volume 3, no 1, mei 2019 - ub
TRANSCRIPT
•
• Menakar Ulang Ekonomi Kerakyatan di Pulau Padang, Riau
Masdar Faridl AS
• Peta Politik Industri Batik Yogyakarta dan Dampaknya dalam Sistem Perburuhan Batik
di Yogyakarta
Dewi Puspita Rahayu
• Produksi Ruang dan Perubahan Pengetahuan pada Masyarakat Sekitar Objek Wisata
Waterland
Iwan Nurhadi, Lutfi Amiruddin & Genta Mahardhika Rozalinna
• Pengendalian Massa dalam Pemikiran Gustave Le Bon
Amin Mudzakkir
• Promoting “Difabel”, Promoting Social Model of Disability in Indonesia, Study of
Disability Movement in Yogyakarta
Slamet Thohari
• Adaptasi Sosial Warga Kedungharjo Golongan NU di Tempat Relokasi Warga
Muhammadiyah Sebagai Dampak Pembangunan Proyek Jalan Tol Solo-Ngawi
Atika Yulianti, Iwan Nurhadi & Lutfi Amiruddin
• Pengorganisasian Komunitas Serikat Pekerja Rumah Tangga Sapuli di Dalam
Memperjuangkan Situasi Kerja Layak
Ari Ujianto
e-ISSN: 2597-7326
p-ISSN: 2598-1048
Volume 3, No 1, Mei 2019
Editorial
Wida Ayu Puspitosari1
Jurnal Kajian Ruang-Sosial Budaya Vol. 3 No. 1 Tahun 2019 kali ini memuat artikel yang
mengulas mengenai isu kelas pekerja dan komunitas marjinal dalam menghadapi dan melawan
struktur dominasi. Ragam struktur dominasi yang akan anda jumpai di dalam artikel terkait
terwujud dalam dimensi ekonomi, budaya, politik dan tata kelola pemerintahan, serta
penguasaan sumber daya alam. Setidaknya terdapat tujuh artikel yang akan mendiskusikan satu
per satu struktur dominasi yang kami sebut di atas.
Kita membuka diskusi dengan artikel Masdar yang mengulas soal ketimpangan distribusi
dana dari pemerintah untuk usaha kecil di Pulau Padang, Propinsi Riau. Ketimpangan ini
dialami oleh kelompok suku Akit sebagai keturunan Orang Suku Laut yang lebih lama
menduduki wilayah sekitar ketimbang suku Malayu dan Jawa, yang notabene jauh mendapatkan
suntikan dana lebih banyak. Menurutnya, pemerintah selayaknya memberikan perhatian pada
suku Akit dengan merevisi kebijakan pemberdayaan ekonomi yang ramah dengan penduduk
lokal.
Dewi menelusuri peta politik industri batik Yogyakarta dan dampaknya dalam sistem
perburuhan batik di Yogyakarta. Dari proses investigasinya ditemukan beberapa strategi yang
dilakukan oleh pemerintah daerah dan para pelaku industri batik yang menggambarkan peta
politik industri batik di Yogyakarta seperti menjadikan pasar luar negeri sebagai pangsa pasar
1 Wida Ayu Puspitosari, editor Jurnal Kajian Ruang Soaial-Budaya. Email: [email protected]
© Wida Ayu Puspitosari, 2019
Jurnal Kajian Ruang Sosial-Budaya, Vol 3, No 1, 2019. Hal.1-3.
Cara mengutip artikel ini, mengacu gaya selikung American Sociological Association (ASA):
Puspitosari, Wida A. 2019.”Editorial,” Jurnal Kajian Ruang Sosial-Budaya 3(1): 1-3.
DOI:10.21776/ub.sosiologi.jkrsb.2019.003.1.01
EDITORIAL
2 Puspitosari
batik; adanya program batikmark; kerja sama dengan Departemen Pariwisata Pos dan
Telekomunikasi DIY dengan menjadikan pabrik dan gerai showroom sebagai salah satu obyek
wisata yang terdapat di Yogyakarta yakni melalui workshop batik serta menjadikan pabrik
mereka sebagai ruang display proses membatik bagi wisatawan; serta menguatkan identitas
budaya Jawa dalam motif maupun proses membatik. Peta politik ini kemudian berimplikasi pada
adanya indikasi eksploitasi buruh batik Yogyakarta yang didukung oleh hegemoni budaya Jawa.
Iwan, Lutfi dan Genta menulis tentang produksi ruang dan perubahan pengetahuan
pada masyarakat sekitar objek wisata Waterland. Dari proses penelusurannya terdapat
transformasi ruang; berasal dari produksi ruang absolut, yang merupakan bagian dari kehidupan
sehari-hari masyarakat yang tidak bergantung pada industry pariwisata, menjadi ruang abstrak
yang dilegitimasi melalui wacana keuntungan dari pariwisata bagi investor. Lebih jauh lagi,
kontestasi antara wacana dan wacana tandingan terjadi ketika perubahan tata guna lahan
tersebut. Hal tersebut terjadi pada proses dominasi wacana oleh elit desa, sedangkan wacana
tandingan hanya muncul pada masyarakat bawah. Perubahan tata guna lahan, berkonsekuensi
pada kerusakan ekologi, terutama pada sumber daya air karena penggunaannya yang untuk
kebutuhan wisata Waterland. Terdapat juga potensi konflik sejak adanya penggunaan air yang
menyebabkan kelangkaan sumber daya tersebut. Dalam penelitian ini menunjukkan masyarakat
belum siap menerima industri pariwisata.
Secara teoritis, Amin menulis tentang massa dan kepemimpinan berdasarkan teks The
Crowd karya Gustave Le Bon. Dengan pembacaan kritis terhadap teks Le Bon ini terlihat dua
kemungkinan sudut pandang lain dalam memahami hubungan antara massa dan
kepemimpinan. Kemungkinan pertama adalah massa merupakan refleksi dari kebudayaan
tertentu, hasil dari sebuah proses historis tertentu, sehingga pemimpin yang muncul dalam
kerumunan tersebut tetap terikat dengan sistem atau nilai yang dominan, setidaknya mereka
harus menyesuaikan diri dengan tradisi sejauh itu hidup di kalangan pengikutnya.
Slamet mengulas lebih dalam tentang proses dekonstruksi diskursus komunitas
“Penyandang Cacat” menjadi “Difabel”. Hasil penelusurannya menemukan bahwa model sosial
kajian disabilitas di Indonesia menemukan momentumnya untuk menemukan paradigma baru
pada pemilu presiden Indonesia tahun 2004.
Atika, Iwan dan Lutfi membahas mengenai adaptasi sosial warga Kedungharjo golongan
NU (Nahdlatul Ulama) di tempat relokasi Mayarakat Muhammadiyah sebagai dampak
pembangunan jalan tol Solo-Ngawi. Kami memilih untuk meneliti masyarakat Kedungahrjo
yang pindah jauh daritetangganya yang berada di Dusun Sengon dan Dukuhan. Karakt eristik
warga dari Dusun tersebut adalah peri urban atau semi perkotaan dengan warga yang heterogen,
termasuk dengan adanya perbedaan golongan agama Islam antara NU dan Muhammadiyah.
Hasil penelusurnanya menemukan bahwa warga Kedungharjo melakukan adaptasi untuk
mengatasi perbedaan golongan agama tersebut dengan conformity yaitu mengikuti kegiatan
keagamaan di tempat relokasi; ritualisme yaitu warga Kedungharjo yang masih
Editorial 3
mempertahankan nilai dan norma yang diyakini orang-orang NU; retritisme yaitu bentuk
pengunduran diri dengan tidak mengikuti kegiatan keagamaan dari golongan Muhammadiyah;
dan inovasi yaitu dengan mengadakan kegiatan keagamaan di tempat baru.
Menutup diskusi, Ari membahas pengorganisasian komunitas (community organizing)
yang dilakukan Serikat Pekerja Rumah Tangga Sapulidi, Jakarta dalam memperjuangkan situasi
kerja layak (decent work) di Indonesia, tahun 2013-2018. Situasi kerja yang dialami pekerja rumah
tangga di Indonesia belum bisa disebut layak karena masih terdapat eksploitasi, kekerasan dan
eksklusi dari kewargaan industrial. Salah satu sebab masalah itu terus terjadi adalah karena
pekerja rumah tangga tidak terorganisasi.
Akhir kata, redaksi berharap Jurnak Kajian Ruang Sosial Budaya dapat menjadi ruang
literasi bagi pembaca sekalian. Kami mengucapkan selamat membaca dan berdiskusi.
Daftar Isi
Menakar Ulang Ekonomi Kerakyatan di Pulau Padang, Riau....................................................................... 5
Peta Politik Industri Batik Yogyakarta dan Dampaknya dalam Sistem Perburuhan Batik di Yogyakarta ... 30
Produksi Ruang dan Perubahan Pengetahuan pada Masyarakat Sekitar Objek Wisata Waterland .......... 46
Pengendalian Massa dalam Pemikiran Gustave Le Bon ............................................................................ 65
Promoting “Difabel”, Promoting Social Model of Disability in Indonesia, Study of Disability Movement in
Yogyakarta ................................................................................................................................................ 79
Adaptasi Sosial Warga Kedungharjo Golongan NU di Tempat Relokasi Warga Muhammadiyah Sebagai
Dampak Pembangunan Proyek Jalan Tol Solo-Ngawi ............................................................................. 100
Pengorganisasian Komunitas Serikat Pekerja Rumah Tangga Sapulidi Dalam Memperjuangkan Situasi
Kerja Layak .............................................................................................................................................. 111
ARTIKEL
Menakar Ulang Ekonomi Kerakyatan di Pulau Padang, Riau
Masdar Faridl AS1
This is related to the existence of financial inclusion from the government which leads
to economic improvement for small entrepreneurs in the region. However, the
people's economy cannot be absorbed by all groups. In the people of Padang Island,
Riau, people’s economic policies only apply to minority groups. The group is ethnic
Malays and Javanese. While minority groups such as the Akit people (native) group
did not get this right. This is because this system is biased towards ethnic problems.
Akit people as descendants of Orang Suku Laut (OSL) are considered to have no
ability in financial management and business plan. Thus, the cooperative economic
system in the village only benefits the majority. The failure of the populist economic
system in certain ethnic groups is an important note for the government to overcome
ethnic and racial boundaries in carrying out an economy that is friendly to the small
people.
Keynote: populist economy, Padang Island, Akit people, minority, democracy
economy.
1 Masdar Faridl AS. Peneliti/penulis dari Humaniora Institute, Email: [email protected]
© Masdar Faridl AS, 2019
Jurnal Kajian Ruang Sosial-Budaya, Vol. 3, No. 1, 2019. Hal.5-29.
Cara mengutip artikel ini, mengacu gaya selikung American Sociological Association (ASA):
Faridl, Masdar.2019.” Menakar Ulang Ekonomi Kerakyatan di Pulau Padang, Riau,” Jurnal Kajian Ruang
Sosial-Budaya 3(1): 5-29.
DOI: 10.21776/ub.sosiologi.jkrsb.2019.003.1.02
6 Faridl
A. Pendahuluan: Akar Ekonomi Rakyat
Salah satu mukadimah kebijakan ekonomi Indonesia lahir dari gagasan Pancasila yang
termuat dalam sila keempat, yakni “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan”. Gagasan tersebutlah yang kemudian diadopsi dalam asas
demokrasi ekonomi sebagaimana tercantum pada penjelasan Pasal 33 UUD 1945 yang oleh
Sidang Tahunan (ST) MPR 2002 dijadikan landasan atas ekonomi kerakyatan. Landasan ekonomi
kerakyatan juga berasal dari Pasal 27 ayat 2 dan Pasal 34, dengan bunyi peran negara dalam
sistem ekonomi kerakyatan antara lain meliputi lima hal sebagai berikut: (1) mengembangkan
koperasi; (2) mengembangkan BUMN; (3) memastikan pemanfaatan bumi, air, dan segala
kekayaan yang terkandung didalamnya bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; (4)
memenuhi hak setiap warga negara untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang
layak; (5) memelihara fakir miskin dan anak terlantar (Awang, 2014). Kelima asas ekonomi
kerakyatan inilah yang dijadikan pilar pembangunan nasional oleh pemerintah hingga saat ini.
Inilah babak di mana ‘ekonomi kerakyatan’ menjadi fondasi dari tatanan kehidupan
sosial-ekonomi masyarakat. Sejarah munculnya gagasan ‘ekonomi kerakyatan’ sendiri
merupakan sebuah perjalanan panjang. Hal tersebut dimulai dari ide Moh. Hatta1 ketika
melaksanakan program perekonomian Indonesia pasca kolonialisme Hindia-Belanda. Ia
memperhatikan situasi sosial-ekonomi Indonesia sebagai negara baru yang mewarisi sistem
pemerintah Hindia-Belanda dengan menempatkan kaum pribumi dalam kelas strata sosial
paling bawah. Moh. Hatta untuk untuk pertama kalinya memperkenalkan sistem ‘ekonomi
1 Sifat demokrasi asli Indonesia menurut Bung Hatta adalah: “Adapun demokrasi asli yang ada di desa-
desa di Indonesia mempunyai tiga sifat yang utama, yang harus dipakai sebagai sendi perumahan Indonesia Merdeka!
Pertama, cita-cita Rapat yang hidup dalam sanubari rakyat Indonesia dari zaman dahulu sampai sekarang. .... Kedua,
cita-cita massa-protes, yaitu hak rakyat untuk membantah secara umum segala peraturan negeri yang dipandang
tidak adil. ..... Ketiga, cita-cita tolong menolong! Sanubari rakyat Indonesia penuh dengan rasa bersama, kolektiviteit.
.... Inilah tiga sendi dari demokrasi Indonesia! Jika lingkungannya diluaskan dan disesuaikan dengan kemajuan
zaman, ia menjadi dasar kerakyatan yang seluas-luasnya, yaitu Kedaulatan Rakyat seperti paham Pendidikan
Nasional Indonesia,”
Menakar Ulang Ekonomi Kerakyatan di Pulau Padang, Riau 7
Pancasila1’ yang merupakan asas dari ekonomi kerakyatan yang digunakan pada masa revolusi
sebagai penguat sendi-sendi nasionalisme.
Definisi ‘pribumi’ yang dimaksud oleh Hatta saat itu merujuk pada ‘rakyat’ yang
mayoritas adalah warga asli keturunan Nusantara, seperti halnya Jawa, Melayu, Sunda, dan lain
sebagainya. Definisi tersebut juga merupakan strategi politik nasionalisme yang menguatkan
politik identitas ‘ke-Indonesia-an’. Akan tetapi terminologi ‘rakyat’ di sini luput dari etnis-etnis
pendatang dan masyarakat pinggiran, seperti Tionghoa, Orang Laut/Suku Laut, Indies, dan
etnis-etnis keturunan lainnya. Luputnya pendefinisian ‘rakyat’ atau ‘pribumi’ terhadap etnis-
etnis di keturunan dan pinggiran pada saat itulah yang membuat sistem ekonomi kerakyatan
sampai saat ini perlu dikaji ulang. Sebagai contoh, di dalam studi mengenai kelompok etnis
Tionghoa dan orang asli (Akit) di Pulau Padang masih terdapat warisan sistem ekonomi yang
bias kerakyatan. Kelompok etnis Tionghoa adalah pewaris taukeh-taukeh karet, sagu, dan
komoditi lainnya yang sejak masa kolonial dipekerjakan sebagai distributor dan kurir
perusahaan Eropa.
Selain warga keturunan Tionghoa, luputnya definisi ‘kerakyatan’ dalam perekonomian
masyarakat Pulau Padang juga terjadi pada orang asli atau suku rawa dan laut (sering disebut
sebagai orang Akit). Sejak dahulu, kelompok etnis ini telah menjadi bagian dari praktek
subsistensi warisan ekologi sekitar. Mereka tinggal di pinggir-pinggir rawa hutan gambut dan
melakukan aktivitas ekonomi secara sederhana. Akan tetapi, pemerintah Indonesia sejak berdiri
tidak pernah mendefinisikan keberadaan mereka sebagai bagian dari ‘pribumi2’. Mereka adalah
1 Moh. Hatta sendiri dalam menyelenggarakan ekonomi lebih sering menggunakan kata
‘pancasila’ dari pada ‘rakyat’. ‘Ekonomi Pancasila’ yang digagas oleh Moh. Hatta adalah bentuk dari sistem
pengelolaan sumber daya produksi yang ada di Indonesia sebagai bentuk atas kedaualatan hak-hak orang
banyak. Sistem ini merujuk pada sebuah pedoman ‘komunalisme’ yakni bentuk akses dan pengelolaan
sumber daya ekonomi oleh sebuah jaring sosial di dalam masyarakat.
2 Terminologi ‘pribumi’ dalam sejarah Indonesia digunakan sebagai bentuk imagined community
untuk membangun nasionalisme dan patriotisme melawan penjajah. Akan tetapi, bahasa politik ini
ternyata merujuk pada kultur agraria atau masyarakat yang tinggal di darat/bumi. Padahal, dalam lanskap
budaya Indonesia, terdapat masyarakat suku laut yang mendiami tepian rawa bakau/gambut, dan karang.
Terminologi ini menihilkan keberadaan suku laut dan masyarakat pinggiran dalam kontekspolitik
maupun ekonomi.
8 Faridl
orang asing yang tidak hidup di ‘darat’, sehingga secara administratif tidak tercantum sebagai
warga negara Indonesia. Pada tahun 1980-an, ketika dilakukan program ‘pendaratan’
(resettlement) dari pemerintah, terjadi perubahan sistem ekonomi subsistensi menjadi ekonomi
pasar. Menurut Chou (2010), ketika masyarakat laut menjadi darat, mereka harus membeli segala
macam kebutuhan darat melalui sistem pertukaran uang. Sedangkan selama mereka hidup di
laut, mereka subsisten dengan sumber daya di laut. Program pemerintah dalam mendefinisikan
orang Akit dalam segi ekonomi ini sangat bias terhadap asas kerakyatan, karena secara tak
langsung pemerintah tidak menjamin kedaulatan mereka atas sumber daya hayati dalam
pemenuhan kebutuhan hidup. Kedua contoh mengenai keluputan dari pendefiisian ekonomi
kerakyatan bagi masyarakat Pulau Padang ini adalah segelintir permasalahan mengenai problem
ekonomi kerakyatan bagi masyarakat pinggiran.
B. Sejarah Demokrasi Kerakyatan Masyarakat Pulau Padang
Sejak dahulu, pesisir Timur Sumatera dan Selat Malaka merupakan arena perekonomian
global lintas bangsa. Arena tersebut selain mempunyai letak geografis yang strategis juga
menjadi ajang dari adu kekuasaan atas hak-hak politik eksploitasi sumber daya alam di pulau-
pulau sekitarnya. Pada masa emporium kolonial misalnya, dua raksasa korporasi perkebunan
Eropa (Inggris dan Belanda) yang bertonggak di Selat Malaka mulai melakukan ekspansi
terhadap pulau-pulau kecil seperti Bengkalis, Pulau Padang, dan Tebing Tinggi (Arrozy, 2017).
Ada dua kemungkinan dari hadirnya kekuasaan kolonialisme di Timur Sumatera tersebut: 1)
praktek kolonisasi sumber daya alam yang membangkitkan kesadaran pribumi dan Tionghoa
(perantara) untuk melakukan eksploitasi warisan ekologi mereka, dan 2) munculnya modernisasi
sekaligus jaringan global yang membuat percepatan dalam praktek distribusi pasar. Kedua
kemungkinan inilah yang menjadi warisan kolonialisme terhadap akses dumber daya alam di
Pulau Padang sampai sekarang.
Pertama, sejak Pemerintah Belanda dan Inggris datang di Timur Sumatera dengan para
insinyur biologi dan geologi, mereka melakukan inventarisasi atas sumber daya alam yang ada
di pulau-pulau. Mereka mulai melibatkan orang pribumi (Melayu) dan Tionghoa untuk
melakukan penelusuran ke rawa-rawa di hutan gambut. Dari hasil inventarisasi tersebut, para
Menakar Ulang Ekonomi Kerakyatan di Pulau Padang, Riau 9
teknokrat ini membuat peta kolonisasi baru. Pribumi penguasa tanah lokal (pemuka adat) dan
Tionghoa kemudian diajak berkerjasama dalam praktek pembalakan kayu dari hutan-hutan di
tengah pulau. Bagi pribumi yang mempunyai kuasa atas lahan dilibatkan dalam proses
pembukaan lahan, sedangkan para Tionghoa adalah taukeh yang melakukan distribusi hilir-
mudik komoditi keluar dari pulau. Pribumi yang menyaksikan proses pembalakan tersebut
justru berminat dan terlibat dalam eksploitasi. Mereka mulai mengkonversikan kayu ke dalam
uang dan mengenal sistem kredit. Walaupun jumlah tersebut tidak banyak, akan tetapi hal ini
telah memberikan gambaran mengenai adanya warisan kolonialisme yang menular ke pribumi.
Kedua, munculnya modernisasi dan jaringan global di pesisir Timur Sumatera telah ada
sejak zaman Sriwijaya. Akan tetapi, sejak munculnya dua raksasa kolonial (Inggris dan Belanda)
di pesisir utara, jaringan global tidak lagi jaringan perdagangan antar bangsa, tetapi sekaligus
jaringan politik poros Eropa dan Asia. Di akhir abad 19 misalnya, era liberalisasi telah
menghasilkan olahan komoditi-komoditi lokal seperti sagu, gambir, lada, pohon merbau, pohon
oak. Olahan tersebut menjadi komoditi yang sampai ke pasar dunia. Munculnya jaringan
perdagangan global ini sekaligus berdampak pada hadirnya modernisasi bagi masyarakat lokal.
Pembangunan pelabuhan, kota-kota kecil, dan kampung orang-orang (migrasi) Jawa telah
menciptakan sebuah modernitas kecil. Wujud dari hadirnya modernitas bagi masyarakat adalah
mulai dikenalnya sistem kredit, perbankan, dan lain sebagainya. Sektor perbankan saat itu
didominasi oleh perusahaan Belanda, Inggris, dan Cina. Kelompok Tionghoa juga mampu
mengelola sebagian kredit pedesaan (Arrozy, 2017). Hadirnya sistem kredit melalui perbankan
ini menjadi titik awal dari munculnya perekonomian modern. Ciri-ciri dari munculnya
perekonomian ini adalah dengan munculnya faktor-faktor produksi seperti alat balak, teknologi
pertanian modern, dan modal yang cukup besar. Oleh sebab itulah, masyarakat mulai melakukan
pinjaman kredit ke perbankan (Belanda) dan taukeh (Cina). Pada titik ini, bentuk ekonomi
komunal sebenarnya sudah mulai ditinggalkan dan muncul kapitalisme dalam skala mikro.
Berubahnya sistem ekonomi dari komunal ke modern (kapitalisme) bagi sebagian
masyarakat di Pulau Padang pada masa kolonial ini adalah awal di mana sistem demokrasi mulai
luntur oleh pengaruh kolonialisme. Masyarakat yang dahulu terbiasa untuk kerja komunal
10 Faridl
dalam memanfaatkan sumber daya alam setempat, kemudian berubah menjadi kelompok yang
bekerja atas basis penguasaan lahan. Bagi mereka yang mempunyai lahan paling banyak, maka
mereka menguasai sistem demokrasi yang ada masyarakat. Selain basis lahan, sistem demokrasi
pada masa kolonial juga bisa dilihat dari sistem politik ‘kampung’ di Pulau Padang. Pada masa
kolonial, Pulau Padang dipecah menjadi 13 kampung, yakni Kota Tandjoeng Padang, Sialang
Bandoeng, Gelam, Asam, Mesing, Pangkalandjal, Koedap, Pisang, Birah, Koeat, Klemin, dan
Koerau (Arrozy, 2017). Sistem politik kampung pada masa kolonial hampir sama dengan desa
sekarang. Akan tetapi, yang membedakan adalah jumlah pajak yang tinggi (kolonial) serta
tatanan demokrasi yang dikuasai sentral (feodalisme) dan tidak ada otonomi atas lahan dan
kehidupan yang layak. Di dalam sistem ‘kampung’ ini, masyarakat tidak mempunyai hak untuk
memilih kepala kampung (monarki), tidak ada hak untuk memilih akses lahan. Semua diatur
oleh pemerintah kolonial dan pemangku adat/kampung. Oleh sebab itulah, demokrasi ekonomi
juga tidak pernah tercapai.
Kemerdekaan Indonesia sebagai negara yang berdaulat atas sumber daya alam tidak
menjamin demokrasi kerakyatan di Pulau Padang. Pasca kemerdekaan, Moh. Hatta dan Agoes
Salim yang menjadi pengambil kebijakan ekonomi baru melalui negara Indonesia telah
melakukan telaah terhadap Riau dan Kepulauan Riau sebagai daerah yang mewarisi sistem
ekonomi kolonial yang eksploitatif. Hasilnya, terjadi sebuah ketimpangan ekonomi antara
masyarakat (pribumi) dengan perkembangan korporasi besar (warisan kolonial) dan
meninggalkan beban hutang yang amat besar kepada negara. Menteri Keuangan pertama saat
itu, Dr. Samsi Sastrawidagda yang dibantu para saudagar daerah berusaha menyelesaikan
hutang-hutang sisa kolonialisme Belanda kepada British Malaya di Singapura. Moh. Hatta dan
Agoes Salim akhirnya mengambil sebuah kesimpulan, perlunya dorongan bumiputera (pribumi)
untuk mengembangkan usaha berbasis sumber daya alam guna mereduksi perbisnisan Tionghoa
yang tidak bisa pergi dari pesisir Timur Sumatera. (Arrozy, 2017).
Babak baru demokrasi ekonomi pasca kemerdekaan ini adalah masa paling susah untuk
melakukan ‘bersih-bersih’ warisan kolonial yang telah bercokol ratusan tahun lalu. Soekarno
melalui program nasionalisasi, Indonesianisasi, dan pribumisasi telah bertanggung jawab untuk
Menakar Ulang Ekonomi Kerakyatan di Pulau Padang, Riau 11
melakukan pengalihan warisan kolonial ke dalam kantong negara. Di Pesisir Timur Sumatera
misalnya, telah dilakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan perkebunan beserta lahannya
menjadi bagian dari PTPN dan perusahaan milik negara lainnya. Selain itu, ada juga
indonesianisasi warisan-warisan kolonial seperti perkantoran, perumahan dan benda cagar
budaya. Akan tetapi, yang mejadi masalah adalah sedikit sekali dilakukan pribumisasi aset
kolonial yang dahulu merupakan warisan rakyat yang pernah dirampas oleh Belanda. Warisan
rakyat tersebut seperti tanah adat, lahan perkebunan, dan dan lahan pertambangan. Pribumi
yang saat itu merupakan warga negara baru tidak mempunyai dorongan untuk melakukan
perlawanan terhadap negara (Reid, 2011). Hal tersebut juga berbeda dengan di Jawa, saat banyak
dilakukan land reform, masyarakat di Pualau Padang tidak melakukan advokasi selayaknya
petani di Jawa yang telah termobilisasi oleh gerakan sosial. Hal semacam inilah, yang nantinya
akan menjadi bom waktu seperti munculnya konflik-konflik lahan pasca reformasi.
Menuju masuknya rezim Orde Baru ke Pesisir Timur Sumatera, tidak juga memberikan
jaminan atas demokrasi ekonomi bagi masyarakat. Rezim Orde Baru sadar betul akan sumber
daya hutan sebagai komoditi utama yang bisa diproduksi dan menjadi bagian dari agenda
pembangunan nasional. Undang-undang pemanfaatan sumber daya hutan untuk pertama kali
dibuat pada tahun 1967-1998. Di dalam UU No.5/1967 tentang Undang-undang Pokok
Kehutanan tersebut, terdapat pandangan hutan sebagai kayu dan konservasi alam. Tidak ada
mandatori yang kuat untuk memposisikan rakyat sebagai komponen penting dalam pengelolaan
dan pemanfaatan sumber daya hutan (Awang, 2014). Sejak saat inilah residu kolonialisme
terulang kembali. Negara, korporasi, dan rakyat justru berbondong-bondong melakukan aksi
pembalakan ke dalam hutan. Aksi pembalakan tersebut tersistematis dan diakomodir oleh sistem
ekonomi negara. Menurut pengakuan orang-orang di Pulau Padang yang pernah melakukan
pembalakan pada masa ini, mereka cukup sukses dengan mendapatkan uang hasil pembalakan
yang cukup besar. Akan tetapi, mereka tidak mengetahui kepada siapa hasil pembalakan
tersebut didistribusikan. Kemungkinan terbesarnya adalah korporasi dan negara yang saling
bekerjasama. Sistem demokrasi ekonomi semacam ini menjadi corak dari kegagalan rezim Orde
Baru dalam melakukan pembangunan, yakni menjadikan rakyat sebagai obyek dan melakukan
eksploitasi besar-besaran atas sumber daya alam pendukung.
12 Faridl
Salah satu titik terang dari demokrasi ekonomi pada masa Orde Baru sebenarnya telah
muncul pada akhir 1980-an. Dibentuknya kesepakatan “Indonesia Malaysia Singapura Growth
Triangle (IMSGT)” pada Desember 1989 telah membukan kemungkinan demokrasi ekonomi bagi
masyarakat pesisir Timur Sumatera untuk lepas dari sistem eksploitatif ala Orde Baru. Menurut
Mubyarto (1995), pembangunan kawasan ekonomi Timur Sumatera (Kepri dan Selat Malaka)
merupakan bagian dari the growth triangle atau Segitiga Pertumbuhan yang akan mengarah pada
pembangunan ekonomi yang lebih mandiri dan tidak berbasis lahan. Hal tersebut dikarenakan
di dalam kesepakatan tersebut, ketiga negara ini juga membawa isu berkaitan dengan masalah
sosial, budaya, politik, wilayah teritori kelautan.
IMSGT menyepakati adanya kerjasama pembangunan ekonomi kawasan guna
menghindari praktek-praktek kolonialisme seperti yang telah menjadi warisan dari ketiga negara
ini. Salah satu agenda utama dalam IMSGT adalah dibukanya pasar bebas di kawasan Asia yang
berpihak pada Pembangunan Indeks Manusia dan pemafaatan sumber daya alam secara
berkelanjutan. Dari agenda tersebut, mulai muncul hubungan-hubungan yang bersifat sosial-
ekonomi seperti dibukanya akses ketenagakerjaan bagi warga Indonesia untuk bekerja di
Malaysia dan Singapura dengan ijin yang mudah, hilir-mudik komoditi-komoditi lokal seperti
kayu dan sagu dari Pulau Padang ke pasar global, dan arus transmigrasi besar-besaran dari Jawa
ke Timur Sumatera. (Mubyarto, 1995) Namun, pada kenyataannya Pemerintah Indonesia yang
pada saat itu justru melakukan praktek-praktek kolonialisme baru seperti: pengkaplingan lahan
di pulau-pulau, perijinan terhadap amdal perusahaan tambang yang merusak ekologi, dan
perijinan terhadap perusahaan bubur kertas. Sejak saat itulah konflik antara masyarakat lokal
dan penguasa baru di Pulau Padang terjadi. Sistem demokrasi ekonomi yang harusnya didapati
oleh masyarakat kembali gagal oleh kekuasaan besar rezim Orde Baru.
Pasca Reformasi 1999, dilakukan revisi atas UU Kehutanan dari UU No.5/1967 menjadi
UU No.41/1999 tentang Kehutanan, menandai adanya perubahan pemikiran dalam pengelolaan
dan pemanfaatan sumber daya hutan. Undang-undang baru tersebut mengarah pada
pemanfaatan dan akses hutan melalui otonomi daerah dan melakukan desentralisasi ekonomi,
sehingga praktik-praktik kecurangan dapat diawasi langsung oleh pemerintah daerah serta
Menakar Ulang Ekonomi Kerakyatan di Pulau Padang, Riau 13
terwujud pengelolaan hasil sumber daya ekonomi yang mandiri oleh masyarakat daerah). UU
ini juga terus direvisi dengan munculnya PP No.6/2007 jo PP No.3/2008 tererkait dengan otonomi
daerah sesuai UU No.32/2004, kemudian juga sebelumnya telah telah dibuat PP No.38/2007
dengan lampiran AA tentang pembagian wewenang kegiatan kehutanan tingkat pemerintah
pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten (termasuk di dalamnya mengatur
pemberdayaan masyarakat). Salah satu yang menarik dari hadirnya sistem ekonomi demokrasi
masyarakat melalui sumber daya hutan adalah munculnya Peraturan Menteri Kehutanan
No.P.9/Menhut-II//2008 tentang Persyaratan kelompok tani hutan untuk pembangunan Hutan
Tanaman Rakyat. Di dalam Permen tersebut, demokrasi ekonomi masyarakat hutan
diselenggarakan dalam kelompok kecil (kelompok tani) dan menjadi pertanda adanya sistem
ekonomi kerakyatan yang lekat dengan masyarkat. Sistem demokrasi ekonomi inilah yang masih
berlangsung hingga sekarang (Awang, 2017).
Salah satu refleksi dari demokrasi ekonomi masyarakat hutan di Indonesia telah
dilakukan oleh Nancy Peluso dengan menyebut Indonesia sebagai Rich Forest, Poor People.
Artinya kawasan hutannya luas, tetapi masyarakat sekitar hutan miskin. Akan tetapi, hingga saat
ini pembangunan di kawasan hutan di Pulau Padang mengarah pada Poor Forest, Poor People.
Hutan tidak mampu lagi menjalankan fungsi sosial, ekonomi, dan lingkungan. Sistem demokrasi
ekonomi tidak mampu berjalan dengan baik. Tidak ada kesatuan yang kuat antara masyarakat,
negara, dan korporasi dalam menjalankan ‘ekonomi kerakyatan’. Kasus munculnya konflk PT.
RAPP di Pulau Padang telah menjadi refleksi bahwa negara telah ‘menjual’ sistem demokrasi
tersebut kepada korporasi. Yang artinya demokrasi ekonomi tidak lagi menjadi milik
masyarakat, tetapi milik penguasa-penguasa lahan seperti korporasi, pemerintah, dan pemangku
kepentingan.
C. Etnis, Etos, dan Pergulatan Sosial-Ekonomi Masyarakat
Awal abad 20 adalah titik tolak adanya eksploitasi lahan perhutanan di Pulau Padang dan
sekitarnya. Dibukanya era liberalisme telah membuka proses migrasi orang-orang dari Jawa ke
Sumatera sebagai tenaga kerja perkebunan dan perhutanan (Reid, 2011). Pulau Padang yang saat
itu sebagai salah satu remote area justru mendapatkan perhatian khusus dari Pemerintah Kolonial.
14 Faridl
Sumber daya hutan yang besar membuat Pemerintah Kolonial membuka peluang dalam
pemanfaatan komoditas hutan seperti sagu, merbau, meranti, dan karet (Arrozy, 2017). Orang-
orang Jawa mulai datang dan mendiami ‘tanah tak bertuan1’ tersebut. Begitu orang pula Melayu,
yang memiliki tradisi berdagang dan bertani juga masuk dan menjadi bagian dari bangsa baru
di Pulau Padang. Sisanya, orang Tionghoa sebagai tangan kanan kolonial menjadi menjadi
taukeh-taukeh yang dipercaya membantu proses distribusi dari rantai kolonialisme. Sedangkan
orang asli yang dahulu disebut sebagai orang ‘Rawa Sesap’ justru terpinggirkan dan tidak
mempunyai kesempatan dalam mengakses sumber daya tersebut. Orang Rawa Sesap inilah yang
kemudian berevolusi dengan kebudayaan setempat dan kini disebut sebagai Orang Akit.
Kedatangan orang Jawa di pulau Padang telah membuka akses pengeolaan sumber daya
alam melalui penanaman komoditi karet. Mereka dipekerjakan oleh Pemerintah Kolonial sebagai
tenaga pertanian ahli. Sedangkan orang Melayu tidak mempunyai kemampuan dalam pertanian
sebaik orang Jawa. Oleh sebab itulah, hingga saat ini orang Jawa mempunyai kedekatan dengan
penguasaan lahan di Pulau Padang. Mereka yang menjadi ‘Jawa-Pulau Padang’ mempunyai
hasrat atas penguasaan politik lokal. Oleh sebab itulah tidak heran jika di Pulau Padang banyak
kepala desa yang berasal dari orang. Kemampuan orang Jawa dalam mengolah lahan sekaligus
menjadikan mereka sebagai aktor feodalisme yang berusaha menguasai lahan sebesar-besarnya
di Pulau Padang. (Belvage, 2017)
Selain Jawa, peran penguasaan ekonomi dan sistem politik di Pulau Padang juga
dilakukan oleh etnis Tionghoa. Setelah Belanda menyingkir karena kedaulatan negara Indonesia,
orang-orang Tionghoa yang merupakan tangan kanan pemerintah Kolonial tidak bisa pergi
begitu saja. Mereka yang sejak dahulu telah menanam jaringan sosial berupa hutang-piutang
1 Istilah ‘tanah tak bertuan’ menjadi dalah satu paradoks dalam kolonialisme di Indonesia. Istilah
tersebut menjadi moitivasi dari adanya penguasaan lahan, politik, dan sumber daya lainnya oleh
kolonialisme. di Indonesia, terdapat banyak sekali ‘tanah tak bertuan’ yang kemudian oleh pemerintah
Kolonial dijadikan lahan kolonisasi. Pulau Padang adalah bagian dari tanah tak bertuan tersebut. Di pulau
yang memiliki sumber daya hutan kaya ini, pemerintah kolonial tidak pernah menganggap keberadaa
orang-orang asli seperti Orang Rawa Sesap. Oleh sebab itulah mereka mengajak orang Jawa dan Tinghoa
yang mempunyai kemampuan dalam penguasaan lahan dan ekonomi untuk melakukan pendudukan dan
ekploitasi sumber daya ekonomi berkepanjangan.
Menakar Ulang Ekonomi Kerakyatan di Pulau Padang, Riau 15
dengan etnis lain (Jawa, Melayu, Akit) harus tetap hidup berdampingan di Pulau Padang. Sistem
kolonialisme tidak lagi mereka terapkan, akan tetapi kini mereka menjalankan sistem kapitalisme
mikro melalui sistem taukeh. Mereka mempekerjakan orang-orang dari etnis lain untuk menjadi
nelayan dan buruh dengan gaji yang amat rendah. Belum lagi sistem ‘ikatan balas budi’ yang
harus diberikan terus-menerus dari buruh dan nelayan kepada mereka karena sistem
peminjaman modal di awal dan kredit. Hal semacam inilah yang membuat peran etnis Tinghoa
sebagai aktor dari penguasaan ekonomi non-lahan dan pasca produksi.
Sedangkan untuk etnis Melayu, mereka tidak mempunyai posisi yang kuat dalam
menentukan penguasaan ekonomi berbasis lahan dan produksi. Mereka banyak terlibat di
perkebunan akan tetapi jumlahnya tidak sebesar orang Jawa. Mereka juga terlibat dalam sistem
perdagangan (distribusi) akan tetapi tidak sebanyak orang Tionghoa. Posisi orang Melayu di
dalam akses sumber daya ekonomi di Pulau Padang lebih dikarenakan diaspora ekonomi-politik,
yang mana mengharuskan mereka untuk hijrah ke pualu-pulau di semenanjung Timur Sumatera
karena tanah utama (Singapura, Malaysia, Kepri) sudah dikuasai oleh saudagar-saudagar kaya.
Kehadiran mereka di Pulau Padang seperti mencari penghidupan baru yang lebih layak, dan
tidak mempunyai motif penguasaan seperti halnya saat di Selat Malaka.
Orang Akit yang merupakan evolusi dari orang Rawa Sesap lebih terpinggirkan lagi.
