digilib.uns.ac.id/interaks...digilib.uns.ac.id

166
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ii

Upload: vodung

Post on 09-Apr-2019

213 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ii

Page 2: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

iii

Page 3: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

iv

MOTTO

• “Belajarku + kerjaku = ibadahku” (Penulis)

• “Setiap pekerjaan yang dilakukan, di dalamnya pasti akan tercipta titik

kejenuhan, namun usaha bijak yang dapat dilakukan adalah merangkai titik-

titik kejenuhan tersebut agar berubah menjadi suatu garis yang dapat

pertegas sebuah usaha perubahan” (Edy Tri Sulistyo).

• “Sesungguhnya malam itu panjang, namun jangan diperpendek dengan tidur

malam yang berlebihan” (Sunarmi).

• “Perjuangan adalah bait penantian keberhasilan” (Angga Yonar Kesuma).

Page 4: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

v

PERSEMBAHAN

Dengan penuh rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa Alloh SWT, Karya

ini penulis persembahkan kepada :

1. Kedua orang tuaku Bapak Edy Tri sulistyo dan Ibu Sunarmi yang selalu

memberikan bimbingan, doa, motivasi dan menjadi inspirasi untuk

terselesaikannya skripsi ini;

2. Kakak kandungku Angga Yonar Kesuma yang dengan bijaksana

membimbing dan mendoakan terselesaikannya skripsi ini.

3. Sarita Dian Rahmawati yang selalu menjadi semangat dan kekuatan

ketika dalam terpaan keletihan;

4. Pembimbing skripsiku Bapak Dr. Bagus Haryono, M.Si yang penuh

kesabaran membimbing untuk terselesaikannya skripsi ini;

5. Teman-teman Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Politik dan Ilmu Sosial

Universitas Sebelas Maret Surakarta;

6. Almamaterku Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Politik dan Ilmu Sosial

Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Page 5: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Alloh Ta ’ala,

penguasa langit dan bumi beserta segala isinya, yang kekuasaannya bersifat mutlak

dan mengikat atas segala ciptaan-Nya. Atas campur tangan kekuasaan-Nya pula,

penulis akhirnya dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “INTERAKSI

SIMBOLIK ANTAR PELAKU SENI DALAM MEMAKNAI NILAI-NIL AI

LUHUR PADA KESENIAN TRADISIONAL DI KAMPUNG BUMEN,

KELURAHAN PURBAYAN, KECAMATAN KOTAGEDE, KOTA

YOGYAKARTA” ini.

Skripsi ini disusun dan dipersiapkan sebagai syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana pada Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Sebelas Maret, Surakarta. Bagi semua pihak yang telah membantu penulis dalam

mengerjakan penulisan skripsi ini, maka dalam kesempatan ini penulis ingin

memberikan ucapan terima kasih sebagai wujud penghargaan atas segala bantuan

dan dukungannya, kepada :

1. Prof. Drs. Pawito, Ph. D selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta;

2. Dr. Bagus Haryono, M.Si selaku Ketua Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret Surakarta dan juga

selaku Dosen Pembimbing Skripsi;

3. Drs. Sudarsana, PGD. PD selaku Pembimbing Akademik;

4. Seluruh dosen-dosen Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta yang selalu memberikan

motivasi dan doa untuk terselesaikannya skripsi ini;

5. Drs. Waris Sumarwoto selaku Lurah Purbayan yang telah memberikan

ijin kepada penulis untuk melakukan penelitian terkait Internalisasi Nilai

Luhur melalui Kesenian Tradisional di Kampung Bumen;

6. Bapak Topo Harjono selaku Ketua RW 06 Kampung Bumen yang telah

memberikan ijin dan bantuan informasi kepada penulis dalam melakukan

Page 6: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

vii

penelitian terkait Internalisasi Nilai Luhur melalui Kesenian Tradisional

di Kampung Bumen;

7. Sarita Dian Rahmawati yang penuh ikhlas selalu memberikan semangat

dan doa atas terselesaikannya skripsi ini, serta twin love yang selalu

menjadi motivasi atas terselesaikannya skripsi ini;

8. Hapsoro Noor Adiyanto selaku Ketua Muda-Mudi Bumen RW 06;

9. Dedi Fathurrahman beserta keluarga dan Mang Asep selaku warga

Kampung Bumen RW 06 yang telah banyak membantu dan memberikan

semangat dalam skripsi ini, dan juga Muda-Mudi Bumen (MMB) RW 06

yang telah banyak memberikan bantuan dan sambutan hangat pada

penulis;

10. Teman-teman Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sebelas Maret Surakarta;

11. Serta berbagai pihak lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Selain berbagai pihak di atas, penulis secara khusus juga sangat berterima

kasih kepada Ibu dan Bapak serta kakak, yang telah memberikan bantuan motivasi,

doa, fasilitas dan tentu saja biaya untuk membiayai penulis selama mengerjakan

skripsi ini. Penulis sangat menyadari sepenuhnya akan keterbatasan kemampuan dan

pengetahuan dalam penyusunan skripsi ini, sehingga penulis mengharapkan

masukan berupa kritik dan saran konstruktif guna perbaikan penelitian selanjutnya

sehingga dapat menjadi lebih baik dan bermanfaat bagi sesama, dan mampu

memberikan sumbangan pemikiran serta menambah wawasan ilmu pengetahuan

bagi pembaca. Terima kasih.

Surakarta, Juli 2012

Penulis

Page 7: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

viii

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Judul ………………………….…………………………..…….. i

Halaman Persetujuan ………………………….…………………….….... ii

Halaman Pengesahan ……………………………..…………….………... iii

Halaman Motto ............................................................................................ iv

Halaman Persembahan ............................................................................... v

Kata Pengantar ............................................................................................ vi

Daftar Isi ….........…………..………………...……………………….…… viii

Daftar Gambar ………….....……………...……………………..….…….. xii

Daftar Bagan …...……………………………………….………..….……. xiv

Daftar Matrik ............................................................................................... xv

Abstrak ......................................................................................................... xvi

Abstract ......................................................................................................... xvii

BAB I PENDAHULUAN …….......………………………....………... 1

A. Latar Belakang …………………………………....……........ 1

B. Rumusan Masalah …………………………..…….……….... 6

C. Tujuan Penelitian ………...….…………………....………… 7

D. Manfaat Penelitian................................................................... 7

1. Manfaat Teoritis ............................................................... 7

2. Manfaat Praktis ................................................................. 7

BAB II Tinjauan Pustaka ....................................................................... 8

Page 8: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ix

A. Konsep yang Digunakan ....……...…………….………...….. 8

B. Penelitian Terdahulu ............................................................... 15

C. Landasan Teori ........................................................................ 21

D. Kerangka Berpikir .................................................................. 24

E. Definisi Konseptual ................................................................. 26

BAB III Metode Penelitian ...................................................................... 27

A. Rancangan Penelitian .............................................................. 27

B. Lokasi Penelitian .....................................................................

C. Alasan Pemilihan Lokasi Penelitian ........................................

D. Sumber Data ............................................................................

E. Informan ..................................................................................

F. Teknik Pemilihan Informan .....................................................

G. Teknik Pengumpulan Data ......................................................

H. Validitas Data ..........................................................................

I. Teknik Analisa Data ................................................................

28

29

29

30

30

31

33

34

BAB IV Hasil dan Pembahasan .............................................................. 36

A. Interaksi Simbolik antar Pelaku Seni dalam Memaknai

Nilai-Nilai Luhur pada Kesenian Srandul ..............................

1. Bentuk dan Interaksi Simbolik dalam Kesenian Srandul ..

2. Nilai-Nilai Luhur yang Terkandung dalam Aktivitas

Kesenian Srandul ...............................................................

45

46

67

B. Interaksi Simbolik antar Pelaku Seni dalam Memaknai

Nilai-Nilai Luhur pada Kesenian Karawitan ........................

1. Bentuk dan Interaksi Simbolik dalam Kesenian

79

Page 9: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

x

Karawitan .........................................................................

2. Nilai-Nilai Luhur yang Terkandung dalam Aktivitas

Kesenian Karawitan .........................................................

80

83

C. Interaksi Simbolik antar Pelaku Seni dalam Memaknai

Nilai-Nilai Luhur pada Kesenian Sholawatan .......................

1. Bentuk dan Interaksi Simbolik dalam Kesenian

Sholawatan ......................................................................

2. Nilai-Nilai Luhur yang Terkandung dalam Aktivitas

Kesenian Sholawatan ......................................................

90

93

97

D. Interaksi Simbolik antar Pelaku Seni dalam Memaknai

Nilai-Nilai Luhur pada Kesenian Macapatan ........................

1. Bentuk dan Interaksi Simbolik dalam Kesenian

Macapatan .....................................................................

2. Nilai-Nilai Luhur yang Terkandung dalam Aktivitas

Kesenian Macapatan ......................................................

103

104 120

E. Pembahasan ..........................................................................

1. Interaksi Simbolik antar Pelaku Seni dalam Memaknai

Nilai-Nilai Luhur pada Kesenian Tradisional di

Kampung Bumen ............................................................

2. Analisa Interaksi Simbolik antar Pelaku Seni dalam

Memaknai Nilai-Nilai Luhur pada Kesenian Tradisional

di Kampung Bumen ........................................................

126

127 139

BAB V Kesimpulan dan Implikasi ........................................................ 146

A. Kesimpulan ........................................................................... 146

Page 10: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xi

B. Implikasi ................................................................................

1. Implikasi Teoritik ...........................................................

2. Implikasi Metodologik ...................................................

3. Rekomendasi ..................................................................

147

147 148

148

Daftar Pustaka ............................................................................................. 151

Lampiran ...................................................................................................... 155

Page 11: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xii

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1 Sesaji di awal pementasan srandul ................................................... 36

2 Pemain putri (wanita) dalam srandul ............................................... 40

3 Persiapan sesaji dalam Karnaval Genderuwo ................................... 41

4 Boneka Genderuwo dalam Karnaval Genderuwo di Kampung

Bumen ...............................................................................................

43

5 Karnaval Genderuwo Kampung Bumen ........................................... 44

6 Oncor (obor) berhias daun puring, ciri khas dalam kesenian

srandul ..............................................................................................

48

7 Tari-tarian anak dalam srandul ......................................................... 49

8 Perangkat Gamelan dalam srandul ................................................... 50

9 Adegan pada kesenian srandul dalam lakon Pedang Kangkam

Pamor Kencana .................................................................................

52

10 Persiapan srandul oleh generasi muda ............................................. 55

11 Beberapa pemain perempuan dalam srandul .................................... 59

12 Tarian kreasi oleh anak-anak dalam srandul .................................... 59

13 Adegan dagelan (humor) I pada srandul .......................................... 60

14 Adegan Sayidina Ali dan Raja Lakat dalam srandul ........................ 60

15 Wiyaga dalam kesenian srandul Kampung Bumen .......................... 63

16 Latihan srandul di Pendapa Kampung ............................................. 65

17 Kerja keras dalam berlatih srandul ................................................... 70

18 Daun puring di tengah area pementasan srandul .............................. 71

19 Adegan dagelan (humor) II dalam srandul ...................................... 72

20 Kerukunan, kekeluargaan, kebersamaan antarwarga dalam

persiapan srandul ..............................................................................

73

21 Busana tokoh Sayidina Ali dan istrinya dalam kesenian srandul ..... 76

22 Busana kombinasi dalam dagelan (humor) pada kesenian srandul 76

23 Latihan rutin karawitan Muda-Mudi Bumen ................................... 81

Page 12: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xiii

24 Kedudukan kendang sebagai pemimpin dalam kesenian karawitan 87

25 Seni sholawatan kakung dan putri Kampung Bumen ...................... 92

26 Kesenian macapatan Kampung Bumen ........................................... 104

27 Pendapa Kampung Bumen ............................................................... 107

28 Gamelan dalam seni macapatan di Kampung Bumen ..................... 116

29 Kompleks pemakaman di Kampung Bumen .................................... 136

Page 13: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xiv

Daftar Bagan

Bagan Halaman

1 Kerangka Berpikir ............................................................................ 25

Page 14: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xv

Daftar Matrik

Matrik Halaman

1 Interaksi Simbolik antar Pelaku Seni dalam Memaknai Nilai-

Nilai Luhur pada Kesenian Srandul ...............................................

77

2 Interaksi Simbolik antar Pelaku Seni dalam Memaknai Nilai-

Nilai Luhur pada Kesenian Karawitan ..........................................

88

3 Interaksi Simbolik antar Pelaku Seni dalam Memaknai Nilai-

Nilai Luhur pada Kesenian Sholawatan ........................................

101

4 Interaksi Simbolik antar Pelaku Seni dalam Memaknai Nilai-

Nilai Luhur pada Kesenian Macapatan .........................................

125

5 Interaksi Simbolik antar Pelaku Seni dalam Memaknai Nilai-

Nilai Luhur pada Kesenian Tradisional di Kampung Bumen ........

138

Page 15: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xvi

ABSTRAK

Shubuha Pilar Naredia, 2012, D0308055, INTERAKSI SIMBOLIK ANTAR PELAKU SENI DALAM MEMAKNAI NILAI-NILAI LUHUR PADA KESENIAN TRADISIONAL DI KAMPUNG BUMEN, KELURAHAN PURBAYAN, KECAMATAN KOTAGEDE, KOTA YOGYAKARTA, Skripsi, Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Kampung Bumen dikenal sebagai “Kampung Seni” yang masih melestarikan nilai luhur di tengah masyarakat Kotagede, Yogyakarta. Maka, penelitian ini berfokus pada permasalahan tentang bagaimana interaksi simbolik antar pelaku seni dalam memaknai nilai-nilai luhur pada kesenian tradisional di Kampung Bumen tersebut. Penelitian ini bertujuan menggambarkan interaksi simbolik antar pelaku seni dalam memaknai nilai-nilai luhur pada kesenian tradisional di Kampung Bumen. Untuk menggambarkan interaksi simbolik dalam memaknai nilai-nilai luhur, digunakan teori interaksi simbolik.

Penelitian ini merupakan studi kasus tunggal yang membahas interaksi simbolik antar pelaku seni dalam memaknai nilai-nilai luhur pada kesenian tradisional di Kampung Bumen, Kelurahan Purbayan, Kotagede, Yogyakarta. Data bersumber dari informasi yang diperoleh langsung dari informan, studi pustaka, dokumen tertulis dan arsip, dan data visual. Teknik pengumpulan data digunakan wawancara, observasi, dan dokumentasi. Pemilihan informan dipilih secara purposive, dalam hal ini informan dipilih berdasarkan klasifikasi usia, kepengurusan organisasi kepemudaan, dan status sosial dalam masyarakat, sehingga informan berjumlah 8 (delapan) orang. Data dianalisis dengan analisis model interaktif yang menggunakan tiga komponen utama, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan serta verifikasi. Validitas data digunakan teknik triangulasi sumber.

Dari hasil penelitian, ditemukan bahwa kesenian srandul, karawitan, sholawatan, dan macapatan di Kampung Bumen menjadi ruang bagi para pelaku seni untuk berinteraksi menggunakan simbol-simbol di dalamnya dan memaknai nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kesenian tradisional tersebut. Nilai-nilai yang terkandung dalam srandul meliputi: hakekat hidup, hakekat karya dan etos kerja, hubungan manusia dengan alam, persepsi terhadap waktu, dan hubungan manusia dengan sesama. Nilai-nilai tersebut dimaknai melalui makna-makna simbolik, isi cerita (lakon), dan proses latihan dalam srandul. Sedangkan nilai-nilai yang terkandung dalam karawitan, sholawatan, dan macapatan meliputi: hakekat hidup, hakekat karya dan etos kerja, persepsi terhadap waktu, dan hubungan manusia dengan sesama. Nilai-nilai tersebut dimaknai dalam karawitan melalui makna simbolik berupa alat musik kendang serta multifungsi gamelan, dan juga aktivitas latihan dalam karawitan. Pada kesenian sholawatan dan macapatan, nilai-nilai tersebut dimaknai melalui makna simbolik berupa pakaian dan alat musik yang digunakan dalam dua kesenian tersebut, serta melalui syair dan aktivitas latihan pada masing-masing kesenian tersebut. Kata kunci: interaksi simbolik, pelaku seni, nilai luhur, kesenian tradisional.

Page 16: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xvii

ABSTRACT

Shubuha Pilar Naredia, 2012, D0308055, SYMBOLIC INTERACTION BETWEEN ACTORS IN MEANING NOBLE VALUES AT TRADITIONAL ART KAMPUNG IN KAMPUNG BUMEN, KELURAHAN PURBAYAN, KECAMATAN KOTAGEDE, YOGYAKARTA , Thesis, Department of Sociology, Faculty of Social and Political Sciences, University of Sebelas Maret.

Kampung Bumen known as the "Village of Art" which still preserve the noble values in Kotagede, Yogyakarta. Thus, this study focuses on the symbolic issue of how the interaction between actors interpret art in the noble values of the traditional arts in the Kampung Bumen. This study aims to describe the symbolic interaction between actors of understanding the noble values of the traditional arts in the Kampung Bume. To illustrate the meanings of symbolic interaction noble values, used symbolic interaction theory. This study is a single case study that discusses the interaction between actors symbolic art of understanding the noble values of the traditional arts in the Kampug Bumen, Purbayan, Kotagede, Yogyakarta. Data derived from information obtained directly from the informants, the study of literature, written documents and archives, and visual data. Data collection techniques used interviews, observation, and documentation. Selection of informants selected purposively, in this case the informants were selected based on age classification, management, youth organizations, and social status in society, so the informant amounted to 8 (eight). Data were analyzed by analysis of an interactive model that uses three main components, namely data reduction, data presentation, and drawing conclusions and verification. The validity of the data sources used triangulation techniques.

From the research, found that srandul arts, karawitan, sholawatan, and macapatan in village departments to be space for the performers to interact using the symbols in it and make sense of the noble values embodied in the traditional arts. The values contained in Srandul include: the nature of life, the nature of the work and work ethics, human relations with nature, the perception of time, and relationships with fellow human beings. Those values are interpreted through the symbolic meanings, the story (the play), and the process of training in srandul. While the values contained in the karawitan, sholawatan, and macapatan include: the nature of life, the nature of the work and work ethic, the perception of time, and relationships with fellow human beings. The values are interpreted in the karawitan through the symbolic meaning of the instrument as well as multifunctional gamelan drums, and also an exercise in karawitan activities. In the macapatan and sholawatan arts, those values interpreted through the symbolic meaning of clothing and musical instruments used in these two arts, as well as through poetry and training activities in each of these arts.

Key words: symbolic interaction, actors, noble values, traditional art.

Page 17: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kota Yogyakarta memang nampak kecil jika dibandingkan dengan

kota-kota terpenting Indonesia lainnya. Namun, Yogyakarta menjadi kota

yang memiliki pengaruh dalam skala nasional, terutama karena dua alasan

utama. Pertama, karena sejarah dan kedudukannya sebagai salah satu pusat

kebudayaan terpenting di Indonesia. Kedua, karena kedudukannya sebagai

salah satu kota tujuan wisata terpenting di Indonesia. Karena itulah,

peristiwa-peristiwa politik, sosial, dan kebudayaan yang terjadi di

Yogyakarta selalu menjadi wacana nasional, bahkan terkadang

internasional.

Kota Yogyakarta didirikan oleh Pangeran Mangkubumi (kemudian

bergelar Sultan Hamengkubuwono I) pada 1756 sebagai pecahan akibat

sengketa pergantian kekuasaan kerajaan Mataram Jawa (Darwis Khudori,

2002: 103). Pusat kerajaan dahulu hanya merupakan tempat tinggal raja

dan orang-orang yang dekat dengannya. Istana raja dikelilingi oleh tempat

tinggal para pegawai istana dan orang-orang lain yang menyumbangkan

barang ataupun jasa kepada istana (Koentjaraningrat, 1994: 72). Dari

keadaan tersebut, mulai banyak pemukiman yang muncul di sekitar istana.

Berdasar sejarah awal pembentukan kota Yogyakarta tersebut, maka kota

Yogyakarta berkembang dari kraton dan rumah-rumah pangeran (dalem)

di sekitarnya yang membentuk perkampungan menurut organisasi sosial,

struktur kelas, dan gaya hidupnya masing-masing.

Yogyakarta tumbuh menjadi sebuah kota administratif atas

pengaruh pemerintah kolonial di Indonesia. Penduduk Belanda

membentuk kawasan perumahan di sekitar pusat kekuatan militer mereka,

dengan bukti masih terdapat perkampungan di sekitar benteng Vredeburg.

Sedangkan pedagang Tionghoa membangun rumah-rumah toko (ruko) di

sepanjang jalan besar yang menuju ke Alun-alun (Malioboro dan

Page 18: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

2

Gondomanan). Pada masa itu, terdapat perkembangan administrasi,

komunikasi, transportasi, dan pendidikan modern, menyebabkan kawasan-

kawasan baru mulai bermunculan di tengah kota. Kawasan-kawasan baru

tersebut kemudian berkembang sebagai tempat pemukiman penduduk.

Pemukiman ini disebut kampung kota.

Seiring berjalannya waktu, di tengah kota Yogyakarta mulai

terdapat dua jenis perkampungan, yaitu kampung-kampung lama

tradisional yang umumnya berada di jalan-jalan besar di tengah kota

(kampung-kampung di sekitar kraton maupun kampung-kampung bekas

kawasan pemukiman Belanda), dan kampung baru akibat urbanisasi yang

umumnya berada di sekitar bantaran sungai yang melintasi tengah kota.

Penduduk yang tergolong berpenghasilan menengah ke atas berusaha

bermukim di kawasan yang menjauhi keramaian, sedangkan orang-orang

yang tergolong berpenghasilan menengah ke bawah cenderung bermukim

di sekitar tempat keramaian, khususnya di pinggir-pinggir sungai yang

melintasi kota.

Melihat tata kota Yogyakarta semacam itu menunjukkan bahwa

Yogyakarta terbentuk dari berbagai kampung-kampung kota baik

kampung-kampung lama tradisional maupun kampung-kampung baru

akibat urbanisasi. Setiap kampung memiliki aktivitas seni, sosial, dan

ekonomi yang berbeda-beda dengan kampung lainnya. Keberadaan

kampung-kampung tersebut mendukung kota Yogyakarta memiliki banyak

kekayaan budaya salah satunya di bidang kesenian seperti wayang,

ketoprak, sholawatan, tari, dan karawitan sebagai daya tarik wisata

tersendiri baik dalam skala nasional maupun internasional. Oleh karena

itu, kesenian menjadi bagian penting bagi setiap daerah. Selain fungsinya

sebagai budaya lokal yang menyimpan nilai-nilai luhur, kesenian juga

mampu mendongkrak devisa negara. Bermacam kesenian yang ada di kota

Yogyakarta dapat ditemukenali, di antaranya adalah kesenian tradisional

kampung yang masih terjaga eksistensinya hingga sekarang.

Page 19: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

3

Modernisasi tentunya dapat mengancam keberadaan kesenian

tradisional yang ada di tengah Kota Yogyakarta, maka penting adanya

suatu upaya untuk mempertahankan eksistensi dari kesenian tradisional

tersebut. Terjaganya aktivitas kesenian tradisional tergantung atas

kemampuan publik sendiri dalam menjaganya, seni hanya dapat diberi

makna bersama publiknya sehingga tak ada seni tanpa publik (Nirwan

Dewanto, 1996: 90). Hal tersebut menunjukkan bahwa terjaganya

eksistensi kesenian tradisional tergantung pada pemaknaan dari publik itu

sendiri. Pemaknaan tersebut dapat berupa nilai-nilai luhur ataupun makna

simbolik yang melekat pada kesenian tradisional tersebut.

Salah satu daerah di Yogyakarta yang masih menjaga aktivitas

kesenian tradisionalnya adalah kawasan Kotagede. Kotagede terletak di

sebelah tenggara kota Yogyakarta. Di kawasan inilah dahulu kerajaan

Mataram Islam pertama berdiri, sebagai cikal bakal peradaban kota

Yogyakarta dan Surakarta. Kotagede berasal dari kata Kuta Gede (Bahasa

Jawa Ngoko), atau Kitha Ageng (Bahasa Jawa Krama) yang dapat

diartikan sebagai Kota Besar (Van Mook dalam Koentjaraningrat, 1994:

72). Pada tahun 1920-1930 kondisi perekonomian Kotagede mengalami

era emas setelah orang kalang mendapatkan monopoli dari pemerintah

Belanda untuk mengelola perdagangan berlian, membuka pegadaian

swasta dan perdagangan candu (Van Mook dalam Charris Zubair, 2000:

142). Orang Kalang adalah pendatang dari masa Majapahit dan dari Bali

yang datang ketika Kotagede masih menjadi pusat kerajaan Mataram.

Mereka sengaja diundang oleh raja untuk menjadi tukang ukir kerajaan.

Pada awalnya, orang kalang hidup sebagai masyarakat pinggiran. Sejak

pemerintahan Sultan Agung, mereka terpaksa merubah gaya hidup dan

mencari nafkah di tempat-tempat pemukiman. Di beberapa kota Jawa

(Cirebon, Yogya, dll) masih terdapat kampung-kampung yang bernama

pe-kalang-an, di situlah kiranya orang-orang kalang membuka

pemukimannya dengan ada yang menjadi tukang pedati atau penebang

Page 20: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

4

kayu yang sering beralih profesi menjadi pengrajin kayu (Lombard, 2005:

44). Orang kalang inilah sebagai pioner munculnya buruh di Kotagede.

Peristiwa meletusnya pemberontakan PKI menjadikan

perekonomian Kotagede memburuk. Akibatnya, Kotagede menjadi kota

buruh yang miskin dan beberapa daerah di wilayah Kotagede menjadi

daerah termarginalkan pasca peristiwa 1965, beberapa diantaranya adalah

kampung-kampung kota yang memiliki hubungan historis dengan

peristiwa 1965. Meski semakin hari semakin membaik kondisi

perekonomiannya, namun krisis ekonomi tahun 1999 telah kembali

menjadikan perekonomian Kotagede melemah. Meskipun perekonomian

Kotagede melemah, namun masyarakat Kotagede tetap menjaga eksistensi

kesenian tradisional yang ada di kawasan mereka masing-masing sebagai

media hiburan dan aktivitas budaya yang penuh dengan nilai luhur bagi

para warganya. Di Kotagede inilah terdapat sebuah kampung kota dengan

sejarah perkembangannya yang menarik untuk digali lebih mendalam.

Kampung kota tersebut bernama Kampung Bumen.

Secara administratif, Kampung Bumen tercatat dalam wilayah

Kelurahan Purbayan, kecamatan Kotagede. Menurut sejarahnya, Kampung

Bumen berada di wilayah bekas kerajaan Mataram yang berada di kawasan

Kotagede. Kotagede menjadi pusat kerajaan Mataram Islam pertama

sekitar abad ke-16, merupakan daerah yang menyimpan sejarah kuno cikal

bakal peradaban kasultanan Yogyakarta dan kasunanan Surakarta.

Kotagede menjadi ibukota Mataram sejak Panembahan Senopati

mendapatkan tanah perdikan berupa kawasan Alas Mentaok (sekarang

Kotagede) pada tahun 1530 yang kemudian menjadi pusat kerajaan

Mataram hingga masa pemerintahan Raja Sultan Agung, yaitu Raja

Mataram yang ketiga. (http://wartakampungonline.com/kampungbumen).

Konon, nama “Bumen” berasal dari kata “Mangkubumi”, masyarakat

setempat percaya bahwa di kampung ini dulunya menjadi tempat tinggal

Pangeran Mangkubumi. Namun, petunjuk yang tersisa hanyalah sebuah

Page 21: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

5

makam pemelihara kuda yang dianggap sebagai makam pemelihara kuda

Pangeran Mangkubumi.

Adapun dalam bidang kesenian, Kampung Bumen memiliki

kesenian tradisional, seperti srandul, karawitan, sholawatan, tari-tarian

kampung, dan macapatan yang mulai terlihat lagi aktivitasnya pasca 1998.

Potensi kesenian tradisional tersebut sebenarnya memungkinkan dapat

dikembangkan dalam merumuskan identitas kampung terkait

pengembangan kampung ke arah yang lebih maju (misalnya sebagai

Kampung Seni). Selain sebagai tujuan komersil, kesenian tradisional bagi

masyarakat Bumen adalah salah satu aktivitas kemasyarakatan yang penuh

dengan makna simbolik dan mengandung pembelajaran nilai-nilai luhur

dalam kehidupan bermasyarakat di Kampung Bumen.

Bagi para pelaku seni yang terlibat di dalam kesenian tradisional

yang ada di Kampung Bumen, memungkinkan mereka untuk dapat

berinteraksi satu sama lainnya sehingga mereka dapat memaknai nilai-nilai

luhur yang ada pada aktivitas kesenian tradisional di Kampung Bumen.

Dengan kata lain, bahwa dalam interaksi antar pelaku seni dalam kesenian

tradisional di Kampung Bumen terdapat simbol-simbol yang digunakan

untuk memaknai nilai-nilai luhur yang ada di Kampung Bumen. Maka,

kesenian tradisional dapat digunakan sebagai identitas suatu kampung

yang tentunya memiliki fungsi komunikasi antar individu.

Identitas menjadi hal penting sebagai fungsi komunikasi serta

menegaskan suatu ciri khas tertentu agar dapat mengungkap keberadaan

seseorang/kelompok orang di tengah masyarakat. Komunikasi menjadi

pola dasar untuk menarik orang lain agar turut serta dalam kebersamaan

(Carey dalam Alo Liliweri, 2002: 4). Komunikasi pada akhirnya diartikan

sebagai suatu proses, suatu aktivitas simbolis, dan pertukaran makna

antarmanusia.

Kampung-kampung kota bergerak dinamis seiring dengan

kebergerakan penduduknya, tak terkecuali bagi anak-anak dan remaja

kampung yang hidup di dalamnya. Anak-anak dan remaja kampung

Page 22: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

6

merupakan generasi penerus kampung yang memikul tugas masa depan

untuk mewujudkan kampung yang lebih baik bagi seluruh penghuninya.

Hal ini yang mendasari pentingnya membangkitkan minat dan bakat seni

yang dimiliki oleh generasi muda agar dapat sebagai bekal dalam

mewujudkan kampung yang lebih baik bagi seluruh masyarakatnya.

Ketika anak-anak dan remaja kampung mulai memiliki minat dan dapat

mengembangkan bakat kesenian yang mereka miliki, kesenian tradisional

dapat dijadikan sebagai media untuk menjaga nilai-nilai luhur yang ada

dalam kehidupan masyarakat, hal ini dikarenakan dalam kesenian

tradisional tersebut banyak mengandung nilai-nilai luhur baik dalam

wujud simbol-simbol yang melekat ataupun interaksi antar pelaku seni

yang terlibat.

Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukan penelitian mengenai

interaksi simbolik antar pelaku seni dalam memaknai nilai-nilai luhur pada

kesenian tradisional di Kampung Bumen. Kajian ini penting dilakukan

untuk mengetahui bagaimana interaksi simbolik antar pelaku seni dalam

memaknai nilai-nilai luhur pada kesenian tradisional di Kampung Bumen,

serta nilai-nilai luhur apa sajakah yang terkandung dalam kesenian

tradisional di Kampung Bumen. Hasil penelitian ini diharapkan dapat

memberikan gambaran bagi masyarakat umum terkait interaksi simbolik

antar pelaku seni dalam memaknai nilai-nilai luhur pada kesenian

tradisional di Kampung Bumen.

B. Rumusan Masalah

Merujuk pada uraian latar belakang di atas, untuk mempermudah

pemahaman terhadap permasalahan serta mempermudah agar lebih terarah

dan mendalam sesuai sasaran terkait interaksi simbolik antar pelaku seni

dalam memaknai nilai-nilai luhur pada kesenian tradisional di Kampung

Bumen, maka dirumuskan permasalahan “Bagaimana interaksi simbolik

antar pelaku seni dalam memaknai nilai-nilai luhur pada kesenian

Page 23: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

7

tradisional di Kampung Bumen, Kelurahan Purbayan, Kecamatan

Kotagede, Kota Yogyakarta?”

C. Tujuan Penelitian

Dalam penelitian ini, terdapat tujuan yang hendak dicapai untuk

mencari titik temu atau jawaban yang relevan berdasarkan permasalahan

yang ditentukan. Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini

antara lain:

1. Menggambarkan interaksi simbolik antar pelaku seni dalam memaknai

nilai-nilai luhur pada kesenian tradisional di Kampung Bumen,

Kelurahan Purbayan, Kecamatan Kotagede, Kota Yogyakarta.

2. Melengkapi syarat-syarat guna memperoleh derajat sarjana dalam

bidang Sosiologi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Sebelas Maret Surakarta.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah:

1. Manfaat Teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih bagi

pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan pada bidang

sosiologi pada khususnya.

b. Dapat mendorong tumbuhnya motivasi bagi perkembangan serta

kemajuan di bidang sosiologi, karena pembahasan mengenai

kesenian tradisional melibatkan kajian penting sosiologi yaitu

manusia dan kebudayaan.

2. Manfaat Praktis

Hasil Penelitian ini secara praktis diharapkan menjadi bahan

pertimbangan dalam menyusun kebijakan di Kota Yogyakarta terkait

pengembangan kampung kota, dan pelestarian kesenian tradisional di

Yogyakarta, khususnya kawasan Kotagede.

Page 24: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep yang Digunakan

Adapun konsep-konsep yang digunakan dalam penelitian ini

adalah:

1. Interaksi

Interaksi merupakan syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas

sosial. Interaksi merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis

yang menyangkut hubungan antara orang-orang perorangan, antara

kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan

dengan kelompok manusia (Gillin dalam Soerjono Soekanto, 2006:

61). Sedangkan syarat terjadinya interaksi yaitu dengan adanya kontak

sosial dan adanya komunikasi (Soerjono Soekanto, 2006: 64). Perlu

dicatat bahwa terjadinya suatu kontak tidaklah semata-mata

tergantung dari tindakan, namun juga tanggapan terhadap tindakan

tersebut. Terdapat dua macam jenis kontak yaitu: primer (hubungan

langsung) dan sekunder (melalui perantara). Sedangkan komunikasi

diartikan sebagai suatu respon tafsiran pada perilaku orang lain (yang

berwujud pembicaraan, gerak badan ataupun sikap). Maka, dalam

suatu interaksi suatu kontak yang tidak diiringi komunikasi tidaklah

memiliki arti.

Interaksi adalah kunci dari semua kehidupan sosial, oleh

karena tanpa interaksi, tak akan mungkin ada kehidupan bersama

(Kimball Young dan Raymond dalam Soerjono Soekanto, 2006: 61).

Interaksi juga diartikan sebagai proses ketika kemampuan berpikir

dikembangkan dan diekspresikan, interaksi dibedakan menjadi dua

(Blumer dalam Ritzer, 2009: 394) yaitu interaksi nonsimbolis (yang

memuat mengenai percakapan, gestur, dan tidak melibatkan proses

berpikir), dan interaksi simbolis (yang memerlukan proses berpikir

dan proses mental). Dalam suatu interaksi terdapat suatu simbol-

Page 25: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

9

simbol yang dapat digunakan untuk berinteraksi, ketika orang

mempelajari simbol-simbol tersebut maka sekaligus ia juga

mempelajari makna dalam suatu interaksi (Blumer dalam Ritzer,

2009: 394). Simbol adalah objek sosial yang digunakan untuk

merepresentasikan apa saja yang memang disepakati bisa

direpresentasikan oleh simbol tersebut (Charon dalam Ritzer, 2009:

395).

2. Pelaku seni

Pada umunya orang sering menyebut pelaku seni sebagai

seniman, yang dimaksud dengan seniman yaitu orang yang

mempunyai bakat seni dan dengan imajinasinya mampu bahkan

berhasil menciptakan sebuah karya seni, serta

menggelar/menunjukkan karya seninya pada orang lain sehingga

kemudian karya seni tersebut diapresiasi oleh orang lain (diambil dari

http://junaedi-wwwbelajarbareng.blogspot.com/p/presentasi-

hubungan-antara-karya.html, pada Kamis 14 Juli 2012), contohnya

dari seniman yaitu: pelukis, penyair, penyanyi, pemahat, dan lain

sebgainya.

Pelaku seni pada dasarnya adalah seseorang yang pekerjaannya

melakukan kegiatan seni atas sebuah kesenian yang telah diciptakan

oleh seorang Seniman, untuk kemudian dibawakannya sebagai wujud

apresiasi terhadap karya seni tersebut ( diambil dari

http://pandjipainting.wordpress.com/2011/04/11/seniman-pelaku-

seni/, pada Kamis 14 Juli 2012). Dari uraian di atas tentunya memberi

uraian bahwa seniman dan pelaku seni adalah berbeda, seniman

merupakan orang yang dengan imajinasinya kemudian menciptakan

sebuah karya seni dengan nilai-nilai keindahan subjektifnya,

sedangkan pelaku seni adalah seseorang ataupun kelompok orang

yang dengan sengaja membawakan karya seni yang telah diciptakan

oleh orang lain dengan maksud dan tujuan tertentu (Nirwan Dewanto,

1996: 102).

Page 26: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

10

3. Nilai Luhur

Pembahasan mengenai nilai luhur dimulai dengan uraian

mengenai pengertian dari nilai itu sendiri. Istilah nilai merupakan

sebuah istilah yang tidak mudah untuk diberikan batasan secara pasti.

Ini disebabkan karena nilai merupakan sebuah realitas yang abstrak

(Ambroisje dalam Kaswadi, 1993). Menurut Rokeach dan Bank

(Thoha, 1996) nilai adalah suatu tipe kepercayaan yang berada dalam

ruang lingkup sistem kepercayaan di mana seseorang bertindak atau

menghindari suatu tindakan, atau mengenai suatu yang pantas atau

tidak pantas dikerjakan. Nilai juga dapat diartikan sebagai sebuah

pikiran (idea) atau konsep mengenai apa yang dianggap penting bagi

seseorang dalam kehidupannya (Fraenkel dalam Thoha, 1996). Selain

itu, kebenaran sebuah nilai juga tidak menuntut adanya pembuktian

empirik, namun lebih terkait dengan penghayatan dan apa yang

dikehendaki atau tidak dikehendaki, disenangi atau tidak disenangi

oleh seseorang.

Nilai adalah sifat-sifat atau hal-hal yang berguna penting bagi

kemanusiaan (DEPDIKBUD, 1998: 25). Selanjutnya, nilai diartikan

sebagai sesuatu yang dapat dijadikan sasaran untuk mencapai tujuan

yang menjadi sifat keseluruhan tatanan yang terdiri dari dua atau lebih

dari komponen yang satu sama lainnya saling mempengaruhi atau

bekerja dalam satu kesatuan atau keterpaduan yang bulat dan

berorientasi kepada nilai dan moralitas Islami (Soekamto, 1981: 25).

Nilai dipandang sebagai suatu pola normatif, yang menentukan

tingkah laku dan diinginkan bagi suatu sistem yang berkaitan dengan

lingkungan sekitar tanpa membedakan fungsi-fungsinya. Karl Marx

mendefinisikan nilai sebagai suatu hal yang ada dalam masyarakat dan

tidak bisa dipisahkan dengan fakta-fakta sosial (Ritzer dan Douglas J.

Goodman, 2009: 47). Bagi Marx, fakta-fakta sosial dan nilai-nilai itu

saling terkait, dan oleh karena itu fenomena sosial selalu terkait

dengan nilai.

