5 nilai dan dampak ekonomi wisata alam taman … v... · kondisi kawasan dan karakteristik...
TRANSCRIPT
48
5 NILAI DAN DAMPAK EKONOMI WISATA ALAM
TAMAN NASIONAL BROMO TENGGER SEMERU
Jumlah dan Asal Wisatawan
Wisatawan yang datang ke kawasan TNBTS umunya terbagi menjadi dua
kelompok yaitu yang mengunjungi kawasan Pegununngan Tengger yang memiliki
objek wisata berupa kawah Gunung Bromo dan Laut Pasir Tengger dan kawasan
Pendakian Gunung Semeru dengan objek wisata utama berupa pendakian gunung
Semeru serta Danau Ranukumbolo. Kawasan Gunung Tengger termasuk dalam
kelompok wisata alam umum yang dapat dijangkau dengan relatif mudah dan
tidak memerlukan keahlian khusus, sedangkan komplek wisata kawasan
Pendakian Gunung Semeru merupakan daerah wisata minat khusus berupa
pendakian gunung yang memerlukan kemampuan dan fisik yang kuat dan terlatih.
Kegiatan wisata alam di kedua lokasi ini mendapat kunjungan yang lebih
tinggi pada akhir minggu dan terutama pasa saat hari libur nacional dengan
jumlah pengunjung harian mencapai 500 orang perhari di kawasan Pegunungan
Tengger dan 41 orang perhari di kawsaan Pendakian Gunung Semeru. Bulan Juli
sampai denngan September dan Desember sampai Januari merupakan bulan
dengan jumlah pengunjung tertinggi. Jumlah pengunjung terendah terjadi pada
bulan Februari dan Maret, bahkan di kawasan Pendakian Gunung Semeru
terkadang tidak ada pengunjung sama sekali dikarenakan pendakian ditutup oleh
pengelola TNBTS. Penutupan pendakian dilakukan tergantung dengan kondisi
alam dan juga sesuai kebutuhan untuk regenerasi ekosistem kawasan terutama di
daerah sekitar jalur pendakian.
Wisatawan yang datang ke kawasan Taman Nasional Bromo Tengger
Semeru (TNBTS) sebagian besar merupakan wisatawan nusantara. Pada tahun
2012 jumlah wisatawan yang datang berkunjung mancapai 273.124 orang yang
terdiri dari 246.827 wisatawan nusantara (90,37%) dan 26.297 (9,63%) wisatawan
mancanegara (Statistik TNBTS 2012). Sebagian besar wisatawan mancanegara
yang datang berasal dari Negara-negara Eropa yaitu Belanda, Perancis, Jerman
dan Belgia. Wisatawan nusantara berasal dari seluruh daerah di Indonesia yang
sebagian besar adalah masyarakat dari daerah-daerah sekitar kawasan.
Tabel 8 menunjukkan bahwa wisatawan di kedua lokasi wisata sebagian
besar berasal dari daerah-daerah sekitar kawasan yang masih berada dalam
wilayah administrasi Provinsi Jawa Timur yaitu 34,78 % di kawasan Gunung
Tengger dan 49,18% di kawasan Pendakian Gunung Semeru. Tujuan utama
wisatawan yang datang ke kawasan TNBTS adalah untuk menikmati
pemandangan alam dan udara pegunungan yang sejuk. Banyaknya wisatawan
yang berasal dari daerah sekitar dikarenakan jarak yang relatif lebih dekat dengan
akses transportasi yang mudah.
49
Jika dilihat dari sebaran kelompok responden berdasarkan pekerjaan dan
pendapatan responden, wisatawan yang datang ke kedua lokasi wisata ini
memiliki karakteristik yang berbeda. Berdasarkan Tabel 9 terlihat bahwa
pengunjung yang datang ke kawasan Pegunungan Tengger sebagian besar adalah
karyawan swasta (35,87%), sedangkan yang datang ke kawasan Pegunungan
Semeru adalah mahasiswa (73,77%).
Relatif tidak terdapat perbedaan antara sifat dan frekuensi berwisata di
kedua kawasan. Sebagian besar wisatawan datang untuk pertama kalinya dan
merupakan tujuan utama dalam perjalanan wisatawan. Beberapa wisatawan
melakukan kunjungan ke kawasan TNBTS sebagai tujuan persinggahan yaitu
sebesar 39,13% untuk Komplek Pengunungan Tengger dan 11,48% untuk
Komplek Pendakian Gunung Semeru (Tabel 10). Beberapa lokasi yang menjadi
Tabel 8 Responden Wisatawan Komplek Pegunungan Tengger dan Komplek
Pendakian Semeru menurut Asal Wisatawan
Kelompok Asal Responden Rekreasi Bromo Pendakian
Semeru
Jumlah responden Jumlah responden
Orang Persen Orang Persen
Wisatawan Mancanegara 18
1
Asia 2 2,17 0 0,00
Amerika 3 3,26 0 0,00
Eropa 13 14,13 1 1,64
Wisatawan Nusantara 74
60
Provinsi Jawa Timur 32 34,78 30 49,18
Provinsi Jakarta dan sekitarnya 23 25,00 7 11,48
Pulau Jawa selain Jawa Timur dan
Jakarta 10 10,87 16 26,23
Pulau selain Pulau Jawa 9 9,78 7 11,48
Total 92 100,00 61 100,00
Tabel 9 Responden Wisatawan menurut Pekerjaan Responden (Orang)
No. Pekerjaan Responden
Komplek Peg.
Tengger
Kompleks Pendakian
Gunung Semeru
Jumlah responden Jumlah responden
Orang Persen Orang Persen
1 Dosen/Guru/PNS 16 17,39 1 1,64
2 Karyawan Swasta 33 35,87 6 9,84
3 Wiraswasta 8 8,70 5 8,20
4 Mahasiswa 17 18,48 45 73,77
5 Siswa/Pelajar 7 7,61 4 6,56
6 Lainnya 11 11,96 0 -
Jumlah 92 100 61 100
50
tujuan lain dari para wisatawan adalah Yogyakarta, Bandung, Bali, Malang dan
Surabaya.
Sebagian besar wisatawan baik yang berasal dari luar Provinsi Jawa Timur
atau pun daerah yang berada dekat dengan kawasan melakukan kunjungan selama
1-2 hari atau lebih di lokasi wisata. Wisatawan yang berasal dari daerah yang
relatif dekat dengan kawasan mempunyai pilihan untuk bermalam atau tidak di
lokasi wisata. Wisatawan yang berasal dari luar daerah sebagian besar memilih
bermalam di lokasi. Secara lengkap pilihan lokasi menginap masing-masing
wisatawan berdasarkan asal wisatawan dapat dilihat pada Tabel 11.
