| edisi iii | november 2010 warta buruh migran filedari kabupaten banyumas hadir sebagai peserta....
TRANSCRIPT
Halaman 1 | Warta Buruh Migran | November 2010
Warta Buruh Migran| Edisi III | November 2010
Klik www.buruhmigran.or.id
Tim Redaksi
Salam Redaksi Larantuka
Seiring dengan banyaknya kasus kekerasan dan persoalan
hukum yang dialami oleh para Buruh Migran Indonesia (BMI),
baik di dalam negeri maupun di luar negeri, Badan Nasional
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia
(BNP2TKI) merupakan pihak yang paling disorot karena
dianggap telah gagal menjalankan tugas dan wewenangnya
dengan baik.
Akhirnya, eksistensi BNP2TKI pun dipersoalkan. Di satu sisi ada
yang ingin memperbesar peran dan wewenang BNP2TKI
melalui revisi UU No. 39 Tahun 2004, sedangkan di sisi lain ada
yang bersikeras menyuarakan pembubaran dan digantikan
lembaga baru karena BNP2TKI dianggap turut serta dalam
carut-marutnya persoalan buruh migran di Indonesia.
Terkait dengan rencana revisi UU No. 39 Tahun 2004 oleh DPR
RI yang dijadwalkan akan dilaksanakan pada awal 2011, ada
dua syarat yang harus dijadikan prinsip utama terkait dengan
lembaga pengelola buruh migran. Pertama, peran dan
wewenang terbesar pengelolaan BMI harus tetap diserahkan
kepada pemerintah. Kedua, pemerintah harus memberikan
pendidikan dan perlindungan maksimal kepada para BMI yang
diatur di dalam undang-undang.
Seluruh tulisan dan foto dalam buletin ini dilisensikan dalam bendera Creative Common (CC). Siapapun bisa mengutip, menyalin, dan menyebarluaskan sebagian atau keseluruhan tulisan dengan menyebutkan sumber tulisan dan jenis lisensi yang sama, kecuali untukkepentingan komersil.
Delegasi Sosial Keuskupan Larantuka (Delsos/KPSE-KL)
menyelenggarakan Pelatihan pembuatan Peraturan Desa (Perdes)
perlindungan buruh migran (24/10/2010). Pelatihan ini merupakan
hasil kerja sama dengan Yayasan TIFA, dan didukung oleh Antara,
AusAID, dan BNP2TKI. Kegiatan yang dilaksanakan selama tiga hari ini
difasilitasi oleh Drs. Urbanus Hurek Msi, dosen FISIP Unwira Kupang.
Pelatihan ini sendiri dihadiri oleh 11 orang Kepala Desa dan Ketua BPD
dari 10 Desa dampingan Delsos untuk program pemberdayaan buruh
migran dan keluarga. Materi yang diberikan dalam pelatihan ini
menyangkut teknis pembuatan Perdes yang baik dan benar. Pimpinan
Delsos, Romo Yansen, dalam kata sambutannya menyatakan bahwa
kegiatan ini merupakan bagian dari amal Delsos bagi kaum buruh
migran di Folores Timur yang banyak berjasa namun selama ini masih
kurang memperoleh perhatian.
“Pelatihan ini merupakan sumbangan besar program bagi
masyarakat Flores Timur. Bermodal ilmu yang kita terima selama tiga
hari ini, marilah secara bersama-sama kita perjuangkan nasib buruh
migran”, tuturnya. Senada dengan Romo Yansen, peserta yang hadir
pun turut menyatakan keseriusan mereka sebagai aparat desa dalam
memperjuangkan nasib buruh migran Flores Timur yang selama ini
terbiasa dengan pola migrasi swadaya. Dalam pelatihan ini akan
dihasilkan sepuluh buah Perdes perlindungan terhadap buruh migran
yang nantinya dapat menjadi contoh bagi desa-desa lain di Flores
Timur.
DELSOS Larantuka Gelar Pelatihan
Pembuatan PERDES Perlindungan BuruhOleh: D udy
Pena ng g ung Jawab
Yossy Suparyo
Muhammad Irsyadul Ibad
Pim pinan Reda ksi
Muhammad Ali Usman
T im Reda ksi
Fika Murdiana
Hilyatul Auliya
Fathulloh
Kont ribut or
14 PTK Mahnettik
A lam at Reda ksi
Jl.Veteran Gg.Janur Kuning No.11A
Pandean Umbulharjo Yogyakarta,
Telp/Fax:0274-372378
E-mail:[email protected]
Portal: http://buruhmigran.or.id
Penerbi ta n bule t in ini a ta s dukung a n:
Halaman 2 | Warta Buruh Migran | November 2010
02 | Sekilas Peristiwa
CianjurBanyumas
Pegiat Seruni Belajar Pewartaan BMI
Pusat Teknologi Komunitas Rumah Internet TKI (PTK Mahnettik)
Banyumas yang dikelola oleh Paguyuban Perlindungan Buruh Migran
dan Perempuan “Seruni” menggelar Pelatihan Pengelolaan
Informasi Buruh Migran selama dua hari, 22-23 Oktober 2010.
Pelatihan bertempat di sekretariat Seruni, Desa Datar Rt. 01 Rw. 03
Kecamatan Sumbang Banyumas. Kegiatan ini difasilitasi tiga fasilitator
dari Lembaga Kajian Pengembangan Pendidikan, Sosial, Agama dan
Kebudayaan (infest) Yogyakarta.
Sebanyak 28 orang mantan buruh migran dan keluarga buruh migran
dari Kabupaten Banyumas hadir sebagai peserta. Eko Setiawan (21)
misalnya, yang berasal dari Desa Paning Kaban Kecamatan Gumelar,
salah satu desa basis buruh migran di Banyumas, menyatakan kegiatan
ini penting agar buruh migran terbebas dari sekat keenjangan
informasi.
Dalam pelatihan ini setiap peserta dapat saling bertukar pengetahuan.