Kehadiran mereka di Pulau Padang awalnya adalah bagian dari politik resettlement pemerintah
Orde Baru pada tahun 1970-an menuju 1980-an. Mereka yang diharuskan mendarat kemudian
menjadi warga baru, yang tidak mempunyai akses terhadap lahan, sistem ekonomi, maupun
sistem politik (Chou, 2010). Minimnya modal dan pengetahuan mereka atas darat ini membuat
mereka tinggal di pinggir-pinggir rawa dengan mendirikan rumah semi permanen. Sebagian dari
mereka masih menggunakan cara hidup subsisten dengan memanfaatkan sumber daya alam
sebagai pemenuh kebutuhan keluarga dan menjauhi pasar di darat. Keberadaan orang Akit yang
merupakan orang asli ini menunjukkan adanya ketidakberpihakan sistem ekonomi kerakyatan
yang ada di Pulau Padang kepada rakyat. Ekonomi kerakyatan hanya berpihak kepada siapa
yang mempunyai modal kuat untuk mengakses lahan, pasar, dan sistem politik. Sedangkan bagi
16 Faridl
mereka yang mempunyai cara hidup susbsisten, justru tidak terdefinisikan sebagai bagian dari
ekonomi milik negara tersebut.
Jika dicermati lebih dalam, penguasaan sumber daya ekonomi di Pulau Padang
diselenggarakan berdasarkan etnis dan etos. Hal tersebut bisa dilihat sebagai berikut:
1. Pertanian karet yang sejak tahun 1902 menjadi bagian dari komoditi yang dihasilkan di
Sumatera telah menjadi bagian dari sumber ekonomi orang Jawa. Di Desa Anak Kamal
yang sebagian besar dihuni orang Jawa misalnya, akses mereka terhadap hutan untuk
pemanfaatan karet dilakukan secara teru-menerus. Jumlah lahan karet yang biasanya
dimiliki orang Jawa minimal adalah 2 hektar, sedangkan orang Melayu tidak lebih dari 1
hektar. Politik penguasaan lahan untuk komoditi karet inilah yang menjadi strategi dalam
pertanahanan hidup orang Jawa di Pulau Padang.
2. Sagu yang merupakan warisan ekologi Pulau Padang banyak ditanam oleh orang
Melayu, Akit, Cina, dan sedikit Jawa. Hal tersebut dikarenakan dua faktor: (1) moitivasi
ekonomi, (2) motivasi pangan dan ekologi. Orang Tionghoa, Melayu, dan Akit banyak
menanam sagu sebagai bentuk dari motivasi ekonomi sekaligus pangan dan ekologi.
Orang Tionghoa mempunyai banyak kilang sagu sebagai bentuk usaha ekonomi
sekaligus mereka juga mengkonsumsi sagu seperti mie sagu sebagai bahan makanan
pokok sehari-hari. Orang Melayu menanam sagu sebagai bentuk investasi ekonomi untuk
kebutuhan mendadak (economic security) juga sebagai investasi pangan jika sewaktu-
waktu terjadi krisis. Orag Akit menanam sagu untuk dijual dan dikonsumsi sendiri
sebagai bentuk dari usaha subsistensi ekonomi. Sedangkan orang Jawa tidak banyak
menanam sagu karena mereka tidak mempunyai kultur dalam mengkonsumsi sagu
sebagai makanan pokok, dan tidak terbiasa dengan sistem ekonomi pertanian berjangka
lama. Orang Jawa telah terbiasa dengan sistem ekonomi karet dengan model easy money.
3. Perikanan yang merupakan sektor utama selain lahan di dominasi oleh orang Tionghoa,
Akit, dan Melayu. Hal tersebut bisa dilihat bagaimana posisi tempat tinggal etnis-etnis ini
yang berada di pesisir pantai. Sebagai contoh di Desa Selat Akar, yang sebagian besar
bermata pencaharian nelayan. Rumah-rumah penduduk menghadap ke pantai. Mereka
Menakar Ulang Ekonomi Kerakyatan di Pulau Padang, Riau 17
bekerja sebagai nelayan gumbang, nelayan sondong, nelayan keramba. Etnis Tionghoa
menjadi yang paling dominan, karena selain sebagai nelayan mereka juga sebagai taukeh
dan penguasa pasar ikan. Orang Jawa tidak mempunyai keahlian di laut, sehinga mereka
melakukan penguasaan berbasis lahan ke dalam hutan.
4. Peternakan yang terdiri dari sapi, babi, dan ayam didominasi oleh semua etnis. Khusus
untuk babi diternakan oleh etnis Tionghoa dan Akit. Sapi dan ayam banyak
dikembangkan orang Jawa. Di dalam peternakan ini, sistem ekonomi terbagi menjadi
dua: (1) economic security yang mana ternak sebagai pemenuh kebutuhan ekonomi yang
mendadak seperti saat sakit, biaya pendidikan, atau punya hajat, (2) economic safety yang
mana ternak sebagai pemenuh kebutuhan pangan keluarga, status sosial, simbol
kebahagiaan. Namun, jumlah ternak di Pulau Padang tidak banyak sehingga komoditas
ini tidak menjadi bagian dari arena ekonomi masyarakat.
Penguasaan sumber daya ekonomi di Pulau Padang juga dipengaruhi oleh etos kerja dan
tingkat pengetahuan etnis yang mendiaminya. Menurut Suparlan (1995) di kawasan kepulauan
di pesisir Timur Sumatera terdapat urutan strata kelas sosial yang menguasai sumber daya
ekonomi, yakni: (1) Tionghoa, (2) Jawa, (3) Melayu, (4) Orang Asli/ Akit/ Orang Rawa. Strata
sosial dalam penguasaab sumber daya ekonomi itu juga nampak dalam masyarakat Pulau
Padang. Hal tersebut bisa dilihat dari hal berikut:
• Etnis Tionghoa dikenal sebagai pendatang yang telah ada sejak ratusan tahun lalu.
Mereka mewarisi tradisi berlayar sekaligus berdagang. Pada msa kolonial (liberalisme)
mereka menjadi tangan kanannya Belanda dalam mendistribusikan komoditi dari hutan-
hutan di pedalaman pulau. Kerja keras sebagai pendatang, pelaut, pedagang, sekaligus,
pegawai inilah yang membuat mereka mempunyai banyak kemampuan untuk bertahan
di Pulau Padang. Mereka membuat jaringan sosial antar taukeh (ikan, sagu, karet) dan
jaringan kekerabatan (turun-temurun) untuk menciptakan sebuah sistem pasar lokal
yang mendukung kedudukan mereka. Orang Tionghoa tidak harus mempunyai lahan
yang besar. Seperti halnya di Desa Selat Akar, mereka hanya mempunyai helong,
keramba, pelantar, dan pompong, kilang sagu, dan toko/warung saja. Modal besar dalam
18 Faridl
pengelolaan usaha mereka tidak pada faktor produksi saja, tetapi bagaimana sistem
produksi yang mendukung adanya keuntungan bagi mereka. Orang Tionghoa ini
merupakan manajerial yang handal dalam mengelola pasar di Pulau Padang.
• Etnis Jawa dikenal sebagai pendatang yang rajin sejak seabad lalu. Mereka mempunyai
etos kerja keras dalam mengelola lahan. Walaupun sejarah mereka adalah buruh
perkebunan, bukan berarti mereka tidak mempunyai ambisi untuk menguasai lahan. Etos
mereka nampak dari kemampuan dalam tenaga kerja, pengetahuan dalam mengelola
lahan, dan penguasaan terhdap sistem politik. Orang Jawa selalu mempunyai ambisi
untuk menguasai sistem administrasi dengan menjadi bagian dari pegawai desa. Cara
mereka menduduki lahan dengan politik inilah yang membuat mereka mampu bertahan
dengan secara komunal di perantauan.
• Etnis Melayu dikenal sebagai pendatang yang malas oleh orang Jawa dan Tinghoa.
Mereka banyak menanam sagu dam menjadi buruh dalam kilang sagu dan buruh
perkebunan. Pandangan terhadap etos orang Melayu yang malas ini tidak bisa dilihat
dari perspektif penguasaan sumber daya ekonomi seperti orang Tionghoa dan Jawa.
Orang Melayu datang ke Pulau Padang sebagai bentuk dari diaspora, yang mana
merupakan akibat dari sistem ekonomi-politik di Selat Malaka yang dikuasai oleh orang
asing. Kehadiran mereka di Pulau Padang juga merupakan penyebaran nilai-nilai budaya
seperti Islam dan kesenian. Hal ini merupakan wujud dari demokrasi sosial atas peristiwa
perebutan sumber daya ekonomi di Pulau Padang.
• Etnis/ Orang Akit/Rawa Sesap dipandang oleh Orang Jawa dan Melayu sebagai orang
yang tida tahu aturan/tidak sopan. Mereka tidak mengenal batas dalam pemanfaatan
sumber daya alam. Akses mereka terhadap hutan dan kebun masih sering dilakukan
secara subsisten (menganggap hutan milik bersama), sehingga orang Jawa yang
menguasai lahan tersebut merasa terganggu. Dalam hal ini, etos berkehidupan secara
subsisten sebenarnya adalah bagian dari kemandirian ekonomi orang Akit. Mereka tidak
mempunyai ketergantungan atas pasar dan penguasaan lahan. Orang Akit juga
mengambil sesuatu di hutan seperlunya saja. Pandangan atas etos orang Akit yang
Menakar Ulang Ekonomi Kerakyatan di Pulau Padang, Riau 19
dianggap kurang ‘beradab’ oleh orang Jawa dan Melayu ini merupakan residu
kolonialisme terhadap pribumi.
Dalam pergaulan sehari-hari, keempat etnis ini memang mempunyai batas geografis dan
kutural yang berbeda. Desa dan dusun di Pulau Padang dihuni oleh suatu etnis secara komunal.
Kecuali orang Akit, mereka bisa hidup di sepanjang sungai dan rawa dengan bangunan semi
permanen dan tidak terlibat dalam hubungan adminitratif terhadap sistem pemerintahan desa.
Akan tetapi dalam pergaulan sosial-ekonomi, keempat etnis ini mempunyai sau hubungan besar,
yakni pembangunan. Keempat etnis ini mendukung penuh adanya pembangunan dari berbagai
aspek. Namun, terkadang penguasaan sumber daya ekonomi yang berbeda pembanguan
tersebut terhambat. Tidak ada pendefinisian mengenai ‘ekonomi kerakyatan’ bagi keempat etnis
ini. Yang ada hanya sistem ekonomi kolektif, yang menempatkan antar subyek ke dalam
kemampuan yang dikendalikan oleh modal dan faktor produksi.
Bentuk ekonomi kerakyatan yang dikembangkan oleh keempat kelomopok ini adalah
modal sosial. Modal sosial tersebut seperti halnya: kerja kolektif dalam kelompok tani, kerja
kolektif dalam jaringan kekerabatan, kerja kolektif dalam suatu koperasi (perikanan dan sagu).
Sedangkan negara sebagai penjamin penguasaan sumber daya alam tidak menjamin adanya
kemajemukan ekonomi. Hadirnya perusahaan seperti tambang dan RAPP menjadi catatan cacat
adanya ‘ekonomi kerakyatan’ bagi masyarakat empat etnis ini. Harusnya ekonomi kerakyatan
mampu menyatukan empat etnis ini ke dalam satu dimensi pembangunan berkelanjutan yang
ramah lingkungan dan maju dalam perekonomian. Perwakilan negara melalui Pemerintah
Daerah Kepulauan Meranti juga tidak menjamin adanya penguatan sistem ekonomi majemuk.
Masuknya kilang-kilang sagu dari luar untuk menggenjot ketahanan pangan nyatanya tidak
menyerap adanya peleburan ruang ekonomi baru antar etnis. Penguasaan kilang sagu oleh satu
etnis memberikan pernyataan bahwa ‘ketahanan pangan’ hanya akan didapati oleh podusen
kilang sagu tersebut, karena sistem ekonomi yang terbangun masih terpisah oleh jenjang kultur
dan politik kelas.
D. Antara Ekonomi Laut dan Ekonomi Darat
20 Faridl
Sebagai kawasan kepualaun, lanskap ekologi Pulau Padang terbagi menjadi dua wilayah:
pesisir pantai (kelautan) dan pedalaman (kehutanan). Kedua wilayah ini juga menentukan
lanskap ekonomi masyarakat, yakni di darat (pertanian dan kehutanan) dan di laut (nelayan dan
perdagangan). Keberadaan Pulau Padang sebagai lanskap yang utuh ini menjadi penting untuk
dikaji dalam konteks ekonomi kerakyatan. Pada poin ketiga dalam asas ‘ekonomi kerakyatan’
berbunyi: ‘memastikan pemanfaatan bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung
didalamnya bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat’, yang artinya harus ada jaminan atas
pemanfaatan laut dan darat untuk kepentingan rakyat di Pulau Padang. Namun, apakah sampai
sekarang hal tersebut sudah terjamin? Dan seperti apa pelaksanaan bentuk-bentuk ekonomi
kerakyatan di dua zona ini?
Sebelum membahas mengenai ekonomi laut dan darat, di sini perlu diketahui bahwa
zona laut merupakan ekologi yang berbeda dengan zona darat. Akan tetapi, bukan berarti
kemudian kedua zona tersebut terpisah dan tidak mempunyai keterkaitan dalam konteks
ekonomi. Hubungan kedua zona ini lebih terkait oleh beberapa hal: (1) interkasi kultural antar
masyarakat pedalaman dengan masyarakat luar, (2) hilir-mudik distribusi komoditas lokal, (3)
aktor politik dalam penguasaan lahan dan pasar, dan (4) partisipasi proses pembangunan
ekonomi masyarakat luar dan pedalaman.
Pertama, interaksi kultural masyarakat pedalaman dan luar terjadi sebagaimana
hubungan sosial antara nelayan dan petani. Di sini saya mencoba melihat dari hubungan antara
masyarakat Desa Anak Sungai Kamal dan Desa Selat Akar. Desa Anak Sungai Kamal merupakan
kampung Jawa, yang mempunyai kultur agraris. Mereka menanam karet dan sedikit palawija
untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Sebagaimana masyarakat agraris, mereka mempunyai
batas kultural dengan kehidupan di luar. Hubungan dengan dunia luar paling banyak dilakukan
dalam rangka distribusi hasil karet mereka kepada taukeh-taukeh. Selebihnya adalah hubungan
kultural, seperti interkasi melalui dunia pendidikan, perkawinan, administrasi, perdagangan,
dan lain sebagainya. Begitu pula dengan masyarakat dari Desa Selat Akar yang notabene adalah
masyarakat peisisir. Kultur peisisir lebih mendekatkan mereka ke laut dari pada ke darat. Oleh
sebab itu, interkasi antar kedua masyarakat ini tidak banyak terjadi. Dalam keseharian, interaksi
Menakar Ulang Ekonomi Kerakyatan di Pulau Padang, Riau 21
sosial kedua masyarakat ini hanya menghasilkan jaringan ekonomi mikro. Yang menyatukan
interkasi kultural dari dua masyarakat ini adalah terbiasanya mereka dengan sistem ekonomi
easy money. Karet mentah dijual cepat ke taukeh dan hasil dari melaut pun demikian. Salah satu
tempat yang paling sering mempertemukan kedua masyakat ini adalah pasar/warung. Di sini,
kedua masyarakat ini berbelanja dan melakukan silang ekonomi melalui gaya hidup. Interkasi
kultural pada tahap ini akan menjelaskan bagaimana pola konsumsi masyarakat di pedalaman
dan masyarakat di peisir.
Kedua, hilir-mudiknya distribusi komoditas lokal di Pulau Padang tidak bisa terpisahkan
dengan adanya dua zona ini. Masyarakat di pedalaman melakukan pengolahan hasil produksi
seperti karet mentah dan sagu untuk dijual ke luar pulau. Proses distribusi tersebut harus
melewat chain supply dari petani, taukeh desa, dan taukeh besar di Selat Panjang. Rantai distribusi
komoditas masyarakat pedalaman ini harus melewati pompon (perahu mesin) yang akan
membawa hasil produksi ke luar pulau. Dalam hal ini, masyarakat luar (taukeh) turut mengambil
bagian dari sistem ekonomi pasar komoditas pedalaman. Begitu pula di masyarakat luar akan
melakukan penjualan ikan dan hasil tangkapan laut lainnya ke pedalaman (konsumen). Ikan-
ikan yang tidak tersortir dan dibawa ke luar pulau akan dipasarkan kepada masyarakat
pedalaman. Masyarakat pedalaman membeli ikan sebagai bentuk dari usaha silang ekonomi
melalui pangan. Hubungan ekonomi melalui rantai distribusi ini merupakan interkasi ekonomi
yang mengarah pada kemandirian. Akan tetapi, permainan pasar melalui aktor-aktor (taukeh)
inilah yang membuat kemandirian ekonomi kedua masyarakat ini berjalan lambat.
Ketiga, aktor politik dalam penguasaan lahan dan pasar di Pulau Padang dikuasai oleh
taukeh (perikanan, karet, sagu), pemerintah desa (feodalisme Jawa), dan swasta (pendudukan
korporasi). Taukeh selalu berada di tempat strategis, baik di pedalaman dan di luar. Mereka
menjadi taukeh karet dan sagu di area yang dekat dengan tempat penyadapan dam penebangan
sagu, sehingga petani selalu menjual kepada mereka dengan tawaran easy money. Sedangkan
taukeh perikanan memberikan modal dan pinjaman kepada nelayan gumbang dan sondong
sebelum melaut sehingga mereka akan menjual hasil tangkapan kepada taukeh tersebut.
Pemerintah desa yang sebagian besar diperankan oleh orang Jawa melalukan politik penguasaan
22 Faridl
lahan berbasis tanah administratif. Mereka menguasai tempat-tempat strategis yang dilewati
jalur pedalaman dan di luar seperti tanah di pinggir jalan raya dan fasilitas umum. Kehadiran
mereka di tempat strategis inilah yang juga membuat hubungan antara masyarakat pedalaman
dan di luar terjalin perekonomian. Sedangkan aktor korporasi besar seperti RAPP, hanya
menciptakan hubungan negatif antara di pedalaman dan di luar. Sebagai contoh, kanalisasi yang
dilakukan oleh korporasi ini justru membuat bencana alam terjadi di mana-mana. Peran para
aktor dalam penguasaan lahan dan pasar inilah yang menciptakan hubungan-hubungan baru
dalam sistem ekonomi anatara masyarakat di pedalaman dengan masyarakat di luar.
Keempat, partisipasi proses pembangunan ekonomi masyarakat luar dan pedalaman di
Pulau Padang agaknya tidak dilakukan secara serempak. Hal tersebut nampak dari sistem
ekonomi dari kedua masyarakat yang belum mempunyai titik temu sebagai usaha maju bersama.
Selama ini, hubungan antara ekonomi darat dan laut hanya terjadi pada skala kecil. Hubungan
antara produsen dan konsumen saja tidak cukup untuk membangun sebuah masyarakat yang
maju. Perlu adanya hubungan antara produsen dan produsen untuk meningkatkan hasil
produksi mereka dan menciptakan pasar baru yang tepat sasaran. Selama ini, tidak ada inovasi
antara sagu, karet, ikan, dan komoditas utama di Pulau Padang. Komoditi tersebut mempunyai
rantai distribusi masing-masing. Dalam konteks pembangunan di luar ekonomi (fisik), kedua
masyarakat ini telah bertemu. Mereka melakukan berbagai macam usaha bersama untuk
memenuhi kebutuhan infrastruktur desa yang kurang memadai.
Ekonomi laut merupakan salah satu bentuk ekonomi mandiri yang tidak bergantung
pada sumber daya hutan. Jika di dalam masyarakat pedalaman, faktor produksi penentu tingkat
kemandirian ekonomi adalah lahan, maka di laut adalah alat produksi. Oleh sebab itu, alat-alat
seperti helong (dermaga pribadi nelayan), pelatar (area penjemuran ikan), pompong (kapal
bermesin), keramba, gumbang (jarring tarik kerucut). sondong (jaring angkat kerucut) menjadi
penting untuk dimiliki. Di Desa Selat Akar, alat-alat produksi tersebut banyak dikuasai oleh
taukeh. Hal tersebut memantapkan adanya hubungan patron-klien antara taukeh dan nelayan
kecil. Selain alat produksi, taukeh juga mempunyai modal produksi (ongkos melaut). Hal inilah
yang membuat siklus perekonomian nelayan mutlak di tangan taukeh. Proses kemandirian
Menakar Ulang Ekonomi Kerakyatan di Pulau Padang, Riau 23
ekonomi nelayan sebenarnya bisa terjadi, karena tidak semua nelayan kecil tergantung pada
aktivitas melaut dalam jumlah besar. Mereka yang menangkap ikan dengan pompong kecil
mempunyai kebebasan untuk menjual hasil tangkapan kepada taukeh atau langsung ke pasar.
Proses tersebut tentu hanya bentuk ekonomi mikro, yang mana kalah dengan arus besar
kapitalisme lokal nelayan. (Adhiyaksa, 2017)
Selain faktor produksi, penentu perekonomian laut di Desa Selat akar adalah pasar. Di
Desa Selat Akar, tidak ada pasar yang secara khusus menjual hasil tangkapan laut. Pasar yang
dimaksud di sini adalah sistem tata niaga. Tidak semua nelayan dan taukeh di Selat Akar
langsung menjual hasil tangkapannya. Jika hasil tangkapan banyak, maka akan dilakukan proses
penjemran di pelatar. Ikan-ikan hasil penjemuran tersebut selain lebih awet juga mempunyai
harga jual yang meningkat hingga kisaran 30 persen. Selain ikan, proses pengolahan yang lain
adalah pengupasan udang. Banyak nelayan yang menjual udang kupasan dengan peningkatan
harga hingga 40 persen. Dua proses pengolahan pasca produksi ini menjadi alternatif bagi
nelayan jika hendak menghasilkan nilai jual yang lebih tinggi. Selain pengolahan tersebut, ada
juga pengolahan rucah (olahan ikan kecil) dan abu udang. Rucah dijadikan pakan tambahan
ternak dan abu udang jadi bumbu. (Adhiyaksa, 2017) Pasar di Selat Akar hadir langsung kepada
nelayan dengan model easy money. Para taukeh akan langsung mendistribusikan hasil pengolahan
ikan ke luar pulau.
Baik faktor produksi maupun sistem tata niaga dalam ekonomi laut di Desa Selat Akar
ini tidak menawarkan adanya ‘ekonomi kerakyatan’. Tidak ada model pengelolan ekonomi
melalui sistem koperasi, tidak ada kehadiran negara dalam kontrol demokrasi ekonomi, tidak
ada jaminan atas penguasaan laut, tidak ada jaminan atas pekerjaan dan kehidupan yang lebih
baik. Bentuk kerja komunal yang terjalin dalam sistem ekonomi ini lebih pada patron-klien, dan
berpihak pada pemodal besar. Pada sistem tata niaga, tidak ada jaminan pasar yang mendukung
adanya perekonomian mandiri. Kemandirian ekonomi justru lahir dri nelayan kecil dengan skala
distribusi yang minim. Kehadiran taukeh sebagai aktor pasar telah menggantikan negara dalam
mengatur tata niaga hasil laut. Kesimpulan dari Konomi laut dalam konteks pembangunan
masyakat dan ekologi adalah, tidak terjadinya pembangunan ekonomi dalam artifisial, akan
24 Faridl
tetapi rendahnya terjadi kerusakan ekologi karena alat produksi yang digunakan nelayan masih
ramah lingkungan.
Berbeda dengan ekonomi laut, ekonomi darat menekankan pada lahan sebagai basis
utama faktor produksi dan tata niaga. Lahan di Desa Anak Sungai Kamal misalnya, yang
sebagian besar adalah kebun karet merupakan faktor produksi terpenting dalam berjalannya
ekonomi. Orang-orang Jawa yang mempunyai tradisi agraris biasanya membuka lahan seluas-
luasnya, sesuai dengan jumlah tenaga kerja yang dimiliki. Keberadaan anggota keluarga sebagai
daya tenaga kerja pendukung merupakan hal penting yang patut dipertimbangkan. Seorang
keluarga Jawa dengan banyak anak yang melakukan pembukaan lahan secara luas akan
menghasilkan produksi karet yang luas juga. Selain tenaga kerja, faktor produksi lain di sini
adalah teknologi pertanian. Teknik penyadapan karet (noreh) yang dijalankan selama ini masih
menggunakan metode tradisional dengan pisau kerat. Jika hadir metode penyadapan (noreh)
karet yang lebih maju, otomatis juga meningkatkan produktivitas. Selain karet, komoditas lain
yang penting untuk diketahui dalam ekonomi darat adalah sagu. Sebagai tanaman investasi,
sagu ditanam sebagai security economic. Sagu dijual pertual kepada taukeh. Harga sagu relatif
stabil dibanding harga karet, sehingga aman dari ancaman krisis. Akan tetapi, sagu tidaklah
tanaman cepat yang bisa diprosuksi dalam waktu singkat. Perlu waktu bertahun-tahun untuk
memanen sagu agar dijadikan tual yang nanti diolah ke kilang (Damayanti, 2017).
Tata niaga dalam ekonomi darat ditentukan oleh keberadaan taukeh sebagai pemegang
modal terbesar. Sebagai seorang taukeh, biasanya tidak perlu memiliki lahan yng luas, akan
tetapi modal uang yang besar. Ia meminjamkan uang untuk dijadikan modal produksi dengan
kesepakatan hasil produksi dijual kepadanya. Mereka juga menempati posisi yang paling
strategis, dan menciptakan model easy money bagi petani karet. Model easy money ini tidak
menawarkan sistem ekonomi berkelanjutan kepada petani karena menutup segala kemungkinan
atas daulat pasar. Petani harus mengikuti arus harga dan kebutuhan sesuai yang diinginkan
taukeh. Dalam 5 tahun terkahir misalnya, ketika harga karet dunia anjlok, taukeh mempunyai
peran yang sangat signifikan atas kehidupan petani di Pulau Padang. Bagi mereka yang
menghargai adanya proses produksi, akan diberikan harga yang layak. Akan tetapi bagi mereka
Menakar Ulang Ekonomi Kerakyatan di Pulau Padang, Riau 25
yang mengambil keuntungan justru akan memangkas habis harga komoditas dari petani
(Damayanti, 2017). Tata niaga dalam komoditas sagu juga demikian. Harga sagu ditentukan oleh
taukeh yang biasanya juga mempunyai kilang sagu. Taukeh karet dan sagu di desa ini
mempunyai relasi dengan taukeh besar di luar Pulau, sehingga jaringan untuk mendapatkan
informasi mengenai harga sangat minim (Adhiyaksa, 2017).
Kondisi ekonomi darat di Pulau Padang ini juga tidak mencerminkan adanya ‘ekonomi
kerakyatan’. Tidak ada bentuk koperasi atau kerja komunal dalam melakukan aktivitas
pertanian. Modal sosial seperti kelompok tani hanya memberikan tawaran atas diskusi pra
produksi. Proses pemanenan karet dilakukan secara mandiri dengan bantuan tenaga kerja
keluarga. Selain itu, negara sebagai penjamin sumber daya alam dan kesejahteraan tidak hadir
dlam proses perekonomian. Di dalam masyarakat pedalaman ini, kerusakan ekologi perkebunan
dan hutan justru semakin banyak terjadi. Jika harga karet rendah, selalu ada upaya untuk
pembalakan di hutan. Selain itu, kehadiran masyarakat ke hutan untuk melakukan perburuan
terhadap sagu dan komoditas lainnya juga membuat kondisi lingkungan terganggung secara
fisik. Kesimpulan dari bentuk eknomi darat di Desa Anak Sungai Kamal ini adalah
pembangunan ekonomi berbasis kerakyatan tidak pernah tercapai dan ancaman terhadap
kerusakan lingkungan (ekologi) semakin besar.
E. Pergulatan Ekonomi Kerakyatan dan Suasana Global
Pertanyaan penting yang perlu dibahas dalam tulisan ini adalah bagaimana sistem
ekonomi kerakyatan mampu menjawab permasalahan pembangunan dari daerah pinggiran?
Dalam studi kasus mengenai pembangunan di Pulau Padang, tidak ada sistem ekonomi yang
secara khusus mampu menjawab berbagai permasalahan di masyarakat. Sistem ekonomi
kerakyatan yang merupakan embrio dari sistem ekonomi Pancasila nyatanya tidak memberikan
dampak signifikan terhadap perubahan yang lebih baik. Begitu pula bentuk-bentuk sistem
ekonomi demokrasi yang lain, hanya terwujud dalam skala kecil, melalui jaringan sosial
kelompok-kelompok kecil saja. Secara garis besar, sistem ekonomi yang terselenggara di Pulau
Padang justru sistem kapitalisme lokal, yang mana pemegang kuasanya adalaha pemodal
terbesar. Hadirnya para taukeh (perikanan, karet, dan sagu) menjadi bukti adanya sistem ekonomi
26 Faridl
yang terpusat pada pemodal. Begitu pula tata niaga yang terbangun, selalu berjalan ke arah
keuntungan pemodal. Petani, nelayan, dan masyarakat hutan hanya menjadi bagian dari
masyarakat inklusif. Mereka tidak mempunyai akses dalam penguasaan sumber daya ekonomi
seperti para pemodal tersebut.
Nihilnya negara dalam merespon masalah ini merupakan bukti adanya kegagalan dalam
menjalankan ekonomi kerakyatan bagi masyarakat pinggiran. Bukti dari kegagalan tersebut
adalah; tidak ada jaminan atas pengelolaan sumber daya alam untuk rakyat, tidak ada jaminan
atas hidup yang layak, tidak ada sistem ekonomi seperti halnya koperasi, orang miskin dan
kelompok rentan tidak terawat. Modal sosial sebagai soko guru adanya sistem ekonomi
kerakyatan telah cacat dengan hadirnya taukeh yang mempekerjakan petani/nelayan dengan
sistem easy money. Masyarakat mulai mengkonversikan bentuk-bentuk kerja komunal (modal
sosial) ke dalam uang. Sehingga mulai jarang dilakukan kerja komunal dalam kelompok tani.
Satu-satunya etnis yang justru masih bertahan dari gempuran sistem ekonomi kapitalistik justru
Orang Akit. Cara hidup subsisten dengan sumber daya hutan dan rawa menjadikan mereka lebih
demokratis ketimbang orang Jawa dan Tionghoa yang selalu berkontestasi dalam
memperebutkan kekuasaan ekonomi. Namun, untuk urusan modernitas orang Akit memang
tidak mendapatkan hak sebagaimana warga negara yang lain. Padahal, modernitas juga menjadi
salah satu syarat dari pembangunan masyarakat kea rah yang lebih baik.
Untuk mengetahui seberapa terpapar kehidupan ekonomi masyarakat Pulau Padang
dengan arus global sebenarnya bisa dilihat dari pengaruh harga karet dan komoditas lokal di
dunia. Menurut data dari Tokyo Commodity Exchange (Tocom) Mei tahun ini, harga karet dunia
turun 4,27% dari akhir tahun 2016 yang juga mencapai hampir 5%. Anjloknya harga karet
tersebut berpengaruh kepada petani toreh yang setiap harinya mengandalkan uang cepat melalui
getah karet. Petani karet seperti ini tidak mempunyai penghasilan sampingan lain, sehingga
ketika untuk memenuhi kebutuhan keluarga setiap harinya mereka harus melakukan kredit
melalui koperasi rakyat (rentenir). Di beberapa kasus, banyak petani dan nelayan yang terjebak
dengan sistem hutang-piutang tersebut, Umumnya mereka menggunakan uang kredit untuk
memnuhi konsumi dalam jumlah yang tinggi. Arus ekonomi lokal ke global dan ke lokal lagi
Menakar Ulang Ekonomi Kerakyatan di Pulau Padang, Riau 27
inilah yang menjadi salah satu problem pembangunan masyarakat di Pulau Padang. Mereka
harus menjadi bagian dari sistem ekonomi global di tengah keterbatasan modal, akses, dan
pengetahuan dan teknologi untuk pengembangan produksi.
Kondisi ini juga berpengaruh terhadap tingkat migrasi masyarakat ke luar desa. Di Desa
Anak Sungai kamal misalnya, kira-kira lebih dari 70% para pemuda desa pergi merantau ke
Malaysia karena penghasilan dari menoreh tidak mencukupi konsumsi keluarga (Belvage, 2017).
Cara mengadu nasib ke luar negeri ini dianggap hal paling solutif bagi masyarakat, karena
mereka masih bisa mengirimkan remitensi juga sekaligus mendapatkan status sosial yang lebih
layak di desa. Susahnya memanfaatkan sumber daya alam dan kemadirian ekonomi di Pulau
Padang yang dialami masyarakat berbanding terbalik dengan semakin dieksplorasi tambang
minyak, perusahaan bubur kertas, dan korporasi lainnya. Pemerintah tidak pernah menjamin
adanya keadilan bagi masyarakat yang ada di Pulau Padang dan justru lebih berpihak kepada
korporasi besar.
Hubungan antara suasana ekonomi global dan ekonomi kerkayatan ini adalah
keputusasaan masyarakat atas sistem ekonomi yang berlangsung di Pulau Padang sehingga
mereka harus menjadi bagian dari sistem ekonomi Malaysia. Mereka yang telah pergi merantau
tersebut menjadi bukti bahwa sistem ekonomi kerakyatan tidak pernah menjadi jaminan dan
harapan bagi kehidupan yang lebih baik. Ini menjadi salah satu dari arus buruk globalisasi,
karena telah menihilkan keberadaan negara yang dianggap tidak mampu menjembatani
kesejahteraan rakyat.
F. Kesimpulan
Terminologi ekonomi kerakyatan yang menjadi pilar dalam pembangunan ekonomi era
Joko Widodo saat ini agaknya kurang berlaku bagi masyarakat di Pulau Padang, Riau. Hadirnya
terminologi tersebut hanya berlaku dalam program-program kredit keuangan rakyat. Hal ini
hanya berdampak terhadap keuangan inklusif masyarakat mayoritas seperti Jawa dan Melayu
saja. Orang Akit sebagai minoritas yang bekerja di kawasan laut dan rawa-rawa dianggap tidak
28 Faridl
mempunyai proyeksi dalam peningkatan ekonomi. Sehingga, mereka tidak mendapatkan hal
dalam akses kredit dan program pendukung ekonomi kerakyatan lainnya.
Hadirnya program ekonomi kerakyatan melalui keuangan inklusif (sistem kredit) di
koperasi justru memberikan jarak semakin jauh antara ekonomi darat dan ekonomi laut.
Ekonomi darat yang dikembangkan orang Jawa dan Melayu melalui perkebunan dianggap
sebagai peluang untuk meningkatkan ekonomi daerah. Sedangkan ekonomi laut yang menjadi
cara hidup orang Akit dianggap tidak memberikan dampak terhadap peningkatan ekonomi.
Strereotip ras dan pandangan atas etos kera di masyarakat ini menjadikan ekonomi kerakyatan
sebagai program yang bias di daerah. Oleh sebab itu, perlu adanya upaya dari pemerintah untuk
melakukan evauluasi batas budaya dan stigma negatif terhadap perilaku etnis-etnis di Indonesia.
Daftar Pustaka
Adiyaksa, Pindho. 2017. “Laporan Penelitian Masyarakat Nelayan Desa Selat Akar, Kabupaten
Kepulauan Meranti, Provinsi Riau, Sumatera”. Laporan Kelompok Kerja Gambut Pulau
Padang 2017. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM.
Arrozy, Ahmad Mujahid. 2017. “Kolonisasi dan Ketergantungan Ekonomi pada Jaringan Global
: Studi Sejarah Eksploitasi Lahan Gambut dengan Masyarakat Kepulauan Meranti”.
Laporan Kelompok Kerja Gambut Pulau Padang 2017. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM.
___________________. “Globalisasi yang Menerjang Hutan Rawa dan Lahan Gambut Kepulauan
Meranti Riau: Catatan Literatur Sejarah” ”. Laporan Kelompok Kerja Gambut Pulau Padang
2017. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM.
Awang, San Afri. 2005. “Sejarah Pemikiran Pengelolaan Hutan Indonesia”, dalam Jurnal
Wacana,“Kebijakan Kehutanan: Gagal!” No.20. Tahun VI 2005, Pp.13-48.
_________________. 2014. “Konsep Ekonomi Kerakyatan dan Aplikasinya Pada Sektor
Kehutanan” dalam Ekonomi Kerakyatan American Institute For Indonesian Studies (AIFIS)
oleh Lembaga Suluh Nusantara.
Baswir, Revrisond. 2014. ” Ekonomi Kerakyatan Sebagai Sistem Indonesia” dalam Ekonomi
Kerakyatan American Institute For Indonesian Studies (AIFIS) oleh Lembaga Suluh
Nusantara.
_______________. 2014 “Ekonomi Kerakyatan vs. Neoliberalisme” dalam Seminar Ekonomi
Kerakyatan. Yogyakarta: Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM.
_______________, dkk. Pekebun Mandiri Dalam Industri Perkebunan Sawit Di Indonesia. Yogyakarta:
Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM, Sawit Watch, dan Serikat Petani Kelapa Sawit.
Menakar Ulang Ekonomi Kerakyatan di Pulau Padang, Riau 29
Belvage, Rio Heykal. 2017. “Laporan Penelitian Sejarah Masyarakat Pulau Padang, Kabupaten
Kepulauan Meranti, Riau”. Laporan Kelompok Kerja Gambut Pulau Padang 2017. Yogyakarta:
Fakultas Kehutanan UGM.
Chou, Chyntia. 1997. “Contesting the tenure of territoriality: The Orang Suku Laut,” dalam Riau
in Transition, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkendkunde, 153, no: 4, Leiden, hlm. 605-
629.
____________. 2010. The Orang Suku Laut of Riau, Indonesia:The Inalienable Gift of Territory.
London: Routledge.
Damayanti, Onesya. 2017. “Pemanfaatan Lahan Perkebunan serta Kelembagaan Ekonomi
Beberapa Desa di Pulau Padang, Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau,
Sumatra”. Laporan Kelompok Kerja Gambut Pulau Padang 2017. Yogyakarta: Fakultas
Kehutanan UGM.
Laporan Tahunan 2010 Scale Up. “Konflik Lahan Antara Masyarakat dengan
PerusahaandiRiauTahun2010”,Pekanbaru 21 Januari 2011.
Mubyarto. 1995. “Program IDT dan Orang Suku Laut,” Kompas, Selasa 17 Oktober, hlm. 4.
________, dkk. 2014. Ekonomi Kerakyatan. dalam American Institute For Indonesian Studies
(AIFIS) oleh Lembaga Suluh Nusantara.
________. 2014. “Ekonomi Kerakyatan dalam Era Globalisasi” dalam Ekonomi Kerakyatan
American Institute For Indonesian Studies (AIFIS) oleh Lembaga Suluh Nusantara.
Pengadilan Rakyat Meranti” Sebuah “Kado di Akhir Tahun 2011” Untuk Para Pengambil
Kebijakan Politik Pemerintah yang tidak Pro-Rakyat, dari Forum Komunikasi Masyarakat
(FKM) Penyelamatan Pulau Padang, Kabupaten Kepulauan Meranti, Selat Panjang 27
Desember 2011.
Reid, Anthony. 2011. Menuju Sejarah Sumatera: antara Indonesia dan Dunia. Jakarta: KITLV dan
Yayasan Obor Indonesia.
Rizky, Awalil. 2014. “Keuangan Inklusif dan Ekonomi Kerakyatan: Peluang atau Ancaman?” dalam
Ekonomi Kerakyatan American Institute For Indonesian Studies (AIFIS) oleh Lembaga
Suluh Nusantara.
Salim, M. Nazir. 2013. “Menjarah” Pulau Gambut: Konflik dan Ketegangan di Pulau Padang,
diterbitkan dalam Jurnal Bhumi No. 37 Tahun 12 April 2013, Jurnal Ilmiah Pertanahan
PPM-STPN Yogyakarta, Pp.96-121.
Suparlan, Parsudi. 1995. Orang Sakai di Riau: Masyarakat Terasing dalam Masyarakat Indonesia.
