usm implikasi pengaturan sistem rujukan berjenjang
TRANSCRIPT
i
USM
IMPLIKASI PENGATURAN SISTEM RUJUKAN BERJENJANG
TERHADAP PELAYANAN KESEHATAN PERORANGAN
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan
memenuhi syarat-syarat guna menyelesaikan
Program Studi Strata 1 Ilmu Hukum
Oleh Nama : Ridho Rinaldo NIM : A.111.16.0130
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEMARANG
TAHUN 2020
v
DOKUMEN PERPUSTAKAAN
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG
Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Semarang dengan ini
menerangkan, bahwa skripsi di bawah ini :
Judul : IMPLIKASI PENGATURAN SISTEM RUJUKAN BERJENJANG
TERHADAP PELAYANAN KESEHATAN PERORANGAN
Peneliti : Nama : Ridho Rinaldo
NIM : A.111.16.0130
Telah didokumentasikan dengan nomor :
Di Perpustkaan Fakultas Hukum Universitas Semarang untuk dipergunakan
sebagaimana mestinya.
Semarang, 25 Februari 2020
Bagian Administrasi Perpustkaan
Fakultas Hukum Universitas Semarang
.................................................................
vi
KATA PENGANTAR
Puji Syukur Penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat rahmat dan anugerahNya Penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan
baik dan benar dengan judul “Implikasi Pengaturan Sistem Rujukan
Berjenjang Terhadap Pelayanan Kesehatan Perorangan”. dalam rangka
menyelesaikan studi Strata 1 untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada
Fakultas Hukum Universitas Semarang, dan juga dalam penyusunan dan
penulisan skripsi ini penulis juga tidak lupa mengucapkan ucapan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Andy Kridasusila, S.E., M.M. selaku Rektor Universitas
Semarang.
2. Ibu B. Rini Heryanti, S.H., M.H. sebagai Dekan Fakultas Hukum
Universitas Semarang.
3. Ibu Endah Pujiastuti, S.H., M.H., Selaku Dosen Pembimbing I yang
dengan sabar memberikan bimbingan motivasi serta saran dan
nasehat yang bersifat membangun kepada penulis dalam pembuatan
skripsi ini.
4. Bapak Dr. Sukimin, S.H., M.H. sebagai Dosen Pembimbing II yang
dengan sabar memberikan bimbingan motivasi serta saran dan
nasehat yang bersifat membangun kepada penulis dalam pembuatan
skripsi ini.
5. Bapak Agus Saiful Abid, S.H., selaku Dosen Wali yang telah
membimbing dan memberikan arahan kepada penulis dalam
menempuh pendidikan strata satu (S-1) pada Fakultas Hukum
vii
Universitas Semarang.
6. Kepada kedua Orang Tua tercinta, Bapak Zainuri dan Ibu Zaina
Serta Abang saya yang memberikan dorongan, semangat, dukungan
moral dan material serta doa yang selalu dipanjatkan untukku
sehingga dapat terselesaikannya skripsi ini dan semoga Allah SWT
selalu memberikan kebahagiaan serta kasih sayang-Nya.
7. Terkhusus kepada Hesminta Riri yang telah memberikan semangat
serta doa hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
8. Kepada teman-teman organisasi Mahasiswa Fakultas Hukum, teman-
teman organisasi Himpunan Islam (HmI).
9. Kepada teman-teman saya yang sudah membantu dalam penulisan
skripsi ini kepada, Immanuel Yogi H, Dendy Novian, Muh. Firda
Ramadani, salsabila, Lia Amalia, Afidatul Budur, Yaumul Kholifah.
10. Penulis hanya dapat mendoakan, agar mereka yang telah membantu
dalam skripsi ini mendapatkan balasan yang setimpal dari Tuhan
Yang Maha Esa. Atas bantuan, bimbingan serta dukungan dari
berbagai pihak, semoga Tuhan Yang Esa memberikan balasan yang
berlipat ganda kepada semuanya. Demi perbaikan selanjutnya, saran
dan kritik yang membangun akan penulis terima dengan senang hati.
viii
Akhirnya hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa penulis serahkan
segalanya, mudah-mudahan dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan
umumnya bagi kita semua.
Semarang, 25 Februari 2020
Penulis
ix
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
Yakinkan dengan iman usahakan dengan ilmu sampaikan dengan amal
Yakusa (Yakin Usaha Sampai)
Jadikanlah sabar dan sholat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah
beserama orang-orang yang sabar. (Q.s Al-Baqarah ayat 153)
Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh
jadi pula kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu, allah lebih
mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui. (Q.s Al-Baqarah ayat 216 )
PERSEMBAHAN
Kepada ke dua orang tua saya yang saya sayangi.
Kepada Himpunan Mahasiswa Islam cabang Semarang
x
ABSTRAK
Keberhasilan negara dapat dilihat dari terwujudnya tujuan pembangunan nasional, tolok ukur keberhasilan tersebut adalah tingkat kesejahteraan masyarakat. Permasalahan kesehatan menjadi fokus utama pemerintah dalam memperbaiki tingkat kesejahteraan masyarakat yang tercantum di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 34 ayat (3). Kesehatan merupakan kebutuhan primer manusia untuk menjalankan fungsi dan peranannya sehingga mampu memperoleh kesejahteraan. BPJS Kesehatan sebagai sebuah badan hukum pemerintah yang memiliki tugas khusus yaitu menyelenggarakan jaminan pemeliharaan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia. Permasalahan dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimanakah pengaturan sistem rujukan berjenjang di indonesia. (2) Bagaimanakah implikasi mengenai pengaturan sistem rujukan berjenjang terhadap pelayanan kesehatan perorangan. Penelitian ini menggunakan penelitian hukum yuridis-normatif, yaitu menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai hukum positif dikaitkan dengan teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif dalam masyarakat, hasil penelitian menunjukkan: Pertama, Untuk mengatur mekanisme penyelenggaraannya sistem rujukan dalam BPJS, kementrian kesehatan Republik Indonesia kemudian mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 001 Tahun 2012 tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan. Kedua, dengan adanya pengaturan sistem rujukan berjenjang ini berdampak kepada pelayanan kesehatan perorangan setiap peserta mempunyai hak mendapat pelayanan kesehatan meliputi pelayanan kesehatan Rawat Jalan Tingkat Pertama, pelayanan kesehatan Rawat Jalan Tingkat Lanjut. Masyarakat mendapat kepastian dalam jaminan kesehatan yang di kelola langsung oleh Pemerintah melalui BPJS, Pemerintah telah menjamin pelayanan kesehatan masyarakat khususnya sistem rujukan berjenjang pada pelayanan BPJS, serta dampak kepada fasilitas kesehatan berdampak pada RSUD yang bertipe B yakni penurunan jumlah pasien rawat jalan, dampak terhadap kebijakan pada keadaan-keadaan sekarang dan keadaan di masa yang akan datang.
Kata Kunci: Sistem Rujukan, BPJS, Perorangan
xi
ABSTRACT
The success of the country can be seen from the realization of national development goals, the benchmark of success is the level of public welfare. Health issues are the main focus of the government in improving the level of welfare of the people listed in the Constitution of the Republic of Indonesia Article 34 paragraph (3). Health is a primary human need to carry out its functions and roles so as to be able to obtain welfare. BPJS Health as a government legal entity that has a special task is to organize health care guarantees for all Indonesian people. The problems in this study are (1) How is the tiered referral system managed in Indonesia. (2) What are the implications regarding the regulation of the tiered referral system for individual health services. This study uses juridical-normative legal research, which describes the legislation that applies as a positive law associated with legal theory and practice of implementing positive law in the community. The results of the study show: First, to regulate the mechanism for implementing a referral system in BPJS, the ministry of health The Republic of Indonesia then issued Regulation of the Minister of Health of the Republic of Indonesia Number 001 of 2012 concerning Individual Health Service Referral Systems. Second, the existence of a tiered referral system arrangement has an impact on individual health services. Each participant has the right to receive health services including First Level Outpatient health care, Advanced Outpatient health services. The public has certainty in health insurance that is managed directly by the Government through BPJS, the Government has guaranteed public health services, especially the tiered referral system on BPJS services, and the impact on health facilities has an impact on type B hospitals, namely the decrease in the number of outpatients, the impact on policies in the present and in the future. Key words: Referral System, BPJS, individual
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................ i
HALAMAN ORISINALITAS .............................................................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... iii
HALAMAN LEMBAR DOKUMENTASI PERPUSTAKAAN .......................... v
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ....................................................................... ix
ABSTRAK ............................................................................................................ x
DAFTAR ISI ........................................................................................................ xii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
A. Latar Belakang ....................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................................. 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .............................................................. 7
D. Keaslian Penelitian ................................................................................. 8
E. Sistematika ............................................................................................. 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 13
A. Tinjauan Umum Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) .............. 13
B. Tinjauan Umum Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) ...................... 15
C. Tinjauan Umum Rujukan Berjenjang ...................................................... 24
BAB III METODE PENELITIAN ........................................................................ 29
A. Jenis Penelitian ....................................................................................... 29
B. Spesifikasi Penelitian ............................................................................. 30
C. Metode Pengumpulan Data .................................................................... 31
D. Metode Analisis Data ............................................................................. 32
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...................................... 34
A. Pengaturan Sistem Rujukan Berjenjang di Indonesia ........................... 34
B. Implikasi mengenai pengaturan sistem rujukan berjenjang
terhadap pelayanan kesehatan perorangan ............................................ 47
BAB V PENUTUP ............................................................................................... 60
A. Simpulan ................................................................................................ 60
B. Saran ....................................................................................................... 65
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................xiii
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keberhasilan suatu negara dapat dilihat dari terwujudnya tujuan
pembangunan nasional, dan salah satu tolok ukur keberhasilan tersebut adalah
tingkat kesejahteraan masyarakat. Kesejahteraan menjadi poin utama karena
berkenaan dengan penghidupan yang layak bagi setiap masyarakat seperti
tersedianya sarana dan prasarana pendidikan hingga yang menyangkut
kebutuhan dasar kesehatan. Keadaan sehat didefenisikan oleh organisasi
kesehatan dunia/ world health organization (WHO) pada 1946 sebagai keadaan
sejahtera dari aspek fisik, metal, dan sosial, dan tidak hanya terbebasnya
seseorang dari penyakit ataupun kecacatan.1
Defenisi ini kemudian menjadi landasan keyakinan bahwa upaya setiap
individu untuk memperoleh kesehatan adalah hak asasi manusia sebagaimana
tertuang dalam salah satu bagian the universal declaration of human right (UNO-
1948). Penyataan setiap individu berhak untuk mendapatkan akses dan pelayanan
kesehatan tersebut kemudian diperkuat dalam the international covenant of
economic, social and cultural rights (ICESCR). Permasalahan kesehatan
menjadi fokus utama pemerintah dalam memperbaiki tingkat kesejahteraan
masyarakat yang tercantum di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 Pasal 34 ayat (3) yaitu “Negara bertanggung jawab atas
penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang
1 Hapsara Habib R, Filsafat, Pemikiran Dasar Pembangunan Kesehatan sebagai
paradigma pembangunan kesehatan, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2014)
2
layak”. Karena kesehatan merupakan kebutuhan primer manusia untuk
menjalankan fungsi dan peranannya sehingga mampu memperoleh
kesejahteraan, dan menjadi hak bagi setiap warga negara. Namun ketidak
merataan akses pelayanan kesehatan disetiap daerah menyebabkan tidak
banyak masyarakat yang mendapatkan fasilitas pelayanan yang memadai.
Sehingga pada tahun 2000 dikeluarkanlah konsep pengembangan Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang kemudian disahkan menjadi Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Yang kemudian didalamnya terdapat Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
sebagai salah satu dari beberapa program unggulan yang akan dilaksanakan oleh
Pemerintah Indonesia.
Istilah jaminan kesehatan dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 28
Tahun 2016 tentang perubahan ketiga atas Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan (disingkat Perpres
Jamkes)2 menjelaskan bahwa dalam pasal 1 angka 1 Perpres Jamkes adalah
jaminan berupa perlindungan kesehatan dan perlindungan kesehatan agar
peserta memeperoleh manfaat pemiliharaan kesehatan dan perlindungan dalam
2 Andika wijaya, Hukum Jaminan Sosial Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2018),
halaman 47.
3
memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang
telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah.3
JKN diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan
prinsip ekuitas, serta bersifat pelayanan perseorangan berupa pelayanan
kesehatan yang mencangkup pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitative.4 Selain itu melalui program ini, setiap penduduk diharapkan dapat
memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak apabila terjadi hal-hal yang dapat
mengakibatkan hilang atau berkurangnya pendapatan karena menderita sakit,
mengalami kecelakaan, kehilangan pekerjaan, dan memasuki usia lanjut atau
pensiun. Sehingga untuk mendukung pelaksanaan program tersebut pemerintah
membentuk suatu badan penyelenggara sistem jaminan sosial nasional yang
kemudian disahkan pada tanggal 29 oktober 2011 dan dirumuskan kedalam
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Bandan Penyelenggara Jaminan
Sosial (BPJS).
BPJS Kesehatan hadir sebagai sebuah badan hukum pemerintah yang
memiliki tugas khusus yaitu menyelenggarakan jaminan pemeliharaan kesehatan
bagi seluruh rakyat Indonesia, terutama untuk Pegawai Negeri Sipil, Penerima
Pensiun PNS dan TNI/POLRI, Veteran, Perintis Kemerdekaan beserta
keluarganya dan Badan Usaha lainnya ataupun rakyat biasa. Dan bertujuan untuk
mewujudkan terselenggaranya pemberian jaminan kesehatan yang layak bagi
3 Pasal 1 angka 1 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2016 tentang
perubahan ketiga atas Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan.
4 Nugrahen Hermien i, Tri Wiyatini, & Irmanita Wiradona, Kesehatan Masyarakat dalam
Determinan Sosial Budaya (Jogjakarta: Grup penerbit CV Budi Utama 2018), halaman 183.
4
setiap peserta dan/ atau anggota keluarganya. Badan publik ini terbentuk
berdasarkan hasil transformasi dari PT Askes (Persero) yang pelaksanaannya
mulai diberlakukan pada tanggal 1 Januari 2014. Untuk mengatur mekanisme
penyelenggaraannya kementrian kesehatan kemudian mengeluarkan Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 71 Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan Pada
Jaminan Kesehatan Nasional dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun
2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional.
Dengan dikeluarkannya peraturan ini, otomatis seluruh fasilitas kesehatan
mulai dari Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) hingga Fasilitas
Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL), diharapkan memiliki acuan atau
pedoman yang jelas dalam menyelenggarakan pelayanan BPJS kesehatan.
