digilib.uns.ac.id/interaks...digilib.uns.ac.id
TRANSCRIPT
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
MOTTO
• “Belajarku + kerjaku = ibadahku” (Penulis)
• “Setiap pekerjaan yang dilakukan, di dalamnya pasti akan tercipta titik
kejenuhan, namun usaha bijak yang dapat dilakukan adalah merangkai titik-
titik kejenuhan tersebut agar berubah menjadi suatu garis yang dapat
pertegas sebuah usaha perubahan” (Edy Tri Sulistyo).
• “Sesungguhnya malam itu panjang, namun jangan diperpendek dengan tidur
malam yang berlebihan” (Sunarmi).
• “Perjuangan adalah bait penantian keberhasilan” (Angga Yonar Kesuma).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
PERSEMBAHAN
Dengan penuh rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa Alloh SWT, Karya
ini penulis persembahkan kepada :
1. Kedua orang tuaku Bapak Edy Tri sulistyo dan Ibu Sunarmi yang selalu
memberikan bimbingan, doa, motivasi dan menjadi inspirasi untuk
terselesaikannya skripsi ini;
2. Kakak kandungku Angga Yonar Kesuma yang dengan bijaksana
membimbing dan mendoakan terselesaikannya skripsi ini.
3. Sarita Dian Rahmawati yang selalu menjadi semangat dan kekuatan
ketika dalam terpaan keletihan;
4. Pembimbing skripsiku Bapak Dr. Bagus Haryono, M.Si yang penuh
kesabaran membimbing untuk terselesaikannya skripsi ini;
5. Teman-teman Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Politik dan Ilmu Sosial
Universitas Sebelas Maret Surakarta;
6. Almamaterku Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Politik dan Ilmu Sosial
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Alloh Ta ’ala,
penguasa langit dan bumi beserta segala isinya, yang kekuasaannya bersifat mutlak
dan mengikat atas segala ciptaan-Nya. Atas campur tangan kekuasaan-Nya pula,
penulis akhirnya dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “INTERAKSI
SIMBOLIK ANTAR PELAKU SENI DALAM MEMAKNAI NILAI-NIL AI
LUHUR PADA KESENIAN TRADISIONAL DI KAMPUNG BUMEN,
KELURAHAN PURBAYAN, KECAMATAN KOTAGEDE, KOTA
YOGYAKARTA” ini.
Skripsi ini disusun dan dipersiapkan sebagai syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana pada Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Sebelas Maret, Surakarta. Bagi semua pihak yang telah membantu penulis dalam
mengerjakan penulisan skripsi ini, maka dalam kesempatan ini penulis ingin
memberikan ucapan terima kasih sebagai wujud penghargaan atas segala bantuan
dan dukungannya, kepada :
1. Prof. Drs. Pawito, Ph. D selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta;
2. Dr. Bagus Haryono, M.Si selaku Ketua Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret Surakarta dan juga
selaku Dosen Pembimbing Skripsi;
3. Drs. Sudarsana, PGD. PD selaku Pembimbing Akademik;
4. Seluruh dosen-dosen Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta yang selalu memberikan
motivasi dan doa untuk terselesaikannya skripsi ini;
5. Drs. Waris Sumarwoto selaku Lurah Purbayan yang telah memberikan
ijin kepada penulis untuk melakukan penelitian terkait Internalisasi Nilai
Luhur melalui Kesenian Tradisional di Kampung Bumen;
6. Bapak Topo Harjono selaku Ketua RW 06 Kampung Bumen yang telah
memberikan ijin dan bantuan informasi kepada penulis dalam melakukan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
penelitian terkait Internalisasi Nilai Luhur melalui Kesenian Tradisional
di Kampung Bumen;
7. Sarita Dian Rahmawati yang penuh ikhlas selalu memberikan semangat
dan doa atas terselesaikannya skripsi ini, serta twin love yang selalu
menjadi motivasi atas terselesaikannya skripsi ini;
8. Hapsoro Noor Adiyanto selaku Ketua Muda-Mudi Bumen RW 06;
9. Dedi Fathurrahman beserta keluarga dan Mang Asep selaku warga
Kampung Bumen RW 06 yang telah banyak membantu dan memberikan
semangat dalam skripsi ini, dan juga Muda-Mudi Bumen (MMB) RW 06
yang telah banyak memberikan bantuan dan sambutan hangat pada
penulis;
10. Teman-teman Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret Surakarta;
11. Serta berbagai pihak lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Selain berbagai pihak di atas, penulis secara khusus juga sangat berterima
kasih kepada Ibu dan Bapak serta kakak, yang telah memberikan bantuan motivasi,
doa, fasilitas dan tentu saja biaya untuk membiayai penulis selama mengerjakan
skripsi ini. Penulis sangat menyadari sepenuhnya akan keterbatasan kemampuan dan
pengetahuan dalam penyusunan skripsi ini, sehingga penulis mengharapkan
masukan berupa kritik dan saran konstruktif guna perbaikan penelitian selanjutnya
sehingga dapat menjadi lebih baik dan bermanfaat bagi sesama, dan mampu
memberikan sumbangan pemikiran serta menambah wawasan ilmu pengetahuan
bagi pembaca. Terima kasih.
Surakarta, Juli 2012
Penulis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul ………………………….…………………………..…….. i
Halaman Persetujuan ………………………….…………………….….... ii
Halaman Pengesahan ……………………………..…………….………... iii
Halaman Motto ............................................................................................ iv
Halaman Persembahan ............................................................................... v
Kata Pengantar ............................................................................................ vi
Daftar Isi ….........…………..………………...……………………….…… viii
Daftar Gambar ………….....……………...……………………..….…….. xii
Daftar Bagan …...……………………………………….………..….……. xiv
Daftar Matrik ............................................................................................... xv
Abstrak ......................................................................................................... xvi
Abstract ......................................................................................................... xvii
BAB I PENDAHULUAN …….......………………………....………... 1
A. Latar Belakang …………………………………....……........ 1
B. Rumusan Masalah …………………………..…….……….... 6
C. Tujuan Penelitian ………...….…………………....………… 7
D. Manfaat Penelitian................................................................... 7
1. Manfaat Teoritis ............................................................... 7
2. Manfaat Praktis ................................................................. 7
BAB II Tinjauan Pustaka ....................................................................... 8
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
A. Konsep yang Digunakan ....……...…………….………...….. 8
B. Penelitian Terdahulu ............................................................... 15
C. Landasan Teori ........................................................................ 21
D. Kerangka Berpikir .................................................................. 24
E. Definisi Konseptual ................................................................. 26
BAB III Metode Penelitian ...................................................................... 27
A. Rancangan Penelitian .............................................................. 27
B. Lokasi Penelitian .....................................................................
C. Alasan Pemilihan Lokasi Penelitian ........................................
D. Sumber Data ............................................................................
E. Informan ..................................................................................
F. Teknik Pemilihan Informan .....................................................
G. Teknik Pengumpulan Data ......................................................
H. Validitas Data ..........................................................................
I. Teknik Analisa Data ................................................................
28
29
29
30
30
31
33
34
BAB IV Hasil dan Pembahasan .............................................................. 36
A. Interaksi Simbolik antar Pelaku Seni dalam Memaknai
Nilai-Nilai Luhur pada Kesenian Srandul ..............................
1. Bentuk dan Interaksi Simbolik dalam Kesenian Srandul ..
2. Nilai-Nilai Luhur yang Terkandung dalam Aktivitas
Kesenian Srandul ...............................................................
45
46
67
B. Interaksi Simbolik antar Pelaku Seni dalam Memaknai
Nilai-Nilai Luhur pada Kesenian Karawitan ........................
1. Bentuk dan Interaksi Simbolik dalam Kesenian
79
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
Karawitan .........................................................................
2. Nilai-Nilai Luhur yang Terkandung dalam Aktivitas
Kesenian Karawitan .........................................................
80
83
C. Interaksi Simbolik antar Pelaku Seni dalam Memaknai
Nilai-Nilai Luhur pada Kesenian Sholawatan .......................
1. Bentuk dan Interaksi Simbolik dalam Kesenian
Sholawatan ......................................................................
2. Nilai-Nilai Luhur yang Terkandung dalam Aktivitas
Kesenian Sholawatan ......................................................
90
93
97
D. Interaksi Simbolik antar Pelaku Seni dalam Memaknai
Nilai-Nilai Luhur pada Kesenian Macapatan ........................
1. Bentuk dan Interaksi Simbolik dalam Kesenian
Macapatan .....................................................................
2. Nilai-Nilai Luhur yang Terkandung dalam Aktivitas
Kesenian Macapatan ......................................................
103
104 120
E. Pembahasan ..........................................................................
1. Interaksi Simbolik antar Pelaku Seni dalam Memaknai
Nilai-Nilai Luhur pada Kesenian Tradisional di
Kampung Bumen ............................................................
2. Analisa Interaksi Simbolik antar Pelaku Seni dalam
Memaknai Nilai-Nilai Luhur pada Kesenian Tradisional
di Kampung Bumen ........................................................
126
127 139
BAB V Kesimpulan dan Implikasi ........................................................ 146
A. Kesimpulan ........................................................................... 146
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
B. Implikasi ................................................................................
1. Implikasi Teoritik ...........................................................
2. Implikasi Metodologik ...................................................
3. Rekomendasi ..................................................................
147
147 148
148
Daftar Pustaka ............................................................................................. 151
Lampiran ...................................................................................................... 155
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1 Sesaji di awal pementasan srandul ................................................... 36
2 Pemain putri (wanita) dalam srandul ............................................... 40
3 Persiapan sesaji dalam Karnaval Genderuwo ................................... 41
4 Boneka Genderuwo dalam Karnaval Genderuwo di Kampung
Bumen ...............................................................................................
43
5 Karnaval Genderuwo Kampung Bumen ........................................... 44
6 Oncor (obor) berhias daun puring, ciri khas dalam kesenian
srandul ..............................................................................................
48
7 Tari-tarian anak dalam srandul ......................................................... 49
8 Perangkat Gamelan dalam srandul ................................................... 50
9 Adegan pada kesenian srandul dalam lakon Pedang Kangkam
Pamor Kencana .................................................................................
52
10 Persiapan srandul oleh generasi muda ............................................. 55
11 Beberapa pemain perempuan dalam srandul .................................... 59
12 Tarian kreasi oleh anak-anak dalam srandul .................................... 59
13 Adegan dagelan (humor) I pada srandul .......................................... 60
14 Adegan Sayidina Ali dan Raja Lakat dalam srandul ........................ 60
15 Wiyaga dalam kesenian srandul Kampung Bumen .......................... 63
16 Latihan srandul di Pendapa Kampung ............................................. 65
17 Kerja keras dalam berlatih srandul ................................................... 70
18 Daun puring di tengah area pementasan srandul .............................. 71
19 Adegan dagelan (humor) II dalam srandul ...................................... 72
20 Kerukunan, kekeluargaan, kebersamaan antarwarga dalam
persiapan srandul ..............................................................................
73
21 Busana tokoh Sayidina Ali dan istrinya dalam kesenian srandul ..... 76
22 Busana kombinasi dalam dagelan (humor) pada kesenian srandul 76
23 Latihan rutin karawitan Muda-Mudi Bumen ................................... 81
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
24 Kedudukan kendang sebagai pemimpin dalam kesenian karawitan 87
25 Seni sholawatan kakung dan putri Kampung Bumen ...................... 92
26 Kesenian macapatan Kampung Bumen ........................................... 104
27 Pendapa Kampung Bumen ............................................................... 107
28 Gamelan dalam seni macapatan di Kampung Bumen ..................... 116
29 Kompleks pemakaman di Kampung Bumen .................................... 136
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiv
Daftar Bagan
Bagan Halaman
1 Kerangka Berpikir ............................................................................ 25
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xv
Daftar Matrik
Matrik Halaman
1 Interaksi Simbolik antar Pelaku Seni dalam Memaknai Nilai-
Nilai Luhur pada Kesenian Srandul ...............................................
77
2 Interaksi Simbolik antar Pelaku Seni dalam Memaknai Nilai-
Nilai Luhur pada Kesenian Karawitan ..........................................
88
3 Interaksi Simbolik antar Pelaku Seni dalam Memaknai Nilai-
Nilai Luhur pada Kesenian Sholawatan ........................................
101
4 Interaksi Simbolik antar Pelaku Seni dalam Memaknai Nilai-
Nilai Luhur pada Kesenian Macapatan .........................................
125
5 Interaksi Simbolik antar Pelaku Seni dalam Memaknai Nilai-
Nilai Luhur pada Kesenian Tradisional di Kampung Bumen ........
138
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xvi
ABSTRAK
Shubuha Pilar Naredia, 2012, D0308055, INTERAKSI SIMBOLIK ANTAR PELAKU SENI DALAM MEMAKNAI NILAI-NILAI LUHUR PADA KESENIAN TRADISIONAL DI KAMPUNG BUMEN, KELURAHAN PURBAYAN, KECAMATAN KOTAGEDE, KOTA YOGYAKARTA, Skripsi, Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Kampung Bumen dikenal sebagai “Kampung Seni” yang masih melestarikan nilai luhur di tengah masyarakat Kotagede, Yogyakarta. Maka, penelitian ini berfokus pada permasalahan tentang bagaimana interaksi simbolik antar pelaku seni dalam memaknai nilai-nilai luhur pada kesenian tradisional di Kampung Bumen tersebut. Penelitian ini bertujuan menggambarkan interaksi simbolik antar pelaku seni dalam memaknai nilai-nilai luhur pada kesenian tradisional di Kampung Bumen. Untuk menggambarkan interaksi simbolik dalam memaknai nilai-nilai luhur, digunakan teori interaksi simbolik.
Penelitian ini merupakan studi kasus tunggal yang membahas interaksi simbolik antar pelaku seni dalam memaknai nilai-nilai luhur pada kesenian tradisional di Kampung Bumen, Kelurahan Purbayan, Kotagede, Yogyakarta. Data bersumber dari informasi yang diperoleh langsung dari informan, studi pustaka, dokumen tertulis dan arsip, dan data visual. Teknik pengumpulan data digunakan wawancara, observasi, dan dokumentasi. Pemilihan informan dipilih secara purposive, dalam hal ini informan dipilih berdasarkan klasifikasi usia, kepengurusan organisasi kepemudaan, dan status sosial dalam masyarakat, sehingga informan berjumlah 8 (delapan) orang. Data dianalisis dengan analisis model interaktif yang menggunakan tiga komponen utama, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan serta verifikasi. Validitas data digunakan teknik triangulasi sumber.
Dari hasil penelitian, ditemukan bahwa kesenian srandul, karawitan, sholawatan, dan macapatan di Kampung Bumen menjadi ruang bagi para pelaku seni untuk berinteraksi menggunakan simbol-simbol di dalamnya dan memaknai nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kesenian tradisional tersebut. Nilai-nilai yang terkandung dalam srandul meliputi: hakekat hidup, hakekat karya dan etos kerja, hubungan manusia dengan alam, persepsi terhadap waktu, dan hubungan manusia dengan sesama. Nilai-nilai tersebut dimaknai melalui makna-makna simbolik, isi cerita (lakon), dan proses latihan dalam srandul. Sedangkan nilai-nilai yang terkandung dalam karawitan, sholawatan, dan macapatan meliputi: hakekat hidup, hakekat karya dan etos kerja, persepsi terhadap waktu, dan hubungan manusia dengan sesama. Nilai-nilai tersebut dimaknai dalam karawitan melalui makna simbolik berupa alat musik kendang serta multifungsi gamelan, dan juga aktivitas latihan dalam karawitan. Pada kesenian sholawatan dan macapatan, nilai-nilai tersebut dimaknai melalui makna simbolik berupa pakaian dan alat musik yang digunakan dalam dua kesenian tersebut, serta melalui syair dan aktivitas latihan pada masing-masing kesenian tersebut. Kata kunci: interaksi simbolik, pelaku seni, nilai luhur, kesenian tradisional.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xvii
ABSTRACT
Shubuha Pilar Naredia, 2012, D0308055, SYMBOLIC INTERACTION BETWEEN ACTORS IN MEANING NOBLE VALUES AT TRADITIONAL ART KAMPUNG IN KAMPUNG BUMEN, KELURAHAN PURBAYAN, KECAMATAN KOTAGEDE, YOGYAKARTA , Thesis, Department of Sociology, Faculty of Social and Political Sciences, University of Sebelas Maret.
Kampung Bumen known as the "Village of Art" which still preserve the noble values in Kotagede, Yogyakarta. Thus, this study focuses on the symbolic issue of how the interaction between actors interpret art in the noble values of the traditional arts in the Kampung Bumen. This study aims to describe the symbolic interaction between actors of understanding the noble values of the traditional arts in the Kampung Bume. To illustrate the meanings of symbolic interaction noble values, used symbolic interaction theory. This study is a single case study that discusses the interaction between actors symbolic art of understanding the noble values of the traditional arts in the Kampug Bumen, Purbayan, Kotagede, Yogyakarta. Data derived from information obtained directly from the informants, the study of literature, written documents and archives, and visual data. Data collection techniques used interviews, observation, and documentation. Selection of informants selected purposively, in this case the informants were selected based on age classification, management, youth organizations, and social status in society, so the informant amounted to 8 (eight). Data were analyzed by analysis of an interactive model that uses three main components, namely data reduction, data presentation, and drawing conclusions and verification. The validity of the data sources used triangulation techniques.
From the research, found that srandul arts, karawitan, sholawatan, and macapatan in village departments to be space for the performers to interact using the symbols in it and make sense of the noble values embodied in the traditional arts. The values contained in Srandul include: the nature of life, the nature of the work and work ethics, human relations with nature, the perception of time, and relationships with fellow human beings. Those values are interpreted through the symbolic meanings, the story (the play), and the process of training in srandul. While the values contained in the karawitan, sholawatan, and macapatan include: the nature of life, the nature of the work and work ethic, the perception of time, and relationships with fellow human beings. The values are interpreted in the karawitan through the symbolic meaning of the instrument as well as multifunctional gamelan drums, and also an exercise in karawitan activities. In the macapatan and sholawatan arts, those values interpreted through the symbolic meaning of clothing and musical instruments used in these two arts, as well as through poetry and training activities in each of these arts.
Key words: symbolic interaction, actors, noble values, traditional art.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kota Yogyakarta memang nampak kecil jika dibandingkan dengan
kota-kota terpenting Indonesia lainnya. Namun, Yogyakarta menjadi kota
yang memiliki pengaruh dalam skala nasional, terutama karena dua alasan
utama. Pertama, karena sejarah dan kedudukannya sebagai salah satu pusat
kebudayaan terpenting di Indonesia. Kedua, karena kedudukannya sebagai
salah satu kota tujuan wisata terpenting di Indonesia. Karena itulah,
peristiwa-peristiwa politik, sosial, dan kebudayaan yang terjadi di
Yogyakarta selalu menjadi wacana nasional, bahkan terkadang
internasional.
Kota Yogyakarta didirikan oleh Pangeran Mangkubumi (kemudian
bergelar Sultan Hamengkubuwono I) pada 1756 sebagai pecahan akibat
sengketa pergantian kekuasaan kerajaan Mataram Jawa (Darwis Khudori,
2002: 103). Pusat kerajaan dahulu hanya merupakan tempat tinggal raja
dan orang-orang yang dekat dengannya. Istana raja dikelilingi oleh tempat
tinggal para pegawai istana dan orang-orang lain yang menyumbangkan
barang ataupun jasa kepada istana (Koentjaraningrat, 1994: 72). Dari
keadaan tersebut, mulai banyak pemukiman yang muncul di sekitar istana.
Berdasar sejarah awal pembentukan kota Yogyakarta tersebut, maka kota
Yogyakarta berkembang dari kraton dan rumah-rumah pangeran (dalem)
di sekitarnya yang membentuk perkampungan menurut organisasi sosial,
struktur kelas, dan gaya hidupnya masing-masing.
Yogyakarta tumbuh menjadi sebuah kota administratif atas
pengaruh pemerintah kolonial di Indonesia. Penduduk Belanda
membentuk kawasan perumahan di sekitar pusat kekuatan militer mereka,
dengan bukti masih terdapat perkampungan di sekitar benteng Vredeburg.
Sedangkan pedagang Tionghoa membangun rumah-rumah toko (ruko) di
sepanjang jalan besar yang menuju ke Alun-alun (Malioboro dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
Gondomanan). Pada masa itu, terdapat perkembangan administrasi,
komunikasi, transportasi, dan pendidikan modern, menyebabkan kawasan-
kawasan baru mulai bermunculan di tengah kota. Kawasan-kawasan baru
tersebut kemudian berkembang sebagai tempat pemukiman penduduk.
Pemukiman ini disebut kampung kota.
Seiring berjalannya waktu, di tengah kota Yogyakarta mulai
terdapat dua jenis perkampungan, yaitu kampung-kampung lama
tradisional yang umumnya berada di jalan-jalan besar di tengah kota
(kampung-kampung di sekitar kraton maupun kampung-kampung bekas
kawasan pemukiman Belanda), dan kampung baru akibat urbanisasi yang
umumnya berada di sekitar bantaran sungai yang melintasi tengah kota.
Penduduk yang tergolong berpenghasilan menengah ke atas berusaha
bermukim di kawasan yang menjauhi keramaian, sedangkan orang-orang
yang tergolong berpenghasilan menengah ke bawah cenderung bermukim
di sekitar tempat keramaian, khususnya di pinggir-pinggir sungai yang
melintasi kota.
Melihat tata kota Yogyakarta semacam itu menunjukkan bahwa
Yogyakarta terbentuk dari berbagai kampung-kampung kota baik
kampung-kampung lama tradisional maupun kampung-kampung baru
akibat urbanisasi. Setiap kampung memiliki aktivitas seni, sosial, dan
ekonomi yang berbeda-beda dengan kampung lainnya. Keberadaan
kampung-kampung tersebut mendukung kota Yogyakarta memiliki banyak
kekayaan budaya salah satunya di bidang kesenian seperti wayang,
ketoprak, sholawatan, tari, dan karawitan sebagai daya tarik wisata
tersendiri baik dalam skala nasional maupun internasional. Oleh karena
itu, kesenian menjadi bagian penting bagi setiap daerah. Selain fungsinya
sebagai budaya lokal yang menyimpan nilai-nilai luhur, kesenian juga
mampu mendongkrak devisa negara. Bermacam kesenian yang ada di kota
Yogyakarta dapat ditemukenali, di antaranya adalah kesenian tradisional
kampung yang masih terjaga eksistensinya hingga sekarang.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
Modernisasi tentunya dapat mengancam keberadaan kesenian
tradisional yang ada di tengah Kota Yogyakarta, maka penting adanya
suatu upaya untuk mempertahankan eksistensi dari kesenian tradisional
tersebut. Terjaganya aktivitas kesenian tradisional tergantung atas
kemampuan publik sendiri dalam menjaganya, seni hanya dapat diberi
makna bersama publiknya sehingga tak ada seni tanpa publik (Nirwan
Dewanto, 1996: 90). Hal tersebut menunjukkan bahwa terjaganya
eksistensi kesenian tradisional tergantung pada pemaknaan dari publik itu
sendiri. Pemaknaan tersebut dapat berupa nilai-nilai luhur ataupun makna
simbolik yang melekat pada kesenian tradisional tersebut.
Salah satu daerah di Yogyakarta yang masih menjaga aktivitas
kesenian tradisionalnya adalah kawasan Kotagede. Kotagede terletak di
sebelah tenggara kota Yogyakarta. Di kawasan inilah dahulu kerajaan
Mataram Islam pertama berdiri, sebagai cikal bakal peradaban kota
Yogyakarta dan Surakarta. Kotagede berasal dari kata Kuta Gede (Bahasa
Jawa Ngoko), atau Kitha Ageng (Bahasa Jawa Krama) yang dapat
diartikan sebagai Kota Besar (Van Mook dalam Koentjaraningrat, 1994:
72). Pada tahun 1920-1930 kondisi perekonomian Kotagede mengalami
era emas setelah orang kalang mendapatkan monopoli dari pemerintah
Belanda untuk mengelola perdagangan berlian, membuka pegadaian
swasta dan perdagangan candu (Van Mook dalam Charris Zubair, 2000:
142). Orang Kalang adalah pendatang dari masa Majapahit dan dari Bali
yang datang ketika Kotagede masih menjadi pusat kerajaan Mataram.
Mereka sengaja diundang oleh raja untuk menjadi tukang ukir kerajaan.
Pada awalnya, orang kalang hidup sebagai masyarakat pinggiran. Sejak
pemerintahan Sultan Agung, mereka terpaksa merubah gaya hidup dan
mencari nafkah di tempat-tempat pemukiman. Di beberapa kota Jawa
(Cirebon, Yogya, dll) masih terdapat kampung-kampung yang bernama
pe-kalang-an, di situlah kiranya orang-orang kalang membuka
pemukimannya dengan ada yang menjadi tukang pedati atau penebang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
kayu yang sering beralih profesi menjadi pengrajin kayu (Lombard, 2005:
44). Orang kalang inilah sebagai pioner munculnya buruh di Kotagede.
Peristiwa meletusnya pemberontakan PKI menjadikan
perekonomian Kotagede memburuk. Akibatnya, Kotagede menjadi kota
buruh yang miskin dan beberapa daerah di wilayah Kotagede menjadi
daerah termarginalkan pasca peristiwa 1965, beberapa diantaranya adalah
kampung-kampung kota yang memiliki hubungan historis dengan
peristiwa 1965. Meski semakin hari semakin membaik kondisi
perekonomiannya, namun krisis ekonomi tahun 1999 telah kembali
menjadikan perekonomian Kotagede melemah. Meskipun perekonomian
Kotagede melemah, namun masyarakat Kotagede tetap menjaga eksistensi
kesenian tradisional yang ada di kawasan mereka masing-masing sebagai
media hiburan dan aktivitas budaya yang penuh dengan nilai luhur bagi
para warganya. Di Kotagede inilah terdapat sebuah kampung kota dengan
sejarah perkembangannya yang menarik untuk digali lebih mendalam.
Kampung kota tersebut bernama Kampung Bumen.
Secara administratif, Kampung Bumen tercatat dalam wilayah
Kelurahan Purbayan, kecamatan Kotagede. Menurut sejarahnya, Kampung
Bumen berada di wilayah bekas kerajaan Mataram yang berada di kawasan
Kotagede. Kotagede menjadi pusat kerajaan Mataram Islam pertama
sekitar abad ke-16, merupakan daerah yang menyimpan sejarah kuno cikal
bakal peradaban kasultanan Yogyakarta dan kasunanan Surakarta.
Kotagede menjadi ibukota Mataram sejak Panembahan Senopati
mendapatkan tanah perdikan berupa kawasan Alas Mentaok (sekarang
Kotagede) pada tahun 1530 yang kemudian menjadi pusat kerajaan
Mataram hingga masa pemerintahan Raja Sultan Agung, yaitu Raja
Mataram yang ketiga. (http://wartakampungonline.com/kampungbumen).
Konon, nama “Bumen” berasal dari kata “Mangkubumi”, masyarakat
setempat percaya bahwa di kampung ini dulunya menjadi tempat tinggal
Pangeran Mangkubumi. Namun, petunjuk yang tersisa hanyalah sebuah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
makam pemelihara kuda yang dianggap sebagai makam pemelihara kuda
Pangeran Mangkubumi.
Adapun dalam bidang kesenian, Kampung Bumen memiliki
kesenian tradisional, seperti srandul, karawitan, sholawatan, tari-tarian
kampung, dan macapatan yang mulai terlihat lagi aktivitasnya pasca 1998.
Potensi kesenian tradisional tersebut sebenarnya memungkinkan dapat
dikembangkan dalam merumuskan identitas kampung terkait
pengembangan kampung ke arah yang lebih maju (misalnya sebagai
Kampung Seni). Selain sebagai tujuan komersil, kesenian tradisional bagi
masyarakat Bumen adalah salah satu aktivitas kemasyarakatan yang penuh
dengan makna simbolik dan mengandung pembelajaran nilai-nilai luhur
dalam kehidupan bermasyarakat di Kampung Bumen.
Bagi para pelaku seni yang terlibat di dalam kesenian tradisional
yang ada di Kampung Bumen, memungkinkan mereka untuk dapat
berinteraksi satu sama lainnya sehingga mereka dapat memaknai nilai-nilai
luhur yang ada pada aktivitas kesenian tradisional di Kampung Bumen.
Dengan kata lain, bahwa dalam interaksi antar pelaku seni dalam kesenian
tradisional di Kampung Bumen terdapat simbol-simbol yang digunakan
untuk memaknai nilai-nilai luhur yang ada di Kampung Bumen. Maka,
kesenian tradisional dapat digunakan sebagai identitas suatu kampung
yang tentunya memiliki fungsi komunikasi antar individu.
Identitas menjadi hal penting sebagai fungsi komunikasi serta
menegaskan suatu ciri khas tertentu agar dapat mengungkap keberadaan
seseorang/kelompok orang di tengah masyarakat. Komunikasi menjadi
pola dasar untuk menarik orang lain agar turut serta dalam kebersamaan
(Carey dalam Alo Liliweri, 2002: 4). Komunikasi pada akhirnya diartikan
sebagai suatu proses, suatu aktivitas simbolis, dan pertukaran makna
antarmanusia.
Kampung-kampung kota bergerak dinamis seiring dengan
kebergerakan penduduknya, tak terkecuali bagi anak-anak dan remaja
kampung yang hidup di dalamnya. Anak-anak dan remaja kampung
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
merupakan generasi penerus kampung yang memikul tugas masa depan
untuk mewujudkan kampung yang lebih baik bagi seluruh penghuninya.
Hal ini yang mendasari pentingnya membangkitkan minat dan bakat seni
yang dimiliki oleh generasi muda agar dapat sebagai bekal dalam
mewujudkan kampung yang lebih baik bagi seluruh masyarakatnya.
Ketika anak-anak dan remaja kampung mulai memiliki minat dan dapat
mengembangkan bakat kesenian yang mereka miliki, kesenian tradisional
dapat dijadikan sebagai media untuk menjaga nilai-nilai luhur yang ada
dalam kehidupan masyarakat, hal ini dikarenakan dalam kesenian
tradisional tersebut banyak mengandung nilai-nilai luhur baik dalam
wujud simbol-simbol yang melekat ataupun interaksi antar pelaku seni
yang terlibat.
Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukan penelitian mengenai
interaksi simbolik antar pelaku seni dalam memaknai nilai-nilai luhur pada
kesenian tradisional di Kampung Bumen. Kajian ini penting dilakukan
untuk mengetahui bagaimana interaksi simbolik antar pelaku seni dalam
memaknai nilai-nilai luhur pada kesenian tradisional di Kampung Bumen,
serta nilai-nilai luhur apa sajakah yang terkandung dalam kesenian
tradisional di Kampung Bumen. Hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan gambaran bagi masyarakat umum terkait interaksi simbolik
antar pelaku seni dalam memaknai nilai-nilai luhur pada kesenian
tradisional di Kampung Bumen.
B. Rumusan Masalah
Merujuk pada uraian latar belakang di atas, untuk mempermudah
pemahaman terhadap permasalahan serta mempermudah agar lebih terarah
dan mendalam sesuai sasaran terkait interaksi simbolik antar pelaku seni
dalam memaknai nilai-nilai luhur pada kesenian tradisional di Kampung
Bumen, maka dirumuskan permasalahan “Bagaimana interaksi simbolik
antar pelaku seni dalam memaknai nilai-nilai luhur pada kesenian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
tradisional di Kampung Bumen, Kelurahan Purbayan, Kecamatan
Kotagede, Kota Yogyakarta?”
C. Tujuan Penelitian
Dalam penelitian ini, terdapat tujuan yang hendak dicapai untuk
mencari titik temu atau jawaban yang relevan berdasarkan permasalahan
yang ditentukan. Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini
antara lain:
1. Menggambarkan interaksi simbolik antar pelaku seni dalam memaknai
nilai-nilai luhur pada kesenian tradisional di Kampung Bumen,
Kelurahan Purbayan, Kecamatan Kotagede, Kota Yogyakarta.
2. Melengkapi syarat-syarat guna memperoleh derajat sarjana dalam
bidang Sosiologi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah:
1. Manfaat Teoritis
a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih bagi
pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan pada bidang
sosiologi pada khususnya.
b. Dapat mendorong tumbuhnya motivasi bagi perkembangan serta
kemajuan di bidang sosiologi, karena pembahasan mengenai
kesenian tradisional melibatkan kajian penting sosiologi yaitu
manusia dan kebudayaan.
2. Manfaat Praktis
Hasil Penelitian ini secara praktis diharapkan menjadi bahan
pertimbangan dalam menyusun kebijakan di Kota Yogyakarta terkait
pengembangan kampung kota, dan pelestarian kesenian tradisional di
Yogyakarta, khususnya kawasan Kotagede.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep yang Digunakan
Adapun konsep-konsep yang digunakan dalam penelitian ini
adalah:
1. Interaksi
Interaksi merupakan syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas
sosial. Interaksi merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis
yang menyangkut hubungan antara orang-orang perorangan, antara
kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan
dengan kelompok manusia (Gillin dalam Soerjono Soekanto, 2006:
61). Sedangkan syarat terjadinya interaksi yaitu dengan adanya kontak
sosial dan adanya komunikasi (Soerjono Soekanto, 2006: 64). Perlu
dicatat bahwa terjadinya suatu kontak tidaklah semata-mata
tergantung dari tindakan, namun juga tanggapan terhadap tindakan
tersebut. Terdapat dua macam jenis kontak yaitu: primer (hubungan
langsung) dan sekunder (melalui perantara). Sedangkan komunikasi
diartikan sebagai suatu respon tafsiran pada perilaku orang lain (yang
berwujud pembicaraan, gerak badan ataupun sikap). Maka, dalam
suatu interaksi suatu kontak yang tidak diiringi komunikasi tidaklah
memiliki arti.
Interaksi adalah kunci dari semua kehidupan sosial, oleh
karena tanpa interaksi, tak akan mungkin ada kehidupan bersama
(Kimball Young dan Raymond dalam Soerjono Soekanto, 2006: 61).
Interaksi juga diartikan sebagai proses ketika kemampuan berpikir
dikembangkan dan diekspresikan, interaksi dibedakan menjadi dua
(Blumer dalam Ritzer, 2009: 394) yaitu interaksi nonsimbolis (yang
memuat mengenai percakapan, gestur, dan tidak melibatkan proses
berpikir), dan interaksi simbolis (yang memerlukan proses berpikir
dan proses mental). Dalam suatu interaksi terdapat suatu simbol-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
simbol yang dapat digunakan untuk berinteraksi, ketika orang
mempelajari simbol-simbol tersebut maka sekaligus ia juga
mempelajari makna dalam suatu interaksi (Blumer dalam Ritzer,
2009: 394). Simbol adalah objek sosial yang digunakan untuk
merepresentasikan apa saja yang memang disepakati bisa
direpresentasikan oleh simbol tersebut (Charon dalam Ritzer, 2009:
395).
2. Pelaku seni
Pada umunya orang sering menyebut pelaku seni sebagai
seniman, yang dimaksud dengan seniman yaitu orang yang
mempunyai bakat seni dan dengan imajinasinya mampu bahkan
berhasil menciptakan sebuah karya seni, serta
menggelar/menunjukkan karya seninya pada orang lain sehingga
kemudian karya seni tersebut diapresiasi oleh orang lain (diambil dari
http://junaedi-wwwbelajarbareng.blogspot.com/p/presentasi-
hubungan-antara-karya.html, pada Kamis 14 Juli 2012), contohnya
dari seniman yaitu: pelukis, penyair, penyanyi, pemahat, dan lain
sebgainya.
Pelaku seni pada dasarnya adalah seseorang yang pekerjaannya
melakukan kegiatan seni atas sebuah kesenian yang telah diciptakan
oleh seorang Seniman, untuk kemudian dibawakannya sebagai wujud
apresiasi terhadap karya seni tersebut ( diambil dari
http://pandjipainting.wordpress.com/2011/04/11/seniman-pelaku-
seni/, pada Kamis 14 Juli 2012). Dari uraian di atas tentunya memberi
uraian bahwa seniman dan pelaku seni adalah berbeda, seniman
merupakan orang yang dengan imajinasinya kemudian menciptakan
sebuah karya seni dengan nilai-nilai keindahan subjektifnya,
sedangkan pelaku seni adalah seseorang ataupun kelompok orang
yang dengan sengaja membawakan karya seni yang telah diciptakan
oleh orang lain dengan maksud dan tujuan tertentu (Nirwan Dewanto,
1996: 102).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
3. Nilai Luhur
Pembahasan mengenai nilai luhur dimulai dengan uraian
mengenai pengertian dari nilai itu sendiri. Istilah nilai merupakan
sebuah istilah yang tidak mudah untuk diberikan batasan secara pasti.
Ini disebabkan karena nilai merupakan sebuah realitas yang abstrak
(Ambroisje dalam Kaswadi, 1993). Menurut Rokeach dan Bank
(Thoha, 1996) nilai adalah suatu tipe kepercayaan yang berada dalam
ruang lingkup sistem kepercayaan di mana seseorang bertindak atau
menghindari suatu tindakan, atau mengenai suatu yang pantas atau
tidak pantas dikerjakan. Nilai juga dapat diartikan sebagai sebuah
pikiran (idea) atau konsep mengenai apa yang dianggap penting bagi
seseorang dalam kehidupannya (Fraenkel dalam Thoha, 1996). Selain
itu, kebenaran sebuah nilai juga tidak menuntut adanya pembuktian
empirik, namun lebih terkait dengan penghayatan dan apa yang
dikehendaki atau tidak dikehendaki, disenangi atau tidak disenangi
oleh seseorang.
Nilai adalah sifat-sifat atau hal-hal yang berguna penting bagi
kemanusiaan (DEPDIKBUD, 1998: 25). Selanjutnya, nilai diartikan
sebagai sesuatu yang dapat dijadikan sasaran untuk mencapai tujuan
yang menjadi sifat keseluruhan tatanan yang terdiri dari dua atau lebih
dari komponen yang satu sama lainnya saling mempengaruhi atau
bekerja dalam satu kesatuan atau keterpaduan yang bulat dan
berorientasi kepada nilai dan moralitas Islami (Soekamto, 1981: 25).
Nilai dipandang sebagai suatu pola normatif, yang menentukan
tingkah laku dan diinginkan bagi suatu sistem yang berkaitan dengan
lingkungan sekitar tanpa membedakan fungsi-fungsinya. Karl Marx
mendefinisikan nilai sebagai suatu hal yang ada dalam masyarakat dan
tidak bisa dipisahkan dengan fakta-fakta sosial (Ritzer dan Douglas J.
Goodman, 2009: 47). Bagi Marx, fakta-fakta sosial dan nilai-nilai itu
saling terkait, dan oleh karena itu fenomena sosial selalu terkait
dengan nilai.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
Terdapat hubungan erat antara nilai dan uang dalam
masyarakat. Secara umum, orang menciptakan nilai dengan
menciptakan objek, memisahkan dirinya dari objek-objek tersebut,
dan selanjutnya berusaha mengatasai kesulitan yang ditimbulkan
olehnya (Simmel dalam Ritzer dan Douglas J. Goodman, 2009: 189).
