4 hasil dan pembahasan 4.1. kertas tanpa aditif 4.1.1...
TRANSCRIPT
24
4 Hasil dan Pembahasan
4.1. Kertas Tanpa Aditif
4.1.1. Pembuatan kertas
Metode pembuatan kertas dilakukan berdasarkan hasil optimasi dari penelitian sebelumnya
(Wisastra, 2007) dengan modifikasi tanpa melakukan tahap penghilangan lemak. Secara
keseluruhan, metode pembuatan kertas pada penelitian ini bersifat aman terhadap
keselamatan kerja dan ramah lingkungan. Metode ini juga relatif murah dan mudah untuk
diterapkan di masyarakat.
Tahap penghilangan air melalui penjemuran di bawah sinar matahari dipilih karena
memberikan hasil pengeringan lebih merata dibandingkan dengan hasil pengeringan
menggunakan oven (Wisastra, 2007). Proses ini menghilangkan air dalam albedo markisa
konyal dengan reduksi rata-rata 80,44% terhadap massa albedo awal (data lengkap pada
Lampiran A).
Pada penelitian ini proses pembuatan kertas dimodifikasi dengan tidak melakukan tahap
penghilangan lemak. Albedo markisa konyal yang sudah dihilangkan air rata-rata
mengandung lemak sebesar 0,911% dan dapat dihilangkan dengan ekstraksi menggunakan
campuran pelarut toluen dan etanol 2:1 sebanyak 300 mL selama 9 jam untuk satu kali
proses pembuatan kertas (Wisastra, 2007). Maka, modifikasi ini dapat meminimalkan
penggunaan reagen dan merupakan efisiensi kerja.
Secara kasat mata, kertas yang dihasilkan tanpa tahap penghilangan lemak berwarna sama
dengan kertas yang dihasilkan melalui tahap penghilangan lemak. Namun, kertas yang
dihasilkan tanpa tahap penghilangan lemak relatif lebih elastis dan lebih tahan air
dibandingkan kertas yang dihasilkan melalui tahap penghilangan lemak. Struktur molekular
lemak merujuk pada analisis bahwa karena lemak mengandung banyak rantai hidrokarbon
tidak jenuh yang strukturnya relatif linear sehingga bersifat fleksibel dan berkontribusi pada
elastisitas. Rantai hidrokarbon juga bersifat hidrofob berkontribusi pada sifat ketahanan lebih
tinggi terhadap air dibandingkan kertas yang dihasilkan melalui tahap penghilangan lemak.
25
Pulping adalah proses pemurnian selulosa dengan melarutkan senyawa lain dalam albedo
markisa konyal, terutama lignin. Keberadaan lignin menyebabkan warna coklat pada kertas
dan mengurangi elastisitas kertas sehingga harus dihilangkan. Lignin merupakan matriks
berupa polimer yang mengelilingi kerangka serat selulosa dan menyebabkan dinding sel
tumbuhan bersifat kuat dan kaku (Lehninger, 1982).
Selama proses pulping, pelarut menjadi semakin berwarna gelap karena semakin banyak
lignin yang terhidrolisis dan terlarut, lihat Gambar 4-1 A. Proses pulping dilakukan dengan
pemanasan selama 3,5 jam yang merupakan waktu optimum untuk menghidrolisis lignin
secara sempurna. Pemanasan tidak dilakukan dengan waktu lebih lama untuk menghindari
terjadinya degradasi selulosa menjadi rantai polisakarida lebih pendek yang bersifat rapuh.
Pada akhir proses pulping diperoleh pelarut berwarna coklat pekat (black liquor) yang
warnanya tidak berubah lagi, lihat Gambar 4-1 B.
Gambar 4-1 Perubahan warna pelarut selama proses pulping Gambar A menunjukkan pelarut menjadi berwarna coklat setelah pulping selama 30 menit.
Gambar B menunjukkan pelarut berwarna coklat pekat (black liquor) setelah pulping selesai
Pulping menggunakan pelarut asam asetat dan asam klorida (HCl) yang merupakan katalis
sebagai asam kuat yang mengontrol reaksi hidrolisis lignin. Reaksi ini merupakan pemutusan
ikatan kovalen antara lignin dan selulosa (Froass et.al., 1996). Berdasarkan usulan
mekanisme yang dibuat (Gambar 4-2), adanya ion hidrogen dari HCl memungkinkan
penyerangan dari elektron bebas pada oksigen sehingga ikatan glikosidiknya menjadi lemah
dan putus menghasilkan suatu molekul glukosa dan monomer lignin berupa alkohol.
