1 ringkasan skripsi jual beli hak atas tanah yang...
TRANSCRIPT
1
RINGKASAN SKRIPSI
JUAL BELI HAK ATAS TANAH YANG MENJADI OBYEK JAMINAN
HAK TANGGUNGAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 4
TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN
1. Permasalahan: Latar Belakang dan Rumusan
Utang piutang dalam bidang usaha memiliki peranana sangat penting, yang
dapat menunjang pembangunan bangsa terutama dalam segi ekonomi, baik utang
yang menggunakan jaminan maupun utang tanpa jaminan.1 Pemberian utang
dengan jaminan merupakan hal yang telah lama dilakukan dalam sistem hukum di
Indonesia, bahkan dalam sistem hukum dunia. Secara umum, ketentuan tentang
pemberian jaminan diatur dalam ketentuan Buku II Kitab Undang-undang Hukum
Perdata (untuk selanjutnya disingkat KUHPerdata).2
Peraturan perbankan memberikan definisi yang berbeda antara jaminandan agunan. Jaminan adalah suatu keyakinan kreditur atas kesanggupandebitur untuk melunasi prestasi sesuai yang dijanjikan, sedangkan Agunanadalah jaminan tambahan yang diserahkan oleh debitur kepada krediturdalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkanprinsip syariah.3
KUHPerdata secara umum melakukan klasifikasi terhadap pranata hukum
jaminan menjadi 2 (dua) bagian, yaitu jaminan perseorangan dan jaminan
kebendaan.4 Jaminan perseorangan dilakukan dengan cara adanya seseorang yang
sanggup untuk membayar atau memenuhi prestasi apabila debitur wanprestasi,
sedangkan jaminan kebendaan adalah adanya benda tertentu yang dijadikan
jaminan.5
Salah satu jaminan yang banyak digunakan di Indonesia adalah jaminan
1 Sentot Harman Glendoh, Pembinaan dan Pengembangan Usaha Kecil, Jurnal Manajemen& Kewirausahaan, Petra Surabaya, Maret 2001, Vol. 3 No. 1, hal. 3
2 Yunanto, Aspek-Aspek Hukum Jaminan, Makalah, disampaikan pada Diskusi bagianHukum Perdata, Semarang, Univ. Diponegoro, 2003, hal. 1
3 Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Cet. V, Jakarta, Kencana PrenadaMedia Grup, 2009, hal. 73
4 Gunawan Wijaya dan Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, Jakarta, Raja Grafindo Persada,2000, hal. 80
5 Ibid
2
menggunakan hak atas tanah melalui pembebanan hak tanggungan.
Perkembangan jaminan utang dengan pembebanan hak tanggungan cukup pesat,
sehingga pada tanggal 9 April 1996 dikeluarkan undang-undang yang mengatur
hak atas tanah yang dikenal dengan Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang
Hak Tanggungan (untuk selanjutnya disingkat UUHT), yang disahkan melalui
Lembaran Negara No. 42 Tahun 1996 dan Tambahan Lembaran Negara
No. 3632. Berdasarkan pengesahan UUHT tersebut, hak tanggungan menjadi
satu-satunya lembaga jaminan atas tanah dalam hukum tertulis Indonesia.6
Ketentuan pembebanan hak tanggungan yang sudah diatur secara khusus
dalam praktik masih sering timbul beberapa masalah yang menjadi persoalan
pembebanan hak tanggungan, baik dalam proses kredit, proses pendaftaran hak
tanggungan, hingga proses eksekusi terhadap obyek hak tanggungan sendiri.
Permasalahan kredit macet cukup banyak terjadi, baik disebabkan karena kondisi
perekonomian debitur yang menurun atau karena faktor-faktor lain yang
menyebabkan debitur tidak dapat memenuhi kewajiban kepada kreditur.
Solusi yang diberikan oleh UUHT terhadap kasus tersebut adalah dengan
melaksanakan eksekusi terhadap obyek jaminan hak tanggungan secara langsung
(parate eksekusi), namun perlu dicari solusi yang lebih tepat untuk mengatasi
masalah tersebut secara kekeluargaan, agar permasalahan tersebut dapat diterima
dengan baik oleh para pihak. Salah satu yang sering dijalankan di masyarakat
adalah melakukan oper kredit kepada pihak lain atas utang yang menjadi
tanggungan debitur kepada kreditur atau dengan cara menjual obyek jaminan hak
tanggungan kepada pihak lain. Pengoperan terhadap kredit atau utang debitur
kepada pihak lain secara khusus belum diatur dalam UUHT, meskipun ketentuan-
ketentuan umum tentang hal itu telah diatur dalam KUHPerdata. Solusi kedua
dengan cara menjual obyek jaminan hak tanggungan untuk melunasi hutang
debitur kepada kreditur, akan tetapi cukup mengandung resiko yang tinggi sebab
dapat menimbulkan sengketa antara para pihak dikemudian hari, sehingga harus
dilakukan secara cermat dan tertib.
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka kemudian timbullah
6 Boedi Harsono, Hukum Agrari Indonesia, Jakarta, Djembatan, 1999, hal. 402
3
rumusan masalah yang diambil dalam penulisan skripsi ini sebagai berikut :
1. Apakah hak atas tanah yang menjadi obyek jaminan hak tanggungan dapat
dijual kepada pihak lain tanpa sepengetahuan kreditur pemegang hak
tanggungan ?
2. Bagaimanakah kedudukan hukum pihak ketiga (pembeli) hak atas tanah
yang menjadi obyek jaminan hak tanggungan apabila jual beli dilaksanakan
tanpa persetujuan dari kreditur pemegang hak tanggungan ?
2. Metode Penulisan
Penulisan ini menggunakan tipe yuridis normatif, yaitu penulisan yang
dilakukan dengan cara melakukan studi kepustakaan pada seperangkat norma
yang telah ada,7 berupa norma undang-undang atau peraturan perundang-
undangan8 yang berupa Undang-undang Dasar 1945 (untuk selanjutnya disingkat
UUD 1945), KUHPerdata, UUPA, UUHT, KUHD dan Peraturan Pemerintah
No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, serta beberapa peraturan lain
yang berkaitan dengan obyek hak tanggungan.
