yusdeka reformatted a - ok !
DESCRIPTION
Kumpulan artikel dari Ustadz Yusdeka dengan judul yang berawalan huruf "A". Ustadz Yusdeka adalah penulis produktif dari milis “Dzikrullah” (https://groups.yahoo.com/group/dzikrullah) dan blog “Sikap Murid Dalam Berketuhanan Sedang Belajar Mendekat Kepada Dzat Yang Maha Dekat” (yusdeka.wordpress.com).TRANSCRIPT
Artikel Oleh Yusdeka
AAAA
Dikompilasi oleh FIW
1-2
Kata Pengantar
Tulisan berikut ini merupakan buah karya dari Ustadz Yusdeka, penulis pro-duktif dari milis
“Dzikrullah” (https://groups.yahoo.com/group/dzikrullah) dan blog “Sikap Murid Dalam
Berketuhanan Sedang Belajar Mendekat Kepada Dzat Yang Maha Dekat”
(yusdeka.wordpress.com). Untuk keperluan pribadi, kami mengkompilasi tulisan-tulisan
tersebut, baik berdasarkan abjad huruf pertama dari judul tulisan, maupun berdasarkan
topik tertentu. Berikut ini adalah kumpulan tulisan dengan huruf pertama berhuruf “A”.
Dalam pengkompilasian ini, kami berusaha untuk tidak menambah dengan kata-kata kami
sendiri. Yang kami lakukan adalah pengurangan dan penyun-tingan tampilan. Tujuan
pengkompilasian ini tak lain adalah agar memudahkan kami untuk membaca dan memahami
tulisan-tulisan tersebut. Hal ini disebab-kan karena kebodohan kami untuk dapat memahami
tulisan yang Ustadz Yus-deka tulis. Untuk itu kami merasa perlu untuk menstrukturkan dan
mensiste-matisasikannya. Selain itu, kami menambahkan dengan uraian kesimpulan atas apa
yang menjadi materi pembahasan Ustadz Yusdeka.
Tulisan dari Ustadz Yusdeka demikian canggihnya, tidak heran jika disadari apa yang Ustadz
Yusdeka tulis pada hakekatnya adalah tulisan yang langsung dige-rakkan oleh Allah SWT
sendiri, sehingga kami terkadang menggap-menggap dalam membaca. Bahkan setelah
selesai membaca, kami terkadang bertanya-tanya, apa yang telah kami baca tadi, mengingat
kebodohan kami dalam hal yang ditulis tersebut.
Setelah pengkompilasian ini tercapai kami berpendapat alangkah sayangnya jika tulisan dari
Ustadz Yusdeka yang sudah dikompilasi tersebut hanya untuk kami konsumsi sendiri. Untuk
itu, dalam format PDF, kami menaruhnya di internet. Semoga dengan demikian semakin
banyak pihak yang dapat turut menikmati, dan harapan kami, dapat menemani Ustadz
Yusdeka untuk camping di pinggir surga.
(FIW)
1-3
Daftar Isi
Artikel 1 : Afirmasi dan Logika Berfikir ................................................................................. 1-4
A. Pembahasan ............................................................................................................... 1-4
A. Kesimpulan ............................................................................................................... 1-25
Artikel 2 : Aku Bening ........................................................................................................ 2-28
A. Pembahasan ............................................................................................................. 2-28
B. Kesimpulan ............................................................................................................... 2-32
Artikel 3 : Alif Laam Miim .................................................................................................. 3-33
A. Pembahasan ............................................................................................................. 3-33
B. Kesimpulan ............................................................................................................... 3-45
Artikel 4 : Amalan yang Diridhoi Allah ............................................................................... 4-46
A. Pembahasan ............................................................................................................. 4-46
B. Kesimpulan ............................................................................................................... 4-50
Artikel 5 : Antara Asyik, Nikmat, dan Bahagia .................................................................... 5-51
A. Pembahasan ............................................................................................................. 5-51
B. Kesimpulan ............................................................................................................... 5-68
Artikel 6 : Asyiknya Tak Kenal Agama ................................................................................ 6-72
A. Pembahasan ............................................................................................................. 6-72
B. Kesimpulan ............................................................................................................... 6-75
1-4
Artikel 1 :
Afirmasi dan Logika Berfikir1
A. Pembahasan
Kali ini saya akan membahas tentang masalah afirmasi yang ditanyakan oleh salah
seorang anggota milis dzikrullah yang sama-sama kita cintai ini. Saya akan coba ulas
melalui sebuah proses yang terjadi di dalam otak kita yang akan membentuk logika
berfikir kita masing-masing.
Pertama, dalam tulisan-tulisan saya yang terdahulu, saya sudah sampaikan bahwa otak
kita ini memang sangat luar biasa sekali. Otak akan merespon sebuah kata, misalnya
kata kerja, sama baiknya dengan kita melakukan kerja itu sendiri.
Begitu kita baru BERNIAT saja untuk melakukan suatu pekerjaan, sebenarnya otak
kita sudah merekamnya sebagai sebuah pekerjaan itu sendiri.
Makanya Rasulullah mewanti-wanti, bahwa :
. . . sering-seringlah kita memikirkan yang baik-baik, meniatkan yang baik-baik,
karena kalau kita sudah berniat baik, maka itu sudah dicatat pahalanya sebagai
sebuah perbuatan yang baik.
Sebaliknya Rasulullah masih menghibur kita bahwa kalau kita berniat buruk, maka
dosanya belumlah dicatat sampai perbuatan buruk itu kita lakukan. Sebenarnya,
ungkapan Rasulullah tentang berniat buruk ini sebenarnya hanya untuk menghibur kita
saja. Sebab NIAT BAIK atau NIAT BURUK, sebenarnya dua-duanya sudah dicatat
(direkam) oleh otak kita dalam bentuk memori bahwa kita sudah melakukan perbuatan
baik atau buruk itu, walau intensitas rekaman itu belum sebesar kalau kita melakukan
perbuatan baik atau buruk itu secara nyata.
Setiap kata, perbuatan, penglihatan, pendengaran, dan rasa yang kita alami sehari-hari,
akan masuk ke dalam otak melalui system syaraf kita dalam bentuk pesan impuls listrik
lemah dan rangsangan pesan kimia yang kemudian setiap pesan itu membentuk
jaringan-jaringan memori. Pesan-pesan yang masuk itu dengan kecepatan yang
mencengangkan akan mencari file memori yang sama untuk kemudian memori tersebut
akan diperkuat dan dipertegas intensitasnya dari yang sebelumnya. Bahkan file memori
berbagai kombinasi baru juga bisa dihasilkan dengan mudah. Kalau belum ada filenya,
maka akan terbentuklah di dalam otak kita file baru tentang hal itu. Seterusnya begitu,
1 http://www.shalatcenterjabar.orang/index.php?option=com_content&view=article&id=53%3Aafirmasi-dan-
logika-berfikir&catid=43%3Aartikel-yus-deka&Itemid=58
1-5
nyaris tanpa batas. Makanya otak kita ini tidak akan pernah penuh dengan berbagai
memori yang masuk ke dalamnya seumur hidup kita.
Nah, nanti setiap kita menghadapi sebuah masalah dalam hidup kita, maka secara
otomatis kita akan mencari tempat lari atau jalan ke luar dari masalah itu. Langkah
pertama yang terjadi adalah, kita akan lari ke dalam file memori yang ada di dalam otak
kita. Kita, walaupun tanpa sadar, akan mencari :
• ada file solusi apa di dalam otak kita,
• ada file ruang apa di dalam otak kita,
• ada file suasana apa yang ada di dalam otak kita.
Proses pencarian file memori di dalam otak kita inilah yang disebut dengan PROSES
BERFIKIR.
Tapi sayang sekali, bahwa selama ini orang menganggap bahwa yang berfikir itu adalah
otak itu sendiri. Kebanyakan orang menganggap bahwa otak kita itu bekerja dengan
sendirinya. Tidak banyak orang yang bisa menyadari bahwa sebenarnya “ada substansi
yang bukan otak” yang sedang beraktivitas menyusur memori demi memori yang ada di
dalam otak itu. Tentang substansi yang bukan otak ini, lain kali sajalah kita bahas, atau
kalau penasaran cobalah lihat uraian saya dalam buku “Membuka Ruang Spiritual”.
Kembali Kepada Proses Berfikir !
• Cara kita berfikir,
• cara kita menghadapi masalah,
• cara kita bertutur kata,
• cara kita bersikap,
• cara kita berkesimpulan,
• cara kita berakhlak,
• cara kita beradab,
• cara kita bertindak,
sangat-sangat dipengaruhi oleh file macam apa yang ada di dalam otak kita masing-
masing.
Setiap kita tidak akan pernah bisa keluar dari file memori
yang ada di dalam otak kita.
Begitu kita keluar dari file memori di otak kita itu, maka kita akan kesulitan, kita akan
ketakutan, kita akan blingsatan, kita akan malu, bahkan kita bisa merasa sangat
berdosa, yang akhirnya kita akan merasa TERSIKSA sendiri.
Misalnya, file memori yang ada di otak orang Papua yang masih hidup di gunung-gunung
dan belum bersentuhan dengan file-file kehidupan modern kota Jakarta, maka koteka
1-6
bagi laki-laki dan bertelanjang dada bagi perempuan dianggap mereka biasa-biasa saja.
Akan tetapi bagi orang yang hidup dan besar di Jakarta, artinya sudah punya file memori
tentang peradaban Jakarta, maka tidak akan ada satupun laki-laki yang mau pakai
koteka dan perempuan yang bertelanjang dada yang berkeliaran di jalanan atau tempat-
tempat umum.
Perbedaan cara berfikir yang paling gress yang bisa kita lihat adalah :
1. Saat bangsa Indonesia menentukan kapan jatuhnya Hari Raya Idul Fitri, 1 Syawal
1427 H. Dengan dalil yang sama, alam yang sama, bulan yang sama, matahari yang
sama, tapi dengan pemahaman yang berbeda (artinya file yang dominan di dalam
otak pelaku-pelakunya berbeda dengan sangat signifikan), maka jadilah hari Raya
itu menjadi DUA hari yang berbeda pula. Bahkan ada pula kelompok orang yang
lebarannya sesudah hari yang dua itu.
2. Dan perbedaan cara berfikir yang super gress saat ini adalah masalah
berpoligaminya seorang da’i kondang dari kota Bandung. Orang-orang heboh, ada
yang menghujat, ada yang simpati, ada yang mencibir, ada yang senyum-senyum
untuk siap-siap menyusul langkah sang da’i kondang tersebut, ada juga yang malah
jadi tersenyum sumringah dengan ulah sang da’i kondang tersebut karena
memperoleh teman seperbuatan sekelas ikan paus.
Tentang poligami ini, ada orang yang setuju, ada yang menolak, dan ada pula yang
biasa-biasa saja menyikapinya. Bahkan dampak dari berpoligaminya sang da’i
kondang tersebut, konon, sampai-sampai mengguncang pula ruang istana Presiden
RI, sehingga ada usaha-usaha pemerintah untuk memasung perilaku poligami ini,
baik bagi PNS maupun masyarakat umum dan orang-orang terkenal, dengan hukum
negara yang cukup berat. Dan tentu saja usaha-usaha pemerintah ini akan
mendapatkan tantangan yang sangat keras pula dari pihak-pihak yang mendukung
poligami ini, atau paling tidak bagi kelompok yang beranggapan bahwa masalah
poligami ini tidak perlu diatur-atur oleh pemerintah. Ramai dah jadinya
Perbedaan sikap kita ini lebih disebabkan oleh file macam apa yang ada di dalam otak
kita masing-masing saat berbicara tentang poligami itu. Kalau dicari dasar hukumnya, ya
landasannya masih itu-itu juga dari zaman dulu sampai sekarang. Tapi lihatlah fenomena
betapa dari orang ke orang bisa punya sikap yang berbeda untuk sebuah ayat yang sama
dan contoh yang sama pula dari Rasulullah. Fenomena ini sebenarnya adalah masalah
antara kita dengan otak kita sendiri. Bahwa :
. . . kita akan ikut saja apa-apa file memori yang DOMINAN
yang ada di dalam otak kita.
1-7
Oleh sebab itu semakin banyak file pengetahuan yang ada di dalam otak kita, atau
semakin banyak ruangan tentang keadaan atau suasana yang kita simpan di dalam otak
kita, maka akan semakin banyak pula alternatif berfikir yang akan kita punyai untuk
menyelesaikan masalah-masalah kehidupan kita. Dan anehnya lagi, alasan-alasan
pembenaran atas apa-apa yang kita lakukan pun mengalir dengan sangat meyakinkan
sekali. Ada saja alasannya. Berbagai alasan tadi itu disebut juga sebagai LOGIKA
BERFIKIR.
Memang ada orang yang berkata bahwa kita ini harus berfikir dengan logika yang jernih.
Bahkan ada pula yang menambahkan bahwa logika yang jernih ini akan semakin
mengkilat tatkala dibarengi pula dengan hati nurani yang bening. Akan tetapi kalau
diperhatikan dengan seksama, istilah-istilah yang mentereng tadi itu (logika yang jernih
dan hati nurani yang bening), larinya tetap saja ke file-file pengetahuan yang ada di
dalam otak kita. Tak lebih. Logika berfikir dari hati nurani yang jernih itu tetap saja
tergantung kepada file pengetahuan yang masuk atau kita masukkan ke dalam otak kita.
Buktinya, siapa yang tidak percaya bahwa hati nurani seorang bayi adalah hati nurani
yang paling bersih ??? Tentunya tidak ada. Hati nurani seoran bayi sangatlah bersih.
Akan tetapi lihatlah bagaimana sederhananya logika berfikir seorang bayi, PASRAH. Dia
hanya PASRAH. Otak sang bayi adalah ibarat kertas putih yang siap untuk ditulisi dengan
berbagai masukan. Lalu beragam isi otaknyalah yang akan menentukan warna dari
logika berfikirnya selama hidupnya nantinya.
Misalnya dalam pergumulan logika berfikir kehidupan beragama, maka ada puluhan
alternatif logika berfikir yang bisa kita masukkan ke dalam otak kita :
• Kalau mau berpedoman kepada sejarah awal perkembangan Islam (pasca kehidupan
NABI), maka ada pilihan berupa logika berfikir SUNNI atau SYI’AH berikut dengan
segala turunannya yang juga tak kalah banyaknya.
• Kalau mau merujuk ke zaman berikutnya, zaman Al Ghazali dan Rusydi, maka tersedia
pilihan logika berfikir RASIONALIS atau FATALIS.
• Berikutnya ada pula logika berfikir yang dibingkai oleh pakem-pakem SUFISTIK atau
yang serba SYARI’AT.
Belakangan inipun tersedia pula logika berfikir, yang katanya modern, yang cenderung
mengajak manusia mengembangkan pandangan hidup saintifik yang diwarnai oleh
paham yang katanya : sekularisme, rasionalisme, pluraslisme, kapitalisme, humanisme
liberalisme, empirisisme, cara befikir dikhotomis, desakralisasi, pragamatisme dan
penafian kebenaran agama.
Bahkan pilihan terlawas yang tersedia disebut dengan logika berfikir postmodernisme
yang telah bergeser kepada paham-paham baru (yang katanya) berupa: nihilisme,
relativisme, pluralisme dan persamaan (equality). Namun ia dapat dikatakan sebagai
1-8
kelanjutan modernisme, karena masih mempertahankan paham liberalisme,
rasionalisme dan pluralismenya. Lihatlah betapa rumit dan beragamnya alternatif logika
berfikir yang tersedia yang bisa kita pilih. Dan nantinya pilihan-pilihan yang kita ambil
itulah yang akan mewarnai hidup kita sehari-hari.
Dalam beragama, misalnya, ada orang yang otaknya dominan berisi file ilmu agama yang
(katanya) bercorak ekstrim, maka logika berfikir dan bertindaknya juga akan menjadi
ekstrim dalam pandangan orang-orang di sekitarnya, yang (katanya) sedang memilih
logika berfikir bercorak moderat. Begitulah, untuk pembenaran bagi logika berfikirnya
itupun akan keluar berbagai alasan yang terlihat benar dan masuk akal bagi orang-orang
yang mempunyai file ilmu pengetahuan yang sama, atau paling tidak bagi orang-orang
yang sudah memposisikan dirinya untuk binding kepada suatu logika berfikir agama
tersebut.
Biasanya bagi orang-orang punya file pengetahuan agama yang banyak, maka alasan
yang paling pamuncak yang diambil orang untuk pembenaran perilakunya adalah,
karena hal itu sudah taqdir Tuhan. Yaa, sabda dan perintah Tuhan lagi yang kita jadikan
sebagai kunci pamungkas :
• untuk membenarkan apa-apa yang kita lakukan, dan juga
• untuk menolak apa-apa yang difikirkan oleh orang lain yang berbeda dengan file
pikiran kita.
Oleh sebab itu, hati-hatilah dengan orang-orang yang tahu banyak :
• tentang hukum,
• tentang syariat,
• tentang tafsir,
• tentang ilmu,
karena orang tersebut akan :
. . . siap-siap pula menjalankan hukum, syariat, tafsir, dan ilmu tersebut dengan
alasan yang tepat bagi dirinya maupun kelompoknya,
. . . akan tetapi :
. . . kadangkala dalam pelaksanaannya
mempunyai makna hakiki yang sangat dangkal.
Berbagai jawaban pembenaran itu misalnya:
• Ini hukum Tuhan,
• Ini sudah taqdir Tuhan,
• Ini dibolehkan syariat agama,
• Tidak ada larangannya kok,
• Ini dicontohkan oleh Rasulullah dulu.
1-9
• Dan berbagai alasan hebat lainnya
Duh,
• Yakin benar kita bahwa kita bisa paham dengan makna hakiki dari hukum Tuhan itu,
• Yakin benar kita bahwa kita bisa mengerti suasana DADA Rasulullah saat Beliau
menjalankan hukum-hukum tadi itu.
Mungkin tidak banyak kita yang paham bahwa :
. . . setiap hukum syariat agama dan contoh-contoh dari Rasulullah itu ada
sunatullahnya, ada fitrahnya, untuk setiap zaman yang berbeda. Dan yang akan
menang atau dominan pengaruhnya adalah syariat atau hukum agama yang sesuai
dengan sunatullah di zamannya.
Mari kita lihat agak sejenak masalah ayat-ayat poligami ini dari kacamata sunatullah,
fitrah. Kita lihat dulu dasar hukum yang sangat populer dirujuk oleh orang-orang yang
berperang kata tentang poligami ini:
"Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil,
maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu
adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya."2
"Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri (mu), walaupun
kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung
(kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika
kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguh-
nya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."3
Dari dua ayat yang sederhana ini seharusnya kita juga bisa berfikir tak kalah
sederhananya. Bahwa wajar saja sebenarnya kalau ada yang setuju dengan poligami ini
dan ada pula yang tidak setuju. Dua-duanya sangat-sangat terwakili oleh ayat 3 surat An
Nisaa’ ini. Oleh sebab itu sebenarnya tidak perlu ada yang marah-marah satu sama
lainnya. Siapapun yang setuju poligami ini nggak usah marah-marah kepada yang tidak
setuju. Begitu pula sebaliknya, siapapun yang tidak setuju poligami ini nggak usahlah
maksa-maksa orang lain untuk berpoligami pula seperti dirinya. Poligami ini logika
berfikir kita saja kok. Dan logika berfikir itu haruslah selaras dengan zamannya. Sebab
kalau tidak maka “alam” di zaman itu sendiri yang akan menolaknya.
2 An Nisaa’ (4 : 3)
3 An Nisaa’ (4 : 129)
1-10
Banyak orang mengira bahwa poligami ini adalah suatu perilaku yang disyariatkan oleh
agama Islam. Padahal kalau dicerna ayat di atas sampai mendapatkan kepahaman,
masalah poligami ini nggak ada hubungannya sedikit pun dengan syariat agama.
Poligami itu sudah ada sejak dulu kala, dan akan tetap ada sampai kapan pun. Jadi ayat-
ayat di atas hanyalah bentuk-bentuk jalan keluar tentang masalah hubungan laki-laki
dan perempuan yang mungkin terjadi yang penyelesaiannya difasilitasi oleh Al Qur’an.
Pilihan manapun yang kita ambil, maka itu akan tetap saja sesuai dengan Al Qur’an.
Jadi orang yang tidak setuju dengan poligami itu tidak berarti bahwa dia sedang
menentang syariat agama. Tidak. Akan tetapi saat itu dia tengah mengambil alternatif
lain yang tersedia, yaitu untuk tidak berpoligami. Begitu juga sebaliknya, bahwa orang
yang tengah menjalankan poligami itu tidak serta merta dia dianggap telah menjalankan
syariat agama dengan baik. Dia cuma tengah mengambil alternatif lain yang difasilitasi
Al Qur’an. Jadi tentang poligami ini, bagi yang menentangnya tidak perlulah marah,
kecewa, dan benci kepada yang mendukung poligami. Dan bagi yang melakukannya
tidak perlu pulalah menjadi sumringah yang berlebihan, mengumbar hujatan kepada
orang-orang yang menentangnya. Ini masalah pilihan saja kok
Namun, apapun pilihan yang kita ambil, maka ALAM (SUNATULLAH) di zaman kitalah
yang akan menilainya. Di samping itu tiap-tiap diri kita ini punya sunatullahnya masing-
masing pula. Kalau pilihan kita sesuai dengan sunatullah kita apalagi dengan sunatullah
alam di sekitar kita, maka kita akan santai dan melenggang saja dalam menjalani hidup
kita. Akan tetapi tatkala pilihan yang kita ambil tidak selaras dengan sunatullah kita dan
sunatullah di zaman kita, maka kita akan terseok-seok. Kita akan capek untuk JAIM (jaga
image) dalam setiap tindakan kita. Senyum kita JAIM. Omongan kita JAIM dan
pembelaan diri semata.
Percayalah, bahwa kita sebenarnya tahu persis tentang apakah kita itu :
• sedang mengalami kesulitan, atau
• sedang jaim, atau sedang mendapatkan kemudahan dalam menjalani hidup kita
ini.
Kita TAHU PERSIS itu. Ya, ada yang tahu terhadap apapun yang menimpa diri kita Itulah
BASHIRAH, Sang diri kita yang sejati.
“Bahkan pada manusia itu di atas dirinya (NAFS) ada yang tahu (BASHIRAH)."4
Nah, dalam hal poligami ini, silahkan saja kita masing-masing berlogika dengan pilihan
kita itu. Misalnya, ada yang logikanya lebih mengarah kepada segi seksologi, atau
sosiologi, atau budaya, atau ekonomi, dan lain-lain sebagainya. Silahkan saja. Dan
4 Al Qiyamah (75 : 14)
1-11
alasan-alasan seksologi seperti: lebih baik berpoligami dari pada TTM, atau lebih baik
dari pada zina, dan sejenisnya adalah alasan yang paling rendah dan dangkal
sebenarnya. Alasan hewani.
Kalau kita lanjutkan untuk meneliti ayat 129 surat An Nisaa’ di atas, maka kita seperti
disadarkan oleh Allah tentang sifat dasar seluruh umat manusia, bahwa tidak ada satu
pun di antara kita ini yang akan bisa bersikap ADIL, walau kita ingin sekali untuk bersikap
ADIL itu. Di sini Allah tidak menjelaskan apakah adil itu dari segi materi atau dari segi
rasa cinta dan kasih sayang. Tidak ada penjelasannya. Tapi banyak ulama yang
memelintir ayat ini sehingga adil itu hanyalah sebatas hal-hal yang bersifat lahiriah saja
seperti pakaian, harta, tempat, dan giliran. Mungkin mereka sadar juga bahwa adil
tentang cinta memang tidak akan pernah ada selamanya dalam diri seorang manusia.
Padahal ayat di atas menegaskan bahwa ADIL yang dimaksud Allah itu adalah ADIL yang
UTUH, PENUH. Dan itu memang tidak akan pernah ada pada diri umat manusia. Karena
ADIL itu memang semata-mata adalah Selendang Allah, Sang AL ADLU.
Artinya apa ?
Bahwa ternyata Al Qur’an dengan sangat manis dan halus sekali mengajari kita tentang
sebuah proses revolusi budaya dan peradaban yang sangat hebat di bidang perkawinan
umat manusia. Dahsyat sekali proses peubahan budaya perkawinan itu digiring oleh Al
Qur’an. Dari poligami dengan puluhan wanita di zaman sebelum Nabi Muhammad SAW,
lalu dikurangi oleh Nabi dengan mencontohkan berpoligami dengan sembilan istri.
Delapan di antara istri Beliau itu dinikahi Beliau setelah Beliau menjalani monogami
dengan Bunda Khadijah selama lebih kurang 26 tahun.
