58-109-1-sm

15
59 HUBUNGAN ANTARA EMOTIONAL FOCUS COPING DAN KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN KECENDERUNGAN BUNUH DIRI PADA REMAJA Aditya Nanda Priyatama, Nugraha Arif Karyanta Program Studi Psikologi FK UNS ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara emotional focus coping dan kecerdasan emosional dengan kecenderungan bunuh diri pada remaja. Emotional focus coping merupakan keadaan dimana seseorang mereduksi, mengontrol maupun melindungi diri dari sebuah ketegangan yang diakibatkan oleh sebuah situasi yang memunculkan sebuah stres akibat sebuah permasalahan yang dihadapinya. Emotional focused coping cenderung dilakukan oleh individu jika merasa bahwa situasi permasalahan yang dihadapi tidak mampu dirubah dengan cara mengatur respon emosi dan memelihara keseimbangan afektif melalui sebuah perilaku. Sedangkan kecerdasan emosi merupakan kemampuan untuk mengenali, memahami, mengelola dan mewujudkan emosi dalam porsi yang tepat, terkendali serta menerapkan dengan efektif informasi dan energi emosi dalam kehidupan dan pekerjaan sehari-hari. Penelitian ini menggunakan 3 skala psikologi, yaitu skala emotional focused coping, skala kecerdasan emosional dan skala kecenderungan bunuh diri. Subyek yang akan diteliti adalah mahasiswa Program Studi Psikologi angkatan 2008 dengan jumlah 82 orang. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah hipotesis mayor adalah analisis regresi dua. Teknik analisis yang digunakan untuk menguji hipotesis minor adalah korelasi parsialPerhitungan dilakukan dengan menggunakan fasilitas program SPSS (Statistical Product and Service Solution) for Windows Release versi 14. Kata Kunci: emotional focus coping, kecerdasan emosi, kecenderungan bunuh diri PENDAHULUAN Hidup merupakan sebuah anugerah terbesar yang telah diberikan Sang Pencipta kepada hamba-hambanya. Kehidupan dengan berbagai bentuk sirkulasi maupun medan permasalahan merupakan bentuk dinamika hidup yang akan dijalani oleh manusia. Manusia sebagai mahluk yang selalu berkembang secara dinamis akan selalu mempelajari arti sebuah hidup melalui eksistensi diri di dalam kehidupan yang dijalaninya. Sekiranya dapat dilihat bahwa sebuah permasalahan, hambatan, keterpurukan, kesenangan, kesedihan merupakan hal yang wajar akan di temui dalam kehidupan ini. Manusia dalam mempertahankan eksistensi diri, diharapkan harus mampu menjalani segala fase kehidupan yang akan dialami. Ironi jika akhir-akhir ini banyak terdapat sebuah pemberitaan- pemberitaan maupun kasus-kasus tentang maraknya bunuh diri. Bunuh diri mulai muncul sebagai ”tren” sebagai cara untuk menyelesaikan permasalahan. 59

Upload: mirza-bangun

Post on 17-Jan-2016

7 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

jurnal

TRANSCRIPT

Page 1: 58-109-1-SM

59

HUBUNGAN ANTARA EMOTIONAL FOCUS COPING DAN KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN KECENDERUNGAN BUNUH DIRI PADA REMAJA

Aditya Nanda Priyatama, Nugraha Arif Karyanta Program Studi Psikologi FK UNS

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara emotional focus coping dan kecerdasan emosional dengan kecenderungan bunuh diri pada remaja. Emotional focus coping merupakan keadaan dimana seseorang mereduksi, mengontrol maupun melindungi diri dari sebuah ketegangan yang diakibatkan oleh sebuah situasi yang memunculkan sebuah stres akibat sebuah permasalahan yang dihadapinya. Emotional focused coping cenderung dilakukan oleh individu jika merasa bahwa situasi permasalahan yang dihadapi tidak mampu dirubah dengan cara mengatur respon emosi dan memelihara keseimbangan afektif melalui sebuah perilaku. Sedangkan kecerdasan emosi merupakan kemampuan untuk mengenali, memahami, mengelola dan mewujudkan emosi dalam porsi yang tepat, terkendali serta menerapkan dengan efektif informasi dan energi emosi dalam kehidupan dan pekerjaan sehari-hari. Penelitian ini menggunakan 3 skala psikologi, yaitu skala emotional focused coping, skala kecerdasan emosional dan skala kecenderungan bunuh diri. Subyek yang akan diteliti adalah mahasiswa Program Studi Psikologi angkatan 2008 dengan jumlah 82 orang. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah hipotesis mayor adalah analisis regresi dua. Teknik analisis yang digunakan untuk menguji hipotesis minor adalah korelasi parsialPerhitungan dilakukan dengan menggunakan fasilitas program SPSS (Statistical Product and Service Solution) for Windows Release versi 14.

