wawan a_desa tangguh_ buku membangun desa tangguh 2011
DESCRIPTION
Memoar pelaksanaan Program Desa Tangguh YP2SU-SCDRR UNDP tahun 2010 di Desa Mulyodadi (Bambanglipuro, Bantul), dan Desa Wonolelo (Pleret, Bantul). free untuk didownload, dan digunakan, tapi dengan menyebutkan sumbernyaTRANSCRIPT
2011
Aman Seterusnya Sebuah Pembelajaran Menuju Desa Tangguh
Siaga Selalu
Wawan Andriyanto, dkk
KA
Assa
ATA PE
alamualaiku
Sud
kera
perh
baru
alam
sebe
ke
peng
Pad
tergo
yang
Men
di D
pert
bum
Gun
sepa
wilay
DIY
benc
Ben
apab
serta
satu
kesi
men
daer
DIY
ENGAN
um Wr. Wb.
ah banyak
awanan tin
hatian yang
u muncul se
m besar
elumnya ce
arah preve
gurangan ri
a saat ini
olong rend
g bekerja di
ningkatnya f
IY pada khu
imbangan a
mi besar Me
nung Kidul,
anjang pesi
yah DIY me
akan perl
cana baik b
cana dapat
bila masya
a adanya b
u aspek pen
apan dan
ndasari BAP
rah di Prov
dan Proyek
NTAR
k yang me
ggi terhad
g lebih mem
ekitar enam
berturut-tu
enderung be
entif dan k
isiko benca
pula tingka
ah sehingg
iarea penan
frekuensi ke
ususnya tel
aspek kebe
i 2006, ben
erupsi Me
isir Bantul-K
enyadarkan
unya perha
bencana ala
t diredam d
rakat mem
udaya penc
nting dalam
ketangg
PPEDA Pro
vinsi DIY, b
k “Safer Co
i
nyampaikan
ap berbag
madai pada
m tahun tera
rut di Indo
ersifat respo
kesiap-siag
na walaupu
at kesiapsia
ga masih p
nggulangan
ejadian ben
lah membu
encanaan d
cana tanah
erapi di Sle
Kulonprogo
n semua pe
atian mens
am maupun
an dikurang
mpunyai info
cegahan da
m penanggu
guhan ditin
vinsi DIY se
bersama de
ommunities
n bahwa N
gai jenis b
Pengurang
akhir setelah
onesia. Pe
onsif dan s
aan denga
un masih be
agaan benc
perlu menja
n bencana.
ncana di Ind
ka mata se
dalam pemb
h longsor di
man, anca
dan angin
elaku dan p
sinergikan
non alam.
gi risiko dan
ormasi dan
an ketahana
ulangan be
ngkat mas
elaku badan
engan Bada
through Dis
Negara Ind
encana te
gan Risiko
h terjadi be
enanganan
pontan, kin
an bertump
elum signifik
cana di ma
adi perhatia
donesia pad
mua pihak a
bangunan.
Kulon Prog
man tsunam
puting beli
pelaksana p
upaya pen
n dampakny
pengetahu
an terhadap
ncana ada
syarakat. H
n perencan
an Kesbang
saster Risk
donesia me
rutama. Na
Bencana (
berapa ben
bencana
ni mulai berg
pu pada u
kan dampa
asyarakat m
an semua
da umumnya
akan pentin
Kejadian ge
go, kekering
mi dan ban
ung di bebe
pembangun
ngurangan
ya secara b
uan yang c
p bencana. S
lah memba
Hal inilah
a pembang
glinmas Pro
Reduction”
emiliki
amun
PRB)
ncana
yang
gerak
upaya
knya.
masih
pihak
a dan
ngnya
empa
gan di
njir di
erapa
nan di
risiko
berarti
cukup
Salah
angun
yang
gunan
ovinsi
” (SC-
i
DRR) yang didukung oleh BAPPENAS-KEMENDAGRI-BNPB dan UNDP
untuk membuat pilot project bernama “Desa Tangguh’ di Provinsi DIY.
Seluruh komponen, dalam hal ini warga, kepala keluarga, para pemimpin
masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan,
institusi lokal/regional/nasional/ internasional, sektor swasta dan publik
diharapkan dapat berpartisipasi secara aktif dalam upaya mengurangi
kerentanan bencana di tingkat komunitas yang berada di wilayah berisiko
bencana.
Untuk ke depan, apa yang dilakukan oleh YP2SU melalui Program
Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Komunitas “Desa Tangguh”,
diharapkan dapat meningkatkan kemampuan dan ketangguhan masyarakat
dalam menghadapi bencana. Dibutuhan kerja sama untuk mensinergikan
sumber daya, koordinasi kegiatan, membentuk jejaring dan kemitraan
dalam usaha menjalankan program PRBBK yang berkelanjutan ini.
Dengan diterbitkannya buku Memoar Desa Tangguh YP2SU diharapkan
dapat menjadi kontribusi yang mampu menjawab kurangnya bahan
pembelajaran bagi upaya pengurangan risiko bencana di tingkat
komunitas. Akhir kata, kami mengucapkan terimakasih kepada semua
pihak yang telah bekerjasama dalam pilot project Desa Tangguh dan dalam
penyusunan buku ini terutama YP2SU dan SCDRR-UNDP yang telah
menfasilitasi dan berbagai pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu
persatu. Semoga buku ini dapat memenuhi maksud dan tujuan penyusun
dan kerjasama ini akan terus terjalin di kelak kemudian hari dalam rangka
meningkatkan ketangguhan masyarakat dalam menghadapi bencana.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Yogyakarta, Januari 2011
Koordinator Project Officer
PPMU SCDDR Provinsi DIY
DANANG SAMSURIZAL
SEBUAH CATATAN
Oleh: Eko Teguh Paripurno*
Telah kita ketahui bersama, desa telah lama menjadi subyek (atau obyek?) pelaksanaan program oleh lembaga-lembaga pemerintah dalam negeri,lembaga pemerintah luar negeri, lembaga non pemerintah dalam negeri maupun lembaga non pemerintah luar negeri. Dahulu pernah kita kenal status desa sebagai Desa Pancasila, Desa Mandiri, Desa Wisata, Desa Konservasi, Desa Sehat, Desa Sadar Hukum dan lainnya. Dari namanya tentu kita sudah paham siapa lembaga-lembaga "penggagasnya". Sekarang, dalam konteks penangulangan bencana, diantara kita sedang mewujudkan Desa Siaga Bencana, Kampung Siaga Bencana, Desa Tangguh dan lainnya. Nah,buku ini adalah catatan pengalaman untuk mewujudkan Desa Tangguh itu.
Mewujudkan “Desa Tangguh”, bagaimana prosesnya? Proses pengorganisasian untuk pemberdayaan masyarakat adalah proses pembelajaran bagi para pelakunya. Sebelum memulai proses pengorganisasian ini, tentu YP2SU telah memikirkan berbagai “menu” proses yang telah tersedia hasil para pelaku pendahulunya, untuk dipilih dan diadaptasikan di wilayah kerjanya. Tentu termasuk di dalamnya pengalaman-pengalaman internal lembaga dalam melakukan pendampingan pemberdayaan ekonomi – yang merupakan isu sentral kerja-kerja YP2SU sebelum program ini dilaksanakan. Pada akhirnya, ruang dan waktu yang menentukan proses yang dipilih untuk dilakukan, yaitu 6 (enam) tahapan proses pemberdayaan: (1) Pengorganisasian Awal, (2) Identifikasi Potensi dan Risiko Bencana, (3) Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana, (4) Edukasi Masyarakat, (5) Pemberdayaan Ekonomi dan (6) Pelembagaan dan Legalisasi Desa Tangguh. Dan, YP2SU telah berhasil menjalankan mendatnya untuk mewujudkan Desa Tangguh itu...
Desa yang bersedia memahami ancaman dan kerentanannya adalah modal dasar bagi memungkinkanya sebuah desa menjadi Desa Tangguh. Biasanya kita mudah mengupas ancmaan yang ada di desa kita, tetapi enggan membaca kerentanan di desa kita secara jujur. Bahkan cenderung ditutup-tutupi. Paparan kerentanan terbaca rinci di masyarakat, tetapi belum cukup kuat membaca kerentanan birokrasi, baik di desa sampai jajaran di atasnya. Tidak disinggung perkara korupsi. Birokrasi korup, itu rentan. Tidak korup, itu berkapasitas.
Kaparitas yang penting bagi sebuah ketangguhan desa adalah kemampuan memobilisasi dana. Deklarasi Mulyodadi yang diamini oleh banyak pelaku eksternal telah menunjukan hal tersebut. Masyarakat bersepakat untuk sebaik-baiknya mengorganisasikan sumberdaya dari semua pihak untuk membangun ketangguhan itu. Semoga di dalamnya termasuk memobilisasi sumberdaya internal, Ini menjadi hal penting karena ketangguhan sejati adalah ketangguhan yang berbasis pada keswadayaan; yang dalam jangka panjang tidak memunculkan ketergantungan. Bukankah pengurangan risiko bencana itu merupakan strategi pengurangan risiko bencana dengan input eksternal minimum?
Ketangguhan ekonomi menjadi pilar penting agar ketangguhan terhadap bencana itu bisa terjadi. Tentu menjadi tidak nyaman bila ketangguhan bencana kita disandarkan kepada pihak lain, tergantung sumberdaya pihak lain. Oleh karenanya penguatan ekonomi menjadi hal yang tidak terpisahkan. Ajakan untuk bermain di sektor ekonomi lewat GEMI-nya, yang beriring dengan penanggulangan bencana, yang dikemukakan sebagai Slamet lan Raharjo benar adanya. Jadi, jangan memisahkan ketangguhan terhadap bencana dari ketangguhan terhadap aset penghidupan (termasuk ekonomi di dalamnya)... Dan akhirnya, lembaga yang akan mengawal untuk mewujudkan dan menjaga ketangguhan ini lembaga macam apa? Tentunya lembaga yang sadar bahwa ada investasi 1:6,5 yang diperlukan untuk menjaga aset yang kita miliki. Lembaga yang mampu memobilisasi aset internal untuk menjamin keberlanjutan itu. Semoga Forum PRB Desa selalu bersemangat dan bernenergi untuk mewujudkan hal itu, dengan atau tanpa YP2SU dan UNDP maupun aktor external lain. Mari kita membuktikan bahwa kita bisa mandiri.
*Koordinator Pusat Studi Manajemen Bencana UPN Veteran Yogyakarta/Penerima Penghargaan United Nations Sasakawa Award 2010
SEKEDAR PRAKATA PENULIS
Puji syukur kepada Allah SWT, atas segala rahmat dan hidayahNya, sehingga buku ini dapat
diselesaikan dan dipublikasikan.
Buku “Siaga Selalu Aman Seterusnya” ini disusun sebagai hasil pembelajaran
bersama setelah satu tahun lebih YP2SU Yogyakarta, dengan dukungan penuh dari
Program SCDRR UNDP dan Pemerintah Indonesia, menyelenggarakan Program
Desa Tangguh, sebuah program pengurangan risiko bencana berbasis komunitas
(PRBBK) di 2 (dua) desa di Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta. Sehingga, semua hal yang ditulis oleh penulis dalam buku ini adalah
hasil pembelajaran semua pihak yang terlibat di dalamnya, baik tim Program Desa
Tangguh, Pemerintah Desa lokasi program, maupun masyarakat di lokasi program.
Hal yang cukup menarik adalah, bahwa program Desa Tangguh yang
diselenggarakan dalam Program ini adalah adanya dukungan penuh dari
Pemerintah, baik Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi DIY maupun Pemerintah
Kabupaten Bantul. Hal ini, bagi penulis, menunjukkan sebuah potensi besar
sinergisitas antara semua pihak untuk membangun masyarakat yang tanggap dan
tangguh menghadapi ancaman bencana yang sedemikian besar.
Di level masyarakat, program ini diterima dengan baik, ditandai dengan partisipasi
masyarakat yang aktif dan produktif. Banyak dinamika menantang yang mewarnai
hubungan antara masyarakat dengan tim program, mulai dari dinamika yang
menguntungkan, hingga dinamika yang memerlukan penyelesaian. Hanya saja,
begitulah lika‐liku penyelenggaraan program berbasis isu yang relative baru
dikembangkan di Indonesia.
Dalam pengantar ini, penulis mengucapkan terima kasih sebesar‐besarnya kepada
semua pihak, termasuk contributor penulisan yang terlibat dalam penulisan buku
ini, yang semakin memperkaya hasil pembelajaran program Desa Tangguh.
Akhirnya, tiada gading yang tak retak. Penulis menyadari masih banyak kekurangan yang
belum terisi dalam penulisan buku ini. Penulis mengharapkan adanya masukan konstruktif
demi tersempurnakannya isi buku ini untuk di kemudian hari.
Yogyakarta, 14 Februari 2010
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman Cover……………………………………………………………………………. i
Kata Pengantar…....………………………………………………………………………. viii
Daftar Isi…………..……………………………………………………………………..… ix
Bab I Sekilas Tentang Program Desa Tangguh……………………………...……….. 1
Bab II Saat-saat Awal Pengorganisasian………………………………………………. 11
Bab III Pengkajian Potensi Dan Pemetaan Risiko Bencana Desa………………….. 17
Bab IV Perumusan Perencanaan Penanggulangan Bencana……...……………….. 31
Bab V Edukasi Masyarakat……………………..……………………………………….. 43
Bab VI Slamet Raharjo: Membangun Penghidupan Berkelanjutan Untuk
Masyarakat…............................................................................................................. 58
Bab VII Pelembagaan Dan Legalisasi Desa Tangguh…...…………………………… 65
Bab VIII Penutup…………………....…………………………………………………….. 87
Daftar Pustaka……………………....…………………………………………………….. 92
Factsheet Program Desa Tangguh………………………..……………………………. 94
Personel Program Desa Tangguh…………………………..…………………………… 95
Profil Penulis………………………………………………………………………………. 97
1
BAB I
SEKILAS TENTANG PROGRAM DESA TANGGUH
A. Profil Singkat Program Desa Tangguh
Program Desa Tangguh adalah program pendampingan masyarakat tingkat desa untuk
mengurangi potensi dampak bencana, dengan membangun dan memperkuat pengetahuan,
partisipasi dan sistem regulasi masyarakat dan pemerintah desa untuk pengurangan risiko
bencana. Program ini telah diselenggarakan selama 1 (satu) tahun di 2 (dua) desa di Kabupaten
Bantul Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yakni Desa Wonolelo (Kecamatan Pleret), dan
Desa Mulyodadi (Kecamatan Bambanglipuro). Program ini diselenggarakan mengingat
kerentanan kedua desa ini terhadap ancaman bencana, yang telah terbukti dalam sejarah
perjalanannya. Desa Mulyodadi adalah desa rawan bencana gempa bumi, yang dibuktikan
ketika pada peristiwa gempa bumi Yogyakarta 27 Mei 2006, 80% rumah di wilayahnya hancur
dan lebih dari 200 warga meninggal dunia. Desa Wonolelo juga rawan bencana gempa bumi
karena berdekatan dengan sesar Opak, dan juga rawan tanah longsor karena daerahnya
berbukit‐bukit.
Selama pelaksanaannya sepanjang tahun 2010 silam, Program Desa Tangguh telah
menghasilkan beberapa output, seperti yang disebutkan dalam table di bawah ini:
Tabel 1.1
Deskripsi Aktivitas Program Desa Tangguh
No Keluaran Program Bentuk
1 Regulasi&
Kelembagaan PB
Desa
a. Peraturan Desa tentang Rencana Penanggulangan Bencana Desa;
b. SK Lurah Desa tentang Rencana Aksi Komunitas Desa; c. SK Lurah Desa tentang Perencanaan Kontinjensi
Bencana Desa; d. SK Lurah Desa tentang Forum Pengurangan Risiko
Bencana Desa
2 Kajian Bahaya,
Kerentanan &
Kapasitas Desa
a. Video Komunitas Desa b. Kajian Risiko Bencana Desa c. Penyusunan Peta Risiko Bencana Desa
2
3 Pelatihan/Sosialisa
si Kebencanaan
a. Simulasi Bencana Gempa Bumi b. Sosialisasi Kebencanaan (Penanganan Pengungsi, PPPK,
Ketahanan Pangan, Penggunaan Alat Deteksi Longsor, Perubahan Iklim, Penanganan Kebakaran.
4 Kampanye/Edukasi
Masyarakat
a. Pentas Kesenian Bertemakan Kebencanaan (Ketoprak, Teater, Macapat, Lagu)
b. Penulisan Buletin, Media Kampanye (poster, bulletin) untuk warga desa.
c. Edukasi Penanggulangan Bencana untuk Anak d. Edukasi Bencana untuk Perempuan e. Edukasi Bencana Untuk Petani
5 Pelatihan
Pemberdayaan
Ekonomi
a. Pelatihan manajemen Usaha Mikro‐Kecil‐Menengah dan Lembaga Keuangan Mikro Desa.
b. Pembentukan Forum Pengembangan Ekonomi Desa
6 Hibah a. Dana Hibah untuk kegiatan Penanggulangan Bencana Rp.100 juta per desa
b. Monitoring dan pendampingan penggunaan dana hibah
Gambar 1.1
Kesenian Hadroh Desa Wonolelo,
Salah satu potensi media PRBBK pedesaan
3
Demi mencapai hasil yang optimal, Program Desa Tangguh bersinergi dengan potensi yang ada di masyarakat, yaitu:
• Potensi Lokal (Kelompok Seni Budaya, Ormas Keagamaan Lokal);
• Eksisting Regulasi+Kebijakan Pemerintah Daerah tentang PRBBK (Mis:Perda Penanggulangan Bencana, RPJMDes, RPJMD/RKPD, RPBD/RAD PRB), beserta Kelembagaan (BPBD, Bappeda, Kesbangpollinmas; dan SKPD lain);
• Program‐Program Stake holders Lain (NGO‐Donor, PNPM, Organisasi Lokal, dll);
• Pelembagaan Partisipasi (Regulasi dan Dokumen Kebencanaan Masyarakat dan Lembaga Forum PRB Masyarakat – dibentuk oleh perwakilan masyarakat rentan+pemerintah masyarakat, dilegalisasi, diberdayakan);
• Isu Lintas Sektoral (sensitive gender, perubahan iklim);
• Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat untuk mendukung perkembangan asset untuk PRB Ekonomi dan Pengurangan Kemiskinan.
B. Profil Lokasi
Program Desa Tangguh diselenggarakan di 2 (dua) desa di Kabupaten Bantul, Provinsi DI Yogyakarta, yakni di Desa Wonolelo (Kecamatan Pleret), dan Desa Mulyodadi (Kecamatan Bambanglipuro). Adapun profil singkat lokasi program tersebut dapat diperiksa dalam tabel di bawah ini:
Tabel 1.2.
Profil Singkat Lokasi Program Desa Tangguh
Desa Wonolelo
Lokasi: Kecamatan Pleret, Bantul, DIY;
Luas Wilayah: 453,4705 Ha; luas daratan 185,7736 Ha (40% luas lahan), luas
perbukitan/pegunungan 267,6969 Ha (60% luas lahan); 14 dusun, 4 kring;
Jumlah penduduk: 4,471 jiwa (2010);
Ancaman utama: tanah longsor, gempa bumi, kekeringan, angin ribut, kebakaran, banjir, epidemic, ancaman sosial;
Potensi Utama: Gerakan masyarakat / ormas, kesenian tradisional, hadroh, budaya Islam, pengalaman menjadi korban gempa bumi 2006.
Desa Mulyodadi
Lokasi: Kec. Bambanglipuro, Bantul, DIY;
Luas Wilayah: 644,7575 Ha; 8 dusun;
Jumlah penduduk : 11.873 jiwa (2010);
Ancaman utama: gempa bumi, kekeringan irigasi, banjir, putting beliung, tanggul longsor, kebakaran, pencemaran air dan lingkungan, penyakit menular, bencana sosial;
Potensi Utama: Kesenian, gerakan masyarakat/ormas, pengalaman menjadi korban bencana gempa bumi 2006.
‐‐‐‐
4
Banyaknya bencana dengan dampak yang besar di negara ini telah menjadi refleksi, bahwa pembangunan belum sepenuhnya dapat menampung hak‐hak masyarakat untuk lepas dari ancaman bencana. Tak terkecuali, bagi warga Bantul DIY, yang telah melalui salah satu ujian terberatnya, Gempa Bumi 27 Mei 2006. Tak tanggung‐tanggung dampaknya, jumlah korban jiwa meninggal mencapai nilai total rupiah kerusakan fisik dan kerugian ekonomi sebesar Rp.29,1 Trilliun (Sumber: BAPPENAS, 2010; PDLA Gempa Yogyakarta). Kasus bencana DIY terkini, erupsi Merapi 2010, dampaknya tidak hanya terasa di Kabupaten Sleman saja; tetapi juga di seluruh Kabupaten dan Kota di seluruh Provinsi DIY. Termasuk di Kabupaten Bantul, hingga tanggal 29 November 2010, tercatat sebanyak 6.359 penyintas Merapi, berlokasi di 17 titik (BNPB, laporan 29 November 2010 pukul 12 siang). Salah satu titik penyintas ada di desa Wonolelo, Pleret, Bantul, dengan jumlah penyintas mencapai 79 orang (Sumber: Akhmat Furqon, Ketua Forum PRB Wonolelo, 2010).
Untuk itulah, perlu adanya sebuah upaya pengurangan risiko bencana yang diinisiasi di level yang paling strategis, yang memungkinkan adanya pendekatan dan penyatuan antara berbagai sektor di level komunitas. Tujuannya jelas: pengerahan sumber daya di level komunitas, dengan berlandaskan kultur masyarakat.
Desa sebagai unit pemerintahan yang langsung berhubungan dengan masyarakat, adalah titik strategis untuk pemberdayaan masyarakat dan perencanaan pembangunan dengan skema bottom‐up. Proses perencanaan pembangunan dimulai dari musyawarah tingkat dusun, untuk dijadikan perencanaan pembangunan di level desa dan di atas desa. Di desa, kultur masyarakat dapat lebih terpelihara, karena di situlah kekuatan pengaruh tokoh masyarakat dipadukan dengan kekuatan politik komunitas, dan membentuk gerakan bersama untuk menjaga warisan kultur masyarakat. Warga desa Mulyodadi (Salah Satu lokasi Program Desa Tangguh 2010), telah lama menyadari hal ini, sehingga mereka berjuang dengan serius, membangun seni budaya sebagai identitas desa mereka, dan Desa Mulyodadi dikukuhkan menjadi Desa Budaya pada tahun 2008 silam (Sumber: Bapak Subardi, ketua BPD, tokoh budaya Desa Mulyodadi).
Di samping itu, desa adalah tempat bertemunya berbagai program pemberdayaan berbasis masyarakat, yang diselenggarakan oleh berbagai pihak; mulai dari PUAP; UED‐SP dan berbagai program lain. Sehingga, desa adalah titik strategis, untuk menggalang partisipasi masyarakat, sekaligus integrasi PRB ke dalam sistem regulasi pemerintah.
Desa, juga merupakan laboratorium dinamika yang pada rentetannya menghasilkan setiap struktur dan kultur masyarakat yang ada sekarang. Dengan kata lain, keberdayaan masyarakat itu ada karena dibentuk, dan pembentukan masyarakat tersebut melalui proses yang panjang dan berliku, melalui proses penggalian potensi lokal maupun intervensi potensi dari luar. Dan, untuk merubah setiap kondisi, diperlukan konsistensi dan kontinuitas proses penciptaan perubahan, dan konsistensi dan kontinuitas itu harus dijaga dengan sistem yang disepakati bersama antarpelaku pembangunan, sekaligus aktor‐aktor yang memiliki sikap terbuka terhadap dinamika kemajuan modern.
Hal ini juga berlaku dalam program Desa Tangguh. Sebuah desa, disebut tangguh menghadapi bencana apabila di desa tersebut, ada beberapa unsur sebagai berikut:
a. Aktor‐aktor penanggulangan bencana, mewakili stakeholders desa, yang visioner dan tanggap terhadap perubahan;
b. Sistem regulasi penanggulangan bencana yang terbuka, memuat hasil kajian partisipatif atas potensi bencana dan memberikan arahan strategis, sekaligus peluang
5
untuk mobilisasi sumber daya pemerintah maupun non pemerintah, internal desa maupun eksternal desa, termasuk di dalamnya adalah program dan anggaran publik;
c. Perencanaan pembangunan yang partisipatif, yang menjadikan pengurangan risiko bencana sebagai kerangka berpijak, sekaligus direncanakan sebagai bagian dari kegiatan pembangun desa.
d. Adanya upaya edukasi, advokasi, dan pemberdayaan masyarakat yang diiringi dengan kebesertaan masyarakat secara partisipatif aktif dan kontinu tersusun sebagai sebuah sistem untuk penanggulangan bencana desa.
e. Pendayagunaan potensi lokal (misal kearifan, pengetahuan, religi, dan seni budaya) masyarakat dalam penanggulangan bencana desa.
f. Kesinambungan/Keberlanjutan gerakan Pengurangan Risiko Bencana, ditandai dengan adanya skema strategis kemandirian masyarakat, yang didukung dengan regulasi, institusionalisasi, perencanaan, penganggaran, dan monitoring‐evaluasi yang jelas.
Semua hal tersebut, harus secara kontinu berproses dan beradaptasi dengan kebutuhan‐kebutuhan baru yang semakin berkembang. Karena, ketangguhan desa terhadap ancaman bencana dinilai dari kemauan dan kemampuan seluruh elemen dalam masyarakat tersebut untuk berproses dan belajar dalam meningkatkan kapasitas, mengurangi kerentanan, dan meredam ancaman bencana di desa. Sebagaimana, perkembangan kapasitas Karang Taruna desa Mulyodadi dalam mengolah seni budaya desanya, sebagaimana Video Komunitas Wonolelo dalam mengolah video‐video bermutu mengenai pemberdayaan masyarakatnya.
