web viewempat unsur bunga kawung yang saling beririsan simetris dengan menyisakan ruang kosong di...
TRANSCRIPT
KAJIAN BATIK KAWUNG YOGYAKARTA
( Tugas Individual UAS )
Prof. Drs. Jakobus Sumardjo
Rika Nugraha, S.Sn
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI PENGKAJIAN SENI
PROGRAM PASCA SARJANA
SEKOLAH TINGGI SENI INDONESIA
BANDUNG
2012
PENDAHULUAN
1.1 BATIK KAWUNG
Kebudayaan suku jawa merupakan kebudayaan tertua yang ada di indonesia, hadirnya
berbagai kerajaan yang berdiri kokoh di masa lampau merupakan salah satu bukti yang berbicara
bahwa kebudayaan suku jawa sudah ada sejak lama, jauh sebelum modernisasi mengenai
kehidupan masyarakat jawa seperti sekarang ini.
Setiap peradaban yang pernah lestari di bumi selalu meninggalkan warisan simbol-simbol
Yang menjadi bukti eksistensi. Simbol-simbol tersebut pada masanya biasa menjadi merupakan
media komunikasi. Entah komunikasi kepada sesama manusia atau dengan Tuhannya. Begitupun
yang terjadi pada kebudayan suku jawa.
Kebudayaan suku jawa melintasi waktu yang teramat panjang, banyak simbol yang
dimiliki dan tetap bertahan sampai sekarang. Dengan simbol itu komunikasi masa lalu dikirim
dengan akurat kepada masyarakat modern, sehingga mereka dapat mengetahui makna dan
filosofi yang terkandung di dalamnya.
Pada perkembangannya batik mengalami perkembangan yang berkenaan dengan motif
dan corak. Motif dan corak batik itu sendiri diciptakan dari proses yang cukup panjang, sebuah
proses wajar yang memang sering terjadi pada sebuah kebudayaan suku Jawa.
Batik Kawung merupakan batik tertua, jika diperhatikan motif batik kawung ini
memiliki irama dalam repetisi pola lingkaran geometris yang saling berisikan. Mengambil
bentuk dasar buah aren ( kawung ) yang distilasi dalam bentuk segiempat simetris. Angka empat
dalam kebudayaan suku jawa, mengandung falsafah asal muasal kehidupan manusia ( Kiblat
Papat Lima Pancer ).
Bentuk dasarnya berupa lingkaran oval yang hampir menyentuh satu sama lain dengan
simetris, yang diperhatikan jika seksama menimbulkan ilusi optik dengan munculnya bentuk
bunga kelopak. Masing –masing kelopak membentuk runcing ramping.
2
Dinamakan batik kawung karena motif yang dipakai merupakan stilasi dari penampang
buah aren ( kawung ). Aren sebagai penghasil gula yang meyimbolkan rasa manis , memiliki
filosofis keagungan, dan kebijaksanaan. Pohon yang lurus tanpa cabang melambangkan keadilan,
karena itu motif batik kawung memiliki nilai filosofis yang sangat tinggi tentang kekuasaan yang
adil dan bijaksana.
Bunga empat kelopak dianggap representasi dari lotus ( bunga teratai ). Bunga dalam
falsafah jawa kuno mengandung makna kesucian , sementara stilasi bunga dan buah secara
umum memiliki makna kesuburan dan harapan.
Batik kawung mengandung falsafah kehidupan yang sangat dalam dan suci tentang asal
muasal penciptaan manusia. Umur panjang yang dimaknai sebagai perjalanan menuju
kehidupan yang abadi. Karena itulah maka dalam beberapa tradisi jawa , Batik Kawung
digunakan untuk menyelimuti jenazah . Sebagai perlambang perjalanan panjang menuju
keabadian yang sedang ditempuh roh.
Empat unsur bunga kawung yang saling beririsan simetris dengan menyisakan ruang
kosong di titik pusat, dimaknai juga sebagai kiblat papat lima pancer, falsafah adiluhung Jawa
yang bermakna : memandang dari segi empat perspektif mata angin untuk mendapatkan cahaya
( pancer ) kebijaksanaan.
1.2. BATIK
Bila mengamati ragam busana yang sedang tren saat ini, maka akan terlihat begitu
pesatnya perkembangan fashion di Indonesia. Termasuk diantaranya adalah batik yang telah
mengalami transformasi fungsi yaitu dari batik sebagai busana untuk acara-acara resmi menjadi
batik yang dapat dikenakan sebagai busana dalam berbagai kesempatan dan kepentingan. Batik
sendiri mempunyai sejarah panjang sehingga dapat disebut sebagai warisan budaya Indonesia
yang sudah berlangsung secara turun-temurun.
Secara etimologi, kata batik berasal dari bahasa Jawa “amba” yang berarti lebar, luas,
kain; dan “titik” yang berarti titik atau matik (kata kerja membuat titik) yang kemudian
3
berkembang menjadi istilah “batik” yang berarti menghubungkan titik-titik menjadi gambar
tertentu pada kain yang luas atau lebar.
Batik di Indonesia secara historis sudah dikenal sejak abad XVIII. Batik ditulis pada daun lontar
yang didominasi dengan motif bentuk binatang atau tanaman. Namun dalam perkembangannya,
corak-corak tersebut beralih menjadi motif abstrak yang menyerupai awan, relief candi, wayang,
cerita rakyat, dan sebagainya. Selanjutnya melalui penggabungan corak dan teknik muncul seni
batik tulis seperti yang dikenal saat ini.
Corak dan warna batik tradisional sangat bervariasi macamnya sesuai dengan filosofi dan
budaya yang beragam di tiap-tiap daerah. Khasanah budaya Indonesia yang begitu kaya telah
mendorong lahirnya berbagai corak dan jenis batik tradisional dengan ciri tersendiri. Jadi
walaupun batik berasal dari bahasa Jawa, namun sebenarnya tradisi membatik telah tersebar
lebih dahulu di berbagai wilayah Nusantara seperti, Toraja, Flores, Halmahera, dan Papua. Corak
batik juga mendapat pengaruh dari luar yang dibawa oleh pedagang asing, seperti bangsa China,
ataupun pengaruh dari bangsa Belanda.
Corak batik yang beragam ini dibuat dengan teknik penulisan di atas sehelai bahan
berwarna putih yang terbuat daru kapas atau sering disebut kain mori. Motif batik dibentuk
dengan cairan lilin (malam) dengan menggunakan alat yang dinamakan canting sehingga cairan
lilin meresap ke dalam serat kain. Kain tersebut kemudian dicelup dengan warna yang
diinginkan, dengan beberapa kali proses pewarnaan. Dengan teknik seperti ini, akan
menghasilkan kain yang disebut “Batik Tulis”.