Jakarta: Yayasan Obor Indone
ARTIKEL
Peta Politik Industri Batik Yogyakarta dan Dampaknya dalam
Sistem Perburuhan Batik di Yogyakarta
Dewi Puspita Rahayu1
Tulisan ini membahas tentang peta politik industri batik di Yogyakarta dalam
menghadapi persaingan industri batik baik di skala global dan nasional serta dampak dari
peta politik tersebut terhadap sistem perburuhan di industri batik Yogyakarta. Gencarnya
sosialisasi batik di Indonesia, ternyata memberikan keuntungan kepada negara lain yang
mengekspor kain batiknya ke Indonesia dan dunia. Setali tiga uang dengan kondisi
Indonesia di konteks global, Yogyakarta yang merupakan salah satu daerah penghasil
batik pun mengalami hal serupa. Persaingan yang harus dihadapi Yogyakarta tidak
hanya berupa gempuran dari industri batik luar negeri melainkan juga dari industri lokal
seperti Solo dan Pekalongan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif
dengan teknik observasi, wawancara dan studi pustaka. Hasil dari penelitian ini
menunjukkan bahwa terdapat beberapa strategi yang dilakukan oleh pemerintah daerah
dan para pelaku industri batik yang menggambarkan peta politik industri batik di
Yogyakarta seperti menjadikan pasar luar negeri sebagai pangsa pasar batik; adanya
program batikmark; kerja sama dengan Departemen Pariwisata Pos dan Telekomunikasi
DIY dengan menjadikan pabrik dan gerai showroom sebagai salah satu obyek wisata yang
terdapat di Yogyakarta yakni melalui workshop batik serta menjadikan pabrik mereka
sebagai ruang display proses membatik bagi wisatawan; serta menguatkan identitas
1 Dewi Puspita Rahayu: Dosen Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas
Brawijaya, Email: [email protected]
© Dewi Puspita Rahayu, 2019
Jurnal Kajian Ruang Sosial-Budaya, Vol. 3, No. 1, 2019. Hal.30-45.
Cara mengutip artikel ini, mengacu gaya selikung American Sociological Association (ASA):
Rahayu, Dewi Puspita.2019.”Peta Politik Industri Batik Yogyakarta dan Dampaknya dalam Sistem
Perburuhan Batik di Yogyakarta,” Jurnal Kajian Ruang Sosial-Budaya 3(1): 30-45.
DOI: 10.21776/ub.sosiologi.jkrsb.2019.003.1.03
Peta Politik Industri Batik Yogyakarta dan Dampaknya 31
budaya Jawa dalam motif maupun proses membatik. Peta politik ini ternyata berimplikasi
pada adanya indikasi eksploitasi buruh batik Yogyakarta yang didukung oleh hegemoni
budaya Jawa.
Kata kunci: peta politik, industri batik Yogyakarta, sistem perburuhan
This paper discusses the political map of the Yogyakarta batik industry in facing the global
and national batik industry competition. This paper also discusses the political map’s
impact to the labor system in the Yogyakarta’s batik industry. The socialization of batik in
Indonesia has provide benefits to other countries that export batik cloth to Indonesia and
the world. This condition is same with Yogyakarta which is the one of the batik producing
regions. The competition that must be faced by Yogyakarta is not only from the foreign
batik industry but also from local industries such as Solo and Pekalongan. This research
uses descriptive qualitative method with observation, interview and literature study
techniques. The results of this study indicate that there are several strategies carried out
by the local government and batik industry players that illustrate the political map of the
batik industry in Yogyakarta such as making foreign markets as market share of batik; the
existence of the batikmark program; cooperation with the Department of Tourism of DIY
Posts and Telecommunications by making factories and showroom outlets as one of the
tourist objects in Yogyakarta, through batik workshops and making their factories as a
display space for batik process for tourists; and strengthen Javanese cultural identity in
the motives and process of batik. This political map turned out to have implications for
the indication of the exploitation of Yogyakarta’s batik laborers which supported by
Javanese cultural hegemony.
Keyword : Political Map, Batik Industry of Yogjakarta, Labor System
Pendahuluan
Era Pascareformasi merupakan titik balik atas tumbuhnya perkembangan industri batik
yang sebelumnya nyaris mati suri akibat terjangan batik printing pada masa Orde Baru. Menurut
Euis Saedah (Pujiastuti 2015), titik balik ini ditandai dengan keberhasilan pemerintah Indonesia
dalam mendapatkan pengakuan dari dunia bahwa batik adalah warisan kebudayaan dunia dari
Indonesia. Semenjak adanya pengakuan dari UNESCO tersebut, industri batik mulai menggeliat
kembali di Indonesia. Deklarasi tersebut ternyata mampu membangkitkan spirit “berbatik ria”
di masyarakat Indonesia. Pakaian batik kemudian dijadikan sebagai alat diplomasi budaya
dalam ajang-ajang nasional mau pun internasional. Pengakuan dunia atas batik membawa
pengaruh positif terhadap pertumbuhan industri batik dan pengembangan perekonomian
nasional serta meluasnya pasar batik ke luar Jawa hingga ke berbagai negara.
32 Rahayu
Pesatnya perkembangan industri batik setelah adanya pengakuan dari dunia tersebut,
membuat nilai ekspor batik Indonesia menjadi meningkat. Peningkatan ekspor industri batik di
Indonesia dari tahun 2008 sebesar USD32 juta hingga 2012 menjadi USD 278 juta. Kemudian,
pada 2013 ekspor batik Indonesia mengalami pertumbuhan sebesar 18,49%. Data Kementerian
Perindustrian menunjukkan jumlah unit usaha batik selama lima tahun sejak 2011 hingga 2015
tumbuh 14,7% dari 41.623 unit menjadi 47.755 unit. Tenaga kerja pun sama, selama 2011-2015
tumbuh 14,7% dari 173.829 orang menjadi 199.444 orang. Nilai pembelian bahan baku pun
meningkat 12,8% dari tahun 2011 senilai Rp 4,137 triliun menjadi Rp 4,746 triliun pada tahun
2015. Nilai tambah batik tumbuh 14,7% dari tahun 2011 senilai Rp 1,909 triliun menjadi Rp 2,191
triliun. Peminat batik dari mancanegara yang meningkat pun tercermin dari nilai ekspor batik
yang naik 14,7% dari tahun 2011 senilai Rp 43,96 triliun menjadi Rp 50,44 triliun pada 2015
(Pujiastuti 2015).
Ada pun negara-negara yang menjadi tujuan ekspor batik antara lain Amerika Serikat,
Belgia, Kanada, Jerman, Inggris, Jepang, Perancis, Korea Selatan dan lain-lain. Sedangkan lima
negara yang menjadi tujuan ekspor terbesar adalah Amerika Serikat dari total penjualan ke luar
negeri yaitu sebesar USD 81,38 juta atau porsi ekspor mencapai 43,35 persen. Kemudian di bawah
AS adalah Korea Selatan dengan nilai ekspor USD 12,24 juta (6,52 persen). Ada pun nilai ekspor
batik ke Jerman mencapai USD 10,05 juta atau 5,35 persen. Nilai ekspor batik ke Jepang mencapai
USD 9,22 juta atau persentase 9,22 persen. Perancis tahun ini menggeser Kanada sebagai negara
tujuan ekspor terbesar dengan nilai ekspor USD 9,16 juta atau 4,88 persen (Rahma 2015).
Akan tetapi peningkatan ekspor batik Indonesia dari tahun ke tahun ini bukannya tidak
memiliki kendala persaingan yang ketat dari negara-negara pengekspor batik lainnya. Meski
angka ekspor batik Indonesia terus mengalami kenaikan setiap tahunnya, namun pada rentang
tahun 2015, batik Indonesia menghadapi tantangan kompetisi yang begitu besar. Hal ini
ditunjukkan dari ekspor batik Indonesia pada Januari hingga Juli 2015 mencapai 184,74 juta dolar
AS, yang artinya turun 5,99 persen dibandingkan tahun lalu.
Setidaknya di Asia sendiri terdapat tiga negara yang selama ini menjadi pesaing utama
Indonesia dalam memproduksi batik. Di mana masing-masing negara memiliki ciri khasnya
sendiri mulai dari proses pembuatan, motif, corak, hingga jenis kain yang digunakan. Tiga negara
Peta Politik Industri Batik Yogyakarta dan Dampaknya 33
pesaing dalam industri Batik Indonesia adalah Cina, Malaysia dan Thailand. Sementara itu,
selain negara-negara di Asia, negara di luar Asia pun seperti Nigeria juga sudah mulai
memproduksi kain bermotif batik dan mulai merambah pasar Eropa dan Amerika.
Negara-negara tersebut memiliki upayanya masing-masing agar batik mereka bisa laku
dan mendapatkan posisi di pasar dunia. Persaingan batik antara Indonesia dengan negara-
negara tersebut khususnya Asia terbilang cukup panas. Misalnya dengan Malaysia, sebelum
batik ditetapkan UNESCO sebagai kebudayaan asli Indonesia, sempat muncul isu bahwa
Malaysia mengklaim batik sebagai kebudayaan asli mereka. Pemerintah Malaysia juga cukup
pro-aktif mengangkat batik yang diproduksi oleh negaranya. Salah satunya dengan penetapan
hari batik nasional yang tanggalnya sama seperti hari batik nasional di Indonesia yang
diperingati setiap 2 Oktober.
Sementara di Thailand, upaya pemerintah di negara tersebut untuk memajukan industri
batiknya adalah dengan membudayakan dan semakin mempopulerkan batik di beberapa tempat
wisata di Thailand yang menjadi sasaran wisatawan seperti dengan menyediakan kursus
membatik, mengaplikasikan batik pada seragam resor atau dekorasi di banyak tempat. Tidak itu
saja, batik Thailand juga digunakan sebagai pakaian santai penduduk setempat. Saat ini batik
Thailand telah mampu bersaing di pasaran dunia dengan harga yang relatif murah dibanding
batik dari Indonesia sendiri. Hal ini dikarenakan pemerintah Thailand melakukan proteksi
terhadap industri batik di negaranya sehingga harga jualnya di luar negeri menjadi lebih murah
(Amirsyah 2015).
Pesaing ketiga yang kini diakui sebagai saingan terberat bagi batik Indonesia adalah batik
asal China. Dikatakan terberat karena selain mampu bersaing di pasaran dunia, batik Cina ini
juga mulai membanjiri pasar Indonesia. Batik China dengan kualitas rendah tetapi memiliki
harga yang murah ini membanjiri pasar Indonesia tanpa ada upaya serius dari pemerintah
Indonesia untuk membendungnya. BPS menginformasikan bahwa dalam tahun 2012, Indonesia
mengimpor batik dari China sebanyak 1.037 ton bernilai US$ 30 juta (sekitar Rp. 285 miliar).
Sebagian besar adalah batik printing (cetakan mesin). Batik asal China harganya jauh lebih murah
dengan selisih harga mencapai Rp 20–30 ribu per helai dibandingkan batik lokal. Maka tidak heran
jika jumlah batik Cina tersebut telah semakin luas “membanjiri” pasar Indonesia. Terlebih lagi masyarakat
34 Rahayu
Indonesia yang berasal dari ekonomi menengah ke bawah yang jumlahnya lebih banyak, lebih
mementingkan harga yang murah tanpa peduli asal muasal bahan kain batik tersebut apakah asli
dari Indonesia ataukah impor dari luar negeri (Amirsyah 2015).
Negara China yang sangat terkenal dengan biaya produksi yang rendah (Low Cost
Productivity), penguasaan terknologi serta bahan baku, berpotensi membuat harga batik dari
negara tersebut menjadi lebih murah di pasaran. Jika dilihat dari penguasaan bahan baku dan
teknologi, produk China ini dapat menekan harga hingga 50 persen. China menguasai
pengelolaan batiknya mulai dari bahan mentah hingga menjadi bahan jadi. Sedangkan di
Indonesia, bahan baku untuk membuat batik mulai dari kain hingga bahan pewarna batik
semuanya harus diperoleh melalui impor dari negara lain. Apalagi setelah dibukanya pasar
bebas dengan ASEAN yakni pasca implementasi ASEAN–China Free Trade Area (ACFTA) pada
awal tahun 2010 lalu, produk-produk impor terus membanjiri pasar domestik. Potensi penjualan
batik dari negara Cina yang massif dan diproduksi secara massal ini menjadi semakin meluas
(Kemenperin 2015:30).
Sampai saat ini, tampaknya pemerintah Indonesia belum bisa memberikan perlindungan
dan pendampingan yang memadai untuk produsen batik khususnya di kalangan usaha kecil dan
menengah, agar bisa menghasilkan kain batik dengan harga yang lebih murah sehingga bisa
bersaing dengan produk impor dari luar negeri. Terlebih lagi semakin berkurangnya tenaga
pengrajin batik di Indonesia merupakan salah satu faktor yang membuat produksi batik di
Indonesia sulit untuk ditingkatkan demi memenuhi pasar global. Menurut data yang berhasil
dihimpun, tenaga pengrajin batik yang masih aktif membatik hanya tinggal sekitar 5.000 orang
(Sudarsono 2014). Hal ini dikarenakan tidak adanya regenerasi para pembatik. Fakta di lapangan
menunjukkan bahwa mayoritas para pembatik adalah orang-orang tua sementara generasi muda
cenderung enggan menjadi pembatik dikarenakan upah para pembatik yang terkenal minim.
Usaha pemerintah yang sering dilakukan hanyalah imbauan, sosialisasi dan hal-hal yang
bersifat seremonial seperti memperingati hari batik nasional setiap tahunnya pada tanggal 2
Oktober. Selain itu, upaya pemerintah lainnya adalah dengan mengambil kebijakan yang
mewajibkan pegawai negeri mengenakan batik pada hari-hari tertentu dan mendorong
karyawan instansi swasta, BUMN untuk melakukan hal yang sama. Demikian juga dengan para
Peta Politik Industri Batik Yogyakarta dan Dampaknya 35
pelajar mulai dari TK hingga SMA serta masyarakat luas. Sehingga terkesan secara kasat mata
tampak di berbagai tempat di Indonesia sangat banyak masyarakat yang mengenakan pakaian
batik dalam aktivitasnya sehari-hari terutama di kantor-kantor instansi pemerintah dan di
berbagai even untuk menggalakkan batik Indonesia di masyarakat dan dunia internasional
(Ingkiriwan 2014).
Namun apabila ditelaah lebih lanjut, keuntungan dari berbagai usaha pemerintah
Indonesia untuk menggalakkan pemakaian batik tersebut ternyata lebih besar dinikmati oleh
negara lain yang bisa meraup jutaan dolar dengan mengekspor kain batik ke luar negeri
termasuk ke Indonesia. Indonesia sebagai negeri asalnya batik, belum mampu menjadi tuan
rumah di negeri sendiri, bahkan justru menjadi konsumen kain batik dari negara lain. Jadi bisa
dikatakan bahwa makin gencarnya sosialisasi batik di Indonesia termasuk dengan perayaan hari
Batik Nasional, maka keuntungan pun makin besar diterima oleh negara-negara lain yang
mengekspor kain batiknya ke Indonesia dan dunia, seperti Cina, Thailand dan negara lainnya.
Setali tiga uang dengan kondisi Indonesia di konteks global, Yogyakarta yang notabene
merupakan salah satu daerah penghasil batik pun mengalami hal yang serupa. Persaingan yang
harus dihadapi Yogyakarta pada kenyataannya tidak hanya berupa gempuran persaingan dari
industri batik luar negeri seperti Cina, Malaysia, Nigeria dan sebagainya; melainkan gempuran
batik dari wilayah-wilayah lain dari dalam negeri juga merupakan faktor yang sangat
menentukan eksistensi industri batik di Yogyakarta.
Di pasaran lokal, industri batik Yogyakarta mengalami persaingan berat bahkan dapat
dikatakan kalah dengan industri batik lokal di wilayah lain di Indonesia sendiri seperti Solo dan
Pekalongan. Sebagian besar pusat-pusat perbelanjaan di Yogyakarta bahkan pusat perbelanjaan
yang menjadi salah satu ikon dan tujuan wisata di Yogya seperti kawasan Malioboro dan pasar
Beringharjo pun tidak luput dari gempuran ragam sandang bermotif batik hasil produksi dari
daerah lain khususnya Pekalongan. Penguasaan pangsa pasar batik Pekalongan di Pasar
Beringharjo dan Malioboro begitu menggurita mencapai 80%, diikuti daerah lainnya termasuk
Solo (Anon 2012). Hal ini senada dengan pengakuan dari Dinas Perindustrian kota Yogya yang
menyatakan bahwa pasar batik di Yogyakarta sendiri pada kenyataannya telah kalah dengan
komoditas batik produksi daerah lain khususnya Pekalongan. Oleh karena itu, tulisan ini
36 Rahayu
bermaksud mengulas tentang “Bagaimana peta politik industri batik Yogyakarta dalam konteks
nasional dan global? Serta Bagaimana dampak peta politik tersebut terhadap sistem perburuhan
di industri batik Yogyakarta?”
Peta Politik Industri Batik Yogyakarta Dalam Konteks Nasional dan Global
Adanya realitas kondisi pasar batik di wilayah lokal Yogyakarta yang justru cenderung
didominasi ragam batik produksi dari wilayah lain, membuat sebagian besar pengusaha batik di
Yogyakarta tidak menjadikan pasar lokal di Yogyakarta sebagai pangsa pasar batik yang mereka
produksi. Rata-rata para pengusaha tersebut lebih memilih untuk membuka gerai showroom di
rumah mereka sendiri atau di depan pabrik batik mereka dan memanfaatkan program pariwisata
Yogya sebagai media untuk mempromosikan batik produksi mereka kepada para wisatawan
baik lokal mau pun mancanegara.
Dalam rangka menunjang strategi pemasaran yang dilakukan oleh para pengusaha batik
tersebut, maka mereka mengambil langkah dengan bekerja sama dengan Departemen Pariwisata
Pos dan Telekomunikasi DIY. Hal ini dilakukan agar perusahaan batik mereka dalam hal ini
pabrik dan gerai showroom dapat dijadikan salah satu obyek wisata yang terdapat di Yogyakarta
yakni melalui pengadaan workshop batik untuk para wisatawan serta menjadikan pabrik mereka
sebagai ruang display proses membatik bagi wisatawan yang ingin mengetahui langsung
prosesnya. Melalui berbagai upaya tersebut, diharapkan batik yang mereka produksi dapat
menjadi cinderamata bagi para wisatawan yang berkunjung ke Yogyakarta. Sehingga dengan
demikian kondisi tersebut tentu saja dapat memberikan hal yang positif bagi perdagangan dan
produksi batik yang berasal dari daerah Yogyakarta.
Selain menjual produk melalui gerai-gerai batik yang dikelola sendiri, para pengusaha
batik Yogyakarta pun mengekspor batiknya ke luar negeri seperti ke Jepang, Perancis, Amerika
dan lain-lain. Mancanegara merupakan pasar potensial bagi pengusaha batik Yogyakarta di
tengah-tengah realita kondisi persaingan di pasar lokal yang begitu ketat.
Dalam hal ini, baik pemerintah daerah mau pun industri-industri batik di Yogyakarta
memilih untuk menjadikan pasar luar negeri sebagai strategi agar batik Yogyakarta tetap bisa
bertahan, maju dan berkembang. Baik pemerintah mau pun para pelaku industri di Yogyakarta
Peta Politik Industri Batik Yogyakarta dan Dampaknya 37
cukup memahami kondisi pasar lokal yang begitu dibanjiri oleh keberadaan batik printing yang
berasal dari daerah lain. Batik printing yang memiliki keunggulan harga yang cukup murah
tersebut mampu menguasai pasar yang didominasi oleh konsumen dari kalangan menengah ke
bawah. Oleh karena itu, dalam hal ini industri batik yang terdapat di Yogyakarta lebih
memfokuskan strategi pemasaran produk batiknya kepada konsumen yang berada pada segmen
menengah ke atas khususnya bagi para konsumen yang mencintai seni dan kualitas dari sebuah
karya (Anon 2012).
Strategi pemasaran yang dilakukan oleh pelaku industri batik di Yogyakarta merupakan
arah peta politik industri batik di daerah tersebut agar mampu bertahan dan bersaing dengan
perkembangan industri batik di wilayah lainnya. Oleh karena segmen pasar batik Yogyakarta
merupakan konsumen dari menengah ke atas, maka para pengusaha batik tersebut
memfokuskan pada ragam produksi batik jenis cap dan tulis. Dalam hal ini batik printing tidak
dimasukkan dalam fokus pemasaran karena batik printing dianggap bukanlah batik melainkan
hanya berupa kain yang bermotif batik yang dapat diproduksi dalam jumlah yang banyak
dengan kurun waktu yang relatif cepat dan biaya produksi yang cukup murah sehingga
eksklusifitas dari produk jenis ini tidaklah setinggi ragam batik jenis tulis dan cap.
Orisinalitas dan keautentikan budaya (high culture) merupakan dua hal yang ingin
diusung oleh para pelaku industri batik di Yogyakarta sehingga konsentrasi dalam
pengembangan batik tulis dan cap yang telah turun-temurun dikembangkan oleh industri batik
Yogyakarta sejak jaman dahulu harus terus dilestarikan dan dikembangkan. Bagi para pelaku
dalam industri batik di Yogyakarta, batik tulis dan cap adalah wujud dari kebudayaan Jawa yang
dapat membedakan batik produksi dari Yogyakarta dengan produksi dari daerah lainnya. Oleh
karena itu bagi para pengusaha batik Yogyakarta, pemahaman secara komprehensif terhadap
nilai-nilai Jawa dianggap perlu untuk diterapkan dalam proses produksi batik.
Penguatan identitas budaya yang dalam hal ini adalah kebudayaan Jawa yang terdapat
dalam masyarakat Yogya merupakan upaya strategi selanjutnya oleh para pelaku industri batik
di Yogyakarta dalam rangka memasarkan batik produksi mereka. Karakteristik budaya Jawa
yang tertanam dan menjadi ciri khas dalam batik Yogyakarta harus senantiasa ditonjolkan dalam
setiap desain batik. Namun tidak hanya dari segi motif, kebudayaan Jawa ini juga senantiasa
38 Rahayu
diterapkan dalam proses pembuatan batik itu sendiri. Sehingga batik Yogyakarta adalah sebuah
karya seni yang didalamnya sarat akan nilai-nilai dan filosofi budaya Jawa. Dengan demikian,
diharapkan batik Yogyakarta mendapatkan nilai lebih dalam segi harga dan dapat lebih diminati
oleh para konsumen.
Eksklusifitas batik cap dan tulis serta pengembangan motif yang sarat akan nilai dan
filosofi budaya Jawa yang berasal dari Yogyakarta tersebut kemudian semakin diperkuat dengan
munculnya upaya pemerintah untuk melindungi para pengusaha batik Indonesia dari
penjiplakan motif-motif batik asal Indonesia dari negara lain. Upaya pemerintah tersebut
dilakukan melalui disediakannya sebuah lembaga yang mengatur dan memberikan hak paten
atas kekayaan intelektual penciptaan motif-motif batik oleh para pengrajin batik di setiap daerah
di Indonesia di mana Yogyakarta juga termasuk di dalamnya. Lembaga tersebut adalah Balai
Besar Industri Kerajinan dan Batik yang berfungsi sebagai sarana pengembangan batik sekaligus
tempat hak paten batik dan telah diberi tugas untuk memproses sertifikasi Batikmark. Sejauh ini
lembaga tersebut telah mengeluarkan 106 sertifikat Batikmark yang sertifikasinya dilakukan di
Yogyakarta (Kemenperin 2015). Melalui program batikmark ini, pasar batik produksi dari
Yogyakarta menjadi semakin jelas arahnya yakni diperuntukkan untuk kalangan menengah ke
atas.
Selain dari berbagai macam strategi seperti yang sudah dijelaskan di atas, upaya
Yogyakarta dalam mempertahankan, memperkenalkan dan memajukan batik Yogya pun
ditunjukkan dari upaya pemerintah Yogyakarta yakni melalui Dinas perdagangan dan
perindustrian yang tengah menggalakkan program kerajinan batik dengan pewarnaan alam.
Batik dengan pewarnaan alam ini dalam arti yaitu proses pewarnaan batik dengan menggunakan
pewarna dari bahan-bahan alami seperti dari dedaunan dan kayu. Program batik dengan warna
alam ini muncul atas upaya pemerintah Yogyakarta untuk meminimalisir pencemaran
lingkungan yang diakibatkan oleh pewarna kimia/sintetis selama ini. Program batik dengan
pewarnaan alam dari pemerintah ini juga diharapkan dapat menjadi ciri khas batik Yogyakarta
yang dapat membedakan batik dari Yogya dengan batik dari daerah lainnya dan agar batik
Yogyakarta memiliki daya tarik yang lebih tinggi di mata dunia. Namun, program ini tidak
terlalu diminati oleh para pengusaha batik Yogyakarta disebabkan program ini dianggap tidak
Peta Politik Industri Batik Yogyakarta dan Dampaknya 39
efisien dari segi biaya karena perlu begitu banyak bahan baku daun dan kayu untuk membuat
sehelai kain batik, hal ini berarti juga butuh lahan yang begitu luas untuk menanam pepohonan
yang dibutuhkan untuk membuat batik sedangkan lahan yang begitu luas tersebut saat ini sangat
sulit didapatkan di tengah gencarnya pembangunan di Yogyakarta. Sehingga bagi para
pengusaha batik di Yogyakarta akan sangat tidak efektif jika batik diproduksi dalam jumlah yang
banyak.
Selain berbagai strategi di atas, upaya pemerintah DIY dalam melestarikan batik juga
difokuskan pada upaya pemerintah dalam memperkenalkan dan menumbuhkan kecintaan
masyarakat Yogya khususnya generasi muda terhadap batik. Upaya tersebut termanifestasi
melalui dimasukkannya kerajinan batik sebagai muatan lokal tetap pada sekolah-sekolah di
Yogyakarta bahkan sudah mulai bermunculan sekolah-sekolah kejuruan yang khusus
menyediakan jurusan batik. Demikian pula pengembangan produksi dan pemasaran batik
melalui Dinas Perdagangan dan Perindustrian, Koperasi dan UKM juga makin digalakkan. Hal
ini sejalan dengan program pengentasan kemiskinan yang ditekankan oleh Sri Sultan selaku
Gubernur DIY mengingat hampir di semua daerah baik di kota dan kabupaten di Yogyakarta
merupakan daerah penghasil batik. Program-program tersebut berupa pelatihan dalam
pengembangan desain, pelatihan manajemen, pelatihan pewarnaan kain terutama pewarnaan
alam yang memang ditekankan untuk menjadi ciri khas batik Yogya serta tidak lupa juga
program-program promosi seperti pemecahan rekor MURI batik terpanjang, pameran-pameran
ke luar daerah hingga ke mancanegara seperti Cina dimana pada akhirnya Yogya dinobatkan
sebagai “Kota Batik Dunia” pada tahun 2014 oleh Badan Kerajinan Dunia atau World Craft
Council (WCC).
Program pemberdayaan pengrajin batik juga diwujudkan melalui upaya Balai Besar Batik
dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan DIY menggalakkan kelompok-kelompok pembatik
terutama setelah gempa 2006 lalu yang membuat sebagian besar para pengrajin kehilangan
pekerjaannya. Kelompok-kelompok pengrajin batik ini dapat dilihat di beberapa spot-spot di
daerah kabupaten-kabupaten di Yogyakarta seperti di Giriloyo, Sleman dan Gunungkidul.
Eksploitasi Buruh Batik Yogyakarta Yang Didukung Hegemoni Budaya Jawa Sebagai
Dampak Peta Politik Industri Batik Yogyakarta
40 Rahayu
Berdasarkan hasil penelitian, budaya Jawa ternyata memiliki pengaruh yang begitu besar
dan kuat di dalam praktik perburuhan pada sebuah industri batik di Yogyakarta. Budaya Jawa
ini tersebar ke dalam sistem, pola hubungan kerja, praktik sehari-hari bahkan terinternalisasi
menjadi nilai-nilai dan karakter ke dalam diri para pelaku industri tersebut. Proses reproduksi
budaya ini pun semakin kuat ketika budaya Jawa menjadi bagian sebuah strategi dalam rangka
mempertahankan posisi tawar industri batik Yogyakarta di tengah-tengah persaingan dunia.
Budaya Jawa pada akhirnya menjadi bagian penting dalam proses kapitalisasi batik.
Dalam tulisan kali ini, peneliti akan menganalisis keterkaitan antara budaya Jawa ini
dengan adanya indikasi eksploitasi terhadap buruh batik. Namun sebelumnya akan dijelaskan
sedikit tentang eksploitasi itu sendiri. Hubungan Eksplotasi sendiri merupakan hubungan di
mana antara bagian yang satu dengan yang lainnya tidak terjadi keseimbangan. Eksploitasi
setidaknya memiliki tiga kriteria yaitu:
1) Kesejahteraan sebuah kelompok masyarakat secara material tergantung pada
perampasan material dari sebuah kelompok lain.
2) Hubungan tersebut di atas melibatkan pula pengucilan atau penutupan (exclusion)
akses terhadap sumber daya produktif secara asimetris terhadap kelompok yang tereksploitasi.
Pada umumnya hak milik (property rights) sering digunakan untuk menutup akses kelompok lain
terhadap sumber-sumber daya tertentu tetapi tidak selalu.
3) Mekanisme yang menghasilkan pengucilan atau penutupan akses terhadap
sumber daya produktif tersebut melibatkan pengambilan nilai tambah kelompok yang
terekploitasi oleh kelompok yang terekploitasi yang menguasai sumberdaya produksi tersebut
(Wright dalam Widyaningrum 1997:10).
Hubungan eksploitasi akan muncul bila salah satu yang terlibat dalam hubungan tersebut
mempunyai akses yang lebih banyak daripada yang lain sehingga salah satu pihak mengalami
ketergantungan dengan pihak yang lain, lalu pihak yang diunggulkan mulai menentukan aturan
main sehingga pihak-pihak yang dirugikan menjadi semakin tergantung terhadap pihak yang
diunggulkan.
Dalam hubungan tersebut pihak yang mempunyai keunggulan berusaha melemahkan
pihak yang lebih lemah dengan membuat sistem yang membuat pihak lemah menjadi tergantung
Peta Politik Industri Batik Yogyakarta dan Dampaknya 41
kepada pihak yang diunggulkan. Pihak lemah menjadi sulit untuk keluar dari sistem tersebut.
Dari waktu ke waktu pihak yang diunggulkan lebih mudah mengembangkan usahanya, hal ini
dikarenakan adanya penumpukan modal yang cepat dari pihak yang diunggulkan tersebut.
Sementara itu bagi pihak yang lemah, pengumpulan modal usaha sangat sulit dilakukan, hal ini
dikarenakan penghasilan yang didapat hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok saja,
sehingga untuk menambah modal usaha menjadi sulit. Pihak yang kuat biasanya ditandai
dengan modal yang besar dan kuat daripada pihak yang lemah sehingga menjadikan pihak yang
kuat sebagai kapitalis. Sementara itu pihak yang lemah tersebut merupakan buruh dari pihak
kapitalis tersebut.
Kekuatan yang dimiliki oleh pihak kapitalis yang cukup besar membuat mereka mampu
untuk memonopoli pihak yang lemah. Adanya monopoli tersebut membuat pihak buruh merasa
kesulitan untuk mendapatkan nilai tawar yang adil. Sehingga mereka hanya mampu untuk
bekerja dan bekerja untuk kapitalis dan tidak dapat menuntut apapun. Nilai tawar yang kurang
tersebut kemudian juga dimanfaatkan oleh pihak kapitalis untuk menekan pihak buruh dalam
hal pengalihan resiko. Pengalihan resiko ini dapat dilakukan dengan cara menekan upah dari
buruh tersebut. Buruh yang tidak mempunyai nilai tawar ditekan sehingga perusahaan dapat
membayar upahnya seminim mungkin.
Seperti yang telah dijelaskan di atas, faktor utama rentannya eksploitasi adalah adanya
kesenjangan kekuasaan antara dua atau lebih pihak/kelompok/kelas di mana pihak yang satu
mendominasi pihak yang lain terutama dalam hal penyerapan materi. Dalam kaitannya dengan
budaya Jawa, maka kondisi eksploitatif di dalam praktik perburuhan batik erat kaitannya dengan
hubungan kelas yang terjalin antara buruh dan majikan. Sebagaimana yang telah diketahui, di
dalam masyarakat Jawa terdapat prinsip-prinsip yang memandang bahwa adanya perbedaan
kedudukan dan kelas merupakan hal yang lumrah terjadi sebagai warna di dalam kehidupan
masyarakat. Keberadaan kelas-kelas ini pun diiringi dengan konsekuensi hak dan kewajiban
pada masing-masing kelas. Seperti yang terjadi di dalam industri batik, nilai-nilai Jawa ini
tereproduksi melalui segenap pengetahuan akan posisi buruh dan majikan yang diterima oleh
masing-masing pihak. Reproduksi pengetahuan mengenai posisi majikan dalam konsep Jawa
erat kaitannya dengan penerimaan bahwa majikan adalah seorang saudagar, figur orang tua dan
42 Rahayu
pihak yang memiliki kuasa. Sedangkan reproduksi pengetahuan mengenai posisi buruh batik
erat kaitannya dengan penerimaan bahwa buruh adalah seorang pengrajin batik, seorang
bawahan dan merupakan pihak yang menempati posisi wong cilik dalam strata masyarakat Jawa.
Dari kesemua pengetahuan ini baik antara buruh dan majikan membawa nilai-nilai tentang
kejawaannya masing-masing sesuai dengan kedudukan mereka.
Dalam konteks eksploitasi, pandangan dunia Jawa yang strukturalis ini tentu saja dapat
memperkuat keberadaan sistem kelas dan memicu dominasi kaum kapitalis terhadap kaum
pekerja. Nilai-nilai budaya Jawa yang mengharuskan seorang Jawa untuk menerima kedudukan
masing-masing mengantarkan pada pendisiplinan diri masing-masing pihak di mana majikan
sebagai kapitalis dan buruh batik sebagai kelas pekerja yang secara otomatis melegitimasi posisi
majikan sebagai pihak atas yang berkuasa dan buruh sebagai pihak bawah yang dikuasai.
Pendisiplinan diri ini diiringi juga dengan reproduksi nilai-nilai Jawa khususnya dalam diri
buruh batik di mana kesabaran, keiklasan, kepatuhan, kepasrahan, sikap nriman, anjuran untuk
menekan ambisi diri serta sikap senantiasa introspeksi diri di mana diri ditekankan pada pola
pikir bahwa sikap memandang diri lebih baik dari orang lain adalah sikap yang kurang terpuji
berakibat pada semakin kuatnya jurang perbedaan kelas antara buruh dan majikan.
Sikap-sikap tersebut berdampak pada pengembangan konsep diri yang negatif di dalam
diri buruh. Hal ini membuat kepercayaan diri buruh itu sendiri melemah sehingga memicu
hilangnya daya kritis buruh terhadap ketidakadilan yang mereka hadapi. Hal ini berdampak
pada kesewenangan majikan atas buruh dan mudahnya buruh untuk dieksploitasi. Contohnya
adalah adanya kuasa majikan yang didukung budaya jawa mengijinkan majikan untuk
menetapkan kebijakannya sendiri seperti kebijakan pengupahan dan jaminan sosial terhadap
buruh.
Pengetahuan mengenai nilai-nilai budaya Jawa telah secara lembut menghegemoni pola
pikir dan kesadaran para buruh batik. Hal ini senada dengan pemikiran Gramsci bahwa
kebudayaan merupakan kekuatan material yang mempunyai dampak praktis dan “berbahaya”
bagi masyarakat. Kebudayaan bukan sekedar pengetahuan tanpa makna, tetapi kebudayaan
dapat berarti kekuatan politik. Gramsci menganggap kebudayaan sebagai organisasi, disiplin
diri batiniah seseorang, merupakan suatu pencapaian kesadaran yang lebih tinggi, yang dengan
Peta Politik Industri Batik Yogyakarta dan Dampaknya 43
sokongannya seseorang berhasil dalam memahami nilai historis diri dan fungsinya di dalam
kehidupan, hak-hak dan kewajibannya (Faruk 1999:65-66). Dengan demikian, kebudayaan tidak
bisa disepelekan hanya sebagai pengetahuan saja, tetapi harus diperhatikan dan dipahami
sebagai sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Begitu juga dengan
kebudayaan Jawa yang mengilhami pola hubungan serta tata perilaku para buruh dan majikan
dalam industri batik. Budaya Jawa melalui nilai-nilai harmoni dan struktural fungsionalnya,
telah mendisiplinkan diri serta batiniah majikan dan buruh batik sehingga masing-masing pihak
bersedia untuk memposisikan dan menerima fungsi, hak dan kewajibannya.
Dalam konteks eksploitasi buruh batik, besarnya dampak dan pengaruh nilai-nilai
budaya Jawa yang strukturalis pada akhirnya digunakan oleh para pengusaha batik (petty-
bourgeoisie) sebagai kekuatan mereka untuk menghegemoni para buruh batik untuk menerima
kondisi serta menyetujui posisi mereka sebagai kelas subordinat dan menerima keberadaan
majikan sebagai pihak yang memiliki kuasa atas mereka tanpa melalui represi atau pun kekuatan
fisik. Dalam kondisi yang hegemonik, para pengusaha memperoleh posisi langgengnya untuk
menjadi pihak yang dapat mengontrol, mengarahkan bahkan “membentuk” seorang buruh batik
sesuai dengan kepentingan mereka.
Salah satu contoh dari kuasa majikan ini adalah ketika buruh batik “tanpa perlawanan”
kemudian dijadikan sebagai obyek daya tarik untuk para wisatawan dalam negeri mau pun asing
dalam rangka memperkenalkan produk batik mereka terhadap wisatawan. Nilai-nilai budaya
Jawa baik yang terkandung dalam proses membatik maupun yang terepresentasi pada motif-
motif batik adalah sebuah paket tentang seni membatik yang menjadi strategi para pengusaha
batik di Yogyakarta untuk mendongkrak penjualan batik yang mereka produksi. Sehingga tidak
hanya keindahan motif batik yang dapat dijual, melainkan juga kerumitan proses membatik itu
sendiri pun ternyata dapat turut menyumbangkan nilai jual yang tinggi atas kesenian batik. Para
pengusaha batik lokal berusaha mempertahankan usaha batiknya dengan memanfaatkan
kearifan lokal setempat yang dalam hal ini adalah budaya Jawa sebagai sebuah nilai jual
tersendiri kepada para konsumen. Oleh karena itu di samping adanya gerai-gerai showroom batik,
para pengusaha batik di Yogyakarta biasanya juga menyediakan akses kepada para wisatawan
yang ingin menyaksikan langsung proses pembuatan batik di mana buruh batik merupakan
44 Rahayu
pelaku penting dalam proses tersebut. Dalam hal ini majikan telah memanfaatkan buruh batik
dengan cara “membentuk” buruh batik sebagai aktor peraga dalam proses pembuatan batik
tersebut untuk menarik wisatawan.
Industri global telah mengubah paradigma para pengusaha batik lokal dalam
pemahaman proses bekerja dan juga membawa eksistensi diri mereka sebagai manusia yang
determinis terhadap ekonomi. Tidak terkecuali pada ranah budaya yang dikomodifikasi oleh
para petty-bourgeoisie tersebut untuk menjadi industri dengan bentuk baru. Produk budaya
kemudian memasuki wilayah negosiasi baru yaitu sebagai sebuah barang komoditas yang dapat
diolah sedemikian rupa untuk diperjual-belikan atas nama keuntungan tertentu. Di tangan
sistem kapitalisme, batik sebagai produk budaya Jawa kemudian menjadi produk yang bernilai
tinggi di mana peragaan kerja oleh buruh sebagai pengemban tertinggi kelangsungan produk
budaya tersebut, turut diikutkan dalam memberikan nilai jual sebuah karya seni batik.
Sehingga pada akhirnya para pengusaha yang sebenarnya tidak bisa menggantikan
spektrum pengalaman yang muncul dari proses pembatikan tersebut karena tidak terlibat secara
langsung dalam proses pembatikan yang sebenarnya, justru menjadi pihak yang mendapatkan
keuntungan materi atas monopoli yang dilakukannya, terutama dengan memberikan harga batik
di atas harga wajar berkat jargon orisinalitas serta kearifan lokal budaya yang mereka usung.
Nilai-nilai Jawa yang mengakar kuat dan terwujud dalam sistem paternalisme pada
industri batik Yogyakarta semakin memudahkan para pihak kapitalis dalam menghegemoni
agar buruh dengan mudah dimobilisasi untuk menjadi pemeran penting dalam peragaan proses
pembuatan batik yang mereka pamerkan kepada para wisatawan. Para buruh bekerja
menghasilkan batik sekaligus menjadi aktor peraga dalam proses pembuatan batik tersebut
dengan upah yang cenderung tidak sebanding dengan besarnya kontribusi yang mereka berikan
untuk mendongkrak penjualan batik.