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan
masalah “statute approach”. Statute approach adalah pendekatan yang dilakukan
dengan cara melakukan identifikasi serta membahas peraturan perundang-
undangan yang berlaku yang berhubungan dengan materi yang sedang dibahas
dalam penulisan ini.9
3. Hasil Pembahasan
3.1. Jual Beli Hak Atas Tanah Yang Menjadi Obyek Jaminan Hak
Tanggungan Kepada Pihak Ketiga
Hak tanggungan merupakan bagian dari pranata hukum perikatan, yang
masuk dalam kategori perjanjian dengan jaminan benda tertentu, berupa benda
tidak bergerak yaitu tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah.
Ketentuan Pasal 4 UUHT menjelaskan bahwa hak atas tanah yang dapat dibebani
hak tanggungan tterbatas pada 3 (tiga) jenis, yaitu hak milik, hak guna usaha, dan
7 Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Cet. VII, Malang,Bayumedia, 2013, hal. 57
8 Ulber Silalahi, Metode Penelitian Sosial, Bandung, Refika Aditama, 2009, hal. 279 Johnny Ibrahim, Op.Cit., hal. 302
4
hak guna bangunan, dan Pasal 4 Ayat (2) UUPA menentukan yang dapat menjadi objek hak
tanggungan adalah Hak Pakai Atas Tanah Negara. Menurut penjelasan Pasal 4 ayat (1)
UUPA, terdapat dua unsur mutlak dari Hak Atas Tanah yang dapat dijadikan objek Hak
Tanggungan adalah sebagai berikut :
a. Hak tersebut sesuai ketentuan yang berlaku wajib didaftar dalam daftar umum,dalam
hal ini Kantor Pertanahan. Unsur ini berkaitan dengan kedudukan diutamakan
(preferen) yang diberikan kepada kreditur pemegang hak tanggungan terhadap
kreditur lainnya. Untuk itu harus ada catatan mengenai hak tanggungan tersebut
pada buku tanah dan sertipikat hak atas tanah yang dibebaninya, sehingga setiap
orang dapat mengetahuinya (asas publisitas).
b. Hak tersebut menurut sifatnya harus dapat dipindahtangankan sehingga apabila
diperlukan harus dapat segera direalisasi untuk membayar hutang yang dijamin
pelunasannya”.
Obyek jaminan hak tanggungan merupakan bagian benda dalam hukum
kebendaan yaitu masuk sebagai benda tidak bergerak, sedangkan pembebanan
tanah dan benda-benda di atasnya ke dalam jaminan utang tertentu melalui
pembebanan hak tanggungan merupakan salah satu bentuk jaminan dari hak atas
tanah yang bersangkutan sebagai bagian dari hak kebendaan, dan bukan
merupakan peralihan atas obyek tersebut. Jual beli atas obyek hak tanggungan
pada dasarnya harus dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan umum dalam
jual beli, namun juga harus dilakukan secara hati-hati sebab hal itu menyangkut
kepentingan pihak ketiga yang bukan sebagai penjual dan pembeli.
Jual beli merupakan salah satu jenis perjanjian yang telah diatur dalam
KUHPerdata, sehingga secara umum pelaksanaan jual beli termasuk jual beli atas
obyek hak tanggungan juga mengikuti asas dan syarat perjanjian yang diatur
dalam KUHPerdata. Hukum perjanjian mengenal beberapa asas yang berlaku
sebagai aturan, namun secara umum asas-asas perjanjian tersebut dapat
disimpulkan dalam 5 (lima) asas, yaitu sebagai berikut :10
1. Asas kebebasan berkontrak. Asas kebebasan berkontrak diatur dalam Pasal
10 Salim H.S., Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta, SinarGrafika, 2003, hal. 9
5
1338 Ayat (1) KUHPerdata yang berbunyi “Semua perjanjian yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
2. Asas konsensualisme. Asas konsensualisme dapat dilihat dalam Pasal 1320
Ayat (1) KUHPerdata. Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa salah satu
syarat adanya suatu perjanjian adalah adanya kesepakatan dari kedua belah
pihak.11 Asas konsensualisme mengandung pengertian bahwa suatu
perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal melainkan cukup
dengan kesepakatan antara kedua belah pihak saja. Kesepakatan merupakan
persesuaian antara kehendak dan pernyataan dari kedua belah pihak.
3. Asas mengikatnya suatu perjanjian. Asas ini terdapat dalam Pasal 1338 Ayat
(1) KUHPerdata dimana suatu perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi pembuatnya. Setiap orang yang membuat
kontrak, dia terikat untuk memenuhi kontrak tersebut karena kontrak
tersebut mengandung janji-janji yang harus dipenuhi dan janji tersebut
mengikat para pihak sebagaimana mengikatnya undang-undang.
4. Asas iktikad baik (Goede Trouw). Perjanjian harus dilaksanakan dengan
iktikad baik (Pasal 1338 Ayat (3) KUHPerdata). Iktikad baik ada dua yaitu
:12
1. Bersifat obyektif, artinya mengindahkan kepatutan dan kesusilaan.2. Bersifat subyektif, artinya ditentukan sikap batin seseorang.
5. Asas kepribadian. Pada umumnya tidak seorang pun dapat mengadakan
perjanjian kecuali untuk dirinya sendiri. Pengecualiannya terdapat dalam
pasal 1317 KUHPerdata tentang janji untuk pihak ketiga.
Syarat sahnya suatu perjanjian seperti yang terdapat dalam Pasal 1320
KUHPerdata merupakan syarat sahnya perjanjian jual beli dimana perjanjian jual
beli merupakan salah satu jenis dari perjanjian. Pasal 1320 KUHPerdata
menyatakan bahwa syarat dari sahnya perjanjian adalah :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. Syarat pertama untuk sahnya
suatu perjanjian adalah adanya suatu kesepakatan atau konsensus pada para
11 Ibid12 Handri Rahardjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, Jakarta, Pustaka Yustisia, 2009, hal. 45
6
pihak. Kesepakatan adalah persesuaian kehendak antara para pihak dalam
perjanjian. Kesepakatan menentukan bahwa dalam perjanjian tidak boleh
ada unsur paksaan kehendak dari salah satu pihak pada pihak lainnya.
Sepakat juga dinamakan suatu perizinan, terjadi oleh karena kedua belah
pihak sama-sama setuju mengenai hal-hal yang pokok dari suatu perjanjian
yang diadakan.
2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian. Cakap artinya adalah kemampuan
untuk melakukan suatu perbuatan hukum yang dalam hal ini adalah
membuat suatu perjanjian. Perbuatan hukum adalah segala perbuatan yang
dapat menimbulkan akibat hukum. Orang yang cakap untuk melakukan
perbuatan hukum adalah orang yang sudah dewasa. Ukuran kedewasaan
adalah berumur 21 (dua puluh satu) tahun sesuai dengan Pasal 330
KUHPerdata.
