yusril ihza mahendra » mengenang seratus tahun mohammad natsir » print
TRANSCRIPT
-
7/24/2019 Yusril Ihza Mahendra Mengenang Seratus Tahun Mohammad Natsir Print
1/6
- Yusril Ihza Mahendra - http://yusril.ihzamahendra.com -
MENGENANG SERATUS TAHUN MOHAMMAD NATSIR
Posted By Yusril Ihza Mahendra On July 3, 2008 @ 6:35 pm In Politik | 102 Comments
Bismillah ar-Rahman ar-Rahim
Tanggal 17 Juli 2008 nanti akan ada Peringatan Seratus Tahun Mohammad Natsir di Jakarta.
Berbagai acara telah dan akan diselenggarakan dalam peringatan ini, mulai dari diskusi,
seminar, penulisan buku dan penerbitan kembali buku-buku karya Almarhum Mohammad
Natsir. Keluarga Pak Natsir meminta saya untuk menulis kata pengantar atas diterbitkannya
kembali Capita Selecta Jilid I karya almarhum yang pernah diterbitkan tahun 1954. Oleh
karena buku itu dicetak terbatas, maka kata pengantar yang saya tulis itu saya hidangkan di
blog ini, agar dapat dibaca oleh kalangan yang tidak sempat memiliki buku karya Mohammad
Natsir yang diterbitkan kembali itu. Apa yang saya tulis dalam kata pengantar itu,
sesungguhnya lebih dari sekedar mengantarkan pembaca untuk memahami buku yang
diterbitkan, namun memberikan gambaran umum tentang sosok Mohammad Natsir, agar
kehidupan dan sumbangannya bagi bangsa, negara dan agama dapat diingat kembali dan
dikenang oleh generasi yang hidup di masa sekarang.
Pak Natsir (1908-1993) adalah tokoh intelektual, pejuang, politikus, ulama dan sekaligus salah
seorang negarawan yang dimiliki bangsa kita. Sejak usia muda, beliau menaruh minat yang
sangat besar terhadap ilmu pengetahuan, falsafah dan kajian keislaman. Di zaman ketika
beliau masih muda, untuk mendapatkan informasi dan bahan-bahan untuk mendalami bidang-
bidang itu tidaklah mudah. Perpustakaan tidaklah sebanyak zaman sekarang. Mesin fotocopy
belum ada. Internet yang dapat membantu seseorang menelusuri berbagai bahan yang
diperlukan, juga belum ada. Namun Pak Natsir bagai orang yang tak pernah putus asa untuk
mencari. Meskipun beliau sepenuhnya menempuh pendidikan Barat di sekolah-sekolah
Belanda, namun minatnya untuk menelaah khazanah ilmu pengetahuan keislaman bagai tak
pernah padam. Beliau pergi ke sana ke mari untuk mencari buku, meminjam dengan orang-
orang, atau meminjam buku di berbagai perpustakaan. Beruntung beliau, karena memahami
bahasa Belanda, Arab, Inggris dan Perancis, sehingga berbagai buku yang diperlukan, yang
ditulis dalam bahasa-bahasa itu dapat beliau baca. Bahkan, beliau tidak saja menulis dalam
Bahasa Indonesia, namun juga menulis dalam Bahasa Belanda, Perancis dan Bahasa Inggris.
Kebiasaan Pak Natsir memburu buku itu, bukan hanya terjadi ketika beliau masih muda. Ketika
usia beliau makin senja, saya adalah salah seorang yang selalu beliau suruh untuk mencari
berbagai buku yang ingin beliau baca. Saya bukan saja harus mencari buku-buku itu di
berbagai toko buku atau di perpustakaan, tetapi bukan sekali dua harus datang ke rumah
beberapa tokoh untuk mendapatkan buku itu. Pernah beliau menyuruh saya datang ke rumah
Prof. Osman Raliby, ke rumah Prof. Zakiah Darajat, Prof. Deliar Noer, M.Yunan Nasution, Zainal
Abidin Ahmad, dan bahkan saya di suruh pergi ke Bandung, karena buku yang beliau cari ada di
rumah Endang Saifuddin Anshary. Pak Natsir membaca buku-buku itu dengan penuh minat.
