127504785 referat chf ckd docx
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Gagal ginjal kronik (GGK) merupakan masalah kesehatan dunia dengan
peningkatan insidensi, prevalensi, beserta tingkat morbiditas. Penyakit gagal
ginjal kronik memerlukan dengan biaya perawatan yang mahal dan outcome
yang buruk (Go et al., 2004). Angka kematian akibat gagal ginjal kronik atau
end stage renal disease (ESRD) terus meningkat di banyak negara termasuk di
negara berkembang seperti Indonesia (Steven et al., 2006).
Gagal ginjal kronik adalah suatu keadaan penurunan fungsi ginjal karena
kerusakan parenkim ginjal yang bersifat kronik dan irreversibel. Gagal ginjal
kronik terjadi apabila laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73 m2
selama 3 bulan atau lebih. Pada penyakit gagal ginjal terjadi perubahan
struktural dan penurunan jumlah unit fungsional ginjal (nefron) yang secara
progresif melaju ke arah pemburukan. Terdapat berbagai faktor yang
mempengaruhi kecepatan kerusakan serta penurunan fungsi ginjal baik genetik,
perilaku, lingkungan, maupun proses degeneratif. Meskipun terdapat banyak
faktor yang berpengaruh tetapi pada stadium atau tahap akhir gambaran
histopatologinya sama walaupun etiologi atau penyakit yang mendasari
berlainan. Kenyataan ini menyebabkan timbulnya suatu hipotesis bahwa sampai
tingkat perkembangan tertentu dari penyakit ginjal terdapat suatu mekanisme
patogenetik yang sama dalam menuju stadium terminal atau akhir dari
kerusakan ginjal (Bakri, 2005; Remuzzi et al., 2002).
Penyakit ginjal kronis (PGK) merupakan masalah kesehatan global da
n faktor resiko mayor terjadinya accelerated cardiovascular disease (CV
D danend stage kidney disease (ESKD) yang progesif (Berbari, 2010). Ada l
ebih dari 13 juta orang penderita PGK di Amerika Serikat dimana CVD merup
akan penyebab utama kematian pada penderita dengan PGK dengan ratarata ti
ngkat kematian akibat CVD 15 sampai 30 kali lebih tinggi daripada populas
i umum (Beddhu, 2010; Park et al, 2009). Sedangkan laporan tahunan da
2
ri United States Renal Data System tahun 2007 menyatakan bahwa inside
n kardiovaskular yang terjadi pada penderita dialisis adalah gagal jantung
kongestif (34%), penyakit jantung koroner (22,5%), stroke (10%) dan penyaki
t pembuluh darah perifer (15%) (Pateinakis et al, 2011). Hubungan yang erat a
ntara ginjal dan jantung telah lama dikenal dengan istilah sindroma kardiorena
l atau cardiorenal syndrome (CRS) dan didefinisikan sebagai gangguan pada j
antung atau ginjal dimana gangguan yang bersifat akut maupun kronik p
ada salah satu organ akan mengganggu organ yang lain Klasifikasi baru
CRS dengan lima subtipe telah diusulkan, yaitu sindroma kardiorenal akut
(CRS tipe 1), sindroma kardiorenal kronis (CRS tipe 2), sindroma renok
ardiak akut (CRS tipe 3), sindroma renokardiak kronis (CRS tipe 4) dan
sindroma kardiorenal sekunder (CRS tipe 5) (Ronco et al, 2010). Makalah k
ali ini akan membahas lebih lanjut tentang sindroma renokardiak kronis (CRS
tipe 4) yang dikarakterkan dimana kondisi primer PGK menyebabkan terj
adinya penurunan fungsi jantung, hipertrofi ventrikel dan atau peningkata
n resiko terjadinya kejadian kardiovaskular dengan penekanan terhadap pato
fisiologi terjadinya sindroma renokardiak kronis (Park et al, 2009).
Berdasar latar belakang tersebut, diidentifikasi beberapa permasalahan
penelitian antara lain hubungan kejadian gagal jantung pada penderita gagal
ginjal kronis.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang diatas,dapat dirumuskan
pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana hubungan kejadian gagal jantung pada penderita gagal ginjal
kronis?
C. Tujuan Penelitian
Mengetahui hubungan kejadian gagal jantung pada penderita gagal ginjal
kronis?
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini akan memberikan kemanfaatan antara lain:
3
1. Secara saintifik hasil peneelitian ini akan menambah informasi dan ilmu
pengetahuan tentang hubungan kejadian gagal jantung pada gagal ginjal
kronis
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Telaah Pustaka
1. Definisi Gagal ginjal Kronik Terminal
Gagal Ginjal Kronik (CRF) atau penyakit ginjal tahap akhir adalah
gangguan fungsi ginjal yang menahun bersifat progresif dan irreversibel.
Dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan
keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan
sampah nitrogen lain dalam darah) ( KMB, Vol 2 hal 1448). Gagal ginjal
kronik adalah sindrom klinis yang umum pada stadium lanjut dari semua
penyakit ginjal kronik yang ditandai oleh uremia ( Depkes RI :1996:61).
