164081477-hipertensi-pulmonal
TRANSCRIPT
HIPERTENSI PULMONAL
I. PENDAHULUAN
Sirkulasi paru merupakan sistem bertekanan rendah dengan tekanan arteri pulmonalis
rerata saat istirahat < 20 mmHg. Tekanan akan lebih tinggi sementara pada saat beraktivitas /
latihan atau pada saat berada di ketinggian, namun bila terus menerus > 20 mmHg dalam
keadaan istirahat maka akan menyebabkan terjadinya hipertensi paru ( Pulmonary
Hypertension / PH ). Bila respons arteriol sistemik terhadap hipoksia adalah vasodilatasi,
pembuluh darah justru mengalami vasokonstriksi pada hipertensi pulmonal. PH yang tidak
diketahui etiologinya secara jelas disebut dengan PH Primer atau idiopatik, sedangkan bila
diketahui etiologinya secara jelas dinamakan PH Sekunder. (1)
II. DEFINISI
Hipertensi pulmonary primer ( HPP ) atau idiopatik adalah suatu penyakit yang jarang
didapat namun progresif oleh karena peningkatan resistensi vascular pulmonal, yang
menyebabkan menurunya fungsi ventrikel kanan oleh karena peningkatan afterload ventrikel
kanan (2). Tekanan arteri pulmonalis rata –rata itu ditentukan oleh tiga variabel, yaitu :
a) resistensi pembuluh darah paru (15 mmHg)
b) Curah jantung
c) Tekanan atrium kiri ( 5 mmHg )
Hipertensi pulmonal terjadi jika satu atau beberapa variabel diatas meningkat.(3) Kriteria
diagnosis untuk hipertensi pulmonal merujuk pada National Institute of Health (NIH) yaitu :
a) bila tekanan sistolik arteri pulmonalis lebih dari 35 mmHg atau
1
b) rerata tekanan arteri pulmonalis lebih besar dari 25 mmHg pada saat istirahat atau lebih
30 mmHg pada saat aktivitas dan
c) tidak didapatkan adanya kelainan valvular pada jantung kiri, penyakit miokardium,
penyakit jantung kongenital dan tidak adanya kelainan paru, penyakit jaringan ikat atau
penyakit trombo-emboli kronik,
oleh karna itu HPP juga disebut sebagai unexplained pulmonary hypertension.(2)
Klasifikasi status fungsional pasien hipertensi pulmonal berdasarkan WHO :
III. ETIOLOGI dan PATOGENESIS
Penyebab dan akibat hipertensi pulmonal (3)
2
Gambar 1. Penyebab dan akibat hipertensi pulmonal
PH Primer merupakan suatu kasus yang jarang, etiologinya tidak diketahui secara
pasti namun terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya PH Primer ini , antara
lain (1):
1) Obat – obatan anoreksia : fenfluramin
2) Kokain
3) Obat –obatan kemoterapi : mitomisin C, bleomisin, siklofosfamid, karmustin
4) L – Triptofan
5) Hipertensi portal
6) Kelainan jaringan ikat : Sindrome kalsinosis, raynaud, esophagus, sklerodaktili
7) Infeksi HIV
3
8) Sindrome keracunan oli
PH Sekunder (1):
1) Penyakit Paru Obstruktif kronis (PPOK)
2) Fibrosis paru
3) Gagal napas karena abnormalitas dinding dada
4) Apnu tidur
5) Penyakit tromboemboli paru kronis
6) Penyakit jaringan ikat
7) Hidup didaerah tinggi
8) Penyakit jantung kiri, misalnya : katup mitral, gagal ventrikel kiri kronis
9) Penyakit jantung kongenital dengan aliran darah paru tinggi kronis
Patogenesis hipertensi pulmonal terjadi dari adanya interaksi antara faktor resiko dan
predisposisi genetik.(4)
4
Gambar 2. Patogenesis hipertensi pulmonal
IV. EPIDEMIOLOGI
Hipertensi pulmonal sering didapatkan pada usia muda dan pertengahan , dan lebih