Para buruh batik ini teralienasi sebagai makhluk hidup yang paling esensi, sebagai
makhluk sosial bahkan dengan proses hingga produk buatan mereka sendiri. Sistem kerja para
kapitalis memanipulasi bentuk kreatifitas pekerja sedemikian rupa agar para buruh dibodohkan
oleh situasi yang dianggap sudah sepantasnya mereka terima. Kesadaran mereka disemukan
dengan berbagai perampasan diri, semata-mata untuk memperkaya pemilik modal. Secara
Peta Politik Industri Batik Yogyakarta dan Dampaknya 45
simultan nilai-nilai Jawa pun telah mendukung para kapitalis untuk membentuk dan melakukan
kontrol kesadaran dengan mengebiri potensi kesadaran kritis, daya korektif dan resistensi buruh
batik.
Kesimpulan
Ketatnya persaingan industri batik di Indonesia membuat pemerintah daerah serta para
pelaku industri batik Yogyakarta melakukan beberapa strategi agar tetap bertahan dan memiliki
kuasa dalam pasar batik di Indonesia. Strategi tersebut mendeskripsikan peta politik industri
batik di Yogyakarta dalam konteks global mau pun nasional. Peta politik tersebut juga ternyata
memberi dampak terhadap bentuk baru eksploitasi buruh batik di Yogyakarta. Secara tidak
disadari, budaya Jawa juga memberikan kontribusi yang signifikan terhadap berlangsungnya
eksploitasi pada buruh batik.
Daftar Pustaka
Amirsyah. 2015. “Hari Batik Nasional Di Indonesia, Keuntungannya Di Negara Lain.” Retrieved
May 5, 2019 (http://www.kompasiana.com/amirsyahoke/hari-batik-nasional-di-indonesia-
keuntungannya-di-negara-lain_552e57796ea8340f4d8b4577).
Anon. 2012. “Batik Yogya, Antara Idealisme Dan Industri.” Solopos.com, July. Retrieved
(http://old.solopos.com/2012/07/05/tajuk-batik-jogja-antara-idealisme-industri-199258).
Faruk. 1999. Pengantar Sosiologi Sastra (Dari Strukturalisme Genetik Sampai Posmo Modernism).
jakarta: Pustaka Pelajar.
Ingkiriwan, Irfan D. 2014. Persaingan Batik Di Asia. Retrieved
(http://www.scribd.com/doc/220963625/Persaingan-Industri-Batik#scribd).
Kemenperin. 2015. “Batik Mark, Lindungi Batik Indonesia.” Majalah Media Industri Edisi 2.
Pujiastuti, Lani. 2015. “Diakui Dunia, Ekspor Batik RI Meningkat Setiap Hari.” Detikfinance.
Retrieved May 5, 2019 (http://finance.detik.com/read/2015/10/02/132932/3034083/4/diakui-
dunia-ekspor-batik-ri-meningkat-setiap-tahun).
Rahma, Sakinah. 2015. “Amerika Serikat Jadi Tujuan Ekspor Terbesar Batik.” Kompas, April 10.
Retrieved
(http://female.kompas.com/read/2015/10/04/140600020/Amerika.Serikat.Jadi.Tujuan.Ekspor
.Terbesar.Batik).
Sudarsono. 2014. “RI Harus Lakukan Industrialisasi Batik.” March. Retrieved
(http://ekbis.sindonews.com/read/841729/34/ri-harus-lakukan-industrialisasi-batik-
1394091068).
ARTIKEL
Produksi Ruang dan Perubahan Pengetahuan pada Masyarakat
Sekitar Objek Wisata Waterland
Iwan Nurhadi1. Lutfi Amiruddin2, Genta Mahardika Rozalinna3
This article demonstrates two purposes; first, is to identify the practice of social space, as
consequence of the process of land use change, from agricultural land to Waterland
tourism area in a village in East Java, Indonesia. Second, is to analyze the contestation
between the main discourse and counter-discourse as impact of the process above. We
used the concept of Henry Lefebvre on the production of space to analyze the contestation.
Using qualitative case study method, we indicated that there is a transformation from the
production of absolute space as part of people's daily life, which was not rely on leisure
industry, into an abstract space that is legitimized through discourse for the benefit of
tourism investors. Furthermore, the contestation between discourse and counter-
discourse occurred in the process of land use change. It happened through a process of
domination of the discourse by the village elite, while counter-discourse was only rise at
lower political level. The transformation of land use, consequence to the potential of
ecological damage, especially on water, as result of excessive use of water to support
Waterland. There is also the potential for conflict since seizing scarce water resource. This
research shows that public has not readily accepted the tourism industry.
Keywords: Production of space; tourism industry; water resource
1 Iwan Nuhadi: Mahasiswa Doktoral Institute Pertanian Bogor, email: [email protected] 2 Lutfi Amiruddin: Dosen Sosiologi Universitas Brawijaya, email: [email protected] 3 Genta Mahardhika Rozalinna: Dosen Sosiologi Universitas Brawijaya, email: [email protected]
©Iwan Nurhadi, Lutfi Amiruddin & Genta Mahardhika Rozalinna, 2019
Jurnal Kajian Ruang Sosial-Budaya, Vol. 3, No. 1, 2019. Hal.46-64.
Cara mengutip artikel ini, mengacu gaya selikung American Sociological Association (ASA):
Nurhadi, Iwan., Amiruddin, Lutfi & Rozalinna G.M.2019.” Produksi Ruang dan Perubahan Pengetahuan
pada Masyarakat Sekitar Objek Wisata Waterland,” Jurnal Kajian Ruang Sosial-Budaya 3(1): 46-64.
DOI: 10.21776/ub.sosiologi.jkrsb.2019.003.1.04
Produksi Ruang dan Perubahan Pengetahuan pada Masyarakat 47
Artikel ini ditulis berdasarkan dua tujuan; pertama adalah untuk mengidentifikasi
praktik sosial sebagai bagian dari konsekuensi dari perubahan tata guna lahan, dari
pertanian menjadi lokasi wisata Waterland pada sebuah desa di Jawa Timur, Indonesia.
Kedua, untuk menganalisis kontestasi antara wacana utama dan wacana tandingan dari
dampak proses tersebut. Kami menggunakan konsep Henry Lefebvre tentang produksi
ruang untuk menganalisis kontestasi wacana. Dengan menggunakan metode kualitatif
studi kasus, kami mendiskusikan beberapa temuan. Kami menyimpulkan bahwa terdapat
transformasi ruang; berasal dari produksi ruang absolut, yang merupakan bagian dari
kehidupan sehari-hari masyarakat yang tidak bergantung pada industry pariwisata,
menjadi ruang abstrak yang dilegitimasi melalui wacana keuntungan dari pariwisata bagi
investor. Lebih jauh lagi, kontestasi antara wacana dan wacana tandingan terjadi ketika
perubahan tata guna lahan tersebut. Hal tersebut terjadi pada proses dominasi wacana
oleh elit desa, sedangkan wacana tandingan hanya muncul pada masyarakat bawah.
Perubahan tata guna lahan, berkonsekuensi pada kerusakan ekologi, terutama pada
sumber daya air karena penggunaannya yang untuk kebutuhan wisata Waterland.
Terdapat juga potensi konflik sejak adanya penggunaan air yang menyebabkan
kelangkaan sumber daya tersebut. Dalam penelitian ini menunjukkan masyarakat belum
siap menerima industry pariwisata.
Kata kunci: produksi ruang; industri pariwisata; sumber daya air.
Pendahuluan
Ditinjau dari segi kebijakan pengembangan pariwisata, dalam rentang waktu tahun 2014
dan 2015, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif memiliki prioritas pengembangan wisata
yang berbeda. Salah satunya yaitu wisata berbasis pedesaan, atau dalam hal ini desa wisata.
Wisata berbasis pedesaan di Indonesia banyak terbaca menjadi konsep desa wisata yang saat ini
seolah menjadi kecenderungan pengembangan pariwisata. Desa wisata pada prinsipnya
merupakan salah satu produk wisata yang diharapkan dapat memberikan dorongan bagi
pertumbuhan ekonomi pedesaan, dengan memberdayakan sumber daya lokal, baik sumber daya
manusia maupun alam setempat. Bukan hanya itu, penyediaan fasilitas dan prasarana untuk
mendukung indsustri pariwisata lokal harus tercukupi. Dengan demikian, pelibatan masyarakat
secara penuh dan efektif sangat dibutuhkan.
Di saat yang bersamaan pengembangan pariwisata membutuhkan lahan yang memadai
guna keberlanjutannya. Lahan sebagai representasi ruang, nyatanya mempunyai matra yang
48 Nurhadi, Amiruddin & Rozalinna
bersifat heterogen dalam pengertian bahwa keberadaan lahan mengandung matra geografis,
politis, sosiologis, ekologis dan kultural. Lahan atau secara konseptual disebut ruang, seperti
ditegaskan oleh Lefebvre (2010) adalah sebuah sesuatu yang multi-layered. Satu lapisan tidak
sederhana yang hanya dapat terjelaskan dari lapisan itu sendiri. Suatu keadaan yang terhubung
satu dengan lainnya. Kondisi keterhubungan inilah yang akan menentukan mode produksi dari
suatu masyarakat. Terlepas dari aksioma yang dikemukakan Marx tentang kapitalisme, bagi
Lefebvre, ruang inilah yang dihayati sebagai pembentuk perilaku sosial manusia yang di saat
bersamaan dibentuk oleh perilaku sosial manusia.
Dalam hubungannya dengan pariwisata, pada kasus Desa X, Kabupaten Malang, Jawa
Timur ini menjadi problematis ketika tanah kas desa atau yang disebut dengan tanah bengkok
diubah sebagai lokasi pembangunan Waterland sebagai branding yang mengusung konsep desa
wisata artifisial. Kontestasi wacana muncul ketika tanah bengkok akan diubah sebagai lokasi
pembangunan tempat wisata pemandian buatan. Pemimpin desa mengupayakan kondisi
pembangunan ekonomi masyarakat dengan berencana membangun wisata tersebut yang
menurut pengakuannya secara prinsip telah disetujui oleh Bupati Malang. Dalam konteks
produksi ruang yang dikemukakan oleh Lefebvre, meninjau pada kasus ini adalah tanah
bengkok telah mengalami proses representasi ruang dan ruang representasi. Proses diskusi yang
dilakukan oleh pemimpin desa dengan masyarakat telah dilakukan namun proses tersebut
mengalami dua aras perbedaan yang berada pada sisi penerimaan serta penolakaan secara
bersamaan.
Dalam regulasi Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 4 Tahun 2007 tentang Pedoman
Pengelolaan Kekayaan Desa, Pasal 1 poin 10 menyebutkan bahwa “tanah desa adalah barang
milik desa berupa tanah bengkok, kuburan, dan titisara”. Maka, jelas bahwa tanah bengkok
merupakan tanah kas desa dan harus diatur dengan beberapa cara yaitu tidak boleh dilepas
kepada pihak lain dan apabila dilepas harus diganti sesuai harga yang menguntungkan desa
dengan memperhatikan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Praktik pemanfaatan tanah bengkok seluas
10 ha tersebut pada dasarnya dibagi dua yaitu 6 ha diperuntukan bagi perangakat desa dan 4 ha
Produksi Ruang dan Perubahan Pengetahuan pada Masyarakat 49
bagi kepala desa. Tanah bengkok seluas 6 ha inilah yang diorientasikan bagi pengembangan
wisata Waterland.
Secara tradisional, pemanfaatan tanah bengkok seluas enam hektar ini dikelola melalui
sistem sewa. Para penyewa biasanya menggunakan tanah tersebut untuk bertani tebu. Pilihan
komoditas tebu terbaca karena letak ini berdekatan dengan Pabrik Gula. Ini berarti bila rencana
pembangunan Waterland ini terjadi maka mampu mengubah karateristik sosial masyarakat yang
tadinya bekerja sebagai buruh pabrik dan petani menjadi pelaku pariwisata. Penelitian-
penelitian tentang perubahan masyarakat petani menjadi pelaku industry pariwisata telah
banyak dilakukan. Hasil penelitian tersebut umumnya menunjukkan bahwa terdapat gegar
sosial dan gegar kultural akibat munculnya nilai-nilai baru yang dibawa dalam interaksi
wisatawan-pelaku wisata namun dalam konteks Indonesia tidak banyak penelitian ini yang
dikaji dari perspektif praktik ruang. Kajian tentang ruang umumnya berada pada paradigma
pembahasan alih fungsi lahan. Dengan demikian penelitian ini akan memperkuat lini paradigma
yang lebih memfokuskan pada praktk ruang oleh masyarakat sebagai sesuatu yang
dikonstruksikan secara sosial.
Penggunaan tanah bengkok yang akan dibangun Waterland dari awal memang sudah
sangat probelematis. Adapun demikian penelitian ini mengidentifikasi mengenai produksi ruang
dari tanah bengkok yang akan dibangun menjadi Waterland di antara kontestasi wacana utama
dan wacana tandingan, antara pihak yang mendukung dan yang menolak. Bedasarkan uraian di
atas, kami akan mengulas bagaimana praktik ruang sosial yang terjadi di desa tersebut, dan
bagaimana kontestasi wacana utama dan tandingan yang terjadi dalam proses penggunaan tanah
bengkok menjadi Waterland.
Tinjauan Teoritis
Produksi Ruang dan Realitas Masyarakat Lokal
Dengan menggunakan pandangan dari Lefebvre (1991), penelitian ini akan
mengidentifkasi secara mandalam perubahan pengetahuan mengenai ruang hidup warga
masyarakat Desa X, Kabupaten Malang. Sebagai bentuk dari kebudayaan, pengetahuan
memegang peranan yang penting karena saling terkait dengan realitas ruang. Penelitian juga
50 Nurhadi, Amiruddin & Rozalinna
membahas bagaimana perbandungan antara pandangan dan pengetahuan antara warga lokal
dengan para perencana dan pemegang kekuasaan. Dengan tujuan tersebut, kami hendak
mendialogkan agumentasi produksi ruang oleh terhadap kasus terkait.
Menurut Lefebvre, ruang memiliki sifat sosial karena merupakan produk sosial. Untuk
memahami ruang sebagai produk sosial, pertama-tama penting bagi kita untuk ke luar dari
kebiasaan dan pemahaman lama dalam memahami ruang sebagaiman dibayangkan sebagai
semacam realitas material yang independen atau pemahaman ruang sebagai swadiri (space in
itself). Bertentangan dengan pandangan ruang sebagai swadiri, Lefevbre menggunakan konsep
production of space (produksi ruang), yang berisi pemahaman ruang yang secara fundamental
terikat pada realitas sosial. Baginya pemahaman ruang sebagai in itself, tidak akan pernah
menemukan titik mula epistemologis yang memadai. Ia menegaskan bahwa ruang tidak pernah
ada “sebagaimana dirinya”, ia diproduksi secara sosial (Lefebvre, 1991). Sebelum menjelaskan
bagaimana ruang menjadi ruang sosial. Lefebvre membagi dua jenis ruang yakni: ruang mutlak
dan ruang abstrak (Lefebvre, 1991).
Ruang mutlak didirikan atas unsur atau fragmen alamiah,
[…] but [the sites’] very consecration ended up by stripping them of their natural characteristics
and uniqueness… religious and political in character, was a product of the bonds of sanguinity,
soil and language, but out of it evolved a space which was relativized and historical.
Sedangkan ruang abstrak adalah,
[…] the forces of history smashed naturalness forever and upon its ruins established the space of
accumulation (the accumulation of all wealth and resources: knowledge, technology, money,
precious objects, works of art and symbols).
Asumsi dasar teori produksi ruang adalah bahwa “ruang sosial adalah produk sosial” (Lefebvre,
1991: 27). Maka ruang yang dimaksudkannya tidak hanya bersifat fisik saja. Dia memiliki sifat
sosial. Yang membentuk sifat sosial itu adalah interaksi di antara manusia. Sebaliknya pula,
ruang dapat menciptakan interaksi sosial.
Dalam membangun teorinya, Lefebvre melakukan kritik atas pandangan Marx dan
Engels mengenai moda produksi kapitalisme. Bagi Marx dan Engels, terdapat kekuatan-keuatan
yang menggerakkan produksi, antara lain sumber daya alam, tenaga kerja, teknologi dan
Produksi Ruang dan Perubahan Pengetahuan pada Masyarakat 51
pengetahuan (Lefebvre, 1991: 69). Namun, baginya semua faktor produksi di atas tidak dapat
dimanfaatkan manakala tidak berada dalam ‘space’. Segala sesuatu yang ada dalam ruang
bertemu untuk diproduksi, baik oleh masyarakat, maupun secara alamiah (1991: 101). Maka,
dalam hal ini, ruang menjadi faktor yang sangat penting dalam kehidupan manusia.
Terdapat tiga konsep dasar Lefebvre, antara lain; spatial space (ruang spasial),
representations of space (representasi ruang), representational space (ruang representasional) (1991:
38-39). Ruang spasial merujuk pada Interaksi sosial di ruang tertentu yang kemudian membentuk
karakter sosial tertentu pula. Praktik sosial suatu masyarakat dapat mengungkapkan ruang
mereka yang sebenarnya (Lefebvre, 1991: 38). Sedangkan merujuk pada ruang yang telah
terkonseptualisasikan, yang dirumuskan oleh para ahli, seperti perencana kota, insinyur,
teknokrat (Lefebvre, 1991: 38). Sementara ruang representasional adalah ruang yang “ditempati”
oleh para warga lokal, para inhabitants. Dia dibentuk oleh pengetahuan sehari-hari orang-orang
yang menempatinya (Lefebvre, 1991: 39). Dengan dasar ketiga dimensi produksi sosial itu,
Lefebvre merumuskan tiga karakter dari ruang sebagai produk sosial: 1) perceived space: setiap
ruang memiliki aspek perseptif dalam arti ia bisa diakses oleh panca indera sehingga
memungkinkan terjadinya praktik sosial. Ini yang merupakan elemen material yang
mengjonstitusi ruang; 2) conceived space: ruang tidak dapat dipersepsi tanpa dipahami atau
diterima dalam pikiran. Pemahaman mengenai ruang selalu juga merupakan produksi
pengetahuan; dan 3) lived space: dimensi ketiga dari produksi ruang adalah pengelaman
kehidupan. Dimensi ini merujuk pada dunia sebagaimana dialami oleh manusia dalam praktik
kehidupan sehari-hari. Kehidupan dan pengalaman manusia menurutnya tidak dapat
sepenuhnya dijelaskan oleh analisa teoritis. Senantiasa terdapat surplus, sisa atau residu yang
lolos dari bahasa atau konsep, dan seringkali hanya dapat diekspresikan melalui bentuk-bentuk
artistik.
Ketiga elemen ini, menurut Lefebvre mendasari seluruh pemaknaan kita mengenai
masyarakat dan perkembangannya. Sejarah bagi Lefebvre merupakan sejarah ruang, yakni
dialektika antara praktik ruang dan persepsi ruang (le perçu), representasi ruang atau
konseptualisasi ruang (le conçu) dan dimensi-dimensi residual yang tumbuh dalam pengalaman
52 Nurhadi, Amiruddin & Rozalinna
kehidupan dan tidak dapat dikerangkakan oleh konsep mengenai ruang itu (le vécu). Lefebvre
mendasarkan diri pada dua tradisi filsafat sekaligus yakni materialisme dan idealisme. Melalui
konsep-konsep di atas dapat diidentifkasi bagaimana pembentukan pengetahuan dan wacana
masyarakat lokal dengan adanya rencana pembangunan tempat wisata di desanya. Namun
demikian, dapat dilihat pula bahwa pengetahuan warga lokal ini tidak tunggal. Dia berhadap-
hadapan dengan pengetahuan yang dimiliki oleh para perencana, pemegang kekuasaan, baik
desa maupun level yang lebih tinggi. Di antara keduanya memiliki pengetahuan berbeda dengan
atas ruang yang ada. Maka produksi atas ruang menjadi sangat politis, bergantung pada tiap
kepentingan pihak yang memanfaatkannya, baik masyarakat lokal, maupun para ilmuwan,
perencana, maupun pemegang kekuasaan.
Metode Penelitian
Pertimbangan penting atas pemilihan metode studi kasus terletak pada kebaruan gejala
yang diangkat dalam rumusan masalah tentang praktik spasial yang dilakukan berbagai aktor.
Studi kasus dalam konteks penelitian ini memiliki kekuatan untuk dijadikan sebagai pendekatan
yang mampu mendeskripsikan situasi sosial apa yang terjadi pada aktor-aktor yang terlibat pada
setting munculnya wacana pembangunan wisata waterland sebagai praktk spasial yang berasal
dari perubahan tata guna lahan pertanian, menjadi lokasi industri pariwisata taman air, yang
pada gilirannya berkonsekuensi pada peruabahan praktik spasial masyarakat desa. Studi kasus
dinilai oleh peneliti mempunyai kekuatan untuk mendapatkan tingkat keterangan yang luas
sesuai dengan harapan peneliti.
Penilaian tersebut didasari oleh kekuatan metode studi kasus seperti dinyatakan Yin
(1994) bahwa studi kasus mampu mendemonstrasikan perspektif yang dibangun peneliti
melalui: 1) pertanyaan penelitian 2) proposisi 3) satuan analisis 4) keterkaitan data terkait dengan
proposisi 5) tafsir atas temuan. Merujuk pendapat dari Stake (1995), penelitian ini menggunakan
jenis studi kasus intrinsik guna mendapatkan pemahaman mendalaman atas suatu peristiwa
yang diperkuat oleh pendapat Guba dan Lincoln (1981) yang menggambarkan jenis studi kasus
faktual. Sesuai dengan tujuan penelitian ini yang maka peneliti berharap mampu menghasilkan
suatu produk penelitian untuk menggambarkan praktik ruang sebagai hasil dari kontestasi
Produksi Ruang dan Perubahan Pengetahuan pada Masyarakat 53
wacana pengembangan pariwisata Waterland serta perubahan ekologis sebagai bagian dari
ikhtiar memahami prakti spasial.
Sebagai narasumber penelitian, dipilihlah beberapa informan penelitian. Kriteria utama
penetapan informan bertujuan untuk menetapkan pelaku-pelaku peristiwa berubahnya praktik
spasial masyarakat yang berawal dari sebuah relasi sosial antar pelaku. Informan kunci
ditetapkan individu yang mempunyai pengetahuan umum tentang kondisi perubahan yang
terjadi pada lingkungan dan masyarakat. Informan utama ditetapkan berdasarkan kriteria bahwa
informan adalah pelaku yang berasal dari masyarakat sekitar maupun masyarakat yang pernah
melakukan penyewaan di tanah bengkok, dan para elit desa. Informan lain juga berasal dari
masyarakat umum yang mengetahui industri wisata di desanya.
Diskusi dan Pembahasan
Analisis data terkait dinamika pembangunan pariwisata di Desa X, utamanya dilihat dari
wacana pembangunan Waterland oleh elit pemerintahan desa dalam mengubah fungsi tanah
bengkok. Pembangunan yang merubah fungsi ekologis tanah, air dan tentu saja akan mengubah
tatanan sosial masyarakat.
Pewacanaan Waterland dan Potensi Pergeseran Struktur Ekonomi: Dari Petani Tebu menjadi
Penyedian Jasa Layanan Pariwisata
Secara konseptual, masalah yang tidak dapat dihindarkan dari berkembangnya suatu
wilayah menjadi destinasi wisata yaitu alih fungsi lahan. Sesuai dengan sifat asalinya, destinasi
pariwisata buatan umumnya membutuhkan infrastruktur yang memadai. Pada saat
infrastruktur pariwisata air ini mulai dikerjakan maka bersamaan dengan itu pula ruang
termaknai sebagai produk sosial. Wacana yang dikembangkan Kepala Desa X tentang
pembangunan Waterland berangkat dari sebuah pseudo-science yang berkesimpulan bahwa
masyarakat desa yang terpolarisasi dalam sektor pekerjaan pertanian dan buruh mengalami
stagnasi.
Wacana selalu beredar dalam konstruksi pengetahuan. Wacana juga menjadi semacam
alat untuk memposisikan posisi politis sesorang. Ketika sesorang melakukan posisioning maka
54 Nurhadi, Amiruddin & Rozalinna
dirinya harus membuat agar wacana tersebut dapat diterima oleh common sense. Ihwal wacana
pembangunan Waterland yang dikemukakan oleh Kades X diperkuat oleh sebuah argumentasi
misalnya dia mencontohkan tentang pertanian tebu yang tidak membawa kesejahteraan bagi
masyarakat.
Pernyataan kepala desa ini sebetulnya bukan versi baru dari upaya mendamaikan sektor
pertanian dan pariwisata yang berkecenderungan saling menyalahkan. Secara konseptual,
pengembangan desa wisata dapat dianggap sebagai upaya memadukan sektor pertanian sebagai
basis ekonomi masyarakat dengan sektor pariwisata. Dalam konstruksi berpikir birokrat seperti
kades ini industry pariwisata yang dicanangkannya dapat menjadi solusi yang sangat efektif
untuk mengatasi masalah ketimpangan ekonomi. Namun sepertinya beliau tidak memahami
bahwa dengan pengembangan pariwisata seperti yang diwacanakannya akan memberikan
dampak lain yang seharusnya terpikirkan.
Sifat enclave tourism sering diasosiasikan bahwa sebuah destinasi wisata dianggap hanya
sebagai tempat persinggahan. Posisi Desa X yang menjadi jalur utama pariwisata pantai di
daerah Malang bagian selatan hanya memungkinkan posisi Desa X dengan Waterland sebagai
tempat singgah pada sebuah destinasi tanpa melewatkan malam atau menginap di fasilitas
akomodasi yang tersedia. Sebagai akibatnya dalam kedatangan wisatawan, keberadaan
Waterland manfaatnya dianggap sangat rendah atau bahkan tidak memberikan manfaat secara
ekonomi bagi masyarakat di sebuah destinasi yang dikunjunginya.
Kenyataan lain yang menyebabkan enclave adalah kedatangan wisatawan yang
melakukan perjalan wisata yang dikelola oleh biro perjalanan yang bukan berasal dari
masyarakat itu sendiri. Sebagai contohnya, mereka menggunakan transportasi mereka
sendiri, kemudian mereka menginap di sebuah hotel yang di miliki oleh management chain dari
mereka sendiri, berwisata dengan armada dari perusahaan milik pengusaha mereka sendiri, dan
dipramuwisatakan oleh pramuwisata dari sendiri, dan sebagai akibatnya masyarakat lokal tidak
memperoleh manfaat ekonomi secara optimal.
Peningkatan permintaan terhadap barang dan jasa dari wisatawan akan menyebabkan
meningkatnya harga secara beruntun “inflasi” yang pastinya akan berdampak negative bagi
Produksi Ruang dan Perubahan Pengetahuan pada Masyarakat 55
masyarakat lokal yang dalam kenyataannya tidak mengalami peningkatan pendapatan secara
proporsional artinya jika pendapatan masyarakat lokal meningkat namun tidak sebanding
dengan peningkatan harga-harga akan menyebabkan daya beli masyarakat lokal menjadi
rendah. Pembangunan pariwisata juga berhubungan dengan meningkatnya harga sewa rumah,
harga tanah, dan harga-harga property lainnya sehingga sangat dimungkinkan masyarakat lokal
tidak mampu membeli dan cenderung akan tergusur ke daerah pinggiran yang harganya masih
dapat dijangkau. Sebagai konsukuensi logis, pembangunan pariwisata juga berdampak pada
meningkatnya harga-harga barang konsumtif, biaya pendidikan, dan harga-harga kebutuhan
pokok lainnya sehingga pemenuhan akan kebutuhan pokok justru akan menjadi sulit bagi
penduduk lokal. Hal ini juga sering dilupakan dalam setiap pengukuran manfaat pariwisata
terhadap perekonomian pada sebuah masyarakat.
Produksi wacana ini telah muncul sebagai suatu praktik yang pada gilirannya akan
memasuki medan kontestasi yang centang perenang, heterogen dan dengan dinamikanya
masing-masing. Pada aras perangkat desa, sepertinya telah terjalin suatu pemahaman bersama
antara Kepala Desa dengan perangkat. Hemat peneliti, adanya keterjalinan antara perangkat
desa yang tanah bengkoknya akan dijadikan sebagai Waterland muncul dari pemahaman bahwa
sektor pertanian sudah tidak lagi memberikan kesejahteraan bagi elit desa ini. Maka, industri
pariwisata pada gilirannya seolah menjadi primadona utama dalam menopang perekonomian
desa.
Pada aras yang lebih luas, jika ada sebuah negara yang hanya menggantungkan
perekonomiannya pada salah satu sektor tertentu seperti pariwisata misalnya, akan menjadikan
sebuah negara menjadi tergantung pada sektor pariwisata sebagai akibatnya ketahanan ekonomi
menjadi sangat beresiko tinggi. Di beberapa negara, khususnya negara berkembang yang
memiliki sumberdaya yang terbatas memang sudah sepantasnya mengembangkan pariwisata
yang dianggap tidak memerlukan sumberdaya yang besar namun pada negara yang memiliki
sumberdaya yang beranekaragam harusnya dapat juga mengembangkan sektor lainnya secara
proporsional. Ketika sektor pariwisata dianggap sebagai anak emas, dan sektor lainnya dianggap
sebagai anak tiri, maka menurut Archer dan Cooper (1994), penelusuran tentang manfaat dan
56 Nurhadi, Amiruddin & Rozalinna
dampak pariwisata terhadap ekonomi harusnya menyertakan variabel sosial yang belum
dipikirkan sebelumnya. Ketergantungan pada sebuah sektor, dan ketergantungan pada
kedatangan orang asing dapat diasosiasikan hilangnya sebuah kemerdekaan sosial dan pada
tingkat nasional, sangat dimungkinkan sebuah negara kehilangan kemandirian dan sangat
tergantung pada sektor pariwisata.
Sumber Daya Air: Dari Pemuas Kebutuhan Primer yang Langka, Menjadi Pemuas
Kebutuhan Bersenang-Senang
Perubahan ekologis berupa perubahan tata guna lahan yang awalnya tanah kas desa yang
diperuntukkan untuk sektor pertanian, menjadi lokasi wisata, merupakan pemicunya.
Perubahan ekologi inilah yang kemudian yang dapat memicu mobilitas sosial. Mobilitas yang
dimaksud dapat dilihat dari dua sisi; dari pihak host (warga setempat), maupun dari guest
(pengunjung). Dari sisi warga setempat, mobilitas dalam bidang pekerjaan dapat terjadi akibat
terbukanya peluang pekerjaan baru seperti sektor jasa parkir, warung makan, maupun penjaga
pintu masuk lokasi wisata. Sebaliknya, pertanian menjadi tidak lagi diperhartikan oleh warga.
Demikian pula dengan mobilitas dari pengunjung yang datang ke lokasi wisata, berpengaruh
dalam kehidupan sosial. Hal-hal tersebut pada akhirnya dapat mengubah bagaimana relasi
antara warga setempat dengan lingkungan fisiknya. Tanah tak lagi merupakan sumber
penghidupan agraris, melainkan penghasil nafkah melalui pariwisata. Dari situasi ini,
mempengaruhi pula bagaimana perubahan praktik ruang masyarakat setempat, dengan melihat
relasi-relasi antara aktor dengan sumberdaya alam.
Sebagai perbandingan, Pitana dan Gayatri misalnya menunjukkan bahwa pariwisata
mampu memicu mobilitas sosial. Pariwisata mampu memicu mobilitas vertikal dengan
penciptaan pekerjaan bagi masyarakat (2005: 134). Dengan mengutip Mantra (dalam Pitana dan
Gayatri, 2005: 135) juga menunjukkan bahwa pariwisata mengubah struktur ekonomi, pada
akhirnya mengaburkan sistem kasta di Bali. Namun pembahasan komperhensif Pitana dan
Gayatri tidak menyimpulkan bahwa mobilitas tersebut dipicu oleh perubahan ekologis, akibat
pembangunan sektor pariwisata. Temuannya pun belum menyasar perubahan relasi antara
masyarakat dengan sumberdaya alam. Artinya perubahan ekologis sebagai dampak pariwisata,
Produksi Ruang dan Perubahan Pengetahuan pada Masyarakat 57
yang pada akhirnya mengubah pola relasi masyarakat dengan lingkungan fisik, masih luput dari
pandangannya.
Mengenai hal tersebut, Aditjondro telah menjelaskan mengenai “konversi lahan
pertanian dan perairan yang subur menjadi lokasi wisata berikut dengan infrastruktur
pendukungnya, mampu menghambat produktivitas agrikultur” (Aditjondro, 2003: 392).
Demikian pula temuan Kotios, dkk (2008: 86), mengatakan bahwa pembangunan pariwisata
bahkan dapat memunculkan risiko lingkungan. Risiko yang muncul antara lain pembangunan
infrastruktur pendukung pariwisata seperti jalan, tempat parkir, dan sebagainya dapat
mengurangi luasan lahan. Demikian juga dengan proses pembangunan yang membutuhkan
bahan baku dari wilayah sekitar, ternyata mampu menciptakan risiko bagi lingkungan sekitar.
Sedangkan meningkatnya jumlah pengunjung, mampu meningkatkan kebutuhan atas air bersih.
Sedangkan Harrison dan Maharaj (2013: 38) menunjukkan bahwa karena kemunculan pariwisata
dengan infrastrukutrnya di wilayah agrikultur di delta Sungai Okavango, Botswana, Afrika,
berdampak pada kehidupan pertanian pedesaan berupa perubahan pola konsumsi, kemunculan
konflik di antara warga, merusak kehidupan liar, dan pengurangan akses atas sumber daya alam.
Penjelasan-penjelasan di atas, semakin menunjukkan bahwa pengembangan pariwisata tak
hanya mengubah kondisi ekologis, pada gilirannya mengubah pula pola relasi manusia dengan
lingkungan fisik.
Selain perubahan tata guna lahan, keberadaan Waterland mempengaruhi bagaimana
masyarakat berrelasi dengan lingkungan fisiknya. Sumber daya berupa air, yang pada awalnya
dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti mandi, mencuci, hingga menunjang
produksi pertanian, kemudian harus diubah fungsinya untuk menunjang pariwisata. Karena
merupakan wisata buatan yang berbasis kolam renang, maka dapat dipastikan, konsumsi air
meningkat. Ketika di lapangan, didapatkan keterangan bahwa cara mendapatkan air untuk
tempat wisata, memanfaatkan. Proses perencanaan seakan-akan menafikkan bahwa Desa X
sering mengalami kekeringan. Maka, warga setempat harus berbagi dengan aktor industri
pariwisata dengan atraksi utama berasal dari air.
58 Nurhadi, Amiruddin & Rozalinna
Mengenai hubungan antara industri pariwisata dengan sumber daya air, memiliki kaitan
yang erat. Dalam pariwisata, air tak hanya dikonsumsi, melainkan juga dijadikan basis atraksi.
Pemanfaatan air ini bukan tanpa masalah, seperti berkurangnya kuantitas air saat musim
kemarau, maupun turunnya kualitas air saat tertentu. Di masa puncak kunjungan wisata, justru
terjadi konflik dalam pemanfaatan air, untuk memenuhi kebutuhan pariwisata dengan
agrikultur, atau dengan kebutuhan rumah tangga. Apalagi jika fasilitas pariwisata lebih
diutamakan dari pada kebutuhan pertanian dan rumah tangga (Eurostat European Commision,
2009: 9). Sedangkan Waterland di Desa X merupakan model objek wisata masal-buatan berbasis
atraksi air. Ada kemungkinan yang sangat terbuka perihal penggunaan air. Pertama, belum
semua warga dapat mengakses fasilitas PDAM. Mayoritas warga hanya memanfaatkan air tanah.
Meskipun telah dibangun sebuah tandon air sebagai penyimpan air sementara yang dibangun
kepala desa, namun hanya dapat memfasilitasi beberapa rumah saja. Artinya, mau tak mau
kebutuhan air untuk rumah tangga harus berhadap-hadapan dengan kebutuhan wisata. Belum
lagi masalah kekeringan yang sering terjadi di desa ini. Kedua, meskipun tanah bengkok
dimanfaatkan sebagai lokasi wisata, namun masih banyak pula lahan persawahan. Kebanyakan
petani memanfaatkan air tanah untuk mengairi sawah. Maka, dapat disimpulkan pula,
kebutuhan air dalam bidang pertanian juga harus berhadap-hadapan dengan kebutuhan wisata.
Hal tersebut menujukkan terjadi pergeseran wacana tentang fungsi air, yang awalnya
digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, menjadi pariwisata. Air merupakan
bagian dari kebutuhan dasar tubuh manusia, seperti minum, bergeser menjadi bagian dari
praktik kapitalistik berupa pariwisata. Demikian pula praktik sehari-hari, seperti dalam hal
mandi. Dalam kehidupan masyarakat, mandi didefinisikan sebagai upaya membersihkan badan,
yang berfungsi dalam menjaga kesehatan masyarakat. Hadirnya lokasi wisata membuat mandi
tak hanya masalah kesehatan tubuh, melainkan aktivitas menghabiskan waktu luang.
Permasalahannya adalah untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga saja sudah terbatas, bahkan
sering kekeringan, lalu bagaimana dengan pemenuhan kebutuhan wisata, yang bukan
merupakan kebutuhan primer?
Produksi Ruang dan Perubahan Pengetahuan pada Masyarakat 59
Jika diringkas, terdapat dua lapis kontestasi wacana mengenai pembangunan Waterland
di desa ini. Pertama, kontestasi wacana antara mobilitas sosial melalui tawaran lapangan
pekerjaan sektor pariwisata, dengan munculnya risiko ekologis berupa berkurangnya sumber
daya alam. Yang artinya, pariwisata mampu meningkatkan ekonomi di satu sisi, namun
menciptakan risiko di sisi yang lain. Pada lapis kedua, terjadi pertentangan wacana antara
pemanfaatan air sebagai sumber daya pemenuh kebutuhan primer manusia, berhadapan dengan
wacana air merupakan sarana pemuas kebutuhan bersenang-senang (leisure needs) dalam
industri pariwisata. Kedua lapis kontestasi wacana ini mencerminkan bagaimana perubahan
relasi manusia dengan sumberdaya alam sebagai dampak industri pariwisata.
Kontestasi atas wacana sumber daya tersebut tidak muncul dengan sendirinya. Mereka
lahir dari proses produksi ruang. Jika dianalisis dengan menggunakan perspektif Lefebvre
(1991), muara permasalahan berasal dari masalah produksi ruang. Dalam menganalisis
perubahan praktik ruang sosial, kata Lefebvre (1991: 33), terdapat perbedaan mendasar
mengenai wacana dalam konsep paktik spasial, representasi ruang, dan ruang representasional.
Dalam konsep praktik spasial terdapat interaksi antara aktor. Interaksi sosial di Lokasi tertentu
yang kemudian membentuk karakter sosial tertentu (Lefebvre, 1991: 38). Dalam konteks
penilitian menunjukkan bagaimana para aktor berinteraksi sati sama lain, antara warga,
perangkat desa, dan pemilik objek wisata.
Dalam representasi ruang, bentangan ruang didefinisikan oleh para perencana dan
teknokrat (Lefebvre, 1991: 38). Yang mampu mendefinisikan representasi ruang dalam konteks
penelitian ini adalah pihak-pihak yang berkuasa yaitu para perencana pariwisata Waterland;
kepala desa dan aparatnya, merencanakan untuk membangun objek wisata di lahan tanah milik
desa. Wacana ini merupakan ambisi besar meskipun sebenarnya masih belum terlalu jelas siapa
yang akan menjadi konsumennya. Karena masih belum mengetahui guest, pihak desa juga
berencana untuk “menciptakan pasar”. Mereka yang pergi berwisata ke arah pantai di wilayah
selatan Kabupaten Malang, dipaksa untuk datang ke objek wisata Waterland, dikemas dalam satu
paket wisata. Sebelumnya, kepala desa beserta perangkatnya, mulai mencari dukungan mulai
dari pejabat Kecamatan Bululawang hingga Bupati Malang mengenai masalah legalitas, hingga
60 Nurhadi, Amiruddin & Rozalinna
perihal teknis ke pihak kontraktor. Jejaring ini kemudian menciptakan apa yang dikatakan
Lefebvre sebagai “order“ (keteraturan), dan pengetahuan (1991: 33). Dalam hal ini, keteraturan
merupakan tatanan sistem produksi kapitalisme pariwisata, yang menggantikan sistem ekonomi
agraris. Demikian pula dengan pengetahuan, industri pariwisata dianggap sebagai tatanan baru
yang membawa pengetahuan baru berupa munculnya peluang usaha ekonomi baru dan
pembentukan guest baru.
