v. hasil dan pembahasan 5.1 survey kondisi ukm...
TRANSCRIPT
43
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Survey Kondisi UKM XYZ
Sampel berupa klappertaart yang terdiri adonan pencampuran, adonan
klappertaart, produk klappertaart segar dan rusak diambil dari sebuah UKM XYZ
yang bertempat di Kelurahan Cipageran, Cimahi. UKM XYZ ini merupakan salah
satu usaha industri rumahan yang bahan baku utamanya adalah kelapa untuk
produk klappertaart, daging sapi untuk produk lasagna, serta kornet ayam untuk
produk makaroni schotel. UKM XYZ ini memiliki beberapa jenis produk yang
dipasarkan, namun produk unggulan dari UKM XYZ ini adalah klappertaart.
Salah satu cara UKM untuk menjaga keamanan pangan adalah dengan
menerapkan sistem GMP. Good Manufacturing Practices (GMP) atau biasa
disebut Cara Produksi Pangan yang Baik (CPPB) adalah sebuah pedoman yang
menjelaskan aspek keamanan pangan bagi Industri Rumah Tangga (IRT) untuk
memproduksi pangan yang aman, bermutu, dan layak untuk dikonsumsi. Selain
itu, GMP merupakan persyaratan dasar bagi industri pangan sebelum
mendapatkan sertifikat PIRT (Rudiyanto, 2016). BPOM (2012) menyebutkan
bahwa ruang lingkup penerapan GMP meliputi lokasi dan lingkungan produksi,
bangunan dan fasilitas, peralatan produksi, suplai air atau sarana penyediaan air,
fasilitas dan kegiatan higiene dan sanitasi, kesehatan dan higiene karyawan,
pemeliharaan dan program higiene sanitasi karyawan, penyimpanan, pengendalian
proses, pelabelan pangan, pengawasan oleh penanggung jawab, penarikan produk,
44
pencatatan dan dokumentasi serta pelatihan karyawan. Berikut adalah tata letak
dari ruang produksi UKM XYZ dalam Gambar 10.
Gambar 10. Tata Letak Ruang Produksi
(Dokumentasi Pribadi, 2018)
5.1.1 Penyimpanan Bahan Baku
Penyimpanan bahan baku adalah suatu cara menyimpan, menata,
memelihara bahan makanan baik yang kering maupun yang basah serta
mencatat pelaporannya, setelah bahan makanan diterima harus segera di
dibawa keruang penyimpanan untuk disimpan baik itu gudang atau ruang
pendingin. Prasyarat dalam penyimpanan bahan baku diantaranya adalah
adanya sistem penyimpanan barang, tersedianya fasilitas ruang penyimpanan
bahan makanan, dan tersedianya kartu stok atau buku catatan keluar masuknya
bahan makanan (Utari, 2009). National Restaurant Association (2004)
menyebutkan bahwa tahapan-tahapan dalam proses penyimpanan bahan baku
diantaranya adalah sebagai berikut.
45
1. Food labeling, semua makanan yang mempunyai potensi bahaya,
makanan siap jadi dan bahan makanan yang telah dipersiapkan untuk
diolah dalam jangka waktu 24 jam mendatang atau lebih, harus diberi
label tanggal, bulan dan tahun makanan diterima sampai bahan
makanan tersebut diolah maka label harus dibuang.
2. Perputaran barang, untuk memastikan barang yang lebih lama harus
dipakai terlebih dahulu, atau lebih sering kita sebut dengan istilah First
In First Out (FIFO).
3. Membuang barang yang telah mencapai tanggal kadaluarsa.
4. Membuat jadwal pengecekan barang untuk memastikan bahwa
makanan yang telah kadaluarsa dikosongkan dari kontainer kemudian
dibersihkan dan diisi dengan bahan makanan yang baru. Memindahkan
makanan antar kontainer dengan cara yang benar.
5. Hindari bahan makanan dari temperatur danger zone (temperatur
dimana bakteri dapat hidup dan cepat berkembang biak dengan cepat ).
6. Mengecek temperatur bahan makanan yang disimpan dan area tempat
penyimpanan.
7. Simpan bahan makanan ditempat penyimpanan bahan makanan.
8. Menjaga semua area penyimpanan agar tetap kering dan bersih.
Peletakan bahan baku pada UKM XYZ terdiri dari dua tempat yaitu di
rak dan kulkas seperti pada Gambar 10. Bahan baku seperti susu, telur, terigu,
mentega, BTP, dan lain-lain pada UKM XYZ ini disimpan dalam rak,
sedangkan bahan baku mentah yang mudah membusuk seperti kelapa muda
46
disimpan pada suhu kurang dari 10°C yaitu disimpan dalam kulkas.
Berdasarkan hasil penilaian cara penyimpanan bahan baku berada pada
kategori kurang baik. Hal ini dikarenakan penyimpanan bahan baku tidak
dipisahkan secara benar atau masih dalam keadaan tercampur, sehingga sangat
mungkin terjadinya kontaminasi antar bahan baku. Selain itu peyimpanan
bahan baku masih menempel pada dinding dimana menurut Cara Produksi
Pangan Yang Baik Untuk Industri Rumah Tangga (CPPB-IRT) tahun 2012
menyebutkan bahwa penyimpanan bahan baku tidak boleh menyentuh lantai,
menempel ke dinding maupun langit-langit. Selain itu, hal – hal yang masih
kurang sesuai dengan aturan CPPB-IRT diantaranya adalah tempat
penyimpanan bahan pangan termasuk bumbu dan bahan tambahan pangan
(BTP) tidak terpisah dengan produk akhir, dimana seharusnya terpisah.
Menurut CPPB-IRT label pangan pada bahan baku seharusnya disimpan secara
rapih dan teratur agar tidak terjadi kesalahan dalam penggunaannya dan tidak
mencemari produk pangan, serta label pangan harus disimpan di tempat yang
bersih dan jauh dari pencemaran. Namun, pada penyimpanan bahan baku
UKM XYZ ini belum semua bahan diberi label pangan.
