repository.ipb.ac.id · daftar isi pernyataan mengenai disertasi dan sumber informasi dengan ini...
TRANSCRIPT
POLITIK AGRARIA TRANSFORMATIF: Studi Peluruhan Kelembagaan Lokal Dan Kegagalan
Politik Tata Kelola Agraria Pada Komunitas Petani
Di DAS Cidanau Kabupaten Serang Provinsi Banten
HIDAYAT
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
DAFTAR ISI
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif:
Studi Peluruhan Kelembagaan Lokal dan Kegagalan Politik Tata Kelola Agraria Pada
Komunitas Petani di DAS Cidanau, Kabupaten Serang Provinsi Banten” adalah karya
akademik saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi manapun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya diterbitkan maupun tidak diterbitkan
dari penulis telah saya sebutkan dalam catatan kaki, teks dan dicantumkan dalam Daftar
Pustaka dibagian akhir disertasi ini.
Bogor, 16 Pebruari 2011
Hidayat
NRP A162040021
A B S T R A C T
HIDAYAT. Political Agrarian Transformative: The Study Local Institutional Declaning and
Political Failure On Management Setting of Agrarian in Peasant Community of Cidanau Watershed,
Regency of Serang, Province of Banten. Suvervised by ENDRIATMO SOETARTO, DJUARA P.
LUBIS, SEDIONO M.P.TJONDRONEGORO.
The research was aimed to study 3 aspect: management setting model of agrarian resources based
local institutions which was conducted by forest peasant community in the upstream watershed region of
Cidanau, sectoral contestation, local superlocal and contes-tation in the internal scope of peasant
community. To study the mentioned above, this research used a critical paradigm. The research was done
in 3 villages location which have different ecological characteristics namely dry land, and wet/rice fields
and rice fields. The collecting data methods used observed participation, in depth interview and Focus
Group Discussion (FGD). Data Analysis used qualitative analysis approach. In an effort of obtaining data
validity truth can be convinced, data eligibility tested through technical triangulation resources and
method. The results of this research showed that local institutional management setting of agrarian
resources in this area has relation with life insight and social culture value and being rule of game form of
management setting of conducive agrarian resources for sustainability development.
The local institution is in the form covering (1) soil conception, land used management (2) and
forest zonation (3) local knowledge/wise regarding food plants and medicines (4) buyut, pipeling
institutions. While local institutions is in the form organization and management setting practices are
liliuran dan wanatani (agroforestry). In management setting of agrarian resources manifest from local
institution ia an agricultural technological appliances of rotated farming, ngaseuk (land managed
conservation form), coo bibit (prime seed upgrading), environment friendly plant germs eradication and
planting period following season and rotated plants.
The agrarian resources control contestation in the village area goes on in 3 forms, sectoral
contestation, local superlocal and internal scope community. The sectoral contestation was due to the lack
of comprehension over agrarian resources function as stock, public commodity and resources as
commodity and political will and political action weakness of government agency. In the contestation
sector of rural community push country’s control towards rural resources, institutional conflict, taking
away of increasing standard of living achieved and independent appearance of rural community. The
contestation sector was jeered by synergy weakness and government coordination in planning aspect,
implementation, evaluation and monitoring. The local superlocal contestation appeared in the form of
holistic contestation versus reductionist, agroforestry community versus plantations, institutional
community versus institutional made government. The scope of internal community contestation relating
with the difference of religion understanding, political and economical orientation, ecological condition
and environmental services receipt.
The course of farmers’ history in Indonesia was colored by superlocal power domination the form
of which vary from time to time depend on political interest and economical regime of the ruling one.The
agrarian politic of new order which oriented betting on the strong had complex impact towards rural
community that caused local institutional declining of management setting went on systematically. The
declining occurred over level system, rule of laws, level organization and individual. The declining
towards buyut institution, the removal of liliuran social capital, the rottening of conservation ethics and
declining local wise. The oriented agrarian politic was betting on the strong caused the ruling government
had failed to create the objective of institutional for prosperity at large and people’s welfare. The failure
of agrarian politics was performed by the marginalization of agrarian community structure, agrarian
predator appeared, peasant eviction and low concern towards environment services.
Key Word: Political agrarian transformative, sectoral contestation, local declining, local institutional,
institutional failure, peasanitation proceses, environment services, Cidanau watershed
RINGKASAN
HIDAYAT. ”Politik Agraria Transformatif: Studi Peluruhan Kelembagaan Lokal
dan Kegagalan Politik Tata Kelola Agraria Pada Komunitas Petani di DAS Cidanau,
Kabupaten Serang Provinsi Banten.” Dibimbing oleh ENDRIATMO SOETARTO,
DJUARA P. LUBIS, SEDIONO M.P.TJONDRONEGORO.
Penelitian bertujuan untuk mengkaji tiga hal yaitu: (1) praktik dan tradisi tata
kelola sumberdaya agraria berbasis kearifan lokal pada komunitas petani hutan di
kawasan hulu DAS Cidanau, (2) proses kontestasi sektoral, lokal supralokal dan
kontestasi dalam lingkup internal komunitas petani dan (3) peluruhan kelembagaan lokal
dan kegagalan politik agraria bidang kehutanan di kawasan DAS Cidanau.
Untuk mengkajinya diggunakan paradigma kritis, karena interaksi kelembagaan
lokal dan supra lokal yang berlangsung di lokasi penelitian berlangsung timpang,
diwarnai penetrasi kekuasaan, posisi tineliti yang termarginalkan. Dengan penggunaan
paradigma kritis diharapkan dapat membongkar dimensi struktur yang timpang dan
menindas untuk selanjutnya mendorong kesadaran kolektif (collective consciousness) dan
perbaikan posisi sosial dan ekonominya yang termarginalkan. Penelitian dilakukan di tiga
desa komunitas petani hutan di kawasan DAS Cidanau, yaitu Desa Citaman Kecamatan
Ciomas (representasi lahan kering), Desa Cibojong (representasi campuran lahan kering
dan basah) dan Desa Citasuk Kecamatan Padarincang, yang merupakan lahan sawah.
Metode pengumpulan datanya menggunakan pengamatan partisipasi, wawancara
mendalam dan Focus Group Discussion (FGD). Analisis datanya menggunakan
pendekatan analisa kualitatif melalui teknik triangulasi teori, sumber dan metode.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelembagaan lokal tata kelola sumberdaya
agraria di lokasi penelitian memiliki hubungan dengan pandangan hidup, nilai sosial
budaya, bentuk aturan tata kelola sumberdaya agraria yang kondusif untuk pembangunan
pertanian dan kehutanan berkelanjutan. Kelembagaan lokalnya berbentuk pranata, nilai
dan norma dan berupa organisasi dan praktek tata kelola sumberdaya agraria.
Kelembagaan lokal berbentuk pranata melipiuti (1) konsepsi tanah dan tata guna tanah,
(2) zonasi hutan (leuweung), (3) kearifan lokal tentang tanaman pangan dan obat (4)
Kelembagaan buyut, pipeling. Sedangkan kelembagaan lokal berupa organisasi dan
praktek tata kelola adalah liliuran dan wanatani (agroforestry). Dalam praktik tata kelola
sumberdaya agraria manifestasinya adalah penerapan teknologi pertanian gilir balik
(rotated farming), ngaseuk, (bentuk olah tanah konservasi), coo benih (pemulian bibit
unggul), pemberantasan hama tanaman ramah lingkungan, dan masa tanam mengikuti
daur musim dan pergiliran tanaman.
Kontestasi penguasaan sumberdaya agraria wilayah pedesaan berlangsung pada
tiga bentuk, yaitu kontestasi sektoral, kontestasi lokal versus supralokal dan kontestasi
lingkup internal komunitas. Kontestasi sektoral disebabkan kurangnya pemahaman atas
fungsi sumberdaya agraria sebagai stock, barang publik dan sumberdaya sebagai
komoditi serta lemahnya political will dan political action agensi pemerintah untuk
meningkatkan kesejahteraan petani. Kontestasi sektoral mengakibatkan terjadinya
kapitalisasi sumberdaya pedesaan, konflik kelembagaan, menjauhkan tercapainya
peningkatkan taraf hidup petani dan hilangnya kemandirian masyarakat pedesaan.
Kontestasi sektoral melahirkan pelaksanaan pembangunan berlangsung secara tidak
sinergi dan tidak terkoordinasi mulai dari perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan
monitoring. Kontestasi lokal supralokal muncul dalam bentuk tata kelola sumberdaya
secara holistik versus reduksionis, agroforestry komunitas versus bisnis dan kelembagaan
komunitas versus bentukan pemerintah. Kontestasi lingkup internal komunitas berkaitan
dengan perbedaan paham keagamaan, orientasi politik dan ekonomi, kondisi ekologi serta
perebutan penerimaan jasa lingkungan.
Perjalanan sejarah petani di Indonesia diwarnai oleh dominasi kekuasaan supra
lokal yang bentuknya berbeda-beda dari waktu ke waktu tergantung kepentingan politik
dan ekonomi rezim yang berkuasa. Politik agraria Orde Baru yang berorientasi betting on
the strong memiliki dampak yang kompleks terhadap masyarakat pedesaan. Meskipun
meningkatkan perolehan devisa negara dari sektor kehutanan dan menggelembungnya
"dompet pemerintah pusat", tetapi tidak meneteskan kemakmuran bagi masyarakat
lokal/sekitar hutan; yang terjadi justru peminggiran dan penyempitan ruang hidupnya dan
peluruhan kelembagaan lokal secara sistemik. Peluruhan berlangsung pada aras sistem
(peraturan perundang-undangan), organisasional (pembentukan kelembagaan bentukan
pemerintah yang merupakan substitusi terhadap kelembagaan komunitas) dan pada aras
individual, melalui provokasi, stigmatisasi dan promosi prilaku yang bertentangan
dengan nilai budaya sosial religius, menjunjung tinggi resiprositas dan solidaritas sosial
dan keseimbangan hidup antara material dan spiritual.
Peluruhan kelembagaan komunitas di lokasi penelitian mencakup kelembagaan
buyut, modal sosial liliuran, etika konservasi dan kearifan lokal. Kondisi ini terjadi
karena karena politik agraria kehutanan yang berorientasi ekonomi dan produksi kurang
mempertimbangkan manusia sebagai komponen utama ekosistem hutan dan kepentingan
peran serta masyarakat lokal dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Komunitas dan
sekitar hutan dan kelembagaannya dipandang sebagai "sumber gangguan" daripada
"kunci keberhasilan".
Pemangku kepentingan lebih melayani kepentingan dunia bisnis dan investasi
daripada mewujudkan sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Kegagalan mewujudkan
tujuan politik agraria ditunjukkan dengan ketidakmampuan mewujudkan kelembagaan
agraria yang berkeadilan dan berkelanjutan, depeasanisasi, tampilnya agensi sebagai
predator, penggusuran petani dan relokasi petani secara exsitu dan kepedulian semu
pemerintah terhadap jasa lingkungan. Kegagalan tersebut disebabkan bangunan ideologis
dan signifikansi politik agraria bersifat kapitalistik, ekstraktif dan mengabaikan dimensi
manusia dalam pembangunan sumberdaya hutan. Dampak dari politik agraria kehutanan
tersebut adalah terabaikannya konservasi hutan, jasa lingkungan hutan dan hubungan
hulu dan hilir kawasan DAS. Akibatnya pembayaran jasa lingkungan di DAS Cidanau
tidak menjadi insentif untuk meningkatkan kesejahteraan petani hutan dan penghargaan
terhadap komunitas petani yang melaksanakan sistem agroforstry dan sistem olah tanah
konservasi. Sebaliknya pembayaran jasa lingkungan menjadi alat kontrol kekuatan
supralokal terhadap aktivitas agroforestry komunitas melalui prosedur dan mekanisme
pembayaran jasa lingkungan yang tidak partisipatif dan tidak demokratis.
Kata Kunci: politik agraria transformatif, kontestasi sektoral, predator agraria, peluruhan
kelembagaan lokal, pembayaran jasa lingkungan.
@ Hak cipta milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumber.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tujuan suatu
masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagaian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB
POLITIK AGRARIA TRANSFORMATIF: Studi Peluruhan Kelembagaan Lokal Dan Kegagalan Politik Tata Kelola
Agraria Pada Komunitas Petani di DAS Cidanau
Kabupaten Serang Provinsi Banten
HIDAYAT
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Doktor
Pada Program Studi Sosiologi Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
Ujian Tertutup : 23 Oktober 2010
Penguji Luar Komisi:
1. Prof. Dr. Hariadi Kartodihardjo
Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB
2. Dr. Satyawan Sunito
Staf Pengajar Sosiologi Pedesaan
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Fakultas Ekologi Manusia IPB
Ujian Terbuka : 16 Pebruari 2011
Penguji Luar Komisi:
1. Dr. Harry Santoso
Direktur Jenderal Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial
Kementerian Kehutanan RI
2. Dr. Soeryo Adiwibowo, MS.
Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Fakultas Ekologi Manusia IPB
Judul Disertasi: Politik Agraria Transformatif: Studi Peluruhan Kelembagaan Lokal dan
Kegagalan Politik Tata Kelola Agraria Pada Komunitas Petani di Daerah
Aliran Sungai Cidanau Kabupaten Serang Provinsi Banten
Nama : Hidayat
NRP : A162040021
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA.
Ketua
Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS. Prof. Dr. Sediono M.P.Tjondronegoro
Anggota Anggota
Diketahui
Koordinator Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana
Ilmu Sosiologi Pedesaan
Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc.Agr. Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 6 Agustus 1962 sebagai anak sulung
dari tiga bersaudara dari pasangan bapak Amin Amsani dan Ibu Zubaidah. Pendidikan
dasar dan menengah diselesaikan di kota hujan, Bogor. Lulus sarjana pendidikan sejarah
pada tahun 1986 dari Fakultas Pendidikan Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta.
Pendidikan Magister diraih dari Program Studi Sosiologi Antropologi Pascasarjana
Universitas Padjadjaran Bandung pada tahun 2003. Penulis melanjutkan studi Program
Doktor pada Program Studi Sosiologi Pedesaan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor sejak tahun 2004 dengan biaya BPPS dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Kementerian Pendidikan Nasional.
Sejak tahun 1990 sampai sekarang penulis menjadi staf pengajar Fakultas Ilmu
Sosial Universitas Negeri Medan. Pada tahun 2009 penulis terlibat dalam studi
Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Nelayan dibawah dikordinasi Direktorat Kelautan
dan Perikanan BAPPENAS di Lima Kabupaten dan Lima Provinsi di Jawa dan luar Jawa
Tahun 2009-2010 penulis terlibat dalam program Pengembangan Ekonomi Lokal di Jawa
Tengah kerja sama Direktorat Perkotaan dan Pedesaan BAPPENAS dengan GTZ.
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan
hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan disertasi berjudul “Politik Agraria
Transformatif: Studi Peluruhan Kelembagaan Lokal dan Kegagalan Politik Tata Kelola
Agraria Pada Komunitas Petani di DAS Cidanau, Kabupaten Serang Provinsi Banten”.
Penulisan disertasi ini merupakan proses pembelajaran berharga berkaitan dengan
kelembagaan lokal, politik agraria, tata kelola hutan dan Daerah Aliran Sungai, kontestasi
sektoral, mengingat tema tersebut sebelumnya bukan merupakan kompetensi penulis.
Sehingga tulisan disertasi ini disadari sepenuhnya masih jauh dari kesempurnaan dan
memuaskan.
Penulisan disertasi ini berkat arahan dan bimbingan dari Prof. Dr. Endriatmo
Soetarto, MA. Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS. dan Prof. Dr. Sediono M.P.Tjondronegoro.
Pada tempatnya kepada beliau penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya
atas dukungan yang tak terhingga, diskusi dan bimbingan yang mendidik serta membuka
cakrawala akademik penulis. Kesediaan beliau bertiga mengalokasikan waktu kepada
penulis di tengah kesibukannya mengemban tugas mulia merupakan kemewahan luar
biasa yang ludiberikan kepada penulis.
Ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya saya sampaikan kepada:
1. Rektor Institut Pertanian Bogor beserta jajarannya yang telah memberikan
kesempatan dan layanan yang baik selama penulis menempuh kuliah.
2. Dekan Fakultas Ekologi Manusia IPB dan Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan
beserta jajarannya yang telah memberikan layanan perkuliahan kepada penulis.
3. Rektor Universitas Negeri Medan dan Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri
Medan yang mendorong dan mengizinkan penulis menempuh studi doktor di IPB.
4. Direktur Direktorat Kelautan dan Perikanan dan Direktur Pedesaan Perkotaan
Bappenas yang telah mempercayai penulis untuk terlibat dalam Peningkatan
Kapasitas Kelembagaan Masyarakat Nelayan dan Pembangunan Ekonomi Lokal.
5. Dr. Sugeng Budisuharsono, bukan hanya memberikan pandangan dan pendapatnya
tentang dunia akademik tetapi berjasa membantu mendapatkan pendapatan sehingga
penulis dapat bertahan dan terus berkelanjut studi doktor di Pascasarjana IPB. Ucapan
terimakasih juga disampaikan kepada Dr. Rahmat Abbas, Dr. Abubakar dan Ir.
Ahmad Yani, MSi atas kerjasamanya dalam kegiatan survei.
6. Staf Kecamatan Padarincang dan Ciomas, Kepala Desa Citaman, Desa Citasuk dan
Desa Cibojong dan KRH atas informasi yang berharga untuk penulisan disertasi ini.
7. Teman-teman mahasiswa S3 Sosiologi Pedesaan khusunya kepada Dr. Yety
Rocwulaningsih, Dr. Undang Fadjar dan Dr. Hartoyo atas kerjasama dan diskusinya
yang membuka inspirasi penulis dalam penulisan disertasi ini.
8. Secara khusus ucapan terimakasih disampaikan kepada isteri penulis Dandi Muhidin,
anak-anak tercita Eka Maulida Hardiyanti, Mohammad Luthfi, Rahmi Rafikasari dan
Meli Deliana Kamila, atas pengorbanannya yang tak terhingga selama penulis studi
S3 di IPB. Semoga penulisan disertasi ini menjadi sumber inspirasi untuk
mengembangkan diri dan menyongsong masa depan yang lebih gemilang.
Bogor, 16 Pebruari 2011
Hidayat
DAFTAR ISI
Halaman
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang........................................................................................... 1
1.2. Pertanyaan Penelitian ................................................................................. 9
1.3. Tujuan Penelitian ....................................................................................... 10
1.4. Kegunaan Penelitian .................................................................................. 10
1.5. Novelti ....................................................................................................... 11
2. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
2.1. Kelembagaan Lokal ................................................................................... 14
2.2. Kontestasi Sektoral dan Kontestasi Lokal Supralokal ................................. 21
2.2.1. Kontestasi Sektoral........................................................................... 24
2.2.2. Kontestasi Lokal Supralokal ............................................................. 27
2.3. Politik Agraria dan Peluruhan Kelembagaan Lokal .................................. 31
2.4. Kerangka Pikir ........................................................................................... 40
2.5. Hipotesa Pengarah…………………………………………………………… 42
3. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Metodologi dan Kerangka Penelitian ......................................................... 43
3.2. Pokok Penelitian dan Metode Pengumpulan Data ..................................... 44
3.3. Metode Penelitian ...................................................................................... 45
3.4. Pemilihan Lokasi Penelitian ....................................................................... 46
3.5. Informan Penelitian ................................................................................... 47
3.6. Teknik Pengumpulan Data ......................................................................... 47
3.7. Teknik Pengolahan dan Analisa Data ......................................................... 48
3.8. Jadwal Penelitian ....................................................................................... 49
4. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN
4.1. Kondisi Geografi dan Demografi DAS Cidanau ........................................... 50
4.2. Kondisi Geografi dan Demografi Lokasi Penelitian ..................................... 50
4.3. Struktur Mata Pencaharian…………………………………………………… 54
4.4. Resiprositas dan Solidaritas ......................................................................... 56
4.5. Transisi Elit ................................................................................................. 59
4.6. Kelembagaan Lokal ..................................................................................... 62
5. DINAMIKA TATA KELOLA SUMBERDAYA AGRARIA BERBASIS
KELEMBAGAAN LOKAL
5.1. Pendahuluan ................................................................................................ 65
5.2. Kearifan Lokal Tata Kelola Sumberdaya Agraria ......................................... 65
5.2.1. Konsepsi dan Tata Guna Tanah ......................................................... 65
5.2.2. Zonasi Hutan ..................................................................................... 70
5.2.3. Domestikasi Tanaman Pangan dan Obat ........................................... 72
5.2.4. Buyut dan Pipeling: Pengawal Keserakahan ....................................... 76
5.3. Dinamika Kelembagaan Agroforestry .......................................................... 80
5.3.1. Kelembagaan Agroforestry ................................................................ 80
5.3.2. Agroforestry Sebagai Strategi Bertahan ............................................. 82
5.3.3. Perkembangan Komunitas Agroforestry…………………………… . 84
5.3.4. Liliuran: Bertahan Sebagai Sarana Pencarian Nafkah ……………… 87
5.4. Ihtisar .......................................................................................................... 90
6. KONTESTASI SEKTORAL, LOKAL SUPRALOKAL DAN INTERNAL
6.1. Pendahuluan ............................................................................................... 91
6.2. Kontestasi Sektoral .................................................................................... 91
6.2.1. Aktor Kontestasi Sektoral ……………………………………………. 94
6.2.2. Kontestasi Sektoral: Kapitalisasi Sumberdaya ................................... 97
6.3. Kontestasi Lokal Supra Lokal ..................................................................... 100
6.3.1. Holistik Versus Reduksionistik ......................................................... 100
6.3.2. Konflik Tenurial ............................................................................... 103
6.4. Kontestasi Internal Komunitas .................................................................... 106
6.4.1. Perbedaan Orientasi Keagamaan ....................................................... 107
6.4.2. Afiliasi Politik dan Konflik Elit ......................................................... 109
6.4.3. Kontestasi Merebut Insentif Jasa Lingkungan .................................... 114
6.5. Ihtisar .......................................................................................................... 117
7. PELURUHAN KELEMBAGAAN LOKAL DAN KEGAGALAN POLITIK
TATA KELOLA SUMBERDAYA AGRARIA
7.1. Pendahuluan ............................................................................................... 119
7.2. Politik Agraria dan Peluruhan Kelembagaan Lokal ..................................... 120
7.2.2.1. Latar Belakang Sejarah Peluruhan Kelembagaan Lokal ................. 120
7.2.2. Politik Pertanian dan Kehutanan Orde Baru ...................................... 124
7.3. Proses dan Bentuk Peluruhan Kelembagaan Lokal ....................................... 126
7.3.1 Peluruhan Kelembagaan Buyut dan Pipeling ....................................... 128
7.3.2. Penghancuran Modal Sosial .............................................................. 130
7.3.3. “Pembusukan” Etika Konservasi........................................................ 133
7.3.4. Peluruhan Kearifan Lokal .................................................................. 136
7.4. Kegagalan Politik Agraria ............................................................................. 140
7.4.1. Penggusuran Petani (Depeasanitation Processes) ............................ 140
7.4.2. Predator Agraria ................................................................................. 146
7.4.3. Pendudukan Petani dan Enclavisme ..................................................... 149
7.4.4. Pembayaran Jasa Lingkungan dan Kepedulian Semu .......................... 156
Dominasi Birokrasi dan Kooptasi Civil Society Associations (CSA) ..... 161
7.5. Ihtisar ............................................................................................................ 165
8. URGENSI PENGUATAN KELEMBAGAAN LOKAL DAN POLITIK
AGRARIA TRANSFORMATIF
8.1. Pendahuluan ............................................................................................. 167
8.2. Penguatan Kelembagaan Komunitas ........................................................ 167
8.3. Menuju Politik Agraria Transformatif ....................................................... 172
9. KESIMPULAN DAN SARAN
9.1. Kesimpulan ................................................................................................ 178
9.2. Saran dan Implikasi Kebijakan ................................................................... 181
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 183
Lampiran…………………………………………………………………………. 194
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Pengelolaan SDA Menurut 5 UU dan Potensi Masalahnya............... 25
Tabel 2. Pokok Penelitian dan Metode Pengumpulan Data............................. 44
Tabel 3. Struktur Penduduk Desa Citaman, Citasuk dan Cibojong ................ 53
Menurut Kelompok Usia
Tabel 4. Mata Pencaharian Penduduk Desa Citaman, Desa Citasuk ............ 55
dan Desa Cibojong
Tabel 5. Sebaran Ikatan Hak Milik, Ikatan Kerabat Sosiologis dan Ikatan
Kerabat Genealogis Dalam Komunitas Desa Citaman .................... 58
Tabel 6. Komposisi Tanaman Agroforestry Komunitas................................. 82
Tabel 7. Kelembagaan Bentukan Pemerintah di Wilayah Pedesaan………… 99
Tabel 8. Program dan Pengelola Bantuan Sosial Kementerian Pertanian…... 100
di Pedesaan
Tabel 9. Jenis Kebutuhan Petani Yang Mendorong Transfer Tanah………. 142
Tabel 10. Pola Interkasi Gerakan Lingkungan Hidup Dengan Pemerintah .... 164
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Kerangka Pikir.............................................................................. 42
Gambar 2. Tata Guna Tanah Petani Desa Citaman dan Cibojong…….. 67
Gambar 3. Kontestasi Sektoral........................................................................ 92
Gambar 4. Konsesi Kolosal Pengelolaan SDA……………………………… 93
Gambar 5. Aktor Kontestasi Pengelolaan Hutan DAS Cidanau……………. 94
Gambar 6. Kontestasi Kehutanan dan Pertambangan..................................... 96
Gambar 7. Proses Peluruhan Kelembagaan Lokal ………………………… 127
Gambar 8. Grafik Proses Transformasi Penguasaan Tanah ............................ 143
Gambar 9 Bentuk Kelembagaan Tata Kelola DAS........................................ 163
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dalam buku Max Havelar, Multatuli menyebut Indonesia sebagai negeri
jamrud khatulistiwa dan dalam hal keragaman hayati mendapat predikat
megadiversity country.1 Tetapi predikat itu kontras dengan kondisi kehidupan
sosial ekonomi sebagian besar masyarakatnya dan kondisi sumberdaya alamnya
termasuk sumberdaya hutan yang tidak seindah jamrud. Kekayaan dan keragaman
hayati Indonesia semakin terancam kelestariannya. Laju kerusakan hutan seluas
enam kali lapangan sepak bola per menit atau berkisar 1,6 – 2 juta hektar per
tahun, mengakibatkan lebih dari separuh hutan tropis Indonesia (77.806.881
hektar) dalam kategori kritis, sedangkan kemampuan merehabilitasinya hanya
sekitar 300.000 hektar per tahun.2 Eksploitasi hutan yang berlangsung secara
massif, tidak hanya mengakibatkan rusaknya ekosistem hutan dan sebagian besar
DAS dalam kondisi kritis,3 tetapi juga komunitas yang bermukim di kawasan itu
termarginalkan.
Pernyataan Multatuli “...bahwa nun di sana rakyat Tuan yang lebih dari
tiga puluh juta dihisap atas nama Tuan4…, pada akhir abad sembilan belas, masih
relevan untuk menggambarkan kondisi kehidupan sosial ekonomi masyarakat
1 Keanekaragaman hayati Indonesia mencakup berbagai jenis fauna dan flora, uraiannya lihat
BAPPENAS, 2003. Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia 2003-2020.
Jakarta: BAPPENAS.
2 Lihat A.Ng. Ginting dan Kirsfianti Ginoga, “Peluang dan Tantangan Kebijakan Moratorium
Lahan Gambut dan Deforestasi”. Makalah “Seminar Lokakarya Nasional Pemanfaatan Lahan
Gambut Berkelanjutan Untuk Pengurangan Kemiskinan dan Percepatan Pembangunan Daerah”.
Pusat Studi Pembangunan dan Pedesaan IPB, Bogor 28 Oktober 2010.
3 Pada era otonomi daerah kerusakan ekosistem hutan dan DAS cenderung meningkat kualitas dan
kuantitasnya, karena menguatnya ego sektoral disertai ego kedaerahan dalam upaya meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah (PAD). Gambaran kerusakan ekosistem DAS lihat Budi Prasetyo,
“Perubahan Penutupan/ Penggunaan Lahan, Degradasi Lahan dan Upaya Penanggulangannya:
Studi Kasus di Daerah Aliran Sungai Citanduy” dalam Arya Hadi Dharmawan (penyunting),
2005. Pembaharuan Tata Pemerintahan Lingkungan: Menciptakan Ruang Kemitaran Negara-
Masyarakat Sipil - Swasta. Bogor, PSP3 dan Partnership For Governance Reform In Indoensia,
UNDP.
4 Pernyataan itu dinyatakan Multatuli dalam pengantarnya yang ditujukan kepada Ratu Willem
Ketiga dan Kaisar Kerajaan Insulinde, Lihat H.B. Jassin/G Termorshuizen, 1985. Max Havelaar
atau Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda.
2
Indonesia dewasa ini. Pambudi (2010) misalnya mencatat, sekitar 14,7 juta g
penduduk Indonesia kurang gizi. Dari 237,6 juta penduduk Indonesia, 35 juta
orang di antaranya berpendapatan kurang dari 65 sen dollar Amerika Serikat atau
Rp 6000 sehari, dan 127 juta orang pendapatannya kurang dari dua dollar
Amerika Serikat.5 Sementara 56 persen aset yang ada di tanah air, baik berupa
property, tanah maupun perkebunan, dikuasai hanya oleh 0,2 persen penduduk
Indonesia. Sawit Watch mencatat: “hingga Juni 2010 pemerintah telah memberi
hak konsesi 9,4 juta ha tanah dan mencapai 26,7 juta ha pada tahun 2010 kepada
30 kelompok usaha yang mengontrol 600 perusahaan”. Angka ini menunjukkan
penguasaan tanah oleh kelompok kecil pemilik modal hampir setara dengan yang
dikuasai oleh 26,7 juta petani miskin, jika setiap petani memiliki tanah 1 hektar.
Padahal sebagian besar petani Indonesia adalah, petani gurem, menguasai tanah di
bawah 0,5 hektar.6 Sementara Hutan Taman Rakyat yang difasilitasi oleh Badan
Layanan Umum P2H (Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan) yang ditargetkan
5,4 juta hektar hanya mencapai 87.299.89 hektar.
Data tersebut menunjukkan kronisnya ketimpangan struktur agraria di
Indonesia. Ketimpangan struktur agraria disertai eksploitasi sumberdaya agaria
oleh sekelompok kecil pemilik modal yang berlangsung secara masif dapat
berakibat hilangnya harapan masa depan sebagian masyarakat Mengingat prakarsa
dan tindakan penyelenggara negara masih jauh dari peran dan fungsi semestinya,
baik sebagai regulator untuk membuat regulasi yang adil dan demokratis maupun
kapasitas untuk melindungi sumberdaya agraria dan sumberdaya manusia
Indonesia dari gempuran kekuatan ekonomi dan politik global. Bila tidak ada
langkah strategis dan political action, kondisi tersebut dapat mengantarkan
“Indonesia sebentar lagi”.
Sejauh ini peran penyelenggara merujuk pada Pierre Boudieu mengarah
pada dominasi simbolik dan pola interaksi negara warga negara terbangun atas
5 Lihat Rachmat Pambudi, “Hak dan Kewajiban Atas Pangan”, Harian Kompas, 15 Oktober 2010.
6 Penguasaan sumberdaya agraria oleh segelintir orang semakin jelas jika dilihat secara sektoral.
Misalnya saja 42 juta ha hutan dikuasai oleh sekitar 301 perusahan pemegang hak pengusahaan
hutan dan 262 unit perusahaan hutanan tanaman industri. Chalid Muhammad, “Drama Haru
SBY”, Harian Kompas, 30 Oktober 2010.
3
benevolent obedient7. Dalam konteks komunitas sekitar hutan pola interaksi
benevolent obedient ditandai adanya stigmatisasi dan predikat: “terbelakang,
terasing, orang pasisian, dan perambah hutan”. Pola interaksi negara warga
negara berpola benevolent - obedient dan stigmatisasi, menurut Dove,8
mencerminkan “kegelapan” pandangan “orang-orang lain” terhadap “orang-orang
berbudaya lain”. Dalam analisis Tania, stigmatisasi pihak supralokal sebagai
upaya “teritorialisasi” dan modernisasi komunitas sekitar hutan menjadi “orang
modern”.9 Stigmatisasi dan “teritorialisasi” kekuatan supralokal merupakan
pembungkus untuk meraih kepentingan ekonomi dan melegalkan eksploitasi
sumberdaya hutan, baik melalui konsesi Hak Penguasahaan Hutan (HPH) atau
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK), Hutan Taman Industri
(HTI) dan hak kuasa pertambangan.
Perkembangan penguasaan sumberdaya hutan oleh pemilik
konsesi/pemilik modal, diakaui berdampak positif terhadap peningkatkan
kontribusi sektor kehutanan terhadap PDB dan APBN. Tetapi peningkatan
kontribusinya harus dibayar mahal, karena berakibat meluasnya deforestasi,
degradasi hutan, delegitimasi akses dan hak sosial ekonomi komunitas terhadap
sumberdaya hutan. Komunitas lokal yang telah memiliki ikatan sejarah dan
penguasaan sumberdaya hutan berdasarkan tradisi, dikriminalisasi dan menjadi
sasaran aksi polisionil. Di sisi lain, pihak berwenang cenderung tidak berdaya
mengatasi aktivitas illegal logging yang melibatkan oknum aparat penguasa dan
pengusaha, karena upaya penegakkan hukumnya bersifat transaksional semata-
mata.
7 William Liddle, 1988. “Politics and Culture in Indonesia”. Center for Political Studies for Social
Research” The University of Michigan.
8 Lihat Michael Dove, “Representasi Orang yang Berbudaya Lain” oleh ”Orang-Orang Lain”:
Tantangan Etnografis tentang Pandangan Pengusaha Perkebunan terhadap Petani Kecil di
Indonesia” dalam Tania Murray (peny.), 2002. Proses Transformasi Daerah Pedalaman di
Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
9 “Murray Li, “Keterpinggiran, Kekuasaan dan Produksi: Analisis Terhadap Transformasi Daerah
Pedalaman”, dalam Tania Murray (peny.), 2002. Proses Transformasi Daerah Pedalaman di
Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
4
Kondisi ini menimbulkan kegundahan masyarakat dan mendorong
tampilnya komunitas terbayang,10
karena menyaksikan ketidak hadiran negara dan
kegagalan kelembagaan negara.11
Indikasinya ditunjukkan oleh pembiaran
masyarakat menyelesaikan masalahnya sendiri atau main hakim sendiri,
meluasnya korupsi dan konflik sosial dan meningkatnya deforestasi dan degradasi
hutan yang menimbulkan bencana alam di berbagai wilayah di Indonesia.
Kegagalan kelembagaan negara juga ditunjukkkan dari ketidakmampuan
penyelenggara negara membangun kelembagaan tata kelola sumberdaya agraria
yang adil dan memungkinkan para pihak mendapatkan perlakuan yang setara dan
demokratis, serta akses informasi yang akurat dan transfran. Jika dikaitkan dengan
tujuan politik agraria yang diamanatkan konstitusi untuk mewujudkan sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat, ketidakmampuan penyelenggara negara
mewujudkannya dapat dipandang sebagai “kegagalan kelembagaan negara”12
Secara sosio-historis kegagalan kelembagaan negara mewujudkan sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat, merupakan implikasi dari pengarus-utamaan politik
agraria kapitalis yang berurat akar dalam sejarah politik Kolonial Belanda.
Kondisi ini diperteguh dengan mistifikasi pembangunan dan menguatnya
kontestasi sektoral dalam pembangunan ekonomi dan sumberdaya. Pelestarian
politik agraria kapitalis kolonial Belanda, ditunjukkan dengan “pemberlakukan
domain verklaring” dan pemberian hak konsesi penguasaan sumberdaya hutan
dan tambang kepada pemilik modal, tetapi mengabaikan Undang-Undang Pokok
Agraria No. 5 tahun 1960 yang bersifat populis. Ciri penting dari politik agraria
kapitalis adalah akumulasi modal lebih diutamakan dan menempatkan
10 Istilah “komunitas terbayang” dikemukakan Benecdict Anderson,” merujuk pada kondisi
kehidupan masyarakat Indonesia pada masa pergerakkan yang memiliki kesamaan cita-cita
sebagai bangsa, meskipun di antara mereka tidak pernah bertatap muka dan saling mengenal. Lihat
Benecdict Anderson, 2001. Imagined Communities. Yogyakarta, INSIST. Dewasa ini komunitas
terbayang muncul dalam jejaring sosial dunia maya sebagai kekuatan alternatif dan penekan,
karena rendahnya political will dan ketidak hadiran negara terhadap persoalan masyarakat dan
lingkungan.
11Dalam analisis North kegagalan kelembagaan dicirikan berbiaya trasaksi tinggi, salah urus dan
kelembagaan yang tidak tepat. Lihat North, D.C. (1990). Institutions, Institutional Change and
Economic Performance. Cambridge University Press, USA.
12Swedberg menyebut institutional failure sebagai keterbelakangan kelembagaan (the biggest
laggard), kebijakan yang tidak tepat, informasi asimetris dan perilaku cheating dan oportunis.
Swedberg, 1994. Markets as Social Structures. Princeton University Press, New Jersey, USA.
5
sumberdaya agraria dan sumberdaya manusia menjadi komoditas semata-mata,13
sementara upaya mencerdaskan bangsa dan mewujudkan sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat diabaikan. 14
Dalam penegelolaan sumberdaya kehutanan, politik agraria kapitalis
ditandai mistifikasi produksi, pertumbuhan ekonomi dan menguatnya kontestasi
sektoral dalam upaya mendapatkan rente ekonomi. Sehingga proses pembangunan
kehutanan bukan hanya tidak sinegis tetapi juga tidak meningkatkan perbaikan
kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Sebaliknya pembangunan kehutanan
mengakibatkan alienasi dan mendorong masyarakat sekitar hutan menjadi buruh
upahan15
dan tenaga kuli.16
Hal ini terjadi karena pembangunan kehutanan yang
berorientasi kapitalis tidak ramah terhadap ”wong cilik”. Kondisi ini diperkuat
dengan pendekatan pembangunan yang bersifat teknokratis yang kurang
menghargai peran dan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan.
Dampak lebih lanjut dari politik agraria kapitalis adalah kontestasi sektoral
yang tidak sehat, tergerusnya kelangsungan berbagai entitas sosial budaya dan
terancamnya keragaman hayati bumi Indonesia. Sementara itu tolak ukur
pembangunan yang menguatamakan keberhasilan pembangunan fisik material dan
indikator kuantitatif, berakibat aspek sosial dan kemanusiaan kurang
dipertimbangkan. Sehingga dibalik pencapaian pembangunan ekonomi
sumberdaya yang gemilang secara fisik dan kuantitatif, berlangsung proses
dekonstruksi dan delegitimasi kelembagaan komunitas.
Pada komunitas sekitar hutan di luar Pulau Jawa, gambaran dekonstruksi
dan delegitimasi tersebut dapat disimak antara lain dari kajian yang dilakukan
13
Lihat Roy Ellen, 2002. “Pengetahuan tentang Hutan, Transformasi Hutan: Ketidakpastian
Politik, Sejarah Ekologi dan Renegosiasi Terhadap Alam di Seram Tengah,” dalam Murray Li,
2002. Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 14
Nancy Lee Peluso, 2006. Hutan Kaya, Rakyat Melarat: Penguasaan Sumber Daya dan
Perlawanan Rakyat. Yogyakarta: Insist Press. 15
Ben White, 2002. “Inti dan Plasma: Pertanian Kontrak dan Pelaksanaan Kekuasaan di Dataran
Tinggi Jawa Barat” dalam Tania Murray (peny.), 2002. Proses Transformasi Daerah Pedalaman
di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 16
Dampak beroperasinya produksi kapitalis pada masa Kolonial Belanda lihat, Jan Bremen,
1997. Menjinakkan Sang Kuli: Politik Kolonial, Tuan Kebun dan Kuli di Sumatera Timur Pada
Awal Abad ke 20. Jakaarta: Pustaka Utama Grafiti.
6
oleh Djuweng dan Dove pada komunitas Dayak, 17
Awang di Lampung,18
Zakaria di Mentawai, 19
dan Tania di Sulawesi20
. Sedangkan kajian terhadap
komunitas sekitar hutan di Jawa, antara lain dilakukan oleh Santoso dan Peluso,21
White dan Marzali di Jawa Barat. 22
Dari kajian tersebut diketahui bahwa
berbagai entitas yang sebelumnya memiliki tradisi dan kearifan lokal yang
berkontribusi terhadap kelestarian hutan, seperti sebagai “pelestari plasma
nutfah”,23
menjadi tidak berdaya menghadapi proses penetrasi kekuatan supra
lokal (nasional dan global).
Dalam konteks pembangunan kehutanan berkelanjutan, program
perhutanan sosial dan pengembangan masyarakat, ketidakberdayaan komunitas
sekitar hutan merupakan masalah serius yang layak dicermati. Berpangkal dari
pemikiran tersebut, penulis tertantang untuk mengkaji dinamika kelembagaan
komunitas di hulu DAS Cidanau dalam proses interaksi dan adaptasinya dengan
kekuatan supra lokal (negara dan pasar). Ketertarikan penulis mengkaji masalah
ini terdorong oleh keprihatinan, di mana proses pembangunan kehutanan yang
memistifikasi pertumbuhan ekonomi dan produksi, yang berlangsung di kawasan
17 Djuweng, “Orang Dayak, Pembangunan dan Agama Resmi” dalam Stepanus Djuweng, Yando
Zakaria dkk, 1996. Kisah Dari Kampung Halaman: Masyarakat Suku, Agama Resmi dan
Pembangunan”. Yogyakarta: Interfidei. Michael Dove, “Representasi “Orang yang Berbudaya
Lain” oleh Orang-orang Lain”: Tantangan Etnografis tentang Pandangan Pengusaha Perkebunan
terhadap Petani kecil di Indonesia” dalam Tania Murray (peny.), 2002. Proses Transformasi
Daerah Pedalaman di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
18 San Afri Awang, 2006. Sosiologi Pengetahuan Deforestasi: Konstruksi Sosial dan Perlawanan.
Jogyakarta: Debut Press.
19 Lihat Zakaria, “Pembangunan Yang Melumpuhkan: Pelajaran dari Kepulauan Mentawai” dalam
Stepanus Djuweng, Yando Zakaria dkk, 1996. Kisah Dari Kampung Halaman: Masyarakat Suku,
Agama Resmi dan Pembangunan”. Yogyakarta: Interfidei.
20 Lihat Murray Li, “Keterpinggiran, Kekuasaan dan Produksi: Analisis Terhadap Tranformasi
Daerah Pedalaman” dalam Tania Murray Li (peny.), 2002. Proses Transformasi Daerah
Pedalaman di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
21 Hery Santoso, 2006. Perlawanan Di Simpang Jalan: Konteks Harian di Desa-Desa Sekitar
Hutan” Yogyakarta: Penerbit Damar; Nancy Lee Peluso, 2006. Hutan Kaya, Rakyat Melarat:
Penguasaan Sumber Daya dan Perlawanan Rakyat. Yogyakarta: Insist Press.
22 Ben White, 2002. “Inti dan Plasma: Pertanian Kontrak dan Pelaksanaan Kekuasaan di Dataran
Tinggi Jawa Barat” dalam Tania Murray Li (peny.), 2002. Proses Transformasi Daerah
Pedalaman di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Amri Marzali, 1992. The Urang Sisi
of West Java: A Study of Peasants: Responses to Population Pressure”. Boston University. 23
Herwasono Soedjoto, “Masyarakat Dayak: Peladang Berpindah dan Pelestari Plasma Nutfah”
dan Sulaeman Mamar, “Sistem Pengetahuan dan Teknologi Suku Wana di Sulawesi Tengah”
dalam Kusnaka Adimihardja (ed.), 1999. Petani Merajut Tradisi Era Globalisasi. Bandung:
Humaniora Utama Press.
7
tersebut terindikasi kuat mengakibatkan proses delegitimasi kelembagaan
komunitas.
Delegitimasi kelembagaan komunitas sekitar hutan, bukan hanya menjadi
ancaman serius terhadap pembangunan hutan berkelanjutan, tetapi juga
menyangkut kelanjutan kehidupan sosial budaya dan ekonomi jutaan penduduk
yang berada di sekitar hutan. Proses delegitimasi kelembagaan komunitas sekitar
hutan juga berdampak pada pemberdayaan masyarakat, ketahanan budaya serta
pembangunan karakter bangsa Indonesia. Dalam era globalisasi dewasa ini,
bangsa Indonesia bukan hanya membutuhkan modal ekonomi yang kuat dan
ketangguhan teknologi, tetapi juga ketahanan sosial budaya dan keberlanjutan
sumberdaya hutan.
Sejauh jangkauan penulis, kajian pemerhati dan rimbawan lebih tercurah
pada keberlanjutan sumberdaya hutan dalam rangka moratium kehutanan.
Sementara keunikan sosial budaya dan kelembagaan komunitas sekitar hutan
kurang dipertimbangkan, padahal mereka merupakan bagian terdepan yang akan
menerima dampak negatif dari moratorium kehutanan.
Hasrat penulis mengkaji komunitas petani di hulu DAS Cidanau, terdorong
adanya kemitraan hulu dan hilir dalam bentuk mekanisme pembayaran jasa
lingkungan. Dari sekitar 450 DAS di Indonesia, pembayaran jasa lingkungan oleh
pemakai jasa di hilir kepada petani (penghasil jasa lingkungan) di hulu, baru
diterapkan di DAS Cidanau. Pemakai jasa lingkungan di hilir yakni PT Krakatau
Tirta Industri (KTI), bersedia membayar jasa lingkungan (willingness to pay) dan
komunitas petani hutan di hulu DAS, bersedia memelihara area kebunnya secara
konservasi untuk menghasilkan jasa lingkungan. Kemitraan hulu dan hilir
merupakan fondasi untuk terbangunnya kelembagaan tata kelola DAS terpadu dan
berkelanjutan atas prinsip one river, one plan and one management.
Pertimbangan lain yang mendorong penulis mengkaji kelembagaan DAS
Cidanau adalah karena sebagian kajian tentang DAS Cidanau tercurah pada aspek
ekologi fisik24
, sedangkan dimensi sosiologi, ekologi budaya dan kelembagaannya
24 Kajian ini dilakukan tim peneliti Indonesia Jepang yang tergabung dalam Research Unit For
Biological Resources Development-Core University Programmes. Goto AK Yoshoda, T Shimizu,
Y Purwanto, 2001. Investigation on Hydraulic Water Balance for Integrated Watershed
Management Planning in Cidanau River Basin, West Java. Proceeding of the 1st Seminar Toward
8
termasuk kemitraan hulu hilir belum mendapat perhatian yang memadai. Padahal
keberlanjutan tata kelola DAS, tidak hanya ditentukan secara teknik dan ekonomi,
melainkan terkait dengan dimensi sosial dan kelembagaannya. Dari segi ini
kemitraan hulu hilir berbentuk mekanisme pembayaran jasa lingkungan di DAS
Cidanau menarik untuk di kaji. Bahkan kemitraan hulu hilir berbentuk mekanisme
pembayaran jasa di DAS Cidanau telah menjadi sumber inspirasi pengelolaan
DAS di Nusa Tenggara Timur, Sumatera Barat dan Sumatera Utara.
Pilihan terhadap kelembagaan komunitas petani di hulu DAS Cidanau
diperkuat dengan hasil pengamatan lapangan, bahwa pengarus-utamaan politik
agraria kapitalis dan kontestasi sektoral di kawasan tersebut, berujung pada
pengabaian “negara” terhadap komunitas lokal sampai pada kondisi menciptakan
keresahan sosial, maraknya demonstrasi petani (ke DPRD), meluasnya konflik
agraria dan mengarah pada kebangkrutan sosial.25 Merujuk pada pendapat Beck,
kondisi ini berpotensi dan dapat mengarah pada risk society.26
Dalam konteks
wilayah Kabupaten Serang, mencuatnya keresahan sosial, mengingatkan penulis
pada keresahan petani di wilayah ini pada penghujung abad ke sembilan belas
yang berujung dengan pemberontakan petani.27
Bila tidak ada langkah strategis
dan “political action”, kekhawatiran “sejarah berulang” dapat menjadi kenyataan.
Dari segi ini, kajian terhadap politik agraria kapitalis terkandung maksud
dan upaya agar “sejarah tidak berulang”. Sebab bila sejarah berulang, keresahan
sosial meluas dan pembrontakan petani meletus, ongkos sosial ekonomi dan
politiknya terlalu mahal. Atas dasar itu dan terinspirasi oleh pemikiran Sobhan
Harmonization Between Development and Environmental Conservation in Biological Production.
The University of Tokyo; Feb 21-23 2001. Goto A Kato, 2003. Studies on Environment Changes
and Sustainable Development. Water Quality Model of Cidanau Watershed, Indonesia, for
Watershed Management Planning. Proceeding of the 2nd Seminar on Toward Harmonization
Between Development and Environmental Conservation in Biological Production. The University
of Tokyo; Feb. 15-16 2003.
25 Indikasinya: tingginya kemiskinan dan pengangguran, pembiaran rakyat dibelit masalah,
perilaku koruptif dan tereduksinya keluhuran politik menjadi sekadar politik praktis yang kerdil,
sempit dan berdurasi pendek. Lihat “Kesalehan Sosial Bangkrut” Harian Kompas, 10 Agustus
2010.
26 Beck, Ulrich, 2000. “Risk Society Revisited: Theory, Politics and Research Programmes” in J.
Van Loon (ed). The Risk Society and Beyond Critical Issues for Social Theory. London: Sage.
27 Pembrontakan petani di Banten dipicu oleh tindakan kesewenang-wenangan penguasa yang
menimbulkan keresahan sosial. Lihat Kartodirdjo, 1984. Pemberontakan Petani Banten 1888.
Jakarta: Pustaka Jaya.
9
(1993), maka politik agraria transformatif relavan diangkat dan menjadi salah
tema tulisan ini.
Sejalan dengan pentingnya politik agraria transformatif dan penguatan
kelembagaan komunitas, perspektif dan posisi tulisan ini lebih dekat dengan
perspektif populis28
dan rasionalitas ekologi utility maximising manner dari (Gorz,
1996).29
Perspektif tersebut menjadi ciri dan pembeda dari kajian sebelumnya.
Karena itu pemanfaatan sumber dan tulisan yang beraroma (modernis dan
developmentalis) dan kurang sejalan dengan jiwa/perspektif utama, menunjukkan
sebuah perspektif mengandung kelemahan dan kelebihan dalam menganalisis
suatu gejala sosiologis dan realitas sosial. Dalam tulisan ini perspektif populis,
rasionalitas ekologis dan utility maximising manner dijadikan landasan pemikiran
perlunya politik agraria transformatif, tata kelola DAS partisipatif dan penguatan
kelembagaan komunitas petani di kawasan DAS Cidanau.
1.2. Pertanyaan Penelitian
1. Mengapa unsur-unsur kelembagaan lokal di kawasan hulu DAS Cidanau rentan
dalam adaptasi dan interaksinya dengan kekuatan supralokal ?
2. Mengapa program pembangunan sektoral yang berlangsung di kawasan DAS
Cidanau menimbulkan konflik agraria dan kapitalisasi sumberdaya pedesaan ?
3. Mengapa pelaksanaan politik agraria bidang kehutanan mengakibatkan
peluruhan kelembagaan lokal dan gagal mewujudkan politik tata kelola agraria
berkeadilan dan berkelanjutan?
28 Jones (1999) mengidentifikasi lima perspektif tentang keberlanjutan dan degradasi sumberdaya:
Neo-Malthusian, Technocratik, Neo Marxist/Dependensi, Neo Liberal dan Populis. Perspektif
populis memandang degradasi sumberdaya disebabkan tidak sempurna dan kurangnya
penghargaan atas lembaga dan kearifan lokal. Pengelolaan sumberdaya agraria yang adaptif,
berbasis komunitas dan kearifan lokal dipandang sebagai salah satu alternatif untuk mengurangi
degradasi lingkungan. Lihat Roe, E. 1991. Development Naratives or Making the Best of Blueprint
Development. World Development 19 (4: 287-300; Biot, Y, Blaike, M., and Palmer-Jones, 19995.
Rethinking Research on Land Degradation in Developing Countries. World Bank Discussion
Paper No. 289. World Bank: Washington; Jones, S. 1999. From Meta Naratives to Flexible
Framework: An Actor Analysis of Land Degradation Highland Tanzania. PP 211-219. Global
Environmental Vol. 9.
29 Rasionalitas ekologis yang ditawarkan Gorz adalah perlunya pembatasan pengaruh rasionalitas
ekonomi melalui rasionalitas lingkungan, demokrasi dan pendekatan politik dalam menganalisis
hubungan antara rasionalitas lingkungan dan sosial sebagai titik tolak memandang rasionalitas
ekonomi. Lihat Andrian Little, 2000. New Political Economy. Vol.5/1. p 121-133.
10
1.3. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui unsur-unsur kelembagaan lokal di kawasan hulu DAS Cidanau
yang rentan dalam adaptasi dan interaksinya dengan kekuatan supralokal.
2. Menjelaskan program pembangunan sektoral yang berlangsung di kawasan
DAS Cidanau yang menimbulkan konflik agraria dan kapitalisasi sumberdaya
pedesaan.
3. Menganalisis pelaksanaan politik agraria bidang kehutanan yang
mengakibatkan peluruhan kelembgaan lokal dan gagal mewujudkan politik tata
kelola agraria berkeadilan dan berkelanjutan.
1.4. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini memiliki kontribusi teoritis dan impliksi kebijakan sebagai
berikut:
1. Pada tataran teoritis, penelitian ini memberikan penjelasan terhadap persoalan
kelembagaan lokal, kontestasi sektoral, proses peluruhan kelembagaan
komunitas dan kegagalan politik tata kelola agraria bidang kehutanan dan
kerangka politik agraria transformatif. Dari penelitian ini ditemukan (1)
kelembagaan tata kelola sumberdaya agraria komunitas petani yang
memadukan aspek ekonomi dan konservasi, (2) kerangka analisis kontestasi
sektoral yang menimbulkan konflik agraria dan kapitalisasi sumberdaya
pedesaan, (3) kerangka analisis proses peluruhan kelembagaan komunitas dan
kegagalan mewujudkan tata kelola DAS partisipatif dan (4) kerangka analisis
politik agraria transformatif.
2. Pada tataran kebijakan, temuan penelitian ini dapat menjadi bahan masukan,
informasi dan refleksi untuk perumusan kebijakan instansi Pemerintah Daerah
Kabupaten Serang dan pihak terkait yang bertugas dan berempati terhadap
pembangunan kehutanan berkelanjutan, pengembangan kapasitas kelembagaan
dan pemberdayaan komunitas sekitar hutan, kemitraan hulu hilir DAS Cidanau
dan terpeliharanya kawasan konservasi Rawa Danau.
1.5. Novelti Penelitian
Gambaran tentang pertanian di Jawa biasanya identik dengan hamparan
sawah dan berpematang. Gambaran demikian tidak keliru, karena ditemukan di
11
berbagai wilayah kabupaten di P. Jawa. Implikasinya kajian tentang kelembagaan
komunitas petani, cenderung didominasi dan berlatar belakang komunitas petani
sawah30
. Kondisi ini menimbulkan bias kebijakan pembangunan pertanian dan
swa sembada pangan kepada padi/beras atau lahan sawah. Sementara wilayah
Jawa berupa lahan kering yang cukup luas, lebih bervariasi dan memiliki potensi
sosial ekonomi yang tidak kalah penting dari sawah diabaikan.
Hal ini tercermin dari cara Biro Pusat Statistik menyederhanakan semua
kawasan lahan kering dalam rubrik “tegalan”. Padahal aktivitas pertanian lahan
kering di P. Jawa terbentang antara lain di Jawa Barat bagian Selatan dan Banten,
selain tegalan terdapat pekarangan, kebun, talun, kebun campuran, plantasi kecil
dan agroforestry.
Sejauh jangkauan penulis kajian dari perspektif sosiologi terhadap
aktivitas pertanian lahan kering dan kelembagaannya relatif terbatas.31
Kajian
terhadap komunitas lahan kering di wilayah Jawa Barat antara lain dilakukan oleh
Ben White di Sukabumi dan Marzali di Cianjur. Keduanya mengkaji dari
perspektif sosiologi ekonomi dan antropologi. Kajian serupa di lakukan oleh
Hefner pada suku Tengger di kaki Gunung Bromo Jawa Timur.
Komunitas lahan kering juga menarik perhatian peneliti Balibang
Kehutanan. Sebagian besar kajian yang dilakukan oleh peneliti Balibang
Kehutanan menggunakan teori positivisme, pendekatan teknis, metodologi
statistik kuantitatif dan metode survey.32
Hasil kajiannya cenderung membenarkan
kebijakan, keangkuhan agensi dan menempatkan masyarakat lokal sebagai
"sumber gangguan" dari pada kunci keberhasilan konservasi dan pertanian
30 Misalnya Herman Suwardi di Cianjur berjudul “Respon Masyarakat Desa Terhadap Modernitas
di Bidang Produksi Pertnian di Jawa Barat”.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
31 Kajian terhadap sistem pertanian dan kelembagaan komunitas lahan kering di Jawa dilakukan
oleh White dan Hefner serta muridnya Marzali. Lihat Ben White, “Inti dan Plasma: Pertanian
Kontrak dan Pelaksanaan Kekuasaan di Dataran Tinggi Jawa Barat” dalam Tania Murray Li
(peny.), 2002. Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia. Hefner 1990. The Political Economy of Mountain Java: An Interpretative History.
University of California Press. Amri Marzali, 1992. The Urang Sisi of West Java: A Study of
Peasants: Responses to Population Pressure”. Boston University.
32Lihat: (1) Ogi Setiawan dan Ryke Nandini, “Kuantifikasi Jasa Hutan Lindung Sebagai Pengatur
Tata Air di Daerah Aliran Sungai (DAS) Palu dalam Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi
Alam Vol. III No.3 Tahun 2006, p.309-326.
12
berkelanjutan.33
Kelembagaan dan komunitas sekitar hutan dan hulu DAS sebagai
“tertuduh”, objek eksploitasi, tanpa ada pembelaan dan kajian kritis.
Berbeda dengan kajian di atas, paradigma, pendekatan dan metodologi
dalam studi ini mengunakan paradigma kritis. Pilihan paradigma ini didasarkan
pemikiran, bahwa pandangan yang menempatkan komunitas sekitar hutan sebagai
“perambah hutan” dan "sumber gangguan" bersifat tendensius, tidak proporsional
dan penilainnya dari perspektif “Orang-orang Berbudaya Lain” terhadap “Orang-
orang Lain”. Boleh dikatakan keberadaan komunitas sekitar hutan menjadi
penyebab tunggal terancamnya kelestarian sumberdaya hutan. Sementara pemilik
modal yang mengeksploitasi sumberdaya hutan secara masif, jarang diungkap dan
disebut sebagai perusak dan perambah hutan, karena aktivitas mereka
berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja.
Senyatanya penyebab dan sumber gangguan terhadap kelestarian
sumberdaya hutan dan kawasan hulu DAS bervariasi. Penyebab kerusakan
sumberdaya hutan dan kritisnya kawasan hulu DAS, tidak tunggal; bisa
bersumber dari kebijakan yang tidak tepat dan ”permainan” kelompok
kepentingan di aras supralokal yang melibatkan komunitas lokal. Pelaksanaan
politik agraria transaksional dan kontestasi sektoral merupakan penyebab
struktural kerusakan sumberdaya hutan dan kritisnya kawasan DAS di Indonesia
berlangsung masif.
Berangkat dari pemikiran tersebut, maka upaya pembangunan kehutanan
berkelanjutan, tata kelola DAS terpadu dan pemberdayaan komunitas sekitar
hutan, tidaklah memadai dengan pendekatan politik tata kelola agraria
konvensional. Karena pendekatan politik tata kelola agraria konvensional gagal
mewujudkan politik agraria yang diamanatkan konstitusi untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Kegagalan tersebut disebabkan menempatkan sumberdaya
agraria dan sumberdaya manusia sebagai komoditas dan objek semata-mata.
33Lihat: (1) Christian Wulandari, “Tingkatan Penerimaan Sosial Masyarakat Sekitar Hutan Dalam
Mengadopsi Agroforestry di Lahan Pekarangan” dalam Jurnal Hutan Rakyat Vol. VII No.1 Tahun
2005, p. 17-27; (2) Heriyanto dan Garsetiasih, “Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Oleh Masyarakat
Lokal di Taman Nasional Meru Betiri Jawa Timur, Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam
Vol. III No.3 Tahun 2006, p.297-306; (3) Triyono Puspitojati, Preferensi Pemangku Kepentingan
Dalam Pengelolaan Hutan Produksi: Studi Kasus Pengolahan Hutan Produksi di KPH Bogor”,
Sekolah Pascasarjana, IPB, 2008.
13
Kegagalan politik tata kelola agraria konvensional menjadi landasan perlunya
politik agraria transformatif dalam pembangunan kehutanan dan pemberdayaan
komunitas di sekitar hutan. Pemikiran politik agraria tranformatif dimaksudkan
untuk meminimalkan kontestasi sektoral, penguasaan sumberdaya agraria
terdistribusi lebih adil, terjaganya sumberdaya hutan dan modal sosial bangsa
Indonesia dalam menghadapi persaingan ekonomi dan perubahan iklim global.
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
2.1. Kelembagaan Lokal
Kelembagaan yang hidup dalam masyarakat bersifat dinamis dan
kompleks, jenis dan ragamnya berkembang sesuai dengan dinamika kehidupan
masyarakat.34
Interaksi desa dengan supra desa yang intensif mengakibatkan
kelembagaan yang hidup dalam masyarakat pedesaan tidak hanya berasal dari
dalam dan tumbuh dalam komunitas atau desa, tetapi juga berasal dari supra desa.
Hal ini menunjukkan kelembagaan yang terdapat dalam wilayah pedesaan atau
entitas bersifat dinamis dan kompleks.
Dinamika dan kompleksitas kelembagaan dalam masyarakat dapat disimak
dari analisis yang dikemukakan oleh Tjondronegoro (1984). Menurutnya
kelembagaan masyarakat berkembang secara kontinum, dari lembaga menjadi
organisasi.35
Meskipun antara lembaga atau institusi sulit dipisahkan dan memiliki
persamaan, tetapi antara keduanya terdapat perbedaan ciri-cirinya. Menurut
Tjondronegoro, lembaga memiliki ciri: berorientasi pada kebutuhan, peranan yang
dimainkan, upacara, pengawasan sosial, pengakuan karena membudaya,
terlibatnya pendukung, tradisi turun-temurun, empiris, berpegang pada norma,
prioritas usia dan gengsi dan sifat memenuhi kebutuhan tertentu. Sedangkan
organisasi memiliki karakteristik: berorientasi pada tujuan, tugas yang
dilaksanakan, prosedur, pengawasan peraturan, pengakuan karena didirikan resmi,
kebiasaan karena rutin, digagas dan diwujudkan, kesetiaan dan ikatan pada tujuan,
prioritas pada keterampilan dan kemampuan dan alat mencapai tujuan tertentu.
Kompleksitas kelembagaan dalam masyarakat juga dapat dilihat dari
jangkauan dan cakupannya. Dimensi kelembagaan seperti ini dikemukakan oleh
34 Koentjaraningrat mengidentifikasi kelembagaan menurut fungsinya meliputi kelembagaan: (1)
kekerabatan/domestik, (2) ekonomi (mata pencaharian, produksi, menimbun dan distribusi
kekayaan), (3) pendidikan, (4) ilmiah, (5) politik (mengatur kehidupan kelompok besar atau
kehidupan negara), (5) keagamaan (untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhan), (6)
estetika dan rekreasi (untuk menyatakan rasa keindahan dan rekreasi) dan (7) somatik (jasmaniah
manusia). Lihat Koentjaraningrat, 1986. Pengantar Antropologi. Jakarta, Aksara Baru.
35 Sediono M.P Tjondronegoro, “Gejala Organisasi dan Pembangunan Berencana Dalam
Masyarakat Pedesaan di Jawa.” Dalam Koentjaraningrat (penyunting), 1984. Masalah-Masalah
Pembangunan Bunga Rampai Antropologi Terapan. Jakarta LP3ES, p.220.
15
dikemukakan oleh Uphoff (1986). Ia mengidentifiksi kelembagaan secara hirakis
dan vertikal: kelembagaan mikro, meso dan kelembagaan makro. Kelembagaan
mikro atau kelembagaan lokal, adalah kelembagaan yang hidup dinamis dalam
komunitas/masyarakat, baik publik, partisipatori maupun swasta. Dalam analisis
Uphoff, kelembagaan lokal jangkauannya mencakup administrasi pemerintahan
terkecil, seperti desa.36
Pada kelembagaan lokal yang bersifat publik,
jangkauannya mencakup administrasi dan pemerintahan lokal dengan perangkat
birokrasi yang terdapat di dalamnya. Pada kelembagaan lokal bersifat
partisipatori, meliputi lembaga-lembaga yang tumbuh dalam masyarakat yang
dibangun secara sukarela dan swadaya. Menurut Uphoff, kelembagaan lokal dapat
berupa kelembagaan bisnis yang terdapat dalam suatu wilayah seperti
kelembagaan pertanian, perdagangan, kerajinan, industri dan kelembgaan bisnis
lainnya yang berorientasi profit.
Kelembagaan lokal baik partisipatori, publik maupun bisnis, dinamika dan
kompleksitasnya dipengaruhi oleh kemampuan dan fungsinya dalam pemenuhan
kebutuhan sosial dan ekonomi komunitas. Sepanjang kelembagaan lokal tersebut
memiliki kapasitas dan adaptabilitas untuk memenuhi kebutuhan sosial dan
ekonomi komunitas, eksistensinya akan terjaga dan terpelihara dengan baik.
Tetapi bila kapasitas dan adaptabilitas melemah dan disfungsional, kelembagaan
lokal tersebut hanya akan menjadi artefak sejarah. Salah salah kelembagaan lokal
yang bersifat parsipatori dan persisten dalam kehidupan komunitas pedesaan
adalah kelembagaan tata kelola sumberdaya agraria. Kelembagaan jenis ini
ditemukan pada berbagai komunitas dan entitas di Indonesia.
Merujuk pada Schmidt, (1987)37
, persistensi kelembagaan parsipatori ini
disebabkan memiliki yurisdiksi, representasi dan mengatur hak kepemilikan
36 Lihat Uphoff, Norman, 1986. Local Institutional Development: An Analytical Sourcebook With
Cases. Conecticut, Kumarian Press. p.130
37 Yurisdiksi merujuk pada adanya batas wilayah kekuasaan atau batas otoritas yang dimiliki oleh
suatu kelembagaan, mengatur siapa dan apa saja yang boleh dilakukan oleh anggota dalam suatu
komunitas. Hak kepemilikan merupakan bagian integral dari kelembagaan, bentuknya dapat
berupa hukum formal atau yang diatur dalam tradisi atau adat kebiasaan dalam suatu masyarakat.
Aturan representasi mengatur siapa yang berhak berpartisipasi dalam proses pengambilan
keputusan. Keputusan apa yang diambil dan apa akibatnya terhadap performa akan ditentukan oleh
kaidah representasi yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan. Partisipasi warga
ditentukan oleh hasil kesepakatan karena partisipasi sering berimplikasi pengorbanan atau adanya
16
sumberdaya. Perangkat aturannya mengatur hak, kewajiban dan tanggung jawab
bagi anggotanya dan menyediakan jaminan sosial, kepercayaan dan perlindungan
ekonomi (aturan main dan ”kepastian” tentang siapa memperoleh apa dan berapa
banyak). Kelembagaan jenis ini secara sosiologis berpotensi menurunkan derajat
ketidakpastian dalam kehidupan masyarakat. Dalam analisis Berkes (1989)38
hal
ini disebabkan pada kelembagaan kategori ini bersifat praktis, menghargai
kolektivitas dan resiprositas sesuai ruang spasial dan kulturalnya. Kelembagaan
lokal ketegori ini tercakup dalam kelembagaan buyut, pipeling dan liliuran
sebelum meluasnya kapitalisasi sumberdaya pada komunitas petani di hulu DAS
Cidanau.
Dalam perspektif sosiologi, kelembagaan yang hidup dalam suatu
komunitas dapat dianalisis dalam dua perspektif. Perspektif pertama kelembagaan
sebagai nilai, norma, aturan perilaku dan aturan main, dan perspektif kedua
kelembagaan sebagai institusi/organisasi atau struktur. Pandangan yang
menempatkan kelembagaan sebagai nilai, norma, aturan perilaku dan aturan main
terangkum dalam fakta sosial yang dikemukakan oleh Emile Durkheim39
atau
tindakan subjektif penuh arti (verstehen) yang dikemukakan oleh Max Weber.40
Kelembagaan sebagai nilai, norma, aturan perilaku dan aturan main,
menurut Giddens (Scot, 2008) memberikan kedamaian bagi kehidupan sosial dan
dukungan pada sistem sosial.41
Dalam analisis Scott (1989) keberadaan
ongkos yang dikeluarkan. Lihat Schmidt, A. 1987. Property, Power, and an Inquiry Into Law and
Economic. New York Praeger.
38 Fikret Berkes, C. Folke and J. Colding, eds, 1998. Linking Social and Ecological Systems:
Management Practices and Social Mechanisms for Building Resilience. Cambridge: Cambridge
University Press.
39 Durkheim membedakan fakta sosial atas material (dapat disimak, ditangkap dan diobservasi)
dan non material (fenomena inter subjektif dari kesadaran manusia). Fakta sosial material dan non
material bersifat nyata dan eksternal. Fakta sosial antara lain kesadaran, sistem sosial, kesatuan
masyarakat, nilai, keluarga, dan perusahaan dan pemerintahan. Emile, Durkheim, 1964. The Rule
of Sociological Method. New York: The Free Press.
40 Inti pemikiran Weber adalah tindakan sosial penuh arti, hanya individu yang riil secara objektif
yang berarti, masyarakat hanyalah satu nama menunjuk pada sekumpulan individu. Menurut
Weber tindakan sosial adalah tindakan individu sepanjang tindakannya mempunyai arti subjektif
bagi dirinya dan diarahkan pada orang lain dan untuk memahaminya perlu empati dan pemahaman
(verstehen). Lihat Max Weber, 1964. The Theory of Social and Economic Organization. New
York: The Free Press.p.88
41Lihat Richard, W. Scot, 2008, Institutions and Organizations, Idea and Interest. Los Angeles:
Sage Publications. p.48-587.