Kata Kunci: emotional focus coping, kecerdasan emosi, kecenderungan bunuh diri

PENDAHULUAN

Hidup merupakan sebuah anugerah terbesar yang telah diberikan Sang Pencipta

kepada hamba-hambanya. Kehidupan dengan berbagai bentuk sirkulasi maupun medan

permasalahan merupakan bentuk dinamika hidup yang akan dijalani oleh manusia. Manusia

sebagai mahluk yang selalu berkembang secara dinamis akan selalu mempelajari arti

sebuah hidup melalui eksistensi diri di dalam kehidupan yang dijalaninya. Sekiranya dapat

dilihat bahwa sebuah permasalahan, hambatan, keterpurukan, kesenangan, kesedihan

merupakan hal yang wajar akan di temui dalam kehidupan ini. Manusia dalam

mempertahankan eksistensi diri, diharapkan harus mampu menjalani segala fase kehidupan

yang akan dialami. Ironi jika akhir-akhir ini banyak terdapat sebuah pemberitaan-

pemberitaan maupun kasus-kasus tentang maraknya bunuh diri. Bunuh diri mulai muncul

sebagai ”tren” sebagai cara untuk menyelesaikan permasalahan.

59

Page 2: 58-109-1-SM

60

Keadaan maupun stabilitas emosi sangat mempengaruhi munculnya perilaku bunuh

diri tersebut. Dengan kata lain bahwa seorang individu yang berada pada fase

perkembangan kerentanan emosional ini dapat dengan mudah terprovokasi didalam diri

bahwa bunuh diri merupakan “jalan terbaik” yang bisa diambil dalam menghadapi

permasalahan. Dimana kerentanan akan stabilitas emosi ini jika ditelaah lebih mendalam

kembali banyak dialami pada saat fase remaja berlangsung, sesuai dengan pendapat Arnett

(1999) bahwa remaja dapat dengan mudah muncul sebuah emosi yang tinggi dan tendensi

adanya perasaan yang negatif.

WHO (Wirawan, 2006) memberikan definisi tentang remaja yang lebih konseptual

adalah masa dimana individu mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi

dari kanak-kanak menjadi dewasa. Proses inilah yang dapat dilihat bahwa remaja

merupakan sebuah fase yang perlu kita sadari bahwa di dalam proses menuju

perkembangan kedewasaannya itu akan dapat dengan mudah pengaruh-pengaruh dari luar

masuk dan tertanam didalam diri remaja itu sendiri tanpa dapat di pilah dengan baik oleh

remaja. Fase seorang remaja untuk memulai merasakan dinamika-dinamika kehidupan

yang di rasa lebih kompleks pada tahap perkembangannya. Hal yang patut diwaspadai

dalam hal tersebut adalah perasaan maupun keyakinan yang salah dalam memandang

sebuah permasalahan akan hidup. Hal tersebut dapat memicu kelemahan-kelamahan daya

tahan seorang remaja dalam menjalani kehidupan ini. Remaja akan rentan untuk melakukan

hal-hal yang negatif yang dikhususkan bahwasanya bunuh diri merupakan keinginan untuk

mendapatkan sebuah jalan keluar dari permasalahan. Kartono (2000) mencantumkan

beberapa definisi bunuh diri yang diambil dari beberapa kamus dan ensiklopedia

menjelaskan bahwa bunuh diri adalah salah satu jalan untuk mengatasi macam-macam

kesulitan pribadi, misalnya berupa rasa kesepian, dendam, takut, kesakitan, fisik, dosa dan

lain-lain.

Remaja juga mengalami sebuah perubahan dalam sisi kehidupan dari seorang anak-

anak berkembang ke dalam fase perkembangan selanjutnya, perubahan ini menjadikan

seorang remaja akan meninggalkan segala sesuatu yang bersifat kekanak-kanakan dan juga

harus mempelajari pola perilaku dan sikap baru untuk menggantikan perilaku dan sikap

yang sudah ditinggalkan (Hurlock, 1980). Hal ini memberikan sebuah image bahwa remaja

adalah individu yang membutuhkan sebuah pengalaman hidup baru untuk menghadapi fase

60

Page 3: 58-109-1-SM

61

perkembangan selanjutnya. Sehingga remaja mampu bertahan dalam kehidupan ini dengan

mampu mempertahankan makna hidup yang akan memberikan kesuksesan di dalam

menjalani kehidupannya.

