iistaffnew.uny.ac.id/upload/132310007/penelitian/proceeding... · 2020. 6. 7. · peningkatan suhu...

16

Upload: others

Post on 05-Mar-2021

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: iistaffnew.uny.ac.id/upload/132310007/penelitian/PROCEEDING... · 2020. 6. 7. · peningkatan suhu air laut (Hunga, dalam Candraningrum, 2013: ix). Selain kondisi di tingkat global,
Page 2: iistaffnew.uny.ac.id/upload/132310007/penelitian/PROCEEDING... · 2020. 6. 7. · peningkatan suhu air laut (Hunga, dalam Candraningrum, 2013: ix). Selain kondisi di tingkat global,
Page 3: iistaffnew.uny.ac.id/upload/132310007/penelitian/PROCEEDING... · 2020. 6. 7. · peningkatan suhu air laut (Hunga, dalam Candraningrum, 2013: ix). Selain kondisi di tingkat global,

ii • Proceedings

on Literature and Earth© Prof. Dr. Suminto A. Sayuti, dkk.

Editor:

Dr. Wiyatmi, M.Hum., Dr. Else Liliani, M.Hum.,Dwi Budiyanto, M.Hum.

Diterbitkan oleh:Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI)Komisariat Universitas Negeri YogyakartaJl. Colombo No. 1, Karangmalang, Yogyakarta

Perpustakaan Nasional, Katalog Dalam Terbitan (KDT)on Literature and Earth/Suminto A. SayutiYogyakarta: 2017

xvi + 2450 halaman, 17 x 25 cm

ISBN: 978-602-61439-0-7

Isi keseluruhan buku ini bukan tanggung jawabeditor, panitia penyelenggara HISKI dan penerbit.

Page 4: iistaffnew.uny.ac.id/upload/132310007/penelitian/PROCEEDING... · 2020. 6. 7. · peningkatan suhu air laut (Hunga, dalam Candraningrum, 2013: ix). Selain kondisi di tingkat global,

• Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia 2016

47

2277

2297

2312

2340

2360

2381

2394

2410

2423

REENCHANTMENT OF NATURE: THE WAY FANTASY MOVIEGIVING BACK TO NATURE, THEIR LIFE (AN ECOCRITICSTUDY TOWARDS FANTASY MOVIE)Rahmawati Azi

SASTRA HIJAU SEBAGAI MEDIA REPRESENTASIPERNYATAAN SIKAP DALAM SASTRA INDONESIA MODERNDr. Mukti Widayati, M. Hum.

EKSPLORASI EKOLOGI DALAM LIRIK KARYA MANG KOKOResti Nurfaidah

TEMA LINGKUNGAN HIDUP DALAM PUISI INDONESIADI MEDIA MASSA YOGYAKARTA: 1980--2000Siti Ajar Ismiyati

REPRESENTASI KEARIFAN EKOLOGIS ORANG LAMPUNGDALAM LAGU TANAH LADODAN KONTRIBUSINYA SEBAGAIBAHAN PEMBELAJARAN BAHASA LAMPUNG DI SEKOLAHEka Sofia Agustina dan Farida Ariyani

TANTANGAN PENDIDIKAN CINTA LINGKUNGAN DI ETNIKJAWA DALAM SYAIR LAGU DOLANAN “E DHAYOHE TEKO”:ANTARA MAKNA PRAGMATIS TEKSTUAL DAN NILAIFILOSFISBenedictus Sudiyana

TOWARDS THE ENVIRONMENTAL AWARENESSSuryo Ediyono

REPRESENTASI LINGKUNGAN HIDUP DALAM TRILOGIRONGGENG DUKUH PARUK KARYA AHMAD TOHARIHartono

PEMBELAJARAN MENULIS SASTRABERPRESPEKTIF EKOKRITIK: SEBUAH IKHTIAR MENUMBUHKAN KESADARAN KRITIS TERHADAP ALAMDwi Budiyanto

❧ “NOTULEN SEMINAR” 2434

Page 5: iistaffnew.uny.ac.id/upload/132310007/penelitian/PROCEEDING... · 2020. 6. 7. · peningkatan suhu air laut (Hunga, dalam Candraningrum, 2013: ix). Selain kondisi di tingkat global,

PEMBELAJARAN MENULIS SASTRA BERPRESPEKTIF EKOKRITIK: SEBUAH IKHTIAR

MENUMBUHKAN KESADARAN KRITIS TERHADAP ALAM

Dwi Budiyanto Fakultas Bahasa dan Seni

Universitas Negeri Yogyakarta Email: [email protected]

ABSTRACT

This paper aims to explain the teaching and learning process of literary writing using ecocriticism in order to promote students' ecological awareness. The awareness would not only ease students to explore writing ideas, but also guide them to write beyond mechanical writing techniques. In ecocriticism, students are encouraged to have responsibility towards life and environment. Therefore, the writing subject should include in depth writing orientations as well as mechanical writing techniques.

