readingjournalsbooks.files.wordpress.com · 2017. 2. 18. · dan oleh jepang disebut dengan...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
Saat ini setidaknya terdapat 5 daerah di Indonesia yang menyandang status
otonomi khusus atau istimewa, antara lain: (i) Provinsi Aceh berdasarkan Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh; (ii) Daerah Khusus Ibukota
Jakarta berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan
Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik
Indonesia; (iii) Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta; (iv) Provinsi Papua
dan Papua Barat berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus Bagi Provinsi Papua sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2008 tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus Bagi Provinsi Papua menjadi Undang-Undang.
Pengakuan dan penghormatan negara terhadap suatu daerah dengan otonomi
khusus dan istimewa di beberapa daerah di Indonesia merupakan kesepakatan politik
pembentuk konstitusi. Prinsip mengakui dan menghormati pemerintahan daerah yang
bersifat khsusus dan istimewa merupakan hal pokok yang diatur dalam ketentuan Pasal
18B ayat (1) UUD 1945. Philipus M. Hadjon menyatakan bahwa prinsip yang
terkandung dalam Pasal 18B merupakan pengakuan negara terhadap pemerintahan
daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa { ayat (1) }, dan prinsip eksistensi
dan hak-hak tradisional masyarakat adat sebagaimana terdapat pada desa atau nama
lain.1 Ketentuan Pasal 18B ayat (1) tersebut mendukung keberadaan berbagai satuan
pemerintahan yang bersifat khsusus atau bersifat istimewa (baik di tingkat provinsi,
kabupaten dan kota atau desa).
Sebelum kemerdekaan, Yogyakarta merupakan sebuah negara bagian Hindia
Belanda yang berbentuk kerajaan istimewa yang disebut Zelfbestuurende Landschappen
dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi.2 Kemudian bergabung dengan Negara
1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang Pemerintahan Daerah Dalam Sistem Pemerintahan, Makalah dalam seminar Sistem Pemerintahan Indoensia Pasca Amandemen UUD 1945, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan HAM RI bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Airlangga dan Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan HAM Provinsi Jawa Timur, pada Tanggal 9-10 Juni 2004.
2 Saafroedin Bahar et. al., ed. Risalah Sidang BPUPKI-PPKI 29 Mei 1945-19 Agustus 1945. Edisi kedua. (Jakarta: Sekretariat Negara RI, 1995), hlm. 58
2
Republik Indonesia melalui Amanat 5 September 1945 yang dikeluarkan oleh Sri Sultan
Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII secara terpisah akan tetapi
dengan format dan isi yang sama. Berdasarkan Amanat 5 September 1945 Kasultanan
Ngajokjakarta Hadiningrat dan Kadipaten Paku Alaman yang bersifat kerajaan
menyatakan pengintegrasian kedalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan
memilih status sebagai daerah istimewa.3 Dalam Amanat 5 September 1945 tersebut, Sri
Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII juga menyatakan bahwa
mereka merupakan kepala daerah yang memegang kekuasaan pemerintahan di daerah
Yogyakarta dan Paku Alaman4 dan bertanggungjawab langsung kepada Presiden.5
Kemudian diakui oleh Presiden Republik Indonesia melalui Piagam Kedudukan Presiden
Republik Indonesia tanggal 6 September 1945 menyatakan integrasi Yogyakarta ke
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memilih status keistimewaan.6
Keadaan tersebut tetap berlaku sampai dengan wafatnya Sri Sultan Hamengku
Buwono IX pada tahun 1988 setelah memimpin Yogyakarta selama 43 tahun dan
kemudian digantikan oleh Sri Paduka Paku Alam VIII sampai tahun 1998. Barulah
setelah Sri Paduka Paku Alam VIII meninggal pada tahun 1998 mulai muncul polemik
tentang siapa dan bagaimana proses pengisian jabatan gubernur Yogyakarta
berikutnya.7 Akan tetapi pada saat itu Sri Sultan Hamengku Buwono X langsung
ditetapkan sebagai Gubernur DIY periode 1998-2003.8
Pada tahun 2003 masa Jabatan Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paduka
Paku Alam IX akan berakhir yang kemudian diikuti oleh perseteruan di DPRD Provinsi
DIY yang menginginkan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY, akan tetapi
mayoritas rakyat menginginkan penetapan.9 Sehingga pada akhirnya pada tahun 2003
3 Diktum 1 Amanat 5 September 1945 berbunyi : “Bahwa Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat jang bersifat keradjaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia”
4 Ketentuan mengenai pernyataan bahwa Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII sebagai kepala daerah dalam status keistimewaan yang dimilikinya tersebut terdapat dalam ketentuan diktum 2 Amanat 5 Sptember 1945 yang berbunyi : “Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat mulai saat ini berada ditangan kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnja kami
pegang seluruhnya. 5 Ketentuan tersebut terdapat dalam diktum 3 Amanat 5 September 1945 yang berbunyi :” Bahwa perhubungan
antara Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia, bersifat langsung dan Kami bertanggung djawab atas Negeri Kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia.
6 Saafroedin Bahar et. al., ed., Loc.Cit. 7 http://www.tempointeraktif.com/hg/politik/2010/12/01/brk,20101201-295774,id.html. Diakses pada Tanggal 28
Februari 2011 8 Ibid 9 Ibid
3
Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paduka Paku Alam IX ditetapkan kembali
sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Periode 2003-2008. Akan tetapi pada tanggal 7
April 2007 Sultan Hamengku Buwono X menyatakan tidak bersedia lagi menjabat
gubernur setelah masa jabatannya selesai pada 2008. Janji ini diulangi kembali pada
Pisowanan Agung di depan 40 ribu rakyat Yogyakarta pada tanggal 18 April 2007. Pada
Oktober 2008 jabatan Sultan Hamengku Buwono X berakhir. Kemudian Presiden
memanggil Sultan untuk menjadi penanggung jawab sementara selama 3 tahun yaitu
sampai tahun 2011 atau sampai RUU Keistimewaan Yogyakarta selesai dibahas.10
Setelah 3 tahun berlalu sejak 2008, polemik mengenai status keistimewaan
Yogyakarta tersebut kembali muncul ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
mengeluarkan statemen dalam rapat terbatas kabinet untuk membahas Rancangan
Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta pada hari Jum’at tanggal 26 November 2010
yang menyatakan bahwa tidak boleh ada suatu sistem monarki yang bisa bertabrakan
dengan demokrasi.11 Berikut ini pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada
tanggal 26 November 2010 mengenai keistimewaan Yogyakarta:
“…Berkali-kali saya menyampaikan posisi dasar pemerintah berkaitan dengan Undang-undang tentang Keistimewaan Yogyakarta atau tentang pemda DIY. Pertama pilarnya adalah pilar nasional yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dalam Undang-undang Dasar telah diatur dengan gamblang. Kedua, harus dipahami keistimewaan DIY itu sendiri berkaitan dengan sejarah dari aspek-aspek lain yang harus diperlakukan secara khusus sebagaimana pula yang diatur dalam Undang-undang Dasar. Ketiga, harus diperhatikan aspek Indonesia adalah negara hukum dan negara demokrasi. Nilai-nilai demokrasi tidak boleh diabaikan. Oleh karena itu, tidak boleh ada sistem monarki yang bertabrakan dengan konstitusi mau pun nilai-nilai demokrasi.”12
Setidaknya ada dua permasalahan utama yang melatarbelakangi statemen
Presiden Susilo bambang Yudhoyhomo di atas, yaitu pertama masalah keistimewaan
Yogyakarta yang dianggap bertentangan dengan prinsip negara kesatuan yang dianut
oleh Indonesia yaitu bahwa hanya ada satu negara dalam negara atau tidak ada negara
10 Ibid 11http://news.okezone.com/read/2010/11/29/337/398252/statement-sby-soal-yogya-picu-polemik, Diakses pada
tanggal 28 Februari 2011 12 http://www.rimanews.com/.../inilah-pernyataan-sby-soal-ruu-keistimewaan-yogyakarta 29 November 2010,
Diakses Pada Tanggal 28 Februari 2011
4
di dalam negara13 dan Pemerintah Pusat merupakan pemegang kekuasaan
pemerintahan negara sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar
Tahun 1945. Kedua yaitu masalah pengisian jabatan Gubernur dan wakil Gubernur
Provinsi DIY yang dianggap tidak demokratis atau tidak sesuai dengan prinsip
kedaulatan rakyat.
Ramlan Surbakti menyatakan bahwa pada dasarnya dalam negara kesatuan
hanya ada satu negara dengan suatu pmerintah pusat yang memiliki seluruh tugas dan
kewenangan negara.14 Ramlan Surbakti menambahkan bahwa dalam negara kesatuan,
pemerintah lokal harus tunduk dan bertanggungjawab kepada pemerintah pusat.15
Berbeda halnya dengan negara federasi yang memiliki kewenangan asli dan
menyerahkan sejumlah tugas dan kewenangan tertentu untuk diselenggarakan oleh
suatu pemerintah federal, sedangkan urusan-urusan lain tetap menjadi kewenangan
negara bagian.16 Pendapat Ramlan Surbakti tersebut juga sesuai dengan apa yang
dikemukakan oleh Soehino tentang konsep negara kesatuan, yaitu:
“Negara kesatuan itu adalah negara yang tidak tersusun dari beberapa negara, melainkan hanya terdiri atas satu negara, sehingga tidak ada negara di dalam negara. Dengan demikian dalam Negara Kesatuan hanya ada satu pemerintah, yaitu pemerintah pusat yang mempunyai kekuasaan serta wewenang tertinggi dalam bidang pemerintahan negara, menetapkan kebijaksanaan pemerintahan dan melaksanakan pemerintahan negara baik di pusat maupun di daerah-daerah.”17 Selanjutnya Eko Prasodjo seperti yang dikutip Hendratno menyatakan bahwa
Pasal 18B ayat (1) dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang menyebutkan
negara mengakui keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dan keanekaragaman
daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan kesamaan
dengan konsep diversity in unity (keragaman dalam kesatuan) dalam sistem federal.18
Hal tersebut dianggap bertentangan dengan konsep negara kesatuan yang dianut di
13 Edie Toet Hendratno, Negara Kesatuan, Desentralisasi, dan Federalisme (Jakarta:Graha Ilmu dan Universitas Pancasila Press, 2009), hlm.45
14 Surbakti, Ramlan, Memahami Ilmu Politik, Cet. 7 ( Jakarta: Grasindo, 2010), hlm. 216 15 Ibid 16 Ibid 17 Soehino, Ilmu Negara, Ed.3, Cet.3 (Yogyakarta: Liberty, 2000), hlm. 224 18 Ibid., hlm.238
5
Indonesia sebagaimana yang terdapat dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.19
Nilai-nilai demokrasi yang dimaksud oleh Presiden tersebut yakni berkaitan
dengan mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY yang selama
ini dilakukan melalui mekanisme penetapan. Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar
Tahun 1945 menghendaki kepala pemerintah di daerah hendaknya dipilih secara
demokratis “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah
daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”. Apa yang dikemukakan
oleh Presiden tersebut mungkin juga memang ada benarnya, sebagai contoh bahwa
dalam putusan Mahkamah Konstitusi perkara Nomor 15/PUU-V/2007 perihal Pengujian
Undang-undang Pemerintahan Daerah, bagian pertimbangan hukum Mahkamah
Konstitusi menyatakan:
“ Ada dua substansi yang menjadi amanat Konstitusi yang terkandung dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 tersebut. Pertama, bahwa pengisian jabatan kepala daerah harus dilakukan melalui pemilihan. Dengan kata lain, pengisian jabatan kepala daerah tersebut tidak boleh dilakukan melalui cara lain diluar cara pemilihan, misalnya dengan cara pengangkatan atau penunjukan. Kedua, pemilihan tersebut harus dilakukan secara demokratis, artinya harus memenuhi kaidah-kaidah demokrasi .20
Putusan Mahkamah Konstitusi di atas dengan jelas menggariskan bahwa
pemilihan kepala daerah haruslah secara demokratis, bukan dengan jalan penunjukan
ataupun pengangkatan. Pemilihan kepala pemerintah daerah secara demokratis
diharapkan akan mampu meningkatkan hubungan dan interaksi antara pemerintah
sebagai wakil pemerintah pusat di daerah dengan masyarakat di daerah.21 Titik Triwulan
Tutik menyatakan bahwa pengertian demokrasi secara harfiah identik dengan makna
kedaulatan rakyat22 seperti yang dianut oleh bangsa Indonesia sebagaimana yang
terdapat dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Moh.Kusnardi dan
19 Huda, Ni’matul, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 95 20 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor Perkara 15/PUU-V/2007. Lihat Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia, Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Pasal-Pasal UUD 1945 (Periode 2003-2008), Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2008, hlm. 10
21 Marijan, Kacung, Sistem Politik di Indonesia Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm. 170
22 Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, ( Jakarta: Prenada Media Group, 2010) , hlm. 66
6
Harmaily Ibrahim menyatakan bahwa suatu negara yang menganut azas kedaulatan
rakyat disebut juga sebagai negara demokrasi.23 Soehino membedakan demokrasi
menjadi Demokrasi langsung dan Demokrasi tidak langsung atau demokrasi
perwakilan.24 Sedangkan terkait dengan bentuk penyaluran kedaulatan rakyat secara
langsung (demokrasi langsung), Jimly Asshiddiqie menjelaskan bahwa:
”Penyaluran kedaulatan rakyat secara langsung (direct democracy) dilakukan melalui pemilihan umum, pemilihan presiden, dan pelaksanaan referendum untuk menyatakan persetujuan atau penolakan terhadap rencana perubahan atas pasal-pasal tertentu dalam Undang-Undang Dasar.”25
Dengan demikian, dari uraian di atas, paling tidak terdapat 2 permasalahan
penting yang menjadi alasan mengapa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
menginginkan agar Gubernur Provinsi DIY dipilih secara demokratis. Pertama, Presiden
menganggap bahwa prinsip Negara Kesatuan harus ditegakkan di seluruh wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu bahwa sistem pemerintahan maupun sistem
hukum adalah sama atau tidak boleh ada negara dalam negara sebagaimana halnya
dengan negara federal. Kedua, bahwa sistem yang ada dan hidup di Yogyakarta selama
ini, yaitu bahwa meknisme pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur DIY melalui
proses penetapan yang kemudian akan digantikan oleh pewaris sah Kesultanan
Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman yang bertahta dianggap bertentangan dengan
prinsip kedaulatan rakyat.
Namun pada tanggal 3 September 2012, akhirnya Pemerintah Pusat
mengundangkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah
Istimewaan Yogyakarta. Setelah lebih dari 60 Tahun DIY bergabung dengan NKRI, baru
pada tahun 2012 Pemerintah Pusat mengesahkan Undang-Undang tentang
keistimewaan DIY. Penegsahan undang-undang keistimewaan DIY tersebut membuat
seluruh elemen bangsa menjadi tenang dan menyambut keberadaan undang-undang
tersebut. Akan tetapi, tetap saja model otonomi daerah yang diberikan kepada DIY tetap
menarik untuk dikaji dan diteliti dalam perspektif hukum tata negara dan hukum
administrasi. Dua bidang ilmu ini (HTN dan Hukum Administrasi) dewasa ini semakin
banyak diminati untuk ditekuni oleh berbagai pihak. Tentunya hal ini tudak lepas dari
23 Moh.Kusnardi, Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Cet. 7 ( Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FH-UI, 1988), hlm.130
24 Ibid, hlm. 240 25 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia ( Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 59
7
sangat dinamisnya perkembangan hukum tata negara dan hukum administrasi. Philipus
M. Hadjon manyatakan bahwa kedua bidang ilmu hukum tersebut yaitu Ilmu Hukum
Tata Negara dan Ilmu Hukum Administrasi secara prinsip tidak dapat dipisahkan.26 Hal
yang sama juga dikemukakan oleh Wirjono Prodjodikoro bahwa perbedaan antara
Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi tidak begitu tampak dengan jelas.27 Oleh
karena itu, kajian dalam buku ini akan menyajikan dua sudut pandang ilmu hukum
tersebut, baik dari perspektif hukum tata negara maupun hukum administrasi.
26 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Sebuah Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya Oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi, (Surabaya:Peradaban, 2007), hlm.23
27 Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Tata Negara di Indonesia, Cet.6, (Jakarta: Dian Rakyat, 1989), hlm.7
8
BAB II
BEBERAPA TEORI DALAM ILMU NEGARA DAN ILMU HUKUM TATA NEGARA
1. Teori Bentuk Susunan Negara
Sri Soemantri Martosoewignyo dalam Hendratno mengatakan bahwa bentuk
negara meliputi negara serikat dan negara kesatuan.28 Hendra Nustjahjo
mengatakan susunan negara ada yang berbentuk serikat dan ada juga yang
berbentuk kesatuan. Jimly Asshiddiqie membagi bentuk negara kedalam 3 jenis,
yaitu bentuk negara kesatuan (unitary state, eenheidsstaat), bentuk negara serikat
(federal, bonds-staat) dan bentuk konfederasi (confederation, staten-bond).29
Ramlan Surbakti menyatakan bahwa bentuk susunan negara dibagi menjadi dua,
yaitu kesatuan (unitaris) dan federasi (negara serikat).30 Sama dengan Ramlan
Surbakti, Edie Toet Hendratno membagi bentuk susunan negara kedalam 2 jenis
yaitu bentuk susunan negara kesatuan dan bentuk sususan negara federasi.31
Soehino menyatakan apabila ditinjau dari segi susunannya, maka akan
ditemukan dua jenis bentuk susunan negara, yakni sebagai berikut:32
a. Negara yang bersusun tunggal, yang disebut dengan Negara Kesatuan
b. Negara yang bersusun jamak, yang disebut Negara Federasi.
Dari beberapa pendapat megenai bentuk atau susunan negara di atas, ada dua
hal yang menjadi titik perhatian, yaitu pertama; bahwa ada sarjana yang
menggunakan istilah “bentuk negara” dan adapula yang menggunakan istilah
“bentuk susunan negara”, sehingga dalam penelitian ini akan dipergunakan istilah
“bentuk susunan negara”. Kedua, bahwa ada 2 pendapat mengenai jenis bentuk
susunan negara yang dikemukakan oleh sarjana tersebut, sebagian sarjana
membagi bentuk susunan negara kedalam 2 jenis saja yaitu bentuk susunan negara
kesatuan dan bentuk susunan negara serikat. Sarjana yang lainnya menambahkan
satu jenis bentuk susunan negara selain bentuk negara kesatuan dan bentuk negara
28 Edie Toet Hendratno, Op.Cit., hlm. 44 29 Jimly Asshiddiqie, Op.Cit., hlm. 211 30 Ramlan Surbakti, Loc.Cit 31 Edie Toet Hendratno, Loc.Cit 32 Soehino, Loc.Cit.
9
serikat yaitu bentuk negara konfederasi. Dalam penelitian ini hanya akan
dikemukakan mengenai teori atau prinsip bentuk susunan negara kesatuan dan
prinsip bentuk susunan negara serikat (federal) saja.
1.1. Prinsip Negara Kesatuan
Soehino memberikan defenisi atau penjelasan mengenai negara kesatuan
sebagai berikut:
“Negara kesatuan itu adalah negara yang tidak tersusun dari beberapa negara, melainkan hanya terdiri atas satu negara, sehingga tidak ada negara di dalam negara. Dengan demikian dalam Negara Kesatuan hanya ada satu pemerintah, yaitu pemerintah pusat yang mempunyai kekuasaan serta wewenang tertinggi dalam bidang pemerintahan negara, menetapkan kebijaksanaan pemerintahan dan melaksanakan pemerintahan negara baik di pusat maupun di daerah-daerah.”33
Kekuasaan para penguasa pada abad XVII maupun abad XVIII masih bersifat
absolut dan masih dilaksanakannya azas sentralisi (urusan pemerintah milik
pemerintah pusat) dan azas konsentrasi (segala kekuasaan serta urusan
pemerintahan dilaksanakan sendiri oleh pemerintah pusat). Dalam
perkembangannya yang dikarenakan perkembangan pesat yang terjadi dalam suatu
negara, yaitu semakin luasnya wilayah, urusan pemerintahan semakin kompleks,
serta warga negaranya semakin banyak dan heterogen, maka di berbagai negara
telah dilaksanakan azas dekonsentrasi ( pelimpahan wewenang dari pemerintah
pusat kepada pejabat-pejabatnya di daerah) dalam rangka penyelenggaraan
pemeintahan di daerah.34
Dalam perkembangannya lebih lanjut juga dibeberapa negara telah
dilaksanakan azas desentralisasi ( penyerahan urusan dari pemerintah pusat ke
daerah otonom) untuk menjadi urusan rumah daerah otonom itu. Pelaksanaan asas
desentralisasi inilah yang melahirkan daerah-daerah otonom. Daerah otonom dapat
mengatur rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.35 Penjelasan lebih lanjut mengenai negara kesatuan yang
33 Ibid, hlm.224 34 Ibid, hlm.224-225 35 Ibid, hlm.225-226
10
didesentralisasikan tersebut dapat dilihat dari uraian yang dikemukakan oleh M.
Solly Lubis berikut ini:
“Prinsip pada negara kesatuan ialah bahwa yang memegang tampuk kekuasaan tertinggi atas segenap urusan negara ialah pemerintah pusat tanpa adanya suatu delegasi atau pelimpahan kekuasaan pada pemerintah daerah (local government). Dalam negara kesatuan terdapat asas bahwa segenap urusan-urusan negara tidak dibagi antara pemerintah pusat (central government) dan pemerintah lokal (local government) sehingga urusan-urusan negara dalam negara kesatuan tetap merupakan suatu kebulatan (eenheid) dan pemegang tertinggi di negara itu ialah pemerintah pusat.” 36
Berkaitan dengan penjelasan sebelumnya, Edie Toet Hendratno menyatakan
bahwa kekuasaan tertinggi dalam negara kesatuan dipegang sepenuhnya oleh
Pemerintah Pusat.37 Penjelasan Edie Toet Hendratno mengenai konsep negara
kesatuan yang kedaulatan sepenuhnya dipegang pemerintah pusat adalah sebagai
berikut:
“Negara kesatuan adalah negara yang mempunyai kemerdekaan dan kedaulatan atas seluruh wilayah atau daerah yang dipegang sepenuhnya oleh satu Pemerintah Pusat. Kedaulatan sepenuhnya dari pemerintah pusat disebabkan karena di dalam negara kesatuan itu tidak terdapat negara-negara yang berdaulat. Meskipun di dalam negara-negara kesatuan wilayah-wilayah negara dibagi dalam bagian-bagian negara tersebut tidak mempunyai kekuasaan asli seperti halnya dengan negara-negara bagian dalam bentuk negara federasi.”38 Pada saat sekarang ini suatu negara kesatuan dapat dibedakan dalam dua
bentuk:39
1. Negara kesatuan dengan sistem sentralisasi.
2. Negara kesatuan dengan sistem desentralisasi
36 M. Solly Lubis, Pergeseran Garis Politik dan Perundang-undangan Mengenai Pemerintah Daerah (Bandung; Alumni, 1983), hlm. 8
37 Edie Toet Hendratno, Op.Cit., hlm.46 38 Ibid. 39 Ibid., hlm. 46
11
Dalam negara kesatuan dengan sistem sentralisasi segala sesuatu dalam
negara langsung diatur dan diurus oleh Pemerintah Pusat dan daerah-daerah hanya
tinggal melaksanakan segala apa yang telah diinstruksikan oleh Pusat itu.40
Sedangkan dalam negara kesatuan dengan sistem desentralisasi, kepada daerah-
daerah diberikan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri
yang kemudian melahirkan atau dibentuknya daerah-daerah otonom, yaitu suatu
kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu yang berhak,
berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.41
Zulfikar Salahuddin, Al Chaidar dan Herdi Sahrasad dalam Ni’matul Huda
menjelaskan bahwa model negara kesatuan asumsi dasarnya berbeda secara
diametrik dari negara federal. Formasi negara kesatuan dideklarasikan saat
kemerdekaan oleh para pendiri negara dengan mengklaim seluruh wilayahnya
sebagai bagian dari satu negara.42 Tidak ada kesepakatan para penguasa apalagi
negara-negara, karena diasumsikan bahwa semua wilayah yang termasuk di
dalamnya bukanlah bagian-bagian wilayah yang bersifat independen. Dengan dasar
itu, maka negara membentuk daerah-daerah atau wilayah-wilayah yang kemudian
diberi kekuasaan atau kewenangan oleh pemerintah pusat untuk mengurus berbagai
kepentingan masyarakatnya, ini diasumsikan bahwa negaralah yang menjadi sumber
kekuasaannya.43
Menurut C.F. Strong dalam Hendratno, bahwa esensi negara kesatuan adalah
negara yang kedaulatnnya (the souvereignty) tidak terbagi-bagi, atau dengan kata
lain, kekuasaan pusatnya tak terbatas (unrestricted) karena konstitusi negara
kesatuan tidak mengakui adanya badan pembentuk undang-undang selain badan
pembentuk undang-undang pusat.44
Dengan demikian, berdasarkan penjelasan di atas maka dapat diketahui bahwa
di dalam negara kesatuan, kekuasaan yang sebenarnya tetap berada dalam
genggaman pemerintah pusat dan tidak dibagi-bagi. Dalam negara kesatuan,
tanggungawab pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan pada dasarnya tetap berada
di tangan pemerintah pusat walaupun dengan sistem desetralisasi.
40 Ibid, hlm.46-47 41 Soehino, Op.Cit., hlm. 225 42 Huda, Ni’matul, Op.Cit., hlm. 92 43 Ibid. 44 Edie Toet Hendratno, Op.Cit., hlm. 48
12
Adapun hubungan antara asas desentralisasi dengan sistem otonomi daerah
sebagaimana dikemukakan oleh Benyamin Hossein yang kemudian diikuti oleh
pendapat Philip Mowhod dan kemudian disimpulkan oleh Jayadi N.K dalam
Siswanto Sunarno adalah sebagai berikut:
“Secara teoritis desentralisasi seperti yang dikemukakan oleh Benyamin Hossein adalah pembentukan daerah otonom dan/atau penyerahan wewenang tertentu kepadanya oleh pemerintah pusat . Philip Mawhod menyatakan desentraliasi adalah pembagian dari sebagian kekuasaan pemerintah oleh elompok yang berkuasa di pusat terhadap kelompok-kelompok lain yang masing-masing memiliki otoritas di dalam wilayah tertentu di suatu negara. Dari defenisi kedua pakar diatas, menurut Jayadi N.K. bahwa mengandung empat pengertian: pertama, desentralisasi merupakan pembentukan daerah otonom; kedua, daerah otonom yang dibentuk diserahi wewenang tertentu oleh pemerintah pusat; ketiga, desentralisasi uga merupakan pemencaran kekuasaan oleh pemerintah pusat; keempat, kekuasaan yang dipencarkan diberikan kepada kelompok-kelompok masyarakat dalam wilayah tertentu.”45
Berikut ini penjelasan lebih lanjut mengenai negara kesatuan dan otonomi
daerah di Indonesia:
“…Akan tetapi, sistem pemerintahan Indonesia yang salah satunya menganut asas negara kesatuan yang didesentralisasikan menyebabkan ada tugas-tugas tertentu yang diurus sendiri sehingga menimbulkan hubungan timbal balik yang melahirkan adanya hubungan kewenangan dan pengawasan.” 46 Bahkan penjelasan tentang asas desentralisasi oleh Siswanto Sunarno
diserupai dengan hak keperdataan atau disamakan dengan hukum keperdataan,
yaitu adanya pemberi hak dan penerima hak. Beikut ini penjelsannya mengenai asas
desentralisasi dan sistem otonomi daerah di Indonesia yang dikemukakan secara
gamblang berikut ini:
“Asas desentralisasi ini dapat ditanggapi sebagai hubungan hukum keperdataan, yakni penyerahan sebagaian hak dari pemilik hak kepada penerima hak, dengan objek hak tertentu. Pemilik hak pemerintahan adalah
45 Sunarno, Siswanto, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Cet.3 (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 13 46 Huda, Ni’matul, Op.cit, hlm.93
13
ditangan pemerintah, dan hak pemerintahan tersebut diberikan kepada pemerintah daerah,dengan objek hak berupa kewenangan pemerintah dalam bentuk untuk mengatur urusan pemerintahan, namun masih tetap dalam kerangka NKRI. Pemberian hak ini, senantiasa harus dipertanggungawabkan kepada si pemilik hak dalam halini Presiden melalui Menteri dalam Negeri dan DPRD sebagai kekuatan representatif rakyat di daerah.” 47
Inti dari konsep pelaksanaan otonomi daerah adalah upaya memaksimalkan
hasil yang akan dicapai sekaligus menghindari kerumitan dan hal-hal yang
menghambat pelaksanaan otonomi daerah. Dengan demikian tuntutan masyarakat
dapat diwujudkan secara nyata dengan penerapan otonomi daerah dan
kelangsungan pelayanan umum yang tidak diabaikan.48
1.2. Prinsip Negara Serikat
Negara serikat (federasi) adalah negara yang bersusunan jamak, maksudnya
negara ini terdiri dari beberapa negara yang semula telah berdiri sendiri sebagai
negara yang merdeka dan berdaulat, mempunyai undang-undang dasar sendiri serta
pemerintahan sendiri.49 Negara-negara bagian itu kemudian menyerahkan sejumlah
tugas dan kewenangan untuk diselenggarakan oleh suatu pemerintah federal,
sedangkan urusan-urusan lain tetap menjadi kewenangan negara bagian.50 Ramlan
Surbakti menambahkan bahwa dalam negara serikat pemerintah negara bagian
bukanlah bawahan dan tidak bertanggungjawab kepada pemerintah federal.51
C.F. Stronk dalam Hendratno menjelaskan tentang dua syarat dasar
pembentukan negara serikat yang sebenarnya. Stronk menyatakan bahwa jika salah
satu dari kedua syarat tersebut tidak terpenuhi, maka penyatuan dalam bentuk
negara serikat tidak dapat terwujud. Berikut ini syarat pembentukan negara serikat
menurut C.F.Stronk;52
1) Syarat pertama, adalah adanya rasa kebangsaan diantara negara-negara yang membentuk federasi. Kenyataannya, negara-negara federal sebelum
47 Sunarno Siswanto, Op.Cit, hlm. 7 48 H.A.W. Widjaja, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2002), hlm. 2 49 Soehino, Op.Cit, hlm.226 50 Ramlan Surbakti, Op.Cit., hlm. 216 51 Ibid. 52 Edie Toet Hendratno, Op.Cit., hlm.53
14
menjadi federasi umumnya sudah berhubungan secara terbatas dalam bentul sebuah konfederasi seperti Jerman atau terikat di bawah penguasa yang sama seperti Amerika Serikat, Swiss, Australia dan Kanada.
2) Syarat kedua, adalah bahwa meskipun menginginkan persatuan (union), unit-unit yang membentuk federasi tidak menghendaki adanya kesatuan (unity); karena jika menghendaki kesatuan, mereka tidak akan membentuk negara federal, melainkan negara kesatuan.
Negara federal pada awalnya berasal dari negara yang berdiri sendiri dan
memiliki kedaulatan sendiri. Akan tetapi karena adanya kepentingan tertentu seperti
ekonomi, politik dan sebagainya mereka membentuk suatu ikatan kerjasama yang
efektif.53 Ikatan kerjasama tersebut yang kemudian disebut negara federasi yang
kemudian memiliki Undang-Undang Dasar dan Pemerintah Pusat atau Pemerintah
Gabungan atau Pemerintah Federasi.54
Dengan demikian maka di dalam negara federasi selalu terdapat dua susunan
sistem atau selalu tersusun jamak, yaitu di tingkat federal dan di tingkat negara
bagian, yaitu:55
a. 2 (dua) macam negara, yaitu Negara Federasi atau Negara Gabungan dan Negara-negara Bagian.
b. 2 (dua) macam pemerintah, yaitu Pemerintah Negara Federasi dan Pemerintah Negara-negara Bagian.
c. 2 (dua) macam undang-undang dasar, yaitu undang-undang dasar Negara Federasi dan undang-undang dasar masing-masing Negara Bagian.
d. Negara di dalam negara, yaitu Negara-negara Bagian itu beradanya di dalam Negara Federasi.
e. 2 (dua) macam urusan pemerintahan, yaitu urusan pemerintahan pokok-pokok dan yang berkaitan dengan kepentingan bersama negara-negara-bagian.
R. Kranenburg dalam Hendratno menjelaskan bahwa ciri negara federal itu
terletak pada keberlakuan atau daya mengikat dari suatu peraturan yang dibuat oleh
pemerintah federal, apakah langsung mengikat sebagaiamana biasanya pada
53 Soehino, Loc.Cit. 54 Ibid. 55 Ibid., hlm 227
15
negara kesatuan ataukah memerlukan tindakan terlebih dahulu dari pemerintah
negara bagian. Berikut ini pendapat Kranenburg tentang ciri negara federal terkait
dengan masalah keberlakuan hukum yang dibuat oleh pemrintah federal, yakni:
“…jika peraturan-peraturan hukum yang dibuat atau dikeluarkan oleh pemerintah federal atau pemerintah gabungan itu akan diberlakukan terhadap para warga negara dari negara-negara bagian, maka pemerintah negara bagian yang bersangkutan terlebih dahulu harus mengadakan suatu tindakan, yaitu mengadakan atau membuat suatu peraturan, atau undang-undang atau pernyataan atau mungkin berupa tindakan lain, yang pada pokoknya menyatakan berlakunya peraturan-peraturan hukum dari negara federal atau negara gabungannya itu terhadap warga negaranya.”56 Pada esensinya, konsepsi negara federal diadasari pada prinsip partnership
yang dibangun dan diatur dalam sebuah perjanjian, yaitu suatu hubungan internal
diantara pihak-pihak yang bersepakat didasarkan pada hubungan timbale balik yang
saling menguntungkan serta pengakuan ekesistensi soverenitas (kedaulatan) dan
integritas pihak-pihak yang terlibat. Dalam derajat tertentu, pihak-pihak yang
bersepakat harus menyerahkan sebagian dari kedaulatannya kepada struktur baru
(federal) untuk mengatur dan mengurus kewenangan bersama. Kranenburg
mengatakan bahwa dalam negara srikat, negara-negara bagian mempunyai
kekuasaan untuk membentuk konstitusi sendiri (pouvoir constituant), negara-negara
bagian dapat mengatur sendiri bentuk organisasi negaranya dalam batas-batas yang
ditentukan konstitusi federalnya.57 Aktivitas pemerintahan dalam negara federal itu
dilandasi prinsip kekuasaan bersama (concurrent or shared powers) yang melibatkan
langsung pemerintahan negara-negara bagian dan nasional.58
C.F.Strong berpendapat bahwa sifat utama atau dasar negara federal adalah
adanya pembagian kekuasaan antara pemerintah federal dengan unit-unit federasi.
Pembagian kekuasaan dalam negara federal (the federal authority) dapat dilakkan
dengan dua cara, tergantung dimana diletakkan sisa atau residu atau kekuasaan
simpanan (reserve of powers). Pertama, konstitusi memperinci satu persatu
kekuasaan pemerintah federal, sedangkan sisa kekuasaan (reserve of power) yang
terinci diserahkan kepada negara-negara bagian. Contoh negara-negara federal
56 Edie Toet Hendratno, Ibid., hlm. 52 57 R. Kranenburg, Ilmu Negara Umum, ditejemahkan Tk.B.Sabaroedin, (Jakarta: Paradnya Paramita, 1989),
hlm. 180 58 Suzie S. Sudarman dalam Edie Toet Hendratno, Op.Cit. hlm. 61
16
yang menerapkan sistem ini antara lain Amerika Serikat dan Australia. Kedua,
konstitusi memperinci satu persatu kekuasaan pemerintah negara-negara bagian,
sedangkan sisa kekuasaan (reserve of power) yang tidak terinci diserahkan kepada
pemerintah federal. Kanada merupakan contoh negara federal yang menerapkan
sistem ini.59
2. Teori Pembagian Kekuasaan Dalam Negara Kesatuan
Salah satu ciri negara hukum ialah adanya pembatasan kekuasaan dalam
penyelenggaraan kekuasaan negara. Konsep negara hukum Eropa Kontinental
Rechtstaat dipelopori oleh Immanuel Kant dan Frederich Julius Stahl. Konsep
rechtstaat ditandai oleh empat unsure pokok yaitu: (i) pengakuan dan perlindungan
terhadap hak-hak asasi manusia; (ii) negara didasarkan pada teori trias politika; (iii)
pemerintahan diselenggarakan berdasarkan undang-undang (wetmatig bestuur); dan
(iv) ada peradilan negara yang bertugas menangani kasus perbuatan melanggar
hukum oleh pemerintah (onrechtmatige overheidsdaa). 60
Gagasan bahwa kekuasaan harus dibagi pada beberapa organ bukanlah hal
baru dalam abad ke-18, tetapi sangat aktual.61 Berikut ini penjelasan I.C. Van der
Viles tentang pembagian kekuasaan negara: 62
“Jauh sebelumnya, kemungkinan adanya suatu pemisahan kekuasaan telah diuraikan oleh Plato. Ia mengatakan bahwa berbagai bentuk pembagian kekuasaan muncul bergantian. Dari suatu monarki ke suatu aristokrasi yang merosot ke suatu anarki yang kemudian terkendali lagi jika seorang tiran merebut kekuasaan. Menurut dia, tirani itu bentuk negara yang paling harus ditolak. Tiran kemudian akan ditumbangkan lagi oleh seorang raja yang baik. Ini selanjutnya, akan diambil alih oleh sekelompok bangsawan: aristokrasi, dan seterusnya. Aristoteles pun seorang penganut pemisahan kekuasaan. Menurut dia, kontemplasi dan tradisi harus dijamin oleh suatu lembaga perwakilan rakyat; sifat dinamis tugas negara harus dipelihara oleh suatu pemerintah. Ia juga berpendapat bahwa orang harus melaksanakan yang satu dengan yang
59 Edi Toet Hendratno, Ibid, hlm. 58 60 Muhammad Thahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum
Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 66. Mengenai rechtstaat, lihat juga beberapa tulisan dalam Sri Soemantri, dkk, Ketatanegaraan Indonesia Dalam Kehidupan Politik Indonesia: 30 Tahun Kembali ke Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999).
61 I.C. van der Viles, Handboek Wetgeving ,(Terjemahan: Buku Pegangan Perancang Perundang-Undangan), ( Jakarta: Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Departemen Hukum dan HAM RI, 2005), hlm. 62
62 Ibid.
17
lainnya secara berganti-ganti agar pengertian bagi kedua fungsi itu tetap terpelihara.”
Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa pembatasan kekuasaan berkaitan erat
dengan teori pemisahan kekuasaan (separation of power) dan teori pembagian
kekuasaan (distribution of power).63 Lebih lanjut Jimly Asshiddiqie menjelaskan
istilah pemisahan kekuasaan sebagai berikut:
“Istilah pemisahan kekuasaan dalam bahasa Indonesia merupakan terjemahan perkataan separation of power berdasarkan teori trias politica atau tiga fungsi kekuasaan, yang dalam pandangan Montesquieu, harus dibedakan dan dipisahkan secara structural dalam organ-organ yang tidak salaing mencampuri urusan masing-masing”. Moh. Kosnardi dan Harmaily Ibrahim menyatakan bahwa berdasarkan ajaran
pemisahan kekuasaan tidak dibenarkan adanya campur tangan atau pengaruh
memengaruhi, antara kekuasaan yang satu dengan yang lainnya, masing-masing
terpisah dalam menjalankan tugas dan fungsinnya yang berbeda-beda itu. Oleh
karena itu, ajaran Montesquieu disebut pemisahan kekuasaan, artinya ketiga
kekuasaan itu masing-masing harus terpisah baik lembaganya maupun orang yang
menanganinya.64 Namun menurut Ismail Sunny bahwa dalam praktek
penyelenggaraan negara, teori pemisahan kekuasaan tersebut tidak selalu
sempurna, karena kadang-kadang satu sama lainnya saling pengaruh-
memengaruhi.65
Sebagai sandingan atas konsep pemisahan kekuasaan (separation of power),
para ahli biasa menggunakan pula istilah pembagian kekuasaan sebagai terjemahan
istilah division of power atau distribution of power. Arthur Mas sebagaimana dikutip
Jimly Ashiddiqie66 membedakan pengertian pembagian kekuasaan (division of
power) tersebut ke dalam dua pengertian, yaitu: (i) capital division of power; dan (ii)
territorial division of power. Pengertian yang pertama bersifat fugsional, sedangkan
yang kedua bersifat kewilayahan atau kedaerahan. Lebih lanjut Jimly Asshiddiqie
63 Jimly Asshiddiqie (1), Op.Cit., hlm. 284 64 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata
Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1988) hlm, 141
65 Ismail Sunny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Cet. IV, (Jakarta: Aksara Baru, 1988), hlm. 15 66 Jimly Asshiddiqie (1), Op.Cit., hlm. 287
18
menyatakan bahwa di Amerika Serikat, istilah division of power itu digunakan dalam
konteks pembagian kekuasaan antara federal dan negara bagian, atau terkait
dengan pengertian territorial division of powers. Sedangkan istilah separation of
powers digunakan dalam konteks pembagian kekuasaan tingkat pemerintahan
federal, yaitu antara legislature, the executive dan judiciary.
Lebih lanjut Jimly Asshiddiqie67 menjelaskan sebagai berikut:
“Dengan demikian dapat dibedakan penggunaan istilah pembagian dan pemisahan kekuasaan itu dalam dua konteks yang berbeda, yaitu konteks hubungan kekuasaan yang horizontal dan vertikal. Dalam konteks vertikal, pemisahan kekuasaan atau pembagian kekuasaan itu dimaksudkan untuk membedakan antara kekuasaan pemerintahan atasan dan kekuasaan pemerintahan bawahan, yaitu dalam hubungan antara pemerintahan federal dan negara bagian dalam negara federal (federal state), atau antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi dalam negara kesatuan (unitary state)”. Philipus M. Hadjon68 menyatakan bahwa pembagian kekuasaan negara pada
dasarnya menganut dua pola, yaitu pembagian kekuasaan secara horizontal dan
secara vertikal. Berikut ini pola pembagian kekuasaan di Indonesia berdasarkan
UUD NRI Tahun 1945 menurut Philipus M. Hadjon:
“Pembagian kekuasaan secara horizontal adalah pembagian kekuasaan negara kepada organ negara dalam ketatanegaraan kita disebut Lemabaga Negara. Pembagian kekuasaan negara secara vertikal adalah pembagian kekuasaan negara antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Disamping kedua kekuasaan yang secara tegas disbutkan dalam Bab III dan Bab IX melalui interpretasi sistematis, dalam Pasal 1 ayat (2) secara tersendiri masih terdapat kekuasaan lain yaitu kedaulatan.” Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih69 menyatakan: “Disebut negara kesatuan apabila kekuasaan Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah tidak sama dan tidak sederajat. Kekuasaan Pemerintahan Pusat merupakan kekuasaan yang menonjol dalam negara, dan tidak ada saingannya dari Badan Legislatif Pusat dalam membentuk undang-
67 Jimly Asshiddiqie (1), Ibid, hlm. 288 68 Philipus M. Hadjon, Sistem Pembagian Kekuasaan Negara (Analisis Hukum Tata Negara), Fakultas Hukum
Universitas Airlangga Surabaya, t.t., hlm. 1-2 69 Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1995), hlm. 195
19
undang. Kekuasaan pemerintahan yang di daerah bersifat derivative (tidak langsung) dan sering dalam bentuk otonomi yang luas”.
Sementara itu, C.F. Strong sebagaimana dikutip oleh Sri Soemantri
Martosoewignjo70 menyatakan bahwa wewenang daerah otonom pada negara
kesatuan diperoleh dari Pemerintah Pusat. Berikut ini penjelasan C.F. Stronk:
“negara kesatuan adalah suatu negara yang berada di bawah satu Pemerintahan Pusat. Pemerintahan Pusat ini yang mempunyai wewenang sepenuhnya di dalam wilayah negara tersebut. meskipun wilayah negara dibagi dalam bagian-bagian negara, akan tetapi bagian-bagian negara tersebut tidak mempunyai kekuasaan asli. Artinya yang terdapat dalam bagian-bagian negara di atas bukanlah sesuatu yang asli. Wewenang yang ada pada bagian-bagian negara yang disebut daerah otonom itu diperoleh dari Pusat.” Bagir Manan71 menyatakan bahwa dari segi hukum tata negara,
khususnya teori bentuk negara, bahwa otonomi daerah adalah subsistem dari
negara kesatuan (unitary state, eenheidsstaat). Otonomi adalah fenomena
negara kesatuan. Segala pengertian (begrip) dan isi (materie) otonomi adalah
pengertian dan isi otonomi. Berdasarkan hal tersebut dikembangkanlah
berbagai aturan (rules) yang mengatur mekanisme yang akan menjelmakan
keseimbangan antara tuntutan keksatuan dan tuntutan otonomi.
3. Bentuk Pemerintahan Republik
Montesqieu dalam Hendratno membagi bentuk pemerintahan kedalam tiga
bentuk pokok, yaitu: (i) bentuk republik, (ii) bentuk monarki, dan (iii) bentuk
despotisme.72 Berbeda halnya dengan Montesqiue, George Jellinek menyebutkan
bahwa bentuk negara terdiri dari dua macam, yaitu bentuk republik dan bentuk
monarki.73 Hal yang sama juga dikemukan oleh Jimly Asshiddiqie yang
70 Sri Soemantri Martosaewignjo, Pengantar Perbandingan Antar Hukum Tata Negara, (Jakarta: Rajawali,
1982), hlm. 48 71 Bagir Manan, Perjalanan Historis Pasal 18 UUD 1945 (Perumusan dan Undang-Undang Pelaksanaannya),
(Jakarta: Unsika, 1995), hlm. 1 72 Ibid, hlm. 88 73 Soehino, Op.Cit., hlm. 174
20
menyatakan bahwa bentuk negara itu ada dua pilihan, yaitu bentuk kerajaan
(monarki) dan bentuk republik.74
Penggunan istilah bentuk negara juga dapat dilihat dalam Pembukaan maupun
dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Dalam Pembukaan UUD 1945 alinea IV menyatakan “…..maka disusunlah
Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar
Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik
Indonesia….”. Dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan “Negara
Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik”.
Penjelasan Jimly Asshiddiqie yang membagi bentuk negara republik dan
bentuk negara kerajaan (monarki) tidak sesuai dengan penjelasannya dalam
bukunya yang lain yang menyatakan bahwa bentuk negara harus dipisahkan dan
dibedakan dengan istilah bentuk pemerintahan serta sistem pemerintahan.75 Dalam
penjelasan lainnya tersebut, Jimly Asshiddiqie membagi bentuk pemerintahan
kedalam bentuk pemerintahan republik dan bentuk pemerintahan kerajaan
(monarki).76
Bagir Manan menyatakan bahwa bentuk pemerintahan berkaitan dengan
bagian dalam, yaitu pemerintahan negara yang dibedakan antara pemerintahan
republik dan pemerintahan kerajaan, sebagaimana penjelasannya berikut ini:
“ Dalam Ilmu Negara (Algemene Staatsleer) dan Ilmu Hukum Tata Negara dibedakan antara bentuk negara dan bentuk pemerintahan. Bentuk negara menyangkut kerangka bagian luar organisasi negara yang dibedakan antara bentuk negara kesatuan dan bentuk negara federal. Sedangkan bentuk pemerintahan berkaitan dengan bagian dalam yaitu pemerintah negara yang dibedakan antara pemerintah republik dan pemerintah kerajaan.”77 Oleh karena itu, dalam penelitian ini, istilah yang digunakan adalah istilah
bentuk pemerintahan.
Tutik menyatakan bahwa istilah Republik berasal dari bahasa Latin yaitu dari
istilah respublica yang artinya “kepentingan umum” adalah negara dengan
74 Jimly Asshiddiqie (2), Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Cet.2 ( Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2008), hlm. 277. Lihat Juga Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Op.Cit., hlm. 165
75 Jimly Asshiddiqie (1), Op.Cit., hlm. 211 76 Ibid. 77 Bagir Manan (1), Lembaga Kepresidenan. Cet. 3. Yogyakarta: FH UII Press
21
pemerintahan rakyat yang dikepalai oleh seorang Presiden sebagai kepala negara
yang dipilih dari dan oleh rakyat untuk suatu masa jabatan tertentu.78 Jimly
Asshiddiqie menyatakan bahwa istilah republik mengandung pengertian “hak atau
kepentingan rakyat”.
Jimly Asshiddiqie kemudian menyatakan bahwa “ jika jabatan kepala negara
itu bersifat turun temurun, maka negara itu disebut kerajaan. Jika kepala
pemerintahannya tidak bersifat turun temurun, melainkan dipilih maka negara itu
disebut republik. Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim dengan mengutip pendapat
Leon Duguit juga menyatakan bahwa “ jika seorang Kepala Negara dipilih melalui
suatu pemilihan umum untuk masa jabatan yang ditentukan, maka bentuk negaranya
disebut republik dan Kepala Negaranya adalah seorang Presiden”.79 Ramlan
Surbakti menyatakan bahwa “jika penetapan kepala negara dilakukan dengan
pemilihan umum baik secara langsung maupun secara tidak langsung oleh para
wakil rakyat yang dipiliholeh rakyat yang berhak memilih, bentuk negara ini disebut
republik”.80
Montesqieu sebagaimana dikutip Hendratno menyatakan bahwa “ bentuk
republik, dimana kekuasaan tertinggi di dalam negara adalah di tangan rakyat ( atau
dilakukan atas nama rakyat, jika lembaga rakyat memiliki kekuasaan tertinggi disebut
demokrasi, sedangkan kekuasaan tertinggi berada pada sebagian rakyat dinamakan
aritokrasi)”.81 Jimly Asshiddiqie mengemukakan bahwa konsep republik dewasa ini
dikaitkan dengan pengertian negara sebagai penjelmaan kekuaan dari rakyat.
Berikut ini penjelasan Jimly Asshiddiqie mengenai konsep republik:
“ Di zaman sekarang, konsep republik dikaitkan dengan pengertian negara sebagai penjelmaan kekuasaan dari rakyat, sedangkan monarki atau kerajaan kekuasaan yang dating secara turun temurun dari raja atau ratu kepada putera/puteri mahkotanya. Bangsa Indonesia mempunyai sejarah yang sangat panjang dengan silih bergantinya kerajaan-kerajaan yang memerintah wilayah nusantara”.82
78 Titik Triwulan Tutik, Op.Cit., hlm. 142 79 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Op.Cit., hlm. 167 80 Ramlan Surbakti, Op.Cit., hlm. 217 81 Edie Toet Hendratno, Loc.Cit. 82 Jimly Asshiddiqie (2), Op.Cit. hlm. 280
22
Soehino dengan mengutip pendapat Jellinek membedakan konsep republik
dan monarki dari siapa yang membentuk undang-undang. Soehino menyatakan
bahwa jika undang-undang dalam suatu negara ditetapkan dan merupakan hasil
karya suatu dewan maka negara itu disebut republik. Dan sebaliknya jika dalam
suatu negara itu undang-undangnya merupakan hasil karya dari satu orang tunggal
saja, maka negara itu disebut monarki.83
Bagir Manan menyatakan bahwa secara asasi paham republik (republicanism)
mengandung makna pemerintahan yang diselenggarakan oleh kepentingan umum
(rakyat banyak). Karena itu, institusi kenegaraan (state institution) dalam republik
harus senantiasa mencerminkan penyelenggaraan oleh dan untuk kepentingan
umum.84 Menurut Hamilton sebagaimana dikutip Abdul Goffar menyatakan bahwa
yang paling esensial dalam republik yaitu pemerintah berasal dari rakyat banyak,
bukan dari suatu jumlah (kecil) yang tidak berarti atau dari kelas tertentu.85
4. Konsep Keistimewaan
Sebagai akibat perkembangan kehidupan bernegara yang semakin kompleks,
serta warga negaranya semakin menjadi semakin banyak dan heterogen maka
dibeberapa negara (negara kesatuan) telah dilaksanakan asas dekonsentrasi dan
desentralisasi dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan di daerah yang
kemudian melahirkan daerah-daerah otonom.86 Penyelenggaraan pemerintahan
daerah di Indonesia sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 18 Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yaitu berdasarkan pada asas otonomi
dan tugas pembantuan. Dari konsep itu maka lahirlah daerah otonom dan daerah
otonom itu memiliki otonomi daerah. Menurut Soehino, bahwa otonomi daerah yaitu
hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.87
Bagir Manan mendefinisikan otonomi sebagai suatu kebebasan dan kemandirian
83 Soehino, Op.Cit., hlm.176 84 Bagir Manan (1), Op.Cit. hlm. 2-3 85 Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945 dengan
Delapan Negara Maju, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009 ), hlm. 42 86 Soehino, Op.Cit, hlm.225 87 Ibid., hlm. 225-226
23
(vrijheid dan zelfstandigheid) satuan pemerintahan lebih rendah untuk mengatur dan
mengurus sebagian urusan pemerintahan.88
Selain itu, Pasal 18 B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945, juga memberikan suatu prevelege terhadap suatu daerah
yang bersifat khusus atau dikenal dengan daerah otonomi khusus yang tentunya
sifat otonominya berbeda dengan daerah lainnya. Pasal 18 B ayat (1) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 juga mengakui dan
meghormati daerah yang bersifat istimewa dan tentunya juga memiliki keistimewaan
dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya.
Sebelum dilakukannya perubahan terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, ketentuan “istimewa” tercantum dalam batang tubuh
Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan juga
dijelaskan dalam penjelasan Pasal 18 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD
1945). Sebagaimana diketahui, bahwa Pasal 18 UUD 1945 sebelum perubahan tidak
dijabarkan kedalam ayat-ayat sebagaimana yang terdapat dalam ketentuan Pasal 18
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 setelah perubahan.
Berikut ini bunyi ketentuan Pasal 18 UUD 1945 sebelum perubahan:
Pembagian daerah di Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-undang dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem Pemerintahan Negara dan hak-hak asal-usul dalam daerah yang bersifat Istimewa. Bagir Manan menjelaskan mengenai penjelasan Pasal 18 UUD 1945 tersebut
bahwa “hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa” sebagai
daerah-daerah yang mempunyai susunan asli, yaitu zelfbesturende landschappen
dan volksgemenschappen.89 Supomo tidak secara tegas menyatakan
Zelfbesturende landschappen sebagai daerah besar tetapi menurut Bagir Manan,
secara contrario dapat dikatakan bahwa zelfbesturende landschappen itu adalah
daerah besar karena tidak dimasukkan dalam arti daerah kecil. Dengan demikian,
susunan pemerintahan daerah di Indonesia terdiri dari dua, yaitu zelfbesturendedan
atau daerah kecil berupa desa atau satuan lain semacam desa.
88 Bagir Manan (2), Perjalanan Historis Pasal 18 UUD 1945, Perumusan dan Undang-Undang Pelaksanaannya, (Jakarta: UNSIKA, 1993), hlm. 2
89 Ibid.
24
Ketentuan Pasal 18 UUD 1945 tersebut menyebutkan “hak-hak asal-usul
dalam daerah yang bersifat istimewa”. Bagir Manan menjelaskan istilah “istimewa”
yang terdapat dalam UUD 1945 tersebut sebagai berikut:
“Dalam IS atau RR tidak pernah diketemukan istilah “istimewa” atau”khusus” untuk menunjuk sifat suatu satuan daerah pemerintahan tertentu. Demikian pula beberapa buku mengenai susunan kenegaraan Hindia Belanda tidak menggunakan istilah “istimewa” atau yang semacam itu. Klenjtes, ketika menguraikan aneka ragam suatu pemerintahan tingkat daerah (legere territorial rechtsgemenschappen) hanya menyebutkan: province, autonomie regentschappen, standsgemeenten, plaatselijke resorten, inlandsche gemeenten, rechtspersoonlijkheid bezittend, waterschappen dan landschappen.”90 Istilah “istimewa” yang terdapat dalam ketentuan Pasal 18 tersebut juga
dijelaskan panjang lebar oleh Supomo dalam sidang BPUPKI tanggal 15 Juli 1945
selaku Ketua Panitia Kecil Perancang Undang-Undang Dasar, yakni sebagai berikut:
“Tentang daerah kita telah menyetujui bentuk persatuan, unie91 oleh karena itu dibawah pemerintah pusat, dibawah negara tidak ada negara lagi. Tidak ada onderstaat, akan tetapi hanya daerah-daerah. Bentuknya daerah itu dan bagaimana bentuk pemerintahan daerah ditetapkan dengan undang-undang. Beginilah bunyinya Pasal 1692: “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-undang dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem Pemerintahan Negara dan hak-hak asal-usul dalam daerah yang bersifat Istimewa.” Jadi rancangan Undang-Undang Dasar memberi kemungkinan untuk mengadakan pembagian seluruh daerah Indonesia dalam daerah-daerah yang besar, dan di dalam daerah besar itu ada lagi daerah-daerah yang kecil. Apakah arti “mengingati dasar permusyawaratan”? Artinya, bagaimanapun penetapan tentang bentuk pemerintahan daerah, tetapi harus berdasarkan atas permusyawaratan. Jadi misalnya aka nada juga dewan permusyawaratan daerah. Lagi pula harus diingat hak asal-usul dalam daerah-
90 Ibid., hlm. 158 91 Bagir Manan memaknai istilah “unie” yang dikatakan Soepomo tersebut sebagai merujuk kepada bentuk
negara kesatuan. Lihat Bagir Manan (2), Ibid., hlm. 14 92 M.Yamin dalam Bagir Manan (2), Ibid., menjelaskan rancangan yang disusun paniti kecilm Pemerintah
Daerah terdapat dalam Pasal 16 bukan Pasal 18, perubahan mungkin terjadi setelah rancagan tersebut diubah oleh Panitia Penghalus Bahasa (Djajaningrat, Salim dan Soepomo).