5.1.2 Keadaan Lingkungan dan Tata Letak Produksi
Tata letak fasilitas merupakan salah satu faktor penting dalam
mempengaruhi produktivitas produksi perusahaan (Qoriyana et al., 2014). Tata
letak yang baik akan menghasilkan aliran proses yang lancar saat produksi
sehingga produktivitas perusahaan menjadi maksimum. Tata letak fasilitas dapat
47
didefinisikan sebagai kumpulan unsur-unsur fisik yang diatur mengikuti aturan
atau logika tertentu (Hadiguna dan Setawan, 2008). Tata letak secara umum
ditinjau dari sudut pandang produksi adalah susunan fasilitas-fasilitas produksi
untuk memperoleh efisiensi pada suatu produksi. Perancangan tata letak meliputi
pengaturan tata letak fasilitas operasi dengan memanfaatkan area yang tersedia
untuk penempatan mesin-mesin, bahan-bahan perlengkapan untuk operasi, dan
semua peralatan yang digunakan dalam proses operasi (Wahyudi, 2010).
Tempat produksi UKM XYZ berada didalam dapur rumah pemilik, semua
proses pengolahan mulai dari persiapan bahan hingga menjadi produk akhir
dilakukan dalam ruang produksi tersebut. Berdasarkan hasil penilaian lingkungan
dan tata letak ruang produksi UKM XYZ tersebut (Gambar 10) beberapa sudah
memenuhi kriteria CPPB-IRT dan beberapa masih tidak sesuai kriteria. Hal- hal
yang sudah sesuai dengan aturan CPPB-IRT diantaranya lingkungan sarana
pengolahan terawat dengan baik dan bebas dari tanaman liar. Halaman di sekitar
dapur pengolahan juga cukup bersih, tidak ada genangan air dan sumber
pencemaran lain, ruang produksi tidak digunakan untuk memproduksi produk lain
selain pangan, ruang produksi sudah cukup terang sehingga karyawan dapat
mengerjakan tugasnya dengan teliti, dalam ruang produksi terdapat tempat untuk
mencuci tangan yang selalu dalam keadaan bersih serta dilengkapi dengan sabun
dan pengeringnya, permukaan tempat kerja dibuat dari bahan yang tidak
menyerap air, permukaannya halus dan tidak bereaksi dengan bahan pangan,
detergen dan desinfektan, dan tempat penyimpanan harus mudah dibersihkan dan
bebas dari hama seperti serangga, binatang pengerat seperti tikus, burung, atau
48
mikroba dan ada sirkulasi udara. Sedangkan hal-hal yang belum sesuai dengan
CPP-IRT adalah pola aliran produksi tidak beraturan, seharusnya sistem
pembuangan limbah didesain dan dikonstruksi sehingga dapat mencegah resiko
pencemaran pangan dan air bersih, dan tempat sampah harus terbuat dari bahan
yang kuat dan tertutup rapat untuk menghindari terjadinya tumpahan sampah yang
dapat mencemari pangan maupun sumber air.
Tata letak yang efektif dapat membantu organisasi mencapai sebuah
strategi yang menunjang differensiasi, biaya rendah dan respon yang cepat (Heizer
dan Render, 2009). Tata letak yang baik dapat diartikan sebagai penyusunan yang
teratur dan efisien semua fasilitas personnel yang ada (Assauri, 2008). Apple
(1990) menyebutkan 6 prinsip dasar dan keuntungan yang didapat dari tata letak
yang terencana dengan baik dimana diantaranya adalah sebagai berikut.
1. Meminimalkan jarak perpindahan jarak material yang bergerak dari
satu operasi ke operasi berikutnya
2. Integrasi secara menyeluruh dari semua faktor yang mempengaruhi
proses produksi
3. Aliran kerja pabrik berlansung lancar dengan menghindari gerakan
bolakbalik
4. Semua area yang dimanfaatkan secara efektif dan efisien
5. Kepuasan kerja dan rasa aman dari pekerja dijaga dengan sebaik-
baiknya
6. Pengaturan tata letak harus cukup fleksibel
49
5.1.3 Peralatan Produksi
CPPB-IRT tahun 2012 menyebutkan bahwa tata letak peralatan
produksi harus diatur agar tidak terjadi kontaminasi silang. Peralatan produksi
yang kontak langsung dengan pangan sebaiknya didisain, dikonstruksi, dan
diletakkan sedemikian untuk menjamin mutu dan keamanan pangan yang
dihasilkan. Berdasarkan hasil pengamatan peralatan produksi masih disimpan
tidak beraturan dimana sebaiknya diletakkan sesuai dengan urutan prosesnya
sehingga memudahkan bekerja secara higiene, memudahkan pembersihan dan
perawatan serta mencegah kontaminasi silang. Selain itu, peralatan produksi
masih terdapat yang berbahan plastik dimana seharusnya peralatan produksi
sebaiknya terbuat dari bahan yang kuat, tahan lama, tidak beracun, mudah
dipindahkan atau dibongkar pasang sehingga mudah dibersihkan dan
dipelihara serta memudahkan pemantauan dan pengendalian hama. Menurut
CPPB-IRT (2012) alat ukur/timbang seharusnya dipastikan keakuratannya
terutama alat ukur/timbang bahan tambahan pangan (BTP) dimana hal tersebut
dilakukan dengan cara menyimpan alat ukur pada satu tempat atau tidak
dipindahkan. Namun sayangnya pada UKM XYZ ini penyimpanan alat
ukur/timbang masih berpindah-pindah.
5.1.4 Proses Produksi
Proses produksi pada UKM XYZ ini dilakukan dua kali atau sekali dalam
seminggu (Hari Selasa/Rabu) dan produk dipasarkan pada hari Kamis. Proses
produksi dilakukan mendekati dengan hari pemasaran yang bertujuan agar produk
50
masih dalam kondisi segar. Selain itu karena produk yang dibuat oleh UKM XYZ
ini merupakan produk semi basah sehingga tidak memiliki umur simpan yang
terlalu panjang dan mudah rusak. Namun waktu produksi tersebut belum tetap,
dan menyesuaikan waktu dari pemilik UKM XYZ. Berdasarkan hasil pengamatan
proses produksi, UKM XYZ ini memiliki kriteria yang baik dan sudah sesuai
dengan aturan CPPB-IRT dimana UKM XYZ sudah menentukan proses produksi
pangan yang baku, membuat bagan alir atau urut-urutan proses secara jelas,
menentukan kondisi baku dari setiap tahap proses produksi, seperti misalnya
berapa menit lama pengadukan, berapa suhu pemanasan dan berapa lama bahan
dipanaskan, dan menggunakan bagan alir produksi pangan yang sudah baku ini
sebagai acuan dalam kegiatan produksi sehari- hari.