26
OOCH3
OMe
R
HORO
H2C
OH
H+
OMe
R
CH2
O
OOCH3
OMe
R
HORO
H2C
OH
CH2
O+
CH2
HO+OOCH3
HORO
CH2+
OH
H
Gambar 4-2 Usulan mekanisme reaksi pada proses pulping
Setelah disaring, padatan pulp kering rata-rata diperoleh 67,01% (b/b) terhadap massa albedo
sampel (data lengkap pada Lampiran A). Sebagian besar pulp dihasilkan berwarna coklat
(Gambar 4-3 A), menunjukkan masih terdapat lignin pada selulosa. Meskipun telah
terhidrolisis, monomer alkohol hasil hidrolisis lignin dapat membentuk ikatan hidrogen
dengan gugus hidroksi pada selulosa sehingga sulit dipisahkan dan menyebabkan pulp masih
berwarna coklat. Maka, dilakukan tahap bleaching untuk menghilangkan lignin sehingga
diperoleh selulosa murni dengan warna lebih cerah (Gambar 4-3 B).
Gambar 4-3 Pulp Gambar A menunjukkan pulp setelah pulping dan disaring.
Gambar B menunjukkan pulp setelah bleaching dan disaring.
Pada penelitian ini bleaching menggunakan hidrogen peroksida (H2O2) yang dapat
mengoksidasi alkohol membentuk asam karboksilat. Selanjutnya, asam karboksilat dapat
mengalami reaksi esterifikasi dengan alkohol lignin yang tersisa. Terjadinya esterifikasi
27
monomer lignin menyebabkan ikatan hidrogen antara selulosa dan lignin putus. Selain
larutan hidrogen peroksida, digunakan juga larutan NaOH sebagai katalis. Namun,
penggunaan basa harus dibatasi untuk menghindari peningkatan pH karena selulosa dapat
terdegradasi pada pH tinggi. Degradasi selulosa akan mengakibatkan serat menjadi rusak dan
berwarna coklat.
Perlu dicatat bahwa hidrogen peroksida merupakan bahan kimia yang cenderung bersifat
tidak stabil. Penyimpanan pada keadaan yang tidak tepat dan dalam waktu cukup lama
menyebabkan hidrogen peroksida sangat mudah terdekomposisi. Pengaruh penggunaan
hidrogen peroksida yang sudah terdekomposisi serta kondisi reaksi yang kurang sesuai,
seperti waktu pemanasan atau pengadukan yang kurang sempurna, menghasilkan kertas
masih berwarna kecoklatan (Gambar 4-4 A). Sebaliknya, penggunaan hidrogen peroksida
yang masih baik dan kondisi reaksi bleaching yang sempurna menghasilkan kertas yang
berwarna putih lebih cerah (Gambar 4-4 B).
Gambar 4-4 Hasil bleaching kertas tanpa aditif Gambar A menunjukkan kertas berwarna kecoklatan karena penggunaan H2O2 yang sudah
terdekomposisi dan proses bleaching yang kurang sempurna. Gambar B menunjukkan kertas berwarna putih karena penggunaan H2O2 yang masih baik dan proses bleaching yang sempurna.
Dengan menggunakan mesin kertas, proses pencetakan dilakukan dari suspensi pulp yang
terdiri atas 99% air (Catalyst, 2008). Namun, hal tersebut tidak memungkinkan untuk
dilakukan pada skala laboratorium karena proses pengeringan yang sulit. Suspensi dengan
konsentrasi pulp basah 5% (b/v) terhadap air memerlukan waktu pengeringan lebih dari dua
minggu. Suspensi dengan konsentrasi pulp basah 10% (b/v) terhadap air memerlukan waktu
pengeringan selama satu minggu. Sedangkan suspensi dengan konsentrasi pulp basah 15%
(b/v) terhadap air memerlukan waktu pengeringan selama satu hari pada kondisi cuaca hujan
atau mendung dan hanya memerlukan waktu pengeringan sekitar 12 jam pada kondisi cuaca
panas. Maka, proses pencetakan selanjutnya dilakukan dengan konsentrasi pulp basah 15%
(b/v) terhadap air.
Selain itu, proses pencetakan secara langsung di atas kaca menghasilkan kertas kering yang
sangat menempel pada permukaan kaca sehingga sulit dilepaskan. Proses pencetakan secara
langsung di atas mika juga memberikan hasil yang sama. Proses pencetakan dan pengeringan
28
harus dilakukan di atas kaca atau mika yang dilapisi plastik tipis. Proses ini menghasilkan
lembaran kertas dengan ketebalan 0.04-0.07 mm.
4.1.2. Karakterisasi
Analisis foto permukaan secara mikroskopik dengan SEM memperlihatkan struktur kertas
secara mikroskopik. Dari struktur penampang melintangnya, kertas diketahui terdiri atas
banyak lapisan serat, seperti ditunjukkan pada Gambar 4-13 C. Semakin tebal kertas yang
dicetak, semakin banyak jumlah lapisan seratnya. Lapisan serat ini juga menentukan sifat
mekanik kertas. Semakin rapat dan kompak lapisan-lapisan serat, semakin baik kekuatan
kertas.