17
kelembagaan komunitas di pedesaan pra kapitalis berfungsi sebagai “asuransi
terselubung” dan “energi sosial” dalam mengatasi masalah-masalah kehidupan.
Sehingga ketika kedua fungsi itu memudar akibat penetrasi kekuatan ekonomi
kapitalis menimbulkan ketegangan sosial dan pemberontakan di pedesaan.42
Kelembagaan sebagai institusi/organisasi telah mendapat perhatian dari
Durkheim dan Weber. Analis Durkheim tentang organisasi dijelaskan dalam
pembagian kerja, solidaritas organis dan solidaritas mekanis.43
Analisis Weber
tentang organisasi diuraikan dalam birokrasi modern berciri otoritas legal/rasional,
regulatif, memiliki struktur formal dan aturan main yang diatur secara legal. 44
Peran kelembagaan lokal baik sebagai nilai, norma, aturan perilaku dan
aturan main atau sebagai institusi, eksistensinya dipengaruhi oleh pengetahuan,
pengalaman dan budaya komunitas, fungsionalitas dan intensitas interaksinya
dengan supralokal. Kelembagaan komunitas kehadirannya didorong oleh adanya
kebutuhan bersama dari anggota untuk menciptakan ketertiban, keamanan dan
keberlanjutan sumberdaya ataupun kesejahteraan. Dalam hal ini kelembagaan
lokal merupakan upaya pemenuhan kebutuhan bersama yang dilembagakan.
Karena keberadaannya didasarkan pada kebutuhan bersama, maka kelembagaan
komunitas muncul dan tenggelam seiring dengan kebutuhan dan dinamika
masyarakatnya.45
Kelembagaan komunitas akan tetap eksis jika dirasakan
fungsional oleh masyarakatnya, dan akan ditinggalkan jika dirasakan sudah
disfunction.46
Kelembagaan lokal yang hidup dalam komunitas dapat berupa
kelembagaan tradisional/adat dan kelembagaan bukan tradisional. Kelembagaan
42Scott, James, 1989. Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara.
Jakarta, LP3ES.
43 Lihat Emile, Durkheim,1967. The Division of Labor in Society. The Free Press, p.79,172. 44
Lihat Max Weber, 1964. The Theory of Social and Economic Organization. New York: The Free
Press Press, p,328,358.
45Berkaitan dengan fungsi kelembagaan, Soekanto mengidentifikasinya atas empat hal, yaitu (1)
memenuhi kebutuhan pokok manusia, (2) memberi pedoman pada anggota masyarakat bagaimana
mereka bersikap dan bertingkah laku dalam menghadapi masalah-masalah dalam masyarakat,
terutama yang menyangkut pemenuhan kebutuhan-kebutuhan manusia, (3) menjaga keutuhan
masyarakat, dan (4) memberi pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan kontrol sosial.
Soerjono, Soekanto. 1990. Sosiologi, Suatu Pengantar. Jakarta, Rajawali.
46 Lihat Masyhuri Imron, Peran Pemerintah Dalam Pengembangan Kelembagaan Masyarakat
Nelayan” Makalah disampaikan Dalam Seminar Peningkatan Kapasitas Kelembagaan
Masyarakat Nelayan”, Bappenas, 21 April 2009.
18
tradisional dibentuk dan dipraktikkan secara turun-temurun oleh masyarakat yang
bersangkutan. Sedangkan kelembagaan bukan tradisional bentuknya mungkin
tradisional (belum memiliki struktur kepengurusan seperti kelembagaan modern),
tetapi merupakan bentukan generasi baru (bukan turun-temurun) atau hasil
bentukan (intervensi) dari luar komunitas, seperti KUB (Kelompok Usaha
Bersama), Kelompok Tani Hutan, Lembaga Masyarakat Desa Hutan dan
sejenisnya.
Struktur kelembagaan lokal tidak selalu formal, tetapi nilai dan aturan
mainnya tersosialisasikan secara melembaga, sehingga kelembagaan lokal
terinternalisasikan secara terus-menerus. Internalisasi kelembagaan lokal dalam
suatu komunitas berkaitan dengan pengetahuan/kearifan lokalnya. Kearifan lokal
merupakan totalitas pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki komunitas dalam
wilayah geografis tertentu yang memungkinkan mereka menjangkau dan menata
lingkungan alamiahnya. Pengetahuan dan keterampilan komunitas bersumber dari
pengalaman trial and error dan berasal dari proses adaptasi dan akomodasi
terhadap keadaan dan lingkungan yang senantiasa berubah.
Pengetahuan lokal yang hidup dalam suatu komunitas merupakan
implikasi dari keterlibatannya dengan tradisi, praktik tata kelola sumberdaya dan
lingkungan. Dalam istilah Geertz pengetahuan lokal berakar pada pengalaman dan
ruang spasial.47
Meskipun demikian, pengetahuan lokal bukan merupakan suatu
kategori pengetahuan yang bersifat distingtif dan terpisah, murni yang diwariskan,
dipelajari dan dilestarikan secara apa adanya.48
Sebaliknya pengetahuan lokal
dikonstruksi oleh para partisipan dan pelakunya melalui uji coba, praksis dan
wacana secara terus menerus. Karena sifat dasar dari setiap bentuk pengetahuan
manapun termasuk pengetahuan lokal selalu kontekstual dan menyerap unsur-
47 Kajian antropologis tentang proses pembentukan pengetahuan lokal diulas oleh Geertz. Lihat
Clifford Geertz. 2003. Pengetahuan Lokal: Esai-Esai Lanjutan Antropologi Interpretatif.
Yogyakarta: 253-267.
48 Pengetahuan lokal bersifat kategoris dan distingtif dikemukakan kaum positvis/modernis karena
landasan metodologis/epistemologis pengetahuan lokal dan pengetahuan modern berlainan di
dalam menangkap realitas. Pengetahuan sains bersifat terbuka, sistematis, objektif, analitis dan
dikembangkan melalui capaian-capaian rigorus terdahulu, sedangkan indigenous knowledge dinilai
tertutup, non-sistematis, holistis ketimbang analitis dan dikembangkan atas dasar pengalaman dan
bukan berdasar logika deduktif. Lihat Agrawal, A. ‘Indigenous and Scientific Knowledge: Some
Critical Comments”, Indigenous Knowledge and Development Monitor 3(3), 1995
19
unsur yang berlainan.49
Gambaran bahwa pengetahuan lokal bersifat orisinal dan
statis merupakan konstruksi “the other”. Karakteristik dari pengetahuan lokal
seperti ini ditemukan dan dialami oleh berbagai entitas.
Dalam kajian Nygren terhadap komunitas lokal di Rio San Juan, salah satu
“the other” yang menempatkan pengetahuan lokal bersifat distingtif adalah
petugas/ agensi konservasi.50
Mereka memandang kelembagaan lokal sebagai
“ignorant” dan kendala pembangunan, dipersepsi terbelakang dan terasing.
Karena itu agensi konservasi berpendapat, negara dan agensi pembangunan
berkewajiban untuk menolong dan membawanya menuju kebudayaan modern dan
global. Prejudice tersebut menyebabkan benturan antara otoritas konservasi
dengan komunitas lokal di kawasan penyangga hutan lindung. Para petugas
konservasi memandang bahwa komunitas lokal hidup dalam suatu habitat tropis
yang kaya, namun mereka tidak menyadari keanekaragaman hayatinya dan tidak
tahu bagaimana cara memeliharanya. Agensi konservasi memandang dirinya
sebagai aktor yang memiliki kapasitas untuk melakukan konservasi atas kekayaan
ekologis hutan tropis.
Perbedaan pengetahuan dan kelembagaan dalam merawat hutan tropis,
selanjutnya dijadikan alasan untuk memperkuat hak-hak pemegang otoritas
konservasi untuk mengontrol sumberdaya alam dan komunitas lokal. Mereka
menganggap komunitas lokal memerlukan bimbingan dan pencerahan agar
mencapai kesadaran lingkungan yang modern.51
Kalaupun terdapat penghargaan
terhadap kelembagaan lokal terbatas pada upaya memperkaya diskursif bukan
sebagai basis diskursif dan praksis tata kelola hutan tropis dan lingkungannya.52
49 Sillitoe, Paul, “The Development of Indigenous Knowledge: A New Applied Anthropology”
Current Anthropology, Vol. 39, No. 2, 1998. 50
Nygren, 1999. “Indigenous Knowledge in Environment Development Discourse: From
Dichotomies to Situated Knowledge” dalam Crtique of Antropology Vol. 19 No. 3 Th 1999
51 Pemahaman demikian dikemukakan oleh konservasionis. Sebaliknya eko-populis memandang
masyarakat adat/lokal memiliki kemampuan untuk melakukan konservasi lebih baik dan pengawal
kelestarian sumberdaya. Lihat Wittemer, Heidi dan Regina Bitmer, 2005. Between
Conservationsm, Eco-Populisme and Developmentalism: Discurse in Biodiversity Policy in
Thailand and Indonesia. CAPRI Working paper No. 37. Washington DC, International Food
Policy Research Institute.
52 Eko populis memandang kelembagaan lokal sebagai gudang kesadaran refleksif, mitos- pada
komunitas lokal sebagai sikap hormat terhadap alam (repect for nature), mengandung moral
responsibility for nature, solidaritas kosmis, kasih sayang dan kepedulian terhadap alam, no harm,
20
Pandangan agensi kehutanan dan konservasi tentang kelembagaan lokal di
Rio San Juan Brazil yang dikemukakan Nygren, ternyata terjadi dan dialami oleh
komunitas sekitar hutan di Indonesia, seperti Komunitas Dayak Kanarakan di
Kalimantan, komunitas Kulawi di Bolapapu, Sulawesi Tengah dan komunitas
Naulu di Seram Tengah Maluku. Pandangan pemangku otoritas atau “the other”
terhadap komunitas lokal yang cenderung bersifat prejudice merupakan
”pembungkus” dalam proses ”teritorialisasi” karena sering berujung pada
penguasaan sumberdaya dan peluruhan kelembagaan komunitas.
Pada Komunitas Dayak Kanarakan di Kalimantan Tengah, penetrasi supra
lokal melalui industrialisasi kehutanan menyebabkan anomali, degradasi dan
bersitegangnya posisi asosiasi-asosiasi tradisional ke aras bawah komunitas,
resiprositas dan kerjasama balas-membalas yang sebelumnya berskala luas
bergeser ke dalam jaringan primordial.53
Pada komunitas Kulawi, penetrasi
kelembagaan supra lokal telah menyebabkan terkooptasinya kelembagaan
tradisional totua ngata dan mendorong terjadinya pertarungan antar kelompok
sosial yakni Totua Ngata dengan Ngato Toro. 54
Pada komunitas Naulu di Seram
Tengah, kehadiran perusahaan kehutanan yang mengeksploitasi hutan
menimbulkan kerusakan ekosistem hutan dan ketidakpastian kehidupan. Karena
pengusahaan hutan yang dilakukan oleh pemilik modal di wilayah suku Naulu
mengakibatkan kerusakan eksosistem hutan, hilangnya binatang buruan dan ikan
di sungai, kesulitan suku Naulu mendapatkan makanan, deforestasi dan degradasi
hutan.55
Kapitalisasi sumberdaya hutan yang berujung pada marginalisasi
kelembagaan lokal bukan hanya terjadi pada komunitas Dayak Kanarakan,
berkeadilan, demokrasi, dan integritas moral. Bryant, Raymond L., “Power, Knowlwdge and
Political Ecology in the Third World: A Review,” Progress in Geography, 22 (1),p. 998. 53
Lihat Siregar, Budi Baik, 2004. “Modal Sosial Komunitas Perladangan (Kasus Komunitas
Kanarakan, Kecamatan Bukit Batum Kota Palangkaraya, Propinsi Kalimantan Tengah”. Thesis,
Pascasarjana IPB
54 Lihat Hunawu, Momy, 2004. “Pengelolaan Sumberdaya Hutan Berkelanjutan: Terjadinya
Pertarungan Pengetahuan Antar Pemimpin Lokal (Studi Kasus Kepemimpinan Lokal Pada
Komunitas Kulawi di Desa Bolapapu, Sulawe Tengah”. Thesis, IPB.
55Roy Ellen, 2002. “Pengetahuan tentang Hutan, Transformasi Hutan: Ketidakpastian Politik,
Sejarah Ekologi dan Renegosiasi Terhadap Alam di Seram Tengah,” dalam Tania Murray Li
(peny.), 2002. Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
21
komunitas Kulawi dan komunitas Naulu, tetapi juga dialami oleh komunitas
petani hutan di hulu DAS Cidanau Kabupaten Serang. Mistifikasi pembangunan
ekonomi dan menguatnya kontestasi sektoral, mengakibatkan peluruhan
kelembagaan buyut, pipeling, liliuran, tanah kajaroan dan tanah kaguronan
yang merupakan keunikan di kawasan hulu DAS Cidanau.
2.2. Kontestasi Sektoral dan Lokal Supralokal
Ostrom dan Gardner, (1994) mengklasifikasikan sumberdaya agraria atas
private goods, club goods, quasi public goods dan pure public goods. Klasifikasi
Ostrom dan Gardner didasarkan atas rivalitas dan excludabilitas sumberdaya dan
manfaat yang dihasilkannya.56
Keempat tipe kepemilikan sumberdaya merupakan
pilihan bentuk hak-hak, lazimnya disebut rejim hak milik (regimes of rights). Dari
empat rejim hak milik tersebut dapat dikelompokkan atas tiga kelompok (1) rezim
hak (state property), (2) rezim hak masyarakat atau komunitas (common property)
(3) rezim hak individu (private property). Rejim hak merupakan alat untuk
mengendalikan penggunaan sumberdaya agraria dan menentukan hubungan sosial
antara kelompok.57
Rezim hak merupakan manifestasi dan representasi dari
ideologi yang dianutnya: liberal, neo liberal, atau sosialis/populis.
Rezim hak sumberdaya yang dikuasai negara (state property) dan dikuasai
komunitas (common property) merupakan representasi dari ideologi sosialis atau
populis; sedangkan rejim hak milik sumberdaya yang dikuasai individu (private
property) atau swasta adalah representasi dari ideologi liberal atau neo liberal.58
56Rivalitas sumberdaya, terjadi bila sumberdaya yang dimanfaatkan seseorang mengurangi jumlah
yang tersedia bagi orang lain baik pada sumberdaya yang dikategorikan private goods maupun
common pool goods. Sebaliknya bila dimanfaatkan seseorang tetapi tidak mengurangi jumlah bagi
orang lain, diklasifikasikan club goods dan public goods. Excludabilitas terjadi bila pengguna
sumberdaya dapat dipisahkan satu dari yang lain baik pada sumberdaya yang dikategorikan private
goods maupun club goods. Sebaliknya bila penggunanya tidak dapat dipisahkan satu dari lainnya
diklasifikasikan common pool goods atau public goods. Pemanfaatan sumberdaya common pool
goods, public goods (hutan, sungai, pantai, laut dan padang gembala) dan open acces
menimbulkan tampilnya penunggang gratis (free riders). Lihat Ostrom E, Gardner, R and
Walker,J, 1994. Rules, Games and Common Pool Resources. University of Michigan Press, Ann
Arbor, MI.
57 Hanna, Susan, Carl Folke, Karl, Goran Maler, 1996. Property Right and Natural Environment
dalam Right to Nature: Ecological, Economic, Cultural and Political Principles of Institutions for
Environment, Stockholm (Sweden): Island Press.
58Jones (1999) mengidentifikasi lima perspektif atau ideologi tata kelola sumberdaya: yaitu (1)
Neo-Malthusian, (2) Paternalis/Technocratik, (3) Populis, (4) Neo Marxis/Dependensi, (5) Neo
22
Antara kedua rezim hak terdapat perbedaan krusial dan memiliki implikasi yang
luas terhadap pola penguasaan dan akses masyarakat terhadap sumberdaya.
Perbedaan kedua rezim hak mencakup: derajat kesetaraan, institusi pengendali,
pelaku produksi, moral justification, tujuan/orientasi ekonomi, pola hubungan,
peluang terjadi kemiskinan, ketimpangan dan kerusakan alam.
Dalam negara yang menganut rezim hak sosialis, negara memonopoli
penguasaan dan pengaturan sumberdaya. Pendiri republik merumuskan
sumberdaya agraria “dikuasai negara” untuk sebesar-besarnya kesejahteraan
rakyat. Rumusan ini didasarkan pemahaman historis dan sosiologis pengelolaan
sumberdaya oleh berbagai komunitas di wilayah nusantara dan suasana kebatinan
penyelenggaraan pemerintahan yang akan mereka laksanakan. Pendiri republik
memahami bahwa pengelolaan sumberdaya agraria oleh negara dan masyarakat,
tujuan akhirnya sama, yakni terwujudnya kesejahteraan rakyat. Rumusan itu
didukung oleh suasana kebatinan dan pemahaman ideal tentang kinerja birokrasi
yang efisien seperti dikemukakan oleh Max Weber.59
Negara merupakan
instrumen, fasilitator, regulator dan mediator yang netral, berdiri di atas berbagai
kepentingan golongan, partai dan kelompok dalam upaya mewujudkan
kesejahteraan masyarakat.
Pemahaman atas kondisi sosiologis historis bangsa dan birokrasi yang
ideal dari pendiri republik itu, dalam empat dekade terakhir mengalami deviasi,
kontradiktif dan bahkan kontraprodukitf. Deviasi dari semangat pendiri republik,
paling tidak dapat diidentifikasi dalam dua hal. Pertama arah kebijakan dan politik
agraria berorientasi kapitalis, kedua pendekatan yang digunakan dalam tata kelola
sumberdaya bersifat sektoral. Amanat konstitusi yang menyatakan pengelolaan
tanah dan air untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat dan semangat
Liberal. Kelima persepektif menjadi bahan perdebatan yang signifikan karena sebagian besar
sumberdaya di berbagai belahan dunia kondisinya semakin kritis. Lihat Jones, S. 1999. From Meta
Narratives to Flexible Framwork: An Actor Analysis of Land Degradtionin Higland Tanzania. P.
211-219. Global Environmental Vol 9.
59Weber memandang birokrasi sebagai organisasi yang tepat dan ideal untuk masyarakat modern.
Ciri-ciri birokrasi ideal yang dikemukakan Weber adalah: (1) struktur hirarkis dan pendelegasian
wewenang dari atas ke bawah dalam organisasi (2) posisi-posisi/jabatan masing-masing memiliki
tugas dan tanggungjawab yang tegas (3) aturan, standar formal yang mengatur bekerjanya
organisasi dan tingkah laku para anggota, (4) personil yang secara teknis memenuhi syarat yang
dipekerjakan atas dasar karir dan promosi berdasarkan kualifikasi kinerja. Lihat Weber, 1968.
Economy and Society on Outline of Interpretative Sociology. New York, Bedminster Press.
23
“populisme” yang terkandung dalam Undang–Undang Pokok Agraria, dewasa ini
menjadi “vehicle to get power” dari penyelenggara negara dan kelompok kecil
pengusaha. Sementara itu pendekatan dan kelembagaan tata kelola sumberdaya
bersifat sektoral, tidak sineregis dan tidak terkoordinasi secara baik.
Arah orientasi politik sumberdaya agraria kapitalis dan sektoral, tercermin
dalam sejumlah peraturan perundangan dan praktik penyelengaraan pemerintahan
rezim Orde Baru dan rezim penggantinya.60
Berbagai regulasi kebijakan
pengelolaan dan pemanfataan sumberdaya cenderung memfasilitasi dan membuka
akses kepada pemilik modal untuk menguasai sumberdaya melalui “mekanisme
pasar”: supply and demand. Dalam kondisi penyelenggaraan negara bersifat
transaksional, maka mekanisme pasar dan menguatnya kontestasi sektoral
pengelolaan sumberdaya agraria berpotensi menyuburkan pelaku usaha oportunis.
Pemilik modal, pengusaha yang memiliki jaringan pertemanan dan akses terhadap
kekuasaan, berpeluang memonopoli sumberdaya agraria (hutan dan
pertambangan) secara berlebihan, menimbulkan ketimpangan struktural
penguasaan/pemilikan sumberdaya. Sejumlah kecil pelaku usaha yang memiliki
akses terhadap kekuasaan, menguasai sumberdaya hutan yang berlimpah untuk
mengakumulasi modalnya, sementara sebagian besar masyarakat yang hidupnya
tergantung pada sumberdaya hutan, berkeluh keringat dan mencucurkan darah
memperebutkan setapak tanah untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya.
2.2.1. Kontestasi Sektoral
Kerangka politik pengelolaan sumberdaya agraria, idealnya berlandaskan
karakteristik sumberdaya dan landasan konstitusional. Pengelolaan sumberdaya
secara sektoral apalagi diserahkan pada mekanisme pasar, selain bertentangan
dengan landasan konstitusi, juga kontradiktif dan kontraproduktif dengan sifat
dari sumberdaya itu sendiri. Sifat sumberdaya agraria dapat dibedakan sebagai
60 Di era reformasi lahir TAP MPR No.IX/2001 tentang Pembahruan Agraria dan Pengelolaan
Sumberdaya Alam, tapi perundang-undangan sesudahnya berpihak dan melayani kepentingan
pasar nasional dan global daripada kesejahteraan rakyat. Misalnya UU No. 7/2004 Tentang
Sumber Daya Air; Perpu No.1/ 2004 tentang Perubahan Undang-Undang No. 41/1999 tentang
Kehutanan; UU No.25/2007 tentang Penanaman Modal, UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan UU No. 4/2009 tentang Pertambangan dan Mineral.
24
sistem daya dukung kehidupan, stock atau modal alam dan sebagai komoditi
ekonomi.61
Sumberdaya alam dalam bentuk stock menghasilkan sejumlah kegunaan
yang dapat dirasa dan dilihat, seperti menyimpan air dan mencegah banjir di
musim hujan, mengendalikan kekeringan di musim kemarau, menyerap CO2 di
udara, mempertahankan kesuburan tanah, mengurai berbagai bahan beracun, dan
sebagai sumber pengetahuan serta hubungan sosial dan budaya komunitas. Fungsi
sumberdaya alam dalam bentuk stock merupakan barang publik, sehingga tidak
dapat dimiliki secara perorangan, meskipun setiap orang memerlukannya. Sebagai
komoditi, sumberdaya dapat dimanfaatkan untuk mendukung kehidupan manusia,
sepanjang pemanfaatannya memperhatikan daya dukung alamiahnya. Kedua
fungsi sumberdaya tersebut saling terkait erat dan tak dapat dibagi-bagikan,
berdasarkan wilayah administrasi kekuasaan/pemerintahan. Sumberdaya sebagai
sistem daya dukung kehidupan misalnya bentang alam DAS, pengelolaannya
tidak dapat disekat berdasarkan wilayah administrasi pemerintahan.
Menurut Hariadi, (2006) upaya melestarikan kedua fungsi sumberdaya
ditentukan oleh kelembagaan tata kelola dan sifat sumberdaya, karena
sumberdaya mempunyai keterbatasan daya dukung untuk menghasilkan komoditi
dan fungsinya secara berkelanjutan. Setiap jenis komoditi yang diambil dari
sumberdaya berupa stock, akan mempengaruhi produktifitas jenis komoditi lain
dan fungsi sumberdaya alam secara keseluruhan, seperti ketersediaan air dalam
DAS atau bioregion lainnya. Karakteristik DAS, seharusnya menjadi dasar
perumusan pembuatan undang-undang, peraturan pemerintah dan peraturan
daerah, yang menjamin keberlanjutan sumberdaya dan sekaligus memberi
kesempatan kepada masyarakat terlibat.
Kondisi ini tidak dipahami sepenuhnya oleh pembuat kebijakan. Regulasi
yang dirumuskan oleh pemangku otoritas lebih mengutamakan kepentingan fungsi
sumberdaya sebagai komoditi dari fungsinya sebagai daya dukung kehidupan.
Arus utama pengelolaan sumberdaya yang berorientasi pada produksi komoditi
61 Klasifikasi sumberdaya sebagai stock atau modal alam (hutan dan daerah aliran sungai) dan
sebagai aset ekonomi atau barang/komoditi (tanah dan barang yang ada di bawah dan di atas
tanah), Lihat Hariadi Kartodiharjo dan Hira Jhamtani, 2006. Politik Lingkungan dan Kekuasaan Di
Indonesia. Jakarta: Equinox Publisihing, p.55-56.
25
dan pertumbuhan ekonomi, mendorong komoditifikasi sumberdaya dan
pengelolaan sumberdaya secara transaksional dalam rangka memburu rente
ekonomi dan vehicle to get power” penyelenggara negara dan kelompok kecil
pengusaha.
Pendekatan tata kelola sumberdaya secara demikian mengakibatkan
berbagai peraturan perundang-undangan dan kebijakan pendukungnya yang
mengatur tata kelola sumberdaya, cenderung kontradiktif dan kontraproduktif dari
upaya mewujudkan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Gambaran
kontradiktif dan kontraproduktif dari sejumlah peraturan perundang-undangan
tersebut disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Pengelolaan SDA Menurut 5 UU dan Potensi Masalahnya
Undang
Undang
Pengaturan dan Usaha Potensi Masalah &
Dampaknya Lingkup Tata Kelola Sumberdaya Lingkup Pemanfaatan
Lingkup
SDA
Organisasi
Pengelola
Perencanaan Obyek/
Komoditi
Tata Kelola
dan Izin
No.41/’99
Kehutanan
DAS,Hutan
&Hsl Hutan
Balai dan
Pengelola
Wilayah
Pengelolaan
Hutan
Pembentukan
Wilayah
Pengelolaan
Hutan & Akti
vitas Pengelo
laan
Kayu, Non
Kayu&jasa
Lingkungan
Izin Usaha
Pemanfaatan
Pemungutan
dan & Izin
Pinjam Pakai
Izin dikeluarkan
meski perencanaan
tidak dilaksanakan.
(Secara nasional
mengukuhkan hutn
< 10% kwasan hutn
No. 7/’04
SD Air
Wil. Su-
ngai (Dpt
Lebih dr 1
DAS&
Cekungan
Air Tanah
Dewan SDA
Air (Nas,
Prov dan
Kab./ Kota
Pola Pengelo-
laan wil. su-
ngai, Pengelo
laan SD air
&pendayagu
anaan sda Air
Air Penggunaan
peran serta,
pengemb, izin
pengusahaan
sda air
Izin dpt dikeluar-
kan meski belum
ada perencanaan.
Degradasi dan
komersialisasi air
No. 31/’04
Perikanan
Perairan
ZEE danau
Waduk su
ngai Rawa
dan Ikan
Pengawas
Perikanan
Renc.Pengel.
Perikanan, Po
tensi&Alokasi
SDA ikan &
Jum Tangkp
&alat tangkap
Ikan Izin Penang-
kapan Ikan &
Izin Kapl
Pengangkut
ikan
Tak disebutkan dgn
jelas, Izin dpt dibe-
rikan tanpa diketa
tahui daya dukung
sda perikannan. Eks
ploitasi & konflik
No.5/1990
Konserv.
SDA
Hayati dan
Ekosistem
Wil. Sbg
sistem per
lindungan
penyangga
kehidupan
Lembaga-
Lembaga
Pengelola
Kawasan
Konservasi
Pembentukan
Wil. Pola dsr,
Pengaturan &
Pemanfaatan
Konservasi
Kondisi
Lingkungan,
Tumbuhan
dan Satwa
Liar
Tidak
Menetapkan
perizinan
Konservasi
mengabaikan
komunitas lokal
No 22/’01
Minyak
dan Gas
Bumi
Minyak dan
Gas Bumi
sbg
komoditi
Badan
Pelaksana
Pengatur
Wilayah Kerja
untuk Kegiat-
tan Hulu dan
Hilir
Minyak dan
Gas Bumi
Hulu: Kontrak
Kerjasama, Hi
lir: Perizinan
Wil. kerja hulu hilir
tak terkait. Harga
migas makin tinggi/
sulit dijangkau
Dari Tabel 1 diketahui bahwa undang-undang sektoral (pertambangan,
kehutanan, perikanan, minyak dan energi) satu sama lainnya tumpang tindih, tidak
adanya kordinasi antar sektor dan menimbulkan sejumlah masalah dalam hal
perizinan, pemanfaatan, pengelolaan dan kelembagaannya. Arus utama dari
26
regulasi dan tata kelola sumberdaya diarah orientasikan untuk menyokong
pertumbuhan ekonomi dan menempatkannya sebagai komoditas semata-mata.
Arus utama dan pendekatan tata kelola sumberdaya secara demikian berimplikasi
cukup kompleks terhadap keberlanjutan sumberdaya maupun keberadaan
komunitas di sekitarnya.
Dari penelaahan terhadap lima peraturan perundangan di atas
diidentifikasi sejumlah implikasi negatif sebagai berikut:
1. Mendorong perubahan fungsi bentang alam yang luas untuk perkebunan,
pertambangan dan infrastruktur (jalan, bendungan), properti, pemukiman dan
kawasan industri.
2. Konsentrasi peruntukan lahan untuk sektor-sektor yang diunggulkan demi
mengejar target, meskipun yang menikmati dari pencapaian target segelintir
orang pemilik modal yang melakukan negoisasi secara transaksional.
3. Menyingkirkan kebutuhan lain seperti keberlanjutan tata air permukaan dan
bawah permukaan, keberlanjutan lahan untuk penyediaan pangan, serta
ketersediaan kawasan pemukiman yang sehat bagi warga miskin.
4. Peluruhan kelembagaan dan alienasi komunitas di wilayah yang menjadi
kawasan sektor-sektor unggulan.
5. Kelima meluasnya pengungsi ekologik di perkotaan dengan fasilitas pendukung
terbatas yang menimbulkan pertumbuhan kriminalitas, sektor informal,
kantung-kantung permukiman kumuh.
Kelima aspek tersebut menunjukkan bahwa kontestasi sektoral yang
menempatkan sektor tertentu sebagai sektor unggulan sulit untuk menselaraskan
pertumbuhan ekonomi dengan upaya mempertahankan ekosistem bentang alam
dan perbaikan kesejahteraan masyarakat. Menguatnya kontestasi dan ego sektoral
menyebabkan program pembangunan yang melibatkan berbagai sektor tidak
mencapai sasaran yang diharapkan. Misalnya program agropolitan yang dilakukan
Kementerian Pertanian dan Pekerjaan Umum. Kontestasi sektoral mengakibatkan
konversi lahan pertanian untuk kepentingan bukan pertanian (pemukiman,
perkantoran, wisata, restoran, hotel dan jalan tol) baik di Jawa maupun di luar
Jawa terus berlanjut dan sulit dikendalikan. Dampak dari tak terkendalinya
konversi lahan pertanian untuk kepentingan bukan pertanian mengakibatkan
27
semakin sulitnya mencapai swa-sembada pangan dan tergusurnya petani dari
kawasan pertanian.
Dalam bidang pertambangan dan energi, kontestasi sektoral
menyebabkan rusaknya ekosistem hutan lindung sebagai akibat ekploitasi
pertambangan. Di sisi lain swa sembada energi semakin sulit dicapai dan harga
semakin tidak terjangkau oleh masyarakat lapisan bawah di pedesaan. Hal ini
disebabkan masing-masing instansi sektoral lebih mengutamakan pencapaian
program, produktivitas dan target sektoral, sementara aspek perlindungan dan
pelayanan publik cenderung diabaikan. Kondisi ini terjadi pada berbagai jenjang
kelembagaan pemerintahan (kementriaan, provinsi dan Kabupaten/Kota).
Otonomi daerah yang bertumpu pada pemerintah Kabupaten/Kota, bukan hanya
tidak mampu meredam ego sektoral, tetapi menumbuh-suburkan ego kedaerahan.
Ego kedaerahan tersebut ditunjukkan oleh perilaku dan tindakan Kepala Daerah
sebagai ”raja lokal”. Menguat ego kedaerahan mengakibatkan semakin sulitnya
koordinasi dan sinkroniasasi pembangunan antar daerah, termasuk antar
pemerintah kabupaten/kota yang berada di satu kawasan/ bentang DAS.
2.2.2. Kontestasi Lokal Supralokal
Visi dan misi pengelolaan sumberdaya yang dirumuskan oleh pendiri
republik untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat mengambarkan pemikiran
politik agraria populis. Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya secara populis
diarahkan untuk mencapai keselarasan, ketentraman, terjaganya keberlanjutan dan
keseimbangan ekosistem. Politik agraria populis sangat kecil peluang terjadinya
ketimpangan dan kemiskinan dalam masyarakat, karena aktivitas tata kelola
sumberdaya diarahkan untuk kepentingan bersama dari pada kepentingan/
keuntungan individual.62
Tata kelola sumberdaya populis didukung oleh pengetahuan dan kearifan
lokal yang bersifat “mutable immobiles” (pengetahuan yang relatif lunak dan
selalu selaras dengan lingkungan lokal). Partisipan yang terlibat dalam tradisi dan
praktik tata kelola sumberdaya agraria berbasis komunitas memiliki pengalaman
62
Dewalt, Billie R. 1994. Using Indigenous Knowledge to Improve Agriculture and Natural
Resource Management. Human Organization, Vol. 53, No. 2.
28
yang melimpah tentang ekologi lokal dan kaya dengan detail-detail teknis pada
ruang spasial komunitas menjalin interrelasinya. Sehingga komunitas yang terlibat
dalam tata kelola sumberdaya agraria berbasis kearifan lokal memiliki kesadaran
yang tinggi tentang keterkaitan ekologis antara manusia, fauna, flora dan tanah.
Atas dasar itu tata kelola sumberdaya agraria populis dinilai sebagai
kelembagaan yang efektif dan berkelanjutan.63
Karena praktik tata kelolanya
bersumber dari trust, menyediakan akses dan partisipasi komunitas lebih besar
daripada kelembagaan formal (state and private property). Meski tata kelola
sumberdaya agraria berbasis kelembagaan lokal lebih menjanjikan keberlanjutan
sumberdaya dan berkeadilan, sejauh ini tidak menjadi pilihan politik dan strategi
pembangunan sumberdaya agraria di Indonesia. Sebaliknya rezim hak
sumberdaya di Indonesia mengalami transformasi dari indigenous property dan
common property ke state dan private/business property. Proses transformasinya
berjalan seiring dengan proses transformasi politik dari sistem politik tradisional
menuju sistem politik demokrasi modern. Penguasaan sumberdaya agraria oleh
negara dan swasta dianggap sebagai syarat menuju masa depan negara yang lebih
modern dan demokratis. Pengarusutamaan state property dan private/business
property menyebabkan eksistensi dan posisi tata kelola berbasis kelembagaan
komunitas ditentukan oleh pemegang kekuasaan dan pemilik modal.64
Sejak rezim Orde Baru berkuasa, hegemoni dan dominasi state dan
private/business property mengalami transformasi menjadi kapitalis dan
perjalanan politik agraria Orde Baru merupakan panggung kapitalis. Orientasi
politik agraria kapitalis, terlihat dari sejumlah kebijakan dan regulasi yang
membuka pintu masuknya penanaman modal di Indonesia, baik PMDN maupun
PMA. Melalui UU PMDN dan PMA, pemerintah memberikan konsesi pada
pemilik modal untuk menguasai sumberdaya hutan dalam skala besar seperti
63Efektivitas dan keberlanjutan kelembagaan (intitutional sustainability) dapat dinilai berdasarkan
faktor partisipasi, keragaman, kompleksitas dan derajat kemerosotan kelembagaannya. Modal
sosial, kondisi aktor, ekologi dan struktur otoritas, merupakan variabel yang mempengaruhi
dinamika kelembagaan komunitas. Lihat Brinkerhoff, Derick W, and Arthur A. Goldsmith, 1992.
“Promoting the Sustainability of Development Institutions: A Framework for Strategy”, World
Development, Vol. 20.
64 Escobar (1999), mencatat relasi kekuasaan (power relations) tata kelola berbasis kelembagaan
lokal sering tidak seimbang, sehingga sering dimanfaatkan menjadi obyek kepentingan sosial dan
ekonomi supra lokal dan global. Escobar, Arturo, 1999. “After Nature: Steps to an Anti essentialist
Political Ecology” in Current Anthropology Volume 40 Number 1 Februari 1999.
29
HPH, HTI, hak kuasa pertambangan. Dalam era reformasi dewasa ini, penguasaan
sumberdaya dalam skala besar ditunjukkan oleh pencanangan Merauke
Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di Papua. Pencanangan (MIFEE)
yang mengintegrasikan produktivitas makanan dan energi dalam skala besar di
Papua mengingatkan kita pada program pembukaan sawah satu juta hektar di
lahan gambut di Kalimantan pada masa Orde Baru yang gagal.
Pencanangan Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE),
menunjukkan bahwa setelah reformasi, politik agraria berpihak kepada yang besar
dan pro bisnis terus menguat, dengan berbagai dalih (dalam rangka memacu
pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah). Di era
reformasi, proses liberalisasi dan komodifikasi, tidak terbatas pada sumberdaya
agraria tetapi juga menyentuh pada bidang usaha untuk kepentingan publik,
seperti privatisasi BULOG di bidang pangan, privatisasi PT. Krakatau Steel di
industri strategis, privatisasi Indosat di bidang telekomunikasi dan privatiasi
Garuda di bidang transportasi. Privatisasi pada dasarnya merupakan ”amputasi”
peran dan fungsi negara untuk kepentingan publik atau hajat orang banyak, seperti
terlihat dari amputasi peran dan fungsi BULOG sebagai stabilator harga dan
”penyangga” kebutuhan pokok masyarakat. Program privatisasi BUMN, seperti
Bulog, Krakatau Steel, Indosat dan Garuda merupakan langkah untuk
memuluskan jalan masuknya pemilik modal dan perusahaan transnasional untuk
menguasai pelayanan publik dan industri-industri strategis di Indonesia.
Selain privatisasi bidang publik, sepak terjang politik agraria kapitalis di
era reformasi, dapat disimak dari Undang-Undang No. 41/1999 tentang
Kehutanan, Undang-Undang No. 7/2004 tentang Sumberdaya Air dan UU No
22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Semangat yang terkandung dalam
undang-undang tersebut menempatkan sumberdaya agraria sebagai komoditi.
Komoditifikasi sumberdaya agraria tercermin dari fasilitasi dan kemudahan yang
diberikan kepada pemilik modal, baik domestik maupun asing melalui pemberian
konsesi hutan dan hak kuasa pertambangan dan program privatisasi yang
berlangsung secara masif dan kolosal di berbagai wilayah Indonesia.
Sepanjang fasilitasi itu diberikan secara adil dan transparan serta ditujukan
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat merupakan tugas pemerintah.
30
Masalahnya berbagai program fasilitasi pemerintah kepada dunia bisnis dan
pemilik modal, tidak berkoeksistensi dengan kegiatan ekonomi masyarakat,
sebaliknya cenderung menegasikan aktivitas ekonomi komunitas. Sehingga
kebijakan konsesi dan transformasi penguasaan sumberdaya dari
indigenous/common property ke business property, menjadi presenden buruk,
mengancam keberlanjutan sumberdaya dan menurunnya kesejahteraan
masyarakat.
Argumentasi bahwa transformasi penguasaan sumberdaya dari indigenous/
common property ke state dan private property sebagai upaya meminimalkan free
rider dalam kenyataan empirik yang terjadi sebaliknya. Transformasi hak
kepemilikan menyebabkan meningkatnya biaya transaksi65
dan menambah
semaraknya semangat memburu rente ekonomi, merebaknya konflik agraria,66
dan
semakin termarginalkannya kehidupan komunitas di sekitar pertambangan,
perkebunan dan kawasan HTI dan HPH. Pemasukan pajak dan retribusi yang
diperoleh pemerintah dari pemberian konsensi kepada pemilik modal tidak
sebanding dengan kerusakan dan degradasi ekosistem hutan dan marginalisasi
komunitas. Dari segi ini dapat dikatakan pemerintah sebagai regulator, tidak
mampu membuat regulasi dan membangun kelembagaan politik tata kelola
sumberdaya yang adil untuk mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Negara sebagai protektor, tidak mampu melindungi sumberdaya ke arah
terjadinya Drama of The Commons67
yang berpotensi dan mengarah pada
”Indonesia Sebentar Lagi.”
65
Biaya transaksi adalah dana yang dikeluarkan untuk mendapatkan informasi tentang barang,
biaya koordinasi, pembuatan dan evaluasi kebijakan, biaya pembuatan dan pengawasan kontrak
yang dilakukan para pihak yang terlibat. Kinerja kelembagaan yang buruk diukur oleh biaya
transaksi yang tinggi, ketimpangan informasi dan meluasnya sikap oportunis dan free rider.
Menurut Poffenberger, kerangka kebijakan regulasi yang didesain pemerintah dalam tata kelola
sumberdaya agraria cenderung tidak mempertimbangkan kendala biaya transaksi. Lihat,
Pofenberger, Mark, 1990. “The Evolulution of Forest Management System in Southeast Asia” in M. Poffenberger, (ed), Keeper of The Forest: Land Management Alternatives in Southeast Asia.
Connecticut: Kumarian Press.
66 Merujuk pada Wiradi (2002) konflik agraria di sekitar hutan disebabkan oleh (1) ketimpangan
akses dan pengusaaan sumberdaya hutan, (2) ketimpangan peruntukan tanah dan (3) ketimpangan
persepsi dan konsepsi mengenai agraria. Wiradi, Gunawan, 2000. Reforma Agraria: Perjalanan
yang Belum Berakhir. Yogyakarta: Insist Press, KPA dan Pustaka Pelajar.
67 Laju kerusakan hutan Indonesia, 6 kali lapangan sepak bola per menit. Dari 673 bencana (banjir,
longsor dan kebakaran hutan) > 65% karena kesalahan kebijakan. Dari total kayu ditebang, 73%
diantaranya illegal dengan kerugian 30 triliun rupiah/tahun dgn total kayu tercuri 70 juta m3/tahun.
31
2.3. Politik Agraria dan Peluruhan Kelembagaan Lokal
Soetiknyo (1990) merumuskan politik agraria sebagai bidang kebijakan
yang berfokus pada tiga hal: (1) hubungan antara manusia dengan tanah, (2)
manusia dari sudut politik, sosial, ekonomis, kulural dan mental, (3) alam dan
khususnya tanah. 68
Rumusan politik agraria yang dikemukakan Soektinyo oleh
Wiradi disebut sebagai strategi agraria, yakni suatu pendekatan dan pemahaman
berkaitan dengan penguasaan tanah, tenaga kerja, dan pengambilan keputusan
mengenai produksi, akumulasi dan investasi.69
Arah dan pelaksanaan politik agraria di Indonesia dapat dianalisis dari
pandangan Habermas tentang dua dimensi tindakan manusia, yaitu tindakan
teknis/kerja (terhadap obyek) dan tindakan komunikasi (tindakan sosial terhadap
subyek berdasarkan norma sosial).70
Tindakan teknis atau hubungan subyek
agraria dengan agraria cenderung searah, karena tindakan di dunia kerja
merupakan tindakan instrumental dan produktif, sedangkan tindakan komunikasi
untuk mencapai pemahaman dan saling memahami. Tindakan teknis untuk
memecahkan masalah ekonomi sedangkan tindakan komunikasi menjaga pranata
ssial.71
Perkiraan lain menyebutkan US$ 4 milyar/tahun. Dari 129 perusahaan kehutanan dengan total
hutang mencapai Rp 21,9 trilyun, 12 trilyun milik perusahaan pengolahan kayu tanpa HPH. Nilai
ekspor kehutanan tahun 2007 sekitar 1,25 juta dolar pertahun lebih rendah dari pemasukan negara
dari TKI yang mencapai 12 juta dollar/tahun. Luas kawasan yang masih tertutup pepohonan di
Jawa hanya 4 persen berfungsi sebagai wilayah tangkapan air pada daerah aliran sungai (DAS).
Sekitar 65 % (125 juta jiwa) penduduk Indonesia menetap di Pulau Jawa yang potensi airnya 4,5%
dari total potensi air di Indonesia. Lihat Chalid Muhammad, “Indonesia Sebentar Lagi” Makalah
Seminar, diselenggarakan oleh Forum Wacana Pascasarjana, IPB, 8 September 2007.
68 Ilmu politik agraria adalah bidang ilmu yang mengkaji tentang hubungan dengan tanah beserta
segala persoalan dan lembaga-lembaga masyarakat yang timbul karenanya yang bersifat politis,
ekonomi, sosial dan budaya. Iman Soetiknyo, 1990. Politik Agraria Nasional: Hubungan Manusia
Dengan Tanah yang Berdasarkan Pancasila. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
69 Gunawan Wiradi, 1991. “Reforma Agraria: Masalah dan Relevansinya dengan Pembangunan
Jangka Panjang: Suatu Pandangan ke Depan.” Sekretariat Bina Desa, 1991.
70 Konsep kerja (arbeit) Habermas merupakan kritik terhadap Karl Marx, karena merombak
struktur dengan revolusi/jalan sosialis terbukti gagal dan tidak relevan dengan late capitalis.
Habermas memandang perlu merubah paradigma emansipasi revolusioner berdasar paradigma
kerja dengan paradigma komunikasi untuk mencapai konsensus. Habermas, J. 1990. Ilmu dan
Teknologi Sebagai Ideologi. Jakarta: LP3ES, Hardiman F.B. 1990. Kritik Ideologi: Pertautan
Pengetahuan dan Kepentingan. Yogyakarta: Kanisius.
71 Dalam karyanya yang berjudul “The Communicative Action”, Habermas menyebut adanya
empat tuntutan (klaim) yang harus dipenuhi dalam komunikasi, yaitu: (1) Klaim kebenaran (truth),
32
Merujuk pada pendapat Habermas, maka tindakan manusia dalam
keagrariaan juga mengandung dimensi kerja dan interaksi/komunikasi. Dengan
berfikir deduktif dirumuskan semacam proposisi.
(1) Setiap subyek agraria (masyarakat, pemerintah dan swasta) saling berinteraksi
dalam rangka penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya agraria.
(2) Subjek agraria (masyarakat, pemerintah dan swasta) memiliki hubungan
teknis dengan objek agraria dalam bentuk pemanfaatan dan penguasaan objek
agraria untuk memenuhi kepentingan ekonomi dan sosial.
Berbeda dengan tindakan teknis yang dilakukan subyek agraria bersifat
searah, maka tindakan komunikasi bersifat dua arah, saling mempengaruhi.
Landasan terjadinya interaksi antar subyek agraria, karena masing-masing subyek
mempunyai hak keagrariaan. Hak penguasaan dan pemilikan agraria oleh subyek
agraria, lazimnya beragam sesuai dengan ruang spasial dan budayanya. 72
Hubungan sosial antar subyek agraria menghasilkan suatu tatanan sosial yang
disebut struktur sosial agraria. Proses interaksi antar subyek agraria yang memiliki
kesamaan cara kerja dalam satu kawasan mendorong terbentuknya komunitas.
Sebaliknya proses interaksi antar subyek agraria yang berbeda cara kerjanya
berpotensi menimbulkan konflik.
Konflik terjadi jika cara kerja suatu subyek agraria berakibat buruk
terhadap sumberdaya dan ekologi subyek agraria lain tanpa ada suatu konpensasi.
Seperti masuknya pemilik modal yang difasilitasi pemerintah melalui HPH dan
HTI yang mengeksploitasi sumberdaya hutan yang berakibat rusaknya ekosistem
hutan dan merugikan komunitas sekitar hutan/komunitas adat. Ekploitasi hutan
oleh pemegang HPH dan HTI bukan hanya mengakibatkan rusaknya sumberdaya
(2) Klaim ketepatan (rightness), (3) Klaim kejujuran (sincerity), (4) Klaim komprehensibilitas.
Lihat Habermas, J. 1990. Ilmu dan Teknologi Sebagai Ideologi. Jakarta: LP3ES.
72 Sistem pemilikan tanah dalam masyarakat pedesaan/sekitar hutan didasarkan atas okupasi
(natural acquisition) yang disebut John Locke, teori kerja. Hubungan agraria berawal dan
diperoleh dengan cara membuka hutan. Makin intens hubungannya dengan tanah makin kukuh
penguasaan dan pemilikan atas tanah. Penguasaan tanah de facto kemudian melahirkan hak
tenurial dan hak teritorialitas karena pemiliknya melakukan perubahan jenis tutupan vegetasi,
investasi tenaga, modal dan kontrol terhadap tanah. Locke John, 1988. Two Treatises of
Government. Cambridge: Cambridge University Press.
33
hutan dan ekosistem hulu DAS, tetapi juga menimbulkan konflik agraria dan
peluruhan komunitas lokal/sekitar hutan.73
Hubungan teknis antar subjek agraria (masyarakat, pemerintah dan swasta)
dapat bervariasi, apakah ekstraktif, konservatif atau eksploitatif, tergantung pada
ideologi, teknologi dan rezim hak.74
Basis ideologi kapitalis, sosialis dan
populis,75
menentukan bentuk tata kelola sumberdaya agraria. Menurut ideologi
kapitalis, sarana produksi utama (tanah) dikuasai oleh individu-individu non
penggarap. Penggarap yang mengolah tanah adalah pekerja upahan atau “bebas”,
diupah oleh pemilik tanah. Hubungan antara penguasaan/pemilikan tanah dan
pekerjaan terpisah. Penggarap menjual tenaga yang dibeli dengan upah oleh
pemilik tanah. Kedudukan tenaga kerja dalam sistem kapitalis sebagai komoditi
dan tanggungjawab produksi, akumulasi dan investasi sepenuhnya di tangan
pemilik tanah.
Dalam sistem politik agraria sosialis, tanah dan sarana produksi dikuasi
oleh negara (melalui serikat pekerja). Tenaga kerja memperoleh imbalan dari hasil
kerjanya. Tanggung jawab produksi, akumulasi dan investasi berada di tangan
organisasi pekerja yang dikuasai negara. Dalam politik agraria neo/populis, satuan
usaha adalah usaha keluarga. Penguasaan tanah dan sarana produksi tersebar pada
mayoritas keluarga tani. Tenaga kerjanya adalah tenaga kerja keluarga dan
produksi secara keseluruhan merupakan pekerjaan keluarga tani walaupun
tanggungjawab atas akumulasi diatur oleh negara.
Berdasarkan karakteristik politik agraria di atas, maka semangat yang
terkandung dalam UU No. 5 tentang Pokok Agraria 1960 bersifat populis dan
73 Wiradi, menyatakan konflik agraria disebabkan (1) terjadinya imcompatibility (ketidakserasian
atau ketimpangan) dalam alokasi pengadaan tanah. Tanah-tanah pertanian tergusur sementara areal
perkebunan besar justru bertambah. (2) ketimpangan yang parah dalam hal sebaran penguasaan
tanah di sektor pangan. Lihat Gunawan Wiradi, 2001. ”Reforma Agraria Tuntutan Bagi
Pemenuhan Hak-Hak Azasi Manusia”, dalam Jurnal Analisis Sosial, Vol. 6. No. 2 Juli 2001.
74 Rezim hak berdasarkan komunitas cenderung keberlanjutan dan rezim hak liberal/kapitalis
berorientasi profit maximize, akumulasi kapital dan eksploitatif. Rezim hak merupakan mode of
production yang dikemukakan oleh Karl Marx, yang menentukan cara masyarakat secara aktual
berproduksi dan terlibat ke dalam hubungan kerja dan sosial satu sama lainnya. Karena mode of
production merupakan unsur utama produksi/ekonomi dan menentukan sistem hubungan sosial
dalam masyarakat. John,Taylor G, 1989. From Modernization to Modes of Production. London:
The Macmillan Pres LTD.
75 Wiradi, Gunawan, 2000. Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir. Yogyakarta: Insist
Press, KPA dan Pustaka Pelajar.
34
menentang politik agraria kapitalis dan sosialis. Politik agraria UU PA merupakan
jalan tengah, yang mengakui hak individu atas tanah tetapi hak atas tanah tersebut
memiliki fungsi sosial.76
Penentangan UU PA atas politik agraria kapitalis,
didasarkan penilaian penyusun undang-undang atas watak/hukum dari ekspansi
modal yang cenderung negatif terhadap kehidupan masyarakat. Watak dari modal
adalah menuntut digandakan terus menerus yang disebut hukum akumulasi modal.
Dalam sirkuit produksi kapitalis, pemilik modal berusaha merubah uang
menjadi modal untuk memperoleh surplus dalam bentuk uang kembali yang lebih
besar. Dari hasil akumulasi uang, sebagian kecil digunakan pemiliknya untuk
memenuhi kebutuhan konsumif dan sebagian besar “dibunga-uangkan.” 77
Pemahaman yang mendalam atas sejarah penguasaan sumberdaya agraria
oleh pemilik kapital dan perkembangan kapitalisme di Eropa pada abad ke
delapan belas serta didorong semangat menjadi Bangsa Merdeka, menyebabkan
spirit politik agraria Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960
berorientasi populis. Spirit populis dari Presiden Soekarno juga ditunjukkan
dalam UU 21 tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil, UU No. 21 1964 tentang
Pengadilan Land Reform dan pembentukan organisasi Panitia Pelaksana Land
Reform.78
Penyusunan undang-undang tersebut berkeyakinan bahwa introdusir
politik agraria kapitalis dalam tatanan ekonomi bukan kapitalis mengakibatkan
dekonstruksi sosial, alienasi petani dan mengakibatkan petani menjadi buruh
upahan.
Pergantian Orde Lama ke Orde Baru menyebabkan perubahan radikal
dalam pentas politik agraria Indonesia, karena politik agraria Orde Baru
merupakan anti tesa terhadap politik agraria Orde Lama. Bila politik agraria Orde
76 Prinsip yang terkandung dalam UUPA 1960 adalah nasionalitas, tanah mempunyai fungsi
sosial, hak menguasai dari Negara, land reform dan perencanaan agraria. Uraian tentang UUPA
1960 lihat, A.P. Parlindungan, 1991. Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria. Bandung:
Alumni.
77 Perputaran modal dapat digambarkan dalam skema: M (money) – C (Capital) – M (Money) atau
C (Capital) – M (Money) C (Capital). Uraian mengenai watak kapital dan ekonomi klasik, lihat
Sumitro Djojohadikusumo, 1991. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Yayasan Obor Indonesia.
78 Orientasi politik agraria populis Orde Lama ditunjukkan dengan pembentukan
Organisasi/Panitia Pelaksana Land Reform dan Pengadilan Land Reform, yang strukturnya
terbentuk dari tingkat Pusat sampai tingkat Kecamatan/Desa.
35
Lama bersifat populis maka politik agraria Orde Baru berorientasi kapitalis/liberal
dan menganut kebijakan “rumah terbuka”.79
Anti tesa politik agraria Orde Baru antara lain:
(1) Land reform yang sebelumnya merupakan strategi pembangunan80
dan bagian
penting dari “Revolusi Indonesia” dijadikan rutinitas dan kegiatan teknis
birokrasi. Rezim Orde Baru mengambangkan UU Pokok Agraria dan tidak
menjadikannya sebagai induk peraturan keagrariaan, bahkan sejumlah
undang-undang sektoral cenderung menegasikan semangat UU Pokok
Agraria.
(2) Penghapusan Pengadilan Land Reform dan organisasi Panitia Pelaksana Land
Reform. Pengahapusan dua institusi itu melenyapkan legitimasi partisipasi
petani dalam agraria, karena Organisasi dan Tata Kerja Penyelenggaraan
Land Reform berdasarkan Kepres No. 55 tahun 1980 didominasi oleh
birokrasi.81
Kepres ini merupakan bagian dari kebijakan sistemik pemerintah
Orde Baru untuk memperkuat kontrol dan cengkraman birokrasi terhadap
petani. Berbagai organisasi sosial dan ekonomi yang hidup di pedesaan
sebelum Orde Baru yang merupakan underbouw dari partai politik dilarang
beroperasi.82
79 Perubahan politik agraria itu digambarkan Wiradi: “dari berdaulat dalam politik, berdikari dalam
ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan dan meletakkan masalah pembaruan agraria
sebagai basis pembangunan” diubah total menjadi “bertumpu pada yang kuat (betting on the
strong), mengandalkan bantuan, utang dari luar negeri dan mengundang modal asing”. Lihat
Gunawan Wiradi, 2001. “Kedudukan UUPA 1960 dan Pengelolaan Sumberdaya Agraria di
Tengah Kapitalisasi Negara (Politik Kebijakan Hukum Agraria Melanggengkan Ketidakadilan)
dalam Jurnal Analisis Sosial Vo. 6. No.2 Juli 2001.
80Lihat Gunawan Wiradi, “Kebijakan Agraria, Modal Besar dan Kasus-Kasus Sengketa Tanah.”
Makalah pada Lokakarya Antar Wilayah Advokasi Kasus-Kasus Tanah, 1993.
81 Dalam organisasi Panitia Pelaksana Land Reform terdapat perwakilan organisasi petani,
sedangkan dalam Tata Kerja Penyelenggaraan Land Reform didominasi birokrasi. Pemerintah
hanya melibatkan organisai petani “boneka” pemerintah, yakni HKTI, karena sebagian besar
pengurusnya berasal dari mantan atau pejabat yang tidak pernah hidup sebagai petani. Lihat
Loekman Soetrisno, 1995. Menuju Masyarakat Partisipatif. Yogyakarta: Kanisius.
82Kebijakan sistemik dilakukan dengan penyederhanaan partai politik, pemberlakuan floating mass
dan peleburan berbagai organisasi sosial dan ekonomi dalam satu wadah tunggal dibawah kontrol
pemerintah. Beragam koperasi di desa sebagai underbouw partai politik dihapus, kemudian
disatukan dalam wadah tunggal Koperasi Unit Desa (KUD). Lihat Frans Husken dan Benjamin
White, “Ekonomi Politik Pembangunan Pedesaan dan Struktur Agraria di Jawa” dalam Prisma
No.4, 1989.
36
Kedua langkah itu dimaksudkan untuk menciptakan situasi yang kondusif
bagi iklim investasi dan kenyamanan pemilik modal. Kebijakan bertumpu pada
yang kuat (betting on the strong), merupakan ciri politik agraria kapitalis Orde
Baru. Politik agraria kapitalis Orde Baru dapat diidentifikasi sebagai berikut: (1)
tanah dijadikan sebagai kekayaan/milik individual (private), (2) tanah dijadikan
sebagai komoditas atau perdagangan, (3) tanah ditujukan untuk kepentingan
perusahaan nasional dan transnasional,83
(4) pelaku utama pengusahaan
sumberdaya agraria adalah perusahaan skala besar (nasional dan transnasional),
(5) peran, insiatif partisipasi dan akses masyarakat terhadap sumberdaya agraria
dieliminasi dan dimarginalkan, 84
(6) kriminalisasi terhadap hak penguasaan dan
pemilikan tanah berbasis komunitas dan kelembagaan lokal/adat.
Sejalan dengan arus-utama politik agraria kapitalis, maka institusi agraria
diarahkan untuk melayani kepentingan pemilik modal dan memfasilitasi
transasksi pasar tanah.85
Karena itu politik agraria Orde Baru diawali dengan
program Catur Tertib Pertanahan86
dan penyusunan berbagai regulasi yang
kondusif masuknya investasi dalam pengelolaan sumberdaya agraria.
Politik agraria pro pasar/bisnis yang berlangsung pada rezim Orde Baru,
tidak banyak berubah secara berarti di bawah payung otonomi daerah. Dalam era
otonomi daerah, kepala daerah berlomba dan merasa bangga bila berhasil
mengundang pemilik modal untuk mengeksploitasi kakayaan alam yang berada di
wilayah kekuasaannya. Dampak dari politik agraria pro bisnis dan investasi yang
ditempuh oleh masing-masing Kepala Daerah menyebabkan laju kerusakan hutan
83 Faizi, mencatat politik agraria kapitalis Orde Baru berupa revolusi hijau, ekspolitasi hutan dan
agro industri. Lihat Noer Faizi, 1991. Petani dan Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria
Indonesia. Yogyakarta: INSIST, KPA, Pusaka Pelajar.
84 Uraian tentang politik ekonomi liberal lihat Sonny Keraf, 1996. Pasar Bebas, Keadilan dan
Peran Pemerintah. Yogyakarta: Kanisius.
85Sistem pasar identik dengan kapitalisme karena hubungannya yang integral dengan sistem hak
milik pribadi dan prioritas pengejaran akumulasi laba. Pasar adalah sarana tukar menukar
barang/jasa dan mekanisme untuk mengorganisir hidup bersama atas logika untung rugi. Lihat B.
Herry Proyono, 2003. “Bangsa Dalam Tegangan Lokal Global” dalam Jurnal Filsafat dan Teologi,
STF Driyarkara, Diskursus, Vol. 2 Oktober 2003.
86 Catur Tertib Pertanahan meliputi (1) tertib hukum pertanahan (2) tertib administrasi (3) tertib
administrasi pertanahan dan (4) tertib pemeliharaan tanah dan lingkungan. Peningkatan status
Dirjen Agraria menjadi Badan Pertanahan Nasional tahun 1988 melalui Kepres Presiden No. 26
tahun 1988, tidak dimaksudkan untuk penataan tanah dalam konsep land reform, melainkan untuk
mengontrol dan penguasaan tanah oleh pemerintah karena meningkatnya kebutuhan akan tanah.
37
di era otonomi daerah meningkat dengan pesat, sementara tingkat kesejahteraan
masyarakatnya seperti jalan di tempat, tanpa ada perbaikan. Meskipun kebijakan
pro investasi dan bisnis tersebut berdalih untuk meningkatkan Pendapatan Asli
Daerah (PAD). Dalam analisis Tjondronegro (2001), kebijakan pro bisnis yang
ditempuh oleh rezim Orde Baru dan pemangku otoritas di era reformasi didorong
oleh “ambisi” yang ingin cepat merubah struktur ekonomi Indonesia dari
pertanian ke perdagangan dan industri (merkantilisme ke neoklasik) dengan
mengabaikan pembenahan agraria, yang dasar-dasarnya sudah dirumuskan dalam
UUPA.87
Implikasinya dari politik agraria kapitalis adalah meluasnya eksploitasi
sumberdaya agraria, ketimpangan struktural agraria dan merebaknya konflik
agraria.88
Sekelompok kecil pengusaha memiliki akses besar terhadap sumberdaya
agraria (sumberdaya hutan), sementara akses masyarakat sekitar hutan dibatasi
dan dirampas haknya, kearifan rokal dan tradisi resiprositasnya diluruhkan.89
Atas dasar itu tak berlebihan jika dikatakan bahwa kinerja politik agraria
kapitalis, gagal menjalankan tugas konstitusional melindungi bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. Di bawah payung politik agraria kapitalis, penyelenggara negara tidak
mampu mengayomi dan melindungi masyarakat dan sumberdayanya secara adil
dan demokratis. Karena sebagian agensinya, tidak mampu berperan menjadi wasit
yang adil dalam distribusi sumberdaya dan mengatasi konflik agraria. Bahkan
dalam sejumlah konflik agraria, penyelenggara berperan sebagai pihak
berkepentingan dan menjadi representasi kelompok kepentingan.90
87 Sediono M.P.Tjondronegoro, 2001. “Pengelolaan Sumberdaya Agraria: Kelembagaan dan
Reforma Agraria” dalam Jurnal Analisis Sosial, Vol.6 No.2 Juli 2001.
88 Kondisi ini disebabkan penguasaan sumberdaya hutan dijadikan sebagai alat kekuatan ekonomi
dan politik elit penguasa dan pemilik modal. Tampilnya pengusaha konglemerat bukan karena kepiawian dan enterprenershipnya tapi karena difasilitasi negara sehingga berkembang Ersaz
Capitalism” (Kapitalisme Semu). Lihat Yoshihara Kunio, 1990, Kapitalisme Semu Asia Tenggara.
Jakarta: LP3ES,
89Awang, San Afri, (2003). Politik Kehutanan Masyarakat. Kreasi Wacana, Yogyakarta.
90 Dalam teori negara organis (1) negara merupakan akumulasi dari kelompok eksekutif,
pengusaha, militer dan politisi (representasi partai politik), (2) masyarakat bagian dari negara dan
kehendak negara sebagai manifestasi dan representasi rakyat (3) posisi negara kuat dan
intervensionis dalam proses politik. Menurut pandangan Marxian, negara merupakan perpanjangan
tangan dari pemilik modal/kapitalis. Lihat Bryan Tunner, 2002. Orientalisme, Posmodernisme dan
38
Politik agraria kapitalis yang menjadi ciri rezim Orde Baru, tidak berubah
secara berarti setelah berlangsungnya era otonomi daerah.91
Di bawah payung
otonomi, praktek pengelolaan sumberdaya semakin eksploitatif dan diwarnai ego
kedaerahan dalam upaya meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Pada era
otonomi daerah, politik sumberdaya agraria tidak didasarkan good governance,
sebaliknya cenderung mengarah ke resentralisasi di tingkat lokal, yang
mengakibatkan injustice the agrarian and ecology. Pemangku otoritas di tingkat
lokal, tidak hanya tidak rela berbagi otoritas dengan masyarakat, tetapi otoritasnya
sedapat mungkin mendatangkan manfaat dan keuntungan ekonomi serta
melestarikannya secara hegemonik. Praktik nepotis dalam rekruitmen aparat
birokrasi, elitis dalam pengambilan keputusan politik dan ekonomi serta birokrasi
koorporasi yang menjadi ciri rezim Orde Baru,92
pada era otonomi dewasa ini
gejalanya semakin mengemuka pada sejumlah pemerintah daerah. Stabilitas
politik dan rekrutmen birokrasi daerah, tidak terkonstruksi atas mekanisme
demokrasi dan profesionalitas tetapi atas keseimbangan, konfigurasi, koeksistensi
kekuatan partai politik. Hegemoni, penetrasi dan ekpsploitasi sumberdaya pada
era sentralisasi, berulang kembali dalam era otonomi daerah. Praktik birokrasi
pemerintahan pada era otonomi merujuk Evers dan Schiel (1990) merupakan
perpaduan weberisasi, parkinsonisasi dan orwelisasi93
.
Proses Weberisasi ditandai dengan penggunaan peraturan perundang-
undangan dan ketentuan formal yang memfasilitasi dan akses kepada pemilik
modal menguasai dan mengeksploitasi sumberdaya untuk meningkatkan
Globalisasi. Jakarta: Piora Cipta. Stepan mengidentifikasi kelompok kepentingan atas aliansi
tripel (elit eksekutif pemerintah, elit eksekutif perusahaan, elit militer/elit politisi). Alfred Stepan,
(1979). The State and Civil Society: Peru in Coorporative Perspective. Princeton: Princeton
Univertrty Press.
91 Ini terjadi karena jatuhnya Orde Baru merupakan keberhasilan para pendukung neoliberalisme
daripada keberhasilan massa rakyat. Kanishka Jayasuriya,”Negara, Pembangunan dan Globalisasi:
Dari Kekuasan Negara ke Kekuasaan Pasar Global”, dalam Jurnal Wacana, Edisi 5, tahun II, 2000
dan James Petras dan Veltmeyer, 2002. Imperialisme Abad 21. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
92Ciri penting dari birokrasi korporasi adalah (1) legalistik dan mencitrakan diri sebagai
benevolence (pelindung, pengayom dan pemurah hati), (2) mempersepsi rakyat tidak tahu apa-apa,
belum siap dan karenanya harus setia (obidience). Pola benevolence - obidience tidak hanya
berlangsung dalam hubungan kerja tetapi merembes dan meluas dalam hubungan aparat dengan
masyarakat. Nasikun. “Reformasi, Jalan Berliku Menuju Transisi Demokrasi” dalam Mahfud MD. Editor: Kritik Sosial Dalam Wacana Pembangunan. Yogyakarta: UII Press.
93Lihat Evers, Hans Dieter dan Schiel, 1990. Kelompok Strategis: Perbandingan Tentang Negara
Birokrasi dan Pembentukan Kelas di Dunia Ketiga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
39
pendapatan asli daerah (PAD). Di sisi lain, terdapat peraturan perundang-
undangan yang membatasi dan mengabaikan hak-hak sosial ekonomi komunitas.
Proses weberisasi politik tata kelola sumberdaya agraria pada era otonomi daerah,
selain lemah dalam kordinasi dan tidak sinergi, juga tidak berkaitan dengan
kesejahteraan masyarakat dan tidak memihak pada wong cilik. Proses weberisasi
hanya mengukuhkan arogansi agensi pemerintah sejalan dengan semakin
tambunnya kelembagaan birokrasi yang disebut Evers dan Schiel, parkinsonisasi.
Pembentukan struktur baru dan peningkatan jumlah personal agensi
(Kecamatan, Dinas Pertanian, Kehutanan), tidak mempermudah pelayanan dan
akses komunitas pada sumberdaya agraria dan perbaikan kesejahteraan
masyarakat. Sebaliknya parkinsonisasi cenderung mendorong semakin intensifnya
proses orwelisasi, yakni meningkatnya pengawasan dan pembatasan pemerintah
daerah terhadap wong cilik untuk mengakses sumberdaya. Tetapi proses
orwelisasi berlangsung secara transaksional. Proses orwelisasi dalam bentuk
penegakkan hukum terhadap aktivitas illegal logging yang melibatkan oknum
penguasa dan pemilik modal cenderung mandul, meskipun berakibat rusaknya
ekosistem sumberdaya hutan dan mengakibatkan kritisnya kawasn hulu DAS.
Lain halnya bila aktivitas illegal logging tersebut melibatkan wong cilik, aparat
penegak hukum tidak segan mengkriminalkan dan melakukkan aksi polisionil.
Politik agraria berciri Weberisasi, Parkinsonisasi dan Orwelisasi, merujuk
pada Beck mengantarkan Indonesia berada pada risk society, 94
yakni kondisi
masyarakat yang kian dicengkram individualistik dan kekuatan pasar yang
disebabkan manufactured risk (bencana akibat perbuatan dan keputusan politik
yang tidak tepat). Bencana banjir, kebakaran hutan, deforestasi, ketimpangan
sosial, merupakan manufactured risk yang diakibatkan keputusan politik untuk
kepentingan politik berdurasi pendek dan demokrasi prosedural. Sementara
substansi politik dan demokrasi untuk kesejahteraan masyarakat terabaikan.
Pentas panggung politik demikian oleh Blau95
sebagai pertanda bentuk akhir dari
94 Lihat Beck, Ulrich, 2000. “Risk Society Revisited: Theory, Politics and Research Programmes”
in J. Van Loon (ed). The Risk Society and Beyond Critical Issues for Social Theory. London:
Sage.
95 Lihat Turner, Jonathan, 1998. The Structure of Sociological Theory. First Edition,Wadsworth
Publishing Company.