3. Suatu hal tertentu. Suatu hal tertentu disebut juga dengan obyek perjanjian.
Obyek perjanjian harus jelas dan ditentukan oleh para pihak yang dapat
berupa barang maupun jasa namun juga dapat berupa tidak berbuat sesuatu,
atau juga biasa disebut dengan prestasi. Prestasi terdiri atas :13
1. Memberikan sesuatu, misalnya membayar harga, menyerahkanbarang.
2. Berbuat sesuatu, misalnya memperbaiki barang yang rusak,membangun rumah, melukis suatu lukisan yang dipesan.
3. Tidak berbuat sesuatu, misalnya perjanjian untuk tidak mendirikansuatu bangunan, perjanjian untuk tidak menggunakan merek dagangtertentu.
4. Suatu sebab yang halal. Di dalam Pasal 1320 KUHPerdata tidak dijelaskan
pengertian sebab yang halal. Maksud dari sebab yang halal adalah bahwa isi
perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan, kesusilaan dan ketertiban umum.
Syarat pertama dan kedua merupakan syarat subyektif karena berkaitan
dengan subyek perjanjian serta syarat ketiga dan keempat merupakan syarat
obyektif karena berkaitan dengan obyek perjanjian. Apabila syarat pertama dan
13 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Jakarta, Raja GrafindoPersada, 2007, hal. 69
7
syarat kedua tidak terpenuhi, maka perjanjian itu dapat diminta pembatalannya.
Pihak yang dapat meminta pembatalan itu adalah pihak yang tidak cakap atau
pihak yang memberikan ijinnya secara tidak bebas.14 Sedangkan apabila syarat
ketiga dan keempat tidak terpenuhi, maka akibatnya adalah perjanjian tersebut
batal demi hukum artinya perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada sama
sekali sehingga para pihak tidak dapat menuntut apapun apabila terjadi masalah di
kemudian hari.
Unsur pokok dalam perjanjian jual beli adalah barang dan harga, dimana
antara penjual dan pembeli harus ada kata sepakat tentang harga dan benda yang
menjadi obyek jual beli. Berdasarkan ketentuan Pasal 1458 KUHPerdata, jual beli
menganut asas konsensualisme sehingga perjanjian jual beli adalah sah dan
dianggap telah terjadi seketika setelah tercapai kesepakatan antara kedua belah
pihak atas benda obyek jual beli dan harganya, meskipun benda obyek jual beli
tersebut belum diserahkan oleh penjual atau harga jual beli tersebut belum dibayar
oleh pembeli.15 Sifat konsensual dari perjanjian jual beli tersebut ditegaskan
dalam Pasal 1458 yang berbunyi sebagai berikut : “jual beli dianggap sudah
terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah mereka mencapai kata sepakat
tentang barang dan harga, meskipun barang ini belum diserahkan maupun
harganya belum dibayar”.16
Para pihak yang terlibat dalam jual beli adalah penjual dan pembeli. Jual
beli karena merupakan perbuatan hukum maka membawa konsekwensi akan
menimbulkan kewajiban-kewajiban dan hak-hak bagi kedua belah pihak atau
pihak-pihak yang mengadakan perjanjian itu.17 Secara lebih terperinci, proses
terjadinya jual beli berdasarkan ketentuan Pasal 1458 KUHPerdata, antara lain :18
1. Apabila kedua belah pihak telah sepakat mengenai harga dan barang,
walaupun barang tersebut belum diserahkan dan harganyapun belum
14 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, Bandung, Alumni, 1982, hal. 2015 Rahayu Hartini, Aspek Hukum Bisnis, Cet. V, Malang, UMM Press, 2007, hal. 3716 R. Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1995, hal. 217 CST. Cansil, Hukum Perdata I (Termasuk Asas-Asas Hukum Perdata), Jakarta, Pradnya
Paramita, 1991, hal. 23818 Ibid
8
dibayar, perjanjian jual beli ini dianggap sudah jadi;
2. Jual beli yang memakai masa percobaan dianggap terjadi untuk sementara;
3. Sejak diterima uang muka dalam pembelian dengan pembayaran uang
muka.
Apabila terjadi kesepakatan mengenai harga dan barang namun ada hal lain
yang tidak disepakati yang terkait dengan perjanjian jual beli tersebut, jual beli
tetap terjadi karena telah terjadi kesepakatan tentang unsur “essensialia”
perjanjian. Akan tetapi, jika para pihak telah menyepakati unsur “essensialia”
dari perjanjian jual beli tersebut dan para pihak tidak mempersoalkan hal lainnya,
maka klausul-klausul yang dianggap berlaku dalam perjanjian tersebut merupakan
ketentuan-ketentuan tentang jual beli yang ada dalam perundang-undangan
(KUHPerdata) atau biasa disebut unsur “naturalia”.19
Berdasarkan asas konsensualisme, jual beli telah terjadi seketika setelah ada
kesepakatan antara penjual dan pembeli tentang barang dan harga. Ketentuan
tersebut mengandung konsekwensi walaupun telah terjadi persesuaian antara
kehendak dan pernyataan (jual beli telah terjadi), namun belum tentu barang itu
menjadi milik pembeli, karena jual beli tersebut harus diikuti oleh proses
penyerahan (levering) benda yang tergantung kepada jenis bendanya.20
Penyerahan benda memiliki cara yang berbeda-beda, sesuai dengan jenis benda
yang menjadi obyek jual beli, antara lain dibedakan sebagai berikut :21
1. Benda bergerak, penyerahannya dilakukan melalui penyerahan nyata dan
kunci atas benda tersebut.
2. Piutang atas nama dan benda tak bertubuh, penyerahannya dilakukan
melalui sebuah akta otentik atau akta di bawah tangan.
3. Benda tidak bergerak, penyerahannya dilakukan dengan pengumuman akan
akta yang bersangkutan, di kantor penyimpan hipotek.
Berdasarkan tinjauan definisi jual beli sebagaimana yang diatur dalam
ketentuan Pasal 1457 KUHPerdata maupun berdasarkan pendapat yang
19 Ahmadi Miru, Op.Cit., hal. 12720 Salim H.S., Loc.Cit21 Ibid
9
disampaikan oleh para ahli hukum tersebut, jual beli terhadap hak atas tanah yang
masih dibebani dengan hak tanggungan yang dilakukan oleh pemberi hak
tanggungan pada dasarnya telah sah dan berlaku sejak adanya kesepakatan antara
penjual dan pembeli tentang barang dan harga, meski pembayaran atau
penyerahan barang belum dilakukan.