Page 27: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

11

Terdapat hubungan erat antara nilai dan uang dalam

masyarakat. Secara umum, orang menciptakan nilai dengan

menciptakan objek, memisahkan dirinya dari objek-objek tersebut,

dan selanjutnya berusaha mengatasai kesulitan yang ditimbulkan

olehnya (Simmel dalam Ritzer dan Douglas J. Goodman, 2009: 189).

Semakin besar kesulitan untuk mendapatkan suatu objek, maka

semakin besar pula nilainya. Prinsip umumnya adalah bahwa nilai

benda berasal dari kemampuan orang untuk menjarakkan dirinya

secara tepat dari objek. Benda-benda yang terlalu mudah untuk

diperoleh, dianggap tidak memiliki nilai yang tinggi. Perlu upaya

tertentu agar sesuatu dianggap bernilai. Sedangkan benda-benda yang

terlalu sulit untuk diperoleh bahkan mustahil untuk diperoleh juga

tidak akan dianggap bernilai di mata kita. Benda-benda yang paling

bernilai adalah yang tidak terlalu sulit dan tidak terlalu mudah untuk

diperoleh.

Nilai-nilai yang ada tidaklah sama luhur dan sama tingginya.

Nilai-nilai itu secara nyata ada yang lebih tinggi dan ada yang lebih

rendah dibandingkan dengan nilai-nilai lainnya. Menurut tinggi

rendahnya, M. Asrori Ardiansyah (diambil dari http://kabar-

pendidikan. Blogspot.com, pada Selasa 08 November 2011)

mengelompokkan nilai-nilai dalam empat tingkatan, yaitu:

a. Nilai-nilai kenikmatan: dalam tingkat ini terdapat deretan

nilai-nilai yang baik dan buruk, yang menyebabkan orang

senang atau menderita.

b. Nilai-nilai kehidupan: dalam tingkat ini terdapat nilai-nilai

yang lebih penting bagi kehidupan, misalnya: kesehatan,

kesegaran badan, kesejahteraan umum.

c. Nilai-nilai kejiwaan: dalam tingkat ini terdapat nilai-nilai

yang sama sekali tidak tergantung pada keadaan jasmani

maupun lingkungan, seperti misalnya kehidupan,

Page 28: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

12

kebenaran, dan pengetahuan murni yang dicapai dalam

filsafat.

d. Nilai-nilai kerohanian: dalam tingkat ini terdapat modalitas

nilai dari suci dan tak suci. Nilai-nilai semacam ini

terutama terdiri dari nilai-nilai pribadi dan nilai kebutuhan.

Merujuk pada uraian di atas, maka nilai merupakan sebuah

bagian yang melekat pada setiap benda, baik dalam aktivitas, bentuk,

ataupun juga fungsinya. Nilai melekat pada setiap elemen kehidupan

mulai dari hubungan masyarakat hingga aktivitas kesenian sebagai

sebuah fakta sosial. Pembahasan mengenai orientasi nilai, khususnya

nilai luhur sebagai sebuah fakta sosial dapat menggunakan kerangka

yang pernah dikembangkan oleh Kluckhohn (dalam Koentjaraningrat,

1994: 435), dalam kerangka yang dikembangkan itu secara universal

membagi nilai-nilai budaya sebagai nilai luhur dari semua bangsa di

dunia menjadi lima kategori berdasarkan lima masalah penting dalam

kehidupan manusia, yaitu : (1) mengenai hakekat hidup; (2) hakekat

karya dan etos kerja; (3) hubungan antara manusia dengan alam; (4)

persepsi manusia tentang waktu; dan (5) hubungan antara manusia dan

sesamanya.

Adapun nilai-nilai luhur yang perlu diajarkan agar menjadi

sikap hidup sehari-hari menurut Sukamto (diambil dari http://kabar-

pendidikan. Blogspot.com, pada Rabu 09 November 2011), antara lain

meliputi: Kejujuran; Loyalitas dan dapat diandalkan; Hormat; Cinta;

Ketidak egoisan dan sensitifitas; Baik hati dan pertemanan;

Keberanian; Kedamaian; Mandiri dan Potensial; Disiplin diri dan

Moderasi; Kesetiaan dan kemurnian; dan Keadilan dan kasih sayang.

Nilai-nilai luhur khususnya pada masyarakat Jawa menjadi

pola dasar dalam pembentukan filsafat pancasila, nilai-nilai luhur

tersebut meliputi tiga hubungan kodrat, yaitu bahwa (1) nilai yang ada

pada hubungan manusia dengan Tuhan, (2) nilai yang ada pada

hubungan manusia dengan manusia lain termasuk dengan dirinya

Page 29: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

13

sendiri, (3) nilai yang ada pada hubungan manusia dengan benda di

sekitarnya (Sunarjo Wreksosuhardjo, 2009: 29). Nilai-nilai luhur

tersebut pada dasarnya mengarahkan individu dalam memiliki budi

pekerti yang baik, dimana budi pekerti akan terkait erat dengan

tatakrama pergaulan seseorang di mana saja, maka budi pekerti

menjadi bagian utama dalam tatakrama pergaulan (Endraswara, 2006:

9). Tatakrama akan meliputi berbagai hal, seperti aturan moral, sopan

santun, unggah-ungguh, dan etika.

Nilai-nilai luhur menjadi sebuah acuan hidup setiap individu

karena dipercaya sebagai orientasi kebenaran dalam kehidupan sehari-

hari. Nilai luhur melekat pada setiap aktivitas dan cara hidup dalam

masyarakat, namun nilai luhur setiap daerah akan berbeda antara

daerah satu dengan daerah yang lain. Hal tersebut dikarenakan

aktivitas dan cara hidup setiap daerah yang berbeda pula.

4. Kesenian Tradisional

Kesenian tradisional tersusun dari dua kata, yaitu kesenian dan

tradisional. Kesenian berasal dari kata dasar seni. Seni memiliki

padanan kata techne (Yunani), ars (latin), kuns (Jerman) dan art

dalam Bahasa Inggris. Kesemuanya tersebut mempunyai pengertian

yang sama yakni ketrampilan dan kemampuan (Edy Tri Sulistyo,

2005: 1). Ketrampilan dan kemampuan ini dikaitkan dengan tujuan

dalam seni misalnya nilai estetis (keindahan), etis, dan nilai praktis.

Berdasar tujuan-tujuan tersebut, nampaknya seni cenderung dikaitkan

dengan nilai estetis sehingga terdapat pendapat bahwa seni sama

dengan keindahan. Lebih lanjut seni diartikan sebagai karya yang

diciptakan dengan keahlian dan perasaan yang luar biasa (Kamus

Lengkap Bahasa Indonesia, tanpa tahun: 750). Seni merupakan sebuah

penggunaan imajinasi manusia secara kreatif untuk menerangkan,

memahami, dan menikmati kehidupan (Yuni Pare, 2007: 27).

Kamus Umum Bahasa Indonesia oleh Poerwadarminto

menyebutkan bahwa seni adalah penjelmaan rasa indah yang

Page 30: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

14

terkandung dalam hati orang yang dilahirkan dengan perantaraan alat-

alat komunikasi ke dalam bentuk yang ditangkap oleh indera

pendengaran (seni musik), penglihatan (seni rupa), atau yang

dilahirkan dengan gerak (seni tari, seni drama). Maka, kesenian

diartikan sebagai suatu aktivitas yang berhubungan dengan seni baik

seni musik, seni rupa, ataupun seni tari dan seni drama.

Seni menurut Edmund Burke Feldman (1967: 2) memiliki tiga

fungsi, yaitu (1) fungsi personal (personal needs), (2) fungsi sosial

(social needs), dan (3) fungsi fisik (physycal needs). Sedangkan pada

dasarnya, fungsi seni secara primer yaitu (1) sebagai sarana ritual, (2)

sebagai ungkapan pribadi yang pada umunya berupa hiburan pribadi,

dan (3) sebagai presentasi estetis (Soedarsono, 2002: 123).

Kesenian adalah keseluruhan sistem yang melibatkan proses

penggunaan imajinasi manusia secara kreatif di dalam sebuah

kelompok masyarakat dengan kebudayaan tertentu (Yuni Pare, 2007:

27). Kesenian merupakan salah satu dari unsur-unsur kebudayaan

(Kluckhohn dalam Soerjono Soekanto, 2006: 176). Manusia pada

umumnya berusaha mendapatkan ilmu pengetahuan melalui logika,

menyerasikan perilaku terhadap kaidah-kaidah melalui etika, dan

mendapatkan keindahan melalui estetika. Dari konsep tersebut jelas

keberadaan kesenian sebagai unsur dari kebudayaan, karena kesenian

memuat keindahan. Manusia dalam kehidupannya pasti berhubungan

erat dengan kebudayaan, karena fungsi dari kebudayaan adalah untuk

mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya

bertindak, berbuat, menentukan sikapnya kalau mereka berhubungan

dengan orang lain. Hal ini sesuai dengan pandangan Bronislaw

Malinowski (dalam Soerjono Soekanto, 2006: 176) yang menyebutkan

bahwa tak ada suatu unsur kebudayaan yang tidak mempunyai

kegunaan yang cocok dalam rangka kebudayaan sebagai keseluruhan.

Tradisi adalah adat kebiasaan yang diturunkan dari nenek

moyang yang dijalankan oleh masyarakat (Kamus Lengkap Bahasa

Page 31: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

15

Indonesia, tanpa tahun, 826). Sedangkan tradisional merupakan cara

berpikir dan bertindak dengan selalu berpegang pada norma dan adat

kebiasaan, sesuai tradisi (wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia

bebas). Maka, secara singkat kesenian tradisional diartikan sebagai

aktivitas dengan unsur seni yang menjadi bagian hidup masyarakat

dalam suatu kaum/suku/bangsa tertentu dan dipandang sebagai hasil

ekspresi hasrat manusia akan keindahan dengan latar belakang tradisi

atau sistem budaya masyarakat pemilik kesenian tersebut.

B. Penelitian Terdahulu

Terdapat beberapa penelitian dan makalah yang memuat informasi

mengenai Kampung Bumen, namun bahasannya masih umum dan luas.

Penelitian yang ada lebih bersifat inventarisasi dan dokumentasi terhadap

potensi kampung yang dianggap perlu dilestarikan dan dikembangkan

untuk tujuan ekonomi. Adapun penelitian dan makalah yang memuat

informasi mengenai Kampung Bumen tersebut antara lain:

Makalah yang disampaikan oleh Invani Lela Herliana dalam

Seminar Internasional Youth Encounter in India in the Context of todays’s

Crises, di Karur, Tamil Nadu, India dengan judul “Youth Involvement in

the Kampong in the Context of Cultural Diversity” pada 20-25 Mei 2009.

Makalah ini menyinggung keberadaan Kota Yogyakarta sebagai kota

dengan keadaan masyarakat multikultur, dalam makalah ini juga

membahas keberadaan Kampung Bumen sebagai salah satu kampung tua

di Kotagede, Yogyakarta. Keberadaannya sebagai salah satu kampung kota

yang juga tergolong sebagai kampung marginal, menempatkannya sebagai

salah satu kampung kota di Yogyakarta yang perlu mendapat perhatian

untuk pengembangan kehidupan di bidang sosial, ekonomi, maupun

budayanya.

Penelitian berjudul Ekonomi Berbasis Kampung: Pemetaan Potensi

Ekonomi di Kampung Bumen, Kotagede (2010) oleh Invani Lela Herliana

dan Lusia Nini Purwajati. Hasil penelitian ini memberikan uraian panjang

Page 32: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

16

tentang profil Kampung Bumen, kondisi sosial masyarakat, dan potensi-

potensi yang dimiliki oleh Kampung Bumen sebagai bahan pengembangan

kampung di bidang ekonomi. Salah satu potensi yang dimiliki oleh

Kampung Bumen adalah di bidang kesenian tradisional.

Penelitian berjudul Kerja Pendampingan dan Pemberdayaan

Yayasan Pondok Rakyat dalam Program Srawung Kampung di Kampung

Bumen, Kelurahan Purbayan, Kecamatan Kotagede, Kota Yogyakarta

(2010) oleh Awan Bagus Sucahyo. Penelitian ini membahas mengenai

konsep pendampingan dan pemberdayaan yang dilakukan oleh Yayasan

Pondok Rakyat di bidang sosial ekonomi. Program srawung kampung

merupakan salah satu realisasi dari konsep pendampingan dan

pemberdayaan tersebut. Program ini sebagai upaya penggalian potensi seni

dan budaya Kampung Bumen, yang mana potensi-potensi ini sempat

dimarginalkan bahkan disingkirkan oleh rezim orde baru yang anti

terhadap ideologi komunis.

Terdapat pula jurnal-jurnal internasional dan penelitian-penelitian

yang membahas mengenai interaksi simbolik dalam aktivitas kesenian

tradisional serta nilai-nilai luhur di dalam masyarakat, diantaranya:

International journal of Social Sciences and Humanity Stud

research by Maryam Lari, 2011. The Images of Angels in Iranian Art, A

Civilization Interaction in a Comparative Study.

This essay surveys the images of angels in the Iranian paintings particularly in 18th (under Safavid dynasty) and 19th (under Qajar dynasty) centuries in Iran. As a background, the concept of Angel has been briefly studied in four categories of Persian mythology, Iranian epic, Islamic culture and folk stories. The images of angels altered in different periods which were directly related to cultural interaction between "East" and "West". The angels in Safavid period were ideal images in a utopian atmosphere and their pictorial appearances were representations of philosophical and metaphorical concepts. Illustrating the angels for the Safavid artists was actually a way to penetrate into the concepts world. It is essential to mention that the challenge of "East" and "West" which had begun in Safavid period, reached to its critical summit in Qajar era. It was due to various reasons; Travelling abroad, getting acquaintance with modern ideas, constitutionalism movement, entering new technology such as photography and printing industry were some of the most influential

Page 33: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

17

causes which affected all aspects of Qajar society. Idealistic vision of Safavid painters changed into naturalistic one and the imaginary illustrations of angels altered to more realistic images. Many progressive newspapers began to be published in which the angels were represented as the symbols of freedom, homeland and constitutionalism. By studying about 50 dominant illustrations, this paper seeks to examine the conjunction between the images of angels and the most important civilization interaction in Qajar period in Iran.

Tulisan ini meneliti mengenai gambar malaikat dalam lukisan Iran,

khususnya di abad 18 (dibawah dinasti Safawi) dan abad 19 ( dibawah

dinasti Qajar) di Iran. Sebagai latar belakang, konsep malaikat telah

dipelajari secara singkat dalam empat kategori mitologi Persia, Iran Epik,

budaya Islam dan cerita rakyat. Gambar-gambar malaikat diubah dalam

periode berbeda yang langsung berhubungan dengan interaksi budaya

Timur dan Barat. Gambar para malaikat pada periode Safawi dianggap

ideal dalam suasana utopis serta merupakan representasi dari konsep-

konsep filosofis dan metafora. Bagi Para seniman Safawi, menggambarkan

malaikat sebenarnya merupakan cara untuk menembus dalam konsep

kepercayaan. Hal ini penting untuk menyebut tantangan timur dan barat

telah dimulai pada periode Safawi dan mencapai puncak kritisnya di era

Qajar. Hal itu dikarenakan berbagai alasan: perjalanan luar negri,

masuknya ide-ide modern, gerakan konstitusionalisme, masuknya

teknologi baru seperti forografi dan industri percetakan adalah beberapa

penyebab yang paling berpengaruh dan mempengaruhi semua aspek

kehidupan masyarakat Qajar. Visi idealis pelukis Safawi berubah menjadi

naturalistik dan ilustrasi gambar malaikat diubah untuk lebih realistis.

Banyak surat kabar mulai diterbitkan, dimana para malaikat diwakili

sebagai simbol kebebasan, tanah air dan konstitusionalisme. Belajar dari

50 ilustrasi yang dominan, maka tulisan ini mencoba untuk menganalisis

hubungan antara gambar malaikat dan peradaban yang paling penting bagi

interaksi dalam periode Qajar di Iran.

Jurnal di atas menunjukkan bahwa dalam sebuah karya seni

memiliki makna tertentu yang dapat digunakan untuk merepresentasikan

Page 34: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

18

nilai ataupun tujuan tertentu. Simbol dalam sebuah karya seni dipandang

sebagai fungsi komunikasi untuk menyampaikan makna tertentu bagi

penikmat seni ataupun pelaku seni. Jurnal ini merupakan sebuah penelitian

terdahulu (tinjauan pustaka) yang dapat dijadikan rujukan untuk

membahas mengenai interaksi simbolik dalam sebuah kesenian yang

digunakan sebagai media pemaknaan nilai-nilai luhur yang terkandung di

dalamnya, serta merepresentasikan makna yang terkandung dalam simbol-

simbol tersebut. Pada jurnal di atas, simbol malaikat pada kesenian Iran

memiliki makna dan kandungan nilai tertentu bagi seluruh warganya,

interpretasi tangkapan makna pada sebuah karya seni tentunya dapat

terjadi jika ada interaksi simbolik antar pelakunya.

International journal of Cultural Sociology research by Dagmar

Danko, 2008. Nathalie Heinich's Sociology of Art and Sociology from

Art.

In order fully to understand the nature of Nathalie Heinich’s sociology of art especially her recurring advocacy of an ‘interpretative’ sociology over an ‘explanatory’ one, and her insistence on a descriptive approach that stays true to the axiom of value neutrality – it is helpful to note that all of the work presented in this article originated during the period of the so-called ‘quarrel of contemporary art’, which took place in France throughout the 1990s. This was a dispute between experts and intellectuals concerning the possibility of defining new objective criteria for evaluating contemporary art. The debate involved on the one side those who judged contemporary art as being too commercialized, too sensation-seeking and wholly intellectually empty, and on the other, those who in turn judged these sorts of critic as conservative and ignorant of the true nature of the art they were talking about. Heinich did not explicitly take part in this public debate, which was carried out via the means of innumerable articles and books by a wide range of art critics, philosophers and other sorts of theorist. Her sociological methodology attempted to assume a meta-position above this melée. By refusing to makevalue judgements for or against contemporary art, and by trying to position sociology as a science that can help social actors to better understand one another, through the means of describing their value systems instead of taking part in disputes about them, she wanted to show a way out of what she saw as the dead-end of this sort of debate.

Jurnal ini membahas bahwa telah terjadi perdebatan antara para

ahli dan cendekiawan mengenai kemungkinan pendefinisian baru tentang

Page 35: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

19

kriteria obyektif untuk mengevaluasi seni kontemporer. Salah satu

pendapat ialah bahwa seni kontemporer terlalu dikomersialkan, sehingga

hakekat seni itu sendiri mulai terkaburkan dan tak ditangkap lagi oleh para

pelaku seni. Seorang sosiolog bernama Heinich kemudian melakukan

penilaian terhadap seni kontemporer, dan mencoba mengembangkan posisi

sosiologi sebagai ilmu yang dapat membantu pelaku sosial untuk lebih

memahami satu sama lain terkait masalah seni kontemporer tersebut.

Jurnal ini juga menjadi rujukan tinjauan pustaka (penelitian

terdahulu) terkait pemaknaan nilai-nilai dalam sebuah kesenian (seni).

Pentingnya sosiologi dalam mengkaji permasalahan antar pelaku sosial

terkait perdebatan mengenai seni kontemporer, nampaknya relevan jika

digunakan dalam mengkaji pemaknaan nilai luhur dalam sebuah kesenian.

Maka, konsep interaksi simbolik sebagai salah satu konsep dalam sosiologi

dapat digunakan dalam mengkaji sebuah pemaknaan nilai-nilai luhur

dalam sebuah kesenian tradisional yang dilakukan oleh para pelaku seni

yang terlibat di dalamnya.

Penelitian berikutnya berjudul Pemeliharaan Kehidupan Budaya

Kesenian Tradisional dalam Pembangunan Nasional (2005) oleh

Arifninetrirosa. Penelitian ini membahas mengenai nilai luhur yang

terkandung dalam kehidupan budaya setiap masyarakat. Pembangunan

nasional dapat berjalan baik jika nilai-nilai luhur dalam masyarakat dapat

dipahami dan diaplikasikan oleh setiap warga negara dengan baik. Jika

nilai luhur tersebut dapat hadir dengan baik dalam masyarakat, maka

kehidupan masyarakat akan terjaga keharmonisannya sehingga

pembangunan nasional dapat berjalan dengan baik. Penelitian ini dapat

dijadikan rujukan karena di dalamnya membahas mengenai pentingnya

nilai luhur dalam pembangunan nasional.

Penelitian berjudul Pemetaan Jenis-Jenis Kesenian Rakyat

Pesisiran di Daerah Jawa Tengah Bagian Utara (2005) oleh Mulyo Hadi

Purnomo, Universitas Diponegoro Semarang. Penelitian ini membahas

tentang keberadaan kesenian tradisional sebagai bentuk ungkapan estetika

Page 36: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

20

dan hiburan. Kesenian rakyat di pesisir utara Jawa Tengah seperti srandul

pada awalnya berfungsi sebagai ritual untuk mencegah bencana meskipun

pada akhirnya berubah sebagai fungsi hiburan bagi masyarakat. Hal ini

didasari atas setiap awal pertunjukan akan selalu diawali dengan prelude,

yang biasanya diikuti dengan doa dan persembahan sesaji. Penelitian ini

dapat dijadikan rujukan karena di dalamnya membahas mengenai srandul,

dimana srandhul adalah salah satu jenis kesenian tradisional yang dimiliki

oleh Kampung Bumen.

Penelitian berjudul Seni Pertunjukan Tradisional Jawa: Dari Ritus

Sampai Pasar (2006) oleh T. Slamet Suparno, Institut Seni Indonesia

Surakarta. Penelitian ini membahas mengenai fungsi seni pertunjukan

tradisional Jawa dalam kehidupan sosial yang cenderung berubah pada

setiap era, mulai dari ritual keagamaan, sebagai alat kekuasaan untuk

propaganda, dan sebagai komoditas pasar. Seni pertunjukan tradisional

Jawa sebagai salah satu bentuk kesenian masyarakat Jawa merupakan

produk masyarakat Jawa yang berkembang sesuai perkembangan

pandangan dunia masyarakat Jawa. Penelitian ini dapat dijadikan rujukan

karena di dalamnya membahas fungsi seni pertunjukan tradisional Jawa

dalam kehidupan sosial cenderung berubah pada setiap era dan

berkembang sesuai perkembangan pandangan dunia masyarakat Jawa,

dalam hal ini kesenian tradisional Kampung Bumen merupakan seni

pertunjukan tradisional Jawa.

Berdasar hasil temuan di atas, penelitian terkait interaksi simbolik

antar pelaku seni dalam memaknai nilai-nilai luhur pada kesenian

tradisional di Kampung Bumen belum pernah ada yang melakukan,

sehingga penelitian dengan tema dan objek lokasi ini berdasar pustaka

yang ada tergolong baru pertama kali dilakukan. Maka dari itu, penelititan

ini mengambil judul “Interaksi Simbolik antar Pelaku Seni dalam

Memaknai Nilai-Nilai Luhur pada Kesenian Tradisional di Kampung

Bumen, Kelurahan Purbayan, Kecamatan Kotagede, Kota Yogyakarta”.

Page 37: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

21

C. Landasan Teori

Perubahan merupakan salah satu gejala normal dalam kehidupan

masyarakat. Esensi dasar dari segala perubahan dalam masyarakat

merupakan perjuangan manusia untuk dapat mempertahankan hidup, serta

mencapai kehidupan yang lebih baik dari kehidupan sebelumnya.

Perubahan yang terjadi menyangkut banyak aspek, seperti kehidupan

beragama, nilai, norma, ekonomi, kebudayaan, dan mobilitas sosial

masyarakatnya.

Merujuk atas kenyataan tersebut, maka perlu adanya proses

pelestarian nilai-nilai luhur dalam masyarakat agar nilai-nilai tersebut tidak

mengalami perubahan dan pergeseran. Salah satu caranya adalah dengan

memaknai kembali nilai-nilai luhur di Kampung Bumen dengan bantuan

simbol-simbol yang digunakan dalam berinteraksi antar pelaku seni dalam

kesenian tradisional yang ada di Kampung Bumen. Keberadaan simbol-

simbol tersebut memiliki makna simbolik yang dapat digunakan untuk

memaknai nilai-nilai luhur di Kampung Bumen, sehingga nilai-nilai luhur

tersebut dapat terjaga eksistensinya.

Seiring dengan modernisasi, interpretasi dan persepsi masyarakat

akan nilai luhur secara tidak langsung berpengaruh pada pemaknaan

terhadap kesenian tradisional di Kampung Bumen. Oleh karena itu, dalam

usaha memahami secara konseptual maupun visual mengenai nilai luhur

dan kesenian tradisional di Kampung Bumen, perlu disadari sebagai

bagian dari unsur integral kebudayaan, aspek mengenai pemaknaan serta

pelestarian kesenian tradisional Kampung Bumen demi memunculkan

suatu identitas dan mempertahankan nilai-nilai luhur sudah sewajarnya

dipandang sebagai suatu fenomena kultural dan tidak terlepas dari

dinamika perubahan sosial budaya.

Identitas menjadi hal penting sebagai fungsi komunikasi serta

menegaskan suatu ciri khas tertentu agar dapat mengungkap keberadaan

seseorang/kelompok orang di tengah masyarakat. Komunikasi menjadi

pola dasar untuk menarik orang lain agar turut serta dalam kebersamaan

Page 38: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

22

(Carey dalam Alo Liliweri, 2002: 4). Maka, komunikasi secara ringkas

diartikan sebagai suatu proses, suatu aktivitas simbolis, dan pertukaran

makna antarmanusia.

Penelitian ini menggunakan perspektif Interaksi Simbolik, dimana

dasar pandangan atas interaksi simbolik adalah asumsi bahwa pengalaman

manusia diperoleh lewat interpretasi (Sutopo, 2002: 28). Kehidupan sosial

pada dasarnya adalah interaksi manusia menggunakan simbol-simbol.

Simbol digunakan untuk merepresentasikan maksud dalam berkomunikasi

sehingga membentuk makna tafsiran yang dapat mempengaruhi cara orang

lain dalam bertindak (Blumer dalam Deddy Mulyana, 2004: 71). Esensi

dari interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas

manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna

(Deddy Mulyana, 2004: 68). Dalam melakukan interpretasi, seseorang

dapat menggunakan bantuan dari orang lain, baik dalam aktivitas dan

pergaulan hidup sehari-hari. Melalui interpretasi orang lain, seseorang

membentuk makna tentang sesuatu. Individu secara konstan berada di

dalam suatu proses interpretasi dan definisi selama mereka bergerak dari

satu situasi ke situasi yang lain. Dari perspektif interaksi simbolik yang

dikembangkan oleh Herbert Blumer ini, semua organisasi sosial terdiri dari

para pelaku yang mengembangkan definisi tentang suatu situasi atau

perspektif lewat proses interpretasi dan mereka bertindak dalam atau

sesuai dengan makna definisi tersebut (Wallace dan Wolf, 1999: 197).

Oleh sebab itu, analisis makna yang berlangsung di tingkat interaksi

menjadi suatu keperluan untuk dapat memahami mengapa para pelaku

berpola tindakan tertentu.

Aktivitas kesenian tradisional di dalamnya memuat simbol-simbol,

dari simbol-simbol tersebut terdapat pula suatu makna yang melekat.

Simbol-simbol tersebut pada akhirnya dapat mempengaruhi bagaimana

orang merumuskan apa yang mereka lakukan serta menginterpretasi

makna yang terkandung di dalamnya. Maka, interaksi antar pelaku seni

dalam kesenian tradisional di Kampung Bumen menurut perspektif ini

Page 39: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

23

dipandang menjadi sebuah bentuk komunikasi/interaksi antarindividu

melalui suatu media yang di dalamnya memuat simbol-simbol yang

mengandung makna sehingga dapat mempengaruhi bagaimana orang

merumuskan apa yang mereka lakukan.

Kesenian tradisional Kampung Bumen dipandang sebagai sebuah

produk budaya, maka makna fenomena kesenian tradisional sebagai media

internalisasi bagi masyarakat Kampung Bumen dapat dianalisa

menggunakan konsep yang dikemukakan oleh Raymond Williams. Dalam

konsepnya, Raymond Williams (1981: 17) membagi penelitian sebuah

produk budaya menjadi tiga aspek pokok, yaitu (1) lembaga kebudayaan

(institutions), (2) isi kebudayaan (content), dan (3) efek kebudayaan

(effect). Maka, penelitian ini mencoba mengkaji keberadaan dari kesenian

tradisional dari aspek kelembagaan, isi, serta efek yang ditimbulkan dari

aktivitas kesenian tradisional tersebut.

Selanjutnya Kuntowijoyo menjelaskan bahwa lembaga budaya

mempertanyakan siapa yang menghasilkan produk budaya, siapa yang

melakukan kontrol dan bagaimana kontrol dilaksanakan, isi budaya

menanyakan produk apa yang dihasilkan dan efek budaya menanyakan

konsekuensi apa yang diharapkan dari proses budaya tersebut. Kesenian

tradisional sebagai wujud kebudayaan bukan saja merupakan sebuah gejala

etis, estetis, atau simbolis, tetapi juga merupakan gejala sosial

(Kuntowijoyo, 2006: 31). Kesenian tradisional dipandang sebagai gejala

sosial menempatkan dirinya sebagai aktivitas sosial yang tentunya

memiliki fungsi kemasyarakatan, salah satunya dapat digunakan sebagai

ruang interaksi simbolik antar pelaku seni dalam memaknai nilai-nilai

luhur suatu masyarakat tertentu.

Page 40: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

24

D. Kerangka Berpikir

Kampung-kampung kota bergerak dinamis seiring dengan

kebergerakan penduduknya, tak terkecuali bagi anak-anak dan remaja

kampung yang hidup di dalamnya. Anak-anak dan remaja kampung

merupakan generasi penerus kampung yang memikul tugas masa depan

untuk mewujudkan kampung yang lebih baik bagi seluruh penghuninya.

Anak-anak dan remaja kampung dihadapkan pada modernisasi yang terjadi

di sekitar mereka, modernisasi dapat membawa perubahan-perubahan bagi

kehidupan masyarakat, termasuk nilai-nilai luhur dalam masyarakat.

Maka, perlu adanya suatu proses pelestarian nilai-nilai luhur dalam

masyarakat agar nilai-nilai tersebut dapat terjaga dengan baik dan tidak

disalah artikan khususnya bagi generasi muda.

Pemaknaan nilai luhur merupakan bentuk upaya pelestarian

terhadap nilai-nilai luhur yang ada di masyarakat. Pemaknaan nilai-nilai

luhur tersebut salah satunya dapat melalui interaksi antar pelaku seni

dalam kesenian tradisional, karena dalam kesenian tradisional

mengandung makna-makna simbolik sebagai fungsi pemaknaan dan

pelestarian nilai-nilai luhur. Selain fungsinya dalam melestarikan nilai

luhur, simbol-simbol dalam kesenian tradisional tersebut juga berfungsi

sebagai media interaksi antar pelaku seni dalam berkomunikasi dan

merepresentasikan makna.

Nilai-nilai luhur dalam masyarakat pada dasarnya mengarahkan

seseorang pada pembentukan budi pekerti luhur untuk dapat hidup

harmonis dengan alam dan lingkungan sekitar, dimana ciri budi pekerti

luhur tersebut antara lain, yaitu: (1) pengabdian, (2) kejujuran, (3) sopan

santun, (4) toleransi, (5) kedisiplinan, (6) keikhlasan, (7) tanggungjawab,

(8) guyup rukun, (9) tepa slira, (10) tatakrama, (11) gotong royong, (12)

penyesuaian diri (Supriyoko dalam Suwardi Endraswara, 2006: 7). Nilai-

nilai luhur tersebut mampu dikenalkan pada seorang individu melalui

beberapa jalan, antara lain melalui keluarga, pendidikan sekolah, dan

dalam masyarakat.

Page 41: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

25

Interaksi antar Pelaku Seni

Kesenian Tradisional

Simbol-Simbol dalam

Kesenian Tradisional

Pemaknaan Nilai-Nilai Luhur

Berdasar Simbol-Simbol

Kesenian tradisional merupakan aktivitas budaya yang dipengaruhi

oleh masyarakat, maka kesenian tradisional tentunya di dalamnya terdapat

interaksi antar pelaku seni yang terlibat. Interaksi tersebut menggunakan

beragam simbol yang memiliki makna simbolik sebagai fungsi

komunikasi. Dengan simbol-simbol yang memiliki makna itu pula maka

para pelaku seni yang terlibat dapat memaknai nilai-nilai luhur yang

terkandung dalam simbol-simbol tersebut. Maka, menjadi penting

pelacakan berbagai macam simbol-simbol dalam kesenian tradisional

untuk memahami dan memaknai nilai-nilai luhur suatu masyarakat.

Interpretasi dan pemaknaan terhadap simbol-simbol tersebut tentunya

sebagai wujud bukti bahwa di dalam kesenian tradisional mengandung

nilai-nilai luhur suatu masyarakat tertentu.

Bagan 1 Kerangka Berpikir

Page 42: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

26

E. Definisi Konseptual

Konsep pada hakekatnya adalah suatu istilah yang mengandung

pengertian tertentu yang membedakan pengertian yang satu dengan yang

lain. Suatu konsep memerlukan definisi sehingga antara satu orang dengan

yang lainnya tidak salah arti dengan konsep yang lainnya (Slamet, 2006 :

28). Adapun Definisi konseptual dalam penelitian ini meliputi:

1. Interaksi

Interaksi adalah hubungan timbal balik antara satu orang

dengan orang lain, satu kelompok dengan kelompok lain, dan juga

antara satu orang dengan satu kelompok yang lain, dimana hubungan

tersebut dilakukan dengan ataupun tanpa perantara yang kemudian

memunculkan suatu sistem serta bentuk pola hubungan tertentu di

dalamnya.

2. Pelaku Seni

Pelaku seni adalah seseorang atau kelompok orang yang

dengan maksud serta tujuan tertentu dengan sadar membawakan

sebuah cipta karya seni orang lain sebagai wujud apresiasi terhadap

suatu hasil karya seni dari orang lain.

3. Nilai luhur

Nilai luhur merupakan suatu keyakinan atau kepercayaan yang

menjadi dasar bagi seseorang atau sekelompok orang untuk memilih

tindakannya, atau menilai sesuatu yang bermakna atau tidak bermakna

bagi kehidupannya, yang berorientasi kepada nilai dan moralitas

norma suatu masyarakat tertentu.

4. Kesenian tradisional

Kesenian tradisional adalah aktivitas dengan unsur seni baik

berupa gerak, lagu, ataupun karya yang menjadi bagian hidup

masyarakat dalam suatu kaum/suku/bangsa tertentu dan dipandang

sebagai hasil ekspresi hasrat manusia akan keindahan dengan latar

belakang tradisi atau sistem budaya masyarakat pemilik kesenian

tersebut.

Page 43: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

27

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan bentuk penelitian studi kasus tunggal,

yaitu sebuah prosedur penelitian yang terarah pada satu karakteristik,

artinya penelitian ini hanya dilakukan pada satu sasaran/lokasi (Sutopo,

2002: 112). Studi kasus termasuk dalam jenis penelitian kualitatif, dimana

penelitian kualitatif dalam penelitian sosial diartikan sebagai salah satu

pendekatan utama yang pada dasarnya adalah sebuah label atau nama yang

bersifat umum saja dari sebuah rumpun besar metodologi penelitian

(Burhan Bungin, 2003: 19). Studi kasus relevan dalam menjawab

pertanyaan-pertanyaan bersifat eksplanatoris dan lebih mengarah ke

penggunaan strategi-strategi studi kasus (Yin, 2005: 9). Dalam penelitian

kualitatif, peneliti atau orang bisa sebagai instrumen yang sangat luwes,

maka ia dapat menilai keadaan dan dapat mengambil keputusan. Selain itu

hanya manusia saja yang dapat berhubungan dengan responden atau obyek

lainnya dan hanya manusia yang mampu memahami kaitan kenyataan di

lapangan.

Penelitian ini menggunakan teknik studi cross sectional. Studi

cross sectional adalah teknik yang digunakan dalam penelitian kualitatif

dengan upaya mempersingkat waktu observasinya melalui observasi pada

beberapa bagian tertentu untuk kemudian dapat diambil sebuah

kesimpulan (Burhan Bungin, 2003: 20). Studi cross sectional merupakan

sebuah metode yang memungkinkan waktu penelitian dapat dipersingkat

menjadi beberapa bulan saja, tidak dalam jangka waktu yang lama (Noeng

Muhadjir, 1989: 53). Dalam penelitian ini, penggunaan teknik studi cross

sectional dilakukan dengan melakukan pengamatan dan pencatatan pada

keberadaan simbol-simbol yang ada dalam interaksi antar pelaku seni

dalam kesenian tradisional di Kampung Bumen serta pemaknaannya

terkait nilai luhur dalam masyarakat yang dilakukan oleh beberapa

Page 44: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

28

golongan di dalamnya, diantaranya yaitu golongan tua dan golongan muda

(remaja dan anak-anak), yang semuanya sebagai pelaku seni dalam

kesenian tradisional di Kampung Bumen.

Penelitian ini dilakukan menggunakan metode pendekatan yang

dipadu dengan teori serta konsep dari disiplin sosiologi dan antropologi,

karena itu penelitian ini termasuk penelitian dengan pendekatan

multidisiplin. Metode ini dimaksudkan untuk menganalisis dan

memberikan interpretasi secara cermat, terhadap fenomena interaksi

simbolik antar pelaku seni dalam memaknai nilai-nilai luhur pada kesenian

tradisional di Kampung Bumen. Hal ini dikarenakan fenomena tersebut

sangat kompleks, sulit diketahui dengan menggunakan satu pendekatan

penelitian (Basrowi Sukidin, 2002: 8).

B. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kampung Bumen, Kelurahan Purbayan,

Kotagede, Yogyakarta. Kampung Bumen adalah salah satu kampung kota

yang berada di kawasan Kotagede. Secara administratif, Kampung Bumen

tercatat dalam wilayah Kelurahan Purbayan. Kampung Bumen memiliki

kesenian tradisional yang masih terjaga eksistensinya hingga sekarang

meskipun pernah mengalami berbagai kondisi sosial ekonomi masyarakat

yang silih berganti. Terdapat 5 RT di Kampung Bumen, diantaranya RT

23, 24, 25, 26, dan 27.

Kampung Bumen adalah sebuah kampung sederhana di wilayah

Kecamatan Kotagede. Kampung ini terletak ±200m dari pusat

perekonomian kecamatan, dan ±200m pula dari Ringroad Selatan. Selain

itu, Kampung Bumen juga dikelilingi oleh kampung-kampung industri

perak dan kerajinan lainnya. Sehingga warga Kampung Bumen mata

pencaharian utamanya adalah pekerja pada industri-industri rumahan,

selain bekerja sebagai PNS dan pedagang rumahan. Terdapat 175 KK

dengan 833 jiwa pada kampung ini, dengan tingkat pendidikan rata-rata

setara SMP. Kampung Bumen memiliki angkatan muda yang berpotensi,

Page 45: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

29

selain potensi wilayahnya yang berada dekat dari obyek wisata bersejarah

kelas dunia. Kampung Bumen juga mempunyai para pengrajin perak yang

memang menjadi ciri khas Kotagede. Namun, krisis moneter 1998

berimbas pada merosotnya sektor ini.

C. Alasan Pemilihan Lokasi Penelitian

Ada beberapa alasan dalam pemilihan lokasi penelitian ini,

diantaranya:

1. Masih terdapat beberapa tokoh budaya sebagai pelaku seni di

Kampung Bumen.