“Alhamdulillah Mas, sekarang ini pasca Program Desa Tangguh selesai, Forum PRB Desa Wonolelo dapat dukungan dari banyak pihak. Kemarin kami dapat pelatihan dari CSPJRF, trus kami kemarin pelatihan yang mengisi Kepala BPBD Bantul. Tokoh‐tokoh masyarakat juga banyak yang masuk ke Forum PRB Desa. Harapannya ke depan ada program‐program lain
yang dapat kami akses Mas” (Akhmat Furqon, Ketua Forum PRB Wonolelo)
C. Tujuan Dan Strategi Dasar Program
Desa ini adalah salah satu dari dua desa di Kabupaten Bantul yang memperoleh pendampingan dari program Desa Tangguh SCDRR UNDP. Semoga dengan adanya program ini, tidak ada korban lagi kalau bencana terjadi… (harapan Bapak Kuswanto, Kaur Kesra Desa Mulyodadi,yang selalu disampaikan bahkan di setiap beliau menyampaikan pidato pembukaan acara program). Sungguh, penulis merasakan bahwa program ini memiliki beban yang sangat berat, memberikan jaminan bahwa bencana mengerikan pada tanggal 27 Mei 2006 yang
meluluhlantakkan hampir 80% rumah di desa ini, menelan 242 orang korban jiwa meninggal, dan menyebabkan ribuan orang luka‐luka dan kehilangan tempat tinggal. Dampak gempa
bumi itu ternyata masih dirasakan sampai sekarang, dan menjadi bagian dari memori sejarah yang telah merubah mindset masyarakat Bantul, bahwa ternyata,daerah mereka bukan daerah aman. Daerah Bantul, merupakan daerah yang dilalui oleh Sesar Opak, yang siap
mengguncang wilayah Bantul dan sekitarnya.
Tujuan desa tangguh adalah untuk mewujudkan warga masyarakat dan desa yang tangguh serta tanggap terhadap bencana, sehingga diperlukan pola edukasi dan pemberdayaan yang berkelanjutan, dan advokasi yang tak kenal titik henti ke semua stakeholders, baik pemerintah maupun non‐pemerintah. Untuk itulah, dalam program Desa Tangguh ini, yang dilakukan oleh
6
YP2SU sebagai penyelenggara program lebih kepada pembentukan pondasi yang kokoh bagi masyarakat dan semua stakeholders untuk kemudian dikembangkan lebih jauh di masa depan, dengan mengedepankan potensi‐potensi lokal, kearifan dan pengetahuan lokal yang relevan, serta SDM‐SDM lokal. Pengembangan ini harus mendapat dukungan regulasi pemerintah yang memadai.
Memahami strategi proses pembangunan Desa Tangguh dimulai dari memetakan dua sektor kunci pembentuk elemen dasar desa, yakni: pemerintah dan non pemerintah. Sektor pemerintah, berperan dalam integrasi PRB ke dalam pembangunan dan penyelarasan program‐program pembangunan dengan aspirasi dari masyarakat. Sedangkan, sektor non pemerintah, berperan dalam penggalangan partisipasi masyarakat dalam pembangunan, penciptaan ide‐ide kreatif pembaharuan dalam perencanaan pembangunan, sekaligus pemanfaat langsung, dan pelaku monitoring dan evaluasi pelaksanaan pembangunan.
D. Desa Tangguh untuk Pemberdayaan Perempuan
Bencana/krisis selalu dikaitkan dengan kurangnya kapasitas masyarakat, yang sangat mungkin
timbul karena kesenjangan kapasitas antar anggota masyarakatnya. Kesenjangan ini dapat
timbul juga dari factor peran antar gender yang berbeda, sehingga konsekuensinya adalah
kesenjangan kapasitas juga. Dalam penanggulangan bencana, isu peningkatan kapasitas
perempuan selalu menjadi masalah yang harus diselesaikan, mengingat perempuan juga
potensial sebagai penggerak masyarakat.
Program Desa Tangguh 2010 mencoba untuk mengoptimalkan potensi perempuan penggerak
di masyarakat kedua desa. Para kaum perempuan penggerak ini terlibat secara aktif sebagai
pengorganisasi yang efektif di kedua desa lokasi program. Ada beberapa strategi pelibatan
perempuan dalam program Desa Tangguh, yaitu:
1. Perempuan sebagai CO (Community Organizer)
Dalam banyak hal, perempuan adalah komunikator yang efektif untuk melakukan/
memperlancar pengorganisasian masyarakat. Di kedua desa lokasi Program,
perempuan secara efektif mengorganisasi masyarakat peserta program baik dalam
tahapan kajian partisipatif maupun pembuatan keputusan aksi dan pelaksanaannya. Di
desa Wonolelo kaum perempuan yang terlibat dalam organisasi‐organisasi lokal
(Forum Komunikasi Kader Posyandu, Jaringan Kerja Perempuan Pedesaan, dan Satuan
Tanggap Darurat Desa Wonolelo) memegang peranan penting menggerakkan
kekuatan kaum ibu dan pemuda dalam program desa tangguh. Misalnya Mbak Ulil (Bu
Khulil Khasanah), Mbak Tri (Bu Tri Baskoro), dan Bu Hadmiyati. Demikian juga di desa
Mulyodadi, kaum perempuan terlibat aktif sebagai komunikator dan inspirator ide‐ide
pengembangan program di lapangan, misalnya Bu Listy Setyaningsih (Dukuh
Wonodoro), dan Bu Rajiyem (Guru).
2. Perempuan sebagai pengurus Forum PRB Desa
Forum PRB Desa dibentuk sebagai strategi pelembagaan partisipasi masyarakat desa
dalam program desa tangguh, sekaligus mengorganisasikan SDM visioner yang
7
diperlukan untuk keberlanjutan program Desa Tangguh pada masa yang akan datang.
Sebagai sebuah forum yang terbuka, elemen perempuan pun masuk ke dalamnya.
3. Perempuan dilibatkan secara aktif sebagai actor dalam rencana kontinjensi bencana
prioritas desa, baik untuk gempa bumi (Mulyodadi, Bambanglipuro), maupun tanah
longsor (Wonolelo, Pleret).
Gambar 1.2.
Ibu‐ibu di Desa Wonolelo sedang mengikuti kegiatan pelatihan video komunitas
E. Hasil Pembelajaran YP2SU Yogya 2010
Program Desa Tangguh 2010 YP2SU Yogyakarta yang diselenggarakan di 2 (dua) desa di Bantul (Wonolelo, Pleret dan Mulyodadi, Bambanglipuro), bekerjasama dengan Program SCDRR UNDP dan Pemerintah Indonesia adalah pembelajaran yang sangat berharga untuk dijadikan salah satu referensi pengembangan desa siaga bencana. Memang, kalau dilihat dari timeframe programnya yang hanya 1 (satu) tahun, program ini jelas tidak memadai untuk membentuk desa tangguh yang sesungguhnya. Sehingga, kata kunci keberhasilan pembentukan desa tangguh adalah keberlanjutan/sustainability, baik sustainability di tingkat masyarakat, pemerintah, maupun lembaga non pemerintah pendamping.
Secara umum, pola pembentukan desa tangguh ini secara ideal tergambar dalam skema di bawah ini:
8
Gambar 1.3.
Skema Pola Pembentukan Desa Tangguh
Berdasarkan hasil pembelajaran YP2SU Yogyakarta, seperti halnya yang tergambar dalam skema di atas proses membangun desa tangguh terbagi menjadi 6 (enam) tahap. Masing‐masing tahap berkorelasi positif terhadap kesuksesan pengorganisasian masyarakat dan mobilisasi sumber daya (internal dan eksternal) yang diperlukan. Pentahapan ini tidaklah kaku, namun menyesuaikan dengan akar masalah yang dihadapi masyarakat dampingan dan semua stakeholders, sekaligus kapasitas/daya dukung penyelenggara program, masyarakat dampingan, kebijakan pemerintah (regulasi, program dan anggaran), sekaligus stakeholders setempat.
Untuk keperluan efisiensi dan efektivitas pemberdayaan masyarakat, bisa saja tahap‐tahap yang dilalui sangat berbeda, khususnya dalam konteks isu lintas sektoral (cross‐cutting issues). Misalnya, jika masalah perubahan iklim lebih menonjol daripada masalah ekonomi, maka tahap pemberdayaan ekonomi bisa saja dikesampingkan. Atau, jika kedua‐duanya sangat menonjol, sangat mungkin perubahan iklim dan pemberdayaan ekonomi dimunculkan.
Pentahapan di atas adalah hasil dari pembelajaran YP2SU dalam Program Desa Tangguh 2010.
Dari skema di atas, dapat diidentifikasi beberapa tahap pembentukan desa tangguh/desa siaga bencana, dengan deskripsi singkat tersebut di bawah ini:
1. Tahap I: Pengorganisasian Awal Tahap ini, lebih kepada pengidentifikasian pihak‐pihak yang akan dilibatkan secara langsung dalam program, mulai dari penyediaan fasilitator, CO dan pengorganisasian masyarakat di tahap awal. Tahap ini dibahas dalam Bab II buku ini: Saat‐Saat Awal Pengorganisasian.
9
2. Tahap II: Identifikasi Potensi dan Pemetaan Risiko Bencana Pada tahap ini, masyarakat diajak untuk mengenal desa mereka sendiri menggunakan media PRA dan peta risiko bencana. Tahap ini dibahas dalam Bab III buku ini: Kajian Potensi dan Peta Risiko Bencana Desa.
3. Tahap III: Penyusunan Rencana PB (Penanggulangan Bencana) Tahap ini dilaksanakan dalam rangka menyusun rencana strategis, rencana aksi, maupun rencana kesiapsiagaan menghadapi bencana. Penyusunan rencana dilaksanakan berdasarkan pengenalan potensi dan risiko bencana desa. Tahap ini dibahas dalam Bab IV buku ini: Perumusan Perencanaan Penanggulangan Bencana.
4. Tahap IV: Edukasi Masyarakat Tahap ini dilaksanakan dalam rangka transfer pengetahuan penanggulangan bencana, sekaligus pelaksanaan dari rencana yang telah dibuat. Untuk program desa tangguh, edukasi ini juga dilaksanakan untuk keperluan mengefektifkan pengorganisasian masyarakat. Tahap ini dibahas dalam Bab V buku ini: Edukasi Masyarakat.
5. Tahap V: Pemberdayaan Ekonomi Pada tahap ini, masyarakat mengidentifikasikan titik‐titik paling strategis untuk “mengungkit” potensi ekonomi desa. Untuk program Desa Tangguh, program ini dilaksanakan dengan memberdayakan Lembaga Keuangan Mikro desa dan Usaha Mikro‐Kecil dan Menengah yang berdomisili dan mengembangkan usahanya di sekitar desa lokasi Program. Detail tahap ini dibahas dalam Bab VI Buku Ini: Slamet Raharjo: Membangun Penghidupan Berkelanjutan Untuk Masyarakat.
6. Tahap VI: Pelembagaan dan Legalisasi Desa Tangguh Pada tahap ini, dilaksanakan 2 (dua) kategori aktivitas, tujuannya untuk member payung hukum keberlanjutan program, yakni: ‐ Legalisasi dokumen pengurangan risiko bencana (perencanaan‐perencanaan
dalam Bab VII Buku ini), termasuk integrasi ke dalam sistem perencanaan pembangunan pemerintah.
‐ Pembentukan Forum PRB Desa sebagai tim lokal yang akan bertanggungjawab untuk penanggulangan bencana di tingkat desa.
10
11
BAB II
SAAT‐SAAT AWAL PENGORGANISASIAN
Untuk pengorganisasian awal program Desa Tangguh, dilakukan dalam beberapa langkah:
1) Penentuan Fasilitator dan Community Organizer desa; 2) Penentuan warga masyarakat yang terlibat program; 3) Kajian ancaman‐kerentanan‐kapasitas desa dan potensi desa; 4) Pembentukan Tim Formatur FPRB.
A. Penentuan Fasilitator dan Community Organizer Desa
Untuk penyelenggaraan program Desa Tangguh di masyarakat, dilakukan rekruitmen fasilitator dan CO. Fasilitator direkrut dengan kriteria sebagai berikut:
Pemuda (laki‐laki/perempuan);
Menguasai minimal 3 (tiga) isu strategis (PRBBK, advokasi masyarakat, pemberdayaan ekonomi);
Berpengalaman dalam pemberdayaan masyarakat, atau, minimal memiliki keinginan kuat untuk belajar memberdayakan masyarakat;
Dapat beradaptasi dengan dinamika dan isu yang berkembang di masyarakat;
Bersikap terbuka dan komunikatif;
Memiliki sikap kepemimpinan;
Khusus untuk media pembelajaran, menguasai materi video komunitas dan media pembelajaran lain.
Warga desa dilibatkan secara aktif sebagai Community Organizer (CO). Ada beberapa kriteria yang digunakan untuk perekrutan CO ini, yaitu:
Pemuda, berdomisili di desa setempat (laki‐laki/perempuan);
Memiliki riwayat baik di komunitas;
Memiliki visi dan misi untuk pemberdayaan masyarakat;
Komunikatif;
Mengenal dan dikenal masyarakatnya.
Penentuan CO dari pemuda mendukung visi pembelajaran dari program Desa Tangguh. Pemuda, yang diharapkan menjadi community leader di masa yang akan datang, harus dibekali dengan isu‐isu dan pembinaan strategis mengenai pengurangan risiko bencana dengan cara langsung menerjunkan para CO tersebut di masyarakat. Pola edukasi yang dikembangkan, para CO diberikan arahan oleh Fasilitator Program, untuk kemudian bahu
12
membahu beserta para fasilitator program untuk melakukan pengorganisasian masyarakat.
Gambar 2.1.
Mas Kholis (paling kiri) sedang memfasilitasi kajian kelompok untuk kajian potensi desa
Seiring dengan cita‐cita menjadikan CO sebagai future community leaders, rekrutmen CO juga memperhatikan potensi sosial yang dimiliki oleh masing‐masing CO, yang memungkinkan mereka berkomunikasi dengan masyarakat.
Dari hasil rekruitmen, diperoleh 4 (empat) nama, dengan keunggulan dan potensi masing‐masing:
1. Desa Wonolelo Untuk Desa Wonolelo, muncul 2 nama, yakni Akhmad Furqon (aka Mas Uqon) dan Nur Kholis Majid (aka Mas Kholis). Pemilihan kedua CO ini dilakukan, di samping karena memenuhi beberapa kriteria di atas, mengingat adanya beberapa potensi sosial berikut:
Kedua CO ini merepresentasikan organisasi kemasyarakatan yang berbeda. Mas Uqon merupakan representasi NU (Ketua GP Anshor Wonolelo), Mas Kholis merupakan representasi Muhammadiyah. Penyatuan kedua representasi ini diharapkan dapat memicu penyatuan sumber daya yang lebih besar untuk masa yang akan datang.
13
Kedua CO ini memiliki potensi maupun latar belakang profesi yang mendukung untuk komunikasi dengan stake holders desa. Mas Uqon adalah putra dari Kabag Ekbang Pemdes Wonolelo (Pak Makmur) yang aktif dalam pengorganisasian masyarakat, sedangkan Mas Kholis adalah THL‐TBPP pada Kementerian Pertanian RI, yang sering berhubungan dengan masyarakat, terutama petani.
2. Desa Mulyodadi CO di desa Mulyodadi ini kedua‐duanya adalah perempuan. Untuk Desa Mulyodadi, muncul 2 (dua) nama, yakni Sri Wahyuni (aka Mbak Yuni) dan Retna Heryanti (aka Mbak Retna). Pemilihan kedua CO ini dilakukan, di samping karena memenuhi beberapa kriteria di atas, Mbak Yuni berlatar belakang marketing, biasa dengan komunikasi dengan banyak pihak (terutama kalangan elite/stake holders) harapannya mampu mengorganisasikan masyarakat di tingkat elit, sementara Mbak Retna adalah putri Pak Dukuh Kraton, punya kapasitas untuk mengorganisasikan masyarakat di tingkat grassroots.
B. Pemetaan Aktor
Pendekatan untuk melibatkan warga desa dilakukan dengan menjalin kerjasama yang baik dengan tokoh‐tokoh masyarakat lokal, serta melibatkan representasi masyarakat rentan sebagai mitra kunci/key partner.
Penentuan masyarakat yang terlibat ini menjadi batu loncatan untuk kegiatan‐kegiatan selanjutnya, termasuk menjadi aktor utama penggerak untuk keberlanjutan pasca program. Untuk awal program, pelibatan masyarakat ditentukan berdasarkan kesepakatan antara lembaga YP2SU dengan stake holders desa (pemerintah dan tokoh masyarakat desa), dengan latar belakang sebagai berikut:
1. Desa Wonolelo Desa Wonolelo adalah desa yang relatif tertinggal di Bantul. Namun, masyarakat Wonolelo ini adalah masyarakat religius, ditandai dengan berkembangnya Organisasi Nahdatul Ulama/NU di sana. Tradisi pergerakan di desa ini cukup kuat, dimotori antara lain oleh tokoh Lakpesdam NU/Ketua LPMD (Pak Muhyidin), dan tokoh pergerakan perempuan (Bu Khulil Khasanah a.k.a Mbak Ulil), dengan metode penggerakan dan basis massa yang berbeda. Pak Muhyidin memiliki pengaruh kuat terhadap pemerintah desa dan pemuda desa, sementara Mbak Ulil memiliki pengaruh kuat terhadap kalangan perempuan. Untuk itulah, pembasisan desa tangguh ini didasarkan kepada kultur di masyarakat seperti itu: titik awal pengorganisasian dimulai dari golongan pemuda dan perempuan, serta beberapa orang tokoh yang mendukung, termasuk pemerintah desa. Hikmahnya, orang‐orang yang berada di titik awal ini menerjemahkan dan mengembangkan dukungan dari para tokoh dan pemerintah desa terhadap PRBBK, dan itu diwujudkan dalam pembentukan dan legalisasi PRBBK untuk selanjutnya.
2. Desa Mulyodadi Untuk desa Mulyodadi, pembasisan desa tangguh ini didasarkan kepada potensi kelompok masyarakat yang ada, yakni tim perumus RPJMDesa Mulyodadi, yang telah diberdayakan oleh program Desa Tangguh tahun 2008, dan menghasilkan Perdes Mulyodadi Nomor 03 Tahun 2008 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah
14
Desa Mulyodadi tahun 2008 – 2013. Untuk itulah, pembasisan program desa tangguh ini dimulai dari tim perumus RPJMDesa tersebut. Di samping itu, tim ini juga melibatkan pamong desa secara aktif sebagai titik tolak pengorganisasian. Salah satu ciri yang membedakan antara masyarakat Mulyodadi dengan masyarakat Wonolelo adalah, bahwa masyarakat Mulyodadi lebih menekankan keterwakilan aspirasi mereka kepada tokoh‐tokoh yang telah ditentukan secara formal, sehingga, memunculkan isu bencana harus juga dengan memunculkan kelembagaan khusus beserta tokohnya. Hikmah yang dapat diambil adalah, bahwa semua perencanaan dan legalisasi PRBBK (Rencana Penanggulangan Bencana (RPB), Rencana Aksi Komunitas (RAK), Rencana Kontinjensi Bencana, dan Forum PRB Desa) mengandung konsekuensi pemunculan isu (regulasi) dan kekuatan sosial (kelembagaan) yang baru untuk PRBBK.
C. Perumusan/Pembentukan Tim Formatur Forum PRB Desa
Pembentukan tim Formatur Forum PRB adalah upaya awal untuk pengorganisasian penanggulangan bencana secara berkelanjutan. Pembentukan formatur ini dilaksanakan dengan dua tujuan, yakni:
1) Pengenalan Forum PRB Desa kepada masyarakat; 2) Penyusunan struktur dan sistem dalam Forum PRB Desa.
Formatur Forum PRB Desa ini dibentuk manakala di desa lokasi program belum ada Forum PRB Desa. Dalam pembelajaran Program Desa Tangguh 2010, pengorganisasian masyarakat untuk sebuah isu baru yang “tidak lazim” di kalangan masyarakat bukanlah hal yang mudah. Sehingga, pembentukan Forum PRB Desa sebagai titik tolak pengorganisasian dilakukan secara bertahap.
Gambar 2.2.
Mas Wawan (nomor 2 dari kanan) sedang menjadi pembicara dialog interaktif Jogja TV
terkait program Desa Tangguh
15
Tahap pertama dengan mengenalkan Forum PRB Desa kepada masyarakat dan seluruh elemen stakeholders, dengan melibatkan warga dan tokoh pemerintah yang selama ini menjadi “aktivis” di masyarakatnya. Tujuannya adalah menciptakan “magnet” penarik semua elemen substansial pembangunan desa. Dengan kata lain, hal ini sangat terkait dengan potensi pengaruh para aktivis desa tersebut kepada banyak pihak, yang dengan potensi itu, perubahan dapat dilakukan ke banyak sektor, baik sektor pemerintahan, sektor swasta, maupun sektor non pemerintah.
Dalam perkembangan selanjutnya, Forum PRB Desa dibentuk, dan secara otomatis, Formatur Forum ini dilebur ke dalam Forum PRB Desa. Para aktivis yang tergabung dalam formatur forum menjadi pengurus Forum PRB Desa, untuk terus‐menerus memotori proses dinamisasi keorganisasian di sana.
Gambar 2.3.
Mbak Yuni sedang menyerahkan paket mesin pompa air, skema Dana Hibah Rencana Aksi Komunitas Desa Mulyodadi 2010
16
17
BAB III
PENGKAJIAN POTENSI
DAN PEMETAAN RISIKO BENCANA DESA
Masyarakat desa, adalah salah satu gambaran unik dari keanekaragaman kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik dalam konteks pola mata pencaharian, kebiasaan dan adat, maupun pola relasi antar elemen yang ada. Hal ini sangat dimungkinkan untuk ada dan terjadi, mengingat, desa tumbuh dan berkembang, sama dengan pola laju zaman di lingkungannya, dan membentuk semua cirri yang melekat di desa tersebut. Untuk dapat menjalankan program dengan pemahaman komprehensif, ciri‐ciri ini diidentifikasi. Termasuk dalam konteks pelaksanaan program Desa Tangguh. Ada 2 (dua) metode yang digunakan dalam program Desa Tangguh ini, yaitu metode PRA (Participatory Rural Appraisal) dan HVCA (Hazard‐Vulnerability‐Capacity Analysis). Hasil dari kajian ini digunakan sebagai bahan fasilitasi untuk kegiatan‐kegiatan berikutnya.
Gambar 3.1.
Warga desa Mulyodadi sedang membuat diagram kelembagaan desa Mulyodadi
18
Kajian ini hanyalah sebuah kajian awal, dan bukan merupakan sebuah titik akhir dari pengenalan lokasi program yang seyogyanya harus dilakukan secara terus menerus, mengingat banyak dinamika social yang terjadi seiring dengan perkembangan zaman. Maka, kegiatan ini hanya dapat disimpulkan sebagai “pembuka” untuk mengenal masyarakat secara lebih jauh, singkat kata, tidak mungkin mengenal masyarakat secara komprehensif dalam program ini. Pengenalan masyarakat dilakukan secara sinergis dengan kegiatan‐kegiatan yang lain, karena, inti proses dari fasilitasi program adalah: bertemu dengan banyak orang. Ada beberapa metode yang digunakan dalam kajian potensi ini, yang secara garis besar dapat dibagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu:
1. Kajian Desa Partisipatif (Participatory Rural Appraisal/PRA), dilakukan dengan: a. Peta Komunitas; b. Sejarah Desa; c. Potensi Ekonomi Desa; d. Kalender Musim; e. Transek;
2. Penyusunan Peta Risiko Bencana
A. Kajian Desa Partisipatif / Participatory Rural Appraisal
1. Peta komunitas / community mapping
Tujuan dasar dari penggunaan metode community mapping sebenarnya adalah menjadikan media pengenalan kewilayahan sebuah komunitas menjadi hal yang dapat diperiksa secara visual. Masyarakat diajak menggambarkan wilayah tempat tinggalnya dalam sebuah peta komunitas yang memuat beberapa informasi dasar yang bermanfaat.
Ada beberapa catatan yang terkait dengan penyusunan peta komunitas ini, yaitu:
a. Peta komunitas ini digunakan untuk memetakan ancaman, kerentanan dan kapasitas masyarakat melalui media visual yang dibuat oleh masyarakat sendiri.
b. Cara membuat peta komunitas disesuaikan dengan kapasitas masyarakat. Tim Program Desa Tangguh hanya menentukan untuk membuat peta desa. Peta tersebut harus memuat informasi‐informasi dasar, untuk titik‐titik tertentu bisa dengan simbol; yakni:
a) Jalur‐jalur penting desa (jalan, sungai, jembatan,)
b) Pemukiman (rumah penduduk)
c) Fasilitas Umum atau Tempat Kegiatan Umum (misal: balai desa, PUSKESMAS, rumah sakit, sekolah, masjid, pesantren, lapangan, embung, sumur bor, gedung pertemuan, gardu ronda, gardu listrik, kantor‐kantor, pasar, rumah perangkat desa, dokter desa);
d) Wilayah geografis (perbukitan, danau/telaga, wilayah pesisir, dll)
e) Peta aset masyarakat (persawahan/ladang, hutan, mata air, padang rumput, rumah pedagang, rumah pengrajin, koperasi, dll)
f) Daerah‐daerah atau titik rawan bencana desa.
19
Berikut ini contoh peta komunitas yang dibuat oleh masyarakat di kedua desa lokasi program Desa Tangguh:
Gambar 3.2
Gambar Peta Komunitas desa Wonolelo
Gambar 3.3.
Peta Komunitas Mulyodadi
20
Peta komunitas ini juga menjadi salah satu bahan dasar untuk menyusun peta risiko bencana desa.
2. Kalender Musim
Kalender musim menggambarkan aktivitas keseharian masyarakat desa, yang menunjukkan relasi antara masyarakat dengan dengan kondisi musim yang dihadapinya. Kalender ini juga dapat dimanfaatkan untuk melihat kecenderungan waktu terjadinya bencana.