Berbicara tentang jaminan kesehatan, sebagai bentuk prtanggungjawaban negara
terhadap rakyatnya dari masalah kesehatan, melalui BPJS kesehatan negara
mencoba menanggulangi masalah kesehatan yang merupakan hal yang paling
sering dialami oleh setiap lapisan masyarakat. Namun pada penerapannya
terdapat fenomena-fenomena yang dirasa malah tidak sesuai harapan masyarakat,
contohnya adalah pada saat penerimaan klaim masyarakat harus mengalami
begitu banyak proses yang sulit, ditambah lagi pemberian klaim yang dikeluhkan
masyarakat sebab dianggap tidak memuaskan dan kurangnya pemahaman
masyarakat terhadap mekanisme prosedur pelayanan kehesahatan tentang
pengaturan sistem rujukan berjenjang dalam sistem pelayanan BPJS kesehatan
manambah rumit persoalan tentang sistem pelayanan BPJS kesehatan.
5
Banyaknya keluhan dari masyarakat peserta BPJS tentang pelayanan BPJS
membuat perlu adanya penyelesaian yang tepat tentang permasalahan ini,
pemerintah hendaknya hadir untuk menjamin terpenuhinya jaminan kesehatan
dan pelayanan kesehatan yang layak kepada masyarakat melalui BPJS kesehatan.
Sesuai sebagaimana yang tercantum di dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Pasal 34 ayat (3) yaitu “negara bertanggung jawab atas
penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan kesehatan yang
layak”. Setiap orang memiliki hak untuk mendapatkan akses pelayanan kesehatan
yang berkualitas, aman, dan juga terjangkau. Pemerintah telah berupaya untuk
meningkatkan akses pelayanan kesehatan masyarakat dengan telah mengadakan
program Jaminan Kesehatan Nasional melalui BPJS yang sudah diselenggarakan
sejak Januari 2014.5
Akibat peningkatan akses pelayanan kesehatan ini terjadi peningkatan
kunjungan pasien difasilitas kesehatan termasuk di rumah sakit. Hal ini
menyebabkan pelayanan kurang optimal, ditunjukkan dengan ketidakpuasan
pasien diera Jaminan Kesehatan Nasional, Padahal pelayanan kesehatan yang
telah diberikan diera Jaminan Kesehatan Nasional dituntut untuk tetap
berkualitas. Pelayanan kesehatan menurut Departemen Kesehatan Republik
Indonesia Tahun 2009 (Departemen Kesehatan RI) yang tertuang dalam Undang-
Undang Kesehatan tentang kesehatan ialah setiap upaya yang diselenggarakan
sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan
5 Ida Hadiyati, Konsep Kualitas Pelayanan Kesehatan berdasar atas Ekspektasi Peserta
Jaminan Kesehatan Nasional (Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung, MKB, Volume 49 No. 2, Juni 2017), (online), http://journal.fk.unpad.ac.id/index.php/mkb/article/view/1054 , di akses 27 desember 2019) 2017.halaman 103.
6
meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta
memulihkan kesehatan, perorangan, keluarga, kelompok ataupun masyarakat.6
Berdasarkan Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Kesehatan, pelayanan kesehatan
secara umum terdiri dari dua bentuk pelayanan kesehatan yaitu:7
a. Pelayanan kesehatan perseorangan (medical service). Pelayanan kesehatan ini
banyak diselenggarakan oleh perorangan secara mandiri (self care), dan
keluarga (family care) atau kelompok anggota masyarakat yang bertujuan
untuk menyembuhkan penyakit dan memulihkan kesehatan perseorangan dan
keluarga. Upaya pelayanan perseorangan tersebut dilaksanakan pada institusi
pelayanan kesehatan yang disebut rumah sakit, klinik bersalin, praktik mandiri.
b. Pelayanan kesehatan masyarakat (public health service). Pelayanan kesehatan
masyarakat diselenggarakan oleh kelompok dan masyarakat yang bertujuan
untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan yang mengacu pada tindakan
promotif dan preventif. Upaya pelayanan masyarakat tersebut dilaksanakan
pada pusat-pusat kesehatan masyarakat tertentu seperti puskesmas.
Di dalam sistem rujukan berjenjang masyarakat yang akan berobat ke rumah
sakit umum pemerintah dengan kartu BPJS harus mendapat rujukan dari dokter
klinik/puskesmas, atau rumah sakit umum daerah. Masyarakat yang datang ke
rumah sakit sekunder, akan dilayani jika sudah mendapatkan rujukan dari
pelayanan kesehatan primer, sesuai dengan Permenkes Nomor 001 Tahun 2012
6 Ratih Anggraeni, Mutu Pelayanan Kefarmasian Di Puskesmas (Jogjakarta: Grup
penerbit CV Budi Utama 2019), halaman 1. 7 Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan
7
tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan. Aturan ini diterbitkan
agar program JKN dapat berjalan baik.
Pemberlakuan sistem rujukan berjenjang bagi pasien Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
berdampak pada RSUD yang bertipe B yakni penurunan jumlah pasien rawat
jalan. Otomatis, pendapatan RSUD dengan tipe B ikut merosot. Sistem rujukan
berjenjang pasien BPJS Kesehatan dan JKN mengharuskan pasien melewati
pelayanan atau fasilitas kesehatan (faskes) tingkat pertama. Seperti puskesmas
dan rumah sakit tipe D, baru kemudian ke rumah sakit tipe C, B, dan A. Hal ini
tentu akan merugikan berbagai pihak jika dalam pengaturan serta pelaksanaan
sistem pelayanan tidak berjalan dengan baik sebagaimana mestinya, untuk itu
berdasarkan uraian di atas penulis akan meneliti tentang bagaimana pengaturan
sitem rujukan berjenjang dengan judul skripsi ”Implikasi Pengaturan Sistem
Rujukan Berjenjang Terhadap Pelayanan Kesehatan Perorangan”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dapat diambil dua
permasalahan utama yang akan menjadi pembahasan dalam penelitian ini:
1. Bagaimanakah pengaturan sistem rujukan berjenjang di indonesia ?
2. Bagaimanakah implikasi mengenai pengaturan sistem rujukan berjenjang
terhadap pelayanan kesehatan perorangan ?
8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan, maka tujuan yang akan
dicapai melalui penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis
tinjauan tentang sistem rujukan berjenjang BPJS Kesehatan.
a. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan sistem rujukan
berjenjang di Indonesia.
b. Untuk mengetahui dan menganalisis implikasi mengenai pengaturan
sistem rujukan berjenjang terhadap pelayanan kesehatan perorangan.
2. Manfaat Penelitian
Sementara itu, penelitian ini diharapkan memberikan manfaat.
Berdasarkan Permasalahan yang telah diuraikan, maka manfaat yang
didapat adalah :
a. Manfaat Teoretis
Dari hasil penelitian ini diharakan dapat menjadi bahan masukan bagi
pengembangan ilmu dalam bidang hukum khususnya Hukum
Administrasi Negara, terkait dengan system rujukan berjenjang.
b. Manfaat Praktis
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi
bagi mahasiswa mengenai Sistem rujukan berjenjang, selain itu dapat
dijadikan referensi dan pijakan untuk melakukan penafsiran selanjutnya.
9
D. Keaslian penelitian
Berdasarkan hasil dari penelusuran yang dilakukan oleh penulis, penulis
menemukan judul serupa namun tidak sama yaitu diantaranya tentang:
1. Analisis Pelaksanaan Sistem Rujukan Rawat Jalan Tingkat Pertama Pada
Pasien BPJS Kesehatan, ditulis Lely Nur Hidayah pada tahun 2016 dari
Universitas Airlangga.8 Dalam penelitian ini secara khusus hanya
membahas tentang bagaimana pelaksanaan sistem rujukan rawat jalan
pasien BPJS pada fasilitas kesehatan tingkat pertama yang mana penelitian
dilakukan pada Pukesmas Kota Kediri. Hasil dari penelitian ini
berkesimpulan bahwa semua puskesmas memiliki tenaga kesehatan sesuai
standar dan tingkat pengetahuan dokter dan dokter gigi baik. Tingkat
pengetahuan pasien baik. Mayoritas rujukan karena pasien pernah masuk
rumah sakit dan harus kontrol secara rutin, diagnosa rujukan non spesialistik
terbanyak yaitu essential hypertension, yang menurut sebagian besar pasien
adalah sakit diabetes dan sebagian besar dirujuk ke RSUD Gambiran.
Sedangkan dalam penelitian penulis lebih kepada system pengaturan dalam
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang prosedur rujukan
berjenjang mulai dari rujukan pada falitisa kesehatan tingkat pertama
sampai pada rujukan pada fasilitas kesehatan tingkat lanjut baik rujukan
secara vertikal maupun secara horizontal.
8 Lely Nur Hidayah skripsi: “Analisis Pelaksanaan Sistem Rujukan Rawat Jalan Tingkat
Pertama Pada Pasien BPJS Kesehatan” http://repository.unair.ac.id/45704/
10
2. Analisis Pelaksanaan Sistem Rujukan Berjenjang Bagi Peserta JKN di
Puskesmas Sukoharjo,9 yang ditulis oleh Emi Oktaviani pada tahun 2019
dari Universitas Muhammadiyah Surakarta. Secara umum penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis pelaksanaan sistem rujukan berjenjang bagi
peserta JKN di Puskesmas Sukoharjo. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pelaksanaan sistem rujukan berjenjang bagi peserta JKN di Puskesmas
Sukoharjo belum optimal, persentase rujukan melebihi ketentuan BPJS,
yaitu sebesar 17,8%, SDM/ketenagaan yang tidak sebanding dengan jumlah
penduduk dan sarana prasarana yang belum optimal. Sedangkan dalam
penelitian penulis, akan lebih menganalisis kepada prosedur dalam
pengarutan sistem rujukan berjenjang secara khusus berdasarkan perundang-
undangan yang terkait dengan judul skripsi penulis.
Dari kedua penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa dalam penelitian
penulis kali ini serupa namun tidak sama dengan kedua judul penelitian di atas,
penulis lebih membahas tentang bagaimanakah pengaturan sistem rujukan di
Indonesia dan bagaimana implikasi mengenai pengaturan sistem rujukan
berjenjang terhadap pelayanan kesehatan perorangan baik yang berdampak
kepada masyarakat secara langsung, kepada pemerintah dan juga dampaknya
kepada fasilitas tingkat pertama dan tingkat lanjut.
9 Emi Oktaviani skripsi: “Analisis Pelaksanaan Sistem Rujukan Berjenjang Bagi Peserta
JKN di Puskesmas Sukoharjo” (Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2019), (online), http://v2.eprints.ums.ac.id/archive/etd/71403 di akses 29 januari 2020) 2019.
11
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan yang digunakan penulis dalam penyusunan penulisan
hukum dengan judul implikasi pengaturan sistem rujukan berjenjang terhadap
pelayanan kesehatan perorangan. Sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan
Bagian Pendahuluan berisi tentang latar belakang penelitian,
perumusan masalah, tujuan, manfaat penelitian, keaslian penelitian
dan sistematika penulisan.
BAB II : Tinjauan Pustaka
Dalam bab ini diuraikan tentang tinjauan umum Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS), tinjauan umum tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional, dan tinjaun umum tentang sistem rujukan berjenjang.
BAB III : Metode Penelitian
Dalam Bab ini berisi jenis/tipe penelitian, spesifikasi penelitian,
metode pengumpulan data dan metode analisis data.
BAB IV : Hasil Penelitian dan Pembahasan
Bab ini diuraikan mengenai hasil penelitian dan pembahasan yang
menguraikan tentang hasil-hasil penelitian yang meliputi pengaturan
sistem rujukan berjenjang di Indonesia dan implikasi mengenai
pengaturan sistem rujukan berjenjang terhadap pelayanan kesehatan
perorangan.
12
BAB V : Penutup
Dalam bab ini adalah penutup, berisi uraian mengenai simpulan dan
saran terhadap permasalahan yang telah dibahas.
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
1. Pengertian BPJS
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) adalah badan hukum publik
yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial. BPJS terdiri
dari BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.10 Jaminan kesehatan adalah
jaminan berupa perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat
pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar
kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau
iurannya dibayar oleh pemerintah.11
Adapun BPJS Ketenagakerjaan adalah badan hukum publik yang
bertanggung jawab kepada Presiden dan berfungsi menyelenggarakan program
jaminan hari tua, jaminan pensiun, jaminan kematian dan jaminan kecelakaan
kerja bagi seluruh pekerja Indonesia termasuk orang asing yang bekerja paling
singkat 6 (enam) bulan di Indonesia. Sedangkan BPJS dalam pengoperasiannya
dilandasi dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004
tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 52.
BPJS Kesehatan mulai diberlakukan sejak 1 Januari 2014 sebagai badan
hukum publik yang bertugas menyelenggarakan bantuan jaminan sosial dalam
10 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013. halaman 3. 11
Andika wijaya, Hukum Jaminan Sosial Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2018), halaman 47.
14
bidang kesehatan. Dari segi struktur perusahaan, BPJS Kesehatan merupakan
bagian dari ASKES, dimana fungsinya adalah melayani bantuan sosial
kesehatan layaknya asuransi kesehatan dari pemerintah.
Berdasarkan Peta Jalan JKN dan Perpres Nomor 12 Tahun 2013 tentang
jaminan kesehatan, BPJS Kesehatan mengklasifikasi penggunanya ke dalam 2
kategori, yaitu:
a. Non Penerima Bantuan Iuran (non-PBI) merupakan golongan masyarakat
mampu yang bisa membayar premi secara mandiri.
b. Penerima Bantuan Iuran (PBI) merupakan golongan masyarakat tidak mampu
yang preminya dibayarkan oleh negara.
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2013 tentang jaminan
kesehatan, jenis iuran atau premi yang wajib dibayar dalam BPJS Kesehatan
terbagi menjadi tiga jenis, yaitu:
a. Iuran Jaminan Kesehatan untuk penduduk miskin dan tidak mampu yang
didaftarkan oleh Pemerintah daerah dan dibayarkan oleh Pemerintah.
b. Iuran Jaminan Kesehatan untuk Pekerja Penerima Upah (PNS, Anggota TNI
atau POLRI, pejabat negara, serta pegawai pemerintah non pegawai negeri dan
pegawai swasta)
c. Iuran Jaminan Kesehatan untuk Pekerja Bukan Penerima Upah (pekerja di luar
hubungan kerja atau pekerja mandiri) dan Peserta Bukan Pekerja (investor,
perusahaan, penerima pensiun, veteran, perintis kemerdekaan, janda, duda,
anak yatim piatu dari veteran atau perintis kemerdekaan)
15
2. Landasan Hukum Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
Kesehatan
Pendirian BPJS oleh Pemerintah dengan undang-undang yaitu Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional (SJSN), dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24
Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), yang di
mana pendirian BPJS ini tidak didaftarkan pada notaris dan tidak perlu
pengabsahan dari lembaga pemerintah.12 Kehadiran yang tertuang dalam
Undang-Undang SJSN merupakan instrumen negara untuk mewujudkan
cita-cita bangsa ini guna meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat
Indonesia. BPJS kesehatan adalah badan hukum publik yang ditugaskan
khusus oleh pemerintah untuk menyelenggarakan jaminan pemeliharaan.