Sedangkan ruang representasional bagi Lefebvre (1991: 38) dianggap sebagai ruang yang
didefinisikan oleh warga setempat, yang telah lama berkehidupan dalam ruang itu. Dalam
penelitian, ruang representasional berhubungan dengan bagaimana keluarga-keluarga
pemanfaat air di desa ini, berusaha memanfaatkan air untuk kebutuhan sehari-hari, meskipun
harus berhadap-hadapan dengan industri wisata. Bagi masyarakat, ruang tinggal mereka
berhimpitan dengan usaha agrikultur, bukan industri wisata yang rakus air. Ruang tinggal
mereka diimajinasikan sebagai bentangan yang mampu memenuhi kebutuhan sumber daya
alam, di antaranya air.
Namun demikian, pertarungan wacana ruang ini mengantarkan pada titik bahwa sumber
daya yang ada di dalam ruang yang biasa dipakai untuk memenuhi kebutuhan primer, berupa
pemenuhan konsumsi keluarga dan produksi agrikultur, harus berhadapan dengan kepentingan
lain. Sektor industri pariwisatalah yang kemudian mengambil alih sumber daya yang berada
dalam ruang itu. Industri pariwisatalah yang akan menyulap sumber daya alam tersebut sebagai
sarana pemenuhan kebutuhan primer, menjadi leisure needs.
Paradox Pengelolaan Potensi Sumberdaya dan Industri Pariwisata
Sebagai bagian dari sejarah panjang dinamika pertanian di Indonesia, usaha penanaman
tebu mengalami pasang surut. Sejak diperkenalkan di Nusantara pertama kali pada 1830 di
Pasuruan melalui tanam paksa, beriringan dengan dibangunnya industrialisasi, seperti sistem
transportasi, pabrik, dan tenaga kerja, komoditas ekspor ini sempat melejit (van Neil, 2003: 34-
35). Geertz (1983) pun mengakuinya, bahwa komoditas tebu yang mampu membawa perubahan
sosial di Jawa. Meskipun kemudian penanaman komoditas ini malah menciptakan kemiskinan
terbagi (shared poverty) di desa-desa di Jawa. Penanaman komoditas tebu nyatanya justru
Produksi Ruang dan Perubahan Pengetahuan pada Masyarakat 61
merusak sistem ekonomi yang telah lama dijalankan petani, yakni sistem ekonomi subsistensi.
Merekapun harus bergantung pada mekanisme pasar.
Tak dapat dipungkiri sejak tahun 70-an, industri gula nasional mengalami kelesuan,
dengan penurunan volume produktivitas hingga setengahnya, bila dibandingkan dengan
dekade sebelumnya (Wibowo dalam Hairani, dkk, 2014). Namun dalam perkembangannya,
komoditas tebu masih menjadi pilihan petani hingga dewasa ini. Meskipun, menurut argumen
Hairani, dkk. (2014: 77) menujukkan bahwa sejak 2005, kebutuhan gula meningkat, namun tidak
diimbangi dengan volume produksi nasional. Untuk menutupi kebutuhan gula nasinal,
kebijakan impor menjadi pilihan. Kondisi ini kemudian menjadi alasan pembenar bagi Kepala
Desa dan perangkat Desa X untuk memanfaatkan tanah bengkok untuk didirikan lokasi wisata.
Mereka beranggapan, dengan bercocok tanam tak dapat mendatangkan keuntungan. Seakan-
akan melanjutkan tesis Geertz tentang kemiskinan terbagi, di sektor pertanian justru membuat
petani jauh dari kesejahteraan.
Maka, dengan inisiatif kepala desa, direcanakanlah pembangunan objek wisata Waterland
di atas tanah bengkok desa. Tujuannya adalah menciptakan pertumbuhan ekonomi melalui
penciptaan lapangan kerja baru, sebagai dampak dari industri pariwisata. Akan tetapi jika ditilik
dari segi ekologis, justru pembangunan objek wisata ini dapat melahirkan risiko, salah satunya
permasalahan sumber daya lahan dan air. Inilah sebenarnya fase ketika penetrasi industri
pariwisata mengancam pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat desa.
Pembangunan objek wisata di wilayah pedesaan ini merupakan bagian kecil dari proses
land grabbing (pengambilalihan tanah). Proses ini tak hanya berkonotasi illegal, melainkan bisa
pula dengan prosedur legal (Savitri, 2011: 14). Dengan logika dan pengetahuan pariwisatanya,
elit pemerintah di level desa seolah-olah memiliki kuasa menyulap wilayah yang sering
mengalami kekurangan air bagi warga, menjadi lokasi wisata taman air. Dengan ijin legal dari
otoritas setempat, maka rencana ini dijalankan.
Sebagai bagian dari aktivitas bersenang-senang (leisure activity), pariwisata memiliki
logika yang bebeda dengan logika keseharian masyarakat desa. Terkait dengan masalah air
misalnya, wisata yang memiliki atraksi utama berupa air, menempatkan sumber daya ini sebagai
62 Nurhadi, Amiruddin & Rozalinna
suguhan utama. Artinya air merupakan sarana pemuas kebutuhan bersenang-senang. Hal ini
berbeda dengan logika sehari-hari, yang menyatakan bahwa air merupakan sarana pemuas
kebutuhan primer. Dalam kasus yang kami teliti ini, praktik penguasaan ruang pada akhirnya
berujung pada penguasaan sumber daya demi kepentingan industri. Di satu sisi, yang
ditawarkan oleh pariwisata Waterland merupakan bentuk kesenangan yang terbagi (shared
leissure), namun di sisi lain juga terjadi proses berbagi keterbatasan (shared scarcity) sumber daya
air. Penetrasi pasar melalui industri pariwisatalah yang mengambil alih sarana pemuas
kebutuhan primer warga. Meskipun dikatakan pariwisata mampu menciptakan lapangan
pekerjaan, namun sangat terbuka pula terjadi risiko kekeringan di wilayah ini. Kekeringan
bukanlah sesuatu yang sifatnya alamiah, melainkan karena sebuah proses sosial manusia (Shiva,
2002:11).
Kesimpulan
Praktik ruang sosial yang terjadi di Desa X hanya merupakan kasus yang menunjukkan
bahwa terjadi perubahan pemanfaatan ruang dari pertanian ke pembangunan Waterland. Secara
teoritik situasi ini menunjukkan adanya perubahan dari produksi ruang mutlak yang menjadi
bagian kehidupan masyarakat sehari-hari menjadi ruang abstrak yang dilegitimasi melalui
wacana bagi kepentingan pemodal. Kontestasi wacana utama dan tandingan yang terjadi dalam
proses penggunaan tanah bengkok terjadi melalui proses dominasi wacana oleh elit pemerintahan.
Sementara itu, wacana tandingan hanya bekerja pada aras masyarakat bawah yang tidak
terorganisir sehingga tidak memiliki posisi tawar apapun. Pembangunan industri wisata juga
menimbulkan potensi kerusakan ekologis terutama pada sumber daya air sebagai akibat dari
digunakannya secara berlebihan air untuk penunjang Waterland. Demikian pula dengan
munculnya potensi konflik sosial diakibatkan oleh kelangkaan ekologis, terjadi karena perbutan
sumber daya air yang langka. Kesemuanya itu menujukkan bahwa industri pariwisata yang
belum siap diterima oleh masyarakat.
Kondisi serupa dimungkinkan terjadi di lokasi-lokasi lain di Indonesia, seiring gencarnya
pembangunan industri pariwisata di level desa. Munculnya industri pariwisata yang kapitalistik,
secara ekonomi memang menciptakan peluang-peluang baru, namun secara sosial dan ekologis
Produksi Ruang dan Perubahan Pengetahuan pada Masyarakat 63
justru mengubah tatanan pedesaan yang telah lama mapan. Demkian pula perubahan
pemanfaatan ruang guna mendukung pariwisata, juga mampu menciptakan perebutan sumber
daya oleh para aktor pedesaan. Maka penelitian lanjutan bertemakan dinamika industri
pariwisata di wilayah pedesaan masih tetap dibutuhkan dalam rangka membaca perubaahan
sosio-ekologis masyarakat bersamaan dengan tekanan kapitalisme pariwisata yang semakin
gencar.
Daftar Pustaka
Aditjondro, G. J. (2003). Korban-Korban Pembangunan, Tilikan terhadap Beberapa Kasus Perusakan
Lingkungan di Tanah Air. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Archer, B. and Cooper, C. (1994) “The Positive and Negative Impacts of Tourism”. Pp. 73-91 in
W.F. Theobald (ed.) Global Tourism: The Next Decade. Butterworth-Heinemann, Oxford
Eurostat European Commision. (2009). “MEDSTAT II: ‘Water and Tourism’ pilot study”. Eurostat
Methodologies and Working Paper 2009 edition. Euromed Partnership.
Hairani, R. I., dkk. (2014). “Analisis Trend Produksi dan Impor Gula Serta Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Impor Gula Indonesia.” Berkala Ilmiah PERTANIAN. Volume 1, Nomor 4,
Mei 2014, hlm 77-85.
Harrison, P. dan B. Maharaj. (2013). “Tourism Impacts on Subsistence Agriculture: A Case Study
of the Okavango Delta, Botswana.” Journal Human Ecology, 43(1): 29-39 (2013).
Geertz, C. (1983). Involusi Pertanian, Proses Perubahan Ekologi di Indonesia. Jakarta: Bharata Karya.
Guba, E. G., & Lincoln, Y. S. (1981). Effective evaluation. San Francisco, CA: Jossey-Bass
Publishers.
Kotios, A. dkk. (2008). “The Impact of Tourism on Water Demand and Wetlands: Searching for a
Sustainable Coexistence.” Discussion Paper Series, 15(4): 71-88. Department of Planning
and Regional Development, School of Engineering, University of Thessaly. Available at
http://www.prd.uth.gr/research/DP/2009/uth-prd-dp-2009-4_en.pdf.
Lefebvre, H. (1991). The Production of Space. Donald Nicholson-Smith (Trans.). Victoria: Blackwell.
Pitana, I G. dan P. G. Gayatri. (2005). Sosiologi Pariwisata. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Savitri, L. A. (2011). “Politik Ruang dan Pengusaan Tanah untuk Pangan”. Dalam Jurnal Wacana
Penataan Ruang dan Pengelolaan Sumber Daya, Edisi 26 Tahun XIII 2011. Sleman: Insist Press.
Shiva, V. (2002). Water Wars, Privatisasi, Profit, dan Polusi. Yogyakarta: Insist Press dan Walhi.
Stake, R. E. (1995). The art of case study research. Thousand Oaks, CA: Sage Publications.
64 Nurhadi, Amiruddin & Rozalinna
van Neil, R. (2003). Sistem Tanam Paksa di Jawa. Jakarta: LP3ES.
Yin, R. K. (1994). Case study research: Design and methods (2nd ed.). Newbury Park, CA: Sage
Publications.Salim, Emil. 2010. Ratusan Bangsa Merusak Satu Bumi. Jakarta: Kompas.
Peraturan:
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 4 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Kekayaan
Desa
ARTIKEL
Pengendalian Massa dalam Pemikiran Gustave Le Bon
Amin Mudzakkir1
Tulisan ini mengkaji tentang massa dan kepemimpinan berdasarkan teks The Crowd karya
Gustave Le Bon. Dengan pembacaan kritis terhadap teks Le Bon ini terlihat dua
kemungkinan sudut pandang lain dalam memahami hubungan antara massa dan
kepemimpinan. Kemungkinan pertama adalah massa merupakan refleksi dari
kebudayaan tertentu, hasil dari sebuah proses historis tertentu, sehingga pemimpin yang
muncul dalam kerumunan tersebut tetap terikat dengan sistem atau nilai yang dominan,
setidaknya mereka harus menyesuaikan diri dengan tradisi sejauh itu hidup di kalangan
pengikutnya. Kemungkinan kedua berkait dengan aspek radikal yang melekat pada
massa, termasuk para pemimpinnya. Bagi kita di Indonesia, karya Le Bon ini relevan
untuk memahami praktik kontemporer ketika aksi-aksi massa mewarnai dinamika
masyarakat terkini.
Kata Kunci: massa, kepemimpinan, The Crowd, Gustave Le Bon, Indonesia
This paper examines mass and leadership based on the text of The Crowd by Gustave Le Bon. With
this critical reading of Le Bon's text, there are two other possible perspectives in understanding the
relationship between mass and leadership. The first possibility is that mass is a reflection of a
particular culture, the result of a particular historical process, so that leaders appearing in the
crowd are still bound by a dominant system or value, at least they must adjust to the tradition to
the extent that they live among their followers. The second possibility relates to the radical aspects
inherent in the masses, including the leaders. For us in Indonesia, Le Bon's work is relevant to
understanding contemporary practice when mass actions affect the latest dynamics of society.
Keyword: massa, kepemimpinan, The Crowd, Gustave Le Bon, Indonesia
1 Amin Mudzakkir: Peneliti Pusat Penelitian Kewilayahan LIPI, Jakarta, Email: [email protected]
© Amin Mudzakkir, 2019
Jurnal Kajian Ruang Sosial-Budaya, Vol. 3, No. 1, 2019. Hal.65-78.
Cara mengutip artikel ini, mengacu gaya selikung American Sociological Association (ASA):
Mudzakkir, Amin.2019.”Pengendalian Massa dalam Pemikiran Gustave Le Bon,” Jurnal Kajian Ruang
Sosial-Budaya 3(1): 65-78.
DOI: 10.21776/ub.sosiologi.jkrsb.2019.003.1.05
66 Mudzakkir
Pendahuluan
Mendengar istilah massa, pikiran pintas kita biasanya langsung terarah pada gambaran
tentang gerombolan yang disatukan oleh sentimen atau emosi tertentu yang tidak rasional,
sehingga mudah terprovokasi untuk melakukan sesuatu yang dianggap kurang atau bahkan
tidak nalar. Dalam berbagai laporan tentang kerusuhan di media, misalnya, massa sering
dilukiskan sebagai orang-orang yang tidak terorganisasi sama sekali, bergerak secara liar,
sehingga dalam banyak kasus mereka menimbulkan kerusakan. Di Indonesia akhir-akhir ini,
gambaran tersebut sering dialamatkan kepada kelompok keagamaan fundamentalis atau
pendukung tim sepakbola tertentu yang kerapkali membuat onar.
Gambaran umum tentang massa sebagaimana dipahami dalam pengertian sehari-hari
tersebut diangkat untuk pertama kali ke ranah akademik oleh seorang psikolog dan pemikir
Perancis, Gustave Le Bon (1841-1931). Dalam salah satu karya utamanya yang terbit pertama kali
pada 1895, The Crowd (kerumunan) (Bon, 2001), Le Bon secara lugas bahkan terkesan karikatural
mengemukakan analisisnya tentang massa sebagai sesuatu yang “excitable, credulous, impulsive,
violent, or even heroic” (Coop, 2010: 2) Tak disangsikan lagi, Le Bon adalah bapak psikologi massa.
Sejak itu psikologi, yang awalnya hanya menaruh perhatian pada persoalan jiwa individual,
mulai berkonsentrasi juga pada persoalan kelompok dan masyarakat, termasuk kerumunan atau
massa.
Akan tetapi, massa yang dingkat oleh psikologi Le Bon adalah massa tanpa basis sosial.
Le Bon hanya melihat massa sebagai ekspresi mental yang irrasional dari sebuah kelompok atau
masyarakat. Dalam beberapa hal, Le Bon bahkan terlihat rasis ketika berusaha memperlihatkan
hubungan antara massa dan ‘the genius of the race’ (Bon, 2001: 2) Dengan ungkapan lain, Le Bon
menilai massa sebagai sesuatu yang esensialis, sesuatu yang kompak dalam dirinya, dan menjadi
bagian dari nilai yang tetap pada suatu kelompok. Le Bon juga sangat patriarkhis dengan
memberi perumpamaan bahwa massa mempunyai karakter mirip perempuan yang
pendiriannya mudah goyah dan berubah. Meski demikian, karya Le Bon sangat berpengaruh
tidak hanya secara intelektual tetapi juga terutama secara politik. Hitler dan Mussolini secara
terbuka mengaku mendapat inspirasi banyak setelah membaca karyanya tersebut.
Pengendalian Massa dalam Pemikiran Gustave Le Bon 67
Sementara menganalisis fenomena massa, Le Bon juga membahas aspek kepemimpinan
di dalamnya. Le Bon berpendapat bahwa para pemimpin massa adalah “men of action than
thinkers”. (Bon, 2001: 68) Mereka adalah para agitator ulung yang mampu menggerakkan orang
untuk melakukan apa yang diserukannya. Akan tetapi, hubungan antara massa dan
pemimpinnya dalam pemahaman Le Bon bersifat satu arah. Dengan demikian, dalam konsepsi
Le Bon, kepemimpinan diasumsikan sebagai kata sifat, bukan kata kerja. Kepemimpinan adalah
konsep yang sepenuhnya berhulu dan bermuara pada figur pemimpin sebagai pribadi.
Kehebatan seorang pemimpin dinilai dari kemampuan dia dalam memobilisasi dan
mengarahkan massa.
Tulisan ini adalah ikhtiar untuk mengelaborasi diskusi tentang massa dan kepemimpinan
dengan berkonsultasi kepada teks The Crowd karya Le Bon. Lebih lanjut tulisan ini akan
menunjukkan peran pemimpin massa dalam mengarahkan dan mengendalikan para
pengikutnya. Alih-alih memadangnya secara negatif, tulisan ini justru beragumen bahwa massa
adalah potensi yang mesti dilihat sebagai sumbu dari perubahan, meski hal itu kemudian amat
tergantung kepada pemimpinnya. Oleh sebab itu, pemikiran Le Bon seyogyanya dibaca dengan
kesedaran hermeneutis tertentu agar kita memperoleh tidak hanya pengertian yang tepat tentang
teks tersebut, tetapi juga kemungkinan untuk melampauinya. Bagaimanpun, perspektif Le Bon
tentang massa dan kepemimpinan layak diapresiasi tetapi juga sekaligus dikritik, paling tidak
diuji secara historis. Bagi kita di Indonesia, karya Le Bon ini sungguh relevan dan menarik dikaji
lebih lanjut mengingat situasi Indonesia yang sedang berubah terutama pasca jatuhnya
pemerintahan Orde Baru. Implikasi dari perubahan itu sangat luas dan masih berjalan hingga
sekarang, termasuk pada isu massa dan para pemimpinnya yang menjadi fokus tulisan ini.
Asal Usul Massa
Massa adalah fenomena yang biasa kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Usianya
mungkin setua sejarah umat manusia itu sendiri. Akan tetapi, sebagai sebuah konsep akademik,
massa baru menjadi isu pada akhir abad ke-19. Gustave Le Bon adalah orang pertama yang
mengangkat isu itu. Dalam analisisnya, kerumunan disebabkan paling tidak oleh dua faktor yang
saling berkaitan. Pertama, hasil dari penghancuran terhadap keyakinan keagamaan, politik, dan
68 Mudzakkir
sosial yang menjadi akar-akar peradaban Barat. Kedua, kenicayaan yang tak terelakkan dari
kondisi dan pemikiran baru sebagai akibat dari penemuan dan perkembangan sains modern
(Bon, 2001: 7)
Analisis Le Bon adalah pandangan khas Eropa pada akhir abad ke-19 ketika dia hidup
dan menuliskan karyanya. Dia sedang menyaksikan zaman itu dengan cemas, sehingga
menyebutnya sebagai periode transisi yang penuh dengan anarki. Ide-ide dari masa lalu belum
sepenuhnya hilang, sebagiannya bahkan masih bertahan, tetapi ide-ide baru belum juga
menemukan bentuknya yang mapan. Kepastian, dengan kata lain, belum didapatkan. Padahal,
bagi seorang borjuis-konservatif seperti Le Bon, adakah yang lebih indah daripada kepastian?
Berangkat dari kondisi zaman itu, Le Bon mengintip kerumunan dengan perasaan gentar.
Saat itu Perancis, negeri di mana Le Bon tinggal, baru saja menyaksikan keberhasilan gerakan
massa mendirikan Republik Perancis (French Third Republic). Keberhasilan ini ditandai pula
dengan munculnya komune-komune sebagaimana diimpikan oleh kaum komunis (Reicher,
2012) Akan tetapi, perubahan sosial politik tersebut selain memancarkan pesona, juga
mengandung ancaman. Le Bon seolah tidak rela dunia politik yang sebelumnya hanya diisi oleh
kaum bangsawan yang terpelajar dimasuki oleh rakyat kebanyakan. Oleh karena itu, dia secara
sinis menanggapi pengenalan pemilihan umum dalam politik dan kelahiran serikat pekerja (Bon,
2001: 8). Le Bon yakin pencapaian baru tersebut tidak akan bisa menciptakan peradaban (Bon,
2001:10)
Lebih lanjut, Le Bon menyebut dua jenis massa. Pertama adalah massa yang bersifat
heterogen. Massa jenis pertama ini bisa anonim, seperti kerumunan orang di jalan raya karena
macet atau orang-orang yang berkerumun di pusat perbelanjaan. Mereka berlatar belakang
berbeda, tetapi dipersatukan oleh satu tujuan atau kondisi yang sama pada waktu tertentu. Daya
ikat massa heterogen ini bersifat temporer. Kedua adalah massa yang bersifat homogen. Massa
jenis kedua ini bisa berupa sekte, kasta, dan kelas. Oleh karena bersifat homogen, massa jenis
kedua ini secara teoritis lebih kuat daya ikatnya dan lebih panjang spirit gerakannya (Bon, 2001:
90-3)
Pengendalian Massa dalam Pemikiran Gustave Le Bon 69
Menurut Le Bon, massa yang heterogen terbentuk melalui tiga tahap. Tahap pertama
adalah anonimitas. Pada tahap ini orang-orang bergabung pada sebuah gerakan protes,
misalnya, dan mulai kehilangan sensibilitas individualnya. Kemampuan kritis terhadap isu yang
digelorakan dalam gerakan tersebut kemudian berkurang secara perlahan, diganti oleh semacam
gairah yang meluap. Tahap kedua adalah penularan (contagion). Pada tahap ini emosi menyebar
memenuhi suasana yang tercipta dalam kerumunan, sementara pada saat yang sama
individualitas sama sekali telah hilang. Ketiga adalah tahap sugesti. Pada tahap ini orang-orang
akan terbuka untuk mengikuti apa yang diucapkan secara berulang-ulang oleh pemimpin massa
(Coop, 2010: 53-4)
Meski memandang kerumunan sebagai patologi, Le Bon membantah bahwa massa selalu
identik dengan kriminalitas. Menurutnya, kriminalitas hanya satu bagian atau episode dalam
dinamika kerumunan. Masih banyak aspek lainnya, seperti heroisme. Akan tetapi, heroisme
dalam pemikiran Le Bon adalah heroisme yang rasistik. Heroisme inilah yang menjadi dasar
identitas nasional. Meski demikian, heroisme tidak dimiliki oleh semua bangsa. Hanya bangsa
tertentu yang memilikinya. Oleh karena itu, dalam analisis Le Bon, mengapa Napoleon gagal
membangkitkan aksi massa radikal di Spanyol dan Rusia, padahal dia berhasil melakukannya di
Perancis bisa dijelaskan dengan sudut pandang ini. Afinitas antara heroisme dengan ras atau
kebudayaan tertentu inilah yang pada abad ke-20 menginspirasi orang-orang seperti Hitler dan
Mussolini. Dengan cerdik mereka memanipulasi dan mengarahkan imajinasi kerumunan atau
massa yang sedang berada dalam situasi galau. Keterpurukan ekonomi dan ketidakpastian
politik adalah kondisi dalam apa massa bisa dipupuk menjadi dinamit yang akan
menghancurkan aturan dan tatanan. massa, singkatnya, adalah awal mula sebuah perubahan.
Dalam perkembangannya, konsep tentang massa menjadi perhatian banyak filsuf dan
ilmuwan. Frantz Fanon, seorang penulis kelahiran Perancis, percaya bahwa massa, minus
afinitasnya dengan ras tertentu seperti dikatakan Le Bon, adalah impulsi kreatif yang timbul
sebagai akibat dari penindasan. Nasionalisme bangsa-bangsa Asia Afrika lahir dari impulsi
kreatif orang-orang seperti itu. Emile Durkheim berpendapat bahwa massa adalah hasil dari
retaknya kohesi dalam tubuh masyarakat, sehingga muncul ide-ide yang menyimpang. Salah
70 Mudzakkir
satu eksponen mazhab Frankfurt, Erich Fromm, mengatakan bahwa orang-orang yang tergabung
dengan massa adalah mereka yang hendak keluar dari isolasi personal dan ketidakberdayaan
menghadapi dunia modern. Para penulis Marxis umumnya mengklaim massa sebagai reaksi
terhadap konflik kelas antara borjuis dan proletar, antara kelas majikan dan kelas buruh (Coop,
2010: 60)
Sementara itu, seorang penulis kelahiran Bulgaria, Elias Canetti mempunyai pandangan
yang hampir mirip dengan Le Bon. Dia membagi massa ke dalam dua jenis, yaitu massa tertutup
dan terbuka. Massa tertutup, mirip konsepsi kerumunan homogennya Le Bon, umumnya lebih
permanen, terdiri atas dua anggota atau lebih. Mereka bisa cair tetapi berada dalam batas-batas
yang jelas dan tetap, seperti anggur di dalam botol. Mereka terasosiasi dengan ras, badan-badan
profesional, atau komunitas-komunitas tertutup lainnya. Kerumunan terbuka, sama dengan
kerumunan heterogennya Le Bon, terbentuk dan tumbuh dalam gerak spontanitas tertentu,
anggotanya bisa keluar masuk tanpa seleksi yang ketat. Akan tetapi, menurut Canetti, individu-
individu dalam kerumunan terbuka seolah-olah mengalami persekusi, dan kedekatan di antara
mereka memberi rasa proteksi bersama untuk menghadapi itu. (Coop, 2001: 60-61)
Pengaruh Le Bon terhadap pandangan akademis modern tentang massa cukup kuat.
Sebagian kalangan sosiolog masih menganggap massa sebagai patologi yang berasal dari sisa-
sisa masyarakat pra-modern. Kesadaran yang muncul dalam massa dinilai sebagai kesadaran
pra-Cartesian yang penuh dengan mitos. Beberapa ahli politik juga memandang massa tidak
cocok dengan alam demokrasi liberal. Orang-orang yang tergabung dalam kerumunan
diibaratkan sebagai tentara abad pertengahan yang sedang menyerang kuil-kuil kemoderenan.
Bagi mereka, massa adalah ladang subur bagi para demagog yang cenderung otoriter. Dalam
kasus Indonesia, seorang pengamat bahkan menilai massa atau kerumunan adalah ancaman
terhadap integrasi bangsa (Prosodjo, 2003)
Masalahnya, meskipun dipandang sebelah mata oleh sebagian kalangan akademisi
modern, kerumunan adalah kenyataan yang hadir di tengah dunia kita sekarang. Kerumunan,
dengan kata lain, adalah bagian yang inheren dari modernitas itu sendiri. Modernitas tidak selalu
mewajahkan dirinya secara tunggal. Ia selalu hadir dalam berbagai bentuk, menyesuaikan diri
Pengendalian Massa dalam Pemikiran Gustave Le Bon 71
dengan konteks di mana ia tumbuh dan berkembang. Bagi para penganut ide politik radikal,
kerumunan adalah langkah awal menuju perubahan. Dapat dikatakan, tanpa kerumunan, tidak
ada lagi pekik revolusi. Bagi kalangan terakhir ini, pertanyaannya bukan apakah kerumunan itu
dan bagiamana ia terbentuk, melainkan bagaimana memobilisasinya menjadi kekuatan untuk
mencapai tujuan politik tertentu.
Lahir untuk Memimpin
Sekarang kita akan melihat peran pemimpin massa. Oleh Le Bon, mereka disinisi tetapi juga
sekaligus dikagumi. Meskipun terlihat mempunyai visi tertentu yang sangat kuat, mereka tetap
dinilai lebih mengedepankan tindakan daripada pemikiran. Secara sarkastis Le Bon bahkan
menyebut mereka sebagai orang-orang yang kurang waras dan setengah gila. Akan tetapi, para
pemimpin kerumunan adalah orang-orang yang teguh dengan pendiriannya, bahkan pendirian
itu bagi mereka sama dengan iman. Dalam kenyataannya, pemimpin massa adalah mereka yang
dalam sejarah umat manusia dikenal sebagai para santo dan nabi. Mereka adalah orang-orang
besar yang tercipta di luar sejarah. Mereka lahir untuk mengubah sejarah.
Secara kategoris, menurut Le Bon, terdapat dua jenis pemimpin massa. Pertama,
pemimpin yang memiliki energi dan kemauan yang hebat, tetapi tidak didukung oleh stamina
perjuangan yang panjang. Mereka adalah agitator dan orator yang meledak-ledak, sehingga bisa
membuat massa bergerak. Kedua, pemimpin kharismatik yang pengaruhnya luas dan abadi,
meski sebenarnya pemikiran mereka tidak begitu brilian. Perbedaan antara tipe pemimpin
pertama dan kedua terletak pada soal daya tahan dan stamina perjuangan mereka. Yang pertama
lebih pendek, sebentar-sebentar, sementara yang kedua lebih liat dan bertahan dalam jangka
waktu yang panjang. Contoh pemimpin tipe pertama adalah Garibaldi, sedangkan contoh
pemimpin tipe kedua ini adalah para nabi, seperti St. Paulus dan Muhammad (Bon, 2001: 70-1)
Lebih lanjut Le Bon menyebut tiga cara atau sarana bagaimana para pemimpin
mengarahkan kerumunan untuk mengikuti keyakinannya dan mencapai tujuan dari keyakinan
tersebut. Tiga cara itu adalah afirmasi, repetisi, dan penularan (contagion). Ketiganya
72 Mudzakkir
sesungguhnya saling berkaitan, masing-masing tidak bisa berdiri sendiri. Afirmasi maksudnya
pemimipin harus memberikan arahan yang jelas dan tegas kepada para pengikutnya. Arahan itu
bersifat sederhana dan tanpa argumentasi yang rumit. Dengan kata lain, arahan itu semestinya
bisa diikuti secara mudah tanpa perlu perdebatan. Akan tetapi, afirmasi tidak akan berarti
kecuali diungkapkan terus menerus, direpetisi dalam berbagai kesempatan. Pengulangan yang
konsisten akan membentuk ingatan kolektif yang menjangkar dalam mentalitas massa. Lama
kelamaan arahan yang disampaikan terus menerus akan menular, diutarakan dari mulut ke
mulur, sehingga membentuk ikatan yang kuat antara pemimpin dan pengikutnya.
Pemimpin dalam bayangan Le Bon adalah ‘orang besar’. Mereka bukan manajer, tetapi
pemimpin. Mereka dilahirkan, bukan diciptakan. Dengan demikian, pemimpin adalah mereka
yang diberi anugerah. Tidak semua orang bisa mendapatkannya. Mereka bahkan tidak lahir dari
proses terjadinya kerumunan itu sendiri. Tanpa ada atau tiadanya kerumunan, mereka adalah
orang-orang yang ditakdirkan untuk untuk memimpin. Dalam literatur kepemimpinan modern,
apa yang dibayangkan oleh Le Bon tentang pemimpin adalah mereka yang membawa sifat
bawaan (trait approach). Seorang pemimpin dilahirkan karena memang dia sejak awal sudah
mempunyai bakat memimpin. Kemampuan ini tidak muncul dari interaksi dan komunikasi
sehari-hari, melainkan diturunkan dari generasi ke generasi pada individu-individu tertentu
(Northhouse, 2007: 34-6)
Dalam sejarah filsafat, gagasan pemimpin sebagai orang besar ini bisa dilacak hingga
Platon, tepatnya dalam karyanya yang terkemuka, Republic. Dikatakan oleh Platon bahwa sosok
yang paling tepat untuk memimpin rakyat Yunani adalah filsuf-raja. Tanpa sosok filsuf-raja,
demokrasi akan memakan anak kandungnya sendiri. Meski harus dilatih terlebih dulu di
Akademia, mereka pada dasarnya mempunyai phusis (bakat) untuk memimpin. Tanpa adanya
phusis itu, seseorang tidak akan mampu jadi filsuf-raja alias pemimpin bagai rakyat Athena.
Dalam pemikiran Platon, pemimpin seperti ini memang tidak cocok dengan sistem demokrasi
yang mendeklarasikan siapapun boleh menjdai pemimpun. Bagi Platon, sistem seperti ini hanya
akan melahirkan kekacauan. Para filsuf-raja hanya cocok dengan aristokrasi. Dalam sistem yang
Pengendalian Massa dalam Pemikiran Gustave Le Bon 73
terakhir ini, hanya orang yang memunyai kapasitas tertentu yang bisa memimpin, dan kapasitas
itu tidak semua orang mendapatkannya.
Salah satu kapasitas pemimpin massa adalah kharisma. Le Bon berulang-ulang
membahas hal ini. Konsep tentang kharisma ini kemudian dielaborasi lebih lanjut oleh Max
Weber. Dia membagi tiga tipe kepemimpinan, yaitu rasional-modern, tradisional, dan
kharismatik. Secara definitif pemimpin kharismatik berada di antara pengertian antara
pemimpin rasional-modern dan tradisional. Pemimpin kharismatik ibarat pendulum yang bisa
berayun ke kiri dan ke kanan secara seimbang. Dia bisa berdiskusi di tengah-tengah mahasiswa,
tetapi juga fasih berpidato di kalangan para petani. Secara panjang lebar Weber memberikan
gambaran pemimpin kharimatik demikian:
Istilah "kharisma" akan diterapkan pada kualitas tertentu dari kepribadian
seseorang yang ia dipisahkan dari orang biasa dan diperlakukan sebagai manusia
super yang diberkahi dengan kekuatan luar biasa, atau paling tidak secara spesifik
berkualitas dan berkemampuan khusus. Kemampuan seperti ini tidak bisa diakses
oleh orang biasa, tetapi dianggap sebagai berasal dari Allah atau sebagai teladan,
dan atas dasar itulah sesorang menjadi pemimpin. . . . Hal ini sangat sering
dianggap bertumpu pada kekuatan magis. Bagaimana kualitas tersebut pada
akhirnya akan dinilai dari etika, estetika, atau sudut pandang lain yang
sepenuhnya berbeda untuk tujuan definisi. Apa yang penting adalah bagaimana
individu dianggap oleh mempunyai otoritas karismatik, oleh "pengikut" atau
"murid"-nya. (Waber dalam Haslam, Reicher, Platow , 2012)
Akan tetapi, seperti juga massa, pemimpin kharismatik dinilai secara sinis karena
dianggap lebih dekat dengan prilaku otoriter, sehingga ia cocok dengan demokrasi, khususnya
demokrasi liberal. Dalam teori-teori demokrasi, kepemimpinan adalah titik gelap yang sering
terabaiakan. Dalam konteks politik global kontemporer, ini tentu saja juga terkait dengan
eksposur media masa, khususnya di Barat, yang seringkali menggambarkan sosok otoriter
sebagai figur kharismatik. Saddam Husein atau Usamah Bin Ladin, misalnya, adalah pemimpin
74 Mudzakkir
kharismatik tetapi diilustrasikan dengan wajah bengis dan penuh darah. Sebelumnya, para
pemimin komunis juga sering dilukiskan dengan cara yang hampir sama dengan itu. Oleh
karenanya, sosiolog seperti Daniel Bell merasa bersalah untuk mempopulerkan istilah ‘kharisma’
dan bahkan merekomendasikan untuk mendropnya, seraya mengatakan bahwa “People don’t
know what it means. Sociologists don’t know what it means. Even the Greeks don’t use it any more; and it
was their word” (Pappas, 2012)
Praktik Kontemporer
Konteks umum ketika The Crowd ditulis dengan zaman kita sekarang dalam beberapa hal
mempunyai kesamaan. Modernisasi dan kemudian globalisasi telah mengubah banyak tatanan
dalam masyarakat kita. Apa yang dulu dianggap tabu sekarang sudah dianggap biasa dan,
dalam banyak hal, juga sebaliknya. Akan tetapi, baik modernisasi maupun globalisasi tidak
pernah berhasil meratakan dunia di mana kita hidup sekarang yang tetap tersusun oleh
perbedaan dan, implikasi politisnya, ketidakadilan. Dalam suasana yang ‘liminal’ itu, meminjam
istilah Victor Turner, kerumunan adalah ritus modern yang selalu muncul sebagai reaksi
terhadap ketidakpastian. Tujuannnya dan latar belakang orang-orang yang ikut serta di
dalamnya sudah pasti beragam, seperti juga bentuk pengorganisasiannya. Berbagai otoritas
lama, bahkan termasuk negara, ditantang sedemikian rupa, begitu juga dengan organisasi-
organisasi multilateral seperti Bank Dunia, International Monetery Fund (IMF), dan World Trade
Organisation (WTO), dan juga jangan dilupakan, korporasi-korporasi multinasional dan
transnasional.
Dalam versi kontemporernya, beberapa ekspresi massa telah bertransformasi ke dalam
bentuk yang mungkin tidak pernah terpikirkan sama sekali oleh Le Bon. Massa bisa berupa aksi
lintas batas bangsa dan negara. Mereka, juga bekerja pada ranah virtual, tidak hanya di lapangan
atau jalanan. Aksi orang-orang di depan sidang WTO di Seattle pada 1999 adalah contoh terbaik
untuk menggambarkan massa dalam versi kontemporer ini. Mereka datang dari berbagai latar
belakang dengan tujuan yang sama. Untuk memobilisasi aksi itu, suatu isu tertentu disebarkan
Pengendalian Massa dalam Pemikiran Gustave Le Bon 75
melalui media internet, sehingga menarik perhatian dan kepedulian orang-orang. Dalam
prosesnya, orang-orang dalam aksi itu, baik ketika masih berinteraksi secara virtual maupun
setelah bertatap muka secara riil, melepaskan sekat-sekat individualitasnya, lalu
menggabungkan diri dalam suatu histeria global, yaitu sikap anti-globalisasi neoliberal seperti
sekarang. Sikap ini, atau harapan untuk mewujudkan globalisasi yang lebih memberi rasa
keadilan, digelorakan terus menerus oleh beberapa tokoh yang dianggap pemimpin dalam aksi
tersebut. Akhirnya, orang-orang yang berdiri gagah di depan sidang WTO di Seattle itu yakin
bahwa globalisasi itu jahat dan, oleh karenanya, harus dilawan. Hal terakhir ini, yaitu keteguhan
hati dan kekeraskepalaan, adalah warisan dari zaman Le Bon, bahkan jauh sejak era para santo
dan nabi, yang tetap bertahan dalam kerumunan kontemporer. Bedannya hanya sedikit, iman
sebagai perekat solidaritas yang dulu mengacu pada agama sekarang merujuk pada ideologi.
Dari contoh kasus di atas terlihat bahwa beberapa kriteria yang digariskan oleh Le Bon
tentang kerumunan dan kepemimpinan kurang relevan lagi. Kerumunan bisa terorganisasikan
dengan baik tanpa mengandalkan sosok seorang pemimpin. Apa yang disebut pemimpin lebih
merupakan kolektifitas daripada sosok pribadi. Dengan demikian, hubungan antara pemimpin
dan pengikut dalam aksi anti-globalisasi tidak lagi bersifat satu arah, melainkan dua arah.