Semakin besar kesulitan untuk mendapatkan suatu objek, maka
semakin besar pula nilainya. Prinsip umumnya adalah bahwa nilai
benda berasal dari kemampuan orang untuk menjarakkan dirinya
secara tepat dari objek. Benda-benda yang terlalu mudah untuk
diperoleh, dianggap tidak memiliki nilai yang tinggi. Perlu upaya
tertentu agar sesuatu dianggap bernilai. Sedangkan benda-benda yang
terlalu sulit untuk diperoleh bahkan mustahil untuk diperoleh juga
tidak akan dianggap bernilai di mata kita. Benda-benda yang paling
bernilai adalah yang tidak terlalu sulit dan tidak terlalu mudah untuk
diperoleh.
Nilai-nilai yang ada tidaklah sama luhur dan sama tingginya.
Nilai-nilai itu secara nyata ada yang lebih tinggi dan ada yang lebih
rendah dibandingkan dengan nilai-nilai lainnya. Menurut tinggi
rendahnya, M. Asrori Ardiansyah (diambil dari http://kabar-
pendidikan. Blogspot.com, pada Selasa 08 November 2011)
mengelompokkan nilai-nilai dalam empat tingkatan, yaitu:
a. Nilai-nilai kenikmatan: dalam tingkat ini terdapat deretan
nilai-nilai yang baik dan buruk, yang menyebabkan orang
senang atau menderita.
b. Nilai-nilai kehidupan: dalam tingkat ini terdapat nilai-nilai
yang lebih penting bagi kehidupan, misalnya: kesehatan,
kesegaran badan, kesejahteraan umum.
c. Nilai-nilai kejiwaan: dalam tingkat ini terdapat nilai-nilai
yang sama sekali tidak tergantung pada keadaan jasmani
maupun lingkungan, seperti misalnya kehidupan,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
kebenaran, dan pengetahuan murni yang dicapai dalam
filsafat.
d. Nilai-nilai kerohanian: dalam tingkat ini terdapat modalitas
nilai dari suci dan tak suci. Nilai-nilai semacam ini
terutama terdiri dari nilai-nilai pribadi dan nilai kebutuhan.
Merujuk pada uraian di atas, maka nilai merupakan sebuah
bagian yang melekat pada setiap benda, baik dalam aktivitas, bentuk,
ataupun juga fungsinya. Nilai melekat pada setiap elemen kehidupan
mulai dari hubungan masyarakat hingga aktivitas kesenian sebagai
sebuah fakta sosial. Pembahasan mengenai orientasi nilai, khususnya
nilai luhur sebagai sebuah fakta sosial dapat menggunakan kerangka
yang pernah dikembangkan oleh Kluckhohn (dalam Koentjaraningrat,
1994: 435), dalam kerangka yang dikembangkan itu secara universal
membagi nilai-nilai budaya sebagai nilai luhur dari semua bangsa di
dunia menjadi lima kategori berdasarkan lima masalah penting dalam
kehidupan manusia, yaitu : (1) mengenai hakekat hidup; (2) hakekat
karya dan etos kerja; (3) hubungan antara manusia dengan alam; (4)
persepsi manusia tentang waktu; dan (5) hubungan antara manusia dan
sesamanya.
Adapun nilai-nilai luhur yang perlu diajarkan agar menjadi
sikap hidup sehari-hari menurut Sukamto (diambil dari http://kabar-
pendidikan. Blogspot.com, pada Rabu 09 November 2011), antara lain
meliputi: Kejujuran; Loyalitas dan dapat diandalkan; Hormat; Cinta;
Ketidak egoisan dan sensitifitas; Baik hati dan pertemanan;
Keberanian; Kedamaian; Mandiri dan Potensial; Disiplin diri dan
Moderasi; Kesetiaan dan kemurnian; dan Keadilan dan kasih sayang.
Nilai-nilai luhur khususnya pada masyarakat Jawa menjadi
pola dasar dalam pembentukan filsafat pancasila, nilai-nilai luhur
tersebut meliputi tiga hubungan kodrat, yaitu bahwa (1) nilai yang ada
pada hubungan manusia dengan Tuhan, (2) nilai yang ada pada
hubungan manusia dengan manusia lain termasuk dengan dirinya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
sendiri, (3) nilai yang ada pada hubungan manusia dengan benda di
sekitarnya (Sunarjo Wreksosuhardjo, 2009: 29). Nilai-nilai luhur
tersebut pada dasarnya mengarahkan individu dalam memiliki budi
pekerti yang baik, dimana budi pekerti akan terkait erat dengan
tatakrama pergaulan seseorang di mana saja, maka budi pekerti
menjadi bagian utama dalam tatakrama pergaulan (Endraswara, 2006:
9). Tatakrama akan meliputi berbagai hal, seperti aturan moral, sopan
santun, unggah-ungguh, dan etika.
Nilai-nilai luhur menjadi sebuah acuan hidup setiap individu
karena dipercaya sebagai orientasi kebenaran dalam kehidupan sehari-
hari. Nilai luhur melekat pada setiap aktivitas dan cara hidup dalam
masyarakat, namun nilai luhur setiap daerah akan berbeda antara
daerah satu dengan daerah yang lain. Hal tersebut dikarenakan
aktivitas dan cara hidup setiap daerah yang berbeda pula.
4. Kesenian Tradisional
Kesenian tradisional tersusun dari dua kata, yaitu kesenian dan
tradisional. Kesenian berasal dari kata dasar seni. Seni memiliki
padanan kata techne (Yunani), ars (latin), kuns (Jerman) dan art
dalam Bahasa Inggris. Kesemuanya tersebut mempunyai pengertian
yang sama yakni ketrampilan dan kemampuan (Edy Tri Sulistyo,
2005: 1). Ketrampilan dan kemampuan ini dikaitkan dengan tujuan
dalam seni misalnya nilai estetis (keindahan), etis, dan nilai praktis.
Berdasar tujuan-tujuan tersebut, nampaknya seni cenderung dikaitkan
dengan nilai estetis sehingga terdapat pendapat bahwa seni sama
dengan keindahan. Lebih lanjut seni diartikan sebagai karya yang
diciptakan dengan keahlian dan perasaan yang luar biasa (Kamus
Lengkap Bahasa Indonesia, tanpa tahun: 750). Seni merupakan sebuah
penggunaan imajinasi manusia secara kreatif untuk menerangkan,
memahami, dan menikmati kehidupan (Yuni Pare, 2007: 27).
Kamus Umum Bahasa Indonesia oleh Poerwadarminto
menyebutkan bahwa seni adalah penjelmaan rasa indah yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
terkandung dalam hati orang yang dilahirkan dengan perantaraan alat-
alat komunikasi ke dalam bentuk yang ditangkap oleh indera
pendengaran (seni musik), penglihatan (seni rupa), atau yang
dilahirkan dengan gerak (seni tari, seni drama). Maka, kesenian
diartikan sebagai suatu aktivitas yang berhubungan dengan seni baik
seni musik, seni rupa, ataupun seni tari dan seni drama.
Seni menurut Edmund Burke Feldman (1967: 2) memiliki tiga
fungsi, yaitu (1) fungsi personal (personal needs), (2) fungsi sosial
(social needs), dan (3) fungsi fisik (physycal needs). Sedangkan pada
dasarnya, fungsi seni secara primer yaitu (1) sebagai sarana ritual, (2)
sebagai ungkapan pribadi yang pada umunya berupa hiburan pribadi,
dan (3) sebagai presentasi estetis (Soedarsono, 2002: 123).
Kesenian adalah keseluruhan sistem yang melibatkan proses
penggunaan imajinasi manusia secara kreatif di dalam sebuah
kelompok masyarakat dengan kebudayaan tertentu (Yuni Pare, 2007:
27). Kesenian merupakan salah satu dari unsur-unsur kebudayaan
(Kluckhohn dalam Soerjono Soekanto, 2006: 176). Manusia pada
umumnya berusaha mendapatkan ilmu pengetahuan melalui logika,
menyerasikan perilaku terhadap kaidah-kaidah melalui etika, dan
mendapatkan keindahan melalui estetika. Dari konsep tersebut jelas
keberadaan kesenian sebagai unsur dari kebudayaan, karena kesenian
memuat keindahan. Manusia dalam kehidupannya pasti berhubungan
erat dengan kebudayaan, karena fungsi dari kebudayaan adalah untuk
mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya
bertindak, berbuat, menentukan sikapnya kalau mereka berhubungan
dengan orang lain. Hal ini sesuai dengan pandangan Bronislaw
Malinowski (dalam Soerjono Soekanto, 2006: 176) yang menyebutkan
bahwa tak ada suatu unsur kebudayaan yang tidak mempunyai
kegunaan yang cocok dalam rangka kebudayaan sebagai keseluruhan.
Tradisi adalah adat kebiasaan yang diturunkan dari nenek
moyang yang dijalankan oleh masyarakat (Kamus Lengkap Bahasa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
Indonesia, tanpa tahun, 826). Sedangkan tradisional merupakan cara
berpikir dan bertindak dengan selalu berpegang pada norma dan adat
kebiasaan, sesuai tradisi (wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia
bebas). Maka, secara singkat kesenian tradisional diartikan sebagai
aktivitas dengan unsur seni yang menjadi bagian hidup masyarakat
dalam suatu kaum/suku/bangsa tertentu dan dipandang sebagai hasil
ekspresi hasrat manusia akan keindahan dengan latar belakang tradisi
atau sistem budaya masyarakat pemilik kesenian tersebut.
B. Penelitian Terdahulu
Terdapat beberapa penelitian dan makalah yang memuat informasi
mengenai Kampung Bumen, namun bahasannya masih umum dan luas.
Penelitian yang ada lebih bersifat inventarisasi dan dokumentasi terhadap
potensi kampung yang dianggap perlu dilestarikan dan dikembangkan
untuk tujuan ekonomi. Adapun penelitian dan makalah yang memuat
informasi mengenai Kampung Bumen tersebut antara lain:
Makalah yang disampaikan oleh Invani Lela Herliana dalam
Seminar Internasional Youth Encounter in India in the Context of todays’s
Crises, di Karur, Tamil Nadu, India dengan judul “Youth Involvement in
the Kampong in the Context of Cultural Diversity” pada 20-25 Mei 2009.
Makalah ini menyinggung keberadaan Kota Yogyakarta sebagai kota
dengan keadaan masyarakat multikultur, dalam makalah ini juga
membahas keberadaan Kampung Bumen sebagai salah satu kampung tua
di Kotagede, Yogyakarta. Keberadaannya sebagai salah satu kampung kota
yang juga tergolong sebagai kampung marginal, menempatkannya sebagai
salah satu kampung kota di Yogyakarta yang perlu mendapat perhatian
untuk pengembangan kehidupan di bidang sosial, ekonomi, maupun
budayanya.
Penelitian berjudul Ekonomi Berbasis Kampung: Pemetaan Potensi
Ekonomi di Kampung Bumen, Kotagede (2010) oleh Invani Lela Herliana
dan Lusia Nini Purwajati. Hasil penelitian ini memberikan uraian panjang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
tentang profil Kampung Bumen, kondisi sosial masyarakat, dan potensi-
potensi yang dimiliki oleh Kampung Bumen sebagai bahan pengembangan
kampung di bidang ekonomi. Salah satu potensi yang dimiliki oleh
Kampung Bumen adalah di bidang kesenian tradisional.
Penelitian berjudul Kerja Pendampingan dan Pemberdayaan
Yayasan Pondok Rakyat dalam Program Srawung Kampung di Kampung
Bumen, Kelurahan Purbayan, Kecamatan Kotagede, Kota Yogyakarta
(2010) oleh Awan Bagus Sucahyo. Penelitian ini membahas mengenai
konsep pendampingan dan pemberdayaan yang dilakukan oleh Yayasan
Pondok Rakyat di bidang sosial ekonomi. Program srawung kampung
merupakan salah satu realisasi dari konsep pendampingan dan
pemberdayaan tersebut. Program ini sebagai upaya penggalian potensi seni
dan budaya Kampung Bumen, yang mana potensi-potensi ini sempat
dimarginalkan bahkan disingkirkan oleh rezim orde baru yang anti
terhadap ideologi komunis.
Terdapat pula jurnal-jurnal internasional dan penelitian-penelitian
yang membahas mengenai interaksi simbolik dalam aktivitas kesenian
tradisional serta nilai-nilai luhur di dalam masyarakat, diantaranya:
International journal of Social Sciences and Humanity Stud
research by Maryam Lari, 2011. The Images of Angels in Iranian Art, A
Civilization Interaction in a Comparative Study.
This essay surveys the images of angels in the Iranian paintings particularly in 18th (under Safavid dynasty) and 19th (under Qajar dynasty) centuries in Iran. As a background, the concept of Angel has been briefly studied in four categories of Persian mythology, Iranian epic, Islamic culture and folk stories. The images of angels altered in different periods which were directly related to cultural interaction between "East" and "West". The angels in Safavid period were ideal images in a utopian atmosphere and their pictorial appearances were representations of philosophical and metaphorical concepts. Illustrating the angels for the Safavid artists was actually a way to penetrate into the concepts world. It is essential to mention that the challenge of "East" and "West" which had begun in Safavid period, reached to its critical summit in Qajar era. It was due to various reasons; Travelling abroad, getting acquaintance with modern ideas, constitutionalism movement, entering new technology such as photography and printing industry were some of the most influential
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
causes which affected all aspects of Qajar society. Idealistic vision of Safavid painters changed into naturalistic one and the imaginary illustrations of angels altered to more realistic images. Many progressive newspapers began to be published in which the angels were represented as the symbols of freedom, homeland and constitutionalism. By studying about 50 dominant illustrations, this paper seeks to examine the conjunction between the images of angels and the most important civilization interaction in Qajar period in Iran.
Tulisan ini meneliti mengenai gambar malaikat dalam lukisan Iran,
khususnya di abad 18 (dibawah dinasti Safawi) dan abad 19 ( dibawah
dinasti Qajar) di Iran. Sebagai latar belakang, konsep malaikat telah
dipelajari secara singkat dalam empat kategori mitologi Persia, Iran Epik,
budaya Islam dan cerita rakyat. Gambar-gambar malaikat diubah dalam
periode berbeda yang langsung berhubungan dengan interaksi budaya
Timur dan Barat. Gambar para malaikat pada periode Safawi dianggap
ideal dalam suasana utopis serta merupakan representasi dari konsep-
konsep filosofis dan metafora. Bagi Para seniman Safawi, menggambarkan
malaikat sebenarnya merupakan cara untuk menembus dalam konsep
kepercayaan. Hal ini penting untuk menyebut tantangan timur dan barat
telah dimulai pada periode Safawi dan mencapai puncak kritisnya di era
Qajar. Hal itu dikarenakan berbagai alasan: perjalanan luar negri,
masuknya ide-ide modern, gerakan konstitusionalisme, masuknya
teknologi baru seperti forografi dan industri percetakan adalah beberapa
penyebab yang paling berpengaruh dan mempengaruhi semua aspek
kehidupan masyarakat Qajar. Visi idealis pelukis Safawi berubah menjadi
naturalistik dan ilustrasi gambar malaikat diubah untuk lebih realistis.
Banyak surat kabar mulai diterbitkan, dimana para malaikat diwakili
sebagai simbol kebebasan, tanah air dan konstitusionalisme. Belajar dari
50 ilustrasi yang dominan, maka tulisan ini mencoba untuk menganalisis
hubungan antara gambar malaikat dan peradaban yang paling penting bagi
interaksi dalam periode Qajar di Iran.
Jurnal di atas menunjukkan bahwa dalam sebuah karya seni
memiliki makna tertentu yang dapat digunakan untuk merepresentasikan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
nilai ataupun tujuan tertentu. Simbol dalam sebuah karya seni dipandang
sebagai fungsi komunikasi untuk menyampaikan makna tertentu bagi
penikmat seni ataupun pelaku seni. Jurnal ini merupakan sebuah penelitian
terdahulu (tinjauan pustaka) yang dapat dijadikan rujukan untuk
membahas mengenai interaksi simbolik dalam sebuah kesenian yang
digunakan sebagai media pemaknaan nilai-nilai luhur yang terkandung di
dalamnya, serta merepresentasikan makna yang terkandung dalam simbol-
simbol tersebut. Pada jurnal di atas, simbol malaikat pada kesenian Iran
memiliki makna dan kandungan nilai tertentu bagi seluruh warganya,
interpretasi tangkapan makna pada sebuah karya seni tentunya dapat
terjadi jika ada interaksi simbolik antar pelakunya.
International journal of Cultural Sociology research by Dagmar
Danko, 2008. Nathalie Heinich's Sociology of Art and Sociology from
Art.
In order fully to understand the nature of Nathalie Heinich’s sociology of art especially her recurring advocacy of an ‘interpretative’ sociology over an ‘explanatory’ one, and her insistence on a descriptive approach that stays true to the axiom of value neutrality – it is helpful to note that all of the work presented in this article originated during the period of the so-called ‘quarrel of contemporary art’, which took place in France throughout the 1990s. This was a dispute between experts and intellectuals concerning the possibility of defining new objective criteria for evaluating contemporary art. The debate involved on the one side those who judged contemporary art as being too commercialized, too sensation-seeking and wholly intellectually empty, and on the other, those who in turn judged these sorts of critic as conservative and ignorant of the true nature of the art they were talking about. Heinich did not explicitly take part in this public debate, which was carried out via the means of innumerable articles and books by a wide range of art critics, philosophers and other sorts of theorist. Her sociological methodology attempted to assume a meta-position above this melée. By refusing to makevalue judgements for or against contemporary art, and by trying to position sociology as a science that can help social actors to better understand one another, through the means of describing their value systems instead of taking part in disputes about them, she wanted to show a way out of what she saw as the dead-end of this sort of debate.
Jurnal ini membahas bahwa telah terjadi perdebatan antara para
ahli dan cendekiawan mengenai kemungkinan pendefinisian baru tentang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
kriteria obyektif untuk mengevaluasi seni kontemporer. Salah satu
pendapat ialah bahwa seni kontemporer terlalu dikomersialkan, sehingga
hakekat seni itu sendiri mulai terkaburkan dan tak ditangkap lagi oleh para
pelaku seni. Seorang sosiolog bernama Heinich kemudian melakukan
penilaian terhadap seni kontemporer, dan mencoba mengembangkan posisi
sosiologi sebagai ilmu yang dapat membantu pelaku sosial untuk lebih
memahami satu sama lain terkait masalah seni kontemporer tersebut.
Jurnal ini juga menjadi rujukan tinjauan pustaka (penelitian
terdahulu) terkait pemaknaan nilai-nilai dalam sebuah kesenian (seni).
Pentingnya sosiologi dalam mengkaji permasalahan antar pelaku sosial
terkait perdebatan mengenai seni kontemporer, nampaknya relevan jika
digunakan dalam mengkaji pemaknaan nilai luhur dalam sebuah kesenian.
Maka, konsep interaksi simbolik sebagai salah satu konsep dalam sosiologi
dapat digunakan dalam mengkaji sebuah pemaknaan nilai-nilai luhur
dalam sebuah kesenian tradisional yang dilakukan oleh para pelaku seni
yang terlibat di dalamnya.
Penelitian berikutnya berjudul Pemeliharaan Kehidupan Budaya
Kesenian Tradisional dalam Pembangunan Nasional (2005) oleh
Arifninetrirosa. Penelitian ini membahas mengenai nilai luhur yang
terkandung dalam kehidupan budaya setiap masyarakat. Pembangunan
nasional dapat berjalan baik jika nilai-nilai luhur dalam masyarakat dapat
dipahami dan diaplikasikan oleh setiap warga negara dengan baik. Jika
nilai luhur tersebut dapat hadir dengan baik dalam masyarakat, maka
kehidupan masyarakat akan terjaga keharmonisannya sehingga
pembangunan nasional dapat berjalan dengan baik. Penelitian ini dapat
dijadikan rujukan karena di dalamnya membahas mengenai pentingnya
nilai luhur dalam pembangunan nasional.
Penelitian berjudul Pemetaan Jenis-Jenis Kesenian Rakyat
Pesisiran di Daerah Jawa Tengah Bagian Utara (2005) oleh Mulyo Hadi
Purnomo, Universitas Diponegoro Semarang. Penelitian ini membahas
tentang keberadaan kesenian tradisional sebagai bentuk ungkapan estetika
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
dan hiburan. Kesenian rakyat di pesisir utara Jawa Tengah seperti srandul
pada awalnya berfungsi sebagai ritual untuk mencegah bencana meskipun
pada akhirnya berubah sebagai fungsi hiburan bagi masyarakat. Hal ini
didasari atas setiap awal pertunjukan akan selalu diawali dengan prelude,
yang biasanya diikuti dengan doa dan persembahan sesaji. Penelitian ini
dapat dijadikan rujukan karena di dalamnya membahas mengenai srandul,
dimana srandhul adalah salah satu jenis kesenian tradisional yang dimiliki
oleh Kampung Bumen.
Penelitian berjudul Seni Pertunjukan Tradisional Jawa: Dari Ritus
Sampai Pasar (2006) oleh T. Slamet Suparno, Institut Seni Indonesia
Surakarta. Penelitian ini membahas mengenai fungsi seni pertunjukan
tradisional Jawa dalam kehidupan sosial yang cenderung berubah pada
setiap era, mulai dari ritual keagamaan, sebagai alat kekuasaan untuk
propaganda, dan sebagai komoditas pasar. Seni pertunjukan tradisional
Jawa sebagai salah satu bentuk kesenian masyarakat Jawa merupakan
produk masyarakat Jawa yang berkembang sesuai perkembangan
pandangan dunia masyarakat Jawa. Penelitian ini dapat dijadikan rujukan
karena di dalamnya membahas fungsi seni pertunjukan tradisional Jawa
dalam kehidupan sosial cenderung berubah pada setiap era dan
berkembang sesuai perkembangan pandangan dunia masyarakat Jawa,
dalam hal ini kesenian tradisional Kampung Bumen merupakan seni
pertunjukan tradisional Jawa.
Berdasar hasil temuan di atas, penelitian terkait interaksi simbolik
antar pelaku seni dalam memaknai nilai-nilai luhur pada kesenian
tradisional di Kampung Bumen belum pernah ada yang melakukan,
sehingga penelitian dengan tema dan objek lokasi ini berdasar pustaka
yang ada tergolong baru pertama kali dilakukan. Maka dari itu, penelititan
ini mengambil judul “Interaksi Simbolik antar Pelaku Seni dalam
Memaknai Nilai-Nilai Luhur pada Kesenian Tradisional di Kampung
Bumen, Kelurahan Purbayan, Kecamatan Kotagede, Kota Yogyakarta”.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
C. Landasan Teori
Perubahan merupakan salah satu gejala normal dalam kehidupan
masyarakat. Esensi dasar dari segala perubahan dalam masyarakat
merupakan perjuangan manusia untuk dapat mempertahankan hidup, serta
mencapai kehidupan yang lebih baik dari kehidupan sebelumnya.
Perubahan yang terjadi menyangkut banyak aspek, seperti kehidupan
beragama, nilai, norma, ekonomi, kebudayaan, dan mobilitas sosial
masyarakatnya.
Merujuk atas kenyataan tersebut, maka perlu adanya proses
pelestarian nilai-nilai luhur dalam masyarakat agar nilai-nilai tersebut tidak
mengalami perubahan dan pergeseran. Salah satu caranya adalah dengan
memaknai kembali nilai-nilai luhur di Kampung Bumen dengan bantuan
simbol-simbol yang digunakan dalam berinteraksi antar pelaku seni dalam
kesenian tradisional yang ada di Kampung Bumen. Keberadaan simbol-
simbol tersebut memiliki makna simbolik yang dapat digunakan untuk
memaknai nilai-nilai luhur di Kampung Bumen, sehingga nilai-nilai luhur
tersebut dapat terjaga eksistensinya.
Seiring dengan modernisasi, interpretasi dan persepsi masyarakat
akan nilai luhur secara tidak langsung berpengaruh pada pemaknaan
terhadap kesenian tradisional di Kampung Bumen. Oleh karena itu, dalam
usaha memahami secara konseptual maupun visual mengenai nilai luhur
dan kesenian tradisional di Kampung Bumen, perlu disadari sebagai
bagian dari unsur integral kebudayaan, aspek mengenai pemaknaan serta
pelestarian kesenian tradisional Kampung Bumen demi memunculkan
suatu identitas dan mempertahankan nilai-nilai luhur sudah sewajarnya
dipandang sebagai suatu fenomena kultural dan tidak terlepas dari
dinamika perubahan sosial budaya.
Identitas menjadi hal penting sebagai fungsi komunikasi serta
menegaskan suatu ciri khas tertentu agar dapat mengungkap keberadaan
seseorang/kelompok orang di tengah masyarakat. Komunikasi menjadi
pola dasar untuk menarik orang lain agar turut serta dalam kebersamaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
(Carey dalam Alo Liliweri, 2002: 4). Maka, komunikasi secara ringkas
diartikan sebagai suatu proses, suatu aktivitas simbolis, dan pertukaran
makna antarmanusia.
Penelitian ini menggunakan perspektif Interaksi Simbolik, dimana
dasar pandangan atas interaksi simbolik adalah asumsi bahwa pengalaman
manusia diperoleh lewat interpretasi (Sutopo, 2002: 28). Kehidupan sosial
pada dasarnya adalah interaksi manusia menggunakan simbol-simbol.
Simbol digunakan untuk merepresentasikan maksud dalam berkomunikasi
sehingga membentuk makna tafsiran yang dapat mempengaruhi cara orang
lain dalam bertindak (Blumer dalam Deddy Mulyana, 2004: 71). Esensi
dari interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas
manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna
(Deddy Mulyana, 2004: 68). Dalam melakukan interpretasi, seseorang
dapat menggunakan bantuan dari orang lain, baik dalam aktivitas dan
pergaulan hidup sehari-hari. Melalui interpretasi orang lain, seseorang
membentuk makna tentang sesuatu. Individu secara konstan berada di
dalam suatu proses interpretasi dan definisi selama mereka bergerak dari
satu situasi ke situasi yang lain. Dari perspektif interaksi simbolik yang
dikembangkan oleh Herbert Blumer ini, semua organisasi sosial terdiri dari
para pelaku yang mengembangkan definisi tentang suatu situasi atau
perspektif lewat proses interpretasi dan mereka bertindak dalam atau
sesuai dengan makna definisi tersebut (Wallace dan Wolf, 1999: 197).
Oleh sebab itu, analisis makna yang berlangsung di tingkat interaksi
menjadi suatu keperluan untuk dapat memahami mengapa para pelaku
berpola tindakan tertentu.
Aktivitas kesenian tradisional di dalamnya memuat simbol-simbol,
dari simbol-simbol tersebut terdapat pula suatu makna yang melekat.
Simbol-simbol tersebut pada akhirnya dapat mempengaruhi bagaimana
orang merumuskan apa yang mereka lakukan serta menginterpretasi
makna yang terkandung di dalamnya. Maka, interaksi antar pelaku seni
dalam kesenian tradisional di Kampung Bumen menurut perspektif ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
dipandang menjadi sebuah bentuk komunikasi/interaksi antarindividu
melalui suatu media yang di dalamnya memuat simbol-simbol yang
mengandung makna sehingga dapat mempengaruhi bagaimana orang
merumuskan apa yang mereka lakukan.
Kesenian tradisional Kampung Bumen dipandang sebagai sebuah
produk budaya, maka makna fenomena kesenian tradisional sebagai media
internalisasi bagi masyarakat Kampung Bumen dapat dianalisa
menggunakan konsep yang dikemukakan oleh Raymond Williams. Dalam
konsepnya, Raymond Williams (1981: 17) membagi penelitian sebuah
produk budaya menjadi tiga aspek pokok, yaitu (1) lembaga kebudayaan
(institutions), (2) isi kebudayaan (content), dan (3) efek kebudayaan
(effect). Maka, penelitian ini mencoba mengkaji keberadaan dari kesenian
tradisional dari aspek kelembagaan, isi, serta efek yang ditimbulkan dari
aktivitas kesenian tradisional tersebut.
Selanjutnya Kuntowijoyo menjelaskan bahwa lembaga budaya
mempertanyakan siapa yang menghasilkan produk budaya, siapa yang
melakukan kontrol dan bagaimana kontrol dilaksanakan, isi budaya
menanyakan produk apa yang dihasilkan dan efek budaya menanyakan
konsekuensi apa yang diharapkan dari proses budaya tersebut. Kesenian
tradisional sebagai wujud kebudayaan bukan saja merupakan sebuah gejala
etis, estetis, atau simbolis, tetapi juga merupakan gejala sosial
(Kuntowijoyo, 2006: 31). Kesenian tradisional dipandang sebagai gejala
sosial menempatkan dirinya sebagai aktivitas sosial yang tentunya
memiliki fungsi kemasyarakatan, salah satunya dapat digunakan sebagai
ruang interaksi simbolik antar pelaku seni dalam memaknai nilai-nilai
luhur suatu masyarakat tertentu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
D. Kerangka Berpikir
Kampung-kampung kota bergerak dinamis seiring dengan
kebergerakan penduduknya, tak terkecuali bagi anak-anak dan remaja
kampung yang hidup di dalamnya. Anak-anak dan remaja kampung
merupakan generasi penerus kampung yang memikul tugas masa depan
untuk mewujudkan kampung yang lebih baik bagi seluruh penghuninya.
Anak-anak dan remaja kampung dihadapkan pada modernisasi yang terjadi
di sekitar mereka, modernisasi dapat membawa perubahan-perubahan bagi
kehidupan masyarakat, termasuk nilai-nilai luhur dalam masyarakat.
Maka, perlu adanya suatu proses pelestarian nilai-nilai luhur dalam
masyarakat agar nilai-nilai tersebut dapat terjaga dengan baik dan tidak
disalah artikan khususnya bagi generasi muda.
Pemaknaan nilai luhur merupakan bentuk upaya pelestarian
terhadap nilai-nilai luhur yang ada di masyarakat. Pemaknaan nilai-nilai
luhur tersebut salah satunya dapat melalui interaksi antar pelaku seni
dalam kesenian tradisional, karena dalam kesenian tradisional
mengandung makna-makna simbolik sebagai fungsi pemaknaan dan
pelestarian nilai-nilai luhur. Selain fungsinya dalam melestarikan nilai
luhur, simbol-simbol dalam kesenian tradisional tersebut juga berfungsi
sebagai media interaksi antar pelaku seni dalam berkomunikasi dan
merepresentasikan makna.
Nilai-nilai luhur dalam masyarakat pada dasarnya mengarahkan
seseorang pada pembentukan budi pekerti luhur untuk dapat hidup
harmonis dengan alam dan lingkungan sekitar, dimana ciri budi pekerti
luhur tersebut antara lain, yaitu: (1) pengabdian, (2) kejujuran, (3) sopan
santun, (4) toleransi, (5) kedisiplinan, (6) keikhlasan, (7) tanggungjawab,
(8) guyup rukun, (9) tepa slira, (10) tatakrama, (11) gotong royong, (12)
penyesuaian diri (Supriyoko dalam Suwardi Endraswara, 2006: 7). Nilai-
nilai luhur tersebut mampu dikenalkan pada seorang individu melalui
beberapa jalan, antara lain melalui keluarga, pendidikan sekolah, dan
dalam masyarakat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
Interaksi antar Pelaku Seni
Kesenian Tradisional
Simbol-Simbol dalam
Kesenian Tradisional
Pemaknaan Nilai-Nilai Luhur
Berdasar Simbol-Simbol
Kesenian tradisional merupakan aktivitas budaya yang dipengaruhi
oleh masyarakat, maka kesenian tradisional tentunya di dalamnya terdapat
interaksi antar pelaku seni yang terlibat. Interaksi tersebut menggunakan
beragam simbol yang memiliki makna simbolik sebagai fungsi
komunikasi. Dengan simbol-simbol yang memiliki makna itu pula maka
para pelaku seni yang terlibat dapat memaknai nilai-nilai luhur yang
terkandung dalam simbol-simbol tersebut. Maka, menjadi penting
pelacakan berbagai macam simbol-simbol dalam kesenian tradisional
untuk memahami dan memaknai nilai-nilai luhur suatu masyarakat.
Interpretasi dan pemaknaan terhadap simbol-simbol tersebut tentunya
sebagai wujud bukti bahwa di dalam kesenian tradisional mengandung
nilai-nilai luhur suatu masyarakat tertentu.
Bagan 1 Kerangka Berpikir
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
E. Definisi Konseptual
Konsep pada hakekatnya adalah suatu istilah yang mengandung
pengertian tertentu yang membedakan pengertian yang satu dengan yang
lain. Suatu konsep memerlukan definisi sehingga antara satu orang dengan
yang lainnya tidak salah arti dengan konsep yang lainnya (Slamet, 2006 :
28). Adapun Definisi konseptual dalam penelitian ini meliputi:
1. Interaksi
Interaksi adalah hubungan timbal balik antara satu orang
dengan orang lain, satu kelompok dengan kelompok lain, dan juga
antara satu orang dengan satu kelompok yang lain, dimana hubungan
tersebut dilakukan dengan ataupun tanpa perantara yang kemudian
memunculkan suatu sistem serta bentuk pola hubungan tertentu di
dalamnya.
2. Pelaku Seni
Pelaku seni adalah seseorang atau kelompok orang yang
dengan maksud serta tujuan tertentu dengan sadar membawakan
sebuah cipta karya seni orang lain sebagai wujud apresiasi terhadap
suatu hasil karya seni dari orang lain.
3. Nilai luhur
Nilai luhur merupakan suatu keyakinan atau kepercayaan yang
menjadi dasar bagi seseorang atau sekelompok orang untuk memilih
tindakannya, atau menilai sesuatu yang bermakna atau tidak bermakna
bagi kehidupannya, yang berorientasi kepada nilai dan moralitas
norma suatu masyarakat tertentu.
4. Kesenian tradisional
Kesenian tradisional adalah aktivitas dengan unsur seni baik
berupa gerak, lagu, ataupun karya yang menjadi bagian hidup
masyarakat dalam suatu kaum/suku/bangsa tertentu dan dipandang
sebagai hasil ekspresi hasrat manusia akan keindahan dengan latar
belakang tradisi atau sistem budaya masyarakat pemilik kesenian
tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan bentuk penelitian studi kasus tunggal,
yaitu sebuah prosedur penelitian yang terarah pada satu karakteristik,
artinya penelitian ini hanya dilakukan pada satu sasaran/lokasi (Sutopo,
2002: 112). Studi kasus termasuk dalam jenis penelitian kualitatif, dimana
penelitian kualitatif dalam penelitian sosial diartikan sebagai salah satu
pendekatan utama yang pada dasarnya adalah sebuah label atau nama yang
bersifat umum saja dari sebuah rumpun besar metodologi penelitian
(Burhan Bungin, 2003: 19). Studi kasus relevan dalam menjawab
pertanyaan-pertanyaan bersifat eksplanatoris dan lebih mengarah ke
penggunaan strategi-strategi studi kasus (Yin, 2005: 9). Dalam penelitian
kualitatif, peneliti atau orang bisa sebagai instrumen yang sangat luwes,
maka ia dapat menilai keadaan dan dapat mengambil keputusan. Selain itu
hanya manusia saja yang dapat berhubungan dengan responden atau obyek
lainnya dan hanya manusia yang mampu memahami kaitan kenyataan di
lapangan.
Penelitian ini menggunakan teknik studi cross sectional. Studi
cross sectional adalah teknik yang digunakan dalam penelitian kualitatif
dengan upaya mempersingkat waktu observasinya melalui observasi pada
beberapa bagian tertentu untuk kemudian dapat diambil sebuah
kesimpulan (Burhan Bungin, 2003: 20). Studi cross sectional merupakan
sebuah metode yang memungkinkan waktu penelitian dapat dipersingkat
menjadi beberapa bulan saja, tidak dalam jangka waktu yang lama (Noeng
Muhadjir, 1989: 53). Dalam penelitian ini, penggunaan teknik studi cross
sectional dilakukan dengan melakukan pengamatan dan pencatatan pada
keberadaan simbol-simbol yang ada dalam interaksi antar pelaku seni
dalam kesenian tradisional di Kampung Bumen serta pemaknaannya
terkait nilai luhur dalam masyarakat yang dilakukan oleh beberapa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
golongan di dalamnya, diantaranya yaitu golongan tua dan golongan muda
(remaja dan anak-anak), yang semuanya sebagai pelaku seni dalam
kesenian tradisional di Kampung Bumen.
Penelitian ini dilakukan menggunakan metode pendekatan yang
dipadu dengan teori serta konsep dari disiplin sosiologi dan antropologi,
karena itu penelitian ini termasuk penelitian dengan pendekatan
multidisiplin. Metode ini dimaksudkan untuk menganalisis dan
memberikan interpretasi secara cermat, terhadap fenomena interaksi
simbolik antar pelaku seni dalam memaknai nilai-nilai luhur pada kesenian
tradisional di Kampung Bumen. Hal ini dikarenakan fenomena tersebut
sangat kompleks, sulit diketahui dengan menggunakan satu pendekatan
penelitian (Basrowi Sukidin, 2002: 8).
B. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kampung Bumen, Kelurahan Purbayan,
Kotagede, Yogyakarta. Kampung Bumen adalah salah satu kampung kota
yang berada di kawasan Kotagede. Secara administratif, Kampung Bumen
tercatat dalam wilayah Kelurahan Purbayan. Kampung Bumen memiliki
kesenian tradisional yang masih terjaga eksistensinya hingga sekarang
meskipun pernah mengalami berbagai kondisi sosial ekonomi masyarakat
yang silih berganti. Terdapat 5 RT di Kampung Bumen, diantaranya RT
23, 24, 25, 26, dan 27.
Kampung Bumen adalah sebuah kampung sederhana di wilayah
Kecamatan Kotagede. Kampung ini terletak ±200m dari pusat
perekonomian kecamatan, dan ±200m pula dari Ringroad Selatan. Selain
itu, Kampung Bumen juga dikelilingi oleh kampung-kampung industri
perak dan kerajinan lainnya. Sehingga warga Kampung Bumen mata
pencaharian utamanya adalah pekerja pada industri-industri rumahan,
selain bekerja sebagai PNS dan pedagang rumahan. Terdapat 175 KK
dengan 833 jiwa pada kampung ini, dengan tingkat pendidikan rata-rata
setara SMP. Kampung Bumen memiliki angkatan muda yang berpotensi,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
selain potensi wilayahnya yang berada dekat dari obyek wisata bersejarah
kelas dunia. Kampung Bumen juga mempunyai para pengrajin perak yang
memang menjadi ciri khas Kotagede. Namun, krisis moneter 1998
berimbas pada merosotnya sektor ini.
C. Alasan Pemilihan Lokasi Penelitian
Ada beberapa alasan dalam pemilihan lokasi penelitian ini,
diantaranya:
1. Masih terdapat beberapa tokoh budaya sebagai pelaku seni di
Kampung Bumen.