sering mengenai wanita dibandingkan pria ( 2 : 1 ). (2)
V. PATOLOGI
Gambar 3. Gambaran patologis hipertensi pulmonal(2)
5
Karakteristik patologi pada
hipertensi pulmonal
tampak hipertrofi media dan
penyempitan lumen oleh karna
proliferasi intima dan
proliferasi adventisia
Arteri pulmonal merupakan suatu struktur complaint dengan sedikit serat otot yang
memungkinkan fungsi pulmonary vascular bed sebagai sirkuit yang low pressure dan high
flow. Gambaran patalogi vaskular pada HPP tidak patognomonis untuk kelainan ini karena
menyerupai gambaran arteriopati pada hipertensi pulmonal dari berbagai macam sebab,
kelainan vaskuler disini termasuk hiperplasia otot polos vaskular, hiperplasia initima dan
trombosis insitu. Kelainan yang terjadi pada HPP ini mengenai arteri-arteri pulmonalis kecil
dengan diameter antara 40 sampai 100 mm dan arteriol. Evolusi vaskular pada HPP ini
tergantung progresivitas penipisan arteri pulmonalis yang secara gradual meningkatkan
resistensi pulmonal yang pada akhirnya menyebabkan strain dan gagal ventrikel kanan.(2)
Pada stadium awal HPP, peningkatan tekanan arteri pulmonalis menyebabkan
peningkatan kerja ventrikel kanan dan terjadi trombotik arteriopati pulmonal. Karakteristik
trombotik arteriol pulmonal ini adalah adanya trombus insitu pada muskularis arteri dari
vaskulatur pulmonal. Sedangkan pada stadium lanjut, dimana tekanan pulmonal meningkat
secara terus menerus dan progresif, lesi berkambang menjadi bentuk arteropati fleksogenik
pulmonal yang ditandai dengan hipertrofi media, fibrosis laminalis intima kosentrik, yang
menggantikan struktur endotelial pulmonal normal.(2) Secara patologis HPP dapat
dikelompokkan secara 3 sub – tipe(2) :
a) PRIMARY ARTERIOPATI FLEKSOGENIK ( 30-60 % kasus dari HPP )
Secara patologis lesi fleksogenik adalah disorganisasi kapiler pulmonal. Beberapa
keadaan sel mengandung ploriferasi monoklonal sel-sel endotelial. Lesi fleksiform
merupakan suatu bentuk hipertensi pulmonal berat, dengan insiden 1-2/juta penduduk
perbandingan pria dan perempuan 1,7:1 dan usia saat diagnostik tipe ini antara 20-50
tahun. kelainan ini tampak mempunyai komponen genetik, dimana 7 % kasus adalah
familial.(2)
b) TROMBOEMBOLIK ARTERIOPATI ( 45-50 % kasus dari HPP)
Secara patologis subtipe ini ditandai dengan fibrosis eksentrik tunika intima dan
gambaran rekanalisasi trombosis insitu ( jaringan dan septum dalam lumen arterial ).
tromboembolik hipertensi pulmonal ini terbagi atas 2 bentuk, yaitu(2) :
Makrotromboembolik biasanya didapatkan pada hipertensi pulmonal
6
sekunder dan berisi gumpalan besar ditengah lumen.
Mikrotromboembolik adanya trombus di distal yang menyumbat pembuluh –
pembuluh darah kecil . secara klinis mikrotromboembolik ini sering tumpang
tindih dengan arteriopati
fleksogenik primer.
c) OKLUSIF VENA PULMONAL
Bentuk yang jarang didapatkan, disebabkan oleh penipisan tunika intima vena pulmonal.
HPP secara patologis dapat digradasikan dalam 6 poin berdasarkan severitas penyakit.
Dimulai dari hipertropi media ( grade 1 ) sampai nekrosis arteritis ( grade 6) namun tidak
ada korelasi antara gradasi patologis dengan tekanan pulmonalis (2).