2. Kampung Bumen hingga saat ini terkenal sebagai kampung yang

masih menjaga dan melestarikan nilai luhur dalam masyarakat.

D. Sumber Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini bersumber dari

informasi yang diperoleh langsung dari informan yang semuanya adalah

pelaku seni di Kampung Bumen tetapi dari klasifikasi sosial yang berbeda,

diantaranya yaitu tokoh agama setempat dari golongan tua dan golongan

muda, tokoh seni budaya setempat dari golongan tua dan golongan muda,

tokoh akademis di Kampung Bumen dari golongan tua dan golongan

muda, serta ketua organisasi kepemudaan (Muda-Mudi Bumen) dari

golongan tua dan golongan muda.

Untuk dapat mengumpulkan data yang akurat mengenai interaksi

simbolik antar pelaku seni dalam memaknai nilai-nilai luhur pada kesenian

tradisional di Kampung Bumen, maka dalam penelitian ini dilakukan

beberapa metode pengumpulan data yang dianggap relevan dengan

permasalahan di atas. Pengumpulan data tersebut ditempuh untuk

memperoleh data berupa sumber pustaka, dokumen tertulis dan arsip, dan

data visual. Studi kepustakaan (library research) ditempuh untuk

memperoleh data tertulis mengenai informasi yang memuat kesenian

tradisional di Kampung Bumen, berupa artikel, makalah, buku-buku, dan

Page 46: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

30

dokumen-dokumen terkait kesenian tradisional Kampung Bumen. Selain

itu data empiris yang diperoleh dari lapangan diperlukan untuk memahami

secara komprehensif objek studi yang diteliti, karena pada dasarnya

penelitian merupakan usaha dari seseorang untuk mendekati, memahami,

mengurai, dan menjelaskan fenomena yang terkait dengan objek tertentu

(Ignas Kleden, 1987: 60).

E. Informan

Pada penelitian kualitatif, informan yang diambil akan

menyesuaikan dengan kebutuhan lapangan. Pemilihan informan lebih

mengutamakan bagaimana menentukan informan yang sevariatif mungkin

dan berikutnya dapat dipilih untuk memperluas informasi yang telah

diperoleh terlebih dahulu sehingga dapat dipertentangkan. Dengan

demikian dapat mengisi kesenjangan informasi. Jadi, dalam penelitian ini

tidak semua warga masyarakat Kampung Bumen dijadikan informan

penelitian, melainkan hanya para pelaku seni dalam kesenian tradisional di

Kampung Bumen yang terdiri dari beberapa tokoh masyarakat golongan

tua dan muda (tokoh agama, tokoh seni budaya, dan tokoh akademis) serta

tokoh dalam organisasi kepemudaan dari golongan tua dan golongan muda

yang telah dipilih karena dipandang memiliki kompetensi dan memahami

permasalahan penelitian.

F. Teknik Pemilihan Informan

Dalam penelitian ini, teknik pemilihan informan yang digunakan

adalah dengan teknik purposive, hal ini atas dasar bahwa penggunaan

teknik purposive memungkinkan informan dipilih berdasarkan jenis

informasi (data) yang diperlukan berdasar arahan beragam hal yang

terdapat dalam rumusan masalah, sehingga mampu menjawab masalah

dalam fokus penelitian (Sutopo, 2002: 143). Jadi teknik purposive adalah

teknik untuk memilih informan dengan cara pemilihan secara sengaja

(Sanggar Kanto dalam Burhan Bungin, 2003: 53). Teknik ini dilakukan

Page 47: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

31

guna mendapatkan data yang tepat sasaran, karena dipandang lebih mampu

menangkap kelengkapan dan kedalaman data di dalam menghadapi realitas

yang tidak tunggal.

Dalam penelitian ini, informan adalah para pelaku seni di Kampung

Bumen yang dipilih berdasarkan klasifikasi usia, kepengurusan organisasi

kepemudaan, dan status sosial dalam masyarakat, maka informan yang

dianggap dapat memberikan informasi terkait permasalahan penelitian

diantaranya adalah tokoh agama setempat dari golongan tua dan golongan

muda, tokoh seni budaya setempat dari golongan tua dan golongan muda,

tokoh akademis di Kampung Bumen dari golongan tua dan golongan

muda, serta ketua organisasi kepemudaan (Muda-Mudi Bumen) dari

golongan tua dan golongan muda.

G. Teknik Pengumpulan Data

Dalam upaya memahami sebuah produk seni, yang semula

berfungsi sebagai ekspresi religius-magis, kemudian mengalami

perkembangan dan perubahan baik fungsi, bentuk, dan makna yang

terkandung di dalamnya, maka penelitian ini tidak hanya bertujuan

mengumpulkan data faktualnya saja. Fokus kajian penelitian adalah hal

yang berkait dengan interaksi simbolik antar pelaku seni dalam memaknai

nilai-nilai luhur melalui kesenian tradisional di Kampung Bumen,

sehingga dapat mengungkap fenomena abstrak di balik realitas tersebut

(Suwardi Endraswara, 2003: 3).

Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan

adalah :

1. Teknik Observasi

Teknik pengumpulan data yang digunakan selain studi pustaka

salah satunya adalah melalui observasi lapangan (field observation).

Observasi dilakukan untuk dapat mengumpulkan data yang valid.

Teknik observasi adalah teknik pengumpulan data dengan pengamatan

dan pencatatan suatu obyek dari fenomena yang diselidiki (Slamet,

Page 48: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

32

2008: 85-86). Observasi dapat dilakukan sesaat ataupun mungkin

dapat diulang. Observasi ini dilakukan secara informal sehingga

mampu mengarahkan peneliti untuk mendapatkan sebanyak mungkin

informasi yang berkaitan dengan masalah penelitian.

Ada dua tipe observasi, yaitu: (1) observasi berpartisipasi, dan

(2) observasi tidak berpartisipasi (Slamet, 2008: 86). Dalam penelitian

ini, observasi dilakukan dengan terjun langsung ke lapangan, yaitu

Kampung Bumen, Kotagede, Yogyakarta untuk mengadakan

pengamatan secara seksama terhadap segala hal yang berhubungan

dengan permasalahan penelitian. Penelitian ini menggunakan jenis

observasi tidak berpartisipasi, jadi kegiatan pengumpulan data bersifat

non verbal dimana peneliti tidak berperan ganda, hanya berperan

sebagai pengamat belaka.

2. Teknik Wawancara Mendalam ( indepth interview )

Teknik wawancara adalah teknik yang dipakai untuk

memperoleh informasi melalui kegiatan interaksi yaitu dengan

percakapan untuk mencapai maksud tertentu (Slamet, 2008: 101).

Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara

(interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancara

(interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu.

Wawancara mendalam mengarah pada kedalaman informasi, guna

menggali pandangan subjek yang diteliti tentang fokus penelitian yang

sangat bermanfaat untuk menjadi dasar bagi penggalian informasinya

secara lebih jauh dan mendalam.

3. Dokumentasi

Dokumentasi adalah penelitian terhadap benda-benda tertulis

atau dokumen, digunakan untuk melengkapi data yang diperlukan

dalam penelitian. Penggunaan dokumentasi ini sebagai upaya untuk

menunjang data-data yang telah didapatkan melalui observasi dan

wawancara. Maka proses dokumentasi dalam penelitian ini dilakukan

Page 49: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

33

dengan sebuah kamera foto dan juga Mp3 recording (alat perekam

suara).

H. Validitas Data

Untuk menguji keabsahan data yang terkumpul, perlu

menggunakan teknik triangulasi, yaitu teknik pemeriksaaan keabsahan

data yang memanfaatkan sesuatu yang ada diluar data itu. Teknik

triangulasi yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah triangulasi

sumber yaitu melakukan pengecekan dan pembandingan terhadap derajat

kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang

berbeda (Lexy Moleong, 2005: 178), dengan cara:

1. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil

wawancara.

2. Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan

apa yang dikatakan secara pribadi.

3. Membandingkan apa yang dikatakan orang dengan situasi

penelitian dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu.

4. Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan

berbagai pendapat dan pandangan orang seperti rakyat, orang yang

berpendidikan menengah, orang berada, orang pemerintahan dan

sebagainya.

5. Membandingkan hasil wawancara dengan isi dokumen yang

berkaitan.

Triangulasi sumber mengarahkan peneliti agar di dalam

mengumpulkan data, ia wajib menggunakan beragam sumber data yang

berbeda-beda yang tersedia. Dengan demikian apa yang diperoleh dari

sumber yang satu, dapat lebih teruji kebenarannya bilamana dibandingkan

dengan data sejenis yang diperoleh dari sumber lain yang berbeda, baik

kelompok sumber sejenis atau sumber yang berbeda jenisnya (Sutopo,

2006: 93).

Page 50: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

34

I. Teknik Analisa Data

Analisis data adalah proses yang dilakukan untuk

mengorganisasikan data (Lexy Moleong, 2000: 103). Pada penelitian

kualitatif ini, proses analisis pada dasarnya dilakukan secara bersamaan

dengan proses pelaksanaan pengumpulan data. Teknik analisa data yang

digunakan dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis data model

interaktif, yang terdiri dari tiga komponen analisis, yaitu reduksi data,

penyajian data, dan penarikan kesimpulan (Huberman dan Miles dalam

Denzin, 1994: 429).

1. Reduksi Data

Reduksi data merupakan proses seleksi, pemfokusan,

penyederhanaan, pemilahan, ataupun pengklasifikasian data dari

semua jenis informasi yang ada dalam catatan lapangan (fieldnote).

Proses ini berlangsung secara terus-menerus sepanjang pelaksanaan

penelitian, yang dimulai sebelum pengumpulan data dilakukan. Data

reduksi dimulai sejak peneliti mengambil keputusan dalam memilih

kasus, pertanyaan yang diajukan, dan tentang cara pengumpulan data

yang dipakai.

2. Penyajian Data

Penyajian data adalah kegiatan merakit informasi atau

pengorganisasian data serta menyajikan dalam bentuk deskriptif

(narasi lengkap) agar dapat diambil suatu kesimpulan. Sajian data ini

disusun berdasarkan pokok-pokok yang terdapat dalam reduksi data,

dan disajikan dengan menggunakan kalimat dan bahasa yang

merupakan rakitan kalimat yang disusun secara logis dan sistematis,

sehingga bila dibaca akan dapat mudah dipahami.

3. Penarikan Kesimpulan

Penarikan kesimpulan merupakan usaha menarik kesimpulan

dari hasil temuan di lapangan. Kesimpulan pada tahapan ini masih

besifat sementara sampai penelitian berakhir baru dapat diambil

kesimpulan yang sesungguhnya.

Page 51: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

35

Dalam penelitian ini, tiga komponen analisis tersebut saling

berkaitan dan berinteraksi serta tidak dapat dipisahkan dari kegiatan

pengumpulan data. Proses analisis dimulai pada saat pengumpulan data,

peneliti akan membuat reduksi data dan sajian data. Artinya, data yang

berupa catatan lapangan yang terdiri dari bagian deskripsi dan refleksinya

adalah data yang telah digali dan dicatat.

Dari dua data tersebut maka kemudian dilakukan penyusunan

rumusan pengertiannya secara singkat, berupa pokok-pokok temuan

penting dalam arti inti pemahaman segala peristiwa yang dikaji yang

disebut reduksi data. Kemudian diikuti penyusunan sajian data yang

berupa narasi sistematis dan logis dengan suntingan yang dlakukan oleh

peneliti agar deskripsinya menjadi lebih jelas dipahami. Dari sajian data

tersebut, kemudian dilakukan penarikan kesimpulan (sementara) yang

dilanjutkan dengan verifikasinya.

Reduksi data dan sajian data ini disusun setelah unit data dari

sejumlah unit yang diperlukan dalam penelitian sudah didapatkan. Setelah

proses ini sudah dilakukan, maka proses selanjutnya adalah melakukan

usaha dalam bentuk pembahasan untuk menarik kesimpulan dan

verifikasinya berdasarkan semua hal yang terdapat dalam reduksi maupun

sajian datanya. Proses analisis data ini dilakukan untuk menjamin

kemantapan hasil akhir penelitian.

Dalam bentuk ini, peneliti bergerak di antara tiga komponen

analisis dengan proses pengumpulan data selama kegiatan pengumpulan

data berlangsung. Kemudian, sesudah pengumpulan data telah berakhir,

peneliti bergerak di antara tiga komponen analisisnya dengan

menggunakan waktu yang masih tersisa bagi penelitiannya.

Page 52: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

36

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam bab ini akan disajikan data dan sekaligus analisanya mengenai

interaksi simbolik antar pelaku seni dalam memaknai nilai-nilai luhur pada

kesenian tradisional di Kampung Bumen. Kesenian tradisional lahir sebagai

bentuk ungkapan estetika dan hiburan. Keberadaannya erat berhubungan dengan

ideologi, pandangan hidup, dan tradisi yang berlaku dan diberlakukan oleh

masyarakat pendukungnya. Dengan demikian, kesenian tradisional yang ada akan

dijaga oleh lingkungan sosial-budayanya. Dengan landasan ini, umunya kesenian

tradisional memiliki corak yang berbeda sesuai dengan sosial-budaya masing-

masing daerah.

Pada awalnya, sebagian besar kesenian tradisional muncul sebagai upacara

adat/ritual sehingga perkembangan dan kehidupannya selalu dikaitkan dengan

upacara desa, seperti bersih desa (sedekah bumi). Pada masanya, masyarakat

percaya, jika kesenian tersebut tidak dipersembahkan dalam upacara adat maka

akan menimbulkan bencana. Karenanya, hampir seluruh pertunjukan selalu

diawali dengan prelude yang biasanya diikuti dengan doa dan persembahan sesaji.

Dengan demikian, dari aspek fungsi, kesenian tradisional dipercaya dapat

menolak balak (mencegah bencana) meskipun pada akhirnya fungsi hiburan yang

mendominasi aktivitas kesenian tradisional tersebut.

Gambar 1 Sesaji diawal pementasan srandul

Page 53: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

37

Dalam penelitian ini, informan adalah para pelaku seni di Kampung

Bumen yang dipilih berdasarkan klasifikasi usia, kepengurusan organisasi

kepemudaan, dan status sosial dalam masyarakat, maka informan yang dianggap

dapat memberikan informasi terkait permasalahan penelitian diantaranya adalah

tokoh agama setempat dari golongan tua dan golongan muda, tokoh seni budaya

setempat dari golongan tua dan golongan muda, tokoh akademis di Kampung

Bumen dari golongan tua dan golongan muda, serta ketua organisasi kepemudaan

(Muda-Mudi Bumen) dari golongan tua dan golongan muda. Informan dipilih

berdasarkan jenis informasi (data) yang diperlukan berdasar arahan beragam hal

yang terdapat dalam rumusan masalah, sehingga mampu menjawab masalah

dalam fokus penelitian. Untuk lebih jelas dalam menggambarkan data informan

dan relevansi informan dengan fokus penelitian, profil dan relevansi informan

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Febriana Noor Haryanti (Nina) adalah seorang warga di Kampung Bumen

RT 27. Nina berusia 19 tahun. Beliau adalah salah satu tokoh akademisi muda

di Kampung Bumen. Selain masih menjalankan rutinitasnya sebagai

mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi di Universitas Gadjah Mada

Yogyakarta, beliau juga tercatat sebagai anggota MMB (Muda-Mudi Bumen)

dan aktif dalam setiap kegiatan kesenian yang ada di Kampung Bumen.

Aktivitas kesenian yang beliau tekuni diantaranya yaitu Karawitan dan

Srandhul. Febriana Noor Haryanti (Nina) menjadi salah seorang tokoh muda-

mudi yang aktif dalam partisipasi kegiatan kesenian tradisional di Kampung

Bumen, maka beliau dapat memberikan informasi terkait tema penelitian

yang dilakukan oleh penulis.

2. Dandung Apriyantoro adalah warga Kampung Bumen yang berada di RT

25. Dandung berusia 19 tahun. Beliau adalah salah seorang aktivis pemuda

yang ada di kampung Bumen, saat ini beliau menjabat sebagai wakil Muda-

Mudi Bumen RW 06. Beliau juga salah satu pelaku seni di kesenian Srandhul

yang ada di Kampung Bumen. Dandung adalah putra dari Bapak Sadono

yang juga sebagai tokoh seni di kesenian Sholawatan, maka dengan

lingkungan seni dan organisasi kepemudaan yang ada di sekitarnya, beliau

Page 54: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

38

dapat membantu dalam memberikan informasi terkait rumusan masalah

dalam penelitian.

3. Hapsoro Noor Adiyanto (Adi) adalah seorang warga di Kampung Bumen

RT 27. Beliau berusia 33 tahun. Selain masih menjalankan rutinitasnya

sebagai guru/pengajar di SMA Muhammadiyah 4 Yogyakarta, beliau juga

tercatat sebagai Ketua MMB (Muda-Mudi Bumen) dari golongan tua dan

aktif dalam setiap kegiatan kesenian yang ada di Kampung Bumen. Aktivitas

kesenian yang beliau tekuni diantaranya yaitu Karawitan dan Srandhul. Adi

menjadi salah seorang tokoh muda-mudi yang aktif dalam partisipasi kegiatan

kesenian tradisional di Kampung Bumen, maka beliau dipandang dapat

memberikan informasi terkait fokus penelitian.

4. Descy Etik Sanjaya (Descy) merupakan seorang warga di Kampung Bumen

RT 23. Beliau berusia 22 tahun. Selain masih menjalankan rutinitasnya

sebagai mahasiswi di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), beliau juga

tercatat sebagai anggota Muda-Mudi Bumen RW 06, dan juga aktif dalam

setiap kegiatan kesenian yang ada di Kampung Bumen. Aktivitas kesenian

yang beliau tekuni diantaranya yaitu tari dan Srandhul. Descy menjadi salah

seorang tokoh muda-mudi yang aktif dalam partisipasi kegiatan kesenian

tradisional di Kampung Bumen, khususnya di bidang tari, maka beliau

dipandang dapat memberikan informasi terkait fokus penelitian.

5. Bapak Mulyadi adalah salah seorang warga Kampung Bumen di RT 24.

Beliau berusia 67 tahun. Beliau adalah pelaku seni sholawatan di Kampung

Bumen. Masa tumbuh kembang beliau semenjak kecil hingga sekarang yang

dihabiskan di Kampung Bumen menjadikan beliau mampu memberikan

informasi tentang perkembangan Kampung Bumen baik dalam aktivitas

kesenian ataupun sosial kemasyarakatan. Bapak Mulyadi dipandang sebagai

salah satu tokoh masyarakat di Kampung Bumen yang masih bisa

memberikan informasi terkait perkembangan sosial kemasyarakatan di

Kampung Bumen. Sekarang ini beliau dipandang oleh generasi muda

Kampung Bumen sebagai tokoh pemerhati sosial kemasyarakatan dan

keagamaan di Kampung Bumen.

Page 55: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

39

6. Bapak Basis Hargito (69 tahun) adalah seorang warga di Kampung Bumen

RT 23. Beliau adalah pemerhati sosial dan seorang pakar di bidang kesenian

rakyat khususnya kesenian yang ada di Kampung Bumen. Keseharian beliau

diisi dengan kegiatan menari Ramayana di Purawisata Yogyakarta. Pada

masa lampau, Bapak Basis Hargito adalah seorang anggota LEKRA

(Lembaga Kesenian Rakyat) yang aktif dalam berbagai aktivitas kesenian di

Kotagede, Yogyakarta. Berdasar relevansi dan keaktifan beliau di bidang

kesenian rakyat, maka beliau dapat banyak memberikan informasi terkait

keadaan sosial dan aktivitas kesenian yang ada di Kampung Bumen.

7. Bapak Topo Harjono (56 tahun) adalah seorang warga di Kampung Bumen

RT 27. Beliau adalah pemerhati sosial dan juga menjabat sebagai Ketua RW

06 Kampung Bumen. Beliau juga aktif dalam kesenian macapatan yang ada

di Kampung Bumen. Bapak Topo Harjono adalah penduduk asli Kampung

Bumen, masa kecil hingga masa remajanya beliau habiskan di tengah

kehidupan masyarakat Kampung Bumen. Berdasar relevansi yang ada pada

dirinya, maka Bapak Topo Harjono dipilih sebagai narasumber karena

dipandang dapat memberikan informasi terkait fokus penelitian.

8. Dedi Fathurrahman (26 tahun) adalah seorang warga di Kampung Bumen RT

27. Beliau merupakan juga pernah menjabat sebagai Ketua Muda-Mudi

Bumen RW 06. Dedi adalah tokoh seni dari kalangan muda yang ada di

Kampung Bumen. Beliau merupakan golongan muda yang aktif dalam

berbagai aktivitas kesenian tradisional yang ada di Kampung Bumen. Hingga

saat ini, beliau rajin membangkitkan minat seni bagi generasi muda Kampung

Bumen. Dengan latar belakang yang dimiliki, diharapkan Dedi Fathurrahman

dapat memberikan informasi terkait fokus penelitian yang dilakukan di

Kampung Bumen.

Pada mulanya, kesenian-kesenian tradisional (termasuk yang ada di

Kampung Bumen) tersebut dilakukan oleh kaum laki-laki dengan pakaian

sederhana dan diiringi oleh gending Jawa yang sederhana pula. Awal pertunjukan

selalu dimulai dengan prelude untuk memberitahukan kepada khalayak bahwa

pertunjukan akan segera dimulai. Hal ini sesuai yang diutarakan oleh Bapak Basis

Page 56: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

40

Hargito (seorang tokoh kesenian dari golongan tua Kampung Bumen) sebagai

berikut:

“ Pada waktu dulu srandul itu cuma pemainnya laki-laki semua,

pemain peran putra ataupun putri semua diperankan oleh laki-laki, tapi sekarang perkembangannya itu yang menjadi peran putri ya sudah putri sungguhan.”

(Sumber : Wawancara, 01 Maret 2012)

Gambar 2 Pemain putri (wanita) dalam srandul

Pada perkembangannya, kesenian tradisional mulai terkikis oleh budaya

modern karena dirasa tidak dapat mengikuti perkembangan/perubahan zaman, dan

juga tidak dinamis. Kentalnya nuansa mistis yang hadir dalam kesenian

tradisional juga cenderung ditolak oleh masyarakat yang fanatik pada suatu agama

tertentu dan juga oleh masyarakat yang semakin tidak percaya adanya takhayul.

Meskipun demikian, masyarakat mengakui bahwa melalui kesenian tradisional,

nilai-nilai luhur/kehidupan selalu dijunjung dan diajarkan. Hal ini ditegaskan oleh

Bapak Basis Hargito (seorang tokoh kesenian dari golongan tua Kampung

Bumen) sebagai berikut:

“ Jangan dilihat masalah itu, seni itu ya seperti itu loh... itu hanya

secara simbolik kok, setiap akan tampil mesti saya sesaji, saya duduk ditengah-tengah mbakar (membakar) kemenyan keliling arena, kemudian

Page 57: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

41

bunga-bunga itu saya tebarkan di empat penjuru, itukan intinya cuma satu mohon keselamatan, wong ki neng ndonyo mung butuh slamet to kuwi (orang di duinia kan hanya butuh selamat). Arep sunggih ning ora selamet yo ora seneng (mau kaya tapi tidak selamat ya tidak bisa senang). Saya berdoa mohon selamat supaya dilindungi, saya ini hanya mencari makan atau kerja. Koe ojo ganggu aku, aku ora ganggu koe kan bar to..(kamu jangan ganggu saya, saya tidak ganggu kamu maka selesai sudah)”

(Sumber: Wawancara, 01 Maret 2012)

Gambar 3 Persiapan sesaji dalam Karnaval Genderuwo

Kampung Bumen memiliki beberapa kesenian tradisional yang banyak

mengandung nilai-nilai luhur dalam setiap pementasannya, namun hanya

beberapa yang masih terjaga eksistensinya hingga sekarang. Hal ini sesuai dengan

yang diutarakan oleh Hapsoro Noor Adianto (Ketua Muda-Mudi Bumen yang

aktif di kesenian) sebagai berikut:

“ Kesenian cukup banyak diantaranya ada srandul, karawitan,

kemudian sholawatan, kemudian macapat ada, ya sebenarnya banyak tapi kan mungkin dari beberapa kesenian tradisional tadi masih banyak dikuasai orang tua, jadi regenerasi ke anak muda itu hanya beberapa kesenian saja yg diregenerasikan seperti srandul karawitan sama macapat tapi, untuk yang lain belum karena kapasitas anak muda sendiri belum bisa menguasai salah satunya seperti itu.”

(Sumber: Wawancara, 26 Pebruari 2012)

Page 58: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

42

Hal senada juga diutarakan oleh Dandung Apriyantoro (Wakil Ketua

Muda-Mudi Bumen) seperti berikut:

“ Kalau menurut saya kesenian di kampung Bumen ini memang

lumayan banyak, ada Srandul, Sholawatan, Karawitan, kemudian Macapat juga ada.”

(Sumber: Wawancara, 25 Pebruari 2012)

Keberadaan kesenian tradisional di Kampung Bumen ini selain sebagai

kekayaan budaya setempat juga menjadi sebuah kebanggaan tersendiri bagi warga

masyarakat Kampung Bumen, terlebih lagi baru-baru ini (awal tahun 2012)

Kampung Bumen telah menegaskan identitas mereka sebagai Kampung Seni

dengan peresmian oleh Bapak Wakil Walikota Yogyakarta bertempat di Pendapa

Kampung Bumen RW 06, Purbayan, Kotagede, Yogyakarta. Hal ini berdasar yang

diutarakan oleh Hapsoro Noor Adianto (Ketua Muda-Mudi Bumen yang aktif di

kesenian) sebagai berikut:

“ ...untuk dukungan sendiri, warga mendukung apa yang dilakukan

apalagi kemarin itu sempat mendeklarasikan bahwasanya Bumen itu kampung kesenian.”

(Sumber: Wawancara, 26 Pebruari 2012)

Ada beberapa kesenian tradisional di Kampung Bumen seperti Karnaval

Genderuwo dan juga tari-tarian kampung, tetapi eksistensinya masih kurang,

karena beberapa diantaranya (kesenian tari) hanya beberapa orang saja yang dapat

melakukannya. Sedangkan untuk Karnaval Genderuwo terakhir dilakukan pada

tahun 2009 dalam kegiatan Srawung Kampung (kerjasama antara Yayasan

Pondok Rakyat dan Muda-Mudi Bumen), sehingga untuk rutinitas dari aktivitas

kesenian ini dapat dikatakan belum terjaga dengan baik. Hal ini berdasar

informasi yang disampaikan oleh Febriana Noor Haryanti (seorang tokoh

akademis dari generasi muda Kampung Bumen) sebagai berikut:

“ ....kalau tari-tarian itu hanya ada beberapa orang saja yang

memang menjadi tokoh tari di sini... sedangkan untuk Karnaval (Karnaval

Page 59: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

43

Genderuwo) itu kebetulan terakhir dilakukan pada tahun 2009 ya Mas, untuk masalah itu saya sendiri masih kurang aktif dalam kegiatan itu jadi saya masih kurang tahu pada praktiknya itu bagaimana dan seperti apa.”

(Sumber: Wawancara, 19 Pebruari 2012)

Gambar 4 Boneka Genderuwo dalam Karnaval Genderuwo

di Kampung Bumen

Karnaval Genderuwo sering disebut oleh masyarakat setempat dengan

sebutan “Kirab Temanten Bumen”, kirab temanten Bumen ini adalah satu kegiatan

yang mengawali Srawung Kampung yang digelar oleh Sanggar Belajar Bumen,

Muda-mudi 06 Bumen, dan Yayasan Pondok Rakyat pada 01-21 November 2009

yang lalu. Menurut sejarahnya, Pada tahun 1950-an, konon warga Bumen,

Kelurahan Purbayan, Kecamatan Kotagede Yogyakarta sering mendapatkan

gangguan dari makluk halus berjenis genderuwo. Untuk itu, warga mencoba

mencari solusinya dengan menggelar Kirab Temanten yang diikuti dengan

melibatkan boneka genderuwo. Hal ini berdasar penuturan Bapak Wardoyo

(sesepuh Kampuh Bumen warga RT 24) sebagai berikut:

“ Dulu, Kirab Temanten diselenggarakan untuk mengantisipasi

gangguan genderuwo. Dengan kirab yang menyertakan boneka genderuwo

Page 60: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

44

ini, warga ingin genderuwo untuk ikut dalam kebiasaan manusia, dan tidak mengganggu manusia.”

(Sumber: Joko Widiyarso, dalam http://gudegnet.com diambil pada Rabu, 7 Maret 2012)

Karnaval Genderuwo ini tidak hanya menampilkan sepasang pengantin

jadi-jadian dan sepasang boneka genderuwo, karena dalam kegiatan karnaval ini

juga diikuti oleh sejumlah kelompok kesenian yang ada di Bumen seperti srandul,

kethek ogleng, klono, hingga kelompok sholawatan. Karnaval ini menampilkan

seluruh aspek sosial kemasyarakatan yang ada di Kampung Bumen sebagai

simbol bahwa Kampung Bumen mengutamakan nilai-nilai kebersamaan dalam

bingkai kehidupan yang harmonis.

Gambar 5

Karnaval Genderuwo Kampung Bumen

Berdasar uraian di atas, menunjukkan bahwa Kampung Bumen memiliki

beberapa kesenian tradisional yang masih terjaga eksistensinya hingga sekarang,

seperti srandul, karawitan, sholawatan, dan macapatan. Keberadaan aktivitas

kesenian tradisional yang ada di Kampung Bumen tersebut tentunya memuat

nilai-nilai luhur yang berfungsi sebagai tuntunan, tak hanya sebagai tontonan

Page 61: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

45

(hiburan) bagi masyarakat. Kesenian tradisional yang ada di Kampung Bumen

tersebut berkembang menjadi sumber daya utama dalam pengembangan

kesejahteraan masyarakat Kampung Bumen, yaitu sebagai identitas diri Kampung

Bumen. Kampung Bumen memiliki identitas diri sebagai Kampung Seni, maka

aktivitas kesenian tradisional yang ada di tengah masyarakat Kampung Bumen

mulai terkemas dalam sebuah produk pariwisata untuk tujuan kesejahteraan

ekonomi masyarakat Kampung Bumen sendiri.

Kesenian tradisional yang ada di Kampung Bumen di dalamnya terdapat

makna-makna simbolik terkait nilai-nilai luhur yang ada di Kampung Bumen.

Makna-makna simbolik tersebut memuat beragam pesan bagi masyarakat

Kampung Bumen pada khususnya dan masyarakat sekitar Kampung Bumen pada

umumnya. Keberadaan makna simbolik yang mengandung nilai-nilai luhur

tersebut menjadikan kesenian tradisional dapat digunakan sebagai media

pelestarian nilai-nilai luhur bagi masyarakat Kampung Bumen. Bagi masyarakat

Kampung Bumen, kesenian tradisional merupakan aktivitas kemasyarakatan yang

hampir seluruh warganya ikut terlibat di dalamnya. Keberadaan identitas sebagai

Kampung Seni menjadikan para warga banyak berinteraksi dalam kesenian

tradisional di Kampung Bumen. Dengan adanya interaksi tersebut tentunya di

dalamnya terdapat simbol-simbol yang dapat digunakan untuk memaknai nilai-

nilai luhur yang terkandung dalam kesenian tradisional Kampung Bumen.

A. Interaksi Simbolik antar Pelaku Seni dalam Memaknai Nilai-Nilai

Luhur pada Kesenian Srandul

Maraknya kesenian dan budaya POP yang dibawa oleh arus

globalisasi, menyebabkan kesenian tradisional mulai terancam eksistensinya.

Namun, masyarakat Kampung Bumen tidak pernah jengah untuk

melestarikan kebudayaan dan kesenian tradisional mereka. Salah satu

kesenian tradisional yang masih terjaga eksistensinya di Kampung Bumen

dan sekarang menjadi kesenian khas daerah tersebut adalah srandul.

Page 62: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

46

1. Bentuk dan Interaksi Simbolik dalam Kesenian Srandul

Srandul adalah seni pertunjukan yang berada pada jalur seni

drama atau seni peran. Kesenian ini berbasis pada drama tradisional

kerakyatan yang menampilkan kisah-kisah yang berhubungan dengan

persoalan-persoalan pertanian, berkubang pada persoalan kesuburan,

kemakmuran, wabah, dan bencana. Karakteristik yang paling menonjol

dalam tampilan kesenian ini adalah dipakainya oncor (obor) yang

ditancapkan di tengah arena pertunjukan yang mempunyai nilai simbolik

dari bagian ritualnya. Di samping itu unsur spontanitas interaksi antara

pemain dan pengrawit yang bisa berdialog langsung dalam mengisi cerita

sangat memungkinkan terjadi. Srandul adalah kesenian rakyat yang

menggambarkan tentang kehidupan Demang pada jaman kerajaan.

Srandul pada umumnya diiringi alat musik sederhana berupa

Kendang, Angklung dan Terbang besar, kesenian ini biasanya dilakukan

oleh ± 15 orang. Dialog dalam kesenian srandul berupa parikan atau

tembang dan percakapan. Kesenian srandul ini semula timbul di Dukuh

Jogodayoh, Desa Gumulan Kecamatan Kota Klaten. Bahkan dalam

sumber lain disebutkan bahwa Srandul berasal dari Jawa Timur.

Kesenian srandul sebelum masuk ke wilayah Kotagede berkembang baik

di Wonosari Gunung Kidul. Pada tahun 1960an Srandul berjaya di desa

Bumen Kotagede Yogyakarta. Meskipun mengalami kevakuman, namun

hingga kini masih tetap dilestarikan.

Asal mula kesenian srandul diawali kisah ketika di daerah Jawa

sedang terkena musibah wereng yaitu hama padi yang berdampak hasil

panen tidak berhasil atau ekonomi para petani menjadi kocar-kacir.

Kemudian mereka beralih profesi sebagai pengamen dan datang ke

Yogyakarta. Ketika kelompok pengamen berada di Yogyakarta dan

menginap di rumah salah seorang warga, setiap malam mereka

mengalami kepenatan sebab tidak ada hiburan yang dapat mengobatinya

kecuali hanya ada permainan jethungan dan gobag sodor yang dimainkan

pada saat bulan purnama.

Page 63: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

47

Pada saat itulah timbul pemikiran untuk membuat pertunjukan ala

kadarnya secara sepontan, di antara mereka saling menunjuk, “ayo kamu

jadi lakon ini, kostumnya pinjam, gamelannya kenthongan dan blek

bekas, lampunya menggunakan oncor (obor), lokasinya di tengah-tengah

pekarangan, dan ceriteranya sembarangan (pating srendil).” Hal ini

senada dengan yang diutarakan oleh Bapak Basis Hargito (seorang tokoh

kesenian dari golongan tua Kampung Bumen) sebagai berikut:

“ Itukan ada suatu komunitas pengamen ketoprak ongklek

atau Srandul dari Jawa Timur itu sampai merambah ke sini.., karena dalam Kampung Bumen ada seorang pejabat kelurahan itu punya rumah yang luas, sehingga bilamana ada rombongan yang mengamen keliling itu biasanya bermalam disitu… menginap disitu, setelah menginap itukan paginya harus berjalan lagi, naahh..untuk memberi kesan daripada masyarakat itukan diadakan pentas namanya beber, beber itu sebuah pentas atau unjuk kebolehan. Kemudian juga jadilah yang ngamen, ada ketoprak ongklek, ada dadung ngawuk, ada srandul. Kemudian dalam kurun waktu tidak lama, kan masyarakat di Kampung Bumen itu membutuhkan hiburan, pada waktu dulukan orang cuma kerja terus sampai letih, itu menyebabkan rekan-rekan ingin membuat suatu hiburan menirukan srandul yang telah ada, yang pernah mereka lihat (saksikan).”

(Sumber: Wawancara, 01 Maret 2012)

Kesenian tradisional ini bentuk maupun busana yang digunakan

mirip seperti kethoprak ongklek (kethoprak barangan). Alat-alat

instrumen gamelan yang digunakan, antara lain: saron peking, kendhang,

kethuk kempul, gong, dan lain-lain. Ciri khas srandul Kotagede, yakni

mereka tidak menggunakan ongklek sebagai tempat menggantung

gamelan ketika dipikul ngamen. Gamelan tetap diletakkan di tempatnya.

Sebagai titik perhatian (point of interest), di tengah arena ditempatkan

oncor (obor) dengan lima batang sumbu. Di bawah oncor, ada tiang

penyangga yang dihiasi dengan berbagai macam daun dan tanaman,

untuk srandul di Kampung Bumen biasanya menggunakan daun puring

untuk mendukung sisi keindahan dari aktivitas srandul itu sendiri. Hal ini

Page 64: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

48

sesuai penuturan Bapak Basis Hargito (seorang tokoh kesenian dari

golongan tua Kampung Bumen) sebagai berikut:

“...Srandul itu mirip dengan ketoprak ongklek, tapi

ceritanya terbatas dan sangat sederhana......Daun puring kan bermacam-macam warnanya, jadi kan lebih baik (indah), kemudian menggunakan lilin, dahulu kan masih membakar menyan, menggunakan kembang (bunga), iku niate mung njaluk slamet, minta slamet (itu iniatnya hanya minta selamat).”

(Sumber: Wawancara, 01 Maret 2012)

Gambar 6 Oncor (obor) berhias daun puring, ciri khas dalam kesenian srandul

Kesenian srandul hingga kini mengisahkan banyak hal, namun

kisah-kisah atau alur yang dipentaskan tidak mempunyai hubungan yang

runtut (tidak berkesinambungan). Oleh karena itu, kesenian ini disebut

srandul yang berarti alur ceriteranya pating srendil atau sepotong-

potong, tidak ada hubungannya. Kisah dalam kesenian Srandul sifatnya

gado-gado misalnya kisah dari babad Arab, Kethek Ogleng sampai babad

Jenggala. Oleh karena alur ceriteranya yang tidak bersambungan, maka

setiap pementasan srandul selalu ada adegan atau action yang nampak

berbeda. Adegan-adegan yang berbeda tersebut biasanya diisi atau

Page 65: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

49

diselingi oleh tari-tarian anak-anak atau mungkin kesenian lainnya

seperti sholawatan dan macapatan. Seperti yang diutarakan oleh Bapak

Basis hargito (seorang tokoh kesenian dari golongan tua Kampung

Bumen) sebagai berikut:

“ ....karena apa dikatakan srandul itu karena pating

srendil ceritanya. Ada tiga buah cerita yang satu sama lain cerita itu tidak ada kaitannya, karena apa? karena pada waktu dulu yang menjadi inti cerita itu Sayidina Ali atau Pedang Kangkam Pamor Kencana, kemudian ceritanya sudah habis tapi waktunya kok masih ada, itu kasian rekan-rekan semua kumpul kok ceritanya sudah pada habis. Kemudian membuat cerita lagi itu ketek ogleng itu cerita babad Kediri Jenggolo......kemudian cerita habis waktunya masih ada lagi. Kita cari cerita lagi yaitu perawan sunthi, itu cerita rakyat Demak.”