2. Patogenesis dan Manefestasi Klinik Gagal ginjal Kronik Terminal
Gambaran umum perjalanan gagal ginjal kronik dapat diperoleh
dengan melihat hubungan antara bersihan kreatinin dan kecepatan filtrasi
glomerulus (GFR) sebagai persentase dari keadaan normal, terhadap lreatini
serum dan kadar nitrogen urea darah (BUN) dengan rusaknya massa nefron
secara progresif oleh penyakit ginjal kronik. Perjalanan umum gagal ginjal
progresif dapat dibagi menjadi tiga stadium:
Stadium pertama disebut sebagai penurunan cadangan ginjal (faal
ginjal antar 40 % – 75 %). Tahap inilah yang paling ringan, dimana faal
ginjal masih baik. Pada tahap ini penderita ini belum merasasakan gejala
gejala dan pemeriksaan laboratorium faal ginjal masih dalam masih dalam
batas normal. Selama tahap ini kreatinin serum dan kadar BUN (Blood Urea
Nitrogen) dalam batas normal dan penderita asimtomatik. Gangguan fungsi
ginjal mungkin hanya dapat diketahui dengan memberikan beban kerja yang
berat, sepersti tes pemekatan kemih yang lama atau dengan mengadakan test
GFR yang teliti.
Stadium kedua disebut sebagai insufiensi ginjal (faal ginjal antar 20
% – 50 %). Pada tahap ini penderita dapat melakukan tugas tugas seperti
biasa padahal daya dan konsentrasi ginjal menurun. Pada stadium ini
5
5
pengobatan harus cepat dalam hal mengatasi kekurangan cairan, kekurangan
garam, gangguan jantung dan pencegahan pemberian obat obatan yang
bersifat mengganggu faal ginjal. Bila langkah langkah ini dilakukan
secepatnya dengan tepat dapat mencegah penderita masuk ketahap yang
lebih berat. Pada tahap ini lebih dari 75 % jaringan yang berfungsi telah
rusak. Kadar BUN baru mulai meningkat diatas batas normal. Peningkatan
konsentrasi BUN ini berbeda beda, tergantung dari kadar protein dalam diit.
Pada stadium ini kadar kreatinin serum mulai meningkat melebihi kadar
normal. Poliuria akibat gagal ginjal biasanya lebih besar pada penyakit yang
terutama menyerang tubulus, meskipun poliuria bersifat sedang dan jarang
lebih dari 3 liter / hari. Biasanya ditemukan anemia pada gagal ginjal
dengan faal ginjal diantara 5 % – 25 % . Faal ginjal jelas sangat menurun
dan timbul gejala gejala kekurangan darah, tekanan darah akan naik,
aktifitas penderita mulai terganggu.
Stadium ketiga dan stadium akhir gagal ginjal progresif disebut uremi
gagal ginjal (faal ginjal kurang dari 10 %). Semua gejala sudah jelas dan
penderita masuk dalam keadaan dimana tak dapat melakukan tugas sehari-
hari sebaimana mestinya. Gejala- gejala yang timbul antara lain mual,
muntah, nafsu makan berkurang, sesak nafas, pusing, sakit kepala, air kemih
berkurang, kurang tidur, kejang kejang dan akhirnya terjadi penurunan
kesadaran sampai koma. Stadium akhir timbul pada sekitar 90 % dari massa
nefron telah hancur. Nilai GFR nya 10 % dari keadaan normal dan kadar
kreatinin mungkin sebesar 5-10 ml / menit atau kurang. Pada keadaan ini
kreatinin serum dan kadar BUN akan meningkat dengan sangat mencolok
sebagai respon terhadap GFR yang mengalami penurunan. Pada stadium
akhir gagal ginjal, penderita mulai merasakan gejala yang cukup parah
karena ginjal tidak sanggup lagi mempertahankan homeostatis cairan dan
elektrolit dalam tubuh. Penderita biasanya menjadi oliguri (pengeluaran
kemih kurang dari 500/ hari) karena kegagalan glomerulus meskipun proses
penyakit mula mula menyerang tubulus ginjal. Kompleks perubahan
biokimia dan gejala gejala yang dinamakan sindrom uremik mempengaruhi
6
6
setiap sistem dalam tubuh. Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita pasti
akan menggal kecuali ia mendapat pengobatan dalam bentuk transplantasi
ginjal atau dialisis (Sylvia and Laurren, 2006)
3. Etiologi Gagal Ginjal Kronis
Penyebab gagal ginjal kronis adalah hilangnya sebagian nefron
fungsional yang bersifat irreversibel, sedikitnya 70% di bawah normal.
Penyebab hilangnya fungsi nefron antara lain :
a. Gangguan imunologis : glomerulonephritis, poliarteritis
b. Gangguan metabolik : diabetes melitus dan amiloidosis.
c. Gangguan pembuluh darah ginjal : atherosklerosis dan nefrosklerosis.
d. Infeksi : pielonephritis dan tuberkolosis.
e. Gangguan tubulus primer : nefrotoksik (analgesik dan logam)
f. Obstruksi traktus urinarius : batu ginjal, BPH, konstriksi
g. Kelainan kongenital : hipoplasia renalis
B. PATOFISIOLOGI CVD pada pasien GGK
Penyebab resiko CVD penderita dengan PGK belum sepenuh
nya dimengerti.Sebagian besar dari faktor resiko tradisional seperti u
sia tua, hipertensi, dislipidemia, diabetesmelitus/intoleransi glukosa da
n LVH banyak dijumpai pada penderita PGK. Akan tetapi semua faktor i
ni tidak sepenuhnya berperanpada keberadaan CVD pada PGK. Faktor re
siko yang lain yang berhubungan dengan ESKD dan uremia, seperti
homosisteinemia, stressoksidatif, inflamasi, anemia dan perubahan hemo
dinamik maupun metabolik telah diidentifikasi dan juga memberikan kon
tribusi terhadap resiko terjadinya CVD (Berbari, 2010).
