vi. analisadata · (3), kepala safety (1), chief qs dan purchasing department (1), bagian umum (2),...
TRANSCRIPT
VI. ANALISADATA
1. UMUM
Dari 20 proyek konstruksi yang disurvey, jabatan responden yang berhasil
ditemui meliputi: Site Office Engineer (1), Kasie Teknik dan Administrasi Kontrak
(1), Manajer Proyek (4), Project Engineer (2), Operasional proyek (1), Site Manager
(3), Kepala Safety (1), Chief QS dan Purchasing Department (1), Bagian Umum (2),
Koordinator (1), Quality Control dan K3 (1), Kepala Pengawas (1), dan Pelaksana
(1), dengan pengalaman kerja 5-14 tahun. Sedangkan jenis proyek yang sering
ditangani oleh kontraktor tempat responden bekerja adalah proyek bangunan gedung
bertingkat. Dengan pertimbangan-pertimbangan ini dan pertimbangan terhadap
tanggapan responden mengenai masalah keselamatan kerja selama wawancara
dilakukan, maka hasil kuestioner yang diperoleh telah sesuai dengan lokasi penelitian
dan sumber data yang direncanakan.
59
2. KECELAKAAN KERJA
2.1. Jenis Kecelakaan Kerja
Jenis kecelakaan yang sering terjadi di lokasi proyek menurut
responden adalah terkena benda tajam (55%), kejatuhan benda (50%),
tergelincir (35%), jatuh dari suatu ketinggian (25%), terkena aliran listrik
(15%), terjepit mesin atau peralatan kerja (10%), benda asing masuk ke
dalam mata (5%), dan terbakar (5%) (Gambar 6.1).
Dari jawaban tersebut, dapat diketahui bahwa jenis kecelakaan yang
paling sering terjadi adalah terkena benda tajam, misalnya terkena paku
{struck against accident) dan kejatuhan benda, misalnya kejatuhan bata
{struck by accident). Data kecelakaan kerja pada proyek konstruksi yang
diperoleh dari literatur dan Depnaker (tabel 2.1-2.4) juga menunjukkan hasil
yang sama.
2.2. Penvebab Kecelakaan Kerja
Kecerobohan pekerja merupakan penyebab terbesar terjadinya
kecelakaan (95%). Sedangkan sisanya yaitu karena lingkungan dan kondisi
lapangan kerja sebanyak 20%, dan karena peralatan yang tidak memadai
sebanyak 5% (Gambar 6.2.). Jawaban yang ada ini mendekati hasil yang
diperoleh dari data statistik di Amerika dan penelitian yang dilakukan oleh
Sentanoe Kertonegoro, MSc, bahwa 85% kecelakaan adalah karena
kecerobohan manusia (Ratih dan Saptiwi, 1996, Clough and Sears, 1994).
60
Selain itu, data statistik di Hal ini dapat terjadi karena kurangnya kesadaran
pekerja akan pentingnya keselamatan kerja bagi dirinya sendiri maupun bagi
orang lain.
2.3. Sumber Bahava di Lokasi Kerja
Sumber bahaya yang sering mengakibatkan terjadinya kecelakaan kerja
adalah perkakas kerja tangan (55%), scaffolding (25%), lubang pada
permukaan lantai dan platform (25%), crane, hoist, lift (15%); ereksi
baja (10%); tangga (10%), segala sesuatu yang oerhubungan dengan
pekerjaan beton (25%), pekerjaan pengelasan dan pemotongan baja (15%),
pekerjaan elektrikal (10%); dan Iain-lain, meliputi benda atau material yang
belum terpasang (5%), segala sesuatu yang berhubungan dengan pekerjaan di
suatu ketinggian (5%), dan pembongkaran bekisting (5%) (Gambar 6.3).
Berdasarkan laporan kecelakaan yang terjadi pada proyek konstruksi di
Indonesia antara tahun 1989-1991 yang dicatat oleh PT.ASTEK Jakarta,
didapat suatu kesimpulan bahwa perkakas kerja tangan merupakan sumber
bahaya yang paling sering mengakibatkan terjadinya kecelakaan di Indonesia
(Suraji, Akhmad, 1995).
