111740906-47800396-faringitis
TRANSCRIPT
PEMBAHASAN
2.1. Anatomi Faring
Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang berbentuk seperti corong dengan
bagian atas yang besar dan bagian bawah yang sempit. Faring merupakan ruang utama
traktus resporatorius dan traktus digestivus. Kantong fibromuskuler ini mulai dari dasar
tengkorak dan terus menyambung ke esophagus hingga setinggi vertebra servikalis ke-6.
Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa ±14 cm dan bagian ini
merupakan bagian dinding faring yang terpanjang. Dinding faring dibentuk oleh selaput
lendir, fasia faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia bukofaringeal.
Otot-otot faring tersusun dalam lapisan melingkar (sirkular) dan memanjang
(longitudinal). Otot-otot yang sirkular terdiri dari M.Konstriktor faring superior, media
dan inferior. Otot-otot ini terletak ini terletak di sebelah luar dan berbentuk seperti kipas
dengan tiap bagian bawahnya menutupi sebagian otot bagian atasnya dari belakang. Di
sebelah depan, otot-otot ini bertemu satu sama lain dan di belakang bertemu pada
jaringan ikat. Kerja otot konstriktor ini adalah untuk mengecilkan lumen faring dan otot-
otot ini dipersarafi oleh Nervus Vagus.
Gambar 2.1. Otot-otot Faring dan Esofagus
1
Otot-otot faring yang tersusun longitudinal terdiri dari M.Stilofaring dan
M.Palatofaring. letak otot-otot ini di sebelah dalam. M.Stilofaring gunanya untuk
melebarkan faring dan menarik laring, sedangkan M.Palatofaring mempertemukan ismus
orofaring dan menaikkan bagian bawah faring dan laring. Kedua otot ini bekerja sebagai
elevator, kerja kedua otot ini penting pada waktu menelan. M.Stilofaring dipersarafi oleh
Nervus Glossopharyngeus dan M.Palatofaring dipersarafi oleh Nervus Vagus. Pada
Palatum mole terdapat lima pasang otot yang dijadikan satu dalam satu sarung fasia dari
mukosa yaitu M.Levator veli palatini, M.Tensor veli palatine, M.Palatoglosus,
M.Palatofaring dan M.Azigos uvula. M.Levator vela palatine membentuk sebagian besar
palatum mole dan kerjanya untuk menyempitkan ismus faring dan memperlebar ostium
tuba Eustachius dan otot ini dipersarafi oleh Nervus Vagus. M.Tensor veli palatini
membentuk tenda palatum mole dan kerjanya untuk mengencangkan bagian anterior
palatum mole dan membuka tuba Eustachius dan otot ini dipersarafi oleh Nervus Vagus.
M.Palatoglosus membentuk arkus anterior faring dab kerjanya menyempitkan ismus
faring. M.Palatofaring membentuk arkus posterior faring. M.Azigos uvula merupakan
otot yang kecil dan kerjanya adalah memperpendek dan menaikkan uvula ke belakang
atas.
Faring mendapat darah dari beberapa sumber dan kadang-kadang tidak beraturan.
Yang utama berasal dari cabang arteri karotis eksterna (cabang faring asendens dan
cabang fausial) serta dari cabang arteri maksila interna yakni cabang palatine superior.
Persarafan motorik dan sensorik daerah faring berasal dari pleksus faring yang
ekstensif. Pleksus ini dibentuk oleh cabang faring dari Nervus Vagus, cabang dari
Nervus Glossopharyngeus dan serabut simpatis. Cabang faring dari Nervus Vagus berisi
serabut motorik. Dari pleksus faring yang ekstensif ini keluar cabang-cabang untuk otot-
otot faring kecuali M.Stilofaring yang dipersarafi langsung oleh cabang Nervus
Glossopharyngeus.