Saya menyadari bahwa Pak Natsir tidak ingin sembarangan bicara atau sembarangan menulis.Beliau ingin mendalami segala sesuatu sebelum menyampaikan pendapat atau menentukan
sikap terhadap sesuatu masalah.
Sikap yang ditunjukkan Pak Natsir seperti saya gambarkan di atas sangatlah baik untuk
diteladani. Seorang cendekiawan dan seorang pemimpin, sebaiknyalah mendalami segala
sesuatu sebelum menyampaikan pendapat dan menentukan sikap. Karena itulah, kalau kita
menelaah tulisan-tulisan Pak Natsir, baik tulisan lepas maupun sebuah polemik, beliau
mengemukakan pandangan berdasarkan data, analisa dan argumentasi yang kokoh. Karena itu
pula pandangan-pandangan beliau mempunyai bobot yang tinggi dan juga mempunyai
pengaruh yang luas kepada publik. Tulisan-tulisan itu, bahkan melampaui zaman. Apa yang
beliau kemukakan ketika beliau masih muda di zaman kita masih dijajah maupun setelah
kita merdeka, tetap mempunyai nuansa yang relevan dengan zaman ketika kita hidup di masa
sekarang. Masalah-masalah memang datang silih berganti sesuai tantangan zaman. Namun
esensi persoalannya tidaklah bergeser terlalu jauh. Karena itu, dalam membaca tulisan-tulisan
beliau yang dihimpun dalam buku ini, kita harus mampu menangkap esensinya, bukan
menangkap peristiwa-peristiwanya saja, yang kini telah menjadi bagian dari sejarah bangsa
kita.
-
7/24/2019 Yusril Ihza Mahendra Mengenang Seratus Tahun Mohammad Natsir Print
2/6
Membaca tulisan-tulisan Pak Natsir yang dihimpun dalam buku ini, saya berani mengatakan
bahwa Pak Natsir bukanlah seorang yang murni intelektual, kalau kita menggunakan ukuran-
ukuran sebagaimana dikemukakan Julien Benda. Bagi Benda, intelektual adalah manusia yang
menghabiskan waktu sepanjang hidupnya untuk bergelut dengan dunia pemikiran. Mereka
menjauhi dunia praktis dan tidak menaruh minat kepada dunia politik. Bagi Benda, intelektual
nampaknya seperti seorang yang berdiri di menara gading. Kepalanya tidak menyentuh langit
dan kakinya tidak menginjak bumi. Mereka berumah di atas angin, berada di awang-awang
nun jauh di sana di atas tanah tempat kita berpijak. Pak Natsir pada dasarnya adalah seorang
aktivis. Beliau terlibat dalam berbagai pergerakan, baik kepemudaan, keagamaan, sosial dan
politik. Beliau menulis dalam rangka pergerakan itu dengan bertitik tolak pada kenyataan-
kenyataan sosial yang dihadapinya. Beliau tidak menulis untuk melontarkan gagasan di ruang
hampa. Sebab itulah, kita jarang menemukan sebuah buku yang benar-benar buku yang
pernah beliau tulis untuk membahas sesuatu masalah. Beliau lebih banyak menulis essay, atau
risalah pendek, yang kemudian dihimpun dan dibukukan.
Menghadapi kenyataan di atas, suatu ketika saya pernah berbicara berdua dengan Pak Natsir
mengenai kontribusi beliau dalam dunia intelektual. Saya katakan kepada beliau, andaikata Pak
Natsir mencurahkan sepenuh waktu dalam hidup beliau untuk melakukan studi dan menulis,
mungkin beliau akan melampaui karya-karya Allama Mohammad Iqbal atau Fazlur Rahman,
dua filsuf dan intelektual dari Pakistan. Mendengar komentar saya itu, Pak Natsir hanya
tertawa. Beliau mengatakan bahwa jalan hidup seseorang tidaklah ditentukan oleh
kemauannya sendiri, karena segala sesuatu berjalan seakan terjadi begitu saja. Saya mengerti
bahwa Pak Natsir lebih tertarik untuk menjadi aktivis daripada menjadi intelektual murni. Kalaubeliau memang menginginkan menjadi intelektual murni, saya yakin beliau takkan menolak
tawaran beasiswa untuk melanjutkan studi ke Rechts Hoogeschool di Batavia atau sekalian
saja meneruskan pendidikan ke Universitas Leiden di Negeri Belanda. Saya yakin, dengan bakat
intelektual yang beliau miliki, dengan mudah beliau mendapatkan gelar PhD di bidang filsafat,
hukum atau kajian keislaman dari universitas tersebut. Namun sejarah telah menunjukkan,
Pak Natsir lebih senang bekerja secara independen setelah menamatkan AMS di Bandung.