Literary activities, either those with appreciative or expressive objectives, can also be designed in ecocritical perspective. Ecocriticism connects literary works with the real problemmatic ecological crisis, such as ecosystem damages, massive exploitation of natural resources, pollutions, illegal hunting, and so on.

The teaching and learning process of literary writing by ecocritical perspective involves the following principles, i.e. : (1) developing the ideas based on ecological point of view, (2) performing the production of text based on the process approach, (3) assigning students as the center of learning process by integrating individual and collective experiences, oral and written communicative competences, and also their capability in exploring literary works, (4) prioritizing comprehensive approach, and (5) aiming to build students' writing orientation. Keywords: literary writing, ecocriticism, ecological crisis, process approach

Pendahuluan

Krisis ekologi telah menjadi ancaman bagi kehidupan manusia. Krisis tersebut

telah menjadi isu serius yang menyita perhatian banyak pihak dari latar belakang yang

sangat beragam. Sekedar sebagai gambaran, Human Development Report (2007)

menyatakan bahwa 262 juta orang menjadi korban bencana iklim sebagai dampak dari

2423 • Pendidikan Lingkungan Melalui Sastra

Page 6: iistaffnew.uny.ac.id/upload/132310007/penelitian/PROCEEDING... · 2020. 6. 7. · peningkatan suhu air laut (Hunga, dalam Candraningrum, 2013: ix). Selain kondisi di tingkat global,

pemanasan global pada tahun 2000-2004, 98% di antaranya adalah masyarakat di

dunia ketiga. Bencana tersebut terjadi sebagai dampak dari proses peningkatan suhu

antara 3–4oC yang menyebabkan 350 juta orang di dunia kehilangan tempat tinggal

akibat banjir. Selain itu, 334 juta orang berpotensi terkena dampak badai tropis akibat

peningkatan suhu air laut (Hunga, dalam Candraningrum, 2013: ix).

Selain kondisi di tingkat global, ternyata Indonesia juga memperlihatkan adanya

masalah-masalah ekologis yang tidak kalah serius. Banjir, tanah longsor, kebakaran

hutan, dan permasalahan ekologi lainnya merupakan ancaman serius bagi kehidupan

masyarakat Indonesia, bahkan juga telah menjadi ancaman bagi beberapa negara

tetangga, seperti dalam kasus kebakaran hutan. Hasil penelitian Yudhistira, Hidayat,

dan Hadiyarto (2011: 76-84) terhadap penambangan pasir di kawasan Gunung Merapi

menunjukkan bahwa penambangan yang tidak terkelola dengan baik berpotensi

menimbulkan erosi, tanah longsor, berkurangnya debit air permukaan, dan sebagainya.

Satu aktivitas eksploitasi ternyata menimbulkan dampak yang sangat banyak dan

seluruhnya menjadi ancaman bagi kehidupan. Penambangan liar seperti terjadi di

kawasan Gunung Merapi hanyalah salah satu contoh bagaimana perilaku eksploitatif

eksesif telah merusak alam demi menjadikannya sebagai komoditas ekonomi dan alat

pemuas kepentingan manusia, sebagaimana dijelaskan Keraf (2014: 8).

Permasalahan ekologis ini jika dibiarkan akan menjadi ancaman yang

membahayakan kehidupan. Oleh karena itu, diperlukan kesadaran untuk membangun

sinergitas antar semua pihak untuk menjaga alam dari segala perilaku eksploitasi

eksesif. Tanggung jawab ini semestinya tidak hanya menjadi perhatian departemen

lingkungan hidup dan para aktivis lingkungan hidup, tetapi harus menjadi kesadaran

kolektif semua pihak, termasuk dunia akademik, bahkan juga mereka yang bergerak di

bidang kesusastraan dan kesenian.

Munculnya kajian kritis multidisipliner antara sastra dan ekologi, yang lebih

dikenal sebagai “ekokritik sastra” patut disambut baik. Kajian ini, sebagaimana

dijelaskan Glotfelty (1996: xix), merupakan kajian tentang relasi antara sastra dan

lingkungan fisik. Dorongan agar sastra memiliki kontribusi positif dalam menangani

krisis ekologi terhubungkan dengan pandangan Garrard (2004: 4) bahwa sebagai

representasi sikap, pandangan, dan tanggapan masyarakat terhadap lingkungan

Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia 2016• 2424

Page 7: iistaffnew.uny.ac.id/upload/132310007/penelitian/PROCEEDING... · 2020. 6. 7. · peningkatan suhu air laut (Hunga, dalam Candraningrum, 2013: ix). Selain kondisi di tingkat global,

sekitarnya, sastra sangat berpotensi mengungkapkan gagasan tentang lingkungan

beserta kearifannya. Terlebih karena karya sastra selalu berakar pada hidup dan

kehidupan serta manusia dan kemanusiaan.

Sebenarnya kesadaran akan pentingnya lingkungan dalam kehidupan manusia

sudah sejak lama diangkat dalam karya sastra Indonesia (Mahayana, 2005: 165).

