wp gender ind

110
Lebih Dari Sekedar Pengarusutamaan: Mendorong Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan melalui Rekonstruksi Pascabencana Rangkaian Makalah Kerja MDF-JRF: Hasil Pembelajaran dari Rekonstruksi Pascabencana di Indonesia Makalah Kerja 4

Upload: anatasya-priharyayu

Post on 24-Nov-2015

62 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • Lebih Dari Sekedar Pengarusutamaan: Mendorong Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan melalui Rekonstruksi Pascabencana

    Rangkaian Makalah Kerja MDF-JRF:Hasil Pembelajaran dari Rekonstruksi Pascabencana di Indonesia

    NAD Nias

    Makalah Kerja 4

  • Perempuan yang harus mengungsi karena letusan Gunung Merapi berpartisipasi dalam pertemuan untuk mendiskusikan rencana pemindahan desa mereka.

    Foto: Fauzan Ijazah

  • Lebih Dari Sekedar Pengarusutamaan: Mendorong Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan melalui Rekonstruksi Pascabencana

    NAD Nias

    Rangkaian Makalah Kerja MDF-JRF:Hasil Pembelajaran dari Rekonstruksi Pascabencana di Indonesia

    Diterbitkan oleh:Sekretariat MDF - JRFBank Dunia, Kantor Indonesia, Gedung Bursa Efek Indonesia,Jl. Jendral Sudirman Kav. 52-53Jakarta 12910, IndonesiaTel : (+6221) 5299-3000Faks : (+6221) 5299-3111

    Makalah Kerja 4

  • UCAPAN TERIMA KASIH

    Rangkaian Makalah Kerja MDF-JRF: Hasil Pembelajaran dari Rekonstruksi Pascabencana di Indonesia ini dipersiapkan oleh Sekretariat Multi Donor Fund untuk Aceh dan Nias (MDF) dan Java Reconstruction Fund (JRF). Bank Dunia merupakan wali amanat untuk keduanya. Rangkaian ini, yang terdiri dari lima makalah kerja, disusun berdasarkan arahan Shamima Khan, Manajer MDF dan JRF. Anita Kendrick, Staf Pengawasan dan Penilaian MDF dan JRF, menyusun konsep- konsep dan mengatur proses produksi dari masing-masing Rangkaian Kertas Kerja dan Catatan untuk Pengetahuan.

    Makalah ini, yang merupakan Makalah Kerja ke-4, dalam rangkaian makalah MDF-JRF berjudul Lebih Dari Sekdar Pengarusutamaan: Mendorong Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan melalui Rekonstruksi Pascabencana. Laporan ini disusun berdasarkan penelitian dan teks latar belakang yang ditulis oleh Mary Ann Brocklesby, konsultan Bank Dunia. Shamima Khan memberikan arahan umum, dukungan dan pengawasan terhadap keseluruhan proses penulisan dan produksi laporan. Anita Kendrick, menangani persiapan dan penyusunan laporan serta melakukan pengawasan redaksional dan arahan atas desain, isi dan proses produksi. Gillian Brown, spesialis gender, dan Helene Carlsson Rex, spesialis senior pembangunan sosial dari Bank Dunia, memberikan masukan mendalam dan berguna atas teks laporan sebagai rekan penelaah. Sharon Lumbantobing mengelola proses produksi, dan Kate Redmond serta Devi Asmarani memberikan bantuan redaksional.

    Anggota tim Sekretariat MDF-JRF lain dan para konsultan memberikan kontribusi penting terhadap isi, desain, tata letak dan produksi makalah kerja ini: Safriza Sofyan, Wakil Manajer MDF, bersama dengan Akil Abduljalil, Deslly Sorongan, Inge Susilo, Eva Muchtar, Inayat Bhagawati, Nur Raihan, Nia Sarinastiti, Olga Lambey, Amenah Smith, Friesca Erwan, Harry Masyarafah, dan David Lawrence. memberikan dukungan administratif. Ola Santo dan tim Rancang Imaji menyiapkan desain dan tata letak Rangkaian Makalah Kerja dan Catatan Untuk Pengetahuan yang menyertainya.

    Sekretariat MDF dan JRF mengucapkan terima kasih kepada para mitra dan pemangku kepentingan yang telah memberikan dukungan kepada tim melalui kerja sama yang baik selama proses penyusunan makalah kerja. Di antaranya adalah perwakilan dari Pemerintah Indonesia, termasuk kementerian terkait, juga pemerintah tingkat daerah di Aceh, Sumatra Utara, Nias dan Jawa Tengah serta Daerah Istimewa Yogyakarta. Selain itu, Sekretariat MDF dan JRF juga berterima kasih kepada para donor, badan mitra dan badan pelaksana, serta segenap masyarakat penerima bantuan di Aceh, Nias, Jawa Tengah, dan Jawa Barat, serta Yogyakarta atas kerja sama dan dukungan yang telah diberikan kepada kami.

    Diterbitkan oleh:Sekretariat MDF - JRFBank Dunia, Kantor Indonesia, Gedung Bursa Efek Indonesia,Jl. Jendral Sudirman Kav. 52-53Jakarta 12910, IndonesiaTel : (+6221) 5299-3000Faks : (+6221) 5299-3111

    www.worldbank.orgwww.multidonorfund.org

    www.javareconstructionfund.org

  • Multi Donor Fund untuk Aceh dan Nias (MDF) dan Java Reconstruction Fund (JRF) diakui secara luas telah berperan penting dalam pemulihan yang luar biasa di Aceh, Nias dan Jawa, setelah sejumlah bencana terburuk terjadi di Indonesia selama dasawarsa terakhir.

    MDF dan JRF, yang dirancang bagi upaya pemulihan tersebut, masing-masing dianggap sebagai model yang sangat berhasil untuk rekonstruksi pascabencana. Penyebab utama keberhasilan ini adalah kepemimpinan Pemerintah Indonesia dan kemitraan yang mantap antar berbagai pemangku kepentingan untuk mendukung agenda rekonstruksi pemerintah. Kedua program tersebut telah memberi hasil yang mengesankan, baik dalam hal rekonstruksi fisik maupun dalam manfaat yang tidak terlihat nyata tetapi tidak kalah pentingnya, misalnya pemberdayaan masyarakat, penguatan tata kelola dan masyarakat yang lebih tangguh untuk menghadapi bencana di masa yang akan datang. Pengalaman MDF dan JRF telah memberikan banyak pelajaran berguna dan menciptakan model dan pendekatan yang tepat guna, agar dapat diadaptasi dan ditiru dalam konteks rekonstruksi lain.

    Sebagai bagian dari memuncaknya kegiatan, Sekretariat MDF dan JRF telah mempersiapkan serangkaian makalah kerja untuk mendokumentasikan pencapaian dan hasil pembelajaran tersebut. Rangkaian Makalah Kerja MDF-JRF: Hasil Pembelajaran dari Rekonstruksi Pascabencana di Indonesia terdiri dari lima Makalah Kerja yang meliputi lima bidang utama. Bidang tersebut adalah: 1) Pendekatan berbasis masyarakat untuk pemulihan pascabencana; 2) Peningkatan kapasitas dalam keadaan pascabencana; 3) Rekonstruksi infrastruktur; 4) Memajukan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan melalui rekonstruksi pascabencana; dan 5) Dana perwalian multi-donor sebagai landasan kerja kemitraan yang tepat guna untuk upaya rekonstruksi. Setiap Makalah Kerja menguraikan strategi dan pendekatan yang diadopsi oleh MDF dan/atau JRF di seluruh proyek mereka, mencatat pencapaian dan menarik pelajaran yang berguna dalam situasi pascabencana yang lain. Selain makalah kerja, serangkaian Catatan Pengetahuan juga disiapkan, yang merupakan rangkuman ringkas atas pelajaran dan kesimpulan dari setiap makalah kerja yang lebih panjang.

    Tulisan ini, yang merupakan Makalah Kerja ke-4 dalam rangkaian, diberi judul Lebih Dari Sekedar Pengarusutamaan: Mendorong Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan melalui Rekonstruksi Pascabencana. Tulisan ini memaparkan berbagai pelajaran yang dipetik dari upaya-upaya MDF dan JRF untuk memfasilitasi pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender selama proses rekonstruksi. Tulisan ini merekam berbagai contoh praktik terbaik dari MDF dan JRF, dan berdasarkan berbagai pengalaman tersebut, membuat sejumlah rekomendasi tentang jenis-jenis strategi dan langkah yang dibutuhkan untuk mengarusutamakan berbagai pendekatan yang peka gender dalam upaya-upaya rekonstruksi di masa mendatang.

    Secara bersama-sama, pelajaran dan pengalaman MDF dan JRF mewariskan pencapaian yang luar biasa dari kedua program ini dan kemitraan yang baik sebagai penyebabnya. Kami berharap bahwa hasil pembelajaran dalam makalah kerja ini dapat memberikan sumbangsih bagi upaya rekonstruksi dan kesiapsiagaan mendatang di Indonesia dan negara-negara lainnya di seluruh dunia yang rawan bencana.

    Shamima KhanManajerMulti Donor Fund untuk Aceh dan NiasJava Reconstruction Fund

    Rangkaian Makalah keRja MDF-jRF

  • UCAPAN TERIMA KASIH 4RANGKAIAN MAKALAH KERJA MDF-JRF 5PETA BENCANA DI INDONESIA 8SERANGKAIAN BENCANA DI INDONESIA 10TENTANG MULTI DONOR FUND UNTUK ACEH DAN NIAS (MDF) 15TENTANG JAVA RECONSTRUCTION FUND (JRF) 20RINGKASAN EKSEKUTIF 22

    BAB 1 PENDAHULUAN 301.1. Fokus Makalah Kerja 32

    1.2. Susunan Makalah Kerja 35

    BAB 2 MENGAPA GENDER PENTING DALAM KEBENCANAAN 362.1. Perempuan di Aceh Pascabencana 38

    2.2. Perempuan di Nias Pascabencana 40

    2.3. Perempuan di Jawa Tengah dan Yogyakarta Pascabencana 40

    BAB 3 BERBAGAI ISU GENDER DALAM UPAYA REKONSTRUKSI 423.1. Memajukan Kesetaraan Gender dalam Berbagai Respons Rekonstruksi 44

    3.2 Pengarusutamaan Gender dalam Upaya Rekonstruksi 46

    3.3. Gender serta MDF dan JRF 49

    DAFTAR ISI

  • BAB 4 SUARA PEREMPUAN: PERAN PEREMPUAN DALAM PEMBUATAN KEPUTUSAN, PERENCANAAN MASYARAKAT DAN PENYUSUNAN PRIORITAS KEBUTUHAN 54

    4.1. Akses Perempuan Terhadap Informasi 55

    4.2. Suara, Agensi, dan Partisipasi Perempuan 59

    BAB 5 PEMBERDAYAAN EKONOMI PEREMPUAN: MENINGKATKAN AKSES KE MANFAAT DAN PEKERJAAN REKONSTRUKSI 72

    5.1. Pemberdayaan Ekonomi Perempuan 74

    5.2. Membangun Ketahanan 83

    BAB 6 REKONSTRUKSI BENCANA SEBAGAI JALAN MASUK UNTUK PENGARUSUTAMAAN GENDER 88

    6.1. Memperkuat Perhatian Terhadap Gender dalam Rekonstruksi 90

    6.2. Struktur, Sistem dan Mekanisme Pendukung 92

    6.3. Akuntabilitas Mekanisme untuk Memandatkan Pengarusutamaan Gender 94

    6.4. Memajukan Peran dan Pemberdayaan Perempuan dalam Rekonstruksi 95

    LAMPIRAN 98DAFTAR SINGKATAN DAN AKRONIM 102DAFTAR PUSTAKA DAN RUJUKAN 104

  • PETA BENCANA DI INDONESIA

    Mei 2006:Gempa Bumi 5.700 orang meninggal 40.000 orang terluka Perkiraan kerugian: AS$3,1 miliarYOGYAKARTA DAN JAWA TENGAH

    Oktober-November 2010:Letusan Gunung Berapi 300 orang meninggal 350.000 orang kehilangan tempat tinggal Perkiraan kerugian: AS$360 jutaGUNUNG MERAPI

    Juli 2006:Tsunami 1.000 orang meninggal 50.000 orang kehilangan tempat tinggal Perkiraan kerugian: AS$110 jutaJAWA BARAT

    JAKARTA

    Desember 2004:Gempa Bumi dan Tsunami 220.000 orang meninggal dan hilang 585.000 orang kehilangan tempat tinggal Perkiraan kerugian: AS$4,5 miliarACEH DAN KEPULAUAN NIAS

    Maret 2005:Gempa Bumi 1.000 orang meninggal 50.000 orang kehilangan tempat tinggal Perkiraan kerugian: AS$390 juta KEPULAUAN NIAS DAN ACEH

  • 10Se

    rang

    kaia

    n Be

    ncan

    a di

    Ind

    ones

    ia

    Indonesia adalah salah satu negera paling rawan bencana di dunia dan rentan terhadap gempa bumi, tsunami, tanah longsor, banjir, letusan gunung berapi dan kebakaran lahan. Antara tahun 2004 dan tahun 2010, Indonesia diterpa sederetan bencana alam dengan dampak kehancuran yang sedemikian parah hingga menggerakkan hati begitu banyak pihak dari seluruh penjuru dunia untuk memberikan bantuan.