Jual beli obyek jaminan hak tanggungan oleh pemberi hak tanggungan
ditinjau dari pendapat yang disampaikan oleh Salim HS., maka hal tersebut telah
memenuhi 3 (tiga) unsur syarat terjadinya perjanjian yaitu adanya subyek hukum
antara penjual dan pembeli, adanya kesepakatan antara penjual dan pembeli
tentang barang dan harga, kemudian hal tersebut menimbulkan hak dan kewajiban
antara pihak penjual dan pembeli untuk membayar harga dan menyerahkan obyek
jual beli.
Kewajiban pihak pembeli setelah terjadi jual beli adalah membayar harga
barang yang dibelinya sesuai dengan janji yang telah dibuat dan memikul biaya
yang ditimbulkan dalam jual beli, misalnya ongkos antar, biaya akta dan
sebagainya kecuali jika diperjanjikan sebaliknya. Setelah itu hak dari pembeli
adalah menerima barang yang telah dibayarnya dari penjual. Hak dari Penjual
adalah menerima harga barang yang telah dijualnya dari pihak pembeli sesuai
dengan kesepakatan harga antara kedua belah pihak, sedangkan kewajiban penjual
adalah menyerahkan barang dan menanggung kenikmatan tenteram atas barang
tersebut dan menanggung terhadap cacat-cacat tersembunyi.
Penyerahan barang yang wajib dilakukan oleh penjual kepada pembeli
dilakukan sesuai dengan jenis obyek jual beli, yang dapat diuraikan sebagai
berikut :22
1. Penyerahan benda bergerak. Berdasarkan ketentuan Pasal 612 KUHPerdata,
penyerahan kebendaan bergerak kecuali yang tak bertubuh dilakukan
dengan penyerahan yang nyata akan kebendaan itu oleh atau atas nama
pemilik, atau dengan penyerahan kunci-kunci dari bangunan dalam mana
kebendaan itu berada.
2. Penyerahan benda tidak bergerak. Ketentuan Pasal 616-620 KUHPerdata
22 Ahmadi Miru, Op.Cit., hal. 128
10
menyatakan bahwa penyerahan barang tidak bergerak dilakukan dengan
balik nama. Proses balik nama untuk tanah dilakukan dengan akta Pejabat
Pembuat Akta Tanah (untuk selanjutnya disingkat PPAT) dan didaftarkan
pada kantor pertanahan, sedangkan balik nama untuk benda selain tanah
dilakukan dengan akta notaris.
3. Penyerahan benda tidak bertubuh. Ketentuan Pasal 613 KUHPerdata
menyatakan bahwa penyerahan akan piutang atas nama dilakukan dengan
akta notaris atau akta dibawah tangan yang harus diberitahukan kepada
debitur secara tertulis, disetujui dan diakuinya. Penyerahan tiap-tiap piutang
karena surat bawa dilakukan dengan penyerahan surat itu, penyerahan tiap-
tiap piutang karena surat tunjuk dilakukan dengan penyerahan surat disertai
dengan endosemen.
Berdasarkan jenis-jenis penyerahan tersebut, meskipun jual beli terhadap
obyek jaminan hak tanggungan yang dilakukan oleh pemberi hak tanggungan
telah terjadi dengan adanya kesepakatan antara penjual dan pembeli tentang
barang dan harga, namun proses penyerahan atas obyek jual beli tersebut belum
terjadi sebelum dilakukan melalui akta PPAT. Masalah yang timbul dari jual beli
tanah yang dibebani hak tanggungan adalah pada proses penyerahan, sebab
penyerahan atas obyek tersebut tidak akan dapat dilakukan oleh PPAT. Masalah
penyerahan atas obyek jual beli berupa tanah yang masih dibebani hak
tanggungan akan mengandung resiko yang cukup besar, sebab dalam obyek
tersebut masih ada hak pihak lain yaitu penerima hak tanggungan sebagai kreditur
preferen.
Menurut Adrian Sutadi, syarat sah jual beli tanah dibedakan dalam 2 (dua)
macam yaitu syarat materiil dan syarat formil. Syarat materiil berisi tentang
kecakapan para pihak dalam melakukan jual beli dan keabsahan obyek jual beli,
sedangkan syarat formil adalah syarat yang ditentukan oleh Pasal 37 Peraturan
Pemerintah No. 24 Tahun 1997 bahwa jual beli atas tanah harus dibuat oleh dan
dihadapan PPAT. Jual beli yang dilakukan bukan oleh dan tidak di hadapan PPAT
tetap sah, karena UUPA berlandaskan pada Hukum Adat (Pasal 5 UUPA) dan
11
telah sesuai dengan ketentuan dalam peraturan jual beli KUHPerdata.23
3.2. Kedudukan Hukum Pembeli (Pihak Ketiga) Obyek Jaminan Hak
Tanggungan Yang Dijual Belikan Tanpa Persetujuan Kreditur
Hak milik atas tanah yang dibebani dengan hak tanggungan tetap menjadi
milik debitur (pemberi hak tanggungan), dan kepemilikan hak atas tanah tersebut
tidak beralih kepada kreditur (penerima hak tanggungan), sebagaimana diatur
dalam Pasal 1 UUHT. Pendapat seperti ini disampaikan juga oleh Yunanto sebagai
berikut :
Dalam kaitannya dengan hak pemegang hak tanggungan pertama untukmenjual atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum obyek haktanggungan apabila debitur cedera janji dan mengambil pelunasanpiutangnya dari hasil penjualan tersebut, apabila hal tersebut dikehendakiuntuk berlaku, harus dicantumkan sebagai salah satu janji mengikat bahwapenjualan obyek hak tanggungan tersebut yang merupakan milik pemberihak tanggungan harus dilakukan sesuai dengan asas penghormatan kepadamilik orang lain. Demikian pula untuk melindungi debitur, maka janji yangmemberi kewenangan kepada pemegang hak tanggungan apabila debiturcidera janji, batal demi hukum.24
Ketentuan yang menunjukkan bahwa obyek jaminan hak tangungan masih
menjadi milik pemberi hak tanggungan dan tidak beralih kepada penerima hak
tanggungan diatur dalam Pasal 12 UUHT, bahkan ketentuan Pasal 12 UUHT
tersebut melarang peralihan hak atas obyek jaminan hak tanggungan dari pemberi
hak tanggungan kepada penerima hak tanggungan secara langsung tanpa melalui
proses dan prosedur yang sah, dengan menyatakan sebagai berikut: “Janji yang
memberikan kewenangan kepada pemegang hak tanggungan untuk memiliki
obyek jaminan hak tanggungan apabila debitur cidera janji, batal demi hukum”.
