56567170-h-pylori (1)
DESCRIPTION
h pyloriTRANSCRIPT
Helicobacter pylori
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat-Nyalah
akhirnya referat dengan judul “ Penatalaksanaan Kuman Helicobacter pylori “ dapat penulis
selesaikan.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada DR.dr Nurman Sp.Pd,
KGEH atas waktu, bimbingan dan pengetahuan yang telah diberikan kepada penulis selama
penulis menjalani Kepanitraan klinik dibagian Ilmu Penyakit Dalam.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih banyak kekurangannya. Untuk itu penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca dalam penyempurnaan
penulisan. Akhir kata penulis mengharapkan agar referat ini bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR ISI
1
Helicobacter pylori
KATA PENGANTAR …………………………………………………..………………………i
DAFTAR ISI …………………………………………………………………………………….ii
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………………….1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Epidemiologi ………………………………………………………………2
II.2 Morfologi ………………………………………………………………….3
II.3 Patogenesis ………………………………………………………………..4
II.4 Diagnosis ………………………………………………………………….8
II.5 Penatalaksanaan …………………………………………………………13
BAB III KESIMPULAN ………………………………………………………………..20
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………………….iii
BAB I
PENDAHULUAN
2
Helicobacter pylori
Sejak penemuan kuman Helicobacter pylori (Hp) oleh Marshall dan Warren pada tahun
1983, kemudian terbukti bahwa infeksi Hp merupakan masalah gloBal, termasuk Indonesia,
sampai saat ini belum jelas betul proses penularan serta patofisiologi infeksi kuman ini pada
berbagai keadaan patologis saluran cerna bagian atas (SCBA). Pada tukak peptik infeksi Hp
merupakan faktor etiologi yang utama sedangkan untuk kanker lambung termasuk karsinogen
tipe I, yang definitif. Pada keadaan lain seperti dispepsia non ulser dengan infeksi Hp, para ahli
belum bersepakat tentang perannya sebagai faktor etiologi.1
Prevalensi H. pylori di Negara berkembang dilaporkan lebih tinggi dibanding Negara
maju. Penegakkan diagnosis dari infeksi Helicobacter pylori adalah dengan metode invasif dan
non invasif. Metode invasif meliputi endoskopi dan biopsy yang diikuti oleh pemeriksaan
histology, biakan, uji urease, dan PCR, sedangkan metode non-invasif meliputi serologi dan uji
C-urea napas.2
Kuman Helicobacter pylori sangat cocok hidup dalam suasana asam, maka bila sekresi
asam menurun, misalnya pada gastritis atrofik atau pemberian obat-obat antisekretorik seperti
PPI, kolonisasi H.pylori juga akan berkurang. Kenyataan ini dipakai sebagai acuan dalam upaya
pemberantasan atau eradikasi kuman H.pylori ini.2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
Helicobacter pylori
II.1 EPIDEMIOLOGI
Prevalensi infeksi Helicobacter pylori di Negara berkembang lebih tinggi dibandingkan
dengan Negara maju. Prevalensi pada populasi di Negara maju sekitar 30-40 %, sedangkan
dinegaraberkembang mencapai 80-90 %. Dari jumlah tersebut hanya sekitar 10-20 % yang akan
menjadi penyakit gastroduodenal.1
Studi sero epidemiologi di Indonesia menunjukkan prevalensi 36-46,1 % dengan usia
termuda 5 bulan. Pada kelompok usia muda di bawah 5 tahun . 5,3 -15,4 % telah terinfeksi, dan
diduga infeksi pada usia dini berperan sebagai faktor risiko timbulnya degenerasi maligna pada
usia yang lebih lanjut. Asumsi ini perlu diamati lebih lanjut, karena kenyatannya prevalensi
kanker lambung di Indonesia relatif rendah semikian pula prevalensi tukak peptik. Agaknya
selain faktor bakteri, faktor pejamu dan faktor lingkungan yang berbeda akan menentukan
terjadinya kelainan patologis akibat infeksi.1
Secara umum telah diketahui bahwa infeksi Hp merupakan masalah global, tetapi
mekanisme transmisi apakah oral-oral atau fekal-oral belum diketahui dengan pasti. Studi di
Indonesia menunjukkan adanya hubungan antar tingkat sanitasi lingkungan dengan prevalensi
infeksi Hp, sedangkan data di luar negeri menunjukkan hubungan antara infeksi dengan
penyediaan atau sumber air minum.1
Data penelitian klinis di Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi tukak peptik pada
pasien dispepsia yang tukak peptik yang diendoskopi berkisar antara 5,78 % di Jakarta sampai
16,91 % di Medan. 1
Pada kelompok pasien dispepsia non ulkus, prevalensi infeksi Hp yang dilaporkan
berkisar antara 20-40 % dengan metode diagnostik yang berbeda yaitu serologi, kultur dan
histopatologi. Angka tersebut memberi gambaran bahwa pola infeksi di Indonesia tidak terjadi
pada usia dini tetapi pada usia yang lebih lanjut, tidak sama dengan pola Negara berkembang lain