Gambar 4. Gambaran lesi pada pembuluh darah pada hipertensi pulmonal
Mediator vasoaktif sirkulasi lain juga berperan pada HPP. Kadar plasma serotonin
meningkat pada pasien HPP dan tetap meningkat setelah transplantasi Jantung. Obat penekan
nafsu makan (fenfluramin, deksfenfluramin) yang menghambat reuptake serotonin dapat
mencetuskan HPP pada individu yang peka melalui peningkatan konsentrasi plateled-derived
serotonin ( suatu vasokonstriktor pulmonal,yang merangsang pertumbuhan vaskular).(2)
7
Kerusakan saluran ion pada sel otot polos arteri pulmonal juga dapat menambah
vasokonstriksi. Kalsium intra selular berperan penting dalam regulator kontraksi dan
proliferasi otot polos vaskular dan kanal kalium yang menentukan konsentrasi kalsium bebas
sitoplasma mungkin terganggu pada pasien dengan hipertensi pulmonal primer.(2)
Vasokonstriksi diikuti oleh proliferasi dan fibrosis intima, trombosis insitu dan
perubahan flegsogenik. Peningkatan ekspresi vaskular endothelial growth factor (VEGF),
suatu mitogen sel endothelial spesifik yang dihasilkan oleh makrofag dan otot polos berperan
dalam remodeling vaskular (2).
VI. MANIFESTASI KLINIS(1,2)
Gambaran klinis dari PH Primer sangat bervariasi dan seirng tidak menunjukkan
gejala yang spesifik. Gejala dapat berupa dispnue saat aktivitas, fatigue, sinkop, nyeri dada
angina, hemoptisis dan fenomena Raynaud. Tanda dapat berupa adanya distensi vena
jugularis, impuls ventrikel kanan yang dominan, komponen katup paru menguat(P2), S3
jantung kanan, murmur tricuspid, hepatomegali dan adanya edema perifer. Jika PH telah
lanjut, maka akan terdapat tanda – tanda sebagai berikut :
a) Peningkatan tekanan vena jugularis ( JVP )
b) Takikardi sinus atau AF
c) Tekanan darah sistemik normal atau rendah
d) Sirkulasi perifer yang buruk ( ekstremitas dingin )
e) Sianosis sentral dan sianosis perifer
f) Bunyi jantung ketiga/keempat RV (S3/S4)
g) Komponen paru (P2) bunyi jantung kedua terdengar keras
h) Regurgitasi trikuspid
i) Edema perifer
j) Pembesaran hati dan asites .
8
k)
VII. DIAGNOSIS(2)
Gambar 5. Algoritma diagnosis hipertensi pulmonal(4)
1. Ekokardiografi
Pada pasien yang secara klinis dicurigai hipertensi pulmonal sebaiknya dilakukan
ekokardiografi. Ekokardiografi ini tidak hanya membantu menetapkan diagnosis namun dapat
juga menilai etiologi dan prognosis. Selain itu juga dapat mendeteksi kelainan katup,
disfungsi ventrikel kiri, shunt jantung, dan menilai tekanan sistolik ventrikel kanan bila ada
regurgitasi tricuspid, bila tidak terdapat regurgitasi tricuspid, penilaian sistolik ventrikel
kanan dapat dilakukan secara kualitatif , yaitu : adanya pembesaran atrium dan ventrikel
kanan, serta septum yang cembung atau rata. Bila terdapat efusi perikard menunjukkan
beratnya penyakit ( prognosisnya kurang baik ).(2,4)
9
Gambar 6. Gambaran ekokardiografi hipertensi pulmonal dengan adanya regurgitasi
tricuspid(4)
2. Elektrokardiografi
EKG juga harus dilakukan pada pasien HPP, meskipun tidak spesifik. Gambaran tipikal
pada EKG adalah berupa strain ventrikel kanan, hipertrofi dari ventrikel kanan dan
pergeseran aksis kekanan.
Gambar 7. EKG pada hipertensi pulmonal
Gambar Gambaran EKG Pasien hipertensi pulmonal menunjukkan deviasi aksis ke kanan dan
hipertrofi ventrikel kanan.