Ketentuan Pasal 12 UUHT ini menunjukkan bahwa hak kepemilikan atas obyek
yang dibebani hak tanggungan masih menjadi milik pemberi hak tanggungan,
selain itu Pasal 12 juga menunjukkan bahwa UUHT juga melindungi kepentingan
hukum pihak pemberi hak tanggungan dan penerima hak tanggungan secara adil
dan berimbang, sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan Pasal 12 UUHT yeng
23 Wiwin Eka Emawati, Pengalihan Hak Milik Atas Tanah Yang Dibebani Hak Tanggungan,Tesis, Denpasar, Univ. Udayana, 2014, hal. 85
24 Yunanto, Op. Cit., hal. 10
12
menyatakan sebagai berikut : “Ketentuan ini diadakan dalam rangka melindungi
kepentingan debitur dan pemberi hak tanggungan lainnya, terutama jika nilai
obyek jaminan hak tanggungan melebihi besarnya utang yang dijamin. Pemegang
hak tanggungan dilarang untuk secara serta merta menjadi pemilik obyek jaminan
hak tanggungan karena debitur cidera janji. Walaupun demikian tidaklah dilarang
bagi pemegang hak tanggungan untuk menjadi pembeli obyek jaminan hak
tanggungan asalkan melalui prosedur yang diatur dalam Pasal 20”.
Ketentuan Pasal 20 UUHT menentukan bahwa penjualan obyek jaminan hak
tanggungan dilaksanakan melalui 2 (dua) cara, yaitu obyek jaminan hak
tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan
dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang atau
dengan cara kedua yaitu atas kesepakatan pemberi dan pemegang hak tanggungan,
penjualan obyek jaminan hak tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan
jika dengan demikian itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang
menguntungkan semua pihak.
Status obyek jaminan hak tanggungan yang masih menjadi milik debitur
memberikan hak bagi debitur untuk melakukan perbuatan hukum atas obyek
jaminan hak tanggungan tersebut, meskipun bila dijanjikan dalam akta
pembebanan hak tanggungan, debitur tidak boleh mengalihkan obyek jaminan hak
tanggungan tersebut kepada pihak ketiga. Beberapa kasus yang terjadi dalam
masyarakat dalam perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitur atas obyek
jaminan hak tanggungan, debitur menjual obyek jaminan hak tanggungan kepada
pihak lain tanpa persetujuan dari kreditur pemegang hak tanggungan, baik
persetujuan tersebut dalam bentuk lisan atau persetujuan dalam bentuk tertulis.
Kasus penjualan obyek jaminan hak tanggungan yang dilakukan oleh
debitur kepada pihak lain tanpa persetujuan dari kreditur tersebut dilakukan
karena beberapa alasan, antara lain karena debitur sebagai pemberi hak
tanggungan ada yang merasa tidak mampu lagi untuk memberikan atau melunasi
prestasi yang harus dibayarkan kepada kreditur sebagai pemegang hak
tanggungan, sedangkan setiap saat mereka didatangi dan ditagih oleh para penagih
utang (debt collector) yang datang atas perintah kreditur. Menghadapi situasi
13
seperti itu, debitur sering kali merasa tidak nyaman dan tidak mau melakukan
komunikasi dengan kreditur, sehingga menjual obyek jaminan hak tanggungan
kepada pihak ketiga tanpa persetujuan kreditur dianggap sebagai solusi yang cepat
dan tepat untuk menutup kewajiban kepada kreditur.25
Jual beli obyek jaminan hak tanggungan yang dilakukan oleh debitur dengan
pihak ketiga tanpa persetujuan kreditur sebagai penerima hak tanggungan
memberikan konsekwensi bahwa jual beli tersebut dilakukan di bawah tangan dan
tidak mungkin melalui prosedur yang benar berdasarkan ketentuan Pasal 37
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2007 tentang Pendaftaran Tanah yang
menentukan bahwa jual beli atas tanah harus dilakukan di hadapan PPAT. Jual beli
obyek jaminan hak tanggungan yang dilakukan oleh debitur dengan pihak ketiga
tanpa persetujuan kreditur hanya dilakukan berdasarkan kesepakatan.
Jual beli menurut hukum perdata adalah suatu perjanjian, dimana satu pihak
mengikatkan dirinya untuk menyerahkan tanah dan pihak lainnya membayar
harga yang telah ditentukan. Berdasarkan ketentuan tersebut, pada saat pihak
pemilik obyek jaminan hak tanggungan telah sepakat untuk menjual obyek
jaminan hak tanggungan kepada pihak lain dengan harga tertentu, dan pihak lain
tersebut telah sepakat untuk membeli obyek yang dijual oleh pemilik obyek
tersebut dengan harga tertentu, pada saat itulah terjadi jual beli obyek jaminan hak
tanggungan oleh debitur kepada pihak ketiga tanpa persetujuan kreditur penerima
hak tanggungan.
Konsekwensi dari pembelian tanah yang masih menjadi obyek jaminan hak
tanggungan melalui perjanjian di bawah tangan walaupun pembelian tersebut
telah dilakukan secara lunas dan sah, adalah tidak dimilikinya kepastian akan
status kepemilikan tanah dan bangunan tersebut bagi pihak pembeli, karena bukti
kepemilikan hak atas tanah masih terbebani hak tanggungan pada kreditur (bank),
sehingga penyerahan atas obyek jual beli tersebut tidak dapat dilakukan secara
yuridis. Kedudukan tidak memiliki kekuatan yuridis atas kepemilikan benda yang
25 Wawancara dengan Winanik Yuliati, Debitur Pemberi Hak Tanggungan pada BRI UnitKartini Gresik.
14
telah dibeli tersebut, membuat pembeli (pihak ketiga) berada dalam resiko yang
sangat berat, sebab bila kreditur penerima hak tanggungan menjalankan eksekusi
atas obyek jual beli, pembeli (pihak ketiga) berada dalam posisi yang tidak
dilindungi secara hukum.