Beliau memilih menjadi guru dan mendirikan sekolah sendiri, sambil terus aktif di dalam
pergerakan.
Prestasi Pak Natsir di bidang politik, nampaknya telah melampaui apa yang dicapai oleh guru-
guru beliau. Salah seorang guru Pak Natsir yang hidup sampai ke zaman kita merdeka, ialah
Haji Agus Salim. HOS Tjokroaminoto yang juga memberikan banyak ilham kepada Pak Natsir,
telah wafat sebelum kita merdeka. Haji Agus Salim sama-sama aktif dalam Masyumi setelah
partai itu terbentuk di awal kemerdekaan. Haji Agus Salim dan Pak Natsir sama-sama menjadi
menteri di awal kemerdekaan. Agus Salim menjadi Menteri Luar Negeri dan Pak Natsir menjadi
Menteri Penerangan. Faktor usia jugalah yang mendorong Haji Agus Salim untuk memberikan
kesempatan kepada tokoh-tokoh yang berusia muda, antara lain kepada Pak Natsir, Pak
Mohamad Roem, Pak Kasman Singodimedjo dan Pak Jusuf Wibisono yang kesemuanya adalah
murid-murid Haji Agus Salim ketika mereka aktif di dalam Jong Islamieten Bond. Pak Natsir
pernah menjadi Perdana Menteri Republik Indonesia, sebuah jabatan yang merupakan karier
puncak seorang politikus dalam sistem pemerintahan parlementer. Nama beliau bukan saja
dikenal di di tanah air, tetapi juga di seluruh pelosok dunia Islam, jauh melampaui guru-
gurunya dan tokoh-tokoh lain seangkatannya.
Dengan uraian di atas, kita akan dapat memahami tulisan-tulisan Pak Natsir, yang seluruhnyaditulis sebagai respons intelektual terhadap perkembangan zaman, yang menjadi keprihatinan
beliau. Tulisan-tulisan itu dibuat untuk memberikan percerahan dalam rangka membangun
kesadaran baru terhadap dua hal pokok, pertama keprihatinan terhadap Islam dan umatnya,
dan kedua keprihatinan terhadap situasi yang dihadapi bangsa kita, baik di masa penjajahan
maupun setelah kemerdekaan. Keprihatinan terhadap Islam dan umatnya memang telah
menjadi fokus perhatian Pak Natsir sejak awal. Beliau lahir dan dibesarkan dalam lingkungan
masyarakat Minangkabau, ketika Adat dan Islam menjadi bahan polemik berkepanjangan
dalam masyaratnya. Memasuki awal abad ke dua puluh, gerakan pembaharuan Islam semakin
menguat di Minangkabau, dan hal ini menjadi sumber polemik pula. Pak Natsir karena latar
belakang keluarganya memilih Islam sebagai jalan hidup. Pengaruh Adat Minangkabau dalam
kehidupan pribadi Pak Natsir hampir tidak terasa, walau secara formal beliau diangkat menjadi
Datuk oleh kaum kerabatnya dan bergelar Datuk Sinaro Panjang. Keterlibatan beliau dalam
mengurusi adat, sepanjang pengamatan saya, tidak begitu nampak. Bahkan dalam
keseluruhan tulisan-tulisan beliau ini agak beda dengan Buya Hamka dan Agus Salim
hampir tak pernah Pak Natsir membicarakan masalah adat.
