yudisia - cholilnafis.com filemukhammad nur hadi 26 jurnal pemikiran hukum dan hukum islam...
TRANSCRIPT
YUDISIA : JURNAL PEMIKIRAN HUKUM DAN HUKUM ISLAM ISSN: 1907-7262, E-ISSN: 2477-5339 Volume 10, Nomor 1, Juni 2019 http://journal.stainkudus.ac.id/index.php/yudisia/index
MUHAMMAD SYAHRUR DAN KONSEP MILKUL YAMIN: KRITIK
PENAFSIRAN PERSPEKTIF USHUL FIQH
Mukhammad Nur Hadi
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Abstract: The Scholars stated that occurring verses of milkul yamin (slave
ownership) had been stoped because of its locus which was disappeared.
Meanwhile, the trademark of al-Qur‟an as the book of revelation which is
always relevant unlimitedly to dynamic of era has been paradox. On the other
hand, through Syahrur verses of milkul yamin uniquely can be interpreted
with the new locus. Syahrur assumed that nowadays the context of milkul
yamin can be compared with „aqdul ihshan (commitment of sexual
intercourse) as the way to legitimate sexual intercourse outside marriage that
is happening in the Western tradition. This concept was based on sexual
intercourse between man and his slave which was taken from three chapters;
al-Ahzab: 50, al-Mu’minun: 5-6, and an-Nur: 31 as a consequence of the
view of Syahrur‟s limit theory to the comprehnsive norm of al-Qur‟an.
However, the problem is that is reinterpretation of Syahrur relevant
accordance with the principal orinentation of al-Qur‟an (maqashid al-
Qur’an). Ideally, the recontextualization should considered general benefits
(mashlahat) for human because not all traditions can be accommodated by
Islam. It shows that living Qur‟an to verses of milkul yamin on Syharur‟s
perspective ignored the dialectic between mashlahat (benefit) and ‘urf
(tradition). In this position, reexamining Syharur‟s thought of his
reinterpretation to milkul yamin by considering the ideal of human-social
reality does not find base paradigm.
Keywords: Milkul Yamin, Mashlahat, ‘Urf
Abstrak: Jumhhur Ulama‟ menyatakan bahwa pemberlakuan ayat tentang
kepemilikan budak (milkul yamin) sudah berhenti karena ketiadaan
locusnya.Sementara itu, trademark al-Qur‟an sebagai kitab wahyu yang
berelevansi tak terbatas dengan zaman menjadi paradoks.Uniknya, di tangan
Mukhammad Nur Hadi
26 Jurnal Pemikiran Hukum Dan Hukum Islam
Syahrurayat tentang milkul yamin bisa hidup kembali dengan menemukan
locus barunya. Syahrur berasumsi bahwa konteks milkul yamin saat ini sama
dengan konsep zaujul misyar (nikah wisata/kontrak) yang kemudian diganti
dengan istilah aqdul ihshan (komitmen hubungan badan) sebagai bentuk
upaya melegitimasi hubungan intim tanpa melalui pernikahan (kumpul kebo)
yang masih hidup dalam tradisi sosial masyarakat Barat. Konsep ini berdasar
pada adanya interkasi biologis antara tuan dan budakyang diambil dari tiga
surat; al-Ahzab: 50, al-Mu‟minun: 5-6, dan an-Nur: 31 sebagai konsekuensi
logis dari grand teori limitnya.Hal ini karena Syahrur melihat cakupan al
Qur‟an yang utuh dan menyuluruh (syumuliyyah). Namun permasalahannya
adalah apakah upaya reinterpretasi Syahrur tersebut sesuai dengan orientasi
pokok al-Qur‟an (maqashid al-Quran). Sebab, idealnya segenap usaha
rekontekstualisasi hendaknyajuga mempertimbangkan aspek
kemaslahatanummat manusia secara keseluruhan. Karena faktanya, tidak
semua tradisi dapat diakomodir oleh Islam. Hal ini menunjukkan bahwa
living Qur’an dalam ayat milkul yaminperspektifSyahrur tampak abai
terhadap dialektika mashlahat dan urf.Pada titik ini, mengkaji kembali
pemikiran Muhammad Syahrur yang berkaitan dengan laku interpretative
terhadap ayat milkul yamin dengan mempertimbangkan idealitas relasi sosial
kemanusiaan tidak menemukan pijakan paradigmatiknya.
Kata Kunci: Mlikul Yamin, Mashlahat, ‘Urf
Pendahuluan
Islam datang membawa misi rahmatan lil ‘alamindimana keadaan
dunia, wilayah Arab khususnya, saat Islam turun jauh dari relasi kasih
sayang. Budaya eskploitasi dan dominasi oleh kelompok yang kuat telah
melembaga cukup kuat.Sementara itu, relasi seks suami istri dan selainnya
jauh dari standar moral kemanusiaan. Selain itu, budaya kesukuan yang
mengakar di masyarakat Arab menyebabkan mudahnya pertumpahan darah
antar sesame saudara. Dari sini Islam mengajarkan untuk memahami relasi
seksual yang baik dan mengajarkan sikap ta’awun (tolong menolong) antar
manusia tanpa memandang perbedaan golongan atau suku. Oleh karena itu,
Islam tidak mentolelir budaya eksploitasi dan dominasi yang merendahkan
harkat dan martabat manusia sebagai patron awal sikap perikemanusiaan
Muhammad Syahrur Dan Konsep Milkul Yamin
Yudisia Vol. 10 No. 1,Juni 2019 27
yang ideal untuk alam semesta. Hal ini terlihat di beberapa ayat al-Qur‟an
yang menyuarakan kesetaraan derajat manusia.
Kepemilikan budak (milkul yamin) yang telah melembagaadalah salah
satu fokus kritik al-Qur‟an terhadap budaya eksploitasi dan dominasi di Arab.
Al-Qur‟an memandang bahwa hal itu harus segera dieliminasi meskipun
dilakukan secara gradual.Selainmelalui kafarat berupa memerdekakan budak,
al-Qur‟anjuga membolehkan tuan menggauli budak
pribadinyasebagaimanatermktub di beberapa ayat sebagai salah satu cara
gradual mengeliminasi perbudakan. Tujuannya adalah agar ketika si tuan
meninggal dan si budak melahirkan anak dari hasil hubungan badan mereka
maka budak tersebut bisa merdeka, (Ahmad Syafiq, 2010: 79)dan demi
menepis asumsi mayoritas saat itu bahwa budak akan selamanya menjadi
budak. Bahkan, melalui cara ini Islam banyak memerdekakan budak.( Ahmad
Sayuti, 2015: 98)
Seiring berjalannya waktu, aturan kebolehan menggauli budak dalam
al-Qur‟an telah disepakati berhenti oleh Ulama‟, bukan karena dinaskhtetapi
karena ketiadaan locusnya, sebagaimana penjelasan Quraish Sihab. Hal ini
diperkuat dengan sejarah penghapusan perbudakan yang dideklarasikan di
Prancis dan juga penolakan Abraham Lincon terhadap perbudakan di
Amerika.( Abdullah Nashih, 83)Terhadap konsesus ini, Syahrur berasumsi
bahwa ayat milkul yamin bisa relevan dengan menganggap zaujul misyar
esensinya sama dengan konsep milkul yamin, yaitu ada kesepakatan
hubungan biologis tanpa ada tujuan membangun rumah tangga. Untuk itu,
menurut Syahrur termzaujul misyar idealnya diganti dengan „aqdul ihshan
(komitmen hubungan badan). Perbedaan cara pandang Syahrur dari
pandangan mayoritas menyebabkan Syahrur tampak menyimpang dari
orientasi pokok al-Qur‟an (maqashidal-Qur’an)yang membuatnya terlihat
tidak memiliki pijakan paradigmatik.
Kajian Kritis Terhadap Pemikiran Muhammad Syahrur
Sejauh ini, kritik terhadap nalar dan hasil ijtihad Syahrur sudah
banyak dilakukan oleh berbagai peneliti. Namun, artikel yang berkomentar
secara tajam terhadap Syahrurseringkali hanya sekadar mendeskripsikan
relevansi dan signifikansi ide-ide kontroversialnya. Alam Tarlam, misalnya,
Mukhammad Nur Hadi
28 Jurnal Pemikiran Hukum Dan Hukum Islam
mengkritik nalar hermeneutika Syahrur denganmeminjamnalar kritik Yusuf
Saidawi yang mengurai kelemahan Syahrur dalam kesusteraannya.(Alam
Tarlam, 2015)Kritik yang sama juga dilakukan oleh Syamsul Wathani. Ia
mengomentari nalar lingusitik Syahrur dengan memimjam nalar kritik Salim
al-Jabi. Sama halnya dengan Alam Tarlam, Syamsul Wathani masih belum
menggunakan instrumen hasil pemikirannya untuk mengkritik
Syahrur.(Syamsul Wathani, 2018)Kritikan lebih tajam ditulis oleh Qaem
Aulassyahied. Tidak seperti dua tulisan sebelumnya, kritik Qaem terhadap
Syahrur fokus pada konsep sunnah yang digagas Syahrur. Dengan detail ia
menguraikan kerancuan nalar Syahrur dalam menyusun konsep sunnah.
