2.1 konsep lanjut usia -...

40
11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Lanjut Usia 2.1.1 Definisi Lanjut Usia Berdasarkan definisi secara umum, seseorang dikatakan lanjut usia apabila umurnya 65 tahun keatas (Efendi 2009). Lansia bukanlah suatu penyakit akan tetapi merupakantahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang di tandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk berdaptasi dengan stress lingkungan. Menurut Wordl Health Organization, batasan umur lanjut usia terbagi dalam beberapa tingkatan: Usia pertengahan (45-59) tahun, lanjut usia (60-74) tahun, lanjut usia tua (75-90 )tahun, usia sangat tua ( > 90) tahun (Nurkasiani, 2009). Menurut Undang Undang no 13 tahun 1998 yang berbunyi “ lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun keatas. Perubahan-perubahan yang terjadi akibat proses penuaan lansia akan mengalami perubahan-perubahan yang akan menuntut dirinya menyesuaiakan diri secara terus menerus. Apabila proses menyesuaikan diri dengan lingkungan kurang berhasil makamunculah berbagai masalah yang akan menyertai lansia di antaranya akan terjadi : Ketidakberdayaan fisik yang menyebabkan ketergantungan pada orang lain, ketidakpastian ekonomi, sehingga memerlukan perubahan total dalam pola hidupnya, mencari teman baru untuk mendapatkan ganti mereka yang telah meninggal atau pindah, mengembangkan aktivitas baru untuk mengisi waktu luang yang bertambah banyak, belajar memperlakukan anak-anak yang telah tumbuh dewasa (Iqbal; Chayatin; Santoso, 2009).

Upload: hoangnhi

Post on 04-Jun-2019

240 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Lanjut Usia

2.1.1 Definisi Lanjut Usia

Berdasarkan definisi secara umum, seseorang dikatakan lanjut usia apabila

umurnya 65 tahun keatas (Efendi 2009). Lansia bukanlah suatu penyakit akan tetapi

merupakantahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang di tandai dengan penurunan

kemampuan tubuh untuk berdaptasi dengan stress lingkungan. Menurut Wordl Health

Organization, batasan umur lanjut usia terbagi dalam beberapa tingkatan: Usia

pertengahan (45-59) tahun, lanjut usia (60-74) tahun, lanjut usia tua (75-90 )tahun, usia

sangat tua ( > 90) tahun (Nurkasiani, 2009).

Menurut Undang Undang no 13 tahun 1998 yang berbunyi “ lanjut usia adalah

seseorang yang mencapai usia 60 tahun keatas. Perubahan-perubahan yang terjadi akibat

proses penuaan lansia akan mengalami perubahan-perubahan yang akan menuntut

dirinya menyesuaiakan diri secara terus menerus. Apabila proses menyesuaikan diri

dengan lingkungan kurang berhasil makamunculah berbagai masalah yang akan

menyertai lansia di antaranya akan terjadi : Ketidakberdayaan fisik yang menyebabkan

ketergantungan pada orang lain, ketidakpastian ekonomi, sehingga memerlukan

perubahan total dalam pola hidupnya, mencari teman baru untuk mendapatkan ganti

mereka yang telah meninggal atau pindah, mengembangkan aktivitas baru untuk mengisi

waktu luang yang bertambah banyak, belajar memperlakukan anak-anak yang telah

tumbuh dewasa (Iqbal; Chayatin; Santoso, 2009).

12

Penuaan menyebabkan terjadinya perubahan anatomi dan biokimiawi di

susunan saraf pusat (Darmojo & Hadi, 2000)T. erdapat dua jenis penuaan, antara lain

penuaan primer, merupakan proses kemunduran tubuh gradual tak terhindarkan yang

dimulai pada masa awal kehidupan dan terus berlangsung selama bertahun, terlepas dari

orang-orang lakukan untuk menundanya. Sedangkan penuaan sekunder merupakan hasil

penyakit, kesalahan dan penyalahgunaan factor-faktor yang sebenarnya dapat dihindari

dan berada dalam control seseorang (Papalia & Feldman, 2005).

2.1.2 Perubahan Sistem pada Lanjut Usia

Perbedaan usia biologis, adalah usia yang menunjuk pada jangka waktu seseorang

sejak lahirnya, berada dalam keaadaan hidup, tidak mati. Usia psikologi adalah usia yang

menunjuk pada kemampuan seseorang untuk mengadakan penyesuaian-penyesuaian

pada situasi yang dihadapinya. Sedangkan usia sosial adalah usia yang menunjuk kepada

peran yang di harapkan atau di berikan masyarakat kepada seseorang sehubungan dengan

usianya (Iqbal, 2009).

Perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia antara lain :

1. Perubahan kondisi fisik

Perubahan kondisi fisik pada lansia meliputi : perubahan dari tingkat sel sampai kesemua

tingkat organ tubuh, muskoskeletal, gastrointestinal, penglihatan, urgoital, endokrin dan

integumen.

13

Perubahan Sistem Lansia terdiri dari :

Perubahan fisik

Jumlah sel pada lansia akan lebih sedikit dan ukurannya lebih besar. Cairan tubuh

dan cairan intraseluler akan berkurang, proporsi protein di otak, otot, ginjal, darah, dan

hati juga ikut berkurang. Jumlah sel otak akan menurun, mekanisme perbaikan sel akan

terganggu dan otak akan menjadi atrofi. Penurunan jumlah juga terjadi pada sel saraf,

rata-rata berkurangnya saraf neocortical sebesar 1 perdetik, berhubungan persarafan cepat

menurun, lambat dalam merespon baik dari gerakan maupun jarak waktu, khususnya

dengan stres, mengecilnya saraf pancaindra, serta menjadi kurang sensitif terhadap

sentuhan (Tamher; Iqbal 2009).

Gangguan lain terjadi pada pendengaran (prebiakusis), membran timpanai

mengalami atrofi, terjadi pengumpulan dan pengerasan serumen karena peningkatan

kreatin, pendengaran menurun pada lanjut usia yang mengalami ketegangan jiwa atau

stres. Muncul sklerosis pada shinter pupil dan hilangnya respon terhadap sinar. Kornea

lebih berbentuk seperti bola (sferis), lensa lebih keruh, dan menyebabkan katarak,

meningkatnya ambang. Pengamatan sinar dan adaptasi terhadap kegelapan menjadi lebih

lambat dan sulit untuk melihat dalam keadaan gelap, hilangnya daya akomodasi,

menurunya lapang pandang, dan menurunya daya untuk membedakan antara warna biru

dengan hijau pada skala pemeriksaan (Tamher; Iqbal 2009).

Penurunan fungsi terjadi pada sistem kardiovascular. Elastisitas dinding aorta

menurun, katup jantung menebal dan menjadi kaku. Hal ini menyebabkan menurunya

kontraksi dan volumenya. Kehilangan elastisitas pembuluh darah, kurang efektivitas

14

pembuluh darah perifer untuk oksigenasi, sering terjadi postural hipotesis, tekanan darah

meningkat di akibatkan oleh meningkatnya resistensi dari pembuluh darah perifer

Pengaturan suhu tubuhpun menurun (hipotermia) secara fisiologi ± 35˚, hal ini di

akibatkan oleh metabolisme yang menurun, keterbatasan refleks menggigil, dan tidak

dapat memproduksi panas yang banyak sehingga terjadi rendahnya aktivitas otot

(Tamher; Iqbal 2009).

Otot-otot pada pernapasan kehilangan kekuatan dan mejadi kaku, aktivitas dari

silia menurun, paru-paru kehilangan elastisitas sehingga kapasitas residu meningkat,

menarik napas lebih berat, kapasistas pernapasan maksimum menurun, dan kedalaman

bernapas menurun. Penurunana lain terjadi pada Sistem Gastro Intestinal yakni gigi,

indra brekurang/hilang, pengecapan mengalami penurunan, esofagus melebar,

sensitivitas akan rasa lapar menurun, produksi asam lambung dan waktu pengosongan

lambung menurun, peristaltik lemah dan biasanya timbul konstipasi serta berkurangnya

suplai aliran darah (Iqbal, 2009).

Ginjal mengecil dan nefron menjadi atrofi, aliran darah ke ginjal menurun hingga

50 %, fungsi tubulus berkurang. Otot- otot kandung kemih melemah, kapasitasnya

menurun hingga 200 ml dan menyebabkan frekuensi buang air kecil meningkat, kandung

kemih sulit di kosongkan sehingga meningkatkan retensi urin. Sistem integumen, kulit

menjadi keriput dikarenankan jaringan lemak menurun, permukaan kulit kasar dan

bersisik, menurunya respon terhadap trauma, mekanisme proteksi kulit menurun,

berkurangnya elastisitas akibat menurunya cairan dan vaskularisasi, pertumbuhan kuku

15

lebih lambat, kelenjar keringat berkurang jumlahnya dan fungsinya, kuku menjadi pudar

dan kurang bercahaya (Tamher; Iqbal 2009).

Sistem Muskuloskeletal, dimana tulang kehilangan kepadatannya (density) dan

semakin rapuh, kifosis, persendian membesar dan menjadi kaku, tendon mengerut dan

mengalami sklerosis, atrofi serabut otot sehingga gerak seseorang menjadi lambat, otot-

otot kram dan menjadi tremor (Tamher; Iqbal 2009).