Beberapa mekanisme terlibat dalam patofisiologi dari CVD pada
penderita PGKdalam hubungan yang saling mempengaruhi dan komple
7
7
ks. Pada PGK, beberapa patofisiologi digarisbawahi sebagai penyebab
dasar CVD adalah disfungsi endotel, accelerated atherosclerosis, arte
riosclerosis dan sindroma yang berhubungan dengan uremia (uremia r
elated syndromes) (Berbari, 2010)
Disfungsi endotel
Endotel adalah lapisan sel terdalam dari seluruh pembuluh darah tu
buh dan merupakan lapisan yang fundamental dari arteri baik untuk reg
ulasi lokal aliran darah organorgan yang penting seperti jantung, otak
dan ginjal; serta untuk perlindungan sistem vaskular dari proses aterog
enik (Zoccali, 2007). Normalnya endotel mempunyai tiga peranan utam
a yaitu sebagai jaringan yang secara metabolik aktif mensekresi substa
nsisubstansi vasoaktif yang berperandalam kontrol tonus vaskular, seba
gai lapisan antikoagulan dan antitrombotik serta sebagai barrier (Griend
ling et al, 2008). Keutuhan dari endotel mempunyai peran yang pentin
g dalam banyak aspek fungsi vaskular seperti kontrol dari tonus dan p
ermeabilitas vaskular dari pembuluh darah.
Pada penderita dengan PGK kerusakan endotel yang terusmenerus pa
da sistem kapiler dari medula ginjal yang disertai dengan kerusakan va
skular merupakan proses sentral menuju terjadinya kerusakan ginjal yan
g progesif (Fliser,2010). Kerusakan dari fungsi endotel terjadi dini pad
a penyakit ginjal dan dapat disebabkan oleh berbagai macam hal yaitu
penurunan clearance dari endothelial nitric oxide synthase (eNOS) inh
ibitor asymmetric dimethyl arginine (ADMA), aktivasi dari angiotensin I
I yang menginduksi stress oksidatif, kadar homosistein yang tinggi, infl
amasi kronik, dislipidemia dan defisiensi dari endothelial progenitorcell
(Berbari, 2010).
Nitric oxide (NO) berperan pada kontrol hemodinamik ginjal dan pro
ses pembentukan urin. NO mendilatasikan kedua pembuluh darah arteri
ole afferen dan efferen sehingga meningkatkan GFR dan mempengaruhi
metabolisme natrium ginjal sepanjang segmen tubulus dari thick asend
8
8
ing limb ke tubulus distal dan duktus kolektivus. Hambatan dari sintes
is NO akan memberikan efek pada ginjal dan sistem sistemik. Tinggin
ya stress oksidatif, rendahnya ketersediaan substrat dari eNOS; Larginin
e, peningkatan dari ADMA akan menyebabkan disfungsi endotel. Ginja
l tidak hanya mereabsorbsi tetapi juga mensintesa Larginine serta mer
upakan organ sentral katabolisme ADMA dikarenakan mempunyai kad
ar enzim dimethylarginine dimethylaminohydrolase (DDAH) yang tinggi
yang berfungsi untuk mendegradasi ADMA (Zoccali, 2010).
9
9
Interaksi patofisiologi antara jantung dan ginjal pada sindroma renokardiak kroni
s (CRS tipe 4) (Ronco C et al.2008, J.Am.Coll.Cardiol, 52,1527-1539)
10
10
Bagan patofisiologi dan komplikasi gagal ginjal kronis (Price,Wilson 2005)
11
11
Angiotensin II menstimulasi produksi dari reactive oxygen species (RO
S). Peningkatan pembentukan ROS mengakibatkan inaktivasi dan hilangnya bioa
ktivitas dari NO serta oksidasi dari lowdensity lipoprotein (LDL). Kedua prose
s ini bersamaan dengan efek proinflamasi langsung dari angiotensin II, meni
ngkatkan ekspresi dari gen proinflamasi vaskular yang mengakibatkan inflam
asi vaskular lebih lanjut serta perkembangan komplikasi ( seperti ruptur dari
12
12
plak aterosklerosis) dan menyebabkan kejadian kardiovaskular ( Landmesser,
Drexler, 2003).
Homosistein adalah asam amino mengandung sulfur yang diproduksi dari
hasil konversi methionin, yaitu asam amino esensial yang berada dalam maka
nan yang secara teratur dikonsumsi dalam diet manusia (Wierzbicki, 2007).
Tingginya kadar homosistein pada PGK akan menyebabkan gangguan dari p
embentukan NO dan endothelium derived hyperpolarizing factor (EDHF) mel
alui uncoupling dari eNOS dan peningkatan stress oksidatif ; menyebabkan pro
inflammatory state dikarenakan peningkatan integrin, platelet endothelial cell
adhesion molecule (PECAM), monocyte chemotactic protein1 (MCP1) ; endo
thelial lipidosis melalui peningkatan HMGCoA reductase dan gangguan angioge
nesis sehingga menyebabkan disfungsi endotel (Goligorsky, 2005). Homosiste
in dapat menginduksi disfungsi endotel sehubungan dengan peningkatan kada
r reactive oxygen species (ROS) melalui autooxidation dan penurunan aktiv
itas enzim antioksidan seperti glutathione peroxidase1 dan superoxide dismut
ase. Akan tetapi mekanisme pasti bagaimana homosistein menginduksi prod
uksi ROS dan disfungsi endotel masih belum jelas. Telah diusulkan bahwa
kenaikan kadar homosistein merubah fungsi transport arginin melalui peningkat
an produksi ROS dan menurunkan ekspresi protein cationic amino acid transpor
ter-1 (CAT-1) arginine transporter (Jin L, 2007).