40
kekuasaan, karena kekuasaan tidak menjadi solusi masalah masyarakat, tetapi
menjadi sumber masalah bagi masyarakat. Kondisi inilah yang disebut oleh
penulis kegagalan politik agraria sehingga politik agraria transformatif menjadi
semakin penting.
2.4. Kerangka Pikir
Bentuk rezim hak milik sumberdaya berkisar antara milik negara (state
property), diatur bersama (common property) atau berupa hak individu (private
property). Rezim hak merupakan alat kendali penguasaan dan pemanfaatan
sumberdaya agraria dan relasi sosial antara kelompok masyarakat. Rezim hak
sumberdaya berbasis komunitas, bersumber dari tradisi, trust, budaya dan religi.
Hubungan teknis dan hubungan sosial agraria pada komunitas lebih menekankan
keseimbangan dan keberlanjutan daripada keuntungan ekonomi berdurasi pendek.
Hal ini berbeda dengan hubungan teknis dan hubungan sosial agraria
berbasis state/business property bersifat reduksionis, utilitarian dan eksploitatif.
Dalam istilah Evers dan Schiel kelembagaan agraria berbasis negara bercirikan
weberisasi dan orwelsiasi dan perilaku individual aparatnya cenderung oportunis.
Pada rezim hak berbasis bisnis, sumberdaya dan kelembgaannya diletakaan
sebagai vehicle to get power semata-mata. Akibatnya sejarah rezim hak
state/private property gagal mewujudkan tujuan konstitusional untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat. Indikasinya adalah meluasnya konflik agraria,
terancamnya keberlanjutan sumberdaya dan luruhnya kelembagaan komunitas.
Komunitas yang telah memiliki hubungan teknis dan sosial, hak sejarah dan
ekonominya dimarginalkan. Kelembagaan lokal buyut, pipeling, liliuran,
kajaroan dan kaguronan dan kearifan lokal yang kondusif untuk agroforestry
berkelanjutan dimarginalkan.
Dampak lebih lanjut dari marginalisasi kelembagaan lokal adalah
tergerusnya kemandirian masyarakat dan hilangnya potensi masyarakat untuk
membangun kelembagaan DAS partisipatif. Peluruhan kelembagaan lokal di DAS
Cidanau ditandai dengan melemahnya modal sosial, resiprositas, pudarnya
kearifan lokal budidaya tanaman obat-obatan dan zonasi hutan. Peluruhan
41
kelembagaan komunitas yang disebabkan oleh manufactured risk mengarah pada
risk society.
Risk society terjadi karena manufactured risk berlangsung secara
sistematik. Pada aras sistem, diwarnai dengan weberisasi dan orwelisasi
(pengawasan ketat terhadap wong cilik tetapi lembut terhadap penguasa dan
pengusaha). Pada aras organisasional, ditandai dengan menguatnya ego sektoral
dan kontestasi sektoral serta proses pengambilan keputusan secara hegemonik dan
berdasarkan demokrasi prosedural. Pada aras individual, ditandai dengan sikap
agensi yang cenderung oportunis dan menempatkan otoritasnya atas sumberdaya
sebagai vehicle to get power bagi kelompok kepentingan.
Dalam kawasan hulu DAS Cidanau indikasi dari risk society adalah
peluruhan kelembagaan lokal, kegagalan mewujudkan politik agraria berkeadilan
dan tata telola DAS secara partisipatif. Kegagalan mewujudkan politik agraria
berkeadilan ditandai dengan meluasnya konflik agraria, penggusuran petani,
munculnya predator agraria, kepedulian semu terhadap jasa lingkungan. Kondisi
ini hanya mungkin dipecahkan dengan melakukan transformasi politik agraria
kehutanan, pertanian dan pengelolaan kawasan DAS. Politik agraria transformatif
diperlukan supaya sumberdaya hutan terpelihara dan terdistribusi secara adil.
Sumberdaya hutan yang terkelola dengan baik yang didukung oleh kelembagaan
tepat dan berkelanjutan merupakan modal ekonomi dan modal sosial dalam
mengahadapi persaingan dan perubahan iklim global. Kerangka pemikiran dari
penelitian ini diilustrasikan dalam Gambar 1 di bawah.
42
Gambar 1. Kerangka Pikir
2.5. Hipotesa Pengarah
Hipotesa pengarah dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
1. Dinamika unsur-unsur kelembagaan lokal pada komunitas petani di hulu DAS
Cidanau dipengaruhi oleh adaptabilitas, dinamika internal dan intensitas
interaksinya dengan kekuataan supralokal.
2. Kontestasi sektoral dalam proses pembangunan ekonomi pedesaan dan
komunitas sekitar hutan di kawasan DAS Cidanau menimbulkan konflik
agraria dan kapitalisasi sumberdaya pedesaan.
3. Negara sebagai regulator dan protektor yang bertugas memfasilitasi dan
memberi payung hukum dalam kenyataan empirik sering tampil sebagai
bagian dari kelompok kepentingan yang memiliki karakter meluruhkan
kelembagaan komunitas dan terancamnya eksistensi politik agraria yang
berkeadilan.
Rezim Hak Sumber
daya Berbasis Bisnis Rezim Hak Sumber
daya Berbasis Negara
Rezim Hak Sumberdaya
Berbasis Komunitas
Pertukaran&Pasar Institusi Pengendali Kelembagaan Komunitas
Justifikasi Moral Dominatif dan
Eksploitatif Keselarasan dan
Keberlanjutan
Berbasis Bisnis
Majikan Buruh
Korporasi
Holistik
Kolektif/Individu
al
Kekeluargaan/
Kolekktivitas Hubungan Produksi
Agensi
Pendekatan
Kontestasi Sektoral
Kompetisi &
Liberal
Peluruhan Kelembagaan Lokal dan
Kegagalan Politik Tata Kelola
Agraria Politik Agraria
Transformatif
43
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Metodologi dan Kerangka Penelitian
Penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh pemahaman mengenai
interaksi kelembagaan lokal dengan supra lokal dalam tata kelola sumberdaya
agraria di hulu DAS dengan menggunakan metodologi kritis.96
Penggunaan
metodologi kritis didasarkan pertimbangan, posisi tineliti yang termarginalkan
dan rendahnya perhatian dan apresiasi dari pihak agensi terhadap kelembagaan
lokal, meskipun kondusif untuk konservasi tanah dan air kawasan hulu DAS.
Penggunaan metodologi kritis, dimaksudkan agar dapat membongkar dimensi
struktur pengetahuan dan kekuasaan yang mengalienasi komunitas dan
mendorong kesadaran kolektif (collective conscious-ness) tineliti untuk
melakukan perubahan dan perbaikan terhadap posisi sosial dan ekonominya yang
termarginalkan.
Sejalan dengan metodologi kritis, maka penelitian ini tidak hanya
mendeskripsikan interaksi komunitas lokal dengan kekuatan supralokal, tetapi
juga menganalisis dampak negatifnya terhadap kehidupan sosial ekonomi tineliti.
Merujuk pada Cavallaro (2004) proses penelitian ini sebagai riset transformatif,
karena melakukan kritik sosial terhadap politik tata sumberdaya agraria yang
berlangsung di wilayah kajian. Secara metodologis hubungan peneliti-tineliti
dalam penelitian ini bersifat transaksional, dalam arti terjalin interaksi dan dialog,
ealitas dan temuan diletakkan dalam kerangka pemikiran dunia peneliti dan
teneliti. 97
Perspektif dan pendekatan emik lebih menonjol daripada etik. 98
96Secara ontologi, teori kritis memaknai realitas dibentuk oleh sejarah sosial, politik dan ekonomi.
Epistimologi teori kritis memaknai hubungan peneliti-tineliti bersifat transaksional, termediasi
nilai dan aksiologinya memandang ilmu tidak bebas nilai, etika dan pilihan moral menentukan
pilihan penelitian. Dalam istilah Habermas, ilmu terkait dengan kepentingan, kepentingan berada
dibalik dan memandu setiap sistem pengetahuan dan tugas ilmuan adalah mengungkapnya. Pilihan
pada paradigma kritis diyakini dapat memotret penetrasi supralokal terhadap kelembagaan lokal
secara terang benderang. Lihat Akhyar, Lubis, 2004. Paradigma Baru dan Persoalan Metodologi
Ilmu Sosial-Humaniora dan Budaya Pada Era Postmodern. Jakarta: PPS UI. Peneliti tidak
menggunakan paradigma kritis secara murni karena peneliti tidak sepenuhnya terlibat dalam
pemberdayaan tineliti, hanya terlibat secara temporal dalam proses penyadaran.
97 Hubungan pengetahuan dan kepentingan manusia bersifat dialektik. Sistem pengetahuan ada
pada level objektif sedangkan kepentingan atau minat manusia adalah fenomena subjektif . Lihat,
Ritzer Geoge & Goodman Douglas J, 2004. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prenada Media.
44
3.2. Pokok Penelitian dan Metode Pengumpulan Data
Pokok dan unit analisis penelitian ini mencakup tata kelola sumberdaya
agraria berbasis kelembagaan lokal, kontestasi sektoral, peluruhan kelembagaan
lokal dan kegagalan politik tata kelola sumberdaya agraria kawasan hulu DAS
Cidanau. Masing-masing konsep dan cara pengumpulan datanya disajikan pada
Tabel 2.
Tabel 2. Pokok Penelitian dan Metode Pengumpulan Data
Pokok Penelitian Metode Pengumpulan Data
Gambaran Umum
Lokasi - Desa Penelitian
- Pengamatan dan pencatatan atas obyek-obyek visual:
kondisi geografis, fasilitas fisik, infrastruktur transportasi
dan komunikasi, data demografi, monografi desa dan
dokumen lainnya di desa/kecamatan tempat penelitian.
- Wawancara dengan informan kunci (aparat desa, tokoh
masyarakat, pengurus/anggota kelompok tani hutan
Kelembagaan Lokal
(Buyut, Pipeling, Lili-
uran, tanah kajaroan
dan tanah kaguronan)
- Wawancara mendalam dengan informan kunci tentang
pengetahuan lokal, tradisi dan praktik tata kelola
sumberdaya agraria komunitas.
- Wawancara mendalam dengan informan kunci mengenai
nilai dan norma sosial dalam hubungan ketetanggaan,
kekerabatan, pemilikan, penguasaan dan warisan tanah
- Wawancara mendalam dengan informan kunci tentang
kelembagaan buyut, pipeling, liliuran, kajaroan dan
kaguronan
Kelembagaan hubung-
an sosial dan teknis
agraria
Kontestasi Sektoral dan
Kontestasi Kelembaga-
an Lokal - Supralokal
- Wawancara mendalam dengan petani dan informan kunci
tentang aktivitas produksi dan konsumsi.
- Wawancara mendalam dengan informan kunci berkaitan
dengan bentuk penguasaan, pemilikan, pemanfaatan tanah,
distribusi, bagi hasil, transfer hak penguasaan tanah
(hibah/wakaf, warisan, jual beli dan gadai tanah) dan
hubungan sosial agraria (hubungan pemilik dengan
pemilik, pemilik dengan penyewa dan pemilik-penggarap).
- Mengkaji regulasi, program dan pelaksanaan pembangunan
sektoral (pertanian, kehutanan, lingkungan hidup dan
pekerjaan umum) melalui diskusi berfokus, studi
dokumentasi dan wawancara mendalam.
- Mengkaji jejaring kelembagaan komunitas dan stakeholder
DAS (pemerintah, FKDC, LSM dan toloh masyarakat)
melalui wawancara mendalam dan diskusi berfokus.
- Wawancara mendalam dengan informan kunci mengenai
kearifan lokal, praktik agroforestry dan konservasi tanah
dan air.
98 Lihat David Kaplan dan Albert A Manners, 1999. Teori Budaya: Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
45
Peluruhan Kelembagaan
Lokal
Menganalisis kebijakan, program dan implementasinya
serta perilaku agensi pembangunan yang mengakibatkan
peluruhan kelembagaan komunitas (buyut, pipeling,
liliuran) melalui FGD, studi dokumentasi dan wawancara
mendalam dengan informan kunci (aparat instansi teknis,
aparat kecamatan, aparat desa, pimpinan kelompok tani
dan LSM).
Kegagalan Politik
Agraria
- Mengkaji kebijakan dan implementasi pembangunan
kehutanan, pertanian dan infrastruktur di kawasan DAS
Cidanau yang mengakibatkan ketimpangan dan konflik
agraria melalui FGD, studi dokumentasi dan wawancara
mendalam dengan informan kunci
- Mengkaji kondisi ekologi area cagar alam dan konservasi/
area obyek jasa lingkungan dan area konflik melalui
wawancara mendalam dengan informan kunci dan studi
dokumentasi
- Menganalisis ajang-ajang sosial dalam masyarakat melalui
wawancara mendalam dengan informan kunci.
3.3. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus,99
yakni
studi yang memfokuskan pada kasus tertentu yaitu dinamika kelembagaan lokal,
kontestasi sektoral, peluruhan kelembagaan dan kegagalan politik agraria kawasan
hulu DAS Cidanau. Penggunaan metode studi kasus dalam penelitian ini disertai
penggunaan metode sejarah sosiologis dengan maksud untuk mengungkap sejarah
dan dinamika politik tata kelola sumberdaya agraria yang berdampak negatif
terhadap dekonstruksi kekehidupan sosial ekonomi masyarakat. Kegiatan
penelitian ini juga menggunakan metode interpretatif hermeneutik untuk
menafsirkan fakta sosial atau teks sosial100
di masyarakat dengan maksud dapat
menangkap fenomena dibalik realitas empirik.
99 Pilihan atas studi kasus karena peneliti bertujuan memahami situasi-situasi yang unik dan
mengidentifikasinya dengan menggali informasi secara mendalam. Kasus yang dipelajari
bervariasi seperti, individu, komunitas, kelembagaan, kelompok sosial dalam periode waktu
tertentu yang kemudian dijelaskan secara konfrehensif dan terintegrasi. Lihat Yin, R, (1996). Studi
Kasus: Desain dan Metode. Radja Grafindo Persada, Jakarta; Creswell, John W, 1994. Research
Disign: Qualitative and Quantitative Approaches. USA: Saga Publications.
100 Pengertian teks dalam perspektif metode interpretatif hermeneutik tidak terbatas pada sumber
tertulis tetapi juga teks sosial berupa pemikiran, gagasan, ide dan realitas batin/konteks fenomena
yang muncul. Teks tulisan dan teks sosial perlu diinterpretasikan dan didialogkan untuk menjadi
46
Penggunaan metode interpretatif hermeneutik didasarkan atas asumsi
bahwa nilai, tradisi, kearifan lokal tata kelola sumberdaya agraria komunitas dan
perilaku agensi adalah realitas sosial yang dipengaruhi oleh kepentingan politik
”tersembunyi”.101
Dengan menggunakan multi-metode, persoalan yang dikaji
dapat terungkap secara utuh dan memungkinkan peneliti menjadi “God’s Eye
Point of View” dalam mengamati realitas/fenomena yang diteliti dan unit
analistis/ variabel penelitian dapat dikonsktruksi secara komprehensif.
3.4. Pemilihan Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di tiga desa di kawasan DAS Cidanau, yakni102
Desa
Citanam di wilayah Kecamatan Ciomas dan Desa Citasuk dan Desa Cibojong di
Kecamatan Padarincang. Pemilihan ketiga lokasi atas pertimbangan:
1. Desa Citanam merupakan salah satu desa di kawasan hulu DAS Cidanau yang
memiliki sejarah sosiologis unik dan khas, adanya kelembagaan buyut,
pipeling, liliuran, tanah kajaroan dan tanah kaguronan.
2. Komunitas di hulu DAS Cidanau memiliki tradisi agroforestry dan kearifan
lokal tata kelola sumberdaya yang mendukung konservasi tanah, air dan hutan
yang kondusif untuk tata kelola sumberdaya agraria berkelanjutan.
3. Kelompok petani hutan di Desa Citanam dan Desa Cibojong terlibat dalam
jejaring kelembagaan hubungan hulu hilir dalam bentuk mekanisme
pembayaran jasa lingkungan yang kondusif untuk tata kelola DAS terpadu.
4. Dalam kawasan Das Cidanau terdapat Cagar Alam Rawa Danau sebagai
kawasan endemik situs konservasi rawa pegunungan satu-satunya yang
narasi yang bermakna. Lihat Akhyar, Lubis, (2004), Metode Hermeneutika dan Penerapannya
pada Ilmu Sosial, Budaya dan Humaniora. PPS UI, Jakarta.
101Penggunaan metoda interpretatif hermeneutik dimaksudkan untuk dapat menyingkap kesalahan
dan distorsi teks sosial, komunikasi dan tindakan sosial, sehingga dimungkinkan untuk memahami
tanda-tanda, makna, tampilan atau simbol-simbol yang muncul dalam suatu peristiwa. Seperti penafsiran terhadap tanda-tanda atau simbol-simbol yang muncul dalam praktek liliuran. Uraian
tentang metoda interpretatif hermeneutik Lihat Akhyar, Lubis, Akhyar, 2004. Paradigma Baru
dan Persoalan Metodologi Ilmu Sosial-Humaniora dan Budaya Pada Era Postmodern. Jakarta:
PPS UI.
102 DAS Cidanau merupakan salah satu DAS di wilayah Provinsi Banten, luasnya sekitar 22.620
ha mencakup 38 desa (33 desa berada pada lima kecamatan di Kabupaten Serang dan lima desa berada di wilayah Kecamatan Mandalawangi Kabupaten Pandeglang. Lihat Rencana Teknik
Lapangan Rehabilitasi Lahan dan Konsrvasi Tanah DAS Cidanau, Bappeda Kabupaten Serang –
Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (BRLKT), DAS Citarum- Ciliwung, 1999.
47
tersisa di P. Jawa. Tetapi karena proses pembiaran dan salah urus
menyebabkan hampir sepertiganya diduduki oleh petani lapar tanah sebagai
akibat ketimpangan struktur agraria di kawasan tersebut.
Karakteristik ketiga desa atau lokasi peneilitian tersebut diharapkan dapat
menggambarkan dan mengungkap arah orientasi politik tata kelola sumberdaya
yang berlangsung di Indonesia dan khususnya di kawasan DAS Cidanau.
3.5. Informan Penelitian
Pemilihan informan dilakukan secara purposive snowball sampling yang
melibatkan 52 orang. Kriteria dasar pemilihan informan adalah mereka yang
menjadi bagian dari peristiwa dan mengetahui masalah yang diteliti. Informan
yang terpilih mempunyai berbagai ragam latar belakang sosial (petani, pamong
desa, pejabat pemerintahan, tokoh masyarakat, pengurus/anggota LSM dan
Kelompok Tani, dan Kelompok Tani Hutan.
Rincian informan sebagai berikut: (1) Pengurus Kelompok Tani Hutan
sebanyak sepuluh orang terdiri dari Desa Citaman: empat orang, Desa Citasuk dan
Cibojong masing-masing tiga Orang; (2) Tokoh Masyarakat sebanyak sembilan
orang berasal dari Desa Citaman tiga orang, Desa Cibojong tiga orang dan Desa
Citasuk tiga orang; (3) Pengurus Rekonvasi Bumi tiga Orang; (4) Pengurus Forum
Komunikasi DAS Cidanau sejumlah tiga orang; (5) Penyuluh pertanian/kehutanan
empat orang terdiri dari penyuluh pertanian/kehutanan Kecamatan Padarincang
dua orang dan Kecamatan Ciomas dua orang; (6) satu Kepala Desa dan delapan
orang aparat Desa terdiri dari empat orang Desa Citaman, dua dari aparat Desa
Cobojong dan dua orang aparat Desa Citasuk; (7) Dinas Pertanian: dua orang,
Dinas Kehutanan: dua orang), Bappeda dan Bapedal masing-masing dua orang,
(8) Staf BKSD Banten dua orang dan empat orang Staf UPT DAS Cidanau.
3.6. Teknik Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan
data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui pengamatan, pengamatan
berperan serta, wawancara mendalam dan Focus Group Discussion (FGD),
sedangkan data sekunder dikumpulkan melalui studi dokumentasi. Wawancara
48
mendalam dilakukan untuk menggali informasi, keterangan dan penjelasan dari
tineliti/aktor yang terlibat dalam kelembagaan komunitas dan pelaksana kebijakan
yang berdampak pada peluruhan kelembagaan buyut, pipeling, liliuran, kajaroan
dan kaguronan, kearifan lokal dan praktik tata kelola sumberdaya yang kondusif
untuk agroforestry berkelanjutan.
Wawancara mendalam dilakukan untuk mendalami fenomena dan
realitas batin tineliti/informan, berkenaan dengan persepsi, pengalaman aktor
dalam suatu peristiwa yang menjadi sasaran penelitian.Wawancara mendalam
dengan tineliti dilakukan secara lepas dengan terlebih dahulu menyiapkan pokok-
pokok pertanyaan yang diajukan. Narasumber/informan kunci dalam wawancara
mendalam berasal dari berbagai strata, kelompok dan organisasi baik formal dan
informal di tingkat desa, instansi teknis (pertanian, kehutanan, UPT DAS, FKDC)
dan LSM.
Informasi, keterangan dan penjelasan yang digali melalui wawancara
mendalam dijadikan bahan diskusi kelompok berfokus. Pesertanya adalah
informan kunci (tokoh masyarakat, pengurus dan anggota kelompok tani, aparat
desa, pejabat instansi teknis dan aktivis LSM) dikelompokkan sesuai dengan
stratanya, agar terhindar dari rasa sungkan dan dapat mengungkap data dan
fenomena secara akurat. Kegiatan Diskusi berfokus dimaksudkan untuk
konfirmasi secara kognitif dan emosional dan pemahaman bersama dan mendalam
tentang fokus penelitian.
Pengaamatan berperan serta dilakukan untuk mendeteksi pola perilaku
sosial dalam merespon tekanan struktural yang berasal dari kekuatan supralokal.
Pengaamatan berperan serta ditujukan untuk mengamati secara langsung
pengalaman, tindakan sosial/kolektif dan individual, hubungan teknis agraria dan
jaringan kelembagaan yang berlangsung di tengah masyarakat.
3.7. Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Data yang terkumpul diolah dengan menggunakan pendekatan analisis
kualitatif. Analisis data kualitatif merupakan penelusuran terhadap pernyataan-
pernyataan tentang hubungan antara berbagai kategori data untuk mengkonstruksi
suatu fenomena sosial. Analisis data kualitatif merupakan proses mengatur urutan
49
data dan mengorganisasikannya ke dalam suatu pola kategori dan satuan uraian
dasar. Pengkategorian data disesuaikan dengan pertanyaan dan tujuan penelitian
agar memudahkan seleksi, deskrispsi, interpretasi dan analitis sebagai bahan
konseptualisasi, komparasi, narasi dan konstruksi.
Tahapan analisis data dalam penelitian ini merujuk pada pendapat
Mathew dan Michael, (1992)103
meliputi tiga tahapan: (1) membandingkan
kejadian/ fenomena yang cocok dengan kategorinya; (2) mengintegrasikan
kategori dengan ciri-cirinya; (3) merumuskan dan mengkonstruksi konsep sesuai
dengan teori yang relevan. Proses kategorisasi kejadian atau fenomena sosial
dimulai dengan mengelompokkan berdasarkan nama, fungsi atau alasan tertentu
sebagai bahan menyusun narasi dan abstraksi.
Dalam upaya memperoleh kebenaran ilmiah, data/informasi diuji silang
melalui teknik triangulasi metode, triangulasi sumber dan triangulasi teori. Data
dan informasi hasil wawancara dengan informan kunci, dibandingkan dengan
hasil diskusi berfokus, selanjutnya dibanding ulang dengan data hasil pengamatan
berperan serta yang dilakukan di ajang sosial dalam masyarakat. Abstraksi dan
ekplanasi dirumuskan setelah ada kesepamahaman peneliti dan tineliti.
3.8. Jadwal Penelitian
Penelitian dilakukan dalam tiga tahap. Tahap pertama persiapan dan
penjajakan, berlangsung pada bulan Maret April 2008. Tahap ini digunakan untuk
mengumpulkan informasi tentang kondisi sosial, politik, ekologi sumberdaya
agraria yang terdapat di kawasan hulu DAS Cidanau. Tahap kedua dilakukan pada
Mei sampai dengan Oktober 2008, kegiatan penelitian terfokus di tiga desa yakni
Desa Citanam, Desa Citasuk dan Desa Cibojong. Dalam rentang waktu Mei -
Oktober 2008 peneliti tidak secara terus menerus tinggal di lokasi, tetapi secara
periodik dengan maksud untuk mengambil jarak dengan tineliti. Tahap ketiga
dilakukan berlangsung dari April sampai dengan Mei 2009. Tahap ini digunakan
untuk “panajaman” terkait dengan arahan pembimbing untuk mengungkap
kontestasi sektoral dalam pembangunan sumberdaya agraria dan pedesaan yang
memarginalisasi kelembagaan komunitas di kawasan DAS Cidanau.
103 Matew, Miles dan Michael, Hubermmne, 1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta; UI Press.
50
BAB IV
GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN
4.1. Kondisi Geografi Dan Demografi DAS Cidanau
DAS Cidanau seluas 22.620 hektar merupakan salah satu DAS di wilayah
Provinsi Banten. Kondisi geografis DAS Cidanau berbentuk topografi yang
didominasi oleh pegunungan di sebelah Utara dan Barat dan dataran rendah di
belahan Selatan dan Timur. Kawasan DAS Cidanau mencakup 38 desa (33 desa
berada di lima kecamatan di Kabupaten Serang dan lima desa di wilayah Kecamatan
Mandalawangi Kabupaten Pandeglang). Sungai Cidanau merupakan sungai utama
DAS Cidanau yang menampung aliran air dari sekitar 17 batang anak sungai besar
dan kecil (misal Cikalumpang, Cisaat, Cisawarna, Cibojong, Cikondang dan
Cicangkedan) yang bermuara di Selat Sunda.104
Kelerengan DAS Cidanau dibedakan atas lima klasifikasi, dataran dengan
kelerengan 0 - 8 derajat sekitar 39,36 persen, landai 8 - 5 derajat mencapai 15,16
persen, agak curam 15–26 derajat mencapai 19,19 persen, curam 25 - 40 derajat
sekitar 14,63 persen dan sangat curam > 40 derajat sekitar 11,66 persen. Tata guna
tanah di kawasan DAS Cidanau meliputi lahan sawah (30 persen), agroforestry (27
persen), kebun campuran (16 persen), rawa (9 persen), ladang (9 persen), hutan (7
persen) dan pemukiman (2 persen ).105
Jumlah penduduk di wilayah DAS Cidanau sebanyak 133.213 jiwa terdiri dari
66.872 jiwa laki-laki dan 66.341 jiwa perempuan. Berdasarkan klasifikasi struktur
umurnya dibedakan tiga golongan, yaitu usia anak-anak (0 - 15 tahun) berjumlah
52.770 jiwa (39,61 persen), usia produktif (16 - 60 tahun) sebanyak 74.259 jiwa
(55,74 persen) dan sisanya berusia lanjut sebanyak 6.184 jiwa (4,60 persen).
4.2. Kondisi Geografis Dan Demografis Lokasi Penelitian
Secara geografis desa/lokasi penelitian dijelaskan sebagai berikut. Desa
Citasuk sebagian wilayahnya daratan rendah dan tanah tadah hujan, sebagian besar
104 Rencana Teknik Lapangan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah DAS Cidanau, Bappeda
Kabupaten Serang – Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (BRLKT), DAS Citarum-
Ciliwung, 1999.
105 Potensi dan Masalah DAS Cidanau. Forum Komunikasi DAS Cidanau (FKDC), 2005.
51
aktivitas ekonomi penduduk untuk memenuhi kebutuhan pokoknya menanam padi,
palawija dan berdagang. Hal Ini berbeda dengan kondisi geografis Desa Cibojong
terbagi atas dua bagian, bagian bawah geografinya didominasi daratan rendah, lahan
sawah dan bagian atas terdiri dari lereng perbukitan yang digunakan penduduk untuk
pertanian lahan kering.
Kondisi geografi dan topografi Desa Citaman memiliki kategori desa hutan
dan sebagian besar aktivitas penduduknya adalah berladang, menanam tanaman
perkebunan dan agroforestry. Lokasi desa Citaman terletak di bagian Selatan kaki
Gunung Pangarang pada ketinggian sekitar 350 meter dari permukaan laut,
sedangkan Wilayah Desa Citasuk dan Desa Cibojong sekitar 300-325 meter dari
permukaan laut. Wilayah Desa penelitian dengan desa-desa sekitarnya dihubungkan
oleh area perkebunan rakyat, perkampungan, sungai, dan batas alam lainnya.
Bagi penduduk, kondisi topografi dan geografi bukan hanya sebagai sarana
mencari nafkah tetapi juga tempat tinggal sekaligus sarana membangun relasi sosial
dan kultural dengan lingkungannya. Ikatan sosial kultural penduduk dengan
lingkungannya terlihat dari kelembagaan lokal tata kelola sumberdaya agraria yang
hidup pada desa tersebut. Perkampungan Desa Citaman membentang dari Utara ke
Selatan. Pusat pemerintahan Desa berada di bagian Utara dan bawah wilayah desa,
sementara sebagian besar penduduk bermukim di bagian selatan dan atas desa. Area
perkebunan rakyat penduduk Desa Citaman berada di sekitar kampung terpencar
mengikuti pola penyebaran penduduk. Perkampungan wilayah Desa Citaman
dikelilingi oleh kebun penduduk.
Ini berbeda dengan perkampungan desa Citasuk, dikelilingi batas alam
(sungai, rawa dan sawah) dan batas buatan (jalan/gang). Landscape (bentang darat)
perkampungan Desa Citasuk membentang dari Barat ke Timur, dengan pusat
pemerintahan berada di tengahnya. Bentang darat perkampungan wilayah Desa
Cibojong dari Utara ke Selatan. Pusat Pemerintahan Desa berada di bagian Selatan,
sedangkan sebagian besar penduduk bermukim di bagian Utara desa. Bila diletakkan
dalam pembagian wilayah menurut Geertz,106
Desa Citaman dan Cibojong
106Geertz membedakan wilayah Indonesia atas Indonesia “dalam” dan Indonesia “luar”. Indonesia
dalam mencakup Jawa, Madura dan Bali, Indonesia luar meliputi wilayah yang tidak termasuk
wilayah Indonesia dalam. Wilayah Indonesia dalam dan luar, dibedakan atas dasar perbedaan ekologi
yang berdampak pada sistem pertanian. Di wilayah Indonesia “dalam” tanah subur, beririgasi teknis
52
merupakan desa yang berada di wilayah Indonesia ”dalam”, tetapi memiliki
karakteristik topografi wilayah Indonesia luar. Sedangkan kondisi geografi Desa
Citasuk merupakan perpaduan Indonesia ”dalam” dan wilayah Indonesia ”luar”.
Landscape perkampungan masing-masing desa, tampaknya berimplikasi pada
intensitas interaksi sosial dan pertukaran informasi masyarakatnya inward looking
atau outward looking. Pembagian wilayah desa atas dan bawah, ternyata bukan
hanya secara fisik tetapi berkaitan dengan perbedaan akses dan posisi politik.
Pertukaran informasi antar penduduk Desa Citaman dan Cibojong cenderung inward
looking; kohesivitas, kerukunan dan kebersamaannya lebih kuat dibandingkan yang
berlangsung di Desa Citasuk yang bersifat outward looking.
Sebaran pemukiman penduduk yang terpilah atas dan bawah pada Desa
Citaman dan Cibojong ternyata ada kaitannya dengan hubungan sosial super
ordinate-sub ordinate.107
Di mana pemegang kekuasaan (ruling class) dan pusat
pemerintahannya pada kedua desa dikuasai oleh penduduk yang bermukim di bagian
bawah desa. Kondisi ini tidak terjadi di desa Citasuk, pemukiman penduduknya
tidak terbentuk atas dan bawah, melainkan menyebar pada sejumlah kampung.
Struktur sosial dan politiknya didasarkan tingkat penguasaan dan pemilikan aset
ekonomi (tanah, bentuk rumah, tingkat penghasilan, kendaraan bermotor dan
peralatan rumah tangga dan jenis pekerjaan).
Struktur fisik wilayah desa dengan variasinya juga berpengaruh terhadap
aktivitas pertanian, demografi dan ekonomi penduduk. Pengaruh kondisi geografi
desa terhadap demografi, antara lain terlihat dari perbedaan kepadatan, sebaran dan
struktur penduduk desa. Pada desa di mana struktur fisiknya sebagian besar berlereng
dan berbukit, kepadatan penduduknya lebih rendah dibandingkan desa yang struktur
fisiknya sebagian besar dari dataran. Struktur penduduk pada ketiga desa disajikan
pada Tabel 3.
lahan basah dan intensif; sedangkan di wilayah Indonesia “luar” kurang intensif dan pertanian lahan kering. Lihat Clifford Geertz, 1983. Involusi Pertanian. Jakarta: Bhratara. Tipologi Indonesia dalam
dan Indonesia luar yang dikemukakan Geertz dewasa ini mengalami perubahan, sentra padi dan
pertanian intensif bukan hanya ada di Jawa, Madura dan Bali tetapi juga tersebar di Pulau Sumatera,
Kalimantan dan Sulawesi.
107 Penduduk bagian atas Desa Citaman menyebut penduduk bagian bawah dan di pusat pemerintahan
desa sebagai urang landeuh, sedangkan penduduk bagian bawah menyebut penduduk bagian atas
sebagai urang tonggoh atau “urang gunung”/urang kebon. Sebutan urang landeuh dan urang tongoh
yang digunakan oleh warga tidak merupakan identitas budaya tetapi menggambarkan dinamika
interaksi komunitas. Diolah dari umber primer.
53
Tabel 3. Struktur Penduduk Desa Citaman, Citasuk dan Cibojong Menurut
Kelompok Usia
No Nama Desa Citaman
Kelompok Umur Jenis Kelamin Jumlah Persentase
Laki-laki Perempuan
1 0 - 6 tahun 124 141 265 16,99
2 7 - 15 tahun 181 193 374 23,97
3 16 - 18 tahun 167 176 343 21,99
4 19 - 55 tahun 239 222 461 29,55
5 > 56 tahun 58 59 117 7,50
Jumlah 769 791 1.560 100,00
No Nama Desa Cibojong
Kelompok Umur Jenis Kelamin Jumlah Persentase
Laki-laki Perempuan
1 0 - 6 tahun 323 321 644 15,47
2 7 - 15 tahun 424 439 863 20,73
3 16 - 18 tahun 496 487 983 23,61
4 19 - 55 tahun 522 515 1037 24,90
5 > 56 tahun 319 318 637 15,29
Jumlah 2.084 2.080 4.164 100,00
No Nama Desa Citasuk
Kelompok Umur Jenis Kelamin Jumlah Persentase
Laki-laki Perempuan
0 - 6 tahun 461 527 988 14,57
7 - 15 tahun 634 689 1.323 19,49
16 - 18 tahun 744 796 1.540 22,69
19 - 55 tahun 912 1058 1.970 29,03
> 56 tahun 458 506 964 14,22
Jumlah 3.209 3.576 6.785 100,00 Sumber Diolah dari Monografi Desa Citaman, Citasuk dan Cibojong tahun 2008
Dari Tabel 3 diketahui bahwa struktur penduduk ketiga didominasi oleh
kelompok umur 19 - 55 tahun, masing-masing mencapai 29,55 persen, 29,03 persen
dan 24,90 persen. Kelompok umur selanjutnya yang dominan adalah penduduk
berumur 16 - 18 tahun, desa Citaman: 21,99 persen, desa Citasuk: 22,69 persen dan
desa Cibojong sebesar 23,61 persen. Pada masyarakat pedesaan penduduk dalam
kelompok umur 16 - 18 tahun termasuk kategori usia produktif, masuk dunia kerja
dan banyak telah melangsungkan pernikahan.
Bila kelompok umur 16 - 18 tahun dihitung sebagai kelompok umur
produktif, maka kelompok umur produktif di desa Citaman sebesar 51,54 persen,
desa Citasuk mencapai 51,72 persen dan desa Cibojong 48.51 persen. Jika kelompok
umur produktif dihitung dari 16 - 55 tahun dibandingkan dengan kelompok umur
belum produktif (0 - 15 tahun) dan kelompok umur kurang produktif (>55 tahun),
54
maka perbandingan komposisinya di tiga desa penelitian adalah: Desa Citaman 54
persen, 40,96 persen, 7,5 persen; Desa Citasuk 51,72 persen, 34,06 persen, 14,22
persen dan Desa Cibojong 48.51 persen 36,20 persen dan 15,29 persen .
Data itu menunjukkan beban kelompok usia produktif paling besar terdapat
di desa Cibojong, mereka harus menanggung kelompok usia tidak produktif dan
kurang produktif sebesar 51,49 persen. Tingginya beban penduduk usia produktif di
desa Cibojong disebabkan tingginya persentase kelompok usia kurang produktif.
Beban penduduk kelompok usia produktif yang relatif kecil terdapat di desa Citaman,
karena kelompok usia produktif secara nyata masuk dan terlibat dalam berbagai mata
pencaharian dan pekerjaan baik di dalam desa maupun di luar desa.
4.3. Struktur Mata Pencaharian
Struktur mata pencaharian penduduk pedesaan pada umumnya dipengaruhi
oleh ketersediaan daya dukung sumberdaya dan tata letaknya. Sumber mata
pencaharian ketiga berada di sekitar desa dan di luar wilayah pemukiman. Merujuk
pada tipologi yang dikemukakan Smith dan Zopf, (1970) tipe pemukiman penduduk
ketiga desa dikategorikan sebagai the farm village tipe (FVT),108
yakni pola
pemukiman di mana penduduk/petani tinggal bersama-sama dan berdekatan dengan
lahan pertanian atau sekitar pemukiman.
Sumber mata pencaharian penduduk di lokasi penelitian dibedakan atas
sektor pertanian dan bukan pertanian. Sektor pertanian menjadi sumber mata
pencaharian/sumber nafkah utama warga di tiga desa, baik sebagai petani pemilik,
penggarap bagi hasil, pemegang hak gadai atau buruh tani. Persentase pekerjaan
sebagai petani di desa Citaman, petani pemilik 49,03 persen dan petani penggarap
21,75 persen, Desa Citasuk petani pemilik 37,12 persen dan petani penggarap 25,58
persen; Desa Cibojong petani pemilik 39,87 persen dan petani penggarap 29,16
108 Smith dan Zopf mengidentifikasi tipe pemukiman penduduk desa atas empat tipe: (1) the farm
village tipe (FVT), yakni pola pemukiman di mana penduduk (petani) tinggal bersama-sama dan
berdekatan di suatu tempat dengan lahan pertanian berada sekitar dan di luar lokasi pemukiman; (2)
the nebulous farm tipe (NFT), yaitu tipe FVT ditambah adanya sejumlah penduduk yang tinggal
tersebar di luar pemukiman; (3) the arranged isolated farm tipe (AIFT), yaitu pola pemukiman di
mana penduduk tinggal di sekitar jalan dan masing-masing berada di lahan pertanian mereka dan
trade center di tengahnya; (4) the pure isolated farm tipe (PIFT) yakni pola pemukiman yang
penduduknya tinggal dalam lahan pertanian mereka masing-masing, terpisah dan berjauhan satu sama
lain. Smith, T Lyn and Zopf, Paul. 1970. Principles of Inductive Rural Sociology, Philadelphia: Davis
Company.
55
persen. Bila petani pemilik dan penggarap digabung maka pekerjaan sebagai petani
di Desa Citaman mencapai 70,78 persen; Desa Citasuk sebesar 62,70 persen dan
Desa Cibojong 69.03 persen. Gambaran mata pencaharian penduduk ketiga desa
disajikan dalam Tabel 4.
Tabel 4. Mata Pencaharian Penduduk Desa Citaman, Desa Citasuk dan
Desa Cibojong
No Mata Pencaharian Desa Citaman Desa Citasuk Desa Cibojong
1 Petani Jumlah % Jumlah % Jumlah %
2 Buruh Tani 327 49,03 457 37,12 395 39,87
3 Buruh Bangunan 145 21,75 315 25,58 289 29,16
4 Pedagang 78 11,69 152 12,35 112 11,31
5 Pegawai/industri 51 7,64 136 11,06 92 9,28
6 Lain – Lain 42 6,29 97 7,88 54 5,44
Jumlah 24 3,59 74 6,01 49 4,94
667 100 1.231 100 991 100 Sumber Diolah dari Monografi Desa Citaman, Cobojong dan Desa Citasuk tahun 2008
Di desa Citasuk persentase petani relatif kecil disebabkan proses
pembangunan ekonominya lebih intensif dan letaknya yang strategis (pinggir jalan)
dan semakin terbukanya jenis pekerjaan di luar sektor pertanian (pedagang, buruh
industri atau pegawai).109
Kondisi ini ditambah nilai upah buruh tani yang jauh lebih
rendah dari UMR daerah, sehingga sektor non pertanian (industri dan sektor
informal) di kota lebih memberikan harapan dari pada sebagai petani.
Salah satu bidang pekerjaan di luar pertanian yang menjadi pilihan penduduk
desa, adalah buruh bangunan dan buruh industri. Pekerjaan buruh bangunan,
biasanya dilakukan jika pekerjaan di huma, kebun dan sawah masa rengse (sedang
sepi). Keterlibatan warga sebagai buruh bangunan dan buruh industri karena adanya
jaringan sosial (kekerabatan, ketetanggaan dan pertemanan). Jaringan sosial/
pekerjaan buruh bangunan biasanya diawali dari salah satu warga mereka sebagai
mandor atau tukang. Mereka yang terlibat dalam pekerjaan buruh bangunan,
biasanya bekerja secara kelompok melalui mobilitas sirkulasi setahap dan tidak
menetap. Hal serupa pada penduduk yang menjadi buruh industri, sebagian besar
109Penurunan jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian di desa Citasuk disebabkan semakin
terbukanya pilihan jenis pekerjaan di luar sektor pertanian dan adanya generasi muda/lulusan
SMU/SMK yang menganggap bekerja di sektor non pertanian lebih bergengsi dan terhormat daripada
bekerja di bidang pertanian. Di Desa Citasuk pergeseran ketenaga-kerjaan atau diversifikasi okupasi
dari sektor pertanian ke sektor non pertanian dengan migrasi sirkuler ke kota Serang, Tangerang dan
Jakarta.Diolah dari sumber primer.
56
didapatkan melalui jaringan sosial dan individual dengan pola mobilitas sirkulasi
linier dan dilakukan secara bertahap kemudian menetap.
Jenis pekerjaan lain yang dilakukan oleh penduduk adalah kerajinan/industri
rumah tangga. Salah satu kerajinan yang memiliki nilai sosial historis dan ekonomi
di wilayah Ciomas dan Padarincang adalah kerajinan golok. Kerajinan golok menjadi
pranata ekonomi tradisional masyarakat Ciomas dan sekitarnya. Kerajinan golok
bukan hanya menyerap lapangan kerja dan sumber nafkah sebagian warga, tetapi
juga merupakan aktivitas ekonomi yang menopang keberlangsungan dan eksistensi
lapisan sosial jawara. Ketika posisi jawara semakin terdesak karena munculnya elit
politik formal dan meluasnya pembangunan pedesaan, kerajinan golok semakin tidak
popular. Keruntuhan kerajinan golok Ciomas karena tidak mampu bersaing dengan
produk sejenis berasal dari luar daerah dan impor yang membanjiri wilayah Ciomas
dan Padarincang.
Upaya mengembalikan populeritas kerajinan golok Ciomas dilakukan Pemda
setempat dengan membuat golok “raksasa”, berukuran panjang 7 m, lebar 40 cm dan
berat 2000 kg pada tahun 2005. Golok yang dibuat oleh pengrajian golok Ciomas
tercatat oleh Musium Record Indonesia (MURI) sebagai golok terbesar dan
terpanjang di Indonesia. Tetapi pencatatan golok Ciomas dalam MURI tidak mampu
membangkitkan kejayaan industri golok di wilayah itu.
4.4. Resiprositas dan Solidaritas
Setiap masyarakat mempunyai tatanan yang keberadaannya merupakan
keniscayaan pada setiap kebudayaan. Tatanan hidup yang senantiasa disosialisasikan
dalam komunitas di hulu DAS Cidanau adalah kelembagaan pipeling110
seperti silih
asah, silih asih dan silih asuh. Silih asah mengandung makna, setiap orang dituntut
untuk senantiasa saling memberi, mengasah dan bertukar pengalaman dan
pengetahuan. Silih asih berarti setiap orang harus selalu saling mencintai dan silih
asuh berarti saling membimbing sesuai posisinya dalam bermasyarakat.
110Kelembagaan pipeling merupakan tradisi, norma dan nilai budaya dalam kehidupan masyarakat
pada ketiga. Kelembagaan pipeling berisi sembilan puluh sembilan kata larangan dan sembilan puluh
sembilan kata anjuran yang berfungsi sebagai pedoman hidup dan terciptanya keharmonisan dan
kebersamaan dalam masyarakat.
57
Melalui kelembagaan pipeling, kehidupan masyarakat senantiasa dalam
keseimbangan antara aspek jasmani rohani, dunia akhirat, pribadi dan sosial, privasi
dan publik dan hubungan manusia dengan Maha Kuasa dan hubungan manusia
dengan lingkungannya. Kelembagaan pipeling terlembagakan dalam proses interaksi
sosial laki-laki-perempuan, orang tua-anak/remaja dan antar sesama di tempat tinggal
dan ajang sosial kehidupan sehari-hari. Nilai silih asah, silih asih dan silih asuh
dalam kehidupan komunitas termanifestasikan dalam resiprositas dan solidaritas.
Kelembagaan pipeling juga termanifestasikan dalam struktur pemukiman
penduduk, di mana satu rumah dengan rumah warga lainnya tidak dibatasi oleh
pagar. Pagar pembatas antar rumah warga, tidak berbentuk fisik tetapi bersifat
abstrak berupa trust, kebersamaan dan kerukunan. Hubungan sosial antar warga
berlangsung dalam suasana keterbukaan dan kehangatan. Demikian pula halnya
dengan fungsi mesjid dan pemandian umum di sekitar Masjid, merupakan (1) sarana
sosialisasi kelembagaan pipeling (2) ajang sosial, pertukaran informasi dan bercerita
kaum perempuan dalam urusan rumah tangganya.
Dalam kehidupan warga, resiprositas dan solidaritas bagai dua sisi dari mata
uang, saling mengisi dan melengkapi. Solidaritas mempunyai makna bila diwujudkan
dalam bentuk tolong menolong, sebaliknya resiprositas mempunyai arti bila
diletakkan dalam bingkai solidaritas. Bentuk resiprositas dalam kehidupan
komunitas, dipengaruhi ikatan kerabat dan kekerabatan sosiologis.111
Praktik
resiprositas biasanya diutamakan pada kaum kerabat dekat yang kurang mampu,
disusul kerabat sosiologis, kemudian kerabat luas, dan baru kepada orang lain jika
masih ada sisa peluang. Dalam resiprositas, ada faktor-faktor tertentu yang
dipertimbangkan, kepada siapa “individu” paling berhak’ untuk turut serta, berbagi
dan memperoleh manfaat dari hasil aktivitas produksi pertanian dan kehutanan.
Dalam kehidupan warga, resiprositas dan solidaritas terpelihara melalui
pertalian kerabat, ketetanggaan dan ikatan salembur. Ikatan ketetanggaan dan ikatan
salembur, menimbulkan rasa bangga, cinta lembur, keengganan meninggalkan
lembur dan kerinduan untuk kembali ke lembur setelah ngumbara (merantau) dan
nyaba (mengunjungi kerabat lain). Di wilayah pedesaan, ikatan kerabat sosiologis
111Koentjaraningrat menyebut pengelompokkan sosial atas dasar kesamaan wilayah teritorial dengan
istilah kesatuan hidup setempat/kerabat sosiologis atau kinship affiliations (pergaulan kekerabatan).
Koentjaraningrat, 1985. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat.
58
memiliki arti penting bagi kehidupan sosial ekonomi warga dan menjadi dasar bagi
terbangunnya ikatan sosial yang lebih luas, seperti terlihat dari ungkapan jauh-jauh
oge dulur dan dulur-dulur oge jauh.
Ikatan lain yang sederajat dengan ikatan genealogis dan kerabat sosiologis
adalah ikatan hak milik yang bersifat fungsional. Perpaduan ikatan genealogis dan
ikatan sosiologis bersifat laten, menjadi aktual bila diperkuat dengan ikatan hak
milik.112
Perpaduan ketiga ikatan yang berlangsung lama melahirkan praktik tata
kelola sumberdaya agraria bersifat khas. Untuk Desa Citaman perpaduan ketiganya
disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Sebaran Ikatan Hak Milik, Ikatan Kerabat Sosiologis dan Ikatan
Kerabat Genealogis Dalam Komunitas Desa Citaman No Lembur/Kampung Ikatan Hak
Milik
Ikatan Kerabat
Sosiologis
Ikatan Kerabat
Genealogis
1 Citaman - + +
2 Cibarugbug + - +
3 Sibopong Landeuh + + +
4 Sibopong Girang + - +
5 Sibopong Tengah + + -
6 Pamatang + - +
7 G. Sumbul Girang + + +
8 G.Sumbul Landeuh. + + + Catatan: Tanda + dan – tidak bersifat absolut, hanya mengindikasikan faktor dominan.
Diolah dari wawancara dengan informan kunci.
Pemilikan dan penguasaan sumberdaya yang berhimpitan dengan ikatan
kerabat sosiologis dan kerabat genealogis, mengakibatkan akses terhadap
sumberdaya tidak sepenuhnya individual dan tertutup. Terdapat mekanisme yang
bersifat sosial dan redistributif atas sumber-sumber ekonomi dan nafkah hidup yang
berada di dalam wilayah lembur atau desa, baik sederhana maupun yang relatif besar
dari ukuran dan nilai sumberdaya yang dikorbankan. Hasil panen padi dan buah-
buahan (kopi, durian, cengkeh, petai, jengkol, dukuh, rambutan dan kelapa) selain
untuk dijual ke pedagang pengumpul/tengkulak, pemiliknya senantiasa berbagai dan
mengalokasikan hasil panennya untuk warga yang dipandang pantas.113
112 Lihat Thorns, David & Willmott, Bill. 1983. “Class, Locality and Family: Bases of Communion in
a Locality”. Dalam Crow, Graham (Ed.). 1986. The Sociology Of Rural Communities. Vol. II. US:
Edward Elgar Publishing Company.
113 Pelaksanaan mekanisme redistributif dilakukan atas dasar “konsensus”, tidak berlaku atas seluruh
komoditas hasil kebun/sawah terutama komoditas yang memiliki nilai ekonomi tinggi, seperti buah
durian, cengkeh dan petai. Pemilik mengutamakan distribusi hasil panen komoditas tersebut
berdasarkan jasa yang diberikan dan derajat hubungan sosialnya. Diolah dari sumber primer.
59
Resiprositas antar kuren (rumah tangga) tidak satu berbanding satu, tetapi
bersifat proporsional, mutualistis dan berlangsung secara periodik (bulanan dan
tahunan) sesuai dengan siklus kehidupan komunitas (tujuh bulanan, khitanan,
perkawinan, kematian). Resiprositas dan solidaritas warga, bentuknya bervariasi
sesuai dengan status sosial dan kemampuannya, dapat berbentuk curahan tenaga
maupun materi. Dalam acara siklus tahunan berbagai kelompok sosial berperan serta
baik jalma boga/jalma beunghar (berstatus sosial ekonomi tinggi) atau jalma teu
boga (berstatus sosial ekonomi rendah atau miskin).
Dalam analisis Scott, resiprositas dan solidaritas sebagai karakteristik dari
kehidupan komunitas pra-kapitalis.114
Di hulu DAS Cidanau, resiprositas dan
solidaritas bersifat fungsional dan berperan sebagai sarana pencapaian tujuan
bersama dan jaminan keamanan subsistensi minimum. Resiprositas dan solidaritas
merupakan modal sosial komunitas,115
dan menjadi solusi masalah ketika warga
menghapi kesulitan ekonomi. Sejalan dengan meluasnya komoditifikasi sumberdaya
agraria di wilayah pedesaan, resiprositas dan solidaritas mengalami transisi, seperti
halnya proses transisi elit yang berlangsung pada ketiga desa, yang gambarannya
dapat disimak pada uraian selanjutnya.
4.5. Transisi Elit
Struktur sosial desa penelitian dibangun atas tiga pilar: yakni kiai, jawara,
dan Pamong Desa. Dari tiga pilar tersebut, kedudukan kiai dan jawara cenderung
semakin melemah, sebaliknya peran pamong desa dan kelompok pegawai negeri
semakin kuat. Di wilayah pedesaan, kedudukan kiai sebagai elit lokal, berperan
sebagai pemimpin ritual keagamaan, pendidik santri dan pembimbing moral umat. Di
114Scott memandang resiprositas sebagai bagian dari “etika subsistensi”, karena adanya kekhawatiran
kekurangan pangan dan sebagai konsekuensi dari kehidupan yang berada atau dekat dengan garis
batas kemiskinan. Resiprositas berperan untuk mengatasi kesulitan ekonomi yang tak terelakkan yang
diderita oleh warga petani. Lihat James, Scott, 1989. Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan
Subsistensi di Asia Tenggara. Jakarta, LP3ES.
115Modal sosial pada komunitas di lokasi penelitian tidak terbatas pada modal sosial yang bersifat
integrasi atau bonding tetapi juga modal sosial yang dikategorikan bridging social capital. Lihat
Woolcock, M and Narayan, D. (2000). Social Capital: Implications for Developments Theory,
Research, and Policy. The World Bank Research Observer, vol. 15, no. 2 (August, 2000). Beugelsdijk
S, Smulders, S, 2003. Bridging and Bonding Social Capital: Which Type is Good for Economic
Growth?. Faculty of Economics. Tilburg University. [email protected] and [email protected].
60
luar peran tradisionalnya sejumlah kiai, tertarik dengan dinamika politik lokal dan
lingkungan, seperti Ustaz Bachrani dalam pengorganisasian petani hutan.116
Keterlibatan kiai dalam dinamika politik lokal dilakukan melalui pemanfaatan
forum keagamaan (pengajian rutin, manakiban dan ajang sosial) dengan
menyampaikan ”wejangan agama” yang disisipi muatan politik. Pentingnya menjaga
kekompakkan dan keutuhan kerabat, disisipi pesan memilih partai dan orang tertentu
sebagai kemaslahatan; dan kemudaratan (keburukan) tidak memilih orang/partai
tertentu. Dalam kapasitasnya sebagai publik figur dan pemuka pendapat,
penyampaian pesan agama yang diberi makna tertentu (muatan politik) terlihat
berdampak positif terhadap perolehan suara calon kepala desa yang dijagokannya
dan terbukti efektif membentuk dan menggiring opini masyarakat sesuai dengan
kepentingan politiknya.117
Keterlibatan Kiai Muhaimin Saleh dalam politik praktis bukan hanya dalam
panggung politik lokal (pemilihan Kepala Desa Citaman), tetapi juga berkiprah
dalam partai Golkar sejak tahun 1996 (masa Partai Golkar dipimpin oleh Harmoko),
yakni sebagai pengurus Satkar Ulama Golkar Kecamatan Ciomas, Kabupaten
Serang. Tak berlebihan bila sebagian masyarakat menyebutnya sebagai kiai Golkar.
Pilar kedua dalam struktur sosial masyarakat di lokasi penelitian adalah
jawara.118
Dalam wilayah Ciomas dan Padarincang, jawara memiliki tempat dan
peran dalam masyarakat dan merupakan ciri khas dari struktur sosial di Kabupaten
Serang dan wilayah Banten pada umumnya. Peran sosial yang menonjol dari jawara
khususnya dalam keterampilan bela diri dan penguasaan ilmu kekebalan. Dalam
masyarakat, khususnya di wilayah Kecamatan Ciomas dan Padarincang, jawara
dibedakan atas dibedakan atas jawara ngora dan jawara kolot. Jawara ngora
mengandalkan kemampuan otot, tindakan dan keputusannya sering tidak
116Kepedulian terhadap lingkungan terlihat dari sikapnya yang kritis dalam menyikapi penyusutan
debit air Rawa Danau. Tokoh masyarakat meyakini penebangan kayu di kawasan hutan Pangarang
tidak dilakukan oleh penduduk setempat, kalaupun ada yang terlibat, mereka hanya diperalat oleh
”orang luar” yang tidak bertanggung jawab. Diolah dari sumber primer.
117Keterlibatan kiai dalam politik praktis mampu mendongkrak perolehan suara calon kades dan
menang mutlak dalam pemilihan Kades Citaman tahun 2007. Diolah dari sumber primer.
118Istilah Jawara memiliki dua pengertian: (1) Akronim dari jago,wani dan rahul. Jago menunjuk
pada seorang yang bertubuh kekar dan kuat, wani berarti berani bertarung dan rahul berarti banyak
omong kosong/berbohong. (2) Akronim dari jujur dan wara. Jujur berarti mengatakan apa adanya,
yang benar dikatakan benar dan yang salah dikatakan salah dan wara berarti hati-hati memilih
pendapatan untuk menafkahi keluarga. Diolah dari sumber primer
61
mempertimbangkan akal sehat. Jawara ngora sering diidentikkan dengan akronim
jago, wani dan rahul. Jawara kolot diakronimkan dengan jujur dan wara. Jawara
kolot merujuk pada sikap, tindakan dan pertimbangan matang dan pengalaman. 119
Secara sosiologis, jawara tidak bersifat homogen, melainkan bersifat hirarkis
dan heterogen, ada pemilahan atas senioritas dan junioritas. Kategori ini didasarkan
atas penguasaan ilmu kanuragan (ilmu yang berkaitan dengan teknik-teknik menjaga
kekebalan tubuh) dan jangkauan pengaruh kekuasaannya. Merujuk pada pendapat
Hobsbawm (dalam Kartodirdjo, 1984) secara sosiologis jawara hampir menyerupai
bandit sosial, yakni seseorang yang terpaksa melakukan tindakan kriminal tetapi
hasilnya tidak dinikmati sendiri melainkan sebagian dibagikan kepada orang-orang
miskin.
Karenanya jawara seperti bandit sosial, disanjung dan dipuja sebagai
“pahlawan sosial”, sekaligus dibenci/dicaci maki di luar komunitasnya, karena sering
melakukan tindakan kriminalnya yang merugikan.
Lapis ketiga yang menonjol dalam bangunan struktur masyarakat di lokasi
penelitian adalah pamong desa dan pegawai negeri. Dalam struktur sosial pedesaan,
pamong desa berada di puncak piramida, karena posisinya sebagai pengendali,
pelaksana dan pemegang kekuasaan tertinggi di wilayahnya.120
Meskipun nominal
gaji Kepala Desa lebih kecil dari gaji pegawai negeri, tetapi dengan terlibat dalam
berbagai proyek pembangunan pedesaan mendapatkan keuntungan ekonomi secara
langsung maupun tidak langsung. Keuntungan langsung yang diterima Kepala Desa
adalah ”uang kadeudeuh”, komisi sekitar 5% dari nilai transaksi jual beli tanah dan
biaya administrasi pemungutan PBB (Pajak Bumi dan Bangunan).
Keuntungan yang tidak langsung berasal dari proses administrasi pendataan
warga yang berhak menerima BLT, Jamkesmas, SKTM (Surat Keterangan Tidak
Mampu), kompor gas, raskin dan “proyek” pembangunan ekonomi pedesaan. Dari
keuntungan langsung dan tidak langsung (pendapatan resmi dan tidak resmi), bila
119 Sebutan itu menggambarkan proses evolusi linier kehidupan seorang jawara. Perilaku baragajul,
kumaha kula merupakan titik awal dan puncak dari perjalanan hidup jawara ngora. Sejalan dengan
bertambahnya usia, pahit manisnya kehidupan kemudian berangsur mengalami transformasi menjadi
handap asor (rendah hati). Diolah dari sumber primer.
120 Kedudukan Kepala Desa sebagai kepala pemerintahan tertinggi di desa memungkinkannya untuk
mendapat peluang ekonomi langsung maupun tidak langsung, dengan terlibat dalam berbagai proyek
pembangunan ekonomi dan infrastruktur pedesaan. Mantan Kepala Desa menuturkan, dari
pengalaman sebagai Kepala Desa ia dapat mengembalikan jumlah dana yang dikeluarkan dalam
pemilihan Kepala Desa, berinvestasi di sektor pertanian termasuk membeli sebidang tanah. Diolah
dari sumber primer.
62
diakumulasi nilainya cukup besar hampir setara dengan sekitar 1 ha tanah sawah
(Citasuk) dan tanah kebun di Cibojong dan Citaman.
Kelompok sosial lain yang diuntungkan oleh pembangunan adalah pegawai
negeri, karena memiliki pendapatan yang relatif tetap dan terhindar dari goncangan
ekonomi dan musim paceklik.121
Pendapatan yang diterimanya memungkinkan
berinvestasi dalam sektor pertaniaan. Pegawai negeri, pamong desa, pekerja sektor
formal dan pedagang merupakan kelompok di luar petani yang berperan sebagai elit
ekonomi lokal dan pemilik tanah luas di desa.
Munculnya pemilik lahan yang bukan petani, menggambarkan terjadinya
transformasi penguasaan tanah dan elit pedesaan dari elit tradisonal dan informal ke
tangan elit pemerintah desa/elit formal. Di wilayah penelitian transformasi elit lokal
dihela modernisasi pedesaan dan pemberlakuan UU No. 5 tahun 1979 tentang
Pemerintahan Desa. Struktur kepemimpinan pedesaan yang sebelumnya berada di
tangan elit keagamaan dan kokolot, bergeser ke kepemimpinan formal seperti
pamong desa. Tampilnya Kepala Desa sebagai elit lokal, disebabkan perannya
sebagai pengendali tunggal pembangunan pedesaan dan kebijakan floating mass
yang mengasingkan massa dari pemimpin politik yang berakibat melemahnya
kepemimpinan informal dan kharismatik di wilayah pedesaan. Arah pembangunan
yang lebih mengutamakan aspek material mengakibatkan pemimpin informal,
kehilangan aura dan pengaruhnya di masyarakat. Sementara itu modernisasi dan
pendirian SD Inpres, berdampak pada penurunan anak-anak desa menimba ilmu di
pesantren yang berakibat terputusnya kaderisasi kepemimpinan informal
4.6. Kelembagaan Lokal
Sebelum terbentuknya pemerintahan desa, di Desa Citaman terdapat
kelembagaan kajaroan, pimpinannya disebut jaro yang berperan sebagai pengelola
pemerintahan desa dan memiliki hak penguasaan tanah kajaroan (istilah lokal
untuk tanah jabatan). Kajaroan merupakan kelembagaan lokal dan berperan sebagai
pemerintahan “adat”. Di wilayah kesultanan Banten juga terdapat kelembagaan hak
121Musim paceklik adalah masa sulit untuk memenuhi kebutuhan pangan karena gagal panen.
Pegawai negeri pada umumnya terhindar dari musim paceklik, bahkan sebagian pegawai negeri dari
tabungannya dapat membeli tanah. Diolah dari sumber primer.
63
penguasaan tanah, yakni sawah negara, sawah ganjaran/ pusaka laden atau
pecaton, tanah kawargaan, tanah kanayakan, tanah pangawulaa dan tanah yasa.
Pemegang tanah kawargaan dan tanah kanayakan berhak atas bagi hasil
panen dan tenaga kerja (cacah) untuk membuka tanah baru atau untuk melakukan
pelbagai macam kerja bakti. Sawah ganjaran/pusaka laden atau pecaton merupakan
hak penguasaan tanah yang dimiliki anggota kerabat Sultan dan berasal dari
pemberian Sultan. Status ganjaran/pusaka laden adalah hak milik dan dapat
diwariskan secara turun temurun tetapi tidak dapat dipindah-tangankan kepada pihak
lain. Di wilayah kesultanan Banten juga terdapat berbagai praktik, tradisi dan ritual
berkaitan dengan proses rangkaian tata kelola sumberdaya agraria seperti mipit,
ngirab sawan, ngaseuk, nganyaran, ngalaksa (selamatan).
Lembaga kajaroan merupakan sarana mobilisasi ekonomi, tenaga kerja dan
perpanjangan tangan Sultan di wilayah pedesaan dan sekaligus menjadi tulang
punggung stabilitas politik. Kajaroan bertugas menentukan tata cara dan haluan
pemerintahan, menyelenggarakan musyawarah bersama kokolot untuk menentukan
pelaksanaan kegiatan pertanian. Dalam kehidupan sosial, kajaroan berperan
sebagai “pengetua adat”, perekat dan pengikat tata hubungan antar anggota
masyarakat dan kesultanan. Dalam tata kelola sumberdaya agraria, kajaroan
memiliki kewenangan administratif dan bertanggungjawab menyelesaikan persoalan
tanah. Kajaroan bertindak sebagai penghubung antara kajaroan dengan “abdi
dalem” (diangkat dan diberi tugas oleh Sultan untuk memungut upeti dan pajak dari
petani serta cukai perdagangan dari pedagang). Sebagai imbalannya, Sultan
memberikan tanah pangawulaan kepada abdi dalem.
Setelah kesultanan Banten jatuh ke tangan kolonial Belanda, beban kajaroan
semakin berat karena harus memobilisasi tenaga kerja dan memungut pajak hasil
bumi.122
Tekanan pemerintah kolonial Belanda yang semakin berat juga mendorong
para demang melakukan pemerasan dan bertindak sewenang-wenang123
yang
122 Akibat beban kerja yang berat para bujang lari dari tuannya. Ulasan penderitaan rakyat di wilayah
kesultanan Banten, lihat C. Fasseur, 1987. “Tentang Lebak” dalam Ibrahim Alfian, Koesoemanto,
H.J., Hardjowidjono dan Djoko Suryo: Dari Babad dan Hikayat Sampai Sejarah Kritis. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
123 Seperti perampasan kerbau milik ayah Saijah yang dilakukan oleh demang Parangkujang (kerabat
Bupati Lebak Raden Adipati Karta Negara). Lihat H.B. Jassin/G Termorshuizen, 1985. Max Havelaar
atau Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda.
64
memicu timbulnya keresahan sosial dan pemberontakan petani di Banten serta
meluasnya keresahan sosial di pelbagai wilayah lain di Indonesia. Keresahan sosial
itu dipicu oleh kebijakan pemerintah kolonial Belanda, mengeluarkan sejumlah
peraturan (reglement) tentang kehutanan yang membatasi hak, akses masyarakat
terhadap hutan. 124
Pembatasan akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan terus
berlanjut sampai runtuhnya kolonial Belanda dan Bala Tentara Dai Nippon125
.
Secara de facto sejak proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945
Indonesia menjadi negara merdeka. Tetapi politik agraria kolonial Belanda menjiwai
politik agraria nasional, karena pemerintah melegitimasi peraturan perundangan
Kolonial Belanda yang bersifat kapitalis dan eksploitatif. Legitimasi hukum kolonial
dalam sistem hukum agraria nasional, memberikan ruang gerak yang bebas bagi
negara dan pemilik modal untuk menguasai dan mengeksploitasi sumberdaya agraria,
yang ternyata berdampak negatif terhadap dinamika kelembagaan komunitas.
Gambarannya dapat disimak pada bab selanjutnya.
124 Untuk memperkuat landasan hukum eksploitasi hutan, pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan
sejumlah reglemen. Reglemen 1874, cakupannya menembus ke wilayah kesultanan (Vorstenlanden);
Reglemen 1879 mengatur kepemilikan negara atas hutan dan penggolongan hutan atas hutan tetap dan
tidak tetap; Reglemen 1879 memperkuat genggaman Belanda terhadap penguasaan hutan di Hindia
Belanda; Reglemen 1913 mengatur pengamanan hutan dan ancaman sanksi pidana bagi yang
melanggar; Ordonansi 1927 mengatur pemberian sanksi pidana bagi pelanggar dan perusak hutan dan
Kebijakan Tata Guna Hutan Kesepakatan pada tahun 1935. Berbagai reglemen tersebut
mengakibatkan semakin terbatasnya akses dan termarginalkannya kehidupan masyarakat sekitar
hutan. Lihat Salim, 2004, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan. Jakarta: Sinar Grafika.
125 Bala Tentara Jepang mengeluarkan Undang-Undang No. 1 tahun 1942 yang berisi penegasan
berlakunya peraturan-peraturan dari pemerintahan masa penjajahan Belanda dan Ordonansi Hutan
1927. UU tersebut ditujukan untuk memobilisasi penduduk Indonesia melawan sekutu dan
meneruskan eksploitasi sumberdaya hutan di Indonesia. Salim, 2004, Dasar-Dasar Hukum
Kehutanan. Jakarta: Sinar Grafika.
65
BAB V
DINAMIKA TATA KELOLA SUMBERDAYA AGRARIA BERBASIS
KELEMBAGAAN LOKAL
5.1. Pendahuluan
Seiring berjalannya waktu interaksi manusia dengan sumberdaya agraria
(air, tanah dan hutan) disertai upaya pemeliharaan dan pembuatan aturan main
pemanfaatannya berupa adat, tradisi, norma, yang disebut kelembagaan. Bagi
komunitas, sumberdaya agraria bukan hanya sebatas komoditas tetapi memiliki
makna sosial, kultural bahkan “religi”. Kelembagaan tata kelola sumberdaya
komunitas yang terdapat di Indonesia bervariasi dan unik sesuai dengan kondisi
ekologi dan ruang sepasialnya. Salah satu keunikan tata kelola sumberdaya itu
adalah kelembagaan lokal: buyut, pipeling, liliuran yang terdapat di hulu DAS
Cidanau Kabupaten Serang Provinsi Banten.
Kelembagaan tata kelola sumberdaya agraria di wilayah ini terkait dengan
tradisi, pandangan hidup dan nilai sosial budaya Sunda. Dalam pandangan orang
Sunda, memelihara sumberdaya sama pentingnya dengan mempertahankan
kelangsungan hidup dan peradaban. Pemanfaatan sumberdaya yang berlebihan,
apalagi merusaknya akan berimplikasi negatif bagi kelanjutan kehidupan dan
peradaban manusia. Gambaran tata kelola sumberdaya agraria di lokasi penelitian
dapat disimak pada uraian bab ini.
5.2. Kearifan Lokal Tata Kelola Sumberdaya Agraria
Kelembagaan tata kelola sumberdaya agraria di lokasi penelitian meliputi
kearifan lokal konsepsi tanah, tata guna tanah, zonasi hutan (leuweung),
kelembagaan buyut dan pipeling, dan kearifan lokal tentang tanaman pangan dan
obat.
