1 kesenjangan ekonomi antar wilayah pada era

17
1 KESENJANGAN EKONOMI ANTAR WILAYAH PADA ERA OTONOMI DAERAH DI INDONESIA* Oleh: Siti Herni Rochana** 1. Pendahuluan 1.1 Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal di Indonesia Era Otonomi Daerah di Indonesia ditandai dengan pemberlakuan UU No. 22 Tahun 1999 (kemudian UU 32/2004 dan UU 12/2008) tentang Pemerintahan Daerah. Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia didorong oleh tuntutan demokrasi yang semakin besar sejak krisis ekonomi Tahun 1998. Fenomena ini sesuai dengan pernyataan Rodden dkk. (2003) yang mengungkapkan bahwa struktur pemerintahan sedang mengalami transformasi besar di berbagai negara di dunia. Dalam beberapa dasawarsa terakhir, tuntutan demokrasi dan kekecewaan terhadap pemerintah pusat dalam pelayanan publik, mendorong politisi untuk menyerahkan sebagian kekuasaan dan sumberdaya kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah. Dalam UU No. 22 Tahun 1999 dinyatakan bahwa pemberlakuan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung-jawab kepada daerah secara proporsional, yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, sesuai dengan prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, dan keadilan, serta potensi dan keanekaragaman daerah, yang dilaksana-kan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam penjelasan undang-undang tersebut dinyatakan pula bahwa pelaksanaan Otonomi Daerah yang luas dan utuh diletakan pada daerah kabupaten dan daerah kota, sedangkan otonomi daerah provinsi merupakan otonomi yang terbatas. Pelaksanaan Otonomi Daerah akan berimplikasi pada perubahan dalam struktur anggaran pemerintah pusat dan daerah. Sesuai dengan prinsip the money follows functions maka penyerahan tugas dan kewenangan yang diberikan Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah harus disertai dengan penyerahan anggaran untuk pelaksanaan tugas dan kewenangan yang dilimpahkan. Dalam Ilmu Ekonomi, penyerahan anggaran dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah disebut dengan desentralisasi fiskal. Berkaitan dengan hal tersebut, maka untuk mendukung pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia, dikeluarkan Undang-undang tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yaitu UU No. 25 Tahun 1999, kemudian diperbaiki oleh UU No. 33 Tahun 2004. * Pemenang Juara 1 Tingkat Propinsi Jawa Barat dan Juara Harapan 3 Tingkat Nasional (Kategori S2, S3, Dosen) Sayembara Karya Tulis Otonomi Daerah 2013 yang diselenggarakan oleh APKASI (Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia) ** Dosen pada Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, SAPPK ITB.

Upload: nguyenliem

Post on 12-Jan-2017

226 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: 1 KESENJANGAN EKONOMI ANTAR WILAYAH PADA ERA

1

KESENJANGAN EKONOMI ANTAR WILAYAH PADA ERA OTONOMI DAERAH

DI INDONESIA*

Oleh: Siti Herni Rochana**

1. Pendahuluan

1.1 Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal di Indonesia

Era Otonomi Daerah di Indonesia ditandai dengan pemberlakuan UU No. 22 Tahun

1999 (kemudian UU 32/2004 dan UU 12/2008) tentang Pemerintahan Daerah. Pelaksanaan

Otonomi Daerah di Indonesia didorong oleh tuntutan demokrasi yang semakin besar sejak

krisis ekonomi Tahun 1998. Fenomena ini sesuai dengan pernyataan Rodden dkk. (2003)

yang mengungkapkan bahwa struktur pemerintahan sedang mengalami transformasi besar

di berbagai negara di dunia. Dalam beberapa dasawarsa terakhir, tuntutan demokrasi dan

kekecewaan terhadap pemerintah pusat dalam pelayanan publik, mendorong politisi untuk

menyerahkan sebagian kekuasaan dan sumberdaya kepada tingkat pemerintahan yang

lebih rendah.

Dalam UU No. 22 Tahun 1999 dinyatakan bahwa pemberlakuan Otonomi Daerah

dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung-jawab

kepada daerah secara proporsional, yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan

pemanfaatan sumber daya nasional, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, sesuai

dengan prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, dan keadilan, serta potensi

dan keanekaragaman daerah, yang dilaksana-kan dalam kerangka Negara Kesatuan

Republik Indonesia. Dalam penjelasan undang-undang tersebut dinyatakan pula bahwa

pelaksanaan Otonomi Daerah yang luas dan utuh diletakan pada daerah kabupaten dan

daerah kota, sedangkan otonomi daerah provinsi merupakan otonomi yang terbatas.

Pelaksanaan Otonomi Daerah akan berimplikasi pada perubahan dalam struktur

anggaran pemerintah pusat dan daerah. Sesuai dengan prinsip the money follows functions

maka penyerahan tugas dan kewenangan yang diberikan Pemerintah Pusat kepada

Pemerintah Daerah harus disertai dengan penyerahan anggaran untuk pelaksanaan tugas

dan kewenangan yang dilimpahkan. Dalam Ilmu Ekonomi, penyerahan anggaran dari

Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah disebut dengan desentralisasi fiskal.

Berkaitan dengan hal tersebut, maka untuk mendukung pelaksanaan Otonomi Daerah di

Indonesia, dikeluarkan Undang-undang tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah

Pusat dan Daerah yaitu UU No. 25 Tahun 1999, kemudian diperbaiki oleh UU No. 33 Tahun

2004.

* Pemenang Juara 1 Tingkat Propinsi Jawa Barat dan Juara Harapan 3 Tingkat Nasional (Kategori

S2, S3, Dosen) Sayembara Karya Tulis Otonomi Daerah 2013 yang diselenggarakan oleh APKASI (Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia)

** Dosen pada Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, SAPPK ITB.

Page 2: 1 KESENJANGAN EKONOMI ANTAR WILAYAH PADA ERA

2

Pada era setelah pemberlakuan Otonomi Daerah, pelaksanaan desentralisasi fiskal di

Indonesia meningkat secara signifikan. Bagian pengeluaran pemerintah daerah pada Tahun

Anggaran 2001 meningkat hampir dua kali lipat dari tahun sebelumnya menjadi sekitar 30%

dari total pengeluaran pemerintah pusat dan daerah (Brodjonegoro dan Martinez-Vazquez,

2002; Rochana, 2010). Dalam kaitan ini, Bank Dunia memberikan istilah The Indonesia’s

2001 Big Bang Decentralization karena hanya dalam ”semalam” Indonesia berubah dari

negara yang sangat sentralistik menjadi negara yang sangat desentralistik (Bank Dunia,

2003).