Sederhananya, Qaem menyebut Syahrur sebagai pemikir yang inkaru as-
sunnah. (Qaem Aulassyahied, 2015)
Sementara itu, selain munculnya artikel-artikel yang mengkritik
Syahrur, banyak juga ditemukan artikel yang justru mengapresasi ide-ide
Syahrur yang dianggap aplicable. Ulasan yang disampaikan pun cenderung
deskriptif. Abdul Mustaqim, misalnya,berpandangan bahwa teori limit
Syahrur itu punya daya progresifitas yang unik dari teori hudud
konvensional. Sebabnya adalah pembicaraan teori limit konvensional masih
seputar „uqubat (hukuman) sedangkan teori hudud Syahrurcenderung
dinamis-kontekstual yang tidak hanya sekedar membahas „uqubat.( Abdul
Mustaqim, 2017 Hal senada juga dilakukan oleh Sakirman. Ulasan yang ia
uraikan di artikelnya hampir sama dengan apayang dilakukan oleh para
peneliti pada umumnya; hanya mengurai dan mengkaji bagaimana
metodologi teori limit Muhammad Syahrur bekerja.(Sukiman, 2017)
Berbeda dengan genre penelitian sebelumnya, Muhyar Fanani
melakukan penelitian terhadap teori hudud Syahrur dengan sudut pandang
ilmu ushul fiqh. Namun, pendekatan yang ia gunakan bukan pendekatan
ushuli tetapi berbasis pada pendekatan sosiologi ilmu pengetahuan. Meskipun
teori hudud itu berupaya untuk menegakkan supremasi sipil dan demokarasi,
bagi Muhyar, teori hudud Syahrur akan mengalami kebuntuan kecuali jika
dilengkapi dengan perangkat hermeneutika kritis. Muhyar punya harapan
bahwa teori hudud Syahrur bisa bekerja secara maksimal demi menghasilkan
teori ushul fiqh progresif.( Muhyar Fanani, 2005)
Sejauh ini, berdasar berbagai penelitian yang ada, kajian kritis secara
khusus terhadap konsep milkul yamin kontemporer Syahrur agaknya masih
Muhammad Syahrur Dan Konsep Milkul Yamin
Yudisia Vol. 10 No. 1,Juni 2019 29
belum disentuh secara komprehensif, meskipun kaitan metodologi dari hasil
pemikiran berulangkali didiskusikan. Oleh karena itu, penulis memandang
bahwa gagasan milkul yamin ini perlu untuk dikaji lebih detail.Dengan
menjadikan ushul fikih sebagai perspektif,artikel ini berupaya membedah
nalar ijtihad Syahrur terhadap milkul yamin yang dianggap sebagai gagasan
pembaharu dalam nalar ushul fiqhmelalui eksplorasi teori mashlahah dan ‘urf
sekaligus.
Biografi Singkat Muhammad Syahrur
Muhammad Ibnu Da‟ib Syahrur, yang lebih terkenal dengan
Muhammad Syahrur lahir pada 11 Maret 1938, di Salihiyyah, salah satu
sudut kota Damaskus, Syiria. Meskipun keluarganya adalah Sunni Tulen,
Sharur tidak disekolahkan di kuttab atau madrasah yang jelas beraliran sunni
tetapi ia justru disekolahkan di sekolah yang menerapkan pendidikan sekular
di al-Midan-wilayah bagian selatan pinggiran kota Damaskus.Ini menjadi
bukti bahwa sejak kecil Syahrur memang tidak secara intensif atau
diintefsikan untuk mendalami keilmuan agama. Setelah menyelesaikan
jenjang sekolah menengah pada tahun 1957, Syahrur kemudian pergi ke
Moskow,Uni Soviet, untuk belajar teknik sipil dengan beasiswa dari
pemetintah. Di sinilah Syahrur banyak mengenaliidelogi Marxisme yang
kemudian turut mewarnai pemikirannya. (Muhammad Syahrur, 2009: 19-20)
Usai menamatkan studinya di Moskow 1964, Syahrur kembali ke Syiria dan
menjadi pengajar di Universitas Damaskus. Sejaktahun 1968 ia memutuskan
untuk melanjutkan studinya di jenjang master hingga doktoral di National
University of Ireland. Jenjang master ia selesaikan tahun 1969 dengan
konsentrasi Mekanika Tanah, sedangkan jenjang doktoral ia selesaikan tahun
1972 dengan bidang Teknik Pondasi. Usai studinya di Irlandia, selain
menjadi pengajar di Universitas Damaskus, Syahrur juga berkiprah pada
dunia teknik dengan menjadi konsultan teknik bangunan untuk ribuan
bangunan di kota Damaskus. (Muhammad Syahrur, 2009: 20)
Perhatian Syahrur terhadap kajian keIslaman sebenarnya sudah
muncul sejak ia studi di Dublin. Dengan kata lain, buku pertama yang
dihasilkannya, al-Kitab wa al-Qur’an, adalah hasil pemikirannya yang terus
diolahnya selama kurang lebih dua puluh tahun. Nalar kritisnya semakin
Mukhammad Nur Hadi
30 Jurnal Pemikiran Hukum Dan Hukum Islam
mantap ketika ia mendapat inspirasi saat mengajar tentang bagaimana
membuat kontruksi jalan rapat yang juga memakai konsep limitasi maksimal
dan minimal. Seketika, ia berfikir bahwa idealnya ada konsep God’s Limits.
Dari sinilah, ia kemudian menemukan lima kasus di al-Qur‟an yang
dianggapnya sebagai maksud dari God’s Limit.(Muhammad Syahrur, 2009:
11)Lebih lanjut, pengembangan ide teori limitnya semakin menemukan
arahnya ketika ia bertemu dengan temannya saat studi di Dublin. Adalah Dr.
Jakfar Dakk al-Bab, ahli linguistik, yang kemudian menjadi sumber utama
Syahrur untuk menggali dan mengelaborasi pengetahuan linguistik Syahrur
yang turut mewarnai dan berpengaruh dalam teori kontemporer hukum
Islamnya. (Muhammad Syahrur, 2009: 11)
Secara general, timelineatau tahapanpembentukan nalar kritis
pemikiran Syahrur menurut terbagi ke dalam tiga fase. Pertama adalah fase
kontemplasi dan peletakan dasar pemahamannya yang terjadi pada tahun
1970-1978 dimana Syahrur belum menghasilkan karya. Ia hanya dalam masa
menyadari bahwa metodologi dan peneltian kajian Islam berada pada titik
nadir karena masih terbelenggu oleh dikotomi nalar kalam Sunni dan
Mu‟tazilah serta paradigma fiqh yang didominasi oleh lima mazhab; Hanafi,
Maliki, Syafi‟I, Hanbali, dan Ja‟fari.Kedua adalah fase pengembaraan
intelektualnya dalam linguistik dan filologi dengan menyelami pandangan-
pandangan beberapa tokoh seperti al-Fara‟, Abu Ali al-Farisi, Ibnu Jinni, al-
Jurjani, dan sebagainya.Pada fase inilah Syahrur bertemu dengan teman yang
sekaligus menjadi gurunya, Dr. Ja‟far Dikk al-Bab, yang melatari Syahrur
menyelami dan menganlisis ayat-ayat al-Qur‟an dengan pendekatan baru.
Fase ini terjadi pada tahun 1980-1986. Ketiga adalah fase Syahrur Syharur
memulai kreatifitasnya dalam mengolah pemikirannya yang terjadi pada
tahun 1986-1990. Bab pertama dari buku al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah
Mu’ashirah diselesaikan antara tahun 1986-1987 dan sisanya diselesaikan
sampai tahun 1990. (Muhammad Syahrur, 2009: 11)
Sebagai pemikir Muslim Kontemporer, Muhammad Syahrur berhasil
menghasilkanbeberapa karya dalam kajian Islam. Selain karya al-Kitab wa
al-Qur’an: Qira’ah Mu’ashirah (1990)di antara karyanya yang lain adalah,
Dirasat al-Islamiyyah al-Mu’ashihrah fi ad-Dualah wa al-Mujtama’(1994),
al-Islam wa al-Iman (1996),Nahwu Ushul Jadidad Lil Fiqhi al-Islami: Fiqhu
al-Mar’ah (2000), Tajfifu Manabi’I al-Irhab (2008),al-Qishah al-Qur’ani-
Qira’ah Mu’ashirah I: Madkhal ila al-Qishashi wa al- Qishati Adam (2010),
Muhammad Syahrur Dan Konsep Milkul Yamin
Yudisia Vol. 10 No. 1,Juni 2019 31
dan al-Qishah al-Qur’ani-Qira’ah Mu’ashirah II: Min Nu hila Yusuf (2011).
Termsuk karyanya adalah buku yang diedit dan diterjemah oleh Andreas
Christman; The Qur’an, Morality, and Critical Reason: The Essential
Muhammad Shasrur (2009). Baru-baru ini, Syahrur juga merilis buku
barunya,al-Islam wa al-Insan: Min Nataij al-Qir’ah al-Mu’ashirah
(2016)yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa InggrisIslam and
Humanity: Consequence of Contemporary Reading(2017).
Kerangka Teori Umum: Milkul Yamin dalam Perspektif Muhammad
Syahrur
Konstruksiteorimilkul yamin Syahrur tidak bisa terlepas dari grand
teori limitnya. Teori limit Syahrur terbangun atas asumsi bahwa risalah Nabi
Muhammad SAW adalah risalah universal yang terus relevan, fleksibel,
dinamis, dan selalu mutajaddid (terbaharui) sejalan dengan dinamika zaman.