    Desember 2004 Gempa Bumi dan Tsunami di Aceh

    Gempa bumi dan tsunami yang menghantam Indonesia dan beberapa negara lain di wilayah Samudera Hindia pada tanggal 26 Desember 2004 adalah salah satu bencana alam terburuk di sepanjang sejarah umat manusia. Gempa bumi dahsyat berkekuatan 9,1 skala Richter ini berpusat di Samudera Hindia, sekitar 150 kilometer lepas pantai provinsi Aceh yang terletak di penghujung utara pulau Sumatra. Gelombang laut menyapu seluruh Samudera Hindia dan mengakibatkan kematian dan kehancuran di seluruh Asia Selatan termasuk Thailand, Bangladesh, Srilanka, India hingga Afrika Timur. Tidak ada yang menderita separah Indonesia. Gelombang setinggi 10 meter menghantam sepanjang pesisir Aceh. Tingkat kehancuran fisik dan penderitaan manusia luar biasa besarnya. Di Aceh sendiri, 221.000 orang meninggal atau hilang, dan sekitar setengah juta lainnya kehilangan tempat tinggal. Sebanyak 750.000 orang kehilangan mata pencaharian. Pada semua tingkatan, infrastruktur lumpuh atau hancur lebur.

    Dalam sekejap, hunian manusia di sepanjang pesisir Aceh dan Nias di provinsi Sumatra Utara luluh lantak. Manusia, rumah, kapal, mobil dan bangunan tenggelam dalam tsunami yang menelan apa saja yang dilaluinya. Desa-desa yang beberapa menit sebelumnya penuh dengan hiruk-pikuk kehidupan masyarakat tinggal puing-puing. Begitu banyak jalan, jembatan, sistem komunikasi, gedung sekolah, rumah sakit, dan klinik hancur atau rusak berat. Nelayan, petani dan mereka yang lain kehilangan mata pencaharian dan banyak usaha hancur atau tidak bisa beroperasional lagi.

    Penilaian atas dampak dari kedua bencana ini, yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia bersama Bank Dunia dan beberapa mitra lain, menaksir kehancuran dan kebutuhan senilai AS$4,9 miliar.1

    Angka ini kemudian diubah jadi AS$ 6,2 miliar.

    Kehancuran besar yang menimpa Aceh sangat mempengaruhi pemerintahan tingkat provinsi dan kabupaten/kota yang sebelumnya sudah lemah akibat konflik selama bertahun-tahun. Tsunami menghancurkan 21 persen dari seluruh bangunan pemerintahan dan 19 persen dari seluruh perangkat yang berada di dalam bangunan-bangunan tersebut. Sekitar 9 persen dari seluruh pegawai negeri tewas dan sedikitnya 21 persen dari pegawai negeri yang tersisa terdampak parah, sehingga memperlemah kapasitas mereka berfungsi sebagai pemerintah daerah. Dua puluh tujuh persen arsip pemerintahan musnah. Penaksiran biaya penggantian atas seluruh kerugian ini mencapai sekitar lebih dari AS$81 juta.

    SERANGKAIAN BENCANA DI INDONESIA

    1 Dalam makalah ini, mata uang dinyatakan dalam dolar AS$

  • Lebih Dari Sekedar Pengarusutam

    aan: Mendorong Kesetaraan G

    ender dan Pem

    berdayaan Perempuan m

    elalui Rekonstruksi Pascabencana 11

    Sebelum tsunami, tata kelola di Aceh sudah menghadapi berbagai macam tantangan, termasuk kurangnya kapasitas kelembagaan dan tidak efisiennya pelayanan publik seperti kesehatan dan pendidikan, terutama di daerah pedesaan. Terjadinya tsunami semakin memperberat tantangan ini, dan pemerintahan di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota tidak dalam posisi siap untuk mengelola upaya pelaksanaan pemulihan berskala besar dan luas yang diperlukan. Pemerintah pusat segera mengambil langkah untuk memimpin proses rekonstruksi.

    Maret 2005 Gempa Bumi di Sumatra Utara dan Aceh

    Hanya berselang tiga bulan kemudian, pada tanggal 28 Maret 2005 gempa bumi berkekuatan 8,7 skala Richter menghantam Aceh dan tetangganya provinsi Sumatra Utara. Gempa bumi ini meluluhlantakkan Kepulauan Nias di provinsi Sumatra Utara yang terletak di Samudera Hindia, sekitar 130 kilometer lepas pantai barat Sumatra, di sebelah selatan Aceh. Pulau Simeulue, bagian dari provinsi Aceh di lepas barat pantai pulau Sumatra, juga mengalami kerusakan parah. Bencana kedua ini memakan hampir 1.000 korban jiwa dan memaksa hampir 50.000 yang selamat untuk mengungsi. Gempa bumi itu semakin menghancurkan wilayah yang sebelumnya juga sudah terkena dampak bencana. Kerusakan fisik sangat parah. Sekitar 30 persen dari seluruh bangunan hancur. Kerusakan tersebut melumpuhkan transportasi dan berbagai infrastruktur penting lainnya, termasuk pelabuhan-pelabuhan utama yang menghubungkan penduduk pulau terpencil itu dengan pulau Sumatra. Sebelum terjadi bencana, Nias dan Simeulue termasuk wilayah termiskin di Indonesia, dan gempa bumi ini menjadikan keduanya semakin terisolasi.

    Foto: Kantor Berita Antara

    Banyak orang yang selamat dari tsunami karena mengungsi di Mesjid Raya Aceh. Mereka hanya dapat menyaksikan tanpa mampu membantu ketika gelombang air laut meluap ke jalan membawa puing-puing dan korban manusia.

  • 12Se

    rang

    kaia

    n Be

    ncan

    a di

    Ind

    ones

    ia

    Kedua bencana ini menghancurkan dua wilayah di Indonesia yang sebelumnya sudah demikian didera berbagai tantangan. Provinsi Aceh saat itu tengah dilanda konflik antara gerakan separatis dan militer Indonesia. Konflik yang berlangsung selama lebih dari tiga puluh tahun itu telah melumpuhkan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, dan sangat melemahkan kapasitas pemerintah dan sektor swasta. Pada saat tsunami Desember 2004 terjadi, tingkat kemiskinan di Aceh mencapai 28,4 persen, jauh di atas rata-rata nasional 16,7 persen.2 Kabupaten Nias dan Nias Selatan di kepulauan Nias termasuk kabupaten termiskin di Indonesia. Dengan sebagian besar pulau terisolasi, tingkat kemiskinannya diperkirakan sekitar 31 persen saat gempa bumi terjadi pada bulan Maret 2005.3 Tantangan ganda berupa kemiskinan dan keterisolasian menciptakan lingkungan kerja yang sangat sulit bagi upaya rekonstruksi di Nias.

    Pada awalnya, pemerintah daerah, yang sudah lemah akibat konflik di Aceh dan keterisolasian di Nias, sangat kewalahan akibat bencana ini. Menyadari hal itu, dan mengingat besarnya skala kerja rekonstruksi yang harus dilakukan, pemerintah pusat mendirikan Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh dan Nias (dikenal luas sebagai BRR) untuk mengelola rekonstruksi. Badan khusus

    Foto: TimIREP-IRFF

    Banyak jalan, jembatan, sistem komunikasi, sekolah dan infrastruktur lainnya yang roboh atau rusak parah sehingga tidak dapat digunakan lagi setelah bencana. Sebagian besar dari pesisir Aceh ditelan air laut dan banyak pelabuhan-pelabuhan yang termusnahkan oleh tsunami.

    2 Bank Dunia 20083 Survey Ekonomi Badan Pusat Statistik 2005-2007

  • Lebih Dari Sekedar Pengarusutam

    aan: Mendorong Kesetaraan G

    ender dan Pem

    berdayaan Perempuan m

    elalui Rekonstruksi Pascabencana 13

    ini berkantor pusat di Aceh dan dipimpin oleh seorang pejabat setingkat menteri yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden.

    Mei 2006 Gempa Bumi di Jawa

    Bencana menghantam Indonesia lagi pada tanggal 27 Mei 2006, ketika gempa bumi berkekuatan 5,9 skala Richter mengguncang pulau Jawa dan mengakibatkan kerusakan parah di provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Gempa ini menghantam salah satu wilayah terpadat se-Asia, menewaskan lebih dari 5.700 orang dan menghancurkan lebih dari 280.000 rumah. Lebih dari 60 persen dari keseluruhan kerusakan fisik terjadi pada tempat tinggal, yang juga berdampak pada usaha kecil dan menengah yang sebagian besar adalah industri rumah tangga. Meskipun kerusakan pada infrastruktur relatif lebih sedikit, ratusan ribu rumah dan bangunan struktur kecil hancur.

    Banyak rumah di daerah tersebut dibangun tanpa struktur penguat yang baik dan menggunakan bahan bangunan bermutu rendah, sehingga dampak kematian dan kerusakan lebih besar dari yang biasanya terjadi akibat gempa berkekuatan serupa. Sekitar 40.000 orang terluka dalam gempa bumi ini. Ribuan orang terjebak dan terkubur dalam reruntuhan rumah dan bangunan.

    Sebuah tim gabungan yang dipimpin Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), bersama pemerintahan daerah dan komunitas internasional, mempersiapkan Penilaian Kerusakan dan Kerugian guna menentukan keseluruhan dana yang dibutuhkan untuk fase rehabilitasi dan rekonstruksi. Total kerusakan dan kerugian akibat gempa bumi ini diperkirakan sebesar AS$3,1 miliar.

    Dampak ekonomi dari gempa bumi ini terasa berat terutama karena konsentrasi industri rumah tangga terletak di wilayah yang terlanda gempa. Lebih dari 650.000 orang bekerja dalam berbagai aktivitas ekonomi yang secara langsung terdampak oleh gempa ini, dan hampir 90 persen kerusakan dan kerugian menimpa usaha kecil dan menengah. Banyak dari industri rumah tangga di bidang kerajinan tangan yang merupakan andalan daerah tersebut menderita akibat gempa. Pembangunan kembali rumah akan membantu membangkitkan kembali usaha rumah tangga dan memulihkan mata pencaharian. Juli 2006 Tsunami Jawa Barat

    Hanya dua bulan kemudian, pada tanggal 17 Juli 2006, gempa dasar laut yang kedua kembali menghempas pantai selatan Jawa. Gempa yang berkekuatan 7,7 skala Richter itu memicu terjadinya tsunami yang mengakibatkan kerusakan luas. Tsunami menghantam pesisir selatan Jawa Barat. Hampir 1.000 orang tewas atau hilang akibat bencana tersebut, sementara 50.000 orang lainnya terpaksa mengungsi. Kerusakan dan kerugian diperkirakan mencapai AS$112 juta. Dampak tsunami terparah dirasakan oleh Kabupaten Ciamis. Di sepanjang pesisir Ciamis saja, terdapat hampir 6.000 keluarga yang kehilangan tempat tinggal. Tsunami mengakibatkan kehancuran ekonomi di desa-desa nelayan dan daerah wisata di pesisir selatan Jawa Barat, sehingga banyak perahu nelayan hilang dan pelabuhan perikanan hancur.

  • 14Se

    rang

    kaia

    n Be

    ncan

    a di

    Ind

    ones

    ia

    Oktober dan November 2012 Gunung Merapi Meletus

    Pada tanggal 26 Oktober 2010, bencana kembali terjadi di Jawa saat Gunung Merapi yang terletak di perbatasan antara Yogyakarta dan Jawa Tengah meletus. Letusan itu disusul oleh tujuh letusan besar. Yang terakhir terjadi pada tanggal 11 November 2010. Selama dua minggu penuh, gunung tersebut menyemburkan awas panas ke arah wilayah pedesaan di sekitarnya dan lahar panas disertai awan panas mengalir ke beberapa aliran sungai. Awan debu panas dan gas beracun yang menyertai awan panas bertemperatur 600-800 derajat Celsius itu menghanguskan apa saja yang dilaluinya, termasuk ternak, tanaman pangan dan pepohonan yang sebenarnya sangat diperlukan sebagai sumber nafkah bagi para pengungsi. Hujan abu, yang menyelimuti semua benda dengan debu vulkanik, melanda hingga ke berbagai kota di Jawa. Semua penduduk dalam radius 20 kilometer dari kawah gunung diungsikan. Bersamaan dengan kerusakan masif yang menimpa infrastruktur lokal, sekitar 2.900 rumah hancur dan 350.000 orang kehilangan tempat tinggal dan ditampung di berbagai kamp evakuasi. Berkat upaya pengungsian yang tepat waktu, jumlah korban jiwa terbatas meskipun tetap ada 300 penduduk yang tewas dan lebih dari 500 terluka. Letusan-letusan Merapi itu berdampak pada berbagai wilayah di provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, termasuk pada sejumlah komunitas yang terkena dampak gempa bumi pada tahun 2006 dan masih dalam proses pembangunan kembali.