Melalui bekal pengetahuan, setiap orang akan dapat memiliki
kekuatan, baik kekuatan dalam melindungi diri maupun kekuatan
dalam mengembangkan kemampuan diri. Menurut Muhammad
Irsyadul Ibad, salah satu tutor dari Infest Yogyakarta, pengalaman dan
informasi yang dimiliki mantan buruh migran selain menjadi inspirasi,
terkadang menjadi pelajaran berharga bagi orang lain untuk lebih
berhati-hati sebelum berangkat ke luar negeri.
Cirebon
PTK Maknettik Cianjur Belajar Kelola Informasi
CIANJUR–Sabtu (6/11/2010) Pemberdayaan Perempuan dan
Transformasi Sosial Wilayah Pasoendan (PPSW Pasoendan)
menyelenggarakan kegiatan pelatihan mengelola informasi. Kegiaan
tersebut diadakan di Pusat Teknologi Komunitas Rumah Internet TKI
(PTK Mahnettik) Kampung Pasir Panjang Sukamulya Sukaluyu Cianjur.
Kegiatan pelatihan ini difasilitasi oleh Infest (Lembaga Pengembangan
Pendidikan, Sosial, Agama, dan Kebudayaan) Yogyakarta dan salah satu
pegiat PTK Mahnettik Cilacap yang khusus datang untuk berbagi
pengalaman mengelola informasi di pelatihan ini.
Sebagai salah satu pusat asal Buruh Migran Indonesia (BMI), Cianjur
merupakan wilayah yang sangat penting dalam upaya penyebaran
informasi buruh migran di Indonesia. Menurut Akhmad Fadli (32)
fasilitator asal Cilacap, pengalaman pribadi dapat dikembangkan
menjadi pengetahuan bersama sehingga dapat memberi manfaat bagi
masyarakat.
“Komunitas ibarat sebuah pohon, terdapat akar, daun, dan buah.
Pengalaman kita dapat dibagi dan disebarkan pada yang lain. Siapa pun
dapat memilih peran dalam mengelola informasi,” tutur Fadli.
Kegiatan pengelolaan informasi ini merupakan salah satu upaya
mengurai carut marutnya persoalan buruh migran. Melalui kegiatan-
kegiatan seperti ini diharapkan dalam beberapa tahun ke depan para
buruh migran menjadi lebih berdaya dan terlindungi.
Minimnya informasi dan pengetahuan seputar isu buruh migran yang
dimiliki buruh migran Indonesia (BMI) telah menjadi keprihatinan
bersama. Dari banyak kasus yang terjadi, mayoritas pihak yang menjadi
korban adalah para BMI yang kurang informasi.
Berangkat dari keprihatinan tersebut, Pusat Teknologi Komunitas Rumah
Internet TKI (PTK Mahnettik) Cirebon menyelenggarakan “Pelatihan
Pengelolaan Informasi Buruh Migran” pada tanggal 30-31 Oktober
2010. Pelatihan yang dipandu oleh fasilitator-fasitator dari Lembaga
Kajian Pengembangan Pendidikan, Sosial, Agama dan Kebudayaan
(Infest) Yogyakarta ini bertempat di Aula Bascamp.net Jl. Pangeran
Sutajaya No. 24 Desa Babakan Kec. Babakan Cirebon dan diikuti oleh
belasan peserta mulai dari mantan buruh migran, keluarga buruh
migran, hingga para aktivis buruh migran di Kabupaten Cirebon.
Banyak informasi penting yang telah dibagi oleh para peserta pelatihan.
Menurut Ubaidillah (38), seorang mantan BMI, aktivitas saling berbagi
inforamsi ini sangat bermanfaat bagi para calon dan para BMI di luar
negeri. Hal ini dapat menjadi bekal dan kekuatan bagi mereka.
“Pertukaran informasi di antara para BMI tentang buruh migran
sangat jarang. Selama ini yang kami lakukan hanyalah bertanya ke
beberapa teman mantan buruh migran yang kami kenal saja,”
ungkapnya. Ubaidillah adalah seorang mantan BMI yang bekerja di
Incheon Korea Selatan selama 5 tahun. Di sana, ia pernah aktif di
Iswara (Ikatan Solidaritas Setengah masanya di Korea Selatan selama 3
tahun. Bekal pengetahuan menjadi syarat wajib bagi setiap orang yang
ingin bekerja sebagai BMI. Pengetahuan ini akan memberikan
perlindungan dan rasa aman jika suatu ketika mereka mendapatkan
persoalan di negara tujuan.
Halaman 3 | Warta Buruh Migran | November 2010
03 | Jejak Kasus
CILACAP. Seorang Tenaga Kerja wanita (TKI) asal Desa Bulaksari RT
01/3, Kecamatan Bantarsari Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah
selama sembilan tahun tidak diperbolehkan pulang oleh majikan.
Keluarga yang ditinggalkan pun resah.
Selain itu, TKI bernama Siti Fatimah ini kepada keluarga juga
mengaku tidak diberi gaji selama 8.5 tahun terakhir. Gaji hanya
diberikan pada enam bulan pertama bekerja.
Ayah Fatimah, Sukarno (51) mengatakan Fatimah bekerja pada
seorang majikan bernama Hasan Ali Musa yang beralamat di Zabur
Al Madrasah, Ibtidal Mutawasta, Gambura Zezan, Saudi Arabia.
Keluarga tidak mengira, majikan ini tega menyekap Fatimah di
rumahnya selama sembilan tahun.
Berbagai usaha sudah dilakukan. Antara lain dengan menelpon
majikan agar memperbolehkan Fatimah pulang. Namun, ternyata
majikan hanya berjanji. “Kami sudah putus asa membujuk agar
majikannya memperbolehkan Fatimah pulang,” kata Sukarno
beberapa waktu lalu.
Keluarga akhirnya melaporkan peristiwa ini kepada Pimpinan
Cabang Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia
(Lakpesdam) NU Cilacap. Keluarga minta agar PC Lakpesdam
mendampingi pengurusan kepulangan Siti Fatimah.
Pada 2008 lalu, sebenarnya keluarga sudah meminta bantuan
kepada pihak Kedutaan Besar Republik Indonesia, di Riyadh, Arab
Saudi melalui surat yang dilayangkan kantor advokat yang disewa
keluarga. Namun, ternyata permintaan bantuan ini tidak
ditanggapi.