10
3. Radiologi
Foto thorax dapat membantu menemukan penyakit paru lain yang mendasari hipertensi
pulmonal (untuk membedakan HP Primer dan HP Sekunder ). Gambaran khas pada foto
thorax adalah ditemukannya pembesaran hilar, bayangan arteri pulmonalis dan pada foto
thorax lateral terdapat pembesaran ventrikel kanan.
Gambar 8. Radiologi pada Hipertensi pulmonal
4. Pemeriksaan angiografi
Kateterisasi jantung merupakan baku emas untuk mendiagnosis hipertensi pulmonal.
Tes vasodilator dengan obat kerja singkat seperti : adenosine, inhalasi nitric oxide atau
epoprostenol dapat dilakukan selama kateterisasi. Respons vasodilatasi positif bila didapatkan
penurunan tekanan arteri pulmonalis dan resistensi vascular paru sedikitnya 20 % dari
tekanan awal. Pasien HP yang berespons positif terhadap vasodilator akut pada pemeriksaan
kateterisasi, survivalnya akan meningkat dengan pengobatan blockade saluran kalsium jangka
lama. Dengan kateterisasi jantung juga dapat memberikan informasi mengenai saturasi
oksigen pada vena sentral, atrium dan ventrikel kanan, serta arteri pulmonal yang berguna
dalam menilai prognostic hipertensi pulmonal (6).
11
Pelebaran arteri pulmonal sentral bilateral pada pasien hipertensi pulmonal
VIII. TATA LAKSANA(2,4)
Gambar 10. Algoritma tatalaksana hipertensi pulmonal(4)
HIPERTENSI PULMONAR PRIMER
1. Medikamentosa
Resisten vakular pulmonal secara dramatis meningkat pada saat latihan atau aktivitas
pada pasien hipertensi, oleh karna itu pada pasien hipertensi pulmonal sebaiknya harus
memperhatikan dan membatasi aktivitas yang berlebihan. Penggunaan diuretika untuk
13
mengurangi sesak dan edema pada perifer, dapat bermanfaat untuk mengurangi kelebihan
cairan terutama bila ada regurgitasi trikuspid. Saat ini banyak penelitian untuk pengobatan
hipertensi pulmonal telah dilakukan, diantaranya : golongan vasolidator, prostanoid, nitric
oxide, penghambat fosfodiesterase, antagonis reseptor endotelin dan antikoagulan.
1) Terapi Vasodilator
Penggunaan penghambat kalsium telah banyak digunakan sebagai terapi pada
hipertensi pulmonal, perbaikan terjadi pada kira-kira 25-30% kasus terutama pada pasien
yang tes vasodilator akut positif, pada kelompok ini dapat dipertimbangkan penggunaannya
dalam jangka lama, sedangkan pada pasien hipertensi pulmonal dengan gagal jantung kanan
sebaiknya pemberian vasodilator dibatasi.
Nifedipin 120-240 mgr/hari atau diltiazem 540-900 mg/hari merupakan obat yang
sering digunakan, sementara verapamil memperlihatkan efek inotropik negatif. Namun obat-
obat tersebut menyebabkan efek samping yang bermakna, seperti hipotensi yang mengancam
hidup pasien dengan compromised fungsi ventrikel kanan yang berat, untuk ini diperlukan
monitoring ketat terhadap hemodinamik pasien.
Vasidilator lain yang telah dievaluasi adalah peranan angiotensin converting enzyme
pada patofisiologi hipertensi pulmonal, namun enzim ini tidak bermanfaat secara signifikan.
2) Prostanoid
• Epoprostenol
Pemakaian epoprostenol jangka panjang dapat memperbaiki hemodinamik, toleransi
latihan, klas fungsional NYHA, dan survival rate penderia hipertensi pulmonal. Namun
karena waktu paruh yang singkat diperlukan bentuk infus IV yang konstan melalui kateter
dengan portable pump, penggunaannya rumit sehingga diperlukan rujukan ke rumah sakit
atau klinik yang canggih.
• Treprostinil
14
Treprostinil memiliki waktu paruh yang lebih lama dan dapat digunakan secara
subkutan. Treprostinil subkutan dapat menyebabkan rasa nyeri pada tempat suntikan
sehingga penggunaan obat ini kadang – kadang dibatasi pada pasien tertentu.