Kecelakaan yang terjadi karena perkakas kerja tangan seringkali
disebabkan oleh metode kerja yang salah, pekerja tidak berkonsentrasi pada
pekerjaan yang sedang dilakukannya, ataupun karena pekerja melakukan
pekerjaan yang bukan tugasnya. Sedangkan penyebab terjadinya kecelakaan
karena sumber bahaya lainnya lebih banyak disebabkan oleh metode kerja
yang salah dan kurangnya fasilitas penerangan yang tersedia.
61
2.4. Pengaruh Kecelakaan Kerja
Dari 20 responden yang ada, 45% responden menjawab bahwa
kecelakaan kerja yang terjadi tidak berpengaruh terhadap proyek yang
sedang dilaksanakan. baik terhadap biaya, waktu, kualitas, produktivitas, dan
nama baik perusahaan (Gambar 6.4). Alasan responden-responden tersebut
adalah:
1. Kecelakaan kerja yang sering terjadi adalah kecelakaan kerja yang tidak
berakibat fatal, dan hanya mengakibatkan terjadinya cedera-cedera
ringan, seperti tangan tergores, tertusuk paku, dan sebagainya, sehingga
tidak diperlukan biaya yang besar untuk pengobatan.
2. Semua pekerja telah diikutsertakan dalam asuransi sehingga apabila
terjadi kecelakaan yang fatal, pihak asuransi akan memberikan ganti rugi
yang sesuai.
Dari alasan tersebut diatas, dapat diketahui bahwa responden-
responden tersebut masih belum menyadari akan adanya uninsured cost yang
timbul sebagai akibat terjadinya kecelakaan kerja, bagaimanapun ringannya
cedera yang terjadi. Uninsured cost tersebut dapat berupa pengeluaran biaya
tambahan untuk pengobatan, santunan, perbaikan peralatan (jika ada yang
rusak), serta hilangnya waktu kerja (lihat tabel 2.6).
Sedangkan 55% responden yang menjawab bahwa kecelakaan
berpengaruh terhadap proyek konstruksi menyebutkan bahwa kecelakaan
menimbulkan kerugian berupa: penurunan produktivitas (30%), peningkatan
biaya proyek (20%), keterlambatan penyelesaian proyek (15%), penurunan
62
nama baik perusahaan (15%). penurunan kualitas hasil pekerjaan (5%), dan
Iain-lain (5%). yaitu waktu yang terbuang untuk mengantarkan korban
kecelakaan ke rumah sakit, membuat laporan ke pihak-pihak terkait, dsb,
dimana hal ini akan berakibat tertundanya pelaksanaan pekerjaan-pekerjaan
yang telah direncanakan walaupun tidak sampai menyebabkan keterlambatan
penyelesaian proyek..
3. PROGRAM KESELAMATAN KERJA
3.1. Aiasan Melaksanakan Program Keselamatan Kerja/K3
Semua responden yang ada menjawab bahwa mereka telah
melaksanakan program keselamatan kerja'KJ dengan aiasan: merupakan
peraturan pemerintah (80%), meningkatkan citra perusahaan (65%),
menyelesaikan proyek dengan mutu yang baik (55%), tercantum dalam
clausul kontrak (25%), menyelesaikan proyek sesuai jadwal (20%),
menyelesaikan proyek sesuai anggaran (10%), dan Iain-lain (25%), yaitu
tujuan zero accident, merupakan company policy, merupakan suatu
keharusan, untuk keselamatan pekerja, dan K3 merupakan bagian terpenting
dalam pelaksanaan (Gambar 6.5).
Alasan-alasan yang ada tersebut menunjukkan bahwa selain karena
merupakan suatu keharusan pemerintah untuk melaksanakan program
keselamatan kerja/K3, pihak pemilik (owner) juga memegang peranan untuk
memotivasi para kontraktor untuk melaksanakan program keselamatan kerja
63
yaitu dengan meminta dimasukkannya clausul keseiamatan kerja dalam
kontrak. Berdasarkan pada informasi yang diperoleh diketahui bahwa pihak
pemilik juga telah mulai memperhatikan prestasi keseiamatan kerja
kontraktor dalam melakukan seleksi Selain itu, responden juga mengakui
bahwa mutu hasil pekerjaan sangat dipengaruhi oleh keadaan keseiamatan
kerja di lokasi konstpjksi.
