu pencegahan dan pemberantasan korupsi, akan tetapi setidaknya
pengaturan di Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan bab
khusus ini dapat menjadi satu petunjuk bahwa tidak mungkin melakukan
pemberantasan korupsi tanpa masyarakat yang kuat. Oleh sebab itu, salah satu posisi
masyarakat seperti pelapor tindak pidana korupsi mendapat perlindungan lebih
khusus seperti diatur di Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban. Pada Pasal 10 ayat (1) terdapat ketentuan pelapor tidak dapat
dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan yang akan, sedang,
atau telah diberikannya.21
Tindak pidana korupsi tidak hanya menimbulkan kesengsaraan di kalangan
masyarakat, namun juga telah merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat bahkan
21 YLBHI, Australian Aid, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia, (Jakarta: YLBHI, 2014), h
455.

28
telah memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Untuk mengurangi korupsi
tidak hanya menjadi tanggung jawab para penegak hukum, akan tetapi diperlukan
peran aktif masyarakat untuk memeranginya. Dalam rumusan ketentuan pasal 41 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 disebutkan bahwa masyarakat memiliki
peranan tersendiri untuk turut serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana korupsi. Sebagaimana lebih lanjut disebutkan dalam pasal 41 ayat (1)
tersebut bahwa: “Masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan
dan pemberantasan tindak pidana korupsi.”
Adapun sebagaimana dalam pasal 41 ayat (1) melalui pasal 41 ayat (2) sampai
(4) peran masyarakat dapat diwujudkan dalam bentuk:
a. hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah
terjadi tindak pidana korupsi;
b. hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh dan
memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi kepada
penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi;
c. hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada
penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi;
d. hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang
diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari;

29
e. hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal :
1) melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c;
2) diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan di sidang
pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli, sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
3) Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai hak dan
tanggung jawab dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
4) Hak dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3)
dilaksanakan dengan berpegang teguh pada asas-asas atau ketentuan yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dengan mentaati norma
agama dan norma sosial lainnya.22
Jika dilihat dalam rumusan pasal tersebut tidak disebutkan mengenai bentuk
peranan masyarakat secara langsung mengenai peranan masyarakat dalam
mengajukan gugatan tersendiri atas kerugian yang dialami akibat adanya perbuatan
tindak pidana korupsi. Namun, bukan berarti masyarakat tidak memiliki hak
mengajukan penggabungan gugatan ganti kerugian tersebut, karena masyarakat
sendiri memiliki dasar hukum dalam pasal 98 KUHAP mengenai penggabungan
gugatan ganti kerugian. Oleh karena itu, setelah diketahui peranan masyarakat dalam
22 Terdapat dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, Bab V, Pasal 41.

30
rumusan pasal tersebut, maka sudah sewajarnya bila masyarakat tidak hanya berdiam
diri saja menerima kerugian yang dialami, akan tetapi ikut bergerak dan menuntut
pelaku tindak pidana korupsi untuk dihukum seberat-beratnya dengan melakukan
penggabungan gugatan ganti kerugian ini. Selain itu, peran serta masyarakat dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi akan mendapat perhatian dan penghargaan dari
pemerintah apabila masyarakat ikut berupaya melakukan pencegahan,
pemberantasan, pengungkapan tindak pidana korupsi.
Sedangkan, dalam rumusan ketentuan lain, sebagaimana diatur dalam pasal 108
ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
atau KUHAP disebutkan bahwa, peran warga negara atau masyarakat dalam
memberikan laporan atas terjadinya suatu tindak pidana kepada penegak hukum
merupakan suatu hak dan tanggung jawab serta kewajiban yang harus dipenuhi.
Bahkan, jika diabaikan dapat diancam telah melakukan suatu tindak pidana, karena
dianggap telah menyembunyikan orang yang melakukan kejahatan.23
2. Prosedur Pengajuan Gugatan Ganti Kerugian
Dalam mengajukan gabungan ganti kerugian ini telah diatur sebagaimana
dalam Pasal 98 ayat (2) KUHAP yang menyebutkan bahwa: “Permintaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diajukan selambat-lambatnya
sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan pidana. Dalam hal penuntut umum
23 Marwan Effendy, Sistem Peradilan Pidana, Tinjauan Terhadap Beberapa Perkembangan
Hukum Pidana, hal 134

31
tidak hadir, permintaan diajukan selambat-lambatnya sebelum hakim menjatuhkan
putusan.”
Di samping itu, dalam Pasal 99 ayat (1) KUHAP juga menyebutkan bahwa:
“Apabila pihak yang dirugikan minta penggabungan perkara gugatannya pada perkara
pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 98, maka pengadilan negeri menimbang
tentang kewenangannya untuk mengadili gugatan tersebut, tentang kebenaran dasar
gugatan dan tentang hukuman pergantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak
yang dirugikan tersebut.”
Maka dari itu pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan permintaan
gabungan ganti kerugian kepada Ketua sidang atau Hakim yang sedang memeriksa
perkara pidana yang dilakukan terdakwa yang mengakibatkan kerugian tersebut.
Adapun waktu untuk mengajukan permintaan gabungan ganti kerugian ditentukan
sebagai berikut:
a. Dalam hal penuntut umum hadir pada persidangan, maka diajukan sebelum
penuntut umum membacakan atau mengajukan tuntutan pidana. Hal ini
dimaksudkan agar penuntut umum dapat pertimbangkan dengan seksama
tuntutan pidana dengan memperhatikan perkara gugatan ganti kerugian.
Dalam doktrin, kepedulian terhadap korban termasuk hal yang dapat
meringankan hukuman bagi terdakwa.

32
b. Dalam perkara pidana yang dihadiri penuntut umum adalah perkara pidana
yang acara pemeriksaannya adalah perkara biasa dan pemeriksaan singkat.
c. Dalam hal penuntut umum tidak hadir, tetapi telah dikuasakan kepada
penyidik berdasarkan Undang-Undang. Pengajuan permintaan penggabungan
perkara gugatan ganti kerugian harus diajukan sebelum hakim menjatuhkan
putusan.24
Orang yang mengajukan tuntutan hak memerlukan atau berkepentingan akan
perlindungan hukum. Oleh karena itu, korban mengajukan tuntutan hak ke
Pengadilan. Adapun pernyataan mengenai gugatan dapat dijumpai dalam Pasal 8
nomor 3 RV yang mengharuskan gugatan pada pokoknya memuat:
1. Identitas para pihak; 2. Dalil-dalil konkrit tentang adanya hubungan hukum yang
merupakan dasar serta alasan-alasan dari tuntutan (fundamentum petendi), 3
tuntutan (Petitum).
Ad. 1. Identitas para pihak
Disebutkan secara jelas dari penggugat dan tergugat yaitu nama dan tempat
tinggalnya, umur serta status perkawinan.
24 Leden Marpaung, Proses Tuntutan Ganti Kerugian dan Rehabilititasi dalam Hukum Pidana,
h 86.

33
Ad. 2. Fundamentum Petendi
Fundamentum petendi atau dasar tuntutan terdiri dari dua bagian yaitu bagian yang
menguraikan tentang duduknya perkara (kejadian-kejadian atau peristiwa secara
kronologis) dan bagian yang menguraikan tentang hukumnya (uraian tentang
adanya hak dan hubungan hukum yang menjadi dasar yuridis dari tuntutan).
Ad. 3. Petitum
Tuntutan atau yang disebut petitum ialah apa yang diminta atau diharapkan oleh
penggugat agar diputuskan oleh hakim.
Berdasarkan putusan Mahkamah Agung RI tanggal 16 Desember 1970, Nomor
492/K/Sip/1970 dan putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1720/KPdt/1986 tanggal
18 agustus 1988 disebutkan bahwa:
“Setiap tuntutan ganti rugi harus disertai perincian kerugian dalam bentuk apa
yang menjadi dasar tuntutannya, tanpa perincian dimaksud maka tuntutan ganti rugi
tersebut tidak jelas atau tidak sempurna.”25 Setelah ditandatangani oleh penggugat
dan wakilnya, penggugat mendaftarkan surat gugatannya ke Kepaniteraan Pengadilan
Negeri sesuai dengan ketentuan pasal 118 HIR. Pada dasarnya, gugatan diajukan
kepada Ketua Pengadilan Negeri tempat tinggal tergugat. Namun bila pihak tergugat
terdiri dari beberapa orang, dan masing-masing bertempat tinggal di beberapa
25 Rasjim Wiraatmadja, Frida Widjaya, dan Davy Tasman, Himpunan Yurisprudensi hukum
Perdata Indonesia, (Jakarta: Kantor Advokat Rasjim Wiraatmadja, 2001), h 43.