Kepemimpinan, oleh karena itu, adalah praktik sosial yang interaktif. Konsep pemimpin sebagai
‘orang besar’ tetap hidup, tetapi nuansanya telah disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat
modern terhadap demokrasi dan hak asasi manusia. Selain itu, aksi lintas negara tersebut
menunjukkan bahwa ‘heroisme’ adalah milik semua orang, bukan hanya milik bangsa tertentu.
Unsur rasisme pada kerumunan ala Le Bon sedikit banyak telah terkikis.
Di Indonesia, kerumunan adalah bagian dari kehidupan sehari-hari. Di Jakarta, hampir
di setiap pojok kota, di pinggir jalan, di pusat perbelanjaan, kita akan menemukan orang-orang
berkerumun untuk tujuan tertentu. Dalam bentuknya yang lebih terorganisir, kerumunan
mewujud dalam aksi-aksi demonstrasi mahasiswa dan buruh yang menentang kenaikan harga
BBM. Konflik-konflik sosial pada tahun-tahun awal pasca jatuhnya rezim Orde Baru juga dinilai
oleh beberapa pengamat dilatarbelakangi oleh menguatnya sentimen komunalisme yang tidak
lain adalah sofistifikasi dari bentuk massa tradisional. Di tengah-tengah massa tersebut, berdiri
76 Mudzakkir
pemimpin baik sebagai figur personal maupun kolektif yang terus mengulang-ulang tujuan apa
yang hendak dicapai. Arah dari tujuan itu bisa konstruktif, tetapi tidak jarang juga destruktif.
Kerusuhan 1998 di Jakarta adalah bentuk negativitas massa. Mereka bergerak liar
menghancurkan berbagai fasilitas umum dan terutama properti pribadi dari kelompok minoritas
yang dianggap sebagai parasit bangsa. Rasisme seperti dikemukakan oleh Le Bon masih bekerja
dalam jenis massa seperti ini. Pemimpin mereka adalah para agitator yang memprovokasi massa
supaya beringas dan terus beringas. Pertanyaannya, apakah itu adalah bagian dari mentalitas
bangsa kita atau merupakan akibat dari struktur politik ekonomi?
Terhadap pertanyaan yang sungguh sulit tersebut, karena seperti memilih apakah ayam
atau telur dulu, tipikal pemimpin kharismatik adalah jawaban untuk mengatasinya. Itu artinya,
baik mentalitas maupun struktur politik ekonomi menyumbang peran masing-masing terhadap
proses terbentuknya massa, baik yang kemudian bergerak ke arah konstruktif atau destruktif.
Indonesia pasca-Soeharto menyaksikan lahirnya pemimpin seperti Abdurrahman Wahid alias
Gus Dur lahir di lingkungan tradisional tetapi juga sekaligus modern. Bahkan ketika akhirnya
tersingkir dari jabatan kepresidenannya, dia tetap memberi pengertian kepada massa
pendukungnya, yang menyatakan rela mati untuk membelanya, sambil pada saat yang sama dia
berbicara kepada pendengarnya dari kalangan kelas menengah urban tentang matinya
demokrasi dan kembalinya otoriterisme. Dengan demikian, pemimpin kharismatik bisa menjadi
jalan keluar dari krisis yang melahirkan, atau dilahirkan oleh, massa. Fenomena Gus Dur juga
terjadi di negara-negara lain yang baru saja menapaki jalan transisi menuju demokrasi. Di Ceko,
ada figur seperti Vaclav Havel, di Afrika Selatan ada Nelson Mandela, dan bahkan di Rusia ada
tokoh seperi Borris Yeltsin. Di tangan orang-orang itu, massa dan kepemimpinan bertemu, lalu
diolah menjadi energi transformatif bagi bangsa dan negaranya.
Penutup
Di luar kritik terhadap Le Bon, studinya tentang psikologi massa adalah kontribusi
penting bagi siapa saja yang hendak memahami dinamika massa atau kelompok dalam
Pengendalian Massa dalam Pemikiran Gustave Le Bon 77
masyarakat. Tema ini kemudian menjadi sentral dalam kajian-kajian tentang kepemimpinan.
Apa yang dikemukakan oleh Le Bon tentang massa dan kepemimpinan dalam banyak hal
masih cukup relevan hingga sekarag. Dalam praktiknya, kepemimpinan tidak hanya bekerja
pada level kesadaran, tetapi juga pada level ketidaksadaran (Bostok, 2006, 120-130). Dengan
inilah mereka sejatinya bisa mengendalikan massa. Seorang pemimpin tidak akan selamanya
menghadapi persoalan yang rasional, yang bisa diselesaikan dengan cara-cara yang terukur
melalui skema strategi dan taktik tertentu. Ada kalanya seorang pemimpin terlibat dalam situasi
mental kolektif yang emosional, seperti ketakutan, depresi, atau bahkan kegembiraan. Pada level
yang ketidaksadaran inilah seorang pemimpin tidak bisa menerapkan standar-standar rasional
yang biasanya bersifat kaku. Dia harus mengerti kebutuhan psikologis pengikutnya. Pada situasi
ini seorang pemimpin harus tahu seni mempengaruhi massa. Mereka sebaiknya belajar retorika
seperti telah dianjurkan sejak masa klasik oleh Cicero. Dengan cara ini mereka bisa
menerjemahkan kompleksitas ke dalam kata-kata sederhana yang mudah diingat oleh para
pengikutnya.
Tulisan ini adalah usaha kecil untuk membawa kembali massa ke dalam perbincangan
tentang kepemimpinan melalui konsultasi dengan teks yang ditulis oleh Le Bon. Dengan
pembacaan kritis terhadap teks Le Bon, kita melihat paling tidak dua kemungkinan sudut
pandang lain dalam memahami hubungan antara massa dan kepemimpinan. Kemungkinan
pertama adalah massa merupakan refleksi dari kebudayaan tertentu, hasil dari sebuah proses
historis tertentu, sehingga pemimpin yang muncul dalam kerumunan tersebut tetap terikat
dengan sistem atau nilai yang dominan, setidaknya mereka harus menyesuaikan diri dengan
tradisi sejauh itu hidup di kalangan pengikutnya. Kemungkinan kedua berkait dengan aspek
radikal yang melekat pada massa, termasuk para pemimpinnya. Radikalisme adalah sumber
penting bagi gerakan perubahan, baik dalam konteks terbatas, seperti lingkungan kantor atau
organisasi, maupun dalam konteks yang lebih luas, seperti negara. Gerakan politik radikal,
misalnya, selalu berawal dari massa, bukan dari rapat di gedung parlemen yang sopan-sopanan.
Dari fenomena massa pula lahir figur pemimpin kharismatik yang selalu ditunggu
kedatangannya di tengah situasi republik yang sedang sakit, atau jangan-jangan, republik itu
78 Mudzakkir
sendiri dalam praktiknya, paling tidak seperti yang kita alami di sini di Indonesia, adalah sejenis
kerumunan massa?[]
Daftar Pustaka
Bostock, William W., "Leadership at the Conscious and Unconscious Levels: Case Studies from
the British and Other Monarchies," Kravis Leadership Institute, Leadership Review, Vol.
6, Fall 2006.
Coop, Douglas Crowd and Leadership: The Art of Influencing Crowds, Trafford Publishing, 2010
Douglas Coop, Crowd and Ledership: The Art of Influencing Crowds,
Haslam, S. Alexander, Stephen Reicher, dan Michael J. Platow, The New Psychology of
Ledership: Identity, Influence, and Power, New York: Psychology Press, 2011.
Le Bon, Gustave, The Crowd: A Study of Popular Mind, Kitchener: Batoche Books, 2001.
Northouse, Peter G., Leadership: Theory and Practice, Thousand Oaks-London-New Delhi: Sage
Publications, 2007.
Pappas, Takis S., “Political Charisma and Liberal Democracy” http://www.afsp.msh-
paris.fr/activite/2006/colllinz06/txtlinz/pappas2.pdf, diakses 20 Mei 2012.
Prasodjo, Imam B. Prasodjo, “Kepemimpinan Kerumunan dan Ancaman Disintegrasi Bangsa”,
Analisis CSIS: XXXII (3) 2003.
Reicher, Stephen, “The Psychology of Crowd Dynamics”, http://www.uni-
kiel.de/psychologie/ispp/doc_upload/Reicher_crowd%20dynamics.pdf, diakses pada 5 Maret
2012.
ARTIKEL
Promoting “Difabel”, Promoting Social Model of Disability in
Indonesia, Study of Disability Movement in Yogyakarta
Slamet Thohari1
For many decades, disability in Indonesia has been seen in medical perspective, segregated into
special schools and their presences regarded as a social pathology. However, social model concept
of disability defining disability as a product of social oppression, gave tremendous effect to
deconstruct the term for “disabled persons” which is in Indonesian means “penyandang cacat”.
Inspired by social model, the Indonesian disability movement tried to change it into DIFABEL
which means “differently-abled-people. The research was done in Yogyakarta before Indonesia
ratifying the Convention on The Rights of Person with Disabilities, 2011. The findings are the
disability movement got their momentous moment in changing the new paradigm in Indonesian
presidential election, 2004. DPOs which have been engaged to this issue underwent fragmentation
into many aspects, they also bequeathed into next generation concerning disability issues.
Keys Concept: Disability, Difabel, Social Movement, Social Model
1 Slamet Thohari, Department of Sociology University of Brawijaya Email: [email protected].
Disclaimer: This basic idea of this writing was written in part of my master thesis (2011)
© Slamet Thohari, 2019
Jurnal Kajian Ruang Sosial-Budaya, Vol. 3, No. 1, 2019. Hal.79-99.
Cara mengutip artikel ini, mengacu gaya selikung American Sociological Association (ASA):
Thohari, Slamet.2019.” Promoting “Difabel”, Promoting Social Model of Disability in Indonesia, Study of
Disability Movement in Indonesia,” Jurnal Kajian Ruang Sosial-Budaya 3(1): 79-99.
DOI: 10.21776/ub.sosiologi.jkrsb.2019.003.1.06
80 Thohari
There are about 29 million people with disabilities in Indonesia (BPPK, 2013). Yet, their
presence does not take a significant role within Indonesian society nor within government
policies. People with disabilities (PwD) have complex problems, they have to deal with stigma
and discrimination in their day to day interactions in daily life, mostly inaccessible environments,
and the politics of segregation which remains in many aspects of cultural life. (Thohari, 2011)
Despite the significant presence of people with disabilities, discussion of social
movements barely touches on the disabled rights movement, particularly in developing countries
such as Indonesia. It is absolutely one of the most important movements in our modern society
where many new social changes are emerging. I will attempt to explore the journey of the
disability movement in Yogyakarta as portrait of the disability movement in Indonesia, and it has
been a pilot project for accessible place in the 1990s and it is province with the strongest disability
movement in Indonesia.
I will focus on how the disabled rights movement processed the deconstruction of
discriminating against people with disabilities and made a new label. This new moniker is
regarded as more humanistic and democratic i.e. “Differently-abled people”—difabled— than
the term “penyandang cacat” (“disabled people” or “disabled)
The movement derived at the same line with social model which ruined the medical
model’s definition of disability defining disability as “personal tragedy”. social model beleived
disability is a product of “social opression”. The emerging of industial capitalism brougnt the
hegemony of ‘abled-body’ and “normality” became the yardstick for judging people with
impairments as ‘less than human’ (Bernes and Marcer, 2003: 26; Oliver, 1990) It is a label which
is used as a symbol of struggle for equal rights for people with disabilities within Indonesian
society.
Accordingly, a questions which could be the foundation of this writing, How does the
disability movement promote social model of disability in Yogyakarta?
Promoting “Difabel”, Promoting Social Model of Disability in Indonesia 81
Indonesia was under an authoritarian regime for 32 years. In 1998, Indonesia made a
remarkable transition to a democratic political system. It was a moment when many social groups
and civil organizations took advantage of the transition to voice their concern. People within the
disabled rights’ movement had more opportunities to express their opinions, to argue their case,
and to promote their causes. One of these was to put forward their new paradigms expressed in
the label “difabel”. Changing the term is a new concept, which demands new policies and
attitudes. These attitudes are more democratic and include people with disabilities as citizens.
Due to the more democratic conditions, NGOs (Non Government Organisations) that
were concerned with the rights of the disabled took the opportunity to promote the concept of
the new term “difabel.” They also organized people with disabilities then convinced them that
people with disabilities are actually the same as other people. They are not “disabled,” which
implies that they could not do anything. Rather the “difabled” had abilities just as others did.
Those who supported the rights of the “difabled” also made many connections with the media
and people in political parties. Meanwhile, there was also a political moment which helped to
promote the new concept of the “difabled,” and this was becoming accepted by the people.
Despite some internal conflicts among members of the movement, they were able to disseminate
the information which they had to offer.
There are 27.439 people with disabilities in Yogyakarta (BPJS 2007), most of them do not
have equal access to facilities as other people do. Most of the public services, schools, means of
transportation, markets, universities, museums and other public buildings are not accessible to
them. Almost all of them also have very low income and little education. It is difficult for them to
workforces access due to their disabilities. They face many discriminatory rules and laws that are
implemented by companies and the official government. These regulations restrict the number
and type of jobs available to them based on their disabilities.
In Yogyakarta, stereotypes also determine how people with disabilities handle their lives.
In addition, people with disabilities are regarded as an embarrassment and as burdens for the
family. In general, the disabled are isolated from others and most of them are placed in special
82 Thohari
schools to be educated. In many cases, a disability is also believed to be predetermined, which
means it should be accepted without complaint while other believe that people with disabilities
possess special powers. They are therefore considered to be extraordinary people who maintain
a special balance in the world. According to certain religious beliefs, God gave the disabled
special characteristics that made them stand out in society (Byrne, 2003)
These negative perceptions and concepts of disability are very persistent in Yogyakarta.
Traditional beliefs state that possessing a disability is a magical and supernatural ooccurrence.
Therefore, people with disabilities are regarded as people who have supernatural powers that
should be respected. As sstated by Anderson (1960), people with disabilities and dwarves could
be found in Javanese castles. In addition, these extraordinary people strengthened the position of
the Javanese kingdom and the power of the king (Anderson, 1960).
A disability is really determined by the socio-cultural and physical environment. The
Indonesian government is unable to set up the environment of inclusion and integration for
people with disabilities to participate in an “able-bodied society”. In most places, especially in
the rural areas, people with disabilities are regarded as mystical beings or they are somehow
believed to relate to sorcery or witchcraft. Some of them have been hidden in the home and
isolated from society due to the negative perceptions and stereotypes that people.
The government provides very minimal special services programs or facilities to meet the
various daily needs of a person with a disability. Due to the lack of accessibility, a simple
impairment may become a significant handicap. For example, public transportation, public
places, and educational facilities are not accessible. Therefore, a disability is a huge burden which
can oppress people.
The New Order Regime, the authoritarian regime within which Suharto became
president, created many organizations for the disabled. On other hand, the regime also supported
the segregation of people with disabilities. For the Suharto regime, a disability was deemed a
burden which belonged to the person alone. A disability was a kind of personal tragedy.
Promoting “Difabel”, Promoting Social Model of Disability in Indonesia 83
Moreover, the regime viewed people with disabilities as “abnormal people”, and they should be
rehabilitated. For the sake of efficiency, the regime decreed that the disabled should be
institutionalized. At the same time, that the regime created many organizations to help the
disabled, it also supported government programs to control them.
Under the Suharto regime, there were also organizations which were characterized by
what was called by Purwanta (2006), or activists who worked for the rights of the disabled. The
movement aimed to get charitable funds and alms from the government or philanthropic
organizations. The organizations for the disabled were “umbrella agencies,” which were
connected to international organizations initiated and created by the government. It was a sort of
union for the disabled, in which most of their programs were in line with the government’s
programs for the disabled. In other words, they were similar to the government’s right hand. The
other types of organizations for the disabled were groups that were based on an individual kind
of disability, such as the visually impaired. Some of them gained funds from the government and
international organizations.
Figure 1 Government’s classification of Disabilities
Physically Blind Intellect-
tually
Psycho-
logically
Deaf Double Total
Kota
Yogya
1,212 449 539 480 16 205 3,301
Kulon
Progo
1,230 562 724 741 394 131 3,782
Bantul 2, 164 660 558 688 514 194 4,778
Gunung
Kidul
1, 420 512 865 473 452 199 3,921
Sleman 630 285 307 404 239 80 1,945
84 Thohari
Figur 2: The Classification of Children with Disabilities
Figure 3: The Characteristics of the Organizations for the Disabled under Suharto’s Regime
No Regencies Physically Blind Mental Deaf Double Total
Retarded Psychotic
1 Kulon
Progo
377 125 159 127 121 52 961
2. Bantul 439 185 255 263 152 41 1,335
3 Gunung
Kidul
720 215 229 193 166 41 1,564
4 Sleman 500 147 354 146 142 50 1,339
5 Yogya 108 48 80 23 41 6 306
Total 2,144 720 1,077 752 622 190 5,505
CHARACTERS, ACTIVITIES AND
GOALS
EXAMPLE
TY
PE
OF
OR
GA
NIZ
AT
ION
Charitable
Organization
Institutionalizing people with disabilities
based on the kind of disability. Founded
by religious groups. Collecting them in
the doSrm, giving tuition fee. Giving
specific skills for people with disabilities
etc. helping to lighten the burden of those
with disabilities.
YAKATUNIS,
Yayasan Lembaga
GN-OTA,
Umbrella Agency
Empowering people with disabilities,
bridging international organizations.
Based on government’s program. They
have a central board and branches
PPCI (Union of people
with disabilities)
HWPCI, KAPCI and
etc
Promoting “Difabel”, Promoting Social Model of Disability in Indonesia 85
The other thing to know about how the government control and regulate the power could
be seen from the why government classify people with disabilities based on the kind of
disabilities. As shown in the table above, we can see how the people are classified based on their
disabilities. More than that, they also become recipients of charity without any policies or
conditions that govern them. The policies are derived from colonial’s legacies, Dutch brought
modern medical practice to Indonesia. Currently, many institutions such as educational
institutions and employment require admission related to the health condition which is either
“mentally and physically health” (sehat jasmani rohani). This condition is really segregating people
with disabilities; they cannot get their educations, and work as the other people.
These policies are really segregating people with disabilities. Based on “normal discourse”
and the regime of truth about normalcy produced by government, people with disabilities are
consequently being isolated from society. They are not included in public spaces such as: schools,
corporation or any other institutions since they are regarded as “abnormal” people.
Instead of including people with disabilities in public schools, government built
thousands special schools or people with disabilities. Based on the types their disabilities, they
are separated from “normal society”. In those schools they get any hand skill such as: sewing,
carving, panting and so forth. These are the categories of special schools (SLB—Sekolah Luar Biasa)
in Yogyakarta:
1. SLB/A for children with visual impairment;
2. SLB/B for children with hearing impairment;
Union based on
the kind of
disability
Empowering their members, participating
in government’s programs. They have a
central board and branches
GERKATIN,
PERTUNI, ITMI,
PPCD FKCPTI, etc.
Organizations
for
Rehabilitation
Services
Medical services and rehabilitation,
vocational trainings, job skills trainings.
Based on government programs.
Connected with International funds
and/or other programs
YPCAC, YAKKUM,
PPRCM, etc
86 Thohari
3. SLB/C for children with developmental disability;
4. SLB/D for children with physical/motor disability;
5. SLB/E for children with social and emotional disorder; and
6. SLB/G for children with multiple disabilities.
Disability Movement, Difabel as a new perspective
Mansour Fakih is an Indonesian pursuing his master’s and PhD. at the University of
Massachusetts with field in critical education. He is a pioneer in analyzing people with
disabilities, most of whom have been segregated and previously regarded as “abnormal”. In 1997,
he was a head of Oxfam Indonesia, and as such, he had many connections with people who were
involved in NGOs. This situation smoothed him to solicit information on social issues from other
people in the field.
Fakih teamed up with Setyadi Purwanta, a blind person who was involved in NGOs and
concerned with disability issues. They traveled together and went to many areas and
communities to see what the conditions of people with disabilities were truly like. They
concluded that the most significant things were that people with disabilities had become
segregated and discriminated against, and there existed a belief within all of society that people
with disability are “abnormal” people. (Purwanta 2004 in Suharto and Munandar 2004: 23).
Fakih’s and Purwanta’s reflections are accurate. These conceptions of the disabled, as well
as their institutionalization and segregation, have become the dominant policies. These policies
were implemented for people with disabilities, particularly in education settings. The Indonesian
government constructed many special schools which were designated for a specific kind of
disability. During the Suharto era, says that There are 800, 000 Children with disabilities under 7-
15 years of age. Unfortunately here are only 41,015 of them have capability to get special
education which we had only 10.050 teachers (Kompas 11, 05, 1996). This situation leads us to
conclude that Suharto’s government encouraged them to be educated in special schools.
Therefore, this means that the regime implemented segregation policies, not inclusive ones, when
it came to people with disabilities. Visually impaired people, for example, have been sent to
specific schools.
Promoting “Difabel”, Promoting Social Model of Disability in Indonesia 87
Due to this condition, the post-Suharto government decided to change the prevailing
perception in society regarding the disabled and it offered the new paradigm. For the new
government, a disability was “a social opression” based on social norms. These beliefs were
dominated by the “ideology of normalism.” In addition, Mansour stated that a disability is a term
or condition produced by a capitalist system, which leads members of society to compete with
one another. To deal with this problem, the concept of disability should be deconstructed, and
term “disability” here has been regarded according to a new mindset. The underpinnings of these
new attitudes and policies questioned the term for people with disabilities, since “dis” means that
a person “does not have capability” to do something. The new government leaders changed the
term “disabled” to DIFABEL (Differently abled people), since the new view was that everyone is
capable and every person has his or her own differences. Changing the term that was used in
people’s daily life implied a change in the policies and attitudes. The prevailing view was more
democratic and equitable. Promoting the new term for people with disabilities is, actually
promoting new paradigms and attitudes and policies. (Purwanta 2004 in Suharto and Munandar
1994: 41-73).
Promoting the Term “Difabel,” as well as Equal Rights
After deciding to use the new more democratic term, activists worked hard to promote it
everywhere. University campuses were important places that activists focused on to further the
rights of the “difabled.” In 1998, Dra Manunggal (NGO led by Setya adi Purwanta) declared that
“difabled” was the new term to call people with disabilities. Other NGOs, PPCI, PERTUNI
(Union of Indonesian Blind People), GERKATIN (Indonesian Deaf Movement) , BPOC
(Indonesian Disabled Atlets), FKCPTI (Front Phisically Disabled People, YAKKUM (Christian
Center for Public Health), LBH (Legal Aid Institute ) and Yogyakarta used the new term as well.
They declared that the equal rights of people with disabilities should be implemented as part of
the surge of democracy which occurred during the post-Suharto regime (Kompas, 6/23,1998)
on September, 27th 1999 in Yogyakarya, Mansour Fakih, with the head of PPCI
(Indonesian Disabled People Association) approached Gadjah Mada University, one of the
biggest university in Indonesia to hold the big seminar on the paradigms of disability
88 Thohari
perspectives and elaborate the effect of the term “dis” in the disabled life and at the same moment,
hey also introduced the new term “difabel” to many scholars (Kompas 9, 29, 1999).
In December 1998, some of disabled rights’ activists who were associated in KAPCI
(Commete for Indonesian People with disabilities) met and created a dialogue with a title
“Reformatting the Indonesian disabled rights’ Movement.” These groups recommended using
the new term for people with disabilities, which was DIFABEL. According to them, everyone in
the world has his or her own differences and capabilities.
Since 1998, many disabled rights’ activists have been committed to applying and
promoting the new term. This new moniker would help the disabled gain greater acceptance
within society. Due to the groups’ commitment, they used the term “difable” in their daily lives,
official correspondence, and other activities. In addition, they promoted the new term throughout
the whole Indonesian society.
SIGAB, a disabled rights’ organization based on Yogyakarta, is one of organizations that
actively promoted the new term. Moreover, they used the term “difabel” in their name SIGB, or
Sasana Integrasi dan Advocacy Difabel (Center for Integration and Advocacy of the Difabeled). They
published a magazine quarterly, which also could be accessed online. Furthermore, they
published a book, which was a tribute to disabled rights’ activist Fakih, and they published a
weekly bulletin, which was distributed to NGOs, official government organizations, cultural
centers, etc.
Meanwhile, to promote the rights of people with disabilities, SIGAB, CIQAL, ITMI,
PERTUNI, Dria Manunggal, and other organizations held what they referred to as: Sunday
morning Gathering. This was a gathering held every Sunday morning in downtown Yogyakarta.
During this proceeding, the organizations promoted discussions on the rights of the disabled and
how to include the disabled in society. In this gathering, they used and promoted the new term
for all of the people attending the meeting. They invited artists, government officials, academics
from campuses and so forth, to gather in 2000. The other programs coordinated by SIGAB which
Promoting “Difabel”, Promoting Social Model of Disability in Indonesia 89
promoted the new term “difabel” included movie screenings on campuses. These films
persuaded the students to become involved in the disabled rights’ movement
There have been activities created by many within the disabled rights’ movement to
promote the term “difabel” throughout Indonesia. These activities could be characterized in the
following ways: First. Persuasion This is a process in which a group or individual works to
persuade others to believe that people with disabilities are people just like any other people.
People who use persuasion maintain that the disabled are not sick, they should not be
institutionalized. Therefore, the appropriate word to call them is “difabel”, not “penyandang
cacat” “or “disabled.”
Second, among the Members the persuasion process is usually used by the senior members
with the new members in formal or informal settings. Informally, they are encouraged to use the
term in their daily life. The senior activists are taking the opportunity to do some activities, while
simultaneously expanding the minds of the younger members. This is done through workshops,
journals created by SIGAB in every few years, counseling done by SAPDA (NGO concerning on
children and disabled woman issues) and workshops on inclusive Education by Dria Manunggal
(NGO concerning on inclusive education for people with disabilities)
Third There are also some activities done to inform people—(average people or disabled
rights’ activists). These activities include workshops on disability awareness for government
officials done by SIGAB (NGO concerning on disability issues based in Yogyakarta), disability
awareness workshops for functionaries of political parties, workshops, and disability awareness
programs for the heads of villages in Bantul done by SAPDA.
Fourth Parades and performances, A large parade held celebrate International Disability
Day in Jakarta, Yogyakarta, SIGAB, for instance, held a carnival with a small train that traveled
around Yogyakarta. SAPDA and CIQAL (NGO concerning on economic empowerment of
disabled people) in 2008 held a carnival with 1,000 people in wheelchairs. Since 2007, DMC
(Difabeled Motorcyclist Community) always tours around large cities to promote the rights of
the disabled.
90 Thohari
Fifith Advocacy: Some organizations advocate during their activities. Yogyakarta is the
strongest province of disability advocacy. Those done by many NGO and coalition among NGO
concerning disability issues such as: SIGAB, SIQAL, SAPDA, Dria Manunggal and so forth.
SIGAB for example, it is an NGO concerned with advocacy. Many advocacies were performed,
such as opposing a presidential election which banned disabled people from participating as
candidates in 2004. In addition, advocacy was used in 2006 to oppose a university’s admission
policy, which was very discriminatory. These organizations also advocate for accessibility in
public transportation. The Media has a significant role to play in this process. When these
organizations hold activities they always invite the mass media to cover their events.
Sixth Publishing, using the publishing media is a very significant tactic that organizations
use to promote their ideas. By doing this, their ideas and views on equal rights will be distributed.
There are many ways to do this, such as using personal web sites. These include sigab.orh which
is the most visited web site that promotes the term “difabel.”
Seventh: Internship program, some of the disabled rights’ activists have been involved in
other disability organizations. Some of SIGAB’s functionaries have been members of Dria
Manunggal. Purwanta and Fakih were the masterminds who have influenced many disabled
rights’ activists. The head of PUSDAKOTA, the head of INTERAKSI, and the head of the
TALENTA Foundation, were mentored by Purwanta and they received internships with Dria
Manunggal.
As previously mentioned, Purwanta, a visually impaired person, and Fakih, a human
rights activist, are the important people who promoted the change of the term from “penyandang
cacat” into “difabel.” Setiaadi is associated with an NGO that is concerned with disability issues.
It offers a new critical perspective, which sees disability as a social issue. Being disabled is caused
by social oppression or the “ideology of normalcy.”
Based on Yogyakarta, a large university city in Java, Dria Manunggal was becoming a
center of the growing movement to use the term “difabel”. Many people were involved in this
NGO and Setiaadi and Mansour both were the people who influenced others. Some of them have
Promoting “Difabel”, Promoting Social Model of Disability in Indonesia 91
had internships, or they were just involved with helping programs without charge. They did this
in order to gain experience and knowledge on disabled and human rights, and to create an
inclusive society.
Some of them were involved only for the internship, and some of them become full
members of these organizations. However, some of them were involved with internal conflicts,
so they went on to create new organizations, such as SIGAB. After the internships, some of them
went back to their home cities and formed new organizations, such SAPDA.
SIGAB is an organization created by former associates of Dria Manunggal. Through this
process, some of SIGAB’s members also created new organizations, or were involved in other
groups. Those organizations are concerned with the same issues, yet they do not share the same
focus. For example, MATAHARIKU is an organization for the hearing impaired. It focuses on
deaf rights, sign language and its culture, and multiculturalism. This organization was influenced
by SIGAB’s notion, and the founder was a member of SIGAB. Some of SIGAB’s functionaries
became members of MATAHARIKU. This paralleled what happened within the DMC (Difabel
Motorcyclist Community.) DIFA Karya also is an organization which is concerned in economic
empowerment for people with disabilitiesMost of the important people within DIFA Karya are
also becoming SIGAB’s members.
Many organizations are created with a specific focus, since they know what should be
done to fill the gaps for the disabled. SIGAB is an organization concerned with advocacy. SAPDA
is concerned with the empowerment of people with disabilities. MATAHARIKU’s focus is on the
culture of the hearing impaired. Karya is concerned with economic empowerment. The DMC is
concerned with the disabled culture and transportation rights. It also supports making
ceremonies, such as parades and carnivals, accessible for disabled people.
92 Thohari
Figure 4: “Difabel” Organizations and Their Focuses
DIFABEL
Organizations Focuses
SIGAB Advocacy
SAPDA Empowerment and Health rights for disabled
DRIA MANUNGGAL Inclusive education and assistive technology
for Blind
MATAHARIKU Deaf culture, Deaf rights
CIQAL Economic empowerment
DIFAKARYA Economic Empowerment
DMC Disabled culture, promoting accessibility in
performances, parade, touring, and etc
Based the table above, we know that there are many social organizations, such as DRIA
MANUNGGAL, which have their own foci. They are promoting and deconstructing the medical
“concept of disability,” which was first worked on by DRIA MANUNGGAL. Additionally, these
groups practiced activities based on the new paradigm, such as: advocacy, accessibility,
promoting the culture of the hearing impaired, and economic empowerment.
When individuals are immersed in a social movement, they internalize a new self-image
as being part of a collective. The social movement after DRIA MANUNGGAL continued the
paradigm of inclusivity. They not only deconstructed the paradigm of segregation and
exclusivity, but they continued to struggle to promote the rights of people with disabilities. As
one can see, “difabel” has a long long way to go to be accepted within society. In some ways,
some disability movement still struggle against the old paradigm and try to change the term.
Promoting “Difabel”, Promoting Social Model of Disability in Indonesia 93
Figure 5: The Cohort of Disability Organizations
Cohort Patterns
Before 1990s Disability defined as “abnormal”
Action: Segregation and Institutionalization
Organisations→ supporting government’s
programs
1990-2004
DRIA MANUNGGAL
Deconstructing the old paradigms
Promoting new paradigms: disability as a
product of society, introducing social model of
disability
SIGAB, DIFAKARYA, SAPDA,
MATAHARIKU etc
Practicing new paradigm: advocacy, inclusive
education, accessibility, hearing impaired
cultures, economic empowerment
Internal conflicts exist within these organizations in terms of getting resources, achieving
transparency and selecting leaders. For these reasons, they have been divisive, fragmented and
are not always in line with the same goals. However, these conflicts tend to have beneficial effects
in terms of the development of the new paradigms for which these groups struggle.
Although many disabled rights’ organizations have been fragmented, this disunity does
not make them incapable of changing the people’s mindset and implementing a new paradigm
which is more democratic. Therefore, disunity and dissension within the disabled rights’
movement actually expanded the new paradigm, which was their original goal. These internal
conflicts and disunity do not always weaken the social movement. In fact, dissension can breed
and cause change.
Following the thesis of new social movement, Krieasai stated that most social movements
adapt and change, as has been seen in the United Kingdom. UPIAS, the Union of the Physically
Impaired Against Segregation, is a disabled rights’ movement in UK which introduced the “social
94 Thohari
model” of disability studies. Many activities were derived from the UPIAS’s experiences,
particularly in the implementation of inclusive education. Some social organization also adapted
the concept of “civil rights” for people with disabilities. This was the approach of the Independent
living (IL) movement in the USA1.
On the other hand, there are many organizations for the disabled which still use the
conventional paradigms, such as the medical diagnosis paradigms or the belief that a disability
is a personal tragedy. Those organizations absorbed some aspects of what was promoted by other
organizations which struggled to promote the term “DIFABEL.” Currently, some of them are also
working together with NGOs concerned with the term “difabel,” but they still do not want to use
that moniker. There is a paradigm shift that is still needed in the ways that people perceive others
with disabilities.
On the other hand, the presence of these organizations strengthens their identities and
makes them feel part of the same struggle. So, the forming identity processes here works with
disunity and just like a “binary fusion” in bacteria or amoeba. nternal conflicts contributed to the
process of identity expansion. In fact, government organizations which used the medical
terminology model for the disabled became the “enemy” or were seen as the “antagonist” within
society.
Political Moment
The identities of difabel were also determined by the specific moment when disability
issues became a topic of public discussion. It also increased public knowledge of the disabled,
which had long been forgotten as citizens. That was the discrimination practiced during the
general election in 2004. Abdurrahman Wahid, the former president and a visually impaired
person, tried to run for president. However, the KPU (a committee for the general elections), did
not permit him to run due to his blindness. The policy was actually based on the rule created by
1 “Social model”, a concept of disability promoted by UPIAS (Union of the Phisically Impaired Againts Sagregation) in United Kingdom and Independent Living a concept of disability promoted by disability movement in USA are the influential concept inspiring many disability movements around the world. See Mike Oliver, (1997) “Disability Movement is a New Social Movement” in Community Development Journals VOL 32 NO. 3.p 244-251
Promoting “Difabel”, Promoting Social Model of Disability in Indonesia 95
the KPU, which stated that the candidate should be in good health mentally and physically.
According to them, visual impairment is not an indication of poor health. The Indonesian
Physicians Association was involved and had to give an official medical statement regarding the
“sickness” (Kompas, 4, 30, 004)
It was a momentous occasion and had tremendous effects on the disability movement in
Indonesia. Disability issues became a topic of serious public discourse. Many seminars and public
discussions were held on campuses talking about what disability is, as well as the rights of the
disabled. In addition, on May 7, 2004, there was an advertisement in the second biggest
newspaper n Indonesia, the Java Post. It said: “how wonderful their contribution in the world
”Franklin D Roosevelt, John F. Kennedy, David Blunkett, Stephen Hawking, Ludwig van
Beethoven, Taha Husein, Marla Runyan” and the last is Abdurrahman Wahid” (Jawa Pos, 5, 7
2007) These were all disabled people.
Moreover, there were also large demonstrations by people with disabilities against KPU.
There were even huge riots due to this discrimination. In Yogyakarta, particularly specific place
such as in notified as muslim tradisional area, both in rural and urban area. Thousands f people
took to the streets and yelled “Long live Abdurrahman Wahid!”. This also happened in Bangil,
East Java and other places in East Java (Kompas, 5, 27, 2004).
During that time, disability was a word debated by many people, and the term difabel
spread across the country. Many dialogues and public discussions were held, on campuses, and
on television, regarding the rights of people with disabilities. In sum, disability became a topic of
public discourse and the term difabel was a popular buzzword. For people with disabilities,
particularly for those who were not activists, it was at that time that they called themselves
“difabel”. It also happened that most NGO concerned with equal rights began using the term as
well. The disabled had previously been forgotten by many human rights organizations. Clearly,
the general election of 2004 was a huge moment for people with disabilities. It was the time when
many people were introduced to the concept of disability as a “social opression.” in other words,
disability rights are human rights, It was also the time that the definition of disability was
contested by the medical approach and social model. In addition, it was at that time that the term
“difabel’ spread across the country.
96 Thohari
Series1, 2004, 15
Series1, 2005, 25
Series1, 2006, 69
Series1, 2007, 56
Series1, 2008, 86
Series1, 2009, 54
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
The following figure is a table which shows the emergence of the term difabel in Kompas,
the largest newspaper in Indonesia. Based on this figure, we can see how the term suddenly
became popular in 2004. Following 2004, difabel became more popular, and even more recently,
almost everyone in Indonesia knows what difabel is. At least most people know to whome the
term refers to even if they do not know what the meaning behind it is.
Figure 6. The Dynamic of the Emergence of Difabel in the Largest Indonesian Newspaper,
KOMPAS
Conclusion
The history of the disability Movement in Yogyakarta and even in Indonesia is mostly the
history of the battle for a definition between disability as a medical issue and disability as product
of social opression. This contest was expressed in the terms that they used to define people with
disabilities or “penyandang cacat” (disabled person) and Difabel (differently abled-person).
“Penyandang cacat” is a term created as an adaptation from “people with disabilities”. “Cacat”
is a term for “disabled” from those who believe that a disability is a medical affair and a personal
tragedy. “Difabel” an acronym of “differently-abled-people” refers to disability as a social
construction, being disabled is due to social oppression and domination.
To deal with the problem of people with disabilities, one should not institutionalize them
in specific places, as was done by the government or NGOs which see a disability as a personal
tragedy. Accessibility should be offered in an inclusive society. This means inclusive schools and
equal rights are the answer to the problem.
Promoting “Difabel”, Promoting Social Model of Disability in Indonesia 97
In the 1990s, after they returned from abroad, some scholars introduced new perspectives
on social issues. This theoretical framework then affected their perspective on disability, since
people with disabilities at that time were really oppressed and discriminated against.
Accordingly, these scholars offered the new term “difabel” instead of “pendyandang cacat”
(disabled people). For them, changing the term is the same as changing the paradigm.
Since 1998, Indonesia’s political climate began to change and it is becoming a more
democratic country. At this moment, NGOs concerned with disabilities use the moment to
promote the new paradigms by using the new term. The methods used are: persuasion of their
members, parades and performances, advocacy, publishing and mentoring, or doing internship
programs. Those methods have been done steadily. They actually strengthen the identity of
people with disabilities.
Furthermore, in the process of their struggles, they fragmented themselves. This was
caused by internal conflicts, or by others who created new organizations in other locations.
However, the process of disunity aided the promotion of the term difabel and the new paradigm
that it offered. The process of these struggles also was helped by a political event in 2004, which
made disability issues a topic of public discourse. It also made the term difabel popular and
strengthened it as a new identity for people with disabilities. Since that moment, difabel is a well
known term to call people with disabilities n Yogyakarta or Indonesia, although some people are
not aware of what it means.
There are different patterns of cohorts within the disability movement in Indonesia. The
first cohort is the “cohort-1990s.” They worked hard to promote the new paradigm and the second
cohort, 2004-2010, is practicing the paradigm. Many activities to promote an inclusive society
came as a result of the paradigm that they promoted. There has been transference of identity here,
from the first cohort to the second cohort. Their diversity and disunity did not reduce their
movement’s identity and perspectives on disability.
98 Thohari
Bibliography
“Kemampuan Santuni Penyandang Cacat Terbatas” retrieved from Kompas November, 5th 1996
“Mereka bukan Obyek Filantrophis” Retreved from Kompas, December, 9th, 12/1995
“Penyandang Cacat Keluarkan Momerendun Anti-Diskriminasi” Retrieved from Kompas June,
6th 1998
“PKB Galang Perlawanan Terhadap KPU” Retreved from (Kompas, Aprill, 30th, 2004
“Setiap Gerakan menegakkan keadilan sosial tanpa memasukkan analisis terhadap kaum
difabel” retrieved from, Kompas September, 9th 1999
“Warga Bangil Bakar Kartu Pemilih” Retreved from Kompas, May, 5th /2004
Anderson, Benedict. (1960), Language and Power: Exploring Political Culture in Indonesia, Ithaca:
Cornell University Press
Barnes, Colin. (2000) “A Working Social Model? Disability, Work and Disability Politics of in The
21st century ” in Journal Critical Social Policy Vol. 20(4): 441–457; 014665.