Remaja sebagai individu yang mulai beranjak dari sebuah fase perkembangan

sebelumnya hendaknya mulai menyadari mulai saat ini bahwa dengan ciri-ciri

perkembangan yang rentan akan sebuah konflik dengan melihat ciri seorang remaja yang

labil secara emosi dalam diri. Pencarian dan pembentukan makna hidup yang akan dijalani

oleh seorang remaja sangatlah penting dalam hal ini. Bastaman (Soleh, 2001) mengatakan

bahwa orang yang menghayati hidupnya sebagai hidup yang bermakna menunjukkan

kehidupan yang penuh gairah dan optimis, hidupnya terarah dan bertujuan, mampu

beradaptasi, luwes dalam bergaul dengan tetap menjaga identitas diri, dan apabila

dihadapkan pada suatu penderitaan ia akan tahan dan menyadari bahwa hikmah selalu ada

dibalik penderitaan.

Tingkat kemampuan beradaptasi seorang remaja dalam menghadapi sebuah konflik

akan mempengaruhi remaja dalam mempertahankan eksistensi dirinya. Proses coping yang

dilakukan akan menuntut kemampuan yang dimiliki oleh diri remaja tersebut. Remaja akan

diberikan sebuah pilihan-pilihan dalam menyelesaikan konflik yang sedang terjadi dengan

mencoba untuk mencari sebuah celah solusi yang terbaik maupun sebuah pilihan yang

dirasa bahwa harus menyerah pada sebuah keadaaan. Individu yang cenderung memiliki

keinginan bunuh diri merupakan sebuah refleksi dalam diri.

Smet (1994, menjelaskan bahwa emotion focused coping ini salah satunya

digunakan individu untuk meniadakan fakta-fakta yang tidak menyenangkan. Hal tersebut

memberikan sebuah pemahaman dalam diri bahwa jika seseorang dihadapkan dengan

sebuah permasalahan yang dianggap tidak mampu diselesaikan maka mengatur emosinya

merupakan salah satu solusi terbaik dalam mengatasi permasalahan. Lazarus & Folkman

(Sarafino, 1998) menjelaskan bahwa seseorang akan menggunakan strategi emotional

focused coping jika dirasa tidak mampu untuk merubah kondisi yang menimbulkan stres.

Pengaturan emosi dalam diri akan memicu sebuah perilaku yang jika dilakukan dengan

efektif maka akan memunculkan sebuah potensi perilaku yang mampu menerima dalam

diri. Perasaan tidak mampu menerima fakta-fakta yang ada dengan adanya perasaan bahwa

tidak mampu dalam menghadapi situasi tersebut maka potensi perilaku bunuh diri akan

61

Page 4: 58-109-1-SM

62

muncul sebagai bentuk penghindaran terakhir jika seseorang tidak mampu memilih secara

efektif bentuk coping yang seharusnya.

Kecerdasan emosional menurut beberapa tokoh diatas diperlukan apabila seseorang

menghadapi suatu masalah yang kemungkinan menimbulkan tekanan untuk orang tersebut,

dapat mengendalikan emosi yang dimiliki agar dapat menghadapinya dengan baik.

Pendapat diatas didukung oleh Patton (2000) yang mengungkapkan bahwa orang yang

memiliki kecerdasan emosional akan mampu menghadapi permasalahan dan

mempertahankan semangat hidup, kecerdasan emosional akan membuat perbedaan

bagaimana memberi tanggapan terhadap konflik dan ketidakpastian.

DASAR TEORI

A. Kecenderungan Bunuh Diri

1. Pengertian Kecenderungan Bunuh Diri

Kartono (1996) menerangkan bahwa kecenderungan merupakan hasrat atau

kesiapan – reaktif yang tertuju pada objek konkrit dan selalu muncul berulang kali. DeLeo

et al (Andriessen dalam Kaplan & Saddock, 1997) mendefinisikan bunuh diri sebagai

perilaku yang memiliki hasil yang fatal yang berasal dari inisiatif diri yang meliputi

tindakan yang dikenakan pada diri sendiri baik berupa tindakan aktif maupun pasif yang

memiliki niat atau keinginan untuk mati. Bunuh diri berhubungan dengan kebutuhan yang

dihalangi atau tidak terpenuhi, perasaan keterputus-asaan dan ketidakberdayaan, konflik

ambivalen antara keinginan hidup dan tekanan yang tidak dapat ditanggung.

Kartono (2000) dalam aliran behavior, bunuh diri merupakan bentuk pelarian diri

yang paling parah dari dunia nyata, atau lari dari situasi yang tidak ditolerir. Maramis

(1995) menerangkan pada dewasa ini kalangan psikiatri memandang bunuh diri sebagai

perilaku yang bertujuan mengatasi masalah hidup, suatu perilaku yang ”unik manusiawi”

dan kultural, yang sesungguhnya bukan berarti pemusnahan diri, melainkan penyelesaian

masalah frustrasi, penghindaran diri dari segala situasi yang tidak menyenangkan,

pernyataan amarah atau kegelisahan, untuk memperoleh keadaan tidur yang damai dan

tenteram.