Dalam hal poligami Rasulullah ini, sejarah mencatat bahwa logika berfikir Rasulullah saat
melakukan poligami itu sungguh sangat pas dengan keadaan masyarakat saat itu.
Misalnya, Beliau menikahi janda-janda tua yang umumnya suaminya mati saat perang
membela Islam, atau untuk mengembangkan Islam, dan sebagainya.
Kemudian Al Qur’an merevolusi budaya dan peradaban umat manusia lagi tentang
poligami ini. Bahwa kalau seorang laki-laki itu bisa ADIL, maka nikah itu maksimum
boleh dengan empat wanita sekaligus, atau tiga, atau dua. Dan kalau tidak sanggup
untuk ADIL, maka nikahilah satu orang wanita saja. Akan tetapi dalam waktu yang
bersamaan, Allah juga menegaskan dengan amat sangat, bahwa seorang laki-laki TIDAK
akan pernah bisa adil, walau sang lelaki ingin sekali untuk adil itu. Sungguh luar biasa
sekali, bahwa sebenarnya Al Qur’an tengah membawa umat manusia untuk merevolusi
budaya perkawinannya dari budaya POLIGAMI menjadi budaya MONOGAMI. Indah
sekali cara Al Qur’an menggiring kita untuk mau berbudaya MONOGAMI ini.
1-12
Nah, bagi orang yang ingin berpoligami, setelah mendengarkan ketegasan Allah di atas,
maka semuanya jadi terserah kepada kita masing-masing saja lagi. Apa kita mau
mendengarkan atau tidak terhadap sinyalemen kuat Allah tadi tentang tidak bisa adilnya
umat manusia ini. Ya, itu terpulang kepada keputusan kita sendiri saja. Allah tetap
membuka ruangan bagi siapa pun juga untuk berpoligami. Masing-masing keputusan itu
sudah ada akibat-akibatnya sendiri yang mengikutinya. Cuma rasa-rasanya kalau kita
tidak ikut petunjuk Allah, kok kita ini sombong amat ya.
Oleh sebab itu, untuk dasar-dasar berpoligami ini dari sisi KEADILAN sebenarnya sudah
ditutup oleh Allah. Tapi dengan logika berfikir manusia, ada saja orang yang
membukanya. Bahwa adil itu hanyalah adil dalam hal harta, dan giliran. Bukan dalam hal
cinta. Huh Dan kalau ada yang masih ngotot untuk berpoligami, dan sunatullahnya
sendiri saat itu tidak mendukung dia untuk berpoligami, maka alam sendiri akan
menentangnya. Orang yang tidak selaras dengan alam, maka dia akan kecapekan
sendiri, paling tidak untuk JAIM (jaga image), atau bahkan PAMER.
Kalau begitu sunatullah poligami itu adakah ? Ada ! Contohnya adalah sunatullah
Rasullullah dalam berpoligami. Dasar poligami Beliau bersih dari pengaruh dan
dorongan HAWA NAFSU Beliau. Posisi Beliau berada di puncak, yaitu posisi NOL
sehingga:
". . . dan bukanlah engkau yang membunuh mereka, tetapi Allahlah yang membunuh
mereka. Dan tiadalah engkau yang melempar ketika engkau melempar, melainkan
Allah-lah yang melempar."5
"Apabila Aku mencintai hambaku, maka Aku merupakan pendengarannya yang ia
pergunakan untuk mendengar, Aku merupakan penglihatan yang ia pergunakan untuk
melihat, Aku merupakan tangan yang ia pergunakan untuk menyerang dan Aku
merupakan kaki yang ia pergunakan untuk berjalan. Seandainya ia memohon kepada-
Ku, niscaya Aku akan mengabulkannya, seandainya ia berlindung kepada-Ku, niscaya
Aku akan melindunginya."6
Pada posisi seperti ini,
Beliau hanya tunduk, wuquf, menunggu perintah dan tuntunan Allah. Beliau hanya
menunggu dengan kerinduan. “Tugas hamba ini apalagi ya Allah ?”, rintih Beliau
dengan penuh harap, rindu, dan gembira,
. . . sehingga jadilah poligami yang dilakukan Beliau menjadi sebuah proses yang
5 Al Anfal (8 : 17)
6 HR Bukhari
1-13
memberikan kemashlahatan bagi wanita-wanita yang Beliau nikahi serta untuk
memudahkan Islam berkembang saat itu. Umumnya Beliau menikahi janda-janda yang
jauh lebih tua dari istri Beliau Aisyah. Sungguh sebuah posisi yang sangat sulit untuk
diikuti orang-orang saat ini.
Sedangkan dasar-dasar yang lainnya hanyalah dua saja :
• KESEPAKATAN antara suami istri yang akan menjalankan poligami itu, atau
• PEMAKSAAN sepihak seorang suami terhadap istrinya agar mau dimadu. Ya, pilih
kesepakatan atau pemaksaan itu saja
Nah, untuk kesepakatan ini, carilah alasan yang cocok dengan masing-masing kita. Ada
sunatullahnya masing-masing. Alasan yang paling banyak dipakai orang untuk
berpoligami adalah karena masalah keturunan. Keluarga yang tidak punya keturunan,
dan wanitanya sudah tidak bisa lagi hamil dan memberikan keturunan, maka sang suami
bisa membuat kesepakatan dengan istrinya agar dia bisa beristri lagi. Kalau sepakat,
maka poligami adalah sebuah hal yang niscaya saja sebenarnya. Masalah istri tua akan
sakit hati, atau merasa tersiksa dengan adanya madunya tersebut, itu sudah masalah
lain lagi. Kalau tidak sepakat, maka ada lagi sunatullahnya, misalnya, akan sering terjadi
pertengkaran di antara suami istri itu, atau rumah tangganya menjadi dingin, atau
bahkan bisa juga terjadi perceraian. Kalau sudah begini, maka akan ada pihak yang
menderita (istri) dan ada pihak yang beruntung (suami). Kalau pihak lelakinya yang tidak
bisa memberikan keturunan, maka jalan keluar satu-satunya yang umum kalau tidak
mau meneruskan hubungan pernikahan itu adalah melalui perceraian. Sang istri
direlakan oleh sang suami untuk menikah lagi.
Namun sangat banyak pula terdapat keluarga-keluarga yang walaupun mereka tidak
diberikan keturunan, namun mereka tetap SEPAKAT untuk bermonogami. Ya silahkan
saja ! Selama ada kesepakatan antara suami dan istri tersebut, dan masing-masing
berkomitment dengan kesepakatan itu, maka kebahagiaan juga adalah hal yang niscaya
saja bagi mereka.
Hal-hal lain yang bisa disepakati pula adalah masalah ketidakseimbangan LIBIDO antara
suami dan istri. Ada suami yang libodonya sangat tinggi sementara libido istrinya hanya
biasa-biasa saja. Kalau yang begini, maka harus ada kesepakatan-kesepakatan yang
diambil oleh keduanya. Apakah kesepakatan itu untuk membolehkan suaminya
berpoligami, atau kesepakatan untuk tetap bermonogami dan membiarkan sang suami
berada dalam kesulitan mengendalikan libidonya, atau kesepakatan terakhir adalah
untuk bercerai dan membiarkan suaminya mengawini wanita lain (karena dia tidak
sanggup untuk dimadu). Kondisi tidak mampunya seorang istri memberi keturunan
(mandul) atau masalah libido suami yang berlebihan tersebut adalah bentuk sunatullah
1-14
yang salah satu jalan penyelesaiaan bisa melalui poligami. Jadi poligami itu hanyalah
salah satu jalan keluar saja, dan bukan jalan keluar satu-satunya.
Nah, di luar itu, mandul dan libido berlebihan, dasar-dasar poligami yang terjadi lebih
banyak disebabkan oleh tidak kuatnya seorang lelaki menghadapi godaan dari seorang
wanita. Jadi masalah DORONGAN HAWA NAFSU saja sebenarnya penyebabnya.
Biasanya prosesnya diawali dengan pertemuan-pertemuan yang rutin antara seorang
suami dengan wanita lain. Bagi suami yang punya nama di masyarakat, pertemuan itu
biasanya juga dilakukan secara sembunyi-sembunyi baik di dalam maupun di luar negeri.
Konon kabarnya, seorang yang cukup punya nama di negara ini, sebelum berpoligami
dia pernah bertemu dengan istri barunya tersebut beberapa kali di Singapore.
Poligami dengan dasar tidak kuatnya seorang suami menahan kuatnya dorongan hawa
Nafsu tersebut, biasanya akan berujung pada nikah yang dinamakan NIKAH SIRRI, nikah
yang katanya sah secara agama. Kalau begini, tidak ada kesepakatan awal yang diambil
oleh seorang suami dengan istrinya untuk dia bisa berpoligami. Akhirnya, seiring dengan
waktu, sang suami akhirnya melakukan PEMAKSAAN kepada istrinya agar istrinya
tersebut mau untuk dimadu. Walau pada awalnya seorang istri akan kaget dan sakit hati
mendengarnya, namun pada akhirnya banyak pula istri yang setuju. Tidak ada jalan lain
lagi soalnya. Apalagi kalau ditambahkan pula dengan pertimbangan kepentingan anak-
anak dari hasil perkawinan mereka. Mau tak mau sang istri akan menerimanya. Dan
sebagai penghibur hati biasanya sang istri akan lari ke dalam istilah-istilah agama.
Misalnya, agar saya bisa menjadi sabar, agar suami tidak menjadi penghalang saya
dalam mencintai Tuhan, dan sebagainya.
Dengan logika berfikir seperti di atas, maka saya sendiri berpendapat bahwa masalah
poligami ini bukanlah masalah halal atau haram, bukan masalah ikut sunnah Rasul atau
tidak, bukan masalah boleh atau tidak, bukan masalah kafir atau tidak. Tapi poligami itu
adalah salah satu alternatif jalan keluar dari sunatullah yang dihadapi oleh sebuah
keluarga, atau bisa juga menjadi sebuah cermin ketidakberdayaan seorang suami
menghadapi dorongan hawa Nafsunya terhadap daya tarik wanita idaman lain. Dan
yang tahu alasan-alasan itu adalah kita sendiri-sendiri, sebab pada diri kita ini masing-
masing ada yang tahu (bashirah).
Dan kita sendiri jugalah yang tahu atas ada atau tidaknya rasa keangkuhan saat kita
melakukan poligami tersebut. Bahwa kita ini sudah merasa bisa adil sehingga kita
merasa bisa pula untuk berpoligami. Lihatlah alasan-alasan yang biasanya diungkapkan
oleh orang yang berpoligami itu:
• “Poligami itu berat, tidak sembarang orang yang bisa dan boleh menjalankannya”.
Dan, secara tersirat sebenarnya dia tengah berkata bahwa hanya dia sajalah yang
bisa berpoligami itu, karena dia merasa lebih hebat dari orang lain.
1-15
• “Poligami itu adalah sunah Rasul, bagi yang tidak berpoligami, maka dia tidak
menjalankan sunah Rasul”. Dan secara tersirat dia juga tengah berandai-andai bahwa
dia lebih baik dari orang yang bermonogami.
• Bahkan ada pula yang mengatakan bahwa orang yang tidak berpoligami itu sama
dengan kafir
Dan ungkapan-ungkapan di atas akan dibalas pula oleh orang yang tidak suka poligami
dengan ungkapan yang tak kalah serunya, sehingga akhirnya kita bermuara pada sebuah
ungkapan yang selalu dilantunkan oleh iblis terhadap umat manusia: Ana khairu minhu,
saya lebih baik dari dia", lalu tahu-tahu kita sudah terjatuh saja menjadi saudara iblis.
Tersiksa sekali tentunya
Afirmasi dan Logika Berfikir
Sekarang marilah kita tengok hubungkan antara keputusan-keputusan yang kita ambil
dengan afirmasi-afirmasi yang kita lakukan terhadap otak kita.
Salah satu cara untuk menambah dan memperbanyak file
keadaan atau suasana yang ada di dalam otak kita
adalah dengan cara kita berulang-ulang kali mengucapkan
sebuah kata, sebuah kalimat, atau ungkapan-ungkapan
yang kita yakini kebenarannya,
afirmasi !
Kalau kita lihat, afirmasi itu juga merupakan sebuah proses yang menarik:
• Ada ungkapan afirmasi itu hanya sekedar penegasan atau pernyataan kita tentang
sesuatu.
• Ada yang berupa konfirmasi, atau pengesahan kita atas sesuatu.
• Ada yang hanya sekedar deklarasi, proklamasi, pengumuman atas sesuatu yang kita
percayai.
• Ada afirmasi yang kita ucapkan setelah melalui verifikasi (pembuktian) atas apa yang
kita ungkapkan itu.
• Ada pula afirmasi itu kita ungkapkan karena kita telah menyaksikan (witness,
testmony, evident) atas sesuatu yang sangat luarbiasa, sehingga akhirnya sesuatu itu
mendominasi objek fikir kita dalam keadaan apapun juga. Dan, afirmasi yang telah
melewat proses pembuktian ini, kemudian kita bersaksi pula atas apa yang kita
ungkapkan dalam kalimat afirmativ itu, maka pengaruhnya akan sangat kuat sekali.
Kita akan dikuasai oleh apa-apa yang kita afirmasikan itu. Setiap ada masalah maka
kita akan masuk ke dalam ruangan suasana yang kita afirmasikan itu.
1-16
Dalam prakteknya, afirmasi ini bisa dalam bentuk :
• Pengajian, pelatihan, membaca buku pengalaman orang lain, di mana aktivitas itu
kita lakukan berulangkali.
• Atau bahkan hanya dengan sekedar mendengarkan dan melihat sesuatu dengan tidak
sengaja juga bisa menjadi bentuk sebuah afirmasi bagi kita.
Sebuah afirmasi akan memberikan hasil yang sangat baik
tatkala kita bisa menyusun:
• kata afirmasi yang menimbulkan semangat.
• tujuan jelas,
• target terarah,
• rentang waktu terukur,
• reward and punishment jelas,
Misalnya: dalam bidang olah raga kita INGIN menjadi seorang juara dalam waktu satu
tahun :
• Kalau gagal maka kita akan terpuruk untuk selamanya karena ada generasi baru yang
siap menggantikan kita.
• Sebaliknya, kalau berhasil maka kita bisa bertahan untuk sukses dalam kurun waktu
beberapa tahun lagi.
Kalau kondisinya sudah begini, maka kita tinggal buat sebuah kalimat atau gambaran
yang akan menjadikan kita ter-anchor, terbinding dengan keinginan kita tadi. Bisa jadi :
• Kalimatnya hanya sepatah: YESSSS, atau
• Hanya sekedar mengepalkan tangan, atau
• Sekedar hirupan nafas yang dalam dan panjang untuk sesaat.
Kalau sudah begini, hampir dapat dipastikan afirmasi itu akan meningkatkan adrenalin
kita yang pada akhir-akhirnya akan menimbulkan semangat kita untuk berlatih. Tiger
Woods, seorang pegolf nomor wahid dunia, punya cara yang khas untuk afirmasi ini,
sehingga di bisa bertahan sebagai pamuncak olah raga golf dalam waktu yang cukup
panjang.
Nah, untuk proses afirmasi itu,
. . . setiap orang baik yang berlatar keagamaan atau tidak, akan
mempunyai kesempatan yang sama untuk melakukan afirmasI
ini dengan menggunakan berbagai kalimat, bentuk, rupa, warna, dan sebagainya.
1-17
Sedangkan objek fikir untuk afirmasi ini umumnya :
• bagi seseorang adalah berupa HARTA, TAHTA, WANITA (bagi seorang pria) atau
• PRIA (bagi seorang wanita), dan
• yang tertinggi adalah TUHAN.
Mari kita bahas objek fikir Afirmasi ini sedikit agak detail.
Misalnya, ada orang yang bisa memakai uang (yang bisa mewakili berbagai macam harta
benda) sebagai alat afirmasinya dalam bekerja, sehingga begitu dia mendapatkan uang
yang lebih dari yang dia inginkan, maka otaknya langsung mengeluarkan enzim
kesenangan. Dia menjadi ekstasis. Dan secara otomatis pula, memorinya terhadap
dominasi peran uang dalam hidupnya akan bertambah pula di dalam otaknya. Dia akan
merasa bahwa kebahagiaan baru bisa dia dapatkan kalau dia sudah memperolah uang
yang berlimpah ruah Biasanya kalau afirmasinya adalah dalam bentuk uang atau
kebendaan ini, nyaris saja orang bisa bekerja, berkarya dan berkreasi dengan tanpa
batas. Hasilnyapun seperti mencengangkan kita. Ada energi yang sangat hebat yang
mengalir melewati otak dan dada kita agar kita terus mencari dan mencari harta
tersebut.
Akan tetapi, pada suatu saat nanti, kita akan berada pada titik BOSAN. Di mana harta
yang berlimpah ruah itu sudah tidak mampu lagi membuat otak kita menjadi ekstasis.
Walaupun kita tetap rakus dengan uang, akan tetapi kita mulai merindukan kembali ke
masa-masa sulit, kembali ke rumah gubuk, kembali ke alam luas, kembali ke menu
makanan yang sangat sederhana, dan kemudian kita akan bergerak kepada kebutuhan
yang bukan materi lagi. Misalnya kepada aktualisasi diri, dan sebagainya. Berbagai teori
manajemen bolehlah dibuka untuk hal ini. Banyak sekali teori tentang ini. Silahkan lihat
dan baca sendiri
Tahta dan wanita (pria) juga bisa menjadi alat motivasi kita dalam kegiatan keseharian
kita. Dan pada dasarnya prinsip-prinsip dan pengaruhnya sama saja dengan afirmasi
dengan memakai uang seperti di atas. Jadi dalam tingkat alam atau kebendaan, siapa
saja akan sama hasilnya kalau dia mampu menjadikan alam atau benda itu sebagai alat
baginya dalam mengafirmasi dirinya. Syaratnya sederhana saja dan hasilnya juga nyaris
sama saja.
Kalau kita bisa berkali-kali membenamkan ke dalam otak kita
sebuah kata-kata afirmasi yang :
• terpola rapih dan menimbulkan semangat,
• tujuan jelas,
• target terarah,
1-18
• rentang waktu terukur,
• reward and punishment jelas,
maka hampir dapat dipastikan bahwa afirmasi itu akan
terlaksana dengan baik dan dalam rentang waktu yang tidak
banyak melesetnya dari rencana kita.
Cobalah, sebab tanpa sadar :
. . . kita yang sekarang ini sebenarnya adalah produk afirmasi kita di zaman lampau.
Yang lebih menarik sebenarnya untuk dibahas adalah afirmasi dengan memakai objek
fikir yang abstrak.
Misalnya kita bisa mengafirmasi diri kita untuk menjadi baik dan bahkan lebih baik lagi
dengan mengulang-ulang membaca, mengingat, membahas, dan mengurai ayat-ayat Al
Qur’an atau hadits-hadits Nabi yang berkenaan dengan kedahsyatan huru-hara Hari
Kiamat. Kita benamkan terus ke dalam otak kita tentang betapa dahsyatnya hari kiamat
itu kelak. Kita kupas betapa tanda-tandanya sudah sangat banyak muncul saat ini.
Akhirnya kita ketakutan sendiri bahwa jangan-jangan kiamat itu sudah sangat dekat
kejadiannya. Karena takut itu, lalu kita memaksa-maksakan diri kita untuk beribadah
dengan semangat empat lima, untuk berbuat dan beramal dengan baik. Dalam
keseharian pun omongan kita akan menjadi seperti orang yang paling tahu tentang
masalah hari kiamat itu. Kita menjadi si AHLI tentang HARI KIAMAT. Kita sibuk melihat
tanda-tanda kiamat yang katanya sudah sangat dekat. Kita sibuk berkampanye agar
orang-orang menyiapkan diri untuk menghadapi DAJJAL. Kita siap-siap untuk berperang
dengan DAJJAL. Kita juga sibuk menunggu turunnya IMAM MAHDI dan ISA AL MASIH
yang konon kabarnya adalah sosok-sosok yang akan menjadi pimpinan umat Islam
dalam menghadapi DAJJAL kelak. Dalam masa penantian ini, banyak pula umat Islam
yang menjadi utopia, pemimpi di siang hari, apa-apa yang sudah terpegang di tangan
malah sengaja dibuang. Bak kata pepatah, harapkan burung terbang tinggi, punai
ditangan malah dilepaskan, sehingga pada akhirnya kita . . .
. . . umat Islam ini kembali tertinggal dalam membangun
peradaban di zaman kita sendiri.
Sementara orang-orang BARAT yang kita anggap sebagai cikal bakal pasukan DAJJAL itu
malah bisa membangun peradaban dunia dengan kecepatan, kuantitas, dan kualitas
yang sangat mencengangkan.
1-19
Itu baru sebuah contoh saja. Padahal seluruh ajaran agama baik itu agama Islam,
Kristen, Hindu, Budha, dan sebagainya adalah kumpulan dari berbagai afirmasi yang
akan mempengaruhi hidup penganutnya sepanjang masa.
Semakin kuat afirmasi itu ditanamkan ke dalam otak seseorang, maka semakin sulit
pula orang tersebut untuk meubah kepercayaan yang dia pegang atas kebenaran
ajaran-ajaran agama yang dianutnya.
Apalagi kalau dalam praktek keagamaan yang dijalankan seseorang tersebut melibatkan
pula berbagai macam keajaiban, miracle, atau mu’jizat. Misalnya, saat seseorang sudah
capek berobat ke mana-mana untuk menyembuhkan penyakit yang dia derita, maka
dengan sebuah afirmasi yang kuat, orang tersebut lalu sembuh, maka saat itu pula
kepercayaan orang tersebut atas kebenaran ajaran agama yang dia anut itu akan
bertambah dengan kuat pula. Kita kenal kalimat-kalimat seperti berikut :
• Ini berkat Tuhan,
• Ini dari Tuhan,
• Ini adalah atas karunia Tuhan,
• Ini atas kasih Tuhan Yesus (kata umat Kristen),
• Dan sebagainya.
Kalau sudah begini, maka hanya rahmat Tuhan sajalah yang akan mampu mengarahkan
kita mengantarkan rasa terima kasihnya ke alamat yang tepat. Banyak memang alamat
yang bisa kita pakai sebagai alamat itu. Tapi hanya ada SATU alamat yang meliputi
semua alamat-alamat yang banyak itu. Yaitu alamat Yang Maha Meliputi segala sesuatu.
Kepada Tuhan Yang Hakiki, yang tiada lagi Tuhan selain Dia. Untuk alamat itu Allah
sudah mengisyaratkannya dalam ayat berikut ini:
"Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain
Allah, mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang
beriman sangat besar cintanya kepada Allah."7
"Mereka menjadikan orang-orang alim, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain
Allah, dan juga mereka mempertuhankan Al Masih putra Maryam, padahal mereka
hanyalah disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan selain Dia. Maha
Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan."8
7 Al Baqarah (2:165)
8 At Taubah (9:31)
1-20
Keberhasilan Afirmasi
Sebuah afirmasi dikatakan berhasil tatkala dengan afirmasi itu
memunculkan KEINGINAN atau KEHENDAK di dalam DADA kita
untuk melakukan sebuah peran atau aktivitas sesuai dengan
maksud afirmasi tersebut.
Kehendak itu seperti mempunyai DAYA yang begitu besar agar
kita segera bergerak, berfikir, ataupun berkarya, sehingga
halangan sebesar apapun rasanya bisa kita terjang dan lalui
dengan mudah. Rasa sakit pun akan bisa sampai tidak terasa
sedikitpun.
Mari kita lihat beberapa contoh berikut ini :
Aliran Syiah Seringkali kita lihat di acara TV sekelompok orang dari aliran Syiah yang
mengafirmasi dirinya untuk merasakan penderitaan cucu Rasulullah, Al
Husein, yang dibunuh oleh lawan politik Beliau (Mua’wiyah). Untuk
itu orang-orang yang sangat memulyakan Al Husein tersebut, pada peringatan hari
Asyura (10 Muharram), melakukan ritual memukuli tubuh mereka dengan rantai besi
yang berat dan kadang-kadang tajam pula. Walau darah bercucuran di punggung
mereka, tapi mereka malah merasa bahagia, ekstasis. Sebab mereka bertahun-tahun
diafirmasi bahwa dengan melukai tubuh tersebut mereka seperti ikut merasakan
pedihnya penderitaan Al Husein. Dari kecil sampai tua, ritualnya begitu terus selama
bertahun-tahun, sehingga kalau dilarang-larang oleh orang lain, maka mereka akan
melawan mati-matian. Perang pun akan mudah tersulut kalau sebuah ritual yang
menimbulkan rasa ekstasis bagi pelakunya dilarang-larang oleh orang lain yang tidak
setuju dengan ritual tersebut.