Namun demikian, jumlahnya masih sangat terbatas. Di antara kelangkaan kritik

lingkungan dalam sastra, novel karya Martin Aleida Jamangilak Tak Pernah Menangis

(2002) yang bercerita gugatan terhadap pabrik rayon multinasional yang

mengeksploitasi Sungai Asahan adalah salah satu karya sastra Indonesia yang

menjadikan krisis ekologi sebagi persoalan yang diangkat dalam cerita (Dewi, 2015:

378). Penelitian yang dilakukan Wiyatmi (2014: 301-310) terhadapi novel Amba karya

Laksmi Pamunjtak (2012) mengenai kerusakan Pulau Buru akibat eksploitasi hutan dan

sumber daya alamnya menunjukkan bahwa beberapa karya sastra Indonesia mulai

menjadikan krisis ekologi sebagai inspirasi penceritaan. Cerpen-cerpen Indonesia juga

menunjukkan kecenderungan yang hampir sama. Muhajir (2014: 321-333) yang

meneliti cerpen-cerpen Indonesia memperlihatkan bahwa fenomena pengangkatan isu

ekologi dalam karya sastra Indonesia mulai menggejala, meskipun belum menjadi arus

utama.

Belum dijadikannya ekokritik sebagai arus utama dalam penciptaan karya sastra

berperspektif ekokritik terlihat dalam hasil penelitian Dewi (2015) terhadap cerpen-

cerpen di harian Kompas selama kurun 5 tahun. Dalam lima tahun harian Kompas hanya

memuat 25 cerpen berwawasan lingkungan. Itu artinya, hanya terdapat rata-rata lima

cerpen pertahun atau sepersepuluh jumlah cerpen yang terbit setiap pekannya dalam

setahun yang berwawasan lingkungan. Sementara itu, jumlah cerpen berawawasan

lingkungan yang dimuat di media lain selama kurun 2010-2015, antara lain Republika,

Jawa Pos, Media Indonesia, Suara Merdeka, dan Koran Tempo hanya ada 28 cerpen. Dari

perhitungan tersebut terlihat bahwa karya sastra berperspektif ekokritik belum

menjadi arus utama di negeri dengan krisis ekologi terbesar di dunia ini (Dewi, 2015:

387-388).

Dengan melihat realita tersebut maka selain perlunya peningkatan jumlah kajian

dan apresiasi terhadap karya sastra berwawasan lingkungan, perlu pula peningkatan

2425 • Pendidikan Lingkungan Melalui Sastra

Page 8: iistaffnew.uny.ac.id/upload/132310007/penelitian/PROCEEDING... · 2020. 6. 7. · peningkatan suhu air laut (Hunga, dalam Candraningrum, 2013: ix). Selain kondisi di tingkat global,

ketersediaan karya sastra berperspektif ekokritik. Narasi ini sejalan dengan

rekomendasi Dewi (2015: 389) dalam hasil penelitiannya setelah menyimpulkan bahwa

ternyata sastra Indonesia kontemporer belum menjadikan ekokritik sebagai arus

utama. Ini artinya, perlu segera digagas dan dirintis (salah satunya) pembelajaran

menulis sastra berperspektif ekokritik. Pembelajaran menulis sastra akhirnya tidak

sekedar mengajarkan teknik-teknik kepenulisan tetapi juga menanamkan kesadaran

dan keberpihakan terhadap kelestarian ekologi. Hal ini tentu tidak berlebihan sebab,

seperti diungkapkan Herfanda (2008: 131), sesungguhnya sastra memiliki potensi yang

besar untuk membawa masyarakat ke arah perubahan.

Problem Pembelajaran Menulis Sastra

Khusus terkait dengan pembelajaran menulis sastra, pencapaian kompetensinya

perlu mendapat perhatian khusus. Hal ini terjadi karena secara umum kompetensi

menulis sastra masih sangat kurang. Kondisi ini terjadi salah satunya karena

pembelajaran menulis kurang ditangani dengan sungguh-sungguh (Syamsi, 2012: 2).

Secara umum ada dua permasalahan yang mempengaruhi keberhasilan pembelajaran

menulis sastra. Pertama, permasalahan orientasi dan etos kepengarangan. Termasuk

dalam hal ini adalah efikasi diri (self efficacy) pengarang, yaitu keyakinan, penilaian, dan

harapan bahwa seseorang mampu menghasilkan karya dengan baik. Belum

terbentuknya orientasi dan lemahnya etos kepengarangan seseorang menjadi

permasalahan mendasar dalam pembelajaran menulis sastra. Hasil penelitian

Wulandari, dkk. (2012: 79) terhadap siswa sekolah menengah atas menunjukkan

bahwa faktor utama penyebab siswa kesulitan dalam menulis (karya sastra) adalah

kurangnya motivasi siswa. Padahal, menurut Richards dan Rinandya (2003:206) serta

Brown (2001: 267-269) bahwa salah satu faktor keberhasilan seseorang dalam

pembelajaran bahasa adalah faktor afektif (affective factors). Yang dimaksud dengan

faktor afektif, antara lain self esteem, empati, kecemasan, sikap, dan motivasi. Jadi,

lemahnya motivasi dan perasaan tidak mampu seringkali menjadi penghambat utama

bagi siswa dan mahasiswa untuk meningkatkan kompetensi menulis (sastra) mereka.