Syahrur memandang bahwa sifat pasti dan lurus (istiqamah) dan sifat lentur
(hanifiyyah) adalah kunci utama yang harus digunakan untuk memahami
risalah Nabi Muhammad SAW. Menurut Syahrur, term istiqamah berasal
dari kata qawama yang secara bisa bermakna intishab (tegak, lururs)atau
‘azm (kehendak kuat atau kokoh). Term ini berdasar pada beberapa ayat,
antara lain Q.S al-Fatihah: 6, al-An‟am :153, 161, dan as-Shaffat: 118.
Sedangkan term hanifiyyah merupakan derivasi dari kata hanafa yang berarti
mail wa inhraf (kecenderungan, pelengkungan, dan pembelokan). Dasar
pijakan term ini lebih banyak ditemukan dari pada term istiqamah, antara lain
Q.S al-An‟am: 79, 161, ar-Rum: 30, al-Bayyinah: 5, al-Hajj: 31, an-Nisa‟:
125, Yunus: 105, an-Nahl: 120, 123, Ali Imran: 67, 95.
Dengan menginventarisasi ayat-ayat yang bekaitan, Syahrur
menemukan bahwa satu-satunya ayat yang menerangkan dialektika sifat
istiqamah dan hanifiyyah sebagai karakter agama Islam yang memicu jutaan
kemungkinan dalam penetapan hukum yang mencakup seluruh aspek
kehidupan manusia di setiap ruang dan waktu adalah Q.S al-An‟am: 161.
Berdasar pada sifat alam semesta yang selalu dinamis (Q.S al-An‟am: 79),
Syahrur berargumen bahwa agama yang hanif idealnya selaras dengan sifat
alam; lentur, fleksibel dan dinamis. Inilah kemudian yang disebut sebagai
sifat perubahan(mutaghayyarat) yang mengandung arti dinamika dan
Mukhammad Nur Hadi
32 Jurnal Pemikiran Hukum Dan Hukum Islam
progresifitas. Pada titik ini, sifat istiqamah berperan untuk mengarahakan
fleksibiltas agama agar menemukan postulat-postulat dasar kehidupan yang
telah ditetapkan.
Melalui dialektika dua sifat tersebut, Syahrur barasumsi bahwa
hukum Islam akan selalu menemukan relvansinya kapanpun dan dimanapun.
Hubungan dilaektis dua sifat tersebut itu menjadi dasar Syahrur dalam
mengkonstruk teori limitnya (nadzhariyyahal-hudud) yang berdasar pada Q.S
an-Nisa‟: 13-14. Kalimat “tilka hududullah”pada kedua ayat tersebut bagi
Syahrur merupakan sebuah indikasi bahwa yang berotoritas menetapkan
batasan-batasan hukum adalah Nabi dan Rasul. Sedangkan nabi Muhammad
sendiri hanya sebagai pelopor ijitihad dan tidak memiliki otoritas penuh.
Dengan demikian, Syahrur hendak mengatakan bahwa karena hukum-hukum
yang dihasilkan Nabi bersfat temporal dan terikat oleh tempat dan waktu,
maka manusia masih mempunyai ruang gerak untuk berijtihad lebih
lanjut.(Alam Tarlam, 98)
Dengan menggunakan konsep analisis matematika Newton, Syahrur
berhasil mengkategorisasi enam wilayah ijtihad berdasar teori limitnya itu.
Dengan persamaan Y=f(x) untuk satu variable perubah dan Y= f(x,z) untuk
dua variable perubah. Dalam aplikasi teorinya akan muncul bentuk kurva
dimana sumbu Y (garis vertikal)melambangkan perkembangan hukum yang
selalu dinamis, sedangkan sumbu X (garis horizontal) melambangkan waktu
atau konteks sejarah hukum diterapkan. Untuk titik ordinat (O) adalah
lambang awal diutusnya Nabi Muhammad saw. Untuk lebih jelasnya, berikut
uraian teori limit Syahrur yang terurai dalam enam model teori limit.
Pertama adalahposisi batas minimal (halah hadd al-adna) dengan
kurva berbentuk terbuka dimana satu titik balik minimum terletak berhimpit
sejajar denga garis sumbu X adalah hasil dari persamaan y = f(x) untuk posisi
ini. Dalam posisi ini, penetapan hukum hanya boleh dilakukan di atas batas
minimum namun tidak boleh melebihi batas minimum tersebut. Ayat-ayat
tentang maharam (an-Nisa‟: 22-23), tentang makanan yang haram dimakan
(al-Maidah: 3), dan juga ayat tentang batasan aurat wanita (an-Nur:31) adalah
contoh untuk posisi ini.( Muhammad Syahrur, 452- 455)
Kedua adalah posisi batas maksimal (halah hadd al-a’la) dengan
bentuk kurva tertutup dengan garis lengkung mengahadap ke bawah yang
merupakan hasil dari persamaan y=f(x,z). Artinya, dalam menetapkan hukum
Muhammad Syahrur Dan Konsep Milkul Yamin
Yudisia Vol. 10 No. 1,Juni 2019 33
tidak boleh melebihi batas maksimal. Ruang ijtihad penetapan hukum berada
di bawah batas maksimal atau mungkin berada pas dengan batas maksimal.
Contoh untuk posisi ini adalah hukuman potong tangan. Bagi Syahrur,
hukum potong tangan adalah hukuman maksimal bagi pencuri sehingga
pencuri boleh dihukum selain yang lebih rendah dari potong tangan namun
tidak boleh melebihi batas maksimal tersebut (Q.S. al-Maidah: 38).
(Muhammad Syahrur, 452- 455)
Ketigaadalah posisi batas minimal dan maksimal bersamaan (halah
al-haddain al-a’la wa al-adna ma’an)dengan kurva berbentuk gelombang
yang memiliki batas minimal dan maksimal. Titik baliknya berada pada garis
lurus yang sejajar dengan sumbu x. Oleh karena itu, pada posisi ini hukum
yang ditetapkan memiliki posisi batas minimal dan maksimal secara
bersamaam. Konsekuensinya, penetapannya atau ijtihad bisa dilakukan di
antara dua batas tersebut. Yang termsuk kategori ini adalah ayat-ayat yang
berbicara tentang poligami (an-Nisa‟:3) dan kewarisan (an-Nisa‟: 11-14).
(Muhammad Syahrur, 452- 455)
Keempatadalah posisi lurus tanpa alternatif (halah al-mustaqim)
dengan y=f(x) bernilai konstan untuk semua x. Maka, daerah hasil untuk
posisi ini hanya berupa garis lurus yang sejajar dengan sumbu x.
Konsekuensinya, posisi ini tidak memiliki batas minimal dan maksimal.
Sederhananya, hukum yang ditetapkan meskipun zaman telah berubah adalah
tetap. Contoh untuk posisi ini adalah hukuman zina muhsan (an-Nur: 2). Bagi
Syahrur, hukuman zina tidak bisa dikurangi, karena rasa kasihan, atau
ditambah karena ada indikasi kata wala ta’khudzkum.( Muhammad Syahrur,
463)
Kelima adalah posisi batas maksimal tanpa menyentuh garis batas
minimal sama sekali (halah al-had al-a’la al-muqarib duna al-mamas bi al-
had abadan) dengan hasil persamaan berupa kurva terbuka dimana titik
pangkal hampir berhimpit dengan sumbu x dan titik final hampir berhimpit
dengan sumbu x. Pada akhirnya, titik final hanya benar-benar berhimpit pada
sumbu y di daerah tak terhingga. Untuk posisi ini, contoh yang diberikan
Syahrur adalah aturan hubungan atau interaksi antara laki-laki dan
perempuan yang mendekati zina. Seseorang tidak boleh melakukan hal-hal
yang menjurus kepada zina. Jika sampai berbuat zina, dalam hal ini
Mukhammad Nur Hadi
34 Jurnal Pemikiran Hukum Dan Hukum Islam
menyentuh garis lurus (mustaqim) sebagai gambaran batasan aturan interaksi,
maka hukuman Allah layak dijatuhkan kepadanya. ( Muhammad Syahrur, 628)
Keenam adalah posisi batas maksimal positif dan batas minimal
negatif (halah al-had al-a’la mujaban wa al-had al-adna saliban)yang hasil
persmaannya berupakurva gelombang.Titik balik balik maksimum ada di
daerah positif dan titik balik minimum ada di daerah negatif yang kedua titik
balik tersebut tidak boleh dilampaui. Kedua titik itu berhimpit dengan garis
lurus sejajar sumbu x. Aplikasi teori ini digunakan untuk kasus bunga bank
atau riba sebagai batas maksimal yang tidak boleh dilanggar dan kewajiban
zakat sebagai batas minimal yang boleh untuk melebihkan bayaran; yang
berupa sadaqah. Sedangkan posisi tengah yang disimbolkan dengan titik nol
pada persilangan dua sumbu adalah posisi dimana akaqard hasan (pinjaman
tanpa bunga) terjadi.1
Contoh aplikasi teori limit pada beberapa kasus tersebut hanya bentuk
aplikasi dasar teori limitnya. Pada perkembangannya teori ini juga berfungsi
pada berbagai ide-ide kreatifnya yang lain. Beberapa contoh aplikasi
kontroversialnya yang lain adalah terkait batasan aurat,homosexual, dan
milkul yamin dimana semuanya terkesan abai dengan batasan etik urf
(tradisi).