Endothelial progenitor cells (EPCs) adalah sel dari sumsum tulang yang bersirkul
asi di aliran darah dan dapat menunjukkan karakteristik fenotip dari sel endotel. E
PC diduga berperan pada vasculogenesis postnatal dan berpotensi membantu p
erbaikan dari endotel yang terluka. Circulating endothelial cells (CECs) adal
ah sel endotel yang matang di sirkulasi, dan endothelial vesicles atau micro
particles berasal dari membran sel endotel yang mengalami perlukaan atau a
ktivasi.
Pada PGK dari pemeriksaan flow cytometry diketahui bahwa jumlah
dari bonemarrow derived progenitor cells (BMDPCs) berkurang, demikian juga d
engan koloni yang terbentuk. Penderita dengan PGK juga menunjukkan fungsi pr
ogenitor cell yang abnormal meliputi migrasi, adhesi dan inkorporasi. Mekanis
13
13
me yang pasti dari disfungsi EPC ini masih belum jelas. Penurunan jumlah
BMDPCs bisa diakibatkan dari mobilisasi dari sumsum tulang yang tergangg
u, ketahanan hidup yang pendek atau proliferasi yang terganggu.
Endothelial nitric oxide synthase (eNOS) adalah essensial untuk mobilis
asi BMDPCs dari sumsum tulang. Akan tetapi PGK berhubungan dengan ting
ginya kadar inhibitor endogen dari eNOS yait ADMA. Selain itu, diabetes,
kondisi yang sering terjadi pada PGK, berhubungan dengan defisiensi dari N
O. Mekanisme potensial lain dari disfungsi BMDPCs adalah inflamasi. Infla
masi diduga menyebabkan terjadinya penuaan dan apoptosis BMDPCs. Angiotens
in II dan oxidized LDL memicu apoptosis melalui induksi stress oksidatif dan
pengurangan aktivitas telomerase. Uremia mengganggu differensiasi dan fungsi
BMDPCs.
Keseimbangan antara CECs ( menunjukkan injury dari endotel ) dan BMD
PCs ( berpotensi memperbaiki kerusakan endotel ) lebih merupakan indikator da
ri keseluruhan endotel vaskuler yang sehat ( Mohandas, Segal,2010). Secara
keseluruhan disfungsi endotel berkontribusi secara signifikan terhadap inisiasi
dan perkembangan dari CVD pada PGK. Disfungsi endotel menyebabkan p
enyempitan lumen arteri dan kekakuan dinding arteri dengan penebalan dari
lapisan intima-media, hipertrofi dan kalsifikasi medial (Berbari, 2010).
Accelerated atherosclerosis
Istilah accelerated atherosclerosis pertama kali dikemukakan oleh Lindner
dkk pada tahun 1974 berdasarkan tingginya angka kejadian infark miokard p
ada penderita hemodialisis (Beddhu,2010). Aterosklerosis yang klasik secara
patomorfologis dikarakteristikkan sebagai deposit lemak pada lapisan intima
atau subintima yang membentuk fatty streaks sebagai lesi awal atau plak de
ngan ukuran yang bervariasi sehingga menyebabkan pembuntuan eksentrik lu
men dengan penipisan dari lapisan media (Amann,2008). Pada PGK lesi ate
rosklerosis ini mempunyai morfologi yang berbeda yaitu berupa kalsifikasi, deng
an relatif terdapat peningkatan ketebalan dari lapisan media arteri, dimana pad
a populasi umum biasanya berupa fibroatheromatous. Pada PGK, akumulasi
14
14
dari faktor resiko tradisional memulai proses atherosklerosis lebih awal (Berba
ri, 2010).
Arteriosclerosis
Arteriosklerosis pada PGK adalah proses remodelling yang bersifat nonoklusif da
n difus yang melibatkan arteri elastis sentral (aorta dan cabang cabang utama
nya). Diidentifikasikan dengan adanya peningkatan diameter luminal, destruks
i dari lamela elastis, kalsifikasi medial yang luas, dan peningkatan dari matr
iks ekstraseluler (Berbari, 2010). Hampir separuh dari penderita PGK yang
mengalami kalsifikasi medial tidak ditemukan adanya tandatanda aterosklerosi
s, tidak ditemukan adanya makrofag atau infiltrat seluler lainnya pada dindi
ng pembuluh darah (Drueke, Massy,2010). Perubahan morfologi ini akan menyeb
abkan penurunan elastisitas dan regangan serta peningkatan kekakuan dinding
arteri. Arteriosklerosis ini dihubungkan dengan perubahan homeostasis miner
al. Pada ESKD metabolisme mineral dikarakteristikkan dengan adanya hyperph
osphatemia, peningkatan produk calsium βphosphat, hyperparathyroidsm, penuru
nan kadar 1,25dyhydroxyvitamin D .
Peningkatan kadar serum phosphat dan produk calsium βphosphat akan
memicu kalsifikasi jaringan dan differensiasi dari vascular smooth muscle cells
(VSMC) menjadi osteoblastlike phenotype . Selain itu uremia serum juga da
pat menginduksi kalsifikasi vaskular dan differensiasi osteoblastic pada VS
MC dimana tidak terdapat peningkatan dari kadar phosphat . Faktor uremia
serum yang mungkin bertanggung jawab pada proses ini adalah peningkatan hor
mon parathyroid dan penurunan kadar vitamin D. Hiperparathyroid sekunder mem
icu peningkatan resorpsi tulang dengan pengeluaran kalsium dan phospor endog
en, yang memainkan peran penting pada kalsifikasi vaskular. Penurunan kada
r vitamin D mempengaruhi terjadi hipertrofi miosit jantung dan VSCM (Ber
bari,2010).
