zaman batu
DESCRIPTION
Zaman BatuTRANSCRIPT
1. Paleolitikum
Paleolitikum atau zaman batu tua disebut demikian sebab alat-alat batu buatan manusia
masih dikerjakan secara kasar, tidak diasah atau dipolis. Apabila dilihat dari sudut mata
pencariannya periode ini disebut masa berburu dan meramu makanan tingkat sederhana.
Manusia pendukung zaman ini adalah Pithecantropus Erectus, Homo Wajakensis,
Meganthropus Paleojavanicus dan Homo Soloensis. Fosil-fosil ini ditemukan di sepanjang
aliran sungai Bengawan Solo. Mereka memiliki kebudayaan Pacitan dan Ngandong.
Kebudayaan Pacitan pada tahun 1935, Von Koenigswald menemukan alat-alat batu dan
kapak genggam di daerah Pacitan. Cara kerjanya digenggam dengan tangan. Kapak ini
dikerjaan dengan cara masih sangat kasar. Para ahli menyebut alat pada zaman
Paleolithikum dengan nama chopper. Alat ini ditemukan di Lapisan Trinil. Selain di Pacitan,
alat-alat dari zaman Paleplithikum ini temukan di daerah Progo dan Gombong (Jawa
Tengah), Sukabumi (Jawa Barat),dan Lahat (Sumatera Selatan).
1. Jenis Manusia
Berdasarkan penemuan fosil manusia purba, jenis manusia purba hidup pada zaman
Paleolitikum adalah Pithecanthropus Erectus, Homo Wajakensis, Meganthropus
paleojavanicus, dan Homo Soliensis. Fosil ini ditemukan di aliran sungai Bengawan Solo.
2. Kebudayaan
Berdasarkan daerah penemuannya maka alat-alat kebudayaan Paleolithikum tersebut dapat
dikelompokan menjadi kebudayaan Pacitan dan kebudayaan Ngandong.
a. Kebudayaan Pacitan
Pada tahun 1935, von Koenigswald menemukan alat batu dan kapak genggam di daerah
Pacitan. Kapak genggam itu berbentuk kapak tetapi tidak bertangkai. Kapak ini masih
dikerjakan dengan sangat kasar dan belum dihaluskan. Para ahli menyebutkan bahwa kapak
itu adalah kapak penetak. Selain di Pacitan alat-alat banyak ditemukan di Progo dan
Gombong (Jawa Tengah), Sukabumi (Jawa Barat), dan Lahat (Sumatera Utara)
b. Kebudayaan Ngandong
Para ahli berhasil menemukan alat-alat dari tulang, flakes, alat penusuk dari tanduk rusa dan
ujung tombak bergigi di daerah Ngandong dan Sidoarjo. Selain itu di dekat Sangiran
1
ditemukan alat sangat kecil dari betuan yang amat indah. Alat ini dinamakan Serbih Pilah,
dan banyak ditemukan di Cabbenge (Sulawesi Selatan) yang terbuat dari batu-batu indah
seperti kalsedon. Kebudayaan Ngandong juga didukung oleh penemuan lukisan pada
dinding goa seperti lukisan tapak tangan berwarna merah dan babi hutan ditemukan di Goa
Leang Pattae (Sulawesi Selatan)
Zaman Paleolithikum ditandai dengan kebudayan manusia yang masih sangat sederhana.
Ciri-ciri kehidupan manusia pada zaman Paleolithikum, yakni:
1. Hidup berpindah-pindah (Nomaden)
2. Berburu (Food Gathering)
3. Menangkap ikan
3. Alat-alat pada zaman Paleolitikum
Pada zaman ini alat-alat terbuat dari batu yang masih kasar dan belum dihaluskan. Contoh
alat-alat tersebut adalah:
1. Kapak Genggam
Kapak genggam banyak ditemukan di daerah Pacitan. Alat ini biasanya disebut "chopper"
(alat penetak/pemotong)
Alat ini dinamakan kapak genggam karena alat tersebut serupa dengan kapak, tetapi tidak
bertangkai dan cara mempergunakannya dengan cara menggenggam. Pembuatan kapak
genggam dilakukan dengan cara memangkas salah satu sisi batu sampai menajam dan sisi
lainnya dibiarkan apa adanyasebagai tempat menggenggam. Kapak genggam berfungsi
menggali umbi, memotong, dan menguliti binatang.
2
2. Kapak Perimbas
Kapak perimbas berfungsi untuk merimbas kayu, memahat tulang dan sebagai senjata.
Manusia kebudayan Pacitan adalah jenis Pithecanthropus. Alat ini juga ditemukan di
Gombong (Jawa Tengah), Sukabumi (Jawa Barat), lahat, (Sumatra selatan), dan Goa
Choukoutieen (Beijing). Alat ini paling banyak ditemukan di daerah Pacitan, Jawa Tengah
sehingga oleh Ralp Von Koenigswald disebut kebudayan Pacitan.