Termmilkul yamin telah mengalami perubahan konsep karena adanya
perubahan konteks. Syahrur berasumsi bahwa ayat-ayat milkul yamin harus
direkontekstualisasi agar tidak mati secara ahitsoris karena fakatanya budak
sudah tidak ditemukan. Oleh sebab itu, menurut Syahrur ketetapan dalam
termmilkul yamin yang ada harus dipahami secara lebih esensial. Dengan
mengacu pada adanyarelasi seksual antara tuan dan budak, yang terekam
pada beberapa ayat; al-Ahzab: 50, al-Mu‟minun: 5-6, dan an-Nur: 31,
Syahrur berasumsi bahwarelasi sesksual itulah yang menjadi core konsep
milkul yamin kontemporer. Syahrur memandang bahwa ayat tentang milkul
yamin mengindikasikan adanya perbedaan status hubungan badan antara
suami dengan istri dan suami dengan milkul yamin. Namun, pada intinya
perbedaan status hubungan itu bertemu pada satu titik, yaitu hubungan
kelamin.Lebih dari itu, Syahrur memandang bahwa relasi seksual tersebut
tidak ada unsur atau tujuan untuk membangun rumah tangga melainkan
hanya sekedar melampiaskan nafsu seksual. Bagi Syahrur, kasus ini sama
1Ibid.,hlm. 465.
Muhammad Syahrur Dan Konsep Milkul Yamin
Yudisia Vol. 10 No. 1,Juni 2019 35
dengan konsep zawjul misyar yang menurutnya terjadi karena ada keinginan
atau hasrat seksualitas di antara laki-laki dan perempuan. Oleh sebab itu,
konsep milkul yamin kontemporer lebih tepat jika dimaknai dengan „aqdul
ihshan (komitmen hubungan seksual).2
Paradigma Ijtihad Konsep Milkul Yamin Muhammad Sharur
Anggapan Syahrur tentang milkul yamin kontemporer sama dengan
hasil aplikasi teori limit Syahrur yang tampak pada kasus zina yang
dilakukan secara tertutup. Bagi Syahrur, publik tidak berhak untuk memvonis
dan menjatuhkan hukuman bagi mereka yang melakukan zina dengan tidak
terang-terangan karena hal itu adalah ranah relasi pelaku dengan Tuhannya.
(Muhammad Syahrur, 2009: 628)Pada tataran ini, Syahrur juga tampak tidak
mempermasalahkan adanya prostitusi, karena prositusi juga dilakukan di
tempat tertutup, atau hubungan gelap.Dengan pijakan teorihad al-a’la (batas
maksimal), hubungan badan yang juga bisa terjadi karena adanya komitmen
hubungan seksual bisa masuk batas maksimal ketika diketahui oleh orang
lain atau dilakukan secara terang-terangan. Sesuai dengan nalar teori
2Muhammad Syahrur, Nahwu Ushul Jadidah lil Fiqh al-Islamy: Fiqhu al-Mar’ah,
cet. ke-1 (Damaskus: al-Ahali, 2000), hlm. 308.
Mencari dan menemukan kesamaan
esensi
Relitas Eksis
Nash Eksis
Hubungan badan tidak untuk menikah
dan membangun rumah tangga
Peninjauan
Kepemilikan Budak (MIlkul Yamin)
Komitmen Hubungan Badan
Kepemilikan budak untuk
menjamin kehidupan budak
Hubungan badan tuan dan
budak tanpa ikatan nikah
Milkul yamin= ‘aqdul ihsahn
(komitmen hubungan badan)
Tradisi melembaga di
Western Soceities
Menikah sebagai media
memerdekakan budak
Mukhammad Nur Hadi
36 Jurnal Pemikiran Hukum Dan Hukum Islam
limitnya, seseorang yang menjalin hubungan seksual atau komitmen
hubungan di luar nikah tidak bisa diberi hukuman selama tidak ada empat
saksi yang menyaksikannya secara langsung.Bahkan dalam kasus ini,
hubungan intim sesama jenis pun (homosexual intercourse) bisa dianggap
layak untuk tidak mendapat hukuman selama para pelaku homoseksual tidak
melakukan hubungan seks di depan publik.( Muhammad Syahrur, 2009: 204)
Dari dua contoh aplikasi tersebut, paradigma teori limit Syahrur patut
dicurigai karena terlihat melawan konsep mashlahat. Secara lebih detail,
interpretasiSyahrur terhadap milkul yaminbertolak belakang dengan konsep
teori limit halah al-had al-a’la al-muqarib duna al-mamas bi al-had abadan
(batas maksimal tanpa menyentuh garis batas minimal sama sekali). Pada
teori iniSyahrur menguraikan bahwa seseorang tidak boleh melakukan segala
bentuk relasi sosial yang mendekati hubungan seksual. Namun faktanya,
Syahrur melegitimasi hubungan badan di luar nikah dengan penafsiran milkul
yaminnya. Sebagai pemikir Muslim kontemporer, Syahrur terkesan abai
terhadap posisi „urf (tradisi) yang idelanya menjadi pertimbangan penting
bagi setipa pemikir Muslim dalam merekontkstualisasi hukum. Pada posisi
ini, teori limit Syahrur terlihat tidak memiliki standar kemaslahatan yang
ingin dicapai. Lebih jauh lagi, grand teori limit Syahrur juga tampak abai
akan akomodasi nash terhadap urf yang membawa kemaslahatan. Jika
memang Syahrur dianggap sebagai pembaharu ushul fiq-sebagaimana asumsi
Wael Hallaq-,idealnya konsep yang ia konstruk harus memiliki standar
kemaslahatan dan tradisi yang jelas.
Dialektika Urf dan Maslahat: Kritik Konsep Milkul Yamin Muhammad
Syahrur
Legitimasi Syahrur terhadap komitmen hubungan badan merujuk
pada tiga surat yang mengandung termmilkul yamin, yaitu surat al-
Mu‟minun: 5-6, an-Nur: 31, dan al-Ahzab: 50.Untuk membedah nalar ijtihad
Syahrur terhadap konsep milkul yamin, kiranya cukup penting untuk
membedah kembali interpretasi ulama‟ tafsir otoritatif.
a) Al-Mu‟imun ayat 5-6
Muhammad Syahrur Dan Konsep Milkul Yamin
Yudisia Vol. 10 No. 1,Juni 2019 37
أيماوهم فئوهم أو ما ملكت إل عهى أسواجهم وانذيه هم نفزوجهم حافظىن .
غيز مهىميه
Dua ayat ini mendeskripsikan salah satu indikasi orang beriman,
yaitu orang-orang yang selalu menjaga kemaluannya dari perilaku haram-
bahkan mendekati pun mereka tidak-, kecuali pada pasangan atau istri
mereka dan budak mereka yang diperoleh dari tawanan perang- itupun
hanya berlaku pada peperangan membela agama. Kebolehan itu berlaku
ketika dahulu perbudakan masih melembaga. Berbeda halnya dengan
kondisi saat ini dimana perbudakan sudah tidak eksis lagi.(Wahbah
Zuhaili, 2009: 331)
Quraish Shihab berpandangan bahwa konteks ayat ini merujuk
pada masyarakat yang ketika al-Qur‟an diturunkan perbudakan menjadi
fenomena umum masyarakat seluruh dunia.Turunnya ayat ini idealnya
dipahami sebagai cara gradual al Qur‟an untuk menghapus perbudakan. Al
Qur‟an memahami bahwa kehidupan para budak saat itu, baik sandang,
pangan, dan papan, tergantung pada tuannya. Oleh karena itu, ketika al
Qur‟an memilih memangkas perbudakan secara langsung bisa dipastikan
akan terjadi problem sosial yang mungkin bisa lebih jauh dari PHK.
Dengan dasar inilah al-Qur‟an, pada ayat ini, melegitimasi kebolehan tuan
menggauli budaknya sebagai langkah baru mengeliminasi perbudakan.
Karena jika budak dinikahi sesama budak, anak yang terlahir juga akan
tetap menjadi budak. Kondisi demikian akan terhenti ketika tuan
mengawini budaknya karena tradisinya anak yang lahir hasil dari
hubungan intim tuan dan budak tidak bisa dikategorikan sebagai budak.