(Sumber: Wawancara, 01 Maret 2012)

Gambar 7 Tari-tarian anak dalam srandul

Kelompok srandul yang masih eksis di Kotagede salah satunya

adalah kelompok Purba Budhaya. Purba Budhaya terletak di Kampung

Bumen Kotagede. Kelompok yang beranggotakan kurang lebih 35 orang,

di bawah pimpinan Bapak Basis Hargito, setiap pentas tidak pernah lupa

melengkapi dengan ubarampe sesaji seperti tukon pasar (jajan pasar),

kembang setaman, dan menyan/dupa. Beberapa lakon yang pernah

Page 66: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

50

dipentaskan, dari beberapa babad yaitu: Babad Arab, cerita yang

dikisahkan tentang Sayidina Ali dalam lakon Pedang Kangkam Pamor

Kencana Musna; Babad Jenggala, lakon Kethek Ogleng; Babad Demak,

dengan lakon Perawan Sunthi, dan; Dongeng Rakyat, dengan cerita

Andhe-Andhe Lumut, Jaka Bodho, Jaka Wasis, dan sebagainya.

Penyajian seni srandul menggunakan medium cerita, gerak tari,

dialog, dan tembang sehingga bentuknya juga disebut sebagai drama tari

berdialog. Cerita dalam seni srandul diungkapkan melalui dialog dan

tembang yang disampaikan dalam bahasa Jawa. Instrumen pokok yang

digunakan pada masa sekarang diantaranya adalah saron, demung,

bendhe, gong suwukan, angklung, dan kendhang tengahan. Srandul biasa

dipertunjukan di area terbuka (halaman atau lapangan) dan di dalam

gedung, meskipun untuk di Kampung Bumen sendiri pementasannya

bertempat di Pendapa Kampung Bumen. Waktu pertunjukan sekitar 4

jam yaitu dar pukul 20.00 sampai 24.00 WIB.

Gambar 8 Perangkat gamelan dalam srandul

Salah satu lakon yang sering dimainkan dalam kesenian srandul

yang ada di Kampung Bumen adalah cerita dari Babad Arab, tentang

Sayidina Ali dalam lakon Pedang Kangkam Pamor Kencana Musna.

Struktur dramatik yang digunakan dalam lakon Pedang Kangkam Pamor

Page 67: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

51

Kencana Musna ini, menurut konsep Hudson (dalam Soedarsono, 2002:

231-232) berjalan dengan alur sebagai berikut: (1) Initial incident (awal

kejadian/peristiwa), Sayidina Ali sedang bersedih dan bimbang karena

pusaka kerajaan yaitu Pedang Kangkam Pamor Kencana hilang dicuri

oleh Raja Lakat yang sakti, (2) The Rising action (peristiwa mulai

bergerak), Pengembaraan Sayidina Ali dan patihnya yaitu Patih Srandul

sampai di alun-alun Lakat, (3) Growth or complication (berkembang/

komplikasi) sesampainya di alun-alun Lakat, Sayidina Ali dan Patih

Srandul berperang melawan Raja Lakat dan prajuritnya, (4) Climaxs

(klimak, puncak, kritik, kritis, saat menentukan) Sayidina Ali dan

Patihnya kalah berperang dan kembali ke kerajaan (5) The falling action

(peristiwa mulai reda) Istri dari Sayidina Ali mencari suaminya hingga ke

alun-alun Lakat dan bertemu Raja Lakat. Dia diminta menjadi Istri dari

Raja Lakat, kemudian beliau menerima dengan syarat diberi hadiah

berupa Pedang Kangkam Pamor Kencana, kemudian pedang itu

digunakan untuk menusuk Raja Lakat dari belakang hingga akhirnya

Raja Lakat meninggal, (6) Resolution or denouement (resolusi, peleraian,

penyelesaian) Sayidina Ali dapat bertemu kembali dengan Istrinya dan

pusaka kerajaan yaitu Pedang Kangkam Pamor Kencana dapat kembali

ke kerajaan.

Hal ini senada dengan yang diutarakan oleh Febriana Noor

Haryanti (seorang tokoh akademis muda dari Kampung Bumen yang

aktif di kesenian srandul) sebagai berikut:

“ Untuk pementasan srandul kemarin waktu peresmian

pendapa kampung itu yang dimainkan judulnya Pedang Kangkam Pamor Kencana, Itu menceritakan sebuah pusaka kerajaan bernama Pedang Kangkam Pamor Kencana yang dicuri oleh raja yang jahat dan angkuh, kemudian raja dari kerajaan yang pusakanya dicuri bernama Sayidina Ali itu mencari pusakanya yang dicuri oleh musuhnya yaitu Raja Lakat yang sakti namun angkuh.”

(Sumber: Wawancara, 19 Pebruari 2012)

Page 68: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

52

Gambar 9 Adegan pada kesenian Srandul

dalam Lakon Pedang Kangkam Pamor Kencana

Srandul sendiri memang bukan asli kesenian tradisional yang

muncul di Kampung Bumen, namun kesenian ini berkembang dan besar

di Kotagede khusunya Kampung Bumen. Srandul dapat dipentaskan pada

berbagai kesempatan, salah satunya adalah dalam pementasan ataupun

upacara-upacara yang berkenaan dengan pertanian dengan durasi waktu

sampai semalam suntuk dalam beberapa episode. Kesenian ini

memberikan tekanan pada unsur kesakralan ritual dan hiburan, di

dalamnya mengandung petuah/gambaran tentang perilaku baik dan buruk

dalam masyarakat, khususnya pembelajaran bagi generasi muda

Kampung Bumen.

Srandul sendiri sekarang sudah dapat dipentaskan di Kampung

Bumen oleh generasi muda dan anak-anak warga Kampung Bumen

dengan bimbingan Bapak Basis Hargito beserta putranya bernama Anter

Asmorotedjo. Pelibatan anak-anak dalam kesenian srandul ini semata-

mata untuk mengenalkan dan memberikan variasi pada kesenian

tradisional ini agar tidak terkesan penuh nuansa mistik lagi, sehingga

dapat dinikmati dan diterima oleh seluruh masyarakat Kampung Bumen

dan juga mampu mendukung pengembangan Kampung Bumen sebagai

Page 69: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

53

Kampung Seni di kawasan Kotagede, Yogyakarta. Pengembangan

kesenian srandul di Kampung Bumen sendiri tidak semata-mata untuk

kepentingan pariwisata bagi kesejahteran kampung saja, namun juga

sebagai pelestarian kearifan budaya lokal yang memuat nilai-nilai luhur

dalam setiap aktivitasnya. Dalam kesenian srandul ini, terdapat makna-

makna simbolik yang mengandung nilai-nilai luhur bagi masyarakat

sehingga kesenian srandul dapat digunakan sebagai media dalam

memaknai nilai-nilai yang terkandung dalam simbol-simbol interaksi

para pelaku seni dalam kesenian srandul itu sendiri.

Aktivitas interaksi yang terjalin antar pelaku seni dalam kesenian

srandul ini terjalin menggunakan dominasi simbol bahasa, bahasa yang

digunakan dalam kesenian srandul ini adalah bahasa Jawa Krama (bahasa

percakapan sehari-hari orang Jawa). Dengan adanya komunikasi lewat

bahasa ini, memudahkan para pelaku seni dalam berinteraksi untuk dapat

menangkap dan merespon makna dalam berkomunikasi. Interaksi

simbolik dalam kesenian ini berlangsung secara primer, dimana para

pelaku seni secara langsung berkomunikasi tanpa melalui perantara.

Dialog percakapan dalam isi kesenian srandul ini juga menjadi

sebuah media komunikasi antar pelaku seni dalam memaknai nilai-nilai

luhur yang terkandung dalam isi cerita (lakon), busana yang dikenakan,

serta keberadaan alat musik yang tentunya juga memiliki makna simbolik

sebagai fungsi komunikasi antar pelaku seni dalam kesenian srandul.

Nilai-nilai luhur yang terkandung dalam aktivitas kesenian srandul di

Kampung Bumen terkandung dalam simbol-simbol yang digunakan

dalam berkomunikasi antar pelaku seni di dalamnya. Nilai-nilai luhur

tersebut dimaknai sebagai representasi nilai luhur yang ada di tengah

kehidupan Kampung Bumen.

Untuk menciptakan interaksi dalam kesenian srandul, tentunya

dilakukan melalui sebuah proses yang mengawalinya, proses-proses

tersebut dilakukan dengan harapan terciptanya kesatuan persepsi yang

memudahkan pemaknaan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam

Page 70: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

54

simbol-simbol komunikasi. Proses tersebut diawali dengan pelestarian

kesenian srandul yang tentunya menjadi suatu proses aktivitas

kemasyarakatan yang digunakan untuk transformasi nilai pada generasi

muda dan masyarakat sekitar. Pelestarian kesenian dalam srandul ini

meliputi:

a. Regenerasi Pelaku Seni

Kesenian tradisional tentunya di dalamnya melibatkan

banyak generasi sebagai aktor dalam pementasan kesenian tersebut.

Pada umunya generasi tua banyak mendominasi sebagai aktor dalam

suatu aktivitas kesenian, hal ini didasarkan atas pengalaman dan

kualitas yang mereka miliki. Generasi muda dipandang masih belum

serius dan belum memiliki minat untuk menekuni kesenian

tradisional dibanding kesenian modern yang mulai berkembang di

tengah kota.

Keberadaan Kampung Bumen sebagai kampung kota, serta

predikatnya sebagai Kampung Seni, menempatkan Kampung Bumen

sebagai salah satu kampung kota yang mengupayakan pelestarian

kesenian tradisional yang dimilikinya. Salah satu cara yang mereka

tempuh adalah dengan melakukan regenerasi pelaku seni dalam

aktivitas kesenian tradisional. Regenerasi yang ada di Kampung

Bumen sepenuhnya diprakarsai oleh generasi muda Kampung

Bumen sendiri, melihat kondisi masyarakat dengan potensi kesenian

yang ada di Kampung Bumen, mereka berupaya menyerap ilmu dan

mendapatkan dukungan dari golongan tua untuk menghidupkan serta

menanamkan kesenian pada diri mereka.

Kesadaran akan pentingnya regenerasi ini didasari atas

kekhawatiran generasi muda Kampung Bumen akan semakin

maraknya kesenian modern yang mulai menggerus kesenian

tradisional, di sisi lain predikat sebagai Kampung Seni juga

mendorong mereka untuk segera mengembangkan dan memahami

akan aktivitas kesenian yang menjadi kebanggaan Kampung Bumen.

Page 71: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

55

Hal ini seperti yang diuatarakan oleh Febriana Noor Haryanti (tokoh

akademis dari golongan muda Kampung Bumen) sebagai berikut:

“ Kalau untuk menjaga sendiri yang harus dilakukan

tidak hanya menceritakan kemarin kita telah melakukan/memiliki kesenian apa saja, tetapi juga harus diajarkan (regenerasi) dalam hal kesenian tersebut.”

(Sumber: Wawancara, 19 Pebruari 2012)

Hal senada juga diuatarakan oleh Bapak Mulyadi (tokoh

agama golongan tua Kampung Bumen) sebagai berikut:

“ Ya semua bentuk pelestarian itu pasti harus mengikutsertakan generasi mudanya.”

(Sumber: Wawancara, 28 Pebruari 2012)

Berdasar pengutaraan di atas, maka regenerasi menjadi

penting dalam pelestarian kesenian tradisional yang ada di Kampung

Bumen. Pelibatan generasi muda dalam setiap aktivitas kesenian

tradisional dipandang sebagai langkah tepat untuk mengenalkan dan

menanamkan jiwa seni serta nilai-nilai luhur yang termuat di

dalamnya.

Gambar 10 Persiapan srandul oleh generasi muda

Generasi muda sebagai pewaris seni budaya suatu daerah,

nantinya mengemban tugas untuk memajukan kampung mereka,

Page 72: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

56

dengan adanya kesadaran dan juga partisipasi dukungan dari semua

golongan, baik tua dan muda itulah yang nantinya memudahkan

regenerasi dapat berjalan baik. Proses pengenalan dan juga

pemahaman tentang suatu aktivitas kesenian tradisional di Kampung

Bumen melibatkan banyak komponen masyarakat, diantaranya

adalah pelibatan aktif dari generasi muda. Generasi muda memiliki

jiwa kreatif yang lebih kuat sehingga mampu menjadi inspirasi

pendukung dalam peleatarian kesenian tradisional. Penyajian dan

kemasan dalam suatu pementasan kesenian tradisional yang ada di

Kampung Bumen banyak diinspirasi dari ide-ide generasi muda. Hal

ini semata-mata ingin memberikan kesan dinamis pada masyarakat

umum mengenai kesenian yang ada di Kampung Bumen.

Pelibatan generasi muda dalam menjaga kesenian tradisional

yang ada di Kampung Bumen tidak lepas dari semangat kebanggaan

atas kampung mereka yang dimiliki oleh generasi muda Kampung

Bumen, hal ini sebagai cerminan bahwa kebanggaan atas kampung

yang dimiliki oleh generasi muda memiliki peran penting dalam

upaya pelestarian dan juga pengembangan kesenian tradisional di

Kampung Bumen.

b. Kreasi dan Kombinasi

Kesenian tradisional di Kampung Bumen pada awalnya

memiliki hubungan erat dengan hal-hal yang berbau mitos dan

mistis, tidak jarang semua aktivitasnya melibatkan hal-hal ataupun

benda-benda yang mengundang nuansa mistis dalam setiap

pementasannya. Seiring berjalannya waktu, banyak pelaku seni di

Kampung Bumen yang mencoba menghadirkan nuansa berbeda

dalam aktivitas kesenian tradisional yang ada di Kampung Bumen.

Hal ini dilakukan untuk menjaga eksistensi dari kesenian tradisional

yang mulai terkikis dengan hadirnya kesenian modern seperti mural

di dinding, dan lain-lain.

Page 73: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

57

Nuansa baru yang mereka kembangkan dengan wujud banyak

mengkombinasi dan juga mengkreasi aktivitas kesenian tradisional

tersebut bertujuan agar kesenian tradisional yang ada dapat diterima

oleh semua golongan masyarakat yang ada di Kampung Bumen.

Beberapa kreasi dan kombinasi yang dilakukan semata-mata

bertujuan agar kesenian tradisional di Kampung Bumen tidak lagi

dipandang sebagai aktivitas yang menyalahi aturan agama (musyrik)

dan juga kampungan. Menyadari hal tersebut, maka beberapa tokoh

seni dan generasi muda Kampung Bumen mencoba memberikan

kombinasi dan juga kreasi dalam aktivitas kesenian yang ada di

Kampung Bumen baik dalam isi cerita, perlengkapan pendukung,

ataupun juga kostum pementasan. Kombinasi dan kreasi pada

kesenian tradisional di Kampung Bumen dilakukan untuk menambah

keindahan dan juga agar masyarakat tidak bosan dalam menikmati

kesenian tradisional di Kampung Bumen. Hal ini berdasar penuturan

dari Bapak Basis Hargito (tokoh seni golongan tua Kampung

Bumen) sebagai berikut:

“ Kita merangkul generasi muda.. tetapi harus bisa

mengkombinasikan, yaitu kombinasi antara seni-seni baru yang biasanya itu dirasa menarik, dikombinasi dengan kesenian yang sudah ada. Karena menurut anggapan saya, seni itu hidup dan berkembang, tidak hanya itu-itu saja kalau hanya itu-itu saja kan nanti banyak yang bosan.”

(Sumber: Wawancara, 01 Maret 2012)

Adapun kombinasi dan kreasi yang ada dalam kesenian

srandul di Kampung Bumen, diantaranya nampak pada beberapa

aspek tertentu. Pada aktivitas pementasan kesenian srandul ini

terdapat beberapa hal yang sudah mulai dikombinasi dan dikreasi,

srandul pada mulanya merupakan kesenian yang lekat dan

berhubungan erat dengan adanya sesaji dan menyan dalam setiap

awal pementasannya, namun sekarang sesaji dan kemenyan sudah

Page 74: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

58

mulai diganti dengan bunga-bungaan dan juga lilin sebagai tanda

bahwa pertunjukan akan sesera dimulai. Kalau pada masanya dulu,

sesaji dan menyan digunakan untuk memohon keselamatan dalam

pementasan srandul.

Hal ini seperti yang diuatarakan oleh Bapak Basis Hargito

(tokoh seni dari golongan tua Kampung Bumen) sebagai berikut:

“ dulu kan ngobong (membakar) menyan, pakai

kembang (bunga), iku niate mung njaluk slamet minta slamet (itu niatnya hanya minta selamat).”

(Sumber: Wawancara, 01 Maret 2012)

Srandul pada mulanya dimainkan oleh laki-laki dewasa

secara keseluruhan, bahkan peran perempuan juga dimainkan oleh

laki-laki. Namun sekarang sudah banyak melibatkan pemain

perempuan dan juga anak-anak, peran perempuan sudah dimainkan

oleh perempuan asli, dan anak-anak juga sudah mulai dapat mengisi

tari-tarian dalam cerita srandul. Hal ini sesuai dengan yang

diuatarakan oleh Bapak Basis Hargito (tokoh seni golongan tua

Kampung Bumen) sebagai berikut:

“ Kalau srandul, oleh anak saya (mas Anter) itu

dicoba kemarin waktu peresmian pendapa itu, dikolaborasi dengan tarian baru (tarian anak-anak) ternyata ya anak-anak (generasi muda) senang, penonton juga sambutannya positif, baik.”

(Sumber: Wawancara, 01 Maret 2012)

Page 75: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

59

Gambar 11 Beberapa pemain perempuan dalam srandul

Gambar 12 Tarian kreasi oleh anak-anak dalam srandul

Kombinasi yang ada dalam srandul juga nampak dari kostum

dan juga hadirnya dagelan (humor) dalam tengah-tengah cerita

srandul pada saat pementasan. Dalam kostum srandul sendiri,

kombinasi nampak pada Lakon: Pedang Kangkam Pamor Kencana,

dimana tokoh Sayidina Ali menggunakan kostum bernuansa timur

tengah (Arab), sedangkan musuhnya yaitu Raja Lakat mengenakan

kostum Raja-raja Jawa. Hal ini senada dengan penuturan Febriana

Noor Haryanti (tokoh akademis golongan muda Kampung Bumen)

sebagai berikut:

“ Seperti lakon pementasan kemarin itu (Pedang

Kangkam Pamor Kencono) yang pemeran Sayidina Ali itu memakai sorban dan lengkap dengan atribut berbau timur

Page 76: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

60

tengah, tetapi di musuhnya yaitu si Raja Lakat itu untuk kostumnya sendiri masih sangat kental dengan budaya Jawa.”

(Sumber: Wawancara, 19 Pebruari 2012)

Gambar 13 Adegan dagelan (humor) I dalam srandul

Gambar 14 Adegan Sayidina Ali dan Raja Lakat dalam srandul

Kreasi juga hadir dalam syair nyanyian vocal Srandul yang

banyak menceritakan keadaan masyarakat Kampung Bumen selalu

guyub rukun, berhati tenang, dan juga harapan-harapan membangun

Kampung Bumen. Syair-syair ini biasanya dilantunkan pada saat

pergantian cerita dalam Srandul. Syair-syair tersebut sebagai berikut:

Page 77: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

61

Simbok alah simbok anakmu njaluk thiwul Simbok emoh thiwuuuuul...emoh thiwul.....simbok, emoh thiwul ayo kanca pada ngumpul. Simbok alah simbok anakmu njaluk ketan Simbok emoh ketaaaaaan...emoh ketan.....simbok, emoh ketan ayo kanca pada jejogetan. Simbok alah simbok anakmu njaluk tela Simbok emoh telaaaaaaaa...emoh tela.....simbok, emoh tela ayo kanca suka-suka. Simak ramak kembang duren ndara Kembang duren, iki Srandul saking Bumen Simak ramak kembang mlathi ndara Kembang mlathi, Kampung Bumen Kampung Seni Simak ramak kembang nangka ndara Kembang nangka, budaya ayo dijaga. Yongka-yongki mbok cilik kembang uwi Kembang uwi, limang RT dadi siji Yongka-yongki mbok cilik kembang sukun Kembang sukun, RW 6 guyub rukun Yongka-yongki mbok cilik kembang jambu Kembang jambu, kampungku tansaya maju Mas emaseee kembang aren Kembang aren, ayo mbangun Kampung Bumen

‘Wahai Ibu anakmu meminta thiwul’ ‘Ibu tidak perlu thiwul, jangan thiwul..ibu, jangan thiwul mari kawan kita berkumpul’ ‘Wahai Ibu anakmu meminta ketan’ ‘Ibu tidak perlu ketan, jangan ketan..ibu, jangan ketan mari kawan kita menari’ ‘Wahai Ibu anakmu meminta ketela’ ‘Ibu tidak perlu ketela, jangan ketela....ibu, jangan ketela mari kawan kita bergembira’ ‘Simak ramak daun durian tuan’ ‘Daun durian, ini srandul dari Bumen’ ‘Simak ramak bungan melati tuan’ ‘Bungan melati, Kampung Bumen Kampung Seni’ ‘Simak ramak daun nangka tuan’ ‘Daun nangka, budaya mari kita jaga’ ‘Tua-muda, bapak-ibu daun uwi’ ‘Daun uwi, lima RT menjadi satu’ ‘Tua-muda, bapak-ibu daun sukun’ ‘Daun sukun, RW 6 ruyub rukun’ ‘Tua-muda, bapak-ibu daun jambu’ ‘Daun jambu, kampungku semakin maju’ ‘Mas..daun aren’ ‘Daun aren, mari membangun Kampung Bumen’

Page 78: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

62

Mas emaseeee kembang gedhang Kembang gedhang, Kampung resik ati padhang Mas emaseeee kembang pelem Kembang pelem, kabeh rukun ati ayem Mas emaseeee kembang mundhu Kembang mundhu, monggo sami bersatu padhu

‘Mas..daun pisang’ ‘Daun pisang, kampung bersih berhati terang’ ‘Mas...daun mangga’ ‘Daun mangga, semua rukun hati tenang’ ‘Mas...daun mundhu’ ‘Daun mundhu, mari semua bersatu’

(Sumber: Basis Hargito, 2011)

Syair tersebut merupakan syair nyanyian (pantun) yang

biasanya menandai perpindahan cerita/lakon dalam srandul,

nyanyian (pantun) ini dinyanyikan oleh pengiring musik gamelan

dalam srandul yang biasa disebut dengan wiyaga. Srandul pada

masa dulu, jarang terdapat nyanyian-nyanyian di dalamnya,

bentuknya hanyalah cerita yang disambung-sambung dari cerita satu

dengan cerita lain, sehingga banyak orang yang menyebutnya cerita

pating srendil. Nyanyian (pantun) dalam srandul ini merupakan

kreasi baru yang dilakukan oleh pelaku seni Kampung Bumen agar

dapat lebih menarik penonton, dan dapat digunakan untuk

menyampaikan berbagai pesan pada saat pementasan srandul.

Pantun di atas berfungsi sebagai pesan yang ditujukan pada

masyarakat untuk mengenalkan kondisi Kampung Bumen. Dengan

adanya pesan tersebut, diharapkan masyarakat Kampung Bumen

dapat lebih bangga dan mengenal kampung mereka lebih jauh.

Kreasi dan kombinasi dalam kesenian srandul seperti penyisipan

pantun hiburan yang memuat pesan moral bagi para warganya ini,

dapat mendukung eksistensi srandul yang ada di Kampung Bumen.

Page 79: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

63

Gambar 15 Wiyaga dalam kesenian srandul Kampung Bumen

Cara menjaga kesenian tradisional yang ada di Kampung

Bumen paling penting adalah dengan menjaga latihan rutin bersama

masing-masing kelompok kesenian tersebut. Latihan rutin

dimaksudkan agar satu sama lain anggota kesenian dapat saling

memahami dan mengerti dalam interaksi yang terjalin. Latihan rutin

menjadi wadah bertemunya para anggota kesenian tradisional yang

ada di Kampung Bumen untuk dapat berbagi ilmu, bertukar pikiran,

dan juga merumuskan kreasi-kreasi ataupun kombinasi yang menarik

untuk pengembangan dan kemajuan kesenian tradisional di

Kampung Bumen.

Dengan adanya latihan rutin tersebut, memudahkan golongan

tua dalam berinteraksi untuk membina dan menyalurkan serta

mengasah kepekaan jiwa seni yang mereka miliki untuk dapat

disalurkan dan diajarkan pada generasi muda Kampung Bumen.

Generasi mudalah yang nantinya mewarisi dan melestarikan

kesenian tradisional tersebut untuk dikenalkan pada masyarakat

umum demi kemajuan Kampung Bumen. Hal ini berdasar penuturan

Bapak Basis Hargito (tokoh seni dari golongan tua Kampung

Bumen) sebagai berikut:

Page 80: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

64

“ Kita harus dapat menciptakan regenerasi, karena kesenian itu kalau tidak didukung anak-anak remaja nanti yang meneruskan itu siapa? karena yang tua-tua itu sudah terbatas kemampuannya seperti saya ini. Saya berpesan bahwa kesenian budaya yang ada di Bumen yang sangat adiluhur itu saya titipkan mudah-mudahan dijaga lestari jangan sampai punah.”

(Sumber: Wawancara, 01 Maret 2012)

Untuk latihan rutin pada kesenian srandul di Kampung

Bumen bertempat di Pendapa RW 06 Kampung Bumen dan juga di

aula perpustakaan RW 06 Kampung Bumen. Latihan rutin masih

belum ada dikarenakan kesenian srandul ini melibatkan banyak

orang dan dari banyak orang itu sulit untuk menyesuaikan waktu

latihan rutinnya, namun hal tersebut tidak mempengaruhi

penampilan Srandul dari Kampung Bumen, karena sebelum event

(pementasan) berlangsung, masyarakat Kampung Bumen baik tua

ataupun muda yang terlibat dalam kesenian ini akan melakukan

latihan rutin selama 1 (satu) bulan. Hal ini berdasar penuturan dari

Bapak Basis Hargito (tokoh seni dari golongan tua Kampung

Bumen) sebagai berikut:

“ Kendalanya itu karena anggotanya masih banyak yang sekolah, bekerja, dan sebagainya, maka karena anggotanya dari anak-anak muda sampai orang tua itu sibuk, sampai sekarang itu bilamana akan dipakai baru ada latihan, selama Srandul itu akan dibutuhkan pasti Kami siap.”

(Sumber: Wawancara, 01 Maret 2012)

Hal senada juga diutarakan oleh Ayu (anggota Muda-mudi

Bumen yang ikut dalam kesenian Srandul) sebagai berikut:

“ Sebelum pementasan Kami akan berlatih dulu selama satu bulan..kemudian jadwal untuk Muda-Mudi Bumen sendiri berlatih hampir satu minggu penuh, setiap sore.”

(Sumber: Wawancara, 01 Maret 2012)

Page 81: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

65

Gambar 16 Latihan srandul di Pendapa Kampung

Ketika seseorang/individu sudah mulai menggemari dan

mencintai kesenian tradisional seperti srandul tersebut, pasti mereka

mulai dapat merasakan kehadiran nilai-nilai yang terkandung dalam

aktivitas interaksi di kesenian srandul tersebut. Pada saat inilah

generasi tua Kampung Bumen sebagai pelatih kesenian sedikit demi

sedikit memberikan pemahaman tentang makna dan arti dari nilai-

nilai yang terkandung dalam kesenian tersebut pada saat latihan.

Transformasi nilai biasanya dilakukan melalui komunikasi secara

verbal dalam situasi yang rileks dengan disertai contoh-contoh yang

ada disekitar mereka. Dengan kata lain, pada tahapan ini, nilai-nilai

yang nampak di permukaan dari aktivitas kesenian tradisional mulai

perlahan dikenal dan dimengerti oleh generasi muda dan masyarakat

pada umunya baik dalam latihan ataupun pementasan. Hal ini

berdasar penuturan Dedy Fathurrahman (tokoh seni dari golongan

muda Kampung Bumen) sebagai berikut:

“ Awalnya kita (generasi muda) dibiasakan dengan

kesenian tradisional itu dengan cara merawat alatnya, kemudian kita menggemari dan ingin memainkan, setelah menjalani bimbingan dan latihan oleh generasi tua, kita mulai merasakan ada nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kesenian tradisional seperti contohnya dalam kesenian

Page 82: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

66

srandul dan karawitan, nilai-nilai kerja keras dan pantang menyerah kita rasakan benar-benar dalam latihan.”

(Sumber: Wawancara, 10 Maret 2012)

Transformasi nilai pada kesenian srandul ini, diawali ketika

para generasi tua membiasakan (mengenalkan) pada generasi muda

tentang kesenian srandul itu sendiri. Pengenalan itu dilakukan

dengan cara menunjukkan (memberikan contoh) tentang bentuk dan

aktivitas yang ada dalam kesenian srandul. Tahapan selanjutnya

dalam kategori proses ini yaitu pelibatan generasi muda dalam

kesenian srandul itu sendiri. Pada proses pelibatan generasi muda

dalam srandul sendiri, nilai-nilai luhur seperti nilai gotong royong,

kesabaran, dan kedisiplinan mulai dikenalkan pada generasi muda

dalam latihan srandul. Ketika generasi muda sudah mulai

menggemari srandul sebagai aktivitas kesenian tradisional yang ada

di Kampung Bumen, barulah generasi tua Kampung Bumen untuk

selanjutnya banyak memberikan nasihat-nasihat terkait masalah

kehidupan yang biasanya diambilkan contoh dengan aktivitas yang

ada dalam kesenian srandul tersebut sebagai wujud pembinaan nilai

dalam kesenian srandul tersebut.

Tahapan ini memungkinkan nilai-nilai yang nampak pada

permukaan aktivitas kesenian srandul mulai dirasakan kehadirannya

oleh generasi muda pada saat latihan, serta memungkinkan pula

nilai-nilai yang terkandung dalam aktivitas kesenian tradisional

(srandul) itu dirasakan oleh masyarakat pada saat pementasan

berlangsung. Nilai-nilai yang terkandung dalam kesenian srandul

dapat dirasakan melalui komunikasi verbal yang dilakukan oleh para

pelaku seni dalam setiap pementasan, dapat melalui dialog dalam

adegan ceritanya ataupun juga syair-syair yang dilantunkan. Setelah

terjadi komunikasi verbal, maka seseorang/individu akan mulai

merasakan dan menyadari hadirnya nilai-nilai luhur yang ada pada

Page 83: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

67

aktivitas kesenian srandul di Kampung Bumen baik melalui cerita,

makna simbolik, ataupun melalui proses latihan daripada kesenian

srandul itu sendiri. Nilai-nilai kesetian, perjuangan, dan cinta kasih

mulai dikenalkan dalam cerita yang terkandung pada kesenian

srandul.

Dapat disimpulkan bahwa dalam tahapan ini, nilai-nilai yang

terkandung dalam aktivitas kesenian srandul di Kampung Bumen

mulai ditransformasikan pada masyarakat melalui komunikasi

verbal, transformasi dalam tahapan ini hanya bersifat sebagai

pengenalan (sosialisasi) terhadap nilai-nilai yang nampak pada

permukaan aktivitas kesenian tradisional tersebut. Hal ini sebagai

langkah awal agar nilai-nilai luhur yang terkandung dalam aktivitas

kesenian srandul di Kampung Bumen tersebut, nantinya dapat

dimaknai dan diimplikasikan oleh warga Kampung Bumen dalam

kehidupan sosial.

2. Nilai-Nilai Luhur yang Terkandung dalam Aktivitas Kesenian Srandul

Terdapat nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kesenian

srandul di Kampung Bumen, diantaranya dimaknai berdasar keberadaan

makna simbolik pada beberapa aspek, seperti dalam cerita, kostum

(busana), aktivitas persiapan ataupun perlengkapan pelaksanaan dalam

kesenian tersebut. Nilai-nilai luhur tersebut diantaranya:

a. Nilai-nilai luhur mengenai hakekat hidup

Nilai-nilai luhur mengenai hakekat hidup pada umunya

meliputi nilai-nilai tentang kepercayaan pada penguasa alam serta

pemaknaan terhadap kehidupan sebagai suatu pemberian dari Yang

Maha Kuasa (Tuhan). Nilai-nilai semacam ini terkandung dalam

kesenian srandul nampak pada aktivitas awal dimulainya latihan dan

juga awal pementasan dari srandul itu sendiri. Ciri khas srandul

adalah selalu diawali sesaji (meskipun sekarang sudah diganti

bunga-bunga), dan ditempatkan di tengah arena pertunjukkan. Hal

Page 84: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

68

ini semata-mata untuk memohon keselamatan dan kelancaran pada

saat pementasan. Seperti penuturan dari Bapak Basis Hargito (tokoh

seni dari golongan tua Kampung Bumen) sebagai berikut:

“ Sesaji/bunga-bungaan itu kan intinya hanya untuk

minta keselamatan dan kelancaran pada saat pementasan. Jangan dilihat dari wujudnya itu, tetapi yang terpenting adalah maknanya bahwa kita hidup itu intinya hanya untuk memohon keselamatan pada Yang Kuasa (Tuhan).”

(Sumber: Wawancara, 01 Maret 2012)

b. Nilai-nilai luhur mengenai hakekat karya dan etos kerja

Nilai-nilai luhu mengenai hakekat karya dan etos kerja

diimplementasikan melalui nilai-nilai seperti semangat pantang

menyerah, kesabaran, keuletan, keginggihan, perjuangan, dan juga

kepahlawanan dalam mengejar cita-cita. Nilai-nilai ini terkandung

dalam kesenian srandul baik dalam cerita maupun pelaksanaan

kegiatannya. Dalam cerita Srandul seperti Lakon Pedang Kangkam

Pamor Kencana, menceritakan seorang raja di negara Puser Bumi

yaitu Sayidina Ali ketika kehilangan pusaka kerajaan yang direbut

oleh Raja Lakat; seorang raja yang sakti dan angkuh. Dalam

pencarian pusaka tersebut Sayidina Ali kalah berperang dengan Raja

Lakat kemudian kembali pulang ke kerajaanya. Namun dalam

perjalanan pulangnya, ternyata istri Sayidina Ali pergi menyusul

Sayidina Ali ke kerajaan Lakat dan bertemu Raja Lakat. Dengan tipu

muslihat bersedia dijadikan istri Raja Lakat namun boleh memiliki

pusaka Pedang Kangkam Pamor Kencana, istri Sayidina Ali

kemudian membunuh Raja Lakat dengan pusaka tersebut kemudian

kembali pulang ke kerajaan dan berkumpul dengan Sayidina Ali.

Dari cerita tersebut mengandung nilai-nilai perjuangan dan pantang

menyerah jika untuk memperjuangkan sesuatu hal yang baik.

Page 85: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

69

Hal ini senada dengan penuturan Febriana Noor Haryanti

(tokoh akademis dari golongan muda Kampung Bumen) sebagai

berikut:

“ Menurut saya cerita Sayidina Ali itu mengandung pendidikan tentang perjuangan seorang istri yang mencoba membantu suami dalam mencari pusaka kerajaan. Dengan kesetiaan yang dimiliki ternyata dapat mengalahkan Raja yang kuat dan sombong.”

(Sumber: Wawancara, 19 Pebruari 2012)

Kesenian srandul ini melibatkan banyak orang dalam

pementasannya, sehingga untuk menampilkan kesenian ini

membutuhkan kerja keras dan sikap pantang menyerah dalam

latihannya, latihan untuk persiapan srandul sendiri menghabiskan

waktu satu bulan dan hampir setiap hari semuanya berlatih. Dari

kegiatan latihan ini mengandung nilai-nilai semangat kerja keras dan

pantang menyerah bagi generasi muda, untuk mempersiapkan

kesenian ini memang membutuhkan kesabaran, keuletan, dan

keginggihan dari para individu yang terlibat di dalamnya. Hal ini

berdasar penuturan Ayu (warga Kampung Bumen RT 23) sebagai

berikut:

“ Untuk persiapan Srandul itu memakan waktu 1

(satu) bulan karena harus mempersiapkan tarian, teks, dan juga harmonisasi dengan musik. Memang sangat mendidik dalam hal kesabaran dan juga mengutamakan sikap pantang menyerah.”

(Sumber: Wawancara, 01 Maret 2012)

Page 86: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

70

Gambar 17 Kerja keras dalam berlatih srandul

c. Nilai-nilai luhur mengenai hubungan antara manusia dengan alam

Nilai-nilai luhur mengenai hubungan antara manusia dengan

alam ini lebih dimaknai sebagai sikap harmonisasi dan keselarasan

dengan alam. Sikap ini sebagai wujud penghargaan kepada alam dan

pengakuan pentingnya keberadaan alam di tengah-tengah kehidupan

masyarakat Kampung Bumen. Nilai-nilai ini terkandung dalam

kesenian srandul dengan adanya makna simbolik berupa daun puring

yang selalu ada menghias oncor (obor) untuk penerangan di tengah

area pementasan.

Selain untuk keindahan, keberadaan daun puring juga sebagai

peringatan pada warga Kampung Bumen bahwa alam/lingkungan

(tumbuh-tumbuhan) berdampingan dengan kehidupan manusia,

maka hendaknya selalu bersikap bersahabat dengan alam demi

keselarasan dan juga harmonisasi dengan alam sekitar. Tak hanya

daun puring yang dapat dipergunakan untuk menghias oncor (obor)

yang diletakkan pada tengah arena, namun dapat digantikan dengan

dedaunan lain yang pastinya memiliki makna simbolik mengenai

hakekat hubungan antara manusia dengan alam (lingkungan).

Page 87: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

71

Gambar 18 Daun puring di tengah area pementasan srandul

d. Nilai-nilai luhur mengenai persepsi manusia tentang waktu

Nilai-nilai luhur mengenai persepsi manusia tentang waktu,

terkandung dalam kesenian ini dengan orientasi yang mengarah pada

masalah kedisiplinan waktu. Kesenian srandul ini melibatkan

banyak orang dalam pementasannya, sehingga untuk menampilkan

kesenian ini membutuhkan konsekuensi kedisiplinan waktu para

pelaku seni yang terlibat di dalamnya baik dalam hal latihan ataupun

pementasannya. Hal ini sesuai penuturan dari Descy Etik Sanjaya

(tokoh agama dari golongan muda Kampung Bumen) sebagai

berikut:

“ Untuk srandul itu adalah kesenian yang melibatkan banyak

orang, jadi dengan latihan dalam mempersiapkan kesenian ini banyak mengajarkan tentang nilai kedisiplinan karena berhubungan dengan orang banyak.”

(Sumber: Wawancara, 27 Pebruari 2012)

Makna simbolik lain juga nampak dari adanya selingan

dagelan (humor) yang ada dalam cerita srandul ini, adegan ini

memuat sindiran dan pendidikan yang dapat dijadikan sebagai

tuntunan. Pendidikan yang disampaikan dalam dagelan ini biasanya

Page 88: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

72

berhubungan erat dengan aktivitas kemasyarakatan yang ada di

Kampung Bumen dengan dasar kekeluargaan, gotong royong, sopan

santun, kerukunan, dan lain sebagainya dengan diakhiri sebuah

ungkapan kebanggaan atas Kampung Bumen. Keberadaan dagelan

(humor) ini juga dimaknai sebagai simbol bahwa dalam menjalani

kehidupan di dunia ini memang perlu adanya pembagian waktu dan

kapan menentukan transisinya, menjalani kehidupan memang harus

dengan kesungguhan, namun terkadang juga perlu disertai hiburan

yang mendidik agar tidak terjadi kejenuhan pada diri sendiri dan

lingkungan sekitar. Seperti yang diutarakan oleh Febriana Noor

Haryanti (tokoh akademis dari golongan muda Kampung Bumen)

sebagai berikut:

“ Hadirnya dagelan (humor) dalam selingan cerita

srandul itu saya maknai bahwa hidup itu juga walaupun harus serius tetapi juga harus diimbangi dengan adanya hiburan yang bermanfaat, agar tidak jenuh. Maka dari itu dagelannya banyak yang mengungkapkan kebanggaan atas kampung.”