3. Alat-alat dari tulang binatang atau tanduk rusa
Salah satu alat peninggalan zaman paleolithikum yaitu alat dari tulang binatang. Alat-alat
dari tulang ini termasuk hasil kebudayaan Ngandong. Kebanyakan alat dari tulang ini berupa
alat penusuk (belati) dan ujung tombak bergerigi. Fungsi dari alat ini adalah untuk mengorek
ubi dan keladi dari dalam tanah. Selain itu alat ini juga biasa digunakan sebagai alat untuk
menangkap ikan.
3
4. Flakes
Flakes yaitu alat-alat kecil yang terbuat dari batu Chalcedon, yang dapat digunakan untuk
mengupas makanan. Flakes termasuk hasil kebudayaan Ngandong sama seperti alat-alat
dari tulang binatang. Kegunaan alat-alat ini pada umumnya untuk berburu, menangkap ikan,
mengumpulkan ubi dan buah-buahan.
2. Zaman Mesolitikum
Setelah pleistosen berganti dengan holosen, kebudayaan paleolithikum tidak begitu saja
lenyap melainkan mengalami perkembangan selanjutnya. Di Indonesia, kebudayaan
paleolithikum itu mendapat pengaruh baru dengan mengalirnya arus kebudayaan baru dari
daratan Asia ygna membawa coraknya sendiri. Kebudayaan baru yang timbul itu
dinamakan Mesolithikum. Kebudayaan mesolithikum ini banyak ditemukan bekas-bekasnya
di Sumatra, Jawa , Kalimantan, Sulawesi dan di Flores. Dari peninggalan-peninggalan
tersebut dapat diketahui bahwa jaman itu manusia masih hidup dari berburu dan
menangkap ikan (Food-Gathering). Akan tetapi sebagian sudah mempunyai tempat tinggal
tetap, sehingga bisa dimungkinkan sudah bercocok tanam walau masih sangat sederhana
dan secara kecil-kecilan. Bekas-bekas tempat tinggal mereka ditemukan di pinggir pantai
(Kjokkenmoddinger) dan di dalam gua-gua (Abris Sous Roche). Disitulah pula banyak
didapatkan bekas-bekas kebudayaannya.
Penelitian di bukit kerang menghasilkan banyak penemuan kapak genggam yang ternyata
berbeda dengan chopper (kapak genggam Paleolithikum). Kapak genggam yang ditemukan
di dalam bukit kerang tersebut dinamakan pebble / kapak Sumatra. Bentuk pebble dapat
dikatakan sudah cukup sempurna dan buatannya agak halus. Hal ini membuktikan bahwa
alat-alat pada zaman mesolithikum merupakan pengembangan dari alat-alat zaman
4
paleolithikum, dimana cara pembuatannya lebih baik dan lebih halus dari zaman
paleolithikum.
A. HASIL KEBUDAYAAN MESOLITHIKUM
1. Kebudayaan Pebble (Pebble Culture)
a. Kjokkenmoddinger (Sampah Dapur)
Kjokkenmoddinger adalah istilah yang berasal dari bahasa Denmark yaitu kjokken artinya
dapur dan modding artinya sampah jadi Kjokkenmoddinger arti sebenarnya adalah sampah
dapur. Dalam kenyataan Kjokkenmoddinger adalah timbunan atau tumpukan kulit kerang
dan siput yang mencapai ketinggian ± 7 meter dan sudah membatu atau menjadi fosil.
Kjokkenmoddinger ditemukan disepanjang pantai timur Sumatera yakni antara Langsa dan
Medan. Dari bekas-bekas penemuan tersebut menunjukkan bahwa manusia purba yang
hidup pada zaman ini sudah menetap. Tahun 1925 Dr. P.V. Van Stein Callenfels melakukan
penelitian di bukit kerang tersebut dan hasilnya banyak menemukan kapak genggam yang
ternyata berbeda dengan chopper (kapak genggam Palaeolithikum).
b. Pebble (kapak genggam Sumatera = Sumateralith)
Tahun 1925, Dr. P.V. Van Stein Callenfels melakukan penelitian di bukit kerang tersebut dan
hasilnya menemukan kapak genggam. Kapak genggam yang ditemukan di dalam bukit
kerang tersebut dinamakan dengan pebble/kapak genggam Sumatra (Sumatralith) sesuai
5
dengan lokasi penemuannya yaitu dipulau Sumatra. Bahan-bahan untuk membuat kapak
tersebut berasal batu kali yang dipecah-pecah.
c. Hachecourt (kapak pendek)
Selain pebble yang diketemukan dalam bukit kerang, juga ditemukan sejenis kapak tetapi
bentuknya pendek (setengah lingkaran) yang disebut dengan hachecourt/kapak pendek.
d. Pipisan
Selain kapak-kapak yang ditemukan dalam bukit kerang, juga ditemukan pipisan (batu-batu
penggiling beserta landasannya). Batu pipisan selain dipergunakan untuk menggiling
makanan juga dipergunakan untuk menghaluskan cat merah. Bahan cat merah berasal dari
tanah merah. Cat merah diperkirakan digunakan untuk keperluan religius dan untuk ilmu
sihir.