    Letusan-letusan tersebut mengakibatkan kerusakan luas pada perumahan dan infrastruktur lokal, serta hilangnya mata pencaharian. Selama letusan gunung terjadi, abu vulkanik bercampur air hujan mengalir turun dari gunung dalam bentuk aliran lumpur dalam jumlah besar. Di Jawa, lumpur ini dikenal sebagai lahar dingin dan terdiri atas abu dan pasir vulkanik dari letusan, yang jika bercampur dengan air hujan akan membentuk aliran lumpur tebal dan pekat yang menyusur dari atas gunung dan menelan semua yang dilewatinya. Lahar dingin ini menimbuni desa, ladang dan sawah. Bebatuan besar, pepohonan, rumah, ternak, sepeda motor dan mobil ikut terseret oleh lumpur ini. Beberapa desa di dekat gunung yang masuk di dalam zona bahaya direlokasikan ke wilayah yang lebih aman.

    Menghadapi Masa Depan

    Banyaknya bencana alam sejak tahun 2004 menjadi peringatan nyata betapa Indonesia sangat rawan terhadap bencana alam. Perbaikan pada sistem peringatan dini diharapkan dapat menyelamatkan jiwa, sekaligus memastikan bahwa hunian dan struktur lainnya dibangun mengikuti standar bangunan tahan gempa. Banyak dari rumah-rumah yang hancur selama gempa bumi ternyata dibangun dengan bahan baku dan teknik rancangan bermutu rendah, sehingga berakibat pada tingginya korban jiwa dan kerusakan saat terjadi gempa. Melalui rekonstruksi dan rehabilitasi setelah berbagai bencana ini, Indonesia memetik banyak pelajaran. Indonesia telah menciptakan berbagai institusi dan menerapkan suatu sistem bagi pengurangan risiko bencana. Sebagai hasil dari proses pemulihan dan rekonstruksi tersebut, masyarakat di Aceh, Nias dan Jawa menjadi lebih tangguh untuk menghadapi bencana-bencana di masa mendatang.

  • Lebih Dari Sekedar Pengarusutam

    aan: Mendorong Kesetaraan G

    ender dan Pem

    berdayaan Perempuan m

    elalui Rekonstruksi Pascabencana 15

    Multi Donor Fund untuk Aceh and Nias (MDF) dibentuk pada bulan April 2005 sebagai tanggapan atas permintaan Pemerintah Indonesia untuk mengkoordinasikan bantuan donor dalam rangka rekonstruksi dan rehabilitasi daerah-daerah terdampak gempa bumi dan tsunami pada bulan December 2004 dan gempa berikutnya pada bulan Maret 2005.

    MDF menghimpun AS$655 juta dana hibah dari 15 donor. Angka tersebut mencakup hampir 10 persen dari keseluruhan dana rekonstruksi. Atas permintaan Pemerintah Indonesia, Bank Dunia bertindak sebagai Wali Amanat bagi MDF. Dana hibah diberikan bagi proyek-proyek yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah, lembaga non-pemerintah dan masyarakat, dengan pengawasan dari lembaga-lembaga mitra. Lembaga-lembaga mitra tersebut termasuk Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP), Program Bantuan Pangan Dunia (WFP), Organisasi Buruh Internasional (ILO) dan Bank Dunia.

    Portofolio MDF mendanai 23 proyek dalam enam bidang: (1) Pemulihan masyarakat; (2) Pemulihan Transportasi dan Infrastruktur Berskala Besar; (3) Penguatan Tata Kelola dan Pengembangan Kapasitas; (4) Pelestarian Lingkungan; (5) Peningkatan Proses Pemulihan; dan (6) Pembangunan Ekonomi dan Mata Pencaharian. Berbagai proyek tersebut menggambarkan prioritas Pemerintah Indonesia selama proses rekonstruksi.

    MDF dikoordinasikan oleh Pemerintah Indonesia, awalnya melalui Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) Aceh dan Nias yang didirikan untuk mengelola upaya rekonstruksi dan pemulihan yang dilakukan oleh pemerintah. Peran yang sangat penting itu kemudian diemban oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) setelah masa tugas BRR selesai pada bulan April 2009. MDF dikelola oleh suatu Komite Pengarah dengan perwakilan dari pemerintah pusat dan daerah, donor, wali amanat, dan masyarakat madani. Komite Pengarah bekerja dengan dukungan sekretariat.

    Kontribusi MDF

    Donor MDF Kontribusi (AS$ juta)

    Uni Eropa 271,30

    Pemerintah Belanda 146,20

    Pemerintah Inggris 68,50

    Bank Dunia 25,00

    Pemerintah Swedia 20,72

    Pemerintah Kanada 20,22

    Pemerintah Norwegia 19,57

    Pemerintah Denmark 18,03

    Pemerintah Jerman 13,93

    Pemerintah Belgia 11,05

    Pemerintah Finlandia 10,13

    Bank Pembangunan Asia 10,00

    Pemerintah Amerika Serikat 10,00

    Pemerintah Selandia Baru 8,80

    Pemerintah Irlandia 1,20

    Total Pendanaan: 654,67

    TenTang MulTi DonoR FunD unTuk aceh Dan nias (MDF)

  • 16Te

    ntan

    g M

    ulti

    Don

    or F

    und

    untu

    k A

    ceh

    dan

    Nia

    s (M

    DF)

    MDF menjadi model keberhasilan rekonstruksi pascabencana berbasis kemitraan antara pemerintah, donor, masyarakat dan pemangku kepentingan lain. Kemitraan yang dibangun oleh MDF ini menjadi kunci keberhasilan pelaksanaan program dan pencapaian hasil yang baik. Penggalangan sumber daya melalui MDF bermanfaat untuk menyelaraskan upaya para donor dan memberikan landasan penting untuk dialog kebijakan bagi sebagian pemangku kepentingan. MDF berhasil mengisi kekurangan dalam rekonstruksi sesuai dengan prioritas pemerintah dan menghimpun para pemain kunci dari lingkaran pemerintah, donor dan masyarakat madani serta komunitas. Dukungan kuat MDF atas keseluruhan koordinasi dari upaya rekonstruksi menghasilkan efek pengganda yang besar sehingga dampak program MDF dapat mencapai lebih dari nilai kontribusinya.

    Portofolio MDF

    Portofolio MDF dirancang untuk memenuhi kebutuhan yang terus berkembang di Aceh dan Nias seiring bergulirnya proses, mulai dari tahap pemulihan menuju pembangunan kembali infrastruktur hingga peletakan landasan pembangunan ekonomi. Semua proyek MDF yang mencakup enam bidang tersebut dilaksanakan oleh instansi pemerintah dan lembaga mitra non-pemerintah, termasuk pemerintah pusat dan provinsi, berbagai badan dunia di bawah PBB, lembaga pembangunan internasional dan organisasi non-pemerintah lainnya. Pelestarian lingkungan, gender, peningkatan kapasitas, dan pengurangan risiko bencana merupakan elemen lintas sektoral yang penting sepanjang siklus program MDF.

    1. Pemulihan Masyarakat (lima proyek senilai AS$202 juta):Kelima proyek merupakan kelompok pertama proyek MDF bagi upaya pemulihan masyarakat yang memberikan perhatian pada perumahan dan infrastruktur lokal. Dengan pendekatan berbasis masyarakat, proyek-proyek yang dilaksanakan oleh pemerintah ini membantu para korban yang selamat dari bencana untuk memulihkan lingkungan sekitar dan membangun kembali kehidupan mereka.

    Proyek Rehabilitasi dan Rekonstruksi Masyarakat dan Permukiman Berbasis Komunitas atau yang lebih dikenal sebagai Rekompak, menggunakan pendekatan berbasis masyarakat untuk membangun kembali rumah dan infrastruktur setempat di Aceh. Dengan Kementerian Pekerjaan Umum (PU) sebagai pelaksana dan Bank Dunia sebagai pengelola, Rekompak berhasil membangun kembali hampir 15.000 rumah dan memulihkan infrastruktur dasar di 180 desa.

    Proyek Pemulihan Masyarakat melalui Program Pengembangan Kecamatan (PPK/PNPM Mandiri Pedesaan) merupakan bagian dari program nasional yang sebagian didanai oleh MDF. Melalui PPK, MDF membantu masyarakat di Aceh dan Nias merencanakan dan mengelola rekonstruksi infrastruktur pedesaan, sekolah, balai pengobatan dan bangunan umum lainnya. MDF juga memberikan pelatihan keterampilan usaha dan pinjaman. Proyek ini dilaksanakan oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan dikelola oleh Bank Dunia.

    Proyek Pemulihan Masyarakat melalui Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP/PNPM Mandir Perkotaan) memberikan bantuan rekonstruksi bagi masyarakat perkotaan untuk merehabilitasi dan membangun kembali infrastruktur umum di kota-kota

  • 17Lebih D

    ari Sekedar Pengarusutamaan: M

    endorong Kesetaraan Gender dan

    Pemberdayaan Perem

    puan melalui Rekonstruksi Pascabencana

    di Aceh. P2KP memperbaiki infrastruktur perkotaan, membangun kembali sekolah dan bangunan umum lainnya, dan menyediakan beasiswa. Proyek ini dilaksanakan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan dikelola oleh Bank Dunia.

    Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pulau Nias (PNPM R2PN) adalah program perencanaan dan pemulihan berbasis masyarakat untuk rekonstruksi di Nias. Dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sebagai pelaksana dan Bank Dunia sebagai pengelola, PNPM-R2PN membangun kembali rumah, sekolah, bangunan umum dan infrastruktur desa.

    Proyek Rekonstruksi sistem administrasi Pertanahan aceh (Reconstruction of the aceh land administration system Project Ralas) memulihkan hak atas tanah dan membangun kembali sistem komputerisasi pencatatan data tanah. Lebih dari 220.000 lembar sertifikat tanah, yang hampir sepertiganya atas nama perempuan, telah diterbitkan melalui program yang dilaksanakan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan dikelola oleh Bank Dunia.

    2. Pemulihan Transportasi dan Infrastruktur Skala Besar (tujuh proyek senilai AS$217 juta)MDF, melalui kemitraannya dengan Pemerintah Indonesia, memiliki peran penting dalam upaya pembangunan infrastruktur berskala besar di Aceh dan Nias. Proyek-proyek ini memulihkan jalur transportasi dan infrastruktur penting, sehingga membantu peningkatan kualitas hidup masyarakat dan membuka peluang-peluang baru dalam sektor perekonomian.

    Proyek Pencegahan Banjir untuk Banda Aceh (BAFMP), yang dilaksanakan oleh Muslim Aid dan dikelola oleh Bank Dunia, memperbaiki stasiun pompa, katup pencegah banjir dan sistem drainase yang rusak akibat tsunami untuk melindungi kawasan perniagaan di Banda Aceh dari badai dan banjir pasang.

    Proyek Pemberdayaan Rekonstruksi Infrastruktur (IREP) dan proyek terkait, Fasilitas Pendanaan Rekonstruksi Infrastruktur (IRFF), merencanakan, merancang, dan membangun infrastruktur strategis seperti jalan, jaringan air bersih, dan jembatan di Aceh dan Nias. Dibiayai bersama dengan BRR, kedua proyek ini dilaksanakan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan dikelola oleh Bank Dunia.

    Proyek Pemeliharaan Jalan Lamno-Calang (LCRMP) melakukan pemeliharaan jalan penghubung utama dari Lamno ke Calang untuk menjamin akses dalam mencapai masyarakat korban tsunami di pantai barat Aceh. Proyek ini dilaksanakan oleh UNDP.

    Program angkutan dan logistik laut (sDlP) memenuhi kebutuhan mendesak bagi pemulihan pengangkutan bahan kebutuhan rekonstruksi di Aceh dan Nias. Proyek yang dilaksanakan oleh Progam Bantuan Pangan Dunia (WFP) ini juga memberikan pelatihan untuk pengelolaan pelabuhan yang lebih baik dan pengurangan risiko bencana.

    Program Rekonstruksi Pelabuhan (TRPRP) merehabilitasi pelabuhan-pelabuhan yang hancur dan rusak di Aceh dan Nias sehingga peralatan dan bahan bangunan dapat mencapai

  • 18Te

    ntan

    g M

    ulti

    Don

    or F

    und

    untu

    k A

    ceh

    dan

    Nia

    s (M

    DF)

    masyarakat yang terisolasi. Proyek yang dilaksanakan oleh UNDP juga menyediakan dukungan rancang bangun dan bantuan teknis untuk merekonstruksi sejumlah pelabuhan laut utama.

    Proyek Akses Pedesaan dan Pengembangan Kapasitas Nias (RACBP) membantu masyarakat yang berpartisipasi dalam program untuk secara efektif menggunakan infrastruktur dan jasa transportasi pedesaan yang telah diperbaiki guna memanfaatkan peluang ekonomi dan layanan sosial yang tersedia. Proyek yang dilaksanakan oleh ILO ini juga mencakup komponen warisan budaya.