• Iloprost inhalasi
Iloprost adalah prostasiklin dengan bentuk kimia stabil yang tersedia dalam bentuk
intravena, oral dan aerosol, dengan waktu paruh 20 – 25 menit. Bentuk inhalasi dalam
pengobatan hipertensi pulmonal adalah konsep yang baik praktis dalam penggunaan klinik.
Pada idiopatik hipertensi pulmonal iloprost inhalasi memberikan efek vasodilatasi yang lebih
efektif dibandingkan inhalasi NO. Untuk penggunaan jangka panjang, karena waktu paruhnya
yang pendek dapat digunakan 6 – 9 kali inhalasi/hari.
3) Nitrik Oksid
Merupakan suatu vasodilator pulmonal selektif, diberikan secara inhalasi dengan waktu
paruh singkat, hal ini bermanfaat sebagai screening vasodilator pada pengobatan hipertensi
pulmonal. Efek inhalasi NO pada pasien hipertensi pulmonal primer memperlihatkan
perbaikan dalam parameter hemodinamik. Efek jangka panjang belum diteliti namun pada
beberapa pasien tampak menunjukkan manfaat dengan terapi tersebut untuk jangka lama.
4) penghambat fosfodiesterase
• Dipridamol
Dipridamol dapat menurunkan resistensi vaskular paru, vasokonstriksi pulmonal
hipoksik, menurunkan hipertensi pulmonal dan meningkatkan atau memperpanjang efek
inhalasi NO pada anak dengan hipertensi pulmonal. Pada beberapa pasien yang gagal
merespons NO inhalasi membaik dengan terapi kombinasi NO inhalasi + dipiridamol. Ini
menunjukkan bahwa phosphodiesterase type 5 inhibitor merupakan strategi kliis yang efektif
dalam mengobati hipertensi arteri pulmonal, tetapi masih terbatas karena potensi dan
selektivitasnya masih kurang dan efek samping sistemiknya besar.
• Sildenafil
15
Sildenafil merupakan phosphodiesterase type 5 inhibitor yang potensial dan sangat
spesifik. Dibandingkan dengan NO inhalasi, sildenafil memiliki efek yang sama dalam
mereduksi mean tekanan arteri pulmonal, berbeda dengan NO, sidenafil juga memiliki efek
hemodinamik. Bila dikombinasikan dengan NO, sildenafil meningkatkan dan
memperpanjang efek NO inhalasi. Sildenafil dengan NO menurunkan tekanan arteri
pulmonal dan meningkatkan cardiac index, dan menurunkan resistensi veskular pulmonal
lebih besar dari pada satu obat masing-masing. Sildenafil mencegah vasokonstriksi pulmonal
yang berulang setelah gagal dengan inhalasi NO.
Banyak penelitian menunjukkan efektivitas penggunaan sildenafil jangka panjang pada
pasien dengan hipertensi arteri pulmonal kronik. Terapi sildenafil dilaporkan dapat
menurunkan mean takanan arteri pulmonalis 15 % dan resistensi vaskular pulmonal 30 %,
meningkatkan kardiak index 17 % dan meningkatkan jarak berjalan 6 menit. Tidak ada efek
samping yang berarti yang dilaporkan, hanya sakit kepala kongesti nasal, nausea dan
gangguan penglihatan ringan.
5) Antagonis reseptor endotelin ( ERAs)
pada penelitian terakhir menunjukkan ERAs efektif dalam mengobati hipertensi
pulmonal. ERAs tampaknya berperan dalam pengobatan karena meningkatnya bukti peranan
endotelin-1 dalam patogenik pada hipertensi pulmonal. Endotelin-1 adalah suatu
vasokonstritor poten dan mitogen otot polos yang berperan dalam meningkatkan tonus
vaskular dan hipertropi vaskular paru yang dihubungkan dengan hipertensi pulmonal. Pada
pasien dengan hipertensi arteri pulmonal didapatkan peningkatan endotelin-1 dan dalam
produknya dalam plasma dan kadar ini berhubungan dengan serevitas penyakit.