seperti afrika. Agaknya yang berperan adalah faktor lingkungan dan perbedaan ras.1
4
Helicobacter pylori
Tingginya prevalensi infeksi dalam masyrakat tidak sesuai dengan prevalensi penyakit
SCBA seperti tukak peptik ataupun karsinoma lambung. Diperkirakan hanya sekitar 10-20 %
saja yang kemudian menimbulkan penyakit gastroduodenal.1
II.2 MORFOLOGI
Helicobacter pylori adalah Gram-negatif, non spora, bisa curved atau spiral rop-shaped
bakteri yang tumbuh secara mikroaerob. Organisme tersebut mempunyai 7 flagella. Mempunyai
ukuran kira-kira tebalnya 0,6 m dengan panjang 1,5 gelombang panjang. Media yang dapat
dipakai untuk kultur terdiri dari darah dengan atau tanpa selektif antibiotika. H.pylori dapat
tumbuh dengan baik pada suhu 35-37 0 C, dan memproduksi enzim catalase, cytochrome
oxidase, urease, alkaline phosphatase dan glutamyl transpeptidase. Mukosa lambung terlindungi
dari infeksi bacterial. Jumlah H. pylori yang tampak menunjukkan kemampuan adaptasi pada
tempat tertentu misalnya pada gaster manusia sering ditemukan pada permukaan sel epitel dan
lapisan mucus. Strain H.pylori dapat dikultur dari duodenum, cairan lambung, dental plague
walaupun jarang dilakukan, dan feses.3,4
5
Helicobacter pylori
Gambar 1 : Helicobacter pylory
Diunduh dari : www. scienceaintsobad.com
II.3 PATOGENESIS
Mukosa gaster terlindungi sangat baik dari infeksi bakteri, namun H.pylori memiliki
kemampuan adaptasi yang sangat baik terhadap ekologi lambung, dengan serangkaian langkah
unik masuk dalam mucus, berenang dan orientasi spasial di dalam mucus, melekat pada sel epitel
lambung, menghindar dari respon imun dan sebagai akibatnya terjadi kolonisasi dan transmisi
persisiten.1
Setelah memasuki saluran cerna, bakteri H.Pylori harus menghindari aktivitas
bakterisidal yang terdapat dalam isi lumen lambung, dan masuk ke dalam lapisan mucus.
Produksi urease dan motilitas sangat penting berperan pada langkah awal infeksi ini. Urease
menghidrolisis urea menjadi karbondioksida dan ammonia, sehingga H.Pylori mampu bertahan
6
Helicobacter pylori
hidup dalam lingkungan yang asam. Aktivitas enzim ini diatur oleh suatu saluran urea yang
tergantung pH (pH- gated urea channel), Ure-1, yang terbuka pada pH yang rendah, dan
menutup aliran urea pada keadaan netral. Motilitas bakteri sangat penting pada kolonisasi, dan
flagel H. Pylori sangat baik beradaptasi pada lipatan-lipatan lambung.1
H. Pylori dapat terikat erat pada sel-sel epitel melalui berbagai komponen permukaan
bakteri. Adhesis yang sangat dikenal baik karakteristiknya adalah BabA, suatu protein membrane
luar yang terikat pada group antigen darah Lewis B. beberapa protein lain family Hop protein
(protein membran luar) juga merupakan mediasi adhesi pada sel epitel. Bukti-bukti menunjukkan
bahwa adhesi, terutama oleh BabA, sangat relevan dengan penyakit-penyakit terkait H.Pylori
dan dapat mempengaruhi derajat beratnya penyakit, meskipun beberapa hasil studi terdapat
beberapa pula yang bertentangan.1
Sebagian besar strain H.Pylori mengeluarkan suatu eksotoksin, vacA. Toksin tersebut
masuk ke dalam membrane sel epitel dan membentuk suatu saluran tergantung voltase, suatu
anion hexamer selektif, yang mana melalui saluran tersebut bikarbonat dan anion-anion organic
dapat dilepaskan, tampaknya juga untuk menyediakan nutrisi bagi bakteri. VacA juga
menyerang membrane mitokondria, sehingga menyebabkan lepasnya sitokrom c dan
mengakibatkan apotopsis. Peran patogenik dari toksin masih diperdebatkan. Pada studi-studi
hewan, bakteri mutan tanpa VacA juga dapat melakukan kolonisasi, dan strain dengan gen
VacA yang inaktif telah pula diisolasi dari pasien-pasien, menunjukkan bahwa VacA tidak
essential untuk untuk kolonisasi. Beberapa strain H.Pylori memiliki cag-PAI (cag pathogenicity
island), suatu fragmen genom yang mengandung 29 gen. beberapa gen ini menyandi komponen-
komponen sekresi yang mentranslokasi CagA kedalam sel penjamu. Setelah memasuki sel epitel,
CagA difosforilasi dan terikat pada SHP-2 tirosin fosfatase, menimbulkan respons selular growth
faktor-like dan produksi sitokin oleh sel pejamu.1,5
7
Helicobacter pylori
Gambar 2 : patogenesis Helicobacter pylori
Diunduh dari : www. medipulse.blogspot.com
Respon Pejamu terhadap H.Pylori
8
Helicobacter pylori
H.pylori menyebabkan peradangan lambung yang terus menerus. Respon peradangan ini
mula-mula terdiri dari penarikan neutrofil, diikuti limfosit T dan B, sel plasma, dan makrofag,
bersamaan dengan terjadinya kerusakan sel epitel. Karena H.Pylori sangat jarang menginvasi
mukosa gaster, respon pejamu terutama dipicu oleh menempelnya bakteri pada sel epitel.