2. Kampung Bumen hingga saat ini terkenal sebagai kampung yang
masih menjaga dan melestarikan nilai luhur dalam masyarakat.
D. Sumber Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini bersumber dari
informasi yang diperoleh langsung dari informan yang semuanya adalah
pelaku seni di Kampung Bumen tetapi dari klasifikasi sosial yang berbeda,
diantaranya yaitu tokoh agama setempat dari golongan tua dan golongan
muda, tokoh seni budaya setempat dari golongan tua dan golongan muda,
tokoh akademis di Kampung Bumen dari golongan tua dan golongan
muda, serta ketua organisasi kepemudaan (Muda-Mudi Bumen) dari
golongan tua dan golongan muda.
Untuk dapat mengumpulkan data yang akurat mengenai interaksi
simbolik antar pelaku seni dalam memaknai nilai-nilai luhur pada kesenian
tradisional di Kampung Bumen, maka dalam penelitian ini dilakukan
beberapa metode pengumpulan data yang dianggap relevan dengan
permasalahan di atas. Pengumpulan data tersebut ditempuh untuk
memperoleh data berupa sumber pustaka, dokumen tertulis dan arsip, dan
data visual. Studi kepustakaan (library research) ditempuh untuk
memperoleh data tertulis mengenai informasi yang memuat kesenian
tradisional di Kampung Bumen, berupa artikel, makalah, buku-buku, dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
dokumen-dokumen terkait kesenian tradisional Kampung Bumen. Selain
itu data empiris yang diperoleh dari lapangan diperlukan untuk memahami
secara komprehensif objek studi yang diteliti, karena pada dasarnya
penelitian merupakan usaha dari seseorang untuk mendekati, memahami,
mengurai, dan menjelaskan fenomena yang terkait dengan objek tertentu
(Ignas Kleden, 1987: 60).
E. Informan
Pada penelitian kualitatif, informan yang diambil akan
menyesuaikan dengan kebutuhan lapangan. Pemilihan informan lebih
mengutamakan bagaimana menentukan informan yang sevariatif mungkin
dan berikutnya dapat dipilih untuk memperluas informasi yang telah
diperoleh terlebih dahulu sehingga dapat dipertentangkan. Dengan
demikian dapat mengisi kesenjangan informasi. Jadi, dalam penelitian ini
tidak semua warga masyarakat Kampung Bumen dijadikan informan
penelitian, melainkan hanya para pelaku seni dalam kesenian tradisional di
Kampung Bumen yang terdiri dari beberapa tokoh masyarakat golongan
tua dan muda (tokoh agama, tokoh seni budaya, dan tokoh akademis) serta
tokoh dalam organisasi kepemudaan dari golongan tua dan golongan muda
yang telah dipilih karena dipandang memiliki kompetensi dan memahami
permasalahan penelitian.
F. Teknik Pemilihan Informan
Dalam penelitian ini, teknik pemilihan informan yang digunakan
adalah dengan teknik purposive, hal ini atas dasar bahwa penggunaan
teknik purposive memungkinkan informan dipilih berdasarkan jenis
informasi (data) yang diperlukan berdasar arahan beragam hal yang
terdapat dalam rumusan masalah, sehingga mampu menjawab masalah
dalam fokus penelitian (Sutopo, 2002: 143). Jadi teknik purposive adalah
teknik untuk memilih informan dengan cara pemilihan secara sengaja
(Sanggar Kanto dalam Burhan Bungin, 2003: 53). Teknik ini dilakukan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
guna mendapatkan data yang tepat sasaran, karena dipandang lebih mampu
menangkap kelengkapan dan kedalaman data di dalam menghadapi realitas
yang tidak tunggal.
Dalam penelitian ini, informan adalah para pelaku seni di Kampung
Bumen yang dipilih berdasarkan klasifikasi usia, kepengurusan organisasi
kepemudaan, dan status sosial dalam masyarakat, maka informan yang
dianggap dapat memberikan informasi terkait permasalahan penelitian
diantaranya adalah tokoh agama setempat dari golongan tua dan golongan
muda, tokoh seni budaya setempat dari golongan tua dan golongan muda,
tokoh akademis di Kampung Bumen dari golongan tua dan golongan
muda, serta ketua organisasi kepemudaan (Muda-Mudi Bumen) dari
golongan tua dan golongan muda.
G. Teknik Pengumpulan Data
Dalam upaya memahami sebuah produk seni, yang semula
berfungsi sebagai ekspresi religius-magis, kemudian mengalami
perkembangan dan perubahan baik fungsi, bentuk, dan makna yang
terkandung di dalamnya, maka penelitian ini tidak hanya bertujuan
mengumpulkan data faktualnya saja. Fokus kajian penelitian adalah hal
yang berkait dengan interaksi simbolik antar pelaku seni dalam memaknai
nilai-nilai luhur melalui kesenian tradisional di Kampung Bumen,
sehingga dapat mengungkap fenomena abstrak di balik realitas tersebut
(Suwardi Endraswara, 2003: 3).
Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan
adalah :
1. Teknik Observasi
Teknik pengumpulan data yang digunakan selain studi pustaka
salah satunya adalah melalui observasi lapangan (field observation).
Observasi dilakukan untuk dapat mengumpulkan data yang valid.
Teknik observasi adalah teknik pengumpulan data dengan pengamatan
dan pencatatan suatu obyek dari fenomena yang diselidiki (Slamet,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
2008: 85-86). Observasi dapat dilakukan sesaat ataupun mungkin
dapat diulang. Observasi ini dilakukan secara informal sehingga
mampu mengarahkan peneliti untuk mendapatkan sebanyak mungkin
informasi yang berkaitan dengan masalah penelitian.
Ada dua tipe observasi, yaitu: (1) observasi berpartisipasi, dan
(2) observasi tidak berpartisipasi (Slamet, 2008: 86). Dalam penelitian
ini, observasi dilakukan dengan terjun langsung ke lapangan, yaitu
Kampung Bumen, Kotagede, Yogyakarta untuk mengadakan
pengamatan secara seksama terhadap segala hal yang berhubungan
dengan permasalahan penelitian. Penelitian ini menggunakan jenis
observasi tidak berpartisipasi, jadi kegiatan pengumpulan data bersifat
non verbal dimana peneliti tidak berperan ganda, hanya berperan
sebagai pengamat belaka.
2. Teknik Wawancara Mendalam ( indepth interview )
Teknik wawancara adalah teknik yang dipakai untuk
memperoleh informasi melalui kegiatan interaksi yaitu dengan
percakapan untuk mencapai maksud tertentu (Slamet, 2008: 101).
Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara
(interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancara
(interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu.
Wawancara mendalam mengarah pada kedalaman informasi, guna
menggali pandangan subjek yang diteliti tentang fokus penelitian yang
sangat bermanfaat untuk menjadi dasar bagi penggalian informasinya
secara lebih jauh dan mendalam.
3. Dokumentasi
Dokumentasi adalah penelitian terhadap benda-benda tertulis
atau dokumen, digunakan untuk melengkapi data yang diperlukan
dalam penelitian. Penggunaan dokumentasi ini sebagai upaya untuk
menunjang data-data yang telah didapatkan melalui observasi dan
wawancara. Maka proses dokumentasi dalam penelitian ini dilakukan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
dengan sebuah kamera foto dan juga Mp3 recording (alat perekam
suara).
H. Validitas Data
Untuk menguji keabsahan data yang terkumpul, perlu
menggunakan teknik triangulasi, yaitu teknik pemeriksaaan keabsahan
data yang memanfaatkan sesuatu yang ada diluar data itu. Teknik
triangulasi yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah triangulasi
sumber yaitu melakukan pengecekan dan pembandingan terhadap derajat
kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang
berbeda (Lexy Moleong, 2005: 178), dengan cara:
1. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil
wawancara.
2. Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan
apa yang dikatakan secara pribadi.
3. Membandingkan apa yang dikatakan orang dengan situasi
penelitian dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu.
4. Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan
berbagai pendapat dan pandangan orang seperti rakyat, orang yang
berpendidikan menengah, orang berada, orang pemerintahan dan
sebagainya.
5. Membandingkan hasil wawancara dengan isi dokumen yang
berkaitan.
Triangulasi sumber mengarahkan peneliti agar di dalam
mengumpulkan data, ia wajib menggunakan beragam sumber data yang
berbeda-beda yang tersedia. Dengan demikian apa yang diperoleh dari
sumber yang satu, dapat lebih teruji kebenarannya bilamana dibandingkan
dengan data sejenis yang diperoleh dari sumber lain yang berbeda, baik
kelompok sumber sejenis atau sumber yang berbeda jenisnya (Sutopo,
2006: 93).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
I. Teknik Analisa Data
Analisis data adalah proses yang dilakukan untuk
mengorganisasikan data (Lexy Moleong, 2000: 103). Pada penelitian
kualitatif ini, proses analisis pada dasarnya dilakukan secara bersamaan
dengan proses pelaksanaan pengumpulan data. Teknik analisa data yang
digunakan dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis data model
interaktif, yang terdiri dari tiga komponen analisis, yaitu reduksi data,
penyajian data, dan penarikan kesimpulan (Huberman dan Miles dalam
Denzin, 1994: 429).
1. Reduksi Data
Reduksi data merupakan proses seleksi, pemfokusan,
penyederhanaan, pemilahan, ataupun pengklasifikasian data dari
semua jenis informasi yang ada dalam catatan lapangan (fieldnote).
Proses ini berlangsung secara terus-menerus sepanjang pelaksanaan
penelitian, yang dimulai sebelum pengumpulan data dilakukan. Data
reduksi dimulai sejak peneliti mengambil keputusan dalam memilih
kasus, pertanyaan yang diajukan, dan tentang cara pengumpulan data
yang dipakai.
2. Penyajian Data
Penyajian data adalah kegiatan merakit informasi atau
pengorganisasian data serta menyajikan dalam bentuk deskriptif
(narasi lengkap) agar dapat diambil suatu kesimpulan. Sajian data ini
disusun berdasarkan pokok-pokok yang terdapat dalam reduksi data,
dan disajikan dengan menggunakan kalimat dan bahasa yang
merupakan rakitan kalimat yang disusun secara logis dan sistematis,
sehingga bila dibaca akan dapat mudah dipahami.
3. Penarikan Kesimpulan
Penarikan kesimpulan merupakan usaha menarik kesimpulan
dari hasil temuan di lapangan. Kesimpulan pada tahapan ini masih
besifat sementara sampai penelitian berakhir baru dapat diambil
kesimpulan yang sesungguhnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
Dalam penelitian ini, tiga komponen analisis tersebut saling
berkaitan dan berinteraksi serta tidak dapat dipisahkan dari kegiatan
pengumpulan data. Proses analisis dimulai pada saat pengumpulan data,
peneliti akan membuat reduksi data dan sajian data. Artinya, data yang
berupa catatan lapangan yang terdiri dari bagian deskripsi dan refleksinya
adalah data yang telah digali dan dicatat.
Dari dua data tersebut maka kemudian dilakukan penyusunan
rumusan pengertiannya secara singkat, berupa pokok-pokok temuan
penting dalam arti inti pemahaman segala peristiwa yang dikaji yang
disebut reduksi data. Kemudian diikuti penyusunan sajian data yang
berupa narasi sistematis dan logis dengan suntingan yang dlakukan oleh
peneliti agar deskripsinya menjadi lebih jelas dipahami. Dari sajian data
tersebut, kemudian dilakukan penarikan kesimpulan (sementara) yang
dilanjutkan dengan verifikasinya.
Reduksi data dan sajian data ini disusun setelah unit data dari
sejumlah unit yang diperlukan dalam penelitian sudah didapatkan. Setelah
proses ini sudah dilakukan, maka proses selanjutnya adalah melakukan
usaha dalam bentuk pembahasan untuk menarik kesimpulan dan
verifikasinya berdasarkan semua hal yang terdapat dalam reduksi maupun
sajian datanya. Proses analisis data ini dilakukan untuk menjamin
kemantapan hasil akhir penelitian.
Dalam bentuk ini, peneliti bergerak di antara tiga komponen
analisis dengan proses pengumpulan data selama kegiatan pengumpulan
data berlangsung. Kemudian, sesudah pengumpulan data telah berakhir,
peneliti bergerak di antara tiga komponen analisisnya dengan
menggunakan waktu yang masih tersisa bagi penelitiannya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini akan disajikan data dan sekaligus analisanya mengenai
interaksi simbolik antar pelaku seni dalam memaknai nilai-nilai luhur pada
kesenian tradisional di Kampung Bumen. Kesenian tradisional lahir sebagai
bentuk ungkapan estetika dan hiburan. Keberadaannya erat berhubungan dengan
ideologi, pandangan hidup, dan tradisi yang berlaku dan diberlakukan oleh
masyarakat pendukungnya. Dengan demikian, kesenian tradisional yang ada akan
dijaga oleh lingkungan sosial-budayanya. Dengan landasan ini, umunya kesenian
tradisional memiliki corak yang berbeda sesuai dengan sosial-budaya masing-
masing daerah.
Pada awalnya, sebagian besar kesenian tradisional muncul sebagai upacara
adat/ritual sehingga perkembangan dan kehidupannya selalu dikaitkan dengan
upacara desa, seperti bersih desa (sedekah bumi). Pada masanya, masyarakat
percaya, jika kesenian tersebut tidak dipersembahkan dalam upacara adat maka
akan menimbulkan bencana. Karenanya, hampir seluruh pertunjukan selalu
diawali dengan prelude yang biasanya diikuti dengan doa dan persembahan sesaji.
Dengan demikian, dari aspek fungsi, kesenian tradisional dipercaya dapat
menolak balak (mencegah bencana) meskipun pada akhirnya fungsi hiburan yang
mendominasi aktivitas kesenian tradisional tersebut.
Gambar 1 Sesaji diawal pementasan srandul
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
Dalam penelitian ini, informan adalah para pelaku seni di Kampung
Bumen yang dipilih berdasarkan klasifikasi usia, kepengurusan organisasi
kepemudaan, dan status sosial dalam masyarakat, maka informan yang dianggap
dapat memberikan informasi terkait permasalahan penelitian diantaranya adalah
tokoh agama setempat dari golongan tua dan golongan muda, tokoh seni budaya
setempat dari golongan tua dan golongan muda, tokoh akademis di Kampung
Bumen dari golongan tua dan golongan muda, serta ketua organisasi kepemudaan
(Muda-Mudi Bumen) dari golongan tua dan golongan muda. Informan dipilih
berdasarkan jenis informasi (data) yang diperlukan berdasar arahan beragam hal
yang terdapat dalam rumusan masalah, sehingga mampu menjawab masalah
dalam fokus penelitian. Untuk lebih jelas dalam menggambarkan data informan
dan relevansi informan dengan fokus penelitian, profil dan relevansi informan
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Febriana Noor Haryanti (Nina) adalah seorang warga di Kampung Bumen
RT 27. Nina berusia 19 tahun. Beliau adalah salah satu tokoh akademisi muda
di Kampung Bumen. Selain masih menjalankan rutinitasnya sebagai
mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi di Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta, beliau juga tercatat sebagai anggota MMB (Muda-Mudi Bumen)
dan aktif dalam setiap kegiatan kesenian yang ada di Kampung Bumen.
Aktivitas kesenian yang beliau tekuni diantaranya yaitu Karawitan dan
Srandhul. Febriana Noor Haryanti (Nina) menjadi salah seorang tokoh muda-
mudi yang aktif dalam partisipasi kegiatan kesenian tradisional di Kampung
Bumen, maka beliau dapat memberikan informasi terkait tema penelitian
yang dilakukan oleh penulis.
2. Dandung Apriyantoro adalah warga Kampung Bumen yang berada di RT
25. Dandung berusia 19 tahun. Beliau adalah salah seorang aktivis pemuda
yang ada di kampung Bumen, saat ini beliau menjabat sebagai wakil Muda-
Mudi Bumen RW 06. Beliau juga salah satu pelaku seni di kesenian Srandhul
yang ada di Kampung Bumen. Dandung adalah putra dari Bapak Sadono
yang juga sebagai tokoh seni di kesenian Sholawatan, maka dengan
lingkungan seni dan organisasi kepemudaan yang ada di sekitarnya, beliau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
dapat membantu dalam memberikan informasi terkait rumusan masalah
dalam penelitian.
3. Hapsoro Noor Adiyanto (Adi) adalah seorang warga di Kampung Bumen
RT 27. Beliau berusia 33 tahun. Selain masih menjalankan rutinitasnya
sebagai guru/pengajar di SMA Muhammadiyah 4 Yogyakarta, beliau juga
tercatat sebagai Ketua MMB (Muda-Mudi Bumen) dari golongan tua dan
aktif dalam setiap kegiatan kesenian yang ada di Kampung Bumen. Aktivitas
kesenian yang beliau tekuni diantaranya yaitu Karawitan dan Srandhul. Adi
menjadi salah seorang tokoh muda-mudi yang aktif dalam partisipasi kegiatan
kesenian tradisional di Kampung Bumen, maka beliau dipandang dapat
memberikan informasi terkait fokus penelitian.
4. Descy Etik Sanjaya (Descy) merupakan seorang warga di Kampung Bumen
RT 23. Beliau berusia 22 tahun. Selain masih menjalankan rutinitasnya
sebagai mahasiswi di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), beliau juga
tercatat sebagai anggota Muda-Mudi Bumen RW 06, dan juga aktif dalam
setiap kegiatan kesenian yang ada di Kampung Bumen. Aktivitas kesenian
yang beliau tekuni diantaranya yaitu tari dan Srandhul. Descy menjadi salah
seorang tokoh muda-mudi yang aktif dalam partisipasi kegiatan kesenian
tradisional di Kampung Bumen, khususnya di bidang tari, maka beliau
dipandang dapat memberikan informasi terkait fokus penelitian.
5. Bapak Mulyadi adalah salah seorang warga Kampung Bumen di RT 24.
Beliau berusia 67 tahun. Beliau adalah pelaku seni sholawatan di Kampung
Bumen. Masa tumbuh kembang beliau semenjak kecil hingga sekarang yang
dihabiskan di Kampung Bumen menjadikan beliau mampu memberikan
informasi tentang perkembangan Kampung Bumen baik dalam aktivitas
kesenian ataupun sosial kemasyarakatan. Bapak Mulyadi dipandang sebagai
salah satu tokoh masyarakat di Kampung Bumen yang masih bisa
memberikan informasi terkait perkembangan sosial kemasyarakatan di
Kampung Bumen. Sekarang ini beliau dipandang oleh generasi muda
Kampung Bumen sebagai tokoh pemerhati sosial kemasyarakatan dan
keagamaan di Kampung Bumen.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
6. Bapak Basis Hargito (69 tahun) adalah seorang warga di Kampung Bumen
RT 23. Beliau adalah pemerhati sosial dan seorang pakar di bidang kesenian
rakyat khususnya kesenian yang ada di Kampung Bumen. Keseharian beliau
diisi dengan kegiatan menari Ramayana di Purawisata Yogyakarta. Pada
masa lampau, Bapak Basis Hargito adalah seorang anggota LEKRA
(Lembaga Kesenian Rakyat) yang aktif dalam berbagai aktivitas kesenian di
Kotagede, Yogyakarta. Berdasar relevansi dan keaktifan beliau di bidang
kesenian rakyat, maka beliau dapat banyak memberikan informasi terkait
keadaan sosial dan aktivitas kesenian yang ada di Kampung Bumen.
7. Bapak Topo Harjono (56 tahun) adalah seorang warga di Kampung Bumen
RT 27. Beliau adalah pemerhati sosial dan juga menjabat sebagai Ketua RW
06 Kampung Bumen. Beliau juga aktif dalam kesenian macapatan yang ada
di Kampung Bumen. Bapak Topo Harjono adalah penduduk asli Kampung
Bumen, masa kecil hingga masa remajanya beliau habiskan di tengah
kehidupan masyarakat Kampung Bumen. Berdasar relevansi yang ada pada
dirinya, maka Bapak Topo Harjono dipilih sebagai narasumber karena
dipandang dapat memberikan informasi terkait fokus penelitian.
8. Dedi Fathurrahman (26 tahun) adalah seorang warga di Kampung Bumen RT
27. Beliau merupakan juga pernah menjabat sebagai Ketua Muda-Mudi
Bumen RW 06. Dedi adalah tokoh seni dari kalangan muda yang ada di
Kampung Bumen. Beliau merupakan golongan muda yang aktif dalam
berbagai aktivitas kesenian tradisional yang ada di Kampung Bumen. Hingga
saat ini, beliau rajin membangkitkan minat seni bagi generasi muda Kampung
Bumen. Dengan latar belakang yang dimiliki, diharapkan Dedi Fathurrahman
dapat memberikan informasi terkait fokus penelitian yang dilakukan di
Kampung Bumen.
Pada mulanya, kesenian-kesenian tradisional (termasuk yang ada di
Kampung Bumen) tersebut dilakukan oleh kaum laki-laki dengan pakaian
sederhana dan diiringi oleh gending Jawa yang sederhana pula. Awal pertunjukan
selalu dimulai dengan prelude untuk memberitahukan kepada khalayak bahwa
pertunjukan akan segera dimulai. Hal ini sesuai yang diutarakan oleh Bapak Basis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
Hargito (seorang tokoh kesenian dari golongan tua Kampung Bumen) sebagai
berikut:
“ Pada waktu dulu srandul itu cuma pemainnya laki-laki semua,
pemain peran putra ataupun putri semua diperankan oleh laki-laki, tapi sekarang perkembangannya itu yang menjadi peran putri ya sudah putri sungguhan.”
(Sumber : Wawancara, 01 Maret 2012)
Gambar 2 Pemain putri (wanita) dalam srandul
Pada perkembangannya, kesenian tradisional mulai terkikis oleh budaya
modern karena dirasa tidak dapat mengikuti perkembangan/perubahan zaman, dan
juga tidak dinamis. Kentalnya nuansa mistis yang hadir dalam kesenian
tradisional juga cenderung ditolak oleh masyarakat yang fanatik pada suatu agama
tertentu dan juga oleh masyarakat yang semakin tidak percaya adanya takhayul.
Meskipun demikian, masyarakat mengakui bahwa melalui kesenian tradisional,
nilai-nilai luhur/kehidupan selalu dijunjung dan diajarkan. Hal ini ditegaskan oleh
Bapak Basis Hargito (seorang tokoh kesenian dari golongan tua Kampung
Bumen) sebagai berikut:
“ Jangan dilihat masalah itu, seni itu ya seperti itu loh... itu hanya
secara simbolik kok, setiap akan tampil mesti saya sesaji, saya duduk ditengah-tengah mbakar (membakar) kemenyan keliling arena, kemudian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
bunga-bunga itu saya tebarkan di empat penjuru, itukan intinya cuma satu mohon keselamatan, wong ki neng ndonyo mung butuh slamet to kuwi (orang di duinia kan hanya butuh selamat). Arep sunggih ning ora selamet yo ora seneng (mau kaya tapi tidak selamat ya tidak bisa senang). Saya berdoa mohon selamat supaya dilindungi, saya ini hanya mencari makan atau kerja. Koe ojo ganggu aku, aku ora ganggu koe kan bar to..(kamu jangan ganggu saya, saya tidak ganggu kamu maka selesai sudah)”
(Sumber: Wawancara, 01 Maret 2012)
Gambar 3 Persiapan sesaji dalam Karnaval Genderuwo
Kampung Bumen memiliki beberapa kesenian tradisional yang banyak
mengandung nilai-nilai luhur dalam setiap pementasannya, namun hanya
beberapa yang masih terjaga eksistensinya hingga sekarang. Hal ini sesuai dengan
yang diutarakan oleh Hapsoro Noor Adianto (Ketua Muda-Mudi Bumen yang
aktif di kesenian) sebagai berikut:
“ Kesenian cukup banyak diantaranya ada srandul, karawitan,
kemudian sholawatan, kemudian macapat ada, ya sebenarnya banyak tapi kan mungkin dari beberapa kesenian tradisional tadi masih banyak dikuasai orang tua, jadi regenerasi ke anak muda itu hanya beberapa kesenian saja yg diregenerasikan seperti srandul karawitan sama macapat tapi, untuk yang lain belum karena kapasitas anak muda sendiri belum bisa menguasai salah satunya seperti itu.”
(Sumber: Wawancara, 26 Pebruari 2012)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
Hal senada juga diutarakan oleh Dandung Apriyantoro (Wakil Ketua
Muda-Mudi Bumen) seperti berikut:
“ Kalau menurut saya kesenian di kampung Bumen ini memang
lumayan banyak, ada Srandul, Sholawatan, Karawitan, kemudian Macapat juga ada.”
(Sumber: Wawancara, 25 Pebruari 2012)
Keberadaan kesenian tradisional di Kampung Bumen ini selain sebagai
kekayaan budaya setempat juga menjadi sebuah kebanggaan tersendiri bagi warga
masyarakat Kampung Bumen, terlebih lagi baru-baru ini (awal tahun 2012)
Kampung Bumen telah menegaskan identitas mereka sebagai Kampung Seni
dengan peresmian oleh Bapak Wakil Walikota Yogyakarta bertempat di Pendapa
Kampung Bumen RW 06, Purbayan, Kotagede, Yogyakarta. Hal ini berdasar yang
diutarakan oleh Hapsoro Noor Adianto (Ketua Muda-Mudi Bumen yang aktif di
kesenian) sebagai berikut:
“ ...untuk dukungan sendiri, warga mendukung apa yang dilakukan
apalagi kemarin itu sempat mendeklarasikan bahwasanya Bumen itu kampung kesenian.”
(Sumber: Wawancara, 26 Pebruari 2012)
Ada beberapa kesenian tradisional di Kampung Bumen seperti Karnaval
Genderuwo dan juga tari-tarian kampung, tetapi eksistensinya masih kurang,
karena beberapa diantaranya (kesenian tari) hanya beberapa orang saja yang dapat
melakukannya. Sedangkan untuk Karnaval Genderuwo terakhir dilakukan pada
tahun 2009 dalam kegiatan Srawung Kampung (kerjasama antara Yayasan
Pondok Rakyat dan Muda-Mudi Bumen), sehingga untuk rutinitas dari aktivitas
kesenian ini dapat dikatakan belum terjaga dengan baik. Hal ini berdasar
informasi yang disampaikan oleh Febriana Noor Haryanti (seorang tokoh
akademis dari generasi muda Kampung Bumen) sebagai berikut:
“ ....kalau tari-tarian itu hanya ada beberapa orang saja yang
memang menjadi tokoh tari di sini... sedangkan untuk Karnaval (Karnaval
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
Genderuwo) itu kebetulan terakhir dilakukan pada tahun 2009 ya Mas, untuk masalah itu saya sendiri masih kurang aktif dalam kegiatan itu jadi saya masih kurang tahu pada praktiknya itu bagaimana dan seperti apa.”
(Sumber: Wawancara, 19 Pebruari 2012)
Gambar 4 Boneka Genderuwo dalam Karnaval Genderuwo
di Kampung Bumen
Karnaval Genderuwo sering disebut oleh masyarakat setempat dengan
sebutan “Kirab Temanten Bumen”, kirab temanten Bumen ini adalah satu kegiatan
yang mengawali Srawung Kampung yang digelar oleh Sanggar Belajar Bumen,
Muda-mudi 06 Bumen, dan Yayasan Pondok Rakyat pada 01-21 November 2009
yang lalu. Menurut sejarahnya, Pada tahun 1950-an, konon warga Bumen,
Kelurahan Purbayan, Kecamatan Kotagede Yogyakarta sering mendapatkan
gangguan dari makluk halus berjenis genderuwo. Untuk itu, warga mencoba
mencari solusinya dengan menggelar Kirab Temanten yang diikuti dengan
melibatkan boneka genderuwo. Hal ini berdasar penuturan Bapak Wardoyo
(sesepuh Kampuh Bumen warga RT 24) sebagai berikut:
“ Dulu, Kirab Temanten diselenggarakan untuk mengantisipasi
gangguan genderuwo. Dengan kirab yang menyertakan boneka genderuwo
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
ini, warga ingin genderuwo untuk ikut dalam kebiasaan manusia, dan tidak mengganggu manusia.”
(Sumber: Joko Widiyarso, dalam http://gudegnet.com diambil pada Rabu, 7 Maret 2012)
Karnaval Genderuwo ini tidak hanya menampilkan sepasang pengantin
jadi-jadian dan sepasang boneka genderuwo, karena dalam kegiatan karnaval ini
juga diikuti oleh sejumlah kelompok kesenian yang ada di Bumen seperti srandul,
kethek ogleng, klono, hingga kelompok sholawatan. Karnaval ini menampilkan
seluruh aspek sosial kemasyarakatan yang ada di Kampung Bumen sebagai
simbol bahwa Kampung Bumen mengutamakan nilai-nilai kebersamaan dalam
bingkai kehidupan yang harmonis.
Gambar 5
Karnaval Genderuwo Kampung Bumen
Berdasar uraian di atas, menunjukkan bahwa Kampung Bumen memiliki
beberapa kesenian tradisional yang masih terjaga eksistensinya hingga sekarang,
seperti srandul, karawitan, sholawatan, dan macapatan. Keberadaan aktivitas
kesenian tradisional yang ada di Kampung Bumen tersebut tentunya memuat
nilai-nilai luhur yang berfungsi sebagai tuntunan, tak hanya sebagai tontonan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
(hiburan) bagi masyarakat. Kesenian tradisional yang ada di Kampung Bumen
tersebut berkembang menjadi sumber daya utama dalam pengembangan
kesejahteraan masyarakat Kampung Bumen, yaitu sebagai identitas diri Kampung
Bumen. Kampung Bumen memiliki identitas diri sebagai Kampung Seni, maka
aktivitas kesenian tradisional yang ada di tengah masyarakat Kampung Bumen
mulai terkemas dalam sebuah produk pariwisata untuk tujuan kesejahteraan
ekonomi masyarakat Kampung Bumen sendiri.
Kesenian tradisional yang ada di Kampung Bumen di dalamnya terdapat
makna-makna simbolik terkait nilai-nilai luhur yang ada di Kampung Bumen.
Makna-makna simbolik tersebut memuat beragam pesan bagi masyarakat
Kampung Bumen pada khususnya dan masyarakat sekitar Kampung Bumen pada
umumnya. Keberadaan makna simbolik yang mengandung nilai-nilai luhur
tersebut menjadikan kesenian tradisional dapat digunakan sebagai media
pelestarian nilai-nilai luhur bagi masyarakat Kampung Bumen. Bagi masyarakat
Kampung Bumen, kesenian tradisional merupakan aktivitas kemasyarakatan yang
hampir seluruh warganya ikut terlibat di dalamnya. Keberadaan identitas sebagai
Kampung Seni menjadikan para warga banyak berinteraksi dalam kesenian
tradisional di Kampung Bumen. Dengan adanya interaksi tersebut tentunya di
dalamnya terdapat simbol-simbol yang dapat digunakan untuk memaknai nilai-
nilai luhur yang terkandung dalam kesenian tradisional Kampung Bumen.
A. Interaksi Simbolik antar Pelaku Seni dalam Memaknai Nilai-Nilai
Luhur pada Kesenian Srandul
Maraknya kesenian dan budaya POP yang dibawa oleh arus
globalisasi, menyebabkan kesenian tradisional mulai terancam eksistensinya.
Namun, masyarakat Kampung Bumen tidak pernah jengah untuk
melestarikan kebudayaan dan kesenian tradisional mereka. Salah satu
kesenian tradisional yang masih terjaga eksistensinya di Kampung Bumen
dan sekarang menjadi kesenian khas daerah tersebut adalah srandul.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
1. Bentuk dan Interaksi Simbolik dalam Kesenian Srandul
Srandul adalah seni pertunjukan yang berada pada jalur seni
drama atau seni peran. Kesenian ini berbasis pada drama tradisional
kerakyatan yang menampilkan kisah-kisah yang berhubungan dengan
persoalan-persoalan pertanian, berkubang pada persoalan kesuburan,
kemakmuran, wabah, dan bencana. Karakteristik yang paling menonjol
dalam tampilan kesenian ini adalah dipakainya oncor (obor) yang
ditancapkan di tengah arena pertunjukan yang mempunyai nilai simbolik
dari bagian ritualnya. Di samping itu unsur spontanitas interaksi antara
pemain dan pengrawit yang bisa berdialog langsung dalam mengisi cerita
sangat memungkinkan terjadi. Srandul adalah kesenian rakyat yang
menggambarkan tentang kehidupan Demang pada jaman kerajaan.
Srandul pada umumnya diiringi alat musik sederhana berupa
Kendang, Angklung dan Terbang besar, kesenian ini biasanya dilakukan
oleh ± 15 orang. Dialog dalam kesenian srandul berupa parikan atau
tembang dan percakapan. Kesenian srandul ini semula timbul di Dukuh
Jogodayoh, Desa Gumulan Kecamatan Kota Klaten. Bahkan dalam
sumber lain disebutkan bahwa Srandul berasal dari Jawa Timur.
Kesenian srandul sebelum masuk ke wilayah Kotagede berkembang baik
di Wonosari Gunung Kidul. Pada tahun 1960an Srandul berjaya di desa
Bumen Kotagede Yogyakarta. Meskipun mengalami kevakuman, namun
hingga kini masih tetap dilestarikan.
Asal mula kesenian srandul diawali kisah ketika di daerah Jawa
sedang terkena musibah wereng yaitu hama padi yang berdampak hasil
panen tidak berhasil atau ekonomi para petani menjadi kocar-kacir.
Kemudian mereka beralih profesi sebagai pengamen dan datang ke
Yogyakarta. Ketika kelompok pengamen berada di Yogyakarta dan
menginap di rumah salah seorang warga, setiap malam mereka
mengalami kepenatan sebab tidak ada hiburan yang dapat mengobatinya
kecuali hanya ada permainan jethungan dan gobag sodor yang dimainkan
pada saat bulan purnama.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
Pada saat itulah timbul pemikiran untuk membuat pertunjukan ala
kadarnya secara sepontan, di antara mereka saling menunjuk, “ayo kamu
jadi lakon ini, kostumnya pinjam, gamelannya kenthongan dan blek
bekas, lampunya menggunakan oncor (obor), lokasinya di tengah-tengah
pekarangan, dan ceriteranya sembarangan (pating srendil).” Hal ini
senada dengan yang diutarakan oleh Bapak Basis Hargito (seorang tokoh
kesenian dari golongan tua Kampung Bumen) sebagai berikut:
“ Itukan ada suatu komunitas pengamen ketoprak ongklek
atau Srandul dari Jawa Timur itu sampai merambah ke sini.., karena dalam Kampung Bumen ada seorang pejabat kelurahan itu punya rumah yang luas, sehingga bilamana ada rombongan yang mengamen keliling itu biasanya bermalam disitu… menginap disitu, setelah menginap itukan paginya harus berjalan lagi, naahh..untuk memberi kesan daripada masyarakat itukan diadakan pentas namanya beber, beber itu sebuah pentas atau unjuk kebolehan. Kemudian juga jadilah yang ngamen, ada ketoprak ongklek, ada dadung ngawuk, ada srandul. Kemudian dalam kurun waktu tidak lama, kan masyarakat di Kampung Bumen itu membutuhkan hiburan, pada waktu dulukan orang cuma kerja terus sampai letih, itu menyebabkan rekan-rekan ingin membuat suatu hiburan menirukan srandul yang telah ada, yang pernah mereka lihat (saksikan).”
(Sumber: Wawancara, 01 Maret 2012)
Kesenian tradisional ini bentuk maupun busana yang digunakan
mirip seperti kethoprak ongklek (kethoprak barangan). Alat-alat
instrumen gamelan yang digunakan, antara lain: saron peking, kendhang,
kethuk kempul, gong, dan lain-lain. Ciri khas srandul Kotagede, yakni
mereka tidak menggunakan ongklek sebagai tempat menggantung
gamelan ketika dipikul ngamen. Gamelan tetap diletakkan di tempatnya.
Sebagai titik perhatian (point of interest), di tengah arena ditempatkan
oncor (obor) dengan lima batang sumbu. Di bawah oncor, ada tiang
penyangga yang dihiasi dengan berbagai macam daun dan tanaman,
untuk srandul di Kampung Bumen biasanya menggunakan daun puring
untuk mendukung sisi keindahan dari aktivitas srandul itu sendiri. Hal ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
sesuai penuturan Bapak Basis Hargito (seorang tokoh kesenian dari
golongan tua Kampung Bumen) sebagai berikut:
“...Srandul itu mirip dengan ketoprak ongklek, tapi
ceritanya terbatas dan sangat sederhana......Daun puring kan bermacam-macam warnanya, jadi kan lebih baik (indah), kemudian menggunakan lilin, dahulu kan masih membakar menyan, menggunakan kembang (bunga), iku niate mung njaluk slamet, minta slamet (itu iniatnya hanya minta selamat).”
(Sumber: Wawancara, 01 Maret 2012)
Gambar 6 Oncor (obor) berhias daun puring, ciri khas dalam kesenian srandul
Kesenian srandul hingga kini mengisahkan banyak hal, namun
kisah-kisah atau alur yang dipentaskan tidak mempunyai hubungan yang
runtut (tidak berkesinambungan). Oleh karena itu, kesenian ini disebut
srandul yang berarti alur ceriteranya pating srendil atau sepotong-
potong, tidak ada hubungannya. Kisah dalam kesenian Srandul sifatnya
gado-gado misalnya kisah dari babad Arab, Kethek Ogleng sampai babad
Jenggala. Oleh karena alur ceriteranya yang tidak bersambungan, maka
setiap pementasan srandul selalu ada adegan atau action yang nampak
berbeda. Adegan-adegan yang berbeda tersebut biasanya diisi atau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
diselingi oleh tari-tarian anak-anak atau mungkin kesenian lainnya
seperti sholawatan dan macapatan. Seperti yang diutarakan oleh Bapak
Basis hargito (seorang tokoh kesenian dari golongan tua Kampung
Bumen) sebagai berikut:
“ ....karena apa dikatakan srandul itu karena pating
srendil ceritanya. Ada tiga buah cerita yang satu sama lain cerita itu tidak ada kaitannya, karena apa? karena pada waktu dulu yang menjadi inti cerita itu Sayidina Ali atau Pedang Kangkam Pamor Kencana, kemudian ceritanya sudah habis tapi waktunya kok masih ada, itu kasian rekan-rekan semua kumpul kok ceritanya sudah pada habis. Kemudian membuat cerita lagi itu ketek ogleng itu cerita babad Kediri Jenggolo......kemudian cerita habis waktunya masih ada lagi. Kita cari cerita lagi yaitu perawan sunthi, itu cerita rakyat Demak.”
(Sumber: Wawancara, 01 Maret 2012)
Gambar 7 Tari-tarian anak dalam srandul
Kelompok srandul yang masih eksis di Kotagede salah satunya
adalah kelompok Purba Budhaya. Purba Budhaya terletak di Kampung
Bumen Kotagede. Kelompok yang beranggotakan kurang lebih 35 orang,
di bawah pimpinan Bapak Basis Hargito, setiap pentas tidak pernah lupa
melengkapi dengan ubarampe sesaji seperti tukon pasar (jajan pasar),
kembang setaman, dan menyan/dupa. Beberapa lakon yang pernah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
dipentaskan, dari beberapa babad yaitu: Babad Arab, cerita yang
dikisahkan tentang Sayidina Ali dalam lakon Pedang Kangkam Pamor
Kencana Musna; Babad Jenggala, lakon Kethek Ogleng; Babad Demak,
dengan lakon Perawan Sunthi, dan; Dongeng Rakyat, dengan cerita
Andhe-Andhe Lumut, Jaka Bodho, Jaka Wasis, dan sebagainya.