Perbedaan lama kunjungan dan pilihan untuk bermalam atau tidak di
lokasi wisata berkaitan dengan program dan motif wisata yang akan dilakukan
Tabel 10 Responden Wisatawan menurut Jumlah Kunjungan
Kunjungan yang ke
Sifat Kunjungan
Persinggahan Utama Grand Total
Jumlah
(Orang) %
Jumlah
(Orang) %
Jumlah
(Orang) %
Kompleks Pegunungan Tengger
Pertama Kali 26 28,26 35 38,04 61 66,30
Kedua 3 3,26 9 9,78 12 13,04
Ketiga 1 1,09 3 3,26 4 4,35
Lebih dari 3 6 6,52 9 9,78 15 16,30
Jumlah 36 39,13 56 60,87 92 100,00
Kompleks Pendakian Gunung Semeru
Pertama Kali 4 6,56 24 39,34 28 45,90
Kedua 3 4,92 17 27,87 20 32,79
Ketiga 0 - 10 16,39 10 16,39
Lebih dari 3 0 - 3 4,92 3 4,92
Jumlah 7 11,48 54 88,52 61 100,00
Tabel 11 Responden berdasarkan Kelompok Asal Daerah dan Lokasi Menginap
Kelompok Daerah Asal Responden
Tempat Menginap
Total Kemah
Pengina
pan Hotel
Tidak
Mengin
ap
Rekreasi Peg. Tengger
Pulau Jawa (Selain Jatim dan
Jakarta) 2 1 1 6 10
Pulau selain Pulau Jawa 0 3 1 5 9
Provinsi Jakarta dan sekitarnya 0 9 9 5 23
Wisatawan Mancanegara 0 6 7 5 18
Provinsi Jawa Timur 0 12 5 15 32
Jumlah 2 31 23 36 92
Pendakian Gunung Semeru
Pulau Jawa (Selain Jawa Timur dan
Jakarta) 16 0 0 0 16
Pulau selain Pulau Jawa 7 0 0 0 7
Provinsi Jakarta dan sekitarnya 7 0 0 0 7
Wisatawan Mancanegara 1 0 0 0 1
Provinsi Jawa Timur 30 0 0 0 30
Jumlah 61 0 0 0 61
51
oleh para wisatawan terutama terkait dengan keinginan para wisatawan untuk
menuntaskan menikmati objek wisata yang ada di suatu tempat. Wisatawan yang
bermalam mempunyai banyak pilihan untuk menentukan tempat bermalam.
Sebagian besar wisatawan bermalam di homestay/penginapan atau hotel yang
terdapat di sekitar kawasan pegunungan Tengger (Tabel 12).
Homestay/Penginapan dan Hotel ini terletak cukup dekat dengan lokasi wisata
dengan jarak yang bervariatif antara 1 – 3 Km, namun masih terletak dalam satu
kecamatan. Pemilihan hotel dan penginapan para wisatawan lebih berdasarkan
pada kondisi keuangan dan pertimbangan keterwakilan kondisi dan fasilitas hotel
atau penginapan yang tersedia.
Dalam melakukan pendakian Gunung Semeru sebagian besar wisatawan
memerlukan waktu 3-4 hari dan keseluruhan wisatawan yang melakukan
pendakian Gunung Semeru bermalam di alam terbuka atau berkemah. Hal ini
dikarenakan dalam melakukan pendakian Gunung Semeru memerlukan waktu
yang lebih lama dan menempuh jalur pendakian yang cukup menantang.
Nilai Ekonomi Wisata Alam Kawasan TNBTS
Nilai ekonomi wisata alam di kawasan TNBTS diperoleh dari pendugaan
besarnya biaya pengeluaran wisatawan. Dari pendekatan ini diperoleh nilai
ekonomi total penyelenggaraan kegiatan wisata alam di TNBTS tersebut sebesar
Rp. 341,227 Milyar/Tahun yaitu untuk kegiatan wisata di kawasan Pegunungan
Tengger sebesar Rp. 326,898 Milyar/Tahun (95,80%) dan pendakian Gunung
Semeru sebesar Rp. 14,329 Milyar/Tahun (4,20%).
Tabel 13 menunjukkan bahwa rata-rata pengeluaran pengunjung di kawasan
Pegunungan Tengger jauh lebih besar dibandingkan rata-rata pengeluaran
pengunjung di kawasan Pendakian Semeru baik untuk masing-masing biaya
pengeluaran ataupun secara total. Sebagian besar biaya wisata dikeluarkan untuk
transportasi, terutama bagi wisatawan yang berasal dari luar daerah yang cukup
jauh. Biaya-biaya wisata berikutnya yang relatif besar adalah untuk penginapan,
membeli makanan dan minuman dan sebagian kecil untuk guide dan souvenir.
Tabel 12 Responden Wisatawan berdasarkan Lama Menginap dan Tempat
Menginap
Lama Kunjungan Berkemah Homestay
/Penginapan Hotel
Tidak
Menginap Total
Rekreasi Peg. Tengger
1-2 hari - 25 18 - 43
3-4 hari - 6 4 - 10
4-5 hari 2 - 1 - 3
Tidak Menginap - - - 36 36
Jumlah 2 31 23 36 92
Kompleks Pendakian Gunung Semeru
1-2 hari 9 - - - 9
3-4 hari 52 - - - 52
Jumlah 61 - - - 61
52
Kondisi kawasan dan karakteristik wisatawan di kedua lokasi cenderung
berbeda, sehingga besarnya biaya yang dikeluarkan wisatawan pun cenderung
berbeda. Di kawasan Pegunungan Tengger dengan wisata Kawah Gunung Bromo
dan laut pasir tersedia segala fasilitas dan akomodasi untuk memenuhi kebutuhan
wisatawan. Selain itu pengunjung di kawasan Pegunungan Tengger merupakan
karyawan atau lainnya yang sudah memiliki penghasilan sehingga mempunyai
kesempatan yang lebih besar dalam berbelanja untuk wisata. Para pendaki
Gunung Semeru sebagian besar adalah mahasiswa yang belum mempunyai
penghasilan tetap sehingga dalam melakukan perjalanan dan belanja wisata
berusaha semaksimal mungkin menghemat biaya pengeluaran.
Di samping itu biaya akomodasi dan penginapan yang ada di kawasan
Pegunungan Tengger relatif mahal sehingga memperbesar biaya pengeluaran
wisatawan yang datang. Namum hal ini tidak berlaku untuk para pendaki. Para
pendaki semuanya berkemah di alam bebas sehingga tidak memerlukan biaya
untuk akomodasi dan penginapan. Khusus dalam hal pembelian souvenir
dipengaruhi oleh penilaian wisatawan terhadap kualitas souvenir yang dijual di
dalam kawasan. Secara umum pengunjung berpendapat souvenir yang ada kurang
memadai dari keragamannya sehingga kurang menggugah minat untuk membeli.
Biaya yang dikeluarkan wisatawsan relatif berbeda dilihat dari tempat
dikeluarkannya, yaitu di dalam atau di luar kawasan. Dalam hal ini pengeluaran
wisatawan lebih banyak dilakukan di luar kawasan yaitu sekitar 81,56% dilakukan
di luar kawasan untuk wisata di pegunungan tengger dan 77,05% untuk wisatawan
di Gunung Semeru. Hal ini memperlihatkan masih terjadinya kebocoran ekonomi
yang cukup tinggi. Kebocoran merupakan bagian uang yang dibelanjakan
wisatawan yang tidak dibelanjakan kembali dan tidak memberi pengaruh pada
kegiatan ekonomi setempat (Yoeti 2008).