Aliran limfa dari dinding faring dapat melalui 3 saluran, yakni superior, media
dan inferior. Saluran limfa superior mengaalir ke kelenjar getah bening retrofaring dan
kelenjar getah bening servikal dalam atas. Saluran limfa media mengalir ke kelenjar
getah bening jugulo-digastrik dan kelenjar servikal dalam atas, sedangkan saluran limfa
inferior mengalir ke kelenjar getah bening servikal dalam bawah.
2
Berdasarkan letaknya maka faring dapat dibagi menjadi Nasofaring, Orofaring
dan Laringofaring (Hipofaring).
Gambar 2.2. Anatomi Nasofaring, Orofaring dan Hypoparing
Nasofaring merupakan bagian tertinggi dari faring, adapun batas-batas dari
nasofaring ini antara lain :
- batas atas : Basis Kranii
- batas bawah : Palatum mole
- batas depan : rongga hidung
- batas belakang : vertebra servikal
Nasofaring yang relatif kecil mengandung serta berhubungan erat dengan beberapa
struktur penting seperti adenoid, jaringan limfoid pada dinding lateral faring dengan resesus
faring yang disebut fossa Rosenmuller, kantong ranthke, yang merupakan invaginasi struktur
embrional hipofisis serebri, torus tubarius, suatu refleksi mukosa faring di atas penonjolan
kartilago tuba Eustachius, koana, foramen jugulare, yang dilalui oleh Nervus
Glossopharyngeus, Nervus Vags dan Nervus Asesorius spinal saraf cranial dan vena
3
jugularis interna, bagian petrosus os temporalis dan foramen laserum dan muara tuba
Eustachius.
Orofaring disebut juga mesofaring, karena terletak diantara nasofaring dan
laringofaring. Dengan batas-batas dari orofaring ini antara lain, yaitu :
- batas atas : palatum mole
- batas bawah : tepi atas epiglottis
- batas depan : rongga mulut
- batas belakang : vertebra servikalis
Struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah dinding posterior faring, tonsil
palatine, fosa tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual dan
foramen sekum.
Laringofaring (hipofaring) merupakan bagian terbawah dari faring. Dengan batas-
batas dari laringofaring antara lain, yaitu :
- batas atas : epiglotis
- batas bawah : kartilago krikodea
- batas depan : laring
- batas belakang : vertebra servikalis
Ada dua ruang yang berhubungan dengan faring yang secara klinik mempunyai arti
penting yaitu ruang retrofaring dan ruang parafaring. Dinding anterior Ruang retrofaring
(retropharyngeal space) adalah dinding belakang faring yang terdiri dari mukosa faring,
fasia faringobasilaris dan otot-otot faring. Ruang ini berisi jaringan ikat jarang dan fasia
prevetebralis. Ruang ini mulai dari dasar tengkorak di bagian atas sampai batas paling
bawah dari fasia servikalis. Serat-serat jaringan ikat di garis tengah mengikatnya pada
vertebra. Di sebelah lateral ruang ini berbatasan dengan fosa faringomaksila.
Ruang parafaring (fosa faringomaksila) merupakan ruang berbentuk kerucut dengan
dasarnya terletak pada dasar tengkorak dekat foramen jugularis dan puncaknya ada kornu
mayus os hyoid. Ruang ini dibatasi di bagian dalam oleh M.Konstriktor faring superior, batas
luarnya adalah ramus asendens mandibula yang melekat dengan M.Pterigoid interna dan
bagian posterior kelenjar parotis. Fosa ini dibagi menjadi dua bagian yang tidak sama
besarnya oleh os stiloid dengan otot yang melekat padanya. Bagian anterior (presteloid)
adalah bagian yang lebih luas dan dapat mengalami proses supuratif. Bagian yang lebih
4
sempit di bagian posterior (post stiloid) berisi arteri karotis interna, vena jugularis interna,
Nervus vagus yang dibungkus dalam suatu sarung yang disebut selubung karotis (carotid
sheat). Bagian ini dipisahkan dari ruang retrofaring oleh suatu lapisan fasia yang tipis.
2.2. Fisiologi Faring
Fungsi faring yang terutama adalah ialah untuk respirasi, pada waktu menelan,
resonansi suara dan artikulasi.