Namun, ketika kemudian perbudakan dihapuskan, bukan berarti ayat ini
dianggap irrelevan karena faktanya al Qur‟an tidak hanya mengatur
konteks dimana al-Qur‟an turun tetapi ia juga mengatur segala
kemungkinan yang tidak terprediksi di masa depan. Melalui dua ayat ini,
alQur‟an juga ingin menegaskan bahwa Islam tidak memandang seks
sebagai sesuatu yang kotor jika ia disalurkan melalui relasi yang legal,
karena seks adalah kebutuhan fitrah manusia.( Quraish Shihab, 2009:
326)Dengan demikian, menggauli budak tanpa perlu akad perkawinan
bukanlah sesuatu yang hina. Namun, al Qur‟an justru memandangnya
sebagai sebuah langkah yang perlu dilegitimasi untuk menghentikan
Mukhammad Nur Hadi
38 Jurnal Pemikiran Hukum Dan Hukum Islam
perbudakan sebagai konsekuensi logis dari pelembagaan perbudakan yang
cukup kuat di dunia Arab.
b) An-Nur ayat 31
همؤمىاث يغضضه مه أبصارهه ويحفظه فزوجهه ول يبذيه وقم ن
ول يبذيه سيىخهه إل ما ظهز مىها ونيضزبه بخمزهه عهى جيىبهه
أو آباء بعىنخهه أو أبىائهه أو أبىاء بعىنخهه سيىخهه إل نبعىنخهه أو آبائهه
أو ما ملكت أو إخىاوهه أو بىي إخىاوهه أو بىي أخىاحهه أو وسائهه
ربت مه انز فم انذيه نم أيماوهه أو انخابعيه غيز أوني ال جال أو انط
يظهزوا عهى عىراث انىساء ول يضزبه بأرجههه نيعهم ما يخفيه مه
جميعا أيه انمؤمىىن نعهكم حفهحىن سيىخهه وحىبىا إنى للا
Pembahasan terhadap siapa sajakah wanita boleh memamerkan
auratnya merupakan fokus kedua pembahasan pada ayat ini, selain
perintah menundukkan pandangan dan menjaga kemaluannya.Kalimat ما
أيماوهه ملكت dalam ayat ini tidak mengindikasikan kebolehan menggauli
budak karena konteks ayat ini membincang tentang batasan-batasan aurat
yang boleh ditampakkan oleh seorang wanita.Ayat ini mengutarakan
bahwa seluruh tubuh perempuan boleh ditampakkan kepada siapa saja
yang telah dilegitimasi oleh al Qur‟an, kecuali bagian antara pusar dan
lutut.Oleh sebab itu, karena umumnya masyarakat memiliki budak, tidak
menjadi masalah untuk menampakkan bagian yang diperbolehkan itu
kepada budak laki-laki atau perempuan miliknya.( Wahbah az-Zuhaili, at-
Tafsir al-Munir, 553)Hal ini karena pada umumnya kewibawaan seorang
tuan pemilik budak menghalangi para budaknya untuk berlaku usil.
(Quraish Shihab, 527)
c) Al-Ahzab: 50
حي آحيج أجىرهه وما مهكج يم يىك يا أيها انىبي إوا أحههىا نك أسواجك انل
احك وبىاث خانك وبىاث خالحك ك وبىاث عم عهيك وبىاث عم ا أفاء للا مم
ؤمىت إن وهبج وفسها نهىبي إن أراد انىبي أن حي هاجزن معك وامزأة م انل
نك مه دون انمؤمىيه قذ عهمىا ما فزضىا عهيهم في يسخىكحها خانصت
Muhammad Syahrur Dan Konsep Milkul Yamin
Yudisia Vol. 10 No. 1,Juni 2019 39
غفىرا أسواجهم وما مهكج أيماوهم نكيل يكىن عهيك حزج وكان للا
حيما ر
Maksud وما مهكج يميىكdalam ayat ini merujuk pada istri-istri
Nabi Muhammad yang berasal dari golongan budak.Poin pentingnya
adalah bahwa Nabi Muhammad tidak menggauli mereka saat berstatus
budak, melainkan beliau justru memerdekakan mereka terlebih
dahulusebelum menjadi istrinya. Bahkan ada juga yang kemerdekaannya
sebagai mahar pernikahannya.Menurut Quraish Shihab, konteks ayat
menyebut beberapa nama istri Nabi yang berasal dari budak, yaitu
Shafiyyah binti Huyai, Juwairiyah binti al-Harits, dan Raihanah al-
Quraizhah, sebagaimana pendapat al-Biqa‟i. Bahkan, menurut Ibnu
„Asyur,istri Nabi yang juga masuk dalam cakupan ayat ini adalah Mariyah
al-Qibtiyyah yang merupakan hadiah dari Penguasa Mesir dimana melalui
rahim Mariyah Ibrahim dilahirkan. (Quraish Shihab, 513)
Berdasar pada interpretasi ayat-ayat di atas, maka cukup jelas bahwa
termmilkul yamin menurut pakar tafsir yang otoritatif tidak hanya
melegitimasi kasus hubungan badan yang hanya terbangun berdasar pada
komitmen atau perjanjian.Akan tetapi, secara general, ayat ini berbicara
mengenai bagaimana al-Qur‟an mengeliminasi perbudakan yang terfasilitasi
melalui legitimasi persetubuhan terhadap budak.Lalu, apakah penafsiran
tersebut dapat dimaknai secara berbeda karena ketiadaan konteksnya atau,
apakah penafsiran tersebut belum bersifat syumuliy(menyeluruh).
Dengan penafsirannya yang memaksa untuk menemukan konteks,
Syahrur berusaha untuk menghidupkan ayat-ayat milkul yamin itu bagi
orang-orang yang berada di negara-negara yang terdominasi oleh non-
Muslim.Berdasar pada sifat kesyumuliyyahan al-Qur‟an, Syahrur
menganggap bahwa orang-orang yang hidup di luar bumi Makkah dan
Madinah, seperti di Paris, Tokyo, Montreal, dan sejenisnya, idealnya juga
bisamerasakan risalah al-Qur‟an yang syumul. (Quraish Shihab, 513)Dengan
aplikasi yang lebih luas tersebut, Syahrur memandang bahwadengan
memperluas dan mereinterpretasi ayat milkul yamin kesyumuliyahan al-
Qu‟ran dapat terealisasi.
Mukhammad Nur Hadi
40 Jurnal Pemikiran Hukum Dan Hukum Islam
Terhadap sifat syumuliyyah al-Qur‟an, rekontekstuliasi hukum Islam
menjadisebuah keniscayaan yang harus dilestarikan.Demi menjaga norma
dasar Islam, elan vital syari‟ah yang terinterpretasi melalui al-Qur‟an dan
hadits adalah mewujudkan kemaslahatan. Semua aturan tentangnya selalu
compatible dan selalu mengandung unsur kemaslahatan. Oleh karenanya,
tidak ada satupun hukum atau aturan yang ditetapkan tidak memiliki solusi.
Semua yang telah diciptakan dan ditentukan selalu disiapkan olehNya jalan
untuk menuju atau meraihnya, bahkan solusi penyelesaiannya. (Ahmad ar-
Raisuni, 2000:29)Namun, apakah kemaslahatan itu juga mewujud dalam
interpretasi milkul yamin Syahrur adalah pertanyaan yang akan dijawab
dalam tulisan ini.
Ahmad ar-Raisuni berpendapat bahwa merespon semua nash syara’
dengan orientasi dan penerapan berbasis mashlahah adalah sebuah
keharusan. Cara inilah yang mampu untuk menjawab asumsi-asumsi
ketidakberdayaan nash terhadap mashlahah. Bahwa adanya kontradiksi nash
atau kenihilan nash akan mashlahah merupakan asumsi yang tidak berdasar.
(Ahmad ar-Raisuni, 2000:29) Pandangan yang terakhir ini nampaknya, bagi
Syahrur, dijadikan pijakan untuk merealisasikan kemaslahatanmilkul yamin
bagi masyarakat dunia Barat yang tradisinya tidak secara implisit terjelaskan
dalam al-Qur‟an. Syahrur juga tampak memahami bahwa ada legitimasi
tentang tradisi komitmen hubungan badan di al-Qur‟an melalui termmilkul
yamin itu.Akan tetapi, kemaslahatan yang dipahami Syahrur perlu diuji
ulang. Posisi dan urgensi maslahat yang ia bangun harus dibedah hingga
akarpijakannya. Dengan melihat pada tradisi hidup di dunia Barat, maka pada
konteks inikemaslahatan yang diusung Syahrur hanya berpijak pada
eksistensi urf (tradisi) di ranah lokalitas, bukan general (syumuliy). Padahal,
konstruk gagasan yang ia bangun berusaha untuk merealisasikan
kesyumuliyyahan al-Qur‟an.
Dalam diskursus fikih, realitasnya ‘urfterwujud karena adanya proses
dialektis di dalam masyarakat dengan ragam level sosial.Wujudnya dialektika
yang terus menerus itu memotivasi Abdul Wahab Khalaf untuk memaknai
„urf sebagai sesuatu yang dikenal manusia dan dijalankan secara biasa, baik
berupa perkataan ataupun perbuatan.(Wahab Khalaf, 1972: 145)Untuk lebih
memperjelas posisi dan jangkauan ‘urf, Ahmad Fahmi Abu
Sunnahmendefinisikan „urf dengan menampilkan batasan yang harus
dipenuhi. Menurutnya,„urf bisa diterima jika ia diterima secara rasional (akal
Muhammad Syahrur Dan Konsep Milkul Yamin
Yudisia Vol. 10 No. 1,Juni 2019 41
sehat).( Ahmad Fahmi Abu Sunah, 1947: 8)Dengan begitu, „urf dalam kajian
ushul fiqh tidak mengakomodir kebiasaan yang negatif atau kebiasaan yang
tertolak akal sehat(irrational tradition).