2. Perubahan kondaisi Mental.

Umumya lansia mengalami penurunan fungsi kognisi dan psikomotor.

Perubahan-perubahan mental erat kaitannya dengan perubahan fisik, keadaan fisik,

keadaan kesehatan, tingkat pendidikan atau pengetahuan, dan situasi lingkungan. Selain

itu terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kondisi mental :perubahan fisik

khusunya organ perasa, kesehatan umum, tingkat pendidikan, keturunan (hereditas),

ganguan syaraf panca indra (timbul kebutaan dan ketulian), lingkungan, gangguan konsep

diri akibat kehilangan jabatan, rangkaian dari kehilangan (kehilangan hubungan dengan

teman dan keluarga, hilangnya kekuatan dan ketangapan fisik), perubahan terhadap

gambaran diri, dan konsep diri (Tamher; Iqbal 2009).

3. Perubahan Psikolsosial

Salah satu perubahan yang di rasakan adalah merasakan kesadaran akan kematian,

penghasilan menurun, penyakit kronis, ketiadakmampuan, kesepian akibat pengasingan

diri dari lingkungan. Perubahan yang mendadak dalam kehidupan akan membuat lansia

merasa kurang melakukan kegiatan yang berguna, perubahan yang lansia alami antara

16

lain: minat, isolasi dan kesepian, perubahan kognisi, perubahan spiritual. Oleh karena itu,

dalam menghadapi perubahan-perubahan perlu penyesuaian.

Ciri-ciri penyesuaian yang tidak baik dari lansia adalah tidak ada minat terhadap

kejadian di lingkungan sekitar, menarik diri kedalam fantasinya, selalu mengingat kembali

kemasa lalu yang pahit, selalu khawatir kerena pengangguran, kurang ada motivasi, rasa

kesendirian kerena hubungan dengan keluarga kurang baik dan tempat tinggal yang tidak

di inginkan.Sedangkan Ciri-ciri penyesuaian yang baik dari lansia minat yang kuat,

ketidaktergantungan secara ekonomi, kontak sosial yang luas, menikmati kerja dan hasil

kerja dan menikmati kegiatan yang di lakukan saat ini dan memiliki kekhawatiran

minimal terhadap diri dan orang lain (Tamher; Iqbal 2009).

2.2 Konsep Kognitif

2.2.1 Definisi Fungsi Kognitif

Kognitif merupakan proses-proses mental, seperti mempersepsikan, belajar,

mengingat, menggunakan bahasa, dan berpikir (Sonium, 2006). Fungis Kognitif

merupakan proses belajar, persepsi, pemahaman, pengertian, perhatian, dan lain-lain

sehingga menyebabkan reaksi dan perilaku lansia menjadi makin lambat (Sutarto &

Cocro, 2006). Fungsi kognitif adalah kegiatan mental yang dibutuhkan dalam

memperoleh, menyimpan, mendapatkan kembali, dan menggunakan pengetahuan.

Fungsi kognitif menyelesaikan permasalahan, membawa kognisi untuk mendapatkan

akhir yang baik (Chairani, 2016). Fungsi kognitif dimaksudkan untuk menunjukkan

kemampuan seseorang dalam belajar, menerima, dan mengelola informasi dari

lingkungan sekitarnya (Harsono, 2007).

17

Prevalensi gangguan kognitif termasuk demensia meningkat sejalan bertambahnya

usia, kurang dari 3% terjadi pada kelompok usia 65–75 tahun dan lebih dari 25% terjadi

pada kelompok usia 85 tahun ke atas (WHO, 1998). Proses penerimaan informasi diawali

dengan diterimanya informasi melalui penglihatan (visual input) atau pendengarannya

(auditory input) kemudian diteruskan oleh sensori register yang dipengaruhi oleh perhatian

(attention), ini merupakan bagian dari proses input. Setelah itu informasi akan diterima

dan masuk dalam ingatan jangka pendek (short term memory), bila menarik perhatian dan

minat maka akan disimpan dalam ingatan jangka panjang (long term memory). Bila sewaktu-

waktu diperlukan memori ini akan dipanggil kembali Elis (1993dalam, Lanawati, 2015).

Petersen dkk (2002 dalam, Lanawati, 2015) menjelaskan perubahan atau gangguan

memori pada penuaan otak hanya terjadi pada aspek tertentu, sebagai contoh, memori

primer (memori jangka pendek/Short time memory) relatif tidak mengalami perubahan pada

penambahan usia, sedangkan pada memori sekunder (memori jangka panjang/ long term

memory) mengalami perubahan bermakna. Artinya kemampuan untuk mengirimkan

informasi dari memori jangka pendek ke jangka panjang mengalami kemunduran dengan

penambahan usia. Dari sebuah penelitian pada orang dengan kognisi normal berusia 62-

100 tahun, disimpulkan bahwa kemampuan proses belajar (learning) atau perolehan

(acquisition) mengalami penurunan yang sama secara bermakna pada penambahan usia,

tetapi tidak berhubungan dengan pendidikan, sedangkan kemampuan ingatan tertunda

(delayed recall atau forgetting) sedikit menurun tetapi lazimnya tetap, terutama kalau faktor

pembelajaran awal dipertimbangkan.

18

2.2.2 Aspek-Aspek Gangguan Fungsi Kognitif

a. Atensi

Atensi menunjukkan pada suatu proses persepsi yang spesifik dan kadang

menunjukkan suatu keadaan umum dari kesadaran dan fokus, bergantung pada

tingkat kesadaran yang merupakan faktor penting yang menentukan fungsi kognitif

seseorang. Atensi memerlukan kemampuan untuk berkonsentrasi pada suatu tugas

dan dapat terganggu pada suatu gangguan psikiatri akut, keadaan konfusional, atau

gangguan eksekutif (Campbell, 2005). Salah satu cara yang sering digunakan untuk

mengukur atensi adalah urutan angka. Pasien diminta mengulangi urutan angka yang

panjang setelah setiap satu urutan disebutkan.seorang dewasa normal harus dapat

mengingat sampai dengan 7 angka. Ketidakmampuan mengingat atau kurang

menunjukkan adanya gangguan (Campbell, 2005; Asosiasi Alzheimer Indonesia,

2004).

b. Bahasa

Pemeriksaan fungsi berbahasa mencakup observasi produksi bahasa spontan

sama halnya dengan pengamatan langsung ke area yang secara potensial terlibat dalam

afasia dan yang berkaitan dengan sindrom-sindromnya. Tes langsung yang sederhana

adalah yang bermanfaat dalam menilai kelancaran, komprehensi, repetisi, dan

penamaan. Berbicara spontan biasanya menghasilkan sekurang-kurangnya 40 kata per-

menit dan umumnya memiliki tata bahasa yang utuh serta tidak memerlukan usaha

yang berlebihan (Campbell, 2005).

19

c. Memori

Proses ingat dan lupa tidak terlepas dari proses belajar dan mengingat seseorang

dalam menyerap rangsangan (stimulus) dari lingkungan atau dengan kata lain belajar

dari lingkungan amat bergantung pada kemampuan daya ingatnya (memori). Memori

adalah suatu cara organisme untuk mencatat pemaparan terhadap kejadian atau

pengalaman (Iswadi, 2002). Memori terbagi ke dalam tiga fungsi yaitu :yaitu memori

segera, memori jangka pendek, dan memori jangka panjang. Memori segera diukur

dengan urutan angka. Memori jangka pendek menunjukkan kemampuan untuk

mempelajari informasi baru dan memori jangka panjang menunjukkan kemampuan

untuk mengingat kembali materi yang dipelajari pada masa lalu (Kusumoputro S,

2007).

d. Visuospasial

Fungsi visuospasial dinilai dengan meminta pasien untuk meniru gambar.

Kemampuan motorik yang relatif normal adalah syarat utama dalam melakukan

pekerjaan ini. Pengabaian (neglect) pada salah satu sisi gambar sering menunjukkan lesi

hemisfer bagian posterior yang kontralaterai dengan sisi neglect tersebut. Lesi pada

bagian lain dari serebral juga dapat mengacaukan fungsi visuospasial. Menggambar

jam adalah salah satu cara yang sering digunakan untuk skrining fungsi visuospasial

dan dapat memberikan banyak informasi (Campbell, 2005).

e. Fungsi eksekutif

Fungsi eksekutif serebral dapat didefinisikan sebagai suatu proses kompleks

seseorang dalam memecahkan masalah atau persoalan baru. Proses ini meliputi

kesadaran akan keberadaan suatu masalah, mengevaluasi, menganalisa, memecahkan

20

serta mencari jalan keluar dari suatu persoalan. Fungsi eksekutif diatur oleh lobus

frontalis dan juga melibatkan koneksi subkortikal dengan ganglia basalis dan thalamus.

Selain fungsi tersebut, lobus frontalis juga berperan dalam berbagai kemampuan

kognitif seperti atensi selektif, kemampuan motorik,bicara dan bahasa, kelancaran

verbal dan non verbal, memori kerja, pengaturan informasi, pengaturan waktu, dan

orientasi spasial (Kusumoputro S, 2007).