Uremia related syndromes
PGK menimbulkan terjadinya sindroma uremik, yaitu perubahan biologi d
an biokimiawi yang mengakibatkan terjadinya kerusakan pada sejumlah organ
15
15
. Sindroma uremik berasal dari retensi solut dimana pada kondisi normal akan d
ikeluarkan oleh ginjal melalui urin. Komposisi ini disebut solut retensi uremik,
jika mereka aktif secara biologi/biokimiawi disebut sebagai toksin uremik.
Solut dariretensi uremik diklasifikasikan berdasarkan karakteristik mol
ekul secara fisik kimiawi yang mempengaruhi pembuangan solut melalui dial
isis. Tiga kelompok besar klasifikasi adalah : 1) small watersoluble compou
nds , dengan berat molekulmaksimal 500 Da; 2) middle molecules dengan berat
molekul > 500 Da dan 3) protein bound compounds, dimana kebanyakan solut p
ada kelompok ini mempunyai berat molekul yang kecil tetapi mempunyai ka
rakteristik dari middle molecules. Toksin uremik mempunyai dampak vaskul
ar yang potensial terhadap sel endotel, lekosit, smooth muscle sel dan tromb
osit (Glorieux et al, 2010). Dengan perburukan dari fungsi ginjal dan terjadi
nya ESKD, penderita uremik dikarakteristikkan dengan hipertensi, anemia, pe
ningkatan kekakuan arteri, LVH dan dilatasi jantung sebagai hasil dari pening
katan tekanan dan volume serta abnormalitas profil metabolik (Berbari, 2010).
Pada penderita gagal ginjal, faktor resiko kardiovaskuler dapat dibagi menja
di tiga kelompok. Pertama adalah faktor resiko klasik yaitu hipertensi, diabet
es, merokok dan hiperlipidemia. Kedua yaitu kelompok yang disebabkan kar
ena bahan uremia yaitu ADMA, homosistein,radikal bebas (stress oksidatif), hip
erfosfatemia dan hiperparatiroid. Kelompok yang ketiga adalah factor
resiko yang ditimbulkan akibat dialisis yaitu anemia, malnutrisi, dan infeksi. Ket
iga kelompok faktor resiko tersebut meningkatkan pengeluaran sitokin pro in
flamasi dan memicu disfungsi endotel. Peningkatan CRP mungkin dapat me
mpercepat proses aterosklerotik pada penderita gagal ginjal.Beberapa keadaan
yang dapat meningkatkan faktor resiko kardiovaskular pada penderita gagal ginjal
yaitu :
ADMA
ADMA adalah arginin termetilasi yang didapat dari pemecahan protei
n. ADMA merupakan penghambat sintase NO (nitrit oxide) yang berasal dar
16
16
i dalam tubuh.ADMA diekskresi melalui urine. Pada penderita gagal ginjal, kada
r ADMA plasma dapat meningkat hingga 9 kali lipat dibandingkan populasi n
ormal. Kadar plasma ini akan mencetuskan vasokonstriksi. Pada sebuah penel
itian klinis didapatkan korelasi positif antara kadar plasma ADMA dengan
resiko
terjadinya aterosklerosis.Berbagai mekanisme sepertinya terkait dalam patogen
esis disfungsi endotel dan aterosklerosis. Penurunan produksi NO di endotel me
nyebabkan gangguan relaksasi otot polos dinding pembuluh darah dan serta pe
ngeluaran faktor vasokonstriktor lain seperti CRP.
Anemia
Pada laporan penelitian yang dilakukan Vlagopoulos (2005) didapatka
n bahwa anemia pada penderita gagal ginjal mempunyai resiko tinggi mengalami
penyakit jantung koroner, stroke dan kematian (confidence of interval 95%).
Anemia bukan merupakan faktor resiko terjadinya aterosklerosis bila tidak disert
ai gagal ginjal. Beberapa hal yang kemungkinan dapat menjelaskan hasil tersebut.
Pertama, penderita gagal ginjal mungkin telah mengalami setidaknya kerusakan
salah satu organ termasuk jantung dengan manifestasi mikrovaskuler dan at
au makrovaskuler dari pembuluh darah koroner atau LVH (Left Ventricle Hy
pertrophy) dan kemudian mungkin mengalami iskemia yang dicetuskan oleh
anemia. Kedua, patofisiologi terjadinya anemia pada penderita gagal ginjal ad
alah adanya defisiensi erytopoietin (EPO). EPO, sebagai usaha koreksi anemia, pa
da penelitian in vitro maupun in vivo pada hewan
percobaan mempunyai beberapa efek yang menguntungkan terhadap sistem kar
diovaskuler, termasuk menurunkan kerusakan miokard, pro angiogenik dan ef
ek antiapoptosis dalam sel endotel, sehingga dengan adanya defisiensi EPO
maka terjadinya efek yang tidak diinginkan. Ketiga, anemia merupakan salah
satu faktor yang mencetuskan inflamasi.