Setiap kali ditelpon, Fatimah selalu bilang ingin pulang. Karena alat
komunikasinya telepon rumah, terkadang majikan yang menerima.
Kalau majikan yang menerima, majikan selalu bilang jika Fatimah
sudah tidak bekerja di rumahnya lagi.
"Fatimah bilang majikannya selalu menjanjikan akan memulangkan
setahun lagi. Terus seperti itu. Hanya janji-janji terus. Kami hanya
ingin Anak kami pulang dengan selamat," ujarnya.
Terpisah, Koordinator Pemberdayaan Buruh Migran PC
Lakpesdam, Akhmad Fadli mengatakan akan mendampingi
keluarga untuk mengurus kepulangan Siti Fatimah. Dia berencana
menekan Atase Ketenagakerjaan KBRI Arab Saudi. Selain itu, Dinas
Ketenagakerjaan (Disnakrtrans) juga akan dilibatkan dalam
pengurusan ini. Selain itu, jaringan buruh migran juga akan
dilibatkan untuk menekan agar KBRI menindaklanjuti laporan ini.
Menurut Fadli, kasus semacam ini kerap luput dari perhatian
pemerintah dan media. Pasalnya, mereka lebih terfokus pada kasus
kematian dan kekerasan fisik. Selain jalur pemerintah, Fadli
bersama pihak keluarga Fatimah juga berencana mendatangi
Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) PT Mutiara Alam
Bahari Alamria yang memberangkatkan Fatimah. Jika PJTKI tidak
membantu, PC Lakpesdam atas nama keluarga akan menuntut
secara hukum. (ridlobalasie)
TKI 9 Tahun Disekap Majikan,
Keluarga ResahOleh: Ridlo Balasie
M. Ridlo Balasie S, Pegiat PTK Mahnettik Cilacap
Halaman 4 | Warta Buruh Migran | November 2010
04 |Kajian
Kesenjangan Informasi
Sebabkan Buruh Migran Tak BerdayaOleh: Yossy Suparyo
Kesenjangan informasi bisa menjadi sebab dan akibat dari kesenjangan
lainnya. Miskinnya informasi yang dimiliki tenaga kerja informasi (TKI),
seperti prosedur, tatacara, hukum, dan budaya negara yang akan dituju
menyebabkan TKI kesulitan mengembangkan alternatif dan jalan keluar
saat menghadapi masalah. Terlebih, umumnya TKI berprofesi sebagai
pembantu rumah tangga (house keeper, baby sitter), hidup terisolir
dalam rumah majikan dan tidak memiliki kesempatan atau kemampuan
akses terhadap dunia luar.
Pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK), pada
satu sisi, semakin memperbesar kesenjangan informasi bagi kalangan TKI.
Dinamika informasi yang cepat menimbulkan jarak yang jelas antara
kalangan yang memiliki akses yang kuat dan kalangan yang tidak memiliki
peluang akses. Lemahnya akses dan pemanfaatan informasi suatu
komunitas menyebabkan komunitas tersebut terpinggirkan dan menjadi
korban dari berbagai kemajuan. Situasi Inilah yang disebut dengan
kesenjangan digital (digital devide).
Kalangan TKI merupakan kalangan yang terpinggirkan dalam situasi di
atas. Kesenjangan informasi bukan saja mengakibatkan kemiskinan
ekonomi, tapi juga kemiskinan sosial politik. TKI tidak dapat
menyampaikan aspirasi, bahkan mereka tidak mengetahui adanya
kebijakan yang berdampak kepada mereka. TKI juga tidak cukup paham
untuk bisa terlibat dalam pengambilan keputusan sehingga muncul
diskriminasi dan dominasi atas mereka.
Bagaimana mengurangi kesenjangan informasi di kalangan buruh
migran? Perubahan yang cepat di berbagai bidang mesti dijawab dengan
kemampuan menghadapi perubahan.
TKI dan keluarganya sejatinya membutuhkan informasi
dan pengetahuan yang dapat mereka manfaatkan untuk
meningkatkan kualitas hidupnya, baik aspek kesehatan,
sosial, hukum, budaya, ekonomi, lingkungan, dan lain
sebagainya. TKI dan keluarganya mampu menghadapi
perubahan bila mereka mampu mengakses informasi
secara cerdas dan kritis serta berinteraksi dengan pihak
lain.
Mahnettik dan Saluran Informasi TKI
Rumah Internet TKI (Mahnettik) hadir di perdesaan yang
sebagian besar menjadi daerah asal buruh migran. Pada
masyarakat perdesaan, beragam saluran informasi dan
media komunikasi dikembangkan untuk pertukaran
informasi, misalnya obrolan di pos ronda, warung kopi,
arisan, pengajian, perkumpulan pemuda, dan lain-lain.
Pertanyaannya apakah saluran, media, dan forum
tersebut dapat didayagunakan untuk mengatasi
kesenjangan infomasi yang terjadi?
Kebanyakan saluran, media, dan forum di perdesaan
bersifat interpersonal (tatap mula, lisan). Mahnettik
berusaha mengisi celah yang kosong yaitu budaya
komunikasi dan berbagi informasi bisa dikembangkan lagi
secara lebih terbuka dan partisipatif. Di sinilah peran
penting Mahnettik, yaitu penguatan kemampuan dan
penguasaan informasi bagi TKI, calon TKI, dan
keluarganya. Akhirnya, TKi dan keluarganya mampu
menggunakan hak-haknya, lebih berdaya, percaya diri,
dan memiliki kemampuan untuk terlibat.
Untuk mewujudkan gagasan di atas, Mahnettik Cilacap
membuat sebuah fasilitas publik yang disebut Pusat
Teknologi Informasi (IT Center). Pusat Teknologi Informasi
adalah suatu layanan publik yang memanfaatkan TIK agar
para keluarga buruh migran dapat mengakses informasi
dan pengetahuan yang mendukung pengembangan diri
dan perbaikan layanan pemerintah atas TKI.
Namun, Mahnettik tidak semata-mata program
mendirikan sarana fisik untuk akses informasi semata (IT
Center) tapi dukungan program pendampingan dan
pemberdayaan masyarakat sehingga TIK merangsang
tumbuhnya infomobilisasi.