3.2. Koordinasi Keseiamatan Kerja di Lokasi Konstruksi
Koordinasi terhadap keadaan keseiamatan kerja di lokasi konstruksi
merupakan salah satu cara untuk mengetahui apakah pekerja telah melakukan
tugas dan tanggung jawab mereka untuk melakukan pekerjaan secara benar
dan aman. Jawaban yang ada menunjukkan bahwa koordinasi terhadap
keadaan lokasi kerja paling sering dilakukan oleh pimpinan proyek (75%).
Selain itu, pihak-pihak terlibat lainnya yang juga melaksanakan koordinasi
adalah Manajemen Konstruksi (35%), pengawas proyek (40%), komite
keseiamatan kerja (20%), konsultan keseiamatan kerja (5%), dan Iain-lain
(5%), yaitu direksi lapangan (Gambar 6.6).
Tidak semua proyek yang disurvey menggunakan jasa Manajemen
Konstruksi. Diantara 13 proyek yang menggunakan jasa Manajemen
Konstruksi, hanya 7 MK yang turut berperan dalam melakukan koordinasi
keadaan keseiamatan kerja di lokasi konstruksi. Hal ini menunjukkan bahwa
MK yang ada masih kurang mengerti mengenai peranan mereka dalam
pelaksanaan program keseiamatan kerja.
64
3.3. Peralatan Keselamatan Kerja
Penyediaan peralatan keselamatan kerja merupakan salah satu bagian
dari program keselamatan kerja (Bab III.2.1). Peralatan keselamatan kerja
yang ada dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu perlengkapan perlindungan diri
dan peralatan pengaman. Perlengkapan perlindungan diri yang disediakan
antara lain; sabuk pengaman (100%), helm (90%), sarung tangan (90%),
sepatu (90%>), pelindung mata dan wajah (65%), pelindung pernapasan
(20%), pakaian kerja (20%), dan penutup telinga (5%). Sedangkan alat
pengaman yang digunakan adalah: alat pemadam kebakaran (85%), jaring
pengaman (65%), dan tanda-tanda peringatan (65%) (Gambar 6.7).
Dari peralatan kerja yang telah disebutkan, terlihat bahwa hanya sedikit
kontraktor yang menyedia alat penutup telinga, pelindung pernapasan, dan
pakaian kerja, dengan alasan bahwa perlengkapan tersebut tidak terlalu
diperlukan sesuai dengan jenis konstruksi yang ditangani.
3.4. Sarana/Fasilitas Keselamatan Kerja
Selain menyediakan peralatan keselamatan kerja, masih terdapat
sarana/fasilitas lain yang disediakan oleh kontraktor. yaitu asuransi tenaga
kerja (100%), peralatan P3K (100%), tulisan dan poster keselamatan kerja
(80%), dan kerja sama dengan poliklinik atau rumah sakit (35%)
(Gambar 6.8).
Mengikutsertakan pekerja dalam asuransi tenaga kerja dan
menyediakan peralatan P3K pada lokasi kerja dan bekerja sama dengan
(.5
poliklinik atau rumah sakit terdekat merupakan kewajiban pengusaha (lihat
bab III 2 2) Sedangkan tulisan dan poster keselamatan kerja merupakan
salah satu sarana yang dapat digunakan oleh kontraktor untuk memovitasi
pekerja agar selalu memperhatikan masalah keselamatan dalam melakukan
pekerjaan, misalnya: "KECEROBOHAN AWAL DARI KECELAKAAN",
"UTAMAKAN KESELAMATAN", dan "KECEROBOHAN ADALAH
PENYEBAB UTAMA TERJADINYA KECELAKAAN".