Kedua, permasalahan yang terkait dengan kompetensi menulis sastra. Hal ini

terkait dengan penguasaan terhadap mekanik kepenulisan karya sastra. Hasil penelitian

Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia 2016• 2426

Page 9: iistaffnew.uny.ac.id/upload/132310007/penelitian/PROCEEDING... · 2020. 6. 7. · peningkatan suhu air laut (Hunga, dalam Candraningrum, 2013: ix). Selain kondisi di tingkat global,

yang dilakukan Sayuti, dkk (2008: 23) menunjukkan beberapa hambatan penulisan

karya fiksi yang dilakukan siswa SD, SMP, dan SMA se-DIY. Hambatan-hambatan yang

ditemukan, antara lain (1) hambatan dalam menggali ide dan pengembangannya, (2)

menyusun alur cerita yang proporsional, (3) membuat awalan cerita yang menarik, (4)

menentukan akhir cerita, (5) menggarap konflik dan klimaks cerita, (6) menciptakan

suspensi, (7) menciptakan karakter tokoh yang kuat, (8) menggambarkan karakter

tokoh yang tepat dan variatif, (9) memanfaatkan latar yang detail untuk menghidupkan

cerita, (10) membuat dialog yang hidup, (11) membuat dialog dan narasi secara

proporsional, (12) penulisan dialog secara tepat, (13) memilih diksi yang hidup dan

variatif, (14) memilih diksi yang mampu membangun emosi dan karakter tokoh, (15).

Pemisahan dialog dan narasi dalam paragraf, (16) penulisan dengan mematuhi mekanik

kebahasaan, dan (17) penulisan judul.

Dua persoalan yang sering ditemukan dalam diri peserta didik tersebut perlu

menjadi perhatian. Pembelajaran menulis sastra hendaknya tidak hanya berfokus pada

pengajaran mekanik kebahasaan, tetapi hendaknya juga berorientasi pada

pembentukan etos kepengarangan. Penelitian yang dilakukan Hidi, dkk. (2007: 204-

217) menjelaskan bahwa efikasi diri siswa dalam menulis dan perhatian mereka

terhadap topik penulisan yang spesifik merupakan faktor penting dalam prestasi

menulis (writing performance). Penelitian tersebut juga menjelaskan bahwa komposisi

tulisan yang baik terjadi ketika para siswa memiliki rasa percaya diri terhadap

kemampuan menulis (writing ability) mereka dan perhatian mereka terhadap topik

yang akan ditulis.

Dengan demikian, upaya merintis pembelajaran menulis sastra berperspektif

ekokritik sesungguhnya mengarahkan proses pembelajaran tidak hanya berfokus pada

pengajaran mekanik kepenulisan tetapi juga mengarahkan peserta didik untuk memiliki

perhatian pada topik ekologi dan permasalahannya. Langkah ini diharapkan mampu

memantik munculnya ide dan perhatian peserta didik untuk lebih fokus mencermati,

menghayati, dan menentukan sikap yang tepat akan problem-problem ekologi di

sekitarnya. Hasil penghayatan mendalam terhadap realita ekologis yang problematik

tersebut selanjutnya dihadirkan melalui karya sastra yang dihasilkannya.

2427 • Pendidikan Lingkungan Melalui Sastra

Page 10: iistaffnew.uny.ac.id/upload/132310007/penelitian/PROCEEDING... · 2020. 6. 7. · peningkatan suhu air laut (Hunga, dalam Candraningrum, 2013: ix). Selain kondisi di tingkat global,

Pembelajaran Menulis Sastra Berperspektif Ekokritik

Pembelajaran menulis sastra berperspektif ekokritik berusaha untuk tidak

sekedar meningkatkan kemampuan peserta didik dalam menulis sastra, terutama

dalam hal mekanik kepenulisan saja, tetapi sekaligus berusaha untuk menanamkan

kesadaran terhadap realita ekologis yang problematik melalui proses penghayatan

mendalam. Realitas ekologis dihadirkan dalam proses pembelajaran sebagai pemantik

untuk menumbuhkan kesadaran kritis sekaligus kepekaan kepengarangan terhadap

realitas; sesuatu yang menjadi kemampuan dasar setiap pengarang sebab sebagian

besar ide penulisan senantiasa berpijak pada penghayatan mendalam pengarang

terhadap realitas.

Secara umum, pembelajaran menulis sastra berperspektif ekokritik

dikembangkan dengan mempertimbangkan beberapa prinsip berikut ini. Pertama,

mendasarkan ide dan gagasan utamanya pada persoalan-persoalan berbasis ekologi.