Pathogen tersebut dapat terikat pada molekul MHC class II di permukaan sel epitel gaster dan
menginduksi terjadinya apotosis. Perubahan lebih lanjut dalam sel epitel tergantung pada
protein-protein yang disandi pada cag-PAI dan translokasi CagA ke dalam sel epitel gaster.
Urease H.Pylori dan porin juga dapat berperan pada terjadinya ekstravasasi dan kemotaksis
neutrofil.1,5
Epitel gaster pasien terinfeksi H.Pylori meningkat kadar interleukin -1B, interleukin -6,
interleukin-8 dan tumor nekrosis faktor alfa. Diantara semua itu, interleukin-8, suatu neutrophil
activating chemokine yang poten yang diekspresikan oleh sel epitel gaster, tampaknya berperan
pening. Strain H.Pylori yang mengandung ca-PAI menimnulkan respons interleukin-8 yang jauh
lebih kuat dibandingkan strain yang tidak mengandung cag, dan respons ini tergantung pada
aktivasi nuclear faktor-kB (NF-kB) dan respons segera dari faktor transkripsi activator protein I
(AP-1).1
Infeksi H.Pylori merangsang timbulnya respons humoral mukosa dan sitemik. Produksi
antibody yang terjadi tidak dapat menghilangkn infeksi. Bahkan menimbulkan kerusakan
jaringan . pada beberapa pasien yang terinfeksi H.Pylori timbul respons antibody terhadap
H+/K+ ATPase sel-sel parietal lambung yang berkaitan dengan meningkatnya atrofi korpus
gaster.1
Selama respons imun spesifik, subgroup sel T yang berbeda timbul. Sel-sel ini
berpartisipasi dalam proteksi mukosa lambung dan membantu membedakan antar bakteri
pathogen dan komensal. Sel T-helper immature (Th 0) berdiferensiasi menjadi 2 subtipe
fungsional : sel Th-1, mensekresi interleukin 2 dan interferon gamma, dan th-2 mensekresi IL-4,
IL-5, dan IL-10. Sel Th-2 menstimulasi sel b sebagai respons terhadap pathogen ekstrasel,
sedangkan Th1 terutama timbul sebagai respons terhadap pathogen intrasel. Karena H.Pylori
bersifat tidak invasif dan merangsang timbulnya respons humoral yang kuat , maka yang
diharapkan adalah respons sel Th2. Namun timbul paradox, sel-sel mukosa gaster yang
9
Helicobacter pylori
spesifikterhadap H.pylori umumnya justru menunjukkan fenotip Th1, yang menyebakan gastritis,
sedangkan sitokin Th2 proteksi terhadap peradangan lambung. Orientasi Th1 tersebut tampaknya
meningkatkan produksi IL-18 di antrum sebagai rrspon terhadap infeksi H.Pylori menjadi
persisten.1
Kerusakan sel epitel lambung juga disebabkan oleh reactive oxygen dan nitrogen species
yang dihasilkan oleh neutrofil teraktivasi. Inflamasi kronik juga meningkatkan turnover sel epitel
dan apotosis. Polimorfisme proinflamasi dari gen IL-1beta mengarahkan perkembangan gastritis
terutama terjadi di korpus gaster dan berkaitan dengan hipoklorjidria, atrofi gaster, dan
adenokarsinoma gaster. Bila poliforfisme proinflamasi tidak ada, gastritis berkembang terutama
di antrum, dan berikatan dengan kadar sekresi asam yang normal atau tinggi.1
II.4 DIAGNOSIS
Dalam perkembangannya jenis tes diagnostik infeksi Helicobacter pylori dibagi menjadi invasif
dan non invasif.
PEMERIKSAAN NON INVASIF
Serologi
Pengujian antibodi bergantung pada deteksi antibodi IgG khusus untuk H. pylori dalam
serum, darah utuh, atau urin. Antibodi IgG H. pylori biasanya hadir kira-kira 21 hari setelah
infeksi dan bisa tetap hadir lama setelah eradikasi. Antibodi untuk H. pylori dapat dinilai secara
kuantitatif dengan menggunakan assay enzyme-linked immunosorbent (ELISA) dan teknik
aglutinasi lateks atau dinilai secara kualitatif dengan menggunakan kit berbasis klinik.
Keunggulan tes antibodi adalah biaya yang rendah, ketersediaan luas, dan hasil cepat.
Sayangnya, beberapa faktor membatasi kegunaan pengujian antibodi dalam praktek klinis.
Sebuah meta-analisis mengevaluasi kinerja karakteristik beberapa komersial tentang ketersediaan
serologis tes kuantitatif dan menemukan sensitivitas dan spesifisitas keseluruhan menjadi 85%
dan 79%, masing-masing, dengan tidak ada perbedaan antara tes yang berbeda . Tiga dari kit
antibodi darah kualitatif keseluruhan langsung dibandingkan dalam penelitian lain yang
10
Helicobacter pylori
menunjukkan kepekaan berkisar antara 76% sampai 84% dan kekhususan dari 79-90% . Secara
umum, kinerja karakteristik untuk tes kualitatif berbasis klinik sudah lebih bervariasi dari yang
dihasilkan oleh tes kuantitatif. Hal ini sangat penting untuk memahami bahwa pengujian antibodi
PPV sangat dipengaruhi oleh prevalensi infeksi H. pylori. Selanjutnya, tes antibodi
dikembangkan dengan menggunakan antigen dari satu wilayah di dunia yang mungkin tidak
bekerja dengan baik ketika diterapkan pada pasien di bagian lain dunia yang menunjukkan
bahwa validasi lokal mungkin diperlukan. Akhirnya, tes antibodi memberikan sedikit manfaat
untuk mendokumentasikan pemberantasan sebagai hasil dari tetap dapat bertahan positif selama
bertahun-tahun setelah berhasil menyembuhkan infeksi.1,6
Dalam perkembangannya cara ELISA telah dipakai pula untuk tes di ruang praktek
dokter, in office Hp test, dengan cara sederhana, tanpa sentrifugasi, bersifat kualitatif dan
hasilnya diperoleh dalam waktu 5-10 menit.1
Selain serum, tes ELISA telah dilakukan pula pada saliva pasien terutama pada anak.