25
daerah yang bersifat istimewa. Di papan daerah istimewa saya gambar dengan streep, dan ada juga saya gambarkan desa-desa.93 Panitia mengingat kepada, pertama, adanya sekarang kerajaan-kerajaan dan daerah-daerah yang meskipun kerajaan, tetapi mempunyai status zelfbestuur. Kecuali dari Panitia mengingat kepada daerah-daerah kecil yang mempunyai susunan asli, yaitu Volksgemeinschappen barangkali perkataan ini salah tetapi yang dimaksud ialah daerah-daerah kecil yang mempunyai susunan rakyat seperti misalnya di Jawa: desa diminangkabau nagari, di Tapanuli: huta, di Aceh: Kampong, semua daerah kecil yang mempunyai susunan rakyat, daerah istimewa tadi, jadi daerah kerajaan (zelfbesturende landschappen), hendaknya dihormati dan diperhatikan susunannya yang asli. Begitulah yang dimaksud Pasal 16.”94 Kemudian pada tanggal 18 Agustus 1945 setelah Proklamasi, atas permintaan
Soekarno (Ketua PPKI), Supomo memberi penjelasan mengenai Rancangan
Undang-Undang Dasar yang akan disahkan sebagai Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia. Mengenai pemerintah daerah, Supomo menjelaskan sebagai
berikut:95
“Dan adanya daerah-daerah istimewa diindahkan dan dihormati, kooti-kooti, sultanat-sultanat tetap ada dan dihormati susunannya yang asli, akan tetapi itu keadaannya sebagai daerah, bukan negara; jangan sampai ada salah paham dalam menghormati adanya daerah. Zelfbesturende Landschappen, hanyalah daerah saja, tetapi daerah istimewa yaitu yang mempunyai sifat istimewa. Jadi daerah-daerah itu suatu bagian dari Staat Indonesia, tetapi mempunyai sifat istimewa, mempunyai susunan asli. Begitupun adanya “zelfstandige gemeenschappen” seperti desa, di Sumatera negeri (di Minangkabau), marga (di Palembang), yang dalam bahasa Belanda disebut “Inheemsche Rechtsgemeenschappen”. Susunannya asli dan dihormati.”
Supomo juga menjelaskan kembali penegasannya bahwa yang termasuk
daerah-daerah yang bersifat istimewa adalah kooti dan desa.96 Sebagaimana
disebutkan dalam latar belakang masalah bahwa dalam bahasa Jepang, Kasultanan
Ngajokjarta Hadiningrat tersebut disebut kooti yang merupakan salah satu negara
bagian dari pemerintahan Hindia Belanda waktu itu. Begitu pula halnya telah
93 Gambar yang dimasud Soepomo, seperti dimuat Muhmmad Yamin dalam Bagir Manan, Ibid., hlm. 15 94 Ibid, hlm.15 95 Ibid, hlm 16 96 Ibid, hlm. 17
26
dikemukakan sebelumnya bahwa Kasultanan Ngajogjakarta Hadiningrat dan
Kadipaten Paku Alaman mendeklarasikan penggabungan dengan Negara Kesatuan
Republik Indonesia pada tanggal 5 Septenber 1945 atau tepatnya 20 hari setelah
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia atau 19 hari setelah ditetapkannya Rancangan
Undang-Undang Dasar sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
Maka sebagai kooti Sri Sultan Hamnegku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alaman
VIII dalam amanat 5 September 1945 menyatakan diri sebagai daerah istimewa
dalam Negara Republik Indonesia.97
Di dalam ketentuan Draft Rancangan Undang-Undang Keistimewaan
Yogyakarta Tahun 2001 yang merupakan RUU usulan Pemerintah Provinsi DIY,
konsep keistimewaan didefininisikan sebagai berikut:98
Istimewa adalah kedudukan hukum yang diberikan kepada Daerah Istimewa Yogyakarta, berdasarkan hak asal usul secara historis yuridis yang meliputi aspek kelembagaan dan aparat, penyelenggaraan pemerintahan, pertanahan, sejarah dan budaya sebagaimana dimaksud pasal 122 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999. Sedangkan dalam ketentuan Draft Rancangan Undang-Undang Keistimewaan
Yogyakarta tahun 2008 dan Dratt tahun 2010 yang merupakan RUU usulan
Pemerintah serta Draft RUU dari Program S2 Politik Lokal dan Otonomi Daerah
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gajah Mada tahun 2008, definisi konsep
keistimewaan adalah sebagai berikut:99
Keistimewaan adalah kedudukan hukum yang dimiliki oleh Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan sejarah dan hak asal-usul menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk mengatur dan mengurus kewenangan istimewa.
97 Diktum 1 Amanat 5 September tersebut berbunyi “Bahwa Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat jang bersifat keradjaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia”
98 Pasal 1 angka 3 Draft Rancangan Undang-Undang Keitimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta usulan Pemprov DIY. Diakses dari http://www.pemda-diy.go.id/
99 Diakses dari : - http://bdardias.staff.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2008/06/Naskah-Akademik-dan-RUUK-Keistimewaan-
Yogyakarta-JPP-Fisipol-UGM.pdf. - http://djpp.depkumham.go.id/files/RUU/2008/ruu%20yogya.pdf
- http://hukum.kompasiana.com/2010/12/18/draf-ruu-keistimewaan-diy/18 desember 2010. Diakses pada tanggal 15 Februari 2011
27
Sementara itu yang dimaksud dengan kewenangan istimewa adalah
wewenang tambahan tertentu yang dimiliki Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
selain wewenang sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang tentang
Pemerintahan Daerah.100 Terkait dengan kewenangan istimewa yang merupakan
hak asal-usul dalam daerah yang bersifat istimewa (hak yang bersifat autochtoon),
atau hak yang dimilikinya sejak sebelum daerah itu merupakan bagian dari Negara
Republik Indonesia, Sujamto mengemukakan bahwa ada tiga garis besar macam-
macam hak autochtoon itu, yakni sebagai berikut:101
1. Hak asal usul yang menyangkut struktur kelembagaan, yang tersirat dari kata-kata “susunan asli”;
2. Hak asal-usul yang menyangkut ketentuan dan prosedur tentang pengangktan dan pemberhentian pemimpin;
3. Hak asal usul yang yang menyangkut penyelenggaraan urusan-urusan pemerintahan terutama yang berhubungan dengan penyelenggaraan dan pembebanan terhadap masyarakat.
Ni’matul Huda berendapat bahwa konsekuensi dari dari jaminan yang
diberikan oleh UUD 1945 tersebut adalah bahwa setiap aturan negara atau
peraturan perundang-undangan mengenai “daerah yang bersifat istimewa” itu
haruslah tidak mengabaikan hak asal-usul daerah tersebut.
5. Teori Kedaulatan Rakyat dan Demokrasi
Jimly Asshiddiqie menjelaskan bahwa asal muasal konsep kedaulatan dalam
bahasa Indonesia sebenarnya berasal dari bahasa Arab, yaitu daulat, dan dulatan
yang berarti pergantian, peralihan atau peredaran (kekuasaan).102 Dalam bahasa
Inggris istilah kedaulatan disebut souveregnty yang berasal dari bahasa Latin,
superanus yang pada intinya bahwa konsep kedaulatan itu berkaitan dengan konsep
kekuasaan tertinggi.103 Jean Bodin sebagaimana dikutip oleh Soehino mengatakan
100 Ibid. 101 Sujamto, Daerah Istimewa Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (Jakarta: Bina Aksara, 1988),
hlm.15 102 Jimly Asshiddiqie (1), Op.Cit., hlm. 97 103 Ibid. 98-99
28
bahwa “kedaulatan itu adalah kekuasaan tertinggi untuk menentukan hukum dalam
suatu negara, yang sifatnya tunggal, asli, abadi dan tidak dapat dibagi-bagi”.104
Jimly Asshiddiqie menguraikan bahwa ada lima teori atau ajaran tentang
kedaulatan sebagai ide mengenai kekuasaan tertinggi. Kelimanya adalah (i) Teori
Kedaulatan Tuhan, (ii) Teori Kedaulatan Raja, (iii) Teori Kedaulatan Negara, (iv) Teori
Kedaulatan Rakyat, dan (v) Teori Kedaulatan Hukum.105 Dalam teori kedaulatan
rakyat, kedaulatan tertinggi dalam suatu negara dianggap berada di tangan rakyat
negara itu sendiri.106
Moh.Kusnardi dan Harmaily Ibrahim menyatakan bahwa suatu negara yang
menganut azas kedaulatan rakyat disebut juga sebagai negara demokrasi.107 Titik
Triwulan Tutik juga menyatakan bahwa pengertian demokrasi secara harfiah identik
dengan makna kedaulatan rakyat108 seperti yang dianut oleh bangsa Indonesia
sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun
1945. Jimly Asshiddiqie mengemukakan bahwa di Indonesia kedaulatan berada di
tangan rakyat yang diberlakukan menurut Undang-Undang Dasar (constitutional
democracy) yang diimbangi dengan penegasan bahwa negara Indonesia ialah negara
hukum yang berkedaulatan rakyat atau demokrasi (democratische rechtsstaat).109
Titik Triwulan Tutik kemudian menyatakan bahwa negara demokrasi adalah
negara yang sistem pemerintahannya (kedaulatannya) berada di tangan rakyat,
kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan
rakyat dan kekuasaan oleh rakyat.110 Sejalan dengan itu, Jimly Asshiddiqie
menyatakan bahwa dalam sistem participatory democracy kedaulatan rakyat itu
mengandung makna kekuasaan pemerintahan itu berasal dari rakyat, untuk
rakyat,oleh rakyat dan bersama rakyat.111
Berdasarkan sejarahnya, perjalanan demokrasi sudah tumbuh sejak jaman
Yunani Kuno, sekitar abad ke-4 dan ke-5 Sebelum Masehi yang kemudian
104 Soehino, Op.Cit, hlm. 151 105 Jimly Asshiddiqie (1), Op.Cit., hlm. 114 . Soehino mengemukakan bahwa ada empat macam teori
kedaulatan yaitu kedaulatan Tuhan, kedaulatan negara, kedaulatan hukum dan kedaulatan rakyat. Lihat Soehino, Op.Cit., hlm. 152-160
106 Ibid, hlm. 117 107 Moh.Kusnardi, Harmaily Ibrahim, Loc.Cit. 108 Titik Triwulan Tutik, Loc.Cit. 109 Jimly Asshiddiqie (1), Op.Cit., hlm. 58 110 Titik Triwulan Tutik, Op.Cit., hlm. 67 111 Jimly Assiddiqie (1), Op.Cit., hlm. 117
29
berkembang hingga saat ini.112 Dalam demokrasi, semestinya, hak-hak rakyat
dihormati dan dijunjung tinggi. Dalam demokrasi tidak dibenarkan adanya keputusan
politik dari pejabat yang dapat merugikan hak-hak rakyat, apalagi kebijakan yang
bertujuan untuk menindas rakyat demi kepentingan penguasa. Demokrasi
sesungguhnya bukan hanya seperangkat gagasan dan prinsip tentang kebebasan.
Tetapi, demokrasi juga mencakup seperangkat praktik dan prosedur yang terbentuk
dalam sejarah panjang dan berliku. Demokrasi, seringkali disebut pelembagaan dari
kebebasan. 113
Hendry B. Mayo memberikan pengertian mengenai demokrasi sebagai berikut:
”A democratic political system is one in which public pilicies are made on majority basis, by reperesentative subject to effective popular control a periodeic elections which are conducted on the principle of political equality and under conditions of political freedom.( Sistem politik demokratis adalah sistem yang menunjukkan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik).114 Dalam perkembangannya, demokrasi telah mengalami pasang surut
sebagaimana yang dikemukan oleh Abdullah Yazid berikut ini:
”Pasang surut demokrasi ini ditandai antara lain dengan adanya istilah atau nama dari demokrasi yang menunjukkan bentuk pelaksanaan sistem pemerintahan demokrasi di suatu negara dengan tujuan memberikan perlindungan terhadap hak-hak warga negara Dalam demokrasi seringkali terjadi pertarungan antara nilai-nilai ideal, nilai instrumental, dengan konteks alam, politik, ekonomi, sosial, budaya, keamanan dan agama serta kualitas psikososial para penyelenggara negara.”115
Sebaliknya, demokrasi akan tumbuh kokoh bila di kalangan masyarakat tumbuh
kultur dan nilai-nilai demokrasi, seperti toleransi, bebas mengemukakan pendapat,
menghormati perbedaan pendapat, memahami keanekaragaman dalam masyarakat;
112 Moh. Mahfud, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Cet 2 (Jakarta:PT Rineka Cipta, 2003),hlm. 20 113 http://www.cidesonline.org 114 Hendry B.Mayo dalam Moh. Mahfud MD, Op.Cit, 19-20 115 David Held, Demokrasi dan Tatanan Global, dari Negara Modern hingga Pemerintahan Kosmopolitan,
(Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2006),hlm.14
30
terbuka dalam berkomunikasi, serta menjunjung nilai dan martabat kemanusiaan.
Demokrasi juga harus memiliki nilai percaya diri atau tidak tergantung pada orang lain
dan saling menghargai.
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang disahkan oleh BPUPKI pada tanggal
18 Agustus 1945 pun telah memuat berbagai hak dan kewajiban warga negara serta
pemerintah agar terwujud hubungan politik yang demokratis. Dewasa ini, di saat
gagasan demokrasi semakin mendunia, bangsa Indonesia didorong oleh semangat
reformasi berusaha mewujudkan suatu sistem pemerintah yang demokratis pula.116
Karena kedaulatan berada di tangan rakyat, maka segala proses penyelenggaraan
negara, termasuk pemilu, harus diserahkan kepada pemiliknya, yaitu rakyat.117
Sohenino membedakan demokrasi menjadi Demokrasi langsung dan
Demokrasi tidak langsung atau demokrasi perwakilan.118 Robert Dahl sebagaimana
dikutip oleh Kacung Marijan menyatakan bahwa dalam demokrasi perwakilan,
partisipasi publik atau masyarakat itu dimaksudkan sebagai keterlibatan warga
negara dalam pemilu.119 Sedangkan terkait dengan penyaluran kedaulatan rakyat
secara langsung (demokrasi langsung), Jimly Asshiddiqie menjelaskan bahwa:
”Penyaluran kedaulatan rakyat secara langsung (direct democracy) dilakukan melalui pemilihan umum, pemilihan presiden, dan pelaksanaan referendum untuk menyatakan persetujuan atau penolakan terhadap rencana perubahan atas pasal-pasal tertentu dalam Undang-Undang Dasar. Disamping itu, kedaulatan rakyat dapat pula disalurkan setiap waktu melalui pelaksanaan hak atas kebebasan berpendapat, hak atas kebebasan pers, hak atas kebesasan informasi, hak atas kebebasan berorganisasi dan berserikat serta hak-hak asasi lainnya yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar.”120
Berkaitan dengan masalah pemilihan umum sebagai wujud pelaksanaan
kedaulatan rakyat secara langsung (demokrasi langsung), Philipus M. hadjon
sebagaimana dikutip Titik Triwulan Tutik menyatakan bahwa:
116 Abdullah Yazid et.all, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia, (Malang:Avveroes Press, 2007), hlm.32 117 Redi Penuju, Oposisi Demokrasi dan Kemakmuran Rakyat, Cetakan I, (Yogyakarta: Pustaka Book
Publisher, 2009) hal 7 118 Ibid, hlm. 240 119 Kacung Marijan, Op.Cit, hlm. 112-113 120 Jimly Asshiddiqie (1), Op.Cit, hlm. 59
31
“Prinsip demokrasi yang terkandung dalam Pasal 18 (ayat 3 dan 4) menyangkut pemilihan anggota DPRD dan Kepala Daerah secara langsung. Dengan demikian dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia, pemilihan umum tidak hanya untuk memilih wakil rakyat ( DPR, DPD, DPRD ) tetapi juga untuk kepala pemerintahan”121
Dalam putusan Mahmah Konstitusi perkara Nomor 15/PUU-V/2007 perihal
Pengujian Undang-undang Pemerintahan Daerah, dalam bagian pertimbangan
hukum Mahkamah Konstitusi menyatakan:
“ Ada dua substansi yang menjadi amanat Konstitusi yang terkandung dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 tersebut. Pertama, bahwa pengisian jabatan kepala daerah harus dilakukan melalui pemilihan. Dengan kata lain, pengisian jabatan kepala daerah tersebut tidak boleh dilakukan melalui cara lain diluar cara pemilihan, misalnya dengan cara pengangkatan atau penunjukan. Kedua, pemilihan tersebut harus dilakukan secara demokratis, artinya harus memenuhi kaidah-kaidah demokrasi. Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 tidak mewajibkan pembentuk undang-undang (DPR bersama Presiden) untuk menggunakan prosedur atau tata cara pemilihan tertentu, secara langsung ataupun tidak langsung. Hal itu sepenuhnya diserahkan kepada pembentuk undang-undang, sepanjang telah terpenuhinya kaidah-kaidah demokrasi. 122
Terkait dengan proses tumbuhnya demokrasi di tingkat nasional pada suatu
negara, Brian C.Smith menekankan perlunya perhatian terhadap demokrasi di
daerah. Hal itu berangkat dari suatu keyakinan bahwa adanya demokrasi di daerah
merupakan prasayarat bagi munculnya demokrasi ditingkat nasional.123 Pandangan
yang bercorak fungsional tersebut berangkat dari suatu asumsi bahwa ketika terdapat
perbaikan kualitas demokrasi di daerah, secara otomatis bisa diartikan sebagai
adanya perbaikan kualitas demokrasi di tingkat nasional.
121 Philipus M. Hadjon dalam Tititk Triwulan Tutik, Op.Cit., hlm. 270 122 Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Perkara Nomor 15/PUU-V/2007 123 Brian C.Smith dalam Kacung Marijan, Op.Cit., hlm 170
32
BAB III
LANDASAN KONSTITUSIONAL DAERAH ISTIMEWA DAN
DAERAH OTONOMI KHUSUS DI INDONESIA
Sejarah keistimewaan Yogyakarta berawal dari zaman sebelum kemerdekaan, dimana
Kasultanan Yogyakarta merupakan wilayah negara tersendiri yang dikendalikan dan
bertanggungjawab secara langsung kepada pemerintahan Hindia-Belanda.124 Setelah
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 maka Pada Tanggal 18 atau 19
Agustus 1945, Sultan Hamengku Buwono IX (HB IX) dan Sri Paduka Paku Alam VIII (PA VIII)
mengirimkan ucapan selamat kepada Soekarno-Hatta atas kemerdekaan Indonesia dan atas
terpilihnya mereka sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia. Selain itu juga dikirimkan
ucapan terima kasih kepada KRT Rajiman Wediodiningrat (mantan ketua BPUPKI) dan
Penguasa Jepang Nampoo-Gun Sikikan Kakka dan Jawa Saiko Sikikan beserta stafnya.
Pada 19 Agustus 1945 Yogyakarta Kooti Hookookai mengadakan sidang dan mengambil
keputusan yang pada intinya bersyukur pada Tuhan atas lahirnya Negara Indonesia, akan
mengikuti tiap-tiap langkah dan perintahnya, dan memohon kepada Tuhan agar Indonesia
kokoh dan abadi.125
Di Jakarta, pada 19 Agustus 1945 terjadi pembicaraan serius dalam sidang PPKI
membahas kedudukan Kooti. Sebenarnya kedudukan Kooti sendiri sudah dijamin dalam
UUD, namun belum diatur dengan rinci. Dalam sidang itu Pangeran Puruboyo, wakil dari
Yogyakarta Kooti, meminta pada pemerintah pusat supaya Kooti dijadikan 100% otonom,
dan hubungan dengan Pemerintah Pusat secara rinci akan diatur dengan sebaik-baiknya.
Usul tersebut langsung ditolak oleh Soekarno karena bertentangan dengan bentuk negara
kesatuan yang sudah disahkan sehari sebelumnya. Puruboyo menerangkan bahwa banyak
kekuasaan sudah diserahkan Jepang kepada Kooti, sehingga jika diambil kembali dapat
menimbulkan keguncangan.126
Ketua Panitia Kecil PPKI untuk Perancang Susunan Daerah dan Kementerian Negara
, Oto Iskandardinata, dalam sidang itu menanggapi bahwa soal Kooti memang sangat sulit
dipecahkan sehingga Panitia Kecil PPKI tersebut tidak membahasnya lebih lanjut dan
menyerahkannya kepada beleid Presiden. Akhirnya dengan dukungan Mohammad Hatta,
124 Saafroedin Bahar .,et. al., Loc.Cit. 125 P.J. Soewarno, Hamengku Buwono IX dan Sistem Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta 1942-1974: Sebuah
Tinjauan Historis. (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hlm.7 126 Saafroedin Bahar et. al., Loc.Cit. Lihat juga Huda, Ni’matul, Op.Cit.,hlm.286
33
Suroso, Suryohamijoyo, dan Soepomo, kedudukan Kooti ditetapkan status quo sampai
dengan terbentuknya Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. Pada hari itu juga
Soekarno mengeluarkan piagam penetapan kedudukan bagi kedua penguasa tahta
Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman. Piagam tersebut baru diserahkan pada
6 September 1945 setelah sikap resmi dari para penguasa monarki dikeluarkan yang dikenal
dengan amanat 5 September 1945.127
Pada tahun 1946-1949, Ibu kota Republik Indonesia pindah ke Yogyakarta, dan pada
saat itu Belanda bersedia untuk melakukan perundingan dengan Indonesia, yaitu
perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB) dan akhirnya Republik Indonesia berhasil
membebaskan diri dari pengaruh Belanda. Walaupun pada waktu itu Belanda masih ingin
memecah belah persatuan Indonesia dengan membentuk model negara federalis Indonesia.
Akan tetapi, pada 17 Agustus 1950 Indonesia kembali menjadi Negara Kesatuan.128
Itulah sejarah singkat perjalanan keistimewaan Yogyakarta yang sampai saat ini masih
dalam polemik terutama setelah meninggalnya Sri Paduka Paku Alam VIII pada tahun 1998.
Dalam pembahasan berikutnya akan dijelaskan mengenai dasar hukum keistimewaan
Provinsi DIY dan juga karakteristik keitimewaan Provinsi DIY.
Pada penjelasan mengenai dasar hukum keistimewaan Provinsi DIY, penulis akan
menjelaskan dasar hukum keistimewaan Provinsi DIY mulai dari UUD 1945 sebelum
perubahan maupun setelah perubahan hingga ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam
Undang-Undang Pemerintahan Daerah.
1. Pasal 18 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Sebelum Perubahan
Keistimewaan Provinsi DIY tidak terlepas dari sejarah perjalanan bangsa
Indonesia sebagaimana telah dijelaskan secara singkat sebelumnya. Akan tetapi,
sebagai sebuah negara hukum, legitimasi dan keabsahan tetaplah menjadi hal yang
utama. Perjalanan keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tidak dapat
dilepaskan dari Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 sebelum
perubahan.
Sebelum dilakukannya perubahan terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, ketentuan “istimewa” tercantum dalam batang tubuh
Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan juga
127 Saafroedin Bahar et. al., Loc.Cit. 128 P.J. Soewarno dalam Aloysius Soni BL de Rosari, ed. “Monarki Yogya”: Inkonstitusional?, (Jakarta:
Penerbit Buku Kompas, 2011), hlm.18-19
34
dijelaskan dalam penjelasan Pasal 18 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945).
Sebagaimana diketahui, bahwa Pasal 18 UUD 1945 sebelum perubahan tidak
dijabarkan kedalam ayat-ayat sebagaimana yang terdapat dalam ketentuan Pasal 18
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 setelah perubahan.
Pasal 18 UUD 1945 ini merupakan landasan konstitusional bagi sistem otonomi daerah
atau sistem pemerintahan daerah di Indonesia. Bagir Manan menyebutkan bahwa Pasal
18 UUD 1945 merupakan sumber penyelenggaraan otonomi dapat dipahamkan sebagai
normatifisasi gagasan-gagasan yang mendorong pemakaian otonomi sebagai bentuk
dan cara menyelenggarakan pemerintahan di tingkat daerah.129
Berikut ini bunyi ketentuan Pasal 18 UUD 1945 sebelum perubahan:
Pembagian daerah di Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-undang dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem Pemerintahan Negara dan hak-hak asal-usul dalam daerah yang bersifat Istimewa.
Bagir Manan menjelaskan mengenai Pasal 18 UUD 1945 tersebut bahwa “hak-
hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa” sebagai daerah-daerah yang
mempunyai susunan asli, yaitu zelfbesturende landschappen dan
volksgemenschappen.130 Supomo tidak secara tegas menyatakan Zelfbesturende
landschappen sebagai daerah besar tetapi menurut Bagir Manan, secara contrario dapat
dikatakan bahwa zelfbesturende landschappen itu adalah daerah besar karena tidak
dimasukkan dalam arti daerah kecil. Dengan demikian, susunan pemerintahan daerah di
Indonesia terdiri dari dua, yaitu zelfbesturende dan daerah kecil berupa desa atau
satuan lain semacam desa.
Ketentuan Pasal 18 UUD 1945 tersebut menyebutkan “hak-hak asal-usul dalam
daerah yang bersifat istimewa”. Bagir Manan menjelaskan istilah “istimewa” yang
terdapat dalam UUD 1945 tersebut sebagai berikut:
“Dalam IS atau RR tidak pernah diketemukan istilah “istimewa” atau”khusus” untuk menunjuk sifat suatu satuan daerah pemerintahan tertentu. Demikian pula beberapa buku mengenai susunan kenegaraan Hindia Belanda tidak menggunakan istilah “istimewa” atau yang semacam itu. Klenjtes, ketika menguraikan aneka ragam suatu pemerintahan tingkat daerah (legere territorial
129 Bagir Manan, Perjalanan…Op.Cit., hl. 9 130 Ibid.
35
rechtsgemenschappen) hanya menyebutkan: province, autonomie regentschappen, standsgemeenten, plaatselijke resorten, inlandsche gemeenten, rechtspersoonlijkheid bezittend, waterschappen dan landschappen.”131
Istilah “istimewa” yang terdapat dalam ketentuan Pasal 18 tersebut juga
dijelaskan panjang lebar oleh Soepomo dalam sidang BPUPKI tanggal 15 Juli 1945
selaku Ketua Panitia Kecil Perancang Undang-Undang Dasar, yakni sebagai berikut:
“Kita telah menyetujui bentuk negara kesatuan (eenheidstaat). Oleh karena itu dibawa negara Indonesia tidak ada negara bawahan, tidak ada “onderstaat,” akan tetapi hanya ada daerah-daerah pemerintahan belaka. Pembagian daerah Indonesia dan bentuknya pemerintahan daerah ditetapkan dengan undang-undang. Menurut Pasal 16 pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa. Jadi rancangan Undang-Undang Dasar memberi kemungkinan untuk mengadakan pembagian daerah Indonesia dalam daerah-daerah yang besar dan untuk membagi daerah-daerah besar itu atas daerah daerah-daerah yang kecil. Dengan memandang dan mengingati “dasar permusyawaratan,” artinya bagaimanapun bentuknya pemerintahan daerah, pemerintahan itu harus berdasar atas permusyawaratan, jadi misalnya dengan mengadakan Dewan Perwakilan Daerah. Hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa harus diperingati juga. Daerah-daerah yang bersifat istimewa itu ialah pertama daerah kerajaan (Kooti), baik di Djawa maupun di luar Jawa, daerah-daerah yang dalam bahasa Belanda dinamakan “zelfbesturende landschappen”. Kedua, daerah-daerah kecil yang mempunyai susunan asli, ialah Dorfgemeinschaften”, daerah-daerah kecil yang mempunyai susunan rakyat asli seperti desa di Jawa, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang, huta dan kuria di Tapanuli, gampong di Aceh. Maksud panitia ialah hendaknya adanya daerah-daerah istimewa tadi. Ialah daerah kerajaan (zelfbsturende landschappen) dan desa-desa itu dihormati dengan menghormati dan memperbaiki susunannya asli. Begitulah maksud Pasal 16.”132
131 Ibid., hlm. 158 132 Mahkamah Konstitusi RI, Naskah Konprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002. Buku IV Jilid 1 Kekuasaan Pemerintahan Negara. Edisi Revisi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010), hlm.46-47
36
Dalam penegasan pendapat Soepomo sebagaimana yang terdapat dalam Buku
Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945 di atas terdapat kalimat yang meyebutkan
bahwa “…Daerah-daerah yang bersifat istimewa itu ialah pertama daerah kerajaan
(Kooti), baik di Djawa maupun di luar Jawa, daerah-daerah yang dalam bahasa Belanda
dinamakan “zelfbesturende landschappen”. Dengan penjelasan tersebut tergambar
bahwa Soepomo menekankan adanya pengakuan terhadap daerah istimewa yang
berbentuk kerajaan (Kooti) yang dalam bahasa Belanda disebut sebagai “zelfbesturende
landschappen”. Dengan demikian jelaslah bahwa yang dimaksud dengan itilah
“istimewa” dalam ketentuan Pasal 18 UUD 1945 sebelum adanya perubahan tersebut
juga termasuk “kooti” atau yang dalam bahasa Belanda disebut sebagai “zelfbesturende
landschappen”.
Bahkan pandangan Soepomo tentang penghormatan terhadap “kooti-kooti” di
atas dinilai kurang tegas oleh anggota Panitia Perancang UUD lainnya, yaitu
Soerjohamidjojo. Soerjohamidjojo memandang perlunya pasal tersendiri terhadap
keistimewaan “kooti-kooti” tersebut.133 Walaupun secara ekspilisit Soerhohamidjojo
hanya menyebutkan daerah Soerakarta saja pada saat itu, tetapi juga Soerhohamidjojo
menyebutkan bahwa “kooti-kooti” lain juga harus mendapatkan pengakuan dan
penghormatan atau keistimewaan yang harus diatur dalam pasal tersendiri dalam UUD
1945. Berikut ini penggalan pernyataan Soerjahamidjojo yang disampaikan setelah
Soepomo menjelaskan mengenai makna Pasal 16 (Setelah penulisan naskah UUD 1945
berubah menjadi Pasal 18), yakni:
“…dan kedua kali untuk para Kooti sendiri, menurut pendapat kami perlu masih ditambahi pasal yang tegas pernyataannya lagi…..Saya mengerti juga bahwa dalam hal ini, kita haruslah mengingat keadaan perang pada waktu sekarang, akan tetapi dalam Undang-Undang Dasar ini barangkali perlulah ada pernyataan yang lebih terutama bagi rakyat kita di Surakarta dan Kooti-kooti lain.”134
Dalam menanggapi apa yang dikemukakan oleh Soerjohamidjojo, Soepomo
menyatakan bahwa penjelasan mengenai keistimewaan “kooti-kooti” sudah cukup jelas
dan tidak perlu diperjelas lagi. Kemudian para anggota Perumus UUD lainnya juga
sepakat dengan apa yang dikemukakan oleh Soepomo dan mereka juga tidak sepakat
133 Ibid, hlm. 47 134 Ibid.
37
untuk menambah pasal tersendiri tentang keistimewaan “kooti-kooti” sebagaimana yang
diusulkan oleh Sooerjohamidjojo.135
Penjelasan Soepomo di atas telah disepakati oleh Perumus UUD, dan itulah
sebenarnya makna Pasal 18 UUD 1945 sebelum adanya perubahan. Yaitu mengakui
dan menghormati susunan daerah yang bersifat istimewa.
Kemudian pada tanggal 18 Agustus 1945 setelah Proklamasi, atas permintaan
Soekarno (Ketua PPKI), Supomo memberi penjelasan mengenai Rancangan Undang-
Undang Dasar yang akan disahkan sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia. Mengenai pemerintah daerah, Supomo menjelaskan sebagai berikut:136
“Dan adanya daerah-daerah istimewa diindahkan dan dihormati, kooti-kooti, sultanat-sultanat tetap ada dan dihormati susunannya yang asli, akan tetapi itu keadaannya sebagai daerah, bukan negara; jangan sampai ada salah paham dalam menghormati adanya daerah. Zelfbesturende Landschappen, hanyalah daerah saja, tetapi daerah istimewa yaitu yang mempunyai sifat istimewa. Jadi daerah-daerah itu suatu bagian dari Staat Indonesia, tetapi mempunyai sifat istimewa, mempunyai susunan asli. Begitupun adanya “zelfstandige gemeenschappen” seperti desa, di Sumatera negeri (di Minangkabau), marga (di Palembang), yang dalam bahasa Belanda disebut “Inheemsche Rechtsgemeenschappen”. Susunannya asli dan dihormati.”
Supomo juga menjelaskan kembali penegasan sebelumnya yang telah
dikemukakan pada tanggal 15 Juli 1945, bahwa yang termasuk daerah-daerah yang
bersifat istimewa adalah kooti dan desa.137 Sebagaimana disebutkan dalam bab
pendahuluan bahwa dalam bahasa Jepang, Kasultanan Ngajokjarta Hadiningrat tersebut
disebut sebagai kooti yang merupakan salah satu negara bagian dari pemerintahan
Hindia Belanda waktu itu. Begitu pula halnya telah dikemukakan sebelumnya bahwa
Kasultanan Ngajogjakarta Hadiningrat dan Kadipaten Paku Alaman mendeklarasikan
penggabungan dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 5 Septenber
1945 atau tepatnya 20 hari setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia atau 19 hari
setelah ditetapkannya Rancangan Undang-Undang Dasar sebagai Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia. Maka sebagai kooti Sri Sultan Hamnegku Buwono IX
135 Ibid., hlm. 48
136 Bagir Manan, Perjalanan Historis…..Op.Cit, hlm 16 137 Ibid, hlm. 17
38
dan Sri Paduka Paku Alaman VIII dalam amanat 5 September 1945 menyatakan diri
sebagai daerah istimewa dalam Negara Republik Indonesia.138
Dengan demikian dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan ”istimewa”
sebagaimana yang dikemukakan oleh Soepomo merupakan daerah-daerah otonom
yang juga didalamnya dapat dimasukkan Daerah Istimewa Yogyakarta. Bukan hanya
desa atau sebutan lainnya. Walaupun dalam penjelasan Pasal 18 UUD 1945 tidak
disebutkan bahwa yang dimaksud daerah istimewa itu adalah daerah otonom seperti
Provinsi DIY.
Berikut ini bunyi penjelasan Pasal 18 UUD 1945 sebelum perubahan, yang oleh
sebagian kalangan menganggap bahwa letak keistimewaan itu hanyalah pada desa atau
nagari atau lainnya:139
I. Oleh karena Negara Indonesia itu suatu eenheidsstaat, maka Indonesia tak akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat staat juga. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi dan daerah propinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil. Di daerah-daerah yang bersifat otonom (streek dan locale rechtsgemeenschappen) atau bersifat daerah administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang-undang. Di daerah-daerah yang bersifat otonom akan diadakan badan perwakilan daerah, oleh karena di daerah pun pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan.
II. Dalam territoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landchappen dan volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa.
138 Diktum 1 Amanat 5 September tersebut berbunyi “Bahwa Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat jang bersifat keradjaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia”
139 Lihat pernyataan Bambang Kesowo yang menyatakan bahwa yang dimaksud “istimewa” dalam ketentuan pasal 18 UUD 194 adalah Desa dan sejenisnya, bukan daerah besar seperti Yogyakarta atau Surakrta. Bambang Kesowo dalam Aloysius Sony BL de Rosari, Monarki Yogya…, Op.Cit, hlm. 36-37.
39
Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut.
Oleh sebagian kalangan, penjelasan Pasal 18 UUD 1945 angka II diartikan
sebagai bentuk pengakuan negara bagi keistimewaan daerah kecil seperti desa di Jawa
dan Bali atau Nagari di Minangkabau, bukan terhadap daerah besar seperti bentuk
provinsi. Penulis berpendapat bahwa anggapan seperti itu adalah pendapat yang yang
menyesatkan. Penggunaan bentuk Desa atau Nagari dalam penjelasan tersebut
merupakan contoh saja dan bukan merupakan objek dari istilah “zelfbesturende
landchappen”.
Dalam penjelasan Pasal 18 UUD 1945 angka II di atas disebutkan bahwa “Dalam
territoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landchappen dan
volksgemeenschappen”. Penggunaan kata “dan” diantara istilah “zelfbesturende
landchappen” dengan istilah “volksgemeenschappen” menunjukkan bahwa antara
zelfbesturende landchappen dengan volksgemeenschappen memiliki makna dan arti
yang berbeda, dan kedua-duanya di Indonesia waktu itu terdapat lebih kurang 250
zelfbesturende landchappen dan volksgemeenschappen.
I Gde Pantja Astawa sebagaimana dikutip Edie Toet Hendratno menyebutkan
bahwa Penjelasan Pasal 18 UUD 1945 memuat beberapa hal pokok sebagai berikut:140
Pertama : Daerah besar dan kecil bukanlah “negara bagian”, karena daerah tersebut dibentuk dalam kerangka negara kesatuan (eenheidstaat);
Kedua : Daerah Besar dan kecil ada yang bersifat otonom dan ada yang bersifat administrative (belaka);
Ketiga : Daerah yang mempunyai hak-hak asal usul yang bersifat istimewa adalah swapraja (Zelfbesturende Landschappen) dan desa atau semacam itu (Volkgemenschappen);
Keempat : Republik Indonesia akan menghormati kedudukan daerah yang mempunyai hak asal usul yang bersifat istimewa itu.
Zelfbesturende landchappen sebagaimana dijelaskan sebelumnya merupakan
sebuah daerah besar/kerajaan yang dalam bahasa Jepang disebut Kooti. Sedangkan
volksgemeenschappen itu merupakan daerah kecil seperti desa atau sebutan lainnya
140 Edie Toet Hendratno, Op.Cit., hlm. 166
40
sebagaimana yang dijelaskan oleh Soepomo pada tanggal 18 Agustus 1945 seperti
yang sudah dikemukakan sebelumnya. Oleh karena itu, Pasal 18 UUD 1945 telah
memberikan pengakuan dan penghormatan yang tegas bagi daerah-daerah yang
bersifat istimewa, termasuk Provinsi DIY. Sehingga Pasal 18 UUD 1945 sebelum
perubahan merupakan landasan konstitusional bagi pemerintahan daerah Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta.
2. Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 Setelah Perubahan
Pada perubahan tahap II UUD 1945, yaitu pada tanggal 18 Agustus 2000, dalam
Sidang Tahunan MPR menyetujui untuk melakukan perubahan kedua terhadap UUD
1945 dengan mengubah dan/atau menambah Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal
19, Pasal 20 Ayat (5), Pasal 20A, Pasal 22A, Pasal 22B, Bab IX, Pasal 25E, Bab X,
Pasal 26 Ayat (2) clan Ayat (3), Pasal 27 Ayat (3), Bab XA, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal
28C, Pasal 28D, Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 281, Pasal 283,
Bab XII, Pasal 30, Bab XV, Pasal 36A, Pasal 368, dan Pasal 36C UUD 1945. Pasal 18,
Pasal 18A dan Pasal 18B UUD1945 merupakan ketentuan yang mengatur mengenai
pemerintahan daerah. Berikut ini bunyi Pasal 18 dan Pasal 18A UUD 1945 setelah
perubahan:
Pasal 18 (1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi
dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.
(2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
(3) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.
(4) Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.
(5) Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.
41
(6) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah clan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
(7) Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang.
Pasal 18A (1) Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah
provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.
(2) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.
Pasal 18B
(1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.
(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Bagir Manan menyatakan bahwa perubahan Pasal 18 UUD 1945, baik secara
struktur maupun substansi perubahan tersebut sangatlah mendasar. Secara struktur,
Pasal 18 (lama) sama sekali diganti baru.141 Pasal 18 UUD 1945 setelah perubahan
terlihat lebih rinci dibandingkan dengan Pasal 18 sebelum perubahan. Selain itu,
penjelasan UUD 1945 yang selama ini juga merupakan bagian dari UUD 1945 telah
dihapus. Bagir Manan menyatakan bahwa penjelasan Pasal 18 UUD 1945 merupakan
bentuk “keganjilan”, “kerancuan” bahkan “anomali” bagi Pasal 18 itu sendiri. Sehingga
dengan dihapusnya ketentuan penjelasan Pasal 18 UUD 1945 tersebut, maka satu-
satunya sumber konstitusional pemerintahan daerah adalah Pasal 18, Pasal 18A dan
Pasal 18B UUD 1945.142
141 Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Cet.4 (Yogyakarta: Pusat Studi Hukum FH-UII, 2005), hlm. 7
142 Ibid.
42
Philipus M. Hadjon mengemukakan bahwa terdapat 4 prinsip yang mendasari
ketentuan Pasal 18 UUD 1945, yaitu:143
1. Prinsip pembagian daerah yang bersifat hirarkis pada Ayat (1); 2. Prinsip otonomi dan tugas pembantuan pada Ayat (2); 3. Prinsip demokrasi pada Ayat (3) dan Ayat (4); dan 4. Prinsip otonomi seluas-luasnaya pada Ayat (5). Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dalam terbitan resminya mengenai
Panduan dalam memasyarakatkan UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa ada 7
prinsip yang menjadi paradigm dan arah politik yang mendasari Pasal 18, 18A dan Pasal
18B UUD 1945, yaitu:144
1. Prinsip daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan { Pasal 18 ayat (2) }
2. Prinsip menjalankan otonomi seluas-luasnya { Pasal 18 ayat (5) } 3. Prinsip kekhususan dan keragaman daerah { Pasal 18A ayat (1) } 4. Prinsip mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya { Pasal 18B ayat (2) } 5. Prinsip mengakui dan menghormati Pemerintahan Daerah yang bersifat
khsusus dan istimewa { Pasal 18 B ayat (1) } 6. Prinsip badan perwakilan dipilih langsung dalam suatu pemilihan umum {
Pasal 18 ayat (3) } 7. Prinsip hubungan pusat dan daerah dilaksanakan secara selaras dan adil {
Pasal 18A ayat (2) }.
Dalam kaitannya dengan dasar hukum bagi Pemerintahan Daerah yang bersifat
istimewa, Penulis hanya akan membahas 3 prinsip yang dianggap berkaitan dengan
Pemerintahan Daerah yang bersifat khusus dan istimewa, khususnya Daerah Provinsi
DIY. Ketiga prinsip itu yaitu pertama, Prinsip daerah mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Kedua, Prinsip
143Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang Pemerintahan Daerah Dalam Sistem Pemerintahan, Makalah dalam seminar Sistem Pemerintahan Indoensia Pasca Amandemen UUD 1945, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan HAM RI bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Airlangga dan Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan HAM Provinsi Jawa Timur, pada Tanggal 9-10 Juni 2004.
144 Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan dalam Memasyarakatkan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2003), hlm.102-103
43
kekhususan dan keragaman daerah. Ketiga, Prinsip mengakui dan menghormati
Pemerintahan Daerah yang bersifat khsusus dan istimewa.
2.1. Prinsip daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut
asas otonomi dan tugas pembantuan.
Di dalam Prinsip daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan mengandung makna bahwa
pemerintahan daerah di Indonesia diselenggarakan berdasarkan asas otonomi dan
tugas pembantuan. Dengan adanya ketentuan Pasal 18 UUD 1945 tersebut semakin
meneguhkan bahwa sistem pemerintahan daerah Indonesia mengadopsi prinsip
otonomi atau desentralisasi.145 Tidak ada lagi unsur atau sistem pemerintahan
sentralisasi dalam sistem pemerintahan daerah di Indonesia.
Pasal 18 UUD 1945 sekaligus juga menegaskan bahwa Negara Kesatuan
Republik Indonesia merupakan sebuah negara kesatuan dengan sistem pemerintahan
daerah yang bersifat desentralisasi. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa
sebuah negara kesatuan memiliki sistem pemerintahan (penyelenggaraan urusan
pemerintahan) yang bersifat sentralisasi atau desentralisasi. Dengan kata lain, jika
berbicara masalah otonomi atau desentralisasi, maka kita pasti berbicara dalam konteks
negara kesatuan. Otonomi daerah merupakan subsistem dari negara kesatuan (unitary
state, eenheidstaat).146
Pembahasan mengenai bentuk otoniomi daerah maka tidak akan lepas dari
kerangka negara kesatuan. Sebuah negara kesatuan adalah sebuah bentuk negara
yang didalamnya tersusun oleh negara-negara bagian, melainkan hanya terdapat
daerah-daerah atau satuan pemerintahan yang lebih rendah kekuasaannya daripada
pemerintah pusat yang diserahi atau diberikan kewenangan untuk mengatur suatu
urusan pemerintahan tertentu.
145 Bagir Manan menyatakan bahwa sistem pemerintahan daerah Indonesia hanya mengadopsi asas otonomi dan tugas pembantuan, bukan asas desentralisasi dan dekonsentrasi. Bagir Manan berpendapat bahwa desentralisasi dan dekonsetrasi bukanlah suatu asas melainkan suatu proses atau cara untuk menyelenggarakan sesuatu. Lihat Bagir Manan, Menyongsong……,Ibid, hlm.8-11. Akan tetapi banyak juga pakar lainnya yang menyatakan bahwa sesungguhnya Pasal 18 UUD 1945 itu mengadopsi asas desentralisasi, pendapat ini disampaikan oleh Philipus M.Hadjon dalam Sri Winarsi, Hand Out Mata Kuliah Sistem Otonomi Daerah, Program Studi Magister Hukum Pemerintahan Universitas Airlangga, Surabaya Tahun 2010. Lihat juga pendapat Syaukani AR, Afan Gaffar dan Ryaas Rasyid, Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan, Cet.7 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 36
146 Bagir Manan, Perjalanan…,Op.Cit., hlm. 1
44
Dengan demikian, maka Pasal 18 UUD 1945 merupakan penegasan kembali
megenai bentuk negara Indonesia sebagai sebuah negara kesatuan sebagaimana
disebutkan dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) UUD 1945. Dalam sebuah negara
kesatuan, pemerintah pusat tetap memegang kekuasaan tertinggi. Kekuasaan tersebut
kemudian dipencarkan kepada satuan pemerintahan daerah atau satuan pemerintahan
yang lebih rendah. Hal ini sesuai dengan pola pembagian kekuasaan yang dianut oleh
UUD 1945, yaitu pembagian kekuasaan negara secara horizontal dan secara vertikal.147
Seberapapun luasnya otonomi yang diberikan kepada suatu daerah, tidaklah
mengakibatkan daerah itu seperti layaknya sebuah negara bagian dalam negara federal.
Tetaplah statusnya sebagai sebuah daerah dalam bingkai negara kesatuan.
Sebagaimana pendapat Soehino yang menyatakan bahwa:
“Negara kesatuan itu adalah negara yang tidak tersusun dari beberapa negara, melainkan hanya terdiri atas satu negara, sehingga tidak ada negara di dalam negara. Dengan demikian dalam Negara Kesatuan hanya ada satu pemerintah, yaitu pemerintah pusat yang mempunyai kekuasaan serta wewenang tertinggi dalam bidang pemerintahan negara, menetapkan kebijaksanaan pemerintahan dan melaksanakan pemerintahan negara baik di pusat maupun di daerah-daerah.”148
Dalam sebuah negara kesatuan, tidak terdapat negara dalam negara.
Seberapapun luasnya otonomi yang terdapat dalam sebuah negara kesatuan, tidak
menjadikan daerah tersebut sebagai sebuah negara bagian. Formasi negara kesatuan
dideklarasikan saat kemerdekaan oleh para pendiri negara dengan mengklaim seluruh
wilayahnya sebagai bagian dari satu negara.149 Tidak ada kesepakatan para penguasa
apalagi negara-negara, karena diasumsikan bahwa semua wilayah yang termasuk di
dalamnya bukanlah bagian-bagian wilayah yang bersifat independen. Dengan dasar itu,
maka negara membentuk daerah-daerah atau wilayah-wilayah yang kemudian diberi
kekuasaan atau kewenangan oleh pemerintah pusat untuk mengurus berbagai
kepentingan masyarakatnya, ini diasumsikan bahwa negaralah yang menjadi sumber
kekuasaannya.150 Hal ini sesuai dengan paparan Supomo dalam sidang BPUPKI tanggal
15 Juli 1945 selaku Ketua Panitia Kecil Perancang Undang-Undang Dasar, yang
147 Sri Winarsih, Hand Out…..,Loc.Cit. 148 Soehino, Op.Cit, hlm.224 149 Huda, Ni’matul, Hukum Tata Negara… Op.Cit., hlm. 92 150 Ibid.
45
menyatakan bahwa “Kita telah menyetujui bentuk negara kesatuan (eenheidstaat). Oleh
karena itu dibawa negara Indonesia tidak ada negara bawahan, tidak ada “onderstaat,”
akan tetapi hanya ada daerah-daerah pemerintahan belaka.”151
Oleh karena itu, penulis berpendapat bahwa Pasal 18 Ayat (1) merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari ayat-ayat atau Pasal-Pasal lainnya dari UUD 1945 yang
merupakan landasan konstitusional penyelenggaraan pemerintahan daerah di
Indonesia, yaitu tetap berada dalam bingkai Negara Kesatuan Indonesia. Adanya
pandangan yang menyatakan bahwa pemberian status otonomi luas terhadap dearah itu
lebih condong kedalam bentuk negara federal dan berbahaya bagi NKRI152 merupakan
pandangan yang terlalu berlebihan.
Padangan tersebut didasarkan pada ketentuan Pasal 18 ayat (5) yang
menyatakan “Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya”. Ketentuan
tersebut dianggap sebagai bentuk federalisme dalam NKRI dan membahayakan NKRI.
Padahal, menurut penulis, bunyi ayat (5) tersebut tidak dapat berdiri sendiri dan harus
tetap mengacu pada konsep negara kesatuan. Sehingga kelanjutan dari norma tersebut
yang menyatakan “kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan
sebagai urusan Pemerintah Pusat” merupakan bentuk pembatasan yang sesuai dengan
prinsip negara kesatuan yaitu bahwa pemerintah pusat yang mempunyai kekuasaan
serta wewenang tertinggi dalam bidang pemerintahan negara, menetapkan
kebijaksanaan pemerintahan dan melaksanakan pemerintahan negara baik di pusat
maupun di daerah-daerah.”153
Kekuasaan tertinggi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara tetaplah
dipegang oleh pemerintah pusat. Pemerintah Pusat ( DPR bersama Presiden )
menetapkan kewenangan apa saja yang dapat menjadi urusan rumah tangga
pemerintah daerah berdasarkan undang-undang. Jika suatu kewenangan ditetapkan
oleh undang-undang sebagai kewenangan pemerintah pusat, maka pemerintah daerah
tidak dapat mengurus urusan yang merupakan kewenangan pemerintah pusat tersebut.
Berbeda halnya dengan bentuk negara federal yang terdiri dari negara-negara
bagian. Negara-negara bagian itu menyerahkan sejumlah tugas dan kewenangan untuk
diselenggarakan oleh suatu pemerintah federal, sedangkan urusan-urusan lain tetap
menjadi kewenangan negara bagian.154 Ramlan Surbakti bahkan menambahkan bahwa
151 Mahkamah Konstitusi RI, Naskah Komprehensif….,Lo.Cit. 152 Lihat pendapat Arief Muljadi dalam Edie Toet Hendratno, Op.Cit.,hlm. 171 153 Soehino, Loc.Cit. 154 Ramlan Surbakti, Op.Cit., hlm. 216
46
dalam negara serikat pemerintah negara bagian bukanlah bawahan dan tidak
bertanggungjawab kepada pemerintah federal.155
Begitu juga halnya jika pemerintah pusat dalam suatu negara kesatuan sudah
menetapkan suatu aturan (peraturan perundang-undangan), maka pemerintah daerah
harus tunduk pada peraturan tersebut. Pemerintah daerah juga tidak perlu ( bahkan
tidak boleh) melakukan suatu tindakan hukum tertentu sebelum memberlakukan
peraturan yang dibuat oleh pemerintah pusat di daerahnya. Hal ini berbeda dengan
negara federal sebagaimana yang dikemukakan oleh R. Kranenburg berikut ini:
“…jika peraturan-peraturan hukum yang dibuat atau dikeluarkan oleh pemerintah federal atau pemerintah gabungan itu akan diberlakukan terhadap para warga negara dari negara-negara bagian, maka pemerintah negara bagian yang bersangkutan terlebih dahulu harus mengadakan suatu tindakan, yaitu mengadakan atau membuat suatu peraturan, atau undang-undang atau pernyataan atau mungkin berupa tindakan lain, yang pada pokoknya menyatakan berlakunya peraturan-peraturan hukum dari negara federal atau negara gabungannya itu terhadap warga negaranya.”156 Dalam bentuk negara federal, dikarenakan kewenangan (kedaulatan) asli berasal
dari negara-negara bagian, maka sebelum diberlakukannya suatu peraturan pemerintah
federal, pemerintah negara bagian haruslah melakukan tindakan hukum terlebih dahulu
apakah peraturan tersebut akan mengikat bagi negara bagian itu atau tidak. Bereda
halnya dengan bentuk negara federal, dalam konsep negara kesatuan tidaklah demikian
halnya. Karena kedaulatan atau kekuasaan tertinggi berada pada pemerintah pusat,
maka pemerintah daerah harus tunduk pada keputusan-keputusan yang dibuat oleh
pemerintah pusat tersebut. Akan tetapi, keputusan-keputusan yang dibuat oleh
pemerintah pusat tersebut tetap harus mengacu dan tidak boleh bertentangan dengan
konstitusi sebagaui hukum dasar.
Menurut pendapat penulis, bahwa itulah makna Pasal 18 ayat (5) UUD 1945
tersebut. Walaupun otonomi itu seluas-luasnya tetaplah berpegang pada undang-
undang yang dibuat oleh pemerintah pusat selaku pemegang kedaulatan tertinggi.
Pemerintah pusat memiliki hak (kewenangan) untuk menentukan urusan apa saja yang
menjadi urusan pemerintah pusat yang tidak boleh diurus oleh pemerintah daerah.
Begitu juga sebaliknya, pemerintah pusat juga memiliki kekuasaan untuk menetapkan
155 Ibid. 156 Edie Toet Hendratno, Op.Cit, hlm. 52
47
urusan apa saja yang dipencarkan atau dibagi kepada pemerintah daerah sebagai
urusan rumah tangganya dalam menjalankan otonomi daerah.
Bahkan pendapat yang lebih ekstrim dijelaskan oleh M. Solly Lubis yang
menyatakan bahwa dalam negara kesatuan terdapat asas kebulatan (eenheid)
kekuasaan yang dimiliki oleh pemerintah pusat dan tidak dibagi kepada pemerintah
lokal,. Berikut ini pendapat M. Solly Lubis:
“Prinsip pada negara kesatuan ialah bahwa yang memegang tampuk kekuasaan tertinggi atas segenap urusan negara ialah pemerintah pusat tanpa adanya suatu delegasi atau pelimpahan kekuasaan pada pemerintah daerah (local government). Dalam negara kesatuan terdapat asas bahwa segenap urusan-urusan negara tidak dibagi antara pemerintah pusat (central government) dan pemerintah lokal (local government) sehingga urusan-urusan negara dalam negara kesatuan tetap merupakan suatu kebulatan (eenheid) dan pemegang tertinggi di negara itu ialah pemerintah pusat.” 157
Pendapat M.Solly Lubis tersebut menurut penulis merupakan konsep negara
kesatuan dengan sistsem sentralisasi. Dalam negara kesatuan dengan sistem
sentralisasi segala sesuatu dalam negara langsung diatur dan diurus oleh Pemerintah
Pusat dan daerah-daerah hanya tinggal melaksanakan segala apa yang telah
diinstruksikan oleh Pusat itu.158 Akan tetapi, dengan konsep tersebut dapat dijadikan
sebuah argumentasi yang cukup kuat untuk menjawab kekhawatiran berbagai
kalangan159 tentang konsep otonomi daerah Indonesia yang cenderung ke arah
federalisme. Padahal menurut penulis, justru adanya pasal 18 ayat (5) ini semakin
menegaskan konsep negara kesatuan dengan sistem desentralisasi yang dianut oleh
Indonesia. Yaitu bahwa daerah dapat mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan tetap berpedoman
pada undang-undang yang ditetapkan oleh pemerintah pusat ( DPR bersama dengan
Presiden).
157 M. Solly Lubis, Pergeseran Garis….,Loc.Cit. 158 Soehino, Op.Cit, hlm.46-47 159 Kekhawatiran tersebut bahkan muncul dari statemen Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang
menghawatirkan status keistimewaan Provinsi DIY keluar dari prinsip NKRI.
48
2.2. Prinsip kekhususan dan keragaman daerah
Pasal 18A ayat (1) dilandasi oleh Prinsip kekhususan dan keberagaman daerah.
Prinsip ini mengandung makna bahwa bentuk dan isi otonomi daerah tidak harus
seragam (uni-formitas). Bentuk dan isi otonomi daerah ditentukan oleh berbagai
keadaan khusus dan keragaman setiap daerah.160
Dalam konteks bentuk negara, meskipun bangsa Indonesia memilih bentuk
negara kesatuan, tetapi di dalamnya terselenggara suatu mekanisme yang
memungkinkan tumbuh dan berkembangnya keberagaman antardaerah di seluruh tanah
air. Kekayaan alam dan budaya antardaerah tidak boleh diseragamkan dalam struktur
NKRI. Dengan perkataan lain, bentuk NKRI diselenggarakan dengan jaminan otonomi
yang seluas-luasnya kepada daerah-daerah untuk berkembang sesuai dengan potensi
dan kekayaan yang dimilikinya masing-masing, tentunya dengan dorongan, dukungan
dan bantuan yang diberikan oleh pemerintah pusat.161
Dalam proses pembahasan UUD 1945, PAH I menyusun kesepakatan dasar
berkaitan dengan perubahan UUD 1945. Kesepakatan dasar itu terdiri dari 5 butir, salah
satu dari kelima butir kesepakatan dasar tersebut adalah tetap mempertahankan
NKRI.162 Kesepakatan tersebut kemudian dikukuhkan dalam ketentuan Pasal 37 ayat (5)
UUD 1945 yang menyatakan “Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik
Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan”.
Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa NKRI merupakan Negara Persatuan.163
Prinsip negara persatuan yang dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie tersebut benar
adanya. Hal ini sesuai dengan Falsafah bangsa Indonesia, yaitu Pancasila sila ke-3
yang menyatakan “Persatuan Indonesia”. Prinsip persatuan sangat dibutuhkan karena
keragaman suku bangsa, agama dan budaya yang diwarisi oleh bangsa Indonesia.
Keragaman itu merupakan kekayaan yang harus dipersatukan (united), tetapi tidak
boleh disatukan atau diseragamkan (uniformed). Oleh karena itu, prinsip persatuan
Indonesia tidak boleh diidentikkan dengan kesatuan.164
Prinsip persatuan ini juga disinggung dalam Rapat PAH I BP MPR ke-4, 7
Desember 1999 yang disampaikan oleh Anthonius Rahail dari Fraksi Kesatuan
Kebangsaan Indonesia (F-KKI) yang mengusulkan perlunya perubahan terhadap Pasal
160 MPR RI, Panduan dalam….,Loc.Cit. 161 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan….,Op.Cit.,hlm. 65 162 MPR RI, Panduan dalam…,Op.Cit.,hlm.25 163 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan…,Ibid., hlm. 64 164 Ni’matul Huda, Hukum Tata…,Op.Cit., hlm. 94-95
49
18 UUD 1945 dengan kembali kepada falsafah negara serta bentuk negara kesatuan
yang telah dianut oleh bangsa Indonesia. Berikut ini pandangan F-KKI yang
disampaikan oleh Anthonius Rahail:165
“Apakah kita komitmen pada persatuan (unity) atau keseragaman (uniformity)? Selama ini semboyan-semboyan ideologis berkenaan dengan hal tersebut terasa dipaksakan. Semboyan persatuan dan kesatuan dalam dirinya membawa konsekuensi otoriter dari Pemerintah Pusat. Ini jauh berbeda dengan ideologi yang diletakkan oleh para pendiri republik ini yaitu Bhinneka Tunggal Ika (unity in diversity), sehingga Pemerintahan Daerah di masa datang adalah Pemerintahan Daerah yang bhinneka tersebut minimum memiliki otonomi sempurna di tingkat propinsi.
Pendapat F-KKI diatas bermakna bahwa semboyan bangsa Indonesia yaitu
Bhineka Tunggal Ika yang dirjemahkan sebagai unity in diversity ( persatuan dalam
keberagaman) hendaknya diimplementasikan dalam sistem pemerintahan daerah di
Indonesia. Bentuk negara Indonesia adalah negara kesatuan (Unitary State), sedangkan
persatuan Indonesia merupakan prinsip dasar bernegara yang harus dibangun atas
dasar persatuan (unity), bukan kesatuan atau penyeragaman (uniformity).
Dengan demikian, makna dari prinsip kekhususan dan keragaman daerah yang
menjiwai Pasal 18A ayat (1) tersebut adalah bahwa sistem otonomi daerah di Indonesia
harus menghormati kekhususan dan keragaman suatu daerah tanpa adanya paksaan
untuk diseragamkan. Otonomi yang seluas-luasnya diberikan kepada daerah-daerah
untuk berkembang sesuai dengan potensi, budaya dan kekayaan yang dimilikinya
masing-masing. Misalnya otonomi untuk daerah-daerah pertanian dapat berbeda
dengan otonomi untuk daerah-daerah industri atau antara daerah pantai dan
pedalaman. Daerah yang kebudayaannya masih hidup dan melekat dalam kehidupan
masyarakat seperti Daerah Yogyakarta diberikan otonomi yang berbeda dengan
masyarakat yang sudah modern atau heterogen seperti Jakarta atau Surabaya
misalnya.
165 Mahkamah Konstitusi RI (Selanjutnya disebut MK RI 2), Naskah Konprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002. Buku IV Jilid 2 Kekuasaan Pemerintahan Negara. Edisi Revisi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010), hlm.1114-1117
50
2.3. Prinsip mengakui dan menghormati Pemerintahan Daerah yang bersifat khsusus
dan istimewa
Prinsip mengakui dan menghormati Pemerintahan Daerah yang bersifat khsusus
dan istimewa merupakan hal pokok yang diatur dalam ketentuan Pasal 18B ayat (1)
UUD 1945. Philipus M. Hadjon menyatakan bahwa prinsip yang terkandung dalam
Pasal 18B merupakan pengakuan negara terhadap Pemerintahan Daerah yang bersifat
khusus atau bersifat istimewa { ayat (1) }, dan prinsip eksistensi dan hak-hak tradisional
masyarakat adat sebagaimana terdapat pada desa atau nama lain.166 Ketentuan Pasal
18B ayat (1) tersebut mendukung keberadaan berbagai satuan pemerintahan yang
bersifat khsusus atau bersifat istimewa (baik di tingkat provinsi, kabupaten dan kota atau
desa).167
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, bahwa UUD 1945 setelah perubahan
tidak menggunakan penjelasan. Oleh karena itu, Pasal 18B UUD 1945 (selain Pasal 18
dan Pasal 18A) merupakan landasan konstitusional bagi pemerintah daerah yang
bersifat khusus atau bersifat istimewa. Bagir Manan dalam uraiannya menjelaskan
bahwa makna dari “bersifat istimewa” adalah pemerintahan asli atau pemerintahan
bumiputra.168 Salah satunya adalah Daerah Istimewa Yogyakarta yang keistimewaanya
terletak pada Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yaitu Kesultanan Yogyakarta dan
Paku Alaman.169
Pembicaraan mengenai daerah khusus dan daerah istimewa sudah mulai dibahas
oleh Panitia Ad Hoc (PAH) I Badan Pekerja (BP) MPR pada Rapat PAH I BP MPR ke-
18, tanggal 22 Februari 2000, yang dipimpin oleh Harun Kamil.170 Sedangkan
Pembahasan secara khusus Bab VI mengenai pemerintahan daerah dilakukan pada
Rapat PAH I BP MPR ke-36, 29 Mei 2000, yang dipimpin oleh Jakob Tobing.171 Ali
Hardi Kiaidemak dari F-PPP menyebutkan materi-materi berkaitan dengan Bab tentang
Pemerintahan Daerah ini, yaitu sebagai berikut:172
166 Philipus M.Hadjon, Kedudukan Undang-Undang….,Op.Cit. 167 MPR RI, Panduan dalam….,Loc.Cit
168 Bagir Manan, Menyongsong…,Op.Cit.,hlm. 15 169 Ibid. 170 MK RI 2, Naskah Komprehensif…,Op.Cit.,hlm. 1134 171 Ibid.,hlm. 1165-1166 172 Ibid.
51
“Daerah-daerah dibentuk dengan memandang dan mengingat hak-hak asal usul dalam daerah yang bersifat istimewa, ini pun perlu mendapatkan catatan karena pemahaman tentang daaerah asal usul dan istimewa ini juga dalam prakteknya juga telah berkembang yang tidak seirama. Sebagai contoh Daerah Istimewa Aceh, namanya Daerah Istimewa Aceh tetapi dalam prakteknya struktur dan fungsi daerahnya sama Pemerintah Daerahnya sama dengan Provinsi yang lain. Daerah Istimewa Yogyakarta, belakangan ketika Sri Sultan Hamengkubuwono ke-IX meninggal dunia, ternyata tidak serta merta gubernur Kepala Daerahnya beralih ke Hamengkubuwono Ke-X sehingga mengubah perkembangan daripada Daerah Istimewa itu sendiri bahkan terakhir telah dipilih oleh DPRD. Ini semua perlu perhatian kita semua untuk tidak kita menemukan masalah-masalah di kemudian hari”. Penyebutan Daerah Istimewa Aceh dan Daerah Istimewa Yogyakarta secara
eksplisit oleh Ali Hardi dari Fraksi PPP dalam pembahasan mengenai materi muatan
yang nantinya akan menjadi Pasal 18B ayat (1) ini menandakan bahwa istilah “bersifat
istimewa” yang tercantum dalam ketentuan Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 memang
ditujukan kepada Daerah Istimewa yang sudah ada di Indonesia, yaitu Daerah Istimewa
Aceh dan Daerah Istimewa Yogyakarta.173 Bahkan Ali Hardi menambahkan bahwa
perlunya perhatian semua kalangan terhadap status keistimewaan yang dimiliki oleh
kedua Daerah Istimewa tersebut agar tidak terjadi masalah di kemudian hari.
Pandangan dari F-PPP di atas kemudian diikuti (dikuatkan) oleh pandangan dari
Fraksi Partai Golkar (F-PG) yang disampaikan oleh Hatta Mustafa. Hatta Mustafa
menyatakan bahwa pentingnya pengakuan terhadap daerah yang bersifat istimewa
(DIY) dalam amandemen UUD 1945 karena faktor asal usul dan kesejarahannya.
Berikut ini pendapat Hatta Mustafa dari F-PG: 174
…mengenai masyarakat hukum adat dan teritorial untuk memiliki Pemerintahan sendiri berdasarkan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa dan khusus. Pengertian kami yang istimewa dan khusus itu yang sudah ada kita akui dalam amendemen ini, bahwa misalnya marga di Sumatera Selatan di bawahnya ada dusun sekarang sudah tidak lagi marga dan dusun itu, semuanya sudah desa. Memang ini akibat dari penyeragaman di zaman yang lalu. Jadi seandainya di bawah Kecamatan ini ada hota, huria, dan sebagainya itu masih ingin diakui apa tidak, tidak ada masalah tapi itu sudah di bawah
173 Pembicaraan PAH I BP MPR diatas terjadi pada waktu Provinsi Naggroe Aceh Darussalam masih berstatus sebagai Daerah Istimewa.
174 MK RI 2, Ibid., hlm. 1183-1184
52
Kecamatan. Tapi di dalam Undang-Undang Dasar ini misalnya DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta) itu karena asal usul dan kesejarahannya, demikian juga DKI (Daerah Khusus Jakarta), ini karena kekhususannya menjadi ibukota dan ini harus diakui oleh Undang-Undang Dasar, Daerah Istimewa Aceh sekarang dengan Tap yang baru kita putuskan akan menjadi daerah khusus termasuk Irian, ini harus kita akui karena keinginan masyarakat dan keinginan kita semua, Jadi masalah masyarakat hukum adat ini mestinya bukan untuk Provinsi-nya tapi yang semula desa atau yang tadinya tetap namanya hota atau huria kalau marga di daerah Sumetera Selatan sudah tidak ada lagi, dan dusun sudah menjadi desa tadinya satu marga terdiri sepuluh dusun itu lah makanya Kepala Desa-nya disebut Pasira, Wakil-nya adalah Pembarap dan Wakil Dusun adalah Kriya-kriya dulunya tapi sekarang sudah tidak ada lagi sudah hapus. Sehingga kami mengganggap di Ayat (3) ini kita mengakui apa yang ada di tingkat Provinsi itu. Penting bagi kita untuk menyimak apa yang dikemukakan oleh Hatta Mustafa di
atas, yaitu bahwa daerah istimewa yang sudah ada penting untuk diakui keberadaannya
dalam UUD 1945. Bahkan secara eksplisit juga Hatta Mustafa menyebutkan nama
daerah yang dimaksud, yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta. Keitimewaan DIY menurut
Hatta Mustafa yaitu karena asal usul dan kesejarahannya. Selain DIY, juga disebutkan
Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta yang kekhususannya karena merupakan Ibukota
Negara harus diakui oleh Undang-Undang Dasar.
Pandangan Hatta Mustafa dari F-PG tersebut juga kemudian diamini (didukung)
oleh Fraksi Utusan Gologan (F-UG). Soedijarto dari F-UG menyatakan bahwa otonomi
khusus merupakan ciri khas Indonesia, yang ada pada saat maupun sebelum
pembentukan negara Indonesia. Sehingga harus dipertahankan keberadaannya, bukan
semua daerah yang bersifat khusus (atau juga istimewa) melainkan yang karena
kesejarahannyalah suatu daerah diktakan khusus atau istimewa. Berikut ini pendapat
Soedarjito dari F-UG:175
…berhubungan dengan masalah otonomi khusus. Kami masih tetap menganggap ada daerah di republik ini yang sejarahnya berbeda sekali dari Negara lain dalam pembentukan Negara Republik Indonesia ini. Ada yang menjadi bagian republik karena ikut Proklamasi tapi ada sebelum Proklamasi-pun identitasnya sangat menonjol. Yang seperti itu yang perlu mendapatkan kekhususan bukan semuanya itu
175 MK RI 2, Ibid., hlm.1186-1187
53
Pandangan Soedijarto dari F-UG tersebut kemudian disetujui juga oleh Hendi
Tjaswadi dari F-TNI/Polri. Hendi Tjaswadi menyatakan bahwa Daerah Istimewa yang
sudah dinyatakan istimewa berdasarkan sejarah tetap harus dipertahankan dan tidak
dapat dihilangkan begitu saja. Berikut ini pendapat Hendi Tjaswadi dari F-TNI/Polri:176
“Mengenai keistimewaan daerah kami sependapat dengan dari Fraksi Utusan Golongan. Bahwa memang tidak seluruh Daerah Istimewa. Kemudian daerah tertentu yang sudah dinyatakan istimewa berdasarkan sejarah dan dalam perjuangan itu tetap dipertahankan. Jadi saya kira tidak pas kalau misalnya yang sudah betul-betul memang ada keistimewaan terus dihilangkan begitu saja.” Pendapat Soedijarto dari F-UG dan Hendi Tjaswadi dari F-TNI/Polri di atas adalah
untuk menjawab pertanyaan yang disampaikan oleh Ali Marwan Hanan dari F-PPP
yang mengkhawatirkan adanya tuntutan pemberlakuan istimewa dari semua provinsi
yang ada di Indonesia (27 Provinsi).177 Oleh karena itu, Soedijarto dan Hendi Tjaswadi
menegaskan bahwa daerah istimewa itu harus diakui dan dilihat dari asal usul serta
kesejarahan daerah bersangkutan. Tidak semua daerah dapat dikatakan atau menyebut
dirinya istimewa jika tidak memiliki latar belakang sejarah atau asal-usul yang sudah
diakui sebelum maupun saat kemerdekaan Indonesia.
Dalam pembahasan mengenai perubahan Pasal 18, khususnya yang menyangkut
daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa, hampir semua anggota PAH I BP
MPR sepakat bahwa keberadaan daerah khusus atau daerah istimewa tersebut harus
tetap dipertahankan. Gregorius Seto Harianto dari Fraksi Partai Demokrasi Kasih
Bangsa (F-PDKB) mengemukakan pendapatnya sebagai berikut:178
Soal penyebutan Daerah Istimewa saya kira ini perlu kita sepakati bersama bahwa Daerah Istimewa yang lahir karena kesejarahan tentu tidak bisa kita cabut begitu saja, hanya karena ada daerah lain yang iri hati. Jadi daerah yang ingin disebut Daerah Istimewa panjang kriterianya. Kita sepakati mari kita sebut Daerah Istimewa tapi jangan merugikan daerah yang sudah memang selama ini kita akui memang berhak untuk itu sehingga tidak akan menimbulkan problem baru. Saya kira itu beberapa catatan dari kami dan akhirnya saya pikir tadi ingin saya garis bawahi beberapa contoh-contoh yang diberikan oleh Prof.Dr. Soedijarto yang
176 MK RI 2, Ibid., hlm.1187 177 Ibid., hlm.1181-1182 178 Ibid., hlm. 1189-1190
54
sangat menarik, memang Prof. Soedijarto ini yang paling suka memberikan catatan contoh Amerika, semoga saja karena bukan Amerika dan juga bukan karena ada NDA.
Menurut hasil penelitian yang penulis lakukan, bahwa dalam proses pembahasan
mengenai status suatu daerah yang bersifat istimewa maupun yang bersifat khusus,
hamper tidak ada penolakan dari anggota PAH I BP MPR. Mereka sepakat untuk tetap
mempertahankan status daerah istimewa yang telah dimiliki oleh suatu daerah
(termasuk DIY) karena berdasarkan asal usul maupun kesejarahan daerah tersebut.
penegasan itu kembali dikatakan oleh Ali Masykur Musa dari Fraksi Kebangkitan
Bangsa (F-KB) selaku ketua Rapat Tim Perumus PAH I BP MPR, pada tanggal 31 Mei
2000. Ali Masykur Musa menyatakan bahwa “...istilah istimewa itu perlu ada bahwa itu
sejarah bangsa Republik”.179Perdebatan mengenai pengakuan bangsa terhadap
keberadaan daerah istimewa dalam rapat PAH I BP MPR akhirnya berakhir dengan
kesepakatan bulat dari semua anggota PAH I BP MPR bahwa daerah istimewa dan
khusus itu penting diakui keberadaannya dan tidak dapat dihilangkan dari NKRI.
Ali Masykur Musa dalam mengakhiri perdebatan Rapat Tim Perumus PAH I BP
MPR pada tanggal 31 Mei 2000 tersebut kemudian menyatakan:180
Oke beginilah, ini waktu ya, memang ini perlu waktu. Jadi, yang pertama hilang, yang pertama hilang hak usul-usul itu. Itu ke bawah di-del menjadi dua sub ayat cuma yang pada strip kedua itu tadi ada bicara Pak Asnawi. Negara mengakui keberadaan daerah istimewa yang bersifat otonom dan khusus. Bukan daerah istimewa kan, sebutannya istimewa dulu lalu khusus dan otonom begitu lho, bukan daerah otonom yang khusus dan istimewa, bahasanya kan begitu. Jadi, kalau pak Asnawi mengatakan negara mengakui keberadaan daerah istimewa yang bersifat khusus dan otonom, yang telah diatur dengan undang-undang, jadi dibalik saja begitu. Karena yang sebetulnya stresing dari Pak Ruki kan istimewanya. Yang poin kedua ya! Negara mengakui keberadaan daerah yang bersifat khusus dan istimewa. Yang bersifat istimewa dan khusus. Khusus dan istimewa, ya sudah. Yang diatur dengan undang-undang. Oke di-print.
Jadi, itulah suasana kebatinan yang muncul dalam dinamika yang terjadi selama
proses pembahasan perubahan UUD 1945 khususnya ketika perumusan Pasal 18B oleh
179 MK RI 2, Ibid., hlm. 1242 180 Ibid., hlm. 1244-1245
55
Tim Perumus PAH I BP MPR. Dengan melihat dan memperhatikan suasana perdebatan
dalam perumusan Pasal 18B, maka Pasal 18B UUD 1945 tersebut merupakan landasan
konstitusional yang sangat kuat bagi kedudukan atau status keistimewaan Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta.
56
BAB IV
PERJALANAN HISTORIS PENGATURAN DAERAH ISTIMEWA
DALAM UNDANG-UNDANG PEMERINTAHAN DAERAH
Dalam perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia, khususnya sejarah
pemerintahan daerah sejak awal kemerdekaan Indonesai hingga saat ini telah
diberlakukan sekian banyak undang-undang pemerintahan daerah. Undang-undang
pemerintahan daerah tersebut kemudian silih berganti menjadi landasan yuridis
penyelenggaraan otonomi daerah di Indonesia. Beberapa Undang-Undang (ada juga
Penetapan Presiden) yang pernah berlaku sebagai landasan yuridis pemerintahan
daerah di Indonesia antara lain: 181
a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai Kedudukan
Komite Nasional Daerah;
b. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Peraturan tentang penetapan aturan-
aturan pokok mengenai Pemerintahan sendiri di daerah-daerah yang berhak
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri;
c. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah;
d. Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959 tentang Pemerintahan Daerah;
e. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah;
f. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah;
g. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah; dan
h. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Dalam sub bab ini, penulis akan membahasa mengenai pengaturan daerah
istimewa dalam undang-undang pemerintahan daerah tersebut. Penulis menganggap ini
sangat penting karena juga berkaitan dengan perjalanan sejarah keistimewaan Provinsi
DIY, khususnya yang berkaitan dengan landasan yuridis dari status keistimewaan
tersebut.
181 Selain UU tentang Pemerintahan Daerah, pemerintahan daerah pertama kali diatur dan disusun pada tanggal 19 Agustus 1945. Pada tanggal tersebut PPKI menetapkan: (1) Untuk sementara RI dibagi menjadi delapan propinsi (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Sunda Kecil); (2) Setiap Propinsi dibagi kedalam keresidenan-keresidenan; (3) Pemerintahan Swapraja dan Kota tetap dipertahankan. Lihat Bagir Manan, Perjalanan Historis…,Op.Cit.hlm. 23. Selain UU No.32 Tahun 2004, semua undang-undang tentang pemerintahan daerah tersebut sudah tidak berlaku.
57
1. Pengaturan Daerah Istimewa dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945
Sesuai dengan penomorannya, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945
(selanjutnya disebut UU No.1 Tahun 1945) merupakan undang-undang yang pertama
dibuat dan ditetapkan setelah bangsa Indonesia merdeka. UU No.1 tahun 1945 tersebut
diundangkan pada tanggal 23 Nopember 1945. UU No.1 Tahun 1945 dikeluarkan
sebagai tindak lanjut perubahan kedudukan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)
menjadi badan yang menjalankan kekuasaan legislatife (DPRS).182 Perubahan tersebut
merupakan konsekuensi dari dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden Nomor X pada
tanggal 16 Oktober 1945.183 Maklumat Wakil Presiden Nomor X Tahun 1945
menetapkan tugas-tugas KNIP sebagai pelaksana kekuasaan legislatif (diserahi
kekuasaan legislatif). Sehingga diperlukannya penyesuaian mengenai kedudukan
Komite Nasional Daerah sebagai “Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sementara” seperti
halnya dengan KNIP.184
Pasal 1 UU No.1 Tahun 1945 menyatakan “Komite Nasional Daerah diadakan
(ketjuali di Daerah Surakarta dan Jogjakarta) di Keresidenan, di Kota berautonomi,
Kabupaten dan lain-lain daerah jang dipandang perlu oleh Menteri Dalam Negeri”. Dari
ketentuan Pasal 1 tersebut dapat diketahui bahwa pengaturan mengenai Yogyakarta
memang diperlakukan khusus. Yaitu bahwa ketentuan mengenai Komite Nasional
Daerah (KNDP) tidak diadakan (dibentuk) di daerah Yogyakarta dan Surakarta.
Pengkhususan ini menandakan bahwa pada waktu diberlakukannya UU No.1 Tahun
1945 ini pembicaraan mengenai status keistimewaan Yogyakarta memang masih
berlangsung. Hal ini dapat dilihat dari penjelsan Pasal 1 UU No.1 Tahun 1945 yang
menyatakan:
Tentang Jogjakarta dan Surakarta, dalam surat pengantar rantjangan Undang-Undang tersebut diterangkan bahwa ketika merundingkan rantjangan itu, B.P. Pusat tidak mempunjai gambaran jang djelas. Djika begitulah surat pengantar sekiranja pemerintah menganggap perlu untuk daerah tersebut diadakan aturan
182 Bagir Manan, Perjalanan Historis….,Op.Cit.,hlm. 24 183 Joeniarto menulis bahwa Maklumat Wakil Presiden Nomor X Tahun 1945 tersebut ditetapkan pada tanggal
20 Oktober 1945, tetapi dalam konsideran UU No.1 Tahun 1945 disebutkan bahwa Maklumat Wakil Presiden tersebut tertanggal 16 Oktober 1945. Lihat Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, Cet. 5 (Jakarta: Bumi Aksara, 2001), hlm. 156
184 Bagir Manan, Perjanalan Historis…,Op.Cit. hlm. 24-25
58
jang berlainan, Badan Pekerdja bersedia menerima untuk membicarakannja rantjangan Undang-Undang jang mengenai daerah itu. Kalimat “diadakan aturan jang berlainan” dalam penjelasan Pasal 1 UU No.1
Tahun 1945 tersebut mengindikasikan bahwa memang Yogyakarta diperlakukan
berbeda (istimewa) dengan daerah lainnya. Oleh karena itu, secara de facto dapat
disimpulkan bahwa pengakuan status keistimewaan Yogyakarta secara yuridis sudah
diakui sejak tahun 1945 ketika UU No.1 Tahun 1945 diberlakukan. Walaupun secara de
jure kedudukan Provinsi DIY sebagai sebuah daerah Istimewa baru terjadi pada saat UU
Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta ditetapkan
pada tanggal 3 Maret 1950.
2. Pengaturan Daerah Istimewa dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 (selanjutnya disebut UU No.22 Tahun
1948) ditetapkan pada tanggal 10 Juli 1948. Jika melihat dari konsiderannya, UU No.22
Tahun 1948 ini masih dibuat dan menjadikan Maklumat Wakil Presiden Nomor X Tahun
1945 sebagai landasan yuridisnya. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa setelah
ditetapkannya UU No.1 Tahun 1945, belum ada undang-undang yang mengatur
mengenai keistimewaan Yogyakrta seperti yang dimaksud pada penjelasan pasal 1 UU
No.1 Tahun 1945. UU No.22 Tahun 1948 merupakan pengganti UU No.1 Tahun 1945.
Walaupun dalam batang tubuhnya (Pasal-Pasal) UU No.22 Tahun 1948 tidak
menyebutkan bahwa UU No.1 Tahun 1945 tersebut dicabut. Akan tetapi, ketentuan
mengenai digantinya UU No.1 Tahun 1945 oleh UU No.22 Tahun 1948 dapat dilihat
dalam ketentuan Penjelasan Umum angka I ke-1 UU No.22 Tahun 1948.
Dalam ketentuan UU No.22 Tahun 1948 seikitnya terdapat tiga pasal yang
mengatur mengenai daerah istimewa yaitu Pasal 1 ayat (2), Pasal 18 ayat (5) dan ayat
(6), serta Pasal 19. Pertama-tama, penyebutan “daerah istimewa” secara eksplisit dapat
dijumpai dalam ketentuan Pasal 1 UU No.22 Tahun 1948 yang bunyi lengkapnya
sebagai berikut:
(1) Daerah Negara Republik Indonesia tersusun dalam tiga tingkatan, ialah : Propinsi, Kabupaten (Kota besar) dan Desa (Kota kecil) negeri, marga dan sebagainya, yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
(2) Daerah-daerah yang mempunyai hak-hak, asal-usul dan dizaman sebelum Republik Indonesia mempunyai pemerintahan sendiri yang bersifat Istimewa
59
dengan Undang-undang pembentukan termaksud dalam ayat (3) dapat ditetapkan sebagai Daerah Istimewa yang setingkat dengan Propinsi, Kabupaten atau Desa, yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
(3) Nama, batas-batas, tingkatan, hak dan kewajiban daerahdaerah tersebut dalam ayat (1) dan (2) ditetapkan dalam Undang-undang pembentukan.
Dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) di atas, dapat dilihat bahwa adanya pengakuan
terhadap sebuah daerah yang bersifat istimewa yang terbentuk sebelum Republik
Indonesia mempunyai pemerintahan sendiri. Daerah istimewa tersebut mempunyai hak-
hak asal usul dan dapat ditetapkan sebagai Daerah Istimewa yang setingkat provinsi.
Ketentuan tersebut semakin diperjelas oleh penjelasan Pasal 1 ayat (2) UU No.22
Tahun 1948 yang menyatakan:
"daerah-daerah yang mempunyai hak-hak usul-usul dan dizaman sebelum Republik Indonesia mempunyai pemerintahan sendiri yang bersifat istimewa" ialah yang pada zaman pemerintahan Hindia Belanda dinamakan "Zelfbesturende landschappen".
Jadi, Pasal 1 ayat (2) tersebut juga sebagai penjabaran lebih lanjut dari ketentuan
Pasal 18 UUD 1945 terutama Penjelasan UUD 1945 Pasal 18 angka II yang
menyebutkan secara spesifik istilah “Zelfbesturende landschappen”. Bahkan UU No.22
Tahun 1948 tersebut tidak lagi menyebut istilah “Volksgemeenschappen” yang
berdasarkan penjelasan sebelumnya dimaksudkan untuk menyebut desa, nagari atau
sejenisnya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa titik berat “istimewa” dalam UU
No.22 Tahun 1948 tersebut adalah daerah besar setingkat provinsi, seperti halnya
Daerah Istimewa Yogyakarta.
Pengaturan mengenai Daerah Istimewa dalam UU No.22 Tahun 1948 hanya
mengatur mengenai kepala daerahnya saja. Dengan kata lain bahwa letak keistimewaan
yang dimaksud dalam UU No.22 Tahun 1948 adalah terletak pada mekanisme
pengangkatan kepala daerahnya. Hal ini dapat dilihat bahwa ketentuan (pasal-pasal)
lainnya tidak ada pengaturan mengenai daerah istimewa kecuali yang terdapat dalam
ketentuan Pasal 18 ayat (5) dan ayat (6) serta Pasal 19 yang mengatur mengenai
kepala daerah istimewa dan wakil kepala daerah istimewa. Berikut ini bunyi ketentuan
Pasal 18 ayat (5) dan ayat (6):
60
5) Kepala Daerah istimewa diangkat oleh Presiden dari keturunan keluarga yang berkuasa didaerah itu dizaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih menguasai daerahnya, dengan syarat-syarat kecakapan, kejujuran dan kesetian dan dengan mengingat adat istiadat di daerah itu.
6) Untuk daerah istimewa dapat diangkat seorang wakil Kepala Daerah oleh Presiden dengan mengingat syarat-syarat tersebut dalam ayat (5). Wakil Kepala Daerah Isimewa adalah anggauta Dewan Pemerintah Daerah.
Ketentuan mengenai letak keistimewaan suatu daerah istimewa yang terletak
pada mekanisme pengisian jabatan kepala daerahnya tersebut dapat juga dilihat dalam
penjelasan Pasal 18 ayat (5) dan ayat (6) UU No. 22 tahun 1948 yang berbunyi:
Keistimewaan peraturan untuk daerah istimewa dalam Undang-undang ini hanya mengenai Kepala daerah (lihat pasal 18 ayat (5) dan (6) dimana ditentukan bahwa kepala (wakil kepala) daerah istimewa diangkat oleh Pemerintah dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu dengan syarat-syarat kecakapan, kejujuran dan kesetiaan dan dengan mengingat adat istiadat di daerah itu.
Dengan demikian, walaupun UU No.22 Tahun 1948 sudah mengatur mengenai
daerah istimewa, akan tetapi yang istimewa hanyalah mengenai kepala daerahnya saja.
Akan tetapi, ketentuan ini merupakan dasar yuridis (selain Pasal 18 UUD 1945 sebagai
landasan konstitusional) pertama yang mengatur secara eksplisit mengenai daerah
istimewa.
3. Pengaturan Daerah Istimewa dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 (selanjutnya disebut UU No. 1 Tahun
1957) merupakan undang-undang pemerintahan daerah yang ditetapkan pada masa
berlakunya UUDS 1950. UU No.1 Tahun 1957 ditetapkan pada tanggal 18 Januari 1957
dan sekaligus mencabut UU No.22 Tahun 1948. Akan tetapi, sebelum ditetapkannya UU
No.1 Tahun 1957 ini, sebelumnya dalam masa bentuk negara Indonesia Serikat telah
dibentuk Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa
Yogyakarta. UU No.3 Tahun 1950 tersebut ditetapkan pada tanggal 4 Maret 1950.
Pembahasan mengenai UU No.3 Tahun 1950 akan dibahas tersendiri dalam sub
bahasan berikutnya.
Nomenklatur “daerah istimewa” dalam UU No.1 Tahun 1957 ini dapat dilihat dari
ketentuan Pasal 1 ayat (1) yang berbunyi:
61
Yang dimaksud dengan Daerah dalam Undang-undang ini ialah daerah yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri, yang disebut juga "Daerah Swatantra" dan "Daerah Istimewa"
Ketentuan berikutnya yang mengatur mengenai kemungkinan perubahan status
suatu Daerah Swapraja menjadi Daerah Istimewa terdapat dalam rumusan Pasal 2 ayat
(2) UU No. 1 Tahun 1957 yang berbunyi:
Daerah Swapraja menurut pentingnya dan perkembangan masyarakat dewasa ini, dapat ditetapkan sebagai Daerah Istimewa tingkat ke I,II atau III atau Daerah Swatantra tingkat ke I, II atau III, yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri.
Letak keistimewaan dari suatu daerah istimewa adalah terletak pada mekanisme
pengangkatan kepala daerahnya. Sebagaimana halnya dengan UU No.22 Tahun 1948.
Perbedaannya yaitu UU No.1 Tahun 1957 menentukan bahwa calon kepala daerah
istimewa diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Sedangkan UU
No.22 Tahun 1948 langsung diangkat oleh Presiden tanpa proses pencalonan oleh
DPRD. Persamaannya yaitu baik oleh UU No.22 Tahun 1948 dan UU No.1 Tahun 1957,
calon kepala daerah istimewa berasal dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah
itu dizaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih menguasai daerahnya. Berikut
ini bunyi ketentuan Pasal 25 UU No.1 Tahun 1957:
(1) Kepala Daerah Istimewa diangkat dari calon yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu dijaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih menguasai daerahnya, dengan memperhatikan syarat-syarat kecakapan, kejujuran, kesetiaan serta adat istiadat dalam daerah itu, dan diangkat dan diberhentikan oleh: a. Presiden bagi Daerah Istimewa tingkat I. b. Menteri Dalam Negeri atau penguasa yang ditunjuk olehnya bagi Daerah
Istimewa tingkat II dan III. (2) Untuk Daerah Istimewa dapat diangkat dari calon yang diajukan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah seorang Wakil Kepala Daerah Istimewa yang diangkat dan diberhentikan oleh penguasa yang mengangkat /memberhentikan Kepala Daerah Istimewa, dengan memperhatikan syarat-syarat tersebut dalam ayat (1).
62
(3) Kepala dan Wakil Kepala Daerah Istimewa karena jabatannya adalah berturut-turut menjadi Ketua serta anggota dan Wakil Ketua serta anggota dari Dewan Pemerintah Daerah.
Untuk mekanisme pengisian jabatan kepala daerah Swatantra atau Kepala
Daerah Kotapraja berdasarkan ketentuan Pasal 23 dan Pasal 24 UU No.1 Tahun 1957
dilakukan melalui mekanisme pemilihan yang akan diatur oleh undang-undang.
Sedangkan untuk sementara waktu sampai dengan ditetapkannya undang-undang
tentang pemilihan kepala daerah, maka Kepala Daerah dipilih oleh DPRD. Hal tersebut
tentunya berbeda dengan mekanisme pengisian jabatan Kepala Daerah Istimewa yang
calonnya harus berasal dari keturunan penguasa daerah tersebut, dan kemudian
diangkat dan berhentikan oleh Presiden untuk Daerah Istimewa Tingkat I atau oleh
Menteri Dalam Negeri untuk Daerah Istimewa Tingkat II dan III berdasarkan usulan
DPRD.
4. Pengaturan Daerah Istimewa dalam Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959
Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959 (selanjutnya disebut Penpres No.6
Tahun 1959) ditetapkan pada tanggal 7 September 1959. Penpres tersebut ditetapkan
setelah Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959
yang salah satu isinya adalah memerintahkan kembali kepada UUD 1945.
Dikarenakan Penpres No.6 Tahun 1959 dibuat berdasarkan ketentuan Pasal 18
UUD 1945, maka Penpres tersebut juga mengakui keberadaan daerah istimewa. Hal
tersebut dapat dilihat dianaranya dari ketentuan Pasal 3 yang menyebutkan “Dengan
Kepala Daerah dimaksud juga Kepala Daerah Istimewa, kecuali apabila ditentukan lain”.
Sama halnya dengan UU No.22 Tahun 1948 dan UU No.1 Tahun 1957, letak
keistimewaan daerah yang berstatus sebagai daerah istimewa yang dianut oleh Penpres
No.6 Tahun 1959 adalah pada Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerahnya. Jika
daerah lain selain Daerah Istimewa, hanya memiliki Kepala Daerah yang proses
pengangkatannya berdasarkan calon yang diusulkan oleh DPRD atau bisa diangkat
langsung oleh Presiden dan Menteri Dalam Negeri diluar calon yang diusulkan oleh
DPRD (Pasal 4 Penpres No 6 Tahun 1959). Maka Daerah Istimewa memiliki Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang langsung diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden dari keturunan penguasa di daerah itu dizaman sebelum Republik Indonesia
dan yang masih berkuasa menjalankan pemerintahan di daerahnya. Hal tersebut dapat
dilihat dari ketentuan Pasal 6 Penpres No.6 Tahun 1959 yang berbunyi:
63
(1) Kepala Daerah Istimewa diangkat dari keturunan keluarga yang berkuasa menjalankan pemerintahan di daerah itu dizaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih berkuasa menjalankan pemerintahan di daerahnya, dengan memperhatikan syarat-syarat kecakapan, kejujuran, kesetiaan pada Pemerintah Republik Indonesia serta adat istiadat dalam daerah itu dan diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
(2) Untuk Daerah Istimewa dapat diadakan seorang Wakil Kepala Daerah Istimewa, yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan memperhatikan syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) pasal ini.
Untuk Kepala Daerah Istimewa, dalam ketentuan Pasal 6 Penpres No.6 Tahun
1959 tersebut tidak lagi dicalonkan oleh DPRD, melainkan ditetapkan langsung oleh
Presiden. Ketentuan tersebut berbeda dengan ketentuan UU No. 1 Tahun 1957 yang
mensyaratkan adanya pencalonan terlebih dahulu dari DPRD. Hal ini juga dipertegas
dalam Penjelasan Pasal 6 Penpres No.1 Tahun 1959 yang berbunyi “Dalam ketentuan
ini tidak dimasukkan lagi unsur pencalonan”. Dengan demikian, maka letak
keistimewaan dari daerah istimewa tersebut adalah pada Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerahnya yang langsung diangkat oleh Presiden dari keturunan penguasa di
daerah itu tanpa melalui mekanisme pencalonan oleh DPRD.
5. Pengaturan Daerah Istimewa dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 (selanjutnya disebut UU No.18 Tahun
2005) ditetapkan pada tanggal 1 September 1965. UU No.18 Tahun 1965 merupakan
undang-undang pemerintahan daerah yang pertama setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959
atau setelah berlakunya UUD 1945 sekaligus sebagai undang-undang pemerintahan
daerah yang ditetapkan oleh kepemimpinan Orde Lama.
Berbeda dengan ketentuan-ketentuan sebelumnya, dalam UU No.18 Tahun 1965
adanya keinginan untuk “menghapus” daerah istimewa mulai terlihat. Pembagian daerah
ke dalam daerah “biasa” dan daerah “istimewa” tidak lagi disebutkan dalam ketentuan
UU No.18 Tahun 1965. Pembagian daerah dalam undang-undang tersebut hanya
mengenal “daerah besar” dan “daerah kecil” sebagaimana yang tercantum dalam
ketentuan Pasal 1 ayat (1) yang menyatakan: ”Yang dimaksud dengan "Daerah" dalam
Undang-undang ini, ialah daerah besar dan daerah kecil tersebut dalam pasal 18
Undang-undang Dasar yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri”.
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1), Wilayah Indonesia dibagi habis (tersusun)
64
kedalam tiga tingkatan daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri. Yaitu Provinsi dan/atau Kotapraja sebagai daerah tingkat I, Kabupaten dan/atau
Kotamadya sebagai Daerah tingkat II, Kecamatan dan/atau Kotapraja sebagai daerah
tingkat III.
Penyebutan “Daerah Istimewa” hanya ditentukan dalam Pasal 88 ayat (1) huruf a
dan ayat (2) huruf a dan huruf b Peraturan Peralihan. Dalam ketentuan tersebut, yang
dimaksud dengan “Daerah Istimewa” adalah Daerah Istimewa Yogyakarta dan Daerah
Istimewa Aceh. Berikut ini bunyi ketentuan Pasal 88 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf a
dan huruf b UU No.18 Tahun 1965:
(1) Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini maka: a. "Daerah tingkat I dan Daerah Istimewa Yogyakarta" yang berhak
mengatur dan mengurus rumah-tangganya sendiri berdasarkan Undang-undang No. 1 tahun 1957 serta Daerah Istimewa Aceh berdasarkan Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia No. I/Missi/1959 adalah "Propinsi" termaksud pada pasal 2 ayat (1) sub a Undang-undang ini.
(2) a. Sifat istimewa sesuatu Daerah yang berdasarkan atas ketentuan mengingat kedudukan dan hak-hak asal-usul dalam pasal 18 Undang-undang Dasar yang masih diakui dan berlaku hingga sekarang atau sebutan Daerah Istimewa atas alasan lain, berlaku terus hingga dihapuskan;
b. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, Daerah Istimewa Jogyakarta yang sekarang, pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, adalah Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogjakarta, yang tidak terikat pada jangka waktu masa jabatan dimaksud pada pasal 17 ayat (1) dan pasal 21 ayat (5).
Dalam ketentuan Pasal 88 di atas, adanya keinginan untuk menghapus status
Daerah Istimewa dapat dilihat dari ketentuan Pasal 2 ayat (2) huruf a. Keinginan untuk
menghapus status “istimewa” juga dapat dilihat dari ketentuan Penjelasan Pasal 1 dan
Pasal 2 UU No.18 Tahun 1965 yang mengisyaratkan bahwa suatu saat status istimewa
yang melekat pada Daerah Istimewa Yogyakarta dan Daerah Istimewa Aceh akan
dihapuskan:
“Karena itu, maka sebutan Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan sifat keistimewaannya yang bersumber pada pasal 18 Undang-undang Dasar dan sebutan Daerah Istimewa Aceh dengan keistimewaannya yang terletak dalam
65
suatu kebijaksanaan khusus Pemerintah Pusat terhadap beberapa bidang urusan pemerintahan, berdasarkan pasal 88 ayat.(2), berlaku terus hingga dihapuskan atau diganti dengan peraturan-peraturan perundangan yang sah…… Kecuali keistimewaan yang ada pada ketiga Daerah dimaksud diatas yaitu Daerah Khusus Ibu-Kota Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Daerah Istimewa Aceh, status atau sifat istimewa bagi Daerah-daerah lain tidak akan diadakan lagi pada saatnya diharapkan bahwa status atau sifat istimewa bagi Yogyakarta dan Aceh akan hapus”. Keistimewaan yang dimiliki oleh Daerah Istimewa Yogyakarta disebutkan /diakui
dalam Pasal 88 ayat (1) huruf a serta penjelasan UU No.18 Tahun 1965 tersebut adalah
bersumber dari Pasal 18 UUD 1945. Maka akan menjadi suatu penyimpangan atau
pelanggaran terhadap UUD 1945 jika status keistimewaan yang dimiliki oleh Daerah
Istimewa Yogyakarta dihapus begitu saja dengan suatu undang-undang atau peraturan
perundang-undangan dibawah undang-undang. Pencabutan status keistimewaan
Daerah Istimewa Yogyakarta hanya akan sah jika ketentuan “istimewa” yang terdapat
dalam Pasal 18 UUD 1945 tersebut dihapus atau diamandemen.
Keistimewaan yang dimiliki oleh Daerah Istimewa Yogyakarta berbeda dengan
Keistimewaan yang dimiliki oleh Daerah Istimewa Aceh. Dalam Penjelasan UU No.18
Tahun 1965 di atas disebutkan bahwa status keistimewaan Daerah Istimewa Aceh
terjadi karena suatu kebijaksanaan khusus Pemerintah Pusat terhadap beberapa bidang
urusan pemerintahan. Oleh karena itu, jika status keistimewaan Daerah Istimewa Aceh
dihapus dengan peraturan perundang-undangan seperti undang-undang, maka itu
tetaplah sah. Hal tersebut dikarenakan status keistimewaan Daerah Istimewa Aceh
bukan bersumber langsung dari UUD 1945. Sehingga kapanpun pemerintah dapat
mencabut status keistimewaan yang dimiliki oleh Daerah Istimewa Aceh dengan
peraturan perundang-undangan yang sederajat atau lebih tinggi dengan peraturan
perundang-undangan yang memberikan status keistimewaan kepada Daerah Istimewa
Aceh tersebut.
Letak keistimewaan yang dimiliki oleh Dearah Istimewa Yogyakarta berdasarkan
ketentuan Pasal 88 ayat (2) huruf b adalah terletak di Kepala Daerahnya. Ketentuan ini
sama dengan ketentuan-ketentuan sebelumnya yang “mengistimewakan” mekanisme
pengisian jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, Daerah Istimewa
Yogyakarta, walaupun agak terbatas. Mekanisme pengisian jabatan Kepala Daerah
yang “istimewa” itu hanya pada masa jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerahnya saja. Tidak pada prosedur pencalonan Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerahnya.
66
Ketentuan mengenai masa jabatan Kepala Daerah yang diatur dalam Pasal 17
ayat (1) yang hanya 5 tahun tidak berlaku bagi Kepala Daerah Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta. Begitu pula halnya dengan ketentuan Pasal 21 ayat (5) yang mengatur
mengenai masa jabatan Wakil Kepala Daerah yang hanya 5 tahun, tidak berlaku bagi
Wakil Kepala Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Ketentuan khusus yang yang mengatur masa jabatan Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tersebut merupakan letak
keistimewaan yang dimiliki oleh Daerah Istimewa Yogyakarta. Akan tetapi, berbeda
dengan undang-undang pemerintahan daerah sebelumnya (termasuk Penetapan
Presiden No. 6 Tahun 1959), dalam UU No. 18 Tahun 1965 tersebut tidak memberikan
“keistimewaan” pada prosedur pencalonan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
yang harus diajukan oleh DPRD sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 12 ayat
(1) dan Pasal 21 ayat (1). Akan tetapi, karena ketentuan Pasal 17 ayat (1) dan Pasal 25
ayat (1) tidak berlaku bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Prrovinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta, maka sudah bisa dipastikan bahwa pencalonan Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta hanya satu kali saja.
Dengan kata lain bahwa masa jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tidak dibatasi sampai adanya ketentuan peraturan
perundang-undangan berikutnya yang menyatakan lain.
6. Pengaturan Daerah Istimewa dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 (selanjutnya disebut UU No.5 Tahun 1974)
merupakan sartu-satunya undang-undang pemerintahan daerah yang ditetapkan oleh
Presiden Soeharto selama era Orde Baru. UU No.5 Tahun 1974 berlaku pada tanggal
23 Juli 1974 sampai dengan tanggal 7 Mei 1999. Berlaku selama lebih kurang 25 tahun.
Dalam UU No.5 Tahun 1974, pengaturan Daerah Istimeawa diatur dalam Pasal
91 huruf b Aturan Peralihan. Sama halnya dengan undang-undang pemerintahan daerah
sebelumnya bahwa keistimewaan yang dimiliki oleh Daerah Istimewa Yogyakarta yaitu
terletak pada Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerahnya. Pasal 91 huruf b UU No.5
Tahun 1974 berbunyi:
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta yang sekarang adalah Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah menurut Undang-undang ini dengan sebutan Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta dan Wakil Kepala Daerah
67
Istimewa Yogyakarta, yang tidak terikat pada ketentuan masa jabatan, syarat dan cara pengangkatan bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah lainnya Dari ketentuan di atas, dapat diketahui bahwa mekanisme pengisian jabatan
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta tidak seperti mekanisme
pengisian jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah lainnya. Misalnya dalam hal
masa jabatan, Pasal 17 menentukan bahwa masa jabatan Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah lainnya hanya bisa menjabat selama 5 (lima) tahun dan dapat diangkat
kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. Begitu pula mengenai syarat untuk
menjadi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sebagaimana dimaksud Pasal 14 dan
Pasal 24 UU No.5 Tahun 1974 juga tidak mengikat bagi Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta. Seperti harus berpendidikan Sarjana Muda bagi
Kepala Daerah dan dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi syarat bagi Wakil Kepala
Daerah.
Dengan demikian, maka letak keistimewaan pada Daerah Istimewa Yogyakarta
berdasarkan UU No.5 Tahun 1974 sama dengan ketentuan undang-undang
pemerintahan daerah sebelumnya, yaitu terletak pada mekanisme pengisian jabatan
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerahnya. Termasuk cara pengangkatannya yang
tidak memerlukan pencalonan dan dipilih oleh dan dari DPRD terlebih dahulu.
7. Pengaturan Daerah Istimewa dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
Setelah reformasi bergulir pada tahun 1998, banyak tuntutan untuk diberlakukan
otonomi yang seluas-luasnya. Oleh karena itu sebagai bentuk implementasi dari
tuntutan-tuntutan itu akhirnya pada tanggal 7 Mei 1999 ditetapkanlah Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU No.22
Tahun 1999). UU No.22 Tahun 1999 tersebut dibentuk untuk mengganti UU No.5 Tahun
1974 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan
Desa.
UU No.22 Tahun 1999 tersebut lahir setelah meninggalnya pemimpin Daerah
Istimewa Yogyakarta generasi pertama, yaitu Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri
Paduka Paku Alam VIII. Pengaturan mengenai Daerah Istimewa dalam UU No.22 Tahun
1999 dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 122 yang berbunyi:
Keistimewaan untuk Propinsi Daerah Istimewa Aceh dan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5
68
Tahun 1974, adalah tetap dengan ketentuan bahwa penyelenggaraan pemerintahan Propinsi Istimewa Aceh dan Propinsi Istimewa Yogyakarta didasarkan pada undang-undang ini. Dari ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa UU No.22 Tahun 1999 tetap
mengakui eksistenasi dari Daerah Istimewa Yogyakarta dan Daerah Istimewa Aceh.
Dengan ketentuan bahwa penyelenggaraan pemerintahannya tetap berdasarkan UU
No.22 Tahun 1999. Lalu bagaimanakah dengan isi dari keistimewaan kedua daerah
istimewa itu sendiri ? Isi dari keistimewaan kedua daerah tersebut dijelaskan dalam
Penjelasan Pasal 22 yang berbunyi:
Pengakuan keistimewaan Propinsi Istimewa Aceh didasarkan pada sejarah perjuangan kemerdekaan nasional, sedangkan isi keistimewaan-nya berupa pelaksanaan kehidupan beragama, adat, dan pendidikan serta memperhatikan peranan ulama dalam penetapan kebijakan Daerah Pengakuan keistimewaan Propinsi Istimewa Yogyakarta didasarkan pada asal-usul dan peranannya dalam sejarah perjuangan nasional, sedangkan isi keistimewaannya adalah pengangkatan Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Sultan Yogyakarta dan Wakil Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Paku Alam yang memenuhi syarat sesuai dengan undang-undang ini
Jika dilihat dari sudut pandang ilmu tehnik perundang-undangan, seharusnya
penjelasan Pasal 22 tersebut dirumuskan dalam bentuk norma yang diletakkan dalam
sebuah atau beberapa Pasal dalam batang tubuh dari UU No.22 Tahun 1999 itu sendiri.
Terutama dalam ketentuan yang menyatakan “pengangkatan Gubernur dengan
mempertimbangkan calon dari keturunan Sultan Yogyakarta dan Wakil Gubernur
dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Paku Alam yang memenuhi syarat
sesuai dengan undang-undang ini” yang terdapat dalam penjelasan Pasal 122 di atas.
Ketentuan tersebut merupakan bentuk norma yang harus diletakkan dalam rumusan
pasal atau ayat tersendiri setelah rumusan Pasal 34 tentang ketentuan mengenai calon
kepala daerah dan wakil kepala daerah. Bukan meletakkannya dalam bagian penjelasan
karena penjelasan suatu peraturan perundang-undangan seharusnya tidak merumuskan
norma.
Selain itu, penulis berpendapat bahwa UU No.22 Tahun 1999 tersebut
memberikan keistimewaan yang “setengah hati” kepada Daerah Istimewa Yogyakarta.
Hal itu dapat dilihat dari 3 hal yaitu, pertama; Pasal 122 tersebut dengan tegas
69
menggariskan bahwa penyelenggaraan pemerintahan daerah istimewa tetap didasarkan
pada undang-undang tersebut. Artinya bahwa isi keistimewaannya hanyalah pada
mekanisme pengisian jabatan kepala daerahnya saja. Dengan demikian, tidak ada yang
membedakannya dengan undang-undang pemerintahan daerah sebelumnya.
Kedua, dengan diletakkannya rumusan mengenai isi dari keistimewaan Daerah
Istimewa Yogyakarta (termasuk Daerah Istimewa Aceh) didalam ketentuan penjelasan
adalah suatu hal yang bisa menimbulkan permasalahan baru, yaitu terkait dengan
keberlakuan atau daya mengikat dari penjelasan undang-undang itu sendiri dapat
dipersoalkan dan diperdebatkan. Seharusnya rumusan tersebut diletakkan dalam Pasal
atau Ayat tersendiri dalam batang tubuh UU No.22 Tahun 1999 tersebut. Sehingga tidak
ada lagi yang memepersoalkan mengenai daya mengikat dari rumusan tersebut.
Ketiga yaitu berkaitan dengan penggunaan rumusan ketentuan “dengan
mempertimbangkan calon dari keturunan…”. Rumusan tersebut merupakan suatu
rumusan yang sangat bebas. Apalagi dijumbuhi dengan rumusan ” yang memenuhi
syarat sesuai dengan undang-undang ini”. Yang dimaksud dengan rumusan yang
sangat bebas yaitu dapat dilihat dari arti istilah “mempertimbangkan” itu sendiri. Dengan
menggunakan istilah “mempertimbangkan”, itu bermakna bahwa masih dapat
memunculkan kemungkinan-kemungkinan lain selain yang dipertimbangkan itu.
Misalnya, setelah DPRD menimbang bahwa calon dari keturunan Sultan Yogya dan dari
keturunan Paku Alam tidak memenuhi syarat sebagai calon Kepala Daerah dan calon
Wakil Kepala Daerah seperti yang disyaratkan oleh UU No.22 Tahun 1999 itu, maka
DPRD dapat memilih calon lainnya sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Oleh karena itu, penulis berpendapat bahwa pengakuan eksistensi Yogyakarta
sebagai sebuah daerah yang bersifat istimewa dalam UU No.22 Tahun 1999 tersebut
adalah “setengah hati” bahkan mengalami kemunduran. Hal ini berbeda dengan
ketentuan undang-undang pemerintahan daerah sebelumnya yang langsung
mengangkat dan menetapkan Sultan Yogyakarta dan Paku Alam sebagai Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tanpa harus
terikat dengan mekanisme atau tata cara pengisian jabatan Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah lainnya.
8. Pengaturan Daerah Istimewa dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Setelah terjadinya perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang dilakukan dalam empat tahap yaitu tahun 1999, 2000, 2001 dan tahun
70
2002, telah banyak perubahan-perubahan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia,
termasuk berubahnya sistem pemerintahan daerah yang diatur dalam Pasal 18 UUD
1945. Sebenarnya, perubahan sistem pemerintahan daerah yang diatur dalam Pasal 18
UUD 1945 tersebut telah terjadi pada tahun 2000. Akan tetapi, penyesuaian undang-
undang pemerintahan daerah dengan Pasal 18 UUD 1945 tersebut baru dilakukan pada
tahun 2004. Yaitu dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
(selanjutnya disebut UU No.32 tahun 2004) sebagai pengganti UU No.22 Tahun 1999
pada tanggal 15 Oktober 2004. Akan tetapi, dalam perjalanannya UU No.32 Tahun 2004
ini telah mengalami dua kali perubahan. Perubahan pertama terjadi pada tahun 2005,
melalui Undang-Undang Nomor 8 tahun 2005. Sedangkan perubahan kedua pada tahun
2008 melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005.
Pengaturan megenai Daerah Istimewa dalam UU No.32 Tahun 2004 tentunya
harus sesuai dengan Pasal 18, Pasal 18A dan Pasal 18B UUD 1945 seperti yang telah
dijelaskan pada pembahasan sebelumnya. Rumusan “istimewa” langsung dapat
dijumpai dalam konsideran menimbang yang merupakan landasan filosofis, sosiologis,
yuridis bahkan sebagai landasan politik dalam pembentukan suatu peraturan
perundang-undangan. UU No.32 Tahun 2004 dibentuk dengan memperhatikan lima
prinsip, yaitu (i) prinsip demokrasi, (ii) prinsip pemerataan, (iii) prinsip keadilan, (iv)
prinsip keistimewaan suatu daerah, dan (v) prinsip kekhususan suatu daerah dalam
sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat dari konsideran
menimbang huruf a yang menyatakan:
bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintahan daerah, yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran, serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia Berdasarkan ketentuan tersebut, maka dapat dipahami bahwa pengaturan sistem
otonomi daerah dalam UU No.32 Tahun 2004 haruslah memperhatikan kelima prinsip
yang disebutkan di atas. Termasuk prinsip keistimewaan dan kekhususan suatu daerah.
Oleh karena itu, tentunya diharapkan pengaturan mengenai daerah Istimewa di dalam
UU No.32 Tahun 2004 tersebut lebih jelas daripada undang-undang pemerintahan
71
daerah sebelumnya. Penegasan tersebut kemudian dituangkan dalam ketentuan Pasal
2 ayat (8) yang menyatakan “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan
pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan
undang-undang”. Ketentuan tersebut sebenarnya sama dengan bunyi Pasal 18B ayat
(1) UUD 1945.