B. Tinjauan Umum Tentang Sistem Jaminan Nasional
1. Pengertian SJSN
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) adalah suatu tata cara
penyelenggaraan program jaminan sosial oleh beberapa badan
penyelenggara jaminan sosial. Sistem Jaminan Sosial Nasional adalah
program pemerintah yang bertujuan untuk memberi perlindungan dan
kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Melalui program ini,
setiap penduduk diharapkan dapat memenuhi kebutuhan hidup dasar yang
layak apabila terjadi hal-hal yang dapat mengakibatkan hilangnya atau
12 Nasir W Setyanto, “Peningkatan Kualitas Pelayanan Nasabah BPJS Kesehatan, Hukum
Bisnis, Vol. 26, Malang 2012.
16
berkurangnya pendapatan, karena menderita sakit, mengalami kecelakaan,
kehilangan pekerjaan, memasuki usia lanjut, atau pensiun.
Sistem Jaminan Sosial Nasional adalah instrumen negara yang
dilaksanakan untuk mengalihkan risiko individu secara nasional dengan
dikelola sesuai asas dan prinsip-prinsip dalam undang-undang yang
membahas mengenai Sistem Jaminan Sosial Nasional.
a. Landasan Filosofis SJSN.
Pemikiran mendasar yang melandasi penyusunan SJSN bagi
penyelenggaraan jaminan sosial untuk seluruh warga negara adalah
penyelenggaraan SJSN berlandaskan kepada hak asasi manusia dan hak
konstitusional setiap orang dalam Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia 1945 Pasal 28H ayat (3) menetapkan, ”Setiap orang berhak atas
jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh
sebagai manusia yang bermanfaat.” Penyelenggaraan SJSN adalah wujud
tanggung jawab negara dalam pembangunan perekonomian nasional dan
kesejahteraan sosial. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 Pasal
34 ayat (2) menetapkan,”negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi
seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak
mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. ”Program jaminan sosial
ditujukan untuk memungkinkan setiap orang mampu mengembangkan
dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermanfaat. Undang-Undang
sistem jaminan sosial nasional (SJSN) Pasal 2 menetapkan, “SJSN
diselenggarakan berdasarkan asas kemanusiaan, asas manfaat, asas keadilan
17
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang
sistem jaminan sosial nasional (SJSN) menjelaskan bahwa asas
kemanusiaan berkaitan dengan penghargaan terhadap martabat manusia.
SJSN bertujuan untuk terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi
setiap peserta dan anggota keluarganya. Undang-Undang sistem jaminan
sosial nasional (SJSN) Pasal 3 menetapkan, “sistem jaminan sosial nasional
(SJSN) bertujuan untuk memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar
hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau anggota keluarganya.”
Penjelasan Undang-Undang SJSN Pasal 3 menjelaskan bahwa yang
dimaksud dengan kebutuhan dasar hidup adalah kebutuhan esensial setiap
orang agar dapat hidup layak, demi terwujudnya kesejahteraan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.13
b. Landasan Yuridis Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)
Landasan yuridis penyelenggaraan SJSN adalah Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia 1945 Pasal 28H ayat (3) dan Pasal 34 ayat (2). Pasal
28H ayat (3) dinyatakan dalam perubahan Kedua Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia 1945 dan Pasal 34 ayat (2) dinyatakan dalam perubahan
keempat Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945. Amanat
konstitusi tersebut kemudian dilaksanakan dengan Undang-Undang sistem
jaminan sosial nasional (SJSN). Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi atas
Perkara Nomor. 007/PUU-III/2005, Pemerintah bersama Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) mengundangkan sebuah peraturan pelaksanaan Undang-
13 Asih Eka Putri, Paham SJSN Sistem Jaminan Sosial Nasional (Jakarta:Friedrich-Ebert-
Stiflung, 2014), halaman 4.
18
Undang SJSN setingkat undang-undang, yaitu Undang-Undang BPJS.14
Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang SJSN dan Undang-Undang BPJS
terbentang mulai Peraturan Pemerintah hingga Peraturan Lembaga.
Penyelesaian seluruh dasar hukum bagi implementasi SJSN yang
mencakup Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, Undang-
Undang SJSN dan peraturan pelaksanaannya membutuhkan waktu lima
belas tahun (2000–2014). Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945
perubahan kedua (2000) dan perubahan keempat (2002), Pasal 28H ayat (3):
”Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan
pengembangan dirinya secara utuh sebagaimanusia yang bermanfaat.” Pasal
28H ayat (3) meletakkan jaminan sosial sebagai hak asasi manusia. Pasal 34
ayat (2): ”negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat
dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai
dengan martabat kemanusiaan.” Pasal 34 ayat (2) meletakkan jaminan
social sebagai elemen penyelenggaraan perekonomian nasional dan
kesejahteraan nasional.
Undang-Undang SJSN diundangkan pada tanggal 19 Oktober 2004,
sebagai pelaksanaan amanat konstitusi tentang hak konstitusional setiap
orang atasjaminan sosial dengan penyelenggaraan program-program
jaminan sosial yang menyeluruh bagi seluruh warga Negara Indonesia.
Undang-Undang SJSN adalah dasar hukum untuk menyinkronkan
penyelenggaraan berbagai bentuk jaminan sosial yang telah dilaksanakan
14 Jaminan Sosial Indonesia, Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) Transformasi,
(online),(http://www.jamsosindonesia.com/sjsn/Transformasi/landasanMartabat www.jamsosindonesia.com, diakses 25 desember 2019) 2019.
19
oleh beberapa badan penyelenggara agar dapat menjangkaukepesertaan
yang lebih luas serta memberikan manfaat yang lebih besar bagi setiap
peserta.
c. Landasan Sosiologis Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)
Paradigma hubungan antara penyelenggara negara dengan warganya
mengalami perubahan sangat mendasar sejak reformasi ketatanegaraan pada
mediotahun 1998. Selama pemerintahan orde baru, hubungan tersebut
berorientasi kepada Negara (state oriented). Kemudian sejak reformasi
hubungan tersebut berubah menjadi atau berorientasi kepada rakyat yang
berdaulat (people oriented). Rakyat tidak dipandang sebagai objek tetapi
subjek yang diberi wewenang untuk turut menentukan kebijakan publik
yang menyangkut kepentingan mereka. Negara tidak lagi menguasai
penyelenggaraan segala urusan pelayanan publik, tetapi mengatur dan
mengarahkannya.
Perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat tersebut direspon oleh
hukum. Salah satu di antaranya adalah hukum jaminan sosial. Pemerintah
membentuk dan mengundangkan Undang-Undang SJSN untuk menyikapi
dinamika masyarakat dan menangkap semangat jamannya, menyerap
aspirasi, dan cita-cita hukum masyarakat. Penyelenggaraan program jaminan
sosial diubah secara mendasar untuk memberi kepastian perlindungan dan
kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Prinsip dana amanat
diberlakukan. Dana dikumpulkan dari iuran peserta sebagai dana titipan
20
kepada BPJS untuk dikelola sebaik-baiknya dalam rangka mengoptimalkan
dana tersebut untuk kesejahteraan peserta.
Undang-Undang SJSN ditetapkan dengan pertimbangan utama untuk
memberikan jaminan sosial yang menyeluruh bagi seluruh rakyat
Indonesia. Melalui sistem SJSN setiap orang yang memungkinkan untuk
mengembangkan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.
Hal ini sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
1945 Pasal 28H ayat (3) yang dinyatakan bahwa setiap orang berhak atas
jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh
sebagai manusia yang bermartabat.15
2. Jenis Program Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)
a. Jaminan Kesehatan
Adalah suatu program Pemerintah dan masyarakat/rakyat dengan tujuan
memberikan kepastian jaminan kesehatan yang menyeluruh bagi setiap
rakyat Indonesia agar penduduk Indonesia dapat hidup sehat, produktif,
dan sejahtera (Naskah Akademik UU SJSN).
b. Jaminan Kecelakaan Kerja
Adalah suatu program pemerintah dan pemberi kerja dengan tujuan
memberikan kepastian jaminan pelayanan dan santunan apabila tenaga
kerja mengalami kecelakaan saat menuju, menunaikan dan selesai
menunaikan tugas pekerjaan dan berbagai penyakit yang berhubungan
dengan pekerjaan (Naskah Akademik UU SJSN).
15
Hadi Setia Tunggal, Memahami Sistem Jaminan Sosial (SJSN) dan Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) di Indonesia, (Jakarta: Harvarindo, 2015), halaman 18.
21
c. Jaminan Hari Tua
Adalah program jangka panjang yang diberikan secara sekaligus sebelum
peserta memasuki masa pensiun, bisa diterimakan kepada janda/duda,
anak atau ahli waris peserta yang sah apabila peserta meninggal dunia
((Naskah Akademik UU SJSN)
d. Jaminan Pensiun
Adalah pembayaran berkala jangka panjang sebagai substitusi dari
penurunan/hilangnya penghasilan karena peserta mencapai usia tua
(pensiun), mengalami cacat total permanen, atau meninggal dunia.
(Naskah Akademik UU SJSN).
e. Jaminan Kematian
Definisi Jaminan Kematian (JK) tidak dijelaskan secara tegas baik dalam
Undang-Undang SJSN maupun dalam naskah akademik. Di dalam
naskah akademik UU SJSN hanya dijelaskan santunan kematian, dengan
definisi sebagai berikut: Santunan Kematian adalah program jangka
pendek sebagai pelengkap progam jaminan hari tua, dibiayai dari iuran
dan hasil pengelolaan dana santunan kematian, dan manfaat diberikan
kepada keluarga atau ahli waris yang sah pada saat peserta meninggal
dunia. (Naskah Akademik UU SJSN).16
16
Pasal 18 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
22
3. Kepesertaan Sistem Jaminan Sosial Nasional
Berdasarkan ketentuan dalam pasal 20 ayat (1) sampai ayat (3) undang-
undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
yang dimaksud dengan kepesertaan dalam sistem jaminan sosial nasional
adalah setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh
Pemerintah. Anggota keluarga peserta berhak menerima manfaat jaminan
kesehatan. Setiap peserta dapat mengikutsertakan anggota keluarga yang
lain menjadi tanggungannya dengan penambahan iuran.17
Setiap orang, termasuk orang asing yag bekerja paling singkat 6 (enam)
bulan di Indonesia, yang telah membayar iuran, meliputi:18
a. Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan (PBI) : fakir miskin dan
orang tidak mampu, dengan penetapan peserta sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.
b. Bukan Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan (Non PBI) terdiri
dari:
1) Pekerja Penerima Upah dan anggota keluarganya:
a) Pegawai Negeri Sipil;
b) Anggota TNI;
c) Anggota Polri;
d) Pejabat Negara;
17
Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
18 Wenny Andita, Skripsi, “Implementasi Kebijakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Bpjs) Kesehatan di Badan Layanan Umum Daerah (Blud) Rumah Sakit Umum Daerah (Rsud) I Lagaligo Kabupaten Luwu Timur” , Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin, 2016, halaman 22.
23
e) Pegawai Pemerintah non Pegawai Negeri;
f) Pegawai Swasta; dan
g) Pekerja yang tidak termasuk huruf a sampai dengan f yang
menerima upah. Termasuk WNA yang bekerja di Indonesia
paling singkat 6 (enam) bulan.
2) Pekerja Bukan Penerima Upah dan anggota keluarganya
a) Pekerja di luar hubungan kerja atau Pekerja mandiri; dan
b) Pekerja yang tidak termasuk huruf a yang bukan penerima Upah.
Termasuk WNA yang bekerja di Indonesia paling singkat 6
(enam) bulan.
3) Bukan pekerja dan anggota keluarganya
c) Investor;
d) Pemberi Kerja;
e) Penerima Pensiun, terdiri dari:
1) Pegawai Negeri Sipil yang berhenti dengan hak pensiun.
2) Anggota TNI dan anggota Polri yang berhenti dengan
hak pensiun.
3) Pejabat Negara yang berhenti dengan hak pensiun.
4) Janda, duda, atau anak yatim piatu dari penerima pensiun
yang mendapat hak pensiun.
5) Penerima pensiun lain.
6) Janda, duda, atau anak yatim piatu dari penerima pensiun
lain yang mendapat hak pensiun.
24
C. Tinjaun Umum Sistem Rujukan Berjenjang
1. Pengertian Sistem Rujukan Berjenjang
Sistem Rujukan pelayanan kesehatan adalah penyelenggaraan pelayanan
kesehatan yang mengatur pelimpahan tugas dan tanggung jawab pelayanan
kesehatan secara timbal balik baik vertikal maupun horizontal yang wajib
dilaksanakan oleh peserta jaminan kesehatan atau asuransi kesehatan sosial,
dan seluruh fasilitas kesehatan (Kemenkes RI, 2013). Rujukan berjenjang
merupakan upaya pelayanan dalam arti luas sehingga pelayanan kepada
masyarakat dapat ditingkatkan meliputi dan memenuhi konsep yang lebih
menyeluruh. Sistem rujukan memiliki arti penting meliputi alih tanggung
jawab meningkatkan pelayanan ke tempat yang lebih tinggi sehingga
penangannya menjadi lebih adekuat.19
2. Ketentuan Umum Sistem Rujukan Berjenjang
Berdasarkan buku panduan praktis BPJS (2014) ada beberapa ketentuan
umum sistem rujukaan, antara lain sebagai berikut :
a. Pelayanan kesehatan perorangan terdiri dari 3 (tiga) tingkatan yaitu:
1) Pelayanan kesehatan tingkat pertama;
2) Pelayanan kesehatan tingkat kedua; dan
3) Pelayanan kesehatan tingkat ketiga.
b. Pelayanan kesehatan tingkat pertama merupakan pelayanan kesehatan
dasar yang diberikan oleh fasilitas kesehatan tingkat pertama.
19 Ida Bagus Gde Manuaba, Kapita selekta penatalaksanaan rutin obstetri, ginekologi,
dan KB, (Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2001), halaman 46.