    3. Pembangunan Ekonomi dan Mata Pencaharian (dua proyek senilai AS$58 juta)Pemulihan mata pencaharian merupakan bagian penting dalam pembangunan kembali pascabencana. Kedua proyek ini memperkuat sektor-sektor penting penyedia kesempatan kerja dan pendapatan bagi Aceh dan Nias yang membuka jalan bagi pertumbuhan perekonomian jangka panjang.

    Fasilitas Pendanaan Pembangunan Ekonomi Aceh (EDFF) mendorong pemulihan ekonomi pascatsunami. EDFF, yang dikelola oleh Bank Dunia dan dilaksanakan oleh Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT) dan Pemerintah Aceh, menyediakan dana hibah untuk mendukung pertumbuhan pada sektor ekonomi utama, termasuk kopi, kakao, padi, daging dan perikanan.

    Proyek Pengembangan Mata Pencaharian dan Ekonomi Nias (LEDP) memberikan pelatihan peningkatan keterampilan teknis dan berusaha yang berhubungan dengan mata pencaharian dan pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Proyek yang dilaksanakan oleh KPDT dan dikelola oleh Bank Dunia juga mengembangkan keterampilan pegawai pemerintah daerah dalam melaksanakan program mata pencaharian di Nias.

    4. Penguatan Tata kelola dan Pembangunan kapasitas (tiga proyek senilai as$40 juta)MDF mendukung peningkatan tata kelola daerah dan pembangunan kapasitas masyarakat dan pemerintah kabupaten lokal. Ketiga program ini mendukung pengembangan organisasi masyarakat madani yang terlibat dalam proses rekonstruksi.

    Proyek Perbaikan Jalan dengan Sumber Daya Lokal Pedesaan (CBLR3) memperkuat kapasitas pemerintah kabupaten dan kontraktor berskala kecil dalam melakukan pekerjaan konstruksi jalan lokal. Program ini dilaksanakan oleh ILO.

    Proyek Percepatan Daerah Tertinggal dan khusus di aceh dan nias (P2DTk - sPaDa) dilaksanakan oleh KPDT dan dikelola oleh Bank Dunia dengan tujuan memantapkan keikutsertaan masyarakat setempat dalam perencanaan pembangunan, memajukan investasi swasta dan penciptaan lapangan kerja, serta meningkatkan pelayanan kesehatan, pendidikan dan penyelesaian sengketa. Proyek ini melengkapi program nasional lain yang didanai dengan pinjaman dari Bank Dunia.

    Program Penguatan Organisasi Masyarakat Sipil Aceh dan Nias (CSO), yang dilaksanakan oleh UNDP memperkuat kapasitas organisasi masyarakat madani di Aceh dan Nias dalam rangka meningkatkan keikutsertaan masyarakat bawah dalam proses rekonstruksi.

  • 19Lebih D

    ari Sekedar Pengarusutamaan: M

    endorong Kesetaraan Gender dan

    Pemberdayaan Perem

    puan melalui Rekonstruksi Pascabencana

    5. Memperkuat Proses Pemulihan (empat proyek bernilai AS$56 juta)Guna memperkuat kapasitas pemerintah dalam mengelola upaya pembangunan kembali, MDF memberikan bantuan teknis dan dukungan operasional kepada BRR dan lembaga pemerintah lain.

    Program Transformasi Pemerintah Aceh (AGTP) memberikan dukungan strategis kepada Pemerintah Aceh agar dapat memiliki kapasitas dan ketangguhan kelembagaan untuk mengambil alih proyek dan sumber daya serta mengemban peran pengawasan atas program-program rekonstruksi dan pemulihan setelah berakhirnya masa tugas BRR pada bulan April 2009. Program ini dilaksanakan oleh Kemendagri bersama Pemerintah Provinsi Aceh dan dikelola oleh UNDP.

    Proyek Pengurangan Risiko Bencana-Aceh (DRR-A) membangun komponen pengurangan risiko bencana dalam instansi pemerintah daerah beserta mitra-mitranya di sektor publik dan swasta, dan juga masyarakat lokal. Proyek ini dilaksanakan oleh Kemendagri dan Pemerintah Provinsi Aceh dan dikelola oleh UNDP.

    Program Transisi Kepulauan Nias (NITP) dikelola oleh UNDP dan dilaksanakan oleh Kemendagri dan pemerintah setempat di Nias dengan tujuan meningkatkan kapasitas pemerintah kabupaten agar dapat menyelesaikan proses pemulihan dengan baik dan mengurangi risiko akibat bencana alam di masa depan.

    Bantuan Teknis untuk BRR dan Bappenas (TA-R2C3) dikelola oleh UNDP untuk mendukung BRR dalam mengelola proses pemulihan secara keseluruhan. Setelah BRR ditutup pada bulan April 2009, proyek ini bekerja sama dengan Bappenas.

    6. Pelestarian Lingkungan (dua proyek senilai AS$57 juta)Selama proses pembangunan kembali berlangsung, MDF senantiasa menunjukkan komitmennya bagi pelestarian lingkungan. MDF memainkan peran penting dalam pembersihan pascabencana dan pengelolaan limbah jangka panjang. MDF juga terlibat dalam upaya perlindungan ekosistem di Aceh dan Nias.

    Program Pengelolaan Limbah Tsunami (TRWMP) membantu pemerintah daerah membersihkan, mendaur ulang dan membuang limbah tsunami, merehabilitasi infrastruktur pengelolaan limbah, dan menerapkan sistem pengelolaan limbah padat yang berkelanjutan. TRWMP yang dilaksanakan oleh UNDP ini juga mengembangkan mata pencaharian yang terkait dengan pengelolaan limbah.

    Proyek Hutan dan Lingkungan Aceh (AFEP) bekerja sama secara erat dengan kelompok masyarakat, masyarakat madani dan pemerintah untuk melindungi hutan Leuser dan Ulu Masen dari pembalakan liar serta mengembangkan pengelolaan hutan yang berkelanjutan. AFEP dikelola oleh Bank Dunia dan dilaksanakan oleh Fauna & Flora International (FFI) dan Yayasan Leuser Internasional (YLI).

  • 20Te

    ntan

    g Ja

    va R

    econ

    stru

    ctio

    n Fu

    nd (

    JRF)

    Menindaklanjuti permintaan Pemerintah Indonesia, Java Reconstruction Fund (JRF) didirikan untuk mendukung upaya pemulihan setelah gempa bumi mengguncang kawasan Yogyakarta dan Jawa Tengah pada tanggal 27 Mei 2006 dan tsunami menghantam pantai selatan Provinsi Jawa Barat pada bulan Juli 2006. Masa kerja JRF kemudian diperpanjang menyusul terjadinya letusan Gunung Merapi pada bulan Oktober dan November 2010. Program JRF berakhir pada tanggal 31 Desember 2012.

    JRF mengacu pada model Multi Donor Fund untuk Aceh dan Nias yang sudah berhasil sebelumnya. Tujuh donor mendukung JRF dengan total kontribusi sebesar AS$94,1 juta. Para donor tersebut adalah: Uni Eropa, Belanda, Inggris, Bank Pembangunan Asia, Kanada, Finlandia dan Denmark. Bank Dunia bertindak sebagai Wali Amanat JRF. Sesuai dengan prioritas pemerintah, JRF mendukung pemulihan kondisi masyarakat dan mata pencaharian, dan meningkatkan kesiapsiagaan bencana.

    Pada mulanya, tugas JRF dikoordinasikan oleh Pemerintah Indonesia melalui Tim Koordinasi Nasional (TKN) dan Tim Teknis Nasional (TTN). Setelah tugas TKN dan TTN berakhir pada tahun 2008, JRF bermitra dengan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) untuk keseluruhan koordinasi kerja rekonstruksi.

    Menggunakan struktur tata kelola serupa dengan MDF, JRF diatur oleh suatu Komite Pengarah yang beranggotakan perwakilan dari Pemerintah Indonesia dan donor. Bappenas mengepalai Komite Pengarah tersebut, bersama dengan Uni Eropa sebagai donor terbesar, dan Bank Dunia sebagai Wali Amanat. Komite Pengarah didukung oleh sebuah sekretariat. Dengan cara berbagi staf dan keahlian dengan MDF, sekretariat berhasil mencapai skala efisiensi dan menurunkan biaya administrasi program.

    Portofolio JRF terdiri atas lima proyek yang memanfaatkan pembelajaran dari MDF dan menggunakan pendekatan bertahap: (1) Perumahan Sementara; (2) Pemulihan Perumahan dan Infrastruktur Masyarakat; dan (3) Pemulihan Mata Pencaharian. Bank Dunia memegang peran penyeliaan dan pengawasan atas semua proyek JRF sebagai lembaga mitra.

    Kontribusi JRF

    Donor JRF Kontribusi (AS$ juta)

    Uni Eropa 51,17

    Pemerintah Belanda 12,00

    Pemerintah Inggris 10,77

    Bank Pembangunan Asia 10,00

    Pemerintah Kanada 6,53

    Pemerintah Finlandia 1,99

    Pemerintah Denmark 1,60

    Total Pendanaan: 94,06

    TenTang java ReconsTRucTion FunD (jRF)

  • 21Lebih D

    ari Sekedar Pengarusutamaan: M

    endorong Kesetaraan Gender dan

    Pemberdayaan Perem

    puan melalui Rekonstruksi Pascabencana

    Portofolio JRF

    Portofolio JRF menerapkan pendekatan bertahap terhadap rekonstruksi yang diadopsi dari hasil pembelajaran MDF. Dukungan awal dipusatkan pada pemenuhan kebutuhan perumahan dan pemulihan masyarakat, sementara dukungan selanjutnya difokuskan pada pemulihan ekonomi. JRF memprioritaskan pengurangan risiko bencana pada semua programnya. Portofolionya terdiri dari lima proyek:

    Proyek Perumahan sementara (dua proyek senilai as$2,3 juta). JRF membiayai dua program perumahan sementara yang dilaksanakan oleh Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) dan Cooperative Housing Foundation (CHF) International dimana Bank Dunia sebagai badan mitra. Program ini menyediakan hampir 5.000 hunian sementara.

    Proyek Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pemukiman Berbasis Masyarakat (satu proyek senilai AS$75 juta), yang lebih dikenal sebagai Rekompak, menggunakan sebagian besar alokasi dana JRF. Mengikuti model yang diterapkan di Aceh, proyek ini menggunakan pendekatan berbasis masyarakat untuk membangun kembali perumahan dan infrastruktur setempat di daerah terdampak gempa di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah, juga di beberapa bagian di Jawa Barat yang terdampak gempa dan tsunami. Setelah letusan Gunung Merapi tahun 2010, proyek ini kian diperluas. Dengan Kementerian Pekerjaan Umum (PU) sebagai pelaksana dan Bank Dunia sebagai badan mitra, proyek ini membangun kembali lebih dari 15.000 rumah dan menyelesaikan lebih dari 4.000 proyek infrastruktur setempat.

    Program Pemulihan Mata Pencaharian (dua proyek senilai AS$17,24 juta):- Proyek Pemulihan Mata Pencaharian di Daerah istimewa Yogyakarta dan jawa Tengah berkontribusi besar terhadap inisiatif Pemerintah Indonesia dalam membantu usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) yang terdampak gempa bumi untuk menghidupkan kembali usaha mereka dan mengintegrasikan kembali masyarakat berpenghasilan rendah yang terdampak bencana ke dalam kehidupan ekonomi. Proyek ini menyediakan akses terhadap pembiayaan, mengembangkan strategi penyelesaian atas pinjaman bermasalah, dan memulihkan kapasitas dan meningkatkan daya saing perusahaan berskala menengah di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Proyek ini dilaksanakan oleh Deutsche Gesellschaft fr Internationale Zusammenarbeit (GIZ) dan Bank Dunia selaku badan mitra.

    - Proyek Akses terhadap Pembiayaan dan Pembangunan Kapasitas Usaha Mikro dan Kecil yang Terkena Dampak Gempa Bumi dilaksanakan oleh IOM dan badan mitra oleh Bank Dunia untuk mendukung pemulihan usaha mikro dan kecil di Yogyakarta dan Jawa Tengah agar mampu mengembalikan kemampuan mereka ke kondisi seperti sebelum gempa. Proyek ini menyediakan penggantian aset, dukungan pemasaran, dan bantuan teknis. Proyek ini telah bekerja sama dengan lebih dari 4.000 usaha mikro dan kecil (UMK), yang lebih dari 40 persen diantaranya dijalankan atau dimiliki oleh perempuan.

  • 22Ri

    ngka

    san

    Ekse

    kuti

    f

    RINGKASAN EKSEKUTIF

    Proses rekonstruksi setelah bencana merupakan kerangka peluang untuk mengatasi masalah ketidaksetaraan gender dan ketimpangan sosial lainnya. Bencana mengabsahkan alasan untuk melakukan berbagai hal secara berbeda: menerapkan kebijakan, program dan peraturan baru serta dukungan bagi kemajuan pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender.