Dalam pengalaman di kedua desa lokasi program, kalender musim ini juga digunakan untuk pendekatan kepada kelompok petani, dalam hal ini adalah Gapoktan/Gabungan Kelompok Tani. Untuk desa Mulyodadi, hal inilah yang memberikan “inspirasi” untuk menyentuh sector pertanian, baik dalam pola edukasi maupun perencanaan Program Desa Tangguh.
Gambar 3.4
Kalender Musim Desa Wonolelo
21
Gambar 3.5
Kalender Musim Desa Mulyodadi
VARIABEL PRA BULAN
KETERANGAN 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2
Pola Curah Hujan
Kalender Musim
Musin Hujan
Musim Kemarau
Pola Tanam
Padi
Kedelai
Jagung
Lahan Tak Digarap
Kacang
Saat Ancaman (Sumber : Hasil FGD)
Banjir
Demam Berdarah
Angin Ribut / Petir
Tanah Longsor
Kebakaran
Gempa bumi
Pencemaran Air / Udara
Kekeringan
Ancaman Lain Hama
Tanggal 11 Maret 2010 dan 14 Maret 2010
Sudah ± 7 Tahun Di Grogol, Paker, Plumutan dan Masahan
Tingkat Kesibukan Keluarga Terkait Musim
Ayah
Ibu
Anak
XXX :
XX
X
Tingkat Produktivitas Keluarga Terkait Musim
Ayah
Ibu
Anak
Munculnya Masalah Pertanian
Serangan Hama
Kekeringan
Wereng, Belalang, Keong, Sundep, Tikus
22
3. Analisis Potensi Ekonomi Desa
Analisis potensi ekonomi desa dilakukan dengan mendaftar secara garis besar potensi ekonomi warga desa. Analisis ini digunakan juga sebagai salah satu sarana untuk memperoleh data untuk kebijakan bencana desa dan analisis risiko untuk keperluan pemetaan risiko bencana desa.
Jenis mata pencahari
an
Jumlah satu desa dan
persebarannya
Pelaku dan aktivitasnya Hasil/
bahan Pasar
Alokasi hasil
Masalah yang
biasanya timbul
Keterangan
Laki‐laki
Perempuan
Tani 270 / desa34 / dusun
√ √ Padi, sayuran, jagung, palawija
Pleret disekitar jejeran
Biaya hidup masyarakat
Pengairan Pemasaran
Tani seseorang yang memiliki sawah
Buruh 734 KK √ √ Di bawah UMR Lahan pekerjaan susah SDM
Pengrajin 50 40, 5, 5
√ √ Mebel, lincak bamboo
DIY dan Jateng
Pemasaran Bahan baku Modal
Pedagang 102 jiwa 18, 9, 5, 10, 13, 19, 13, 15
√ √ Krecek PleretJejeran DIY/ jateng
PNS 43 11, 6, 1, 5, 1,4, 15
√ √
Polri / TNI 15 2, 2, 6, 5
15
Jasa 60 4, 7, 15, 4, 12, 9, 4, 5
60 Bengkel, transportasi, service
Gambar 3.6.
Contoh Hasil Analisis Potensi Ekonomi Desa Mulyodadi
4. Alur Sejarah Desa (untuk Kebencanaan dan Pertanian)
Tujuan penyusunan alur sejarah desa adalah untuk mengetahui sejarah desa lokasi program pada isu bencana dan pertanian pada tonggak‐tonggak waktu tertentu yang dianggap penting oleh masyarakat. Manfaat sejarah desa antara lain untuk menggali: 1. Penyebab timbulnya masalah.
2. Kisah sukses masyarakat.
23
3. Peran masyarakat yang sudah dilakukan.
4.dsb
Dalam program desa tanggu di kedua desa, penggalian sejarah desa menghasilkan pengetahuan‐pengetahuan sebagai berikut:
a. Desa Mulyodadi
No Peristiwa Tahun
1 Bencana Gempa Bumi 1954
2 Bencana kekeringan 1972
3 Bencana serangan wereng 1979
4 Bencana Gempa bumi 2006
5 Serangan demam berdarah 2010
Gambar 3.7.
Hasil Alur Sejarah Desa Mulyodadi
1. Bencana gempa bumi tahun 1954 disebabkan tektonik, rumah bangunan rusak, korban tidak terlalu banyak.
2. Bencana kekeringan tahun 1972 disebabkan kemarau panjang akibatnya pertanian tidak berhasil panen
3. Bencana Serangan wereng tahun 1979 mengakibatkan gagal panen dan bagi yang mampu bisa panen dengan diusahakan penyemprotan hama wereng.
4. Bencana gempa bumi tahun 2006 disebabkan tektonik korban banyak yang meninggal ±252 orang, luka berat, luka ringan dan rumah sebagian roboh.
5. Serangan demam berdarah tahun 2010 disebabkan nyamuk korban meninggal 1 dan yang sakit opname di rumah sakit tiap kring ada. Penanggulangan DB : disemprot, dengan 3M (Mengubur, Menguras, Menutup)
b. Desa Wonolelo
No Tahun Peristiwa
1 1950‐an Gempa Bumi
2 1984 Longsor Bukit Becici
3 1990‐an(awal)
Banjir Depok
4 1990‐an(akhir)
Pencurian yang meresahkan selama berminggu – minggu. Akhirnya pencurinya tertangkap dan ada kesespakatan apabila mengulangi lagi, maka siap dihukum mati. Ternyata masih terjadi pencurian, sehingga saat pencurinya tertangkap dihukum setrum hingga mati
5 2006 Gempa Bumi 27 Mei
6 2008 Banjir Bandang (kedungrejo + Guyangan)
7 2008 Angin Ribut
8 Tiap Tahun Kemarau dan kekeringan
Gambar 3.8.
Alur sejarah Desa Wonolelo
24
5. Hubungan Kelembagaan
Diagram Venn digunakan untuk meneliti hubungan masyarakat dengan berbagai lembaga yang terdapat di desa (dan lingkungannya), yang berpotensi untuk dilibatkan dalam penanggulangan bencana desa. Hubungan tersebut terbagi dalam 2 (dua) parameter, yakni besarnya potensi dukungan dan kedekatan relasi dengan masyarakat.
Gambar 3.9.
Hubungan Kelembagaan Desa Wonolelo
Gambar 3.10. Hubungan Kelembagaan Mulyodadi
25
B. Peta Risiko Bencana Desa
Sebagai bahan untuk menyusun kebijakan penanggulangan bencana desa dan kebijakan pembangunan sector lain oleh seluruh stake holders, dilaksanakan pemetaan risiko bencana desa, terutama untuk ancaman bencana yang dapat dipetakan secara mudah oleh masyarakat dan tidak menimbulkan konflik baru. Pemetaan ini dilakukan dengan menggabungkan antara teknologi (software computer peta) dengan proses partisipatif dalam pengumpulan data di masyarakat.
Untuk memberi contoh penerapan peta ini, maka program desa tangguh juga menyusun rencana kontinjensi (secara detail dapat diperiksa di bab IV dan Bab VII buku ini), sebagai respon atas kebutuhan masyarakat untuk kesiapsiagaan menghadapi ancaman bencana prioritas. Harapannya, dengan contoh yang ada, semangat penerapan penggunaan peta risiko bencana dapat menular menjadi sebuah semangat umum untuk memapankan kebijakan penanggulangan bencana di tingkat desa.
Adapun langkah yang ditempuh untuk pemetaan multi risiko bencana adalah dapat dicermati dalam skema di bawah ini:
Gambar 3.11
Alur pemetaan risiko bencana desa
1. Deskripsi Skema a. Peta Dasar merupakan peta yang dibuat guna memberikan gambaran dasar mengenai area cakupan wilayah suatu Dusun dalam konteks wilayah Desa. Peta ini dibuat berdasarkan peta batas wilayah dan perspektif warga. b. Deep Interview, kegiatan yang dilakukan dalam proses deep interview adalah:
Wawancara mendalam mengenai pengisian form pendataan. Pengisian dilakukan sesuai dengan data yang diperlukan.
26
Pak Dukuh / warga menggambarkan data dalam peta sesuai simbol yang diperlukan dalam kebencanaan sekaligus memberikan keterangan mengenai batas jalan, batas RT, persawahan, kemungkinan jalur dan tempat evakuasi.
Menggali keterangan lain yang diperlukan mengenai sejarah kebencanaan, dampak yang ditimbulkan, proses penanganannya serta tokoh kunci.
Diusahakan dapat membuat kesefahaman ataupun kesepakatan mengenai upaya PRB, misal terkait dukungan Program, proses Penyusunan RPB, RAK, dan siap berperan dalam Rencana Kontinjensi.
c. Kompilasi Data, meliputi kegiatan:
Merekap seluruh data yang sudah terkumpul untuk dijadikan dalam sebuah dokumen.
Mendigitalisasi peta sehingga dapat ditampilkan dalam bentuk gambar yang lebih menarik dan mudah difahami.
Menghitung besaran area tingkat risiko melalui perhitungan rumus sesuai dengan kenampakan simbol yang ada.
d. Hasil
Peta Risiko untuk area tingkat risiko Tinggi, Sedang, Rendah dalam satu Ancaman Bencana dan Multi Ancaman Bencana
Data Desa – Dusun untuk penyusunan draft RPB, RAK dan RenKon yang selanjutnya disampaikan pada pertemuan Forum untuk dibahas dan ditindaklanjuti.
Gambar 3.12.
Ibu‐ibu di Wonolelo sedang mengikuti kajian potensi desa
27
Gambar 3.13
Contoh Peta Risiko Bencana kekeringan Desa Mulyodadi
Gambar 3.14
Contoh Peta Risiko Bencana Kebakaran Desa Mulyodadi
28
Gambar 3.15.
Contoh Peta Risiko Bencana Tanah Longsor Desa Wonolelo
29
Gambar 3.16.
Contoh Peta Risiko Bencana Gempa Bumi Desa Wonolelo
30
31
BAB IV
PERUMUSAN PERENCANAAN
PENANGGULANGAN BENCANA
“Pengelolaan sumber daya pedesaan seyogyanya didekati dari cara pandang holistik sekaligus praksis berdasarkan sehari‐hari. Kebijakan pengelolaan sumber daya pedesaan secara berkelanjutan memerlukan pemahaman mendalam mengenai pola pikir dan perilaku penduduk dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Oleh karena itu, nilai‐nilai yang diyakini dan dipraktekkan masyarakat pedesaan menjadi dasar atau prinsip pengembangan kebijakan” (M.Baiquni, 2007)
Perencanaan penanggulangan bencana merupakan salah satu kegiatan inti dalam pembangunan masyarakat desa yang memiliki daya tahan/ketangguhan terhadap bencana. Dalam Undang‐Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana pasal 33, ditentukan bahwa penanganan bencana dibagi menjadi 3 (tiga) tahap, yaitu:
a. Prabencana, meliputi situasi tidak terjadi bencana dan situasi terdapat potensi terjadinya bencana; b. Saat tanggap darurat, yakni saat terjadi bencana dan penanganan kegawatdaruratan; dan c. Pascabencana, yakni saat rehabilitasi dan rekonstruksi.
Di samping itu, Undang‐undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana juga mengamanatkan penanggulangan bencana yang terencana seperti terumuskan pada pasal 4 huruf c, sehingga, setiap tahap penanggulangan bencana harus direncanakan dalam berbagai bentuk dan sistematika rencana yang disesuaikan dengan kebutuhan‐kebutuhan yang ada di masing‐masing tahapan, sekaligus sebuah rencana penanggulangan bencana yang menjadi landasan yuridis bagi setiap perencanaan di setiap tahapan. Berikut ini tabel yang mengindikasikan tahap dan rencana yang dibutuhkan.
Tabel 4. 1 Tahap dan Perencanaan Kebutuhan Penanggulangan Bencana
No Tahap Rencana Yang Dibutuhkan
1 Semua Tahap Rencana Penanggulangan Bencana (RPB), catatan: RPB ini dibuat pada tahap prabencana, saat tidak terjadi bencana.
2 Tahap Prabencana
a. Mitigasi dan Pencegahan Rencana Aksi Komunitas (RAK)
32
3
4
Dalam
dibut
A. D
DalamPena(RAK
Salahbahwpenatersemelaakhir
a
b. Kesia
3 Tahap T
4 Tahap P
m gambaran
tuhkan dapat
Skema pem
Deskripsi Sin
m Program nggulangan PRB), dan Re
h satu tantanwa di Kabupanggulangan lenggaranyalui semua prnya mengha
a. Rencana desa untpihak‐pihmemposiberlaku s
apsiagaan
Tanggap Dar
Pascabencan
n skema, hub
t diperiksa d
mbagian taha
ngkat Perenc
Desa TanggBencana (RPencana Kont
ngan terbesaaten Bantul b
bencana a penanggularoses fasilitasasilkan posisi
Penanggulauk mobilisashak eksternisikan penanelama 5 (lim
ab
urat
na
bungan anta
alam skema
ap Penanggu
penan
canaan Pena
uh 2010, diPB), Rencanatinjensi Benc
ar yang dipebelum ada pedi tingkat angan bencasi di kedua d konseptual
ngan Bencasi sumber danal. Tujuannnggulangan ma) tahun, se
a. Rencana Ab. Rencana K
Rencana Ope
Rencana Reh
ra tahap pe
di bawah in
Gambar 4.1
langan Benc
ggulangan b
anggulangan
inisiasi 3 (tia Aksi Komucana Prioritas
eroleh dalamerangkat kebdesa, sek
ana di tingkadesa lokasi prdi bawah ini
na (RPB) Deaya, baik yanya adalahbencana seiring dengan
Aksi KomunitKontinjensi B
erasi Tangga
habilitasi dan
nanggulanga
i:
.
cana dan Ren
encana
Bencana Pr
ga) rencanaunitas untuk s (Rencana K
m program Dbijakan yang kaligus sistat desa. Sehirogram harui:
esa diposisikng bersumb menciptakbagai rencan RPJM Desa
tas (RAK) Bencana (Ren
ap Darurat
n Rekonstruk
an bencana d
ncana yang d
ogram Desa
pra‐bencanPenguranga
Kontinjensi).
Desa Tangguhmemadai unem legal ngga, prograus “mencari‐c
kan sebagai ber dari desakan kultur ana multipih.
ncana Kontin
ksi
dan rencana
dibuat untuk
Tangguh 20
na, yaitu Rean Risiko Be
h 2010 ini adntuk perencayang menam desa tancari bentuk”
rencana stra sendiri, makebijakan
hak. RPB De
njensi)
a yang
010
ncana ncana
dalah, anaan dasari ngguh, , yang
ategis aupun yang
esa ini
33
b. Rencana Aksi Komunitas untuk Pengurangan Risiko Bencana (RAK PRB) diposisikan sebagai rencana aksi konkret untuk pengurangan risiko bencana yang memuat kegiatan‐kegiatan pengurangan risiko bencana yang memuat peredaman ancaman, pengurangan kerentanan, dan peningkatan kapasitas masyarakat. RAK PRB ini disusun berdasarkan RPB Desa. RAK PRB Desa ini berlaku selama 3 (tiga) tahun, dalam pelaksanaannya dibagi per tahun, sesuai dengan pentahapan dalam RKP Desa.
c. Rencana Kontinjensi Bencana diposisikan sebagai rencana kesiapsiagaan masyarakat, yang mengidentifikasi ketersediaan potensi asset masyarakat sekaligus mengidentifikasi kekurangan yang harus dipenuhi dengan cara mobilisasi resources pihak eksternal, untuk keperluan tanggap darurat bencana tertentu yang spesifik, misalnya Rencana Kontinjensi Gempa Bumi, Rencana Kontinjensi Tanah Longsor.
Sedangkan, Rencana Operasi Tanggap Darurat dan Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi secara spesifik tidak diinisiasi oleh Program Desa Tangguh, hanyasaja, eksistensi kedua rencana ini ditegaskan di dalam RPB Desa.
1. Penyusunan RPB Desa
Penyusunan RPB Desa dilakukan dengan cara‐cara yang tercantum dalam tabel di bawah ini:
Tabel 4.2.
Tahap Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana
Tahapan Aktivitas
Tahap I Sosialisasi dan kajian partisipatif risiko bencana dan potensi desa (PRA, HVC analysis, Profil Desa, analisis risiko bencana desa, peta kebencanaan desa);
Proses ini dilakukan, sebagaimana di dalam buku ini ditulis dalam bab III Kajian Potensi dan Risiko Bencana Desa
Tahap II Pengkajian bersama terhadap regulasi, perencanaan, program dan anggaran di tingkat pusat, daerah, dan desa yang mendukung tentang PRBBK;
Tahap III Pengkajian RPB yang telah ada (RENAS PB 2010 – 2014); Draft RPB DIY;
Tahap IV Pengkajian format RPB Desa, draft Peraturan Desa, serta strategi dan legalisasi keberlanjutannya;
Tahap V kajian partisipatif untuk kebijakan PB Desa, pilihan tindakan, mekanisme pengerahan sumber daya, baik untuk tahap pra‐bencana; tahap tanggap darurat; tahap pasca bencana; maupun untuk semua tahap.
Tahap VI Penyusunan Draft RPB Desa
Tahap VII Proses legalisasi Peraturan Desa
Secara umum, RPB Desa ini terdiri dari beberapa bab sebagai berikut:
a. Pendahuluan, terdiri dari keterangan pendahuluan, maksud dan tujuan, serta landasan hukum.
b. Gambaran umum wilayah, berupa profil umum wilayah yang mendeskripsikan a.l. profil geografis, kependudukan, perekonomian, sarana dan prasarana, kelembagaan desa, agama, dan budaya desa. Dapat ditambah profil mengenai hal‐hal lain juga, misalnya profil keagamaan desa, dll;
34
c. Penilaian risiko bencana, terdiri dari antara lain profil ancaman, kerentanan dan kapasitas masyarakat, serta analisis risiko bencana desa, dan peta risiko bencana desa;
d. Kebijakan penanggulangan bencana, terdiri dari antara lain kerangka konseptual perencanaan penanggulangan bencana, posisi Forum PRB Desa, hubungan antara RPB Desa dengan RPJMDesa dan perencanaan pembangunan desa lainnya.
e. Pilihan tindakan penanggulangan bencana, terdiri dari analisis stakeholders yang akan terlibat, matriks pilihan tindakan penanggulangan bencana beserta stake holders yang akan dilibatkan, nilai sumber daya yang dibutuhkan serta mobilisasi sumber daya stakeholders yang akan dilakukan.
f. Penutup, berupa kesimpulan.
Fakta menarik terkait dengan RPB Desa:
Kebutuhan Desa Mulyodadi untuk Penanggulangan Bencana Desa untuk 5 (lima) Tahun Rp.346.704.500.000,00. (Mulyodadi)
Oleh Sri Wahyuni (CO Desa Mulyodadi)
Setelah dirunut‐runut, ternyata memperhitungkan perkiraan kebutuhan sumber daya desa untuk penanggulangan bencana, baik untuk Pra Bencana, Tanggap Darurat, dan Pasca Bencana hasilnya bisa saja hasilnya sangat mengejutkan. Jumlah sumber daya senilai Rp.346.704.500.000,00 tentunya harus didukung dengan semua pemangku kepentingan. Untuk tahap pra‐bencana (asumsi tanpa monev), Desa Mulyodadi memerlukan alokasi sumber daya senilai Rp.46.334.500.000,00 untuk melakukan pengurangan risiko bencana, termasuk di dalamnya adalah upaya peredaman ancaman, pengurangan kerentanan, dan peningkatan kapasitas agar masyarakat tetap tanggap dan tangguh menghadapi bencana. Kalau alokasi sumber daya ini terpenuhi dan masyarakat menjadi tangguh, maka harapannya, semua pemangku kepentingan tidak perlu mengalokasikan sumber daya senilai Rp.300.340.000.000,00 untuk keperluan Tahap Saat Tanggap Darurat dan Tahap Pasca Bencana (asumsi tanpa monev). Dengan demikian dapat disimpulkan, investasi sebesar Rp. 46.334.500.000,00 dapat menghemat sumber daya pembangunan senilai Rp.300.340.000.000,00 (Perbandingan 1:6,5)! Barangkali, jumlah itu kelihatan terlalu berlebihan. Tetapi, sesungguhnya ketika kita melihat fakta pembangunan rumah misalnya, kebutuhan in kind untuk pembangunan rumah pasca gempa bumi 27 Mei 2006 ternyata sangat besar per rumahnya. Di luar skema bantuan dana Rehabilitasi dan Rekonstruksi rumah dari pemerintah yang “hanya” Rp.15 juta per rumah, setiap pemilik rumah harus menyediakan tukang (jumlah tukang minimal 2 orang @tukang + Rp.40 ribu per hari), makan tukang @tukang 1x sehari, snack tukang @tukang 2x sehari); biaya untuk pembersihan puing‐puing rumah (yang pada prakteknya dilakukan oleh masyarakat dan relawan); biaya swadaya untuk material rumah tambahan, dan komponen‐komponen lain seperti transport material, dan lain sebagainya. Biaya seperti ini sebagian adalah biaya swadaya, dan sebagian juga dari skema gotong royong (dengan warga masyarakat dan para relawan yang terlibat). Sehingga, bisa saja, dalam skema pendirian rumah pasca bencana
35
Inilah bukti, bahwa modal sosial ternyata sangat berharga nilainya. Dan justru, modal utama pembangunan pasca bencana adalah modal sosial, berupa kegotongroyongan, kekeluargaan, perasaan senasib sebagai masyarakat rentan.
2.Penyusunan RAK PRB Desa
Rencana Aksi Komunitas untuk Pengurangan Risiko Bencana ini merupakan rencana riil, yang akan dilakukan oleh Forum PRB Desa bersama pemerintah desa. Artinya, jika dilihat dari kacamata logika RPB Desa, RAK PRB Desa ini hanyalah “sebagian kecil” dari upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat untuk penanggulangan bencana.
Dalam Program Desa Tangguh 2010, tahapan penyusunan Rencana Aksi Komunitas yang dilakukan dijelaskan dalam tabel di bawah ini:
Tabel 4.3.
Tahapan penyusunan RAK PRB Desa
Tahapan Aktivitas
Tahap I ‐Sosialisasi dan kajian partisipatif risiko bencana dan potensi desa (PRA, HVC analysis, Profil Desa, analisis risiko bencana desa, peta kebencanaan desa); ‐Kajian ini dapat diselaraskan dengan pembentukan regulasi desa untuk kebencanaan (RPB, dan lain‐lain);
Tahap II ‐Pengkajian bersama terhadap regulasi di tingkat pusat, daerah, dan desa yang mendukung tentang PRBBK; ‐Kajian ini dapat diselaraskan dengan pembentukan regulasi desa untuk kebencanaan (RPB, dan lain‐lain);
Tahap III ‐Pengkajian Rencana Aksi PRB yang telah ada (RAN PRB 2010 ‐ 2012); Draft RPB DIY; ‐‐Kajian ini dapat diselaraskan dengan pembentukan regulasi desa untuk kebencanaan (RPB, dan lain‐lain);
Tahap IV Pengkajian format RPB Desa, draft Peraturan Kepala Desa/Keputusan Kepala Desa, serta strategi dan legalisasi keberlanjutannya;
Tahap V Proses penyusunan RAK PRB Desa;
Tahap VI Proses legalisasi Peraturan Desa
36
Gambar 4.2.
Simulasi untuk Anak‐anak
Penyusunan RAK PRB Desa didasarkan atas RPB Desa yang telah memuat tabel analisis risiko bencana desa yang terdiri dari kolom Nomor, Profil Ancaman, Unsur Berisiko, Bentuk Risiko, Lokasi, Kerentanan Yang Dimiliki, Kapasitas. Khusus untuk kolom kapasitas, dibagi lagi menjadi 3 (tiga) kolom, yaitu Kebutuhan, Ketersediaan, Kekurangan. RAK PRB Desa sekurang‐kurangnya memuat tabel deskripsi ringkas kegiatan yang terdiri dari kolom Nomor, Kegiatan, Pelaku, Lokasi, Besarnya Anggaran, Sumber Dana dan Waktu Pelaksanaan kegiatan.
Tujuan RAK ini adalah:
a. Mengupayakan peredaman ancaman bencana; b. Mengurangi kerentanan masyarakat terhadap ancaman bencana; c. Meningkatkan kapasitas masyarakat untuk menghadapi bencana.
3. Penyusunan Rencana Kontinjensi Bencana
Rencana kontinjensi bencana disusun dengan beberapa tahapan dan proses yang cukup kompleks. Berikut ini pembelajaran yang diperoleh dari penyusunan rencana kontinjensi bencana gempa bumi yang diinisiasi di desa Mulyodadi, dengan difasilitasi oleh Fuad Galuh Prihananto (Fasilitator Program PRBBK YP2SU), Sri Wahyuni dan Retna Heryanti (CO desa Mulyodadi).
37
Gambar 4.3.
Mas Furqon (CO Wonolelo) sedang memfasilitasi Forum Musrenbang Desa
Pembelajaran
Rencana Kontinjensi dan Simulasi Bencana Gempa Bumi Desa Mulyodadi
Oleh: Fuad Galuh P. (Fasilitator PRBBK), Sri Wahyuni (CO Desa Mulyodadi) dan Retna Heryanti (CO Desa Mulyodadi)
Bencana alam bisa terjadi sewaktu‐waktu dan tidak dapat diprediksi. Kondisi demikian sering mengejutkan orang saat bencana tiba‐tiba terjadi. Masyarakat sering tidak siap ketika bencana terjadi. Kondisi ketidaksiapan masyarakat ini disebabkan masyarakat memang tidak mempunyai pengetahuan dan keterampilan yang menyangkut kesiagaan dalam menghadapi bencana. Pelatihan dan pendampingan penyusunan Contingency Plan dan simulasi yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan di Desa serta otoritas wilayah yang menaunginya (Pemerintah Kecamatan dan Kabupaten) ini adalah bagian penting dalam meningkatkan pengetahuan dan keterampilan masyarakat dalam menanggulangi risiko bencana. Penyusunan Rencana Kontinjensi bencana dan simulasi melibatkan seluruh stakeholder dari tingkat desa, kecamatan dan Kabupaten (Dinas terkait) sebagai bentuk masukan, dukungan,
38
persetujuan dan sosialisasi. Hal ini merupakan upaya membangun kesiapsiagaan warga desa dalam menangani kemungkinan bencana yang terjadi dan memperkuat koordinasi antarelemen dalam tanggap darurat. Melalui pengenalan Rencana Kontinjensi ini warga beserta stakeholders diharapkan dapat membuat scenario dan memperkirakan dampak dari kejadian bencana.