Dengan memilih Islam, Pak Natsir ingin memberikan kerangka pemahaman baru terhadap
Islam, sehingga Islam benar-benar menjadi pedoman hidup dan jalan hidup yang bersifat abadi
-
7/24/2019 Yusril Ihza Mahendra Mengenang Seratus Tahun Mohammad Natsir Print
3/6
dan universal. Dalam konteks ini Pak Natsir memberikan kontribusi yang signifikan, yang
menempatkan diri beliau sebagai seorang pembaharu, bukan saja di bidang pemikiran, tetapi
juga di dalam gerakan Islam. Dalam konteks pembaharuan ini, para akademisi umumnya
menyimpulkan bahwa gerakan pembaharuan Islam di Indonesia karena pengaruh dari berbagai
gerakan pembaharu di Timur Tengah atau Asia Selatan. Buya Hamka dalam orasi penerimaan
gelar doktor kehormatan dari Universitas Al-Azhar di tahun 1962, menyebutkan pengaruh
yang sangat besar dari Syekh Muhammad Abduh kepada gerakan pembaharuan di tanah air.
Buya Hamka menyebutkan hampir semua tokoh-tokoh pembaharu itu mendapat pengaruh
dari Mohammad Abduh. Dari berbagai dialog saya dengan Pak Natsir, saya berkesimpulan
bahwa Pak Natsir sampai kepada cita pembaharuan Islam itu, bukanlah karena pengaruh
pemikiran dari Timur Tengah, melainkan berngkat dari keprihatiannya sendiri. Beliau kemudian
menggunakan metode berpikir yang didapatnya di pendidikan Barat yang ditempuhnya untuk
menelaah berbagai literatur dengan kritis. Pak Natsir mengatakan kepada saya, baru di masa
belakangan beliau membaca Tafsir Al-Manar dan karya-karya Mohammad Abduh dan
Muhammad Rasyid Ridla, serta pembaharu lainnya dari Timur Tengah. Namun beliau mengakui
telah membaca berulangkali karya Ali Abdurraziq yang kontroversial,Al-Islam wa Uhu lul Hukm,
ketika berpolemik dengan Sukarno. Sebelumnya seperti telah saya katakan beliau banyak
berdiskusi dengan A Hassan (gurunya di Persatuan Islam Bandung dan Pak Natsir sendiri
kemudian pernah menjadi ketua organisasi ini), Agus Salim dan Tjokroaminoto. Pak Natsir,
pada dasarnya adalah seorang otodidak dalam mengembangkan pemikiran tentang Islam.
Pak Natsir berkeyakinan bahwa ajaran Islam adalah adalah abadi dan bersifat universal. Islam
menekankan tauhid dan menentang kemusyrikan, agar manusia mempunyai orientasi yangbenar dalam hidupnya. Etika pribadi dan sosial ditegakkan atas dasar iman kepada Allah Yang
Maha Melihat lagi Mengetahui. Iman kepada hari akhir akan mendorong ketaatan setiap insan
kepada kaidah-kaidah etika, karena Allah akan mengadili setiap perbuatan manusia dengan
seadil-adilnya. Ibadat harus dilaksanakan dengan konsisten. Itulah sebabnya Pak Natsir
menulis buku tentang pelajaran shalat yang sengaja ditulisnya di dalam Bahasa Belanda, yang
ditujukan kepada orang-orang berpendidikan Barat agar memahami dan melaksanakannya.
Mengenai soal hukum, Pak Natsir berpendapat syariat Islam sangatlah luas dan mempunyai
fleksibelitas untuk ditafsirkan ulang guna memenuhi kebutuhan zaman. Namun manusia,
katanya, tidak dapat melampaui batas-batas atau hudud yang telah ditetapkan Allah dan
Rasulnya. Untuk itulah diperlukan iman, mengingat keterbatasan pengetahuan manusia dan
relativitas temuan ilmu-pengetahuan. Nuansa pemikiran seperti ini terlihat dalam jawaban Pak
Natsir atas tulisan-tulisan Ir. Soekarno menjelang tahun 1940.
Tentu sumbangan besar Pak Natsir dalam pemikiran Islam ialah gagasannya tentang Islam
sebagai Ideologi. Apa yang dimaksud Pak Natsir tentulah bukan wahyu Allah di dalam al-Quran
dan hadits-hadits Rasulullah adalah sebuah ideologi. Namun ajaran-ajaran Islam yang
terkandung di dalam kedua sumber ajaran itu dapat ditransformasikan dan diformulasikan ke
dalam sebuah rumusan untuk dijadikan sebagai landasan bagi sebuah gerakan politik.