17
17
Stress oksidatif
Beberapa laporan telah menyebutkan adanya hubungan antara uremia
dan stress oksidatif. Anemia merupakan salah satu faktor utama terjadinya s
tress oksidatif. Defisiensi besi sebagai komplikasi yang tersering dari anemia pad
a penderita gagal ginjal akan menyebabkan kation ion ferrous menjadi kofakto
r yang diperlukan untuk menghasilkan radikal hidroksi, dimana akan menyeb
abkan sitotoksisitas dan kerusakan jaringan. Dalam penelitian mengenai atero
sklerosisdidapatkan bahwa peningkatan produk ROS (reactive oxidative stress
) akan meningkatkan resiko terjadinya aterosklerosis. ROS berperan dalam oksi
dasi LDL, dimana akan ditangkap makrofag dan membentuk “foam cells”
Hiperhomosisteinemia
Pada tahun 1969, McCully‟s pertama kali mendapatkan peningkatan
kadar homosistein pada penderita gagal ginjal, stroke, infark myokard, dan v
ena trombosis. Terdapat banyak bukti yang menunjukkan hiperhomosistein m
enyebabkan gangguan fungsi pembuluh darah. Hiperhomosisteinemia menyeba
bkan disfungsi endotel, proliferasi otot polos, agregasi platelet, aktifasi faktor V,
X, XII dan meningkatkan tissue plasminogen activator yang memberikan kondisi
protrombotik. Bagaimana hiperhomosistein mempercepat proses aterosklerosis?
Kemungkinan ada 3 mekanisme yaitu : hiperhomosisteinemia mencetuskan res
pon inflamasi dan menyebabkan penarikan monosit di dinding pembuluh darah. K
edua, hiperhomosisteinemia meningkatkan reaksi oksidatif LDL, dan memperce
pat ambilan LDL kolesterol oleh makrofag. Ketiga, hiperhomosisteinemia me
ngganggu metabolisme kolesterol dan trigliserida di sel pembuluh darah
pada proses pengikatan sterol pada protein.
18
18
Malnutrisi dan Inflamasi
Malnutrisi energi proteibiasa terjadi pada penderita gagal ginjal.Malnutrisi
pada penderita ini dapat disebabkan karena intake yang kurang dan peranan
sitokin pro inflamasi. Sitokin proinflamasi dapat mennyebabkan malnutrisi berda
sarkan aktifitasnya secara langsung di sistem saluran perncernaan dan secara
tidak langsung dengan menurunkan nafsu makan dan meningkatkan pengelua
ran energi saat istirahat. Sitokin juga dapat menyebabkan malnutrisi dengan
meningkatkan metabolisme protein dan pemecahan protein otot. Sebaliknya
malnutrisi akan meningkatkan kerentanan tubuh terhadap infeksi. Hubungan
yang erat antara malnutrisi, inflamasi dan aterosklerosis disebut juga dengan m
alnutrision, inflammation and atherosclerosis syndrome (MIA).
Hiperfosfatemia dan Hiperparatiroid
Peningkatan insidens dan keparahan kalsifikasi vaskuler dalam uremi
berkaitan dengan gangguan metabolisme mineral, yang biasa terjadi pada pen
derita gagal ginjal. Pada penelitian observasional didapatkan hubungan yang erat
antara kematian mendadak pada penderita cuci darah dan tingginya kadar serum f
osfor, kadar serum kalsiumfosfat dan kadar serum hormon paratiroid pada pen
derita gagal ginjal. Pada penurunan GFR, terjadi penurunan ekskresi fosfat, s
ehingga terjadi peningkatan kadar serum fosfat. Peningkatan kadar serum fos
fat menurunkan kadar kalsium yang bebas, sehingga meningkatkan sekresi p
aratiroid, dengan tujuan meningkatkan ekskresi fosfat. Hipokalsemia akan me
nyebabkan penurunan ekskresi kalsium di ginjal sehingga kadar kalsium dara
h meningkat. Bersamaan dengan penurunan fungsi ginjal, kadar plasma vita
min D dan kalsium menurun. Hal ini menyebabkan sekresi paratiroid yang
lebih tinggi. Akibatnya retensi fosfat lebih jauh meningkatkan sekresi paratir
oid walaupun tanpa pengaruh dari kadar kalsium dan vitamin D (akibat hipe
rplasi kelenjar paratiroid yang ireversibel) (Slatopolsky, Brown, & Dusso, 1999).
Pengendapan kalsium dan fosfat akibat kosentrasi yang berlebihan, mengaktifa
19
19
si osteoblast pada dinding otot polos pembuluh darah sehingga menyebabkan
kalsifikasi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Movilli E didapatkan data
dimana kadar kalsium fosfat juga berkaitan dengan tingginya kadar CRP.
4. PERUBAHAN KARDIOVASKULAR PADA PGK
Kelainan Jantung Pada PGK
Mekanisme terjadinya perubahan jantung pada PGK yaitu cardiac worklo
ad bertambah pada penderita PGK. Penambahan ini disebabkan oleh dua h
al yaituoverload tekanan (pressure overload) dan overload volume (volume
overload) yang semuanya akan menyebabkan hipertrofi dari ventrikel kiri atau le
ft ventrikel hypertrophy (LVH). Pressure overload terutama berasal dari penin
gkatan resistensi perifer dan penurunan compliance dari arteri karena hiperak
tivitas dari sistem simpatis dan renin angiotensin, hipertensi, disfungsi endote
l dan kalsifikasi atau kekakuan pembuluh darah.
Hal ini menyebabkan terjadinya LVH konsentris. Volume overload terjadi
akibat adanya retensi cairan dan garam, anemia serta adanya fistula arterivena
pada penderita ESKD (GFR <15ml/menit), yang mengakibatkan terjadinya L
VH eksentris. LVH pada PGK adalah hal yang patologis dan ikuti oleh fibrosis.
Selain itu pada pada uremia akan diikuti dengan apoptosis atau nekrosis dari mios
it yang mengakibatkan berkurangnya jumlah miosit (Pateinakis et al,2011).