Sensitivitas dan spesifisitasnya lebih rendah dibandingkan dengan serum tetapi diduga kadar
antibodi dalam saliva menurun lebih awal pasca terapi erdikasi sehingga mungkin dapat
digunakan untuk menilai hasil terapi antimkrobial.1
Urea Breath Test (UBT)
Pemeriksaan ini merupakan standar baku untuk deteksi infeksi H.pylori secara non
invasif yang pertama kali dikemukakan pada tahun 1987 oleh Graham dan Bell. Cara kerjanya
adalah dengan menyuruh pasien menelan urea yang mengandung isotop Carbon, baik 13C atau
pun 14C. 1
UBT, seperti RUT, mengidentifikasi infeksi H. pylori aktif dengan cara aktivitas urease
organisme. H. pylori menunjukkan, konsumsi urea, baik ditandai dengan isotop non radioaktif
13C atau isotop radioaktif 14C, menghasilkan produksi CO2, yang dapat di kuantitatifkan
tingkat kadaluarsa pernafasannya. 6
Hasilnya dinilai dengan membandingkan kenaikan ekskresi isotop dibandingkan dengan
nilai dasar. Bila hasilnya positif berarti ditemukan infeksi H.pylori. 13C merupakan isotop
11
Helicobacter pylori
nonradioaktif, ditemukan pada 1,11 % karbondioksida yang keluar melalui udara pernapasan
normal. Dianggap positif bila terjadi kenaikan minimal 0,01 % kadar isotop, sehingga
dibutuhkan alat mass spectrometer yang sangat sensitive tetapi harganya sangat mahal. Mula-
mula diambil sampel udara pernapasan untuk menentukan nilai dasar. Kemudian dilakukan tes
meal berupa cairan dengan kalori tinggi larutan 0,1 N asam sitrat memperlambat pengosongan
lambung sehingga kontak antara isotop dengan mukosa lambung lebih baik.1,6
Dosis 13C yang diberikan adalah dalam bentuk urea sebanyak 75-100 mg yang
memberikan akurasi 95 %. Terdapat berbagai modifikasi protokol sehingga setiap perubahan
memerlukan validasi untuk mempertahankan akurasi pemeriksaan. 1
Isotop 14C memancarkan radiasi yang dapat dianalisis dengan scintillation counter.
Pengambilan sampel dilakukan sesudah 10 dan 20 menit baik dengan atau tanpa tes meal. Cara
ini relatf murah, tetapi harus diperhatikan standar keamanan yang baik, walaupun sebenarnya
dosis radiasi sangat kecil.. Meskipun jumlah radiasi pada UBT 14C kurang dari paparan radiasi
harian , uji 13C lebih disukai pada anak-anak dan wanita hamil . 6
Secara keseluruhan, karakteristik kinerja dari kedua tes serupa dengan sensitivitas dan
spesifisitas biasanya melebihi 95% dalam sebagian besar penelitian . UBT ini juga menyediakan
keakuratan yang berarti pada pengujian setelah perawatan . Kebanyakan tes memanfaatkan sitrat
untuk menguji makanan (50-75 mg), yang mana telah ditandai sebelum mengelola urea. Sebuah
tes darah urease, yang mengandalkan deteksi bikarbonat yang ditandai dalam sampel darah, juga
andal aktif mengidentifikasi infeksi H. pylori sebelum dan setelah perlakuan . Sebagai urease
nonendoscopic yang mengandalkan tes identifikasi yang kuat, kegiatan uji sensitivitas urease H.
pylori menunjukkan penurunan sebesar obat yang mengurangi kepadatan organisme atau
aktivitas urease, termasuk bismuth yang mengandung senyawa, antibiotik, dan PPI. Saat ini telah
direkomendasikan bahwa bismut dan antibiotik akan bertahan selama setidaknya 28 hari dan PPI
selama 7-14 hari sebelum UBT. Hal ini kontroversial apakah H2RAs mempengaruhi sensitivitas
dari UBT meskipun banyak laboratorium merekomendasikan penghentian obat ini selama 24-
48 jam sebelum UBT tersebut. Antasida tidak muncul untuk mempengaruhi keakuratan UBT .