Umat
Kristen
Acara yang nyaris serupa juga sering dilakukan oleh umat Kristen untuk
merasakan penderitaan Yesus (Nabi Isa dalam agama Islam) yang
konon kabarnya di paku di tiang salib oleh lawan-lawan politik Beliau.
Dengan afirmasi yang kuat, di Philipina misalnya, ada pula ritual mencontoh keadaan
tersalibnya Yesus tersebut. Walaupun tangan dan kaki mereka berdarah dipaku ke
tiang salib, tapi mereka seperti tidak merasakannya. Dengan afirmasi, mereka seperti
berada di atas RASA SAKIT, sehingga derita sekeras apapun yang menimpa mereka,
mereka seperti sudah tidak merasakannya lagi.
1-21
Agama
Hindu
Ritual dalam aliran agama Hindu tertentu pun sangat sering seperti ini.
Menyakiti tubuh. Ada ritual rutin (mungkin) setahun sekali di mana
penganut aliran tersebut berpawai sambil menancapkan pedang
ataupun berbagai macam besi runcing ketubuh mereka. Walau tubuh mereka bolong-
bolong ditembus besi runcing, tapi mereka seperti tidak merasakan kesakitan sedikit
pun. Bahkan setetes darah pun tidak keluar dari bekas tusukan pedang itu. Mirip
seperti debus dan kuda lumping itulah kalau di Indonesia.
Piercing Saat ini, model-model peradaban yang mencontoh ritual seperti di atas
juga marak di tengah-tengah masyarakat, yaitu piercing. Kita sering
melihat anak-anak muda maupun generasi tua yang tubuhnya ditindik di sana sini,
dibolongi di sana sini. Misalnya di bibir, di lidah, di hidung, di telinga, di pusar, di
payudara, dan bahkan juga di wilayah yang sangat pribadi sekali pun, ditusuk dan
ditempeli dengan berbagai bahan dari metal.
Kalau kita melihat ritual pada aliran tertentu dalam agama Hindu seperti tersebut di atas
dan juga teknik-teknik piercing, maka ritual Asyura yang dilakukan oleh penganut aliran
Syiah sepertinya sudah ketinggalan dalam hal “teknologi afirmasi”.
Menurut pemahaman saya sendiri,
. . . ada teknologi afirmasi pamuncak yang telah diwariskan
oleh Rasulullah Muhammad SAW untuk seluruh umat manusia.
Hasil dari teknik afirmasi warisan Nabi Muhammad itu adalah sebuah suasana “laa
khaufun ‘alaihim walaa hum yahzanuun, suasana tidak ada rasa khawatir, tidak ada rasa
sedih”. Suasana DI ATAS SEMUA RASA, yang posisinya berada di AL A’RAAF (tempat
tertinggi). Sebuah alamat yang posisinya adalah di atas Syurga dan Neraka. Rasulullah
saat berada di AL A’RAAF ini bisa melihat dan memahami realitas dari kehidupan Syurga
dan Neraka (yang disebut juga sebagai alam Akhirat) dengan begitu gamblangnya.
Afirmasi yang diwariskan oleh Beliau itu sederhana sekali, sangat sederhana sekali
malah, namun begitu Dahsyatnya, sungguh, yaitu:
ALLAH !
. . . lalu.. Derrr !
1-22
Adapun afirmasi-afirmasi yang lainnya, seperti :
• Laa ilaha illallah,
• Subhanallah,
• Alhamdulillah,
• Allahu Akbar,
• Laa haulawala quwwata illa billah,
• Inna lillahi wa inna ilahi raji’un,
dan sebagainya, pastilah akan membawa kita kepada ALLAH. Lalu :
. . . biarkan sajalah kita dituntun-Nya selangkah demi selangkah menuju kepahaman
dan kesaksian (SYAHID) terhadap Diri-Nya Sendiri.
Semuanya itu pastilah akan membawa dan menuntun kesadaran kita menuju
KESAKSIAN kepada-Nya. Kalau sudah bersaksi, maka barulah kita pantas mengucapkan
kesaksian kita langsung ke WAJAH-NYA :
• “Asyhadu an laa ilaha illallah", benar, "Saya bersaksi bahwa Engkau adalah Allah,
sedangkan apapun yang lainnya yang berada dalam liputan Wajah-Mu, tidaklah
begitu penting lagi bagi saya.
• ”Wa asyhadu anna muhammadan rasulullah”, dan ”Benar ya Allah bahwa ternyata
apa yang diajarkan oleh Muhammad tentang Engkau terbukti bagi saya
kebenarannya, maka dengan ini saya akui bahwa Beliau adalah Rasul-Mu, utusan-
Mu.”
• Lalu, ”Ajaran-ajaran dan afirmasi-afirmasi yang lain dari apa yang Beliau wariskan
sudah tidak begitu penting lagi bagi saya ”.
Akan tetapi, :
. . . kalau afirmasi-afirmasi yang sekian banyak itu itu tidak menuntun dan
menggiring kita kepada ALLAH,
Sang Laisa kamistlihi Syai’un, maka :
. . . afirmasi itu bisalah disebut sekedar afirmasi angguk-angguk dan geleng-geleng,
. . . seperti kata sebuah lagu. “Ngguk angguk angguk, leng geleng geleng, ngis tangis
tangis”.
Sebab banyak pula orang yang memakai kata ALLAH ini sebagai kalimat afirmasinya,
akan tetapi dia tidak sampai, terhalang, tercover, kafir, untuk sampai “duduk bersanding
dan pandang memandang dengan ALLAH”. Dia memang tetap memanggil Allah, akan
tapi dia hanya sampai ke posisi bersanding dan saling berpandangan dengan patung. Dia
memang memanggil Tuhan, tapi dia malah bersanding dan saling memandang :
1-23
• dengan benda,
• dengan cahaya,
• dengan tangisan,
• dengan alam,
• dengan jin,
• dengan syetan,
• dengan harta,
• dengan ilmu,
• dengan paham,
• dengan aliran-aliran,
• dengan persepsi,
dan sebagainya. Semuanya itu seperti silih berganti melambai-lambaikan tangannya
kepada kita agar kita mengikuti mereka, agar kita datang kepada mereka, agar kita mau
menjadi budak mereka.
Padahal kalau kita sudah ada kepercayaan (Iman) kepada Allah, maka semua lambaian
itu tadi tinggal kita tolak "LAA ILAHA", tolak semua, abaikan semua. Lalu saling
bersanding dan saling memandanglah dengan WUJUD Yang tidak bisa ditolak lagi. Di
tolak bagaimana pun juga Dia sudah tidak bisa ditolak lagi. Kalau sudah tidak ada lagi
yang bisa kita tolak. Hanya tinggal Wujud Abadi, maka teguhkanlah: "ILLA ALLAH",
"kecuali hanya Engkau saja lagi Yang ADA". ALLAH ! Kalau sudah begini barulah kita
pantas untuk memanggil Wujud ABADI tersebut dengan sebutan ALLAH, tanpa kita
tersasar-sasar lagi ke arah yang salah.
Kita tinggal memanggil:
ALLAH !
. . . lalu.. Derrr !
Lalu :
• Kita amati dengan seluruh kekaguman kita bagaimana Dia Maha Sibuk, Maha Aktif
mengatur segala sesuatu.
• Kita amati bagaimana Dia mengalirkan berbagai kehendak-Nya ke dalam dada setiap
manusia, sehingga manusia itu seakan-akan punya kehendak dan daya untuk
melakukan sesuatu, untuk berkarya.
• Kita pandang bagaimana Dia mengalirkan berbagai macam ilmu ke dalam otak kita,
ke dalam otot kita, ke dalam kulit kita.
1-24
• Bahkan kita amati pula bagaimana Dia mengalirkan Rasa Iman ke dalam tubuh kita,
ke dalam kulit kita, ke dalam dada kita, ke dalam aliran darah kita, sehingga
semuanya itu nanti bisa bersaksi bahwa memang kita adalah orang yang tidak hanya
beriman kepada ALLAH, akan tapi juga telah BERSAKSI (SYAHID) kepada ALLAH.
Subhanallah
Yang sangat menarik dari afirmasi ini adalah bahwa :
. . . apa-apa yang kita lakukan sangatlah terikat erat dengan afirmasi kita itu. Bahwa
ternyata afirmasi-afirmasi yang kita benamkan ke dalam otak kita sepanjang waktu
itu, akan sangat-sangat mempengaruhi aktifitas, perilaku, perbuatan, dan logika
berfikir kita sepanjang waktu.
• Seseorang yang sering mengafirmasi dirinya bahwa dirinya adalah seorang ustadz
atau ulama penerus dan pewaris Nabi, maka dari waktu ke waktu, dari hari ke hari,
setiap saatlah, kalau dia sedang berhadapan dengan orang lain, dia akan
mengungkapkan ungkapan-ungkapan seperti ungkapan Nabi. Dia akan berda’wah,
dia akan mengingatkan orang, dia akan melarang orang untuk melakukan ini dan itu,
dia akan menyuruh orang untuk melakukan ini dan itu. Walaupun kadangkala dia
tidak melakukan apa-apa yang dia sampaikan kepada orang-orang itu, tapi akibat dia
telah mengafirmasi dirinya bahwa dirinya adalah penerus Nabi di hadapan orang-
orang banyak, dia telah belajar agama, dia telah dilabeli sebagai seorang ustadz,
maka dia akan tetap bersikap sebagai agen pengajak orang lain ke arah kebenaran.
Dia akan bersikap seakan-akan dialah orang yang paling tahu tentang syurga dan
neraka, tentang baik dan buruk, tentang hidup dan mati, dan tentang Tuhan
tentunya. Paling nanti saat dia sendirian, dia akan bertanya-tanya sendiri, tadi itu
saya sebenarnya hanya ngomong doang, dan inipun sudah diantisipasi oleh Allah :
bahwa sebenarnya Allah sangat murka kepada orang-orang yang mengatakan apa-
apa yang tidak dia lakukan dan dia tidak paham pula makna hakiki tentang apa-apa
yang dia ucapkan itu.
• Orang yang terbiasa mengafirmasi dirinya sebagai seorang yang pluralis, maka
omongannya di setiap saat juga akan tidak jauh-jauh dari pluraslisme itu. Dia akan
bela plurasime, dia akan kampanye tentang pluralisme, dia akan olah dan
kembangkan berbagai logika berfikir dari sudut pandang seorang pluralis.
• Seseorang yang sudah mengafirmasi dirinya bahwa dirinya adalah sebagai seorang
pendeta, seorang gembala, seorang bante, seorang romo, maka hari-harinya, saat dia
berhadapan dengan orang banyak, akan disibukkan pula oleh status afirmasi tentang
status dirinya itu. Dia akan berkhotbah ke sana kemari, dia akan sibuk
menggembalakan orang lain yang dianggapnya hanyalah sebagai domba-domba yang
perlu digembalakannya agar tidak tersesat.
1-25
• Orang yang sudah terbiasa mengafirmasi dirinya sebagai orang yang biasa-biasa saja
di tengah-tengah masyarakat, maka dia juga akan bertindak biasa-biasa saja. Begitu
juga orang yang sudah mengafirmasi dirinya sebagai seorang spiritualis, atau sebagai
seorang pedzikir ulung, atau sebagai seorang yang bisa mengelola hati, atau sebagai
seorang yang mumpuni di bidang spiritual dan emosional maka diapun akan
disibukan pula oleh logika berfikirnya masing-masing.
• Seseorang yang membenamkan afirmasi ke dalam otaknya bahwa dia adalah sebagai
seorang pemburu jin, seorang pemburu hantu, sebagai seorang penyembuh, sebagai
orang yang tahu dan mumpuni dibidang hal-hal yang gaib, maka hari-harinya akan
diisi pula dengan dinia-dunia yang katanya adalah dunia yang penuh kegaiban.
Akhirnya memang kesemuanya itu terserah kita saja, terpulang kepada kita.
Mau kita afirmasi apa diri kita ini dengan berbagai pilihan yang
ada, it’s up to us.
Toh nanti kita sendiri pula yang akan menikmati ataupun merasakan hasil baik dan
buruknya. Sebab hanya hasilnya nanti itu tidak akan jauh-jauh dari rasa :
• bahagia di satu sisi dan
• sengsara di sisi yang lain,
yang dalam istilah agamanya disebut sebagai syurga atau neraka.
Lalu kita disibukkan oleh apa ?? Untuk menjawabnya,
. . . tengoklah diri kita masing-masing, afirmasi macam apa
yang telah dan akan kita benamkan ke dalam otak kita.
A. Kesimpulan
1. Setiap kata, perbuatan, penglihatan, pendengaran, dan rasa yang kita alami sehari-
hari, akan masuk ke dalam otak melalui system syaraf kita dalam bentuk pesan
impuls listrik lemah dan rangsangan pesan kimia yang kemudian setiap pesan itu
membentuk jaringan-jaringan memori. Pesan-pesan yang masuk itu dengan
kecepatan yang mencengangkan akan mencari file memori yang sama untuk
kemudian memori tersebut akan diperkuat dan dipertegas intensitasnya dari yang
sebelumnya. Bahkan file memori berbagai kombinasi baru juga bisa dihasilkan
dengan mudah. Kalau belum ada filenya, maka akan terbentuklah di dalam otak kita
file baru tentang hal itu.
1-26
2. Setiap kita menghadapi sebuah masalah dalam hidup kita, kita akan lari ke dalam
file memori yang ada di dalam otak kita, melalui proses yang disebut dengan
berfikir.
3. Setiap kita tidak akan pernah bisa keluar dari file memori yang ada di dalam otak
kita. Cara kita berfikir, cara kita menghadapi masalah, cara kita bertutur kata, cara
kita bersikap, cara kita berkesimpulan, cara kita berakhlak, cara kita beradab, cara
kita bertindak, sangat-sangat dipengaruhi oleh file macam apa yang ada di dalam
otak kita masing-masing. Makanya timbul perbedaan tindakan nyang berbeda
antara satu orang dengan orang lain, karena file yang ada di dalam otak satu orang
dengan orang lain pasti berbeda. Misalnya mengapa Ali danj Aisyah sampai
bertengkar yang menyebabkan timbulnya golongan Sunni & Syi’ah.
4. Semakin banyak file pengetahuan yang ada di dalam otak kita, maka akan semakin
banyak pula alternatif berfikir yang akan kita punyai untuk menyelesaikan masalah-
masalah kehidupan kita.
5. Logika berpikir : alasan-alasan pembenaran atas apa-apa yang kita lakukan.
6. Setiap hukum syariat agama dan contoh-contoh dari Rasulullah itu ada
sunatullahnya, ada fitrahnya, untuk setiap zaman yang berbeda. Dan yang akan
menang atau dominan pengaruhnya adalah syariat atau hukum agama yang sesuai
dengan sunatullah di zamannya.
7. Salah satu cara untuk menambah dan memperbanyak file keadaan atau suasana
yang ada di dalam otak kita adalah dengan cara kita berulang-ulang kali
mengucapkan sebuah kata, sebuah kalimat, atau ungkapan-ungkapan yang kita
yakini kebenarannya, afirmasi !
8. Sebuah afirmasi akan memberikan hasil yang sangat baik tatkala kita bisa
menyusun:
a. kata afirmasi yang menimbulkan semangat.
b. tujuan jelas,
c. target terarah,
d. rentang waktu terukur,
e. reward and punishment jelas,
9. Kalau kita bisa berkali-kali membenamkan ke dalam otak kita sebuah kata-kata
afirmasi yang :
a. terpola rapih dan menimbulkan semangat,
b. tujuan jelas,
c. target terarah,
d. rentang waktu terukur,
1-27
e. reward and punishment jelas,
maka hampir dapat dipastikan bahwa afirmasi itu akan terlaksana dengan baik dan
dalam rentang waktu yang tidak banyak melesetnya dari rencana kita.
10. Semakin kuat afirmasi itu ditanamkan ke dalam otak seseorang, maka semakin sulit
pula orang tersebut untuk meubah kepercayaan yang dia pegang atas kebenaran
ajaran-ajaran agama yang dianutnya.
11. Sebuah afirmasi dikatakan berhasil tatkala dengan afirmasi itu memunculkan
KEINGINAN atau KEHENDAK di dalam DADA kita untuk melakukan sebuah peran
atau aktivitas sesuai dengan maksud afirmasi tersebut. Kehendak itu seperti
mempunyai DAYA yang begitu besar agar kita segera bergerak, berfikir, ataupun
berkarya, sehingga halangan sebesar apapun rasanya bisa kita terjang dan lalui
dengan mudah. Rasa sakit pun akan bisa sampai tidak terasa sedikitpun.
12. Teknologi afirmasi pamuncak yang telah diwariskan oleh Rasulullah Muhammad
SAW untuk seluruh umat manusia : ”Allah !” Selanjutnya biarkan sajalah kita
dituntun-Nya selangkah demi selangkah menuju kepahaman dan kesaksian
(SYAHID) terhadap Diri-Nya Sendiri.
13. Banyak orang yang memakai kata ALLAH, akan tetapi dia tidak sampai, terhalang,
tercover, kafir, untuk sampai “duduk bersanding dan pandang memandang dengan
ALLAH”. Ini disebabkan dia mengikuti lambaikan tangan dari : benda, cahaya,
tangisan, alam, jin, syetan, harta, ilmu, paham, aliran-aliran, persepsi, dan lain-lain.
gar dia datang kepada mereka, agar dia mau menjadi budak mereka.
14. Apa-apa yang kita lakukan sangatlah terikat erat dengan afirmasi kita itu. Bahwa
ternyata afirmasi-afirmasi yang kita benamkan ke dalam otak kita sepanjang waktu
itu, akan sangat-sangat mempengaruhi aktifitas, perilaku, perbuatan, dan logika
berfikir kita sepanjang waktu.
15. Mau kita afirmasi apa diri kita ini dengan berbagai pilihan yang ada, it’s up to us.
Toh nanti kita sendiri pula yang akan menikmati ataupun merasakan hasil baik dan
buruknya. Tengoklah diri kita masing-masing, afirmasi macam apa yang telah dan
akan kita benamkan ke dalam otak kita.
2-28
Artikel 2 :
Aku Bening9
A. Pembahasan
Bisakah seseorang yang atheis menemukan AKU yang bening dan merdeka tanpa
melalui sebuah ritual agama seperti kita ? tapi menggunakan teknik-teknik tertentu,
misalnya Tai-Chi, Reiki dll. yang sifatnya kata orang adalah universal.
Sepengetahuan dan sepengalaman saya, Taichi, Reiki, tarekat, dan praktek-praktek
sejenisnya boleh jadi BISA menemukan posisi "sifat" (saya senang membaca istilah ini)
universal. Dalam istilah agama Islam, sifat diri yang universal ini dinamakan Nafsul
Muthmainnah (DIRI YANG TENANG).
CIRI-CIRI Nafsul Muthmainnah ini hanya sederhana saja, yaitu pada nafs ini tiada
lagi rasa kekhawatiran dan tiada kesedihan padanya
(la khaufun 'alaihim wala hum yah zanun).
Siapa saja dapat merasakannya. Realitas suasana diri yang bersifat universal ini kalau
dibahasakan secara populer adalah, bahwa pada diri itu, otaknya tidak lagi dihantam
oleh gelombang badai fikirannya, dadanya tidak lagi dihantam oleh galaunya
perasaannya. Ya, otak sang diri ini sudah tidak lagi terkotak-kotak dalam berbagai
persepsi yang sangat beragam dari orang ke orang. Kalau masih saja terkotak-kotak,
maka tatkala persepsi kita beda dengan persepsi orang lain, lalu kita akan sibuk sendiri
membantah dan membantah.
Akan tetapi pada diri yang universal itu masih ada “aku diri”. Dan “aku diri” inilah yang
mengaku-ngaku, bahwa aku ini luas tak terbatas, aku ini damai, aku ini melihat, aku ini
mendengar, aku ini tahu. Kalau sudah sampai kepada posisi seperti ini, posisi “sang aku
diri” universal, maka, sebenarnya tinggal SELANGKAH lagi tugas “sang aku diri” itu,
yaitu :
“PENGEMBALIAN”. Untuk tidak mengaku.
Artinya :
• “Sang aku diri” tidak
mengaku luas.
Kembalikan luas itu pada Tuhan, karena hanya
Tuhanlah Yang Maha Luas.
• “Sang aku diri” tidak Kembalikan melihat itu kepada Tuhan, karena hanya
9 https://groups.yahoo.com/neo/groups/dzikrullah/conversations/messages/476
2-29
mengaku melihat. Tuhanlah Yang Maha Melihat.
• “Sang aku diri” tidak
mengaku mendengar.
Kembalikan mendengar itu kepada Tuhan, karena hanya
Tuhanlah Yang Maha Mendengar.
• “Sang aku diri” tidak
mengaku tahu.
Kembalikan tahu itu kepada Tuhan, karena hanya
Tuhanlah Yang Maha Tahu.
Proses sang diri untuk tidak mengaku-ngaku inilah sebenarnya :
. . . makna lain dari "laa ilaaha illallah", tiada yang luas, tiada
yang melihat, tiada yang mendengar, tiada yang tahu, tiada
yang ada. FANA, kecuali Yang Maha Luas, kecuali Yang Maha
Melihat, kecuali Yang Maha Mendengar, kecuali Yang Maha
Tahu, kecuali Yang Maha Ada.
Posisi TIDAK mengaku ini persis sama dengan posisi tumbuh-tumbuhan, posisi gunung-
gunung, posisi matahari dan bintang-bintang, posisi langit dan bumi, posisi alam
semesta, posisi malaikat. Semuanya tunduk dan patuh kepada Kehendak Tuhan.
Pengembalian ini haruslah dilakukan dengan tanpa daya dan tanpa usaha, karena tiada
daya dan upaya, kecuali hanya daya dan upaya dari Tuhan.
Pengembalian yang hakiki itu hanya dan hanya bisa kalau kita DITUNTUN oleh Allah.
Karena yang tahu tentang Allah itu hanya Allah sendiri. Makanya kita selalu berdo'a
dalam shalat kita: "Ya Allah, tuntun saya."
Kalau pengembalian itu
masih dengan daya dan usaha dari “sang aku diri”,
maka namanya “sang aku diri” itu masih ada, masih eksis.
Dan “sang aku diri” itu akan tersiksa sekali, seperti kita-kita sekarang ini, sehingga apa
saja bisa beubah menjadi siksa :
1. Beda pendapat jadi siksa.
2. Beda agama jadi siksa.
3. Beda suku jadi siksa.
Begitu juga, kalau “sang aku diri” yang sudah mencapai sifat universal itu mengaku
masih ada, EXIST, maka tidak jarang pula “sang aku diri” itu ingin PERGI meninggalkan
2-30
realitas ketubuhannya, yang dalam istilah dunia kebatinan dinamakan juga dengan
MOKSA :
• Misalnya, sang aku ingin ke syurga, maka tidak jarang bayangan syurga itu datang
menghampiri kita. Padahal bayangan itu hanyalah sekedar memori-memori di otak
kita tentang syurga itu. Karena realitas syurga itu hanya Allah dan Rasulnya saja yang
tahu.
• Begitu juga saat “sang aku diri” "INGIN" bertemu dengan malaikat, nabi-nabi, dan
orang-orang shaleh lainnya (yang pernah masuk ke dalam memori kita), maka semua
itu akan datang silih berganti menjambangi ”sang aku diri” itu. Lalu “sang aku diri” itu
menjadi SANGAT SIBUK dengan berbagai pandangan-pandangan, kalimat-kalimat,
huruf-huruf, suara-suara, dan pertemuan-pertemuan dengan apa yang diinginkan
oleh “sang aku diri” itu. Tak jarang pula “sang aku diri” itu merasa dirinya diangkat
oleh malaikat menjadi nabi baru, utusan Tuhan yang suci di zamannya. Dan
kesemuanya itu benar-benar seperti REAL, NYATA.
• Dan yang paling menyiksa adalah saat “sang aku diri” itu "INGIN" menemui Tuhan,
maka “sang aku diri” itu akan berupaya dan berusaha untuk ingin BERTEMU dengan
Tuhan, bahkan tidak jarang pula “sang aku diri” itu ingin BERSATU dengan Tuhan.
Maka kemudian lahirlah konsep-konsep aneh, misalnya ”sang aku diri” itu merasa
bahwa dirinyalah Tuhan itu sendiri, “sang aku diri” itu merasa bersatu dengan Tuhan,
atau bisa juga “sang aku diri” itu merasa bahwa Tuhan beremanasi ke tubuh “sang
aku diri” itu. Dan ini semua sangatlah menyiksa. Akibatnya, sungguh banyak orang
yang mengaku spiritualis tapi malah tidak pernah shalat. Bagaimana “sang aku diri”
itu mau shalat, kalau saat itu dia merasa seperti menyembah dirinya sendiri. Atau ada
juga “sang aku diri” yang tidak shalat karena dia merasa bahwa dia telah shalat tadi di
Mekkah, padahal saat itu, misalnya, dia ada di Indonesia (yang ini saya pernah
mengalaminya saat saya di tarekat dulu).