Penyajian seni srandul menggunakan medium cerita, gerak tari,
dialog, dan tembang sehingga bentuknya juga disebut sebagai drama tari
berdialog. Cerita dalam seni srandul diungkapkan melalui dialog dan
tembang yang disampaikan dalam bahasa Jawa. Instrumen pokok yang
digunakan pada masa sekarang diantaranya adalah saron, demung,
bendhe, gong suwukan, angklung, dan kendhang tengahan. Srandul biasa
dipertunjukan di area terbuka (halaman atau lapangan) dan di dalam
gedung, meskipun untuk di Kampung Bumen sendiri pementasannya
bertempat di Pendapa Kampung Bumen. Waktu pertunjukan sekitar 4
jam yaitu dar pukul 20.00 sampai 24.00 WIB.
Gambar 8 Perangkat gamelan dalam srandul
Salah satu lakon yang sering dimainkan dalam kesenian srandul
yang ada di Kampung Bumen adalah cerita dari Babad Arab, tentang
Sayidina Ali dalam lakon Pedang Kangkam Pamor Kencana Musna.
Struktur dramatik yang digunakan dalam lakon Pedang Kangkam Pamor
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
Kencana Musna ini, menurut konsep Hudson (dalam Soedarsono, 2002:
231-232) berjalan dengan alur sebagai berikut: (1) Initial incident (awal
kejadian/peristiwa), Sayidina Ali sedang bersedih dan bimbang karena
pusaka kerajaan yaitu Pedang Kangkam Pamor Kencana hilang dicuri
oleh Raja Lakat yang sakti, (2) The Rising action (peristiwa mulai
bergerak), Pengembaraan Sayidina Ali dan patihnya yaitu Patih Srandul
sampai di alun-alun Lakat, (3) Growth or complication (berkembang/
komplikasi) sesampainya di alun-alun Lakat, Sayidina Ali dan Patih
Srandul berperang melawan Raja Lakat dan prajuritnya, (4) Climaxs
(klimak, puncak, kritik, kritis, saat menentukan) Sayidina Ali dan
Patihnya kalah berperang dan kembali ke kerajaan (5) The falling action
(peristiwa mulai reda) Istri dari Sayidina Ali mencari suaminya hingga ke
alun-alun Lakat dan bertemu Raja Lakat. Dia diminta menjadi Istri dari
Raja Lakat, kemudian beliau menerima dengan syarat diberi hadiah
berupa Pedang Kangkam Pamor Kencana, kemudian pedang itu
digunakan untuk menusuk Raja Lakat dari belakang hingga akhirnya
Raja Lakat meninggal, (6) Resolution or denouement (resolusi, peleraian,
penyelesaian) Sayidina Ali dapat bertemu kembali dengan Istrinya dan
pusaka kerajaan yaitu Pedang Kangkam Pamor Kencana dapat kembali
ke kerajaan.
Hal ini senada dengan yang diutarakan oleh Febriana Noor
Haryanti (seorang tokoh akademis muda dari Kampung Bumen yang
aktif di kesenian srandul) sebagai berikut:
“ Untuk pementasan srandul kemarin waktu peresmian
pendapa kampung itu yang dimainkan judulnya Pedang Kangkam Pamor Kencana, Itu menceritakan sebuah pusaka kerajaan bernama Pedang Kangkam Pamor Kencana yang dicuri oleh raja yang jahat dan angkuh, kemudian raja dari kerajaan yang pusakanya dicuri bernama Sayidina Ali itu mencari pusakanya yang dicuri oleh musuhnya yaitu Raja Lakat yang sakti namun angkuh.”
(Sumber: Wawancara, 19 Pebruari 2012)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
Gambar 9 Adegan pada kesenian Srandul
dalam Lakon Pedang Kangkam Pamor Kencana
Srandul sendiri memang bukan asli kesenian tradisional yang
muncul di Kampung Bumen, namun kesenian ini berkembang dan besar
di Kotagede khusunya Kampung Bumen. Srandul dapat dipentaskan pada
berbagai kesempatan, salah satunya adalah dalam pementasan ataupun
upacara-upacara yang berkenaan dengan pertanian dengan durasi waktu
sampai semalam suntuk dalam beberapa episode. Kesenian ini
memberikan tekanan pada unsur kesakralan ritual dan hiburan, di
dalamnya mengandung petuah/gambaran tentang perilaku baik dan buruk
dalam masyarakat, khususnya pembelajaran bagi generasi muda
Kampung Bumen.
Srandul sendiri sekarang sudah dapat dipentaskan di Kampung
Bumen oleh generasi muda dan anak-anak warga Kampung Bumen
dengan bimbingan Bapak Basis Hargito beserta putranya bernama Anter
Asmorotedjo. Pelibatan anak-anak dalam kesenian srandul ini semata-
mata untuk mengenalkan dan memberikan variasi pada kesenian
tradisional ini agar tidak terkesan penuh nuansa mistik lagi, sehingga
dapat dinikmati dan diterima oleh seluruh masyarakat Kampung Bumen
dan juga mampu mendukung pengembangan Kampung Bumen sebagai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
Kampung Seni di kawasan Kotagede, Yogyakarta. Pengembangan
kesenian srandul di Kampung Bumen sendiri tidak semata-mata untuk
kepentingan pariwisata bagi kesejahteran kampung saja, namun juga
sebagai pelestarian kearifan budaya lokal yang memuat nilai-nilai luhur
dalam setiap aktivitasnya. Dalam kesenian srandul ini, terdapat makna-
makna simbolik yang mengandung nilai-nilai luhur bagi masyarakat
sehingga kesenian srandul dapat digunakan sebagai media dalam
memaknai nilai-nilai yang terkandung dalam simbol-simbol interaksi
para pelaku seni dalam kesenian srandul itu sendiri.
Aktivitas interaksi yang terjalin antar pelaku seni dalam kesenian
srandul ini terjalin menggunakan dominasi simbol bahasa, bahasa yang
digunakan dalam kesenian srandul ini adalah bahasa Jawa Krama (bahasa
percakapan sehari-hari orang Jawa). Dengan adanya komunikasi lewat
bahasa ini, memudahkan para pelaku seni dalam berinteraksi untuk dapat
menangkap dan merespon makna dalam berkomunikasi. Interaksi
simbolik dalam kesenian ini berlangsung secara primer, dimana para
pelaku seni secara langsung berkomunikasi tanpa melalui perantara.
Dialog percakapan dalam isi kesenian srandul ini juga menjadi
sebuah media komunikasi antar pelaku seni dalam memaknai nilai-nilai
luhur yang terkandung dalam isi cerita (lakon), busana yang dikenakan,
serta keberadaan alat musik yang tentunya juga memiliki makna simbolik
sebagai fungsi komunikasi antar pelaku seni dalam kesenian srandul.
Nilai-nilai luhur yang terkandung dalam aktivitas kesenian srandul di
Kampung Bumen terkandung dalam simbol-simbol yang digunakan
dalam berkomunikasi antar pelaku seni di dalamnya. Nilai-nilai luhur
tersebut dimaknai sebagai representasi nilai luhur yang ada di tengah
kehidupan Kampung Bumen.
Untuk menciptakan interaksi dalam kesenian srandul, tentunya
dilakukan melalui sebuah proses yang mengawalinya, proses-proses
tersebut dilakukan dengan harapan terciptanya kesatuan persepsi yang
memudahkan pemaknaan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
simbol-simbol komunikasi. Proses tersebut diawali dengan pelestarian
kesenian srandul yang tentunya menjadi suatu proses aktivitas
kemasyarakatan yang digunakan untuk transformasi nilai pada generasi
muda dan masyarakat sekitar. Pelestarian kesenian dalam srandul ini
meliputi:
a. Regenerasi Pelaku Seni
Kesenian tradisional tentunya di dalamnya melibatkan
banyak generasi sebagai aktor dalam pementasan kesenian tersebut.
Pada umunya generasi tua banyak mendominasi sebagai aktor dalam
suatu aktivitas kesenian, hal ini didasarkan atas pengalaman dan
kualitas yang mereka miliki. Generasi muda dipandang masih belum
serius dan belum memiliki minat untuk menekuni kesenian
tradisional dibanding kesenian modern yang mulai berkembang di
tengah kota.
Keberadaan Kampung Bumen sebagai kampung kota, serta
predikatnya sebagai Kampung Seni, menempatkan Kampung Bumen
sebagai salah satu kampung kota yang mengupayakan pelestarian
kesenian tradisional yang dimilikinya. Salah satu cara yang mereka
tempuh adalah dengan melakukan regenerasi pelaku seni dalam
aktivitas kesenian tradisional. Regenerasi yang ada di Kampung
Bumen sepenuhnya diprakarsai oleh generasi muda Kampung
Bumen sendiri, melihat kondisi masyarakat dengan potensi kesenian
yang ada di Kampung Bumen, mereka berupaya menyerap ilmu dan
mendapatkan dukungan dari golongan tua untuk menghidupkan serta
menanamkan kesenian pada diri mereka.
Kesadaran akan pentingnya regenerasi ini didasari atas
kekhawatiran generasi muda Kampung Bumen akan semakin
maraknya kesenian modern yang mulai menggerus kesenian
tradisional, di sisi lain predikat sebagai Kampung Seni juga
mendorong mereka untuk segera mengembangkan dan memahami
akan aktivitas kesenian yang menjadi kebanggaan Kampung Bumen.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
Hal ini seperti yang diuatarakan oleh Febriana Noor Haryanti (tokoh
akademis dari golongan muda Kampung Bumen) sebagai berikut:
“ Kalau untuk menjaga sendiri yang harus dilakukan
tidak hanya menceritakan kemarin kita telah melakukan/memiliki kesenian apa saja, tetapi juga harus diajarkan (regenerasi) dalam hal kesenian tersebut.”
(Sumber: Wawancara, 19 Pebruari 2012)
Hal senada juga diuatarakan oleh Bapak Mulyadi (tokoh
agama golongan tua Kampung Bumen) sebagai berikut:
“ Ya semua bentuk pelestarian itu pasti harus mengikutsertakan generasi mudanya.”
(Sumber: Wawancara, 28 Pebruari 2012)
Berdasar pengutaraan di atas, maka regenerasi menjadi
penting dalam pelestarian kesenian tradisional yang ada di Kampung
Bumen. Pelibatan generasi muda dalam setiap aktivitas kesenian
tradisional dipandang sebagai langkah tepat untuk mengenalkan dan
menanamkan jiwa seni serta nilai-nilai luhur yang termuat di
dalamnya.
Gambar 10 Persiapan srandul oleh generasi muda
Generasi muda sebagai pewaris seni budaya suatu daerah,
nantinya mengemban tugas untuk memajukan kampung mereka,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
dengan adanya kesadaran dan juga partisipasi dukungan dari semua
golongan, baik tua dan muda itulah yang nantinya memudahkan
regenerasi dapat berjalan baik. Proses pengenalan dan juga
pemahaman tentang suatu aktivitas kesenian tradisional di Kampung
Bumen melibatkan banyak komponen masyarakat, diantaranya
adalah pelibatan aktif dari generasi muda. Generasi muda memiliki
jiwa kreatif yang lebih kuat sehingga mampu menjadi inspirasi
pendukung dalam peleatarian kesenian tradisional. Penyajian dan
kemasan dalam suatu pementasan kesenian tradisional yang ada di
Kampung Bumen banyak diinspirasi dari ide-ide generasi muda. Hal
ini semata-mata ingin memberikan kesan dinamis pada masyarakat
umum mengenai kesenian yang ada di Kampung Bumen.
Pelibatan generasi muda dalam menjaga kesenian tradisional
yang ada di Kampung Bumen tidak lepas dari semangat kebanggaan
atas kampung mereka yang dimiliki oleh generasi muda Kampung
Bumen, hal ini sebagai cerminan bahwa kebanggaan atas kampung
yang dimiliki oleh generasi muda memiliki peran penting dalam
upaya pelestarian dan juga pengembangan kesenian tradisional di
Kampung Bumen.
b. Kreasi dan Kombinasi
Kesenian tradisional di Kampung Bumen pada awalnya
memiliki hubungan erat dengan hal-hal yang berbau mitos dan
mistis, tidak jarang semua aktivitasnya melibatkan hal-hal ataupun
benda-benda yang mengundang nuansa mistis dalam setiap
pementasannya. Seiring berjalannya waktu, banyak pelaku seni di
Kampung Bumen yang mencoba menghadirkan nuansa berbeda
dalam aktivitas kesenian tradisional yang ada di Kampung Bumen.
Hal ini dilakukan untuk menjaga eksistensi dari kesenian tradisional
yang mulai terkikis dengan hadirnya kesenian modern seperti mural
di dinding, dan lain-lain.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
Nuansa baru yang mereka kembangkan dengan wujud banyak
mengkombinasi dan juga mengkreasi aktivitas kesenian tradisional
tersebut bertujuan agar kesenian tradisional yang ada dapat diterima
oleh semua golongan masyarakat yang ada di Kampung Bumen.
Beberapa kreasi dan kombinasi yang dilakukan semata-mata
bertujuan agar kesenian tradisional di Kampung Bumen tidak lagi
dipandang sebagai aktivitas yang menyalahi aturan agama (musyrik)
dan juga kampungan. Menyadari hal tersebut, maka beberapa tokoh
seni dan generasi muda Kampung Bumen mencoba memberikan
kombinasi dan juga kreasi dalam aktivitas kesenian yang ada di
Kampung Bumen baik dalam isi cerita, perlengkapan pendukung,
ataupun juga kostum pementasan. Kombinasi dan kreasi pada
kesenian tradisional di Kampung Bumen dilakukan untuk menambah
keindahan dan juga agar masyarakat tidak bosan dalam menikmati
kesenian tradisional di Kampung Bumen. Hal ini berdasar penuturan
dari Bapak Basis Hargito (tokoh seni golongan tua Kampung
Bumen) sebagai berikut:
“ Kita merangkul generasi muda.. tetapi harus bisa
mengkombinasikan, yaitu kombinasi antara seni-seni baru yang biasanya itu dirasa menarik, dikombinasi dengan kesenian yang sudah ada. Karena menurut anggapan saya, seni itu hidup dan berkembang, tidak hanya itu-itu saja kalau hanya itu-itu saja kan nanti banyak yang bosan.”
(Sumber: Wawancara, 01 Maret 2012)
Adapun kombinasi dan kreasi yang ada dalam kesenian
srandul di Kampung Bumen, diantaranya nampak pada beberapa
aspek tertentu. Pada aktivitas pementasan kesenian srandul ini
terdapat beberapa hal yang sudah mulai dikombinasi dan dikreasi,
srandul pada mulanya merupakan kesenian yang lekat dan
berhubungan erat dengan adanya sesaji dan menyan dalam setiap
awal pementasannya, namun sekarang sesaji dan kemenyan sudah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
mulai diganti dengan bunga-bungaan dan juga lilin sebagai tanda
bahwa pertunjukan akan sesera dimulai. Kalau pada masanya dulu,
sesaji dan menyan digunakan untuk memohon keselamatan dalam
pementasan srandul.
Hal ini seperti yang diuatarakan oleh Bapak Basis Hargito
(tokoh seni dari golongan tua Kampung Bumen) sebagai berikut:
“ dulu kan ngobong (membakar) menyan, pakai
kembang (bunga), iku niate mung njaluk slamet minta slamet (itu niatnya hanya minta selamat).”
(Sumber: Wawancara, 01 Maret 2012)
Srandul pada mulanya dimainkan oleh laki-laki dewasa
secara keseluruhan, bahkan peran perempuan juga dimainkan oleh
laki-laki. Namun sekarang sudah banyak melibatkan pemain
perempuan dan juga anak-anak, peran perempuan sudah dimainkan
oleh perempuan asli, dan anak-anak juga sudah mulai dapat mengisi
tari-tarian dalam cerita srandul. Hal ini sesuai dengan yang
diuatarakan oleh Bapak Basis Hargito (tokoh seni golongan tua
Kampung Bumen) sebagai berikut:
“ Kalau srandul, oleh anak saya (mas Anter) itu
dicoba kemarin waktu peresmian pendapa itu, dikolaborasi dengan tarian baru (tarian anak-anak) ternyata ya anak-anak (generasi muda) senang, penonton juga sambutannya positif, baik.”
(Sumber: Wawancara, 01 Maret 2012)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
Gambar 11 Beberapa pemain perempuan dalam srandul
Gambar 12 Tarian kreasi oleh anak-anak dalam srandul
Kombinasi yang ada dalam srandul juga nampak dari kostum
dan juga hadirnya dagelan (humor) dalam tengah-tengah cerita
srandul pada saat pementasan. Dalam kostum srandul sendiri,
kombinasi nampak pada Lakon: Pedang Kangkam Pamor Kencana,
dimana tokoh Sayidina Ali menggunakan kostum bernuansa timur
tengah (Arab), sedangkan musuhnya yaitu Raja Lakat mengenakan
kostum Raja-raja Jawa. Hal ini senada dengan penuturan Febriana
Noor Haryanti (tokoh akademis golongan muda Kampung Bumen)
sebagai berikut:
“ Seperti lakon pementasan kemarin itu (Pedang
Kangkam Pamor Kencono) yang pemeran Sayidina Ali itu memakai sorban dan lengkap dengan atribut berbau timur
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
tengah, tetapi di musuhnya yaitu si Raja Lakat itu untuk kostumnya sendiri masih sangat kental dengan budaya Jawa.”
(Sumber: Wawancara, 19 Pebruari 2012)
Gambar 13 Adegan dagelan (humor) I dalam srandul
Gambar 14 Adegan Sayidina Ali dan Raja Lakat dalam srandul
Kreasi juga hadir dalam syair nyanyian vocal Srandul yang
banyak menceritakan keadaan masyarakat Kampung Bumen selalu
guyub rukun, berhati tenang, dan juga harapan-harapan membangun
Kampung Bumen. Syair-syair ini biasanya dilantunkan pada saat
pergantian cerita dalam Srandul. Syair-syair tersebut sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
Simbok alah simbok anakmu njaluk thiwul Simbok emoh thiwuuuuul...emoh thiwul.....simbok, emoh thiwul ayo kanca pada ngumpul. Simbok alah simbok anakmu njaluk ketan Simbok emoh ketaaaaaan...emoh ketan.....simbok, emoh ketan ayo kanca pada jejogetan. Simbok alah simbok anakmu njaluk tela Simbok emoh telaaaaaaaa...emoh tela.....simbok, emoh tela ayo kanca suka-suka. Simak ramak kembang duren ndara Kembang duren, iki Srandul saking Bumen Simak ramak kembang mlathi ndara Kembang mlathi, Kampung Bumen Kampung Seni Simak ramak kembang nangka ndara Kembang nangka, budaya ayo dijaga. Yongka-yongki mbok cilik kembang uwi Kembang uwi, limang RT dadi siji Yongka-yongki mbok cilik kembang sukun Kembang sukun, RW 6 guyub rukun Yongka-yongki mbok cilik kembang jambu Kembang jambu, kampungku tansaya maju Mas emaseee kembang aren Kembang aren, ayo mbangun Kampung Bumen
‘Wahai Ibu anakmu meminta thiwul’ ‘Ibu tidak perlu thiwul, jangan thiwul..ibu, jangan thiwul mari kawan kita berkumpul’ ‘Wahai Ibu anakmu meminta ketan’ ‘Ibu tidak perlu ketan, jangan ketan..ibu, jangan ketan mari kawan kita menari’ ‘Wahai Ibu anakmu meminta ketela’ ‘Ibu tidak perlu ketela, jangan ketela....ibu, jangan ketela mari kawan kita bergembira’ ‘Simak ramak daun durian tuan’ ‘Daun durian, ini srandul dari Bumen’ ‘Simak ramak bungan melati tuan’ ‘Bungan melati, Kampung Bumen Kampung Seni’ ‘Simak ramak daun nangka tuan’ ‘Daun nangka, budaya mari kita jaga’ ‘Tua-muda, bapak-ibu daun uwi’ ‘Daun uwi, lima RT menjadi satu’ ‘Tua-muda, bapak-ibu daun sukun’ ‘Daun sukun, RW 6 ruyub rukun’ ‘Tua-muda, bapak-ibu daun jambu’ ‘Daun jambu, kampungku semakin maju’ ‘Mas..daun aren’ ‘Daun aren, mari membangun Kampung Bumen’
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
Mas emaseeee kembang gedhang Kembang gedhang, Kampung resik ati padhang Mas emaseeee kembang pelem Kembang pelem, kabeh rukun ati ayem Mas emaseeee kembang mundhu Kembang mundhu, monggo sami bersatu padhu
‘Mas..daun pisang’ ‘Daun pisang, kampung bersih berhati terang’ ‘Mas...daun mangga’ ‘Daun mangga, semua rukun hati tenang’ ‘Mas...daun mundhu’ ‘Daun mundhu, mari semua bersatu’
(Sumber: Basis Hargito, 2011)
Syair tersebut merupakan syair nyanyian (pantun) yang
biasanya menandai perpindahan cerita/lakon dalam srandul,
nyanyian (pantun) ini dinyanyikan oleh pengiring musik gamelan
dalam srandul yang biasa disebut dengan wiyaga. Srandul pada
masa dulu, jarang terdapat nyanyian-nyanyian di dalamnya,
bentuknya hanyalah cerita yang disambung-sambung dari cerita satu
dengan cerita lain, sehingga banyak orang yang menyebutnya cerita
pating srendil. Nyanyian (pantun) dalam srandul ini merupakan
kreasi baru yang dilakukan oleh pelaku seni Kampung Bumen agar
dapat lebih menarik penonton, dan dapat digunakan untuk
menyampaikan berbagai pesan pada saat pementasan srandul.
Pantun di atas berfungsi sebagai pesan yang ditujukan pada
masyarakat untuk mengenalkan kondisi Kampung Bumen. Dengan
adanya pesan tersebut, diharapkan masyarakat Kampung Bumen
dapat lebih bangga dan mengenal kampung mereka lebih jauh.
Kreasi dan kombinasi dalam kesenian srandul seperti penyisipan
pantun hiburan yang memuat pesan moral bagi para warganya ini,
dapat mendukung eksistensi srandul yang ada di Kampung Bumen.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
Gambar 15 Wiyaga dalam kesenian srandul Kampung Bumen
Cara menjaga kesenian tradisional yang ada di Kampung
Bumen paling penting adalah dengan menjaga latihan rutin bersama
masing-masing kelompok kesenian tersebut. Latihan rutin
dimaksudkan agar satu sama lain anggota kesenian dapat saling
memahami dan mengerti dalam interaksi yang terjalin. Latihan rutin
menjadi wadah bertemunya para anggota kesenian tradisional yang
ada di Kampung Bumen untuk dapat berbagi ilmu, bertukar pikiran,
dan juga merumuskan kreasi-kreasi ataupun kombinasi yang menarik
untuk pengembangan dan kemajuan kesenian tradisional di
Kampung Bumen.
Dengan adanya latihan rutin tersebut, memudahkan golongan
tua dalam berinteraksi untuk membina dan menyalurkan serta
mengasah kepekaan jiwa seni yang mereka miliki untuk dapat
disalurkan dan diajarkan pada generasi muda Kampung Bumen.
Generasi mudalah yang nantinya mewarisi dan melestarikan
kesenian tradisional tersebut untuk dikenalkan pada masyarakat
umum demi kemajuan Kampung Bumen. Hal ini berdasar penuturan
Bapak Basis Hargito (tokoh seni dari golongan tua Kampung
Bumen) sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
“ Kita harus dapat menciptakan regenerasi, karena kesenian itu kalau tidak didukung anak-anak remaja nanti yang meneruskan itu siapa? karena yang tua-tua itu sudah terbatas kemampuannya seperti saya ini. Saya berpesan bahwa kesenian budaya yang ada di Bumen yang sangat adiluhur itu saya titipkan mudah-mudahan dijaga lestari jangan sampai punah.”
(Sumber: Wawancara, 01 Maret 2012)
Untuk latihan rutin pada kesenian srandul di Kampung
Bumen bertempat di Pendapa RW 06 Kampung Bumen dan juga di
aula perpustakaan RW 06 Kampung Bumen. Latihan rutin masih
belum ada dikarenakan kesenian srandul ini melibatkan banyak
orang dan dari banyak orang itu sulit untuk menyesuaikan waktu
latihan rutinnya, namun hal tersebut tidak mempengaruhi
penampilan Srandul dari Kampung Bumen, karena sebelum event
(pementasan) berlangsung, masyarakat Kampung Bumen baik tua
ataupun muda yang terlibat dalam kesenian ini akan melakukan
latihan rutin selama 1 (satu) bulan. Hal ini berdasar penuturan dari
Bapak Basis Hargito (tokoh seni dari golongan tua Kampung
Bumen) sebagai berikut:
“ Kendalanya itu karena anggotanya masih banyak yang sekolah, bekerja, dan sebagainya, maka karena anggotanya dari anak-anak muda sampai orang tua itu sibuk, sampai sekarang itu bilamana akan dipakai baru ada latihan, selama Srandul itu akan dibutuhkan pasti Kami siap.”
(Sumber: Wawancara, 01 Maret 2012)
Hal senada juga diutarakan oleh Ayu (anggota Muda-mudi
Bumen yang ikut dalam kesenian Srandul) sebagai berikut:
“ Sebelum pementasan Kami akan berlatih dulu selama satu bulan..kemudian jadwal untuk Muda-Mudi Bumen sendiri berlatih hampir satu minggu penuh, setiap sore.”
(Sumber: Wawancara, 01 Maret 2012)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
Gambar 16 Latihan srandul di Pendapa Kampung
Ketika seseorang/individu sudah mulai menggemari dan
mencintai kesenian tradisional seperti srandul tersebut, pasti mereka
mulai dapat merasakan kehadiran nilai-nilai yang terkandung dalam
aktivitas interaksi di kesenian srandul tersebut. Pada saat inilah
generasi tua Kampung Bumen sebagai pelatih kesenian sedikit demi
sedikit memberikan pemahaman tentang makna dan arti dari nilai-
nilai yang terkandung dalam kesenian tersebut pada saat latihan.
Transformasi nilai biasanya dilakukan melalui komunikasi secara
verbal dalam situasi yang rileks dengan disertai contoh-contoh yang
ada disekitar mereka. Dengan kata lain, pada tahapan ini, nilai-nilai
yang nampak di permukaan dari aktivitas kesenian tradisional mulai
perlahan dikenal dan dimengerti oleh generasi muda dan masyarakat
pada umunya baik dalam latihan ataupun pementasan. Hal ini
berdasar penuturan Dedy Fathurrahman (tokoh seni dari golongan
muda Kampung Bumen) sebagai berikut:
“ Awalnya kita (generasi muda) dibiasakan dengan
kesenian tradisional itu dengan cara merawat alatnya, kemudian kita menggemari dan ingin memainkan, setelah menjalani bimbingan dan latihan oleh generasi tua, kita mulai merasakan ada nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kesenian tradisional seperti contohnya dalam kesenian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
srandul dan karawitan, nilai-nilai kerja keras dan pantang menyerah kita rasakan benar-benar dalam latihan.”
(Sumber: Wawancara, 10 Maret 2012)
Transformasi nilai pada kesenian srandul ini, diawali ketika
para generasi tua membiasakan (mengenalkan) pada generasi muda
tentang kesenian srandul itu sendiri. Pengenalan itu dilakukan
dengan cara menunjukkan (memberikan contoh) tentang bentuk dan
aktivitas yang ada dalam kesenian srandul. Tahapan selanjutnya
dalam kategori proses ini yaitu pelibatan generasi muda dalam
kesenian srandul itu sendiri. Pada proses pelibatan generasi muda
dalam srandul sendiri, nilai-nilai luhur seperti nilai gotong royong,
kesabaran, dan kedisiplinan mulai dikenalkan pada generasi muda
dalam latihan srandul. Ketika generasi muda sudah mulai
menggemari srandul sebagai aktivitas kesenian tradisional yang ada
di Kampung Bumen, barulah generasi tua Kampung Bumen untuk
selanjutnya banyak memberikan nasihat-nasihat terkait masalah
kehidupan yang biasanya diambilkan contoh dengan aktivitas yang
ada dalam kesenian srandul tersebut sebagai wujud pembinaan nilai
dalam kesenian srandul tersebut.
Tahapan ini memungkinkan nilai-nilai yang nampak pada
permukaan aktivitas kesenian srandul mulai dirasakan kehadirannya
oleh generasi muda pada saat latihan, serta memungkinkan pula
nilai-nilai yang terkandung dalam aktivitas kesenian tradisional
(srandul) itu dirasakan oleh masyarakat pada saat pementasan
berlangsung. Nilai-nilai yang terkandung dalam kesenian srandul
dapat dirasakan melalui komunikasi verbal yang dilakukan oleh para
pelaku seni dalam setiap pementasan, dapat melalui dialog dalam
adegan ceritanya ataupun juga syair-syair yang dilantunkan. Setelah
terjadi komunikasi verbal, maka seseorang/individu akan mulai
merasakan dan menyadari hadirnya nilai-nilai luhur yang ada pada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
aktivitas kesenian srandul di Kampung Bumen baik melalui cerita,
makna simbolik, ataupun melalui proses latihan daripada kesenian
srandul itu sendiri. Nilai-nilai kesetian, perjuangan, dan cinta kasih
mulai dikenalkan dalam cerita yang terkandung pada kesenian
srandul.
Dapat disimpulkan bahwa dalam tahapan ini, nilai-nilai yang
terkandung dalam aktivitas kesenian srandul di Kampung Bumen
mulai ditransformasikan pada masyarakat melalui komunikasi
verbal, transformasi dalam tahapan ini hanya bersifat sebagai
pengenalan (sosialisasi) terhadap nilai-nilai yang nampak pada
permukaan aktivitas kesenian tradisional tersebut. Hal ini sebagai
langkah awal agar nilai-nilai luhur yang terkandung dalam aktivitas
kesenian srandul di Kampung Bumen tersebut, nantinya dapat
dimaknai dan diimplikasikan oleh warga Kampung Bumen dalam
kehidupan sosial.
2. Nilai-Nilai Luhur yang Terkandung dalam Aktivitas Kesenian Srandul
Terdapat nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kesenian
srandul di Kampung Bumen, diantaranya dimaknai berdasar keberadaan
makna simbolik pada beberapa aspek, seperti dalam cerita, kostum
(busana), aktivitas persiapan ataupun perlengkapan pelaksanaan dalam
kesenian tersebut. Nilai-nilai luhur tersebut diantaranya:
a. Nilai-nilai luhur mengenai hakekat hidup
Nilai-nilai luhur mengenai hakekat hidup pada umunya
meliputi nilai-nilai tentang kepercayaan pada penguasa alam serta
pemaknaan terhadap kehidupan sebagai suatu pemberian dari Yang
Maha Kuasa (Tuhan). Nilai-nilai semacam ini terkandung dalam
kesenian srandul nampak pada aktivitas awal dimulainya latihan dan
juga awal pementasan dari srandul itu sendiri. Ciri khas srandul
adalah selalu diawali sesaji (meskipun sekarang sudah diganti
bunga-bunga), dan ditempatkan di tengah arena pertunjukkan. Hal
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
ini semata-mata untuk memohon keselamatan dan kelancaran pada
saat pementasan. Seperti penuturan dari Bapak Basis Hargito (tokoh
seni dari golongan tua Kampung Bumen) sebagai berikut:
“ Sesaji/bunga-bungaan itu kan intinya hanya untuk
minta keselamatan dan kelancaran pada saat pementasan. Jangan dilihat dari wujudnya itu, tetapi yang terpenting adalah maknanya bahwa kita hidup itu intinya hanya untuk memohon keselamatan pada Yang Kuasa (Tuhan).”
(Sumber: Wawancara, 01 Maret 2012)
b. Nilai-nilai luhur mengenai hakekat karya dan etos kerja
Nilai-nilai luhu mengenai hakekat karya dan etos kerja
diimplementasikan melalui nilai-nilai seperti semangat pantang
menyerah, kesabaran, keuletan, keginggihan, perjuangan, dan juga
kepahlawanan dalam mengejar cita-cita. Nilai-nilai ini terkandung
dalam kesenian srandul baik dalam cerita maupun pelaksanaan
kegiatannya. Dalam cerita Srandul seperti Lakon Pedang Kangkam
Pamor Kencana, menceritakan seorang raja di negara Puser Bumi
yaitu Sayidina Ali ketika kehilangan pusaka kerajaan yang direbut
oleh Raja Lakat; seorang raja yang sakti dan angkuh. Dalam
pencarian pusaka tersebut Sayidina Ali kalah berperang dengan Raja
Lakat kemudian kembali pulang ke kerajaanya. Namun dalam
perjalanan pulangnya, ternyata istri Sayidina Ali pergi menyusul
Sayidina Ali ke kerajaan Lakat dan bertemu Raja Lakat. Dengan tipu
muslihat bersedia dijadikan istri Raja Lakat namun boleh memiliki
pusaka Pedang Kangkam Pamor Kencana, istri Sayidina Ali
kemudian membunuh Raja Lakat dengan pusaka tersebut kemudian
kembali pulang ke kerajaan dan berkumpul dengan Sayidina Ali.
Dari cerita tersebut mengandung nilai-nilai perjuangan dan pantang
menyerah jika untuk memperjuangkan sesuatu hal yang baik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
Hal ini senada dengan penuturan Febriana Noor Haryanti
(tokoh akademis dari golongan muda Kampung Bumen) sebagai
berikut:
“ Menurut saya cerita Sayidina Ali itu mengandung pendidikan tentang perjuangan seorang istri yang mencoba membantu suami dalam mencari pusaka kerajaan. Dengan kesetiaan yang dimiliki ternyata dapat mengalahkan Raja yang kuat dan sombong.”
(Sumber: Wawancara, 19 Pebruari 2012)
Kesenian srandul ini melibatkan banyak orang dalam
pementasannya, sehingga untuk menampilkan kesenian ini
membutuhkan kerja keras dan sikap pantang menyerah dalam
latihannya, latihan untuk persiapan srandul sendiri menghabiskan
waktu satu bulan dan hampir setiap hari semuanya berlatih. Dari
kegiatan latihan ini mengandung nilai-nilai semangat kerja keras dan
pantang menyerah bagi generasi muda, untuk mempersiapkan
kesenian ini memang membutuhkan kesabaran, keuletan, dan
keginggihan dari para individu yang terlibat di dalamnya. Hal ini
berdasar penuturan Ayu (warga Kampung Bumen RT 23) sebagai
berikut:
“ Untuk persiapan Srandul itu memakan waktu 1
(satu) bulan karena harus mempersiapkan tarian, teks, dan juga harmonisasi dengan musik. Memang sangat mendidik dalam hal kesabaran dan juga mengutamakan sikap pantang menyerah.”
(Sumber: Wawancara, 01 Maret 2012)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
Gambar 17 Kerja keras dalam berlatih srandul
c. Nilai-nilai luhur mengenai hubungan antara manusia dengan alam
Nilai-nilai luhur mengenai hubungan antara manusia dengan
alam ini lebih dimaknai sebagai sikap harmonisasi dan keselarasan
dengan alam. Sikap ini sebagai wujud penghargaan kepada alam dan
pengakuan pentingnya keberadaan alam di tengah-tengah kehidupan
masyarakat Kampung Bumen. Nilai-nilai ini terkandung dalam
kesenian srandul dengan adanya makna simbolik berupa daun puring
yang selalu ada menghias oncor (obor) untuk penerangan di tengah
area pementasan.
Selain untuk keindahan, keberadaan daun puring juga sebagai
peringatan pada warga Kampung Bumen bahwa alam/lingkungan
(tumbuh-tumbuhan) berdampingan dengan kehidupan manusia,
maka hendaknya selalu bersikap bersahabat dengan alam demi
keselarasan dan juga harmonisasi dengan alam sekitar. Tak hanya
daun puring yang dapat dipergunakan untuk menghias oncor (obor)
yang diletakkan pada tengah arena, namun dapat digantikan dengan
dedaunan lain yang pastinya memiliki makna simbolik mengenai
hakekat hubungan antara manusia dengan alam (lingkungan).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
Gambar 18 Daun puring di tengah area pementasan srandul
d. Nilai-nilai luhur mengenai persepsi manusia tentang waktu
Nilai-nilai luhur mengenai persepsi manusia tentang waktu,
terkandung dalam kesenian ini dengan orientasi yang mengarah pada
masalah kedisiplinan waktu. Kesenian srandul ini melibatkan
banyak orang dalam pementasannya, sehingga untuk menampilkan
kesenian ini membutuhkan konsekuensi kedisiplinan waktu para
pelaku seni yang terlibat di dalamnya baik dalam hal latihan ataupun
pementasannya. Hal ini sesuai penuturan dari Descy Etik Sanjaya
(tokoh agama dari golongan muda Kampung Bumen) sebagai
berikut:
“ Untuk srandul itu adalah kesenian yang melibatkan banyak
orang, jadi dengan latihan dalam mempersiapkan kesenian ini banyak mengajarkan tentang nilai kedisiplinan karena berhubungan dengan orang banyak.”
(Sumber: Wawancara, 27 Pebruari 2012)
Makna simbolik lain juga nampak dari adanya selingan
dagelan (humor) yang ada dalam cerita srandul ini, adegan ini
memuat sindiran dan pendidikan yang dapat dijadikan sebagai
tuntunan. Pendidikan yang disampaikan dalam dagelan ini biasanya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
berhubungan erat dengan aktivitas kemasyarakatan yang ada di
Kampung Bumen dengan dasar kekeluargaan, gotong royong, sopan
santun, kerukunan, dan lain sebagainya dengan diakhiri sebuah
ungkapan kebanggaan atas Kampung Bumen. Keberadaan dagelan
(humor) ini juga dimaknai sebagai simbol bahwa dalam menjalani
kehidupan di dunia ini memang perlu adanya pembagian waktu dan
kapan menentukan transisinya, menjalani kehidupan memang harus
dengan kesungguhan, namun terkadang juga perlu disertai hiburan
yang mendidik agar tidak terjadi kejenuhan pada diri sendiri dan
lingkungan sekitar. Seperti yang diutarakan oleh Febriana Noor
Haryanti (tokoh akademis dari golongan muda Kampung Bumen)
sebagai berikut:
“ Hadirnya dagelan (humor) dalam selingan cerita
srandul itu saya maknai bahwa hidup itu juga walaupun harus serius tetapi juga harus diimbangi dengan adanya hiburan yang bermanfaat, agar tidak jenuh. Maka dari itu dagelannya banyak yang mengungkapkan kebanggaan atas kampung.”