Selain isu yang baru saja dibahas, faktor lain yang mempengaruhi penerimaan UBT dalam
praktek klinis termasuk kebutuhan infrastruktur untuk melakukan tes, kebutuhan pasien untuk
12
Helicobacter pylori
menghadiri kunjungan rawat jalan tambahan untuk menjalani tes, dan biaya. Di Amerika Serikat
pada tingkat pergantian, UBT lebih mahal dibandingkan tes antibodi atau tes tinja antigen. Biaya
UBT sebagian besar didorong oleh biaya peralatan dan biaya penandaan urea. Karakteristik
kinerja UBT menggunakan dosis rendah 13C, yang baru saja ditemukan memiliki hasil yang
sangat baik, mungkin inilah yang menjadi masalah pada isu tersebut.1,6
PEMERIKSAAN INVASIF
Pemeriksaan invasif dilakukan dengan mengambil spesimen biopsi mukosa lambung secara
endoskopik. Selanjutnya spesimen yang diambil dengan persyaratan dan cara tertentu akan
diperiksa dengan teknik khusus sesuai dengan tujuan diagnostik yang akan dicapai.persyaratan
yang dimaksud adalah upaya untuk mengurangi kemungkinan terjadinya hasil negatif palsu
akibat pengaruh obat-obatan yang dipergunakan sebelum pengambilan sampel biopsi. Biasanya
dianjurkan untuk menghentikan pengobatan antibiotik, anti sekresi asam lambung terutama
golongan PPI, bismuth selamasatu atau dua minggu sebelum pemeriksaan. Biopsi standar
diambil dari antrum dan korpus, sedangkan untuk menilai adanya metaplasia intestinal biasanya
diambil pada angulus.1
Biopsy Urease Test (BUT)
Tersedia berbagai pilihan mulai yang dibuat sendiri dalam bentuk cairan ataupun padat
seperti tes CLO. Dasarnya dalah adanya enzim urease dari kuman H.pylori yang mengubah urea
menjadi amonia yang bersifat basa sehingga terjadi perubahan warna media menjadi merah.
Hasilnya dapat dibaca dalam beberapa menit sampai 24 jam, dan pengambilan lebih dari satu
spesimen akan meningkatkan akurasi pemeriksaan ini. Sensitivitas pemeriksaan ini sekitar 89-98
%, sedangkan spesifisitasnya mencapai 100 %.1
Penggunaan antibiotik atau PPI akan menghambat pertumbuhan kuman sehingga harus
dihentikan satu minggu sebelumnya. Cara ini tidak digunakan untuk menilai hasil pengobatan
terapi eradikasi.1
Histopatologi
13
Helicobacter pylori
Pemeriksaan histopatologi dapat digunakn untuk mendeteksi infeksi H.pylori serta menilai
derajat inflamasi gastritis. Pemeriksaan standar dengan pewarnaan H & E untuk deteksi kuman
mempunyai sensitivitas 93 % dan spesifitas 87 % dengan akurasi 92 %. Pewarnaan khusus
secara Giemsa, Genta atau Warthin-Starry memberikan gambaran H.pylori yang lebih jelas,
sedangkan dengan pewarnaan Genta gambaran metaplasia gastrik akan tampak lebih jelas.
Densitas kuman akan menurun bila sebelumnya diberikan obat antibiotik atau PPI, sehingga
menurunkan sensitivitas pemeriksaan.1
Biakan Mikrobiologi
Dalam penatalaksanaan penyakit akibat infeksi H.pylori, kultur tidak dilakukan secara rutin
karena dua alas an. Cara diagnostik lain baik yang non invasif maupun yang invasif memberikan
hasil yang memuaskan dengan akurasi yang tinggi. Selain itu pemeriksaan kultur sendiri tidak
mudah dilakukan, dengan sensitivitas yang relatif rendah, berkisar antara 66-98 %. Teknik yang
dianjurkan adalah dengan tes difusi agar atau dengan E test dimana sekaligus dapa ditentukan
konsentrasi inhibisi minimal dari antibiotik yang diuji. Pemeriksaaan kultur akan sangat
membantu untuk pengobatan kegagalan terapi eradikasi, sehingga dapat dipilih antibiotik yang
sesuai.1
Polymerase Chain reaction (PCR)
PCR merupakan pilihan yang menarik karena sensitifitas yang tinggi ( 94-100% ) serta spesifitas
yang tinggi pula (100%). Bahan yang digunakan adalah specimen biopsy baik yang sudah
diparafinmaupun beka stes urease seperti CLO. Keuntungannya adalah kemampuaanya untuk
mendeteksi infeksi dengan densitas yang rendah, bahkan juga ekspresi dari berbagai gen bakteri
seperti Cag.A. selain biopsy mukosa lambung, PCR dapat pula mendeteksi infeksi H.pylori
dengan memeriksa cairan lambung, yang perlu dijaga jangan sampai terjadi kontaminasi baik
dari skop endoskopi maupun dari rongga mulut atau plak gigi karena dapat memberikan hasil
positif palsu. PCR dapat juga dipergunakan untuk menilai hasil terapi eradikasi . cara ini
termasuk pemeriksaan yang canggih dengan biaya yang cukup mahal.1
14
Helicobacter pylori
II.5 PENGOBATAN INFEKSI H. Pylori
Indikasi Terapi Eradikasi
- Sangat dianjurkan : Ulkus duodeni, ulkus ventrikuli, MALT Lymphoma gaster derajat
keganasan rendah, riwayat kanker lambung di keluarga, gastritis kronik aktif 9 gambaran
PA ) pasca reseksi kanker lambung dini, gastritis atrofik.1
- Dianjurkan : keinginan pasien untuk diobati setelah mendapat penjelasan yang memadai,