2. Kebudayaan Tulang dari Sampung (Sampung Bone Culture)
Berdasarkan alat-alat kehidupan yang ditemukan di goa lawa di Sampung (daerah Ponorogo
- Madiun Jawa Timur) tahun 1928 - 1931, ditemukan alat-alat dari batu seperti ujung panah
dan flakes, kapak yang sudah diasah, alat dari tulang, tanduk rusa, dan juga alat-alat dari
6
perunggu dan besi. Oleh para arkeolog bagian terbesar dari alat-alat yang ditemukan itu
adalah tulang, sehingga disebut sebagai Sampung Bone Culture.
3. Kebudayaan Flakes (Flakes Culture)
Abris Sous Roche (Gua tempat tinggal)
Abris Sous Roche adalah goa-goa yang yang dijadikan tempat tinggal manusia purba pada
zaman Mesolithikum dan berfungsi sebagai tempat perlindungan dari cuaca dan binatang
buas. Penyelidikan pertama pada Abris Sous Roche dilakukan oleh Dr. Van Stein Callenfels
tahun 1928-1931 di goa Lawa dekat Sampung Ponorogo Jawa Timur. Alat-alat yang
ditemukan pada goa tersebut antara lain alat-alat dari batu seperti ujung panah, flakes, batu
pipisan, kapak yang sudah diasah yang berasal dari zaman Mesolithikum, serta alat-alat dari
tulang dan tanduk rusa.Di antara alat-alat kehidupan yang ditemukan ternyata yang paling
banyak adalah alat dari tulang sehingga oleh para arkeolog disebut sebagai Sampung Bone
Culture / kebudayaan tulang dari Sampung. Karena goa di Sampung tidak ditemukan Pebble
ataupun kapak pendek yang merupakan inti dari kebudayaan Mesolithikum. Selain di
Sampung, Abris Sous Roche juga ditemukan di daerah Besuki dan Bojonegoro Jawa Timur.
Penelitian terhadap goa di Besuki dan Bojonegoro ini dilakukan oleh Van Heekeren. Di
Sulawesi Selatan juga banyak ditemukan Abris Sous Roche terutama di daerah Lomoncong
yaitu goa Leang Patae yang di dalamnya ditemukan flakes, ujung mata panah yang sisi-
sisinya bergerigi dan pebble. Di goa tersebut didiami oleh suku Toala, sehingga oleh tokoh
peneliti Fritz Sarasin dan Paul Sarasin, suku Toala yang sampai sekarang masih ada dianggap
sebagai keturunan langsung penduduk Sulawesi Selatan zaman prasejarah. Untuk itu
kebudayaan Abris Sous Roche di Lomoncong disebut kebudayaan Toala. Kebudayaan Toala
tersebut merupakan kebudayaan Mesolithikum yang berlangsung sekitar tahun 3000
7
sampai 1000 SM. Selain di Jawa Timur dan Sulawesi Selatan, Abris Sous Roche juga
ditemukan di daerah Timor dan Rote. Penelitian terhadap goa tersebut dilakukan oleh
Alfred Buhler yang di dalamnya ditemukan flakes dan ujung mata panah yang terbuat dari
batu indah.
B. KEBUDAYAAN BACSON-HOABINH
Kebudayaan ini ditemukan dalam gua-gua dan dalam bukit-bukit kerang di Indo-China, Siam,
Malaka, dan Sumatera Timur. Alat-alat kebudayaannya terbuat dari batu kali, seperti
bahewa batu giling. Pada kebudayaan ini perhatian terhadap orang meninggal dikubur di
gua dan juga di bukit-bukit kerang. Beberapa mayatnya diposisikan dengan berjongkok dan
diberi cat warna merah. Pemberian cat warna merah bertujuan agar dapat mengembalikan
hayat kepada mereka yang masih hidup. Di Indonesia, kebudayaan ini ditemukan di bukit-
bukit kerang. Hal seperti ini banyak ditemukan dari Medan sampai ke pedalaman Aceh.
Bukit-bukit itu telah bergeser sejauh 5 km dari garis pantai menunjukkan bahwa dulu
pernah terjadi pengangkatan lapisan-lapisan bumi. Alur masuknya kebudayaan ini sampai ke
Sumatera melewati Malaka. Di Indonesia ada dua kebudayaan Bacson-Hoabinh, yakni:
1. Kebudayaan pebble dan alat-alat dari tulang yang datang ke Indonesia melalui jalur
barat.