Secara teoretis, alasan ekonomi desentralisasi fiskal adalah meningkatkan efisiensi

penyediaan barang publik sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi (Oates, 1972;

Martinez-Vazquez dan McNab, 2003; Brueckner, 2006). Berbeda dengan barang privat,

barang publik memiliki karekteristik nonexcludable dan nonrival, yang menyebabkan

mekanisme pasar gagal mencapai kondisi pareto efisien. Untuk efisiensi alokasi barang

publik, Teori Ekonomi menawarkan desentralisasi. Tiebout Hypothesis (Tiebout, 1956), Club

Good Theory (McGuire, 1974), Decentralization Theorem (Oates, 1972), Misperceifed

Preferences (Stigler, 1957), dan Public Choice (Brenan dan Buchanan, 1980)

mengungkapkan bahwa sistem pemerintahan yang terdesentralisasi dapat menciptakan

mekanisme quasi market untuk barang publik yang akan menghasilkan solusi mirip pasar

(market like solution), yaitu alokasi barang publik yang efisien seperti alokasi barang privat

dalam mekanisme pasar.

Dibalik harapan bahwa Otonomi Daerah dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi,

Otonomi Daerah juga berpotensi meningkatkan disparitas pendapatan regional jika tidak

dikelola dengan baik (Prud’homme, 1995; Lessmann, 2006; Shah, 2006). Kekhawatiran ini

muncul karena dalam sistem desentralisasi, Pemerintah Daerah mengelola anggaran

masing-masing dengan mempertimbangkan kesejahte-raan warganya tanpa berkewajiban

memperhatikan warga diluar wilayahnya.

1.2 Tujuan Penulisan

Pelaksanaan Otonomi Daerah dikhawatirkan membawa efek samping disparitas

pendapatan antar wilayah. Hal ini disebabkan karena Otonomi Daerah membawa

konsekuensi desentralisasi fiskal yang cenderung membuat anggaran antar daerah lebih

beragam. Keragaman anggaran daerah berpotensi menciptakan kesenjangan ekonomi antar

wilayah, karena Pemerintah Daerah akan mengutamakan kesejahteraan warganya tanpa

berkewajiban mengurus kesejahteraan daerah lain.

Berkaitan dengan pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia, kesenjangan ekonomi

antar wilayah tentu akan kontra produktif bagi penguatan NKRI (Negara Kesatuan Republik

Indonesia). Oleh karena itu, tulisan ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang

Page 3: 1 KESENJANGAN EKONOMI ANTAR WILAYAH PADA ERA

3

hubungan antara pelaksanaan Otonomi Daerah dan kesenjangan ekonomi antar wilayah

melalui desentralisasi fiskal baik secara teoretis maupun empiris di Indonesia. Pada bagian

akhir tulisan juga ditawarkan saran kebijakan sebagai upaya mewujudkan perekonomian

yang lebih merata.

2. Implikasi Otonomi Daerah pada Struktur Anggaran Publik

2.1 Proporsi Anggaran Pemerintah Daerah

Pemberlakuan Otonomi Daerah membawa konsekuensi perubahan dalam struktur

anggaran publik. Penyerahan sebagian urusan pemerintahan dari Pemerintah Pusat kepada

Pemerintah Daerah berimplikasi pada penyerahan anggaran untuk pelaksanaan urusan

yang dilimpahkan. Oleh karena itu, pemberlakuan Otonomi Daerah harus disertai dengan

revisi aturan hubungan keuangan antar tingkat pemerintahan.

Peraturan hubungan keuangan antar tingkat pemerintah untuk mendukung pelaksanaan

Otonomi Daerah di Indonesia diwujudkan dalam UU No. 23 Tahun 1999 tentang

Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, kemudian disempurnakan

dalam UU No. 33 Tahun 2004. Dengan kedua Undang-undang terse-but, terjadi penyerahan

sebagian pengelolaan anggaran dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah atau

dalam ekonomi dikenal dengan istilah desentralisasi fiskal.

Pada era setelah pemberlakuan Otonomi Daerah, derajat desentralisasi fiskal di

Indonesia meningkat secara signifikan. Hasil penelitian penulis menunjukan derajat

desentralisasi fiskal Tahun 2001 menjadi 25,77%, meningkat dari angka 17,28% pada tahun

sebelumnya. Kemudian setelah Tahun 2001, desentralisasi fiskal di Indonesia terus

mengalami kenaikan hingga diatas 30%. Pada Tahun 2002 derajat desentralisasi fiskal

berada pada tingkat 33,84% dan pada Tahun 2007 mencapai 38,39% (Rochana, 2010).

Besarnya derajat desentralisasi fiskal di Indonesia setelah Otonomi Daerah dapat

disejajarkan dengan negara maju seperti Amerika Serikat 40,0%, Norwegia 38,8% dan rata-

rata negara anggota OECD 32.2% (Gruber, 2007).

2.2 Keragaman Anggaran Daerah

Pemberlakuan Otonomi Daerah sering dihubungkan dengan perbedaan anggaran antar

daerah yang semakin beragam. Untuk melihat keragaman anggaran, penulis menghitung

Indeks Williamson penerimaan APBD per kapita antar kabupaten/kota pada enam tahun

pengamatan yang terdiri dari satu tahun pengamatan sebelum Otonomi Daerah yaitu Tahun

1995 dan lima tahun pengamatan setelah Otonomi Daerah yaitu Tahun 2003, 2005, 2007,

2009, dan 2011 (Lampiran 1.a). Nilai Indeks Williamson yang semakin tinggi menunjukan

keragaman anggaran daerah yang semakin besar. Hasil perhitungan Indeks Williamson

keragaman APBD per kapita dapat dilihat pada Gambar 1.