Persoalan-persoalan ekologis menjadi inspirasi kreatif dan imajinatif untuk dihadirkan

pengarang dalam bentuk karya sastra. Permasalahan ekologi yang terhampar luas dan

makin mengkhawatirkan merupakan realitas yang sangat mudah untuk dijadikan

sebagai sumber perenungan, pengalaman kreatif dan imajinatif, sekaligus representasi

sikap kritis, di samping persoalan-persoalan kemanusiaan lain yang sudah sangat

banyak dijadikan sebagai pengalaman kreatif kepenulisan.

Pembelajaran menulis sastra dapat menjadikan masalah ekologi sebagai

alternatif sekaligus pilihan sadar untuk menanamkan daya kritis peserta didik akan

dampak pencemaran lingkungan dan eksploitasi eksesif di lingkungannya. Alam tidak

hanya sebagai sumber kreatif penulisan karena unsur keindahannya yang

mengagumkan, tetapi juga merupakan sumber pemantik untuk bersikap kritis. Sikap

kritis tersebut merupakan representasi dari perlawanan yang ditunjukkan melalui

karya sastra ketika alam dieksploitasi untuk kepentingan dominasi ekonomi dan

kepentingan lain berkedok pembangunan dan atau modernitas dengan mengabaikan

pelestariannya.

Langkah ini tidak hanya menjadi gerakan sosial-kultural untuk terlibat dalam

penanganan krisis ekologi melalui sastra, tetapi juga merupakan pilihan strategis untuk

menggairahkan kajian-kajian sastra berwawasan lingkungan. Jika selama ini kajian

Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia 2016• 2428

Page 11: iistaffnew.uny.ac.id/upload/132310007/penelitian/PROCEEDING... · 2020. 6. 7. · peningkatan suhu air laut (Hunga, dalam Candraningrum, 2013: ix). Selain kondisi di tingkat global,

sastra tentang lingkungan hidup, terutama di Indonesia, dianggap masih terbatas

karena berkaitan dengan terbatasnya jumlah karya sastra berperspektif ekologi (Dewi,

2015: 378) maka dengan cara menjadikan ekokritik sebagai perspektif alternatif dalam

pembelajaran menulis sastra diharapkan akan meningkatkan jumlah karya sastra

berwawasan ekologi.

Kedua, sebagai proses pembelajaran maka pembelajaran menulis sastra

berperspektif ekokritik semestinya lebih mendasarkan pada pendekatan proses dalam

menulis. Menulis sastra harus dipandang sebagai sebuah proses dan tidak hanya

mempertimbangkan produk. Proses menulis, termasuk menulis sastra, dijabarkan

dalam lima tahap, yaitu pramenulis (prewriting), menyusun draf (drafting), merevisi

(revising), mengedit (editing), dan publikasi (publishing) (Tompkins, 2010: 52). Sebagai

sebuah proses, sesungguhnya menulis tidaklah berlangsung linear, kadangkala ia

merupakan sebuah siklus. Penamaan masing-masing tahap lebih ditujukan untuk

mengidentifikasi aktivitas proses penulisan sehingga lebih memudahkan dalam proses

pembelajaran.

Pada tahap prapenulisan (prewriting), peserta didik diarahkan untuk (1)

memahami dan mengidentifikasi permasalahan-permasalahan ekologi yang terjadi di

lingkungannya. Peserta didik diarahkan untuk memahami dan bersikap kritis terhadap

masalah-masalah lingkungan yang mereka temukan. Misalnya, salah seorang

mahasiswa dalam matakuliah Menulis Sastra menemukan bahwa sungai di desanya,

yang dulu sering digunakan untuk bermain, berubah keruh dan berwarna putih setelah

berdiri pabrik susu di dekatnya. Sungai yang tercemar awalnya dianggap biasa dan

tidak terpikir sebagai ide menulis cerpen, sampai ketika kesadaran ekokritik menjadi

bahan diskusi di kelas Menulis Sastra, masalah lingkungan itu semakin menguat untuk

dielaborasi sebagai pengalaman kreatif dan imajinatif yang akan dihadirkan dalam

bentuk cerita pendek. Diskusi, membaca sejumlah referensi, observasi, penelusuran

internet, dan sebagainya dapat dilakukan untuk mematangkan ide penulisan.

(2) Mengidentifikasi genre teks sastra, terutama yang berperspektif ekokritik.