Karena proses pencetakan dan pengeringan dilakukan secara manual, kertas dihasilkan
dengan struktur kedua sisi permukaan yang berbeda. Sisi bawah kertas memiliki struktur
permukaan lebih halus (Gambar 4-5 A dan B). Sedangkan sisi atas kertas memiliki struktur
permukaan kurang halus (Gambar 4-6 A dan B). Hal ini disebabkan perbedaan perlakuan
pada proses pencetakan dan pengeringan kertas.
Gambar 4-5 Hasil SEM permukaan bawah kertas tanpa aditif
Gambar A menunjukkan hasil SEM dengan perbesaran 500 kali dan Gambar B dengan perbesaran 2000 kali. Kertas memiliki struktur permukaan bawah yang lebih halus.
Gambar 4-6 Hasil SEM permukaan atas kertas tanpa aditif Gambar A menunjukkan hasil SEM dengan perbesaran 500 kali dan Gambar B dengan perbesaran
2000 kali. Kertas memiliki struktur permukaan atas yang kurang halus.
29
Sisi bawah kertas mengalami tekanan mekanik ketika roller dilewatkan pada proses
pencetakan kertas. Adanya permukaan datar berupa kaca atau mika selama proses
pengeringan juga menyebabkan susunan serat menjadi rapat dan teratur. Permukaan kertas
menjadi lebih halus. Sedangkan sisi atas kertas hanya dibentuk sekali dengan roller
kemudian dibiarkan di udara terbuka hingga kertas kering. Penguapan air melalui pori kertas
menyebabkan permukaan bagian atas menjadi tidak rapat dan membentuk jalinan serat yang
kurang teratur. Kemungkinan masuknya debu atau kotoran berukuran mikro dari udara juga
berkontribusi terhadap kehalusan permukaan kertas. Hasil ini sangat berbeda dengan kertas
komersial yang diproses menggunakan suatu mesin kertas. Kedua sisi permukaan kertas
komersial diperoleh sama halus karena sama-sama dicetak dengan dilewatkan pada
serangkaian roller dan dikeringkan secara gravitasi, pengisapan, dan pemberian tekanan
(Paperonline.org, 2007).
Karakterisasi uji tarik terhadap kertas dilakukan untuk mengetahui kekuatan dan kelenturan
kertas. Hasil uji tarik ditunjukkan pada Tabel 4-1. Nilai stress menunjukkan kekuatan
mekanik kertas dengan membandingkan gaya yang dibutuhkan untuk merobek kertas
terhadap luas daerah putus pada kertas. Semakin tinggi nilai stress menunjukkan semakin
tinggi kekuatan mekaniknya. Kertas yang dihasilkan tanpa tahap penghilangan lemak
memiliki nilai stress 25,41 N/mm2. Sedangkan kertas yang diproses dengan penghilangan
lemak memiliki nilai stress 26.65 N/mm2 (Wisastra, 2007). Nilai stress kertas tanpa proses
penghilangan lemak dan kertas dengan proses penghilangan lemak berbeda tidak terlalu
signifikan dan lebih tinggi dibandingkan kertas tulis komersial (HVS) yang memiliki nilai
stress sebesar 21 N/mm2. Maka, secara umum kertas yang berasal dari albedo markisa
konyal dapat dinyatakan memiliki kekuatan mekanik lebih tinggi dibandingkan kertas tulis
komersial.
Tabel 4-1 Hasil uji tarik kertas tanpa aditif
jenis kertas stress (N/mm2)
strain (%)
modulus elastisitas (N/mm2)
HVS 21 1.26 1666.67 dengan penghilangan lemak 26.65 1.7 1567.76 tanpa penghilangan lemak 25.41 1.03 2466.74
Nilai yang tertera merupakan nilai rata-rata berdasarkan data dan perhitungan pada Lampiran B
Kelenturan kertas dinyatakan dengan modulus elastisitas yang merupakan perbandingan
stress dan strain. Namun, karena keterbatasan kemampuan alat, hasil uji tarik adalah nilai
pada saat putus sehingga modulus elastisitas yang diperoleh adalah modulus elastisitas pada
saat putus. Kertas tanpa penghilangan lemak memiliki nilai modulus elastisitas sangat tinggi,
30
yaitu 2466.74 N/mm2, jauh lebih tinggi dibandingkan kertas dengan penghilangan lemak
maupun kertas tulis komersial.
Karena sudah berbentuk lembaran tipis, karakterisasi spektrum inframerah dilakukan secara
langsung terhadap kertas, tidak menggunakan pelet KBr. Namun, analisis tidak dapat
dilakukan dengan baik pada daerah panjang gelombang 3100-3500 cm-1 dan 1000-1200 cm-1
karena dihasilkan puncak-puncak serapan dengan transmitan di bawah 0%. Kemungkinan
terbesar hal ini karena kertas relatif lebih tebal dari pelet KBr sehingga tidak ada radiasi
inframerah yang diteruskan ke detektor. Pembuatan kertas yang lebih tipis tidak
memungkinkan karena kesulitan proses pencetakannya, yaitu sulit melepas lembaran kertas
dari permukaan kaca, serta kertas akan memiliki kekuatan mekanik yang rendah. Hasil
spektrum inframerah kertas (Lampiran C) menunjukkan puncak-puncak khas selulosa,
seperti dirangkum pada Tabel 4-2.
