7 bab ii tinjauan pustaka yang berasal dari daerah ...repository.ump.ac.id/6941/3/bab ii.pdf ·...
TRANSCRIPT
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Biologi Tanaman Kakao
Tanaman kakao (Theobroma cacao, L.) merupakan salah satu anggota
familia Sterculiaceae yang berasal dari daerah beriklim tropis di Amerika Tengah
dan Selatan, namun negara asal yang tepat masih belum dapat diketahui
(Roesmanto, 1991). Pada awal abad 19, produsen kakao utama dunia banyak
berasal dari negara di Amerika Selatan seperti Equador dan Brazil, sedangkan saat
ini negara produsen kakao mulai tersebar di seluruh wilayah tropis di dunia mulai
dari Afrika sampai Amerika Selatan (Baon dan Wardani, 2010).
Di Indonesia, kakao mulai dibawa masuk ke daerah Sulawesi Utara oleh
bangsa Spanyol pada awal abad 16. Dari daerah tersebut, kakao kemudian
menyebar ke seluruh wilayah di Indonesia dan mulai dibudidayakan secara serius
pada tahun 1970an (Sugiharti, 2006). Saat ini, Indonesia menjadi negara penghasil
kakao terbesar kedua di dunia dibawah Pantai Gading dengan total produksi per
tahun mencapai 717 ribu ton pada tahun 2008 atau berkontribusi sebesar 17,25 %
dari total produksi kakao dunia (Taufik et al., 2010). Beberapa negara penghasil
kakao utama di dunia antara lain Ghana, Nigeria, Kamerun, Brazil dan Equador
(FAO, 2013).
Pengaruh Kinetin Terhadap..., Puji Rahayu, FKIP, UMP, 2013
8
2.1.1 Morfologi Kakao
Tanaman kakao berbentuk pohon dengan tinggi dapat mencapai 4,5 - 7
meter setelah berumur 12 tahun (Prawoto & Winarsih, 2010). Tanaman kakao
memiliki sistem perakaran tunggang yang merupakan salah satu ciri umum dari
tanaman dikotil. Akar utamanya tumbuh lurus ke bawah dan bercabang banyak
sehingga batang menjadi kokoh, sedangkan akar lateral (mendatar) tumbuh dan
berkembang di dekat permukaan tanah dan memiliki jangkauan yang luas
sehingga dapat menyerap air dan unsur hara lebih banyak (Prawoto & Winarsih,
2010).
Tanaman kakao bersifat dimorfisme, yaitu memiliki 2 pola percabangan.
Cabang yang arah pertumbuhannya ke atas disebut cabang ortotrop, sedangkan
cabang yang arah pertumbuhannya ke samping disebut cabang plagiotrop.
Tanaman kakao yang masih muda memiliki batang yang lurus, namun pada umur
sekitar 10 bulan akan membentuk cabang plagiotrop (Prawoto & Winarsih, 2010;
Karmawati et al., 2010).
Tanaman kakao termasuk tanaman tahunan (parennial) yang mulai
berbunga setelah tanaman berumur 3 tahun (Rahardjo, 2011). Puncak produksi
bunga terjadi setelah tanaman berumur 4 - 5 tahun. Tanaman kakao dapat bertahan
sampai berumur 20 tahun atau lebih jika pengelolaannya baik (Konam et al.,
2009). Tanaman kakao yang berumur lebih dari 20 tahun akan menurun
produktivitasnya sehingga perlu dilakukan peremajaan (Firdaus & Ariyoso, 2010).
Pengaruh Kinetin Terhadap..., Puji Rahayu, FKIP, UMP, 2013
9
Tanaman kakao mampu berbunga sepanjang tahun dengan masa
pembungaan maksimum pada bulan Februari - April dan masa pembungaan
minimun pada bulan Agustus - September (Rahardjo, 2011). Bunga kakao tumbuh
dan berkembang di bekas ketiak daun pada bagian batang atau cabang sehingga
kakao biasa disebut pula sebagai tanaman caulifloris (Prawoto, 2008; Gambar
2.1). Tempat tumbuh bunga kakao semakin lama semakin menebal dan membesar
disebut bantalan bunga (cushion). Dari setiap bantalan bunga akan muncul satu
bunga majemuk dengan tangkai yang pendek sehingga nampak seperti bunga
tunggal (Prawoto & Winarsih, 2010). Bantalan bunga akan tetap aktif
menghasilkan kuntum bunga selama beberapa tahun dan akan berhenti
menghasilkan kuntum bunga jika terganggu fisiologisnya karena gangguan
mekanis seperti terpotong saat pemanenan atau terserang penyakit (Prawoto,
2008).