2. Kebudayaan flakes yang datang ke Indonesia melalui jalur timur.
Dengan adanya keberadaan manusia jenis Papua Melanosoide di Indonesia sebagai
pendukung kebudayaan Mesolithikum, maka para arkeolog melakukan penelitian terhadap
penyebaran pebble dan kapak pendek sampai ke daerah teluk Tonkin daerah asal bangsa
8
Papua Melanosoide. Dari hasil penyelidikan tersebut, maka ditemukan pusat pebble dan
kapak pendek berasal dari pegunungan Bacson dan daerah Hoabinh, di Asia Tenggara.
Tetapi di daerah tersebut tidak ditemukan flakes, sedangkan di dalam Abris Sous Roche
banyak ditemukan flakes bahkan di pulau Luzon (Filipina) juga ditemukan flakes. Ada
kemungkinan kebudayaan flakes berasal dari daratan Asia, masuk ke Indonesia melalui
Jepang, Formosa dan Filipina.
C. KEBUDAYAAN TOALA
Kebudayaan Toala dan yang serumpun dengan itu disebut juga kebudayaan flake dan blade.
Alat-alatnya terbuat dari batu-batu yang menyerupai batu api dari eropa, seperti chalcedon,
jaspis, obsidian dan kapur. Perlakuan terhadap orang yang meninggal dikuburkan didalam
gua dan bila tulang belulangnya telah mengering akan diberikan kepada keluarganya
sebagai kenang-kenangan. Biasanya kaum perempuan akan menjadikan tulang belulang
tersebut sebagai kalung. Selain itu, didalam gua terdapat lukisan mengenai perburuan babi
dan juga rentangan lima jari yang dilumuri cat merah yang disebut dengan “silhoutte”. Arti
warna merah tanda berkabung. Kebudayaan ini ditemukan di Jawa (Bandung, Besuki, dan
Tuban), Sumatera (danau Kerinci dan Jambi), Nusa Tenggara di pulau Flores dan Timor.
3. Zaman Neolitikum
Ada dikatakan bahwa neolithikum itu adalah suatu revolusi yang sangat besar dalam
peradaban manusia. Perubahan besar ini ditandai dengan berubahnya peradaban
penghidupan food-gathering menjadi foodproducing. Pada saat orang sudah mengenal
bercocok tanam dan berternak. Pertanian yang mereka selenggarakan mula-mula bersifat
primitif dan hanya dilakukan di tanah-tanah kering saja. Pohon-pohon dari beberapa bagian
hutan di kelupak kulitnya dan kemudian dibakar. Tanah-tanah yang baru dibuka untuk
9
pertanian semacam itu untuk beberapa kali berturut-turut ditanami dan sesudah itu
ditinggalkan.
Orang-orang Indonesia zaman neolithikum membentuk masyarakat-masyarakat dengan
pondok-pondok mereka berbentuk persegi siku-siku dan didirikan atas tiang-tiang kayu,
dinding-dindingnya diberi hiasan dekoratif yang indah-indah, Walaupun alat-alat mereka
masih dibuat daripada batu, tetapi alat-alat itu dibuat dengan halus, bahkan juga sudah
dipoles pada kedua belah mukanya.
A. CARA HIDUP
Cara hidup zaman neolithikum membawa perubahan-perubahan besar, karena pada zaman
itu manusia mulai hidup berkelompok kemudian menetap dan tinggal bersama dalam
kampung. Berarti pembentukan suatu masyarakat yang memerlukan segala peraturan kerja
sama. Pembagian kerja memungkinkan perkembangan berbagai macam dan cara
penghidupan di dalam ikatan kerjasama itu. Dapat dikatakan pada zaman neolithikum itu
terdapat dasar-dasar pertama untuk penghidupan manusia sebagai manusia, sebagaimana
kita dapatkan sekarang.
B. ALAT-ALAT ZAMAN NEOLITHIKUM
Pada zaman neolithikum ini alat-alat terbuat dari batu yang sudah dihaluskan.
1. Pahat Segi Panjang
Daerah asal kebudayaan pahat segi panjang ini meliputi Tiongkok Tengah dan Selatan,
daerah Hindia Belakang sampai ke daerah sungai gangga di India, selanjutnya sebagian
besar dari Indonesia, kepulauan Philipina, Formosa, kepulauan Kuril dan Jepang.
2. Kapak Persegi
Asal-usul penyebaran kapak persegi melalui suatu migrasi bangsa Asia ke Indonesia. Nama
kapak persegi diberikan oleh Van Heine Heldern atas dasar penampang lintangnya yang
10
berbentuk persegi panjang atau trapesium. Penampang kapak persegi tersedia dalam
berbagai ukuran, ada yang besar dan kecil. Yang ukuran besar lazim disebut dengan beliung
dan fungsinya sebagai cangkul/pacul. Sedangkan yang ukuran kecil disebut dengan
Tarah/Tatah dan fungsinya sebagai alat pahat/alat untuk mengerjakan kayu sebagaimana
lazimnya pahat.