• Bosentan
Penelitian pertama randomized, double-blind, placebo-controlled, multisenter dengan
dosis 62,5 mg, 2 kali sehari selama 4 minggu pertama dilanjutkan sampai dosis 125 mg
sehari. Pada penelitian ini mempebaiki cardiak index,hemodinamik kardiopulmonal dan klas
fungsional,menurunkan resisten vaskular pulmonal, mean tekanan atrium kanan.
• Sitaxentan
Penelitian dengan sitaxentan dengan dosis 100 mg-300mg oral 3 kali sehari pada
pasien dengan hipertensi arteri pulmonal fungsional klas NHYA II, III, IV selama 12 minggu
16
memperbaiki klas fungsional, kapasitas latihan ( memperjarak jalan pada uji 6 menit jalan),
menurunkan resistensi vaskular paru secara bermakna, memperbaiki cardiac index dan
memperbaiki hemodinamik. Gangguan laboratorium lain yang sering terjadi adalah
peningkatan INR atau waktu protrombin. Efek samping yang sering didapatkan pada
pengobatan adalah sakit kepala, edema perifer, nausea, kongesti nasal dan dizzines.
• Ambrisentan
Ambrisentan suatu antagonis endotelin ke 3, saat ini asih dalam fasae III penelitian
klinik dengan hipertensi arteri pulmonal. Antagonis ETA selektif ini sedikit berbeda secara
biokimia.
• Antikoagulan
Pemakaian Antikoagulan direkomendasikan pada pasien HP dengan risiko trombosis
insitu ,obat antikoagulan yang dianjurkan adalah warfarin.
A) TERAPI INTERVENSI ( BEDAH )
1. Atrial septosotomi
Blade ballon atrial septostomy dilakukan pada pasien dengan tekanan RV yang berat
dan volume overload yang refrakter dengan terapi medikamentosa yang maksimal. Tujuan
atau goal prosedur ini adalah dekompresi overload jantung kanan dan perbaikan output
sistemik ventrikel kiri. Terdapat perbaikan fungsi latihan dan tanda disfungsi jantung kanan
berat seperti asites dan sinkop. Septastomi atrial harus dilakukan difasilitas yang memadai
dan operator yang berpengalaman.
2. Thromboenarterectomy pulmonary
Thromboenarterectomy menjadi pilihan pengobatan pada pasien hipertensi pulmonal
yang berhubungan dengan penyakit tromboembolik kronik. Pulmonari
Thromboendarterectomy dilakukan melalui median sternotomi pada cardiopulmonary
bypass. Secara keseluruhan angka kematian semakin membaik dan kini kurang dari 5 %.
17
Respon terhadap terapi tersebut cukup mengesankan dengan perbaikan yang dramatis pada
disfungsi ventrikel kanan.
3. Transplantasi paru
Transplantasi paru dan transplantasi jantung paru dilakukan sebagai terapi bedah pada
pasien dengan penyakit parenkim paru dan gangguan pembuluh darah paru. Pasien
dipertimbangkan untuk transplantasi jika berada pada kelas NHYA III atau kelas IV.
Pasien hipertensi pulmonal primer atau hipertensi arteri pulmonal yang disebabkan
penyakit scleroderma harus menjalani terapi prostasiklin yang diberikan secara infus yang
terus menerus sebelum dilakukan transplantasi paru karena obat tersebut menunjukkan
keberhasilan ( evektivitas ) pada keadaan tersebut. Baik transplantasi paru bilateral atau
single dan juga transplantasi jantung paru, pemilihan prosedur dilakukan dengan melihat
kemampuan organ. Ventrikel kanan mempunyai suatu kapasitas yang besar dalam perbaikan
keadaan disfungsi yang berat sekalipun, afterload membaik oleh karena membaiknya keadaan
abnormal pembuluh darah paru.