2.2.1. Fungsi Menelan
Proses menelan dibagi menjadi 3 fase, yaitu : fase oral, fase faringeal dan fase
esophagus yang terjadi secara berkesinambungan. Pada proses menelan akan terjadi
hal-hal sebagai berikut:
a.Pembentukan bolus makanan dengan ukuran dan konsistensi yang baik
b. Upaya sfingetr mencegah terhamburnya bolus selama fase menelan
c.Mempercepat masuknya bolus makanan ke dalam faring pada saat respirasi
d. Mencegah masuknya makanan dan minuman ke dalam nasofaring dan
laring
e.Kerjasama yang baik dari otot-otot di rongga mulut untuk mendorong bolus
makanan ke arah lambung
f.Usaha untuk membersihkan kembali esofagus
Fase oral terjadi secara sadar. Makanan yang telah dikunyah dan bercampur
dengan air liur akan membentuk bolus makanan. Bolus ini akan bergerak dari rongga
mulut melalui dorsum lidah, terletak di tengah lidah akibat kontraksi otot intrinsic
lidah. Kontraksi M.Levator veli palatine mengakibatkan rongga pada lekukan dorsum
lidah diperluas, palatum mole terangkat dan bagian atas dinding posterior faring
(Passavant’s ridge) akan terangkat pula. Bolus terdorong ke posterior karena lidah
terangkat ke atas. Bersamaan dengan ini terjadi penutupan nasofring sebagai akibat
kontraksi M.Levator veli palatine. Selanjutnya terjadi kontraksi M.Paltoglossus yang
menyebabkan ismus fausium tertutup, diikuti oleh kontraksi M.Palatofaring, sehingga
bolus makanan tidak akan berbalik ke rongga mulut.
5
Fase faringeal terjadi secara reflex pada akhir fase oral, yaitu perpindahan bolus
makanan dari faring ke esophagus. Faring dan laring bergerak ke atas oleh kontraksi
M.Stilofaring, M.Tirohioid dan M.Palatofaring. Aditus laring tertutup oleh epiglottis,
sedangkan ketiga sfingter laring, yaitu plika ariepligotika, plika ventrikularis dan plika
vokalis tertutup karena kontraksi M.Ariepliglotika dan M.Aritenoid obligus.
Bersamaan dengan ini terjadi juga penghentian aliran udara ke laring karena reflex
yang menghambat pernapasan, sehingga bolus makanan akan meluncur kea rah
esophagus, karena valekula dan sinus piriformis sudah dalam keadaan lurus.
Fase esophageal ialah fase oerpindahan bolus makanan dari esophagus ke
lambung. Dalam keadaan istirahat introitus esophagus selalu tertutup. Dengan adanya
rangsangan bolus makanan pada akhir fase faringeal, maka terjadi relaksasi
M.Krikofaring, sehingga introitus esophagus terbuka dan bolus makanan masuk ke
dalam esophagus. Setelah bolus makanan lewat, maka sfingter akan berkontraksi lebih
kuat, melebihi tonus introitus esophagus pada saat istirahat, sehingga makanan tidak
akan kembali ke faring. Dengan demikian refluks dapat dihindari. Gerak bolus
makanan di esophagus bagian atas masih dipengaruhi oleh kontraksi M.Konstriktor
faring inferior pada akhir fase faringeal. Selanjutnya bolus makanan akan didorong ke
distal oleh gerakan peristaltic esophagus. Dalam keadaan istirahta sfingter esophagus
bagian bawah selalu tertutup dengan tekanan rata-rata 8mmHg lebih dari tekanan di
dalam lambung sehingga tidak akan terjadi regurgitasi isi lambung. Pada akhir fase
esofagal sfingter ini akan terbuka secara reflex ketika dimulainya peristaltic esophagus
servikal untuk mendorong bolus makanan ke distal. Selanjutnya setelah bolus makanan
lewat maka sfingter ini akan menutup kembali.