Bahan untuk membuat kapak tersebut selain dari batu biasa, juga dibuat dari batu
api/chalcedon. Kemungkinan besar kapak yang terbuat dari calsedon hanya dipergunakan
sebagai alat upacara keagamaan, azimat atau tanda kebesaran. Kapak jenis ini ditemukan di
daerahi Sumatera, Jawa, bali, Nusatenggara, Maluku, Sulawesi dan Kalimantan.
3. Kapak Lonjong
Sebagian besar kapak lonjong dibuat dari batu kali, dan warnanya kehitam-hitaman. Bentuk
keseluruhan dari kapak tersebut adalah bulat telur dengan ujungnya yang lancip menjadi
tempat tangkainya, sedangkan ujung lainnya diasah hingga tajam. Untuk itu bentuk
keseluruhan permukaan kapak lonjong sudah diasah halus.
Ukuran yang dimiliki kapak lonjong yang besar lazim disebut dengan Walzenbeil dan yang
kecil disebut dengan Kleinbeil, sedangkan fungsi kapak lonjong sama dengan kapak persegi.
Daerah penyebaran kapak lonjong adalah Minahasa, Gerong, Seram, Leti, Tanimbar dan
Irian. Dari Irian kapak lonjong tersebar meluas sampai di Kepulauan Melanesia, sehingga
para arkeolog menyebutkan istilah lain dari kapak lonjong dengan sebutan Neolithikum
Papua.
4. Kapak Bahu
Kapak jenis ini hampir sama seperti kapak persegi, hanya saja di bagian yang diikatkan pada
tangkainya diberi leher. Sehingga menyerupai bentuk botol yang persegi. Daerah
kebudayaan kapak bahu ini meluas dari Jepang, Formosa, Filipina terus ke barat sampai
11
sungai Gangga. Tetapi anehnya batas selatannya adalah bagian tengah Malaysia Barat.
Dengan kata lain di sebelah Selatan batas ini tidak ditemukan kapak bahu, jadi neolithikum
Indonesia tidak mengenalnya, meskipun juga ada beberapa buah ditemukan yaitu di
Minahasa.
5. Perhiasan (gelang dan kalung dari batu indah)
Jenis perhiasan ini banyak di temukan di wilayah jawa terutama gelang-gelang dari batu
indah dalam jumlah besar walaupun banyak juga yang belum selesai pembuatannya. Bahan
utama untuk membuat benda ini di bor dengan gurdi kayu dan sebagai alat abrasi (pengikis)
menggunakan pasir. Selain gelang ditemukan juga alat-alat perhisasan lainnya seperti kalung
yang dibuat dari batu indah pula. Untuk kalung ini dipergunakan juga batu-batu yang dicat
atau batu-batu akik.
6. Pakaian dari kulit kayu
Pada zaman ini mereka telah dapat membuat pakaiannya dari kulit kayu yang sederhana
yang telah di perhalus. Pekerjaan membuat pakaian ini merupakan pekerjaan kaum
perempuan. Pekerjaan tersebut disertai pula berbagai larangan atau pantangan yang harus
di taati. Sebagai contoh di Kalimantan dan Sulawesi Selatan dan beberapa tempat lainnya
ditemukan alat pemukul kulit kayu. Hal ini menunjukkan bahwa orang-orang zaman
neolithikum sudah berpakaian.
7. Tembikar (Periuk belanga)
Bekas-bekas yang pertama ditemukan tentang adanya barang-barang tembikar atau periuk
belanga terdapat di lapisan teratas dari bukit-bukit kerang di Sumatra, tetapi yang
ditemukan hanya berupa pecahan-pecahan yang sangat kecil. Walaupun bentuknya hanya
berupa pecahan-pecahan kecil tetapi sudah dihiasi gambar-gambar. Di Melolo, Sumba
banyak ditemukan periuk belanga yang ternyata berisi tulang belulang manusia.
12
4. Zaman Perundagian
a. Kehidupan Sosial
Usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan pribadinya mendorong
ditemukannya peleburan bijih-bijih logam dan pembuatan benda-benda dari logam. Selain
itu, adanya persaingan antarpribadi di dalam masyarakat menimbulkan keinginan untuk
menguasai satu bidang. Gejala seperti ini menyebabkan timbulnya golongan undagi.
Golongan ini merupakan golongan masyarakat terampil dan mampu menguasai teknologi
pada bidang-bidang tertentu, misalnya membuat rumah, peleburan logam, membuat
perhiasan. (Baca juga : Kehidupan Sosial, Ekonomi, Sistem Kepercayaan, Budaya dan Alat-
alat Manusia Purba Di Indonesia)
Masa perundagian merupakan tonggak timbulnya kerajaan-kerajaan di Indonesia,
karena pada masa ini kelompok-kelompok masyarakat yang terbentuk di desadesa kecil
membentuk kelompok yang lebih besar lagi, terutama dengan adanya penguasaan wilayah
oleh orang yang dianggap terkemuka. Pada masa perundagian ini, masyarakat purba di
Indonesia mulai berkenalan dengan komunitas yang lebih luas, seperti dengan manusia dari
India dan Cina
b. Budaya dan Alat yang dihasilkan
Adanya perkembangan teknologi yang semakin maju, mendorong manusia untuk
melakukan hal yang terbaik pada dirinya, di antaranya pengaturan tata air (irigasi).