1. Tujuan
Adapun tujuan umum dari adanya penyusunan Rencana Kontinjensi adalah :
o Untuk meningkatkan kesadaran dan memberikan pengetahuan (knowledge), sikap (attitude), dan praktek (practice) yang sesuai bagi masyarakat di desa.
o Untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang risiko yang ada (bahaya/ancaman, kerentanan, kapasitas, skenario awal)
o Untuk meningkatkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat khususnya Forum PRB Desa
Dalam Program Desa Tangguh 2010, YP2SU bersama masyarakat dan pemerintah di desa lokasi program menyusun rencana kontinjensi bencana prioritas masing‐masing desa. Proses penyusunan itu terlihat dalam tabel di bawah ini:
Tabel 4.4. Proses Penyusunan Rencana Kontinjensi
No Tahapan kegiatan
Proses yang dilakukan (termasuk stakeholder yang terlibat)
1 Pertemuan I - Review pengetahuan, - Pendetailan bagian :
Skenario kejadian (ancaman, korban, kerusakan, kerugian, dll)
Perencanaan Sektoral (siapa bisa (pelaku)‐ kebutuhan – ketersediaan ‐ kesenjangan)
Bahan (plano) workshop Mulyodadi - Kesepakatan pencarian / penjajagan dan pihak yang akan dihubungi- Kesepakatan waktu pembahasan bersama semua pihak
2 Penjajagan potensi
- draft persetujuan dan potensi - pendekatan personal dan lobby
3 Pertemuan II - pembicaraan hasil penjajagan, - formulasi draft Rencana Kontinjensi - persiapan pembahasan bersama - kesepakatan Uji Publik - kesepakatan legalisasi
4 Pertemuan III (Uji Publik)
Uji Publik dimaksudkan untuk mendapatkan dukungan dan kesepakatan secara luas mengenai draft Rencana Kontinjensi yang sudah disusun
5 Legalisasi
Penetapan Rencana Kontinjensi merupakan bentuk kesepakatan bersama seluruh pemangku kepentingan kebencanaan yang menaungi wilayah desa sebagai upaya perwujudan menjadi Desa Tangguh Siap Siaga terhadap bencana. Legalisasi Rencana Kontinjensi dilakukan melalui Peraturan Kepala Desa atau keputusan kepala desa.
39
2. Simulasi Perencanaan Kontinjensi
Sebagai sarana ujian pelaksanaan rencana yang telah disusun, maka dilakukan praktek atau simulasi berdasarkan scenario yang sudah dibuat. Beberapa tahapan pelaksanaan simulasi yang diselenggarakan oleh YP2SU dalam Program Desa Tangguh tercantum dalam tabel di bawah ini.
Tabel 4.5.
Simulasi Perencanaan Kontinjensi
No Tahapan Kegiatan Proses yang dilakukan (termasuk stakeholder yang terlibat)
1 Penjelasan awal Pertemuan forum PRB ataupun pertemuan warga yang berisi pengenalan dan penjelasan mengenai kegiatan simulasi baik bentuk maupun fungsinya
2 Pembuatan Skenario Pertemuan berikutnya pembahasan mengenai skenario kejadian dan kebutuhan pelaksanaan simulasi bencana
3 Koordinasi I Koordinasi yang mengundang dari pihak perangkat desa, Kecamatan, maupun Kabupaten mengenai rencana kegiatan simulasi yang telah dijabarkan juknisnya untuk mendapatkan masukan. Koordinasi juga melibatkan unsure lainnya seperti Rumah Sakit, PMI, Tim SAR, Komunitas Radio, dll
4 Koordinasi II Pertemuan dengan Warga ataupun stakeholder lainnya yang akan terlibat dalam pelaksanaan simulasi sesuai dengan pembagian peran masing – masing
5 Pelatihan / pembekalan I
Memberikan pelatihan kepada pihak yang akan berperan dalam penanganan bencana dengan awalan berupa pengetahuan Kemampuan dasar. Pelatihan bisa diberikan kepada para relawan atau tim siaga yang akan dibentuk maupun kepada para warga dan perangkat desa. Pelatihan dengan mendatangkan dari institusi yang berkompeten dalam hal penanganan bencana baik dari pemerintah (Kesbang, Dinkes) maupun lainnya (PMI, Tim SAR)
6 Pelatihan II Merupakan tahapan latihan tiap sektor yang akan dibentuk pada saat penanganan bencana / simulasi. Hal ini untuk mematangkan detail aktifitas setiap sektor.
7 Gladi Menguji coba kemampuan yang telah didapatkan dalam pelatihan sebelum dipraktekan pada saat simulasi bersama warga. Gladi ini diperlukan dikarenakan baru pertama kali simulasi dilaksanakan.
8 Pelaksanaan Simulasi
Pengerahan semua potensi yang telah diksenariokan dalam simulasi.
Pelaksanaan simulasi bencana Gempa di Mulyodadi dengan perhitungan warga yang terlibat adalah perwakilan setiap wilayah RT sebanyak 5 orang dari 85 RT yang ada di Desa Mulyodadi, ini berarti sekitar 400 – 500 orang dengan asumsi dipersilahkan mengajak orang tua maupun
40
anaknya untuk turut serta dikarenakan skenarionya mereka akan menjadi keluarga korban yang kehilangan ataupun sedih.
Jumlah pamong yang terlibat dari tingkat Desa, Dukuh dan RT kurang lebih sebanyak 150 orang, relawan yang selanjutnya ditetapkan sebagai satuan Tanggap Darurat dan anggota FPRB sebanyak 150 orang. Instansi yang terlibat dari kecamatan, kabupaten maupun lainnya sebanyak 15 instansi. Maka total yang terlibat dalam simulasi diperkirakan lebih dari 850 orang.
3. Pembelajaran
Perencanaan Kontinjensi dan Simulasi yang diselenggarakan di Desa Mulyodadi menghasilkan pembelajaran sebagai berikut:
a. Keterlibatan semua pihak dan pembahasan bersama Adanya Rencana Kontinjensi merupakan bentuk pemikiran dari seluruh pihak sehingga nantinya ketika dilaksanakan terjadi ketidaksinkronan itu bukan karena kesalah salah satu pihak penyusun melainkan kesepakatan bersama.
b. Pendataan potensi Sebagai bentuk untuk menunjukkan besaran potensi desa untuk digerakkan ketika bencana adalah dengan melakukan pendataan melalui form kesediaan stakeholder.
c. Kesediaan dukungan Membangun dukungan dan persetujuan dari banyak pihak untuk terlibat dan mensukseskan penyusunan dan pelaksanaan simulasi baik dari sisi kehadiran dalam pembahasan maupun dari pernyataan kesediaan dan potensi dimiliki yang siap digerakkan.
d. Skenario dari masyarakat Untuk membangun kesadaran warga bahwasannya dokumen perencanaan terkait kebencanaan diperlukan, maka segala sesuatu harus bersifat partisipasi masyarakat. Termasuk dalam hal ini adalah pembuatan scenario kejadian maupun kebutuhan. Sehingga tumbuh dari warga bahwa ini bagian dari kegiatan dan kebutuhan mereka.
e. Penetapan melalui Peraturan Kepala Desa/Keputusan Kepala Desa Demi kekuatan hukum dan legalitas dari dokumen yang telah disusun serta bentuk kesepakatn bersama, maka dokumen diajukan kepada pemerintah desa melalui Forum PRB untuk mendapatkan pengesahan dalam bentuk Peraturan Kepala Desa/Keputusan Kepala Desa.
f. Jaringan instansi bantuan sosial Satu sisi yang dapat dimunculkan dengan adanya pelaksanaan simulasi adalah terbangunnya hubungan yang lebih dekat antara desa dan instansi terkait terutama dengan pemkab, dengan demikian dapat mengetahui program yang ada di instansi tersebut. Sebagai contoh adanya bufferstock untuk bencana maupun kegiatan simulasi yang sebenarnya diberikan secara cuma‐cuma.
g. Keterlibatan Pamong Salah satu hasil masukan pelaksanaan simulasi adalah penilaian warga mengenai kurangnya keterlibatan pamong desa. Namun demikian ini merupakan penilaian dari salah satu sisi, karena komunikasi kepada pamong desa terjalin baik, mengingat pula
41
anggota FPRB ada yang menjabat sebagai salah satu Ka.bag Desa, dukuh, BPD maupun jabatan lainnya. Salah satu alasan bagi mereka yang di undang namun tidak bisa hadir adalah dikarenakan seringnya di undang pertemuan sementara ada pekerjaan lain yang harus diselesaikan yang tidak bisa ditinggal terus – menerus.
h. Pembahasaan yang tepat dalam proses fasilitasi dapat mempermudah memahamkan masyarakat akan pentingnya persiapan menghadapi bencana. Misalnya: Warga diberikan contoh pula bahwasannya penanganan bencana yang tiba – terjadi tanpa diketahui atau diperkirakan waktunya sama halnya dengan adanya orang meninggal dunia (kesripahan, jawa.red) dengan penanganan langsung dari tetangga sekitar menyiapkan upacara pemakaman, mulai dari urusan penggalian makam, penerima tamu pelayat, konsumsi, tenda dan kursi, kereta jenazah, pemesan bunga dan lainnya.
Gambar 4.4. Alur komando simulasi bencana gempa bumi Desa Mulyodadi
Sedangkan bencana yang mungkin bisa diperkirakan dapat dianalogkan dengan persiapan upacara pernikahan, dimana tetangga sekitar (terutama di desa) akan membantu mempersiapkan menjadi ‘panitia’nya dan mengambil peran sesuai kemampuan masing – masing. Perencanaan yang sudah dibuat jauh hari tersebut terkadang di lapangan atau pada saat hari pelaksanaan masih ditemui kendala ataupun kejadian di luar dugaan, missal di pernikahaan jumlah tamu yang dating lebih banyak dari yang diperkirakan.
Dengan memberikan contoh gambaran analogi tersebut akan lebih mudah diterima mengenai pentingnya pembuatan Rencana Kontinjensi.
42
43
BAB V
EDUKASI MASYARAKAT
“Saya tetap menginginkan masyarakat Bantul ini tetap menjadi “orang Bantul”, tidak tercerabut dari akar budayanya” (Drs. Gendut Sudarto, Kd,B.Sc, MMA; Sekretaris Daerah
Kabupaten Bantul)
Gambar 5.1.
Penyuluhan tentang ketahanan pangan dan energi di Wonolelo
44
Tak dapat dipungkiri lagi oleh kita semua, bahwa banyak korban di setiap bencana timbul dari penanganan kelompok rentan dengan cara‐cara yang salah. Masih tergambar di memori setiap masyarakat kita betapa menyedihkannya sejarah penanganan korban patah tulang punggung pada gempa bumi 27 Meii 2006 di semua wilayah yang terkena pada jam‐jam pertama bencana melanda, yang pada akhirnya menjadi salah satu faktor pemicu banyaknya korban yang meninggal karena salah penanganan.
Hal inilah yang mendasari pertimbangan YP2SU dan masyarakat untuk bersama‐sama menginisiasi edukasi untuk masyarakat desa tangguh. Pada dasarnya, edukasi masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan kapasitas masyarakat untuk pengurangan risiko bencana. Edukasi ini berisi penyampaian materi pengurangan risiko bencana, dengan tema‐tema yang spesifik, disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat.
Kegiatan edukasi masyarakat ini memiliki beberapa proyeksi manfaat strategis, yaitu:
A. Sebagai media untuk transfer pengetahuan pengurangan risiko bencana kepada masyarakat;
B. Sebagai media mendekatkan stake holders kebencanaan (misal: PMI, Badan Kesbangpollinmas, dll) dengan masyarakat rentan;
C. Media pengorganisasian masyarakat yang lebih luas, misalnya karena factor rasa memiliki program, factor kepentingan yang sama, atau factor‐faktor lain.
Agar proyeksi manfaat di atas membawa hasil positif, maka edukasi dilaksanakan dengan tema yang ditentukan oleh masyarakat, dan penerima manfaat yang juga ditentukan secara bersama‐sama oleh masyarakat. Berdasarkan kesepakatan‐kesepakatan itulah, untuk edukasi ke masyarakat, ada beberapa media strategis yang digunakan, yaitu:
A. Materi seni budaya dan religi yang menjadi aset utama masyarakat; B. Media kesepakatan dengan masyarakat; C. Media Video Komunitas.
____
A. Materi Seni Budaya Dan Religi yang Menjadi Aset Utama Masyarakat
Dalam kehidupan sehari‐hari, kesenian biasanya hanya diposisikan sebagai hiburan semata‐mata, memberikan kesenangan dan ketenangan dalam kehidupan manusia sehari‐harinya. Dia memberikan jiwa kita makanan yang membuat kita melupakan semua jenis tekanan emosional yang melanda karena berbagai benturan kehidupan.
Namun dibalik fungsi sehari‐hari dari seni, sesungguhnya, dialah salah satu media yang strategis untuk mengajarkan kebaikan kepada seluruh ummat manusia di dunia. Media inilah yang akan diperlukan untuk mengajarkan kepada setiap manusia mengenai upaya‐upaya untuk keselamatan dirinya sendiri. Untuk iitulah, dalam beberapa kegiatan desa tangguh, pendekatan edukatif yang digunakan adalah pendekatan seni, dengan memanfaatkan seni budaya / religi yang berkembang di masyarakat. Di kedua desa lokasi program ini, pendekatan dilakukan dengan cara yang sangat berbeda, karena masyarakat di kedua desa memposisikan diri dengan cara‐cara yang sangat berbeda. Di Desa Wonolelo, masyarakat yang berkembang adalah masyarakat religius. Organisasi Nahdlatul Ulama berkembang di sana, sehingga kultur seni yang berkembang adalah kesenian Islami, seperti hadroh, sholawatan, dll. Sedangkan seni di Desa Mulyodadi telah menjadi profesi yang berkembang dan menjadi identitas masyarakat,
45
terutama kesenian tradisional Jawa, seperti ketoprak, karawitan, dolanan anak, sandiwara bahasa jawa dan wayang.
Mengingat kesenian di masing‐masing wilayah ini adalah aset profesi masyarakat, maka edukasi masyarakat dilaksanakan dengan integrasi tersebut.
1. Desa Mulyodadi Edukasi PRBBK dilakukan dengan memanfaatkan potensi kesenian setempat, dengan menceritakan aspek‐aspek kebencanaan yang dekat dengan kehidupan sehari‐hari, yaitu misalnya: a. Ketoprak Ande‐Ande Lumut yang diperagakan oleh Karang Taruna Desa Mulyodadi.
Dalam ketoprak ini, Tim Desa Tangguh melakukan sosialisasi secara langsung dalam babak “adegan kelurahan”.
b. Sandiwara bahasa jawa dengan judul “eling”, naskah oleh Nur Susanto, dipentaskan dalam perlombaan sandiwara bahasa Jawa di Yudhonegaran Yogyakarta. Cerita ini menampilkan pencegahan anarkisme dalam demonstrasi massa. Anarkisme dipandang sebagai sebuah bahaya bencana, yang dapat menimbulkan banyak korban, kerusakan, dan kerugian, seperti dalam kasus makam Mbah Priok 2010.
c. Penampilan karya‐karya klasik Mataram (Ketoprak Mataram Klasik, Karawitan Klasik Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat), Sekaligus penampilan dolanan anak tradisional, sebagai unsur penarik penonton dan pengorganisasian masyarakat untuk kebudayaan, dan penyelarasan dengan agenda Desa Mulyodadi sebagai Desa Budaya (yang diresmikan tahun 2008 silam oleh Pemerintah).
d. Penampilan karya modern modifikasi (dagelan dalam ketoprak, macapatan) untuk media penyadaran tentang PRB. Untuk media penyadaran PRB, dimulai dengan bahaya, kerentanan, kapasitas yang dihadapi masyarakat sehari‐hari, misalnya hama tanaman yang menyebabkan gangguan terhadap perkembangan produksi pertanian masyarakat; kebersihan sungai di sekitar desa, dll.
Desa Mulyodadi, dengan statusnya sebagai Desa Budaya sesungguhnya memiliki banyak asset karya seni budaya yang telah mengandung unsure PRB, misalnya ada beberapa judul lagu karawitan yang bertema PRB, yang dekat dengan kehidupan sehari‐hari. Sehingga, yang dilakukan Tim Desa Tangguh hanyalah memperkuat kesenian dengan unsur pendidikan PRB bagi masyarakat. Berikut ini beberapa contoh judul lagu karawitan yang telah mengandung unsure PRB di dalamnya:
a. Ronda Kampung (Karya Ki Narto Sabdho), kewajiban masyarakat untuk ronda siskamling, menjaga keamanan, sekaligus bersiaga jika terjadi kedaruratan.
b. Gugur Gunung (Karya Ki Narto Sabdho), kewajiban masyarakat untuk bekerjasama dalam gotong royong.
c. Mas Sopir (karya Ki Anom Suroto), kewajiban masyarakat untuk mematuhi tata tertib berlalulintas.
d. Pembangunan (karya Ki Wasito Dipuro) kewajiban masyarakat untuk sadar dalam membangun diri pribadi, masyarakat, bangsa dan negara, sebagai upaya peningkatan kapasitas PRB.
e. Projotamansari (karya Palen Suwondo) karawitan tentang Bantul umumnya, kewajiban untuk menjaga kerukunan sebagai modal sosial masyarakat dalam mengantisipasi bencana.
46
2. Desa Wonolelo Kekayaan seni budaya desa Wonolelo dalam pembangunan masyarakat tidak lepas dari warna religiusitasnya. Organisasi Islam Nahdlatul Ulama berkembang di desa ini, sehingga, kesenian‐kesenian yang berkembang adalah kesenian rohani Islami yang biasanya berkembang di kalangan masyarakat organisasi tersebut seperti kesenian seperti hadroh dan qasidah. Sedangkan, kesenian tradisional seperti ketoprak, biasanya hanya sebatas minat beberapa warga saja, dan melakoninya sebagai pekerjaan sambilan. Maka, dalam Program Desa Tangguh 2010 ini, beberapa edukasi dilakukan dalam event‐event keagamaan, yang menampilkan hadroh. Event‐event seperti ini biasanya menyerap massa besar (walaupun dalam keadaan hujan misalnya), sehingga, sosialisasi pun dapat dilakukan dengan mudah. Berikut ini beberapa contoh edukasi yang ditampilkan dalam event keagamaan di Desa Wonolelo: a. Edukasi tanah longsor untuk masyarakat Dusun Cegokan, memanfaatkan moment
shalawatan dalam rangka Maulid Nabi Muhammad SAW. Moment pengajian yang biasanya diisi oleh ustadz/kyai dengan keagamaan, diisi oleh Tim Desa Tangguh dengan edukasi mengenai tanah longsor;
b. Edukasi PRB, dengan menampilkan shalawatan pada penutupan program Desa Tangguh, Pemda Bantul, Januari 2011;
Saat ini, ada kecenderungan untuk membina kesenian tradisional secara lebih serius. Untuk membangkitkan kreativitas seni para pemuda, Forum PRB Desa, yang terdiri dari para pemuda, dibangkitkan kreativitasnya dengan teater modern, yang juga telah ditampilkan dalam beberapa aktivitas, seperti teater dalam pementasan Launching Video Komunitas Wonolelo “The Letonk”. Ada juga kesenian modern yang ditampilkan pada peringatan Hari Kartini 2010 (tari, teater), dan pentas anak (praktek simulasi) dalam lomba RT 04 Padukuhan Bojong.
B. Media Kesepakatan Dengan Masyarakat
Pengetahuan dalam hal apapun itu sebenarnya sangat sederhana, hanya terkait
dengan beberapa subjek dengan hasil akhirnya saja, tetapi pada kenyataannya,
penerapannya sangat sulit untuk dilaksanakan.... karena teori selalu bertentangan
dengan prakteknya....
(modifikasi Carl von Clausewitz, Vom Kriege, Book II Chapter 7 )
Edukasi Pengurangan Risiko Bencana dilakukan dengan media kesepakatan dengan masyarakat. Logikanya sederhana, yakni memperlancar proses transfer of knowledge mengenai PRB bertemakan hal‐hal yang dibutuhkan oleh masyarakat, sebagai reward partisipasi masyarakat dalam program.
Ada beberapa catatan strategis terkait dengan pelaksanaan edukasi masyarakat dengan media kesepakatan dengan masyarakat ini:
1. Perluasan Beneficiaries Program, dengan menyentuh lebih banyak stakeholders di tingkat desa. Untuk di Desa Wonolelo yang pertama kali memperoleh program Desa Tangguh, perluasan ini perlu untuk sosialisasi program demi menarik animo masyarakat. Untuk di desa Mulyodadi, selama ini, rangkaian kegiatan yang
47
menghasilkan Formatur Forum PRB telah dihasilkan dengan melibatkan Tim Inti Perumus RPJMDes Program Desa Tangguh 2008. Untuk kegiatan yang bersifat administratif (pengundangan, dll), dapat dilakukan melalui pemerintah desa sebagai komunikator.
2. Strategi Pendekatan, dengan menggunakan Strategi Reward dengan logika Simbiosis Mutualisme. Ini untuk mencegah terjadinya kejenuhan masyarakat atas kegiatan pertemuan yang bersifat kajian. Sejak awal pemulaian program Desa Tangguh, masyarakat telah banyak dilibatkan dalam kajian‐kajian dan perencanaan; atau dalam pengertian analogis yang lain, masyarakat telah banyak berperan “memberikan” input kepada program, berupa pengetahuan‐pengetahuan akan masalah dan kebutuhan kepada program, yang memperkaya program dengan hasil‐hasil yang verifiable secara ilmiah. Perlu adanya reward ke masyarakat dalam wujud edukasi pengetahuan‐pengetahuan praktis yang harapannya dapat membawa manfaat besar/multiplier effects di masyarakat.
3. Intensifikasi Komunikasi dengan Elit Desa dan para pelaku Pemilukada Bantul 2010 Pemilukada 2010 di depan mata, siap untuk terlaksana. Tak ada lain, kekuatan politik real yang ada di masyarakat di Lokasi Program akan saling berkontes untuk tahta Bupati dan Wakil Bupati Bantul 2010. Untuk itulah, via Formatur FPRB, harus ada komunikasi dengan PPL Pemilukada, agar tidak terjadi hal‐hal yang tidak penting (mis. Berperkara dengan Panwas, dll). Catatan: Tim Desa Tangguh pernah “terjebak” dalam kampanye calon kepala daerah Kabupaten Bantul ketika menyelenggarakan penyuluhan dalam forum masyarakat.
Gambar 5.2.
Edukasi Kebencanaan via Ketoprak
48
Dalam Program Desa Tangguh 2010 ini, ada beberapa kegiatan edukasi yang dilaksanakan bersama dengan masyarakat program Desa Tangguh, yaitu:
1. Edukasi PRB untuk anak di Wonolelo dan Mulyodadi;
Edukasi bencana untuk anak di Wonolelo dilaksanakan dengan beberapa aktivitas di bawah ini:
Tabel 5.1.
Aktivitas edukasi bencana untuk anak di Wonolelo
Edukasi bencana untuk anak di Mulyodadi, dilaksanakan dengan lomba mewarnai dan menggambar bertemakan kebencanaan. Lomba ini dilaksanakan berbasis sekolah di desa Mulyodadi. Edukasi ini dilaksanakan dengan beberapa sub aktivitas, yaitu:
a. Lomba menggambar bertemakan PRB; b. Lomba mewarnai bertemakan PRB; c. Dongeng PRB.
No Materi Uraian Metode
1 Pengenalan Bencana
Mengenalkan berbagai macam ancaman bencana yang ada di Alam, diantaranya :
1. Gempa Bumi 2. Tanah Longsor 3. Banjir 4. Gunung Meletus 5. Kebakaran 6. Angin Ribut 7. Kekeringan
Sekaligus mengenalkan penyebab terjadinya ancaman bencana, sehingga anak dapat memahami bagaimana terjadinya bencana.
Cerita / dongeng, Membaca buku, Menggambar, Menonton Film,
2 Pengetahuan menghadapi Bencana
‐ Menyampaikan cara menghadapi ancaman bencana,
‐ Menanamkan kesiapsiagaan ketika menghadapi bencana sehingga anak tidak perlu takut dan panik,
‐ Memberikan daya ingat kepada anak tentang apa yang harus dilakukan ketika terjadi bencana,
Tepuk, Nyanyi, Petuah, Cerita,
3 Simulasi menghadapi bencana Gempa
Mempraktekkan bagaimana cara menyelamatkan diri ketika terjadi bencana dengan waktu mendadak.
Membuat Aturan ketika ancaman datang, Menerapkan dalam praktek
49
2. Edukasi PRB berbasis kebutuhan masyarakat per Kring (Cluster Padukuhan) di Mulyodadi.
Tabel 5.2
Edukasi warga desa per Kring
Target Edukasi Tema Edukasi Catatan
Kring I (Padukuhan Kraton, Wonodoro, Mejing)
Cara‐cara praktis melakukan Pertolongan Pertama (PPPK)
Penyuluhan dilakukan oleh PMI
Kring II (Padukuhan Kraton, Destan, Bregan)
Standard SPHERE Tidak mudah mensosialisasikan Standard SPHERE kepada masyarakat. Kesimpulannya, harus ada penyesuaian dengan kemampuan masyarakat setempat.
Kring III (Padukuhan Plumutan, Tulasan, Cangkring, Jomblang)
Perubahan iklim bagi pertanian.
Sambutan masyarakat sangat baik, mengingat salah satu ancaman yang dihadapi adalah kekeringan irigasi.