5.2.1. Konsepsi dan Tata Guna Tanah
Istilah yang digunakan warga untuk menyebut tanah adalah taneuh atau
lemah. Kata ini sering dipertukarkan dengan lembur (kampung) dan dikaitkan
dengan cai (air), lemah cai (tanah air) seperti terangkum pepatah Sunda: ”ka cai
66
jadi sa leuwi ka darat jadi sa logak”. Pepatah ini mengandung makna bahwa
konsep tanah dipahami secara luas dan holistik. Pemahaman warga tentang tanah
tidak dilihat dalam bentuk fisik semata-mata tetapi dalam horizon luas.126
Secara
fisik tanah merupakan bagian dari permukaan-lapisan kulit bumi untuk menanam
tanaman dan tempat membuat tapak rumah. Dalam arti luas tanah merupakan
tempat berlangsungnya berbagai peristiwa kehidupan (kelahiran, perkawinan,
mencari nafkah, ibadah dan kematian). Sehingga manusia sepanjang hidupnya
membutuhkan dan tergantung pada tanah. Paling sedikit terdapat tiga kebutuhan
manusia yang pemenuhannya berkaitan dengan tanah: (1) Manusia membutuhkan
tanah untuk memperoleh pendapatan guna menunjang dan kelangsungan
kehidupan.127
(2) Manusia memerlukan tanah untuk mendirikan rumah sebagai
tempat tinggal.128
(3) Manusia membutuhkan tanah untuk tempat tinggalnya yang
terakhir pada saat mengakhiri hidupnya di dunia.
Pemahaman warga tentang tata guna tanah dibedakan atas lahan
basah/sawah dan lahan kering. Tata guna lahan kering mencakup pemanfaatan
tanah untuk pekarangan, kebun, kebun campuran, talun kebun dan ladang. Tata
guna tanah basah penggunaannya untuk tanaman padi dan berbagai jenis tanaman
palawija. Kedua jenis tanah tersebut pada mulanya berasal dari pembukaan hutan
dan ladang. Pemanfaatan dan tata guna lahan kering di lokasi penelitian
berlangsung secara linier: berawal dari pembukaan hutan menjadi ladang,
kemudian menjadi kebun, talun kebun dan terakhir pekarangan dan pemukiman.
Warga menyebut pekarangan pada sebidang tanah di sekitar tempat tinggal
yang sekelilingnya ditanami berbagai jenis tanaman semusim dan tahunan.
126 Bandingkan dengan tulisan Sediono MP Tjondronegero dan Gunawan Wiradi, ”Menelusuri
Pengertian Istilah Agraria”, Jurnal Analisis Sosial, Vol.9, No.1 April 2004.
127 More menyatakan, pemilikan de facto atas tanah merupakan ciri pokok yang membedakan
petani dan bukan petani. Bagi komunitas petani tanah merupakan bagian penting kehidupan. Lihat
Henry Landsberger, 1984. Pergolakan Petani dan Perubahan Sosial, Jakarta: Rajawali Press.
Wolf dalam Scot (1989) menyatakan petani merupakan produsen pertanian dengan penguasaan
efektif pada tanah, mengganggu tanah petani berarti mengusik statusnya sebagai produsen
pertanian, karena tanah merupakan tulang punggung hidupnya. James Scott, 1989. Moral Ekonomi
Petani: Pergolakan dan Subsistensi Di Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES.
128 Tanah dianalogikan dengan perempuan/ibu pertiwi, tempat manusia membangun tapak rumah,
meskipun sempit bila diserobot akan dipertahankan dengan nyawa. Lihat Paschalis Laksano,
”Tanpa Tanah, Budaya Nir Papan, Antropologi Antah Berantah”, dalam Lounela, Anu dan R
Yando Zakaria (eds), 2002. Berebut Tanah Beberapa Kajian Perspektif Kampus dan Kampung.
Yogyakarta: Insis Press dan Karsa.
67
Karakteristik utama yang membedakan pekarangan dengan ladang, kebun, talun
kebun, adalah adanya rumah pada pekarangan. Pepohonan sekitar rumah atau
pekarangan selain berfungsi sebagai pembatas juga bernilai ekonomi dan
konservasi. Pohon buah-buahan di pekarangan berfungsi ganda, menghasilkan
buah-buahan untuk kebutuhan keluarga dan dijual, sekaligus pelindung tanah dari
bahaya erosi, mengatur tata air, memelihara kesejukan dan keteduhan tempat
tinggal.
Warga membedakan ladang, kebun, talun kebun atas dasar jenis dan
susunan tanaman yang ditanam. Kebun merujuk pada sebidang tanah yang
didominasi oleh jenis tanaman semusim dan memerlukan curahan waktu dan
tenaga untuk merawatnya. Kebun campuran adalah sebidang yang ditanami
berbagai jenis tanaman semusim dan tahunan yang keragamannya relatif tinggi.
Sedangkan talun merujuk pada sebidang tanah yang ditanami tanaman tahunan
atau jenis tanaman keras (untuk kayu bakar atau bangunan) dan buah-buahan.
Sebutan talun mangga atau talun cengkeh untuk menggambarkan bahwa di dalam
kebun terdapat dominasi tanaman mangga atau cengkeh dan adanya suksesi
(pergantian) tanaman. Proses suksesi biasanya disebabkan menurunnya
produktivitas, atau jenis komoditi tertentu sedang naik daun yang mendorong
pemiliknya menanam tanaman yang diperkirakan hasilnya memiliki nilai jual
lebih tinggi. Talun jenis ini secara perlahan akan menjadi kebun (karena adanya
dominasi tanaman tertentu) atau kebun campuran (yang ditumbuhi campuran jenis
tanaman semusim dan tahunan). Tata guna tanah lahan kering di lokasi penelitian
disajikan pada Gambar 2.
Selain tata guna tanah yang diuraikan di atas, warga juga mengenal tata
guna tanah untuk tanah pertanian (taneuh tatanen), tanah tempat tinggal (taneuh
bumenan), tanah tempat ibadah dan tanah kuburan, tanah kaguronan, kajaroan
Lahan Kering
Kebun Campuran
kering
Lahan Pemukiman
PPPemukimankerin
Lahan di Luar Pemukiman
Pekarangan
kering
Kebun
kering
Talun Kebun
kering
Ladang
kering
Gambar 2.Tata Guna Tanah Petani Desa Citaman & Cibojong
68
dan tanah perburuan. Warga memandang tanah yang baik untuk huma dan kebun
adalah tanah yang kemiringannya di bawah 30˚, karena lapisan permukaan tanah
relatif stabil. Sebaliknya permukaan tanah dengan kemiringan 45˚-75˚ akan
mengalami erosi dan dapat menurunkan kesuburan tanah, kapasitas dan daya
menahan air jelek, peka terhadap erosi dan vegetasinya kebanyakan berupa
belukar dan pohon yang berbatang lurus. Pada tanah yang kemiringannya di
bawah 45˚ bergelombang dan agak landai, dinilai warga cocok untuk ladang.
Warga setempat memiliki pengetahuan tanah tatanen berdasarkan arah
mata angin, di mana bidang tanah yang baik untuk pertanian adalah yang
membujur dari utara ke selatan. Pepohonan yang ditanam pada bidang tanah
tersebut pertumbuhannya lebih cepat dan hasilnya lebih produktif, karena
mendapat sinar matahari yang cukup.
Warga juga memiliki pengetahuan tentang tata guna tanah untuk tempat
tinggal, tempat ibadah dan kuburan. Menurut warga, tanah yang baik untuk
tempat tinggal adalah berupa hamparan datar dan letaknya tidak jauh dari sumber
mata air. Bila tidak memiliki tanah datar, tingkat kemiringan tanah yang sesuai
untuk tempat tinggal adalah tanah yang kemiringannya di bawah 30 derajat. Hal
ini didasarkan pertimbangan praktis untuk meratakannya tidak memakan waktu
dan tenaga kerja yang besar.
Tanah yang baik untuk tempat ibadah (masjid dan musholla) adalah
letaknya lebih tinggi dari tempat tinggal dan berada di tengah perkampungan. Ini
terkait dengan pemahaman warga, bahwa masjid bukan hanya tempat shalat tetapi
juga berfungsi sebagai sarana berjama'ah (bersosialisasi), pendidikan dan ajang
sosial.129
Lokasi ideal untuk tanah kuburan letaknya lebih tinggi dari tempat tinggal
dan berada di luar/sekitar kampung, bebas dari genangan air hujan dan suara
bising. Warga senantiasa memilih lokasi yang ideal untuk kuburan terkait dengan
tradisi menghormati buyut/leluhur dan ikatan batin anak dengan orang tua/leluhur,
tidak berakhir dengan kematian. Keberlanjutan ikatan batin dipelihara melalui
129Tempat ibadah sebagai ajang sosial terkait dengan fungsinya untuk berjamaah (berkumpul),
bertukar fikiran untuk pemandian umum (laki-laki dan perempuan), tempat mencuci pakaian dan
bahkan bagi kaum perempuan kehidupan sehari-harinya berawal dan berakhir dari pemandian
umum di sekitar masjid. Diolah dari sumber primer.
69
tradisi berziarah pada hari-hari yang dianggap penting (Hari Raya Idul Fitri,
menyambut kedatangan bulan Ramadhan). Ikatan batin antara yang hidup dengan
yang mati diwujudkan dengan memelihara kuburan dan menanam pepohonan
yang rindang dan area kuburan tidak boleh dijadikan ladang.130
Tata guna yang cukup unik di lokasi penelitian adalah adanya tanah
kaguronan dan tanah kajaroan. Tanah kaguronan merujuk pada peruntukan dan
pemanfaatan tanah untuk tujuan pengembangan pendidikan. Status tanah
kaguronan merupakan tanah wakaf (tanah yang diberikan oleh warga untuk
kepentingan syi’ar Islam) terutama kemajuan pendidikan Islam. Tanah kajaroan
adalah tanah jabatan yang dimiliki aparat desa khususnya sekretaris desa
berbentuk kebun/lahan kering. Sedangkan tanah jabatan kepala berupa sawah
disebut sawah pangiwaan.
Berkaitan dengan sejarah status tanah kaguronan (di desa Citaman)
terdapat dua sumber. Sumber pertama menyatakan bahwa tanah kaguronan
berasal dari wakaf warga untuk kemajuan pendidikan Islam. Pendapat ini
didukung oleh fakta sampai sekarang di sekitar tanah kaguronan masih terdapat
Pondok Pesantren Subulus Salam yang diasuh oleh Kyai Mufti. Sumber kedua
menyatakan bahwa tanah keguronan berasal dan merupakan hadiah dari
Kesultanan Banten pada masa Sultan Agung Tirtayasa atas jasa masyarakat
Ciomas dalam pengembangan pendidikan Islam. Tanah tersebut diberikan oleh
Sultan Banten kepada para guru yang menyiarkan agama Islam di wilayah
Ciomas. Tanah keguronan adalah pertanda kepedulian dan terima kasih Sultan
kepada para guru yang telah mengembangkan pendidikan Islam. Pendapat kedua
argumentasinya tidak didukung oleh fakta keterkaitan antara masyarakat Citaman
dengan kesultanan Banten. Dewasa ini sebagian tanah kaguronan menjadi tempat
kantor kelurahan dan lapangan sepak bola ”milik” Pemerintah Kecamatan
Ciomas.
130 Kawasan kuburan berfungsi sebagai “kawasan konservasi komunitas”, keragaman hayati di
kawasan tersebut kelestariannya menjadi tanggung jawab bersama. Diolah dari sumber primer.
70
5.2.2. Zonasi Hutan (Leuweung)
Warga menyebut hutan dengan leuweung, merujuk pada kawasan tempat
tumbuh kembangnya beragam flora dan fauna yang menjadi sumber kehidupan
dan tempat kehidupan manusia yang telah meninggal (buyut, karuhun) dan
makhluk halus. Pengertian ini menunjukkan bahwa pemahaman warga tentang
leuweung tidak secara fisik dan spesifik tetapi juga sosial religius. Warga juga
mengenal zonasi hutan, yang meliputi leuweung bukaan, leuweung kolot, dan
leuweung titipan.
Leuweung kolot atau leuweung tutupan merupakan area hutan yang
dipersepsi warga sebagai kawasan hutan yang dititipkan dan diamanatkan para
leluhur kepada incu putu untuk dilindungi dan dipelihara. Sebagai titipan para
leluhur akses dan pemanfaatan warga setempat pada leuweung kolot bersifat
terbatas. Pengambilan manfaat leuweung kolot baik berupa kayu maupun non
kayu harus memperhatikan nilai-nilai kabuyutan dan keberlanjutannya. Warga
diperkenankan untuk mengambil manfaat dalam bentuk hasil kayu maupun non
kayu, sepanjang tidak melanggar buyut dan berdasarkan kesepakatan dan restu
kokolot. Pengambilan hasil kayu dibatasi hanya untuk memenuhi kebutuhan
rumah tangga dan tidak boleh untuk keperluan komersial.
Sesuai dengan sebutannya, leuweung tutupan dipersepsi masyarakat
seperti “pintu” bisa dibuka dan ditutup. Leuweung tutupan berfungsi sebagai
“hutan cadangan”. Warga setempat mempercayai barang siapa yang melakukan
eksploitasi leuweung kolot akan tertimpa kebendon (kemalangan). Meskipun tidak
dikeramatkan, pemanfaatan sumberdaya hutan leuweung kolot harus
memperhatikan buyut atau etika konservasi.
Komunitas desa Citaman merujuk leuweung kolot pada kawasan hutan
lindung yang berada pada bagian tengah gunung Pangarang. Kawasan leuweung
titipan dimaknai oleh warga sebagai hutan pembatas, dalam arti pembatas antara
kawasan hutan yang terlarang (buyut) untuk mengambil manfaat ekonomi dengan
kawasan hutan yang “boleh” dimanfaatkan yang diawasi secara ketat. Secara
ekologis kawasan leuweung kolot berfungsi sebagai pengatur siklus hidrologi
hutan dan mengeksploitasinya akan berakibat rusaknya pengatur siklus hidrologi
yang dapat menimbulkan bencana banjir.
71
Leuweung titipan merupakan kawasan hutan yang dititipkan
buyut/karuhun kepada incu putu untuk dilindungi dan dipelihara. Mereka
menganggap leuweung titipan merupakan area tempat bersemayamnya
makhluk/roh halus dan karuhun, dan mereka pula yang menjaganya. Warga
setempat menempatkan dan memaknai leuweung titipan sebagai hutan keramat.
Tata kelola dan perlakuan warga terhadap leuweung kolot dan leuweung titipan
pada prinsip sama, warga dilarang (buyut) mengeksploitasinya. Hanya saja
leuweung titipan dikeramatkan, tidak diperkenankan mengambil manfaat hutan
baik dalam bentuk hasil kayu maupun non kayu.
Warga desa Citaman merujuk leuweung titipan pada kawasan hutan
lindung yang terletak di atas gunung Karang. Secara ekologis kawasan ini
memiliki fungsi yang sama dengan leuweung kolot sebagai pengatur siklus
hidrologi hutan, sehingga eksploitasi hutan berakibat rusaknya pengatur siklus
hidrologi hutan yang dapat menimbulkan banjir. Leuweung titipan oleh komunitas
disebut sebagai sirah cai (sumber mata air dan pusat keseimbangan ekosistem).
Zona hutan ketiga yang dikenal warga adalah leuweung bukaan atau
sampalan (hutan budidaya). Leuweung bukaan merupakan kawasan hutan yang
telah digarap dan dikelola untuk kegiatan huma dan kebun. Pengelolaan leuweung
bukaan oleh warga berdasarkan kearifan lokal. Aktivitas pertanian yang dilakukan
warga pada sampalan senantiasa memperhatikan keberlanjutannya. Pengelolaan
dan pengusahaan sampalan tidak boleh menyebabkan erosi tanah dan kepunahan
varietas tanaman/tumbuhan yang terdapat di sampalan. Kearifan lokal yang
dimiliki warga bersumber dari pesan dan ajaran leluhur yang disosialisasikan
secara lisan dari generasi ke generasi, seperti tertuang dalam pepatah: Leuweung
kakaian, gawir awian, legok balongan. Artinya: Hutan tanami kayu, tebing tanami
bambu dan lembah jadikan kolam.131
Bagi warga pepatah itu berfungsi sebagai rujukan, tuntunan moral dan
pedoman dalam aktivitas berhuma dan berkebun. Tata kelola sampalan diarahkan
untuk senantiasa menjaga hubungan harmonis antara manusia dan sumberdaya
131 Dalam masyarakat Baduy di Kabupaten Lebak Banten, terdapat pikukuh (aturan) dalam
pengelolaan sumberdaya agraria yang berbunyi: “Gunung teu meunang dilebur, lebak teu menang
dirusak, sasaka teu menang direumpak”. Artinya: Gunung tidak boleh dihancurkan, dataran tidak
boleh dirusak dan tanah suci tidak boleh diacak-acak. Lihat, Judistira K. Garna, 1999. Metode
Penelitian Pendekatan Kualitatif. Bandung: Primaco Akademika.
72
hutan sebagai bagian dari ritme budaya.132
Hubungan harmonis ditunjukkan dari
perilaku hidup bersahabat dengan hutan dan pemanfaatan hutan sebagai bagian
dari mempertahankan keberlanjutan budaya. Arah orientasi pemanfaatan hutan
secara berkelanjutan ditopang oleh tradisi dan religi, bahwa dunia ini tempat
persinggahan sementara menuju kehidupan kekal di akhirat.
Pemanfataan leuweung bukaan bukan hanya untuk menghasilkan tanaman
yang dapat menopang kehidupan keluarga dan komunitas tetapi juga didasarkan
semangat untuk mempertahankan fungsi ekologis hutan bukaan sebagai pengatur
tata air. Tanaman yang ditanam oleh petani di leuweung bukaan merupakan
tanaman multikultur (beragam pohon buah-buahan secara bersama dengan pohon
kayu-kayuan yang membentuk hamparan hutan) dan menjunjung etika konservasi.
Sistem olah tanah dilakukan dengan gilir balik dan tapak siring, budidaya tanaman
dengan mengikuti daur musim dan pengambilan kayu dengan sistem tebang pilih.
Pemanfaatan hutan secara demikian dalam upaya menjaga keharmonisan dan
keberlanjutan sumberdaya hutan. Sejalan dengan komoditifikasi sumberdaya
hutan, kearifan lokal tentang zonasi hutan dan tradisi praktik tata kelolanya
dewasa ini semakin tergerus.
5.2.3. Domestikasi Tanaman Pangan dan Obat
Tanaman pangan dan obat yang dibudidayakan komunitas petani sesuai
dengan kondisi ekologi wilayah Serang Selatan yang sebagian besar berupa
perbukitan. Dari penggalian informasi pada sejumlah narasumber, pengetahuan
warga setempat tentang tanaman pangan terutama varietas padi lokal bervariasi.
Pengetahuan warga tentang varietas padi lokal terdiri atas lima jenis, seperti
diuraikan berikut.
1. Klasifikasi padi berdasarkan warna berasnya, yakni pare hideung (padi/ketan
hitam), pare bodas (padi putih) dan pare beureum (padi merah). Dari tiga jenis
padi itu terdapat variannya yang ditanam tergantung pada lahan huma. Varietas
padi merah yang biasa ditanam adalah Ramanteun.
132 Bagi masyarakat setempat hutan merupakan mata rantai dari sistem sosio-religius dan ekologis,
seperti tempat penyelenggaraan acara ritual, pelepasan nazar, doa, kegiatan liliuran dan macak
(makan bersama). Diolah dari sumber primer.
73
2. Klasifikasi atas padi biasa dan padi ketan (pare ketan). Padi biasa dibedakan
oleh petani atas varietas Melati, Ramanteun dan Mayang. Padi ketan
diidentifikasi berdasarkan karakteristik utamanya, yakni rasanya enak, gurih,
pulen dan likat (sticky) yang dikonsumsi hanya waktu-waktu tertentu, seperti
upacara selamatan atau kue tradisional seperti kue oli dan tape (peyem).
3. Klasifikasi berdasarkan ada tidaknya bulu sekam: pare bulu dan pare tidak
berbulu. Padi berbulu dapat terhindar dari hama pemakan padi misalnya
burung pemakan padi seperti burung pipit, tikus dan babi hutan.
4. Petani membedakan padi berdasarkan bentuk, ukuran dan warna bulu butir
padi, seperti pare sabeulah (padi sebelah) karena bentuk butirnya tipis dan
pare kasumba, (pare warna violet) karena bulu biji padinya berwarna kasumba.
Varietas padi ini diidentifikasi berdasarkan morfologi dan warna biji padi.
5. Klasifikasi padi menurut umurnya sampai panen, padi di bawah enam bulan
yang disebut pare hawara dan padi berumur normal (enam bulan) yang
disebut pare hawara bunar. Klasifikasi umur padi membantu petani untuk
merencanakan penanaman padi.
Merujuk pada pemilahan varietas padi atas kelompok javanica,
sinica/indica dan javanica, maka varietas padi lokal yang ditanam oleh komunitas
petani di DAS hulu Cidanau termasuk padi kelompok javanica. Karakteristik
varietas kelompok javanica, umur tanaman padi relatif panjang, berdaun lebar,
jerami tinggi dan biji padi tidak mudah rontok, sehingga dapat mengurangi
gangguan dari burung pemakan padi seperti burung pipit, tikus dan babi hutan.
Selain menanam padi lokal kelompok javanica, komunitas petani juga
menanam beberapa jenis tanaman tambahan di huma, seperti cengek/cabe rawit
(Capsium frutesces), kacang panjang (Vigna sinensis), dangdeur/pisang (Manihot
utilisama), bonteng/ketimun (Cucuxumis sativus), terong (Sanumum melongena).
Penanaman tanaman itu umumnya untuk keperluan sendiri, kadangkala dijual
sebagai tambahan penghasilan.
Selain menanam berbagai jenis tanaman pangan, komunitas petani
memiliki pengetahuan lokal tentang tanaman obat, jenis-jenis penyakit yang dapat
diobati dengan tanaman obat. Dari hasil wawancara mendalam dan diskusi
terfokus, warga mengetahui sekitar 55 (lima puluh lima) jenis tumbuhan yang
74
dapat dimanfaatkan sebagai obat tradisional. Dari lima puluh lima jenis tumbuhan
tersebut dikelompokkan ke dalam tujuh macam habitus (kelompok), yaitu pohon,
herba, semak, tumbuhan memanjat, semak, rumput dan lainnya. Dari lima puluh
jenis tumbuhan obat yang diketahui dan dimanfaatkan oleh warga sebagian besar
terdiri dari pepohonan yang mencapai 25 jenis tumbuhan, (lihat lampiran 1.a).
Sebagian warga mengetahui cara pengolahan, kegunaan dan pemanfaatan
ke dua puluh lima jenis tumbuhan tersebut. Dari kelompok habitus herba yang
biasa dimanfaatkan warga untuk obat-obatan adalah getah batang, satu jenis yaitu
Parahulu (Amomum Oculeatum); bagian daun tiga jenis: Kumis Kucing, Ciriwuh
dan Jonge; bagian batang dua jenis: Sariawan dan Ilat; bagian kulit batang satu
jenis yaitu Kanyere; rimpang dua jenis yaitu Loa Gajah dan Koneng Beurang;
bagian Kulit Umbi satu jenis yaitu Taleus; dan akar satu jenis yaitu Cau Galek,
(lihat lampiran 1.b).
Bagian-bagian dari kelompok habitus pepohonan yang dapat dipergunakan
untuk pengobatan mencakup kulit batang, bagian batang, bagian daun,133
bagian
getah batang (Angsana), bagian pucuk daun: Jambu Batu dan bagian buah satu
jenis yaitu Gaharu. Warga menggunakan dan memanfaatkan habitus pepohonan
untuk mengobati 22 jenis penyakit, dengan cara ditumbuk, dibuat tuak, diperas
getah/air, dikerik batang/ranting, direbus. Setelah diolah kemudian dijadikan obat
untuk mengobati berbagai jenis penyakit. Untuk obat sakit panas, menambah
stamina, sakit kuning, sakit perut, mencret, demam diolah dengan cara direbus
kemudian diminum. Untuk sakit gigi dan gatal dengan cara ditempel di bagian
tubuh yang sakit dan untuk mengobati bisul dan borok dengan cara dibalurkan.
Habitus lainnya yang didomestikasi oleh warga adalah kelompok herba: 11
jenis, Semak: 7 jenis, Perdu: 4 jenis, Tumbuhan memanjat: 3 jenis, Lainnya: 4
jenis dan rumput 1 jenis. Dari penggalian informasi di lapangan diketahui bahwa
warga setempat mengetahui berbagai jenis perdu dan tumbuhan semak yang dapat
dipergunakan untuk mengobati berbagai jenis penyakit tertentu. Pengetahuan
warga terhadap habitus perdu yang dapat digunakan untuk mengobati penyakit
133 Bagian kulit batang yang dapat digunakan untuk obat adalah Jeunjing, Kitoke, Lame, Teureup,
Andul, Beunying, dan Pisitan; bagian batang: Muncang, Awi Koneng, Cangkore, Bisoro,
Kondang, Kimerak; bagian daun meliputi: Lampeni, Nangka, Awi Apus, Cangkudu, Tundun,
Kisabrang, Kicapi dan Sangkar Badak. Diolah dari sumber primer.
75
mencakup empat jenis: Kiajag, Katepeng, Jeruk Nipis dan Harendong. Sedangkan
habitus semak yang dapat digunakan untuk mengobati penyakit mencapai tujuh
jenis yaitu Babakoan, Heuras Tulang, Keji Beling, Singgugu, Amis Mata, dan
Salak, (lihat lampiran 1.c).
Dari enam habitus tumbuhan yang diketahui oleh warga bila dibandingkan
dengan jumlah jenis tumbuhan obat yang disusun menurut Buku Indeks
Tumbuhan Obat Indonesia tahun 1986 dan 1995, diketahui jumlah tumbuhan obat
yang dimanfaatkan masyarakat yang sudah terdaftar adalah sebanyak 47 jenis.
Jumlah ini menunjukkan bahwa jenis-jenis tumbuhan tersebut juga dimanfaatkan
oleh masyarakat lain di wilayah Indonesia. Penggunaan tumbuhan obat tersebut
oleh warga digunakan untuk mengobati penyakit yang sama atau penyakit yang
berbeda. Sedangkan 8 delapan jenis tumbuhan lainnya belum terdaftar dalam
Buku Indeks Tumbuhan Obat Indonesia tahun 1986 dan 1995. Kedelapan jenis
tumbuhan tersebut adalah 4 jenis dalam habitus pepohonan yaitu Kitoke (Albizia
Tomenntella ), Cangkore, (Albizia Tomenntella), Garu (Gonystillus Macrophylus)
dan Sangkar Badak (Voacanga Grandifolia), 2 jenis dalam habitus Herba yaitu
Laja Goah (Catimbium Malaccensis) dan Ilat (Scleria Purpuscens); satu jenis
dalam habitus Perdu Harendong (Melastoma Polyanthum) dan satu jenis habitus
lainnya, yaitu Kihadangan (Fissitigma Latifolium).
Pengetahuan warga setempat tentang jenis-jenis tumbuhan obat ternyata
berkorelasi dengan pengetahuan mereka tentang cara pengolahan, penggunaannya
dan jenis-jenis penyakit yang dapat diobati oleh jenis tumbuhan tersebut.
Sebagaimana diuraikan di atas dari lima puluh lima jenis tumbuhan, warga
setempat menggunakannya untuk mengobati 32 jenis penyakit.
Kearifan lokal tentang tanaman obot-obatan dapat menjadi salah satu
bentuk pengobatan alternatif dan berpotensi meningkatkan pendapatan masyarakat
bila diberdayakan dengan melibatkan berbagai pihak yang kompeten. Sejauh ini
langkah itu belum dilakukan secara optimal, rendahnya political will dan
pemberdayaan masyarakat yang kurang sinergis menyebabkan kearifan lokal itu
berkembang secara optimal bahkan cenderung layu.
76
5.2.4. Buyut dan Pipeling: Pengawal Keserakahan
Istilah buyut dimaknai atas dua hal: pertama sebagai silsilah, garis
keturunan, kedua sebagai seperangkat nilai dan kearifan lokal. Secara genealogis,
buyut merupakan cara menentukan kedudukan ego dalam silsilah kekerabatan.
Dalam masyarakat Sunda silsilah kekerabatan sampai tujuh turunan/generasi (dari
atas ke bawah atau dari bawah ke atas) disebut sabondoroyot .134
Seseorang yang terjalin ikatan karena perkawinan (afiniti) atau pertalian
ikatan darah (konsanguiti) dalam sabondoroyot (dari ayah atau ibu) disebut dulur
urang atau wargi. Kedudukan ego sebagai dulur urang dalam sabondoroyot
dibedakan atas dulur anggang dan dulur deukeut. Dari segi ini buyut dimaknai
keluarga luas sampai generasi ketiga yang terbentuk atas dasar perkawinan
(afiniti) atau pertalian ikatan darah (konsanguiti).
Pengertian kedua buyut adalah seperangkat nilai, norma, dan adat yang
berfungsi sebagai aturan main, pedoman dan rujukan interaksi antar warga dan
tata kelola sumberdaya agraria. Dalam pengertian ini buyut mengandung dua hal:
(1) Buyut berarti suci, maksudnya (a) merupakan bentuk pembeda antara yang
dianggap sakral dan tidak sakral/profan; (b) merupakan bentuk pembatasan
akses dalam hal-hal tertentu atas dasar gender (aturan yang mengatur pekerjaan
yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan oleh laki-laki dan perempuan).
(2) Buyut diartikan sebagai tabu atau terlarang. Dalam ungkapan warga, buyut
berarti teu meunang (tak boleh melakukan hal-hal yang dianggap
tabu/terlarang), seperti perkawinan dengan saudara sepupu. Buyut adalah
norma dan etika masyarakat tidak tertulis yang merupakan kebiasaan
(folkways), cara (usage) dan adat-istiadat (customs).135
Dari dua pengertian di atas disimpulkan bahwa buyut merupakan
mekanisme dan aturan warga setempat untuk menjaga kepentingan bersama,
keadilan, keharmonisan dan keseimbangan hubungan antar manusia dan hubungan
134 Istilah silsilah turunan dalam masyarakat Sunda: bapak, aki/kakek, buyut, bao, janggawareng,
udeg-udeg dan gantung siwur atau anak, incu, buyut, bao, janggawareng, udeg-udeg dan gantung
siwur. Diolah dari sumber primer.
135 Buyut dapat disejajarkan dengan adat dalam konsepsi Vallonhoven atau folkways menurut
Sumner yang merupakan pedoman perilaku komunitas. Lihat Surjo Wingnjodipuro, 1983.
Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat. Jakarta: Gunung Agung dan Koentjaraningrat, 1986.
Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.
77
manusia dengan sumberdaya agraria. Dalam tata kelola sumberdaya, buyut
merupakan pranata lokal dan mekanisme pengendalian sosial, aturan main
pemanfaatan sumberdaya agraria. Mekanisme tersebut ditujukan untuk mencegah
seseorang mengambil hak yang bukan haknya, adanya kepastian dan kesamaan
akses warga terhadap sumberdaya produktif pada suatu kawasan.136
Secara
ekologis aturan buyut dimaksudkan untuk memberi waktu kepada sumberdaya
untuk tumbuh dan berproduksi secara sempurna. Secara sosiologis mekanisme
tersebut untuk menciptakan pemerataan dan keadilan, mencegah orang untuk
bertindak serakah dan membatasi ruang bagi penunggang kepentingan.
Dalam praktik tata kelola sumberdaya agraria, buyut diwujudkan dengan
memadukan produksi dan konservasi. Praktik sistem olah tanah konservasi
dilakukan dengan menerapkan teknologi gilir balik, ngaseuk dan pemulian bibit
unggul, larangan menangkap ikan di sungai dengan tuba, berburu selain babi dan
menjual hasil buruan untuk tujuan komersial dan menebang pohon yang rimbun di
hutan tutupan. Warga juga menganggap buyut (tabu) mengambil pucuk kelapa,
cengkir dan kelapa muda, agar panen kelapa berlangsung secara periodik dan
serentak dalam jumlah besar dengan harga optimal. 137
Dalam tata kelola sumberdaya agraria, keberadaan buyut ditopang oleh
kelembagaan pipeling yang merupakan unsur penting budaya dan pandangan
hidup orang Sunda. 138
Orang Sunda memiliki keyakinan yang kuat pada
kekuasaan Tuhan, pada nasib, dan kesadaran dirinya merupakan bagian kecil dari
alam semesta. Dalam pemahaman orang Sunda, di luar diri manusia terdapat
alam semesta, masyarakat dan super natural, ketiganya memiliki kekuatan untuk
mempengaruhi tingkah laku manusia. Alam memiliki hukum alam, masyarakat
136 Kelembagan buyut dapat disejajarkan dengan pikukuh pada komunitas Baduy Luar atau di luar
kampung tangtu. Lihat Judistira K Garna, “Masyarakat Baduy di Banten” dalam Koentjaraningrat,
dkk, 1993. Masyarakat Terasing di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Pratama.
137 Dampak dari desakralisasi buyut mengakibatkan, hancurnya desa Citaman sebagai sentra kelapa
di Kecamatan Ciomas. Pudarnya Desa Citaman sebagai sentra kelapa disebabkan meningkatnya
kebutuhan kelapa muda sejalan dengan perkembangan kota Serang menjadi Ibu Kota Provinsi
Banten.
138 Pandangan hidup orang sunda dapat dibedakan atas komponen potensi (pandangan hidup yang
mencerminkan sifat-sifat khas personal), komponen tingkah laku dan komponen aspirasi (yang dikejar dan dihindari dalam hidup). Lihat Suwarsih Warnen 1985 Pandangan Hidup Orang Sunda.
Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda, Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan
78
memiliki nilai dan norma, super natural memiliki kekuasaan untuk mengadakan
dan meniadakan. Untuk keharmonisan dan tercapainya kehidupan yang dicita-
citakan diperlukan guru (pengajar atau ajaran) yang disebut pipeling untuk
menuntun manusia agar mendapat keterangan yang benar.
Kelembagaan pipeling yang hidup dalam komunitas berisi seratus tuntunan
dan seratus larangan. Seratus tuntunan hidup tersebut disarikan atas silih asih,
silih asuh, silih asah, lihat lampiran 1.d) dan seratus larangan disarikan atas silih
benci, silih fitnah dan silih curiga, lihat lampiran 1.e). Seratus tuntunan dan
seratus larangan terus menerus dinternalisasi agar lingkungan masyarakat dan
lingkungan alam dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada manusia.
Sosialisasi dan internalisasi kelembagaan pipeling didorong untuk saling
mengingatkan, karena tingkah laku manusia bergayut di antara dua
kecenderungan, yaitu patuh pada tuntunan atau melanggar larangan. Dalam
bahasa seorang informan: “Tingkah laku manusia tidak mungkin selamanya baik
karena tidak selamanya menjadi bayang-bayang Gusti Nu Suci, tetapi juga tidak
selamanya berbuat jahat karena tidak selamanya menjadi bayang-bayang setan.”
Pernyataan ini menegaskan bahwa manusia yang baik dan bijak adalah manusia
yang dapat menjaga dan mempertahankan keseimbangan dalam hidup. Pentingnya
keseimbangan hidup pada komunitas desa ditunjukan oleh penghargaan posisi
tengah: “Hidup tidak berkekurangan dan juga tidak berlebihan, makan sekedar
tidak lapar dan minum sekedar tidak haus.” 139
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa buyut dan pepeling dalam
komunitas petani merupakan norma, aturan main dan mekanisme supaya manusia
senantiasa dalam keseimbangan. Buyut dan pipeling merupakan aturan main untuk
memelihara keharmonisan hubungan sosial dan hubungan manusia dengan alam.
Sumberdaya agraria akan memberikan manfaat yang optimal kepada manusia, bila
dirawat dan dipelihara sesuai dengan tuntutnan, dan hanya dipergunakan
seperlunya. Sebab bila sumberdaya dipergunakan berlebihan, tanpa perawatan,
alam akan berbalik menimbulkan malapetaka dan kesengsaraan pada manusia.
139 Diolah dari sumber primer. Ungkapan ini sesuai dengan Sunnah Rasul: “Makanlah bila lapar
dan berhenti sebelum kenyang”.
79
Pembelajaran yang diperoleh dari kelembagaan buyut dan pipeling di
komunitas hulu DAS Cidanau adalah:
1. Pesan moral yang mengedepankan keselarasan kebutuhan manusia dan
keberlanjutan sumberdaya. Pemanfaatan yang berlebihan dan pemerkosaan
daya dukung lingkungan akan menghancurkan masa depan kehidupan manusia
sendiri. Memelihara sumberdaya agraria (tanah, air dan hutan) sama
pentingnya dengan menjaga eksistensi manusia, karena manusia merupakan
komponen ekosistem.
2. Substansi dari kelembagaan buyut dan pipeling adalah pengaturan hak-hak
tertentu seperti hak pakai, hak menguasai, hak mengalihkan, hak mendapatkan
keuntungan ekonomi yang layak dan akses yang adil terhadap sumberdaya.
Hak atas sumberdaya merupakan mekanisme untuk menjaga keseimbangan
hubungan sosial, hubungan agraria dan hubungan manusia dengan Pencipta.
3. Penghayatan kelembagaan buyut dan pepeling dalam tata kelola sumberdaya
agraria diwujudkan dalam bentuk sistem olah tanah konservasi dengan
menerapkan teknologi pertanian gilir balik (rotated farming), ngaseuk, coo
benih (pemuliaan padi bibit unggul), masa tanam mengikuti daur musim140
dan
pergiliran tanaman,141
pemberantasan hama tanaman ramah lingkungan,
penggunaan alat berburu yang tidak merusak lingkungan (sumpit, golok),
berburu hanya diizinkan untuk binatang pengganggu pertanian (babi hutan),
hasil kegiatan berburu dinikmati bersama dan dilarang menggunakan tuba
dalam menangkap ikan di sungai.
4. Kelembagaan buyut dan pipeling merupakan visi dan orientasi tata kelola
susmberdaya agraria yang mengintegrasikan produksi dan konservasi.
140Penentuan kegiatan mulai tanam atau taram, didasarkan atas pemantauan gejala alam mata poe
geus dengdek ngaler, lantaran jagad urang nggues mimiti tiis (Matahari sudah ada di sebelah
utara, bumi kita sudah mulai dingin) merupakan waktu yang tepat untuk turun kujang dan
membersihkan semak ladang bakal huma. Diolah dari sumber primer.
141 Menurut petani pergiliran tanaman merupakan cara untuk menghindari penyerapan unsur-unsur
hara tanah oleh tanaman tertentu dan salah satu cara memutus siklus kehidupan hama yang
menyerang tanaman. Pergiliran tanaman padi dengan kacang-kacangan dimaksudkan untuk
menambah kadar unsur nitrogen di dalam tanah. Sehingga pergiliran tanaman merupakan
merupakan cara yang efektif untuk melakukan konservasi tanah dan mempertahankan sifat-sifat
fisik tanah. Bandingkan dengan pandangan Forth tentang masalah ini. Henry Forth, D. 1984.
Fundamental of Social Science. Michigan USA. John Willey and Son.
80
Karena itu pada tempatnyalah kelembagaan lokal tata kelola sumberdaya
mendapat ruang dalam politik agraria sesuai dengan lokalitas dan ruang
kulturalnya. Pengintegrasian produksi dan konservasi dalam praktik tata kelola
sumberdaya didasarkan pengutamaan keberlanjutan daripada “keuntungan sesaat”
dan adaptabilitasnya dengan dinamika sosial ekonomi di luar komunitasnya.
5.3. Dinamika Kelembagaan Agroforestry
5.3.1. Kelembagaan Agroforestry
Agroforestry merujuk pada sistem penggunaan lahan relatif permanen
yang memadukan budidaya tanaman kayu kehutanan dan pertanian (tanaman
semusim dan tahunan).142 Aktivitas agroforestry di hulu DAS Cidanau merupakan
bentuk adaptasi, akomodasi dan inovasi petani dengan kekuatan sosial ekonomi
supra lokal. Dalam lima tahun terakhir perkembangan aktivitas agroforestry di
wilayah ini dipengaruhi oleh tiga hal: (1) dukungan kelembagaan lokal tradisi
saling asah, saling asih dan saling asuh sebagai modal sosial komunitas untuk
mengusahakan agroforestry berbiaya transaksi rendah. (2) akses transportasi, lalu
lintas perdagangan komoditas hasil kebun semakin lancar dan (3) informasi harga
pasar komoditas yang semakin terbuka.
Tanah yang dialokasikan oleh warga untuk aktivitas agroforestry adalah
bidang tanah dengan relief relatif datar dan landai atau berombak dengan
kemiringan sekitar 8 -15 derajat. Tanaman yang ditanam pada area agroforestry
merupakan kombinasi tanaman musiman dan tanaman tahunan, komposisinya
sekitar 40:60 persen. Bentuk agroforestry yang dikembangkan petani adalah
bercocok tanam ganda, di mana terdapat intercropping antara tanaman kehutanan
dengan tanaman pertanian yang membentuk suatu tajuk yang berlapis.143
Penanamannya dilakukan secara bersama-sama atau rotasi sesuai dengan
pengetahuan dan pengalaman petani tentang sifat-sifat genetik dan daya adaptasi
tanaman. Jenis tanaman yang dipilih petani biasanya tanaman yang efisien dalam
142 Uraian tentang agroforestry lihat Junus Kartasubrata, 2003. Sosial Forestry dan Agroforestry di
Asia. Bogor: Lab Politik Ekonomi dan Sosial Kehutanan Fakultas Kehutanan IPB; Johan Iskandar,
2001. Manusia, Budaya dan Lingkungan. Bandung: Humaniora Utama Press.
143 Lihat Van der Meer The Ecology Intercropping. Cambridge: Cambridge University Press.
81
pemanfaatan sinar matahari, percampuran tanaman tahan naungan dan tanaman
tidak tahan naungan secara komplementer agar tanaman produktif.
Pengetahuan petani tentang agroforestry tidak terbatas pada karakteristik
budidaya tanaman, tetapi juga mencakup pengetahuan tata guna dan teknik
pengolahan tanah yang dapat mempertahankan kesuburan tanah. Bidang tanah
untuk agroforestry ditata secara tera sering, menanam tanaman penguat teras,
pembuatan dan pemeliharaan saluran pembuangan air, pembutan rorak, guludan,
menanam tanaman penutup tanah yang mengurangi erosi tanah dan air. Untuk
meningkatkan kesuburan tanah petani memanfaatkan serasah dedaunan dan
penggunaan pupuk kandang secara optimal.
Kondisi ini menunjukkan tata guna tanah dan praktik agroforestry petani
dikategorikan sistem olah tanah konservasi. Pengolahan tanah pada bidang
agroforestry sedapat mungkin dapat menahan infiltrasi air hujan, mengurangi
aliran permukaan, menahan erosi dan pelapukan bahan organik tanah supaya
kesuburan tanah terus terpelihara. Praktik olah tanah konservasi yang dilakukan
petani terlihat dari penggunaan peralatan tradisional dan konvensional.
Setelah tanah dibersihkan, tidak seluruhnya diolah (dibajak dan digaru),
petani hanya menugal atau mengaseuk bagian tanah yang akan ditanami padi,
palawija dan kacang-kacangan. Dengan cara mengolah tanah demikian, tidak
terjadi pelapukan bahan organik, tanah tidak mudah terinfiltrasi dan terhindar dari
erosi dan kesuburan tanah terpelihara. Sistem olah tanah seperti ini kondusif dan
efektif untuk konservasi tanah dan air, mengatur sistem hidrologi dan memberikan
efek positif kepada iklim mikro wilayah Desa Citaman dan Cibojong.
Penanaman tanaman kehutanan dan pertanian yang dilakukan petani
dengan sistem tajuk berlapis. Hal ini dilakukan, selain menguntungkan secara
ekonomi tetapi juga memberikan sumbangan bagi stabilitas lingkungan di
sekitarnya. Bila kita berada di kebun-kebun petani di wilayah Citaman, pagi hari
terasa dingin siang hari terasa sejuk. Dampak positif agroforestry yang dilakukan
oleh petani antara lain, warga Citaman dan Cibojong tidak pernah kesulitan untuk
mendapatkan air bersih. Aktivitas agroforestry yang memadukan aspek ekonomi
dan konservasi, hasilnya tidak hanya dinikmati oleh petani hulu DAS, tetapi juga
oleh penduduk yang berada di bawah Desa Citaman seperti Desa Leuwi Kahuru,
82
bahkan di desa ini terdapat sumber mata air yang dikelola oleh perusahaan swasta.
Debit air beberapa sungai yang berhulu di Desa Citaman fluktuasinya relatif
stabil. Bila aktivitas agroforestry seperti ini menjadi bagian dari praktik tata guna/
tata kelola tanah semua desa di kawasan kaki gunung Karang akan mendukung
stabilitas air area konservasi Rawa Danau yang semakin memprihatinkan.
5.3.2. Agroforestry Sebagai Strategi Bertahan
Aktivitas agroforestry yang dilakukan petani didasarkan atas pemahaman
ruang spasial, kondisi ekologi, ketersediaan tanaga kerja dan kemampuan modal.
Komoditas yang ditanam oleh warga merupakan kombinasi dari tanaman
musiman dan tahunan, agar masa panen berlangsung secara periodik, ada
komoditas yang dapat dipanen secara bulanan, triwulan, musiman dan tahunan.
Tanaman palawija seperti berbagai jenis umbi-umbian dan kacang-kacangan
merupakan tanaman musiman/jangka pendek yang dapat dipanen triwulanan atau
enam bulanan. Sedangkan tanaman kehutanan merupakan tanaman jangka
panjang. Tanaman tahunan yang banyak ditanam adalah cengkeh, petai, durian,
albasia, afrika, nangka, kopi, melinjau, rambutan, sengon dan mahoni. Dari
informan kunci dan pengamatan terhadap kebun petani, komposisi tanaman yang
ditanam petani disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6 Komposisi Tanaman Agroforestry Komunitas
No Kategori Komposisi Komoditas Utama Jumlah %
1 Pola I Kelapa + petai + rambutan + melinjau palawija 30 35.70
2 Pola II Kelapa + petai + cengkeh + palawija + albasia 24 28,60
3 Pola III Kelapa + durian + melinjau + sengon/mahoni 19 22,60
4 Pola IV Kelapa + petai + durian + melinjau. 11 13,10
Jumlah 84 100% Sumber: Diolah dari sumber primer dan FGD
Dari empat pola tersebut diketahui bahwa tanaman kelapa, petai, durian
dan melinjau merupakan tanaman yang dominan dan komoditas unggulan yang
bernilai ekonomi di wilayah hulu DAS Cidanau. Penanaman pepohan tersebut
dimaksudkan untuk mendapatkan penghasilan jangka panjang, baik berupa buah-
buahan untuk dikonsumsi dan dijual serta pemenuhan kebutuhan kayu untuk
membangun rumah. Tanaman cengkeh, petai, durian, nangka, dukuh dan tanaman
kehutanan lainnya, merupakan tanaman tahunan dan hasil panennya sering
83
mengejutkan dan dapat meningkatkan kesejahteraan petani. Bagi pemilik lahan
luas di atas 2 ha, menanam tanaman tahunan didorong untuk meningkatkan
pendapatan jangka panjang dan merupakan sarana akumulasi modal dan
kekayaan. Kondisi ini dituturkan seorang pemilik lahan luas di Desa Citaman:
Pada musim buah tahun ini (2008), kula bersyukur, semua pepohonan di kebun
(petai, durian, dukuh, melinjau) buahna rea pisan (berbuah banyak). Pengalaman
menarik dari kegiatan mengelola kebun campuran adalah dalam rentang waktu
tertentu (3-5 tahun) hasilnya sering “mengejutkan” (panen raya). Panen kiwari
kula bisa nyumponan kehayang budak boga motor jeng induk budak boga tv anu
anyar. (Hasil panen tahun ini dapat memenuhi keinginan anak membeli motor
dan permintaan isterinya membeli tv baru).
Lain halnya bagi buruh tani dan pemilik lahan sempit, aktivitas
agroforestry ditujukan agar dapur berasap (memenuhi kebutuhan pangan sehari-
hari), seperti dituturkan seorang buruh tani beranak tiga berinisial Hsn (40):
Pekerjaan sehari-hari kula (saya) sebagai buruh harian ngored (membersihkan
kebun). Bila ngored lepas tangan (tidak diberi makan oleh pemiliknya) dari jam
07.00 s/d jam 12.30) dibayar Rp. 25.000,- tetapi bila diberi makan, nyanet
(makanan ringan) dan kopi dibayar Rp. 22.500, per hari. Kula tidak memiliki
pekerjaan yang tetap, hampir tiap minggu ngored pada kebun yang pemiliknya
berganti-ganti. Pekerjaan ngored tidak selalu tersedia sepanjang tahun ada masa
rengse (istirahat). Bila nganggur kula melak palawija di kebun dunungan
(majikan), hasilnya membantu untuk “memperpanjang umur” (mempertahankan
kelangsungan hidup).
Hal senada dikemukakan oleh petani pemilik lahan sekitar 0,5 ha berinisial Mmn
(50), ia menuturkan pengalamannya sebagai berikut:
Dari hasil penjualan 10 tandan pisang Ambon diperoleh uang sebesar Rp.
225.000,-. Uang itu digunakannya untuk membeli 30 liter beras seharga Rp.
105.000,-, untuk beli rokok Rp. 20.000,- sisanya diberikan kepada isteri untuk
keperluan belanja sehari-hari. Dari hasil panen 50 kg tangkil (melinjau) senilai
Rp. 250.000,- digunakan untuk keperluan membeli perlengkapan sekolah anak
sulung masuk Tsanawiyah sedangkan dari penjualan 2 ikat petai ditabung untuk
keperluan Hari Raya Idul Fitri.
Dari tiga kasus di atas diketahui, aktivitas agroforestry petani bervariasi,
sesuai dengan kemampuan ekonomi dan luas penguasaan tanah. Bagi penggarap
dan buruh tani, aktivitas agroforestry merupakan sarana survival strategy, untuk
memenuhi kebutuhan pangan keluarga sehari-hari karena agroforestry menyerap
tenaga kerja sepanjang tahun. Bagi pemilik tanah sempit, aktivitas agroforestry
merupakan sarana untuk mewujudkan consolidation strategy, untuk perbaikan
kesejahteraan keluarga. Bagi pemilik lahan (> 2 ha) aktivitas agroforestry sebagai
84
wahana kondusif untuk accumulation strategy, pemenuhan kebutuhan sekunder
(peralatan rumah tangga dan motor) dan menambah kekayaan.
5.3.3. Perkembangan Komunitas Agroforestry
Perkembangan agroforestry di lokasi penelitian dipengaruhi oleh
kemampuan beradaptasi dengan kondisi sosio-ekologi dan responnya terhadap
tekanan supra lokal baik dari negara (kebijakan ekonomi makro dan mikro)
maupun pasar komoditas. Sejalan dengan semakin derasnya pembangunan
ekonomi pedesaan, maka komoditifikasi dan komersialisasi sumberdaya
merupakan bagian yang dihadapi petani dalam mengembangkan agroforestry.
Aktivitas agroforestry yang sebelumnya berlangsung dan berdasar interaksi timbal
balik yang intens dan mensinergikan kepentingan ekonomi dan ekologi, pada
perkembangannya kemudian berubah menjadi agroforestry “modern”. Dalam
istilah Shanin, sistem agroforestry komunitas petani merupakan perkembangan
aktivitas pertanian dari peasantry ke smallholder/farmer.
Aktivitas agroforestry berciri peasantry di lokasi penelitian dapat
diidentifikasi atas empat hal: (1) produsen pertanian skala kecil, berorientasi
domestik (dalam proses kerja dan hasilnya), karena karakteristik dasar ekonomi
petani ditentukan oleh ukuran, komposisi keluarga, kebutuhan konsumsi dan
jumlah tangan yang bekerja; (b) lahan dibutuhkan untuk memenuhi lapangan
tenaga kerja keluarga, pemilikan dan proses produksi lahan berdasarkan unit
keluarga; (c) keluarga merupakan tim produksi usaha
tani dan irama usaha tani merupakan irama kehidupan keluarga yang
menyediakan kerangka dasar untuk saling membantu dan kontrol.144
Ini berbeda dengan aktivitas agroforestry pada kategori smallholder,
selain untuk memenuhi kebutuhan keluarga juga untuk memenuhi permintaan
pasar. Lahan yang semula dikelola menggunakan tenaga kerja keluarga, berubah
dikelola secara intensif dan berdiversifikasi. Proses produksi dan pilihan
komoditas yang ditanam memperhatikan alokasi waktu, iklim, peralatan, modal,
144 Lihat Teodor Shanin, 1990. Defining Peasant: Essay Concerning Rural Societies, Exppolary
Economy and Learning from them in The Contemporary World. Cambridge: Basil Blackwell.
85
alat, tanah, keuangan dan prospek pasarnya.145
Di lokasi penelitian ciri menonjol
proses produksi peasantry dan smallholder adalah terletak pada motivasi dan
tujuan utama usahanya. Pada proses produksi peasantry, perolehan keuntungan
dan akumulasi modal bukan menjadi motivasi dan tujuan utamanya, hal
sebaliknya pada aktivitas produksi pertanian smallholder 146
.
Meskipun demikian, pemahaman petani tentang perolehan keuntungan
atau laba, berbeda dengan konsep yang berkembang dalam literatur ekonomi
modern atau kapitalis. Motivasi dan tujuan utama aktivitas agroforestry adalah
untuk memenuhi kebutuhan konsumsi tahunan keluarga, bila hal ini terpenuhi
aktivitas produksi usaha tani dikatakan untung/laba. Tenaga kerja keluarga yang
telah dicurahkan tidak dinilai dengan uang/upah karena bekerja dipahami secara
subyektif dan bernilai sosial kultural. Ini berbeda dengan perspektif kapitalis, laba
atau laba bersih dihitung dengan cara mengurangi penghasilan total dengan semua
biaya produksi dan tenaga kerja termasuk tenaga kerja keluarga, dihitung sebagai
upah yang bernilai ekonomi. Perhitungan laba dalam konsepsi ekonomi kapitalis,
tidak relavan dan tidak dapat diaplikasikan pada aktivitas agroforestry komunitas
peasantry. Unsur biaya produksinya tidak dapat diperbandingkan dengan yang
terdapat dalam perekonomian kapitalis.
Secara sosiologis aktivitas produksi peasantry dan smallholder dapat
dilihat dari hubungan sosial dan operasi kekuatan produksi dan posisi tawarnya
dengan kekuatan luar. Hubungan sosial produksi peasantry adalah untuk
mempertahankan subsistensi keluarganya, sedangkan hubungan sosial produksi
smallholder memperhitungkan keuntungan dengan memperhatikan azas
kelayakan dan keseimbangan. Kekuatan produksi (tanah, tenaga kerja, input
produksi dan finansial) dalam perekonomian smallholder dilakukan secara
intensif dan diversifikasi usaha; sedangkan kekuatan produksi peasantry terbatas
pada rekayasa tenaga kerja keluarga dan tanah. Petani dalam arti peasant sebagai
sub ordinat dari pihak yang memiliki kekuasaan ekonomi, ini tidak selalu berlaku
145Lihat Robert Netting, 1993. Smallholders, Householder: Farm Families and the Ecology of
Intensive, Sustainable Agriculture. California: Stanford University Press.
146Lihat Eric Wolf, 1985. Petani: Suatu Tinjauan Antropologis. Jakarta CV Rajawali.
86
pada smallholder, karena relatif bebas dari intervensi “kelas-kelas sosial” baik
secara ekonomi maupun politik.
Merujuk pada pandangan Shanin, (1990), peasantry merupakan gambaran
keadaan dan tahapan tententu kehidupan sosial ekonomi suatu komunitas. Pada
komunitas petani di hulu DAS Cidanau, tahapan itu ditandai oleh aktivitas
produksi pertanian berhuma dan bertanam padi dan sepenuhnya memanfaatkan
tenaga kerja keluarga dan teknologi sederhana. Unit keluarga merupakan unit
dasar dalam pemilikan, produksi dan konsumsi. Aktivitas pertanian ditujukan
untuk strategi bertahan hidup (survival strategies). Tahapan aktivitas pertanian itu
kemudian berubah ke arah perekonomian bercirikan smallholder/farmer, dimana
aktivitas produksi pertanian dilakukan untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan
sekaligus untuk dijual dalam upaya perbaikan kesejahteraan keluarga
(consolidation strategy). Di lokasi penelitian tahapan ini berlangsung dengan
berkembangnya aktivitas agroforestry modern.
Perubahan orientasi produksi dari domestik ke pasar, dipicu oleh semakin
intensifnya penetrasi kekuatan ekonomi dan politik supra lokal terhadap
komunitas petani. Di lokasi penelitian penetrasi kekuatan ekonomi supralokal
berdampak meluasnya komoditisasi agraria dan tanah in-absentia, munculnya
spekulan/calo tanah, tengkulak (pedagang pengumpul tingkat lokal), pedagang
antar desa dan tumbuhnya jaringan perdagangan desa kota.147
Hal ini mendorong
pergeseran orientasi dan ukuran ketentraman hidup dalam masyarakat pedesaan.
Gambaran pergeserannya sebagai berikut:
Ketentraman hidup petani diukur dari tiga hal: leuit pinuh (tersedia beras yang
cukup), duit weuteuh (yang dibutuhkan terbeli cukup), dan hubungan suami isteri
yang harmonis (reuneuh). Beras merupakan kebutuhan pokok sehari-hari yang tidak
bisa ditunda, rumah tangga tanpa ketersediaan beras seperti lutung kasarung (kera
kelaparan) dan rumah tangga tanpa ketersediaan uang cawerang (hambar). Beras dan
uang dua sisi dari mata uang yang memiliki nilai yang sama dan dibutuhkan dalam
kehidupan. Sekarang zamannya duit jadi “raja”, ketentraman diukur oleh banyaknya
lembaran uang, sehingga uang jadi rebutan semua.
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa penetrasi ekonomi moderen pada
komunitas sekitar hutan menimbulkan moneterisasi. Proses moneterisasi yang
147 Goodland, R.G. Ledec and W. Webb, 1989. “Meeting Environmental Concerns Caused by
Common Property Mismanagement in Economic Development Project” dalam Barkes (ed,) In
Common Property Resources: Ecology and Community Based Sustainable Development. London:
Belhaven Press.
87
dihela oleh mesin birokrasi dan pasar menimbulkan ketegangan sosial dalam
masyarakat, seperti dialami kelembagaan liliuran.
5.3.4. Liliuran: Bertahan Sebagai Sarana Pencarian Nafkah
Warga setempat memaknai liliuran sebagai kerja bersama-sama dan
tolong menolong untuk menyelesaikan berbagai tahapan pekerjaan di
huma/kebun. Secara harfiah liliuran berasal dari kata liur, artinya bersatu,
bersama. Maksudnya mengerjakan pekerjaan secara serentak bersama-sama.
Keberadaan liliuran terkait dengan proses kegiatan pertanian yang membutuhkan
tenaga kerja yang banyak dan berlangsung pada periode tertentu secara serentak
agar tidak terlambat masa tanam. Proses kerja demikian menempatkan liliuran
sebagai bagian penting dari kehidupan petani ladang dan tetap bertahan sebagai
kegiatan komunitas di tengah proses komersialisasi pertanian.
Faktor-faktor yang mempengaruhi bertahannya kelembagaan liliuran
dalam komunitas petani diidentifikasi sebagai berikut:
(1) Liliuran memberi ruang yang cukup bagi aktivitas perempuan untuk
berkontribusi dalam upaya memelihara kesinambungan hidup keluarga tani.
(2) Dalam kelembagaan liliuran terdapat mekanisme aturan pertukaran timbal
balik tenaga kerja.
(3) Landasan dasar liliuran adalah tolong-menolong atas dasar resiprositas,
sehingga keberlakuannya bukan hanya terbatas dalam kegiatan usaha tani,
tetapi juga dalam berbagai aktivitas kehidupan sosial lainnya.
(4) Petani yang terlibat dalam kegiatan liliuran jumlahnya relatif kecil berkisar 5-
10 orang, memudahkan pengorganisasiannya, sehingga kelompok liliuran
ditemukan pada tiap kampung.
Keberadaan liliuran menguntungkan proses produksi agroforestry dan
aktivitas pertanian pada umumnya, karena meringankan biaya, baik untuk saprodi
maupun ongkos produksi. Kebutuhan bibit tanaman dapat dipenuhi dengan
meminjam dari anggota liliuran lainnya. Anggota liliuran juga tidak selalu harus
mengeluarkan upah tenaga kerja secara tunai, karena dapat meminta bantuan
kelompoknya untuk mengerjakan kebun miliknya. Seorang petani menuturkan:
Untuk ngored (membersihkan kebun) seluas 2000 m pemilik kebun
membutuhkan lima orang tenaga kerja perempuan selama empat hari, dengan
88
jumlah total biaya yang harus dikeluarkan sebesar Rp. 348.000,- . Bagi petani
yang menjadi anggota liliuran, uang sebesar itu tidak perlu dikeluarkan secara
tunai dan dapat digunakan untuk kebutuhan lainnya. Sebagai imbalannya yang
bersangkutan diwajibkan mencurahkan waktu dan tenaga sesuai dengan jumlah
hari yang dibutuhkan untuk ngored pada waktu liliuran di hari dan tempat lain.
Secara sosiologis kelembagaan liliuran memperkuat kohesivitas sosial,
terpeliharanya tradisi tolong-menolong dan resiprositas sosial. Faktor ini
diperkuat dengan keterlibatan kaum perempuan cukup besar dalam liliuran
terutama pada beberapa tahapan kegiatan usaha tani. Keterlibatan kaum
perempuan mampu memupuk kebersamaan antar warga, sekaligus berfungsi
untuk menopang pemenuhan kebutuhan pangan keluarganya. Bagi petani, liliuran
dapat memberikan “jaminan keamanan subsistensi” dan menyediakan lapangan
pekerjaan. Secara ekologi keberadaan kelembagaan liliuran berdampak positif
pada tata kelola agraria ramah lingkungan. Peran dan kontribusi perempuan dalam
liliuran dapat disimak dari pandangan seorang petani sebagai berikut:
Bumi adalah Ibu
Siti Hajar adalah sosok perempuan biasa yang setiap hari berkebun dan
melakukan pekerjaan domestik di desa kelahirannya Citaman. Namun, ada yang
tidak biasa dalam sosok dirinya dari perempuan lainnya. Dibalik kesahajaannya,
tersimpan kecerdasan luar biasa dan nilai hidup yang begitu mulia dalam
memaknai ruang hidupnya. Itulah kesan yang diperoleh selama berminggu-
minggu di Desa Citaman. Ibu beranak empat itu memiliki pemahaman yang
kental bahwa tanah kelahiran adalah entitas ruang hidup, bukan komoditas yang
bisa dijual-beli, apalagi dipertukarkan.
Pemikiran Siti Hajar tentang dampak pembangunan berdasarkan kesaksiannya
melihat proses pembangunan di pedesaan. Dari informasi yang dimilikinya, Siti
Hajar sampai pada kesimpulan bahwa pembangunan melahirkan marginalisasi
perempuan, melanggengkan ketidakadilan, kekerasan psikis, fisik dan ekonomi.
Bumi yang digambarkannya sebagai ibu telah dieksploitasi, dirusak dan dijarah
karena didorong oleh keserakahan (“kapitalisme”) dengan menempatkan posisi
laki-laki secara dominan.
Ia berpandangan bahwa bumi adalah ibu yang harus diselamatkan dari ancaman
kerusakan yang dilakukan orang besar (“pengusaha dan penguasa”). Mengingat
perempuan merupakan tangan pertama yang bersentuhan dengan sumber daya
alam, maka akibat kerusakannya perempuanlah yang paling rentan menerima
resiko dan dampaknya. Dengan bahasa sederhana dan tidak terdengar heroik,
cara pandangnya tampak lugas menganalisis persoalan lingkungan hidup dan
praktik ketidakadilan yang dipertontonkan merusak bumi.
Menurutnya langkah strategis yang dapat dilakukan perempuan untuk
menyelamatkan bumi adalah mengembalikan peran perempuan ke kodratnya
kepada alam dengan memelihara kualitas kefeminimannya sebagai pemelihara
dan perawat alam. Bekerja dan bertindak seperti laki-laki (maskulinisasi
perempuan) tidak saja merugikan perempuan melainkan juga akan berdampak
89
kepada lingkungan sosial dan alam. Maskulinisasi menyebabkan merebaknya
eksploitasi dan rusaknya alam, menurunnya solidaritas sosial dan meningkatnya
kejahatan. Dia tidak setuju dengan anggapan bahwa perempuan yang berperan
sebagai ibu adalah "dewi tolol" di sangkar emas. Karena menurutnya
maskulinisasi menjadi salah satu faktor langgengnya budaya kemiskinan dan
feminisasi kemiskinan.
Narasi di atas menggambarkan pemahaman dan praktik ekofeminis148
dalam merawat alam untuk keberlanjutan sumber kehidupan. Penghayatan itu
bersumber dari keterlibatannya dalam kegiatan liliuran dalam waktu panjang pada
jaringan sosial komunitas. Merujuk pendapat Polanyi, kelembagaan komunitas
sebagai embedded institute, yakni institusi sosial yang berperan dan memberi
ruang ekonomi untuk mobilisasi tenaga kerja dan modal secara terintegrasi.149
Kelembagaan liliuran merupakan bentuk mekanisme yang mengatur
hubungan kerja antara pesertanya, baik sebagai pemilik tanah maupun sebagai
pekerja secara imbal balik. Status sebagai pemilik tanah dan pekerja silih berganti
sesuai dengan kesepakatan. Partisipan liliuran tidak selamanya menjadi pemilik
tanah dan menjadi pekerja, pada waktu tertentu seorang peserta menjadi tuan,
pada waktu lain berperan sebagai pekerja dan seterusnya. Ini berbeda dengan
hubungan kerja antara petani dengan tuan, hubungan patron client, hubungan
antar keduanya tidak setara dan cenderung eksploitatif.
Hubungan kerja dalam liliuran dibangun atas dasar kesetaraan dan
perpaduan aspek ekonomi, sosial dan resiprositas. Partisipan tidak hanya
terpenuhi kebutuhan akan tenaga kerja atau biaya produksi pertanian, tetapi juga
keterlibatan partisipan berguna untuk penguatan modal sosial melalui pertukaran
tenaga kerja, pertukaran barang dan jasa dalam jaringan kekerabatan, komunitas
dan tempat tinggal. Hal ini menunjukkan bahwa kelembagaan liliuran di
komunitas petani berperan sebagai institusi pendistribusian tenaga kerja, berfungsi
sebagai institusi budaya yang memberi makna bagi penguatan kohesivitas dan
modal sosial komunitas. Hubungan kerja antar partisipan liliuran tidak terbatas
pada hubungan kerja semata-mata tetapi didalamnya melekat hubungan sosial
148 Ekofeminisme merupakan perluasan diskursus dari perjuangan feminisme yang mendobrak
dominasi laki-laki terhadap perempuan sebagai mana upaya mendobrak dominasi manusia terhadap alam. Tong, Rosemarie,1998. Feminist Thought. Westview Press.
149 Karl Polanyi, “Perkembangan Ekonomi Pasar” dalam Hans Dieter Evers, 1998, Teori
Masyarakat: Proses Peradaban Dalam Sistem Dunia Moderen. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
90
yang luas. Liliuran sebagai embedded institute dalam tata kelola sumberdaya
agraria merupakan modal dasar bagi pembangunan ekonomi berkelanjutan.
5.4. Ihtisar
Kelembagaan lokal tata kelola sumberdaya agraria di hulu DAS Cidanau
dibedakan atas kelembagaan lokal berupa aturan main, nilai dan norma dan
berupa institusi dan praktik tata kelolanya. Bentuk kelembagaan lokal berupa
aturan main meliputi buyut, pipeling, konsepsi tanah, tata guna tanah dan zonasi
hutan (leuweung), dan kearifan lokal tentang tanaman pangan dan obat.
Sedangkan kelembagaan lokal berupa institusi adalah liliuran dan agroforestry.
Buyut dan pepeling merupakan mekanisme dan aturan warga setempat
yang mengedepankan keselarasan kebutuhan manusia dan keberlanjutan
sumberdaya. Pemanfaatan sumberdaya yang berlebihan-melampaui daya dukung
alam sama dengan menghancurkan masa depan kehidupan manusia, karena
manusia dan sumberdaya merupakan bagian dari ekosistem. Dalam kehidupan
petani, kelembagaan buyut dan pepeling diwujudkan dengan sistem olah tanah
konservasi (penerapan teknologi pertanian gilir balik, terasering, pembuatan
guludan), ngaseuk, coo benih, pemberantasan hama tanaman ramah lingkungan,
masa tanam mengikuti daur musim dan pergiliran tanaman.
Aspek penting yang terkandung dalam tata kelola sumberdaya agraria
berbasis kearifan lokal adalah visi dan orientasinya yang memadukan produksi
dan konservasi. Visi dan orientasi pengelolaan sumberdaya secara demikian
diperlukan dalam tata kelola hutan berkelanjutan. Sejauh ini ilmu pengetahuan
pertanian dan kehutanan modern yang mencerminkan tafsir Barat gagal
memahami dan menempatkan kelembagaan sosial dan kearifan lokal dalam
konservasi hutan. Kegagalan ini berujung pada meluasnya deforestasi dan
peluruhan kelembagaan komunitas yang mengakibatkan komunitas sekitar hutan
mengalami keterbelakangan dan menjadi kantong kemiskinan. Dalam upaya
mewujudkan pembangunan hutan berbasis masyarakat, maka kelembagaan dan
kearifan lokal tata kelola sumberdaya hutan komunitas selayaknya
dipertimbangkan dan mendapat tempat dalam politik agraria kehutanan dan
khususnya perhutanan sesuai ruang sosial, lokalitas dan spasialnya.
91
BAB VI
KONTESTASI SEKTORAL, LOKAL SUPRALOKAL
DAN INTERNAL KOMUNITAS
6.1. Pendahuluan
Kontestasi penguasaan sumberdaya agraria dan sumberdaya manusia di
wilayah pedesaan berlangsung pada aras makro/nasional dan mikro di masyarakat.