Akan tetapi, pengaturan mengenai daerah istimewa atau daerah khusus dalam
UU No.32 Tahun 2004 sangat terbatas. Hal ini mungkin karena pemerintahan daerah
istimewa atau pemerintahan daerah khusus tersebut “bersifat istimewa” dan “bersifat
khusus” sehingga pengaturannya pun bukan sepenuhnya dengan UU No.32 Tahun
2004 tersebut. Melainkan harus diatur dengan undang-undang khusus. Hal itu dapat
dilihat dari ketentuan Pasal 225 yang menyatakan: “Daerah-daerah yang memiliki status
istimewa dan diberikan otonomi khusus selain diatur dengan Undang- Undang ini
diberlakukan pula ketentuan khusus yang diatur dalam undang-undang lain”.
Ketentuan Pasal 25 tersebut bermakna bahwa bagi Daerah Istimewa dan Daerah
Otonomi Khusus akan diberlakukan ketentuan khusus lainnya yang diatur dalam
undang-undang lain selain ketentuan dalam UU No.32 Tahun 2004. Artinya bahwa
memang dikehendaki untuk dibentuknya undang-undang lain yang bersifat khusus untuk
mengatur suatu pemerintahan daerah yang memiliki status istimewa dan khusus. Hal
tersebut juga sesuai dengan ketentuan Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 yang
memerintahkan pembentukan undang-undang yang mengatur pemerintahan daerah
yang bersifat khusus atau istimewa. Penegasan mengenai hal ini dapat dilihat dari
ketentuan Pasal 226 ayat (1) yang berbunyi:
Ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku bagi Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Provinsi Papua, dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sepanjang tidak diatur secara khusus dalam Undang-Undang tersendiri.
Maksud dari ketentuan itu bahwa jika ada ketentuan yang bersifat lebih khsusus
menyangkut daerah istimewa dan daerah otonomi khusus dalam undang-undang lain,
maka ketentuan-ketentuan dalam UU No.32 Tahun 2004 tersebut tidak berlaku bagi
daerah istimewa dan daerah khusus. Hal ini sesuai dengan asas preferensi hukum yang
berbunyi “Lex Spesialis Derogat Legi Lex Generalis ”, bahwa peraturan (undang-
undang) yang bersifat khusus mengenyampingkan peraturan (undang-undang) yang
bersifat umum. Oleh karena itu, penting untuk segera ditetapkannya undang-undang
72
khusus yang mengatur keistimewaan Yogyakarta, termasuk mengenai penyelenggaraan
pemerintahannya.
Ketentuan tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah di Daerah Istimewa
Yogyakarta selama ini dilaksanakan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004. Hal ini disebabkan karena hingga saat ini undang-undang keistimewaan
Yogyakarta belum ditetapkan. Sehingga berdasarkan Pasal 226 ayat (2) UU No.32
Tahun 2004, penyelenggaraan pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
tetap berdasarkan ketentuan UU No.32 Tahun 2004.
Padahal daerah lainnya sebagimana yang disebutkan pada Pasal 225 j.o Pasal
226 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tersebut sudah diatur dalam
Undang-Undang tersendiri. DKI Jakarta diatur dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun
2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota
Negara Kesatuan Republik Indonesia (LN 2007 No. 93; TLN 4744), kekhususan bagi
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2006 tentang Pemerintahan Aceh (LN 2006 No.62; TLN 4633). Sementara itu,
kekhususan Provinsi Papua diatur dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001
tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (Lembaran Negara Tahun 2001 No. 135
dan Tambahan Lembaran Negara No. 4151) yang telah diubah dengan Perpu No. 1
Tahun 2008 (LN Tahun 2008 No. 57 dan TLN No. 4843).
Di dalam Pasal 226 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa
Keistimewaan untuk Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah tetap dengan ketentuan bahwa
penyelenggaraan pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta tersebut harus didsarkan
pada UU No. 32 Tahun 2004. Dengan demikian, isi dari keistimewaan Provinsi DIY tetap
seperti yang diatur di dalam UU No.22 Tahun 1999 sebagaimana yang telah dijelaskan
dalam pembahasan sebelumnya. Dengan demikian, walaupun UU No. 22 Tahun 1999
sudah tidak berlaku, akan tetapi khusus mengenai ketentuan pengisian jabatan Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah Provinsi DIY tetap mengacu pada UU No. 22 Tahun
1999 tersebut.
9. Pengaturan Daerah Istimewa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950
UU No.3 Tahun 1950 merupakan undang-undang tentang pembentukan Daerah
Istimewa Yogyakarta. Pembentukan UU No.3 Tahun 1950 tidak lepas dari sejarah
ketatanegaraan Republik Indonesia. UU No.3 Tahun 1950 ditetapkan pada tanggal 3
Maret 1950. UU No.3 Tahun 1950 dibentuk pada masa berlakunya Konstitusi Sementara
73
Republik Indonesia Serikat (KRIS).185 Dengan kata lain bahwa UU No.3 Tahun 1950
dibentuk ketika Indonesia masih berbentuk negara serikat (federal).186
Pada saat dibentuknya UU No.3 Tahun 1950, Republik Indonesia merupakan
sebuah negara bagian dari Negara Republik Indonesia Serikat.187 Ibukota Republik
Indonesia terletak di Kota Yogyakarta.188 UU No.3 Tahun 1950 tersebut masih berlaku
hingga saat ini. Sebelum melakukan pembahasan mengenai pengaturan daerah
istimewa dalam UU No.3 Tahun 1950 tersebut maka penting untuk dikaji mengenai
keabsahan dari UU No.3 Tahun 1950 itu senditi. Hal ini dikarenakan UU No.3 Tahun
1950 tersebut ditetapkan pada saat Indonesia masih berbentuk negara federal dengan
Konsitusi RIS sebagai Undang-Undang Dasarnya.
9.1. Keabsahan UU No.3 Tahun 1950
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa UU No.3 Tahun 1950 pada masa
berlakunya Konsitusi RIS, yaitu ketika Republik Indonesia sebagai sebuah negara
bagian dari Negara Republik Indonesia Serikat. Dalam sebuah negara federal
sebagaimana yang dinyatakan oleh Soehino terdapat 2 (dua) macam undang-undang
185 Konstitusi RIS berlaku dari tanggal 27 Desember 1949 sampai dengan tanggal 17 Agustus 1950 186 Berdasarkan Konperensi Meja Bundar (KMB) yang dilangsungkan di S’Gravenhage, Den Haag Belanda
pada tanggal 2 Nopember 1949. Dari KMB tersebut, dihasilkanlah sebuah Negara Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949 dengan Konstitusi RIS sebagai Undang-Undang Dasarnya. Negara Indonesia Serikat ini terdiri dari beberapa negara bagian seperti yang disebutkan dalam Pasal 2 Konstitusi RIS. Salah satu negara bagian dari Negara Indonesia Serikat tersebut adalah Republik Indonesia. Bentuk Negara Indonesia Serikat sendiri hanya mampu bertahan kurang dari setahun. Pada tanggal 19 Mei 1950 ditandatangani Piagam Persetujuan Pemerintah RIS dengan Pemerintah RI yang pada pokoknya disetujui untuk segera kembali kepada bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Akhirnya pada tanggal 15 Agustus 1950 disahkanlah Undang-Undang Federal No.7 Tahu 1950 tentang Perubahan Konstitusi RIS menjadi UUD Sementara RI. Pada tanggal 17 Agustus 1950 berlakulah kembali bentuk susunan negara kesatuan dengan UUD Sementara Tahun 1950 sebagai Undang-Undang Dasarnya. Dengan demikian, maka bentuk susunan Negara Indonesia Serikat hanya berlaku dari tanggal 27 Desember 1949 sampai dengan tanggal 17 Agustus 1950. Lihat Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan….,Op.Cit. hlm. 59-73
187 Berdasarkan ketentuan Pasal 2 Konstitusi RIS disebutkan bahwa wilayah Republik Indonesia Serikat terdiri dari beberapa daerah negara bagian yaitu: Negara Republik Indonesia, dengan daerah menurut status quo seperti tersebut dalam persetudjuan Renville tanggal 17 Djanuari tahun 1948; Negara Indonesia Timur; Negara Pasundan, termasuk Distrik Federal Djakarta; Negara Djawa Timur; Negara Madura; Negara Sumatera Timur, dengan pengertian, bahwa status quo Asahan Selatan dan Labuhan Batu berhubungan dengan Negara Sumatera Timur tetap berlaku; Negara Sumatera Selatan. Selain itu ada juga satuan-satuan kenegaraan yang berdiri tegak yaitu Djawa Tengah; Bangka; Belitung; Riau; Kalimantan Barat (Daerah istimewa); Dajak Besar; Daerah Bandjar; Kalimantan Tenggara; dan Kalimantan Timur.
Wilayah atau daerah yang merupakan wilayah dari Negara Bagian Republik Indonesia sendiri adalah seperti yang terdapat dalam Perjanjian Renville yang ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948, yaitu bahwa Belanda hanya mengakui Jawa Tengah, Yogyakarta dan Sumatera sebagai wilayah Republik Indonesia.
188 Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan…,Loc.Cit.
74
dasar, yaitu undang-undang dasar Negara Federasi dan undang-undang dasar masing-
masing Negara Bagian.189 Selain itu, dalam negara berbentuk federal juga terapat 2
(dua) jenis undang-undang, yaitu undang-undang federal dan undang-undang negara
bagian. UUD 1945 (yang ditetapkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945)
merupakan Undang-Undang Dasar yang berlaku di Republik Indonesia. Sedangkan UU
No.3 Tahun 1950 merupakan undang-undang negara bagian Republik Indonesia.
UU No.3 Tahun 1950 ditetapkan di Yogyakarta pada tanggal 3 Maret 1950 oleh
Assaat sebagai Pemangku Jabatan Presiden Republik Indonesia dan A.G.
Pringodigdo sebagai Menteri Dalam Negeri, serta Soesanto Tirtoprodjo sebagai
Menteri Dalam Negeri.
Dengan demikian, karena UU No.3 Tahun 1950 tersebut merupakan sebuah
undang-undang negara bagian, maka hanya berlaku mengikat bagi Negara Republik
Indonesia saja. Akan tetapi hingga saat ini UU No.3 Tahun 1950 tetap berlaku sah
sebagai sebuah undang-undang yang berlaku mengikat di seluruh wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu, penulis akan menjelaskan dasar hukum
keabsahan dari UU No.3 Tahun 1950 tersebut.
Berdasarkan Pasal 5 juncto Pasal 20 ayat (1) dan Pasal IV Aturan Peralihan UUD
1945 menyatakan bahwa Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang.
Berarti UU No.3 Tahun 1950 telah memenuhi persyaratan konstitusional, terkait dengan
pejabat yang berwenang membentuknya. Jika melihat pada konsideran menimbangnya,
UU No.3 Tahun 1950 dibentuk dengan tetap berdasarkan pada UU No.22 Tahun 1948.
Pasal 192 ayat (1) Ketentuan-ketentuan Peralihan Konstitusi RIS menyatakan bahwa:
Peraturan-peraturan undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata-usaha jang sudah ada pada saat Konstitusi ini mulai berlaku, tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan Republik Indonesia Serikat sendiri, selama dan sekadar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak ditjabut, ditambah atau diubah oleh undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata-usaha atas kuasa Konstitusi ini. UU No.22 Tahun 1948 ditetapkan pada masa berlakunya UUD 1945 sebagai
Undang-Undang Dasar bagi seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
(sebelum Komperensi Meja Bundar). Maka berdasarkan Ketentuan Peralihan Pasal 192
ayat (1) Konstitusi RIS di atas, UU No.22 Tahun 1948 dapat berfungsi sebagai:
189 Soehino, Ilmu Negara…,Op.Cit. hlm. 227
75
1. undang-undang federal yang berlaku bagi seluruh wilayah negara bagian dalam
Negara Republik Indonesia Serikat, termasuk Republik Indonesia;
2. undang-undang negara bagian Republik Indonesia, karena UU No.22 Tahun 1948
tersebut dibuat berdasarkan UUD 1945. Sedangkan UUD 1945 masih berlaku
sebagai Undang-Undang Dasar bagi negara bagian Republik Indonesia.
Oleh karena itu, pembentukan UU No.3 Tahun 1950 telah memenuhi kriteria
keabsahan suatu peraturan perundang-undangan, baik secara legalitas maupun
konstitusional. Lalu bagaimanakah keabsahan UU No.3 Tahun 1950 tersebut setelah
bentuk susunan negara Indonesia kembali kepada bentuk negara kesatuan pada
tanggal 17 Agustus 1950 ? Selain itu, Konstitusi RIS juga tidak berlaku dan diganti
dengan UUD Sementara Tahun 1950 (UUDS 1950).
Sebelum kembali ke bentuk negara kesatuan sebagai akibat dari banyaknya
tuntutan rakyat yang menghendaki untuk kembali dalam bentuk negara kesatuan,190
diadakan permusyawaratan yang diadakan antar Pemerintah Negara Republik
Indonesia Serikat dan Pemerintah Negara Republik Indonesia.191 Dalam
permusyawaratan itu Pemerintah Negara Republik Indonesia Serikat bertindak pula
mewakili Pemerintah Negara Indonesia Timur dan Pemerintah Negara Sumatera
Timur.192
Dalam permusyawaratan itu dicapai suatu hasil keputusan bersama pada tanggal
19 Mei 1950, yaitu Piagam Persetujuan Pemerintah Republik Indonesia Serikat dan
Pemerintah Republik Indonesia (selanjutnya disebut Piagam Persetujuan 19 Mei 1950).
Selain menghendaki untuk segera kembali kepada bentuk negara kesatuan, dalam
Piagam Persetujuan 19 Mei 1950 tersebut disetujui untuk dibentuknya Undang-Undang
Dasar Sementara dengan melakukan perubahan terhadap beberapa ketentuan yang
esensial dari Konstitusi RIS. Kemudian salah satu isi dari piagam tersebut membahas
megenai status dari undang-undang dan peraturan-peraturan yang yang sudah ada
sebelumnya. Berikut ini bunyi Diktum II butir A Nomor 4 Piagam Persetujuan 19 Mei
1950:
Sebelum diadakan perundang-undangan kesatuan, maka undang-undang yang ada tetap berlaku, akan tetapi di mana mungkin diusahakan upaya perundang-undangan Republik Indonesia berlaku.
190 Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan…,Op.Cit. hlm. 70 191 Ibid. 192 Ibid.
76
Dari ketentuan di atas, maka undang-undang Republik Indonesia (termasuk UU
No. 3 Tahun 1950) tetap berlaku dan diupayakan agar perundang-undangan Republik
Indonesia berlaku. Maksudnya bahwa segala Perundang-undangan yang ada dan/atau
yang telah dibentuk oleh Pemerintah Republik Indonesia akan diupayakan tetap berlaku
mengikat secara nasional kelak ketika bentuk negara sudah kembali kedalam bentuk
negara kesatuan. Pada tanggal 14 Agustus 1950, terjadi perubahan terhadap UU No.3
Tahun 1950, yaitu melalui UU No. 19 Tahun 1950.
Piagam Persetujuan 19 Mei 1950 tersebut merupakan kesepakatan dasar yang
mengikat untuk dijadikan rujukan atau dasar pembentukan negara kesatuan dan
perumusan UUD Sementara 1950. Hal itu dapat dilihat dari Konsideran Mengingat dari
UU No. 7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi RIS menjadi UUD Sementara
Republik Indonesia yang mengacu pada Piagam Persetujuan 19 Mei 1950 tersebut.
Sesuai dengan kesepakatan pada Piagam Persetujuan 19 Mei 1950, maka Pasal
142 UUD Sementara 1950 berbunyi:
Peraturan-peraturan, undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata-usaha yang sudah ada pada tanggal 17 Agustus 1950 tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan Republik Indonesia sendiri, selama dan sekedar peraturan-peraturan dan ketentuan- ketentuan itu tidak dicabut, ditambah atau diubah oleh undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata-usaha atas kuasa Undang-Undang Dasar ini.
Berdasarkan ketentuan Pasal 142 UUD Sementara 1950 diatas, maka undang-
undang Republik Indonesia (termasuk UU No.3 Tahun 1950) tetap berlaku dan bukan
hanya berlaku bagi bekas negara bagian Republik Indonesia, tetapi juga berlaku
mengikat secara nasional. Dengan demikian, maka UU No.3 Tahun 1950 j.o UU No. 19
Tahun 1950 tetap berlaku sah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia pasca
kembalinya bentuk susunan negara dari bentuk negara serikat kedalam bentuk negara
kesatuan.
Kemudian pada tahun 1955, kembali terjadi perubahan kedua terhadap UU No. 3
Tahun 1950, yaitu berdasarkan UU No.9 Tahun 1955 yang disahkan pada tanggal 30
Juni 1955. UU No. 9 Tahun 1955 tersebut hanyalah mengubah ketentuan Pasal 3 ayat
(2) UU No.3 jo UU No. 19 Tahun 1950. Dengan dilakukannya perubahan terhadap UU
No. 3 Tahun 1950 oleh Presiden Soekarno tersebut maka secara faktual UU No.3 Tahun
1950 itu diakui keberadaannya.
77
Setelah Konstituante gagal membentuk Undang-Undang Dasar sebagai
pengganti UUD Sementara Tahun 1950, maka pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden
Soekarno mengeluarkan sebuah Dekrit Presiden. Salah satu Diktum dari Dekrit Presiden
tersebut adalah menetapkan UUD 1945 berlaku kembali di Seluruh wilayah tumpah
darah Indonesia dan menetapkan tidak berlakunya UUD Sementara. Lalu
bagaimanakah “nasib” UU No. 3 Tahun 1950 sebagaimana terakhir diubah dengan UU
No.9 Tahun 1955 tersebut?
Sebagaimana dibahas sebelumnya, bahwa UU No.3 Tahun 1950 tersebut
dibentuk berdasarkan UUD 1945. Kemudian secara faktual sudah diakui keabsahannya
melalui perubahan yang dilakukan pada tahun 1955. Oleh karena itu, berdasarkan
ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Segala Badan
Negara dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang
baru menurut Undang-undang Dasar ini ”, tetaplah sah dan berlaku mengikat.
Begitu pula halnya setelah terjadinya Perubahan UUD 1945 pada tahun 1999
hingga 2002. Berdasarkan ketentuan Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945 hasil
perubahan menyatakan bahwa “ Segala peraturan prundang-undangan yang ada masih
tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”,
maka UU No.3 Tahun 1950 sebagaimana terakhir diubah dengan UU No.9 Tahun 1955
tetap sah dan berlaku mengikat.
Dengan demikian, maka UU No.3 Tahun 1950 memiliki landasan hukum yang
kuat untuk tetap berlaku. Selain karena belum adanya undang-undang yang mencabut
undang-undang tersebut secara tegas, Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945 juga
memberikan landasan konstitusional yang kuat bagi keberlakuan dan keabsahan UU
No.3 Tahun 1950 tersebut.
Keberadaan UU No. 3 Tahun 1950 juga diakui oleh UU No. 13 Tahun 2012
tentang Keistimewaan DIY. Dalam Pasal 50 UU No. 13 Tahun 2012 menyebutkan “Pada
saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua ketentuan dalam Undang-Undang Nomor
3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Jogjakarta (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 1950 Nomor 3) sebagaimana telah diubah beberapa kali,
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1955 tentang Perubahan Undang-
Undang Nomor 3 jo. Nomor 19 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa
Yogyakarta (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1955 Nomor 43, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 827) tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan Undang-Undang ini”.
78
9.2. Daerah Istimewa Yogyakarta dalam UU No.3 Tahun 1950
Sesuai dengan namanya, UU No.3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah
Istimewa Yogyakarta, merupakan dasar hukum bagi terbentuknya Daerah Istimewa
Yogyakarta. Setiap daerah yang hendak dibentuk harus dibentuk atau ditetapkan
dengan undang-undang. Sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 4 ayat (1)
UU N0. 32 Tahun 2004.
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, bahwa UU No.1 Tahun 1945
merupakan undang-undang yang mengatur mengenai daerah (walaupun hanya terkait
dengan pembentukan Komite Nasional Daerah). Di dalam Pasal 1 UU No.1 Tahun 1945
tersebut dinyatakan bahwa “Komite Nasional Daerah diadakan (ketjuali di Daerah
Surakarta dan Jogjakarta) di Keresidenan, di Kota berautonomi, Kabupaten dan lain-lain
daerah jang dipandang perlu oleh Menteri Dalam Negeri”. Dengan adanya penyebutan
“daerah Jogjakarta” maka secara de facto sesungguhnya Daerah Istimewa Yogyakarta
telah diakui sejak tahu 1945. Walaupun secara hukum (de jure), Daerah Istimewa
Yogyakarta terbentuk pada tahun 1950 melalui UU No.3 Tahun 1950.
UU No. 3 Tahun 1950 menegaskan kedudukan Yogyakarta sebagai sebuah
daerah istimewa. Hal itu apat dilihat dari nama unang-undang itu sendiri, yaitu Undang-
Undang tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta. Pasal 1 UU No. 3 Tahun
1950 berbunyi:
(1) Daerah jang meliputi daerah Kesultanan Jogjakarta dan daerah Paku Alaman ditetapkan menjadi Daerah Istimewa Jogjakarta.
(2) Daerah Istimewa Jogjakarta adalah setingkat dengan Propinsi.
Pasal 1 ayat (1) menegaskan wilayah yang dinyatakan sebagai Daerah Istimewa
Yogyakarta, yaitu meliputi daerah Kesultanan Jogjakarta dan daerah Paku Alaman.
Sedangkan pada ayat (2) menyatakan bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta itu setingkat
dengan provinsi. Ketentuan Pasal 1 ayat (2) tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 1
ayat (2) UU No.22 Tahun 1948 yang memungkinkan dibentuknya daerah istimewa
setingkat propinsi. Daerah istimewa tersebut juga bersifat otonom sebaimana daerah
lainnya.
Penyelenggaraan pemerintahan di Daerah Istimewa Yogyakarta tetaplah
diselenggarakan berdasarkan undang-undang pemerintahan daerah. UU No. 3 Tahun
1950 lebih pada fungsinya sebagai dasar hukum pembentukan Daerah Istimewa
Yogyakarta saja. Jadi, UU No. 3 Tahun 1950 tersebut tidak menjabarkan hal-hal yang
79
bersifat istimewa seperti mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur
Daerah Istimewa Yogyakarta. Isi keistimewaan itu justru terdapat pada undang-undang
pemerintahan daerah. Berbeda dengan Daerah Istimewa Aceh (sekarang menjadi
daerah otonomi khusus) yang penyelenggaraan pemerintahannya sudah diatur dengan
undang-undang tersendiri, seperti UU No.44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, kemudian terakhir diganti dengan UU No.
11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Sedangkan Daerah Istimewa Yogyakarta tetap menyelenggarakan
pemerintahannya berdasarkan undang-undang pemerintahan daerah. Sebagai contoh
misalnya dapat dilihat dari ketentuan Pasal 226 ayat (2) UU No.32 Tahun 2004 yang
menyatakan bahwa penyelenggaraan pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta tetap berdasarkan ketentuan UU No.32 Tahun 2004. Berikut ini bunyi
ketentuan Pasal 226 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004:
Keistimewaan untuk Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, adalah tetap dengan ketentuan bahwa penyelenggaraan pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta didasarkan pada Undang-Undang ini.
Dengan adanya ketentuan tersebut maka muncul pertanyaan, apakah urusan-
urusan rumah tangga yang diberikan oleh UU No.3 Tahun 1950 kepada Daerah
Istimewa Yogyakarta dengan mengacu kepada Pasal 23 ayat (2) UU No.22 Tahun 1948
tersebut menjadi batal atau gugur dengan adanya ketentuan Pasal 226 UU No. 32
Tahun 2004 tersebut? Pasal 23 ayat (2) UU No.22 Tahun 1948 menyatakan “ Hal-hal
yang masuk urusan rumah tangga tersebut dalam ayat (1) ditetapkan dalam Undang-
undang pembentukan bagi tiap-tiap daerah ”. Ketentuan tersebut bermakna bahwa salah
satu materi muatan undang-undang tentang pembentukan daerah yang akan dibentuk
adalah mengenai urusan rumah tangga yang akan menjadi urusan atau kewenangan
pemerintahan daerah. Walaupun UU No.22 Tahun 1948 tersebut sudah tidak berlaku.
Akan tetapi UU No. 3 Tahun 1950 tetap berlaku hingga saat ini.
Dalam UU No. 3 Tahun 1950, urusan rumah tangga Daerah Istimewa Yogyakarta
ditetapkan sebanyak 13 urusan rumah tangga dan kewajiban-kewajiban Daerah
Istimewa Yogyakarta. Berikut ini bunyi ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU No. 3 Tahun 1950:
80
(1) Urusan rumah tangga dan kewadjiban-kewadjiban lain sebagai termaksud dalam pasal 23 dan 24 Undang-undang No. 22 tahun 1948 bagi Daerah Istimewa Jogjakarta adalah sebagai berikut:193 I. Urusan Umum. II. Urusan Pemerintahan Umum. III. Urusan agraria. IV. Urusan pengairan, djalan-djalan dan gedung-gedung. V. Urusan pertanian dan perikanan.
VI. Urusan kehewanan. VII. Urusan keradjinan, perdagangan dalam Negeri perindustrian dan
koperasi. VIII. Urusan perburuhan dan sosial.
IX. Urusan pengumpulan bahan makanan dan pembagianja. X. Urusan penerangan.
XI. Urusan pendidikan, pengadjaran dan kebudajaan XII. Urusan kesehatan.
XIII. Urusan perusahaan.
Penjelasan mengenai urusan rumah tangga dan kewajiban Daerah Istimewa
Yogyakarta tersebut dijelaskan dalam lampiran UU No.3 tahun 1950. Pada penjelasan
mengenai keabsahan UU No. 3 Tahun 1950 di atas sudah dijelaskan bahwa tidak ada
undang-undang yang mencabut UU No.3 Tahun 1950 tersebut. Perubahan hanyalah
dilakukan terhadap ketentuan Pasal 3 ayat (2) berdasarkan UU No. 9 Tahun 1955. Pasal
I Aturan Peralihan UUD 1945 juga menjadi landasan konstitusional bagi keberlakuan UU
No. 3 Tahun 1950.
Dalam ketentuan Pasal 238 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa
“Semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pemerintahan daerah
sepanjang belum diganti dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini dinyatakan
tetap berlaku”. Dari ketentuan tersebut maka dapat dimunculkan 2 penafsiran, yaitu:
pertama, bahwa semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
pemerintahan daerah sepanjang belum diganti dan tidak bertentangan dengan UU
No.32 Tahun 2004 dinyatakan tetap berlaku. Kedua bahwa hanyalah peraturan
perundang-undangan yang bertentangan dengan UU No.32 Tahun 2004 itulah yang
dinyatakan tidak berlaku, a contrario bahwa peraturan perundang-undangan yang
bertentangan dinyatakan tidak berlaku.
193 Bandingkan dengan ketentuan UU No. 32 tahun 2004 Bab III tentang Pembagian Urusan Pemerintahan
81
Pertanyaan hukum yang muncul adalah: (i) apakah UU No.3 Tahun 1950
termasuk jenis peraturan perundang-undangan sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal
238 ayat (1) UU No.32 Tahun 2004?, (ii) apakah UU No.3 Tahun 1950 bertentangan
dengan UU No.32 Tahun 2004?, (iii) Jika memang UU No.3 Tahun 1950 itu termasuk
jenis peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan UU No.32 Tahun 2004,
apakah UU No.3 Tahun 1950 tersebut kemudian batal demi hukum?
Dari tiga pertanyaan hukum di atas, pertanyaan hukum yang paling penting untuk
dibahas adalah pertanyaan yang ketiga. Karena pada pertanyaan hukum pertama dan
kedua mungkin masih dapat diberdebatkan.194 Anggap saja bahwa UU No.3 Tahun 1950
tersebut merupakan jenis peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 238 ayat (1)195 dan UU No. 3 Tahun 1950 tersebut bertentangan dengan
UU No. 32 Tahun 2004. Lalu apakah kemudian UU No.3 Tahun 1950 tersebut batal
demi hukum? Penulis memilih pertanyaan dengan istilah “batal demi hukum”, hal ini
karena Pasal 238 ayat (1) UU No.32 tahun 2004 menyebutkan bahwa jika ada peraturan
perundang-undangan yang bertentangan dengan undang-undang tersebut, maka
peraturan perundang-undangan tersebut menjadi tidak berlaku atau dengan kata lain
menjadi batal demi hukum.
Sukardi menyatakan bahwa di dalam sistem hukum Indonesia tidak dikenal
adanya putusan terhadap peraturan perundang-undangan yang bersifat batal demi
hukum ( nul and void atau van rechtswege nieteg ).196 Berikut ini penjelasan mengenai
pembatalan peraturan perundang-undangan di Indonesia:197
Di dalam sistem hukum Indonesia tidak dikenal adanya putusan terhadap peraturan perundang-undangan yang bersifat batal demi hukum ( nul and void
194 Perdebatan yang dimaksud oleh penulis yaitu, pertama berkaitan dengan penggunaan istilah “perturan perundang-undangan” dalam ketentuan Pasal 238 ayat (1) UU No.32 Tahun 2004 tersebut. Apakah istilah “peraturan perundang-undangan” yang dimaksud hanyalah ditujukan pada jenis peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang seperti peraturan pemerintah, peraturan presiden,peraturan daerah dan sebagainya ataukah juga termasuk undang-undang. Kedua berkaitan dengan apakah ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU No.3 Tahun 1950 itu bertentangan dan/atau dapat dipertentangkan dengan ketentuan UU No.32 Tahun 2004, khususnya Bab III tentang Pembagian Urusan Pemerintahan.
195 Dalam rumusan Pasal 1 angka 2 UU No.10 Tahun 2004 disebutkan bahwa pertauran perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. Dari ketentuan tersebut, undang-undang juga dapat dimasukkan kedalam jenis peraturan perundang-undangan. Apalagi ditambah dengan ketentuan Pasal 7 ayat (1) yang menentukan jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan. Dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) tersebut, undang-undang termasuk dalam jenis peraturan perundang-undangan.
196 Sukardi, Pembatalan Peraturan Daerah dan Akibat Hukumnya, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Ailrangga, Surabaya, 2009, hlm. xiii. Lihat juga Suparto Wijoyo, Karakteristik Hukum Acara Perailan Aministrasi (Peradilan Tata Usaha Negara), Edisi 2, ( Surabaya: Airlangga University Press, 2005), hlm. 60
197 Sukardi, Ibid.
82
atau van rechtswege nieteg ), melainkan yang dipakai adalah sifat dapat dibatalkan (Vernietigbaar). Adapun asas yang digunakan adalah asas praduga keabsahan (praduga rechtmatigheid) dimana di dalam keputusan dikenal dengan asas praesumptio iustae causa yang maknanya adalah bahwa setiap tindakan pemerintahan adalah sah sepanjang belum dibuktikan sebaliknya. Dengan penggunaan asas praesumptio iustae causa, maka akibat hukum yang terjadi adalah ex nunc atau sejak adanya pembatalan. Dalam praktek (berdasarkan hasil penelitian) hal ini belum diatur di dalam undang-undang. Penulis sepakat dengan pendapat yang dikemukakan oleh Sukardi di atas.
Penulis berpendapat bahwa untuk kepastian hukum, dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan sebaiknya tidak (bahkan tidak boleh) menggunakan rumusan yang
menggeneralisir suatu peraturan perundang-undangan lain menjadi tidak berlaku jika
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan a quo. Seperti yang terdapat
dalam rumusan Pasal 238 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 tersebut. Pasal 238 ayat (1)
tersebut menggeneralisir semua peraturan perundang-undangan yang dianggap
bertentangan dengan undang-undang a quo menjadi tidak berlaku. Hal ini akan
membawa dampak kekacauan dan kesimpangsiuran hukum (ketidak pastian hukum).
Akan muncul perbedaan penafsiran apakah suatu peraturan perundang-undangan itu
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan a quo atau tidak. Sehingga hal ini
berpotensi akan menimbulkan konflik aturan hukum.
Oleh karena suatu peraturan perundang-undangan tidak bersifat batal demi
hukum (Van Rechtswege Nieteg), maka walaupun UU No. 3 Tahun 1950 bertentangan
dengan UU No. 32 Tahun 2004, undang-undang tersebut tetaplah berlaku sah dan
mengikat sampai dengan adanya pembatalan. Penulis berpendapat bahwa pembatalan
atau batalnya suatu undang-undang hanya dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu
pertama, undang-undang itu sendiri menentukan batas keberlakuannya. Misalnya hanya
berlaku sampai tanggal berapa bulan apa dan tahun berapa. Kedua, telah dibentuknya
undang-undang baru yang mencabut suatu undang-undang tertentu secara tegas.
Misalnya UU No.22 Tahun 1999 dinyatakan tidak berlaku oleh UU No.32 Tahun 2004
Pasal 239. Ketiga, dengan melakukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi.
Dengan demikian, penulis berpendapat bahwa ketentuan Pasal 226 ayat (2) UU
No. 32 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa penyelenggaraan pemerintahan Daerah
Istimewa Yogyakarta harus didasarkan dengan UU No. 32 tahun 2004 telah
menimbulkan ketidakpastian hukum, khususnya terkait mengenai urusan-urusan rumah
tangga yang menjadi urusan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Di satu sisi UU No.3
Tahun 1950 telah mengatur urusan rumah tangga bagi Daerah Istimewa Yogyakarta dan
83
UU tersebut belum dicabut maupun diubah (khususnya Pasal 4). Di sisi lain Pasal 226
tersebut menyatakan bahwa penyelenggaraan pemerintahan Daerah Istimewa
Yogyakarta harus berdasarkan ketentuan UU No. 32 Tahun 2004.
10. Pengaturan Daerah Istimewa Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012
Pada tanggal 3 September 2012, akhirnya Pemerintah Pusat mengundangkan
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewaan
Yogyakarta. Setelah lebih dari 60 Tahun DIY bergabung dengan NKRI, baru pada tahun
2012 Pemerintah Pusat mengesahkan Undang-Undang tentang keistimewaan DIY.
Penegsahan undang-undang keistimewaan DIY tersebut membuat seluruh elemen
bangsa menjadi tenang dan menyambut keberadaan undang-undang tersebut.
pengesahan/penetapan UU No. 13 Tahun 2012 tersebut merupakan bagian dari politik
hukum pemerintahan daerah atau khususnya pemerintahan daerah yang bersifat khusus
atau istimewa. Disamping karena daerah-daerah otonomi khusus atau istimewa lainnya
seperti Aceh, Papua, Papua Barat dan DKI Jakarta telah memiliki undang-undang
tersendiri, kehadiran UU No. 13 Tahun 2012 juga menegaskan status Yogyakarta
sebagai sebuah daerah yang bersifat istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18B
ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.
UU No. 13 Tahun 2012 merupakan landasan yuridis tambahan bagi
penyelenggaraan pemerintahan daerah di Provinsi DIY, disamping undang-undangh
pemerintahan daerah. Undang-undanga pemerintahan daerah masih tetap berlaku
dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah di Provinsi DIY, sepanjang UU No.
13 Tahun 2012 tidak mengatur lain. Dengan kata lain bahwa UU No. 13 Tahun 2012
merupakan lex specialis bagi undang-undang pemerintahan daerah. Hal ini juga berlaku
bagi pemerintahan daerah lainnya yang bersifat khusus atau istimewa.
Konsideran menimbang huruf b UU No. 13 Tahun 2012 menyatakan “bahwa
Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman yang telah
mempunyai wilayah, pemerintahan, dan penduduk sebelum lahirnya Negara Kesatuan
Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 berperan dan memberikan
sumbangsih yang besar dalam mempertahankan, mengisi, dan menjaga keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Dalam konteks ilmu negara, pengakuan
pemerintah pusat pada keberadaan DIY yang memiliki wilayah, pemerintahan dan
penduduk menandakan pengakuan secara de jure maupun de facto bahwa DIY sebelum
kemerdekaan Indonesia, adalah sebuah negara yang berdaulat. Unsur-unsur negara
84
yaitu adanya wilayah, pemerintahan dan rakyat, telah dipenuhi oleh DIY sebagai sebuah
negara yang berdaulat.
Pengaturan keistimewaan DIY dengan undang-undang tersendiri telah tepat
adanya, walaupun penetapannya sangat lambat. Dalam UU No. 13 Tahun 2012
disebutkan bahwa keistimewaan adalah keistimewaan kedudukan hukum yang dimiliki
oleh DIY berdasarkan sejarah dan hak asal-usul menurut Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk mengatur dan mengurus kewenangan
istimewa. Sedangkan yang dimaksud dengan kewenangan Istimewa adalah wewenang
tambahan tertentu yang dimiliki DIY selain wewenang sebagaimana ditentukan dalam
undang-undang tentang pemerintahan daerah.
Kewenangan Istimewa DIY berada di tingkat Provinsi. Dengan demikian, maka
kabupaten/kota yang ada dalam Provinsi DIY tetap menjalankan pemerintahan daerah
sesuai dengan undang-undang pemerintahan daerah, karena keistimewaan hanya
diberikan pada tingkat Provinsi. Kewenangan DIY sebagai daerah otonom mencakup
kewenangan dalam urusan Pemerintahan Daerah DIY sebagaimana diatur dalam
undang-undang pemerintahan daerah dan urusan Keistimewaan yang ditetapkan dalam
UU No. 13 Tahun 2012 tersebut.
Dalam Pasal 7 ayat (2) disebutkan bahwa kewenangan atau urusan yang bersifat
istimewa dari DIY antara lain:
a. tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur dan Wakil
Gubernur;
b. kelembagaan Pemerintah Daerah DIY;
c. kebudayaan;
d. pertanahan; dan
e. tata ruang.
Jadi, kewenangan istimewa yang dimiliki oleh DIY hanya menyangkut 5 aspek
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2012 tersebut.
Penulis berpendapat bahwa keistimewaan dalam tata cara pengisian jabatan,
kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur merupakan
keistimewaan utama yang dimiliki oleh Provinsi DIY. Sedangkan 4 urusan lainnya
merupakan keistimewaan tambahan sebagai ikutan dari keistimewaan utama yang
dimiliki oleh Provinsi DIY. Mengenai isi dari otonomi khusus dan istimewa dari masing-
masing daerah yang bersifat otomomi dan istimwa tersebut akan dibahas tersendiri
dalam bab berikutnya.
85
BAB V
PERBANDINGAN KARAKTERISTIK DAERAH ISTIMEWA
DAN DAERAH OTONOMI KHUSUS
Pembahasan mengenai karakteristik keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY) tidak terlepas dari dasar hukum (undang-undang) yang mengatur
mengenai keistimewaan Provinsi DIY. Dalam pembahasan sebelumnya sudah
dijelaskan mengenai dasar hukum keistimewaan Provinsi DIY. Dalam pembahasan ini,
akan diambil beberapa dasar hukum keistimewaan Provinsi DIY yang masih berlaku,
yaitu:
1. UU No. 3 Tahun 1950;
2. UU No. 22 Tahun 1999, khusus dalam kaitannya dengan mekanisme pengisian
jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Provinsi DIY; dan
3. UU No. 32 Tahun 2004.
Untuk mengetahui lebih mendalam mengenai seberapa besar isi keistimewaan
yang dimiliki oleh Daerah Istimewa Yogyakarta, maka akan dibandingkan dengan
karakteristik kekhususan yang dimiliki oleh daerah otonomi khusus lainnya di Indonesia
yaitu DKI Jakarta yang diatur dalam UU No. 29 Tahun 2007, Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam yang diatur dalam UU No. 11 Tahun 2006, Provinsi Papua dan Papua Barat
yang diatur dalam UU No. 21 Tahun 2001sebagaimana yang telah diubah dengan Perpu
No. 1 Tahun 2008.
Perbandingan karakteristik Provinsi DIY dengan daerah yang memiliki otonomi
khusus tersebut adalah untuk menjawab pertanyaan mengenai keberadaan Daerah
Istimewa Yogyakarta dalam kerangka atau bingkai Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Hal ini berdasarkan asumsi dari berbagai kalangan bahwasanya sistem yang
ada di Provinsi DIY saat ini telah keluar dari bingkai NKRI.
Untuk menjawab asumsi itu, penting bagi penulis untuk membandingkan
karakteristik keistimewaan Provinsi DIY dengan daerah lainnya yang memiliki status
otonomi khusus. Dengan asumsi bahwa penyelenggaraan pemerintahan derah di
daerah otonomi khusus tersebut sudah ditetapkan dengan undang-undang sehingga
dianggap berada dalam bingkai NKRI. Oleh karena itu perbandingan ini dapat dijadikan
bahan masukan untuk menjelaskan mengenai sistem yang ada maupun yang akan
diterapkan di Provinsi DIY, apakah tetap berada dalam bingaki NKRI atau tidak,
sebagaimana kekhususan yang dimiliki oleh daerah otonomi khusus tersebut.
86
Untuk itu, pembahasan ini pertama-tama akan membahas mengenai isi atau
substansi atau karakteristik keistimewaan Provinsi DIY dan bagaimana
perbandingannya dengan daerah yang memiliki status otonomi khusus terhadap
karakteristik keistimewaan Provinsi DIY tersebut. Selanjutnya, dalam pembahasan
berikutnya akan dibahas mengenai karakteristik lainnya yang dimiliki oleh daerah
otonomi khusus yang tidak dimiliki oleh Provinsi DIY dan dianggap mengarah pada
bentuk federalisme. Baru kemudian akan dijelaskan mengenai penyelenggaraan
pemerintahan di Provinsi DIY, baik yang sekarang maupun yang akan diterapkan
berdasarkan RUU Keistimewaan Provinsi DIY.
1. Alasan Konstitusional Pemberian Status Istimewa atau Status Otonomi Khusus
Daerah Istimewa Yogyakarta, DKI Jakarta, Aceh, Papua dan Papua Barat
berkedudukan sebagai daerah Provinsi. Keistimewaan Provinsi DIY diakui dan dihormati
keberadaannya yang didasarkan pada asal usul dan peranannya dalam sejarah
perjuangan nasional.198 Hal tersebut dapat dilihat dari pendapat para anggota Tim
Perumus Perubahan UUD 1945 PAH I BP MPR pada saat merumuskan perubahan
Pasal 18 UUD 1945.199 Selain itu, Penjelasan Pasal 22 UU No.22 Tahun 1999 juga
menyatakan bahwa “Pengakuan keistimewaan Propinsi Istimewa Yogyakarta didasarkan
pada asal-usul dan peranannya dalam sejarah perjuangan nasional…”. Sedangkan
keistimewaan (sekarang khusus) Aceh juga didasarkan pada perjuangan kemerdekaan
nasional sebagaimana yang dimaksud pada penejelasan Pasal 22 UU No. 22 Tahun
1999. Disamping itu, dalam konsideran menimbang UU No.11 Tahun 2006 juga
mengakui kesejarahan Aceh dalam perjuangan kemerdekaan dengan memiliki daya
juang yang tinggi.200
198 Yang dimaksud dengan “asal-usul kesejarahannya” yaitu bahwa sebelum kemerdekaan RI, Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan sebuah negara bagian pemerintahan HindiaBelanda yang disebut dengan Zelfbesturende Landschappen atau dalam bahasa Jepang disebut dengan Kooti/koti yang kemudian melalui amanat 5 September 1945 menyatakan bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Lihat catatan kaki nomor 1.Sedangkan yang berkaitan dengan sejarah perjuangan nasional, salah satu peran Yogyakarta yaitu bahwa pada kurun waktu 6 Januari 1946 sampai dengan 27 Desember 1949 (kurang lebih 3,5 tahun) Yogyakarta pernah menjadi Ibukota Republik Indonesia. Pada waktu itu, situasi keamanan Jakarta semakin memburuk sehingga menyebabkan Pemerintah Indonesia memindahkan Ibukota untuk sementara ke Yogyakarta. Presiden dan Wakil Presiden pertama RI beserta seluruh keluarga dan staf menuju Yogyakarta dengan kereta api dan mengendalikan pemerintahan di Yogyakarta. Lihat Aloysius Soni BL de Rosari, Monarki Yogya…,Op.Cit, hlm. 65
199 Lihat catatan kaki nomor 166, 168 dan seterusnya. 200 Dalam UU No. 11 Tahun 2006 konsideran menimbang huruf b serta bagian penjelasan umum, disebutkan
bahwa berdasarkan perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, Aceh merupakan satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa terkait dengan salah satu karakter khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang
87
Dari perdebatan yang muncul pada saat pembahasan perubahan Pasal 18 UUD
1945, Hatta Mustafa dari F-PG menyatakan bahwa DKI Jakarta mendapatkan
kekhususan karena kedudukannya sebagai Ibukota Negara dan harus diakui oleh
Undang-Undang Dasar.201 Dalam Pasal 117 UU No. 22 Tahun 1999 jo Pasal 227 ayat
(1) UU No. 32 Tahun 2004 juga menegaskan kedudukan Jakarta sebagai daerah
khusus karena kedudukannya sebagai Ibukota Negara. Pasal 1 angka 6 UU No. 29
Tahun 2007 juga menyatakan bahwa “ …Provinsi DKI Jakarta, adalah provinsi yang
mempunyai kekhususan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah karena
kedudukannya sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Pemberian status otonomi khusus terhadap Provinsi Papua dan Papua Barat
disebabkan karena adanya kesenjangan pembangunan antara Provinsi Papua dan
Provinsi lain. Hal tersebut tercermin dalam konsideran menimbang huruf h UU No. 21
Tahun 2001 yang berbunyi:
bahwa dalam rangka mengurangi kesenjangan antara Provinsi Papua dan Provinsi lain, dan meningkatkan taraf hidup masyarakat di Provinsi Papua, serta memberikan kesempatan kepada penduduk asli Papua, diperlukan adanya kebijakan khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia Selain itu, penyelenggaraan pemerintahan yang bersifat sentralistik dianggap
belum sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM),
terutama bagi rakyat asli Papua. Akibat dari kesejenjangan dan pelanggaran HAM
tersebut kemudian memicu ketidakpuasan dan kekecewaan dari penduduk asli Papua
sehingga melahirkan organisasi maker yang bernama Organisasi Papua Merdeka.
Penjelasan umum UU No. 21 Tahun 2001 berbunyi:
Keputusan politik penyatuan Papua menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia pada hakikatnya mengandung cita-cita luhur. Namun kenyataannya berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang sentralistik belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat,belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan belum sepenuhnya
memiliki ketahanan dan daya juang tinggi . Pembentukan UU No.11 Tahun 2006 sebenarnya juga tidak terlepas dari adanya perjanjian nota kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara Pemerintah RI dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki Finlandia. Lihat Penjelan Umum UU No 11 Tahun 2006
201 Lihat catatan kaki nomor 166
88
menampakkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) di Provinsi Papua, khususnya masyarakat Papua. Kondisi tersebut mengakibatkan terjadinya kesenjangan pada hampir semua sektor kehidupan, terutama dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, kebudayaan dan sosial politik. Pelanggaran HAM, pengabaian hak-hak dasar penduduk asli dan adanya perbedaan pendapat mengenai sejarah penyatuan Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah masalah-masalah yang perlu diselesaikan. Upaya penyelesaian masalah tersebut selama ini dinilai kurang menyentuh akar masalah dan aspirasi masyarakat Papua, sehingga memicu berbagai bentuk kekecewaan dan ketidakpuasan. Dengan demikian, alasan pemberian status khusus atau istimewa terhadap
daerah daerah tersebut berbeda antara satu dengan yang lainnya. Daerah Istimewa
Yogyakarta istimewa karena asal usul dan kesejarahannya, Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam diberikan kekhususan karena berdasarkan sejarah perjuangan nasional dan
juga termasuk adanya perjanjian damai antara Pemerintah RI dengan GAM pada
tanggal 15 Agustus 2005. Kemudian DKI Jakarta memiliki kekhususan karena
kedudukannya sebagai Ibukota Negara sedangkan Provinsi Papua dan Papua Barat
diberikan status khusus karena adanya kesenjangan pembangunan serta pelanggaran
Hak Asasi Manusia.202
2. Isi Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta dan perbandingannya dengan isi
Kekhususan Daerah Daerah Otonomi Khusus
Mekanisme pengisian jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Istimewa
Yogyakarta merupakan karakteristik (isi) keistimewaan yang dimiliki oleh Provinsi DIY.
Sejak undang-undang pemerintahan daerah pertama sampai dengan UU No. 22 Tahun
1999, mekanisme pengisian jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Istimewa
Yogyakarta selalu memiliki keistimewaan (perbedaan) dengan daerah lainnya. Dalam
penjelasan Pasal 22 UU No. 22 Tahun 1999 menyebutkan bahwa:
202 Yudi Latif bahkan menulis bahwa pemberian status otonomi khusus terhadap Aceh dan Papua itu didasarkan karena ancaman disintegrasi bangsa yang cukup tinggi dari kedua daerah tersebut. Hal tersebut dipicu oleh lepasnya Provinsi Timor-Timur dari NKRI berdasarkan hasil referendum pada tahun 1999. Yudi Latif dalam Jurnal Konstitusi, Otonomi Khusus Provinsi Papua Pasca Pembatalan UU No.45 Tahun 1999, (Jakarta: Mahkamah Konstitusi RI, 2004), Volume 1 Nomor 2 Desember 2004, hlm. 50-51
89
Pengakuan keistimewaan Propinsi Istimewa Yogyakarta didasarkan pada asal-usul dan peranannya dalam sejarah perjuangan nasional, sedangkan isi keistimewaannya adalah pengangkatan Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Sultan Yogyakarta dan Wakil Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Paku Alam yang memenuhi syarat sesuai dengan undang-undang ini
Berdasarkan ketentuan Pasal 226 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004, mekanisme
pengisian jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Provinsi DIY, tetap
mengacu pada UU No. 22 Tahun 1999. Oleh karena itu, salah satu mekanisme
pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY yaitu harus
mempertimbangkan calon yang berasal dari keturunan Sultan Yogyakarta dan Wakil
Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Paku Alam.203
Dalam ketentuan UU No. 5 Tahun 1974, masa jabatan Gubernur dan Wakil
Gubernur Provinsi DIY tidaklah dibatasi. Ketentuan tersebut tercantum dalam Pasal 91
huruf b UU No.5 Tahun 1974. Akan tetapi, setelah diberlakukannya UU No.22 Tahun
1999 sampai dengan UU No.32 Tahun 2004, ketentuan mengenai masa jabatan
Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY tidak pasti (mengambang). Hal tersebut
disebabkan karena adanya perbedaan tata cara pengisian jabatan Gubernur dan Wakil
Gubernur Provinsi DIY. Jika sebelumnya dalam UU No.5 Tahun 1974 jelas disebutkan
bahwa masa jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta
tidak terikat dengan masa jabatan sebagaimana Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah lainnya, maka dalam UU No.22 Tahun 1999 dan UU No.32 Tahun 2004 tidak
disebutkan demikian.204 Dalam UU No.22 Tahun 1999 hanya disebutkan bahwa
Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY diangkat dengan mempertimbangkan
keturunan dari Kesultan Yogyakarta dan keturunan Paku Alam dan harus memenuhi
syarat yang sesuai dengan undang-undang tersebut.
Dalam UU No.22 Tahun 1999, tidak dicantumkan ketentuan yang menegaskan
masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY. Hal itulah yang kemudian
menjadi perdebatan di DPRD Provinsi DIY ketika Sultan Hamengku Buwono X akan
berakhir masa jabatannya pada tahun 2003.
Pada tahun 2003 masa Jabatan Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paduka
Paku Alam IX akan berakhir yang kemudian diikuti oleh perseteruan di DPRD Provinsi
203 Lihat pembahasan nomor 1.3.7. bandingkan dengan ketentuan Pasal 58 j.o Pasal 226 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004.
204 Lihat: Pembahasan Nomor 1.3.7
90
DIY. DPRD Provinsi DIY menginginkan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY,
akan tetapi mayoritas rakyat menginginkan penetapan.205 Sehingga pada akhirnya pada
tahun 2003 Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paduka Paku Alam IX ditetapkan
kembali sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Periode 2003-2008. Akan tetapi pada
tanggal 7 April 2007 Sultan Hamengku Buwono X menyatakan tidak bersedia lagi
menjabat gubernur setelah masa jabatannya selesai pada 2008. Janji ini diulangi
kembali pada Pisowanan Agung di depan 40 ribu rakyat Yogyakarta pada tanggal 18
April 2007. Pada Oktober 2008 jabatan Sultan Hamengku Buwono X berakhir.
Kemudian Presiden memanggil Sultan untuk menjadi penanggung jawab sementara
selama 3 tahun yaitu sampai tanggal 9 Oktober 2011 atau sampai RUU Keistimewaan
Yogyakarta selesai dibahas.206 Perpanjangan masa jabatan tersebut didasarkan pada
Keputusan Presiden Nomor 86 Tahun 2008. Dengan demikian, maka secara factual (de
facto) masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY sejak diberlakukannya
UU No.22 Tahun 1999 adalah selama lima tahun.
Jika Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY diangkat oleh Presiden
dengan mempertimbangkan keturunan Sultan Yogyakarta dan keturunan Paku Alam,
maka Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Papua dan Papua Barat harus
orang asli Papua sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 12 butir a UU No. 21 Tahun
2001. Sedangkan untuk DKI Jakarta dan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam tidak ada
ketentuan khusus dalam hal persyaratan calon Gubernur dan Wakil Gubernurnya.
Perbedaan lainnya antara Provinsi DIY dengan daerah otonomi khsusus dalam hal tata
cara pengisian jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yaitu Gubernur dan
Wakil Gubernur Provinsi DIY selama ini diangkat langsung oleh Presiden, sedangkan
Gubernur dan Wakil Gubernur daerah otonomi khusus tersebut dipilih langsung oleh
rakyat, sejak ditetapkannya UU No. 32 Tahun 2004.
Kekhususan DKI Jakarta sebagai Ibukota negara yaitu dengan meletakkan
otonominya pada tingkat Provinsi. Pembagian wilayah di Provinsi DKI Jakarta ke dalam
wilayah kabupaten/kota hanyalah bersifat administratif.207 Kota Jakarta merupakan satu-
satunya kota di Indonesia yang statusnya sebagai daerah provinsi. Gubernur dan Wakil
Gubernur DKI Jakarta dipilih secara langsung melalui Pemilihan Umum Kepala Daerah
205 http://www.tempointeraktif.com/hg/politik/2010/12/01/brk,20101201-295774,id.html. Diakses pada Tanggal 28 Februari 2011
206 Ibid 207 Lihat: Pasal 7 dan Pasal 9 UU No. 29 Tahun 2007
91
dan Wakil Kepala Daerah (Pemilukada). Sedangkan Walikota/Bupati di dalam wilayah
Provinsi DKI Jakarta diangkat oleh Gubernur dengan pertimbangan DPRD.208
Model ini terbalik dengan model yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Walaupun letak keistimewaan Provinsi DIY pada tingkat Provinsi seperti halnya DKI
Jakarta. Akan tetapi Bupati/Walikota yang ada di Provinsi DIY dipilih secara langsung
melalui Pemilukada.209 Sedangkan Gubernur dan Wakil Gubernurnya ditetapkan oleh
Presiden.210
Sementara itu, letak kekhususan Provinsi NAD bukan hanya diletakkan di tingkat
Provinsi saja melainkan juga dapat diletakkan di tingkat Kabupaten/Kota.211
Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota di Provinsi
NAD dipilih secara langsung oleh rakyat.212 Isi kekhususan Provinsi DKI Jakarta, Aceh,
Papua dan Papua Barat akan dibahas dalam pembahasan berikutnya.
3. Beberapa Kekhususan Daerah Otonomi Khusus yang Mengarah Pada Bentuk
Federalisme
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 26 November 2010 lalu
menyatakan bahwa hendaknya keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta tidak boleh
keluar dalam bingkai NKRI. Dengan kata lain bahwa bentuk negara kesatuan yang
dianut oleh Indonesia harus tercermin dalam keistimewaan Provinsi DIY maupun daerah
lainnya. Sebagaimana yang dikemukakan pada pembahasan sebelumnya bahwa
sebagai daerah istimewa, penyelenggaraan pemerintahan DIY belum didasarkan pada
sebuah undang-undang tersendiri seperti halnya dengan daerah-daerah yang memiliki
status otonomi khusus. Oleh karena itu, dalam pembahasan ini, penulis akan membahas
beberapa kekhususan yang diberikan kepada daerah otonomi khusus yang penulis
anggap tidak sesuai dengan konsep negara kesatuan. Dengan pembahasan ini nantinya
akan bisa dibandingkan dengan model penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi DIY,
208 Lihat: Pasal 10 dan Paal 19 UU No. 29 Tahun 2007 209 Pada tanggal 23 Mei 2010, tiga Kabupaten di Provinsi DIY melaksanan Pemilukada secara bersamaan,
yaitu Kabupaten Bantul, Kabupaten Kulonprogo dan Kabupaten Sleman. Diakses di http://www.solopos.com/2010/channel/jateng/tingkat-golput-pilkada-di-yogyakarta-di-atas-30-22712, Diakses Pada tanggal 12 Mei 2011
210 Lihat: Pasal 226 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004, dan Penjelasan Pasal 22 UU No. 22 Tahun 1999. 211 Lihat : Pasal 4 UU No.11 Tahun 2006 212 Lihat: Pasal 56 j.o Pasal 65 UU No. 11 Tahun 2006
92
baik yang ada saat ini maupun model yang akan diterapkan nantinya, yaitu berdasarkan
RUU Keistimewaan.