Kring IV (Padukuhan Ngambah, Warungpring)
Pemadaman kebakaran Teori dan simulasi penggunaan APAR, langsung dari Pemadam Kebakaran
Ibu‐ibu PKK Desa Penyuluhan dasar‐dasar manajemen bencana
Masyarakat belum memahami logika program PRBBK
C. Edukasi PRB untuk Wanita di Wonolelo
Edukasi bagi wanita ini merupakan kelanjutan dari koordinasi yang telah dilakukan dalam rangka mempersiapkan edukasi bagi anak – anak dengan kesepakatan mengadakan kegiatan nonton film kebencanaan sebelum ditayangkan kepada anak – anak. Kemasan kegiatannya dalam bentuk diskusi dan mengulas film yang ditayangkan dengan urutan sebagai berikut : 1) Kegiatan diawali dengan penyampaian pemahaman mengenai Ancaman, Kerentanan
dan Kapasitas. 2) Selanjutnya penayangan mengenai film kebencanaan. Pada setiap satu bencana
dilakukan ulasan yang langsung dipandu dari peserta secara bergantian. Ulasan yang diberikan berkaitan dengan jenis, penyebab, pencegahan, penanganan pada setiap bencana.
3) Terakhir mengingatkan kembali mengenai Ancaman, Kerentanan dan Kapasitas dengan mengambil contoh dari film yang ditayangkan.
D. Edukasi Masyarakat via Video Komunitas
Video Komunitas sesungguhnya adalah sarana strategis untuk PRA (Participatory Rural Appraisal). Pembuatan video komunitas ini dilakukan dengan mengangkat potensi dan masalah komunitas itu sendiri, untuk tujuan‐tujuan strategis, seperti advokasi, promosi potensi, penelitian partisipatoris.
50
Pembelajaran Video Komunitas Wonolelo Salah Satu Metode Advokasi PRBBK Desa
Oleh: Fikka Octora Putri (Fasilitator Video Komunitas)
Gambar 5.3.
Ibu‐ibu Mengikuti Pelatihan Video Komunitas di Wonolelo
Video komunitas menjadi salah satu kegiatan selama setahun terakhir pelaksanaan program Desa Tangguh oleh YP2SU di desa Wonolelo dan Mulyodadi, Bantul. Dalam proses kegiatan video komunitas masyarakat terlibat aktif dalam keseluruhan proses dari awal hingga akhir, mulai dari penentuan ide cerita hingga proses editing. Selain itu kegiatan ini lebih mementingkan pada proses yang dilalui oleh masyarakat dalam proses pembuatan videonya bukan pada hasil video itu sendiri sebagai suatu karya. Dalam proses pembuatannya tidak selalu mengharuskan ada naskah (script) yang ditulis berdasarkan kaidah‐kaidah baku profesional, warga masyarakat lebih berpedoman pada gagasan umum yang mereka sepakati bersama‐sama. Memang, mereka menyusun “naskah” tapi hanya dalam bentuk “naskah garis besar” (outline script ) saja atau “papan cerita” (story board) sederhana saja, itupun menurut cara dan gaya mereka sendiri. Selain itu diharapkan bahwa kegiatan video komunitas ini tidak berakhir setelah proses editing selesai dan dihasilkan sebuah video komunitas, tetapi justru kegiatan sesungguhnya baru dimulai ketika video selesai dibuat. Video tersebut digunakan sebagai media untuk berbagai
51
tujuan, dalam hal ini sebagai media edukasi, kampanye dan advokasi berdasarkan tujuan awal ketika menentukan ide cerita. Oleh sebab itu biasanya memerlukan waktu lebih lama, karena akan berhenti jika sasaran sudah dicapai. Bahkan karena masalah dan kegiatan komunitas tidak pernah ada habisnya maka video komunitas bahkan mungkin tidak pernah selesai. Secara garis besar proses pembuatan video komunitas di desa Wonolelo dan Mulyodadi dibagi menjadi tiga tahap, yaitu tahap pra produksi, produksi dan pasca produksi. Kegiatan video komunitas di Desa Mulyodadi dan Wonolelo diikuti oleh pemuda dan pemudi; di desa Wonolelo ada 9 orang, 4 perempuan dan 5 laki‐laki, sedangkan di desa Mulyodadi ada 9 orang terdiri dari 2 perempuan dan 7 laki‐laki. Kegiatan video komunitas dilakukan setiap seminggu sekali di masing‐masing desa. Untuk mendukung kegiatan dalam video komunitas, anggota video komunitas dibekali dengan teori‐teori dasar yang aplikatif tentang gambaran umum proses pembuatan video komunitas yang difasilitasi oleh YP2SU dalam beberapa kali pertemuan pelatihan serta dilengkapi dengan peralatan berupa 2 handycam 2 tripod, dan 2 kamera. Tema yang diangkat dalam proses pembuatan video komunitas ini adalah tentang permasalahan sosial yang ada di dua desa yang dikhawatirkan akan menimbulkan masalah dan dampak sosial yang lebih buruk di masa mendatang. Proses dalam penentuan fokus tema ditentukan oleh anggota video komunitas dan difasilitasi dari YP2SU. Untuk desa Wonolelo mengangkat tentang permasalahan telehong sapi, sedangkan desa Mulyodadi tentang permasalahan anak putus sekolah. Selanjutnya video yang mereka hasilkan akan digunakan dalam kegiatan edukasi warga.
1. Deskripsi Kegiatan
Kegiatan video komunitas yang diadakan oleh YP2SU bermaksud untuk memberikan alternatif cara bagi masyarakat dalam menyampaikan gagasan, pendapat, pemikiran tentang potensi dan masalah yang ada di desa mereka untuk kemudian dituangkan menjadi sebuah media membangun gerakan advokasi. Dengan media video (audiovisual) gagasan mereka dapat diketahui oleh banyak orang sehingga proses edukasi, kampanye dan advokasi menjadi satu bagian dalam kegiatan video komunitas ini. Kegiatan video komunitas ini berlangsung dari bulan Februari hingga Desember 2010. Pertemuan dilakukan setiap seminggu sekali di rumah warga yang akhirnya menjadi basecamp untuk kegiatan video komunitas selanjutnya. Warga yang terllibat dalam kegiatan video komunitas ini sebagian besar adalah anak‐anak muda. Mereka terlibat aktif mulai dari awal hingga akhir kegiatan. Dalam pelaksanaan kegiatan di lapangan cukup fleksibel karena menyesuaikan dengan berbagai kondisi dan dinamika yang ada di masyarakat. Bagi beberapa warga yang terlibat dalam kegiatan ini, video komunitas merupakan sesuatu yang baru dan belum banyak mereka ketahui. Untuk itu diadakan beberapa kali pertemuan untuk membekali warga dengan teori‐teori dasar dan gambaran umum tentang proses pembuatan video. Dalam pertemuan tersebut disampaikan tentang bagaimana mengeksplorasi ide dan melakukan riset untuk pendalaman ide, penulisan naskah, penyutradaraan dan sinematografi, manajemen produksi dan proses editing. Salah satu kegiatan dalam video komunitas ini adalah melakukan transek atau susur desa dengan tujuan untukmengetahui lebih jauh tentang kondisi desa mereka sekaligus melakukan riset untuk menentukan ide cerita apa yang akan mereka fokuskan dalam pembuatan video
52
nanti. Selain itu, warga juga berkesempatan untuk mencoba melakukan pengambilan gambar sebagaimana teori yang sudah disampaikan dalam pertemuan. Dalam tahap pra produksi warga menentukan ide cerita. Desa Wonolelo mengangkat ide tentang permasalahan telethong sapi sedangkan desa Mulyodadi mengangkat ide tentang anak putus sekolah. Dalam proses penentuan ide, warga membuat daftar tentang permasalahan yang ada disekitar mereka selanjutnya dilakukan brainstorming ide untuk menganalisis sejauh apa kemungkinan ide mereka bisa direalisasikan, siapa segmentasi video mereka serta apa pesan yang ingin mereka sampaikan. Selanjutnya warga menentukan alur cerita, membuat sinopsis cerita, naskah garis besar (outline script) dan melakukan pembagian tugas siapa yang menjadi sutradara, penulis naskah, pewawancara, dan kameramen. Pengambilan gambar dalam tahap produksi dilakukan warga selama beberapa hari. Dilakukan wawancara dengan pemerintah desa, tokoh masyarakat dan warga yang berhubungan dengan ide cerita yang diangkat. Dalam tahap inilah terlihat adanya dukungan dan peran serta dari para stakeholder untuk mendukung kegiatan video komunitas yang sebagian besar diikuti oleh anak‐anak muda ini. Selain itu warga yang diwawancarai juga cukup antusias untuk menjawab pertanyaan dan menjabarkan masalah yang selama ini mereka rasakan, misalnya seorang ibu‐ibu dari dusun Ploso desa Wonolelo terlihat begitu semangat menceritakan apa masalah yang dia rasakan selama ini tentang kandang sapi tetangga sebelah yang berada di dekat rumahnya yang seringkali menimbulkan bau yang tidak sedap sehingga mengganggu kenyamanan. Dari proses ini secara tidak langsung media video memberikan ruang bagi mereka yang selama ini suaranya jarang didengar termasuk kaum perempuan untuk menyampaikan pendapat mereka. Tidak jarang pula dalam proses pengambilan gambar dan wawancara ditemukan kesulitan seperti kondisi cuaca yang tidak mendukung, warga yang tiba‐tiba tidak bersedia diwawancara sehingga harus dilakukan penundaan pengambilan gambar, dan kesulitan dalam melakukan framing. Dalam proses pengambilan gambar warga berpedoman pada naskah dan outline yang sudah mereka buat. Setelah proses pengambilan gambar dan wawancara selesai selanjutnya warga melakukan proses editing selama beberapa minggu dan mengalami beberapa kali revisi. Untuk desa Wonolelo, warga membuat backsound sendiri. Selanjutnya video yang berhasil dibuat warga kemudian digunakan sebagai media edukasi sekaligus kampenye ke masyarakat, misalnya di Wonolelo karena ide yang diangkat adalah tentang teletong (kotoran sapi), maka video ini digunakan sebagai edukasi ke peternak‐peternak kecil tentang bagaimana pengelolaan kotoran sapi menjadi kompos dan biogas, sekaligus kampanye untuk mengajak warga agar dapat mengelola kotoran sapi dengan cara yang lebih baik dan dapat memanfaatkan kotoran sapi sebagai energi alternatif yaitu biogas. Sebagai salah satu apresiasi terhadap warga yang telah terlibat aktif dalam proses pembuatan video komunitas, maka diadakan Launching Video Komunitas. Kegiatan ini juga untuk menginformasikan tentang keberadaan komunitas video yang ada di desa mereka sekaligus menampilkan karya yang telah mereka buat yang mengangkat cerita tentang desa mereka. Para warga yang terlibat dalam kegiatan video komunitas, mengikuti keseluruhan proses secara aktif dari awal hingga akhir. Bagi pemuda dan pemudi yang terlibat dalam kegiatan video komunitas ini mengakui bahwa kegiatan ini bermanfaat baik bagi diri mereka sendiri maupun bagi masyarakat. Bagi sebagian warga yang terlibat dalam kegiatan video komunitas
53
diakui bahwa selama ini tidak banyak kegiatan positif yang mereka lakukan terutama untuk desa mereka.
2. Isu Lintas Sektoral
Kegiatan video komunitas diikuti oleh anak‐anak muda yang ada di desa Wonolelo dan Mulyodadi. Kaum perempuan pun ikut terlibat aktif dalam kegiatan ini, mulai dari awal hingga akhir proses. Kaum perempuan yang terlibat terdiri dari kaum ibu‐ibu maupun remaja putri. Mereka antusias dalam mengikuti proses pembuatan video komunitas ini, terkadang, para ibu‐ibu tersebut membawa anak‐anak mereka dan mengikuti kegiatan video komunitas di sela‐sela kesibukan mereka sebagai seorang ibu, istri maupun masyarakat. Selain itu peran perempuan juga terlihat dari tokoh‐tokoh yang dipilih warga untuk diwawancarai. Di desa Wonolelo, tokoh yang diwawancara adalah ibu‐ibu yang merasa terganggu dengan bau kotoran sapi. Melalui video mereka diberi ruang untuk menyampaikan pendapat, keluh kesah yang mereka rasakan. Demikian pula di desa Mulyodadi, seorang ibu menyampaikan tentang keinginannya agar anaknya yang putus sekolah mau sekolah lagi. Dengan adanya ruang publik yang diberikan untuk kaum perempuan mulai dari keterlibatan mereka dalam proses pembuatan hingga menjadi tokoh dalam cerita, harapannya dapat mengubah paradigma yang mungkin ada di masyrakat tentang apa yang perempuan bisa lakukan. Selain itu dapat menginpirasi kaum perempuan lain untuk mau dan berani mengungkapkan gagasan mereka sesuai dengan peran mereka di masyarakat. Limbah ternak berupa kotoran ternak, air kencing, maupun yang lainnya termasuk salah satu penyumbang global warming yang tinggi. Pembuangan limbah ternak yang dilakukan secara sembarangan seperti dialiran sungai tidak saja menimbulkan polusi air tapi juga memicu efek rumah kaca. Dengan adanya inisiatif beberapa warga peternak dan pemilik kandang sapi untuk mengolah kotoran sapi menjadi biogas, dapat mengurangi efek rumah kaca. Kegiatan video komunitas juga menjadi bagian untuk mensosialisasikan cara‐cara pengolahan limbah peternakan yang ramah lingkungan melalui pembuatan biogas, disamping dapat membantu mengurangi pencemaran lingkungan, dan secara tidak langsung membantu peningkatan status ekonomi peternak kecil karena mampu menghasilkan produk sampingan dari hasil sampingan mereka beternak berupa biogas dan kompos. Sedangkan untuk pembuatan video komunitas di Desa Mulyodadi yang mengangkat tema tentang anak putus sekolah, mencoba untuk menyampaikan bahwa salah satu penyebab anak putus sekolah di desa Mulyodadi adalah karena permasalahan ekonomi dimana orang tua tidak mampu membiayai pendidikan. Harapannya melalui video ini dapat menjadi media untuk membantu menyelesaikan permasalahan tersebut, karena salah satunya video ini menceritakan tentang bagaimana usaha anak‐anak yang putus sekolah untuk tetap dapat bekerja dengan keahlian yang mereka peroleh dari mengikuti pelatihan baik secara formal dan non formal.
3. Hasil dan Dampak
Kegiatan video komunitas di desa Wonolelo dan Mulyodadi sebagian besar diikuti oleh anak‐anak muda. Sebagian dari mereka adalah anak‐anak muda yang aktif dalam kegiatan dan organisasi yang ada di desa, tapi ada juga yang selama ini tidak pernah aktif. Dengan adanya
54
kegiatan video komunitas dapat menjadi alternatif kegiatan bermanfaat yang bisa diikuti oleh anak‐anak muda di desa. Melalui kegiatan transek, riset, dan pengambilan gambar yang ada dalam kegiatan video komunitas, mendorong anggota video komunitas yang juga warga desa setempat untuk mengetahui dan mengenal lebih jauh tentang potensi dan permasalahan yang ada di desa mereka. Video komunitas yang dibuat oleh warga desa Wonolelo menceritakan tentang kotoran sapi yang selama ini menjadi masalah karena sistem pengelolaan kotoran sapi yang belum baik, tetapi ada sebagian warga yang telah mengolah kotoran sapi menjadi kompos dan biogas. Melalui video ini dapat tersampaikan permasalahan yang selama ini dirasakan warga sekaligus memberikan informasi tentang warga yang telah membuat biogas dan pupuk kompos yang kemungkinan besar dapat dilakukan oleh warga yang lain. Kegiatan ini pun juga mendapat dukungan dari lurah dan tokoh masyarakat desa Wonolelo. Ketika video ini diputar dalam kegiatan edukasi ke petani dan peternak di desa Wonolelo mendapat dukungan dan respon positif dari Dinas Pertanian Kabupaten Bantul yang diundang sebagai pembicara. Untuk desa Mulyodadi, ada sebuah kesadaran bahwa keberadaan anak‐anak yang putus sekolah menjadi PR bersama masyarakat dan pemerintah desa untuk memberikan alternatif pendidikan dan keterampilan yang bisa menjadi bekal bagi mereka.
4. Pembelajaran
Gambar 5.4. Proses Pembuatan Video Komunitas Wonolelo
55
Kegiatan video komunitas ini bisa berjalan dengan baik hingga akhir program didukung dengan adanya antusias dari warga untuk mengikuti keseluruhan proses dari awal hingga akhir. Hal ini didorong oleh kesadaran warga untuk memanfaatkan media audiovisual sebagai alat untuk menyampaikan pesan, pendapat dan gagasan. Serta adanya keinginan warga untuk menjadi bagian dari solusi atas permasalahan yang ada di desa mereka. Disamping itu adanya dukungan dari masyarakat dan stakeholder sehingga proses pembuatan video ini dapat selesai. Selain itu dengan perkembangan teknologi saat ini, membuat video bukan menjadi sesuatu yang sulit untuk warga desa. Mereka bisa melakukan dan menyelesaikan pembuatan video disela‐sela kesibukan dan aktivitas rutin. Prosesnya pun tidak sulit untuk diikuti warga mulai dari pra produksi hingga proses editing. Hanya saja warga perlu untuk mencari referensi lebih banyak tentang film seperti bagaimana mengemas isu dan ide cerita, bagaimana membuat alur cerita yang menarik, bagaimana cara pengambilan gambar yang tidak monoton, dan lain‐lain sehingga video yang dihasilkan dapat lebih “kuat” dari segi isi dan menarik dari segi cerita dan pengambilan gambar. Referensi bisa diperoleh dengan menonton lebih banyak film, berdiskusi,menghadiri seminar dan festival‐festival film. Di Wonolelo, atas inisiatif warga ada kemungkinan besar kegiatan video komunitas akan berlanjut. Untuk itu kegiatan seperti diskusi film dapat menjadi salah satu cara untuk terus menghidupkan semangat dan ketertarikan akan dunia audiovisual disamping terus mengasah kepekaan warga terhadap kondisi sosial ekonomi lingkungan budaya atau apapun yang ada disekitar lingkungan mereka. Ke depan perlu adanya dukungan lebih dari masyarakat dan pemerintah desa setempat untuk mempertahankan dan mengembangkan komunitas video yang sudah ada ini, karena disamping bisa menambah kegiatan yang positif di desa juga bermanfaat bagi kemajuan desa.
Potensi replikasi
Kegiatan video komunitas sangat mungkin untuk direplikasikan oleh pihak lain di lokasi yang lain, karena proses pembuatan video komunitas saat ini sangat mudah dan masyarakat juga tidak asing lagi dengan kegiatan ini. Hal ini juga didukung dengan iklim demokrasi yang ada di negeri kita. Dengan kemudahan akses informasi melalui jaringan internet, masyarakat juga dimudahkan untuk mencari referensi terkait isu yang mereka angkat dalam pembuatan video komunitas, termasuk bagaimana teknis pembuatan video serta dapat dengan mudah pula mempublishkan karya video mereka melalui situs jaringan sosial. Yang penting adalah bagaimana memahamkan masyarakat bahwa media audiovisual dapat menjadi alat yang sangat efektif untuk menyampaikan pendapat dan gagasan mereka tentang apapun yang mereka lihat, rasakan. Media ini dapat menjadi alat edukasi, kampanye sekaligus advokasi yang bermanfaat bagi kemajuan desa mereka. Melalui media ini dapat pula membangun jaringan dengan desa lain yang mempunyai kegiatan yang sama sehingga dapat saling bertukar informasi dan pengalaman. Selain itu hal lain yang penting adalah bagaimana mengajak warga untuk mau mencermati dan menumbuhkan sense of crisis terhadap kondisi yang ada disekitar mereka. Pada akhirnya warga dapat menemukan sendiri cara mereka dalam menyampaikan ide melalui media audiovisual dan hal ini tetap memerlukan dukungan berupa pengetahuan tentang
56
proses pembuatan video secara umum termasuk dukungan berupa peralatan yang diperlukan untuk pembuatan video komunitas.
5. Area‐Area Tantangan
Dalam pelaksanaan edukasi masyarakat di kedua desa, Tim Program menemukan tantangan dan hambatan lapangan. Beberapa hambatan yang ditemukan antara lain:
a. Memahamkan masyarakat akan hal‐hal yang bersifat konseptual (regulasi, konsep PRB) ternyata bukan hal yang mudah. Dalam pengalaman di kedua desa, proses memahamkan hal ini selalu bergesekan dengan keinginan masyarakat untuk segera memperoleh hal‐hal yang bersifat praktis, seperti dana hibah 100 juta rupiah, dll;
b. Komitmen untuk melakukan transfer of knowledge dari para warga yang telah teredukasi dalam program. Memang, Deklarasi Mulyodadi untuk masyarakat tangguh telah ditandatangani, tetapi, bagaimana mengawal komitmen inilah yang menjadi titik masalah yang harus selalu dikawal oleh pemerintah, masyarakat, dan semua elemen penyelenggara program;
57
58
BAB VI
SLAMET RAHARJO:
MEMBANGUN PENGHIDUPAN BERKELANJUTAN UNTUK MASYARAKAT
A. Deskripsi
Salah satu persoalan yang melekat pada bencana adalah masalah penghidupan/ mata pencaharian masyarakat. Logikanya sederhana, manusia tidak hanya memerlukan keselamatan dari ancaman bencana, tetapi, manusia juga memerlukan asset ekonomi untuk mendukung kehidupannya, atau dalam bahasa jawa, diwujudkan dalam akronim “SLAMET” dan “RAHARJO”. “SLAMET” artinya “selamat”, mengandung arti harapan untuk teredamnya ancaman bencana, terkuranginya kerentanan/kerawanan masyarakat, dan terbangun serta terpeliharanya kapasitas masyarakat, demi terbentuknya masyarakat yang tangguh dan tanggap terhadap terhadap bencana. “RAHARJO” artinya “makmur/sejahtera”, mengandung arti harapan bagi masyarakat untuk hidup berkecukupan, dengan keterjangkauan terhadap akses ekonomi yang berkualitas dan membangun.
Gambar 6.1.
Para Peserta Pelatihan LKM YP2SU
59
Untuk itulah, dalam Program Desa Tangguh ini, diinisiasi aktivitas‐aktivitas untuk membangun sistem penghidupan berkelanjutan, dengan cara melakukan sinergisasi elemen‐elemen penghidupan masyarakat desa lokasi program, baik berupa program pemberdayaan (seperti KUBE, BKM, dll), maupun lembaga usaha (koperasi, UMKM, LKM, dll). Hal ini untuk menyikapi kecenderungan di masyarakat desa lokasi program, bahwa program pemberdayaan ekonomi untuk meningkatkan kemampuan dalam mengelola dan mengembangkan sumber‐sumber daya dalam masyarakat sering tidak sinergis atau berjalan sendiri, sehingga kurang efektif, dan kurang mendukung keberlanjutan pemberdayaan ekonomi tersebut di masyarakat.
Tabel 6.1.
Rincian Aktivitas Livelihood Desa Tangguh
Tahap Rincian Aktivitas Tujuan
Tahap I Assessment Kapasitas Ekonomi Masyarakat
Pemetaan asset masyarakat yang dapat mendukung penghidupan yang berkelanjutan, dengan metode pentagonal asset. Adapun, pentagonal asset yang dilakukan berbasis desa.
Titik tolak pengorganisasian amtar elemen pendukung utama mata pencaharian masyarakat.
Tahap II Edukasi sektoral
‐ Clustering beneficiaries, Sektor LKM dan Sektor UKM;
‐ Pelatihan untuk UKM ‐ Pelatihan untuk LKM
Memperkuat kapasitas ekonomi LKM dan UKM desa rawan bencana, termasuk strategi perlindungan asset untuk masyarakat rawan bencana.
Tahap III Penguatan berbasis cluster
‐ Penyatuan cluster LKM dan UKM dalam forum pengembangan ekonomi desa;
‐ Diskusi cluster, dengan tema pengorganisasian komunitas, pendalaman rencana tindak lanjut cluster terkait dengan pelatihan yang dilakukan dalam edukasi sektoral, menjalin komunikasi antar pihak, dll.
Memperkuat cluster LKM dan UKM, sebagai tindak lanjut pasca pelatihan LKM dan UKM.
Tahap IV Temu Usaha
‐ Penilaian produk LKM dan UKM oleh akademisi/praktisi dari Forum PEL Bantul (Agung Wicaksono);
‐ Sharing tentang produk masing‐masing; ‐ Dialog dengan SKPD terkait (Kantor
Pemberdayaan Masyarakat Desa, Dinas Pertanian dan Kehutanan, Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksana Penyuluhan, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, BAPPEDA Kabupaten Bantul);
‐ Perumusan Rekomendasi Bersama semua pihak untuk pengembangan ekonomi pedesaan Kabupaten Bantul.
Tukar pengalaman (sharing) bisnis/usaha
Memberikan pemahaman tentang pemasaran
Membangun jaringan usaha (bisnis)
Membangun kesadaran tentang Sustainability Livelihod
Terbangun tim yang mensinergiskan program‐program pemberdayaan ekonomi masyarakat.
mensinergikan kebijakan pemerintah dengan kegiatan ekonomi masyarakat
60
Dalam penutupan program ini, dihasilkan beberapa butir rekomendasi untuk semua aktor pengembangan livelihood sebagai berikut:
Tabel 6.2.