2.2.3 Anatomi Fungsi Kognitif

Masing-masing domain kognitif tidak dapat berjalan sendiri sendiri dalam

menjalankan fungsinya, tetapi sebagai satu kesatuan, yang disebut sistem limbik. Sistem

limbik terdiri dari amygdala, hipokampus, nukleus talamik anterior, girus subkalosus,

girus cinguli, girus parahipokampus, formasio hipokampus dan korpus mamilare. Alveus,

fimbria, forniks, traktus mammilotalmikus dan striae terminalis membentuk jaras-jaras

penghubung sistem ini (Waxman, 2007). Peran sentral sistem limbik meliputi memori,

pembelajaran, motivasi, emosi, fungsi neuroendokrin dan aktivitas otonom. Struktur

otak berikut ini merupakan bagian dari sistem limbic

1. Amygdala, terlibat dalam pengaturan emosi, dimana pada hemisfer kanan

predominan untuk belajar emosi dalam keadaan tidak sadar, dan pada hemisfer kiri

predominan untuk belajar emosi pada saat sadar.

2. Hipokampus, terlibat dalam pembentukan memori jangka panjang, pemeliharaan

fungsi kognitif yaitu proses pembelajaran.

3. Girus parahipokampus, berperan dalam pembentukan memori spasial.

4. Girus cinguli, mengatur fungsi otonom seperti denyut jantung, tekanan darah dan

kognitif yaitu atensi.

21

5. Forniks, membawa sinyal dari hipokampus ke mammillary bodies dan septal nuclei.

Adapun forniks berperan dalam memori dan pembelajaran.

6. Hipothalamus, berfungsi mengatur sistem saraf otonom melalui produksi dan

pelepasan hormon, tekanan darah, denyut jantung, lapar, haus, libido dan siklus

tidur/bangun, perubahan memori baru menjadi memori jangka panjang.

7. Thalamus ialah kumpulan badan sel saraf di dalam diensefalon membentuk dinding

lateral ventrikel tiga. Fungsi thalamus sebagai pusat hantaran rangsang indra dari

perifer ke korteks serebri. Dengan kata lain, thalamus merupakan pusat pengaturan

fungsi kognitif di otak/sebagai stasiun relay ke korteks serebri.

8. Mammillary bodies, berperan dalam pembentukan memori dan pembelajaran.

9. Girus dentatus, berperan dalam memori baru.

10. Korteks enthorinal, penting dalam memori dan merupakan komponen asosiasi

(Markam, 2003).

Sedangkan lobus otak yang berperan dalam fungsi kognitif antara lain :

1. Lobus frontalis Pada lobus frontalis mengatur motorik, prilaku, kepribadian,

bahasa, memori, orientasi spasial, belajar asosiatif, daya analisa dan sintesis.

Sebagian korteks medial lobus frontalis dikaitkan sebagai bagian sistem limbik,

karena banyaknya koneksi anatomik dengan struktur limbik dan adanya perubahan

emosi bila terjadi kerusakan.

2. Lobus parietalis Lobus ini berfungsi dalam membaca, persepsi, memori dan

visuospasial. Korteks ini menerima stimuli sensorik (input visual, auditori, taktil) dari

area sosiasi sekunder. Karena menerima input dari berbagai modalitas sensori

sering disebut korteks heteromodal dan mampu membentuk asosiasi sensorik (cross

22

modal association). Sehingga manusia dapat menghubungkan input visual dan

menggambarkan apa yang mereka lihat atau pegang.

3. Lobus temporalis lobus temporalis berfungsi mengatur pendengaran, penglihatan,

emosi, memori, kategorisasi benda-benda dan seleksi rangsangan auditorik dan

visual.

2.2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Fungsi Kognitif

Beberapa penelitian mengenai faktor yang memengaruhi fungsi kognitif adalah sebagai

berikut:

1. Usia

Secara umum, penelitian yang ada menunjukan bahwa lansia menunjukan hasil

yang lebih buruk daripada orang yang lebih muda pada tugas-tugas yang berkaitan

dengan kemampuan kognitif (Thompson&Dumke, 2005, dalam Spar&La Rue,

2006). Sedangkan menurut Yao, Zeng&Sun (2009) menayatakan bahwa umur

merupakan faktor resiko bagi kognisi pada lansia dan menjadi faktor utama bagi

penurunan kemampuan kognisi lansia. Meski demikian , terdapat pula beberapa

penelitian yang menunjukan hal sebaliknya. Penelitian yang dilakukan oleh

Artistico, Cervone&Pezzuti (2003, dalam Spar&La Rue 2006) menunjukan bahwa

lansia berusia 65-74 tahun yang sehat secara kognitif mampu memberikan solusi

yang lebih relevan dalam aspek pemecahan masalah dibandingkan orang-orang

berusia 20-29.

23

2. Jenis Kelamin

Menurut Spar&Rue (2006) penuaan kognitif hampir sama sebenarnya untuk laki-laki

dan perempuan. Meski demikian, pada umumnya perempuan menunjukan

penurunan pada tugas-tugas spasial di usia lebih dini daripada laki-laki, sedangkan

laki-laki umumnya menunjukan pnurunan pada tugas-tugas verbal terlebih dahulu

daripada perempuan. Sedangkan menurut Yao dkk (2009) pada 1.000 lansia di

changsa City, Cina menunjukan bahwa skor MMSE pada laki-laki lebih tinggi

daripada perempuan. Ada dua kemungkinan yang mendasari hasil temuan tersebut.

Pertama, hal ini mungkin berkaitan dengan tingkat pendidikan lansia laki-laki yang

pada umumnya lebih tinggi daripada perempuan akibat kesemapatan untuk meraih

pendidikan yang lebih terbuka bagi laki-laki dimasa lampau. Kedua, hal ini mungkin

berkaitan dengan pekerjaan. Jumlah laki-laki yang terlibat dalam pekerjaan mental

lebih besar daripada perempuan

3. Status Pendidikan

Menurut Wang&Dong (2005, dalam Yao dkk, 2009) perubahan struktur dan fungsi

otak setelah maturitas sebagian besar disebabkan oleh pengalaman dan pendidikan.

Pendidikan dapat menyediakan stimulus rutin dan terus-menerus bagi

perkembanagan kemampuan kognitif seperti logika dan penalaran, pemikiran

absrak, dan mampu mencegah hilangnya hubungan dan meningkatkan hubungan

antar neuron. Pada lansia di Taiwan juga menunjukan adanya hubungan antara

tingkat pendidikan dengan fungsi kognitif setelah dikontrol dengan faktor gaya

hidup. Lansia dengan tingkat pendidikan rendah cenderung memiliki maslah

24

kognitif dibandingkan dengan lansia yang memiliki tingkat pendidikan tinggi (Wu

T.H dkk, 2011).

4. Tekanan Darah

Tekanan darah tinggi di usia pertengahan dikaitkan dengan mild cognitive

impairmentdan peningkatan risiko demensia sebaliknya hipertensi di usia lanjut

diasosiasikan dengan penurunan risiko demensia. Selain itu telah diamati bahwa

tekanan darah mulai turun sekitar 3 tahun sebelum demensia didiagnosis dan terus

menurun pada penderita AD. Dari data ini bisa ditafsirkan bahwa tekanan darah

tinggi di usia pertengahan meningkatkan risiko demensia di kemudian hari,

sedangkan rendahnya tekanan darah di usia lanjut dikaitkan dengan proses penuaan

dan neuropatologi yang menyertainya. Perbedaan risiko tersebut dapat karena

tingginya tekanan sistolik di usia pertengahan akan meningkatkan risiko

aterosklerosis, meningkatkanjumlah lesi iskemik substansia alba, juga meningkatkan

jumlah plak neuritik dan stangles di neokorteks dan hipokampus serta meningkatkan

atrofi hipokampus dan amigdala. Masing-masing kelainan tersebut dapat

berpengaruh negatif terhadap fungsi kognitif. Sebaliknya, rendahnya tekanan darah

dapat diasosiasikan dengan peningkatan risiko gangguan kognitif dan demensia

karena perubahan neurodegeneratif akibat hipoperfusi otak.

5. Alkohol

Kebanyakan studi terdahulu terpusat pada efek negatif konsumsi alkohol berlebihan

tetapi konsumsi alkohol ringan dan moderat dibandingkan dengan abstinensi dan

konsumsi alkohol berat dapat menguntungkan kesehatan kognitif, termasuk lebih

kecilnya penurunan beberapa domain kognitif. Suatu meta analisis atas asosiasi

25

prospektif penggunaan alkohol dengan penurunan kognitif dan demensia (termasuk

Alzheimer dan demensia vaskuler) menyimpulkan bahwa konsumsi ringan sampai

moderat diasosiasikan dengan penurunan risiko demensia; risiko demensia vaskuler

dan penurunan kognitif juga menurun tetapi tidak bermakna.

6. Aritmi Jantung

Kejadian fibrilasi atrium dikaitkan dengan gangguan fungsi kognitif maupun

demensia, terutama di kalangan perempuan dan usia<75 tahun fibrilasi atrium

permanen padausia lanjut dikaitkan dengan nilai MMSE yang lebih rendah, mungkin

disebabkan oleh lesi iskemik akibat mikroemboli; tetapi fibrilasi atrium sering

disertai dengan payah jantung yang menurunkan cardiac outputdan penyakit lain

seperti diabetes mellitus yang juga merupakan faktor risiko gangguan kognitif.