25
c. Pelayanan kesehatan tingkat kedua merupakan pelayanan kesehatan
spesialistik yang dilakukan oleh dokter spesialis atau dokter gigi
spesialis yang menggunakan pengetahuan dan teknologi kesehatan
spesialistik.
d. Pelayanan kesehatan tingkat ketiga merupakan pelayanan kesehatan
sub spesialistik yang dilakukan oleh dokter sub spesialis atau dokter gigi
sub spesialis yang menggunakan pengetahuan dan teknologi kesehatan
sub spesialistik.
e. Dalam menjalankan pelayanan kesehatan, fasilitas kesehatan tingkat
pertama dan tingkat lanjutan wajib melakukan sistem rujukan dengan
mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
f. Peserta yang ingin mendapatkan pelayanan yang tidak sesuai dengan
sistem rujukan dapat dimasukkan dalam kategori pelayanan yang tidak
sesuai dengan prosedur sehingga tidak dapat dibayarkan oleh BPJS
Kesehatan.
g. Fasilitas Kesehatan yang tidak menerapkan sistem rujukan maka BPJS
Kesehatan akan melakukan recredentialing terhadap kinerja fasilitas
kesehatan tersebut dan dapat berdampak pada kelanjutan kerjasama
h. Pelayanan rujukan dapat dilakukan secara horizontal maupun vertikal.
i. Rujukan horizontal adalah rujukan yang dilakukan antar pelayanan
kesehatan dalam satu tingkatan apabila perujuk tidak dapat memberikan
pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan pasien karena keterbatasan
26
fasilitas, peralatan dan/atau ketenagaan yang sifatnya sementara atau
menetap.
j. Rujukan vertikal adalah rujukan yang dilakukan antar pelayanan
kesehatan yang berbeda tingkatan, dapat dilakukan dari tingkat
pelayanan yang lebih rendah ke tingkat pelayanan yang lebih tinggi atau
sebaliknya. Rujukan vertikal dari tingkatan pelayanan yang lebih
rendah ke tingkatan pelayanan yang lebih tinggi dilakukan apabila:
1) Pasien membutuhkan pelayanan kesehatan spesialistik atau
subspesialistik;
2) Perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai
dengan kebutuhan pasien karena keterbatasan fasilitas, peralatan dan/
atau ketenagaan.
k. Rujukan vertikal dari tingkatan pelayanan yang lebih rendah ke
tingkatan pelayanan yang lebih tinggi dilakukan apabila:20
1) Pasien membutuhkan pelayanan kesehatan spesialistik atau
subspesialistik;
2) perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai
dengan kebutuhan pasien karena keterbatasan fasilitas, peralatan dan/
atau ketenagaan.
l. Rujukan vertikal dari tingkatan pelayanan yang lebih tinggi ke
tingkatan pelayanan yang lebih rendah dilakukan apabila :
20 Taufan Bramantoro Pengantar Klasifikasi dan Akreditasi Pelayanan Kesehatan:
Penjelasan Praktis dari undang-undang dan peraturan mentri kesehatan, (Surabaya:Pusat Penebit dan Percetakan UNAIR, 2017), halaman 2.
27
1) Permasalahan kesehatan pasien dapat ditangani oleh tingkatan
pelayanan kesehatan yang lebih rendah sesuai dengan kompetensi dan
kewenangannya;
2) Kompetensi dan kewenangan pelayanan tingkat pertama atau
kedua lebih baik dalam menangani pasien tersebut;
3) Pasien membutuhkan pelayanan lanjutan yang dapat ditangani
oleh tingkatan pelayanan kesehatan yang lebih rendah dan untuk
alasan kemudahan, efisiensi dan pelayanan jangka panjang; dan/atau
4) Perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai
dengan kebutuhan pasien karena keterbatasan sarana, prasarana,
peralatan dan/atau ketenagaan.
3. Tata Cara Pelaksanaan Sistem Rujukan Berjenjang
a. Sistem rujukan pelayanan kesehatan dilaksanakan secara berjenjang
sesuai kebutuhan medis, yaitu:
1) Dimulai dari pelayanan kesehatan tingkat pertama oleh fasilitas
kesehatan tingkat pertama.
2) Jika diperlukan pelayanan lanjutan oleh spesialis, maka pasien
dapat dirujuk ke fasilitas kesehatan tingkat kedua.
3) Pelayanan kesehatan tingkat kedua di faskes sekunder hanya
dapat diberikan atas rujukan dari faskes primer.
4) Pelayanan kesehatan tingkat ketiga di faskes tersier hanya
dapat diberikan atas rujukan dari faskes sekunder dan faskes
primer.
28
b. kesehatan di faskes primer yang dapat dirujuk langsung ke faskes
tersier hanya untuk kasus yang sudah ditegakkan diagnosis dan
rencana terapinya, merupakan pelayanan berulang dan hanya tersedia
di faskes tersier.
c. Ketentuan pelayanan rujukan berjenjang dapat dikecualikan dalam
kondisi :
1) Terjadi keadaan gawat darurat;
Kondisi kegawatdaruratan mengikuti ketentuan yang berlaku;
2) Bencana;
Kreteria bencana alam ditetapkan oleh pemerintah pusat dan atau
Pemerintah Daerah.
3) Kekhususan permasalahan kesehatan fasien;
Untuk kusus yang sudah ditegakkan rencana terapinya dan terapi
tesebut hanya dapat dilakukan di fasilitas kesehatan lanjutan
4) Pertimbangan geografsi;
5) Pertimbangan ketersediaan fasilitas
29
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis/Tipe Penelitian
Sebagai konsekuensi pemilihan topik permasalahan yang dikaji dalam
penelitian yang objeknya adalah permasalahan hukum (sedangkan hukum
adalah kaidah atau norma yang ada di masyarakat), maka jenis/tipe penelitian
hukum yang akan digunakan penelitian ini adalah yuridis normatif, yakni
adalah penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaedah-kaedah
atau norma-norma hukum positif.21 Tipe ini dipergunakan, mengingat bahwa
objek dalam penelitian ini adalah analisis yuridis mengenai implikasi
pengaturan Sistem Rujukan Berjenjang terhadap pelayanan kesehatan
perorangan. Untuk itu metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah:
1. Pendekatan peraturan perundang-undangan (statute aproach)
Pendekatan perundangan-undangan ini dilakukan untuk menelaah semua
undang-undang dan regulasi yang berkaitan dengan penelitian yang akan
diteliti. Pendekatan perundang-undangan ini akan membuka kesempatan
bagi peneliti untuk mempelajari adakah kosistensi dan kesesuaian.22 Suatu
penelitian normatif tentu harus menggunakan pendekatan perundang-
undangan, karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang
menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian.
21 Jhony Ibrahim, Teori Dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Edisi Revisi
(malang : Bayumedia Publishing, 2005), halaman 259. 22
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum. Cet 6, (Jakarta: Kencana, 2010), halaman 93.
30
2. Pendekatan analitis (analytical approach)
Analisis terhadap bahan hukum adalah mengetahui makna yang dikandung
oleh istilah-istilah yang digunakan dalam aturan perundang-undangan
secara konsepsional, sekaligus mengetahui penerapan dalam praktik dan
putusan-putusan hukum. Hal ini dilakukan melalui dua pemeriksaan.
pertama, peneliti berusaha memperoleh makna baru yang terkandung
dalam aturan hukum yang bersangkutan. Kedua, mengkaji istilah-istilah
hukum tersebut dalam praktek melalui analisis terhadap putusan-putusan
hukum.23
B. Spesifikasi Penelitian
Bertolak dari topik dan permasalahan yang mendasari penelitian ini, maka
Spesifikasi penelitian yang akan dipergunakan adalah deskriptif-analitis, yaitu
menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai hukum
positif dikaitkan dengan teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif
dalam masyarakat.24
Dengan demikian, untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai
pengaturan sistem rujukan berjenjang, Maka dalam penelitian ini akan
diuraikan hasil-hasil penelitian sesuai dengan permasalahan dan tujuan yang
akan dicapai serta menganalisisnya dari peraturan yang berlaku mengenai
23 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Cet 6, (Malang:
Bayumedia Publishing, 2012), halaman 310. 24
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002), halaman 36.
31
pengaturan Sistem Rujukan Berjenjang terhadap pelayanan kesehatan
perorangan.
C. Metode Pengumpulan Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Oleh
karena itu teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah data kepustakaan yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan yang
bersumber dari peraturan perundang-undangan, buku-buku, dokumen resmi,
publikasi, dan hasil penelitian yang berkaitan dengan masalah atau materi
penelitian yang sering disebut sebagai bahan hukum.25
Data sekunder terdiri dari:
1. Bahan Primer
Yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat berupa peraturan perundang-
undangan. Bahan hukum primer yang digunakan dalalm penelitian ini antara
lain sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN)
c. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
d. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 001 Tahun 2012
tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan.
25Ibid, halaman 156.
32
e. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2013
tentang Pelayanan Kesehatan Pada Jaminan Kesehatan Nasional.
f. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2014 tentang Pedoman
Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional.
2. Bahan Hukum Sekunder
Yaitu sebagai bahan yang menjelaskan bahan hukum primer, terdiri dari
bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum
primer, yakni berupa aturan-aturan pelaksanaan Perundang-undangan, jurnal-
jurnal hukum, dan literature lainya. Bahan hukum sekunder yang digunakan
dalam penelitian ini adalah hasil karya ilmiah para sarjana dan hasil-hasil
penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini.
3. Bahan Hukum Tersier
Yaitu bahan hukum yang fungsinya ialah melengkapi dari bahan hukum
sekunder dan bahan hukum primer, Bahan hukum tersier yang digunakan
dalam penelitian ini adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia, kamus hukum dan
literatur-literaturlainya yang berkaitan dengan penelitian ini.
D. Metode Analisis Data
Analisis data adalah untuk menyederhanakan data kedalam bentuk yang
lebih mudah untuk dipahami dan dimengerti. Secara sederhana analisis data ini
disebut sebagai kegiatan memebrikan telaah, yang dapat berarti menentang,
mengkritik, mendukung, menambah atau memberi komentar dan kemudian
33
membuat suatu kesimpuan terhadap hasil penelitian dengan pikiran sendiri dan
bantuan teori yang telah dikuasainya.26
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan analisis
kualitatif. Analisis kualitatif yaitu penelitian yang mengacu pada norma hukum
yang terdapat dalam perundang-undangan dan norma-norma yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat.27 Dengan menganasilis implikasi pengaturan
Sistem Rujukan Berjenjang terhadap pelayanan kesehatan perorangan. Data
yang telah diperoleh akan dianalisis isinya dengan menggunakan asas-asas
hukum, teori-teori, pendapat para ahli dan peraturan perundang-undangan yang
ada terkait dengan penelitian ini.
26Ibid, halaman 183 27 Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010) halaman 105.
33
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pengaturan Sistem Rujukan Berjenjang di Indonesia
Permasalahan kesehatan menjadi fokus utama pemerintah dalam
memperbaiki tingkat kesejahteraan masyarakat yang tercantum di dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 Pasal 34
ayat (3) yaitu “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas
pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”. Karena
kesehatan merupakan kebutuhan primer manusia untuk menjalankan fungsi
dan peranannya sehingga mampu memperoleh kesejahteraan, dan menjadi
hak bagi setiap warga negara. Namun ketidak merataan akses pelayanan
kesehatan di setiap daerah menyebabkan tidak banyak masyarakat yang
mendapatkan fasilitas pelayanan yang memadai. Sehingga pada tahun 2000
dikeluarkanlah konsep pengembangan Sistem Jaminan Sosial Nasional yang
kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Yang kemudian didalamnya
terdapat Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sebagai salah satu dari beberapa
program unggulan yang akan dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia.
Istilah jaminan kesehatan dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 28 Tahun 2016 tentang perubahan ketiga atas Peraturan Presiden
Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan
34
(disingkat Perpres Jamkes)28 menjelaskan bahwa dalam pasal 1 angka 1
Perpres Jamkes adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan dan
perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan
kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan
yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau
iurannya dibayar oleh pemerintah.29
Jaminan kesehatan nasional diselenggarakan secara nasional berdasarkan
prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas, serta bersifat pelayanan
perseorangan berupa pelayanan kesehatan yang mencangkup pelayanan
promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.30
Selain itu melalui program ini, setiap penduduk diharapkan dapat
memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak apabila terjadi hal-hal yang
dapat mengakibatkan hilang atau berkurangnya pendapatan karena menderita
sakit, mengalami kecelakaan, kehilangan pekerjaan, dan memasuki usia
lanjut atau pensiun. Sehingga untuk mendukung pelaksanaan program
tersebut pemerintah membentuk suatu badan penyelenggara sistem jaminan
sosial nasional yang kemudian disahkan pada tanggal 29 oktober 2011 dan
dirumuskan kedalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun
2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
28 Andika wijaya, Hukum Jaminan Sosial Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2018),
halaman 47. 29 Pasal 1 angka 1 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2016 tentang
perubahan ketiga atas Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan.
30 Nugrahen Hermien i, Tri Wiyatini, & Irmanita Wiradona, Kesehatan Masyarakat dalam Determinan Sosial Budaya, (Jogjakarta: Grup penerbit CV Budi Utama 2018), halaman 183.
35
BPJS Kesehatan hadir sebagai sebuah badan hukum pemerintah yang
memiliki tugas khusus yaitu menyelenggarakan jaminan pemeliharaan
kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia, terutama untuk Pegawai Negeri
Sipil, Penerima Pensiun PNS dan TNI/POLRI, Veteran, Perintis
Kemerdekaan beserta keluarganya dan Badan Usaha lainnya ataupun rakyat
biasa. Dan bertujuan untuk mewujudkan terselenggaranya pemberian
jaminan kesehatan yang layak bagi setiap peserta dan/ atau anggota
keluarganya. Badan publik ini terbentuk berdasarkan hasil transformasi dari
PT Askes (Persero) yang pelaksanaannya mulai diberlakukan pada tanggal 1
Januari 2014.
Untuk mengatur mekanisme penyelenggaraannya sistem rujukan,
kementrian kesehatan Republik Indonesia kemudian mengeluarkan
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 001 Tahun 2012
tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan. Kemudian untuk
membantu dalam pelaksanaannya tentang sistem rujukan berjenjang
Pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan melalui Menteri Kesehatan
yaitu Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 71 Tahun 2013 tentang Pelayanan
Kesehatan Pada Jaminan Kesehatan Nasional dan Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pelaksanaan Program
Jaminan Kesehatan Nasional.