Resiko yang timbul akibat jual beli obyek jaminan hak tanggungan yang
dilakukan oleh debitur kepada pihak lain tanpa persetujuan dari kreditur juga
dapat diderita oleh kreditur sebagai penerima hak tanggungan. Resiko yang dapat
terjadi pada kreditur adalah kemungkinan akan mengalami suatu hambatan
dalam melaksanakan eksekusi terhadap objek jaminan hak tanggungan apabila
debitur yang wanprestasi menjual objek jaminan kepada pihak lain, sedangkan
pihak lain yang merasa telah membayar lunas obyek jaminan hak tanggungan
tersebut tetap ingin memiliki dan tidak mau menyerahkan obyek jaminan hak
tanggungan kepada debitur. Kreditur dalam hal ini sebagai penerima hak
tanggungan memang memiliki hak untuk melakukan eksekusi terhadap obyek
tersebut meski berada di tangan siapapun, namun perpindahan penguasaan benda
tersebut tentu memberikan kesulitan baru bagi kreditur.
Jual beli atas obyek jaminan hak tanggungan yang telah terjadi namun
penyerahan atas oyek tersebut belum dapat dilakukan sehingga kepemilikan hak
atas obyek yang belum beralih kepada pembeli, mengandung resiko yang bisa
membawa dampak negatif bagi perjanjian jual beli yang dilakukan oleh para
pihak. Dampak negatif yang dapat muncul adalah bahwa pembeli telah membayar
harga atas obyek tersebut baik dalam jumlah sebagian atau penuh, namun dapat
muncul resiko bahwa hak atas tanah sebagai obyek jual beli tidak dapat berpindah
kepada pembeli karena masih dibebani dengan hak tanggungan. Berdasarkan
Pasal 6 UUHT, konsekwensi yuridis adalah penerima hak tanggungan memiliki
hak untuk melakukan eksekusi atas obyek jaminan hak tanggungan apabila
debitur tidak membayar utangnya sesuai dengan apa yang dijanjikan.
Kreditur pemegang hak tanggungan mempunyai hak mendahulu daripada
kreditur-kreditur yang lain (droit de preference) untuk mengambil pelunasan dari
penjualan tersebut, kemudian hak tanggungan juga tetap membebani objek hak
tanggungan di tangan siapa pun benda itu berada. Ketentuan ini menunjukkan
15
bahwa kreditur pemegang hak tanggungan tetap berhak menjual lelang benda
tersebut, walaupun telah dipindahtangankan haknya kepada pihak lain (droit de
suite). Kedudukan kreditur pemegang hak tanggungan ini merupakan kedudukan
yang sangat istimewa yaitu dengan diberinya kedudukan yang diutamakan serta
dilindungi oleh adanya sifat (droit de suite) yaitu hak tanggungan tetap melekat
pada obyek jaminan hak tanggungan dalam tangan siapapun obyek tersebut
berada.
Upaya hukum melalui jalur litigasi yang dapat ditempuh oleh kreditur
penerima hak tanggungan atas dijualnya obyek jaminan hak tanggungan adalah
dengan mengajukan “actio pauliana”, yaitu hak dari kreditur untuk membatalkan
seluruh tindakan debitur yang dianggap merugikan dalam hal terjadinya
pengalihan barang jaminan kepada pihak lain tanpa seizin pihak kreditur.26
Bahwa apabila terjadi kenakalan yang dilakukan oleh debitur dengan
pengalihan tanpa sepengetahuan kreditur, maka kreditur memperoleh hak untuk
membatalkan segala tindakan hukum debitur yang dianggap merugikan kreditur.
Dengan demikian, dalam perjanjian jaminan pihak kreditur tetap diberikan hak-
hak yang dapat menghindarkan dari praktik-praktik nakal debitur atau kelalaian
debitur. Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa dalam perjanjian hak
tanggungan seorang kreditur diberikan hak untuk mendapatkan pelunasan terlebih
dahulu dari pihak pemberi hak tanggungan, selain itu pihak kreditur dapat pula
mengajukan actio pauliana dalam hal terjadinya pengalihan barang jaminan oleh
debitur tanpa izin kreditur.
Meskipun demikian, apabila obyek telah dikuasai oleh pihak lain, tentu
penerima hak tanggungan akan memerlukan tenaga dan biaya lebih untuk
melaksanakan eksekusi atas obyek jaminan hak tanggungan tersebut. Berdasarkan
kondisi tersebut, maka perlu dilakukan langkah-langkah dan upaya-upaya secara
damai yang tidak menimbulkan kerugian pada salah satu pihak. Terjadinya
sengketa yang timbul karena adanya itikad tidak baik dari debitur yaitu
wanprestasi terhadap bank dan wanprestasi terhadap pembeli tanah yang telah
26 Adrian Sutedi, Op. Cit., hal. 84
16
membayar lunas tanah dan rumah tersebut dapat diselesaikan melalui jalur
pengadilan maupun luar pengadilan, yang lazim disebut Alternative Dispue
Resolution (ADR) atau Alternatif Pengelesaian Sengketa. Pembuatan perjanjian-
perjanjian sehingga melahirkan suatu perbuatan hukum dan mengakibatkan
timbulnya hak dan kewajiban yang harus dipenuhi antara para pihak tersebut
haruslah memberikan kepastian hukum diantara mereka yang membuat perjanjian
agar tidak menimbulkan kerugian bagi pihak-pihak yang terkait.
Perjanjian jual beli yang dilakukan oleh debitur sebagai pemilik tanah
dengan pembeli hanya dapat dilakukan di bawah tangan dengan tanda bukti
kwitansi bukti lunas pembayaran sejumlah uang atas pembelian tanah dan rumah
dapat diselesaikan apabila debitur menggunakan uang hasil penjualan tersebut
untuk membayar sisa utangnya pada penerima hak tanggungan. Hal tersebut akan
menyebabkan perjanjian pokok selesai sehingga hak tanggungan juga akan
berakhir. Debitur/pemilik tanah bila menjual obyek jaminan hak tanggungan
kemudian tidak menggunakan hasil penjualan tanah tersebut untuk melunasi
utangnya, menyebabkan debitur/pemberi hak tanggungan tanah wanprestasi pada
kreditur/penerima hak tanggungan. Karena perjanjian jual beli hanya dilakukan
dengan dibuatnya perjanjian di bawah tangan dengan tidak terjadi dihadapan
pejabat yang berwenang mengenai hal tersebut, maka hal ini tidak memiliki
kekuatan serta kepastian hukum dan dianggap tidak termasuk di dalam jual beli
benda-benda tertentu, terutama mengenai objek benda-benda tidak bergerak yang
pada umumnya memerlukan suatu akta jual beli (Pasal 19 UUHT).