Perdagangan pun diperluas hingga antarpulau yang sebelumnya hanya antardaerah
domestik. Dengan demikian, terjadilah sosialisasi antara manusia Indonesia dengan suku
dan bangsa-bangsa lain yang perkembangan budayanya telah lebih maju, seperti
kebudayaan India dan Cina.
Melalui interaksi dengan orang India, masyarakat Indonesia mulai mengenal sistem
kerajaan, yang kemudian melahirkan kerajaan Hindu-Buddha seperti Kutai, Tarumanagara,
Sriwijaya, Mataram, dan lain-lain.
13
Kehidupan seperti ini menunjang terbentuknya kebudayaan yang lebih maju yang
memerlukan alat-alat pertanian dan perdagangan yang lebih baik dengan bahan-bahan dari
logam. Hasilhasil peninggalan kebudayaannya antara lain nekara perunggu, moko, kapak
perunggu, bejana perunggu, arca perunggu, dan perhiasan.
1. Nekara perunggu : berfungsi sebagai pelengkap upacara untuk memohon
2. turun hujan dan sebagai genderang perang; memiliki pola hias yang beragam, dari
pola binatang, geometris, dan tumbuh-tumbuhan, ada pula yang tak bermotif;
banyak ditemukan di Bali, Nusa Tenggara, Maluku, Selayar, Papua.
3. Kapak perunggu : bentuknya beraneka ragam. Ada yang berbentuk pahat, jantung,
atau tembilang; motifnya berpola topang mata atau geometris.
4. Bejana perunggu : bentuknya mirip gitar Spanyol tanpa tangkai; di temukan di
Madura dan Sulawesi.
14
5. Arca perunggu : berbentuk orang sedang menari, menaiki kuda, atau memegang
busur panah; ditemukan di Bangkinang (Riau), Lumajang, Bogor, Palembang.
6. Perhiasan dan manik-manik: ada yang terbuat dari perunggu, emas, dan besi;
berbentuk gelang tangan, gelang kaki, cincin, kalung, bandul; banyak ditemukan di
Bogor, Bali, dan Malang; sedangkan manik-manik banyak ditemukan di Sangiran,
Pasemah, Gilimanuk, Bogor, Besuki, Bone; berfungsi sebagai bekal kubur; bentuknya
ada yang silinder, bulat, segi enam, atau oval.
c. Kepercayaan
Kepercayaan masyarakat pada masa perundagian merupakan kelanjutan dari masa
bercocok tanam. Kepercayan berkembang sesuai dengan pola pikir manusia yang merasa
dirinya memiliki keterbatasan dibandingkan dengan yang lainnya. Anggapan seperti ini
memunculkan jenis kepercayaan: animisme dan dinamisme.
1) Animisme
15
Dalam kepercayaan animisme, manusia mempunyai anggapan bahwa suatu benda
memiliki kekuatan supranatural dalam bentuk roh. Roh ini bisa dipanggil dan diminta
pertolongan pada saat diperlukan. Mereka percaya akan hal-hal yang gaib atau kekuatan
hebat. Kepercayaan terhadap bermacam-macam roh dan makhluk halus yang menempati
suatu tempat memunculkan kegiatan menghormati atau memuja roh tersebut dengan cara
berdoa dengan mantera dan memberi sesajen atau persembahan.
2) Dinamisme
Kepercayaan dinamisme ini perpanjangan dari animisme. Roh atau makhluk halus
yang diyakini berasal dari jiwa manusia yang meninggal, kemudian mendiami berbagai
tempat, misalnya hutan belantara, lautan luas, gua-gua, sumur dalam, sumber mata air,
persimpangan jalan, pohon besar, batu-batu besar, dan lain-lain. Timbullah kepercayaan
terhadap adanya kekuatan gaib yang dapat menambah kekuatan seseorang yang masih
hidup. Kekuatan yang timbul dari alam semesta inilah yang menimbulkan kepercayaan
dinamisme (dinamis berarti bergerak). Manusia purba percaya bahwa, misalnya, pada batu
akik, tombak, keris, belati, anak panah, bersemayam kekuatan halus, sehingga alat-alat
tersebut harus dirawat, diberi sesajen, dimandikan dengan air kembang.
Di kemudian hari, kepercayaan-kepercayaan animisme dan dinamisme mendorong
manusia menemukan kekuatan yang lebih besar dari sekadar kekuatan roh dan makhluk
halus dan alam. Masyarakat lambat laun, dari generasi ke generasi, meyakini bahwa ada
kekuatan tunggal yang mendominasi kehidupan pribadi mereka maupun kehidupan alam
semesta. Kekuatan gaib tersebut diyakini memiliki keteraturan sendiri yang tak dapat
diganggu-gugat, yakni hukum alam. Kepercayaan terhadap “Kekuatan Tunggal” ini lantas
dihayati sebagai kekayaan batin spiritual sekaligus kekayaan kebudayaan. Kepercayaan
animisme dan dinamisme ini kemudian berkembang dan menyatu dengan kebudayaan
Hindu-Buddha dan kemudian Islam.