6
Gambar 2.3. Proses Menelan
2.2.2. Fungsi Faring Dalam Proses Bicara
Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpadu dari otot-otot palatum
dan faring. Gerakan ini antara lain berupa pendekatan palatum mole kearah dinding
belakang faring. Gerakan penutupan ini terjadi sangat cepat dan melibatkan mula-mula
M.Salpingofaring dan M.Palatofaring, kemudia M.Levator veli palatine bersam-sam
M.Konstriktor faring superior. Pada gerakan penutupan nasofaring M.Levator veli
palatine menarik paltum mole ke atas belakang hampIr mengenai dinding posterior
faring. Jarak yang tersisa ini diisi oleh tonjolan (fold of) Passavant pada dinding
belakang faring yang terjadi akibat 2 macam mekanisme, yaitu pengangkatan faring
sebagai hasil gerakann M.Palatofaring (bersama M.Salpingofaring) dan oleh kontraksi
aktif M.Konstriktor faring superior. Mungkin kedua gerakan ini bekerja tidak pada
waktu yang bersamaan. Ada yang berpendapat bahwa tonjolan Passavant ini menetap
pada periode fonasi tetapi ada pula pendapat yang mengatakan tonjolan ini timbul dan
hilang secara cepat bersamaan dengan gerakan palatum.
2.3. Definisi
7
Faringitis adalah keadaan inflamasi pada struktur mukosa dan submukosa
tenggorokan.
2.4. Etiologi
Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang dapat disebabkan akibat
infeksi maupun non infeksi. Banyak microorganism yang dapat menyebabkan faringitis,
virus (40-60%) bakteri (5-40%). Respiratory viruses merupakan penyebab faringitis
yang paling banyak teridentifikasi dengan Rhinovirus (±20%) dan coronaviruses (±5%).
Selain itu juga ada Influenza virus, Parainfluenza virus, adenovirus, Herpes simplex
virus type 1&2, Coxsackie virus A, cytomegalovirus dan Epstein-Barr virus (EBV).
Selain itu infeksi HIV juga dapat menyebabkan terjadinya faringitis.
Faringitis yang disebabkan oleh bakteri biasanya oleh grup S.pyogenes dengan 5-
15% penyebab faringitis pada orang dewasa. Group A streptococcus merupakan
penyebab faringitis yang utama pada anak-anak berusia 5-15 tahun, ini jarang ditemukan
pada anak berusia <3tahun. Bakteri penyebab faringitis yang lainnya (<1%) antara lain
Neisseria gonorrhoeae, Corynebacterium diptheriae, Corynebacterium ulcerans,
Yersinia eneterolitica dan Treponema pallidum, Mycobacterium tuberculosis.
Faringitis dapat menular melalui droplet infection dari orang yang menderita
faringitis. Faktor resiko penyebab faringitis yaitu udara yang dingin, turunnya daya
tahan tubuh, konsumsi makanan yang kurang gizi, konsumsi alkohol yang berlebihan.
2.5. Epedemiologi
Setiap tahunnya ±40 juta orang mengunjungi pusat pelayanan kesehatan karena
faringitis. Banyak anak-anak dan orang dewasa mengalami 3-5 kali infeksi virus pada
saluran pernafasan atas termasuk faringitis. Secara global di dunia ini viral faringitis
merupakan penyebab utama seseorang absen bekerja atau sekolah. National Ambulatory
Medical Care Survey menunjukkan ±200 kunjungan ke dokter tiap 1000 populasi antara
tahun 1980-1996 adalah karena viral faringitis. Viral faringitis menyerang semua ras,
etnis dan jenis kelamin. Viral faringitis menyerang anak-anak dan orang dewasa dan
lebih sering pada anak-anak. Puncak insidensi bacterial dan viral faringitis adalah pada
8
anak-anak usia 4-7tahun. Faringitis yang disebabkan infeksi grup a streptococcus jarang
dijumpai pada anak berusia <3 tahun.