62

Page 5: 58-109-1-SM

63

2. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Bunuh Diri

Farberow (Kartono, 2000) menyatakan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan

bunuh diri adalah :

1. Ketergantungan yang telah dikecewakan atau terhambat.

2. Kerinduan akan kelahiran ulang yang spiritual.

3. Keinginan mencari kontak dengan jati diri atau the self dengan jalan

merusak ego, atau melakukan bunuh diri.

4. Perasaan-perasaan inferior yang sangat kuat, dan agresi yang

terselubung pada individu-individu yang sangat bergantung pada orang lain, dengan

penampilan diri ”bergaya hidup manja”.

5. Tipe kebencian dari struktur kepribadian yang berubah menjadi

depresif, disebabkan oleh pengalaman-pengalaman interpersonal.

6. Alienasi (rasa keterasingan) dan perasaan-perasaan disparitas atau

perbedaan antara diri pribadi yang diidealisir dengan diri pribadi yang riil.

7. Usaha-usaha untuk mensahkan dirinya sesuai dengan kerangka

”konstruksi-konstruksi” sendiri.

Supratiknya (1995) menjelaskan bahwa banyak kasus bunuh diri dilakukan karena

stres yang ditimbulkan oleh berbagai sebab, antara lain :

1. Depresi dengan ada indikasi bahwa sebagian besar dari orang yang

berhasil melakukan bunuh diri tengah dilanda depresi pada saat tindakan tersebut

dilakukan.

2. Krisis dalam hubungan interpersonal. Konflik-konflik dan

pemutusan hubungan, seperti konflik-konflik dalam perkawinan, perpisahan,

perceraian, kehilangan orang-orang terkasih akibat kematian, dapat menimbulkan

stres berat yang mendorong dilakukannya tindakan bunuh diri.

3. Coping dalam arti sebagai perlakuan dalam pemenuhan atau

pemecahan permasalahan yang dihadapi. Kegagalan dan devaluasi diri, perasaan

bahwa dirinya telah gagal dalam suatu urusan penting, biasanya menyangkut

pekerjaan, dapat menimbulkan devaluasi diri atau rasa kehilangan harga diri yang

mendorong tindakan bunuh diri.

63

Page 6: 58-109-1-SM

64

4. Konflik batin, disini stres bersumber dari konflik batin atau

pertentangan di dalam pikiran orang yang bersangkutan sendiri.

5. Kebermaknaan hidup, kehilangan makna dan harapan dalam hidup

akan membuat orang merasa bahwa hidup ini sia-sia. Akhirnya orang memilih

mengakhiri hidup dengan bunuh diri.

B. Emotional Focused Coping

1. Pengertian Emotional Focused Coping

Pearlin & Schooler menyatakan bahwa coping adalah suatu bentuk tingkah laku

individu untuk melindungi diri dari tekanan-tekanan psikologis, yang ditimbulkan oleh

problematika pengalaman sosial (Thalib & Diponegoro, 2001). Lazarus & Folkman (Smet,

1994) mendefinisikan coping sebagai suatu proses dimana individu mencoba untuk

mengelola jarak yang ada antara tuntutan-tuntutan (baik itu tuntutan yang berasal dari

individu maupun tuntutan yang berasal dari lingkungan) dengan sumber-sumber daya yang

mereka gunakan dalam menghadapi situasi stressful. Coping dikonsepsikan sebagai proses

yang dinamis. Individu mengubah secara konstan pikiran dan perilaku mereka dalam

merespon perubahan dalam penilaian terhadap kondisi stres dan tuntutan-tuntutan dalam

situasi tersebut (Cheng dalam Hapsari, Karyani & Taufik, 2002).

Stebbin (2003) menjelaskan bahwa jika terdapat konfrontasi dengan sebuah

permasalahan dimana kontrol yang dimiliki sangat kecil ataupun tidak adanya sebuah

kontrol maka strategi emotional focused coping sangat dianjurkan di dalamnya.

2. Bentuk-bentuk Perilaku Emotional Focused Coping

Folkman dan Lazarus (Sarafino, 1998) menyatakan bahwa cara-cara coping yang

terdapat dalam situasi yang penuh stres secara emotinal focused coping adalah:

1. Mencari dukungan sosial : mencoba untuk mendapatkan dukungan

atau informasi.

2. Menjauh : membuat upaya-upaya kognitif untuk melepaskan atau

memisahkan diri sendiri dari situasi itu atau membuat harapan atau pandangan lain.

3. Escape-avoidance : berpikir dengan penuh harap mengenai situasi

atau mengambil tindakan untuk keluar diri atau menghindari situasi itu.