(Sumber: Wawancara, 19 Pebruari 2012)

Gambar 19 Adegan dagelan (humor) II pada srandul

Page 89: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

73

e. Nilai-nilai luhur mengenai hubungan manusia dengan sesamanya

Nilai-nilai luhur mengenai hubungan manusia dengan

sesamanya juga terkandung dalam aktivitas kesenian srandul. Nilai-

nilai tersebut meliputi nilai-nilai gotong royong, kerukunan,

kebersamaan, dan juga penghormatan terhadap sesama. Dalam nilai-

nilai luhur mengenai hubungan manusia dengan sesamanya juga

memuat nilai-nilai cinta kasih antar sesama, kekeluargaan, bahkan

keberagamaan dalam masyarakat. Kesenian srandul merupakan

kesenian yang melibatkan banyak pelaku seni di dalamnya, sehingga

kesenian ini dapat sebagai wadah berkumpulnya masyarakat, mereka

dapat saling menjaga kerukunan dan interaksi satu dengan yang

lainnya untuk menjaga kebersamaan dan rasa kekeluargaan sebagai

satu kesatuan yang utuh.

Gambar 20 Kerukunan, kekeluargaan, dan kebersamaan antar warga

dalam persiapan srandul

Cerita-cerita dalam kesenian srandul biasanya adalah babad

yang bercerita tentang hubungan manusia dengan sesama, beberapa

cerita yang sering dipentaskan antara lain seperti cerita babad Kediri

Jenggala (Panji Asmarabangun), cerita dari Demak dengan lakon

Perawan Sunthi, dan cerita dengan Lakon Pedang Kangkam Pamor

Page 90: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

74

Kencono (Sayidina Ali). Ketiga cerita tersebut semuanya banyak

mengajarkan nilai-nilai kesabaran, keadilan, dan juga berbuat baik

kepada sesama. Seperti penuturan dari Bapak Basis Hargito (tokoh

seni dari golongan tua Kampung Bumen) sebagai berikut:

“ Seperti cerita Perawan Sunthi itu, banyak memuat

nilai-nilai kesabaran dan keadilan. Karena di dalam ceritanya itu menceritakan ada seorang perempuan (perawan) yang terkena musibah (hamil) tetapi tidak ada yang mengakui, kemudian ada seorang lelaki tua buruk rupa yang mau menolong dengan menikahinya. Setelah dinikahi, perempuan tersebut ternyata tampak lebih muda dan cantik kemudian durhaka pada suaminya. Suaminya marah kemudian istrinya itu terkena hukum karma, dia jatuh dan tidak dapat berjalan. Kemudian istrinya meminta maaf pada suaminya bertobat sehingga dapat sembuh. Itu juga mengajarkan nilai berbuat baik kepada orang lain terlebih lagi dia adalah suaminya sendiri. Kemudian cerita Sayidina Ali yang banyak mengandung nilai perjuangan dan kesetiaan dari seorang istri, begitu juga cerita babad Kediri Jenggala yang Panji Asmarabangun.”

(Sumber: Wawancara, 01 Maret 2012)

Berdasar penuturan dari Bapak Basis tersebut menunjukkan

bahwa cerita dalam srandul pada dasarnya adalah peringatan bagi

manusia dalam bersikap dalam hidup. Cerita Perawan Sunthi

memberikan pelajaran pada semua orang bagaimana orang hidup

harus selalu bersyukur, rendah hati, dan tidak boleh durhaka. Cerita

tersebut juga mengajarkan bahwa manusia harus saling memaafkan

agar dapat bermanfaat bagi semua. Dari cerita Sayidina Ali juga

banyak mengandung nilai kepahlawanan yang dapat dijadikan

pelajaran bagi semua penontonnya. Pelajaran yang dapat diambil

adalah bagaimana kebaikan akan selalu menang dan wanita adalah

makhluk yang kuat yang dapat mengalahkan lelaki yang sombong.

Nilai keadilan dan pantang menyerah menjadi point utama dari cerita

Page 91: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

75

Sayidina Ali tersebut. Seperti penuturan Bapak Mulyadi (tokoh

agama dari golongan Tua Kampung Bumen) sebagai berikut:

“ Cerita srandul yang Sayidina Ali itu pada intinya menurut saya banyak mengandung pendidikan tentang perjuangan, keadilan, dan kesetiaan dari seorang istri kepada suaminya. Ini dapat sebagai tuntunan dalam hidup bagi warga agar dapat lebih mengambil pendidikan dari cerita ini.”

(Sumber: Wawancara, 28 Pebruari 2012)

Dari aspek kostum (busana) juga bagi generasi muda

Kampung Bumen menangkap nilai keberagaman, akulturasi budaya,

dan kebersamaan yang ada dalam cerita Srandul. Dimana kostum

Sayidina Ali dengan atribut khas timur tengah berdampingan dengan

istrinya yang beratribut khas wanita Jawa. Dalam cerita ini Raja

Lakat juga mengenakan atribut Jawa, bahkan dalam selingan

dagelan (humor) yang ada dalam cerita Srandul ini, para pemain

dagelan ini juga mengenakan busana khas Jawa dan atribut Islam

seperti mengenakan peci/kopyah di kepala, wujud akulturasi budaya

yang ada di Bumen. Pada umunya kesenian tradisional yang ada di

Kampung Bumen ini ditangkap oleh beberapa generasi muda

Kampung Bumen sebagai kesenian yang bernafaskan agama,

sehingga mengandung nilai-nilai tuntunan yang baik. Seperti yang

diutarakan oleh Febriana Noor Haryanti (tokoh akademis dari

golongan muda Kampung Bumen) sebagai berikut:

“ Pada umunya kesenian tradisional di sini menurut

saya bernafaskan nilai-nilai agama, jadi banyak atribut (busana) yang dikombinasikan dengan tradisi lokal di sini. Kostum di srandul itu menunjukkan keberagaman, karena ada yang khas atribut timur tengah dipadu dengan khas Jawa, seperti Sayidina Ali dan istrinya. Kemudian hadirnya dagelan (humor) dalam selingan cerita srandul itu saya maknai bahwa hidup itu juga walaupun harus serius tetapi juga harus diimbangi dengan adanya hiburan yang bermanfaat, agar tidak jenuh. Maka dari itu dagelannya banyak yang

Page 92: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

76

mengungkapkan kebanggaan atas kampung karena warganya saling menjaga kerukunan dan kebersamaan.”

(Sumber: Wawancara, 19 Pebruari 2012)

Gambar 21 Busana tokoh Sayidina Ali dan istrinya

dalam kesenian srandul

Gambar 22 Busana kombinasi dalam dagelan (humor)

pada kesenian srandul

Page 93: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

77

Matrik I

Interaksi Simbolik antar Pelaku Seni dalam Memaknai Nilai-Nilai Luhur

pada Kesenian Srandul

Makna-Makna Simbolik

dalam Kesenian Srandul

Pemaknaan Nilai-Nilai Luhur

dalam Kesenian Srandul

1. Sesaji di awal pementasan srandul.

2. Isi cerita (lakon) dan aktivitas simbolik

dari proses latihan srandul.

3. Daun puring di tengah arena pertunjukan

srandul.

4. Adagelan (humor) di tengah cerita

srandul dan aktivitas simbolik latihan

dalam kesenian srandul.

5. Perpaduan busana yang dikenakan dalam

kesenian srandul, Isi cerita (lakon)

pementasan srandul, dan juga aktivitas

simbolik dalam latihan srandul.

1. Sesaji diartikan sebagai media untuk mencari

keselamatan. Upaya mencari keselamatan

dalam pekerjaan dimaknai sebagai nilai-nilai

luhur mengenai hakekat hidup.

2. Isi cerita (lakon) dan proses latihan dalam

srandul banyak mengandung pembelajaran

tentang Nilai-nilai kerja keras, keuletan,

kesabaran, perjuangan, dan kepahlawanan.

Nilai-nilai tersebut dimaknai sebagai nilai-

nilai luhur mengenai hakekat karya dan etos

kerja, dimana dalam melakukan pekerjaan

selalu memiliki tujuan yang akan

mempengaruhi etos kerja.

3. Keberadaan daun puring di tengah arena

pertunjukan srandul diartikan dengan bahwa

dalam melakukan setiap pekerjaan harus

selalu memperhatikan harmonisasi dengan

alam (lingkungan), harmonisasi dengan alam

dimaknai sebagai nilai-nilai luhur mengenai

hubungan antara manusia dengan alam.

4. Adegan dagelan (humor) di tengah cerita

srandul diartikan bahwa hidup harus ditata

(pembagian waktu/selaras). Aktivitas latihan

kesenian srandul sendiri banyak mengajarkan

mengenai nilai-nilai kedisiplinan. Nilai-nilai

Page 94: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

78

kedisiplinan dan keselarasan dalam hal waktu

dimaknai sebagai nilai-nilai luhur mengenai

persepsi manusia terhadap waktu.

5. Keberadaan makna simbolik berupa beragam

perpaduan busana yang dikenakan dalam

kesenian srandul sendiri mengandung

pembelajaran mengenai nilai-nilai saling

menghormati keberagaman. Sedangkan isi

cerita (lakon) dalam pementasan srandul dan

juga aktivitas latihan srandul sendiri banyak

mengandung pembelajaran mengenai nilai-

nilai seperti gotong royong, guyup rukun,

cinta kasih, kekeluargaan, dan keadilan.

Nilai-nilai tersebut dimaknai sebagai nilai-

nilai luhur mengenai hubungan manusia

dengan sesamanya.

(Sumber: Disarikan dari wawancara dan observasi, Pebruari-Maret 2012)

Page 95: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

79

B. Interaksi Simbolik antar Pelaku Seni dalam Memaknai Nilai-Nilai

Luhur pada Kesenian Karawitan

Kata karawitan berasal dari kata rawit yang artinya halus, lembut,

lungit. Jadi karawitan dimaknai sebagai kehalusan rasa yang diwujudkan

dalam seni gamelan. Karawitan/gamelan dapat berdiri sendiri ataupun

mengiringi seni pedhalangan, seni vokal, atau seni tari (diambil dari

http://id.wikipedia.org/wiki/Karawitan, pada Rabu 07 Maret 2012). Dalam

perkembangannya, karawitan biasa digunakan untuk mengiringi tarian dan

nyanyian, tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa karawitan juga dapat

mengadakan pementasan sendiri.

Karawitan merupakan seni pertunjukan yang dilakukan oleh

sekelompok seniman (penabuh) alat-alat musik tradisional yang disebut

Gamelan yang antara lain terdiri atas Bonang, Kenong, Gong, Saron, Kethuk,

Centhe, Gambang, ditambah dengan Kendang dan Suling dengan Laras Pelog

maupun Slendro. Seperangkat Gamelan yang digunakan untuk seni

Karawitan dapat dibuat dari tembaga, perunggu, maupun besi. Pelog dan

Slendro merupakan titi laras dalam kesenian karawitan. Titi: tanda/tulisan,

laras: nada–nada yang sudah tertentu urutan tinggi rendahnya (frekuensi)

dalam satu gembyang (oktaf). Jadi, Titilaras adalah notasi atau tulisan untuk

menginterpretasikan nada–nada yang sudah tertentu urutan tinggi rendahnya

dalam satu gembyang (oktaf).

Karawitan pada dasarnya di bagi menjadi tiga jenis (diambil dari

http://pstk.itb.ac.id/?page_id=38 pada Rabu 07 Maret 2012), yaitu karawitan

Sekar, karawitan gending, dan karawitan sekar gending. Karawitan Sekar

merupakan salah satu bentuk kesenian Karawitan yang dalam penyajiannya

lebih mengutamakan terhadap unsur vokal atau suara manusia. Karawitan

Sekar sangat mementingkan unsur vokal. Sedangkan Karawitan Gending

adalah salah satu bentuk kesenian yang dalam penyajiannya lebih

mengutamakan unsur instrumental atau alat musik. Karawitan Sekar Gending

Page 96: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

80

adalah salah satu bentuk kesenian yang dalam penyajiannya terdapat unsur

gabungan antara karawitan sekar dan gending.

Karawitan di Kampung Bumen tergolong dalam jenis Karawitan

Gending, dimana dalam aktivitas/bentuk keseniannya lebih mengutamakan

unsur instrumental dari alat-alat musik yang ada dalam kesenian ini.

Karawitan yang ada di Kampung Bumen merupakan aktivitas kesenian yang

biasa digunakan untuk mengiringi pementasan-pementasan seni pertunjukan

lain seperti srandul, macapat, dan juga sholawatan. Berdasar fungsi dan

kegunaannya inilah, maka Ketua Muda-Mudi Bumen bekerjasama dengan

golongan tua Kampung Bumen memprakarsai latihan rutin untuk kesenian

karawitan di Kampung Bumen. Jika karawitan sudah dikuasai maka lebih

mudah untuk berlatih srandul, macapatan, dan juga sholawatan. Hal ini

senada dengan yang diutarakan Hapsoro Noor Adianto (Ketua Muda-Mudi

Bumen Kampung Bumen) seperti berikut:

“ ...... kesenian asli sini kan srandul, nah itu yang kita

utamakan. Karena itu (srandul) kan wiyogonya (pengiringnya) itu kan bermain karawitan, sehingga harus ada yang nggamel (bermain gamelan), ada yang bermain musiknya, jadi dasarnya dulu yang kita bangun yaitu Karawitannya, kalau sudah jadi baru ke tahap selanjutnya seperti srandul, tari, macapatan, dan sholawatan.”

(Sumber: Wawancara, 26 Pebruari 2012)

1. Bentuk dan Interaksi Simbolik dalam Kesenian Karawitan

Interaksi dalam kesenian karawitan ini berlangsung mulai dari

saat latihan rutin hingga pementasan karawitan di tengah masyarakat.

Latihan rutin antara golongan tua dan muda yang ada di Kampung

Bumen ini menjadikan regenerasi untuk kesenian karawitan yang ada di

Kampung Bumen ini berjalan baik, antusias Muda-Mudi Bumen dalam

kegiatan ini sangat baik, sehingga latihan dapat berjalan rutin setiap satu

kali dalam satu minggu, tepatnya setiap hari Jumat pukul 21.00-22.30

WIB di Perpustakaan Kampung Bumen. Sedangkan untuk pelatihnya

sendiri, golongan tua dan juga Muda-Mudi Bumen sepakat untuk

Page 97: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

81

mendatangkan pelatih karawitan dari luar Kampung Bumen, hal ini

dimaksudkan agar latihan dapat lebih fokus. Hal ini senada dengan

penuturan Dandung Apriyantoro (Wakil Muda-Mudi Bumen) sebagai

berikut:

“ Kalau pelatihnya sih dari luar kampung ya… Sebetulnya

ada orang dari kampung yang bisa karawitan, tetapi yang namanya pelatih itu akan berpengaruh pada anak-anak yang dilatih, misalkan kalau yang melatih hanya orang Bumen, sama-sama sekampung, itu nanti anak-anak akan banyak bercanda kurang serius, tetapi kalau kita ambil dari orang luar, maka anak-anak yang dilatih itu pasti memiliki rasa tidak enak hati untuk bermain-main/bercanda, jadi kita ambil dari luar agar lebih serius dalam latihan.”

(Sumber: Wawancara, 25 Pebruari 2012)

Gambar 23 Latihan rutin karawitan Muda-Mudi Bumen

Pada aktivitas kesenian karawitan ini, di dalamnya memuat nilai-

nilai luhur yang ditransformasikan/dimaknai oleh para pelaku seni yang

terlibat di dalamnya. Transformasi nilai ini merupakan suatu proses

interaksi dalam menginformasikan nilai-nilai yang baik dan kurang baik

yang terkandung dalam aktivitas kesenian karawitan. Pada tahapan ini,

Page 98: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

82

kesenian karawitan dikenalkan pada generasi muda dengan tujuan

membangkitkan minat seni yang mereka miliki. Hal ini dilakukan oleh

generasi tua dengan bentuk memfasilitasi dan mendukung proses

pelestarian kesenian tradisional yang ada di Kampung Bumen.

Proses pengenalan nilai diawali dengan sosialisasi (pengenalan)

bentuk dan aktivitas dari kesenian karawitan itu sendiri. Pengenalan

dilakukan dengan cara mengajak generasi muda mau merawat alat musik

gamelan. Dengan merawat alat musik tersebut tentunya generasi muda

akan semakin cinta dan memiliki rasa ingin tahu lebih dalam mengenai

alat musik tersebut, sehingga memudahkan generasi muda untuk

dilibatkan secara langsung dalam kesenian karawitan. Maka, sosialisasi

nilai akan dimulai pada saat generasi muda mulai terlibat langsung dalam

aktivitas kesenian karawitan. Regenerasi (pelibatan langsung) generasi

muda dalam kesenian karawitan ini, selain untuk menjaga eksistensi

kesenian karawitan sendiri juga digunakan sebagai media pengenalan

nilai-nilai yang terkandung dalam aktivitas karawitan agar dapat

dirasakan dan dimaknai oleh generasi muda Kampung Bumen. Ketika

seseorang/individu sudah mulai menggemari dan mencintai kesenian

karawitan tersebut, pasti mereka mulai dapat merasakan kehadiran nilai-

nilai yang terkandung dalam kesenian tradisional tersebut. Pada saat

inilah generasi tua Kampung Bumen sebagai pelatih kesenian sedikit

demi sedikit memberikan pemahaman tentang makna dan arti dari nilai-

nilai yang terkandung dalam kesenian tersebut pada saat latihan.

Dengan kata lain pada tahapan ini, nilai-nilai yang nampak di

permukaan dari aktivitas kesenian karawitan baik dalam proses latihan

ataupun keberadaan makna simbolik yang melekat pada kesenian

karawitan, mulai perlahan dikenal dan dimengerti oleh generasi muda

dan masyarakat pada umunya baik dalam latihan ataupun pementasan.

Hal ini berdasar penuturan Dedy Fathurrahman (tokoh seni dari golongan

muda Kampung Bumen) sebagai berikut:

Page 99: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

83

“ Awalnya kita (generasi muda) dibiasakan dengan kesenian tradisional itu dengan cara merawat alatnya, kemudian kita menggemari dan ingin memainkan, setelah menjalani bimbingan dan latihan oleh generasi tua, kita mulai merasakan ada nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kesenian tradisional seperti contohnya dalam kesenian srandul dan karawitan, nilai-nilai kerja keras dan pantang menyerah kita rasakan benar-benar dalam latihan.”

(Sumber: Wawancara, 10 Maret 2012)

Tahapan ini memungkinkan nilai-nilai yang nampak pada

permukaan aktivitas kesenian karawitan yang disisipkan oleh generasi

tua mulai dirasakan kehadirannya oleh generasi muda pada saat latihan,

serta memungkinkan pula nilai-nilai yang terkandung dalam aktivitas

kesenian karawitan itu dirasakan oleh masyarakat pada saat pementasan

berlangsung. Nilai-nilai mengenai semangat kerja keras dan pantang

menyerah secara langsung ataupun tidak langsung mulai dikenalkan oleh

generasi tua dalam latihan kesenian karawitan.

Dapat disimpulkan bahwa dalam tahapan ini, nilai-nilai yang

terkandung dalam aktivitas kesenian karawitan di Kampung Bumen

mulai ditransformasikan pada masyarakat aktivitas seni, transformasi

dalam tahapan ini hanya bersifat sebagai pengenalan (sosialisasi)

terhadap nilai-nilai yang nampak pada permukaan aktivitas kesenian

karawitan tersebut.

2. Nilai-Nilai Luhur yang Terkandung dalam Aktivitas Kesenian Karawitan

Keberadaan kesenian karawitan di Kampung Bumen memang

menjadi hal penting dalam mendukung kesenian yang lain di Kampung

Bumen. Kesenian ini dapat dipergunakan dalam mengiringi kesenian

yang lain seperti srandul, sholawatan, dan macapatan. Beberapa nilai-

nilai luhur yang terkandung dalam simbol-simbol interaksi pada kesenian

karawitan ini meliputi:

Page 100: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

84

a. Nilai-nilai luhur mengenai hakekat hidup

Nilai-nilai luhur mengenai hakekat hidup pada intinya adalah

nilai-nilai yang mengajarkan manusia mengenai hakekat kehidupan,

termasuk di dalamnya yaitu nilai-nilai yang mengajarkan bagaimana

manusia hidup itu harus bermanfaat bagi lingkungan sekitarnya.

Karawitan menjadi kesenian yang dapat bermanfaat bagi kesenian

lain di Kampung Bumen, maka dengan mempelajari kesenian

karawitan ini, mengandung makna bahwa manusia juga harus dapat

berguna dan bermanfaat bagi lingkungan sekitar, seperti filosofi

yang melekat pada kesenian karawitan ini. Hal ini senada dengan

penuturan Hapsoro Noor Adianto (Ketua Muda-Mudi Bumen)

sebagai berikut:

“ Karawitan itu sebagai hal penting bagi kesenian tradisional yang lain, karena karawitan dapat digunakan untuk mengiringi kesenian tradisional yang lain. Jadi untuk sekarang kita mengadakan latihan rutin untuk karawitan sekaligus mendapat pelajaran bahwa mempelajari sesuatu itu dari dasarnya dulu agar dapat bermanfaat untuk yang lainnya.”

(Sumber: Wawancara, 26 Pebruari 2012)

b. Nilai-nilai luhur mengenai hakekat karya dan etos kerja

Nilai-nilai luhur mengenai hakekat karya dan etos kerja pada

intinya adalah nilai-nilai yang mengajarkan manusia bagaimana

dapat memaknai hakekat pekerjaan yang dilakukan dengan etos kerja

yang tentunya dapat menghasilkan suatu karya dari pekerjaan yang

dilakukan tersebut. Nilai-nilai mengenai hakekat karya dan etos kerja

ini meliputi nilai-nilai semangat kerja keras, pantang menyerah,

kesabaran, keuletan, dan juga nilai-nilai tentang perjuangan untuk

memperoleh suatu hal (cita-cita).

Karawitan menjadi kesenian yang relatif sukar untuk

dikuasai karena membutuhkan latihan tak terbatas waktunya.

Kesenian ini merupakan kombinasi dari beberapa alat musik

Page 101: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

85

gamelan yang dimainkan dipadu oleh aturan-aturan tertentu demi

menghasilkan keselarasan nada yang indah, sehingga kesenian

karawitan ini tidak akan pernah ada akhir dari latihannya karena

harus selalu dilatih terus-menerus jika ingin semakin baik permainan

alat musiknya. Seperti penuturan dari Bapak Basis Hargito (tokoh

seni dari golongan tua Kampung Bumen) sebagai berikut:

“ Kesenian seperti karawitan itu tidak akan pernah ada batasan akhir latihannya, karena orang harus terus belajar agar semakin pintar dalam memainkannya.”

(Sumber: Wawancara, 01 Maret 2012)

Uraian di atas menunjukkan karawitan sebagai aktivitas

kesenian, mengandung nilai perjuangan yang mengajarkan bahwa

demi meraih suatu tujuan dibutuhkan usaha yang penuh semangat

disertai keuletan, kesabaran, dan keginggihan. Dengan didasari sikap

keuletan, kesabaran, dan keginggihan dalam berlatih, maka akan

menjadikan seseorang pandai dalam berbagai hal. Seperti penuturan

Febriana Noor Haryanti (tokoh akademis golongan muda Kampung

Bumen) sebagai berikut:

“ Dalam berlatih karawitan itu kan pada awalnya memang sulit, namun dengan kesabaran dan kerja keras yang sungguh-sungguh pasti dapat menguasai dan memainkannya. Jadi kesenian karawitan itu di dalamnya banyak mengajarkan pendidikan mengenai nilai-nilai semangat kerja keras dan pantang menyerah dalam melakukan ataupun mengerjakan sesuatu.”

(Sumber: Wawancara, 19 Pebruari 2012)

c. Nilai-nilai luhur mengenai persepsi manusia tentang waktu

Kesenian karawitan merupakan kombinasi antara alat musik

gamelan yang dimainkan dengan irama tertentu demi harmonisasi

melodi yang indah dari setiap kombinasinya. Dalam kesenian

karawitan ini, alat-alat musik dimainkan sesuai notasi dari arahan

pengajar, maka dengan adanya notasi-notasi ini sekaligus

Page 102: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

86

mengandung makna simbolik bahwa dalam melakukan sesuatu itu

harus menghargai waktu, karena ada saatnya/gilirannya/waktunya

dalam mengambil sikap. Begitu pula dalam karawitan, ada saatnya

pula pemain harus menyesuaikan kapan waktu harus mengetuk alat

sesuai notasi yang ada.

Latihan karawitan juga dapat memberikan pendidikan pada

generasi muda tentang arti kedisiplinan dalam kerjasama anggota.

Karawitan dimainkan oleh beberapa orang, sehingga satu sama lain

harus saling menghargai waktu kapan mendapat giliran mengetuk

atau menunggu agar tercipta harmoni yang indah dari kesenian

karawitan ini. Hal ini senada dengan penuturan Descy Etik Sanjaya

(tokoh agama dari golongan muda Kampung Bumen) sebagai

berikut:

“.....Latihan karawitan itu mengandung nilai-nilai kedisiplinan dalam melakukan pekerjaan, karena dalam karawitan itu kan tidak semuanya mengetuk bersamaan, namun ada gilirannya (waktunya) masing-masing agar dapat menciptakan harmoni nada yang indah.”

(Sumber: Wawancara, 27 Pebruari 2012)

d. Nilai-nilai luhur mengenai hubungan manusia dan sesamanya

Kesenian karawitan ini juga mengandung nilai-nilai luhur

mengenai hubungan manusia dan sesamanya dalam aktivitasnya

sebagai kesenian tradisional. Nilai-nilai luhur mengenai hubungan

manusia dan sesamanya meliputi nilai-nilai kepatuhan pada

pemimpin, nilai-nilai gotong royong, dan juga nilai kepekaan

terhadap orang disekitarnya. Dalam kesenian karawitan yang

dimainkan oleh lebih dari satu pelaku seni ini, dibutuhkan gotong

royong dan kepekaan dari setiap pemainnya agar dapat

menempatkan posisi dengan baik saat membaca notasi. Hal ini

mengajarkan bahwa dalam melakukan sesuatu itu harus

memperdulikan dan peka terhadap orang disekitar.

Page 103: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

87

Kesenian karawitan dimainkan dengan menggunakan

berbagai alat musik gamelan. Dalam kesenian karawitan, kendang

memiliki peran penting dalam jalannya harmoni musik, hal ini

dikarenakan kendang adalah alat musik yang dapat mengatur tempo

dalam karawitan, sehingga seakan-akan kendang adalah pemimpin

dari barisan alat musik gamelan dalam karawitan. Makna simbolik

dari itu semua adalah bahwa pemain lain yang tidak memainkan

kendang harus dapat mengikuti dan peka dengan permainan kendang

agar tempo dapat menjadi selaras. Hal ini memberikan pembelajaran

tentang nilai-nilai kepatuhan pada pemimpin demi sebuah hasil yang

diinginkan bersama, tentunya dengan kepekaan dari semua orang

yang terlibat di dalamnya. Hal ini berdasar penuturan dari Descy

Etik Sanjaya (tokoh agama dari golongan muda Kampung Bumen)

sebagai berikut:

“ Kalau dalam kesenian karawitan itu kan yang jadi pemimpin dalam alat musik itu adalah kendang, karena kendang yang mengatur tempo dalam karawitan, apakah mau tempo cepat atau lambat itu semua tinggal menyesuaikan kendang, tentunya harus peka agar dapat merasa kendang ingin bermain cepat atau lambat. Dengan adanya itu maka terdapat makna simbolik bahwa seseorang harus memiliki kepekaan dalam bersikap patuh pada pimpinan demi tujuan bersama.”

(Sumber: Wawancara, 27 Pebruari 2012)

Gambar 24 Kedudukan kendang sebagai pemimpin dalam kesenian karawitan

Page 104: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

88

Matrik 2

Interaksi Simbolik antar Pelaku Seni dalam Memaknai Nilai-Nilai Luhur

pada Kesenian Karawitan

Makna-Makna Simbolik

dalam Kesenian Karawitan

Pemaknaan Nilai-Nilai Luhur

dalam Kesenian Karawitan

1. Keberadaan alat musik gamelan yang

bermultifungsi. Gamelan dapat

digunakan untuk mengiringi kesenian

tradisional lain seperti: srandul,

sholawatan, dan macapatan.

2. Aktivitas simbolik latihan karawitan.

3. Cara memainkan alat musik gamelan

dengan notasi tertentu agar tercipta irama

yang indah. Cara memainkan gamelan

ini diatur oleh aturan tertentu dan harus

disiplin dalam memainkannya.

4. Keberadaan alat musik kendang dalam

karawitan. Kedudukan kendang dalam

karawitan adalah sebagai pemimpin.

1. Gamelan dapat digunakan untuk mengiringi

kesenian tradisional lain seperti: srandul,

sholawatan, dan macapatan, sehingga mengandung

pelajaran bahwa hidup ini juga harus dapat

bermanfaat bagi sekitar. Pelajaran semacam ini

dimaknai sebagai nilai-nilai luhur mengenai

hakekat hidup, dimana hakekat hidup dimaknai

dengan hidup harus bermanfaat bagi sekitar.

2. Aktivitas latihan dalam karawitan mendidik untuk

bersikap sabar, ulet, bersemangat, kerja keras,

pantang menyerah, dan tekun, sikap-sikap ini

dimaknai sebagai nilai-nilai luhur mengenai

hakekat karya dan etos kerja.

3. Keberadaan makna simbolik cara memainkan alat

musik gamelan serta aktivitas latihan kesenian

karawitan yang diatur oleh aturan tertentu

menuntut sikap kedisiplinan di dalamnya, sikap ini

dimaknai sebagai nilai luhur mengenai persepsi

manusia terhadap waktu.

4. Nilai-nilai luhur mengenai hubungan manusia

dengan sesamanya dimaknai dengan gotong royong

antar sesama (pelaku seni), kepatuhan pada

pemimpin, dan juga kepekaan terhadap sesama

manusia. Nilai gotong royong terkandung dalam

kesenian karawitan berupa makna simbolik dari

Page 105: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

89

aktivitas latihan karawitan sendiri yang banyak

memuat nilai tersebut. Sedangkan nilai-nilai

kepatuhan pada pemimpin dan kepekaan dengan

sesama terkandung dalam kesenian karawitan

melalui keberadaan makna simbolik berupa alat

musik kendang. Kedudukan kendang dalam

karawitan adalah sebagai pemimpin, maka dalam

karawitan sendiri banyak memuat nilai kepatuhan

pada pemimpin (kendang) dan juga kepekaan

dengan sesama, agar dalam memainkan gamelan

dalam seni karawitan dapat berjalan baik dan

harmonis satu sama lainnya.

(Sumber: Disarikan dari wawancara dan observasi, Pebruari-Maret 2012)

Page 106: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

90

C. Interaksi Simbolik antar Pelaku Seni dalam Memaknai Nilai-Nilai

Luhur pada Kesenian Sholawatan

Sholawatan merupakan seni pertunjukan bernafaskan Islam, yang

dilakukan oleh sekelompok orang dengan diiringi beberapara alat musik

seperti rebana dan terbang besar untuk menambah kesan keindahan dan

religiusnya. Sholawatan yang ada di Kampung Bumen sudah ada dan

berkembang dari zaman dahulu hingga sekarang. Bahkan teks syairnya

sampai sekarang sulit untuk ditelusuri siapa pengarang dan penulisnya.

Sholawatan pada intinya adalah aktivitas bernafaskan agama Islam

dalam rangka ber-Sholawat pada Rasulullah Muhammad SAW. Namun,

karena dikemas dengan irama dan intonasi tertentu dan juga diiringi alat

musik seperti rebana dan terbang, maka banyak orang menyebutnya

Sholawatan. Menurut sejarahnya, sholawatan yang ada di Kampung Bumen

sudah ada sejak zaman dahulu bahkan menurut salah seorang tokoh seni

Kampung Bumen yaitu Bapak Basis Hargito, kesenian Sholawatan mungkin

lebih tua usianya dibanding kesenian srandul yang ada di kampung Bumen.

Hal ini sesuai dengan yang diutarakan Bapak Basis Hargito (seorang tokoh

kesenian dari Kampung Bumen) sebagai berikut:

“ Wah itu (sholawatan), ya sudah semenjak dulu mungkin, ya

tidak jauh dari kesenian Srandul itu tadi, tapi mungkin lebih tua sholawatan. Kalau sholawatan itu sudah ada dari nenek moyang kita yang ada di sini, kalo sholawatan itu intinya mengagungkan Nabi Muhammad SAW.”

(Sumber: Wawancara, 01 Maret 2012)

Seni sholawatan di Kampung Bumen diprakarsai oleh Bapak Mulyadi

(seorang warga di RT 24) dan Bapak Sadono (seorang warga di RT 25).

Keduanya hingga sekarang masih aktif dalam kesenian sholawatan yang ada

di Kampung Bumen. Beliau-beliau menjadi tokoh seni di bidang sholawatan

di Kampung Bumen dikarenakan sebagian besar syair dari jenis kesenian ini

sudah banyak yang mereka hafal dan berusaha mereka terapkan dalam

Page 107: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

91

kehidupan sehari-ini. Meskipun untuk saat ini latihan rutin masih dilakukan

sekali dalam dua minggu, kelompok sholawatan ini selalu siap jika kapan

saja ada pementasan (dibutuhkan). Hal ini berdasar penuturan Bapak Mulyadi

(seorang tokoh agama yang aktif dalam kesenian sholawatan) sebagai

berikut:

“ Ya sebagian besar hafal... setiap saat dibutuhkan

(sholawatan) itu siap, karena sudah mendarah daging dan sebagian besar sudah hafal.”

(Sumber: Wawancara, 28 Pebruari 2012)

Kelompok sholawatan yang ada di Kampung Bumen sudah terkenal

eksistensinya di kawasan Yogyakarta. Kelompok sholawatan yang ada di

Kampung Bumen ini menamakan dirinya Purba Makuta (Purba= suatu bentuk

usaha/Purbayan, Ma= menuju, Ku= Laku,Ta= Utama), yang berarti bahwa

kelompok Sholawatan ini mencita-citakan masyarakat Kampung Bumen ini

dapat menuju jalan yang utama (baik). Seni sholawatan di Kampung Bumen

sekarang ini sudah dibagi menjadi dua yaitu Sholawatan bapak-bapak

(kakung) yang beranggotakan ± 25 orang dan Sholawatan ibu-ibu (Istri) yang

beranggotakan ± 20 orang. Seperti yang diutarakan oleh Bapak Mulyadi

(seorang tokoh agama di Kampung Bumen yang aktif dalam kesenian

Sholawatan) sebagai berikut:

“ Sholawatan ada dua rombongan yaitu sholawatan kakung

dan sholawatan putri.... Purba Makuta artinya Purbo itu kan suatu bentuk usaha, kebetulan disini kan termasuk Kelurahan Purbayan, jadi kita masukkan disitu yang artinya masyarakat Purbayan ini, makuto itu ma=menuju, ku=laku, to= utomo. Jadi artinya masyarakat Bumen ini bagaimana bisa menuju laku utama.”

(Sumber: Wawancara, 28 Pebruari 2012)

Page 108: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

92

Gambar 25 Seni sholawatan kakung dan putri Kampung Bumen

Seni sholawatan Kampung Bumen juga sering diminta oleh Instansi

Pemerintah Kota Yogyakarta untuk mengisi dalam acara tahunan Pemerintah

Kota Yogyakarta dalam upacara Pasang Pathok sebagai simbolis pembukaan

pasar malam dalam tradisi sekaten di Alun-alun utara Keraton Yogyakarta.

Sholawatan yang ada di Kampung Bumen ini selalu diiringi alat musik

rebana dan terbang dalam setiap pementasannya. Meskipun hingga saat ini

hanya terdapat beberapa generasi muda yang ikut serta dalam kesenian ini,

kelompok sholawatan ini masih tetap eksis dan mengharapkan generasi muda

segera sadar dan aktif dalam kesenian Sholawatan ini. Hal ini sesuai dengan

penuturan Bapak Mulyadi (seorang tokoh agama di Kampung Bumen yang

aktif dalam kesenian Sholawatan) sebagai berikut:

“ ...itu karena belum ada rasa ingin tahu, meskipun dari

golongan tua-tua ini sudah seringkali bahkan tidak ada bosannya untuk mengajak bagaimana mereka ikut serta apabila ada pementasan Sholawatan... Lebih tepatnya belum peka saja, Karena dulu, muda-mudi yang sekarang seusia Mas Adi itu dulu saat kecil waktu di TPA ada semacam Sholawatan khusus untuk anak-anak. Sehingga dari dulu mereka bisa, dulu tim dakwahnya mengajari anak-anak TPA untuk memegang instrumen untuk bersholawat, dan itu sangat bagus, perlu dipelihara, dikembangkan dan dipertahankan dengan istilahnya diragati (dibiayai).”

(Sumber: Wawancara, 28 Pebruari 2012)

Page 109: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

93

1. Bentuk dan Interaksi Simbolik dalam Kesenian Sholawatan

Interaksi antar pelaku seni dalam kesenian ini banyak

menggunakan simbol-simbol huruf (tulisan) dalam syair-syair naskah

Sholawatan sendiri. Syair-syair dalam sholawatan Purba Makuta di

Kampung Bumen banyak mengandung nilai-nilai agama (Islam) di

dalamnya, syair-syairnya mengandung perintah menjalankan rukun Islam

dan memuji Nabi Muhammad SAW, salah satu syair dalam sholawatan

yang selalu menjadi syair pembuka dalam setiap pementasannya sebagai

berikut:

Wajib atas wong mukalab Kawruhono ing critane Gusti kito kang minulyo Panutane wong sak bumi Rukune Islam lelimo Dhihin syahadat pindho sholat Telu zakat papat poso Limo kaji yen kuwoso Wiwit nalikane miyos Saking guwo garbo dugi Ing sedane gusti kito Karingas ngantos puniko Rukune Islam lelimo Dhihin syahadat pindho sholat Telu zakat papat poso Limo kaji yen kuwoso Njeng Nabi Muhammad iku Sayid Abdullah keng romo Siti Aminah kang Ibu Endahnyo lir pendah sasi Rukune Islam lelimo Dhihin syahadat pindho sholat Telu zakat papat poso Limo kaji yen kuwoso

‘Wajib bagi orang yang baru masuk Islam’ ‘Tunjukkanlah tentang Rosul kita yang mulia’ ‘Pemimpin manusia sedunia’ ‘Rukun Islam ada lima’ ‘Yang pertama Syahadat, yang kedua Sholat’ ‘Ketiga Zakat, keempat puasa’ ‘Kelima berhaji jika mampu’ ‘Sejak ketika mengetahui’ ‘Dari kegelapan datang pencerahan’ ‘Saat meninggalnya Nabi kita’ ‘Teringat hingga sekarang’ ‘Rukun Islam ada lima’ ‘Yang pertama Syahadat, yang kedua Sholat’ ‘Ketiga Zakat, keempat puasa’ ‘Kelima berhaji jika mampu’ ‘Nabi Muhammad itu’ ‘Abdullah ayahnya’ ‘Siti Aminah ibunya’ ‘Indahnya di setiap bulan’ ‘Rukun Islam ada lima’ ‘Yang pertama Syahadat, yang kedua Sholat’ ‘Ketiga Zakat, keempat puasa’ ‘Kelima berhaji jika mampu’

Page 110: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

94

Syair tersebut menjadi pembuka dalam setiap pementasan

sholawatan Purba Makuta, syair tersebut sebagai tanda pementasan

sudah dimulai dan berisi peringatan tentang kebesaran Nabi Muhammad

SAW, serta perintah menjalankan rukun Islam. Latihan rutin juga

dilakukan oleh kelompok seni sholawatan Purba Makuta, kelompok

sholawatan ini menggelar latihan rutin setiap dua minggu sekali tepatnya

setiap malam Jumat Kliwon (Kamis malam) pukul 21.00 WIB, latihan

sholawatan ini bertempat di rumah para anggota kelompok sholawatan

dengan sistem bergilir sehingga lokasi latihan selalu berpindah-pindah

dari satu rumah ke rumah anggota yang lainnya. Hal ini berdasar

penuturan dari Bapak Basis hargito (tokoh seni dari golongan tua

Kampung Bumen) sebagai berikut:

“ Kalau sholawatan itu setiap dua minggu sekali.”