“Kesenjangan informasi bukan
saja mengakibatkan kemiskinan
ekonomi, tapi juga kemiskinan
sosial politik...”
Halaman 5 | Warta Buruh Migran | November 2010
05 | Kajian
Mahnetik Timbulkan Infomobilisasi
Apa itu infomobilisasi? Infomobilisasi adalah kegiatan
penyampaian dan penggunaan komunikasi-informasi secara
terencana berdasarkan kebutuhan TKI dan keluarganya.
Infomobiliasai dikembangkan sebagai rangkaian kegiatan yang
melibatkan TKI dan keluarganya dalam pelbagai tahapannya.
Ada beberapa kegiatan yang penting untuk menciptakan
infomobiliasi, yaitu:
Pertama, membangun kesadaran pada TKI dan keluarganya
bahwa kesenjangan informasi mengakibatkan kesenjangan di
bidang kehidupan lainnya. Hal ini dapat dilakukan dengan
mengembangkan kegiatan keberaksaraan informasi
(information literacy) sehingga TKI dan keluarganya mampu
secara cerdas menggunakan informasi untuk mendukung
kehidupannya.
Kedua, mengembangkan kegiatan penyampaian dan
penggunakan komunikasi-informasi yang terencana dengan baik
sesuai dengan kebutuhan TKI dan keluarganya. Melalui
pendekatan komunikasi yang dialogis dan partisipatoris TKI dan
keluarganya belajar memetakan permasalahan-permaalahan
yang mereka hadapi dan apa dampaknya bagi mereka. Lalu,
mereka merancang jalan keluar yang tepat untuk terhindar dari
permasalahan tersebut.
Ketiga, meningkatkan kemampuan TKI dan keluarganya dengan
menggunakan TIK. Sebagian besar warga masih gagap
berhadapan teknologi (gaptek) sehingga salah satu program
Mahnetik adalah menyelenggarakan pelatihan menggunakan
internet pada TKI dan keluarganya. Setelah pelatihan mereka
bisa menggunakan fasilitas pesan instan (instant messenger)
untukchatting, menggunakan browser untuk mencari informasi
yang dibutuhkan, surat-menyurat elektronik (e-mail), dan
mengelola situs untuk saling berbagi informasi.
Keempat, mengembangkan jaringan kerjasama dan solidaritas
dengan individu atau lembaga dengan pemanfaatan TIK untuk
menjembatani jarak dan waktu. Kerjasama dan solidaritas
penting sebagai kekuatan mempengaruhi kebijakan publik yang
menyangkut masalah perbaikan layanan bagi TKI dan
keluarganya.
Yossy Suparyo, Pekerja Manajemen Pengetahuan, Koordinator
Pusat Sumber Daya Buruh Migran (PSD-BM)
Kodifikasi Pengetahuan Kodifikasi Pengetahuan
Buruh Migran Lewat WikiBuruh Migran Lewat Wiki
Persoalan buruh migran yang rumit salah satunya berawal dari
pelbagai hal disekitar kata buruh migran yang tidak jelas, atau kurang
dipahami. Banyak kosa kata yang berhubungan dengan buruh migran
salah dipahami oleh masyarakat, bahkan oleh kelompok buruh migran.
Sangat disayangkan tentunya karena kosakata tersebut mewakili
pengetahuan seputar buruh migran.
Kondisi tersebutlah yang mengawali ide membangun gudang
pengetahuan buruh migran di dunia maya bernama wiki-buruhmigran.
Upaya ini dimulai dengan menyusun kamus istilah buruh migran.
Lebih rinci lagi Muhammad Irsyadul Ibad salah satu tim
pengembang wiki-buruhmigran menjelaskan lumbung
pengetahuan untuk buruh migran ini bersifat terbuka dan
dibangun oleh komunitas. Tujuan utama wiki-buruhmigran adalah
memperinci dan memudahkan masyarakat memahami dunia
buruh migran secara utuh dan sistematis.
“selain menjadi lumbung pengetahuan, Wiki-buruhmigran juga
menjadi sumber rujukan bagi masyarakat ketika mencari
informasi tentang buruh migran,” tuturnya
Memanfaatkan mesin sistem pegelolaan isi (content management
system/CMS) Wikipedia yang berbasis sumber terbuka, Pusat
Sumber Daya Buruh Migran menyusun pelbagai data yang
tersebar kemudian mengelompokkannya dalam kategori
pengetahuan. Proses pengelolaan pengetahuan ini menguraikan
pemahaman dan penjelasan atas pengetahuan terkait dengan
buruh migran.
Keterlibatan banyak pihak menjadi salah satu kunci keberhasilan
pengelolaan wiki-buruhmigran. Luasnya pengetahuan dan
informasi seputar buruh migran menuntut sumbangan
pengetahuan dari banyak pihak, salahsatunya bersumber dari
kelompok jaringan buruh migran PTK Mahnettik. Wiki-
buruhmigran dapat diakses melalui alamat
http://buruhmigran.or.id/wiki. (Lamuk)
Halaman 6 | Warta Buruh Migran | November 2010
Apa itu advokasi? Kadang kita bingung membedakan advokasi dan
kampanye. Kedua kata itu memang memiliki banyak kemiripan atau
bahasa Betawinya beda-beda tipis. Perbedaan advokasi dan
kampanye terletak pada tujuan akhir kegiatan. Hasil kegiatan
kampanye berupa dukungan dan solidaritas publik atas kondisi
tertentu, sementara hasil dari advokasi adalah perubahan kebijakan
atau tata perundang-undangan.
Sharma (2004:7) mengartikan advokasi sebagai serangkaian
tindakan yang bertujuan untuk mengubah kebijakan, kedudukan
atau program dari segala jenis lembaga. Pengertian ini mendorong
kegiatan advokasi berakhir pada pengambilan keputusan untuk
mencari jalan keluar yang lebih baik. Sementara itu, kampanye
merupakan tahap terpenting dari advokasi untuk mendesak atau
perubahan kebijakan melalui dukungan kekuatan publik. Kerja
advokasi merupakan proses yang dinamis sebab melibatkan
seperangkat pelaku, gagasan, dan agenda yang selalu berubah. Untuk
melakukan kerja advokasi, Sharma (2004: 18-20) menawarkan lima
langkah penting yang harus diperhatikan, yaitu mencari akar
permasalahan, merumuskan dan memilih jalan keluar, membangun
kesadaran, tindakan kebijakan, dan penilaian. Lima langkah itu tidak
bersifat linier sehingga bisa saja beberapa tahapan berjalan
bersamaan.