Pembuatan batik tulis harus dilakukan dengan tingkat ketelitian dan kesabaran yang
tinggi karena membutuhkan waktu hingga berbulan-bulan dalam pengerjaannya sehingga pada
masa lampau khususnya di Jawa, pekerjaan ini secara eksklusif dilakukan oleh kaum perempuan.
sampai ditemukannya “Batik Cap” yang memungkinkan masuknya laki-laki ke dalam bidang ini.
Pada masa itu, batik hanya dikerjakan terbatas di kraton (istana) dan dijadikan sebagai
pakaian untuk keluarga kerajaan. Hingga kemudian batik mulai dikenakan oleh pengikut istana
dan selanjutnya meluas di kalangan rakyat jelata. Dengan penyebaran ini menyebabkan semakin
berkembangnya motif batik di dalam masyarakat. Batik dengan motif tertentu dapat 4
menunjukkan status sosial seseorang, sehingga ada beberapa motif yang hanya dipakai oleh
keluarga tertentu. Bahkan sampai saat ini, beberapa motif batik tradisional yang hanya dipakai
oleh keluarga kraton Yogyakarta dan Surakarta.
Secara filosofis motif batik mempunyai fungsi dan kegunaan masing-masing sesuai dengan
kebudayaan daerah setempat. Misalnya saja di pulau Jawa, batik telah menyebar ke berbagai
wilayah seperti Mojokerto, Tuban, Sidoarjo, Yogyakarta, Surakarta, Pekalongan, hingga
Cirebon. Daerah-daerah ini mempunyai adat, tradisi, dan budaya yang berbeda satu sama lain.
Nilai-nilai tersebut akan tertuang dalam bentuk motif batik yang akan menyampaikan
pesan dari sang pemakai. Sebagai contoh dalam batik gedog Tuban, motif batik Gringsing yang
berasal dari gering (bahasa Jawa) yang berarti kurus. Harapannya, pemakai batik gringsing tidak
akan kurus lagi, yang lebih jauh memiliki filosofi keseimbangan dalam kemakmuran dan
kesuburan. Untuk tema pernikahan, mulai dari batik pada saat melamar, hantaran hingga paska
pernikahan, antara lain menggunakan batik Mahkota dari Sidoarjo yang menandai bahwa
pemakai batik yang akan menikah tersebut merupakan orang terpandang.
Di Surakarta dan Yogyakarta, motif batik berhubungan dengan makna filosofis dalam
kebudayaan Hindu-Jawa. Pada beberapa motif yang dianggap sakral dan hanya dipakai pada
kesempatan dan peristiwa tertentu. Misalnya motif Sida Mukti, yang secara harafiah berarti
“menjadi berkecukupan”, kemudian motif Wahyu Tumurun (turunnya wahyu), yang digunakan
hanya untuk upacara jumenengan (perayaan ulang tahun naik tahta). Sementara motif Parang
yang bernuansa ramai dipakai pada saat pesta atau perayaan. Sedangkan untuk melayat,
digunakan warna yang lebih lembut yaitu motif Kawung. Keempat motif batik tersebut
hanya diperuntukan bagi keluarga keraton, dan tidak boleh digunakan oleh rakyat jelata. Di luar
empat motif batik tersebut, tentu masih terdapat banyak motif lain.
Di kraton Yogyakarta, terdapat aturan yang resmi mengenai penggunaan kain batik ini.
Ketika ada acara hajatan perkawinan, kain batik haruslah bermotif idoasih, Taruntum,
Sidomukti, Sidoluhur, dan Grompol. Sedangkan untuk mitoni, biasa menggunakan motif Picis
Ceplok Garudo, Parang Mangkoro, atau Gringsing Mangkoro.
5
Dari berbagai jenis motif batik tersebut memberikan gambaran nilai-nilai sosial, kultural
dan ketuhanan yang ada pada masyarakat Indonesia kemudian disampaikan dalam wujud karya
yang sangat luhur dan penuh makna filosofis yang akan terus menggemakan kekuatan budaya
bangsa Indonsesia.
Kini Indonesia semakin giat memperkenalkan dan memasarkan batik ke seluruh dunia
sebagai warisan budaya yang unik dan indah namun tetap sesuai dipadu-padankan dengan
dinamisme kehidupan modern. Indonesia juga patut berbangga karena sejak 2 Oktober 2009,
batik Indonesia, sebagai keseluruhan teknik, teknologi, serta pengembangan motif dan budaya
yang terkait, oleh UNESCO telah ditetapkan sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan
dan Non Bendawi .
1.3. SUKU JAWA
Suku Jawa adalah suku bangsa yang terbesar di Indonesia, dengan jumlahnya di sekitar
90 juta. Mereka berasal dari pulau Jawa dan menghuni khususnya di provinsi Jawa Tengah serta
Jawa Timur tetapi di provinsi Jawa Barat, Banten dan tentu saja di Jakarta, mereka juga banyak
ditemukan. Sebahagian besar suku bangsa Jawa menuturkan bahasa Jawa sebagai bahasa
percakapan harian. Sebuah tinjauan pendapat yang dijalankan oleh Majalah Tempo pada awal
dekad 1990-an menunjukkan bahawa hanya sekitar 12% daripada orang-orang Jawa
menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertuturan harian. Sekitar 18% menggunakan
campuran bahasa Jawa dan bahasa Indonesia, dengan yang lain menuturkan bahasa Jawa sebagai
bahasa utama mereka.
Keturunan-keturunan masyarakat Jawa berpendapat bahawa bahasa Jawa adalah bahasa
yang sangat sopan dan mereka, khususnya orang-orang yang lebih tua, menghargai orang-orang
yang menuturkan bahasa mereka. Bahasa Jawa juga sangat mempunyai arti yang luas.
Sebahagian besar orang Jawa menganuti agama Islam pada nama sahaja. Yang menganuti agama
Kristian, Protestan dan Katolik juga banyak, termasuknya di kawasan luar bandar, dengan
penganut agama Buddha dan Hindu juga ditemukan di kalangan masyarakat Jawa.
6
Terdapat juga agama kepercayaan suku Jawa yang disebut sebagai agama Kejawen.
Kepercayaan ini pada dasarnya berdasarkan kepercayaan animisme dengan pengaruh agama
Hindu-Buddha yang kuat. Masyarakat Jawa terkenal kerana sifat asimilasi kepercayaannya,
dengan semua budaya luar diserap dan ditafsirkan mengikut nilai-nilai Jawa sehingga
kepercayaan seseorang kadang kalanya menjadi kabur.