Secara umum wisatawan yang datang berkunjung ke TNBTS menyatakan
kesesuaian antara biaya yang dikeluarkan selama berwisata dengan tingkat
Tabel 13 Nilai Ekonomi Penyelenggaraan Kegiatan Wisata Alam Kawasan TNBTS
berdasarkan Alokasi Pengeluaran Pengunjung (Rp/Orang)
Biaya Peruntukan Dalam Kawasan Luar Kawasan Total
Rp. % Rp. % Rp. %
Kompleks Kawasan Peg. Tengger
Biaya Transportasi 108.482 3,92 1.882.533 67,98 1.991.015 71,89
Akomodasi/Penginapan 204.946 7,40 153.913 5,56 358.859 12,96
Makan/Minum 120.978 4,37 218.641 7,90 339.620 12,26
Pemandu / Guide - - 3.533 0,13 3.533 0,13
Sewa Tenda - - - - - -
Souvenir 76.337 2,76 - - 76.337 2,76
Jumlah 510.743 18,44 2.258.620 81,56 2.769.363 100
Kompleks Pendakian Gunung Semeru
Biaya Transportasi 25.230 4,43 282.459 49,64 307.689 54,08
Akomodasi/Penginapan - - - - - -
Makan/Minum 54.344 9,55 155.984 27,41 210.328 36,96
Pemandu / Guide - - - - - -
Sewa Tenda - - - - - -
Souvenir 50.984 8,96 - - 50.984 8,96
Jumlah 130.557 22,95 438.443 77,05 569.000 100
53
kepuasan yang dirasakan wisatawan. Hal ini disebabkan karena atraksi wisata dan
panorama alam yang ada di lokasi wisata baik di Pegunungan Tengger ataupun
pendakian Gunung Semeru sangat menarik. Terutama bagi para pendaki gunung
semeru yang menyakatan bahwa mendaki gunung semeru merupakan kebanggaan
dan tantangan tersendir karena semeru merupakan gunung tertinggi di Jawa Timur
dan gunung tertinggi ke empat di Indonesia.
Dalam melakukan kegiatan wisata alam, keseluruhan pengalaman rekreasi
alam dibagi kedalam lima fase yang penting dan saling berhubungan, yaitu fase
perencanaan, fase perjalanan dari rumah menuju tempat rekreasi, fase aktivitas
ditempat rekreasi, fase perjalanan pulang dari tempat rekreasi ke rumah dan fase
relokasi. Nilai ekonomi yang dihitung dalam penelitian ini hanya meliputi biaya
pengeluaran wisatawan dalam tiga fase, yaitu perjalanan dari rumah menuju lokasi
wisata, fase aktivitas sselama berwisata, dan fase perjalanan pulang dari lokasi
wisata ke rumah.
Biaya pengeluaran terbesar merupakan biaya yang dikeluarkan dalam fase
perjalanan, yaitu perjalanan pergi dan pulang kembali. Sebesar 76,74%
pengeluaran wisatawan di Kawasan Pegunungan Tengger adalah untuk biaya
transportasi dan 23,26% lainnya adalah pengeluaran wisatawan selama beradadan
beraktivitas di lokasi wisata. Biaya pengeluaran wisatawan di kawasan Pendakian
Gunung Semeru sebesar 62,29% adalah pengeluaran untuk fase perjalanan pergi
dan pulang serta 9,68% lainnya adalah biaya pengeluaran selama fase aktivitas di
lokasi wisata alam. Khusus untuk wisatawan Pendakian Gunung Semeru terdapat
28,03% biaya pengeluaran untuk pembelian konsumsi sebagai bekal dalam
melakukan pendakian. Pengeluaan wisatawan dalam fase aktivitas di lokasi wisata
berupa biaya untuk akomodasi dan penginapan, biaya konsumsi makan dan
minum, pembelian souvenir dan juga jasa pemandu atau tour guide.
Dampak Ekonomi Kegiatan Wisata Alam
Dukungan terhadap pembangunan pariwisata umumnya didasarakan pada
manfaat ekonomi yang diterima oleh masyarakat setempat. Banyak pihak
mengidentifikasikan manfaat ekonomi langsung (direct economic impact) dari
kegiatan pariwisata ini berkaitan erat dengan pengeluaran wisatawan.
Pembelanjaan sejumlah uang oleh wisatawan berarti bahwa wisatawan melakukan
permintaan terhadap produk dan jasa di lokasi objek wisata (tingkat lokal) yang
pad aakhirnya akan menghasilkan pendapatan (generate income) bagi masyarakat
sekitar. Demikian juga halnya dengan upaya pelengkapan sarana dan prasarana
wisata yang dilakukan oleh pemerintah, pada akhirnya juga bertujuan
menciptakan kesempatan kerja, meningkatkan pendapatan serta meningkatkan
penerimaan pajak pada suatu wilayah.
Dampak ekonomi dari wisata umunya diukur dari keseluruhan pengeluaran
wisatawan dalam akomodasi, transportasi, konsumsi, souvenir dan biaya lain yang
dikeluarkan selama melakukan perjalanan wisata. Pengukuran jumlah wisatawan
dan tingkat pengeluarannya semata dapat menjadi penilaian yang kurang tepat
dalam mengukur manfaat bersih ekonomi yang dihasilkan wisatawan pada suatu
wilayah. Dampak ekonomi kegiatan wisata dapat diukur melalui sejumlah
pengeluaran wisatwan yang diterima atau menjadi pendapatan bagi perekonomian
54
lokal, tingkat kesempatan kerja yang dihasilkan dan keadilan pendistribusian
manfaat ekonomi. Selain permintaan yang berasal dari pengeluaran langsung
wisatawan di lokasi wisata, pendapatan dan kesempatan kerja yang diturnkan
dalam ektivitas perekonomian yang berasal dari siklus uang yang dikeluarkan
wisatawan, dan hal ini dikenal dengan efek pengganda (multiplier effect).
Kegiatan wisata di kawasan Pegunungan Tengger dan Gunung Semeru
menciptakan aliran uang yang berasal dari transaksi antara wisatawan yang datang
dengan unit usaha setempat. Wisatawan membutuhkan berbagai keperluan dalam
kegiatan wisatanya berupa transportasi lokal, akomodasi (homestay/penginapan
dan hotel), konsumsi, souvenir dan jasa pemandu (guide). Jika kebutuhan ini
dapat terpenuhi oleh penduduk lokal melalui unit usaha yang didirikan maka
terjadi transaksi ekonomi antara wisatawan dengan masyarakat sekitar. Artinya
terjadi aliran uang dari luar dan ke dalam lokasi wisata. Jika hal ini terjadi terus
menerus dan memberikan keuntungan bagi masyarakat lokal, maka tercipta
manfaat ekonomi bagi masyarakat sekitar dari kegiatan wisata yang ada.
Tidak semua pengeluaran wisatawan dalam berwisata sampai ke lokasi
objek wisata. Sebagian besar transaksi terjadi diluar lokasi yang dalam konteks
ekonomi disebut kebocoran ekonomi (economics leakage) dari total pengeluaran
konsumen. Secara umum dilihat dari proporsi biaya rekreasinya, pengeluaran
wisatwan yang datang ke TNBTS mengalami economics leakage mencapai hingga
81,56% untuk wisata Pegunungan Tengger dan sebesar 77,05% untuk Pendakian
Gunung Semeru yang sebagian besar merupakan biaya transportasi.
Secara spesifik, proporsi biaya yang dikeluarkan masing-masing wisatawan
berbeda tergantung tujuan dan lokasi wisata. Jika dilihat lebih rinci, terdapat
perbedaan pada pola biaya rekreasi di antara wisatawan di masing-masing lokasi
wisata. Wisatawan yang berrekreasi di kawasan Pegunungan Tengger hanya
menghabiskan biaya transportasi di dalam kawasan sebesar 3,92 % sedangkan
wisata pendakian Gunung Semeru menghabiskan 4,43% biaya transportasi di
dalam kawasan. Biaya pengeluaran terbesar wisatawan yang dilakukan di lokasi
wisata yaitu biaya akomodasi dan penginapan untuk wisata Pegunungan Tengger
dan biaya konsumsi untuk Pendakian Gunung Semeru.