Sistem rujukan berjenjang memiliki arti penting meliputi alih tanggung
jawab meningkatkan pelayanan ke tempat yang lebih tinggi sehingga
36
penangannya menjadi lebih adekuat.31 Dalam pelaksanaannya sistem rujukan
berjenjang mengatur pelimpahan tugas secara timbal balik vertikal maupun
horizontal, dari fasilitas kesehatan tingkat pertama ke fasilitas kesehatan
tingkat lanjut secara berjenjang. Sistem rujukan berjenjang wajib dilaksanakan
oleh peserta jaminan kesehatan atau asuransi kesehatan sosial, dan seluruh
fasilitas kesehatan (Kemenkes Republik Iindonesia, 2013). Sistem rujukan
rujukan berjenjang pelayanan kesehatan dalam arti luas merupakan upaya dari
Pemerintah untuk menjamin terlaksananya pelayanan keseahatan yang baik
bagi masyarakat secara berjenjang sehingga pelayanan kesehatan kepada
masyarakat dapat ditingkatkan memenuhi konsep yang lebih menyeluruh dan
tepat sasaran. Sebagaimana telah dijelaskan dalam Pasal 2 ayat (2) Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 001 Tahun 2012 tentang
Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan, pelayanan kesehatan
perorangan terdiri dari 3 tingkatan, yaitu pelayanan kesehatan tingkat
pertama, pelayanan kesehatan tingkat kedua dan pelayanan kesehatan tingkat
ketiga. Dalam pelaksannannya sebagaimana dijelaskan dalam pasal 4 ayat (1)
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 001 Tahun 2012
tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan, pelayanan sistem
rujukan dilaksanakan secara berjanjeng, sesuai dengan kebutuhan medis
mulai dari pelayanan kesehatan tingkat pertama hingga pelayanan kesehatan
tingkat lanjut.
31 Ida Bagus Gde Manuaba, Kapita selekta penatalaksanaan rutin obstetri, ginekologi,
dan KB, (Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2001), halaman 46.
37
Pada dasarnya, dalam prosedur pelaksanaanya fasilitas pemberi pelayanan
kesehatan pengirim rujukan harus dijelaskan alasan-alasan rujukan sebagai
berikut:
a) Alasan rujukan kepada para pasien atau keluarga;
b) Komunikasi dengan fasilitas kesehatan yang dituju sebelum merujuk;
c) Surat rujukan hasil diagnosis pasien di lampirkan;
d) Pencatatan pada register dan pembuatan laporan rujukan;
e) Stabilisasi keadaan umum pasien, dan dipertahankan selama dalam
perjalanan;
f) Pendampingan pasien oleh tenaga kesehatan;
g) Surat rujukan kepada pihak-pihak yang berwenang di fasilitas pelayanan
kesehatan diserahkan di tempat rujukan;
h) Surat rujukan pertama harus berasal dari fasilitas pelayanan kesehatan
primer, kecuali dalam keadaan darurat; dan
i) Ketentuan-ketentuan yang terdapat pada Askes, Jamkesmas, Jamkesda,
SKTM dan badan penjamin kesehatan lainnya tetap berlaku.
Adapun prosedur sarana kesehatan penerima rujukan adalah:
a) Untuk menerima rujukan pasien dan membuat tanda terima pasien;
b) Untuk mencatat kasus-kasus rujukan dan membuat laporan penerimaan
rujukan;
c) Untuk mendiagnosis dan melakukan tindakan medis yang diperlukan,
serta melaksanakan perawatan disertai catatan medik sesuai ketentuan;
38
d) Untuk memberikan informasi medis kepada pihak sarana pelayanan
pengirim rujukan;
e) Untuk membuat surat rujukan kepada sarana pelayanan kesehatan lebih
tinggi dan mengirim tembusannya. kepada sarana kesehatan pengirim
pertama;
f) Untuk membuat rujukan balik kepada fasilitas pelayanan perujuk bila
sudah tidak memerlukan pelayanan medis spesialistik atau subspesialistik
dan setelah kondisi pasien;
Macam-macam rujukan menurut tata hubungannya, sistem rujukan terdiri
dari:
a) Rujukan internal adalah rujukan horizontal yang terjadi antar
unit pelayanan di dalam institusi tersebut. Misalnya dari jejaring
puskesmas (puskesmas pembantu) ke puskesmas induk.
b) Rujukan eksternal adalah rujukan yang terjadi antar unit-unit
dalam jenjang pelayanan kesehatan, baik horizontal (dari puskesmas
rawat jalan ke puskesmas rawat inap) maupun vertikal (dari puskesmas
ke rumah sakit umum daerah).
Menurut lingkup pelayanannya, sistem rujukan terdiri dari :
a) Rujukan medik adalah rujukan pelayanan yang terutama meliputi
upaya penyembuhan (kuratif) dan pemulihan (rehabilitatif). Misalnya,
merujuk
b) Pasien puskesmas dengan penyakit kronis seperti (jantung koroner,
hipertensi, diabetes mellitus) ke rumah sakit umum daerah.
39
c) Rujukan kesehatan adalah rujukan pelayanan yang umumnya
berkaitan dengan upaya peningkatan promosi kesehatan (promotif) dan
pencegahan (preventif). Contohnya, merujuk pasien dengan masalah
gizi ke klinik konsultasi gizi (pojok gizi puskesmas), atau pasien
dengan masalah kesehatan kerja ke klinik sanitasi puskesmas.
d) Rujukan secara konseptual terdiri atas:
1. Rujukan upaya kesehatan perorangan yang pada dasarnya
menyangkut masalah medik perorangan yang antara lain
meliputi:
a. Rujukan kasus untuk keperluan diagnostik, pengobatan,
tindakan operasional dan lain-lain.
b. Rujukan bahan (spesimen) untuk pemeriksaan laboratorium
klinik yang lebih lengkap.
c. Rujukan ilmu pengetahuan antara lain dengan mendatangkan
atau mengirim tenaga yang lebih kompeten atau ahli untuk
melakukan tindakan, memberi pelayanan, ahli pengetahuan dan
teknologi dalam meningkatkan kualitas pelayanan.
2. Rujukan upaya kesehatan masyarakat pada dasarnya menyangkut
masalah kesehatan masyarakat yang meluas meliputi:
a) Rujukan sarana berupa antara lain bantuan laboratorium
dan teknologi kesehatan.
b) Rujukan tenaga dalam bentuk antara lain dukungan tenaga ahli
untuk penyidikan sebab dan asal- usul penyakit atau
40
kejadian luar biasa suatu penyakit serta penanggulangannya
pada bencana alam, gangguan kamtibmas, dan lain-lain.
c) Rujukan operasional berupa antara lain bantuan obat, vaksin,
pangan pada saat terjadi bencana, pemeriksaan bahan
(spesimen) bila terjadi keracunan massal, pemeriksaan air
minum penduduk, dan sebagainya.
d) Dari puskesmas ke instansi lain yang lebih kompeten baik
intrasektoral maupun lintas sektoral.
e) Bila rujukan di tingkat kabupaten atau kota masih belum
mampu menanggulangi, bisa diteruskan ke provinsi atau pusat.
Seperti yang telah diuraikan di atas, dalam pengaturan sistem rujukan
berjenjang di Indonesia terdapat dua pengaturan yang mengatur yaitu secara
khusus tentang sistem rujukan perorangan di atur dalam Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 001 Tahun 2012 tentang Sistem
Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan dan Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 71 Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan pada Jaminan Kesehatan
Nasional.
Sejak dilaksanakan sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada 2014,
sebagai upaya pemerintah untuk menjamin kesehatan pada masyarakat
Indonesia banyak perubahan yang terjadi dalam sistem pelayanan kesehatan.
Jaminan kesehatan nasional (JKN) telah meningkatkan akses masyarakat
terhadap pelayanan kesehatan. Targetnya adalah semua warga negara
tercangkup ke seluruh sistem pelayanan kesehatan.
41
Jaminan kesehatan nasional (JKN) menerapkan sistem pelayanan
kesehatan berjenjang.32 Dimana sistem tersebut terdiri dari fasilitas kesehatan
tingkat pertama (FKTP) dan fasilitas kesehatan tingkat lanjutan (FKTL) yang
terdiri dari pelayanan kesehatan tingkat kedua (sekunder) dan pelayanan
kesehatan tingkat ketiga (tersier).33 Pasien yang ingin mendapatkan pelayanan
kesehatan harus menyesuaikan dengan sistem berjenjang tersebut. Pasien
tidak bisa langsung mendapatkan pelayanan di FKTL, namun melewati
proses berjenjang dengan sistem rujukan.34
Dalam pelaksanaanya, berdasarkan buku panduan praktis BPJS (2014)
ada beberapa ketentuan umum sistem rujukaan, antara lain sebagai berikut:
1. Ketentuan Umum Sistem Rujukan Berjenjang
a. Pelayanan kesehatan perorangan terdiri dari 3 (tiga) tingkatan yaitu:
1) Pelayanan kesehatan tingkat pertama;
2) Pelayanan kesehatan tingkat kedua; dan
3) Pelayanan kesehatan tingkat ketiga.
b. Pelayanan kesehatan tingkat pertama merupakan pelayanan kesehatan
dasar yang diberikan oleh fasilitas kesehatan tingkat pertama.
c. Pelayanan kesehatan tingkat kedua merupakan pelayanan kesehatan
spesialistik yang dilakukan oleh dokter spesialis atau dokter gigi
32 Thabrany, H, Setiawan, E. Report of the Study on Referral Care. (Jakarta: Universitas
Indonesia 2016). 33 Darmawan, RI, Thabrany, H. Refleksi Implementasi Jaminan Kesehatan Nasional Pada
Pelayanan Dokter Gigi di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Kota Tangerang Tahun 2017. Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia, Volume 06, Nomor 04, Desember 2017.
34 Dahlan, M, Setyopranoto, I, Trisnantoro, L. Evaluasi Implementasi Program Jaminan Kesehatan Nasional terhadap Pasien Stroke di RSUP Dr. Sardjito. Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia, Voluem 06, Nomor 02, Juni 2017.
42
spesialis yang menggunakan pengetahuan dan teknologi kesehatan
spesialistik.
d. Pelayanan kesehatan tingkat ketiga merupakan pelayanan kesehatan
subspesialistik yang dilakukan oleh dokter subspesialis atau dokter gigi
subspesialis yang menggunakan pengetahuan dan teknologi kesehatan
subspesialistik.
e. Dalam menjalankan pelayanan kesehatan, fasilitas kesehatan tingkat
pertama dan tingkat lanjutan wajib melakukan sistem rujukan dengan
mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
f. Peserta yang ingin mendapatkan pelayanan yang tidak sesuai dengan
sistem rujukan dapat dimasukkan dalam kategori pelayanan yang
tidak sesuai dengan prosedur sehingga tidak dapat dibayarkan oleh
BPJS Kesehatan.
g. Fasilitas Kesehatan yang tidak menerapkan sistem rujukan maka
BPJS Kesehatan akan melakukan recredentialing terhadap kinerja
fasilitas kesehatan tersebut dan dapat berdampak pada kelanjutan
kerjasama
h. Pelayanan rujukan dapat dilakukan secara horizontal maupun vertikal.
i. Rujukan horizontal adalah rujukan yang dilakukan antar pelayanan
kesehatan dalam satu tingkatan apabila perujuk tidak dapat
memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan pasien
karena keterbatasan fasilitas, peralatan dan/atau ketenagaan yang
sifatnya sementara atau menetap.
43
j. Rujukan vertikal adalah rujukan yang dilakukan antar pelayanan
kesehatan yang berbeda tingkatan, dapat dilakukan dari tingkat
pelayanan yang lebih rendah ke tingkat pelayanan yang lebih tinggi atau
sebaliknya.
k. Rujukan vertikal dari tingkatan pelayanan yang lebih rendah ke
tingkatan pelayanan yang lebih tinggi dilakukan apabila:35
1) pasien membutuhkan pelayanan kesehatan spesialistik atau
subspesialistik;
2) perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai
dengan kebutuhan pasien karena keterbatasan fasilitas, peralatan
dan/ atau ketenagaan.
l. Rujukan vertikal dari tingkatan pelayanan yang lebih tinggi ke
tingkatan pelayanan yang lebih rendah dilakukan apabila :
1) Permasalahan kesehatan pasien dapat ditangani oleh tingkatan
pelayanan kesehatan yang lebih rendah sesuai dengan kompetensi
dan kewenangannya;
2) Kompetensi dan kewenangan pelayanan tingkat pertama atau
kedua lebih baik dalam menangani pasien tersebut;
3) Pasien membutuhkan pelayanan lanjutan yang dapat ditangani
oleh tingkatan pelayanan kesehatan yang lebih rendah dan untuk
alasan kemudahan, efisiensi dan pelayanan jangka panjang;
35Taufan Bramantoro Pengantar Klasifikasi dan Akreditasi Pelayanan Kesehatan:
Penjelasan Praktis dari undang-undang dan peraturan mentri kesehatan, (Surabaya:Pusat Penebit dan Percetakan UNAIR, 2017), halaman 2.
44
dan/atau Perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan
sesuai dengan kebutuhan pasien karena keterbatasan sarana,
prasarana, peralatan dan/atau ketenagaan.
2. Tata Cara Pelaksanaan Sistem Rujukan Berjenjang
a. Sistem rujukan pelayanan kesehatan dilaksanakan secara berjenjang
sesuai kebutuhan medis, yaitu:
1) Dimulai dari pelayanan kesehatan tingkat pertama oleh fasilitas
kesehatan tingkat pertama.
2) Jika diperlukan pelayanan lanjutan oleh spesialis, maka pasien dapat
dirujuk ke fasilitas kesehatan tingkat kedua.
3) Pelayanan kesehatan tingkat kedua di faskes sekunder hanya
dapat diberikan atas rujukan dari faskes primer.
4) Pelayanan kesehatan tingkat ketiga di faskes tersier hanya dapat
diberikan atas rujukan dari faskes sekunder dan faskes primer.
b. Kesehatan di faskes primer yang dapat dirujuk langsung ke faskes
tersier hanya untuk kasus yang sudah ditegakkan diagnosis dan
rencana terapinya, merupakan pelayanan berulang dan hanya tersedia
di faskes tersier.
Gambar 4.1 sistem rujukan berjenjang
45
Sistem rujukan berjenjang juga dilakukan sebagai upaya untuk mengendalikan
mutu dan biaya pelayanan dalam sistem JKN.36 Selain itu, sistem rujukan
berjenjang secara tidak langsung dapat memperbaiki fasilitas kesehatan di semua
tingkatan. Selain itu terjadinya pemerataan dalam infrastruktur pelayanan
kesehatan di Indonesia. Tujuannya adalah pelayanan kesehatan di semua FKTP
menjadi lebih baik dan optimal.37
Dalam JKN, FKTP menjadi garda depan dalam sistem pelayanan kesehatan.