Tabel 4-2 Data spektrum inframerah kertas tanpa aditif
panjang gelombang (cm-1) gugus fungsi
~3400 -OH 2899 C-H 1246 C-O-C 1201 C-O-H
~1000 karbon siklik
4.2. Pembuatan Kertas dengan Penambahan Aditif dan Karakterisasinya
4.2.1 Kitin
Serbuk kitin yang digunakan pada penelitian ini merupakan hasil isolasi dari udang yang
tidak diketahui jenisnya sehingga tidak dapat ditentukan metode pelarutan yang tepat.
Kelarutan kitin juga dipengaruhi oleh derajat deasetilasinya. Derajat deasetilasi kitin dihitung
dengan membandingkan jumlah gugus –NH2 terhadap gugus –OH sebagai pembanding yang
diperoleh berdasarkan nilai absorbansi pada spektrum inframerah (Lampiran B) sehingga
dapat disimpulkan bahwa kitin ini memiliki derajat deasetilasi 55.13%.
Dengan metode penambahan jalur A, kitin ditambahkan langsung ke pulp siap cetak.
Suspensi tidak terbentuk homogen karena perbedaan kepolaran; kitin bersifat nonpolar
sedangkan pulp bersifat sedikit polar dan tidak dapat dimediasi oleh air yang bersifat polar.
Suspensi bahkan menjadi sangat lengket dan sulit dicetak, menghasilkan gumpalan pada
daerah-daerah tertentu dan hanya berupa lapisan tipis yang setelah proses pengeringan terjadi
31
penguapan dan meninggalkan lubang. Kertas dihasilkan berlubang seperti ditunjukkan pada
Gambar 4-7.
Gambar 4-7 Kertas dengan aditif kitin 1% dengan metode penambahan jalur A
Dengan metode penambahan jalur B, kitin terlebih dahulu harus dilarutkan dalam pelarut
yang sesuai. Karena tidak diketahui asal kitin yang digunakan dalam percobaan ini, maka
kitin dicoba dilarutkan dalam larutan asam asetat, asam format, dan LiCl-DMAC. Pemilihan
pelarut ini didasarkan atas pelarut yang umum digunakan dalam melarutkan kitin. Namun,
meski memiliki derajat deasetilasi cukup tinggi untuk ukuran kitin, kelarutan kitin ini tetap
sangat terbatas. Kitin ini tidak larut dalam asam asetat, asam format, maupun dalam LICl-
DMAC seperti ditunjukkan pada Gambar 4-8. Selanjutnya, penambahan aditif kitin dengan
metode B tidak diproses hingga diperoleh kertas karena diperkirakan akan menunjukkan
hasil yang sama dengan hasil yang diperoleh melalui metode A.
Gambar 4-8 Kitin tidak larut di larutan LiCl - DMAC
Dengan metode penambahan jalur C, kitin diharapkan berinteraksi dan dapat membentuk
suspensi homogen bersama komponen pulp lain. Namun, pulp akhir diperoleh masih
mengandung serbuk-serbuk kitin yang tetap terlihat secara makroskopik. Permukaan kertas
yang dihasilkan memiliki tekstur kasar dan cenderung rapuh (Gambar 4-9).
32
Gambar 4-9 Kertas dengan aditif kitin 1% dengan metode penambahan jalur C
Gambar A menunjukkan kertas secara keseluruhan. Gambar B menunjukkan permukaan kertas yang masih tampak serbuk-serbuk kitin tidak homogen.
Berdasarkan ketiga metode yang dilakukan, penambahan aditif kitin jalur C memberikan
hasil lebih baik dibandingkan dengan jalur A dan B. Namun, kertas yang dihasilkan dengan
metode penambahan jalur C ini tidak menunjukkan peningkatan sifat-sifat fisik
dibandingkan dengan kertas tanpa aditif. Berdasarkan penelitian lain, Nishiyama et.al.
menyarankan modifikasi kitin dengan reaksi alkilasi atau asetilasi untuk selanjutnya dibuat
dope dan didispersikan ke dalam suspensi pulp serta perlu penambahan sejumlah besar aditif
lain untuk meningkatkan kekuatan ikatan yang relatif lemah antara kitin dan selulosa,
misalnya penggunaan aditif urea sebagai agen pembentuk ikatan hidrogen (Nishiyama,
et.al., 1977).
4.2.2 Kitosan
Dengan metode penambahan jalur A, serbuk kitosan ditambahkan langsung ke pulp siap
cetak. Pulp dengan aditif kitosan tidak membentuk suspensi homogen. Kertas dihasilkan
masih mengandung butiran-butiran besar serbuk kitosan, seperti ditunjukkan pada Gambar
4-10 A. Semakin tinggi konsentrasi kitosan yang ditambahkan, semakin banyak serbuk
kitosan yang terdapat pada kertas. Selain tekstur permukaannya yang tidak halus, kertas juga
menjadi sangat rapuh.