    Baik laki-laki maupun perempuan sama-sama rentan terhadap dampak bencana. Akan tetapi, ketidaksetaraan gender membuat kesenjangan yang ada kian nyata. Sebagai contoh, perempuan menderita lebih berat akibat trauma kejiwaan, mengungsi dalam waktu lama, kehilangan rumah dan pekerjaan, dan kemiskinan kronis. Saat pascabencana di Aceh, Nias dan Jawa, tanggung jawab perempuan korban bencana untuk mencari nafkah dan mengasuh anak menjadi semakin berat. Perempuan kurang dapat memperoleh akses terhadap informasi atau mendapatkan aset dan manfaat sebanyak yang didapatkan laki-laki, dan kesempatan bagi perempuan untuk menyampaikan pendapat saat penentuan agenda rekonstruksi juga lebih kecil dibandingkan dengan laki-laki.

    Pengalaman MDF dan JRF memberikan pelajaran berharga mengenai strategi dan langkah untuk mendukung kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan, dan pengarusutamaan pendekatan yang peka gender dalam upaya rekonstruksi.

    Pengalaman Memperkuat Peran Perempuan Melalui Program MDF dan JRF

    hasil yang lebih baik dan berkelanjutan dalam pembangunan tempat tinggal dan infrastruktur: Keikutsertaan aktif dan peningkatan kendali perempuan atas pengambilan keputusan melalui penerapan pendekatan berbasis masyarakat menghasilkan perubahan positif dalam perancangan dan penentuan tempat tinggal dan infrastruktur setempat. Hal ini meningkatkan kualitas dan efisiensi biaya serta menambah rasa kepemilikan dan kepuasan masyarakat, sehingga memperkuat kesediaan mereka untuk menjaga dan memelihara aset-aset baru.

    Pemulihan ekonomi dan mata pencaharian yang lebih cepat serta produktivitas meningkat: Perempuan mencakup lebih dari 40 persen dari keseluruhan jumlah tenaga kerja, yang sebagian besar bergerak dalam usaha kecil dan menengah serta pertanian (biasanya sebagai tenaga kerja keluarga yang tidak dibayar). Pembangkitan ekonomi dipercepat oleh peran serta perempuan dalam pemulihan mata pencaharian. Di Jawa, perempuan mengelola hampir 50 persen dari program dukungan pemulihan mata pencaharian JRF.

    Menguatkan hak-hak hukum perempuan: Perempuan, pada khususnya rentan terhadap kehilangan hak kepemilikan atas tanah dan aset pada saat pascabencana. Hampir 30 persen sertifikat tanah yang diterbitkan di Aceh melalui program MDF adalah untuk kaum perempuan, sehingga memperkuat ketahanan mata pencaharian kepala keluarga perempuan, dan sekaligus

  • 23Lebih D

    ari Sekedar Pengarusutamaan: M

    endorong Kesetaraan Gender dan

    Pemberdayaan Perem

    puan melalui Rekonstruksi Pascabencana

    memudahkan mereka mendapatkan akses terhadap pinjaman dan aset produktif. Pendekatan hukum berbasis masyarakat terhadap hak atas tanah telah diletakkan sebagai dasar bagi pola ajudikasi tanah di masa mendatang.

    Proses pengambilan keputusan yang lebih mewakili: Peran serta aktif perempuan dalam proses pengambilan keputusan di tingkat daerah mempererat ikatan sosial dan memperbaiki kualitas keterwakilan lembaga-lembaga setempat. Hal itu membawa perubahan positif atas keputusan-keputusan yang diambil, yaitu peningkatan pelayanan umum seperti air bersih, sanitasi dan klinik kesehatan. Perempuan melaporkan dampak positif atas tingkat keterlibatan perempuan dalam urusan desa dan masyarakat. Laki-laki mengakui manfaat dari lebih aktifnya perempuan menyuarakan pendapat dalam urusan masyarakat.

    Meningkatnya daya tahan perempuan dan masyarakat: Keterlibatan aktif perempuan dalam upaya rekonstruksi, perencanaan pemukiman masyarakat, pemulihan mata pencaharian, dan pengurangan risiko bencana meningkatkan daya tahan mereka apabila kembali terjadi bencana di masa depan. Perempuan mempelajari berbagai keterampilan dan mendapatkan pengetahuan yang memungkinkan mereka menciptakan dan mempertahankan mata pencaharian, serta mengatasi kehilangan akibat bencana. Perempuan lebih responsif dibandingkan dengan laki-laki, contohnya, terhadap pentingnya praktik dan asas konstruksi tahan gempa, dan dalam hal mengembangkan keterampilan non-teknis seperti jejaring pengetahuan, pemasaran dan kewirausahaan.

    Mendorong Peran Serta Perempuan dan Akses Terhadap Manfaat Rekonstruksi

    Pengalaman MDF dan JRF menunjukkan sejumlah kesempatan dan tantangan untuk memajukan kesetaraan gender dalam proses penetapan keputusan dan pembagian manfaat.

    Akses terhadap informasi dapat menjadi penghalang utama bagi peran serta perempuan. Selama proses rekonstruksi, pertemuan warga dan papan pengumuman adalah mekanisme utama untuk pertukaran informasi dan menggerakan peran serta perempuan dalam kegiatan rekonstruksi. Namun di dalam masyarakat yang tingkat kepercayaan di antara para warganya kurang, dan yang warganya saling bersaing dan terkotak-kotak, kemampuan perempuan untuk mendapatkan informasi sangat bergantung pada kedekatan mereka dengan pemuka desa. Anggota masyarakat yang lebih kuat biasanya mengendalikan arus informasi dan ini menimbulkan ketidakpuasan bagi warga lainnya.

    Modal sosial berperan dalam arus keterbukaan informasisemakin kuat tingkat saling percaya, semakin banyak informasi beredar. Proyek-proyek yang memanfaatkan kekuatan jaringan setempat, terutama yang melibatkan perempuan, lebih berhasil dalam membantu perempuan membangun kembali kehidupan mereka dengan cara mendukung akses mereka terhadap informasi.

  • 24Ri

    ngka

    san

    Ekse

    kuti

    f

    stres psikososial melemahkan kemampuan perempuan untuk berpartisipasi secara bermakna dalam kegiatan proyek. Proyek pembangunan infrastruktur dan ekonomi, yang merupakan bagian terbesar dalam rekonstruksi pascabencana, umumnya tidak didukung strategi dan tindakan yang bertujuan mengatasi dampak trauma psikososial, sehingga langkah-langkah spesifik diperlukan untuk mengatasinya. Proyek MDF yang dilaksanakan oleh Perhimpunan Koperasi Kanada (Canadian Cooperative Association atau CCA) mulanya memberikan perhatian pada kegiatan penciptaan perdamaian, pemberian konseling, dan peningkatan kepekaan. Dimulai dengan kelompok kecil simpan-pinjam, proyek ini membangun kepercayaan, rasa percaya diri, dan perasaan aman anggotanya untuk kembali melakukan kegiatan mata pencaharian yang menguntungkan, dan akhir-akhir ini mendukung pembangunan ekonomi berskala besar bagi perempuan melalui pengembangan koperasi.

    Pelajaran yang jelas bisa dipetik adalah bahwa mengintegrasikan tanggapan untuk mengurangi dampak trauma psikososial ke dalam sebuah proyek akan membutuhkan lebih banyak waktu dan sumber daya. Namun pemahaman yang lebih baik mengenai dampak bencana akan membantu mengidentifikasikan titik awal yang menghargai dan sensitif terhadap pemberian dukungan secara bertahap. Kegagalan melakukan hal tersebut akan menyisihkan kelompok perempuan yang paling terdampak bencana dan mengurangi potensi manfaat bagi perempuan yang terlibat dalam kegiatan dan upaya pemulihan secara keseluruhan.

    Untung-rugi melaksanakan kegiatan berskala besar dan menjamin keikutsertaan perempuan miskin dan terpinggirkan. Proyek infrastruktur masyarakat berskala besar dengan target hasil yang ambisius sering tidak memiliki keluwesan, waktu dan sumber daya untuk menjangkau dan melibatkan perempuan miskin dan terisolasi secara bermakna dalam pembuatan keputusan. Namun demikian, proyek semacam itu dapat mengkoordinasi intervensi melalui organisasi-organisasi yang lebih kecil yang memiliki mandat dan kemampuan untuk bekerja dengan perempuan terpinggirkan. Sebagai contoh, Program Pengembangan Kecamatan (PPK) memakai sumber dana di luar MDF untuk mendukung PEKKA (Program Pemberdayaan Perempuan Kepala Rumah Tangga), sebuah program khusus untuk mendampingi janda miskin, rentan dan terpinggirkan. Hal ini memungkinkan kedua proyek berkiprah sesuai dengan keunggulan masing-masing dan mengikutsertakan lebih banyak perempuan yang lebih miskin dalam proses perencanaan oleh masyarakat.

    Kemitraan resmi dan pertautan antarproyek untuk menutup celah dalam pelayanan terhadap perempuan yang terpinggirkan dan tidak mampu merupakan investasi yang cerdas. Kerjasama ini memperbaiki capaian proyek dan membuka ruang bagi penguatan peran perempuan dalam keseluruhan proses rekonstruksi.

    Penguatan suara perempuan dalam proses rekonstruksi memerlukan pendampingan yang terarah dan aktif. Menetapkan target jumlah peserta dan mendorong perempuan untuk hadir dan berbicara memang penting untuk meningkatkan keterlibatan perempuan, tetapi tidak cukup untuk menguatkan kepemimpinan perempuan. Penetapan target kuantitatif atas kemampuan perempuan

  • 25Lebih D

    ari Sekedar Pengarusutamaan: M

    endorong Kesetaraan Gender dan

    Pemberdayaan Perem

    puan melalui Rekonstruksi Pascabencana

    berdampak kecil dalam mencapai peran bermakna dalam perencanaan dan pembuatan keputusan oleh masyarakat. Akibatnya, perempuan, utamanya yang miskin dan tak mampu, terus saja tidak merasa puas dengan keterbatasan kesempatan mereka.

    Ketika proyek menggunakan strategi pendampingan aktif (contohnya dalam pertemuan khusus perempuan, memperbanyak waktu untuk pengerahan perempuan, pendamping perempuan atau kunjungan ke rumah-rumah) untuk memperkaya kualitas partisipasi perempuan, peran perempuan dalam pembuatan keputusan dan pelaksanaan proyek kemudian meningkat.

    Dukungan bagi pengembangan keterampilan dan kapasitas perempuan demi ketahanan mata pencaharian merupakan investasi masa depan. Program pemulihan mata pencaharian dan masyarakat yang mencurahkan waktu dan sumber daya untuk mengembangkan keterampilan, seperti jejaring pengetahuan, pemasaran dan keahlian berusaha, lebih memungkinkan untuk menciptakan perempuan-perempuan tangguh melalui pembekalan kecakapan, pengetahuan dan keterampilan untuk bertahan menghadapi bencana di masa mendatang.

    Foto: Tarmizy Harva

    Dengan pinjaman yang didapatkan dari MDF, Rosmawar dapat membuka kios sendiri dan membeli sebidang tanah. Banyak perempuan yang menggunakan modal dari pinjaman berskala mikro untuk memulai usaha kecil.

  • 26Ri

    ngka

    san

    Ekse

    kuti

    f

    Perlu lebih banyak upaya untuk memastikan partisipasi setara perempuan dalam Pengurangan Risiko Bencana (Disaster Risk Reduction atau DRR). Terdapat sejumlah kesempatan yang terlewatkan untuk menjaring komitmen perempuan terhadap DRR dalam kegiatan rekonstruksi, dan upaya untuk melibatkan mereka dalam menopang ketangguhan masyarakat di masa mendatang. Peningkatan kemampuan petugas proyek untuk menyertakan pengarusutamaan gender ke dalam perencanaan DRR atau strategi komunikasi peka gender diperlukan dalam upaya mengoptimalkan pengaruh perempuan dalam rekonstruksi di masa depan.

    Pelajaran Penting dalam Memajukan kesetaraan Perempuan Melalui Rekonstruksi

    Menjadikan kesetaraan gender sebagai tujuan terpadu strategi rekonstruksi.Proyek perlu dirancang dan dilaksanakan dengan tujuan yang jelas untuk meningkatkan kesetaraan gender dan penguatan ekonomi perempuan agar kualitas hasilnya lebih baik. Anggaran harus realistis, kesetaraan gender dikaitkan dengan indikator pencapaian yang dipantau dengan

    Foto: Kristin Thompson

    Seorang pemilik rumah korban tsunami di Aceh memperhatikan sertifikat tanahnya bersama seorang pegawai Badan Pertanahan Nasional. Sekitar 30 persen dari sertifikat tanah yang diterbitkan dibawah proyek RALAS MDF dimiliki oleh perempuan sebagai pemilik tunggal atau bersama.