Asumsi menafikan „urf sebagai bentuk eksistensi agama tidak dapat
dibenarkan. Sebab agama itu dikenal melalui kenabian. Sedangkan kenabian
bisa dikenali melalui mukjizat dimana mukjizat muncul atau terjadi di luar
adat atau kebiasaan manusia yang berlaku saat itu. Nabi Muhammad saw pun
juga tidak menolak„urf seketika. Akan tetapi, beliau juga melakukan seleksi
„urf dimana‘urf yang sesuai dengan ajaran Islam dilanjutkan dan sebaliknya
ditinggalkan. Sebab, Nabi sadar bahwa akomodasi urf adalah salah satu cara
untuk menguatkan ajaran agama yang masih baru. Oleh karena itu-
sebagaiamana pernyataan Syathibi dalam Muwaqafatbahwa- tidak mengakui
adat sama halnya dengan tidak menganggap luhur hal-hal unik yang terjadi di
luar kebiasaan;termsuk mukjizat, sebagai realitas yang eksis. Dengan
demikian, adanya kesepakatan-kesepakatan yang dihasilkan untuk
mewujdukan kemaslahatan untuk dipedomani bersama yang dihasilkan dari
diealektika relasi sosial terlimitasi oleh ground norm agama yang juga
mencakup batasan etik atau moral kemaslahatan yang dibawa oleh Syari‟at
Islam melalui nash tentunya juga selaras dengan moralitas kemanusiaan
(akhlaqiyyah). Tujuannya adalah untuk menegakkan tatanan sosial dan
berusaha untuk mengangkat derajat manusia dan membantu manusia untuk
terbebas dari belenggu egoisme serta kebudayaan yang merusak dan
pengetahuan yang menyesatkan.(Yusuf Qardawi, 2018: 104)
Dengan penjelasan yang lebih sederhana, proses dialektika relasi
sosial yang mewujudkan tradisi dapat disebut sebagai sebuah intsrumen
pembentuk hukum. Syekh Ali Jum‟ah mengatakan bahwa „urf merupakan
instrumen yang sangat dibutuhkan untuk menyempurnakan penerapan
syari‟at yang baik dan sempurna yang tentu mengandung aspek
kemaslahatan. Meskipun „urf tidak memunculkan hukum dengan sendirinya,
akan tetapi dengan memperhatikan „urf yang berfungsi sebagai instrumen
maksud Syari’ akan mudah dicapai.( Ali Jum‟ah, 2015: 121)Sehingga, melalui
alur ini, dapat dipahami bahwa eksistensi „urf sejak masa pewahyuan
berperan penting sebagai instrumen pembentuk hukum Islam yang
akomodatif.( Sunan Autad Sarjana, 2017: 290)
Mukhammad Nur Hadi
42 Jurnal Pemikiran Hukum Dan Hukum Islam
Aktualisasi ide Syahrur dalam mengakomodir budaya komitmen
hubungan badan di dunia Barat, secara rasional, tidak menyalahi pra syarat
minimal keberlakuan urf, yaitu ketetapan (istiqrar) dan kontinuitas
(istimrar).Istiqrar adalah bentuk kesepakatan antara para pelaku „urf di ranah
lokalitas; makro maupun mikro. Selain ada bentuk kesepakatan, istimrar
(kontinuitas) harus mewujud agar bisa dijadikan pedoman hukum yang
memadai dan berubah.( M. Noor Harisuddin, 2016) Tentu, ketika salah satu
dari kedua unsur ini tidak ada, maka kelayakan urf sebagai pedoman hukum
patut dipertanyakan. Namun, Syahrur masih terlihat tidak memahami batasan
rasional urf, sebagaimana statement Ahmad Fahmi Abu Sunah. Oleh karena
itu, pada titik ini, meskipun Syahrur berupaya untuk merangkul tradisi sosial
yang hidup di masyarakat Barat dengan berbasis tradisi berbasis kesepakatan
(urf qauli dan amali) yang terikat dengan territorial dan waktu (urf amm dan
urf khash), konstruksi nalar kritisnya untuk mengakomodir urf terlihat abai
pada kategorisasi urf berbasis kelayakan. Sehingga, validasi kelayakanurf itu
tidak terdeteksi.Artinya, dalam membangun teorinya Syahrur tidak memiliki
pijakan dan batasan etik atau moral (akhlaqiyyah.
Syahrur menerima pandangan mayoritas bahwa milkul yamin yang
dipahami sebagai kepemilikan budak tidak relevan dengan „urf ‘amm yang
dipahami mayoritas penduduk dunia yang menyepakatai bahwa milkul yamin
(kepemilikan budak) untuk dieksploitasi bertentangan dengan
perikemanusiaan era modern.Namun, Syahrur tampak memahami bahwa ada
„urf ‘ammlainyang bisa mewakili termmilkul yamin dalam al-Qur‟an, yaitu
aqdul ihshan (komitmen hubungan badan).Padahal, jika didialektikan dengan
konsep umum, komitmen hubungan badan tidak terstandarisasi oleh
pandangan mayoritas penduduk dunia.Artinya, „urf ‘amm internasional dapat
dikatakan tidak menjalankan budaya aqdul ihshan sebagai realitas relasi
sesksual di masyarakat karena ini akan berdampak pada tanggung jawab
terhadap anak yang akan dilahirkan dari hubungan itu. Dengan kata lain, anak
akan mudah terabaikan haknya karena ketiadaan hubungan nasab yang resmi
untuk memunculkan konsekuensi relasi anak dan orang tua. Oleh sebab itu,
jika alasan menjaga kehormatan dariaqdul ihshan-sebagaimana persepsi para
pelaku-sebagai alasan penguat maksud nash terkait milkul yamin,maka alasan
itu sendiri yang sesungguhnya tidak merealisasikan maksud nash untuk
menjaga kehormatan (hifdzu al-‘irdh).
Muhammad Syahrur Dan Konsep Milkul Yamin
Yudisia Vol. 10 No. 1,Juni 2019 43
Untuk lebih menguatkan, gagasan syekh Said Ramadhan al-Buthi
dalam bukunya; Dhawabit al-Mashlahah fi asy-Syari’ah al-Islamiyyah, bisa
memperjelas limitasi kemaslahatan terhadap segala tradisi yang ingin
dilegitimasi. Berbeda halnya dengan definisi yang dijelaskan oleh Ahmad
Fahmi Abu Sunnah yang hanya membatasi kemaslahatan urf sesuai dengan
rasionalitas,Al-Buthi berpendapat bahwa, sebagaimana pendapat al-Ghazali,
sesuatu, termsuk ‘urf, bisa dikatakan megandung mashlahah jika mencakup
perlindung terhadap lima tujuan penting (maqasid syari’ah), yaitu penjagaan
terhadap agama, jiwa, akal, keterunan dan harta. Secara lebih rinci, al-Buthi
memandang perlu adanya batasan kapan sesuatu yang mengandung
mashlahah itu bisa divalidasi. Bagi al-Buthi, ada lima standar bagi mashlahat
agar bisa dijadikan pedoman hukum, yaitu; (1) masuk dalam cakupan
maqashid Syari‟ah, (Muhammad at-Thahir Ibnu „Asyur, 2005).(2) tidak
bertentangan dengan al-Qur‟an,( Wahbah az-Zuahaili, 1986).(3) tidak
bertentangan dengan sunnah, (4) tidak bertentangan dengan qiyas (karena
qiyas adalah media untuk mewujudkan mashlahah dalam far’un)(Said
Ramadhan al-Buthi, 229-259.)(5)tidak bertentangan dengankemaslahatan lain;
baik dari segi kepentingannya (level kebutuhan), kemenyeluruhannya, dan
kekuatannya.( al-Buthi lihat di Said Ramadhan al-Buthi, 131-336)
Berdasar padadhawabit al-mashlahahdi atas, konsep milkul yamin
Syahrur tidak memenuhi lima standar kemaslahatan dalam syari’ah. Dengan
gagasan milkul yaminnya, Syahrur terlihat menabrak batas ground norm
syari’ah yang jelas mengandung kemahslahatan lebih besar dalam hal
batasan relasi sosial dan relasi biologis yang ditetapkan oleh nashyang
kemudian diperjelas dan diperkuat dengan hadits Nabi, yaitu melalui
perkawinan. Instrumen ini sebagai bukti bahwa al-Qur‟an tidak menganggap
kotor sebuah hubungan seksual asalkan secara sah.Selanjutnya, seandainya
Syahrur mengklaim bernalar berdasar qiyas, nalar itu pun tidak sesuai dengan
nalar qiyas jumhur ulama. Jika jumhur ulama‟ dalam menggunakan qiyas
menentukan komponen penting;ushul, furu’, hukmu al-ashl, dan ‘illat,
Syahrur justru sebaliknya. Ia secara tidak jelas menggunakan metodologi
nalar qiyas, meskipun ia telah berusaha mencari padanan kasus untuk
dipertemukan kesamaan esensinya. Sehingga, upaya Syahrur untuk
memproteksi kasus hukum yang ada pada ‘urf tidak menunjukkan pijakan
paradigmatiknya.