dispepsia fungsional ( tidak ditemukan kelainan parendoskopi, biokimiawi, atau
laboratorium ), gastropati obat anti inflamasi non steroid (OAINS), gastroesophageal
reflux disease (GERD) yang memerlukan terapi anti sekresi asam jangka panjang.1,7
Pada dasarnya dikenal terapi kombinasi yang didasarkan pada obat bismuth dan terapi
didasarkan pada penghambat pompa proton (PPI). Mula-mula digunakan senyawa bismuth
sebagai obat tunggal, dengan hasil yang kurang memuaskan sehingga dikembangkan terapi
kombinasi dual, tripel bahkan kuadripel. Waktu pemberian juga terus diusahakan untuk
diberikan sesingkat mungkin mulai dari 4,2 dan dewasa ini umumnya dianjurkan untuk waktu
satu minggu. Perkembangan ini sangat mendukung kepatuhan pasien, karena selain efektivitas
yang cukup tinggi, kemungkinan efek samping menjadi lebih kecil. Walaupun relatif cukup
mahal, terapi kombinasi dinilai cukup cost effective terutama karena dapat menan angka
kekambuhan dalam jangka panjang, misalnya dalam pengobatan tukak duodeni dan tukak
lambung.1
Laporan uji klinis terapi H.pylori di Indonesia pada mulanya menggunakan preparat
bismuth dengan tujuan supresi dan bukan eradikasi. Dewasa ini rejimen terapi yang digunakan
adalah terapi kombinasi antara penghambat pompa proton dengan dua atau tiga macam
antibiotik.1
Di Amerika Serikat, terapi utama yang direkomendasikan untuk infeksi H. Pylori
meliputi: PPI, klaritromisin, dan amoksisilin, atau metronidazol (klaritromisin berbasis triple
terapi) selama 14 hari atau PPI atau H2RA, bismut, metronidazol, dan tetrasiklin (terapi
quadruple bismut) untuk 10-14 hari. Sequential terapi yang terdiri dari PPI dan amoksisilin untuk
15
Helicobacter pylori
5 hari diikuti oleh klaritromisin PPI,claritomycin dan tinidazole untuk tambahan 5 hari dapat
memberikan alternatif untuk klaritromisin berbasis terapi triple quadruple atau bismuth tetapi
membutuhkan validasi di Amerika Serikat sebelum dapat direkomendasikan sebagai terapi lini
pertama.6
Meskipun pedoma internasional n telah merekomendasikan jangka waktu pengobatan
minimal 7 hari, durasi pengobatan 10-14 hari telah dilakukan di Amerika Serikat. Sebuah
penelitian besar di Amerika Serikat, yang mengevaluasi kombinasi rabeprazole, klaritromisin,
dan amoksisilin, menemukan bahwa 7 dan 10 hari terapi menghasilkan tingkat eradikasi setara.
Tingkat eradikasi selama 7 hari adalah 77% sedangkan 78% untuk regimen 10-hari. Penelitian
ini juga melaporkan tingkat eradikasi 27% untuk perawatan 3 hari regimen. Sebuah meta-analisis
dari tujuh penelitian melibatkan lebih dari 900 pasien menemukan bahwa 14 hari terapi triple
clarithromycin menghasilkan eradikasi yang lebih baik daripada 7 hari terapi untuk
pemberantasan infeksi H.pylori. Ada juga trend menuju kemanjuran ditingkatkan dengan 10 hari
terapi dibandingkan dengan 7 hari terapi, yang tidak bermakna secara statistik . Keunggulan dari
14-hari dibandingkan durasi pengobatan 7 hari telah dikonfirmasi baru-baru ini pusat percobaan
tunggal dari Italia. Mengingat hasil analisis-meta, tampaknya bijaksana untuk
merekomendasikan program 14-hari clarithromycin triple terapi, terutama di Amerika Serikat di
mana tingkat eradikasi biasanya sudah mencapai 80% atau kurang dengan jangka waktu terapi
yang lebih pendek.6
Pertemuan konsesus nasional penatalaksanaan infeksi H. Pylori di Jakarta pada bulan
januari 2003 menganjurkan rejimen terapi sebagai berikut :1
Terapi lini pertama / terapi tripel
• Urutan prioritas
1. PPI + Amoksisilin + klaritromisin
2. PPI + Metronidazol + klaritromisin
3. PPI + Metronidazol + tetrasiklin
16
Helicobacter pylori
Pengobatan dilakukan selama 1 minggu. 1
Dosis :
1. Proton Pump Inhibitor
Omeprazole 2 x 20 mg
Lansoprazole 2 x 30 mg
Rabeprazole 2 x 10 mg
Esomeprazole 2 x 20 mg
2. Amoksisilin 2 x 1000 mg/hari
3. Klaritromisin 2 x 500 mg/hari
4. Metronidazol 3 x 500 mg/hari
5. Tetrasiklin 4 x 250 mg/hari
Terapi lini kedua / terapi kuadrupel
Terapi lini kedua dilakuakan jika terdapat kegagalan pada lini pertama. Kriteria gagal : 4 minggu
pasaca terapi, kuman H.pylori positif berdasarkan pemeriksaan UBT/HpSA atau histopatologi.1
• Urutan prioritas
1. Collodial bismuth subcitrate + PPI + Amoksisilin + klaritromisin
2. Collodial bismuth subcitrate + PPI +Metronidazol + klaritromisin
3. Collodial bismuth subcitrate + PPI +Metronidazol + Tetrasiklin
Pengobatan dilakukan selama 1 minggu
• Dosis Collodial bismuth subcitrate : 4 x 120 mg
17
Helicobacter pylori
Bila terapi lini kedua gagal, sangat dianjurkan pemeriksaan kultur dan resistensi H.pylori
dengan media transport MIU.