3.5. Kegiatan Keselamatan Kerja
Bagian terpenting dalam program keselamatan kerja adalah adanya
kegiatan yang terprogram yang harus dilaksanakan oleh manajemen
keselamatan kerja (bab III 2 2-III.2.7). Kegiatan keselamatan kerja yang
telah dilakukan oleh kontraktor antara lain: pengawasan terhadap metode
kerja dan kondisi lapangan (95%), pengarahan tentang keselamatan kerja
kepada pekerja (85%), penyehdikan penyebab kecelakaan (70%), pertemuan
berkala untuk membahas masalah keselamatan kerja (65%), pencatatan
keselamatan kerja (60%), dan program latihan (30%) (Gambar 6.9).
Dari hasil wawancara mengenai kegiatan yang telah dilakukan oleh
kontraktor, diketahui bahwa kegiatan penyehdikan dan pencatatan
kecelakaan dilakukan oleh kontraktor untuk membuat laporan kecelakaan
kerja ke kantor Depnaker dan ASTEK, untuk selanjutnya digunakan untuk
memperoleh ganti rugi atas santunan yang diberikan kepada pekerja. Hal ini
menunjukkan kurangnya kesadaran kontraktor untuk menggunakan hasil
66
pencatatan kecelakaan tersebut sebagai alat kontrol (evaluasi) terhadap
efektifitas program keselamatan keria yang ada Hal lain yang diketahui dari
hasil wawancara adalah bahwa program latihan yang ada hanya ditujukan
untuk pegawai kontraktor. sedangkan untuk pekerja hanya dilakukan
pengarahan keselamatan kerja (safety briefing). Hal ini dikarenakan pekerja
yang digunakan adalah pekerja borongan, yang hanya bekerja pada
kontraktor yang bersangkutan selama proyek dilaksanakan. Dari literatur,
diketahui bahwa banyak kontraktor lain di Indonesia yang melakukan hal
yang sama (Yustono, Urip, cs., 1994).
3.6. Persentase Biava Keselamatan Keria Terhadap Biava Total Proyek
Berdasarkan pada jawaban yang diberikan, diperoleh keterangan
bahwa besamya biaya keselamatan kerja terhadap biaya total proyek
adalah: < 0,10% (20%); 0,10%-0,20% (25%); 0,20%-0..3O% (10%); 0,30%-
0,40% (5%), > 0,50% (10%), dan Iain-lain (30%) karena responden tersebut
belum dapat memperkirakan besamya biaya keselamatan kerja yang
dikeluarkan (Gambar 6.10). Di antara biaya-biaya yang telah dikeluarkan ini,
sebagian besar merupakan biaya untuk asuransi tenaga kerja dan hanya
beberapa kontraktor yang telah memasukkan biaya untuk menyediakan
peralatan keselamatan kerja.
67
4. HAMBATAN PELAKSANAAN PROGRAM KESELAMATAN KERJA
Hambatan yang sering dihadapi oleh kontraktor dalam upaya untuk
menjalankan program keselamatan kerja adalah:
1. Kurangnya kesadaran pekerja akan keselamatan kerja.
2. Kurangnya kedisiplinan pekerja.
3. Kurangnya tingkat pendidikan dan pengetahuan pekerja.
4. Pergantian tenaga kerja.
5. Bahasa komunikasi antara atasan dan pekerja.
6. Kurang membudayanya tentang keselamatan kerja pada para pekerja.
5. KEADAAN KESELAMATAN KERJA BERDASARKAN OBSERVASI
Berdasarkan pada hasil kuestioner dan observasi, dapat diambil beberapa
kesimpulan mengenai keadaan keselamatan kerja pada proyek konstruksi yang ada di
Surabaya, yaitu:
1. Dari observasi terhadap kedisiplinan pekerja dalam menggunakan perlengkapan
perlindungan diri dan keadaan lokasi kerja, diperoleh hasil bahwa:
• 11 kontraktor telah menyediakan lokasi kerja yang baik pada proyek
konstruksi yang dilaksanakannya.
• 7 kontraktor berhasil mendisiplinkan pekerjanya untuk menggunakan
perlengkapan perlindungan diri dengan baik.