Rumusan itu bersifat eksplisit, tegas dan sekaligus menyebutkan cara-cara untuk
mencapainya. Rumusan seperti itulah yang disebut sebagai ideologi. Pak Natsir sendiri adalah
konseptor Tafsir Asas Masyumi, yang setelah disempurnakan oleh muktamar partai itu,
disahkan sebagai ideologi Masyumi. Islam adalah asas Masyumi. Tafsir Asas memberikan
tafsiran terhadap Islam yang dijadikan sebagai asas partai itu, untuk dijadikan sebagai
pedoman berpikir, bertindak dan sekaligus landasan Masyumi dalam derap langkah dan
perjuangannya. Tulisan Pak Natsir tentang Islam sebagai ideologi yang paling berkesan ialahpidato beliau di Majelis Konstituante, ketika Masyumi membela Islam untuk dijadikan sebagai
dasar negara berhadapan dengan dasar Pancasila dan Sosial Ekonomi. Pak Natsir menegaskan
bahwa menghadapi dasar negara itu, pilihan kita hanya dua: agama atau sekularisme. Sayang,
tulisan tentang dasar negara itu belum dimuat di dalam Capita Selecta Jilid I ini.
Dalam pidato tentang dasar negara di Konstituante itu, Pak Natsir menggolongkan Pancasila
sebagai sekularisme. Penggolongan itu didasarkan beliau atas uraian-uraian dari para
pendukung dasar negara Pancasila itu sendiri. Kalau tafsiran terhadap Pancasila itu memang
bercorak sekuler seperti dikemukakan oleh para pendukungnya dan tidak berhubungan
dengan ajaran agama, maka Pak Natsir menolak Pancasila sebagai dasar negara. Namun sikap
Pak Natsir mengenai Pancasila itu sendiri, tidaklah demikian. Beliau dapat menerima Pancasila
sebagai dasar dan falsafah negara, sepanjang Pancasila itu ditafsirkan dalam premis-premis
Islam. Hal itu ditegaskan Pak Natsir dalam pidatonya di hadapan Pakistans Institute of World
Affairs tahun 1952. Jadi, soal Pancasila adalah soal tafsir belaka. Indonesia, kata Pak Natsir,
dapat disebut sebagai Negara Islam karena kenyataan bahwa bagian terbesar penduduknya
beragama Islam. Meskipun Islam tidak dinyatakan secara tegas sebagai dasar negara
sebagaimana halnya Pakistan, namun Pancasila, yakni lima asas yang dijadikan sebagai dasar
-
7/24/2019 Yusril Ihza Mahendra Mengenang Seratus Tahun Mohammad Natsir Print
4/6
negara Republik Indonesia adalah sesuatu yang sejalan dengan ajaran-ajaran Islam.
Tentang konsep sebuah negara, Pak Natsir menganut pandangan bahwa ajaran-ajaran Islam
mengenai negara, hanyalah terbatas kepada asas-asasnya saja. Asas-asas itu dapat
ditransformasikan ke dalam sebuah rumusan yang bersifat konsepsional tentang negara,
sesuai dengan keadaan ruang dan waktu. Umat Islam yang hidup pada suatu tempat dan
zaman tertentu dapat memikirkan rumusan sebuah negara yang paling sesuai dengan keadaan
dan kebutuhan mereka. Untuk itu, menurut Pak Natsir, Islam memberikan kesempatan
kepada umatnya untuk mengadopsi berbagai sistem yang berkembang di berbagai negara,
untuk diintegrasikan ke dalam sistem yang mereka bangun dengan mengaju kepada asas-asas
yang diajarkan Islam. Islam tidaklah seratus persen demokrasi, dan tidak pula seratus persen
autokrasi. Islam adalah Islam, demikian kata Pak Natsir sebelum kita merdeka. Namun setelah
kita merdeka, dan telah beberapa tahun berpengalaman memiliki negara, Pak Natsir sampai
pada kesimpulan bahwa meskipun demokrasi itu mempunyai banyak kekurangan dan kesulitan
dalam melaksanakannya, namun sampai dewasa ini umat manusia belum menemukan sistem
lain yang lebih baik dari demokrasi. Namun Pak Natsir kembali menegaskan bahwa demokrasi
yang harus dilaksanakan ialah theistic democracy, yakni demokrasi yang didasarkan kepada
nilai-nilai ketuhanan.