5.1.5 Sumber Daya Manusia
UKM XYZ ini tidak memiliki tenaga kerja satupun, semua proses
produksi mulai dari persiapan bahan baku, proses pengolahan hingga produk jadi,
dan pemasaran dilakukan sendiri oleh pemilik UKM XYZ. Berdasarkan hasil
pengamatan pemilik UKM XYZ sudah mengikuti aturan CPPB-IRT dengan baik
dimana pemilik sudah pernah mengikuti penyuluhan tentang Cara Produksi
Pangan Yang Baik untuk Industri Rumah Tangga (CPPB-IRT), selalu menjaga
kebersihan badan, mengenakan pakaian kerja yang bersih. Pakaian kerja dapat
berupa celemek, penutup kepala, sarung tangan, masker, selalu mencuci tangan
dengan sabun sebelum memulai kegiatan mengolah pangan, sesudah menangani
bahan mentah atau bahan dan alat yang kotor, dan sesudah ke luar dari toilet, tidak
51
mengenakan perhiasan seperti anting, cincin, gelang, kalung, jam tangan, bros dan
peniti atau benda lainnya yang dapat membahayakan keamanan pangan yang
diolah selama proses produksi dilakukan.
5.2 Kondisi Fisik Klappertaart
Karakteristik fisik klappertaart dilakukan dengan mengamati aroma,
warna, dan rasa pada suhu ruang dengan waktu 6 jam sekali selama 2 hari.
Berdasarkan hasil pengamatan (Lampiran 4) didapatkan grafik intensitas
perubahan karakteristik pada Gambar 11.
Gambar 11. Grafik Intensitas Perubahan Karakteristik Fisik Klappertaart
Berdasarkan Gambar 11, intensitas perubahan karakteristik klappertaart
mulai dari warna, aroma, dan rasa semakin lama waktu penyimpanan semakin
meningkat. Warna pada klappertaart terbagi menjadi dua, yaitu bagian atas dan
bagian bawah. Bagian atas merupakan lapisan putih telur kocok yang ditaburi
kayu manis bubuk sedangkan bagian bawah merupakan fla atau adonan
0
1
2
3
4
5
6
0 6 12 18 24 30 36 42 48
Inte
nsi
tas
Jam Ke-
Warna Bagian Atas
Warna Bagian
Dalam (Fla)
Aroma tengik
Aroma Alkohol
Rasa tengik
Rasa Alkohol
52
klappertaart itu sendiri. Semakin lama penyimpanan, warna bagian atas yang
semula berwarna kuning kecoklatan menjadi kuning kecoklatan + 4 (intensitas
warma semakin meningkat), sedangkan pada bagian bawah yang semua berwarna
putih tulang menjadi putih kekuningan (+4). Peningkatan intensitas warna pada
klappertaart ini disebabkan oleh terjadinya perubahan parameter yang lain yaitu
pemisahan krim dan cairan pada susu yang terkandung dalam produk (Aminah &
Isworo, 2006). Pemisahan krim dan cairan mulai terjadi pada jam ke -24 dan
semakin terlihat jelas hingga jam ke- 48 (Gambar 12).
Gambar 12. Pemisahan krim yang terjadi pada klappertaart
(Dokumentasi Pribadi, 2018)
Menurut Amalia (2012) krim (kepala susu) adalah bagian susu yang
banyak mengandung lemak yang timbul ke bagian atas pada waktu susu
didiamkan. Pemisahan krim dapat terjadi karena adanya perbedaan berat jenis.
Krim mempunyai berat jenis yang rendah karena banyak mengandung lemak.
Terbentuknya warna kuning pada krim semakin lama penyimpanan disebabkan
oleh lemak yang terkandung pada krim tersebut mengandung vitamin A,
kolesterol, dan pigmen karoten dalam globula lemak (Winarno, 2004). Fabrizius
Warna bagian atas
Warna bagian bawah
53
et al. (1999) menjelaskan bahwa suhu, kelembababan relatif ruang simpan, lama
penyimpanan, dan kadar air akan mempengaruhi kerusakan dan turunnya mutu
selama penyimpanan produk. Semakin tinggi suhu, maka kerusakan akan semakin
intens (Palupi dkk., 2007). Oleh karena itu, semakin lama penyimpanan dan
semakin tinggi suhu ruang simpan kerusakan klappertaart akan semakin cepat dan
intensitas warna klappertart pun semakin meningkat. Hal ini sesuai dengan
pengamatan suhu pada Lampiran 4, dimana suhu penyimpanan mengalami
kenaikan pada jam ke 6 menuju jam ke 12 yaitu 25,9 oC ke 26,4 oC. Selain itu,
suhu mengalami kenaikan pada jam ke 24 menuju jam ke 30 yaitu 24 oC ke 26 oC.
Ketengikan baik dari segi rasa dan aroma, semakin lama waktu
penyimpanan intensitasnya pun semakin meningkat. Hal ini disebabkan
klappertaart merupakan produk olahan yang mengandung lemak sehingga mudah
rusak akibat mengalami oksidasi lemak (Almatsier, 2004). Lemak yang mudah
mengalami oksidasi adalah lemak yang mengandung asam lemak tidak jenuh.
Oksidasi lemak ditandai dengan timbulnya aroma dan rasa tengik pada
klappertaart tersebut. Tengik merupakan aroma senyawa-senyawa hasil
dekomposisi hidroksi peroksida yang dihasilkan dari oksidasi lemak (Syarief dan
Halid, 1993). Secci and Giuliana (2016) menyatakan oksidasi lemak merupakan
peristiwa yang sangat kompleks dan penting mengancam kualitas makanan
terutama bahan makanan yang mengandung lemak tak jenuh tinggi.