Pada aras makro kontestasi berlangsung antar berbagai kekuatan politik dan
ekonomi melalui perumusan sejumlah peraturan perundang-undangan. Di aras
mikro/masyarakat, kontestasi sektoral, muncul dalam pelaksanaan program
sektoral melalui proyek yang bersifat top down yang disertai pembentukan
kelembagaan yang menegasikan kelembagaan masyarakat.
Sehingga kontestasi sektoral mengakibatkan kapitalisasi sumberdaya
pedesaan dan mengabikan pemberdayaan masyarakat secara partisipatif.
Kontestasi sektoral juga semakin menjauhkan upaya peningkatan taraf hidup dan
kemandirian masyarakat pedesaan dan mendorong meluasnya konflik agraria di
wilayah pedesaan. Kontestasi sektoral dipicu oleh tumpang tindihnya regulasi dan
lemahnya sinergi dan koordinasi masing-masing sektor dalam perencanaan,
pelaksanaan, evaluasi dan monitoring. Gambaran kontestasi sektoral di lokasi
penelitian dapat disimak pada uraian berikut.
6.2. Kontestasi Sektoral
Dari penggalian informasi di lapangan, diketahui bahwa kontestasi
sektoral penguasaan sumberdaya agraria terkait erat dengan tumpang tindihnya
peraturan penundang-undangan sektoral, menguatnya ego sektoral dan kurangnya
pemahaman pemangku kepentingan atas sifat dan fungsi sumberdaya sebagai
sistem daya dukung kehidupan atau modal alam. Pemangku kepentingan atau
aktor yang terlibat dalam kontestasi sektoral, menempatkan sumberdaya agraria
semata-mata sebagai komoditi ekonomi dan mengabaikan fungsinya sebagai daya
dukung kehidupan atau modal alam. Sebab sumberdaya sebagai daya dukung
kehidupan, jika dikelola dan dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi semata-
92
mata akan berakibat terganggunya dan rusaknya keseimbangan keseluruhan
ekosistem sumberdaya hutan dan kawasan DAS.
Kurangnya pemahaman memilah dan memilih fungsi sumberdaya alam
sebagai stock, barang publik dan sebagai komoditi, mengakibatkan pengelolaan
dan penguasaan sumberdaya tidak memperhatikan karakteristik sifat dan fungsi
sumberdaya. Pelaksanaan tata kelola sumberdaya lebih didasarkan pertimbangan
teknis, kepentingan ekonomi, administrasi politik pemerintahan dan wilayah
kekuasaan/administratif daripada perbaikan kesejahteraan rakyat. Padahal
karakteristik sumberaya seperti bentang DAS tidak bisa dibagi-bagikan
berdasarkan unit administratif pemerintahan.
Kekurang-pahaman atas karakteristik sumberdaya dan besarnya
kepentingan politik dan ekonomi sektoral, menyebabkan sejumlah peraturan
perundang-undangan menimbulkan konflik jurisdiksi. Beberapa peraturan
perundang-undangan yang menimbulkan konflik sektoral antara lain: UU No.
41/1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang No. 31 tentang Perikanan dan UU
UU No. 22/2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi, Undang-Undang No. UU No.
32/2004 tentang Pemerintah Daerah. Konflik sektoral keempat UU tersebut
disajikan dalam gambar berikut:
Gambar 3 Kontestasi Sektoral
Dari gambar 3 diketahui bahwa kontestasi sektoral antara kehutanan
dengan perikanan berkaitan dengan status dan pengelolaan hutan mangrove.
Hutan mangrove secara de facto berada di wilayah pesisir yang merupakan
wilayah kewenangan Kementerian Kelautan dan Perikanan, tetapi de jure
pengelolaan hutan mangrove merupakan kewenangan Kementerian Kehutanan.
Masalah Konservasi
Hutan mangrove UU No. 31/2003
Tentang Perikanan
Masalah Kewenangan
Wilayah Operasi Nelayan
NNnelayan
Masalah Pertambangan di
Hutan Lindung Kontestasi
Sektoral dan
Tumpang
Tindih
Kepentingan UU No 32/2004Tentang
Otonomi Daerah
UU No.41 Tentang
Kehutanan
UU No. 22/2001 Tentang
Minyak dan Gas Bumi
93
Akibat tumpang tindihnya regulasi dan kewenangan, sebagian besar hutan
mangrove tidak terawat, kritis dan tidak bisa menahan enterupsi air laut.
Kontestasi sektoral juga terjadi antara UU No. 41/1999 tentang Kehutanan
dengan UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah, berkaitan dengan ijin
pengelolaan dan pengusahaan hutan yang mengakibatkan tarik menarik
kepentingan antara Kementerian Kehutanan dengan Pemerintah Daerah. Tarik
menarik kepentingan antara Pemerintah Daerah dengan Kementerian Kehutanan
menyebabkan deforestasi dan illegal logging sulit dikendalikan dan rusaknya
kawasan hulu DAS. Lemahnya penegakkan hukum terhadap pelaku illegal
logging merupakan sisi lain dampak dari kontestasi sektoral.
Lemahnya sinergi dan koordinasi dalam penegakkan hukum terhadap
pelaku illegal logging, berbanding terbalik dengan semangat memberikan konsesi
penguasaan/ pengusahaan hutan dan pertambangan pada pemilik modal. Kondisi
kontradisi ini menggambarkan kuatnya pertimbangan trasaksional dalam politik
tata kelola sumberdaya agraria. Konsesi penguasaan dan pengusahaan hutan dan
pertambangan oleh pemilik modal berlangsung secara masif dan kolosal di
berbagai wilayah di Indonesia.
Penguasaan sumberdaya hutan oleh pemilik modal melalui konsesi
transaksional secara kolosal berdampak luas terhadap kelanjutan sumberdaya dan
nasib komunitas sekitar hutan. Pada banyak kasus, pengusahaan hutan tidak
berkoeksistensi dengan kelembagaan lokal, berakibat penegasian hak, akses dan
ruang hidupnya. Keragaman budaya dan tradisi tata kelola sumberdaya berbagai
komunitas di Indonesia, ruang spasialnya terbagi habis dan tertutup oleh berbagai
hak konsesi yang dimiliki oleh pemilik modal, seperti terlihat pada Gambar 4.
Konsesi lahan di Indonesia
Tambang
HPHHGUHTI
Lain-lain
35% lahan73,1 juta ha
15,0 juta ha8,8 juta ha 35,1 juta ha
Gambar 4. Konsesi Kolosal Pengelolaan SDA
94
6.2.1. Aktor Kontestasi Sektoral
Kontestasi sektoral pengelolaan dan penguasaan sumberdaya hutan dan
DAS melibatkan para pemangku kepentingan atau aktor pada berbagi tingkat:
internasional, nasional, regional dan lokal. Aktor yang terlibat dalam pengelolaan
dan penguasaan sumberdaya hutan dan kawasan DAS di Cidanau disajikan pada
gambar 5.
Gambar 5. Aktor Kontestasi Pengelolaan Hutan DAS Cidanau
Dari gambar 5 diketahui bahwa pada tingkat internasional kontestasi
sektoral melibatkan perusahaan Multinasional dan NGO internasional yakni IIED
(International Institute for Environment Development). Pada tingkat nasional
aktor yang terlibat dalam pengelolaan dan penguasaan sumberdaya hutan adalah
Kementerian Kehutanan, Kementerian Eenergi dan Sumberdaya Mineral, DPR
dan NGO. Pada tingkat regional aktor yang terlibat dalam pengelolaan
sumberdaya hutan dan kawasan DAS, melibatkan BKSD, UPT DAS Cidanau,
FKDC (Forum Komunikasi DAS Cidanau), Pemda Provinsi Banten dan LSM
(Rekonvasi Bumi). Pada tingkat lokal aktor yang terlibat dalam pengelolaan
sumberdaya hutan dan DAS adalah UPT Pertanian dan Kehutanan, aparat
Kecamatan Padarincang dan Ciomas, Aparat Desa Cibojong dan Desa Citaman
serta Kelompok Tani Hutan Karya Muda dan Kelompok Tani Maju Bersama.
Kontestasi sektoral antar aktor pada tingkat nasional dalam pengelolaan
dan penguasaan sumberdaya hutan, berlangsung sejak perumusan draf naskah
perundangan, pengajuan ke Presiden dan perumusan di badan legislatif sampai
dengan alokasi anggaran dari APBN. Sengitnya kontestasi sektoral antar aktor
tercermin dalam pembahasan, perumusan dan pengesahan Perpu No. 1 Tahun
2004 tentang Perubahan Undang-Undang No. 41/1999 tentang Kehutanan oleh
Internasional
Lokal
Nasional
Regional
NGO (IIED)
DPR NGO
UPT DAS
Kemenhut
Pemda Rekonvasi
Aparat Desa UPT Sektoral Pem.Kecamatan
MNC
FKDC
KTH
Kement.ESD
95
DPR. Pembahasan, perumusan dan pengesahan Perpu tersebut di DPR melibatkan
berbagai pemangku kepentingan (aktor) yang memiliki kekuatan politik dan
ekonomi, baik di lingkungan internal DPR maupun kekuatan di luar DPR
(eksekutif dan pelaku usaha (domestik dan asing) bahkan badan internasional.
Pada awalnya DPR secara tegas menolak perpu tersebut tetapi penolakan
lantang DPR kemudian redup dan melunak yang berakhir dengan persetujuan
melalui pengambilan keputusan secara voting. Perubahan sikap politik DPR
dinilai janggal,150
karena berlangsung secara drastis. Ketika Perpu No.1 tahun
2004 dikeluarkan pemerintah, pihak DPR secara tegas menolaknya, dengan alasan
bahwa negara tidak dalam kondisi darurat. Tetapi penolakan DPR terhadap Perpu
tidak bulat, ada pro dan kontra, antara pro investasi dan pro lingkungan. Menolak
Perpu, khawatir DPR dituduh tidak pro investasi karena investasi diperlukan
untuk menodorong pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain DPR khawatir
membebaskan hutan lindung dari aktivitas pertambangan akan menuai arbitrase,
karena sebagian perusahaan pertambangan yang beroperasi di kawasan Hutan
Lindung adalah perusahaan Amerika Serikat.
Ambiguitas DPR terhadap Perpu mencerminkan sengitnya kontestasi
sektoral penguasaan sumberdaya hutan yang berlangsung secara transaksional.
Proses transaksional itu dimungkinkan karena menguatnya kedudukan badan
legislatif yang memberikan peluang proses pembuatan undang-undang menjadi
lahan subur pencari rent seeker. Besarnya kepentingan ekonomi dari pemangku
kepentingan (penguasa dan pengusaha) dalam penguasaan sumberdaya hutan dan
pertambangan adalah aspek lain yang memicu kontestasi sektoral.
Perubahan Undang-Undang No. 41/1999 tentang Kehutanan melalui Perpu
No.1 tahun 2004 berawal dari penilaian stakeholder pertambangan bahwa UU No.
41 tidak menjamin kepastian hukum bagi ijin pertambangan di kawasan hutan
lindung. Besarnya pengaruh politik dan ekonomi stakeholder pertambangan
mendorong pemerintah mengeluarkan Perpu No.1 tahun 2004 yang berisi revisi
Undang-Undang No. 41/1999 tentang Kehutanan yang melegalkan perusahaan
pertambangan beroperasi di kawasan hutan lindung. Revisi UU Kehutanan No.
150 Perubahan sikap politik DPR menurut sejumlah aktivis lingkungn dan kaukus anti korupsi
terdapat dugaan kuat disebabkan mengalirnya uang kepada sejumlah anggota DPR. Lihat Harian
Kompas 13-14 Juli 2004.
96
41 yang melegalisasi eksplorasi pertambangan di kawasan hutan lindung,
menunjukkan kekuatan politik dan ekonomi sektor pertambangan mendesakkan
kepentingannya melalui Presiden.
Ambiguitas DPR terhadap Perpu diselesaikan melalui pengambilan
keputusan secara voting dalam rapat paripurna, dengan keputusan menyetujui
Perpu No. 1 tahun 2004. Persetujuan DPR terhadap Perpu itu menggambarkan
kontestasi sektoral, Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral dengan
Kementerian Kehutanan. Dalam kasus pertambangan di kawasan hutan lindung,
kontestasi sektoral tidak hanya melibatkan Presiden tetapi juga pihak di luar
pemerintah, yakni DPR. Persetujuan DPR terhadap Perpu itu memperkuat dugaan
bahwa pelaku usaha untuk memuluskan tujuan dan ambisinya, tidak saja
mempengaruhi pemerintah, Presiden sebagai pimpinan eksekutif tetapi juga
mampu mendesakkan kepentingannya kepada DPR untuk membuat peraturan
perundangan yang menguntungkan sektor dan perusahaan pertambangan.
Ì Ì
Ì
ÌÌ
Ì
Ì
Ì
Ì
ÌÌ
ÌÌ
ÌÌ Ì Ì
Ì
ÌÌ
Ì
Ì
Ì
Ì
ÌÌ
ÌÌ
ÌÌ Ì Ì
Ì
ÌÌ
Ì
Ì
Ì
Ì
ÌÌ
ÌÌ
ÌÌ
Sabuk Mineral Wilayah KKWilayah KK yang
tak dapat dieksplorasi
Papua: 68%
Nusa Tenggara: 43%
Maluku: 7%
Kalimantan: 19%
Sulawesi: 26%
Java-Bali: 6%
Sumatra: 44%
TUMPANG TINDIH PERTAMBANGAN DAN KEHUTANAN
Definisi hutan lindung dalam UU No 41 tahun 2004 tidak memberi ruang gerak lagi bagi kegiatan pertambangan
UU 41/1999 Tambang tidak boleh di hutan lindung���� PP 1/2004,
why not ?
Menguatnya kepentingan politik dan ekonomi instansi sektoral dan
perusahaan dalam proses pembuatan perundang-undangan sektoral, menyebabkan
produk hukum dari badan legislatif menjadi “vehicle to get power” para pihak
(badan legislatif, eksekutif dan pelaku usaha (domestik dan mancanegera). Dalam
proses pembuatan perundangan sektoral, wakil rakyat di badan legislatif
cenderung merepresentasikan kepentingan diri sendiri dan partai politiknya
daripada kepentingan rakyat yang diwakilinya. Proses pembuatan undang-undang
demikian, mengakibatkan isi dan subtansi perundang-undangan, bukan hanya
bersifat sektoral dan parsial, tetapi juga syarat muatan kepentingan politik dan
ekonomi para pihak dan menjauhkan terwujudnya kesejahteraan masyarakat.
Gambar 6 Kontestasi Kehutanan dan Pertambangan
97
6.2.2. Kontestasi Sektoral: Kapitalisasi Sumberdaya
Proses kontestasi sektoral yang syarat muatan politik dan ekonomi di
tingkat nasional, merembes dalam program pembangunan ekonomi dan pedesaan
di tingkat kecamatan dan desa. Dalam pembangunan pertanian, kehutanan,
infrastruktur, pemberdayaan masyarakat, keluarga berencana, kesehatan, koperasi
dan UKM dan industri/kerajinan, terlihat antar pelaksana teknis tidak
terkoordinasi dan tidak bersinergi. Program kerja yang disusun oleh masing-
masing instansi sektoral tidak dikomunikasikan dan dikoordinasikan satu sama
lainnya.
Program peningkatan produktivitas tanaman pangan dan hortikultura dari
UPT Pertaniaan Padarincang dan Ciomas tidak bersinergi dengan program
konservasi dari intansi Kehutanan dan Pekerjaan Umum. Program/ kegiatan
mengatasi degradasi dan sedimentasi Cagar Alam Rawa Danau yang dilakukan
oleh Balai Konservasi tanpa koordinasi dengan instansi sektoral lainnya seperti
lingkungan hidup dan pertanian. Menguatnya ego sektoral mengakibatkan
pembangunan infrastruktur irigasi yang dilakukan oleh Pekerjaan Umum, tidak
terkoordinasi dengan instansi teknis (sektor pertanian) yang menangani
pengelolaan lahar dan air. Pembangunan masyarakat sekitar hutan dan desa
hutan, seakan hanya menjadi tugas dan tanggungjawab sektor kehutanan,
termasuk dalam peningkatan produktivitas agroforestry. Kontestasi sektoral antar
pertanian dan kehutanan berakibat rendahnya produktivitas komoditas
agroforestry pada desa-desa sekitar hutan.
Kontestasi sektoral juga terlihat dari tidak koordinasinya pengelolaan
hulu, tengah dan hilir DAS Cidanau. Kawasan DAS Cidanau tidak dikelola secara
terpadu sebagai satu ekosistem, tapi terpisah-pisah sesuai dengan kewenangan dan
kepentingan masing-masing sektor.
Kondisi ini merupakan implikasi dari pembangunan berbasis sektoral, di
mana keberhasilan program/proyek diukur berdasarkan masukan dana, tahapan,
prosedur dan target sektoral secara kuantitatif. Berdasarkan penuturan pelaksana
teknis UPT Ciomas dan Padarincang, “program pembangunan (kehutanan dan
pertanian) yang berjalan sesuai dengan tahapan, prosedur dan target dianggap
98
tujuannya tercapai, bahkan penyerapan anggaran proyek sesuai dengan tahapan
dan prosedur, menjadi tolok ukur keberhasilan kinerja UPT dan aparatnya.”
Pernyataan itu menunjukkan bahwa dalam pembangunan berbasis sektoral,
masukan dana dan aturan–aturan teknis lebih diutamakan daripada pencapaian
output, perbaikan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat sasaran.151
Dampak
lebih lanjutnya adalah pencapaian target secara kuantitatif dan penyerapan
anggaran, lebih diutamakan daripada pencapaian keberhasilan secara kualitatif,
seperti perbaikan sosial ekonomi masyarakat. Kondisi ini secara jelas tergambar
dari dokumen perencanaan pembangunan pertanian dan kehutanan yang disusun
oleh UPT Pertanian dan Kehutanan Kecamatan Ciomas dan Padarincang.
Pengukuran kinerja instansi sektoral berdasarkan capaian dan target
kuantitatif, mengakibatkan program kerja pelaksana teknis di tingkat kecamatan
cenderung seragam, kurang memperhatikan karakteristik dan potensi ekonomi
wilayah kerja UPT serta peran partisipasi masyarakat. Akibatnya sebagian besar
program pembangunan pertanian dan kehutanan di wilayah ini dapat dikatakan
“tidak meninggalkan bekas”. Indikasinya adalah masyarakat sasarannya tidak
mengalami perbaikan sosial dan ekonominya. Keberhasilan kinerja dari
pendekatan sektoral dalam pembangunan dapat diilustrasikan: Bila kesejahteraan
masyarakat, dapat diwujudkan melalui tata kelola sumberdaya agraria berbasis
masyarakat sebagai suatu ruang terisi penuh, maka pendekatan sektoral tidak
pernah dapat mengisi ruang secara penuh. Ruang kosong yang belum terisi itulah
kesejahteraan rakyat yang tidak menjadi target pembangunan sektoral.
Dalam diskusi terfokus bersama instansi terkait dan tokoh masyarakat,
permasalahan yang ditimbulkan dari kontestasi sektoral dalam pembangunan di
wilayah DAS Cidanau diidentifikasi sebagai berikut:
Pertama pengukuran kinerja sektoral secara kuantitatif (seperti persentase
penyerapan anggaran, volume kegiatan dan jumlah sasaran suatu program),
mengakibatkan banyaknya program dan anggaran yang dikeluarkan tidak
berkorelasi dengan besaran manfaat dan kegunaannya bagi masyarakat. Sejauh
mana program masing-masing sektor meningkatkan taraf hidup masyarakat
151 Uraian tentang pendekatan sektoral lihat Sayuti Hasibuan, 1997. Pendekatan Pelaksanaan
Dalam Pembangunan. Jakarta: Lembaga Pengkajian Pembangunan Nasional.
99
kurang diperhitungkan. Sehingga keberhasilan pembangunan sektoral tidak
bersentuhan dengan kepentingan masyarakat. Masyarakat hanya sebagai obyek
dan dipandang tidak memiliki pengetahuan dan kepentingan terhadap
pembangunan.
Kedua pembangunan ekonomi dan pemberdayaan masyarakat
berdasarkan “pendekatan proyek,” menyebabkan keberhasilan dan keberlanjutan
program ditentukan oleh ketersediaan anggaran. Meskipun anggaran diperlukan,
tetapi ketergantungan program pemberdayaan masyarakat pada anggaran,
mengabaikan faktor lainnya, yakni sumberdaya manusia, modal sosial dan
partisipasi masyarakat.
Ketiga dengan alasan teknis administratif, pelaksanan pembangunan
bersifat top down dan diikuti dengan pembentukan kelembagaan baru yang
bersifat substitusi. Kelembagaan bentukan pemerintah yang terdapat di pedesaan
disajikan pada tabel 7.
Tabel 7. Kelembagaan Bentukan Pemerintah di Wilayah Pedesaan
No Instansi Induk/Pusat Kelembagaan Sektoral Bentukan Pemerintah
1 BKKBN KUBER (Pra Koperasi)
2 Koperasi dan UKM KUD, Kelompok Usaha Bersama, BDS
3 Kementerial Sosial Kelompok Usaha Bersama (KUBE)
4 Kementerian PU Petani Pemakai Air
5 Kementerian Kehutanan Kelompok Tani Hutan (KTH) dan LMDH
6 Kementerian Pertanian Kelompok Tani, Gapoktan, LUEP
7 Kementerian Dalam Negeri Badan Usaha Milik Desa (BUMDes)
8 Badan Ketahanan Pangan Lembaga Distribusi Pangan Masyarakat Diolah dari sumber primer.
Pembentukan kelembagaan baru di tengah masyarakat, terkait dengan
pemahaman pemangku otoritas terhadap keberadaan kelembagaan lokal sebagai
anak tiri dan tidak diinginkan orphan factor.152
Pembentukan kelembagaan baru
di tengah masyarakat, menyebabkan ruang spasial dan sosial pedesaan disesaki
oleh kelembagaan bentukan dan perpanjangan supra desa. Penetrasi kelembagaan
sektoral terhadap wilayah pedesaan berdampak negatif terhadap kemandirian dan
keswadayaan masyarakat pedesaan. Desa sebagai wilayah otonom kehilangan
152 Lihat Suradistra, 2006. “Revitalisasi Kelembagaan Untuk Percepatan Pembangunan Sektor
Pertanian Dalam Otonomi Daerah”. Makalah orasi ilmiah pengukuhan peneliti utama sebagai
profesor riset bidang sosiologi pertanian. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian.
100
otonomi dan kemandiriannya. Kondisi inilah yang disebut penulis sebagai
kapitalisasi sumberdaya pedesaan. Desa sebagai wilayah otonom, dalam
kenyataan empirik, ditempatkan sebagai struktur pemerintahan terendah dan
menjadi obyek intervensi kekuatan ekonomi supra lokal yang berakibat
meningkatnya ketergantungan desa pada pemerintah pusat dan lemahnya
keswadayaan masyarakat. Aparat desa memaknai kehadiran kelembagaan supra
lokal di wilayahnya sebagai beban rumah tangga pedesaan. Karena Pemerintah
Desa dipaksa membantu program sektoral, sementara kemampuan keuangan dan
sumberdayanya terbatas.
Pendekatan pembangunan sektoral, tidak hanya mengakibatkan lemahnya
kordinasi dan sinergi antar sektor, tetapi juga berlangsung dalam internal sektor,
misalnya pengelolaan bantuan sosial yang dikelola Kementerian Pertanian.
Masing-masing direktorat di kementerian itu memiliki program dan kelembagaan
sendiri di wilayah pedesaan, seperti terlihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Program & Pengelola Bantuan Sosial Kementerian Pertanian di
Pedesaan No Direktorat Nama Program Pengelola
1 Sekretarit Jenderal Pengembangan Usaha Agribisnis Pertanian Gapoktan
2 Ditjen Tanaman Pangan Penguatan Kelembagaan Ekonomi Petani LM3
3 Ditjen Hortikultura Penguatan Modal Usaha Kelompok (PMUK) LM3
4 Ditjen Peternakan Penguatan Modal Usaha Kelompok (PMUK LM3
5 Ditjen Perkebunan Penguatan Modal Usaha Kelompok (PMUK LM3
6 Ditjen Pengolahan & Pe
masaran Hasil Pertanian
Penguatan Kelembagaan Ekonomi Petani LM3
7 Badan Pengemb. SDM Bantuan Langsung Masyarakat LM3 Model
8 Bdan Ketahanan Pangan LUEP
6.3. Kontestasi Lokal Supralokal
Kontestasi lokal supralokal yang berlangsung di lokasi penelitian
mencakup dimensi nilai, organisasi dan orientasi perilaku individual. Dari tiga
dimensi tersebut yang menonjol dua hal yakni holistik versus reduksionis dan
konflik agraria tenurial.
6.3.1. Holistik Versus Reduksionistik
Kontestasi kelembagaan lokal supralokal dapat ditelusuri dari peraturan
perundang-undangan tata kelola sumberdaya agraria yang dikeluarkan
pemerintah, seperti yang terkandung dalam Undang-Undang Kehutanan No. 41
101
Tahun 1999 dan Undang-Undang Sumberdaya Air nomor 7 tahun 2004. Kedua
undang-undang mereduksi sumberdaya agraria, hanya sebagai komoditi ekonomi
yang dieksploitasi untuk menopang pertumbuhan ekonomi tanpa memperhatikan
kesejahteraan masyarakat.
Dalam Undang-Undang Kehutanan No. 41 Tahun 1999 dinyatakan bahwa
hutan adat merupakan bagian hutan negara. Ketentuan ini tidak memberikan rasa
aman (unsecured tenure), kepada masyarakat sekitar hutan, karena mereka didera
rasa khawatir terus menerus hak atas daerah leluhur dan hak kepribumiannya.153
Undang-Undang Kehutanan tidak mengatur secara jelas pengakuan terhadap
hutan adat/ kelembagaan komunitas sekitar hutan. Demikian halnya Undang-
Undang Sumberdaya Air Nomor 7 tahun 2004, semangatnya mereduksi
sumberdaya air menjadi komoditi semata-mata. Jika dibandingkan dengan UU
No.11/1974 tentang Pengairan, UU nomor 7 tahun 2004 lebih komprehensif.
Hanya saja Undang-undang No. 7 tahun 2004 mengatur soal peran dan
keterlibatan swasta secara luas dan privatisasi sumberdaya air.154
Penguasaan sumberdaya air oleh swasta (nasional dan multinasional)
mengakibatkan posisi masyarakat termarginalkan. Fenomena ini terlihat dari
pengusahaan sumberdaya air oleh perusahaan air minum kemasan di kawasan
DAS Cidanau. Pemerintah hanya memperhatikan nilai pajak dan retribusi dari
pengusahaan air, sedangkan masyarakat di sekitar sumberdaya air tidak mendapat
kompensasi, akses sosial dan ekonominya diabaikan. Padahal kualitas dan debet
air yang dieksploitasi perusahaan dan pajaknya dipungut Pemerintah, ditentukan
oleh praktik sistem olah tanah konservasi masyarakat di sekitarnya.
Kontestasi kelembagaan lokal-supra lokal juga mengemuka dalam diskusi
berfokus di mana masing-masing pemangku kepentingan memiliki pandangan
dalam melihat masalah, cara mengatasinya dan bentuk pengelolaan DAS.
Pandangan para pemangku kepentingan (aktor) di tingkat lokal. Aktor yang
153 Ini terkait dengan visi dan orientasi pengelolaan hutan pada timber extraction untuk menopang
pertumbuhan ekonomi tetapi mengabaikan hak sosial ekonomi komunitas sekitar hutan yang
memiliki sejarah sebelum berdirinya Rebublik Indoensia. Simon, H. 1999. Pengelolaan Hutan
Bersama Rakyat: Teori dan Aplikasi Pada Hutan Jati di Jawa. Yogyakarta: Bigraf Publishing.
154 Privatisasi merupakan salah satu strategi neoliberalisme untuk memudahkan transaksi uang dan
barang melalui mekanisme pasar yang memungkinkan perusahaan multi-nasional menguasai
sumberdaya air. Lihat J. Bradford Delong, “Globalization” and “Neoliberalism” downloaded from
http://con161 berkleley.edu/Econ_ Articles/Rrevie. at October 24.2009.
102
terlibat dalam kontestasi di tingkat lokal – regional adalah Pemerintah Kecamatan,
UPT DAS, LSM, tokoh masyarakat dan Kelompok Tani Hutan.
Aparat Kecamatan memandang bahwa masalah DAS Cidanau adalah
kemiskinan, lemahnya visi dan aplikasi pengelolaan DAS secara terpadu antara
hulu dan hilir. Menguatnya kepentingan sektoral dan ego kedaerahan
mengakibatkan tidak terkoordinasinya antara hulu dan hilir. Hal senada
dikemukakan oleh staf UPT DAS Cidanau. Menurutnya masalah DAS Cidanau
adalah adanya jarak antara visi pembangunan berkelanjutan dengan praktik di
lapangan. Pembangunan kehutanan berkelanjutan baru perlu didukung
sumberdaya manusia yang kompeten dan ditunjang oleh dana yang memadai,
seperti terbatasnya dana untuk reboisasi dan pengembangan SDM. Dua masalah
ini menjadi kendala untuk melaksanakan pengelolaan DAS yang terpadu.
Menurut LSM Rekonvasi Bumi, masalah DAS Cidanau adalah kuatnya
ego-sektoral dan rendahnya kemauan politik pemerintah dalam pengelolaan DAS
secara partisipatif. Sedangkan tokoh masyarakat dan pengurus kelompok tani
hutan memandang masalah DAS Cidanau bersumber dari ketidakkonsistenan dan
rendahnya perhatian pemerintah terhadap pemberdayaan ekonomi di hulu DAS.
Perbedaan melihat masalah DAS berimplikasi pada cara dan usaha mengatasi
masalah DAS. Menurut Kecamatan kerusakan hulu DSAS Cidanau dapat
dilakukan melalui pemberdayaan ekonomi dan pengembangan agroforestry
dengan melibatkan swasta. Untuk meningkatkan koordinasi antara hulu dan hilir
dapat dilakukan dengan meningkatkan peran Pokja dan Sekretariat Bersama
Pemerintah. Menurut UPT DAS usaha mengatasi masalah DAS dilakukan dengan
perbaikan tata ruang/tata guna tanah dan penegakan hukum; dan peningkatan
alokasi dana reboisasi, pembangunan terasering, perbaikan tebing kritis dan
pembangunan civil teknis. Menurut Rekonvasi Bumi, untuk mengatasi masalah
DAS Cidanau memerlukan komitmen dan aksi politik pemerintah untuk
mewujudkan pengelolaan DAS berkelanjutan dan partisipatif. Sedangkan tokoh
masyarakat dan kelompok tani hutan memandang, komitmen dan konsistentensi
pemerintah untuk mewujudkan tata pengelolaan DAS partisipatif, dapat dilakukan
melalui pemberdayaan ekonomi masyarakat dan pengembangan usaha tani
konservasi dan kolaborasi masyarakat dengan pemerintah.
103
Perbedaan pemangku kepentingan atau aktor dalam melihat masalah
DAS Cidanau juga berpengariuh terhadap bentuk kelembagaan atau tata
kelolanya. Aparat Kecamatan memandang perlunya political action untuk
mewujudkan keterpaduan hulu dan hilir dalam pengelolaan DAS, melalui
penguatan kelembagaan DAS. Hal senada dikemukakan oleh staf UPT DAS, yang
memandang perlunya peningkatan kapasitas kelembagaan DAS, koordinasi antar
sektor dan penguatan Forum Komunikasi DAS Cidanau. Sementara tokoh
masyarakat menghendaki DAS Cidanau dikelola secara terpadu yang melibatkan
masyarakat, kemitraan hulu dan hilir dan dialog demokratis yang setara dan
berkelanjutan.
6.3.2. Konflik Tenurial
Konflik agraria di kawasan DAS Cidanau (Desa Citaman dan di Cagar
Alam Rawa Danau) merupakan pertentangan antara komunitas petani dengan
perusahaan dan pemerintah. Para pihak yang terlibat konflik mengklaim dan
memperjuangkan kepentingan atas objek agraria yang sama, tetapi dari sumber
hukum yang berbeda. Pengembang mengklaim bahwa penguasaannya atas
sejumlah area tanah di kaki Gunung Karang sah secara hukum, sesuai izin yang
dikeluarkan Pemerintah Daerah. Pengembang yang memiliki legalitas formal
mengklaim bahwa leuweung bukaan merupakan tanah negara, sehingga hak
pemilikan dan penguasaannya gugur dan melanggar hukum. Atas dasar itu
pengembang merampas dan memancang patok tanah petani.155
Tindakan sepihak pengembang mendapat perlawanan petani. Petani
mengklaim bahwa tanah yang dikuasainya berdasarkan hak kesejarahan, hak
sosial, dan “hak kepribumian” yang telah berlangsung secara turun temurun, jauh
sebelum terbentuknya negara kesatuan Republik Indonesia. Hak kesejarahan dan
“hak kepribumian” terhadap sumberdaya agraria pada komunitas kajaroan
memiliki fungsi dan kedudukan sebagai hak ulayat.156
Karena itu konflik agraria
155 Terdapat dugaan kuat bahwa klaim sepihak pengembang atas leuweung bukaan di wilayah
Citaman dilakukan melalui konspirasi dengan aparat terkait. Di tengah komersialisasi tanah
penguasaan tanah sekitar 50 ha untuk mengembangkan usaha agrowisata memerlukan investasi yang besar. Diolah dari sumber primer.
156Hak ulayat diakui UU Pokok Agraria No. 5 tahun 1960 dan UU Kehutanan No. 41 tahun 1999
sepanjang menurut kenyataannya memang masih ada. Pemerintah menilai masyarakat hukum adat
104
di wilayah Citaman dikategorikan sebagai konflik tenurial, 157
yakni pertentangan
klaim terhadap obyek agraria yang sama berdasarkan hukum yang berbeda,
hukum positif berhadapan dengan hukum adat. Penguasaan komunitas atas
sumberdaya agraria telah berkembang jauh sebelum negara Indonesia berdiri,
sehingga memiliki hak kesejarahan dan kepribumian. Menurut petani tanah
merupakan kebutuhan dasar (basic need) pemenuhan tanah sebagai bagian dari
pemenuhan hak azasinya dan sekaligus sebagai public good yang pemanfaatannya
harus dapat diakses oleh petani.
Bagi petani, tanah yang dikuasainya merupakan sumber nafkah, tempat
kelahiran dan kematian, budaya bahkan religi. Hak tenurial atas tanah yang
dikuasai penduduk berasal dari berbagai perolehan hak dan peralihan hak, seperti
warisan, pembelian dan pembukaan leuweung bukaan sebelum kemerdekaan.
Menurut sejumlah informan, tanah yang dikuasai penduduk merupakan leuweung
bukaaan, warisan buyut (leluhur) yang telah berlangsung sejak masa kolonial
Belanda dan diakui pemerintah berdasarkan Kebijakan Tata Guna Hutan
Kesepakatan. Klaim pengembang bahwa tanah yang dikuasai petani sebagai tanah
negara merupakan bentuk pengingkaran terhadap hak kesejarahan dan hak
kepribumian.
Dari penggalian informasi di lapangan, diketahui alasan pemerintah daerah
mengeluarkan surat izin hak guna usaha pada pengembang didasarkan atas
pemahaman bahwa hak turun temurun, hak kepribumian atau hak ulayat yang
berada di tangan penduduk telah “diangkat" dan digantikan menjadi hak ulayat
yang dipegang oleh negara sebagai organisasi kekuasaan tertinggi di Indonesia.
Komunitas petani bukan masyarakat hukum adat dan bukan subjek hukum,
sehingga tidak memiliki hak penguasaan dan kekayaan yang diatur dalam KUHP.
Akibat kedua belah pihak tetap kukuh pada pendiriannya, konflik agraria
kenyataannya sudah tidak ada lagi, implikasinya hak ulayat dianggap tidak ada. Pandangan ini
menjadi sikap pemerintah dalam menanggapi “hak tradisi’ dan hak kepribumian penguasaan dan
pemilikan tanah oleh komunitas petani.
157 Uraian tentang hak tenurial lihat Ton Diez, Ton. 1998. Pengakuan Hak Atas Sumberdaya Alam.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar-Insist-Remedec.
105
menjadi tak terhindarkan. Dari segi eskalasinya bersifat lokal-regional,158
para
pihak yang terlibat konflik terbatas pada wilayah Kecamatan Ciomas. Para petani
yang tanahnya diklaim oleh pengembang turun ke jalan, dalam aksinya mereka
menggunakan atribut hitam putih, sebagai simbol kebersihan protes
mempertahankan hak tanah yang dikuasainya.159
Prosesnya berlangsung sekitar
tiga bulan dari April sampai Juni 1997. Sejumlah informan yang terlibat dalam
aksi demonstrasi menyatakan, aksi-aksi massa petani tidak sempat menimbulkan
korban, karena pada saat aksi berlangsung, pihak pengembang menahan diri
dengan menarik stafnya dari wilayah tanah yang disengketakan. Petani hanya
mendapat teror dan intimidasi dari pengembang dan aparat keamanan secara terus
menerus sampai jatuhnya Presiden Soeharto bulan Mei 1998.
Perjuangan petani mempertahankan haknya atas tanah, tidak terbatas
dalam bentuk aksi demonstrasi, tetapi juga sesuai dengan keyakinannya disertai
penyelenggaraan shalat jenazah (kematian) tujuh malam berturut-turut.
Perjuangan petani secara “batin” melalui shalat jenazah menunjukkan dua hal:
pertama tanah merupakan kebutuhan ekonomi yang bersifat azasi buat petani
sehingga harus dibela sampai mati. Kedua mempertahankan penguasaan tanahnya
merupakan hak (kebenaran), karena itu ketika haknya dipersoalkan dikembalikan
dan minta bantuan kepada Yang Maha Pemilik Hak. Keyakinan petani bahwa
tanah yang dikuasainya sebagai hak dan kebenaran, kemudian menjadi kenyataan.
Perjuangannya membuahkan hasil, sekitar empat puluh hari setelah selesai shalat
jenazah atau tiga bulan setelah jatuhnya Rezim Orde Baru diperoleh informasi
pemilik perusahaan pengembang meninggal dunia.
Informasi kematian pemilik pengembang disambut gembira oleh penduduk
Desa Citaman. Kabar meninggalnya pengembang di tengah rezim transisi,
disambut suka cita, menumbuhkan semangat baru, karena petani memiliki
amunisi dan darah segar untuk mempertahankan hak sosial ekonomi atas tanah
158 Data tentang konflik agraria yang eskalasinya lokal dapat dilihat dari Statistik Potensi Desa,
BPS 2003. Dari 69.000 desa/kelurahan yang di data pada tahun 2002, dilaporkan terjadi konflik
lokal pada sekitar 4.872 desa/kelurahan (7%). Lihat Statistik Potensi Desa, BPS, 2003.
159 Dalam aksinya pengunjuk rasa sering meneriakkan: “Jangan sebut tanah leluhur Kajaroan
kalau tanah kami dirampas secara sewenang-wenang”. “Bebaskan kami dari PBB (Pajak Bumi dan
Bangunan) jika tanah leluhur tidak diakui”. “Hentikan perampasan tanah leluhur.” Dituturkan oleh
narasumber
106
yang telah lama dikuasainya. Kegembiraan tersebut diwujudkan dalam bentuk
syukuran dan liliuran pada tanah yang telah diklaim oleh pengembang yang
melibatkan sekitar 60 orang petani bersama keluarganya. Kegiatan liliuran
merupakan titik puncak perjuangan petani untuk memperjuangkan tanah sebagai
hak sosial ekonomi dan kepribumian penduduk.160
Dalam diskusi dengan masyarakat timbul kesadaran, bahwa konflik agraria
di Desa Citaman dipicu oleh kebijakan agraria betting on the strong. Bagi petani
konflik tersebut, bukan hanya menegangkan, menyengsarakan dan menimbulkan
trauma tetapi juga mengancam aset produktifnya, yakni tanah dan hampir
merenggut keselamatan jiwanya. Pengabaian hak sosial ekonomi komunitas dan
keberpihakan Pemda pengembang, mengakibatkan petani mengalami tindak
kekerasan, penindasan dan penyingkiran.
Konflik agraria di wilayah desa Citaman disebabkan pelaksanaan politik
agraria pemerintah daerah, tidak berdasarkan horizon yang luas (menjamin
kepentingan, akses dan kesejahteraan rakyat) tetapi bersifat sektoral dan mengarah
pada upaya pelestarian kepentingan sempit, yakni peningkatan asli daerah.
Pengembangan kawasan ekowisata dengan mencaplok tanah masyarakat,
merupakan bentuk ketidakpedulian pemerintah terhadap nilai dan fungsi tanah
bagi petani. Pemerintah lebih mengedepankan preferensi ekonomi daripada
pemberdayaan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Sehingga tidaklah
berlebihan bila masyarakat menuduh, pemerintah menghidupkan kembali politik
agraria kolonial karena menegasikan hak-hak rakyat dan bukan melindunginya.
6.4. Kontestasi Internal Komunitas
Kontestasi dalam internal komunitas sebagai akibat langsung dan tidak
langsung proses interaksi, adaptasi dan modernisasi yang masuk ke wilayah
pedesaan. Penetrasi supra lokal terhadap kelembagaan lokal mendorong adanya
perbedaan orientasi keagamaan, afiliasi politik dan konflik kepemimpinan serta
pertarungan antar warga mendapatkan jasa lingkungan.
160 Konflik tenurial di wilayah Desa Citaman berakhir dengan heavy ending, karena konflik terjadi
di tengah ephoria demokrasi, jatuhnya Orde Baru yang mengakibatkan pengembang kehilangan
mantera dan dukungan politik, sebaliknya petani memiliki darah segar untuk melawan pihak yang
telah merampas tanahnya. Diolah dari Sumber Primer.
107
6.4.1. Perbedaan Orientasi Keagamaan
Perbedaan orientasi paham keagamaan di lokasi penelitian terjadi antara
penganut paham kolot (konservatif) dengan paham modern, reformis atau
pembaharuan. Perbedaan antara keduanya, berkisar pada masalah kedudukan
manusia, hubungan agama dan politik, agama dan kebudayaan dan perbedaan aliran
keagamaan.161
Jika dikaji perbedaan tersebut bersumber dari perbedaan metodologi
yang digunakan untuk memahami doktrin/ajaran agama. Metodologi yang
digunakan kaum modernis adalah pemikiran rasional dengan cara membaca dan
menafsirkan secara langsung Al-Qur’an dan Hadist. Metodologi ini dipilih kaum
reformis, karena menurut mereka setiap orang memiliki kebebasan untuk
menafsirkan kitab suci sesuai dengan kapasitas intelektualnya. Taklid (pengikut
pasif) dan bertindak menjadi pengikut mazhab (aliran) Syafii, Maliki, Hambali
atau Hanafi, menurut kaum modernis dipandang sebagai perbuatan kurang terpuji
dan tidak mensyukuri karunia Tuhan yang telah menganugrahkan akal pikiran
kepada manusia. Salah satu bentuk mensyukuri nikmat Tuhan adalah
menggunakan akal pikiran dalam mengkaji Al-Qur’an dan Sunnah.
Pemahaman ini kontras dengan pandangan penganut paham konservatif
yang senantiasa merujuk pada hasil pemikiran ulama besar pendiri mazhab.162
Menurut paham konservatif, ajaran dan pesan-pesan Kitab Suci Al-Qur’an dan
Sunnah Rasul, hanya bisa dipahami dan ditafsirkan oleh orang-orang terpilih, para
ulama yang telah mendapat hidayah dari Tuhan. Metodologi pemahaman secara
demikian, didasarkan pemikiran terbatasnya kemampuan manusia (biasa)
memahami Ajaran Islam, (Al-Quran dan Sunnah Rasul). Menurut mereka bila
manusia yang memiliki kemampuan terbatas, menafsirkan langsung Al-Quran dan
Sunnah Rasul, berpeluang besar menimbulkan salah tafsir dan sesat pikir, bahkan
menyimpang dari fitrah dan substansi Ajaran Islam. Atas dasar itu, penganut
konservatif, memandang patuh atau taqlid pada pemikiran mazhab merupakan
kebaikan untuk memelihara kesucian ajaran Islam.
161 Geertz mengidentifikasi perbedaan paham keagamaan abangan dengan santri atas lima hal: (1)
takdir dan ikhtiar, (2) totalistik dan terbatas, (3) sinkritik dan pemurnian (4) pengalaman
keagamaan dan perilaku keagamaan (5) adat-mazhab dan pragmatisme dan rasionalisme. Lihat Clifford Geertz, 1983, Abangan, Santri Priyayi Dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya.
162 Aliran atau mazhab yang dianut sebagian besar umat Islam di Indonesia adalah mazhab Syafi’i,
penganut mazhab selain mazhab Syafii disebut wahabi (pembaharu).
108
Perbedaan metodologi yang digunakan untuk memahami sumber ajaran
(Al-Quran dan Sunnas), mengakibatkan perbedaan pandangan mengenai
kedudukan dan posisi manusia. Kedudukan manusia seperti kaya atau miskin,
hidup dan kematian, menurut kelompok konservatif, telah ditakdirkan
(ditentukan) sebelum manusia lahir ke dunia. Panjang dan pendeknya umur
manusia, kapasitas dan ruang gerak manusia di dunia dibatasi takdir Tuhan.
Seorang informan mengilustrasikan pengertian takdir sebagai berikut:
“Nasib manusia tak ubahnya seperti wayang dalam sebuah pertunjukkan kesenian
rakyat. “Naik turunnya wayang ke pentas pertunjukkan ditentukan oleh Dalang.
Dalang memiliki kuasa penuh untuk menentukan bagaimana dan kapan wayang
dipentaskan, apakah pada permulaan atau akhir dari suatu pertunjukan. Peran
manusia di dunia tak ubahnya seperti wayang, nasibnya ditentukan oleh Yang Maha
Menentukan, Allah SWT.”
Kedudukan manusia yang dipahami penganut kaum konservatif, kontras
dengan yang dianut oleh kaum modernis. Menurut penganut modernis manusia
memiliki ruang gerak yang bebas tetapi kebebasannya dibatasi ikhtiar (kerja keras
yang optimal). Kaya miskin seseorang, hidup dan kematian memang telah
digariskan, tetapi dapat diperbaiki atau dirubah melalui proses ikhtiar.
Kemiskinan seseorang dapat diperbaiki dengan berusaha, kerja keras dan berdo’a.
Demikian juga penyakit yang diderita seseorang dapat diobati dan disembuhkan
melalui berbagai cara, (medis, pengobatan tradisional atau pengobatan alternatif).
Seorang informan mencontohkan tentang demam berdarah yang disebabkan gigitan
nyamuk yang berakibat kematian seseorang. Kematian tersebut dapat dicegah, bila
dilakukan ikhtiar melalui pencegahan dini dan pengobatan yang tepat.
Perbedaan paham konservatif dan modernis juga terlihat dari pemahaman
mereka tentang makna dan fungsi agama dalam kehidupan masyarakat. Bagi
modernis, agama dimaknai bukan hanya mengatur hubungan manusia dengan
Tuhan atau urusan ibadah semata-mata, tetapi mengatur urusan ekonomi dan
politik (negara). Berpolitik, menyampaikan amar (seruan untuk bertindak adil dan
bersikap hikmat) dan ma’ruf, (bujukan untuk berbuat kemaslahatan umat) kepada
amir (pemerintah) merupakan bagian tak terpisahkan dari pelaksanaan ajaran
Islam. Sebaliknya penganut faham konservatif lebih menekankan pada aspek
ibadat, kesalehan sosial dan kesalehan individual. Dalam hubungannya warga
negara dengan negara, kaum konservatif memandang kewajiban warga negara
109
adalah sami’na wa ath’na (mendengar dan patuh pada penguasa) daripada terlibat
dalam politik praktis. Mereka memahami agama sebagai urusan manusia dengan
Tuhannya dan agama terpisah dari kehidupan politik.
Perbedaan paham modernis dan konservatif juga merembes dalam
berbagai acara ritual keagamaan dan praktik kelola sumberdaya agraria. Dalam
penyelenggaraan ritual keagamaan kelompok konservatif cenderung
mensinkretiskan unsur agama dengan adat/ tradisi. Pembacaan tahlil, dzikir dan
do’a dalam acara selamatan sering diikuti dengan pembakaran kemenyan. Acara
selamatan secara demikian oleh kelompok modernis dipandang sebagai
dinamisme dan bid’ah (inovasi ritual terlarang). Ritual agama tidak boleh
bercampur baur dengan adat/tradisi.
6.4.2. Afiliasi Politik dan Konflik Elit
Afiliasi warga terhadap partai politik tercermin dalam pemilihan umum
tahun 2009 terutama untuk pemilihan anggota legislatif Kabupaten Serang. Dalam
masa kampanye afiliasi politik ditunjukkan dari pemasangan dan pemakaian atribut
partai politik yang menjadi afiliasinya seperti kaos dan bendera partai politik.
Menurut penuturan informan, afiliasi politik warga dalam pemilihan umum tidak
berkaitan dengan paham keagamaan yang dianutnya, pilihan politik seseorang tidak
dipengaruhi oleh paham keagamaannya. Sehingga afiliasi warga dengan partai
politik, tidak menyebabkan pengelompokan sosial.
Dari penggalian informasi di lapangan, diketahui bahwa pilihan dan
afiliasi warga pada partai politik dalam pemilihan umum bulan April 2009,
didasarkan atas pertimbangan: (1) mengikuti pilihan partai politik orang yang
ditokohkan/dihormati, (2) tokoh/pemimpin partai politiknya populer, (3) partai
politik yang memiliki kepedulian sosial, (4) partai politik yang menjadi simbol
perlawanan dan pembelaan wong cilik, (5) partai politik yang mengusung nilai
agama (Islam), (6) partai politik yang memperjuangkan kesejahteraan petani.
Fenomena ini menunjukkan dua hal: pertama terjadi pergeseran sumber
opini yang mempengaruhi masyarakat pedesaan atas afiliasi politik dalam
pemilihan umum. Bila sebelumnya afiliasi politik dipengaruhi dan ditentukan
tokoh masyarakat sebagai pembentuk opini, dewasa ini afiliasi politik penduduk
110
pedesaan dalam pemilihan umum dipengaruhi oleh terpaan informasi media audo
visual. Informasi partai politik yang disiarkan oleh media televisi, cukup efektif
membentuk opini masyarakat pedesaan untuk menentukan afiliasi politiknya
secara bebas.
Kedua perubahan orientasi dan afiliasi politik masyarakat pedesaan dalam
pemilihan umum, tidak lagi terpolarisasi atas ideologi tertentu163
(nasionalis dan
religius), tetapi cenderung lebih pragmatis. Kondisi ini menyebabkan perbedaan
afiliasi politik dalam pemilihan umum, tidak menimbulkan ketegangan-
ketegangan sosial dalam masyarakat. Sejumlah warga menyatakan, afiliasinya
dengan partai politik tertentu tidak didasarkan ikatan ideologis tetapi atas dasar
pertimbangan sosiologis, seperti terungkap dari pernyataan seorang warga sebagai
berikut: “afiliasi politik warga dalam pemilihan umum mengikuti pandangan
orang yang dihormatinya seperti tokoh masyarakat, orang tua, majikan dan orang-
orang yang berbuat baik serta informasi dan obrolan yang berkembang dalam
ajang-ajang sosial yang berlangsung secara informal”.
Pergeseran afiliasi politik masyarakat pedesaan tak terlepas dari
penghapusan kebijakan massa mengambang (floating mass), yang memungkinkan
partai politik memiliki kepengurusan pada tingkat desa. Meskipun demikian
tidak berarti partai politik berbasiskan ideologi kehilangan pengaruhnya di
pedesaan. Partai politik yang berbasiskan ideologi agama, masih mendapat ruang di
tengah masyarakat, terutama partai politik berbasis agama yang memiliki
perpanjangan tangan sampai ke wilayah pedesaan dan partai politik yang mampu
mengemas isu yang relevan dan menarik masyarakat164.
Afiliasi politik yang menimbulkan ketegangan terjadi dalam pemilihan
Kepala Desa, seperti pemilihan Kepala Desa Citaman. Antara pro dan kontra
terhadap calon Kepala Desa pada waktu dan hal tertentu terjadi ketegangan dalam
intensitas yang relatif tinggi. Dari penggalian informasi dengan narasumber,
ketegangan sosial tersebut disebabkan faktor sebagai berikut:
163Dari penelitian di Mojokuto Geertz, menyimpulkan bahwa terdapat hubungan antara paham
keagamaan dengan afiliasi partai politik. Penganut modernism (Muhammadiyah) berafiliasi
dengan partai Masyumi dan penganut konservatif (NU) untuk memilih PNI. Lihat Clifford Geertz,
1983, Abangan, Santri Priyayi Dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya. 164
Menurut informan partai politik dalam kategori ini antara lain Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
dan Partai Golkar.
111
Pertama hiruk pikuk politik dalam pemilihan Kepala Desa melibatkan
kepentingan sosial ekonomi warga secara langsung dan kongkrit, seperti
pengurusan KTP dan PBB, bantuan Raskin, kompor GAS, Askeskin, pelayanan
kesehatan dan bantuan sarana produksi pertanian. Pihak yang mendapat
kemudahan dan bantuan dari Kepala Desa cenderung membela Caleg Kepala
Desa incumbent (petahana), sebaliknya mereka yang pernah dipersulit atau tidak
mendapatkan bantuan, bersikap kontra terhadap Kepala Desa incumbent. Berbeda
dengan pemilihan anggota legislatif dan Presiden, hanya melibatkan kepentingan
semu warga. Hasil akhir pertarungan dalam pemilihan badan legislatif dan
Presiden, tidak bersentuhan langsung dengan kepentingan dan perbaikan
kesejahteraan masyarakat. Informan mengumpamakan pihak-pihak yang
bersitegang dalam pemilihan badan legislatif dan Presiden sebagai “perebutan
pepesan kosong.”
Kedua afiliasi politik warga dalam pemilihan kepala desa melibatkan elit desa
termasuk tokoh agama. Keterlibatan pemimpin informal dan kharismatik seperti
kiai, menyebabkan pemilihan kepala desa melibatkan dimensi psikologis dan
emosial warga. Dalam pemilihan Kepala Desa Citaman keterlibatan kiai sebagai
pembentuk opini, cukup efektif mendongkrak perolehan suara Kepala Desa yang
dijagokannya.
Ketiga sejalan dengan semakin banyaknya program pembangunan pedesaan dan
otonomi daerah, kedudukan Kepala Desa semakin penting secara politik dan
ekonomi. Makna strategis kedudukan Kepala Desa, terlihat dari upaya yang
dilakukan oleh incumbent dan pesaingnya untuk mengerahkan segenap
sumberdaya ekonomi dan politik, termasuk penggunaan politik uang untuk
memenangkan pemilihan Kepala Desa, seperti dituturkan informan sebagai
berikut:
“Permainan politik uang” dalam pemilihan Kepala Desa dilakukan secara tertutup
atau terbuka yang dikoordinir tim sukses masing-masing. Nilai “transaksi suara”
bervariasi, berkisar Rp 10.000,- s/d Rp. 50.000,-. Calon Kepala Desa yang mampu
“membeli suara pemilih” yang lebih besar berpeluang menang lebih besar.”
Maraknya politik uang dalam pemilihan Kepala Desa karena berkembangnya
fenomena, dimana warga sebagai pemilih merasa dirinya berhak “menjual suara”
sementara calon kades merasa berhak “membeli suara pemilih” sesuai dengan
kemampuannya.”
112
Pernyataan tersebut memberikan gambaran bahwa ”permainan politik
uang” yang mengemuka pada pentas politik nasional, dewasa ini telah menembus
wilayah pedesaan. Mistifikasi pembangunan ekonomi yang berlangsung pada aras
nasional, berimbas pada proses moneterisasi di masyarakat pedesaan. Indikasinya
adalah meluasnya pemburuan rente ekonomi dan munculnya perilaku masyarakat
yang lebih mengedepankan preferensi ekonomi dari pada nilai agama, sosial
budaya dan keluhuran politik. Maraknya politik uang dalam pemilihan kepala
desa, menunjukkan bahwa warga dalam memberikan hak suara cenderung
pragmatis dan kurang mempertimbangkan kualifikasi status, kompetensi dan
kapasitas calon Kepala Desa yang dipilihnya. Permainan politik uang dalam
pemilihan Kepala Desa yang terjadi di desa Citaman, melainkan juga terjadi di
sejumlah pemilihan kepala desa di wilayah Jawa Tengah seperti dikemukakan
Smith: (1982) 165
“Beberapa tokoh masyarakat memberitahukan bahwa di sejumlah desa, pemilihan
kepala desa seringkali diwarnai oleh cara-cara untuk memperoleh dukungan
melalui pembagian uang kepada calon pemilihnya. Dalam hal ini mereka yang
memberi hadiah paling besar seringkali memiliki peluang pertama untuk
memenangkan pemilihan sebagai calon kepala desa. Calon kepala desa yang
menguasai sumber ekonomi berlebih atau menguasai tanah luas mempunyai
kesempatan yang lebih terbuka untuk dipilih menjadi kepala desa.”
Keempat pertarungan dalam pemilihan Kepala Desa dipicu oleh perebutan
penguasaan tanah kajaroan. Hal ini menunjukkan bahwa dalam pemilihan kepala
desa pertimbangan motif ekonomi (penguasaan tanah) lebih menonjol daripada
kehendak mengabdi membangun membangun desa. Sengitnya perebutan untuk
menguasai tanah kajaroan dan sumber-sumber ekonomi lain, ditunjukkan oleh
dengan “pecahnya kongsi” atau “koalisi” antara Kepala Desa dan Sekretaris Desa,
untuk selanjutnya bertarung dalam pemilihan kepala desa pada periode
berikutnya.
Kelima ketegangan politik akibat pertarungan pemilihan kepala desa
meluas pada hubungan antar kelompok sosial. Ketegangan dipicu oleh pergantian
Sekretaris Desa yang dilakukan oleh kepala desa yang tidak melibatkan Badan
Perwakilan Desa (BPD) dan tokoh masyarakat yang bermukim di bagian atas desa
165 Lihat Theodor Smith (1982) “Kepala Desa: Pelopor Pembaharuan?” dalam Koentjaraningrat
(ed). Masalah-Masalah Pembangunan, Bunga Rampai Antropologi Terapan. Jakarta: LP3ES.
113
(kampung Cibarugbug, Sibopong Landeuh, Sibopong Tengah, Sibopong Girang
dan Pematang). Sebagian besar anggota BPD dan tokoh masyarakat bagian atas,
mengharapkan agar Sekretaris Desa yang mendampingi Kepala Desa adalah M
Bachraini. Beliau dipandang sebagai representasi aspirasi penduduk desa bagian
atas, sehingga struktur politik desa berada dalam keseimbangan.
Sayangnya aspirasi BPD dan masyarakat Desa Citaman bagian atas, tidak
ditanggapi positif dari Kepala Desa terpilih, karena yang diangkat sebagai
Sekretaris Desa adalah keponakan Kepala Desa. Kepala Desa berdalih
pengangkatan keponakannya sebagai Sekretaris Desa, telah memenuhi kualifikasi
persyaratan minimal untuk menjadi perangkat desa, yakni sekurang-kurangnya
berpendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dan/atau berpengetahuan yang
sederajat. Argumen Kepala Desa tidak dapat dipahami oleh BPD dan tokoh
masyarakat, karena Kepala Desa mengabaikan persyaratan lain untuk menjabat
perangkat desa seperti pengalaman dan umur.166
Pengangkatan Sekretaris Desa memang merupakan kewenangan Kepala
Desa, tetapi pengangkatan yang hanya memperhatikan syarat administrasi (tingkat
pendidikan) dengan mengabaikan kompetensi, pengalaman dan aspirasi BPD
merupakan tindakan sewenang-wenang. Kondisi ini mengakibatkan ketegangan
sosial setelah pemilihan Kepala Desa berlanjut dan Kepala Desa dituduh bersikap
nepotis dalam pengangkatan perangkat desa. Berhembusnya isu nepotisme,
menggambarkan semakin pentingnya peran politik dan ekonomi pemerintahan
desa dalam masyarakat pedesaan. Terdapat gejala, di mana ajang perebutan
kekuasaan di wilayah pedesaan, bukan hanya pada kedudukan Kepala Desa, tetapi
meluas dalam jabatan-jabatan birokrasi desa termasuk Sekretaris Desa. Adanya
rencana pemerintah yang akan mengangkat Sekretaris Desa sebagai pegawai
negeri sipil, dapat dipastikan akan menambah sengitnya pertarungan untuk
menduduki jabatan Sekretaris Desa.
166 Dalam UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah pasal 97 disebutkan untuk menjadi
Kepala Desa/perangkat desa adalah penduduk desa warga negara Republik Indonesia yang
memenuhi syarat antara lain: (a) bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; (b) setia dan taat kepada
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; (c) berpendidikan sekurang-kurangnya Sekolah
Lanjutan Tingkat Pertama dan/atau berpengetahuan yang sederajat; (d) berumur sekurang-
kurangnya 25 tahun; (e) mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di desa setempat.
114
6.4.3. Kontestasi Merebut Insentif Jasa Lingkungan
Di wilayah Desa Citaman dan Desa Cibojong, menguatnya kontestasi
politik dalam jabatan Kepala Desa dan Sekretaris Desa, ternyata meluas pada
kelompok tani hutan. Pertarungan antar kelompok tani, berawal dari aktivitas
agroforestry komunitas petani di desa Cibojong dan Citaman berdampak positif
terhadap konservasi tanah dan air yang menghasilkan jasa lingkungan. Jasa
lingkungan yang dihasilkan petani adalah cadangan air dan sumber air baku untuk
memenuhi kebutuhan air bersih masyarakat dan industri strategis di kota Cilegon
(PT Indonesia Power (anak perusahaan PLN) yang menjadi produsen listrik untuk
Jawa dan Bali, industri baja PT Krakatau Steel dan PT. Krakatau Tirta Industri).
Sebagai imbalan atas aktivitas agroforestry yang mendukung pelestarian
ekosistem bagian hulu DAS Cidanau, sejumlah petani di Desa Citaman dan
Cibojong mendapatkan pembayaran jasa lingkungan.
Hanya saja pembayaran jasa lingkungan oleh konsumen kepada produsen
jasa lingkungan (petani) di hulu DAS Cidanau, tidak diterima oleh semua petani
yang terlibat dalam agroforestry di Desa Citaman dan Desa Cibojong.
Pembayaran jasa lingkungan hanya diberikan kepada petani yang berada pada
zona tertentu, berdasarkan hasil kajian Tim Ad Hoc Forum Komunikasi DAS
Cidanau (FKDC) 167
. Luasnya sekitar 50 ha, 25 ha berada di wilayah desa Citaman
Kecamatan Ciomas dan 25 ha di desa Cibojong Kecamatan Padarincang.168
Pembayaran jasa lingkungan berdasarkan zonasi Tim Ad Hoc, kemudian menjadi
sumber ketegangan antar kelompok tani, karena tidak semua petani mendapatkan
pembayaran jasa lingkungan atau kompensasi lainnya. Kelompok Tani Karya
167Forum Komunikasi DAS Cidanau disingkat FKDC dibentuk berdasarkan Surat Keputusan
Gubernur Banten Nomor 124.3/Kep.64-Huk/2002 tanggal 24 Mei 2002. Pembentukannya
didorong adanya keprihatinan bersama untuk memelihara kelestarian ekosistem DAS untuk
menunjang pembangunan ekonomi wilayah Serang dan wilayah barat Propinsi Banten. Rekonvasi
Bumi, 2007, Uji Coba Konsep Pembayaran Jasa Lingkungan di DAS Cidanau Propinsi Banten.
168Pada saat penelitian kelompok tani penerima pembayaran jasa lingkungan adalah Kelompok
Tani Karya Muda Desa Citaman Kecamatan Ciomas, Kelompok Tani Maju Bersama Desa
Cibojong Kecamatan Padarincang. Saat ini kelompok petani penerima pembayaran jasa
lingkungan bertambah dua yakni Kelompok Tani Agung Lestari Desa Kadu Agung Kecamatan
Gunung Sari Kabupaten Serang dan Kelompok Tani Alam Lestari Desa Cikumbueuen Kecamatan
Mandalawangi Kabupaten Pandeglang. Sehingga kawasan yang mendapatkan pembayaran jasa lingkungan di DAS Cidanau seluas 100 hektar, setiap kelompoknya sebesar Rp. 30.000.000,- (tiga
puluh juta rupiah) per tahun atau sebesar Rp. 1.200.000,- (satu juta dua ratus ribu rupiah) per
hektar per tahun.
115
Muda Desa Citaman dan Kelompok Tani Maju Bersama Desa Cibojong,
merupakan kelompok tani generasi pertama yang terlibat dalam pengembangan
mekanisme hulu hilir dengan mekanisme transaksi jasa lingkungan di DAS
Cidanau masa perjanjian tahun 2005 - 2009. Sedangkan Kelompok Tani Agung
Lestari Desa Kadu Agung, dan Kelompok Tani Alam Lestari Desa Cikumbueuen
Kecamatan Mandalawangi Kabupaten Pandeglang, merupakan kelompok tani
generasi kedua yang menerima pembayaran jasa lingkungan dengan masa
perjanjian pembayaran dimulai pada awal tahun 2008 sampai dengan 5 tahun ke
depan.
Seperti disebutkan di atas Kelompok Tani Hutan (KTH) yang menerima
menerima insentif jasa lingkungan pada kedua desa hanya seluas 50 hektar.
Kondisi ini menimbulkan ketegangan antara kelompok tani yang menerima jasa
lingkungan dengan kelompok tani yang tidak menerima jasa lingkungan dan
dengan pengurus FKDC. KTH yang tidak menerima insentif lingkungan menuduh
KTH yang menerima insentif jasa lingkungan sebagai tidak peduli sesama, hanya
mementingkan kelompoknya dan mengabaikan keguyuban petani. Petani yang
menerima insentif lingkungan, berdalih bahwa insentif yang diterimanya
berdasarkan hasil kajian Tim Ad Hoc. Kelompok tani yang tidak menerima jasa
lingkungan menuduh pengurus FKDC berbuat tidak adil dan pilih kasih. Dalam
aturan perjanjian itu disebutkan:
“Anggota kelompok petani hutan yang menerima pembayaran jasa lingkungan,
syaratnya lahan memiliki jumlah tanaman tidak kurang dari 500 batang pohon
pada tahun pertama tidak kurang dari 200 batang pada akhir tahun kelima. Jenis
tanaman yang berhak atas pembayaran jasa lingkungan adalah, semua jenis
tanaman berdasarkan ketentuan Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Peta
situasi lahan dan tanaman masing–masing anggota kelompok harus
menginformasikan tata letak pohon yang diberi notasi nomor dan informasi jenis
tanaman yang tersebar secara merata.169
Insentif jasa lingkungan yang diterima petani adalah sebesar Rp. 100.000,-
(seratus ribu rupiah) tiap bulan untuk satu hektar kebun. Nilai insentif jasa
lingkungan itu dinilai oleh petani bervariasi. Sebagian petani memandang “nilai
nominal insentif lingkungan yang diterimanya per bulan hanya cukup untuk upah
ngored selama lima hari”. Nilai tersebut jauh lebih kecil dibandingkan dengan
169 Forum Komunikasi DAS Cidanau, 2005, Perjanjian Pembayaran Jasa Lingkungan, FKDC.
116
biaya perjalanan dinas pengurus FKDC sebagai pengelola Pembayaran Jasa
Lingkungan yang mencapai Rp 150.000,- (seratus lima puluh ribu) per hari.
Tetapi bagi petani pemilik lahan sempit/petani gurem, nilai uang sebesar Rp.
100.000,- (seratus ribu rupiah) hampir setara dengan 30 liter beras (per liter Rp
3.500,-), sehingga sangat berarti buat petani.
Pertarungan antar anggota/Kelompok Tani Hutan di hulu DAS Cidanau,
merujuk pada pendapat Leventhal dalam Nurrahman, (2004) berkaitan dengan
perbedaan pemahaman atas contribution rule dan equality rule.170
Perspektif
contribution rule memandang bahwa suatu mekanisme yang adil, bila semua
individu yang terlibat mendapatkan imbalan yang sebanding dengan
kontribusinya. Petani/kelompok yang telah bekerja keras menghasilkan jasa
lingkungan memandang, petani/kelompoknya yang berhak mendapatkan insentif
jasa lingkungan. Sebaliknya perspektif equality rule memandang suatu
mekanisme yang adil, bila semua individu yang terlibat mendapatkan imbalan
yang setara di antara para partisipan. Insentif lingkungan harus terbagi dan
diterima secara merata di antara petani yang terlibat dalam produksi jasa
lingkungan.
Dalam diskusi bersama kelompok tani, kontestasi merebut jasa lingkungan
disebabkan dua hal: (1) Ketentuan perjanjian pembayaran jasa lingkungan, yang
menyatakan bahwa pada tahun kedua sampai dengan tahun kelima, insentif jasa
lingkungan yang diterima petani meningkat nilainya menjadi minimal Rp 2,5 juta
per hektar per tahun dengan syarat jumlah tanaman tidak kurang dari 200 batang
pada akhir tahun kelima. Petani yang tidak menerima jasa lingkungan pada
peruide 2005-2009 sedikit peluangnya mendapatkan insentif lingkungan pada
periode berikutmya. (2) Aturan dan mekanisme pembayaran jasa lingkungan
ditentukan secara sepihak oleh Tim Ad Hoc FKDC yang didominasi oleh
pejabat/mantan pejabat pemerintah daerah. Menurut masyarakat dominasi pejabat,
mengakibatkan kepentingan politik dan ekonomi lebih mengemuka daripada
kepentingan petani dan konservasi.
170 Nani Nurrrachman,2004. Keadilan dalam Perspektif Psiko Sosial” dalam ”Keadilan Sosial:
Upaya Mencari Makna Kesejahteraan Bersama di Indonesia.” Jakarta: PT Kompas Media
Nusantara.
117
Indikasinya ditunjukkan oleh dua hal: (a) mekanisme pembayaran jasa
lingkungan di DAS Cidanau dirancang untuk mengontrol aktivitas komunitas
petani di hulu DAS daripada membangun kelembagaan tata kelola DAS yang
partisipatif, terpadu dan berkelanjutan. (2) Sistem penganggaran FKDC untuk
kegiatan operasional dibebankan kepada APBD provinsi, sedangkan untuk
pembayaran jasa lingkungan berasal dari PT Krakatau Tirta Industri (BUMD).