7. Payah Jantung

Payah jantung di kalangan usia lanjut dikaitkan dengan gangguan kognitif; skor

MMSE lebih rendah dikaitkan dengan disfungsi ventrikel kiri yang lebih berat selain

itu di kalangan usia lanjut berpenyakit jantung, mereka yang menderita payah

jantung mempunyai fungsi kognitif lebih rendah. Riwayat payah jantung dikaitkan

dengan peningkatan risiko demensia, termasuk demensia Alzheimer dan CIND

(cognitive impairment no dementia). Kaitan ini bisa disebabkan oleh adanya faktor risiko

bersama seperti aterosklerosis,hipertensi, diabetes melitus, atau karena hipoperfusi

serebra.

8. Aktivitas

Aktivitas hobi (termaksuk bermain catur, tai chi, berkbun, menyanyi, menari,

memancing melukis, menggambar dan sebagainya) memiliki efek positif bagi kognisi

26

lansia (Yao dkk, 2009). Katz (2003, dalam Reichman, Fiocco&Rose, 2010)

menemukan bahwa aktivitas waktu luang yang dilakukan lansia seperti membaca,

bermain permainan papan, bermain instrumen musik, menari bersosialisasi dengan

penurunan resiko berkembangan demensia. Menurut Rikli dkk (1993, dalam

Change dkk, 2011) menemukan bahwa program latihan aerobik yang dilakukan oleh

lansia mampu memperbaiki fungsi kognitif lansia khususnya dalam kecepatan

pemrosesan dan memori serta atensi. Salah satu spekulasi mengenai asosiasi antara

aktivitas fisik dengan kemampuan kognitif ialah bahwa latihan fisik (exercise) mampu

memperbaiki fungsi kognitif dengan cara meningkatkan fungsi kardiovaskular yang

meningkatkan kecepatan pemrosesan otak, memori, fleksibilitas mental, dan fungsi

kognitif Angevaren dkk (2007, dalam Wu dkk, 2011).

9. Status Gizi

1. Mikronutrien

Vitamin B6, B12 dan asam folat dapat mengurangi risiko gangguan kognitif dan

demensia karena mengurangi peningkatan kadar homosistein plasma,

homosistein diketahui dapat menyebabkan perubahan patologi melalui

mekanisme vaskuler dan neurotoksik langsung. Suplementasi B12 hanya

menguntungkan kalangan defi siensi B12, yang lebih sering ditemukan di

kelompok lanjut usia karena gangguan absorbsi akibat kondisi gastrik dan

masalah pencernaan lain.Tetapi Kwok dkk (2008) mendapatkan bahwa

suplementasi B12 selama 10 bulan tidak memperbaiki fungsi kognitif di

kalangan demensia yang defi siensi B12. Analisis Cochrane juga menyimpulkan

27

bahwa suplementasi B12, dibandingkan dengan plasebo, tidak meningkatkan

fungsi kognitif di kalangan demensia yang kadar B12 serumnya rendah.

2. Makronutrien

Makronutrien yang dikaitkan dengan demensia ialah lemak. Ada asosiasi antara

asupan lemak di usia pertengahan berasal dari olesan roti dan susu dengan risiko

demensia dan Alzheimer (AD) 21 tahun kemudian asupan moderat

(dibandingkan dengan asupan rendah) lemak total dan lemak tak jenuh(misal

mentega, margarin) diasosiasikan dengan penurunan risiko demensia dan AD,

sedangkan asupan moderat lemak jenuh dari olesan roti diasosiasikan dengan

peningkatan risiko.

3. Pola diet

Efek diet terhadap kognisi ialah secara keseluruhan dan interaksi antar zat

nutrient atau pola diet tidak berasal dari masing-masing nutrien dan/atau

suplemen secara tersendiri. Salah satu pola diet yang diasosiasikan dengan

penurunan risiko AD ialah diet Mediterania yang kaya buah,sayuran, wholegrain

dan ikan.

10. Diabetes

Diabetes melitus di usia pertengahan meningkatkan risiko mild cognitiveimpairment,

semua jenis demensia 46-8 dan demensia vaskuler, meskipun penemuan Curb dkk

(1999) tidak menyokong. Studi kasus-kontrol menunjukkan bahwa peningkatan

risiko dipengaruhi oleh onset yang lebih dini, lama dan beratnya diabetes. Manfaat

kontrol gula darah terhadap risiko demensia masih belum dapat dipastikan. Studi

observasional mendapatkan para diabetik yang diobati lebih sedikit yang turun

28

fungsi kognitifnya dibandingkan dengan yang tidak diobati. Diabetes menyebabkan

gangguan sistem pembuluh darah, termasuk di otak; gangguan ini biasa

menyebabkan iskemi menghasilkan lesi subkortikal di substansia alba, silent infarcts,

dan atrofi yang pada MRI terlihat lebih sering dan berat di kalangan penderita

diabetes. Diabetes lebih dikaitkan dengan risiko demensia vaskuler dibandingkan

dengan demensia Alzheimer. Metabolisme Abeta dan tau-protein yang membentuk

plak dan kekusutan neuron di otak juga dapat dipengaruhi oleh kadar insulin.

11. Trauma

Trauma kepala secara langsung mencederaistruktur dan fungsi otak, dan dapat

mengakibatkan gangguan kesadaran, kognitif dan tingkah laku.Studi kohort

mendapatkan bukti kuat bahwa riwayat cedera kepala meningkatkan risiko

penurunan fungsi kognitif,risiko demensia dan AD sesuai dengan beratnya cedera.

Riwayat cedera kepala disertai kesadaran menurun meningkatkan risiko AD 10

kali lipat, sedangkan jika tanpa penurunan kesadaran risikonya 3 kali lipat selain itu

mula timbul Alzheimer lebih dini jika ada riwayat hilang kesadaran lebih dari 5

menit. Sebuah studi kasus kontrol juga menunjukkan risiko Alzheimer meningkat

dalam 10 tahun pertama setelah cedera kepala. Mekanismenya dianggap melalui

kerusakan sawar darah-otak, peningkatan stres oksidatif dan hilangnya neuron

(Wreksoatmodjo, 2014).

2.2.5 Tahapan Penurunan Fungsi Kognitif

1. Mudah Lupa

Seseorang tidak bias mengingat jalan pulang ketika dia berada di lingkungan

tempat tinggalnya. Seseorang yang kemudian kehilangan daya ingat jangka

29

pendek, sering mengungkapkan cerita kepada teman tentang masa lalunya

berkali-kali selama15 menit. Kebiasaan itu kemudian berkembang sampai titik

ketika orang itu lupa akan kejadian-kejadian besar terkini atau hal-hal terbaru

mengenai dirinya, dan kemudian titik ketika dia menjadi semakin kehilangan arah

dan kebingungan. Sering kali, orang dengan penyakit Alzheimer masih dapat

mengingat peristiwa-peristiwa jauh karena daya ingat jangka panjang adalah yang

terakhir menghilang (Mehmed & Michael, 2015).

2. Mild cognitive impairment (MCI)

Kemunduran kognitif ringan Mild cognitive impairment (MCI) adalah stadium

transisi antara perubahan kognitif akibat proses penuaan normal dan masalah

lebih serius yang disebabkan oleh penyakit Alzheimer (Dewanto dkk, 2009).

Meurut Rilianto (2015) didefinisikan sebagai fungsi kognitif di bawah normal

tetapi tidak cukup untuk diagnosis demensia. MCI berbeda dengan penyakit

Alzheimer atau demensia lainnya; perubahan kognitif pada MCI tidak berat dan

tidak mengganggu aktivitas harian. Tidak semua penderita MCI mengalami

perburukan, sebagian dapat mengalami perbaikan. Akan tetapi, diketahui bahwa

individu dengan MCI memiliki peningkatan risiko untuk menjadi Alzheimer,

terutama jika masalah utama adalah memori.

3. Demensia

Demensia merupakan hilangnyya kemamampuan intelektual yang cukup berat

sehingga mengganggu fungsi pekerjaan atau aktivitas sosial/hubungan dengan

orang lain, yang biasanya dilakukan. Sebangai tambahan, harus ada gangguan

daya ingat jangka panjang secara obyektif. Akhirnya, gangguan salah satu area

30

dari otak harus terbukti, seperti pemikiran abstrak (abstraction), daya nilai

(judgement), fungsi luhur kortikal, seperti bahasa, praksis, penamaan objek atau

perubahan kepribadian. Demensia timbul pada kesadaran yang utuh (Kaplan &

Sadock, 1989). Atau demensia adalah suatu keadaan dimana terjadi deteriorsi

yang progresif dari kemampuan intelektual, perilaku dan kepribadian sebagai

konsekuensi dari penyakit hemisfer serebral yang menyeluruh terutama mengenai

korteks serebral dan hipokampus (Darmabrata & Adhi, 2003).

2.2.6 Instrumen Pengukuran Fungsi kognitif Mini Mental Status Examination

(MMSE)

Mini Mental Status Examination (MMSE) merupakan salah satu bentuk pengkajian

kognitif yang banyak digunakan. Lima fungsi kognitif yang dikaji dalam MMSE

meliputi konsentrasi, bahasa, orientasi, memori dan atensi. MMSE terdiri dari dua

bagian, bagian pertama hanya membutuhkan respon verbal dan mengkaji orientasi,

memori dan atensi. Bagian kedua mengkaji kemampuan menulis kalimat, menamakan

obyek, mengikuti perintah tertulis dan verbal, dan menyalin gambar polygon komplek

(Dewi, 2014).