  • 27Lebih D

    ari Sekedar Pengarusutamaan: M

    endorong Kesetaraan Gender dan

    Pemberdayaan Perem

    puan melalui Rekonstruksi Pascabencana

    cermat, dan strategi penyelesaian proyek harus menampung kebutuhan perempuan. Langkah-langkah khusus berbasis gender yang muncul dari tujuan-tujuan proyek harus sepenuhnya dibiayai, diawasi dan dievaluasi.

    Memadukan analisa gender dan data gender tersebar ke dalam penilaian kebutuhan dan kerugian pascabencana. Penilaian Kerusakan dan Kerugian setelah terjadinya bencana harus peka gender demi penyusunan program yang tanggap terhadap perbedaan kebutuhan laki-laki, perempuan, anak laki-laki, dan anak perempuan. Hal ini sangat penting agar: a) terdapat data dasar untuk pemakaian bersama oleh lembaga-lembaga pelaksana, dan b) tersedia informasi untuk mengarusutamakan gender ke dalam strategi pemulihan dan rekonstruksi nasional.

    Sesegera mungkin membuat analisa gender berbasis sektor dan tema setelah terjadi bencana. Sebagai pelengkap Penilaian Kerusakan dan Kerugian, analisa gender berbasis sektor dapat menjelaskan upaya pemulihan dan rekonstruksi awal, mendukung koordinasi dan keterkaitan antara berbagai sektor intervensi yang lebih baik, dan mendukung peralihan dari pemulihan menuju pembangunan.

    Memperkuat keahlian gender di lapangan. Salah satu kelemahan besar lembaga-lembaga yang berkiprah dalam rekonstruksi adalah kekurangan pakar gender berpengalaman di lapangan untuk rekonstruksi pascabencana, khususnya pembangunan tempat tinggal dan infrastruktur. Keahlian seperti ini mutlak untuk mengarusutamakan gender ke dalam proyek pemulihan infrastruktur dan mata pencaharian.

    Melembagakan gender dalam prosedur pelaksanaan, sistem pengawasan dan dukungan. Dukungan pengawasan yang rutin dan sepenuhnya teranggarkan harus mencakup indikator dan tinjauan kinerja, pendampingan dan bimbingan, dan jaringan bantuan untuk gender. Petunjuk pelaksanaan milik lembaga pelaksana perlu mencakup pedoman yang jelas untuk mengatasi isu-isu gender dalam sistem manajemen, prosedur pelaksanaan dan pelaporan, termasuk pemantauan dan evaluasi.

    Menyediakan dana bagi program khusus gender untuk melengkapi proyek rekonstruksi reguler. Diperlukan keleluasaan yang lebih untuk mendanai inisiatif-inisiatif khusus demi peningkatan capaian-capaian berfokus gender. Sebagai contoh, program khusus untuk memperbaiki penetapan sasaran pada perempuan termiskin atau proyek yang bertujuan untuk memperkuat bantuan pengawasan bagi petugas lapangan.

    Mengarusutamakan tujuan kesetaraan gender ke dalam pengadaan dan pemberian kontrak. Ketentuan pengadaan bisa berupa mendahulukan penawar yang menetapkan sistem kuota atas staf untuk mencapai rasio gender yang seimbang, baik pada tingkat senior maupun junior,

  • 28Ri

    ngka

    san

    Ekse

    kuti

    f

    dan memenuhi persyaratan pengarusutamaan gender sebagaimana ditetapkan oleh pihak pengadaan yang berwenang. Kontrak standar dapat diperluas dengan memasukkan pasal-pasal mengenai keseimbangan gender dalam mempekerjakan pegawai, memberi persamaan gender dalam hal gaji dan renumerasi, dan memasukkan tindakan khusus yang memungkinkan keikutsertaan perempuan.

    Memiliki kerangka kerja pencapaian yang mencakup indikator kuantitatif dan kualitatif yang peka gender. Upaya rekonstruksi pada masa mendatang akan menerima manfaat dari adanya indikator gender yang lebih kuat untuk dapat melacak kualitas keikutsertaan perempuan dan hasil kualitas gender dalam mengakses manfaat dan pekerjaan. Upaya tersebut juga perlu diperluas lebih dari sekadar data gender yang tersebar.

    Kesimpulan

    Mendorong pemberdayaan perempuan dalam rekonstruksi memerlukan kesungguhan niat dan upaya dari semua pemangku kepentingan. Kesetaraaan gender harus didampingi di setiap tingkatpada masyarakat internasional pemberi bantuan, pemerintah nasional dan daerah, dan pada setiap proyek dan masyarakat. Kebijakan dan dukungan saja tidak cukup; pembiayaan dan bantuan tambahan dibutuhkan untuk mengubah niat baik menjadi hasil. Ini bukan sekadar kewajiban moral; ini semata ekonomi cerdas. Setiap orang memperoleh manfaat.

    Pengalaman dalam memajukan kesetaraan dan pemberdayaan perempuan dalam proses rekonstruksi MDF dan JRF tidak merata, dan semuanya menghasilkan pembelajaran untuk masa mendatang. Serangkaian contoh praktik-praktik yang baik dapat ditemukan dengan mudah di seluruh program. Pada saat yang bersamaan, proses dan cara untuk melibatkan perempuan secara aktif dalam pembuatan keputusan dan pelaksanaan semestinya dilembagakan dengan lebih baik. Halangan bagi keterlibatan perempuan secara umum masih banyak. Namun nilai yang harus ditanggung bila mengabaikan gender dalam rekonstruksi bencana akan sangat besar bila terdapat kerusakan, kebutuhan dan prioritas yang terabaikan, sehingga akhirnya memperburuk kemiskinan dan ketidaksetaraan. Tetapi sebagaimana ditunjukkan oleh pembelajaran praktik-praktik yang baik dari proyek-proyek MDF dan JRF, bila perempuan berpartisipasi aktif dalam rekonstruksi lewat pendapat mereka untuk memantapkan rancangan dan pengelolaan rekonstruksi, maka akan muncul hasil bagi semua yang lebih berkualitas.

  • 29Lebih D

    ari Sekedar Pengarusutamaan: M

    endorong Kesetaraan Gender dan

    Pemberdayaan Perem

    puan melalui Rekonstruksi Pascabencana

  • Bab 1

    PENDAHULUAN

  • 31Lebih D

    ari Sekedar Pengarusutamaan: M

    endorong Kesetaraan Gender dan

    Pemberdayaan Perem

    puan melalui Rekonstruksi Pascabencana

    Selepas bencana, proses rekonstruksi merupakan peluang untuk menangani ketidaksetaraan gender dan ketimpangan sosial lainnya. Bencana memberikan alasan yang secara sosial bisa diterima dan sah untuk melakukan segala sesuatu dengan cara berbeda: memperkenalkan kebijakan, program dan perundang-undangan baru dan mendorong kemajuan upaya pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender. Skala tanggapan yang muncul pasca-tsunami Samudera Hindia menghadirkan saat yang unik. Pemerintah Indonesia, dalam komitmennya untuk Membangun Kembali dengan Lebih Baik, mengambil kesempatan ini, pertama di Aceh dan Nias, kemudian di Jawa. Kesetaraan gender adalah salah satu prinsip tuntunan yang diadopsi oleh Pemerintah Indonesia dan mitra-mitra donornya dalam berbagai rencana rekonstruksi mereka. Terlepas dari berbagai rintangan yang dihadapi, banyak kemajuan telah dicapai dalam hal kesetaraan gender selama proses rekonstruksi berlangsung.1

    Makalah kerja ini merekam berbagai pengalaman dan pembelajaran dari MDF dan JRF dalam mendorong kesetaraan gender dan memberdayakan perempuan lewat rekonstruksi pascabencana. Fokus tulisan ini adalah pada serangkaian intervensi khusus saat rekonstruksi dijalankan di Aceh, Nias dan Jawa: pemulihan infrastruktur, perumahan dan mata pencaharian. Makalah kerja ini memaparkan tentang perubahan yang telah terjadi terkait dengan kesetaraan gender dan bagaimana suara dan upaya perempuan telah berdampak pada proyek-proyek rekonstruksi pendanaan MDF dan JRF.

    Apa itu Kesetaraan Gender?

    Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan (kesetaraan gender): mengacu pada hak, kewajiban, dan kesempatan yang setara pada perempuan dan laki-laki dan anak perempuan dan anak laki-laki. Kesetaraan tidak berarti bahwa perempuan dan laki-laki akan menjadi sama, tapi bahwa hak-hak, kewajiban, dan kesempatan perempuan maupun laki-laki tidak akan tergantung pada apakah mereka terlahir sebagai laki-laki atau perempuan. Kesetaraan gender menyiratkan bahwa minat, kebutuhan, dan prioritas perempuan maupun laki-laki dihargai, mengakui atas keragaman di antara berbagai kelompok laki-laki dan perempuan yang berbeda-beda.

    Sumber: http://www.un.org/womenwatch/osagi/conceptsandefinitions.htm

    MDF dan JRF mendorong perempuan untuk berperan aktif dalam rekonstruksi. Perempuan-perempuan di Aceh ini terlibat pada upaya awal warga untuk membersihkan puing-puing dan memulihkan kembali infrastruktur dasar.

    Foto: Kristin Thompson

    1 Pennells 2008

  • 32Ba

    b 1

    - Pe

    ndah

    ulua

    n 1.1 Fokus Makalah Kerja

    Makalah kerja ini bertujuan praktis: memberikan sumbangan pemahaman bagi dunia internasional tentang keberhasilan maupun hal-hal yang belum berhasil dalam mendorong pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender dalam konteks pemulihan kembali masyarakat dan mata pencaharian mereka pascabencana. Hal ini menyangkut berbagai intervensi yang mengatasi masalah terpinggirkannya kaum perempuan dalam proses rekonstruksi, khususnya rekonstruksi perumahan dan infrastruktur.2 Hal ini juga mencakup berbagai bidang, karena peran perempuan seringkali dinilai rendah, yang terdapat potensi terbesar bagi dilakukannya perubahan yang transformatif dalam hal kemajuan kesetaraan gender, penciptaan pengambilan keputusan yang berkesetaraan dan lebih mewakili, serta peningkatan produktivitas ekonomi perempuan pascabencana yang memberi dampak besar.

    Makalah kerja ini secara khusus memberikan perhatian pada pengalaman dan berbagai pembelajaran yang dipetik dari hasil berbagai proyek dalam dua portofolio bidang kerja dengan biaya MDF dan JRF: proyek-proyek pemulihan masyarakat yang terdiri atas delapan proyek untuk mendukung rekonstruksi dan rehabilitasi infrastruktur masyarakat jalan, drainase, perumahan dan bangunan umum, dan proyek-proyek pemulihan mata pencaharian, yang terdiri atas empat proyek dengan tujuan memberikan sumbangan pada berbagai upaya Pemerintah Indonesia dalam memulihkan mata pencaharian pascabencana. Semua proyek ini pada unsur-unsur desain, pelaksanaan, dan susunan kelembagaan proyek mencakup upaya memajukan partisipasi perempuan dalam berbagai aktivitas proyek dan perempuan sebagai peraih manfaat langsung. Ringkasan keduabelas proyek terpilih untuk kertas makalah kerja ini ada di bawah. Proyek-proyek MDF dan JRF yang bekerja memastikan peran serta perempuan dalam proses kesiapan menghadapi bencana juga dimasukkan dalam studi ini agar berbagai pembelajaran yang bisa dipetik juga tercatat.3

    Tiga aspek khusus yang dipaparkan:

    Peran serta dalam perencanaan dan penyusunan prioritas kebutuhan oleh warga seberapa perempuan bisa menyuarakan pendapat mereka, membuat pilihan dan berperanserta setara dengan kaum laki-laki dalam proses pengambilan keputusan selama rekonstruksi.

    Pemberdayaan ekonomi perempuan dampak dari jangkauan perempuan terhadap lapangan pekerjaan lewat kesempatan kerja dalam rekonstruksi.

    Dampak dari keterlibatan perempuan pada keseluruhan hasil proyek dalam hal mempengaruhi perubahan kebijakan serta dalam penyusunan dan pelaksanaan berbagai upaya rekonstruksi.

    2 Chew dan Ramdas 2005; Delaney dan Shrader 2000; Bank Dunia 2012c 3 Tinjauan pustaka, wawancara dengan pemangku kepentingan dan 25 sesi diskusi kelompok kepentingan dengan pendekatan

    partisipatoris, yang melibatkan 207 perempuan dan 92 laki-laki di sejumlah lokasi terpilih di Aceh, Nias dan Yogyakarta serta Jawa Tengah, dilakukan untuk kepentingan penulisan kertas kerja ini.