Masyarakat Jawa juga terkenal kerana pembahagian golongan sosialnya. Pada dekad 1960-
an, Clifford Geertz, pakar antropologi Amerika Syarikat yang ternama, membagikan masyarakat
Jawa kepada tiga buah kelompok:
1. Kaum santri
2. Kaum abangan
3. Kaum priyayi.
Menurut beliau, kaum santri adalah penganut agama Islam yang warak, manakala kaum
abangan adalah penganut Islam pada nama sahaja atau penganut Kejawen, dengan kaum priyayi
merupakan kaum bangsawan. Tetapi kesimpulan Geertz ini banyak ditentang kerana ia
mencampurkan golongan sosial dengan golongan kepercayaan. Pengelasan sosialnya juga
dicemari oleh penggolongan kaum-kaum lain, misalnya orang-orang Indonesia yang lain serta
juga suku-suku bangsa bukan pribumi seperti keturunan-keturunan Arab, Tionghoa dan India.
7
YOGYAKARTA
2.1. Sejarah Yogyakarta
Berdirinya Kota Yogyakarta berawal dari adanya Perjanjian Gianti pada Tanggal 13
Februari 1755 yang ditandatangani Kompeni Belanda di bawah tanda tangan Gubernur Nicholas
Hartingh atas nama Gubernur Jendral Jacob Mossel. Isi Perjanjian Gianti : Negara Mataram
dibagi dua : Setengah masih menjadi Hak Kerajaan Surakarta, setengah lagi menjadi Hak
Pangeran Mangkubumi. Dalam perjanjian itu pula Pengeran Mangkubumi diakui menjadi Raja
atas setengah daerah Pedalaman Kerajaan Jawa dengan Gelar Sultan Hamengku Buwono
Senopati Ing Alega Abdul Rachman Sayidin Panatagama Khalifatullah.
Adapun daerah-daerah yang menjadi kekuasaannya adalah Mataram (Yogyakarta),
Pojong, Sukowati, Bagelen, Kedu, Bumigede dan ditambah daerah mancanegara yaitu; Madiun,
Magetan, Cirebon, Separuh Pacitan, Kartosuro, Kalangbret, Tulungagung, Mojokerto,
Bojonegoro, Ngawen, Sela, Kuwu, Wonosari, Grobogan.
Setelah selesai Perjanjian Pembagian Daerah itu, Pengeran Mangkubumi yang bergelar
Sultan Hamengku Buwono I segera menetapkan bahwa Daerah Mataram yang ada di dalam
kekuasaannya itu diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat dan beribukota di Ngayogyakarta
(Yogyakarta). Ketetapan ini diumumkan pada tanggal 13 Maret 1755.
Tempat yang dipilih menjadi ibukota dan pusat pemerintahan ini ialah Hutan yang
disebut Beringin, dimana telah ada sebuah desa kecil bernama Pachetokan, sedang disana
terdapat suatu pesanggrahan dinamai Garjitowati, yang dibuat oleh Susuhunan Paku Buwono II
dulu dan namanya kemudian diubah menjadi Ayodya. Setelah penetapan tersebut diatas
diumumkan, Sultan Hamengku Buwono segera memerintahkan kepada rakyat membabad hutan
tadi untuk didirikan Kraton.
Sebelum Kraton itu jadi, Sultan Hamengku Buwono I berkenan menempati pasanggrahan
Ambarketawang daerah Gamping, yang tengah dikerjakan juga. Menempatinya pesanggrahan
tersebut resminya pada tanggal 9 Oktober 1755. Dari tempat inilah beliau selalu mengawasi dan
mengatur pembangunan kraton yang sedang dikerjakan.
8
Setahun kemudian Sultan Hamengku Buwono I berkenan memasuki Istana Baru sebagai
peresmiannya. Dengan demikian berdirilah Kota Yogyakarta atau dengan nama utuhnya ialah
Negari Ngayogyakarta Hadiningrat. Pesanggrahan Ambarketawang ditinggalkan oleh Sultan
Hamengku Buwono untuk berpindah menetap di Kraton yang baru. Peresmian mana terjadi
Tanggal 7 Oktober 1756 .
Kota Yogyakarta dibangun pada tahun 1755, bersamaan dengan dibangunnya Kerajaan
Ngayogyakarta Hadiningrat oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I di Hutan Beringin, suatu
kawasan diantara sungai Winongo dan sungai Code dimana lokasi tersebut nampak strategi
menurut segi pertahanan keamanan pada waktu itu.
Sesudah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Sri Sultan Hamengku Buwono IX
dan Sri Paduka Paku Alam VIII menerima piagam pengangkatan menjadi Gubernur dan Wakil
Gubernur Propinsi DIY dari Presiden RI, selanjutnya pada tanggal 5 September 1945 beliau
mengeluarkan amanat yang menyatakan bahwa daerah Kesultanan dan daerah Pakualaman
merupakan Daerah Istimewa yang menjadi bagian dari Republik Indonesia menurut pasal 18
UUD 1945. Dan pada tanggal 30 Oktober 1945, beliau mengeluarkan amanat kedua yang
menyatakan bahwa pelaksanaan Pemerintahan di Daerah Istimewa Yogyakarta akan dilakukan
oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII bersama-sama Badan
Pekerja Komite Nasional.
Meskipun Kota Yogyakarta baik yang menjadi bagian dari Kesultanan maupun yang
menjadi bagian dari Pakualaman telah dapat membentuk suatu DPR Kota dan Dewan
Pemerintahan Kota yang dipimpin oleh kedua Bupati Kota Kasultanan dan Pakualaman, tetapi
Kota Yogyakarta belum menjadi Kota Praja atau Kota Otonom, sebab kekuasaan otonomi yang
meliputi berbagai bidang pemerintahan massih tetap berada di tangan Pemerintah Daerah
Istimewa Yogyakarta.
Kota Yogyakarta yang meliputi daerah Kasultanan dan Pakualaman baru menjadi Kota
Praja atau Kota Otonomi dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1947, dalam pasal I
menyatakan bahwa Kabupaten Kota Yogyakarta yang meliputi wilayah Kasultanan dan
Pakualaman serta beberapa daerah dari Kabupaten Bantul yang sekarang menjadi Kecamatan
9
Kotagede dan Umbulharjo ditetapkan sebagai daerah yang berhak mengatur dan mengurus
rumah tangganya sendiri. Daerah tersebut dinamakan Haminte Kota Yogyakaarta.
Untuk melaksanakan otonomi tersebut Walikota pertama yang dijabat oleh Ir.Moh Enoh
mengalami kesulitan karena wilayah tersebut masih merupakan bagian dari Daerah Istimewa
Yogyakarta dan statusnya belum dilepas. Hal itu semakin nyata dengan adanya Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, di mana Daerah Istimewa
Yogyakarta sebagai Tingkat I dan Kotapraja Yogyakarta sebagai Tingkat II yang menjadi bagian
Daerah Istimewa Yogyakarta.