Menurut Potter (2006, dalam Dayamaes, 2013) Mini Mental Status Examination

(MMSE) merupakan suatu skala tersruktur yang terdiri dari 30 poin yang

dikelompokan menajdi tujuh kategori: orientasi terhadap tempat (Negara, provinsi,

kota, gedung, dan lantai), orientasi terhadap waktu (tahun, musim, bulan, hari, dan

tanggal), registrasi (mengulang dengan cepat 3 kata), atensi dan konsentrasi (secara

berurutan mengurangi 7, dimulai dari angka 100, atau mengeja kata WAHYU secara

terbalik), mengingat kembali (mengingat kembali 3 kata yang telah diulang

31

sebelumnya), bahasa (memberi nama 2 bnda, mengulang kalimat, dan mengikuti

perintah 3 langkah), dan kontruksi visual (menyalin gambar).

2.3 Konsep Interaksi Sosial

2.3.1 Definisi Interaksi Sosial

Interaksi sosial merupakan kegiatan manusia dan manusia, bukan manusia dan

benda mati, binatang dan tumbuh-tumbuhan. Dengan demikian, selama aksi dan reaksi

tersebut tidak terjadi antara manusia dan manusia, maka aktivitas tersebut bukan

interaksi sosial. Interaksi sosial antara kelopok-kelompok manusia terjadi pula di dalam

masyarakat. Interaksi tersebut lebih nyata ketika terjadi bebturan antara kepentingan

perorangan dan kepentingan kelompok (Setiadi &Usman, 2011). Menurut (Sunaryo,

2004 dalam Jamil, 2012) interaksi sosial adalah hubungan-hubungan yang menyangkut

hubungan antara individu dan individu, individu dan kelompok, dan kelompok dan

kelompok, dalam bentuk kerjasama serta persaingan atau pertikaian.

2.3.2 Proses Dan Interaksi Sosial

Proses sosial yang dimaksud adalah dimana individu, kelompok dan masyarakat

berttemu, berinteraksi, dan berkomunikasi sehingga melahirkan sistem-sistem sosial dan

pranatal sosial serta semua aspek kebudayaan. Proses sosial ini kemudian mengalami

dinamika sosial lain yang disebut dengan perubahan sosial yang terus menerus dan secara

simultan bergerak dalam sistem-sistem sosial lebih besar. Proses sosial ini akan

mengalami pasang surut seirama dengan perubahan-perubahan sosial secara global.

32

Manusia dalah mahluk individu dan mahluk sosial, mahluk yang berpikir,

mahkluk yang instability. Sebagai mahluk sosial manusia selalu hidup berkelompok atau

senantiasa ingin berhubungan dengan manusia lain, mahluk yanng mampu berpikir untuk

melakukan sesuatu, mahkluk yang harus di ajarkan sesuatu agar mampu melakukan

sesuatu (sosialisasi). Dari proses berpikir muncul prilaku ataupun tindakan sosial. Kalau

perilaku dan tindakan sosial tersebut dilakukan dalam hubungan dengan orang lain maka

jadilah interaksi sosial. Perilaku dan tindakan sosial yang kemudian berlanjut dengan

proses sosial terjadi dalam kehidupan manusia dimanapun dia berada; di pendesaan atau

perkotaan. Di masyarakat pendesaan kususnya indonesia sifat kebersamaan nampak

sangat menonjol, sehingga interaski sosial dapat terjadi dalam setiap pagi kehidupan

masyarakat desa; dalam perekonomian, kekerabatan, pemerintahan desa dan sebagainya

Bentuk umum proses sosial adalah interaksi sosial, sedangkan bentuk khususnya

adalah aktivitas-aktivitas sosial. Interaksi sosial merupakan hubungan sosial yang dinamis

menyangkut hubungan antara orang perorangan dengan kelompok manusia, maupun

antara orang perorangan dengan kelompok manusia Soekanto (2002 dalam, Bungin,

2008). Syarat terjadinya interaksi sosial adalah adanya kontak sosial dan adanya

komunikasi.

1. Kontak sosial

Menurut Soeryono Soekanto (2002 dalam Bungin, 2008), kontak sosial berasal dari

bahasa latin con atau cum (bersama-sama) dan tango (menyentuh), jadi artinya secara

harfiah adalah bersama-sama menyentuh. Secara fisisk, kontak sosial baru terjadi apabila

adanaya hubungan fisikal, sebagai gejala sosial hal itu bukan semata-mata hubungan

33

dengan orang lain tanpa harus menyentuhnya. Misalnya kontak sosial sudah terjadi ketika

seseorang berbicara dengan orang lain, bahkan kontak sosial juga dapat dilakukan dengan

menggunakan teknologi, seperti melalui telepon, telegrap, radio, surat, televisi, internet

dan sebagainya.

Kontak sosial dapat berlangsung dalam lima bentuk, yaitu:

a. Dalam bewntuk proses sosialisasi yang berlangsung antara pribadi orang

perorangan. Proses sosialisasi ini memungkinkan seseorang mempelajari norma-

norma yang terjadi di masyarakatny. Berger dan luckmann (bungin, 2001)

mengatakan proses ini terjadi melalui objektivasi, yaitu interaksi sosial yang

terjadi dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses

institusionalisasi

b. Antara orang perorangan dengan suatu kelompok masyarakat atau sebaliknya.

c. Antara kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat lainnya dalam sebuah

komunitas

d. Antara orang perorangan dengan masyarakat global di dunia international

e. Antara orang perorangan, kelompok, masyarakat dan dunia global, dimana

kontak sosial terjadi secara simultan di antara mereka.

Kehidupan seseorang saat ini telah masuk pada dunia yang serba pilihan, seseorang

dapat memilih ia hidup dalam kelompok atau ia hidup dalam sebuah masyarakat, bahkan

ia boleh hidup dalam dunia yang serba gflobal. Seseorang juga dapat memilih hidup

dalam masyarakat, lokal atau memilih hidup dalam masyarakat global, bahkan boleh

hidup didalam kedua kehidupan itu yaitu glokal (global-lokal), maka kontak-kontak sosial

34

menjadi sangat majemuk dan rumit. Kerumitan ini pula dipacu dengan perkembangan

tehnologi informasi, sehingga dimanapun ia berada, ia dapat melakukan kontak sosial

dengan siapa saja dan dimana saja yang ia inginkan. Kontak sosial bukan saja menjadi

kebutuhan, namun juga menjadi pilihan dengan siapa ia melakukannya.

Secara konseptual kontak sosial dapat dibedakan antara kontak sosial primer dan

kontak sosial sekunder. Kontak sosial primer, yaitu kontak sosial yang terjadi secara

langsung antara seseorang dengan orang atau kelompok masyarakat lainnya secara tatap

muka. Sedangakn kontak sosial sekunder terjadi melalui perantara yang sifatnya

manusiawi maupun dengan teknologi. Ketika masyarakat saat ini telah berkembang

dengan tingkat kemajuan teknologi informasi semacam ini, maka kontak-kontak sosial

primer dan sekunder semakin sulit dibedakan satu dengan yang lainnya. Seperti kontak

telepon yang menggunakan teknologi dimana kontak terjadi antara orang perorangan

(orang dengan kelompok dan sebagainya), secara tatap muka dan saling dapat menyapa

namun dari tempat yang sangat jauh. Juga umpamanya kontak-kontak pribadi yang

terjadi dengan internet juga dapat langsung menyapa dan saling tatap muka walaupun

tempat mereka berjauhan. Semua ini menjadi fenomena yang mengacaukan konsep-

konsep lama tentang kontak sosial tersebut.

2. Komunikasi

Sosiologi menjelaskan komunikasi sebagai sebuah proses memaknai yang dilakukan

oleh sesorang (I)terhadap informasi, sikap, dan prilaku orang (II) lain yang berbentuk

pengetahuan pembicaraan, gerak gerik, atau sikap, perilaku dan perasaan-perasaan,

sehingga seseorang (I) membuat reaksi-reaksi terhadap informasi, sikap, dan perilaku

35

tersebut berdasarkan pengalaman yang pernah dia (I) alami. Fenomena komunikasi

dipengaruhi pula oleh media yang digunakan, sehingga media kadang, kala juga ikut

memengaruhi isi informasi (I) dan penafsiran (II) bahkan menurut Marshall McLuhan

(1999:7) bahwa media juga adalah pesan itu sendiri (Bungin, 2008).

2.3.3 Bentuk-Bentuk Intekasi Sosial

1. Interaksi antar individu-individu; individu yang satu memberikan pengaruh,

rangsangan atau stimulus kepada invidu lainnya. Wujud interaksi bisa dalam

bentuk berjabat tangan, saling menegur, bercakap-cakap atau mungkin

bertengkar.

2. Interaksi antara individu dan kelompok; bentuk interaksi antara individu dengan

kelompok: misalnya seorang ustad sedang berpidato didepan orang banyak.

Bentuk semacam iini menunjukkan bahwa kepentingan individu berhadapan

dengan kepentingan kelompok.