3.1. Daerah Otonomi Khusus Provinsi Papua dan Papua Barat
Status Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua saat ini didasarkan pada UU No. 21
Tahun 2001. Undang-undang tersebut ditetapkan pada masa pemerintahan Presiden
Megawati Soekarnoputri. Undang-undang tersebut mulai berlaku pada tanggal 21
November 2001. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa pemberian status otonomi
khusus pada Provinsi Papua setidaknya didasarkan pada dua hal yaitu karena adanya
kesenjangan pembangunan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Salah satu kekhususan yang dimiliki oleh Provinsi Papua dan Papua Barat adalah
pada bentuk dan susunan pemerintahannya. Pemerintahan Provinsi Papua terdiri atas
Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) sebagai badan legislatif dan Pemerintahan
Provinsi sebagai badan eksekutif. Pasal 5 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2001 berbunyi
sebagai berikut:
Pemerintahan Daerah Provinsi Papua terdiri atas DPRP sebagai badan legislatif, dan Pemerintah Provinsi sebagai badan eksekutif. Menurut penulis, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dari penggunaan
istilah “legislatif dan eksekutif” dalam rumusan Pasal 5 ayat (1) di atas. Pertama, dilihat
dari makna istilah “legislatif atau eksekutif” itu merujuk pada pembagian kekuasaan
negara atau bagian dari alat kekuasaan negara. Sukardi menyatakan bahwa lembaga
legislatif adalah lembaga pembentuk undang-undang dan produk hukum dari badan
legislatif adalah undang-undang (act of parliament; law). Sedangkan lembaga eksekutif
adalah lembaga pelaksana undang-undang.213 Pembagian kekuasaan negara kedalam
badan eksekutif dan legislatif tersebut juga seperti yang diajarkan oleh Jhon Locke dan
Montesquieu.214
213 Sukardi, Pembatalan Peraturan…,Op.Cit. hlm. 37- 40 214 Jhon Locke merupakan peletak dasar ajaran pemisahan/pembagian kekuasaan negara. Jhon Locke
membagi kekusaan negara kedalam 3 macam kekusaan: (i) keusaan legisltif sebagai kekuasaan pembentuk undang-undang, (ii) kekuasaan eksekutif sebagai kekuasaan yang melaksanakan undang-undang, (iii) kekuasaan federative sebagai kekuasaan yang melakukan hubungan dengan negara lain. Sedangkan Montesquieu membagi kekuasaan negara kedalam 3 macam kekuasaan: (i) kekuasaan legislatif sebagai kekuaaan perundang-undangan, (ii) kekuasaan eksekutif sebagai kekuasaan melaksanakan undang-undang, dan (iii) Kekuasaan judikatif sebagai kekuasaan kehakiman. Lihat: Soehino, Ilmu Negara…,Op.Cit. hlm. 109-117
93
C.F. Strong menyatakan dalam konsep negara kesatuan, kedaulatan negara
tidak terbagi-bagi. Konstitusi negara kesatuan tidak mengakui adanya badan pembentuk
undang-undang selain badan pembentuk undang-undang pusat.215 Sukardi dengan
mengutip pendapat Salmond menyatakan bahwa ada dua jenis legislasi, yaitu legislasi
utama (supreme legislation) dan legislasi delegasian (subordinate legislasi) atau
delegated legislation. Legislasi utama ditetapkan oleh lembaga pemegang kedaulatan
dalam negara. Sedangkan legislasi delegasian merupakan produk hukum dari lembaga
lain di luar lembaga pemegang kedaulatan.216 Di Indonesia, Peraturan Daerah
merupakan salah produk hukum dari delegated legislation.217
Dari paparan di atas, yang ingin penulis tekankan adalah penggunaan istilah
“badan legislasi dan badan eksekutif”, jenis badan legislasi tersebut. Penggunaan istilah
“badan legislasi dan badan eksekutif” adalah tidak lazim dalam sistem perundang-
undangan nasional. Walaupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) lainnya juga
memiliki fungsi legislasi.218 Akan tetapi tidak disebutkan sebagai badan legislatif.
Menurut penulis, penyebutan “badan legislatif dan badan eksekutif” merupakan
bentuk pembagian kekusaan dalam pemerintahan Propinsi Papua yang berbeda dengan
daerah lainnya. Daerah lainnya berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tidak menggunakan
istilah “badan legislatif dan badan eksekutif”. Dalam sistem otonomi daerah,219
kekuasaan yang dipencarkan hanyalah kekuasaan pemerintahan (eksekutif) saja.220
Sehingga tidak terdapat pembagian atau pemisahan kekuasaan di daerah.
Pemerintahan daerah yang terdiri dari pemerintah daerah dan DPRD merupakan satu-
kesatuan pemerintahan (mitra) dan bukanlah bentuk pembagian atau pemisahan
kekuasaan.
Dengan penggunaan istilah “badan legislatif dan badan eksekutif” maka memiliki
kesamaan dengan bentuk pembagian kekuasaan dalam sebuah negara bagian dari
bentuk negara federal. Dalam negara federal, terdapat dua macam pemerintah, yaitu
pemerintah negara federasi dan pemerintah negara bagian.221 Oleh karena adanya dua
macam pemerintah tersebut maka pembagian kekuasaan negara juga berbeda antara
215 Edie Toet Hendratno, Negara Kesatuan…,Op.Cit.hlm. 48 216 Sukardi, Pembatalan Peraturan…,Op.Cit. hlm. 36 217 Ibid, hlm. 44 218 Dalam UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 41 menyebutkan bahwa DPRD memiliki fungsi legislasi, anggaran dan
pengawasan. Lihat juga Pasal 292 ayat (1) UU No. 27 Tahun 2009. 219 Berbicara mengenai sistem otonomi daerah maka tidak akan lepas dari bentuk negara kesatuan 220 Sri Winarsi, Hand Out.…,Loc.Cit 221 Soehino, Ilmu Negara..,Op.Cit. hlm 227
94
negara federal dengan negara bagian. Sehingga badan pembentuk undang-undangnya
pun ada dua, yaitu badan pembentuk undang-undang di negara federal dan badan
pembentuk undang-undang di negara bagian. Produk hukum badan legislatif federal
disebut undang-undang federal sedangkan produk hukum badan legislatif negara bagian
disebut undang-undang negara bagian.
Selain itu, penggunaan istilah “DPRP” juga tidak lazim dalam sistem perundang-
undangan nasional lainnya. Baik UUD Pasal 18 ayat (3) maupun UU No. 32 Tahun 2004
serta UU No. 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
atau biasa disebut dengan UU MD3, dengan jelas menggunakan istilah Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Penulis berpendapat bahwa penggunaan istilah DPRP tanpa ditambahi kata
“daerah provinsi” menunjukkan kesamaan dengan penggunaan istilah “DPR RI”. Istilah
“RI” dalam DPR RI menunjuk pada nama negara Indonesia atau tingkatan badan
perwakilan tingkat pusat. Penggunaan istilah “daerah provinsi” di akhir istilah “DPR” itu
menunjukkan bahwa badan perwakilan tersebut berada di tingkat daerah provinsi.
Dengan tidak digunaknannya istilah “daerah provinsi” dalam istilah “DPRP” maka secara
a contrario itu berarti bahwa DPRP “bukanlah” DPRD Provinsi sebagaimana DPRD
Provinsi-Provinsi lainnya. Dengan kata lain bahwa itu lebih merujuk badan perwakilan
pada sebuah negara bagian, bukan pada daerah dalam negara kesatuan.
Selain itu, Provinsi Papua juga dapat membentuk Peraturan Daerah Khusus
(Perdasus) yang dibuat dan ditetapkan oleh DPRP bersama-sama Gubernur dengan
pertimbangan dan persetujuan Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagaimana yang diatur
dalam ketentuan Pasal 29 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2001. Selain Perdasus, terdapat
juga Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) yang dibuat dan ditetapkan oleh DPRP
bersama-sama Gubernur sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 29 ayat (2) UU No.
21 Tahun 2001. Jika mengacu pada ketentuan Pasal 7 UU No. 10 Tahun 2004 maupun
dalam ketentuan Pasal 136 ayat UU No. 32 Tahun 2004, maka Perdasi merupakan
produk hukum yang tingkatannya sama dengan Peraturan Daerah (Perda) yang
dimaksud oleh kedua undang-undang tersebut. Hal tersebut dikarenakan pejabat yang
berwenangan membuat Perdasi adalah DPRP bersama dengan Gubernur.222
222 Pasal 7 ayat (2) huruf a UU No.10 Tahun 2004 berbunyi: “Peraturan Daerah Provinsi dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi bersama dengan Gubernur”. Hal ini juga senada dengan ketentuan Pasal 136 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 yang berbunyi: “Perda ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah mendapatkan persetujuan bersama DPRD”. Lalu bandingkan dengan Pasal 29 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2001 yang menyatakan :”Perdasi dibuat dan ditetapkan DPRP bersama-sama dengan Gubernur”.
95
Dengan demikian, maka ada dua tingkatan produk hukum yang berlaku di
Provinsi Papua maupun Papua Barat, yaitu Perdasus pada tingkat yang lebih tinggi dan
Perdasi pada tingkat yang lebih rendah. Jika dibandingkan dengan sistem negara
federal, maka Perdasus dapat dikategorikan sebagai undang-undang federal dan
Perdasi sebagai peraturan pelaksananya.
Kekhususan lainnya yang dimiliki oleh Provinsi Papua yang mengarah kepada
bentuk negara federal diantaranya; dalam ketentuan Pasal 2 UU No. 21 Tahun 2001
disebutkan bahwa Papua dapat memiliki bendera daerah dan lagu daerah sebagaimana
Sang Merah Putih sebagai Bendera Negara Indonesia dan Lagu Indonesia Raya
sebagai Lagu Kebangsaan Indonesia, walaupun dinyatakan bukan sebagai symbol
kedaulatan. Akan tetapi hal ini sudah mengarah pada bentuk negara federal.
3.2. Daerah Otonomi Khusus Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)
UU No. 11 Tahun 2006 merupakan undang-undang yang menjadi dasar hukum
bagi penyelenggaraan otonomi khusus di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Tidak
bisa dipungkiri bahwa undang-undang tersebut dibuat sebagai tindak lanjut dari nota
kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara Pemerintah RI dengan GAM
pada 15 Agustus 2005. Satu tahun kemudian, yaitu pada tanggal 1 Agustus 2006,
akhirnya UU No. 11 Tahun 2006 tersebut diundangkan.
Penggunaan istilah “Pemerintahan Aceh” sebagai nama dari UU No. 11 Tahun
2006 tersebut merupakan suatu yang tidal lazim dalam sistem perundang-undangan
Nasional. Berbeda dengan daerah lainnya yang menggunakan istilah “Pemerintahan
Daerah Provinsi”, Daerah Otonomi Khusus Aceh tidak menjumbuhkan istilah tersebut di
dalam penyebutan nama daerahnya. Penggunaan istilah tersebut sangat tidak sesuai
dengan UUD 1945 maupun UU No. 32 Tahun 2004.223 Tidak terdapatnya istilah “daerah
provinsi” di depan istilah “pemerintah” dalam “Pemerintah Aceh” sangat mirip dengan
istilah “Pemerintah Republik Indonesia” yang menunjuk pada makna pemerintahan
sebuah negara, bukan sebuah daerah.
Sama seperti Provinsi Papua yang menggunakan istilah “DPRP” untuk menyebut
dewan perwakilan rakyat tingkat provinsinya, NAD juga menggunakan istilah Dewan
Perwakilan Rakyat Aceh “DPRA”.224 Sedangkan untuk menyebut DPRD tingkat
223 Baik UUD NRI Tahun 1945 maupun UU No. 32 Tahun 2004 menggunakan istilah Pemerintahan daerah provinsi. Lihat Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945 dan juga UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 3 dan seterusnya.
224 Lihat: Pasal 1 angka 10 UU No. 11 Tahun 2006
96
kabupaten/kotanya, digunakan istilah “DPRK” atau Dewan Perwakilan Rakyat
Kabupaten/Kota, tanpa menggunakan kata “daerah”.225
Istilah berbeda lainnya yang terdapat dalam UU No. 11 Tahun 2006 dengan
undang-undang lainnya misalnya penyebutan Komisi Independen Pemilihan (KIP) yang
memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan pemilihan umum Presiden/Wakil
Presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah,
anggota DPRA/DPRK, pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan
walikota/wakil walikota di NAD. Daerah-daerah lainnya di Indonesia sebagaimana yang
terdapat dalam UU No. 32 Tahun 2004 menggunakan Istilah Komisi Pemilihan Umum
Daerah “KPUD”.226
Aceh juga berhak untuk memiliki bendera, lambang dan hymne daerah
sebagaimana yang dimakud dalam ketentuan Pasal 246 UU No. 11 Tahun 2006.
Ketentuan tersebut sama dengan yang terdapat di Papua seperti penjelasan
sebelumnya.
Ada beberapa kekhususan lainnya yang menurut penulis sangat berbeda dengan
daerah lainnya yang dimiliki oleh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagaimana
yang terdapat dalam ketentuan UU No. 11 Tahun 2006 antara lain sebagai berikut:
1. Pembagian daerah di Aceh yang dibagi kedalam kabupaten/kota, kecamatan,
mukim, kelurahan dan gampong.227 Mukim merupakan kesatuan masyarakat hukum
di bawah kecamatan yang terdiri atas gabungan beberapa gampong. Sedangkan
kelurahan dan gampong adalah kesatuan masyarakat hukum yang berada di bawah
mukim.228
2. Rencana persetujuan internasional yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan
Aceh yang dibuat oleh Pemerintah dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan
DPRA.229 Pemerintah Aceh dapat mengadakan kerja sama dengan lembaga atau
225 Lihat: Pasal 1 angka 11 UU No. 11 Tahun 2006 kemudian bandingkan dengan istilah DPRD Kabupaten/Kota dalam UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 27 Tahun 2009
226 Lihat: Pasal 1 angka 12 UU No. 11 Tahun 2006 kemudian bandingkan dengan istilah yang digunakan dalam Pasal 22E ayat (5) UUD NRI Tahun 1945 maupun Pasal 1 angka 21 UU No. 32 Tahun 2004
227 Lihat: Pasal 2 UU No. 11 Tahun 2006 228 Lihat: Pasal 1 angka 19 dan angka 20 j.o Pasal 114, Pasal 115 UU No. 11 Tahun 2006. Bandingkan dengan
UU No. 32 Tahun 2004 yang membagi suatu daerah dalam wilayah propinsi, kabupaten/kota, kecamatan dan desa/kelurahan. Desa/kelurahan merupakan kesatuan masyarakat hukum yang terkecil dalam pembagian wilayah suatu daerah lain yang memiliki kesamaan dengan gampong/kelurahan di NAD. Kesamaan tersebut misalnya terletak pada masa jabatan pemimpinnya (kepala desa/kepala gampong) sama-sama 6 tahun. Kepala desa atau kepala gampong sama-sama dipilih secara langsung. Serta sama-sama memiliki sekretaris desa atau sekretais gampong yang berasal dari PNS. Lihat Pasal 115, Pasal 116 dan Pasal 117 UU No. 11 tahun 2006 dan bandingkan dengan Pasal 202, Pasal 203 dan Pasal 204 UU No. 32 Tahun 2004
229 Lihat: Pasal 8 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2006
97
badan di luar negeri kecuali yang menjadi kewenangan Pemerintah. Dalam naskah
kerja sama tersebut dicantumkan frasa Pemerintah Aceh sebagai bagian dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Serta Pemerintah Aceh dapat berpartisipasi
secara langsung dalam kegiatan seni, budaya, dan olah raga internasional.230
3. Rencana pembentukan undang-undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat yang
berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh dilakukan dengan konsultasi dan
pertimbangan DPRA.231
4. Kebijakan administratif yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh yang
akan dibuat oleh Pemerintah dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan
Gubernur.232
5. Penduduk Aceh dapat membentuk partai politik lokal yang memiliki hak antara lain;
mengikuti Pemilu untuk memilih anggota DPRA dan DPRK; mengusulkan pasangan
calon Gubernur dan Wakil Gubernur, calon bupati dan wakil bupati, serta calon
walikota dan wakil walikota di Aceh.233
6. Di Aceh terdapat pengadilan Syari’at Islam yang dilaksanakan oleh sebuah
Mahkamah Syar’iyah, yang terdiri dari Mahkamah Syar’iyah Aceh sebagai
pengadilan tingkat banding dan Mahkamah Syar’iyah Kabupaten/Kota sebagai
pengadilan tingkat pertama. Mahkamah Syar’iyah berwenang memeriksa, mengadili,
memutus, dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang ahwal al-syakhsiyah
(hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), dan jinayah (hukum pidana) yang
didasarkan atas syari’at Islam dengan hukum acara yang ditetapkan berdasarkan
Qanun.234
7. Produk hukum sejenis peraturan daerah (perda) di Aceh disebut dengan istilah
“Qanun”. Terdapat dua macam Qanun, yaitu Qanun Aceh yang disahkan oleh
Gubernur setelah mendapatkan persetujuan bersama dengan DPRA, dan Qanun
Kabupaten/Kota ditetapkan oleh Bupati/Walikota setelah mendapatkan persetujuan
bersama DPRK. Qanun dibentuk dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan
Aceh, pemerintahan kabupaten/kota, dan penyelenggaraan tugas pembantuan.235
Qanun dapat memuat ancaman pidana atau denda lebih dari 6 (enam) bulan
kurungan dan/atau denda paling banyak Rp.50.000.000.00 (lima puluh juta rupiah).
230 Lihat: Pasal 9 UU No. 11 Tahun 2006 231 Lihat: Pasal 8 ayat (2) UU No. 11 Tahun 2006 232 Lihat: Pasal 8 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2006 233 Lihat: Pasal 75 sampai dengan Pasal 88 UU No. 11 Tahun 2006 234 Lihat: Pasal 128 sampai dengan Pasal 137 UU No. 11Tahun 2006 235 Lihat: Pasal 232 sampai dengan Pasal 245 UU No. 11 Tahun 2006.
98
Bahkan Qanun mengenai jinayah (hukum pidana) dapat menentukan jenis dan
bentuk ancaman pidana tersendiri. 236
8. Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota dapat membentuk lembaga,
badan dan/atau komisi dengan persetujuan DPRA/DPRK.237 Di Aceh terdapat
institusi atau lembaga yang tidak terdapat di daerah-daerah lainnya, seperti Majelis
Permusyawaratan Ulama (MPU) yang merupakan mitra kerja Pemerintah Aceh,
Kabupaten/Kota dan DPRA/DPRK,238 Lembaga Wali Nanggroe dan Lembaga
Adat,239 Pengadilan Hak Asasi Manusia,240 Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi,241
dan unit Polisi Wilayatul Hisbah sebagai bagian dari Satuan Polisi Pamong Praja,
sebagai penegak Syari’at Islam.242
Masih ada beberapa kekhususan yang dimiliki oleh Provinsi NAD yang tidak
ditulis oleh penulis. Akan tetapi, beberapa kekhususan tersebut di atas sudah cukup
untuk memberikan argumentasi bahwa penyelenggaraan pemerintahan di Aceh
memang berbeda dengan daerah lainnya. Point nomor 2, 3 dan 4 sangat mirip dengan
apa yang dikatakan oleh Ross. K. Baker bahwa dalam aktivitas pemerintahan di
negara federal itu dilandasi prinsip kekuasaan bersama (concurrent or shared powers)
yang melibatkan langsung pemerintahan negara-negara bagian dan nasional.243
Misalnya terkait dengan Kebijakan administratif yang berkaitan langsung dengan
Pemerintahan Aceh yang akan dibuat oleh Pemerintah. Pemerintah Pusat diharusakan
untuk melakukan konsultasi dan mendapat pertimbangan Gubernur. Penulis
berpendapat bahwa ketentuan ini sudah tidak sesuai dengan prinsip negara kesatuan,
dimana pemerintah pusat memiliki kewenangan tertinggi dalam pemerintahan baik di
tingkat pusat maupun di daerah. Lalu bagaimana jika kebijakan administratif tersebut
ditolak oleh Pemerintah Aceh? Maka tentunya secara yuridis kebijakan tersebut tidak
boleh diteruskan oleh Pemerintah. Jika kebijakan tersebut tetap diteruskan, maka secara
yuridis kebijakan tersebut cacat prosedur. Akan tetapi, secara teoritik pemerintah pusat
berwenang untuk menentukan kebijakan apa saja yang akan diterapkan di daerah tanpa
memerlukan persetujuan daerah tersebut, tentunya sesuai dengan peraturan
236 Lihat: Pasal 241 UU No. 11 Tahun 2006 bandingkan dengan ketentuan Pasal 143 UU No. 32 Tahun 2004 237 Lihat: Pasal 10 UU No. 11 Tahun 2006 238 Lihat: Pasal 138 sampai dengan Pasal 140 UU No. 11 Tahun 2006 239 Lihat: Pasal 96 sampai dengan Pasal 99 UU No. 11 Tahun 2006 240 Lihat: Pasal 228 UU No.11 Tahun 2006 241 Lihat: Pasal 229 UU No. 11 Tahun 2006 242 Lihat: Pasal 244 ayat (2) UU No.11 Tahun 2006 243 Ross K. Baker dalam Edie Toet Hendratno, Op.Cit., hlm. 16
99
perundang-undangan serta tanpa adanya kewajiban bagi pemerintah untuk
berkonsultasi dengan pemerintah daerah.
Sedangkan berkaitan dengan kewenangan Pemerintah Aceh yang lainnya seperti
disebutkan di atas, penulis mengutip pendapat R. Kranenburg yang menyatakan bahwa
dalam negara serikat, negara-negara bagiannya mempunyai kekuasaan untuk dapat
mengatur sendiri organisasi negaranya dalam batasan-batasan yang ditentukan
konstitusi federalnya.244 Bandingkan dengan ketentuan yang memberikan kewenangan
kepada Pemerintah Aceh untuk membentuk lembaga, badan dan/atau institusi yang
berbeda dengan ketentuan yang diterapkan pada daerah lainnya, misalnya berdasarkan
PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah yang membatasi jumlah
badan atau institusi di daerah. Begitu juga dengan diberikannya kewenangan untuk
membentuk Partai Politik Lokal di Aceh. Sesuatu yang sangat bertentangan dengan
konsep negara kesatuan. Dengan demikian, maka penyelenggaraan pemerintahan di
Daerah Otonomi Khusus NAD menyerupai konsep negara federal.
4. Karakteristik Keistimewaan Provinsi DIY dalam Rancangan Undang-Undang
Keistimewaan Provinsi DIY
Sampai saat ini telah ada beberapa draft Rancangan Undang-Undang (RUU)
tentang Keistimewaan Provinsi DIY (Selanjutnya disebut RUUK).245 Dalam pembahasan
ini, penulis hanya akan membahasa draft RUUK yang diusulkan oleh Kementerian
Dalam Negeri kepada DPR RI pada tanggal 15 Desember 2010. Sampai dengan
selesainya penulisan penelitian ini, draft RUUK tersebut masih dibahas di DPR RI.
Di dalam RUUK tersebut disebutkan alasan pemberian status keistimewaan
kepada Provinsi DIY yaitu bahwa Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten
Pakualaman telah mempunyai wilayah, pemerintahan, dan penduduk sebelum lahirnya
Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 berperan dan
memberikan sumbangsih yang besar dalam mempertahankan, mengisi, dan menjaga
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.246 Penulis berpendapat bahwa alasan
tersebut sebenarnya sama dengan alasan pemberian status keistimewaan yang
244 R. Kranenburg, Ilmu Negara…,Loc.Cit. 245 Dalam catatan penulis, beberapa draft RUUK tersebut yaitu: RUUK dari DPRD Provinsi DIY pada tahun
2001, draft RUUK dari DPD, draft RUUK dari Kagama UGM, draft RUUK dari Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIPOL UGM dan terakhir adalah draft RUUK yang diusulkan oleh Pemerintah (Kementerian Dalam Negeri) pada tahun 2010.
246 Lihat: Konsideran menimbang huruf b RUUK
100
terdapat pada undang-undang pemerintahan daerah sebagaimana yang telah dijelaskan
dalam pembahasan nomor 2.1.1. di atas. Akan tetapi, jika diteliti secara cermat, kalimat
yang menyatakan bahwa “Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten
Pakualaman telah mempunyai wilayah, pemerintahan, dan penduduk sebelum lahirnya
Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945” merupakan bentuk
penegasan Pemerintah (negara) bahwa memang benar adanya Kesultanan Yogyakarta
dan Kadipaten Paku Alaman tersebut merupakan sebuah negara yang berdaulat
sebelum terbentuknya NKRI. Penulis katakan sebagai sebuah negara yang berdaulat
adalah karena dalam rumusan tersebut diakui bahwa Kesultanan Yogyakarta dan
Kadipaten Paku Alaman telah mempunyai wilayah, pemerintahan dan penduduk.
Soehino menyatakan bahwa unsur-unsur (syarat-syarat adanya) negara itu yaitu
(i) ada daerahnya yang tertentu, (ii) ada rakyatnya, (iii) ada pemerintahnya yang
berdaulat.247 Dengan demikian, penulis berpendapat bahwa sebenarnya rumusan
konsideran menimbang huruf b RUUK tersebut berbunyi:
bahwa Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman merupakan sebuah negara yang berdaulat sebelum lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 berperan dan memberikan sumbangsih yang besar dalam mempertahankan, mengisi, dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia
Akan tetapi, rasanya tidak mungkin untuk memasukkan rumusan “negara” dalam
konsideran menimbang tersebut, mengingat bahwa bentuk negara Indonesia adalah
berbentuk kesatuan. Dalam sistem negara kesatuan, tidak mungkin adanya negara
dalam negara. Walaupun sebenarnya rumusan tersebut sudah dapat difahami sebagai
unsur-unsur negara. Akan tetapi, diperhalus bahasanya agar tidak terkesan bahwa ada
negara dalam negara. Dengan penggunaan istilah “negara”maka hal itu juga akan
bertentanan dengan teori terbentuknya negara kesatuan. Akan tetapi fakta sejarah
tersebut harus diakui, bahwa pengintegrasian Yogyakarta kedalam NKRI itu sesuai
dengan teori terbentuknya negara federal.
Ada beberapa keistimewaan yang dimiliki oleh Provinsi DIY dalam RUUK
tersebut. Penulis akan mengemukakan beberapa keistimewaan dalam RUUK tersebut
yang kemudian penulis bandingkan dengan kekhususan yang dimiliki oleh daerah
otonomi khusus sebagaimana yang telah dibahas dalam pembahasan nomor 2.2.1 dan
247 Soehino, Ilmu Negara…,Op.Cit.,hlm. 7
101
pembahasan nomor 2.2.2 di atas. Paling tidak penulis mendapatkan ada 6 (enam)
bentuk keistimewaan yang akan dimiliki oleh Provinsi DIY apabila RUUK tersebut
diberlakukan. Keenam jenis keistimewaan tersebut yaitu: (1) Letak Keistimewaan
Provinsi DIY di tingkat Provinsi; (2) Memiliki kewenangan istimewa; (3) Memiliki bentuk
dan susunan pemerintahan yang bersifat istimewa; (4) Tata cara pengisian jabatan
Gubernur dan Wakil Gubernur yang istimewa; (5) Produk hukum daerah yang bersifat
istimewa;dan (6) Mendapatkan dana istimewa.
Berikut ini akan penulis paparkan keistimewaan yang akan dimiliki oleh Provinsi
DIY sebagaimana yang terdapat dalam RUUK tersebut.
4.1. Letak keistimewaan Provinsi DIY berada di tingkat provinsi
Dalam pembahasan nomor 2.1.2 penulis telah menyinggung mengenai letak
keistimewaan Provinsi DIY. Sejak awal, keistimewaan Provinsi DIY berada di tingkat
provinsi. Pasal 6 RUUK menyebutkan bahwa keistimewaan Provinsi DIY berada di
provinsi. Ketentuan tersebut bermakna bahwa hanya tingkat provinsi sajalah yang
memiliki kewengan istimewa atau dengan kata lain bahwa hanya tingkat provinsi sajalah
yang diistimewakan.
Di Provinsi DIY terdapat 5 (lima) Kabupaten/Kota, sebagaimana yang dimaksud
dalam ketentuan Pasal 3 RUUK. Karena keistimewaan hanya diberikan pada tingkat
Provinsi DIY saja, maka penyelenggaraan pemerintahan daerah di 5 kabupaten/kota
tersebut tetap mengacu pada undang-undang pemerintahan daerah. Termasuk tata cara
pengisian jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerahnya.248
Ketentuan tersebut berbeda dengan kekhususan yang dimiliki oleh Provinsi NAD.
Kekhususan Provinsi NAD tersebut bukan hanya diletakkan di tingkat provinsi,
melainkan juga di tingkat kabupaten. Sebagai contoh misalnya, dewan perwakilan
daerahnya disebut “DPRK”, kemudian kabupaten/kota dapat membentuk Qanun,
memiliki Mahkamah Syar’iyah kabupaten/kota dan sebagainya. Akan tetapi,
kabupaten/kota yang ada di Provinsi Papua juga tidak memiliki kekhususan
sebagaimana yang dimiliki oleh kabupaten/kota yang terdapat di Provinsi NAD. Misalnya
kabupaten/kota di Papua tidak memiliki kewenangan untuk membentuk Perdasus, tidak
ada penyebutan khusus terhadap nama lembaga yang terdapat di daerah
kabupaten/kota sebagaimana yang terdapat di kabupaten/kota di Provinsi NAD.
248 Lihat: catatan kaki nomor 204
102
4.2. Memiliki Kewenangan Istimewa
Sebagai sebuah daerah yang bersifat istimewa, selain memiliki kewenangan
sebagaimana yang terdapat dalam undang-undang pemerintahan daerah, maka sudah
semestinya memiliki kewenangan yang istimewa pula.249 Dalam RUUK, kewenangan
istimewa Provinsi DIY diatur dalam ketentuan Pasal 7. Kewenangan dalam urusan
istmewa tersebut antara lain: (i) penetapan fungsi, tugas dan wewenang Gubernur
Utama dan Wakil Gubernur Utama, (ii) penetapan kelembagaan Pemerintah Daerah
Provinsi; (iii) kebudayaan; dan (iv) pertanahan dan penataan ruang.
Dalam RUUK tersebut, terdapat sebuah lembaga/jabatan yang sangat unik.
Lembaga/jabatan tersebut dinamakan Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama.
Menurut ketentuan Pasal 1 angka 8, bahwa yang dimaksud dengan Gubernur dan Wakil
Gubernur Utama adalah:
Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama adalah lembaga yang terdiri dari Sri Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paku Alam sebagai satu-kesatuan yang mempunyai fungsi sebagai simbol, pelindung dan penjaga budaya, serta pengayom dan pemersatu Masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta
Berdasarkan ketentuan di atas, maka Gubernur Utama dan Wakil Gubernur
Utama memiliki fungsi sebagai symbol, pelindung dan penjaga budaya, serta pengayom
dan pemersatu Masyarakat DIY. Ketentuan tersebut sebenarnya menyerupai bentuk
pemerintahan monarki, dimana raja merupakan symbol negara (The Symbol of Nation)
yang tidak dapat diganggu gugat.
Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama memiliki beberapa kewenangan dan
hak. Kewenangan tersebut antara lain adalah:250
1. Memberikan arah umum kebijakan dalam penetapan kelembagaan Pemerintah Daerah Provinsi, kebudayaan, pertanahan, penataan ruang, dan penganggaran;
2. Memberikan persetujuan terhadap rancangan Perdais yang telah disetujui bersama oleh DPRD Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Gubernur;
3. Memberikan saran dan pertimbangan terhadap rencana perjanjian kerjasama yang dibuat oleh Pemerintah Daerah Provinsi dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat.
249 Lihat: Pembahasan mengenai tarik ulur kewenangan Provinsi DIY dalam pembahasan nomor 1.4.2 250 Lihat: Pasal 10 RUUK
103
Kewenangan lain yang dimiliki oleh Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama
adalah; Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama memberikan persetujuan terhadap
bakal calon Gubernur Jika Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama tidak
mencalonkan diri sebagai calon Gubernur dan Wakil Gubernur.251 Gubernur Utama dan
Wakil Gubernur Utama berhak mencalonkan diri sebagai calon Gubernur dan Wakil
Gubernur.252 Sedangkan hak lainnya yang dimiliki oleh Gubernur dan Wakil Gubernur
Utama adalah:253
1. menyampaikan usul dan/atau pendapat kepada Pemerintah dalam rangka penyelenggaraan Kewenangan Istimewa;
2. mendapatkan informasi mengenai kebijakan dan/atau informasi yang diperlukan untuk perumusan kebijakan menyangkut keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta;
3. mengusulkan perubahan dan/atau penggantian Perdais; 4. memiliki hak protokoler; dan 5. kedudukan keuangan yang diatur dengan peraturan pemerintah
Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama ini sebenarnya sebuah lembaga
istimewa yang juga terdapat daerah otonomi khusus. Jika kita bandingkan dengan
Majelis Rakyat Papua (MRP), maka ada beberapa kesamaan wewenang maupun hak
yang dimiliki oleh kedua lembaga tersebut. Misalnya MRP memiliki kewenangan untuk
memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap rancangan Perdasus yang
diajukan oleh DPRP bersama-sama dengan Gubernur.254 MRP juga berwenang
memberikan saran, pertimbangan dan persetujuan terhadap rencana perjanjian
kerjasama yang dibuat oleh Pemerintah maupun Pemerintah Provinsi dengan pihak
ketiga yang berlaku di Provinsi Papua khusus yang menyangkut perlindungan hak-hak
orang asli Papua.255 MRP juga berwenang memberikan pertimbangan dan persetujuan
terhadap bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang diajukan oleh DPRP.256
251 Lihat: Pasal 19 ayat (4) RUUK 252 Lihat: Pasal 17 RUUK 253 Lihat: Pasal 11 RUUK 254 Lihat: Pasal 20 ayat (1) huruf c UU No. 21 Tahun 2001 kemudian bandingkan dengan Pasal 10 huruf b
RUUK 255 Lihat: Pasal 20 ayat (1) huruf d UU No.21 Tahun 2001kemudian bandingkan dengan Pasal 10 hurf c
RUUK 256 Lihat Pasal 20 ayat (1) huruf a UU No. 21 Tahun 2001 kemudian bandingkan dengan ketentuan Pasal 19
ayat (4) RUUK
104
4.3. Bentuk dan Susunan Pemerintahan Provinsi DIY yang Bersifat Istimewa
Keistimewaan lain yang dimiliki oleh Provinsi DIY dalam RUUK tersebut adalah
bentuk dan struktur pemerintahannya yang bersifat “unik”. Struktur Pemerintahan
Provinsi DIY terdiri atas Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama, Pemerintah
Daerah Provinsi dan DPRD Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.257 Struktur
pemerintahan daerah seperti itu sangatlah unik. Gubernur Utama dan Wakil Gubernur
Utama bukan hanya berkedudukan sebagai lembaga istimewa saja, melainkan ikut
berperan dalam penyelenggaraan pemerintahan Provinsi DIY.
Selain kewenangan dan hak-hak yang dimiliki oleh Gubernur Utama dan Wakil
Gubernur Utama sebagaimana disebutkan dalam pembahasan sebelumnya, Gubernur
Utama dan Wakil Gubernur Utama juga ikut dalam penyelenggaraan pemerintahan
provinsi DIY. Pasal 14 RUUK merumuskan ketentuan mengenai keikutsertaan Gubernur
Utama dan Wakil Gubernur Utama dalam penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi
DIY. Apabila Gubernur tidak dijabat oleh Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama,
maka Gubernur berkewajiban untuk:
a. mengikuti arah umum kebijakan yang ditetapkan oleh Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama;
b. melakukan konsultasi dengan Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama untuk urusan-urusan pemerintahan yang diatur dalam undang-undang tentang Pemerintahan Daerah;
c. melakukan konsultasi kepada Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama dalam penyusunan anggaran;
d. memberikan laporan penyelenggaraan kewenangan istimewa kepada Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama setiap tahun; dan
e. memberikan tembusan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah dan laporan keuangan pemerintah daerah sesuai peraturan perundang-undangan kepada Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama.
Bukan hanya Gubernur yang memiliki kewajiban seperti itu, akan tetapi DPRD
juga memiliki beberapa kewajiban yang hampir sama dengan kewajiban yang dimiliki
oleh Gubernur tersebut. Kewajiban DPRD Provinsi DIY terhadap Gubernur dan Wakil
Gubernur Utama sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 16 RUUK adalah
sebagai berikut:
257 Lihat Pasal 8 RUUK
105
a. mengikuti arah umum kebijakan yang ditetapkan oleh Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama;
b. melakukan konsultasi dengan Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama untuk urusan-urusan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2);
c. melakukan konsultasi kepada Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama dalam penyusunan anggaran.
Pembahasan lebih lanjut mengenai struktur pemerintahan Provinsi DIY tersebut
akan penulis bahas lebih lanjut dalam pembahasan bab berikutnya.
4.4. Tata Cara Pengisian Jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur yang Istimewa
Tata cara pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY ini
merupakan isu sentral dari perdebatan mengenai keistimewaan Provinsi DIY. Terdapat
beberapa “keunikan” (keistimewaan) dalam mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan
Wakil Gubernur DIY dalam RUUK tersebut. Tata cara pengisian jabatan Gubernur dan
Wakil Gubernur Provinsi DIY diatur dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 23 RUUK.
Beberapa keunikan dalam mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur
Provinsi DIY ini misalnya:
f. Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dilakukan oleh DPRD Provinsi DIY, bukan
dipilih secara langsung oleh rakyat sebagaimana pemilihan Gubernur dan Wakil
Gubernur di daerah lainnya.
g. Penyelenggara Pemilihan Gubernur diwajibkan untuk bertanya kepada Gubernur
Utama dan Wakil Gubernur Utama mengenai kesediannya untuk ikut dalam
pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY
h. Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama dapat mencalonkan diri sebagai Calon
Gubernur dan Wakil Gubernur melalui prosedur calon perseorangan khusus. Yaitu
tidak melalui pengusulan oleh partai politik atau calon perseorangan biasa. Dengan
kata lain bahwa jika Gubernur Utama dan Wakil Gubernur mncalonkan diri sebagai
calon Gubernur dan Wakil Gubernur, maka penyelenggara pemilihan langsung
menetapkannya sebagai calon Gubernur dan Wakil Gubernur tanpa melalui
persyaratan yang berlakui seperti calon Gubernur dari Parpol dan/atau calon
perseorangan lainnya.
106
i. Bahwa jika Sultan Hamengku Buwono tidak mencalonkan diri sebagai Gubernur.
Maka Paku Alam tidak dapat mencalonkan diri sebagai Gubernur. Dengan kata lain
bahwa Paku Alam harus berpasangan dengan Sultan Hamengku Buwono.
j. Bahwa jika Hamengku Buwono dan Paku Alam tidak mencalonkan diri sebagai
Gubernur dan Wakil Gubernur maka pemilihan hanya dilakukan untuk Gubernur.
Dengan demikian, hanya aka nada jabatan Gubernur saja tanpa adanya jabatan
Wakil Gubernur.
k. Jika hanya Hamengku Buwono dan Paku Alam yang mencalonkan diri sebagai
Gubernur dan Wakil Gubernur maka DPRD melakukan musyawarah untk mufakat
dalam menetapkan dan mengusulkan keduanya kepada Presiden untuk disahkan
sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur.
l. Kerabat kasultanan dan kerabat pakualaman dapat mencalonkan diri sebagai Calon
Gubernur jika Hamengku Buwono dan Paku Alam tidak mencalonkan diri sebagai
Gubernur dan Wakil Gubernur.
m. Pembatasan masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur selama 2 periode ( satu
periode selama 5 tahun) tidak berlaku bagi Sultan Hamengku Buwono dan Paku
Alam apabila menjabat sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur.
Itulah beberapa keistimewaan dalam tata cara pengisian jabatan Gubernur dan
Wakil Gubernur Provinsi DIY yang terdapat dalam RUUK. Penulis akan membahas lebih
lanjut mengenai mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi
DIY ini dalam pembahasan Bab II.
4.5. Produk Hukum Daerah di Provinsi DIY yang Besifat Istimewa
Keistimewaan lain yang akan dimiliki oleh Provinsi DIY adalah masalah jenis
produk hukum yang bisa dibuat dan ditetapkan di Provinsi DIY. Dalam RUUK,
pengaturan mengenai jenis dan bentuk produk hukum di Provinsi DIY diatur dalam Pasal
27 sampai dengan Pasal 31 RUUK.
Adapun jenis produk hukum yang dapat dibuat atau dibentuk di Provinsi DIY
nantinya adalah: (i) Peraturan Gubernur Utama; (ii) Keputusan Gubernur Utama; (iii)
Peraturan Daerah Istimewa atau Perdais; (iv) Peraturan Daerah Provinsi; dan (v)
Peraturan dan/atau Keputusan Gubernur. Jenis produku hukum yang ada di provinsi DIY
107
tersebut bahkan lebih banyak daripada jenis produk hukum yang terdapat di Provinsi
NAD dan Provinsi Papua.258
Peraturan Gubernur Utama dan Keputusan Gubernur Utama dibentuk dan
ditetapkan oleh Gubernur Utama dengan mendapatkan pengesahan dari Menteri Dalam
Negeri. Rancangan Perdais dapat diajukan oleh DPRD Provinsi DIY atau Gubernur
berdasarkan arah umum kebijakan yang ditetapkan oleh Gubernur Utama. Rancangan
Perdais yang telah disetuji bersama oleh DPRD Provinsi DIY dan Gubernur diajukan
kepada Gubernur Utama untuk mendapatkan persetujuan. Dengan demikian, maka
dalam pembentukan Perdais, Gubernur Utama juga terlibat.
Perda Provinsi dibentuk dan ditetapkan bersama oleh Gubernur dan DPRD
Provinsi DIY. Pembentukan Perda Provinsi DIY tersebut mengikuti ketentuan Peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian, maka Perda Provinsi ini
merupakan jenis produk hukum yang sejajar dengan Peraturan Daerah yang berlaku di
daerah lainnya. Sedangkan untuk melaksanakan ketentuan Perdais dan/atau Perda
Provinsi, Gubernur berwenang membentuk dan menetapkan Peraturan dan/atau
Keputusan Gubernur.
4.6. Mendapat Dana Keistimewaan
Sebagai sebuah daerah istimewa, maka sudah sepantasnyalah Provinsi DIY
mendapatkan anggaran atau dana keistimewaan sebagaimana dana otonomi khusus
yang diberikan oleh Pemerintah kepada daerah yang berstatus otonomi khusus.
Mengenai pendanaan (dana istimewa) diatur dalam Pasal 32 dan Pasal 33 RUUK.
Dalam draft RUUK Pasal 32 disebutkan bahwa “semua peraturan perundang-undangan
yang mengatur keuangan daerah berlaku bagi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta”.
Dengan demikian maka semua ketentuan tentang keuangan yang berlaku di daerah lain
juga berlaku di Provinsi DIY, termasuk ketentuan UU No. 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Ketentuan tersebut berbeda dengan ketentuan mengenai keuangan daerah
otonomi khusus. UU No. 11 Tahun 2006 dan UU No. 21 Tahun 2001 mengatur secara
khusus tentang keuangan dan perekonomian kedua daerah otonomi khusus tersebut.259
258 Di Provinsi NAD hanya ada satu produk hukum yang khusus yang kedudukannya sejajar dngan Perda yaitu Qanun, sedangkan di Provinsi Papua dan Papua Barat hanya terdapat Peradasus dan Perdasi. Lihat: Pembahasan 2.2.1 dan Pembahasan 2.2.2
259 Lihat. Pasal 33 sampai dengan Pasal 42 UU No. 21 Tahun 2001. Lihat juga Pasal 178 sampai dengan Pasal 201 UU No. 11 Tahun 2006
108
Provinsi DIY akan mendapatkan dana keistimewaan dari APBN dalam rangka
pelaksanaan keistimewaan Provinsi DIY yang akan ditetapkan oleh Pemerintah bersama
dengan DPR berdasarkan usulan Pemerintah Provinsi DIY.
5. Karakteristik Keistimewaan Provinsi DIY Dalam UU No. 13 Tahun 2012
Dalam Pasal 1 angka 2 UU No. 13 Tahun 2012 disebutkan bahwa keistimewaan
adalah keistimewaan kedudukan hukum yang dimiliki oleh DIY berdasarkan sejarah dan
hak asal-usul menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
untuk mengatur dan mengurus kewenangan istimewa. Sedangkan yang dimaksud
dengan kewenangan Istimewa adalah wewenang tambahan tertentu yang dimiliki DIY
selain wewenang sebagaimana ditentukan dalam undang-undang tentang pemerintahan
daerah.
Dalam Pasal 6 ditegaskan bahwa kewenangan Istimewa DIY berada di tingkat
Provinsi. Dengan demikian, maka kabupaten/kota yang ada dalam Provinsi DIY tetap
menjalankan pemerintahan daerah sesuai dengan undang-undang pemerintahan
daerah, karena keistimewaan hanya diberikan pada tingkat Provinsi. Kewenangan DIY
sebagai daerah otonom mencakup kewenangan dalam urusan Pemerintahan Daerah
DIY sebagaimana diatur dalam undang-undang pemerintahan daerah dan urusan
Keistimewaan yang ditetapkan dalam UU No. 13 Tahun 2012 tersebut.
Dalam Pasal 7 ayat (2) disebutkan bahwa kewenangan atau urusan yang bersifat
istimewa dari DIY antara lain:
a. tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur dan Wakil
Gubernur;260
a. kelembagaan Pemerintah Daerah DIY;261
b. kebudayaan;262
c. pertanahan;263 dan
d. tata ruang.264
Jadi, kewenangan istimewa yang dimiliki oleh DIY hanya menyangkut 5 aspek
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2012 tersebut.
260 Tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur DIY diatur dalam Pasal 18 sampai dengan Pasal 26 UU No. 13 Tahun 2012.
261 Kelembagaan Pemerintah Daerah DIY diatur dalam Pasal 30 UU No. 13 Tahun 2012. 262 Pengaturan mengenai kebudayaan diatur dalam Pasal 31 UU No. 13 Tahun 2013 263 Pengaturan mengenai pertanahan diatur dalam Pasal 32 dan 33 UU No. 13 Tahun 2013 264 Pengaturan mengenai kebudayaan diatur dalam Pasal 34 dan 35 UU No. 13 Tahun 2013
109
Penulis berpendapat bahwa keistimewaan dalam tata cara pengisian jabatan,
kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur merupakan
keistimewaan utama yang dimiliki oleh Provinsi DIY. Sedangkan 4 urusan lainnya
merupakan keistimewaan tambahan sebagai ikutan dari keistimewaan utama yang
dimiliki oleh Provinsi DIY.
Dalam UU No. 13 Tahun 2013 pengaturan mengenai kewenangan istimewa
dalam bidang kelembagaan pemerintahan DIY, kebudayaan, pertanahan dan tata ruang
tidaklah sedetail atau serigid pengaturan mengenai tata cara pengisian jabatan
Gubernur dan Wakil Gubernur DIY. Dalam UU No. 13 Tahun 2013, norma yang
mengatur mengenai kelembagaan pemerintahan DIY, kebudayaan, pertanahan dan tata
ruang sangat terbatas dan hanya terdiri atas 1 atau 2 Pasal saja. Berbeda halnya
dengan pengaturan mengenai tata cara pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur
DIY yang diatur sangat rigid dalam Pasal 18 sampai dengan Pasal 26 UU No. 13 Tahun
2012. Oleh karena itu, penulis berpendapat bahwa kewenangan istimewa DIY dibagi
dalam dua bagian, yaitu kewenangan istimewa utama dan kewenangan istimewa
tambahan sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Hal ini juga disebabkan karena
perdebatan utama dalam pembahasan RUU Keistimewaan DIY ialah menyangkut
tentang mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY.
Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 ayat (2), DIY juga
memiliki hak untuk menetapkan Peraturan Daerah Istimewa (Perdasi) dan Peraturan
Daerah Provinsi (Perda). Ketentuan mengenai Perda dan Perdais di DIY juga diatur
dalam Pasal 36 sampai dengan Pasal 40 UU No. 13 Tahun 2012. Berdasarkan Pasal 36
dan 37 UU No. 13 Tahun 2013 maka di DIY terdapat 2 (dua) jenis produk hukum
daerah, yaitu Perda dan Perdais. Dalam UU No. 13 Tahun 2013 tidak disebutkan
mengenai hirarki Perda dan Perdais. Namun berdasarkan urutan pengaturan Perda dan
Perdais dalam UU No. 13 Tahun 2012, Perda diatur atau diletakkan lebih awal
dibandingkan dengan Perdais. Pengaturan demikian bukan berarti serta merta
kedudukan Perda lebih tinggi dibandingkan dengan Perdais, atau sebaliknya, bahwa
kedudukan Perdais lebih tinggi dibandingkan dengan Perda. Hal ini berbeda dengan
Perdasus yang dianggap kedudukannya lebih tinggi dibandingkan dengan Perdasi. Akan
tetapi, jika mengacu pada ketentuan Pasal 1 angka 13 UU No. 13 Tahun 2012, Perdais
merupakan Perda. Namun, materi muatan antara Perda dan Perdais itu berbeda.
Perdais dibentuk untuk mengatur penyelenggaraan Kewenangan Istimewa, sedangkan
Perda dibentuk untuk mengatur penyelenggaraan urusan pemerintahan provinsi
sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang pemerintahan daerah. Pembedaan
karakter antara Perda dan Perdais yang disebutkan sebagai Perda DIY tidak disebutkan
110
dalam UU No. 13 Tahun 2012. UU No. 13 Tahun 2012 hanya menyebutkan perbedaan
materi muatan antara Perda dan Perdais. Perdais merupakan bagian dari kewenangan
pemerintahan daerah DIY dalam menyelenggarakan pemerintahan daerahnya untuk
menjalankan tugas keistimewaan yang diberikan oleh UU No. 13 Tahun 2012 maupun
oleh Pasal 18B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Dengan kata lain bahwa Perdais
merupakan bentuk produk hukum yang dapat dikeluarkan oleh Pmerintah Provinsi DIY
dalam menjalankan tugas keistimewaan tersebut.
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa dalam ketentuan Pasal 18B ayat
(1) UUD NRI Tahun 1945 disebutkan bahwa “Negara mengakui dan menghormati
satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang
diatur dengan undang-undang”. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka negara
seharusnya mengakui dan menghormati pelaksanaan otonomi khusus di daerah yang
bersifat khusus dan bersifat istimewa, termasuk produk hukum yang dikeluarkan oleh
daerah yang bersifat khusus dan istimewa tersebut. Namun dalam mengakui dan
menghormati pelaksanaan otonomi khusus dan keistimewaan yang dimiliki oleh daerah-
daerah tersebut tetap harus berada dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Produk hukum daerah otonomi khusus dan istimewa tersebut harus tetap sejalan
dengan peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat.
Dengan kata lain, bahwa sinkronisasi dan harmonisasi produk hukum daerah otonomi
khusus dan istimewa harus tetap terjaga sehingga tidak bertentangan dengan hakekat
otonomi daerah dalam negara kesatuan itu sendiri. Sukardi265 menyatakan bahwa
Peraturan Daerah diadakan semata-mata untuk melaksanakan fungsi demokrasi dalam
negara hukum yang berbentuk negara kesatuan. Soewoto sebagaimana dikutip oleh
Sukardi menyatakan:
“Hakekat otonomi daerah ditinjau secara yuridis adalah pemberian kebebasan
oleh Pemerintah Pusat kepada daerah untuk mengambil putusan yang sesuai
dengan kehendak masyarakat daerah. Pemberian kebebasan mengambil
kebijakan daerah ini sangat terbatas, karena harus dalam “corridor” kebijakan
pusat. Dalam mengembangkan keanekaragaman daerah, daerah diberikan
kebebasan menyusun produk hukum daerah berdasarkan kearifan lokal.
Pemberian otonomi daerah dalam negara kesatuan, sudah tentu harus
265 Sukardi, Op. Cit., hlm. 27
111
berpedoman pada garis kebijakan pusat. Kearifan lokal dapat dirumuskan
sepanjang tidak bertentangan dengan kebijakan pemerintah pusat”.
Ramlan Surbakti menyatakan bahwa pada dasarnya dalam negara kesatuan
hanya ada satu negara dengan suatu pemerintah pusat yang memiliki seluruh tugas dan
kewenangan negara.266 Ramlan Surbakti menambahkan bahwa dalam negara
kesatuan, pemerintah lokal harus tunduk dan bertanggungjawab kepada pemerintah
pusat.267 Berbeda halnya dengan negara federasi yang memiliki kewenangan asli dan
menyerahkan sejumlah tugas dan kewenangan tertentu untuk diselenggarakan oleh
suatu pemerintah federal, sedangkan urusan-urusan lain tetap menjadi kewenangan
negara bagian.268 Pendapat Ramlan Surbakti tersebut juga sesuai dengan apa yang
dikemukakan oleh Soehino tentang konsep negara kesatuan, yaitu:
“Negara kesatuan itu adalah negara yang tidak tersusun dari beberapa negara,
melainkan hanya terdiri atas satu negara, sehingga tidak ada negara di dalam
negara. Dengan demikian dalam Negara Kesatuan hanya ada satu pemerintah,
yaitu pemerintah pusat yang mempunyai kekuasaan serta wewenang tertinggi
dalam bidang pemerintahan negara, menetapkan kebijaksanaan pemerintahan
dan melaksanakan pemerintahan negara baik di pusat maupun di daerah-
daerah.”269
Menurut C.F. Strong270 bahwa “the essence of unitary state is that the
souvereignty is undivided, or, in other word, that the powers of the central government
are unrestricted, for the constitution of a unitary state does not admit of any other law-
making body than the central one.” Jadi, Esensi negara kesatuan adalah negara yang
kedaulatnnya (the souvereignty) tidak terbagi-bagi, atau dengan kata lain, kekuasaan
pusatnya tak terbatas (unrestricted) karena konstitusi negara kesatuan tidak mengakui
adanya badan pembentuk undang-undang selain badan pembentuk undang-undang
pusat.
266 Surbakti, Ramlan, Memahami Ilmu Politik, Cet. 7 ( Jakarta: Grasindo, 2010), hlm. 216 267 Ibid 268 Ibid 269 Soehino, Ilmu Negara, Ed.3, Cet.3 (Yogyakarta: Liberty, 2000), hlm. 224 270 C.F. strong, Modern Political Constitution: An Introduction to Comparative Study of Their History and
Existing Form, The English Book Society and Sidgwick & Jackson Limited, London, 1996, hlm. 84
112
BAB VI
PRINSIP NEGARA KESATUAN DALAM PENYELENGGARAAN
PEMERINTAHAN PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
Sejak diakui keberadaannya secara de jure sebagai sebuah daerah istimewa
melalui UU No.3 Tahun 1950 sebagaimana terakhir diubah dengan UU No 9 Tahun
1955, pemerintah ( DPR bersama Presiden) belum pernah membuat undang-undang
tersendiri mengenai penyelenggaraan keistimewaan Provinsi DIY. Penyelenggaraan
pemerintahan di Provinsi DIY selama ini hanya berdasarkan undang-undang
pemerintahan daerah. Berbeda dengan DKI Jakarta, selain berdasarkan undang-undang
pemerintahan daerah, penyelenggaraan pemerintahan di DKI Jakarta secara khsusus
sudah diatur dalam UU No. 29 Tahun 2007.271 Begitu pula dengan Provinsi NAD,
penyelenggaraan pemerintahannya sudah diatur dalam UU No. 11 Tahun 2006.272
Sedangkan Provinsi Papua dan Papua Barat, diatur berdasarkan UU No. 21 Tahun
2001.
Ari Susanto menyatakan bahwa“satu-satunya daerah istimewa yang tak lagi
istimewa” adalah Yogyakarta.273 Selama ini keistimewaa Yogyakarta hanya terbatas
pada status kepala daerahnya saja. Sedangkan pemerintahan, pertanahan, pendidikan,
kebudayaan, anggaran keistimewaan dan sebagainya tidak dimiliki oleh Daerah
Istimewa Yogyakarta.274 Ari Susanto menyatakan:275
Dalam hal pemerintahan, hampir tidak ada perbedaan DIY dengan daerah lain. Padahal, seharusnya keistimewaan melingkupi semua aturan pemerintahan yang ada di DIY, misalnya adanya Peraturan (Perda) Istimewa untuk menjalankan ketentuan yang sifatnya istimewa, atau adanya Majelis Istimewa. Semua tata pemerintahan di DIY persis sama dengan provinsi lain, kecuali status Gubernur dan Wakilnya yang selalu dijabat oleh Sultan Yogyakarta dan Adipati Paku Alaman.
271 Sebelumnya pernah berlaku UU No. 34 Tahun 1999, UU No. 11 Tahun 1990, UU No. 2 Pnps Tahun 1961 j.o UU No. 15 Tahun 1963 dan UU No. 10 Tahun 1964. Semua undang-undang tersebut mengatur kekhususan DKI Jakarta.
272 Sebelumnya pernah berlaku UU No. 18 Tahun 2001 273 Aloysius Soni BL de Rosari, Monarki Yogya…,Op. Cit. hlm. 40 274 Nasrullah Kisnam Ketua Pansus RUU Keistimewaan, DPRD DIY sebaimana dikutip Ari Susanto dalam
Aloysius Soni BL de Rosari, Ibid 275 Ibid, hlm. 41-42
113
Pernyataan Ari Susanto tersebut memang sesuai dengan ketentuan Pasal 226
ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004, bahwa penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi DIY
tetap berdasarkan undang-undang pemerintahan daerah. Praktis tidak ada
keistimewaan lain yang dimiliki oleh Provinsi DIY selain pada jabatan Gubernur dan
Wakil Gubernurnya saja.
Dalam kaitannya dengan konsep negara kesatuan, penyelenggaraan
pemerintahan di Provinsi DIY tersebut telah sesuai dengan konsep negara kesatuan.