(Sumber: Wawancara, 19 Pebruari 2012)
Gambar 19 Adegan dagelan (humor) II pada srandul
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
e. Nilai-nilai luhur mengenai hubungan manusia dengan sesamanya
Nilai-nilai luhur mengenai hubungan manusia dengan
sesamanya juga terkandung dalam aktivitas kesenian srandul. Nilai-
nilai tersebut meliputi nilai-nilai gotong royong, kerukunan,
kebersamaan, dan juga penghormatan terhadap sesama. Dalam nilai-
nilai luhur mengenai hubungan manusia dengan sesamanya juga
memuat nilai-nilai cinta kasih antar sesama, kekeluargaan, bahkan
keberagamaan dalam masyarakat. Kesenian srandul merupakan
kesenian yang melibatkan banyak pelaku seni di dalamnya, sehingga
kesenian ini dapat sebagai wadah berkumpulnya masyarakat, mereka
dapat saling menjaga kerukunan dan interaksi satu dengan yang
lainnya untuk menjaga kebersamaan dan rasa kekeluargaan sebagai
satu kesatuan yang utuh.
Gambar 20 Kerukunan, kekeluargaan, dan kebersamaan antar warga
dalam persiapan srandul
Cerita-cerita dalam kesenian srandul biasanya adalah babad
yang bercerita tentang hubungan manusia dengan sesama, beberapa
cerita yang sering dipentaskan antara lain seperti cerita babad Kediri
Jenggala (Panji Asmarabangun), cerita dari Demak dengan lakon
Perawan Sunthi, dan cerita dengan Lakon Pedang Kangkam Pamor
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
Kencono (Sayidina Ali). Ketiga cerita tersebut semuanya banyak
mengajarkan nilai-nilai kesabaran, keadilan, dan juga berbuat baik
kepada sesama. Seperti penuturan dari Bapak Basis Hargito (tokoh
seni dari golongan tua Kampung Bumen) sebagai berikut:
“ Seperti cerita Perawan Sunthi itu, banyak memuat
nilai-nilai kesabaran dan keadilan. Karena di dalam ceritanya itu menceritakan ada seorang perempuan (perawan) yang terkena musibah (hamil) tetapi tidak ada yang mengakui, kemudian ada seorang lelaki tua buruk rupa yang mau menolong dengan menikahinya. Setelah dinikahi, perempuan tersebut ternyata tampak lebih muda dan cantik kemudian durhaka pada suaminya. Suaminya marah kemudian istrinya itu terkena hukum karma, dia jatuh dan tidak dapat berjalan. Kemudian istrinya meminta maaf pada suaminya bertobat sehingga dapat sembuh. Itu juga mengajarkan nilai berbuat baik kepada orang lain terlebih lagi dia adalah suaminya sendiri. Kemudian cerita Sayidina Ali yang banyak mengandung nilai perjuangan dan kesetiaan dari seorang istri, begitu juga cerita babad Kediri Jenggala yang Panji Asmarabangun.”
(Sumber: Wawancara, 01 Maret 2012)
Berdasar penuturan dari Bapak Basis tersebut menunjukkan
bahwa cerita dalam srandul pada dasarnya adalah peringatan bagi
manusia dalam bersikap dalam hidup. Cerita Perawan Sunthi
memberikan pelajaran pada semua orang bagaimana orang hidup
harus selalu bersyukur, rendah hati, dan tidak boleh durhaka. Cerita
tersebut juga mengajarkan bahwa manusia harus saling memaafkan
agar dapat bermanfaat bagi semua. Dari cerita Sayidina Ali juga
banyak mengandung nilai kepahlawanan yang dapat dijadikan
pelajaran bagi semua penontonnya. Pelajaran yang dapat diambil
adalah bagaimana kebaikan akan selalu menang dan wanita adalah
makhluk yang kuat yang dapat mengalahkan lelaki yang sombong.
Nilai keadilan dan pantang menyerah menjadi point utama dari cerita
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
Sayidina Ali tersebut. Seperti penuturan Bapak Mulyadi (tokoh
agama dari golongan Tua Kampung Bumen) sebagai berikut:
“ Cerita srandul yang Sayidina Ali itu pada intinya menurut saya banyak mengandung pendidikan tentang perjuangan, keadilan, dan kesetiaan dari seorang istri kepada suaminya. Ini dapat sebagai tuntunan dalam hidup bagi warga agar dapat lebih mengambil pendidikan dari cerita ini.”
(Sumber: Wawancara, 28 Pebruari 2012)
Dari aspek kostum (busana) juga bagi generasi muda
Kampung Bumen menangkap nilai keberagaman, akulturasi budaya,
dan kebersamaan yang ada dalam cerita Srandul. Dimana kostum
Sayidina Ali dengan atribut khas timur tengah berdampingan dengan
istrinya yang beratribut khas wanita Jawa. Dalam cerita ini Raja
Lakat juga mengenakan atribut Jawa, bahkan dalam selingan
dagelan (humor) yang ada dalam cerita Srandul ini, para pemain
dagelan ini juga mengenakan busana khas Jawa dan atribut Islam
seperti mengenakan peci/kopyah di kepala, wujud akulturasi budaya
yang ada di Bumen. Pada umunya kesenian tradisional yang ada di
Kampung Bumen ini ditangkap oleh beberapa generasi muda
Kampung Bumen sebagai kesenian yang bernafaskan agama,
sehingga mengandung nilai-nilai tuntunan yang baik. Seperti yang
diutarakan oleh Febriana Noor Haryanti (tokoh akademis dari
golongan muda Kampung Bumen) sebagai berikut:
“ Pada umunya kesenian tradisional di sini menurut
saya bernafaskan nilai-nilai agama, jadi banyak atribut (busana) yang dikombinasikan dengan tradisi lokal di sini. Kostum di srandul itu menunjukkan keberagaman, karena ada yang khas atribut timur tengah dipadu dengan khas Jawa, seperti Sayidina Ali dan istrinya. Kemudian hadirnya dagelan (humor) dalam selingan cerita srandul itu saya maknai bahwa hidup itu juga walaupun harus serius tetapi juga harus diimbangi dengan adanya hiburan yang bermanfaat, agar tidak jenuh. Maka dari itu dagelannya banyak yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
mengungkapkan kebanggaan atas kampung karena warganya saling menjaga kerukunan dan kebersamaan.”
(Sumber: Wawancara, 19 Pebruari 2012)
Gambar 21 Busana tokoh Sayidina Ali dan istrinya
dalam kesenian srandul
Gambar 22 Busana kombinasi dalam dagelan (humor)
pada kesenian srandul
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
Matrik I
Interaksi Simbolik antar Pelaku Seni dalam Memaknai Nilai-Nilai Luhur
pada Kesenian Srandul
Makna-Makna Simbolik
dalam Kesenian Srandul
Pemaknaan Nilai-Nilai Luhur
dalam Kesenian Srandul
1. Sesaji di awal pementasan srandul.
2. Isi cerita (lakon) dan aktivitas simbolik
dari proses latihan srandul.
3. Daun puring di tengah arena pertunjukan
srandul.
4. Adagelan (humor) di tengah cerita
srandul dan aktivitas simbolik latihan
dalam kesenian srandul.
5. Perpaduan busana yang dikenakan dalam
kesenian srandul, Isi cerita (lakon)
pementasan srandul, dan juga aktivitas
simbolik dalam latihan srandul.
1. Sesaji diartikan sebagai media untuk mencari
keselamatan. Upaya mencari keselamatan
dalam pekerjaan dimaknai sebagai nilai-nilai
luhur mengenai hakekat hidup.
2. Isi cerita (lakon) dan proses latihan dalam
srandul banyak mengandung pembelajaran
tentang Nilai-nilai kerja keras, keuletan,
kesabaran, perjuangan, dan kepahlawanan.
Nilai-nilai tersebut dimaknai sebagai nilai-
nilai luhur mengenai hakekat karya dan etos
kerja, dimana dalam melakukan pekerjaan
selalu memiliki tujuan yang akan
mempengaruhi etos kerja.
3. Keberadaan daun puring di tengah arena
pertunjukan srandul diartikan dengan bahwa
dalam melakukan setiap pekerjaan harus
selalu memperhatikan harmonisasi dengan
alam (lingkungan), harmonisasi dengan alam
dimaknai sebagai nilai-nilai luhur mengenai
hubungan antara manusia dengan alam.
4. Adegan dagelan (humor) di tengah cerita
srandul diartikan bahwa hidup harus ditata
(pembagian waktu/selaras). Aktivitas latihan
kesenian srandul sendiri banyak mengajarkan
mengenai nilai-nilai kedisiplinan. Nilai-nilai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
kedisiplinan dan keselarasan dalam hal waktu
dimaknai sebagai nilai-nilai luhur mengenai
persepsi manusia terhadap waktu.
5. Keberadaan makna simbolik berupa beragam
perpaduan busana yang dikenakan dalam
kesenian srandul sendiri mengandung
pembelajaran mengenai nilai-nilai saling
menghormati keberagaman. Sedangkan isi
cerita (lakon) dalam pementasan srandul dan
juga aktivitas latihan srandul sendiri banyak
mengandung pembelajaran mengenai nilai-
nilai seperti gotong royong, guyup rukun,
cinta kasih, kekeluargaan, dan keadilan.
Nilai-nilai tersebut dimaknai sebagai nilai-
nilai luhur mengenai hubungan manusia
dengan sesamanya.
(Sumber: Disarikan dari wawancara dan observasi, Pebruari-Maret 2012)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
B. Interaksi Simbolik antar Pelaku Seni dalam Memaknai Nilai-Nilai
Luhur pada Kesenian Karawitan
Kata karawitan berasal dari kata rawit yang artinya halus, lembut,
lungit. Jadi karawitan dimaknai sebagai kehalusan rasa yang diwujudkan
dalam seni gamelan. Karawitan/gamelan dapat berdiri sendiri ataupun
mengiringi seni pedhalangan, seni vokal, atau seni tari (diambil dari
http://id.wikipedia.org/wiki/Karawitan, pada Rabu 07 Maret 2012). Dalam
perkembangannya, karawitan biasa digunakan untuk mengiringi tarian dan
nyanyian, tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa karawitan juga dapat
mengadakan pementasan sendiri.
Karawitan merupakan seni pertunjukan yang dilakukan oleh
sekelompok seniman (penabuh) alat-alat musik tradisional yang disebut
Gamelan yang antara lain terdiri atas Bonang, Kenong, Gong, Saron, Kethuk,
Centhe, Gambang, ditambah dengan Kendang dan Suling dengan Laras Pelog
maupun Slendro. Seperangkat Gamelan yang digunakan untuk seni
Karawitan dapat dibuat dari tembaga, perunggu, maupun besi. Pelog dan
Slendro merupakan titi laras dalam kesenian karawitan. Titi: tanda/tulisan,
laras: nada–nada yang sudah tertentu urutan tinggi rendahnya (frekuensi)
dalam satu gembyang (oktaf). Jadi, Titilaras adalah notasi atau tulisan untuk
menginterpretasikan nada–nada yang sudah tertentu urutan tinggi rendahnya
dalam satu gembyang (oktaf).
Karawitan pada dasarnya di bagi menjadi tiga jenis (diambil dari
http://pstk.itb.ac.id/?page_id=38 pada Rabu 07 Maret 2012), yaitu karawitan
Sekar, karawitan gending, dan karawitan sekar gending. Karawitan Sekar
merupakan salah satu bentuk kesenian Karawitan yang dalam penyajiannya
lebih mengutamakan terhadap unsur vokal atau suara manusia. Karawitan
Sekar sangat mementingkan unsur vokal. Sedangkan Karawitan Gending
adalah salah satu bentuk kesenian yang dalam penyajiannya lebih
mengutamakan unsur instrumental atau alat musik. Karawitan Sekar Gending
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
adalah salah satu bentuk kesenian yang dalam penyajiannya terdapat unsur
gabungan antara karawitan sekar dan gending.
Karawitan di Kampung Bumen tergolong dalam jenis Karawitan
Gending, dimana dalam aktivitas/bentuk keseniannya lebih mengutamakan
unsur instrumental dari alat-alat musik yang ada dalam kesenian ini.
Karawitan yang ada di Kampung Bumen merupakan aktivitas kesenian yang
biasa digunakan untuk mengiringi pementasan-pementasan seni pertunjukan
lain seperti srandul, macapat, dan juga sholawatan. Berdasar fungsi dan
kegunaannya inilah, maka Ketua Muda-Mudi Bumen bekerjasama dengan
golongan tua Kampung Bumen memprakarsai latihan rutin untuk kesenian
karawitan di Kampung Bumen. Jika karawitan sudah dikuasai maka lebih
mudah untuk berlatih srandul, macapatan, dan juga sholawatan. Hal ini
senada dengan yang diutarakan Hapsoro Noor Adianto (Ketua Muda-Mudi
Bumen Kampung Bumen) seperti berikut:
“ ...... kesenian asli sini kan srandul, nah itu yang kita
utamakan. Karena itu (srandul) kan wiyogonya (pengiringnya) itu kan bermain karawitan, sehingga harus ada yang nggamel (bermain gamelan), ada yang bermain musiknya, jadi dasarnya dulu yang kita bangun yaitu Karawitannya, kalau sudah jadi baru ke tahap selanjutnya seperti srandul, tari, macapatan, dan sholawatan.”
(Sumber: Wawancara, 26 Pebruari 2012)
1. Bentuk dan Interaksi Simbolik dalam Kesenian Karawitan
Interaksi dalam kesenian karawitan ini berlangsung mulai dari
saat latihan rutin hingga pementasan karawitan di tengah masyarakat.
Latihan rutin antara golongan tua dan muda yang ada di Kampung
Bumen ini menjadikan regenerasi untuk kesenian karawitan yang ada di
Kampung Bumen ini berjalan baik, antusias Muda-Mudi Bumen dalam
kegiatan ini sangat baik, sehingga latihan dapat berjalan rutin setiap satu
kali dalam satu minggu, tepatnya setiap hari Jumat pukul 21.00-22.30
WIB di Perpustakaan Kampung Bumen. Sedangkan untuk pelatihnya
sendiri, golongan tua dan juga Muda-Mudi Bumen sepakat untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
mendatangkan pelatih karawitan dari luar Kampung Bumen, hal ini
dimaksudkan agar latihan dapat lebih fokus. Hal ini senada dengan
penuturan Dandung Apriyantoro (Wakil Muda-Mudi Bumen) sebagai
berikut:
“ Kalau pelatihnya sih dari luar kampung ya… Sebetulnya
ada orang dari kampung yang bisa karawitan, tetapi yang namanya pelatih itu akan berpengaruh pada anak-anak yang dilatih, misalkan kalau yang melatih hanya orang Bumen, sama-sama sekampung, itu nanti anak-anak akan banyak bercanda kurang serius, tetapi kalau kita ambil dari orang luar, maka anak-anak yang dilatih itu pasti memiliki rasa tidak enak hati untuk bermain-main/bercanda, jadi kita ambil dari luar agar lebih serius dalam latihan.”
(Sumber: Wawancara, 25 Pebruari 2012)
Gambar 23 Latihan rutin karawitan Muda-Mudi Bumen
Pada aktivitas kesenian karawitan ini, di dalamnya memuat nilai-
nilai luhur yang ditransformasikan/dimaknai oleh para pelaku seni yang
terlibat di dalamnya. Transformasi nilai ini merupakan suatu proses
interaksi dalam menginformasikan nilai-nilai yang baik dan kurang baik
yang terkandung dalam aktivitas kesenian karawitan. Pada tahapan ini,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
kesenian karawitan dikenalkan pada generasi muda dengan tujuan
membangkitkan minat seni yang mereka miliki. Hal ini dilakukan oleh
generasi tua dengan bentuk memfasilitasi dan mendukung proses
pelestarian kesenian tradisional yang ada di Kampung Bumen.
Proses pengenalan nilai diawali dengan sosialisasi (pengenalan)
bentuk dan aktivitas dari kesenian karawitan itu sendiri. Pengenalan
dilakukan dengan cara mengajak generasi muda mau merawat alat musik
gamelan. Dengan merawat alat musik tersebut tentunya generasi muda
akan semakin cinta dan memiliki rasa ingin tahu lebih dalam mengenai
alat musik tersebut, sehingga memudahkan generasi muda untuk
dilibatkan secara langsung dalam kesenian karawitan. Maka, sosialisasi
nilai akan dimulai pada saat generasi muda mulai terlibat langsung dalam
aktivitas kesenian karawitan. Regenerasi (pelibatan langsung) generasi
muda dalam kesenian karawitan ini, selain untuk menjaga eksistensi
kesenian karawitan sendiri juga digunakan sebagai media pengenalan
nilai-nilai yang terkandung dalam aktivitas karawitan agar dapat
dirasakan dan dimaknai oleh generasi muda Kampung Bumen. Ketika
seseorang/individu sudah mulai menggemari dan mencintai kesenian
karawitan tersebut, pasti mereka mulai dapat merasakan kehadiran nilai-
nilai yang terkandung dalam kesenian tradisional tersebut. Pada saat
inilah generasi tua Kampung Bumen sebagai pelatih kesenian sedikit
demi sedikit memberikan pemahaman tentang makna dan arti dari nilai-
nilai yang terkandung dalam kesenian tersebut pada saat latihan.
Dengan kata lain pada tahapan ini, nilai-nilai yang nampak di
permukaan dari aktivitas kesenian karawitan baik dalam proses latihan
ataupun keberadaan makna simbolik yang melekat pada kesenian
karawitan, mulai perlahan dikenal dan dimengerti oleh generasi muda
dan masyarakat pada umunya baik dalam latihan ataupun pementasan.
Hal ini berdasar penuturan Dedy Fathurrahman (tokoh seni dari golongan
muda Kampung Bumen) sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
“ Awalnya kita (generasi muda) dibiasakan dengan kesenian tradisional itu dengan cara merawat alatnya, kemudian kita menggemari dan ingin memainkan, setelah menjalani bimbingan dan latihan oleh generasi tua, kita mulai merasakan ada nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kesenian tradisional seperti contohnya dalam kesenian srandul dan karawitan, nilai-nilai kerja keras dan pantang menyerah kita rasakan benar-benar dalam latihan.”
(Sumber: Wawancara, 10 Maret 2012)
Tahapan ini memungkinkan nilai-nilai yang nampak pada
permukaan aktivitas kesenian karawitan yang disisipkan oleh generasi
tua mulai dirasakan kehadirannya oleh generasi muda pada saat latihan,
serta memungkinkan pula nilai-nilai yang terkandung dalam aktivitas
kesenian karawitan itu dirasakan oleh masyarakat pada saat pementasan
berlangsung. Nilai-nilai mengenai semangat kerja keras dan pantang
menyerah secara langsung ataupun tidak langsung mulai dikenalkan oleh
generasi tua dalam latihan kesenian karawitan.
Dapat disimpulkan bahwa dalam tahapan ini, nilai-nilai yang
terkandung dalam aktivitas kesenian karawitan di Kampung Bumen
mulai ditransformasikan pada masyarakat aktivitas seni, transformasi
dalam tahapan ini hanya bersifat sebagai pengenalan (sosialisasi)
terhadap nilai-nilai yang nampak pada permukaan aktivitas kesenian
karawitan tersebut.
2. Nilai-Nilai Luhur yang Terkandung dalam Aktivitas Kesenian Karawitan
Keberadaan kesenian karawitan di Kampung Bumen memang
menjadi hal penting dalam mendukung kesenian yang lain di Kampung
Bumen. Kesenian ini dapat dipergunakan dalam mengiringi kesenian
yang lain seperti srandul, sholawatan, dan macapatan. Beberapa nilai-
nilai luhur yang terkandung dalam simbol-simbol interaksi pada kesenian
karawitan ini meliputi:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
84
a. Nilai-nilai luhur mengenai hakekat hidup
Nilai-nilai luhur mengenai hakekat hidup pada intinya adalah
nilai-nilai yang mengajarkan manusia mengenai hakekat kehidupan,
termasuk di dalamnya yaitu nilai-nilai yang mengajarkan bagaimana
manusia hidup itu harus bermanfaat bagi lingkungan sekitarnya.
Karawitan menjadi kesenian yang dapat bermanfaat bagi kesenian
lain di Kampung Bumen, maka dengan mempelajari kesenian
karawitan ini, mengandung makna bahwa manusia juga harus dapat
berguna dan bermanfaat bagi lingkungan sekitar, seperti filosofi
yang melekat pada kesenian karawitan ini. Hal ini senada dengan
penuturan Hapsoro Noor Adianto (Ketua Muda-Mudi Bumen)
sebagai berikut:
“ Karawitan itu sebagai hal penting bagi kesenian tradisional yang lain, karena karawitan dapat digunakan untuk mengiringi kesenian tradisional yang lain. Jadi untuk sekarang kita mengadakan latihan rutin untuk karawitan sekaligus mendapat pelajaran bahwa mempelajari sesuatu itu dari dasarnya dulu agar dapat bermanfaat untuk yang lainnya.”
(Sumber: Wawancara, 26 Pebruari 2012)
b. Nilai-nilai luhur mengenai hakekat karya dan etos kerja
Nilai-nilai luhur mengenai hakekat karya dan etos kerja pada
intinya adalah nilai-nilai yang mengajarkan manusia bagaimana
dapat memaknai hakekat pekerjaan yang dilakukan dengan etos kerja
yang tentunya dapat menghasilkan suatu karya dari pekerjaan yang
dilakukan tersebut. Nilai-nilai mengenai hakekat karya dan etos kerja
ini meliputi nilai-nilai semangat kerja keras, pantang menyerah,
kesabaran, keuletan, dan juga nilai-nilai tentang perjuangan untuk
memperoleh suatu hal (cita-cita).
Karawitan menjadi kesenian yang relatif sukar untuk
dikuasai karena membutuhkan latihan tak terbatas waktunya.
Kesenian ini merupakan kombinasi dari beberapa alat musik
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
85
gamelan yang dimainkan dipadu oleh aturan-aturan tertentu demi
menghasilkan keselarasan nada yang indah, sehingga kesenian
karawitan ini tidak akan pernah ada akhir dari latihannya karena
harus selalu dilatih terus-menerus jika ingin semakin baik permainan
alat musiknya. Seperti penuturan dari Bapak Basis Hargito (tokoh
seni dari golongan tua Kampung Bumen) sebagai berikut:
“ Kesenian seperti karawitan itu tidak akan pernah ada batasan akhir latihannya, karena orang harus terus belajar agar semakin pintar dalam memainkannya.”
(Sumber: Wawancara, 01 Maret 2012)
Uraian di atas menunjukkan karawitan sebagai aktivitas
kesenian, mengandung nilai perjuangan yang mengajarkan bahwa
demi meraih suatu tujuan dibutuhkan usaha yang penuh semangat
disertai keuletan, kesabaran, dan keginggihan. Dengan didasari sikap
keuletan, kesabaran, dan keginggihan dalam berlatih, maka akan
menjadikan seseorang pandai dalam berbagai hal. Seperti penuturan
Febriana Noor Haryanti (tokoh akademis golongan muda Kampung
Bumen) sebagai berikut:
“ Dalam berlatih karawitan itu kan pada awalnya memang sulit, namun dengan kesabaran dan kerja keras yang sungguh-sungguh pasti dapat menguasai dan memainkannya. Jadi kesenian karawitan itu di dalamnya banyak mengajarkan pendidikan mengenai nilai-nilai semangat kerja keras dan pantang menyerah dalam melakukan ataupun mengerjakan sesuatu.”
(Sumber: Wawancara, 19 Pebruari 2012)
c. Nilai-nilai luhur mengenai persepsi manusia tentang waktu
Kesenian karawitan merupakan kombinasi antara alat musik
gamelan yang dimainkan dengan irama tertentu demi harmonisasi
melodi yang indah dari setiap kombinasinya. Dalam kesenian
karawitan ini, alat-alat musik dimainkan sesuai notasi dari arahan
pengajar, maka dengan adanya notasi-notasi ini sekaligus
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
86
mengandung makna simbolik bahwa dalam melakukan sesuatu itu
harus menghargai waktu, karena ada saatnya/gilirannya/waktunya
dalam mengambil sikap. Begitu pula dalam karawitan, ada saatnya
pula pemain harus menyesuaikan kapan waktu harus mengetuk alat
sesuai notasi yang ada.
Latihan karawitan juga dapat memberikan pendidikan pada
generasi muda tentang arti kedisiplinan dalam kerjasama anggota.
Karawitan dimainkan oleh beberapa orang, sehingga satu sama lain
harus saling menghargai waktu kapan mendapat giliran mengetuk
atau menunggu agar tercipta harmoni yang indah dari kesenian
karawitan ini. Hal ini senada dengan penuturan Descy Etik Sanjaya
(tokoh agama dari golongan muda Kampung Bumen) sebagai
berikut:
“.....Latihan karawitan itu mengandung nilai-nilai kedisiplinan dalam melakukan pekerjaan, karena dalam karawitan itu kan tidak semuanya mengetuk bersamaan, namun ada gilirannya (waktunya) masing-masing agar dapat menciptakan harmoni nada yang indah.”
(Sumber: Wawancara, 27 Pebruari 2012)
d. Nilai-nilai luhur mengenai hubungan manusia dan sesamanya
Kesenian karawitan ini juga mengandung nilai-nilai luhur
mengenai hubungan manusia dan sesamanya dalam aktivitasnya
sebagai kesenian tradisional. Nilai-nilai luhur mengenai hubungan
manusia dan sesamanya meliputi nilai-nilai kepatuhan pada
pemimpin, nilai-nilai gotong royong, dan juga nilai kepekaan
terhadap orang disekitarnya. Dalam kesenian karawitan yang
dimainkan oleh lebih dari satu pelaku seni ini, dibutuhkan gotong
royong dan kepekaan dari setiap pemainnya agar dapat
menempatkan posisi dengan baik saat membaca notasi. Hal ini
mengajarkan bahwa dalam melakukan sesuatu itu harus
memperdulikan dan peka terhadap orang disekitar.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
87
Kesenian karawitan dimainkan dengan menggunakan
berbagai alat musik gamelan. Dalam kesenian karawitan, kendang
memiliki peran penting dalam jalannya harmoni musik, hal ini
dikarenakan kendang adalah alat musik yang dapat mengatur tempo
dalam karawitan, sehingga seakan-akan kendang adalah pemimpin
dari barisan alat musik gamelan dalam karawitan. Makna simbolik
dari itu semua adalah bahwa pemain lain yang tidak memainkan
kendang harus dapat mengikuti dan peka dengan permainan kendang
agar tempo dapat menjadi selaras. Hal ini memberikan pembelajaran
tentang nilai-nilai kepatuhan pada pemimpin demi sebuah hasil yang
diinginkan bersama, tentunya dengan kepekaan dari semua orang
yang terlibat di dalamnya. Hal ini berdasar penuturan dari Descy
Etik Sanjaya (tokoh agama dari golongan muda Kampung Bumen)
sebagai berikut:
“ Kalau dalam kesenian karawitan itu kan yang jadi pemimpin dalam alat musik itu adalah kendang, karena kendang yang mengatur tempo dalam karawitan, apakah mau tempo cepat atau lambat itu semua tinggal menyesuaikan kendang, tentunya harus peka agar dapat merasa kendang ingin bermain cepat atau lambat. Dengan adanya itu maka terdapat makna simbolik bahwa seseorang harus memiliki kepekaan dalam bersikap patuh pada pimpinan demi tujuan bersama.”
(Sumber: Wawancara, 27 Pebruari 2012)
Gambar 24 Kedudukan kendang sebagai pemimpin dalam kesenian karawitan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
88
Matrik 2
Interaksi Simbolik antar Pelaku Seni dalam Memaknai Nilai-Nilai Luhur
pada Kesenian Karawitan
Makna-Makna Simbolik
dalam Kesenian Karawitan
Pemaknaan Nilai-Nilai Luhur
dalam Kesenian Karawitan
1. Keberadaan alat musik gamelan yang
bermultifungsi. Gamelan dapat
digunakan untuk mengiringi kesenian
tradisional lain seperti: srandul,
sholawatan, dan macapatan.
2. Aktivitas simbolik latihan karawitan.
3. Cara memainkan alat musik gamelan
dengan notasi tertentu agar tercipta irama
yang indah. Cara memainkan gamelan
ini diatur oleh aturan tertentu dan harus
disiplin dalam memainkannya.
4. Keberadaan alat musik kendang dalam
karawitan. Kedudukan kendang dalam
karawitan adalah sebagai pemimpin.
1. Gamelan dapat digunakan untuk mengiringi
kesenian tradisional lain seperti: srandul,
sholawatan, dan macapatan, sehingga mengandung
pelajaran bahwa hidup ini juga harus dapat
bermanfaat bagi sekitar. Pelajaran semacam ini
dimaknai sebagai nilai-nilai luhur mengenai
hakekat hidup, dimana hakekat hidup dimaknai
dengan hidup harus bermanfaat bagi sekitar.
2. Aktivitas latihan dalam karawitan mendidik untuk
bersikap sabar, ulet, bersemangat, kerja keras,
pantang menyerah, dan tekun, sikap-sikap ini
dimaknai sebagai nilai-nilai luhur mengenai
hakekat karya dan etos kerja.
3. Keberadaan makna simbolik cara memainkan alat
musik gamelan serta aktivitas latihan kesenian
karawitan yang diatur oleh aturan tertentu
menuntut sikap kedisiplinan di dalamnya, sikap ini
dimaknai sebagai nilai luhur mengenai persepsi
manusia terhadap waktu.
4. Nilai-nilai luhur mengenai hubungan manusia
dengan sesamanya dimaknai dengan gotong royong
antar sesama (pelaku seni), kepatuhan pada
pemimpin, dan juga kepekaan terhadap sesama
manusia. Nilai gotong royong terkandung dalam
kesenian karawitan berupa makna simbolik dari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
89
aktivitas latihan karawitan sendiri yang banyak
memuat nilai tersebut. Sedangkan nilai-nilai
kepatuhan pada pemimpin dan kepekaan dengan
sesama terkandung dalam kesenian karawitan
melalui keberadaan makna simbolik berupa alat
musik kendang. Kedudukan kendang dalam
karawitan adalah sebagai pemimpin, maka dalam
karawitan sendiri banyak memuat nilai kepatuhan
pada pemimpin (kendang) dan juga kepekaan
dengan sesama, agar dalam memainkan gamelan
dalam seni karawitan dapat berjalan baik dan
harmonis satu sama lainnya.
(Sumber: Disarikan dari wawancara dan observasi, Pebruari-Maret 2012)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
90
C. Interaksi Simbolik antar Pelaku Seni dalam Memaknai Nilai-Nilai
Luhur pada Kesenian Sholawatan
Sholawatan merupakan seni pertunjukan bernafaskan Islam, yang
dilakukan oleh sekelompok orang dengan diiringi beberapara alat musik
seperti rebana dan terbang besar untuk menambah kesan keindahan dan
religiusnya. Sholawatan yang ada di Kampung Bumen sudah ada dan
berkembang dari zaman dahulu hingga sekarang. Bahkan teks syairnya
sampai sekarang sulit untuk ditelusuri siapa pengarang dan penulisnya.
Sholawatan pada intinya adalah aktivitas bernafaskan agama Islam
dalam rangka ber-Sholawat pada Rasulullah Muhammad SAW. Namun,
karena dikemas dengan irama dan intonasi tertentu dan juga diiringi alat
musik seperti rebana dan terbang, maka banyak orang menyebutnya
Sholawatan. Menurut sejarahnya, sholawatan yang ada di Kampung Bumen
sudah ada sejak zaman dahulu bahkan menurut salah seorang tokoh seni
Kampung Bumen yaitu Bapak Basis Hargito, kesenian Sholawatan mungkin
lebih tua usianya dibanding kesenian srandul yang ada di kampung Bumen.
Hal ini sesuai dengan yang diutarakan Bapak Basis Hargito (seorang tokoh
kesenian dari Kampung Bumen) sebagai berikut:
“ Wah itu (sholawatan), ya sudah semenjak dulu mungkin, ya
tidak jauh dari kesenian Srandul itu tadi, tapi mungkin lebih tua sholawatan. Kalau sholawatan itu sudah ada dari nenek moyang kita yang ada di sini, kalo sholawatan itu intinya mengagungkan Nabi Muhammad SAW.”
(Sumber: Wawancara, 01 Maret 2012)
Seni sholawatan di Kampung Bumen diprakarsai oleh Bapak Mulyadi
(seorang warga di RT 24) dan Bapak Sadono (seorang warga di RT 25).
Keduanya hingga sekarang masih aktif dalam kesenian sholawatan yang ada
di Kampung Bumen. Beliau-beliau menjadi tokoh seni di bidang sholawatan
di Kampung Bumen dikarenakan sebagian besar syair dari jenis kesenian ini
sudah banyak yang mereka hafal dan berusaha mereka terapkan dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
91
kehidupan sehari-ini. Meskipun untuk saat ini latihan rutin masih dilakukan
sekali dalam dua minggu, kelompok sholawatan ini selalu siap jika kapan
saja ada pementasan (dibutuhkan). Hal ini berdasar penuturan Bapak Mulyadi
(seorang tokoh agama yang aktif dalam kesenian sholawatan) sebagai
berikut:
“ Ya sebagian besar hafal... setiap saat dibutuhkan
(sholawatan) itu siap, karena sudah mendarah daging dan sebagian besar sudah hafal.”
(Sumber: Wawancara, 28 Pebruari 2012)
Kelompok sholawatan yang ada di Kampung Bumen sudah terkenal
eksistensinya di kawasan Yogyakarta. Kelompok sholawatan yang ada di
Kampung Bumen ini menamakan dirinya Purba Makuta (Purba= suatu bentuk
usaha/Purbayan, Ma= menuju, Ku= Laku,Ta= Utama), yang berarti bahwa
kelompok Sholawatan ini mencita-citakan masyarakat Kampung Bumen ini
dapat menuju jalan yang utama (baik). Seni sholawatan di Kampung Bumen
sekarang ini sudah dibagi menjadi dua yaitu Sholawatan bapak-bapak
(kakung) yang beranggotakan ± 25 orang dan Sholawatan ibu-ibu (Istri) yang
beranggotakan ± 20 orang. Seperti yang diutarakan oleh Bapak Mulyadi
(seorang tokoh agama di Kampung Bumen yang aktif dalam kesenian
Sholawatan) sebagai berikut:
“ Sholawatan ada dua rombongan yaitu sholawatan kakung
dan sholawatan putri.... Purba Makuta artinya Purbo itu kan suatu bentuk usaha, kebetulan disini kan termasuk Kelurahan Purbayan, jadi kita masukkan disitu yang artinya masyarakat Purbayan ini, makuto itu ma=menuju, ku=laku, to= utomo. Jadi artinya masyarakat Bumen ini bagaimana bisa menuju laku utama.”
(Sumber: Wawancara, 28 Pebruari 2012)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
92
Gambar 25 Seni sholawatan kakung dan putri Kampung Bumen
Seni sholawatan Kampung Bumen juga sering diminta oleh Instansi
Pemerintah Kota Yogyakarta untuk mengisi dalam acara tahunan Pemerintah
Kota Yogyakarta dalam upacara Pasang Pathok sebagai simbolis pembukaan
pasar malam dalam tradisi sekaten di Alun-alun utara Keraton Yogyakarta.
Sholawatan yang ada di Kampung Bumen ini selalu diiringi alat musik
rebana dan terbang dalam setiap pementasannya. Meskipun hingga saat ini
hanya terdapat beberapa generasi muda yang ikut serta dalam kesenian ini,
kelompok sholawatan ini masih tetap eksis dan mengharapkan generasi muda
segera sadar dan aktif dalam kesenian Sholawatan ini. Hal ini sesuai dengan
penuturan Bapak Mulyadi (seorang tokoh agama di Kampung Bumen yang
aktif dalam kesenian Sholawatan) sebagai berikut:
“ ...itu karena belum ada rasa ingin tahu, meskipun dari
golongan tua-tua ini sudah seringkali bahkan tidak ada bosannya untuk mengajak bagaimana mereka ikut serta apabila ada pementasan Sholawatan... Lebih tepatnya belum peka saja, Karena dulu, muda-mudi yang sekarang seusia Mas Adi itu dulu saat kecil waktu di TPA ada semacam Sholawatan khusus untuk anak-anak. Sehingga dari dulu mereka bisa, dulu tim dakwahnya mengajari anak-anak TPA untuk memegang instrumen untuk bersholawat, dan itu sangat bagus, perlu dipelihara, dikembangkan dan dipertahankan dengan istilahnya diragati (dibiayai).”
(Sumber: Wawancara, 28 Pebruari 2012)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
93
1. Bentuk dan Interaksi Simbolik dalam Kesenian Sholawatan
Interaksi antar pelaku seni dalam kesenian ini banyak
menggunakan simbol-simbol huruf (tulisan) dalam syair-syair naskah
Sholawatan sendiri. Syair-syair dalam sholawatan Purba Makuta di
Kampung Bumen banyak mengandung nilai-nilai agama (Islam) di
dalamnya, syair-syairnya mengandung perintah menjalankan rukun Islam
dan memuji Nabi Muhammad SAW, salah satu syair dalam sholawatan
yang selalu menjadi syair pembuka dalam setiap pementasannya sebagai
berikut:
Wajib atas wong mukalab Kawruhono ing critane Gusti kito kang minulyo Panutane wong sak bumi Rukune Islam lelimo Dhihin syahadat pindho sholat Telu zakat papat poso Limo kaji yen kuwoso Wiwit nalikane miyos Saking guwo garbo dugi Ing sedane gusti kito Karingas ngantos puniko Rukune Islam lelimo Dhihin syahadat pindho sholat Telu zakat papat poso Limo kaji yen kuwoso Njeng Nabi Muhammad iku Sayid Abdullah keng romo Siti Aminah kang Ibu Endahnyo lir pendah sasi Rukune Islam lelimo Dhihin syahadat pindho sholat Telu zakat papat poso Limo kaji yen kuwoso
‘Wajib bagi orang yang baru masuk Islam’ ‘Tunjukkanlah tentang Rosul kita yang mulia’ ‘Pemimpin manusia sedunia’ ‘Rukun Islam ada lima’ ‘Yang pertama Syahadat, yang kedua Sholat’ ‘Ketiga Zakat, keempat puasa’ ‘Kelima berhaji jika mampu’ ‘Sejak ketika mengetahui’ ‘Dari kegelapan datang pencerahan’ ‘Saat meninggalnya Nabi kita’ ‘Teringat hingga sekarang’ ‘Rukun Islam ada lima’ ‘Yang pertama Syahadat, yang kedua Sholat’ ‘Ketiga Zakat, keempat puasa’ ‘Kelima berhaji jika mampu’ ‘Nabi Muhammad itu’ ‘Abdullah ayahnya’ ‘Siti Aminah ibunya’ ‘Indahnya di setiap bulan’ ‘Rukun Islam ada lima’ ‘Yang pertama Syahadat, yang kedua Sholat’ ‘Ketiga Zakat, keempat puasa’ ‘Kelima berhaji jika mampu’
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
94
Syair tersebut menjadi pembuka dalam setiap pementasan
sholawatan Purba Makuta, syair tersebut sebagai tanda pementasan
sudah dimulai dan berisi peringatan tentang kebesaran Nabi Muhammad
SAW, serta perintah menjalankan rukun Islam. Latihan rutin juga
dilakukan oleh kelompok seni sholawatan Purba Makuta, kelompok
sholawatan ini menggelar latihan rutin setiap dua minggu sekali tepatnya
setiap malam Jumat Kliwon (Kamis malam) pukul 21.00 WIB, latihan
sholawatan ini bertempat di rumah para anggota kelompok sholawatan
dengan sistem bergilir sehingga lokasi latihan selalu berpindah-pindah
dari satu rumah ke rumah anggota yang lainnya. Hal ini berdasar
penuturan dari Bapak Basis hargito (tokoh seni dari golongan tua
Kampung Bumen) sebagai berikut:
“ Kalau sholawatan itu setiap dua minggu sekali.”