2.6. Patogenesis
Pada faringitis yang disebabkan infeksi, bakteri ataupun virus dapat secara
langsung menginvasi mukosa faring menyebabkan respon inflamasi lokal. Kuman
menginfiltrasi lapisan epitel, kemudian bila epitel terkikis maka jaringan limfoid
superfisial bereaksi, terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit
polimorfonuklear. Pada stadium awal terdapat hiperemi, kemudian edema dan sekresi
yang meningkat. Eksudat mula-mula serosa tapi menjadi menebal dan kemudian
cendrung menjadi kering dan dapat melekat pada dinding faring. Dengan hiperemi,
pembuluh darah dinding faring menjadi lebar. Bentuk sumbatan yang berwarna kuning,
putih atau abu-abu terdapat dalam folikel atau jaringan limfoid. Tampak bahwa folikel
limfoid dan bercak-bercak pada dinding faring posterior, atau terletak lebih ke lateral,
menjadi meradang dan membengkak. Virus-virus seperti Rhinovirus dan Coronavirus
dapat menyebabkan iritasi sekunder pada mukosa faring akibat sekresi nasal.
Infeksi streptococcal memiliki karakteristik khusus yaitu invasi lokal dan pelepasan
extracellular toxins dan protease yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang
hebat karena fragmen M protein dari Group A streptococcus memiliki struktur yang
sama dengan sarkolema pada myocard dan dihubungkan dengan demam rheumatic dan
kerusakan katub jantung. Selain itu juga dapat menyebabkan akut glomerulonefritis
karena fungsi glomerulus terganggu akibat terbentuknya kompleks antigen-antibodi.
2.7. Klasifikasi Faringitis
2.7.1. Faringitis Akut
a. Faringitis Viral
Rinovirus menimbulkan gejala rhinitis dan beberapa hari kemudian akan
menimbulkan faringitis. Demam disertai rinorea, mual, nyeri tenggorokan dan sulit
menelan. Pada pemeriksaan tampak faring dan tonsil hiperemis. Virus influenza,
Coxsachievirus, dan cytomegalovirus tidak menghasilkan eksudat. Coxsachievirus
9
dapat menimbulkan lesi vesicular di orofaring dan lesi kulit berupa maculopapular
rash.
Gambar 2.4. Viral Pharyngitis
Adenovirus selain menimbulkan gejala faringitis, juga menimbulkan
gejala konjungtivitis terutama pada anak. Epstein-Barr virus (EBV)
menyebabkan faringitis yang disertai produksi eksudat pada faring yang banyak.
Terdapat pembesaran kelenjar limfa di seluruh tubuh terutama retroservikal dan
hepatosplenomegali. Faringitis yang disebabkan HIV menimbulkan keluhan
nyeri tenggorok, nyeri menelan, mual dan demam. Pada pemeriksaan tampak
faring hiperemis, terdapat eksudat, limfadenopati akut di leher dan pasien
tampak lemah.
b. Faringitis Bakterial
10
Nyeri kepala yang hebat, muntah, kadang-kadang disertai demam dengan
suhu yang tinggi dan jarang disertai dengan batuk. Pada pemeriksaan tampak
tonsil membesar, faring dan tonsil hiperemis dan terdapat eksudat di
permukaannya. Beberapa hari kemudian timbul bercak petechiae pada palatum
dan faring. Kelenjar limfa leher anterior membesar, kenyal dan nyeri pada
penekanan.
Gambar 2.4.
Streptococcal
Pharyngitis
Faringitis akibat infeksi bakteri streptococcus group A dapat diperkirakan
dengan menggunakan Centor criteria, yaitu :
- demam
- Anterior Cervical lymphadenopathy
- Tonsillar exudates
- absence of cough
Tiap kriteria ini bila dijumpai diberi skor 1. bila skor 0-1 maka pasien
tidak mengalami faringitis akibat infeksi streptococcus group A, bila skor 1-3
11
maka pasien memiliki kemungkian 40% terinfeksi streptococcus group A dan
bila skor 4 pasien memiliki kemungkinan 50% terinfeksi streptococcus group A.
c. Faringitis Fungal
Keluhan nyeri tenggorokan dan nyeri menelan. Pada pemeriksaan tampak
plak putih di orofaring dan mukosa faring lainnya hiperemis.