Dalam sebuah negara kesatuan pemerintah pusat mempunyai kekuasaan dan
wewenang tertinggi dalam bidang pemerintahan negara dan menetapkan kebijaksanaan
pemerintahan baik di pusat maupun di daerah. Berikut ini konsep negara kesatuan yang
dikemukakan oleh Soehino:
“Negara kesatuan itu adalah negara yang tidak tersusun dari beberapa negara, melainkan hanya terdiri atas satu negara, sehingga tidak ada negara di dalam negara. Dengan demikian dalam Negara Kesatuan hanya ada satu pemerintah, yaitu pemerintah pusat yang mempunyai kekuasaan serta wewenang tertinggi dalam bidang pemerintahan negara, menetapkan kebijaksanaan pemerintahan dan melaksanakan pemerintahan negara baik di pusat maupun di daerah-daerah.”276
Kebijakan pemerintah pusat yang tertuang dalam Pasal 226 ayat (2) UU No. 32
Tahun 2004 telah dilaksanakan di Provinsi DIY, bahkan undang-undang pemerintahan
daerah sebelumnya juga menyatakan hal yang sama. Tidak ada protes maupun
tindakan-tindakan yang menolak ketentuan undang-undang tersebut. Pemerintah
Provinsi DIY tidak pernah melakukan suatu tindakan atau perbuatan hukum untuk
memprotes kebijakan pemerintah pusat yang dituangkan dalam undang-undang
pemerintahan daerah tersebut, misalnya dengan menyatakan bahwa ketentuan tersebut
tidak berlaku mengikat bagi Provinsi DIY. Karena memang dalam sistem negara
kesatuan, tindakan tersebut tidak dapat dilakukan. Bandingkan dengan sistem yang
berlaku di Aceh, jika Pemerintah hendak melakukan suatu kebijakan administratif yang
berkaitan dengan Aceh, maka Pemerintah diharuskan melakukan konsultasi dan
mendapat pertimbangan Gubernur Aceh.
276 Soehino, Ilmu Negara…,Op.Cit, hlm.224
114
Dalam sistem negara kesatuan, hanya terdapat satu hukum nasional yang
berlaku secara nasional pula. Keberlakuan hukum nasional pada suatu negara kesatuan
tidak memerlukan persetujuan negara bagian terlebih dahulu. Berbeda dengan bentuk
susunan negara serikat, keberlakuan suatu aturan federal harus mendapatkan
pengakuan atau pengesahan dari negara bagian, apakah suatu peraturan hukum dari
negara federal atau negara gabungannya itu berlaku terhadap warga negaranya atau
tidak, sebagaimana yang dikemukakan oleh Kranenburg berikut ini:
“…jika peraturan-peraturan hukum yang dibuat atau dikeluarkan oleh pemerintah federal atau pemerintah gabungan itu akan diberlakukan terhadap para warga negara dari negara-negara bagian, maka pemerintah negara bagian yang bersangkutan terlebih dahulu harus mengadakan suatu tindakan, yaitu mengadakan atau membuat suatu peraturan, atau undang-undang atau pernyataan atau mungkin berupa tindakan lain, yang pada pokoknya menyatakan berlakunya peraturan-peraturan hukum dari negara federal atau negara gabungannya itu terhadap warga negaranya.”277
Segala peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah pusat
berlaku mengikat secara langsung bagi Provinsi DIY tanpa perlu disetujui oleh Sultan
Yogyakarta dan Adipati Kadipaten Paku Alaman. Ketentuan ini dapat dibandingkan
dengan sistem yang berlaku di Aceh, dalam ketentuan Pasal 8 ayat (2) UU No. 11
Tahun 2006 menyatakan bahwa DPR RI harus berkonsultasi dan mendapat
pertimbangan dari DPRA jika hendak membuat undang-undang yang akan berkaitan
langsung dengan Pemerintahan Aceh.
Padahal jika merujuk pada teori terbentuknya negara kesatuan, sebenarnya
terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia juga memenuhi kriteria terbentuknya
negara serikat. Dengan kata lain bahwa terbentuknya Negara Kesatuan Republik
Indonesia tidak murni memenuhi konsep terbentuknya negara kesatuan.
Zulfikar Salahuddin, Al Chaidar dan Herdi Sahrasad dalam Ni’matul Huda
menjelaskan bahwa model negara kesatuan asumsi dasarnya berbeda secara diametrik
dari negara federal. Formasi negara kesatuan dideklarasikan saat kemerdekaan oleh
para pendiri negara dengan mengklaim seluruh wilayahnya sebagai bagian dari satu
negara.278 Tidak ada kesepakatan para penguasa apalagi negara-negara, karena
diasumsikan bahwa semua wilayah yang termasuk di dalamnya bukanlah bagian-bagian
277 Edie Toet Hendratno, Op.Cit., hlm. 52 278 Huda, Ni’matul, Hukum Tata Negara…,Op.Cit., hlm. 92
115
wilayah yang bersifat independen. Dengan dasar itu, maka negara membentuk daerah-
daerah atau wilayah-wilayah yang kemudian diberi kekuasaan atau kewenangan oleh
pemerintah pusat untuk mengurus berbagai kepentingan masyarakatnya, ini
diasumsikan bahwa negaralah yang menjadi sumber kekuasaannya.279
Sedangkan negara serikat (federasi) merupakan negara yang bersusunan jamak,
maksudnya negara ini terdiri dari beberapa negara yang semula telah berdiri sendiri
sebagai negara yang merdeka dan berdaulat, mempunyai undang-undang dasar sendiri
serta pemerintahan sendiri.280 Negara-negara bagian itu kemudian menyerahkan
sejumlah tugas dan kewenangan untuk diselenggarakan oleh suatu pemerintah federal,
sedangkan urusan-urusan lain tetap menjadi kewenangan negara bagian.281 Ramlan
Surbakti menambahkan bahwa dalam negara serikat pemerintah negara bagian
bukanlah bawahan dan tidak bertanggungjawab kepada pemerintah federal.282
Dengan demikian, bahwa dalam konsep terbentuknya negara kesatuan, wilayah
negara atau pembagian wilayah negara kedalam beberapa daerah baru dilakukan
setelah terbentuknya negara. Negara (pemerintah pusat) terbentuk terlebih dahulu,
barulah kemudian setelah itu dibentuk daerah-daerah. Berbeda dengan proses
terbentuknya negara federal, negara-negara bagian (daerah) telah ada dan berdiri
sendiri sebagai negara yang merdeka dan berdaulat sebelum bergabung untuk
membentuk pemerintah dan/atau negara gabungan (pemerintah/negara federal).
Sejarah terbentuknya NKRI tidak sepenuhnya memenuhi konsep terbentuknya
negara kesatuan di atas. Sebelum diproklamasikannya kemerdekaan RI pada tanggal
17 Agustus 1945 sebagai hari terbentuknya RI, Pemerintahan Yogyakarta sudah ada
terlebih dahulu. Sebelum terbentuknya RI, Kasultanan Yogyakarta merupakan wilayah
negara tersendiri yang dikendalikan dan bertanggungjawab secara langsung kepada
pemerintahan Hindia-Belanda.283 Bahkan dalam konsideran menimbang huruf b draft
RUU Keistmewaan Provinsi DIY yang berasal dari Kementerian Dalam Negeri284 dan
hingga selesainya penulisan penelitian ini masih dibahas dengan Komisi II DPR RI
279 Ibid. 280 Soehino, Op.Cit, hlm.226 281 Ramlan Surbakti, Op.Cit., hlm. 216 282 Ibid. 283 Saafroedin Bahar .,et. al., Loc.Cit. 284 Draft RUU Keistimewaan Provinsi DIY diserahkan oleh Kementerian Dalam Negeri untuk dibahas di DPR RI
pada tanggal 15 Desember 2010. Draft RUUK tersebut dapat diakses di http://www.dpr.go.id/
116
mengakui keberadaan Yogyakarta sebagai sebuah negara285 yang telah ada sebelum
terbentuknya NKRI. Berikut ini bunyi ketentuan konsideran menimbang huruf b draft
RUUK tersebut:
bahwa Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman telah mempunyai wilayah, pemerintahan, dan penduduk sebelum lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 berperan dan memberikan sumbangsih yang besar dalam mempertahankan, mengisi, dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia
Joko Suryo Guru Besar Sejarah Universitas Gajah Mada menyatakan bahwa
Belanda mengakui otoritas Sultan Yogyakarta sebagai penguasa wilayah Yogyakarta. Ini
berbeda dengan kekuasaan monarki lainnya di Nusantara yang setelah ditaklukkan oleh
Belanda, maka langsung dihapuskan.286 Jawahir Thontowi menyatakan bahwa status
dan posisi Yogyakarta sebagai kerajaan yang merdeka sebenarnya memungkinkan
Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman pada saat itu menuntut hak untuk memisahkan
diri sebagai sebuah negara baru berdasarkan asas the rights for self-determination
dalam arti self-governing.287 Bahkan pada 19 Agustus 1945 Presiden Soekarno
mengirimkan surat kepada Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII yang isinya
mengakui keberadaan keduanya sebagai penguasa daerah Yogyakarta.288
Sebagaimana yang dinayatakan oleh Ramlan Surbakti bahwa negara-negara
bagian dalam bentuk susunan negara federal kemudian menyerahkan sejumlah tugas
dan kewenangan untuk diselenggarakan oleh suatu pemerintah federal, sedangkan
urusan-urusan lain tetap menjadi kewenangan negara bagian.289 Dengan kata lain
bahwa, negara bagian tersebut menyerahkan sebagian kedaulatannya kepada negara
gabungan dengan tetap mempertahankan beberapa kewenangan yang dimilikinya.
Bandingkan dengan sejarah bergabungnya Yogyakarta dengan Negara Republik
Indonesia melalui Amanat 5 September 1945. Kejadian tersebut sebenarnya lebih mirip
285 Dalam konsideran menimbang huruf b Draft RUUK disebutkan bahwa sebelum kemerdekaan RI, Yogyakarta telah memiliki wilayah, pemerintah dan penduduk. Dengan demikian maka pemerintah mengakui bahwa sebelum terbentuknya NKRI, Yogyakarta tersebut merupakan sebuah negara. Karena unsur terbentuknya sebuah negara itu ada 3 (tiga) yaitu wilayah, pemerintah dan penduduk. Lihat: Syarat-syarat terbentuknya negara dalam Soehino, Ilmu Negara…,Op.Cit.,hlm. 7
286 Joko Suryo dalam Kompas, 29/9/2008 sebagaimana dikutip oleh Aloysius Soni BL de Rosari, Monarki Yogya…,Op.Cit, hlm. 62-63
287 Ibid. 288 Ibid. 289 Ramlan Surbakti, Op.Cit., hlm. 216
117
dengan konsep terbentuknya negara serikat. Dalam Amanat 5 September 1945 tersebut
tercermin sebagai bentuk “penyerahan” kedaulatan yang dimiliki oleh Kesultanan
Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman kepada pemerintah RI. Dalam amanat tersebut
juga disebutkan bahwa kekuasaan pemerintahan dan lainnya tetaplah dipegang oleh
Sultan dan Adipati. Berikut ini isi Amanat 5 September 1945 yang berbunyi:290
1. Bahwa Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat jang bersifat keradjaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia.
2. Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat mulai saat ini berada ditangan kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnja kami pegang seluruhnya.
3. Bahwa perhubungan antara Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia, bersifat langsung dan Kami bertanggung djawab atas Negeri Kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia.
Dalam amanat di atas, kedua penguasa di Yogyakarta tersebut mengakui Negara
Republik Indonesia sebagai sebuah negara “induk” disamping tetap mempertahankan
kekuasaannya sebagai kepala pemerintahan di daerah yang bersifat istimewa. Dengan
demikian, pembentukan NKRI tidaklah sepenuhnya berdasarkan konsep atau teori
terbentuknya sebuah negara kesatuan. Oleh sebab itu, penulis berpendapat bahwa
tidaklah rasional untuk tetap memaksakan penerapan teori negara kesatuan secara
murni dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Hal ini disebabkan karena sejarah
terbentuknya NKRI (khususnya sejarah bergabungnya Yogyakarta) juga tidak
sepenuhnya sesuai dengan teori terbentuknya negara kesatuan.
Konsep bentuk negara kesatuan maupun bentuk negara serikat merupakan
konsep yang terdapat dalam Ilmu Negara dan Ilmu Hukum Tata Negara. Jellinek
menyatakan bahwa teori ilmu negara (teoretische staatswissenschaft) ada yang bersifat
umum dalam arti berlaku untuk semua negara, yang disebut algemeene staatslehre.
Selain itu, ada juga ilmu negara yang bersifat khusus, bezonde staatslehre, yaitu teori
290 Amanat 5 September 1945 tersebut sebenarnya terbagi kedalam dua amanat. Yaitu amanat dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan amanat Sri Paduka Paku Alam VIII. Akan tetapi isi amanat tersebut sebenarnya sama. Perbedaannya hanya pada penyebutan “Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat” pada amanat yang dikeluarkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX dengan “Negeri Paku Alaman” pada amanat yang dikeluarkan oleh Sri Paduka Paku Alam VIII .
118
bernegara yang dilakukan untuk negara tertentu saja.291 Lukman Hakim menyatakan
bahwa karena sifatnya yang umum, maka misalnya mengenai bentuk negara republik
dapat saja sama, tetapi bagaimana isinya (materi) dapat saja berbeda.292 Bagaimana
suatu negara republik mengangkat Presiden, seluas apa kekuasaan yang melekat
dalam jabatan Presiden, lebih luas lagi bagaimana suatu bangsa mengatur kehidupan
bernegaranya, semuanya itu tergantung pada bangsa itu sendiri, yang kesemuanya itu
biasa diatur dalam hukum tata negara (positif) seperti konstitusi maupun undang-
undang.293
Lukman Hakim juga menjelaskan bahwa hampir tidak ada hal yang sama dan
serupa dari hukum tata negara suatu bangsa dibandingkan dengan hukum tata negara
bangsa yang lain. Perbedaan itu disebabkam oleh tidak samanya sejarah dan latar
belakang suatu bangsa, juga oleh kepribadian yang dimiliki oleh setiap bangsa.294
Berikut ini catatan Lukman Hakim mengenai perbedaan hukum tata negara suatu
bangsa:295
Apabila diperhatikan teori-teori hukum tata negara, maka akan ditemukan teori-teori hukum tata negara dari para ahli hukum tata negara bagi hukum tata negaranya masing-masing. Teori hukum tata negara Belanda dikemukakan oleh pakar hukum tata negara Belanda, teori hukum tata negara Inggris dikemukakan oleh pakar hukum tata negara Inggris, teori hukum tata negara Rusia dikemukakan oleh pakar hukum tata negara Rusia. Dan setiap hukum tata negara suatu negara atau bangsa menunjukkan sifat atau ciri-ciri dari bangsa yang bersangkutan.
Berdasarkan pandangan tersebut, maka penulis juga berpendapat sama, bahwa
hukum tata negara suatu bangsa tidak dapat disamakan dengan hukum tata negara
bangsa lainnya. Walaupun pada tataran tertentu ada kemiripan. Akan tetapi hukum tata
negara yang ada di suatu negara tidak dapat dipaksakan untuk diberlakukan secara
sama di negara lainnya.
291 Lukman Hakim, Kedudukan Hukum Komisi Negara di Indonesia:Eksistensi Komisi-Komisi Negara (State Auxiliary Agency) Sebagai Organ Negara yang Mandiri Dalam Sistem Ketatanegaraan, (Malang: Intrans Publishing, 2010), hlm. 15
292 Ibid., hlm. 14 293 Ibid, hlm.14-15 294 Ibid., hlm. 1 295 Ibid.
119
Sama halnya dengan Indonesia, bangsa Indonesia telah menentukan sendiri isi
(materi) hukum tata negaranya. Misalnya mengenai konsep negara kesatuan, Indonesia
memang menganut prinsip negara kesatuan sebagaimana yang tedapat dalam Pasal 1
ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Akan tetapi isi (materi) dari negara kesatuan yang ada di
Indonesia tidak harus sama dengan isi atau materi negara kesatuan lainnya, misalnya
seperti berapa jumlah provinsi atau daerah yang akan dibentuk, bagaimana bentuk
penyelenggaraan pemerintahannya (apakah sentralistik atau desentralisasi), bagaimana
prosedur atau mekanisme pengisian jabatan kepala daerahnya, apa saja institusi yang
dibentuk di daerah dan sebagainya. Itu tergantung kesepakatan dari bangsa Indonesia
sendiri yang tertuang dalam konstitusi.
Penulis sangat tidak setuju dengan argumentasi yang membandingkan hukum
tata negara yang dianut bangsa lainnya untuk kemudian diterapkan secara langsung di
Indonesia. Padahal sejarah dan latar belakang suatu negara itu berbeda-beda. Sejarah
berdirinya Indonesia tidak sama dengan sejarah berdirinya negara Inggris, Belanda,
Spanyol, Filipina, Thailand, Turki atau China walaupun sama-sama memilih bentuk
negara kesatuan.
Terbentuknya negara Indonesia, tidak sepenuhnya memenuhi konsep
terbentuknya negara kesatuan. Terbentuknya negara Indonesia juga memiliki kesamaan
dengan konsep terbentuknya negara federal. Dalam konsep terbentuknya negara
kesatuan, bahwa negara (pusat) terbentuk terlebih dahulu baru kemudian dibentuklah
daerah-daerah, apakah diberikan status otonomi atau tidak. Sedangkan konsep
terbentuknya negara federal sebaliknya, yaitu negara-negara bagian yang merdeka dan
memiliki kedaulatan sudah terbentuk terlebih dahulu sebelum terbentuknya negara
gabungan. Karena adanya cita-cita yang sama atau mungkin karena negara-negara
tersebut lemah jika menjalankan pemerintahannya sendiri, maka negara-negara tersebut
sepakat untuk bergabung membentuk negara gabungan (federal). Oleh karena negara-
negara bagian itu sudah berdiri sebelum berdirinya negara federal, maka negara federal
tidak membentuk daerah (negara) lagi dalam negaranya sebagaimana negara kesatuan.
Lalu bagaimanakah dengan sejarah bergabungnya Yogyakarta dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1945. Bukankah Yogyakarta sudah
merupakan negara bagian dari pemerintahan Hindia Belanda yang memiliki
kedaulatan?296 Bukankah ada pernyataan pengintegrasian Yogyakarta ke dalam wilayah
Republik Indonesia melalui amanat 5 September 1945? Bukankah Presiden Soekarno
296 Lihat: konsideran menimbang huruf b Draft RUUK Tahun 2010 dari Kemendagri pada catatan kaki nomor 255
120
mengakui dan menghormati kedudukan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri
Paduka Paku Alam VIII sebagai penguasa Yogyakarta dengan Surat Kedudukan
Presiden RI tanggal 6 September 1945?. Semua itu lebih mirip pada konsep
terbentuknya negara serikat. Akan tetapi, Yogyakarta tidak menyatakan dirinya sebagai
negara bagian, walaupun Yogyakarta merupakan negeri yang bersifat kerajaan saat itu.
Yogyakarta tetap menyatakan dirinya sebagai sebuah daerah istimewa dan merupakan
bagian dari Negara Republik Indonesia.297
Oleh karena itu, walaupun dalam penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi
Aceh dan Papua atau bahkan Provinsi DIY mengarah kepada bentuk negara federal
(secara konsep) akan tetapi penulis menganggap hal itu merupakan ciri atau karakter
khas dari model negara kesatuan yang kita anut, sehingga daerah-daerah tersebut tetap
berada dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Landasan
konstitusionalnya juga sangat kuat, yaitu diatur dalam ketentuan Pasal 18B UUD NRI
Tahun 1945.298
297 Diktum 1 Amanat 5 September 1945 berbunyi : “Bahwa Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat jang bersifat keradjaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia”
298 Baca pembahasan mengenai sejarah dirumuskannya Pasal 18B ayat (1) pada pembahasan nomor 1.2.3
121
BAB VII
PRINSIP KEDAULATAN RAKYAT DALAM MEKANISME
PENGISIAN JABATAN KEPALA DAERAH
Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 menegaskan bahwa kedaulatan berada di
tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Jimly Asshiddiqie
menyatakan bahwa di Indonesia kedaulatan berada di tangan rakyat yang diberlakukan
menurut Undang-Undang Dasar (constitutional democracy) yang diimbangi dengan
penegasan bahwa negara Indonesia ialah negara hukum yang berkedaulatan rakyat atau
demokrasi (democratische rechtsstaat).299 Pendapat Jimly Asshiddiqie tersebut mengandung
makna bahwa kedaulatan memang berada di tangan rakyat, akan tetapi pelaksanaan
kedaulatan rakyat tersebut tetap harus sesuai dengan konstitusi. Dengan kata lain bahwa
prinsip demokrasi yang dianut oleh bangsa Indonesia adalah prinsip demokrasi konstitusi
(constitutional democracy).
Penulis berpendapat bahwa prinsip demokrasi konstitusi merupakan bentuk demokrasi
yang dilaksanakan dengan tetap mengacu kepada ketentuan-ketentuan dalam konstitusi.
Jadi asumsinya yaitu bahwa apa yang ditentukan oleh konstitusi merupakan sesuatu yang
demokratis. Ukuran demokratis atau tidak demokratis tergantung dari ketentuan yang diatur
dalam konstitusi. Penulis berpendapat bahwa walaupun Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun
1945 menegaskan secara eksplisit bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat, akan tetapi
dibatasi pelaksanaannya berdasarkan konstitusi dan hukum sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI, bahwa Indonesia adalah negara hukum. Oleh karena itu,
pelaksanaan kedaulatan rakyat tetap harus berdasarkan konstitusi dan hukum.
1.1. Landasan Konstitusional Mekanisme Pengisian Jabatan Kepala Daerah
Setelah terjadinya perubahan UUD NRI Tahun 1945 pada tahun 1999 sampai dngan
tahun 2002, maka telah terjadi perubahan yang sangat besar bagi sistem ketatanegaraan
Indonesia. Jika sebelum terjadinya perubahan UUD NRI Tahun 1945, kedaulatan berada di
tangan rakyat dan dilaksanakan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), maka setelah
perubahan UUD NRI Tahun 1945, kedaulatan rakyat bukan lagi dilaksanakan oleh MPR,
melainkan dilaksanakan menurut UUD. Ketentuan mengenai kedaulatan rakyat ini dimuat
dalam rumusan Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.
299 Jimly Asshiddiqie (1), Op.Cit., hlm. 58
122
Paham kedaulatan rakyat ini sudah dikemukakan oleh kaum Monarchomachen,
Bellarmin dan sebagainya yang mengemukakan ajaran bahwa rakyatlah yang berdaulat
penuh dan bukan raja, karena raja berkuasa atas persetujuan rakyat.300 Inti dari ajaran
kedaulatan rakyat yaitu bahwa rakyatlah yang memiliki kekuasaan yang sesungguhnya. Akan
tetapi, cara untuk melaksanakan kekuasaan itu ditentukan dalam suatu kesepakatan
bersama yang dijadikan sebagai landasan bernegara, yaitu konstitusi. Oleh karena itu,
prinsip kedaulatan yang dianut oleh bangsa Indonesia sebagaimana dijelaskan sebelumnya
adalah prinsip kedaulatan rakyat yang berdasarkan konstitusi. Pasal 1 ayat (2) UUD NRI
Tahun 1945 merupakan landasan konstitusional utama bagi mekanisme pengisian jabatan
publik, termasuk pengisian jabatan kepala daerah.
Pelaksanaan atau tata cara pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam mekanisme
pengisian jabatan kepala daerah tersebut kemudian diatur dalam ketentuan Pasal 18 ayat (4)
UUD NRI Tahun 1945. Ketentuan Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Tahun 1945
berbunyi sebagai berikut: “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala
pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis”. Secara
gramatikal, ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD NRI tersebut menentukan tata cara pengisian
jabatan kepala daerah ( Gubernur, Bupati dan Walikota ) dilakukan melalui mekanisme
pemilihan secara demokratis.
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa suatu negara yang menganut azas
kedaulatan rakyat disebut juga sebagai negara demokrasi301 atau sebaliknya bahwa
pengertian demokrasi secara harfiah identik dengan makna kedaulatan rakyat.302 Oleh
karena itu, ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 merupakan penjabaran lebih
lanjut dari ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.
Hendry B. Mayo memberikan pengertian mengenai demokrasi sebagai berikut:
”A democratic political system is one in which public pilicies are made on majority basis, by reperesentative subject to effective popular control a periodeic elections which are conducted on the principle of political equality and under conditions of political freedom.( Sistem politik demokratis adalah sistem yang menunjukkan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh
300 Ni’matul Huda, Ilmu Negara, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010), hlm. 188
301 Moh.Kusnardi, Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum…,Op.Cit., hlm.130 302 Titik Triwulan Tutik, Loc.Cit.
123
rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik).303
Ni’matul Huda menyatakan bahwa pemakaian kata “demokratis” dalam ketentuan
Pasal 18 ayat (4) UD NRI Tahun 1945 tersebut mengandung dua makna, yaitu baik
pemilihan secara langsung maupun tidak langsung melalui DPRD, kedua-duanya
mengandung makna demokratis.304 Pendapat Ni’matul Huda tersebut juga sesuai dengan
Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 15/PUU-V/2007 perihal Pengujian Undang-
Undang Pemerintahan Daerah, dalam bagian pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi
menyatakan:
“Ada dua substansi yang menjadi amanat Konstitusi yang terkandung dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 tersebut. Pertama, bahwa pengisian jabatan kepala daerah harus dilakukan melalui pemilihan. Dengan kata lain, pengisian jabatan kepala daerah tersebut tidak boleh dilakukan melalui cara lain diluar cara pemilihan, misalnya dengan cara pengangkatan atau penunjukan. Kedua, pemilihan tersebut harus dilakukan secara demokratis, artinya harus memenuhi kaidah-kaidah demokrasi. Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 tidak mewajibkan pembentuk undang-undang (DPR bersama Presiden) untuk menggunakan prosedur atau tata cara pemilihan tertentu, secara langsung ataupun tidak langsung. Hal itu sepenuhnya diserahkan kepada pembentuk undang-undang, sepanjang telah terpenuhinya kaidah-kaidah demokrasi. 305
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, maka dapat diketahui bahwa
makna kata “demokratis” itu artinya harus memenuhi kaidah-kaidah demokrasi, yaitu
menggunakan prosedur pemilihan tertentu, baik secara langsung ataupun tidak langsung.
Oleh karena itu, UUD NRI Tahun 1945 memberikan kebebasan kepada pembentuk undang-
undang, untuk menentukan cara pemilihan kepala daerah tersebut, apakah akan dipilih
secara langsung oleh rakyat (direct democracy) atau dengan cara dipilih oleh DPRD sebagai
wakil rakyat (undirect demoracy) yang biasa disebut dengan istilah demokrasi perwakilan.
Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, terdapat ketentuan bahwa pengisian
jabatan kepala daerah harus dilakukan melalui pemilihan. Dengan kata lain, bahwa pengisian
jabatan kepala daerah tersebut tidak boleh dilakukan melalui cara lain diluar cara pemilihan,
303 Hendry B.Mayo dalam Moh. Mahfud MD, Op.Cit, 19-20 304 Ni’matul Huda, Otonomi Daerah…,Op.Cit., hlm. 206. Hal tersebut juga sesuai dengan pendapat yang
dikemukakan secara langsung didepan penulis ketika penulis melakukan wawancara dengan Ni’matul Huda pada tanggal 6 Juli 2011 di Kampus UII Yogyakarta.
305 Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Perkara Nomor 15/PUU-V/2007
124
misalnya dengan cara pengangkatan atau penunjukan. Penafsiran Mahkamah Konstitusi
tersebut sesungguhnya telah menutup ruang bagi mekanisme pengisian jabatan kepala
daerah melalui sistem pengangkatan atau penunjukan. Sedangkan yang selama ini terjadi di
Provinsi DIY, mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY dilaksanakan
melalui mekanisme penetapan oleh Presiden. Begitu juga halnya dengan mekanisme
pengisian jabatan Walikota dan Bupati di wilayah Provinsi DKI Jakarta yang diisi dengan cara
pengangkatan oleh Gubernur DKI Jakarta. Jika dilihat secara sepintas, maka tata cara
pengisian jabatan yang seperti sudah tentu bertentangan dengan ketentuan Pasal 18 ayat (4)
UUD NRI Tahun 1945 dan juga bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi
tersebut. Permasalahan ini akan dibahas tersendiri dalam pembahasan berikutnya.
1.2. Prinsip Demokrasi dalam Mekanisme Pengisian Jabatan Kepala Daerah Menurut
UU No. 32 Tahun 2004
Secara historis, perundang-undangan tentang pemerintahan daerah yang pernah
berlaku di Indonesia, menganut sistem pemilihan kepala daerah tidak langsung. M. Hadin
Muhjad menyatakan bahwa ada tiga pola pengisian jabatan kepala daerah yang dianut oleh
undang-undang pemerintahan daerah sebelum UU No. 32 Tahun 2004, yaitu: (1)
pengangkatan oleh pemerintah pusat, (2) pengangkatan atas usul DPRD dan (3) pemilihan
oleh DPRD.306 Muhjad menyatakan bahwa semua pola yang dianut dalam undang-undang
pemerintahan daerah tersebut ternyata tidak demokratis, karena dominannya peran
pemerintah pusat. Sebagai suatu masalah dalam hal DPRD diberikan wewenang untuk untuk
memilih kepala daerah, kandidat yang dipilih dapat dianulir dan ditolak untuk diangkat oleh
pemerintah pusat.307
Sebagai pelaksanaan lebih lanjut dari ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun
1945, pembentuk undang-undang (DPR bersama dengan Presiden) memilih bentuk
pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat. Ketentua tersebut dirumuskan dalam
Pasal 56 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 yang menyatakan: “Kepala daerah dan wakil kepala
daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan
asas langsung, umum, bebas rahasia, jujur dan adil. ” Penggunaan asas tersebut oleh
pembentuk undang-undang merupakan bentuk pelaksanaan pemilihan secara demokratis.
306 M. Hadin Muhjad, Sistem Pemilihan Kepala Daerah Secara Demokratis, Disertasi Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2007, hlm. vi-vii
307 Ibid.
125
Dengan kata lain bahwa pembentuk undang-undang telah memilih bentuk pemilihan kepala
daerah secara langsung oleh rakyat merupakan bentuk pemilihan secara demokratis
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945. Selain itu,
dipilihnya bentuk pemilihan kepala daerah secara langsung tersebut merupakan wujud dari
pelaksanaan kedaulatan rakyat secara langsung pula (direct democracy).
Terkait dengan penyaluran kedaulatan rakyat secara langsung (demokrasi langsung),
Jimly Asshiddiqie menjelaskan bahwa:
”Penyaluran kedaulatan rakyat secara langsung (direct democracy) dilakukan melalui pemilihan umum, pemilihan presiden, dan pelaksanaan referendum untuk menyatakan persetujuan atau penolakan terhadap rencana perubahan atas pasal-pasal tertentu dalam Undang-Undang Dasar. Disamping itu, kedaulatan rakyat dapat pula disalurkan setiap waktu melalui pelaksanaan hak atas kebebasan berpendapat, hak atas kebebasan pers, hak atas kebesasan informasi, hak atas kebebasan berorganisasi dan berserikat serta hak-hak asasi lainnya yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar.”308
Pertanyaan hukum yang muncul dari konsep demokrasi langsung yang dikemukakan
oleh Jimly Asshiddiqie di atas adalah apakah pemilihan kepala daerah merupakan pemilihan
umum sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 22E UUD NRI Tahun 1945? Ada
perbendaan pandangan mengenai pemilukada, apakah termasuk bagian dari sistem pemilu
sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 22E UUD NRI Tahun 1945 ataukah bukan
merupakan bagian dari Pemilu sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 22E UUD NRI
Tahun 1945 tersebut.309 Philipus M. Hadjon sebagaimana dikutip Titik Triwulan Tutik
menyatakan bahwa:
“Prinsip demokrasi yang terkandung dalam Pasal 18 (ayat 3 dan 4) menyangkut pemilihan anggota DPRD dan Kepala Daerah secara langsung. Dengan demikian dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia, pemilihan umum tidak hanya untuk memilih wakil rakyat ( DPR, DPD, DPRD ) tetapi juga untuk kepala pemerintahan”310
308 Jimly Asshiddiqie (1), Op.Cit, hlm. 59 309 Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 072-073/PUU-II/2004, Mahkamah Konstitusi
menyatakan bahwa Pemiliukada bukanlah bagian dari sistem pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E UUD NRI Tahun 1945. Akan tetapi, karena sistem pemilihan kepala daerah yang dianut dalam UU No. 32 Tahun 2004 menganut sistem pemilihan langsung, maka sudah semestinya asas-asas penyelenggraan pemilukada sama dengan asas-asas penyelenggaraan pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.
310 Philipus M. Hadjon dalam Tititk Triwulan Tutik, Op.Cit., hlm. 270
126
Dari pendapat diatas dapat diketahui bahwa Philipus M. Hadjon memasukkan
Pemilukada sebagai bagian dari sistem pemilu sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Pasal 22E UUD NRI Tahun 1945. Oleh karena itu, asas-asas penyelenggaraan pemilihan
umum harus tercermin dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah secara langsung
yaitu asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 22E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.
Pertanyaan berikutnya adalah apakah ketentuan mengenai mekanisme pemilukada
yang dianut dalam UU No. 32 tahun 2004 tersebut diatas sudah memenuhi prinsip-prinsip
demokrasi ? M. Hadin Muhjad dalam disertasinya menyatakan bahwa pengaturan pilkada
langsung dalam UU No. 32 Tahun 2004 tidak demokratis. Berikut ini pendapat M. Hadin
Muhjad mengenai aturan pilkada dalam UU No. 32 Tahun 2004:
Pengaturan pilkada dalam UU No. 32 Tahun 2004 terbukti tidak demokratis. Ada dua alasan, pertama karena sistem pemilihan yang mengutamakan efisiensi dan kedua penyelenggaraannya ada diintervensi dari pemerintah serta dominannya peran partai politik. Jika pilkada dilakukan secara demokratis sesuai dengan amanat Pasal 18 ayat (4), maka dapat melalui Pilkada tidak langsung oleh DPRD berdasarkan aturan dan prosedur yang transparan dan akuntabel. Sedangkan pemerintah pusat hanya memberikan pengesahan saja, dan dapat juga dilakukan pilkada secara langsung oleh rakyat yang pelaksanaannya berdasarkan parameter pemilihan yang dilakukan secara demokratis. UU No. 32 Tahun 2004 menganut Pilkada langsung tetapi diperdebatkan konstitusionalitasnya, karena sistem Pilkada langsung menurut UU No. 32/2004 tidak demokratis, karena sistem pemilihannya mengutamakan efisiensi daripada legitimasi dan dalam proses penyelenggaraannya KPUD diintervensi pemerintah pusat melalui PP No. 6 Tahun 2005 menyangkut data pemilih dan pelantikan. Dalam proses pencalonan dominannya peran partai politik sehingga calon perseorangan harus melalui partai politik.311 M. Hadin Muhjad berkesimpulan bahwa pengaturan mengenai Pilkada dalam UU No.
32 Tahun 2004 tersebut tidaklah demokratis dikarenakan beberapa alasan tersebut di atas.
Akan tetapi, penulis tidak sepenuhnya setuju dengan pendapat yang dikemukakan oleh M.
Hadin Muhjad di atas. Penulis berpendapat bahwa dipilihnya bentuk pemilihan kepala daerah
secara langsung tersebut sudah menunjukkan salah satu nilai-nilai demokrasi atau dengan
kata lain bahwa pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat tersebut merupakan
wujud dari pelaksanaan kedaulatan rakyat. Dikatakan demokratis jika sekiranya undang-
311 M. Hadin Muhjad, Sistem Pemilihan…,Op.Cit.,hlm. 209-210
127
undang tersebut menentukan mekanisme pengisian jabatan kepala daerah dilakukan dengan
cara penetapan atau pengangkatan sebagaimana dimaksud dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi Perkara Nomor 15/PUU-V/2007 seperti yang telah disebutkan di atas.
Dikatakan tidak demokratis dikarenakan berkaitan mengenai proses dan hasil
penyelenggaraannya yang lebih mengutamakan efisiensi daripada legitimasi juga penulis
anggap kurang argumentatif. Efisiensi yang dimaksud adalah berkaitan dengan jumlah
perolehan suara sah dari pasangan calon kepala daerah yang tidak harus mendapatkan lebih
dari 50% ( lima puluh persen) suara, dapat ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih. Pasal
107 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 menentukan bahwa jika tidak ada pasangan calon
kepala daerah yang memperoleh suara lebih dari 50% ( lima puluh persen), maka pasangan
calon kepala daerah yang memperoleh suara lebih dari 25% ( dua puluh lima persen) dari
jumlah suara sah, pasangan calon yang perolehan suaranya terbesar dinyatakan sebagai
pasangan calon terpilih. Hal itu kemudian dianggap tidak legitimid, atau dengan kata lain
bahwa ketentuan tersebut tidak mengutamakan legitimasi dari rakyat. Akan tetapi, jika hal itu
dijadikan argumentasi untuk menyatakan bahwa ketentuan Pilkada langsung dalam UU No.
32 Tahun 2004 tidak demokratis dikarenakan mengabaikan legitimasi, maka pertanyaannya
adalah, apakah suatu pemilihan secara langsung yang tingkat partisipasi pemilihnya kurang
dari 50% (lima puluh persen) dapat dikatakan tidak demokratis atau tidak legitimid? Hal itulah
yang menjadi alasan mengapa penulis kurang sependapat dengan pendapat yang
dikemukakan oleh M. Hadin Muhjad tersebut.
Disamping itu, dominanya peran partai politik dalam proses pencalonan pasangan
calon kepala daerah dan wakil kepala daerah juga bukan merupakan alasan lagi. Mengingat
bahwa pada tahun 2007, Mahkamah Konstitusi berdasarkan Putusan Perkara Nomor 5/PUU-
V/2007 mengabulkan gugatan yang dimohonkan oleh Lalu Ranggalawe, seorang anggota
DPRD Kabupaten Lombok Barat, NTB yang mengakomodir calon perseorangan
(independen) untuk dapat mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daerah tanpa harus
memalui partai politik. Ketentuan tersebut kemudian diatur dalam UU No. 12 Tahun 2008
tentang Perubahan UU No. 32 Tahun 2004. Oleh karena itu, Penulis berpendapat bahwa
ketentuan Pilkada langsung sebagaimana diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 telah
memenuhi prinsip demokrasi.
128
BAB VIII
PRINSIP KEDAULATAN RAKYAT DAN DEMOKRASI DALAM MEKANISME
PENGISIAN JABATAN GUBERNUR DAN WAKIL GUBERNUR PROVINSI DAERAH
ISTIMEWA YOGYAKARTA
Isu utama dalam permasalahan keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta adalah berkaitan dengan mekanisme atau tata cara pengisian jabatan
Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY. Paling tidak terdapat tiga pandangan
(pendapat) yang memperdebatkan mekanisme yang tepat untuk mengisi jabatan
Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY. Pertama adalah kelompok yang tetap
menginginkan Gubernur dan Wakil Gubernur dijabat oleh Sultan Hamengku Buwono
dan Sri Paduka Paku Alam. Pandangan ini berlandaskan pada sejarah ketatanegaraan
yang berkaitan dengan proses pengintegrasian Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten
Paku Alaman kedalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain itu, pandangan ini
berpegangan pada Pasal 18B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 sebagai landasan
konstitusional pengakuan dan penghormatan negara terhadap daerah yang bersifat
khsusus dan istimewa.
Kedua adalah golongan yang menginginkan agar mekanisme pengisian jabatan
Gubernur dan Wakil Gubernur sepenuhnya diserahkan kepada rakyat melalui pemilihan
Gubernur dan Wakil Gubernur secara demokratis. Pandangan ini juga beranggapan
bahwa mekanisme yang ada di Provinsi DIY saat ini dianggap sama dengan bentuk
monarki. Kelompok ini menjadikan Pasal 18 Ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 sebagai
landasan konstitusional untuk dipilihnya Gubernur dan Wakil Gubernur secara
demokratis. Ketiga adalah kelompok yang memadukan antara dua pandangan
sebelumnya, yaitu dengan tetap mempertahankan keistimewaan dan keistimewaan itu
harus berdasarkan nilai-nilai demokrasi.
Sejak bergabungnya Yogyakarta kedalam NKRI melalui amanat 5 September
1945, Presiden Soekarno mengirimkan Surat Kedudukan Presiden pada tanggal 6
September 1945. Sebenarnya surat tersebut sudah disiapkan dan akan dikirim pada
tanggal 19 Agustus 1945, sehari setelah Presiden RI pertama tersebut dilantik. Akan
tetapi, Presiden Soekarno menunggu sikap dari Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku
Alam VIII. Sehingga surat tersebut tetap ditahan sampai tanggal 6 September 1945,
sehari setelah kedua pemimpin di wilayah Yogyakarta tersebut mengeluarkan sikap.
Pada intinya, surat Presiden Soekarno tersebut mengakui dan menghormati
kedudukan Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII sebagai penguasa di
129
wilayah Yogyakarta. Sejak saat itulah, semua kebijakan pemerintahan daerah
khususnya menyangkut masalah kepala daerah, pemerintah pusat tetap mengakui dan
menghormati keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Perdebatan mengenai mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil
Gubernur Provinsi DIY antara kelompok yang tetap menginginkan Sultan Hamengku
Buwono dan Paku Alam sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur dengan kelompok yang
menginginkan agar Gubernur dan Wakil Gubernur dipilih secara demokratis sama-sama
menjadikan konstitusi sebagai dasar argumentasi. Kelompok yang menginginkan
Gubernur dan Wakil Gubernur dipilih secara demokratis menghendaki agar Pasal 18
ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 sebagai dasar konstitusional pemilihan kepala daerah
dipegang secara konsisten di seluruh NKRI.
Pemilihan kepala pemerintah daerah secara demokratis diharapkan akan mampu
meningkatkan hubungan dan interaksi antara pemerintah sebagai wakil pemerintah
pusat di daerah dengan masyarakat di daerah.312 Pemilihan kepala daerah secara
demokratis dianggap sebagai perwujudan dari pelaksanaan kedaulatan rakyat seperti
yang dianut oleh bangsa Indonesia sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (2)
Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Moh.Kusnardi dan Harmaily Ibrahim menyatakan
bahwa suatu negara yang menganut azas kedaulatan rakyat disebut juga sebagai
negara demokrasi.313 Oleh karena itu, maka negara harus memberikan kesempatan dan
perlakuan yang sama terhadap seluruh warga negara dalam hukum dan pemerintahan.
Itulah alasan mengapa kelompok tersebut menginginkan agar Gubernur dan Wakil
Gubernur Provinsi DIY dipilih secara demokratis.
Sedangkan kelompok yang menginginkan agar Sultan Hamengku Buwono dan
Paku Alam secara otomatis tetap menjabat sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur
Provinsi DIY berpegang pada Pasal 18B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 sebagai
landasan konstitusional penetapan. Sebagai sebuah daerah istimewa, maka memang
harus memiliki keistimewaan pula. Fakta sejarah tidak dapat dihapus begitu saja dalam
praktek bernegara. Sujamto menyatakan bahwa salah satu hak asal usul yang bersifat
istimewa (hak autochtoon) dalam daerah istimewa adalah hak asal-usul yang
menyangkut ketentuan dan prosedur tentang pengangkatan dan pemberhentian
pemimpin.314 Jadi mekanisme penetapan dan/atau pengangkatan Gubernur dan Wakil
Gubernur Provinsi DIY merupakan bagian dari hak autochtoon itu.
312 Marijan, Kacung, Sistem Politik …,Op.Cit. hlm. 170 313 Moh.Kusnardi, Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum…,Op.Cit., hlm.130 314 Sujamto, Daerah Istimewa….,Op.Cit., hlm.15
130
Beranjak dari perbedaan pandangan tersebut, maka dalam Bab ini penulis akan
membahas mengenai prinsip kedaulatan rakyat dalam mekanisme pengisian jabatan
kepala daerah. Pembahasan ini nantinya diharapkan akan bisa memberikan solusi
terhadap perdebatan mengenai mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil
Gubernur Provinsi DIY.
Sebelum Kemerdekaan, Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat merupakan
sebuah negara bagian dari pemerintah Hindia Belanda yang memiliki kewenangan untuk
mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya sendiri yang disebut dengan
Zelfbestuurende Landschappen.315 Hal ini tertuang dalam Pasal 1 ayat (1) Surat
Perjanjian antara Pemerintah Hindia Belanda dan Kesultanan Yogyakarta pada tanggal
18 Maret 1940.316 Pasal 1 ayat (2) Surat Perjanjian tersebut menyebutkan bahwa
Kekuasaan atas Kesultanan diselenggarakan oleh seorang Sultan yang diangkat oleh
Gubernur Jenderal. Berdasarkan perjanjian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
kepemimpinan Sri Sultan Hamengku Buwono IX selaku penguasa di wilayah Yogyakarta
adalah sah secara hukum sejak pemerintahan penjajah Hindia Belanda.
Adapun wilayah Kesultanan Ngayogyakarta ketika GRM Dorodjatun dinobatkan
sebagai penguasa Yogyakarta dengan gelar Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang
315 Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat didirikan pada tahun 1756 Masehi bertepatan dengan tahun 1682 Jawa setahun setelah ditantada tanganinya perjanjian Giyanti antara Pangeran Mangkubumi ( kemudian bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono I ) dengan Pemerintah Hindia Belanda yang diwakili oleh Nicholas Hartingh. Isi dari perjanjian Giyanti itu sendiri paling tidak mencakup 3 hal, yaitu (1) Pembagian wilayah kerajaan Mataram, yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarto Hadiningrat. Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat mendapat ½ dari wilayah kerajaan Mataram, sedangkan Kasunanan Surakarta mendapatkan ½ bagian lainnya; (2) Nama dan Gelar Pangeran Mangkubumi adalah Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Ngalogo Ngabdurrahman Sayidin Panotogomo Kalifatullah Ingkang Jumeneng Ing Ngayogyakarto Hadiningrat; (3) Penempatan Keraton dari Pangeran Mangkubumi, yaitu di Alas Beringan Desa Pachetoan, pusat pemerintahan wilayah kerajaan Mataram zaman Panembahan Senopati yang kemudian dikenal dengan Ngayogyakarta (Yogyakarta). Pangeran Mangkubumi merupakan adik dari Susuhunan Paku Buwana II (Raja dari Kerajaan Mataram yang kemudian setelah perjanjian Giyanti dinamakan Kasunanan Surakarta Hadiningrat). Pangeran Mangkubumi keluar dari Keraton untuk melawan Belanda, karena Susuhunan Paku Buwana II sangat berpihak kepada Belanda. Pada tanggal 11 Desember 1749, Susuhunan Paku Buwana II menyerahkan kerajaannya kepada Belanda dengan permintaan agar Pangeran Adipati Anom sebagai putra Mahkota dapat menggantikannya. Mendengar hal tersebut, Pangeran Mangkubumi kemudian dinobatkan sebagai raja oleh para Kawula dan dukungan seluruh keluarga pada tanggal 11 Desember 1749 tersebut dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwono I. Pangeran Mangkubumi secara terus menerus melakukan perlawanan kepada pihak Belanda selama kurang lebih 9 tahun, sehingga kedua belah pihak sepakat untuk berdamai melalui perjanjian Giyanti yang ditandatngani pada tanggal 13 Februari 1755 di Desa Giyanti di sebelah tenggara Karanganyar. Sumber: Hasil wawancara Penulis dengan K.R.T. Jatiningrat pada tanggal 8 Juli 2011di Komplek Keraton Yogyakarta.
316 Lihat: Surat Perjanjian antara Pemerintah Hindia Belanda dan Kesultanan Yogyakarta dalam Atmakusumah, Ed, Takhta Untuk Rakyat: Celah-Celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX, Cet. 4. Edisi Revisi ( Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), hlm. 365. Perjanjian tersebut ditandatangani oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX selaku wakil Kesultanan Yogyakarta dan L. Adam, Gubernur Hindia Belanda di Yogyakarta saat itu. Tanggal perjanjian itu tepat dengan tanggal dinobatkannya GRM Dorodjatun sebagai Sultan Hamengku Buwono IX
131
Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono IX Senopati Ing Ngalogo
Ngabdurrahman Sayidin Panotogomo Kalifatullah Ingkang Jumeneng Ing
Ngayogyakarto Hadiningrat adalah sebagai berikut:317
1. Kabupaten Kota Yogyakarta (bekas Kawedanan Kota Yogyakarta); 2. Kabupaten Sleman (bekas Kawedanan Sleman, Kalasan, dan Godean- dulunya
masuk Kabupaten Bantul); 3. Kabupaten Bantul, meliputi Kabupaten Bantul minus bekas Kawedanan Godean; 4. Kabupaten Gunung Kidul; dan 5. Kabupaten Kulon Progo.
Setelah dibacakannya teks proklamasi oleh Ir. Soekarno pada tanggal 17 Agustus
Tahun 1945, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII memerintahkan
K.R.T. Hanggawangsa mengirim telegram ucapan selamat kepada Ir. Soekarno dan Drs.
Mohammad Hatta serta dr. K.R.T. Radjiman Wediodiningrat selaku ketua Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia ( BPUPKI) pada tanggal 18
Agustus Tahun 1945 yang kemudian disusul telegram yang menyatakan Sri Sultan
Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII siap berdiri di belakang Republik.318
Kemudian pada tanggal 19 Agustus 1945, pemerintah pusat mengutus dua orang
Menteri Negara yaitu Mr. Sartono dan M.r. A.A. Maramis dating ke Yogyakarta untuk
menyampaikan piagam penetapan mengenai kedudukan Sri Sultan Hamengku Buwono
IX sebagai penguasa di wilayah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang
merupakan bagian dari Republik Indonesia.319 Akan tetapi, piagam kedudukan yang
317 Heru Wahyukismoyo, Merajut Kembali Pemikiran Sri Sultan Hamengku Buwono IX: Sebuah Kumpulan Pemikiran dan Polemik Status Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, ( Yogyakarta: Dharmakaryadhika Publisher, 2008), hlm. 76. Hasil wawancara penulis dengan K.R.T. Jatiningrat pada tanggal 7 Juli 2011 juga menyebutkan bahwa wilayah Provinsi DIY yang ada saat ini merupakan sisa wilayah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat sejak terjadinya Perjanjian Giyanti antara Pangeran Mangkubumi ( Sri Sultan Hamengku Buwono I ) dengan Nicholas Hartingh di Desa Padegangan Grobongan, tanggal 22-23 September 1754 dan ditanda tangani pada tanggal 13 Februari 1755. K.R.T. Jatiningrat menyatakan bahwa berdasarkan perjanjian Giyanti tersebut, wilayah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat adalah separoh (1/2) dari wilayah Kerajaan Mataram. Akan tetapi, pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono V, sesudah perang Diponegoro, wilayah Ngayogyakarta Hadiningrat tinggal Negara Agung saja, adapun Manca Negara dikuasai oleh Belanda sebagai akibat kekalahan Diponegoro. Negaraagung itu wilayahnya yang sekarang ini disebut sebagai Daerah Istimewa Yogyakarta ( Mung gari sak megare payung ) yang meliputi Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunung Kidul dan Kabupaten Kulon Progo.
318 Atmakusumah, ed, Takhta Untuk…,Op.Cit., hlm. 61.Hal tersebut juga disampaikan oleh K.R.T. Jatiningrat dalam wawancara dengan penulis pada tanggal 7 dan 8 Juli di Komplek Keraton Yogyakarta. Sebelumnya pada tanggal 6 Juli 2011, bertempat di Gedung Pracimasono Komplek Kepatihan Yogyakarta, dalam acara audiensi dengan perwakilan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) Jawa Tengah dan DIY, K.R.T.Jatiningrat juga menyampaikan hal yang sama.
319 Ibid., hlm. 62
132
ditandatangani oleh Presiden Soekarno tersebut urung (tidak jadi) disampaikan
langsung oleh kedua menteri tersebut. Hal itu dikarenakan kedua menteri tersebut
sudah mengetahui bahwa Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII akan
mengeluarkan pernyataan tertulis terkait dengan kedudukannya dalam wilayah Republik
Indonesia. Kedua menteri negara tersebut khawatir jika sikap yang dikeluarkan oleh
kedua penguasa Yogyakarta dan Paku Alaman tersebut bertentangan dengan piagam
penetapan Presiden tanggal 19 Agustus 1945.320 Baru setelah Sri Sultan Hamengku
Buwono IX dan Sri Paku Alam membacakan Amanat pada tanggal 5 September 1945,321
Piagam Penetapan Presiden tersebut kemudian diserahkan kepada Sri Sultan
Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII pada tanggal 6 September 1945, karena
kedua menteri negara tersebut berpandangan bahwa tidak ada pertentangan antara
Amanat yang dikeluarkan oleh kedua penguasa Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat
dan Kadipaten Paku Alaman dengan Piagam Penetapan Presiden tersebut.322
Dengan demikian, secara historis-yuridis, kedudukan Sri Sultan Hamengku
Buwono IX dan Sri Paku Alama VIII dalam jabatan sebagai kepala daerah dan wakil
kepala daerah Provinsi DIY telah diakui oleh Pemerintah Pusat sejak tanggal 19 Agustus
1945, dua hari setelah Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Pengakuan tersebut semakin kuat dengan di undang-undangkannya UU No. 22 Tahun
1948 dan UU No. 3 Tahun 1950. K.R.T. Harsadiningrat menyatakan bahwa dengan
diterbitkannya UU No. 22 Tahun 1948 dan UU No. 3 Tahun 1950 merupakan bukti-bukti
otentik atas kehendak politik sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 1945 beserta
penjelasannya.323
320 Hasil wawancara penulis dengan K.R.T. Jatiingrat pada tanggal 7 Juli 2011. 321 Dalam wawancara penulis dengan GBPH. H. Djoyokusumo ( adik kandung Sri Sultan Hamengku Buwono X
) dan K.R.T. Jatiningrat pada tanggal 7 Juli 2011, kedua orang cucu Sultan Hamengku Buwono VIII tersebut menyatakan bahwa Amanat 5 September 1945 tersebut dibuat dan dibentuk sesuai dengan ketentuan Pasal 18 UUD 1945. Dipilihnya status istimewa tersebut bukan tanpa dasar, isi dari amanat 5 September 1945 tersebut telah dibahas secara matang dengan berbagai kalangan (tokoh) sehingga tidak mungkin bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu, dengan ditetapkannya Piagam Penetapan Presiden yang disampaikan pada tanggal 6 September 1945 tersebut merupakan pengakuan atau bukti autentik bahwa pemerintah pusat mengakui status keistimewaan yang dimiliki oleh Daerah Istimewa Yogyakarta dengan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII sebagai penguasa di wilayah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Paku Alaman pada waktu itu.
322 K.R.T.Jatiningrat mengungkapkan bahwa sebelum dikeluarkannya amanat 5 September 1945 tersebut, Sri Sultan Hamengku Buwono IX telah meminta pendangan dan pendapat dari berbagai pihak (tokoh), termasuk Ki Hajar Dewantara. Sehingga pada akhirnya amanat tersebut dikeluarkan (dibacakan) pada tanggal 5 September 1945. K.R.T. Jatiningrat menyatakan bahwa kata “amanat” digunakan bukan karena tanpa alasan. Sri Sultan Hamengku Buwono IX tidak menggunakan kata “maklumat” melainkan kata “amanat”. Hal ini dikarenakan bahwa pernyataan tersebut bukan semata-mata kehendak atau keinginan Sultan semata, melainkan amanat yang diemban oleh Sultan dari seluruh rakyat Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat untuk disampaikan kepada pemerintah pusat (Presiden) RI.
323 Heru Wahyukismoyo, Merajut Kembali…,Op.Cit.,hlm. 36
133
5.1.1. Mekanisme Pengisian Jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY
dalam berbagai Undang-Undang Pemerintahan Daerah
Dalam pembahasan sebelumnya, penulis sudah mengemukakan secara singkat
mengenai pengaturan daerah istimewa dalam berbagai undang-undang pemerintahan
daerah yang pernah dan/atau masih berlaku di Indonesia. Beberapa undang-undang
pemerintahan daerah tersebut diantaranya adalah UU No. 22 Tahun 1948; UU No. 1
Tahun 1957; Penpres Nomor 6 Tahun 1959; UU No. 18 Tahun 1965; UU No. 5 Tahun
1974; UU No. 22 Tahun 1999; dan UU No. 32 Tahun 2004.
Pengaturan mengenai mekanisme pengisian Jabatan Gubernur dan Wakil
Gubernur Provinsi DIY sebagai sebuah daerah istimewa dalam UU No. 22 Tahun 1948,
diatur dalam Pasal 18 ayat (5) dan ayat (6). Berikut ini bunyi ketentuan Pasal 18 ayat (5)
dan ayat (6) UU No. 22 Tahun 1948:
5) Kepala Daerah istimewa diangkat oleh Presiden dari keturunan keluarga yang berkuasa didaerah itu dizaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih menguasai daerahnya, dengan syarat-syarat kecakapan, kejujuran dan kesetian dan dengan mengingat adat istiadat di daerah itu.
6) Untuk daerah istimewa dapat diangkat seorang wakil Kepala Daerah oleh Presiden dengan mengingat syarat-syarat tersebut dalam ayat (5). Wakil Kepala Daerah Isimewa adalah anggauta Dewan Pemerintah Daerah.
Dari ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa mekanisme pengisian jabatan
kepala daerah istimewa adalah diangkat oleh Presiden dari keturunan keluarga yang
masih berkuasa di daerah itu. Kemudian bagi daerah istimewa juga dapat diangkat
seorang wakil kepala daerah. Sedangkan bagi daerah lainnya, jabatan wakil kepala
daerah ditiadakan.