Selain dapat disebabkan oleh oksidasi lemak, ketengikan pada produk
klappertaart selama penyimpanan dapat disebabkan oleh reaksi hidrolisis. Ketaren
(2008) menjelaskan bahwa dalam reaksi hidrolisis minyak dan lemak akan
54
dirubah menjadi asam lemak bebas dan gliserol. Reaksi hidrolisis akan dapat
mengakibatkan kerusakan minyak atau lemak dan dapat terjadi karena terdapatnya
sejumlah air dalam minyak atau lemak tersebut. Reaksi ini akan mengakibatkan
ketengikan hidrolisis yang menghasilkan flavor dan bau tengik. Proses hidrolisis
seperti ini dapat terjadi secara alamiah terhadap minyak/lemak dan akan dapat
dipercepat oleh mikroorganisme seperti lipase. Yuanita (2006) menyatakan bahwa
hidrolisis lemak dipengaruhi oleh suhu, kadar air dan kelembaban tinggi.
Ketengikan dapat mempengaruhi kualitas dari suatu produk pangan dan dapat
membahayakan kesehatan konsumen (Maharani et al., 2012).
Begitu pula halnya dengan aroma dan rasa alkohol yang semakin terbentuk
semakin lama waktu penyimpanan klappertaart, dimana setelah 2 hari
penyimpanan rasa dan aroma alkohol yang paling dominan dari klappertaart. Hal
ini disebabkan selama penyimpanan terjadinya fermentasi etanol. Berdasarkan
bahan baku pembuatan, klappertaart termasuk kedalam produk yang memiliki
kadar gula yang cukup tinggi dimana kandungan gula tersebut dapat memicu
terjadinya fermentasi etanol. Fermentasi etanol merupakan proses biologi yang
melibatkan mikroflora alami untuk mengubah bahan organik menjadi komponen
sederhana. Produksi etanol dapat terjadi dengan menggunakan mikroorganisme
seperti kapang, khamir, dan bakteri. Selama proses fermentasi mikroorganisme
akan memproduksi enzim untuk menghidrolisis substrat menjadi komponen
sederhana (gula) selanjutya mengubahnya menjadi etanol (Yan & Tanaka, 2005).
Namun, masih perlu dilakukan kajian lanjut mengenai jenis khamir dan kapang
yang berperan dalam proses tersebut.
55
5.3 Kondisi Kimia Klappertaart
5.3.1 Pengamatan Kadar Air Klappertaart
Perhitungan kadar air dilakukan pada klappertaart segar dan klappertaart
rusak yang dapat dilihat pada (Lampiran 3). Pengujian kadar air dilakukan dengan
tujuan untuk mengetahui kadar air klappertaart segar dan klappertart rusak
sehingga bisa dibandingkan perubahan yang terjadi seperti pada Tabel 3.
Tabel 3. Pengamatan Kadar Air
Sampel Kadar Air (%bb)
Klappertaart Segar 74.95
Klappertaart Rusak* 72.07
Ket : *Setelah 48 jam penyimpanan
Berdasarkan hasil pengamatan pada Tabel 3, klappertaart segar memiliki
rata-rata kadar air sebesar 74.95 % dan klappertaart yang sudah rusak memiliki
rata-rata kadar air sebesar 72.07 %. Terjadinya penurunan kadar air kemungkinan
disebabkan selama penyimpanan terjadi proses sineresis dari klappertaart ke
lingkungan sekitar. Menurut Herawati (2008), faktor yang sangat berpengaruh
terhadap penurunan mutu produk pangan adalah perubahan kadar air dalam
produk. Perubahan kadar air dalam klappertaart dapat dipengaruhi oleh suhu dan
kelembaban ruangan selama penyimpanan. Selain itu penurunan kadar air dapat
disebabkan tidak stabilnya suhu dan kelembaban selama penyimpanan, sehingga
klappertaart akan mengeluarkan banyak air untuk mencapai kesetimbangan dan
menyesuaikan dengan perubahan suhu dan kelembaban. Berdasarkan hasil
pengamatan suhu dan kelembaban pada Lampiran 4, dimana suhu penyimpanan
mengalami fluktuasi pada suhu 24oC - 26,4oC, sedangkan kelembaban pada 76%-
56
85%. Latifah (2010) menjelaskan bahwa selama penyimpanan seharusnya terjadi
peningkatan kadar air, tetapi pada kondisi tertentu dapat mengalami penurunan.
Hal itu bisa terjadi karena adanya peningkatan suhu dan adanya penurunan
kelembaban, sehingga menyebabkan perpindahan uap air dari bahan ke
lingkungan, akhirnya kadar air pada bahan menurun. Menurut Labuza (1970)
suhu akan mempengaruhi gerakan molekul air dan keseimbangan dinamik antara
uap air dan bentuk absorbat. Apabila Aw konstan, kenaikan suhu akan
mengurangi jumlah air yang terserap. Hal itu menunjukkan sifat higroskopis
bahan semakin berkurang. Pada kadar air konstan, kenaikan suhu menyebabkan
kenaikan Aw.
Berdasarkan pengamatan karakteristik fisik pada Lampiran 4 selama dua
hari penyimpanan klappertaart terlihat semakin cair. Hal ini disebabkan rusaknya
sistem emulsi dalam klappertaart, atau terjadinya creaming. Creaming adalah
terjadinya lapisan-lapisan dengan konsentrasi yang berbeda-beda pada emulsi
yang dipengaruhi oleh gaya gravitasi. Partikel yang memiliki kerapatan lebih
rendah akan naik ke permukaan dan sebaliknya (Ansel, 1989).
Terjadinya creaming dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu viskositas medium,
diameter globul, dan perbedaan kerapatan partikel antara fase dispersi dan
pendispersi (Madaan et al., 2014). Produk yang mengalami creaming dapat
didispersikan kembali dengan mudah dan dapat membentuk suatu campuran yang
homogen dengan pengocokan, karena globul minyak masih dikelilingi oleh suatu
lapisan pelindung dari emulgator (Ansel, 1989).