Sehingga tuntutan terhadap fasilitas pelayanan prima menjadi penting dilakukan
oleh FKTP. Untuk mendukung pelayanan tersebut, pemerintah mendukung
pembiayaan melalui sistem kapitasi.
Kapitasi merupakan sistem pembiayaan yang dihitung berdasarkan jumlah
kepesertaan JKN pada FKTP. Meski demikian, masih banyak tantangan yang
dihadapi. Dukungan pembiayaan dan kepesertaan masih belum optimal.
Tingginya permintaan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan tidak didukung
oleh sistem pembiayaan yang baik. Akibatnya, setiap tahun, pembiayaan untuk
JKN mengalami defisit. Dampaknya adalah pelayanan kesehatan menjadi terganggu. Banyak kasus
dimana fasilitas kesehatan tidak mampu memberikan pelayanan yang baik karena
minimnya infrastruktur pendukung untuk pelayanan. Padahal, permintaan
terhadap pelayanan kesehatan meningkat setiap tahunnya. Sudah lazim terjadi
36 Hardhantyo, M, Armiatin, Utarini, A, Djasri, H. Audit Mutu. “Layanan Rujukan Primer
Guna Mengurangi Jumlah Rujukan ke Layanan Sekunder: Studi Kasus pada Provinsi DKI Jakarta”. Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia, Voluem 05, Nomor 04, Desember 2016, (online), (https://jurnal.ugm.ac.id/jkki/article/download/30526/18410, di akses 27 Januari 2020) 2016.
37 Abidin. “Pengaruh Kualitas Pelayanan BPJS Kesehatan terhadap Kepuasan Pasien di
Puskesmas Cempae Kota Parepare”. Jurnal MKMI, Vol. 12, No. 2, Juni 2016, (online), (http://dx.doi.org/10.30597/mkmi.v12i2, di akses 27 Januari 2020) 2016.
46
antrian panjang dari pasien yang ingin mendapatkan pelayanan kesehatan. Di
FKTL, kondisinya lebih parah lagi. Seringkali pasien yang sudah mendapatkan
surat rujukan tidak mendapatkan pelayanan kesehatan di FTKL.38 Meski ada yang
mendapatkan pelayanan namun kuotanya dibatasi bagi pasien yang menggunakan
kartu BPJS Kesehatan.
Hal tersebut tentu berdampak terhadap persepsi masyarakat terhadap pelayanan
kesehatan dalam sistem JKN. Munculnya persepsi negatif dari masyarakat sangat
mempengaruhi kinerja sistem JKN. Harapan untuk memperbaiki sistem pelayanan
kesehatan bisa terhambat akibat buruknya pelayanan kesehatan yang diterima
kepada masyarakat.39
B. Implikasi Mengenai Pengaturan Sistem Rujukan Berjenjang Terhadap
Pelayanan Kesehatan Perorangan.
1. Dampak implikasi pengaturan sistem rujukan
Dampak kebijakan adalah keseruluhan efek yang ditimbulkan oleh suatu
kebijakan dalam kondisi kehidupan nyata Dampak dari suau kebijakan
mempunyai beberapa dimensi dan semuanya harus diperhitungkan ketika
membicarakan evaluasi berikut beberapa dimensi dari suatu dampak
kebijakan:40
38 Tirtaningrum, AD, Sriatmi, A, Suryoputro, A. “Analisis Response Time Penatalaksanaan
Rujukan Kegawatdaruratan Obstetri Ibu Hamil”. Jurnal MKMI, Vol. 14 No. 2, Juni 2018, (online), (http://journal.unhas.ac.id/index.php/mkmi/issue/archive, di akses 27 Januari 2020) 2018.
39 Istiqna, N. “Harapan dan Kenyataan Pasien JKN terhadap Pelayanan Rawat Jalan di Rumah Sakit Universitas Hasannudin”. Jurnal Media Kesehatan Masyarakat Indonesia, Desember 2015, (online), (http://dx.doi.org/10.30597/mkmi.v11i4, di akses 27 Januari 2020) 2015.
40Riko Noviantoro, “Analisis Kebijakan Sistem Zonasi pada Penerimaan Peserta Didik Baru Tingkat sekolah lanjutan tingkat atas Di Jawa Barat Tahun 2019”, (online). (https://www.academia.edu/39870428/ANALISIS_KEBIJAKAN_SISTEM_ZONASI_PADA_PPDB_TINGKAT_SLTA_DI_JAWA_BARAT_TAHUN_2019, diakses pada tanggal 27 Januari 2020), 2019.
47
a. Dampak kebijakan terhadap situasi dan kelompok target atau orang-
orang yang terlibat (intended and unintended consequences)
b. Dampak kebijakan terhadap situasi atau kelompok-kelompok di luar
sasaran atau tujuan kebijakan (extrenalities or spillover effects)
c. Dampak kebijakan pada keadaan-keadaan sekarang dan keadaan di
masa yang akan datang (untuk melihat konsekuensi-konsekuensi yang
ditimbulkan oleh adanya kebijakan berdasarkan dimensi waktu, yakni
masa sekarang atau masa yang akan datang)
d. Biaya lansung yang dikeluarkanuntuk membiayai program-program
kebijakan publik,
e. Biaya tidak lansung yang ditanggung oleh masyarakat atau beberpa
anggota masyarakat akibat adanya kebijakan publik.
Sebagaiman telah diuraikan pada pembahasan sebelumnya di Indonesia
telah diatur lebih lanjut tentang pengaturan sistem rujukan pada Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 001 Tahun 2012 tentang
Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan. Dalam Pasal 2 (1)
Pelayanan kesehatan perorangan terdiri dari 3 (tiga) tingkatan yaitu:
a. Pelayanan kesehatan tingkat pertama;
b. Pelayanan kesehatan tingkat kedua; dan
c. Pelayanan kesehatan tingkat ketiga.
Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 4 Pelayanan kesehatan dilaksanakan
secara berjenjang, sesuai kebutuhan medis dimulai dari pelayanan kesehatan
tingkat pertama. Pelayanan kesehatan tingkat kedua hanya dapat diberikan
48
atas rujukan dari pelayanan kesehatan tingkat pertama. Pelayanan kesehatan
tingkat ketiga hanya dapat diberikan atas rujukan dari pelayanan kesehatan
tingkat kedua atau tingkat pertama. Bidan dan perawat hanya dapat
melakukan rujukan ke dokter dan/atau dokter gigi pemberi pelayanan
kesehatan tingkat pertama. Sebagaimana di jelaskan dalam Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 tentang
Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional, dengan adanya
sistem rujukan berjenjang pada pelayanan kesehatan perorangan ini setiap
peserta mempunyai hak mendapat pelayanan kesehatan secara lebih
menyeluruh dan tepat sasaran meliputi pelayanan kesehatan Rawat Jalan
Tingkat Pertama (RJTP), pelayanan kesehatan Rawat Jalan Tingkat Lanjut
(RJTL), pelayanan kesehatan gawat darurat dan kekhususan pelayanan
kesehatan lainnya yang ditetapkan oleh peraturan menteri kesehatan Republik
Indonesia. Ketentuan dalam Pasal 4 di atas dapat dikecualikan sebagaimana
telah diatur dalam Pasal 4 ayat 5 yaitu penjelasan dalam ayat (1), ayat (2),
ayat (3), dan ayat (4) Pasal 4 diatas dikecualikan pada keadaan gawat darurat,
bencana, kekhususan permasalahan kesehatan pasien, dan pertimbangan
geografis. Pasien pada fasilitas tingkat pertama dapat langsung dirujuk
kepada fasilitas kesehatan tingkat lanjut sesuai dengan ketentuan prosedur
yang berlaku. Ketentuan pelayanan rujukan berjenjang dapat dikecualikan
dalam kondisi :
a. Terjadi keadaan gawat darurat;
Kondisi kegawatdaruratan mengikuti ketentuan yang berlaku;
49
b. Bencana;
c. Kreteria bencana alam ditetapkan oleh pemerintah pusat dan atau
Pemerintah Daerah.
d. Kekhususan permasalahan kesehatan fasien;
e. Untuk kasus yang sudah ditegakkan rencana terapinya dan terapi tesebut
hanya dapat dilakukan di fasilitas kesehatan lanjutan
f. Pertimbangan geografsi;
g. Pertimbangan ketersediaan fasilitas.
Dengan adanya pengecualian terhadap 4 ayat (1), (2), (3) Pemerintah
berupaya memaksimalkan pelayanan terhadap pasien BPJS yang dalam
keadaan kekhususan sebagaimana ketentuan diatur dalam Pasal 4 ayat 5
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 001 Tahun 2012
tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan, pasien yang dalam
keadaan gawat darurat bisa Langsung mendapat penanganan dari Faskes Tingkat
Lanjutan tanpa memerlukan surat rujuk dari fasilitas tingkat pertama terlebih
dahulu. sehingga pasien akan cepat mendapat penanganan kesehatan sesuai
dengan kebutuhan pasien. Untuk Peserta yang mendapat pelayanan di
fasilitas kesehatan yang tidak bekerja sama dengan BPJS Kesehatan harus segera
dirujuk ke fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan setelah
tertangani dengan baik dengan kondisi pasien yang memungkinkan
untuk dipindahkan. Namun minimnya pengetahuan masyarakat terhadap prosedur
rujukan berjenjang ini mengakibatkan pelayanan yang didapat oleh pasien
kurang optimal. hal ini dikarenakan masih kurangnya sosialisasi dari
50
pemerintah melalui dinas terkait tentang alur prosedur sistem rujukan
berjenjang membuat masrayakat merasa belum puas terhadap pelayanan
kesehatan sistem rujukan berjenjang BPJS.
Meskipun dalam pengaturan sistem rujukan berjenjang yang diatur dalam
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 001 Tahun 2012
tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan pemerintah sudah
berupaya untuk memberikan kemudahan kepada setiap peserta BPJS untuk
mendapatkan akses kesehatan sebaik-baiknya, namun pada kenyataannya
pelayanan kesehatan yang didapat oleh masyarakat dinilai masih belum
maksimal. Selain itu lamanya antrean serta penangananan oleh faskes tingkat
pertama maupun ditingkat lanjut menjadi hal yang seringkali dikeluhkan oleh
masyarakat terhadap pelayanan BPJS.
Dalam beberapa kasus salah satunya yang terjadi di Kabupaten
Serang, seorang warga Pontang, Kabupaten Serang, Banten, bernama Kuncung
Sudrajat, meninggal dunia di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr. Dradjat
Prawiranegara Serang. Pasien peserta BPJS Kesehatan itu, diduga meninggal
akibat pelayanan fasilitas kesehatan (Faskes) yang kurang memadai. Pasien
dibawa ke Puskesmas, sebab prosedur BPJS Kesehatan tidak boleh langsung ke
rumah sakit. Pasien terlebih dahulu harus mendapat rujukan dari puskesmas
sebelum mendapat penanganan rumah sakit. Kuncung Sudrajat, kata Imron,
kala itu mengalamai hipertensi dengan kisaran 220 mmHg. “Di puskesmas
mendapat penanganan namun alakadarnya, Keluarga korban juga mendesak
puskesmas untuk segera memberi surat rujukan. Namun sayang, kala itu RSDP
51
Kota Serang mengaku tidak ada ruangan kosong. “Kami bersama keluarga
coba mendesak kembali mengkomunikasikan dengan dokter sekitar terhubung
kemudian dengann dokter puskesmas Tirtayasa kemudian dipaksa dibawa ke
RSDP, namun sayang nyawa pasien tidak dapat diselamatkan lagi.41 Hal ini
menambah panjang daftar permasalahan sistem rujukan berjenjang pada
pelayanan BPJS kesehatan.
Dengan berlakunya Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 001 Tahun 2012 tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan
Perorangan menjadi acuan pada pelaksanaan prosedur rujukan dalam sistem
rujukan pelayanan kesehatan perorangan yang diharapkan akan memudahkan
masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan yang optimal. kurangannya
pemahaman dari masyarakat serta kurangnya infrastruktur dan SDM yang
memadai diberapa ke fasilitas kesehatan tingkat pertama maupun tingkat lanjut
mengakibatkan sistem rujukan berjenjang pada BPJS kesehatan dianggap
belum dapat berjalan dengan baik dan maksimal.
Kurang maksimalnya pelayanan sistem rujukan berjenjang pada BPJS
tidak hanya berdampak pada masyarakat sebagai pasien BPJS namun juga
berdampak kepada ke fasilitas kesehatan contohnya pihak rumah sakit sebagai
mitra dari BPJS kesehatan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Dengan adanya pemberlakuan sistem rujukan berjenjang bagi pasien Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan Jaminan Kesehatan
41 Odik keren, “ Diduga Lambat Ditangani, Pasien BPJS Kesehatan Meninggal di RSDP
Serang”, (online). (https://www.redaksi24.com/diduga-lambat-ditangani-pasien-bpjs-kesehatan-meninggal-di-rsdp-serang/, di akses pada tanggal 27 Januari 2020), 2019.
52
Nasional (JKN) berdampak pada RSUD yang bertipe B yakni penurunan
jumlah pasien rawat jalan. Otomatis, pendapatan RSUD dengan tipe B ikut
merosot. Sistem rujukan berjenjang pasien BPJS Kesehatan dan JKN
mengharuskan pasien melewati pelayanan atau fasilitas kesehatan (faskes)
tingkat pertama. Seperti puskesmas dan rumah sakit tipe D, baru kemudian ke
rumah sakit tipe C, B, dan A. Hal ini tentu akan merugikan berbagai pihak jika
dalam pengaturan serta pelaksanaan sistem pelayanan tidak berjalan dengan
baik sebagaimana mestinya.
Peningkatan akses terhadap pelayanan kesehatan sejak adanya jaminan
kesehatan nasional (JKN) belum dibarengi dengan perbaikan sistem pelayanan,
terutama dalam pelayanan rujukan. Penerapan sistem rujukan berjenjang
sebenarnya bertujuan untuk mengendalikan mutu pelayanan agar lebih
optimal.42 Meski demikian, pelaksanaannya tidak sesuai harapan. Banyak
permasalahan yang muncul mulai dari lamanya pelayanan serta kurang sarana
dan prasaran yang didapat oleh peserta BPJS hingga defisitnya anggaran
pembiayaan BPJS itu sendiri.
Pada sistem rujukan berjenjang, peranan fasilitas kesehatan tingkat
pertama (FKTP) jadi sangat vital. FKTP jadi fasilitas kesehatan pertama yang
melakukan pelayanan, sebelum nanti dirujuk secara berjenjang. Akibatnya,
jumlah pasien menjadi meningkat. Peningkatan itu tidak diimbangi oleh
peningkatan pelayanan di FKTP, karena infrastrukturnya masih terbatas.