(Sumber: Wawancara, 01 Maret 2012)
Hal senada juga diungkapkan oleh Bapak Mulyadi (tokoh agama
dari golongan tua Kampung Bumen yang aktif dalam kesenian
sholawatan) sebagai berikut:
“ Sholawatan itu setiap malam Jumat kliwon, tetapi karena
ini musim hujan sehingga agak vakum latihannya. Tetapi meskipun vakum, jika setiap saat dibutuhkan itu siap, karena sudah mendarah daging dan sebagian besar sudah hafal.”
(Sumber: Wawancara, 28 Pebruari 2012)
Jadi untuk musim penghujan, latihan tidak berjalan rutin karena
terhalang masalah cuaca, namun menurut Bapak Mulyadi semua itu tidak
menjadi masalah jika sholawatan diundang untuk pementasan ataupun
tampil dalam berbagai kegiatan, hal tersebut karena sebagian besar
anggota dalam kelompok sholawatan Purba Makuta banyak diantara
mereka yang sudah hafal syairnya dan benar-benar dimaknai secara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
95
mendalam, sehingga dalam penampilannya akan tetap mempertahankan
kualitas sebagai kesenian yang siap dipertunjukkan kapan saja.
Nilai-nilai agama tersebut mulai diinternalisasikan pada generasi
muda dengan cara melibatkan langsung para generasi muda dalam latihan
ataupun pementasan dari seni sholawatan tersebut. Cara lain juga dapat
ditempuh dalam internalisasi nilai-nilai yang terkandung dalam seni
sholawatan ini adalah dengan membiasakan aktivitas sholawatan ini
selalu berada di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat Kampung
Bumen. Dengan adanya pembiasaan semacam ini, maka generasi muda
dan masyarakat Kampung Bumen lainnya akan sering mendengar syair-
syair dalam seni sholawatan ini, sehingga nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya akan segera dirasakan dan dimaknai oleh para generasi muda
dan masyarakat sekitar.
Interaksi antar pelaku seni dalam kesenian sholawatan ini diawali
sejak dari tahap sosialisasi bentuk dan aktivitas kesenian, kesenian
sholawatan dikenalkan pada generasi muda dengan tujuan
membangkitkan minat seni yang mereka miliki. Hal ini dilakukan oleh
generasi tua dengan bentuk memfasilitasi dan mendukung proses
pelestarian kesenian tradisional yang ada di Kampung Bumen.
Proses pengenalan nilai dilakukan dengan melibatkan generasi
muda dalam aktivitas kesenian sholawatan. Regenerasi dalam kesenian
sholawatan ini, selain untuk menjaga eksistensi kesenian sholawatan
sendiri juga digunakan sebagai media pengenalan nilai-nilai yang
terkandung dalam aktivitas sholawatan agar dapat dirasakan dan
dimaknai oleh generasi muda Kampung Bumen. Regenerasi diawali
dengan proses sosialisasi kesenian sholawatan pada generasi muda,
dengan intensitas mendengarkan dalam acara-acara peringatan
keagamaan dan acara-acara kemasyarakatan, mampu menumbuhkan rasa
ingin tahu serta rasa kesadaran daripada nilai-nilai yang terkandung
dalam syair-syair sholawatan. Ketika seseorang/individu sudah mulai
menggemari dan mencintai kesenian sholawatan tersebut, barulah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
96
kemudian mereka diikutsertakan dalam kesenian sholawatan agar
mampu lebih mengenal dan memahami nilai-nilai yang ada pada
kesenian tersebut, hal ini pasti menjadikan mereka mulai dapat
merasakan kehadiran nilai-nilai yang terkandung dalam kesenian
sholawatan tersebut. Pada saat inilah generasi tua Kampung Bumen
sebagai pelatih kesenian sedikit demi sedikit memberikan pemahaman
tentang makna dan arti dari nilai-nilai yang terkandung dalam kesenian
sholawatan tersebut pada saat latihan. Setelah mendapat pemahaman
terkait nilai-nilai yang dirasakan dalam aktivitas kesenian sholawatan
tersebut, barulah kemudian ada pembinaan dari generasi tua yang
tentunya dapat mengarahkan orientasi nilai yang terkandung dalam
kesenian sholawatan dengan baik agar tidak disalah artikan oleh para
generasi muda.
Dengan kata lain pada tahapan ini, nilai-nilai yang nampak di
permukaan dari aktivitas kesenian sholawatan, mulai perlahan dikenal
dan dimengerti oleh generasi muda dan masyarakat pada umunya baik
dalam latihan ataupun pementasan. Tahapan ini memungkinkan nilai-
nilai yang nampak pada permukaan aktivitas kesenian sholawatan yang
disisipkan oleh generasi tua mulai dirasakan kehadirannya oleh generasi
muda melalui proses latihan, serta memungkinkan pula nilai-nilai yang
terkandung dalam aktivitas kesenian sholawatan itu dirasakan oleh
masyarakat pada saat pementasan berlangsung. Nilai-nilai mengenai
hakekat hidup (agama) secara langsung ataupun tidak langsung mulai
dikenalkan oleh generasi tua dalam latihan ataupun pementasan kesenian
sholawatan melalui komunikasi verbal, karena seni sholawatan ini adalah
kesenian yang menekankan pada unsur vokal dalam aktivitas seninya.
Dalam tahapan ini, nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kesenian
sholawatan ditransformasikan melalui aktivitas proses latihan
sholawatan itu sendiri, serta juga melalui makna simbolik dan syair-syair
yang ada dalam kesenian tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
97
Dapat disimpulkan bahwa dalam tahapan ini, nilai-nilai yang
terkandung dalam aktivitas kesenian sholawatan di Kampung Bumen
mulai dimaknai sebagai nilai luhur melalui makna simbolik yang
digunakan untuk berkomunikasi (interaksi antar pelaku seni).
2. Nilai-Nilai Luhur yang Terkandung dalam Aktivitas Kesenian
Sholawatan
Kesenian sholawatan ini tentunya banyak mengandung nilai-nilai
luhur sebagai pendidikan bagi seluruh warga, nilai-nilai tersebut termuat
dalam syair-syairnya. Pada umumnya syair-syairnya mengandung nilai-
nilai hakekat hidup dan ajaran-ajaran baik yang pantas dijadikan contoh.
Seperti penuturan Bapak Mulyadi (tokoh agama dari golongan tua
kampung Bumen) sebagai berikut:
“ Kesenian sholawatan, selain sebagai hiburan tontonan,
juga memuat nilai-nilai luhur kehidupan, sehingga dapat dijadikan tuntunan dalam hidup. Di dalamnya memuat nilai-nilai dan ajaran-ajaran yang baik.”
(Sumber: Wawancara, 28 Pebruari 2012)
Salah satu contoh potongan syair dalam kesenian sholawatan ini
yang mengandung nilai-nilai luhur mengenai hakekat hidup adalah
sebagai berikut:
“Rukune Islam lelimo Dhihin syahadat pindho sholat Telu zakat papat poso Limo kaji yen kuwoso”
‘Rukun Islam ada lima’ ‘Yang pertama Syahadat, yang kedua Sholat’ ‘Ketiga Zakat, keempat puasa’ ‘Kelima berhaji jika mampu’
Syair di atas bagi orang Islam dikenal sebagai Rukun Islam.
Rukun Islam adalah perintah yang ditujukan kepada orang muslim untuk
memaknai hakekat hidup bahwasannya hidup di dunia ini wajib
dipergunakan untuk menjalankan perintah agama. Ada juga beberapa
potongan syair yang dapat dimaknai oleh orang non muslim terkait
hakekat hidup di dunia, potongan syair tersebut sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
98
Kito kabeh kuwajiban Makrifat marang pangeran Bakal kang kanggo gegaman Kanthi dalil kitab Qur’an.
‘ Kita semua berkewajiban’ ‘ Menyembah pada Tuhan’ ‘ Sesuatu yang dapat dijadikan
senjata’ ‘ Dan sebagai dasar adalah kitab
Al qur’an’
Potongan syair tersebut dapat dimaknai oleh seluruh manusia
bahwa semua wajib menyembah Tuhan sebagai hakekat hidup di dunia.
Potongan syair-syair lain juga ada yang mengandung nilai-nilai luhur
mengenai mengenai persepsi manusia tentang waktu, dimana manusia
hidup harus selalu menghargai waktu dan memanfaatkannya dalam hal
yang bermanfaat karena hidup hanya singkat dan sesaat. Potongan syair
yang memuat nilai- nilai hakekat mengenai persepsi tentang waktu
sebagai berikut:
Urip iku wong nèng ndonya Sajatiné ora lami Sèket tahun baéléno Kèhakèhé satus warsi Mulane eling to eling Sirèku ojo ketungkul Kayungyun mrung kadonyan Lali mring kang gawe urip
‘Hidup itu, wahai manusia di dunia’ ‘Sebenarnya tidak lama’ ‘Lima puluh tahun sudah peringatan’ ‘Paling banyak umur seratus tahun’ ‘Hendaklah segera mengingat’ ‘Sebelum datang penyesalan’ ‘Dibutakan kehidupan dunia’ ‘Melupakan Sang Pencipta kehidupan’
Ada pula potongan syair yang menyerukan kepada para generasi
muda untuk selalu membaca kitab suci, karena mengandung banyak
pelajaran baik dan buruk agar para generasi muda dapat selalu berbuat
baik di lingkungan tempat tinggal dan dimana saja mereka berada.
Potongan syair ini mengandung nilai-nilai pembelajaran mengenai
hakekat nilai-nilai luhur hubungan antara manusia dengan sesama.
Potongan syair tersebut sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
99
Kawruhono dhuh poro mudho Ing dalem Qur’an isinyo Ono prentah ono cegah Pra janji sarto pangancam Ono dogeng lan pitutur Sartané ngilmu sarengat Tarekat miwah hakekat Lan uga ana dongane
‘Ketahuilah para pemuda’ ‘Di dalam Al qur’an terdapat’ ‘Ada perintah dan larangan’ ‘Ada janji dan ancaman’ ‘Ada cerita dan nasihat’ ‘Serta ilmu dan aturan’ ‘contoh dalam memahami makna’ ‘Dan terdapat juga doa nya’
Masih banyak nilai-nilai yang terkandung dalam kesenian
sholawatan ini, pada intinya semua bernafaskan Islam dan banyak
mengajarkan tentang kebaikan serta perintah menjalankan agama. Dari
aspek busana, kesenian sholawatan mengenakan busana Jawa (sorjan
dan kebaya) dalam setiap pementasannya. Busana sorjan dan kebaya
memiliki makna simbolik bahwa kesenian yang benafaskan Islam,
mampu diakulturasi tampilannya menyesuaikan tradisi lokal sehingga
busana yang dikenakan tidak lagi atribut Islam, tetapi adalah atribut
budaya Jawa. Akulturasi ini dimaksudkan agar kesenian ini dapat
diterima oleh seluruh warga Kampung Bumen dalam setiap pementasan
dan penyampaian pesan-pesannya pada penonton dapat dimaknai dengan
senang hati. Hal ini berdasar penuturan Febriana Noor Haryanti (tokoh
akademis dari golongan muda Kampung Bumen) sebagai berikut:
“ Busana dalam kesenian sholawatan sendiri bukan
busana Islam, tetapi di sini mengenakan sorjan dan kebaya. Hal ini sebagai wujud akulturasi budaya sudah dapat diterima oleh warga, sehingga pementasan dan penyampaian pesan-pesan penuh maknanya dapat diterima menyesuaikan kondisi masyarakat yang ada.”
(Sumber: Wawancara, 19 Pebruari 2012)
Berdasar penuturan di atas menunjukkan bahwa kesenian
sholawatan banyak mengandung nilai-nilai hakekat hidup dan pesan
moral bagi para manusia sebagai nilai-nilai luhur dalam kehidupan.
Pelajaran yang diambil dari makna simbolik pada busana kesenian
sholawatan dan juga alat musik yang digunakan (rebana dan gamelan)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
100
ini adalah bahwa akulturasi menjadi penting sebagai cara adaptif dalam
suatu kondisi masyarakat untuk menanamkan dan mengembangkan suatu
tradisi yang penuh makna. Implementasi dari makna simbolik busana
kesenian sholawatan dalam kehidupan sehari-hari adalah bahwa untuk
menyampaikan pesan/ajakan kepada orang lain tentunya perlu
menyesuaikan dengan kondisi orang lain tersebut, cara ataupun
penyampaiannya dapat dirubah menyesuaikankeinginan dari orang lain
tersebut, yang terpenting isi dan makna yang terkandung dalam
cara/penyampaiannya tersebut tetap terjaga dan dapat diterima oleh orang
lain.
Bentuk akulturasi budaya pada kesenian sholawatan dapat
sebagai pelajaran bagi sesama manusia mengenai nilai-nilai keselarasan,
keluwesan, dan kebijaksanaan dalam bersikap. Dalam menempuh suatu
tujuan maka dapat menggunakan perpaduan budaya baru dengan budaya
lokal, sehingga memunculkan budaya yang dapat diterima oleh bersama
sehingga pesan ataupun makna yang dibawa dalam cara/kemasan budaya
baru tersebut tetap dapat tersampaikan. Jadi secara tidak langsung,
aktivitas kesenian sholawatan ini di dalamnya juga mengandung nilai-
nilai harmonisasi dan keselarasan dengan lingkungan, wujud dari nilai-
nilai mengenai hakekat hubungan baik antara manusia dengan
sesamanya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
101
Matrik 3
Interaksi Simbolik antar Pelaku Seni dalam Memaknai Nilai-Nilai Luhur
pada Kesenian Sholawatan
Makna-makna Simbolik
dalam Kesenian Sholawatan
Pemaknaan Nilai-Nilai Luhur
dalam Kesenian Sholawatan
1. Syair-syair dalam sholawatan.
2. Perpaduan busana dan alat
musik yang digunakan dalam
sholawatan.
3. Aktivitas simbolik dalam
latihan dan pelaksanaan
kesenian sholawatan.
1. Syair-syair dalam sholawatan banyak memuat
tentang nilai-nilai ketuhanan, agama, dan ibadah.
Nilai-nilai tersebut dimaknai sebagai nilai-nilai
luhur mengenai hakekat hidup, yang
diimplementasikan dengan adanya kepercayaan
terhadap sang pencipta.
2. Syair-syair dan aktivitas simbolik dalam
sholawatan juga banyak memuat pembelajaran
tentang nilai-nilai kerja keras, pantang menyerah,
dan berpikir positif. Nilai-nilai tersebut dimaknai
sebagai nilai-nilai luhur mengenai hakekat karya
dan etos kerja. Kategori nilai ini memandang bahwa
bekerja adalah suatu hal yang memiliki tujuan dan
makna tertentu, sehingga etos kerja akan
mempengaruhi sikap bekerja tersebut.
3. Syair-syair dan aktivitas simbolik dalam
sholawatan juga dimaknai mengandung nilai-nilai
luhur mengenai persepsi manusia terhadap waktu.
Waktu diartikan sebagai suatu hal yang sangat
berharga bagi manusia, karena waktu merupakan
kesempatan yang dimiliki oleh setiap manusia
untuk menjalani hidup dengan sebaik mungkin,
sehingga diimplementasikan dengan sikap
kedisiplinan dan kemampuan memanfaatkan waktu.
4. Perpaduan busana dan alat musik dalam sholawatan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
102
diartikan sebagai wujud akulturasi budaya demi
keharmonisan masyarakat. Bahkan aktivitas
simbolik dalam latihan sholawatan dan syair-syair
nya juga dipelajari sebagai pembelajaran mengenai
toleransi keberagaman, keteladanan moral, budi
pekerti, sopan santun, dan kerukunan. Sikap
tersebut dimaknai sebagai nilai-nilai luhur
mengenai hakekat hubungan manusia dengan
sesamanya.
(Sumber: Disarikan dari wawancara dan observasi, Pebruari-Maret 2012)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
103
D. Interaksi Simbolik antar Pelaku Seni dalam Memaknai Nilai-Nilai
Luhur pada Kesenian Macapatan
Macapat adalah tembang atau puisi tradisional Jawa. Puisi tradisional
Jawa atau tembang biasanya dibagi menjadi tiga kategori: tembang cilik,
tembang tengahan, dan tembang gedhé. Macapat digolongkan dalam kategori
tembang cilik dan juga tembang tengahan, sementara tembang gedhé meliputi
kakawin atau puisi tradisional Jawa Kuna, namun dalam penggunaannya pada
masa Mataram Baru, tidak diterapkan perbedaan antara suku kata panjang
ataupun pendek. Di sisi lain, tembang tengahan juga bisa merujuk kepada
kidung, yaitu sebuah puisi tradisional dalam bahasa Jawa Pertengahan.
Kalau dibandingkan dengan kakawin, aturan-aturan dalam macapat
berbeda dan lebih mudah diterapkan menggunakan bahasa Jawa karena
berbeda dengan kakawin yang didasarkan pada bahasa Sansekerta. Sebuah
karya sastra macapat biasanya dibagi menjadi beberapa pupuh, sementara
setiap pupuh dibagi menjadi beberapa padha. Setiap pupuh menggunakan
metrum yang sama. Metrum ini biasanya tergantung kepada watak isi teks
yang diceritakan. Jumlah padha per pupuh berbeda-beda, tergantung terhadap
jumlah teks yang digunakan. Sementara setiap padha dibagi lagi menjadi
larik atau gatra. Sementara setiap larik atau gatra ini dibagi lagi menjadi
suku kata atau wandha. Jadi, setiap gatra memiliki jumlah suku kata yang
tetap (guru wilangan) dan berakhir dengan sebuah vokal yang sama pula
(guru lagu).
Macapat diperkirakan muncul pada akhir Majapahit dan dimulainya
pengaruh Walisanga, namun hal ini hanya bisa dikatakan untuk situasi di
Jawa Tengah, sebab di Jawa Timur dan Bali macapat telah dikenal sebelum
datangnya Islam (diambil dari http://id.wikipedia.org/wiki/Macapat pada
Rabu, 07 Maret 2012). Banyak orang mengartikan macapat dengan maca
papat-papat (membaca empat-empat), maksudnya yaitu cara membaca
terjalin tiap empat suku kata. Macapatan adalah aktivitas kesenian untuk
menembangkan tembang yang disajikan secara bersama-sama secara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
104
berkelompok dengan mengambil dari tembang-tembang cilik (macapat).
Biasanya dalam macapatan, satu orang melagukan tembang, kemudian yang
lain mengikuti/menirukan. Dalam tradisi lokal di Kampung Bumen,
macapatan juga diartikan sebagai tradisi berkumpul untuk bersama-sama
nembang untuk memohon keselamatan dan kesejahteraan bagi warga
Kampung Bumen.
1. Bentuk dan Interaksi Simbolik dalam Kesenian Macapatan
Macapatan yang ada di Kampung Bumen berkembang menjadi
seni pertunjukan yang dilakukan oleh beberapa orang (meskipun dapat
juga dilakukan oleh perorangan) dengan diiringi beberapa alat musik
gamelan dan rebana. Seni pertunjukan ini menampilkan tembang
macapat sebagai inti utama dalam pementasannya, meskipun syair dari
tembang-tembangnya dapat dikreasi sesuai dengan kebutuhan dan tujuan
dalam pementasan.
Gambar 26 Kesenian macapatan Kampung Bumen
Tembang macapat adalah jenis metrum dalam tembang Jawa,
jenisnya meliputi: Mijil , Maskumambang, Sinom, Durma, Asmarandana,
Kinanthi, Dhandanggula, Gambuh, Pangkur, Mêgatruh, Pocung
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
105
(Purwadi, 2005: 290-291). Hal senada juga diutarkan oleh Bapak
Mulyadi (seorang tokoh agama di Kampung Bumen yang aktif dalam
kesenian Sholawatan) sebagai berikut:
“ ..........kalau macapat itu tembang-tembangnya ada
nama-nama tersendiri, ada asmarandana, ada sinom, ada pangkur, ada dhandanggula, ada megatruh, ada kinanthi, maskumambang, mijil , durma, gambuh, Pocung.”
(Sumber: Wawancara, 28 Pebruari 2012)
Tembang macapat apabila dikaji dan diurutkan, memiliki makna
filosofis terhadap kehidupan manusia. Urutan dan makna dari tembang
macapat tersebut sebagai berikut: (1) mijil berarti masa kelahiran anak,
sifat tembangnya prihatin, karena dalam kehamilan dan menghadapi
anak, orang tua biasanya selalu prihatin, berdoa agar ibu dan anaknya
dapat selamat, (2) maskumambang menggambarkan masa anak-anak,
sifat tembangnya prihatin, yaitu dimana masa kegembiraan telah
memiliki buah hati, namun selalu khawatir apabila anaknya terkena
musibah dalam bermain, (3) sinom menggambarkan masa muda, sifat
tembangnya gembira, menunjukkan masa remaja biasanya senang bicara
dan pandai bergaul dalam rangka mencari simpati orang lain, (4) durma
menggambarkan masa remaja yang masih labil dan mudah terpengaruh
terhadap lingkungan serta keadaan, sifat dari tembang ini adalah
pemberani, karena para pemuda biasanya amat berani dan mudah emosi,
(5) asmarandana menggambarkan masa remaja yang mulai mengenal
jatuh cinta terhadap lawan jenis, sifat tembangnya adalah gembira dan
sedih karena apabila seseorang sedang jatuh cinta maka akan merasakan
perasaan gembira dan juga sedih jika pasangannya tergoda oleh orang
lain, (6) kinanthi menggambarkan masa hidup berumah tangga,
mengingat masa hidup berkeluarga merupakan waktu yang amat
menyenangkan, penuh kasih sayang, maka sifat dari tembang ini adalah
senang, dan penuh kasih sayang, (7) dhandhanggula menggambarkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
106
masa tua, diharapkan pada masa ini sudah mulai dapat menyelaraska
hidup, saling membantu dalam kehidupan, sifat dari tembang ini adalah
menyenangkan, maksudnya adalah bahwa masa tua harus mulai senang
membantu dan bekerjasama dengan tetangganya serta dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungan, (8) gambuh menggambarkan
kematangan jiwa antara cipta rasa karsa dan karya yang telah menyatu,
telah dapat menyeimbangkan antara kebutuhan jasmani dan rohani, sifat
dari tembang ini mengandung nasihat pelajaran-pelajaran hidup, (9)
pangkur menggambarkan penggembaraan masa lanjut usia yang telah
mengesampingkan urusan duniawi, sifat dari tembang ini adalah
semangat, (10) mêgatruh menggambarkan masa kematian, memisahnya
roh dengan jasad, sifat dari tembang ini adalah sedih dan kecewa,
maksudnya apabila kematian telah datang maka para sanak keluarga akan
merasa susah/sedih, (11) pocung menggambarkan sewaktu mayat mulai
dikafan, sifat dari tembang ini adalah seenaknya, maksudnya apabila
manusia telah meninggal maka akan lupa segalanya, dan tidurnya
(dimakamkannya) seenaknya bergantung kehendak para sanak saudara
yang masih hidup. Berdasarkan uraian tersebut, menunjukkan
bahwasannya tembang macapat mengandung nilai falsafah hidup yang
amat dalam, yakni menggambarkan proses kehidupan manusia sejak lahir
hingga meninggal (Sutardjo, 2006: 17-19).
Kelompok Macapatan yang ada di kampung Bumen bernama
Purba Arum. Kata Purba sendiri diambil dari kata Purbayan (kelurahan)
dan juga arum yang berarti wangi. Nama Purba Arum sendiri
dimaksudkan dapat sebagai sebuah tujuan mulia dari kegiatan macapatan
sendiri, yaitu agar macapatan yang ada di Kampung Bumen ini dapat
membawa nama harum bagi Kampung Bumen dan juga kelurahan
Purbayan. Kesenian macapatan dengan nama Purba Arum ini juga
memiliki latihan rutin di Kampung Bumen. Latihan untuk kesenian ini
agak berbeda waktunya dengan kesenian yang lain di Kampung Bumen.
Untuk kesenian macapatan ini sendiri memiliki rutinitas latihan setiap
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
107
sekali dalam 35 (tiga puluh lima) hari, tepatnya setiap malam Minggu
Legi (Sabtu Malam) dimulai pukul 20.30 WIB. Latihan seni macapatan
ini bertempat di rumah anggota kelompok macapatan dengan sistem
bergiliran secara sukarela, namun sekarang latihan sudah mulai
dipusatkan bertempat di Pendapa RW 06 Kampung Bumen, Purbayan,
Kotagede, Yogyakarta. Hal ini berdasar penuturan Bapak Basis Hargito
(tokoh seni dari golongan tua Kampung Bumen) sebagai berikut:
“ Kalau macapat itu sampai sekarang masih hidup (rutin),
itu setiap 35 hari sekali tepatnya setiap malam Minggu legi. Tempatnya ya keliling, tetapi kami pusatkan di Pendapa yang baru direhab itu sekarang ini.”
(Sumber: Wawancara, 01 Maret 2012)
Gambar 27 Pendapa Kampung Bumen
Diharapkan dengan adanya pemusatan latihan di Pendapa RW 06
Kampung Bumen ini dapat memudahkan para pelaku seni, seperti seni
macapatan dapat lebih giat dan aktif dalam menjaga eksistensi kesenian
tradisional yang ada di Kampung Bumen. Secara umum, pemusatan
latihan ini sekaligus untuk membangkitkan minat dan mengajak para
warga yang menggemari kesenian ini untuk bergabung tanpa perlu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
108
memiliki rasa sungkan. Di sisi lain, latihan ini diharapkan juga sebagai
sarana pendidikan bagi generasi muda yang mendengarkan saat latihan
berlangsung.
Macapatan di Kampung Bumen sendiri banyak menggunakan
(menembangkan) serat-serat Jawa, diantaranya menggunakan Serat
Wedhatama dan juga Serat Wulangreh, namun tidak menutup
kemungkinan juga ada variasi dalam syair dan bahasanya karena sifat
macapat yang luwes dan dapat digunakan dalam berbagai situasi tertentu.
Hal ini berdasar penuturan Bapak Basis Hargito (tokoh kesenian di
Kampung Bumen) sebagai berikut:
“ Wah itu banyak sekali.. Wulangreh ada, itu peninggalan
dari Sinuhun Pakubuwono IV, Wedhatama dari Mangkunegara IV, kemudian dari babad-babad Sunan Kalijaga itu, Kertojoyo, dll. Pokoknya sebetulnya macapat itu luwes kok, opo-opo iso kok (apa-apa bisa), kalau saya kemarin mengarang tentang nostalgia Kampung Bumen mbiyen ki piye sejarahe (dulu itu bagaimana sejarahnya) dan sebagainya, itu tak gawe tembang (saya buatkan lagu).”
(Sumber: Wawancara, 01 Maret 2012)
Contoh tembang yang dikreasi oleh Bapak Basis Hargito sebagai
berikut:
Kampung Bumen dik jaman rumiyin, Pantes kanggo conto, Pegaweyan ingkang kondhang ceret, Natah perak kerajinan peni, Oncor senthir kaling, Soblog torong gayung. Pitulasan sarta sasi Mei, Dha ngarak genderuwo Kethoprakan gayeng caritane, Sholawatan karawitan Jawi,
‘Kampung Bumen di jaman dahulu’ ‘Pantas sebagai contoh’ ‘Pekerjaan yang terkenal ceret (teko)’ ‘Mengukir perak kerajinan indah’ ‘Oobor, senthir, kaling’ ‘Soblog, torong, gayuh’ ‘Tujuhbelasan serta bulan Mei’ ‘Semua mengarak Genderuwo’ ‘Pementasan Kethoprak menarik ceritanya’ ‘Sholawatan adalah karawitan Jawa’
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
109
Seni warna-warni, Kabeh padha manggung. Ning saiki jamane wis ganti, Nanging tetep elok, Guyub rukun tua lan mudhane, Gotong royong sengkut nambut kardi, tu binatu sami, Yen ana wong ewuh.
‘Seni beraneka-macam’ ‘Semua orang berpentas’ ‘Tetapi sekarang jaman sudah berganti’ ‘Tetapi tetap bagus’ ‘Guyub rukun antara generasi tua dan mudanya’ ‘Gotong royong untuk mempercepat pekerjaan’ ‘Untuk kepentingan bersama’ ‘Apabila ada tetangga menggelar Hajatan’.
(Sumber: Basis Hargito dalam Invani Lela Herliana, 2001: 1)
Sedangkan tembang dari Serat Wedhatama yang sering
ditembangkan oleh kelompok macapatan yang ada di Kampung Bumen
adalah tembang Sinom dari serat Wedhatama, tembang ini sering dikaji
dan ditembangkan dalam berbagai latihan, kegiatan, ataupun pementasan
karena tembang ini berisikan petuah untuk generasi muda. Hal ini
berdasar penuturan dari Dedy Fathurrahman (tokoh seni dari golongan
muda Kampung Bumen) sebagai berikut:
“ Kalau yang sering dalam latihan dan ada dalam
pementasan itu setahu saya tembang sinom, karena petuahnya banyak yang ditujukan untuk generasi muda.”
(Sumber: Wawancara, 10 Maret 2012)
Adapun syair dari tembang sinom dari Serat Wedhatama antara
lain sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
110
Tembang Sinom (1) Nuladha laku utama Tumrapé wong tanah Jawi Wong agung ing Ngèksiganda Panêmbahan Sénapati Kapati amarsudi Sudané hawa lan nêpsu Pinêsu tapa brata Tanapi ing siyang ratri Amêmangun karyènak tyasing sêsama (2) Samangsané pasamuwan Mêmangun marta martani Sinambi ing sabên mangsa Kala-kalaning asêpi Lelana tèki-tèki Gayuh géyonganing kayun Kayungyun êninging tyas Sanityasa pinrihatin Puguh panggah cêgah dhahar lawan néndra (3) Sabên méndra saking wisma Lêlana lêladan sêpi Ngingsêp sêpuhing sopana Mrih pana pranawèng kapti Tis-tising tyas marsudi Mardawaning budya tulus Mêsu rèh kasudarman Nèng tepining jalanidhi Sruning brata kataman wahyu dyatmika (4) Wikan wêngkoning samodra
’Contohlah tingkah laku yang terbaik’ ’Untuk kalangan orang di tanah Jawa’ ’Orang mulia dari Mataram’ ’Panembahan Senapati’ ’Seorang yang sangat tekun’ ’Mengurangi hawa dan nafsu’ ’Dengan jalan bertapabrata’ ’Di siang dan malam hari’ ’Selalu berusaha membuat kebahagian hati sesama’
’Ketika dalam suatu pertemuan’ ’Menciptakan kebahagiaan merata’ ’Sambil di setiap saat’ ’Waktu-waktu yang sepi’ ’Berkelana sambil bertapa’ ’Demi mencapai cita-cita’ ’Terpendam di lubuk hati’ ’Selalu berprihatin’ ’Berpegang teguh mencegah makan dan tidur’
’Setiap pergi meninggalkan rumah’ ’Pergi ke tempat sepi’ ’Menyerap berbagai ilmu keutama-an’
’Agar paham dan jelas yang dituju’ ’Maksud hati mencapai’ ’Kehalusan budi yang tulus’ ’Mempelajari ilmu tua’ ’Di tepi samudera’ ’Dari ketekunannya didapat wahyu yang baik’
’Paham tepi samudera’
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
111
Kèdêrên wus dèn ideri Kinêmat kamot ing driya Rinêgêm sagêgêm dadi Dumadya angratoni Nêngnggih Kangjêng Ratu Kidul Dêdêl gayuh gegana Umara marêk maripih Sor prabawa lan wong agung Ngèksiganda (5) Dahat dènira aminta Sinupêkêt pangkat kanthi Jroning alam panglimunan Ing pasaban sabên sêpi Sumanggêm anyanggêmi Ing karsa kang wus tinamtu Pamrihé mung aminta Supangaté tèki-tèki Nora kétang têkên janggut suku jaja (6) Prajanjiné abipraya Saturun-turun ing wuri Mangkono trahing awirya Yèn amasah mêsu budi Dumadya glis dumugi Iya ing sakarsanipun Wong Agung Ngèksiganda Nugrahané praptèng mangkin Trah-tumêrah darahé padha wibawa (7) Ambawani tanah Jawa Kang padha jumênêng aji Satriya dibya sumbaga Tan lyan trahing Sénapati Pan iku pantês ugi Tinulad labetanipun
’Seluruhnya telah dikitari’ ’Disimpan dalam hati’ ’Digenggam sekali genggam’ ’Menjadi ratu’ ’Yakni Kanjeng Ratu Selatan’ ’Terbang tinggi ke angkasa’ ’Datang dengan mengendap-endap’
’Kalah wibawa dengan Tuan Agung dari Mataram’
’Dia minta dengan sangat’ ’Agar akrab dan dijadikan pengikut’ ’Dalam alan gaib’ ’Pada waktu berkelana di alam sepi’ ’Siap menyanggupi’ ’Kehendak yang telah dimaksud’ ’Maksudnya hanya meminta’ ’Restu dari pertapa’ ’Meski harus dengan cara susah payah’ ‘Janji bertujuan baik’ ‘Untuk anak cucu di kemudian hari’ ’Demikian keturunan raja’ ’Apabila mencari ilmu kesempurnaan’ ‘Akhirnya akan segera tercapai’ ‘Apa yang diinginkan’ ’Tuan Agung dari Mataram’ ’Anugerah sampai sekarang’ ’Semua keturunannya berpangkat dan berwibawa’
’Menguasai tanah Jawa’ ’Semua yang menjadi raja’ ’Kstaria sakti dan tersohor’ ’Tak lain keturunan Senapati’ ’ Itulah pantas pula’ ’Dicontoh perjuangannya’
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
112
Ing sakuwasanira Enaké lan jaman mangkin Sayektiné tan bisa ngêplêki kuna (8) Lowung kalamun tinimbang Ngaurip tanpa prihatin Nanging ta ing jaman mangkya Pra mudha kang dènkarêmi Anulad nêlad nabi Nayakèng Rat Gusti Rasul Anggung ginawé umbak Sabên seba mampir masjid Ngajap-ajap mujijat tibaning drajat (9) Anggung anggubêl saréngat Saringané tan dèn-wruhi Dalil dalaning ijêmak Kiyasé nora mikani Katungkul mungkul sami Béngkrakan mring masjid agung Kalamun maca kutbah Lelagoné Dhandhanggendhis Swara arum ngumandhang céngkok Palaran (10) Lamun sira paksa nulad Tuladhaning Kangjêng Nabi O nggèr kadohan panjangkah Watêkké tan bêtah kaki Rèhné ta sira Jawi Sathithik baé wus cukup Aywa guru alêman Nêlad kas ngêblêgi pêkih Lamun pêngkuh pangangkah yêkti karahmat (11) Nanging énak ngupa boga Rèhné ta tinitah langip
’Sesuai kemampuannya’ ’Enaknya di zaman sekarang’ ’Sesungguhnya tak dapat meniru jaman kuna’
’ Itu lebih baik daripada’ ’Hidup tanpa prihatin’ ’Tapi apakah di jaman kini’ ’Yang disukai anak muda’ ’Meniru-niru nabi’ ’Utusan Tuhan adalah rasul’ ’Dipakai kesombongan’ ’Setiap menghadap singgah ke masjid’ ’Mengharap mukjizat kejatuhan derajat’
’Selalu mempelajari syariat’ ’ Intinya tak diketahui’ ’Dalil jalan ijmak’ ’Tidak paham akan kias’ ’Mereka hanya terlena’ ’Berbondong-bondong ke masjid agung’
’Ketika membaca kutbah’ ’Lagunya Dhandhanggula’ ’Suara merdu mengumandangkan gaya Palaran’
’Andaikan kamu harus meniru’ ’Teladan kanjeng nabi’ ’O, anakku terlalu jauh yang kau angankan’ ’Wataknya tak tahan, anakku’ ’Karena kamu orang Jawa’ ’Sedikit saja sudah cukup’ ’Jangan suka disanjung’ ’Berhasrat meniru fikih’ ’Jika kuat cita-citamu tentu
mendapat rahmat’ ’Tapi enak mencari nafkah’ ’Karena ditakdirkan sebagai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
113
Apa ta suwitèng nata Tani tanapi agrami Mangkono mungguh mami Paduné wong dahat cubluk Durung wruh cara Arab Jawaku baé tan ngenting Parandéné paripêksa mulang putra (12) Saking duk maksih taruna Sadhéla wus anglakoni Abérag marang agama Maguru anggêring haji Sawadiné tyas mami Bangêt wêdiné ing bésuk Pranatan akir jaman Tan tutug kasêlak ngabdi Nora kobêr sêmbahyang gya tinimbalan (13) Marang ingkang asung pangan Yèn kasuwèn dèn-dukani Bubrah bawur ing tyasingwang Lir kiyamat sabên ari Bot Allah apa Gusti Tambuh-tambuh solahingsun Lawas-lawas grahita Rèhné ta suta priyayi Yèn muriha dadi kaum têmah nistha (14) Tuwin kêtib suragama Pan ingsun nora winaris Angur baya ngantêpana Pranatan wajibing urip Lampahan anglêluri’
makhluk lemah’ ’Apakah mengabdi raja’’ ’Bertani dan berdagang’ ’Begitu menurut hematku’ ’Karena aku orang bodoh’ ’Belum paham bahasa Arab’ ’Bahasa Jawaku saja belum memadai’ ’Tetapi memaksa diri mengajari anak’ ’Sejak ketika masih muda’ ’Walau sebentar telah mengalami’ ’Mempelajari agama’ ’Berguru menurut aturan haji’ ’Sebenarnya rahasia hatiku’ ’Sangat takut kelak kemudian’ ’Aturan di akhir jaman’ ’Belum selesai keburu mengabdikan diri’
’Tak sempat sembayang telah di- panggil’ ’Kepada yang memberi makan’ ’Apabila terlalu lama dimarahi’ ’Kacau-balau hatiku’ ’Bagaikan kiamat setiap hari’ ’Berat Tuhan ataukah Gusti’ ’Ragu-ragu tindakanku’ ’Lama-lama terpikirkan’ ‘Karena anak bangsawan’ ’Apabila hanya ingin menjadi
juru doa sangatlah hina’ ’Dan apabila menjadi ketib juru
doa masjid’ ’Aku tidak berhak’ ’Lebih baik meminati sungguh- sungguh’ ’Peraturan wajib bagi orang hidup’ ’Menjalankan dan mewarisi’
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
114
Aluraning pra lêluhur Kuna-kumunanira Kongsi tumêkèng samangkin Kikisané tan lyan amung ngupa boga (15) Bonggan kang tan mrêlokêna Mungguh ugêring ngaurip Uripé lan tri prakara Wirya arta tri winasis Kalamun kongsi sêpi Saka wilangan têtêlu Têlas tilasing janma Aji godhong jati aking Têmah papa papariman ngulandara (16) Kang wus waspada ing patrap Mangayut ayat winasis Wasana wosing jiwangga Mêlok tanpa aling-aling Kang ngalingi kalingling Wênganing rasa tumlawung Kèksi saliring jaman Angê langut tanpa têpi Yèku aran tapa tapaking Hyang Sukma (17) Mangkono janma utama Tuman tumanêm ing sêpi Ing sabên rikala mangsa Masah amêmasuh budi Lairé anêtêpi Ing rèh kasatriyanipun Susila anoraga Wignya mèt tyasing sêsami Yèku aran wong barèk bêrag agama
’Jejak para leluhur’ ’Sejak zaman dahulu’ ’Sampai kini’ ’Akhirnya tidak lain hanya
mencari nafkah’ ’Salah sendiri yang tak peduli’ ’Akan aturan hidup’ ’Hidup berlandasan tiga perkara’ ’Luhur, harta dan pandai’ ’Apabila sampai tidak memiliki’ ’Dari bilangan tiga itu’ ’Habislah arti manusianya’ ’Lebih berharga daun jati yang kering’ ’Akhirnya sengsaranya seperti pe- ngemis yang mengembara’ ’Yang telah waspada terhadap tingkah’ ’Menghayati aturan bijak’ ’Akhirnya inti kehidupan’ ’Tampak nyata tanpa tirai’ ’Yang menutupi tersingkap’ ’Terbukanya rasa yang jauh’ ’Tampak seluruh masa’ ’Jauh tanpa batas’ ’Disebut bertapa atas tapak Hyang Sukma’ ’Begitulan manusia utama’ ’Suka berpendam alam kesepian’ ’Dalam setiap saat masa’ ’Mengasah dan membersihkan budi’ ’Memenuhi keadaannya’ ’Sebagai manusia kesatria’ ’Sopan dan rendah hati’ ’Pandai mengambil hati sesama’ ’Yaitu disebut orang mahir bidang agama’
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
115
(18) Ing jaman mêngko pan ora Arahé para taruni Yèn antuk tuduh kang nyata Nora pisan dènlakoni Banjur jujurkên kapti Kakèkné arsa winuruk Ngandêlkên gurunira Pandhitané praja sidik Tur wus manggon pamucungé mring makripat
’Pada jaman kini tidak demikian’ ’Arah gerak para muda’ ’Apabila mendapat petunjuk nyata’
’Tidak pernah dijalankan’ ’Kemudian menurut kemauannya sendiri’ ’Kakeknya akan diajari’ ’Mengandalkan kawan gurunya’ ’Pendeta negara yang pandai’ ’Telah tinggal dan sampai pada makrifat’
(Sumber: Anjar any, 2001: 34-38)
Pada kesenian macapat ini, terdapat kreasi dan kominasi dengan
tujuan menjaga eksistensi seni macapatan agar dapat lebih terjaga.