57
5.3.2 Pengamatan Kadar Lemak Klappertaart
Pengujian kadar lemak dilakukan pada klappertaart segar dan klappertaart
rusak yang dapat dilihat pada (Lampiran 3). Pengujian kadar lemak dilakukan
dengan tujuan untuk mengetahui kadar air klappertaart segar dan klappertart rusak
sehingga bisa dibandingkan perubahan yang terjadi seperti pada Tabel 4.
Tabel 4. Pengamatan Kadar Lemak
Sampel Kadar Lemak (%)
Klappertaart Segar 5.56
Klappertaart Rusak* 4.12
Ket : *Setelah 48 jam penyimpanan
Kadar lemak klappertaart segar bedasarkan Tabel 4 memiliki rata-rata
sebesar 5.56% sedangkan kadar lemak klappertaart rusak memiliki rata-rata
sebesar 4.12%. Setelah klappertaart dilakukan penyimpanan selama 2 hari, kadar
lemak yang terkandung dalam klappertaart mengalami penurunan. Menurut
Mazrouh (2015), hal ini dapat disebabkan oleh hilangnya hilangnya fraksi
trigliserida yang disebabkan oleh oksidasi lemak selama penyimpanan.
Selain itu, penurunan kadar lemak dapat disebabkan oleh sifat lemak itu
sendiri yaitu mudah menguap atau volatile (Fahmi, Ma’ruf & Surti, 2014).
Penurunan kadar lemak juga berkaitan dengan terdegradasinya lemak menjadi
asam lemak bebas dan komponen-komponen volatil. Hal ini sesuai dengan
pendapat Tamime (2006) yang menyatakan bahwa lipolisis dari komponen lemak
akan membentuk asam lemak bebas, yang merupakan prekursor dari senyawa-
senyawa flavor seperti metil keton, alkohol, lakton, dan ester. Sikorski &
Kolakowska (1990) menjelaskan bahwa tahapan proses oksidasi lemak tidak
58
jenuh yang terjadi meliputi proses inisiasi, propagasi, branching dan terminasi,
dimana menurut Hardy (1980) senyawa tahap pertama hasil oksidasi lemak yang
dapat dideteksi adalah hidroperoksida yang terbentuk pada tahap propagasi.
Pengujian kadar asam lemak dilakukan pada klappertaart yang sudah rusak
dimana pengujian ini dilakukan dengan maksud untuk mengetahui asam lemak
bebas yang terbentuk selama proses kerusakan klappertaart yang berpengaruh
pada proses ketengikan yang terjadi selama penyimpanan 48 jam. Berdasarkan
hasil pengujian didapatkan kadar asam lemak yang terbentuk pada klappertaart
yang telah dilakukan penyimpanan selama dua hari adalah sebesar 6.77%. Asam
lemak bebas yang dihasilkan oleh proses hidrolisa dan oksidasi biasanya
bergabung dengan lemak netral dan pada konsentrasi sampai 15% belum terlalu
menghasilkan flavor yang tidak disenangi (Ketaren, 2008). Hal ini sesuai dengan
hasil pengamatan karakteristik fisik pada Lampiran 4 dimana rasa tengik tidak
terlalu terasa pada jam ke- 48. Kandungan gula yang tinggi pada klappertaart
mengurangi kecepatan timbulnya ketengikan, misalnya biskuit yang manis akan
lebih tahan daripada yang tidak bergula (Putri et al., 2017). Selain itu, Ketaren
(2008) juga menjelaskan lebih lanjut bahwa lemak dengan kadar asam lemak
bebas lebih dari 1%, jika dicicipi akan terasa membentuk film pada permukan
lidah dan tidak berbau tengik, namun intensitasnya tidak bertambah dengan
bertambahnya jumlah asam lemak bebas. Asam lemak bebas walaupun berada
dalam jumlah kecil mengakibatkan rasa tidak lezat.
Meningkatnya nilai asam lemak bebas pada suhu kamar dapat disebabkan
oleh faktor lingkungan antara lain meningkatnya kelembaban ruang, kondisi
59
tempat penyimpanan, dan kadar air produk (Kusuma, Kusnadi, dan Winarsih,
2016). Asam lemak bebas menunjukkan sejumlah asam lemak bebas yang
terkandung oleh lemak yang rusak, terutama karena peristiwa oksidasi atau
hidrolisis (Gunawan, Triatmo, dan Rahayu, 2003). Kusuma et al., (2016)
menyatakan bahwa ketengikan dipengaruhi oleh kadar air produk dan kondisi
tempat penyimpanan. Semakin lama penyimpanan, kadar air semakin meningkat
sehingga tingkat hidrolisis minyak pada sampel pun semakin tinggi. Kondisi
tempat penyimpanan produk dimana produk semakin banyak terpapar oksigen dan
uap air dari lingkungan maka kemungkinan terjadinya reaksi hidrolisis dan
oksidasi akan semakin meningkat yang mengakibatkan kadar asam lemak bebas
pada produk semakin tinggi (Aryanti, 2019). Reaksi pembentukan asam lemak
bebas akan dipercepat dengan adanya faktor-faktor seperti panas, air, keasaman,
dan katalis (enzim). Semakin lama reaksi ini berlangsung, maka semakin banyak
kadar asam lemak bebas yang terbentuk (Ketaren, 2008).
5.3.3 Pengamatan Kadar Gula Total Klappertaart
Klappertaart segar dan klappertaart rusak yang telah dilakukan
penyimpanan selama 2 hari dilakukan pengujian kadar gula total yang dapat
dilihat pada (Lampiran 3). Pengujian kadar gula total dilakukan dengan tujuan
untuk mengetahui kadar gula total klappertaart segar dan klappertart rusak
sehingga bisa dibandingkan perubahan yang terjadi seperti pada Tabel 5.
60
Tabel 5. Pengamatan Kadar Gula Total
Sampel Kadar Gula Total (%)
Klappertaart Segar 8.49
Klappertaart Rusak* 12.90
Ket : *Setelah 48 jam penyimpanan
Berdasarkan Tabel 5 klappertaart segar memiliki rata- rata kadar gula total
sebesar 8.49 %, sedangkan klappertaart rusak memiliki rata-rata kadar gula total
sebesar 12.90 %. Penurunan kadar air yang terjadi pada klappertaart juga
mempengaruhi kadar gula total, dimana menurut Heldman (2012) semakin tinggi
hilangnya kadar air persentase total gula semakin meningkat. Hadiwijaya (2013)
menyatakan bahwa kadar gula total dipengaruhi oleh jumlah gula yang
ditambahkan. Peningkatan total gula berbanding terbalik dengan kadar air.