_______ and Geof Marcer, (2003), Disability , Polity Press: Cambridge.
Byrne, Jayne. (2003) “Life is challenging for people with disabilities in Indonesia” in Inside
Indonesia http://www.insideindonesia.org/edition-75/disability-in-indonesia retrieved
5/4/2011
Driamanunggal (2010) “about us. At www.driamanunggal.org/htm/beranda retrieved Nov10
2010
Edward, Stave. (2005) Disability, Definition, Value and Identity. Oxford: Redcliff Publishing
Elnashai, Amrs, (2010), The Yogyakarta Earthquake of May 27, 2006, Illinois: Mid America Earth-
Quake Center
Fakih, Mansour (2002) Jalan Lain: Manifesto Intelektual Organik (The Other World: the manifesto of
Organic Intellectual), Yogyakarta: Insist Press
Finkelstein V. (1980) Attitudes and Disabled People: Issues for Discussion New York: World
Rehabilitation Fund.
Promoting “Difabel”, Promoting Social Model of Disability in Indonesia 99
Oliver, Mike (1997) “Disability Movement is a New Social Movement” in Community Development
Journals VOL 32 NO. 3.p 244-251
Oliver, Mike. (1990). The politics of disablement. London: MacMillan.
Purwanta Setia Adi, (2004), “Menumbuhkan Perspektive Difabel Untuk Mewujudkan
Masyarakat Inklusive”(Increasing disability perspectives toward inclusive society)”
Suharto, Pokok-pokok Pikiran Mansour Fakih, Refkesi Kawan Seperjuangan,( the main thoughts
of Mansour Fakih: a reflection from his a close friend) Yogyakarta: SIGAB
Thohari, Slamet (2011) Contesting Conception of Disability in Javanese Society after Suharto Regime:
A Case of Yogyakarta, Indonesia. Thesis, University of Hawaii at Manoa, Honolulu.
BPPK, (Commission on Protection and Fulfilment of the Rights of Persons with Disabilities), 2013)
Riset Kesehatan Dasar, Jakarta: Kementrian Kesehatan
ARTIKEL
Adaptasi Sosial Warga Kedungharjo Golongan NU di Tempat
Relokasi Warga Muhammadiyah Sebagai Dampak
Pembangunan Proyek Jalan Tol Solo-Ngawi
Atika Yulianti1, Iwan Nurhadi2. Lutfi Amiruddin3
Penelitian ini membahas mengenai adaptasi sosial warga Kedungharjo golongan NU
(Nahdlatul Ulama) di tempat relokasi Mayarakat Muhammadiyah sebagai dampak
pembangunan jalan tol Solo-Ngawi. Kami memilih untuk meneliti masyarakat
Kedungahrjo yang pindah jauh dari tetangganya yang berada di Dusun Sengon dan
Dukuhan. Karakteristik warga dari Dusun tersebut adalah peri urban atau semi perkotaan
dengan warga yang heterogen, termasuk dengan adanya perbedaan golongan agama
Islam antara NU dan Muhammadiyah. Teori Robert K. Merton digunakan dalam melihat
proses adaptasi yang telah dilakukan oleh warga Kedungharjo untuk mengatasi adanya
perbedaan golongan agama. Kami menemukan bahwa warga Kedungharjo melakukan
adaptasi untuk mengatasi perbedaan golongan agama tersebut dengan conformity yaitu
mengikuti kegiatan keagamaan di tempat relokasi; ritualisme yaitu warga Kedungharjo
yang masih mempertahankan nilai dan norma yang diyakini orang-orang NU; retritisme
yaitu bentuk pengunduran diri dengan tidak mengikuti kegiatan keagamaan dari
1 Atika Yulianti: Peneliti Lepas, email: [email protected] 2 Iwan Nurhadi: Mahasiswa Doktoral Institute Pertanian Bogor, email: [email protected] 3 Lutfi Amiruddin: Dosen Sosiologi Universitas Brawijaya, email: [email protected]
© Atika Yulianti, Iwan Nurhadi & Lutfi Amiruddin, 2019
Jurnal Kajian Ruang Sosial-Budaya, Vol. 3, No. 1, 2019. Hal.100-110.
Cara mengutip artikel ini, mengacu gaya selikung American Sociological Association (ASA):
Yulianti, Atika., Nurhadi, Iwan & Amiruddin, Lutfi. 2019.” Adaptasi Sosial Warga Kedungharjo
Golongan NU di Tempat Relokasi Warga Muhammadiyah Sebagai Dampak Pembangunan Proyek Jalan
Tol Solo-Ngawi,” Jurnal Kajian Ruang Sosial-Budaya 3(1): 100-110.
DOI: 10.21776/ub.sosiologi.jkrsb.2019.003.1.07
Adaptasi Sosial Warga Kedungharjo Golongan NU di Tempat Relokasi 101
golongan Muhammadiyah; dan inovasi yaitu dengan mengadakan kegiatan keagamaan
di tempat baru. Dengan penyesuaian yang dilakukan oleh masyarakat Kedungharjo,
mereka telah mengalami disartikulasi sosial, yaitu ditunjukkan dengan tidak bisa
bercampurnya golongan NU dan Muhammadiyah dalam kegiatan keagamaan.
Kata Kunci: Peri Urban, NU, Muhammadiyah, Adaptasi Sosial, Disartikulasi Sosial.
This research discusses the social adaptation of Kedungharjo NU (Nahdlatul Ulama)
community in relocation place of Muhammadiyah society as impact of Solo-Ngawi toll
road development. We chose Kedungharjo community members who moved far from
their neighbors in the hamlets of Sengon and Dukuhan. The community’s characteristics
of the Hamlet are urban or semi-urban is heterogeneous, including in the aspect of
different religious groups between NU and Muhammadiyah. To overcome this, the
people of Kedungharjo have to readjust in place of movement in overcoming the
difference of Islamic religious groups. By Robert K. Merton's theory, we saw the process
of adaptation by the people of Kedungharjo to overcome the existing differences among
the religious groups. We found that the people of Kedungharjo tried to adapt in order to
overcome the different religious groups through conformity by following religious
activities in relocation sites; ritualism by retaining the values and norms of NU’s;
retreatism that by not following the religious activities of the Muhammadiyah followers;
and innovation by holding religious activities at the place of movement. With adjustments
made by the people of Kedungharjo, they experienced social disarticulation, in the sense
that NU and Muhammadiyah followers could not mingle in religious activities.
Keywords: Peri-urban, NU Muhammadiyah, Social Adaptation, Social Disarticulation.
A. Pembangunan Jalan tol Solo-Ngawi dan Tempat Perpindahan dari Warga Kedungharjo
Ada banyak pembebasan lahan yang dilakukan untuk pembangunan jalan tol Jalan tol
Solo-Ngawi yang secara langsung menghubungkan Propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Dengan banyaknya pembebasan lahan rumah atau lahan warga terkena penggusuran. Seperti
salah satu wilayah dari Kabupaten Ngawi, yaitu di Desa Kedungharjo. Di sana, akibat
pembebasan lahan tersebut, warga Desa Kedungharjo terpaksa pindah dari tempat tinggalnya
serta kehilangan lahan-lahan pertanian, karena rata-rata wilayah Desa Kedungharjo adalah lahan
pertanian.
Pada tahun 2016, pembangunan jalan tol Solo-Ngawi sudah dimulai pada tahap
pembangunan jalan dan jembatan. Jumlah lahan yang sudah dibebaskan untuk Desa
Kedungharjo sendiri adalah 12,80 Hektare dari 13,4 Hektar luas sawah, serta luas tanah darat 3,7
Hektar dari 201 bidang, dengan 186 KK yang terkena pembebasan lahan untuk keseluruhannya.
102 Yulianti, Nurhadi & Amiruddin
Sedangkan untuk penggusuran rumah jumlah yang terkena adalah 37 KK (hasil wawancara
bersama Pak Carik Kedungharjo SG, 25 Oktober 2016). Untuk wilayah yang terkena
penggususuran baik rumah, sawah, dan tanah tersebut terdapat di Dusun Kedungombo dan
Losari.
Warga yang tergusur rumahnya dari Desa Kedungharjo, kebanyakan mencari tempat
tinggal yang berdekatan dengan tetangga lamanya maupun berdekatan dengan keluarganya.
Hal ini dilakukan untuk mengurangi terjadinya risiko beradaptasi atau menyesuaikan dengan
tetangga yang baru atau lingkungan yang berbeda. Namun ada sebagian kecil warga
Kedungharjo justru memilih untuk mencari tempat tinggal baru yang terpisah dengan tetangga
lamanya maupun keluarganya.
Perpindahan yang dilakukan secara terpisah dengan tetangga lama dilakukan oleh warga
yang bekerja sebagai petani dan pegawai negeri. Alasan mereka untuk pindah jauh dengan
tetangga lamanya dikarenakan di dusun yang baru yaitu Dusun Sengon dan Dukuhan yang
berada di Kelurahan Mantingan, merupakan kawasan yang berdekatan langsung dengan Jalan
Raya Solo-Ngawi. Mereka menganggap lokasi ini memiliki kemudahan dalam mengakses segala
kebutuhan warga seperti berdekatan dengan Puskesmas, apotek, supermarket, pasar dan lain-
lain. Dengan akses yang lebih mudah, sebagian warga yang terkena penggusuran ini akhirnya
memilih untuk berpindah di Dusun-dusun tersebut, meskipun pada akhirnya mereka harus
berpisah dengan tetangga lamanya maupun keluarganya.
Dusun-dusun yang menjadi tujuan pindah secara swadaya tersebut, memiliki kondisi
sosial yang berbeda dengan Desa Kedungharjo. Sebagai wilayah yang berdekatan dengan jalan
utama Solo-Ngawi, Dusun Sengon dan Dukuhan memiliki karakter yang individualis maupun
heterogen, khususnya dari aspek agama dan pekerjaan. Di tempat baru, golongan agama
beragam. Di dusun-dusun tujuan kepindahan, sama-sama muslim, namun memiliki dua
golongan Islam yaitu antara NU (Nahdlatul Ulama) dan Muhammadiyah. Menurut salah satu
anggota dari pimpinan PCM Muhammadiyah di Kecamatan Mantingan, ada sekitar 70% dari
Dusun Sengon dan Dukuhan yang warganya beranggotakan Muhammadiyah (Hasil wawancara
dengan Pak Az, 11 Januari 2017).
Nahlatul Ulama (NU) adalah jam’iyah yang didirikan oleh para Kiai dari Pengasuh
Psantren. Paham Ahlussunnah Wa al-Jama‟ah dalam NU sendiri adalah mencakup aspek
syar‟iyah, aqidah, dan akhlak. Dari ketiga hal tersebut merupakan satu kesatuan aspek dalam
ajaran agama islam. Dalam menyikapi masalah tradisi sendiri orang-orang NU menanggapinya
sebagai melestarikan kebaikan yang ada dan mengambil atau mengkreasi sesuatu yang baru
yang lebih baik. Artinya menurut orang-orang NU, jika budaya tersebut tidak bertentangan
dengan ajaran pokok Islam, maka budaya tersebut bisa diterima dan diikuti (Tim PWNU,
2007:33)
Adaptasi Sosial Warga Kedungharjo Golongan NU di Tempat Relokasi 103
Warga NU berpendapat bahwa tradisi tahlilan atau yasinan yang biasa dilakukan oleh
warga Kedungharjo, di mana tradisi tahlilan atau yasinan dilakukan karena dianggap tidak
bertentangan dengan ajaran pokok Islam. Sebelum terkena gusuran proyek jalan Tol, warga
Kedungharjo biasa melakukan kegiatan tahlilan atau yasinan yang biasa dilakukan pada
seminggu sekali atau dilakukan pada hari Kamis, yaitu malam Jumat untuk membangun
hubungan sosial.
Muhammadiyah berarti “umat Muhammad Sallallahu ‘alaihi wa sallam” dengan arti
bahwa Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wa sallam diyakini dan diakui oleh semua orang Islam
sebagi hamba dan pesuruh Allah yang terakhir. Menurut Shihab (1997:303-304) Muhammadiyah
memiliki tujuan untuk mengadaptasi ajaran-ajaran Islam yang murni ke dalam kehidupan
modern dengan pergerakan sosial keagamaan modern di Indonesia. Dengan tujuan yang dimiliki
tersebut, tradisi yasinan dan tahlilan dianggap sebagai suatu hal yang bid’ah atau baru dan tidak
pernah dikerjakan dan diperintahkan oleh Rasulullah. Anggapan yang demikian menjadikan
tradisi tahlilan atau yasinan tidak dilakukan oleh golongan Muhammadiyah, contohnya di
Dusun Sengon dan Dukuhan.
Akibat dari penggusuran ini, warga yang dahulu tinggal berdekatan dengan keluarga
ataupun tetangga terpaksa juga kehilangan keterikatan sosial dengan tetangga yang lama
maupun keluarganya. Warga yang memilih untuk mencari tempat tinggal baru yang terpisah
dengan tetangga lamanya maupun keluarganya, harus menyesuaikan diri dengan kondisi
lingkungan yang baru dari tetangga maupun dari masalah perbedaan golongan tersebut.
Kepindahan warga yang tidak memiliki ikatan sosial dengan tetangga lama maupun
keluarganya menjadikan adaptasi mereka tidaklah mudah.
Dengan penyebab penggusuran tersebut, warga yang berpindah di tempat tinggal yang
baru terpaksa untuk beradaptasi dengan tetangga barunya dan membangun kembali hubungan
sosial. Hal ini dilakukan agar mampu untuk melanjutkan kehidupan yang baru. Robert K.
Merton mengatakan bahwa adaptasi merupakan suatu konsekuensi akibat adanya suatu
perubahan pada warga, di mana warga menggunkan cara adaptasi untuk mengantisipasi
perubahan yang terjadi pada lingkungan sosial sebagai bentuk respon dari implikasi yang
dirasakan (Merton dalam Ritzer, 2008:272). Akibat terjadinya pembangunan jalan tol, warga
mengalami perubahan pada lingkungan sosial di tempat yang baru dengan terjadinya perbedaan
golongan agama antara NU dan Muhammadiyah, sehingga warga yang terkena penggusuran
tersebut harus beradaptasi dengan warga yang baru dengan kondisi sosial yang baru pula.
Struktur Warga Kedungharjo dan Warga di Dusun Sengon dan Dukuhan
Dusun Sengon dan Dukuhan merupakan satu desa yang berada di Desa Mantingan,
Kecamatan Mantingan. Dusun tersebut merupakan tempat yang dijadikan perpindahan dari
warga Kedungharjo. Karakteristik wilayah dari Dusun Sengon dan Dukuhan merupakan
104 Yulianti, Nurhadi & Amiruddin
wilayah peri urban yang memiliki keberagaman warganya baik dari segi sosial, budaya, ekonomi
dan agama. Dari keberagaman tersebut, hal yang paling menonjol dari adanya suatu
keberagaman adalah adanya perbedaan golongan agama Islam, karena penduduk di dusun
tersebut mayoritas beragama Islam. Kegiatan sosial yang paling dominan adalah dari adanya
kelompok golongan agama, yaitu antara golongan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama‟ (NU).
Dari dua golongan tersebut, di Dusun Sengon dan Dukuhan mayoritas kelompok agama
yang berada di Dusun tersebut adalah kelompok golongan Muhammadiyah. Menurut salah satu
PCM (Pimpinan Cabang Muhammadiyah) Mantingan ada sekitar 70%, dengan kegiatan
utamanya adalah adanya pengajian yang dilakukan setiap hari Minggu serta pengajian Ibu-ibu
Aisyah. Dengan tingginya warga di Dusun Sengon dan Dukuhan sebagai kelompok mayoritas
Muhammadiyah, maka ini menjadi suatu perbedaan bagi warga Kedungharjo yang pindah di
Dusun Sengon dan Dukuhan. Hal tersebut dikarenakan, sebelum mereka berpindah di Dusun
tersebut, mayoritas golongan agama yang dianut oleh warga Kedungharjo mayoritasnya adalah
golongan Islam NU (Nahdlaul Ulama‟) yang biasa mengadakan kegiatan acara seperti yasinan
dan tahlil yang mana kegiatan tersebut menjadikan kedekatan antar tetangga di Desa
Kedungharjo.
Hal yang membedakan dari kedua Golongan antara Muhammadiyah dan NU adalah
nilai dan norma yang telah diyakini dalam setiap golongan yang mereka percayai yang
berhubungan dengan segi amaliyahnya. Ajaran dari orang Muhammadiyah sendiri Menurut
Shihab (1997:303-304) Muhammadiyah memiliki tujuan untuk mengadaptasi ajaran-ajaran Islam
yang murni ke dalam kehidupan modern dengan pergerakan sosial keagamaan modern di
Indonesia. Dari tujuan tersebut, Muhammadiyah mendapatkan inspirasi ide-ide
pembaharuannya dari Syaikh Muhammad Abduh, dengan membersihkan serta pembaharuan
Islam dari daki-daki sejarah yang selama ini dianggap tidak bisa terpisahkan dengan ajaran
Islam.
Warga Kedungharjo yang bergolongan NU (Nahdlatul Ulama‟) yang terkena pembebasan lahan
akibat adanya pembangunan proyek jalan tol Solo-Ngawi, mengharuskan mereka untuk
berpindah tempat tinggal di Dusun Sengon dan Dukuhan dengan mayoritas bergolongan
Muhammadiyah. Definisi dari struktur sendiri menurut Merton (1938:673) adalah suatu hal yang
dapat mengatur dan mengendalikan yang dapat dikendalikan dan diterima oleh masyarakat dari
adanya aturan tersebut yang dapat menuju keberhasilan dari adanya sebuah tujuan.
Terjadinya dua perbedaan golongan agama tersebut yang dilatar belakangi dengan nilai
dan norma yang berbeda dari setiap masing-masing golongan menjadikan dua struktur tersebut
bertemu dalam satu kondisi dengan nilai dan norma yang berbeda dari setiap golongan yang
diyakini masyarakat. Selain itu juga terdapatnya perbedaan status sosial antara NU dan
Muhammadiyah sebagai pemimpin atau orang yang paling dihormati, jika NU dipimpin oleh
Kyai, sedangkan Muhammadiyah tidak begitu terlihat struktur sosialnya, dikarenakan orang
yang dianggap struktur tinggi adalah mereka yang cendekiawan atau kaum intelektual. Selain
Adaptasi Sosial Warga Kedungharjo Golongan NU di Tempat Relokasi 105
itu, ada perbedaan antara NU dan Muhammadiyah, jika NU kegiatan yang biasa dilakukan
adalah yasin dan tahlil serta adanya kelompok Muslimatan sedangkan Muhammadiyah hanya
menyelenggarakan pengajian dan adanya kelompok Aisyiyah.
C. Fungsi dan Disfungsi Warga Kedungharjo sebagai Konsekuensi Perpindahan
Warga Kedungharjo yang bergolongan NU (Nahdlatul Ulama‟) yang terkena
pembebasan lahan akibat pembangunan proyek jalan tol Solo-Ngawi, mengharuskan mereka
untuk berpindah tempat tinggal yang berada di Dusun Sengon dan Dukuhan yang mayoritas
warganya bergolongan Muhammadiyah. Perpindahan yang mereka lakukan secara swadaya
tersebut, menjadikan warga Kedungharjo membangun kembali hubungan sosial di tempat
perpindahan dengan mayoritas warganya bergolongan Muhammadiyah. Melihat struktur
masyarakat dari nilai dan norma yang dibawa oleh masing-masing golongan agama Islam baik
dari golongan NU dan Muhammadiyah yang berbeda, menjadikan warga NU maupun dari
warga Muhammadiyah menjalankan fungsi dan disfungsi dari adanya perbedaan struktur
tersebut.
Merton menekankan akan adanya kestabilan, kesatuan dan harmoni sistem sosial
(Poloma, 2010:42). Struktur sosial yang berbeda antara golongan NU dan Muhammadiyah di
Dusun Sengon dan Dukuhan menjadikan warga Kedungharjo menjalankan fungsinya untuk
membangun hubungan sosial yang baru, agar tidak ada konflik yang terjadi. Sikap saling
menghargai serta bertoleransi menciptakan kestabilan antara golongan NU dan
Muhammadiyah.
Perpindahan warga Kedungharjo yang bergolongan NU akibat terkena pembangunan
proyek jalan tol Solo-Ngawi yang tinggal di tempat relokasi dengan warga Muhammadiyah,
menimbulkan perbedaan. Warga tidak hanya dipandang sebagai warga yang terintegrasi dengan
mengikuti struktur yang ada, tetapi juga bisa melawan struktur yang ada. Warga tidak biasa
melakukan kegiatan seperti biasanya yang dilakukan warga Kedungharjo sebelumnya, walau
mampu membangun hubungan sosial dengan baik, namun tidak bisa bercampur dalam kegiatan
peribadatan.
Bentuk disfungsi tersebut tidak hanya dari kelompok dari golongan NU saja, tetapi
disfungsi ini juga dilakukan oleh golongan Muhammadiyah. Bentuk disfungsi tersebut adalah
tidak bisanya dari golongan NU maupun dari Muhammadiyah yang bercampur dalam urusan
kegiatan keagamaan. Hal tersebut dikarenakan dalam setiap masing-masing golongan memiliki
nilai dan norma yang diyakini. Sehingga ketika ada struktur yang berbeda, maka akan muncul
konsekuensi yang negatif dengan tidak dapat diterimanya nilai atau norma dari masing-masing
golongan agama baik antara NU ataupun Muhammadiyah.
Terjadinya perpindahan warga Kedungharjo akibat adanya pembebasan lahan dari
pembangunan proyek jalan tol Solo-Ngawi juga menjadikan hubungan sosial di tempat
106 Yulianti, Nurhadi & Amiruddin
perpindahan warga Kedungharjo dengan warga Sengon dan Dukuhan dirasa kurang guyub dan
tidak seperti warga Kedungharjo sebelumnya. Perpindahan yang dialami oleh warga
Kedungharjo selain disfungsi dengan permasalahan golongan agama, disfungsi yang mereka
rasakan adalah kurang eratnya hubungan sosial dari warga Dusun Sengon dan Dukuhan yang
memiliki karakter wilayah yang peri urban, sehingga warganya dianggap lebih cuek atau
individualis.
Proses Penyesuaian Diri di Tempat Perpindahan
Warga Kedungharjo yang bergolongan NU (Nahdlatul Ulama‟) yang terkena
pembebasan lahan akibat terkena pembangunan proyek jalan tol Solo-Ngawi, mengharuskan
mereka pindah ke tempat yang mayoritas warganya bergolongan Muhammadiyah. Tempat
perpindahan yang mereka pilih yaitu berada di Dusun Sengon dan Dukuhan. Perbedaan
golongan agama di tempat baru mengharuskan mereka menyesuaikan dengan kondisi yang
sebelumnya belum pernah dialami oleh warga Kedungharjo. Merton dalam jurnal American
Sociological Association (2015:674) mengatakan bahwa agar struktur sosial seimbang, maka
individu harus merawat sistem yang muncul dengan cara menyesuiakan diri dari adanya sistem
untuk mencapai sebuah tujuan.
Warga Kedungharjo yang pindah harus diri dengan kondisi tempat baru mereka,
termasuk dalam hal perbedaan golongan agama. Merton menyebutnya sebagai konsekuensi
yang ditimbulkan akibat adanya perubahan yang terjadi di masyarakat, di mana masyarakat
menggunakan adaptasi sebagai cara untuk mengantisipasi perubahan yang terjadi pada
lingkungan sosial dalam masa hidupnya sebagi bentuk respon dari adanya implikasi yang
dirasakan (Merton dalam Ritzer, 2008:272).
Perubahan yang dirasakan dari Warga Kedungharjo setelah berpindah adalah merasakan
bahwa di lingkungan sekitar tempat tinggal yang baru di Dusun Sengon dan Dukuhan adalah
memiliki kondisi wilayah yang peri urban atau semi perkotaan. Dengan kondisi wilayah yang
demikian warga Kedungharjo menilai bahwa warga di Dusun Sengon dan Dukuhan tergolong
cuek atau individualis. Selain itu, terdapatnya perbedaan golongan agama yang terlihat jelas
antara sesama umat Islam yaitu antara golongan Muhammadiyah sebagai mayoritas dan NU
sebagai kelompok Minoritas.
Perbedaan dua golongan agama tersebut, menjadikan warga Kedungharjo tidak dapat
melakukan kegiatan di tempat relokasi yang biasanya melakukan kegiatan keagamaan seperti
tahlilan atau peribadahan yang dilakukan dengan cara-cara dari golongan NU. Melihat adanya
perbedaan struktur dari dua golongan agama antara NU dan Muhammadiyah maka, warga
Kedungharjo harus menjalankan fungsi dari adanya struktur yang berbeda sebagai bentuk untuk
menghindari terjadinya konflik. Namun, tidak hanya menjalakan fungsi untuk mengatasi adanya
perbedaan struktur, warga Kedungharjo juga tidak selalu menjalankan fungsinya, artinya
Adaptasi Sosial Warga Kedungharjo Golongan NU di Tempat Relokasi 107
terdapat disfungsi dari warga sebagai bentuk tidak dapatnya menerima atau menjalankan fungsi
dari struktur yang ada, sehingga perlu penyesuaian untuk tetap menjaga struktur agar tidak
menimbulkan konflik.
Menurut Merton ada lima tipologi adaptasi yaitu Conformity, Inovasi, Ritualisme,
Retritisme, Rebellion, empat di antaranya telah digunakan oleh warga Kedungharjo untuk
menyesuaikan dari adanya perbedaan golongan agama antara NU dan Muhammadiyah
diantaranya yaitu Conformity, Ritualisme, Retritisme dan Inovasi.
Penyesuaian pertama yang telah dilakukan warga Kedungharjo untuk menghadapi
adanya perbedaan golongan agama adalah Conformity, yaitu adanya warga Kedungharjo yang
bersepakat mengikuti pengajian di tempat baru khusunya di Dusun Sengon dan Dukuhan, untuk
dapat melakukan kegiatan keagamaan dengan sesama muslim. Merton dalam jurnal American
Sociological Association (2015:677) menyebutkan bahwa Conformity merupakan suatu cara
penyesuaian diri dengan cara yang sesuai dengan kesepakatan dan ketentuan masyarakat.Pola
tersebut merupakan satu-satunya pola adaptasi yang cara dan mencapai tujuannya normal,
karena dalam suatu kelompok telah mengikuti nilai dan norma yang ada.
Sebenarnya, ada harapan atau tujuan lain yang sebenarnya yang diinginkan oleh warga
Kedungharjo ketika mereka menyetujui nilai dan norma yang berada di Dusun Sengon dan
Dukuhan. Tujuan lain tersebut adalah dengan mengikuti kegiatan yang ada, sebenarnya warga
Kedungharjo menginginkan sikap menghargai dari kelompok Muhammadiyah, agar bersedia
hadir di kegiatan tahlilan. Namun dari golongan Muhammadiyah tidak pernah hadir jika
diundang.
Selain itu, warga Kedungharjo yang ikut beribadah di Masjid Muhammadiyah
merupakan tidak ada pilihan lain bagi warga Kedungharjo untuk beribadah di masjid NU,
karena masjid terdekat yang berada di rumahnya adalah masjid orang Muhammadiyah.
Penyesuaian kedua dari Merton dalam American Sociological Assosiation (2015:678)
adalah menggunakan Ritualisme dengan masih berpegang pada budaya atau cara-cara yang
masih diakui oleh warga. Seperti masih mengikuti pengajian Muslimatan dan tahlilan dari
golongan NU sebagai bentuk penyesuaian dari lingkungan dengan warga yang mayoritas
Muhammadiyah. Dalam menyesuaikan kondisi dari adanya perbedaan golongan agama antara
NU dan Muhammadiyah, warga Kedungharjo yang pindah di Dusun Sengon dan Dukuhan
masih mempertahankan nilai dan norma yang diyakini sebagai dari golongan NU yang tinggal
dengan warganya mayoritas Muhammadiyah.
Bentuk penyesuai diri dari Merton lainnya adalah Retritisme yang merupakan sebagai
bentuk dari pengunduran diri. Bentuk dari tindakan ini adalah meninggalkan dari cara
pencapaian serta tujuan yang dilakukan oleh pelaku penyimpangan bersifat konvensional, yaitu
ketika warga Kedungharjo tidak mengikuti kegiatan yang ada karena tidak sepaham.
108 Yulianti, Nurhadi & Amiruddin
Penyesuaian yang terakhir yang digunakan oleh Warga Kedungharjo untuk
menyesuaikan dari adanya perbedaan golongan agama tersebut adalah menggunkan adaptatasi
inovasi, yaitu pola adaptasi yang menyimpang dari nilai yang ada di warga dan cara yang
dilakukan sangatlah berlawanan, tetapi tujuan yang ingin dicapai sesuai dengan standard.
Warga Kedungharjo melakukan inovasi dengan cara mengadakan kegiatan mengaji Alqur’an
yang merupakan suatu cara penyesuaian yang bertujuan untuk mengakrabkan diri dengan
tetangga. Apalagi, kegiatan membaca Al-quran tersebut tidak menyimpang, namun menghargai
warga yang berbeda golongan.
Dengan penyesuaian yang dilakukan oleh warga Kedungharjo sebagai golongan NU
yang pindah di Dususn Sengon dan Dukuhan yang mayoritas warganya bergolongan
Muhammadiyah, maka warga dari Dusun perpindahan tersebut telah menerima kedatangan dari
masyarakat Kedungharjo yang terkena pembebasan lahan akibat dari pembangunan proyek jalan
tol Solo-Ngawi. Ada warga Dusun Sengon dan Dukuhan yang menerima undangan kegiatan
yasin dan tahlil sebagai bentuk penghargaan, tetapi tidak hadir di kegiatan rutin yasin dan tahlil.
Di sisi lain, ada juga dari warga Dusun Sengon dan Dukuhan tetap tidak mau mengikuti atau
tidak ikut acara yasin dan tahlil. Sebagai warga baru, warga Kedungharjo mencoba mengikuti
kegiatan yang berada di Dusun Sengon dan Dukuhan, masih mempertahankan kegiatan yasin
dan tahlil, tidak mengikuti pengajian dari kelompok Muhammadiyah serta mengadakan
kegiatan baru di tempat perpindahan. Dari berbagai penyesuaian tersebut merupakan upaya dari
warga Kedungharjo sebagai bentuk penyesuaian diri di tempat yang baru dengan kondisi sosial
yang baru pula.
Sementara itu, warga Muhammadiyah melihat adanya kelompok NU di Dusun Sengon
dan Dukuhan, mereka pada akhirnya juga harus menyesuaikan dari keadaan tersebut, dengan
cara hadir jika diundang ke acara yasin dan tahlil, sebagai bentuk untuk saling menghormati dan
menghargai. Ada juga yang tetap tidak hadir dikarenakan hal tersebut tidak diajarkan pada masa
Rasulullah atau biasa disebut sebagai bid’ah. Oleh karena itu mereka tetap tidak hadir meskipun
sebatas hanya bentuk menghargai atau penghormatan. Warga dari Desa Kedungharjo yang
terkena pembebasan lahan akibat terkenanya pembangunan proyek jalan tol Solo-Ngawi,
mengharuskan mereka pindah dan berpisah dengan tetangga lamanya.
Cernea (1997:7) menyebutkan bahwa pemindahan paksa akan menimbulkan resiko yang
dialami oleh warga yang telah terkena pembebasan lahan, salah satunya adalah disartikulasi
sosial, yaitu menyebarnya hubungan warga dan menyebarnya tatanan warga dengan terjadinya
disintegasi sosial atau tidak dapat menyatunya warga. Seperti dialami oleh warga Kedungharjo,
dulu hubungan mereka sudah terjalin dengan baik dan erat dibanding dengan warga Dusun
Sengon dan Dukuhan.
Perpisahan yang telah dialami oleh warga Kedungharjo dan keharusan mereka untuk
menyesuaikan diri dengan adanya perbedaan golongan agama antara NU dan Muhammadiyah,
mengarah pada disartikulasi sosial. Disartikulasi ini terjadi pada saat dengan adanya
Adaptasi Sosial Warga Kedungharjo Golongan NU di Tempat Relokasi 109
permasalahan golongan agama, di mana warga Kedungharjo sebagai golongan NU tidak bisa
berbaur dalam permasalahan agama dengan warga di Dusun Sengon dan Dukuhan. Di sisi lain,
warga Dusun Sengon dan Dukuhan dari golongan Muhammadiyah juga tidak dapat mengikuti
nilai dan norma dari golongan NU. Meskipun diantara dua golongan tersebut sebagian warga
ada yang mau menerima nilai dan norma dari golongan NU maupun Muhammadiyah.
Konsekuensi Pembangunan Jalan Tol Solo-Ngawi
Akibat adanya pembangunan jalan tol Solo-Ngawi telah menjadikan warga Kedungharjo
yang bergolongan NU harus terpaksa memilih pindah di Dusun Sengon dan Dukuhan dengan
mayoritas warganya bergolongan Muhammadiyah. Dusun Sengon dan Dukuhan tersebu
merupakan wilayah yang berdekatan langsung dengan jalan utama Solo-Ngawi dengan lebih
dekat akses fasilitas umum. Selain itu Warga di Dusun Sengon dan Dukuhan memiliki
karakteristik peri urban atau semi perkotaan dengan warganya yang heterogen dan individualis.
Selain adanya perbedaan golongan agama, warga yang pindah secara terpaksa tersebut juga
mengalami disartikuasi sosial.
Untuk mengatasi adanya perbedaan golongan agama Islam serta dengan warga yang
sudah semi perkotaan, maka warga Kedungharjo telah melakukan proses adaptasi di tempat
perpindahan dengan tetangga yang baru dengan melalui 4 proses adaptasi yaitu Conformity,
Ritualisme, Retritisme, dan Inovasi.
110 Yulianti, Nurhadi & Amiruddin
Daftar Pustaka
Cernea, Michael.1997.The Risk and Recontruction Model For Resettling Displaced Population
Vol.25, No 10, pp 1569 1587, 1997. Word Bank: Elsevier Science Ltd All rights reserved
Creswell, John W. 2009. Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitaif, dan Mixed.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Creswell, John .2015.Penelitian Kualitatif dan Desain Riset (Memilih di antara lima Pendekatan).
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Merton, Robert K.1938. Social Structure and Anomie. Harvad University: American Sociological
Association
Poloma, Margaret M. 2010. Sosiologi Kontemporer.Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Shihab,Alwi.1997. Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam
Beragama. Bandung: Mizan
ARTIKEL
Pengorganisasian Komunitas Serikat Pekerja Rumah Tangga
Sapulidi Dalam Memperjuangkan Situasi Kerja Layak
Ari Ujianto1
Artikel ini membahas pengorganisasian komunitas (community organizing) yang
dilakukan Serikat Pekerja Rumah Tangga Sapulidi, Jakarta dalam memperjuangkan
situasi kerja layak (decent work) di Indonesia, tahun 2013-2018. Situasi kerja yang dialami
pekerja rumah tangga di Indonesia belum bisa disebut layak karena masih terdapat
eksploitasi, kekerasan dan eksklusi dari kewargaan industrial. Salah satu sebab masalah
itu terus terjadi adalah karena pekerja rumah tangga tidak terorganisasi. Artikel ini
menawarkan konsep pengorganisasian komunitas untuk menganalisis strategi intervensi
sosial yang dilakukan Serikat Pekerja Rumah Tangga Sapulidi Jakarta dalam
memperjuangkan situasi kerja layak. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif,
dengan teknik wawancara langsung dengan pengurus dan pengorganisasi komunitas
(community organizer) SPRT Sapulidi, serta menggunakan dokumen-dokumen yang
dimiliki SPRT Sapulidi dan lembaga lain. Penelitian ini menemukan bahwa dengan
strategi pengorganisasian yang tepat, maka ada peningkatan jumlah anggota yang cepat
dan peningkatan pemahaman anggota terhadap situasi kerja layak, sehingga mereka
secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri memperjuangkan situasi kerja layak
tersebut. Penelitian ini menyimpulkan bahwa perjuangan dalam mencapai tujuan dari
sebuah organisasi membutuhkan pendekatan pengorganisasasian yang tepat dan
berkesinambungan.
Kata kunci: pengorganisasian komunitas, pekerja rumah tangga, kerja layak
1 Ari Ujianto: Mahasiswa Magister Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia,
Email: [email protected]
©Ari Ujianto, 2019
Jurnal Kajian Ruang Sosial-Budaya, Vol. 3, No. 1, 2019. Hal.112-127.
Cara mengutip artikel ini, mengacu gaya selikung American Sociological Association (ASA):
Ujianto, Ari.2019.”Pengorganisasian Komunitas Serikat Pekerja Rumah Tangga Sapulidi Dalam
Memperjuangkan Situasi Kerja Layak,” Jurnal Kajian Ruang Sosial-Budaya 3(1): 112-127.
DOI: 10.21776/ub.sosiologi.jkrsb.2019.003.1.08
112 Ujianto
This article discusses community organizing by the Sapulidi Domestic Workers Union
Jakarta in fighting for a decent work situation in Indonesia, 2013-2018. The work situation
experienced by domestic workers in Indonesia cannot be considered feasible because
there is still exploitation, violence, and exclusion from industrial citizenship. One of the
reasons for this problem continues to occur, one of which is because domestic workers are
not organized. This article aims to elaborate the approach Sapulidi Domestic Workers
Union, Jakarta in fighting for a decent work situation. This research used a qualitative
approach, with data collection conducted by direct interviews with board and community
organizers of Sapulidi Domestic Workers Union, and using documents owned by Sapulidi
and other institutions. This research found that with the right organizing strategy, there
was a rapid increase in the number of organizational members. In addition, there is also
an increase in members' understanding of decent work situations for domestic workers,
so that they jointly and individually try to fight for these decent work situations. This
study concludes that the struggle in achieving the goals of an organization requires an
appropriate and sustainable organizational approach.
Keywords: community organizing, domestic workers, decent work
Pendahuluan
Berdasarkan estimasi International Labour Organization (selanjutnya ditulis ILO) Jakarta
pada tahun 2015, dengan bersandar pada data Survey Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) BPS,
jumlah pekerja rumah tangga (selanjutnya ditulis PRT) pada tahun 2015 telah mencapai 4,6 juta
orang (ILO 2018). Sedangkan dari rapid assessment Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah
Tangga (JALA PRT) tahun 2009, diperkirakan jumlah PRT lokal di Indonesia adalah 10.744.887
karena 67% dari rumah tangga kelas menengah dan menengah atas mempekerjakan PRT. Di
tengah jumlahnya yang terus meningkat, PRT selama ini merupakan kelompok yang
termarginalkan yang menghadapi berbagai masalah dan hambatan baik kultural mau pun
struktural.
Hambatan secara kultural yang dimaksud adalah masih melekatnya sistem nilai, adat
istiadat, norma-norma, kebiasaan pada individu atau masyarakat yang telah mendarah daging
yang menempatkan PRT sebagai pekerjaan rendahan, sehingga sebutan sebagai pembantu masih
melekat. Hal ini menandakan bahwa pekerjaan ini tidak diakui sebagai pekerjaan yang
sesungguhnya. Sebutan “pembantu” dari pada “pekerja” oleh kebanyakan anggota masyarakat
Pengorganisasian Komunitas Serikat Pekerja Rumah Tangga Sapulidi 113
kita menandakan bahwa pekerjaan sebagai PRT dianggap bukan pekerjaan utama, yang bisa
menghasilkan uang atau pemasukan tetap bagi keluarga.
Ada pun hambatan struktural yang dialami PRT adalah tiadanya perlindungan dan
pemenuhan hak-hak mereka, misalnya bisa dilihat bahwa sampai saat ini negara belum
mengakui secara formal pekerjaan PRT dan mereka tereksklusi dari dunia ketenagakerjaan
(kewargaan industrial) sehingga rentan akan eksploitasi, diskriminasi dan dilanggar hak-hak
asasinya (Gastaldi 2015). Hingga kini belum ada satu pun peraturan setingkat undang-undang
untuk mengatur dan melindungi nasib PRT secara legal. Undang-undang Nomer 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan, misalnya, tidak secara khusus mengatur persoalan PRT, apa lagi
memberikan dasar perlindungan hukum (Wijaksana 2005).