3. Interaksi antar kelompok dan kelompok; bentuk interaksi seperti ini

berhubungan dengan kepentingan individu dan kelompok lain. Contoh, satu

kesebelasan sepak bola berbanding melawan kesebelasan lain (Anwar&Adang,

2013).

2.3.4 Manfaat Hubungan Interaksi Sosial

a. Kepuasaan dalam mengadakan hubungan serta mempertahankan hubungan yang

telah ada sebelumnya disuatu sistem sosial. Kebutuhan ini lazim disebut

kebutuhan inklusi. Seorang mahasiswa yang ditugaskan melakukan kuliah kerja

nyata di suatu desa harus mengadakan hubungan dengan petani-petani desa

36

dengan kaidah-kaidah perilaku yang sudah lazim dilakukan penduduk desa. Dia

tidak dapat seenaknya berprilaku di desa itu seperti dia berperilaku di kota. Dia

‘terpaksa’ berperilaku sesuai dengan norma-norma desa, artinya dia

mempertahankan pola-pola hubungan yang telah ada sebelumnya di desa itu.

b. Pengawasan dan kekuasaan. Kebutuhan manusia untuk mengawasi manusia

untuk mengawasi/di awasi dan berkuasa disebut kebutuhan akan kontrol.

Bagaimanapun acuhnya seseorang, dia tetap memerlukan perhatian orang lain. Ia

ingin orang lain memperhatikannya bahkan menghormatinya. Ada individu

tertentu yang selalu ingin menjadi pengatur orang lain sehingga sesuai yang

dinginkannya. Kebutuhan-kebutuhan seperti ini disebut dengan kebutuhan

kontrol.

c. Cinta dan kasih sayang. Kebutuhan manusia akan cinta dan kasih sayang disebut

kebutuhan afeksi. Yaitu tindakan yang merupakan wujud keinginan untuk

bergabung dengan sesama. Sebagai misal: sebagaian besar petani didesa taman

bergabung dalam kelompok tani. Para petani menjadi anggota kelompok antara

lain karena para tetangganya juga menjadi anggota, sehingga masing-masing

merasa malu tidak menjadi anggota kelompok akan dianggap ketinggalan oleh

tetangga mereka. Keinginan untuk menjadi sama dengan sesama tetangga

tersebut adalah tindakan inklusi (Ibrahim, 2002).

Kebutuhan akan kontrol menghasilkan tindakan kontrol yang menunjukan pada

proses pengambilan keputusan untuk mengerjakan sesuatu atau tidak mengerjakannya,

misalnya: keinginan seseorang untuk mempengaruhi orang agar mengikuti kehendaknya,

keinginan untuk memimpin atau memberontak, sehingga seseorang anggota suatu

37

kelompok dapar memutuskan untuk menjadi pemimpin, pengikut, atau pemberontak.

Demikian juga kebutuhan afeksi pada seseorang akan menimbulkan tindakan afeksi.

Misalnya hubungan intim antara dua sahabat karib, dimana di antara keduaya saling

melibatkan diri secara emosional, bila salah satu menderita kesusahan yang lainpun akan

ikut merasa susah dan sebaliknya. Sering, kali antar anggota masyarakat desa yang tinggal

berdekatan mempunyai hubungan yang akrab melebihi saudaranya yang tinggal

berjauhan. Bentuk-bentuk persahabatan, teman akrab, percintaan ataupu tetangga dekat

merupakan wujud dari tingkah laku afeksi (Ibrahim, 2002) .

Ketiga macam kebutuhan tersebut hendaknya serasi dan seimbang

keterpenuhnya agar menghasilkan tingkah laku atau interaksi yang ideal. Sebagai contoh

sikap mawas diri yang merupakan nilai tradisional dalam masyarakat jawa adalah satu

pedoman berperilaku dimana sebelum mengadakan interaksi, seseorang terlebih dahulu

mengadakan intropeksi apakah sudah siap memutuskan segala sesuatu. Kalau berhubung

dengan orang lain, maka orang harus mengerti perasaan orang lain (tepa slira) sehingga

tercapai keadaan yang harmonis. Interaksi sosial adalah kunci dari kehidupan sosial

karena tanpa interaksi sosial tidak mungkin ada kehidupan bersama (Ibrahim, 2002).

2.3.5 Interaksi Sebagai Dasar Proses Sosial

Selo soemarjan dan soemardin soelaeman (dalam soerjono soekanto, 1987)

mendefinisikan proses sosial sebagai pengaruh timbal balik antara berbagai segi

kehidupan bersama. Sedangakan soerjono soekanto sendiri menyatakan bahwa interaksi

sosial adalah dasar dari proses-proses sosial. Dalam pengertian tersebut menunjukan

pada hubungan-hubungan sosial yang dinamis. Proses sosial merupakan bentuk khusus

38

dari interaksi sosial. Terjadinya proses sosial secara umum disebabkan oleh adana kontak

sosial dan komunikasi juga.

Apabila dua orang saling bertemu, maka telah mulai terdapat interaksi sosial,

walaupun di antara keduanya tidak saling menegur, asalkan masing-masing sadar akan

adanya pihak lain dan berpengaruh terhadap sistem syarafnya. Apalagi kalu pertemuan

tersebut berlanjut dengan saling berjabat tangan, saling menyapa dan saling berbicara.

Kegiatan tersebut merupakan bentuk dari interaksi sosial.

Kalau interaksi memberikan pengaruh pada kedua belah pihak secara timbal balik

maka terjadilah proses sosial. Jika dua orang bertemu di jalan, saling menyapa kemudia

saling meneruskan perjalanannya denganarah yang berlawanan, berarti interaksi tidak

berlanjut dengan proses. Tetapi apabila kedua orang itu sesudah saling menegur teruskan

dengan saling berbicara tentang pelajaran sekolah, tentang kenaikan harga semen, atau

musim kering yang berkempanjangan, sehingga dalam proses itu terjadi pertukaran

informasi dan pendapat sampai akhirnya pengetahuan masig-masing bertambah, maka

hal ini sudah kita sebut sebagai interaksi sosial yang meningkat menjadi proses sosial

(Ibrahim, 2002).

2.3.6 Pengaruh Interaksi Sosial

Pada tingkatan individu, seseorang yang frekuensi interaksinya kurang akan

menyebabkan kesulitan bergaulan dari manusia tersebut di masyarakat. Seorang anak

yang masa kecilnya di asingkan dari pergaulan oleh orang tuanya seringkali setelah

dewasa mengalami keterbelakangan mental. Orang-orang yang mempunyai cacat salah

39

satu indranya dapat pula mengalami kesulitan pergaulan sehingga sulit mengembangkan

kepribadiannya (Ibrahim, 2002).

Dalam tingkatan masyarakat, kurangnya interaksi suatu masayarakat dengan

masyarakat yang lain akan menyebabkan lambanya perkembangan masyarakat tersebut.

Untuk membuka keterasingan masyarakat tertentu ada berbagai cara yang dapat

dilakukan antara lain membuka komunikasi dan transportasi di suatu daerah sebernya

berdampak meningkatkan frekuensi interaksi masyarakat tadi dengan masyarakat yang

lain (Ibrahim, 2002).

Pada teori konvergensi disebutkan bahwa lingkungan memiliki peranan penting

dalam perkembangan jiwa manusia. Lingkungan tersebut terbagi dalam beberapa

kategori yaitu: lingkungan fisik; berupa alam seperti keadaan alam atau keadaan tanah

serta musim. Lingkungan sosial; berupa lingkungan tempat individu berinteraksi.

Lingkungan sosial dibedakan dalam dua bentuk: lingkungan sosial primer: yaitu

lingkungan yang anggotanya saling kenal; lingkungan sosial sekunder: lingkungan yang

hubungan antara anggotanya bersifat longgar (Anwar&Adang, 2013).

Hubungan individu dengan lingkungan ternyata memiliki hubungan timbal balik

lingkungan memperngaruhi individu dan individu mempengaruhi lingkungan. Sikap

individu terhadap lingkungan dapat dibagi dalam 3 kategori yaitu: individu menolak

lingkungan jika tidak sesuai dengan yang ada dalam diri individu; individu menerima

lingkungan jika sesuai dengan yang ada dalam individu; individu bersikap netral atau

berstaus quo (Anwar&Adang, 2013).

40

Pengaruh lingkungan terhadap individu lingkungan merupakan salah satu faktor

yang mempengaruhi terhadap pembentukan dan perkembangan perilaku individu, baik

lingkungan fisik maupun lingkungan sosiosikologis, termasuk didalamnya adalah belajar.

Terhadap faktor lingkungan ini ada pula yang menyebutnya berbagai empirik yang berarti

pengalaman, karena dengan lingkungan itu individu mulai mengalami dan mengecap

alam sekitarnya. Manusia tidak bisa melepaskan diri secara mutlak dari pengaruh

lingkungan itu, karena lingkungan itu senantiasa tersedia disekitarnya (Anwar&Adang,

2013).

2.3.7 Sumber Informasi yang Mempengaruhi Interaksi Sosial

Karp dan Yoels berpendapat ada tujuh sumber informasi yang mampu mempengaruhi

cara berinteraski. Di antaranya sebagai berikut :

1. Usia. Usia seringkali mempengaruhi cara kita berinteraksi. Berinteraksi dengan orang

tua tentunya berbeda ketika kita berinteraksi dengan anak muda.