Menurut Murdiati et al., (2008), selama penyimpanan akan terjadi kenaikan
kandungan gula karena adanya pemecahan polisakarida berupa pati menjadi gula
sederhana yang akan digunakan sebagai substrat respirasi. Polisakarida pada
klappertaart dapat berasal dari bahan baku klappertaart yang digunakan yaitu
berupa tepung terigu dan tepung maizena. Persamaan reaksi hidrolisis sukrosa
dijelaskan pada Gambar 13.
Gambar 13. Persamaan reaksi hidrolisis sukrosa
Polisakarida yang dihirolisis menghasilkan monosakarida dan sukrosa
dihirolisis menghasilkan glukosa dan fruktosa (Sastrohamidjojo, 2005). Glukosa
yang terbentuk akan meningkatkan kadar gula total dari produk klappertaart.
61
5.4 Kondisi Mikrobiologis Klappertaart
5.4.1 Total Mikroorganisme Klappertaart
Berdasarkan data pengamatan dan hasil perhitungan pada (Lampiran 2),
berikut adalah diagram total mikroorganisme setiap tahapan proses pembuatan
klappertaart yang terdapat pada Gambar 14.
Gambar 14. Total Mikroorganisme Setiap Tahapan Proses
Berdasarkan Gambar 14 jumlah mikroorganisme klappertaart rusak lebih
besar dibandingkan adonan pencampuran, adonan klappertaart dan klappertaart
segar. Klappertaart rusak memiliki nilai TPC sebesar 1.4 x 109* CFU/g, nilai
TPC adonan pencampuran sebesar 8.7 x 107 CFU/g, adonan klappertaart sebesar 6
x 107 CFU/g, dan klappertaart segar memiliki nilai TPC sebesar 4.2 x 107 CFU/g.
Jumlah mikroorganisme dari adonan pencampuran hingga klappertaart segar terus
mengalami penurunan dan naik kembali saat klappertaart rusak. Pada hasil yang
didapatkan nilai Angka Lempeng Total (ALT) klappertaart tidak memenuni
standar nilai ALT SNI untuk kue lapis yaitu melebihi dari 106 CFU/g.
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
1.2
1.4
Adonan
Pencampuran
Adonan
Klappertaart
Klappertaart
Segar
Klappertaart
Rusak
x 1
09
62
Total mikroorganisme adonan pencampuran yang melebihi standar nilai
ALT SNI kue lapis dapat disebabkan oleh belum adanya proses pengolahan yang
dilakukan, dimana pada tahapan ini bahan baku masih dalam kondisi mentah.
Total mikroorganisme adonan klappertaart yang juga melebihi standar dapat
disebabkan oleh proses pengolahan yang dilakukan masih minim sehingga
pertumbuhan mikroorganisme belum seluruhnya terhambat. Sedangkan total
mikroorganisme klappertaart segar memiliki nilai ALT yang melebihi standar
dapat disebabkan klappertaart memiliki kadar air dan nutrisi yang tinggi.
Pertumbuhan mikroorganisme tidak pernah terjadi tanpa adanya air. Air dalam
substrat yang dapat digunakan untuk pertumbuhan mikroorganisme biasanya
dinyatakan dengan “water activity” (aw). aw dibedakan dengan RH, aw
digunakan untuk larutan atau bahan makanan, dan RH untuk udara atau ruangan
(Anggarani & Rusijiono, 2015). Nutrisi yang terkandung dalam bahan pembuatan
klappertaart diantaranya karbohidrat, lemak, dan protein dapat digunakan oleh
mikroorganisme untuk tumbuh dan berkembang (Hastuti et al., 2011). Oleh
karena itu, klappertaart merupakan produk yang cepat mengalami kerusakan
sehingga total mikroorganisme pada klappertaart rusak meningkat drastis dari
klappertaart segar. Primasatya (2014) menyebutkan bahwa klappertaart
merupakan produk yang sifatnya cepat rusak (perishable) dan memiliki umur
simpan kurang lebih 2 hari disuhu kamar dan 5 hari di suhu pendingin mengingat
komposisi klappertaart mengandung kelapa dan susu sehingga umur simpan
klappertaart tidak tahan lama.
63
Total mikroorganisme mengalami penurunan dari adonan pencampuran
hingga klappertaart segar, hal ini disebabkan adonan pencampuran yang terdiri
dari kelapa muda, tepung terigu , tepung maizena, air kelapa, susu UHT, kuning
telur,vanili, garam, dan gula pasir dilakukan pemanasan dengan suhu ± 80 0C
selama 15 menit hingga mengental menjadi adonan klappertaart. Selanjutnya
adonan klappertaart dicetak dan dilakukan pemanasan kembali berupa
pemanggangan dengan suhu ±170 0C selama 15 menit, ditambahkan lapisan putih
telur kocok dan dilakukan pemanggangan kembali dengan suhu ±190 0C selama ±
10 menit. Proses pemanasan yang dilakukan menyebabkan terjadinya penurunan
mikroorganisme dimana pemanasan merupakan salah satu metode yang paling
efektif untuk melemahkan ataupun mematikan mikroorganisme dan sel vegetatif
bakteri jauh lebih peka terhadap pemasanan (Pelczar, 1986). Temperatur tinggi
yang digunakan akan melebihi temperatur maksimum dimana menyebabkan
denaturasi protein dan enzim pada mikroorganisme. Hal ini mengakibatkan
terhentinya metabolisme (Suriawira, 2003).
Faktor-faktor yang memengaruhi pertumbuhan mikroorganisme tersebut di
antaranya adalah air, pH, nutrien, RH, suhu, oksigen, dan mineral (Anggarani &
Rusijiono, 2015). Bakteri mesofil merupakan mikroorganisme yang kerap kali
merusak pangan, dimana bakteri mesofil dapat tumbuh baik pada suhu ruangan
atau suhu kamar (Pagiu, Sirajuddin, dan Syam., 2013). Selain faktor intrinsik
seperti air dan nutrisi, menurut Buckle et al., (1987) nilai TPC dipengaruhi oleh
faktor ekstrinsik yaitu cara penanganan, pengolahan dan penyimpanan makanan.