Berbagai permasalahan, kondisi dan situasi yang dihadapi PRT seperti disebutkan di atas,
khususnya mengenai tereksklusinya PRT dari hukum ketenagakerjaan, salah satu sebab
fundamentalnya karena PRT tidak berserikat atau tidak terorganisasi (Buckley, Cristaudo dan
Weil 2013). Sehingga permasalahan tersebut juga acap kali menjadi latar belakang dilakukannya
pengorganisasian PRT, termasuk di Indonesia. Pengorganisasian ini kemudian memunculkan
organisasi-organisasi PRT seperti Serikat PRT (selanjutnya ditulis SPRT) Tunas Mulia,
Yogyakarta pada tahun 2004. Setelah itu bermunculan organisasi-organisasi PRT di beberapa
kota, seperti SPRT Merdeka di Semarang tahun 2012, SPRT Sapulidi di Jakarta tahun 2013,
Organisasi Pekerja Rumah Tangga (Operata) Panongan di Kabupaten Tangerang tahun 2014 dan
SPRT Paraikatte di Makassar tahun 2015.
Di tengah semakin meningkatnya upaya pengorganisasian terhadap PRT, berbagai
masalah dan kendala juga muncul. Menurut International Domestics Workers Federation (IDWF)
dan International Labour Organization (2017), masalah dan kendala tersebut antara lain:
Pertama, PRT selama ini terisolasi dari dunia luar dan sulitnya pihak lain menemui
mereka. PRT yang bekerja di ruang privat dan dalam kendali pengguna jasa, tidaklah mudah
untuk ditemui, diajak bicara panjang lebar, serta diajak berorganisasi. Apalagi jika PRT tersebut
live-in (tinggal di rumah pengguna jasa), sehingga semakin terbatas lagi ruang geraknya. Apabila
sudah masuk organisasi, kadang keikutsertaan dan keaktifan mereka seringkali tergantung dari
“kebaikan hati” pengguna jasa.
114 Ujianto
Kedua, waktu dan sumberdaya yang terbatas. Waktu luang yang dipunyai PRT amatlah
sedikit. Hal ini terjadi karena masih banyaknya PRT yang tidak mendapatkan hari libur
mingguan (1 hari dalam 1 minggu). Jika pun mendapat libur mingguan, waktu libur itu harus
digunakan untuk berbagai hal, misalnya untuk keluarga.
Ketiga, tidak ada kapasitas yang memadai dan strategi yang jelas dalam
pengorganisasian. Kegagalan-kegagalan dalam pengorganisasian PRT di Indonesia yang dimulai
sejak awal 2000-an salah satunya karena tiadanya strategi yang jelas.
Keempat, merosotnya jumlah keanggotaan dan partisipasi dalam kelompok atau
organisasi. Masalah ini terkait dengan poin ketiga, karena kapasitas organizer yang tidak
memadai dan strategi yang digunakan tidak tepat semakin mempercepat penurunan atau
ketidakaktifan anggota.
Gastaldi, Jordhus-Lier, dan Prabawati (2018) juga mengungkapkan hal yang hampir sama
bahwa ada empat hambatan struktural sehingga pengorganisasian PRT menjadi sulit. Pertama,
adanya relasi kekuasaan yang tidak seimbang antara PRT dengan majikan atau rumah tangga
tempat PRT bekerja. Kedua, para PRT berpendidikan rendah dan mempunyai sedikit keahlian
formal yang dihargai dalam dunia kerja, sehingga melemahkan posisi PRT dalam melakukan
tuntutan upah dan negosiasi kerja. Ketiga, pekerjaan rumah tangga kerap bersifat informal,
lemah dan tidak ada kesepakatan kontrak. Keempat, pekerjaan dilakukan di rumah pribadi yang
merepresentasikan angkatan kerja yang terisolasi dari kawan-kawan pekerja lainnya. Karena
terisolasi ini, jika PRT mendapatkan masalah maka dia harus menghadapinya sendirian.
Pengorganisasian komunitas atau community organizing merupakan sebuah pendekatan
dalam intervensi kesejahteraan sosial (social welfare intervention) yang berbeda dengan
pendekatan lain seperti pelayanan sosial, aktivisme, advokasi dan pembangunan komunitas
(Pyles 2009). Pendekatan selain pengorganisasian komunitas selama ini dianggap belum bisa
memberikan solusi secara mendasar dan berkelanjutan. Pendekatan pelayanan sosial (social
service) misalnya, justru dianggap melanggengkan ketergantungan masyarakat terhadap
program dari luar komunitas. Sedangkan pendekatan advokasi dianggap hanya berorientasi ke
luar tanpa penguatan kohesi di dalam dan pendekatan pembangunan komunitas hanya
berorientasi ke dalam, tanpa orientasi perubahan di luar komunitas
Pengorganisasian Komunitas Serikat Pekerja Rumah Tangga Sapulidi 115
Analisis dalam penelitian ini akan menggunakan konsep pengorganisasian komunitas
yang dipaparkan oleh Schutz dan Sandy (2011:12), seperti diuraikan sebagai berikut:
“community organizing seeks to alter the relationsof power between the groups who have
traditionally controlled our society and the residents of marginalized communities.
Organizing groups shift the relations of power by increasing their membership, nurturing
and training leaders, gaining a reputation for canny strategy, raising money to fund their
infrastructure and staff, and demonstrating their capacity to get large numbers of people
out to public actions”.
Jadi, dari definisi yang dipaparkan di atas, pengorganisasian komunitas mencakup dimensi
yang memperkuat komunitas (ke dalam) dan mengubah relasi kekuasaan dan struktur
kekuasaan yang selama ini mempengaruhi atau mengontrol komunitas tersebut (ke luar).
Penguatan diri ke dalam dan mengubah relasi kekuaaan dengan pihak luar tersebut dilakukan
dengan berbagai kegiatan atau langkah-langkah.
Selain meliputi dimensi internal dan eksternal, pengorganisaian komunitas, seperti terurai
dari definisi di atas, menggabungkan 3 elemen dasar, yakni antara posisi, proses, dan tujuan dari
pengorganisasian komunitas. Elemen posisi menunjukkan bahwa komunitas yang melakukan
pengorganisasian atau yang diorganisasikan berada dalam posisi yang marjinal, yang berupaya
mengubah posisi atau relasi kuasa dengan berbagai tindakan. Selanjutnya elemen proses adalah
tindakan-tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang bersama komunitas atau
anggota komunitas itu sendiri untuk mengubah posisi atau menyelesaikan masalah yang
dihadapi. Menurut Schutz dan Sandy, tindakan-tindakan itu meliputi: mengembangkan anggota,
merawat dan melatih pemimpin-pemimpinnya, menggalang dana untuk pembiayaan organisasi
dan melakukan aksi publik. Sedangkan elemen tujuan dari pengorganisasian komunitas
terentang dari hal yang sederhana atau praktis, seperti menyelesaikan masalah-masalah
komunitas hingga mengubah relasi kuasa.
Berkaca dari berbagai masalah dalam melakukan pengorganisasian PRT, peneliti akan
memfokuskan pada sebuah organisasi PRT, yakni SPRT Sapulidi Jakarta dalam melakukan
pengorganisasian komunitas untuk situasi kerja layak. Pertanyaan dalam penelitian ini adalah:
Bagaimana proses pengorganisasian komunitas yang dilakukan SPRT Sapulidi, Jakarta dalam
116 Ujianto
memperjuangkan situasi kerja layak? Sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui metode pengorganisasian komunitas seperi apa yang digunakan dan strategi-
strategi yang dikembangkan oleh SPRT Sapulidi, Jakarta.
Hasil dan Pembahasan
Gambaran Umum SPRT Sapulidi
SPRT Sapulidi didirikan pada 16 Juni 2013 oleh sekitar 7 PRT dan seorang aktivis pembela
hak-hak PRT, di Jakarta Selatan. Pertemuan pada 16 Juni tersebut kemudian ditindaklanjuti
dengan pertemuan yang lebih besar pada 30 Juni 2013, dengan diikuti sekitar 35 PRT untuk
membentuk pengurus dan program yang akan dilakukan.
Ketika didirikan, tujuan SPRT Sapulidi masih amat sederhana, misalnya sebagai wadah
untuk membicarakan masalah yang dihadapi PRT. Di kemudian hari, setelah melalui berbagai
pertemuan, tujuan organisasi lebih diperjelas. Di dalam brosurnya, SPRT Sapulidi didirikan
karena dilatarbelakangi kondisi PRT di Indonesia yang memiliki situasi kerja tidak layak, tanpa
pengakuan dan perlindungan. Untuk memperjuangkan adanya perlindungan, maka dibutuhkan
wadah untuk berkumpul dan berorganisasi sehingga bisa saling berbagi, bergerak bersama
untuk memperjuangkan hak-hak PRT, hak-hak perempuan dan hak-hak sebagai warga negara.
Selain itu, SPRT Sapulidi didirikan dengan tujuan agar PRT terorganisasi sehingga mampu
memperjuangkan perlindungan dan pemenuhan hak-hak PRT, serta situasi kerja layak bagi PRT
(brosur profile SPRT Sapulidi, tanpa tahun).
Struktur organisasi SPRT Sapulidi mengalami beberapa kali perubahan. Pada awal
didirikan, struktur organisasi masih sederhana, misalnya untuk pengurus hanya ada 3, yakni
ketua, sekretaris dan bendahara. Pada awal berdiri, jangkauan wilayah anggota hanya sebatas di
daerah Terogong, Jakarta Selatan. Kemudian pada bulan Oktober 2015, ada perubahan dalam
pengurusan dan struktur wilayah koordinasi. Hal ini karena anggota sudah mulai berkembang.
Pada pertemuan di bulan Oktober 2015 dicapai kesepakatan bahwa struktur wilayah dibagi ke
dalam 3 komunitas pekerja rumah tangga (Komperata), yakni: (1) Komperata Terogong,
Pakubuwono, Sudirman; (2) Komperata Cilandak-Ampera; (3) Komperata Cipete-Kemang.
Masing-masing Komperata juga dibentuk kepengurusan.
Pengorganisasian Komunitas Serikat Pekerja Rumah Tangga Sapulidi 117
Pada tahun 2018, setelah anggota SPRT Sapulidi mencapai ribuan, pembagian 3
komperata diubah kembali, yakni 3 komperata tersebut dipecah atau diperluas menjadi 11 sub-
komperata (selanjutnya ditulis SK), dan di bawah SK ada kelompok atau tim 10. Hal ini dilakukan
untuk mempermudah koordinasi dan memperluas jangkauan wilayah, memunculkan sebanyak
mungkin pemimpin, serta mempermudah dalam sekolah wawasan karena punya tempat sendiri
untuk sekolah, tidak harus ke sekolah serikat di jalan Bahari Raya.
Ke 11 SK tersebut meliputi: (1) SK Terogong, (2) SK Pondok Ranji, (3) SK Pakubuwono-
Gandaria, (4) SK Cilandak-Ampera, (5) SK Cinere-Ciputat-Lebak Bulus, (6) SK Bintaro, (7) SK
Jagakarsa-Ciganjur, (8) SK Cipete, SK Kemang, (9) SK Citayam, (10) SK Depok, (11) SK Kuningan-
Casablanca. Setiap SK mempunyai kepengurusan tersendiri dan berkoordinasi secara rutin setiap
bulan, baik di SK mau pun antar SK (profile SPRT Sapulidi, tanpa tahun). Kepengurusan dalam
SK dan serikat juga bersifat kolektif, dengan tidak ada koordinator tapi ada pengurus per bidang.
Bidang-bidang tersebut meliputi: pengorganisasian, advokasi dan penanganan kasus, ekonomi,
media dan kampanye.
Terdapat perkembangan dari waktu ke waktu mengenai program atau kegiatan yang
dilakukan. Pada tahun-tahun awal berdiri yakni tahun 2013-2014, kegiatan yang dilakukan
meliputi pertemuan rutin atau sekolah wawasan, kemudian kursus bahasa Inggris dan
perekrutan anggota. Setelah mampu menyewa sekretariat sendiri dan bekerjasama secara formal
dengan JALA PRT dan ILO Jakarta lewat program Promote dari tahun 2014-2017, kegiatan SPRT
Sapulidi menjadi lebih banyak. Ada berbagai pelatihan yang dilakukan seperti: pelatihan
pengorganisian, pelatihan paralegal, pelatihan koperasi, pelatihan K-3 (keamanan, kesehatan dan
keselamatan kerja), pelatihan koperasi, pelatihan menulis, pelatihan pengelolaan koperasi,
pelatihan tata boga, pelatihan teater, pelatihan kampanye lewat media sosial dan lain-lain. Selain
pelatihan, kegiatan rutin yang dilakukan meliputi sekolah wawasan, kursus bahasa Inggris,
kursus komputer, Kelompok Belajar (Kejar) Paket, perekrutan anggota, penangangan kasus,
kampanye dan advokasi serta usaha ekonomi.
Kegiatan-kegiatan tersebut dikoordinasikan secara rutin dalam setiap pertemuan-
pertemuan, dari tingkat kelompok 10, sub-komperata, mau pun tingkat serikat. Pembiayaan dari
berbagai kegiatan tersebut berasal dari support atau kerjasama dengan JALA PRT, ILO, mau pun
118 Ujianto
dengan biaya sendiri. SPRT Sapulidi bisa membiayai beberapa kegiatan sendiri karena adanya
iuran anggota yang rutin setiap bulan mau pun iuran secara insidental. Iuran rutin anggota per
bulan sebesar Rp.10.000,- (sepuluh ribu rupiah), sedangkan iuran insidental per kegiatan tidak
ada ketentuannya atau secara sukarela. Sampai Desember 2018, jumlah iuran (uang kas) SPRT
Sapulidi telah mencapai Rp. 176.906.000,- (seratus tujuh puluh enam juta sembilan ratus enam
ribu rupiah).
Pengorganisasian Komunitas SPRT Sapulidi
Dalam melakukan pengorganisasian komunitas PRT, ada semacam siklus proses yang
dilakukan oleh SPRT Sapulidi yang dimulai dari perekrutan anggota, kemudian perawatan
dengan berbagai kegiatan dan selanjutnya melakukan tindakan publik. Proses tersebut bisa
diuraikan sebagai berikut:
Perekrutan Anggota
Di tahun-tahun awal berdirinya SPRT Sapulidi, pengorganisasian komunitas dimulai
dengan perekrutan anggota yang tinggal di dekat pengurus atau bekerja di sekitar tempat kerja
pengurus. Tidak ada metode yang sistematis dalam merekrut anggota, hanya datang bertemu
dan langsung mengajak untuk bergabung, karena biasanya yang didatangi adalah PRT yang
sudah dikenal.
Karena metode yang tidak sistematis dan perekrutan tergantung dengan pengurus, maka
penambahan anggota tidak terlalu banyak. Selama dua tahun setelah didirikan penambahan
anggotanya hanya 84 orang, yakni dari 31 menjadi 115 anggota.
Titik penting bagi perkembangan SPRT Sapulidi adalah pasca dilakukan pelatihan
pengorganisasian komunitas bagi PRT pada Agustus 2015. Pelatihan pengorganisasian
komunitas yang dilakukan di Jogjakarta pada 20-25 Agustus 2015 (selanjutnya ditulis pelatihan
Jogja) tersebut diikuti oleh beberapa PRT dan aktivis yang melakukan pengorganisasian PRT
dalam jaringan JALA PRT, dengan support dari proyek Promote ILO. SPRT Sapulidi
mengirimkan 8 orang yang memenuhi kriteria dan menjadi leader selama ini. Mereka yang
dikirimkan adalah Leni Suryani, Ludiah, Marweni, Santi, Winarsih, Ajeng Astuti, Dian
Arestiyanti dan Yuni Sri Rahayu.
Pengorganisasian Komunitas Serikat Pekerja Rumah Tangga Sapulidi 119
Di pelatihan Jogja tersebut leaders dari SPRT Sapulidi belajar metode baru dalam merekrut
anggota, yang disebut dengan metode door knocking atau metode Rap. Metode ini memiliki 6
langkah dalam merekrut tanggota. 6 langkah Rap tersebut meliputi: perkenalan (introduction), Isu
(issue), polarisasi (polarize), visi (vision), tanya/mengajak (ask) dan tindak lanjut (follow up).
Metode Rap ini adalah penyederhanaan metode pengorganisasian komunitas yang
selama ini menggunakan metode yang terlalu lama dalam melakukan integrasi, pengumpulan
data dan pelatihan jangka panjang bagi community organizer-nya (CO) yang diikuti
pelaksanaannya/praktek di lapangan (IDWF & ILO 2017).
Metode Rap ini diperkenalkan ke jaringan JALA PRT, termasuk SPRT Sapulidi dengan
disesuaikan dengan konteks PRT. Rap ini menawarkan metode yang partisipatif, sistematis dan
dinamis yang memungkinkan PRT, baik sebagai Rapper dan target Rap, memahami masalah
yang dihadapi dan bagaimana seharusnya masalah tersebut harus diselesaikan. Metode ini
bertujuan menumbuhkan kesadaran kritis PRT sehingga memutuskan terlibat dalam aksi
bersama dalam sebuah organisasi (IDWF & ILO 2017).
Secara lebih detil, proses perekrutan anggota dengan metode Rap yang dilakukan oleh
staf pengorganisasian SPRT Sapulidi bisa diuraikan sebagai berikut: Pertama-tama dimulai
dengan mendatangi PRT satu per satu baik di tempat tinggal atau tempat kerja, tapi sebelumnya
tentu dibekali informasi kontak atau alamat PRT. Kadangkala, organizer melakukan perekrutan
anggota di mana pun dan kapan pun mereka bertemu dengan PRT, bisa di warung, di dalam lift
apartemen atau di depan rumah majikan mereka. Tapi semua tetap diawali dengan observasi,
khususnya observasi terhadap wilayah-wilayah yang menjadi tempat tinggal PRT.
Setelah ketemu dengan PRT, organizer/rapper lantas menerapkan metode 6 langkah rap
atau biasa disebut ngerap. Tidak seperti cara mengajak seseorang masuk organisasi secara
konvensional yang membutuhkan waktu berjam-jam, cara ngerap dirancang bisa mengajak orang
dalam waktu kurang dari 30 menit.
Langkah pertama, Rapper akan memperkenalkan diri dan organisasi SPRT Sapulidi,
khususnya tentang visi dan misi organisasi, serta kegiatan-kegiatan yang dilakukan. Langkah
pertama menjadi kunci, karena ketertarikan PRT terhadap apa yang dibicarakan rapper dimulai
dari langkah ini.
120 Ujianto
Kemudian rapper menanyakan atau menggali permasalahan yang dihadapi PRT yang
bersangkutan. Biasanya masalah yang muncul seperti gaji rendah, jam kerja yang terlalu panjang,
tidak ada libur mingguan, tidak mendapat THR dan sebagainya. Tentu tidak semua PRT akan
langsung menjawab begitu. Adakalanya diam, tidak mau mengutarakan masalah yang dihadapi.
Untuk itu rapper perlu mempunyai keterampilan bertanya dan meyakinkan PRT bahwa dia tidak
perlu takut.
Rapper kemudian menanyakan mengapa masalah-masalah tersebut bisa terjadi, dengan
dikaitkan dengan sebab yang dari PRT sendiri, dari majikan dan dari masyarakat dan Negara.
Kadangkala Rapper mendapati jawaban “tidak tahu”, atau ada pula yang menjawab, “karena
pendidikan saya rendah” atau “karena masyarakat masih menganggap PRT sebagai pekerjaan
rendahan”.
Langkah selanjutnya adalah menanyakan kepada PRT tersebut apa harapan atau
keinginan terkait masalah-masalah yang dihadapi. Tentu biasanya PRT akan menjawab ingin
masalah-masalah yang dihadapi bisa diselesaikan, sehingga upahnya bisa layak, jam kerja tidak
panjang, ada libur mingguan dan sebagainya. Setelah PRT menyampaikan harapan, maka Rapper
menyambut dengan ajakan untuk mengubah masalah-masalah atau mewujudkan harapan
tersebut dengan masuk ke dalam organisasi, karena dengan berorganisasi, PRT dalam
menyelesaikan masalahnya tidak sendirian. Langkah mengajak ini harus meyakinkan, terutama
apa yang bisa dilakukan organisasi dalam membantu mengatasi masalah anggotanya.
Jika PRT tersebut bersedia masuk organisasi, maka langkah selanjutnya adalah meminta
kontak (nomor telepon) dan Rapper juga memberikan nomer teleponnya ke PRT tersebut.
Kadangkala juga langsung disodori formulir pendaftaran anggota baru oleh Rapper, untuk diisi
secara bersama. Sebelum PRT mengisi formulir, biasanya Rapper juga menyampaikan hak dan
kewajiban sebagai anggota organisasi secara umum, termasuk kewajiban membayar iuran rutin
bulanan sebesar Rp. 10.000,-. Jika ternyata PRT yang diajak tidak mau, maka proses ngerap
dimulai lagi dari langkah ke 3. Proses yang berulang inilah seperti lirik-lirik lagu rap yang
diulang-ulang oleh penyanyinya, sehingga metode ini disebut dengan Rap.
Langkah terakhir setelah PRT bersedia diajak bergabung adalah Rapper menanyakan
apakah ada teman PRT lain yang di dekat wilayah tersebut atau yang dikenal yang belum masuk
Pengorganisasian Komunitas Serikat Pekerja Rumah Tangga Sapulidi 121
organisasi, untuk diajak masuk organisasi. Dengan langkah terakhir ini maka proses perekrutan
anggota baru terus bergulir, dari pintu ke pintu, seperti bola salju yang menggelinding.
Tahapan enam langkah Rap seperti dipaparkan di atas adalah tahapan yang ideal, dalam
praktiknya ada bermacam-macam proses atau hambatan yang kadang membuat 6 langkah
menjadi panjang dan penuh improvisasi. Kadang pula Rapper tidak urut dan loncat dalam
menerapkan 6 langkah. Walaupun demikian, 6 langkah tetap bisa menjadi pagar atau kerangka
agar proses dan pembicaraan Rapper tidak ngelantur ke mana-mana. Rata-rata organizer SPRT
Sapulidi yang sudah mengikuti pelatihan sudah bisa menerapkan 6 langkah.
Langkah Rap yang paling susah adalah di langkah 3, karena kadangkala PRT yang mau
diajak bergabung hanya mengatakan “tidak tahu”. Kalau sudah begitu Rapper harus pandai
mengolah pembicaraan agar PRT tersebut memahami penyebab masalah yang sedang dihadapi.
Setelah beberapa leader SPRT Sapulidi mengikuti pelatihan pengorganisasian tingkat
dasar di Jogja, minimal mereka sudah bisa melakukan perekrutan PRT dengan metode Rap dan
bisa mengajak PRT masuk organisasi dengan kesadaran, yakni kesadaran bahwa untuk
mengubah keadaan haruslah ada perjuangan, dan perjuangan tidak bisa dilakukan dengan
sendirian. Tidak sampai setahun setelah pelatihan Jogja, atau tepatnya di bulan April 2016
anggota SPDPRT Sapulidi sudah mencapai 533. Kemudian pada 17 Desember 2017 anggota
SPRT Sapulidi menjadi 2027 anggota dan di akhir Desember 2018 anggota SPRT Sapulidi
mencapai 3511 orang. Jadi ada kenaikan anggota sekitar 1500 orang setiap tahunnya. Hal ini
kemudian dijadikan target dari SPRT Sapulidi bahwa setiap tahun anggotanya harus bertambah
minimal 1500 orang.
Setelah ada pengembangan dari Komperata menjadi sub-komperata, target perekrutan
anggota baru per bulan juga berubah. Kini setiap SK punya target yang berbeda-beda, misalnya
SK Terogong, SK Kuningan-Casablanca, SK Cipete, dan SK Cilandak-Ampera target per
bulannya adalah merekerut 35 anggota baru. Tapi SK yang lain ada yang 20 anggota baru, yang
disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi SK (jumlah anggota). Walaupun begitu, secara
keseluruhan serikat (gabungan semua SK) punya target setiap bulan adalah bisa merekrut 221
anggota, kecuali di bulan puasa, lebaran dan bulan Desember targetnya diturunkan menjadi 146.
122 Ujianto
Proses perekrutan yang dilakukan oleh tim pengorganisasian SPRT Sapulidi kadangkala
tidak dilakukan dengan menggunakan tahap-tahap metode Rap atau mendatangi target secara
langsung atau tatap muka. Ada kalanya perekrutan dilakukan dengan menggunakan media
sosial seperti Whatsapp atau Facebook (FB). Misalnya karena salah satu tim pengorganisasian
sudah mempunyai nomor kontak PRT yang belum berorganisasi, maka dia menghubungi dan
mengajak bergabung di organisasi melalui Whatsapp atau Facebook (FB). Kadang kala setelah
target PRT ditemui dan diajak secara langsung tidak bersedia, anggota pengorganisasian tidak
putus asa dan terus mengajak dan memberikan informasi melalui media sosial dan akhirnya
target tersebutpun mau bergabung.
Di SPRT Sapulidi, tugas atau peran dalam merekrut anggota baru bukan menjadi tugas
dari bidang pengorganisasian saja, tapi semua anggota disarankan untuk melakukan perekrutan
di mana pun dan kapan pun. Anggota yang banyak merekrut anggota kemudian ditawari untuk
masuk menjadi pengurus di bidang pengorganisasian.
Perawatan Anggota
Setelah proses rekrutmen anggota, langkah selanjutnya yang dilakukan oleh tim
pengorganisasian SPRT Sapulidi adalah dengan melakukan perawatan anggota, yakni dengan
memasukkan anggota yang baru direkrut ke dalam kelompok 10 di bawah SK tempat perekrutan
dilakukan. Kemudian anggota baru akan diikutkan dalam kegiatan-kegiatan serikat atau SK.
Perawatan tersebut dimaksudkan agar anggota baru semakin mantap menjadi anggota
organisasi dan menjadi anggota yang aktif. Ada berbagai kegiatan yang dilakukan sebagai upaya
perawatan anggota, ada yang rutin dilakukan dan ada yang insidental. Kegiatan-kegitan
perawatan itu meliputi: (1) sekolah wawasan yang rutin dilakukan setiap hari Minggu. Materi
yang diberikan dalam sekolah amat beragam, tapi sebagian besar terkait dengan kepentingan
PRT seperti hak-hak PRT, Konvensi ILO 189 tentang Situasi Kerja Layak PRT, bagaimana
membuat kontrak kerja dengan pemberi jasa, hak-hak reproduksi perempuan dan sebagainya.
Untuk materi tentang situasi kerja layak bagi PRT, ada 20 unsur kerja layak yang harus
dihapalkan oleh semua anggota; (2) Kursus bahasa Inggris dan Komputer. Kursus bahasa Inggris
ini dilakukan karena banyak anggota SPRT Sapulidi yang bekerja di majikan ekspatriat sehingga
bahasa Inggris menjadi kebutuhan pokok agar komunikasi dengan majikan menjadi lancar.
Pengorganisasian Komunitas Serikat Pekerja Rumah Tangga Sapulidi 123
Kelancaran komunikasi akan berdampak pada kualitas pekerjaan PRT dan pada akhirnya akan
meningkatkan gaji. Sedangkan kursus komputer bertujuan agar pengurus atau anggota bisa
menulis atau membuat laporan secara terkomputerisasi dan mengoperasikan internet; (3)
Sekolah Ketrampilan, yang meliputi memasak, mencuci dan membersihkan rumah. Hal ini tidak
dilakukan rutin karena biayanya tidak murah karena ada standar-standar tertentu dalam
pelaksanaannya. Misalnya untuk memasak, peralatan dan bahan yang digunakan harus bermutu
baik yang biasa digunakan di restoran karena kalau yang biasa sudah sering dilakukan di rumah.
Masakan yang dimasak juga bermacam-macam dan dari tradisi beberapa negara. Dalam sekolah
ketrampilan ini ada pelatih atau mentor yang didatangkan secara khusus, setelah itu ada uji
kompetensi dan yang lulus nanti akan diwisuda. Sekolah ketrampilan ini dilakukan atas
kerjasama dengan JALA PRT dengan support dari proyek promote ILO, pada tahun 2017 (Lindo
2017)1; (4) usaha ekonomi atau secara informal oleh SPRT Sapulidi sudah disebut sebagai
koperasi, juga dilakukan untuk perawatan anggota, karena dengan kegiatan ekonomi yang bisa
berjalan dengan baik, termasuk lewat koperasi, maka anggota juga turut mendapat keuntungan
dari usaha tersebut.
Kegiatan ekonomi yang selama ini dilakukan meliputi: penjualan paket sembako,
penjualan pin, penjualan kaos, penyediaan konsumsi pertemuan/acara, penjualan buku,
penjualan tas dan bazar. Barang-barang tersebut dijual setiap waktu dan ada yang tergantung
pesanan. Kalau makanan yang dijual secara pribadi, atau pesanan paket makanan untuk sebuah
acara maka anggota yang mendapat pesanan makanan memberikan beberapa persen untuk
organisasi, tergantung kesepakatan dengan pengurus koperasi soal besaran yang disetorkan ke
organisasi. Rencana ke depan usaha ekonomi akan diformalkan dalam bentuk koperasi dan
ditambah dengan usaha simpan pinjam karena untuk kegiatan dan pengurusnya sudah mulai
jalan, hanya iuran rutin dan pokok saja yang belum dilakukan. Sementara ini uang yang
1 Sekolah ketrampilan ini dilakukan atas kerjasama dengan JALA PRT dengan support dari proyek
promote ILO, pada tahun 2017. Lihat http://www.liputanindonesianews.com/detail/16292/kemnaker-
miliki-ketrampilan-yang-bagus-ciptakan-prt-yang-
berkompeten.html?fbclid=IwAR1lR4Iu_cBgqIjBgReiLlbGjlwGfRFGDYC6Y0KLCtr96ixpOdKnDPrj0Dc
diakses pada 22 maret 2019.
124 Ujianto
terkumpul dari beberapa acara/penjualan barang baru terkumpul sekitar 12 juta rupiah; (5)
pendampingan PRT yang mempunyai kasus, yakni kasus yang menimpa PRT yang kemudian
dilaporkan ke pengurus SPRT Sapulidi dan ditindaklanjuti dengan pendampingan. Sebelum ada
tim paralegal, penangangan kasus yang menimpa anggota menjadi tanggung jawab pengurus
secara umum. Setelah ada tim paralegal, pelatihan untuk mereka dilakukan oleh JALA PRT
bekerja sama dengan LBH Jakarta.
Pendampingan atau penanganan kasus ini bisa menjadi bagian dari perawatan anggota,
karena dengan ditangani kasusnya, maka anggota akan merasakan manfaat dari organisasi
sehingga mendorongnya untuk aktif terlibat dalam kegiatan organisasi; (6) pelatihan-pelatihan,
yang dilakukan dan diikuti secara insidental oleh SPRT Sapulidi dengan bekerjasama dengan
JALA PRT, misalnya pelatihan menulis, pelatihan pengorganisasian, pelatihan paralegal,
pelatihan pembuatan video dengan smartphone. Pelatihan yang dilakukan memang tidak bisa
diikuti semua anggota SPRT Sapulidi, karena ada syarat atau kriteria yang harus dipenuhi. Syarat
yang mutlak dipenuhi adalah tingkat keaktifan anggota dalam kegiatan dalam jangka waktu
tertentu mau pun dalam pembayaran iuran bulanan. Selain itu SPRT Sapulidi juga berjanji akan
melaksanakan tindak lanjut dari pelatihan tersebut. Jika ada banyak yang menenuhi syarat, maka
anggota yang menjadi pengurus di bidang yang terkait dengan pelatihan tersebut yang akan
dipilih.
Aksi Publik Melalui Kampanye dan Advokasi
Pengorganisasian komunitas selain mempunyai gerak dengan dimensi penguatan ke
dalam, ada pula gerak dengan dimensi ke luar. SPRT Sapulidi melakukan aksi publik melalui
kampanye dan advokasi yang ditujukan ke pihak luar organisasi. Kampanye dilakukan dengan
berbagai cara dan media. Kegiatan yang paling rutin dan ada target secara jelas adalah kampanye
melalui media sosial: facebook, twitter dan instagram. Target yang jelas misalnya, sub-komperata
Cilandak-Ampera minimal melakukan kampanye dengan diposting melalui facebook 3 kali dalam
seminggu dengan jumlah anggota yang memberikan “like” minimal sebanyak 50 anggota.
Pengorganisasian Komunitas Serikat Pekerja Rumah Tangga Sapulidi 125
Selain melalui media sosial, kampanye dilakukan juga melalui weblog
(tungkumenyala.blog), pembuatan selebaran, pembuatan pin, pembuatan kaos dan kampanye
melalui pembuatan video foto yang disebar melalui media sosial.
Ada pembagian tema/rancangan tema setiap bulannya, tapi sebagian besar tema
kampanye terkait dengan tema situasi kerja layak dan perlindungan PRT. Untuk materi kerja
layak yang dikampanyekan biasanya tentang 20 unsur kerja layak, meliputi: (1) Adanya
perjanjian kerja secara tertulis, (2) Perlindungan atas upah, (3) uang lembur, (4) Tunjangan Hari
Raya, (5) Batasan jam kerja per hari, (6) Libur istirahat mingguan, (7) Libur hari nasional, (8) Cuti
tahunan minimal 12 hari kerja, (9) Cuti haid, (10) Cuti hamil-melahirkan, (11) Adanya jaminan
sosial, (12) kebebasan berkomunikasi dan berorganisasi, (13) Fasilitas akomodasi ruang kamar
yang sehat dan aman, (14) Fasilitas makan yang sehat, (15) Perlindungan Keselamatan dan
Kesehatan Kerja, (16) Memegang dan menyimpan dokumen pribadi, (17) Uraian tugas yang jelas
sesuai jam kerja, (18) Penyelesaian perselisihan secara adil dengan perlindungan hukum, (19)
Pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan oleh pemerintah, (20) usia minimum bekerja 18
tahun.
Karena pengesahan RUU Perlindungan PRT dan situasi kerja layak yang menjadi tujuan
utama kampanye dan advokasi, maka tagar (#) yang sering digunakan anggota SPRT Sapulidi
dalam kampanye di facebook adalah #kerjalayak, #ruu pprt, #KILO 189. Untuk facebook, SPRT
Sapulidi mempunyai akun sendiri yang alamatnya adalah:
https://www.facebook.com/profile.php?id=100011505167478&ref=br_rs.
Anggota SPRT Sapulidi yang melakukan posting tentang kegiatan atau kampanye
biasanya men-tag akun FB SPRT Sapulidi di atas dan beberapa jaringan. Sedangkan untuk twitter,
SPRT Sapulidi secara organisasi belum membuat akun sendiri, tapi tim kampanye dan media
sudah membuat secara pribadi.
Dalam melakukan advokasi, SPRT Sapulidi biasanya tidak pernah dilakukan sendiri, tapi
tergabung dalam jaringan JALA PRT atau koalisi yang lebih besar. Isu utama yang hampir selalu
disampaikan dalam advokasi dari awal keterlibatan SPRT Sapulidi sampai penelitian ini
dilakukan adalah terkait tuntutan pengesahan RUU Perlindungan PRT dan ratifikasi Konvensi
ILO 189. Advokasi yang dilakukan dilakukan dengan berbagai cara, misalnya pembuatan draft
126 Ujianto
RUU Perlindungan PRT, hearing dengan anggota Komisi IX DPR RI, demonstrasi dengan mogok
makan di depan gedung DPR RI, aksi cuci pakaian di depan kantor Kementerian
Ketenagakerjaan RI dan sebagainya.
Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan pembahasan penelitian, maka beberapa kesimpulan bisa diuraikan: Pertama,
pengorganisasian komunitas yang dilakukan oleh SPRT Sapulidi, Jakarta mempunyai gerak
dengan dimensi ke dalam dan dimensi ke luar. Gerak dimensi ke dalam yakni dengan
menguatkan organisasi melalui perekrutan anggota, peningkatan kesadaran kritis melalui
sekolah dan pelatihan-pelatihan. Sedangkan dimensi yang ke luar dilakukan dengan upaya
kampanye dan advokasi. Kedua, pengorganisasian komunitas yang dilakukan SPRT Sapulidi juga
mempunyai tujuan yang jelas, yakni adanya perlindungan dan situasi kerja layak bagi PRT. Dua
tujuan ini mensyaratkan adanya hubungan yang setara antara PRT dan pengguna jasa, maka
sebutan sebagai pembantu harus diganti dengan pekerja. Ketiga, pengorganisasian komunitas
yang dilakukan juga menunjukkan posisi mereka yang diorganisasikan, yakni PRT sebagai
rakyat marjinal yang selama ini tidak pernah diakui sebagai pekerja, dieksploitasi dan
disingkirkan dari kewargaan industrial. Keempat, proses pengorganisasian komunitas yang
dilakukan juga melalui siklus dari perekrutan anggota, perawatan, aksi publik, perekrutan lagi
dan terus bergulir seperti sebuah siklus.
Pengorganisasian komunitas merupakan pendekatan intervensi sosial yang penting bagi
pemberdayaan masyarakat. Upaya pengorganisasian komunitas yang dilakukan SPRT Sapulidi
merupakan salah satu contoh bagaimana sebuah komunitas marjinal bisa mengorganisasikan
diri dan berupaya mengubah kehidupan mereka. Proses menuju tercapainya tujuan mereka
mungkin masih panjang, tetapi organisasi lain bisa mengambil pelajaran terkait bagaimana SPRT
Sapulidi, Jakarta melakukan pengorganisasian diri.
Daftar Pustaka
Buckley, Laura., Cristaudo, Katharine, and Weil, Savannah. 2013. “I want Domestic
Workers’ Rights: Mobilizing Collective Identity of Domestic Workers in Dum Dum,
Pengorganisasian Komunitas Serikat Pekerja Rumah Tangga Sapulidi 127
West Bengal, India”. A paper of Postcolonial Social Works Practice: International
Social Welfare in India.
Gastaldi, Margherita. 2015. Domestic Workers Organization As a Tool To Reduce Social
Exclusion; The Case of Domestic Workers Organization in Java. A Thesis, Faculte des
Sciences Politique et Sociales, Universite libre de Bruxelles.
Gastaldi, Margherita, Jordhus-Lier, David dan Prabawati, Debbie. 2018. “Pekerja Rumah
Tangga, Perjuangan Kewargaan, dan Identitas Kolektif di Indonesia”, dalam Eric
Hiariej dan Kristian Stokke (eds), Politik Kewargaan di Indonesia, Yayasan Obor
Indonesia.
International Domestic Workers Federation and International Labour Organization. 2017.
Decent Work for Domestic Workers; Eight Good Practices from Asia.
International Labour Organization. 2018. Toward a better estimation of total population
of domestic workers in Indonesia. English Edition. Diunduh dari
https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---ilo-
jakarta/documents/publication/wcms_628493.pdf pada 10 April 2019.
Lindo. 2017. Kemnaker: Miliki Keterampilan yang Bagus Ciptakan PRT yang
Berkompeten. http://www.liputanindonesianews.com/detail/16292/kemnaker-
miliki-ketrampilan-yang-bagus-ciptakan-prt-yang-
berkompeten.html?fbclid=IwAR1lR4Iu_cBgqIjBgReiLlbGjlwGfRFGDYC6Y0KLCtr
96ixpOdKnDPrj0Dc diakses pada 22 maret 2019
Pyles, Loretta. 2009. Progressive Community Organizing: A Critical Approach for a
Globalizing World. Routledge, London-New York.
Schutz, Aaron dan Sandy, Marie G. 2011. Collective Action for Social Change: An
Introduction to Community Organizing. Palgrave MacMillan, New York.
Wijaksana, M.B. 2005. Perlindungan Hukum Pekerja Rumah Tangga; Beda Antara
Indonesia dan Filipina. Jurnal Perempuan, No.39.