Gambar 2.1 Bunga kakao muncul dari bekas ketiak daun pada batang ataucabang (Caulifloris). Tampak kuntum bunga kakao yang masihkuncup (panah warna merah) dan beberapa telah mekar (panahwarna kuning) yang berasal dari satu bantalan bunga.
Pengaruh Kinetin Terhadap..., Puji Rahayu, FKIP, UMP, 2013
10
Setiap kuntum bunga tersusun atas 5 daun kelopak (sepala) dan 5 daun
mahkota (petala) yang bebas satu sama lain serta organ kelamin (Gambar 2.2).
Bunga kakao merupakan bunga hermaprodit dengan organ betina (gynaecium)
terdiri atas bakal buah (ovary), tangkai putik (stylus), dan kepala putik (stigma).
Organ kelamin jantan (androecium) yang terdiri dari 5 benang sari (stamen) dan
staminodia. Stamen merupakan organ kelamin jantan fertil karena mampu
menghasilkan tepung sari (pollen) dengan diameter 2 - 3 mikron, sedangkan
staminodia merupakan organ kelamin jantan palsu yang steril (Prawoto &
Winarsih, 2010; Rahardjo, 2011).
Gambar 2.2 Diagram bunga kakao (A) yang menunjukkan bagian sepala danpetala; sedangkan (B) adalah diagram organ kelamin pada bungakakao yang menunjukkan adanya stamen dan staminodia(Rahardjo, 2011).
Proses pembungaan kakao diawali dengan terbentuknya kuncup (primordia)
bunga (Gambar 2.3 a). Setelah 30 hari, kuncup bunga akan mekar (Gambar 2.3
b) yang menandakan bahwa putik dan kepala sari telah masak dan siap melakukan
penyerbukan dan pembuahan. Setelah mengalami penyerbukan, bakal biji (ovule)
1. Kelopak bunga(kalyx); daunkelopak (sepala)
2. Mahkota bunga(corolla); daunmahkota (petala)
3. Tangkai sari(filament)
4. Kelamin jantanpalsu (staminodia)
5. Tangkai putik(stylus)
1. Bakal buah(ovarium)
2. Tangkai putik(stylus)
3. Kepala putik(stigma)
4. Kelamin jantanpalsu (staminodia)
5. Tangkai sari(filament)
6. Kepala sari(anthera)
Pengaruh Kinetin Terhadap..., Puji Rahayu, FKIP, UMP, 2013
11
akan tumbuh menjadi biji dan bakal buah (ovarium) akan tumbuh menjadi buah
(Gambar 2.3 c dan d; Rahardjo, 2011).
Gambar 2.3 Tahap perkembangan bunga kakao; (a) kuncup bunga kakao; (b)bunga kakao yang mekar; (c) buah kakao; (d) biji kakao terbungkusoleh pulpa (Karmawati et al., 2010)
Setiap tahunnya, tanaman kakao dapat menghasilkan kuntum bunga antara
5.000 – 12.000 kuntum per pohon. Namun, hanya sekitar 1 % dari seluruh bunga
yang dihasilkan mengalami penyerbukan dan menjadi buah, sedangkan sisanya
akan gugur dalam waktu 24 jam (Prawoto, 2008). Setelah terjadi pembuahan,
buah kakao mulai tumbuh dan berkembang secara perlahan sampai hari ke 40.
Setelah melewati fase tersebut, pertumbuhan buah mulai cepat dan mencapai
puncaknya saat buah berumur 75 hari. Pembesaran buah akan berlangsung sampai
buah berumur 120 hari serta siap panen pada hari ke 143 - 170. Pemanenan
dilakukan apabila telah terjadi perubahan warna pada kulit buah (Prawoto &
Winarsih, 2010; Karmawati et al., 2010).