Cara penanganan, pengolahan, dan penyimpanan yang tidak bersih terhadap bahan
64
mentah maupun produk olahan, dapat menyebabkan kontaminasi bahan mentah
atau produk olahan dengan mikroorganisme yang berasal dari lingkungan (Sari,
2013).
5.4.2 Pertumbuhan Kapang Klappertaart
Pengujian ini dilakukan untuk menghitung jumlah kapang/khamir dengan
untuk memberikan jaminan bahwa bahan pangan tidak mengandung cemaran
fungi yang melebihi batas ditetapkan karena berpengaruh pada stabilitas sediaan
dan aflatoksin yang berbahaya bagi kesehatan (Depkes RI, 2000). Berdasarkan
data pengamatan dan hasil perhitungan pada (Lampiran 2), berikut adalah diagram
total kapang setiap tahapan proses pada pembuatan klappertaart yang terdapat
pada Gambar 15.
Gambar 15. Total Kapang Setiap Tahapan Proses
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
3.5
Adonan
Pencampuran
Adonan
Klappertaart
Klappertaart
Segar
Klappertaart
Rusak
x 1
07
65
Berdasarkan Gambar 15, nilai Angka Kapang/Khamir (AKK) klappertaart
rusak lebih besar dibandingkan adonan pencampuran, adonan klappertaart dan
klappertaart segar. Klappertaart rusak memiliki nilai AKK sebesar 3 x 107
CFU/g, nilai AKK adonan pencampuran sebesar 1.7 x 107 CFU/g, adonan
klappertaart sebesar 1.1 x 107 CFU/g, dan klappertaart segar memiliki nilai TPC
sebesar 1 x 107 CFU/g. Tidak jauh berbeda dengan nilai ALT, nilai AKK dari
adonan pencampuran hingga klappertaart segar terus mengalami penurunan dan
naik kembali saat klappertaart mengalami kerusakan. Penurunan AKK disebabkan
oleh proses pengolahan berupa pemanasan yang dilakukan dimana Pelczar (1986)
menyebutkan bahwa proses pemanasan menyebabkan terjadinya penurunan
mikroorganisme dimana pemanasan merupakan salah satu metode yang paling
efektif untuk melemahkan ataupun mematikan mikroorganisme dan sel vegetatif
bakteri jauh lebih peka terhadap pemasanan (Pelczar, 1986). Pada hasil yang
didapatkan nilai AKK klappertaart tidak memenuni standar nilai AKK SNI untuk
kue lapis yaitu melebihi dari 50 CFU/g.
Nilai AKK adonan pencampuran, adonan klappertaart, dan klappertaart
segar melebihi nilai standar AKK SNI dapat disebabkan terjadinya kontaminasi
selama proses pengolahan. Proses pengolahan UKM XYZ yang dilakukan di
udara terbuka menyebabkan rentan sekali terkena kontaminasi spora kapang yang
berasal dari udara, dimana hal tersebut ditunjukkan dengan nilai AKK yang
melebihi standar. Cowan (2012) menjelaskan bahwa kapang dapat
mengkontaminasi makanan akibat tempat produksi yang kurang bersih dan
pengemasan yang kurang baik serta spora kapang dapat mengkontaminasi
66
makanan dari udara akibat pengemasan yang dilakukan tidak rapat. Traquair
(2000) dalam Putri (2002) juga menyebutkan bahwa kapang merupakan salah satu
mikroorganisme yang tahan pada kondisi asam dan mudah tumbuh di berbagai
substrat (terutama karbohidrat) serta dapat menghasilkan mikotoksin yang
berbahaya bagi kesehatan manusia. Media yang digunakan untuk pengujian angka
kapang adalah Potato Dextrose Agar (PDA), dimana PDA merupakan media yang
dapat memacu produksi konidia oleh fungi (Bridson, 2006).
Pertumbuhan kapang pada bahan makanan dapat mengurangi kualitas
makanan karena kapang menghasilkan toksin yang berbahaya bagi tubuh manusia
(Pratiwi, 2008). Kapang yang mengkontaminasi makanan dapat mengakibatkan
berbagai kerusakan antara lain: perubahan tekstur dan warna, terbentuk aroma
yang tidak sedap, terjadi perubahan rasa; dan berkurangnya nutrisi yang terdapat
dalam makanan. Kapang kontaminan berpotensi menghasilkan racun yang dikenal
sebagai mikotoksin yang apabila masuk kedalam tubuh manusia dapat
menyebabkan gangguan kesehatan berupa mikotoksikosis. Kontaminasi
mikotoksin yang dihasilkan oleh spesies-spesies kapang kontaminan tertentu
mengakibatkan makanan tidak layak dikonsumsi (Hastuti et al., 2011).
Gambar 16. Dugaan koloni Aspergillus niger yang tumbuh pada klappertaart
pada setiap pengambilan sampel
(Dokumentasi Pribadi, 2019)
67
Berdasarkan hasil dugaan identifikasi kapang secara makroskopis yang
tumbuh pada produk klappertaart pada setiap pengambilan sampel adalah genus
Aspergillus spesies Aspergillus niger (Gambar 16). Hal ini sesuai dengan Elmer et
al., (1978) yang mengatakan A. niger memiliki koloni berwarna hitam. Larone
(2002) menyebutkan bahwa koloni A. niger secara mikroskopis memiliki ciri-ciri
yaitu vesikel yang berbentuk bulat, konidiofor yang transparan serta konidia yang
berwarna hitam kecoklatan. A. niger dapat menghasilkan asam oksalat dan asam
kojic berlimpah. Kedua produk hanya memiliki toksisitas akut ringan (Ueno dan
Ueno, 1978).