Sungguh banyak sekali orang-orang yang mengaku spiritualis, malah suka mabuk-
mabukan, suka perempuan lain yang bukan istrinya, dan sebagainya. Dalam istilah
umumnya suasana spiritalis seperti ini dinamakan orang dengan wilayah sufi yang
sedang “HELAF”. Dan biasanya “sang aku diri” yang seperti ini bawaannya malas-
malasan, tidak mau bekerja, inginnya menyepi terus ke tempat-tempat sunyi, sehingga
fungsi kekhalifahannya sudah nyaris hilang sama sekali. Dia menjadi sibuk dengan
dirinya sendiri.
2-31
Sebaliknya :
. . . saat mana “sang aku diri” itu "bersedia" dibimbing oleh Allah untuk tidak
mengaku, dan posisi tidak mengaku itu berhasil dia raih, artinya
”sang aku diri” sudah tiada, FANA,
maka yang ada tinggal hanya Yang Ada, WUJUD, yaitu Aku Yang Hakiki.
Aku yang bening dan merdeka, artinya Aku yang berkehendak dengan sendirinya. Pada
posisi seperti ini, “sang aku diri” benar-benar hanyalah menjadi seorang hamba yang
bersedia agar:
• Otaknya "dipakai" oleh Allah untuk berkreasi dan menciptakan peradaban bagi sang
diri itu sendiri, sehingga dengan otak itu lahirlah pengetahuan demi pengetahuan
yang berguna untuk merangkai peradaban manusia dari zaman ke zaman.
• Dadanya "dipakai" oleh Allah sebagai tempat untuk mengalirkan kehendak dan
kemauan-Nya, sehingga dari dada itu muncul berbagai keinginan dan kemauan untuk
bertindak mewujudkan peradaban itu.
• Kelaminnya "dipakai" oleh Allah sebagai sarana untuk pembiakan manusia.
Kemudian, agar manusia-manusia itu cenderung untuk mau berbiak, maka di wilayah
kelamin ini juga diberi rasa enak dan nikmat.
Dan, lalu kita hanya tinggal menjadi SAKSI SAJA atas perbuatan Allah, atas kehendak
Allah, atas kreasi Allah dalam meramaikan dan menata alam ciptaan-Nya ini. Sungguh
tidak sia-sia semua ini berada di dalam genggaman Allah. Semua diatur-Nya, semua di
tata-Nya, semua diurus-Nya tanpa henti. Walau kita tidak mau mengakui peran-Nya
sekali un, Dia tidak peduli. Dia akan Maha Sibuk dengan segala ciptaan-Nya, Subhanaka !
Dan alangkah sangat besar siksa Allah kalau "TEMPAT SUCI (rumah Allah)" di mana Allah
berkreasi, mencipta, berkendak, dan mengembangbiakkan manusia itu dikotori dengan
berbagai tindakan yang negatif (fujur) :
• Tatkala “sang aku diri” mengotori kelaminnya dengan kehendak percabulan, maka
berbagai perbuatan cabul pun akan muncul tak terkendalikan pada sang diri itu.
• Tatkala “sang aku diri” mengotori dadanya dengan kehendak dan keinginan yang
haram (misalnya dengan makanan dan minuman yang haram), maka apa saja bisa
menimbulkan kemarahan, kebencian, keirian, dan perilaku-perilaku negatif lainnya
pada diri itu.
• Tatkala “sang aku diri” mengotori otaknya dengan kreasi negatif, maka apa saja bisa
dipakai oleh sang diri itu untuk merusak peradaban manusia. Siksa semua itu !
2-32
B. Kesimpulan
1. Ciri-ciri Nafsul Muthmainnah ini hanya sederhana saja, yaitu pada Nafs ini tiada lagi
rasa kekhawatiran dan tiada kesedihan padanya (la khaufun 'alaihim wala hum yah
zanun). Akan tetapi pada diri yang universal itu masih ada “aku diri”. Dan “aku diri”
inilah yang mengaku-ngaku, bahwa aku ini luas tak terbatas, aku ini damai, aku ini
melihat, aku ini mendengar, aku ini tahu.
2. Dari posisi Nafsul Muthmainnah ini selangkah berikutnya adalah posisi untuk tidak
mengaku. makna lain dari "laa ilaaha illallah", tiada yang luas, tiada yang melihat,
tiada yang mendengar, tiada yang tahu, tiada yang ada. FANA, kecuali Yang Maha
Luas, kecuali Yang Maha Melihat, kecuali Yang Maha Mendengar, kecuali Yang
Maha Tahu, kecuali Yang Maha Ada. Pengembalian yang hakiki itu hanya dan hanya
bisa kalau kita DITUNTUN oleh Allah.
3. Saat “sang aku diri” itu "bersedia" dibimbing oleh Allah untuk tidak mengaku, dan
posisi tidak mengaku itu berhasil dia raih, artinya ”sang aku diri” sudah tiada, FANA,
maka yang ada tinggal hanya Yang Ada, WUJUD, yaitu Aku Yang Hakiki. Pada posisi
seperti ini, “sang aku diri” benar-benar hanyalah menjadi seorang hamba yang
bersedia agar:
a. Otaknya "dipakai" oleh Allah untuk berkreasi dan menciptakan peradaban bagi
sang diri itu sendiri, sehingga dengan otak itu lahirlah pengetahuan demi
pengetahuan yang berguna untuk merangkai peradaban manusia dari zaman ke
zaman.
b. Dadanya "dipakai" oleh Allah sebagai tempat untuk mengalirkan kehendak dan
kemauan-Nya, sehingga dari dada itu muncul berbagai keinginan dan kemauan
untuk bertindak mewujudkan peradaban itu.
c. Kelaminnya "dipakai" oleh Allah sebagai sarana untuk pembiakan manusia.
Kemudian, agar manusia-manusia itu cenderung untuk mau berbiak, maka di
wilayah kelamin ini juga diberi rasa enak dan nikmat.
4. Alangkah sangat besar siksa Allah kalau "TEMPAT SUCI (rumah Allah)" di mana Allah
berkreasi, mencipta, berkendak, dan mengembangbiakkan manusia itu dikotori
dengan berbagai tindakan yang negatif (fujur).
3-33
Artikel 3 :
Alif Laam Miim10
A. Pembahasan
Di dalam beberapa surat Al Qur’an, pada permulaan suratnya ada yang dimulai dengan
rangkaian huruf-huruf yang kalau dibaca nyaris tidak ada maknanya yang jelas sama
sekali, misalnya :
• ‘alif laam miim,
• alif lam raa,
• alif laam miim shaad,
• haa miim, alif laam miim raa,
• kaaf haa yaa ‘aiin shaad,
• thaa ha, thaa siin miim,
• thaa siin, yaa siin,
• shaad,
• ‘aiin siin qaaf, qaaf, nuun,
dan sebagainya, terutama di awal surat-surat panjang di hampir tiga perempat bagian Al
Qur’an. Nah, sikap umat Islam dalam memahami rangkaian huruf-huruf itu sangatlah
beragam. Ada yang memaknainya dengan: “Hanya Allah sajalah yang tahu maknanya
dengan pasti”. Ada pula yang mencoba menafsirkannya dengan cara mengFkannya
dengan sebuah pemahaman yang dianggap sangat rahasia, sehingga hanya orang-orang
tertentu sajalah yang berhak untuk mengetahuinya. Ya boleh-boleh saja sebenarnya
untuk itu. Tapi kali ini saya ingin memberikan sebuah wacana alternatif tentang makna
dari huruf-huruf tersebut dengan cara yang sangat sederhana. Mari kita lihat !
1. Cara Memahami Al Qur’an
Dalam memahami Al Qur’an, bagi kita umat Islam yang tidak berbahasa arab, paling
tidak ada dua cara yang bisa kita pakai.
a. Cara Pertama
Dengan kita membaca terjemahannya maupun tafsiran-tafsirannya yang telah
dibuat oleh ulama-ulama terdahulu. Kita akan merasa bangga saat kita punya
segudang buku-buku tafsir dari ulama-ulama terkenal, apalagi kalau ulama itu
berasal dari Timur Tengah. Hati kita berbunga-bunga dengan buku-buku tafsir
tersebut, seakan-akan dengan buku itu kita akan bisa menjadi paham dengan Al
Qur’an dan ahli tentang berbagai ayat-ayatnya.
10 https://groups.yahoo.com/neo/groups/dzikrullah/conversations/messages/960
3-34
Dengan pemahaman cara pertama ini, biasanya kita hanya terangguk-angguk
saja menyerap apa-apa yang kita baca. Mengerti tidak mengerti, ada atau
tidaknya realitas ayat tersebut yang kita rasakan, kita tidak terlalu ambil pusing.
Apa-apa yang kita baca sebagai terjemahan dan tafsiran dari ayat Al Qur’an itu
kita hafal dan masukkan ke dalam otak kita sebagai sebuah nilai kebenaran.
Kita tidak diperkenankan untuk ragu-ragu sedikitpun
tentang benar atau tidaknya apa-apa yang dikatakan
oleh ayat-ayat Al Qur’an ataupun tafsirnya,
. . . apalagi kalau tafsir itu adalah karya ulama yang dianggap sangat terkenal
pada zaman lalu. Pokoknya apa-apa yang kita baca di dalam Al Qur’an dan
tafsirnya itu kita anggap adalah benar dan tidak perlu dipertanyakan lagi. TITIK.
Makanya kira terheran-heran saja saat kita ingin memahami ayat-ayat tentang
SUASANA, HAL, atau KEADAAN tentang orang yang beriman, seperti :
• adanya dada yang bergetar saat dibacakan ayat-ayat Allah, atau
• adanya tangis dan menyungkur saking dahsyatnya pengaruh pengucapan
nama Allah, ataupun
• adanya tuntunan demi tuntunan Tuhan dalam keseharian kita.
Kita kesulitan untuk memahaminya, sehingga kita mulai bertanya-tanya tentang
muatan kebenaran yang dibawa oleh ayat tersebut. “Benar nggak sih ayat
ini ?”, kata kita sedikit bertanya-tanya dengan wajah yang malu-malu. Terlebih
lagi saat kita tidak dapat mendapatkan atau merasakan realitas dari ayat-ayat
yang kita baca tersebut, sehingga akhirnya . . .
. . . ayat Al Qur’an tersebut beubah menjadi sebuah ayat dogmatis yang
harus kita terima, enak ataupun tidak enak terpaksa kita telan.
b. Cara Kedua
. . . dengan membaca bahasa Tuhan, berupa QALAM,
yang dengan bahasa itulah Tuhan mengajari umat
manusia terhadap apa-apa yang tidak diketahuinya.
Nah, dengan cara kedua inilah sebenarnya kita diminta oleh Allah dalam
membaca Al Qur’an.
Untuk kali ini, kita akan melihat bentuk bahasa qalam ini dalam kehidupan kita
sehari-hari. Bagaimana cara Al Qur’an mengajak kita untuk membacanya.
Langkah pertama seperti apa yang harus kita jalani untuk bisa melahap bahasa
3-35
Qalam itu dengan sempurna. Cobalah perhatikan, di awal surat Al Baqarah,
Allah mengawali surat tersebut dengan kalimat “Alif laam miim”. Sebuah
untaian kata yang tidak punya arti apa-apa. Akan tetapi ternyata kata-kata
tersebut mempunyai makna yang sangat fundamental ketika kita ingin
membaca pengajaran Tuhan kepada kita saat ini.
Artinya . . .
. . . untuk bisa memahami Al Qur’an :
• Kita tidak diminta oleh Allah untuk membawa ilmu kita.
• Kita tidak diminta oleh Allah untuk membawa tafsiran-tafsiran yang
telah kita punyai dan hafal selama ini.
• Kita cukup menjadikannya sebagai landasan berpijak kita saja, untuk
kemudian kita melangkah ke anak tangga pemahaman berikutnya.
Karena kalau kita masih membawanya, dan kita masih bertahan di anak tangga
pertama saja, padahal ketika itu kita sedang dibukakan kesempatan oleh Allah
untuk memahami realitas bahasa Al Qur’an dikekinian waktu, maka kita akan
TERTUTUP dari pemahaman baru tersebut, sehingga :
. . . pemahaman yang akan kita dapatkan tetaplah sebegitu-begitunya saja,
nyaris tidak akan pernah berkembang dan beranjak
dari pemahaman sejak dari dahulu kala.
Sama saja dari zaman ke zaman. Seakan-akan Allah telah berhenti untuk
memberikan pemahaman baru kepada kita. Seiring dengan telah dibukukannya
Al Qur’an, kita juga mengira bahwa Allah hanya berkata-kata sebatas apa-apa
yang ditulis di dalam Al Qur’an itu saja.
Kita mengira bahwa tafsiran dan pemahaman kita terhadap Al Qur’an itu juga
telah :
• berhenti di hadits-hadits Rasulullah,
• berhenti di tangan sahabat-sahabat Beliau dan di lidah para tabi’in, tabit
tabi’in.
Hanya sebegitu-begitunya sajalah Bahasa Tuhan yang boleh kita tangkap. Tidak
lebih tidak kurang. Makanya, setiap ada buku-buku yang katanya adalah buku
baru, yang ditulis saat ini oleh seorang ulama yang terkenal pula, maka . . .
. . . isinya tidak akan lebih dari pengulangan-
pengulangan atas pemahaman yang telah ada
di zaman-zaman yang lampau.
3-36
Kalaulah hal ini hanya untuk masalah-masalah ibadah saja, ya tidak masalah
dan memang haruslah seperti itu. Akan tetapi untuk masalah-masalah yang
berkenaan dengan :
• Seluk beluk jiwa dan perilaku manusia, serta
• Serba-serbi ilmu pengetahuan (segala macam ilmu pengetahuan),
kita juga maunya mengekor kepada bahasa-bahasa tertulis zaman lalu itu.
Akibatnya kita sangatlah terseok-seok di dua bidang ini.
Di sekolah-sekolah yang katanya mengajarkan agama kepada murid-muridnya,
maka :
• Ilmu yang dibahas selalu saja ilmu yang berkenaan dengan tafsiran-tafsiran
kehidupan berdasarkan kitab-kitab kuno tersebut.
• Dan muatan dari ilmu itu juga lebih mengarah pada satu sisi kehidupan saja,
yaitu sisi kehidupan akhirat.
Seakan-akan kita memang telah dengan sengaja memisahkan kehidupan
akhirat itu dengan kehidupan kita di dunia saat ini.
Sementara dalam do’a-do’a :
• Kita selalu mengharapkan adanya kehidupan yang baik di dunia dan
kehidupan yang baik di akhirat. Tapi
• Kita telah membunuh kebahagiaan di dunia itu dengan sengaja.
Kita telah menutup telinga, mata, otak, dan dada kita terhadap bahasa Tuhan
tentang kehidupan dunia ini.
Padahal :
1) Pengajaran Allah, bahasa dan kata-kata Allah akan selalu mengalir di setiap
waktu dan dengan kualitas yang terkini pula, melalui tabir-tabirnya yang
sungguh tak terhingga banyaknya. Ya, Bahasa Allah tidak akan pernah
berhenti mengalir, tidak akan pernah kuno dan ketinggalan zaman sampai
kapanpun. Bahasa Allah adalah sebuah bahasa UP TO DATE yang selalu
berganti baru di setiap detik yang berdenting.
2) Dan luarbiasanya lagi. Allah akan tetap mengalirkan Bahasa dan Omongan-
Nya itu kepada siapa pun yang mau mendengarkannya dan di manapun
tempatnya.
Allah tidak peduli apakah bahasa-Nya yang berada di tetumbuhan dan
di alam semesta akan dimengerti oleh orang-orang yang beriman
kepada-Nya atau tidak.
3-37
Allah tidak milih-milih dalam menempatkan Bahasa dan Omongan-Nya itu,
tidak harus hanya di Arab, tidak harus hanya di Indonesia, tidak harus
hanya di negara-negara Islam. Tidak. Bahasa Allah akan mengalir di tabir-
tabir-Nya di seluruh pelosok permukaan bumi yang ditujukan-Nya bagi
orang-orang yang mau membacanya, IQRAA !
Dan yang akan membedakan berhasil atau tidaknya kita dalam membaca
bahasa Tuhan itu hanyalah dengan melihat masalah manfaatnya saja nantinya :
• Kalau orang yang beriman kepada Allah yang membacanya, maka hasilnya
pastilah bermanfaat untuk kemakmuran bagi seluruh umat manusia, dan
akan menambah keimanan sang pembacanya kepada Allah.
• Akan tetapi kalau yang berhasil membacanya adalah orang yang TIDAK
beriman kepada Allah, maka hasilnya lebih banyak mengarah kepada
kemudharatan dan kesengsaraan umat manusia lainnya. Dan sang pembaca
Qalam Tuhan yang tidak didasari oleh iman kepada Allah itupun tidak akan
mampu pula untuk meningkatkan keimanan-Nya ke arah yang tepat, yaitu
Allah.
Sederhana sekali sebenarnya, bahwa :
. . . ketika kita membaca ayat-ayat Al Qur’an, maka sebenarnya saat itu kita
tinggal membenarkan saja ayat-ayat yang sedang kita baca itu.
Sebab :
• Sebelum kita membaca ayat itu, atau saat membacanya, ataupun setelah
membacanya, kita diberikan kepahaman oleh Allah tentang realitas dari
ayat-ayat tersebut.
• Dan luar biasanya lagi, realitas dan kepahaman kita terhadap satu ayat yang
sama, akan sangat berbeda dari waktu ke waktu. Allah seperti menuangkan
terus pemahaman-pemahaman dan bukti-bukti baru yang berbeda dengan
yang kita dapatkan sebelumnya, walaupun yang kita baca ayat Al Qur’annya
adalah ayat yang itu-itu juga. Ayat yang sama tapi dengan pemahaman di
kekinian waktu.
Demikianlah cara Allah menyusupkan, mengilhamkan, mewahyukan, pema-
haman kepada kita di setiap saat. Seperti juga cara Allah mewahyukan
pemahaman kepada lebah, kepada semut, kepada bumi, kepada matahari atas
tugas-tugas yang harus mereka kerjakan. Jadi wahyu Tuhan itu tidak akan
pernah berhenti diturunkan kepada seluruh makhluk-Nya sampai kapan pun.
Karena Allah memang berbicara melalui bahasa wahyu, yang bukan berupa
kata-kata, huruf-huruf, kalimat-kalimat, yang tidak sama dengan bahasa
manusia yang kita lakukan.
3-38
Nah, setiap kita mau mengawali membaca ayat-ayat Al Qur’an, kita seperti
diingatkan oleh Allah untuk segera menanggalkan pemahaman dan tafsir-tafsir
yang telah kita ketahui sebelumnya :
• Alif laam miim. Copot semua dulu, nafikan semua file-file
yang ada di otak kita tentang ayat-ayat yang akan kita baca
itu terlebih dahulu.
• Lalu lihatlah Yang Ada, Laa ilaha illla Allah.
• Lalu siapkanlah mata, telinga, dan dada kita untuk menerima
curahan dan aliran pengertian dari Tuhan, dan siapkan pula
otak kita untuk merekamnya di setiap saat.
• Lalu amatilah lingkungan kita, amatilah di sekitar kita,
kepahaman apa yang bisa kita dapatkan dari sana, dan lalu
kita lihat ayat Al Qur’an yang bercerita tentang apa-apa yang
harus kita lakukan terhadap lingkungan kita itu.
Dan kita tinggal menjalankan saja anjuran yang diperintahkan oleh Al Qur’an.
Dan seketika itu juga kita akan menjadi seorang penyaksi atas kebenaran dari
ayat-ayat Al Qur’an yang kita baca.
2. Contoh Dalam Memahami Al Qur'an
Saat bencana terjadi, banjir atau tsunami misalnya, Allah sebenarnya saat tengah
menaruh bahasa-Nya melalui tabir-tabir-Nya, yaitu pada alam itu sendiri yang
sedang diluluhlantakkankan oleh sebuah kekuatan yang Maha Raksasa, dan pada
diri-diri ribuan manusia yang sedang menderita duka nestapa sebagai objek yang
menanggung akibatnya. Mari kita lihat bagaimana bahasa Allah kepada kita saat
terjadinya bencana tsunami di Aceh di akhir tahun 2004 yang lalu. Di saat umat
manusia di Aceh dan sekitarnya tengah terlena dengan kehidupan sehari-hari
mereka, Allah tiba-tiba memperlihatkan kekuasaannya. BUUMMM, sebuah gempa
dahsyat datang mengguncang wilayah lautan Aceh.
Bagi orang yang tidak sadar, maka gempa itu akan dianggapnya hanya sebagai
sebuah gejala alam biasa saja. Apalagi dengan teknologi yang ada, gempa itu sudah
bisa diramalkan kedatangannya sebelumnya, maka orang akan menganggapnya
sebagai peristiwa alamiah yang memang sudah sewajarnya saja terjadi, sehingga
banyak di antara kita, terutama yang tidak merasakan dampak langsung dari
tsunami itu, akan bersikap biasa-biasa saja. Kita tidak care, dan kita tidak sedikitpun
berhasil meningkatkan kesadaran kita kepada Allah. Akibatnya kita juga akan tidak
bisa meningkatkan kesadaran kita terhadap bahasa Tuhan yang sedang DITARUH-
3-39
Nya pada diri masyarakat Aceh yang sedang menderita. Kepedulian kita terhadap
duka nestapa rakyat Aceh nyaris tipis, setipis kepahaman kita dalam memamami
Bahasa Tuhan.
Akan tetapi mari kita lihat bagaimana Al Qur’an mengajak kita dalam bersikap dan
berkesadaran saat kita membaca Bahasa Allah di setiap saat. Al Qur’an menjelaskan
bagaimana seorang ULUL ALBAB bersikap dalam membaca Bahasa Tuhan, yang kali
ini DITARUH-Nya di Tabir Gempa:
“BUUMMM", sebuah Gempa dahsyat dengan kekuatan sekitar 9 skala R terjadi,
maka kesadaran Sang Ulul Albab akan bergerak saat demi saat, paling tidak seperti
berikut ini:
a. Pertama, Sang Ulul Albab akan menyadari bahwa saat itu :
. . . ALLAH sedang menaruh Qalam-Nya di celah-celah bebatuan di dasar
lautan Hindia. Jadi pada langkah pertama ini, kesadarannya langsung pergi,
dan lari ke Allah. Dzikrullah.
Bahwa semua ini terjadi adalah karena Allah yang sedang berkehendak, Allah
yang sedang menaruh Bahasanya di tabir gempa buat dibaca, diIQRAA, oleh
seluruh umat manusia. Begitu jelasnya bahasa Allah itu disabdakan-Nya kepada
kita. Kita, dan siapa pun juga, akan bisa membaca Bahasa Qalam itu. Kita bisa
dengan sangat jelas membedakan suasana sebuah gempa dengan suasana yang
bukan gempa. Jelas sekali beda gempa itu dengan yang bukan gempa. Kita tidak
perlu berfikir apapun tentang gempa itu. Kita tidak usah mencari-cari definisi
dulu tentang gempa itu. Kita tidak usah membuka buku dulu untuk mencari
tahu peristiwa macam apa ini gerangan yang sedang terjadi.
Apapun yang kemudian terjadi, sebagai dampak ikutan dari kejadian gempa itu,
maka semuanya itu tidak lain adalah bahasa Tuhan, yang dengan sangat jelas,
sedang di sampaikan-Nya kepada kita. Bahasa Tuhan itu adalah bahasa-Nya di
tabir tsunami. Ada gelombang air laut yang menyapu daratan Aceh, Srilangka,
Thailand, Afrika, dan sebagainya. Ada rumah, ada sekolah, dan ada bangunan-
bangunan lainnya yang hancur lebur diterjang dahsyatnya gelombang lautan
itu. Apapun yang selama ini diperkirakan orang tidak akan pernah terjadi,
terjadilah pada saat itu. Mayat-mayat berserakan di mana-mana. Ratusan ribu
nyawa melayang. Dan ratusan ribu orang lainnya, bahkankan lebih, kehilangan
orang tua, anak, sanak saudara, dan harta bendanya. Semuanya diperlihatkan
Allah melalui bahasa-Nya yang begitu jelas. Bahasa Bahasa Kun Fayakun,
Bahasa Tabir. Semua orang bisa membacanya dengan jelas. Orang dengan
agama apapun akan bisa membacanya.