64

Page 7: 58-109-1-SM

65

4. Self-control : mencoba untuk mengatur perasaan diri sendiri atau

bertindak yang sesuai dengan masalah yang dihadapi.

5. Menerima tanggung jawab : mengakui peran diri sendiri atas

masalah yang ada sambil mencoba untuk melakukan sesuatu yang tepat.

6. Positive reappraisal : mencoba untuk membuat arti yang positif dari

situasi dalam kerangka pertumbuhan personal, kadang-kadang dengan nuansa

religius.

3. Faktor-faktor Emotional Focused Coping

Hapsari, Karyani & Taufik (2002) menjelaskan bahwa faktor-faktor yang

mempengaruhi emotional focused coping adalah sebagai berikut :

1) Usia. menunjukkan bahwa pada usia yang lebih tua akan menggunakan emotion

focused coping yang disebabkan pada orang yang lebih tua memiliki anggapan

bahwa dirinya tidak mampu melakukan perubahan terhadap masalah yang dihadapi

sehingga akan bereaksi dengan mengatur emosinya daripada pemecahan

permasalahan.

2) Jenis kelamin. Billings dan Moos menjelaskan bahwa wanita lebih lemah atau lebih

sering menggunakan penyaluran emosi daripada pria.

3) Individu yang memiliki kesehatan mental yang buruk kurang efektif dalam memilih

strategi menghadapi tekanan.

C. Kecerdasan Emosional

1. Pengertian Kecerdasan Emosional

Goleman (2000) mengatakan bahwa kecerdasan emosional didalamnya termasuk

kemampuan mengontrol diri, tetap tekun serta dapat memotivasi diri sendiri. Kecakapan

tersebut mencakup pengelolaan bentuk emosi, baik yang positif maupun yang negatif.

Herrnstein dan Muray (Goleman, 2000) menyatakan bahwa kecerdasan emosional

adalah kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustrasi,

mengendalikan dorongan hati, tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati

dan menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati dan

berdoa.

65

Page 8: 58-109-1-SM

66

Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh para ahli diatas dapat disimpulkan

bahwa kecerdasan emosional merupakan suatu kemampuan untuk mengenali, memahami,

mengelola dan mewujudkan emosi dalam porsi yang tepat, terkendali serta menerapkan

dengan efektif informasi dan energi emosi dalam kehidupan dan pekerjaan sehari-hari.

Disamping itu kecerdasan emosional merupakan kemampuan menangani perasaan diri

sendiri, menerapkan daya dan kepekaan emosi, mampu merespon secara positif terhadap

setiap kondisi yang merangsang munculnya emosi, membaca dan menghadapi perasaan

orang lain, memotivasi diri sendiri, bertahan menghadapi frustrasi, mengendalikan

dorongan hati, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan

kemampuan berfikir dan berempati.

2. Aspek-aspek Kecerdasan Emosional

Solvey dan Mayer (Goleman, 2000) membagi kemampuan kecerdasan emosional

dalam lima aspek wilayah utama, yaitu :

a. Mengenali emosi diri (knowing one’s emotions), yaitu kemampuan untuk memantau

perasan diri dari waktu ke waktu dan memberikan perhatian yang terus menerus.Dalam

keadaan refleksi dini, pikiran mengamati dan menggali pengalaman termasuk emosi.

Kesadaran diri bukanlah perhatian yang larut kedalam emosi, bereaksi secara berlebihan

dan melebih-lebihkan emosi yang diserap. Kesadaran diri lebih pada modus netral yang

mempertahankan refleksi diri bahkan ditengah badai emosi.

b. Mengelola emosi (managing emotions), yaitu kemampuan untuk menangani

perasaan agar dapat mengungkapkannya dengan tepat, tidak bersikap secara berlebihan

atau menggunakan emosinya secara ekstrim. Mengelola emosi ini meliputi kemampuan

menghibur diri sendiri, melepas kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan akibat-

akibat yang timbul karena gagalnya keterampilan dasar.

c. Memotivasi diri sendiri (self motivations), yaitu kemampuan individu untuk

mendorong dirinya sendiri agar tetap bersemangat dan mau berusaha setelah mengalami

peristiwa yang kurang menyenangkan atau menyedihkan.

d. Mengenali emosi orang lain (emphaty), yaitu merasakan apa yang dirasakan

orang lain, menyatu dengan orang lain untuk mengetahui bukan hanya pikirannya

melainkan juga perasaannya dan untuk merasakan kebersamaan dengan orang lain tersebut.

66

Page 9: 58-109-1-SM

67

Hal ini berarti memberi perhatian penuh pada orang lain. Orang yang empatik lebih mampu

menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang menyiratkan apa yang dikehendaki

atau dibutuhkan orang lain.

e. Membina hubungan dengan orang lain (handing relationship), yaitu

seseorang yang trampil dalam kecerdasan sosial dapat menjalin hubungan dengan orang

lain, mampu memimpin dan mengorganisir, pandai menangani perselisihan yang muncul

dalam setiap kegiatan manusia.