Kreasi dan kombinasi tersebut lebih nampak pada syair-syair dari
tembang macapat itu sendiri. Biasanya tembang macapat baik dari Serat
Wedhatama ataupun Wulangreh memiliki syair-syair yang sudah baku,
namun macapatan yang ada di Kampung Bumen mencoba mengkreasi
dan mengkombinasikannya dengan melibatkan beberapa alat musik
gamelan sebagai pengiringnya, serta mengkreasi syair-syair dalam
tembang macapat tersebut sesuai dengan kebutuhan namun masih
menggunakan irama yang sudah baku seperti sinom, pangkur,
dhandanggula, dan lain sebagainya.
Kreasi pada syair-syair dalam tembang macapat yang ada di
Kampung Bumen salah satunya adalah tembang yang ditulis oleh Bapak
Basis Hargito (tokoh seni dari golongan tua Kampung Bumen), tembang
ini menceritakan tentang Kampung Bumen, adapun syairnya sebagai
berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
116
Kampung Bumen dik jaman rumiyin, Pantes kanggo conto, Pegaweyan ingkang kondhang ceret, Natah perak kerajinan peni, Oncor senthir kaling, Soblog torong gayung. Pitulasan sarta sasi Mei, Dha ngarak genderuwo Kethoprakan gayeng caritane, Sholawatan karawitan Jawi, Seni warna-warni, Kabeh padha manggung. Ning saiki jamane wis ganti, Nanging tetep elok, Guyub rukun tua lan mudhane, Gotong royong sengkut nambut kardi, tu binatu sami, Yen ana wong ewuh.
‘Kampung Bumen di jaman dahulu’ ‘Pantas sebagai contoh’ ‘Pekerjaan yang terkenal ceret (teko)’ ‘Mengukir perak kerajinan indah’ ‘Oobor, senthir, kaling’ ‘Soblog, torong, gayuh’ ‘Tujuhbelasan serta bulan Mei’ ‘Semua mengarak Genderuwo’ ‘Pementasan Kethoprak menarik ceritanya’ ‘Sholawatan adalah karawitan Jawa’ ‘Seni beraneka-macam’ ‘Semua orang berpentas’ ‘Tetapi sekarang jaman sudah berganti’ ‘Tetapi tetap bagus’ ‘Guyub rukun antara generasi tua dan mudanya’ ‘Gotong royong untuk mempercepat pekerjaan’ ‘Untuk kepentingan bersama’ ‘Apabila ada tetangga menggelar Hajatan’.
(Sumber: Basis Hargito dalam Invani Lela Herliana, 2001: 1)
Gambar 28 Gamelan dalam seni macapat di Kampung Bumen
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
117
Kesenian macapatan di Kampung Bumen ini dalam aktivitasnya
memuat nilai-nilai luhur sebagai modal sosial bagi generasi muda dan
juga masyarakat lain yang terlibat di dalamnya. Nilai-nilai luhur tersebut
terkandung dalam simbol-simbol interkasi antar pelaku seni dalam
kesenian macapatan. Interaksi tersebut merupakan suatu proses dalam
menginformasikan nilai-nilai yang baik dan kurang baik yang terkandung
dalam kesenian macapatan. Pada tahapan ini, kesenian macapatan
dikenalkan pada generasi muda dengan tujuan membangkitkan minat
seni yang mereka miliki. Hal ini dilakukan oleh generasi tua dengan
bentuk memfasilitasi dan mendukung proses pelestarian kesenian
tradisional yang ada di Kampung Bumen.
Proses pengenalan nilai dilakukan dengan membiasakan generasi
muda mendengar hadirnya kesenian macapatan di tengah kehidupan
bermasyarakat di Kampung Bumen. Ketika seseorang/individu sudah
mulai terbiasa mendengar tembang dari kesenian macapatan tersebut,
pasti mereka mulai dapat merasakan kehadiran nilai-nilai yang
terkandung dalam syair (tembang) pada kesenian tersebut. Pada saat
inilah generasi tua Kampung Bumen sebagai pelatih kesenian sedikit
demi sedikit memberikan pemahaman tentang makna dan arti dari nilai-
nilai yang terkandung dalam kesenian tersebut pada saat latihan ataupun
di luar latihan macapatan. Bagi generasi muda yang kurang meminati
kesenian ini, nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kesenian
macapatan disosialisasikan dalam pergaulan sehari-hari yang terjalin
antara generasi tuda dan muda Kampung Bumen. Sedangkan bagi
generasi muda yang meminati kesenian macapatan ini, mereka akan
mulai dibiasakan dengan ikut membantu pementasan daripada kesenian
ini dengan wujud sebagai pengiring karawitan (wiyaga) terlebih dahulu
dalam pementasan macapatan. Hal ini atas dasar macapat menggunakan
bahasa krama (bahasa Jawa halus) yang kurang dikuasai oleh para
generasi muda. Setelah generasi muda terbiasa dengan bahasa krama
tersebut tentunya mereka akan dapat lebih mudah mengenal nilai-nilai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
118
yang ada pada syair-syair macapatan tersebut, jika tahapan pengenalan
ini sudah dapat terlaksana barulah selanjutnya generasi muda perlahan
mulai dilatih untuk melantunkan tembang macapat agar dapat lebih
secara langsung ikut merasakan dan memaknai arti daripada tembang
yang dilantunkan.
Dengan kata lain pada tahapan ini, nilai-nilai yang nampak di
permukaan dari aktivitas kesenian macapatan mulai perlahan dikenal dan
dimengerti oleh generasi muda dan masyarakat pada umunya baik dalam
latihan ataupun pementasan. Tahapan ini memungkinkan nilai-nilai yang
nampak pada permukaan aktivitas kesenian macapatan yang disisipkan
oleh generasi tua mulai dirasakan kehadirannya oleh generasi muda pada
saat latihan, serta memungkinkan pula nilai-nilai yang terkandung dalam
aktivitas kesenian macapatan itu dirasakan oleh masyarakat pada saat
pementasan berlangsung. Dalam tahapan ini, nilai-nilai luhur yang
terkandung dalam kesenian macapatan mulai ditransformasikan melalui
keberadaan makna simbolik yang melekat pada aktivitas kesenian
tersebut, melalui proses latihan daripada kesenian macapatan tersebut,
dan juga melalui syair tembang yang ada pada kesenian macapatan
tersebut. Nilai-nilai luhur mengenai hakekat hidup (agama) secara
langsung ataupun tidak langsung mulai dikenalkan oleh generasi tua
dalam latihan ataupun pementasan kesenian macapatan melalui
komunikasi verbal, karena seni macapatan ini adalah kesenian yang
menekankan pada unsur vokal dalam aktivitas seninya.
Dapat disimpulkan bahwa dalam tahapan ini, nilai-nilai yang
terkandung dalam aktivitas kesenian macapatan di Kampung Bumen
mulai ditransformasikan pada masyarakat melalui aktivitas (interaksi
simblik) pada kesenian macapatan, transformasi dalam tahapan ini hanya
bersifat sebagai pengenalan (sosialisasi) untuk kemudian dimaknai oleh
para pelaku seni terkait nilai-nilai yang nampak pada permukaan aktivitas
kesenian macapatan tersebut. Kampung Bumen merupakan kampung
kota yang ada di kawasan Kotagede, Kampung Bumen memiliki generasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
119
muda (termasuk juga menjadi pelaku seni) yang relatif aktif dalam
kegiatan sosial, bahkan hingga sekarang terkenal sebagai kampung
dengan gotong royong yang paling kuat (Invani Lela Herliana, 2011: 9).
Dengan labelling semacam itu, menunjukkan nilai-nilai luhur masih
terjaga dalam kehidupan masyarakatnya. Nilai-nilai luhur yang ada di
Kampung Bumen menjadi sebuah tradisi yang dibudayakan oleh
masyarakat setempat sebagai pedoman hidup yang diwariskan pada
generasi mudanya. Proses pewarisan nilai-nilai luhur melalui kesenian
macapatan dilakukan dengan Model keteladanan figur sosok karismatik
yang ada dalam kesenian macapatan, yaitu tokoh Panembahan Senopati
(Raja Mataram Jawa) sebagai salah satu figur keteladanan, dalam
tembang sinom dari Serat Wedhatama menerangkan bahwa beliau selalu
mencegah hawa nafsu, selalu bekerja keras, dan selalu berbuat baik
menyenangkan hati semua orang. Figur Panembahan Senopati ini hadir
dalam Serat Wedhatama pupuh Sinom bait ke 1 sebagai berikut:
Nuladha laku utama Tumrapé wong tanah Jawi Wong agung ing Ngèksiganda Panêmbahan Sénapati Kapati amarsudi Sudané hawa lan nêpsu Pinêsu tapa brata Tanapi ing siyang ratri Amêmangun karyènak tyasing sêsama
’Contohlah tingkah laku yang terbaik’ ’Untuk kalangan orang di tanah Jawa’ ’Orang mulia dari Mataram’ ’Panembahan Senapati’ ’Seorang yang sangat tekun’ ’Mengurangi hawa dan nafsu’ ’Dengan jalan bertapabrata’ ’Di siang dan malam hari’ ’Selalu berusaha membuat kebahagian hati sesama’
(Sumber: Suwardi Endraswara, 2006: 17-18)
Interaksi simbolik antar pelaku seni pada kesenian macapatan di
Kampung Bumen dilakukan atas dasar pertimbangan bahwa dalam
memberikan pendidikan mengenai nilai-nilai luhur tersebut pada generasi
muda hendaknya menggunakan media yang ringan dan dapat diterima
oleh para generasi muda. Hal ini dilakukan untuk menciptakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
120
lingkungan pendidikan sosialisasi nilai-nilai luhur yang tentunya dapat
dimaknai dan diresapi penuh kesadaran oleh generasi muda Kampung
Bumen.
Dalam aktivitasnya, kesenian tradisional memuat figur-figur
keteladanan serta makna-makna simbolik yang dapat mendukung
terjaganya nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kesenian tradisional
tersebut.
Seperti yang diutarakan oleh Bapak Topo Harjono (Ketua RW 06
Kampung Bumen) sebagai berikut:
“ Dalam aktivitas kesenian tradisional itu kan
mengandung nilai-nilai luhur, maka nilai-nilai itu dapat ditanamkan pada generasi muda dengan lebih mudah, karena melalui media yang digemari oleh mereka, sehingga tidak terkesan memaksa. Saya sendiri membiarkan anak-anak saya memilih jenis kesenian mana saja, yang terpenting tidak mengganggu aktivitas yang lain dan dapat bermanfaat bagi mereka, mereka dapat mengambil pelajaran/hikmah dari aktivitas yang mereka lakukan.”
(Sumber: Wawancara, 09 Maret 2012)
2. Nilai-Nilai Luhur yang Terkandung dalam Aktivitas Kesenian
Macapatan
Kesenian macapatan sebagai kesenian tradisional yang ada di
Kampung Bumen, memiliki fungsi hiburan dan juga memiliki fungsi
pendidikan dalam mempertahankan nilai-nilai luhur di Kampung Bumen,
khususnya bagi para pelaku seni yang terlibat di dalamnya. Kesenian ini
merupakan kesenian Jawa yang letah lama berkembang di Kampung
Bumen. Bentuk daripada kesenian ini mengandung makna bahwa
manusia hidup hendaknya selalu belajar dan memperhatikan ketika diberi
pelajaran. Kesenian ini melibatkan lebih dari dua orang dalam
pementasannya, karena bentuk kesenian ini adalah seperti kesenian
membaca puisi ataupun karya sastra lainnya, tetapi yang dibacakan
adalah puisi bahasa Jawa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
121
Berdasarkan bentuk aktivitas keseniannya, yaitu dengan membaca
dan menyimak secara bergantian, tentunya kesenian ini mengajarkan
tentang nilai-nilai hakekat hidup bahwa manusia dalam hidup harus
selalu belajar tanpa pernah mengenal batasan akhir. Bahasa yang
digunakan dalam kesenian ini adalah bahasa Jawa (krama), sehingga
mengandung makna simbolik untuk mengajak dan mengenalkan kembali
kepada generasi muda tentang bahasa Jawa yang sekarang ini sudah
mulai kurang dipahami/dikuasai oleh generasi muda. Hal ini senada
dengan penuturan Bapak Topo Harjono (Ketua RW 06 Kampung
Bumen) sebagai berikut:
“ Kalau saya kebetulan aktif di kesenian macapatan,
menurut saya macapatan itu kan bentuknya seperti membaca dan menyimak puisi, hanya saja puisinya itu adalah bahasa Jawa, jadi dengan mempelajari ataupun mendengarkan kesenian ini mengandung nilai-nilai luhur seperti orang hidup harus selalu belajar. Bahasa Jawa yang ada dalam kesenian ini sekaligus menjadi pendidikan bagi generasi muda yang sudah mulai kurang terbiasa dengan bahasa daerah, sehingga banyak yang kurang dapat memahami bahasa Jawa.”
(Sumber: Wawancara, 09 Maret 2012)
Kesenian macapatan menggunakan bahasa Jawa yang tentunya
banyak memberikan pelajaran tentang nilai-nilai tradisi lokal seperti
nilai-nilai kesopanan yang meliputi unggah-ungguh, tatakrama, tata
susila, basu krama, suba sita, etika dan sopan santun. Tata susila harus
diutamakan agar orang dapat diterima dalam pergaulan sosial secara
wajar. Semakin halus budi pekerti sesorang maka akan semakin
mendapat simpati lebih tinggi. Orang Jawa cenderung menggunakan
bahasa Jawa (krama/halus) bila berhadapan dengan orang yang dihormati
sebagai wujud implementasi hakekat hubungan manusia dengan
sesamanya. Dengan adanya kesenian macapatan yang menggunakan
bahasa Jawa, dapat sebagai pelajaran dan pembelajaran untuk semua
warga untuk tidak melupakan bahasa krama (Jawa) sebagai simbol sopan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
122
santun terhadap sesama manusia. Sopan santun dalam bertutur kata
sangat perlu diperhatikan agar masing-masing pihak tetap terjaga
kehormatannya. Sopan santun dalam berbicara pengaruhnya sangat besar
terhadap kehidupan seseorang.
Beberapa syair dalam tembang macapat juga banyak
mengandung nilai-nilai tentang tatakrama. Setiap anggota masyarakat,
apalagi seorang pemimpin harus memiliki tatakrama. Tatakrama
berkaitan dengan cara mengerjakan sesuatu agar pantas dan tidak
menyinggung perasaan orang lain. Tatakrama sendiri berasal dari bahasa
Sansekerta yang bermakna berjalan (Purwadi, 2005: 5151). Hal-hal yang
ada hubungannya dengan perjalanan hidup perlu berpedoman dengan
tatakrama. Perjalanan hidup manusia secara bersama-sama akan
harmonis hanya bila diatur dengan tatakrama. Oleh karena itu, setiap
sendi kehidupan yang meliputi bidang politik, ekonomi, sosial, dan
kebudayaan akan berlaku secara alamiah, anggun, dan tertib asalkan
masing-masing berpegang teguh pada tatakrama.
Syair-syair dalam tembang macapat banyak mengandung nila-
nilai luhur bagi semua orang, di dalamnya mengajarkan tentang
keteladanan dan juga contoh-contoh perbuatan baik yang pantas menjadi
tuntunan bagi semua orang. Tembang macapat adalah jenis metrum
dalam tembang Jawa, jenisnya meliputi: Mijil , Sinom, Maskumambang,
Asmarandana, Dhandanggula, Durma, Pangkur, Gambuh, Pocung,
Mêgatruh, Kinanthi (Purwadi, 2005: 290-291).
Beberapa tembang dalam kesenian macapatan yang sering
ditembangkan dalam latihan ataupun pementasan diantaranya yaitu:
Sinom, Pocung, dan Dhandanggula. Hal ini berdasar penuturan dari
Bapak Topo Harjono (Ketua RW 06 Kampung Bumen) sebagai berikut:
“ Kalau yang sering ditembagkan itu adalah tembang dhandanggula yang banyak mengajarkan nilai-nilai tentang perjuangan, baik dalam mengejar cita-cita ataupun dalam menimba ilmu.”
(Sumber: Wawancara, 09 Maret 2012)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
123
Hal lain juga diutarakan oleh Dedy Fathurrahman (tokoh seni dari
golongan muda Kampung Bumen) sebagai berikut:
“ Setahu saya yang sering ditampilkan itu adalah tembang
sinom dan juga tembang Pocung.”
(Sumber: Wawancara, 10 Maret 2012)
Tembang Sinom sering ditembangkan karena filosofi tembang ini
yang banyak mengarah pada para pemuda. Sinom berarti muda, suatu
masa untuk meniti cita-cita. Selagi masih muda, ilmu pengetahuan harus
dicari sebagai persiapan masa dewasa nanti. Sifat/watak dari tembang ini:
sederhana, susah, dan ginggih. Penggunaan tembang ini untuk
mengungkapkan rasa prihatin, mengemukakan petuah/nasihat bagi
generasi muda untuk tetap optimis terhadap masa depan (Purwadi, 2005:
290). Tembang sinom juga berarti kepemudaan, menerangkan tentang
pentingnya pemuda dan keutamaan dalam mencari ilmu sebanyak-
banyaknya (diambil dari harian koran Joglosemar, Minggu 01 Agustus
2012 kolom Serat, halaman 15).
Sedangkan tembang Pocung mengandung arti bahwa dalam
kehidupan ini banyak terdapat ilmu di dalamnya. Ilmu tersebut harus
dipelajari dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari agar dapat
membuahkan kesejahteraan bagi diri sendiri dan lingkungannya. Sifat
dari tembang Pocung ini: memiliki makna seenaknya, bersendau gurau.
Kegunaan dari tembang ini dapat digunakan untuk kepentingan
bersendau gurau, teka-teki lucu, nasihat agar senantiasa selalu ingat
kepada hari akhir (Purwadi, 2005: 291).
Tembang Dhandanggula mengandung makna rasa optimis
terhadap masa depan yang lebih manis, cerah, dan gemilang, karena
agenda hidup yang jelas dan tertata rapi, berjalan dengan aturan yang
berlaku. Sifatnya luwes, manis, tepat untuk digunakan dalam suasana apa
saja. Kegunaan dari tembang ini adalah untuk menyampaikan
pesan/petuah tertentu. Tembang ini biasanya dapat digunakan untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
124
mengawali permulaan gendhing (lagu) dalam kesenian tradisional lain
seperti sholawatan dan srandul. Adapun contoh tembang sinom dan
Pocung (dari Serat Wedhatama) sebagai berikut:
Tembang Sinom bait ke 6 Prajanjiné abipraya Saturun-turun ing wuri Mangkono trahing awirya Yèn amasah mêsu budi Dumadya glis dumugi Iya ing sakarsanipun Wong Agung Ngèksiganda Nugrahané praptèng mangkin Trah-tumêrah darahé padha wibawa. Tembang Pocung bait ke 1 dan 2 (1) Ngèlmu iku Kalakoné kanthi laku Lekasé lawan kas Têgêsé kas nyantosani Sêtya budya pangêkêsé dur angkara (2) Angkara gung Nèng angga aggung gumunggung Gêgolonganira Triloka lêkêré kongsi Yèn dènumbar ambabar dadi rubéda.
‘Janji bertujuan baik’ ‘Untuk anak cucu di kemudian hari’ ’Demikian keturunan raja’ ’Apabila mencari ilmu kesempurnaan’ ‘Akhirnya akan segera tercapai’ ‘Apa yang diinginkan’ ’Tuan Agung dari Mataram’ ’Anugerah sampai sekarang’ ’Semua keturunannya berpangkat dan berwibawa.’
’Ilmu adalah’ ’Dijalankan dengan perbuatan’ ’Dimulai dengan kemauan’ ’Kemauan adalah penguat’ ’Budi setia penghancur kemurkaan’ ’Angkara yang besar’ ’Dalam tubuh selalu menggelora’ ’Golongannya’ ’Sampai menguasai tiga dunia’ ’Apabila dibiarkan berkembang
menjadi bahaya.’
(Sumber: Anjar Any, 2001: 34-39)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
125
Matrik 4
Interaksi Simbolik antar Pelaku Seni dalam Memaknai Nilai-Nilai Luhur
pada Kesenian Macapatan
Makna-Makna Simbolik
dalam Kesenian Macapatan
Pemaknaan Nilai-Nilai Luhur
dalam Kesenian Macapatan
1. Syair-syair dalam tembang
macapat.
2. Aktivitas simbolik dalam
proses latihan pada kesenian
macapatan.
3. Keberadaan makna simbolik
berupa perpaduan busana dan
alat musik yang digunakan
dalam mengiringi kesenian
macapatan sendiri.
1. Syair-syair dan aktivitas simbolik latihan dalam
macapatan banyak memuat pembelajaran dan
dimaknai sebagai:
a. nilai luhur mengenai hakekat hidup
(berketuhanan).
b. nilai luhur mengenai hakekat karya dan etos
kerja (kerja keras dan pantang menyerah) yang
dipelajari dari aktivitas simbolik latihan
macapatan serta model keteladanan figur pekerja
keras, pantang menyerah, dan tekun pada
tembang sinom.
c. Nilai-nilai luhur mengenai persepsi manusia
tentang waktu yang terkandung dalam syair
macapat dan aktivitas simbolik latihan
macapatan dimaknai dengan sikap
memanfaatkan waktu sebaik-baiknya dalam
hidup.
d. Nilai-nilai luhur mengenai hubungan antara
manusia dengan sesamanya yang terkandung
dalam syair macapat dimaknai dengan sikap
tolong menolong, moralitas, cinta kasih,
kerukunan, akulturasi, kebersamaan,
kekeluargaan, dan juga sopan santun. Nilai-nilai
yang mengandung akulturasi sebagai wujud
toleransi dan adaptasi perbedaan budaya, demi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
126
sebuah keharmonisan dalam hidup juga
terkandung dalam kesenian macapatan berupa
keberadaan makna simbolik perpaduan busana
dan alat musik yang digunakan dalam mengiringi
kesenian macapatan sendiri.
(Sumber: Disarikan dari wawancara dan observasi, Pebruari-Maret 2012)
E. Pembahasan
Kampung Bumen mulai menegaskan dirinya dengan identitas sebagai
Kampung Seni, hal ini menjadikan adanya sebuah konsekuensi yang harus
dijaga bersama oleh masyarakat Kampung Bumen yaitu dalam hal aktivitas
kesenian. Identitas sebagai Kampung Seni menghantarkan masyarakat
Kampung Bumen memiliki pekerjaan besar kaitannya dalam menjaga
eksistensi kesenian yang ada di Kampung Bumen. Kesenian menjadi modal
utama dalam pengembangan Kampung ke arah yang lebih maju di tengah
budaya modern yang berkembang di Kotagede.
Identitas sebagai Kampung Seni membuka ruang bagi para seniman
(pelaku seni) kampung untuk dapat menduduki posisi penting dalam
mengembangkan potensi kampung ke arah yang lebih baik. Jika di kampung
lain kesenian hanya menjadi kekayaan budaya setempat, tidak demikian
untuk Kampung Bumen. Masyarakat Kampung Bumen (pelaku seni)
menjadikan kesenian sebagai pondasi dasar dalam membangun kehidupan
masyarakatnya, dengan kata lain bahwa kesenian sebagai media bersama
dalam menata dan membangun karakter Sumber Daya Manusia di Kampung
Bumen.
Masyarakat Kampung Bumen memandang bahwa kesenian adalah
sebagai aktivitas positif dan juga bermanfaat untuk kebersamaan yang ada di
Kampung Bumen, maka tidak heran jika di Kampung Bumen masih nampak
aktivitas kesenian rutin seperti Srandul, Sholawatan, Macapatan, dan juga
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
127
Karawitan. Melihat pentingnya peran dan kedudukan kesenian di tengah
kehidupan masyarakat Kampung Bumen, maka masyarakat Kampung Bumen
sepakat bahwa perlu adanya upaya pelestarian kesenian tradisional di
Kampung Bumen. Pelestarian kesenian tradisional di Kampung Bumen tidak
hanya semata-mata untuk mendukung dan menguatkan identitas Kampung
Bumen sebagai Kampung Seni, namun juga demi menjaga kekayaan budaya
lokal yang memuat fungsi dan tujuan luhur demi membangun karakter
Sumber Daya Manusia di Kampung Bumen. Di dalam interaksi antar pelaku
seni yang terlibat di kesenian tradisional Kampung Bumen, sesungguhnya
terdapat simbol-simbol yang mereka gunakan dalam memaknai nilai-nilai
luhur di tengah masyarakat Kampung Bumen.
1. Interaksi Simbolik antar Pelaku Seni dalam Memaknai Nilai-Nilai Luhur
pada Kesenian Tradisional di Kampung Bumen
Nilai-nilai luhur yang ada di Kampung Bumen menjadi bukti
bahwasannya Kampung Bumen sebagai kampung kota di kawasan
Kotagede, juga menyimpan kearifan lokal yang masih menjadi
kebanggaan bagi warga Kampung Bumen sendiri. Nilai-nilai tersebut
dijaga oleh warga Kampung Bumen untuk berusaha ditanamkan pada
generasi muda Kampung Bumen. Generasi muda adalah generasi penerus
yang juga berkewajiban membangun dan menata kampung menjadi lebih
berkembang dan maju. Modernisasi yang terjadi di kota mau tidak mau
terbukti membawa pengaruh yang besar pada generasi muda, tak
terkecuali pada generasi muda Kampung Bumen.
Menyadari terpaan modernisasi yang akan mempengaruhi
kepribadian dan perilaku dari generasi mudanya, golongan tua Kampung
Bumen sejak dini sudah mulai membiasakan mengenalkan dan juga
menanamkan nilai-nilai luhur tersebut pada generasi mudanya sebagai
bekal dalam tumbuh kembangnya dalam lingkungan yang lebih luas.
Diharapakan dengan penanaman tersebut mampu menjadikan generasi
muda Kampung Bumen lebih dewasa dan sadar dengan tradisi kampung
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
128
mereka, sehingga modernisasi tidak lagi menjadi faktor yang mampu
menggerus nilai-nilai luhur di kampung mereka. Nilai-nilai tersebut
dikenalkan melalui aktivitas kesenian tradisional, dimana para generasi
muda mulai menjadi pelaku seni dalam kesenian tradisional di Kampung
Bumen akibat dampak dari identitas kampung sebagai Kampung Seni.
Nilai-nilai luhur tersebut menjadi penting bagi kehidupan warga
Kampung Bumen dikarenakan dengan pemaknaan dan peresapan
terhadap nilai-nilai tersebut pada kesenian tradisional, memungkinkan
terciptanya keharmonisan, keselarasan, dan juga kebahagiaan bagi
seluruh warga Kampung Bumen dengan sesamanya. Seperti penuturan
dari Bapak Mulyadi (tokoh agama dari golongan muda Kampung
Bumen) sebagai berikut:
“ Orang hidup itu tujuannya hanya dua, yaitu bahagia di
dunia dan di akhirat, dan itu semua dapat dicapai hanya dengan melaksanakan ajaran agamanya masing-masing, dalam ajaran agama tentunya memuat nilai-nilai luhur tersebut, sehingga memungkinkan apabila dimaknai dan diresapi dengan mendalam tentunya dapat menciptakan kebahagian di dunia.”
(Sumber: Wawancara, 28 Pebruari 2012)
Keberadaan nilai-nilai luhur di tengah masyarakat Kampung
Bumen tersebut menjadikan generasi tua lebih giat dalam mencari media
yang tepat untuk melakukan penanaman dan peresapan terhadap nilai-
nilai luhur tersebut kepada generasi mudanya. Generasi tua menyadari
bahwa keteladanan yang mereka berikan sejak dini pada generasi muda
belum sepenuhnya menjadikan nilai-nilai tersebut diresapi oleh generasi
muda. Modernisasi dan lingkungan bermain di luar tentu juga menjadi
faktor yang mempengaruhi keberadaan nilai-nilai luhur tersebut dalam
diri seorang individu. Cara yang ditempuh untuk selalu memperkokoh
nilai-nilai luhur tersebut tertanam dalam diri generasi muda adalah
dengan memaknai nilai-nilai luhur tersebut dalam aktivitas
kemasyarakatan warga di Kampung Bumen. Hal ini dilakukan sebagai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
129
kontrol bagi generasi muda untuk selalu memaknai pentingnya nilai luhur
dalam kehidupan di Kampung Bumen.
Aktivitas kemasyarakatan di Kampung Bumen tentunya
mengandung interaksi antara satu individu dengan individu yang lain,
dari terjalinnya interaksi ini maka makna yang terkandung dalam
interaksi tersebut dapat dipahami oleh orang-orang yang terlibat di
dalamnya. Dengan adanya interaksi dalam aktivitas kemasyarakatan itu,
seseorang saling memberi makna dan interpretasi atas makna yang
diterimanya pula dari orang lain, yang memungkinkan komunikasi dapat
terjalin sehingga komunikasi menjadi media penting dalam
menyampaikan pesan atau makna tertentu seperti nilai-nilai luhur.
Apabila lingkungan di luar kampung dapat mempengaruhi
pergeseran nilai-nilai luhur tersebut dalam diri seseorang, maka hal yang
penting adalah dengan memanfaatkan lingkungan tempat tinggal sebagai
media untuk mempertebal dan memperkokoh nilai-nilai tersebut dalam
diri seseorang. Hal ini terjadi di Kampung Bumen, sebagian besar
generasi mudanya bekerja dan menempuh pendidikan yang
memungkinkan mereka memiliki lingkungan sosial yang baru di luar
tempat tinggal mereka. Lingkungan yang baru tersebut memungkinkan
nilai-nilai luhur dalam diri mereka yang telah ditanamkan padanya sejak
dini dapat bergeser dan bahkan pudar, namun hal ini segera disadari oleh
generasi tua dan generasi muda di Kampung Bumen sehingga untuk
mengantisipasi hal tersebut maka mereka (golongan tua dan muda) akan
kembali berpegang teguh pada aktivitas kemasyarakatan di lingkungan
tempat tinggal mereka yang tentunya dapat menjaga nilai-nilai luhur
tetap terjaga dalam diri mereka. Hal ini berdasar penuturan dari Bapak
Topo Harjono (Ketua RW 06 Kampung Bumen) sebagai berikut:
“ Memang benar jika lingkungan di luar (luar Kampung
Bumen) sangat dapat mempengaruhi ketebalan nilai-nilai luhur yang ada pada diri seseorang, namun itu tidak menjadi masalah jika semua warga di sini (Kampung Bumen) mau aktif dalam aktivitas kemasyarakatan yang ada, karena dalam aktivitas
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
130
kemasyarakatan ini selalu memuat penanaman dan pemupukan nilai-nilai luhur tersebut dalam diri seseorang.”
(Sumber: Wawancara, 09 Maret 2012)
Hal senada juga diutarakan oleh Hapsoro Noor Adianto (Ketua
Muda-Mudi Bumen) sebagai berikut:
“ Lingkungan bermain itu sangat berpengaruh, tetapi
lingkungan tempat tinggal (kampung) itu jauh dapat memberikan pengaruh karena dapat sebagai kontrol agar nilai-nilai tersebut tetap dipertahankan oleh generasi tua dan muda di Kampung Bumen. Lingkungan tempat tinggal seperti di Kampung Bumen ini banyak mengandung makna terkait nilai-nilai luhur tersebut utamanya dalam hal gotong royong ataupun kerukunan antar warga.”
(Sumber: Wawancara, 26 Pebruari 2012)
Proses penanaman dan juga pemupukan nilai-nilai luhur agar
tetap terjaga dan kokoh berada dalam diri seseorang (generasi muda
Kampung Bumen) tentunya membutuhkan media yang dapat diterima
oleh seluruh warga Kampung Bumen. Media tersebut tentunya juga harus
mudah diterima dan dirasa ringan oleh para generasi muda, sehingga
interaksi simbolik dalam kesenian tradisional dapat digunakan oleh para
pelaku seni dalam memaknai nilai-nilai luhur di Kampung Bumen.
Kesenian tradisional adalah salah satu aktivitas kemasyarakatan yang
keberadaannya diterima oleh seluruh warga Kampung Bumen, kesenian
menjadi suatu hal yang akrab dan sudah mendarah daging dengan
masyarakat Kampung Bumen. Kesenian disamping sebagai aktivitas
yang memuat keindahan juga sebagai salah satu dari unsur-unsur
kebudayaan (Kluckhohn dalam Soerjono Soekanto, 2006: 176).
Kesenian pada dasarnya adalah keseluruhan sistem yang
melibatkan proses penggunaan imajinasi manusia secara kreatif di dalam
sebuah kelompok masyarakat dengan kebudayaan tertentu (Yuni Pare,
2007: 27). Manusia pada umumnya berusaha mendapatkan ilmu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
131
pengetahuan melalui logika, menyerasikan perilaku terhadap kaidah-
kaidah melalui etika, dan mendapatkan keindahan melalui estetika. Dari
konsep tersebut jelas keberadaan kesenian sebagai unsur dari
kebudayaan, karena kesenian memuat keindahan. Manusia dalam
kehidupannya pasti berhubungan erat dengan kebudayaan, karena fungsi
dari kebudayaan adalah untuk mengatur agar manusia dapat mengerti
bagaimana seharusnya bertindak, berbuat, menentukan sikapnya kalau
mereka berhubungan dengan orang lain. Hal ini sesuai dengan pandangan
Bronislaw Malinowski (dalam Soerjono Soekanto, 2006: 176) yang
menyebutkan bahwa tak ada suatu unsur kebudayaan yang tidak
mempunyai kegunaan yang cocok dalam rangka kebudayaan sebagai
keseluruhan.
Kesenian selain memuat nilai-nilai keindahan (estetika), memiliki
salah satu fungsi yaitu sebagai hiburan. Kesenian tradisional yang ada di
Kampung Bumen juga demikian halnya, selain memuat nilai keindahan
juga dapat berfungsi sebagai hiburan. Keberadaan kesenian tradisional
sebagai hiburan rakyat inilah yang menjadikan kesenian tradisional
tersebut dapat diterima di tengah-tengah kehidupan masyarakat Kampung
Bumen. Kesenian tradisional mampu mendapat apresiasi yang baik dari
masyarakat Kampung Bumen hingga memunculkan sebuah identitas
kampung sebagai Kampung Seni, hal ini menjadikan mau tidak mau
seluruh warga Kampung Bumen berada pada posisi sebagai pelaku seni,
karena seluruh aktivitas seni di Kampung Bumen dilakukan oleh para
warganya.
Melihat pengaruh besar dari kesenian tradisional terhadap warga
Kampung Bumen inilah yang menuntun generasi tua Kampung Bumen
merubah fungsinya selain sebagai hiburan (tontonan) juga menjadi
sebuah tuntunan. Maksudnya adalah dengan menggunakan media seperti
kesenian tradisional inilah nilai-nilai luhur diharapkan dapat dimaknai
oleh generasi muda (pelaku seni) Kampung Bumen, karena kesenian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
132
menjadi aktivitas kemasyarakatan yang diterima oleh seluruh warga dan
digemari oleh generasi muda.
Hal ini berdasar penuturan dari Bapak Mulyadi (tokoh agama dari
golongan tua Kampung Bumen) sebagai berikut:
“ Kalau dulu itu kesenian tradisional hanya berfungsi
sebagai tontonan (hiburan) saja, sekarang kami (generasi tua) mengkreasinya agar dapat sebagai suatu aktivitas hiburan (tontonan) tetapi juga memuat sebuah tuntunan (nilai-nilai kehidupan), agar dapat diterima oleh generasi muda secara ringan tetapi penuh makna/arti.”