Selain di bidang pemikiran politik Islam, Pak Natsir memberikan sumbangan pemikiran yang
sangat penting untuk membangun kesadaran umat Islam dalam melaksanakan ajaran agama
dan mempertahankan eksistensi dirinya. Di zaman Belanda, beliau sangat prihatin dengan
ketimpangan kebijakan Pemerintah kolonial Belanda dalam mendukung kegiatan-kegiatandakwah dan pendidikan Islam, dibandingkan dengan dukungannya kepada missi dan
penyelenggaraan pendidikan Kristen di tanah air. Keprihatinan Pak Natsir terhadap kegiatan
missi Kristen terus berlanjut sampai usia beliau menjelang senja. Perhatian beliau kepada soal
dakwah di daerah-daerah terpencil dan daerah transmigrasi tak pernah padam. Namun beliau
mempunyai perhatian yang besar pula dalam mendukung kegiatan-kegiatan dakwah di
berbagai kampus di seluruh tanah air. Perhatian beliau kepada pendidikan, telah muncul sejak
usia muda. Pak Natsir terlibat dalam mendirikan berbagai perguruan tinggi Islam di tanah air.
Beliau melihat jauh ke depan. Nasib umat Islam akan menjadi lebih baik, jika pendidikan
dibenahi. Pak Natsir juga mengirim banyak generasi muda untuk menuntut ilmu ke berbagai
negara.
Bagi Pak Natsir hidup adalah perjuangan dan pengabdian tanpa akhir. Beliau berbuat sesuatu
untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara, baik berada di luar panggung kekuasaanmaupun berada di luarnya. Karier Pak Natsir di panggung kekuasaan tidak berlangsung lama.
Menjadi Menteri Penerangan di dalam Kabinet Sjahrir hanya beberapa bulan saja. Menjadi
Perdana Menteri hanya sekitar enam bulan saja. Selebihnya menjadi anggota parlemen dan
konstituante. Namun pengabdian beliau tak pernah padam, walau terkadang terlihat
kontroversial seperti ketika beliau melibatkan diri ke dalam Pemerintah Revolusioner Republik
Indonesia. Pak Natsir sangat prihatian melihat negara yang semakin bergerak ke arah kiri dan
prihatin pula akan munculnya kediktatoran di bawah Presiden Soekarno. Keprihatinan itu
makin bertambah ketika Presiden Soekarno membentuk Kabinet Darurat Ekstra Parlementer di
bawah pimpinan Ir. Djuanda. Beliau melihat semua ini sebagai pelanggaran terang-terangan
terhadap konstitusi dan demokrasi. Sementara di daerah-daerah terus-menerus terjadi
berbagai pergolakan yang berpotensi pecahnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pada awal Pebruari 1958, Pak Natsir memutuskan untuk bergabung dengan tokoh-tokoh di
daerah yang menentang pemerintah pusat yang mereka yakini bersifat inkonstitusional itu.
Dari pertemuan Sungai Dareh lahirlah ultimatum untuk membubarkan pemerintah Djuanda
dan membentuk pemerintahan baru yang dipimpin Mohammad Hatta. Kalau lima kali dua
puluh empat jam ultimatum tidak dipenuhi, maka mereka akan menempuh jalan sendiri dan
tidak mengakui keberadaan dan keabsahan pemerintah pusat. Inilah awal lahirnya Pemerintah
Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera Tengah, sebagai pemerintahan tandingan.
Pak Natsir ingin agar persoalan ketidaksahan pemerintah pusat itu segera diakhiri, dan dengan
begitu setiap saat mereka dengan sukarela akan mengakhiri keberadaan PRRI.