Patut diduga pejabat pemerintah daerah yang menjadi pengurus FKDC menjadi
’benalu” daripada memperjuangkan keberlanjutan ekosistem DAS Cidanau. (3)
Pengurus FKDC cenderung sewenang-wenang, bertindak sebagai “pembeli” yang
menentukan “harga” jasa lingkungan secara sepihak daripada menjadi pengayom
petani dan menjaga kelesatarian ekosistem hulu DAS Cidanau.
6.5. Ikhtisar
Pemahaman yang menempatkan sumberdaya agraria sebagai komoditi
daripada sebagai stock dan barang publik, mengakibatkan kontestasi sektoral
menjadi tak terhindarkan. Kurangnya pemahaman memilah dan memilih fungsi
sumberdaya alam sebagai stock, barang publik dan sebagai komoditi,
mengakibatkan pengelolaan dan penguasaan sumberdaya tidak memperhatikan
karakteristik sifat dan fungsi sumberdaya. Kontestasi penguasaan sumberdaya
agraria di wilayah pedesaan berlangsung pada aras makro/nasional dan mikro di
masyarakat. Pada aras makro kontestasi berlangsung antar berbagai aktor atau
kekuatan politik dan ekonomi melalui perumusan sejumlah peraturan perundang-
undangan, seperti revisi Undang-Undang No. 41 tahun 1999 yang melegalkan
eksploitasi pertambangan di hutan lindung.
Di aras mikro/masyarakat, kontestasi sektoral, muncul dalam pelaksanaan
program sektoral melalui proyek pembangunan yang bersifat top down yang
disertai pembentukan kelembagaan yang menegasikan kelembagaan masyarakat.
Pembentukan kelembagaan baru oleh instansi sektoral di pedesaan disebabkan
rendahnya political will pemangku otoritas terhadap kelembagaan komunitas.
Kelembagaan komunitas dipersepsi dan diposisikan sebagai sebagai orphan factor
anak tiri dan tidak diinginkan. Sehingga kontestasi sektoral pada aras desa
mengakibatkan kapitalisasi sumberdaya pedesaan.
118
Dalam konteks komunitas sekitar hutan dan desa hutan, kapitalisasi
sumberdaya pedesaan menyebabkan interaksi negara dengan warga negara atau
desa cenderung menjadi transaksional. Dampak lebih lanjutnya adalah proses
pembangunan didominasi oleh kepentingan memburu rente ekonomi dan abai
terhadap pemberdayaan dan perbaikan kesejahteraan masyarakat. Kapitalisasi
sumberdaya pedesaan juga mereduksi sumberdaya (sumberdaya agraria dan
manusia) sebagai komoditas semata-mata. Akibatnya pembangunan ekonomi
sebatas peningkatan angka statistik dan indikator kuantitatif, sementara esensi
pembangunan untuk memberdayakan dan memandirikan masyarakat diabaikan.
Menguatnya kontestasi sektoral tidak hanya berdampak pada
pembangunan kehutanan dan kawasan DAS Cidanau tidak dikelola secara
terkoordinasi dan tidak sinergis. Kontestasi disertai ego kedaerahan
mengakibatkan pembangunan ekonomi tidak mampu menurunkan dan merubah
desa hutan sebagai salah satu kantong kemiskinan. Karena kontestasi sektoral dan
ego keadaerahan mendorong masing-masing instansi sektoral dan daerah memiliki
perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan monitoring tersendiri tanpa koordinasi.
Padahal dalam pengelolaan sumberdaya hutan dan kawasan DAS memerlukan
adanya ”rumah bersama” untuk memadu serasikan antar pemangku kepentingan
untuk menjaga keberlanjutan sumberdaya manusia dan sumberdaya hutan.
119
BAB VII
PELURUHAN KELEMBAGAAN LOKAL
DAN KEGAGALAN POLITIK SUMBERDAYA AGRARIA
7.1. Pendahuluan
Interkasi masyarakat pedesaan dengan kekuatan supra lokal berlangsung
secara tidak simetris, timpang dan cenderung dominatif, bentuknya berbeda-beda
dari waktu ke waktu tergantung kepentingan politik dan ekonomi rezim yang
berkuasa. Di bawah rezim pemerintahan yang menganut ideologi
pembangunanisme, interaksi masyarakat pedesaan dengan kekuatan supra lokal
seperti dua sisi mata uang.
Di satu sisi mendorong peningkatan produktivitas komoditas, tumbuhnya
jaringan perdagangan desa kota dan makin terintegrasinya kehidupan petani
dengan kehidupan kota. Di sisi lain interaksi masyarakat pedesaan yang tidak
simetris menyebabkan hilangnya kemandirian dan keswadayaan masyarakat
pedesaan. Kedua hal tersebut merupakan implikasi dari pengarus-utamaan politik
agraria kapitalistik. Dalam pembangunan kehutanan orientasi politik agraria
kapitalis ditandai oleh kebijakan yang kurang mempertimbangkan komunitas
sebagai komponen utama ekosistem hutan.
Secara umum politik agraria termanifestasikan dalam sejumlah peraturan
perundang-undangan dan kebijakan kehutanan yang menempatkan komponen
manusia atau masyarakat lokal sebagai "sumber gangguan" daripada "kunci
keberhasilan". Pemahaman ini bersumber dan berakar dari politik agraria
kapitalis kolonial dan pelaksanaan pembangunan ekonomi dengan cara instant dan
pro pasar, yang mereduksi sumberdaya agraria hanya sebagai komoditi bernilai
ekonomi. Dampak dari pelestarian politik agraria kapitalis kolonial tersebut
adalah berujung pada kegagalan penyelenggara negara mewujudkan tujuan politik
agraria untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Indikasi dari kegagalannya
adalah peluruhan kelembagaan komunitas sekitar hutan. Gambaran kedua aspek
tersebut menjadi fokus utama uraian bagian ini.
120
7.2. Politik Agraria dan Peluruhan Kelembagaan Lokal
7.2.1. Latar Belakang Sejarah Peluruhan Kelembagaan Lokal
Perjalanan sejarah petani di Indonesia diwarnai oleh dominasi kekuasaan
supra lokal yang bentuknya berbeda-beda dari waktu ke waktu, tergantung
kepentingan politik dan ekonomi rezim yang berkuasa. Pada zaman kerajaan,
komunitas petani di DAS Cidanau bekerja, berproduksi dan mengabdi kepada
kesultanan Banten. Dalam menjalankan pemerintahannya dan untuk mengontrol
wilayah pedesaan. Kesultanan Banten memberlakukan sistem appanage dengan
cara memberi kekuasaan kepada priyayi/abdi dalam untuk mengabdi dan
memanfaatkan tenaga kerja penduduk/cacah yang dikuasainya. Sistem appanage
yang dilakukan kesultanan Banten terlihat dari adanya berbagai kelembagaan
penguasaan tanah, seperti sawah negara, sawah ganjaran atau pusaka laden,
tanah kawargaan, tanah kanayakan dan tanah pangawulaan. Berbagai bentuk
penguasaan tanah itu merupakan sumber finansial dan stabilitas politik kerajaan
sekaligus sarana pengawasan kerajaan terhadap wilayah pedesaan. Melalui sistem
appanage Sultan Banten dapat mengganti pemegang appanage, bila abdi dalem
yang diberi hak kuasa dan ditunjuk Sultan, dipandang menimbulkan ketegangan
sosial atau mengkonsolidasikan diri menentang kekuasaan Kesultanan Banten.
Selain sistem appanage, di pedesaan wilayah Kesultanan Banten, terdapat
kelembagaan kejaroan. Pada masa kerajaan kelembagaan lokal ini berperan
sebagai sarana mobilisasi sumberdaya manusia dan sumber ekonomi serta tulang
punggung stabilitas politik kesultanan di wilayah pedesaan. Di wilayah
kekuasaannya, kajaroan bertugas menentukan tata cara dan haluan pemerintahan
menurut norma keguyuban dalam upaya memelihara keharmonisan,
menyelenggarakan musyawarah bersama kokolot untuk menentukan langkah-
langkah pelaksanaan kegiatan pertanian dan mengedukasi masyarakat dalam
pemenuhan kebutuhan hidupnya. Di wilayah kesultanan Banten kajaroan
berfungsi sebagai “kelembagaan lokal/adat” yang berperan sebagai perekat dan
pengikat tata hubungan antar anggota masyarakat dan pemerintahan.
Dalam tata kelola sumberdaya, kajaroan memiliki kewenangan
administratif dan bertanggungjawab menyelesaikan persoalan tanah. Pemimpin
kajaroan bertindak sebagai penghubung antara kajaroan dengan abdi dalam. Abdi
121
dalam diangkat dan diberi tugas oleh Sultan untuk memungut upeti, pajak dan
cukai dari petani dan pedagang. Sebagai imbalannya, Sultan memberikan tanah
pangawulaan, yakni tanah kerajaan yang diberikan kepada warga berstatus
“penggarap”, berhak atas bujang dan berkewajiban menanggung beban atas tanah
(membayar upeti secara berkelanjutan). 171
Setelah kesultanan Banten runtuh digantikan oleh Pemerintah Kolonial
Belanda, sistem appanage digantikan Sistem Tanam Paksa yang mengharuskan
petani menanam tanaman komersial dan mengikuti kerja wajib. Dalam
melaksanakan Sistem Tanam Paksa, Pemerintah Kolonial Belanda menggunakan
sistem pemerintahan indirect rule (pemerintahan tidak langsung). Dalam arti
Pemerintah tidak menghapus pemerintahan tradisional atau membentuk
kelembagaan baru, melainkan memanfaatkan struktur kekuasaan tradisional.
Aparat Kolonial Belanda tidak langsung berhubungan dan berurusan dengan
rakyat, melainkan melalui aparat pemerintahan tradisional. Dengan
pemberlakukan sistem pemerintahan indirect rule, pemerintah kolonial Belanda
dapat mendayagunakan penguasa lokal, tanpa terlibat dan berhadapan secara
langsung dengan rakyat jajahan.
Pemberlakuan pemerintahan indirect rule di wilayah kesultanan Banten, di
satu sisi meringankan beban Pemerintah Kolonial Belanda, tetapi lain halnya bagi
masyarakat pedesaan, memberatkan dan menimbulkan penderitaan, karena rakyat
harus membayar upeti yang lebih besar. Besarnya tekanan Pemerintah Kolonial
Belanda terhadap masyarakat pedesaan ditunjukkan oleh tiga hal: (1) adanya
kebijakan diskriminatif yang dikeluarkan oleh Residen Banten tahun 1896 yang
berisi larangan kegiatan huma di wilayah Serang Selatan; (2) tindakan sewenang-
wenang dan kekerasan yang dilakukan oleh para demang seperti pencurian dan
pemerasan terhadap hak milik rakyat; (3) banyaknya para bujang yang melarikan
diri sikep.
Beban penderitaan rakyat yang diakibatkan eksploitasi sumberdaya
manusia dan sumberdaya alam di wilayah kesultanan Banten dikemukakan secara
menarik oleh Douwes Dekker, penulis kebangsaan Belanda yang pernah bertugas
di wilayah Lebak dalam bukunya yang terkenal Max Havelar. Douwes Dekker
171 Lihat Sartono Kartodirdjo, 1984. Pemberontakan Petani Banten 1888. Jakarta: Pustaka Jaya.
122
menyatakan tiga puluh juta rakyat disiksa, diisap dan dirampas harta kekayaan
dan ternaknya seperti perampasan kerbau milik ayah Saijah yang dilakukan oleh
Demang Parangkujang (kerabat bupati Lebak Raden Adipati Kartanegara).172
Akibat kesewenang-wenangannya, Demang Parangkujang dipecat, tetapi
penderitaan petani yang disebabkan eksploitasi “penguasa lokal” tidak surut.
Sebaliknya mengakibatkan bertambah luasnya keresahan sosial dan meletusnya
pemberontakan petani tahun 1888 di wilayah Banten. Penghisapan rakyat oleh
kolonial juga menimbulkan keresahan dan meluasnya pemberontakan di
penghujung abad ke XIX di pelbagai wilayah di Jawa dan luar Jawa 173
Meluasnya keresahan sosial di wilayah pedesaan disebabkan politik
kolonial Belanda yang eksploitatif dan liberal, dengan memberi kesempatan yang
terbuka kepada pemilik modal asing untuk menguasai sumberdaya agraria di
Hindia Belanda. Untuk mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia, pemerintah
kolonial mengeluarkan sejumlah reglemen kolonial yang merugikan hak dan akses
masyarakat pedesaan dan sekitar hutan antara lain: Reglemen 1865 (tentang
Pemangkuan Hutan dan Eksploitasi Hutan, Agrarische Wet 1870, Reglemen 1874
dan Reglemen 1879. Agrarische Wet tahun 1870 merupakan landasan peraturan
agraria kolonial untuk melakukan komersialisasi dan eksploitasi sumberdaya
agraria di Hindia Belanda. Agrarische Wet tahun 1870 bersifat dualistis dan
diskriminatif, karena merubah dan menggusur kepemilikan dan penguasaan tanah
masyarakat dan hukum adat serta hak adat atas tanah. Tanah yang sebelumnya
bernilai sosial dan kepemilikannya secara komunal, dirubah secara radikal
menjadi komoditi dan hak milik individual. Bahkan tanah yang diberakan dengan
maksud untuk memulihkan kesuburan tanah lebih dari tiga tahun, dapat beralih
status menjadi hak Pemerintah Kolonial Belanda.
Dalam bidang kehutanan, untuk memperkuat landasan hukum eksploitasi
sumberdaya hutan, Pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan sejumlah
reglemen, antara lain: (1) Reglemen 1874, mengatur penguasaan tanah kesultanan
172 Lihat H.B. Jassin/G Termorshuizen, 1985. Max Havelaar atau Lelang Kopi Maskapai Dagang
Belanda.
173 Kasus keresahan Sosial yang disebabkan penetrasi kolonial di luar Jawa antara lain ditulis oleh
B.J.O. Schrieke, 1973. Pergolakan Agama di Sumatera Barat, Sebuah Sumbangan Bibliografi.
Jakarta: Bhratara.
123
(vorstenlanden), (2) Reglemen 1879, mengatur kepemilikan negara atas hutan dan
penggolongan hutan atas hutan tetap dan tidak tetap, (3) Reglemen 1913,
mengatur pengamanan hutan dan ancaman sanksi pidana bagi yang melanggar, (4)
Ordonansi 1927, mengatur pemberian sanksi pidana bagi pelanggar dan perusak
hutan. 174
Berbagai reglemen tersebut berdampak luas terhadap kehidupan
masyarakat sekitar hutan, sumberdaya hutan dieksploitasi sementara akses
masyarakat sekitarnya dibatasi dan dimarginalkan. Penggerusan kelembagaan
komunitas oleh pihak kolonial semakin parah dengan keluarnya Kebijakan Tata
Guna Hutan Kesepakatan pada tahun 1935, yang secara nyata dan efektif
memarginalkan komunitas di pinggiran hutan. Bagi masyarakat, kebijakan ini
telah merubah kedudukan tanah dari “ibu pertiwi” menjadi komoditi dan
tergerusnya sumberdaya ekonomi komunitas sekitar hutan.
Marginalisasi kelembagaan masyarakat terus berlanjut setelah runtuhnya
pemerintahan kolonial Belanda digantikan oleh Bala Tentara Dai Nippon. Politik
kolonial Bala Tentara Jepang, diarahkan untuk mobilisasi penduduk Indonesia
melawan sekutu dan meneruskan eksploitasi sumberdaya agraria yang telah
dilakukan oleh Belanda. Eksploitasi sumberdaya agraria yang dilakukan Bala
Tentara Jepang, ditunjukkan dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 1 tahun
1942 yang berisi penegasan berlakunya peraturan-peraturan dari Pemerintah
Kolonial Belanda dan Ordonansi Hutan 1927.175
Pada permulaan kemerdekaan di bawah pemerintahan Presiden Soekarno,
kontrol negara terhadap masyarakat petani relatif lemah. Konflik politik antar elit
di tingkat nasional dan pergantian kabinet “seumur jagung” menyebabkan
pemerintah kurang memiliki kesempatan untuk menata perekonomian di wilayah
pedesaan. Menjelang pemilu 1955 partai politik besar PNI, Masyumi dan PKI
menerobos masuk mencari pengaruh dan dukungan politik ke wilayah pedesaan.
Pemilu 1955 menghasilkan empat partai politik: PNI, Masyumi, NU dan PKI
yang menggambarkan polarisasi politik masyarakat desa. Di tengah terjadinya
polarisasi politik tahun 1960, pemerintahan Soekarno mencanangkan reformasi
174 Lihat Salim, 2004, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan. Jakarta: Sinar Grafika.
175 Lihat Salim, 2004, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan. Jakarta: Sinar Grafika.
124
agraria dengan memberlakukan UU Pokok Agraria No. 5 tahun 1960. Sengitnya
pertarungan antar partai politik menyebabkan reforma agraria yang dikelola oleh
aparat di tingkat lokal menjadi ajang konflik, sehingga reforma agraria tidak
berjalan lancar. Kendalanya berasal dari pemilik lahan luas dan minimnya
dukungan kelompok berkuasa dalam tubuh PNI yang merupakan lawan politik
dari partai pro reforma agraria yaitu PKI. Pada tingkat lokal hambatan reforma
agraria, diselesaikan dengan aksi sepihak dan mobilisasi massa yang berujung
pada pemberontakan PKI September 1965. Jatuhnya pemerintahan Soekarno
menunjukkan bahwa reforma agraria sebagai “gerakan revolusi yang belum
selesai” itu gagal mengakhiri dominasi kapitalisme.
7.2.2. Politik Pertanian dan Kehutanan Orde Baru
Kegagalan kudeta PKI tahun 1965 meninggalkan pengaruh mendalam
terhadap cara pandang rezim Orde Baru terhadap komunitas petani dan politik
agraria. Merujuk pendapat Subhan (1993), politik agraria Orde Baru adalah
reforma agraria tanpa transformasi sosial, karena mengukuhkan dominasi
kapitalisme. Politik agraria kapitalis Orde Baru terlihat dari kebijakan
pembangunan pertanian melalui birokratisasi lembaga-lembaga sosial pedesaan
dan kapitalisasi sistem ekonomi produksi pertanian.
Politik agraria kapitalis Orde Baru paling tidak dapat diidentifikasi dalam
dua hal. Pertama hubungan negara dan petani diwarnai birokratisasi lembaga-
lembaga sosial pedesaan dengan maksud mengatasi konflik politik dan
mengendalikan komunitas petani dengan memberlakukan strategi masa
mengambang (the floating mass strategy). Strategi ini sebagai bagian dari
pengendalian pemerintah terhadap petani dan sekaligus pemutusan hubungan
petani dengan partai politik di tingkat supra desa. Kebijakan masa mengambang
merupakan upaya pemerintah mengontrol perilaku petani, agar petani
memproduksi beras secara besar-besaran dan petani tidak dikendalikan kekuatan
sosial politik supra lokal yang berpotensi menentang kekuasaan negara. Ruang
sosial petani berpolitik dimarginalkan, petani semata-mata diarahkan untuk
mengadakan perubahan teknik dan peningkatan produksi pertanian.
125
Dalam konteks kawasan DAS Cidanau, kelembagaan lokal kajaroan yang
sebelumnya berperan sebagai perekat dan pengikat tata hubungan masyarakat
semakin termarginalkan. Pimpinan kajaroan sebagai “pengetua adat” yang
mengatur seremonial kehidupan petani digantikan oleh pemimpinan formal
bentukan pemerintah. Tetapi bila terjadi konflik tanah, pemimpinan formal itu
sering tidak berdaya dan tidak bergigi, karena sering merupakan pihak yang
terlibat. Penyelesaian konflik diserahkan pada pimpinan kajaron dan kokolot,
sementara ruang sosialnya dimarginalkan.
Ciri kedua yang menonjol dari politik pertanian Orde Baru adalah
kapitalisasi ekonomi pertanian. Kebijakan ini dimaksudkan untuk menjamin
ketersediaan beras dengan harga yang relatif stabil di perkotaan untuk
kepentingan kelas menengah di kota dengan meningkatkan produksi dan
ketersediaan cadangan beras yang aman secara nasional. Pemerintah Orde Baru
memandang politik ekonomi beras merupakan bagian tak terpisahkan dari
stabilitas politik. Karena pemenuhan kebutuhan pokok pangan terutama beras dan
stabilisasi harga beras bagi konsumen kelas menengah (pegawai negeri, TNI,
pekerja, industri) di kota merupakan sarana penting bagi stabilitas politik.
Kapitalisasi sistem ekonomi pertanian Orde Baru dilakukan melalui
pendekatan pasar dan kelembagaan. Pendekatan kelembagaan terlihat dari
pembentukan Bimas, yang sepenuhnya dikendalikan oleh penguasa dan birokrat
dari pusat sampai ke desa.
Bimas bertugas mengendalikan program intensifikasi produksi pertanian dengan
menggunakan sarana struktur birokrasi dan pihak otoritas di daerah kabupaten/kota
yang loyal terhadap pemerintah pusat. Pengelola dan pelaksana intensifikasi
pertanian lebih berorientasi kepada penguasa daripada kepada petani. Tidak tersedia
ruang sosial politik dan dialog antara petani dengan pemerintah dan aspirasi politik
petani sepenuhnya dikendalikan oleh penguasa dan birokrat dari pusat sampai ke
desa.
Pendekatan pasar dilakukan dengan menerapkan harga dasar komoditi, agar
harganya tidak berfluktuasi tajam dengan menempatkan Bulog dan KUD sebagai
pengendali harga di tingkat petani. Pendekatan pasar yang dilakukan rezim Orde
Baru, cukup efektif untuk memobilisasi sumber ekonomi pedesaan untuk
menopang perekonomian nasional.
126
Dalam bidang kehutanan, kapitalisasi dilakukan dengan cara membuka
masuknya penanaman modal asing dan dalam negeri, pemberian konsesi hutan
(HPH dan HTI) kepada pemilik modal dan skenario pinjaman luar negeri melalui
World Bank dan IMF. Sampai tahun 1989 eksploitasi hutan oleh 572 unit HPH
mencapai 64 juta ha. Dari 572 unit HPH itu jika dikelompokkan, dimiliki sekitar
20 konglomerat, setiap konglomerat menguasai lebih dari 1 juta ha. Kapitalisasi
kehutanan berhasil mendongkrak perolehan devisa negara dari sektor kehutanan
dan menggelumbungnya keuangan elit kroni pusat.176
Tetapi peningkatan
kontribusi sektor kehutanan harus dibayar mahal dengan meningkatnya
deforestasi dan degradasi hutan,177
dan peluruhan kelembagaan komunitas sekitar
hutan, gambarannya dapat disimak pada uraian selanjutnya.
7.3. Proses dan Bentuk Peluruhan Kelembagaan Lokal
Proses peluruhan kelembagaan lokal tata kelola sumberdaya agraria di
wilayah hulu DAS Cidanau berlangsung secara sistematis, terjadi pada aras
sistem/peraturan perundang-undangan, aras organisasional dan perilaku individual
aparat. Merujuk pada pendapat Giddens (2004)178
peluruhan berlangsung secara
struktural, mencakup struktur signifikansi (ilmu pengetahuan dan ideologi),
struktur otoritatif (politik), alokatif (ekonomi) dan struktur legitimasi (norma dan
hukum). Gambaran peluruhan kelembagaan komunitas di DAS Cidanau disajikan
pada gambar 7.
176 Awang,S. 2003, Politik Kehutanan Masyarakat. Yogyakarta: Kreasi Wacana.p.6.
177 Gillis, 1990 mencatat akibat beroperasinya HPH jumlah kayu yang ditebang meningkat tajam,
periode 1960-1965 sebanyak 2,5 juta m3 log, pada 1970 meningkat menjadi 10 juta m3 log, tujuh
belas tahun kemudian meningkat menjadi 26 juta m3 log. Gillis,M,1990, “ Indonesia Public
Policies, Resources Management and the Tropical Forrest. Dalam Repetto R and Gllis, M (eds).
Publik Policies and Missue of Forrest Resource. New York: Cambridge University Press.p. 54
178 Anthony Giddens, 2004, The Constitution of Society: Teori Strukturasi untuk Analisis Sosial.
Pasuruan: Pedati, p.39.
127
Dari gambar 7 diketahui peluruhan kelembagaan komunitas DAS Cidanau,
berlangsung pada aras sistem dan peraturan perundang-undangan yang
dikeluarkan oleh pemerintah sejak masa Orde Baru sampai era reformasi.
Peraturan perundang-undangan sektoral secara langsung maupun tidak langsung,
berimplikasi negatif terhadap eksistensi kelembagaan komunitas. Pendekatan
pembangunan sumberdaya agraria secara sektoral yang diikuti pembentukan
kelembagaan baru sebagai substitusi, berdampak negatif terhadap kelangsungan
kelembagaan komunitas. Kondisi ini diperkuat dengan ketidakpedulian aparat
sektoral dan sikapnya yang diskriminatif terhadap kelembagaan komunitas. Dari
penuturan informan diperoleh keterangan, di satu sisi pemerintah memfasilitasi
dan memberi dukungan politik dan finansial terhadap kelembagaan sektoral di
pedesaan. Tetapi di sisi lain membiarkan kelembagaan komunitas mati suri.
Pembiaran aparat pada kelembagaan komunitas terkait pandangannya yang
bersifat prajudis negatif dan menempatkannya sebagai kelembagaan orang
pasisian. Di tengah masyarakat yang masih terikat dengan tradisi, prejudis
tersebut menunjukkan rendahnya kepedulian dan empati aparat, seperti terungkap
dari pernyataan warga:
“Seharusnya aparat sektoral bertindak sebagai pengayom masyarakat. Dengan
pengetahuan dan keterampilan teknisnya berpartisipasi memberdayakan segenap
Gambar 7. Proses Peluruhan Kelembagaan Lokal
Aras Sistem
Aras
Organisasional
Aras Individual
Hukum/Arah Kebijakan
Kebijakan Pendukung
• Prosedr Pengambilan
Keputusan
• Struktur Sumberdaya
• Budaya organisasi
• Sistem Info/Mnj
• Pengetahuan
• Keterampilan
• Kompetensi
Peluruhan
Kelembagaan
Masyarakat
128
potensi sosial ekonomi masyarakat. Yang terjadi justru sebaliknya, kedatangannya
ke desa sering minta dilayani, kurang menghargai tradisi, suka unjuk kekuasaan
dan suka pamer”.
Pernyataan tersebut menggambarkan, proses peluruhan kelembagaan komunitas
pada aras lokal tak terlepas dari keterlibatan aparat sektoral dan mesin birokrasi.
Prejudis negatif dan rendahnya empati agensi memiliki kontribusi terhadap
peluruhan kelembagaan komunitas. Gambaran proses peluruhan kelembagaan
komunitas di lokasi penelitian dijelaskan di bawah.
7.3.1. Peluruhan Kelembagaan Buyut dan Pipeling
Seperti diuraikan di atas kelembagaan buyut dan pipeling merupakan
sistem nilai, mekanisme dan aturan dalam relasi sosial dan tata kelola sumberdaya
agraria. Kelembagaan buyut dan pipeling esensinya berisi: (1) larangan
pemanfaatan sumberdaya secara berlebihan, memburu flora dan fauna pada
tempat tertentu pada periode tertentu, (2) tuntunan praktik tata kelola sumberdaya
berkelanjutan dengan menerapkan teknologi pertanian gilir balik, ngaseuk, coo
benih, pemberantasan hama tanaman ramah lingkungan, masa tanam mengikuti
daur musim, pergiliran tanaman dan menjunjung tinggi etika konservasi.
Dalam tata kelola sumberdaya agraria, keduanya dimaksudkan sebagai
upaya mewujudkan keadilan dan keseimbangan hubungan manusia dengan alam
dan lingkungannya. Hanya saja sejumlah informan menyatakan, sejauh ini praktik
tata kelola sumberdaya berbasis kelembagaan komunitas tidak mendapat apresiasi
dari agensi pembangunan pertanian dan kehutanan di tingkat lokal. Rendahnya
apresiasi dan empati dari agensi, merujuk pada Giddens, disebabkan adanya
distansi ideologis dan arus utama ilmu pengetahuan moderen yang menjadi dasar
pembangunan pertanian dan kehutanan menempatkan hal-hal yang bersifat
askripsi dan tradisi, bukan hanya dipersepsi “tidak efisien dan tidak produktif”
tetapi juga ”tidak ilmiah”. Pemahaman atas superioritas pengetahuan modern,
mengakibatkan terbatasnya ruang bagi tumbuh kembangnya kearifan lokal.
Arogansi dari praktisi pengetahuan modernis tercermin dari penilaiannya
terhadap praktik tata kelola sumberdaya agraria yang diinspirasi kelembagaan
buyut dan pepeling “hanya relavan untuk aktivitas pertanian dan kehutanan orang
pasisian.” Dalam upaya membangun rasionalitasnya, aparat pelaksana di tingkat
129
desa tidak jarang menggunakan idiom pembangunan yang hanya dipahami oleh
dirinya sendiri dan tidak ada kaitannya dengan praktik pertanian komunitas.
Menurut tokoh masyarakat, penilaian bahwa “kelembagaan buyut dan
pipeling untuk aktivitas pertanian dan kehutanan orang pasisian”,
menggambarkan pola fikir sempit dan cenderung provokatif. Aparat pelaksana
melihat praktik pertanian warga, hanya dari perpektif teknologi produksi, tidak
diletakkan dalam horizon yang luas dan pembanguan berkelanjutan serta
dampaknya yang positif terhadap konservasi tanah dan air. Warga menyadari
bahwa praktik tata kelola sumberdayanya, tidak menggunakan teknologi modern
dan tingkat produksinya tidak seperti yang ditargetkan pemerintah. Karena
penggunaan teknologi pertanian modern (penggunaan pupuk kimia sintetis dan
pestisida), membutuhkan modal yang besar. Keengganan warga menggunakan
pupuk kimia sintetis dan pestisida, selain karena keterbatasan modal, tetapi juga
tujuan produksi usaha taninya tidak dimaksudkan untuk mencapai target produksi
pemerintah, swa-sembada beras dan memberi makan rakyat Indonesia. Tujuan
produksi usaha taninya adalah untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pangan
keluarga. Petani bersyukur bila hasil produksi pertaniannya dapat berbagi rejeki
dengan saudara dan tetangganya (dulur angang).
Provokasi agensi birokrasi terhadap kelembagaan buyut dan pipeling
tidak hanya bersandar pada sainstifikasi modern, tetapi juga menggunakan idiom
agama dan melibatkan otoritas keagamaan. Misalnya acara ritual pertanian
sebagai perbuatan musyrik, bid’ah dan takhayul. Penggunaan idiom agama dan
pelibatan otoritas keagamaan di lingkungan masyarakat religius dan patrimonial,
terlihat efektif terhadap “desakraliasi” kelembagaan buyut dan pipeling. Labeling
bahwa rangkaian acara ritual dan tradisi berhuma bersifat musyrik dan bid’ah,
disertai penetrasi sains moderen berdampak positif pada penggusuran kearifan
lokal secara evolutif, yang berakibat kelembagaan buyut dan pipeling kehilangan
magis.
Proses peluruhan kelembagaan buyut dan pipeling di wilayah hulu DAS
Cidanau, ternyata bukan hanya menggunakan idiom keagamaan tetapi juga
dilakukan secara represif, yakni melalui proses merelokasi komunitas petani ke
dalam proyek transmigrasi ke luar Jawa. Sejumlah petani di hulu DAS Cidanau
130
dan sekitar Cagar Alam Rawa Danau dipaksa ikut program transmigrasi ke
Provinsi Sumatera Selatan, Jambi dan Bengkulu. Relokasi petani secara exsitu
merupakan titik kulminasi sikap represif aparat pemerintah terhadap komunitas.
Menurut penuturan informan, langkah itu dilakukan didasarkan pertimbangan: (1)
untuk mengurangi tekanan penduduk terhadap kawasan hulu DAS Cidanau dan
Cagar Alam Rawa Danau (2) sistem pertanian modern dapat dibangun dengan
memisahkan ikatan emosional dan sosial kulturalnya.
Secara sosiologis relokasi exsitu, berarti mencabut petani dari akar dan
relung budaya dan lingkungannya. Petani dipaksa beradaptasi dengan lingkungan
fisik dan sosial budaya baru, meskipun mereka tidak memiliki informasi dan
pengetahuan tentang kondisi sosial dan ekologi daerah tujuannya.179
Tindakan
pemerintah merelokasi petani secara paksa ke lingkungan ekologi baru, merujuk
pada Ever merupakan manifestasi orwelisasi (tindakan respresif pemerintah
terhadap masyarakat). Secara ekologi relokasi penduduk menggambarkan cara
pandang bahwa peradaban dapat dibangun tanpa ikatan historis manusia dengan
tanah. Padahal krisis komunitas dan kemanusiaan pada umumnya, antara lain
disebabkan manusia hidup dalam wilayah maya di wilayah antah berantah tak
bertanah. Kegagalan program transmigrasi antara lain didasarkan asumsi bahwa
manusia bisa hidup di wilayah antar berantah dan tanpa ikatan sosial kultural.
7.3.2. Penghancuran Modal Sosial
Modal sosial yang mengalami peluruhan yang berdampak luas terhadap
kehidupan petani adalah liliuran. Bagi petani, liliuran merupakan institusi sosial
yang berperan menjaga kohesivitas dan solidaritas, distribusi tenaga kerja dan
“katup pengaman” ketahanan pangan komunitas petani. Untuk wilayah hulu DAS
Cidanau, merujuk pada Polanyi, kelembagaan liliuran memiliki karakteristik
sebagai embedded economy.180
Dari penggalian informasi di lapangan, peran
strategis kelembagaan lokal itu kurang mendapat perhatian dari aparat sektoral.
179Lihat Laksono, “Tanpa Tanah, Budaya Nir Papan: Antropologi Antah Berantah” dalam Anu
Lounela dan R Yando Zakaria, 2002, Berebut Tanah: Beberapa Kajian Berperspektif Kampus dan
Kampung. Yogyakarta: Insist-KARSA.
180 Lihat Karl Polanyi, “Perkembangan Ekonomi Pasar” dalam Hans Dieter Evers, 1998, Teori
Masyarakat: Proses Peradaban Dalam Sistem Dunia Moderen. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
131
Aparat sektoral di tingkat lokal lebih tertarik mensosialisasikan kelembagaan
bentukan pemerintah, seperti KUBE, Kelompok Tani, LUEP, LMDH dan
Gapoktan untuk meningkatkan pemenuhan pangan dan kesejahteraan keluarga
petani. Sementara warga yang sehari-harinya bergelut dengan aktivitas produksi
pertanian yang bergabung dalam liliuran yang secara nyata memiliki kontribusi
terhadap ketahanan pangan keluarga tidak diberdayakan.
Rendahnya kemauan politik agensi pembangunan meningkatkan kapasitas
kelembagaan liliuran, berlangsung ketika wilayah Banten menjadi bagian dari
provinsi Jawa Barat dan setelah Banten menjadi provinsi sendiri yang otonom.
Hal ini menunjukkan otonomi daerah belum menghilangkan prejudis negatif dan
subyektivitas aparat di tingkat lokal terhadap kelembagaan liliuran. Indikasinya
adalah pembentukan kelembagaan baru yang menjadi substitusi dan menapikan
kelembagaan komunitas. Dalam pelaksanaan pembangunan pedesaan, aparat lebih
menaruh perhatian pada “kelembgaan konspirasi” daripada yang tumbuh kembang
dari akar rumput.
Kondisi ini terjadi karena pelaksanaan otonomi daerah pada aras lokal,
merupakan duplikasi sentralisasi dengan mengedepankan efisiensi dan
peningkatan pendapatan asli daerah daripada demokratisasi dan memberdayakan
kelembagaan komunitas. UU No. 22 tahun 1999 yang direvisi menjadi UU No. 32
tahun 2004, diakui menyediakan peluang dan ruang kepada masyarakat dan
komunitas adat untuk membentuk pemerintahan desa sesuai dengan struktur sosial
adatnya. Tetapi sejauh ini khususnya di tiga desa penelitian, otonomi daerah
belum sepenuhnya mampu mereposisi kelembagaan lokal. Kultur dan perilaku
politik masyarakat desa yang telah lama terkooptasi oleh birokrasi dan sistem
politik elitis dan monolitik, perlu waktu untuk memberdayakan kelembagaan
komunitas. Sementara UU No. 41 tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kehutanan
cenderung ambigu, tidak memberikan rasa aman atas hak keperibumian dan hak
atas daerah leluhurnya. UU No. 41/1999 tidak secara jelas mengakui kelembagaan
komunitas adat/komunitas sekitar hutan, karena hutan adat diposisikan sebagai
hutan negara yang berada di wilayah masyarakat adat.
132
Ketentuan ini merupakan mainstream yang diturunkan dari asas dan dasar
negara kesatuan, negara sebagai organisasi yang berkuasa atas rakyatnya.181
Meskipun Undang-Undang No. 41 tahun 1999 lahir di era reformasi, tetapi
dominasi negara atas kehutanan sangat kuat, negara sebagai pemegang kendali
dapat mencabut status ”hukum adat”. Hak negara atas hutan adalah syah,
sebaliknya klaim sejarah masyarakat adat terhadap hutan tidak syah. Negara
mengakui hukum adat tetapi kedudukan hukumnya lemah dan tidak memberikan
rasa aman (unscure tenure) bagi komunitas sekitar hutan, hak atas daerah leluhur
dan kepribumiannya tidak diakui.182
Ini berbeda dengan pemangku otoritas hutan di Filipina dan Meksiko.
Pemangku otoritas Filipina mengakui secara sah kedudukan, hak adat dan klaim
atas kawasan nenek moyang (Ancestral Domain Claims). Hal serupa berlaku di
Meksiko yang mengakui klaim atas masyarakat pribumi (Communidandes). Di
Indonesia pengakuan terhadap kelembagaan hutan adat sekedar jargon politik,
karena penyerobotan tanah/hutan rakyat terus berlangsung dengan tingkat eskalasi
yang semakin luas. Sejauh ini pemberian izin HPH dan HTI tidak
mempertimbangkan/menyertakan rekomendasi dari pemangku hutan adat dan
komunitas sekitar hutan, meskipun mereka merupakan tangan pertama yang
menerima dampak langsung kerusakan akibat beroperasi HPH dan HTI.
Pemerintah alih-alih mengakui dan memperkuat kelembagaan komunitas,
yang terjadi sebaliknya, melakukan pembusukan secara sistematis. Merujuk pada
analisis Peluso, produk hukum dan kebijakan kehutanan yang dikeluarkan
pemerintah cenderung memperparah kemerosotan hutan dan semakin
merunyamkan kemiskinan penduduk yang tinggal di pinggiran hutan.183
Kondisi
inilah yang terjadi dan dialami kelembagaan buyut, pipeling dan liliuran di lokasi
penelitian. Kebijakan tata kelola hutan dan program pembangunan kehutanan
181 Lihat Undang-Undang Kehutanan No.41 tahun 1999.
182 Lihat Kartodihardjo, “Devolusi dan Undang-Undang Kehutanan Baru Indonesia” dalam Ida Aju
Prandja Resosudarmo dan Carol J.P. Colfer, 2003, Kemana Harus Melangkah. Jakarta Yayasan Obor
Indonesia.
183Lihat Nancy Lee Peluso, 2006. Hutan Kaya, Rakyat Melarat: Penguasaan Sumber Daya dan
Perlawanan Rakyat. Yogyakarta: Insist Press.
133
belum sepenuhnya berorientasi pada pemberdayaan komunitas, peningkatan
kesejahteraan komunitas sekitar hutan.
Dampak dari kebijakan kehutanan demikian adalah semakin terbatasnya
kesempatan kaum perempuan untuk mengais rejeki untuk mempertahankan
ketahanan pangan rumah tangganya. Penetrasi ekonomi kapital terhadap
masyarakat sekitar hutan, menimbulkan perubahan hubungan kerja agraria dari
patron-client ke tenaga kerja upahan, dari bapak angkat - anak angkat ke pemilik -
buruh harian. Perubahan hubungan kerja agraria patron-client, mengakibatkan
hilangnya perlindungan petani miskin dan buruh tani di sekitar hutan. Kebutuhan
tenaga kerja, biaya produksi dan sarana produksi usaha tani (bibit) yang
sebelumnya dapat dipenuhi secara resiprositas melalui liliuran, dewasa ini harus
dibeli secara tunai dari luar desa. Dalam ungkapan seorang informan, kehancuran
modal sosial ditandai dengan “tumbuhnya kecerdasan petani dari kepandaian
berbagi, beralih ke kepandaian berkali” dari resiprositas dan rasionalitas sosial ke
rasionalitas ekonomi dan utilitarian.
7.3.3. “Pembusukan” Etika Konservasi
Komunitas petani di hulu DAS Cidanau memiliki pemahaman yang
mendalam terhadap tata kelola sumberdaya hutan berkelanjutan. Etika konservasi
petani terkonstruksi atas pengalaman dan praktik tata kelola sumberdaya agraria
yang diwariskan buyut/luluhur. Bentuknya tampak sederhana, namun di balik
kesederhanaan terkandung pemahaman “luhur” tentang ekosistem, seraya
berusaha keras untuk mempraktikkan kegiatan pertanian yang ramah lingkungan.
Etika konservasi petani, antara lain dalam aktivitas tatanen yang disesuaikan
dengan pergeseran bulan dan bintang184
dan pergantian musim (kidang), meliputi
kidang turun kujang, kidang rumensang, kidang muuhan dan kidang turun
kungkang.185
“Bila Matahari bergeser ke Utara dan posisinya di sebelah Utara equator pertanda
masuk kidang turun kujang (musim ngahuru - musim kemarau). Sebaliknya bila
Matahari bergeser ke Selatan dan posisinya di sebelah Selatan equator berarti akan
184 Lihat, Rek Rozari, M Balantaram, 1994, “Perkiraan Musim Tradisional”. Buletin Meterologi
Pertanian Indonesia Vol. 11 No. 1 dan 2. Bogor: PP PERHIMPI.
185 Ance Gunarsih, 1986. Pengaruh Klimatologi Terhadap Tanah dan Tanaman. Jakarta: Bina
Aksara.
134
terjadi kidang muuhan (musim tanam). Bila Matahari berada di sekitar equator akan
terjadi masa peralihan yakni kidang rumengsang dan kidang turun kungkang (masa
kungkang menyerang padi dalam keadaan hamil muda)
Petani memahami siklus kidang “ajeug” dan dapat dijadikan petunjuk
perencanaan dan pengaturan aktivitas tatanen seperti nyacar (membersihkan
lahan bakal ladang), ngahuru (membakar hasil pembersihan lahan bakal ladang),
ngalabuh/ngasupan (masa tanam) dan musim kungkang (pemberantasan hama
penyakit). Penyesuaian aktivitas pertanian dengan siklus kidang dipahami petani
sebagai upaya memelihara keserasian dan keseimbangan hubungan antara
manusia (mikro kosmos) dan alam jagad raya (makro kosmos). Petani memaknai
pergantian kidang merupakan waktu yang tepat untuk pergiliran tanaman dan cara
untuk memutus siklus kehidupan hama tanaman. Aktivitas pertanian berdasarkan
kearifan lokal merupakan cara yang efektif untuk melakukan konservasi tanah dan
mempertahankan sifat-sifat fisik tanah, karena dapat terhindar dari penyerapan
unsur-unsur hara oleh tanaman tertentu.186
Praktik pertanian atas siklus kidang sering bertabrakan dengan program
kerja intansi sektoral. Perbedaan kalender masa tanam sering berakibat distribusi
bibit padi petani oleh aparat pertanian tidak sejalan dengan musim tanam. Petani
menanam padi varietas lokal Ramanteun (beras merah), Mayang dan Melati pada
bulan Oktober/ November, sementara distribusi bibit mengikuti pencairan
anggaran. Perbedaan kalender masa tanam sering menjadi pemicu ketegangan
petani dengan UPT pertanian. Dalam kaitan ini aparat UPT menyatakan:
“Aktivitas pertanian yang mengikuti kidang, sebagai pola tanam orang
pasisian, ketinggalan, tidak ilmiah dan tidak perlu dipertahankan.” Pola
tanam “petani” tidak sesuai dengan standar dan program dinas pertanian,
yang mengakibatkan rendahnya produktivitas pertanian dan sulitnya
mencapai target produksi untuk mewujudkan swasembada pangan baik
lokal maupun regional.
Pernyataan tersebut menunjukkan ’kejengkelan” agensi pembangunan,
menyaksikan pola pertanian komunitas berbasis kearifan lokal. Kejengkelan
186 Pergiliran tanaman dengan tanaman sejenis kacang-kacangan akan menambah kadar unsur
nitrogen di dalam tanah, karena tanaman kacang-kacangan mengandung rizobium pada bintil-bintil
akar dapat menambah nitrogen di dalam tanah. Forth, Henry, D. 1984. Fundamental of Social
Science. Michigan USA. John Willey and Son.
135
tersebut menimbulkan ketegangan petani dengan aparat sektoral. Ketegangan
tidak perlu terjadi, bila agensi sektoral memiliki apresiasi terhadap praktik tatanen
berbasis tradisi. Bagi petani tanah tidak hanya sebatas tempat tumbuhnya tanaman
tetapi juga terkandung nilai sosial budaya. Aktivitas pertanian mengikuti kidang,
pergiliran tanaman dan pengolahan tanah dengan gilir balik” dimaksudkan supaya
aktivitas pertanian “tidak menyakiti bumi”. Petani memaknai tujuan produksi
usaha taninya “tidak dimaksudkan untuk mengejar keuntungan” melainkan untuk
memenuhi konsumsi rumah tangga dan ketentraman hidup.
Pemaknaan atas cara dan pola tatanen yang berbeda dengan arus utama,
bagi agensi menjadi kendala pencapaian target produksi dan swasembada pangan.
Atas dasar itu pula sejak tahun 1980-an pemerintah, termasuk agensi pertanian di
kawasan DAS Cidanau mensosialisasikan sistem pertanian intensif, penggunaan
pupuk kimia dan masa tanam serempak. Tetapi sosialisasi pertanian intensif, bagi
petani berarti meningkatnya biaya produksi tetapi tidak menjamin keamanan
subsistensinya. Dalam hubungan ini informan menuturkannya sebagai berikut:
“Penyeragaman masa tanam bagi petani lahan kering tidak sejalan dengan siklus
kidang. Masa tanam yang jatuh pada akhir periode Kidang Muuhan curah hujannya
sedikit, akibatnya padi tidak tumbuh baik dan berdampak buruk pada hasil panen.
Keharusan menanam varietas padi tertentu sering berakibat kegagalan panen dan
terancamnya kehidupan subsistensi petani. Bagi petani lahan basah penyeragaman
masa tanam dan keharusan menanam varietas padi tertentu menyebabkan
berkurangnya waktu bera yang berimplikasi tambahan biaya produksi.
Penyeragaman masa tanam sebagai bentuk pemaksaan untuk menanam tanaman
sesuai kehendaknya.”
Berkaitan dengan penggunaan pupuk kimia, sejumlah petani menyatakan
bahwa penggunaan pupuk kimia dan pestisida diakui dapat meningkatkan
produksi pertanian dalam jangka pendek. Tetapi peningkatan produksinya tidak
memberi jaminan peningkatan kesejahteraan. Dalam bahasa seorang petani:
“Sanajan berakna ditambah hasilna mah teu sabaraha. Mun diberakan terus taneuh
jadi cape” (Walaupun pupuknya ditambah, hasil panennya tidak banyak meningkat,
penggunaan pupuk yang terus menerus menyebabkan kejenuhan pada tanah).
Akibatnya “kiwari mah melak dangdeur oge kudu diberak” (akibat kejenuhan tanah
menanam ubi kayu harus dipupuk).”
Pernyatan itu menunjukkan dua hal. Pertama pengetahuan petani tentang
aktivitas pertanian yang “tidak menyakiti bumi” merupakan bagian praktik
tatanen dan tata kelola sumberdaya agraria. Pembangunan pertanian yang
136
berorientasi produksi secara terpusat menyebabkan terbatasnya program alternatif
bagi aparat sektoral di tingkat lokal dan luruhnya pengetahuan dan praktek
pertanian berbasis kearifan lokal. Kedua pencapaian target produksi melalui
mekanisasi, intensifikasi pertanian dan penggunaan pupuk kimia dan pestisida
secara berlebihan mengakibatkan pencemaran lingkungan. Penggunaan pupuk
kimiawi telah menimbulkan pertumbuhan fitoplankton dalam jumlah berlebihan di
area konservasi Cagar Alam Rawa Danau. Pembusukan etika konservasi harus
dibayar dengan semakin meningkatnya tambahan biaya produksi dan sekaligus
menimbulkan pencemaran lingkungan. Dalam ungkapan seorang petani:
“penyemprotan hama dengan menggunakan pestisida, hama tanaman tidak
berkurang, sebaliknya terjadi ledakan hama karena terjadi resistensi terhadap
pestisida dan pencemaran tanah dan air.”
7.3.4. Peluruhan Kearifan Lokal
Di atas dijelaskan komunitas petani memiliki kearifan lokal tentang tata
kelola sumberdaya agraria, yang meliputi sistem olah tanah konservasi,
pemuliaan tanaman (coo beunih, huma pupuhunan, mipit (ritual pemilihan bibit
unggul), ngubaran pare (pemberantasan hama tanaman ramah lingkungan dan
ngirab sawan (acara ritual pembasmian hama padi ),187
pergiliran tanam (kidang)
dan zonasi hutan. Kearifan lokal merupakan bentuk pendekatan petani dalam
memahami kondisi ekologi lokal, sederhana namun di balik kesederhanaan justru
terkandung kelebihan dalam upaya menjaga kelestarian ekosistem dengan cara
“tidak menyakiti bumi”.
Etika konservasi dan aktivitas pertanian yang “tidak menyakiti bumi” itu
diprovokasi karena tidak sejalan dengan arus modernisasi dan sains modern.
Provokasi aparat sektoral terhadap etika konservasi dilakukan secara persuasi dan
represif. Persuasi dan provokasi dilakukan melalui sosialisasi penggunaan
teknologi modern, pupuk kimia dan pestisida untuk meningkatkan produksi
pertaniaan. Bentuk lainnya adalah membujuk petani untuk memodifikasi kebun
187 Bahan untuk membasmi hama padi adalah daun cangkudu, jeruk nipis, beuti laja (lengkuas),
karuhang, gembol, kalapa yang masih hijau, areuy beureum dan daun hanjuang. Bahan–bahan itu
ditumbuk sampai halus, kemudian dicampur dengan abu kapur, lalu ditebarkan di ladang. Kegiatan
membasmi hama tergantung tingkat serangan hama, angka ganjil sering dijadikan acuan karena
dinilai mengandung keberuntungan. Sumber diolah dari sumber primer.
137
campuran dan talun menjadi tanaman monokultur (kebun cengkeh, kebun kopi
dan sejenisnya). Upaya provokasi ini dinilai masyarakat sebagai bentuk
ketidakpahaman aparat sektoral terhadap kondisi sosial dan ekologi lokal. Seperti
terungkap dari pernyataan informan berikut:
Diakui petani hasil panen dan nilai jual cengkeh sering mengejutkan, tetapi tanaman
cengkeh cukup rentan dari serangan hama pohon dan daun, untuk membasminya
perlu disemprot pestisida yang tidak selalu tersedia di pasar lokal dan harganya
mahal. Pohon cengkeh memerlukan sinar matahari yang cukup, karena sebagian
besar kebun petani didominasi oleh kebun campuran dan talun, menyebabkan pohon
cengkeh kurang subur, hasil panennya sedikit dan sering terkena serangan hama
daun yang mengakibatkan kematian. Ketika pohon cengkih milik petani banyak yang
mati, petugas sulit diminta bantuan apalagi menggantinya.
Anjuran aparat sektoral untuk mengganti kebun campuran menjadi
tanaman monokultur merupakan tindakan memaksakan kepentingan pemerintah
kepada masyarakat. Aparat sektoral tidak menghargai etika dan tradisi petani
untuk menanam tanaman sesuai dengan kebutuhan dan kearifannya. Masyarakat
diprovokasi untuk membudidayakan tanaman tertentu sesuai dengan program
sektoral, tetapi tidak dibekali keterampilan yang memadai. Tindakan provokasi
juga dilakukan terhadap tradisi dan praktik pemuliaan tanaman, pemilihan bibit
unggul (coo beunih), tempat persemaian benih (huma pupuhunan), ritual
pemilihan bibit unggul (mipit), maupun pada tahap pemberantasan hama tanaman
ramah lingkungan (ngubaran pare) dan acara ritualnya (ngirab sawan). Aktivitas
tradisi dan praktik itu diprovokasi aparat sebagai “takhayul dan musyrik dan cara
tatanen orang pasisian”.
Dampak dari provokasi tersebut adalah teralienasinya petani dari
komoditi yang ditanam dan diproduksinya. Pemuliaan bibit unggul yang
sebelumnya melekat dan mentradisi dalam aktivitas pertanian, beralih tangan ke
laboratorium pusat-pusat kajian di perguruan tinggi dan penelitian dan
pengembangan pertanian. Sebelum revolusi hijau bibit padi varietas lokal yang
terdapat di Indonesia mencapai 8000 jenis, setelah berlangsung revolusi hijau,
bibit padi varietas lokal diperkirakan hanya mencapai sekitar 25 jenis.188
Keberhasilan revolusi hijau di Indonesia harus dibayar dengan hilangnya kearifan
lokal dan beralihnya penguasaan sekitar 7975 varietas padi lokal dari petani ke
188 Lihat Francis Wahono, “Revolusi Hijau: Dari Perangkap Involusi ke Perangkap Globalisasi”.
Jurnal Wacana. No.IV, 1999.
138
tangan bukan petani. Kearifan lokal tentang varietas padi lokal merupakan
kekayaan intelektual yang tak ternilai yang beralih tangan dan menjadi milik IRRI
dan pemerintah Amerika Serikat.
Pada komunitas petani di Citaman dan Cobojong, peluruhan kearifan lokal
mengakibatkan pudar dan rendahnya apresiasi masyarakat terhadap pengetahuan
keanekaragaman hayati. Modernisasi pertanian dan kesehatan yang
mencerminkan tafsir Barat tentang ilmu pengetahuan moderen, mengesampingkan
pengetahuan keanekaragaman hayati dan tanaman obat-obatan. Padahal kearifan
lokal tentang keanekaragaman hayati dan tanaman obat-obatan, bila direvitalisasi
secara optimal berpotensi untuk bahan pengobatan alternatif secara herbal,
menjadi komoditas unggulan daerah dan dapat memberi nilai tambah bagi
peningkatan pendapatan masyarakat.
Dari penggalian informasi di lapangan, sejauh ini belum ada upaya serius
dari pemerintah daerah untuk merevitalisasi kearifan lokal masyarakat tentang
tanaman obat-obatan. Aparat sektoral di aras lokal lebih tertarik untuk melibatkan
kelompok tani pada berbagai pameran dan pekan pertanian lokal dan regional,
meskipun tidak relavan bagi petani. Seperti dituturkan seorang pimpinan
kelompok tani sebagai berikut:
“Bagi kami (kelompok tani) bisa ikut serta dalam pameran dan pekan pertanian,
menambah percaya diri dan wawasan tentang dunia pertanian. Tetapi inovasi
pertanian yang diperkenalkan dalam pameran tidak punya arti, karena tidak sesuai
dengan kondisi sumberdaya dan sumber dana yang dimiliki petani serta tidak ada
tindak lanjutnya. Ikut serta dalam pameran dan pekan pertanian hanya memberikan
inspirasi untuk pengembangan agroforestry dan agrobisnis, tetapi tidak relevan
dengan kondisi SDM dan ekonomi petani.”
Pelibatan petani dalam pameran tampaknya dimaksudkan sebagai bagian
dari upaya peluruhan kearifan lokal secara halus, untuk mendorong petani
merubah tradisi dan praktik agroforestry berbasis komunitas ke arah agroforestry
komersial. Pengembangan agroforestry secara komersial berpeluang untuk
meningkatkan produktivitas agroforestry, tetapi peningkatan produktivitas
tersebut berpotensi memudarkan kearifan lokal tentang keanekaragaman hayati
tanaman obat-obatan dan tanaman yang telah lama didomestikasi oleh petani.
Pengembangan agroforestry komersial juga berpotensi merubah agro-ekosistem
139
tradisional yang bersifat polikultur dan stabil, digantikan sistem monokultur yang
padat bahan kimia.189
Peluruhan kelembagaan lokal oleh kekuatan supra lokal tak terlepas dari
peran dan fungsi negara modern sebagai aktor pengatur utama dan mengatur
banyak hal kehidupan sosial. Meminjam istilah Schiller,190
negara modern
merupakan negara penentu daya (power house state) atau dalam istilah Giddens
(1987)191
negara dalam masyarakat modern adalah aktor pendefinisi utama realitas
sosial. Melalui proses weberisasi (perumusan sejumlah peraturan perundang-
undangan), parkinsonisasi (pembesaran kapasitas birokrasi), pemerintah
melakukan orwelsiasi (membatasi dan mengawasi) aktivitas produksi agroforestry
yang dianggap mengganggu pencapaian target produksi.
Peran dan posisi negara sebagai pendefinisi realitas dan penentu daya,
dimungkinkan untuk melakukan kekerasan fisik dan kerasan simbolik.
Penggunaan kekerasan oleh aparat negara merupakan tindakan yang sah menurut
negara, tetapi tindakan serupa bila dilakukan oleh masyarakat sipil dianggap
melawan hukum. Dari segi ini dapat dikatakan bahwa peran negara sebagai
pendefinisi utama realitas sosial, mengakibatkan peluruhan kelembagaan lokal
berlangsung secara terstruktur. Merujuk pada Evers dan Schiel (1990), peluruhan
kelembagaan lokal melalui pengawasan pemerintah terhadap masyarakat sipil
(orwelisasi), dimaksudkan untuk mengamankan kepentingan politik dan ekonomi
rezim berkuasa, yakni penguasaan sumberdaya agraria termasuk sumberdaya
hutan.
Hanya saja transformasi penguasaan sumberdaya hutan dari berbasis
kelembagaan lokal ke penguasaan oleh negara, sejauh ini belum mampu
mewujudkan sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat seperti diamanat dalam
189 Indtrodusir tanaman monokultur mendorong aplikasi asupan kimiawi tak terkendali dalam
pertanian yang menimbulkan kejenuhan tanah dan berdampak negatif pada kesehatan petani, yakni
melemahnya sistem endokrin yang ditandai dengan berkurangnya kesuburan, kelainan sistem
kekebalan, gangguan rasa kepekaan dan menurunnya kecerdasan dan teragonik (kelahiran anak
cacat dari ibu yang keracunan). Lihat, “Bahaya-bahaya Pestisida”. Tani Lestari No.4 Agustus,
1999.
190 Schiller, J., “Indonesia (Mulai) Tahun 1999: Hidup Tanpa Kepastian,” dalam Jalan Terjal
Reformasi Lokal: Dinamika Politik di Indonesia, Yogyakarta: Program Pascasarjana, Universitas
Gadjah Mada, 2003.
191 Giddens, A. 1987. The Nation-State and Violence: Volume Two of A Contemporary Critique of
Historical Materialism. Berkeley: University of California Press.
140
konstitusi. Sehingga sejarah penguasaan sumberdaya hutan oleh negara
merupakan sejarah kegagalan politik agraria kehutanan. Dalam konteks kawasan
DAS Cidanau gambarannya dapat disimak pada uraian berikut.
7.4. Kegagalan Politik Agraria
Peluruhan kelembagaan lokal melalui proses weberisasi dan orwelisasi,
menunjukkan kegagalan pemangku otoritas untuk mewujudkan tujuan politik
agraria untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Di lokasi penelitian hal ini
ditunjukkan antara lain dengan penggusuran dan alienasi petani (depeasanitation
process), menculnya predator agraria, koflik agraria, relokasi petani secara exsitu
dan kepedulian semu pemerintah terhadap jasa lingkungan di kawasan DAS
Cidanau. Indikasi bentuk kegagalan politik agraria tersebut dijelaskan pada uraian
selanjutnya.
7.4.1. Penggusuran Petani (Depeasanitation Processes)
Komoditifikasi sumberdaya agraria, di lokasi penelitian ditandai dengan
meluasnya alih tangan penguasaan dan pemilikan tanah melalui jual beli dan
meningkatnya tanah in-absentia. Proses alih tangan lainnya yang menonjol adalah
melalui warisan, gadai dan hibah. Proses alih tangan pemilikan tanah melalui
warisan dan gadai tidak menyebabkan jatuhnya penguasaan tanah kepada “orang
kota”, karena penerima waris tanah dan penerima gadai, umumnya merupakan
penduduk lokal. Lain halnya dengan alih tangan melalui jual beli, mengakibatkan
jatuhnya penguasaan dan pemilikan tanah dari petani kepada bukan petani (orang
kota, petani berdasi serta kelompok sosial lainnya yang diuntungkan oleh proses
pembangunan).
Proses alih tangan penguasaan dan pemilikan melalui warisan yang
berlangsung di lokasi penelitian, didasarkan hukum Islam dan adat Sunda. Kedua
sistem pewarisan, terdapat perbedaan penting terutama berkaitan dengan jumlah
hak waris yang diperoleh laki-laki lebih besar daripada perempuan. Pelaksanan
sistem warisan menurut hukum Islam di masyarakat dituturkan responden sebagai
berikut:
“Bagian hak waris anak laki-laki lebih besar dari pada hak waris yang diterima anak
perempuan. Hak waris anak laki-laki lebih besar, karena anak laki-laki harus
141
nanggung (penanggung jawab rumah tangga), sedangkan perempuan “nyalindung”
(ikut) pada suami. Pembagian warisan dilakukan secara proporsional dan adil, yang
memiliki tanggung jawab lebih besar mendapat bagian lebih besar dan sebaliknya
yang tanggung jawabnya kecil mendapat bagian kecil.
Ini berbeda dengan sistem pewarisan menurut adat Sunda, laki-laki dan
perempuan memperoleh bagian yang “setara”. Sistem pembagian waris menurut
adat, cenderung memberikan keistimewaan kepada anak sulung dan atau anak
bungsu. Sistem pewarisan tanah menurut adat Sunda, dituturkan informan sebagai
berikut:
”Anak sulung dan atau anak bungsu dalam pembagian warisan tanah sering
diprioritaskan, seperti mendapatkan tanah kebun yang lebih subur. Sementara anak
perempuan sering diprioritaskan untuk menempati rumah yang merupakan hak milik
bapaknya, terutama jika anak laki-lakinya telah memiliki rumah”. Pembagian
warisan tanah seperti ini merupakan bagian penting dari tradisi petani.
Sistem pembagian warisan baik menurut Islam maupun adat biasanya
dilakukan secara lisan dan enggan mendaftarkan tanah warisnya pada pejabat
berwenang. Hal ini disebabkan pemilik waris terjalin ikatan keluarga, sehingga
kecil kemungkinannya terjadi konflik tanah warisan. Keengganan pemilik waris
mendaftarkan tanah waris, karena enggan mengeluarkan biaya administrasi yang
berkisar 2,5 – 5 persen dari nilai jual objek pajak (NJOP) tanah.
Proses alih pemilikan tanah melalui warisan merupakan salah faktor
penyebab fragmentasi pemilikan tanah di hulu DAS Cidanau. Ini ditunjukkan dari
pemilikan tanah pada sejumlah keluarga yang sebelumnya dikenal sebagai tuan
tanah, seperti dituturkan informan dari keluarga BHR:
Almarhum orang tua saya memiliki tanah sekitar 5 hektar, setelah diwariskan kepada
anak-anaknya termasuk saya, masing-masing mendapat hak waris seluas 1,1 hektar.
Sekarang Cucu BHR hanya menguasai tanah 0,5 hektar, bahkan di antara
keponakan (cucu BHR) harus puas menjadi penggarap tanah keluarga dan jadi
bujang (penggarap) tanah dari orang kota.
Pada kasus keluarga BHR dari empat anaknya, hanya anak sulung yang
bertambah tanahnya meski tidak signifikan. Fragmentasi pemilikan tanah keluarga
BHR, disebabkan alih tangan melalui warisan, gadai dan penjualan oleh generasi
kedua dan ketiga. Akibat gadai dan penjualan tanah, tiga dari sembilan cucu
BHR hanya memiliki tanah pekarangan dan tanah tempat tinggalnya.
142
Dari wawancara dengan sejumlah informan diketahui, dalam lima tahun
terakhir transasksi gadai dan penjualan tanah terus meningkat. Dalam keadaan
terdesak petani, bukan hanya menggadaikan tanah kebun yang menjadi sumber
kehidupannya, tetapi juga tidak jarang aset rumah tangga lainnya termasuk
pepohonan yang bernilai ekonomi. Penggadaian pepohonan biasanya dilakukan
jika bantuan/pertolongan yang dibutuhkan tidak diperoleh. Cara ini dilakukan
terutama oleh petani yang memiliki lahan kebun < 0,5 hektar, sedangkan pemilik
lahan luas (> 3 hektar) untuk pengembangan dan diversifikasi usaha atau
akumulasi modal. Seperti dituturkan seorang petani: “Saya sudah dua kali
menggadaikan 2 pohon duren dan 2 pohon petani senilai Rp. 3.000.000,-. Uang
hasil gadai saya gunakan untuk tambahan membeli sawah 2000 m.” Faktor yang
mendorong meningkatnya proses transaksi gadai dan jual beli tanah di lokasi
penelitian disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9. Jenis Kebutuhan Petani Yang Mendorong Transfer Tanah
No Jenis Kebutuhan Petani Kelompok Tani Hutan Jumlah Kasus
A. Kebutuhan Konsumtif KM1 KM 2 KM 3 KM 4
1 a. Rehab/bangunan rumah 2 3 1 2 8
2 b. Pesta perkawinan 2 3 2 2 9
3 c. Beli alat elektronik 2 1 2 1 6
4 d. Kebutuhan mendesak - - 1 2 3
5 e. Membeli motor 2 1 - - 3
B. Pengembangan Usaha
6 a. Modal usaha 2 1 2 - 5
7 b. Gadai/beli kebun 1 - 1 1 3
8 C. Biaya Pendidikan - 1 1 1 3
9 D. Ibadah Haji 2 1 - - 3
Jumlah Kasus 13 11 10 9 43
Sumber: Diolah dari informan kunci dan buku leter C
Dari Tabel 9 diketahui bahwa ada sembilan penyebab rumah tangga petani
menggadaikan tanahnya. Dari sembilan penyebab transfer penguasaan tanah
tersebut kebutuhan untuk memenuhi perkawinan, merehab membangun rumah
dan modal usaha merupakan faktor dominan. Penyebab lainnya yang mendorong
transfer penguasaan dan pemilikan tanah di lokasi penelitian adalah untuk
memenuhi kebutuhan yang dikategorikan mendesak, keperluan pendidikan
(menyekolahkan anak), tambahan biaya untuk menggadai dan membeli tanah dan
tambahan biaya untuk menunaikan ibadah haji.
Kelompok sosial yang bertindak sebagai pembeli dan pemegang hak
gadai, adalah petani pemilik lahan luas, pedagang, pegawai/karyawan dan aparat
desa. Sepanjang tahun 2008
dan pemegang hak gadai di lokasi penelitian disajikan pada
Gambar 8. Grafik Proses Transformasi Penguasaan Tanah
Sumber: Diolah dari sumber primer dan buku Cohir
Dari gambar tersebut
Desa Citaman dan Cibojong adalah pedagang
hak gadai tanah terbesar di Desa Citasuk berasal dari karyawan/pegawai (negeri
dan swasta). Tampilnya pedagang sebag
pada kedua desa, menunjukkan
hutan menguntungkan kalangan pedagang dan pemilik lahan luas.
Tampilnya pedagang, pegawai (negeri dan swasta termasuk aparat desa)
dan pemilik lahan luas sebagai pembeli/pemegang hak gadai tanah
bahwa pembangunan pertanian/ekonomi pedesaan dalam sepuluh tahun terakhir
192 Pedagang yang diuntungkan dari
menyuplai berbagai jenis kebutuhan
hasil pertanian di tingkat lokal
komoditasnya ke pusat-pusat perdagangan di Kota Serang, Tangerang, Cilegon dan Jaka
Diolah dari sumber primer.
(menyekolahkan anak), tambahan biaya untuk menggadai dan membeli tanah dan
n biaya untuk menunaikan ibadah haji.
Kelompok sosial yang bertindak sebagai pembeli dan pemegang hak
adalah petani pemilik lahan luas, pedagang, pegawai/karyawan dan aparat
desa. Sepanjang tahun 2008-2009 mereka yang terlibat dalam pembelian tanah
ak gadai di lokasi penelitian disajikan pada Gambar 8 di bawah.
. Grafik Proses Transformasi Penguasaan Tanah
Sumber: Diolah dari sumber primer dan buku Cohir
ambar tersebut diketahui, pembeli dan pemegang hak gadai tanah di
Desa Citaman dan Cibojong adalah pedagang, sedangkan pembeli dan pemegang
hak gadai tanah terbesar di Desa Citasuk berasal dari karyawan/pegawai (negeri
dan swasta). Tampilnya pedagang sebagai pembeli dan pemegang hak gadai tanah
menunjukkan pembangunan pedesaan dan masyarakat sekitar
menguntungkan kalangan pedagang dan pemilik lahan luas.192
Tampilnya pedagang, pegawai (negeri dan swasta termasuk aparat desa)
pemilik lahan luas sebagai pembeli/pemegang hak gadai tanah, menunjukkan
pembangunan pertanian/ekonomi pedesaan dalam sepuluh tahun terakhir
Pedagang yang diuntungkan dari pembangunan ekonomi pedesaan adalah pedagang
uplai berbagai jenis kebutuhan pokok warga, membeli dan menampung berbagai komoditas
hasil pertanian di tingkat lokal dan antar desa, serta pedagang yang mampu memasarkan
pusat perdagangan di Kota Serang, Tangerang, Cilegon dan Jaka
143
(menyekolahkan anak), tambahan biaya untuk menggadai dan membeli tanah dan
Kelompok sosial yang bertindak sebagai pembeli dan pemegang hak
adalah petani pemilik lahan luas, pedagang, pegawai/karyawan dan aparat
mereka yang terlibat dalam pembelian tanah
di bawah.
diketahui, pembeli dan pemegang hak gadai tanah di
sedangkan pembeli dan pemegang
hak gadai tanah terbesar di Desa Citasuk berasal dari karyawan/pegawai (negeri
ai pembeli dan pemegang hak gadai tanah
pembangunan pedesaan dan masyarakat sekitar
Tampilnya pedagang, pegawai (negeri dan swasta termasuk aparat desa)
menunjukkan
pembangunan pertanian/ekonomi pedesaan dalam sepuluh tahun terakhir
pedagang yang
membeli dan menampung berbagai komoditas
dan antar desa, serta pedagang yang mampu memasarkan
pusat perdagangan di Kota Serang, Tangerang, Cilegon dan Jakarta.