Tahap pertama, mencari akar permasalahan. Pada tahap ini kita
harus menetapkan agenda advokasi. Penetapan agenda harus
mempertimbangkan skala prioritas, tidak seluruh masalah harus
selesai secara bersamaan. Kita perlu memilah secara cermat
masalah-masalah yang ada supaya dapat menemukan akar
persoalannya. Setelah itu tetapkan lembaga dan kebijakan
yang perlu diubah dengan menyusun alasan-alasan yang
jelas.Setelah melakukan langkah pertama, maka tahap kedua,
yaitu merumuskan dan memilih jalan keluar, segera menyusul.
Seperti pekerjaan di dunia kesehatan, keputusan jenis
pengobatan sangat tergantung ketelitian sang dokter dalam
mendiagnosis penyakit. Pelaku advokasi harus mampu
menawarkan jalan keluar yang tepat supaya permasalahan
serupa tidak terulang kembali.
Pada tahap ketiga, kita akan membangun kesadaran atau
kemauan politik pihak-pihak yang terlibat dalam masalah. Hal
itu dapat diraih lewat pembentukan koalisi, menemui dan
meyakinkan para pengambil keputusan, dan membangun
penalaran seluruh pemangku kepentingan akan pentingnya
perubahan kebijakan. Pada tahap ini praktik kampanye
dilakukan, pekerja advokasi harus mampu mengemas pesan
secara efektif dan mudah dipahami.
Tahap keempat, tindakan kebijakan. Pemahaman akan proses
pengambilan keputusan dan strategi advkasi akan
meningkatkan kemungkinan terciptanya celah peluang untuk
bertindak. Tentu keputusan untuk bertindak dilakukan setelah
akar permasalahan diketahui, tawaran jalan keluar diterima,
dan ada kemauan politik pada pihak yang terkait untuk
melakukan perubahan.
Tahap kelima, penilaian. Penilaian perlu dilakukan untuk
mengetahui efektivitas kegiatan advokasi. Penilaian bisa
berupa tindakan refleksi atas kerja-kerja yang telah dilakukan.
Bila perlu buatlah sasaran dan strategi baru agar perubahan
lebih mudah dilakukan. (Yossy)
Mengenal AdvokasiOleh: Yossy Suparyo
09 | Panduan
Halaman 7 | Warta Buruh Migran | November 2010
06 | Wawancara
Nasib buruh migran tidak berubah meski pemerintahan telah beberapa kali berganti. Pergatian
pemerintahan sejak orde baru, hingga presiden saat ini keap menghasilkan beberapa peraturan
tapi tumpul pelaksanaan. Beberapa peraturan justeru menunjukkan keberpihakan negara
kepada pengusaha dalam penyaluran buruh migran. Pemerintah masih juga tidak tanggap
terhadap situasi sebenarnya buruh migran.
Berikut ini adalah wawancara PSD-BM dengan Yohanes B Wibawa Direktur Eksekutif I-Work
Indonesia mengenai penanganan buruh indonesia.
Secara umum bagaimanakah situasi penanganan buruh
migran saat ini?
Tidak ada perubahan mendasar dalam penanganan buruh migran
30 tahun terakhir. Paradigmanya masih mengandalkan upah
murah sebagai comparative advantage buruh Indonesia di luar
negeri dan pemberian peran yang terlalu besar pada swasta
sebagai agen perekrutan dan penempatannya. Paradigma ini
bersumber dari kepentingan Negara yang meletakkan target
pengiriman untuk mengejar perolehan devisa dari buruh migran.
Bagaimana dengan pelayanan hukum yang disediakan
oleh pemerintah?
Pemerintah belum pernah by design menyediakan satu layanan
hukum untuk buruh migran. Pemerintah hanya menangani
masalah hukum yang muncul, dan itu pun tanpa rumusan system
dan mekanisme pelayanan yang terbuka agar dapat dipahami secara
luas sehingga dapat diakses secara mudah oleh masyarakat serta
kinerjanya dapat dikontrol.
Buruh migran kerap disebut-sebut pihak yang sangat tidak
berdaya di negeri sendir i maupun di luar negeri, apakah
yang menyebabkan situasi tersebut?
Ada dua hal mendasar: pertama, terkait politik pemerintah RI dalam
hal membangun sistem migrasi bagi rakyat serta dalam hal
menciptakan hubungan dengan pemerintah negara tujuan bekerja.
Situasi dalam perburuhan internasional pada dasarnya memang
banyak mengandung resiko dan seringkali pula ketidakpastian terkait
dengan naik turunnya konstelasi politik internasional, hubungan antar
Negara, dinamika di Negara tujuan maupun
Penanganan Buruh Migran di IndonesiaMuhammad Irsyadul Ibad
Halaman 8 | Warta Buruh Migran | November 2010
07 | Wawancara
dinamika dalam pasar internasional. Saya kira pemerintah RI
lemah dalam kesemua aspek tadi, akibatnya rakyat buruh migrant
harus menghadapinya sendiri. Tentu saja hal itu terlalu berat.
Kedua, aspek kapasitas. Hal ini terkait dengan kualitas diri
(kesadaran, keterampilan dan karakter) dari masyarakat pelaku
migrasinya. Buruh migran umumnya berasal dari rumah tangga
bawah, yang berkekurangan pula pada peluang untuk
meningkatkan kualitas diri. Dalam hal ini, menurut saya selain
memang tugas negara untuk memajukan dan mencerdaskan
raskyat, namun tanggung jawab masing-masing individu pula
untuk meningkatkan kualitas diri sehingga cukup untuk
menghadapi tantangan dalam bermigrasi.