Dampak Ekonomi Langsung (Direct Impact)
Aktivitas wisata di kedua lokasi dalam kawasan TNBTS hanya ramai pada
akhir pekan dan hari libur nasional atau pada musim liburan. Unit usaha yang ada
di lokasi wisata sebagian besar hanya beroperasi pada hari-hari ramai tersebut
kecuali penginapan dan hotel serta beberapa warung makan. Berdasarkan
persantase pengeluaran wisatawan di lokasi wisata maka dapat diperkirakan besar
perputaran uang di lokasi wisata khususnya pada akhir pekan.
Jumlah pengunjung rata-rata harian di Kompleks Pegungan Tengger
mencapai 500 orang perhari. Dengan pengeluaran rata-rata pengunjung perorang
sebesar Rp. 2.769.363/orang/kunjungan, maka dapat diketahui besarnya aliran
uang yang terjadi di kawasan Pegunungan Tengger dalam sehari yaitu sebesar Rp.
1.384.681.418/hari. Namun tidak semua pengeluaran yang ada terjadi dalam
kawasan. Sebesar Rp. 1.129.309.781 atau 81,56% adalah kebocoran wilayah
berupa pengeluaran di luar kawasan terutama untuk biaya transportasi. Jumlah
pengunjung harian Kawasan Pendakian Gunung Semeru tidak sebanyak
55
Pegunungan Tengger, namun cukup tinggi dan menciptakan transaksi ekonomi
yang cukup besar.
Tingginya perputaran uang yang terjadi di lokasi wisata memberikan
peluang usaha bagi penduduk lokal khususnya para pemilik modal setempat yang
berinisiatif untuk membuka unit usaha terkait dengan pemenuhan kebutuhan
wisata setempat. Sebagian besar unit usaha yang tercipta adalah usaha sektor
informal, berskala kecil hingga menengah dan hanya ramai pada saat akhir pekan
dan hari libur namun unit usaha yang terdapat di kawasan TNBTS cukup banyak
dan dapat memenuhi kebutuhan para wisatawan. Unit usaha yang tercipta di desa
sekitar kawasan TNBTS dan menunjang kegiatan wisata alam di TNBTS antara
lain adalah hotel, homestay/penginapan, warung makan, penjaja makanan, penjual
souvenir, sewa jeep, ojek dan angkutan kuda. Unit usaha yang terdapat di kawasan
Pegunungan Tengger lebih banyak dibandingkan dengan unit usaha yang ada di
Gunung Semeru karena jumlah wisatawan yang datang jauh kebih tinggi dan
wisata di kawasan pegunungan Tengger merupakan rekreasi yang memerlukan
lebih banyak fasilitas sarana dan prasarana wisata.
Unit usaha yang ada di kedua lokasi wisata merupakan pihak penerima
dampak ekonomi langsung dari pengeluaran wisatawan. Hasil pengamatan di
lapangan menunjukkan bahwa secara umum unit usaha yang ada di kawsan
TNBTS memiliki ciri-ciri sebagai berikut, yaitu: (1) umumnya dimiliki oleh
warga asli, yaitu masyarakat suku tengger yang tinggal di sekitar lokasi wisata, (2)
telah berdiri selama satu hingga lebih dari lima tahun, (3) sebagian besar
merupakan mata pencaharian sampingan, (4) Hanya memiliki satu unit usaha
terkait kegiatan wisata alam (5) Investasi awal pada saat pertama kali didirikan
berkisar Rp. 1.000.000;- s.d RP. 10.000.000;- dan investasi terbesar dilakukan
oleh pemilik hotel. Pembangunan hotel atau penginapan biasanya bertahan
danmemakan waktu yang cukup lama dan (6) Memiliki pendapatan rata-rata per
bulan antara 1.000.000;- s.d RP. 10.000.000;- hingga mencapai Rp. 20.000.000
untuk hotel. Dari ciri-ciri yang ada dapat dikatakan bahwa unit usaha yang
terdapat di kedua lokasi wisata TNBTS merupakan Usaha Kecil dan Menengah
(UKM).
Pemilik usaha hotel merupakan unit usaha yang memiliki pegawai atau
tenaga kerja terbanyak yaitu lebih dari 20 orang. Homestay/penginapan, warung
makan dan toko souvenir sebagian besar masih dikerjakan sendiri dan memiliki 1-
3 orang pegawai. Oleh karena itu jika dilihat dari jumlah pegawai yang dimiliki,
unit usaha berupa hotel termasuk dalam usaha kelas menengah dan untuk
homestay/penginapan, warung makan dan toko souvenir lainnya merupakan usaha
mikro.
Pemilik hotel melakukan investasi terbesar karena untuk membangun hotel
yang memerlukan biaya yang cukup tinggi terkait dengan biaya bahan baku dan
trasnportasi. Investasi terbesar kedua dilakukan oleh para pemilik
homestay/penginapan. Namun sebagian besar unit usaha yang ada dibangun
secara bertahap dalam waktu tertetntu sehingga investasi yang dikeluarkan juga
dilakukan secara bertahap. Sebanding dengan investasi yang telah dilakukan,
pemilik hotel dan homestay/penginapan memiliki peluang menperoleh pendapatan
yang jauh lebih tinggi seiring dengan meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan.
Meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan dengan sendirinya akan
meningkatkan aktivitas ekonomi yang dipicu oleh pengeluaran wisatawan. Aliran
56
uang hasil transaksi yang terjadi pun semakin tinggi. Bagi pemilik unit usaha,
penerimaan (total revenue) yang diperoleh selanjutnya akan digunakan kembali
untuk menjalankan aktivitas unit usaha tersebut. Dalam melakukan produksinya,
unit usaha membutuhkan bahan baku (input), baik yang tersedia di dalam atau
sekitar lokasi wisata (lokal) maupun yang berasal dari luar lokasi wisata (non
lokal). Penggunaan input akan terkait dengan sejumlah biaya dalam rangka
penyediaan input tersebut. Komponen biaya produksi utama dalam sebuah unit
usaha terdiri dari pembelian input atau bahan baku, upah tenaga kerja, pembelian
dan pemeliharaan peralatan, biaya operasional harian (listrik dan air),
pengembalian kredit, biaya transportasi dan pajak atau retribusi yang harus disetor
ke pemerintah. Hasil penelitian menunjukkan proporsi terbesar terhadap
penerimaan unit usaha adalah pembelian bahan baku (Kawasan Pegunungan
Tengger) dan pendapatan pemilik usaha (Kawasan Pendakian Gunung Semeru)
dan pajak retribusi merupakan bagian terkecil. Hampir seluruh unit usaha tidak
mengalokasikan penerimaan unit usaha untuk pengembalian kredit. Hal ini terkait
dari adat kebiasaan masyarakat sekitar lokasi wisata untuk tidak meminjam atau
menganbil kredit dalam bentuk apapun. Pengembangan usaha yang dilakukan
oleh pemilik unit usaha semata hanya mengandalkan dari keuntungan yang
diperoleh unit usaha. Adapun proporsi pendapatan bersih (income) pemilik unit
usaha dan biaya-biaya yang dikeluarkan terhadap penerimaan total unit usaha
dapat dilihat pada Tabel 14.