3-40
Bagi Sang Ulul Albab, segala parahara dan duka nestapa umat manusia itu
akan membuatnya lebih kuat (jahadu) lagi meloncatkan kesadarannya
kepada Allah. Bahwa semua yang terjadi itu adalah bahasa Allah yang
tengah menyapa seluruh umat manusia untuk kemudian dia ambil sebagai
pelajaran.
b. Kedua, Sang Ulul Albab akan sadar bahwa saat gempa itu terjadi,
. . . sebenarnya Allah tengah berbicara kepadanya :
• “Ini Aku,
• Aku bertajalli, Aku bertajalli, Aku bertajalli,
• Aku Ada,
• Aku Menampakkan Diri-Ku !
Kau wahai hamba-Ku, lihatlah betapa besarnya kekuatan-Ku dan kekuasaan-Ku.
Bumi yang tadinya diam, kemudian Ku guncangkan agar dia menjadi kokoh.
• Lihatlah wahai hamba-Ku,
• bagaimana Aku membuat tsunami dengan adanya gempa itu,
• bagaimana Aku menyapukan gelombang itu ke daratan yang luas,
• bagaimana Aku dengan mudahnya mengambil nyawa ratusan ribu umat
manusia dan binatang ternak dengan seketika,
• Lihatlah wahai hamba-Ku,
• Betapa berkuasanya Aku,
• Betapa berkehendaknya Aku,
• Aku benar-benar berbuat sesuka hati-Ku,
• Karena memang semuanya adalah milik-Ku.
• Maka sujudlah kepada-Ku wahai hamba-Ku,
• Sembahlah Aku,
• Mintalah kepada-Ku,
• Agar rahmat-Ku mengalir kepadamu !”
Ya, Sang Ulul Albab pastilah "gembira" melihat langsung penampakan Allah itu,
seperti Allah bertajalli kepada Musa, saat Musa memohon agar Allah
menampakkan Diri-Nya. Dan begitu Allah bertajalli, maka Bukit Thursina pun
hancur luluh lantak, sehingga Musapun pingsan. Semua ternyata FANA (tiada).
Bukit Thursina tiada, Musa tiada, Fana, fana ! Hanya Dialah Yang Ada, Allah !
3-41
Saat Allah “menampakkan” Diri-Nya, secara dhahir, maka bumi direkahkan,
air laut digelorakan, ratusan ribu manusia dimatikan. Semuanya menjadi
FANA. Pendengaran, penglihatan, hidup mereka lenyap, diambil kembali
oleh Sang Pemiliknya, ALLAH.
Dan tiada lain, Sang Ulul Albab pun tersungkur dan bersujud seperti Musa,
seraya menegaskan :
Al A'raf (7 : 143)
“Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang
pertama-tama beriman".
c. Ketiga, Sang Ulul Albab akan terus membaca Qalam Tuhan yang DITARUH-Nya
di tabir wilayah pasca bencana. Manusia-manusia yang hidup di sekitar wilayah
bencana alam itu sungguh didera nestapa. Ada yang sudah tidak punya rumah,
pakaian, dan makanan lagi. Ada ribuan anak yang telah menjadi yatim piatu.
Ada yang sakit, ada yang tidak punya sekolah lagi, ada yang sudah tidak bisa
apa-apa lagi. Semua bercampur baur :
. . . menunggu orang-orang yang mau menjadi kurir Allah, wakil Allah,
kendaraan Allah, khalifah Allah, untuk membangun dan menata kembali
wilayah Aceh dan masyarakatnya yang sudah porak poranda itu.
d. Keempat (yang terpenting sebenarnya), Sang Ulul Albab, dengan tergopoh-
gopoh, akan melihat dada dan otaknya. Adakah di dadanya muncul kehendak
untuk ikut serta membantu dan bahkan menata kembali Aceh yang sudah luluh
lantak itu ?
1) Adakah di otaknya lahir ilmu pengetahuan baru tentang bagaimana
caranya agar dampak tsunami di masa-masa mendatang bisa dikurangi
sekecil mungkiin ? Ya, dia akan buru-buru melihat apakah dadanya dan
otaknya dipakai oleh Allah untuk menaruh Kehendak-Nya dan Tahu-Nya
untuk mengayam kembali peradaban rakyat Aceh yang lebih baik.
2) Allah adalah Sang Pemberi Rizki kepada siapapun juga. Dan cara Allah
memberi rizki itu bukanlah dengan cara menjatuhkannya dari langit seperti
turunnya air hujan, akan tetapi Dia akan “memakai” tangan-tangan siapa
pun juga yang menyediakan tangannya dipakai oleh Allah untuk
menyampaikan rizki dari-Nya. Ya, Allah akan memberi makan rakyat Aceh
yang saat itu kelaparan melalui tangan-tangan umat manusia juga. Allah
tidak milih-milih untuk memakai tangan siapa pun juga. Allah tidak hanya
memilih tangan orang-orang yang beriman kepada-Nya, akan tetapi juga
3-42
tangan-tangan orang-orang yang kafir kepada-Nya. Allah akan mengalirkan
Kehendak-Nya untuk memberi makan rakyat Aceh itu ke dalam dada siapa
pun mau membuka DADANYA, dada yang luas.
Dan kita bisa melihat, bahwa ribuan bahkan jutaan dada segera dialiri
kehendak untuk memberi bantuan untuk rakyat Aceh yang sedang
menderita itu. Bantuan makanan dan sandang dari berbagai daerah di
dalam negeri berdatangan menjambangi rakyat Aceh. Bahkan tangan-
tangan dari berbagai penjuru dunia dan berbagai agama pun terjulur untuk
menyampaikan rizki dari Allah buat masyarakat Aceh.
Akan tetapi pada saat yang sama juga ada jutaan dada yang diam tak
bergeming saat memandang duka nestapa Aceh tersebut. Dada-dada itu
tidak sedikit pun dialiri kehendak untuk mengalirkan bantuan. Yang
namanya tidak dialiri kehendak, ya, tidak ada dorong sedikit pun dari dalam
dirinya sendiri untuk membantu rakyat Aceh yang memang sedang
menderita. Dada-dada itu seperti dada yang telah mati, keras dan
membatu. Dada itu telah beubah menjadi dada yang gelap gulita karena
hilangnya cahaya Tuhan, Nurun ‘alan Nur, di dalamnya.
Taruhlah sekarang, yang dengan tanpa proses berfikir sedikit pun, ada di
antara kita yang dadanya dialiri oleh kehendak untuk membantu
penderitaan rakyat Aceh itu. Kehendak itu seperti mendorong kita untuk,
misalnya, mengirimkan segepok uang, atau sekantong makanan dan
sekarung pakaian untuk mereka. Bahkan seperti berlomba-lomba, banyak
pula di antara kita yang datang langsung ke sana tak lama setelah bencana
tsunami itu melanyau (menghancurkan) daratan tanah rencong tersebut.
3. Niat
Namun semua itu tadi kita lakukan atas dasar apa ? NIATNYA APA, untuk istilah
agamanya. Mari kita bedah dada kita ini barang sekejap, di mana hal ini bisa kita
lakukan untuk kegiatan apapun juga.
Untuk saat ini, begitu sebuah bencana terjadi, informasi tentang itu akan mengalir
deras masuk melalui mata dan telinga kita melalui berbagai cara, misalnya,
tayangan TV, surat kabar, radio, telpon, dan sebagainya. Lalu amatilah dada kita.
Ada nggak muncul sebuah dorongan dari dalam diri kita (dada) agar kita turut
meringankan tangan untuk membantu orang-orang yang terkena bencana itu. Kalau
ada, maka saat itu sebenarnya kita patut bersyukur, karena saat itu berarti Allah
masih suka memakai DADA kita sebagai tempat DIA menaruh Kehendak-Nya. Ya,
dada kita masih dipakai-Nya untuk sebagai Rumah-Nya tempat Dia Berkehendak.
3-43
Kehendak untuk mengalirkan rezki dari-Nya kepada orang-orang yang sedang
menderita.
Akan tetapi tatkala dada kita tidak sedikit pun dialiri kehendak untuk
membantu orang-orang yang ditimpa bencana itu, maka saat itu sebenarnya
kita tengah berada, atau lebih tepatnya DITARUH Allah, dalam sebuah tragik
hidup yang sangat menyedihkan.
Bahwa saat itu pada hakekatnya Allah sedang tidak berkenan lagi untuk memakai
dada kita ini sebagai Rumah-Nya untuk menaruh Kehendak-Nya. Allah telah
mencampakkan dada kita dari sisi-Nya. Kalau sudah begini, sudah seharusnya kita
mulai merasa khawatir. Karena itulah sebuah isyarat yang menandakan bahwa dada
kita ini mulai mengeras dan membatu. Dada kita tidak disinari lagi oleh Allah. MATI.
Dan Al Qur’an mengisyaratkan bahwa kualitas diri kita saat itu sebenarnya lebih
rendah dari seekor binatang.
Seekor anjing saja, terutama anjing yang sudah terlatih dengan baik untuk
menolong orang, akan berjuang mati-matian untuk menyelamatkan seseorang
yang, misalnya, sedang terjatuh ke sebuah kolam. Anjing tersebut seperti didorong
oleh sebuah kehendak yang sangat kuat untuk menolong orang yang tenggelam
tersebut.
Sekarang taruhlah Tuhan masih mau menempatkan Kehendak-Nya di dalam dada
kita. Ada dorongan yang kuat muncul di dalam dada kita agar kita membantu
korban bencana itu. Dan seketika itu juga kita akan lari ke dalam otak kita untuk
mencari alasan (logika) untuk apa kita membantu orang. Ya, saat itu kita akan bisa
tahu dengan persis dengan NIAT apa kita memenuhi dorongan Kehendak Tuhan itu.
Otak kita ini memang penuh berisi file rangkaian memori tentang berbagai ISTILAH
berikut dengan suasana RUANGAN DADA yang terkait dengan istilah-istilah
tersebut. Tentang NIAT, misalnya, di dalam otak kita paling tidak sudah ada memori
tentang istilah RIA' dengan berbagai variannya, dan istilah IKHLAS dengan berbagai
turunannya pula. Akan tetapi tahunya kita tentang istilah ikhlas itu tidak dengan
serta merta bisa membawa kita untuk bisa masuk ke ruangan dada yang ikhlas pula.
Sebaliknya, tanpa perjuangan yang berarti kita malah dengan mudah bisa tercebur
masuk ke dalam ruangan dada yang RIA. Aneh memang.
Setiap orang yang datang untuk membantu penduduk di wilayah bencana itu, akan
TAHU dengan PASTI untuk niat apa dia ke sana. Walaupun pekerjaannya sama, yaitu
membantu orang, akan tetapi ruangan dadanya tetap saja berbeda dari orang ke
orang dengan sangat signifikan. Sangat pribadi sekali sifatnya. Hanya kita sendirilah
yang tahu dengan jelas dengan niat apa kita membantu itu.
3-44
• Ada di antara kita yang datang dengan ruangan dada yang saat itu penuh dengan
suasana ruangan PERPOLITIKAN, maka kunjungan kita itupun akan penuh dengan
logika-logika untung rugi politik pula. Bendera atau simbol-simbol politik yang
kita usung akan berkibar menyertai kita. Tiba-tiba saja, dalam membantu korban
bencana, kita sudah kecemplung ke dalam wilayah dada dan otak yang penuh
dengan logika untung rugi. Ada pula kita yang datang ke sana dengan ruangan
dada jaim (jaga image). Tiba-tiba saja kita akan berada di wilayah yang penuh
dengan logika untuk menjaga penampilan kita, agar kita dikenal orang, agar kita
dihormati orang, dan sebagainya.
• Ada memang di antara kita yang datang dengan mengusung nama Tuhan. Kita
menyatakan bahwa kita ke sana adalah atas nama Tuhan, terpanggil oleh misi
dari Tuhan. Bagus memang. Akan tetapi saat kita menyebut nama apa yang kita
sebut sebagai Tuhan itu, di ruangan dada dan otak kita masih penuh dengan
berbagai wajah yang terpersepsikan. Masih ada rupa, masih ada warna, sehingga
segala tindakan kita juga akan penuh dengan logika-logika yang muaranya adalah
ke rupa-rupa dan warna itu. Misalnya, ada orang yang datang dengan dada dan
otak penuh “wajah Yesus Kristus”, maka logika yang muncul ketika membantu
itupun akan diwarnai oleh logika kekristusan. Padahal rakyat di tempat bencana
itu ruangan dada dan otaknya tidak menerima logika kekristusan itu, sehingga
akhirnya, alih-alih dengan bantuan itu kita bisa memperbaiki suasana, malah
yang muncul kemudian adalah ketegangan dan penderitaan baru.
Dengan cara yang sama, kita akan mengetahui dengan sangat tepat tentang dengan
motivasi apa kita memberi bantuan ke tempat bencana itu. Bisa hanya karena malu,
ikut-ikutan, dan tentu saja karena IKHLAS.
Gambar di bawah berikut adalah sebuah bahasa Tuhan yang sangat nyata di
hadapan kita, lalu kehendak macam apa yang DITARUH Allah ke dalam dada kita
saat ini. Lalu realitas tindakan macam apa pula yang terwujud di dalam otak kita,
sehingga anggota tubuh kita tinggal mengikuti saja kehendak tersebut tanpa beban
sedikitpun untuk, setidak tidaknya, kita lakukan di lingkungan sekitar kita ? Dan saat
kita melakukan semua yang realitas itu tadi, kita sedang menyandarkan kesadaran
kita dengan utuh kepada SIAPA, yang dalam istilah agamanya adalah NIAT !
4. Menemukan Jawaban
Demikianlah, dengan memperhatikan dada kita, lingkungan kita, bahkan alam
semesta tanpa batas, maka kita dengan serta merta artinya sudah membaca (Iqraa)
Al Qur’an dengan nyata. Lalu ayat demi ayat Al Qur’an yang tertulis di mushaf itu
tinggal hanya menjadi pembenar saja atas apa-apa yang kita baca tersebut. Lalu
biarkanlah ayat-ayat Al Qur’an itu berbicara kepada siapa pun dengan level
3-45
pemikiran seperti apapun dan sesuai pula dengan zaman yang dilaluinya. Alif laam
miim.
B. Kesimpulan
1. Dalam memahami Al Qur’an, cara pertama adalah dengan kita membaca
terjemahannya maupun tafsiran-tafsirannya yang telah dibuat oleh ulama-ulama
terdahulu.
2. Cara kedua dengan membaca bahasa Tuhan, berupa QALAM, yang dengan bahasa
itulah Tuhan mengajari umat manusia terhadap apa-apa yang tidak diketahuinya.
3. Untuk bisa memahami Al Qur’an :
a. Kita tidak diminta oleh Allah untuk membawa ilmu kita.
b. Kita tidak diminta oleh Allah untuk membawa tafsiran-tafsiran yang telah kita
punyai dan hafal selama ini.
c. Kita cukup menjadikannya sebagai landasan berpijak kita saja, untuk kemudian
kita melangkah ke anak tangga pemahaman berikutnya.
4. Ketika kita membaca ayat-ayat Al Qur’an, maka sebenarnya saat itu kita tinggal
membenarkan saja ayat-ayat yang sedang kita baca itu.
5. Setiap kita mau mengawali membaca ayat-ayat Al Qur’an :
a. Alif laam miim. Copot semua dulu, nafikan semua file-file yang ada di otak kita
tentang ayat-ayat yang akan kita baca itu terlebih dahulu.
b. Lalu lihatlah Yang Ada, Laa ilaha illla Allah.
c. Lalu siapkanlah mata, telinga, dan dada kita untuk menerima curahan dan
aliran pengertian dari Tuhan, dan siapkan pula otak kita untuk merekamnya di
setiap saat.
d. Lalu amatilah lingkungan kita, amatilah di sekitar kita, kepahaman apa yang bisa
kita dapatkan dari sana, dan lalu kita lihat ayat Al Qur’an yang bercerita tentang
apa-apa yang harus kita lakukan terhadap lingkungan kita itu.
4-46
Artikel 4 :
Amalan yang Diridhoi Allah11
A. Pembahasan
Amalan ! Begitu kita berhadapan dengan kata ”amalan”, maka biasanya kita akan segera
saja muncul dengan dalil-dalil yang berasal dari berbagi hadits nabi berupa amalan
seperti zikir, shalat (wajib dan sunnah), dan kebaikan amalan para sahabat dahulu yang
kadangkala menerbitkan air liur kita agar kita bisa pula melakukannya. Kalau sudah
begini, pada akhirnya kita biasanya menyerah. Dan kita kembali kepada amalan kita
yang biasanya kita lakukan. Karena amalan seperti para sahabat itu terasa alangkah
sulitnya. Misalnya :
• Berapa banyak kita yang bisa menamatkan baca Al Qur’an sampai khatam dalam
hitungan hari seperti sahabat-sahabat dulu.
• Berapa banyak umat Islam yang jumlahnya ratusan juta ini yang shalat berjamaah ke
masjid, apalagi bagi yang hidup di kota-kota besar yang sebagian waktunya habis di
atas kendaraan pada saat-saat waktu shalat masuk.
Di lain pihak rasanya kita semua ingin agar Allah bisa pula mencintai kita, kalau bisa
seperti cinta Allah yang didapatkan oleh generasi awal Islam. Sementara amalan kita
hanya begitu-begitu saja bila dibandingkan dengan amalan para sahabat di zaman
Rasulullah. Nggak mungkinlah rasanya. Akhirnya :
. . . kitapun beubah menjadi umat yang penuh dengan ILUSI, dan FANTASI.
Ilusi terhadap kehebatan masa lalu, dan fantasi terhadap masa depan
yang digambarkan dengan sangat fantastis.
Fantasi syurgawi. Karena kita memelihara ilusi dan fantasi itu, maka kitapun
membutuhkan sekelompok orang yang mampu memelihara ilusi dan fantasi kita itu.
Kemudian :
. . . Bermunculan dengan subur orang-orang yang kerjaannya hanya membangkitkan
fantasi dan ilusi kita tentang syurga, tentang bahagia, tentang kenikmatan Islam,
tentang kehebatan menghafal Al Qur'an, kehebatan dzikir, tentang kehebatan
sedekah, kehebatan wali-wali Allah, kehebatan shalat dan sebagainya.
Sementara kelompok orang-orang yang menebarkan fantasi dan ilusi itupun sebenarnya
hidup penuh dengan ilusi dan fantasi pula. Namun tentu saja ada di antaranya yang
11 http://groups.yahoo.com/group/dzikrullah/message/2740
4-47
mampu mengajak kita meubah ILUSI dan FANTASI tersebut menjadi sebuah REALITAS
yang bisa dirasakan saat ini juga. Pasti ada...
Padahal kalau kita mau berbicara amalan yang bisa kita lakukan di zaman kita sekarang
ini sangatlah banyak dan mudah untuk dilakukan. Sebab saya memahami :
. . . kata amalan ini sebagai segala perbuatan baik yang bisa kita lakukan saat
kapanpun juga. Amalan itu adalah performance atau kualitas kebaikan yang kita
jalani sehari-hari.
Dan wujud dari cinta Allah kepada kita atas kualitas kebaikan yang kita lakukan itu pasti
akan kita dapatkan seketika itu pula. Kita tidak perlu menunggunya sampai di akhirat
kelak untuk mendapatkan cinta Allah itu.
Wujud cinta Allah itu kepada kita itu adalah kita :
1. Dialiri oleh Allah dengan kesadaran penuh dan utuh atas keberadaan dan
kehadiran kita di dunia ini, dan kemudian
2. Dirembesi-Nya pula dengan gelombang gelombang rasa kasih sayang, rasa suka
cita yang dalam, dan rasa damai yang mencekam, sehingga dalam setiap
tindakan kita akan terasa sekali tidak ada kekhawatian dan ketakutan
sedikitpun yang menyertainya. Laa khaufun alaihim wala hum yah zanun, kata
Allah di dalam Al Qur'an.
Sebuah suasana dan sikap hidup yang menurut Al Qur'an hanya dimiliki oleh wali-wali
Allah. Sebenarnya suasana dan sikap hidup seperti ini pulalah yang kita dambakan di
setiap saat. Namun kita dengan malu-malu mengakuinya bahwa kita sebenarnya
mendambakan dan bercita-cita hidup seperti kualitas wali-wali Allah itu. "Kalau begitu
kamu ingin jadi wali Allah dong ?", tanya seorang teman. "Ah nggak...", jawab kita
tersipu-sipu malu (tapi mau) dan rendah diri karena merasa tidak pantas.
Namun sayang, begitu kita berbicara tentang karakter wali Allah, maka suara-suara yang
ada di dalam otak kita saling bersahut-sahutan, bahwa wali-wali Allah itu pastilah :
• Seorang yang sakti mandraguna,
• Dia bisa berjalan di atas air,
• Dia bisa menghilang,
• Dia bisa menyuruh angin dan hujan datang dan pergi,
• Dia kebal senjata tajam,
• Dia bahkan mengetahui hal-hal yang ghaib dan supranatural.
Pokoknya sosok wali itu adalah sosok seperti yang hanya ada di dalam cerita-cerita dan
film-film yang penuh fantasi dan ilusi. Sementara di dunia hiburan kita juga disodorkan
dengan berbagai fantasi dan ilusi lain yang kelihatannya begitu mudah dan mempesona
4-48
seperti yang ada dalam program-program TV seperti "Tahun Mstr", atau UY KY, dan
sebagainya. Akhirnya tanpa kita sadari memori bawah sadar kita begitu penuh dengan
alam fantasi dan ilusi tadi, sehingga setiap kita menjalankan amalan dan ibadah dalam
beragama, kita jadinya sibuk mencita-citakan hal-hal yang absurd begitu. Saat kita
beribadah, misalnya shalat-shalat sunnah, doa dan dzikir (wiridan), kita malah ingat akan
semua ilusi dan fantasi kita itu tadi silih berganti. Jadilah kita sangat sedikit atau malah
tidak ingat sama sekali kepada Allah (dzikrullah).
Kalaulah kita mau membuka sedikit saja kesadaran kita tentang Al Qur'an, maka macam
apakah itu ciri-ciri dari wali Allah maupun pakar ilmu ilusi dan fantasi itu dan bagaimana
pula cara mendapatkannya, semua ada di dalam Al Qur’an.
Kalau mau menjadi wali Allah, maka bersedialah untuk
dituntun dan diajari oleh Allah sendiri, sehingga hasilnya
adalah sikap dan kualitas hidup kita yang tidak ada lagi
ketakutan dan kekhawatiran yang menyinggahi kita.
Sesederhana itu saja sebenarnya untuk menjadi wali Allah itu.
Sebaliknya kalau kita mau menjadi seorang ahli ilusi dan fantasi, maka di dalam Al
Qur'an juga ada caranya, yaitu "belajarlah dari ahlinya...", he he he. Kalaulah semua
orang belajar ingin menjadi seperti, misalnya UY KY, DC, atau para Tahun Mstr, maka
dunia sekitar kita akan begitu ramai dan riuh rendah dengan berbagai ilusi dan fantasi.
Atmosfir ana khairu minhu (saya lebih baik dari dia) yang dulu dipopulerkan oleh IBLIS di
hadapan Adam dulu pun, namun sekarang juga masih relevan, akan semakin subur
menyinggahi sanubari kita. Ada apa dengan kita ini sebenarnya ? Jawabannya ada
disanubari kita masing-masing.
Lalu amalan macam apa yang harus kita lakukan ? Nggak usah sulit-sulit. Saat kita
mengendarai kendaraan, misalnya, rajin-rajinlah kita melihat ke pinggir jalan, kalau-
kalau ada orang yang sedang ketakutan untuk menyeberangi jalan. Karena jalanan di
Indonesia adalah salah satu jalan yang paling tidak ramah dengan penyeberang jalan,
sama seperti halnya jalanan di Arab Saudi sana. Lalu amatilah dada kita. Ada nggak di
dalam dada kita ini ditaruh oleh Allah RASA INGIN untuk membahagiakan orang yang
sedang ketakutan menyeberang jalan itu. Kalau ada, ikuti saja rasa ingin itu dengan cara
kita berhenti sejenak untuk memberikan kesempatan kepada orang yang ingin
menyeberang itu untuk menyeberang ke sisi jalan yang lain. Kapan perlu kita langsung
berbicara dengan Allah : "Siap ya Allah..., hamba siap menjalankan titah yang telah
Paduka tanamkan ke dalam dada hamba". Lalu dengan membaca bismillah (cukup di
dalam hati saja), atas nama Allah, dengan nama Allah, atas perintah Allah, kita
4-49
persilahkan dia menyeberang dengan lambayan tangan yang lembut sambil kita
tersenyum pula kepadanya.
Membaca bismillah yang sederhana itu begitu pentingnya sebenarnya, karena bacaan
bismillah itu akan melepaskan kita dari pengakuan bahwa kitalah yang telah menolong
orang tersebut untuk bisa menyeberang. Bacaan bismillah itu akan mencabut RASA
ANGKUH kita. Oleh karena kita tidak angkuh, kita kosong dari pengakuan, maka saat itu
pulalah dada kita akan dirembesi oleh Allah dengan rasa sukacita yang amat sangat.