Ketentuan Pasal 18 ayat (5) UU No. 22 Tahun 1948 tersebut di atas paling tidak
mengandung 2 hal, yaitu:
1. Bahwa Presiden memiliki kewenangan untuk mengangkat kepala daerah istimewa.
Dengan adanya ketentuan ini, maka kepala daerah istimewa diangkat langsung oleh
Presiden tanpa melalui pencalonan terlebih dahulu oleh DPRD sebagaimana
ketentuan bagi daerah-daerah lainnya.
2. Bahwa calon kepala daerah istimewa itu berasal dari “keturunan” keluarga yang
masih berkuasa di daerah itu di zaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih
menguasai daerahnya. Dalam ketentuan ini, yang digunakan adalah istilah
“keturunan”, dengan demikian, maka Presiden berhak menentukan atau memilih
134
siapa saja dari keturunan penguasa di daerah istimewa itu. Tidak harus seorang raja
atau sultan yang sedang bertahta. Akan tetapi bisa saja dari keturunan raja atau
sultan sebelumnya yang dianggap mampu secara subjektif oleh Presiden. Sebagai
contoh misalnya Presiden dapat mengangkat siapa dari keturunan lain dari Sri Sultan
Hamengku Buwono IX, tanpa harus mengangkat Sultan Hamengkubuwono yang
sedang bertahta yang mengggantikan Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Misalnya
saudara dari Herjuno Darpito atau GPH. Mangkubumi ( saat ini bertahta sebagai Sri
Sultan Hamengku Buwono X) seperti GBPH. Djoyoningrat atau GBPH.Yudhaningrat
yang dianggap mampu dan memenuhi persyaratan oleh Presiden.
Dalam UU No. 22 Tahun 1948 tersebut, tidak terdapat ketentuan mengenai masa
jabatan seorang kepala daerah, termasuk masa jabatan kepala daerah dan wakil kepala
daerah istimewa. Pasal 18 ayat (4) hanya menyebutkan bahwa “Kepala Daerah dapat
diberhentikan oleh yang berwajib atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang
bersangkutan”. Yang dimaksud dengan “yang berwajib” adalah Presiden, Menteri dan
Gubernur sebagaimana yang disebutkan dalam ketentuan Penjelasan Umum Bagian VI
ke-24 UU No. 22 Tahun 1948. Penulis berpendapat bahwa ketentuan tersebut tidak
mengikat bagi daerah istimewa, hal tersebut dikarenaka mekanisme pengangkatan
kepala daerah dan wakil kepala daerah istimewa tidak seperti mekanisme pengangkatan
kepala daerah lainnya yang dicalonkan oleh DPRD terlebih dahulu. Akan tetapi, secara
konseptual kepala daerah istimewa dapat diberhentikan kapan saja oleh Presiden jika
Presiden menghendaki pemberhentian itu. Hal ini sebagai wujud bentuk negara
kesatuan yang kita anut, dimana pemerintah pusat memiliki kewenangan untuk
mengatur urusan pemerintahan baik di tingkat pusat maupun di daerah.
Lain halnya dengan UU No.22 Tahun 1948, UU No. 1 Tahun 1957 mengharuskan
adanya pencalonan kepala daerah istimewa yang berasal dari keturunan keluarga yang
berkuasa di daerah itu dizaman sebelum Republik Indonesia. Jadi, dalam UU No. 1
Tahun 1957, DPRD memiliki hak untuk mengajukan calon kepala daerah istimewa.
Dengan kata lain bahwa mekanisme pengisian jabatan kepala daerah istimewa menurut
UU No. 1 Tahun 1957 bukan lagi diangkat langsung oleh Presiden, melainkan harus
dicalonkan terlebih dahulu oleh DPRD. Berikut ini bunyi ketentuan Pasal 25 UU No.1
Tahun 1957:
(1) Kepala Daerah Istimewa diangkat dari calon yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu dijaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih menguasai daerahnya, dengan memperhatikan syarat-syarat kecakapan, kejujuran,
135
kesetiaan serta adat istiadat dalam daerah itu, dan diangkat dan diberhentikan oleh: a. Presiden bagi Daerah Istimewa tingkat I. b. Menteri Dalam Negeri atau penguasa yang ditunjuk olehnya bagi Daerah
Istimewa tingkat II dan III. (2) Untuk Daerah Istimewa dapat diangkat dari calon yang diajukan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah seorang Wakil Kepala Daerah Istimewa yang diangkat dan diberhentikan oleh penguasa yang mengangkat /memberhentikan Kepala Daerah Istimewa, dengan memperhatikan syarat-syarat tersebut dalam ayat (1).
(3) Kepala dan Wakil Kepala Daerah Istimewa karena jabatannya adalah berturut-turut menjadi Ketua serta anggota dan Wakil Ketua serta anggota dari Dewan Pemerintah Daerah.
Sama halnya dengan UU No. 22 Tahun 1948, UU No. 1 Tahun 1957 juga tidak
menyebutkan masa jabatan seorang kepala daerah termasuk kepala daerah istimewa.
Akan tetapi, dalam Pasal 23 UU No. 1 Tahun 1957 disebutkan bahwa cara
pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah diatur dengan undang-undang.
Penulis tidak menemukan adanya sebuah undang-undang khusus yang mengatur
mengenai cara pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Pasal 23 UU No. 1 Tahun 1957 tersebut. Oleh karena itu,
penulis berpendapat bahwa mekanisme pemberhentian kepala daerah istimewa juga
sama dengan mekanisme pemberhentian kepala daerah istimewa sebagaimana
dimaksud dalam UU No. 22 Tahun 1948.
Pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah istimewa oleh DPRD tidak
lagi diperlukan setelah berlakunya Penpres No. 6 Tahun 1959. Untuk Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah Istimewa, dalam ketentuan Pasal 6 Penpres No.6 Tahun 1959
tersebut tidak lagi dicalonkan oleh DPRD, melainkan ditetapkan langsung oleh Presiden.
Ketentuan tersebut berbeda dengan ketentuan UU No. 1 Tahun 1957 yang
mensyaratkan adanya pencalonan terlebih dahulu dari DPRD. Hal ini juga dipertegas
dalam Penjelasan Pasal 6 Penpres No.1 Tahun 1959 yang berbunyi “Dalam ketentuan
ini tidak dimasukkan lagi unsur pencalonan”.
Pasal 6 Penpres No.6 Tahun 1959 yang berbunyi:
(1) Kepala Daerah Istimewa diangkat dari keturunan keluarga yang berkuasa menjalankan pemerintahan di daerah itu dizaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih berkuasa menjalankan pemerintahan di daerahnya, dengan memperhatikan syarat-syarat kecakapan, kejujuran,
136
kesetiaan pada Pemerintah Republik Indonesia serta adat istiadat dalam daerah itu dan diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
(2) Untuk Daerah Istimewa dapat diadakan seorang Wakil Kepala Daerah Istimewa, yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan memperhatikan syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) pasal ini.
Dengan demikian, berdasarkan ketentuan Pasal 6 Penpres No. 6 Tahun 1959
tersebut, maka mekanisme pengangkatan kepala daerah istimewa adalah diangkat
dan/atau ditetapkan langsung oleh Presiden dari keturunan keluarga yang berkuasa
menjalankan pemerintahan di daerah itu dizaman sebelum Republik Indonesia.
Mengenai masa jabatan kepala daerah, Penpres No. 6 Tahun 1959 juga tidak
mengaturnya secara eksplisit. Akan tetapi, dalam ketentuan Pasal 4 ayat (6) Penpres
No. 6 Tahun 1959 disebutkan bahwa “Kepala Daerah diangkat untuk suatu masa
jabatan yang sama dengan masa duduk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang
bersangkutan, tetapi dapat diangkat kembali setelah masa jabatannya berakhir”.
Ketentuan tersebut sebenarnya masih bisa ditafsirkan berbeda, apakah berlaku bagi
kepala daerah dan wakil kepala daerah istimewa atau tidak. Hal ini dikarenakan cara
pengangkatan jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah istimewa berbeda dengan
cara pengangkatan kepala daerah biasa yang harus melalui pencalonan oleh DPRD.
Akan tetapi, penulis berpendapat bahwa masa jabatan kepala daerah istimewa
tergantung dari kehendak Presiden selaku penguasa yang mengangkat dan
memberhentikan kepala daerah dan wakil kepala daerah istimewa tersebut.
Berbeda dengan undang-undang sebelumnya, dalam UU No. 18 Tahun 1965,
tidak ditentukan mekanisme pengisian jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah
istimewa. UU No. 18 Tahun 1965 langsung menyebutkan bahwa kepala daerah dan
wakil kepala daerah istimewa Jogyakarta yang sedang menjabat saat diberlakukannya
UU No. 18 Tahun 1965 tersebut secara otomatis menjadi kepala daerah dan wakil
kepala daerah istimewa Jogyakarta. Dengan kata lain bahwa UU No. 18 Tahun 1965
tidak mengatur ketentuan antisipatif jika kepala daerah dan wakil kepala daerah
istimewa Jogyakarta itu mangkat, berhenti atau diberhentikan. Apakah mengikuti
mekanisme pengisian jabatan kepala daerah biasa sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Pasal 11 sampai dengan Pasal 22 UU No. 18 Tahun 1965 atau tidak. Akan
tetapi, UU No. 18 Tahun 1965 tidak membatasi masa jabatan kepala daerah dan wakil
kepala daerah istimewa Jogyakarta dalam masa jabatan 5 (lima) tahun sebagaimana
yang diberlakukan bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah biasa. Pasal 88 ayat (2)
huruf b UU No. 18 Tahun 1965 berbunyi:
137
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, Daerah Istimewa Jogyakarta yang sekarang, pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, adalah Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogjakarta, yang tidak terikat pada jangka waktu masa jabatan dimaksud pada pasal 17 ayat (1) dan pasal 21 ayat (5).
Mekanisme pengisian jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah istimewa
Yogyakarta sebagaimana yang diatur dalam Pasal 88 ayat (2) huruf b UU No. 18 Tahun
1965 diadopsi kembali dalam UU No. 5 Tahun 1974. Pasal 91 huruf b UU No.5 Tahun
1974 berbunyi:
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta yang sekarang adalah Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah menurut Undang-undang ini dengan sebutan Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta, yang tidak terikat pada ketentuan masa jabatan, syarat dan cara pengangkatan bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah lainnya
Dari ketentuan di atas, dapat diketahui bahwa mekanisme pengisian jabatan
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta tidak seperti mekanisme
pengisian jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah lainnya. Misalnya dalam hal
masa jabatan, Pasal 17 UU No. 5 Tahun 1974 menentukan bahwa masa jabatan Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah lainnya hanya bisa menjabat selama 5 (lima) tahun
dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. Begitu pula
mengenai syarat untuk menjadi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sebagaimana
dimaksud Pasal 14 dan Pasal 24 UU No.5 Tahun 1974 juga tidak mengikat bagi Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta. Seperti harus berpendidikan
Sarjana Muda bagi Kepala Daerah dan dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi syarat
bagi Wakil Kepala Daerah.
Akan tetapi, permasalahan yang sama dapat terjadi sebagaimana permasalahan
yang terjadi dalam UU No. 18 Tahun 1965. Permasalahan tersebut ialah bagaimana
mekanisme pengisian jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah istimewa
Yogyakarta berikutnya, jika Kepala Daerah Istimewa dan Wakil Kepala Daerah Istimewa
Yogyakarta yang ada saat itu berhenti atau diberhentikan. Apakah mekanisme pengisian
jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah istimewa tersebut sama dengan
mekanisme pengisian jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah biasa. Karena dari
ketentuan tersebut, pengkhususan hanya diberlakukan bagi kepala daerah istimewa dan
wakil kepala daerah istimewa Yogyakarta yang ada pada saat itu, yaitu Sri Sultan
138
Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII masing-masing sebagai Gubernur dan
Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta.
Ketentuan dalam UU No. 5 Tahun 1974 tersebut juga diadopsi kembali dalam UU
No. 22 Tahun 1999. Walaupun UU No. 5 Tahun 1974 sudah dinyatakan tidak berlaku,
akan tetapi khusus mengenai ketentuan daerah istimewa tetap berlaku, karena Pasal
122 UU No. 22 Tahun 1999 menyebutkan bahwa Keistimewaan Provinsi Daerah
Istimewa Aceh dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana dimaksud dalam
UU No. 5 Tahun 1974 adalah tetap.324 Berikut ini bunyi ketentuan Pasal 122 yang
berbunyi UU No. 22 Tahun 1999:
Keistimewaan untuk Propinsi Daerah Istimewa Aceh dan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, adalah tetap dengan ketentuan bahwa penyelenggaraan pemerintahan Propinsi Istimewa Aceh dan Propinsi Istimewa Yogyakarta didasarkan pada undang-undang ini.
Penjelasan Pasal 122 UU No. 22 Tahun 1999 berbunyi:
Pengakuan keistimewaan Propinsi Istimewa Yogyakarta didasarkan pada asal-usul dan peranannya dalam sejarah perjuangan nasional, sedangkan isi keistimewaannya adalah pengangkatan Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Sultan Yogyakarta dan Wakil Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Paku Alam yang memenuhi syarat sesuai dengan undang-undang ini Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya dalam pemabahasan nomor
1.3.7, penulis berpendapat bahwa UU No.22 Tahun 1999 tersebut memberikan
keistimewaan yang “setengah hati” kepada Daerah Istimewa Yogyakarta, khususnya
menyangkut mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY.
Hal itu dapat dilihat dari penggunaan rumusan ketentuan “dengan mempertimbangkan
calon dari keturunan…”. Rumusan tersebut merupakan suatu rumusan yang sangat
bebas. Apalagi dijumbuhi dengan rumusan ” yang memenuhi syarat sesuai dengan
undang-undang ini”. Yang dimaksud dengan rumusan yang sangat bebas yaitu dapat
dilihat dari arti istilah “mempertimbangkan” itu sendiri. Dengan menggunakan istilah
“mempertimbangkan”, itu bermakna bahwa masih dapat memunculkan kemungkinan-
324 Lihat: Pembahasan pada Bab II Nomor 1.3.7
139
kemungkinan lain selain yang dipertimbangkan itu. Misalnya, setelah DPRD menimbang
bahwa calon dari keturunan Sultan Yogyakarta dan dari keturunan Paku Alam tidak
memenuhi syarat sebagai calon Kepala Daerah dan calon Wakil Kepala Daerah seperti
yang disyaratkan oleh UU No.22 Tahun 1999 itu, maka DPRD dapat memilih calon
lainnya sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta.
Oleh karena itu, penulis berpendapat bahwa pengakuan eksistensi Yogyakarta
sebagai sebuah daerah yang bersifat istimewa dalam UU No.22 Tahun 1999 tersebut
adalah “setengah hati” bahkan mengalami kemunduran. Hal ini berbeda dengan
ketentuan undang-undang pemerintahan daerah sebelumnya yang langsung
mengangkat dan menetapkan Sultan Yogyakarta dan Paku Alam sebagai Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tanpa harus
terikat dengan mekanisme atau tata cara pengisian jabatan Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah lainnya.
Sebagai akibat dari adanya ketentuan ini, pada tahun 19989, setelah Sri Paku
Alam VIII wafat, terjadi polemik di DPRD DIY mengenai mekanisme pengisian jabatan
Wakil Gubernur Provinsi DIY. Selain itu, konflik internal juga terjadi dalam lingkungan
Puro Paku Alaman. Sebuah konflik internal keluarga istana atau Puro Paku Alaman
muncul, berkaitan dengan dua calon yang diajukan kerabat keraton itu. Calon pertama
adalah Gusti Bendoro Pangeran Haryo Probokusumo (Angkling Kusumo) didukung
keluarga KRAy Retnaningrum, istri kedua Sri Pakualam VIII. Sedangkan calon kedua,
Sri Pakualam IX Kanjeng Pangeran Haryo Ambarkusumo didukung keluarga istri
pertama Sri Pakualam VIII, KRAy Purnamaningrum. Meski masih satu kerabat, kedua
kubu ahli waris Sri Pakualam VIII bersikeras memuluskan calonnya. Mereka terus
melobi pimpinan dan anggota DPRD. Oleh karena adanya konflik internal tersebut maka
pimpinan Dewan akhirnya menunda proses pemilihan Wagub hingga 2004. Dalam kurun
waktu itu, DPRD sepakat tetap mengosongkan jabatan Wakil Gubernur Provinsi DIY.325
Akhirnya pada tahun 2003, Sri Paku Alam IX dapat ditetapkan sebagai Wakil Gubernur
DIY setelah Angkling Kusumo mengundurkan diri dari pencalonan.
Ketentuan yang terdapat dalam penjelasan Pasal 122 UU No. 22 Tahun 1999
tersebut sangat riskan terhadap terjadinya konflik internal dalam lingkungan keraton (
325 http://berita.liputan6.com/read/14384/Pemilihan.Wakil.Gubernur.Yogyakarta.Ditunda. Edisi 09/06/2001. diakses pada tanggal 10 Juli 2011
140
Keraton Kasulatanan Yogyakarta maupun Pro Paku Alaman). Adanya ketentuan
pencalonan oleh DPRD dengan mempertimbangan keturunan dari Sultan Hamengku
Buwono dan Paku Alam akan membawa dampak tersendiri bagi munculnya konflik
internal dalam lingkungan keraton seperti yang terjadi pada pengisian jabatan Wakil
Gubernur DIY pada tahun 1999 tersebut. Konflik internal tersebut tidak akan terjadi jika
undang-undang secara jelas menyatakan bahwa Sultan Hamengku Buwono dan Paku
Alam yang bertahta langsung ditetapkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi
DIY.
Di dalam Pasal 226 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa
Keistimewaan untuk Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah tetap dengan ketentuan bahwa
penyelenggaraan pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta tersebut harus didsarkan
pada UU No. 32 Tahun 2004. Berdasarkan ketentuan tersebut maka semakin
menjadikan status keistimewaan Provinsi DIY “mengambang”. Jika sebelumnya dalam
UU No. 22 Tahun 1999 masih diatur mengenai mekanisme pengisian jabatan Gubernur
dan Wakil Gubernur Provinsi DIY, walaupun hanya dalam penjelasan Pasal 122 UU No.
22 Tahun 1999, maka dalam UU No. 32 Tahun 2004 sama sekali tidak disebutkan
mengenai mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur tersebut.
Dalam Pasal 226 ayat (2) tersebut hanya disebutkan mengenai status
keistimewaan Provinsi DIY yang tetap sebagaimana dimaksud dalam UU No.22 Tahun
1999. Oleh karena itu, polemik mengenai keistimewaan Provinsi DIY berawal dari
ketidak jelasan undang-undang pemerintahan daerah tersebut. Akan tetapi, penulis
berpendapat jika tetap konsisten terhadap ketentuan Pasal 226 ayat (2) UU No. 32
Tahun 2004 yang mengacu kepada ketentuan Pasal 122 UU No. 22 Tahun 1999 beserta
penjelasannya, maka sebenarnya titik permasalahannya adalah menyangkut
mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY yang riskan dengan
konflik internal dalam lingkungan keraton sendiri. Selain itu, karena Pasal 122 UU No. 22
Tahun 1999 juga mengacu kepada Pasal 91 huruf b UU No. 5 Tahun 1974, maka
perdebatan mengenai masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY juga tidak perlu
diperdebatkan. Hal ini karena ketentuan dalam UU No. 5 Tahun 1974 sepanjang
mengatur masalah keistimewaan Yogyakarta, tetaplah berlaku, karena Pasal 122 UU
No. 22 Tahun 1999 menyatakan demikian. Begitu pula halnya dengan Pasal 226 ayat
(2) UU No. 32 Tahun 2004 tetap memberlakukan ketentuan yang mengatur
keistimewaan Provinsi DIY dalam UU No. 22 Tahun 1999. Dengan demikian,
permasalahan yang masih tersisa yaitu menyangkut tata cara pengisian jabatan
141
Gubernur dan Wakil Gubernur DIY khususnya dalam hal pencalonan ( calon Gubernur
dan Wakil Gubernur ) dan mekanisme pengisian jabatan tersebut.
Permasalahan terkait dengan pencalonan yaitu apakah calon Gubernur dan Wakil
Gubernur Provinsi DIY secara otomatis adalah Sultan Hamengku Buwono dan Paku
Alam yang bertahta, ataukah keturunan Sultan Hamengku Buwuno dan Paku Alam
lainnya dapat mencalonkan diri. Sedangkan terkait mekanisme pengisian jabatan
tersebut yaitu menyangkut mengenai cara yang ditentukan, apakah cara pemilihan
langsung oleh rakyat, atau dipilih oleh DPRD ataukah dengan cara pengangkatan
(penetapan) oleh Presiden.
142
Dengan pendekatan historis, berikut ini disampaikan tabel tentang mekanisme pengisian jabatan kepala daerah dan wakil
kepala daerah istimewa yang diatur dalam UU No. 22 Tahun 1948, UU No. 1 Tahun 1957, Penpres No. 6 Tahun 1959, UU No. 18
Tahun 1965, UU No. 5 Tahun 1974, UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2004.
KET. UU
NO.22/1948
UU NO.
1/1975
PENPRES
NO. 6/1959
UU NO.
18/1965
UU NO.
5/1974 UU NO. 22/1999
UU
NO.32/2004
Cara
Pengisian
Jabatan
Kepala
Daerah
Dan Wakil
Kepala
Daerah
Istimewa
Diangkat
oleh
Presiden
Diangkat dari
calon yang
diajukan oleh
DPRD.
Pengangkatan
dan
pemberhentian
dilakukan oleh:
a. Presiden
untuk
daerah
istimewa
tingkat I
b. Menteri
Dalam
Negeri atau
penguasa
yang
ditunjuk
olehnya
Diangkat oleh
Presiden
tanpa melalui
calon yang
diajukan oleh
DPRD
Kepala
daerah yang
sudah ada
sebelumnya
merupakan
kepala
daerah dan
wakil kepala
daerah
istimewa
Jogyakarta
Kepala
daerah yang
sudah ada
sebelumnya
merupakan
kepala
daerah dan
wakil kepala
daerah
istimewa
Jogyakarta
Secara normatif,
mekanisme yang
disebutkan adalah
pengangkatan.
Dalam praktek
pernah akan terjadi
pemilihan Wakil
Gubernur pada
Tahun 2001
Tidak ada
ketentuan
(norma) yang
mengatur
mengenai
mekanisme
pengisian
jabatan
Gubernur dan
Wakil
Gubernur DIY.
Akan tetapi
dalam praktek
ternyata
dilakukan
penetapan
(perpanjangan
masa jabatan)
ketika masa
jabatan
143
bagi
Daerah
Istimewa
tingkat II
dan III
Gubernur dan
Wakil
Gubernur DIY
berakhir pada
tahun 2008
Asal Calon Dari
Keturunan
keluarga
yang
berkuasa di
daerah itu
dizaman
sebelum
Republik
Indonesia
dan yang
masih
menguasai
daerahnya
Dari
Keturunan
keluarga yang
berkuasa di
daerah itu
dizaman
sebelum
Republik
Indonesia dan
yang masih
menguasai
daerahnya
Dari
keturunan
keluarga
yang
berkuasa
menjalankan
pemerintahan
di daerah itu
dizaman
sebelum
Republik
Indonesia
dan yang
masih
berkuasa
menjalankan
pemerintahan
di daerahnya
Tidak diatur
kemungkinan
adanya calon
lain setelah
berakhirnya
masa jabatan
kepala
daerah dan
wakil kepala
daerah
istimewa
yang sedang
menjabat
Tidak diatur
kemungkinan
adanya calon
lain setelah
berakhirnya
masa jabatan
kepala
daerah dan
wakil kepala
daerah
istimewa
yang sedang
menjabat
dari keturunan
Sultan Yogyakarta
dan Wakil
Gubernur dengan
mempertimbangkan
calon dari
keturunan Paku
Alam
-
Syarat Cakap, jujur
dan setia
Cakap, jujur
dan setia serta
Cakap, jujur
serta setia
Tidak
disebutkan
Tidak terikat
dengan
Syarat-syarat calon
Gubernur dan
-
144
serta adat
istiadat
dalam
daerah itu
adat istiadat
dalam daerah
itu
kepada
Pemerintah
RI serta adat
istiadat dalam
daerah itu
syarat-
syaratnya
syarat-syarat
sebagaimana
syarat-syarat
yang berlaku
bagi kepala
daerah
lainnya
Wakil Gubernur
DIY sama dengan
syarat-syarat yang
berlaku bagi calon
Gubernur dan
Wakil Gubernur
daerah lainnya
sebagaimana yang
diatur dalam
udang-undang
Masa
Jabatan
Tidak
ditentukan
masa
jabatan
Tidak
ditentukan
masa jabatan
Masa
Jabatan
mengambang
karena ada
ketentuan
yang
membatasi
masa jabatan
kepala
daerah
sesuai
dengan masa
jabatan
DPRD
Tidak terikat
dengan masa
jabatan
sebagaimana
kepala
daerah
lainnya
Tidak terikat
dengan masa
jabatan
sebagaimana
kepala
daerah
lainnya
Masa jabatan
mengambang,
karena tidak diatur
dengan tegas.
Akan tetapi dalam
praktek ternyata
masa jabatannya
adalah 5 (lima)
tahun
Dalam
praktek, masa
jabatan
gubernur dan
wakil
gubernur diy
adalah 5
(lima) tahun.
akan tetapi
pada tahun
2008
diperpanjang
selama 3
(tiga) tahun
sampai
145
dengan
Oktober 2011.
Bahkan
adanya
kemungkinan
untuk
diperpanjang
lagi hingga
draft RUUK
disahkan
sebagai UU.
146
5.1.2. Mekanisme Pengisian Jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY
dalam Draft RUUK dan UU Keistimewaan DIY
Dalam pembahasan Bab sebelumnya, penulis sudah menggambarkan secara
singkat mengenai keunikan dalam mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil
Gubernur Provinsi DIY.
Tata cara pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY ini
merupakan isu sentral dari perdebatan mengenai keistimewaan Provinsi DIY. Terdapat
beberapa “keunikan” (keistimewaan) dalam mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan
Wakil Gubernur DIY dalam RUUK tersebut. Tata cara pengisian jabatan Gubernur dan
Wakil Gubernur Provinsi DIY diatur dalam Pasal 16 sampai dengan Pasal 28 UU No. 13
Tahun 2012. Beberapa keunikan dalam mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan
Wakil Gubernur Provinsi DIY ini antara lain:
a. Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dilakukan oleh DPRD Provinsi DIY, bukan
dipilih secara langsung oleh rakyat sebagaimana pemilihan Gubernur dan Wakil
Gubernur di daerah lainnya.
Dalam UU No. 13 Tahun 2012 mengatur tata cara pengisian jabatan Gubernur
dan Wakil Gubernur Provinsi DIY yaitu dengan cara penetapan oleh DPRD DIY setelah
diajukannya calon dan melalui proses verifikasi. Hal ini berbeda dengan undang-undang
pemerintahan daerah sebelumnya, yang menggunakan cara pengangkatan langsung
oleh Presiden tanpa melalui proses pencalonan dan verifikasi di DPRD. Pemerintah
pusat menganggap bahwa cara ini merupakan cara yang tepat agar nilai-nilai demokrasi
tetap tumbuh di Provinsi DIY, sebagaimana yang statmen Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono pada tanggal 26 November 2010.
Sebagaimana dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya, bahwa semua daerah
tingkat Provinsi di Indonesia saat ini, kepala daerah dan wakil kepala daerahnya dipilih
langsung oleh rakyat. Tidak terkecuali daerah otonomi khusus seperti Provinsi NAD, DKI
Jakarta, Papua dan Papua Barat. Dalam Pasal 56 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004,
disebutkan bahwa pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dilakukan secara
langsung. Begitu juga halnya dengan mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil
Gubernur di Provinsi DKI Jakarta, Provinsi NAD, Provinsi Papua dan Papua Barat juga
dilakukan secara langsung. Hal itu dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 10 UU No. 29
Tahun 2007, Pasal 65 UU No. 11 Tahun 2006, dan Pasal 11 UU No. 21 Tahun 2001 j.o
Pasal 56 UU No. 32 Tahun 2004.
Walaupun demikian, digunakannya mekanisme pemilihan oleh DPRD tidaklah
bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945
147
hanya menentukan bahwa mekanisme pengisian jabatan kepala daerah haruslah dipilih
secara demokratis. Akan tetapi, yang menjadi pertanyaan adalah apakah Pasal 18 ayat
(4) UUD NRI Tahun 1945 juga dapat diterapkan bagi daerah yang berstatus khusus dan
istimewa? Ni’matul Huda menyatakan bahwa Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945
tidak dapat diterapkan secara umum (digeneralisir) di semua daerah di Indonesia,
terutama daerah otonomi khusus dan istimewa.326
Jika Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 tersebut diterapkan di seluruh
Indonesia tanpa terkecuali, maka Walikota dan Bupati dalam wilayah Provinsi DKI
Jakarta juga harus dipilih secara demokratis. Bukan dengan cara pengangkatan oleh
Gubernur seperti yang berlaku saat ini. Jika Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945
digeneralisir, maka pengangkatan Walikota dan Bupati di wilayah Provinsi DKI Jakarta
oleh Gubernur adalah inkonstitusional. Akan tetapi, karena Provinsi DKI Jakarta
merupakan daerah otonomi khusus, maka pengangkatan Walikota dan Bupati di wilayah
Provinsi DKI Jakarta tersebut konstitusional karena berlandaskan pada Pasal 18B ayat
(1) UUD NRI Tahun 1945.
Penulis sependapat dengan pendapat yang dikemukakan oleh Ni’matul Huda
tersebut. Ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 tidak dapat digeneralisir
untuk diterapkan bagi daerah-daerah yang memiliki status khusus dan istimewa. Begitu
pula dengan Provinsi DIY yang menyandang status sebagai daerah istimewa.
Keistimewaan yang dimiliki oleh Provinsi DIY hanyalah terletak pada jabatan Gubernur
dan Wakil Gubernur yang dijabat oleh Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam yang
sedang bertahta. Achiel Suyanto menyatakan bahwa jika satu-satunya isi keistimewaan
itu dicabut oleh pemerintah pusat, maka tidak ada lagi keistimewaan yang dimiliki oleh
Provinsi DIY.327 Dengan demikian, status keistimewaan tersebut hanyalah hiasan kata
tanpa makna.
Secara konseptual, apakah sebenarnya yang dimaksud dengan daerah istimewa
atau daerah dengan otonomi khusus sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 18B
ayat (1) UUD 1945? Apa sebenarnya criteria istimewa itu?
Dalam ketentuan Draft Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta tahun
2008 dan Draft tahun 2010 yang merupakan RUU usulan Pemerintah (Kementerian
Dalam Negeri) serta Draft RUU dari Program S2 Politik Lokal dan Otonomi Daerah
326 Hasil wawancara penulis dengan Ni’matul Huda pada tanggal 6 Juli 2011
327 Achiel Suyanto, S.H., M.H., MBA, adalah ketua Tim Hukum Keraton Yogyakarta. Penulis melakukan wawancara dengan Achiel Suyanto pada tanggal 5 Juli 2011.
148
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gajah Mada tahun 2008, definisi konsep
keistimewaan adalah sebagai berikut:328
Keistimewaan adalah kedudukan hukum yang dimiliki oleh Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan sejarah dan hak asal-usul menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk mengatur dan mengurus kewenangan istimewa. Sementara itu yang dimaksud dengan kewenangan istimewa adalah wewenang
tambahan tertentu yang dimiliki Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta selain wewenang
sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah.329
Terkait dengan kewenangan istimewa yang merupakan hak asal-usul dalam daerah yang
bersifat istimewa (hak yang bersifat autochtoon), atau hak yang dimilikinya sejak sebelum
daerah itu merupakan bagian dari Negara Republik Indonesia, Sujamto mengemukakan
bahwa ada tiga garis besar macam-macam hak autochtoon itu, yakni sebagai berikut:330
1. Hak asal usul yang menyangkut struktur kelembagaan, yang tersirat dari kata-kata “susunan asli”;
2. Hak asal-usul yang menyangkut ketentuan dan prosedur tentang pengangkatan dan pemberhentian pemimpin;
3. Hak asal usul yang yang menyangkut penyelenggaraan urusan-urusan pemerintahan terutama yang berhubungan dengan penyelenggaraan dan pembebanan terhadap masyarakat.
Pendapat Sujamto di atas, sesuai dengan jiwa Pasal 18 UUD 1945 sebelum
perubahan, bahwa yang dinamakan hak asal-usul itu yaitu menyangkut bentuk susunan
pemerintahan asli suatu daerah yang bersifat khusus. Ni’matul Huda berpendapat
bahwa konsekuensi dari dari jaminan yang diberikan oleh UUD 1945 tersebut adalah
bahwa setiap aturan negara atau peraturan perundang-undangan mengenai “daerah
yang bersifat istimewa” itu haruslah tidak mengabaikan hak asal-usul daerah tersebut.331
Dengan demikian, secara konseptual, status istimewa tersebut juga mencakup ketentuan
yang menyangkut prosedur atau mekanisme pengisian kepala daerahnya. Oleh karena
328 Diakses dari : - http://bdardias.staff.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2008/06/Naskah-Akademik-dan-RUUK-Keistimewaan-
Yogyakarta-JPP-Fisipol-UGM.pdf. - http://djpp.depkumham.go.id/files/RUU/2008/ruu%20yogya.pdf
- http://hukum.kompasiana.com/2010/12/18/draf-ruu-keistimewaan-diy/18 desember 2010. Diakses pada tanggal 15 Februari 2011
329 Ibid. 330 Sujamto, Daerah Istimewa …,Op.Cit., hlm.15 331 Ni’matul Huda, Otonomi Daerah…,Op.Cit., hlm. 7
149
itu dapat pula ditafsirkan bahwa ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 tidak dapat berdiri
sendiri tanpa melihat ketentuan Pasal 18B ayat (1) UUD 194.
Penulis juga berpendapat bahwa penyimpangan dari ketentuan Pasal 18 ayat (4)
UUD 1945 dapat dilakukan. Jika kita memperhatikan ketentuan pasal 18B ayat (1)
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang berbunyi: “Negara mengakui dan menghormati
satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang
diatur dengan undang-undang.” Penulis berpendapat bahwa istiliah “mengakui”
menunjukkan bahwa satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa itu memang
sudah ada sebelumnya dan diakui serta dihormati keberadaannya.
Seperti penjelasan pada pembahasan sebelumnya, bahwa selain daerah yang
bersifat istimewa, satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus juga didasarkan
pada ketentuan Pasal 18B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 ini. Daerah otonomi
khusus tersebut seperti Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam,
Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Hal ini sesuai dengan pendapat yang
disampaikan oleh Ali Masykur Musa dari F-KB dan Hobbes Sinaga dari F-PDIP pada
Rapat Tim Perumus PAH I BP MPR, 31 Mei 2000, yang dipimpin oleh Ali Masykur Musa
dari F-KB.332 Berikut ini pendapat Hobbes Sinaga dari Fraksi PDIP
“Pak Pimpinan, saya sependapat dengan apa yang disampaikan oleh Pimpinan, sebaiknya butir tujuh ini kita bagi dua, yang pertama yang kita hargai adalah masalah hukum adatnya, yang kedua ada daerah-daerah otonom tertentu yang mendapatkan predikat istimewa, contohnya seperti Jogja, Aceh, dan Papua yang saya dengar, otonomi khusus itu namanya…..Lalu yang kedua negara mengakui keberadaan daerah otonom yang bersifat khusus dan istimewa yang telah diatur dengan undang-undang. justru jangan sampai ada lagi, kita sudah cukup punya Jogja, punya Papua sama punya Aceh, sudah jangan sampai ada lagi. Yang lain sama. Jadi, makanya sudah diatur, tutup saja di sini maksud saya. Sudah ada Tap MPR.” 333
Jadi, yang dimaksud dengan daerah khusus dan istimewa dalam ketentuan Pasal
18B ayat (1) itu adalah seperti Jogja, Aceh, DKI Jakarta dan juga Papua. Sebagai
komparasi, Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang menurut ketentuan Pasal 227 Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 menyebutkan bahwa DKI Jakarta berstatus sebagai
332 Mahkamah Konstitusi RI, Naskah Konprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002. Buku IV Jilid 1 Kekuasaan Pemerintahan Negara. Edisi Revisi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010), hlm. 1203
333 Ibid, hlm. 1238-1239
150
daerah otonom dan dibagi kedalam wilayah administrasi setingkat kota yang dipimpin
oleh Walikota yang tidak dipilih langsung oleh rakyat dan tidak bersifat otonom.
Ketentuan Pasal 227 ayat (2) tersebut berbunyi :”Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta
sebagai Ibukota Negara berstatus sebagai daerah otonom, dan dalam wilayah
administrasi tersebut tidak dibentuk daerah yang berstatus otonom.”
Jika kita mengacu pada pola yang diterapkan di DKI Jakarta yang tidak menganut
konsep pembagian wilayah Provinsi ke dalam wilayah kabupaten/kota yang otonom
sebagaimana yang disebutkan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Dapat disimpulkan secara awam bahwa Pasal 227 UU No.32 Tahun 2004 tersebut
bertentangan dengan Paal 18 ayat (1) UUD 1945. Berikut ini bunyi ketentuan Pasal 18
ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945:
(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.
(2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
Penulis berpendapat bahwa tidak dibentuknya daerah otonom dalam wilayah Provinsi
Daerah Khusus Ibukota Jakarta dikarenakan kekhususan yang melekat pada DKI Jakarta
sebagai ibukota negara. Kekhususan tersebut tentunya juga berdasarkan pengakuan
oleh Pasal 18B ayat (1) undang-Undang Dasar Tahun 1945. Kekhususan DKI Jakarta
juga dapat dilihat dari pengisian jabatan Walikota wilayah administratif yang tidak dipilih
langsung sebagaimana yang berlaku pada Walikota-Walikota lainnya di Indonesia. Ini
juga secara awam dapat dikatakan bertentangan dengan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945
yang menggariskan sistem pemilihan secara demokratis. Penulis berpendapat bahwa
Pasal 18B ayat (1) tersebut merupakan pengeculian terhadap ketentuan Pasal 18 ayat
(4) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang mana satu sama lain berdiri sendiri. Dengan
kata lain bahwa Pasal 18B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 tersebut dapat dijadikan
landasan konstitusional bagi mekanisme pengisian jabatan kepala daerah dan wakil
kepala daerah otonomi khusus dan istimewa.
Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Perkara Nomor 11/PUU-VI/2008 perihal
pengujian UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 29 Tahun 2007 dalam pertimbangan
hukumnya, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa:
151
Jakarta sebagai ibukota negara mempunyai sifat yang khusus. Kekhususannya itu memuat pengaturan mengenai (i) kekhususan tugas, hak, kewajiban, dan tanggung jawab sebagai ibukota negara; (ii) tempat kedudukan perwakilan negara-negara sahabat; (iii) keterpaduan rencana umum tata ruang Jakarta dengan rencana umum tata ruang daerah sekitar; (iv) kawasan khusus untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan tertentu yang dikelola langsung oleh Pemerintah….Pengaturan dalam pemberian status khusus yang demikian diakui dan dihormati berdasarkan Pasal 18B ayat (1) UUD 1945...Provinsi DKI Jakarta sesuai dengan UU 29/2007, dibagi ke dalam daerah kota administrasi Kepulauan Seribu, yang walikota dan buaptinya ditunjuk…Menurut Mahkamah, pengaturan yang demikian tidak bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) dan (2) UUD 1945, karena adanya kedudukan norma konstitusi yang setara antara Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) dengan Pasal 18B UUD 1945…Pendirian Mahkamah yang berpendapat bahwa kedudukan Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) dengan Pasal 18B UUD 1945 berada dalam posisi yang setara dan mempunyai kekuatan mengikat mandiri secara sama, menyebabkan tidak relevan untuk mempertentangkan diletakkannya otonomi DKI Jakarta hanya pada tingkat provinsi, dengan Pasal 18 ayat (1) dan (2) UUD 1945…Jadi, kekhususan Jakarta tidak harus dilihat dari Pasal 18 ayat (1) dan (2) UUD 1945 yang mewajibkan daerah provinsi dibagi atas daerah kabupaten/kota yang otonom, melainkan harus dilihat sebagai pelaksanaan Pasal 18B ayat (1) UUD 1945.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi di atas, secara sistematis maupun
analogi dapat dikatakan bahwa Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 juga tidak dapat
dipertentangkan dengan Pasal 18B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Masing-masing pasal
tersebut mempunyai kekuatan hukum yang mengikat mandiri secara sama. Jadi,
meknisme pengisian jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah khusus dan
istimewa tersebut tidak harus dilihat dari Pasal 18 ayat (4) yang menentukan kepala
daerah (Gubernur, Bupati, Walikota) dipilih secara demokratis, melainkan harus dilihat
ketentuan Pasal 18B ayat (1) sebagai landasan konstitusional bagi daerah khusus dan
istimewa.
Oleh karena itu, pendapat Sujamto yang menyatakan bahwa salah satu hak asal-
usul daerah yang istimewa atau disebut dengan hak autochtoon adalah keistimewaan
dalam prosedur dan mekanisme pengangkatan pemimpinnya, relevan dengan ketentuan
Pasal 18B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 dan juga sesuai dengan penafsiran yang
dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Perkara Nomor 11/PUU-VI/2008 di
atas. Sehingga, dipakasakannya keberlakuan Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 di
daerah khusus dan istimewa merupakan suatu hal yang inkonsisten.
152
b. Penyelenggara Pemilihan Kepala Daerah diwajibkan untuk bertanya kepada Sri Sultan
Hamengku Buwono dan Sri Paku Alam mengenai kesediaannya untuk ikut dalam
pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY.334 Ketentuan ini adalah ketentuan yang
bersifat istimewa pula. Menurut ketentuan tersebut, Sri Sultan Hamengku Buwono dan
Paku Alam merupakan pihak yang pasif. Berbeda dengan tata cara pencalonan kepala
daerah lainya, dimana bakal calon kepala daerah dan bakal calon wakil kepala daerahlah
yang aktif mendatangi (mendaftarkan diri)335 ke penyelenggara pemilihan kepala daerah.
Bahkan tata cara seperti itu juga berlaku bagi pemilihan umum Presiden dan Wakil
Presiden.336 Sebagai Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama, Sri Sultan Hamengku
Buwono dan Sri Paku Alam mendapatkan perlakuan yang kelihatan sangat istimewa.
Bandingkan dengan mekanisme yang diterapkan bagi bakal calon lainnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 RUUK yang mengikuti mekanisme sebagaimana yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan.
c. Sri Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paku Alam dapat mencalonkan diri sebagai Calon
Gubernur dan Wakil Gubernur melalui prosedur calon perseorangan khusus.337 Yaitu
tidak melalui pengusulan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Dengan kata lain
bahwa jika Sri Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paku Alam mencalonkan diri sebagai
calon Gubernur dan Wakil Gubernur, maka penyelenggara pemilihan langsung
menetapkannya sebagai calon Gubernur dan Wakil Gubernur tanpa melalui persyaratan
yang berlaku bagi calon Gubernur dari Parpol dan/atau calon perseorangan lainnya.
d. Bahwa jika Sultan Hamengku Buwono tidak mencalonkan diri sebagai Gubernur. Maka
Paku Alam tidak dapat mencalonkan diri sebagai Gubernur. Dengan kata lain bahwa
Paku Alam harus berpasangan dengan Sultan Hamengku Buwono.338
e. Persyaratan untuk menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur sebagaimana dimaksud dalam
peraturan perundang-undangan tidak berlaku bagi Sri Sultan Hamengku Buwono dan Sri
Paku Alam jika keduanya menjadi calon Gubernur dan Wakil Gubernur. Sedangkan bagi
calon lainnya, berlaku persyaratan umum sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan.339
334 Lihat: Pasal 18 ayat (1) RUUK 335 Lihat: Pasal 59 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 j.o UU No. 12 Tahun 2010 yang mengharuskan partai politik
atau calon perseorangan untuk mendaftarkan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah ke KPUD. 336 Lihat: Pasal 13, Pasal 14 dan Pasal 15 UU No. 42 Tahun 2008 yang mengaharuskan Partai Politik atau
Gabungan Partai Politik untuk mendaftarkan bakal pasangan calon Presiden dan wakil Presiden ke KPU. Bukan KPU yang mendatangi bakal calon presiden dan wakil presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 Draft RUUK
337 Lihat: Pasal 17 ayat (3) RUUK 338 Lihat: Pasal 17 ayat (6) RUUK 339 Lihat: Pasal 17 ayat (3) dan Pasal 19 ayat (2) RUUK
153
f. Bahwa jika Hamengku Buwono dan Paku Alam tidak mencalonkan diri sebagai Gubernur
dan Wakil Gubernur maka pemilihan hanya dilakukan untuk Gubernur. Dengan demikian,
hanya akan ada jabatan Gubernur saja tanpa adanya jabatan Wakil Gubernur.340
g. Jika hanya Hamengku Buwono dan Paku Alam yang mencalonkan diri sebagai Gubernur
dan Wakil Gubernur maka DPRD melakukan musyawarah untuk mufakat dalam
menetapkan dan mengusulkan keduanya kepada Presiden untuk disahkan sebagai
Gubernur dan Wakil Gubernur.341
h. Kerabat kasultanan dan kerabat pakualaman dapat mencalonkan diri sebagai Calon
Gubernur jika Hamengku Buwono dan Paku Alam tidak mencalonkan diri sebagai
Gubernur dan Wakil Gubernur.342 Sebagaimana dijelaskan dalam pembahasan
sebelumnya, bahwa ketentuan yang memungkinkan kerabat atau keturunan Sultan
Hamengku Buwono dan Sri Paku Alam untuk mencalonkan diri sebagai calon Gubernur
akan memunculkan permasalahan tersendiri, yaitu terjadinya konflik internal dalam
lingkungan keraton dan pura.
i. Tidak terbukanya peluang bagi calon perseorangan (independen) untuk mencalonkan diri
sebagai calon Gubernur.343 Dalam RUUK tersebut, tidak disebutkan adanya kemungkinan
calon perseorangan untuk mecalonkan diri sebagai calon Gubernur. Masyarakat umum
yang ingin mencalonkan diri sebagai calon Gubernur haruslah melalui (mendapat
dukungan) partai politik atau gabungan partai politik. Ketentuan ini bertentangan dengan
Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 5/PUU-V/2007 yang memungkinkan calon
perseorangan untuk mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala
daerah. Penulis berpendapat bahwa ketentuan tersebut bisa saja dikesampingkan oleh
pembuat undang-undang, mengingat bahwa status yang dimiliki oleh Provinsi DIY adalah
berstatus istimewa. Keistimewaan tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 18B ayat (1)
UUD NRI Tahun 1945, sehingga bisa saja diterapkan ketentuan yang bersifat istimewa
pula. Akan tetapi, jika ketentuan tersebut tetap dipaksakan maka akan terjadi
inkonsistensi. Di satu sisi Pemerintah Pusat mempertahankan agar mekanisme pengisian
jabatan Gubernur DIY dilakukan dengan cara pemilihan agar terpenuhnya nilai-nilai
demokratis. Sedangkan di sisi lainnya, terdapat perlakuan yang diskriminatif bagi
340 Lihat: Pasal 17 ayat (5) RUUK 341 Lihat: Pasal 20 ayat (6) RUUK 342 Lihat: Pasal 17 ayat (4) RUUK 343 Lihat ketentuan yang terdapat dalam Pasal 19 RUUK, tidak ada ketentuan yang mengatur mengenai adanya
peluang bagi calon perseorangan untuk dapat mencalonkan diri sebagai calon Gubernur tanpa melalui partai politik atau gabungan partai politik
154
masyarakat umum yang ingin mencalonkan diri sebagai calon gubernur akan tetapi tidak
memiliki kendaraan politik (partai politik).
j. Pembatasan masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur selama 2 periode ( satu
periode selama 5 tahun) tidak berlaku bagi Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam
apabila menjabat sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur.344
k. Bakal calon Gubernur yang dinyatakan telah memenuhi persyaratan, wajib mendapat
persetujuan dari Gubernur Utama apabila Gubernur Utama tidak mencalonkan diri
sebagai Gubernur.345 Ketentuan ini sama dengan ketentuan yang terdapat dalam
mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Papua dan Papua
Barat. Selain bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang harus asli Papua, bakal
calon Gubernur dan Wakil Gubernur juga harus mendapatkan persetujuan dari Majelis
Rakyat Papua (MRP).346
Itulah beberapa keistimewaan dalam tata cara pengisian jabatan Gubernur dan Wakil
Gubernur Provinsi DIY yang terdapat dalam RUUK yang diusulkan oleh Kementerian Dalam
Negeri yang sampai saat selesainya penelitian ini RUUK tersebut masih dibahas di DPR RI.
Penulis berpendapat bahwa ada beberapa kelemahan dalam mekanisme pengisian jabatan
Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY sebagaimana yang diatur dalam draft RUUK
tersebut. Beberapa kelemahan tersebut dapat penulis jelaskan sebagai berikut:
1. Adanya inkonsistensi, yaitu di satu sisi pemerintah pusat menyatakan bahwa sistem
pemilihan merupakan cara yang tepat bagi tata cara pengisian jabatan Gubernur dan
Wakil Gubernur Provinsi DIY agar sesuai dengan nilai-nilai demokrasi. Akan tetapi, di sisi
lainnya terjadi tindakan yang diskriminatif dalam proses pemilihan tersebut. Mulai dari
persyaratan calon yang berbeda antara masyarakat umum dengan Sultan Hamengku
Buwono dan Paku Alam, mekanisme pendaftaran yang juga berbeda sampai dengan
periode masa jabatan yang berbeda antara Gubernur yang berasal dari masyarakat
umum atau kerabat keraton dengan masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur jika
Gubernur dan Wakil Gubernur itu dijabat oleh Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam.
Penulis berpendapat, bahwa sistem semacam itu justru akan merusak nilai-nilai
demokratis yang sesungguhnya. Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Perkara Nomor
024/PUU-III/2005 dalam bagian pertimbangan hukum menyatakan sebagai berikut:
344 Lihat: Pasal 22 ayat (4) RUUK 345 Lihat: Pasal 19 ayat (4) RUUK 346 Lihat: Pasal 20 ayat (1) huruf a UU No.21 Tahun 2001
155
Dalam menilai ada tidaknya persoalan diskriminasi dalam suatu undang-undang juga dapat dilihat dari perspektif bagaimana konstitusi merumuskan perlindungan terhadap suatu hak konstitusional, dalam arti apakah hak tersebut oleh konstitusi perlindungannya ditempatkan dalam rangka due process ataukah dalam rangka perlindungan yang sama (equal protection). Pembedaan demikian penting dikemukakan sebab seandainya suatu undang-undang mengingkari hak dari semua orang, maka pengingkaran demikian lebih teapt untuk dinilai dalam rangka due process. Namun, apabila suatu undang-undang ternyata meniadakan suatu hak demikian kepada orang-orang lainnya maka keadaan demikian dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap equal protection.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi di atas, dapat dilihat adanya suatu tindakan
yang diskriminatif atau pelanggaran terhadap equal protection oleh pembentuk undang-
undang. Jika bakal calon yang berasal dari masyarakat umum atau kerabat keraton harus
mengikuti proses-proses umum untuk mencalonkan dirinya sebagai calon Gubernur,
maka Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam tidak harus melalui prosedur dan
persyaratan itu. Periode masa jabatan 5 (lima) tahun dan dapat dipilih untuk satu kali
masa jabatan lagi sesudah itu juga tidak berlaku bagi Sultan Hamengku Buwono dan
Paku Alam. Bukankah ini merupakan suatu proses diskriminatif? Jawabannya tentu
merupakan bentuk diskriminatif dan pelanggaran terhadap equal protection. Oleh karena
itu, di satu sisi pemerintah memperjuangkan tegaknya nilai demokrasi akan tetapi di sisi
lain justru akan terjadi tindakan yang melanggar demokrasi itu sendiri.
Dengan demikian, penulis berpendapat bahwa ada baiknya pemerintah konsisten dalam
mengambil suatu keputusan. Jika memang menginginkan Gubernur dan Wakil Gubernur
DIY dipilih secara demokratis, maka undang-undang yang akan dibentuk tidak boleh
bersifat diskriminatif. Dengan kata lain bahwa harus diberikan perlakuan yang sama
antara bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang berasal dari masayarakat umum
dengan calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang berasal dari Sultan Hamengku Buwono
dan Paku Alam yang sedang bertahta. Akan tetapi, jika mekanisme penetapan atau
pengangkatan dipilih sebagai cara untuk mengisi jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur
Provinsi DIY, itu juga konstitusional karena Pasal 18B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945
merupakan landasan konstitusional yang sangat kuat bagi suatu daerah khusus dan
istimewa. Cara yang demikian akan lebih baik dibandingkan dengan adanya tindakan
diskriminatif-inkonsisten dalam mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil
Gubernur Provinsi DIY.
2. Kelemahan berikutnya yaitu adanya lembaga atau jabatan Gubernur Utama dan Wakil
Gubernur Utama yang tidak jelas pengaturannya. Ketidak jelasan yang dimaksud oleh
156
penulis yaitu jabatan Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama tersebut merupakan
bagian dari pemerintahan Provinsi DIY. Pertanyaan yang muncul adalah, bagaimana
fungsi dan tugas Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama jika Sultan Hamengku
Buwono dan Paku Alam menjabat sebagi Gubernur dan Wakil Gubernur?
Apakah mungkin terjadinya rangkap jabatan dan rangkap kewenangan yang dimiliki.
Sebagai contoh misalnya bahwa Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama memiliki
kewenangan untuk memberikan arahan umum terhadap kebijakan dalam penetapan
kelembagaan Pemerintah Daerah Provinsi, kebudayaan, pertanahan, penataan ruang,
dan penganggaran.347 Selain itu, Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama juga
memberikan persetujuan terhadap rancangan Perdais yang telah disetujui bersama oleh
DPRD Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Gubernur.348
Pertanyaan yang muncul adalah, apakah mungkin diperlukannya arahan dan/atau
persetujuan Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama lagi jika Gubernur Utama dan
Wakil Gubernur Utama itu juga menjabat sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur ? Jika
tidak memerlukan arahan dan Persetujuan Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama
lagi, lalu dikemanakan lembaga Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama itu ?
Apakah hilang atau istirahat untuk sementara waktu ? Kemudian bagaimana akibat
hukum suatu Perdais yang tidak mendapatkan persetujuan Gubernur Utama dan Wakil
Gubernur Utama, padahal dalam kedudukannya sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur,
Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam sudah menyetujui bersama dengan DPRD.
Inilah beberapa persoalan terkait lembaga Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama
yang menurut penulis sangat lemah pengaturannya. Kelemahan tersebut sebagai akibat
dari dimungkinkannya Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama untuk mencalonkan
diri dan dapat menjabat sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur.
5.1.3. Prinsip Kedaulatan Rakyat dan Demokrasi dalam Mekanisme Pengisian Jabatan
Gubernur dan Wakil Gubernur DIY
Sebagaimana dikemukakan dalam bagian awal Bab ini, bahwa paling tidak
terdapat tiga pandangan (pendapat) yang memperdebatkan mekanisme yang tepat
untuk mengisi jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY. Pertama adalah
kelompok yang tetap menginginkan Gubernur dan Wakil Gubernur dijabat oleh Sultan
Hamengku Buwono dan Sri Paduka Paku Alam, yaitu menghendaki agar Sultan
347 Lihat: Pasal 10 RUUK 348 Ibid.
157
Hamengku Buwono dan Paku Alam yang bertahta langsung ditetapkan sebagai
Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY. Pandangan ini berlandaskan pada sejarah
ketatanegaraan yang berkaitan dengan proses pengintegrasian Kesultanan Yogyakarta
dan Kadipaten Paku Alaman kedalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain itu,
pandangan ini berpegangan pada Pasal 18B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 sebagai
landasan konstitusional pengakuan dan penghormatan negara terhadap daerah yang
bersifat khsusus dan istimewa.
Kedua adalah golongan yang menginginkan agar mekanisme pengisian jabatan
Gubernur dan Wakil Gubernur sepenuhnya diserahkan kepada rakyat melalui pemilihan
Gubernur dan Wakil Gubernur secara demokratis. Golongan ini juga beranggapan
bahwa mekanisme yang ada di Provinsi DIY saat ini dianggap sama dengan bentuk
monarki. Kelompok ini menjadikan Pasal 18 Ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 sebagai
landasan konstitusional untuk dipilihnya Gubernur dan Wakil Gubernur secara
demokratis. Ketiga adalah kelompok yang memadukan antara dua pandangan
sebelumnya, yaitu dengan tetap mempertahankan keistimewaan dan keistimewaan itu
harus berdasarkan nilai-nilai demokrasi.
Secara historis, undang-undang pemerintahan daerah lebih banyak
menggunakan pandangan (kelompok) pertama dalam mekanisme pengisian jabatan
kepala daerah dan wakil kepala daerah istimewa Yogyakarta dibandingkan dengan
pandangan kedua atau ketiga. Sedangkan untuk pandangan ketiga, yang ingin
memadukan antara pandangan pertama dan kedua tercermin dalam draft RUUK yang
diusulkan oleh Kementerian Dalam Negeri pada tahun 2010. Kelemahan-kelemahan
pandangan tersebut telah penulis bahas dalam pembahasan sebelumnya. Sehingga
dalam pembahasan ini, penulis akan fokus pada pandangan pertama dan pandangan
kedua, walaupun sesungguhnya pandangan yang kedua ini kurang begitu muncul ke
permukaan. Akan tetapi, jika berlandaskan pada ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD NRI
1945, maka pandangan yang kedua ini adalah pandangan yang sangat kuat juga.