5. Zaman Megalitikum
16
A. Zaman Megalitikum
Megalitikum berasal dari kata mega yang berarti besar, dan lithos yangberarti batu.
Zaman Megalitikum biasa disebut dengan zaman batu besar,karena pada zaman ini
manusia sudah dapat membuat dan meningkatkankebudayaan yang terbuat dan
batu-batu besar. kebudayaan ini berkembang dari zaman Neolitikum sampai
zamanPerunggu. Pada zaman ini manusia sudah mengenal kepercayaan.
Walaupunkepercayaan mereka masih dalam tingkat awal, yaitu
kepercayaanterhadap roh nenek moyang, Kepercayaan ini muncul karena
pengetahuanmanusia sudah mulai meningkat.
A. kebudayaan Megalitikum
Kebudayaan megalitikum akarnya terdapat dalam zaman neolitikum, tertutama
berkaitan dengan upacara penguburan. Kebudayaan megalitikum mengalami
perkembangan yang pesat pada masa perundagian (zaman logam).
1. MENHIR
Makna dari Menhir :
Menhir biasanya didirikan secara tunggal atau
berkelompok sejajar di atas tanah. Diperkirakan
benda prasejarah ini didirikan oleh manusia
prasejarah untuk melambangkan phallus, yakni
simbol kesuburan untuk bumi.
Menhir adalah batu yang serupa
dengandolmen dan cromlech, merupakan batuan
dari periode Neolitikum yang umum ditemukan
diPerancis, Inggris, Irlandia, Spanyol dan Italia. Batu-
batu ini dinamakan juga megalith (batu besar) dikarenakan ukurannya. Mega dalambahasa
17
Yunani artinya besar dan lith berartibatu. Para arkeolog mempercayai bahwa situs ini
digunakan untuk tujuan religius dan memiliki makna simbolis sebagai sarana penyembahan
arwah nenek moyang.
2. Punden Berundak-undak
Makna Punden berundak :
Punden berundak-undak adalah
bangunan dari batu yang bertingkat-
tingkat dan maknanya sebagai tempat
pemujaan terhadap roh nenek moyang
yang telah meninggal. Bangunan
tersebut dianggap sebagai bangunan
yang suci, dan lokasi tempat penemuannya adalah Lebak Sibedug/Banten Selatan dan
Lereng Bukit Hyang di Jawa Timur.
3. Dolmen
Makna Dolmen :
Dolmen merupakan meja dari batu yang
bermakna sebagai tempat meletakkan
saji-sajian untuk pemujaan. Adakalanya
di bawah dolmen dipakai untuk
meletakkan mayat, agar mayat tersebut
tidak dapat dimakan oleh binatang buas
maka kaki mejanya diperbanyak sampai mayat tertutup rapat oleh batu. Dengan demikian
dolmen yang bermakna sebagai tempat menyimpan mayat disebut dengan kuburan batu.
18
Lokasi penemuan dolmen antara lain Cupari Kuningan / Jawa Barat, Bondowoso / Jawa
Timur, Merawan, Jember / Jatim, Pasemah / Sumatera, dan NTT.
4. Sarkofagus
Makna Sarkofagus :
Sarkofagus adalah keranda batu atau peti
mayat yang terbuat dari batu. Bentuknya
menyerupai lesung dari batu utuh yang
diberi tutup. Dari Sarkofagus yang
ditemukan umumnya di dalamnya terdapat
mayat dan bekal kubur berupa periuk, kapak persegi, perhiasan dan benda-benda dari
perunggu serta besi. Daerah tempat ditemukannya sarkofagus adalah Bali. Menurut
masyarakat Bali Sarkofagus memiliki kekuatan magis/gaib. Berdasarkan pendapat para ahli
bahwa sarkofagus dikenal masyarakat Bali sejak zaman logam.
5. Arca batu
Makna :
Arca/patung-patung dari batu yang
berbentuk binatang atau manusia.
Bentuk binatang yang digambarkan
adalah gajah, kerbau, harimau dan
moyet. Sedangkan bentuk arca manusia
yang ditemukan bersifat dinamis.
Maknanya, wujudnya manusia dengan penampilan yang dinamis seperti arca batu gajah.
Arca batu gajah adalah patung besar dengan gambaran seseorang yang sedang menunggang
binatang yang diburu. Arca tersebut ditemukan di daerah Pasemah (Sumatera Selatan).
19
Daerah-daerah lain sebagai tempat penemuan arca batu antara lain Lampung, Jawa Tengah
dan Jawa Timur.