Kulit buah kakao memiliki alur dalam dan dangkal tergantung pada varietas
kakao. Bijinya tersusun dalam lima baris mengelilingi poros buah dan berjumlah
antara 20 - 50 butir per buah. Biji terbungkus oleh pulpa yang berwarna putih
a b c d
Pengaruh Kinetin Terhadap..., Puji Rahayu, FKIP, UMP, 2013
12
(Gambar 2.3), rasanya asam manis dan diduga mengandung zat penghambat
perkecambahan. Di bagian dalamnya terdapat kulit biji (testa) yang membungkus
2 kotiledon. Biji kakao tidak memiliki masa dorman sehingga terkadang
ditemukan biji yang telah berkecambah di dalam buah yang terlambat dipanen
(Prawoto & Winarsih, 2010).
Untuk dapat menghasilkan biji dengan baik, tanaman kakao memerlukan
naungan atau pohon pelindung untuk mengurangi intensitas cahaya matahari dan
suhu udara (Prawoto & Winarsih, 2010). Tanaman kakao akan tumbuh dengan
baik jika mendapat penyinaran dari matahari secara langsung selama kurang lebih
2 jam dalam sehari. Intensitas cahaya yang tinggi dapat menyebabkan penurunan
produksi dan mempengaruhi morfologi tanaman (Roesmanto, 1991).
Temperatur udara juga memegang peran yang sangat penting dalam
pertumbuhan dan perkembangan bunga dan buah. Temperatur lingkungan yang
optimum untuk pertumbuhan bunga kakao berkisar 25° C. Pada temperatur di
bawah 10° C, bunga akan mengering, sedangkan temperatur di atas 32° C akan
menyebabkan bunga kakao gugur (Roesmanto, 1991; Karmawati et al, 2010).
2.1.2 Varietas Kakao
Berdasarkan morfologinya, kakao dibagi menjadi 3 varietas, yaitu criollo,
forastero, dan trinitario. Kakao criollo (Gambar 2.4 A) memiliki ciri-ciri berupa
kulit buah berwarna merah atau kuning dengan permukaan yang kasar dan alur
yang jelas (dalam). Daging buah kakao varietas ini cukup tebal tetapi lunak
(mudah pecah) dengan biji yang besar dan bulat tersusun atas dua kotiledon
Pengaruh Kinetin Terhadap..., Puji Rahayu, FKIP, UMP, 2013
13
berwarna putih. Criollo memiliki mutu biji yang sangat baik karena memberikan
cita rasa khas sehingga disebut juga sebagai kakao mulia. Namun,
pertumbuhannya kurang kuat (mudah terserang penyakit), produktivitas yang
rendah serta kadar lemak yang rendah menyebabkan varietas ini jarang
dibudidayakan di Indonesia (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 2004).
Kakao forastero disebut juga kakao lindak (bulk; Gambar 2.4 B) yang
memiliki ciri-ciri kulit buah berwarna hijau dengan permukaan halus dan alur
yang dangkal. Daging buahnya tipis tetapi keras, bentuk biji gepeng dan
berukuran lebih kecil dari biji kakao criollo, serta kotiledon berwarna ungu gelap.
Namun, kakao forastero memiliki pertumbuhan yang cepat dan tahan terhadap
beberapa jenis hama dan penyakit, serta memiliki produktivitas tinggi. Kakao
forastero sering juga disebut sebagai kakao industri (Pusat Penelitian Kopi dan
Kakao Indonesia, 2004).
Kakao trinitario (Gambar 2.4 C) merupakan hibrida criollo dan forastero
sehingga sifat morfologi dan fisiologisnya sangat bervariasi, begitu juga dengan
daya dan mutu hasilnya (Prawoto & Winarsih, 2010).