Peserta didik diajak untuk mengamati dan mengidentifikasi bagaimana para sastrawan

menyusun ide dan pengalaman kreatif serta imajinatifnya dalam karya sastra

berperspektif ekokritik. Dalam tahap ini peserta didik berkenalan dengan karya sastra

2429 • Pendidikan Lingkungan Melalui Sastra

Page 12: iistaffnew.uny.ac.id/upload/132310007/penelitian/PROCEEDING... · 2020. 6. 7. · peningkatan suhu air laut (Hunga, dalam Candraningrum, 2013: ix). Selain kondisi di tingkat global,

berperspektif ekokritik sekaligus mengidentifikasi cara penulis mengolah elemen-

elemen pembangun karya sastra tersebut. Secara khusus, ketika peserta didik akan

menulis cerita pendek, misalnya, maka mereka akan diperkenalkan dengan teks cerita

pendek. Peserta didik secara langsung diarahkan untuk memahami fakta-fakta cerita

yang disajikan secara kreatif oleh para penulis dalam teks cerpen. Langkah ini ditempuh

karena seringkali peserta didik memiliki pengalaman baca sastra yang masing kurang

(Suryaman, dkk., 2012: 23). Padahal, kemampuan menulis salah satunya dipengaruhi

pula oleh kemampuan baca.

(3) Merefleksikan apa yang telah dipelajari tentang bagaimana para pengarang

mengekspresikan ide dan menghadirkan fakta-fakta cerita dalam karya sastra secara

kreatif. Langkah ini membantu siswa untuk mengorganisasikan pengalaman kreatif dan

imajinatif mereka ke dalam bentuk karya sastra. (4) Mengembangkan ide, baik secara

individu maupun kelompok. Kegiatan ini dapat ditempuh dengan curah pendapat

(brainstorming), membaca buku, melakukan riset melalui internet, membicarakan ide

dengan teman sekelas, dan sebagainya (Tompkins, 2010: 53). Setelah itu siswa

diarahkan untuk menyusun gambaran umum dari struktur cerita, semisal karya yang

akan dibuat adalah cerita pendek. Tompkins (2010) menjelaskan bahwa biasanya

gambaran umum dari struktur cerita disusun dengan menggunakan tiga bagian, yaitu

awal-tengah-akhir cerita. Langkah pengorganisasian ini dilakukan sekedar untuk

mempermudah siswa – terutama yang baru mulai belajar menulis sastra – untuk

mengorganisasikan ide penulisan cerita.

Tahap berikutnya setelah prapenulisan adalah menyusun draf (drafting). Fokus

utama pada tahap ini adalah menuangkan ide sesuai bahan dan organisasi cerita yang

akan ditulis. Siswa tidak dibebani dengan tata tulis serta hal-hal yang berkaitan dengan

mekanik kebahasaan lainnya. Setelah menyusun draf, tahap selanjutnya adalah merevisi

(revising). Pada tahap ini siswa memeriksa atau meninjau hasil tulisannya (Syamsi,

2012: 291). Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan pada tahap ini, antara lain

dengan membaca ulang dan memberi catatan, meminta teman sebaya untuk memeriksa

tulisan, atau dapat juga dibaca guru sebelum akhirnya nanti direvisi oleh siswa, baik

aspek isi maupun aspek kebahasaan dan tata tulis. Setelah kegiatan merevisi selesai

dilakukan, tahap berikutnya adalah mempublikasikan (publishing) hasil karya siswa.

Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia 2016• 2430

Page 13: iistaffnew.uny.ac.id/upload/132310007/penelitian/PROCEEDING... · 2020. 6. 7. · peningkatan suhu air laut (Hunga, dalam Candraningrum, 2013: ix). Selain kondisi di tingkat global,

Publikasi hasil tulisan dapat dilakukan dengan pembacaan di depan kelas, pengiriman

ke media massa, majalah dinding, atau menyusunnya menjadi antologi bersama.

Pengalaman selama mengampu matakuliah Menulis Sastra memperlihatkan

bahwa mahasiswa menjadi lebih bersemangat ketika proses pembelajaran dilaksanakan

dengan berbasis proyek (project based learning) melalui penerbitan antologi karya

mahasiswa yang dilanjutkan dengan peluncuran buku (launching) tersebut. Kemudahan

pengurusan ISBN dan cetak dengan jumlah terbatas serta biaya percetakan yang

terjangkau sangat memudahkan proses publikasi karya. Proses ini juga sangat terbantu

dengan kemunculan penerbit-penerbit indie, yang sebagiannya fokus dalam penerbitan

buku-buku sastra. Dengan cara demikian, pembelajaran menulis sastra tidak hanya

mengajarkan teknik-teknik kepenulisan tetapi sekaligus juga menanamkan gairah

berkarya sastra di kalangan penulis-penulis muda.

Ketiga, dalam pembelajaran menulis sastra berperspektif ekokritik, peserta didik

ditempatkan sebagai pusat dalam proses pembelajaran dengan mensinergikan

pengalaman personal dan kolektif, kemampuan komunikasi lisan dan tulisan, dan daya

eksplorasi sastra. Dalam konteks ini, peserta didik diterjunkan langsung untuk

mengenali dan memahami realitas ekologis di sekitarnya melalui rekayasa imajiner.