Rasa aman orang yang menyeberang itu, dan senyuman balasannya (kalau ada) akan
singgah pula ke dalam dada kita melahirkan rasa sukacita yang hanya bisa dirasakan
daripada dibicarakan. Namun dengan begitu, kita siap-siap pulalah untuk diklakson
orang dari belakang, karena orang yang di belakang kita itu biasanya ingin jalannya tidak
tergganggu he he he.
Akan tetapi begitu kita tidak bersedia melaksanakan RASA INGIN untuk menolong si
penyeberang jalan yang sedang ketakutan itu, kita tidak berhenti dan tidak
mempersilahkan orang tersebut untuk menyeberang, maka hari-hari berikutnya Allah
mencabut rasa ingin menolong orang tersebut dari dada kita. Dada kita menjadi kering.
Rasa ingin untuk menolong orang yang kesulitanpun di hari-hari berikutnya akan hilang
dari dalam dada kita. Sikap kita ketika kita melihat seseorang yang sedang ketakutan
untuk menyeberang jalan di depan kita sama dengan sikap seekor kucing melihatnya.
Mata si kucing melihat, tapi dia tidak punya respon apa-apa. Lalu apakah bedanya kita
dengan kucing kalau begitu ? Lha.
Sebaliknya, kalau rasa ingin berbuat baik yang tiba-tiba ditanamkan oleh Allah ke dalam
dada kita itu kita jalankan, maka di hari-hari berikutnya Allah akan berkenan pula untuk
menanamkan rasa ingin berbuat baik berikutnya dan berikutnya tanpa perlu kita pikir-
pikirkan terlebih dahulu. Rasa ingin itu seperti disusupkan begitu saja ke dalam dada
kita, yang dalam istilah agama Islam disebut sebagai ILHAM atau WAHYU untuk berbuat
kebaikan.
1. Lalu Allah akan pamer kepada para Malaikat: "Lihatlah wahai para malaikat, dialah
hambaku, dialah pesuruhku, dialah kurirku untuk merangkai kebaikan bagi sesama
manusia di sekitarnya. Untuk itulah sebenarnya dia kuciptakan di muka bumi ini.
Bukan untuk hanya sekedar penumpah darah seperti dugaanmu dulu. Lihatlah
sebenarnya AKU-lah yang menggerakkannya".
Dan malaikatpun tidak bisa berbuat banyak, kecuali hanya sujud..., dan sujud...
kepada... Allah, Sang Pengerak, bukan kepada si hamba atau pesuruh Allah. Karena
Saat Allah berkata "AKU..." kepada malaikat, para malaikat itu sudah tidak melihat
lagi kepada si hamba yang hanya terbuat dari saripati tanah, karena saat itu pada
4-50
hakekatnya si hamba sudah tiada. Saat itu ada Sang Maha Pengerak yang tengah
berkata "AKU...".
2. Di lain pihak ada wujud yang merasa terbakar oleh kebaikan hamba Allah yang
tengah berbuat baik itu. Wujud dengan sikap seperti ini dipanggil di dalam Al Qur'an
dengan nama IBLIS.
Nah..., amalan-amalan lainnya sungguh sangat banyak yang bisa kita nikmati
hasilnya seperti ini. Tinggal kita bersedia atau tidak saja sebenarnya. Kalau kita
bersedia, maka :
• Seketika itu juga Allah akan berkenan mengalirkan rasa ingin berbuat baik itu ke
dalam dada kita.
• Kalaupun belum mengalir, maka buat sejenak kita duduklah merendah, sujudlah
merendah, shalatlah merendah di hadapan Allah, seperti duduk seorang hamba
sahaya yang sedang menunggu perintah tuannya. Duduk menunggu perintah
seperti ini sangatlah elok kita lakukan di sebuah tempat khusus yang di zaman
Rasulullah dan wali-wali Allah dulu dikenal sebagai MIHRAB. Ahh..., mihrab...,
sebuah tempat yang sudah tidak banyak lagi kita yang mengenalnya. Sebuah
tempat khusus di mana kita hanya berduaan saja dengan Allah. Tempat di mana
kita bermunajad kepada Allah: "Ya Allah..., apa lagi tugas hamba yang
berikutnya.., hamba siap". Lalu diam ! Tempat yang sangat pribadi sekali
sebenarnya. Tempat di mana kita hanya diam menunggu sampai Allah berkenan
merembeskan tugas-tugas berikutnya ke dalam dada kita.
B. Kesimpulan
1. Amalan yang diridhoi Allah tidak harus berupa amalan seperti zikir, shalat (wajib
dan sunnah), dan kebaikan amalan para sahabat dahulu, yang pada jaman sekarang
ini sulit untuk kita laksanakan.
2. Amalan yang bisa kita lakukan di zaman kita sekarang ini sangatlah banyak dan
mudah untuk dilakukan, misalnya saat kita mengendarai kendaraan bermotor, kita
memberi kesempatan orang untuk menyeberang.
3. Hasil dari pelaksanaan amalan yang diridhoi Allah ini adalah :
a. Mengalirnya rasa ingin berbuat baik ke dalam dada kita.
b. Kalaupun belum mengalir, maka masuklah ke dalam mihrab, untuk menunggu
sampai Allah berkenan merembeskan tugas-tugas berikutnya ke dalam dada
kita.
5-51
Artikel 5 :
Antara Asyik, Nikmat, dan Bahagia12
A. Pembahasan
Tak disangka pertanyaan dari Pak Reza yang sangat sederhana telah membawa peserta
milis Dzikrullah ini ke dalam sebuah diskusi tertulis yang sangat hangat. Pertanyaan
Beliau simpel sekali: “Berarti manusia paling cerdas itu yang seperti di barat sana dong
ya, karena mereka bisa dengan (mungkin) nikmatnya berzina tanpa perlu dihajar di
"neraka", karena file otak mereka tidak pernah mengatakan berzina itu tidak boleh,
"Wong suka sama suka ya monggo aja", begitu kilahnya”. Dan jawaban saya dengan
judul “Asyiknya Tak Kenal Agama” juga telah bergulir ternyata telah mendorong pula
orang-orang seperti Bu Julia, Pak Adam, Pak Muh. Fam, Ibu Lenita, Pak Ibnu Achmad,
Pak Bagus Tjondro, Ibu Aquila Mayang, Pak Kusman, Pak Ruswaldi, Pak Arwansyah, Pak
Hary Priyanto, Pak Alim Nawara, Pak Muhammad Ratif, dan mungkin masih banyak lagi
yang tidak dipostingkan oleh Moderator, untuk mengeluarkan pandangan-pandangan
beliau-beliau pula. Ramai memang. Tapi kita nggak usah terlalu khawatir, karena
memang itulah realitas kita manusia ini. Kita berbeda, lalu ramai, lalu cool dan calm, lalu
berbeda lagi, lalu ramai lagi. Begitulah tak henti-hentinya. Ini semakin meyakinkan saya
tentang AKAL SANG HAKIM yang ternyata telah “mendekati” kebenaran (silahkan simak
pula artikel tentang “Kebenaran” yang sedang menunggu giliran tayang).
Jangankan kalimat negatif seperti “Asyiknya Tak Kenal Agama”, kalimat yang bagus saja,
misalnya, “Jaksa Agung seperti ustadz di kampung maling” telah menyebabkan orang-
orang yang mengakunya terhormat di DPR sana terlibat dalam sebuah “keasyikan
bertengkar” antara satu sama lainnya. Ada apa ini penyebabnya. Mari kita bahas barang
tiga-empat jenak.
Kalau kita melihat seseorang melakukan “sebuah perbuatan yang sama” dengan
berulang-ulang, maka seringkali kita mengistilahkan bahwa
orang tersebut sedang asyik dengan sesuatu itu :
• Ada yang sedang asyik dengan pacar atau orang yang dicintainya, maka namanya
orang itu sedang berasyik-masyuk.
• Ada yang sedang asyik berolah raga seperti : tenis, golf, sepak bola, lari, senam,
meditasi, taichi, silat, dsb.
• Ada yang sedang asyik berkreasi seperti : menulis, melukis, memfoto,
merencana, dsb.
12 https://groups.yahoo.com/neo/groups/dzikrullah/conversations/messages/606
5-52
• Ada yang sedang asyik berlaku fujur seperti : mencuri, berzina, ngegelex,
ngeinex, berjudi, benci, bertengkar dan marahan, tidak khusyuk, dsb.
• Ada yang sedang asyik berperilaku taqwa seperti : tidak marah, tidak benci,
menebar damai, asyik ke masjid, asyik mengaji, asyik berdzikir, dsb.
Semuanya itu bisa dilakukan oleh seseorang secara terpisah satu persatu ataupun secara
bersamaan dengan berulang-ulang selama waktu tertentu. Kalau tidak berulang, maka
perbuatan itu dinamakan orang hanya sebatas perbuatan “kebetulan” saja.
1. Ha ha ha, Otak ini !
Menurut penelitian para ahli neurologi otak, pengalaman dan pengetahuan yang
dialami dan didapat oleh seseorang, betapa pun kecil dan redupnya, ternyata akan
membentuk anyaman neuron di dalam otak kita. JEJAK (foot print) dari pengalaman
dan pengetahuan itu masuk ke dalam otak melalui berbagai alat indra kita berupa
gelombang-gelombang dengan berbagai frekuensi yang kemudian dikirimkan
kebagian-bagian tertentu di dalam otak berupa energi kimia dan energi listrik.
Gempuran berbagai frekuensi gelombang yang datang ke otak itu kalau mau
divisualkan tak obahnya seperti permukaan air danau yang tenang di tengah hujan
lebat. Antara gelombang yang satu dengan yang lainnya saling tindih menindih
membentuk pulau-pulau gelombang yang sangat khas. Ramai sekali.
Di dalam otak, berbagai frekuensi yang masuk lewat alat indera tadi dengan cara
yang sangat menakjubkan kemudian dikirim ke bagian-bagian otak lewat jutaan
neuron sesuai dengan penggunaannya masing-masing :
• Ada yang masuk ke pusat bahasa, maka dengan rangsangan di tempat ini kita lalu
bisa merangkai beragam kata dan kalimat.
• Ada yang masuk ke dalam pusat penglihatan dan pendengaran, maka kita lalu
bisa melihat dan mendengar, sehingga kita lalu bisa BERPERSEPSI terhadap apa-
apa pengetahuan yang kita dapatkan lewat pusat pengindraan kita itu tadi.
Misalnya, persepsi seorang ANAK TK akan sangat jauh berbeda dan sangat
ketinggalan dibandingkan dengan persepsi seorang PROFESOR. Ya ndak masalah
sebenarnya, kalau antara orang ke orang ada perbedaan persepsi terhadap
sebuah objek terindera yang sama. Wong semua itu hanyalah masalah
perbedaan asupan ke otak kita saja dari waktu ke waktu kok.
Nah, asupan pengetahuan ke dalam otak kita itu lalu merangsang bagian-bagian
otak tersebut untuk aktif yang ditandai dengan meningkatnya fungsi otak tersebut.
Aktifnya bagian otak tertentu ini dapat dilihat dengan bantuan sebuah alat pencacat
gelombang otak atau melalui teknik scanning tertentu. Semakin sering bagian otak
tertentu diaktifkan atau teraktifkan dengan rangsangan dari luar, maka semakin
5-53
cerah bagian tersebut berpendar yang kemudian akan membentuk KAPALAN
MEMORI yang terbentuk dari anyaman NEURON di area tersebut.
Kapalan memori di dalam otak ini akan semakin kental dan kuat tatkala kita
dengan sengaja menanamkan suatu keinginan secara berulang-ulang melalui
teknik-teknik AFIRMASI tertentu. Wirid, niat, dan dzikir adalah sedikit dari
sekian banyak teknik afirmasi dalam bingkai agama Islam.
Makanya, pemahaman pada tingkat INDRAWI ini tidaklah terlalu dapat disalahkan
kalau orang juga berbeda persepsi satu sama lainnya tentang agama-agama yang
ada. Karena semua perbedaan itu penyebabnya tak lebih dari pengaruh kapalan-
kapalan memori yang ada di dalam otak kita dalam merespon suatu permasalahan.
Bahkan dalam agama yang sama saja, untuk sebuah istilah agama, misalnya untuk
ayat atau hadits tertentu, sangat lumrah sekali kalau terjadi beda PERSEPSI antar
para penganutnya. Makanya kemudian lahirlah berbagai pemahaman istilah dan
praktek agama yang lalu mengkristal menjadi bermacam corak FIKIH dan ALIRAN
(MAHDZAB). Islam sangat kaya dengan segala macam corak fikih dan aliran ini yang
sebenarnya wajar-wajar saja. Akan tetapi perbedaan itu menjadi tidak wajar tatkala
corak fikih dan aliran yang satu menyalahkan dan menghancurkan corak fikih dan
aliran yang lainnya dengan paksa. Ya, beginilah kita umat Islam ini sekarang jadinya.
Catatan: Dalam artikel “Akal Sang Hakim” telah saya uraikan bagaimana Akal, atau
Aku, atau Mun-Ruhi, atau Bashirah mengakses kapalan memori di dalam
otak ini sampai terwujudnya sebuah tindakan oleh Sang Diri (Nafs).
Pada tataran universal,
. . . pengetahuan-pengetahuan yang dimasukkan ke dalam otak kita hampir
dapat dipastikan akan mengkotak-kotakkan kita manusia ini menjadi berbagai
ahli sesuai dengan file-file pengetahuan yang masuk tersebut.
Orang yang di otaknya banyak pengetahuan tentang kedokteran, maka dia disebut
sebagai seorang dokter yang boleh jadi dia akan sangat terbelakang atau tidak
terlalu tahu dengan pengetahuan tentang fisika nuklir. Sang dokter lalu hari-harinya
akan didominasi oleh pengetahuan kedokterannya itu. Dia akan asyik dengan
pasiennya. Dia akan asyik mencari tahu tentang penyakit-penyakit. Dia akan asyik
berjam-jam di ruang prakteknya bahkan sampai tengah malam sekali pun seperti
asyiknya seorang peneliti di laboratorium, atau seorang pedagang di pasar.
Begitu dia asyik dengan pekerjaannya itu, maka berbagai hormon akan disekresikan
ke dalam pusat-pusat pengontrol setiap gerakan dan ekspresi tubuh yang ada di
dalam otak, sehingga otak lalu menghantarkan ALIRAN RASA EKSTASIS yang masuk
5-54
dengan deras ke dalam dada maupun ke seluruh tubuh kita. Aliran rasa ekstasis
inipun lalu akan mempengaruhi mimik atau ekspresi wajah seseorang. Makanya di
mana pun dan bangsa apapun manusia ini, maka tanpa kata-kata sekali pun, setiap
orang akan tahu bahwa seseorang tengah berada dalam suasana SEDANG
menerima aliran rasa bahagia, sedih, jijik, takut, marah, terkejut, yang merupakan
enam EMOSI dasar yang dimiliki oleh seorang manusia. Orang yang terlalu mudah
dipengaruhi oleh berbagai rasa atau emosi tadi itu lalu disebut sebagai orang yang
EMOSIONAL.
Pergerakan pengalaman dari emosi ke emosi inilah yang memberikan dorongan
kepada setiap orang untuk melakukan sesuatu, karena pada emosi itu ada DAYA
yang akan mempengaruhi otak untuk mengirimkan perintah kepada bagian-bagian
yang mengontrol gerakan otot-otot sesuai dengan fungsinya masing-masing. Setiap
perintah itu akan menimbulkan rasa NIKMAT yang akan membuat seseorang
KETAGIHAN untuk melakukan sebuah perbuatan tertentu :
• Rasa nikmat yang dirasakan oleh seorang pezina akan sama saja dengan rasa
nikmat yang dirasakan oleh pasangan suami istri.
• Rasa nikmat yang dihasilkan oleh seorang pencuri saat dia mendapatkan hasil
curiannya akan sama saja dengan rasa nikmat tatkala orang lain mendapatkan
gaji di akhir bulan.
• Rasa nikmat yang dirasakan oleh seorang kaya yang mendapatkan mobil
Mercedes untuk pertama kalinya akan sama saja dengan seorang miskin yang
mendapatkan uang walau hanya sejuta rupiah saja.
Karena rasa nikmat itu memang adalah anugerah Tuhan bagi semua manusia, tak
terkecuali.
Rasa nikmat yang dirasakan oleh seorang yang ngefans kepada seorang selebriti
akan sama saja dengan rasa nikmat yang dirasakan oleh seseorang lainnya yang
ngefans kepada seorang ustadz atau kiai kondang yang terkenal. Hanya dengan
sekedar bersalaman dengan sang selebriti atau ustadz tersebut, maka mereka dapat
merasakan aliran nikmat di seluruh tubuhnya. Dan akibatnya dia akan mengulangi
lagi menemui tokoh yang mereka senangi itu. Jarak, waktu dan biaya sudah tidak
menjadi halangan lagi bagi mereka untuk sekedar merasakan rasa nikmat tersebut.
Bahkan tidak jarang masalah hukum dan moral pun sampai-sampai diterjang habis
mereka demi untuk pemuasan rasa nikmat (ekstasis) tersebut.
Begitu juga, nikmat yang dirasakan seorang pencuri adalah tatkala dia berhasil
mencuri dengan sukses TANPA dipergoki oleh orang lain. Nikmat seorang pezina
konon kabarnya adalah tatkala dia sukses berzina tanpa diketahui oleh pasangannya
atau orang lain. Padahal kalau hanya sekedar nikmat biologisnya saja yang dicari,
maka rasanya mungkin sama saja dengan melakukannya tanpa perzinaan.
5-55
Tapi inilah anehnya karakater jaringan lunak yang disebut dengan otak ini. Sekali
dua kali sang otak mendapatkan informasi dan rangsangan yang sama boleh jadi
otak tersebut masih akan mengirimkan rasa nikmat ke bagian-bagian tubuh
tertentu, akan tetapi kali berikutnya informasi dan rangsangan yang intensitasnya
SAMA itu mulai tidak direspons lagi oleh sang otak. Informasi, kegiatan, rangsangan
yang masuk berulang-ulang tersebut lama-lama sudah tidak mampu lagi
memberikan efek ekstasis bagi si otak. Otak tidak bereaksi lagi dengan hebat, yang
dalam bahasa umumnya dikenal sebagai RASA BOSAN (BORING). Ya, sang otak
sudah bosan dengan hal-hal yang sudah tidak mampu lagi memendarkan neuron
yang berada di dalam otak tersebut lebih hebat dari yang sebelumnya.
Makanya rasa bosan seseorang dengan pasangannya kalau dilihat dari kacamata
biologi neurologi otak tidaklah dapat terlalu disalahkan. Ini sama saja halnya dengan
bosannya kita dalam mendengarkan :
• pengajian atau khotbah Jum’at,
• kuliah,
• musik,
yang materi atau muatannya itu ke itu saja dari waktu ke waktu. Seorang pendaki
gunung, apalagi yang ekstrim, juga akan kehilangan gairahnya tatkala dia harus
mengulang mendaki gunung yang sama beberapa waktu kemudian.
Makanya jalan ke luar dari kebosanan otak ini kadangkala sungguh mengerikan :
• Seorang pencuri atau koruptor, baru akan bisa kembali merasakan ekstasisnya
tatkala dia berhasil mencuri atau korupsi dengan kualitas dan kuantitas yang
lebih besar dari yang sebelumnya. Hutan dicuri, tanah dicuri, minyak dicuri, bank
dipreteli, rakyat dirampok, dan anehnya semua itu bisa dilakukan orang dengan
bekal aturan-aturan yang sangat logis.
• Seorang pezina mungkin baru bisa merasa ekstasis kembali tatkala dia berhasil
melakukan perzinaan-perzinaan berikutnya mungkin malah dengan wanita atau
pria yang berbeda. Tingkah laku begini khan sebenarnya tak lebih dari perilaku
seekor ayam saja. Karena yang dicari pezina tersebut tak lain hanyalah
kenikmatan otak yang sangat sesaat saja.
• Seorang petualang EKSTRIM baru akan merasa ekstasis kembali tatkala dia
berhasil mengatasi terjalnya puncak gunung, derasnya jeram, dan tantangan
alam lainnya yang lebih dahsyat dari yang sebelumnya. Uang jutaan rupiah pun
sudah tidak berarti lagi baginya hanya demi pemenuhan rasa ekstasis otaknya
yang semakin meningkat persyaratannya.
Akan tetapi kenapa seorang ibu bisa TIDAK PERNAH BOSAN dengan anaknya
sendiri ? Rasa-rasanya belum pernah ditemukan seorang ibu yang normal bisa
bosan dengan anaknya, walau anaknya tersebut bandelnya bukan main. Ini nanti
5-56
bisa pula menjadi sebuah topik yang menarik untuk dibahas. Karena suasana tidak
bosan seperti kepada anak ini ternyata juga bisa diarahkan kepada pasangan (istri
atau suami) kita.
Nah, dalam istilah agamanya,
. . . orang-orang yang mengikuti pengaruh dorongan pemenuhan kebutuhan
ekstasisnya otak ini disebut sebagai orang yang terbelenggu atau terjebak
dengan dorongan nafsunya (hawa un nafs).
Suasana ini pulalah yang dirasakan oleh Nabi Yusuf tatkala mengeluhkan dorongan
Nafs beliau kepada Tuhan “Wa ma ubarriu Nafsii innanNafsa laammaratum bissu’.”
Sebuah suasana jiwa yang ternyata sangat “menyiksa” Yusuf yang notabene adalah
seorang Nabi. Lho, kenapa ekstasis otak malah bisa menyiksa diri ? Tidakkah
ekstasis otak ini akan membawa rasa nikmat, sehingga orang cenderung untuk
mengulang-ulang perilaku FISIK tertentu ?
2. Rasa Tersiksa
Rasa tersiksa adalah sebuah keadaan yang muncul akibat adanya KONFLIK di dalam
otak kita tentang sesuatu KEJADIAN atau PERBUATAN yang kita lakukan. Boleh jadi
sebuah perbuatan atau kejadian bisa kita lakukan secara berulang-ulang karena ada
rasa ekstasis (nikmat) yang dilepaskan oleh otak ke instrumen tubuh tertentu, akan
tetapi di bagian otak lainnya, boleh jadi pula ada file pengetahuan yang menentang
perbuatan tersebut untuk dilakukan. Dengan kata lain, di satu sisi perbuatan itu
mengasyikkan, akan tetapi di sisi lain file pengetahuan kita menolaknya. Dengan
dua paradoks ini, otak kemudian memancarkan gelombang yang saling
bertentangan, kacau. Paradoks demi paradoks yang muncul di otak akan
menyebabkan BADAI GELOMBANG OTAK pada seseorang yang akibatnya akan
disebarkan ke seluruh tubuh menuju bagian-bagian yang mampu merespon
gelombang otak tertentu. Karena gelombang itu kacau, maka rasa yang disalurkan
ke anggota perasa juga menjadi kacau. Kacaunya rasa ini kemudian dinamakan
orang dengan TERSIKSA.
Seorang pencuri atau koruptor, walaupun mencuri dan korupsi itu mungkin
mengasyikkan dan memberikan rasa nikmat kepada si pelakunya, apalagi kalau si
pelakunya berhasil mengelabui masyarakat dan perangkat hukum, akan tetapi dia
akan tetap merasa tersiksa tatkala otaknya berisi file bahwa mencuri atau korupsi
itu adalah salah, melawan hukum, hukuman mati, dosa, dan sebagainya. Seorang
pezina, kendati perzinaan itu mengasyikkan dan memberikan rasa nikmat kepada
para pelakunya, akan tetapi dia akan tetap merasa tersiksa ketika perbuatannya itu
5-57
bertabrakan dengan file di otaknya yang menyatakan bahwa zina itu adalah haram,
melawan hukum agama, di rajam, berdosa, dan sebagainya.
Kalaupun ada orang yang mampu untuk korupsi, mencuri, ataupun berzina TANPA
merasa tersiksa lagi, maka boleh jadi di otak orang tersebut sudah tidak ada lagi file-
file tentang hukum dan moralitas yang nantinya akan membedakan martabat
manusia dengan derajat binatang. Karena yang membedakan manusia dengan
binatang hanyalah dalam hal hukum dan moralitas saja, di samping juga
kemampuan berlogika, yang pada binatang derajatnya sangat-sangat rendah dan
primitif, walau tetap ada. Di Afrika sana, seekor hyena tidak akan punya rasa
bersalah sedikitpun tatkala dia mencuri makanan yang dengan susah payah
dilumpuhkan oleh seekor cheetah. Seekor ayam jantan tidak merasa malu sedikit
pun tatkala dia harus kawin dengan seekor ayam betina yang baru saja dikawini
oleh ayam jantan lainnya.
Hanya itu saja kok tentang asyik, nikmat dan siksa itu ! Nggak usah repot-repot dah.