(Sumber: Wawancara, 01 Maret 2012)

Hal senada juga diungkapkan oleh Bapak Mulyadi (tokoh agama

dari golongan tua Kampung Bumen yang aktif dalam kesenian

sholawatan) sebagai berikut:

“ Sholawatan itu setiap malam Jumat kliwon, tetapi karena

ini musim hujan sehingga agak vakum latihannya. Tetapi meskipun vakum, jika setiap saat dibutuhkan itu siap, karena sudah mendarah daging dan sebagian besar sudah hafal.”

(Sumber: Wawancara, 28 Pebruari 2012)

Jadi untuk musim penghujan, latihan tidak berjalan rutin karena

terhalang masalah cuaca, namun menurut Bapak Mulyadi semua itu tidak

menjadi masalah jika sholawatan diundang untuk pementasan ataupun

tampil dalam berbagai kegiatan, hal tersebut karena sebagian besar

anggota dalam kelompok sholawatan Purba Makuta banyak diantara

mereka yang sudah hafal syairnya dan benar-benar dimaknai secara

Page 111: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

95

mendalam, sehingga dalam penampilannya akan tetap mempertahankan

kualitas sebagai kesenian yang siap dipertunjukkan kapan saja.

Nilai-nilai agama tersebut mulai diinternalisasikan pada generasi

muda dengan cara melibatkan langsung para generasi muda dalam latihan

ataupun pementasan dari seni sholawatan tersebut. Cara lain juga dapat

ditempuh dalam internalisasi nilai-nilai yang terkandung dalam seni

sholawatan ini adalah dengan membiasakan aktivitas sholawatan ini

selalu berada di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat Kampung

Bumen. Dengan adanya pembiasaan semacam ini, maka generasi muda

dan masyarakat Kampung Bumen lainnya akan sering mendengar syair-

syair dalam seni sholawatan ini, sehingga nilai-nilai yang terkandung di

dalamnya akan segera dirasakan dan dimaknai oleh para generasi muda

dan masyarakat sekitar.

Interaksi antar pelaku seni dalam kesenian sholawatan ini diawali

sejak dari tahap sosialisasi bentuk dan aktivitas kesenian, kesenian

sholawatan dikenalkan pada generasi muda dengan tujuan

membangkitkan minat seni yang mereka miliki. Hal ini dilakukan oleh

generasi tua dengan bentuk memfasilitasi dan mendukung proses

pelestarian kesenian tradisional yang ada di Kampung Bumen.

Proses pengenalan nilai dilakukan dengan melibatkan generasi

muda dalam aktivitas kesenian sholawatan. Regenerasi dalam kesenian

sholawatan ini, selain untuk menjaga eksistensi kesenian sholawatan

sendiri juga digunakan sebagai media pengenalan nilai-nilai yang

terkandung dalam aktivitas sholawatan agar dapat dirasakan dan

dimaknai oleh generasi muda Kampung Bumen. Regenerasi diawali

dengan proses sosialisasi kesenian sholawatan pada generasi muda,

dengan intensitas mendengarkan dalam acara-acara peringatan

keagamaan dan acara-acara kemasyarakatan, mampu menumbuhkan rasa

ingin tahu serta rasa kesadaran daripada nilai-nilai yang terkandung

dalam syair-syair sholawatan. Ketika seseorang/individu sudah mulai

menggemari dan mencintai kesenian sholawatan tersebut, barulah

Page 112: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

96

kemudian mereka diikutsertakan dalam kesenian sholawatan agar

mampu lebih mengenal dan memahami nilai-nilai yang ada pada

kesenian tersebut, hal ini pasti menjadikan mereka mulai dapat

merasakan kehadiran nilai-nilai yang terkandung dalam kesenian

sholawatan tersebut. Pada saat inilah generasi tua Kampung Bumen

sebagai pelatih kesenian sedikit demi sedikit memberikan pemahaman

tentang makna dan arti dari nilai-nilai yang terkandung dalam kesenian

sholawatan tersebut pada saat latihan. Setelah mendapat pemahaman

terkait nilai-nilai yang dirasakan dalam aktivitas kesenian sholawatan

tersebut, barulah kemudian ada pembinaan dari generasi tua yang

tentunya dapat mengarahkan orientasi nilai yang terkandung dalam

kesenian sholawatan dengan baik agar tidak disalah artikan oleh para

generasi muda.

Dengan kata lain pada tahapan ini, nilai-nilai yang nampak di

permukaan dari aktivitas kesenian sholawatan, mulai perlahan dikenal

dan dimengerti oleh generasi muda dan masyarakat pada umunya baik

dalam latihan ataupun pementasan. Tahapan ini memungkinkan nilai-

nilai yang nampak pada permukaan aktivitas kesenian sholawatan yang

disisipkan oleh generasi tua mulai dirasakan kehadirannya oleh generasi

muda melalui proses latihan, serta memungkinkan pula nilai-nilai yang

terkandung dalam aktivitas kesenian sholawatan itu dirasakan oleh

masyarakat pada saat pementasan berlangsung. Nilai-nilai mengenai

hakekat hidup (agama) secara langsung ataupun tidak langsung mulai

dikenalkan oleh generasi tua dalam latihan ataupun pementasan kesenian

sholawatan melalui komunikasi verbal, karena seni sholawatan ini adalah

kesenian yang menekankan pada unsur vokal dalam aktivitas seninya.

Dalam tahapan ini, nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kesenian

sholawatan ditransformasikan melalui aktivitas proses latihan

sholawatan itu sendiri, serta juga melalui makna simbolik dan syair-syair

yang ada dalam kesenian tersebut.

Page 113: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

97

Dapat disimpulkan bahwa dalam tahapan ini, nilai-nilai yang

terkandung dalam aktivitas kesenian sholawatan di Kampung Bumen

mulai dimaknai sebagai nilai luhur melalui makna simbolik yang

digunakan untuk berkomunikasi (interaksi antar pelaku seni).

2. Nilai-Nilai Luhur yang Terkandung dalam Aktivitas Kesenian

Sholawatan

Kesenian sholawatan ini tentunya banyak mengandung nilai-nilai

luhur sebagai pendidikan bagi seluruh warga, nilai-nilai tersebut termuat

dalam syair-syairnya. Pada umumnya syair-syairnya mengandung nilai-

nilai hakekat hidup dan ajaran-ajaran baik yang pantas dijadikan contoh.

Seperti penuturan Bapak Mulyadi (tokoh agama dari golongan tua

kampung Bumen) sebagai berikut:

“ Kesenian sholawatan, selain sebagai hiburan tontonan,

juga memuat nilai-nilai luhur kehidupan, sehingga dapat dijadikan tuntunan dalam hidup. Di dalamnya memuat nilai-nilai dan ajaran-ajaran yang baik.”

(Sumber: Wawancara, 28 Pebruari 2012)

Salah satu contoh potongan syair dalam kesenian sholawatan ini

yang mengandung nilai-nilai luhur mengenai hakekat hidup adalah

sebagai berikut:

“Rukune Islam lelimo Dhihin syahadat pindho sholat Telu zakat papat poso Limo kaji yen kuwoso”

‘Rukun Islam ada lima’ ‘Yang pertama Syahadat, yang kedua Sholat’ ‘Ketiga Zakat, keempat puasa’ ‘Kelima berhaji jika mampu’

Syair di atas bagi orang Islam dikenal sebagai Rukun Islam.

Rukun Islam adalah perintah yang ditujukan kepada orang muslim untuk

memaknai hakekat hidup bahwasannya hidup di dunia ini wajib

dipergunakan untuk menjalankan perintah agama. Ada juga beberapa

potongan syair yang dapat dimaknai oleh orang non muslim terkait

hakekat hidup di dunia, potongan syair tersebut sebagai berikut:

Page 114: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

98

Kito kabeh kuwajiban Makrifat marang pangeran Bakal kang kanggo gegaman Kanthi dalil kitab Qur’an.

‘ Kita semua berkewajiban’ ‘ Menyembah pada Tuhan’ ‘ Sesuatu yang dapat dijadikan

senjata’ ‘ Dan sebagai dasar adalah kitab

Al qur’an’

Potongan syair tersebut dapat dimaknai oleh seluruh manusia

bahwa semua wajib menyembah Tuhan sebagai hakekat hidup di dunia.

Potongan syair-syair lain juga ada yang mengandung nilai-nilai luhur

mengenai mengenai persepsi manusia tentang waktu, dimana manusia

hidup harus selalu menghargai waktu dan memanfaatkannya dalam hal

yang bermanfaat karena hidup hanya singkat dan sesaat. Potongan syair

yang memuat nilai- nilai hakekat mengenai persepsi tentang waktu

sebagai berikut:

Urip iku wong nèng ndonya Sajatiné ora lami Sèket tahun baéléno Kèhakèhé satus warsi Mulane eling to eling Sirèku ojo ketungkul Kayungyun mrung kadonyan Lali mring kang gawe urip

‘Hidup itu, wahai manusia di dunia’ ‘Sebenarnya tidak lama’ ‘Lima puluh tahun sudah peringatan’ ‘Paling banyak umur seratus tahun’ ‘Hendaklah segera mengingat’ ‘Sebelum datang penyesalan’ ‘Dibutakan kehidupan dunia’ ‘Melupakan Sang Pencipta kehidupan’

Ada pula potongan syair yang menyerukan kepada para generasi

muda untuk selalu membaca kitab suci, karena mengandung banyak

pelajaran baik dan buruk agar para generasi muda dapat selalu berbuat

baik di lingkungan tempat tinggal dan dimana saja mereka berada.

Potongan syair ini mengandung nilai-nilai pembelajaran mengenai

hakekat nilai-nilai luhur hubungan antara manusia dengan sesama.

Potongan syair tersebut sebagai berikut:

Page 115: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

99

Kawruhono dhuh poro mudho Ing dalem Qur’an isinyo Ono prentah ono cegah Pra janji sarto pangancam Ono dogeng lan pitutur Sartané ngilmu sarengat Tarekat miwah hakekat Lan uga ana dongane

‘Ketahuilah para pemuda’ ‘Di dalam Al qur’an terdapat’ ‘Ada perintah dan larangan’ ‘Ada janji dan ancaman’ ‘Ada cerita dan nasihat’ ‘Serta ilmu dan aturan’ ‘contoh dalam memahami makna’ ‘Dan terdapat juga doa nya’

Masih banyak nilai-nilai yang terkandung dalam kesenian

sholawatan ini, pada intinya semua bernafaskan Islam dan banyak

mengajarkan tentang kebaikan serta perintah menjalankan agama. Dari

aspek busana, kesenian sholawatan mengenakan busana Jawa (sorjan

dan kebaya) dalam setiap pementasannya. Busana sorjan dan kebaya

memiliki makna simbolik bahwa kesenian yang benafaskan Islam,

mampu diakulturasi tampilannya menyesuaikan tradisi lokal sehingga

busana yang dikenakan tidak lagi atribut Islam, tetapi adalah atribut

budaya Jawa. Akulturasi ini dimaksudkan agar kesenian ini dapat

diterima oleh seluruh warga Kampung Bumen dalam setiap pementasan

dan penyampaian pesan-pesannya pada penonton dapat dimaknai dengan

senang hati. Hal ini berdasar penuturan Febriana Noor Haryanti (tokoh

akademis dari golongan muda Kampung Bumen) sebagai berikut:

“ Busana dalam kesenian sholawatan sendiri bukan

busana Islam, tetapi di sini mengenakan sorjan dan kebaya. Hal ini sebagai wujud akulturasi budaya sudah dapat diterima oleh warga, sehingga pementasan dan penyampaian pesan-pesan penuh maknanya dapat diterima menyesuaikan kondisi masyarakat yang ada.”

(Sumber: Wawancara, 19 Pebruari 2012)

Berdasar penuturan di atas menunjukkan bahwa kesenian

sholawatan banyak mengandung nilai-nilai hakekat hidup dan pesan

moral bagi para manusia sebagai nilai-nilai luhur dalam kehidupan.

Pelajaran yang diambil dari makna simbolik pada busana kesenian

sholawatan dan juga alat musik yang digunakan (rebana dan gamelan)

Page 116: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

100

ini adalah bahwa akulturasi menjadi penting sebagai cara adaptif dalam

suatu kondisi masyarakat untuk menanamkan dan mengembangkan suatu

tradisi yang penuh makna. Implementasi dari makna simbolik busana

kesenian sholawatan dalam kehidupan sehari-hari adalah bahwa untuk

menyampaikan pesan/ajakan kepada orang lain tentunya perlu

menyesuaikan dengan kondisi orang lain tersebut, cara ataupun

penyampaiannya dapat dirubah menyesuaikankeinginan dari orang lain

tersebut, yang terpenting isi dan makna yang terkandung dalam

cara/penyampaiannya tersebut tetap terjaga dan dapat diterima oleh orang

lain.

Bentuk akulturasi budaya pada kesenian sholawatan dapat

sebagai pelajaran bagi sesama manusia mengenai nilai-nilai keselarasan,

keluwesan, dan kebijaksanaan dalam bersikap. Dalam menempuh suatu

tujuan maka dapat menggunakan perpaduan budaya baru dengan budaya

lokal, sehingga memunculkan budaya yang dapat diterima oleh bersama

sehingga pesan ataupun makna yang dibawa dalam cara/kemasan budaya

baru tersebut tetap dapat tersampaikan. Jadi secara tidak langsung,

aktivitas kesenian sholawatan ini di dalamnya juga mengandung nilai-

nilai harmonisasi dan keselarasan dengan lingkungan, wujud dari nilai-

nilai mengenai hakekat hubungan baik antara manusia dengan

sesamanya.

Page 117: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

101

Matrik 3

Interaksi Simbolik antar Pelaku Seni dalam Memaknai Nilai-Nilai Luhur

pada Kesenian Sholawatan

Makna-makna Simbolik

dalam Kesenian Sholawatan

Pemaknaan Nilai-Nilai Luhur

dalam Kesenian Sholawatan

1. Syair-syair dalam sholawatan.

2. Perpaduan busana dan alat

musik yang digunakan dalam

sholawatan.

3. Aktivitas simbolik dalam

latihan dan pelaksanaan

kesenian sholawatan.

1. Syair-syair dalam sholawatan banyak memuat

tentang nilai-nilai ketuhanan, agama, dan ibadah.

Nilai-nilai tersebut dimaknai sebagai nilai-nilai

luhur mengenai hakekat hidup, yang

diimplementasikan dengan adanya kepercayaan

terhadap sang pencipta.

2. Syair-syair dan aktivitas simbolik dalam

sholawatan juga banyak memuat pembelajaran

tentang nilai-nilai kerja keras, pantang menyerah,

dan berpikir positif. Nilai-nilai tersebut dimaknai

sebagai nilai-nilai luhur mengenai hakekat karya

dan etos kerja. Kategori nilai ini memandang bahwa

bekerja adalah suatu hal yang memiliki tujuan dan

makna tertentu, sehingga etos kerja akan

mempengaruhi sikap bekerja tersebut.

3. Syair-syair dan aktivitas simbolik dalam

sholawatan juga dimaknai mengandung nilai-nilai

luhur mengenai persepsi manusia terhadap waktu.

Waktu diartikan sebagai suatu hal yang sangat

berharga bagi manusia, karena waktu merupakan

kesempatan yang dimiliki oleh setiap manusia

untuk menjalani hidup dengan sebaik mungkin,

sehingga diimplementasikan dengan sikap

kedisiplinan dan kemampuan memanfaatkan waktu.

4. Perpaduan busana dan alat musik dalam sholawatan

Page 118: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

102

diartikan sebagai wujud akulturasi budaya demi

keharmonisan masyarakat. Bahkan aktivitas

simbolik dalam latihan sholawatan dan syair-syair

nya juga dipelajari sebagai pembelajaran mengenai

toleransi keberagaman, keteladanan moral, budi

pekerti, sopan santun, dan kerukunan. Sikap

tersebut dimaknai sebagai nilai-nilai luhur

mengenai hakekat hubungan manusia dengan

sesamanya.

(Sumber: Disarikan dari wawancara dan observasi, Pebruari-Maret 2012)

Page 119: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

103

D. Interaksi Simbolik antar Pelaku Seni dalam Memaknai Nilai-Nilai

Luhur pada Kesenian Macapatan

Macapat adalah tembang atau puisi tradisional Jawa. Puisi tradisional

Jawa atau tembang biasanya dibagi menjadi tiga kategori: tembang cilik,

tembang tengahan, dan tembang gedhé. Macapat digolongkan dalam kategori

tembang cilik dan juga tembang tengahan, sementara tembang gedhé meliputi

kakawin atau puisi tradisional Jawa Kuna, namun dalam penggunaannya pada

masa Mataram Baru, tidak diterapkan perbedaan antara suku kata panjang

ataupun pendek. Di sisi lain, tembang tengahan juga bisa merujuk kepada

kidung, yaitu sebuah puisi tradisional dalam bahasa Jawa Pertengahan.

Kalau dibandingkan dengan kakawin, aturan-aturan dalam macapat

berbeda dan lebih mudah diterapkan menggunakan bahasa Jawa karena

berbeda dengan kakawin yang didasarkan pada bahasa Sansekerta. Sebuah

karya sastra macapat biasanya dibagi menjadi beberapa pupuh, sementara

setiap pupuh dibagi menjadi beberapa padha. Setiap pupuh menggunakan

metrum yang sama. Metrum ini biasanya tergantung kepada watak isi teks

yang diceritakan. Jumlah padha per pupuh berbeda-beda, tergantung terhadap

jumlah teks yang digunakan. Sementara setiap padha dibagi lagi menjadi

larik atau gatra. Sementara setiap larik atau gatra ini dibagi lagi menjadi

suku kata atau wandha. Jadi, setiap gatra memiliki jumlah suku kata yang

tetap (guru wilangan) dan berakhir dengan sebuah vokal yang sama pula

(guru lagu).

Macapat diperkirakan muncul pada akhir Majapahit dan dimulainya

pengaruh Walisanga, namun hal ini hanya bisa dikatakan untuk situasi di

Jawa Tengah, sebab di Jawa Timur dan Bali macapat telah dikenal sebelum

datangnya Islam (diambil dari http://id.wikipedia.org/wiki/Macapat pada

Rabu, 07 Maret 2012). Banyak orang mengartikan macapat dengan maca

papat-papat (membaca empat-empat), maksudnya yaitu cara membaca

terjalin tiap empat suku kata. Macapatan adalah aktivitas kesenian untuk

menembangkan tembang yang disajikan secara bersama-sama secara

Page 120: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

104

berkelompok dengan mengambil dari tembang-tembang cilik (macapat).

Biasanya dalam macapatan, satu orang melagukan tembang, kemudian yang

lain mengikuti/menirukan. Dalam tradisi lokal di Kampung Bumen,

macapatan juga diartikan sebagai tradisi berkumpul untuk bersama-sama

nembang untuk memohon keselamatan dan kesejahteraan bagi warga

Kampung Bumen.

1. Bentuk dan Interaksi Simbolik dalam Kesenian Macapatan

Macapatan yang ada di Kampung Bumen berkembang menjadi

seni pertunjukan yang dilakukan oleh beberapa orang (meskipun dapat

juga dilakukan oleh perorangan) dengan diiringi beberapa alat musik

gamelan dan rebana. Seni pertunjukan ini menampilkan tembang

macapat sebagai inti utama dalam pementasannya, meskipun syair dari

tembang-tembangnya dapat dikreasi sesuai dengan kebutuhan dan tujuan

dalam pementasan.

Gambar 26 Kesenian macapatan Kampung Bumen

Tembang macapat adalah jenis metrum dalam tembang Jawa,

jenisnya meliputi: Mijil , Maskumambang, Sinom, Durma, Asmarandana,

Kinanthi, Dhandanggula, Gambuh, Pangkur, Mêgatruh, Pocung

Page 121: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

105

(Purwadi, 2005: 290-291). Hal senada juga diutarkan oleh Bapak

Mulyadi (seorang tokoh agama di Kampung Bumen yang aktif dalam

kesenian Sholawatan) sebagai berikut:

“ ..........kalau macapat itu tembang-tembangnya ada

nama-nama tersendiri, ada asmarandana, ada sinom, ada pangkur, ada dhandanggula, ada megatruh, ada kinanthi, maskumambang, mijil , durma, gambuh, Pocung.”

(Sumber: Wawancara, 28 Pebruari 2012)

Tembang macapat apabila dikaji dan diurutkan, memiliki makna

filosofis terhadap kehidupan manusia. Urutan dan makna dari tembang

macapat tersebut sebagai berikut: (1) mijil berarti masa kelahiran anak,

sifat tembangnya prihatin, karena dalam kehamilan dan menghadapi

anak, orang tua biasanya selalu prihatin, berdoa agar ibu dan anaknya

dapat selamat, (2) maskumambang menggambarkan masa anak-anak,

sifat tembangnya prihatin, yaitu dimana masa kegembiraan telah

memiliki buah hati, namun selalu khawatir apabila anaknya terkena

musibah dalam bermain, (3) sinom menggambarkan masa muda, sifat

tembangnya gembira, menunjukkan masa remaja biasanya senang bicara

dan pandai bergaul dalam rangka mencari simpati orang lain, (4) durma

menggambarkan masa remaja yang masih labil dan mudah terpengaruh

terhadap lingkungan serta keadaan, sifat dari tembang ini adalah

pemberani, karena para pemuda biasanya amat berani dan mudah emosi,

(5) asmarandana menggambarkan masa remaja yang mulai mengenal

jatuh cinta terhadap lawan jenis, sifat tembangnya adalah gembira dan

sedih karena apabila seseorang sedang jatuh cinta maka akan merasakan

perasaan gembira dan juga sedih jika pasangannya tergoda oleh orang

lain, (6) kinanthi menggambarkan masa hidup berumah tangga,

mengingat masa hidup berkeluarga merupakan waktu yang amat

menyenangkan, penuh kasih sayang, maka sifat dari tembang ini adalah

senang, dan penuh kasih sayang, (7) dhandhanggula menggambarkan

Page 122: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

106

masa tua, diharapkan pada masa ini sudah mulai dapat menyelaraska

hidup, saling membantu dalam kehidupan, sifat dari tembang ini adalah

menyenangkan, maksudnya adalah bahwa masa tua harus mulai senang

membantu dan bekerjasama dengan tetangganya serta dapat

menyesuaikan diri dengan lingkungan, (8) gambuh menggambarkan

kematangan jiwa antara cipta rasa karsa dan karya yang telah menyatu,

telah dapat menyeimbangkan antara kebutuhan jasmani dan rohani, sifat

dari tembang ini mengandung nasihat pelajaran-pelajaran hidup, (9)

pangkur menggambarkan penggembaraan masa lanjut usia yang telah

mengesampingkan urusan duniawi, sifat dari tembang ini adalah

semangat, (10) mêgatruh menggambarkan masa kematian, memisahnya

roh dengan jasad, sifat dari tembang ini adalah sedih dan kecewa,

maksudnya apabila kematian telah datang maka para sanak keluarga akan

merasa susah/sedih, (11) pocung menggambarkan sewaktu mayat mulai

dikafan, sifat dari tembang ini adalah seenaknya, maksudnya apabila

manusia telah meninggal maka akan lupa segalanya, dan tidurnya

(dimakamkannya) seenaknya bergantung kehendak para sanak saudara

yang masih hidup. Berdasarkan uraian tersebut, menunjukkan

bahwasannya tembang macapat mengandung nilai falsafah hidup yang

amat dalam, yakni menggambarkan proses kehidupan manusia sejak lahir

hingga meninggal (Sutardjo, 2006: 17-19).

Kelompok Macapatan yang ada di kampung Bumen bernama

Purba Arum. Kata Purba sendiri diambil dari kata Purbayan (kelurahan)

dan juga arum yang berarti wangi. Nama Purba Arum sendiri

dimaksudkan dapat sebagai sebuah tujuan mulia dari kegiatan macapatan

sendiri, yaitu agar macapatan yang ada di Kampung Bumen ini dapat

membawa nama harum bagi Kampung Bumen dan juga kelurahan

Purbayan. Kesenian macapatan dengan nama Purba Arum ini juga

memiliki latihan rutin di Kampung Bumen. Latihan untuk kesenian ini

agak berbeda waktunya dengan kesenian yang lain di Kampung Bumen.

Untuk kesenian macapatan ini sendiri memiliki rutinitas latihan setiap

Page 123: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

107

sekali dalam 35 (tiga puluh lima) hari, tepatnya setiap malam Minggu

Legi (Sabtu Malam) dimulai pukul 20.30 WIB. Latihan seni macapatan

ini bertempat di rumah anggota kelompok macapatan dengan sistem

bergiliran secara sukarela, namun sekarang latihan sudah mulai

dipusatkan bertempat di Pendapa RW 06 Kampung Bumen, Purbayan,

Kotagede, Yogyakarta. Hal ini berdasar penuturan Bapak Basis Hargito

(tokoh seni dari golongan tua Kampung Bumen) sebagai berikut:

“ Kalau macapat itu sampai sekarang masih hidup (rutin),

itu setiap 35 hari sekali tepatnya setiap malam Minggu legi. Tempatnya ya keliling, tetapi kami pusatkan di Pendapa yang baru direhab itu sekarang ini.”

(Sumber: Wawancara, 01 Maret 2012)

Gambar 27 Pendapa Kampung Bumen

Diharapkan dengan adanya pemusatan latihan di Pendapa RW 06

Kampung Bumen ini dapat memudahkan para pelaku seni, seperti seni

macapatan dapat lebih giat dan aktif dalam menjaga eksistensi kesenian

tradisional yang ada di Kampung Bumen. Secara umum, pemusatan

latihan ini sekaligus untuk membangkitkan minat dan mengajak para

warga yang menggemari kesenian ini untuk bergabung tanpa perlu

Page 124: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

108

memiliki rasa sungkan. Di sisi lain, latihan ini diharapkan juga sebagai

sarana pendidikan bagi generasi muda yang mendengarkan saat latihan

berlangsung.

Macapatan di Kampung Bumen sendiri banyak menggunakan

(menembangkan) serat-serat Jawa, diantaranya menggunakan Serat

Wedhatama dan juga Serat Wulangreh, namun tidak menutup

kemungkinan juga ada variasi dalam syair dan bahasanya karena sifat

macapat yang luwes dan dapat digunakan dalam berbagai situasi tertentu.

Hal ini berdasar penuturan Bapak Basis Hargito (tokoh kesenian di

Kampung Bumen) sebagai berikut:

“ Wah itu banyak sekali.. Wulangreh ada, itu peninggalan

dari Sinuhun Pakubuwono IV, Wedhatama dari Mangkunegara IV, kemudian dari babad-babad Sunan Kalijaga itu, Kertojoyo, dll. Pokoknya sebetulnya macapat itu luwes kok, opo-opo iso kok (apa-apa bisa), kalau saya kemarin mengarang tentang nostalgia Kampung Bumen mbiyen ki piye sejarahe (dulu itu bagaimana sejarahnya) dan sebagainya, itu tak gawe tembang (saya buatkan lagu).”

(Sumber: Wawancara, 01 Maret 2012)

Contoh tembang yang dikreasi oleh Bapak Basis Hargito sebagai

berikut:

Kampung Bumen dik jaman rumiyin, Pantes kanggo conto, Pegaweyan ingkang kondhang ceret, Natah perak kerajinan peni, Oncor senthir kaling, Soblog torong gayung. Pitulasan sarta sasi Mei, Dha ngarak genderuwo Kethoprakan gayeng caritane, Sholawatan karawitan Jawi,

‘Kampung Bumen di jaman dahulu’ ‘Pantas sebagai contoh’ ‘Pekerjaan yang terkenal ceret (teko)’ ‘Mengukir perak kerajinan indah’ ‘Oobor, senthir, kaling’ ‘Soblog, torong, gayuh’ ‘Tujuhbelasan serta bulan Mei’ ‘Semua mengarak Genderuwo’ ‘Pementasan Kethoprak menarik ceritanya’ ‘Sholawatan adalah karawitan Jawa’

Page 125: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

109

Seni warna-warni, Kabeh padha manggung. Ning saiki jamane wis ganti, Nanging tetep elok, Guyub rukun tua lan mudhane, Gotong royong sengkut nambut kardi, tu binatu sami, Yen ana wong ewuh.

‘Seni beraneka-macam’ ‘Semua orang berpentas’ ‘Tetapi sekarang jaman sudah berganti’ ‘Tetapi tetap bagus’ ‘Guyub rukun antara generasi tua dan mudanya’ ‘Gotong royong untuk mempercepat pekerjaan’ ‘Untuk kepentingan bersama’ ‘Apabila ada tetangga menggelar Hajatan’.

(Sumber: Basis Hargito dalam Invani Lela Herliana, 2001: 1)

Sedangkan tembang dari Serat Wedhatama yang sering

ditembangkan oleh kelompok macapatan yang ada di Kampung Bumen

adalah tembang Sinom dari serat Wedhatama, tembang ini sering dikaji

dan ditembangkan dalam berbagai latihan, kegiatan, ataupun pementasan

karena tembang ini berisikan petuah untuk generasi muda. Hal ini

berdasar penuturan dari Dedy Fathurrahman (tokoh seni dari golongan

muda Kampung Bumen) sebagai berikut:

“ Kalau yang sering dalam latihan dan ada dalam

pementasan itu setahu saya tembang sinom, karena petuahnya banyak yang ditujukan untuk generasi muda.”

(Sumber: Wawancara, 10 Maret 2012)

Adapun syair dari tembang sinom dari Serat Wedhatama antara

lain sebagai berikut:

Page 126: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

110

Tembang Sinom (1) Nuladha laku utama Tumrapé wong tanah Jawi Wong agung ing Ngèksiganda Panêmbahan Sénapati Kapati amarsudi Sudané hawa lan nêpsu Pinêsu tapa brata Tanapi ing siyang ratri Amêmangun karyènak tyasing sêsama (2) Samangsané pasamuwan Mêmangun marta martani Sinambi ing sabên mangsa Kala-kalaning asêpi Lelana tèki-tèki Gayuh géyonganing kayun Kayungyun êninging tyas Sanityasa pinrihatin Puguh panggah cêgah dhahar lawan néndra (3) Sabên méndra saking wisma Lêlana lêladan sêpi Ngingsêp sêpuhing sopana Mrih pana pranawèng kapti Tis-tising tyas marsudi Mardawaning budya tulus Mêsu rèh kasudarman Nèng tepining jalanidhi Sruning brata kataman wahyu dyatmika (4) Wikan wêngkoning samodra

’Contohlah tingkah laku yang terbaik’ ’Untuk kalangan orang di tanah Jawa’ ’Orang mulia dari Mataram’ ’Panembahan Senapati’ ’Seorang yang sangat tekun’ ’Mengurangi hawa dan nafsu’ ’Dengan jalan bertapabrata’ ’Di siang dan malam hari’ ’Selalu berusaha membuat kebahagian hati sesama’

’Ketika dalam suatu pertemuan’ ’Menciptakan kebahagiaan merata’ ’Sambil di setiap saat’ ’Waktu-waktu yang sepi’ ’Berkelana sambil bertapa’ ’Demi mencapai cita-cita’ ’Terpendam di lubuk hati’ ’Selalu berprihatin’ ’Berpegang teguh mencegah makan dan tidur’

’Setiap pergi meninggalkan rumah’ ’Pergi ke tempat sepi’ ’Menyerap berbagai ilmu keutama-an’

’Agar paham dan jelas yang dituju’ ’Maksud hati mencapai’ ’Kehalusan budi yang tulus’ ’Mempelajari ilmu tua’ ’Di tepi samudera’ ’Dari ketekunannya didapat wahyu yang baik’

’Paham tepi samudera’

Page 127: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

111

Kèdêrên wus dèn ideri Kinêmat kamot ing driya Rinêgêm sagêgêm dadi Dumadya angratoni Nêngnggih Kangjêng Ratu Kidul Dêdêl gayuh gegana Umara marêk maripih Sor prabawa lan wong agung Ngèksiganda (5) Dahat dènira aminta Sinupêkêt pangkat kanthi Jroning alam panglimunan Ing pasaban sabên sêpi Sumanggêm anyanggêmi Ing karsa kang wus tinamtu Pamrihé mung aminta Supangaté tèki-tèki Nora kétang têkên janggut suku jaja (6) Prajanjiné abipraya Saturun-turun ing wuri Mangkono trahing awirya Yèn amasah mêsu budi Dumadya glis dumugi Iya ing sakarsanipun Wong Agung Ngèksiganda Nugrahané praptèng mangkin Trah-tumêrah darahé padha wibawa (7) Ambawani tanah Jawa Kang padha jumênêng aji Satriya dibya sumbaga Tan lyan trahing Sénapati Pan iku pantês ugi Tinulad labetanipun

’Seluruhnya telah dikitari’ ’Disimpan dalam hati’ ’Digenggam sekali genggam’ ’Menjadi ratu’ ’Yakni Kanjeng Ratu Selatan’ ’Terbang tinggi ke angkasa’ ’Datang dengan mengendap-endap’

’Kalah wibawa dengan Tuan Agung dari Mataram’

’Dia minta dengan sangat’ ’Agar akrab dan dijadikan pengikut’ ’Dalam alan gaib’ ’Pada waktu berkelana di alam sepi’ ’Siap menyanggupi’ ’Kehendak yang telah dimaksud’ ’Maksudnya hanya meminta’ ’Restu dari pertapa’ ’Meski harus dengan cara susah payah’ ‘Janji bertujuan baik’ ‘Untuk anak cucu di kemudian hari’ ’Demikian keturunan raja’ ’Apabila mencari ilmu kesempurnaan’ ‘Akhirnya akan segera tercapai’ ‘Apa yang diinginkan’ ’Tuan Agung dari Mataram’ ’Anugerah sampai sekarang’ ’Semua keturunannya berpangkat dan berwibawa’

’Menguasai tanah Jawa’ ’Semua yang menjadi raja’ ’Kstaria sakti dan tersohor’ ’Tak lain keturunan Senapati’ ’ Itulah pantas pula’ ’Dicontoh perjuangannya’

Page 128: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

112

Ing sakuwasanira Enaké lan jaman mangkin Sayektiné tan bisa ngêplêki kuna (8) Lowung kalamun tinimbang Ngaurip tanpa prihatin Nanging ta ing jaman mangkya Pra mudha kang dènkarêmi Anulad nêlad nabi Nayakèng Rat Gusti Rasul Anggung ginawé umbak Sabên seba mampir masjid Ngajap-ajap mujijat tibaning drajat (9) Anggung anggubêl saréngat Saringané tan dèn-wruhi Dalil dalaning ijêmak Kiyasé nora mikani Katungkul mungkul sami Béngkrakan mring masjid agung Kalamun maca kutbah Lelagoné Dhandhanggendhis Swara arum ngumandhang céngkok Palaran (10) Lamun sira paksa nulad Tuladhaning Kangjêng Nabi O nggèr kadohan panjangkah Watêkké tan bêtah kaki Rèhné ta sira Jawi Sathithik baé wus cukup Aywa guru alêman Nêlad kas ngêblêgi pêkih Lamun pêngkuh pangangkah yêkti karahmat (11) Nanging énak ngupa boga Rèhné ta tinitah langip

’Sesuai kemampuannya’ ’Enaknya di zaman sekarang’ ’Sesungguhnya tak dapat meniru jaman kuna’

’ Itu lebih baik daripada’ ’Hidup tanpa prihatin’ ’Tapi apakah di jaman kini’ ’Yang disukai anak muda’ ’Meniru-niru nabi’ ’Utusan Tuhan adalah rasul’ ’Dipakai kesombongan’ ’Setiap menghadap singgah ke masjid’ ’Mengharap mukjizat kejatuhan derajat’

’Selalu mempelajari syariat’ ’ Intinya tak diketahui’ ’Dalil jalan ijmak’ ’Tidak paham akan kias’ ’Mereka hanya terlena’ ’Berbondong-bondong ke masjid agung’

’Ketika membaca kutbah’ ’Lagunya Dhandhanggula’ ’Suara merdu mengumandangkan gaya Palaran’

’Andaikan kamu harus meniru’ ’Teladan kanjeng nabi’ ’O, anakku terlalu jauh yang kau angankan’ ’Wataknya tak tahan, anakku’ ’Karena kamu orang Jawa’ ’Sedikit saja sudah cukup’ ’Jangan suka disanjung’ ’Berhasrat meniru fikih’ ’Jika kuat cita-citamu tentu

mendapat rahmat’ ’Tapi enak mencari nafkah’ ’Karena ditakdirkan sebagai

Page 129: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

113

Apa ta suwitèng nata Tani tanapi agrami Mangkono mungguh mami Paduné wong dahat cubluk Durung wruh cara Arab Jawaku baé tan ngenting Parandéné paripêksa mulang putra (12) Saking duk maksih taruna Sadhéla wus anglakoni Abérag marang agama Maguru anggêring haji Sawadiné tyas mami Bangêt wêdiné ing bésuk Pranatan akir jaman Tan tutug kasêlak ngabdi Nora kobêr sêmbahyang gya tinimbalan (13) Marang ingkang asung pangan Yèn kasuwèn dèn-dukani Bubrah bawur ing tyasingwang Lir kiyamat sabên ari Bot Allah apa Gusti Tambuh-tambuh solahingsun Lawas-lawas grahita Rèhné ta suta priyayi Yèn muriha dadi kaum têmah nistha (14) Tuwin kêtib suragama Pan ingsun nora winaris Angur baya ngantêpana Pranatan wajibing urip Lampahan anglêluri’

makhluk lemah’ ’Apakah mengabdi raja’’ ’Bertani dan berdagang’ ’Begitu menurut hematku’ ’Karena aku orang bodoh’ ’Belum paham bahasa Arab’ ’Bahasa Jawaku saja belum memadai’ ’Tetapi memaksa diri mengajari anak’ ’Sejak ketika masih muda’ ’Walau sebentar telah mengalami’ ’Mempelajari agama’ ’Berguru menurut aturan haji’ ’Sebenarnya rahasia hatiku’ ’Sangat takut kelak kemudian’ ’Aturan di akhir jaman’ ’Belum selesai keburu mengabdikan diri’

’Tak sempat sembayang telah di- panggil’ ’Kepada yang memberi makan’ ’Apabila terlalu lama dimarahi’ ’Kacau-balau hatiku’ ’Bagaikan kiamat setiap hari’ ’Berat Tuhan ataukah Gusti’ ’Ragu-ragu tindakanku’ ’Lama-lama terpikirkan’ ‘Karena anak bangsawan’ ’Apabila hanya ingin menjadi

juru doa sangatlah hina’ ’Dan apabila menjadi ketib juru

doa masjid’ ’Aku tidak berhak’ ’Lebih baik meminati sungguh- sungguh’ ’Peraturan wajib bagi orang hidup’ ’Menjalankan dan mewarisi’

Page 130: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

114

Aluraning pra lêluhur Kuna-kumunanira Kongsi tumêkèng samangkin Kikisané tan lyan amung ngupa boga (15) Bonggan kang tan mrêlokêna Mungguh ugêring ngaurip Uripé lan tri prakara Wirya arta tri winasis Kalamun kongsi sêpi Saka wilangan têtêlu Têlas tilasing janma Aji godhong jati aking Têmah papa papariman ngulandara (16) Kang wus waspada ing patrap Mangayut ayat winasis Wasana wosing jiwangga Mêlok tanpa aling-aling Kang ngalingi kalingling Wênganing rasa tumlawung Kèksi saliring jaman Angê langut tanpa têpi Yèku aran tapa tapaking Hyang Sukma (17) Mangkono janma utama Tuman tumanêm ing sêpi Ing sabên rikala mangsa Masah amêmasuh budi Lairé anêtêpi Ing rèh kasatriyanipun Susila anoraga Wignya mèt tyasing sêsami Yèku aran wong barèk bêrag agama

’Jejak para leluhur’ ’Sejak zaman dahulu’ ’Sampai kini’ ’Akhirnya tidak lain hanya

mencari nafkah’ ’Salah sendiri yang tak peduli’ ’Akan aturan hidup’ ’Hidup berlandasan tiga perkara’ ’Luhur, harta dan pandai’ ’Apabila sampai tidak memiliki’ ’Dari bilangan tiga itu’ ’Habislah arti manusianya’ ’Lebih berharga daun jati yang kering’ ’Akhirnya sengsaranya seperti pe- ngemis yang mengembara’ ’Yang telah waspada terhadap tingkah’ ’Menghayati aturan bijak’ ’Akhirnya inti kehidupan’ ’Tampak nyata tanpa tirai’ ’Yang menutupi tersingkap’ ’Terbukanya rasa yang jauh’ ’Tampak seluruh masa’ ’Jauh tanpa batas’ ’Disebut bertapa atas tapak Hyang Sukma’ ’Begitulan manusia utama’ ’Suka berpendam alam kesepian’ ’Dalam setiap saat masa’ ’Mengasah dan membersihkan budi’ ’Memenuhi keadaannya’ ’Sebagai manusia kesatria’ ’Sopan dan rendah hati’ ’Pandai mengambil hati sesama’ ’Yaitu disebut orang mahir bidang agama’

Page 131: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

115

(18) Ing jaman mêngko pan ora Arahé para taruni Yèn antuk tuduh kang nyata Nora pisan dènlakoni Banjur jujurkên kapti Kakèkné arsa winuruk Ngandêlkên gurunira Pandhitané praja sidik Tur wus manggon pamucungé mring makripat

’Pada jaman kini tidak demikian’ ’Arah gerak para muda’ ’Apabila mendapat petunjuk nyata’

’Tidak pernah dijalankan’ ’Kemudian menurut kemauannya sendiri’ ’Kakeknya akan diajari’ ’Mengandalkan kawan gurunya’ ’Pendeta negara yang pandai’ ’Telah tinggal dan sampai pada makrifat’

(Sumber: Anjar any, 2001: 34-38)

Pada kesenian macapat ini, terdapat kreasi dan kominasi dengan

tujuan menjaga eksistensi seni macapatan agar dapat lebih terjaga.