34
wilayah hukum Pengadilan Negeri yang berlainan, penggugat berhak mengajukan
gugatan kepada salah satu Pengadilan Negeri tersebut.
Dengan pertimbangan yang dianggap paling menguntungankan atau paling
memudahkan penggugat.26 Pada waktu mengajukan gugatan, penggugat harus pula
membayar biaya perkara yang meliputi biaya panggilan dan pemberitahuan kepada
tergugat atau para pihak. Dapat pula beracara secara cuma-cuma dengan mengajukan
permohonan izin kepada Ketua Pengadilan Negeri yang harus disertai dengan surat
keterangan tidak mampu.27
26 Yahya Harahap, Berbagai Permaslahan Formil Dalam Gugatan Perdata, (Varia Peradilan
1993), h 136. 27 Karjadi, Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui, (Bogor: Politeia,1975), pasal 238

35
BAB III
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN WACANA PEMISKINAN
KORUPTOR
A. Pertanggungjawaban Pidana dan Subjek Delik Korupsi
Dalam hukum pidana konsep “pertanggungjawaban” itu merupakan konsep
sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Dalam bahasa latin ajaran kesalahan
dikenal dengan sebutan mens rea. Doktrin mens rea dilandaskan pada suatu
perbuatan tidak mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika pikiran orang itu
jahat. Dalam bahasa Inggris doktrin tersebut dirumuskan dengan an act does not
make a person guity, unless the mind is legally blameworthy. Berdasar asas tersebut,
ada dua syarat yang harus dipenuhi untuk dapat memidana seseorang, yaitu ada
perbuatan lahiriah yang terlarang/perbuatan pidana (actus reus), dan ada sikap batin
jahat/tercela (mens rea).1
Pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai diteruskannya celaan yang
objektif yang ada pada perbuatan pidana dan secara subjektif yang ada memenuhi
syarat untuk dapat dipidana karena perbuatannya itu. Dasar adanya perbuatan pidana
adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat adalah asas
kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat perbuatan pidana hanya akan dipidana jika
1 Hanafi, Reformasi Sistem Pertanggungjawaban Pidana, (Jurnal Hukum, Vol 6 No 11 Tahun
1999), h 27.

36
mempunyai kesalahan dalam melakukan perbuatan pidana tersebut.2 Oleh karena itu,
pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap tindak
pidana yang dilakukannya serta suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana
untuk bereaksi terhadap pelanggaran atas kesepakatan menolak suatu perbuatan
tertentu.3
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kesalahan merupakan
suatu hal yang sangat penting untuk memidana seseorang. Tanpa adanya kesalahan,
pertanggungjawaban pidana tidak akan pernah ada, dalam hal ini, dikenal dalam
hukum pidana dengan asas “tiada pidana tanpa kesalahan” (geen srtafzonder schuld).
Asas kesalahan ini merupakan asas yang fundamental dalam hukum pidana.
Konsep pertanggungjawaban dalam hukum pidana mengalami perkembangan
sejak diakuinya korporasi sebagai subjek hukum pidana selain manusia. Secara
teoritis terdapat tiga teori sistem pertanggungjawaban pidana pada subjek hukum
korporasi, yaitu teori identifikasi, teori strick liability, teori vicarious liability. Ketiga
teori atau sistem pertanggungjawaban pidana tersebut hakikatnya merupakan respon
terhadap eksistensi korporasi yang dewasa ini diakui sebagai subjek hukum pidana.
2 Ali, Mahrus, Dasar-dasar Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h 156. 3 Huda, Chairul, Dari Tiada Pidan Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, (Jakarta: Kencana, Cet Kedua), h 68.

37
1. Teori Identifikasi
Dalam rangka mempertanggungjawaban korporasi secara pidana, di negara
Anglo Saxon seperti di Inggris dikenal konsep direct corporate criminal liability atau
pertanggungjawaban pidana korporasi secara langsung. Menurut dokrin ini, korporasi
dapat melakukan delik secara langsung melalui orang-orang yang sangat
berhubungan erat dengan korporasi dan dipandang sebagai korporasi itu sendiri. Teori
identifikasi pada dasarnya mengakui bahwa tindakan dari anggota tertentu dari
korporasi selama tindakan itu berkaitan dengan korporasi, maka dianggap sebagai
tindakan dari korporasi itu sendiri.
2. Teori Strict Liability
Strict liability diartikan sebagai suatu perbuatan pidana dengan tidak
mensyaratkan adanya kesalahan pada diri pelaku terhadap satu atau lebih perbuatan.
Strict liability merupakan pertanggungjawaban tanpa kesalahan, yang dalam hal ini si
pelaku perbuatan pidana sudah dapat dipidana jika telah melakukan perbuatan yang
dilarang sebagaimana yang telah dirumuskan dalam Undang-undang. Adapun kriteria
penerapan strict liability dalam perkara pidana tidak bersifat generalisasi dan bersifat
khusus terhadap tindak pidana, yaitu:

38
a. Ketentutan Undang-undang sendiri menentukan atau ada tuntutan strict
liability
b. Penerapan hanya ditentukan terhadap tindak pidana yang bersifat larangan
khusus atau tertentu
3. Teori Vicarious Liability
Vicarious Liability adalah suatu konsep pertanggungjawaban seseorang atas
kesalahan yang dilakukan orang lain, secara singkat pertanggungjawaban ini disebut
pertanggungjawaban pengganti. Pada vicarious liability, kesalahan menjadi syarat
utama yang harus dipenuhi untuk memidana seseorang yang melakukan perbuatan
pidana. Dengan kata lain, harus dibuktikan terlebih dahulu bahwa seseorang telah
melakukan kesalahan, sehingga patut dipidana atas kesalahan tersebut. Selain itu
harus ada hubungan kerja antara pelaku dengan orang lain yang harus
mempertanggungjawaban perbuatan pidana yang dilakukan.4
Secara asas ketentuan hukum pidana dapat diklasifikasikan menjadi Hukum
Pidana Umum (Ius Commune) dan Hukum Pidana Khusus (Ius Singuler atau Ius
Speciale). Ketentuan-ketentuan hukum pidana umum dimaksudkan berlaku secara
umum seperti diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP),
sedangkan ketentuan-ketentuan hukum pidana khusus dimaksudkan sebagai
ketentuan hukum pidana yang mengatur tentang kekhususan subjeknya dan perbuatan
yang khusus. Tindak pidana korupsi adalah salah satu bagian dari hukum pidana
4 Ali, Mahrus, Dasar-dasar Hukum Pidana, h 160-169.

39
khusus, di samping mempunyai spesifikasi tertentu yang berbeda dengan hukum
pidana umum, yaitu dengan adanya penyimpangan hukum pidana formil atau hukum
acara.5
Perkembangan baru yang diatur dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
adalah korporasi sebagai subyek tindak pidana korupsi yang dapat dikenakan sanksi.
Hal ini tidak diatur dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971. Dicantumkannya
korporasi sebagai subyek tindak pidana merupakan langkah maju dari pembentuk
Undang-undang. Dengan menempatkan korporasi sebagai subyek tindak pidana akan
memberikan harapan serta optimisme bagi upaya pengusutan korupsi secara tuntas
dan efektif. Melalui perundang-undangan, korporasi dewasa ini diterima sebagai
subyek hukum dan diperlakukan sama dengan subyek hukum yang lain, yaitu
manusia (alamiah). Dengan demikian korporasi dapat bertindak seperti manusia pada
umumnya.6
Berdasarkan ketentuan pasal 1 ayat (1) sampai (3) Undang-undang Nomor 31
Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, yang menjadi subyek hukum
dari tindak pidana korupsi adalah: (1). Korporasi, (2). Orang atau Pegawai Negeri.
5 Djaja, Ermansjah, Tipologi Tindak Pidan Korupsi di Indonesia, (Bandung: Mandar Maju,
2010), h 39. 6 Widodo Tresno Novianto, Korporasi Sebagai Subyek Tindak Pidana Korupsi dan
Prospeknya bagi Penanggulangan Korupsi Di Indonesia, (Yustisia, Edisi Nomor 70 ( Januari - April 2007), h 2.