42 Hidayati, P, Hakimi, M, Claramita, M. Analisis Pelaksanaan Rujukan Berjenjang
Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Kasus Kegawatdaruratan Maternal Peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial di 3 Puskesmas Perawatan Kota Bengkulu. Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia, Voluem 06, Nomor 02, Juni 2017.
53
Hambatan yang paling sering dirasakan lebih banyak dari pasien karena waktu
tunggu pasien untuk mendapatkan pelayanan menjadi lama. Puskesmas juga
masih terbatas menyediakan petugas pelayanan kesehatan. Tidak seimbang
antara jumlah petugas dengan jumlah pasien. Banyak pasien untuk
mendapatkan pelayanan rujukan harus menunggu lama. Padahal, mereka
mengalami penyakit berat. Hal itulah yang menyebabkan tingkat kepuasan
pasien terhadap pelayanan rujukan dinilai masih rendah.
Banyaknya masalah yang muncul soal rujukan berjenjang, salah satunya
seperti pasien yang minta rujukan untuk dirujuk ke FKTL padahal FKTP
misalnya Puskesmas masih bisa menangani, pada akhirnya harus ditolak oleh
FKTL karena sesuai aturannya, tidak semua penyakit yang langsung dirujuk
ke FKTL. Namun, banyak pasien yang tidak mengetahui hal tersebut. Selain
itu, pasien yang meminta rujukan harus hadir dan diperiksa dahulu di FKTP.
Tetapi banyak pasien yang tidak datang, hanya diwakili oleh keluarga untuk
mendapatkan surat rujukan tidak membawa pasien yang sakit, hal ini tentu
pihak FKTP tidak bisa memberikan rujukan karena peraturannya harus ada
pemeriksaan dulu kemudian baru setelah itu pasien dapat dirujuk FKTL secara
vertikal ataupun secara horizontal.
Berdasarkan audit mutu pelayanan, tingkat ketepatan dalam pelaksanaan
rujukan yang diukur dari kesesuaian rujukan yang diberikan kepada pasien
dengan prosedur sistem pelayanan rujukan berjenjang sudah terlaksana sesuai
aturan. Meski demikian, audit mutu terhadap kelengkapan surat rujukan masih
bermasalah.
54
Meskinya surat rujukan diisi semua, namun banyak yang tidak terisi. Ini
mengakibatkan data dan informasi yang diterima di FKTL jadi tidak lengkap.
Padahal, data dan informasi tersebut dibutuhkan oleh petugas kesehatan di
FKTL untuk mengambil tindakan medis dengan tepat dan akurat. Data yang
paling krusial seperti hasil diagnosa, pemeriksaan fisik, anamnesa, dan terapi
yang sudah diberikan merupakan informasi yang seharusnya diisi dalam surat
rujukan. Namun data dan informasi itu yang paling banyak tidak diisi. Tidak
adanya data tersebut menyebabkan petugas kesehatan di FKTL tidak
mendapatkan informasi yang akurat untuk mengambil tindakan kepada pasien.
Harus diakui, pelaksanaan sistem rujukan berjenjang belum berjalan
optimal. Namun berdasar laporan pengelolaan program dan laporan keuangan
jaminan sosial kesehatan pada tahun 2018 menyebutkan tingkat kepuasan
terhadap pelayana BPJS naik sekitar 0,2 % dari tahun 2017 dengan jumlah
tingkat kepuasan peserta di angka 79,7 % dengan cakupan kepesertaan tercapai
208.054.199 jiwa atau bertambah 20.071.250 jiwa dari tahun 2017.43
Bertambahnya kepesertaan BPJS yang setiap tahun meningkat juga
berdampak pada beban pembiaayaan melalui iuran yang di beban kepada
peserta BPJS. Seringkali ditemui permasalahan pada masyarakat peserta BPJS
terkait pembayaran iuran BPJS, masyarakat masih sering menunggak dalam
pembayaran iuran BPSJ hal ini berimplikasi pada beban pembiayaan
oprasional pelayanan BPJS. Tercatat sampai tahun 2019 BPJS di prediksi akan
mengalami defisit anggaran di angaka Rp 28 triliun.
43 laporan pengelolaan program dan laporan keuangan jaminan sosial kesehatan pada tahun
2018
55
Dikutip dari CNN Indonesia, BPJS Kesehatan memperkirakan defisit
keuangan perusahaan akan membengkak sekitar Rp 500 miliar dari proyeksi
awal pada tahun 2019. Pada proyeksi awal, defisit keuangan BPJS diramal
mencapai Rp 28 triliun. Dengan proyeksi terbaru, defisit diramal bengkak
menjadi Rp28,5 triliun pada 2019. Proyeksi pembengkakan tersebut berasal
dari pengalihan (carry over) defisit tahun lalu ditambah beban pembayaran
tagihan rumah sakit sejak awal tahun kemarin.
Direktur Keuangan BPJS Kesehatan Kemal Imam Santoso mengatakan
perusahaan masih memiliki carry over defisit keuangan sebesar Rp 9,1 triliun
dari tahun lalu. Sementara defisit keuangan pada 2019 diperkirakan mencapai
lebih dari Rp19 triliun.44
Secara prosedur tata laksana, sistem rujukan ini sudah baik. Namun,
pelaksanaannya masih bermasalah. Oleh karena itu, perbaikan perlu dilakukan
di FKTP. Tingginya tingkat kunjungan pasien di FKTP harus diimbangi
dengan perbaikan sumber daya manusia dan infrastruktur pelayanan.
Pemerintah perlu meningkatkan sumber daya manusia dan infrastruktur di
FKTP. Perbaikan tersebut tidak hanya kuantitasnya saja namun juga
kualitasnya. Sehingga pelayanannya bisa lebih baik dan tingkat kepuasan
masyarakat menjadi tinggi.
44 Uli, “Defisit BPJS Kesehatan Diramal Bengkak Jadi Rp28,5 T di 2019”, (online).
(https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20190822090846-78-423637/defisit-bpjs-kesehatan-diramal-bengkak-jadi-rp285-t-di-2019, diakses pada tanggal 26 januari 2020), 201
56
Dari uraian pembahasan di atas setidaknya dengan adanya pengaturan
sistem rujukan berjenjang hal ini berdampak langsung kepada pelayanan
kesehatan perorangan, masyarakat, Pemerintah serta kepada fasilitas kesehatan.
Sebagaimana telah dijelas sebelumnya, dampak positif dengan adanya
sistem rujukan berjenjang pada pelayanan kesehatan perorangan ialah setiap
peserta mempunyai hak mendapat pelayanan kesehatan meliputi pelayanan
kesehatan Rawat Jalan Tingkat Pertama (RJTP), pelayanan kesehatan Rawat
Jalan Tingkat Lanjut (RJTL), pelayanan kesehatan gawat darurat dan
kekhususan pelayanan kesehatan lainnya yang ditetapkan oleh peraturan
menteri kesehatan Republik Indonesia. Disisi lain dengan adanya sistem
rujukan berjenjang ini juga mempunya dampak negatif yakni dalam
pelaksanaannya seringkali pasien harus rela menunggu dalam waktu yang lama
untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.
Tingginya antusias masyarakat yang berobat melalui BPJS tidak di
imbangi dengan pemenuhan sarana-prasana infrastruktur oleh Pererintah yang
memadai sebagai sarana pendukung dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan
yang baik mulai dari fasilitas kesehatan tingkat pertama hingga fasilitas
kesehatn tingkat lanjut serta sumberdaya manusia yang juga dinilai masih
kurang seimbang dengan jumlah pasien yang ingin berobat.
Dampak terhadap masyarakat secara langsung masyarakat mendapat
kepastian dalam jaminan kesehatan yang dikelola langsung oleh Pemerintah
melalui BPJS, namun dalam pelaksanaan masih belum maksimal. Banyaknya
permasalahan yang dikeluhkan masyakarat terhadap pelayanan kesehatan BPJS
57
pada sistem rujukan berjenjang membuat sistem rujukan berjenjang ini harus di
evaluasi untuk memperbaikan pelayanannya.
Dampak kepada Pemerintah dengan berlakunya sistem rujukan berjejang,
pemerintah telah berupaya menjamin pelayanan kesehatan masyarakat
khusunya sistem rujukan berjenjang pada pelayanan BPJS sebagai bentuk
tanggung jawab pemerintah sebagaimana yang telah diamanatkan oleh
Undang-Undang Dasar Pasal 34 ayat (3) yaitu “Negara bertanggung jawab
atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum
yang layak”. Namun disi lain implikasinya negatifnya pada Pemerintah iyalah
adanya defisit anggaran pembiayaan BPJS yang bebannya harus di tanggung
oleh Pemerintah yang tidak sedikit jumlahnnya. Kemudian dampak terhadap
fasilitas kesehatan tingkat pertama dan fasilitas tingkat lanjut berdampak pada
RSUD yang bertipe B yakni penurunan jumlah pasien rawat jalan. Otomatis,
pendapatan RSUD dengan tipe B ikut merosot.
Sistem rujukan berjenjang pasien BPJS Kesehatan dan JKN mengharuskan
pasien melewati pelayanan atau fasilitas kesehatan (faskes) tingkat pertama.
Seperti puskesmas dan rumah sakit tipe D, baru kemudian ke rumah sakit tipe
C, B, dan A. Selain itu lamanya pencairan klaim dari BPJS juga menjadi
keluhan fasilitas kesehatan tingkat pertama dan fasilitas tingkat lanjut sehingga
dalam pelayanan pihak fasilitas kesehatan harus menanggung terlebih dahulu
pembiayaan dari peserta BPJS yang sedang berobat. Hal ini berdampak pada
kualitas pelayanan yang di terima oleh peserta BPJS yang di anggap kurang
maksimal.
58
Sedangkan dampak lainya terhadap kebijakan pada keadaan-keadaan
sekarang dan keadaan di masa yang akan datang, Tidak dapat dipungkiri bahwa
dibentuknya sistem rujukan berjenjang adalah sebagai upaya meningkatan
mutu pelayanan kesehatan yang mengatur pelimpahan tugas dan tanggung
jawab pelayanan kesehatan secara timbal balik baik vertikal maupun horizontal
yang wajib dilaksanakan oleh peserta jaminan kesehatan atau asuransi
kesehatan sosial, dan seluruh fasilitas kesehatan.
Namun seiring dengan itu Pemerintah belum mampu memberikan
perbaikan sarana-prasarana sebagai penunjang dalam pelaksanaan sistem
rujukan berjenjang terutama pada fasilitas kesehatan tingkat pertama baik dari
segi infrastruktur maupun dari sumberdaya manusianya yang memadai. Hal ini
dipandang perlu mendapatperhatian lebih oleh pemerintah disamping
perbaikan terhadap sistem prosedur pelaksnaannya sehingga permasalahan
yang seringkali dikeluhkan oleh para pasien BPJS bisa teratasi. Dengan
demikinan diharapkan dalam pelaksanan pelayanan kesehatannya dapat
berjalan dengan baik dan maksimal. Hal ini berdampak terhadap mutu
pelayanan dan tingkat kepuasan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan
BPJS kesehatan sebagai bentuk dari tanggung jawab Pemerintah dalam
mejamin kesejahteraan masyakat sesuai dengan yang telah diamanatkan oleh
undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 34 ayat
(3) yaitu “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan
kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”.
59
BAB V
PENUTUP
A Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian mengenai implikasi pengaturan sistem
rujukan berjenjang terhadap pelayanan kesehatan perorangan, maka dapat
diambil simpulan sebagai berikut:
1. Pengaturan Sistem Rujukan Berjenjang di Indonesia
Merujuk kepada amanat Undang-Undang Dasar Pasal 34 ayat (3)
yaitu “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan
kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak” Jaminan Sosial
Nasional yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Yang
kemudian didalamnya terdapat Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sebagai
salah satu dari beberapa program unggulan yang akan dilaksanakan oleh
Pemerintah Indonesia.
Untuk mendukung pelaksanaan program JKN tersebut pemerintah
membentuk suatu badan penyelenggara sistem jaminan sosial nasional yang
kemudian disahkan pada tanggal 29 oktober 2011 dan dirumuskan kedalam
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Bandan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) yang mulai diberlakukan pada tanggal 1 Januari
2014.
Untuk mengatur mekanisme penyelenggaraannya sistem rujukan dalam
BPJS, kementrian kesehatan Republik Indonesia kemudian mengeluarkan
60
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 001 Tahun 2012
tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan. Kemudian untuk
membantu dalam pelaksanaannya sistem rujukan berjenjang Pemerintah
Indonesia mengeluarkan kebijakan melalui Menteri Kesehatan yaitu
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 71 Tahun 2013 tentang Pelayanan
Kesehatan Pada Jaminan Kesehatan Nasional dan Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pelaksanaan Program
Jaminan Kesehatan Nasional.
Sistem rujukan berjenjang memiliki arti penting meliputi alih tanggung
jawab meningkatkan pelayanan ke tempat yang lebih tinggi sehingga
penangannya menjadi lebih adekuat.45 Dalam pelaksanaannya sistem rujukan
berjenjang mengatur pelimpahan tugas secara timbal balik vertikal maupun
horizontal, dari fasilitas kesehatan tingkat pertama ke fasilitas kesehatan
tingkat lanjut secara berjenjang. Sistem rujukan berjenjang wajib dilaksanakan
oleh peserta jaminan kesehatan atau asuransi kesehatan sosial, dan seluruh
fasilitas kesehatan (Kemenkes Republik Iindonesia, 2013). Sistem rujukan
rujukan berjenjang pelayanan kesehatan dalam arti luas merupakan upaya
dari Pemerintah untuk menjamin terlaksananya pelayanan keseahatan yang
baik bagi masyarakat secara berjenjang sehingga pelayanan kepada
masyarakat dapat ditingkatkan memenuhi konsep yang lebih menyeluruh.
Sebagaimana telah dijelaskan dalam Pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri
45 Ida Bagus Gde Manuaba, Kapita selekta penatalaksanaan rutin obstetri, ginekologi,
dan KB, (Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2001), halaman 46.
61
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 001 Tahun 2012 tentang Sistem
Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan, pelayanan kesehatan perorangan
terdiri dari 3 tingkatan, yaitu pelayanan kesehatan tingkat pertama,
pelayanan kesehatan tingkat kedua dan pelayanan kesehatan tingkat ketiga.
Dalam pelaksannannya sebagaimana dijelaskan dalam pasal 4 ayat (1)
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 001 Tahun 2012
tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan, pelayanan sistem
rujukan dilaksanakan secara berjanjeng, sesuai dengan kebutuhan medis
mulai dari pelayanan kesehatan tingkat pertama.