Kemudian selain kedua hal itu, yang perlu diingat adalah bahwa
kita hidup di dunia yang masih patriarkis. Tipe migrasi kita adalah
south to south migration, dikerjakan oleh lebih dari 70%
perempuan-perempuan yang bekerja di 3D sector (dark, dirty,
dangerous). Maka mereka mengalami ketidakberdayaan dalam
berbagai hal: politik, ekonomi, kultural, dsb.
Bagaimana kinerja yang ditunjukkan oleh badan-badan
pemerintah yang menangani buruh migran?
Ada beberapa inisiatif yang lumayan baik di beberapa kantor
konsulat maupun BNP2TKI. Tetapi saya melihat kinerja badan-
badan yang menangani buruh migran dari dulu hingga saat ini
tidak bisa melepaskan diri dari korupsi dan kolusi.Ini adalah
masalah akut yang harus mendapat prioritas penanganan.
Menurut Anda, apakah yang paling mendesak dibenahi
dalam sistem penanganan buruh migran di Indonesia
saat ini?
Pertama, mengatur kembali mekanisme rekrutmen-penempatan-
perlindungan dengan meletakkan pemerintah sebagai pemangku
kewajiban yang utama dan satu-satunya yang tidak bisa
didelegasikan kepada pihak lain manapun. Kedua, membenahi
dan menyusun infrastruktur perlindungan yang memadai bagi
buruh migran baik di dalam maupun diluar negeri.
Apakah peraturan yang tersedia saat ini mencukupi
untuk memberikan perlindungan buruh migran?
Secara normatif UU 39/2004 sebenarnya berpotensi dapat
memberi perlindungan yang cukup untuk buruh migran. Namun
persoalan yang harus dijawab pada saat ini sebenarnya adalah
penyelenggaraan yang sehat dalam penanganan buruh migran.
Pemberantasan korupsi dan kolusi di tubuh badan-badan
penempatan dan perlindungan buruh migran.
Namun demikian UU No. 39/2004 menurut saya terlalu
memberikan kewenangan kepada swasta. Faktanya kita sudah
terlalu sering melihat perilaku tidak terpuji dari pasar.
Saat ini marak perbincangan tentang revisi UU. 39
tahun 2004, pasal apakah yang paling perlu untuk
direvisi dari UU tersebut?
Kalau hendak merevisi UU No. 39/2004 menurut saya tidak
pasal per pasal, tetapi perlu diganti sejak dari paradigmanya. UU
ini paradigmanya pro-market dan menurut saya hal itu adalah
legitimasi trafficking in person.
Adakah peraturan lain yang perlu direvisi terkait
dengan buruh migran?
Ada beberapa Undang-undang yang dapat memperkuat
perlindungan bagi buruh migran misalnya Undang-undang
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Namun ada pula peraturan lain yang memang perlu direvisi
misalnya undang-undang kewarganegaraan lalu terutama
peraturan-peraturan pelaksanaan dari UU No.39/2004 terkait
tentang asuransi.
Terkait dengan pelayanan buruh migran yang dikelola
satu pintu, apakah tantangan terbesar dalam
pelaksanaannya?
Tantangan terbesarnya adalah terlanjur menjamurnya PPTKI
swasta, kolusi dan korupsi di lembaga pemerintah yang
menangani buruh migran dan sindikat penyelundupan dan
perdaganagn manusia lintas batas.
Bagaimana pendapat Anda tentang kinerja BNP2TKI?
Saya menyambut baik pembentukan BNP2TKI. Ini akan
mempertegas peran negara dalam mekanisme penempatan dan
perlindungan. Sistem G to G penempatan ke Korea menurut saya
telah berhasil mengurangi resiko migrasi dan memangkas ongkos
penempatan. Hanya sayangnya BNP2TKI tidak segera menyusun
infrastruktur informasi yang memadai yang bisa mencapai
masyarakat. Akibatnya terjadi banyak penipuan oleh calo
dilapangan. Lebih dari itu kita masih melihat dalam beberapa hal
aroma kolusi di lembaga ini.
Pada organisasi masyarakat sipil, peran apakah yang
dapat diambil untuk memeperbaiki persoalan buruh
migran?
Peranan CSO yang utama menurut saya adalah pada peran-
peran intermediary. Pendidikan menjadi strategi yang utama
dalam rangka menumbuhkan collective bargaining position
buruh migran, keluarga dan komunitasnya.
Halaman 9 | Warta Buruh Migran | November 2010
08 | Wawancara
Tidak sedikit orang yang memiliki keraguan ketika akan terjun ke
dunia usaha. Rasa gamang tersebut biasanya muncul karena alasan
pengalaman yang minim dan tidak ada modal usaha. Perasaan
seperti itu dulu pernah dialami dan sudah dapat diatasi oleh para
mantan buruh migran di Desa Gunung Guruh Kecamatan Gunung
Guruh Kabupaten Sukabumi. Saat ini, mereka secara gotong royong
berhasil membuat usaha bersama yang dikelola seperti manajemen
koperasi.
Usaha bersama ini sudah berjalan sejak beberapa tahun yang lalu.
Ide awalnya berangkat dari banyaknya mantan buruh migran di
Gunung Guruh yang tidak mempunyai aktivitas harian. Sebelum
mempunyai usaha bersama, biasanya mereka hanya tinggal di
rumah mengerjakan urusan rumah tangga. Menurut data statistik
tahun 2009 yang dikeluarkan oleh pemerintah Kecamatan Gunung
Guruh, ada 189 orang buruh migran yang sedang bekerja di
berbagai negara. Jumlah ini sekitar 20% dari total jumlah warga
Kecamatan Gunung Guruh yang menjadi Buruh Migran (BM), yaitu
950 orang.
Gairah Wirausaha Mantan Buruh MigranWawancara Hilyatul Auliya dengan Indah (PTK Mahnettik Sukabumi)
Desa Gunung Guruh memang sejak lama dikenal sebagai
sentra industri gerabah di Sukabumi. Bagi sebagian warga, usaha
ekonomi yang memadukan tanah liat dan kreativitas ini menjadi
mata pencaharian utama.