Serbuk kitosan dicoba dilarutkan dalam asam asetat dan asam format tetapi tidak dicoba
dilarutkan di larutan LiCl-DMAC karena lebih mahal dan lebih sulit proses penyiapannya.
Serbuk kitosan dapat larut di asam asetat maupun asam format. Untuk penelitian ini dipilih
asam asetat karena lebih murah, tidak berbau menyengat, dan lebih aman dibandingkan asam
format. Pengadukan kitosan selama beberapa jam dalam larutan asam asetat 1%
menghasilkan dope yang larut sempurna dan sudah jenuh pada konsentrasi kitosan 2,5%
(b/v) terhadap volume total sehingga menjadi tidak homogen di atas konsentrasi tersebut.
33
Penambahan dope kitosan pada pulp siap cetak menghasilkan suspensi cukup homogen.
Namun, setelah dicetak dan dikeringkan, kertas dihasilkan memiliki tekstur permukaan yang
relatif kasar karena masih mengandung serbuk kitosan, seperti ditunjukkan Gambar 4-10 B.
Semakin tinggi konsentrasi kitosan yang ditambahkan, semakin banyak serbuk kitosan yang
terdapat pada kertas. Mekipun demikian, kitosan pada kertas ini berukuran lebih kecil
dibandingkan pada kertas dengan metode A.
Metode penambahan jalur C menghasilkan tekstur permukaan kertas paling baik. Pulp yang
ditambahkan dope kitosan dalam asam asetat membentuk suspensi homogen, baik pada
konsentrasi kitosan 1%, 2%, maupun 5% b/b terhadap massa albedo sampel. Secara
makroskopik, kertas yang dihasilkan juga tidak terlihat adanya serbuk kitosan, seperti
ditunjukkan pada Gambar 4-10 C. Permukaan kertas tetap memiliki tekstur halus meskipun
konsentrasi kitosan ditingkatkan. Tekstur permukaan kertas ini sama halus dengan kertas
yang diproses tanpa penambahan aditif.
Gambar 4-10 Kertas dengan aditif kitosan 1% dibandingkan kertas tanpa aditif
Gambar A menunjukkan permukaan kertas yang tidak halus dan rapuh dengan metode penambahan kitosan jalur A. Gambar B menunjukkan permukaan kertas lebih halus dengan metode penambahan kitosan jalur B. Gambar C menunjukkan permukaan kertas paling halus dan rapuh dengan metode
penambahan kitosan jalur C. Gambar D menunjukkan permukaan kertas tanpa aditif.
Terkait dengan metode B dan C tersebut, dapat dianalisis bahwa dalam larutan asam asetat
1%, kitosan yang mengandung gugus amino dan gugus hidroksi menjadi berperan sebagai
polikation. Sedangkan pulp hasil bleaching mengandung gugus hidroksil, gugus aldehid, dan
gugus asam karboksilat yang dapat mengalami self dissosiation sebagai contact ion pair
34
sehingga pulp cenderung bersifat sebagai polianion. Karena muatan positif pada larutan
kitosan cukup kuat, kitosan teradsorpsi sangat cepat pada serat yang bermuatan negatif.
Adsorpsi ini diketahui merupakan interaksi elektrostatik, selain adanya beberapa
kemungkinan interaksi lain antara kitosan dan serat selulosa.
Karakterisasi
Hasil analisis SEM menunjukkan kitosan ditemukan cukup banyak pada salah satu
permukaan kertas, yaitu pada permukaan atas (Gambar 4-11 A dan B), tetapi tidak
ditemukan sama sekali pada permukaan bawah kertas (Gambar 4-12 A dan B). Hal ini dapat
dianalisis bahwa telah terjadi adsorpsi ke permukaan kertas. Kitosan teradsorpsi,
berinteraksi, dan hanya terlihat pada area tertentu, yaitu area yang mengandung partikel lain
bukan selulosa (fines) yang memiliki daerah permukaan BET (Brunauer-Emmett-Teller)
lebih luas dan muatan permukan lebih tinggi dibandingkan serat selulosa. Selain adsorbsi ke
permukaan serat, kitosan membentuk kompleks dengan karbohidrat lain, seperti
hemiselulosa dan glukosa. Kompleks tertahan pada permukaan substrat. Secara umum,
fenomena fisikokimia ini membantu pembentukan kertas dan meningkatkan kekuatan kertas
(Li, et.al., 2004).
Namun demikian, ketidakberadaan partikel kitosan di permukaan bawah tidak mendukung
teori di atas. Dengan adsorpsi permukaan, seharusnya kitosan juga terdapat di permukaan
bawah. Analisis lain yang mungkin berlaku adalah perbedaan massa jenis kitosan dengan
pulp sehingga kitosan cenderung naik ke permukaan selama proses pengeringan.