6. Waruga
Makna Waruga :
Waruga adalah peti kubur peninggalan budaya
Minahasa pada zaman megalitikum. Didalam peti
pubur batu ini akan ditemukan berbagai macam
jenis benda antara lain berupa tulang- tulang
manusia, gigi manuisa, periuk tanah liat, benda- benda logam, pedang, tombak, manik-
manik, gelang perunggu, piring dan lain- lain. Dari jumlah gigi yang pernah ditemukan
didalam waruga, diduga peti kubur ini adalah merupakan wadah kubur untuk beberapa
individu juga atau waruga bisa juga dijadikan kubur keluarga (common tombs) atau kubur
komunal. Benda- benda periuk, perunggu, piring, manik- manik serta benda lain sengaja
disertakan sebagai bekal kubur bagi orang yang akan meninggal.
7. Kubur Batu
Makna Kubur Batu :
Batu megalitikum ini dipercaya menjadi tepat
tinggal di alam gaib. Semakin besar kubur batu,
semakin menunjukan kebesaran para
bangsawan itu. Yang pada intinya bermakna
sebagai tempat menyimpan mayat.
B. Kepercayaan
Kehidupan Keagamaan Masyarakat Sunda Kuno
Penemuan-penemuan sejumlah bangunan era Megalitikum mengindikasikan bahwa
rakyat Sunda kuno cukup religius. Sebelum pengaruh Hindu dan Buddha tiba di Pulau
20
Jawa, masyarakat Sunda telah mengenal sejumlah kepercayaan, seperti terhadap
leluhur, benda-benda angkasa dan alam seperti matahari, bulan, pepohonan, sungai,
dan lain-lain. Pengenalan terhadap teknik bercocok tanam (ladang) dan beternak,
membuat masyarakat percaya terhadap kekuatan alam. Untuk mengungkapkan rasa
bersyukur atas karunia yang diberikan oleh alam, mereka lalu melakukan upacara
ritual yang dipersembahkan bagi alam. Karena itu, mereka percaya bahwa alam
beserta isinya memiliki kekuatan yang tak bisa dijangkau oleh akal dan pikiran
mereka.
Dalam melaksanakan ritual atau upacara keagamaan, masyarakat prasejarah itu
berkumpul di komplek batu-batu besar (megalit) seperti punden-berundak
(bangunan bertingkat-tingkat untuk pemujaan), menhir (tugu batu sebagai tempat
pemujaan), sarkofagus (bangunan berbentuk lesung yang menyerupai peti mati),
dolmen (meja batu untuk menaruh sesaji), atau kuburan batu (lempeng batu yang
disusun untuk mengubur mayat). Bangunan-bangunan dari batu ini banyak
ditemukan di sepanjang wilayah Jawa bagian barat. Dibandingkan dengan wilayah
Jawa Tengah dan Timur, Jawa Barat paling banyak meninggalkan bangunan-
bangunan megalitik tersebut.
Kehidupan yang serba tergantung kepada alam membuat pola hidup yang
bergotong-royong. Dalam melakukan persembahan/penyembahan terhadap roh
leluhur maupun kekuatan alam, masyarakat prasejarah ini melakukannya secara
bersama-sama. Yang memimpin upacara itu adalah mereka yang berusia paling tua
atau dituakan oleh masyarakat yang bersangkutan. Pemimpin inilah yang berhak
menentukan kapan acara “sedekah bumi” dan upacara-upacara religius lainnya
dilakukan. Dialah juga yang dipercayai masyarakat dalam hal mengusir roh jahat,
mengobati orang sakit, dan menghukum warganya yang melanggar nilai atau hukum
yang diberlakukan.
Kehidupan Keagamaan Masyarakat Sunda Masa Hindu-Buddha
Setelah kedatangan orang-orang India, masyarakat Sunda kuno mulai terpengaruh
ajaran-ajaran Hindu dan Buddha. Penemuan sejumlah arca-batu bercorak Hindu dan
21
Buddha (meski dibuat sangat sederhana) menandakan bahwa mereka—terutama
kaum bangsawan—memercayai dan mempraktikkan ajaran-ajaran Hindu-Buddha.
Meski jarang sekali ditemukan candi yang bercorak Hindu-Buddha, tak dipungkiri
bahwa masyarakat Sunda Kuno—terutama keluarga raja—menganut agama-agama
dari India itu, yang kemudian dipadukan dengan kepercayaan nenek-moyang
mereka, yaitu Sunda Wiwitan.
Sejak masa Salakanagara dan Tarumanagara, raja-raja di Sunda memiliki gelar yang
sangat kental warna Hindu maupun Buddha. Gelar “dewawarman” yang berarti
“baju perisai dewa”, tentu mengacu kepada kepercayaan Hindu, selain karena
pendiri Salakanagara berasal dari negeri India. Mereka begitu memuja dewa-dewa
Hindu seperti Surya, Wisnu, dan Siwa.
22