Apapun faktor penyebabnya, hipertrofi miokard dan iskemia miosit akan
mengakibatkan fibrosis sel intermiokard. Fenomena ini akan mengakibatkan
perubahan kontraktilitas yang progesif dan kekakuan dinding ventrikel, meny
ebabkan terjadinya disfungsi sistolik dan diastolik serta kardiomiopati dilatati
f dan gagal jantung kongestif. Fibrosis intermiokard akan mengakibatkan gan
gguan sirkuit listrik jantung dan aritmia ventrikel ( misal fibrilasi ventrikel). Kelai
nan kelainan ini memberikan kecenderungan terjadinya sudden cardiac deat
h , karena terjadinya ketidakstabilan listrik jantung dan aritmia reentry dan
gagal jantung kongestif (Glassock et al,2009).
20
20
Perubahan vaskular pada PGK
Perubahan vaskular pada PGK ada dua macam yaitu atherosklerosis
serta arteriosklerosis. Atherosklerosis adalah penyakit dari lapisan intima arteri
yang dikarakteristikkan oleh adanya plak dan lesi vaskular yang oklusif. Pad
a PGK, lesi atherosklerosis ini mempunya morfologi yang berbeda yaitu ber
upa kalsifikasi, dengan relatif terdapat peningkatan ketebalan dari lapisan media
arteri, dimana pada populasi umum biasanya berupa fibroatheromatous.
Arteriosklerosis pada PGK adalah proses remodelling yang bersifat no
noklusif dan difus yang melibatkan arteri elastis sentral (aorta dan cabang c
abang utamanya). Diidentifikasikan dengan adanya peningkatan diameter lumi
nal, destruksi dari lamela elastis, kalsifikasi medial yang luas, dan peningkat
an dari matriks ekstraseluler. Perubahan morfologi ini akan menyebabkan pe
nurunan elastisitas dan regangan serta peningkatan kekakuan dinding arteri. (
Berbari, 2010)
Kedua tipe dari kalsifikasi vaskuler ini timbul dini pada PGK, dan berja
lan dengan akselerasi cepat terutama setelah inisiasi dari renal replacement thera
py (RRT) dan menyebabkan morbiditas dan mortalitas kardiovaskular yang ti
nggi. Karakteristik lain dari dari CAD pada penderita PGK adalah lokasi da
ri lesi culprit atherosklerosis. Pada PGK dengan infark miokard akut ditemu
kan lokasinya lebih proksimal daripada ostia koroner, yang mungkin menyeb
abkan peningkatan kematian ( Pateinakis et al, 2011)
Presentasi klinis dari aterosklerosis meliputi ischemic heart disease (a
ngina, infark miokard dan SCD), cerebrovascular dan peripheral vascular di
sease serta gagal jantung. Penyakit aterosklerosis yang oklusif lebih sering terja
di pada populasi penderita PGK yang lebih tua. Sedangkan perubahan morfolo
gis pada arteriosklerosis memberikan presentasi klinis hipertensi sistolik, wid
e pulse pressure, LVH, hipoperfusi dari koroner, kerusakan ginjal lebih lanj
ut, CHF dan SCD; serta lebih dominan terjadi pada remaja dan dewasa muda deng
an PGK (Berbari, 2010). Aterosklerosis berkontribusi secara jelas terhadap tin
21
21
gginya tingkat kematian kardiovaskular pada penderita dengan PGK tetapi m
ungkin bukan penyebab kematian utama pada PGK (Drueke, Massy, 2010)
22
BAB III
KESIMPULAN
Penderita PGK mempunyai beban kardiovaskular yang akan mengaki
batkan terjadinya tinggi mortalitas dan morbiditas. Hal ini disebabkan karena ti
nggi prevalensi dari faktor resiko tradisional maupun faktor resiko nontradision
al yang terkait dengan PGK, yang akan mengakibatkan terjadinya perubahan
strukturaldari jantung dan pembuluh darah.
Patofisiologi utama yang perlu digarisbawahi pada sindroma renokardi
ak kronis adalah aterosklerosis, arteriosklerosis, disfungsi endotel dan sindro
ma yang berhubungan dengan uremia. Modifikasi resiko yang agresif, interve
nsi yang sesuai dengan kecurigaan yang tinggi terhadap penyakit kardiovask
ular, dan pencegahan sekunder adalah hal yang esensial untuk mencegah ter
jadinya CVD pada PGK.
23
23
Daftar Pustaka
Amann, K. 2008, „Media calcification and intima calcification are distinct e
ntities in chronic kidney disease‟, Clin J Am Soc Nephrol 3: 1599-1605
Beddhu, S.2010, „Cardiovascular disease : coronary artery disease and coron
ary artery calsification‟ in Cardiorenal Syndrome Mechanism,Risk and Treat
ment, ed. Berbari, Mancia, Springer, Italia.
Berbari, A.E. 2010, „Links between chronic kidney disease and cardiovascul
ar disease : a bidirectional relationship‟ in Cardiorenal Syndrome : Mechani
sm,Risk and Treatment, ed. Berbari, Mancia, Springer, Italia.
DeLoach, S., Mohler, E.R.2007, „Peripheral arterial disease : A guide for neph
rologist‟, Clin J Am Soc Nephrol, 2:839-846.
Dickstein,K., Solal, A.C et al.2008, „ESC guidelines for the diagnosis and treatme
nt of acute and chronic heart failure‟, European Heart Journal, 29,2388-2442.