Gambar 4-11 Hasil SEM permukaan atas kertas – kitosan
Gambar A menunjukkan hasil SEM dengan perbesaran 500 kali dan Gambar B dengan perbesaran 2000 kali terhadap kertas dengan aditif kitosan 1% melalui metode penambahan jalur C. Lingkaran
merah menunjukkan beberapa kitosan yang teradsorbsi pada permukaan kertas
B
35
Gambar 4-12 Hasil SEM permukaan bawah kertas – kitosan
Gambar A menunjukkan hasil SEM dengan perbesaran 500 kali dan Gambar B dengan perbesaran 2000 kali terhadap kertas dengan aditif kitosan 1% melalui metode penambahan jalur C. Hasil ini
tidak menunjukkan adanya kitosan.
Interaksi antara kitosan dan substrat selulosa merupakan adsorpsi yang dapat terjadi melalui
lima kemungkinan (Li, et.al., 2004). Interaksi pertama adalah ikatan hidrogen yang terjadi
karena adanya hydrogen binding site pada permukaan substrat selulosa dan segmen kitosan,
yaitu antara gugus hidroksi pada selulosa dengan gugus hidroksi pada kitosan serta antara
gugus hidroksi pada selulosa dengan gugus amino pada kitosan. Interaksi kedua adalah
interaksi elektrostatik yang muncul pada berbagai komponen suspensi pulp akibat
penambahan kitosan sebagai polielektrolit kation yang diadsorbsi melalui sisi bermuatan
negatif pada pulp. Interaksi ketiga adalah gaya van der waals yang selalu terjadi secara alami
pada sistem koloid. Interaksi keempat adalah ikatan kovalen akibat reaksi antara gugus
amino primer dari kitosan dan gugus aldehid pada substrat selulosa membentuk ikatan imino.
Interaksi kelima adalah agregasi atau asosiasi yang terjadi melalui dua mekanisme, yaitu
flokulasi patch dan jembatan interpartikel.
Dengan perhitungan derajat asetilasi berdasarkan absorbansi spektrum inframerahnya
(Lampiran B), kitosan yang digunakan dalam penelitian ini memiliki derajat deasetilasi
77.44%. Adsorpsi kitosan ke permukaan substrat semakin tinggi dengan meningkatnya
derajat deasetilasi kitosan. Peningkatan derajat deasetilasi berarti kitosan memiliki lebih
banyak gugus –NH2 dibandingkan gugus NHCOCH3. Banyaknya gugus –NH2 menyebabkan
hydrogen binding site makin banyak sehingga memungkinkan ikatan hidrogen antara kitosan
dan selulosa terbentuk lebih banyak. Selain itu, terjadi penurunan interaksi ikatan hidrogen
intramolekuler yang sebelumnya terjadi antara gugus asetamido dan hidroksimetil dalam
kotosan sehingga kerangka molekul kitosan menjadi lebih fleksibel. Kedua hal ini akhirnya
meningkatkan kecenderungan terjadinya adsorpsi kitosan ke permukaan selulosa.
Hasil uji tarik ditunjukkan pada Tabel 4-3. Kertas yang dihasilkan melalui metode
penambahan kitosan jalur A dan B memiliki nilai stress jauh lebih rendah dibandingkan
dengan kertas tanpa aditif maupun dengan kertas HVS karena kertas tidak diperoleh
homogen sehingga cenderung tidak stabil dan rapuh. Sedangkan kertas yang dihasilkan
36
melalui metode penambahan kitosan jalur C memberikan hasil jauh lebih baik dibandingkan
dengan kertas tanpa aditif maupun dengan kertas HVS karena kitosan teradsorpsi homogen
dan berinteraksi kuat dengan komponen pulp sehingga membentuk susunan serat yang rapat
dan kompak.
Kertas yang ditambahkan kitosan dengan metode jalur C sebanyak 5%, 2%, dan 1% masing-
masing memiliki nilai stress 27,22%, 30,62%, dan 35%, relatif lebih tinggi dibandingkan
dengan kertas tanpa aditif dan kertas HVS komersial. Data tersebut menyimpulkan bahwa
penambahan kitosan memprkuat kekuatan tarik dari kertas namun demikian semakin tinggi
konsentrasi kitosan yang ditambahkan, kekuatan mekaniknya tidak menjadi semakin baik,
melainkan semakin menurun. Jika terlalu banyak kitosan ditambahkan, maka semakin
banyak residu kitosan yang tidak teradsorbsi sempurna sehingga sistem menjadi tidak stabil,
termasuk karena kelebihan muatan positif dari larutan kitosan. Nilai optimum penambahan
kitosan untuk percobaan ini tidak dilakukan karena keterbatasan bahan baku dan waktu
penelitian.