Selanjutnya Walikota kedua dijabat oleh Mr.Soedarisman Poerwokusumo yang
kedudukannya juga sebagai Badan Pemerintah Harian serta merangkap menjadi Pimpinan
Legislatif yang pada waktu itu bernama DPR-GR dengan anggota 25 orang. DPRD Kota
Yogyakarta baru dibentuk pada tanggal 5 Mei 1958 dengan anggota 20 orang sebagai hasil
Pemilu 1955.
Dengan kembali ke UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1957 diganti dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang pokok-
pokok Pemerintahan di Daerah, tugas Kepala Daerah dan DPRD dipisahkan dan dibentuk Wakil
Kepala Daerah dan badan Pemerintah Harian serta sebutan Kota Praja diganti Kotamadya
Yogyakarta.
Seiring dengan bergulirnya era reformasi, tuntutan untuk menyelenggarakan
pemerintahan di daerah secara otonom semakin mengemuka, maka keluarlah Undang-undang
No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur kewenangan Daerah
menyelenggarakan otonomi daerah secara luas,nyata dan bertanggung jawab. Sesuai UU ini
maka sebutan untuk Kotamadya Dati II Yogyakarta diubah menjadi Kota Yogyakarta sedangkan
untuk pemerintahannya disebut denan Pemerintahan Kota Yogyakarta dengan Walikota
Yogyakarta sebagai Kepala Daerahnya.
10
2.2. Geografis2.2.1. Batas Wilayah
Kota Yogyakarta berkedudukan sebagai ibukota Propinsi DIY dan merupakan satu-
satunya daerah tingkat II yang berstatus Kota di samping 4 daerah tingkat II lainnya yang
berstatus Kabupaten. Kota Yogyakarta terletak ditengah-tengah Propinsi DIY, dengan batas-
batas wilayah sebagai berikut :
1. Sebelah Utara : Kabupaten Sleman
2. Sebelah Timur : Kabupaten Bantul & Sleman
3. Sebelah Selatan : Kabupaten Bantul
4. Sebelah Barat : Kabupaten BAntul & Sleman
Wilayah Kota Yogyakarta terbentang antara 110o 24I 19II sampai 110o 28I 53II Bujur Timur
dan 7o 15I 24II sampai 7o 49I 26II Lintang Selatan dengan ketinggian rata-rata 114 m diatas
permukaan laut
2.2.2. Keadaan Alam
Secara garis besar Kota Yogyakarta merupakan dataran rendah dimana dari barat ke
timur relatif datar dan dari utara ke selatan memiliki kemiringan ± 1 derajat, serta terdapat 3
(tiga) sungai yang melintas Kota Yogyakarta, yaitu :
1. Sebelah Timur adalah Sungai Gajah Wong
2. Bagian Tengah adalah Sungai Code
3. Sebelah barat adalah Sungai Winongo
11
2.2.3. Luas Wilayah
Kota Yogyakarta memiliki luas wilayah tersempit dibandingkan dengan daerah tingkat II
lainnya, yaitu 32,5 Km² yang berarti 1,025% dari luas wilayah Propinsi DIY dengan luas
3.250 hektar tersebut terbagi menjadi 14 Kecamatan, 45 Kelurahan, 617 RW, dan 2.531 RT,
serta dihuni oleh 489.000 jiwa (data per Desember 1999) dengan kepadatan rata-rata 15.000
jiwa/Km²
2.2.4. Tipe Tanah
Kondisi tanah Kota Yogyakarta cukup subur dan memungkinkan ditanami berbagai
tanaman pertanian maupun perdagangan, disebabkan oleh letaknya yang berada didataran lereng
gunung Merapi (fluvia vulcanic foot plain) yang garis besarnya mengandung tanah regosol atau
tanah vulkanis muda Sejalan dengan perkembangan Perkotaan dan Pemukiman yang pesat, lahan
pertanian Kota setiap tahun mengalami penyusutan. Data tahun 1999 menunjukkan penyusutan
7,8% dari luas area Kota Yogyakarta (3.249,75) karena beralih fungsi, (lahan pekarangan)
2.2.5. Iklim
Tipe iklim "AM dan AW", curah hujan rata-rata 2.012 mm/thn dengan 119 hari hujan,
suhu rata-rata 27,2°C dan kelembaban rata-rata 24,7%. Angin pada umumnya bertiup angin
muson dan pada musim hujan bertiup angin barat daya dengan arah 220° bersifat basah dan
mendatangkan hujan, pada musim kemarau bertiup angin muson tenggara yang agak kering
dengan arah ± 90° - 140° dengan rata-rata kecepatan 5-16 knot/jam.
12
2.2.6. Demografi
Pertambahan penduduk Kota dari tahun ke tahun cukup tinggi, pada akhir tahun 1999
jumlah penduduk Kota 490.433 jiwa dan sampai pada akhir Juni 2000 tercatat penduduk Kota
Yogyakarta sebanyak 493.903 jiwa dengan tingkat kepadatan rata-rata 15.197/km². Angka
harapan hidup penduduk Kota Yogyakarta menurut jenis kelamin, laki-laki usia 72,25 tahun dan
perempuan usia 76,31 tahun.
2.2.7. Identitas Lambang Yogyakarta
Dasar Hukum
Ketetapan DPRD Nomor 2 Tahun 1952 tentang Penetapan Lambang Kota Praja Yogyakarta
Makna Lambang :
1. Perbandingan ukuran 18 : 25 , untuk memperingati tahun permulaan perjuangan Pangeran
Diponegoro di Yogyakarta (tahun 1825)
2. Warna Hitam : Simbol Keabadian
o Warna Kuning dan Keemasan : Simbol Keluhuran
o Warna Putih : Simbol Kesucian
o Warna Merah : Simbol Keberanian
o Warna Hijau : Simbol Kemakmuran
3. Mangayu Hayuning Bawono : Cita-cita untuk menyempurnakan masyarakat
4. Bintang Emas : Cita-cita kesejahteraan yang dapat dicapai dengan usaha dibidang
kemakmuran
o Padi dan kapas: Jalan yang ditempuh dalam usaha kemakmuran pangan dan
sandang
5. Perisai : Lambang Pertahanan
6. Tugu : Ciri khas Kota Yogyakarta
7. Dua sayap : Lambang kekuatan yang harus seimbang
8. Gunungan : Lambang kebudayaan
o Beringin Kurung : Lambang Kerakyatan13
o Banteng : Lambang semangat keberanian
o Keris : Lambang perjuangan
9. Terdapat dua sengkala
o Gunaning Keris Anggatra Kota Praja : Tahun 1953 merupakan tahun permulaan
pemakaian Lambang Kota Yogyakarta
o Warna Hasta Samadyaning Kotapraja : Tahun 1884
2.2.8.Flora dan Fauna Identitas Kota Yogyakarta
Dalam rangka menumbuhkan menjadi kebanggaan dan maskot daerah telah ditetapkan
pohon Kelapa Gading (Cocos Nuciferal vv.Gading) dan Burung Tekukur (Streptoplia Chinensis
Tigrina) sebagai flora dan fauna identitas Kota Yogyakarta.