Masing-masing pandangan tersebut sebenarnya tertuju pada satu isu, yaitu berkaitan
dengan konsep kedaulatan rakyat atau demokrasi. Oleh karena itu, penulis akan
membahas kedua pandangan tersebut, apakah masing-masing pandangan itu memiliki
landsan teoritik maupun landasan konstitusional yang kuat seperti yang diasumsikan,
sehingga dapat dijadikan sebagai solusi dalam penyelesaian polemik mengenai status
keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang terjadi saat ini.
Secara konseptual, paham kedaulatan rakyat dikemukakan oleh kaum
Monarchomachen, Bellarmin dan sebagainya yang mengemukakan ajaran bahwa
rakyatlah yang berdaulat penuh dan bukan raja, karena raja berkuasa atas persetujuan
158
rakyat.349 Inti dari ajaran kedaulatan rakyat yaitu bahwa rakyatlah yang memiliki
kekuasaan yang sesungguhnya. Dalam sistem kedaulatan rakyat itu, kekuasaan
tertinggi dalam suatu negara dianggap berada di tangan rakyat negara itu sendiri.350
Bahkan, dalam sistem participatory democracy, dikembangkan pula tambahan bersama
rakyat, sehingga menjadi “kekuasaan pemerintahan itu berasal dari rakyat, untuk rakyat,
oleh rakyat dan bersama rakyat”.351
Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan daerah di Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta, rakyat juga berpartisipasi dalam suatu lembaga perwakilan yang
merupakan bagian dari pemerintahan daerah Provinsi DIY. Penyelenggaraan
pemerintahan daerah di provinsi DIY pun sama sekali tidak ada berbeda dengan
penyelenggaraan pemerintahan daerah di daerah-daerah lainnya.352 Pasal 226 ayat (2)
UU No. 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa penyelenggaraan pemerintahan daerah di
Provinsi DIY dilaksanakan berdasarkan undang-undang a quo.
Keterlibatan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi DIY sudah
dimulai pada tanggal 29 Oktober 1945 dengan dibentuknya Badan Pekerja yang dipilih
dari antara anggota-anggota Komite Nasional Indonesia Daerah Jogjakarta yang
memiliki peran sebagai Badan Legislatif (Badan pembentuk undang-undang) serta turut
menentukan haluan jalannya Pemerintahan Daerah dan bertanggungjawab kepada
KNID Jogjakarta.353 Bahkan dalam Pasal 3 UU No. 3 Tahun 1950 juga disebutkan
mengenai kedudukan DPRD DIY. DPRD DIY merupakan mitra kerja pemerintah Provinsi
DIY sebagaimana dimaksud dalam ketentuan undang-undang pemerintahan daerah.
DPRD DIY dipilih langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Umum anggota DPR, DPD dan
DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E UUD NRI Tahun 1945. DPRD Provinsi
DIY memiliki kewenangan yang sama dengan DPRD Provinsi lainnya. Pada intinya,
tidak ada perbedaan penyelenggaraan pemerintahan daerah Provinsi DIY dengan
daerah-daerah lainnya di Indonesia. Perbedaan itu hanya terletak pada mekanisme
pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur yang tidak syarat, cara pengangkatan
dan masa jabatan sebagaimana daerah lainnya.
349 Ni’matul Huda, Ilmu Negara…,Loc.Cit 350 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan…,Op.Cit.,hlm. 117 351 Ibid. 352 Hasil wawancara penulis dengan Bapak Tahfif, Asisten 1 Setda Provinsi DIY di Komplek Kepatihan DIY
pada tanggal 8 Juli 2010 353 Lihat: Amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII pada tanggal 30 Oktober
1945 diktum 5
159
Menurut Rousseau bahwa pemerintahan itu harus dipegang oleh rakyat, setidak-
tidaknya rakyat itu mempunyai perwakilan di dalam pemerintahan agar volonte generale
dapat diwujudkan. Kebebasan masih tetap ada dalam kehidupan bernegara, hanya saja
bukan tanpa batas, melainkan dibatasi oleh kemauan umum (volonte generale).354
Rousseau menyatakan bahwa untuk memastikan volonte generale dijalankan maka
perlu adanya badan legislasi yang merupakan representasi rakyat.355Berdasarkan teori
yang dikemukakan Rousseau di atas, dapat diketahui bahwa konsep kedaulatan rakyat
sebenarnya sudah dilaksanakan di Provinsi DIY. DPRD DIY sebagai badan legislasi
yang merupakan representasi rakyat sudah dibentuk sejak tahun 1945. Ajaran kaum
Monarchomachen, Bellarmin dan sebagainya yang mengemukakan ajaran bahwa
rakyatlah yang berdaulat penuh dan bukan raja, karena raja berkuasa atas persetujuan
rakyat,356 juga dapat dilihat dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan DIY. Segala
kebijakan pemerintahan ditentukan bersama antara DPRD bersama dengan Gubernur.
Dalam teori kedaulatan rakyat, disebutkan bahwa rakyat ikut berpartisipasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Partisipasi rakyat dalam penyelenggaraan
pemerintahan DIY tidak berbeda dengan partisipasi rakyat di daerah lainnya di
Indonesia. Rakyat melalui wakilnya di DPRD DIY, ikut menentukan kebijakan
pemerintahan di Provinsi DIY. Lembaga Keraton Yogyakarta dan Pura Paku Alaman
sama sekali tidak terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan DIY.357 Seperti
dijelaskan sebelumnya bahwa perbedaan dengan daerah lainnya hanya terletak pada
mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernurnya saja.
Rousseau menyatakan bahwa ajaran kedaulatan rakyat merupakan ajaran yang
mutlak berdasarkan volonte generale dari rakyat itu.358 Rousseau menyatakan bahwa
ada dua macam kehendak dari rakyat yaitu, pertama kehendak rakyat seluruhnya yang
dinamakan Volente de Tous. Kehendak ini hanya dipergunakan oleh rakyat seluruhnya
sekali saja yaitu waku negara hendak dibentuk melalui perjanjian masyarakat. Kedua,
354 Bernard L. Tanya, Yoan N. simanjuntak dan Markus Y. Hege, Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Cet.3 ( Yogyakarta: Gemta Publishing, 2010), hlm. 86-88
355 Ibid. 356 Ni’matul Huda, Ilmu Negara…,Loc.Cit 357 Penulis melakukan wawancara dengan berbagai kalangan di Pemerintahan Provinsi DIY seperti Sekda
Provinsi, Asisten 1 maupun kerabat keraton. Dari wawancara penulis tersebut diketahui bahwa keraton sama sekali tidak memiliki keterkaitan dengan proses penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi DIY. Keraton merupakan lembaga budaya yang terpisah dengan pemerintahan Provinsi DIY.
358 Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, Edisi Revisi (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1995), hlm. 119-120
160
kehendak sebagian rakyat yang dinamakan volonte de Generale, dinyatakan sesudah
negara ada sebab dengan keputusan suara terbanyak.359
Dalam praktek ketatanegaraan Indonesia, Volonte de Tous tersebut sudah
diwujudkan dalam konsensus bersama ketika bangsa ini lahir. Konsensus tersebut
tertuang dalam UUD 1945. UUD 1945 merupakan bentuk jelmaan dari kehendak rakyat
yang dituangkan dalam suatu dokumen politik berupa UUD 1945 tersebut. Rousseau
menyatakan bahwa Volonte de Tous ini tidak dapat ditarik kembali, karena merupakan
kesapakatan dasar bagi terbentuknya negara. Jika kehendak itu ditarik kembali, maka
bubarlah suatu negara. Begitu pula halnya dengan kesepakatan yang terjadi ketika
Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Paku Alaman menyatakan
pengintegrasiannya ke dalam wilayah Republik Indonesia melalui Amanat 5 September
1945, yang kemudian diakui dengan piagam kedudukan tertanggal 19 Agustus 1945
yang diserahkan pada tanggal 6 September 1945. Amanat 5 September 1945 tersebut
mengacu kepada Pasal 18 UUD 1945 yang saat ini telah dilakukan perubahan. Akan
tetapi, perubahan tersebut tidak mencabut makna keistimewaan yang dimiliki oleh suatu
daerah, termasuk DIY.
Akibat dari adanya kesepakatan tersebut, Yogyakakarta yang merupakan sebuah
negara yang merdeka (bumi mardiko) diberikan keistimewaan oleh pemerintah pusat.
Keitimewaan itu terletak pada mekanisme pengisian jabatan Gubenur dan Wakil
Gubernur yang dijabat oleh Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam sebagai
penguasa wilayah Yogyakarta sebelum berdirinya Republik Indonesia. Sebagai sebuah
daerah istimewa, yang memiliki hak asal-usul (autochtoon), maka sudah semestinya
keistimewaan dalam prosedur pengangkatan pemimpin (kepala daerah dan wakil kepala
daerah) juga bersifat istimewa, selama sistem itu dimungkinkan oleh konstitusi.
Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa pelaksanaan kekuasaan tertinggi di
tangan rakyat itu dibatasi oleh oleh kesepakatan yang mereka tentukan sendiri secara
bersama-sama yang dituangkan dalam rumusan konstitusi yang mereka susun dan
sahkan bersama. Inilah yang disebut dengan kontrak social antara warga masyarakat
yang tercermin dalam konstitusi.360 Dalam UUD NRI Tahun 1945 Pasal 18B disebutkan
bahwa negara mengakui dan menghormati saruan-satuan pemerintahan daerah yang
bersifat khusus atau bersifat istimewa. Ketentuan tersebut merupakan landasan
konstitusional bagi sebuah daerah yang bersifat khusus atau istimewa. Betatapun
besarnya kekuasaan yang dimiliki oleh rakyat sebagai pemegang kedaulatan, maka
359 Ibid. 360 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan…,Loc.Cit.
161
rakyat juga tidak dapat melanggar konsitusi yang telah disepakati dan disahkan
bersama.
Ada pandangan yang menyatakan bahwa mekanisme pengisian jabatan
Gubernur dan Wakil Gubernur DIY melalui cara pengangkatan atau penetapan
bertentangan dengan kehendak rakyat dan bertentangan dengan demokrasi. Jika ingin
dibuktikan secara empirik, sebenarnya pendapat yang menyatakan bahwa mekanisme
pengangkatan dan penetapan itu bertentangan dengan kehendak rakyat sangat lemah
dan tidak berdasar pada fakta. Hampir semua survei atau jajak pendapat yang dilakukan
oleh berbagai lembaga menghasilkan bahwa sebagian besar (mayoritas) rakyat DIY
menghendaki mekanisme pengangkatan atau penetapan sebagai mekanisme pengisian
jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY.361
Selain hasil survei atau jajak pendapat yang dilakukan oleh berbagai lembaga
tersebut, pada tanggal 13 Desember 2010 DPRD DIY melalui sidang paripurna yang
dihadiri oleh puluhan ribu masyarakat DIY juga sudah mengeluarkan Keputusan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi DIY Nomor 54/K/DPRD/2010 yang salah satu isinya
adalah mengusulkan pengisian Gubernur DIY dan Wakil Gubernur DIY melalui
penetapan. Bahkan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (F-KB) menyatakan bahwa
penetapan Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Paku Alam IX sebagai Gubernur dan
Wakil Gubernur seumur hidup. Berikut ini 4 (empat) isi Keputusan DPRD DIY Nomor
54/K/DPRD/2010: 362
361 Penelitian yang dilakukan oleh Laboratorium Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) menunjukkan hasil bahwa 96,6% penduduk DIY mendukung keistimewaan; 97,5% penduduk lulusan Perguruan Tinggi (PT) mendukung keistimewaan; 93,2% penduduk DIY mendukung penetapan Sultan sebagai Gubernur; 945 penduduk lulusan Perguruan Tinggi (PT) mendukung penetapan. Lihat: Harian Kedaulatan Rakyat, Edisi 31 Desember 2010.
Litbang Kompas juga melakukan Jajak Pendapat pada tanggal 1-3 Desember 2010. Metode yang digunakan oleh Litbang Kompas dengan tingkat kepercayaan 95 persen. Hasil jajak pendapat tersebut yaitu sebanyak 62,8% Responden Nasional Setuju dengan keistimewaan sistem pemilihan gubernur di Provinsi DIY, 53,7% Responden berpendidikan tinggi setuju menggunakan sistem penetapan. 71,5% responden setuju untuk mempertahankan daerah dengan Gubernur dijabat oleh Sultan (DIY). 88,8% responden di DIY setuju Gubernur DIY langsung dijabat Sultan. 67% responden asli DIY setuju jika Sultan HB X menjabat Gubernur DIY sampai akhir hayatnya. Bahkan 88,4% penduduk asli DIY mempercayai bahwa kesejahteraan akan tercapai jika kepala daerah dijabat oleh Sri Sultan HB X. Sumber: http://www.kompas.com/senin 6 desember 2010, 10.21 WIB. Lihat juga Aloysius Soni BL de Rosari, Monarki Yogya…,Op.Cit., hlm. 262-264
Harian Bernas juga melakukan jajak pendapat dengan hasil sebanyak 97, 32% responden memilih Sri Sultan HB X sebagai Gubernur DIY, 44,02 responden menginginkan Sri Sultan HB X menjadi Gubernur seumur hidup, 55,94 responden menginginkan Sri Sultan HB X sebagai calon tunggal, dan 96,14% responden menghendaki agar status DIY dipertahankan. Lihat: Tim Asistensi RUU DIY, Rakyat Jogja Menjawab Isu Seputar Keistimewaan DIY, (Yogyakarta: Tim Asistensi RUUK DIY, 2011), hlm. 27-28
362 Lihat: http://www.dprd-diy.go.id Selasa, 14 Desember 2010. Diakses pada tanggal 17 Februari 2011
162
1. Mempertahankan DIY sebagai daerah Istimewa dalam bingkai pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
2. Mengusulkan pengisian Gubernur DIY dan Wakil Gubernur DIY melalui penetapan
3. Penetapan yang dimaksud adalah Sri Sultan Hamengku Buono dan Sri Pakualam yang sedang bertahta sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY.
4. Mendesak Pemerintah pusat dan DPR RI untuk segera membentuk dan menyelesaikan Undang-undang keistimewaan DIY dengan mendasarkan aspek historis, filosofis, yurudis dan sosio politis DIY
Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa pelaksanaan kedaulatan rakyat zaman
sekarang dilaksanakan melalui sistem perwakilan (representative government).363
Ni’matul Huda juga menyatakan bahwa ajaran kedaulatan rakyat mensyaratkan adanya
pemilihan umum yang menghasilkan dewan-dewan rakyat yang mewakili rakyat dan
dipilih secara langsung oleh rakyat. Dewan-dewan inilah yang betul-betul berdaulat.364
Jika dihubungkan dengan Keputusan DPRD DIY di atas, penulis berpendapat bahwa
indikator dari teori kedaultan rakyat sudah terpenuhi. DPRD DIY merupakan
representasi masyarakat DIY yang dipilih langsung oleh rakyat. Mengabaikan Keputusan
DPRD DIY tersebut justru bertentangan dengan konsep kedaulatan rakyat.
Keputusan DPRD DIY tersebut merupakan keputusan yang didukung oleh 6
(enam) dari 7 (tujuh) fraksi yang ada di DPRD DIY. Fraksi-fraksi yang mendukung
mekanisme penetapan tersebut antara lain Fraksi Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (F-PDIP), Fraksi Partai Amanat Nasional (FPAN), Fraksi Partai Golkar
(FPG), Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB), Fraksi Partai Keadilan Sejahtera
(FPKS) dan Fraksi PNI Raya. Hanya Fraksi Partai Demokrat saja yang belum menerima
mekanisme penetapan tersebut.365 Jika mengacu kepada teori Volonte Generale
sebagaimana yang dikemukakan oleh Rousseau di atas, maka Keputusan DPRD DIY
tersebut sudah sesuai dengan konsep kedaulatan rakyat.
Rousseau menyatakan “…perlu dimengerti bahwa yang memberikan sifat umum
pada kehendak itu bukanlah jumlah suara, melainkan yang lebih penting, adalah
kepentingan bersama yang mempersatukannya.”366 Pernyataan Rousseau tersebut
363 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan…,Op.Cit.,hlm. 120 364 Ni’matul Huda, Ilmu Negara…,Op.Cit.,hlm. 188 365 http://www.dprd-diy.go.id 14 Desember 2010
366 Jean-Jacques Rousseau, Perihal Kontrak Sosial atau Prinsip Hukum-Politk, Penerjemah: Rahayu Susrtiati Hidayat dan Ida Sundari Husen, Cet.2 ( Jakarta: Dian Rakyat, 2010), hlm. 38
163
bermakna bahwa berapapun jumlah suara yang dikumpulkan untuk pengambilan suatu
keputusan bukanlah menjadi persoalan penting, akan tetapi adanya kepentingan
bersama yang menyuarakan keputusan tersebut itulah yang lebih penting. Apalagi
dalam Keputusan DPRD DIY tersebut, mayoritas suara menghendaki sistem penetapan
sebagai cara untuk mengisi jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY, maka tidak ada
lagi yang perlu diperdebatkan.
Masyarakat DIY melalui wakil-wakilnya di DPRD DIY memiliki kepentingan
bersama untuk mempertahankan nilai-nilai kearifan lokal, tradisi dan budaya yang sudah
tumbuh, hidup dan berkembang sejak ratusan tahun lalu. Bahkan Paulus Effendi
Lotulung menyatakan bahwa demokrasi harus mengingat pada nilai tradisional historis
yang masih ada dalam ruangan kehidupan masyarakat. Dengan demikian, nilai
demokrasi itu harus bersinergi dengan nilai historis dan tradisional yang masih berlaku
dan hidup dalam masyarakat.367
Jika pemerintah masih meragukan keinginan masyarakat DIY dalam
menginginkan mekanisme penetapan, maka pmerintah dapat meminta masyarakat
untuk memberikan persetujuan atau penolakan terhadap mekanisme penetapan
tersebut melalui sebuah referendum terbatas. Dengan dilakukannya referendum terbatas
pada masyarakat DIY tersebut nantinya pemerintah dapat mengetahui secara pasti
seberapa besar masyarakat yang menginginkan penetapan atau menginginkan
pemilihan. Akan tetapi, jika pemerintah khawatir jika referendum dilaksanakan di DIY
sehingga daerah-daerah lain akan meminta pelaksanaan referendum, maka Keputusan
DPRD DIY tersebut sudah memiliki kekuatan secara konseptual sebagai wujud
pelaksanaan kedaulatan rakyat yang menghendaki mekanisme penetapan.
Asumsi berikutnya yang perlu dibahas adalah terkait dengan pandangan yang
menyatakan bahwa mekanisme penetapan itu bertentangan dengan prinsip demokrasi,
terutama bertentangan dengan Pasal 18 ayat (4) UUD NRI tahun 1945 yang
menghendaki pemilihan kepala daerah secara demokratis. Oleh karena itu, penulis akan
membahas permasalahan ini dengan mengemukakan berbagai teori dan konsep tentang
demokrasi yang kemudian dianalisis, apakah mekanisme penetapan itu bertentangan
dengan prinsip demokrasi atau tidak.
367 Paulus Effendi Lotulung dalam Aloysius Sony BL de Rosari, Monarki Yogya…,Op.Cit., hlm. 201
164
International Commission of Jurists dalam konferensinya di Bangkok pada tahun
1965, merumuskan defenisi umum mengenai sistem pemerintahan demokratis sebagai
berikut:368
A form of government where the citient exercise the same right (the right to make political decisions), but through representatives chosen by them and responsible to them through the process of free elections. ( Suatu bentuk pemerintahan dimana hak untuk membuat keputusan-keputusan politik diselenggarakan oleh warga negara melalui wakil-wakil yang dipilih oleh mereka dan bertanggungjawab kepada mereka melalui suatu proses pemilihan yang bebas). Selain itu, Hendry B. Mayo memberikan definisi mengenai sistem politik
demokratis adalah sebagai berikut: 369
”A democratic political system is one in which public pilicies are made on majority basis, by reperesentative subject to effective popular control a periodeic elections which are conducted on the principle of political equality and under conditions of political freedom.( Sistem politik demokratis adalah sistem yang menunjukkan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik).
Berdasarkan definisi sistem pemerintahan demokrasi di atas, maka jika dikaitkan
dengan sistem pemerintahan yang ada di Provinsi DIY saat ini tidaklah menunjukkan
adanya pertentangan dengan konsep demokrasi tersebut. Kebijakan-kebijakan umum
maupun proses pembuatan keputusan-keputusan politik tetap dijalankan oleh warga
melalui wakil-wakil masyarakat yang ada di DPRD Provinsi DIY. Wakil-wakil rakyat
tersebut dipilih oleh masyarakat secara langsung melalui pemilihan umum yang
dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali sesuai dengan ketetentuan Pasal 22E UUD
NRI Tahun 1945. Penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi DIY tetap mengacu pada
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Keputusan politik yang dituangkan dalam Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Provinsi DIY Nomor 54/K/DPRD/2010 dilakukan dalam suasana terjaminnya
kebebasan politik. Selain itu, Keputusan DPRD DIY tersebut bahkan dikawal oleh
368 Mirian Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi, Cet. 4, ( Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010 ), hlm. 116-117
369 Hendry B.Mayo dalam Moh. Mahfud MD, Demokrasi dan…,Op.Cit, 19-20
165
puluhan ribu mayarakat DIY yang menghadiri jalannya rapat paripurna pada tanggal 13
Desember 2010. Keputusan DPRD DIY tersebut dibuat bukan tanpa adanya landasan
konstitusional. UUD NRI Tahun 1945 Pasal 18B ayat (1) yang memberikan pengakuan
dan penghormatan bagi satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan
istimewa. Penulis berpendapat bahwa itulah yang dinamakan demokrasi konstitusional
(democracy constitutional).
Miriam Budiardjo menyatakan bahwa demokrasi konstitusional merupakan
demokrasi yang mendasari UUD 1945.370 Di samping itu, Miriam Budiardjo menyatakan
bahwa corak khas demokrasi Indonesia yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dimuat dalam pembukaan UUD
1945.371 Paulus Effendi Lotulung menyatakan bahwa konsepsi demokrasi mengalami
perubahan dari waktu ke waktu telah mengalami perubahan, seperti; welfare democracy,
people’s democracy, social democracy, participatory democracy,dan sebagainya. Pucak
perkembangan demokrasi yang paling diidealkan pada akhirnya demokrasi yang
berdasar atas hukum (constitusional democracy).372
Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa di Indonesia kedaulatan berada di tangan
rakyat yang diberlakukan menurut Undang-Undang Dasar (constitutional democracy)
yang diimbangi dengan penegasan bahwa negara Indonesia ialah negara hukum yang
berkedaulatan rakyat atau demokrasi (democratische rechtsstaat).373 Pendapat Jimly
Asshiddiqie tersebut mengandung makna bahwa kedaulatan memang berada di tangan
rakyat, akan tetapi pelaksanaan kedaulatan rakyat tersebut tetap harus sesuai dengan
konstitusi. Dengan kata lain bahwa prinsip demokrasi yang dianut oleh bangsa
Indonesia adalah prinsip demokrasi konstitusi (constitutional democracy).
Penulis berpendapat bahwa prinsip demokrasi konstitusi merupakan bentuk
demokrasi yang dilaksanakan dengan tetap mengacu kepada ketentuan-ketentuan
dalam konstitusi. Jadi asumsinya yaitu bahwa apa yang ditentukan oleh konstitusi
merupakan sesuatu yang demokratis. Ukuran demokratis atau tidak demokratis
tergantung dari ketentuan yang diatur dalam konstitusi. Penulis berpendapat bahwa
walaupun Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 menegaskan secara eksplisit bahwa
kedaulatan berada di tangan rakyat, akan tetapi dibatasi pelaksanaannya berdasarkan
konstitusi dan hukum sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI,
370 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar…,Op.Cit. hlm. 106
371 Ibid. 372 Paulus Effendi Lotulung dalam Tim Asistensi RUU DIY, Op.Cit., hlm. 17 373 Jimly Asshiddiqie (1), Op.Cit., hlm. 58
166
bahwa Indonesia adalah negara hukum. Oleh karena itu, pelaksanaan kedaulatan rakyat
tetap harus berdasarkan konstitusi dan hukum.
Dalam putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006,
bagian pertimbangan hukumnya, Mahkamah Konstitusi menyatakan:
Bahwa, dalam kehidupan setiap negara yang menyatakan dirinya sebagai negara hukum yang demokratis dan negara demokrasi yang berdasar atas hukum, akan selalu terjadi tarik-menarik dua kepentingan yang sama-sama fundamental, yaitu kepentingan untuk membentuk hukum (undang-undang) guna menjamin dan memastikan bekerjanya tertib hukum dalam masyarakat sekaligus untuk melindungi kepentingan masyarakat (umum) dan kepentingan untuk menjaga hak atau kebebasan individu (individual liberty) sebagai unsur inheren negara hukum yang demokratis dan negara demokrasi yang berdasar atas hukum. Bahwa, sebagai konsekuensi dari pengakuan sebagai negara hukum yang demokratis dan negara demokrasi yang berdasar atas hukum, sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 1 Ayat (2) dan Ayat (3) UUD 1945, bukan saja berarti bahwa proses pembentukan hukum dan materi muatannya (in casu undang-undang) harus mengindahkan prinsip-prinsip demokrasi tetapi juga berarti bahwa praktik demokrasi harus tunduk pada prinsip negara hukum (rechtsstaat, rule of law) yang menempatkan UUD 1945 sebagai hukum tertinggi (supreme law). Oleh karena itulah undang-undang, baik proses pembentukan maupun materi muatannya, dapat diuji terhadap undang-undang dasar sebagai hukum tertinggi.
Berdasarkan penjelasan sebelumnya dan berdasarkan putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut, maka dalam sebuah negara demokrasi (Indonesia) haruslah
mengindahkan prinsip-prinsip negara hukum yang menempatkan UUD NRI Tahun 1945
sebagai hukum tertinggi. Dalam kaitannya dengan mekanisme pengisian jabatan
Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY, konstitusi sudah menjaminnya dalam Pasal
18B ayat (1) yang merupakan landasan konstitusional bagi satuan pemerintahan daerah
yang bersifat khusus dan istimewa. Pasal 18B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 memiliki
daya mengikat yang sama dengan Pasal 18 ayat (4) UUD NRI tahun 1945. Sehingga
mempertentangkan keduanya adalah sesuatu yang tidak relevan. Pasal 18 ayat (4) UUD
NRI Tahun 1945 tidak dapat dipaksakan untuk diterapkan dalam daerah yang bersifat
khusus atau istimewa, karena daerah yang bersifat khusus atau istimewa tersebut
memiliki landasan konstitusional tersendiri, yaitu Pasal 18B ayat (1).
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah
Konstitusi perkara Nomor 11/PUU-VI/2008 perihal pengujian UU No. 32 Tahun 2004 dan
UU No. 29 Tahun 2007 dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah Konstitusi
menyatakan bahwa kedudukan Pasal 18B ayat (1) dengan Pasal 18 UUD NRI Tahun
167
1945 berada dalam posisi setara dan mempunyai kekuatan mengikat yang mandiri
secara sama. Berikut ini dikutip kembali penggalan Putusan Mahkamah Konstitusi
Perkara Nomor 11/PUU-VI/2008:
…Pendirian Mahkamah yang berpendapat bahwa kedudukan Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) dengan Pasal 18B UUD 1945 berada dalam posisi yang setara dan mempunyai kekuatan mengikat mandiri secara sama, menyebabkan tidak relevan untuk mempertentangkan diletakkannya otonomi DKI Jakarta hanya pada tingkat provinsi, dengan Pasal 18 ayat (1) dan (2) UUD 1945…Jadi, kekhususan Jakarta tidak harus dilihat dari Pasal 18 ayat (1) dan (2) UUD 1945 yang mewajibkan daerah provinsi dibagi atas daerah kabupaten/kota yang otonom, melainkan harus dilihat sebagai pelaksanaan Pasal 18B ayat (1) UUD 1945.
Berkaitan dengan istilah “dipilih secara demokratis”, dalam putusannya yang lain
Mahkamah Konstitusi juga menyatakan bahwa ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD NRI
Tahun 1945 terkait dengan Pasal 18B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Keterkaitan itu
ialah adanya kekhususan dalam mekanisme pengisian jabatan kepala daerah di daerah
yang bersifat khusus dan istimewa. Berikut ini penggalan bagian pertimbangan hukum
Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 072-073/PUU-II/2004:
Bahwa untuk memberi pengertian dipilih secara langsung sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, Mahkamah juga mengaitkan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 dengan Pasal 18B ayat (1) UUD 1945, yang sebagaimana halnya dengan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 adalah hasil perubahan ke dua UUD 1945 Tahun 2000. Pasal 18B ayat (1) berbunyi: “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.“ Dengan dirumuskan “dipilih secara demokratis“ maka ketentuan Pilkada juga mempertimbangkan pelaksanaan pemilihan kepala daerah di daerah-daerah yang bersifat khusus dan istimewa sebagaimana dimaksud Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 tersebut di atas.
Penulis berpendapat bahwa putusan Mahkamah Konstitusi di atas memiliki
keterkaitan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 11/PUU-VI/2008.
Adanya perlakuan istimewa bagi daerah-daerah yang bersifat istimewa termasuk tata
cara pengisian jabatan kepala daerahnya merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal
18B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Oleh karena itu, sebagaimana yang dinyatakan oleh
Mahkamah Konstitusi dalam putusan tahun 2008 tersebut, bahwa Pasal 18 ayat (1) dan
ayat (2) memiliki kekuatan mengikat secara sama dengan Pasal 18B ayat (1) UUD NRI
168
Tahun 1945. Maka penulis juga berkesimpulan bahwa Pasal 18B ayat (1) juga memiliki
kekuatan mengikat secara sama dengan Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945.
Dengan demikian, maka secara teoritik maupun konstitusional keistimewaan
dalam mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY dengan
cara penetapan tidaklah bertentangan dengan prinsip demokrasi dan konstitusi. Dengan
kata lain bahwa sistem penetapan dalam mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan
Wakil Gubernur DIY sudah sesuai dengan prisnsip demokrasi konstitusional (democracy
constitutional) yang dianut oleh bangsa Indonesia.
Oleh karena itu, dengan tidak adanya pertentangan antara mekanisme penetapan
dan prinsip kedaulatan rakyat maupun demokrasi, maka perlu pengaturan yang jelas
dalam RUUK mengenai mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur
DIY tersebut. Penulis menganggap bahwa beberapa ketentuan yang ada dalam RUUK
yang diajukan oleh Kementerian Dalam Negeri tersebut sudah tepat. Akan tetapi masih
ada beberapa ketentuan yang harus diperbaiki guna menjadikannya sebagai sebuah
undang-undang yang baik. Sebuah peraturan perundang-undangan yang baik (termasuk
undang-undang) haruslah dirumuskan secara jelas, artinya disusun dalam rumusan
yang dapat dimengerti. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Lon L. Fuller
sebagaimana dikutip Yuliandri yang menyatakan “a failure to make rules
understandable”.374
Sebagaimana diuraikan sebelumnya, bahwa beberapa ketentuan yang mengatur
mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY dalam undang-undang
pemerintahan daerah lebih sering menggunakan sistem pengangkatan atau penetapan.
Berdasarkan analisis di atas, jika mekanisme pengangkatan atau penetapan tersebut
akan digunakan (dan sebaiknya tetap digunakan) maka penulis mengusulkan beberapa
hal yang dapat dijadikan perbandingan dengan rumusan-rumusan sebelumnya. Hal-hal
yang harus diperhatikan adalah menyangkut mengenai asal calon Gubernur dan Wakil
Gubernur DIY, persyaratan dan masa jabatan.
3.1. Berkaitan dengan asal calon Gubernur dan Wakil Gubernur DIY
Hendaklah ditentukan dengan tegas bahwa Sultan Hamengku Buwono dan Paku
Alam yang bertahta merupakan syarat utama untuk menjadi Gubernur dan Wakil
Gubernur DIY. Dalam UU No. 22 Tahun 1948, UU No. 1 Tahun 1957 dan Penpres No. 6
374 Yuliandri, Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang Baik: Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, ( Jakarta: RajaGraindo Persada, 2009), hlm. 131
169
Tahun 1959 asal calon gubernur dan wakil gubernur yaitu “dari Keturunan keluarga yang
berkuasa di daerah itu dizaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih menguasai
daerahnya”.
Rumusan tersebut sebagaimana diuraikan sebelumnya akan memunculkan
berbagai akibat, misalnya terjadinya konflik dalam keluarga tentang siapa diantara
keturunan penguasa tersebut yang berhak menjadi kepala daerah dan wakil kepala
daerah. Sedangkan mekanisme yang digunakan adalah mekanisme penetapan, bukan
mekanisme pemilihan. Walaupun pada waktu berlakunya UU No. 1 Tahun 1957
diberlakukan mekanisme pengusulan oleh DPRD. Akan tetapi pelaksanaan dari
ketentuan tersebut belum pernah dilaksanakan, karena pada waktu diberlakukannya
undang-undang tersebut Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII masih
menjabat sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY. Rumusan tersebut terlalu luas
maknanya. Dengan rumusan tersebut maka dapat diartikan bahwa semua keturunan
keluarga Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam dapat ditetapkan sebagai Gubernur
dan Wakil Gubernur DIY.
Dengan rumusan seperti itu justru akan menyulitkan proses pengangkatan atau
penetapan karena banyaknya calon. Bahkan dengan menggunakan rumusan yang
terdapat dalam ketentuan penjelasan Pasal 122 UU No. 22 Tahun 1999 pun tetap akan
menimbulkan kesulitan. Rumusan penjelasan Pasal 122 UU No. 22 Tahun 1999
menyatakan bahwa “pengangkatan Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari
keturunan Sultan Yogyakarta dan Wakil Gubernur dengan mempertimbangkan calon
dari keturunan Paku Alam”. Rumusan tersebut terbukti telah mengakibatkan terjadinyan
konflik dalam lingkungan Pura Paku Alaman ketika Ambar Kusumo dan Angkling
Kusumo sama-sama diajukan sebagai calon Wakil Gubernur DIY pada tahun 2001
sebagaimana diuraikan sebelumnya.
Oleh karena itu, untuk menghindari terjadinya konflik dan perbedaan penafsiran,
maka rumusan yang harus digunakan adalah “Sultan Hamengku Buwono dan Paku
Alam yang bertahta diangkat sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur”. Rumusan tersebut
akan menutup konflik internal antara sesame keturunan Sultan Hamengku Buwono dan
Paku Alam yang lainnya. Karena secara otomatis Sultan Hamengku Buwono dan Paku
Alam yang bertahta akan diangkat sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY.
3.2. Mengenai syarat-syarat dan masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY
Dalam UU No. 22 Tahun 1948, UU No. 1 Tahun 1957, Penpres Nomor 6 Tahun
1959 disebutkan bahwa syarat untuk menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah
170
istimewa adalah “cakap, jujur serta setia kepada Pemerintah Republik Indonesia serta
adat istiadat dalam daerah itu”. Bahkan dalam UU No. 22 Tahun 1999 disebutkan bahwa
syarat untuk menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur DIY harus memenuhi syarat-syarat
yang ditentukan dalam undang-undang tersebut. Pertanyaan yang muncul adalah,
masihkah persyaratan itu diperlukan jika Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam
yang bertahta diangkat sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY.
Penulis berpendapat bahwa persyaratan itu bisa saja diberlakukan di DIY dengan
menyerahkan proses tersebut kepada internal kasultanan dan kadipaten untuk lebih
menyempurnakan paugeran (pranata) suksesi internal dengan memperhatikan
persyaratan-persyaratan tersebut. Akan tetapi, Seorang Sultan Hamengku Buwono dan
Paku Alam yang bertahta haruslah memenuhi persyaratan tertentu yang disebut dengan
Serat Tajusalatain dan Serat Puji.375 Serat Tajusalatain menyatakan bahwa “Raja
adalah Wakiling Widdi (Wakil Tuhan) yang bertuga: rumeksa jagad, myang saisinipun (
Memelihara, menjaga dan membina alam semesta dan seisinya), dan memelihara
rakyatnya mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat (sayekti angsal
kamulyun…angalam danya tumeng ngakir)”.
Sedangkan Serat Puji merumuskan 10 pokok syarat menjadi Sultan maupun
Paku Alam, yaitu:
1. Raja harus sudah akil balig (dewasa);376
375 Tim Asistensi RUU DIY, Rakyat Jogja…,Op.Cit., hlm. 19-20. Bandingkan syarat untuk menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah berdasarkan ketentuan Pasal 58 UU No. 32 Tahun 2004 yang menentukan syarat sebagai berikut: (1) bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; (2) setia kepada Pancasila sebagai Dasar Negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945, cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945, dan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia serta Pemerintah; (3) berpendidikan sekurang-kurangnya sekolah lanjutan tingkat atas dan/atau sederajat; (4) berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun; (5) sehat jasmani dan rohani berdasarkan basil pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari tim dokter; (5) tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau lebih; (6) tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; (7) mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di daerahnya; (8) menyerahkan daftar kekayaan pribadi dan bersedia untuk diumumkan; (9) tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara; (10) tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; (11) tidak pernah melakukan perbuatan tercela; (12) memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau bagi yang belum mempunyai NPWP wajib mempunyai bukti pembayaran pajak; (13) menyerahkan daftar riwayat hidup lengkap yang memuat antara lain riwayat pendidikan dan pekerjaan
serta keluarga kandung, suami atau istri; (14) belum pernah menjabat sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama; dan (15) tidak dalam status sebagai penjabat kepala daerah.
376 Bandingkan dengan persyaratan seorang calon kepala daerah harus berusia 30 tahun
171
2. Raja harus alim, adil, berbuat kebajikan (ikhsan), halus tutur katanya, pintar membaca karya tulis dan berguru pada ahli ilmu (pengetahuan), dan suka belajar menimba pengalaman orang lain, termasuk dari pengalaman masa lalu;377
3. Raja harus dapat memilih pembantunya yang berbudi, lancar berbicara, dan terampil bekerja;
4. Raja harus halus sabdanya, tampan rupanya, sedap dan manis bicaranya, dan penampilannya mengesankan;
5. Raja harus dermawan dan tidak boleh kikir; 6. Raja harus selalu berbuat baik; 7. Raja harus berani berperang, bersikap perwira di medan laga, dan mampu
memimpin perang; 8. Raja diharapkan makan secukupnya; 9. Raja diharapkan tidak banyak berhubungan dengan wanita dan gadis-gadis; 10. Utamanya raja itu pria.
Dalam serat puji tersebut sudah ditentukan syarat-syarat untuk menjadi seorang
raja yang sudah memenuhi syarat kecakapan, kejujuran maupun kesetiaan kepada
negara. Dalam internal kerajaan (keraton dan pura) sudah memiliki paugeran (pranata)
internal yang mengatur mengani mekanisme suksesi atau pergantian tahta.
Sebagai gambaran, bahwa sebelum dijadikan sebagai putra mahkota, seorang
keturunan Sultan Hamengku Buwono diberikan gelar tertentu kepadanya, seperti Gusti
Pangeran Haryo (GPH) Mangkubumi. Dengan diberikannya gelar tersebut maka itu
langkah awal seseorang dicalonkan sebagai putra mahkota. Kemudian apakah dia
benar-benar akan menjadi putra mahkota, itu bergantung pada penilaian dari Sultan
Hamengku Buwono beserta para keluarga. Penilaian dilakukan dengan melihat kriteria
atau syarat-syarat sebagai raja dalam Serat Tajusalatain dan Serat Puji di atas. Waktu
untuk melakukan penilaian tersebut tidaklah ditentukan (dipatok) sampai pada akhirnya
akan diadakan pertemuan keluarga apakah seorang yang diberikan gelar GPH.
Mangkubumi tersebut layak atau tidak layak untuk menjadi putra mahkota.378
Itulah proses paugeran (pranata) suksesi di lingkungan Keraton Yogyakarta yang
cukup ketat. Oleh karena itu, selama proses paugeran itu internal keraton dapat diminta
untuk benar-benar dilakukan dengan baik sehingga seorang Sultan dan Adipati nantinya
bisa memenuhi persyaratan untuk menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur DIY.
377 Bandingkan dengan syarat seorang calon kepala daerah yang harus berpendidikan sekurang-kurangnya sekolah lanjutan tingkat atas dan/atau sederajat
378 Lihat: Atmakusumah, ed. Takhta Untuk…,Op.Cit.,hlm. 131
172
Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Tim Asistensi RUU DIY Pemda
DIY,379 Keraton setuju jika persyaratan teknokratis seorang Gubernur seperti syarat
kesehatan, kecakapan maupun batasan usia diterapkan. Hal tersebut diharapkan akan
membuat proses kaderisasi di internal kasultanan dan kadipaten dapat berjalan secara
baik. Dengan demikian, maka berkaitan dengan syarat-syarat tersebut harus diserahkan
kepada internal kasultanan dan kadipaten, karena dalam kasultanan dan kadipaten
sudah terdapat paugeran (pranata) tersendiri.
Achiel Suyanto menyatakan bahwa pembatasan usia bisa saja dilakukan,
karena pernah terjadi dalam sejarah keraton ketika Sri Sultan Hamengku Buwono VII
yang sudah lanjut usia menyerahkan takhta kepada putra mahkota Kanjeng Gusti
Pangeran Adipati Anom Hamengu Negara Sudibya Raja Putra Narendra ing Mataram
(GPH Puruboyo) yang kemudian menggantikannya sebagai Sri Sultan Hamengku
Buwono VIII. Gelar Sultan tetap melekat pada Sultan Hamengku Buwono VII, akan
tetapi raja yang bertakhta atau berkuasa adalah Sultan Hamengku Buwono VIII. Sultan
Hamengku Buwono VII tersebut kemudian bermukim di daerah Ambarukmo sampai
akhir hayatnya.380
Undang-Undang juga harus mengatur ketentuan tentang kemungkinan adanya
pengunduran diri dan ketentuan diberhentikan dari jabatan Gubernur dan/atau Wakil
Gubernur tersebut. Mekanisme pemberhentiannya juga harus berbeda dengan
mekanisme pemberhentian Gubernur dan Wakil Gubernur daerah lainnya. Misalnya
proses pemberhentian itu hanya dilakukan oleh Presiden saja tanpa melibatkan DPRD
seperti yang pernah diterapkan pada masa berlakunya UU No. 22 Tahun 1948, UU No.
1 Tahun 1957, Penpres Nomor 6 Tahun 1959 dan UU No. 5 Tahun 1974. Sedangkan
alasan atau sebab-sebab diberhentikan, dapat disamakan dengan alasan atau sebab-
sebab pemberhentian kepala daerah lainnya seperti tertangkap tangan melakukan
tindak pidana korupsi dan sebagainya.
379 Wawancara dilaksanakan pada tanggal 8 Juli 2011 di Komplek Kepatihan Yogyakarta 380 Wawancara dengan Achiel Suyanto, S.H., M.H., MBA, ketua Tim Hukum Keraton Yogyakarta pada tanggal 5
Juli 2011. Lihat juga Atmakusumah, ed., Takhta Untuk…Loc.Cit.
173
BAB IX
PENUTUP
Berdasarkan serangkaian atas beragam permasalahn, kajian ini berhasil menarik
kesimpulan sebagai berikut
1. Bahwa status keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tetap berada
dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Berdasarkan ketentuan Pasal 226 ayat (2) Penyelenggaraan pemerintahan
daerah di Provinsi DIY sama dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah di
daerah lainnya. Perbedaannya hanya terletak pada mekanisme pengisian jabatan
Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY. Walaupun UU No. 3 Tahun 1950
tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta juga memberikan kewenangan
khusus bagi Provinsi DIY, akan tetapi pelaksanaan pemerintahan daerah Provinsi
DIY tetap mengacu pada undang-undang pemerintahan daerah.
Perbedaan mekanisme pengisian jabatan tersebut merupakan isi atau karakter
keistimewaan yang dimiliki oleh Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebagaimana
pelaksanaan syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, maupun
mekanisme pengisian jabatan Walikota dan Bupati di Provinsi DKI Jakarta yang
diangkat oleh Gubernur dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi persyaratan.
Begitu juga halnya di Papua dan Papua Barat, persyaratan untuk menjadi bakal
calon Gubernur adalah orang Papua Asli merupakan kekhususan yang dimiliki oleh
daerah-daerah yang bersifat khusus tersebut.
Pasal 18B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 merupakan landasan konsitusional
bagi satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa.
Sehingga jika adanya kekhususan atau keistimewaan yang dimiliki oleh daerah-
daerah yang bersifat istimewa tersebut, maka itu tetaplah berada dalam Kerangka
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintah Pusat tetap memiliki kewenangan
untuk mengatur pemerintahan baik di tingkat pusat maupun di daerah. Semua
peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah pusat langsung
mengikat dan berlaku di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Selain itu, hampir tidak ada hal yang sama dan serupa dari hukum tata negara
suatu bangsa dibandingkan dengan hukum tata negara bangsa yang lain.
Perbedaan itu disebabkam oleh tidak samanya sejarah dan latar belakang suatu
bangsa, juga oleh kepribadian yang dimiliki oleh setiap bangsa itu. Perbedaan
mekanisme pengisian jabatan kepala daerah istimewa Yogyakarta sebagai akibat
174
dari adanya status keistimewaan yang dimiliki oleh Provinsi DIY berdasarkan sejarah
dan peran DIY dalam proses awal berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Oleh sebab itu, jika terdapat teori-teori hukum tata negara yang dikemukakan oleh
ahli hukum tata negara yang berasal dari bangsa lain yang berbeda dengan praktek
ketatanegaraan bangsa Indonesia, maka hal itu dapat dipahami karena sejarah dan
latar belakang sutau bangsa itu berbeda.
2. Bahwa mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur melalui sistem
penetapan atau pengangkatan tidaklah bertentangan dengan prinsip kedaulatan
rakyat dan demokrasi.
Penyelenggaraan pemerintahan daerah di Provinsi DIY sejak tahun 1945
sudah mengikutsertakan partisipasi rakyat. DPRD Provinsi DIY merupakan
representasi masyarakat DIY yang ikut dalam merumuskan kebijakan-kebijakan
umum dan pemerintahan. Keraton Yogyakarta dan Pura Paku Alaman sama sekali
tidak memiliki peran dalam pemerintahan daerah Provinsi DIY. Dengan kata lain
bahwa antara Keraton Yogyakarta dan Puro Paku Alaman dengan pemerintahan
Provinsi DIY adalah dua lembaga yang terpisah. Keraton Yogyakarta dan Pura paku
Alaman hanya lembaga budaya belaka.
Wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat yaitu dengan dibentuknya badan
legislatif sebagai representasi dari rakyat, yang akan mewakili rakyat dalam
pengambilan keputusan-keputusan politik yang dipilih melalui pemilihan langsung
oleh rakyat. DPRD Provinsi DIY merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah yang
memiliki kewenangan yang sama dengan DPRD di daerah lainnya. Adanya
Keputusan DPRD Provinsi DIY Nomor 54/K/DPRD/2010 yang menghendaki
mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY melalui cara
penetapan merupakan representasi dari kehendak umum (volonte generale) rakyat
Yogyakarta.
Pelaksanaan kedaulatan rakyat juga dibatasi oleh konstitusi, sebagai dokumen
politik yang merupakan kehendak seluruh rakyat (volonte de tous) dan merupakan
hukum tertinggi dalam bernegara. Konsep demokrasi konstitusional (democracy
constitusional) yang menjadi landasan UUD NRI Tahun 1945 harus dijadikan
landasan dalam proses berdemokrasi di Indonesia. Sepanjang konstitusi
membolehkan, maka itu juga demokrasi. Karena demokrasi konstitusional pada
hakekatnya adalah demokrasi yang berdasarkan konstitusi sebagai hukum tertinggi
dalam negara. Pasal 18B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 merupakan landasan
konstitusional bagi satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan
175
istimewa dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah, termasuk sebagai
landasan dalam mekanisme pengisian jabatan kepala daerah istimewa.
Pasal 18 ayat (4) tidak relevan untuk dipertentangkan dengan Pasal 18B ayat
(1) UUD NRI Tahun 1945. Kedua-duanya memiliki kekuatan mengikat dan
keberlakuan secara sama dan mandiri. Pasal 18 ayat (4) merupakan landasan
kosntitusional bagai mekanisme pemilihan kepala daerah secara demokratis bagi
daerah-daerah biasa, sedangkan Pasal 18B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945
merupakan landasan konstitusional bagi daerah-daerah yang bersifat khusus atau
istimewa sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 11/PUU-
VI/2008. Sehingga mekanisme penetapan tidak dapat dipertentangkan dengan
ketentuan Pasal 18 ayat (4), melainkan harus dilihat sebagai pelaksanaan Pasal 18B
ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.
176
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Yazid et.all. 2007. Demokrasi dan Hak Asasi Manusia. Malang:Avveroes Press
Asshiddiqie, Jimly. 2008. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi.
Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer
---------------. 2010. Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika
---------------. 2010. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Cet. 2. Jakarta: RajaGrafindo
Persada
Atmakusumah, ed. 2011. Takhta Untuk Rakyat: Celah-Celah Kehidupan Sultan
Hamengku Buwono IX. Edisi Revisi. Cet. 4. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Budiardjo, Miriam. 2010. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Edisi Revisi. Cet. 4. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama
David Held. 2006. Demokrasi dan Tatanan Global, dari Negara Modern hingga
Pemerintahan Kosmopolitan. Yogjakarta: Pustaka Pelajar
Farida Indrati, Maria. 2007. Ilmu Perundang-Undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi
Muatan. Cet. 13. Yogyakarta: Kanisius
Ghoffar, Abdul. 2009. Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan
UUD 1945 dengan Delapan Negara Maju. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
H.A.W. Widjaja. 2002. Otonomi Daerah dan Daerah Otonom. Jakarta: PT Rajagrafindo
Persada
Hadjon, Philipus. M. 2007. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Di Indonesia. Surabaya:
Peradaban
-------------. 2008. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Cet. 10. Yogyakarta: Gajah
Mada University Press
177
--------------. 2010. Hukum Administrasi dan Good Governance. Jakarta: Penerbit
Universitas Trisakti
Hakim, Lukman. 2010. Kedudukan Hukum Komisi Negara di Indonesia: Eksistensi
Komisi-Komisi Negara (State Auxiliary Agency) Sebagai Organ Negara yang
Mandiri Dalam Sistem Ketatanegaraan. Malang: Program Pascasarjana
Universitas Brawijaya
Huda, Ni’matul. 2005. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
--------------. 2009. Otonomi Daerah: Filosofi, Sejarah Perkembangan dan Problematika.
Cet. 2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
--------------. 2010. Ilmu Negara. Jakarta: RajaGrafindo Persada
Jacques Rousseau, Jean. 2010. Perihal Kontrak Sosial atau Prinsip Hukum-Politik.
Penterjemah: Rahayu Surtiati Hidayat dan Ida Sundari Husen. Cet. 2. Jakarta:
Dian Rakyat
Joeniarto, 2001. Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia. Cet.5. Jakarta: Bumi
Aksara
Kranenburg, R. 1989. Ilmu Negara Umum. Ditejemahkan Tk.B.Sabaroedin. Jakarta:
Paradnya Paramita
Kusnardi, Moh. dan Harmaily Ibrahim. 1988. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,
Cet. 7. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FH-UI.
---------------- dan Bintan R. Saragih. 1995. Ilmu Negara. Edisi Revisi. Jakarta: Gaya
Media Pratama
L.Tanya, Bernard, Yoan N. Simanjuntak dan Markus Y. Hage. 2010. Teori Hukum:
Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi. Cet.3. Yogyakarta: Genta
Publishing
178
Mahfud MD, Moh. 2003. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Cet. 2. Jakarta:PT
Rineka Cipta
----------------. 2009. Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu. Jakarta: RajaGrafindo
Persada
----------------. 2010. Perdebatan Hukum Tata Negara Pascaamandemen Konstitusi.
Jakarta: RajaGrafindo Persada
Mahmud Marzuki, Peter. 2010. Penelitian Hukum. Cet. 6. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group
Marijan, Kacung. 2010. Sistem Politk Indonesia: Konsolidasi Pasca Reformasi. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group
Manan, Bagir. 1995. Perjalanan Historis Pasal 18 UUD 1945 (Perumusan dan Undang-
Undang Pelaksanaannya). Jakarta: UNSIKA
-------------------. 2005. Menyongsong Fajar Otonomi Daerah. Cet. 4. Yogyakarta: Pusat
Studi Hukum (PSH) Fakultas Hukum UII
------------------. 2006. Lembaga Kepresidenan. Cet. 3. Yogyakarta: FH UII Press
Pantja Astawa, I Gde. 2008. Problematika Hukum Otonomi Daerah di Indonesia.
Bandung: Alumni
Prodjodikoro, Wirjono. 1989. Asas-asas Hukum Tata Negara di Indonesia, Cet.6.
Jakarta: Dian Rakyat
Redi Penuju. 2009. Oposisi Demokrasi dan Kemakmuran Rakyat, Cetakan I. Yogyakarta:
Pustaka Book Publisher.
Saafroedin Bahar et. al., ed. 1993. Risalah Sidang BPUPKI-PPKI 29 Mei 1945-19
Agustus 1945. Edisi kedua. Jakarta: Sekretariat Negara RI
Soehino. 2000. Ilmu Negara. Ed.3, Cet.3. Yogyakarta: Liberty
179
Solly Lubis, M. 1983. Pergeseran Garis Politik dan Perundang-undangan Mengenai
Pemerintah Daerah. Bandung: Alumni
Soni BL de Rosari, Aloysius. 2011. “Monarki Yogya” Inkonstitusional ?. Jakarta: Penerbit
Buku Kompas
Sunarno, Siswanto, 2009. Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Cet.3. Jakarta:
Sinar Grafika
Surbakti, Ramlan. 2010. Memahami Ilmu Politik. Cet. 7. Jakarta: Grasindo
Tim Asistensi RUU DIY. 2011. Rakyat Jogja Menjawab Isu Seputar Keistimewaan DIY.
Yogyakarta: Tim Asistensi RUU DIY
Toet Hendratno, Edie. 2009. Negara Kesatuan, Desentralisasi, dan Federalisme.
Jakarta: Graha Ilmu dan Universitas Pancasila Press
Triwulan Tutik, Titik. 2010. Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca
Amandemen UUD 1945. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Wahyukismoyo, Heru. 2008. Merajut Kembali Pemikiran Sri Sultan Hamengku Buwono
IX: Sebuah Kumpulan Pemikiran dan Polemik Status Keistimewaan Daerah
Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Dharmakaryadhika Publisher
Wijoyo, Suparto. 2005. Karakteristik Hukum Acara Peradilan Administrasi (Peradilan
Tata Usaha Negara). Edisi Kedua. Surabaya: Airlangga University Press
Yuliandri. 2009. Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang Baik:
Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan. Jakarta: RajaGraindo
Persada
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. 2008. Putusan Mahkamah Konstitusi tentang
Pasal-Pasal UUD 1945 (Periode 2003-2008). Jakarta: Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
180
Naskah Amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alaman VIII, 5
September 1945
Naskah Amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alaman VIII, 30
Oktober 1945
DISERTASI , MAKALAH, HAND OUT KULIAH DAN WEBSITE
Arief Muljadi, Mohamad. Prinsip Negara Kesatuan dalam Rangka Desentralisasi dan
Sistem Pembagian Urusan Pemerintah Pusat dan Daerah dalam Undang-Undang
di Indonesia. Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya,
2004.
Hadjon, Philipus M. Kedudukan Undang-Undang Pemerintahan Daerah Dalam Sistem
Pemerinatahan. Makalah Disampaikan dalam Seminar Sistem Pemerintahan
daerah Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, Surabaya, 9-10 Juni 2004
Muhjad, M. Hadin. Sistem Pemilihan Kepala Derah Secara Demokratis. Disertasi
Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2007
Sukardi. Pembatalan Peraturan Daerah dan Akibat Hukumnya. Disertasi, Program
Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2009
Winarsih, Sri. Sistem Otonomi Daerah. Hand Out Kuliah Sistem Otonomi Daerah, tt
http://www.pemda-diy.go.id/. Diakses pada tanggal 28 Februari 2011
http://www.dprd-diy.go.id. Diakses pada tanggal 17 Februari 2011
http://news.okezone.com/read/2010/11/29/337/398252/statement-sby-soal-yogya-picu-
polemik diakses pada tanggal 28 Februari 2011
http://www.jpnn.com/read/2010/12/01/78528/Setelah-Merapi,-Jogja-Dihantam-Monarki-
diakses pada tanggal 28 Februari 2011
181
http://www.cidesonline.org diakses pada tanggal 28 Februari 2011
http://dyanuardy.wordpress.com diakses pada tanggal 28 Februari 2011
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai Kedudukan Komite
Daerah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Penetapan Aturan-Aturan Pokok
Mengenai Pemerintahan Sendiri di Daerah-Daerah yang Berhak Mengatur dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri (Diumumkan pada tanggal 10 Juli 1948)
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa
Jogjakarta (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 1950 Nomor 3) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1955 tentang Perubahan UU No. 3 JO. No. 19 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1955 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 827)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1957 yang Telah Dicetak Ulang)
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965 yang Telah Dicetak Ulang)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3037)
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851)
182
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 146, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3878)
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa
Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 114, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4134)
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 135, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4151)
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358)
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagai telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844)
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4633)
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta Sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4744)
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4924)
183
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Perkara Nomor 072-073/PUU-II/2004 Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Perkara Nomor 024/PUU-III/2005 Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Perkara Nomor 012-016-019/PUU-
V/2006 Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Perkara Nomor 5/PUU-V/2007 Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Perkara Nomor 15/PUU-V/2007 Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Perkara Nomor 11/PUU-VI/2008