Di sini, ada puluhan buruh migran dan keluarganya yang
mengembangkan bisnis kerajinan dari tanah liat. Produk-produk
yang mereka hasilkan tidak kalah kualitas jika dibandingkan dengan
sentra industri gerabah lain, misalnya Kasongan Bantul Yogyakarta
atau Klampok Banjarnegara Jawa Tengah. Para mantan buruh
migran ini dapat memroduksi berbagai macam bentuk gerabah,
misalnya guci, pot bunga, teko, dan cangkir.
Produk hasil karya mereka biasanya dipasarkan di toko-
toko kerajinan dan seni yang ada di sekitar desa. Desa Gunung
Guruh memang selama ini dikenal sebagai sentra industri gerabah
di daerah Sukabumi. Sebagai daerah sentra industri gerabah, tidak
susah bagi Indah dkk. untuk mencari konsumen. Setiap hari desa
Sumber: Dok.PPSW
Halaman 10 | Warta Buruh Migran | November 2010
ini ramai dikunjungi para konsumen, baik yang datang dari
Sukabumi sendiri, maupun yang datang dari luar daerah. Selain
melayani penjualan partai kecil (direct sell) para penjual gerabah di
sini juga melayani penjualan partai besar. Bahkan ada beberapa
barang yang sudah diekspor ke luar negeri.
Sebenarnya, usaha ini berawal dari niat para komunitas buruh
migran yang ingin meningkatkan kesejahteraan ekonominya,
kemudian mereka bersama-sama mengumpulkan modal (urunan),
meskipun dengan jumlah yang tidak seberapa. Dari modal yang tidak
seberapa inilah kemudian mereka dapat membeli alat produksi
gerabah, mulai dari alat pembuat gerabah (perbot), tanah liat,
hingga buku administrasi. Hingga hari ini sudah ada puluhan perbot
yang dimiliki kelompok usaha ini. Perbot-perbot ini ditempatkan di
beberapa rumah anggota sehingga setiap anggota yang ingin
membuat gerabah dapat bekerja dari rumah masing-masing. Semua
produk dari anggota ini akan dibeli oleh kelompok. Untuk
menunjang pemasaran, mereka menggunakan sekretariat lembaga
sebagai kantor pemasaran sekaligus show room.
Selain usaha gerabah, para mantan buruh migran Sukabumi juga
mempunyai usaha pembuatan kerajinan berbahan dasar bambu.
Oleh mereka, bambu-bambu tersebut diolah dan dianyam hingga
menjadi aneka barang rumah tangga bernilai jual tinggi, seperti
nampan, piring, lepek, dll. Keahlian ini mereka kuasai secara turun
temurun dari para leluhur. Berbeda dengan usaha gerabah yang
berpusat di Gunung Guruh, usaha anyaman bambu ini berpusat di
Desa Suka Manggis Kecamatan Citaniang Kabupaten Sukabumi.
Usaha bersama ini manfaatnya telah banyak dirasakan oleh para
anggota yang mayoritas terdiri dari para perempuan. Mereka dapat
memperoleh penghasilan tambahan dari hasil usaha ekonomi.
Sesuai tujuan awalnya, usaha ini dikelola seperti manajemen
koperasi. Artinya, setiap anggota dapat menginvestasikan dananya di
perusahaan dan pembagian keuntungan akan dibagi sama rata
sesuai dengan jumlah kepemilikan modal.
Meskipun usaha ini telah berkembang sejak beberapa tahun yang
lalu, sampai hari ini belum ada perhatian dari pemerintah sedikit
pun. Program Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang dijanjikan oleh
Kementrian UKM juga belum dirasakan oleh masyarakat Gunung
Guruh. Bantuan dalam hal pemasaran juga masih dilakukan
anggota sendiri.
“setiap anggota dapat
menginvestasikan dananya di
perusahaan dan pembagian keuntungan
akan dibagi sama rata sesuai dengan
jumlah kepemilikan modal.”
Pemerintah yang seharusnya mencarikan dan melakukan
pengembangan pasar konsumen, baik pasar lokal maupun luar
daerah masih belum tampak. Menurut Indah, pemerintah selama
ini lebih senang mengurusi usaha skala besar saja. Seakan mereka
tidak menganggap penting industri usaha kecil menengah seperti
usaha kelompoknya.
“Sebagai usaha kelas menengah ke bawah, masyarakat Gunung
Guruh sangat mengharapkan perhatian pemerintah, baik dalam
bantuan modal, peningkatan kualitas produk, hingga pemasaran.
Salah satu kendala besar adalah di dalam pemasaran. Selama ini
mereka melakukannya secara mandiri,” ungkapnya.
Tampaknya, jiwa-jiwa mandiri para mantan buruh migran inilah
yang terus menghidupkan semangat wira usaha di antara mereka.
Usaha Kecil Menengah (UKM) saat ini memegang peranan penting
dalam sistem perekonomian global. Di saat terjadi krisis global, di
mana banyak perusahaan raksasa mengalami kebangkrutan dan
gulung tikar (kolaps), perekonomian Indonesia masih bertahan
dikarenakan ditopang oleh industri-industri UKM di daerah-
daerah yang jumlahnya mencapai ratusan ribu. Oleh karena itu,
sudah seharusnya jika pemerintah memberikan perhatian lebih
pada industri-industri UKM.
Kerajinan Buruh Migran Sukabumi saat dipamerkan di Yogyakarta
08 | Wawancara
Hilya Auliya, Pekerja Manajemen Pengetahuan Pusat
Sumber Daya Buruh Migran (PSD-BM)
Halaman 11 | Warta Buruh Migran | November 2010
10 | Inspirasi
Sumber: vmancute.blogspot.com
Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Peribahasa ini tampaknya tepat
menggambarkan betapa peri kehidupan sebagai pelaut begitu lekat
pada masyarakat Kampung Laut. Kendati memilih menjadi buruh
migran, tak jauh-jauh, para lelaki perkasa ini tetap juga melaut di
negeri orang. Cuma bedanya, saat ini mereka memburuh pada
kapal asing, alias jadi anak buah kapal (ABK) di Taiwan.
"Mungkin tidak semua, tapi 90 persen buruh migran bekerja di
kapal asing. Kebanyakan di Taiwan. Baik di kapal ekspedisi barang
maupun kapal tangkap ikan," ujar Harry Tabin, Ketua Forum Warga
Buruh Migran (FWBM) Kampung Laut.