Guru berusaha mengembangkan setiap bakat dan kecenderungan siswa yang bervariasi

dan menghindari untuk menciptakan gaya serta kecenderungan yang seragam. Para

peserta didik yang memiliki kecenderungan menghasilkan karya sastra anak, misalnya,

harus diarahkan sesuai kecenderungan tersebut, tanpa harus dipaksa keluar dari

kecenderungan yang disukainya. Dengan langkah demikian, proses pembelajaran

menulis sastra berperspektif ekokritik akan menghasilkan karya-karya yang sangat

bervariasi.

Keempat, selain pendekatan proses, pembelajaran menulis sastra semestinya

juga mengutamakan pendekatan komprehensif. Kemampuan menulis selalu ditunjang

dengan kemahiran di dalam membaca. Membaca dan menulis merupakan dua hal yang

bersifat resiprokal, keduanya merupakan proses menciptakan makna. Spivey (1997)

menjelaskan bahwa kemampuan membaca menjadikan kemampuan seseorang dalam

menulis menjadi lebih baik, dan demikian pula sebaliknya (Tompkins, 2010: 65).

Pembiasaan membaca sastra juga akan meningkatkan kecerdasan naratif (narative

2431 • Pendidikan Lingkungan Melalui Sastra

Page 14: iistaffnew.uny.ac.id/upload/132310007/penelitian/PROCEEDING... · 2020. 6. 7. · peningkatan suhu air laut (Hunga, dalam Candraningrum, 2013: ix). Selain kondisi di tingkat global,

intelligence) siswa, yaitu kemampuan memaknai secara kritis dan kemampuan

memroduksi narasi. Oleh karena itu, proses pembelajaran menulis sastra berperspektif

ekokritik semestinya didukung oleh aktivitas membaca yang terprogram, baik membaca

karya sastra berwawasan lingkungan maupun membaca kajian-kajian terkait dengan

permasalahan ekologi.

Kelima, pembelajaran menulis sastra semestinya diarahkan untuk membentuk

orientasi kepenulisan peserta didik. Peningkatan kompetensi menulis sastra tidak

terbentuk secara instan. Kompetensi menulis (sastra) terbentuk karena proses yang

lama melalui latihan terprogram dan konsisten. Anderson dan Schunn (Mayer, 2008:

289) menyimpulkan bahwa derajat kompetensi tertinggi hanya dicapai melalui latihan

secara ekstensif (extensive practice). Dengan memerhatikan hasil penelitian tersebut

maka proses pembelajaran seharusnya tidak berhenti dengan berakhirnya

pembelajaran di kelas. Harus dirancang proses pembelajaran menulis sastra yang

berkelanjutan. Salah satu langkah yang dapat ditempuh adalah dengan membangun

sinergitas antara proses pembelajaran di kelas dengan komunitas-komunitas sastra.

Pengalaman dalam mengampu matakuliah Menulis Sastra memperlihatkan bahwa

mahasiswa yang terus tumbuh dan berkarya adalah mereka yang melibatkan diri dalam

aktivitas sastra di luar proses perkuliahan.

Penutup

Sudah saatnya proses pembelajaran menulis sastra tidak sekedar mengajarkan

pengetahuan tentang menulis sastra atau juga sekedar mengajarkan teknik dan

keterampilan menulis sastra saja. Pembelajaran yang hanya menekankan pada

pengetahuan menulis dan atau keterampilan menulis hanya akan menghasilkan peserta

didik yang mampu menyelesaikan dan mengumpulkan tugas-tugas pembelajaran, tetapi

gagap untuk memertahankan konsistensi berkarya. Proses pembelajaran menulis sastra

semestinya mulai diarahkan untuk menumbuhkan orientasi kepenulisan sekaligus

keberpihakan terhadap hidup dan kehidupan. Ketika permasalahan ekologi mulai

menjadi ancaman bagi kehidupan, misalnya, maka pembelajaran menulis harus

diarahkan untuk membentuk kesadaran kritis berperspektif ekokritik. Tidak sekedar

Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia 2016• 2432

Page 15: iistaffnew.uny.ac.id/upload/132310007/penelitian/PROCEEDING... · 2020. 6. 7. · peningkatan suhu air laut (Hunga, dalam Candraningrum, 2013: ix). Selain kondisi di tingkat global,

untuk tujuan mempermudah peserta didik mengeksplorasi ide kepenulisan, tetapi lebih

dari itu ia merupakan langkah menanamkan kesadaran dan keberpihakan ekologis.