Dampak ekonomi langsung dari pengeluaran wisatawan dirasakan langsung
oleh pemilik unit usaha. Dampak ekonomi ini berupa pendapatan bersih atau
income yang diperoleh pemilik unit usaha di masing-masing lokasi wisata. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang cukup besar dari proporsi
pendapatan pemilik unit usaha di kedua lokasi wisata yang ada di kawasan
TNBTS. Perbedaan yang paling terlihat adalah pada komponen pendapatan
pemilik unit usaha dan pemeliharaan.
Pemilik unit usaha yang ada di kawasan Pendakian Gunung Semeru
memperoleh proporsi pendapatan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
pemilik unit usaha yang ada di kawasan pegunungan Tengger. Perbedaan
Tabel 14 Proporsi Pendapatan (Income) dan Biaya Produksi terhadap
Penerimaan Total Unit Usaha Wisata Taman Nasional Bromo
Tengger Semeru
Komponen
Proporsi terhadap
Penerimaan Total (%) Keterangan
Pegunungan
Tengger
Pendakian
Semeru
Pendapatan Pemilik Unit Usaha 15,77 36,52 Lokal
Upah tenaga kerja 15,60 18,29 Lokal
Pembelian Input/bahan baku 37,89 33,33 Non Lokal
Pemeliharaan 20,58 3,16 Non Lokal
Biaya Operasional 2,25 0,62 Non Lokal
Pengembalian Kredit 0,57 - Non Lokal
Transportasi Lokal 6,95 7,63 Lokal
Retribusi pajak 0,39 0,46 Non Lokal
57
besarnya pendapatan bersih yang diperoleh unit usaha di kedua lokasi dikarenakan
adanya perbedaaan karakter dan keragaman unit usaha di lokasi tersebut. Dilihat
dari jumlah dan keragaman unit usaha yang ada, kawasan rekreasi Bromo
memiliki unit usaha yang lebih banyak dan beragam dari pada unit usaha yang ada
di kawasan gunung Semeru. Unit usaha di kawasan pegunungan Tengger yang
sebagian besar berupa homestay/penginapan dan hotel yang mengutamakan
pelayanan dan service terhadap wisatawan sehingga memerlukan biaya
pemeliharaan yang cukup tinggi yaitu sebesar 20,58% dari total penerimaan unit
usaha. Unit usaha di kawasan pendakian Gunung Semeru sebagian besar
hanyalah warung/kedai makan sederhana yang tidak memerlukan biaya
pemeliharaan yang tinggi (3,16%). Oleh karena itu penerimaan unit usaha di
Pegunungan Tengger harus dikurangi komponen pemeliharaan sehingga
mengurangi pendapatan bersih pemilik unit usaha.
Perbandingan kisaran pendapatan rata-rata yang diterima oleh unit usaha
dapat dilihat pada Tabel 15. Secara umum jumlah pendapatan yang diterima di
kedua lokasi wisata hampir sama kecuali untuk unit usaha hotel dan
homestay/penginapan. Hal ini dikarenakan karena perbedaan kebutuhan dan sifat
wisata di masing-masing lokasi. Wisata pendakian gunung semeru merupakan
wisata di alam bebas sehingga penginapan ataupun homestay tidak terlalu
berkembang, berbeda dengan wisata rekreasi bromo di kawasan Pegunungan
Tengger. Namun dari unit usaha lainnya pendapatan unit usaha cenderung sama
yang memperllihatkan bahwa wisatawan di kedua lokasi memiliki pola
pengeluaran yang hampir sama dalam berwisata.
Unit usaha yang ada di lokasi wisata mempunyai tenaga kerja dalam
operasionalnya. Penerimaan yang diperoleh unit usaha dari pengeluaran
wisatawan salah satunya dikeluarkan untuk gaji atau pendapatan tenaga kerjanya.
Tidak semua unit usaha yang ada memiliki tenaga kerja karena sebagian besar
unit usaha masih dikelola sendiri ataupun tenaga kerja masih tergolong keluarga
atau saudara. Hanya hotel dan beberapa warung makan yang mempunyai tenaga
kerja tetap yang sebagian besar berasal dari masyarakat sekitar. Proporsi upah
tenaga kerja untuk unit usaha di kedua lokasi masing-masing sebesar 15,60% dan
18.29%. Secara umum, perbandingan besarnya pendapatan tenaga upah yang ada
di pegunungan tengger dan gunung semeru tidak jauh berbeda. Namum jenis atau
keragaman tenaga kerja di pegunungan tengger lebih beragam dibanding Gunung
Tabel 15 Perbandingan Pendapatan (Income) Rata-Rata Pemilik unit
Usaha Wisata di Kawasan Pegunungan Tengger dan Pendakian
Gunung Semeru TNBTS
Unit Usaha
Rata-rata Pendapatan Pemilik Unit Usaha
(Rp/Bulan)
Pegunungan Tengger
(n=17)
Pendakian
Semeru (n=8)
Hotel 20.750.000 -
Homestay/Penginapan 13.166.667 1.500.000
Warung Makan 3.200.000 3.760.000
Penyewaan Jeep 4.000.000 4.500.000
Toko Souvenir 3.250.000 2.800.000
58
Semeru. Perbandingan besarnya upah tenaga kerja di kedua lokasi wisata dapat
dilihat pada Tabel 16.
Bagi para pemilik modal, tingginya jumlah kunjungan dan perputaran
uang yang terjadi merupakan peluang untuk membuka unit usaha di kedua lokasi
wisata. Hal ini terlihat dari banyaknya warga yang membangun homestay,
penginapan, rumah makan dan kios lainnya di daerah sekitar lokasi wisata.
Umumnya homestay/penginapan yang dibangun menyatu dengan tempat tinggal
pemilik atau berada dekat dengan tempat tinggal pemilik dengan fasilitas standar.
Masyarakat sekitar lokasi wisata yang merupakan masyarakat asli suku tengger
mempunyai kebijakan untuk tidak menjual asset atau tanah yang mereka miliki
kepada orang luar. Masyarakat mempertahankan adat tersebut sehingga tanah dan
asset yang mereka miliki tidak jatuh kepada investor asing. Meningkatnya jumlah
kunjungan wisatawan akan berdampak pada meningkatnya permintaan dalam
pemenuhan akan barang dan jasa dari para wisatawan dalam bentuk bertambahnya
unit usaha yang terkait kegiatan wisata. Pendirian unit usaha yang semakin
banyak diharapkan dapat membuka lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat
sekitar.
Dampak Ekonomi Tak Langsung (Indirect Impact)
Adanya unit usaha di lokasi wisata membuka kesempatan kerja baru bagi
penduduk lokal yang ada di sekitar lokasi. Walaupun unit usaha yang ada di
TNBTS umumnya dikelola oleh pemiliknya secara langsung, namun pada waktu-
waktu tertentu terutama saat musim liburan dan jumlah kunjungan sangat tinggi
memmerlukan tenaga kerja tambahan. Tenaga kerja yang dibutuhkan tergantung
pada jumlah wisatawan yang datang berkunjung. Umumnya setiap unit usaha
memerlukan dua hingga tiga orang tenaga kerja tambahan saat jumlah kunjungan
wisatawan tinggi. Unit usaha yang rutin memerlukan tenaga kerja tambahan
adalah rumah makan dan homestay/penginapan dan juga hotel yang mendapat
tenaga kerja tambahan melalui tenaga kerja harian. Supir jeep, ojek, pemandu
kuda, dan penjual jajanan mengelola sendiri usahanya.