144
berpihak dan menguntungkan orang kuat dan orang kaya di desa. Pelaksanan
pembangunan pertanian dan kehutanan, memang meningkatkan produktivitas
komoditas pertanian dan perkebunan. Tetapi yang menikmati peningkatan
produktivitas pertanian itu adalah the strong di desa seperti pedagang,
pegawai/karyawan (negeri dan swasta) termasuk aparat desa dan pemilik kebun di
atas dua ha. Kondisi ini merupakan implikasi dari politik pembangunan pertanian
dan kehutanan bersifat economy of scale. Akibatnya teknologi dan aliran dana
yang masuk ke pedesaan, sebagian besar dinikmati oleh elit desa (pemilik lahan
luas dan kelompok tertentu) yang dekat dengan birokrat desa atau jalur lain yang
memiliki akses terhadap sumber dana itu.193
Dari pengamatan dan penggalian informasi juga diketahui bahwa sejalan
dengan komoditifikasi sumberdaya, maka pembangunan fisik material lebih
menonjol daripada pengembangan sosial dan kemandirian rakyat. Meningkatnya
pembangunan jalan disertai tersedianya sarana transportasi pedesaan di wilayah
Kecamatan Ciomas dan Padarincang, memudahkan arus masuk keluar barang dan
orang ke pusat perdagangan dan pemerintahan di Kota Serang dan sekitarnya.
Pembangunan jaringan listrik dan sarana komunikasi, juga menambah lama
denyut kehidupan warga pada malam hari dan memudahkan komunikasi serta
akses informasi penduduk dengan luar dan supra desa.
Di sisi lain meningkatnya pembangunan infrastruktur, terindikasi kuat
berhasil memacu pola hidup konsumtif masyarakat.
Peningkatan konsumsi
keluarga petani melampaui peningkatan kapasitas produksinya. Lebih besar pasak
dari tiang dan semakin tergantungnya kebutuhan komunitas petani kepada pasar.
Kondisi ini menurut Soetrisno, (1995) mengindikasikan bahwa pembangunan
ekonomi pedesaan telah merangsang rumah tangga petani untuk hidup dalam
“budaya kredit”.194
Meluasnya budaya kredit dituturkan informan sebagai
berikut:
Sebagian ibu rumah tangga lebih senang memasak nasi menggunakan rice cooker,
yang dibeli secara kredit, meskipun kayu bakar masih tersedia di sekitarnya. Di
tengah tersedianya kayu bakar, memasak nasi dengan rice cooker hanya menambah
beban rumah tangga membayar listrik.
193 Lihat Kenneth Young & R Tanter. Politik Kelas Menengah Indonesia. Jakarta: LP3ES.
194Lihat Loekman Soetrisno, 1995. Menuju Masyarakat Partisipatif. Yogyakarta: Kanisius.
145
Komodifikasi agraria selain memicu tumbuhnya pola hidup hidup
konsumtif, juga ternyata memicu meluasnya pemilikan tanah in-absentia di
wilayah Kecamatan Ciomas dan Padaricang. Gejala demikian menggambarkan
bahwa komodifikasi agraria bukan hanya diikuti dengan beroperasinya moda
produksi kapitalis pada komunitas sekitar hutan, tetapi juga mengakibatkan
penggusuran dan alienasi petani depeasanitation process), yakni pemiskinan
penguasaan aset produksi petani yakni tanah. Area persawahan dan perkebunan di
lokasi penelitian, yang sebelumnya dikuasai petani, dewasa ini beralih tangan
kepada ”petani berdasi” dan orang kota. Bila tak ada upaya strategis dan
tindakan politik yang berarti untuk memperbaiki kehidupan petani, penggusuran
dan alienasi petani yang berlangsung dewasa ini pada ketiga desa, dapat mengarah
pada fenomena sosial yang disebut Hobsbawm, 195
the death of the peasantry atau
deruralization dan deagrarianization processes yang dikemukakan Bryceson. 196
Penggusuran dan alienasi petani atau dissolving kehidupan petani
merupakan implikasi dari beroperasinya sistem produksi kapitalis di wilayah
pedesaan. Penggusuran dan alienasi petani yang terjadi pada desa penelitian,
disebabkan surplus value dari peningkatan produktivitas pertanian dan komoditas
agroforestry terdistribusi secara timpang. Pemilik modal, majikan dan pemilik
lahan luas memperoleh surplus value lebih besar dari peningkatan produktivitas
pertanian dan pendapatan di luar pertaniaan. Sebaliknya tenaga kerja dan buruh
upahan memperoleh surplus value lebih kecil dari yang seharusnya, karena
dieksploitasi oleh pemilik modal dan pemilik lahan luas, sebagian di antaranya
adalah orang kota.
Meningkatnya penguasaan sumberdaya agraria oleh orang kota dalam
aktivitas agroforestry di lokasi penelitian, ternyata disertai semakin dominannya
kekuatan produksi non lahan (bahan, alat, modal dan keterampilan) yang berasal
dari luar dan untuk mendapatkannya petani dipaksa melakukan hubungan
195 Penguasaan dan pemilikan tanah oleh bukan petani oleh Hobsbawm dipandang sebagai
pertanda the death of the peasantry. Hobsbawm, Eric, 1985, Age of Extremes: The Short Twentieth
Century 1914-1991, London: Abacus Books, Little, Brown and Co.
196Meluasnya kepemilikan tanah oleh kelompok bukan petani oleh Bryceson dipandang sebagai
deruralization dan deagrarianization processes Bryceson, Deborah; Cristóbal Kay, and Jos Mooij,
2000, Disappearing Peasantries? Rural Labour in Africa, Asia and Latin America, London:
Intermediate Technology Publications.
146
pertukaran ekonomi di pasar. Penguasaan faktor produksi non lahan oleh bukan
petani, mendorong semakin terintegrasi dan tergantungnya petani kepada
kekuatan supra lokal untuk menopang aktivitas ekonominya. Meningkatnya
ketergantungan petani dalam proses produksi kepada pihak luar, bersamaan
dengan penguasaan produksi berupa sumberdaya agraria merupakan bentuk nyata
penggusuran dan alienasi petani (depeasanitation process).
7.4.2. Predator Agraria
Pada uraian sebelumnya diuraikan bahwa penguasaan faktor produksi
lahan dan non lahan (bahan, alat, modal dan keterampilan) oleh bukan petani
menjadi faktor pengungkit penggusuran dan alienasi petani (depeasanitation
process). Di antara kelompok elit desa yang diuntungkan oleh proses
pembangunan adalah Kepala Desa dan aparatnya. Tampilnya Kepala Desa sebagai
elit ekonomi dan politik, karena posisinya menjadi pemegang kekuasaan tertinggi
dan pengendali pelaksanaan pembangunan di desa. Dengan posisi tersebut, Kepala
Desa memungkinkan untuk meraih keuntungan politik dan ekonomi secara
langsung maupun tidak langsung dari proses pembangunan ekonomi pedesaan.
Implikasi dari posisinya sebagai pemegang otoritas kekuasaan
pemerintahan desa, maka Kepala Desa memiliki tugas dan tanggung jawab
melindungi kekayaan dan kelembagaan sosial ekonomi di wilayahnya. Dalam
konteks lokasi penelitian, tugas dan tanggung jawab pemegang otoritas
kekuasaan pemerintahan desa antara lain adalah melindungi kelembagaan sosial
seperti tanah kaguronan dan tanah kajaroan. Kedua bentuk penguasaan tanah itu
merupakan keunikan kelembagaan penguasaan tanah di Desa Citaman.
Tanah kaguronan yang terdapat di Desa Citaman berasal dari hibah dan
wakaf masyarakat untuk mendukung kemajuan pendidikan keagamaan dan
pondok pesantren, luasnya sekitar 6 hektar. Hibah dan wakaf tanah yang
dilakukan masyarakat dilakukan secara lisan dan pengelolaannya diserahkan
kepada kepala pengurus Pesantren,Pengurus Madrasah dan Masjid. Masyarakat
147
meng-hibah-kan dan me-wakaf-kan tanahnya didorong oleh niat mulia dan ikhlas
karena Allah, sehingga jarang dilakukan secara tertulis.
Dewasa ini sebagian area tanah kaguronan yang terdapat di desa Citaman
sampai sekarang merupakan lokasi Pondok Pesantren Subulus Salam dan tempat
tinggal pengasuhnya. Sebagian lagi digarap oleh warga setempat yang memiliki
hubungan kerabat dengan Kepala Desa Citaman dengan sistem bagi hasil. Pondok
Pesantren Subulus Salam pada masa puncak kebesarannya merupakan Pondok
Pesantren yang berpengaruh di Kecamatan Ciomas. Santri yang mondok di
pesantren ini berasal dari berbagai daerah sekitar Kabupaten Serang. Pengaruh
kebesaran Pesantren itu terlihat pada acara peringatan maulid Nabi pada tanggal
12 Maulid dan acara ritual pencucian golok raksasa (tercatat di Musium Record
Indoensia (MURI).
Di tengah komersialsiasi sumberdaya agraria dan meluasnya penguasaan
dan pemilikan tanah oleh orang kota, pelaksanaan hibah dan wakaf tanah secara
lisan yang didorong oleh niat mulia dan ikhlas dapat disalahkan gunakan oleh
“penguasa yang tidak amanah”. Ikrar hibah dan wakaf tanah yang tidak didukung
bukti dan dokumen tertulis di tengah maraknya pragmatisme ekonomi ternyata
menjadi peluang terjadinya penyalahgunaan, manipulasi dan rekayasa
kepemilikan tanah untuk merauf kepentingan ekonomi pribadi. Kondisi inilah
yang terjadi dalam kasus alih tangan dan penyalah-gunaan penguasaan tanah
kaguronan yang terjadi di Desa Citaman.
Posisinya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di desa dan pelindung
tanah kaguronan, disalah-gunakan untuk kepentingan pribadi dengan bertindak
sebagai predator tanah kaguronan. Tindakan yang dilakukan oleh Kepala Desa
seperti pepatah, pagar makan tanaman. Kepala Desa yang seharusnya bertindak
sebagai protektor tanah kaguronan, malah bertindak sebagai predator.
Tindakannya sebagai predator tanah, dilakukan dengan menyalahgunakan
otoritasnya dan merekayasa status hukum tanah kaguronan. Tanah kaguronan
yang sebelumnya merupakan aset publik/masyarakat di bidang pendidikan,
kemudian direkayasa menjadi milik pribadi dengan cara mengagunkan tanah
kaguronan ke bank untuk mendapat dana segar bagi pribadinya.
148
Proses rekayasa status hukum tanah kaguronan hanya mungkin dilakukan
oleh orang yang memiliki akses dan kekuasan serta pemberi hibah tanah telah
meninggal dunia. Setelah pemberi hibah meninggal dunia, maka subyek hukum
tanah kaguronan menurut hukum positif menjadi “mengambang”, meskipun
secara substansial tidak berubah. Dalam kondisi ini, Kepala Desa sebagai
pemegang otoritas tunggal dalam administrasi pertanahan, memiliki wewenang
menentukan administrasi pertanahan, termasuk tanah yang ”statusnya
mengambang”. Kewenangan dan peluang inilah yang dilakukan oleh Kepala Desa
melalui rekayasa administrasi tanah wakaf, ketika pemberi wakafnya telah
meninggal dunia. Tampilnya Aparat Desa sebagai predator agraria membenarkan
adigium bahwa kekuasaan cenderung korupsi.
Mencuatnya aparat desa sebagai predator agraria menunjukkan bahwa
upaya mewujudkan politik agraria untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,
terkendala oleh praktik dan perilaku aparat pemerintahan (tingkat desa dan di
atasnya) yang memiliki semangat untuk memburu rente ekonomi. Aparat desa
sebagai ujung tombak kelembagaan pemerintah paling bawah tidak lagi berfungsi
sebagai pemecah masalah agraria di tingkat komunitas, tetapi menjadi bagian dari
masalah keagrariaan. Perilaku aparat (pusat, daerah dan desa) yang tidak bersih
akan mengalami kesulitan untuk mewujudkan pemerintahan yang baik dan
bersih.197
Dalam konteks wilayah Desa Citaman, kesulitan untuk menyelenggarakan
pemerintahan yang baik dan bersih, tercermin dari ketidakmampuan pemeritah
desa melindungi tanah kaguronan. Tampilnya aparat desa sebagai predator agraria
dan ketidakmampuan pemerintah tingkatan paling bawah menyelenggarakan
pemerintahan yang baik dan bersih, menjauhkan upaya pembangunan ekonomi
pedesaan dan komunitas sekitar hutan melalui reforma agraria yang dicanangkan
pemerintah. Tampilnya aparat desa sebagai predator agraria, menunjukkan bahwa
197 Tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih adalah penyelenggaraan negara yang responsif
dan bertanggung jawab dan bersinergi dengan masyarakat sipil. Lihat Robert Archer, “Pasar dan
Penyelenggaraan Negara yang Baik”, dalam Didik J. Rachbini (ed.), Negara dan Kemiskinan di
Daerah (Jakarta: Sinar Harapan, 1995). UNDP mengidentifikasi 6 karakteristik good governance:
(1) partisipatif; (2) transparan dan bertanggungjawab; (3) efektif dan berkeadilan; (4) supremasi
hukum; (5) prioritas sosial, ekonomi, dan politik didasarkan konsensus dalam masyarakat; (6)
proses pembuatan keputusan mendengarkan suara penduduk miskin dan rentan.
UNDP,1997.
Reconceptualizing Governance (New York: UNDP.
149
komoditifikasi sumberdaya agraria menjadi kendala mewujudkan reforma agraria
dan penyelenggaraan politik sumberdaya agraria berkeadilan dan produktif, baik
di aras lokal maupun supralokal.
Pada tingkatan di atas desa pecanangan reforma agraria terkendala oleh
arus politik agraria yang berorientasi produksi dan transaksional semata-mata.
Rembesan dari pengarus-utamaan politik agraria tersebut pada aras lokal adalah
rendahnya produktivitas komoditas agroforestry, meluasnya komersialisasi tanah,
tergerusnya kemandirian dan keswadayaan masyarakat desa. Aset dan faktor
produksi pertanian (tanah) tidak terdistribusi secara adil dan semakin terhempas
dari tangan petani wong cilik kemudian beralih tangan dan dinikmati oleh
kelompok the strong baik di desa maupun di atas desa. Terhempasnya
penguasaan faktor produksi, tanah dari tangan petani wong cilik, mengakibatkan
program sektoral dan upaya peningkatan produktivitas pertanian bukan
memberdayakan petani, tetapi memperdayanya. Kesadaran inilah yang
mendorong petani untuk melakukan pendudukan tanah area Cagar Alam Rawa
Danau.
7.4.3. Pendudukan Petani dan Enclavisme
Dari sekitar 303 kawasan konservasi yang terdapat di Indonesia, salah
satunya Cagar Alam Rawa Danau yang terdapat di Kabupaten Serang. Cagar
Alam Rawa Danau berada dalam wilayah administrasi pemerintahan Kecamatan
Padarincang, Pabuaran dan Kecamatan Mancak Kabupaten Serang. Cagar Alam
Rawa Danau merupakan kawasan endemik dan sebagai situs konservasi rawa
pegunungan satu-satunya yang masih tersisa di Pulau Jawa.
Namun dibalik keunikan ekologinya, Cagar Alam dalam kondisi kritis.
Debit air Rawa Danau dari tahun ke tahun cenderung menurun198
dan secara de
facto luas Cagar Alam Rawa Danau terus menyusut karena diduduki dan dikuasai
oleh petani untuk persawahan, pemukiman dan perkebunan yang telah mencapai
sepertiganya. Dewasa ini Cagar Alam Rawa Danau mengalami degradasi dan
198 Pada tahun 1922 debit airnya mencapai 45 m³/detik, tahun 1989 tercatat 25 m³/detik dan tahun
1990-2001 berkisar 10-15 m³/detik. Pada tahun 2003 debit airnya 20 m³/detik bahkan pada musim
kemarau panjang tercatat hanya 12-15 m³ per detik. Laporan Hasil Perjalanan Observasi Rawa
Danau tahun 2003 oleh Kelompok Swadaya Masyarakat Rekonvasi Bumi, 2003.
150
sedimentasi yang krusial mencapai 360.000 ton per tahun, akibat kegagalan
reboisasi di hulu dan aktivitas pertanian yang tidak ramah lingkungan.
Kritisnya Cagar Alam Rawa Danau disebabkan salah urus dan dibiarkan
merana dalam tempo lama. Penetapan Rawa Danau sebagai Cagar Alam,
berdasarkan Government Besluit (GB) nomor 60 stnl. 683 tanggal 16 Oktober
1921. Sejak ditetapkan oleh pemerintah Kolonial Belanda tahun 1921, kawasan
konservasi ini tidak dikelola secara baik dan profesional. Akibat salah urus dan
pembiaran merana terlalu lalu, maka pemulihan dan rehabilitasinya menjadi pelik
dan kompleks. Dewasa ini permasalahan pengelolaan Cagar Alam Rawa Danau,
tidak hanya berkaitan dengan masalah tata kelola dan teknik konservasi, tetapi
telah menyentuh persoalan politik konservasi dan hubungan teknis dan sosial
agraria penduduk di sekitar area cagar alam.
Tata kelola konservasi Rawa Danau yang tidak baik dan salah urus,
menyebabkan situs konservasi rawa pegunungan itu kritis dan merana. Sementara
penduduk sekitarnya sebagian besar adalah petani lapar tanah. Kondisi ini
mengundang birahi petani lapar tanah, untuk melakukan pendudukan kawasan
Cagar Alam Rawa Danau untuk mengais rejeki dan menyambung hidup. Selain
lapar tanah, penduduk sekitar Rawa Dawa Danau juga memiliki ikatan sejarah dan
hubungan teknis agraria dengan area Rawa Danau. Pertautan ikatan sejarah dan
kebutuhan ekonomi (lapar tanah), merupakan faktor dominan pendudukan petani
terhadap Cagar Alam Rawa Danau.
Akibat pembiaran yang berlangsung lebih dari setengah abad dan salah
urus, maka upaya rehabilitasi kawasan konservasi yang terlanjur terdegradasi,
menjadi pelik dan kompleks. Upaya pemerintah baik secara persuasi maupun
represi, sejauh ini belum dapat menyelesaikan masalah konservasi kawasan Rawa
Danau secara menyeluruh. Pemerintah baru tersentak setelah kawasan Rawa
Danau sepertiganya diduduki petani, yang sudah berlangsung lebih dari setengah
abad. Meluasnya pendudukan petani atas Rawa Danau, mendorong pemerintah
bertindak represif dengan merelokasi 274 kepala keluarga secara paksa ke
berbagai wilayah transmigrasi di Aceh dan Riau.199
Sedangkan upaya rehabilitasi
199 Tindakan relokasi petani dari kawasan Cagar Alam Danau didasarkan atas Surat Keputusan
Bupati Serang No. 750/280-017.4.Huk.Ek/1985. (Kabar Bumi,2004).
151
Rawa Danau baru dilakukan dalam sepuluh tahun terakhir, tahun 2002
melakukan penanaman 5000 pohon pohon gempol (Anthocephalus cadamba)
pada wilayah catchment area dan tahun berikutnya penanaman 6000 pohon di
Blok Cimanuk.
Perlindungan Cagar Alam Rawa Danau yang terlanjur salah urus dan
terlantar, sejauh ini belum dapat menyelesaikan masalah konservasi dan
pendudukan petani atas Rawa Danau. Hal ini disebabkan langkah yang dilakukan
pemerintah, meneruskan politik konservasi kolonial Belanda yang bersifat
konvesional. Dalam penanganan konservasi Rawa Danau, pemerintah seperti
”mengadopsi pengembangan konservasi Taman Nasional Yellowstone” (di
Amerika tahun 1872), yang memisahkan kawasan yang berfungsi sebagai sumber
keindahan dengan penduduk sekitarnya. Kawasan konservasi diisolasi, sebagai
”barang antik” tidak boleh disentuh dan diganggu oleh aktivitas manusia.
Penanganan Cagar Alam Rawa Danau, dilakukan dengan cara konservatif,
represif bahkan eko-totalitarianism, seperti menempatkan area Rawa Danau
sebagai ”enclave” dan relokasi ex situ penduduk sekitar Rawa Danau. Langkah ini
menjadi pilihan pemerintah untuk memutus rantai interaksi masyarakat dengan
Cagar Alam Rawa Danau. Kawasan konservasi dijadikan sebagai enclave yang
tidak boleh disentuh dan dijauhkan dari interaksi manusia. Penduduk sekitar Rawa
Danau diposisikan sebagai makhluk biologis semata-mata tanpa ada ikatan dan
kaitan sosial dan budaya dengan tanah, air dan tempat kelahirannya. Seperti
terungkap dalam pernyataan informan berikut:
Peran serta masyarakat dalam konservasi Cagar Alam Rawa Danau tidak penting,
karena tidak mengerti tentang konservasi. Sosialisasi dan edukasi konservasi tidak
bermanfaat, penduduk di sekitar CA Rawa Danau adalah perambah dan menjadi
kendala upaya konservasi. Konservasi Rawa Danau hanya bisa dilakukan dengan
menindak secara tegas dan menjauhkannya dari para perambah.
Parnyataan itu menunjukkan bahwa aparat memaknai dan menempatkan
Cagar Alam Rawa Danau sebagai enclave dan mengalienasi penduduk dari ikatan
sosial ekonomi dengan tanah dan air yang berlangsung puluhan tahun. Dalam
analisis Dietz (1998), kebijakan konservasi yang dilakukan oleh pemerintah
152
terhadap Rawa Danau, dikategorikan sebagai eko-fasisme atau ekototaliter.200
Konservasi cagar alam dipandang jauh lebih penting daripada kehidupan
masyarakat dan penyelamatan Rawa Danau dianggap lebih mendesak dan lebih
penting daripada upaya pemberian akses masyarakat untuk mengais rejeki.
Di tengah ketimpangan struktur agraria dan keterbatasan pemerintah
menyediakan lapangan kerja, kebijakan ekototaliter tak menyelesaikan masalah
konservasi Rawa Danau maupun masalah sosial ekonomi komunitas petani di
sekitarnya. Misalnya Relokasi 274 kepala keluarga di sekitar CA Rawa Danau
secara ex-situ tahun 1985 ke lokasi transmigrasi di di P. Sumatera, lebih tepat
disebut “cerita gagal” daripada “cerita sukses” land refom. Dari penulusuran,
penyebabnya “cerita gagal” itu adalah penempatan transmigran di daerah
berekologi marginal (lahan kering/kritis, pasang surut) dan “penyimpangan dalam
pelaksanaan”. “Cerita gagal” land refom, ditunjukkan dengan kembalinya
sejumlah petani yang direlokasi setelah jatuhnya rezim Orde Baru ke habitat
ekologi sosialnya, Cagar Alam Rawa Danau yang telah didomestikasi
sebelumnya.
Cerita gagal “enclavisme” kawasan konservasi dan alienasi petani dari
Rawa Danau, ditunjukkan dengan semakin meningkatnya kualitas dan kuantitas
perlawanan dan pendudukan petani. Tahun 1985 warga yang harus direlokasi dari
Cagar Alam hanya 300 kepala keluarga, tahun 2006 meningkat menjadi 3000
petani. Tahun 2000 pendudukan petani sebatas menggarap Rawa Danau untuk
memenuhi kebutuhan pangannya, tahun 2006 petani telah membangun “tempat
tinggal”. Area konservasi yang diduduki petani telah mencapai 845,13 hektar atau
sepertiga dari luas Cagar Alam Rawa Danau sekitar 2.500 hektar.201
Sebelumnya
petani yang menduduki Cagar Alam Rawa Danau hanya berhadapan dengan
petugas jagawana (yang dapat diselesaikan dengan memberi upeti pada saat
panen), dewasa ini petani demonstrasi ke DPRD Kabupaten Serang, menuntut
pendudukannya atas sebagian Cagar Alam Rawa Danau dilegalkan dengan pola
pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) atau perhutanan sosial.
200 Diez, Ton, 1998. Pengakuan Hak Atas Sumberdaya Alam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar-Insist
Remedec.
201 BKSDA, Ekspose Penanganan Perambahan dan Pemukiman Liar Cagar Alam Rawa Danau,
2005.Tidak dipublikasikan.
153
Sejauh ini pemangku otoritas belum mengakomodasi tuntutan petani dan
belum melihat hal positif pelibatan dan kemitraan dengan masyarakat dalam
pengelolaan Rawa Danau. Pemahaman kawasan konservasi sebagai enclave dan
eksklusif, masih menjadi arus utama, dibandingkan dengan pengelolaan kawasan
konservasi secara komprehensif dalam konteks pengembangan wilayah dan
pemberdayaan masyarakat, yang mengintegrasikan aspek ekologi, ekonomi dan
sosial. Pemangku otoritas tetap pada pendiriannya, area konservasi harus
dibebaskan dari aktivitas petani. Peraturan perundangan dijadikan rasionalitas
aparat pada umumnya. Atas dasar rasionalitas hukum pula petugas meniadakan
pembelaan terhadap petani dan menempatkannya sebagai obyek polisionil
daripada sebagai kelompok sosial yang perlu diberdayakan oleh pemerintah.
Upaya petani mengais rejeki di kawasan konservasi, dilihat dalam
perspektif aturan hukum tentang konservasi secara formal dengan mengabaikan
aspek substansi dan keadilan. Penegakkan hukum oleh pemangku otoritas hanya
memperhatikan pasal-pasal konservasi sebagai harga mati, yang tidak berkaitan
dengan kebenaran hukum secara substansial. Bahkan aturan hukum yang
ditegakkan sering tidak sejalan dengan masalah sosial ekonomi petani, yakni
alienasi, pengusiran dan pembatasan akses terhadap sumberdaya untuk menopang
kelangsungan hidup. Pasal-pasal konservasi ditegakkan untuk membela
rasionalitas yang dianut dan tidak ada kaitan dan tidak sejalan dengan masalah
yang seharusnya dipecahkan. Dalam menegakkan pasal-pasal konservasi dan
membela rasionalitasnya dari pendudukan petani, tidak jarang agensi konservasi
memandang kekerasan sebagai solusi, karena terbukti efektif untuk mencapai
tujuan, meskipun untuk sementara waktu. Sejauh ini pendekatan represif dan
kriminalisasi petani, tidak menyelesaikan masalah sosiologis area konservasi,
yakni hubungan sosial dan hubungan teknis manusia dengan area konservasi.
Dari penggalian informasi di lapangan, diperoleh keterangan hubungan
teknis agraria petani dengan area konservasi memiliki ikatan sejarah. Sebagian
petani yang menggarap sebagian tanah area konservasi, meneruskan warisan
leluhur orang tuanya jauh sebelum lahirnya negara RI. Dari segi ini relokasi ex-
situ dan alienasi petani dari area konservasi, bukan hanya memutus rantai sumber
mata pencaharian, tetapi juga memutus rantai sosial dan sejarah komunitas petani.
154
Penegasian hubungan sosial dan teknis agraria petani untuk kepentingan
konservasi secara sempit, merupakan klaim sepihak penguasa. Klaim sepihak
yang menegasikan hak sosial dan sejarah itulah yang menyebabkan masalah
konservasi Rawa Danau tidak kunjung terselesaikan dan terus bergejolak.
Dalam analisis Habermas klaim sepihak pemerintah terhadap hak sosial
ekonomi masyarakat sebagai bentuk “kolonisasi”. Dalam konteks Rawa Danau,
kolonisasi ditunjukkan oleh hegemoni pemerintah dan menolak pengelolaan
kolaborasi 202
dan penataan batas dan zonasi area konservasi. Zonasi area
konservasi, diperlukan agar ada kejelasan zona yang dapat diakses untuk
mendapatkan manfaat ekonomi dan zona terlindungi.
Meluasnya eskalasi perlawanan dan pendudukan petani di area Cagar
Alam Rawa Danau, disebabkan tersebarnya informasi di masyarakat, bahwa
Pemda merencanakan pembangunan jalan yang menghubungkan Kecamatan
Mancak dengan Kecamatan Cinangka yang membelah kawasan Rawa Danau
dalam rangka mengembangkan kawasan wisata Curug Betung. Informasi ini
dinilai oleh petani, sebagai “politik belah bambu”.203
Pemerintah menggusur dan
mengkriminalisasi petani yang memanfaatkan area konservasi untuk mendapatkan
sesuap nasi, pada saat yang sama memberi kesempatan pada pemilik modal
memperoleh manfaat dari Rawa Danau untuk mengembangkan bisnisnya.
Petani dan aktivitas lingkungan yang memiliki kepedulian terhadap
konservasi Rawa Danau, menilai bahwa rencana membelah Rawa Danau sebagai
upaya memuluskan jalan bagi konspirasi pemilik modal dan aparat untuk kegiatan
illegal logging. Merujuk pada pendapat Gadgil dan Guha: di negara berkembang
environmentalism menyebabkan konflik, termasuk konflik antara para petani
dengan pengusaha yang didukung penguasa untuk mendapatkan sumber-sumber
produktif. Sehingga konflik lingkungan tampil menjadi bentuk konflik ekonomi.
Dalam diskusi dengan pengurus kelompok tani timbul pemikiran, agar
kebijakan konservasi ke depan dilakukan dengan memadukan program konservasi
202 Lihat Ricardo Ramirez, ”Memahami Pendekatan-Pendekatan Kolaborasi: Usaha
Mengakomodasi Kepentingan Multi Stakeholder” dalam Suporahardjo, (editor), 2005.
Manajemen Kolaborasi: Memahami Pluralisme Membangun Konsesus. Bogor: Pustaka Latin.
203 Pengembangan kawasan Wisata Curug Betung yang membelah CA Rawa Danau dinilai oleh
bloger sebagai cool bangeut (tindakan keterlaluan yang tidak memiliki apresiasi terhadap nilai
sejarah dan ekologi Cagar Alam rawa danau).
155
dan program perberdayaan sosial ekonomi penduduk sekitar kawasan konservasi
yang disebut Integrated Conservation and Development Projects ICDPs, atau
Community-Based Natural Resource Management atau bahkan ekopopulis204
.
Melalui pendekatan ICDPs, pengelolaan konservasi disinergikan dengan
pengembangan sosial ekonomi penduduk di sekitar area konservasi. Pilihan
pendekatan ini didasarkan pemikiran bahwa pengelolaan konservasi secara
enclavisme cenderung menimbulkan konflik dan menegasikan peran komunitas
lokal, yang telah memiliki ikatan sejarah dan ekonomi sebelumnya. Pendekatan
eko-fasisme atau ekototaliter dalam pengelolaan konservasi merupakan respon
dari gaya hidup negara maju, di mana biodiversity protection dan landscape
beauty menjadi kebutuhan. Sedangkan di Indonesia sebagian besar penduduknya
bergelut dengan kemiskinan, mengais rejeki pagi untuk sore hari.
Dalam diskusi dengan petani berkembang pemikiran, bahwa pendudukan
tanah oleh petani sebagai bentuk reforma agraria dari bawah, di tengah rezim pro
the strong, ternyata menghadapi berbagai kendala. Karena belum terpenuhinya
prasyarat yang mendukung keberhasilan reforma agraria.
Reforma agraria
baiknya dilakukan dalam waktu terbatas, persiapan yang matang, petani
terorganisir, tekad politik dan pelaksanaan yang terkoordinir. Reforma agraria
juga perlu dukungan aparat sipil dan militer yang bersih serta perancang ekonomi
pembangunan untuk mempercepat industrialisasi negara secara lebih mandiri. 205
Tekad politik dari penguasa diperlukan, karena reforma agraria terkait erat
dengan kekuasaan, siapa yang berkuasa, dialah menjadi pemenangnya. Reforma
agraria membutuhkan petani yang terorganisir, karena merekalah sesungguhnya
yang berkepentingan secara langsung dengan reforma agraria.206
Pelaksanaan
reforma agraria tidak bisa bertumpu pada niat baik penguasa, karena sejarah
204 Borrini-Fayerabend G,Kothari, etl, 2004. Sharing Power, Learning By Doing in Co-
Management of Natural Resources Throughout in the World. IIED and IUCN/CEESP,
Cenesta,Teheran.
205 Tjondronegoro mengibaratkan kebijakan reforma agraria sebagai suatu pembedahan dalam
tumbuh manusia. Tidak nyaman untuk golongan tertentu terutama tuan tanah besar, tetapi menjadi
satu-satunya jalan untuk melangkah lebih cepat ke arah industrialisasi dengan cara yang adil. Lihat
Sediono M.P.Tjondronegoro, 2001. “Pengelolaan Sumberdaya Agraria: Kelembagaan dan Reforma Agraria” dalam Jurnal Analisis Sosial, Vol.6 No.2 Juli 2001.
206 Noer Faizi, 2003. Bersaksi Untuk Pembaruan Agraria: Dari Tuntutan Lokal Hingga
Kecenderungan Global. Yogyakarta: KARSA, KPA dan Insist..
156
penguasa merupakan bagian dari kelompok kepentingan. Dalam diskusi dengan
petani terdapat pemahaman syarat keberhasilan reforma agraria belum terdapat
dalam struktur politik pemerintahan dan organisasi petani. Reforma agraria juga
belum menjadi strategi pembangunan dan pemenuhan kebutuhan tanah belum
dipandang sebagai bagian hak azasi manusia.207
Kelompok petani yang tidak terorganisir dan belum memiliki basis
ideologis yang solid, sulit untuk melakukan kerja besar seperti reforma agraria.
Penggiat petani dan kelompok swadaya masyarakat dengan networking yang
lemah, sulit membangun aliansi kekuatan dan menjadi penyeimbang efektif
pemerintah. Sebaliknya orientasi dan gerakan lembaga swadaya yang terlibat
pemberdayaan petani bersifat asosiatif atau paralel208
yang mengakibatkan isu-isu
utama reforma agraria terkooptasi dan terhegemoni oleh negara.
7.4.4. Pembayaran Jasa Lingkungan Dan Kepedulian Semu
Kekhawatiran masyarakat pada berbagai dampak yang ditimbulkan oleh
deforestasi melahirkan pemikiran perlunya membangun hubungan hulu hilir
dalam kawasan daerah aliran sungai (DAS) melalui mekanisme pembayaran jasa
lingkungan (Payment for Environment Services). Jasa lingkungan dalam kawasan
DAS adalah ketersediaan air yang memadai. Kerjasama hulu hilir di DAS
Cidanau diwujudkan dalam bentuk pembayaran jasa lingkungan yang dilakukan
oleh pemakai jasa lingkungan di hilir ke ptani di hulu. Dewasa ini jasa lingkungan
berupa carbon sequestration dan biodiversity sudah menjadi komoditas transaksi
jual beli jasa lingkungan antar negara, seperti moratorium kehutanan antara
Indonesia dengan Norwegia.
207 Gunawan Wiradi,2001. “Reforma Agraria Tuntutan Bagi Pemenuhan Hak Azasi Manusia”
dalam Jurnal Analisis Sosial, Vol.6 No.2 Juli 2001. Erpan Faryadi, 2002. “Tanpa Reforma
Agraria, Tidak Akan Ada Hak Atas Pangan” dalam Jurnal Analisis Sosial, Vol. 7.3 Desember
2002. 208
Orientasi gerakan LSM asosiatif dan paralel ditandai adanya kerjasama atau dibentuk untuk
kepentingan pelaksanaan program pemerintah, sehingga isu-isu reforma agraria tidak menjadi
fokus gerakan. Lihat Onny Prijono, 1995. “Peran Organisasi Nirlaba, Lembaga Pengembangan
Swadaya Masyarakat dan Lembaga Swadaya Masyarakat serta Pola Interaksi dengan Pemerintah”
dalam Bantarto Bandono, et.al. Refleksi Setengah Abad Kemerdekaan Indoensia. Jakrta: CSIS.
157
Jasa lingkungan di DAS Cidanau berbentuk penyediaan air baku, yang
dihasilkan oleh komunitas petani hutan di hulu DAS, kemudian dimanfaatkan
oleh berbagai instansi pemerintah dan perusahaan di wilayah barat Provinsi
Banten. DAS Cidanau merupakan sumber air baku satu-satunya yang dapat
memenuhi kebutuhan air bersih masyarakat dan industri di kota Cilegon. Industri
yang memanfaatkan air DAS Cidanau antara lain PT Indonesia Power (anak
perusahaan PLN) yang menjadi produsen listrik untuk Jawa dan Bali dan PT
Krakatau Steel (industri baja yang menjadi hulu bagi aneka industri strategis di
wilayah Cilegon, Merak, Serang dan JABOTABEK).
Kesediaan pemakai jasa lingkungan di hilir membayar jasa lingkungan,
merupakan apresiasi dan insentif bagi kelompok tani yang melaksanakan sistem
olah tanah konservasi. Pembayaran jasa lingkungan dapat menjadi insentif
(reward) bagi petani, manakala nilainya minimal sama atau lebih besar dari biaya
yang dikeluarkan petani. Paling tidak, komunitas petani yang terlibat dalam sistem
olah tanah konservasi, memiliki kemampuan ekonomi minimal untuk mencukupi
kebutuhan sehari-hari sandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan.
Kecukupan kebutuhan minimal akan mengurangi tekanan dan godaan petani
menebang kayu lebih awal dan mempertahankan sistem olah tanah konservasi di
hulu DAS.
Dari sejumlah pemakai jasa lingkungan di hilir yang bersedia membayar
jasa lingkungan ke produsen jasa lingkungan di hulu, hanya PT Krakatau Tirta
Industri (PT KTI, anak perusahaan industri baja PT Krakatau Steel). Pembayaran
jasa lingkungan oleh PT KTI kepada petani dikelola oleh Forum Komunikasi
DAS Cidanau (FKDC), sebuah lembaga yang digagas pemerintah bersama
(International Institute for Environment and Development (IIED) dan LP3ES.
Pengurus FKDC terdiri dari instansi sektoral yang ditunjuk pemerintah daerah dan
pengurus LSM Rekonvasi Bumi. Dalam statutanya pengurus FKDC bertugas
sebagai fasilitator antara petani (penghasil jasa lingkungan) dengan PT KTI
(pemakai jasa lingkungan).
Dalam Perjanjian Pembayaran Jasa Lingkungan, disebutkan PT KTI
bersedia membayar jasa lingkungan kepada petani selama lima tahun, dua tahun
pertama sebesar Rp. 175 juta per tahun dan tiga tahun berikutnya akan
158
dinegosiasikan kemudian. Kesepakatan FKDC dan KTI dituangkan dalam naskah
perjanjian pembayaran jasa lingkungan, yang berisi penjelasan prinsip
pembayaran jasa lingkungan:
(a) pencemar membayar (polluter’s pay); (b) tertutupnya biaya jasa lingkungan
(willingness to pay/opportunity cost); (c) prinsip sukarela (voluntary). Jenis jasa
lingkungan yang menjadi sumber pembayaran jasa lingkungan, adalah sumber daya
air. Pemanfaat jasa lingkungan adalah masyarakat, industri, pemerintahan,
lembaga lain yang menerima manfaat dari produk jasa lingkungan DAS Cidanau
secara langsung maupun tidak langsung. Penghasil jasa lingkungan adalah
masyarakat/lembaga yang berada di DAS Cidanau yang karena upayanya
menghasilkan produk jasa lingkungan. 209
Dalam perjanjian tersebut dinyatakan, anggota kelompok petani hutan di
Desa Citaman dan Cibojong menerima pembayaran jasa lingkungan sebesar Rp
1,2 juta per hektar tiap tahun selama lima tahun. Selanjutnya, petani akan
menerima pembayaran jasa lingkungan minimal Rp 2,5 juta per hektar per tahun
dengan jumlah tanaman tidak kurang dari 200 batang pada akhir tahun kelima.
Persyaratan kondisi tanaman yang harus dipenuhi oleh petani untuk
menerima pembayaran jasa lingkungan adalah:
(1) pada setiap tahapan pembayaran selama masa kontrak, jumlah tanaman yang ada
dan tumbuh dengan baik per hektar tidak kurang dari 500 (lima ratus) batang; (2)
batasan tanaman yang tumbuh dengan baik ditentukan oleh tinggi dan diameter yang
disesuaikan dengan umur tanaman; (3) untuk tanaman yang mati akibat unsur alam,
hama dan penyakit harus diganti dan dibuatkan berita acara pada kelompok tani
dengan diketahui oleh Ketua Tim Ad Hoc; (4) peta situasi lahan dan tanaman
kelompok tani harus menginformasikan tata letak pohon yang diberi notasi nomor dan
informasi jenis tanaman; (5) tata letak tanaman yang masuk dalam mekanisme
pembayaran jasa lingkungan harus tersebar secara merata; (5) Tim verifikasi akan
mengamati contoh areal yang diverifikasi minimal 10% dari luas areal yang dikelola
oleh petani dan dipilih secara acak. 210
Pembayaran jasa lingkungan oleh PT KTI kepada Kelompok Tani Hutan
di Desa Citaman dan Desa Cibojong, merupakan fondasi untuk pengelolaan DAS
secara terpadu antara hulu dan hilir di DAS Cidanau. Dari diskusi dengan
sejumlah kelompok tani, ternyata mekanisme pembayaran jasa lingkungan di
DAS Cidanau kurang mengapresiasi dan melibatkan kelompok tani. Yurisdiksi
atau rumusan aturan mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan, tidak
memperhatikan aspek representasi. Akibat yurusdiksi tanpa representasi, maka
209
Forum Komunikasi DAS Cidanau, (FKDC) 2005.
210 Forum Komunikasi DAS Cidanau,(FKDC), 2005.
159
petani sebagai penghasil jasa lingkungan kedudukan, hak dan kewajibannya
ditentukan secara sepihak oleh FKDC bersama KTI. Menurut penilaian petani
terdapat sejumlah aturan dan mekanisme untuk mendapatkan pembayaran jasa
lingkungan dipandang memberatkan petani dan tidak adil. Salah satu ketentuan
yang memberatkan petani adalah:
”Apabila jumlah pohon yang terdapat dalam area mekanisme pembayaran jasa
lingkungan yang dikelola petani dinyatakan kurang oleh Tim Verifikasi, maka
secara tanggung renteng petani tidak akan menerima pembayaran jasa
lingkungan untuk periode yang sudah jatuh tempo”.
Ketentuan ini dinilai petani tidak adil dan cenderung sewenang-wenang.
Kekhilafan salah satu anggota kelompok mengakibatkan semua petani batal
menerima pembayaran jasa lingkungan. Ketentuan FKDC dan PT KTI dinilai
Kelompok Tani Hutan, tidak menghargai jerih payah dan biaya yang telah
dikeluarkan petani. Pemberlakuan tanggung renteng dalam pembayaran jasa
lingkungan dinilai Kelompok Tani Hutan sebagai gebyah uyah (penyamarataan
yang tidak proporsional dan tidak adil). Aturan lainnya yang dinilai petani
menunjukkan arogansi “pembeli” (KTI), adalah nilai insentif jasa lingkungan
kepada petani sangat kecil. Dalam ungkapan seorang petani: ”jumlah uang yang
diterima hanya cukup untuk upah ngored lima hari.”211
Nilai jasa lingkungan yang
diterima petani dari PT KTI tiap bulannya, lebih kecil dari biaya perjalanan dinas
pengurus FKDC sehari.212
Ketentuan lain yang dinilai kelompok petani sebagai cermin
ketidakpedulian pemerintah terhadap jasa lingkungan adalah pembayaran jasa
lingkungan secara “proyek” dan birokratis. Sistem pembayaran jasa lingkungan
kepada Kelompok Tani Hutan, mengikuti pencairan dana proyek dan dibayar
211 Bandingkan dengan skema pembayaran jasa lingkungan di Kosta Rika: konservasi hutan
produksi koridor biodiversity dibayar 212 dollar/ha AS dengan kontrak lima tahun. Pengelolaan
hutan lestari dibayar 327 dollar/ha AS dengan kontrak 15 tahun, dan penghutanan kembali 527
dollar/ha AS, dengan kontrak 15 tahun. Masyarakat yang mengembangkan agroforestry dibayar 1
dollar AS per batang pohon yang ditanam dengan jumlah maksimal 3.500 batang. Dengan nilai
insentif jasa lingkungan tersebut maka sumberdaya hutan menjadi sumber mata pencaharian dan
sumber ekonomi bagi komunitas sekitar hutan. Sunderlin. 2003. Forests and Poverty Alleviation.
In: FAO. State of the World‘s Forests 2003. Rome, Italy, FAO. 61-73. http://www.fao.org.
212 Pengurus FKDC selain mendapat honorarium setiap bulan Rp. 150.000 ,- (seratus lima puluh
ribu) juga mendapat lumpsum sebesar Rp 150.000, per hari dalam melakukan perjalanan dinas dan
biaya operasional: biaya evaluasi, dokumentasi dan rapat. Sumber FKDC,2005.
160
dalam tiga tahap dalam setahun. Tahap pertama dan kedua 30 persen dan tahap
ketiga 40 persen dari nilai total yang diterima petani. Masing-masing tahapan itu
harus dihadapi petani dan untuk mencairkannya harus melalui prosedur birokrasi
yang berlit-belit. Sementara untuk mendapatkan hasil dari kerja kerasnya
menanam tanaman kehutanan, petani harus “berpuasa” (menahan menjual kayu)
selama lima tahun.
Dalam menyikapi ketentuan tersebut, ternyata tidak semua Kelompok
Petani Hutan sanggup “berpuasa” lima tahun, sehingga melakukan perlawanan,
seperti yang dilakukan oleh petani hutan Desa Cibojong. Bentuk perlawanan yang
dilakukan petani hutan Desa Cibojong adalah menebang kayu durian yang
berdiameter sekitar 100 cm. Penebangan kayu durian yang termasuk area
Pembayaran Jasa Lingkungan, merupakan puncak kekecewaan petani terhadap
mekanisme pembayaran jasa lingkungan yang dinilai tidak adil. Menurut petani,
penebangan kayu tersebut didorong kebutuhan darurat dan tidak menemukan
solusi untuk menutup biaya pendidikan anaknya dan modal usaha (membeli motor
untuk mengojek). Dalam diskusi dengan pengurus kelompok, berkembang
penilaian:
“FKDC sebagai fasilititator pembayaran jasa lingkungan tidak berperan sebagai
fasilitator independen dan adil, karena lebih berpihak dan menyuarakan kepentingan
pemakai jasa lingkungan (KTI) daripada memediasi kepentingan petani. Pembayaran
jasa lingkungan oleh KTI bukan didorong oleh tanggung-jawab/moral membantu
petani, melainkan untuk memudahkan intervensi dan kontrol terhadap petani di Desa
Citaman dan Cibojong.
Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa pembayaran jasa lingkungan
oleh pemakainya merupakan kepedulian semu (shallow environmental), dalam
istilah Sylvan dan Bennet (1994) disebut prudential argument213
. Pemberian
insentif jasa lingkungan oleh PT KTI, bukan dimaksudkan untuk meningkatkan
tarap hidup petani yang terlibat dalam sistem olah tanah konservasi, tetapi
dimaksudkan untuk meraup keuntungan berdalih lingkungan. Aspek lingkungan
(konservasi hulu DAS) pertimbangan kebijakan bisnis PT KTI, bukan karena
kepedulian pada petani yang memiliki tradisi agroforestry untuk konservasi hutan,
tanah dan air, melainkan karena kelangsungan bisnisnya, tergantung konservasi
213 Lihat Sylvian Richard dan David Bennet, 1994, The Greening of Ethics, Cambridge: The White
House Press
161
sumberdaya air kawasan hulu DAS Cidanau. Hal inilah mendorong KTI
memberikan insentif lingkungan kepada petani di Desa Citaman dan Desa
Cibojong.
Dari diskusi bersama tokoh masyarakat berkembang asumsi, bahwa
pembayaran jasa lingkungan oleh pemakai jasa kepada petani, menjadi instrumen
politik dan ekonomi dalam upaya memonopoli penguasaan dan pemanfaatan
sumberdaya air di kawasan DAS Cidanau. Asumsi itu didasarkan atas indikasi
antara lain: (1) PT KTI memonopoli pemasokan kebutuhan air industri yang
bernaung dibawah PT Kratau Steel dan PDAM Serang dan Cilegon. (2)
Hengkangnya PT. Tirta Investama yang membangun pabrik air minum dalam
kemasan (AMDK) di Desa Curug Goong Kecamatan Padarincang dan batalnya
Danone mengeksploitasi Cekungan Air Bawah Tanah (CABT) Rawa Danau.
Hengkangnya Tirta Investama disebabkan pembatalan izin operasional yang telah
diberikan Pemda. Kuat dugaan pembatalan izin tersebut, karena pemerintah
mendapat tekanan dari pihak tertentu yang berkepentingan terhadap monopoli
penguasaan sumberdaya air.
Di tengah upaya mendatangkan investasi, pemerintah terpaksa bersikap
tidak konsisten dan membatalkan izin beroperasinya Tirta Investama, pabrik air
minum dalam kemasan (AMDK) di Desa Curug Goong Kecamatan Padarincang.
Mengingat pemberian izin usaha Tirta Investama disertai dengan beredarnya
informasi kesediaan Tirta Investama untuk memberi kompensasi yang wajar
kepada warga, maka pembatalan izin itu bukan hanya menunjukkan ketidak-
kosistenan pemerintah dalam mendatangkan investasi, juga menimbulkan pro dan
kontra di masyarakat. Di satu sisi mengizinkan penyedotan air tanah oleh
perusahaan AMDK, di sisi lain AMDK Tirta Investama dilarang beroperasi.
Dominasi Birokrasi dan Kooptasi Civil Society Associations (CSA)
Pencabutan izin operasional Tirta Investama bukan hanya menunjukkan
bahwa pemangku otoritas gagal mewujudkan politik tata kelola sumberdaya
agraria yang berkeadilan. Karena pemangku otoritas di tingkat lokal dan regional,
tidak memberikan kesempatan yang setara dan demokratis terhadap tiap pelaku
usaha untuk memanfaatkan sumberdaya air di kawasan DAS Cidanau. Perlakuan
162
yang tidak adil, tidak hanya dialami oleh pelaku usaha tetapi perlakuan tidak
setara, juga dialami kelompok tani hutan dalam mekanisme pembayaran jasa
lingkungan. Petani yang terlibat dalam aktivitas agroforestry sebagai penghasil
jasa lingkungan diposisikan inferior, sebaliknya pemangku otoritas menempatkan
PT KTI sebagai superior.
Perlakukan tidak setara dan tidak domokratis tercermin dari peran
kelembagaan dan proses pengambilan keputusan FKDC. Pada awalnya FKDC
dibentuk sebagai fasilitator independen untuk mewadahi berbagai kepentingan
dalam rangka pengelolaan DAS terpadu. Tetapi karena pengurusnya didominasi
oleh pejabat dan mantan pejabat, serta operasionalnya bersumber dari anggaran
Pemda, mengakibatkan keberadaan FKDC dan keputusannya tidak aspiratif dan
tidak representatif. FKDC lebih berperan menjadi penyalur kepentingan
pemerintah dan PT KTI daripada fasilitator independen yang menyuarakan
kepentingan petani. Untuk memperjuangkan kepentingannya, seperti pengambilan
keputusan tentang mekanisme pembayaran jasa lingkungan dan nilai pembayaran
yang wajar, petani merasaa harus berjuang “berjuang sendirian.” Sebagian aparat
bersikap negatif terhadap pembayaran jasa lingkungan kepada petani, bahkan ada
yang menilai sebagai “kemewahan” yang tidak pantas.
Penilain tersebut menunjukkan bahwa, kepedulian aparat untuk melayani
petani dan menjadi ”penyambung lidah rakyat,” masih rendah. Rendahnya
apresiasi dan pelayanan instansi sektoral dan aparatnya terhadap komunitas
petani, menjadi kendala tumbuhnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan.
Pelayanan dan partisipasi merupakan dua aspek yang saling berkaitan, pelayanan
yang baik akan menimbulkan partisipasi, sebaliknya partisipasi masyarakat akan
tinggi bila pelayanan yang diberikan aparat pemerintah baik dan memuaskan.
Dapat dikatakan pelayanan pemerintah yang baik dan partisipasi masyarakat yang
tinggi, menggambarkan sistem tata kelola sumberdaya yang baik (good
governance resources management). Sebaliknya pelayanan yang buruk dan
partisipasi masyarakat yang rendah, menggambarkan sistem tata kelola
sumberdaya yang buruk (bad governance resources management). Secara umum
sistem tata kelola sumberdaya yang baik cenderung berkelanjutan dan sebaliknya
sistem tata kelola sumberdaya yang buruk cenderung tidak berkelanjutan.
163
Berdasarkan pemikiran tersebut sistem tata kelola jasa lingkungan dan
DAS Cidanau dapat digambarkan dalam bentuk kuadran, seperti pada gambar 9.
Tata Kelola DAS yang Baik
Setengah
Berkelanjutan Berkelanjutan
II I
Terkendala Pelayanan Tata Kelola DAS yang Baik
Pelayanan Rendah Pelayanan Tinggi
III IV
Tidak Berkelanjutan Setengah Berkelanjutan
Terkendala Tata kelola baik
Tata Kelola DAS Yang Buruk Gambar 9 Bentuk Kelembagaan Tata Kelola DAS
Garis vertikal menunjukkan dari tidak berfungsi sampai berfungsinya tata kelola
DAS yang baik. Garis ordinat menggambarkan tingkat keberhasilan pengelolaan
pelayanan dari rendah sampai tinggi. Perpotongan garis vertikal dan ordinat
membentuk suatu kuadran/tipologi tata kelola jasa lingkungan dan DAS.
Kuadran I merupakan ruang yang menggambarkan keseimbangan
pelayanan dan partisipasi tinggi dan berjalannya prinsip tata kelola jasa
lingkungan dan DAS yang baik atau merupakan gambaran bentuk tata kelola jasa
lingkungan dan DAS berkelanjutan. Kuadran II merupakan ruang yang
menggambarkan keseimbangan pelayanan dan partisipasi rendah, tetapi
berjalannya prinsip tata kelola jasa lingkungan dan DAS yang baik. Kuadran ini
merupakan gambaran bentuk tata kelola jasa lingkungan dan DAS setengah
berkelanjutan karena terkendala pelayanan yang rendah. Kudran III merupakan
ruang yang menggambarkan pelayanan dan partisipasi rendah dan tidak
berjalannya prinsip tata kelola jasa lingkungan dan DAS yang baik. Kuadran ini
merupakan gambaran bentuk tata kelola jasa lingkungan dan DAS tidak
berkelanjutan. Kuadran IV merupakan ruang yang menggambarkan keseimbangan
pelayanan dan partisipasi tinggi, tetapi prinsip tata kelola jasa lingkungan dan
DAS tidak berjalan baik. Kuadran ini merupakan gambaran bentuk tata kelola jasa
lingkungan dan DAS setengah berkelanjutan, karena terkendala prinsip tata kelola
jasa lingkungan dan DAS yang baik.
164
Rendahnya partisipasi masyarakat dan pelayanan yang kurang baik dari
FKDC, disebabkan pengambilan keputusan dan kepengurusan FKDC didominasi
oleh birokrasi dan mengabaikan aspirasi dan partisipasi masyarakat. Yurisdiksinya
dirumuskan tanpa partisipasi dan representasi partisipan, termasuk civil society
associations (CSA). Hegemoni dan dominasi birokrasi ditunjukkan dengan
pembentukan kelompok sosial berdasarkan komoditi, kelompok berbasis
kepentingan (Kelompok Lebah Madu, Petani Pemakai Air dan Lembaga
Masyarakat Desa Hutan, LMDH). Kelompok-kelompok sosial “bentukan dari
atas” dan LSM yang terkooptasi, tidak memiliki basis ideologi dan menjadi motor
penggerak untuk melakukan kerja-kerja kreatif. Pola interaksi dan gerakannya
dengan pemerintah bersifat pragmatis, akomodatif atau paralel serta tidak mampu
mengambil jarak dan bersikap kritis terhadap pemerintah. Dari diskusi dengan
pengurus Kelompok Tani Hutan dan tokoh masyarakat, gambaran interaksi LSM
lingkungan hidup dengan pemerintah di DAS disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10. Pola Interkasi Gerakan Lingkungan Hidup Dengan Pemerintah
No Pola Interaksi Gerakan Lingkungan Hidup dan Pemerintah
1 Orientasi Asosiatif Paralel Konfliktual
2 Lembaga Pemerintah Sangat dekat Mitra sejajar Mengambil jarak
3 Program Pembangunan - Dependen
- Integratif
-Interdependen
-Komplementer
-Independen
-Independen
-Menentang
4 Kebijakan Pemerintah Melaksanakan
Mendukung
-Mendukung
-Mempengaruhi
- Korektif
- Korektif
- Menentang
5 Sumberdana Pemerintah Dependen -Dependen
-Independen
Independen
Dari Tabel 10 ditunjukkan bahwa gerakan LSM Lingkungan Asosiatif dan
Paralel senantiasa orientasinya melaksanakan, mendukung dan terintegrasi dengan
program pemerintah. Young menyebut gerakan lingkungan yang asosiatif dan
paralel sebagai suplementary atau compelementary,214
dalam istilah Korten
214
Dari studinya di empat negara: Amerika Serikat, Inggris, Israel dan Jepang, Young menyatakan
relasi pemerintah dengan LSM lingkungan dibedakan atas suplementary, compelementary dan
adversarial. Young, Dennis R. 2000. “Alternative Model of Government-Nonprofit Sector
Relations: Theoritical and International Perspevtives” in Nonprofit and Voluntary Sector
Quarterly, vol 29, No. 1 March 2000.
165
berorientasi community development.215
LSM atau gerakan lingkungan asosiatif
dan paralel dekat dan menjadi mitra pemerintah, bahkan program kerjanya
seringkali dependen atau kompelementer dengan program pemerintah. Hal ini
terkait dengan aktivitas gerakannya bersumber dari dana pemerintah. Akibatnya
mereka tidak memiliki energi mengusung isu-isu lingkungan secara komprehensif
dan radikal, karena terkooptasi dan terhegemoni oleh arus utama politik
lingkungan negara yang semu. Gerakan lingkungan kategori ini oleh Ranjit LSM
disebut gerakan lingkungan berorientasi pada mata pencaharian.216
Sepak terjang
dan gerakan LSM demikian dapat menjadi mimpi buruk bagi terwujudnya politik
agraria berkeadilan, tata kelola sumberdaya dan DAS yang baik, dan pengelolaan
jasa lingkungan yang partisipatif dan keberlanjutan.
7.5. Ikhtisar
Politik agraria bidang kehutanan yang berorientasi betting on the strong
diakui berdampak positif terhadap perolehan devisa negara, menggelembungnya
"dompet pemerintah pusat". Tetapi arah dan orientasi politik kehutanan tersebut
tidak meneteskan kemakmuran, kurang mempertimbangkan manusia sebagai
komponen ekosistem hutan dan peranserta masyarakat lokal dalam tata kelola
sumberdaya hutan. Hal ini disebabkan peraturan perundang-undangan, kebijakan
pendukung dan pelaksanaan pengelolaan hutan, menempatkan manusia dan
masyarakat lokal sebagai “sumber gangguan” dan bukan kunci keberhasilan
pembangunan kehutanan. Pengabaian manusia dan masyarakat, ditunjukkan
dengan adanya stigmatisasi masyarakat sekitar hutan : ”the other, orang pasisian
dan perambah hutan”. Rasionalitas hukum dan stigmatisasi tersebut
mengakibatkan tidak tersedianya akses masyarakat, penyempitan ruang hidup dan
peluruhan kelembagaan masyarakat sekitar hutan.
215Korten mengidentifikasi LSM lingkungan atas lima kategori Relief and Welfare, Community
Development, Sustainble System Devolopment, People’s Movement and Empower People. Lihat
Korten, David, C. 1988. “LSM Generasi Keempat: Fasilitator Gerakan Kemasyarakatan”, Prisma
XVII, No. 4.
216 Dwivedi, Ranjit, 2001.”Environmental Movements in the Global South: Issues of Livelihood
and Beyond”, in International Sociology, March 2001, Vol 16 (1).
166
Proses peluruhan kelembagaan lokal di hulu DAS Cidanau berlangsung
secara sistemik, terjadi di aras sistem (peraturan perundang-undangan), aras
organisasional dan aras perilaku individual agensi. Peluruhan kelembagaan
komunitas oleh kekuatan supralokal mencakup aspek kelembagaan buyut dan
liliuran, etika konservasi dan kearifan lokal. Dampak dari proses peluruhan
secara sistemik adalah penggusuran petani, tampilnya agensi sebagai predator,
enclavisme, relokasi petani secara exsitu dan kepedulian semu terhadap jasa
lingkungan. Hal ini menggambarkan ketidakmampuan pemerintah
menyelenggarakan politik tata kelola sumberdaya hutan dan DAS yang
berkeadilan dan berkelanjutan dan gagal mewujudkan tujuan konstitusional politik
agraria sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Kekhawatiran yang ditimbulkan oleh aktivitas deforestasi dan degradasi
hutan dan kawasan hulu DAS Cidanau, melahirkan pemikiran perlunya
membangun ”rumah bersama” dan jejaring hubungan hulu hilir DAS Cidanau
secara terpadu melalui pembayaran jasa lingkungan. Tetapi karena ”rumah
bersama” tersebut fondasinya kurang kokoh, prosedur dan mekanismenya tidak
demokratis dan posisi relasi antar pemangku kepentingan tidak setara, maka
pembayaran jasa lingkungan kepada petani di DAS Cidanau, masih jauh dari
upaya peningkatan kesejahteraan petani hutan, pemberdayaan petani dan
pengembangan agroforestry yang kondusif untuk konservasi hulu DAS.
167
BAB VIII
URGENSI PENGUATAN KELEMBAGAN LOKAL
DAN POLITIK AGRARIA TRANSFOMATIF
8.1. Pendahuluan
Dalam uraian sebelumnya dijelaskan bahwa interaksi negara desa diwarnai
dengan proses kapitalisasi negara dan pedesaan serta peluruhan kelembagaan
komunitas. Dampak dari kapitalisasi negara dan pedesaan mengakibatkan
penyelenggara negara gagal mewujudkan tujuan politik agraria untuk sebesar-
sebesarnya kesejahteraan rakyat dan tidak mampu membangun kelembagaan tata
kelola DAS yang terpadu berkelanjutan dan partisipatif. Berpangkal tolak dari
temuan empirik tersebut, fokus dari bab ini menguraikan implikasi dan proyeksi
untuk penguatan kelembagaan komunitas dan politik agraria transformatif.
8.2. Urgensi Penguatan Kelembagaan Lokal
Peluruhan kelembagaan lokal yang berlangsung secara sistemik, maka
upaya penguatannya perlu dilakukan secara sistemik pula. Merujuk pada Giddens
(2004),217
penguatan kelembagaan lokal memerlukan perubahan struktur dimensi
signifikansi, otoritatif, alokatif dan legitimasi atau perubahan rasionalitas
ekososial yang ditawarkan Groz dan reformasi rasionalitas komunikasi yang
dikemukakan Habermas.
Perubahan struktural signifikasi, otoritatif, alokatif dan legitimasi didorong
oleh kenyataan empirik bahwa paradigma signifikasi, otoritatif, alokatif dan
legitimasi, yang menjadi dasar rekayasa sosial dan pembangunan pedesaan,
terbukti melahirkan perlakuan kurang manusiawi (dehumanisasi) dan alienasi
masyarakat. Penguatan kelembagaan komunitas juga mensyaratkan adanya
perubahan rasionalitas dan bangunan ilmu pengetahuan sosial modernis dan
positivis, karena rasionalitasnya yang bertumpu rasionalitas utility maximum
mendorong pemanfaatan sumberdaya secara eksploitatif dan tidak ramah
lingkungan. Struktur signifikansi, otoritatif, alokatif yang dibangun atas atas dasar
rasionalitas utility maximum dalam pengelolaan sumberdaya dan pemberdayaan
217
Anthony Giddens, 2004, The Constitution of Society: Teori Strukturasi untuk Analisis Sosial.
Pasuruan: Pedati, p.39.
168
masyarakat diposisikan hanya sebagai obyek dan komoditas semata-mata.
Pengembangan dimensi manusia sebagai “homo-economicus” lebih menonjol
dari dimensi dan jati dirinya sebagai “homo-ecologicus” dan “homo-
sociologicus”. Pengarus-utamaan dimensi manusia sebagai “homo-economicus”
adalah terbatasnya ruang kultural, tidak tersedianya ruang bagi tumbuhnya
kearifan lokal dan kelembagaan parsipatori dalam masyarakat.
Dari segi ini perubahan struktural signifikasi, otoritatif, alokatif dan
legitimasi dimaksudkan untuk membebaskan sumberdaya dan kelembagaan
komunitas dari penetrasi kekuatan ekonomi dan politik supra lokal. Merujuk pada
Habermas, pembebasan komunitas dari cengkraman kekuatan supralokal yang
menindas hanya mungkin dilakukan, jika terjadi perubahan rasionalitas
komunikasi antara negara dengan warga negara atau perubahan rasionalitas dari
rasionalitas utility maximum menuju utility maximising manner. Sebab selama ini
komunikasi negara dengan warga negara seperti halnya dengan komunitas sekitar
hutan bersifat searah, dominatif dan hegemonik. Pola komunikasi demikian
cenderung memposisikan komunitas sekitar hutan menjadi objek kepentingan
supra lokal (negara dan pasar) dan tidak menjadi bagian dari stakeholder
kehutanan dan kelembagaan pengelolaan DAS.
Penempatan komunitas sekitar hutan sebagai “obyek” dan the other
berakibat penegasian hak sosial, sejarah dan hak kepribumiannya. Memposisikan
mereka sebagai “obyek” dan the other berdasarkan rasionalitas hukum positif
menyebabkan tidak dapat memperoleh akses dan manfaat ekonomi dari
sumberdaya hutan yang berada di sekitarnya. Dengan posisinya sebagai the other,
komunitas sekitar hutan merupakan out group dari kelembagan kehutanan,
bahkan distigmatisasi sebagai perambah hutan, urang pasisian, atau urang
leuweung” dan predikat lainnya yang negatif. Tradisi dan praktik tata kelola
sumberdaya hutan yang berkontribusi terhadap pelestarian plasma nutfah, tidak
mengantarkannya menjadi mitra pemerintah dalam pengelolaan dan pelestarian
sumberdaya hutan. Sebaliknya mereka dipersepsi sebagai sumber gangguan atau
kendala untuk kegiatan konservasi dan eksploitasi sumberdaya hutan atau
dipandang tidak sejalan dengan arus utama dan kepentingan ekonomi supralokal
(negara dan pasar) dalam pengelolaan sumberdaya hutan.
169
Berangkat dari pemikiran di atas, maka penguatan kelembagaan komunitas
sekitar hutan dirumuskan sebagai berikut:
Pertama merujuk pada pandangan Habermas, penguatan kelembagaan
komunitas mensyaratkan perubahan rasionalitas komunikasi antara negara dengan
warga negara dan antara pemangku otoritas kehutanan dengan komunitas sekitar
hutan. Rasionalitas komunikasi yang ditawarkan Habermas adalah pola
komunikasi antar komunikan (segenap pemangku kepentingan termasuk
masyarakat) berbasis kepercayaan (trust), kebenaran (truth), ketepatan (rightness),
komprehensibilitas (comprehensibility) dan kejujuran (sincerety). Dari segi ini
maka stigmatisasi komunitas sekitar hutan sebagai perambah hutan, urang
pasisian, atau urang leuweung dan memposisikan mereka sebagai the other atau
out group, menggambarkan pola komunikasi yang bertentangan rasionalitas
komunikasi yang ditawarkan Habermas.
Kedua penguatan komunitas sekitar hutan mensyaratkan adanya perubahan
paradigma dalam pembangunan kehutanan dan rasionalitas dalam mempersepsi
dan memposisikan kelembagaan komunitas sekitar hutan. Paradigma pengelolaan
hutan berbasis ekonomi (kayu) dan menempatkan sumberdaya hutan sebagai
komoditi semata-mata, tidak kondusif untuk pembangunan hutan berkelanjutan.
Pemanfaatan sumberdaya hutan dengan sistem tebang pilih, lebih bijak daripada
pengelolaan hutan berskala besar oleh pemilik modal. Demikian juga sikap
prejudice pemangku otoritas terhadap komunits sekitar hutan sebagai perambah
hutan, urang pasisian, atau urang leuweung tidak mendukung program
pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan komunitas sekitar hutan.
Pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan akan
bermakna jika ditempatkan sebagai stakeholder dan bagian tak terpisahkan dari
ekosistem sumberdaya hutan. Perubahan paradigma dalam pengelolaan hutan dan
cara pandang terhadap komunitas sekitar hutan relavan dengan dalam menghadapi
pemanasan dan perubahan iklim global serta moratorium kehutanan.
Ketiga penguatan kelembagan dan kesejahteraan komunitas sekitar hutan
dapat dilakukan melalui akselarasi pengembangan Hutan Tanaman Rakyat (HTR)
dan moratorium pengeluaran izin konsesi penguasaan hutan kepada pemilik
modal. Sejauh ini pengembangan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) yang difasilitasi
170
oleh Badan Layanan Umum P2H (Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan) yang
ditargetkan 5,4 juta hektar baru mencapai 87.299.89 hektar atau sekitar 1,6
persen. Rendahnya realisasi pengembangan Hutan Tanaman Rakyat (HTR)
disebabkan rendahnya political will dan political action untuk mengalokasikan
sumberdaya hutan pada masyarakat. Rendahnya political will dan political action
ditunjukkan dari kelembagaan dan prosedur perijinan pengelolaan Hutan
Tanaman Rakyat (HTR) kepada masyarakat yang birokratis.
Bila moratorium pengeluaran izin konsesi penguasaan hutan kepada
pemilik modal terus berlanjut, sudah selayaknya pengeluaran izin konsesi
pemanfaatan hutan mensyaratkan rekomendasi dan pemberian konpensasi yang
pantas kepada komunitas sekitar hutan. Rekomendasi dan pemberian konpensasi
dimaksudkan untuk penguatan aspek otoritatif dan legalitimasi sekaligus dalam
upaya penguatan alokatif (ekonomi) komunitas sekitar hutan. Rekomendasi dan
konpensasi berguna untuk memperkuat struktur otoritatif, legitimasi dan posisi
tawar menawar masyarakat sekitar hutan berhadapan dengan kekuatan pasar
sekaligus sebagai upaya meningkatkan kesejahteraannya.