Keberadaan pohon Kelapa Gading begitu melekat pada kehidupan masyarakat
Yogyakarta, karena dikenal sebagai tanaman raja serta mempunyai nilai filosofis dan budaya
yang sangat tinggi, sebagai kelengkapan pada upacara tradisional/religius, mempunyai makna
simbolis dan berguna sebagai obat tradisional.
Burung tekukur dengan suara merdu dan sosok tubuh yang indah mampu memberikan
suasana kedamaian bagi yang mendengar, menjadi kesayangan para pangeran dilingkungan
kraton. Dengan mendengar suara burung tekukur diharapkan orang akan terikat kepada Kota
Yogyakarta.
14
KAJIAN BATIK KAWUNG
3.1. Batik Kawung
Gambar Batik Kawung Keraton
Batik Motif Kawung dikategorikan sebagai pola mandala, dimana membawa symbol paradox, yakni hadirnya yang tak terbatas di dunia terbatas, hadirnya yang transenden didunia imanen, hadirnya daya adikodrati di dunia kodrat.
Kain Batik Kawung sedikitnya terdiri dari dua setengah kacu. Satu Kacu adalah berbentuk segi empat ( mandala ) di garis persis bagian tengahnya secara vertical maupun horizontal. Dengan demikian ada mandala empat bagian.
Mandala ini dapat diperluas menjadi Mandala 8 dengan cara membelah tiap bagian mandala dengan cara yang sama pada mandala 4 bagian. Selanjutnya mandala 8 bagian dapat dijadikan mandala 16 bagian, mandala32 again, mandala 64 bagian.
Dalam batik 64 bagian, mandala akan didapatkan 64 motif yang diulang-ulang sampai seluruh kain dipenuhi motif yang sama. Orang tinggal mencari mana bagian pusat mandalanya.
15
3.2.Pola Lima dalam Batik Kawung
Pola lima adalah kategori etika, bersumber dan system kepercayaan religinya, sehingga kebudayaan pra modern pola lima masuk kategori budaya mistis-spiritual. Batik kawung yang dipergunakan untuk melayat jenazah, mengandung symbol angka empat dalam kebudayaan suku jawa, mengandung falsafah asal muasal kehidupan manusia ( Kiblat Papat Lima Pancer ).
Semua hal dipola berdasarkan mancapat kalimo pancer, baik alam rohani, alam semesta ( jagad besar ), manusia ( jagad kecil ), budaya ( Negara, seni, teknologi, ekonomi ). Mancapat Kalimo Pancer adalah paradigma hubungan Tunggal dan Plural.
Tunggal adalah pusat ( Titik Tengah ) dan plural adalah pengikut, saudara, keluarga, anggota dan pusat, inilah Dwitunggal. Kawulo – Gusti, tunggal adalah paradoks karena merupakan sintesa dari angota-anggotanya yang plural dan dualistic.
Pengaturan ini menghadirkan yang transenden ( rohani, ilahi, kedewaan ) ke dunia imanen ( materi, duniawi, manusiawi ) atau membuat yang imanen menjadi transenden. Gerak memusat dan menyebar ada pada batik kawung, dalam gerak memusat, yang imanen menuju pusat, Tunggal, yang transenden.
Inilah “ Jalan ke atas “ manunggaling kawulo dengan Gustinya. Dalam zaman Hindu – Budha jalan ini mengikuti gerak pradaksina atau arah jarum jam. Sedangkan gerak menyebar , yang transenden menyebar mengaliri atau menjadi pasangan- pasangan antagonistic imanen.
Inilah “ Dari Atas Ke Bawah “ Gusti Manunggal dengan kawulonya, arah geraknya mengirikan pusat atau berbalikan dengan arah jarum jam.
Batik motif kawung, beton, bintangan, kembangan dapat dikategorikan sebagai pola mandala. Jelas bahwa mandala atau papat kalimo pancer membawa symbol paradoks, yakni hadirnya yang tak terbatas di dunia terbatas, hadirnya yang transenden di dunia imanen, hadirnya daya adikodrati di dunia kodrat, menyatunya Purusha dengan Prakerti.
16
3.3. Bentuk Dasar
Dapat digambarkan sebagai berikut :
Satu Kacu
Lembar Batik
Mandala 4 Bagian
Mandala 16 Bagian
1 1 1/2
17
Pola Dasar Batik Kawung
3.4. Penciptaan Motif Kawung
Batik Kawung sendiri adalah symbol paradoks, batik merupakan pasangan kembar dua mandala atau papat kalimo pancer, yakni untuk lipatan (bungkus badan ) bagian depan dan bagian belakang. Sisanya untuk “ dunia tengah “ atau medium yang dilipat-lipat dalam bentuk wiron.
Setiap penciptaan motif batik pada mulanya selalu memiliki makna simbolis berdasarkan falsafah Jawa. Pada awal motif batik diciptakan tidak sembarang orang dapat menggunakan , dan biasanya berdasarkan kedudukan social di masyarakat. Karena apabila ada yang melanggar maka terkena sangsi.
Maksud awal penciptaan batik adalah member kesejahteraan dan kemuliaan serta member status social bagi pemakainya. Adapun motif batik yang ada hubungannya dengan kedudukan social seseorang ialah motif batik klasik.
Motif batik klasik hanya boleh digunakan oleh golongan tertentu dalam masyarakat Jawa. Mengingat motif tersebut ada hubungannya dengan falsafah dalam kebudayaan Hindu- Budha di Jawa ( Hitchcock , 1991 : 83-89 ).
18
3.5. Warna Batik Kawung
Di dalam motif klasik, unsure warna yang terdapat dalam batik klasik memiliki nilai-nilai
falsafah. Memahami simbolisme dalam visualisasi tata warna motif batik, terkandung nilai-nilai
falsafah hidup jawa yang dibentuk menurut kerangka kultur religious magis. Kaitannya dengan
seni batik klasik , pemakaian tata warna : Kuning, Putih, Merah ( Soga ), Biru, Hitam menjadi
karakteristik masyarakat Jawa yang dianggap memiliki lambing-lambang pemujaan terhadap
Causa Prima yang berada dalam kedudukan tertinggi. Pada mulanya simbolisme batik
dinyatakan lewat pralampita atau pralambang. Warna dasar dalam batik klasik nampaknya
diilhami oleh lambing-lambang warna dalam kosmologi Jawa , Kiblat papat lima pancer.