Drueke,T.B.,Massy, Z.A.2010, „Atherosclerosis in PGK : differences from th
e general population‟, Nat.Rev.Nephrol, 6,723-735
24
24
25
25
26
26
DAFTAR PERTANYAAN PENELITIAN
PENGARUH KETERATURAN KONSUMSI JAMU DAN HERBAL
TERHADAP KEJADIAN GAGAL GINJAL KRONIK DI RSU PKU
MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
Nama responden kasus :
Hari/Tanggal wawancara :
Nama pewawancara :
Waktu wawancara :
27
27
KONSUMSI JAMU DAN HERBAL
C.a.1. APAKAH SAAT INI ANDA
MENGKONSUMSI JAMU DAN HERBAL ?
(1.YA 2.TIDAK) Bila menjawab TIDAK, dilan
jutkan ke pertanyaan C .b
C a.2. BILA YA,APAKAH ANDA
MENGKONSUMSI JAMU DAN HERBAL
SETIAP HARI ?
(1.YA 2.TIDAK)
Jika YA lanjutkan ke C.a.3, jika TIDAK lanjutkan
ke C.a.7
C.a.3. BERAPA UMUR ANDA SAAT ANDA
MULAI MENGKONSUMSI JAMU DAN
HERBAL?
(TULIS:………….TAHUN)
C.a.4.SEJAK KAPAN ANDA MULAI
MENGKONSUMSI JAMU DAN HERBAL
SETIAP HARI?
1.TAHUN:……….
2.BULAN:……....
C a.5.BERAPA LAMA ANDA SUDAH
MENGKONSUMSI JAMU DAN HERBAL?
1.0-<6 bulan
2.6-12 bulan
3. 1-2 tahun
4. 2-5 tahun
28
28
5. lebih dari 5 tahun
C.a.6. RATA-RATA BERAPA BANYAK ANDA
MENGKONSUMSI JAMU DAN
HERBAL(BERAPA BUNGKUS/TABLET
DALAM SEHARI)?
i. Jamu gendong:
ii. Jamu kemasan pabrik(jamu cap jago,nyonya
mener):
iii. Jamu pegel linu:
iv. Jamu pelangsing:
v. Jamu rebusan sendiri:
vi. Jamu Cina:
vii. Janmu herbal:
viii. Lain-lain misalnya:
Suncorela,chrorofil,dll(sebutkan)
C.a7 BILA TIDAK MENGKONSUMSI JAMU
RUTIN,RATA-RATA BERAPA BANYAK ANDA
MENGKONSUMSI JAMU?
1. Jamu gendong:
2. Jamu kemasan pabrik (jamu cap jago,nyonya
mener):
3. Jamu pegel linu:
4. Jamu pelangsing:
5. Jamu rebusan sendiri:
6. Jamu Cina:
7. Jamu herbal:
8. Lain-lain misalnya:
Suncorela,chrorofil,dll(sebutkan)
29
29
RIWAYAT KONSUMSI JAMU DAN HERBAL
C.b.1. APAKAH DULU ANDA PERNAH
MENGKONSUMSI JAMU DAN HERBAL?
(1.YA 2.TIDAK)
C.b.2. BILA YA, APAKAH SAAT ITU ANDA
MENGKONSUMSI JAMU DAN HERBAL
SETIAP HARI?
(1.YA 2.TIDAK)
C b.3. BERAPA UMUR ANDA SAAT ITU PADA
SAAT ANDA MULAI MENGKONSUMSI JAMU
DAN HERBAL?
TULIS TAHUN :………….
C b.4.SEJAK KAPAN ANDA MULAI
MENGKONSUMSI JAMU DAN HERBAL?
1.TAHUN:……….
2.BULAN:……....
C.b.5.RATA-RATA BERAPA BANYAK SAAT
ITU ANDA MENGKONSUMSI JAMU DAN
HERBAL)?
1. Jamu gendong:
2. Jamu kemasan pabrik(jamu cap jago,nyonya
mener):
3. Jamu pegel linu:
4. Jamu pelangsing:
5. Jamu rebusan sendiri:
30
30
6. Jamu Cina:
7. Jamu herbal:
8. Lain-lain misalnya:
Suncorela,chrorofil,dll(sebutkan)
C b.6. BILA TIDAK RUTIN MENGKONSUMSI
JAMU DAN HERBAL SETIAP HARI, RATA-
RATA BERAPA BANYAK ANDA
MENGKONSUMSI JAMU DAN HERBAL TIAP
MINGGUNYA?
1. Jamu gendong:
2. Jamu kemasan pabrik(jamu cap jago,nyonya
mener):
3. Jamu pegel linu:
4. Jamu pelangsing:
5. Jamu rebusan sendiri:
6. Jamu Cina:
7. Janmu herbal:
8. Lain-lain
misalnya:Suncorela,chrorofil,dll(sebutkan)
…………
C.b.7.BERAPA UMUR ANDA SAAT ANDA
MULAI MENGKONSUMSI JAMU DAN
HERBAL/?
Tulis Tahun :
C.b.8.SEJAK UMUR BERAPA ANDA
BERHENTI MENGKONSUMSI JAMU DAN
HERBAL?(tahun)
31
31
C.b.9. SEJAK KAPAN ANDA BERHENTI
MENGKONSUMSI JAMU DAN
HERBAL?(tahun,bulan,minggu)
C.b.10. BAGI ANDA YANG SAKIT GAGAL
GINJAL TERMINAL, SUDAH BERAPA LAMA
ANDA BERHENTI/ TIDAK MENGKONSUMSI
JAMU DANHERBAL, SEJAK DIDIAGNOSIS
SAKIT GINJAL TIAP
MINGGUNYA?(tahun:……..; bulan:……..)