Rekomendasi Pengembangan Livelihood Aktor
Rekomendasi untuk UKM Rekomendasi untuk LKM Rekomendasi untuk
PEMDA/FORUM PEL BANTUL
‐ Diversifikasi produk; ‐ Profesionalisme Bisnis; ‐ Akses program lele ke
Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi;
‐ Pengembangan Jaringan usaha;
‐ Peningkatan dan pemeliharaan motivasi entrepreneurship;
‐ Strategi Branding dengan nama lokal (Misal: KoSela‐soKO SELOpamioro)
‐ Pengembangan Lembaga Keuangan perempuan;
‐ Pengembangan Jaringan usaha;
‐ Strategi/Manajemen Pengelolaan LKM yang memadai;
‐ Kenali perilaku pengguna pinjaman (misalnya untuk Pasuruan, secara spiritual‐kearifan lokal)
‐ Bantuan modal financial; ‐ Bantuan akses dan info
program dan anggaran (Mis. Bantuan Promosi via Bantul AgroExpo, Trade Expo Indonesia, dll);
‐ Adanya Bansos LKM; ‐ Fasilitasi Kelembagaan
Usaha (Badan Hukum); ‐ Koordinasi sinergi
pengembangan UKM dan LKM
B. Area‐Area Tantangan:
1. Akses modal financial yang terbatas, karena selama ini akses modal tersebut hanya dimiliki oleh kelompok‐kelompok usaha menengah/besar karena masalah agunan;
2. Manajemen internal yang masih memerlukan pembenahan; 3. Persoalan regulasi, kebijakan, program, dan anggaran dari pemerintah untuk
program pemberdayaan ekonomi masyarakat berorientasi pasar masih menjadi perhatian dari seluruh stakeholders.
Dalam pelaksanaan program Livelihood ini, YP2SU melibatkan Koperasi GEMI sebagai narasumber dan fasilitator program. Koperasi GEMI adalah lembaga keuangan mikro (LKM) di Daerah Istimewa Yogyakarta, yang berdiri tahun 2004, dan sampai tahun 2010 beroperasi di 3 (tiga) kabupaten/kota, yakni Kota Yogyakarta, Kabupaten Bantul, dan Kabupaten Gunungkidul. Lingkup kerja lembaga ini adalah pendampingan bagi perempuan pengusaha mikro di ketiga Kabupaten tersebut.
PEMBELAJARAN: PERAN KOPERASI GEMI BAGI KEBERLANJUTAN USAHA PEREMPUAN PENGUSAHA MIKRO DI DAERAH RAWAN
BENCANA Oleh: Ekantini PB & Rarasati Mawftiq (Koperasi GEMI)
Secara umum industri keuangan mikro modern telah mencapai kemajuan yang luar biasa dalam hal pelayanan dan keanekaragaman produk yang ditampilkan. Keuangan mikro telah dimanfaatkan oleh puluhan juta orang terutama pengusaha mikro dengan pendapatan < Rp 1.000.000,00 untuk mendukung kegiatan produktif mereka. Hampir 50% dari pengusaha mikro di Indonesia didominasi oleh perempuan dimana keuntungan usaha mikro yang dijalankan umumnya tidak memberikan hasil dalam bentuk pemupukan modal, karena biasanya
61
keuntungan tersebut habis untuk kebutuhan pokok, pembiayaan kesehatan keluarga, kebutuhan sosial dan kebutuhan harian lainnya.
Meskipun secara nyata, perempuan pengusaha mikro memberikan kontribusi terhadap pendapatan keluarga, tetapi kemampuan dan peluang akses kaum perempuan pada lembaga keuangan seperti bank masih dirasakan kurang berpihak. Oleh karena itu, terobosan untuk membuka peluang akses bagi perempuan pengusaha mikro ini saat ini dilakukan oleh banyak Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang secara procedural lebih mampu memahami kebutuhan dan keadaan para perempuan pengusaha mikro ini. Persyaratan mudah, kecepatan layanan, tanggung renteng (jaminan moral), bahkan LKM mampu melakukan kegiatan pendampingan dan penguatan usaha, contohnya pelatihan, fasilitasi akses pasar, dsb.
Dalam LKM, ada beberapa alasan mendasar mengapa perempuan pengusaha mikro menjadi target utama:
1. Bahwa selama ini, akses perkreditan yang diberikan kepada perempuan pengusaha mikro masih relatif sedikit.
2. Kredit kepada perempuan miskin, memberikan kesempatan kepada mereka untuk membuktikan kemampuan dan kreativitasnya dalam mendukung perekonomian rumah tangga.
3. Perempuan lebih bertanggung jawab dalam penggunaan uang pinjaman. Apabila memperoleh pendapatan lebih, maka perempuan akan lebih memperhatikan keluarga, terutama untuk kepentingan anak‐anaknya.
Salah satu LKM yang fokus terhadap layanan jasa keuangan dan pemberdayaan anggotanya adalah GEMI (Gerakan Ekonomi Kaum Ibu). GEMI adalah LKM yang menggunakan metode pengorganisasian kelompok model grameen bank, dengan sistem layanan jasa keuangan pola syariah. GEMI mengkhususkan anggotanya pada perempuan pengusaha mikro, terutama dalam kategori dhu’afa (the poorest).
Didirikan tahun 2004 oleh LSM YP2SU yang pada awalnya adalah Program yang dikembangkan para aktivis yang fokus dalam pemberdayaan ekonomi rakyat. Dalam perkembangannya GEMI secara formal menjadi berbadan hukum koperasi sejak Oktober 2006.
Koperasi GEMI, sempat mengami gangguan usaha pada waktu gempa bumi di DIY, 27 Mei 2006. Dimana 80% kegiatan usaha bersama anggota mengalami kemacetan, karena para anggota GEMI terkena dampak langsung dari gempa bumi tersebut (Seperti: Rumah roboh, sakit, cacat, dan beberapa diantaranya meninggal). Namun, dengan ketelatenan, usaha keras dan semangat kebersamaan yang dibangun antara GEMI dan juga anggota yang mengalami musibah gempa bumi tersebut, akhirnya pasca gempa bumi 2006 hingga sekarang, Koperasi GEMI dan anggotanya yang saat ini berjumlah lebih dari 2.000 orang dapat bangkit dan maju bersama dengan baik. Bahkan saat ini bersama‐sama dengan LSM YP2SU mengembangkan program‐program berbasis pengurangan resiko bencana terhadap anggota dan masyarakat sekitarnya.
Segala upaya yang telah GEMI kontribusikan tersebut tidak terlepas dari Visi yang GEMI munculkan sejak awal didirikannya, yaitu Meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan mengurangi angka kemiskinan dengan pemberdayaan perempuan pengusaha mikro. Visi tersebut kemudian tertuang dalam cita‐cita panjang yang lebih riil dan detail, adalah sebagai berikut:
62
1. Meningkatkan pendapatan keluarga kurang mampu.
2. Memperluas akses perempuan kurang mampu terhadap sumberdaya ekonomi.
3. Memperluas akses perempuan kurang mampu terhadap hak‐hak pelayanan publik oleh Negara.
4. Meningkatkan wawasan perempuan kurang mampu menuju kesejahteraan keluarga.
5. Meningkatkan kemampuan perempuan kurang mampu dalam mempengaruhi kebijakan publik.
6. Membangun jaringan dan memperluas kemitraan dengan pihak‐pihak yang mendukung GEMI.
Seperti tersebut diatas, saat ini GEMI memiliki jumlah anggota lebih dari 2.000 orang yang tersebar di kota Yogyakarta, kabupaten Bantul dan Gunungkidul. GEMI dalam pengabdiannya selain berkonsentrasi pada pemberian kredit mikro juga memiliki unit layanan dalam hal Pendampingan Usaha Berorientasi Pasar (PUSPA) dan juga Edukasi. GEMI bekerjasama dengan mitra (pemerintah maupun swasta) kerapkali melakukan berbagai macam pendampingan yang bersifat usaha dan non‐usaha berupa pendidikan, pelatihan maupun pameran dagang bagi anggota.
Apa kata mereka tentang GEMI :
Ponirah (52 tahun, warung kelontong, bergabung sejak 2004)
“ Sebelum bergabung dengan GEMI, saya pedagang sayur keliling. Setelah satu tahun menjadi anggota GEMI, kehidupan saya semakin membaik dan saya mampu membuka warung kelontong di rumah, dengan modal dari GEMI. Dari usaha warung kelontong ini saya mampu menyekolahkan anak‐anak sampai lulus SMA. Terima kasih GEMI.’
Ari (33 tahun, pedagang pulsa Hand phone, bergabung sejak 2005)
“Sebelum bergabung dengan GEMI saya bekerja sebagai buruh lepas, kadang ada pekerjaan, kadang tidak. Kehidupan kami sangat tergantung suami saya yang bekerja sebagai buruh di toko kacamata. Setelah bergabung dengan GEMI saya membuka usaha penjualan pulsa. Alhamdulillah, dengan usaha ini saya bisa membantu suami mencukupi kebutuhan rumah tangga”.
63
Gambar 6.2.
Rarasati Mawftiq, fasilitator Kegiatan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat
64
65
BAB VII
PELEMBAGAAN DAN LEGALISASI
DESA TANGGUH
Pelembagaan dan legalisasi PRBBK diperlukan sebagai salah satu upaya keberlanjutan program di level desa. Ada beberapa pertimbangan yang mendasari pemilihan jalur legalisasi sebagai keberlanjutan program Desa Tangguh 2010, yakni:
A. Memberikan support moral kepada masyarakat yang terlibat dalam analisis risiko dan perencanaan Penanggulangan Bencana, dan mendorong pembudayaan partisipasi masyarakat dalam pembangunan.
B. Dukungan politis dari penentu kebijakan di level desa sangat diperlukan sebagai dasar komitmen untuk adanya program dan anggaran penanggulangan bencana desa dari pemerintah.
C. Legalisasi memberikan legitimasi bagi aktor‐aktor penanggulangan bencana desa untuk melakukan mobilisasi sumber daya dari semua stake holders, baik pemerintah maupun non pemerintah.
D. Legalisasi PRBBK memberikan landasan yuridis untuk integrasi PRBBK ke dalam perencanaan pembangunan pemerintah maupun non pemerintah.
E. Menjamin terpelihara dan terkembangkannya modal social kegotongroyongan dalam masyarakat rentan.
F. Memberikan wadah untuk isu lintas sektoral dalam penanggulangan bencana di level desa.
Pertimbangan‐pertimbangan di atas berlaku kepada seluruh aspek PRBBK yang dilegalkan, mulai dari aspek pra bencana, saat tanggap darurat, sampai pasca bencana.
Dalam pelembagaan dan legalisasi Desa Tangguh dilakukan dengan beberapa langkah di bawah ini:
A. Penyusunan Dokumen Peraturan Desa (Perdes) Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) Desa
B. Pembentukan Forum Pengurangan Risiko Bencana (Forum PRB Desa) C. Penyusunan Rencana Aksi Komunitas (RAK) Desa untuk Pengurangan Risiko Bencana D. Penyusunan Rencana Kontinjensi Bencana Prioritas E. Memasukkan substansi kebencanaan ke dalam sistem perencanaan pembangunan
desa.
66
Secara umum, kelima langkah di atas adalah deretan langkah yang saling mendukung satu sama lain, membentuk sebuah sistem legalitas penanggulangan bencana, dengan deskripsi di bawah ini.
A. Dokumen RPB merupakan dokumen induk yang di dalamnya mengatur eksistensi Forum Pengurangan Risiko Bencana Desa beserta perencanaan lain yang merupakan turunannya, baik rencana pra bencana (Rencana Aksi Komunitas untuk Pengurangan Risiko Bencana, Rencana Kontinjensi Bencana Prioritas), rencana operasi tanggap darurat, maupun rencana pasca bencana (Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi).
B. Forum PRB Desa, sebagai actor kunci/leading sector penanggulangan bencana desa bertanggungjawab mengawal seluruh regulasi PRBBK, termasuk perencanaan di atas.
C. Sebagai instrumen perencanaan resmi pemerintah, semua legalisasi tersebut berpengaruh terhadap sistem perencanaan pemerintah maupun non‐pemerintah yang ada di desa. Salah satu wujud konkretnya adalah adanya peluang untuk memasukkan substansi kebencanaan ke dalam RPJM Desa/RKP Desa, dan ada butir anggaran dalam APBDesa.
Bab 7.1.
Musyawarah untuk pelembagaan PRBBK desa di Wonolelo
Dalam Program Desa Tangguh 2010 di Desa Mulyodadi dan Desa Wonolelo, pelaksanaan legalisasi PRBBK desa boleh dikatakan mengandalkan kreativitas dan daya inovasi, disebabkan karena 2 (dua) faktor, yaitu:
A. Secara umum, belum ada peraturan/pedoman legalisasi PRBBK di level desa. B. Ada dukungan moral dari pemerintah untuk melakukan inovasi legalisasi PRBBK di
level desa.
Untuk itulah, Tim Program Desa Tangguh menggunakan peraturan‐peraturan yang mendukung legalisasi penanggulangan bencana desa, yang terbagi ke dalam beberapa segmen, yang tersebut dalam tabel di bawah ini:
67
Tabel 7.1. Dasar Hukum Legalisasi Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Desa hasil Pembelajaran Program Desa Tangguh
LEVEL TEMA
PUSAT DAERAH/KABUPATEN DESA
a.Dasar Konstitusional dan filosofis
‐ Undang‐Undang Dasar RI Tahun 1945 ‐ Undang‐Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
‐ ‐
b.Pemerintahan Daerah dan Desa
‐ Undang‐Undang Nomor 15 tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah‐Daerah Kabupaten Dalam Lingkungan Daerah Istimewa Yogyakarta; ‐Undang‐Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; ‐ Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa
‐ ‐
c.Sistem Perencanaan Pembangunan
‐ Undang‐Undang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan nasional; ‐Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 66 Tahun 2007 Tentang Perencanaan Pembangunan Desa;
‐ Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Pedoman Perencanaan Pembangunan Desa
‐ Peraturan Desa Mulyodadi Nomor 03 Tahun 2008 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa Mulyodadi tahun 2008 – 2013
d.Asas‐asas umum pemerintahan yang baik
‐ Undang‐Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi; Kolusi Dan Nepotisme
‐ Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 07 Tahun 2005 Tentang Transparansi Dan Partisipasi Publik Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Di Kabupaten Bantul;
‐
e. Penanggulangan Bencana
‐ Undang‐Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana; ‐ Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Penanggulangan
‐ Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Penanggulangan Bencana;
‐
68
Bencana; ‐ Peraturan Kepala BNPB Nomor 4 Tahun 2008 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana;
f.Tatacara Penyusunan Peraturan Desa
‐ Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2007 Tentang Pengesahan Pengundangan Dan Penyebarluasan Peraturan Perundang‐Undangan;
‐ ‐
g.Pengelolaan keuangan daerah dan desa
‐ Undang‐Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara pemerintah Pusat Dengan Pemerintahan Daerah; ‐Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah; ‐Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa;
‐ Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 10 Tahun 2007 Tentang Pokok‐Pokok Pengelolaan Keuangan Daerah Kabupaten Bantul; ‐Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 02 Tahun 2009 Tentang Pokok‐Pokok Pengelolaan Keuangan Desa; ‐ Peraturan Bupati Bantul Nomor 55 Tahun 2009 Tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Desa;
‐
h.Pedoman organisasi pemerintahan desa
‐ ‐ Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 20 tahun 2007 Tentang Pedoman Organisasi Pemerintahan Desa
‐
69
Berdasarkan peraturan‐peraturan di atas, dilakukanlah legalisasi PRBBK, yang mencakup beberapa kegiatan di bawah ini:
A. Penyusunan Dokumen Peraturan Desa (Perdes) Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) Desa
Rencana Penanggulangan Bencana Desa (RPB Desa) merupakan rencana strategis untuk mobilisasi sumber daya dari multistakeholders, baik pemerintah maupun non‐pemerintah, baik dalam lingkup wilayah desa maupun di luar wilayah desa. Konsep RPB Desa ini sebenarnya adalah adopsi dari konsep RPB menurut Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana. Dalam pasal 6 ayat (4) BNPB, BPBD Provinsi, dan BPBD Kabupaten/Kota di setiap levelnya wajiib menyusun rencana penanggulangan bencana. Menurut pasal 6 ayat (5) rencana penanggulangan bencana tersebut berlaku dalam jangka waktu 5 (lima) tahun. Konsep ini diadopsi di desa, menjadi RPB Desa, berlaku selama 5 (lima) tahun seperti RENAS PB dan RPB Provinsi dan RPB kabupaten/Kota.
RPB Desa Mulyodadi disahkan dengan Peraturan Desa Mulyodadi Nomor 07 Tahun 2010 tentang Rencana Penanggulangan Bencana Desa Mulyodadi Tahun 2010 – 2014. Sedangkan, RPB Desa Wonolelo disahkan dengan Peraturan Desa Wonolelo Nomor 6 Tahun 2010 tentang Rencana Penanggulangan Bencana Desa Wonolelo Tahun 2011 – 2015.
Ada beberapa proyeksi dampak strategis dengan adanya legalisasi RPB Desa ini, yaitu:
1. Menjadi Landasan Yuridis untuk memasukkan isu dan kegiatan PRB ke dalam RPJMDes/RKPDes. Dampak langsung yang dirasakan adalah adanya dana dari pemerintah desa untuk pelaksanaan kegiatan PRB setiap tahunnya.
2. Menjadi Landasan Yuridis untuk menggalang mobilisasi sumber daya, baik swadaya masyarakat, pemerintah, maupun non pemerintah, internal maupun eksternal.
3. Menjadi landasan yuridis untuk penyusunan kebijakan‐kebijakan berwawasan pengurangan risiko bencana desa, sekaligus fungsi control terhadap kebijakan‐kebijakan yang berpotensi menimbulkan kerentanan baru. RPB Desa dilegalkan dengan Peraturan Desa (Perdes). Sehingga, setiap regulasi maupun kebijakan yang telah ada maupun yang akan ada tentang pembangunan desa harus memperhatikan isi dari RPB Desa, agar pengurangan risiko bencana di seluruh wilayah desa dapat ditegakkan.
4. Menjadi landasan yuridis untuk pembuatan regulasi maupun kebijakan kebencanaan desa, baik untuk konteks pra bencana, saat tanggap darurat, maupun pasca bencana.
Untuk menjamin proyeksi dampak strategis tercapai, maka RPB Desa disahkan dalam bentuk Peraturan Desa/ Perdes, karena peraturan desa dipandang sebagai representasi kesepakatan politik antara legislatif dan eksekutif desa mengenai arah pembangunan desa yang akan dicapai. Salah satu point strategis yang dapat dicapai adalah integrasi isu kebencanaan ke dalam RPJM Desa. Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 66 Tahun 2007 pasal 4 ayat (1) jucto Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Pedoman Perencanaan Pembangunan Desa disebutkan bahwa RPJM Desa harus disahkan dalam peraturan desa. Sehingga, untuk memfungsikan RPB Desa sebagai landasan yuridis untuk mengintegrasikan RPB ke dalam RPJMDesa, kedudukan RPB harus disejajarkan dengan RPJM Desa, yakni sama‐sama peraturan desa.
70
Dampak yang diharapkan dapat timbul dari pola pengaturan seperti ini adalah:
Gambar 7.2.
Gambar Skema Alur Perencanaan PRBBK
Keterangan:
1. Keberadaan Peraturan Kepala Desa dalam skema di atas didasarkan kepada eksistensi Peraturan Kepala Desa dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pembentukan dan Mekanisme Penyusunan Peraturan Desa pasal 3. Dalam kasus di Program Desa Tangguh YP2SU, RAK PRB Desa dan RenKon Desa menggunakan Keputusan Lurah Desa, karena harus disesuaikan dengan adat kebiasaan yang berlaku dalam pemerintahan Desa Mulyodadi, yang selama ini tidak pernah menghasilkan atau menggunakan produk hukum berupa Peraturan Kepala Desa.
2. RKP Desa dalam skema di atas didasarkan kepada Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Pedoman Perencanaan Pembangunan Desa pasal 5 ayat (4), yang menyatakan RKP Desa ditetapkan dengan peraturan desa. Ini memang berbeda dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 66 Tahun 2007 pasal 4 ayat (2) yang mengatur bahwa RKP Desa ditetapkan dengan keputusan kepala desa. Dalam wawancara dengan Bagian Pemdes Sekretariat Daerah Kabupaten Bantul diperoleh fakta menarik bahwa pengaturan RKP dalam Perdes dimaksudkan untuk memperoleh kesejajaran hukum dengan APB Desa, yang diatur dengan peraturan desa.
71
Sumber Daya untuk semua Pilihan Tindakan dalam Rencana Penanggulangan Bencana ini dinilai dengan nilai Rupiah, dengan asumsi merupakan penilaian gabungan antara sumber daya berupa uang tunai (in cash) maupun material non‐uang (in kind).
Untuk sumber daya yang bersifat in‐kind dapat berasal dari: 1. Keswadayaan masyarakat dalam bentuk barang maupun jasa; 2. Tenaga, pikiran, waktu yang diperlukan untuk kegiatan Penanggulangan
Bencana; 3. Bantuan material dari pihak eksternal; 4. Dan lain‐lain sumber yang sah.
Untuk sumber daya yang bersifat dana cash dapat berasal dari:
1. Swadaya masyarakat; 2. ADD/APBDes 3. Satker/Musren/Stimulan 4. Proyek Khusus 5. Kerjasama lembaga.
B. Pelembagaan PRBBK dalam Forum Pengurangan Risiko Bencana (Forum PRB) Desa
“Selama satu tahun Program Desa Tangguh berinteraksi dengan masyarakat desa, hal yang paling terlihat bahwa ternyata masih banyak masyarakat yang kurang paham akan pentingnya proses pengurangan risiko bencana. Kesadaran terhadap adanya ancaman bencana di desanya bisa dikatakan rendah. Hal ini juga terjadi di desa Mulyodadi dan Wonolelo. Di Mulyodadi yang notabene pernah terkena bencana gempa bumi dan sampai sekarang masih berisiko tinggi terkena, masyarakatnya masih tetap kurang peduli dengan mitigasi bencana. Begitu pula di Wonolelo, bahaya tanah longsor yang mengancam seolah tidak dipedulikan oleh masyarakatnya. Masyarakat di kedua desa itu seakan enggan untuk mencoba untuk mengupayakan secara maksimal keselamatan mereka terhadap ancaman bencana yang ada.
Salah satu penyebab mereka kurang peduli karena kurangnya sosialisasi tentang mitigasi bencana yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun lembaga swasta lain. Lebih tepatnya karena tidak adanya sebuah wadah yang dapat digunakan oleh masyarakat untuk memperluas wawasan mereka mengenai upaya pengurangan risiko bencana. Dari sinilah kemudian PROGRAM DESA TANGGUH menginisiasi terbentuknya sebuah forum yang focus kerjanya dalam mengupayakan pengurangan risiko bencana dilingkup desa, yang diberi nama Forum Pengurangan Risiko Bencana.”
(Testimoni Retna Heryanti, CO Desa Mulyodadi)
Forum PRB Desa yang dibentuk dalam Program Desa Tangguh 2010 adalah tim desa yang dibentuk secara partisipatif yang bertanggungjawab dalam urusan penanggulangan bencana di
72
tingkat desa. Eksistensi Forum PRB Desa diatur dalam Peraturan Desa, sedangkan pengesahan pengurus dan anggaran dasar dengan Keputusan Kepala Desa.
Gambar 7.3.
Musyawarah Warga Mulyodadi untuk pembentukan Forum PRB Desa
Forum PRB Desa, merupakan kesatuan dan hasil penyederhanaan konsep institusional antara Badan Penanggulangan Bencana tingkat desa yang merupakan lembaga pemerintah, dengan Forum PRB, yang dibentuk secara partisipatif.
Adapun Fungsi dan Tugas FPRB Desa adalah sebagai berikut: 1. Merumuskan kepengurusan FPRB Desa dan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga
FPRB Desa. 2. Berpartisipasi dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan desa, agar
berwawasan sadar bencana. 3. Fasilitasi perumusan regulasi dan peraturan bidang penanggulangan bencana di wilayah
Desa Mulyodadi, termasuk di antaranya adalah RPB Desa Mulyodadi 2010‐2014 dan RAK PRB Desa Mulyodadi.
4. Penyelenggaraan dan pengkoordinasian kegiatan penanggulangan bencana di wilayah desa sesuai RPB Desa Mulyodadi 2010‐2014 dan RAK PRB Desa Mulyodadi.
5. Perumusan Pedoman dan Pengarahan terhadap usaha penanggulangan bencana yang mencakup pencegahan bencana, penanganan tanggap darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi secara adil dan setara.
73
6. Fasilitasi penetapan standardisasi dan kebutuhan penyelenggaraan penanggulangan bencana berdasarkan peraturan perundang‐undangan dan peraturan desa.
7. Menyampaikan informasi kegiatan penanggulangan bencana yang ada dan melaporkan penyelenggaraan penanggulangan bencana kepada Pemerintah Desa setiap bulan pada kondisi normal, dan pada setiap saat dalam kondisi darurat bencana.
8. Menggunakan dan mempertanggungjawabkan penggunaan dana/sumbangan/bantuan yang masuk ke Forum Pengurangan Risiko Bencana Desa.
9. Mempertanggungjawa bkan penggunaan anggaran yang diterima dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.
10. Melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan Peraturan Perundang‐Undangan dan Peraturan Desa; dan menyusun pedoman pembentukan Forum Pengurangan Risiko Bencana Desa.
11. Menyampaikan laporan kerja dan penggunaan anggaran tahunan kepada pemerintah desa, stakeholders desa, dan masyarakat desa, serta pihak‐pihak lain yang berkepentingan.
(Sumber: RPB Desa Wonolelo) Ada beberapa catatan mengenai alokasi sumber daya untuk FPRB Desa, yaitu: 1. Sumber daya untuk FPRB Desa bisa berupa dana (uang tunai), atau material. 2. Sumber daya untuk FPRB Desa dapat diperoleh dari:
a. Swadaya Masyarakat Desa; b. APBDes/ADD; c. Satker/Musren/Stimulan; d. Proyek Khusus; e. Kerjasama Lembaga.
3. Selain memperoleh sumber daya dari pihak lain, Forum PRB Desa juga dapat membuat unit usaha sendiri sebagai sarana penggalian dana. (sumber: RPB Desa Mulyodadi)
Gambar 7.4.