Meskipun memiliki kekuatan mekanik paling tinggi, kertas yang mengandung kitosan 1%
dengan metode penambahan jalur C ini memiliki elastisitas lebih rendah dari kertas tanpa
aditif yang dihasilkan dari penelitian ini namun tetap bernilai lebih tinggi dibandingkan
kertas tanpa lemak yang dihasilkan dari penelitian sebelumnya (Wisastra, 2007). Sebaliknya,
kertas dengan kekuatan mekanik lebih rendah, yaitu kertas yang ditambahkan kitosan 1,5%
dengan metode jalur C memiliki elastisitas tinggi 2456.14 N/mm2, hampir mendekati nilai
elastisitas kertas tanpa aditif 2466,74 N/mm2. Nilai modulus elastisitas secara keseluruhan
tidak menunjukkan hasil yang linear terhadap konsentrasi kertas sehingga memerlukan data
lebih banyak untuk penentuan konsentrasi optimumnya. Namun, karena keterbatasan waktu
dan bahan baku penelitian, penentuan kondisi optimum ini pun belum dapat dilakukan.
Tabel 4-3 Hasil uji tarik kertas dengan aditif kitosan
jenis kertas stress (N/mm2)
strain (%)
modulus elastisitas (N/mm2)
HVS 21 1.26 1666.67 tanpa aditif 25.41 1.03 2466.74 kitosan 1%, jalur A 14.7 0.95 1547.37 kitosan 0.5%, jalur B 15.68 0.7 2240 kitosan 1%, jalur B 14 0.83 1686.75 kitosan 1.5%, jalur B 14 0.57 2456.14 kitosan 1%, jalur C 35 1.88 1861.7 kitosan 2%, jalur C 30.62 2.49 1229.92 kitosan 5%, jalur C 27.22 1.85 1471.47
Nilai yang tertera merupakan nilai rata-rata berdasarkan data dan perhitungan pada Lampiran B
37
Hasil pengamatan secara visual, kertas yang mengandung aditif kitosan dihasilkan lebih
tebal sehingga memerlukan waktu pengeringan lebih lama. Analisis SEM menunjukkan
bahwa kertas dengan aditif kitosan memiliki lebih banyak lapisan serat yang tersusun lebih
rapat (Gambar 4-13 A dan B) dibandingkan lapisan serat pada kertas tanpa aditif (Gambar
4-13 C). Hal ini dapat dihubungkan dengan kekuatan kertas dengan aditif kitosan yang lebih
baik dibandingkan kertas tanpa aditif.
Gambar 4-13 Hasil SEM penampang melintang kertas – kitosan Gambar A menunjukkan hasil SEM dengan perbesaran 500 kali dan Gambar B dengan perbesaran 1000 kali terhadap kertas dengan aditif kitosan 1% dengan metode penambahan jalur C. Gambar C
menunjukkan hasil SEM dengan perbesaran 500 kali terhadap kertas tanpa aditif. Kertas yang mengandung kitosan memiliki struktur penempang melintang lebih tebal dan rapat.
Hasil karakterisasi spektrum inframerah (Lampiran C) kertas dengan aditif kitosan
menunjukkan puncak-puncak hampir sama dengan spektrum inframerah kertas tanpa aditif.
Perbedaan paling jelas dari spektrum inframerah kertas dengan aditif kitosan adalah terdapat
puncak medium pada panjang gelombang 1643 cm-1 yang merupakan daerah serapan –NH2
amina primer dari kitosan. Puncak ini berbeda dengan puncak tajam pada panjang
gelombang 1643 cm-1 pada spektrum inframerah kertas tanpa aditif yang menunjukkan
adanya CO2. Puncak CO2 muncul akibat proses pengukuran yang tidak dilakukan dengan
vakum.
Uji ketahanan terhadap air dilakukan secara sederhana dengan mencelupkan kertas ke dalam
air dan dibandingkan waktu setiap kertas mulai rusak. Semakin lama waktu yang dibutuhkan
maka kertas semakin tahan terhadap air. Meskipun sangat bergantung terhadap objektivitas
pengamat dan kondisi pengamatan, uji ini relatif valid karena dilakukan secara teliti dan
38
dalam kondisi pengamatan yang relatif sama dengan lima kali pengulangan. Hasil uji
ketahanan terhadap air ditunjukkan pada Tabel 4-4 (data lengkap pada Lampiran A). Kertas
tanpa aditif memiliki ketahanan terhadap air paling tinggi dibandingkan kertas HVS maupun
kertas dengan aditif kitosan dan semakin berkurang dengan bertambahnya konsentrasi
kitosan sehingga kertas dengan aditif kitosan melalui metode penambahan jalur C
menunjukkan nilai relatif lebih baik pada konsentrasi kitosan 1%.