3. Lalu Bagaimana Dengan Rasa Bahagia ?
Bahagia itu juga sederhana saja kok, yaitu :
• Tatkala perbuatan dan kejadian atas tindakan yang kita lakukan mampu
membuat kita asyik, ditambah lagi dengan munculnya rasa nikmat,
• Dibarengi pula perbuatan tersebut bersesuaian dengan file-file yang ada di dalam
otak kita, lalu
• Dibingkai pula dengan hukum, moralitas dan logika manusia yang kemudian
diringkas menjadi Fitrah Manusia (bukan fitrah binatang), dan
• Ditambah pula dengan sangat mudahnya muncul rasa bahagia pada diri kita.
Dan rasa bahagia itu dengan sangat jelas terpancar dalam EKSPRESI WAJAH yang
sumringah yang bisa dikenal dan ditangkap nuansanya oleh setiap manusia dari
suku, bangsa, dan agama apapun dia. Beginilah kira-kira kalau kita mau
mendefinisikan rasa bahagia. Susah ya kalau dibahasakan ? Jadi kalau mau diringkas
lagi, maka rasa bahagia itu tak lain hanyalah satu dari sekian banyak ekspresi
emosional yang bisa muncul pada diri seseorang, misalnya sedih, jijik, takut, marah,
dan terkejut.
Akan tetapi tatkala rasa bahagia itu muncul, rona dan ekspresi wajah bahagia itu
akan terpancar dengan jelas di wajah seseorang. Mulai hanya dari sesungging
senyuman manis di bibir sampai dengan tertawa terbahak-bahak adalah bahasa
universal manusia sebagai pertanda bahwa seseorang itu tengah dialiri oleh rasa
bahagia. Dan puncak dari rasa bahagia itu tak jarang pula memunculkan butiran-
5-58
butiran air bening di sudut mata seseorang yang dinamakan orang dengan tangis.
Ya, tangis bahagia.
Pengaruh dari rasa bahagia ini adalah munculnya rasa rileks di seluruh tubuh. Otot-
otot seperti tidak berdaya. Akan tetapi kalau diamati agak sejenak lebih dalam,
otot-otot tersebut malah seperti penuh daya. Langkah kaki menjadi ringan.
Pekerjaan yang seberat dan selama apapun akan dapat kita laksanakan dengan daya
juang yang mengagumkan. RINGAN SEKALI seperti tanpa beban sedikit pun. Di
samping itu, rasa bahagia itu pun sepertinya ingin kita tumpahkan kepada lain.
Paling tidak kita ingin berbagi rasa bahagia itu dengan orang-orang yang terdekat
dengan kita. Dan mengalirnya rasa bahagia kepada orang lain saat kita merasakan
bahagia inilah yang disebut dengan : “Kita menjadi rahmat bagi orang lain”.
Bentuknya bisa beragam, mulai dari rahmat lahir seperti bantuan harta benda,
sampai dengan rahmat batin seperti munculnya rasa empati, simpati, cinta, to say
the least. Bahkan hanya sebentuk sorot mata bahagia saja mampu mengalirkan rasa
bahagia itu dengan deras kepada orang lain dengan dahsyat. Dan sorot mata serta
senyuman yang paling menggetarkan rasa bahagia setiap orang adalah milik
seorang ibu kepada anaknya dan milik seorang bayi kepada semua orang yang
memandangnya. Rasulullah Muhammad SAW malah disebutkan sebagai PRIBADI
yang mampu mengalirkan rahmat bagi seluruh umat manusia melintasi zaman demi
zaman. Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa’ala ali Muhammad (Ya Allah
sampaikan salam sejahtera saya kepada Muhammad Rasulullah dan ke luarga
Beliau).
Dengan membedah rasa bahagia seperti di atas, maka sebenarnya tidak terlalu sulit
lagi bagi kita untuk mengupas rasa-rasa yang lainnya. Rasa sedih, misalnya, tetap
saja merupakan sebuah rentetan dari sebuah peristiwa, lalu muncul rasa nikmat,
sesuai pula dengan file di dalam otak, serta mengikuti hukum moralitas dan logika
manusia yang kemudian terpancar menjadi sebuah ekspresi emosional. Ciri-ciri,
bentuk dan rona wajah, serta sorot mata seseorang dalam suasana rasa sedih ini
akan sangat mudah kita bedakan dengan ciri-ciri seseorang yang sedang dalam
liputan suasana rasa bahagia. Walau puncak rasa sedih ini juga bisa memunculkan
tangisan, tangis sedih, akan tetapi dengan sangat mudah kita akan bisa
membedakan mana yang tangis sedih dan mana yang tangis bahagia.
Pengaruh rasa sedih ini sangatlah mudah dibedakan dengan rasa bahagia.
Seseorang yang pusat rasa sedihnya di dalam otak terangsang oleh sebuah kejadian
atau perbuatan, juga akan mengirimkan sinyal listrik dan kimia ke bagian-bagian
tubuh tertentu, sehingga orang tersebut akan merasakan enak, nikmat. Sikap tubuh
rileks juga akan muncul. Akan tetapi rasa sedih ini kurang mempunyai DAYA untuk
mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan. Yang muncul malah
5-59
rasa tidak berdaya sama sekali, rasa tidak mau melakukan apa-apa. Makanya orang
yang dilanda oleh rasa sedih ini maunya menyendiri dan mengurung diri, bahkan
ada yang sampai menyendiri ke gunung-gunung. Anehnya, rasa sedih ini juga bisa
dialirkan kepada orang lain di sekitar kita, sehingga tidak jarang kita melihat ada
orang yang saling bertangis-tangisan karena terimbas kesedihan orang lain.
Begitu juga dengan rasa jijik, takut, marah, dan terkejut, semua itu punya rasa
nikmat sendiri-sendiri akibat tersentuhnya pusat masing-masing emosi tersebut di
dalam otak kita oleh sebuah peristiwa atau perbuatan. Dan ekspresi wajah serta
bentuk aksi tubuh kitapun dengan sangat mudah dapat dibedakan oleh siapa pun
untuk masing-masing emosi yang muncul tersebut di atas. Dan ternyata daya-daya
yang muncul untuk setiap emosi itu jauh lebih besar dari daya yang muncul dalam
kondisi normal. Makanya kemudian muncul cabang ilmu pengetahuan baru yang
mampu memanajemeni emosional tersebut, mulai dari cara-cara menimbulkan
emosi itu sampai dengan pemanfaatannya untuk keperluan tertentu, yang
kemudian terkenal dengan istilah “emotional qoutient”, manajemen hati,
manajemen qalbu, manajemen ikhlas, manajemen Qur’ani, dan sebagainya. Hanya
sebuah suasana emosional jiwa yang sama tapi dengan selusin nama dan istilah
yang berbeda saja sebenarnya.
4. Emotional Quotient
Beberapa dekade belakangan ini, pengetahuan tentang emosi ini telah berkembang
dengan sangat pesat. Dengan mengamati perilaku dan ekspresi orang-orang yang
berbeda dan suasana rasa yang berbeda pula, maka kemudian lahirlah ilmu untuk
mengatur dan mempengaruhi emosi orang per orang yang terkenal dengan istilah
Emotional Quotient. Ilmu untuk memfasilitasi emosi seseorang saja sebenarnya.
Para ilmuan baik itu neorologi maupun psikologi sudah dapat membongkar rahasia
emosi dengan sangat menakjubkan. Masalah emosional sudah dapat dikupas
mereka mulai dari penyebab awalnya, kemudian hormon-hormon apa yang
disekresikan oleh otak, dan bagian-bagian mana dari otak yang bertanggung jawab,
sampai dengan anggota-anggota tubuh yang mana yang terpengaruh oleh
rangsangan emosional tersebut. Bahkan para ahli tersebut juga sudah tahu
bagaimana cara mempengaruhi emosi seseorang agar bisa dimanfaatkan untuk
tujuan tertentu. Karena ternyata pada taraf emosi tertentu orang akan mampu
menghasilkan daya-daya yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan tertentu.
Orang dengan kecerdasan fikiran (IQ) yang hebat belum tentu bisa menghasilkan
sesuatu karya yang hebat pula tanpa didorong oleh daya kecerdasan emosional (EQ)
yang kuat. Emosi “marah” yang terkendali akan memberikan daya bagi seseorang
untuk membangun, berkarya, berkreasi. Emosi “senang dan bahagia” akan
5-60
meringankan langkah seseorang untuk melakukan sebuah kegiatan dengan rileks
dan punya daya tahan yang lama. Emosi “takut dan jijik” akan mampu menghasilkan
daya yang sanggup menahan seseorang dari mengerjakan sesuatu yang tidak
diperbolehkan. Emosi “sedih” akan menghasilkan daya yang mampu menghilangkan
beban yang menghimpit dada seseorang, misalnya akibat ditinggalkan oleh sesuatu
yang dicintainya. Emosi “terkejut” akan menghasilkan daya yang sanggup membuat
orang menjadi aktif dan siap siaga untuk menghadapi segala kemungkinan.
Dan untuk semua emosi itu tadi ada hormon tertentu yang dikeluarkan atau
disekresikan di otak ke dalam aliran darah kita. Hormon “DOPAMINE”, misalnya,
akan sangat melimpah ruah dalam aliran darah seseorang yang sedang berada
dalam suasana rasa senang dan bahagia. Orang yang sedang jatuh cinta, darahnya
akan sangat kaya dengan hormon “OXYTOCIN”, si hormon cinta. Bagi teman-teman
yang ahli tentang hormonal tubuh, silahkanlah menambah uraian ini biar jadi lebih
lengkap.
Nah, untuk memunculkan efek emosi di atas yang puncaknya boleh jadi bisa
memunculkan tangisan pada seseorang, maka beragam pelatihan kemudian telah
diciptakan orang dengan sangat mengagumkan. Dan kelihatannya, negara kita
Indonesia ini sangatlah kaya dengan ragam pelatihan pembangkit emosi ini. Mulai
dari yang hanya sekedar memainkan imajinasi dengan membayangkan suasana di
pantai atau wilayah pegunungan yang damai, atau irama musik klasik yang turun
naik mengaduk-aduk emosi, sampai dengan eksploitasi kesedihan dengan irama
suara dalam do’a dan dzikir yang menghiba-hiba, atau lengkingan wirid kalimat-
kalimat thayyibah yang beralun semakin cepat dan memunculkan suasana magis.
Semakin intens seseorang membawa pikirannya kepada alunan irama suara dan
dzikir ini, maka semakin mudah seseorang untuk menangis. Karena irama yang
dilantunkan memang irama yang sedih.
Dan di sinilah letak “tipuan pengertian” yang tidak mudah untuk diketahui orang,
karena :
. . . hanya dengan melihat bahwa tangis yang muncul adalah dengan membawa-
bawa nama Tuhan, ayat-ayat Tuhan, do’a-do’a, kalimat-kalimat thayyibah,
maka orang lalu dengan mudah menyebutnya sebagai peristiwa spiritual atau
Spiritual Quotient.
Benarkah ini peristiwa spiritual ? Mari kita lanjutkan pengamatan kita. Andaikan
semua pengucapan nama Tuhan, ayat-ayat Tuhan, do’a-do’a dan kalimat-kalimat
thayyibah tadi di atas kita lantunkan dengan iringan irama dangdut atau rock’n roll,
masih mungkinkah kita bisa mendapatkan tangisan seperti sebelumnya ? Bagi yang
5-61
tidak punya halangan pemikiran, marilah kita coba eksperimen ini barang 15 menit.
Kapan perlu lakukanlah dengan berjamaah pula. Dan boleh percaya atau tidak
bahwa tidak akan satu orang pun yang akan menangis dibuatnya. Malah sebaliknya
kita akan dibawa kepada suasana riang gembira yang mungkin diikuti pula oleh
hentakan kaki dan goyangan kepala seperti orang tripping. Karena sungguh sangat
sulit sekali seseorang untuk diafirmasi agar bisa menangis tatkala seseorang
tersebut dipengaruhi oleh suara atau irama yang bernada gembira. Apalagi untuk
membawa seseorang agar bisa menangis dalam suasana yang tidak sedih maupun
tidak senang, alangkah sulitnya.
Hal ini barangkali bisa menjadi sebuah pertanda bagi kita bahwa :
. . . suasana di atas tadi yang disangka orang sebagai peristiwa
spiritual, ternyata masih berada dalam tataran permainan
emosional saja. Boleh dikatakan suasana itu belum pada tatanan
spiritual sebenarnya.
Oleh sebab itu, mungkin label “pseodo spiritualitas” lebih cocok
dilekatkan pada peristiwa emosional yang ditempeli dengan
istilah-istilah dan praktek agama tertentu, . . .
. . . misalnya dzikir (wirid), do’a dan pengucapan ayat-ayat kitab suci. Walau pun
begitu :
• Pengaruh pseodo spiritualitas ini saja bagi banyak orang ternyata sudah cukup
bagus.
• Dan banyak pula yang berhenti di sini saja.
Sungguh sayang sekali.
Di samping itu, sekarang sudah dipahami orang pula, bahwa peristiwa emosional ini
juga bisa dirangsang dengan menambahkan hormon-hormon atau zat-zat additive
tertentu ke dalam aliran darah seseorang. Zat yang paling populer dan dipakai luas
dalam masyarakat untuk mempengaruhi otak agar bisa ekstasis adalah nikotine,
alkohol, dan narkotika. Begitu terkenalnya ketiga zat additive ini, sehingga ada pihak
tertentu yang mencoba untuk menanamkan “icon” kejantanan, keperkasaan,
keberanian, bagi orang yang mau memakainya. Dan banyak pula yang terpedaya
untuk memakainya. Padahal pemakaian ketiga zat additive ini untuk memunculkan
peristiwa-peristiwa emosional bisa dikategorikan sebagai cara yang paling primitif.
Karena sudah pengaruhnya tidak bisa bertahan lama, ditambah lagi dengan efek
ketagihan dan peningkatan konsumsi dari waktu ke waktu yang tentu saja akan
menguras kantong para pemakainya. Duh kecian deh !
5-62
5. Spiritualit Quotient
Nah, kalau begitu di mana posisi spiritualitas itu ? Secara cukup detail saya sudah
mengulasnya dalam artikel “Mengupas Kulit Bawang Spiritualitas”. Akan tetapi
secara singkat dapat saya ulas kembali sedikit bahwa :
. . . spiritualitas itu adalah sebuah proses perjalanan RUH, BASHIRAH, AKU DIRI
menuju ketidakterbatasan, . . .
. . . melampaui file-file apapun yang ada di dalam otak “sang aku diri”. Walaupun
menuju ke ketidakterbatasan, akan tetapi kesadaran yang muncul malah tidak ada
jauh dan tidak ada dekat lagi. Jauh dan dekat itu seperti mengalir dalam sebuah
“DAYA” lembut tapi pekat yang MENARIK sang aku diri dengan halus, sehingga sang
aku diri tidak mampu lagi untuk berpaling ke lain wajah kecuali HANYA kepada
WAJAH YANG MAHA MELIPUTI. Daya itu menuntun sang aku diri untuk mengenal
Wajah Sang Maha Meliputi Itu.
Lalu Sang Maha Meliputi Itu dengan sangat angkuh berkata:
• Dari-Ku lah daya itu, Aku-lah Sang Sumber Daya itu. Tiada daya dan upaya apa
pun yang dapat kau lakukan, kecuali hanya dengan menumpang daya-Ku.
• Lalu terserah Aku saja apa yang akan Aku berikan kepadamu, wahai hamba-Ku.
Adakalanya engkau Ku tangiskan, adakalanya kau Ku gembirakan, adakalanya
kau Ku ilmukan, adakalanya kau Ku persaksikan, adakalanya kau Ku buat lupa
lalu Aku pula yang akan mengingatkanmu kembali, wahai hamba-Ku.
• Lalu, lalu, dan lalu, Subhanallah, laa haula wala quwwata illa billah ! Laa ilaha
illla anta !
Lalu sang aku diri HANYA tinggal bergantung saja kepada daya-daya tuntunan yang
dialirkan oleh Tuhan kepadanya. Sang aku diri berada dalam posisi tanpa daya dan
tanpa upaya sedikit pun. Dan pengaruhnya di tatanan ketubuhan pun ternyata
menimbulkan suasana lembut, rileks, fresh, dan tidak ngantuk, ditambah pula
dengan pengaruh di tatanan emosional yang tidak ruwet, tidak ada kekhawatiran
maupun ketakutan (laa khaufun ‘alaihim wala hum yahzanun), yang nyata-nyata
sangat membantu kita dalam keseharian kita, baik itu dalam bekerja, maupun
dalam berkarya.
5-63
Nah,
. . . temukanlah daya tuntunan itu sampai dapat, bukan hanya sekedar
bermain-main dengan emosi saja yang memang sanggup untuk mengantarkan
seseorang ke wilayah atau suasana bertangis-tangisan. Bukan pula hanya
sekedar permainan emosi saja yang seolah-olah mampu memunculnya rasa
tenang dan rasa lepas dari deraan berbagai masalah bagi kita.
Bukan ! Karena menangis, rasa bahagia, dan rasa terbebas dari berbagai masalah
yang hanya karena permainan emosi saja, walaupun telah ditempeli pula dengan
berbagai label keagamaan, dampaknya tidaklah akan bertahan lama. Karena
masalah permainan emosi ini hanyalah sekedar melakukan stimulasi suara, irama,
dan nada dengan frekuensi tertentu terhadap bagian-bagian otak tertentu pula. Jadi
boleh juga dikatakan sebagai peristiwa emosional yang digagas oleh olah fikiran.
Dan yang namanya otak, kalau distimulasi dengan cara yang sama berulang-ulang
dan dengan intensitas yang tidak berbeda dengan yang sebelumnya, maka otak itu
TIDAK akan merespon lagi. Yang muncul malah RASA BOSAN, yang kemudian
disembunyikan orang dalam istilah agama dengan ungkapan “suasana iman yang
sedang turun”. Padahal yang sebenarnya terjadi hanyalah masalah bosannya otak
saja, tidak lebih. Karena memang daya otak ini sangatlah terbatas.
Sedangkan di sisi lain,
. . . ada pula suasana emosional yang dihasilkan oleh peristiwa tuntunan dari
Wajah Yang Maha Meliputi.
Wajah itu yang akan menuntun kita kepada peristiwa emosional yang cocok buat
kita pada saat tertentu. Tuntunan itu menjadi tempat bergantung kita untuk
mendapatkan suasana emosional tertentu. Kita seperti DIGERAKKAN dari satu
peristiwa emosional ke peristiwa emosional lainnya. Peristiwa bergantungnya kita
kepada DAYA TUNTUNAN Wajah Yang Maha Meliputi ini diistilahkan Al Qur’an
dengan ;
• Wa’tashimu billah, bergantung kepada Allah, dan
• Wa’tashimu bihablillah, bergantung kepada TALI ALLAH,
yang kemudian dikecilkan orang menjadi TALI (AGAMA) ALLAH, entah tali agama
yang mana.
Karena banyak yang bingung dengan TALI (AGAMA) ALLAH ini, maka kemudian
bermunculanlah filsafat eksistensi manusia yang justru semakin menjauhkan
manusia itu sendiri dari AKAR sejarah keberadaannya, yaitu Tuhan. Karena mereka
melihat sumbangsih agama-agama yang ada untuk membangun peradaban manusia
5-64
sekarang ini begitu kecilnya, kalau tidak mau dikatakan tidak ada. Walaupun ada,
tapi tipis sekali untuk zaman yang sedemikian kompleksnya seperti sekarang ini,
sehingga kemudian bermunculanlah pemikiran-pemikiran yang muaranya adalah
untuk MENAFIKAN (MENIADAKAN) TUHAN yang dengan pasti jadinya malah
semakin menguatkan PENG-ISTBAT-AN (menyatakan keberadaan) AKU DIRI
MANUSIA.
Padahal masalahnya hanya sederhana saja, KETIADAAN DAYA TUNTUNAN ILAHI
yang merupakan WUJUD REAL dari TALI ALLAH yang dimaksud oleh ayat di atas.
Karena ketiadaan tuntunan Ilahi, maka yang muncul lalu adalah dorongan dari NAFS
(hawa un Nafs) yang ternyata sangat mudah untuk saling tumpang tindih dengan
dorongan (ajakan) dari Iblis yang akibatnya adalah seperti kita-kita sekarang ini dan
pelaku sejarah kelam masa lalu. Mengerikan sekali !
6. Daya Tuntunan Ilahi
Ada ungkapan yang sangat terkenal tentang daya tuntunan Ilahi ini dalam sebuah
peristiwa spiritual, yaitu “Ra’aitu Rabbi bi Rabbi, Aku Melihat Allah dengan Allah !
Ya. benar, Allah mengenalkan diri-Nya sendiri langkah demi langkah kepada kita.
Karena yang tahu Allah adalah Allah sendiri. Betapa pun kita ingin mengenal Allah
dengan fikiran kita sendiri atau kolektif, maka pastilah itu tidak akan bisa. Percaya
deh !
Dan Allah memperkenalkan Diri-Nya dengan cara yang sangat UNIK. Saat kita
mendekat kepada Allah sejengkal lalu Allah menyambutnya sehasta. Saat kita
datang mendekat ke Allah dengan berjalan lalu Allah menyambutnya dengan
berlari. Lebih cepat Dia menyambut dari usaha yang kita lakukan.
Saat kita datang sejengkal, Allah menyambutnya akan meresponnya dengan
pernyataan: “Ana Allah, Aku Allah !”.
Saat kita datang kepada Allah dengan sejengkal, maka siap-siap, siap-siaplah
menunggu sambutan dan respons dari Allah. Karena kita memang datang
menghadap kepada Sang Maha Hidup.
Dan Allah lalu menyatakan diri-Nya dengan tegas: “Innani Ana Allah,
sesungguhnya Aku Allah !, Laa ilaha illa ana, fa’budni, Tidak ada Tuhan selain
Aku, maka sembahlah Aku, SUJUD !, karena memang saat ini ada Aku”.
Maka dengan lembut aku pun lalu disujudkan Tuhan-ku.
Maka dengan bijaksana aku pun lalu dituntun Tuhan-ku dari keadaan ke
keadaan lainnya, dari suasana ke suasana lainnya.
5-65
Lalu ku lihat DADA-KU, ndak ada apa-apa di sana, tidak rasa apa-apa,
Tapi dadaku itu seperti dibungkus oleh daya yang membawaku dari satu emosi
ke emosi lainnya.
• Saat aku minta rasa bahagia sejengkal, maka Allah-ku malah memberikan
rasa bahagia itu sehasta, lebih dari bahagia yang aku inginkan, sehingga aku
pun ditangiskan dalam bahagia itu.
• Saat aku berjalan minta rasa tenang, sabar, dan khusyu’ maka Allah-ku
berlari memberikan rasa tenang, sabar dan khusyu’ itu, lebih dari yang ku
inginkan, sehingga aku pun kembali ditangiskan dalam tenang, sabar dan
khusyu’ itu.
• Saat aku minta bebanku dilepaskan sejengkal saja, malah Allah-ku
melepaskan bebanku itu sehasta, sehingga dada-ku kembali menjadi tenang.
• Saat aku bermohon agar diampuni, walau hanya sejengkal saja, atas dosa-
dosaku yang sudah menggunung, malah Allah-ku mengampuni dosaku itu
sehasta, sehingga dadaku menjadi lapang.
Lalu kulihat OTAK-KU, ndak ada apa-apa juga di sana, tidak ada sekat-sekat
persepsi ini dan itu, tidak ada pengkotak-kotakan di situ.
Tapi otakku seperti diliputi oleh daya yang membawaku dari satu pengetahuan
kepengetahuan lainnya.
• Saat aku minta sejengkal ilmu, malah Allah-ku memberiku ilmu-Nya
berhasta-hasta, sehingga akupun tinggal menuangkannya ke dalam
berbagai bentuk, sehingga semua ilmu itu seperti mengalir memasuki otakku
tanpa melelahkan.
• Saat otak-ku mandeg dan aku kesulitan menyelesaikan masalahku yang
hanya sejengkal saja, malah Allah-ku menyelesaikan masalahku dengan
sehasta, sehingga hasilnya lebih dari yang kuperkirakan.
Sungguh Allah-ku lebih cepat, lebih care, dan lebih perhatian kepada-ku
melebihi dari apa-apa yang ku-inginkan.
Dan anehnya, malam ini :
• “Akupun seperti ditarik kembali selangkah demi selangkah untuk menjadi
saksi atas kebenaran ayat demi ayat Al Qur’an.”
• “Akupun seperti dibawa kembali sepenggal demi sepenggal untuk menjadi
saksi atas kebijaksanaan Rasulullah dalam As Sunnah. ”.