40
1). Korporasi
Dalam ketentuan rumusan pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan bahwa yang
dimaksud dengan korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang
terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
Dikenakannya sanksi pidana atau tindakan kepada korporasi dalam perkara korupsi
cukup beralasan dan sesuai dengan beberapa rekomendasi kongres PBB mengenai
The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, antara lain:
1. Dalam rekomendasi Kongres PBB ke-8/1990 ditegaskan, agar ada tindakan
terhadap “perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam perkara korupsi”.
2. Dalam dokumen Kongres PBB ke-9/1995 di Kairo, antara lain ditegaskan
sebagai berikut: “Korporasi, asosiasi kriminal atau individu mungkin terlibat dalam
penyuapan para pejabat untuk berbagai alasan yang tidak semuanya bersifat
ekonomis. Namun dalam banyak kasus, masih saja penyuapan digunakan untuk
mencapai keuntungan ekonomis. Tujuannya ialah membujuk para pejabat untuk
memberikan berbagai bentuk perlakuan khusus atau istimewa, antara lain:
a. Memberi kontrak;
b. Mempercepat/memperlancar ijin;

41
c. Membuat perkecualian atau keringanan, serta menutup mata terhadap
pelanggaran-pelanggaran peraturan.7
Menurut Is Susanto dalam Widodo Tresno, meskipun undang-undang
memperlakukan korporasi sebagai subyek hukum, namun dalam wujudnya berbeda
dengan subyek hukum yang berupa manusia. Korporasi adalah suatu organisasi, suatu
bentuk organisasi dengan tujuan tertentu yang bergerak dalam bidang ekonomi atau
bisnis. Oleh karena itu untuk memahami kejahatan korporasi, maka pertama-tama
kita harus melihat kejahatan korporasi sebagai kejahatan yang bersifat organisatoris,
yaitu suatu kejahatan yang terjadi dalam konteks hubungan-hubungan yang kompleks
dan harapan-harapan di antara dewan direksi, eksekutif dan manajer di satu sisi dan di
antara kantor pusat, bagian-bagian dan cabang-cabang di sisi lain.8
Di bidang hukum pidana, keberadaan suatu badan hukum atau badan usaha
yang menyandang istilah korporasi diterima dan diakui sebagai subyek hukum yang
dapat melakukan tindak pidana serta dapat pula dipertanggungjawabkan. Dalam
perkembangan hukum pidana Indonesia, ada tiga sistem pertanggungjawaban
korporasi sebagai subyek tindak pidana:
1. Pengurus korporasi sebagai pembuat, maka pengurus korporasi yang harus
bertanggung jawab;
7 Barda Nawawi Arief, Strategi Kebijakan Penanggulangan Korupsi dan Evaluasi terhadap
UndangUndang Pemberantasan Tindak Korupsi, (Bahan Masukan Departemen Hukum dan Perundang-undangan, 1999), h 15-16
8 Is Susanto, Kejahatan Korporasi. (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro 1995).

42
2. Korporasi sebagai pembuat, maka pengurus yang bertanggung jawab;
3. Korporasi sebagai pembuat dan yang bertanggung jawab.9
Dengan dicantumkannya korporasi sebagai subyek tindak pidana korupsi
memberikan harapan yang besar bagi upaya penanggulangan korupsi di Indonesia.
Dalam rangka mengoptimalkan penanggulangan korupsi dengan menjerat korporasi
sebagai subyek tindak pidana korupsi, maka ada beberapa hal yang harus
diperhatikan:
1. Aspek pranatanya atau perundang-undangannya, yaitu Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 harus ada ketentuan khusus tentang:
a. Kapan dikatakan korporasi melakukan tindak pidana;
b. Siapa yang dapat dipertanggungjawabkan;
c. Dalam hal bagaimana korporasi dapat dipertanggungjawabkan;
d. Jenis-jenis sanksi apa yang dapat dijatuhkan untuk korporasi.
2. Aspek lembaganya, yaitu adanya organisasi khusus yang menangani masalah
korporasi;
3. Aspek orang atau aparat, yaitu profesionalisme dalam melakukan tugasnya.10
9 Widodo Tresno Novianto, Korporasi Sebagai Subyek Tindak Pidana Korupsi, h 3. 10 Widodo Tresno Novianto, Korporasi Sebagai Subyek Tindak Pidana Korupsi, h 5.

43
2). Orang atau Pegawai Negeri (Penyelenggara Negara)
Dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi dijelaskan mengenai Pegawai Negeri sebagai berikut:
“Pegawai negeri yang dimaksud oleh undang-undang ini meliputi juga orang-orang
yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah atau menerima gaji
atau upah dari suatu badan/badan hukum yang menerima bantuan dari keuangan
negara atau daerah, atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan
kelonggaran-kelonggaran dari negara atau masyarakat.”
Sementara itu, dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dijelaskan mengenai Pegawai Negeri adalah meliputi :
a. pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang
Kepegawaian;
b. pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana;
c. orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah;
d. orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima
bantuan dari keuangan negara atau daerah; atau
e. orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang
mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.

44
Demikian juga dalam peraturan perundang-undangan lainnya, sebagaimana
telah disebutkan dalam pasal tersebut, dijelaskan mengenai Pegawai Negeri menurut
Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian,
sebagaimana dalam Pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa: “Pegawai Negeri adalah
setiap warga negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang
ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam
suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas negara lainnya, dan digaji berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Kemudian dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999
membedakan jenis Pegawai Negeri dalam tiga kelompok yang terdiri dari:
a. Pegawai Negeri Sipil;
b. Anggota Tentara Nasional Indonesia; dan
c. Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Sementara itu, dalam Pasal 2 ayat (2) menyatakan bahwa Pegawai Negeri
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, terdiri dari:
a. Pegawai Negeri Sipil Pusat; dan
b. Pegawai Negeri Sipil Daerah.
Diantara pengertian Pegawai Negeri tersebut di atas, semula pengertian
Pegawai Negeri telah tercantum dalam Pasal 92 KUHP, yang kemudian mengalami

45
perluasaan pengertian dalam beberapa peraturan perundang-undangan, termasuk
dalam hal ini Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 perubahan atas Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, serta dalam Undang-
undang khusus yang dalam hal ini Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Demikian pengertian Pegawai Negeri setelah mengalami perluasan,
khususnya dalam pembahasan tindak pidana korupsi yang secara khusus ini.
B. Sanksi Hukum bagi Pelaku Tindak Pidana Korupsi
Melihat kenyataan saat ini bahwa hukum pidana khususnya dalam hal
pemberantasan tindak pidana korupsi telah mengalami pertumbuhan dan
perkembangan yang sangat pesat, serta semakin merajalela di tengah adanya
keinginan politik yang kuat untuk memeranginya. Harapan yang besar terhadap
hukum pidana untuk membebaskan masyarakat dari berbagai bentuk tindak pidana
korupsi belum terwujud menjadi kenyataan.
Adanya instrumen hukum pidana khusus yang dewasa ini digunakan sebagai
sarana untuk menanggulangi masalah korupsi dengan hukum pidana adalah Undang-
undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebagai
sebuah produk hukum, Undang-undang korupsi diharapkan mampu mengemban

46
fungsi ganda, yaitu disamping sarana represif, sekaligus mampu berfungsi sebagai
sarana preventif.11
Dalam rangka mencapai tujuan yang lebih efektif untuk mencegah dan
memberantas tindak pidana korupsi, Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 ini
memuat ketentuan pidana yang berbeda dengan Undang-undang sebelumnya, yaitu
menentukan ancaman pidana minimum khusus, pidana denda yang lebih tinggi, dan
ancaman pidana mati yang merupakan pemberatan pidana. Selain itu Undang-undang
ini memuat juga pidana penjara bagi pelaku tindak pidana korupsi yang tidak dapat
membayar pidana tambahan berupa uang pengganti kerugian negara.
Penjatuhan hukuman bagi pelaku tindak pidana korupsi dengan hukuman
maksimal sesuai dengan pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) dalam Undang-undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam keadaan tertentu dapat dijatuhkan
hukuman mati bagi pelakunya. Mengingat hal tersebut, pemberantasan tindak pidana
korupsi di Indonesia merupakan tindak pidana yang sudah terjadi secara luar biasa
sehingga diperlukan upaya pemberantasan yang luar biasa. Dalam rumusan pasal 2
ayat (1) dan (2) sudah mengakomodir tindakan tegas dan berani bagi pelaku korupsi
khususnya dengan ancaman tuntutan hukuman mati bagi pelaku korupsi yang
dilakukan dalam keadaan tertentu, sebagaimana diubah dalam penjelasan pasal 2 ayat
(2) tersebut melalui Undang-undang Nomor 31 Tahun 2001, ketentuan ini
11 YLBHI, Australian Aid, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia, (Jakarta: YLBHI, 2014), h
456.