Berdasarkan uraian diatas maka diambil aspek dari salah satu tokoh tersebut diatas

yaitu dari Solvey dan Mayer dimana aspek-aspek kecerdasan emosional tersebut meliputi

lima aspek yaitu mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri,

mengenali emosi orang lain dan membina hubungan dengan orang lain. Aspek kecerdasan

emosional dari Solvey dan Mayer diambil sebagai aspek kecerdasan emosional dalam

penelitian ini karena lebih jelas dan lebih mencerminkan wilayah utama kecerdasan

emosional.

METODE PENELITIAN

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode statistik.

Alasannya, bahwa statistik merupakan cara ilmiah yang dipergunakan untuk

mengumpulkan, menyusun, menyajikan, dan menganalisis data penelitian yang berwujud

angka-angka sehingga hasilnya lebih obyektif.

Penentuan metode statistik yang digunakan sangat dipengaruhi oleh tujuan

penelitian dan jenis data. Analisis data ini menggunakan analisis regresi dengan

menggunakan bantuan program SPSS 12.0

HASIL PENELITIAN

1. Uji asumsi Klasik

a. Uji Normalitas

Uji normalitas bertujuan untuk mengetahui distribusi data dalam variabel yang akan

digunakan dalam penelitian. Data yang baik dan layak digunakan dalam penelitian

adalah data yang memiliki distribusi normal. Uji normalitas ini menggunakan teknik

67

Page 10: 58-109-1-SM

68

one sample kolmogorov-Smirnov. Data yang terdistribusi secara normal jika tingkat

signifikansinya lebih besar dari 0,05.

b. Uji linieritas

Uji linearitas bertujuan untuk mengetahui apakah variabel bebas dan tergantung

mempunyai hubungan yang linear atau tidak secara signifikan. Pengujian dengan SPSS

menggunakan test for linearity pada taraf signifikansi 0,05. Dua variabel dikatakan

mempunyai hubungan yang linear apabila signifikansi (linearity) kurang dari 0,05

(Priyatno, 2008).

c. Uji otokorelasi

Pengujian otokorelasi dalam suatu model bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya

korelasi antara variabel pengganggu pada periode tertentu dengan variabel pengganggu

periode sebelumnya (Nugroho, 2005). Prasyarat yang harus terpenuhi adalah tidak adanya

otokorelasi dalam model regresi. Metode pengujian yang sering digunakan adalah uji

Durbin-Watson (uji DW) dengan ketentuan sebagai berikut:

1) Jika d lebih kecil dari dL atau lebih besar dari (4-dL), maka hipotesis nol ditolak, yang

berarti terdapat otokorelasi.

2) Jika d terletak antara dU dan (4-dU), maka hipotesis nol diterima, yang berarti tidak ada

otokorelasional.

3) Jika d terletak antara dL dan dU atau di antara (4-dU) dan (4-dL), maka tidak

menghasilkan kesimpulan yang pasti.

4) Nilai dU dan dL dapat diperoleh dari tabel statistik Durbin Watson yang bergantung

banyaknya observasi (n) dan banyaknya variabel yang menjelaskan (k).

Hasil analisis output SPSS tabel model summary menunjukkan nilai DW (Durbin-

Watson) sebesar 1,821. Nilai Durbin Watson (DW) sebesar 1,807 terletak di antara batas

atas (dU) 1,715 dan nilai (4-dU) sebesar 2,285 (4-1,715). Dengan hasil tersebut dapat

disimpulkan bahwa tidak terdapat autokorelasi.

d. Uji multikolinearitas

Uji multikolinearitas diperlukan untuk mengetahui ada tidaknya variabel independen

yang memiliki kemiripan dengan variabel independen lain dalam satu model (Nugroho,

2005). Selain itu, deteksi terhadap multikolinearitas juga bertujuan untuk menghindari 68

Page 11: 58-109-1-SM

69

kebiasan dalam proses pengambilan kesimpulan mengenai pengaruh pada uji parsial tiap-

tiap variabel independen terhadap variabel dependen. Jika nilai Variance Inflation Factor

(VIF) tidak lebih dari 10 dan nilai tolerance tidak kurang dari 0,1, maka dapat dikatakan

terbebas dari multikolinearitas.

e. Uji Heteroskedstisitas

Heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji terjadinya perbedaan varians residual

suatu periode pengamatan ke periode pengamatan yang lain (Nugroho, 2005). Model

regresi yang baik adalah yang tidak mengalami heteroskedastisitas. Cara memprediksi ada

tidaknya heterokedastisitas, dapat dilihat dari pola gambar scatterplot yang menyatakan

model regresi tidak terdapat gejala heteroskedastiitas jika :

1) Titik-titik data menyebar di atas dan di bawah atau di sekitar angka 0.