Mukhammad Nur Hadi
44 Jurnal Pemikiran Hukum Dan Hukum Islam
Oleh sebab itu, kesepakatan ulama‟ terkait „urf manakah yang
dianggap sebagai instrumen yang valid agar tidak terjadi klaim urf shahih
telah terlimitasi dengan baik dan sistematismelalui standarisasimashlahat al-
Buthi. Jika kemudian alasan hifdzul ‘irdhi (menajaga kehormatan) dijadikan
pijakanoleh Syahrur, tetap saja konsep itu tidak mencakup nilai dasar yang
lain karena status nasab anak yang lahir di luar akad nikah yang sah (children
born out of wedlock) akhirnya menjadi polemik dalam persepktif hukum
Islam. Konsekuensinya, ketika hal ini diabaikan akan muncul kekaburan
garis keturunan beruntun hingga polemikkewarisan. Alasan
Maka,meskipun„urf itu telah menyeluruh dan konstan, masih konsisten saat
ditetapkan sebagai sumber hukum, dan tidak mengindikasikan adanya
perilaku atau ucapan yang bertentangan dengan nilai-nilai substansial adat,
namun ia telah menabrak ground norm nash yang mengandung kemaslahatan
maka urf itu sudah dianggap cacat secara keseluruhan.(Wahbah al-Zuhayli,
1986: 828)
Berpijak pada uraian di atas, tampak jelas bahwa urf yang diusung
oleh Syahrur sebagai objek reinterpretasi ayat tentang milkul yamin tidak
memenuhi standar kelayakan maslahat.Dengan kata lain, urf yang
dilegitimasi Syahrur adalah „urf fasid (tradisi yang cacat/tertolak). Maka
tepatlah apa yang disampaikan oleh Ibnu Asyur, sebagaimana dinukil oleh
Quraish Shihab, bahwa adat kebiasaan suatu kaum tidak boleh-dalam
kedudukannya seabagi adat-untuk dipaksakan terhadap kaum lain atas nama
agama, bahkan juga tidak dapat dipaksakan terhadap kaum itu.(Quraish Shiab,
533)
Untuk mewujudkan yang demikian itu, maka perlu digagas ijtihad
berbasis maslahat yang dikenal dengan ijtihad istishlahy.Ijtihad ini umunya
dipahami sebagai usaha untuk memahami nash terhadap kasus tertentu yang
tujuan akhirnya berupaya untuk lebih mengutamakan kemaslahatan dimana
umumnya digunakan untuk kasus yang belum diakomodir secara jelas dalam
nash. Namun, kenyatannya ijtihad ini juga menyentuh pada kasus-kasus yang
sudah diatur oleh nash. Contoh yang paling populer untuk hal ini adalah
ijtihad Umar bin Khattab terhadap penetapan mengucapkan talak tiga
sekaligus sebagai talak satu, penghentian hukuman potong tangan bagi
pencuri, dan peghentian pemberian zakat kepada muallaf. Usaha ini dipahami
oleh ulama bukan sebagai bentuk meangabaikan nash, tetapi sebagai upaya
menghasilkan kemaslahatan dalam konteks kenegaraan (kemaslahatan
Muhammad Syahrur Dan Konsep Milkul Yamin
Yudisia Vol. 10 No. 1,Juni 2019 45
publik).(al-Buthi, 152-175) Apalagi, kualitas Umar bin Khattab sebagai
pemegang otoritas ijtihad sangat diakui. Pola yang demikian ini, sebagaimana
dijelaskan oleh Asmawi dengan mengutip pendapat Ahmad Fathi Bahnasi,
berlanjut danmunculkembali pada generasi al-tabi‟in, meskipun hanya
sebagian. Kekhawatiran mereka terhadap eliminasi mashahat mengharuskan
mereka untuk memilih berpaling dari model penalaran tekstual; nash Syara’,
baik yang bersifat mutlak atau umum, ke model penalaran yang berbasis
mashlahat.(Asmawi, 2014)
Ahmad ar-Raisuni berpendapat bahwa merespon semua nash syara’
dengan orientasi dan penerapan berbasis mashlahah adalah sebuah
keharusan. Cara inilah yang mampu untuk menjawab asumsi-asumsi
ketidakberdayaan nash terhadap mashlahah. Bahwa adanya kontradiksi nash
dengan mashlahah atau kenihilan nash akan mashlahah adalah asumsi yang
tidak berdasar.( Ahmad ar-Raisuni, 2000: 51)Konsepsi terhadap mashlahat
sesungguhnya tidak bisa terlepas dari ‘urfkarena’urfadalah komponen
penting dalam merekontekstualisasi atau merelevansikan hukum. Ketika „urf
diabaikan, akan ada pertentangan terhadap hasil ijtihad baru. Begitu pula,
ketika mashlahat terprioritaskan daripada‘urf atau sebaliknya, tanpa ada
upaya dilaketika keduanya, chaos pun akan sulit terhindari. Prinsipnya,
kemaslahatan yang dihasilkan harus bisa mengakomodir „urf dan „urf yang
diterima harus terstandarisasi oleh mashlahat. Dengan kata lain, ‘urf yang
dianggap membawa kemaslahatan adalah „urf shahih, yang sesuai dengan apa
yang diharapkan oleh nash, ekspilist maupun implisit. Sebab itulah dalam
berijtihad dibutuhkan batasan etik atau moral yang jelas. Berikut bagan yang
bisa menggambarkan bagaimana nalar reinterpretasi nash berbasis
mashlahahdan ‘urf(ijtihad itishlahi) secara general, khususnya terkait milkul
yamin.
Mukhammad Nur Hadi
46 Jurnal Pemikiran Hukum Dan Hukum Islam
Paradigma Ideal Rekontekstualisasi Nash Milkul Yamin
Bagan di atas menegaskan bahwareinterpretasi Syahrur terhadap nash
milkul yamin idealnya mengikuti dialektika urf dan mashlahat dengan
semangat mendialogkan nash dengan realitas sebagai buktidinamika
kandungan al-Qur‟an. Dengan pola seperti itu, aspek kehidupan yang selalu
dinamis tidak akanbersandar pada produk hukum yang statis.(Sunan Autad
Sarjana, 289)Karena menstagnasi hukum al-Qur‟an sama halnya dengan
menganggap al-Qur‟an sebagai kitab yang irrasional-irrelevan. Di sisi lain,
wujudnya pertimbangan moralitas atau etik, sebagaimana terkonstruk pada
gambar, itu pada saatnya akan selalu memandu manusia agar tidak
berperilaku yang cenderung destruktif terhadap kandungan-kandungan
kemaslahatan yang dibawa oleh nash. Ketika destruktifitas terjadi dengan
Mashlahat
Realitas Milkul Yamin
Mashlahat
Batas Etik /Moral
Islam(Akhlaqiyyah)
‘Urf: Interlokal/lokalitas
Validasi Maqashid Syari’ah
Validasi Nash
Validasi Qiyas
Validasi mashlahat:
level, power, cakupan
Nash Milkul Yamin
Konteks: ‘urf:
‘amm/ khash
Mashlahat
Arena Ijtihad Istishlahi
Paramater Mashlahat
Muhammad Syahrur Dan Konsep Milkul Yamin
Yudisia Vol. 10 No. 1,Juni 2019 47
berlandaskan asas kemaslahatan pada nash, maka anggapan yang demikian
itu seseungguhnya telah menciderai peran mashlahah yang idealnya
memelihara, memperhatikan, dan merelaisasikan tujuan-tujuan nash; berupa
kebaikan dan kemanfaatan, yang terkandung dalam nash. Karena itulah,
landasan etik atau moral penting untuk diperhatikan agar hasil
rekontekstualisasi nash milkul yamin tidak mendekonstruksimashlahah dalam
nash.
Produk ijtihad idealnya bisa mengimbangi dinamika realitas sosial
sebagai wujud dari esensi hukum Islam yang selalu berdinamika. Namun,
bukan berarti produk hukum yang dihasilkan harus terdominasi atau
tertundukkan realitas sehingga idealnya yang menagkomodir adalah fikih
sebagai produk ijtihad dengan segala norma yang sangat asasi, bukan fikih
yang terakomodir oleh realitas sebagaimana yang dilakukan oleh Syahrur.
Jika fikih dipaksakan untuk masuk dalam realitas maka pemahaman
demikian ini bisa disebut sebagai paham yang tidak berfikih.(Ahmad ar-
Raisuni, 64) Karena sebab ijtihad yang serampangan, produk hukum yang
dihasilkan bukan merepresentasikan ground norm Islam tetapi produk hukum
yang lebih tampak mengatur adalah produk yang bernuansa hawa nafsu
sehingga hukum yang semula berusaha untuk mengatur manusia untuk bisa
lebih dekat kepada Tuhan-Nya berubah kepada hukum yang justru hanya
memuaskan keinginan atau tuntutan kehidupan manusia.
Untuk itulah, sebagai ulasan akhir artikel ini, sebagaimana tergambar
pada bagan bahwagagasan Ahmad ar-Raisuni tentang bagaimana kualifikasi
mashlahah dengan parameter nashdapat menjadi pijakan penting bagi
siapapun yang hendak berijithad berbasis mashlahah (ijtihad istihslahi).