Rembugan Warga Dengan SKPD untuk Pengurangan Risiko Bencana
74
Forum PRB Desa adalah aktor utama dalam Penanggulangan Bencana di tingkat desa, yang dibentuk secara partisipatif dengan melibatkan berbagai elemen dalam masyarakat untuk menjadi motor penggerak Penanggulangan Bencana di Tingkat Desa. Dengan legalitas yang jelas, Forum PRB Desa diharapkan untuk memiliki prospek ke depan menjadi lembaga desa tersendiri, dan memperoleh program dan anggaran dari pemerintah. Dari hasil pembelajaran dalam Program Desa Tangguh 2010, pembentukan Forum Pengurangan Risiko Bencana Desa dilaksanakan dengan tahapan‐tahapan sebagaimana disebut dalam tabel di bawah ini:
Table 7.2.
Tahapan pembentukan Forum PRB Desa
Tahap Keterangan
Tahap I Pembentukan Tim Formatur Forum PRB
Dibentuk dari perwakilan elemen masyarakat rentan di desa, dari wakil pemerntah dan nonpemerintah. Sedapat mungkin pihak swasta juga dilibatkan sejak awal.
Tahap II Penyusunan Profil Desa dan edukasi masyarakat
‐ Profil Desa yang dimaksud adalah ancaman‐keretanan‐kapasitas desa. Kegiatan ini dapat juga dilaksanakan sejalan dengan peninjauan kembali kebijakan‐kebijakan kebencanaan desa tentang kebencanaan (RPB, RAK, RenKon). ‐ Edukasi masyarakat (mis: kebakaran, tanah longsor, PPPK) sebaiknya dlaksanakan apabila pembentukan forum ini dilakukan di masa‐masa awal program, dengan tujuan agar masyarakat.
Tahap III Penyusunan AD/ART
AD/ART Forum PRB Desa dirumuskan oleh Formatur.
Tahap IV Pembentukan pengurus dan penyusunan program kerja
a. Pengurus dibentuk oleh Formatur Forum, anggota formatur Forum masuk ke dalam kepengurusan FPRB.
b. Pengurus minimal terdiri dari unsure pemerintah, non‐pemerintah, dan swasta. Masa kerja forum disesuaikan dengan roadmap masa perencanaan kerja untuk Pengurangan Risiko Bencana.
c. Program kerja Forum itulah yang kemudian dirumuskan menjadi RAK (Rencana Aksi Komunitas untuk PRB).
Tahap V Legalisasi ‐Untuk lebih memperkokoh kedudukan Forum PRB Desa, harus ada legalisasi dari pemerintah desa, baik dalam bentuk Keputusan Lurah Desa atau SK Kepala Desa. ‐Dalam Program Desa Tangguh 2010, legalisasi dilakukan dengan bentuk hukum di bawah ini:
a. Mulyodadi: Keputusan Lurah Desa Mulyodadi Nomor No. 13 tahun 2010
b. Wonolelo: SK Kepala Desa Wonolelo Nomor 14/LD/Wnl/XI/2010
Tahap VI Pelaksanaan Program Kerja
(area keberlanjutan)
75
Beberapa pengalaman menarik, terkait dengan pembentukan forum PRB Desa:
1. Formatur, turut memberikan sumbangsih berupa ide‐ide baru untuk pengembangan forum PRB Desa,misalnya, strategi mempercepat terbentuknya Forum PRB Desa, strategi menarik masyarakat untuk berpartisipasi secara lebih luas kedalam program Desa Tangguh.
2. Dalam hal manajemen program Desa Tangguh, pembentukan Forum PRB Desa ini sejalan dengan penyusunan dokumen dasar PRBBK (Dokumen RPB dan RAK); dan edukasi masyarakat. Sehingga, sangat memakan waktu lama. Tujuan mensejalankan banyak kegiatan ini sebenarnya adalah untuk melakukan test‐case keterlibatan masyarakat dalam PRBBK, mengingat isu PRBBK merupakan isu yang relative baru. Tantangan yang dihadapi dalam pembentukan forum ini adalah ketidakkonsistenan warga untuk hadir dalam forum pertemuan desa tangguh.
3. Dukungan pemerintah desa di kedua desa lokasi program sangat positif. Di desa Mulyodadi, pamong desa turut mengawal terbentuknya Forum PRB (Minimal yang sering hadir di pertemuan adalah Pak Kuswanto (Kabag Kesra), Pak Bayu Nurseto (Kabag Ekbang), dan Bu Listi (Dukuh Wonodoro)). Pak Kuswanto, dipilih menjad Ketua Tim Formatur Forum PRB, dan Bu Listi menjadi anggota Forum PRB mewakili Kring I Mulyodadi. Pak Bayu memberikan input untuk dokumen PRB Desa. Untuk Wonolelo, dukungan datang dari Kepala Desa Wonolelo (Pak Basuki), yang selalu memberikan izin bagi Forum PRB untuk melaksanakan kegiatan. Kegiatan ini juga memperoleh dukungan dari Ketua LPMD Wonolelo (yang notabene merupakan tokoh leader untuk masalah pemberdayaan di sana).
4. Dalam perjalanan program pembentukan Forum PRB Desa ini, Tim Desa Tangguh juga melakukan edukasi untuk masyarakat tiap Kring dengan tema berdasarkan kehendak masyarakat (PPPK, Penanganan pengungsi, Perubahan Iklim, Penanganan Kebakaran). Di samping untuk sosialisasi knowledge ke masyarakat, edukasi ini juga bertujuan untuk menjaga animo masyarakat, bahwa program desa tangguh membawa manfaat bagi mereka.
C. Legalisasi Rencana Aksi Komunitas (RAK) Desa untuk Pengurangan Risiko Bencana
Eksistensi Rencana Aksi Komunitas/RAK PRB Desa diatur dalam Peraturan Desa. Sedangkan, Rencana Aksi Komunitas, diatur dalam Peratuan Kepala Desa, atau Keputusan Lurah Desa, berdasarkan kepada kebiasaan dalam sistem administrasi pemerintahan Desa. Rencana aksi komunitas merupakan rencana Forum PRB Desa, yang berisi mengenai gambaran kegiatan dan anggaran, dibuat dengan timeline 3 (tiga) tahun, sama seperti RAN PRB atau RAD PRB.
Legalisasi RAK PRB ini memiliki 2 (dua) nilai strategis dalam upaya pengurangan risiko bencana desa, yaitu:
1. Sebagai wujud konkret penyatuan sumber daya oleh Forum PRB Desa, sebagaimana telah dijabarkan melalui pilihan tindakan dan mekanisme penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam RPB Desa;
2. Peneguhan eksistensi Forum PRB Desa sebagai lembaga desa yang memiliki legitmasi untuk upaya penanggulangan bencana di tingkat desa;
Penyusunan RAK PRB Desa didasarkan atas RPB Desa yang telah memuat tabel analisis risiko bencana desa yang terdiri dari kolom Nomor, Profil Ancaman, Unsur Berisiko, Bentuk Risiko,
76
Lokasi, Kerentanan Yang Dimiliki, Kapasitas. Khusus untuk kolom kapasitas, dibagi lagi menjadi 3 (tiga) kolom, yaitu Kebutuhan, Ketersediaan, Kekurangan.
RAK PRB Desa sekurang‐kurangnya memuat tabel deskripsi ringkas kegiatan yang terdiri dari kolom Nomor, Kegiatan, Pelaku, Lokasi, Besarnya Anggaran, Sumber Dana dan Waktu Pelaksanaan kegiatan.
Fakta menarik, terkait dengan legalisasi RAK PRB Desa di Mulyodadi:
Semua legalisasi dokumen public yang merupakan turunan dari RPB, termasuk RAK PRB dan Renkon, sedianya diatur dalam Peraturan Kepala Desa, dengan mengambil dasar hukum Permendagri 29/2006 dan Perda Bantul 03/2009 yang di dalamnya mengatur eksistensi Peraturan Kepala Desa. Hanyasaja, ternyata dalam praktek di Mulyodadi, Peraturan Kepala Desa ini tidak digunakan, sehingga produk hukum di tingkat desa hanya 2 (dua), yaitu Peraturan Desa dan Keputusan Lurah Desa. Konsekuensinya, beberapa aturan, misalnya tentang tatacara pengangkatan pamong desa, yang selayaknya diatur dalam Peraturan Kepala Desa, diatur dengan Keputusan Lurah Desa. Akhirnya, untuk menyikapi hal ini, ada penyesuaian bentuk legalitas RAK dengan kebiasaan yang berlaku dalam sistem administrasi pemerintahan desa Mulyodadi (diatur dengan Keputusan Kepala Desa).
Gambar 7.5.
Penyerahan secara simbolis bantuan Pompa Air dari YP2SU Yogyakarta kepada warga desa Mulyodadi
77
Dalam pelaksanaan RAK PRB dalam Program Desa Tangguh, penyelenggara program memberikan dana stimulan sebesar Rp. 200 juta kepada kedua desa lokasi program (Desa Wonolelo dan Desa Mulyodadi), masing‐masing desa Rp.100 juta. Posisi dana ini adalah sumber daya financial untuk mendanai kegiatan‐kegiatan prioritas dalam RAK PRB yang telah disusun oleh Forum PRB Desa. Hanyasaja, tantangan yang harus dijawab adalah bagaimana keberlanjutan program setelah Program Desa Tangguh selesai.
Di kedua desa, sebagian dana RAK PRB digunakan untuk mengupayakan pembelian alat‐alat yang dapat disewakan untuk fundraising, sekaligus menjadi asset pengurangan risiko bencana desa.
Tabel 7.3.
Contoh kegiatan berdasarkan Rencana Aksi Komunitas (RAK) PRB
Wonolelo Mulyodadi
Kegiatan Dampak Kegiatan Dampak
a. Pembelian alat
edukasi (LCD)
Peningkatan kapasitas
forum untuk edukasi
PRB di desa, sekaligus
alat untuk fundraising
a. Pembelian 8 unit
mesin pompa air
Peningkatan
kapasitas
masyarakat untuk
penanganan
kekeringan,
sekaligus untuk
fundraising
b. Pengadaan alat
komunikasi siaga
(Pembelian Handy
Talkie)
Peningkatan kapasitas
forum untuk alat
komunikasi siaga,
sekaligus alat
fundraising
b. Pelatihan dan
Pembentukan Tim
Relawan/SAR
Peningkatan
kapasitas
masyarakat untuk
penanganan
kedaruratan,
sekaligus menjadi
alat kelengkapan
Forum PRB Desa
D. Legalisasi Rencana Kontinjensi Bencana Prioritas
Rencana Kontinjensi Bencana merupakan dokumen rencana yang disusun yang memuat rencana tindakan segera jika terjadi krisis/bencana yang diperkirakan akan terjadi, walaupun belum tentu terjadi. Secara garis besar, ada beberapa tujuan yang ingin dicapai dengan adanya rencana kontinjensi ini, yaitu:
1. Teridentifikasinya kemungkinan kejadian bencana, beserta dampaknya bagi masyarakat;
2. Terbangunnya kesepakatan bersama mengenai tujuan bersama dari perencanaan kontinjensi;
78
3. Terdefinisikannya tanggung jawab pihak‐pihak yang dilibatkan dalam penanganan krisis/bencana;
4. Ditentukannya tindakan‐tindakan yang harus diambil oleh masing‐masing pihak yang dilibatkan dalam penanganan krisis/bencana.
Rencana Kontinjensi Bencana desa ini hanya digunakan untuk satu jenis bencana saja, dan disahkan dengan Peraturan Kepala Desa atau Keputusan Lurah Desa, didasarkan kepada sistem legalisasi yang belaku di pemerintahan desa setempat. Manfaat legalisasi rencana kontinjensi bencana prioritas adalah dapat diidentifikasi sebagai berikut:
1. Manfaat bagi semua: penanganan bencana, sekaligus partisipasi dengan semua aktor menjadi terkoordinasi dengan baik, sebagaimana telah disimulasikan dalam simulasi bencana gempa bumi 19 Desember 2010. Rencana Kontinjensi yang telah disusun oleh FPRB dapat disimulasikan oleh semua stakeholders dengan rapi dan tertata. Dengan kehadiran Forum PRB Desa, koordinasi dan semua peranannnya akan dirasakan oleh 11.873 orang warga desa Mulyodadi (5575 laki2, 6298 perempuan) dan 4.412 orang warga desa Wonolelo (2190 laki2, 2222 perempuan).
2. Manfaat bagi pemerintah : penanggulangan bencana ada leading sectornya di tingkat desa, sehingga penanggulangan bencana, kini secara total menjadi domainnya. Selama ini, penanggulangan bencana menjadi urusan Kabag Kesra, atau Kabag Pemerintahan/Keamanan. Belum menjadi sector tersendiri, sehingga penanganan bencana menjadi kurang focus.
3. Manfaat bagi masyarakat : a. Secara politis, peranan masyarakat untuk berpartisipasi dalam
penanggulangan bencana menjadi terbuka lebar. b. Secara alur koordinasi, masyarakat mengetahui siapa yang harus
bertanggung jawab dalam penanggulangan bencana. 4. Stakeholders yang lain : memungkinkan untuk menjalin kerjasama dengan desa,
dengan kelompok yang telah ada dasar perdesnya.
Gambar 7.6 Warga Desa Wonolelo membahas Legalisasi Dokumen Desa untuk PRBBK
79
E. Memasukkan Substansi Kebencanaan ke dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Desa
Sebagai sebuah alat perencanaan pembangunan resmi pemerintah, RPJM Desa ini dapat dipandang sebagai media strategis untuk mengintegrasikan pengurangan risiko bencana ke dalam perencanaan pemerintah desa selama 5 (lima) tahun. Perencanaan pembangunan inilah yang menghasilkan output langsung berupa program dan anggaran publik.
Ada 2 (dua) strategi untuk memasukkan substansi kebencanaan ke dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Desa, yakni:
1. Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana ke dalam berbagai sektor pembangunan, bertujuan agar setiap program pembangunan dilaksanakan atas dasar pengurangan risiko bencana;
2. Penentuan program‐program peredaman ancaman, pengurangan kerentanan, dan peningkatan kapasitas dalam perencanaan pembangunan pedesaan.
Dasar memasukkan substansi kebencanaan ini adalah Peraturan Desa tentang Rencana Penanggulangan Bencana Desa. Dalam program desa tangguh di desa Wonolelo dan Mulyodadi, diperoleh dua pengalaman berharga untuk masing‐masing desa:
1. Desa Wonolelo Dalam dokumen RPJM Desa Wonolelo Tahun 2008 – 2012 belum ada unsur kebencanaan didalamnya, sehingga dilakukan revisi RPJM Desa berdasarkan atas Perdes RPB.
2. Desa Mulyodadi Dalam dokumen RPJM Desa Mulyodadi Tahun 2008 – 2013 telah ada bidang kebencanaan di dalamnya, dan memuat beberapa rencana kegiatan penanggulangan bencana, salah satunya tentang adanya perdes kebencanaan. Ada beberapa keuntungan strategis dengan adanya amanat ini, yakni: a. Amanat RPJM Desa ini menjadi landasan yuridis untuk lahirnya Peraturan Desa
Mulyodadi tentang Rencana Penanggulangan Desa Mulyodadi Tahun 2010 – 2014. b. Substansi Peraturan Desa Mulyodadi tentang Rencana Penanggulangan Desa
Mulyodadi Tahun 2010 – 2014 ini dijadikan landasan yuridis untuk penyusunan RPJM Desa periode selanjutnya.
Lesson Learned RPJMDes Perubahan
Oleh Akhmad Furqon dan Nur Kholis Majid (CO Desa Wonolelo)
RPJMDes merupakan dokumen desa yang digunakan sebagai acuan proses pembangunan di desa. segala bentuk pembangunan di desa harus mengacu pada program‐program ytang telah tertuang dalam RPJMdes. Di desa wonolelo, RPJMDes yang ada dengan masa berlaku dari tahun 2008 s.d 2013, belum memasukkan program‐program kerja yang terkait dengan kebencanaan, baik dari kegiatan pra bencana sampai dengan pasca bencana.
Guna mengintegrasikan kegiatan pengurangan resiko bencana dalam program kerja pemerintah desa, maka pada tahun 2010 dibuatlah RPJMDes perubahan. Dimana dalam RPJMDes perubahan ini segala aktifitas yang berkaitan dengan pengurangan resiko bencana dimasukkan dalam satu bidang kegiatan tersendiri.
80
1. Kegiatan/upaya yang dilakukan Tujuan dari dibuatnya RPJMdes perubahan ini adalah guna mendapatkan legalisasi dan memasukkan kegiatan‐kegiatan yang terkait dengan pengurangan resiko bencana dalam kegiatan pembangunan di Desa. sehingga nantinya diharapakan seluruh kegiatan pengurangan resiko bencana bisa diimplementasikan dalam kehidupan seharai‐hari oleh seluruh warga Desa. Waktu pelaksanaan pembuatan RPJMDes perubahan ini adalah mulai pertengahan Oktober s.d pertengahan Desember 2010. Adapaun tahapan yang dilakukan adalah dimulai dengan mereview dokumen RPJMdes yang sudah ada. Ternyata dalam RPJMdes tersebut kegiatan‐kegiatan yang berkaitan dengan pengurangan resiko bencana belum tercantumkan. Selanjutnya dalam RPJMdes tersebut ditambahkan satu bidang tersendiri yang berkaitan dengan pengurangan resio bencana, yang kegiatan‐kegiatannya diambilkan dari hasil analisa HVCA yang telah dilakukan oleh forum PRB desa. Tahapan kegiatan:
a. Tahap I : tahap kajian partisipatif risiko bencana dan potensi desa (PRA, HVC analysis, Profil Desa, analisis risiko bencana desa) ;
b. Tahap II: tahap pengkajian awal terhadap regulasi di tingkat pusat, daerah, dan desa tentang:
1) Penanggulangan Bencana (UU 24/2007 beserta regulasi dan kebijakan turunannya)
2) Regulasi perencanaan pembangunan (pusat+daerah+desa) (UU 25/2004, Permendagri 66/2007, Perda Bantul 10/2009, RPJMDes Mulyodadi)
3) Regulasi penyusunan RPB dan RAD (Perka BNPB 4/2008) 4) Regulasi Pemerintahan +keuangan daerah+desa (UU 32/2004, UU 33/2004,
PP 72/2005, Perda Bantul 02/2009) 5) Regulasi tentang Peraturan Desa (Permendagri 29/2006, Perda Bantul
03/2009); c. Tahap III: Perumusan Draft RPB Desa d. Tahap IV: revisi RPJM Desa, siding perdes RPB dan penomoran perdes.
Dokumen RPJMdes perubahan ini, selanjutnya diserahkan ke pemerintah desa dan BPD untuk dipelajari. Setelah dipelajari, selanjutnya dilakukan pembahasan bersama antara BPD dan Pemdes guna mencermat/mengoreksii dokumen tersebut. dokumen tersebut selanjutnya diajukan ke pemdes untuk disahkan dalam bentuk PerDes RPJMdes perubahan.
2. Isu lintas sektoral
Isu‐isu lintas sektoral sangat mungkin dimasukkan dalam kegiatan ini, dikarenakan sifat RPJMdes yang dibuat dengan semangan partisipatoris dari seluruh warga desa. sehingga RPJMDes yang dibuat adalah acuan bagi seluruh program kerja pemerintah desa yang menjawab dan mengakomodir seluruh kebutuhan dan aspirasi warga desa. a. Aplikasi Isu Gender dalam program
Di setiap kegiatan yang terkait dengan penyusunan RPB dan RPJMdesa Perubahan, selalu melibatkan perempuan dalam pembuatan keputusan, misalnya Bu Khulil Khasanah (Tokoh JKPP/FKKP Wonolelo), Bu Hadmi (UKM di Wonolelo). Pelibatan tokoh‐tokoh ini memicu keterlibatan perempuan yang lebih luas dalam setiap acara di program ini.
81
b. Hasil dan Pengaruh program terhadap perempuan Program semakin memperkokoh peranan perempuan dalam pembangunan desa. Dengan adanya tokoh penggerak perempuan sebagai pemegang peranan dalam Perdes RPB yang diakomodasi oleh RPJMDesa, menjadi legitimasi untuk berperan lebih jauh baik secara politis, social, cultural, maupun ekonomi, dan aspek2 lainnya dalam pengurangan risiko bencana.
3. Isu good governance (Pengaruh RPB terhadap RPJMDesa)
a. Pengesahan RPB dalam perdes juga untuk mengoptimalisasikan keterlibatan/partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan sebagaimana telah diatur juga dalam Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 07 Tahun 2005 Tentang Transparansi Dan Partisipasi Publik Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Di Kabupaten Bantul. Kewajiban masyarakat untuk berpartisipasi dalam penanggulangan bencana dalam RPB, sebagaimana telah tersimulasikan dalam simulasi tanggap darurat gempa bumi 19 Desember 2010 silam, dapat memupuk semangat untuk terselenggaranya pemerintahan desa yang lebih baik, dengan semangat kegotongroyongan untuk memajukan semua pihak.
b. Pengesahan RPB memungkinkan Forum PRB Desa untuk:
1) Melakukan fungsi konseling dan control bagi pemerintah desa untuk regulasi desa/kebijakan yang disinyalir akan menambah kerentanan masyarakat, sekaligus koordinasi penanggulangan bencana desa.
2) Masuk ke dalam skema perencanaan pembangunan pemerintah, agar semua program dan anggaran yang lahir tidak akan menambah kerentanan masyarakat, sekaligus memasukkan kegiatan‐kegiatan Forum PRB Desa ke dalam RPJM/RKP.
3) Terlibat dalam skema pemberdayaan non pemerintah, serta melakukan control atas semua program dan anggaran yang berpotensi menambah kerentanan masyarakat.
3. Hasil dan dampak Hasil yang nyata dari kegiatan ini adalah mampu memasukkan kegiatan‐kegiatan yang berkaitan dengan penguranga resiko bencana ke dalam RPJMDes, sehingga berdampak pada program pembangunan desa yang harus memperhatikan aspek pengurangan resiko bencana.
4. Pembelajaran Faktor pendukung keberhasilan proses terrealisirnya RPJMDes perubahan ini adalah partisipasi aktif dari seluruh anggota FPRB dalam mengkaji/menganalisa kemungkinan ancaman bncana yang mungkin terjadi serta menentukan tindakan/kegiatan yang dimungkunkan mampu mengurangi bahkan mencegah terjadinya bencana,sehingga dari hasil kajian/analisa tersebut bisa menjadi bahan kegiatan dalam RPJMdes. Selain itu komunikasi yang baik dengan steakholder yang ada di desa juga berperan penting dalam keberhasilan kegiatan ini, terutama yang berkaitaan dengan proses legalisasi dokumen. Karena dengan komunikasi yang baik, mampu mengurangi kesalah fahaman dari pihak steakholder desa. Faktor penghambat dari kegiatan ini adalah stekholder kurang memahami tentang kedudukan, fungsi serta mekanissme pembuatan dokumen‐dokuman desa. baik itu Perdes, perkades, RKP, RPJMdes, SK dll.
5. Potensi Replikasi
82
Ide program ini layak direplikasi. Ide dasarnya sederhana, yakni bahwa RPJMDesa adalah perencanaan resmi pemerintah yang menghasilkan program dan anggaran. Sehingga, perencanaan pemerintah (RPJMDesa), yang direview berdasarkan Perdes RPB Desa menjadi hal yang sangat mutlak diperlukan.
‐‐‐‐
F. Tantangan yang dihadapi dalam legalisasi Penanggulangan Bencana Desa
Legalisasi Penanggulangan Bencana memang telah selesai dilakukan. Untuk mewujudkan sebuah kondisi ideal dalam kebijakan penanggulangan bencana di tingkat desa, beberapa sinkronisasi dan harmonisasi regulasi harus diselesaikan terlebih dahulu, yaitu:
1. Masalah sinkronisasi perencanaan penanggulangan bencana.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 pasal 6 ayat (5) disebutkan mengenai kewajiban pemerintah dan pemerintah daerah untuk membuat rencana penanggulangan bencana (RPB) yang berlaku selama 5 (lima) tahun. Sementara dalam pasal 8 ayat (7), disebutkan mengenai kewajiban membuat rencana aksi pengurangan risiko bencana untuk waktu 3 (tiga) tahun. Ketika pola ini diterapkan untuk komunitas, ada 3 (tiga) permasalahan yang harus dipecahkan terlebih dahulu, yakni:
a. Rumusan RPB untuk desa Selama ini, belum ada regulasi yang secara spesifik menentukan rumusan RPB Desa. Sedangkan, untuk di desa, harus ada penyesuaian‐penyesuaian yang lebih simple. Khusus untuk pemerintah, RPB Desa yang dihasilkan dalam Program Desa Tangguh menjadi perencanaan yang sangat ideal, perlu banyak penterjemahan untuk mengoperasikannya menjadi perencanaan pembangunan dalam RKP Desa per tahunnya. Hal ini menjadi pembelajaran yang sangat berharga dalam program Desa Tangguh.
b. Harmoni pola hubungan antara RPB dan RAK PRB
Jika RPB adalah landasan yuridis (payung hukum) untuk penyusunan RAK PRB, maka seharusnya, RPB dan RAK dibuat untuk periode yang sama (lima tahun), atau RAK dibuat tahunan, sehingga akan terlihat seperti pola hubungan antara RPJM (5 (lima) tahun) dengan RKP ((satu)1 tahun).
Namun, dalam praktek di komunitas, Timeline RPB (5 tahun) dan RAK PRB (3 tahun) ternyata menimbulkan masalah baru, yakni bahwa RPB tidak akan dapat menjadi payung hukum dari 2 periode RAK PRB (2x3 = 6 tahun) sekaligus secara utuh. Akan ada 1 (satu) periode berlakunya RAK PRB yang tidak akan terlindungi oleh RPB pada saat RAK PRB tersebut masih berlaku, karena ada RPB baru yang terbit yang pada asumsinya akan menghapuskan kekuatan berlakunya RPB yang sebelumnya. Alias, akan ada RAK PRB di tingkat desa yang pada periode ke‐2 RAK PRB, yang secara illegal berlaku, karena pergantian RPB yang terjadi di tengah‐tengah masa berlakunya RAK PRB.
83
c. Masalah RPB dan RAK PRB, kaitannya dengan kedudukan RPJM dan RKP.