Kreasi dan kombinasi tersebut lebih nampak pada syair-syair dari

tembang macapat itu sendiri. Biasanya tembang macapat baik dari Serat

Wedhatama ataupun Wulangreh memiliki syair-syair yang sudah baku,

namun macapatan yang ada di Kampung Bumen mencoba mengkreasi

dan mengkombinasikannya dengan melibatkan beberapa alat musik

gamelan sebagai pengiringnya, serta mengkreasi syair-syair dalam

tembang macapat tersebut sesuai dengan kebutuhan namun masih

menggunakan irama yang sudah baku seperti sinom, pangkur,

dhandanggula, dan lain sebagainya.

Kreasi pada syair-syair dalam tembang macapat yang ada di

Kampung Bumen salah satunya adalah tembang yang ditulis oleh Bapak

Basis Hargito (tokoh seni dari golongan tua Kampung Bumen), tembang

ini menceritakan tentang Kampung Bumen, adapun syairnya sebagai

berikut:

Page 132: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

116

Kampung Bumen dik jaman rumiyin, Pantes kanggo conto, Pegaweyan ingkang kondhang ceret, Natah perak kerajinan peni, Oncor senthir kaling, Soblog torong gayung. Pitulasan sarta sasi Mei, Dha ngarak genderuwo Kethoprakan gayeng caritane, Sholawatan karawitan Jawi, Seni warna-warni, Kabeh padha manggung. Ning saiki jamane wis ganti, Nanging tetep elok, Guyub rukun tua lan mudhane, Gotong royong sengkut nambut kardi, tu binatu sami, Yen ana wong ewuh.

‘Kampung Bumen di jaman dahulu’ ‘Pantas sebagai contoh’ ‘Pekerjaan yang terkenal ceret (teko)’ ‘Mengukir perak kerajinan indah’ ‘Oobor, senthir, kaling’ ‘Soblog, torong, gayuh’ ‘Tujuhbelasan serta bulan Mei’ ‘Semua mengarak Genderuwo’ ‘Pementasan Kethoprak menarik ceritanya’ ‘Sholawatan adalah karawitan Jawa’ ‘Seni beraneka-macam’ ‘Semua orang berpentas’ ‘Tetapi sekarang jaman sudah berganti’ ‘Tetapi tetap bagus’ ‘Guyub rukun antara generasi tua dan mudanya’ ‘Gotong royong untuk mempercepat pekerjaan’ ‘Untuk kepentingan bersama’ ‘Apabila ada tetangga menggelar Hajatan’.

(Sumber: Basis Hargito dalam Invani Lela Herliana, 2001: 1)

Gambar 28 Gamelan dalam seni macapat di Kampung Bumen

Page 133: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

117

Kesenian macapatan di Kampung Bumen ini dalam aktivitasnya

memuat nilai-nilai luhur sebagai modal sosial bagi generasi muda dan

juga masyarakat lain yang terlibat di dalamnya. Nilai-nilai luhur tersebut

terkandung dalam simbol-simbol interkasi antar pelaku seni dalam

kesenian macapatan. Interaksi tersebut merupakan suatu proses dalam

menginformasikan nilai-nilai yang baik dan kurang baik yang terkandung

dalam kesenian macapatan. Pada tahapan ini, kesenian macapatan

dikenalkan pada generasi muda dengan tujuan membangkitkan minat

seni yang mereka miliki. Hal ini dilakukan oleh generasi tua dengan

bentuk memfasilitasi dan mendukung proses pelestarian kesenian

tradisional yang ada di Kampung Bumen.

Proses pengenalan nilai dilakukan dengan membiasakan generasi

muda mendengar hadirnya kesenian macapatan di tengah kehidupan

bermasyarakat di Kampung Bumen. Ketika seseorang/individu sudah

mulai terbiasa mendengar tembang dari kesenian macapatan tersebut,

pasti mereka mulai dapat merasakan kehadiran nilai-nilai yang

terkandung dalam syair (tembang) pada kesenian tersebut. Pada saat

inilah generasi tua Kampung Bumen sebagai pelatih kesenian sedikit

demi sedikit memberikan pemahaman tentang makna dan arti dari nilai-

nilai yang terkandung dalam kesenian tersebut pada saat latihan ataupun

di luar latihan macapatan. Bagi generasi muda yang kurang meminati

kesenian ini, nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kesenian

macapatan disosialisasikan dalam pergaulan sehari-hari yang terjalin

antara generasi tuda dan muda Kampung Bumen. Sedangkan bagi

generasi muda yang meminati kesenian macapatan ini, mereka akan

mulai dibiasakan dengan ikut membantu pementasan daripada kesenian

ini dengan wujud sebagai pengiring karawitan (wiyaga) terlebih dahulu

dalam pementasan macapatan. Hal ini atas dasar macapat menggunakan

bahasa krama (bahasa Jawa halus) yang kurang dikuasai oleh para

generasi muda. Setelah generasi muda terbiasa dengan bahasa krama

tersebut tentunya mereka akan dapat lebih mudah mengenal nilai-nilai

Page 134: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

118

yang ada pada syair-syair macapatan tersebut, jika tahapan pengenalan

ini sudah dapat terlaksana barulah selanjutnya generasi muda perlahan

mulai dilatih untuk melantunkan tembang macapat agar dapat lebih

secara langsung ikut merasakan dan memaknai arti daripada tembang

yang dilantunkan.

Dengan kata lain pada tahapan ini, nilai-nilai yang nampak di

permukaan dari aktivitas kesenian macapatan mulai perlahan dikenal dan

dimengerti oleh generasi muda dan masyarakat pada umunya baik dalam

latihan ataupun pementasan. Tahapan ini memungkinkan nilai-nilai yang

nampak pada permukaan aktivitas kesenian macapatan yang disisipkan

oleh generasi tua mulai dirasakan kehadirannya oleh generasi muda pada

saat latihan, serta memungkinkan pula nilai-nilai yang terkandung dalam

aktivitas kesenian macapatan itu dirasakan oleh masyarakat pada saat

pementasan berlangsung. Dalam tahapan ini, nilai-nilai luhur yang

terkandung dalam kesenian macapatan mulai ditransformasikan melalui

keberadaan makna simbolik yang melekat pada aktivitas kesenian

tersebut, melalui proses latihan daripada kesenian macapatan tersebut,

dan juga melalui syair tembang yang ada pada kesenian macapatan

tersebut. Nilai-nilai luhur mengenai hakekat hidup (agama) secara

langsung ataupun tidak langsung mulai dikenalkan oleh generasi tua

dalam latihan ataupun pementasan kesenian macapatan melalui

komunikasi verbal, karena seni macapatan ini adalah kesenian yang

menekankan pada unsur vokal dalam aktivitas seninya.

Dapat disimpulkan bahwa dalam tahapan ini, nilai-nilai yang

terkandung dalam aktivitas kesenian macapatan di Kampung Bumen

mulai ditransformasikan pada masyarakat melalui aktivitas (interaksi

simblik) pada kesenian macapatan, transformasi dalam tahapan ini hanya

bersifat sebagai pengenalan (sosialisasi) untuk kemudian dimaknai oleh

para pelaku seni terkait nilai-nilai yang nampak pada permukaan aktivitas

kesenian macapatan tersebut. Kampung Bumen merupakan kampung

kota yang ada di kawasan Kotagede, Kampung Bumen memiliki generasi

Page 135: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

119

muda (termasuk juga menjadi pelaku seni) yang relatif aktif dalam

kegiatan sosial, bahkan hingga sekarang terkenal sebagai kampung

dengan gotong royong yang paling kuat (Invani Lela Herliana, 2011: 9).

Dengan labelling semacam itu, menunjukkan nilai-nilai luhur masih

terjaga dalam kehidupan masyarakatnya. Nilai-nilai luhur yang ada di

Kampung Bumen menjadi sebuah tradisi yang dibudayakan oleh

masyarakat setempat sebagai pedoman hidup yang diwariskan pada

generasi mudanya. Proses pewarisan nilai-nilai luhur melalui kesenian

macapatan dilakukan dengan Model keteladanan figur sosok karismatik

yang ada dalam kesenian macapatan, yaitu tokoh Panembahan Senopati

(Raja Mataram Jawa) sebagai salah satu figur keteladanan, dalam

tembang sinom dari Serat Wedhatama menerangkan bahwa beliau selalu

mencegah hawa nafsu, selalu bekerja keras, dan selalu berbuat baik

menyenangkan hati semua orang. Figur Panembahan Senopati ini hadir

dalam Serat Wedhatama pupuh Sinom bait ke 1 sebagai berikut:

Nuladha laku utama Tumrapé wong tanah Jawi Wong agung ing Ngèksiganda Panêmbahan Sénapati Kapati amarsudi Sudané hawa lan nêpsu Pinêsu tapa brata Tanapi ing siyang ratri Amêmangun karyènak tyasing sêsama

’Contohlah tingkah laku yang terbaik’ ’Untuk kalangan orang di tanah Jawa’ ’Orang mulia dari Mataram’ ’Panembahan Senapati’ ’Seorang yang sangat tekun’ ’Mengurangi hawa dan nafsu’ ’Dengan jalan bertapabrata’ ’Di siang dan malam hari’ ’Selalu berusaha membuat kebahagian hati sesama’

(Sumber: Suwardi Endraswara, 2006: 17-18)

Interaksi simbolik antar pelaku seni pada kesenian macapatan di

Kampung Bumen dilakukan atas dasar pertimbangan bahwa dalam

memberikan pendidikan mengenai nilai-nilai luhur tersebut pada generasi

muda hendaknya menggunakan media yang ringan dan dapat diterima

oleh para generasi muda. Hal ini dilakukan untuk menciptakan

Page 136: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

120

lingkungan pendidikan sosialisasi nilai-nilai luhur yang tentunya dapat

dimaknai dan diresapi penuh kesadaran oleh generasi muda Kampung

Bumen.

Dalam aktivitasnya, kesenian tradisional memuat figur-figur

keteladanan serta makna-makna simbolik yang dapat mendukung

terjaganya nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kesenian tradisional

tersebut.

Seperti yang diutarakan oleh Bapak Topo Harjono (Ketua RW 06

Kampung Bumen) sebagai berikut:

“ Dalam aktivitas kesenian tradisional itu kan

mengandung nilai-nilai luhur, maka nilai-nilai itu dapat ditanamkan pada generasi muda dengan lebih mudah, karena melalui media yang digemari oleh mereka, sehingga tidak terkesan memaksa. Saya sendiri membiarkan anak-anak saya memilih jenis kesenian mana saja, yang terpenting tidak mengganggu aktivitas yang lain dan dapat bermanfaat bagi mereka, mereka dapat mengambil pelajaran/hikmah dari aktivitas yang mereka lakukan.”

(Sumber: Wawancara, 09 Maret 2012)

2. Nilai-Nilai Luhur yang Terkandung dalam Aktivitas Kesenian

Macapatan

Kesenian macapatan sebagai kesenian tradisional yang ada di

Kampung Bumen, memiliki fungsi hiburan dan juga memiliki fungsi

pendidikan dalam mempertahankan nilai-nilai luhur di Kampung Bumen,

khususnya bagi para pelaku seni yang terlibat di dalamnya. Kesenian ini

merupakan kesenian Jawa yang letah lama berkembang di Kampung

Bumen. Bentuk daripada kesenian ini mengandung makna bahwa

manusia hidup hendaknya selalu belajar dan memperhatikan ketika diberi

pelajaran. Kesenian ini melibatkan lebih dari dua orang dalam

pementasannya, karena bentuk kesenian ini adalah seperti kesenian

membaca puisi ataupun karya sastra lainnya, tetapi yang dibacakan

adalah puisi bahasa Jawa.

Page 137: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

121

Berdasarkan bentuk aktivitas keseniannya, yaitu dengan membaca

dan menyimak secara bergantian, tentunya kesenian ini mengajarkan

tentang nilai-nilai hakekat hidup bahwa manusia dalam hidup harus

selalu belajar tanpa pernah mengenal batasan akhir. Bahasa yang

digunakan dalam kesenian ini adalah bahasa Jawa (krama), sehingga

mengandung makna simbolik untuk mengajak dan mengenalkan kembali

kepada generasi muda tentang bahasa Jawa yang sekarang ini sudah

mulai kurang dipahami/dikuasai oleh generasi muda. Hal ini senada

dengan penuturan Bapak Topo Harjono (Ketua RW 06 Kampung

Bumen) sebagai berikut:

“ Kalau saya kebetulan aktif di kesenian macapatan,

menurut saya macapatan itu kan bentuknya seperti membaca dan menyimak puisi, hanya saja puisinya itu adalah bahasa Jawa, jadi dengan mempelajari ataupun mendengarkan kesenian ini mengandung nilai-nilai luhur seperti orang hidup harus selalu belajar. Bahasa Jawa yang ada dalam kesenian ini sekaligus menjadi pendidikan bagi generasi muda yang sudah mulai kurang terbiasa dengan bahasa daerah, sehingga banyak yang kurang dapat memahami bahasa Jawa.”

(Sumber: Wawancara, 09 Maret 2012)

Kesenian macapatan menggunakan bahasa Jawa yang tentunya

banyak memberikan pelajaran tentang nilai-nilai tradisi lokal seperti

nilai-nilai kesopanan yang meliputi unggah-ungguh, tatakrama, tata

susila, basu krama, suba sita, etika dan sopan santun. Tata susila harus

diutamakan agar orang dapat diterima dalam pergaulan sosial secara

wajar. Semakin halus budi pekerti sesorang maka akan semakin

mendapat simpati lebih tinggi. Orang Jawa cenderung menggunakan

bahasa Jawa (krama/halus) bila berhadapan dengan orang yang dihormati

sebagai wujud implementasi hakekat hubungan manusia dengan

sesamanya. Dengan adanya kesenian macapatan yang menggunakan

bahasa Jawa, dapat sebagai pelajaran dan pembelajaran untuk semua

warga untuk tidak melupakan bahasa krama (Jawa) sebagai simbol sopan

Page 138: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

122

santun terhadap sesama manusia. Sopan santun dalam bertutur kata

sangat perlu diperhatikan agar masing-masing pihak tetap terjaga

kehormatannya. Sopan santun dalam berbicara pengaruhnya sangat besar

terhadap kehidupan seseorang.

Beberapa syair dalam tembang macapat juga banyak

mengandung nilai-nilai tentang tatakrama. Setiap anggota masyarakat,

apalagi seorang pemimpin harus memiliki tatakrama. Tatakrama

berkaitan dengan cara mengerjakan sesuatu agar pantas dan tidak

menyinggung perasaan orang lain. Tatakrama sendiri berasal dari bahasa

Sansekerta yang bermakna berjalan (Purwadi, 2005: 5151). Hal-hal yang

ada hubungannya dengan perjalanan hidup perlu berpedoman dengan

tatakrama. Perjalanan hidup manusia secara bersama-sama akan

harmonis hanya bila diatur dengan tatakrama. Oleh karena itu, setiap

sendi kehidupan yang meliputi bidang politik, ekonomi, sosial, dan

kebudayaan akan berlaku secara alamiah, anggun, dan tertib asalkan

masing-masing berpegang teguh pada tatakrama.

Syair-syair dalam tembang macapat banyak mengandung nila-

nilai luhur bagi semua orang, di dalamnya mengajarkan tentang

keteladanan dan juga contoh-contoh perbuatan baik yang pantas menjadi

tuntunan bagi semua orang. Tembang macapat adalah jenis metrum

dalam tembang Jawa, jenisnya meliputi: Mijil , Sinom, Maskumambang,

Asmarandana, Dhandanggula, Durma, Pangkur, Gambuh, Pocung,

Mêgatruh, Kinanthi (Purwadi, 2005: 290-291).

Beberapa tembang dalam kesenian macapatan yang sering

ditembangkan dalam latihan ataupun pementasan diantaranya yaitu:

Sinom, Pocung, dan Dhandanggula. Hal ini berdasar penuturan dari

Bapak Topo Harjono (Ketua RW 06 Kampung Bumen) sebagai berikut:

“ Kalau yang sering ditembagkan itu adalah tembang dhandanggula yang banyak mengajarkan nilai-nilai tentang perjuangan, baik dalam mengejar cita-cita ataupun dalam menimba ilmu.”

(Sumber: Wawancara, 09 Maret 2012)

Page 139: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

123

Hal lain juga diutarakan oleh Dedy Fathurrahman (tokoh seni dari

golongan muda Kampung Bumen) sebagai berikut:

“ Setahu saya yang sering ditampilkan itu adalah tembang

sinom dan juga tembang Pocung.”

(Sumber: Wawancara, 10 Maret 2012)

Tembang Sinom sering ditembangkan karena filosofi tembang ini

yang banyak mengarah pada para pemuda. Sinom berarti muda, suatu

masa untuk meniti cita-cita. Selagi masih muda, ilmu pengetahuan harus

dicari sebagai persiapan masa dewasa nanti. Sifat/watak dari tembang ini:

sederhana, susah, dan ginggih. Penggunaan tembang ini untuk

mengungkapkan rasa prihatin, mengemukakan petuah/nasihat bagi

generasi muda untuk tetap optimis terhadap masa depan (Purwadi, 2005:

290). Tembang sinom juga berarti kepemudaan, menerangkan tentang

pentingnya pemuda dan keutamaan dalam mencari ilmu sebanyak-

banyaknya (diambil dari harian koran Joglosemar, Minggu 01 Agustus

2012 kolom Serat, halaman 15).

Sedangkan tembang Pocung mengandung arti bahwa dalam

kehidupan ini banyak terdapat ilmu di dalamnya. Ilmu tersebut harus

dipelajari dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari agar dapat

membuahkan kesejahteraan bagi diri sendiri dan lingkungannya. Sifat

dari tembang Pocung ini: memiliki makna seenaknya, bersendau gurau.

Kegunaan dari tembang ini dapat digunakan untuk kepentingan

bersendau gurau, teka-teki lucu, nasihat agar senantiasa selalu ingat

kepada hari akhir (Purwadi, 2005: 291).

Tembang Dhandanggula mengandung makna rasa optimis

terhadap masa depan yang lebih manis, cerah, dan gemilang, karena

agenda hidup yang jelas dan tertata rapi, berjalan dengan aturan yang

berlaku. Sifatnya luwes, manis, tepat untuk digunakan dalam suasana apa

saja. Kegunaan dari tembang ini adalah untuk menyampaikan

pesan/petuah tertentu. Tembang ini biasanya dapat digunakan untuk

Page 140: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

124

mengawali permulaan gendhing (lagu) dalam kesenian tradisional lain

seperti sholawatan dan srandul. Adapun contoh tembang sinom dan

Pocung (dari Serat Wedhatama) sebagai berikut:

Tembang Sinom bait ke 6 Prajanjiné abipraya Saturun-turun ing wuri Mangkono trahing awirya Yèn amasah mêsu budi Dumadya glis dumugi Iya ing sakarsanipun Wong Agung Ngèksiganda Nugrahané praptèng mangkin Trah-tumêrah darahé padha wibawa. Tembang Pocung bait ke 1 dan 2 (1) Ngèlmu iku Kalakoné kanthi laku Lekasé lawan kas Têgêsé kas nyantosani Sêtya budya pangêkêsé dur angkara (2) Angkara gung Nèng angga aggung gumunggung Gêgolonganira Triloka lêkêré kongsi Yèn dènumbar ambabar dadi rubéda.

‘Janji bertujuan baik’ ‘Untuk anak cucu di kemudian hari’ ’Demikian keturunan raja’ ’Apabila mencari ilmu kesempurnaan’ ‘Akhirnya akan segera tercapai’ ‘Apa yang diinginkan’ ’Tuan Agung dari Mataram’ ’Anugerah sampai sekarang’ ’Semua keturunannya berpangkat dan berwibawa.’

’Ilmu adalah’ ’Dijalankan dengan perbuatan’ ’Dimulai dengan kemauan’ ’Kemauan adalah penguat’ ’Budi setia penghancur kemurkaan’ ’Angkara yang besar’ ’Dalam tubuh selalu menggelora’ ’Golongannya’ ’Sampai menguasai tiga dunia’ ’Apabila dibiarkan berkembang

menjadi bahaya.’

(Sumber: Anjar Any, 2001: 34-39)

Page 141: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

125

Matrik 4

Interaksi Simbolik antar Pelaku Seni dalam Memaknai Nilai-Nilai Luhur

pada Kesenian Macapatan

Makna-Makna Simbolik

dalam Kesenian Macapatan

Pemaknaan Nilai-Nilai Luhur

dalam Kesenian Macapatan

1. Syair-syair dalam tembang

macapat.

2. Aktivitas simbolik dalam

proses latihan pada kesenian

macapatan.

3. Keberadaan makna simbolik

berupa perpaduan busana dan

alat musik yang digunakan

dalam mengiringi kesenian

macapatan sendiri.

1. Syair-syair dan aktivitas simbolik latihan dalam

macapatan banyak memuat pembelajaran dan

dimaknai sebagai:

a. nilai luhur mengenai hakekat hidup

(berketuhanan).

b. nilai luhur mengenai hakekat karya dan etos

kerja (kerja keras dan pantang menyerah) yang

dipelajari dari aktivitas simbolik latihan

macapatan serta model keteladanan figur pekerja

keras, pantang menyerah, dan tekun pada

tembang sinom.

c. Nilai-nilai luhur mengenai persepsi manusia

tentang waktu yang terkandung dalam syair

macapat dan aktivitas simbolik latihan

macapatan dimaknai dengan sikap

memanfaatkan waktu sebaik-baiknya dalam

hidup.

d. Nilai-nilai luhur mengenai hubungan antara

manusia dengan sesamanya yang terkandung

dalam syair macapat dimaknai dengan sikap

tolong menolong, moralitas, cinta kasih,

kerukunan, akulturasi, kebersamaan,

kekeluargaan, dan juga sopan santun. Nilai-nilai

yang mengandung akulturasi sebagai wujud

toleransi dan adaptasi perbedaan budaya, demi

Page 142: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

126

sebuah keharmonisan dalam hidup juga

terkandung dalam kesenian macapatan berupa

keberadaan makna simbolik perpaduan busana

dan alat musik yang digunakan dalam mengiringi

kesenian macapatan sendiri.

(Sumber: Disarikan dari wawancara dan observasi, Pebruari-Maret 2012)

E. Pembahasan

Kampung Bumen mulai menegaskan dirinya dengan identitas sebagai

Kampung Seni, hal ini menjadikan adanya sebuah konsekuensi yang harus

dijaga bersama oleh masyarakat Kampung Bumen yaitu dalam hal aktivitas

kesenian. Identitas sebagai Kampung Seni menghantarkan masyarakat

Kampung Bumen memiliki pekerjaan besar kaitannya dalam menjaga

eksistensi kesenian yang ada di Kampung Bumen. Kesenian menjadi modal

utama dalam pengembangan Kampung ke arah yang lebih maju di tengah

budaya modern yang berkembang di Kotagede.

Identitas sebagai Kampung Seni membuka ruang bagi para seniman

(pelaku seni) kampung untuk dapat menduduki posisi penting dalam

mengembangkan potensi kampung ke arah yang lebih baik. Jika di kampung

lain kesenian hanya menjadi kekayaan budaya setempat, tidak demikian

untuk Kampung Bumen. Masyarakat Kampung Bumen (pelaku seni)

menjadikan kesenian sebagai pondasi dasar dalam membangun kehidupan

masyarakatnya, dengan kata lain bahwa kesenian sebagai media bersama

dalam menata dan membangun karakter Sumber Daya Manusia di Kampung

Bumen.

Masyarakat Kampung Bumen memandang bahwa kesenian adalah

sebagai aktivitas positif dan juga bermanfaat untuk kebersamaan yang ada di

Kampung Bumen, maka tidak heran jika di Kampung Bumen masih nampak

aktivitas kesenian rutin seperti Srandul, Sholawatan, Macapatan, dan juga

Page 143: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

127

Karawitan. Melihat pentingnya peran dan kedudukan kesenian di tengah

kehidupan masyarakat Kampung Bumen, maka masyarakat Kampung Bumen

sepakat bahwa perlu adanya upaya pelestarian kesenian tradisional di

Kampung Bumen. Pelestarian kesenian tradisional di Kampung Bumen tidak

hanya semata-mata untuk mendukung dan menguatkan identitas Kampung

Bumen sebagai Kampung Seni, namun juga demi menjaga kekayaan budaya

lokal yang memuat fungsi dan tujuan luhur demi membangun karakter

Sumber Daya Manusia di Kampung Bumen. Di dalam interaksi antar pelaku

seni yang terlibat di kesenian tradisional Kampung Bumen, sesungguhnya

terdapat simbol-simbol yang mereka gunakan dalam memaknai nilai-nilai

luhur di tengah masyarakat Kampung Bumen.

1. Interaksi Simbolik antar Pelaku Seni dalam Memaknai Nilai-Nilai Luhur

pada Kesenian Tradisional di Kampung Bumen

Nilai-nilai luhur yang ada di Kampung Bumen menjadi bukti

bahwasannya Kampung Bumen sebagai kampung kota di kawasan

Kotagede, juga menyimpan kearifan lokal yang masih menjadi

kebanggaan bagi warga Kampung Bumen sendiri. Nilai-nilai tersebut

dijaga oleh warga Kampung Bumen untuk berusaha ditanamkan pada

generasi muda Kampung Bumen. Generasi muda adalah generasi penerus

yang juga berkewajiban membangun dan menata kampung menjadi lebih

berkembang dan maju. Modernisasi yang terjadi di kota mau tidak mau

terbukti membawa pengaruh yang besar pada generasi muda, tak

terkecuali pada generasi muda Kampung Bumen.

Menyadari terpaan modernisasi yang akan mempengaruhi

kepribadian dan perilaku dari generasi mudanya, golongan tua Kampung

Bumen sejak dini sudah mulai membiasakan mengenalkan dan juga

menanamkan nilai-nilai luhur tersebut pada generasi mudanya sebagai

bekal dalam tumbuh kembangnya dalam lingkungan yang lebih luas.

Diharapakan dengan penanaman tersebut mampu menjadikan generasi

muda Kampung Bumen lebih dewasa dan sadar dengan tradisi kampung

Page 144: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

128

mereka, sehingga modernisasi tidak lagi menjadi faktor yang mampu

menggerus nilai-nilai luhur di kampung mereka. Nilai-nilai tersebut

dikenalkan melalui aktivitas kesenian tradisional, dimana para generasi

muda mulai menjadi pelaku seni dalam kesenian tradisional di Kampung

Bumen akibat dampak dari identitas kampung sebagai Kampung Seni.

Nilai-nilai luhur tersebut menjadi penting bagi kehidupan warga

Kampung Bumen dikarenakan dengan pemaknaan dan peresapan

terhadap nilai-nilai tersebut pada kesenian tradisional, memungkinkan

terciptanya keharmonisan, keselarasan, dan juga kebahagiaan bagi

seluruh warga Kampung Bumen dengan sesamanya. Seperti penuturan

dari Bapak Mulyadi (tokoh agama dari golongan muda Kampung

Bumen) sebagai berikut:

“ Orang hidup itu tujuannya hanya dua, yaitu bahagia di

dunia dan di akhirat, dan itu semua dapat dicapai hanya dengan melaksanakan ajaran agamanya masing-masing, dalam ajaran agama tentunya memuat nilai-nilai luhur tersebut, sehingga memungkinkan apabila dimaknai dan diresapi dengan mendalam tentunya dapat menciptakan kebahagian di dunia.”

(Sumber: Wawancara, 28 Pebruari 2012)

Keberadaan nilai-nilai luhur di tengah masyarakat Kampung

Bumen tersebut menjadikan generasi tua lebih giat dalam mencari media

yang tepat untuk melakukan penanaman dan peresapan terhadap nilai-

nilai luhur tersebut kepada generasi mudanya. Generasi tua menyadari

bahwa keteladanan yang mereka berikan sejak dini pada generasi muda

belum sepenuhnya menjadikan nilai-nilai tersebut diresapi oleh generasi

muda. Modernisasi dan lingkungan bermain di luar tentu juga menjadi

faktor yang mempengaruhi keberadaan nilai-nilai luhur tersebut dalam

diri seorang individu. Cara yang ditempuh untuk selalu memperkokoh

nilai-nilai luhur tersebut tertanam dalam diri generasi muda adalah

dengan memaknai nilai-nilai luhur tersebut dalam aktivitas

kemasyarakatan warga di Kampung Bumen. Hal ini dilakukan sebagai

Page 145: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

129

kontrol bagi generasi muda untuk selalu memaknai pentingnya nilai luhur

dalam kehidupan di Kampung Bumen.

Aktivitas kemasyarakatan di Kampung Bumen tentunya

mengandung interaksi antara satu individu dengan individu yang lain,

dari terjalinnya interaksi ini maka makna yang terkandung dalam

interaksi tersebut dapat dipahami oleh orang-orang yang terlibat di

dalamnya. Dengan adanya interaksi dalam aktivitas kemasyarakatan itu,

seseorang saling memberi makna dan interpretasi atas makna yang

diterimanya pula dari orang lain, yang memungkinkan komunikasi dapat

terjalin sehingga komunikasi menjadi media penting dalam

menyampaikan pesan atau makna tertentu seperti nilai-nilai luhur.

Apabila lingkungan di luar kampung dapat mempengaruhi

pergeseran nilai-nilai luhur tersebut dalam diri seseorang, maka hal yang

penting adalah dengan memanfaatkan lingkungan tempat tinggal sebagai

media untuk mempertebal dan memperkokoh nilai-nilai tersebut dalam

diri seseorang. Hal ini terjadi di Kampung Bumen, sebagian besar

generasi mudanya bekerja dan menempuh pendidikan yang

memungkinkan mereka memiliki lingkungan sosial yang baru di luar

tempat tinggal mereka. Lingkungan yang baru tersebut memungkinkan

nilai-nilai luhur dalam diri mereka yang telah ditanamkan padanya sejak

dini dapat bergeser dan bahkan pudar, namun hal ini segera disadari oleh

generasi tua dan generasi muda di Kampung Bumen sehingga untuk

mengantisipasi hal tersebut maka mereka (golongan tua dan muda) akan

kembali berpegang teguh pada aktivitas kemasyarakatan di lingkungan

tempat tinggal mereka yang tentunya dapat menjaga nilai-nilai luhur

tetap terjaga dalam diri mereka. Hal ini berdasar penuturan dari Bapak

Topo Harjono (Ketua RW 06 Kampung Bumen) sebagai berikut:

“ Memang benar jika lingkungan di luar (luar Kampung

Bumen) sangat dapat mempengaruhi ketebalan nilai-nilai luhur yang ada pada diri seseorang, namun itu tidak menjadi masalah jika semua warga di sini (Kampung Bumen) mau aktif dalam aktivitas kemasyarakatan yang ada, karena dalam aktivitas

Page 146: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

130

kemasyarakatan ini selalu memuat penanaman dan pemupukan nilai-nilai luhur tersebut dalam diri seseorang.”

(Sumber: Wawancara, 09 Maret 2012)

Hal senada juga diutarakan oleh Hapsoro Noor Adianto (Ketua

Muda-Mudi Bumen) sebagai berikut:

“ Lingkungan bermain itu sangat berpengaruh, tetapi

lingkungan tempat tinggal (kampung) itu jauh dapat memberikan pengaruh karena dapat sebagai kontrol agar nilai-nilai tersebut tetap dipertahankan oleh generasi tua dan muda di Kampung Bumen. Lingkungan tempat tinggal seperti di Kampung Bumen ini banyak mengandung makna terkait nilai-nilai luhur tersebut utamanya dalam hal gotong royong ataupun kerukunan antar warga.”

(Sumber: Wawancara, 26 Pebruari 2012)

Proses penanaman dan juga pemupukan nilai-nilai luhur agar

tetap terjaga dan kokoh berada dalam diri seseorang (generasi muda

Kampung Bumen) tentunya membutuhkan media yang dapat diterima

oleh seluruh warga Kampung Bumen. Media tersebut tentunya juga harus

mudah diterima dan dirasa ringan oleh para generasi muda, sehingga

interaksi simbolik dalam kesenian tradisional dapat digunakan oleh para

pelaku seni dalam memaknai nilai-nilai luhur di Kampung Bumen.

Kesenian tradisional adalah salah satu aktivitas kemasyarakatan yang

keberadaannya diterima oleh seluruh warga Kampung Bumen, kesenian

menjadi suatu hal yang akrab dan sudah mendarah daging dengan

masyarakat Kampung Bumen. Kesenian disamping sebagai aktivitas

yang memuat keindahan juga sebagai salah satu dari unsur-unsur

kebudayaan (Kluckhohn dalam Soerjono Soekanto, 2006: 176).

Kesenian pada dasarnya adalah keseluruhan sistem yang

melibatkan proses penggunaan imajinasi manusia secara kreatif di dalam

sebuah kelompok masyarakat dengan kebudayaan tertentu (Yuni Pare,

2007: 27). Manusia pada umumnya berusaha mendapatkan ilmu

Page 147: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

131

pengetahuan melalui logika, menyerasikan perilaku terhadap kaidah-

kaidah melalui etika, dan mendapatkan keindahan melalui estetika. Dari

konsep tersebut jelas keberadaan kesenian sebagai unsur dari

kebudayaan, karena kesenian memuat keindahan. Manusia dalam

kehidupannya pasti berhubungan erat dengan kebudayaan, karena fungsi

dari kebudayaan adalah untuk mengatur agar manusia dapat mengerti

bagaimana seharusnya bertindak, berbuat, menentukan sikapnya kalau

mereka berhubungan dengan orang lain. Hal ini sesuai dengan pandangan

Bronislaw Malinowski (dalam Soerjono Soekanto, 2006: 176) yang

menyebutkan bahwa tak ada suatu unsur kebudayaan yang tidak

mempunyai kegunaan yang cocok dalam rangka kebudayaan sebagai

keseluruhan.

Kesenian selain memuat nilai-nilai keindahan (estetika), memiliki

salah satu fungsi yaitu sebagai hiburan. Kesenian tradisional yang ada di

Kampung Bumen juga demikian halnya, selain memuat nilai keindahan

juga dapat berfungsi sebagai hiburan. Keberadaan kesenian tradisional

sebagai hiburan rakyat inilah yang menjadikan kesenian tradisional

tersebut dapat diterima di tengah-tengah kehidupan masyarakat Kampung

Bumen. Kesenian tradisional mampu mendapat apresiasi yang baik dari

masyarakat Kampung Bumen hingga memunculkan sebuah identitas

kampung sebagai Kampung Seni, hal ini menjadikan mau tidak mau

seluruh warga Kampung Bumen berada pada posisi sebagai pelaku seni,

karena seluruh aktivitas seni di Kampung Bumen dilakukan oleh para

warganya.

Melihat pengaruh besar dari kesenian tradisional terhadap warga

Kampung Bumen inilah yang menuntun generasi tua Kampung Bumen

merubah fungsinya selain sebagai hiburan (tontonan) juga menjadi

sebuah tuntunan. Maksudnya adalah dengan menggunakan media seperti

kesenian tradisional inilah nilai-nilai luhur diharapkan dapat dimaknai

oleh generasi muda (pelaku seni) Kampung Bumen, karena kesenian

Page 148: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

132

menjadi aktivitas kemasyarakatan yang diterima oleh seluruh warga dan

digemari oleh generasi muda.

Hal ini berdasar penuturan dari Bapak Mulyadi (tokoh agama dari

golongan tua Kampung Bumen) sebagai berikut:

“ Kalau dulu itu kesenian tradisional hanya berfungsi

sebagai tontonan (hiburan) saja, sekarang kami (generasi tua) mengkreasinya agar dapat sebagai suatu aktivitas hiburan (tontonan) tetapi juga memuat sebuah tuntunan (nilai-nilai kehidupan), agar dapat diterima oleh generasi muda secara ringan tetapi penuh makna/arti.”