Berharap pendapatan tinggi, para pelaut muda ini banyak
meninggalkan desa menyambut nasib di negeri seberang. Namun,
melaut di negeri orang rupanya tidak seindah di negeri sendiri. Janji
tumpukan mata uang asing ini kerap kali tidak sesuai dengan fakta.
Meski kontrak kerja sudah ditandatangani, gaji bulanan yang
mereka dapat tidak sesuai dengan yang ada di kontrak. "Sering
dipotong oleh agen. Gaji dari perusahaan pelayaran tidak diberikan
langsung ke kami, melainkan melewati tangan agen," rutuk Harry.
Selain gaji yang tidak sesuai kontrak, persoalan lain juga kerap
muncul. Pelaut asal Indonesia kerap terlibat persoalan dengan ABK
lokal. Bahasa kerap menjadi pangkal salah pengertian antar mereka.
Selain itu, ABK asal Indonesia menjadi ABK yang paling tidak
diperhatikan di sektor kesehatan. Harry tiga kali berangkat ke Taiwan
sebagai anak buah kapal (ABK). Tiga kali pula dia mengalami
perlakuan buruk itu. Menurutnya, pengetahuan umum dan
penguasaan teknologi ABK asal Indonesia menjadi pangkal persoalan.
"Diakui atau tidak, kita ini bodoh, jadi mudah dibodohi," katanya.
Yang harus dilakukan, menurut Harry, buruh migran asal Indonesia
harus memiliki pengetahuan umum yang cukup. Jejaring komunikasi
antar buruh migran juga harus diperkuat. Selain itu, Pemerintah
Indonesia juga musti lebih memperhatikan nasib para buruh migran
yang hidup di negeri orang.
Tak hendak terus menerus merutuki nasib, FWBM Kampung Laut
mulai melakukan usaha meningkatkan pengetahuan. Salah satunya
seperti yang dilakukan di akhir September 2010 ini. FWBM
bergandeng dengan Community Tecnology Center (CTC) Mahnetik
menggelar diskusi sekitar persoalan buruh migran serta pelatihan
komputer dan internet.Dengan diskusi dan pelatihan ini diharapkan
buruh migran memiliki perspektif lain mengenai persoalan yang
kerap membelit. Pelatihan internet diperlukan untuk mencari
alternatif lain pengetahuan perkembangan dunia luar dan menjadi
media komunikasi antar buruh migran. (ridlobalasie)
Melaut di Negeri OrangOleh: Ridlo Balasie
Halaman 12 | Warta Buruh Migran | November 2010
11 | Tragedi
““Warta Buruh Migran merupakan buletin online yang Warta Buruh Migran merupakan buletin online yang diterbitkan oleh Pusat Sumber Daya Buruh Migran setiap bulan.diterbitkan oleh Pusat Sumber Daya Buruh Migran setiap bulan.
Redaksi menerima berbagai tulisan dari rekan-rekan PTK Redaksi menerima berbagai tulisan dari rekan-rekan PTK
Mahnettik melalui email: Mahnettik melalui email: [email protected]@buruhmigran.or.id““
Pernyataan Sikap
Pusat Sumberdaya Buruh Migran
(PSD-BM) atas Kasus Penyiksaan
Sumiati
Kasus penyiksaan terhadap buruh migran Indonesia (BMI)
kembali terulang. Sumiati binti Salan Mustapa (23), BMI asal
Dompu, Nusa Tenggara Barat, mengalami penyiksaan berat
dari keluarga Halid Saleh Al-Akhmin, Majikan Sumiati, sejak
bekerja pada 18 Juli 2010 di Arab Saudi. Penyiksaan telah
melampaui batas kemanusiaan. Sumiati disiksa oleh majikan
dengan besi panas. Dengan tidak berperikemanusiaan bibir
sumiati pun digunting. Bekas luka-luka di sekujur tubuh
Sumiati menunjukkan penyiksaan berat yang dialaminya.
Sumiyati diberangkatkan oleh PT Rajana Falam Putri ke Arab
Saudi pada 18 Juli 2010. Sangat disayangkan, Sumiati
diberangkatkan tanpa berbekal Bahasa Inggris dan Arab yang
merupakan kebutuhan utama untuk bekerja di Arab.
Pemberangkatan Sumiati ke Arab tanpa bekal bahasa
menunjukkan kesewenang-wenangan perusahaan yang
bertanggung jawab. Perbuatan tersebut telah menempatkan
Sumiyati sebagai pekerja migran yang lemah.
Terulangnya kasus penyiksaan dan pemberangkatan BMI
tanpa pembekalan menunjukkan lemahnya pengawasan
pemerintah atas pelayanan dan kinerja Perusahahaan
Penyalur Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) yang
memberangkatkan BMI ke luar negeri. Lemahnya pengawasan
tersebut mengakibatkan buruknya pelayanan dan
kesewenang-wenangan PPTKIS dalam penempatan BMI.
Sumiati adalah contoh dari kesewenang-wenangan penempatan BMI.
Sumiati yang tidak memiliki kemampuan bahasa ditempatkan di
Arab Saudi yang jelas membutuhkan kemampuan Bahasa Arab.
Pusat Sumberdaya Buruh Migran (PSD-BM), menyatakan:
1. Menuntut pemerintah melakukan pelarangan pemberangkatan
BMI untuk pekerjaan non-formal ke Arab Saudi dan menetapkan
Arab Saudi sebagai zona berbahaya bagi pekerja Migran
2. Melakukan tekanan keras kepada pemerintah Arab Saudi yang
kerap membiarkan pelanggaran hak-hak buruh migran Indonesia.
3. Menuntut dibekukannya dan dicabutnya izin operasi Perusahaan
penyalur yang menempatkan Sumiati di Arab Saudi tanpa
membekali dengan kemampuan bahasa.
4. Menuntut dilakukannya pengawasan periodik dan terus menerus
atas kinerja dan pelayanan PPTKIS kepada buruh migran.
Menuntut pemerintas secepatnya menyelesaikan persoalan hukum
dan memberikan santunan pada Sumiati.
Yogyakarta, 17 November 2010.