Kedudukan pembeli obyek jaminan hak tanggungan yang tidak mempunyai
perlindungan hukum harus disadari oleh pihak pembeli, sehingga sebelum jual
beli dilaksanakan, pihak pembeli harus memeriksa berkas atau obyek jual beli
secara cermat, agar tidak membeli obyek jaminan hak tanggungan secara bawah
tangan sehingga tidak mengalami kerugian dikemudian hari. Akan tetapi apabila
pihak pembeli yang sudah mengetahui bahwa obyek jual beli adalah obyek
jaminan hak tanggungan dan dia tetap membeli obyek tersebut secara bawah
tangan, maka pihak yang membeli tersebut harus rela untuk menerima eksekusi
atas obyek yang telah dibelinya secara bawah tangan.
17
Jual beli obyek hak tanggungan tersebut tidak memberi kepastian hukum
mengenai kedudukan pihak pembeli tanah. Berdasarkan hal tersebut, mengenai
kepastian keamanan, pembeli tanah yang telah membayar lunas tanah dan
bangunan berdasarkan perjanjian di bawah tangan tidak memiliki kepastian
hukum di dalam kedudukannya untuk mempertahankan status tanah dan
bangunan yang telah dibelinya. Salah satu langkah yang dapat ditempuh oleh para
pihak adalah pihak pembeli harus menunjukkan itikad baik membantu debitur
untuk melunasi utangnya kepada kreditur pemegang hak tanggungan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata, debitur/pemilik
tanah melepas tanggungjawabnya, pihak pembeli obyek jaminan hak tanggungan
tanpa persetujuan penerima hak tanggungan benar-benar berada dalam posisi yang
lemah dibanding pihak penerima hak tanggungan. Langkah untuk mengamankan
posisinya, biasanya pihak pembeli tanah yang merasa posisinya terdesak bersedia
untuk memikul sebagian tanggungjawab debitur/pemilik tanah. Itikad baik
pembeli tanah untuk memikul sebagian tanggungjawab debitur, merupakan solusi
bagi semua pihak, sebab pihak penerima hak tanggungan dapat memberikan
kebijakan dengan adanya penggantian perjanjian kredit lama dengan yang baru,
kemudian diikuti dengan pelaksanaan roya terhadap sertifikat hak tanggungan,
dengan konsekwensi apabila pihak pembeli tanah yang bersedia membayar hutang
debitur sebagian, maka dia akan mendapatkan haknya yaitu diberikan sertifikat
hak atas tanah untuk menjalankan proses balik nama.
Pihak ketiga sebagai pembeli obyek hak tanggungan tentu memiliki
keinginan untuk menyelamatkan benda yang telah dibeli tersebut agar tidak
dieksekusi oleh penerima hak tanggungan, dan salah satu cara untuk mencapai hal
tersebut adalah pihak pembeli dapat membayar lunas utang debitur kepada
kreditur, sehingga berdasarkan ketentuan Pasal 18 Ayat (1) Huruf “a” UUHT, hak
tanggungan akan hapus dengan hapusnya utang yang menjadi perjanjian pokok.
Kondisi seperti itu telah diatur dalam ketentuan Pasal 1382 Ayat (2) KUHPerdata
yang menyatakan bahwa “suatu perikatan bahkan dapat dipenuhi juga oleh
seorang pihak ketiga, yang tidak mempunyai kepentingan, asal saja orang pihak
ketiga itu bertindak atas nama dan untuk melunasi utangnya si berutang, atau jika
18
ia bertindak atas namanya sendiri, asal ia tidak menggantikan hak-hak si
berpiutang”.
Itikad baik merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum perjanjian.
Ketentuan tentang itikad baik ini diatur dalam Pasal 1338 Ayat (3) bahwa
“persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Artinya dalam
pembuatan dan pelaksanaan perjanjian harus mengindahkan substansi
perjanjian/kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau
kemauan baik dari para pihak. Jika ditemukan adanya itikad tidak baik dari salah
satu pihak yang membuat perjanjian, baik dalam pembuatan maunpun dalam
pelaksanaan perjanjian maka pihak yang beritikad baik akan mendapat
perlindungan hukum.
Adanya itikad baik pihak pembeli tanah yang bersedia membayar sebagian
hutang milik debitur/pemilik tanah kepada bank, maka dalam perlindungannya
tercantum dalam Pasal 1491 KUHPerdata memberikan perlindungan berupa
penanggungan bahwa “penanggungan yang menjadi kewajiban penjual terhadap
pembeli, adalah untuk menjamin 2 (dua) hal, yaitu pertama penguasaan benda
yang dijual secara aman dan tenteram; kedua terhadap adanya cacat-cacat barang
tersebut yang tersembunyi, atau yang sedemikian rupa hingga menerbitkan alasan
untuk pembatalan pembeliannya”.
Itikad baik juga harus ditunjukkan oleh pihak kreditur penerima hak
tanggungan, dengan melakukan cara represif guna menyelesaikan persengketaan
dengan menempuh jalur kekeluargaan yaitu pendekatan-pendekatan dengan para
pihak yang terkait, sehingga muncul itikad baik dari pihak pembeli tanah yang
bersedia membayar hutang debitur sebagian, dan tidak dilanjutkannya proses
pengeksekusian yang mengakibatkan hilangnya tanah dan bangunan yang telah
dibeli pihak pembeli. Dengan demikian perlindungan terhadap kedudukan yang
dapat diperoleh pihak pembeli yang telah beritikad baik berdasarkan ketentuan-
ketentuan tersebut setelah dibayarnya sebagian hutang debitur, pihak pembeli
memiliki hak untuk mendapatkan bukti sertifikat hak milik atas tanah untuk
dilanjutkan dengan proses balik nama yang dilakukan oleh pejabat yang
berwenang; serta pihak pembeli berkedudukan sebagai kreditur (layaknya kreditur
19
konkuren karena hanya termasuk dalam perjanjian jual beli secara umum) dalam
hal menuntut pengembalian uang hasil pembayaran sebagian hutang
debitur/pemilik tanah kepada bank.