47
dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila
tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi
penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat
kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan
pengulangan tindak pidana korupsi.
Dalam rumusan di atas, jelas dapat dipahami bahwa; ada kenyataan korupsi
sebagai tindakan manusia, ada tindakan korupsi manusia yang diposisikan sebagai
perilaku melawan hukum, amoral (jahat), ada tindakan korupsi sebagai tindakan yang
diberi sanksi hukum, dan ada tindakan korupsi yang disanksi dengan hukuman mati.12
Selain itu, dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah
dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2011 mengenal ancaman pidana minimum
khusus, baik pidana penjara maupun pidana denda dengan ketentuan secara rinci
berikut:
1. Dalam pasal 2 dikenakan minimum penjara 4 tahun dan denda minimum 200 juta
rupiah, atas perbuatan pidana yang dilakukan secara melawan hukum melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
2. Dalam pasal 3 dikenakan minimum pidana penjara satu tahun dan atau denda
minimum 50 juta rupiah, atas perbuatan pidana yang dilakukan dengan tujuan
12 Amirullah, Tindak Pidana Korupsi dan Sanksi Pidana Mati Perspektif Keadilan Hukum,
(Surabaya: Al Daulah Vol 3 No 2 Tahun 2012), h 185.

48
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara;
3. Dalam pasal 5 dikenakan minimum pidana penjara satu tahun dan atau denda
minimum 150 juta rupiah, atas perbuatan pidana yang dilakukan dengan memberi
atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
bertentangan dengan kewajibannya;
4. Dalam pasal 6 dikenakan minimum pidana penjara tiga tahun dan denda minimum
150 juta rupiah, atas perbuatan pidana yang dilakukan memberi atau menjanjikan
sesuatu kepada seorang hakim untuk mempengaruhi putusan tentang perkara;
5. Dalam pasal 7 dikenakan minimum pidana penjara dua tahun dan atau denda
minimum 100 juta rupiah, atas perbuatan pidana yang dilakukan dengan curang
dalam penyerahan barang-barang yang dapat membahayakan keamanan orang dan
keselamatan negara;
6. Dalam pasal 8 dikenakan minimum pidana penjara tiga tahun dan denda minimum
100 juta rupiah, atas perbuatan pidana yang dilakukan menggelapkan uang atau
surat berharga atas jabatannya sebagai pegawai negeri atau penyelenggara negara;
7. Dalam pasal 9 dikenakan minimum pidana penjara satu tahun dan denda minimum
50 juta rupiah, atas perbuatan pidana yang dilakukan memalsukan laporan
administasi atas jabatannya sebagai pegawai negeri atau penyelenggara negara;

49
8. Dalam pasal 10 dikenakan minimum pidana penjara dua tahun dan denda
minimum 100 juta rupiah, atas perbuatan pidana yang dilakukan menggelapkan,
menghancurkan, atau merusak barang-barang negara atas jabatannya sebagai
pegawai negeri atau penyelenggara negara;
9. Dalam pasal 11 dikenakan minimum pidana penjara satu tahun dan atau denda
minimum 50 juta rupiah, atas perbuatan pidana yang dilakukan menerima hadiah
atau janji atas jabatannya sebagai pegawai negeri atau penyelenggara negara;
10. Dalam pasal 12 dikenakan minimum penjara empat tahun dan denda minimum
200 juta rupiah, atas perbuatan pidana yang dilakukan menerima hadiah atau janji
atas jabatannya sebagai pegawai negeri atau hakim yang bertentangan dengan
kewajibanya;
11. Dalam pasal 13 atau pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971
dikenakan minimum pidana penjara dan atau tidak ada denda, atas perbuatan
pidana yang dilakukan menerima hadiah atau janji mengingat kekuasaan atau
wewenangnya atas jabatannya sebagai pegawai negeri;
Dilihat dari sisi tingkat pertumbuhan korupsi di Indonesia dan kaitannya
dengan ketidakmampuan hukum pidana yang ada, maka pembaruan Undang-undang
korupsi adalah suatu pilihan. Korupsi tidak lagi dirasakan sebagai sesuatu yang
melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat sebagai bagian dari hak asasi
manusia. Oleh karena itu, cukup rasional untuk mengategorikan korupsi sebagai
sebuah kejahatan luar biasa, sehingga pemberantasannya perlu dilakukan dengan

50
cara-cara yang luar biasa dan dengan menggunakan instrumen-instrumen hukum yang
luar biasa pula.
Adapun secara rasional dapat diketahui beberapa alasan mengapa perlu
penanganan yang luar biasa dalam pemberantasan tindak pidana korupsi sebagai
berikut:
a) Masalah korupsi sudah berurat akar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di
Indonesia. Korupsi tidak saja merugiakan keuangan negara atau perekonomian
negara, tapi juga telah merusak tatanan kehidupan bangsa dan negara, sehingga
kondisi tersebut telah memprihatinkan masyarkat internasional
b) Korupsi telah menimbulkan kemiskinan dan kesenjangan sosial yang besar dalam
kehidupan masyarakat, karena sebagian besar masyarakat tidak dapat menikmati
hak yang seharusnya dapat diperoleh.
c) Korupsi telah melanggar hak sosial dan ekonomi masyarakat, karena mengalami
perkembangan dan pertumbuhan yang sangat pesat, serta bukan masalah hukum
semata, namun sebagai bagian dari hak asasi manusia yang terampas.
d) Karena adanya perlakuan diskriminatif di dalam penegakan hukum terhadap
tindak pidana korupsi.
e) Disebabkan korupsi bukan lagi hanya berkaitan denga sektor publik, melainkan
sudah merupakan kolabaorasi antara sektor publik dan swasta.

51
Mengingat sifatnya yang demikian dan karena alasan-alasan rasional tersebut di
atas, maka dimungkinkan untuk menggunakan cara-cara luaar biasa untuk
menanggulangi tindak pidana korupsi. Cara-cara demikian itu kemudian dalam
kebijakan perundang-undangan dimanifestasikan ke dalam ketentuan-ketentuan
eksepsional yang bersifat menyimpang.13
C. Konsep Pemiskinan Koruptor sebagai Sanksi Takzir
Dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia muncul suatu
wacana baru dari pengamat hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi dengan
pemberian sanksi hukum baru yaitu melalui pemiskinan koruptor. Hal ini dilakukan,
mengingat sanksi yang diberikan dalam undang-undang tindak pidana korupsi belum
mampu mengurangi tindak pidana korupsi.
Wacana pemiskinan koruptor ini merupakan salah satu alternatif pemberian
hukuman yang dapat diberikan untuk memberikan efek jera bagi pelaku tindak pidana
korupsi. Hal tersebut sejalan dengan semakin meningkatnya tindak pidana korupsi
saat ini. Pemiskinan koruptor memiliki potensi yang besar untuk memberantas tindak
pidana korupsi di Indonesia. Sebab secara manusiawi, tidak ada orang yang ingin
miskin, tentunya hal tersebut dapat memberikan dampak yang cukup besar bagi
pelaku tindak pidana korupsi yang biasa hidup mewah dan berkecukupan. Selama ini,
perampasan aset hasil tindak pidana korupsi hanya sebatas perampasan aset dari hasil
13 Amirullah, Tindak Pidana Korupsi dan Sanksi Pidana Mati,

52
tindak pidana korupsi atau pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sesuai
dengan kerugian keuangan negara. Hal tersebut tidak dapat dikatakan sebagai
pemiskinan koruptor, karena pelaku tindak pidana korupsi masih dapat dengan bebas
menggunakan aset yang masih dimiliki.14
Maka dari itu, pemiskinan koruptor harus diimplementasikan dengan jelas
dalam sebuah aturan yang sesuai dengan koridor asas-asas hukum dan tidak
melanggar hak asasi manusia. Diperlukan upaya maksimal dari pembuat undang-
undang untuk mewujudkan aturan ini. Di samping itu, pentingnya peran serta
masyarakat untuk terus mengawal proses hukum terhadap tindak korupsi agar
pemberantasan korupsi dapat berjalan maksimal dan terbebas dari tindak pidana
korupsi.
Sedangkan dalam hukum Islam, konsep pemberian hukuman takzir bagi pelaku
korupsi merupakan salah satu hal yang dapat diimplementasikan dalam hukum di
Indonesia. Mengingat konsep hukum jarimah takzir merupakan jenis pidana yang
sanksi hukumnya tidak disebutkan secara jelas di dalam Al Quran atau hadits,
melainkan diserahkan kepada kebijakan hakim atau penguasa setempat.
Dengan mengutip Wahbah Al Zuhaili, M. Nurul Irfan15 mengatakan bahwa
pada umumnya sanksi-sanksi yang terdapat dalam berbagai perundang-undangan
14 Margaretha Yesicha Priscyllia, Pemiskinan Korupsi sebagai Salah Satu Hukuman
Alternatif dalam Tindak Pidana Korupsi, Universitas Atmajaya Yogyakarta: Jurnal 2014. 15 Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, Jakarta: Amzah, 2012 hal 247