Page 4: 1 KESENJANGAN EKONOMI ANTAR WILAYAH PADA ERA

4

Secara umum, grafik nilai Indeks Williamson pada Gambar 1 menunjukan pola yang

menaik setelah Otonomi Daerah. Pada sebelum Otonomi Daerah yaitu Tahun 1995, nilai

Indeks Williamson masih berada pada angka 0,4947. Setelah Otonomi Daerah, Indeks

Williamson terus menunjukan peningkatan kecuali pada Tahun 2007 yang menurun sedikit

tetapi nilainya masih diatas angka yang dicapai pada Tahun 1995 yaitu menjadi 0,7029.

Selanjutnya pada Tahun 2011, nilai Indeks Williamson mencapai 0,7513. Nilai Indeks

Williamson yang cenderung terus meningkat pada rentang Tahun 1995-2011 menunjukan

adanya disparitas anggaran yang semakin besar pada Era Otonomi Daerah.

Disparitas anggaran yang cenderung semakin besar dapat terjadi karena pelaksanaan

desentralisasi fiskal. Desentralisasi fiskal sebagai konsekuensi dari Otonomi Daerah

berdampak pada kewenangan Pemerintah Daerah yang lebih luas dalam penerimaan

daerah termasuk PAD dan DBH. Komponen PAD dan DBH antar daerah sangat beragam

karena potensi pajak dan sumberdaya alam antar daerah juga beragam. Daerah yang

memiliki potensi pajak yang tinggi atau sumber daya alam melimpah cenderung mendapat

penerimaan lebih besar. Perbedaan penerimaan antar daerah semakin lebar sejak

pemberlakuan UU No. 28 Tahun 2009 karena komponen PAD bertambah dengan PBB dan

BPHTB.

Perbedaan dalam penerimaan anggaran akan berdampak pada perbedaan

pengeluaran. Selanjutnya, perbedaan pengeluaran pemerintah dapat menyebabkan

perbedaan output antar daerah. Hal ini disebabkan karena pengeluaran pemerintah

merupakan salah satu variabel penentu output. Penjelasan teoretis mengenai pengaruh

pengeluaran pemerintah terhadap output akan diuraikan selanjutnya.

0.4947

0.67860.7298

0.70290.7352 0.7513

0.0

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0.7

0.8

0.9

1.0

1995 2003 2005 2007 2009 2011

Gambar 1. Indeks Williamson APBD per Kapita Kabupaten/Kota di Indonesia

Tahun

Indeks Williamson

Page 5: 1 KESENJANGAN EKONOMI ANTAR WILAYAH PADA ERA

5

3. Peran Pengeluaran Pemerintah Daerah dalam Perekonomian Lokal

Performan perekonomian suatu wilayah merupakan hasil kinerja dari sebuah sistem

ekonomi. Dalam sistem ekonomi, terdapat pelaku ekonomi yang terdiri dari produsen,

konsumen, dan pemerintah. Produsen dan konsumen berinteraksi dalam sistem pasar.

Sedangkan pemerintah mempengaruhi pasar melalui pemberlakuan kebijakan ekonomi baik

moneter maupun fiskal.

Peran pemerintah dalam perekonomian dibahas dalam Teori Ekonomi Publik. Teori

Ekonomi Publik menyatakan bahwa pemerintah seyogyanya melakukan intervensi pasar jika

memiliki legitimasi untuk campur tangan. Legitimasi campur tangan pemerintah kedalam

perekonomian adalah adanya kegagalan pasar (market failure) dan redistribusi pendapatan.

Kegagalan pasar dapat terjadi pada kasus monopoli, eksternalitas, barang publik, dan

asimetri informasi (Rosen dan Gayer, 2008; Gruber, 2007).

Performan perekonomian dapat diukur dari berbagai indikator variabel ekonomi makro

seperti output, pertumbuhan, pengangguran, dan inflasi. Namun variabel utama yang sering

digunakan sebagai indikator perekonomian adalah output. Dalam pemakaian praktis, output

dapat dianggap sebagai pendapatan. Hal ini disebabkan karena nilai seluruh barang dan

jasa yang dijual oleh suatu wilayah sama dengan nilai uang yang diterima oleh wilayah

tersebut.

Output didefinisikan sebagai nilai seluruh barang dan jasa akhir yang dihasilkan suatu

wilayah pada jangka waktu tertentu. Tingkat output merupakan resultan dari tarik menarik

antara permintaan agregat (aggregate demand) dan penawaran agregat (aggregate supply).

Permintaan agregat adalah jumlah seluruh barang dan jasa yang diminta untuk setiap

tingkat harga. Sedangkan penawaran agregat adalah jumlah seluruh barang dan jasa yang

ditawarkan untuk setiap tingkat harga (Mankiw, 2009; Samuelson dan Nordhaus, 2005; Blair

dan Carroll, 2009).

Peran pengeluaran pemerintah terhadap output dilukiskan pada Gambar 2. Pengaruh

pengeluaran pemerintah dapat terjadi melalui sisi permintaan (demand side) maupun sisi

penawaran (supply side). Dari sisi permintaan, pengaruh pengeluaran pemerintah dikaji

melalui perubahan dalam permintaan agregat. Sedangkan dari sisi penawaran, pengaruh

pengeluaran pemerintah dikaji melalui perubahan dalam penawaran agregat. Dalam lingkup

regional, pengeluaran pemerintah daerah turut berperan dalam menentukan output wilayah.

Oleh karena itu, pengaruh pengeluaran Pemerintah Daerah terhadap perekonomian lokal

dapat dikaji dari kedua sisi ekonomi tersebut.