Dalam skema perencanaan pembangunan, kaitan/relasi antara RPJM dan RKP dengan RPB dan RAK masih menjadi tanda tanya besar di desa, karena selama ini memang belum ada pengaturan mengenai perencanaan penanggulangan bencana di tingkat desa. Pola yang ada di desa selama ini cenderung merupakan pola inisiasi/adopsi. Program desa tangguh mengadopsi pola RPB dan RAK PRB untuk diterapkan di desa, hanya saja, ternyata adopsi pola ini memerlukan pendekatan tertentu yang mudah untuk dipahami, dan menjadi kesepakatan politik di desa. Proses partisipasi dan pembuatan RPB Desa pada akhirnya menemukan pola bahwa RPB Desa harus diposisikan sebagai rencana strategis untuk mobilisasi sumber daya untuk penanggulangan bencana, baik untuk konteks pra bencana, tanggap darurat, maupun pasca bencana. RPB Desa merupakan daftar kebutuhan yang umum dan ideal menurut masyarakat, dan nilai rupiahnya pun merupakan nilai yang ideal. Sehingga, pengerahan sumber daya bukan hanya dari pemerintah, melainkan dari seluruh stakeholders, baik pemerintah, swasta, maupun nonpemerintah.
2. Masalah cantolan kelembagaan Forum PRB Desa (masalah dari Peraturan yang hanya mengatur kelembagaan pusat (BNPB), Provinsi dan Kabupaten/Kota (BPBD), kaitannya dengan kelembagaan desa.
Dengan adanya eksistensi kelembagaan Forum PRB Desa dalam Peraturan Desa, maka Forum PRB Desa yang diinisiasi program Desa Tangguh menjadi lembaga desa yang menjadi leading sector penanggulangan bencana di tingkat desa, atau dengan kata lain, semacam badan penanggulangan bencana desa. Forum PRB Desa ini dibentuk secara partisipatif, beranggotakan unsur pemerintah dan masyarakat desa.
Persoalan utama yang harus dijawab seluruh stake holders adalah keberlanjutan forum PRB desa, dalam arti, adanya program dan anggaran untuk PRB Desa pasca inisiasi program desa tangguh tersebut selesai. Untuk stake holders pemerintah, salah satu strategi keberlanjutan program adalah adanya lembaga pemerintah tingkat Kabupaten, Provinsi, dan Pusat yang menjadi cantolan anggaran dan program penanggulangan bencana, sehingga dapat secara . Untuk non pemerintah, salah satu strateginya adalah bagaimana menyambungkan antara Forum PRB Desa dengan program‐program penanggulangan bencana non pemerintah, dan bagaimana support untuk elemen nonpemerintah bagi pemberdayaan masyarakat desa berkelanjutan. Untuk elemen swasta adalah, bagaimana program dan anggaran dari CSR ke masyarakat dapat diakses oleh Forum PRB Desa.
3. Masalah timeline RPB yang tidak selaras dengan timeline RPJM Desa.
Ada kesamaan situasi di dalam perencanaan penanggulangan bencana dalam program Desa Tangguh di desa Wonolelo maupun desa Mulyodadi, yaitu, RPB (dengan masa berlaku 5 tahun) dilegalkan pada saat RPJM Desa berlaku. RPB Desa Wonolelo Tahun 2011 – 2015 diberlakukan untuk menjadi dokumen sandingan RPJM Desa Wonolelo Tahun 2008 – 2012. RPB Desa Mulyodadi Tahun 2010 – 2014 diberlakukan untuk menjadi dokumen sandingan RPJM Desa Mulyodadi Tahun 2008 – 2013. Akibatnya, alur perencanaan akan menjadi kurang sistematis.
84
Untuk di desa Mulyodadi, dalam hal penyesuaian dengan masa berlaku RPJM Desa Mulyodadi pasca tidak berlakunya Peraturan Desa Mulyodadi Nomor 03 Tahun 2008 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa Mulyodadi tahun 2008 – 2013, baik dikarenakan adanya perubahan maupun berakhirnya masa berlaku RPJM Desa, Pemerintah Desa dan FPRB Desa melakukan penyesuaian masa berlaku RPB Desa ini dengan masa berlaku RPJM Desa Mulyodadi yang baru (Peraturan Desa Mulyodadi Nomor 07 Tahun 2010 pasal 9 ayat (2)). Sedangkan, untuk Desa Wonolelo, RPJM Desa menjadi problem secara legal, karena belum ditetapkan dalam peraturan desa. Maka, pengesahan Peraturan Desa tentang RPB Desa memberikan landasan hukum yang kuat untuk mengintegrasikan isu kebencanaan ke dalam RPJM Desa.
Gambar 7.7.
Simulasi Kebencanaan Mulyodadi
Fakta menarik:
Dalam proses sosialisasi kelembagaan dan kebijakan penanggulangan bencana desa dalam Program Desa Tangguh 2010, dalam pelaksanaan simulasi tanggap darurat bencana gempa bumi yang dilaksanakan di desa Mulyodadi pada tanggal 19 Desember 2010, semua stakeholders yang hadir menandatangani sebuah deklarasi bersama. Tujuannya adalah terbulatkannya tekad demi keselamatan masyarakat Bantul dari ancaman bencana. Deklarasi itu disebut sebagai Deklarasi Mulyodadi Untuk Masyarakat Tangguh.
Tercatat, ada 13 (tiga belas) perwakilan stakeholders yang menandatangani deklarasi bersejarah tersebut. Mereka adalah:
a. Badan Kesbanglinmas Provinsi DIY; b. Pemerintah Kabupaten Bantul; c. BAPPEDA Kabupaten Bantul; d. Kantor Kesbangpollinmas Kabupaten Bantul; e. Dinas Sosial Kabupaten Bantul; f. Kantor Pemberdayaan Masyarakat Desa Kabupaten Bantul; g. Kecamatan Bambanglipuro; h. Koramil Bambanglipuro; i. Polsek Bambanglipuro;
85
j. Pemerintah Desa Mulyodadi; k. Forum PRB Desa Mulyodadi; l. Forum PRB Desa Wonolelo; m. YP2SU
Berikut ini adalah bunyi selengkapnya dari Deklarasi Mulyodadi:
DEKLARASI MULYODADI
UNTUK MASYARAKAT TANGGUH
Kami, yang tergabung dalam jalinan kekeluargaan yang tak terpisahkan antara elemen pemerintah maupun nonpemerintah, yang bersama‐sama menyatukan hati kami dalam kebersamaan di tempat ini, yang bersama‐sama bangkit dan membangun kembali Kabupaten Bantul dari kehancuran akibat gempa bumi 27 Mei 2006 silam, menyatakan bahwa
Pertama: Kami menyadari sepenuhnya bahwa tanah tempat kami berpijak mengandung potensi bahaya yang telah terbukti kehebatan dampaknya dalam bencana gempa bumi 27 Mei 2006, dan terakhir erupsi Merapi 2010 silam. Kami juga menyadari, banyak ancaman bencana lain di lingkungan kami yang mengintai kami sewaktu‐waktu, tanpa kenal situasi dan kondisi, bahkan tanpa permisi.
Kedua: Kami bertekad bulat menyatukan hati untuk memperjuangkan keselamatan keluarga dan kelompok rentan di sekitar kami dengan harapan agar tidak ada lagi jiwa‐jiwa yang jatuh menjadi korban, dan melakukan upaya‐upaya terbaik agar meminimalisasi dampak terhadap sarana dan prasarana serta lingkungan sekitar tempat tinggal kami.
Ketiga: Kami berkomitmen untuk menggalang kerjasama, menyerap dan mengerahkan sumber‐sumber daya strategis dari semua pihak, baik dari pemerintah maupun non pemerintah seoptimal mungkin untuk mewujudkan kesatuan potensi untuk penanggulangan bencana di wilayah tempat tinggal kami.
Keempat: Kami berkeinginan untuk memperbarui pengetahuan kami secara terus‐menerus, yang akan kami pergunakan dengan sebaik‐baiknya untuk kemaslahatan masyarakat kami. Pengetahuan kami juga akan kami turunkan kepada seluruh generasi penerus kami, baik yang dengan peredaman ancaman bencana, pengurangan kerentanan, dan peningkatan kapasitas masyarakat kami.
Semoga Tuhan, melindungi kami, dan meridhoi yang kami upayakan, dan menganugerahkan yang terbaik untuk terwujudnya cita‐cita kami.
Mulyodadi, 19 Desember 2010
Atas Nama Masyarakat
Para Deklarator
86
87
BAB VIII
KESIMPULAN
Kemajuan sebuah Negara, sebuah provinsi, sebuah kabupaten/kota, bahkan sebuah desa/kelurahan sekalipun akan sangat ditentukan dari keberhasilan melakukan pengurangan risiko bencana. Pengurangan risiko bencana, baik sebagai sebuah program khusus maupun pengarusutamaan, perlu dibudayakan secara top down maupun bottom up. Dengan kata lain, inisiatif dan keberlanjutan harus dari semua pihak, baik pihak pemerintah selaku leader dalam kebijakan penanggulangan bencana, sekaligus masyarakat (non pemerintah maupun swasta) sebagai stakeholders utama. Program desa tangguh 2010 ini merupakan program yang “mensimulasikan” pola hubungan seperti ini di tingkat mikro (tingkat desa).
Banyak peluang dan tantangan yang timbul dari program ini, baik dalam pelaksanaannya maupun untuk replikasi program ini, mengingat bahwa pengurangan risiko bencana merupakan isu yang relative baru di Indonesia. Ada beberapa hal yang dapat disimpulkan dari peluang dan tantangan ini:
a. Dalam konteks program, pemahaman semua elemen stakeholders akan Pengurangan Risiko Bencana menjadi area tantangan tersendiri untuk ditempuh secara terus‐menerus, baik dalam lingkup pengetahuan dan kearifan lokal; maupun dalam lingkup intervensi pengetahuan‐pengetahuan baru. Ketika pemahaman masyarakat mengenai logika program PRBBK menjadi pemahaman bersama masyarakat, peluang untuk keberlanjutan menjadi semakin terbuka.
b. Pelaksanaan komitmen stakeholders lokal untuk penyediaan sumber daya untuk pengurangan risiko bencana masih merupakan area peluang sekaligus tantangan tersendiri. Menjadi area peluang, karena modal sosial masyarakat lokasi program masih melekat dalam masyarakat. Dan, menjadi area tantangan karena keterbatasan sumber daya di tingkat lokal dapat memicu ketergantungan kepada sumber‐sumber daya dari
88
luar. Sehingga, antara mobilisasi sumber daya lokal dengan sumber daya eksternal haruslah bertujuan untuk semakin memupuk kemandirian masyarakat dan memperkokoh koordinasi kerja bersama antar semua elemen dalam PRBBK.
c. Sistem legalisasi desa, kebijakan, Program, dan Anggaran pemerintah untuk PRBBK menjadi area peluang dan tantangan tersendiri. Dalam kasus PRBBK Bantul, peluang terbuka dengan disahkannya Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Penanggulangan Bencana dan juga telah terbentuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) melalui Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 06 Tahun 2010 Tentang Pembentukan Organisasi Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Bantul. Pertanyaan, sekaligus tantangan yang harus ditempuh adalah, apakah sumber daya pemerintah yang tersedia untuk PRBBK di tingkat desa pada setiap tahun anggaran dapat memenuhi kebutuhan masyarakat untuk melakukan PRBBK.
d. Identifikasi kearifan/pengetahuan lokal tentang PRBBK merupakan sebuah potensi untuk edukasi kebencanaan di tingkat lokal.
e. Perawatan dan penjagaan asset masyarakat untuk PRBBK merupakan tantangan tersendiri bagi masyarakat penerima, karena, terkait dengan pelaku dan sumber anggarannya.
f. Stakeholders lokal yang dibentuk sebagai “badan penanggulangan bencana” tingkat desa (Forum PRB Desa) perlu untuk diberdayakan secara lebih lanjut oleh semua stakeholders yang terlibat.
89
Strategi Keberlanjutan
“Tempaan kehidupan adalah wadah yang paling sulit pecah: bahkan gunung berapi yang paling berbahaya di dunia sekalipun tidak mampu menghancurkannya sampai
tak bisa bangkit lagi” (Simon Winchester, Krakatau: Ketika Dunia Meledak, 1883)
Program Desa Tangguh 2010, sebagaimana program‐program pemberdayaan lain pasti memerlukan skema keberlanjutan yang jelas, dan terukur dampaknya. Keberlanjutan diperlukan karena intervensi dari luar tidak akan mampu seterusnya menjadi motor penggerak utama program. Sehingga, kemandirian masyarakat dampingan menjadi alat untuk keberlanjutan program pengurangan risiko bencana. Untuk membangun kemandirian masyarakat, diperlukan beberapa elemen sebagai berikut:
a. Pelembagaan PRBBK masyarakat dalam bentuk organisasi masyarakat yang dibentuk secara partisipatif, dan dilembagakan menjadi lembaga desa;
b. Regulasi penanggulangan Bencana Desa dalam bentuk Peraturan Desa; c. Skema perencanaan pembangunan PRBBK yang terintegrasi dengan skema perencanaan
pembangunan pemerintah; d. Sumber anggaran dari usaha, swadaya maupun mobilisasi resources multistakeholders;
Gambar: Alat early Warning System
90
Di samping itu, untuk kelancaran menjalankan program di lapangan, ada beberapa catatan yang harus dilaksanakan, yaitu:
a. Penyesuaian aktivitas (kegiatan pengadaan fisik/non fisik) dengan kebutuhan masyarakat, dengan kajian yang lebih mendalam; (misalnya, kalau ada pompa air, harus ada sumur panteknya);
b. Pengembangan representasi masyarakat dan pemerintah desa secara lebih luas dalam setiap aktivitas;
c. Pembudayaan pelaporan publik untuk setiap pelaksanaan program (hal kegiatan dan anggaran);
b. Program PRBBK Desa yang kontinu dan berhasil guna secara langsung untuk masyarakat desa;
c. Akses program yang berkelanjutan ke semua pihak secara masal dan berkelanjutan; d. Sosialisasi legalisasi PRBBK secara lebih meluas, melibatkan semua stakeholders; e. Optimalisasi peranan Pemerintah Desa untuk keberlanjutan program; f. Pemberdayaan Relawan Penanggulangan Bencana Berbasis masyarakat.
91
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku:
Setianingtyas, Lusiana Lilies, dkk., 2008, “Membangun Kekuatan Kolektif Reduksi Resiko Bencana”, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Jakarta.
Winchester, Simon, 2002: “Krakatau: Ketika Dunia Meledak, 27 Agustus 1883”, Serambi, Jakarta.
Paripurno, Eko Teguh, 2006: ”Penerapan PRA dalam Penanggulangan Bencana”, PSMB UPN Veteran Yogyakarta
Lassa, Jonatan, dkk, 2009:”Kiat Tepat Mengurangi Risiko Bencana: Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Komunitas (PRBBK)”, Grasindo, Jakarta.
Materi Presentasi
Samsurizal, Danang, 2010, “RPB dan RAK PRB Desa”, Program Desa Tangguh 2010
Daryanto, Dwi, 2010, “Materi Penanggulangan Bencana Kabupaten Bantul”, Program Desa Tangguh 2010
Hakim, Lukman, 2010, “Pengantar Rencana Kontinjensi”, Program Desa Tangguh 2010
Haryadi, Pulung, 2010, “Strategi Integrasi Pengurangan Risiko Bencana Ke Dalam Pengembangan Ekonomi Lokal dan Perencanaan Pembangunan Daerah di Kabupaten Bantul”, Program Desa tangguh 2010.
Peraturan Perundang-Undangan:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi; Kolusi Dan Nepotisme;
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia;
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional;
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah;
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang;
92
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah;
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara pemerintah Pusat Dengan Pemerintahan Daerah;
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana;
Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah;
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa;
Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana; Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2007 Tentang Pengesahan Pengundangan Dan
Penyebarluasan Peraturan Perundang-Undangan; Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa; Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 66 Tahun 2007 Tentang Perencanaan Pembangunan Desa; Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 4 Tahun 2008
Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana; Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 07 Tahun 2005 Tentang Transparansi Dan
Partisipasi Publik Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Di Kabupaten Bantul; Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 10 Tahun 2007 Tentang Pokok-Pokok
Pengelolaan Keuangan Daerah Kabupaten Bantul; Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas
Peraturan Daerah Nomor 20 tahun 2007 Tentang Pedoman Organisasi Pemerintahan Desa;
Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 02 Tahun 2009 Tentang Pokok-Pokok
Pengelolaan Keuangan Desa; Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Pedoman
Perencanaan Pembangunan Desa; Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Penanggulangan Bencana; Peraturan Bupati Bantul Nomor 55 Tahun 2009 Tentang Pedoman Penyusunan
Anggaran Pendapatan Dan Belanja Desa; Peraturan Desa Mulyodadi Nomor 03 Tahun 2008 Tentang Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Desa Mulyodadi tahun 2008 – 2013 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa Wonolelo
93
PROGRAM DESA TANGGUH
FACTSHEET
Lokasi : Bantul
Waktu Pelaksanaan : Desember 2009‐Januari 2011
Jumlah Penerima manfaat : 2 (dua) desa di Bantul
‐ Desa Mulyodadi, Bambanglipuro, Bantul
‐ Desa Wonolelo, Pleret, Bantul
Total dana : Rp. 683.685.000,00
Pelaksana : YP2SU
Donor : SC‐DRR UNDP
Latar Belakang Program
Sebuah desa adalah unit terkecil pemerintahan
politik dan administrative, yang langsung berhadapan
dengan masyarakat. Untuk itulah , desa menjadi titik
yang strategis untuk membangun gerakan
pengurangan risiko bencana di tingkat basis.
Program Desa Tangguh YP2SU membangun
partisipasi semua stakeholders untuk membentuk
sistem yang diharapkan dapat mempertinggi daya
lenting masyarakat untuk menanggulangi bencana.
Tujuan:
a. Meningkatkan kapasitas masyarakat untuk
penanggulangan bencana desanya;
b. Memberikan penyadaran public mengenai
pentingnya partisipasi masyarakat dalam
penanggulangan bencana;
c. Terciptanya sistem regulasi dan perencanaan
aksi penanggulangan bencana di tingkat desa;
d. Terpetakannya ancaman bencana, kerawanan
bencana, dan kapasitas masyarakat
menghadapi bencana.
e. Terpetakannya potensi dan masalah
masyarakat secara visual dalam Video
Komunitas
f. Terlembagakannya partisipasi masyarakat
Kontak person program:
Iswahyuli (081 328 589 130)
Wawan Andriyanto (0856 476 074 06)
Aktivitas/Kegiatan
1. Pengorganisasian dan inisiasi Pengurangan Risiko
Bencana
2. Pengenalan potensi desa
3. Pengenalan dan pemetaan risiko bencana desa
4. Edukasi dan Kampanye Penanggulangan Bencana
5. Penyusunan dan Legalisasi Dokumen Sistem
Penanggulangan Bencana Desa
a. Rencana Penanggulangan Bencana;
b. Rencana Aksi Komunitas untuk Pengurangan
Risiko Bencana
c. Rencana Kontinjensi Bencana
6. Advokasi Kebencanaan;
7. Pelembagaan Penanggulangan Bencana
Masyarakat Desa dalam Forum Desa;
8. Pengorganisasian Pemuda Melalui Program Video
Komunitas;
Keberhasilan
Terbentuknya Desa Tangguh, dengan perencanaan
danj partisipasi yang terlembagakan. Masyarakat
teredukasi untuk penanggulangan bencana. Risiko
bencana terpetakan, dan adanya visualisasi dalam
video komunitas.
DESA MULYODADI DAN DESA WONOLELO
94
PERSONEL
PROGRAM DESA TANGGUH
A. MANAJEMEN PROGRAM
1. Much. Maskuri (Direktur Program Desa Tangguh) Much. Maskuri, atau sering disapa dengan Pak Maskuri, adalah Direktur YP2SU Yogyakarta, dan saat ini juga menjabat sebagai Koordinator Bidang III Partisipasi dan Pelembagaan Forum Pengurangan Risiko Bencana Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
2. Iswahyuli (Manajer Program Desa Tangguh) Iswahyuli, atau sering disapa dengan Pak Yuli, adalah Koordinator Bidang Pemberdayaan YP2SU Yogyakarta. Dalam Program Desa Tangguh, Pak Yuli menjabat sebagai Manajer Program.
3. Wahyu Subekti Kurniawati (Monev Program Desa Tangguh) Wahyu Subekti Kurniawati, atau sering disapa dengan Mbak Ayuk, bertanggungjawab atas Monitoring dan Evaluasi Program Desa Tangguh. Saat ini Mbak Ayuk menjabat sebagai Sekretaris II YP2SU Yogyakarta.
B. FASILITATOR PROGRAM DAN COMMUNITY ORGANIZER (CO)
1. Wawan Andriyanto (Fasilitator Program Desa Tangguh) Wawan Andriyanto, atau sering disapa dengan sebutan Mas Wawan, bertanggungjawab atas fasilitasi program di Desa Mulyodadi, Perencanaan Strategis Penanggulangan Bencana Desa, sekaligus Advokasi Program Desa Tangguh. Mas Wawan saat ini menjabat sebagai Konsultan Pengurangan Risiko Bencana di YP2SU Yogyakarta.
2. Fuad Galuh Prihananto (Fasilitator Program Desa Tangguh) Fuad Galuh Prihananto, atau sering disapa dengan panggilan kesayangannya Maz Voe@, adalah fasilitator Desa Wonolelo, sekaligus penanggungjawab Analisis dan Pemetaan Risiko Bencana sekaligus Perencanaan Kontinjensi Bencana.
3. Fikka Octora Putri (Fasilitator Video Komunitas) Fikka Octora Putri, atau sering dipanggil dengan Mbak Fikka adalah Fasilitator Video Komunitas dan Media Pembelajaran Program Desa Tangguh. Mbak Fikka ini juga menjabat sebagai administrator program Desa Tangguh.
4. Retna Heryanti (Community Organizer Mulyodadi) Retna Heryanti, a.k.a. Mbak Retna terjun sebagai CO Desa Mulyodadi. Di desanya, beliau adalah aktivis pemuda desa Mulyodadi, biasa terjun dalam pengorganisasian kegiatan keagamaan dan kepemudaan desa.
95
5. Sri Wahyuni (Community Organizer Mulyodadi) Sri Wahyuni, a.k.a. Mbak Yuni bertanggungjawab sebagai CO di Desa Mulyodadi bersama Mbak Retna. Beliau berpengalaman sebagai freelance marketer, sehingga sangat efektif sebagai pengorganisasi Masyarakat.
6. Akhmad Furqon Akhmad Furqon, alias Mas Uqon, adalah aktivis Nahdlatul ‘Ulama, ustadz di Pondok Pesantren Binaul Ummah Desa Wonolelo, dan wiraswasta. Beliau adalah CO Desa Wonolelo.
7. Nurkholis Majid Mas Kholis, begitulah panggilan Nur Kholis Majid, adalah aktivis Muhammadiyah Desa Wonolelo, yang menjadi CO Desa Wonolelo. Bersama‐sama dengan Mas Uqon, beliau mengorganisasi komunitas desa, merepresentasikan kesatuan NU dan Muhammadiyah.
C. ADMINISTRATOR DAN KEUANGAN PROGRAM
1. Esaputri Purwandari Esaputri Purwandari, a.k.a. Mbak Putri adalah Finance Manager YP2SU Yogyakarta. Dalam program Desa Tangguh ini, beliau menjabat sebagai Manajer Keuangan program.
2. Wasrifah Isriyati
Wasrifah Isriyati, a.k.a. Mbak Yati adalah cashier YP2SU Yogyakarta. D. MEDIA BULLETIN
1. Akhmad Arifin
Mas Arifin adalah penyusun bulletin Program Desa Tangguh YP2SU Yogyakarta.
96
PROFIL PENULIS
Wawan Andriyanto, yang lahir pada hari Rabu Pahing tanggal 26
Januari 1983 adalah seorang Junior Consultant Pengurangan Risiko
Bencana pada Yayasan Peningkatan dan Pengembangan Sumber
Daya Umat (YP2SU).
Lulusan Fakultas Hukum UGM Yogyakarta ini bergabung ke dalam
organisasi YP2SU sejak Gempa Bumi 27 Mei 2006 sebagai
Koordinator Volunteer Bidang Data dan Informasi Program Rescue
dan Recovery Gempa Yogya (2006 – 2007). Kemudian sebagai
Fasilitator Lapangan dalam Program Community Action Planning
(CAP) Desa Sidomulyo Bambanglipuro Bantul (Tahun 2007). Pada
awal Tahun 2008, menjadi Project Officer Program SLAMET/ Edukasi Pengurangan Risiko
Bencana di 5 (lima) desa di Provinsi DIY dan Jawa Tengah.
Kurun waktu 2008 – 2009, terlibat dalam program‐program pemulihan pasca bencana gempa
bumi 27 Mei 2006 bersama YP2SU, serta kerja‐kerja jaringan Kebencanaan Masyarakat Sipil
DIY, seperti Forum Suara Korban Bencana, dan Penyusunan Rencana Aksi Daerah untuk
Pengurangan Risiko Bencana Kabupaten Gunung Kidul.
Pada Tahun 2010, menjadi Fasilitator Program Desa Tangguh di Desa Mulyodadi,
Bambanglipuro Bantul, sekaligus Penanggung Jawab Advokasi Pengurangan Risiko Bencana
Program Desa Tangguh. Salah satu point yang patut dicatat adalah, bahwa dalam program ini,
beliau bersama dengan tim desa tangguh berhasil menginisiasi dan memfasilitasi sistem
regulasi kebencanaan desa, yang dianut di 2 (dua) desa lokasi Program, yakni Desa Mulyodadi
dan Desa Wonolelo.
Saat ini, ia menjabat sebagai Junior Consultant Pengurangan Risiko Bencana YP2SU Yogyakarta.
Aman Seterusnya
Siaga Selalu
YP2SUJl. Retnodumilah 29 A Kotagede YogyakartaTel : 0274-414304email : [email protected]