2. Jenis kelamin. Jenis kelamin juga memberikan efek pada cara berinteraksi. Contoh

dalam soal kekhasan pembicaraan antara perempaundan laki-laki. Perempuan

cenderung pada suatu yang bersifat kecantikan atau fashion sedang pria suka

berbicara masalah olahraga atau berpetualangan.

3. Penampilan fisik. Faktor penampilan fisik pada umumnya akan membawa penilaian

dan berujung pada penyikapannya. Pandangan pertama atau kesan pertama secara

fisik akan mempengaruhi cara interaksinya.

41

4. Pakaian. Penampilan yang dilihat dari cara berpakaian juga memberiak pengaruh

pada proses interaksi. Orang yang berpakaian rapi lebih dihormati daripada yang

berpakaian kusut.

5. Warna kulit. Warna kulit pada kenyataanya juga memberikan pengaruh pada cara

berinteraksi seseorang terhadap orang lain.

6. Wacana. Hal ini lebih pencintraan yang dilekatkan pada diri individu. Tentu citra ini

akan sangat mempengaruhi proses interaksi yang akan terjalin.

7. Bentuk tubuh. Kedengarannya memang agak aneh ketika berbicara masalah bentuk

tubuh dan interaksi sosial. Namun pada tataran realitas bentuk tubuh sedikit banyak

mempengaruhi cara interaksi kita. Biasanya bentuk tubuh ini kemudian dikaitkan

dengan sifat atau karakter (Agung & Raharjo, 2009).

2.3.8 Proses-Proses Interaksi Sosial

Menurut (Ibrahim, 2002) menjelaskan bahwa ada dua golongan proses sosial

sebagai akibat dari interaksi sosial, yaitu proses sosial asossiatif dan proses sosial

Dissosiatif.

a. Proses sosial asossiatif

1. Kerjasama

Kerjasam adalah suatu interaksi untuk mencapai tujuan yang sama atau kelompok

manusia untuk mencapai tujuan yang sama atau bersama. Kerjasama timbul karena

adanya tujuan yang sama juga karena adanya foktor-faktor pembatas pada masing-masing

pihak yang kerjasama seperti waktu, energi, pengetahuan dan lain-lain.

42

a. Gotong royong yaitu suatu bentuk kerjasama antara sejumlah besar warga desa

untuk menyelesaikan proyek-proyek tertentu yang di anggap berguna bagi

kepentingan umum. Di desa sering kita jumpai penduduknya bekerja bakti

untuk memperbaiki saluran air irigasi, memperbaiki jalan bersama, membangun

mesjid, mendirikan pos keamanan lingkungan, dan aktivitas-aktivitas lain yang

sifatnya untuk kepentingan umum.

b. Tolong menolong, yaitu suatu bentuk kerjasama antara orang perorang atau

kelompok dalam banyak lapangan kehidupan masyarakat yang di anggap

berguna bagi masing-masing pihak yang kerjasama tersebut. Istila tolong

menolong ini sering disebut pula dengan sambatan atau sambat sinambat.

Tolong menolong dilakukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok kecil

masyarakat. Orang yang saling menolong satu sama lain karena ada keterkaitan

kekerabatan, bertetangga atau pertimbangan-pertibangan emosisonal tertentu.

Kadang-kadang orang yang saling tolong menolong mengharapkan balasan

dalam bentuk pertolongan balik kelak di kemudian hari.

c. Bergaining, yaitu pelaksanaan perjanjian mengenai pertukaran barang dan jasa

antara dua belah pihak atau lebih. Proses-proses kerja sama antar lembaga

perekonomian umumnya termasuk bergaining dibedakan dengan hubungan

patron-klien dari sisi tujuannya yang semata-mata komersial formal.

d. Hubungn patron-klien. Yaitu suatu bentuk kerja sama antara dua orang yang

berbeda statusnya dan dicikan oleh sifat yang dyadic. Dasar hubungannya adalah

ketidak merataan, menyangkut pertukaran pelayanan antara dua belah pihak

dimana si patron melindungi pengikut. Hubungan itu meliputi banyak jenis

43

transaksi dan interaksi di antara kedua belah pihak, ada perasaan saling

membutuhkan, saling percaya, dan satu sama lain kenal mengenal secara

mendalam. Transaksi yang dibuat tidak berdasarkan perjanjian yang ketat atau

formal. Masalah patron-klien ini di bahas dalam sub bab tersendiri.

e. Simbiose mutualistik, yaitu suatu bentuk kerjasama antara dua pihak dan

masing-masing mempunyai aktivitas (mata pencaharian) yang berbeda tetapi

paling melengkapi. Misalnya petani sayuran di batu akan sangat terbantu oleh

aktivitas sopir pengakut sayuran yang membawanya ke pasar malang.

2. Assimilasi

Assimilasi adalah proses dua kebudayaan atau unsur kebudayaan yang berbeda, lama

kelamaan berkembang sehingga menjadi secorak. Kebudayaan yang satu di resapi oleh

kebudayaan yang lain dan sebaliknya. Cita-cita, nilai-nilai, sikap, penduduk, lama-

kelamaan berkembang bersama dan melahirkan sesuatu yang baru atau kombinasi dari

unsur-unsur yang berbeda tadi. Misalnya beberapa tradisi selamatan para petani beberapa

desa pada saat-saat tertentu pada proses penanaman padi mulai dari pengolahan tanah

sampai panen.

3. Akomodasi

Akomodasi adalah suatu proses dimana orag-orang atau kelompok yang saling

bertentangan, berusaha mengadakan penyesuaian diri untuk meredakan atau mengtasi

ketegangan. Beberapa bentuk akomodasi dalam masyarakat dijelaskan berikut ini:

a. Tolerasi yaitu bentuk akomodasi, dimana masing-masing pihak yang berlawanan

menerima perbedaan tanpa mempermasalahkan berbedaan yang dialami.

44

Seorang pemeluk agama X tentu mempunyai konsep yang berbeda dengan

memeluk agama Y. kedua agama itu jelas mempunyai beberapa perbedaan,

tetapi masing-masing individu tidak mempermasalahkan agam yang di anut.

Oleh karena itu di indonesia dikenal dengan istila toleransi beragama.

Sebenarnya toleransi tidak hanya dalam bentuk kehidupan beragama.

Kehidupan antar etnis, antar parpol, organisasi, cita-cita, dan lain-lain bisa di

jalankan dengan konsep toleransi.

b. Kompromi, yaitu suatu bentuk akomodasi dimana masing-masing pihak yang

terlibat bertentangan saling mengurangi tuntutanya agar tercapai suatu

penyelesaian terhadap perselisihan yang ada.

c. Arbitrasi (perwasitan), yaitu suatu cara untuk mencapai penyelesaian antara dua

pihak yang selisih, dimana pihak-pihak yang berselisih tidak sanggup mencapai

penyelesaian sendiri. Pertentangan kemudian diselesaikan oleh pihak ketiga

yang dipilih oleh kedua belah pihak atau suatu badan yang kedudukannya lebih

tinggi dari kedua belah pihak yang bertentangan itu.

d. Mediasi adalah cara yang dipakai untuk menyelesaikan perselisihan menunjuk

pihak ketiga untuk memberikan saran pemikiran bagi terselesaikannya

peselisihan tadi. Pihak ketiga tidak mempunyai wewenang untuk mmberikan

keputusan penyelesaian akhir dari perselisihan yang terjadi.

45

b. Proses –proses sosial Dissosiatif

Di bawah ini di jelaskan pengertian beberapa proses yang bersifat dissosiatif.

1. Persaingan

Persaingan adalah suatu bentuk interaski antar dua orang/kelompok atau lebih

yang berlomba-lomba untuk mencapai tujuan atau suatu barang yang sama.

Sebagai contoh adalah: beberapa orang calon kepala desa yang berlomba

mendapatka simpati dari anggota masyarakat desa pemilihannya adalah salah satu

contoh proses persaingan. Calon-calon kepala desa tadi berusaha menawarkan

program-program pembangunan desanya tanpa menjelek-jelekan satu sama lain.

2. Pertentangan

Pertentangan merupakan suatu bentuk interaksi sosial yang terletak di antara

persaingan dan konflik. Sebenarnya hal ini merupakan tahap lanjutan dari

persaingan. Adanya kontroversi sering di tandain oleh timbulnya perasaan tidak

suka yang tersembunyi, kebencian/kecurigaan, dan penghasutan satu sama lain.

3. Pertengakaran

Konflik adalah perjuangan yang dilakukan oleh berbagai pihak untuk

memperoleh hal-hal yang langka seperti nilai, status, kekuasaan, otoritas, dan lain

sebagainya dimana tujuan dari mereka yang bertikai itu tidak hanya untuk

memperoleh ke untungan, tetapi juga untuk menundukan saingannya dengan

kekerasan atau ancaman.

Sebenarnya proses-proses sosial dissosiatif tidaklah selalu bersifat negatif, ada

kalanya proses sosial dissosiatif di atur demikian rupa sehingga menghasilkan hal-

46

hal yang positif. Kita sering melihat lomba kelompok tani atau kelompecapir di

televisi. Lomba tidak lain adala jenis proses sosial dissosiatif persaingan yang di

atur untuk tujuan khusus, yakni memacu kelompok tani atau kelopecapir agar

terus maju, bersmangat dan tetap mengadakan perubahan di desa demi

pembangunan (Ibrahim,2002).