Page 6: 1 KESENJANGAN EKONOMI ANTAR WILAYAH PADA ERA

6

3.1 Kajian Sisi Permintaan

Peran pengeluaran pemerintah terhadap output melalui sisi permintaan yang dilukiskan

pada Gambar 2 dapat dibentuk dalam persamaan Keynesian. Berdasarkan persamaan

Keynesian, otuput (Y) merupakan penjumlahan dari konsumsi (C), investasi (I), pengeluaran

pemerintah (G) dan ekspor bersih (X-M). Dalam bentuk persamaan matematik, output dapat

ditulis : Y = C + I + G + (X-M).

Komponen pengeluaran pemerintah (G) merupakan belanja pemerintah baik untuk

barang maupun jasa. Menurut Mankiw (2009) komponen pengeluaran pemerin-tah dapat

berupa belanja pemerintah (government purchase) atau transfer (transfer payment). Belanja

pemerintah akan langsung menentukan besar permintaan agregat. Sedangkan transfer

payment merupakan pengeluaran pemerintah bukan untuk pembelian barang akhir tetapi

untuk pembayaran dimana pemerintah tidak mendapat-kan barang maupun jasa seperti

pengeluaran untuk jaminan kesehatan.

Besar peran pemerintah dalam mempengaruhi permintaan agregat dapat dilihat dari

nilai multiplier. Nilai multiplier menunjukan besar perubahan output yang diakibatkan

perubahan pengeluaran pemerintah. Penurunan matematik nilai multiplier dapat dilihat pada

Lampiran 2. Dari Lampiran 2, nilai multiplier untuk pengeluaran pemerintah adalah: m = 1/(1-

k1+k2) > 0, dimana k1 adalah kecenderungan mengkon-sumsi dan k2 adalah kecenderungan

mengimpor.

Dari rumus multiplier terlihat bahwa m bernilai positif, artinya semakin besar

pengeluaran pemerintah, maka semakin besar permintaan agregat. Dengan besarnya

permintaan agregat maka pada gilirannya akan semakin besar pula output yang dihasilkan

Pengeluaran Pemerintah (pembelian barang/jasa

akhir)

Konsumsi

Investasi

Ekspor bersih

Output

Pengeluaran

Pemerintah

Penawaran Agregat Permintaan Agregat

Gambar 2. Peran Pengeluaran Pemerintah terhadap Output melalui Sisi Permintaan dan Sisi Penawaran

Teknologi

Kapital/ Modal

Tenaga

Kerja Pendidikan

Kesehatan

Penelitian

Pengembangan

Bantuan modal

Infrastruktur

Page 7: 1 KESENJANGAN EKONOMI ANTAR WILAYAH PADA ERA

7

suatu daerah. Pada kondisi ini, peningkatan output yang terjadi disebabkan oleh tarikan sisi

permintaan (demand pull).

3.2 Kajian Sisi Penawaran

Peran pengeluaran pemerintah melalui sisi penawaran pada Gambar 2 dapat dijelaskan

dari fungsi produksi neoklasik. Dalam fungsi produksi neoklasik, variabel penentu output (Y)

adalah teknologi (A), kapital (K), dan tenaga kerja (L). Fungsi matematik untuk output dapat

ditulis: Y=F(A, K, L).

Berbeda dari kajian sisi permintaan dimana pengeluaran pemerintah secara eksplisit

diwujudkan dalam variabel G, dalam kajian sisi penawaran, pengeluaran pemerintah tidak

secara eksplisit diwujudkan dalam variabel penjelas. Pengeluaran pemerintah dapat

mempengaruhi teknologi (A) melalui investasi pemerintah dalam bidang peneltian dan

pengembangan. Pengeluaran pemerintah juga dapat mempe-ngaruhi kapital (K) melalui

pemberian bantuan modal atau pembangunan infrastruktur. Selanjutnya pengeluaran

pemerintah dapat meningkatkan produktivitas tenaga kerja (L) melalui pendidikan dan

pelatihan, serta pelayanan kesehatan (Gambar 2).

Besar peran pemerintah dalam menentukan penawaran agregat diuraikan dalam

Lampiran 3. Dari Lampiran 3 ditemukan bahwa multiplier bernilai positif, artinya penawaran

agregat berbanding lurus dengan pengeluaran pemerintah. Semakin besar pengeluaran

pemerintah maka semakin besar pula penawaran agregat. Penawaran agregat yang besar

selanjutnya akan mendorong peningkatan output.

4. Kesenjangan Ekonomi antar Wilayah pada Era Otonomi Daerah

4.1 Hubungan Otonomi Daerah dan Kesenjangan Ekonomi antar Wilayah

Secara umum, hubungan Otonomi Daerah dan kesenjangan ekonomi antar wilayah

dapat dilihat pada Gambar 3. Pelaksanaan Otonomi Daerah membawa konsekuensi

desentralisasi fiskal yang cenderung membuat anggaran daerah lebih beragam. Karena

besar pengeluaran pemerintah tergantung dari besar penerimaan, maka keragaman

penerimaan pemerintah daerah akan berdampak pada keragaman pengeluaran.

Pengeluaran daerah kaya cenderung lebih besar daripada pengeluaran daerah miskin.

Selanjutnya, perbedaan pengeluaran berdampak pada output yang dihasilkan, dimana

output daerah kaya akan lebih tinggi daripada output daerah miskin.

Otonomi

Daerah

Desentralisasi

Fiskal

Keragaman Anggaran

Daerah

Kesenjangan Ekonomi antar

Wilayah Money follows

function

Gambar 3. Hubungan Otonomi Daerah dan Kesenjangan Ekonomi antar Wilayah

Sisi permintaan

Sisi penawaran

Page 8: 1 KESENJANGAN EKONOMI ANTAR WILAYAH PADA ERA

8

Prud’homme (1995) menambahkan bahwa pemberlakuan desentralisasi menye-babkan

daerah kaya akan memiliki sumber pajak lebih banyak. Kondisi ini terjadi melalui beberapa

tahap. Pertama, pemerintah pada daerah kaya mampu mengum-pulkan pajak lebih besar

sehingga dapat menyediakan barang publik lebih banyak. Kemudian, mereka akan

menawarkan barang dan jasa publik dengan harga (pajak) lebih murah. Dengan demikian

daerah kaya akan lebih menarik baik bagi perusahaan maupun rumahtangga untuk tinggal,

dan pada gilirannya akan menyediakan sumber pajak lebih banyak bagi pemerintah daerah.