3.6. Jenis Motif Kawung
1.Unsur motif Kawung Sari terdiri dari ornamen utama yang berbentuk bulatan lonjong,
dan pada setiap bagian motif kawungnya diberi bentuk garis yang membelah menjadi
dua -olah menyerupai bentuk buah kopi pecah. Sehingga motif kawung ini sering juga
disebut dengan istilah Kawung Kopi.Ornamen utama yang terdiri dari empat bulatan
lonjong disusun berdasarkan garis miring yang silang atau garis diagonal miring,juga
disusun dengan bentuk garis lurus yang horizontal maupu vertikal. Bentuk garis-garis
tersebut seolah-olah seperti tanda silang pada bentuk visual dari motif kawung.
Komposisi warna pada bentuk motif kawung ini terdiri dariwarna putih, putih
kekuningan, pada ornamen utama, mera soga sebagai warna konturnya,sedangkan
warna hitam untuk memberi warna latar dalam motifKawung Sari.
2.Bentuk Kawung Sekar Ageng, terdiri dari unsur ornamen utama berbentuk empat
bulatan lonjong yang telah mengalami perubahan menjadi bentuk agak persegi atau
bujur sangkar. Pada setiap ornamen utamanya terdapat tiga buah garis (sawut) serta
diikuti tiga buah titik (cecek). Bentuk tersebut dalam istilah batik sering disebut dengan
istilah cecek sawut. Unsur motif kawung ini juga terdapat isen motif berupa empat
bentuk belah ketupat kecil sebagai variasi dalam komposisi bentuk
visualnya.Sedangkan komposisi warna terdiri dari warna putih, putih kekuningan
19
sebagai warna pada ornament utama, merah soga untuk member warna kontur motif
dan isen motif, serta warna hitam merupakan latar pada motif Kawung SekarAgeng.
3. Bentuk Kawung Sen, terdiri dari ornamen utama yang berbentuk empat bulatan lonjong
yang dikomposisikan melingkar menyerupai bentuk mata uang sen di Indonesia. Pada
bentuk bulatan lonjong terdapat isen cecek (titik)sebanyak dua buah dengan arah
diagonal, serta di tengah bentuk ornamen utama diberi isen-isen garis garis yang
berbentuk belah ketupat. Ornamenutama disusun dengan arah sudut miring berbentuk
diagonal yangseolah- olah motif Kawung dibatasioleh garis lengkung. Komposisi
warna pada motif Kawung Sen terdiridari warna putih, putih kekuningan sebagai
warna pada ornament utama, hitam sebagai warna kontu rserta merah soga untuk
memberi warna latar pada motif Kawung Sen.
4. Bentuk Kawung Pecis, terdiri dari ornamen utama berbentuk bulatan lonjong, dan
ukurannya lebih kecil apabila dibandingkan dengan ornamen utama pada Kawung Sen
serta bentuk motif batik pada Kawung Pecis agak persegi lonjong. Isen motif Kawung
Pecis terdiri dari dua buah titik (cecek) yang terdapat di dalam ornamen utama. Motif
Kawung Pecis disusun berdasarkan garis miring silang atau berbentuk jajaran genjang
diagonal, seolah-olah komposisi motif Kawung Pecis dibatasi oleh garis-garis silang
pada keempat bentuk ornamen utama. Komposisi warna pada motif kawung Pecis
terdiri dari warna putih, putih kekuningan sebagai warna sebagai ornamen utama,
merah soga untuk, merah soga untuk warna kontur serta hitam ebagai warna latar pada
motif Kawung Picis.
5. Bentuk Kawung Beton terdiri dari unsur ornamen utama yang berbentuk bulatan
lonjong seperti bentuk biji pada buah nangka. Biji buah nangka dalam masyarakat
Jawa disebut dengan istilah Beton,sehingga motif ini dinamakan Motif Kawung
Beton. Bentuk ornamen pada motif ini dengan ukuran sangat besar apabila
dibandingkan dengan Kawung Pecis maupun Kawung Sen, serta agak bulat, tetapi
masih dalam keadaan lonjong. Isen motif yang terdapat pada ornamen utama berupa
cecek (titik) dengan ukuran yang besar serta di tengah-tengahnya terdapat bentuk
lingkaran kecil. Bentuk lingkaran ini membelah menjadi empat bagian seolah-olah
20
ornament utamanya dilalui garis silang. Komposisi warna pada motif Kawung Beton
terdiri dari warna putih, putih kekuningan sebagai warna pada ornamen utama, hitam
sebagai warna kontur, sedangkan warna kontur, sedangkan merah soga untuk latar
motif Kawung Beton.
6. Bentuk Kawung Semar terdiri dari unsur ornamen utama yang berbentuk empat
bulatan lonjong dengan ukuran besar seperti pada Kawung Beton, tetapi di dalam
ornamen utamanya terdapat bentuk bulatan lonjong dengan ukuran yang lebih kecil.
Isen motif pada Kawung Semar terdiri dari bentuk cecek (titik) yang terdapat pada
lingkaran di dalam bulatan Kawungnya. Di tengah-tengah ornamen utama terdapat
isen motif yang berbentuk belah ketupat yang diisi dengan cecek - cecek (titik-titik)
serta beberapa titik berbentuk sederetan yang melingkar. Komposisi warna pada motif
Kawung Semar terdiri dari warna putih, putih kuningan sebagai warna pada ornament
utama, merah soga untuk latar warna motif serta warna hitam sebagai kontur.
7. Bentuk Kawung Buntal terdiri dari ornamen utama yang berbentuk campuran dari
Kawung Pecis dipadu dengan motif bunga. Motif bunga yang terdapat pada Kawung
Buntal berupa bunga kenikir, sehingga bentuk dari campuran motif tersebut menjadi
ciri khas pada motif Kawung Buntal. Isen motif batik pada Kawung Buntal terdiri dari
bentuk bulat lonjong kecil yang terbagi menjadi dua bagian diletakkan dalam
ornament utamanya, serta bentuk belah ketupat dengan ukuran kecil, sedang, dan agak
besar diletakkan pada tengah-tengah ornament utama. Komposisi warna pada motif
Kawung Buntal terdiri dari warna putih, putih kekuningan sebagai warna kawung,
merah soga untuk warna latar pada Kawung Buntal serta hitam sebagai warna kontur
dan latar pada motif bunga kenikir.