53
merupakan bentuk jarimah takzir yang membumi dan implementatif. Sebab, Undang-
undang sebagai satu-satunya aturan yang dirumuskan untuk menanggulangi berbagai
kejahatan dan mencegah pelaku kejahatan, juga berfungsi untuk menjaga
kemaslahatan, menegakan keadilan, dan ketentraman, bahkan untuk menjaga
keamanan dan kenyamanan.
Selain itu Wahbah al Zuhaili mengemukakan bahwa syariat Islam menyerahkan
kepada ulil amri (penguasa negara) untuk meneliti dan menentukan sanksi pelaku
tindak pidana sesuai dengan kejahatannya, untuk mencegah permusuhan,
mewujudkan kedamaian dan kesejahteraan masyarakat kapan dan di mana saja.
Sanksi-sanksi takzir ini sangat beragam atau berbeda-beda sesuai dengan situasi dan
kondisi masyarakat, taraf pendidikan warga masyarakat, dan berbagai kondisi lain
pada suatu masa dan tempat.16
Dalam masalah sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi, jika merujuk
pada hukum Islam, tindakan memperkaya diri sendiri atau mengambil harta, uang,
serta hak milik pihak lain untuk dimiliki sendiri bisa disebut mencuri. Namun perlu
diketahui bahwa mencuri menurut fiqh jinayah masuk dalam wilayah jarimah hudud,
sehingga sanksi hukum tindak pidana korupsi tidak bisa disamakan dengan sanksi
pidana pencurian atau perampokan. Sebab hal tersebut, dapat dilihat sebagai analogi
korupsi dengan mencuri, padahal hal itu dilarang memakai analogi dalam hudud.
16 Wahbah al Zuhaili, al Fiqh al Islami wa Adillatuh, (Beirut: Daar al Fikr, 1997, Cet 4), h
5300.

54
Selain itu, menurut M. Cherif Bassiouni bahwa hudud sebagai sebuah jarimah yang
telah disebutkan secara tegas di dalam Al Quran harus dilaksanakan secara baku,
tegas atau apa adanya sesuai dengan prinsip-prinsip keabsahan hukum.17
Di samping itu, terdapat perbedaan mendasar antara mencuri dan korupsi.
Dalam mencuri, harta sebagai objek curian berada di luar kekuasaan pelaku dan tidak
ada hubungan dengan kedudukan pelaku. Sedangkan korupsi, harta sebagai objek
korupsi berada di bawah kekuasaan dan ada kaitan dengan kedudukan pelaku.
Bahkan, bisa jadi pelaku memiliki saham atau hak pada harta yang dikorupsi.
Kekuasaan pelaku atau adanya saham kepemilikan pelaku terhadap harta yang
dikorupsi jelas akan menimbulkan adanya unsur syubhat, dalam hal ini adalah
syubhat kepemilikan. Unsur syubhat tersebut dapat dijadikan dasar dalam
membatalkan hudud, oleh sebab itu, hukuman hudud harus dihindari sebab adanya
unsur syubhat. Walau demikian, tidak dapat diberlakukannya hukuman hudud dalam
tindak pidana korupsi, bukan berarti sanksi takzir bagi koruptur bersifar lebih ringan.
Hukuman takzir bagi koruptur bisa dalam bentuk pidana denda materi, pidana seumur
hidup, dinyatakan sebagai warga masyarakat yang bermasalah, diasingkan, dan
bahkan bisa saja hukuman mati sebagai takzir bagi koruptor.18
Tindakan korupsi untuk memperkaya diri merupakan salah satu tingkah pola
hidup masyarakat modern yang ingin hidup dengan kemewahan harta yang
17 M Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, h 153. 18 Ibid, h 154.

55
berlimpah. Tidak berlebihan karena hal tersebut merupakan refleksi dari hasrat dan
keinginan sesorang yang luar biasa terhadap apa yang disebut materi. Oleh karena itu,
jika diperhatikan dalam sisi tersebut, di mana sesseorang yang sangat mencintai
sesuatu hartanya akan “sangat menderita” ketika sesuatu yang dicintainya hilang
sehingga ketika ingin menghukum orang yang mencintai barang berharga, maka
pisahkan dan jauhkan barang berharga tersebut dari jangkaunnya, bukan hanya
sekadar memindahkan barang berharga tersebut ke tempat lain yang masih bisa untuk
dijangkaunya.
Seperti itulah analogi pemberantasan korupsi yang dapat digambarkan. Seorang
koruptor adalah seseorang yang mencintai harta benda sehingga kehilangan harta
benda akan menjadi suatu hal yang menyakitkan dan menjadi hukuman paling berat
bagi pelaku, lebih berat dari hukuman penjara atau bahkan hukuman mati sekalipun
sehingga jika ingin memberikan hukuman yang setimpal bagi koruptor dan jika ingin
membuat takut bagi orang lain untuk melakukan tindak pidana korupsi maka upaya
yang dapat dilakukan adalah dengan memiskinkan para koruptor tersebut.
Tentunya hikmah dari hukuman tersebut adalah untuk menegakan keadilan
ditengah masyarakat yang semakin resah dan bosan mendengar secara terus-menerus
perbuatan tindak pidana korupsi baik dilayar kaca televisi atau media cetak, di mana
para penyelenggara negara yang semestinya menjadi pelindung dan pengayom bagi
kesejahteraan masyarakat atas amanah yang telah diberikan masyarakat kepadanya.

56
Adapun sanksi takzir yang berkaitan dengan mengambil harta terdapat
perbedaan pendapat dikalangan Fuqaha. Menurut Imam Abu Hanifah sanksi takzir
dengan mengambil harta tidak dibolehkan. Akan tetapi menurut Imam Malik, Imam
Syafi’i, Imam Ahmad, dan Imam Abu Yusuf membolehkan apabila membawa
maslahat.19
Sanksi takzir dengan mengambil harta bukan berati mengambil harta pelaku
untuk diri hakim atau untuk kas negara, melainkan menahannya untuk sementara
waktu. Adapun jika pelaku tidak dapat diharapkan untuk bertaubat, hakim dapat
menyerahkan harta tersebut untuk kepentingan yang maslahat. Selain itu, menurut
Imam Ibnu Taimiyah membagi sanksi takzir berupa harta ini menjadi tiga bagian
dengan memperhatikan atsar (pengaruhnya) terhadap harta, yaitu sebagai berikut:
a. Menghancurkan (Al-Itlaf)
Penghancuran terhadap barang sebagai sanksi takzir berlaku untuk barang-
barang yang mengandung kemungakaran, misalnya:
1. Penghancuran patung;
2. Penghancuran alat-alat musik atau permainan yang mengandung
kemungakaran;
3. Penghancuran alat dan tempat minum khamar;
4. Penghancuran terhadap air susu yang bercampur dengan air.
19 M Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta: Amzah, 2013), h 157.

57
Penghancuran barang ini tidak selamanya merupakan kewajiban dan dalam
kondisi tertentu boleh dibiarkan atau disedekahkan. Atas dasar pemikiran ini, Imam
Malik dalam riwayat Ibnu Al-Qasim dengan menggunakan istihsan, membolehkan
penghancuran atas makanan yang dijual melalui penipuan dengan cara disedekahkan
kepada fakir miskin, seperti halnya air susu yang bercampur air. Dengan demikian,
dua kepentingan dapat tercapai sekaligus, yaitu penghancuran sebagai hukuman dan
memberikan manfaat bagi orang miskin.
b. Mengubahnya (Al-Ghayir)
Sanksi takzir yang berupa mengubah harta pelaku, antara lain mengubah patung yang
disembah oleh dengan cara memotong bagian kepalanya sehingga mirip pohon atau
vas bunga.
c. Memilikinya (Al-Tamlik)
Sanksi takzir berupa pemilikan harta pelaku, antara lain Rasulullah
melipatgandakan denda bagi seorang yang mencuri buah-buahan, di samping juga
hukuman cambuk. Adapun dalam syariat Islam tidak menetapkan batas minimal atau
maksimal dari hukuman denda. Ibnu Al Qayyim menjelaskan bahwa ada dua macam
denda, yaitu denda yang dipastikan kesempurnaan dan tidak kesempurnaannya.
1. Denda yang dipastikan kesempurnaannya ialah denda yang mengharuskan
hilangnya harta karena berhubungan dengan Allah, misalnya:

58
a. Pelanggaran sewaktu ihram dengan membunuh binatang buruan, pelaku
didenda dengan memotong hewan kurban;
b. Bersenggama pada siang hari di bulan Ramadhan, pelaku didenda
dengan memberikan makanan untuk 60 orang miskin;
c. Hukuman bagi wanita yang nusyuz kepada suaminya, maka gugur
nafkah baginya dan tidak mendapat pakaian dari suaminya.
2. Denda yang tidak pasti kesempurnaannya ialah denda yang ditetapkan
melalui ijtihad hakim dan disesuaikan dengan pelanggaran yang dilakukan.
Oleh karena itu, tidak ada ketentuan syariat dan ketetapan hudud.
Selain denda, sanksi takzir yang berupa harta adalah penyitaan atau perampasan
harta. Akan tetapi, hukuman ini diperselisihkan oleh Fuqaha. Jumhur ulama
membolehkan apabila persyaratan untuk mendapat jaminan atas harta yang tidak
dipenuhi. Adapun persyaratan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Harta diperoleh dengan cara yang halal;
2. Harta digunakan sesuai dengan fungsinya;
3. Penggunaan harta tidak mengganggu hak orang lain.
Apabila persyartan tersebut tidak terpenuhi, ulil amri berhak menetapkan sanksi
takzir berupa penyitaan atau perampasan sebagai sanksi atas perbuatan yang telah
dilakukan.20
20 Ibid, h 158-159.