Faktor lain yang memperburuk kesenjangan ekonomi antar wilayah pada Era Otonomi

Daerah adalah kapasitas Pemerintah Pusat dalam membuat transfer pemera-taan semakin

sempit (Lessmann, 2006; Oates, 2008). Dengan Otonomi Daerah, pengeluaran lebih banyak

dilakukan oleh Pemerintah Daerah sehingga dana yang dipegang Pemerintah Pusat

semakin sedikit. Hal ini menyebabkan Pemerintah Pusat memiliki ruang yang terbatas untuk

membuat kebijakan pemerataan antar daerah.

Studi empiris dampak pelaksanaan Otonomi Daerah terhadap kesenjangan ekonomi

antar wilayah di berbagai negara menunjukan hasil yang beragam. Penelitian di Cina (Qiao

dkk., 2007) dan Kolombia (Bonet, 2006) menunjukan bahwa pelaksanaan Otonomi Daerah

berdampak pada peningkatan disparitas pendapatan antar wilayah. Sementara, Rodriguez-

Pose dan Pzeurra (2009) yang meneliti desentralisasi di 26 negara menemukan perbedaan

dampak desentralisasi terhadap disparitas pendapatan di negara maju, berkembang dan

miskin. Di negara maju, desentralisasi berdampak pada penurunan disparitas pendapatan

antar wilayah. Sebaliknya di negara berkembang dan miskin, desentralisasi berdampak

pada peningkatan disparitas pendapatan antar wilayah.

4.2 Kesenjangan Ekonomi antar Wilayah pada Era Otonomi Daerah di Indonesia

Untuk melihat kesenjangan ekonomi antar wilayah pada Era Otonomi Daerah di

Indonesia, penulis menghitung Indeks Williamson PDRB per kapita kabupaten/kota periode

1995-2011 (Lampiran 1.b). Nilai Indeks Williamson yang semakin tinggi menunjukan

kesenjangan ekonomi antar daerah yang semakin besar. Hasil perhitungan Indeks

Williamson PDRB per kapita dapat dilihat pada Gambar 4.

Dari Gambar 4 terlihat bahwa pada masa sebelum Otonomi Daerah Tahun 1995, Indeks

Williamson masih berada pada angka 0,7210. Setelah Otonomi Daerah, Indeks Williamson

meningkat menjadi 1.1613 pada 2003 dan 1,4501 pada 2005. Kemudian Tahun 2007,

Indeks Williamson menurun sedikit menjadi 1,4118. Selanjutnya pada Tahun 2011, Indeks

Williamson mencapai 1,4559. Nilai Indeks Williamson PDRB per kapita yang cenderung

meningkat pada rentang Tahun 1995-2011 menunjukan adanya kesenjangan ekonomi antar

wilayah yang semakin besar pada Era Otonomi Daerah.

Page 9: 1 KESENJANGAN EKONOMI ANTAR WILAYAH PADA ERA

9

Kesenjangan ekonomi yang semakin besar pada Era Otonomi Daerah berkaitan dengan

keragaman anggaran yang semakin tinggi. Hal ini terlihat dengan membandingkan grafik

Indeks Williamson APBD per kapita pada Gambar 1 dan grafik Indeks Williamson PDRB per

kapita pada Gambar 4. Kedua grafik tersebut tampak memiliki pola pergerakan yang

menaik. Kemiripan pola kedua grafik tersebut menunjukan bahwa peningkatan kesenjangan

ekonomi antar wilayah berhubungan dengan peningkatan keragaman anggaran antar

daerah.

Selain keragaman anggaran, perbedaan dalam pengelolaan urusan pemerintahan

dapat menjadi penyebab keragaman pendapatan. Sejak Otonomi Daerah, sebagian urusan

pemerintahan dilimpahkan ke daerah seperti diatur dalam UU 22/1999, UU 32/2004, dan PP

38/2007. Dalam mengelola urusan pemerintahan, setiap daerah memiliki kemampuan

berbeda karena perbedaan dalam faktor endowment. Faktor endowment tersebut antara

lain: kapasitas pemerintah daerah, sumberdaya manusia, dan ketersediaan infrastruktur.

Perbedaan pengelolaan urusan pemerintahan pada gilirannya menyebabkan perbedaan

kecepatan pertumbuhan ekonomi yang terefleksi-kan dalam disparitas pendapatan yang

semakin besar.

5. Kesimpulan

Secara teoretis, Otonomi Daerah berpotensi meningkatkan kesenjangan ekonomi antar

wilayah. Hal ini terjadi karena Otonomi Daerah membawa konsekuensi desentralisasi fiskal

dimana sebagian pengelolaan anggaran pemerintah dilimpahkan ke daerah. Desentralisasi

fiskal, jika tidak disertai dengan transfer pemerataan yang tepat, dapat menimbulkan

perbedaan dalam penerimaan daerah sehingga pengeluaran pemerintah daerah juga

berbeda. Perbedaan pengeluaran pemerintah daerah dapat menimbulkan kesenjangan

pendapatan antar wilayah, karena pengeluaran pemerintah merupakan salah satu variabel

penentu output baik melalui sisi permintaan maupun sisi penawaran.

0.7210

1.1613

1.4501 1.4118 1.41951.4559

0.0

0.2

0.4

0.6

0.8

1.0

1.2

1.4

1.6

1.8

1995 2003 2005 2007 2009 2011

Gambar 4. Indeks Williamson PDRB per Kapita Kabupaten/Kota di Indonesia

Tahun

Indeks Williamson

Page 10: 1 KESENJANGAN EKONOMI ANTAR WILAYAH PADA ERA

10

Hasil perhitungan Indeks Williamson untuk penerimaan APBD per kapita dan PDRB per

kapita antar kabupaten/kota pada rentang Tahun 1995-2011 menunjukan pola yang serupa

yaitu cenderung menaik. Kemiripan dalam pola kenaikan Indeks Williamson untuk APBD per

kapita dan PDRB per kapita menunjukan adanya keragaman anggaran antar daerah yang

semakin besar yang disertai dengan kesenjangan ekonomi antar wilayah yang juga semakin

besar pada Era Otonomi Daerah.