2) Titik-titik data tidak mengumpul hanya di atas atau di bawah saja.

3) Penyebaran titik-titik data tidak boleh membentuk pola bergelombang melebar

kemudian menyempit dan melebar kembali.

4) Penyebaran titik-titik data sebaiknya tidak berpola. (Nugroho, 2005).

Dari hasil analisis pola gambar scatterplot diperoleh bahwa penyebaran titik-titik

tidak teratur, terpencar, dan tidak membentuk suatu pola tertentu. Dengan demikian dapat

diambil kesimpulan bahwa model regresi terbebas dari asumsi klasik heteroskedastisitas.

2. Uji Hipotesis

Setelah dilakukan uji asumsi, langkah selanjutnya adalah melakukan perhitungan untuk

menguji hipotesis yang diajukan. Untuk menguji hipotesis digunakan teknik analisis regresi

dua prediktor dan analisis tambahan korelasi parsial, serta analisis determinasi

a) Regresi dua prediktor

Analisis regresi ini bertujuan untuk mengetahui arah hubungan antara variabel

tergantung yaitu kecenderungan bunuh diri dengan variabel bebas yaitu emotional focus

coping dan kecerdasan emosional, apakah tiap-tiap variabel bebas berhubungan positif atau

negatif. Kemudian juga untuk memprediksi nilai dari variabel tergantung apabila nilai

variabel bebas mengalami kenaikan atau penurunan.

69

Page 12: 58-109-1-SM

70

b) Analisis determinasi

Analisis determinasi dalam regresi dua prediktor digunakan untuk mengetahui

persentase sumbangan pengaruh variabel bebas secara serentak terhadap variabel

tergantung. Dari tabel diperoleh koefisien determinasi yang menunjukkan nilai R2 (R

square) sebesar 0,139. Artinya, emotional focus coping dan kecerdasan emosional

memberikan sumbangan sebanyak 13, 9% terhadap kecenderungan bunuh diri pada

remaja. Hal ini berarti masih terdapat 86,1 % faktor lain yang mempengaruhi

kecenderungan bunuh diri yang tidak dimasukkan dalam model penelitian ini.

c) Korelasi parsial

Uji korelasi ini bertujuan untuk mengetahui apakah dalam model regresi, variabel

bebas secara parsial (individual) berpengaruh signifikan terhadap variabel tergantung

PEMBAHASAN

Hasil analisis data penelitian mengenai hubungan antara emotional focus coping

dan kecerdasan emosional dengan kecenderungan bunuh diri pada remaja, diperoleh nilai R

=0,373, p-value 0,029 < 0,05 dan F hitung = 3,809 lebih besar dari F tabel = 3,20 artinya

signifikan (df1 = 2 dan df2 = 47). Berdasarkan hasil analisis regresi tersebut dapat

dikatakan bahwa faktor emotional focus coping dan kecerdasan emosional memiliki

hubungan dengan kecenderungan bunuh diri pada remaja.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa emotional focused coping dan kecerdasan

emosional dengan kecenderungan bunuh diri memiliki hubungan yang signifikan.

Kecenderungan untuk melakukan sebuah perilaku bunuh diri dapat terjadi dalam setiap

individu yang diakibatkan oleh suatu hal yang dirasa sangat memberatkan dalam hidup,

sehingga menyebabkan munculnya anggapan bahwa bunuh diri adalah salah satu sebuah

solusi yang secara khusus dapat muncul dalam diri remaja karena kelabilan dan

ketidakmatangan dalam emosi. Sesungguhnya stres yang dialami orang muda berhubungan

dengan permasalahan emosi dan psikologi.

Hasil penelitian dalam analisis data dengan menggunakan korelasi parsial

menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara emotional focus coping dengan

70

Page 13: 58-109-1-SM

71

kecenderungan bunuh diri. Hal ini ditunjukkan dengan nilai r: -0,373 dengan p: 0,008.

Terdapat pula hubungan signifikan yang negatif antara kecerdasan emosional dengan

kecenderungan bunuh diri pada remaja, yang ditunjukkan dengan hasil analisis data

korelasi parsial dengan r: -0,491 dengan p: 0,038.

R square disebut juga koefisien determinan adalah 0,139 (nilai R square adalah

pengkuadratan dari koefisien korelasi (R)). Artinya 13,9% kecenderungan bunuh diri pada

mahasiswa dapat dijelaskan oleh variabel emotional focus coping dan kecerdasaan

emosional. Sedangkan sisanya (100% - 13,9% = 86,1%) dijelaskan oleh sebab-sebab lain.