Namun konflik politik terus berlanjut dan konflik bersenjata tidak dapat dihindari lagi. TNI
membom Lapangan Terbang Tabing di Padang dan mendaratkan pasukan di sana. Perang
saudara tak terhindarkan lagi. Tetapi suatu hal yang harus dicatat dari peristiwa ini, Pak Natsirtetap menginginkan konflik ini adalah konflik internal bangsa kita sendiri. PRRI tidak boleh
mengarah kepada separatisme. Sebagai penggagas mosi integral yang melebur negara-
negara bagian Republik Indonesia Serikat (RIS) ke dalam Republik Indonesia, Pak Natsir tetap
menginginkan bangsa dan negara kita bersatu. Ibarat rumah tangga, periuk belanga boleh
beterbangan kata Pak Natsir kepada saya. Tetapi rumah kita jangan kita rubuhkan.Jadi,
-
7/24/2019 Yusril Ihza Mahendra Mengenang Seratus Tahun Mohammad Natsir Print
5/6
PRRI haruslah dilihat sebagai konflik internal antar sesama bangsa kita sendiri, antara mereka
yang menganggap pemerintah pusat sah dan tidak sah, dan konflik antara daerah dengan
pusat yang memerlukan penyelesaian yang bijaksana. Karena itu, sungguh keliru menganggap
PRRI sebagai gerakan separatis.
Meskipun Pak Natsir dan seluruh mereka yang terlibat dalam PRRI memenuhi panggilan
amnesti umum yang disampaikan Presiden Soekarno, namun beliau tetap saja ditahan oleh
Pemerintah Soekarno tanpa tuduhan yang jelas. Penahanan terhadap Pak Natsir itu tidak
pernah dilanjutkan dengan proses hukum, Ini terang-terangan merupakan suatu bentuk
pelanggaran hukum dan hak asasi manusia yang dilakukan Pemerintah Presiden Soekarno. Pak
Natsir baru dibebaskan setelah Presiden Soekarno jatuh dari panggung kekuasaan. Ketika
memasuki alam bebas, Pak Natsir terus melanjutkan pengabdiannya kepada bangsa dan
negara. Masyumi telah dipaksa membubarkan diri oleh Presiden Ketika pada akhir tahun 1960,
ketika Pak Natsir masih berada di hutan-hutan. Usaha merehabilitasi Masyumi mengalami
kegagalan karena sikap keras pemerintahan militer di bawah Jenderal Soeharto. Ketika pintu
untuk kembali terlibat dalam pergerakan politik menjadi tertutup bagi beliau, Pak Natsir
mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia dan mulai aktif dalam Muktamar al-Alam al-
Islami dan Rabithah al-Alam al-Islami. Dengan begitu, beliau diakui bukan saja tokoh Islam di
tanah air, tetapi juga tokoh dunia Islam.
Selama pemerintahan Orde Baru, Pak Natsir tetap dianggap sebagai pemimpin yang disegani
dan sekaligus juga dikhawatirkan pengaruhnya oleh Pemerintah Orde Baru. Namun berbagai
keterbatasan yang beliau hadapi apalagi setelah beliau ikut menandatangani Petisi 50 beliaudilarang ke luar negeri kegiatan dakwah Pak Natsir tak pernah berhenti. Beliau juga menulis
dan memberikan masukan sekaligus kritik terhadap berbagai kebijakan Pemerintah. Namun,
gaya Pak Natsir menulis dan berpidato tetaplah halus, tenang dan tidak berapi-api sebagaimana
kebanyakan pemimpin yang menghadapi banyak tekanan dan hambatan. Namun dibalik
ketenangan dan kehalusaannya itu, terdapat kekuatan semangat dan keteguhan pendirian.
Mengenai hal ini, saya sungguh banyak belajar dari Pak Natsir. Keteguhan hati seorang
pemimpin bukanlah tercermin dari kerasnya kata-kata yang dia ucapkan, melainkan dari sikap
dan prilakunya yang tidak berubah ketika dia menghadapi tekanan dan tantangan, bahkan
bujukan dan rayuan.