6. Saran

Kesenjangan ekonomi antar wilayah tentu kontra produktif dengan pemberlakuan

Otonomi Daerah untuk penguatan NKRI. Seperti dikemukakan oleh Isran Noor (2012:9)

bahwa demokrasi senantiasa harus mengandung muatan orientasi kesejahteraan rakyat.

Tanpa peningkatan kesejahteraan rakyat, sendi-sendi demokrasi akan rapuh. Oleh karena

itu, permasalahan kesenjangan ekonomi harus segera diatasi agar demokrasi pada Era

Otonomi Daerah berjalan dengan baik.

Seperti telah disimpulkan, perbedaan penerimaan anggaran daerah berasosiasi dengan

kesenjangan ekonomi antar wilayah. Dengan demikian, salah satu cara menurunkan

kesenjangan ekonomi antar wilayah adalah memperkecil perbedaan anggaran antar daerah

dengan meningkatkan penerimaan daerah tertinggal melalui penambahan transfer. Dalam

menyusun transfer, Shah (2006) memberikan arahan mengenai prinsip yang perlu

diperhatikan yang diuraikan pada Lampiran 4. Berpedoman pada arahan tersebut, penulis

menawarkan saran desain hubungan keuangan untuk menambah penerimaan daerah

tertinggal sebagai upaya pemerataan anggaran yang diuraikan pada Lampiran 5.

Selanjutnya untuk memperkecil kesenjangan, perlu ada akselerasi pertumbuhan

ekonomi di daerah tertinggal. Berkaitan dengan akselerasi, anggaran seyogyanya juga

digunakan untuk membangun infrastruktur ekonomi diantaranya transportasi, energi dan

telekomunikasi. Pada banyak kasus, infrastruktur merupakan salah satu trigger yang dapat

menciptakan akselerasi pertumbuhan ekonomi (Pradhan dan Bagchi, 2013; Roberts dkk.,

2012; Hong dkk., 2011; Donaldson, 2010; Seetanah, 2009; Roller dan Waverman, 2001).

Sebagai tambahan, penulis menyarankan untuk meningkatkan kapasitas pemerin-tah

daerah melalui peningkatan kualitas sumberdaya manusia. Seperti telah dibahas

sebelumnya bahwa perbedaan kapasitas pemerintah daerah memberikan kontribusi bagi

kesenjangan ekonomi antar wilayah. Oleh karena itu, daerah perlu meningkatkan kualitas

sumberdaya manusia yang dapat dilakukan melalui pendidikan, pelatihan, dan sistem

rekruitmen pegawai yang kompetitif. Mengingat bahwa pada Era Otonomi Daerah, lembaga

legislatif yaitu DPRD juga memiliki kewenangan yang cukup besar dalam pengelolaan

urusan pemerintahan, maka peningkatan kualitas sumberdaya manusia di lembaga tersebut

juga perlu ditingkatkan.

Page 11: 1 KESENJANGAN EKONOMI ANTAR WILAYAH PADA ERA

11

Referensi

Armstrong, Harvey and Jim Taylor. 2000. Regional Economics and Policy. Third Edition. Malden: Blackwell Publishing. Blair, John P. and Michael C. Carroll. 2009. Local Economic Development. Analysis, Practices, and Globalization. Second Edition. Thousand Oaks: Sage Publications, Inc. Bonet, Jaime. 2006. Fiscal Decentralization and Regional Income Disparities: Evidence from the Colombian Experience. The Annals of Regional Science 40(3):661-676. Brodjonegoro, Bambang and Jorge Martinez-Vazquez. 2002. An Analysis of Indone-sia’s Transfer System: Recent Performance and Future Prospects. International Studies Program Working Paper, at AYSPS, GSU 02-13. Brueckner, Jan K. 2006. Fiscal Federalism and Economic Growth. Journal of Public Economics 90:2107-2120. Donaldson, Dave. 2010. Railroads of The Raj: Estimating The Impact of Transportation Infrastructure. NBER Working Paper 16487. Gruber, Jonathan. 2007. Public Finance and Public Policy. Second Edition. New York: Worth Publisher. Hong, Junjie, Zhaofang Chu and Qiang Wang. 2011. Transport Infrastructure and Regional Economic Growth: Evidence from China. Transportation 38:737–752. Lall, Somik V. 2007. Infrastructure and Regional Growth. Growth Dynamics and Policy Relevance for India. The Annals of Regional Science 41:581–599. Lessmann, Christian. 2006. Fiscal Decentralization and Regional Disparity: A Panel Data Approach for OECD Countries. Ifo Working Paper No. 25. Mankiw, N. Gregory. 2009. Macroeconomics. Seventh Edition. New York: Worth Publishers. Martinez-Vazquez, Jorge and Robert M. McNab 2003. Fiscal Decentralization and Economic Growth. World Development 31(9):1597-1616. Noor, Isran. 2012. Politik Otonomi Daerah untuk Penguatan NKRI. Seven Strategic Studies. Oates, Wallace E. 1972. Fiscal Federalism. New York : Harcourt Brace Jovanovich in Oates, Wallace E. 2008. On the Evolution of Fiscal Federalism: Theory and Institutions. National Tax Journal 61(2):313-334. Prud’homme, Remy. 1995. The Dangers of Decentralization. The World Bank Research Observer 10(2):201-220. Pradhan, Rudra P. and Tapan P. Bagchi. Effect of Transportation Infrastructure on Economic Growth in India: The VECM Approach. Research in Transportation Economics 38(1):139-148. Roberts, Mark, Uwe Deichmann, Bernard Fingleton, and Tuo Shi. 2012. Evaluating China's Road to Prosperity: A New Economic Geography Approach. Regional Science and Urban Economics 42:580–594.