Kesempatan kerja yang ada di lokasi wisata terutama di kawasan
pegunungan Tengger cukup terbuka bagi banyarakat sekitar. Unit usaha yang
paling banyak menyerap tenaga kerja adalah hotel yang rata-rata mempunyai
Tabel 16 Perbandingan Rata-Rata Pendapatan Tenaga Kerja Lokal pada Unit
Usaha Wisata di Pegunungan Tengger dan Pendakian Gunung Semeru
TNBTS
Pekerjaan
Rata-rata Pendapatan Tenaga
Kerja Wisata (Rp/Bulan)
Pegunungan
Tengger
(n=26)
Pendakian
Semeru
(n=5)
Supir Jeep 1.879.167 1.750.000
Pegawai Hotel 1.966.667 -
Pemandu Kuda/Ojek 1.666.667 -
Pegawai Warung Makan/ Penjual Makanan 1.244.000 1.295.833
Pemandu Wisata/Guide 4.375.000 -
59
tenaga kerja 25-30 orang. Pekerjaan lain yang membuka banyak kesempatan kerja
bagi masyarakat adalah supir jeep. Sebagian besar jeep yang ada adalah milik
pribadi dan hanya sedikit yang mmerupakan tempat penyewaan jeep yang
memiliki lebih dari tiga buah jeep. Artinya unit usaha penyewaan jeep lebih
banyak dikelola secara perorangan oleh penduduk.
Sejauh ini kebutuhan sumberdaya manusia masih dapat dipenuhi oleh
penduduk sekitar lokasi wisata. Sebagian besar tenaga kerja adalah penduduk dari
desa-desa sekitar lokasi wisata, walaupun pada unit usaha hotel untuk pegawai
tertentu yang memegang peranan dan tanggung jawab besar masih banyak terisi
oleh pendatang. Tenaga kerja yang berasal dri penduduk setempat masih banyak
mengisi posisi rendah seperti house keeping, waitress ataupun petugas front office
dan recepcionist. Unit usaha lainnya tenaga kerja yang digunakan masih tergolong
keluarga atau saudara jauh dengan sistem penerimaan bebas, artinya tidak
memiliki standar dan persyaratan tertentu. Sebagian besar tenaga kerja adalah
laki-laki dengan pendidikan terakhir SMP. Hal ini umum terjadi bahwa sumber
daya manusia dengan kualifikasi tinggi dan menempati posisi strategis tidak
dipegang oleh masyarakat lokal, sama halnya dengan kondisi tenaga kerja terkait
wisata alam di Taman Nasional Komodo (Walpole and Goodwin 2000).
Tenaga kerja yang bekerja di unit usaha adalah penerima dampak tidak
langsung dari pengeluaran wisatawan yaitu berupa upah yang diterima dari unit
usaha tempat mereka bekerja. Jumlah kesempatan kerja bagi masyarkat di sekitar
kawasan Pegunungan Tengger lebih banyak dan beragam dibanding kesempatan
yang ada di kawsan Pendakian Gunung Semeru. Hal ini disebabkan karena
kawasan Pegunungan Tengger lebih menjadi tujuan utama wisatawan dalam
mengunjungi kawasan TNBTS.
Secara umum, tenaga kerja yang ada di kawasan wisata TNBTS merupakan
pekerjaan sampingan kecuali untuk tenaga kerja yang ada di hotel, memiliki jam
kerja yang relatif panjang dan tidak pasti yaitu antara 8-14 jam sehari dan beban
pekerjaan lebih besar pada akhir pekan dan musim liburan. Upah tenaga kerja
rata-rata per bulan mencapai Rp. 2.000.000;- .
Dampak ekonomi tidak langsung (indirect effect) kegiatan wisata di TNBTS
dapat dihitung dari berapa besar proporsi pengeluaran unit usaha utuk penyediaan
sumber daya (tenaga kerja dan bahan baku) dan juga termasuk biaya pemeliharaan
dan transportasi lokal terhadap penerimaan. Secara umum pengeluaran terbesar
dari unit usaha yang ada di kedua lokasi adalah untuk pembelian input atau bahan
baku yaitu 37,89% untuk kawasan pegunungan Tengger dan 33,33% untuk
kawasan Pendakian Gunung Semeru. Proporsi untuk pembelian bahan baku di
kawasan Pegunungan Tengger sedikit lebih tinggi dikarenakan adanya hotel yang
juga menyediakan restoran di kawasan tersebut sehingga pembelian input atau
bahan baku sedikit lebih beragam. Jika dilihat secara lebih spesifik, pembelian
input untuk hotel jauh lebih tinggi yaitu mencapai 41,30% dari penerimaan total
hotel.
Selain dilihat dari proporsi pembelian bahan baku, dampak ekonomi tidak
langsung dari kegiatan wisata juga dapat dilihat dari proporsi upah tenaga kerja
terhadap penerimaan total unit usaha serta biaya lainnya yang memberikan
penerimaan lanjutan bagi unit usaha penyedia barang/jasa yaitu proporsi dari
biaya pemeliharaan dan transportasi lokal. Pendapatan rata-rata tenaga kerja yang
diperoleh dari penerimaan total unit usaha cukup tinggi yaitu sekitar 15,60%
60
untuk kawasan Pegunungan Tengger dan 18,29% untuk kawasan Pendakian
Gunung Semeru. Jika dilihat lebih lanjut, terdapat perbedaan cukup tinggi dari
perbandingan proporsi upah tenaga lokal dengan pendapatan pemilik di kedua
lokasi wisata. Di kawasan Pegunungan Tengger, proporsi upah tenaga kerja
hampir sama dengan proporsi pendapatan pribadi pemilik unit usaha, sedangkan
di kawasan Pendakian Gunung Semeru jauh lebih rendah (Tabel 14).
Hal ini disebabkan karena unit usaha yang ada di kawasan Pendakian
Gunung Semeru merupakan unit usaha skala kecil dan dikelola sendiri oleh
pemiliknya dan tidak memerlukan biaya pemeliharaan yang tinggi dan juga tidak
memerlukan banyak tenaga kerja sehingga sebagian besar penerimaan unit usaha
menjadi pendapatan pribadi bagi pemilik unit usaha. Berdasarkan rata-rata
pendapatan per bulan dapat dikatakan kondisi ekonomi tenaga kerja sudah cukup
baik dan upah yang didapatkan sudah lebih dari pendapatan rumah tangga rata-
rata yaitu sebesar Rp. 1.182.625,- untuk Kabupaten Probolinggo dan sebesar Rp.
1.179.325 untuk Kabupaten Lumajang (Data Susenas 2011).
Dampak tidak langsung selanjutnya dilihat dari proporsi biaya
pemeliharaan dan transportasi yang dikeluarkan oleh unit usaha terhadap
penerimaan total. Unit usaha pada kawasan Pegunungan Tengger mempunyai
proporsi biaya pemeliharaan yang lebih tinggi yaitu berturut-turut 20,58% dan
6,95% dibandingkan dengan biaya pemeliharaan dan transportasi lokal pada unit
usaha di Kawasan Pendakian Gunung Semeru yaitu 3,16% dan 7,63%.