8. Bentuk Kawung Kembang terdiri dari ornamen utama yang berbentuk empat bulatan
lonjong dibuat menyerupai bentuk bunga (kembang) ,sehingga motif ini dinamakan
Kawung Kembang. Ornamen utama yang terdiri dari bulatan lonjong terdapat isen
motif ber-bentuk garis diletakkan pada setiap ujung bulatan kawung. Di tengah tengah
antara bulatan kawung satu dengan yang lainnya terdapat isen motif yang berbentuk
deretan titik dengan arah melingkar, serta membentuk lingkaran yang kecil dan empat
titik yang berada di luar lingkaran tersebut. Komposisi warna pada motif Kawung
21
Kembang terdiri dari warna putih, putih kekuningan sebagai warna ornament utama,
merah soga sebagaiwarna kontur dan hitam untuk warna latar pada motif
KawungKembang. Bentuk Kawung Seling terdiri dari ornamen utama yang berbentuk
hampir sama dengan Kawung Kembang,yaitu bentuk bulatan lonjong diselingi dengan
bentuk bunga. Tetapi ukuran serta variasi kembangnya tidak sama serta dibuat dengan
perbedaan warna yang menyolok. Isen motif pada KawungSeling terdiri dari isen titik
yang dibentuk seperti garis (sawut),diletakkan pada motif kembang. Sedangkan di
dalam motif utama di beri isen dua titik pada tiap-tiap bulatan (kawung]. Komposisi
warna pada Kawung Seling terdiri dari warna putih sebagai warna pada ornamen
utama, hitam sebagai warna motif bunga dan kontur,merah soga untuk warna latar
pada motif Kawung Seling.
3.7. Penggunaan Motif Kawung
Penggunaan motif kawung dikenakan atau yang berhak memakainya adalah para abdi
kraton (abdi yang kinasih dan dekat dengan raja serta keluarga raja ). Abdi dalam hal iniadalah
seseorang yang memiliki deraja trendah (emban, punakawan pengiring para ksatria), motif
kawung juga digunakan oleh orang yang memiliki derajat tinggi atau tingkat punggawa kraton
(tumenggung)dalam lingkup keraton.Adapun penggunaan tiap-tiap motif kawung adalah, sebagai
berikut:
1. Kawung Sari: Sari memiliki arti inti, pokok atau dalam bahasa Jawa disebut dengan
istilah "pathi".Motif kawung Sari ini yang menggunakan adalah abdi dalem kraton yang
kinasih, terutama abdi dalem perempuan yang disebut dengan istilah emban.
2. Kawung Sekar Ageng: Kawung ini dinamakan Sekar Ageng, dikarenakan motifnya
berbentuk bunga(kembang, sekar) yang berukuran besar (ageng). Motif kawung
SekarAgeng digunakan oleh abdi dalem perempuan yang kinasih dan dekat dengan raja
serta keluarga raja.
3. Kawung Sen: disebut juga dengan nama Kawung Gidril atau Bribil,yaitu mata uang
logam terbuat dari bahan nekel, yang bernilai . Sen merupakan mata uang Indonesia
ketika dijajah Belanda. Motif kawung sen biasa abdi dalem kraton yang memiliki
22
tingkat kepangkatan tumenggung,digunakan dalam upacara atau kegiatan misalnya untuk
menghadap raja.
4. Kawung Picis: Picis memiliki arti diiris-iris, arti lain dari picis adalah suatu tempat
(wadah) seperti "cis"yang terdapat pada punggung gajah. Motif kawung Picis hanya
digunakan oleh abdi dalem yang kinasih, yaitu abdi kraton dari tingkat derajat rendah
yang selalu dekat dengan raja dan keluarga raja. Pakaian tersebut hanya digunakan pada
waktu menghadap raja atau keluarga raja.
5. Kawung Beton: Motif kawung beton digunakan oleh para abdi dalem kraton kinasih
yang dekat dengan para putra raja (ksatria),terutama abdi dalem laki-laki.
6. Kawung Buntal: Digunakan oleh para abdi dalem perempuan yang tingkatannya di
atas para abdi dalem derajat rendahan.
7. Kawung Kembang: Kawung Kembang dipakai oleh para abdi dalem perempuan yang
lebih tinggi tingkatannya dari pada emban, yaitu dipakai oleh abdi dalem juru rias kraton.
8. Kawung Seling: Motif kawung seling dipakai oleh para abdi dalem perempuan yang
tingkatannya lebih tinggi dari pada abdi dalem rendahan.
`
3.8. Simbolisme Motif Kawung
Motif kawung merupakan simbolisme dari konsep papat kiblat limo
pancer,artinya bahwa kawung memiliki makna simbolisme tentang keempat penjuru arah mata
angin atau kiblat,dan menjadi inspirasi bentuk empat ornamen utama yang disusun secara
diagonal. Arah barat memiliki makna simbol tentang sumber ketidakberuntungan, karena arah
barat menunjukkan terbenamnya matahari sebagai sumber segala kehidupan dan penerangan.
Arah timur memiliki makna simbol tentang sumber untuk segala kehidupan, karena arah timur
merupakan terbitnya matahari. Arah utara memiliki makna simbol tentang arah kematian, dan
arah selatan memiliki makna simbol tentang puncak dari segala-galanya, sedangkan titik di
tengah-tengah merupakan simbol dari pusat kehidupan manusiadi dunia.
23
Motif kawung juga memiliki makna simbol tentang "kebulatan tekat" yang digambarkan
dalam bentuk lingkaran-lingkaran pada motifnya. Maksud kebulatan tekat adalah pengabdian diri
dari abdi atau rakyat yang sepenuhnya untuk raja dan kerajaannya. Motif kawung juga memiliki
makna simbol tentang "kebulatan tekat" yang digambarkan dalam bentuk lingkaran-lingkaran
pada motifnya. Maksud kebulatan tekat adalah pengabdian diri dari abdi atau rakyat yang
sepenuhnya untuk raja dan kerajaannya.
Motif kawung memiliki makna simbol tentang "kesuburan", mengingat sumber ide dalam
penciptaannya juga mengambil dari bentuk biji. Pada masyarakat Jawa memahami bahwa suatu
biji pohon dianggap memiliki makna simbol kesuburan, karena biji merupakan tunas dari
kehidupan. Bentuk biji pada motif kawung dapat dilihat dari pengertian kawung dari biji pohon
aren yang dinamakan "kolangkaling" serta biji buah nangka. Biji-biji buah aren dan nangka
apabila ditanam akan tumbuh, sehingga dapat dimanfaatkan hasilnya, mulai dari akar sampai
pada buahnya atau seluruh pohon dapat dimanfaatkan untuk kehidupan manusia .
Makna simbol biji dapat dikaitkan dengan penggunaan motif kawung yang memberi
harapan pada yang memakai akan suatu berkah tentang kesuburan. Motif kawung memiliki
makna simbol tentang harapan sebuah "umur panjang". Masyarakat Jawa memahami bahwa
motif kawung dapat diinterpretasikan sebagai simbolisme "umur panjang" yang diilhami dari
proses tumbuh sebuah biji kolang-kaling yang terus tumbuh dan panjang usianya. Dengan
demikian orang yang menggunakan motif kawung berharap suatu berkah umur panjang,
kehidupan yang aman tentram dan damai.