59
BAB IV
MEKANISME PENGGABUNGAN GUGATAN GANTI KERUGIAN
DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI
A. Upaya Memasukan Gugatan Perdata dalam Tindak Pidana Korupsi
Di Indonesia, perhatian terhadap korban suatu tindak pidana korupsi masih
sangat minim, bahkan hanya sebatas pihak yang telah dirugikan tanpa mengetahui
dan sadar akan kerugian yang telah ditimbulkan oleh adanya perkara tindak
korupsi tersebut. Sampai saat ini, belum ada ketentuan-ketentuan dalam
perundang-undangan yang secara khusus mengatur mengenai permasalahan
korban sebagai pihak yang dirugikan dalam perkara tindak pidana korupsi.
Meskipun begitu, jika kita mencermati dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP), yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, pada Bab
XIII pasal 98 sampai 101, telah diatur mengenai Penggabungan Perkara Gugatan
Ganti Kerugian.
Tuntutan ganti kerugian yang dimaksudkan pada gabungan ganti kerugian
ini bukanlah tuntutan ganti kerugian akibat penangkapan, penahanan, penuntutan
atau peradilan yang tidak berdasar Undang-Undang, melainkan tuntutan ganti
kerugian:

60
1. Ditimbulkan oleh tindak pidana itu sendiri,
2. Kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana atau orang lain yang
menderita kerugian dari tindak pidana tersebut,
3. Tuntutan ganti kerugian yang diakibatkan tindak pidana tersebut,
ditujukan kepada pelaku tindak pidana atau terdakwa,
4. Tuntutan ganti rugi yang diajukan kepada terdakwa digabung atau
diperiksa dan diputus sekaligus dengan pemeriksaan dan putusan
perkara pidana yang didakwakan kepada terdakwa.1
Adapun yang menjadi bunyi pasal 98 ayat 1 KUHAP menyatakan:
“Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu
pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimnbulkan kerugina
bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat
menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada
perkara pidana itu”.
Maksud dan tujuan dari gugatan ganti kerugian ini, sebagaimana ditegaskan
dalam penjelasan pasal 98 ayat (1) KUHAP adalah supaya perkara gugatan
tersebut pada saat diperiksa dan diputus dilakukan secara bersama dengan perkara
pidana yang tersebut.
Yahya Harahap menyatakan bahwa tujuan yang paling utama dalam
penggabungan gugatan ganti kerugian antara lain:
1 Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali), (Jakarta: Sinar Grafika, Cet. 11, 2009), h 80.

61
a) Menyederhanakan proses pemeriksaan dan pengajuan gugatan ganti
rugi, sehingga dapat dicapai asas peradilan yang sederhana, cepat, dan
biaya ringan.
b) Memungkinkan orang yang dirugikan mendapat ganti kerugian tanpa
melalui prosedur dan proses gugatan perdata biasa, serta tidak
diharuskan menunggu putusan pidana lebih dulu.2
Jika dilihat dari hakikat tujuan ganti rugi itu sendiri, sistem penggabungan
ini masih dapat dikatakan kurang sempurna dan memuaskan terhadap korban. Ada
beberapa segi yang masih diatur tidak tuntas antara lain:
1. Tuntutan yang dapat diajukan oleh korban hanya terbatas pada kerugina materil
saja, sedangkan mengenai kerugian immaterilnya harus digugat lagi sendiri
dalam gugatan perkara perdata biasa. Hal ini ditegaskan dalam pasal 99 ayat
(2) KUHAP.
2. Tuntutan dan pembayaran ganti rugi dibebankan kepada terdakwa pelaku
tindak pidana korupsi. Hal ini menimbulkan masalah jika ternyata terdakwa
ternyata tidak mampu untuk membayar ganti rugi tersebut.
Sehubungan dengan ketentuan mengenai gabungan gugatan ganti kerugian
ini, maka timbul pertanyaan apakah dengan ketentuan tersebut kepentingan
korban benar-benar sudah terakomodir dengan baik.3
2 Ibid, h 81. 3 Tim Peneliti Universitas Padjajaran, Masalah Pemberian Ganti Rugi bagi Korban Tindak
Pidana yang Dihubungkan dengan Pasal 98 KUHAP, Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjajaran, 1994, hal 11.

62
Dalam pasal 98 ayat (2) menyatakan bahwa:
“Permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diajukan
selambat-lambatnya sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan pidana. Dalam
hal penuntut umum tidak hadir permintaan diajukan selambat-lambatnya sebelum
hakim menjatuhkan putusan.”
Berdasarkan pasal tersebut, maka permintaan ganti kerugian hanya dapat
diajukan jika perkara itu sampai pada tingkat penuntutan. Selain itu, permintaan
ganti kerugian hanya dapat dikabulkan jika perbuatan yang didakwakan tersebut
terbukti. Jika perbuatan yang didakwakan tidak terbukti, maka hilanglah
kesempatan bagi korban untuk memperoleh ganti kerugian. Jadi dalam hal ini
korban yang dirugikan ditentukan dari keberhasilan penyidik untuk mengungkap
kasus dan juga keberhasilan dari penuntut umum dalam membuktikan
dakwaannya.
Maka sesuai dengan bunyi pasal tersebut di atas, dapat kita simpulkan
bahwa putusan ganti kerugian dalam penggabungan perkara ini bersifat assesor
dengan putusan pidana, artinya bahwa putusan ganti kerugian ini melekata dan
mengikuti putusana pidana dalm beberapa segi berikut:
1. Segi kekuatan hukum tetapnya putusan ganti rugi dalam penggabungan perkara
ditentukan oleh kekuatan hukum tetap putusan pidananya. Hal ini jelas
disebutkan dalam pasal 99 ayat (3) KUHAP. Jadi selama putusan pidananya
belum memperoleh kekuatan hukum tetap, selama itu pula putusan ganti
kerugiannaya belum memperoleh kekuatan hukum tetap.

63
2. Segi pemeriksaan banding dalam bunyi pasal 100 KUHAP dapat disimpulkan:
a) Dengan adanya permintaan pemeriksaan banding atas putusan
pidananya, dengan sendirinya membawa akibat permintaan dan
pemeriksaan banding atas putusan gugatan ganti kerugian. Hal ini
tetap berlaku meskipun terdakwa dengan tegas hanya meminta
banding atas putusan pidananya saja.
b) Sebaliknya, tanpa permintaan banding terhadap putusan pidananya,
maka tidak dimungkinkan adanya banding terhadap putusan
perdatanaya.4
Dalam prinsip hukum permintaan banding, para pihak berhak mengajukan
permintaan banding atas putusan pengadilan negeri. Akan tetapi, dengan
melekatnya sifat assesor putusan perdata kepada putusan pidana dalam
penggabungan perkara pidana dan perkara perdata, berdasar pasal 100 KUHAP
hanya memberikan hak banding kepada terdakwa saja.
Akibat dari ketentuan tersebut, menurut Yahya Harahap dirasa kurang adil
karena apabila pihak korban tidak setuju atas putusan ganti kerugian yang telah
dijatuhkan oleh pengadilan, korban tidak mempunyai upaya hukum untuk
melawan keputusan tersebut. Selain itu yang paling fatal lagi, jika gugatan ganti
kerugian itu ditolak oleh hakim pengadilan negeri, maka tertutuplah peluang
korban untuk memperoleh biaya ganti kerugian dengan pertimbangan bahwa:
4 Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, h 84.