(Sumber: Wawancara, 28 Pebruari 2012)

Kesenian tradisional di Kampung Bumen seiring berjalannya

waktu berubah menjadi aktivitas kemasyarakat yang berfungsi sebagai

hiburan dan memuat tuntunan-tuntunan (nilai-nilai luhur) bagi seluruh

warga Kampung Bumen. Banyak aktivitas dan isi dari kesenian

tradisional tersebut mengandung nilai-nilai luhur dalam kehidupan, nilai-

nilai tersebut termuat dalam simbol-simbol interaksi dalam kesenian

tradisional yang ada di Kampung Bumen sebagai bentuk pemaknaan

nilai-nilai luhur bagi masyarakat Kampung Bumen, dan juga sebagai

modal pembentukan budi pekerti bagi warga masyarakat Kampung

Bumen. Adapun kesenian tradisional yang ada di Kampung Bumen dan

memuat interaksi simbolik antar pelaku seni yang terlibat di dalamnya,

diantaranya: srandul, karawitan, sholawatan, dan macapatan.

Kesenian srandul memuat nilai-nilai luhur seperti: (1) nilai-nilai

luhur mengenai hakekat hidup, (2) nilai-nilai luhur mengenai hakekat

karya dan etos kerja, (3) nilai-nilai luhur mengenai hubungan manusia

dengan alam, (4) nilai-nilai luhur mengenai persepsi manusia tentang

waktu, (5) nilai-nilai luhur mengenai hubungan manusia dengan

sesamanya. Kesenian karawitan memuat nilai-nilai luhur seperti: (1)

nilai-nilai luhur mengenai hakekat hidup, (2) nilai-nilai luhur mengenai

hakekat karya dan etos kerja, (3) nilai-nilai luhur mengenai persepsi

Page 149: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

133

manusia tentang waktu, (4) nilai-nilai luhur mengenai hubungan manusia

dengan sesamanya. Kesenian sholawatan memuat nilai-nilai luhur

seperti: (1) nilai-nilai luhur mengenai hakekat hidup, (2) nilai-nilai luhur

mengenai hakekat karya dan etos kerja, (3) nilai-nilai luhur mengenai

persepsi manusia tentang waktu, (4) nilai-nilai luhur mengenai hubungan

manusia dengan sesamanya. Sedangkan kesenian macapatan memuat

nilai-nilai luhur seperti: (1) nilai-nilai luhur mengenai hakekat hidup, (2)

nilai-nilai luhur mengenai hakekat karya dan etos kerja, (3) nilai-nilai

luhur mengenai persepsi manusia tentang waktu, (4) nilai-nilai luhur

mengenai hubungan manusia dengan sesamanya.

Nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kesenian srandul

ditransformasikan agar dimaknai kandungan nilainya oleh para pelaku

seninya melalui proses latihan srandul, makna simbolik yang melekat

pada kesenian tersebut, dan juga cerita yang dipentaskan sebagai isi

daripada pertunjukan srandul itu sendiri. Nilai-nilai luhur yang

terkandung dalam kesenian karawitan, ditransformasikan agar dimaknai

kandungan nilainya oleh para pelaku seninya melalui aktivitas latihan

rutin kesenian karawitan tersebut, serta makna simbolik yang melekat

pada kesenian karawitan tersebut. Nilai-nilai luhur yang terkandung

dalam kesenian sholawatan, juga ditransformasikan agar dimaknai

kandungan nilainya oleh para pelaku seninya melalui aktivitas latihan

dan syair-syair dalam kesenian tersebut, dan juga makna simbolik yang

melekat pada kesenian sholawatan tersebut. Sedangkan nilai-nilai luhur

yang terkandung dalam kesenian macapatan sendiri ditransformasikan

agar dimaknai kandungan nilainya oleh para pelaku seninya melalui

aktivitas latihan kesenian macapatan, makna simbolik, dan isi tembang

yang ada pada kesenian macapatan tersebut.

Berdasar temuan tersebut menunjukkan nilai-nilai luhur mengenai

hubungan manusia dengan alam terbukti kurang tertabur pada aktivitas

kesenian tradisional yang ada di Kampung Bumen. Padahal menurut

penuturan warga Kampung Bumen yaitu Hapsoro Noor Adianto (seorang

Page 150: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

134

Ketua Muda-Mudi Bumen dari golongan tua Kampung Bumen), warga

Kampung Bumen dinilai masih menjaga nilai-nilai luhur terkait

hubungan manusia dengan alam, yang diwujudkan dengan adanya

rutinitas kerja bakti dan penghijauan lingkungan di RW 06 Kampung

Bumen. Berikut penuturannya:

“ Kepedulian dengan alam di sini (Kampung Bumen)

wujudnya seperti warga yang memiliki halaman luas itukan pasti ditanami beberapa tanaman agar terlihat hijau dan sebagainya, bagi yang tidak memiliki halaman luas tetap menjaga kepedulian dengan alam juga dengan menanam tanaman di dalam pot di depan rumah mereka, jadi masalah dengan alam ini orang tua dulu sering mengingatkan kita bahwa apa-apa yang terjadi pada kita pasti berawal dari alam, maka menghormati alam adalah sebagai salah satu faktor utama di sini, kalau alam tidak mendukung maka tidak mungkin kita disini.”

(Sumber: Wawancara, 26 Pebruari 2012)

Nilai-nilai luhur mengenai hubungan antara manusia dengan alam

dipahami oleh sebagian masyarakat Jawa sebagai suatu hal yang bersifat

adaptif. Keberadaan masyarakat dengan alam menjadi satu hal

bersimbiosis yang erat hubungannya. Pada umumnya masyarakat Jawa

meyakini keberadaan nasib mereka juga dipengaruhi atas hubungan

mereka dengan alam (Koentjaraningrat, 1994: 438). Oleh karena

keberadaan alam yang dianggap penting bagi kelangsungan manusia,

mereka tidak serta merta merasa takluk pada alam, namun mereka belajar

untuk menyesuaikan diri dengan alam. Pada akhirnya mereka menyadari

tentang kekuatan alam yang memiliki pengaruh atas kelangsungan hidup

manusia, sehingga mereka berusaha hidup selaras dengan alam.

Hakekat hubungan antara manusia dengan alam juga dipahami

oleh masyarakat Kampung Bumen sebagai suatu pembelajaran yang

bersifat timbal balik. Orang-orang Kampung Bumen sangat

memperhatikan keselarasan dengan alam, meskipun secara tidak

langsung meyakini akan kekuatan alam, namun mereka meyakini tentang

Page 151: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

135

pengaruh alam terhadap kelangsungan hidup mereka. Pemahaman

mengenai hakekat hubungan manusia dengan alam mereka

interpretasikan dengan bentuk menjaga harmonisasi dengan alam.

Harmonisasi dengan alam lebih pada tujuan menjaga dan mencintai

lingkungan sehingga muncul kesadaran akan pentingnya eksistensi alam

di tengah kehidupan mereka. Wujud nyata dari adanya kepedulian

dengan alam yang dilakukan oleh masyarakat Kampung Bumen

(golongan tua dan juga golongan muda) nampak pada kegiatan rutin

membersihkan makam di Kampung Bumen yang sering disebut dengan

Nyadran.

Tradisi membersihkan makam ini dilakukan oleh warga Kampung

Bumen setiap menjelang bulan Sya’ban. Kegiatan ini dipahami bersama

bukan sebagai sebuah ritual kepercayaan tertentu, namun hingga

sekarang masih dilestarikan dengan tujuan menjaga kelestarian dengan

lingkungan. Terdapat alasan yang menjawab kenapa lokasi yang

dibersihkan itu adalah makam, hal tersebut dikarenakan warga pada

umumnya jarang membersihkan makam pada hari-hari biasa, kemudian

menjelang bulan Ramadhan (puasa) diharapkan lingkungan dapat

dibersihkan sehingga lingkungan menjadi sehat dan ibadah puasa dapat

lancar tidak terkena penyakit. Hal ini berdasar penuturan Bapak Mulyadi

(tokoh agama dari golongan tua Kampung Bumen) sebagai berikut:

“ Hampir setiap RT itu memiliki agenda kerja bakti yang

diatur menurut kondisi di RT masing-masing. Lebih-lebih menjelang bulan Agustus, kemudian menjelang bulan Sya’ban itu biasanya ada kegiatan kerja bakti membersihkan makam.”

(Sumber: Wawancara, 28 Pebruari 2012)

Page 152: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

136

Gambar 29 Kompleks pemakaman di Kampung Bumen

Kepedulian dengan lingkungan yang dilakukan oleh masyarakat

Kampung Bumen juga nampak dari dengan adanya kerja bakti secara

rutin dari tiap masing-masing RT di RW 06 Kampung Bumen, kegiatan

ini diikuti oleh seluruh warga masyarakat Kampung Bumen mulai dari

anak-anak hingga orang tua. Kegiatan ini menjadi keteladanan bagi

generasi muda tentang bagaimana memaknai hubungan antara manusia

dengan alam itu salah satunya dengan menjaga kebersihan lingkungan.

Hal ini berdasar penuturan dari Febriana Noor Haryanti (tokoh akademis

dari golongan muda Kampung Bumen) sebagai berikut:

“ Kalau di sini sendiri itu dari yang tua hingga anak kecil

pasti semua ikut. Karena dalam lingkungan kita, kampung itu kan lapisan kedua setelah keluarga. Jadi biasanya kalau ayahnya mau keluar kerja bakti, pasti anaknya walaupun tidak diajak pun pasti juga ikut membantu dan senang.”

(Sumber: Wawancara, 19 Pebruari 2012)

Kerja bakti yang dilakukan oleh warga Kampung Bumen juga

diikuti dengan adanya penanaman pohon (penyediaan taman) di tengah

kampung. Keberadaan taman ini selain ditinjau dari aspek kepedulian

dengan lingkungan ternyata juga dapat ditinjau dari aspek keindahan,

dimana dalam menjaga lingkungan (taman) tersebut juga berpotensi

Page 153: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

137

melatih rasa keindahan (estetika) dalam menata taman tersebut, bahkan

untuk mengapresiasi potensi keindahan dari kegiatan menjaga

lingkungan tersebut di sekitar Kampung Bumen rutin mengadakan lomba

taman antar kampung. Hal ini berdasar penuturan dari Descy Etik

Sanjaya (anggota Muda-Mudi Bumen) sebagai berikut:

“ Wujud nyatanya itu tampak dari penghijauan yang

dilakukan oleh setiap kampung, selalu berusaha menyediakan taman kecil di dalam kampung, kemudian taman itu selalu dilombakan, jadi mana yang lebih bagus dan menarik itu akan mendapat hadiah. Hal itu dapat menjadikan setiap warga semangat dalam gotong royong menata dan menjaga lingkungan.”

(Sumber: Wawancara, 27 Pebruari 2012)

Berdasar temuan di atas, menunjukkan bahwa masyarakat

Kampung Bumen sangat meyakini bahwa eksistensi kehidupan mereka

salah satunya dipengaruhi erat dari eksistensi alam di sekitar mereka,

sehingga untuk menjaga kualitas kehidupan mereka maka warga

Kampung Bumen mengupayakan hidup selaras dengan alam agar

kualitas lingkungan mereka juga terjaga baik. Bagi masyarakat Kampung

Bumen, menjaga alam juga dapat sebagai sarana mengasah jiwa estetika

(keindahan) mereka agar selalu peduli dan sadar mengenai hakekat

hubungan manusia dengan alam. Melihat pentingnya nilai luhur

mengenai hubungan antara manusia dan alam tersebut, hendaknya para

pelaku seni lebih dapat segera mengupayakan kreasi dan kombinasi pada

seluruh aktivitas simbolik kesenian tradisionalnya agar dapat memuat

nilai-nilai luhur mengenai hubungan antara manusia dengan alam, hal ini

dengan maksud agar warga dan generasi muda (selaku pelaku seni)

Kampung Bumen dapat lebih memaknai nilai tersebut dalam kehidupan

bermasyarakat.

Page 154: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

138

Matrik 5

Interaksi Simbolik antar Pelaku Seni dalam Memaknai Nilai-Nilai Luhur

pada Kesenian Tradisional di Kampung Bumen

Pemaknaan Nilai Luhur

Makna Simbolik pada

Kesenian Srandul

Makna Simbolik pada

Kesenian Karawitan

Makna Simbolik pada

Kesenian Sholawatan

Makna Simbolik pada

Kesenian Macapatan

1. Nilai-nilai luhur mengenai hakekat hidup

Keberadaan sesaji di awal pementasan srandul.

Multifungsi gamelan.

Syair-syair dalam sholawatan.

Syair-syair dalam tembang macapat.

2. Nilai-nilai luhur mengenai hakekat karya dan etos kerja

Isi cerita (lakon) pada srandul, serta aktivitas proses latihan srandul.

Aktivitas proses latihan karawitan.

Syair-syair dalam sholawatan, aktivitas proses latihan sholawatan.

Syair-syair dalam tembang macapat, serta aktivitas proses latihan macapatan.

3. Nilai-nilai luhur mengenai hubungan antara manusia dengan alam

Keberadaan daun puring di tengah arena pertunjukan srandul .

- - -

4. Nilai-nilai luhur mengenai persepsi manusia tentang waktu

Keberadaan adegan dagelan (humor) di tengah cerita srandul, serta aktivitas latihan dalam kesenian srandul.

Aktivitas latihan kesenian karawitan, serta makna simbolik dari gamelan yang dimainkan secara bergantian dan harus disiplin dalam memainkannya.

Syair-syair dalam sholawatan, serta aktivitas latihan dalam kesenian sholawatan.

Syair-syair dalam tembang macapat, serta aktivitas latihan dalam kesenian macapatan.

5. Nilai-nilai luhur mengenai hubungan manusia dengan sesamanya

Keberadaan makna simbolik berupa beragam perpaduan busana yang dikenakan dalam kesenian srandul, isi cerita (lakon) pementasan srandul,

Aktivitas latihan karawitan, serta keberadaan makna simbolik berupa alat musik kendang sebagai pemimpin dalam karawitan.

Syair-syair dalam sholawatan, serta keberadaan makna simbolik berupa perpaduan busana dan alat musik dalam kesenian sholawatan.

Syair-syair dalam tembang macapat, serta keberadaan makna simbolik berupa perpaduan busana dan alat musik yang

Page 155: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

139

dan juga aktivitas latihan dalam srandul.

digunakan dalam kesenian macapatan.

(Sumber: Disarikan dari wawancara dan observasi, Pebruari-Maret 2012)

2. Analisa Interaksi Simbolik antar Pelaku Seni dalam Memaknai Nilai-

Nilai Luhur pada Kesenian Tradisional di Kampung Bumen

Aktivitas kesenian tradisional di Kampung Bumen memuat

simbol-simbol dalam interaksi antar pelaku seninya, dari simbol-simbol

tersebut terdapat pula suatu makna yang melekat. Simbol-simbol tersebut

pada akhirnya dapat mempengaruhi bagaimana orang merumuskan apa

yang mereka lakukan serta menginterpretasi makna yang terkandung di

dalamnya. Maka, pemaknaan nilai luhur melalui simbol-simbol dalam

kesenian tradisional di Kampung Bumen ini dipandang menjadi sebuah

bentuk komunikasi/interaksi antarindividu melalui suatu media yang di

dalamnya memuat simbol-simbol yang mengandung makna sehingga

dapat mempengaruhi bagaimana orang merumuskan apa yang mereka

lakukan.

Kesenian tradisional Kampung Bumen juga dipandang sebagai

sebuah produk budaya, maka makna fenomena kesenian tradisional

sebagai media interaksi bagi masyarakat Kampung Bumen jika dianalisa

menggunakan konsep yang dikemukakan oleh Raymond Williams (1981:

17), membagi produk budaya menjadi tiga aspek pokok, yaitu (1)

lembaga kebudayaan (institutions), (2) isi kebudayaan (content), dan (3)

efek kebudayaan (effect). Kenyataan menunjukkan bahwa memang

kesenian tradisional di Kampung Bumen dilembagaan oleh masyarakat

Kampung Bumen sendiri sehingga aktivitas kesenian tradisional dapat

terjaga eksistensinya hingga sekarang. Isi/kandungan makna dari

kesenian tradisional di Kampung Bumen sendiri menunjukkan bahwa di

dalamnya memuat makna simbolik, pesan-pesan, serta nilai-nilai luhur

yang dapat dijadikan tuntunan. Kemudian efek yang ditimbulkan dari

Page 156: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

140

adanya aktivitas kesenian tradisional di Kampung Bumen sendiri nampak

dari melekatnya identitas Kampung Bumen sebagai Kampung Seni di

kawasan Kotagede, Yogyakarta. Maka, kesenian tradisional di Kampung

Bumen dapat dikatakan sebagai sebuah produk budaya, dengan kata lain

pendekatan produk budaya dapat diterima sepenuhnya dalam studi kasus

ini.

Kesenian tradisional dipandang sebagai gejala sosial

menempatkan dirinya sebagai aktivitas sosial yang tentunya memiliki

fungsi kemasyarakatan, salah satunya dapat digunakan sebagai ruang

interaksi sosial yang di dalamnya memuat simbol-simbol untuk

merepresentasikan makna daripada nilai-nilai luhur. Kesenian tradisional

di Kampung Bumen sebagai produk budaya tentunya dihasilkan oleh

masyarakat Kampung Bumen dan dikontrol oleh masyarak Kampung

Bumen pula. Kontrol dilaksanakan dengan menjaga nilai-nilai luhur yang

terkandung dalam aktivitas kesenian tradisional itu sendiri. Dari nilai-

nilai yang terkandung dalam aktivitas kesenian tradisional itu sendiri,

tentunya menghasilkan sebuah tuntunan (ajaran moral) dan juga tontonan

(hiburan) bagi masyarakat Kampung Bumen dan masyarakat sekitar.

Dengan adanya efek dari aktivitas kesenian tradisional tersebut, tentunya

terdapat konsekuensi yang harus dipenuhi yaitu eksistensi dari kesenian

tradisional itu sendiri, menyebabkan kesenian tradisional harus dapat

dijaga eksistensinya karena memiliki efek bagi masyarakat. Kesenian

tradisional di Kampung Bumen tidak hanya sebagai aktivitas simbolis

dan juga mengandung pertukaran makna, namun juga sebagai gejala

sosial yang memiliki fungsi kemasyarakatan. Fungsi kemasyarakatan

tersebut juga dapat dikatakan sebagai efek daripada kesenian sebagai

produk budaya, yang di dalamnya terdapat simbol-simbol untuk

berkomunikasi dan memaknai nilai-nilai luhur di Kampung Bumen.

Nilai-nilai luhur yang terkandung dalam simbol-simbol interaksi

pada kesenian tradisional di Kampung Bumen ternyata membentuk pola

klasifikasi nilai yang sama dengan nilai luhur universal yang

Page 157: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

141

dikembangkan oleh Kluckhohn (dalam Koentjaraningrat, 1994: 435),

terbukti sebagian besar termuat dan dimaknai melalui interaksi simbolik

antar pelaku seni dalam kesenian tradisional yang ada di Kampung

Bumen. Nilai-nilai luhur Kluckhohn (dalam Koentjaraningrat, 1994: 435)

tersebut meliputi: (1) masalah universal mengenai hakekat hidup, (2)

masalah universal mengenai hakekat karya dan etos kerja, (3) masalah

universal mengenai hubungan manusia dengan alam, (4) masalah

universal mengenai persepsi manusia tentang waktu, (5) masalah

universal mengenai hubungan manusia dengan sesamanya. Beberapa

nilai-nilai universal tersebut ada yang tidak termuat dalam interaksi di

beberapa kesenian tradisional Kampung Bumen (nilai luhur masalah

universal mengenai hubungan manusia dengan alam), hal ini disebabkan

karena aktivitas dan bentuk kesenian tradisional di Kampung Bumen

yang berbeda-beda sehingga tidak dapat memuat keseluruhan nilai-nilai

luhur universal secara keseluruhan.

Kesenian srandul adalah jenis kesenian yang dapat memuat lima

nilai luhur universal yang dikemukakan oleh Kluckhohn, sedangkan

karawitan, sholawatan, dan macapatan adalah jenis kesenian yang di

dalamnya juga memuat nilai-nilai luhur universal, namun tidak semuanya

dapat termuat secara menyeluruh dikarenakan aktivitas, tujuan, dan

bentuk keseniannya yang berbeda-beda pula. Pemilihan kesenian

tradisional sebagai ruang interaksi dalam memaknai nilai-nilai luhur

dikarenakan bahwa dalam kesenian tradisional, semua pelaku seni

berinteraksi dan saling menangkap makna dari simbol-simbol

komunikasi seperti bahasa, tulisan, busana, gestur, dan juga makna

simbolik dalam kesenian tradisional yang memuat nilai-nilai. Hasil akhir

dari pemaknaan nilai-nilai luhur dari interaksi simbolik pada kesenian

tradisional adalah adanya suatu pemaknaan nilai yang diimplementasikan

dalam sikap (tindakan) dan diharapkan mampu membentuk sebuah

pembentukan budi pekerti sebagai modal sosial seorang individu.

Page 158: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

142

Nilai-nilai luhur yang masih terjaga di suatu daearah merupakan

cerminan pendidikan budi pekerti bagi generasi muda (pelaku seni)

Kampung Bumen, budi pekerti dibentuk dari adanya suatu pemaknaan

terhadap nilai-nilai luhur yang membentuk kepribadian seorang individu.

Budi pekerti seseorang selalu dikaitkan dengan nilai-nilai etika, sopan

santun, agama, filsafat, dan lain-lain. Dari aspek etimologi, budi pekerti

terdiri dari dua kata, yaitu budi dan pekerti. Budi berarti nalar, pikiran,

watak. Sedangkan pekerti berarti tingkah laku, perangai, atau juga watak

(Poerwadarminto dalam Suwardi Endraswara, 2006: 1). Dari makna kata

tersebut, dapat dikemukakan bahwa budi pekerti itu watak atau perbuatan

seseorang sebagai perwujudan hasil pemikiran. Budi adalah alat batin

yang merupakan perpaduan akal, keinginan, dan perasaan untuk

menimbang hal yang baik dan buruk. Pekerti merupakan pencerminan

batin. Dengan demikian, dapat dinyatakan, budi pekerti itu merupakan

sikap dan perilaku yang dilandasi oleh kegiatan berpikir dan merasakan.

Budi pekerti merupakan akumulasi dari cipta-rasa-karsa yang

diaktualisasikan ke dalam sikap, kata-kata, dan tingkah laku seseorang.

Seseorang dikatakan memiliki budi pekerti mulia apabila sikap dan

perilakunya dalam masyarakat dinilai dengan nilai-nilai luhur setempat

tidak menyimpang dan dapat menyesuaikan dengan nilai-nilai tersebut.

Pada dasarnya, Budi pekerti yang mulia adalah sikap dan perilaku yang

mampu menimbang hal yang baik dan buruk, kemudian memilih hal baik

dan dijalankan sesuai nilai-nilai luhur yang ada di lingkungan tempat

suatu individu tinggal. Tujuan daripada budi pekerti bagi seseorang

adalah agar dirinya memiliki moral yang baik dan menjadi modal sosial

bagi dirinya dalam bersosialisasi dengan masyarakat.

Budi pekerti merupakan implementasi dari nilai-nilai luhur

seperti: (1) pengabdian, (2) kejujuran, (3) sopan santun, (4) toleransi, (5)

kedisiplinan, (6) keikhlasan, (7) tanggung jawab, (8) guyub rukun, (9)

tepa slira, (10) tatakrama, (11) gotong royong (Supriyoko dalam

Suwardi Endraswara, 2006: 7). Jika dalam pergaulan seseorang dapat

Page 159: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

143

menjalankan budi pekerti tersebut dengan baik, maka tentu saja

hubungan sosial akan berjalan dengan baik pula. Pergaulan sosial akan

berjalan lancar dan harmonis dalam hubungannya dengan masyarakat.

Budi pekerti akan terkait erat dengan tatakrama pergaulan seseorang di

mana saja. Dengan demikian, tatakrama merupakan unsur penting yang

tidak dapat dipisahkan dengan budi pekerti.

Tatakrama akan meliputi berbagai hal, antara lain aturan moral,

sopan santun, dan etika. Tatakrama dapat terbentuk dari aturan-aturan

norma pergaulan, adat istiadat, dan kebiasaan yang telah berulang.

Tatakrama pada mulanya hanya berlaku pada lingkungan yang terbatas,

kemudian berlaku secara meluas dalam masyarakat. Hubungan antara

budi pekerti, tatakrama, dan budaya memang sulit dipisahkan. Ketiganya

merupakan fenomena yang ada dalam masyarakat yang tentunya selalu

melekat dalam kehidupan seorang individu.

Berdasar pentingnya budi pekerti dan tatakrama seperti uraian di

atas, maka sosialisasi budi pekerti sesungguhnya merupakan wahana

pelestarian nilai-nilai luhur dalam masyarakat, didalamnya tidak sekedar

mentransfer nilai-nilai luhur, melainkan melalui proses kristalisasi nilai.

Sosialisasi nilai-nilai luhur pada hakekatnya adalah sebuah upaya

membentuk budi pekerti yang baik tidak sekedar mentransfer nilai,

melainkan menciptakan proses kristalisasi (Handoko, 2000: 27-29).

Maka, dalam melakukannya tidak tepat jika menggunakan sistem

indoktrinisasi. Maksudnya, nilai-nilai luhur bukanlah doktrin-doktrin

yang harus dipaksakan, karena setiap orang memiliki hak asasi, sehingga

tidak harus dipaksakan dengan beragam nilai-nilai luhur yang ada.

Biarlah nilai-nilai tersebut dimaknai dan diinterpretasi dalam diri, dan

diresapi secara alamiah oleh penerimanya. Jika seseorang setiap saat

harus dihujani nilai-nilai dengan sistem nasihat, maka tidak menutup

kemungkinan suatu ketika seseorang tersebut akan merasa tidak nyaman

dengan bentuk implikasi yang beraneka ragam.

Page 160: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

144

Dengan demikian, pemaknaan nilai-nilai luhur perlu dilakukan

dalam suasana yang kondusif dan tidak memaksa (memasung) kreativitas

seorang individu penerimanya. Dalam hal ini, interaksi dalam kesenian

tradisional memungkinkan para pelakunya memaknai sendiri nilai-nilai

yang terkandung dalam simbol-simbol di kesenian tradisional tersebut.

Simbol-simbol dalam kesenian tradisional Kampung Bumen pada

dasarnya mengandung banyak pembelajaran tentang model keteladanan.

Model keteladanan yang nampak dalam kesenian tradisional yang

ada di Kampung Bumen, beberapa diantaranya adalah sosok karismatik

yang patut diteladani. Beberapa tokoh (figur) yang dapat dijadikan

teladan dalam kesenian tradisional yang ada di Kampung Bumen

misalnya: (1) dalam kesenian srandul, tokoh Sayidina Ali beserta

Istrinya. Mereka berdua mengajarkan nilai-nilai kesetiaan, perjuangan,

dan keberanian dalam melawan kejahatan; (2) dalam kesenian

sholawatan, tokoh Nabi besar Muhammad SAW menjadi figur utama

keteladanan yang perlu dijadikan contoh; (3) dalam kesenian karawitan,

kedudukan alat musik kendang sebagai pemimpin dari gamelan yang

dapat mengatur tempo dan harus dapat menyesuaikan diri dengan alat

musik yang lain, mengajarkan jiwa kepemimpinan bagi seseorang dalam

masyarakat; (4) dalam kesenian macapatan, tokoh Panembahan Senopati

(Raja Mataram Jawa) sebagai salah satu figur keteladanan, karena beliau

selalu mencegah hawa nafsu, selalu bekerja keras, dan selalu berbuat

baik menyenangkan hati semua orang. Figur Panembahan Senopati ini

hadir dalam Serat Wedhatama pupuh Sinom bait ke 1 sebagai berikut:

Nuladha laku utama Tumrapé wong tanah Jawi Wong agung ing Ngèksiganda Panêmbahan Sénapati Kapati amarsudi Sudané hawa lan nêpsu Pinêsu tapa brata

’Contohlah tingkah laku yang terbaik’ ’Untuk kalangan orang di tanah Jawa’ ’Orang mulia dari Mataram’ ’Panembahan Senapati’ ’Seorang yang sangat tekun’ ’Mengurangi hawa dan nafsu’ ’Dengan jalan bertapabrata’

Page 161: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

145

Tanapi ing siyang ratri Amêmangun karyènak tyasing sêsama

’Di siang dan malam hari’ ’Selalu berusaha membuat kebahagian hati sesama’

(Sumber: Suwardi Endraswara, 2006: 17-18)

Berdasar temuan di atas, menunjukkan bahwa nilai-nilai luhur di

Kampung Bumen banyak dimaknai melalui aktivitas simbolik dalam

interaksi antar pelaku seni di kesenian tradisional Kampung Bumen.

Interkasi simbolik tersebut ternyata sebagai media dalam memaknai

nilai-nilai luhur yang ada di Kampung Bumen, dimana nilai-nilai tersebut

membentuk pola klasifikasi nilai luhur yang sama dengan konsep nilai-

nilai luhur universal Kluckhohn (dalam Koentjaraningrat, 1994: 435).

Keberadaan simbol-simbol dalam kesenian tradisional Kampung Bumen

hendaknya perlu dikembangkan dan disosialisasikan oleh para pelaku

seni Kampung Bumen agar lebih dapat digunakan dalam memaknai nilai-

nilai luhur yang ada di Kampung Bumen.

Page 162: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

146

BAB V

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI

A. Kesimpulan

Berdasarkan seluruh hasil dan pembahasan yang telah diuraikan,

dapat ditarik kesimpulan bahwa interaksi simbolik antar pelaku seni pada

kesenian tradisional di Kampung Bumen berinteraksi melalui pemaknaan

simbol-simbol yang terkandung dalam aktivitas kesenian tradisional

tersebut, simbol-simbol itu kemudian digunakan untuk merepresentasikan

nilai-nilai luhur yang ada di Kampung Bumen. Nilai-nilai luhur yang ada

di Kampung Bumen terkategori dalam lima kategori nilai-nilai luhur, nilai-

nilai luhur tersebut meliputi : (1) nilai-nilai luhur mengenai hakekat hidup,

(2) nilai-nilai luhur mengenai hakekat karya dan etos kerja, (3) nilai-nilai

luhur mengenai hubungan manusia dengan alam, (4) nilai-nilai luhur

mengenai persepsi manusia tentang waktu, (5) nilai-nilai luhur mengenai

hubungan manusia dengan sesamanya. Kelima kategori nilai-nilai luhur

tersebut tercermin dan terkandung dalam aktivitas kesenian tradisional di

Kampung Bumen dan dimaknai oleh para pelaku seni yang terlibat di

dalamnya melalui simbol-simbol dalam interaksi antar pelaku seni dalam

kesenian tradisional di Kampung Bumen. Nilai-nilai luhur tersebut

menjadi penting dalam kehidupan bermasyarakat, maka dari itu dengan

pelestarian kesenian tradisional di Kampung Bumen tentunya dapat pula

sebagai upaya untuk menjaga nilai-nilai luhur yang terkandung di

dalamnya.

Adapun kesenian tradisional yang ada di Kampung Bumen antara

lain: srandul, sholawatan, macapatan, dan karawitan. Kesenian

tradisional tersebut memuat nilai-nilai luhur yang berfungsi sebagai

tuntunan, tak hanya sebagai tontonan (hiburan) bagi masyarakat. Dalam

aktivitas kesenian tradisional di Kampung Bumen ini, terdapat makna-

makna simbolik terkait nilai-nilai luhur yang ada di Kampung Bumen.

Makna simbolik tersebut memuat beragam pesan bagi masyarakat

Page 163: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

147

Kampung Bumen (pelaku seni) pada khususnya dan masyarakat sekitar

Kampung Bumen pada umumnya. Makna dan simbol dalam kesenian

tradisional di Kampung Bumen memberi karakteristik khusus pada

tindakan sosial dan interaksi sosial bagi para pelaku seni yang terlibat di

dalamnya. Dengan kata lain, ketika melakukan suatu interaksi, seseorang

(pelaku seni) juga mencoba memperkirakan dampaknya pada individu lain

yang terlibat. Dalam proses interaksi tersebut, secara simbolis seseorang

mengkomunikasikan makna kepada orang lain yang terlibat dalam

interaksi tersebut. Kemudia individu lain akan merespon dengan

menafsirkan simbol-simbol tersebut dan mengarahkan respon tindakannya

berdasarkan penafsiran mereka.

B. Implikasi

Pembahasan mengenai implikasi dari hasil temuan terkait

internalisasi nilai-nilai luhur melalui kesenian tradisional pada masyarakat

Kampung Bumen, terbagi dalam tiga kelompok antara lain:

1. Implikasi Teoritik

Interaksi simbolik antar pelaku seni dalam memaknai nilai

luhur pada kesenian tradisional di Kampung Bumen dapat dinalisa

menggunakan beberapa pendekatan teori dalam mengkajinya.

Pendekatan tersebut berfungsi untuk mengurai temuan-temuan dalam

lapangan berdasar teori-teori ilmu sosial yang telah ada untuk

dibuktikan kebenarannya. Implikasi teoritik bertujuan mengurai

apakah teori-teori tersebut sepenuhnya diterima, diterima sebagian,

atau memungkinkan semuanya ditolak.

Pada studi kasus ini, teori-teori yang digunakan sepenuhnya

dapat diterima karena dapat mempermudah dalam mengurai dan

menggambarkan interaksi simbolik antar pelaku seni dalam memaknai

nilai luhur pada kesenian tradisional di Kampung Bumen.

Page 164: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

148

2. Implikasi Metodologik

Implikasi metodologik dalam studi kasus ini merupakan sebuah

tinjauan mengenai kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan dari

metode yang digunakan dalam mendekati masalah yang ada pada

studi kasus terkait interaksi simbolik antar pelaku seni dalam

memaknai nilai luhur pada kesenian tradisional di Kampung Bumen.

Hal ini perlu dilakukan agar bilamana ada sejumlah kelemahan,

memungkinkan dapat dicari solusinya untuk meningkatkan kesahihan

(validity) dari hasil temuan dari studi kasus ini. Jadi, dengan kata lain

bahwa implikasi metodologik adalah semacam evaluasi terhadap

proses (jalannya) penelitian yang ada pada studi kasus ini. Metodologi

yang digunakan dalam studi kasus ini sepenuhnya dapat diterima

karena dapat mempermudah dalam mengurai dan menggambarkan

interaksi simbolik antar pelaku seni dalam memaknai nilai luhur pada

kesenian tradisional di Kampung Bumen.

Pilihan model analisis data interaktif dalam studi kasus ini

dirasa tepat sebagai teknik analisa dalam studi kasus ini. Dengan

menggunakan teknik analisa model interaktif ini, proses pengumpulan

data dan analisisnya berjalan secara bersamaan, sehingga perjalanan

peneliti dalam studi kasus ini mengalir menentukan arah lanjut dan

semakin mantap hingga pengumpulan data dirasa telah menghasilkan

data selengkap-lengkapnya dan dapat diakhiri. Pekerjaan dalam

penyusunan laporan pada dasarnya hanyalah menyunting sajian data

yang telah ditulis, untuk dijadikan sajian data dalam laporan akhir.

Teknik ini memudahkan dalam penyusunan laporan akhir dari studi

kasus ini, karena tidak banyak memerlukan waktu dalam

penyusunannya.

3. Rekomendasi

Penulisan hasil dari studi kasus ini bukan berarti tidak terdapat

perbaikan-perbaikan. Hal ini dikarenakan penelitian lain dengan tema

serupa memungkinkan dapat dilakukan dengan lebih baik atau lebih

Page 165: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

149

mendalam oleh peneliti lain di waktu mendatang. Terselesaikannya

studi kasus ini memunculkan beberapa rekomendasi/saran yang dapat

dimanfaatkan oleh lain pihak di kemudian hari. Rekomendasi dalam

studi kasus ini terbagi dalam dua kategori, yaitu:

a. Rekomendasi kebijakan

Rekomendasi ini didasarkan pada hasil dan pembahasan

yang berfokus pada rumusan masalah. Dalam studi kasus ini,

menunjukkan bahwa kesenian tradisional sebagai identitas

kampung ternyata tak hanya dapat digunakan untuk memajukan

kesejahteraan Kampung Bumen saja, kesenian tradisional dapat

berfungsi lebih penting lagi yaitu sebagai ruang interaksi simbolik

yang digunakan untuk memaknai nilai-nilai luhur di Kampung

Bumen. Berdasar pentingnya fungsi kesenian tradisional tersebut,

maka diharapkan Pemerintah Kota Yogyakarta dapat lebih peka

dengan fenomena ini.

Apresiasi pemerintah Kota Yogyakarta pada aktivitas

kesenian tradisional memang sudah terbilang baik, hal ini dapat

dilihat dengan adanya intensitas pementasan kesenian tradisional

di Kota Yogyakarta yang semakin meningkat. Namun, apresiasi

(dukungan) tersebut hanya mengarah pada aspek kepentingan

pariwisata semata. Kepentingan ekonomi hanya memandang

bagaimana cara mendatangkan para wisatawan, bahkan terkadang

dengan orientasi semacam ini menjadikan kesenian tradisional

yang sebenarnya memuat tuntunan (ajaran moral), justru kembali

berubah hanya sebagai aktivitas tontonan (hiburan). Hal ini jika

tidak segera diantisipasi maka akan dapat melunturkan nilai-nilai

yang terkandung dalam aktivitas kesenian tradisional tersebut.

Berdasar uraian di atas, rekomendasi kebijakan yang

ditujukan pada pemerintah Kota Yogyakarta adalah agar

pemerintah Kota Yogyakarta dapat lebih memperhatikan nilai-

nilai kandungan yang terdapat dalam setiap aktivitas kesenian

Page 166: digilib.uns.ac.id/Interaks...digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

150

tradisional tersebut. Meskipun kesenian tradisional dapat

berfungsi sebagai pendukung pariwisata di Yogyakarta, namun

hendaknya tidak perlu adanya kreasi dan kombinasi yang

berlebihan dalam kemasan dan pementasannya, agar nilai-nilai

yang terkandung di dalamnya dapat tetap terjaga. Pengembangan

kesenian tradisional hendaknya dilakukan atas dukungan serta

pengawasan dari para pelaku seni dan pemerintah Kota

Yogyakarta, dalam hal ini Dinas Pariwisata, agar aktivitas

tersebut tetap memiliki kandungan nilai-nilai luhur bagi

masyarakat meskipun juga digunakan dalam hal pengembangan

ekonomi kampung kota di bidang pariwisata.

b. Rekomendasi bagi penelitian lebih lanjut

Rekomendasi ini adalah sebuah rekomendasi yang

ditujukan pada penelitian lebih lanjut karena dalam hasil dan

pembahasan dari studi kasus ini menunjukkan celah-celah penting

yang dapat diteliti dan belum terungkap oleh peneliti dalam studi

kasus ini dan tentunya menarik untuk diteliti. Dalam studi kasus

ini, keberadaan kesenian sholawatan sebagai kesenian tertua yang

ada di Kampung Bumen sulit dicari dan ditelusuri asal usul dan

sejarahnya, simbol komunikasi berupa kosa kata yang tercantum

dalam syair-syair pada naskahnya juga banyak mengandung

makna bahasa yang beragam, maka hal ini menjadi celah untuk

dilakukannya penelitian lebih lanjut mengingat kesenian ini

merupakan kesenian yang membanggakan bagi Kampung Bumen,

hal ini karena kesenian sholawatan tersebut sudah dikenal lama

oleh masyarakat kawasan Yogyakarta dan keberadaannya mulai

jarang ditemui di beberapa kawasan di Yogyakarta.