• Rejimen Antibiotika Baru
Timbulnya resistensi terhadap antibiotika menyebabkan kesulitan dalam pemilhan rejimen
terapi lini kedua. Oleh karena itu, seleksi terpai lini pertama harus sudah
memepertimbangkan pilihan rejimen terapi lini kedua yang mungkin akan
diimplementasikan bila lini pertama gagal. Rejimen terapi dengan efektivitas eradikasi >
80% yang dianjurkan untuk digunakan pada praktek klinis.1
Pada pasien-pasein yang gagal dengan rejimen terapi dengan basis klaritromisin , rejimen
kombinasi terdiri dari lansoprazol 2 x 30 m, amoksisilin 2 x 1 gram, dan levofloksasin 2 x
200 mg dilaporkan menunjukkan eradikasi 69 %. Levofloksasin dapat pula diberikan
dengan dosis 1 x 500 mg. Kombinasi lain yang dilaporkan efektif adalah PPI bid, rifabutin
300 mg qd ( 1 x sehari ) dan amoksisilin 2 x 1 gram.1
Direkomendasikan untuk menggunakan kombinasi PAC (PPI-Amoxycillin-Clarithromycin)
sebagai terapi lini pertama , dan bila gagal dapt dilanjutkan dengan terapi kuadrupel seperti
P-BMT ( PPI- Bismuth-Metronidazole-Tetracyclin). Namun pada komunitas dengan
prevalensi tinggi resistensi terhadap makrolid (>20 % resistensi terhadap klaritromisin),
terapi lini pertama sebaiknya terapi kuadrupel, studi metanalisis terapi kuadruple sebagai
terapi lini pertama menunjukkan tingkat eradikasi lebih dari 85 %, bahkan pada area dengan
resistensi terhadap metronidazole yang tinggi dan 69% lebih efektif dibandingkan PAC pada
keadaan terdapat resistensi terhadap klaritromisin. Analisa cost-effective terapi tripel atau
terapi kuadrupel tampak serupa, namun terapi kuadrupeltampak sedikit lebih cost-effective.1
Fluroquinolon atau rifabutin daalm kombinasi bersam amoksisilin dan PPI menunjukkan
hasil yang menjanjikan. Terapi dengan rifabutin 2 x 150 mg, amoksisilin 2 x 1 gram dan
OMZ 2 x 20 mg selama 14 hari dengan menunjukkan eradikasi 72% pada pasien-pasien
yang gagal dengan kombinasi terapi PAC dan P-BMT. Terapi lini pertama dengan
esomeprazol 2 x 20 mg selama 7 ahri lebih efektif (93,3%) dibandingkan dengan standar
tripel EAC ( 70% ). Terapi lini kedua helicobacter pylori RLA, yaitu Rabeprazol 2 x 20 mg,
18
Helicobacter pylori
Levofloksasin 1 x 500 mg, dan amoksisilin 2 x 1 gram selama 12 hari sama efektifnya
dengan terapi kuadrupel R-BMT, namun lebih ditoleransi dengan baik dan menunjukkan
complianceserta tingkat kepatuhan minam obat yang tinggi. Terapi tripel selama 10 hari
dengan levofloksasin, esomeprazol, amoksisilin / azitromisin lebih efektif (86,6 %/80 % )
dibandingkan rejimen klasik E-BMT ( 71,4 % ) dan menunjukkan compliance yang lebih
baik.1
Kriteria keberhasilan
Empat minggu setelah terapi selesai, dilakukan pemeriksaan UBT/HpSA atau
histopatologi. Jika UBT negatif atau PA negatif, terapi dianggap berhasil ( sembuh ) .1
Terapi kombinasi tersebut dianjurkan untuk diberikan selama satu minggu. Mengingat
cepatnya terjadi resistensi H.pylori terhadap antibiotik, maka perlu diadakan penelitiann pola
resistensi di Indonesia secara berkala agar dapat emnjadi dasar pilihan antibiotik yang tepat.