Gagasan dan pemikiran tentang rekomendasi dan konpensasi, didasarkan
kenyataan, bahwa ijin konsesi pengelolaan hutan kepada korporasi, selama ini
menimbulkan ketidakadilan ekologi dan ekonomi. Pemilik modal berasal dari
supra lokal memiliki legitimasi mengeksploitasi hutan, sedangkan hak sosial
ekonomi dan hak kepribumian komunitas lokal, dikriminalisasi dan menjadi
sasaran aksi polisionil. Kehadiran kekuatan ekonomi korporasi kehutanan yang
tidak berkoeksistensi dengan kelembagaan komunitas, menggiring komunitas
sekitar masuk perangkap kebijakan kehutanan, menjadi tenaga kuli dan tidak
berdaya secara ekonomi dan politik.218
Sehingga kehadiran perusahaan kehutanan
bukannya membawa berkah ekonomi, tapi sebalikanya mendatangkan musibah
dan bencana ekologi. Sementara itu pengarus uatamaan rasionalitas hukum positif
dalam penataan kehutanan memaksa dan menegasikan hak sosial ekonomi
komunitas sekitar hutan bahkan menjadi sasaran aksi polisionil.
218 Bank Dunia mencatat ketidaksetaraan (atau ketimpangan) ekonomi yang berlangsung di
Indonesia disebabkan konsentrasi kekayaan pada kalangan elit politik dan ekonomi. Masyarakat
miskin termarginalkan karena adanya perangkap kebijakan. Bank Dunia, 2006. Laporan Bank
Dunia: Kesetaraan dan Pembangunan. Jakarta: The World Bank-Salemba Empat.p. 60-80.
171
Keempat penguatan aspek alokatif dan otoritatif komunitas kawasan DAS
menghendaki paradigma pengelolaan DAS atas prinsip partnership based
governance. Rancang bangun kelembagaan dan pelaksanaan prinsip partnership
based governance dalam pengelolaan DAS Cidanau diwujudkan melalui
pembentukan FKDC dan Perjanjian Kesepakatan Pembayaran Jasa Lingkungan
antara FKDC dengan Kelompok Tani Hutan di Desa Citaman dan Desa Cibojong.
Tata kelola DAS Cidanau berdasarkan partnership based governance tersebut
menjadi sumber inspirasi pembentukan kelembagaan tata kelola DAS di provinsi
Sumatera Utara, Sumatera Barat, NTT dan provinsi Papua.
Meskipun demikian, peran FKDC dan mekanisme pembayaran jasa
lingkungan di DAS Cidanau, belum menggambarkan kemitraan sejati antar aktor
atau pemangku kepentingan hulu hilir. Sejak berdirinya tahun 2003 kepengurusan
FKDC didominasi pejabat dan mantan pejabat, yang berkibat FKDC menjadi
perpanjangan tangan pemerintah dan kurang menyuarakan kepentingan
masyarakat. Aturan dan mekanisme (yurisdiksi) pembayaran jasa lingkungan
disusun tanpa representasi petani. Akibatnya petani sebagai “produsen” jasa
lingkungan tidak menerima insentif yang sebanding dengan biaya yang telah
dikeluarkannya, tidak berkelanjutan dan terbatasnya jumlah petani dan area kebun
yang menjadi obyek jasa lingkungan.
Kelima rancang bangun kelembagaan dan pelaksanaan partnership based
governance DAS Cidanau masa yang akan datang, hendaknya diarahkan untuk
memperkuat basis partisipasi dan representasi petani dalam FKDC, penambahan
jumlah petani dan area kebun yang menjadi obyek jasa lingkungan. Perluasan
area kebun yang menjadi obyek jasa lingkungan berguna untuk mempertahankan
kawasan hulu DAS Cidanau sebagai pengatur siklus hidrologi hutan dan
mencegah bencana banjir. Penambahan jumah kelompok tani yang mendapat
pembayaran jasa lingkungan berguna untuk mempertahankan praktik agroforestry
dan meningkatkan kesejahteraan petani. Hal ini mensyaratkan adanya “politik
anggaran hijau” dari pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Selama ini
pemerintah daerah hanya menyediakan anggaran untuk membiayai operasional
aparat pemerintah yang bertugas di FKDC, sementara pembayaran jasa
172
lingkungan dilakukan atas dasar “kesukarelaan” (voluntry) dari PT Krakatau Tirta
Industri.
Keenam pembayaran jasa kepada petani secara voluntry (kesukarelaan)
pemakai jasa jasa lingkungan yakni KTI, hendaknya menjadi stimulus pemerintah
dan perusahaan pemakai jasa lingkungan. Oleh karena itu pelaksanaan
partnership based governance dalam pengelolaan DAS Cidanau, hendaknya
melibatkan perusahaan lainnya yang memanfaatkan jasa lingkungan DAS
Cidanau. Karena dari sejumlah intansi pemerintah dan perusahaan di hilir yang
memanfaatkan jasa lingkungan DAS Cidanau, hanya PT Krakatau Tirta Industri
yang bersedia membayar jasa lingkungan kepada petani sebagai produsen jasa
lingkungan di hulu.
Oleh karena itu dalam upaya pengelolaan DAS secara terpadu dan
kemitraan antara hulu dan hilir, pemerintah dituntut untuk membuat regulasi dan
kelembagaan pembayaran jasa lingkungan secara berkelanjutan dan mengikat
berbagai pemakai jasa lingkungan DAS Cidanau. Pelaksanaan partnership based
governance dalam tata kelola DAS Cidanau akan berdampak positif bila pada
periode kedua ini Pemerintah Daerah, dapat diwujudkannya dengan
mengalokasian anggaran untuk pembayaran jasa lingkungan. Supaya semangat
pemerintah untuk mendatangkan pemilik modal berinvestasi dalam pemanfaatan
hutan diimbangi dengan political action dan pengalokasian anggaran untuk
pembayaran jasa lingkungan.
8.3. Menuju Politik Agraria Transformatif
Keenam bentuk penguatan kelembagaan komunitas tersebut merujuk pada
Capra mensyaratkan perubahan paradigmatik atau dalam istilah Sobhan menuntut
adanya politik agraria transformatif dalam pengelolaan sumberdaya hutan dan
kawasan DAS. Perlunya politik agraria transformatif didasarkan pemikiran
sebagai berikut:
Pertama politik agraria bidang kehutanan dan pertanian konvensional
cenderung membela rasionalitas yang dianut dalam pasal-pasal peraturan
perundang-undangan dan kebijakan pendukungnya, meskipun tidak relevan
dengan masalah sosial ekonomi dan kelembagaan komunitas sekitar hutan.
173
Pembelaan atas rasionalitas hukum positif mengakibatkan aktivitas sosial
ekonomi komunitas menjadi sasaran aksi polisionil, obyek penggusuran dan
tindak kekerasan serta kriminalisasi sering dipandang sebagai solusi. Akibatnya
penanganan masalah sosial ekonomi komunitas sekitar hutan dan penduduk di
hulu DAS, tidak memecahkan akar masalah sosiologis dan ekonomi komunitas
dan pelestarian sumberdaya hutan dan kawasan DAS.
Kedua politik agraria kehutanan yang diadopsi dari produk hukum
kolonial dan kapitalistik, cenderung berorientasi betting on the strong, pro
pertumbuhan, tetapi abai terhadap pembangunan kehutanan berkelanjutan,
pelestarian ekologi (wide ecological sustainability), kelembagaan komunitas dan
kearifan lokal. Dampak lebih lanjut dari politik agraria tersebut adalah meluasnya
eskalasi konflik agraria, meningkatnya kemiskinan struktural, peluruhan
kelembagaan komunitas dan meluasnya deforestasi dan degradasi hutan dan
kawasan hulu DAS.
Ketiga politik kehutanan berorientasi “pembangunanisme” menempatkan
sumberdaya hutan sebagai komoditas dan sekaligus sebagai enclave (barang antik
bagi komunitas sekitar hutan). Sehingga pembangunan kehutanan menimbulkan
ketidakadilan ekonomi dan ekologi bagi masyarakat sekitarnya. Di satu sisi,
sumberdaya hutan dieksploitasi untuk memacu pertumbuhan ekonomi negara,
kapitalisasi negara dan akumulasi kapital pemilik modal. Di sisi lain komunitas
yang hidupnya tergantung pada sumberdaya hutan teralienasi dan dimarginalkan.
Bahkan dalam rangka kapitalisasi negara, komunitas sekitar hutan, distigmatisasi
sebagai perambah hutan, urang pasisian, urang leuweung, dan menjadi sumber
gangguan dan kendala pembangunan kehutanan. Ikatan sejarah, hak sosial
budaya dan ekonomi komunitas sekitar hutan dinegasikan. Demikian juga
keberadaan mereka sebagai “pelestari plasma nutfah” diluruhkan secara sistemik.
Sementara itu “agensi dan korporasi” kehutanan dari supralokal meskipun
diantaranya terindikasi terlibat dalam aktivitas deforestasi dengan mudah
mendapat berkah ekonomi dari sumberdaya hutan.
174
Pemikiran politik agraria transformatif yang ditawarkan dalam tulisan ini
diakomodasi dari Beck tentang safety state219
. Dalam kaitannya dengan
pembangunan kehutanan, konsep safety state mencakup tiga hal: (1) penggunaan
mekanisme asuransi dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan (2)
penegakkan hukum bagi perusak hutan (3) pemberian kompensasi kepada
komunitas yang terkena dampak ekonomi dan ekologi akibat eksploitasi
sumberdaya hutan.
Konsep safety state diperlukan dalam pembangunan kehutanan baik untuk
jangka panjang maupun jangka pendek. Dalam jangka panjang konsep safety
state menjadi landasan dalam upaya mewujudkan good resources governance,
pembangunan kehutanan berkelanjutan, mengatasi perubahan iklim dan
pemanasan global. Sedangkan dalam jangka pendek konsep safety state berguna
untuk pemberdayaan komunitas sekitar hutan dan menurunkan tingkat degradasi
sumberdaya hutan.
Konsep safety state menyediakan landasan yuridis dan teoritis bahwa
negara sebagai pemegang hak kuasa dan penentu regulasi kehutanan,
memposisikan komunitas sekitar hutan sebagai subyek seperti pemangku
kepentingan lainnya. Selama ini komunitas sekitar hutan, diposisikan sebagai
obyek semata-mata dari berbagai kekuatan supralokal (penguasa dan pemilik
modal nasional dan global), sehingga proses interaksi mereka dengan kekuatan
supralokal bersifat hegemonik dan eksploitatif. Dengan statusnya sebagai subyek
dalam pengelolaan dan pemanfaatan kehutanan, maka proses interaksinya dengan
kekuatan supralokal seyogyanya bersifat setara dan demokratis.
Dalam konsep safety state, jika pemerintah mengeluarkan hak konsensi
kepada pemilik modal untuk mengeksploitasi sumberdaya hutan, maka komunitas
sekitar hutan berhak atas mekanisme asuransi dan kompensasi. Dari segi ini
konsep safety state merupakan upaya meminimalkan alienasi komunitas sekitar
hutan dan sekaligus solusi atas enclavisme dan komoditifikasi sumberdaya hutan.
219
Lihat Beck, Ulrich, 2000. “Risk Society Revisited: Theory, Politics and Research Programmes”
in J. Van Loon (ed). The Risk Society and Beyond Critical Issues for Social Theory. London:
Sage.
175
Lemahnya struktur otoritatif dan alokatif atas sumberdaya hutan, menjadi kendala
komunitas untuk mendapatkan akses dan peluang memperoleh rejeki atas
sumberdaya hutan, tanpa mendapat kompensasi sama sekali, baik dari korporasi
dan maupun pemerintah.
Politik agraria transformatif bidang kehutanan dapat diwujudkan dalam
bentuk tata kelola dan pemanfaatan sumberdaya hutan atas dasar rasionalitas hijau
(green rationalism) atau rasionalitas eko-sosial. Tawaran rasionalitas hijau
didasarkan pemahaman dan kenyataan empirik, bahwa paradigma pengelolaan
hutan atas dasar rasionalitas utility maximum, mendorong manusia tenggelam ke
dalam “barbarisme baru” dan menempatkan manusia sebagai homo economicus.
Sementara dimensi manusia sebagai homo ecologicus diabaikan, yang ternyata
berdampak pada dehumanisasi, marginalisasi komunitas, meluasnya deforestasi
dan degradasi sumberdaya hutan.
Tawaran rasionalitas eko-sosial, karena memadukan perlindungan
lingkungan, pemenuhan kebutuhan sosial dan ekonomi. Rasionalitas eko-sosial
merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan material dengan cara yang sebaik-
baiknya dengan materi sekecil mungkin, yaitu menggunakan barang, tenaga kerja
dan modal dengan nilai guna berdurabilitas tinggi. Dalam rasionalitas eko-sosial,
prinsip durabilitas lebih diutamakan daripada produktivitas. Dapat dikatakan
durabilitas sebagai anti tesa atas produktivitas yang diusung rasionalitas utility
maximum. Dalam hubungan ini dapat dikatakan bahwa deforestasi dan degradasi
sumberdaya hutan di Indonesia pada dasarnya disebabkan politik tata kelola hutan
berorientasi pada produktivitas dan pengarus-utamaan rasionalitas utility
maximum. Sementara durabilitas, konservasi, reboisasi dan rehabalitisasi hutan
diabaikan atau hanya tambal sulam, serta posisi dan eksistensi manusia sebagai
bagian dari ekosistem hutan dimarginalkan.
Politik agraria transformatif mensyaratkan transformasi rasionalitas
pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan dari rasionalitas utility maximum
menuju utility maximum manner. Rasionalitas utility maximum manner kondusif
untuk mendorong tumbuhnya tata kelola dan pemanfaatan sumberdaya hutan
berkelanjutan, ramah terhadap hutan dan bersahabat dengan komunitas lokal.
Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan berbasis utility maximum manner
176
akan membantu menekan komoditifikasi dan eksploitasi hutan yang ditujukan
semata-mata untuk memacu produktivitas, pertumbuhan ekonomi, kapitalisasi
negara dan akmumulasi kapital.
Transformasi rasionalitas dari utility maximum ke utility maximum
manner merujuk pada Habermas mensyaratkan adanya empati dalam komunikasi
antara negara dengan warga negara. Komunikasi negara dengan warga negara
berpola benevolent - obedient dan hegemonik, bukan hanya tidak solutif tetapi
juga problematik dan kontra produktif. Karena itu komunikasi negara dengan
warga negara hendaknya berbasis kesetaraan, kebenaran, ketepatan, kejujuran,
dan komprehensif. Pola komunikasi demikian idealnya juga menjadi ciri proses
interaksi dan komunikasi antar pemangku kepentingan dalam pengelolaan DAS.
Aturan main dan mekanisme (yurisdiksi) tata kelola DAS dirumuskan atas dasar
representasi, demokrasi dan menyediakan ruang dialog dan partisipasi penduduk
sekitar DAS. Interaksi antar pemangku kepentingan yang demokratis dapat
menjadi landsan untuk pengelolaan DAS kolaboratif dan terwudunya
kelembagaan partnership based governance.
Sejalan dengan rasionalitas utility maximum manner, maka penguasaan
sumberdaya hutan yang terdistribusi pada banyak orang lebih dihargai daripada
dikuasi secara oligarki dan elitis. Rasionalitas utility maximum manner
mengandung makna, reforma agraria merupakan solusi untuk memperbaiki
kehidupan ekonomi komunitas sekitar hutan dan mendorong pertumbuhan
agroforestry. Berbeda dengan reforma agraria berbasis rasionalitas utility
maximum yang melahirkan rekonsentrasi penguasaan tanah oleh orang kota,
pemilik modal dan kelompok yang diuntungkan oleh proses pembangunan, maka
reforma agraria di bawah payung utility maximum manner ditujukan untuk
redistribusi tanah dan menjadi pintu masuk untuk pemberdayaan sosial ekonomi,
menurunkan kawasan sekitar hutan sebagai kantong kemisknan dan peningkatan
kesejahteraan rakyat.
Bentuk dan proses reforma agraria komunitas sekitar hutan dapat
bervariasi sesuai dengan kondisi ekologi dan ruang spasial dan sosialnya.
Misalnya fasilitasi perhutanan sosial, distribusi tanah dan kemudahan akses
komunitas terhadap sumber keuangan. Redistrubusi tanah kehutanan bagi
177
komunitas sekitar hutan memerlukan rasionalitas kehutanan, di mana hutan
terlantar, tidak produktif dan tanah sengketa, dipetakan dan diidentifikasi sebagai
sebagai obyek reforma agraria.
Secara yuridis dan kelembagaan, politik agraria transformatif dapat
dilakukan melalui penyusunan peraturan perundang-undangan yang mengikis
habis pendekatan sektoral dan administrasi kewilayahan. Undang-Undang
sektoral, seperti kehutanan, sumberdaya air dan lingkungan hidup, sebaiknya
diintegrasikan dalam Undang-Undang Pertanahan atau Undang-Undang Pokok
Agraria. Pengintegrasian peraturan perundang-undangan tersebut dengan
sendirinya mengharuskan adanya transformasi pengaturan undang-undang
sektoral, kewenangan pemerintah daerah dan relasi kekuasaan tata kelola
sumberdaya hutan, sumberdaya air dan pertanahan (keagrarian). Transformasi
ketiga peraturan perundang-undangan tersebut ditujukan untuk meminimalkan
konflik kepentingan, menekan konflik agraria, kontestasi sektoral dan
mewujudkan tujuan politik agraria yang diamanatkan konstitusi untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.
178
BAB IX
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan pembahasan yang dijelaskan pada bab sebelumnya, maka
pada bagian ini dirumuskan kesimpulan dan implikasinya terhadap politik tata
kelola sumberdaya hutan dan kawasan DAS.
9.1. Kesimpulan
Pertama, tata kelola sumberdaya agraria berbasis kelembagaan lokal
mengandung visi dan orientasi mengenai produksi dan konservasi secara
terintegrasi. Visi dan orientasinya terkandung dalam konsepsi buyut dan pipeling
yang berfungsi sebagai mekanisme, rangkaian hak (bundle of rights) dan aturan
main yang mengedepankan keselarasan kebutuhan manusia dan keberlanjutan
sumberdaya (wide ecological sustainability). Pemanfaatan sumberdaya yang
melebihi daya dukung (carrying capacity) dan daya lenting (resilience), sama
dengan menghancurkan diri sendiri karena manusia merupakan bagian dari
ekosistem. Dalam kegiatan berladang dan berkebun, praktik dan tata kelola
sumberdaya berbasis kelembagan dan kearifan lokal, diwujudkan melalui system
olah tanah gilir balik, ngaseuk, coo benih, pemberantasan hama ramah
lingkungan, masa tanam mengikuti daur musim dan pergiliran tanaman.
Kelembagaan buyut, pipeling dan liliuran di hulu DAS Cidanau sejalan
dengan ciri kelembagaan parsipatori yang dikemukakan Up Hoff, yakni tumbuh
dari akar rumput, terintegrasi dengan kehidupan sosial, ekonomi, tradisi dan
berkembang sesuai kondisi ruang spasial dan ekologi lokal. Praktik dan tradisi tata
kelola sumberdaya komunitas petani di hulu DAS Cidanau mengukuhkan
pendapat Redfield, yakni merupakan komunitas dinamis dan adaptif dengan
dinamika sosial ekonomi di luar komunitas. Mereka bukan hanya aktif dalam
aktivitas agroforestry dan menjadi produsen komoditas perkebunan, tetapi juga
terlibat dalam proses politik dan menjadi bagian dari partai politik tertentu dan
memiliki ikatan emosional dengan penguasa dan elit pada aras lokal, regional dan
nasional.
Persistensi dan adaptabilitas kelembagaan buyut, pipeling dan liliuran di
hulu DAS Cidanau sebelum berlangsungnya kapitalisasi negara dan sumberdaya
179
hutan, menggambarkan kelembagaan komunitas yang dikemukakan Scott (1989),
yakni berperan sebagai “asuransi terselubung” dan menjadi “energi sosial” dalam
mengatasi masalah-masalah kehidupan.
Kedua kontestasi kelembagaan lokal dengan supra lokal memiliki latar
belakang historis dan berkaitan dengan dinamika politik nasional dan global,
karena kebijakan dan dinamika politik pada pentas nasional berimplikasi luas
pada aspek sosial ekonomi dan politik aras lokal. Kontestasi sektoral dan
kontestasi lokal-supralokal menegasikan kelembagaan komunitas, karena
pembangunan sektoral diikuti kapitalisasi negara dan pembentukan kelembagaan
baru yang menjadi substitusi kelembagaan komunitas.
Kelembagaan ”baru” bentukan supra lokal merupakan hasil konspirasi
aparat di atas desa dengan elit desa, tujuannya untuk menangkap peluang ekonomi
dari pembangunan pedesaan dan strukturnya seragam. Ini berbeda dengan
kelembagaan komunitas yang tumbuh dari akar rumput, bersifat unik dan
beragam sesuai dengan kondisi sosial, ruang spasial dan ekologi lokal. Penetrasi
kelembagaan pemerintah yang bersifat substitusi berimplikasi negatif terhadap
keberadaan kelembagaan komunitas, karena mendorong proses komersialsiasi dan
kapitalisasi sumberdaya pedesaan.
Proses pembangunan yang diwarnai komersialsiasi dan kapitalisasi
sumberdaya tidak memberdayakan masyarakat pedesaan, sebaliknya cenderung
memperdaya dan meningkatkan ketergantungan masyarakat ke luar dan di atas
desa yang disebut Sajogjo modernization without development. Dampak negatif
lain dari kapitalisasi sumberdaya adalah mereduksi ruang otonom di wilayah
pedesaan yang disebut Tjondronegoro sodality dan pembangunan menjadi proses
penetrasi dan ekspansi kekuatan modal yang membonceng masuk melalui
program pembangunan ekonomi dan industrialisasi pedesaan. Kapitalisasi dan
komersialsiasi sumberdaya juga mengakibatkan dinamika dan panggung politik
wilayah pedesaan ditentukan oleh bentuk konspirasi pemilik modal dan aparat
Pemerintah di aras supra desa. Kondisi ini mengakibatkan proses pemilihan
kepala desa diwarnai penggunaan politik uang dan otonomi desa tak terlepas dari
kepentingan politik dan ekonomi pemilik modal dan aparat pemerintah di atas
desa. Dampak lebih lanjut kapitalisasi dan komersialsiasi tersebut adalah
180
demokratisasi dan desentralisasi politik wilayah pedesaan berlangsung secara
prosedural, transaksional dan tidak mampu mereposisi pemerintahan desa dan
mingkatkan perbaikan kehidupan ekonomi masyarakat pedesaan.
Ketiga arus utama politik agraria utilitarian dan betting on the strong
berdampak pada komoditifikasi sumberdaya agraria, peluruhan kelembagaan
komunitas secara sistemik (terjadi pada aras sistem, organisasi dan individual),
dan mendeligitimasi kepemimpinan komunitas/informal, tetapi mengkonstruksi
posisi pemerintah desa menjadi semakin dependen. Demokratisasi dan
desentralisasi kekuasaan di wilayah pedesaan, di satu sisi mengarah pada
resentralisasi kekuasaan seperti tampilnya pamong desa sebagai “raja-raja lokal”
atau bahkan menjadi predator. Di sisi lain, semakin tergantungnya pemerintah
desa pada kekuatan supra dan di atas desa.
Pendekatan konservasi secara ekofasis (menempatkan area konservasi
sebagai enclave dan relokasi ex-situ) di tengah ketimpangan struktur agraria, tidak
menyelesaikan masalah konservasi dan masalah agraria di Rawa Danau,
sebaliknya menimbulkan pendudukan petani dan konflik berkepanjangan.
Pendekatan konservasi secara ekofasis mengakibatkan terputusnya petani dengan
basis ekonominya dan mengalienasi ikatan emosi, sosial dan sejarahnya.
Pendekatan ex-situ sebagai bentuk land reform yang didasarkan pendekatan dan
pertimbangan teknik semata-mata, dalam kenyataan menjadi “pemindahan
kemiskinan” ke luar Jawa. Kondisi ini mencerminkan kegagalan pemangku
otoritas mewujdukan tujuan politik agraria untuk kesejahteraan rakyat.
Indikasinya adalah depeasanisasi, tampilnya predator agraria dan penggusuran
petani dan kepedulian semu terhadap komunitas petani dan jasa lingkungan.
Dalam tata kelola DAS, ditunjukkan oleh ketidakmampuan pemangku
otoritas membangun ”rumah bersama” dan jejaring hulu hilir DAS secara terpadu
dan subordinasi kelembagaan komunitas. FKDC yang seharusnya menjadi ”rumah
bersama”, mediator dan fasilitator antara komunitas petani dengan perusahaan dan
pemerintah, dalam kenyataan dikooptasi birokrasi dan koorporasi. Rapuhnya
bangunan ”rumah bersama” mengakibatkan pembayaran jasa lingkungan kepada
petani hutan tidak menghilangkan ketidakadilan ekologi dan ekonomi di hulu
DAS Cidanau. Dominasi birokrasi dalam FKDC sebagai ”rumah bersama”,
181
mengakibatkan keputusannya tidak aspiratif, tidak partisipatif dan tidak
independen. Dalam kaitananya dengan mekanisme pembayaran jasa lingkungan
dapat dikatakan yurisdiksi dirumuskan tanpa representasi dan demokrasi.
2. Saran dan Implikasi Kebijakan
Dari temuan empirik di lapangan dapat dikemukakan beberapa saran
kebijakan untuk mengatasi persoalan yang dihadapi petani sekaligus untuk
pembangunan komunitas sekitar hutan. Adapun beberapa saran kebijakan
dimaksud sebagai berikut:
Pertama tata kelola agraria berbasis kelembagaan lokal yang
mengintegrasikan produksi dan konservasi hendaknya dipertimbangkan menjadi
pilihan kebijakan dan mendapat ruang dalam politik tata kelola sumberdaya
agraria. Praktik tata kelola sumberdaya agraria berbasis kelembagaan komunitas
yang perlu diperhatikan adalah tradisi pemuliaan dan pergiliran tanaman, kearifan
lokal tentang tanaman pangan dan obat-obatan, zonasi hutan, teknologi gilir balik,
sistem tebang pilih dan sistem olah tanah konservasi. Praktik tata kelola
sumberdaya tersebut kondusif untuk menjaga keamanan subsistensi petani dan
mendukung pembangunan pertanian dan kehutanan berkelanjutan.
Kedua penguatan kelembagaan komunitas mensyaratkan perubahan
struktur signifikansi (sistem ilmu pengetahuan/ideologi), struktur otoritatif,
alokatif dan legitimasi (norma dan hukum). Peningkatan kapasitas kelembagaan
komunitas dapat dilakukan melalui revitalisasi dan pengakuan keabsahan secara
yuridis. Pemetaan wilayah hutan secara partisipatif dan pelibatan komunitas
dalam pemanfaatan sumberdaya hutan mulai perencanaan, pelaksanaan, evaluasi
dan monitoring merupakan langkah strategis untuk membangun kemandirian
masyarakat sekitar hutan dan mengurangi konflik agraria di sekitar hutan dan
kawasan DAS.
Ketiga untuk meminimalkan peluruhan kelembagaan komunitas, perlu
terobosan politik untuk merasionalisasi kawasan hutan. Wilayah yang diklaim
kawasan hutan tetapi sesungguhnya “bukan hutan”, diidentifikasi, diregistrasi dan
dipetakan sebagai obyek reforma agraria. Kebijakan kehutanan pro populis seperti
pengakuan hak sosial ekonomi masyarakat, perluasan akses dan kesempatan
182
petani pemilik lahan sempit dan tak bertanah terhadap sumberdaya agraria dan
land reform adalah kebijakan strategis yang dapat memperbaiki kehidupan
masyarakat sekitar hutan. Adanya ”rumah bersama” dalam tata kelola DAS, yang
memungkin partisipasi masyarakat adalah langkah strategis untuk membangun
kelembagaan DAS hulu hilir secara terpadu. Demikian pula perluasan area hutan
rakyat yang obyek insentif jasa lingkungan dan alokasi anggaran hijau yang
memadai adalah kondusif untuk perbaikan petani dan tata DAS berkelanjutan.
183
DAFTAR PUSTAKA
Agrawal, A. ‘Indigenous and Scientific Knowledge: Some Critical Comments’,
Indigenous Knowledge and Development Monitor 3(3), 1995
Agger, Ben, 2003. Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan dan Implikasinya.
Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Anderson, Benecdict, 2001. Imagined Communities. Yogyakarta: INSIST.
Arifin, Susilo. 2005. Harmonisasi Pembangunan Pertanian Berbasis DAS Pada
Lanskap Desa Kota Kawasan Bogor Puncak Cianjur. Bogor: Fakultas
Pertanian IPB.
Awang, San Afitri, 2003. Politik Kehutanan Masyarakat. Yogyakarta: Kreasi
Wacana.
Bank Dunia, 2006. Laporan Bank Dunia: Kesetaraan dan Pembangunan. Jakarta:
The World Bank-Salemba Empat.
Bappeda Kabupaten Serang, 1999. Rencana Teknik Lapangan Rehabilitasi Lahan
dan Konservasi Tanah DAS Cidanau. Serang: Bappeda Kabupaten Serang –
Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (BRLKT), DAS Citarum-
Ciliwung.
BAPPENAS, 2003. Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia
2003-2020. Jakarta, BAPPENAS.
Beck, Ulrich, 2000. “Risk Society Revisited: Theory, Politics and Research
Programmes” in J. Van Loon (ed). The Risk Society and Beyond Critical
Issues for Social Theory. London: Sage.
Berkes, Fikret, C, Folke and J. Colding, eds, 1998. Linking Social and Ecological
Systems: Management Practices and Social Mechanisms for Building
Resilience. Cambridge: Cambridge University Press.
Beugelsdijk S, Smulders, S, 2003. Bridging and Bonding Social Capital: Which
Type is Good for Economic Growth?. Faculty of Economics. Tilburg
University. [email protected] and [email protected].
Billie, Dewalt, R. 1994. Using Indigenous Knowledge to Improve Agriculture and
Natural Resource Management. Human Organization, Vol. 53, No. 2.
Biot, Y, Blaike, M., and Palmer - Jones, 19995. Rethinking Research on Land
Degradation in Developing Countries. World Bank Discussion Paper No.
289. World Bank: Washington.
Balai Konservasi dan Sumberdaya Alam, (BKSDA) 2005. Ekspose Penanganan
Perambahan dan Pemukiman Liar di Cagar Alam Rawa Danau. Serang:
BKSDA
Biro Pusat Statistik. 2003. Statistik Potensi Desa, BPS, 2003.
Bradford, Delong,J.2009. “Globalization” and “Neoliberalism” downloaded from
http://con161 berkleley.edu/Econ_ Articles/Rrevie. at October 24.2009.
184
Bremen, Jan 1997. Menjinakkan Sang Kuli: Politik Kolonial, Tuan Kebun dan
Kuli di Sumatera Timur Pada Awal Abad ke 20. Jakaarta: Pustaka Utama
Grafiti.
Brinkerhoff, Derick W, and Arthur A. Goldsmith, 1992. “Promoting the
Sustainability of Development Institutions: A Framework for Strategy”,
World Development, Vol. 20.
Bryceson, Deborah; Cristóbal Kay, and Jos Mooij, 2000, Disappearing
Peasantries? Rural Labour in Africa, Asia and Latin America. London:
Intermediate Technology Publications.
Bryant, Raymond L., “Power, Knowlwdge and Political Ecology in the Third
World: A Review,” Progress in Geography, 22 (1).
Creswell, John W, 1994. Research Design: Qualitative and Quantitative
Approaches. USA: Saga Publications.
Diez, Ton, 1998. Pengakuan Hak Atas Sumberdaya Alam. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar-Insist-Remedec.
Djuweng, Stepanus, “Orang Dayak, Pembangunan dan Agama Resmi” dalam
Stepanus Djuweng, Yando Zakaria dkk, 1996. Kisah Dari Kampung
Halaman: Masyarakat Suku, Agama Resmi dan Pembangunan”.
Yogyakarta: Interfidei
Djojohadikusumo, Sumitro 1991. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Yayasan
Obor Indonesia.
Dove, Michael, “Representasi Orang yang Berbudaya Lain” oleh” Orang-Orang
Lain”: Tantangan Etnografis tentang Pandangan Pengusaha Perkebunan
terhadap Petani Kecil di Indonesia” dalam Tania Murray Li (peny.), 2002.
Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia. Jakarta: Yayasan
Obor Indoensia.
Dwivedi, Ranjit, 2001.”Environmental Movements in the Global South: Issues of
Livelihood and Beyond”, in International Sociology, March 2001, Vol 16
(1).
Ellen, Roy, “Pengetahuan tentang Hutan, Transformasi Hutan: Ketidakpastian
Politik, Sejarah Ekologi dan Renegosiasi Terhadap Alam di Seram Tengah,”
dalam Tania Murray Li (peny.), 2002. Proses Transformasi Daerah
Pedalaman di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Escobar, Arturo, 1999. “After Nature: Steps to an Antiessentialist Political
Ecology” in Current Anthropology Volume 40 Number 1 Februari.
Evers, Hans Dieter dan Schiel, 1990. Kelompok Strategis: Perbandingan Tentang
Negara Birokrasi dan Pembentukan Kelas di Dunia Ketiga. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia.
Durrkheim, Emile. 1967. The Division of Labor in Society. The Free Press.
Durkheim, Emile, 1964. The Rule of Sociological Method. New York: The Free
Press.
185
Faizi, Noer, 1991. Petani dan Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria
Indonesia. Yogyakarta: INSIST, KPA, Pusaka Pelajar.
Faizi, Noer, 2003. Bersaksi Untuk Pembaruan Agraria: Dari Tuntutan Lokal
Hingga Kecenderungan Global. Yogyakarta: KARSA, KPA dan Insist.
Faryadi, Erpan, 2002. “Tanpa Reforma Agraria, Tidak Akan Ada Hak Atas
Pangan” dalam Jurnal Analisis Sosial, Vol. 7.3 Desember 2002.
Fayerabend, Borrini, G,Kothari, etl, 2004. Sharing Power, Learning By Doing in
Co-Management of Natural Resources Throughout in the World. IIED and
IUCN/CEESP, Cenesta,Teheran.
Forum Komunikasi DAS Cidanau (FKDC), 2005. Potensi dan Masalah DAS
Cidanau. Serang: Forum Komunikasi DAS Cidanau.
Forum Komunikasi DAS Cidanau, (FKDC), 2005. Perjanjian Pembayaran Jasa
Lingkungan. Serang: Forum Komunikasi DAS Cidanau.
Fasseur, C. 1987. “Tentang Lebak” dalam Ibrahim Alfian, Koesoemanto, H.J.,
Hardjowidjono dan Djoko Suryo: Dari Babad dan Hikayat Sampai Sejarah
Kritis. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Evers, Hans Dieter dan Schiel, 1990. Kelompok Strategis: Perbandingan Tentang
Negara Birokrasi dan Pembentukan Kelas di Dunia Ketiga. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia.
Garna, Judistira, K. 1999. Metode Penelitian: Pendekatan Kualitatif. Bandung:
Primaco.
Garna, Judistira, K.1993. “Masyarakat Baduy di Banten” dalam Koentjaraningrat,
dkk, 1993. Masyarakat Terasing di Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Geertz, Clifford, 1983. Involusi Pertanian. Jakarta: Bhratara.
Geertz, Clifford. 2003. Pengetahuan Lokal: Esai-Esai Lanjutan Antropologi
Interpretatif. Yogyakarta:
Giddens, Anthony. 2004, The Constitution of Society: Teori Strukturasi untuk
Analisis Sosial. Pasuruan: Pedati.
Giddens, A. 1987. The Nation-State and Violence: Volume Two of A
Contemporary Critique of Historical Materialism. Berkeley: University of
California Press.
Gillis,M,1990, “Indonesia Public Policies, Resources Management and the
Tropical Forrest. Dalam Repetto R and Gllis, M (eds). Publik Policies and
Missue of Forrest Resource. New York: Cambridge University Press.
Ginting, A.Ng dan Kirsfianti Ginoga, 2010. “Peluang dan Tantangan Kebijakan
Moratorium Lahan Gambut dan Deforestasi”. Makalah “Seminar
Lokakarya Nasional Pemanfaatan Lahan Gambut Berkelanjutan Untuk
Pengurangan Kemiskinan dan Percepatan Pembangunan Daerah”. Bogor:
PSP3 IPB
Goodland, R.G. Ledec and W. Webb, 1989. “Meeting Environmental Concerns
Caused by Common Property Mismanagement in Economic Development
186
Project” dalam Barkes (ed,) In Common Property Resources: Ecology and
Community Based Sustainable Development. London: Belhaven Press.
Gunarsih, Ance,1986. Pengaruh Klimatologi Terhadap Tanah dan Tanaman.
Jakarta: Bina Aksara.
Habermas, J. 1990. Ilmu dan Teknologi Sebagai Ideologi. Jakarta: LP3ES,
Hadi Dharmawan, Arya, 2005. Sistem Tata Pemerintahan Sumberdaya Alam dan
Lingkungan di Daerah Aliran Sungai Citanduy: Perspektif Politik. Bogor:
Pusat Studi Pembangunan IPB Bekerjasama dengan Partnership for
Governance Reform in Indonesia UNDP.
Hanna, Susan, Carl Folke, Carl, Goran Maler, 1996. Property Right and Natural
Environment in Right to Nature: Ecological, Economic, Cultural and
Political Principles of Institutions for Environment. Stockholm (Sweden):
Island Press.
Hardiman, F.B. 1990. Kritik Ideologi: Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan.
Yogyakarta: Kanisius.
Hardiman F.B. 2003. Melampaui Positivisme dan Modernitas. Yogyakarta:
Kanisius.
Hasibuan, Sayuti, 1997. Pendekatan Pelaksanaan Dalam Pembangunan. Jakarta:
Lembaga Pengkajian Pembangunan Nasional.
Hefner, Robert, W.1990. The Political Economy of Mountain Java: An
Interpretative History. University of California Press.
Henry, Forth, D. 1984. Fundamental of Social Science. Michigan USA. John
Willey and Son.
Heriyanto dan Garsetiasih, “Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Oleh Masyarakat
Lokal di Taman Nasional Meru Betiri Jawa Timur, Jurnal Penelitian Hutan
dan Konservasi Alam Vol. III No.3 Tahun 2006.
Hobsbawm, Eric, 1985. Age of Extremes: The Short Twentieth Century 1914-
1991. London: Abacus Books, Little, Brown and Co.
Hunawu, Momy, 2004. “Pengelolaan Sumberdaya Hutan Berkelanjutan:
Pertarungan Pengetahuan Antar Pemimpin Lokal (Studi Kasus
Kepemimpinan Lokal Pada Komunitas Kulawi di Desa Bolapapu, Sulawe
Tengah”. Thesis, IPB.
Husken, Frans, dan Benjamin White, “Ekonomi Politik Pembangunan Pedesaan
dan Struktur Agraria di Jawa” dalam Prisma No.4, 1989.
Imron, Masyhuri, 2009. Peran Pemerintah Dalam Pengembangan Kelembagaan
Masyarakat Nelayan” Makalah Seminar Peningkatan Kapasitas
Kelembagaan Masyarakat Nelayan”, Bappenas, 21 April 2009.
Iskandar, Johan, 2001. Manusia, Budaya dan Lingkungan. Bandung: Humaniora
Utama Press.
187
Jayasuriya, Kanishka, ”Negara, Pembangunan dan Globalisasi: Dari Kekuasan
Negara ke Kekuasaan Pasar Global”, dalam Jurnal Wacana, Edisi 5, tahun
II, 2000
Jones, S. 1999. From Meta Narratives to Flexible Framwork: An Actor Analysis
of Land Degradation in Higland Tanzania. Global Environmental Vol 9.
Kaplan David dan Albert A Manners, 1999. Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Kartasubrata, Junus. 2003. Sosial Forestry Dan Agroforestry di Asia. Bogor: Lab
Politik Ekonomi dan Sosial Kehutanan Fakultas Kehutanan IPB.
Kartodirdjo, Sartono. 1984. Pemberontakan Petani Banten 1888. Jakarta: Pustaka
Jaya.
Kartodihardjo, Hariadi, 2003. “Devolusi dan Undang-Undang Kehutanan Baru
Indonesia” dalam Ida Aju Prandja Resosudarmo dan Carol J.P. Colfer, 2003.
Kemana Harus Melangkah. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Kartodiharjo, Hariadi dan Hira Jhamtani, 2006, Politik Lingkungan dan
Kekuasaan Di Indonesia. Jakarta: Equinox Publisihing.
Kato, Goto A, 2003. Studies on Environment Changes and Sustainable
Development. Water Quality Model of Cidanau Watershed, Indonesia, for
Watershed Management Planning. Proceeding of the 2nd Seminar on
Toward Harmonization Between Development and Environmental
Conservation in Biological Production. The University of Tokyo; Feb. 15-
16 2003.
Kenneth Young & R Tanter. Politik Kelas Menengah Indonesia. Jakarta: LP3ES.
Keraf, Sonny,1996. Pasar Bebas, Keadilan dan Peran Pemerintah. Yogyakarta:
Kanisius.
Kompas, 2010. “Kesalehan Sosial Bangkrut” Harian Kompas, 10 agustus 2010.
Koentjaraningrat, 1986. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.
Koentjaraningrat, 1985. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian
Rakyat. Publisihing.
Korten, David, C. 1988. “LSM Generasi Keempat: Fasilitator Gerakan
Kemasyarakatan”, Prisma XVII, no. 4.
Laksano, Paschalis, 2002. ”Tanpa Tanah, Budaya Nir Papan, Antropologi Antah
Berantah”, dalam Lounela, Anu dan R Yando Zakaria (eds), 2002. Berebut
Tanah Beberapa Kajian Perspektif Kampus dan Kampung. Yogyakarta:
Insist Press dan Karsa.
Landsberger, Henry, 1984. Pergolakan Petani dan Perubahan Sosial. Jakarta:
Rajawali Press
Lee, Nancy Peluso, 2006. Hutan Kaya, Rakyat Melarat: Penguasaan Sumber Daya
dan Perlawanan Rakyat. Yogyakarta: Insist Press.
Liddle, R William, 1988. “Politics and Culture in Indonesia”. Center for Political
Studies for Social Research” The Uuniversity of Michigan.
188
Little, Andrian 2000. New Political Economy. Vol.5/1.
Locke, John, 1988. Two Treatises of Government. Cambridge: Cambridge
University Press.
Lubis, Akhyar, (2004). Metode Hermeneutika dan Penerapannya pada Ilmu
Sosial, Budaya dan Humaniora. PPS UI, Jakarta.
Lubis, Akhyar, 2004. Paradigma Baru dan Persoalan Metodologi Ilmu Sosial-
Humaniora dan Budaya Pada Era Postmodern. Jakarta: PPS UI.
Lync, Owen and Harwell, Emily, 2002. Whose Natural Resource ? Whose
Common Good? Towards a New Paradigm of Environmental Justice and
the National Interest in Indonesia. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi
Masyarakat (ELSAM).
Mamar, Sulaeman, “Sistem Pengetahuan dan Teknologi Suku Wana di Sulawesi
Tengah” dalam Kusnaka Adimihardja (ed.), 1999. Petani Merajut Tradisi
Era Globalisasi. Bandung: Humaniora Utama Press.
Marzali, Amri. 1992. The Urang Sisi of West Java: A Study of Peasants:
Responses to Population Pressure”. Boston University.
Matew, Miles dan Michael, Hubermne, 1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI
Press.
Meer, van der, 1989. The Ecology Intercropping. Cambridge: Cambridge
University Press.
Muhammad, Chalid, 2007. “Indonesia Sebentar Lagi” Makalah Seminar, Forum
Wacana Pascasarjana, IPB, 8 September 2007.
Muhammad, Chalid, “Drama Haru SBY”, Harian Kompas, 30 Oktober 2010.
Murray Li, Tania, “Keterpinggiran, Kekuasaan dan Produksi: Analisis Terhadap
Transformasi Daerah Pedalaman”, dalam Tania Murray Li (peny.), 2002.
Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia.
Nasikun.1999. “Reformasi, Jalan Berliku Menuju Transisi Demokrasi” dalam
Mahfud MD. Editor: Kritik Sosial Dalam Wacana Pembangunan.
Yogyakarta: UII Press.
Netting, Robert, 1993. Smallholders, Householder: Farm Families and the
Ecology of Intensive, Sustainable Agriculture. California: Stanford
University Press.
North, D.C. (1990). Institutions, Institutional Change and Economic Performance.
Cambridge: Cambridge University Press.
Nurrachman, Nani, 2004. Keadilan dalam Perspektif Psiko Sosial” dalam
Kompas, Keadilan Sosial: Upaya Mencari Makna Kesejahteraan Bersama di
Indonesia. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.
Nygren, 1999. “Indigenous Knowledge in Environment Development Discourse:
From Dichotomies to Situated Knowledge” dalam Crtique of Antropology
Vol. 19No. 3 1999
189
Ostrom E, Gardner, R and Walker,J, 1994. Rules, Games and Common Pool
Resources. University of Michigan Press, An Arbor, MI.
Pambudi, Rachmat . “Hak dan Kewajiban Atas Pangan”, Harian Kompas, 15
Oktober 2010.
Parlindungan, A.P.1991. Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria.
Bandung Alumni.
Parlindungan,A.P. 1990. Land Reform di Indoensia. Bandung: Alumni.
Petras, James dan Veltmeyer, 2002. Imperialisme Abad 21. Yogyakarta: Kreasi
Wacana.
Pofenberger, Mar, 1990. “The Evolulution of Forest Management System in
Southeast Asia” in. Poffenberger, Mar (ed), Keeper of The Forest: Land
Management Alternatives in Southeast Asia. Connecticut: Kumarian Press.
Polanyi, Karl, 1998.“Perkembangan Ekonomi Pasar” dalam Hans Dieter Evers,
1998. Teori Masyarakat: Proses Peradaban Dalam Sistem Dunia Moderen.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Prasetyo, Budi, “Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan, Degradasi Lahan dan
Upaya Penanggulangannya: Studi Kasus di Daerah Aliran Sungai Citanduy”
dalam Arya Hadi Dharmawan (peny.), 2005. Pembaharuan Tata
Pemerintahan Lingkungan: Menciptakan Ruang Kemitaran Negara-
Masyarakat Sipil-Swasta. Bogor, PSP3 dan Partnership For Governance
Reform In Indonesia, UNDP.
Prijono, Onny, “Peran Organisasi Nirlaba, Lembaga Pengembangan Swadaya
Masyarakat dan Lembaga Swadaya Masyarakat serta Pola Interaksi dengan
Pemerintah” dalam Bantarto Bandono, et.al. 1995. Refleksi Setengah Abad
Kemerdekaan Indoensia. Jakrta: CSIS.
Proyono, Herry B.2003. “Bangsa Dalam Tegangan Lokal Global” dalam Jurnal
Filsafat dan Teologi. STF Driyarkara, Diskursus, Vol.: 2 Oktober 2003.
Puspitojati, Triyono, 2008. Preferensi Pemangku Kepentingan Dalam Pengelolaan
Hutan Produksi: Studi Kasus Pengolahan Hutan Produksi di KPH Bogor”.
Bogor: Sekolah Pascasarjana, IPB.
Ramirez, Ricardo, ”Memahami Pendekatan-Pendekatan Kolaborasi: Usaha
Mengakomodasi Kepentingan Multi Stakeholder” dalam Suporahardjo,
(editor), 2005. Manajemen Kolaborasi: Memahami Pluralisme Membangun
Konsensus. Bogor: Pustaka Latin.
Rekonvasi Bumi, 2007. Uji Coba Konsep Pembayaran Jasa Lingkungan di DAS
Cidanau Propinsi Banten. Serang: Rekonvasi Bumi.
Redfield, Robert, 1982. Masyarakat Petani dan Kebudayaan. Jakarta: Rajawali.
Rek Rozari, M Balantaram, 1994, “Perkiraan Musim Tradisional”. Buletin
Meterologi Pertanian Indonesia Vol. 11 No. 1 dan 2. Bogor: PP PERHIMPI.
Rekonvasi Bumi, 2003. Laporan Hasil Perjalanan Observasi Rawa Danau tahun
2003 oleh Kelompok Swadaya Masyarakat. Serang: Rekonvasi Bumi
190
Ritzer, George & Goodman Douglas J, 2004. Teori Sosiologi Modern. Jakarta:
Prenada Media.
Robert J, 2004. Environmental Policy. Routledge Introduction to Environment
Series. Routledge. London and New York.
Roe, E. 1991. Development Narratives or Making the Best of Blueprint
Development. World Development 19 (4).
Rosemarie. Tong,1998. Feminist Thought. Westview Press.
Salim, 2004. Dasar-Dasar Hukum Kehutanan. Jakarta: Sinar Grafika.
Sandra, Moniaga, (2004). The National Park is Their Homelands: Study of
Reconciliation Possibilities of the Conflicting Laws on Land Tenure System
in Lebak District of the Banten Province, Indonesia.
Santoso, Hery. 2006. Perlawanan Di Simpang Jalan: Konteks Harian di Desa-
Desa Sekitar Hutan. Yogyakarta: Penerbit Damar.
Schiller, J., 2003. “Indonesia Tahun 1999: Hidup Tanpa Kepastian,” dalam Jalan
Terjal Reformasi Lokal: Dinamika Politik di Indonesia. Yogyakarta:
Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.
Schiller, J., 1996. Developing Jepara: State and Society in New Order Indonesia.
Clayton: Monash Asia Institute.
Schmidt, A. 1987. Property, Power, and an Inquiry Into Law and Economic. New
York Praeger.
Schrieke, B.J.O. 1973. Pergolakan Agama di Sumatera Barat, Sebuah Sumbangan
Bibliografi. Jakarta: Bhratara.
Setiawan, Ogi dan Ryke Nandini, “Kuantifikasi Jasa Hutan Lindung Sebagai
Pengatur Tata Air di Daerah Aliran Sungai (DAS) Palu” dalam Jurnal
Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol. III No.3 Tahun 2006,
Scot, Richard, W. 2008. Institutions and Organizations, Idea and Interest. Los
Angeles: Sage Publications.
Scott, James, 1989. Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia
Tenggara. Jakarta: LP3ES.
Sillitoe, Paul, 1998. “The Development of Indigenous Knowledge: A New
Applied Anthropology” Current Anthropology, Vol. 39, No. 2, 1998.
Simon, H. 1999. Pengelolaan Hutan Bersama Rakyat: Teori dan Aplikasi pada
Hutan Jati di Jawa. Yogyakarta: Bigraf Publishing.
Shanin. Teodor, 1990. Defining Peasant: Essay Concerning Rural Societies,
Exppolary Economy and Learning from them in The Contemporary World.
Cambridge: Basil Blackwell.
Siregar, Budi Baik, 2004. “Modal Sosial Komunitas Perladangan (Kasus
Komunitas Kanarakan, Kecamatan Bukit Batum Kota Palangkaraya,
Propinsi Kalimantan Tengah”). Bogor: Thesis, Pascasarjana IPB.
191
Smith, Theodor, (1982) “Kepala Desa: Pelopor Pembaharuan?” dalam
Koentjaraningrat (ed). Masalah-Masalah Pembangunan, Bunga Rampai
Antropologi Terapan. Jakarta: LP3ES
Smith, T Lyn and Zopf, Paul. 1970. Principles of Inductive Rural Sociology,
Philadelphia: Davis Company.
Sobhan, R. 1993. Agraria Reform and Social Transformation: Precondition for
Development. London: Zed Books Ltd.
Soedjoto, Herwasono, “Masyarakat Dayak: Peladang Berpindah dan Pelestari
Plasma Nutfah”, dalam Kusnaka Adimihardja (ed.), 1999. Petani Merajut
Tradisi Era Globalisasi. Bandung: Humaniora Utama Press.
Soeriatmadja, R.E,Whitten, T, R.E. & S.A. Afif, 1999. Ekologi Jawa dan Bali.
Jakarta: Prehallindo.
Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta, Rajawali.
Soetiknyo, Iman. 1990. Poliik Agraria Nasional: Hubungan Manusia Dengan
Tanah Berdasarkan Pancasila. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Soetrisno, Loekman, 1995. Menuju Masyarakat Partisipatif. Yogyakarta:
Kanisius.
Stepan, Alfred, 1979. The State and Civil Society: Peru in Coorporative
Perspective. Princeton: Princeton Univertrty Press.
Sunderlin. 2003. Forests and Poverty Alleviation. In: FAO. State of the World‘s
Forests 2003. Rome, Italy, FAO. 61-73. http://www.fao.org. at October
11.2009.
Suradisastra, Kedi, 2006. Revitalisasi Kelembagaan Untuk Percepatan
Pembangunan Sektor Pertanian Dalam Otonomi Daerah. Bogor: Balitbang
Kementerian Pertanian.
Suwardi, Herman, 1978. “Respon Masyarakat Desa Terhadap Modernitas di
Bidang Produksi Pertanian di Jawa Barat”. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Swedberg, 1994. Markets as Social Structures. New Jersey: Princeton University
Press.
Sylvian, Richard, dan David Bennet, 1994. The Greening of Ethics. Cambridge:
The White House Press
Taylor, John, G, 1989. From Modernization To Modes of Production. London:
The Macmillan Pres LTD.
Thorns, David & Willmott, Bill. 1983. “Class, Locality and Family: Bases of
Communion in a Locality”. In Crow, Graham (Ed.). 1986. The Sociology of
Rural Communities. Vol. II. US: Edward Elgar Publishing Company.
Tjondronegoro, Sediono M.P. 2001. “Pengelolaan Sumberdaya Agraria:
Kelembagaan dan Reforma Agraria” dalam Jurnal Analisis Sosial, Vol.6
No.2 Juli 2001.
192
Tjondronegoro, Sediono MP dan Gunawan Wiradi, ”Menelusuri Pengertian Istilah
”Agraria”, Jurnal Analisis Sosial, Vol.9, No.1 April 2004.
Tjondronegoro, Sediono M.P, 1984. “Gejala Organisasi dan Pembangunan
Berencana Dalam Masyarakat Pedesaan di Jawa.” Dalam Koentjaraningrat
(peny.). Masalah-Masalah Pembangunan Bunga Rampai Antropologi
Terapan. Jakarta: LP3ES.
Tony, Fredian, 2004. Perspektif Kelembagaan Dalam Pengelolaan Daerah Aliran
Sungai Citanduy: Studi Desentralisasi Pengelolaan dan Sistem Tata
Pemerintahan Sumberdaya Alam. Bogor: Pusat Studi Pembangunan IPB
Bekerjasama dengan Partnership for Governance Reform in Indonesia
UNDP.
Torpey, J., 1998. ‘Coming and Going on the State Monopolization of the
Legitimate ‘Means of Movement,” Sociological Theory: A Journal of the
American Sociological Association , XVI, No.3.
Tunner, Bryan. 2002. Orientalisme, Posmodernisme dan Globalisasi. Jakarta:
Piora Cipta.
Turner, Jonathan, 1998. The Structure of Sociological Theory. First Edition,
Wadsworth Publishing Company.
UNDP,1997. Reconceptualising Governance. New York: UNDP.
Uphoff, Norman, 1986. Local Institutional Development: An Analytical
Sourcebook With Cases. Conecticut, Kumarian Press.
Wahono, Francis, 1999. “Revolusi Hijau: Dari Perangkap Involusi ke Perangkap
Globalisasi”. Jurnal Wacana. No.IV, 1999.
Warnen, Suwarsih. 1985 Pandangan Hidup Orang Sunda. Bagian Proyek
Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan
Weber, Max, 1968. Economy and Society on Outline of Interpretative Sociology.
New York: Bedminster Press.
Weber, Max. 1964. The Theory of Social and Economic Organization. New York:
The Free Press
White, Ben, “Inti dan Plasma: Pertanian Kontrak dan Pelaksanaan Kekuasaan di
Dataran Tinggi Jawa Barat” dalam Tania Murray Li (peny.), 2002. Proses
Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Wignjodipuro, Surjo, 1983. Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat. Jakarta:
Gunung Agung
Wiradi, Gunawan, 2000. Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir.
Yogyakarta: Insist Press, KPA dan Pustaka Pelajar.
Wiradi, Gunawan, 1991. “Reforma Agraria: Masalah dan Relevansinya dengan
Pembangunan Jangka Panjang: Suatu Pandangan ke Depan.” Sekreariat
Bina Desa.
193
Wiradi, Gunawan, 2001. ”Reforma Agraria Tuntutan Bagi Pemenuhan Hak-Hak
Azasi Manusia”, Jurnal Analisis Sosial, Vol. 6. No. 2.
Wiradi, Gunawan, 2001. “Kedudukan UUPA 1960 dan Pengelolaan Sumberdaya
Agraria di Tengah Kapitalisasi Negara (Politik Kebijakan Hukum Agraria
Melanggengkan Ketidakadilan). Jurnal Analisis Sosial Vo. 6. No.2.
Wiradi, Gunawan, 1993. “Kebijakan Agraria, Modal Besar dan Kasus-Kasus
Sengketa Tanah.” Makalah pada Lokakarya Antar Wilayah Advokasi
Kasus-Kasus Tanah.
Wittemer, Heidi dan Regina Bitmer, 2005. Between Conservationsm, Eco-
Populism and Developmentalism: Discurse in Biodiversity Policy in
Thailand and Indonesia. CAPRI Working Paper No. 37. Washington DC,
International Food Policy Research Institute.
Wolf, Eric, 1985. Petani: Suatu Tinjauan Antropologis. Jakarta CV Rajawali.
Woolcock, M and Narayan, D. 2000. Social Capital: Implications for
Developments Theory, Research and Policy. The World Bank Research
Observer, vol. 15, No. 2 August.
Wulandari, Christian, 2005. “Tingkatan Penerimaan Sosial Masyarakat Sekitar
Hutan Dalam Mengadopsi Agroforestry di Lahan Pekarangan” dalam Jurnal
Hutan Rakyat Vol. VII No.1 Tahun 2005.
Yin, R, (1996). Studi Kasus: Desain dan Metode. Radja Grafindo Persada, Jakarta
Yoshihara, Kunio, 1990. Kapitalisme Semu di Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES.
Yoshoda, Goto AK, T Shimizu, Y Purwanto, 2001. Investigation on Hydraulic
Water Balance for Integrated Watershed Management Planning in Cidanau
River Basin, West Java. Proceeding of the 1st Seminar Toward
Harmonization Between Development and Environmental Conservation in
Biological Production. Graduate School of Agricultural and Life Sciences;
The University of Tokyo; Feb 21-23.
Young, Dennis R. 2000. “Alternative Model of Government-Nonprofit Sector
Relations: Theoritical and International Perspectives” in Nonprofit and
Voluntary Sector Quarterly, vol 29, No. 1 March 2000.
Young, Kenneth & R Tanter. Politik Kelas Menengah Indonesia. Jakarta: LP3ES.
Wolf, Eric,1985. Petani: Suatu Tinjauan Antropologis. Jakarta CV Rajawali.
Zakaria, Yando, “Pembangunan Yang Melumpuhkan: Pelajaran dari Kepulauan
Mentawai” dalam Stepanus Djuweng, Yando Zakaria dkk, 1996. Kisah
Dari Kampung Halaman: Masyarakat Suku, Agama Resmi dan
Pembangunan”. Yogyakarta: Interfidei.
194
LAMPIRAN
195
Lampiran 1.a
Tabel 1.a. Habitus Pepohonan, Cara Penggunaan dan Kegunaannya
No Nama Lokal Nama Ilmiah Bagian Yang Dimanfatkan dan
Cara Penggunannya
Kegunaannya/Obat
1 Jeunjing Albizia Falcata Back Kulit batang/ditumbuk, tempel Gatal
2 Kitoke Albizia Tomenntella * Kulit batang/ditumbuk, dibalur Patah tulang
3 Muncang Aleuritas Moluccana Batang/kerik dan tempel Sakit gigi
4 Lame Alstonia Scholaris Kulit batang/rebus, minum Penambah stamina
5 Lampeni Ardisia Humilis Daun, buah/ tumbuk, balur Kadas Cacingan
6 Teureup Artocarpus Elstica Kulit batang/kunyah, tempel Radang
7 Nangka Artocarpus Heterophyllus Daun/rebus, minum Sakit panas
8 Awi Koneng Bambusa Vulgaris Batang muda/rebus, makan Sakit kuning
9 Cangkore Dinochloa Scandens * Batang/tuak, tetes Mata merah
10 Kimerak Diospyros Buxifolia Batang/tuak minum Demam
11 Andul Elaeocarpus Obtusa Kulit Batang/tumbuk, balur Borok
12 Beunying Ficus Fistulosa Kulit Batang/kerik, tempel Sakit pnggang
13 Bisoro Ficus Hispida Batang/kerik, tempel Bisul
14 Kondang Ficus Variegata Batang/tuak, minum Sakit perut
15 Awi Apus Gigantochoa Apus Daun/tumbuk, minum Keracunan makanan
No Nama Lokal Nama Ilmiah Bagian Yang Dimanfatkan dan
Cara Penggunannya
Kegunaannya/Obat
16 Garu Gonystillus Macrophylus* Buah/peras, balur Koreng
17 Pisitan Lansium Domesticum Kulit Batang/rebus, minum Mencret
18 Bintinu Melochia Umbellata Batang/tuak, tetes Mata merah
19 Cangkudu Morinda Citrifolia Daun/rebus, minum Tambah stamina, sesak
nafas
20 Tundun Nephelium Lappaceum Daun/rebus, minum Sakit panas
21 Kisabrang Preronema Canescens Daun/rebus, minum Menghentikan pendarahan
22 Jambu Batu Psidium Guajava Pucuk daun/remas, minum Mencret
23 Angsana Pterocarpus Indicus Getah batang/tetes Sakit gigi
24 Kacapi Sandoricum Koetjape Daun/rebus, minum Sakit panas
25 Sangkar Badak Voacanga Grandifolia * Daun/tumbuk, balur Lebam
Sumber: Diolah dari dari Hasil Wawancara dengan Informan Kunci
196
Lampiran 1.b.
Tabel 1.b. Habitus Herba, Cara Penggunaan dan Kegunaanya
No Nama Lokal Nama Ilmiah Bagian Yang Dimanfatkan dan
Cara Penggunannya
Kegunaannya/Obat
1 Parahulu Amomum Oculeatum Getah batang, diperas, dibalur Kepala pening
2 Sariawan Begonia Isoptera Batang, tuak, minum Sariawan
3 Kanyere Bridelia Monoica Kulit batang, direbus, minum Mencret
4 Laja Goah Catimbium Malaccensis Rimpang, ditumbuk, minum Sakit perut
5 Taleus Colocasia Esculenta Kulit umbi, dililitkan Luka benda tajam
6 Pacing Costus Speciousus Rimpang, dikikid, tempel Sakit perut, gigitan ular
7 Kumis Kucing Orthosispon Spicatus Daun, direbus, diminum Sakit kencing
8 Koneng Beurang Curcuma Domestica Rimpang, ditumbuk, minum Sakit perut
9 Jonge Emilia Sonchifolia Daun, ditumbuk, tetes Sakit kepala Sebelah
10 Cau Galek Musa Paradisiaca Akar, dituak, minum Batuk
11 Ciriwuh Schismatoglottis Calyptrata Daun, akar, direbus, minum Mencret
12 Ilat Scleria Purpuscens Batang, dituak, minum Susah kencing
Sumber: Diolah dari dari Hasil Wawancara dengan Informan Kunci
197
Lampiran 1.c.
Tabel 1.c. Habitus Perdu dan Semak Cara Penggunaan dan Kegunaanya
No Nama Lokal Nama Ilmiah Bagian Yang Dimanfatkan dan
Cara Penggunannya
Kegunaannya/Obat
No Nama Lokal Nama Ilmiah Bagian Yang Dimanfatkan Kegunaannya/Obat
1 Perdu
Kiajag Ardisia Fuliginosa Getah batang/tetes Borok
Katepeng Cassia Alata Daun/tumbuk, balur Panu
Jenuk Nipis Citrus Aurantifolia Buah/peras, minum Batuk
Harendong Melastoma Polyanthum Daun/ dikunyah,makan Mencret
2 Semak
Babakoan Calotropis Gigantea Getah batang, tetes Bisul
Heuras Tulang Chlorantus Officialis Daun/rebus, minum Penambah stamina
Keji Beling Clerodendron Calamitosum Daun/rebus,minum Sakit kencing
Singgugu Clerodenron Serratum Daun/rebus, minum Penambah stamina
Amis Mata Ficus Septica Batang/kerik, tempel Bisul
Salak Salacca Edulis Daun/rebus, minum Sakit panas
Pungpurutan Triumfetta Bartamia Daun/tumbuk, tempel Sakit kepala/pening
198
Lampiran 1.d.
Tabel 1.d. Seratus Sifat Positif Untuk Membangun Kebersamaan
1 Saling Terbuka 51 Saling Tegang Rasa
2 Saling Percaya 52 Saling Mengasihi
3 Saling Menguntunglan 53 Saling Mengangkat
4 Saling Membutuhkan 54 Saling Tukar pengalaman
5 Saling Memaafkan 55 Saling Memaklumi
6 Saling Menghormati 56 Saling Memikiran
7 Saling Menghargai 57 Saling Menyemangati
8 Saling Memberi 58 Saling Memuji
9 Saling Membangun 59 Saling Menunjang
10 Saling Menolong 60 Saling Mentraktir
11 Saling Mengingatkan 61 Saling Jujur
12 Saling Membela 62 Saling Berbagi Rasa
13 Saling Menegur 63 Saling Memotivasi
14 Saling Menyabarkan 64 Saling Adil
15 Saling Mematuhi 65 Saling Bertanggungjawab
16 Saling Merindukan 66 Saling Mengalah
17 Saling Menasehati 67 Saling Setia
18 Saling Memperbaiki 68 Saling Mengabdi
19 Saling Mengisi 69 Saling Mendorong
20 Saling Melindungi 70 Saling Mnyelamati
21 Saling Membantu 71 Saling Mengimbangi
22 Saling Mendoakan 72 Saling Bersimpati
23 Saling Menyayangi 73 Saling Menitip
24 Saling Mencintai 74 Saling Berbagi kasih
25 Saling Mengunjungi 75 Saling Merestui
26 Saling Mengoreksi 76 Saling Beradaptasi
27 Saling Menghibur 77 Saling Asah
28 Saling Mendukung 78 Saling Asih
29 Saling Pengertian 79 Saling Asuh
30 Saling Menerima 80 Saling Bekerjasama
31 Saling Mengawasi 81 Saling Mengayomi
32 Saling Menjaga 82 Saling Memberdayakan
33 Saling Menyempurnakan 83 Saling Mmperhatikan
34 Saling Memahami 84 Saling Berjabat tangan
35 Saling Memajukan 85 Saling Berlapang dada
36 Saling Merasakan 86 Saling Meluruskan
37 Saling Mendengarkan 87 Saling Berdiskusi
38 Saling Meyakinkan 88 Saling Merangkul
39 Saling Silaturahmi 89 Saling Menyapa
40 Saling Membina 90 Saling Menginformasikan
41 Saling Memelihara 91 Saling Menyontoh
42 Saling Melengekapi 92 Saling Musyawarah
43 Saling Menghimbau 93 Saling Menyefakati
44 Saling Mengikhlaskan 94 Saling Mengajari
45 Saling Menguatkan 95 Saling Berterus Trang
46 Saling Membimbing 96 Saling Menyantuni
47 Saling Mentaati 97 Saling Berkomunikasi
48 Saling Merelakan 98 Saling Menerangkan
49 Saling Menahan diri 99 Saling Menyadari
199
50 Saling Membahagiakan 100 Saling Meniru
Lampiran 1.e.
Tabel 1.e. Seratus Sifat Negatif Yang Menghancurkan Kebersamaan
1 Saling mencurigai 51 Saling cemburu
2 Saling membenci 52 Saling mempersulit
3 Saling menfitnah 53 Saling memperdayakan
4 Saling dengki 54 Saling berdiam diri
5 Saling menghina 55 Saling meremehkan
6 Saling menjegal 56 Saling mendahului
7 Saling menyakiti 57 Saling mencuri
8 Saling iri 58 Saling menginjak
9 Saling menendang 59 Saling mengabaikan
10 Saling merugikan 50 Saling mecemoohkan
11 Saling menuduh 61 Saling melapiaskan
12 Saling menghianati 62 Saling membinasakan
13 Saling menjatuhkan 63 Saling mentertawalan
14 Saling merusak 64 Saling membunuh
15 Saling mencela 65 Saling menyiksa
16 Saling menyalahkan 66 Saling mangkir
17 Saling unjuk rasa 67 Saling mendobrak
18 Saling mendongkel 68 Saling mengejek
19 Saling membantah 69 Saling menandingi
20 Saling menghasut 70 Saling mencaci
21 Saling membohongi 71 Saling merampok
22 Saling memojokkan 72 Saling menghalangi
23 Saling melemahkan 73 Saling melupakan
24 Saling mengalahkan 74 Saling berdusata
25 Saling mempersulit 75 Saling mempermainkan
26 Saling mengusir 76 Saling menolak
27 Saling menyepelekan 77 Saling melabrak
28 Saling mengadu domba 78 Saling mempersalahkan
29 Saling mencerca 79 Saling menyaingi
30 Saling mengganggu 80 Saling menutup diri
31 Saling melanggar 81 Saling merampas
32 Saling meruntuhkan 82 Saling
mengkambinghitamkan
33 Saling mejelekkan 83 Saling menggeser
34 Saling menuding 84 Saling mendiamkan
35 Saling mengancam 85 Saling merintangi
36 Saling melecehkan 86 Saling menunggu
37 Saling meresahkan 87 Saling membatasi
38 Saling berprasangka 88 Saling mematahkan
39 Saling merongrong 89 Saling acuh
40 Saling mengingkari 90 Saling menyudutkan
41 Saling menipu 91 Saling marah
42 Saling menuntut 92 Saling menggusur
43 Saling menjerumuskan 93 Saling menguasai
44 Saling memeras 94 Saling meragukan
45 Saling berselingkuh 95 Saling mendamprat
200
46 Saling mengabaikan 96 Saling menyulut
47 Saling menghadang 97 Saling memanaskan
48 Saling menghancurkan 98 Saling manantang
49 Saling membangga 99 Saling bermusuhan
50 Saling membingungkan 100 Saling menindas