2. Implikasi mengenai pengaturan Sistem Rujukan Berjenjang terhadap
pelayanan kesehatan perorangan.
a. Dari uraian pembahasan di atas setidaknya dengan adanya pengaturan
sistem rujukan berjenjang hal ini berdampak lansung kepada perorangan
,masyarakat, Pemerintah serta kepada fasilitas kesehatan.
b. Dampak terhadap pelayanan kesehatan perorangan
Dampak positif dengan adanya sestem rujukan berjenjang pada pelayanan
kesehatan perorangan ialah setiap peserta mempunyai hak mendapat
pelayanan kesehatan meliputi pelayanan kesehatan Rawat Jalan Tingkat
Pertama (RJTP), pelayanan kesehatan Rawat Jalan Tingkat Lanjut (RJTL),
pelayanan kesehatan gawat darurat dan kekhususan pelayanan kesehatan
lainnya yang ditetapkan oleh peraturan menteri kesehatan Republik
Indonesia. Pelayanan kesehatan yang secara berjenjang ini mengharuskan
peserta BPJS harus mengikuti prosedur yang berlaku secara berjenjang,
62
namun ketentuan ini dapat dikecualikan jika dalam keadaan tertentu
sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 4 ayat (5) Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 001 Tahun 2012 tentang Sistem
Rujukan, dikecualikan pada keadaan gawat darurat, bencana, kekhususan
permasalahan kesehatan pasien, dan pertimbangan geografis. Disisi lain
dengan adanya sistem rujukan berjenjang ini juga mempunyai dampak
negatif yakni dalam pelaksanaannya seringkali pasien harus rela
menunggu dalam waktu yang lama untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan. Tingginya antusias masyarakat yang berobat melalui BPJS
tidak di imbangi dengan pemenuhan sarana-prasana infrastruktur oleh
Pererintah yang memadai sebagai sarana pendukung dalam pelaksanaan
pelayanan kesehatan yang baik mulai dari fasilitas kesehatan tingkat
pertama hingga fasilitas kesehatn tingkat lanjut serta sumberdaya manusia
yang juga dinilai masih kurang seimbang dengan jumlah pasien yang ingin
berobat.
c. Dampak terhadap masyarakat
Secara langsung masyarakat mendapat kepastian dalam jaminan kesehatan
yang di kelola langsung oleh Pemerintah melalui BPJS, namun dalam
pelaksanaan masih belum maksimal. Banyaknya permasalahan yang
dikeluhkan masyakarat terhadap pelayanan kesehatan BPJS pada sistem
rujukan berjenjang membuat sistem rujukan berjenjang ini harus
dievaluasi untuk memperbaikan pelayanannya.
63
d. Dampak kepada Pemerintah
Dengan berlakunya sistem rujukan berjejang, pemerintah telah menjamin
pelayanan kesehatan masyarakat khusunya sistem rujukan berjenjang pada
pelayanan BPJS sebapai sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah sesuai
yang telah di amanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 Pasal 34 ayat (3) yaitu “Negara bertanggung
jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas
pelayanan umum yang layak”. Namun disi lain implikasinya negatifnya
pada Pemerintah iyalah adanya defisit anggaran pembiayaan BPJS yang
bebanya harus di tanggung oleh Pemerintah yang tidak sedikit jumlahnnya.
e. Dampak terhadap fasilitas kesehatan tingkat pertama dan fasilitas tingkat
lanjut.
Hal ini berdampak pada RSUD yang bertipe B yakni penurunan jumlah
pasien rawat jalan. Otomatis, pendapatan RSUD dengan tipe B ikut
merosot. Sistem rujukan berjenjang pasien BPJS Kesehatan dan JKN
mengharuskan pasien melewati pelayanan atau fasilitas kesehatan (faskes)
tingkat pertama. Seperti puskesmas dan rumah sakit tipe D, baru kemudian
ke rumah sakit tipe C, B, dan A. Selain itu lamanya pencairan klaim dari
BPJS juga menjadi keluhan fasilitas kesehatan tingkat pertama dan
fasilitas tingkat lanjut sehingga dalam pelayanan pihak fasilitas kesehatan
harus menanggung terlebih dahulu pembiayaan dari peserta BPJS yang
sedang berobat. Hal ini berdampak pada kualitas pelayanan yang di terima
oleh peserta BPJS yang di anggap kurang maksimal.
64
f. Dampak terhadap kebijakan pada keadaan-keadaan sekarang dan keadaan
di masa yang akan datang.
Tidak dapat di pungkiri bahwa dibentuknya sistem rujukan berjenjang
adalah sebagai upaya meningkatkan mutu pelayanan kesehatan yang
mengatur pelimpahan tugas dan tanggung jawab pelayanan kesehatan
secara timbal balik baik vertikal maupun horizontal yang wajib
dilaksanakan oleh peserta jaminan kesehatan atau asuransi kesehatan
sosial, dan seluruh fasilitas kesehatan. Namun seiring dengan itu
Pemerintah belum mampu memberikan perbaikan sarana-prasarana
sebagai penunjang dalam pelaksanaan sistem rujukan berjenjang terutama
pada fasilitas kesehatan tingkat pertama baik dari segi infrastruktur
maupun dari sumberdaya manusianya yang memadai. Hal ini berdampak
terhadap mutu pelayanan dan kemungkin munculnya permasalahan yang
baru harus segera di selesaikan oleh pemerintah.
B Saran
1. Perlu adanya perbaikan dalam pengaturan sistem rujukan berjenjang baik
dari prosedur pelayanan hingga pada infrastruktur dan sumberdaya
manusia sebagai penunjang dalam pelaksanaan sistem rujukan berjenjang.
2. Sistem rujukan berjenjang dalam BPJS merupakan suatu sistem yang
bersifat kerjasama kolektif secara keseluruhan mulai dari Pemerintah,
Masyarakat, hingga ke pihak fasilitas kesehatan baik dari fasilitas tingkat
pertama dan fasilitas kesehatan tingkat lanjut. Untuk itu di pandang perlu
65
adanya komunikasi serta kerjasama yang terintegritas dengan baik untuk
memberikan pelayanan yang maksimal kepada masyarakat.
Disamping itu, kepada pemerintah melalui lembaga terkait harus
memberikan suatu edukasi serta sosialisasi kepada masyarakat tentang
prosedur sistem rujukan berjenjang sehingga masyarakat lebih mengerti
tentang prosedur rujukan berjenjang. Kepada masyarakat hendaknya lebih
memahami hak dan keawijaban mereka sebagai peserta BPJS, terkait dengan
prosedur pelayanan yang pada BPJS Kesehatan.
xiii
DAFTAR PUSTAKA
a. Buku
Ali, Zainudin, Metode Penelitian Hukum, Jakarta : Sinar Grafika, 2010.
Anggraeni, Ratih, Mutu Pelayanan Kefarmasian Di Puskesmas. Jogjakarta: Grup penerbit CV Budi Utama 2019.
Bramantoro, Taufan, Pengantar Klasifikasi dan Akreditasi Pelayanan
Kesehatan: Penjelasan Praktis dari undang-undang dan peraturan mentri kesehatan, Surabaya : Pusat Penebit dan Percetakan UNAIR, 2017.
Eka Putri, Asih, Paham SJSN Sistem Jaminan Sosial Nasional, Jakarta :
Friedrich-Ebert-Stiflung, 2014. Habib R, Hapsara, Filsafat, Pemikiran Dasar Pembangunan Kesehatan
sebagai paradigma pembangunan kesehatan. Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 2014.
Manuaba, Ida Bagus Gde, Kapita selekta penatalaksanaan rutin obstetri,
ginekologi, dan KB, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2001. Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Cet 2, Jakarta: Kencana, 2008. Sulastomo, Sistem Jaminan Sosial Nasional, Jakarta: PT Kompas Media
Nusantara, 2011. Tunggal, Hadi Setia, Memahami Sistem Jaminan Sosial (SJSN) dan Badan
Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) di Indonesia, Jakarta: Harvarindo, 2015.
Hermien, Nugraheni, Tri Wiyatini, & Irmanita Wiradona, Kesehatan
Masyarakat dalam Determinan Sosial Budaya, Jogjakarta: Grup penerbit CV Budi Utama, 2018.
Wijaya, Andika, Hukum Jaminan Sosial Indonesia, Jakart: Sinar Grafika, 2018.
b. Perundang-Undangan
Sekretariat Negara RI. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, Jakarta, 2002.
xiv
Sekretariat Negara RI. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Sekretariat Negara RI. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun
2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Peraturan Menteri Kesehatan RI. Nomor 001 Tahun 2012 tentang Sistem
Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan. Peraturan Menteri Kesehatan RI. Nomor 71 Tahun 2013 tentang Pelayanan
Kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional. Peraturan Menteri Kesehatan RI. Nomor 28 Tahun 2014 tentang Pedoman
Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional.
Peraturan Presiden Republik Indonesia. Nomor 28 Tahun 2016 tentang perubahan ketiga atas Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan.
c. Jurnal/Website
Abidin. “Pengaruh Kualitas Pelayanan BPJS Kesehatan terhadap Kepuasan
Pasien di Puskesmas Cempae Kota Parepare”. Jurnal Media Kesehatan Masyarakat Indonesia, Volume 12, No. 2, Juni 2016, (online), (http://dx.doi.org/10.30597/mkmi.v12i2, di akses 27 Januari 2020) 2016.
Darmawan, RI, Thabrany, H. Refleksi Implementasi Jaminan Kesehatan
Nasional Pada Pelayanan Dokter Gigi di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Kota Tangerang Tahun 2017. Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia, Volume 06, Nomor 04, Desember 2017.
Dahlan, M, Setyopranoto, I, Trisnantoro, L. Evaluasi Implementasi Program
Jaminan Kesehatan Nasional terhadap Pasien Stroke di RSUP Dr. Sardjito. Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia, Volume 06, Nomor 02, Juni 2017.
Hardhantyo, M, Armiatin, Utarini, A, Djasri, H. Audit Mutu. “Layanan
Rujukan Primer Guna Mengurangi Jumlah Rujukan ke Layanan Sekunder: Studi Kasus pada Provinsi DKI Jakarta”. Jurnal Kebijakan
Kesehatan Indonesia, Voluem 05, Nomor 04, Desember 2016, (online), (https://jurnal.ugm.ac.id/jkki/article/download/30526/18410, di akses 27 Januari 2020) 2016.
Hidayati, P, Hakimi, M, Claramita, M. Analisis Pelaksanaan Rujukan
Berjenjang Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Kasus Ke gawat daruratan Maternal Peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial di 3
xv
Puskesmas Perawatan Kota Bengkulu. Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia, Voluem 06, Nomor 02, Juni 2017.
Ida Hadiyati, Konsep Kualitas Pelayanan Kesehatan berdasar atas Ekspektasi
Peserta Jaminan Kesehatan Nasional (Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung, MKB, Volume 49 No. 2, Juni 2017), (online), (http://journal.fk.unpad.ac.id/index.php/mkb/article/view/1054 , diakses 27 desember 2019) 2017.
Istiqna, N. “Harapan dan Kenyataan Pasien Jaminan Kesehatan Nasional
terhadap Pelayanan Rawat Jalan di Rumah Sakit Universitas Hasannudin”. Jurnal Media Kesehatan Masyarakat Indonesia, Desember
2015, (online), (http://dx.doi.org/10.30597/mkmi.v11i4, di akses 27 Januari 2020) 2015.
Jaminan Sosial Indonesia, Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)
Transformasi,(http://www.jamsosindonesia.com/sjsn/Transformasi/landasanMartabat%20www.jamsosindonesia.com, diakses 25 desember 2019) 2019.
Setyanto, Nasir W, “Peningkatan Kualitas Pelayanan Nasabah BPJS
Kesehatan, Hukum Bisnis, Vol. 26, Malang 2012. Tirtaningrum, AD, Sriatmi, A, Suryoputro, A. “Analisis Response Time Penata
pelaksanaan Rujukan Ke gawat daruratan Obstetri Ibu Hamil”. Jurnal
Media Kesehatan Masyarakat Indonesia, Volume 14 No. 2, Juni 2018, (online), (http://journal.unhas.ac.id/index.php/mkmi/issue/archive, di akses 27 Januari 2020) 2018.
Uli, “Defisit BPJS Kesehatan Diramal Bengkak Jadi Rp28,5 T di 2019”,
(online). (https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20190822090846-78-423637/defisit-bpjs-kesehatan-diramal-bengkak-jadi-rp285-t-di-2019, diakses pada tanggal 26 januari 2020), 2019.
Wenny Andita, skripsi:”Implementasi Kebijakan Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan di Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) I Lagaligo Kabupaten Luwu Jawa Timur”(Makasar: Universitas Hasanudin, 2016), (online), http://repository.unhas.ac.id/handle/123456789/19811, diakses 29 januari 2020) 2017.
( )
Mengetahui: Dekan,
URAIAN H TANDA TANGAN t~ ( PEMBIMBING
NO WAKTU KONSULTASI
Judul Skripsi
NIM
Nama Mahasiswa
... BERITA ACARA BIMBINGAN SKRIPSI
PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM
fi\Q~ -~-~~0.-.~.t?.~ ············ . . It.' .. '. .l\ .1.: .l_ ~: .. ,O. l ~ J;,1" .
Nama Dosen Pembimbing 1. fi ~~h1/\!J!~ '..,5.J·U~:.I:! . 2. Pr: $.!1 '.~.(r.-:.1. . .5.:.H: .. M.-.tt . . \~f \.iks! .P.~~~-~ ?.!.~.t:J;···· .. ······ ~~ !) ••.•. ~~ D.[ f. . .r.~c ~~-~-----P~rn~·-···
Al1n • .
bukti kelulusan Strata Satu ,,_. ··-· bitkan dan berakhir sampai
Surat Keterangan ini diterb t.,.--.~- ,J3efftlA}~§P~ (S1) bagi yang bersangkut diterimanya ljasah Asli.
Telah dinyatakan LULUS betdras1m,an Hukum pada tanggal 25 Fe r .. _. ............. ...._
: RIDHO RINALDO · A.111.16.0130 : MUARA E : HUKU Y. : s 1 I UlY.1''1.....1111.:111~
Nam a NIM Tempat, Tgl. Lahir Fakultas Program Studi
Dekan Fakultas Hukum Universitas Semarang Menerangkan bahwa:
Nomor: 181/USM.H4.FH/l/2020
Sekretariat : JI. Soekarno Hatta Tlogosari Semarang 50196 Telp. (024) 6702757 Fax. (024) 6702272 Web site: www.usm.ac.id E-mail: [email protected] USM
YAYASAN ALUMNI UNIVERSITAS DIPONEGORO UNIVERSITAS SEMARANG
FAKULTAS HUKUM