3.9. Makna Simbolis Warna pada Motif Kawung
Makna simbolisme warna pada motif kawung didasarkan pada warna klasik yang umum
digunakan dalam motif batik, yaitu warna putih, kekuning-kuningan, merah soga, dan warna
hitam. Warna putih memiliki makna simbolisme tentang kesucian, kejujuran, kebenaran, dan
berhati mulia, sehingga warna putih merupakan simbol dari sifat "mutmainnah" yang
digambarkan dengan arah utara dan simbol air. Makna simbolisme ini diilhami dari kawung latar
putih seperti pada Kawung Sen, Kawung Picis, Kawung Beton.
24
Warna kuning memiliki makna simbolisme tentang cinta terhadap kemewahan, suka
menonjolkan sesuatu yang dimiliki, sehingga warna kuning dalam perhitungan kepercayaan
orang Jawa (kosmologi Jawa) merupakan simbol dari sifat "supiyah"yang digambarkan dengan
arah barat, serta simbol dari angin. Makna simbolisme ini dapat diilhami dari bentuk motif
kawung yang memiliki warna latar kuning pada pola motifnya.
Warna Merah Soga memiliki makna simbolisme tentang sifat yang serakah, tamak,
sehingga warna merah soga dalam kosmologi Jawa memiliki makna simbol akan sifat "amarah"
yang digambarkan dengan arah selatan, serta simbol dari api. Tetapi apabila manusia dapat
menahannya serta dapat melawan, maka akan merubah menjadi sifat yang baik dan bijaksana,
suka berderma, serta apa adanya.
Makna simbolisme dari motif merah soga menjadi inspirasi pada motif kawung yang
memiliki warna latar merah soga pada pola motif.Warna hitam memiliki makna simbolisme
tentang watak tenang,bijaksana, suka menolong sesama serta mengamalkan kebijakan. Sehingga
warna hitam dalam kosmologi Jawa memiliki makna simbol akan sifat"lumawah" yang
digambarkan dengan arah timur dan simbol dari bumi. Makna simbolisme dari motif yang
menggunakan warna hitam member inspirasi pada bentuk kawung yang memiliki warna latar
hitam pada motif.
Warna-warna pada motif batik klasik secara keseluruhan terkandung konsep tentang
papat kiblat limpancer”'. Artinya bahwa setiap manusi memiliki empat sifat, yaitu mutmainnah,
supiyah, lumawah, dan amarah, tetapi dari keempat sifat manusia salah satu diantaranya ada
yang menonjol. Penonjolan sifat itulahyang akan mewarnai perbedaan karakter dari tiap-tiap
manusia yang hidup di dunia.
25
KESIMPULAN
Pemberian nama serta makna dalam motif kawung memiliki beberapa konsep yang melatar
belakangi, diantaranya:
Konsep pertama:
Adanya faham animisme, yaitu sebuah wawasan masyarakat Jawa kuno tentang
pemahaman alam dan yang diketahui melalui sejarah jaman nenek moyang. Masyarakat Jawa
menempatkan alam (mikrokosmos) bersama-sama dengan pemahaman alam (makro-kosmos) .
Masyarakat Jawa percaya dan memiliki keyakinan terhadap hal titisan dewa,serta percaya adanya
roh-roh nenek moyang menyebabkan terjadinya proses-proses alam yang diakibatkan olehnya,
sehingga perlu adanya keseimbangan antara mikro-kosmos dan makro-kosmos dengan jalan
mengadakan persembahan kepadanya. Masyarakat Jawa percaya bahwa manusia memiliki jiwa
yang dapat meninggalkan tempatnya serta dapat memasuki makhluk atau dunia lain.
Jiwa manusia merupakan pelaku aktivitas spiritual yang dapat mencapai taraf tertentu
atau yang paling tinggi tergantung dari manusianya. Persoalan kematian bagi masyarakat Jawa
inilah menjadi konsep keberlanjutan hidup dan kekekalan yang diyakini selalu ada serta harus
dijalankan.Wund dan Spencer mengatakan bahwa produk psikologis yang tak terelakkan dari
kesadaran tersebut menciptakan mitos (Freud, 1918: 124).Bagi masyarakat Jawa produk
psikologis yang difahami membentuk sebuah kepercayaan bahwa roh raja akan selalu menjadi
dewa-dewa dialam lain (maya-padya), sehingga adatkebiasaan serta berbusana raja dimadya-
akan selalu termanifestasikan ke dalam busana para dewa dewa.
Konsep kedua :
Konsep kedua, adanya paham dinamisme yang menganggap bahwa roh-roh nenek
moyang ada di dalam benda-benda mati, sehingga benda benda mati memiliki kekuatan kekuatan
magis serta dapat dimanfaatkan oleh manusia sesuai tujuan dan harapannya. Adapun tujuan
sangatlah beragam, misalnya ada yang dimanfaatkan untuk tujuan kebaikan, dan ada juga yang
memiliki tujuan untuk kejahatan.
Kedua tujuan ini tidak dapat dipisahkan serta saling menyatu dalam kehidupan. Menurut
Levi Strauss (Ahimsa, 2000: 70-71) , konsep oposisi dinamakan binary oposition, yaitu sebuah
26
konsep oposisi yang berpasangan, misalnya ada siang dan malam, ada gelap dan terang, ada
hitam dan putih. Dalam cerita pewayangan, konsep tersebut selalu menyertai dalam berbagai hal
serta kehidupan masyarakat Jawa, juga keyakinan akan magis yang selalu ada di dalam benda
magis seperti keris dengan berbagai pamornya dan benda lainnya dapat dilihat dalam konsep
pembuatan motif kawung. Misalnya Kawung Sari, Kawung Sekar Ageng, Kawung Kembang,
kesemuanya dimaksudkan adanya kekuatan magis, sehingga yang memakai mengharapkan dapat
tercapai tujuan yang diinginkan.
27
DAFTAR PUSTAKA
Chadwick, C, 1972, Symbolism, London: Muthuen & Co. Tld.
Dillistone., F.W., 1986, The Power of Symbols, London: SCM. Press Ltd.
Hoben, V.J.H., 2002, Kraton dan Kompeni,Surakarta dan Yogyakarta1830-1870 (terjemahan:
Setyawati Alkhatab), Yogyakarta: Bentang Budaya.
Hamzuri, 1980, Batik Klasik, Jakarta:Djambatan.
Hitchcock, M., 1991, Indonesia Textiles,Berkeley, Singapore: Periplus Education.
Jakob Sumardjo, 2010, Estetika Paradoks, Bandung, Sunan Ambu Press.
Kalinggo Honggodipuro, KRT., 2002, Batik Sebagai Busana Dalam Tatanan dan Tuntunan,
Surakarta: Yayasan Peduli Kraton Surakarta Hadiningrat.
Mulder, N., 1996, Pribadi dan Masyarakat Jawa, Jakarta; Sinar Harapan.
Susanto, S., 1980, Seni Kerajinan Batik Indonesia, Yogyakarta: Balai Penelitian
dan Pengembangan Batik dan Kerajinan.
28