Frazier (1958) menyebutkan bahwa Aspergillus bersifat aerobik dimana
dapat hidup pada lingkungan yang cukup oksigen, pH lingkungan yang
dibutuhkan sekitar 2-8.5 dengan nutrisi yang cukup untuk pertumbuhan. Samson
et al., (1995) menyebutkan bahwa pertumbuhan A. niger dipengaruhi oleh
beberapa faktor lingkungan antara lain kandungan air, suhu, kandungan oksigen,
pH dan nutrisi. A. niger bersifat mesofilik yaitu suhu optimum untuk pertumbuhan
A. niger adalah 24-300C.
5.4.3 Deteksi Bakteri E. coli Klappertaart
Pengujian E. coli dilakukan secara kuantitatif dengan metode MPN
dilanjutkan dengan uji penguat menggunakan media EMB. Hasil pengamatan
bakteri E. coli terdapat dalam Tabel 6.
68
Tabel 6. Hasil Pengamatan Bakteri E. coli
Sampel
Keberadaan Bakteri
Patogen
Batas Maksimal Bakteri
Patogen Pada Produk Akhir
Koliform
(APM/g) E. coli
Koliform
(APM/g) E. coli
Adonan
pencampuran1 450 Positif < 10 Negatif
Adonan
Klappertaart1 240 Positif < 10 Negatif
Klappertaart
Segar1 240 Positif < 10 Negatif
Klappertaart
Segar2 21 Negatif < 10 Negatif
Klappertaart
Segar3 4 Negatif < 10 Negatif
Adonan
pencampuran2 1100 Positif < 10 Negatif
Adonan
Klappertaart2 450 Negatif < 10 Negatif
Klappertaart
Segar4 21 Positif < 10 Negatif
Klappertaart
Segar5 28 Positif < 10 Negatif
Klappertaart
Segar6 20 Positif < 10 Negatif
Adonan
pencampuran3 210 Positif < 10 Negatif
Adonan
Klappertaart3 93 Positif < 10 Negatif
Klappertaart
Segar7 43 Negatif < 10 Negatif
Klappertaart
Segar8 210 Positif < 10 Negatif
Klappertaart
Segar9 1100 Negatif < 10 Negatif
Klappertaart
Rusak 15 Positif < 10 Negatif
Total 16 11
Ket : Pos/Neg : Positif dugaan E. coli, negatif E. coli ketika diuji lebih lanjut *Berdasarkan SNI 01-4309-1996 tentang Kue Lapis *1-9 menandakan ulangan pengambilan sampel yang dilakukan selama pengujian
69
Berdasarkan Tabel 6, nilai MPN menunjukkan angka yang berada di atas
standar, dimana hanya sampel klappertaart segar (C3) telah sesuai standar
dengan nilai < 10 APM/g. Nilai APM terbesar ada pada sampel adonan
pencampuran (A1) dan klappertaart segar (C9) dengan nilai 1100 APM/g dimana
yang positif mengandung E. coli pada sampel adonan pencampuran (A1).
Menurut Entjang (2003) menyebutkan bahwa keberadaan bakteri koliform yang
tinggi meningkatkan resiko keberadaan bakteri patogen yang biasa hidup dalam
kotoran manusia dan hewan berdarah panas. Salah satu bakteri koliform yang
bersifat patogen dan paling umum dikaitkan adalah E. coli. Berdasarkan
Departemen Kesehatan RI (2004), penyebaran koliform dapat terjadi melalui
pencemaran air ataupun dari lingkungan.
Hasil pengamatan E. coli menunjukkan hasil positif pada beberapa
sampel. Hal positif ini ditunjukkan dengan keberadaan koloni hijau metalik pada
media EMB (Acharya, 2016). Berdasarkan hasil dapat dilihat bahwa adonan
pencampuran dan adonan klappertaart cenderung yang memiliki hasil positif E.
coli . Hal ini disebabkan proses pengolahan berupa pemanasan yang dilakukan
masih kurang untuk mencegah terjadinya pertumbuhan E. coli. E. coli dapat
tumbuh di media manapun. Sebagian besar strain E. coli bersifat mikroaerofilik
yaitu butuh oksigen namun tanpa oksigen masih dapat hidup (Nygren et al.,
2012). Widyaningsih (2016) menyebutkan bahwa E. coli tumbuh baik pada
kadar air tinggi dan tidak tahan terhadap keadaan kering. E. coli dapat hidup
pada suhu rendah sekalipun yaitu 7oC maupun suhu yang tinggi yaitu 44oC,
namun dia akan lebih optimal tumbuh pada suhu antara 35oC-37°C, serta dalam
70
kisaran pH 4,4-8,5. Nilai aktivitas air minimal 0,95 lebih resistensi terhadap
asam (Suardana & Swacita, 2009). Setiowati dan Inanusantri (2011)
menambahkan bahwa diperlukan pemanasan 121oC selama 15 menit untuk
membunuh semua spora bakteri.
Potensi kontaminasi E. coli dapat terjadi karena kondisi sanitasi dan
penggunaan air yang kurang baik saat pengolahan, didasarkan atas pernyataan
Meliawati (2009) yang menyatakan pencemaran E. coli dapat terjadi oleh
pekerja akibat kontak langsung dan air yang tercemar.
71
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
1. Klappertaart segar memiliki kadar air sebesar 74.95 %, kadar lemak
5.56%, kadar gula total sebesar 8.49 %, nilai ALT 4.2 x 107 CFU/g, nilai
AKK 1 x 107 CFU/g, dan beberapa sampel klappertaart segar terdeteksi
bakteri patogen E. coli.
2. Kerusakan fisik klappertaart setelah dilakukan penyimpanan selama 48
jam adalah warna menjadi lebih kuning, timbulnya aroma dan rasa tengik,
serta alkohol. Klappertaart rusak memiliki kadar air sebesar 72.07 %,
kadar lemak 4.12%, kadar gula total sebesar 12.90 %, kadar asam lemak
yang terbentuk 6.77%, nilai ALT 1.4 x 109*CFU/g, nilai AKK 3 x 107
CFU/g, dan sampel klappertaart rusak terdeteksi bakteri patogen E. coli.
6.2 Saran
Perlu dilakukan identifikasi jenis mikroba lebih lanjut dari produk
klappertaart yang mengalami kerusakan, serta melakukan uji alkohol yang
terbentuk secara kuantitatif.