Dengan merujuk pada surat al-Anbiya’ ayat 107-“Kami tidak menurunkanmu
(Nabi Muhammad) kecuali hanya sebagai rahmat untuk alam semesta”- ar-
Raisuni berpandangan bahwa nashmengandung nilai keadilan, rahmat, dan
mashlahat. Tetapi bukan berarti dengan asumsi demikian, dalam nashbisa
ditemukan jawaban yang memerinci dan membatasi secara detail bagaimana
mashlahah dan mafsadah yang idealnya menjadi pedoman. Kuncinya adalah
bahwa nash diposisikan sebagai parameter untuk mengidentifikasi
mashlahah, memetakan mashlahah dan mafsadah, dan mengkategorisasi
level mashlahat dari segi kebutuhan maupun cakupannya.(Ahmad ar-Raisuni,
50) Dengan memahami positioning (penempatan) nash, seorang mujtahid
Mukhammad Nur Hadi
48 Jurnal Pemikiran Hukum Dan Hukum Islam
akan terhindar dari alur nalar yang cenderung menundukan fikih di bawah
rasio; sebagaimana yang dipraktikkan oleh Syahrur, sehingga destruktifitas
groundnorm nash tidak terjadi.
PENUTUP
Reinterpretasinashterkait milkul yamin oleh Muhammad Syahrur
dengan pertimbangan realitas yang eksis, komitmen hubungan badan pada
masyarakat Barat, menunjukkan kecacatan paradigmanya. Kesamaan esensi
realitas sosial yang telah mentradisi di dunia Barat (komitmen hubungan
badan) dengan konteks yang diusung al-Qur‟an; eliminasi perbudakan
dengan menggauli budak sebagai konsekuensi pelembagaan perbudakan,
yang dipahami sebagai pijakan penting oleh Syahrur untuk
merekontekstualisasi dan merelevansikan al-Qur‟an sebagai konsekuensi dari
sifat kemenyeluruhan al-Qur‟an (syumuliyyah) terlihat mengabaikan nilai
kemaslahatan yang dibawa al-Qur‟an. Bahkan, pola akomodasi nashberbasis
mashlahat terhadap „urf juga tidak dijadikan pijakan paradigmatiknya.
Sehingga, reinterpretasi terhadap nashmenghasilkan produk hukum yang
tampak mendekonstruksi ground norm al-Qur‟an yang mengandung nilai
kemaslahatan tinggi. Karena faktanya, tradisi komitmen hubungan badan;
(urf khash) yang hanya berlaku di dunia barat, yang dilegitimasi oleh Syahrur
sebagai tradisi yang tercakup dalam nash milkul yamin bertentangan dengan
urf amm karena tidak semua negara di dunia melegalkan hal yang demikian.
Oleh karena itu, upaya legitimasi Syahrur tersebut tidak memenuhi standar
„urf; harus diterima akal sehat, dan standarisasi mashlahat dalam hukum
Islam sebagaimana yang digagas oleh al-Buthi.
Demi merealisasikan mashlahat dalam nashdan untuk menghindari
ketertundukan fikih terhadap realitas, ijtihad istishlahy adalah keniscayaan
yang idealnya digunakan oleh mujthahid. Dengan begitu, standar
pertimbangan mashlahat dalam mengkaji fenomena adalahmashlahat dalam
nashyang tentu telah berelevansi dengan kognisi sosial, bukan standar
mashlahat yang hanya menguntungkan tradisi lokalitas tetapi
mendekonstruksi nilai asas al-Qur‟an. Akan menjadi sebuah produk hukum
yang terlihat absurd ketika berupaya melegitimasi fenomena sosial yang
berpijak pada nashtetapi paradigma yang terbangun dan produk hukumnya
justru mencederai nash dengan mendekonstruksi objektivikasi nash yang
sistematis.Menghindari ketidakberdayaan fikih terhadap realitas akan
Muhammad Syahrur Dan Konsep Milkul Yamin
Yudisia Vol. 10 No. 1,Juni 2019 49
semakin terlihat jelas ketika proses produksi hukum mendialektikan
mashlahah dengan ‘urf yang eksis. Melalui langkah-langkah yang strategis-
sistematis-verfikatif, produk hukum yang mewujud akan menjadi regulasi
yang mengimbangi realitas dengan menjunjung tinggi norma, etik atau moral,
serta hak asasi manusia secara general.
Jadi, penafsiran ayat-ayat milkul yamin pada tidak bisa dipaksakan
untuk dihidupkan kembali hanya dengan orientasi syumuliyyah al-
Qur‟an.Jika memang realitas eksis tidak bisa diakomodir karena kecacatan
kualifikasi nassh, maka upaya rekontekstualisasi ayat-ayat milkul yamin
adalah kecacatan paradigma ijtihad. Dengan pertimbangan ini, maka hukum
Islam yang tebangun dengan parameter mashlahah dan ‘urf yang berelvansi
dengan nashakan menentukan langkahnya untuk membangun peradaban
Islam setiap saat tanpa harus mendekontruksi bangunan norma dalam nash.
Mukhammad Nur Hadi
50 Jurnal Pemikiran Hukum Dan Hukum Islam
DAFTAR PUSTAKA
Abu Sunah, Ahmad Fahmi, al-‘Urf wa al-‘Adah fi Ra’yi al-Fuqaha, Mesir: Maktabah al-
Azhar, 1947.
Anshari Nasution, Ahmad Sayuti, “Perbudakan Dalam Hukum Islam”, Ahkam, Vol. 15,
Nomor 1 Januari 2015.
Asmawi, “Konseptualisasi Teori Mashlahah”, Salam, Vol. 1, Nomor 2 November 2014.
Auda, Jasser, Maqashid al-Shariah As Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach,
London: IIITT, 2008.
Buthi, Said Ramadhan al-, Dhawabitu al-Mashlahah fi asy-Syari‟ah al-Islamiyyah,
(Damaskus: Dar al-Fikr, 2005.
Fanani, Muhyar. “Pemikiran Muhammad Syahrur dalam Ushul Fih,” Disesrtasi Dokor
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogayakarta, 2005.
Ibnu „Asyur, Muhammad at-Thahir, Maqashid asy-Syari‟ah al-Islamiyyah li Muhammad
at-Thahir Ibnu „Asyur, tt:tt, 2005.
Jum‟ah, „Ali, Tarikh Ushul al-Fiqh, Kairo: Dar al-Muqatham, 2015.
M. Noor Harisuddin, “„Urf Sebagai Sumber Hukum Islam (Fiqh) Nusantara”, Al-Fikr,
Vol. 20:1, 2016.
Mustaqim, Abdul, “Teori Hudud Muhammad Syahrur dan Kontribusinya dalam
Penafsiran al-Qur‟an”, al-Quds, Vol. 1 Nomor 1 2017.
Qaem Aulassyahied, “Studi Kritis Konsep Sunnah Muhammad Syharur,” Kalimah, Vol.
13, Nomor 1 Maret 2015.
Qal‟ah Ji, Muhammad Rowas, Mausu‟ah Fiqh Umar bin Ibnu al-Khattab, Beirut: Dar an-
Nafais, 1989.
Qaradhawi, Yusuf, Membumikan Hukum Islam: Keluasan dan Keluwesan Syari‟at Islam
Untuk Manusia, alih bahasa Ade Nurdin dan Riswan, Bandung: Penerbit Mizan.
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an, Tangerang:
Lentera Hati, 2009.
Raisuni, Ahmad ar- dan Muhammad Jamal Barut, al-Ijtihad: an-Nash, wa al-Waqi, wa al-
Mashlahah, Damaskus: Dar al-Fikr, 2000.
Muhammad Syahrur Dan Konsep Milkul Yamin
Yudisia Vol. 10 No. 1,Juni 2019 51
Sakirman, “Contemporary Fiqh Methodology in The Theory of The Limitation of
Dialectisc Space and Time According To Muhammad Syahrur”, Hunafa, Vol. 14:
2 Desember 2017.
Sarjana, Sunan Autad, “Konsep „Urf dalam Penetapan Hukum Islam,” Tsaqafah, Vol. 13
Nomor 2 November 2017.
Syafiq, Ahmad, ar-Riqqu Fi al-Islam, alih bahasa Ahmad Zaki, Al-Jazirah: Maktabah an-
Nafizah, 2010.
Syahrur, Muhammad, al-Kitab wa al-Qur‟an, (Damaskus: al-Ahali, 1990).
________________, Nahwu Ushul Jadidah lil Fiqh al-Islamy: Fiqhu al-Mar‟ah,
Damaskus: al-Ahali, 2000.
________________, The Qur‟an, Morality and Critical Reason: The Essential
Muhammad Shahrur, alih bahasa Andreas Christman, Leiden: Brill, 2009.
Tarlam, Alam, “Analisi dan Kritik Metode Hermeneutika al-Qur‟an Muhammad
Syahrur,” Empirisma, Vol. 24, Nomor 1 Januari 2015.
Tarmininy, Abdus as-Salam at-, ar-Riqqu: Madhihi wa Hadhiruhu, tt:tt, tt.
Ulwan, Abdullah Nashih, Nidzhamu ar- Riq Fi al-Islam, Kairo: Dar as-Salam, tt.
Wahab Khalaf, Mashadir al-Tashri„al-Islamiy fi Ma La Nasha Fih, (Kuwait: Dar al-
Qalam, 1972).
Wathani, Syamsul, “Kritik Salim al-Jabi atas Hermeneutika Muhammad Syahrur,” el-
Umdah, Vol. 1, Nomor 2 Desember 2018.
Zuhaili, Wahbah, al-Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu, Damaskus: Dar al-Fikr, 1986.
Zuhaili,Wahbah, at-Tafisr al-Munir: Fi al-„Aqidah wa asy-Syari‟ah wa al-Manhaj,
Damaskus: Dar al-Fikr, 2009.