Berdasarkan komponen lokal dan non lokal maka direct spending
wisatawan yang benar-benar dirasakan penduduk lokal atau masyarakat sekitar
kawasan Pegunungan Tengger hanya sekitar 38,33%, tetapi cukup tinggi untuk
kawasan Pendakian Gunung Semeru yaitu 62,44%. Pendapatan yang benar-benar
dirasakan penduduk lokal ini berasal dari pendapatan bagi pemilik unit usaha,
upah tenaga kerja lokal, dan transportasi lokal, yaitu untuk kawasan Pegunungan
Tengger berturut-turut sebesar 15,77%, 15,60% dan 6,95%. Sedanngkan untuk
kawasan pendakian Gunung Semru bertutur-turut sebesar 36,52%, 18,29% dan
7,63% . Selebihnya merupakan biaya penyediaan sumberdaya untuk aktivitas unit
usaha yang tidak diterima oleh masyarakat lokal (leakage). Biaya ini terkait
dengan pembelian input dan peralatan, pemeriharaan dan perbaharuan peralatan
dari luar lokasi wisata (Probolinggo, Malang, Surabaya), pengembalian kredit
serta pembayaran retribusi dan pajak.
Dampak ekonomi tidak langsung yang diperlihatkan pada Tabel 14
menunjukkan bahwa dari keseluruhan aliran uang yang tercipta dari pengeluaran
wisatawan, manfaat yang dirasakan oleh penduduk lokal yang tidak memiliki
akses terhadap modal sudah cukup tinggi. Dengan demikian dari data tersebut
dapat dikatakan bahwa kegiatan wisata alam TNBTS mampu memberikan
manfaat ekonomi bagi masyarakat sekitar kawasan walaupun belum terdistribusi
secara merata. Selain itu nilai manfaat yang dirasakan oleh masyarakat masih
bersifat fluktuatif dan sangat tergantung dengan jumlah kunjungan wisatawan.
oleh karena itu menjaga kelestarian dan kealamian kawasan untuk
mempertahankan kawasan TNBTS sebagai lokasi wisata yang tetap menarik
minat wisatawan menjadi sangat penting.
61
Dampak Ekonomi Lanjutan (Induced Impact)
Kegiatan wisata alam di kawasan TNBTS tidak hanya memberikan
dampak ekonomi langsung dan tidak langsung, tetapi juga menghasilkan dampak
ikutan atau induced impact. Dampak lanjutan merupakan dampak lanjut dari
pendapatan yang diperoleh tenaga kerja lokal dari unit usaha tempat mereka
bekerja. Dampak ini berasal dari pendapatan yang menjadi pengeluaran sehari-
hari tenaga kerja dan dibelanjakan di unit usaha yang ada di sekitar kawasan
TNBTS. Jenis pengeluaran yang dikeluarkan tenaga kerja lokal antara lain
digunakan untuk biaya kebutuhan rumah tangga, biaya listrik, retribusi dan pajak,
serta biaya transportasi. Dampak lanjutan dari pengeluaran tenaga kerja ini akan
diterima oleh unit usaha dan sebagian pendapatan yang diterima unit usaha
digunakan untuk membeli bahan baku. Dampak lanjutan berupa pengeluaran
tenaga kerja lokal yang kembali berputar di tingkat ekonomi lokal. Sebagian besar
pendapatan yang mereka dapatkan, mereka belanjakan di unit-unit usaha di sekitar
kawasasn TNBTS seperti, kios warung dan warung makan guna memenuhi
kebutuhan sehari-hari dan konsumsi. Secara tidak langsung unit usaha yang
berada di sekitar kawasan TNBTS selain menerima pendapatan dari pengeluaran
wisatawan yang datang, unit usaha inipun menerima pendapatan dari pengeluaran
tenaga kerja.
Rendahnya pendapatan yang diperoleh tenaga kerja lokal mengakibatkan
pendapatan tersebut hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari
dan tidak ada yang dapat ditabung atau sebagai simpanan. Dari pendapatan
tersebut yang menjadi dampak ikutan atau induced adalah sebesar 86,77% untuk
kawasan Pegunungan Tengger dan 99,59% untuk kawasan Pendakian Gunung
Semeru. Tabel 17 menunjukkan proporsi rata-rata pengeluaran tenaga kerja lokal
terhadap pendapatan tenaga kerja adalah untuk pemenuhan kebutuhan rumah
tangga sehari-hari dan biaya transportasi. Setelah untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari rumah tangga pendapatan yang diperoleh tenaga kerja lokal
didistribusikan untuk biaya retribusi dan lainnya.
Nilai Pengganda dari Pengeluaran Wisatawan
Nilai multiplier atau pengganda ekonomi merupakan nilai yang
menunjukan sejauh mana pengeluaran wisatawan akan menstimulasi pengeluaran
lebih lanjut, sehingga pada akhirnya meningkatkan aktivitas ekonomi di tingkat
Tabel 17 Proporsi Rata-Rata Pengeluaran Tenaga Kerja Lokal terhadap
Pendapatan di Kawasan Pegunungan Tengger dan Pendakian Gunung
Semeru
Komponen
Proporsi Terhadap
Penerimaan (%)
Pegunungan
Tengger
Pendakian
Semeru
Kebutuhan Rumah Tangga 81,27 94,66
Pengembalian Kredit 10,04 -
Transportasi Lokal 5,50 4,93
Retribusi dan Pajak 0,60 0,41
Lainnya 2,60 -
62
lokal. Untuk mengukur atau mengestimasi dampak pengganda (multiplier) dan
kebocoran dengan tingkat akurasi yang tinggi sangat sulit dilakukan. Tingkat
kesempurnaan dan kebakuan model multiplier masih dalam perdebatan.
Ketidaksempurnaan data terkadang menjadi alasan utama rendahnya kredibilitas
analisis multiplier. Terutama untuk mengetahui multiplier dalam skala yang kecil
atau lokal (Mathiesen dan Wall 1982).
Dampak ekonomi dari pengeluaran wisatawan yang terjadi di kawasan
TNBTS dapat diukur dengan menggunakan nilai efek pengganda atau multiplier
dari aliran uang yang terjadi. Berdasarkan META (2001) terdapat dua nilai
pengganda yang digunakan dalam mmengukur dampak ekonomi kegiatan
pariwisata di tingkat lokal, yaitu (1) Keynesian Local Income Multiplier yang
menunjukkan seberapa besar pengeluaran wisatawan berdampak pada
peningkatan pendapatan masyarakat lokal dan (2) Ratio Income Multiplier yang
menunjukkan seberapa besar dampak langsung yang dirasakan dari pengeluaran
wisatawan pada keseluruhan ekonomi lokal.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai Keynesian Multiplier di
kawasan Pegunungan Tengger memiliki nilai lebih rendah dibandingkan nilai
pengganda di kawasan Pendakian Gunung Semeru. Hal ini dikarenakan kebocoran
ekonomi dari pengeluaran wisatawan yang terjadi di kawasan Pegununngan
Tengger lebih besar dari pada kebocoran yang terjadi di Kawasan Pendakian
Semeru. Kawasan Pegunungan Tengger mempunyai nilai Keynesian Local
Income Multiplier yaitu sebesar 0,11 yang artinya bahwa peningkatan pengeluaran
wisatawan sebesar 1 rupiah akan berdampak pada peningkatan pendapatan
masyarakat lokal sebesar 0,11 rupiah. Nilai Keynesian Local Income Multiplier di
kawasan Pendakian Gunung Semeru sebesar 0,48, artinya peningkatan
pengeluaran wisatawan di lokasi pendakian Gunung Semeru sebesar 1 rupiah
akan berdampak pada peningkatan pendapatan masyarakat lokal sebesar 0,48
rupiah. Besar nilai multiplier dari kegiatan wisata dapat dilihat pada Tabel 18.