2.7.2. Faringitis Kronik
Terdapat dua bentuk faringitis kronik yaitu faringitis kronik hiperplastik dan
faringitis kronik atrofi. Faktor predisposisi proses radang kronik di faring adalah
rhinitis kronik, sinusitis, iritasi kronik oleh rokok, minum alcohol, inhalasi uap yang
merangsang mukosa faring dan debu. Faktor lain penyebab terjadinya faringitis kronik
adalah pasien yang bernafas melalui mulut karena hidungnya tersumbat.
a. Faringitis Kronik Hiperplastik
Pasien mengeluh mula-mula tenggorok kering gatal dan akhirnya batuk yang
bereak. Pada faringitis kronik hiperplastik terjadi perubahan mukosa dinding
posterior faring. Tampak kelenjar limfa di bawah mukosa faring dan lateral band
hiperplasi. Pada pemeriksaan tampak mukosa dinding posterior tidak rata dan
berglanular.
b. Faringitis Kronik Atrofi
Faringitis kronik atrofi sering timbul bersamaan dengan rhinitis atrofi. Pada
rhinitis atrofi, udara pernafasan tidak diatur suhu serta kelembapannya sehingga
menimbulkan rangsangan serta infeksi pada faring. Pasien umumnya mengeluhkan
tenggorokan kering dan tebal seerta mulut berbau. Pada pemeriksaan tampak
mukosa faring ditutupi oleh lender yang kental dan bila diangkat tampak mukosa
kering.
2.8. Gejala klinis
12
Gejala dan tanda yang ditimbulkan faringitis tergantung pada mikroorganisme yang
menginfeksi. Secara garis besar faringitis menunjukkan tanda dan gejala-gejala seperti
lemas, anorexia, suhu tubuh naik, suara serak, kaku dan sakit pada otot leher, faring
yang hiperemis, tonsil membesar, pinggir palatum molle yang hiperemis, kelenjar limfe
pada rahang bawah teraba dan nyeri bila ditekan dan bila dilakukan pemeriksaan darah
mungkin dijumpai peningkatan laju endap darah dan leukosit.
2.9. Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis faringitis dapat dimulai dari anamnesa yang cermat dan
dilakukan pemeriksaan temperature tubuh dan evaluasi tenggorokan, sinus, telinga,
hidung dan leher. Pada faringitis dapat dijumpai faring yang hiperemis, eksudat, tonsil
yang membesar dan hiperemis, pembesaran kelenjar getah bening di leher.
2.10. Pemeriksaan Penunjang
Adapun pemeriksaan penunjang yang dapat membantu dalam penegakkan diagnose
antara lain yaitu :
- pemeriksaan darah lengkap
- GABHS rapid antigen detection test bila dicurigai faringitis akibat infeksi bakteri
streptococcus group A
- Throat culture
Namun pada umumnya peran diagnostic pada laboratorium dan radiologi terbatas.
2.11. Penatalaksanaan
Pada viral faringitis pasien dianjurkan untuk istirahat, minum yang cukup dan
berkumur dengan air yang hangat. Analgetika diberikan jika perlu. Antivirus
metisoprinol (isoprenosine) diberikan pada infeksi herpes simpleks dengan dosis 60-
100mg/kgBB dibagi dalam 4-6kali pemberian/hari pada orang dewasa dan pada anak
<5tahun diberikan 50mg/kgBb dibagi dalam 4-6 kali pemberian/hari.
Pada faringitis akibat bakteri terutama bila diduga penyebabnya streptococcus
group A diberikan antibiotik yaitu Penicillin G Benzatin 50.000 U/kgBB/IM dosis
tunggal atau amoksisilin 50mg/kgBB dosis dibagi 3kali/hari selama 10 hari dan pada
dewasa 3x500mg selama 6-10 hari atau eritromisin 4x500mg/hari. Selain antibiotik
13
juga diberikan kortikosteroid karena steroid telah menunjukan perbaikan klinis
karena dapat menekan reaksi inflamasi. Steroid yang dapat diberikan berupa
deksametason 8-16mg/IM sekali dan pada anak-anak 0,08-0,3 mg/kgBB/IM sekali.
dan pada pasien dengan faringitis akibat bakteri dapat diberikan analgetik, antipiretik
dan dianjurkan pasien untuk berkumur-kumur dengan menggunakan air hangat atau
antiseptik.