Page 12: 1 KESENJANGAN EKONOMI ANTAR WILAYAH PADA ERA

12

Rochana, Siti Herni. 2010. Desentralisasi Fiskal, Pertumbuhan Ekonomi, dan Disparitas Pendapatan Regional di Indonesia. Bandung: Disertasi Program Pasca-sarjana, Fakultas Ekonomi, Universitas Padjadjaran. Rodden, Jonathan A., Gunnar S. Eskeland, and Jennie Litvack. 2003. Fiscal Decentra-lization and the Challenge of Hard Budget Constraints. Cambridge: The MIT Press. Rodriguez-Pose, Andres and Roberto Pzeurra. 2009. Does Decentralization Matter for Regional Disparities? A Cross Country Analysis. Imdea Working Paper 2009/4. Roller, Lars-Hendrik and Leonard Waverman. 2001. Telecommunications Infrastructure and Economic Development: A Simultaneous Approach. The American Economic Review. 91(4):909-923. Rosen, Harvey S. and Ted Gayer. 2008. Public Finance. Eight Edition. New York: McGraw-Hill. Samuelson, Paul A. and William D. Nordhaus. 2005. Economics. Eighteenth Edition. New York: McGraw-Hill. Seetanah, B., Ramessur S. and Rojid S. 2009. Does Infrastructure Alleviates Poverty in Developing Countries? International Journal of Applied Econometrics and Quantitative Studies V6-2. Shah, Anwar. 2006. A Practitioner’s Guide to Intergovernmental Fiscal Transfers. World Bank Policy Research Working Paper 4039. Qiao, Baoyun, Jorge Martinez-Vazquez, and Yongsheng Xu. 2007. The Tradeoff between Growth and Equity in Decentralization Policy: China’s Experience. Journal of Development Economics doi:10.1016/j.jdeveco.2007.05.002. World Bank. 2003. Decentralizing Indonesia. A Regional Public Expenditure Review. Overview Report No. 26191-IND. Melalui http://wwwwds.worldbank.org/external/default /WDSContentServer/WDSP/IB/2003/07/29/000160016_20030729123554/Rendered/DF/261910ID0ESW.pdf [7-11-08].

Page 13: 1 KESENJANGAN EKONOMI ANTAR WILAYAH PADA ERA

13

Lampiran 1. Perhitungan Indeks Williamson untuk APBD per Kapita dan PDRB per Kapita

Rumus Indeks Williamson :

𝐼𝑤 =

𝑌𝑖 − 𝑌 2. 𝑃𝑖/𝑃𝑛𝑖=1

𝑌

Keterangan:

𝑌𝑖 = APBD per kapita kab/kota i; PDRB per kapita kab/kota i

𝑌 = APBD per kapita Indonesia; PDRB per kapita Indonesia

𝑃𝑖 = Jumlah penduduk kab/kota i 𝑃 = Jumlah penduduk Indonesia 𝑖 = 1, ..., n. 1.a Hasil perhitungan Indeks Williamson untuk penerimaan APBD per kapita

Variabel Tahun

1995 2003 2005 2007 2009 2011

𝑛 92 310 340 383 468 459

𝑌 (Ribu Rp./Kapita) 835,35 944,66 1.276,40 2.338,51 3.028,88 4.075,52

𝑌𝑖 − 𝑌 2 ∗ 𝑃𝑖/𝑃

𝑛

𝑖=1

413,27 641,09 931,55 1.644,66 2.226,97 3.061,88

𝐼𝑤 0,4947 0,6786 0,7298 0,7033 0,7352 0,7513

1.b Hasil perhitungan Indeks Williamson untuk PDRB per kapita

Variabel Tahun

1995 2003 2005 2007 2009 2011

𝑛 96 329 353 422 481 467

𝑌 (Ribu Rp./Kapita)

2.181,79 9.083,14 13.513,64 15.183,73 17.956,53 22.480,86

𝑌𝑖 − 𝑌 2 ∗ 𝑃𝑖/𝑃

𝑛

𝑖=1

1.572.94 10.548,15 19.596,35 21.436,90 25.488,82 32.728,90

𝐼𝑤 0,7210

1,1613 1,4501 1,4118 1,4195 1,4559

Page 14: 1 KESENJANGAN EKONOMI ANTAR WILAYAH PADA ERA

14

Lampiran 2. Pembuktian Matematik Peran Pengeluaran Pemerintah terhadap Output melalui Sisi Permintaan

𝑌 = 𝐶 + 𝐼 + 𝐺 + (𝑋 − 𝑀)

Karena 𝐶 = 𝑎 + 𝑘1𝑌 dan 𝑀 = 𝑘2𝑌 maka :

𝑌 = 𝑎 + 𝑘1𝑌 + 𝐼 + 𝐺 + (𝑋 − 𝑘2𝑌)

𝑌 = 𝑎 + 𝑘1𝑌 − 𝑘2𝑌 + 𝐼 + 𝐺 + 𝑋

𝑌 − 𝑘1𝑌 + 𝑘2𝑌 = 𝑎 + 𝐼 + 𝐺 + 𝑋

1 − 𝑘1 + 𝑘2 𝑌 = 𝑎 + 𝐼 + 𝐺 + 𝑋

𝑌 = 1

1 − 𝑘1 + 𝑘2 𝑎 + 𝐼 + 𝐺 + 𝑋

Multilpier :

𝑚 = 𝑑𝑌

𝑑𝐺=

1

1 − 𝑘1 + 𝑘2 > 0

Keterangan :

Y = output C = konsumsi I = investasi G = pengeluaran pemerintah X = ekspor M = impor k1 = kecenderungan mengkonsumsi k2 = kecenderungan mengimpor

Page 15: 1 KESENJANGAN EKONOMI ANTAR WILAYAH PADA ERA

15

Lampiran 3. Pembuktian Matematik Peran Pengeluaran Pemerintah terhadap Output melalui Sisi Penawaran

𝑌 = 𝑓 𝐴, 𝐾, 𝐿

𝑌 = 𝐴𝐾𝛼𝐿𝛽

Karena 0 < 𝛼, 𝛽 < 1 maka :