Tabel 4-4 Hasil uji ketahanan terhadap air
jenis kertas waktu rata-rata (menit)
HVS 40.6 kertas tanpa aditif 51.2
kertas dengan aditif kitosan 1% jalur C 43.2
kertas dengan aditif kitosan 2% jalur C 42.2
kertas dengan aditif kitosan 5% jalur C 40.8
Nilai yang tertera merupakan nilai rata-rata berdasarkan data pada Lampiran A
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penambahan aditif kitosan pada kertas dari
albedo markisa konyal meningkatkan kekuatan mekanik dan elastisitas kertas. Aditif kitosan
1% yang ditambahkan pada awal pulping setelah dilarutkan dalam asam asetat menghasilkan
kertas dengan kekuatan mekanik paling tinggi. Hasil penelitian ini sinergi dengan hasil
penelitian Antal, et.al. dan Li, et al yang menyatakan bahwa kitosan meningkatkan sifat-sifat
mekanik kertas, ketahanan terhadap air, tidak berbahaya bagi makhluk hidup, termasuk dapat
digunakan untuk keperluan medis, dan bersifat biodegradable. Secara umum disimpulkan
bahwa penambahan kitosan 1% dianjurkan untuk memperoleh kertas yang kuat. Namun, jika
kekuatan mekanik kertas tidak terlalu menjadi pertimbangan, maka pilihan terbaik adalah
kertas yang dibuat tanpa aditif dan tanpa proses penghilangan lemak yang memiliki nilai
elastisitas dan ketahanan terhadap air lebih tinggi.
4.2.3 Agar-agar
Adanya pektin dalam kertas diperkirakan berperan terhadap peningkatan sifat-sifat fisik
kertas. Namun, senyawa pektin sulit diperoleh sebagai produk komersil di pasaran. Sebagai
ganti senyawa pektin, pada penelitian ini digunakan agar-agar dan karagenan yang lebih
mudah diperoleh dan dikenal masih termasuk kelompok senyawa pektin. Namun,
39
penambahan agar-agar dan karagenan sebagai aditif kertas ternyata tidak sesuai dengan hasil
yang diharapkan.
Serbuk agar-agar tidak larut di air dingin. Maka, penambahan aditif agar-agar dengan metode
penambahan jalur A tidak membentuk suspensi pulp homogen karena masih mengandung
banyak serbuk agar-agar. Proses pembuatan kertas dengan metode ini tidak berhasil
dilakukan.
Dengan metode penambahan jalur B, serbuk agar-agar dalam air dingin dipanaskan sebentar
hingga larut. Namun, proses ini dengan sangat cepat menyebabkan larutan agar-agar berubah
menjadi gel sehingga tidak dapat dicampur dengan pulp. Bentuk gel juga tidak
memungkinkan penentuan secara tepat konsentrasi larutan agar-agar yang ditambahkan.
Maka, proses pembuatan kertas dengan metode ini pun tidak berhasil dilakukan.
Dengan metode penambahan jalur C, pulp dihasilkan cukup homogen. Namun, pulp sulit
dicetak. Setelah proses pengeringan cukup lama, kertas dihasilkan dengan lubang relatif
banyak (Gambar 4-14 A, B dan C). Permukaan kertas memiliki tekstur kasar disebabkan
permukaan lembaran kertas yang tidak merata ketika dicetak dalam keadaan basah. Jika
diteliti secara mikroskopik, terlihat pulp membentuk gumpalan pada daerah-daerah tertentu
dan gel yang tidak mengandung pulp berkumpul pada daerah lain Kertas ini juga sangat
rapuh sehingga tidak dapat dianalisis kekuatan mekaniknya.
Gambar 4-14 Kertas dengan aditif agar-agar melalui metode penambahan jalur C
Gambar A menunjukkan kertas dengan aditif agar-agar 1%, Gambar B dengan agar-agar 2%, Gambar C dengan agar-agar 5%.
4.2.4 Karagenan
Seperti hasil yang diperoleh dengan aditif agar-agar, kertas dengan aditif karegenan pun
tidak dihasilkan baik, baik melalui metode penambahan jalur A, jalur B, maupun jalur C.
Karagenan bahkan lebih sulit diolah dibandingkan agar-agar. Ketika dipanaskan, karagenan
dalam air sangat mudah membentuk gel. Karagenan lebih sulit dicetak dan menghasilkan
kertas yang lebih berlubang. Dengan bertambahnya konsentrasi karagenan, pulp menjadi
40
semakin sulit diolah, dan semakin tidak memungkinkan untuk digunakan sebagai aditif
kertas dari albedo markisa konyal.
Gambar 4-15 Kertas dengan aditif karagenan melalui metode penambahan jalur C
Gambar A menunjukkan kertas dengan aditif karagenan 1% dan Gambar B dengan karagenan 2%.
Hasil karakterisasi spektrum inframerah kertas dengan aditif karegenan (Lampiran B)
memperlihatkan puncak-puncak yang hampir sama dengan spektrum inframerah kertas
dengan aditif agar-agar. Namun, kertas dengan aditif karagenan memiliki puncak serapan
inframerah pada panjang gelombang 1201 cm-1 yang merupakan daerah serapan khas untuk
gugus S=O. Puncak ini tidak muncul pada spektrum inframerah kertas dengan aditif agar-
agar karena berbeda dengan karagenan, agar-agar tidak mengandung gugus ester sulfat.