(Sumber: Wawancara, 28 Pebruari 2012)
Kesenian tradisional di Kampung Bumen seiring berjalannya
waktu berubah menjadi aktivitas kemasyarakat yang berfungsi sebagai
hiburan dan memuat tuntunan-tuntunan (nilai-nilai luhur) bagi seluruh
warga Kampung Bumen. Banyak aktivitas dan isi dari kesenian
tradisional tersebut mengandung nilai-nilai luhur dalam kehidupan, nilai-
nilai tersebut termuat dalam simbol-simbol interaksi dalam kesenian
tradisional yang ada di Kampung Bumen sebagai bentuk pemaknaan
nilai-nilai luhur bagi masyarakat Kampung Bumen, dan juga sebagai
modal pembentukan budi pekerti bagi warga masyarakat Kampung
Bumen. Adapun kesenian tradisional yang ada di Kampung Bumen dan
memuat interaksi simbolik antar pelaku seni yang terlibat di dalamnya,
diantaranya: srandul, karawitan, sholawatan, dan macapatan.
Kesenian srandul memuat nilai-nilai luhur seperti: (1) nilai-nilai
luhur mengenai hakekat hidup, (2) nilai-nilai luhur mengenai hakekat
karya dan etos kerja, (3) nilai-nilai luhur mengenai hubungan manusia
dengan alam, (4) nilai-nilai luhur mengenai persepsi manusia tentang
waktu, (5) nilai-nilai luhur mengenai hubungan manusia dengan
sesamanya. Kesenian karawitan memuat nilai-nilai luhur seperti: (1)
nilai-nilai luhur mengenai hakekat hidup, (2) nilai-nilai luhur mengenai
hakekat karya dan etos kerja, (3) nilai-nilai luhur mengenai persepsi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
133
manusia tentang waktu, (4) nilai-nilai luhur mengenai hubungan manusia
dengan sesamanya. Kesenian sholawatan memuat nilai-nilai luhur
seperti: (1) nilai-nilai luhur mengenai hakekat hidup, (2) nilai-nilai luhur
mengenai hakekat karya dan etos kerja, (3) nilai-nilai luhur mengenai
persepsi manusia tentang waktu, (4) nilai-nilai luhur mengenai hubungan
manusia dengan sesamanya. Sedangkan kesenian macapatan memuat
nilai-nilai luhur seperti: (1) nilai-nilai luhur mengenai hakekat hidup, (2)
nilai-nilai luhur mengenai hakekat karya dan etos kerja, (3) nilai-nilai
luhur mengenai persepsi manusia tentang waktu, (4) nilai-nilai luhur
mengenai hubungan manusia dengan sesamanya.
Nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kesenian srandul
ditransformasikan agar dimaknai kandungan nilainya oleh para pelaku
seninya melalui proses latihan srandul, makna simbolik yang melekat
pada kesenian tersebut, dan juga cerita yang dipentaskan sebagai isi
daripada pertunjukan srandul itu sendiri. Nilai-nilai luhur yang
terkandung dalam kesenian karawitan, ditransformasikan agar dimaknai
kandungan nilainya oleh para pelaku seninya melalui aktivitas latihan
rutin kesenian karawitan tersebut, serta makna simbolik yang melekat
pada kesenian karawitan tersebut. Nilai-nilai luhur yang terkandung
dalam kesenian sholawatan, juga ditransformasikan agar dimaknai
kandungan nilainya oleh para pelaku seninya melalui aktivitas latihan
dan syair-syair dalam kesenian tersebut, dan juga makna simbolik yang
melekat pada kesenian sholawatan tersebut. Sedangkan nilai-nilai luhur
yang terkandung dalam kesenian macapatan sendiri ditransformasikan
agar dimaknai kandungan nilainya oleh para pelaku seninya melalui
aktivitas latihan kesenian macapatan, makna simbolik, dan isi tembang
yang ada pada kesenian macapatan tersebut.
Berdasar temuan tersebut menunjukkan nilai-nilai luhur mengenai
hubungan manusia dengan alam terbukti kurang tertabur pada aktivitas
kesenian tradisional yang ada di Kampung Bumen. Padahal menurut
penuturan warga Kampung Bumen yaitu Hapsoro Noor Adianto (seorang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
134
Ketua Muda-Mudi Bumen dari golongan tua Kampung Bumen), warga
Kampung Bumen dinilai masih menjaga nilai-nilai luhur terkait
hubungan manusia dengan alam, yang diwujudkan dengan adanya
rutinitas kerja bakti dan penghijauan lingkungan di RW 06 Kampung
Bumen. Berikut penuturannya:
“ Kepedulian dengan alam di sini (Kampung Bumen)
wujudnya seperti warga yang memiliki halaman luas itukan pasti ditanami beberapa tanaman agar terlihat hijau dan sebagainya, bagi yang tidak memiliki halaman luas tetap menjaga kepedulian dengan alam juga dengan menanam tanaman di dalam pot di depan rumah mereka, jadi masalah dengan alam ini orang tua dulu sering mengingatkan kita bahwa apa-apa yang terjadi pada kita pasti berawal dari alam, maka menghormati alam adalah sebagai salah satu faktor utama di sini, kalau alam tidak mendukung maka tidak mungkin kita disini.”
(Sumber: Wawancara, 26 Pebruari 2012)
Nilai-nilai luhur mengenai hubungan antara manusia dengan alam
dipahami oleh sebagian masyarakat Jawa sebagai suatu hal yang bersifat
adaptif. Keberadaan masyarakat dengan alam menjadi satu hal
bersimbiosis yang erat hubungannya. Pada umumnya masyarakat Jawa
meyakini keberadaan nasib mereka juga dipengaruhi atas hubungan
mereka dengan alam (Koentjaraningrat, 1994: 438). Oleh karena
keberadaan alam yang dianggap penting bagi kelangsungan manusia,
mereka tidak serta merta merasa takluk pada alam, namun mereka belajar
untuk menyesuaikan diri dengan alam. Pada akhirnya mereka menyadari
tentang kekuatan alam yang memiliki pengaruh atas kelangsungan hidup
manusia, sehingga mereka berusaha hidup selaras dengan alam.
Hakekat hubungan antara manusia dengan alam juga dipahami
oleh masyarakat Kampung Bumen sebagai suatu pembelajaran yang
bersifat timbal balik. Orang-orang Kampung Bumen sangat
memperhatikan keselarasan dengan alam, meskipun secara tidak
langsung meyakini akan kekuatan alam, namun mereka meyakini tentang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
135
pengaruh alam terhadap kelangsungan hidup mereka. Pemahaman
mengenai hakekat hubungan manusia dengan alam mereka
interpretasikan dengan bentuk menjaga harmonisasi dengan alam.
Harmonisasi dengan alam lebih pada tujuan menjaga dan mencintai
lingkungan sehingga muncul kesadaran akan pentingnya eksistensi alam
di tengah kehidupan mereka. Wujud nyata dari adanya kepedulian
dengan alam yang dilakukan oleh masyarakat Kampung Bumen
(golongan tua dan juga golongan muda) nampak pada kegiatan rutin
membersihkan makam di Kampung Bumen yang sering disebut dengan
Nyadran.
Tradisi membersihkan makam ini dilakukan oleh warga Kampung
Bumen setiap menjelang bulan Sya’ban. Kegiatan ini dipahami bersama
bukan sebagai sebuah ritual kepercayaan tertentu, namun hingga
sekarang masih dilestarikan dengan tujuan menjaga kelestarian dengan
lingkungan. Terdapat alasan yang menjawab kenapa lokasi yang
dibersihkan itu adalah makam, hal tersebut dikarenakan warga pada
umumnya jarang membersihkan makam pada hari-hari biasa, kemudian
menjelang bulan Ramadhan (puasa) diharapkan lingkungan dapat
dibersihkan sehingga lingkungan menjadi sehat dan ibadah puasa dapat
lancar tidak terkena penyakit. Hal ini berdasar penuturan Bapak Mulyadi
(tokoh agama dari golongan tua Kampung Bumen) sebagai berikut:
“ Hampir setiap RT itu memiliki agenda kerja bakti yang
diatur menurut kondisi di RT masing-masing. Lebih-lebih menjelang bulan Agustus, kemudian menjelang bulan Sya’ban itu biasanya ada kegiatan kerja bakti membersihkan makam.”
(Sumber: Wawancara, 28 Pebruari 2012)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
136
Gambar 29 Kompleks pemakaman di Kampung Bumen
Kepedulian dengan lingkungan yang dilakukan oleh masyarakat
Kampung Bumen juga nampak dari dengan adanya kerja bakti secara
rutin dari tiap masing-masing RT di RW 06 Kampung Bumen, kegiatan
ini diikuti oleh seluruh warga masyarakat Kampung Bumen mulai dari
anak-anak hingga orang tua. Kegiatan ini menjadi keteladanan bagi
generasi muda tentang bagaimana memaknai hubungan antara manusia
dengan alam itu salah satunya dengan menjaga kebersihan lingkungan.
Hal ini berdasar penuturan dari Febriana Noor Haryanti (tokoh akademis
dari golongan muda Kampung Bumen) sebagai berikut:
“ Kalau di sini sendiri itu dari yang tua hingga anak kecil
pasti semua ikut. Karena dalam lingkungan kita, kampung itu kan lapisan kedua setelah keluarga. Jadi biasanya kalau ayahnya mau keluar kerja bakti, pasti anaknya walaupun tidak diajak pun pasti juga ikut membantu dan senang.”
(Sumber: Wawancara, 19 Pebruari 2012)
Kerja bakti yang dilakukan oleh warga Kampung Bumen juga
diikuti dengan adanya penanaman pohon (penyediaan taman) di tengah
kampung. Keberadaan taman ini selain ditinjau dari aspek kepedulian
dengan lingkungan ternyata juga dapat ditinjau dari aspek keindahan,
dimana dalam menjaga lingkungan (taman) tersebut juga berpotensi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
137
melatih rasa keindahan (estetika) dalam menata taman tersebut, bahkan
untuk mengapresiasi potensi keindahan dari kegiatan menjaga
lingkungan tersebut di sekitar Kampung Bumen rutin mengadakan lomba
taman antar kampung. Hal ini berdasar penuturan dari Descy Etik
Sanjaya (anggota Muda-Mudi Bumen) sebagai berikut:
“ Wujud nyatanya itu tampak dari penghijauan yang
dilakukan oleh setiap kampung, selalu berusaha menyediakan taman kecil di dalam kampung, kemudian taman itu selalu dilombakan, jadi mana yang lebih bagus dan menarik itu akan mendapat hadiah. Hal itu dapat menjadikan setiap warga semangat dalam gotong royong menata dan menjaga lingkungan.”
(Sumber: Wawancara, 27 Pebruari 2012)
Berdasar temuan di atas, menunjukkan bahwa masyarakat
Kampung Bumen sangat meyakini bahwa eksistensi kehidupan mereka
salah satunya dipengaruhi erat dari eksistensi alam di sekitar mereka,
sehingga untuk menjaga kualitas kehidupan mereka maka warga
Kampung Bumen mengupayakan hidup selaras dengan alam agar
kualitas lingkungan mereka juga terjaga baik. Bagi masyarakat Kampung
Bumen, menjaga alam juga dapat sebagai sarana mengasah jiwa estetika
(keindahan) mereka agar selalu peduli dan sadar mengenai hakekat
hubungan manusia dengan alam. Melihat pentingnya nilai luhur
mengenai hubungan antara manusia dan alam tersebut, hendaknya para
pelaku seni lebih dapat segera mengupayakan kreasi dan kombinasi pada
seluruh aktivitas simbolik kesenian tradisionalnya agar dapat memuat
nilai-nilai luhur mengenai hubungan antara manusia dengan alam, hal ini
dengan maksud agar warga dan generasi muda (selaku pelaku seni)
Kampung Bumen dapat lebih memaknai nilai tersebut dalam kehidupan
bermasyarakat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
138
Matrik 5
Interaksi Simbolik antar Pelaku Seni dalam Memaknai Nilai-Nilai Luhur
pada Kesenian Tradisional di Kampung Bumen
Pemaknaan Nilai Luhur
Makna Simbolik pada
Kesenian Srandul
Makna Simbolik pada
Kesenian Karawitan
Makna Simbolik pada
Kesenian Sholawatan
Makna Simbolik pada
Kesenian Macapatan
1. Nilai-nilai luhur mengenai hakekat hidup
Keberadaan sesaji di awal pementasan srandul.
Multifungsi gamelan.
Syair-syair dalam sholawatan.
Syair-syair dalam tembang macapat.
2. Nilai-nilai luhur mengenai hakekat karya dan etos kerja
Isi cerita (lakon) pada srandul, serta aktivitas proses latihan srandul.
Aktivitas proses latihan karawitan.
Syair-syair dalam sholawatan, aktivitas proses latihan sholawatan.
Syair-syair dalam tembang macapat, serta aktivitas proses latihan macapatan.
3. Nilai-nilai luhur mengenai hubungan antara manusia dengan alam
Keberadaan daun puring di tengah arena pertunjukan srandul .
- - -
4. Nilai-nilai luhur mengenai persepsi manusia tentang waktu
Keberadaan adegan dagelan (humor) di tengah cerita srandul, serta aktivitas latihan dalam kesenian srandul.
Aktivitas latihan kesenian karawitan, serta makna simbolik dari gamelan yang dimainkan secara bergantian dan harus disiplin dalam memainkannya.
Syair-syair dalam sholawatan, serta aktivitas latihan dalam kesenian sholawatan.
Syair-syair dalam tembang macapat, serta aktivitas latihan dalam kesenian macapatan.
5. Nilai-nilai luhur mengenai hubungan manusia dengan sesamanya
Keberadaan makna simbolik berupa beragam perpaduan busana yang dikenakan dalam kesenian srandul, isi cerita (lakon) pementasan srandul,
Aktivitas latihan karawitan, serta keberadaan makna simbolik berupa alat musik kendang sebagai pemimpin dalam karawitan.
Syair-syair dalam sholawatan, serta keberadaan makna simbolik berupa perpaduan busana dan alat musik dalam kesenian sholawatan.
Syair-syair dalam tembang macapat, serta keberadaan makna simbolik berupa perpaduan busana dan alat musik yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
139
dan juga aktivitas latihan dalam srandul.
digunakan dalam kesenian macapatan.
(Sumber: Disarikan dari wawancara dan observasi, Pebruari-Maret 2012)
2. Analisa Interaksi Simbolik antar Pelaku Seni dalam Memaknai Nilai-
Nilai Luhur pada Kesenian Tradisional di Kampung Bumen
Aktivitas kesenian tradisional di Kampung Bumen memuat
simbol-simbol dalam interaksi antar pelaku seninya, dari simbol-simbol
tersebut terdapat pula suatu makna yang melekat. Simbol-simbol tersebut
pada akhirnya dapat mempengaruhi bagaimana orang merumuskan apa
yang mereka lakukan serta menginterpretasi makna yang terkandung di
dalamnya. Maka, pemaknaan nilai luhur melalui simbol-simbol dalam
kesenian tradisional di Kampung Bumen ini dipandang menjadi sebuah
bentuk komunikasi/interaksi antarindividu melalui suatu media yang di
dalamnya memuat simbol-simbol yang mengandung makna sehingga
dapat mempengaruhi bagaimana orang merumuskan apa yang mereka
lakukan.
Kesenian tradisional Kampung Bumen juga dipandang sebagai
sebuah produk budaya, maka makna fenomena kesenian tradisional
sebagai media interaksi bagi masyarakat Kampung Bumen jika dianalisa
menggunakan konsep yang dikemukakan oleh Raymond Williams (1981:
17), membagi produk budaya menjadi tiga aspek pokok, yaitu (1)
lembaga kebudayaan (institutions), (2) isi kebudayaan (content), dan (3)
efek kebudayaan (effect). Kenyataan menunjukkan bahwa memang
kesenian tradisional di Kampung Bumen dilembagaan oleh masyarakat
Kampung Bumen sendiri sehingga aktivitas kesenian tradisional dapat
terjaga eksistensinya hingga sekarang. Isi/kandungan makna dari
kesenian tradisional di Kampung Bumen sendiri menunjukkan bahwa di
dalamnya memuat makna simbolik, pesan-pesan, serta nilai-nilai luhur
yang dapat dijadikan tuntunan. Kemudian efek yang ditimbulkan dari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
140
adanya aktivitas kesenian tradisional di Kampung Bumen sendiri nampak
dari melekatnya identitas Kampung Bumen sebagai Kampung Seni di
kawasan Kotagede, Yogyakarta. Maka, kesenian tradisional di Kampung
Bumen dapat dikatakan sebagai sebuah produk budaya, dengan kata lain
pendekatan produk budaya dapat diterima sepenuhnya dalam studi kasus
ini.
Kesenian tradisional dipandang sebagai gejala sosial
menempatkan dirinya sebagai aktivitas sosial yang tentunya memiliki
fungsi kemasyarakatan, salah satunya dapat digunakan sebagai ruang
interaksi sosial yang di dalamnya memuat simbol-simbol untuk
merepresentasikan makna daripada nilai-nilai luhur. Kesenian tradisional
di Kampung Bumen sebagai produk budaya tentunya dihasilkan oleh
masyarakat Kampung Bumen dan dikontrol oleh masyarak Kampung
Bumen pula. Kontrol dilaksanakan dengan menjaga nilai-nilai luhur yang
terkandung dalam aktivitas kesenian tradisional itu sendiri. Dari nilai-
nilai yang terkandung dalam aktivitas kesenian tradisional itu sendiri,
tentunya menghasilkan sebuah tuntunan (ajaran moral) dan juga tontonan
(hiburan) bagi masyarakat Kampung Bumen dan masyarakat sekitar.
Dengan adanya efek dari aktivitas kesenian tradisional tersebut, tentunya
terdapat konsekuensi yang harus dipenuhi yaitu eksistensi dari kesenian
tradisional itu sendiri, menyebabkan kesenian tradisional harus dapat
dijaga eksistensinya karena memiliki efek bagi masyarakat. Kesenian
tradisional di Kampung Bumen tidak hanya sebagai aktivitas simbolis
dan juga mengandung pertukaran makna, namun juga sebagai gejala
sosial yang memiliki fungsi kemasyarakatan. Fungsi kemasyarakatan
tersebut juga dapat dikatakan sebagai efek daripada kesenian sebagai
produk budaya, yang di dalamnya terdapat simbol-simbol untuk
berkomunikasi dan memaknai nilai-nilai luhur di Kampung Bumen.
Nilai-nilai luhur yang terkandung dalam simbol-simbol interaksi
pada kesenian tradisional di Kampung Bumen ternyata membentuk pola
klasifikasi nilai yang sama dengan nilai luhur universal yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
141
dikembangkan oleh Kluckhohn (dalam Koentjaraningrat, 1994: 435),
terbukti sebagian besar termuat dan dimaknai melalui interaksi simbolik
antar pelaku seni dalam kesenian tradisional yang ada di Kampung
Bumen. Nilai-nilai luhur Kluckhohn (dalam Koentjaraningrat, 1994: 435)
tersebut meliputi: (1) masalah universal mengenai hakekat hidup, (2)
masalah universal mengenai hakekat karya dan etos kerja, (3) masalah
universal mengenai hubungan manusia dengan alam, (4) masalah
universal mengenai persepsi manusia tentang waktu, (5) masalah
universal mengenai hubungan manusia dengan sesamanya. Beberapa
nilai-nilai universal tersebut ada yang tidak termuat dalam interaksi di
beberapa kesenian tradisional Kampung Bumen (nilai luhur masalah
universal mengenai hubungan manusia dengan alam), hal ini disebabkan
karena aktivitas dan bentuk kesenian tradisional di Kampung Bumen
yang berbeda-beda sehingga tidak dapat memuat keseluruhan nilai-nilai
luhur universal secara keseluruhan.
Kesenian srandul adalah jenis kesenian yang dapat memuat lima
nilai luhur universal yang dikemukakan oleh Kluckhohn, sedangkan
karawitan, sholawatan, dan macapatan adalah jenis kesenian yang di
dalamnya juga memuat nilai-nilai luhur universal, namun tidak semuanya
dapat termuat secara menyeluruh dikarenakan aktivitas, tujuan, dan
bentuk keseniannya yang berbeda-beda pula. Pemilihan kesenian
tradisional sebagai ruang interaksi dalam memaknai nilai-nilai luhur
dikarenakan bahwa dalam kesenian tradisional, semua pelaku seni
berinteraksi dan saling menangkap makna dari simbol-simbol
komunikasi seperti bahasa, tulisan, busana, gestur, dan juga makna
simbolik dalam kesenian tradisional yang memuat nilai-nilai. Hasil akhir
dari pemaknaan nilai-nilai luhur dari interaksi simbolik pada kesenian
tradisional adalah adanya suatu pemaknaan nilai yang diimplementasikan
dalam sikap (tindakan) dan diharapkan mampu membentuk sebuah
pembentukan budi pekerti sebagai modal sosial seorang individu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
142
Nilai-nilai luhur yang masih terjaga di suatu daearah merupakan
cerminan pendidikan budi pekerti bagi generasi muda (pelaku seni)
Kampung Bumen, budi pekerti dibentuk dari adanya suatu pemaknaan
terhadap nilai-nilai luhur yang membentuk kepribadian seorang individu.
Budi pekerti seseorang selalu dikaitkan dengan nilai-nilai etika, sopan
santun, agama, filsafat, dan lain-lain. Dari aspek etimologi, budi pekerti
terdiri dari dua kata, yaitu budi dan pekerti. Budi berarti nalar, pikiran,
watak. Sedangkan pekerti berarti tingkah laku, perangai, atau juga watak
(Poerwadarminto dalam Suwardi Endraswara, 2006: 1). Dari makna kata
tersebut, dapat dikemukakan bahwa budi pekerti itu watak atau perbuatan
seseorang sebagai perwujudan hasil pemikiran. Budi adalah alat batin
yang merupakan perpaduan akal, keinginan, dan perasaan untuk
menimbang hal yang baik dan buruk. Pekerti merupakan pencerminan
batin. Dengan demikian, dapat dinyatakan, budi pekerti itu merupakan
sikap dan perilaku yang dilandasi oleh kegiatan berpikir dan merasakan.
Budi pekerti merupakan akumulasi dari cipta-rasa-karsa yang
diaktualisasikan ke dalam sikap, kata-kata, dan tingkah laku seseorang.
Seseorang dikatakan memiliki budi pekerti mulia apabila sikap dan
perilakunya dalam masyarakat dinilai dengan nilai-nilai luhur setempat
tidak menyimpang dan dapat menyesuaikan dengan nilai-nilai tersebut.
Pada dasarnya, Budi pekerti yang mulia adalah sikap dan perilaku yang
mampu menimbang hal yang baik dan buruk, kemudian memilih hal baik
dan dijalankan sesuai nilai-nilai luhur yang ada di lingkungan tempat
suatu individu tinggal. Tujuan daripada budi pekerti bagi seseorang
adalah agar dirinya memiliki moral yang baik dan menjadi modal sosial
bagi dirinya dalam bersosialisasi dengan masyarakat.
Budi pekerti merupakan implementasi dari nilai-nilai luhur
seperti: (1) pengabdian, (2) kejujuran, (3) sopan santun, (4) toleransi, (5)
kedisiplinan, (6) keikhlasan, (7) tanggung jawab, (8) guyub rukun, (9)
tepa slira, (10) tatakrama, (11) gotong royong (Supriyoko dalam
Suwardi Endraswara, 2006: 7). Jika dalam pergaulan seseorang dapat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
143
menjalankan budi pekerti tersebut dengan baik, maka tentu saja
hubungan sosial akan berjalan dengan baik pula. Pergaulan sosial akan
berjalan lancar dan harmonis dalam hubungannya dengan masyarakat.
Budi pekerti akan terkait erat dengan tatakrama pergaulan seseorang di
mana saja. Dengan demikian, tatakrama merupakan unsur penting yang
tidak dapat dipisahkan dengan budi pekerti.
Tatakrama akan meliputi berbagai hal, antara lain aturan moral,
sopan santun, dan etika. Tatakrama dapat terbentuk dari aturan-aturan
norma pergaulan, adat istiadat, dan kebiasaan yang telah berulang.
Tatakrama pada mulanya hanya berlaku pada lingkungan yang terbatas,
kemudian berlaku secara meluas dalam masyarakat. Hubungan antara
budi pekerti, tatakrama, dan budaya memang sulit dipisahkan. Ketiganya
merupakan fenomena yang ada dalam masyarakat yang tentunya selalu
melekat dalam kehidupan seorang individu.
Berdasar pentingnya budi pekerti dan tatakrama seperti uraian di
atas, maka sosialisasi budi pekerti sesungguhnya merupakan wahana
pelestarian nilai-nilai luhur dalam masyarakat, didalamnya tidak sekedar
mentransfer nilai-nilai luhur, melainkan melalui proses kristalisasi nilai.
Sosialisasi nilai-nilai luhur pada hakekatnya adalah sebuah upaya
membentuk budi pekerti yang baik tidak sekedar mentransfer nilai,
melainkan menciptakan proses kristalisasi (Handoko, 2000: 27-29).
Maka, dalam melakukannya tidak tepat jika menggunakan sistem
indoktrinisasi. Maksudnya, nilai-nilai luhur bukanlah doktrin-doktrin
yang harus dipaksakan, karena setiap orang memiliki hak asasi, sehingga
tidak harus dipaksakan dengan beragam nilai-nilai luhur yang ada.
Biarlah nilai-nilai tersebut dimaknai dan diinterpretasi dalam diri, dan
diresapi secara alamiah oleh penerimanya. Jika seseorang setiap saat
harus dihujani nilai-nilai dengan sistem nasihat, maka tidak menutup
kemungkinan suatu ketika seseorang tersebut akan merasa tidak nyaman
dengan bentuk implikasi yang beraneka ragam.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
144
Dengan demikian, pemaknaan nilai-nilai luhur perlu dilakukan
dalam suasana yang kondusif dan tidak memaksa (memasung) kreativitas
seorang individu penerimanya. Dalam hal ini, interaksi dalam kesenian
tradisional memungkinkan para pelakunya memaknai sendiri nilai-nilai
yang terkandung dalam simbol-simbol di kesenian tradisional tersebut.
Simbol-simbol dalam kesenian tradisional Kampung Bumen pada
dasarnya mengandung banyak pembelajaran tentang model keteladanan.
Model keteladanan yang nampak dalam kesenian tradisional yang
ada di Kampung Bumen, beberapa diantaranya adalah sosok karismatik
yang patut diteladani. Beberapa tokoh (figur) yang dapat dijadikan
teladan dalam kesenian tradisional yang ada di Kampung Bumen
misalnya: (1) dalam kesenian srandul, tokoh Sayidina Ali beserta
Istrinya. Mereka berdua mengajarkan nilai-nilai kesetiaan, perjuangan,
dan keberanian dalam melawan kejahatan; (2) dalam kesenian
sholawatan, tokoh Nabi besar Muhammad SAW menjadi figur utama
keteladanan yang perlu dijadikan contoh; (3) dalam kesenian karawitan,
kedudukan alat musik kendang sebagai pemimpin dari gamelan yang
dapat mengatur tempo dan harus dapat menyesuaikan diri dengan alat
musik yang lain, mengajarkan jiwa kepemimpinan bagi seseorang dalam
masyarakat; (4) dalam kesenian macapatan, tokoh Panembahan Senopati
(Raja Mataram Jawa) sebagai salah satu figur keteladanan, karena beliau
selalu mencegah hawa nafsu, selalu bekerja keras, dan selalu berbuat
baik menyenangkan hati semua orang. Figur Panembahan Senopati ini
hadir dalam Serat Wedhatama pupuh Sinom bait ke 1 sebagai berikut:
Nuladha laku utama Tumrapé wong tanah Jawi Wong agung ing Ngèksiganda Panêmbahan Sénapati Kapati amarsudi Sudané hawa lan nêpsu Pinêsu tapa brata
’Contohlah tingkah laku yang terbaik’ ’Untuk kalangan orang di tanah Jawa’ ’Orang mulia dari Mataram’ ’Panembahan Senapati’ ’Seorang yang sangat tekun’ ’Mengurangi hawa dan nafsu’ ’Dengan jalan bertapabrata’
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
145
Tanapi ing siyang ratri Amêmangun karyènak tyasing sêsama
’Di siang dan malam hari’ ’Selalu berusaha membuat kebahagian hati sesama’
(Sumber: Suwardi Endraswara, 2006: 17-18)
Berdasar temuan di atas, menunjukkan bahwa nilai-nilai luhur di
Kampung Bumen banyak dimaknai melalui aktivitas simbolik dalam
interaksi antar pelaku seni di kesenian tradisional Kampung Bumen.
Interkasi simbolik tersebut ternyata sebagai media dalam memaknai
nilai-nilai luhur yang ada di Kampung Bumen, dimana nilai-nilai tersebut
membentuk pola klasifikasi nilai luhur yang sama dengan konsep nilai-
nilai luhur universal Kluckhohn (dalam Koentjaraningrat, 1994: 435).
Keberadaan simbol-simbol dalam kesenian tradisional Kampung Bumen
hendaknya perlu dikembangkan dan disosialisasikan oleh para pelaku
seni Kampung Bumen agar lebih dapat digunakan dalam memaknai nilai-
nilai luhur yang ada di Kampung Bumen.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
146
BAB V
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI
A. Kesimpulan
Berdasarkan seluruh hasil dan pembahasan yang telah diuraikan,
dapat ditarik kesimpulan bahwa interaksi simbolik antar pelaku seni pada
kesenian tradisional di Kampung Bumen berinteraksi melalui pemaknaan
simbol-simbol yang terkandung dalam aktivitas kesenian tradisional
tersebut, simbol-simbol itu kemudian digunakan untuk merepresentasikan
nilai-nilai luhur yang ada di Kampung Bumen. Nilai-nilai luhur yang ada
di Kampung Bumen terkategori dalam lima kategori nilai-nilai luhur, nilai-
nilai luhur tersebut meliputi : (1) nilai-nilai luhur mengenai hakekat hidup,
(2) nilai-nilai luhur mengenai hakekat karya dan etos kerja, (3) nilai-nilai
luhur mengenai hubungan manusia dengan alam, (4) nilai-nilai luhur
mengenai persepsi manusia tentang waktu, (5) nilai-nilai luhur mengenai
hubungan manusia dengan sesamanya. Kelima kategori nilai-nilai luhur
tersebut tercermin dan terkandung dalam aktivitas kesenian tradisional di
Kampung Bumen dan dimaknai oleh para pelaku seni yang terlibat di
dalamnya melalui simbol-simbol dalam interaksi antar pelaku seni dalam
kesenian tradisional di Kampung Bumen. Nilai-nilai luhur tersebut
menjadi penting dalam kehidupan bermasyarakat, maka dari itu dengan
pelestarian kesenian tradisional di Kampung Bumen tentunya dapat pula
sebagai upaya untuk menjaga nilai-nilai luhur yang terkandung di
dalamnya.
Adapun kesenian tradisional yang ada di Kampung Bumen antara
lain: srandul, sholawatan, macapatan, dan karawitan. Kesenian
tradisional tersebut memuat nilai-nilai luhur yang berfungsi sebagai
tuntunan, tak hanya sebagai tontonan (hiburan) bagi masyarakat. Dalam
aktivitas kesenian tradisional di Kampung Bumen ini, terdapat makna-
makna simbolik terkait nilai-nilai luhur yang ada di Kampung Bumen.
Makna simbolik tersebut memuat beragam pesan bagi masyarakat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
147
Kampung Bumen (pelaku seni) pada khususnya dan masyarakat sekitar
Kampung Bumen pada umumnya. Makna dan simbol dalam kesenian
tradisional di Kampung Bumen memberi karakteristik khusus pada
tindakan sosial dan interaksi sosial bagi para pelaku seni yang terlibat di
dalamnya. Dengan kata lain, ketika melakukan suatu interaksi, seseorang
(pelaku seni) juga mencoba memperkirakan dampaknya pada individu lain
yang terlibat. Dalam proses interaksi tersebut, secara simbolis seseorang
mengkomunikasikan makna kepada orang lain yang terlibat dalam
interaksi tersebut. Kemudia individu lain akan merespon dengan
menafsirkan simbol-simbol tersebut dan mengarahkan respon tindakannya
berdasarkan penafsiran mereka.
B. Implikasi
Pembahasan mengenai implikasi dari hasil temuan terkait
internalisasi nilai-nilai luhur melalui kesenian tradisional pada masyarakat
Kampung Bumen, terbagi dalam tiga kelompok antara lain:
1. Implikasi Teoritik
Interaksi simbolik antar pelaku seni dalam memaknai nilai
luhur pada kesenian tradisional di Kampung Bumen dapat dinalisa
menggunakan beberapa pendekatan teori dalam mengkajinya.
Pendekatan tersebut berfungsi untuk mengurai temuan-temuan dalam
lapangan berdasar teori-teori ilmu sosial yang telah ada untuk
dibuktikan kebenarannya. Implikasi teoritik bertujuan mengurai
apakah teori-teori tersebut sepenuhnya diterima, diterima sebagian,
atau memungkinkan semuanya ditolak.
Pada studi kasus ini, teori-teori yang digunakan sepenuhnya
dapat diterima karena dapat mempermudah dalam mengurai dan
menggambarkan interaksi simbolik antar pelaku seni dalam memaknai
nilai luhur pada kesenian tradisional di Kampung Bumen.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
148
2. Implikasi Metodologik
Implikasi metodologik dalam studi kasus ini merupakan sebuah
tinjauan mengenai kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan dari
metode yang digunakan dalam mendekati masalah yang ada pada
studi kasus terkait interaksi simbolik antar pelaku seni dalam
memaknai nilai luhur pada kesenian tradisional di Kampung Bumen.
Hal ini perlu dilakukan agar bilamana ada sejumlah kelemahan,
memungkinkan dapat dicari solusinya untuk meningkatkan kesahihan
(validity) dari hasil temuan dari studi kasus ini. Jadi, dengan kata lain
bahwa implikasi metodologik adalah semacam evaluasi terhadap
proses (jalannya) penelitian yang ada pada studi kasus ini. Metodologi
yang digunakan dalam studi kasus ini sepenuhnya dapat diterima
karena dapat mempermudah dalam mengurai dan menggambarkan
interaksi simbolik antar pelaku seni dalam memaknai nilai luhur pada
kesenian tradisional di Kampung Bumen.
Pilihan model analisis data interaktif dalam studi kasus ini
dirasa tepat sebagai teknik analisa dalam studi kasus ini. Dengan
menggunakan teknik analisa model interaktif ini, proses pengumpulan
data dan analisisnya berjalan secara bersamaan, sehingga perjalanan
peneliti dalam studi kasus ini mengalir menentukan arah lanjut dan
semakin mantap hingga pengumpulan data dirasa telah menghasilkan
data selengkap-lengkapnya dan dapat diakhiri. Pekerjaan dalam
penyusunan laporan pada dasarnya hanyalah menyunting sajian data
yang telah ditulis, untuk dijadikan sajian data dalam laporan akhir.
Teknik ini memudahkan dalam penyusunan laporan akhir dari studi
kasus ini, karena tidak banyak memerlukan waktu dalam
penyusunannya.
3. Rekomendasi
Penulisan hasil dari studi kasus ini bukan berarti tidak terdapat
perbaikan-perbaikan. Hal ini dikarenakan penelitian lain dengan tema
serupa memungkinkan dapat dilakukan dengan lebih baik atau lebih
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
149
mendalam oleh peneliti lain di waktu mendatang. Terselesaikannya
studi kasus ini memunculkan beberapa rekomendasi/saran yang dapat
dimanfaatkan oleh lain pihak di kemudian hari. Rekomendasi dalam
studi kasus ini terbagi dalam dua kategori, yaitu:
a. Rekomendasi kebijakan
Rekomendasi ini didasarkan pada hasil dan pembahasan
yang berfokus pada rumusan masalah. Dalam studi kasus ini,
menunjukkan bahwa kesenian tradisional sebagai identitas
kampung ternyata tak hanya dapat digunakan untuk memajukan
kesejahteraan Kampung Bumen saja, kesenian tradisional dapat
berfungsi lebih penting lagi yaitu sebagai ruang interaksi simbolik
yang digunakan untuk memaknai nilai-nilai luhur di Kampung
Bumen. Berdasar pentingnya fungsi kesenian tradisional tersebut,
maka diharapkan Pemerintah Kota Yogyakarta dapat lebih peka
dengan fenomena ini.
Apresiasi pemerintah Kota Yogyakarta pada aktivitas
kesenian tradisional memang sudah terbilang baik, hal ini dapat
dilihat dengan adanya intensitas pementasan kesenian tradisional
di Kota Yogyakarta yang semakin meningkat. Namun, apresiasi
(dukungan) tersebut hanya mengarah pada aspek kepentingan
pariwisata semata. Kepentingan ekonomi hanya memandang
bagaimana cara mendatangkan para wisatawan, bahkan terkadang
dengan orientasi semacam ini menjadikan kesenian tradisional
yang sebenarnya memuat tuntunan (ajaran moral), justru kembali
berubah hanya sebagai aktivitas tontonan (hiburan). Hal ini jika
tidak segera diantisipasi maka akan dapat melunturkan nilai-nilai
yang terkandung dalam aktivitas kesenian tradisional tersebut.
Berdasar uraian di atas, rekomendasi kebijakan yang
ditujukan pada pemerintah Kota Yogyakarta adalah agar
pemerintah Kota Yogyakarta dapat lebih memperhatikan nilai-
nilai kandungan yang terdapat dalam setiap aktivitas kesenian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
150
tradisional tersebut. Meskipun kesenian tradisional dapat
berfungsi sebagai pendukung pariwisata di Yogyakarta, namun
hendaknya tidak perlu adanya kreasi dan kombinasi yang
berlebihan dalam kemasan dan pementasannya, agar nilai-nilai
yang terkandung di dalamnya dapat tetap terjaga. Pengembangan
kesenian tradisional hendaknya dilakukan atas dukungan serta
pengawasan dari para pelaku seni dan pemerintah Kota
Yogyakarta, dalam hal ini Dinas Pariwisata, agar aktivitas
tersebut tetap memiliki kandungan nilai-nilai luhur bagi
masyarakat meskipun juga digunakan dalam hal pengembangan
ekonomi kampung kota di bidang pariwisata.
b. Rekomendasi bagi penelitian lebih lanjut
Rekomendasi ini adalah sebuah rekomendasi yang
ditujukan pada penelitian lebih lanjut karena dalam hasil dan
pembahasan dari studi kasus ini menunjukkan celah-celah penting
yang dapat diteliti dan belum terungkap oleh peneliti dalam studi
kasus ini dan tentunya menarik untuk diteliti. Dalam studi kasus
ini, keberadaan kesenian sholawatan sebagai kesenian tertua yang
ada di Kampung Bumen sulit dicari dan ditelusuri asal usul dan
sejarahnya, simbol komunikasi berupa kosa kata yang tercantum
dalam syair-syair pada naskahnya juga banyak mengandung
makna bahasa yang beragam, maka hal ini menjadi celah untuk
dilakukannya penelitian lebih lanjut mengingat kesenian ini
merupakan kesenian yang membanggakan bagi Kampung Bumen,
hal ini karena kesenian sholawatan tersebut sudah dikenal lama
oleh masyarakat kawasan Yogyakarta dan keberadaannya mulai
jarang ditemui di beberapa kawasan di Yogyakarta.