Sepanjang saya mengenal Pak Natsir dan bergaul erat dengan beliau, kesan saya, Pak Natsir
adalah pribadi yang amat jujur dan bersahaja. Beliau sering mengenakan baju putih yang ada
bekas tinta di kantongnya, atau mengenakan baju batik berwarna biru tua. Peci dan sehelaisyal selalu dipakainya ke mana saja beliau pergi. Kalau di rumah beliau memakai kain sarung
dan baju potong Cina, sejenis baju khas orang Melayu. Dengan saya, Pak Natsir seringkali
bersenda gurau dan berbicara hal yang lucu-lucu, yang mungkin jarang diucapkannya kepada
orang lain. Pribadi beliau sangat menarik dan nampak mudah sekali merasa kasihan dengan
orang lain. Ketika saya mula-mula bergaul dengan Pak Natsir, saya masih mahasiswa dan
tinggal di Asrama UI di Rawamangun. Setiap Pak Natsir menyuruh saya mengerjakan sesuatu,
saya kerjakan dengan sungguh-sungguh. Kalau apa yang dikerjakan sudah selesai saya
mengantarkannya ke rumah beliau di Jalan Cokroaminoto No 46 Menteng. Saya ngobrol-
ngobrol ke sana ke mari sebentar dengan beliau, dan setelah itu mohon pamit.
Ketika saya sudah di pintu pagar rumah beliau, tiba-tiba Pak Natsir memanggil saya dan
mengatakan Saudara Yusril. Tunggu sebentar. Entah mengapa beliau selalu memanggil sayadengan sebutan saudara itu. Saya tunggu sebentar dan Pak Natsir keluar dari dalam rumah
lalu memasukkan tangannya ke kantong baju saya. Sambil tertawa beliau mengatakan Ini
ongkos becaknya. Sayapun tertawa, saya katakan Pak, sekarang tidak ada becak lagi di
Jakarta. Pak Natsirpun tertawa dan mengatakan Saudara kan mahasiswa dan tinggal di
asrama. Ini untuk naik bis dan untuk ongkos makan.Saya sungguh terharu dengan sikap Pak
Natsir itu. Kalau saya teringat dengan beliau, hati saya merasa sedih. Saya merasa seperti
kehilangan orang tua saya sendiri.
Pak Natsir pernah pula mencari saya ke Asrama UI Daksinapati Rawamangun, Jakarta. Saya
terkejut bukan kepalang karena teman-teman seasrama memberitahu saya ada Pak Natsir
datang ke asrama mencari anda, demikian kata mereka. Saya setengah berlari menghampiri
Pak Natsir yang menunggu saya di lobby arsama itu. Dengan perasaan malu, saya katakan
kepada beliau, biarlah saya yang datang ke rumah Pak Natsir, kalau ada tugas-tugas yangbeliau berikan. Kalau beliau datang ke asrama mencari saya, saya merasa saya seperti orang
penting, padahal saya hanya mahasiswa yang tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan
kebesaran beliau. Mendengar apa yang saya katakan itu, sambil tertawa Pak Natsir berkata
Ya, kalau Saudara yang perlu dengan saya, Saudara yang datang ke rumah saya. Tapi kalau
saya yang perlu dengan Saudara, saya yang datang ke tempat Saudara. Beliau mengucapkan
-
7/24/2019 Yusril Ihza Mahendra Mengenang Seratus Tahun Mohammad Natsir Print
6/6
kata-kata itu tanpa beban. Saya sungguh tertegun dengan ucapan beliau itu. Saya pikir ketika
itu, alangkah demokratis dan rendah hati beliau yang bernama Mohammad Natsir ini, sampai
saya sendiri tak dapat menutupi rasa malu kepada diri sendiri di hati saya.
Demikianlah sekelumit kata pengantar saya atas diterbitkannya kembali Capita Selecta Jilid I
buah tangan Pak Natsir ini. Saya sungguh merasa mendapat kehormatan yang amat besar,
dimintakan untuk menulis kata pengantar ini. Semoga kata pengantar saya ini berguna bagi
siapa saja yang membaca buku Capita Selecta Jilid I ini. Akhirnya, kepada Allah SWT jua saya
mengambalikan segala persoalan.
Wallahu alam bissawwab
Article printed from Yusril Ihza Mahendra: http://yusril.ihzamahendra.com
URL to article: http://yusril.ihzamahendra.com/2008/07/03/mengenang-seratus-
tahun-mohammad-natsir/
Copyright 2007 Yusril Ihza Mahendra. All rights reserved.