68
Jadi hanya terdapat 7 kontraktor yang benar-benar telah berhasil menyediakan
kondisi kerja yang aman bagi pekerja-pekerjanya, sedangkan 4 kontraktor lainnya
masih mengalami kesulitan dalam mendisiplinkan pekerjanya. Dari hasil
wawancara, diketahui bahwa masalah yang dihadapi oleh para kontraktor untuk
mendisiplinkan pekerja adalah kurangnya kesadaran pekerja akan pentingnya
keselamatan kerja. Hal ini dapat diketahui dari alasan pekerja bahwa perlengkapan
perlindungan diri akan menambah beban kerja dan mengurangi kebebasan gerak
mereka. Sedangkan dari kontraktor yang telah berhasil melaksanakan program
keselamatan kerja dengan baik, diperoleh suatu kesamaan yaitu:
• Adanya kebijakan perusahaan untuk mengenakan sanksi/denda kepada
semua pihak yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan keselamatan
kerja perusahaan.
• Adanya kedisiplinan dari manajemen atas dalam melaksanakan program
keselamatan kerja.
• Adanya pengawasan yang ketat terhadap kedisiplinan pekerja dalam
menggunakan perlengkapan perlindungan diri.
Hal ini membuktikan bahwa dukungan manajemen dalam memotivasi pekerja
memegang peranan yang sangat menentukan berhasil tidaknya program
keselamatan kerja yang ada. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa keberhasilan
program keselamatan kerja tidak hanya tergantung pada banyaknya pihak yang
terlibat dalam melakukan koordinasi, kelengkapan peralatan keselamatan kerja
yang disediakan, dan adanya program keselamatan kerja yang baik, tetapi juga
tergantung pada dukungan manajemen.
69
2. Besarnya biaya untuk melakukan program K3 sangat tergantung pada rumit
tidaknya proyek yang sedang dilaksanakan. Dari hasil kuestioner dan observasi,
diketahui bahwa biaya yang paling banyak dikeluarkan untuk melaksanakan
program K3 adalah sekitar 0,10%-0,20% dari biaya total proyek (25%).
Sedangkan untuk proyek yang rumit (ditinjau bentuk strukturnya), biayanya
mencapai >0,50% dari biaya total proyek (10%). Hal ini menunjukkan bahwa
hasil yang diperoleh telah mendekati hasil analisa yang dilakukan oleh Ir.
Harangan P. Sianipar, Manajer Proyek PT.Wijaya Karya, terhadap kontraktor
yang telah melaksanakan K3 dengan benar, yaitu sebesar 0,25% dari total biaya
konstruksi, sedangkan untuk proyek yang tergolong rumit adalah sebesar 0,50%
dari total biaya konstruksi (Ratih dan Saptiwi, 1996). Sebagian besar responden
lainnya menjawab bahwa biaya yang dikeluarkan adalah sebesar <0,10% dari biaya
total proyek (20%). Dalam hal ini, dari hasil wawancara diketahui bahwa biaya
yang dikeluarkan hanya terbatas untuk keperluan asuransi tenaga kerja dan belum
mencakup biaya untuk menyediakan peralatan keselamatan kerja.
6. GAMBAR GRAFIK
Gambar 6.1. Jenis kecelakaan kerja yang sering terjadi
z Ul Q z o Q. U) UJ Ct
I
5
95%
5%
X^ z kecerobohan peralatan lingkingan &
rrenusia kerja yang kondisi
idak lapangan
memBdai
PENYEBAB KECELAKAAN KERJA
Gambar 6.2. Penyebab Kecelakaan Kerja
72
UJ a z o 0 . 10 UJ
a: x
1
16
14
12
10
7TZ 80%
-65%-
ALASAN MELAKSANAKAN PROGRAM K3
Gambar 6.5. Alasan Responden Melaksanakan Program Keselamatan Kerja/K3
Gambar 6.6. Pihak-Pihak yang Melakukan Koordinasi Keselamatan Kerja di Lokasi Proyek
74
Gambar 6.8. Sarana/Fasilitas Keselamatan Kerja
i
85%
30%
Z 7 I
i i ij. 1] Gambar 6.9. Manajemen dan Kegiatan Keselamatan Kerja
75
Gambar 6.10. Persentase Biaya Keselamatan Kerja Terhadap Biaya Total Proyek