Untuk melengkapi gagasan dalam tulisan ini diperlukan penelitian-penelitian

yang lebih spesifik, tidak hanya yang terkait dengan kajian-kajian atas pembacaan karya

sastra berwawasan lingkungan, tetapi juga rintisan pembelajaran sastra berperspektif

ekologi, seperti penerapannya dalam pembelajaran menulis sastra. Dengan temuan-

temuan baru yang didukung secara ilmiah diharapkan akan mampu meningkatkan

kualitas pembelajaran, terutama pembelajaran menulis sastra, lebih khusus lagi yang

berperspektif ekokritik. []

DAFTAR PUSTAKA Brown, H. Douglas. 2001. Teaching by Principles: An Interactive Approach to Language

Pedagogy. New York: Longman. Candraningrum, Dewi (Ed.). 2003. Ekofeminisme dalam Tafsir Agama, Pendidikan,

Ekonomi, dan Budaya. Yogyakarta: Jalasutra. Dewi, Novita. 2015. “Manusia dan Lingkungan dalam Cerpen Indonesia Kontemporer:

Analisis Ekokritik Cerpen Pilihan Kompas”, dalam Litera, Jurnal Penelitian Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya. Vol. 14, Nomor 2, Oktober 2015.

Garrard, Greg. 2004. Ecocriticism. New York; Routledge. Gladwell, Malcolm. 2009. Outlier. Gramedia: Jakarta. Glothfelty, C dan H. Froom (ed.) 1996. The Ecocriticism Reader: Landmarks in Literary

Ecology. London: University of Goergia Press. Herfanda, Ahmadun Y. 2008. “Sastra sebagai Agen Perubahan Bangsa” dalam Bahasa

dalam Berbagai Perspektif, Anwar Efendi, ed. Yogyakarta: FBS UNY dan Tiara Wacana.

Hidi, S., Ainley, M., Berndorff, D., & Favero, LD. 2007. The Role of Interest and Self-Efficacy in Science-Related Expository Writing dalam Suzanna Hidi dan Pietro Boscolo (ed.), Writing and Motivation. UK: Elsevier.

Keraf, A. Sony. 2014. Filsafat Lingkungan Hidup: Alam sebagai Sebuah Sistem Kehidupan. Yogyakarta: Kanisius.

Mahayana, Maman S. 2005. 9 Jawaban Sastra Indonesia: Sebuah Orientasi Kritik. Bening Publishing: Jakarta.

Mayer, Richard E. 2008. Learning and Instruction. Pearson Prentice Hall: New Jersey. Muhajir. 2014. “Kearifan Lokal dan Pelestarian Alam dalam Cerpen Indonesia” dalam

Wiyatmi, Nurhadi, Kusmarwanti, Ahmad Wahyudin, dan Dwi Budiyanto (ed). Bahasa dan Sastra dalam Perspektif Ekologi dan Multikulturalisme. Yogyakarta: Interlude, hal. 321-333.

2433 • Pendidikan Lingkungan Melalui Sastra

Page 16: iistaffnew.uny.ac.id/upload/132310007/penelitian/PROCEEDING... · 2020. 6. 7. · peningkatan suhu air laut (Hunga, dalam Candraningrum, 2013: ix). Selain kondisi di tingkat global,

Richards, Jack C. & Renandya, Willy A. 2003. Methodology in Language Teaching, An Anthology of Current Practice. New York: Cambridge University Press.

Sayuti, Suminto A, dkk. 2008. “Pengembangan Model Pembinaan Menulis Karya Sastra bagi Anak dan Remaja”, dalam Jurnal Fenolingua. Edisi khusus Mei 2008.

Suryaman, Maman., dkk. 2012. “Pengembangan Model Panduan Pendidik Pengajaran Sastra Berbasis Pendidikan Karakter” dalam Jurnal Pendidikan, volume 42, Nomor 1, Mei 2012. Halaman 18-28.

Syamsi, Kastam. 2012. “Model Perangkat Pembelajaran Menulis Berdasarkan Pendekatan Proses Genre bagi Siswa SMP,” dalam Litera, Jurnal Penelitian Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya. Vol. 11, Nomor 2, Oktober 2012.

Tompkins, Gail E. 2010. Literacy for the 21st Century: A Balanced Approach (Fifth Edition). Boston: Pearson.

Yudhistira, Wahyu K Hidayat, Agus Hadiyarto. 2011. “Kajian Dampak Kerusakan Lingkungan Akibat Kegiatan Penambangan Pasir di Desa Keningar Daerah Kawasan Gunung Merapi”, dalam Jurnal Ilmu Lingkungan, volume 9, nomor 9 (2), hal. 76-84. Diakses dari http://ejournal.undip.ac.id/index.php/ilmulingkungan pada 25 Maret 2016.

Wiyatmi. 2014. “Berziarah ke Pulau Buru Melalui Novel Amba Karya Laksmi Pamuntjak” dalam Wiyatmi, Nurhadi, Kusmarwanti, Ahmad Wahyudin, dan Dwi Budiyanto (ed). Bahasa dan Sastra dalam Perspektif Ekologi dan Multikulturalisme. Yogyakarta: Interlude, hal. 301-310.

Wulandari, dkk. 2012. “Peningkatan Motivasi dan Kemampuan Menulis Puisi melalui Penerapan Metode Menulis Berantai pada Siswa Sekolah Menengah Atas” dalam Basastra: Jurnal Penelitian Bahasa, Sastra Indonesia, dan Pengajarannya, volume 1, April 2012.

Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia 2016• 2434