Salah satu hal yang menjadi kendala dalam melaksanakan pembayaran
utang debitur/pemberi hak tanggungan oleh pihak ketiga adalah adanya tunggakan
dan bunga atau denda yang harus ditanggung oleh debitur. Untuk menyelesaikan
masalah tersebut, dapat dilakukan beberapa cara, salah satunya melalui negosiasi.
Penyelesaian sengketa melalui negosiasi merupakan perundingan atau
pertemuan langsung yang dilakukan oleh para pihak yang bersengketa tanpa
keterlibatan pihak ketiga sebagai penengah. Para pihak yang bersengketa yang
secara langsung melakukan perundingan atau tawar-menawar, sehingga
menghasilkan suatu kesepakatan bersama. Para pihak yang bersengketa tentunya
telah berdiskusi atau bermusyawarah sedimikian rupa agar kepentingan-
kepentingan dan hak-haknya terakomodir menjadi kepentingan atau kebutuhan
bersama para pihak yang bersengketa. Intisari dari pada kredit adalah
kepercayaan, maka menurut falsafah perkreditan yang asli dimana unsur
kepercayaan itu sebagai benang merah untuk melintasi pertimbangan perkreditan,
maka jaminan kredit bukan merupakan syarat mutlak dalam perkreditan.
Penyelesaian sengketa melalui cara negosiasi yang dilakukan oleh kreditur
kepada debitur dan pihak lain yang terlibat merupakan cara yang efektif untuk
menyelesaikan sengketa jual beli obyek jaminan hak tanggungan dibawah tangan
dan tanpa persetujuan dari kreditur, sehingga perjanjian pokok yang dijamin
dengan hak tanggungan dapat diselamatkan dan hak-hak para pihak yang
berkepentingan dapat terpenuhi secara kekeluargaan. Dengan demikian perjanjian
kredit atau utang-piutang dan perjanjian jaminan tidak kehilangan unsur
validitasnya, sedangkan adanya cara-cara efektif yang dilakukan oleh pihak
kreditur telah membuktikan bahwa norma-norma yang terkandung dalam
perjanjian kredit maupun utang piutang dan UUHT adalah norma yang valid
untuk diterima dan dipatuhi oleh masyarakat.
4. PENUTUP
4.1. Kesimpulan
20
a. Hak atas tanah yang dibebani dengan hak tanggungan tetap menjadi
milik debitur (pemberi hak tanggungan), tidak beralih kepada kreditur
(penerima hak tanggungan). Berdasarkan ketentuan Pasal 1457
KUHPerdata maupun berdasarkan pendapat yang disampaikan oleh para
ahli hukum, jual beli terhadap hak atas tanah yang masih dibebani
dengan hak tanggungan yang dilakukan oleh pemberi hak tanggungan
pada dasarnya telah sah dan berlaku sejak adanya kesepakatan antara
penjual dan pembeli tentang barang dan harga, meski pembayaran atau
penyerahan barang belum dilakukan. Jual beli tersebut telah memenuhi 3
(tiga) unsur syarat terjadinya perjanjian jual beli, yaitu adanya subyek
hukum antara penjual dan pembeli, adanya kesepakatan antara penjual
dan pembeli tentang barang dan harga, kemudian hal tersebut
menimbulkan hak dan kewajiban antara pihak penjual dan pembeli untuk
membayar harga dan menyerahkan obyek jual beli. Meskipun jual beli
obyek jaminan hak tanggungan adalah sah, namun hak atas tanah tersebut
tidak serta merta beralih kepada pembeli sebab proses penyerahan atas
obyek jual beli tersebut belum terjadi sampai dilakukan melalui akta
PPAT.
b. Kedudukan hukum pihak ketiga (pembeli) hak atas tanah yang menjadi
obyek jaminan hak tanggungan apabila jual beli dilaksanakan tanpa
persetujuan dari kreditur pemegang hak tanggungan yakni berada dalam
posisi yang sangat lemah, sebab jual beli tersebut hanya dapat dilakukan
di bawah tangan dan pembeli tidak memiliki hak istimewa sehingga
rawan dieksekusi oleh penerima hak tanggungan.
Salah satu langkah yang dapat ditempuh oleh para pihak adalah melalui
penyelesaian secara kekeluargaan atau mediasi dengan tujuan pihak
pembeli harus menunjukkan itikad baik membantu debitur untuk
melunasi utangnya kepada kreditur pemegang hak tanggungan.
Pelunasan utang debitur kepada kreditur akan menghapus perjanjian
pokok, sehingga perjanjian hak tanggungan akan ikut menjadi hapus,
21
dengan demikian dapat dilakukan roya terhadap sertifikat hak
tanggungan.
4.2. Saran
a. Jual beli obyek jaminan hak tanggungan harus dilakukan berdasarkan
kesepakatan semua pihak secara tertulis, sehingga hal tersebut akan
memberikan kekuatan hukum baik bagi kreditur, debitur atau pihak
ketiga (pembeli obyek jaminan hak tanggungan). Kekuatan hukum bagi
kreditur adalah dia dapat melakukan pengawasan terhadap proses
penjualan obyek tersebut, sehingga setelah proses jual beli terjadi dapat
langsung diambil hasil penjualan tersebut untuk memenuhi utang debitur.
Kekuatan hukum bagi pembeli adalah secepat mungkin dapat menerima
penyerahan obyek dari penjual, sehingga peralihan kepemilikan atas
obyek jual beli dapat terjadi tanpa menimbulkan resiko kerugian.
b. Jual beli obyek jaminan hak tanggungan yang dilakukan tanpa
persetujuan kreditur menyebabkan pihak pembeli berada dalam posisi
yang sangat lemah dan beresiko besar kehilangan obyek yang telah
dibayarnya. Oleh karena itu pembeli obyek jaminan hak tanggungan
harus memeriksa berkas obyek yang hendak dibeli agar terhindar dari
masalah sengketa dengan pihak lain. Apabila jual beli tersebut telah
terlanjur dilaksanakan, pembeli harus membantu penjual (debitur) untuk
segera melunasi utang kepada kreditur dan meningkatkan langkah-
langkah kekeluargaan dalam menyelesaikan perkara tersebut. Pemerintah
dapat membantu kedudukan para pihak dengan menerbitkan peraturan
yang mengatur bahwa pengalihan obyek jaminan hak tanggungan harus
dilakukan berdasarkan kesepakatan semua pihak, serta adanya sanksi
baik administratif atau pidana bagi pihak-pihak yang melanggarnya.
Dengan demikian akan tercipta tertib hukum agraria secara maksimal.
22