64
a) Korban tidak dapat mengajukan perlawanan kepada pengadilan tingkat
banding,
b) Dengan adanya penolakan tersebut, tertutup pula haknya untuk
menuntut kembali biaya ganti kerugian dengan alasan ne bis in idem.5
Berkaitan dengan masalah asas ne bis in idem ini, terdapat pertanyaan
apakah dengan adanya gugatan ganti kerugian materiil tersebut, mengakibatkan
gugatan immateril secara perdata biasa pun tidak dapat diajukan akibat asas ne bis
in idem ini?
Menurut Prints, pengaturan Pasal 98 KUHAP tidak mengguggurkan hak
untuk mengajukan gugatan perdata karena yang dituntut hanya kerugian formiil.6
Maka agar lebih jelas kembali, dalam Pasal 99 KUHAP menyatakan bahwa:
(1) “Apabila pihak yang dirugikan minta penggabungan perkara gugatannya
pada perkara pidana sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 98, maka
pengadilan negeri menimbang tentang kewenangannya untuk mengadili
gugatan tersebut, tentang kebenaran dasar gugatan dan tentang hukuman
penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan
tersebut.”
(2) “Kecuali dalam hal pengadilan negeri menyatakan tidak berwenang
mengadili gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau gugatan
dinyatakan tidak diterima, putusan hakim hanya memuat tentang
5 Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, h 85. 6 Darwan Prints, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, (Jakarta: Djambatan, 1999), h x.

65
penetapan hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh
pihak yang dirugikan.”
Pengertian “biaya yang dikeluarkan” dalam pasal tersebut memerlukan
penjelasan lebih lanjut yang mana dalam undang-undang tersebut tidak dijelaskan.
pengertian yang telah dikeluarkan dapat meliputi:
1. Biaya tersebut dikeluarkan sehubungan dengan adanya kerugian atau
penderitaan fisik yang dialami oleh korban.
2. Biaya tersebut dikeluarkan dengan adanya kerugian atau penderitaan
psikis yang dialami korban.
3. Biaya tersebut telah dikeluarkan oleh pihak korban, sehubungan dengan
kerugian atau penderitaan secara fisik dan psikis yang dialami korban.7
Secara teknis yuridis pun pada dasarnya harus dibedakan antara tuntutan
ganti kerugian materiil dengan yang tidak nyata. Jadi dalam proses gugatan
perdata biasa harus diperinci dan dipisahkan antara perhitungan tuntutan ganti
rugi nyata dengan ganti rugi yang tidak nyata, serta pengabulan atas tuntutan ganti
rugi yang nyata tidak sepenuhnya dibarengi dengan pengabulan atas ganti rugi
yang tidak nyata.
Berdasar hal tersebut, ganti rugi yang boleh untuk diperiksa dan dikabulkan
hanya terbatas pada kerugian nyata dan mengenyampingkan pemeriksaan dan
pengabulan ganti rugi yang tidak nyata. Jadi berdasarkan hal-hal tersebut cukup
memberi alasan bahwa dalam penggabunggan perkara gugatan ganti kerugian
7 Tim Peneliti Universitas Padjajaran, Masalah Pemberian Ganti Rugi bagi Korban Tindak
Pidana, h 13.

66
belum ada unsur ne bis in idem sepanjang mengenai ganti kerugian yang
immateriil.8
Di samping ketentuan dalam pasal 99 ayat (1) di atas, hakim harus
memperhatikan dalam pasal 101 KUHAP, di mana dalam ketentuan dari aturan
hukum acara perdata berlaku bagi gugatan gantu kerugian sepanjang KUHAP
tidak mengatur lain. Jadi secara konsekuen, dalam pemeriksaan ganti kerugian ini,
hakim harus berpedoman pada ketentuan hukum acara perdata, sesuai dengan
kompetensi absolut dan relatifnya. Dengan demikian, meskipun perkara pokoknya
adalah perkara pidana yang di dalamnya tergabung dalam perkara perdata, tetapi
secara prinsip hukum acara perdata tetap menguasai bagian perkara perdata
putusan tersebut.
B. Pembebanan Ganti Kerugian dan Mekanisme Pengembalian Harta Hasil
Korupsi Kepada Masyarakat
Pembebabanan ganti kerugian ini dibebankan kepada terdakwa. Akan tetapi,
jika terdakwa tidak berkemampuan untuk membayar, maka hal tersebut, agar
diajukan menurut hukum acara perdata biasa dengan melibatkan ahli waris
terdakwa dan atau ayah/ibunya maupun saudara-saudaranya.
Pengembalian harta hasil korupsi atau eksekusi terhadap putusan
penggabungan ganti kerugian tersebut, secara khusus tidak diatur dalam KUHAP,
akan tetapi telah dimuat dalam Pasal 101 KUHAP bahwa yang digunakan adalah
hukum acara perdata. Dengan demikian, maka eksekusi perkara gugatan ganti
8 Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, h 82.

67
kerugian dilakukan sesuai dengan acara perdata. Hal ini tertuang dalam Lampiran
Surat Keputusan Menteri Kehakiman R.I No:M.14.PW.07.03 tahun 1983 tentang
Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP, terdapat dalam butir 15, dinyatakan
sebagai berikut: “Putusan Pengadilan yang menyatakan putusan pidana dan
putusan ganti rugi.” Dalam pelaksanaan putusan pengadilan yang mengandung
pidana dan putusan ganti kerugian terdapat keraguan dalam hal pelaksanaan
eksekusi. Sehubungan dengan itu. Diberikan petunjuk sebagai berikut:
a. Gugatan perdatanya tidak diberi nomor tersendiri;
b. Pelaksanaan putusan tentang ganti kerugian yang digabungkan tersebut,
dilakukan menurut tata cara putusan perdata;
c. Pelaksanaan atau penyelesaian putusan ganti kerugian tersebut tidak
ditugaskan kepada jaksa;
Dengan demikian, pelaksanaan eksekusi perkara ganti kerugian tersebut
dilakukan dengan cara hukum perdata, yakni melalui pengadilan yang telah
memutuskan perkara itu, jika terdakwa yang dibebani kewajiban untuk melakukan
ganti kerugian sesuai dengan amar putusan tidak mentaati putusan tersebut, maka
jika putusan telah berkekuatan hukum tetap, pihak yang dibebani kewajiban
dalam amar putusan tersebut, tidak dengan sukarela memenuhi kewajibannya
sebagaimana dimuat dalam putusan, maka pihak penggugat dapat mengajukan
permintaan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara tersebut, agar
putusan tersebut dieksekusi.9
9 Leden Marpaung, Proses Tuntutan Ganti Kerugian dan Rehabilitasi dalam Hukum
Perdata, (Jakarta: Raja Grafindo, 1997), h 98.

68
Permintaan pengajuan eksekusi dapat dilakukan dengan lisan atau tertulis.
Berdasarkan permintaan eksekusi tersebut, Pengaadilan Negeri atau hakim yanag
memutus perkara tersebut dapat melakukan pemanggilan kepada
terdakwa/tergugat untuk diperingati, agar dengan selambat-lambatnya dalam
jangka waktu delapan hari setelah pemanggilan tersebut dapat memenuhi amar
putusan tersebut.
Apabila pihak terdakwa atau tergugat tidak memenuhi panggilan atau tidak
mengindahkan teguran yang telah diberitahukan, maka pihak Pengadilan Negeri
atau hakim dapat menerbitkan surat perintah eksekusi untuk menyita barang
bergerak milik terdakwa atau tergugat yang diperkirakan sesuai dengan nilai
kewajiban yang diputuskan untuk dipenuhi. Namun apabila barang bergerak
tersebut tidak mencukupi dengan nilai yang harus dibayarkan, maka barang yang
tidak bergerak milik terdakwa atau tergugat dapat juga ikut disita. Setelah
penyitan tersebut, maka dilakukan penjualan barang-barang yang telah disita
melalui perantara kantor lelang.10
Dengan demikian, mekanisme pengembalian kerugian masyarakat ini dapat
tercapai dengan menyita aset harta terdakwa atau tergugat tersebut, yang
kemudian dapat diberikan kembali kepada masyarakat melalui subsidi-subsidi
kebutuhan pokok lain atau program-program pembangunan untuk kesejahteraan
masyarakat.
10 Ibid, h 99.