Kawasan Pegunungan Tengger mempunyai nilai Ratio Income Multiplier
Tipe 1 sebesar 6,14. Artinya peningkatan pendapatan unit usaha sebesar 1 rupiah
akan meningkatan total pendapatan masyarakat yang meliputi dampak langsung
dan tak langsung (berupa pendapatan pemilik unit usaha dan tenaga kerja lokal)
sebesar 6,14 rupiah. Nilai Ratio Income Multiplier Tipe 1 ini lebih besar
dibanding nilai Ratio Income Multiplier Tipe 1 kawasan Pendakian Gunung
Semeru. Nilai Ratio Income Multiplier Tipe 2 memperlihatkan bahwa di kawasan
Pegunungan Tengger peningkatan pendapatan unit usaha sebesar 1 rupiah akan
mampu berakibat pada peningkatan sebesar 7,59 rupiah pada total pendapatan
Tabel 18 Nilai Pengganda/Multiplier dari Aliran Uang Kegiatan Wisata Alam
di Pegunungan Tengger dan Pendakian Gunung Semeru
Kriteria
Nilai Multiplier
Pegunungan
Tengger
Pendakian
Semeru
Keynesian Local Income Multiplier 0,11 0,48
Ratio Income Multiplier Tipe 1 6,14 2,71
Ratio Income Multiplier Tipe 2 7,59 4,06
63
masyarakat yang meliputi dampak langsung, dampak tak langsung dan dampak
ikutan (berupa pendapatan pemilik unit usaha, pendapatan tenaga kerja lokal dan
pengeluarannya di tingkat lokal). Begitu pula dengan nilai Ratio Income
Multiplier Tipe 2 yang terjadi di kawasan Pendakian Gunung Semeru.
Multiplier Keynesian ini merupakan pengganda terbaik yang
menggambarkan dampak keseluruhan dari peningkatan pengeluaran wisatawan
pada perekonomian lokal (META 2001). Income multiplier secara umum
mengukur tamnbahan pendapatan (gaji, upah, sewa, bunga dan profit) dalam
perekonomian sebagai hasil dari peningkatan pengeluran wisatawan (Cooper et al.
1998).
Kecilnya nilai Keynesian Income Multiplier ini disebabkan karena tingginya
kebocoran ekonomi wilayah yang terjadi di lokasi wisata. Artinya pengeluaran
atau belanja wisatawan sebagian besar masih terjadi di luar lokasi wisata sehingga
belum memberikan dampak pada ekonomi lokal masyarakat setempat. Namun
jika dilihat lebih spesifik pada Nilai Income Multiplier Tipe I dan Income
Multiplier Tipe II, nilai yang dihasillkan relatif cukup tinggi. Hal ini berarti bahwa
kegiatan wisata alam memberikan dampak (langsung, tidak langsung dan dampak
lanjutan) yang cukup tinggi. Aliran uang dari pengeluaran atau belanja wisatawan
dirasakan mampu menciptakan kegiatan ekonomi yang tinggi berupa penyediaan
dan penyerapan tenaga kerja dan aliran uang tidak hanya dirasakan oleh pemilik
unit usaha.
Secara keseluruhan nilai Keynesian Income Multiplier di kawasan
Pegunungan Tengger lebih rendah dibanding dengan nilai di Kawasan Pendakian
Gunung Semeru. Ini artinya kebocoran ekonomi yang terjadi di kawasan
Pegunungan Tengger lebih besar dibanding kebocoran ekonomi di kawsan
Pendakian Gunung Semeru. Namun untuk Nilai Income Multiplier Tipe I dan
Nilai Income Multiplier Tipe II, Kawasan Pegunungan Tengger mempunyai nilai
yang lebih tinggi. Hal ini dikarenakan kegiatan ekonomi di kawasan Pegunungan
Tengger lebih tinggi dengan fasilitas penyediaan jasa layanan untuk wisatawan
lebih banyak dan menyerap tenaga kerja yang lebih besar.
Secara umum kedua lokasi wisata mempunyai nilai pengganda yang
berbeda. Perbedaan nilai ini terjadi karena disebabkan beberapa hal, yaitu : (1)
jumlah kunjungan di Pegunungan tengger jauh lebih tinggi dengan rata-rata
pengeluaran wisatawan yang tinggi pula, dengan demikian Kawasan Pegunungan
Tengger mempunyai nilai ekonomi yang lebih besar (2) jumlah unit usaha yang
ada di Kawasan Pegunungan Tengger lebih banyak dan beragam sehingga
dampak yang dirasakan masyarakat berupa dampak langsung, tidak langsung dan
ikutan lebih besar serta (3) unit usaha yang ada di Pegunungan Tengger
mempekerjakan tenaga kerja lokal lebih banyak dan sebagai tenaga kerja tetap.
Nilai pengganda dengan nilai lebih dari nol dan kurang dari satu (0 < x > 1),
maka lokasi wisata tersebut masih memiliki dampak ekonomi yang rendah
(Vanhove 2005). Dengan demikian dapat dikatakan kegiatan wisata alam di
kawasan TNBTS telah memberikan dampak ekonomi walaupun masih cukup
rendah terhadap perekonomian masyarakat sekitarnya. Hal ini dikarenakan
wisatawan yang datang ke lokasi ini lebih cenderung mengeluarkan
pengeluarannya di luar obyek wisata. Dengan kata lain, proporsi leakagesnya
(kebocoran/pengeluaran di luar lokasi wisata) lebih besar daripada proporsi
pengeluarannya di lokasi wisata.
64
Hal ini tidak jauh berbeda dengan beberapa kawasan wisata alam lainnya.
Kawasan Pulau Tidung Kepulauan Seribu memberi dampak ekonomi dengan nilai
Keynesian Income multiplier sebesar 0,28 (Dritasto dan Anggraeni 2013),
sedangkan dampak ekonomi kegiatan wisata bahari Kepulauan Seribu yang ada di
dua pulau yaitu Pulau Untung Jawa dan Pulau Pramuka berturut-turut sebesar 1,85
dan 1,16 (Wijayanti 2009) begitu pula dengan dampak ekonomi pada kegiatan
wisata alam Grojokan Sewu sebesar 0,3 (Nurfiana 2013). Adanya nilai pengganda
yang terdapat di kedua lokasi wisata di kawasan TNBTS ini, walaupun masih
relatif rendah namun tidak dapat dipandang sebelah mata. Sebagai suatu kawasan
konservasi yang secara utama berfungsi untuk daerah perlindungan, kawasan
TNBTS telah mampu memberikan manfaat lain bagi masyarakat sekitar dari sisi
pemanfaatan kawasan untuk wisata alam. Oleh karena itu menjadi penting juga
untuk membuat suatu pola atau tata cara berwisata yang bijaksana dan
konservasionist sehingga sesuai dengan prinsip-prinsip ekowisata.