Lalu akupun ditasbihkan, “Subhanallah.” Lalu akupun disalawatkan,
“Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa’ala ali Muhammad.”
5-66
7. Saling Merangkai Value
Nah, kombinasi file-file pengetahuan dan ekspresi emosional (baik yang didapatkan
dari olah fikiran maupun dari olah spiritual) inilah yang akan menentukan PATTERN
(pola) seseorang dalam mengarungi kehidupan ini dari hari ke hari, sehingga dengan
sangat mudahnya setiap orang akan mampu melihat perbedaan VALUE (nilai) orang
lain hanya dari mengamati pattern pengetahuan dan emosi dasar yang
diperlihatkan seseorang tersebut dalam setiap tindakannya.
Lalu pattern dan value yang melekat pada diri seseorang itu kemudian akan
membentuk ICON (simbol) yang khas bagi sebuah kombinasi pengetahuan dan
emosi tertentu. Misalnya, ABU SANGKAN adalah ICON bagi sebuah komunitas yang
di dalamnya adalah orang-orang yang gemar menjalankan sebuah trilogi laku, yaitu
• suka untuk shalat khusyuk,
• sekaligus tajam di filsafat (keilmuan), dan
• berdzikir (di setiap saat)
yang kemudian dikenal dengan komunitas PATRAP.
Kalau kita perhatikan sejarah perkembangan manusia, maka trilogi di atas sangatlah
susah untuk disatukan dalam sebuah LAKU :
• Orang yang tajam di FILSAFAT biasanya tidak mau lagi berdzikir dan jarang pula
shalat. Karena semuanya sudah mereka kupas dengan sangat mendalam,
sehingga mereka menganggap sudah tidak ada apa-apanya lagi yang perlu
disembah dan diingat. Mereka sampai kepada pemahaman bahwa ternyata
semua yang ada ini terjadi begitu saja secara kebetulan dan hanya “in the matter
of mind” manusia saja. Tak lebih.
• Di lain pihak orang yang asyik BERDZIKIR tingkat tinggi biasanya tidak mau
berfilsafat (berilmu pengetahuan) serta jarang pula shalat (kalau tidak mau
dikatakan tidak pernah). Karena dengan berdzikir mereka menjadi asyik dengan
dzikir itu sendiri, sehingga banyak yang tidak berminat lagi untuk
mengembangkan filsafat ilmu pengetahuan. Begitu juga sang pendzikir tersebut
sudah merasa cukup puas dengan hanya berdzikir saja. Toh tujuan shalat itu
hanyalah untuk bisa dzikir kepada Tuhan. Kalau sudah dzikir kepada Tuhan, maka
mereka menganggap sudah tidak perlu lagi untuk mendirikan shalat. Ada yang
sampai begini, banyak malah.
• Begitu juga, orang yang shalat jarang yang berdzikir dan tidak suka pula kepada
filsafat. Karena orang yang shalat hanya untuk pemenuhan kewajiban dan
dilaksanakan pada tataran gerakan-gerakan fisik saja akan sangat kesulitan untuk
berdzikir kecuali hanya sebatas berwirid tertentu saja. Sebab berdzikir itu
5-67
ternyata sangat jauh berbeda dengan berwirid. Ketakutan orang yang shalat
terhadap filsafat dipicu juga oleh banyaknya orang-orang filsafat yang tidak
shalat lagi. Di media masa dapat dilihat bahwa di beberapa perguruan tinggi yang
mengajarkan ilmu agama Islam, sungguh banyak muncul generasi yang sudah
tidak melakukan shalat lagi, sehingga orang yang shalat tidak mau lagi untuk
mempelajari filsafat. “TAKUT TERSESAT”, kata mereka.
Kalau trilogi shalat, dzikir, dan filsafat (fikir) ini mau digambarkan, maka akan
membentuk sebuah segitiga PATRAP sebagai berikut :
Yang tak lain hanyalah :
. . . sebuah usaha tanpa henti (konsisten) saja dalam pembentukan karakter
(character building) manusia yang mendekati karakter ULUL ALBAB.
Ya. sekedar usaha mendekati saja sebenarnya, tak lebih ! Dan usaha ini bukanlah
dengan membentuk aliran baru pula, sehingga menambah banyaknya aliran-aliran
dalam agama Islam yang sudah sangat banyak ini. Tidak !
8. Penutup
Sebagai kata penutup, saya hanya ingin menyampaikan pesan sederhana saja:
Temukanlah tuntunan ilahi dalam setiap keasyikan kita, dalam rasa nikmat kita,
dan dalam rasa bahagia kita, maka tiada lain yang mampu kita lakukan kecuali
hanya mengungkapkan rasa syukur kepada Allah atas semua peristiwa
emosional yang muncul itu.
Janganlah malu-malu untuk berbicara dengan Al Qur’an. Setiap membaca satu ayat,
maka mintalah TUNTUNAN dari Allah agar kita diberikan pemahaman (ngeh) atas
ayat tersebut. Karena setiap ayat itu memang ada muatannya. Janganlah sampai
kita termasuk ke dalam orang-orang yang dikeluhkan oleh Rasulullah kepada Allah:
Al Furqaan (25 : 30)
“Berkatalah Rasul: "Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al Qur'an ini
SHALAT
DZIKIR FILSAFAT
5-68
suatu yang tidak diacuhkan.”
Padahal Rasulullah digetarkan dengan hebat saat menerima ayat demi ayat Al
Qur’an itu. Padahal Umar ibnu Khattab digetarkan dengan hebat tatkala
mendengarkan sepenggal ayat Al Qur’an yang dibacakan oleh adik perempuan
Beliau yang lalu membawa Beliau untuk memasuki keindahan Islam. Mungkinkah
kita yang tidak tergetar sedikit pun tatkala mendengarkan ayat-ayat Al Qur’an ini
lebih baik dari Rasulullah dan Umar ibnu Khattab ? Astagfirullah al adhiem, ternyata
kita selama ini ternyata membawa-bawa BATU di dalam DADA kami, sehingga dada
kita ini lalu menjadi MATI.
Dan minta jugalah TUNTUNAN dari Allah saat membaca satu Al Hadits ke Al Hadits
yang lain agar Allah menurunkan kepahaman kepada kita akan muatan Sunatullah
di dalamnya. Karena ternyata memang Rasulullah adalah pribadi yang patut untuk
jadi teladan kita semua.
Dan kalau kita umat manusia ini sudah bergantung kepada tuntunan Tuhan seperti
yang telah diteladankan oleh Rasulullah, maka sebenarnya selangkah lagi untuk
mewujudkan “kesatuan HATI ummat” yang merupakan bentuk kekayaan yang
sangat mahal nilainya, seperti yang di firmankan oleh Allah:
“. . . dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman).
Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya
kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah
mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.”13
Dan tampaknya kesatuan hati umat inilah yang sudah nyaris hilang pada masing-
masing diri kita ini !
B. Kesimpulan
1. Asyik : melakukan sebuah perbuatan yang sama dengan berulang-ulang.
2. Enam emosi dasar yang dimiliki oleh seorang manusia : bahagia, sedih, jijik, takut,
marah, terkejut.
3. Orang yang terlalu mudah dipengaruhi oleh berbagai rasa atau emosi tadi itu lalu
disebut sebagai orang yang emosional.
4. Rasa nikmat :
a. Rasa nikmat timbul dari adanya perintah kepada bagian-bagian yang
13 Al Anfaal (8 : 63)
5-69
mengontrol gerakan otot-otot sesuai dengan fungsinya masing-masing.
Perintah ini bersumber dari pergerakan pengalaman dari emosi ke emosi, yang
memberikan dorongan kepada setiap orang untuk melakukan sesuatu, karena
pada emosi itu ada DAYA yang akan mempengaruhi otak.
b. Rasa nikmat akan membuat seseorang ketagihan untuk melakukan sebuah
perbuatan tertentu. Rasa nikmat ini memberikan efek ekstasis bagi otak.
Namun, rasa nikmat ini lama kelamaan akan tidak terasa nikmat lagi, karena
sang otak sudah bosan dengan hal-hal menimbulkan rasa nikmat tersebut.
Untuk ke luar dari kebosanan otak ini, dibutuhkan adanya pengalaman baru
yang dapat membangkitkan emosi, yang selanjutnya akan menimbulkan
ekstasisnya otak.
c. Orang-orang yang mengikuti pengaruh dorongan pemenuhan kebutuhan
ekstasisnya otak ini disebut sebagai orang yang terbelenggu atau terjebak
dengan dorongan nafsunya (hawa un nafs).
5. Rasa tersiksa adalah sebuah keadaan yang muncul akibat adanya KONFLIK di dalam
otak kita tentang sesuatu KEJADIAN atau PERBUATAN yang kita lakukan, yakni
konflik antara :
a. Perbuatan atau kejadian bisa kita lakukan secara berulang-ulang karena ada
rasa ekstasis (nikmat).
b. Di bagian otak lainnya, ada file pengetahuan yang menentang perbuatan
tersebut untuk dilakukan.
6. Rasa bahagia :
a. Pengertian :
1) Tatkala perbuatan dan kejadian atas tindakan yang kita lakukan mampu
membuat kita asyik, ditambah lagi dengan munculnya rasa nikmat.
2) Dibarengi pula perbuatan tersebut bersesuaian dengan file-file yang ada di
dalam otak kita.
3) Dibingkai pula dengan hukum, moralitas dan logika manusia yang
kemudian diringkas menjadi Fitrah Manusia (bukan fitrah binatang).
b. Indikator :
1) Rona dan ekspresi wajah bahagia itu akan terpancar dengan jelas di wajah
seseorang.
2) Munculnya butiran-butiran air bening di sudut mata seseorang yang
dinamakan orang dengan tangis.
3) Rasa rileks di seluruh tubuh.
4) Adanya keinginan untuk menumpahkannya kepada lain.
7. Rasa sedih :
a. Rasa sedih timbul ketika otak terangsang oleh sebuah kejadian atau perbuatan,
5-70
yang akan mengirimkan sinyal listrik dan kimia ke bagian-bagian tubuh
tertentu.
b. Akan tetapi rasa sedih ini kurang mempunyai DAYA untuk mendorong
seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan. Yang muncul malah rasa tidak
berdaya sama sekali, rasa tidak mau melakukan apa-apa.
8. Emotional Quotient adalah ilmu untuk memfasilitasi emosi seseorang. Semua emosi
kita ada hormon tertentu yang dikeluarkan atau disekresikan di otak ke dalam aliran
darah kita.
9. Untuk memunculkan efek emosi beragam pelatihan telah diciptakan. Dan di sinilah
letak “tipuan pengertian” yang tidak mudah untuk diketahui orang. Hanya dengan
melihat bahwa tangis yang muncul adalah dengan membawa-bawa nama Tuhan,
ayat-ayat Tuhan, do’a-do’a, kalimat-kalimat thayyibah, maka orang lalu dengan
mudah menyebutnya sebagai peristiwa spiritual. suasana di atas tadi yang disangka
orang sebagai peristiwa spiritual, ternyata masih berada dalam tataran permainan
emosional saja. Boleh dikatakan suasana itu belum pada tatanan spiritual
sebenarnya, hanya “pseodo spiritualitas”.
10. Spiritualitas itu adalah sebuah proses perjalanan Ruh, Bashirah, Aku Diri menuju
ketidakterbatasan melampaui file-file apapun yang ada di dalam otak. Untuk itu kita
cukup bergantung saja kepada daya-daya tuntunan yang dialirkan oleh Tuhan
kepada, tanpa daya dan tanpa upaya sedikit pun.
11. Pengaruhnya :
a. Di tatanan ketubuhan pun ternyata menimbulkan suasana lembut, rileks, fresh,
dan tidak ngantuk.
b. Di tatanan emosional yang tidak ruwet, tidak ada kekhawatiran maupun
ketakutan (laa khaufun ‘alaihim wala hum yahzanun),
yang nyata-nyata sangat membantu kita dalam keseharian kita, baik itu dalam
bekerja, maupun dalam berkarya.
12. Kita harus dapat mnemukan daya tuntunan itu, bukan hanya sekedar bermain-main
dengan emosi saja yang memang sanggup untuk mengantarkan seseorang ke
wilayah atau suasana bertangis-tangisan. Bukan pula hanya sekedar permainan
emosi saja yang seolah-olah mampu memunculnya rasa tenang dan rasa lepas dari
deraan berbagai masalah bagi kita.
13. Yang perlu didapat adalah suasana emosional yang dihasilkan oleh peristiwa
tuntunan dari Wajah Yang Maha Meliputi.
14. Ketiadaan tuntunan Ilahi, akan memunculkan dorongan dari nafs (hawa un Nafs)
yang ternyata sangat mudah untuk saling tumpang tindih dengan dorongan (ajakan)
5-71
dari Iblis yang akibatnya adalah seperti kita-kita sekarang ini dan pelaku sejarah
kelam masa lalu.
15. Allah mengenalkan diri-Nya sendiri langkah demi langkah kepada kita. Karena yang
tahu Allah adalah Allah sendiri. Dan Allah memperkenalkan Diri-Nya dengan cara
yang sangat unik. Saat kita mendekat kepada Allah sejengkal lalu Allah
menyambutnya sehasta. Saat kita datang mendekat ke Allah dengan berjalan lalu
Allah menyambutnya dengan berlari.
16. Trilogi shalat, dzikir, dan filsafat (fikir) tak lain hanyalah sebuah usaha tanpa henti
(konsisten) saja dalam pembentukan karakter (character building) manusia yang
mendekati karakter ulul albab.
17. Temukanlah tuntunan ilahi dalam setiap keasyikan kita, dalam rasa nikmat kita, dan
dalam rasa bahagia kita, maka tiada lain yang mampu kita lakukan kecuali hanya
mengungkapkan rasa syukur kepada Allah.
6-72
Artikel 6 :
Asyiknya Tak Kenal Agama14
A. Pembahasan
“Memang Asyik Tak Kenal Agama.", begitulah cerita temanku kehidupan yang bebas.
• Tanpa takut DOSA.
• Kehidupan tak kenal WAKTU.
• Tak kenal SHOLAT. Kehidupan di Jakarta sebebas keinginan.
• Keinginan yang mengasyikkan.
• Cari uang gampang banget.
• Ngompas. nyopet. rampok.
Setelah dapet lalu masuk tempat Hiburan Diskotik, minum minuman keras, judi, nyabu,
putaw. ngegeleX, IneX, ada CeweX. langsung ConteX. Pokoke asyik. Main CeweX. bisa
gonta ganti, mainin Tante-Tante Girang dapet seX and dapet duit. Lalu ada istilah
NgegendaX. cewek disuruh cari duit. Hasilnya diperas. Buat foya foya cari AsyiX,
Memang ASYIK.PLAY. Kalau lagi Sial masuk Sel sudah ada yang nebus.
Sekelumit gambaran cerita di atas adalah kebebasan yang asyik SYETAN..
Tetapi..
. . . setelah tahu AGAMA..banyak LARANGANNYA..!
• Mau main cewek terkena hukum ZINAH..
• Mau ngeddrug terkena hukum HARAM...
• Mau cari asyik takut DOSA, katanya masuk NERAKA..
Wach..bagaimana nich..?? Apa perlu TOMAT = Tobat lalu Kumat.
Nah mari kita bahas sedikit masalah ini.
Kalau ungkapan-ungkapan di atas dilihat secara sepintas betul, asyik sekali memang,
saya setuju. Saya juga iri kepada mereka yang berada dalam kebebasan di atas. Kenapa ?
Karena dia hanya menjalankan suatu keinginan yang inherent dari dalam dirinya.
• Dia mengerjakannya tanpa beban.
• Dia sedang menjalankan dirinya sendiri.
• Dia menjalankan secara SUKARELA tanpa paksaan.
• Dia benci, iri, marah, tidak khusyu', berzina, ngedrug, dan sebagainya itu tanpa
merasa terpaksa sedikit pun.
14 http://groups.yahoo.com/group/dzikrullah/message/551
6-73
• Dia akan meminta pengulangan-pengulangan dan pemuasan atas semua itu terus-
terus dan terus. Memang dia sedang mendapatkan ilham kefujuran (ketidakbaikan).
Otaknya dipenuhi dengan sangat dominan oleh file-file tentang kefujuran. Tetapi
yang dia lakukan itu hanyalah sekedar pemuasan akan makan, minum, seks.
Kebutuhan yang tak lebih dari seperti kebutuhan BINATANG.
Tapi ada sesuatu yang sanggaaaat kecil dan redup yang biasa disebut dengan ISTILAH
"hati nurani" (hati yang bercahaya) yang hanya mampu berkata lirih :
• “Hai diri, kau itu salah”,
• “Hai diri, kenapa kau berbuat begitu?”.
• “Hai diri, tidak kah kau menyesal ?”.
Akan tetapi sayangnya seruan ini begitu lirihnya.
Seruan ini tidak sanggup menggerakkan tubuh untuk berhenti dari semua kefujuran itu.
Karena seruan lirih sang Akal itu sedang dibungkus oleh kefujuran itu dengan pekat.
Walau sekalipun sang diri itu telah mengalami akibat yang tidak baik sebagai buah yang
pasti dan terhindarkan (sunatullah) atas apa-apa yang dia kerjakan itu. Dia akan
dipenjara oleh kefujuran itu tanpa ampun.
Kalau ada dari kita manusia ini yang mau menjalankan kefujuran seperti ini ya, nggak
apa-apa juga kok. Allah sendiri juga menyerahkan keputusan tentang apa-apa yang akan
kita lakukan itu kepada diri kita sendiri. Secara implisit Allah menyatakan di dalam Al
Qur’an: “Kau ubahlah sendiri nasibmu sesuai dengan pola-pola yang ada di dalam
otakmu, maka nanti Aku yang akan menggerakkan kamu kepada apa-apa yang kamu
pilih dalam meubah nasib kamu itu. Nanti Aku pula yang akan memberikan rasa
kepadamu atas jalan-jalan yang kamu pilih itu”. Sungguh semua itu akan kembali
kepada kita. Baik dan buruk sekalipun, semua adalah untuk kita sendiri.
Akan tetapi ada juga kejadian sebaliknya dari kondisi atau keadaan di atas. Ada
sekelompok orang baik-baik di jaman Rasul dan para sahabat Beliau, bahkan juga ada
pada generasi sesudah beliau-beliau itu, yang merasakan hal yang sebaliknya. Kelompok
ini mampu melaksanakan agama juga secara inherent dari dalam dirinya sendiri.
• Mereka mampu mengerjakan agama tanpa beban.
• Mereka mampu menjalankan diri mereka sendiri yang memang sudah menjadi
agama itu sendiri.
• Mereka beragama secara sukarela tanpa paksaan.
• Mereka mampu merasakan pahala yang diejawantahkan dalam bentuk ketaqwaan,
kebahagiaan.
• Mereka tak mampu iri, tak mampu marah, tak mampu untuk tidak khusyu, tak
mampu berzina, tak mampu berjudi, tak mampu ngegelek, tak mampu ngerampok.
Pokoknya tak mampu untuk melakukan kegiatan yang fujur-fujur di atas, karena
6-74
memang mereka sedang dibuat tidak mau dan tidak mampu untuk melakukan
semuanya itu. Di dalam dada mereka sedang ditaruh rasa tidak mau untuk berlaku
fujur itu.
• Mereka sedang ditaruh mau dan mampu di dada mereka untuk dapat merasakan
iman, taqwa, khusyu', sabar, ikhlas, dan perilaku-perilaku taqwa lainnya.
• Mereka mampu mendapatkan damai itu, dan menikmati kedamaian itu. Ya, mereka
mampu menyambut seruan “Hayya 'alal falah, mari menuju bahagia". Karena
memang mereka sedang mendapatkan ilham ketaqwaan.
SEKARANG, walaupun tetap ada sesuatu yang sanggaaaat kecil dan redup yang berkata,
akan tetapi ungkapan yang ke luar itu sudah berupa ungkapan keputusasaan dari
kecenderungan diri (hawa un Nafs), yang biasa disebut dengan ISTILAH "hati yang fujur".
Si hati fujur itu hanya bisa komat-kamit menghembus-hembuskan kekesalannya :
• “Hai diri, kenapa kau sekarang menjadi baik?? Lakukakanlah kejahatan seperti
biasa”,
• “Hai diri, kenapa kau tidak iri ? Irilah, marahlah, bencilah !”.
• “Hai diri, kenapa kau menyesal, kenapa bertobat ?”.
Namun seruan ini begitu lirihnya, sehingga seruan ini tidak sanggup lagi menggerakkan
tubuh untuk kembali, dari perilaku fujur. Karena saat itu seruan kefujuran ini sedang
dibungkus oleh ilham ketaqwaan. Duh betapa irinya saya kepada orang-orang yang
sedang mendapatkan HAL atau ilham ketaqwaan ini. Dan SANG AKAL tahu persis
tentang ilham-ilham yang datang kepada diri kita itu. Karena Sang Akal memang
posisinya berada di atas hati yang takwa maupun hati yang fujur itu sendiri.
MASALAHNYA adalah:
• Yang susah adalah kita-kita yang buandel ini yang hidup dalam dunia paradoks.
• Mau berbuat salah, tapi takut dosa. Jadi nggak enak berbuat jahatnya.
• Mau berbuat baik, eh tapi dalam keadaan terpaksa. Jadi nggak enak juga berbuat
baiknya.
Kebanyakan kita tidak berada pada salah satu HAL di atas.
• Mau berbuat dosa, frame di fikiran kita sudah dibayangi oleh DOSA.
• Mau main perempuan, kita sudah diberitahu rajam dan neraka.
• Mau mencuri takut dipotong tangan.
• Mau nggak shalat takut masuk neraka.
• Begitu juga untuk berbuat baik, menjadi begitu berat.
• Mau shalat, untuk khusyu' dan ihsan selama 5 menit saja susahnya luar biasa.
Jadilah kita terseok-seok, merasa terpaksa dalam mematuhi aturan agama. Buktinya
cuma berapa % penduduk Indonesia yang mau mengundangkan syariat Islam :
6-75
• Jadilah agama hanya sebagai pelepasan kewajiban.
• Jadilah agama hanya sebagai seremonial.
• Jadilah agama (bahkan antar sesama ISLAM sendiripun) hujat-hujatan, bentrok-
bentrokan.
• Jadilah kita iri kepada "orang yang tak kenal agama"
• Jadilah kita iri kepada "orang yang mendapatkan ilham ketaqwaan"
• Karena kedua kelompok ini melakukan "amalannya" tanpa paksaan.
• Karena kedua kelompok ini menjalankan dirinya sendiri secara inherent.
• Sedangkan orang-orang yang terpaksa dalam beramal, nggak punya rasa (dzauq)
• Jadilah kita jadi orang yang senangnya menghujat.
• Jadilah kita sebagai orang yang merasa benar sendiri,
• Jadilah., silahkan renungkan sendiri-sendiri orang macam apa kita ini. Dan pilihan
seperti apa yang tengah kita jalani masing-masing.
Nggak setuju dengan uraian ini, ya boleh-boleh saja.
B. Kesimpulan
1. Pada orang yang sedang menempuh jalan “fujur”, umumnya ada dorongan yang
terdengar sangat lirih untuk kembali kepada jalan yang benar. seruan ini begitu
lirihnya, sehingga seruan ini tidak sanggup lagi menggerakkan tubuh untuk kembali,
dari perilaku fujur.
2. MASALAHNYA adalah:
a. Yang susah adalah kita-kita yang buandel ini yang hidup dalam dunia paradoks.
b. Mau berbuat salah, tapi takut dosa. Jadi nggak enak berbuat jahatnya.
c. Mau berbuat baik, eh tapi dalam keadaan terpaksa. Jadi nggak enak juga
berbuat baiknya.
3. Jadilah kita terseok-seok, merasa terpaksa dalam mematuhi aturan agama. Buktinya
cuma berapa % penduduk Indonesia yang mau mengundangkan syariat Islam :
a. Jadilah agama hanya sebagai pelepasan kewajiban.
b. Jadilah agama hanya sebagai seremonial.
c. Jadilah agama (bahkan antar sesama ISLAM sendiripun) hujat-hujatan, bentrok-
bentrokan.
d. Jadilah kita iri kepada "orang yang tak kenal agama"
e. Jadilah kita iri kepada "orang yang mendapatkan ilham ketaqwaan"
f. Karena kedua kelompok ini melakukan "amalannya" tanpa paksaan.
g. Karena kedua kelompok ini menjalankan dirinya sendiri secara inherent.
h. Sedangkan orang-orang yang terpaksa dalam beramal, nggak punya rasa
(dzauq)
6-76
i. Jadilah kita jadi orang yang senangnya menghujat.
j. Jadilah kita sebagai orang yang merasa benar sendiri,
k. Jadilah., silahkan renungkan sendiri-sendiri orang macam apa kita ini. Dan
pilihan seperti apa yang tengah kita jalani masing-masing.