Transplantasi tunggal paru dilakukan pada pasien parenkim paru, kecuali pada mereka
yang penyakit supuratif seperti fibrosis kistik, dimana pada kasus tersebut transplantasi
bilateral dianjurkan. Sebagian besar pusat-pusat pelayanan lebih menyukai melakukan
tindakan transplantasi paru bilateral pada pasien dengan hipertensi pulmonal primer karena
hasilnya lebih baik.Bila Terdapat penurunan fungsi ventrikel kanan yang sangat mencolok
bukan suatu kontraindikasi untuk dilakukan transplantasi paru tunggal ataupun bilateral,
karena fungsi ventrikel kanan akan segera membaik setelah dilakukan transplantasi. Bentuk
vetrikel kanan juga terlihat lebih normal setelah dilakukan transplantasi tunggal paru ataupun
bilateral (7).
HIPERTENSI PULMONAR SEKUNDER
Pengobatan hipertensi pulmonar sekunder umumnya adalah dengan mengobati
penyakit yang mendasarinya seperti PPOK, sleep apnea, sindrom obesitas – hipoventilasi,
dan stenosis mitral. Mengenali hipertensi pulmonal pada tahap awal adalah hal yang
mendasar untuk memutuskan siklus self- pertuating yang bertanggung jawab atas kecepatan
progresivitas penyakit. Pada saat pengobatan kebanyakan pasien hipertensi pulmonary
sekunder sudah berada pada kondisi lanjut. Bila penyebabnya telah diketahui harus segera
cepat diatasi untuk mencegah progresivitas penyakit. Pemberian suplementasi oksigen
18
sedikitnya selama 15 jam per hari memberikan keuntungan pada pasien dengan PPOK
hipoksemik. Pemberian terapi vasodilator pada pasien HP Sekunder memberikan hasil yang
mengecewakan karna dapat terjadi komplikasi seperti : hipotensi sistemik, hipoksemia
bahkan kematian. Tromboendarterektomi pulmonal dapat dilakukan bagi HP Sekunder akibat
obstruksi trombotik kronis pada arteri besar diparu (8).
IX. PROGNOSIS
Pada pasien dengan hipertensi pulmonar primer, prognosis biasanya buruk. Jika sudah
timbul gejala, sebagian besar pasien menunjukkan proses yang memburuk. Namun outcome
dapat ditingkatkan dengan pemberian vasodilator poten dalam waktu yang lama dan
dilanjutkan dengan intervensi bedah seperti transplantasi jantung – paru atau transplantasi
paru (9).
Sedangkan pada pasien dengan hipertensi pulmonar sekunder , prognosisnya tergantung
pada penyakit yang mendasarinya. Pasien hipertensi pulmonar karena obliterasi jaringan
vaskuler di paru biasanya berespon buruk terhadap terapi. Prognosis bisa lebih baik bila
hipertensi pulmonal diketahui lebih awal dan bila kondisi yang menyebabkannya telah
membaik (8).
DAFTAR PUSTAKA
1. H. Gray, Huon, dkk. Hipertensi paru. H. Gray, Huon, dkk. Lecture Notes Kardiologi.
Edisi 4. Erlangga ; 2005. Hal : 243.
19
2. Diah, Muhammad. Hipertensi Pulmonal Primer. Dalam: W.Sudoyo Aru, dkk. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-4, Jilid III. Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Indonesia ; 2007. Hal : 1682-1685 .
3. Silbernagl, S. Hipertensi Pulmonal. Silbernagl, Stefan, dkk. Teks dan Atlas Berwarna
Patofisiologi. Edisi 1. Jakarta : EGC ; 2006. Hal : 214-215.
4. Galliae N, Simonneau G. Pulmonary Hypertension. In: Camm AJ et al.editors. Textbook
of Cardiovascular Medicine. ESC. Blackwell Publishing. P: 759-779.
5. S. Chestnutt, Mark, dkk. Hipertensi pulmonary. M. Tierney, Lawrence, dkk. Diagnosis
dan Terapi Kedokteran Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 1. Jakarta : Salemba Medika ; 2002.
Hal : 172 - 173.
6. M. Massie, Barry, dkk. Hipertensi Pulmonar Primer. M. Tierney, Lawrence, dkk.
Diagnosis dan Terapi Kedokteran Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 1. Jakarta : Salemba
Medika ; 2002. Hal : 365.
20