2.3.9 Ciri-Ciri Interaksi Sosial

Untuk memahami lebih dalam tentang interaksi sosial, maka kita perlu

mengetahui apa ciri-ciri dari interaksi sosial. Adapun beberapa ciri tersebut adalah

sebagai berikut : (1) Jumlah pelakunya lebih dari satu orang. (2) Terjadinya komunikasi di

antara pelaku kontak sosial. (3) Mempunyai maksud atau tujuan yang jelas. (4)

Dilaksanakan melalui suatu pola sistem sosial tertentu (Agung & Raharjo, 2009).

2.3.10 Unsur-Unsur Dalam Interaksi Sosial

Manusia mampu melakukan berbagai tindakan berbagai tindakan seperti

membaca, menulis, berkomunikasi, merenspons pendapat orang lain dalam hubungan

didalam kehidupan masyarakat, dan sebagainya. Ada beberapa hal yang mempengaruhi

proses terbentuknya tindakan terorganisasi manusia diantaranya :

1. Imitasi

Imitasi merupakan tindakan manusia untuk meniru tingkah pekerto orang lain yang

berada disekitarnya. Imitasi banyak dipengaruhi oleh tingkat jangkauan indranya, yaitu

sebatas yang dilihat, didengar, dan dirasakan. Sejak lahir manusia mengimitasi dirinya

sendiri, seperti mengulang kata-kata melalui mulutnya, mengucapkan lafal-lafal yang

tidak memiliki arti. Tindakan ini dilakukan karena dia sedang belajar melafalkan kata-

47

kata sekaligus melatih lidahnya melalui naluri. Kemudian ia mulai mengimitasi tindakan

orang lain, terutama perktaan-perkataan orang lain seperti orang tua dan saudara

kandung serta orang lain. Ia melihat, mendengar, dan merasakan setiap hari terdapat

segala tingkah laku orang lain disekitarnya. Disaat ia bisa melakukan segala tindakan

secara otonom, dalam arti sudah dapat melakukan segala sesuatu tanpabantuan pihak

lain seperti berjalan, memahami tindakan orang lain,maka ia mulai dikenalkan dengan

mode, atau tatanan yang dapat dipahaminya secara berkisenambungan hingga akhirnya

setelah tumbuh dewasa ia mulai mengenali tata pergaulan yang lebih luas yang akhirnya

menjadi manusia kompleks.

2. Sugesti

Sugesti dipahami sebagai tingkah laku yang mengikuti pola-pola yang berada didalam

dirinya, yaitu ketika orang seseorang memberikan pandangan atau sikap dari dalam

dirinya lalu diterimanya dalam bentuk sikap sikap dan perilaku tertentu.Dari sugesti

tersebut, kemudian memunculkan, norma-norma dalam kelompok, prasangka-

prasangka sosial (social prejudices), norma-norma (susila), dan sebagainya. Hal ini

dipengaruhi oleh kinerja akal yang setelah melalui proses belajar ia tidak hanya sekadar

memindahkan apa yang ia tanggapi dari pihak luar, tetapi melalui akal ia mulai

melakukan identifikasi dan pertimbangan-pertimbangan lebih lanjut terhadap apa yang

ia tanggapi. Dalam studi ilmu sosial, sugesti dapat dirumuskan sebagai proses dimana

seseorang menerima suatu cara penglihatan lebih dahulu. Akan tetapi, kenyataannya

tidak semua individu mampu melakukan sugesti ini, sebab ada beberapa individu yang

memiliki kelainan jiwa.

48

3. Identifikasi

Identifikasi timbul ketika seseorang mulai sadar bahwa didalam kehidupan ini ada

norma norma atau peraturan-peraturan yang harus dipenuhi, dipelajari atau

ditaatinya. Seorang anak yang belum mengetahui sesuatu yang dianggap baik atau

buruk akan melakukan identifikasi tentang pedoman tata kelakuan yang boleh dan

tidak boleh dilakukan. Ketika melakukan suatu tindakan, kemudian ditegur oleh

orang yang lebih dewasa maka ia akan menyimpulkan bahwa tindakan tersebut tidak

boleh, sebaliknya jika yang ia lakukan tidak ditegur atau bahkan diberikan ujian ia

akan menyimpulkan bahwa yang ia lakukan adalah sesuatu yang diperbolehkan.

Disaat itulah anak mulai mengalami fase identifikasi untuk mengenali antara yang

baik dan yang tidak baik. Pada awalnya ia dipandu oleh orang yang lebih dewasa

disekelilingnya, tetapi kemudian ia akhirnya melakukan sendiri proses tersebut

melalui tindakan membanding-bandingkan sikap atau tindakan yang ada

disekelilingnya. Dalam fase yang lebih dewasa ia akan mampu melakukan identifikasi

pada dari setiap perilaku, sikap, dan pandangan yang muncul untuk dikumpulkan

kemudian dipelajarinya dan dikembangkan menjadi pedoman prilaku sehari-hari.

4. Simpati

Simpati adalah faktor tertariknya seseorang atau kelompok orang terhadap orang atau

kelompok orang yang lain. Faktor simpati muncul bukan dari pemikiran yang logis,

rasional, tetapi berdasarkan penilaian perasaan, sebagaimana dalam proses

identifikasi. Orang tiba-tiba merasa tertarik kepada orang lain bukan karena salah

satu ciri tertentu,tetapi karena keseluruhan cara tingkah laku orang lain tersebut.

Simpati tidak sama dengan identifikasi, sebab simpati didorong ingin mengerti dan

49

ingin kerja sama dengan orang lain. Akibat dari simpati adalah dorongan simpatisan

(orang yang tertarik) untuk menjalin hubungan kerja sama antara dua orang atau

lebih yang setara. Adapun identifikasi lebih didorong oleh keinginan mengikuti

jejaknya, ingin mencontoh, ingin belajar dari orang lain yang dianggap ideal. Dengan

demikian, dalam idntifikasi biasanya terdapat keinginan menjadi seperti orang lain

terutama sifat-sifat yang melekat pada dirinya. Adapun simpati, seseorang dapat

merasa berfikir dan bertingkah laku seakan-akan ia adalah orang lain (Setiadi &

usman, 2011).

2.3.11 Hubungan Antara Interaksi Sosial Dengan Fungsi Kognitif pada Lansia

Masa lanjut usia (lansia) adalah dimana lansia mengalami suatu kehilangan yang

bersifat, misalnya berkurangnya fungsi pendengaran, penglihatan, kekuatan fisik dan

kesehatan, menatap kembali kehidupan, pensiun, dan penyesuaian diri dengan peran

sosial yang baru. Pada masa perkembangan manusia memiliki tahapan atau tugas

perkembangannya tersendiri dan sesuai dengan fase pertumbuhannya, demikian halnya

dengan lansia, ketika seseorang memasuki fase lansia, seseorang tersebut memiliki tugas

perkembangan yang berbeda dengan sebelumnya (Papalia & Olds, 2001).

Kemampuan individu khususnya lansia untuk menampilkan fungsi kognitif

tergantung pada fungsi otak. Apabila otak pada lansia mengalami kerusakan akibat

digenerasi/penuaan maka akan terjadi penurunan fungsi kognitif, intelektual, sosial dan

pekerjaan. Adapun terdapat jenis utama gangguan kognitif yang umumnya terjadi pada

lansia yaitu delirium, dimensia dan gangguan amnestik. Pada lansia yang menderita

gangguan kognitif mungkin sepenuhnya menjadi bergantung pada orang lain untuk

50

memenuhi kebutuhan dasar dalam hal makan, beraktifitas di toilet, berdandan dan

perubahan pola tidur.Maka dari itu upaya untuk meningkatkan memori (daya ingat) dapat

dilakukan dengan cara mencatat sesuatu pada daftar, kalender atau buku catatan.

Terdapat pula cara atau teknik pelatihan yang ditujukan khusus untuk meningkatkan daya

ingat dan aspek kognitif secara umum yang tergolong ketrampilan khusus (Maryati,

Dwi&Mumpuni, 2013).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Rantepadang pada tahun (2012) interaksi

sosial juga dapat mempengaruhi kondisi psikologis lansia. Semakin baik interaksi sosial,

maka semakin baik pula kondisi psikologis lansia dan tentunya hal ini akan

mempengaruhi kualitas hidup pada lansia tersebut. Interaksi sosial pada lansia dijelaskan

oleh Schulz & Allen (1997, dalam Reno, 2010) melalui teori panjang umur berdasarkan

jaringan sosial bahwa interaksi sosial memiliki pengaruh yang tinggi terhadap kesehatan

dan usia lanjut. Sedangkan menurut Nabillah (2008) interaksi seseorang dipengaruhi oleh

faktorinternal dan eksternal, dimana faktor eksternalterdiri dari lingkungan luar seseorang

sepertilingkungan kerja, masyarakat maupunorganisasi, sedangkan faktor internal

terdiridari imitasi, identifikasi, sugesti, dan simpati karena seseorang mau tidak mau harus

menyesuaikan diri dengan lingkungannya (Jamil, 2012).