  • 33Lebih D

    ari Sekedar Pengarusutamaan: M

    endorong Kesetaraan Gender dan

    Pemberdayaan Perem

    puan melalui Rekonstruksi Pascabencana

    Proyek-proyek Pemulihan Masyarakat dan Mata Pencaharian MDF dan JRF

    MDF Proyek Pemulihan Masyarakat: Di bawah MDF, terdapat lima proyek yang secara khusus bertujuan memulihkan masyarakat. Empat dari kelima proyek ini adalah proyek pembangunan berbasis masyarakat (Community Driven Development atau CDD) yang diawasi Bank Dunia. Proyek CDD memadukan serangkaian mekanismedana hibah kepada masyarakat untuk merencanakan dan membangun infrastruktur berskala kecil, pengambilan keputusan yang terbuka dan transparan antara pemerintah lokal dan masyarakat setempat, mekanisme penyampaian keluhan yang mudah digunakan, target peran serta perempuan baik sebagai penerima manfaat maupun sebagai stafyang bertujuan mencapai rekonstruksi berbasis masyarakat berkesetaraan gender. Yang terbesar Proyek Pengembangan Kecamatan (PPK) proyek besar dan signifikan berjangka panjang yang telah dilaksanakan di seluruh pedesaan di Indonesia, telah dijalankan di Aceh sejak 1999 dan juga di Nias. Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) adalah proyek pengembangan dari PPK yang menyasar wilayah perkotaan dan pinggiran kota. Seperti halnya PPK, P2KP adalah bagian dari sebuah proyek yang lebih besar yang dijalankan di seluruh Indonesia, termasuk di Aceh sebelum tsunami. Skala wilayah dan besaran pelaksanaan kedua program ini, baik PPK maupun P2KP, dikembangkan dengan dukungan MDF. Proyek CDD ketiga, Proyek Rekonstruksi dan Rehabilitasi Perumahan Berbasis Masyarakat (Community-Based Settlement Rehabilitation and Reconstruction Project atau CSRRP), atau yang lebih dikenal oleh masyarakat sebagai Rekompak, merupakan pengembangan dari proyek P2KP dan mendukung Pemerintah Indonesia dalam membangun kembali perumahan dan infrastruktur pascabencana di Aceh. Proyek Perencanaan Pemulihan dan Rekonstruksi Berbasis Kecamatan di Nias (Kecamatan-based Rehabilitation and Reconstruction Planning Project in Nias Island

    Foto:Sekretariat MDF

    Anggota kelompok petani beras yang menerima manfaat dari proyek LEDP Nias ini bangga telah mendapatkan pelatihan teknis lewat proyek tersebut. Selain kelompok petani dengan anggota laki-laki dan perempuan, seperti di foto ini, LEDP menyelenggarakan kelompok-kelompok mata pencarian khusus perempuan.

  • 34Ba

    b 1

    - Pe

    ndah

    ulua

    n atau KRRP) memadukan pendekatan PPK dan Rekompak dalam rekonstruksi perumahan dan masyarakat yang telah disesuaikan fungsinya untuk wilayah pedesaan di Nias yang terpencil dan sulit terjangkau. Proyek MDF lainnya untuk pemulihan masyarakat adalah Proyek Rekonstruksi Sistem Administrasi Pertanahan Aceh (Reconstruction of Aceh Land Administration System atau RALAS), yang bertujuan mendukung pemulihan kembali hak milik dan penerbitan surat sertifikat kepemilikan tanah bagi perempuan dan laki-laki. Proyek RALAS juga mendukung rekonstruksi dan pembangunan lembaga pertanahan di Aceh, khususnya sistem administrasi pertanahannya.

    MDF juga mendanai tiga proyek sebagai bagian dari rumpun proyek rekonstruksi infrastrukturnya yang memasukkan unsur peran serta masyarakat yang dipadukan dengan berbagai mekanisme yang mendukung keterlibatan perempuan dalam berbagai aktivitas proyek. Dua dari proyek tersebut adalah proyek rehabilitasi jalan lokal yang dijalankan oleh ILO: Perbaikan Jalan dengan Sumber Daya Lokal Pedesaan (Capacity Building for Local Resource-Based Rural Roads Project atau CBLR3), yang dilaksanakan di Aceh dan Nias, dan Proyek Akses Pedesaan dan Pengembangan Kapasitas Nias (Rural Access and Capacity Building Project atau RACBP) di Nias. Yang ketiga adalah Program Pengelolaan Limbah Tsunami (Tsunami Recovery Waste Management Programme atau TRWMP) yang dilaksanakan di Aceh dan Nias. TRWMP dilaksanakan untuk menjawab kekhawatiran atas kesehatan masyarakat dan lingkungan akibat bencana. Proyek ini berkembang menjadi program yang memberikan perhatian pada pembangunan kapasitas pemerintah lokal untuk mengelola sistem pengolahan limbah padat yang berkelanjutan, menciptakan kesempatan kerja jangka panjang dalam bidang daur ulang dan merehabilitasi infrastruktur pengolahan limbah di Aceh.

    JRF Proyek Pemulihan Masyarakat: Rekompak direplikasi di Jawa lewat JRF untuk rekonstruksi perumahan dan perencanaan masyarakat serta rekonstruksi infrastruktur masyarakat. Dibangun dari kesuksesan dan pembelajaran dari pengalaman pelaksanaan Rekompak MDF, replikasi tersebut memberikan perhatian pada penyediaan tempat tinggal sementara bagi penduduk yang selamat dari gempa bumi dan letusan gunung merapi, pembangunan rumah permanen yang tahan gempa dan rencana pemukiman masyarakat.

    Proyek Pemulihan Mata Pencaharian MDF: MDF mendanai dua proyek terpisah. Fasilitas Pendanaan Pengembangan Ekonomi (Aceh Economic Development Financing Facility atau EDFF) mendukung berbagai prakarsa pembangunan ekonomi dan pengentasan kemiskinan melalui pengembangan berbagai komoditas inti. Proyek ini juga menyediakan bantuan bagi Pemerintah Aceh dalam pengelolaan proyek dan pengembangan kapasitas. Proyek Pengembangan Ekonomi dan Mata Pencaharian (Nias Livelihoods and Economic Development Project atau LEDP), yang memfasilitasi pemulihan pascabencana dan pengentasan kemiskinan, dijalankan lewat berbagai program pengembangan mata pencaharian yang dilakukan pemerintah setempat untuk memberdayakan dan mengembangkan kapasitas warga miskin perkotaan agar dapat mempertahankan peluang untuk mempertahankan mata pencaharian mereka.

    Proyek Pemulihan Mata Pencaharian JRF: JRF mendanai dua proyek pelengkap yang bertujuan mendukung pemulihan mata pencaharian di wilayah-wilayah yang terkena

  • 35Lebih D

    ari Sekedar Pengarusutamaan: M

    endorong Kesetaraan Gender dan

    Pemberdayaan Perem

    puan melalui Rekonstruksi Pascabencana

    Foto: Rosaleen Cunningham

    Proyek-proyek Rekompak MDF dan JRF meningkatkan pemberdayaan dan peran serta perempuan dalam semua aspek perencanaan masyarakat dan pengambilan keputusan. Di foto ini tampak sekelompok perempuan mendiskusikan model pembangunan kembali tempat tinggal mereka berdasarkan Rencana Pemukiman Masyarakat (RPP), yang mereka bantu kembangkan pascaletusan Merapi.

    gempa di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Proyek Pemulihan Mata Pencaharian yang dilaksanakan oleh GIZ mendukung berbagai usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) yang terdampak gempa dengan menyediakan akses ke pendanaan, kredit mikro dan bantuan teknis. Proyek ini memasukan unsur gender pada semua komponen proyek lewat berbagai sasaran yang ditetapkan untuk keterlibatan perempuan, akses terhadap manfaat dan keterlibatan dalam pengelolaan dan pengambilan keputusan dalam proyek. Proyek Pemulihan Mata Pencaharian di Jawa yang dilaksanakan oleh IOM menggunakan pendekatan pengerahan warga yang partisipatoris dengan menyediakan pelatihan dan bantuan teknis, dukungan berusaha, dan penggantian perlengkapan dan alat-alat. Perempuan adalah sasaran sebagai penerima manfaat sekaligus sebagai pelaku utama dalam berbagai aktivitas pembangunan kapasitas untuk mengembangkan keterpautan antara UMKM, pemerintah setempat, LSM dan sektor swasta.

    1.2. Susunan Makalah Kerja

    Setelah pendahuluan, bagian kedua membahas berbagai isu gender dalam bencana dan berbagai konteks gender di Aceh, Nias dan Jawa. Bagian ketiga mengulas berbagai tanggapan dari kelembagaan atas berbagai isu gender di Indonesia dan khususnya dalam MDF dan JRF. Bagian keempat mengupas berbagai pembelajaran utama yang terkait dengan peran perempuan dalam perencanaan masyarakat dan penyusunan prioritas kebutuhan. Bagian kelima membicarakan pengalaman dan pembelajaran yang dipetik dari pemberdayaan ekonomi perempuan dan akses terhadap manfaat pada proyek pemulihan masyarakat dan mata pencaharian. Bagian terakhir membahas desain proyek dan program pascabencana untuk masa mendatang berdasarkan berbagai pembelajaran yang dipetik terkait peran perempuan dalam program rekonstruksi di bawah MDF dan JRF.

  • Bab 2

    MENGAPA GENDER PENTING DALAM KEBENCANAAN

  • 37Lebih D

    ari Sekedar Pengarusutamaan: M

    endorong Kesetaraan Gender dan

    Pemberdayaan Perem

    puan melalui Rekonstruksi Pascabencana

    Gender penting dan menentukan dalam kebencanaan. Struktur, sistem dan kondisi sosial yang telah ada sebelumnya membuat bencana alam berdampak lebih berat, dan berbeda, terhadap sekelompok orang dibanding kelompok lainnya. Gender adalah salah satu dari sejumlah perbedaan yang mempengaruhi bagaimana individu-individu terdampak dan bagaimana kemampuan mereka untuk tetap hidup dan bertahan terhadap dampak bencana. Meskipun laki-laki dan perempuan sama-sama rentan terhadap dampak bencana, ketidaksetaraan gender yang telah ada dapat menciptakan kesenjangan yang nyata dalam hal bagaimana laki-laki dan perempuan terdampak setelah terjadinya bencana. Bencana alam, rata-rata pada umumnya, menewaskan lebih banyak perempuan ketimbang laki-laki, dan kemungkinan lebih banyak perempuan meninggal pada usia muda akibat bencana daripada laki-laki.1 Angka menunjukan bahwa lebih banyak perempuan daripada laki-laki yang meninggal dalam bencana di Aceh, Nias, dan Jawa, dan menciptakan ketidakseimbangan gender jangka panjang.2 Di Aceh, diperkirakan duapertiga dari jumlah total korban meninggal pada tsunami 2004 adalah perempuan, yang sebagian besar adalah anak-anak perempuan dan perempuan lanjut usia. Para perempuan menjadi kelompok yang paling terdampak karena kewajiban merawat anak dan aktifitas bekerja mereka terpusat di dalam rumah, sedangkan kebanyakan laki-laki kemungkinan besar lebih banyak berada di luar rumah. Di Aceh, banyak di antara kaum laki-laki sedang berada di laut untuk mencari ikan dan lolos dari sergapan maut.3 Berbagai norma budaya menghalangi banyak perempuan belajar berenang; ketika gelombang tiba, upaya banyak perempuan untuk menyelamatkan anak-anak mereka dan para orang tua membuat mereka tidak dapat menyelamatkan diri mereka sendiri.4 Di antara bencana besar yang ditangani MDF dan JRF, hanya dalam bencana Gunung Merapi,jumlah korban jiwa laki-laki lebih banyak daripada perempuan.5

    Pascabencana, perempuanterutama yang miskin, tua dan terpinggirkan, misalnya, secara etnis, budaya atau kepercayaanberisiko menderita lebih besar dibanding laki-laki akibat trauma psikososial, mengungsi dalam waktu panjang, kehilangan rumah dan

    Sekelompok perempuan di Nias sedang membangun jalan. Pendekatan berbasis sumber daya lokal yang digunakan dalam dua proyek rekonstruksi jalan pedesaan yang dilaksanakan ILO memberikan kesempatan bagi perempuan untuk belajar keterampilan baru dan melakukan kerja berbayar yang sebelumnya tidak tersedia bagi mereka.

    Foto: Akil Abduljalil

    1 Neumayer dan Plumper 2007 Sebanyak 147 bencana alam yang terjadi antara tahun 1981 dan 2002 dianalisa. Studi ini juga menemukan bahwa ketika hak-hak ekonomi dan sosial bagi perempuan dan laki-laki sama-sama terpenuhi, tidak terdapat perbedaan signifikan pada angka kematian akibat bencana pada perempuan dan laki-laki.

    2 Tidak terdapat angka mortalitas yang akurat untuk perempuan dan laki-laki. Estimasi banyak dibuat berdasarkan angka rasio korban yang selamat.

    3 Mazurana et al. 20114 UNIFEM 20065 Perkiraan oleh pemerintah menunjukkan tingginya tingkat kematian di antara laki-laki setelah Gunung Merapi meletus yang

    kebanyakan disebabkan karena lebih banyak laki-laki memilih tetap tinggal untuk menjaga harta benda dan ternak. Hampir seluruh perempuan dan anak-anak dievakuasi ke lokasi yang aman.