Maslah lain adalah penilaian keberhasilan eradikasi yang harus menggunaakn metodadiagnostik
yang paling peka dan non-invasif, terutama untuk penelitian epidemiologis. Selain standar emas
kultur mikrobiologi agaknya pemeriksaaan tes pernapasan urea (UBT) perlu diadakan dan
digunakan secara meluas.1
Dari segi biaya, rejimen terapi dengan eradikasi lebih dari 90 % menyembuhkan tukak
peptik, tanpa perlu terapi pemeliharaan sehingga lebih cost effective dibandingkan dengan terapi
konvensional. Terapi tripel pada awalnya jelas lebih mahal, tetapi dalam jangka panjang akan
lebihmurah. Apalagi bila diperhitungkan peningkatan kualitas hidup, terbebas dari keluhan dan
gangguan penyakit.1
Yang dimaksudkan eradikasi adalah hilangnya kuman pada pemeriksaan 4 minggu pasca
terapi yang dibuktikan dengan metoda yang paling akurat. Dalam perkembangannya dikenal
terapi mono, dual,tripel dan kuadripel. Dewasa ini dianjurkan adalah terapi kombinasi dengan
penyembuhan lebih dari 90 %. 1,6
Yang paling penting prediktor kegagalan pengobatan berikut anti-H. terapi pylori
termasuk kurangnya kepatuhan dan resisten terhadap antibiotik. Ada sedikit bukti menunjukkan
19
Helicobacter pylori
bahwa merokok, konsumsi alkohol, dan diet juga dapat menimbulkan dampak yang
kemungkinan mengurangi keberhasilan pemberantasan. 1,6
Penting bagi dokter untuk menekankan pentingnya mengambil yang obat yang
diresepkan untuk meminimalkan kemungkinan kegagalan pengobatan dan pengembangan
resistensi antibiotik. Pasien juga harus diberitahu tentang efek samping. Efek samping yang
paling sering dilaporkan dengan PPI termasuk sakit kepala dan diare, yang terjadi sampai 10%
dari pasien. Untuk mengoptimalkan dampak terhadap sekresi asam lambung, PPI harusdiberikan
30-60 menit sebelum makan. Efek samping yang paling sering dilaporkan dengan klaritromisin
termasuk GI, diare. Efek samping yang umumnya terjadi dengan amoksisilin termasuk
gangguan GI, sakit kepala, dan diare. Efek samping dari metronidazol tergantung dosis terkait
antara lain rasa logam di mulut, dispepsia, dan reaksigangguan GI dan photosensitivity.
Antibiotik ini tidak boleh digunakan pada anak-anak di bawah usia 8 tahun karena kemungkinan
dapat menyebabkan perubahan warna gigi. Yang terakhir, senyawa bismuth dapat
menyebabkan penggelapan lidah, mual, dan gangguan GI.7
20
Helicobacter pylori
BAB III
KESIMPULAN
Prevalensi infeksi Helicobacter pylori di Negara berkembang lebih tinggi dibandingkan
dengan Negara maju. Prevalensi pada populasi di Negara maju sekitar 30-40 %, sedangkan
dinegaraberkembang mencapai 80-90 %. Helicobacter pylori adalah Gram-negatif, non spora,
bisa curved atau spiral rop-shaped bakteri yang tumbuh secara mikroaerob. Organisme tersebut
mempunyai 7 flagella. Mempunyai ukuran kira-kira tebalnya 0,6 m dengan panjang 1,5
gelombang panjang. Dalam perkembangannya jenis tes diagnostik infeksi Helicobacter pylori
dibagi menjadi invasif dan non invasif. Non invasif : serologi: IgG, IgA anti Hp, urea breath test.
Invasive : tes urease : CLO, MIU, Histopatologi, kultur mikrobiologi, dan PCR. Pertemuan
konsesus nasional penatalaksanaan infeksi H. Pylori di Jakarta pada bulan januari 2003
menganjurkan rejimen terapi sebagai berikut :
Terapi lini pertama / terapi tripel
• Urutan prioritas
1. PPI + Amoksisilin + klaritromisin
21
Helicobacter pylori
2. PPI + Metronidazol + klaritromisin
3. PPI + Metronidazol + tetrasiklin
Pengobatan dilakukan selama 1 minggu
Terapi lini kedua / terapi kuadrupel
Terapi lini kedua dilakuakan jika terdapat kegagalan pada lini pertama. Kriteria gagal : 4 minggu
pasaca terapi, kuman H.pylori positif berdasarkan pemeriksaan UBT/HpSA atau histopatologi.
• Urutan prioritas
1. Collodial bismuth subcitrate + PPI + Amoksisilin + klaritromisin
2. Collodial bismuth subcitrate + PPI +Metronidazol + klaritromisin
3. Collodial bismuth subcitrate + PPI +Metronidazol + Tetrasiklin
Pengobatan dilakukan selama 1 minggu. Sebuah meta-analisis dari tujuh penelitian
melibatkan lebih dari 900 pasien di Amerika Serikat menemukan bahwa 14 hari terapi triple
clarithromycin menghasilkan eradikasi yang lebih baik daripada 7 hari terapi untuk
pemberantasan infeksi H.pylori
22
Helicobacter pylori
DAFTAR PUSTAKA
1. Rani, A Aziz. Infeksi Helicobacter pylori dan Penyakit Gastro Duodenal. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. 2006; 329
2. Logan, R. and M. Walker. ABC of the upper gastrointestinal tract : epidemiology and
diagnosis of Helicobacter pylori infection. Br Med J 2001.
3. Helicobacter pylori infection: Available from :
http://en.wikipedia.org/wiki/Helicobacter_pylori [cited 10/05/2011]
4. Zieve,D, MD, MHA, Helicobacter pylori. 2009 : Available from :
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000229.htm [cited 10/05/2011]
5. Meurer,Linda, M.D., M.P.H. Management of Helicobacter pylori Infection .2005 :
Available from : http://www.aafp.org/afp/2002/0401/p1327.html [cited 10/05/2011]
6. William D. Chey, M.D., F.A.C.G., A.G.A.F., F.A.C.P., American Journal of
Gastroenterology. 2007
7. Egan et al. Treatment of Helicobacter pylori. 2007: Available from :
http://www.acg.gi.org/physicians/guidelines/ManagementofHpylori.pdf [cited
10/05/20011]
23