Hall (dalam Arnett, 1999) melihat bahwa adanya tendensi akan aspek yang

memunculkan sebuah stres ada didalam remaja. Kapplan, Taylor & Stansfeld (dalam

Comer, 1992) menjelaskan bahwa seorang remaja dalam periode perkembangannya dalam

bereaksi lebih mudah sensitif terhadap situasi yang dialami, marah, mendramatisir, dan

lebih impulsif. Sehingga kemungkinan adanya perilaku bunuh diri yang disebabkan adanya

sebuah stres dapat meningkat. Adler (2006) menambahkan bahwa kesalahan yang

diperlihatkan oleh orang yang melakukan bunuh diri adanya kegagalan dalam melakukan

pendekatan terhadap permasalahan hidup, mereka gagal dalam menentukan langkah yang

tepat. Sinambela (1996) menambahkan bahwa pada umumnya stimulus yang mendorong

seseorang ketika bunuh diri adalah sakit psikis yang sulit ditoleransi.

Hal tersebut merupakan bentuk kegagalan individu dalam melakukan sebuah

adaptasi diri dengan bentuk permasalahan yang ada. Bentuk adaptasi ini berupa coping,

khususnya emotional focused coping. Mekanisme coping mencakup usaha untuk mengubah

penilaian sehingga orang tidak lagi merasa terancam dengan stimulus dari luar. Dalam hal

ini remaja dalam perkembangannya lebih banyak dipersoalkan dengan permasalahan yang

dikaitkan dengan dominasi emosi yang kurang matang dan kurang labil. Keadaan tersebut

akan dengan mudah memberikan sebuah asumsi dalam diri remaja akan dengan mudah

untuk menyerah dengan keadaan. Hapsari, Karyani & Taufik (2002) menjelaskan bahwa

strategi coping yang berfokus pada emosi termasuk penolakan karena tertekan atau merasa

bingung dapat dihindari dengan memikirkan hal-hal yang nyata, melakukan aktivitas,

mencari kesibukan, dan melakukan sesuatu sehingga terkonsentrasi pada apa yang

dilakukan. Strategi coping yang berfokus pada emosi juga bisa dihindari dengan

memikirkan harapan-harapan yang diinginkan.

71

Page 14: 58-109-1-SM

72

DAFTAR PUSTAKA Azwar, Saifuddin. 2005. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Badudu, J.S. dan Zain, Sutan Muhammad. 1994. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta:

Rineka Cipta. Bishop, George D. 1994. Health Psychology: Integrating Mind and Body. Needham

Heights: Allyn and Bacon Folkman, Susan (1984). “Personal control and stress and coping processes: A theoretical

analysis”. Journal of Personal and Social Psychology. 46: 839–852.

Goleman, D. 1999. Kecerdasan emotional. Terjemahan. Cetakan IX. Jakarta: Gramedia Pustala Utama.

Goleman, D. 2000. Kecerdasan Emosional :Mengapa EI Lebih Penting Daripada IQ.Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama

Hadi. 2000. Statistik. Jilid 2. Cetakan XVII. Yogyakarta: Andi offset

______. 2000. Metodologi Reserach. Cetakan Keenam belas, jilid 3 Yogyakarta: ANDI

Offse

Hurlock, Elizabeth B.1999. Psikologi Perkembangan (Suatu pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan), edisi kelima. Jakarta: Penerbit Erlangga

Kartono, kartini. (2005). Patologi Sosial. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada Kaplan & Saddock, 1997, Sinopsis Psikiatri, Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis,

Edisi ke-7, jilid 2, Binarupa Aksara, Jakarta

Lazarus, R., & Folkman, S. (1984). Stress, appraisal, and coping. New York: Springer.

Mayer, J. D., Caruso, D. R., & Salovey, P. (1999). Emotional intelligence meets traditional standards for an intelligence. Intelligence, 27, 267-298.

Mayer, J. D., Salovey, P., & Caruso, D. (2002). Competing models of emotional

intelligence. Dalam R. J. Sternberg (Sid. Ed.), Handbook of human intelligence. New York: Cambridge UP.

Patton, P. 2000. EQ : Pengembangan SuksesLebih Bermakna. Jakarta : Mitra Media

Publishers.

72

Page 15: 58-109-1-SM

73

Sarafino, Edward P. 1998. HEALTH PSYCHOLOGY Biopsychosocial Interaction third edition. Newyork: John Wliey & Sons, Inc

Smet, Bart.1994. Psikologi Kesehatan. Jakarata: Penerbit Pt Gremedia Widiasarana

Indonesia.

Supratiknya, A. 1995. Mengenal perilaku abnormal. Jakarta: Kanisius

Thompson, R. A. (1991). Emotional regulation and emotional development. Educational Psychology Review, 3, 269-307.

73