69
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian yang tertuang dalam bab-bab terdahulu mengenai permasalahan
yang diangkat dalam penulisan skripsi ini, maka dapat dirumuskan kesimpulan
sebagai jawaban dari permasalahan dalam penulisan skripsi ini:
1. Bahwa tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, menghambat dan merugikan pembangunan bangsa
serta menutup jalan terciptanya keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan
bangsa Indonesia. Oleh karena itu, masyarakat yang merasa dirugikan
akibat tindak pidana tersebut, dapat mengajukan gugatan perdata ganti
kerugian yang ditimbulkan tindak pidana korupsi melalui pasal 98 ayat (1)
KUHAP.
2. Bahwa upaya pengembalian kerugian masyarakat melalui instrumen hukum
perdata dapat dilakukan setelah putusan pidana dan perdata (assesor)
berkekuatan hukum tetap. Melalui pengadilan yang telah memutus perkara
tersebut dapat dilaksanakan eksekusi perkara ganti kerugian berdasarkan
mekanisme hukum perdata. Sesuai dengan hukum acara perdata,
pembebanan ganti kerugian ini dibebankan kepada terdakwa. Akan tetapi,
apabila terdakwa tidak mampu membayar dapat dibebankan kepada ahli
waris terdakwa atau tergugat.

70
B. Saran-saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, perlu dilakukan langkah dan upaya yang
mengarah kepada pembangunan hukum, khususnya pembaharuan hukum sistem
peradilan tindak pidana korupsi. Dalam rangka pembaharuan hukum tersebut,
maka dengan segala keterbatasan dan kerendahan hati penulis memberikan saran
sebagai berikut:
1. Bahwa demi kepastian hukum, segera dibentuk peraturan pemerintah
yang mengatur tentang ketentuan mengenai pedoman pelaksanaan proses
penggabungan perkara tindak pidana korupsi, agar adanya payung hukum
yang jelas mengenai tindak pidana khusus tersebut, serta mempersempit
celah bagi koruptor dengan pemberian hukuman ringan melalui upaya
penggabungan ganti kerugian ini.
2. Bahwa dalam prosesnya nanti, jika penggabungan guggatan ini terlaksana,
pengembalian harta masyarakat dapat diatur melalui peraturan pemerintah
tersebut, agar tidak menimbulkan keresahan masyarakat, serta ganti
kerugian tersebut dapat dikembalikan kepada masyarakat melalui subsidi-
subsidi kebutuhan pokok atau program-program pembangunan.
3. Bahwa pemerintah sebaiknya mengatur pemberian ganti rugi untuk
memenuhi hak korban tindak pidana korupsi agar adanya jaminan dalam
pelaksanaan pemenuhan penggantian kerugian yang diderita korban,
sedangkan apabila terdakwa dalam keadaan bangkrut dan tidak dapat
memenuhi tuntutan ganti rugi pada korban. Maka pemerintah dapat

71
menuntut ganti kerugian tersebut dari terdakwa atau terpidana dengan
pembebanan sanksi pidana atau hukuman.
4. Bahwa agar hak korban untuk menuntut ganti kerugian dapat berjalan
dengan maksimal dan sesuai dengan yang diharapkan, maka diharapkan
peran serta penegak hukum aktif dan berinisiatif dalam memberikan
informasi kepada korban tindak pidana korupsi tentang haknya untuk
menuntut ganti kerugian kepada pelaku. Untuk menggabungkan perkara
gugatan dalam proses penggabungan perkara, meskipun tidak ada
kewajiban untuk melakukan hal itu, pemberian informasi harus dilakukan
karena mengingat kenyataan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia
kurang bahkan tidak mengetahui hak-hak hukum yang dimilikinya.
5. Hakim harus berani melakukan terobosan pembaharuan hukum baru demi
keadilan, melalui putusan pemberatan sanksi pidana atau hukuman atas
upaya peran serta masyarakat yang mengajukan gugatan ganti kerugian
tersebut untuk menuntut haknya atas kerugian yang dirasakan sehingga
masyarakat akan semakin terbuka dan paham terhadap hak-hak hukum yang
dimiliki.

72
DAFTAR PUSTAKA:
A. Buku
Andreae, Fockema, Kamus Hukum. Bandung: Bina Cipta, 1983
Effendy, Marwan, Sistem Peradilan Pidana, Tinjauan Terhadap Beberapa
Perkembangan Hukum Pidana, Jakarta: Referensi, 2012
Elwi, Danil, Korupsi (Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya). Jakarta:
Raja Grafindo, 2011
Ermansjah, Djaja, Tipologi Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Bandung: Mandar
Maju, 2010
Fahmi, Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarief Hidayatullah 2010
Hamzah, Andi, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan
Internasional. Jakarta, Raja Grafindo, 2005
____________, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1985
Harahap, Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi,dan Peninjauan Kembali, Jakarta: Sinar
Grafika, 2009
_____________, Berbagai Permaslahan Formil Dalam Gugatan Perdata, Varia
Peradilan 1993

73
Hartanti, Evi, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika, 2005
Huda, Chairul, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Jakarta: Kencana, Cet Kedua
Irfan, M Nurul dan Masyrofah. Fiqh Jinayah. Jakarta: Amzah 2013
Irfan, M Nurul. Korupsi dalam Hukum Pidana Islam. Jakarta Bumi Aksara.
September 2012
Is Susanto, Kejahatan Korporasi. Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponegoro 1995
Karjadi, Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui, Bogor: Politeia,1975
Loqman, Loebby, Masalah Tindak Pidana Korupsi di Indonesia. Jakarta:Badan
Pembinaan Hukum Nasional, 1999
Mahrus, Ali, Dasar-dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2012
Marpaung, Leden, Proses Tuntutan Ganti Kerugian dan Rehabilititasi dalam
Hukum Pidana, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997
Prints, Darwan, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Jakarta: Djambatan, 1999
R Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika, 2009
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: cetakan ke-3, 1984
Suyatno, Korupsi, Kolusi, Nepotisme. Jakarta: Pustika Sinar Harapan, 2005
Wahbah al Zuhaili, al Fiqh al Islami wa Adillatuh, Beirut: Daar al Fikr, 1997

74
Wiraatmadja, Rasjim, Frida Widjaya, dan Davy Tasman, Himpunan Yurisprudensi
Hukum Perdata Indonesia, Jakarta: Kantor Advokat Rasjim Wiraatmadja,
2001
YLBHI, Australian Aid, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia, Jakarta: YLBHI,
2014
B. Makalah atau Jurnal
Amirullah, Tindak Pidana Korupsi dan Sanksi Pidana Mati Perspektif Keadilan
Hukum, Surabaya: Al Daulah Vol 3 No 2 Tahun 2012
Arief, Barda Nawawi, Strategi Kebijakan Penanggulangan Korupsi dan Evaluasi
terhadap Undang-Undang Pemberantasan Tindak Korupsi, Bahan Masukan
Departemen Hukum dan Perundang-undangan, 1999
Hanafi, Reformasi Sistem Pertanggungjawaban Pidana, Jurnal Hukum, Vol 6 No
11 Tahun 1999
Novianto, Widodo Tresno, Korporasi Sebagai Subyek Tindak Pidana Korupsi dan
Prospeknya bagi Penanggulangan Korupsi Di Indonesia, Yustisia, Edisi
Nomor 70, 2007
Priscyllia, Margaretha Yesicha, Pemiskinan Korupsi sebagai Salah Satu
Hukuman Alternatif dalam Tindak Pidana Korupsi, Universitas Atmajaya
Yogyakarta: Jurnal 2014
Safitri, Apriani Indra, Penggabungan Gugatan Ganti Kerugian pada Perkara
Pidana dalam Penyelesaian Sengketa Konsumen, Universitas Indonesia,
Skripsi, 2001

75
Saribu, Bintra Tambun, Pelaksanaan Penggabungan Perkara Guagatan Ganti
Kerugian (Pasal 98 KUHAP) dalam Proses Beracara Pidana, Penelitian
Pengadilan Negeri Yogyakarta, 2009
Tim Peneliti Universitas Padjajaran, Masalah Pemberian Ganti Rugi bagi Korban
Tindak Pidana yang Dihubungkan dengan Pasal 98 KUHAP, Bandung:
Lembaga Penelitian Universitas Padjajaran, 1994
C. Peraturan Perundang-undangan
Hamzah, Andi, Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2008, Cet Tiga Belas
Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya
Paramita, 2009, Cet Empat Puluh
Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor:M.01.PW.07.03 Tahun 1982 tentang
Pedoman Pelaksanaan KUHAP
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
Undang-undang Nomor 49 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian
Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi

76
D. Internet
Maulimah, Lina, Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi. http:// writing-
contest.bisnis.com. diakses 20 Juli 2014
Sufiarma, Andi, Pemiskinan Koruptor. http:// writing-contest.bisnis.com. diakses
28 Maret 2015
KRHN. Legal Opini for Popular Legal Action in Corruption
Cases.http://reformasihukum.org. diakses 20 Juli 2014