𝑑𝑌

𝑑𝐴= 𝐾𝛼𝐿𝛽 > 0

𝑑𝑌

𝑑𝐾= 𝐴𝜎𝐾𝛼−1𝐿𝛽 > 0

𝑑𝑌

𝑑𝐿= 𝐴𝐾𝛼𝛽𝐿𝛽−1 > 0

Dan diasumsikan :

𝑑𝐴

𝑑𝐺> 0 ;

𝑑𝐾

𝑑𝐺> 0 ;

𝑑𝐿

𝑑𝐺> 0

Multilpier :

𝑚 = 𝑑𝑌

𝑑𝐺=

𝑑𝑌

𝑑𝐴

𝑑𝐴

𝑑𝐺+

𝑑𝑌

𝑑𝐾

𝑑𝐾

𝑑𝐺+

𝑑𝑌

𝑑𝐿

𝑑𝐿

𝑑𝐺 > 0

Keterangan :

Y = output A = teknologi K = kapital L = tenaga kerja

Page 16: 1 KESENJANGAN EKONOMI ANTAR WILAYAH PADA ERA

16

Lampiran 4. Prinsip dan Praktek dalam Desain Bantuan

Tujuan Bantuan Desain Bantuan Contoh yang baik

dilaksanakan Contoh yang harus

dihindari

Menjembatani kesenjangan fiskal (vertikal)

Penyusunan kembali urusan pemerintahan, pembagian sumber pajak.

Pengurangan pajak dan pembagian sumber pajak (Kanada).

Bantuan untuk menutupi defisit dan upah (Cina), pajak atas pembagian pajak (Cina, India).

Mengurangi kesenjangan fiskal (horisontal)

Transfer pemerataan, bantuan umum berdasarkan kapasitas fiskal

Pemerataan fiskal dengan ketentuan eksplisit yang menentukan total dan alokasi bantuan (Kanada, Denmark, dan Jerman).

Bagi hasil penerimaan dengan faktor pegganda, pemerataan fiskal dengan jumlah tertentu (Australia, Cina).

Kompensasi untuk luapan manfaat (spillovers)

Transfer dengan dana pendampingan yang disesuaikan dengan manfaat yang dihasilkan

Bantuan untuk pelatihan rumahsakit (Afrika Selatan).

Closed-ended matching grant

Menciptakan standar minimum nasional

Transfer blok berdasarkan kriteria tertentu dan berbasis output dengan standar pelayanan dan akses tertentu.

Bantuan untuk pemeliharaan jalan dan pendidikan dasar (Indonesia sebelum 2000), Transfer pendidikan (Brasil, Chili, Kolombia), Transfer kesehatan (Brasil, Kanada).

Transfer kondisional tanpa ada standar tertentu (banyak negara).

Bantuan modal dengan dana pendampingan yang disesuaikan dengan dengan kapasitas fiskal pemerintah daerah.

Bantuan modal untuk konstruksi sekolah (Indonesia sebelum 2000), Bantuan modal untuk konstruksi jalan highway (AS).

Bantuan modal tanpa dana pendampingan dan tanpa dibarengi dana pemeliharaan.

Mewujudkan program prioritas nasional di daerah

Transfer dengan dana pendampingan

Transfer untuk bantuan sosial (Kanada sebelum 2004).

Bantuan ad hoc

Pemenuhan kebutuhan infrastruktur dasar dan stabilitas ekonomi makro

Bantuan modal, dimungkinkan juga disediakan biaya pemeliharaan.

Bantuan modal dengan matching rate disesuaikan dengan kapasitas fiskal pemerintah daerah.

Bantuan tanpa dana pemeliharaan

Sumber : Shah (2006:46)

Page 17: 1 KESENJANGAN EKONOMI ANTAR WILAYAH PADA ERA

17

Lampiran 5. Saran Desain Hubungan Keuangan untuk Peningkatan Penerimaan dan Akselerasi Pertumbuhan Ekonomi Daerah Tertinggal*

Tujuan Instrumen Fiskal di

Indonesia Desain Fiskal

Eksisting Saran Perbaikan

Menjembatani kesenjangan fiskal (vertikal)

PAD

DBH

Pajak daerah (UU 28/2009)

Ketentuan bagi hasil pajak dan sumberdaya alam antara pusat, provinsi, dan kab/kota (PP55/2005)

Ditinjau kembali pembagian bagi hasil pajak dan sumberdaya alam antara pusat, provinsi dan kabupaten/kota disesuaikan dengan beban urusan yang dilimpahkan

Mengurangi kesenjangan fiskal (horisontal)

DAU Minimum DAU 26% APBN

DAU dihitung berdasarkan formula (PP 55/2005)

Bobot variabel indeks kemiskinan dalam formula DAU dinaikan

Perhitungan DAU didasarkan pada data yang akurat

Kompensasi untuk luapan manfaat (spillovers)

DAK Lingkungan Hidup

DAK Kehutanan

DAK Kelautan

DAK ditentukan berdasarkan kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis

Daerah mengeluarkan dana pendampingan 10% (kekecualian daerah tertentu)

Pelaksanaan DAK mengacu pada petunjuk teknis dari kementerian terkait (PP 55/2005)

DAK diprioritaskan untuk daerah tertinggal dengan menentukan pagu minimum

Meningkatkan DAK SPDT yang disertai dengan petunjuk teknis pembangunan infrastruktur ekonomi

Dievaluasi efektivitas dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan, dan dipertimbangkan untuk mengalihkan sebagian dana tersebut menjadi DAK

Menciptakan standar minimum nasional

DAK Pendidikan

DAK Kesehatan

DAK Perumahan dan Permukiman

dll

Mewujudkan program prioritas nasional di daerah

DAK Keluarga Berencana

Dekonsentrasi

Tugas pembantuan

Pemenuhan kebutuhan infrastruktur dasar dan stabilitas ekonomi makro

DAK infrastruktur

DAK Sarana Kawasan Perbatasan

DAK SPDT

* Disusun oleh penulis berpedoman pada tujuan transfer dari Shah (2006)