  • 38Ba

    b 2

    - M

    enga

    pa G

    ende

    r Pe

    ntin

    g da

    lam

    Keb

    enca

    naan pekerjaan, dan kemiskinan kronis.6 Peningkatan tingkat kekerasan dalam rumah tangga,

    kecanduan alkohol di antara laki-laki dan perkawinan usia dini yang banyak tercatat dalam keadaan pascabencana, seluruhnya menyumbang pada pelanggaran atas hak-hak perempuan dan melemahkan kapasitas mereka dalam menuntut dukungan dan tanggapan yang semestinya.7

    Mempertimbangkan beragam dampak pada perempuan serta berbagai jenis kebutuhan, hak dan kontribusi mereka yang berbeda-beda semakin diakui sebagai hal penting dan harus dalam membuat efektifnya sebuah rencana pemulihan dan rekonstruksi pascabencana.8 Gender penting karena respons yang buta gender, yang mengabaikan apa arti realitas bencana bagi perempuan dan laki-laki, berisiko melanggengkan ketidaksetaraan yang telah ada dan mengurangi dampak manfaat dari rekonstruksi.

    Peran gender pascabencana dapat dan akan berubah sebagai akibat dari kematian, pengungsian, kehilangan harta benda dan hubungan sosial dan bahkan, seperti yang terjadi di Aceh, hilangnya seluruh warga pada suatu komunitas. Bantuan pascabencana dapat semakin memajukan kesetaraan gender atau justru merongrong hak-hak perempuan jika dinamika gender yang ada sebelumnya tidak sepenuhnya dipahami dan ditangani. Di Aceh, Nias, dan Jawa, berbagai kondisi, peran dan kewajiban perempuan dan laki-laki sangat berbeda dan mempengaruhi kemampuan perempuan dalam mengakses dukungan dan mengambil peran dalam proses rekonstruksi. Berbagai perbedaan ini tidak sepenuhnya diakui oleh lembaga-lembaga asing dalam intervesi yang mereka lakukan, sehingga merupakan sebuah keprihatinan yang akan dibahas pada bagian-bagian berikut.

    2.1. Perempuan di Aceh Pascabencana

    Konflik selama tigapuluh tahun berpengaruh besar terhadap relasi gender di Aceh. Saat lembaga-lembaga asing berusaha membedakan antara wilayah konflik dan wilayah yang terkena dampak bencana, bagi orang Aceh tidak ada perbedaan nyata antara keduanya. Kebanyakan keluarga di sana telah terdampak baik oleh konflik maupun tsunami. Saat konflik, kiprah laki-laki lebih banyak disorot sedangkan peran perempuan, baik secara langsung maupun tidak langsung, seringkali luput dari perhatian. Perempuan terkadang terlibat sebagai pejuang atau pendukung di garis depan, dan lebih sering menjaga komunitas dan keluarga mereka sekaligus menyediakan tempat berlindung dan dukungan bagi pejuang ketika mereka pulang ke rumah. Sebelum tsunami, jumlah keluarga yang dikepalai perempuan diperkirakan sekitar 23 persen, secara signifikan lebih tinggi dari tingkat rata-rata nasional yang 11 persen.9 Perempuan menghadapi kondisi yang amat sulit; mobilitas mereka dibatasi jam malam, penutupan jalan dan ketakutan. Konflik membuat perempuan berhadapan dengan tingkat kekerasan gender yang tinggi.

    6 ILO 2006; Bank Dunia 2011; UNIFEM 2006; Pennells 2008; Pemerintah Indonesia 2011; Chew dan Ramdas 2005.7 Chew dan Ramdas 2005; ILO 20008 Bank Dunia 2012b; UNIFEM 2006; ILO 20009 Vianen 2007

  • 39Lebih D

    ari Sekedar Pengarusutamaan: M

    endorong Kesetaraan Gender dan

    Pemberdayaan Perem

    puan melalui Rekonstruksi Pascabencana

    Jejaring sosial terputus, rasa percaya di antara masyarakat runtuh dan peran perempuan di forum publik yang secara tradisional sudah sedikit menjadi semakin terbatas. Baik laki-laki maupun perempuan menderita trauma psikososial yang berat akibat konflik yang kemudian diperparah oleh kehancuran akibat tsunami. Pascabencana, ruang politik menjadi terbuka, dengan kemungkinan diakhirinya konflik. Pada bulan Agustus 2005, memorandum kesepahaman ditandatangani antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka. Proses perdamaian tersebut berjalan seiring dengan proses rekonstruksi. BRR secara berangsur-angsur mendorong para donor untuk lebih berperan di berbagai wilayah di Aceh yang tidak secara langsung terkena bencana tsunami, mengingat seluruh wilayah provinsi telah terdampak dalam berbagai bentuk dan cara.

    Pada tahun 2002, hukum syariah, yang secara resmi diakui Pemerintah Indonesia, berlaku di Aceh. Hukum ini memperkuat peran ulama dalam menentukan dan mempengaruhi berbagai isu terkait agama, budaya dan pendidikan. Tergantung pada bagaimana hukum ini ditafsirkan pada tingkat lokal, hukum ini berdampak besar pada kehidupan para perempuan. Di beberapa wilayah di Aceh, misalnya, berbagai laporan mencatat diberlakukannya jam malam bagi perempuan, demikian pula penertiban atas busana dan perilaku tidak pantas oleh perempuan.10

    Perempuan Aceh, terutama yang belum menikah, secara tradisional terlibat dalam kerja tak berbayar yang bersifat subsistensi di bidang pertanian atau nelayan. Pada saat tsunami, telah tampak pergeseran pada pekerjaan perempuan yang tak berbayar ke usaha mandiri yang berkeuntungan kecil. Ini seringkali terlaksana dalam bentuk usaha mikro informal berbasis rumah tangga mengingat bahwa kewajiban mereka masih untuk

    Foto: Kumala Sari

    Proyek rekonstruksi berbasis masyarakat seperti Rekompak mendorong dan memfasilitasi keterlibatan perempuan. Menyelenggarakan pertemuan secara terpisah bagi perempuan membantu memastikan suara perempuan didengarkan.

    10 Nowak dan Caulfield 2008

  • 40Ba

    b 2

    - M

    enga

    pa G

    ende

    r Pe

    ntin

    g da

    lam

    Keb

    enca

    naan mengasuh anak dan mengurus rumah tangga. Akses yang terbatas terhadap pasar dan

    modal serta pembatasan mobilitas selama konflik membuat kesempatan menjadi sangat kecil bagi perempuan untuk mencari mata pencaharian di luar rumah.11

    2.2. Perempuan di Nias Pascabencana

    Relasi gender di Pulau Nias bersifat patriarkal dan sangat tidak seimbang. Laki-laki menguasai harta benda, pengambilan keputusan baik dalam rumah tangga maupun di masyarakat dan mendominasi pekerjaan berupah. Perempuan tidak memiliki hak waris yang diakui adat, kebanyakan bekerja tanpa dibayar di ladang dan perkebunan milik keluarga, dan mempunyai akses yang terbatas terhadap layanan pendidikan dan kesehatan. Tingkat buta huruf di antara perempuan sangat tinggirata-rata 40 persen dan dapat meningkat hingga 70 persen di wilayah pedesaan terpencil. Laki-laki menguasai pengeluaran uang dalam rumah tangga; perempuan hanya bisa membelanjakan uang yang dia hasilkan sendiri, kebanyakan lewat berjualan secara kecil-kecilan. Hanya terdapat sedikit sekali kesempatan bagi perempuan untuk bekerja dengan bayaran tunai; sehingga kurang dari 40 persen dari mereka mempunyai pekerjaan berupah.12

    Yang mendasari ketidaksetaraan gender di sini adalah tradisi jujuran atau mas kawin. Sebelum menikahi seorang perempuan, laki-laki harus membayar antara Rp. 70 juta hingga Rp. 100 juta dalam bentuk emas, barang atau uang.13 Jujuran membentuk relasi gender. Perempuan dipandang sebagai komoditasbenda milik keluarga suamidan diharapkan bekerja bagi keluarga, termasuk ikut bertanggung jawab membayar kembali hutang jujuran. Meskipun tradisi jujuran sudah mulai berkurang di wilayah perkotaan dan ditinggalkan oleh mereka yang telah berpendidikan, tradisi ini tetap kuat dipertahankan di wilayah pedesaan Nias,di mana mayoritas penduduk tinggal, dan menyumbang secara signifikan pada ketidaksetaraan gender dan ketidakamanan mata pencaharian.

    Keterpencilan dan kemiskinan Nias berakibat pada tingginya tingkat migrasi keluar dan migrasi sirkular di antara laki-laki dan perempuan muda demi mencari pekerjaan dan penghidupan yang lebih baik. Perempuan yang lebih tua tetap tinggal dengan kewajiban mengurus keluarga dan anak, namun tanpa kontrol atas pendapatan dan pengeluaran keluarga, atau terlibat dalam forum publik. Sejumlah laporan menyebutkan tingginya tingkat kekerasan berbasis gender, namun angka yang pasti sulit didapat.

    2.3. Perempuan di Jawa Tengah dan Yogyakarta Pascabencana

    Relasi gender di Jawa Tengah dan Yogyakarta dipahami dalam bentuk wilayah-wilayah pengaruh. Perempuan sangat berpengaruh, dan seringkali menguasai ranah pribadi, di

    11 Viane 200612 Salkeld 200713 Keluarga akan menjual aset mereka termasuk hak kepemilikan atas tanah dan secara signifikan memiskinkan diri agar

    dapat membayar mas kawin. Ini khususnya terjadi pada keluarga miskin di pedesaan yang pendapatan harian mereka hanya sekitar Rp. 25.000 (Salkeld 2007).

  • 41Lebih D

    ari Sekedar Pengarusutamaan: M

    endorong Kesetaraan Gender dan

    Pemberdayaan Perem

    puan melalui Rekonstruksi Pascabencana

    dalam rumah dan keluarga. Laki-laki menguasai ranah publik untuk urusan pekerjaan, politik, dan pengambilan keputusan dalam masyarakat. Pertumbuhan ekonomi, perubahan dalam pola pekerjaan dan urbanisasi, semuanya telah ikut mengaburkan batasan di antara wilayah-wilayah tersebut, terutama di wilayah perkotaan Yogyakarta dan Jawa Tengah. Meskipun demikian, perempuan dalam masyarakat Jawa (tetap) dikenal sebagai konco wingking laki-laki, atau teman suami di belakang rumah.14 Rasa perbedaan wilayah ini mempengaruhi peran yang dimainkan perempuan dalam pengambilan keputusan masyarakat. Perempuan umumnya akan akan diwakili oleh suami mereka, namun pandangan dan pilihan keputusan yang disampaikan para suami dalam forum telah terlebih dahulu dipengaruhi oleh para istri di rumah. Bila tidak ada suami, para perempuan kebanyakan tidak hadir atau hanya diam saja saat forum publik, terutama di wilayah pedesaan.

    Dalam rumah tangga, perempuan memegang kendali besar atas anggaran dan belanja rumah tangga dan menyimpan aset mereka sendiri (emas atau ternak, misalnya). Perempuan menuntut suami memberi mereka pendapatan dari hasil bekerja atau penjualan aset. Perempuan memainkan peranan yang penting dalam menjaga ketahanan ekonomi rumah tangga mereka, baik dengan cara bekerja tanpa upah bagi keluarga atau sebagai buruh harian di ladang. Banyak keluarga di pedesaan memiliki sedikit tanah dan mendiversifikasikan kegiatan mata pencaharian mereka menjadi industri rumah tangga agar dapat bertahan. Industri rumah tangga seperti ini, misalnya membatik, membuka warung dan menjual makanan keliling, didominasi oleh perempuan yang mengalami kesulitan akibat mata pencahariannya hilang pascabencana. Meskipun terdapat tingkat migrasi keluar dan migrasi sirkular yang tinggi di antara para laki-laki di wilayah pedesaan, perempuan tidak leluasa untuk berpindah karena tanggung jawab merawat anak, jaringan publik yang terbatas, dan bagi perempuan yang lebih miskin, dan tingkat pendidikan yang rendah. Akibatnya, jumlah perempuan kepala keluarga secara de facto sangat tinggi; di beberapa masyarakat yang terkena dampak gempa bumi dan letusan Gunung Merapi, lebih dari 30 persen rumah tangga dikepalai oleh perempuan.15

    Tradisi gotong-royong amat kuat di Jawa tengah dan berperan signifikan bagi laki-laki dan perempuan dalam mempercepat pemulihan mata pencaharian mereka. Namun demikian, di sejumlah komunitas, khususnya yang kehilangan tempat tinggal akibat bencana, ditemukan bukti bahwa gotong-royong sudah semakin sulit diwujudkan, sehingga menimbulkan ketegangan dan saling tidak percaya di antara anggota masyarakat.16 Ketegangan sosial ini sangat mempengaruhi mereka yang