Pada faringitis kronik hiperplastik dilakukan terapi lokal dengan melakukan
kaustik faring dengan memakai zat kimia larutan nitras argenti atau dengan listrik
(electro cauter). Pengobatan simptomatis diberikan obat kumur, jika diperlukan dapat
diberikann obat batuk antitusif atau ekspetoran. Penyakit pada hidung dan sinus
paranasal harus diobati. Pada faringitis kronik atrofi pengobatannya ditujukan pada
rhinitis atrofi dan untuk faringitis kronik atrofi hanya ditambahkan dengan obat
kumur dan pasien disuruh menjaga kebersihan mulut.
2.12. Prognosis
Umumnya prognosis pasien dengan faringitis adalah baik. Pasien dengan faringitis
biasanya sembuh dalam waktu 1-2 minggu.
2.13. Komplikasi
Adapun komplikasi dari faringitis yaitu sinusitis, otitis media, epiglotitis,
mastoiditis, pneumonia, abses peritonsilar, abses retrofaringeal. Selain itu juga dapat
terjadi komplikasi lain berupa septikemia, meningitis, glomerulonefritis, demam
rematik akut. Hal ini terjadi secara perkontuinatum, limfogenik maupun hematogenik.
14
BAB 3
KESIMPULAN
Faringitis adalah keadaan inflamasi pada struktur mukosa, submukosa tenggorokan.
Jaringan yang mungkin terlibat antara lain orofaring, nasofaring, hipofaring, tonsil dan
adenoid.
Faringitis dapat menular melalui droplet infection dari orang yang menderita faringitis.
Faktor resiko penyebab faringitis yaitu udara yang dingin, turunnya daya tahan tubuh,
konsumsi makanan yang kurang gizi, konsumsi alkohol yang berlebihan.
Gejala dan tanda yang ditimbulkan faringitis tergantung pada mikroorganisme yang
menginfeksi. Secara garis besar faringitis menunjukkan tanda dan gejala-gejala seperti lemas,
anorexia, suhu tubuh naik, suara serak, kaku dan sakit pada otot leher, faring yang hiperemis,
tonsil membesar, pinggir palatum molle yang hiperemis, kelenjar limfe pada rahang bawah
teraba dan nyeri bila ditekan dan bila dilakukan pemeriksaan darah mungkin dijumpai
peningkatan laju endap darah dan leukosit. Untuk menegakkan diagnosis faringitis dapat
dimulai dari anamnesa yang cermat dan dilakukan pemeriksaan temperature tubuh dan
evaluasi tenggorokan, sinus, telinga, hidung dan leher. Pada faringitis dapat dijumpai faring
yang hiperemis, eksudat, tonsil yang membesar dan hiperemis, pembesaran kelenjar getah
bening di leher.
Terapi faringitis tergantung pada penyebabnya. Bila penyebabnya adalah bakteri
maka diberikan antibiotik dan bila penyebabnya adalah virus maka cukup diberikan analgetik
dan pasien cukup dianjurkan beristirahat dan mengurangi aktivitasnya. Dengan pengobatan
yang adekuat umumnya prognosis pasien dengan faringitis adalah baik dan umumnya pasien
biasanya sembuh dalam waktu 1-2 minggu. Komplikasi dari faringitis yaitu sinusitis, otitis
media, epiglotitis, mastoiditis, pneumonia, abses peritonsilar, abses retrofaringeal. Selain itu
juga dapat terjadi komplikasi lain berupa septikemia, meningitis, glomerulonefritis, demam
rematik akut. Hal ini terjadi secara perkontuinatum, limfogenik maupun hematogenik.
15