Gambar 2.4 Morfologi buah kakao dari tiga varietas, criollo (A), forastero (B)dan trinitario (C; Karmawati et al., 2010)
Pengaruh Kinetin Terhadap..., Puji Rahayu, FKIP, UMP, 2013
14
2.1.3 Manfaat kakao
Kakao merupakan tanaman yang dibudidayakan untuk dimanfaatkan
buahnya. Kulit buah kakao dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak hewan
ruminansia (Tuty, 2009). Kulit buah kakao juga dapat dimanfaatkan sebagai
bahan baku dalam pembuatan pulp. Pulp merupakan bahan yang dapat diolah
menjadi kertas dan rayon (Harsini dan Susilowati, 2010). Manfaat lain dari kulit
buah kakao adalah dapat dibuat briket sebagai pengganti arang atau batubara,
bahan baku pembuatan bioetanol, pigmen β-karoten serta bahan baku pembuatan
pektin yang memiliki peran penting dalam industri pangan, kosmetika, maupun
obat-obatan (Patabang, 2011; Sari et al., 2012; Pratiwi et al., 2010; Wulan, 2001).
Bagian buah kakao yang paling penting adalah biji (Gambar 2.5 a). Biji
kakao mengandung kadar lemak yang tinggi dan dijadikan sebagai bahan utama
pembuatan bubuk coklat (Gambar 2.5 b; Martede & Basri, 2011). Bubuk ini
dapat diolah menjadi berbagai macam produk makanan dan minuman yang
banyak disukai masyarakat karena memiliki cita rasa yang enak, manis, dan
memiliki aroma yang khas (Gambar 2.5 c, d, e; Roesmanto, 1991).
Pengaruh Kinetin Terhadap..., Puji Rahayu, FKIP, UMP, 2013
15
Gambar 2.5 Biji kakao (a); cokelat bubuk (b); makanan dan minuman berbahanbaku coklat (c,d,e,f; http://www.digstar.com/images/cocoa)
2.2 Budidaya Kakao dan Permasalahannya
2.2.1 Produksi Kakao Dunia dan Indonesia
Kakao merupakan komoditas perkebunan terbesar ke tiga di Indonesia
setelah kelapa sawit dan karet (FAO, 2013). Total produksi kakao di Indonesia
mencapai lebih dari 700 ribu ton per tahun (Taufik et al., 2010) dan mampu
menjadi sumber pendapatan negara yang cukup tinggi yaitu lebih dari US$ 1,8
milyar pada tahun 2009 (Ariati et al., 2012). Selain itu, perkebunan kakao juga
mampu menyerap tenaga kerja yang cukup tinggi, yaitu mencapai 1,5 juta kepala
keluarga pada tahun 2009 (Limbongan, 2011).
Total produksi kakao di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke
tahun. Pada tahun 2003, produksi kakao di Indonesia hanya sekitar 690 ribu ton.
a
ed f
b
c
Pengaruh Kinetin Terhadap..., Puji Rahayu, FKIP, UMP, 2013
16
Angka ini naik menjadi sekitar 760 ribu ton pada tahun 2006. Sedangkan pada
tahun 2010, total produksi kakao di Indonesia sudah mencapai lebih dari 840 ribu
ton (FAO, 2013). Jika dibandingkan dengan produksi kakao di negara lain, maka
Indonesia merupakan negara dengan total produksi kakao terbesar kedua di dunia
setelah Pantai Gading (Gambar 2.6). Pada tahun 2010, produksi kakao di Pantai
gading mencapai hampir 1,4 juta ton dan Ghana sekitar 700 ribu ton, sedangkan
Nigeria sebagai negara produsen kakao terbesar ke empat dunia hanya sekitar 400
ribu ton (Gambar 2.6; FAO, 2013).
Gambar 2.6 Sepuluh negara produsen kakao terbesar di dunia tahun 2010.Indonesia (panah hitam) menempati posisi kedua sebagai produsenkakao terbesar dunia (FAO, 2013).
Total produksi kakao di Indonesia yang meningkat selama 10 tahun terakhir
tersebut terjadi karena adanya peningkatan luas area perkebunan kakao yang
signifikan. Pada tahun 2003, luas area perkebunan kakao Indonesia hanya sekitar
900 ribu ha yang tersebar di hampir seluruh provinsi kecuali DKI Jakarta (Avivi
Pengaruh Kinetin Terhadap..., Puji Rahayu, FKIP, UMP, 2013
17
et al., 2010). Luas area perkebunan tersebut meningkat menjadi hampir 1,7 juta
ha pada tahun 2011 (FAO, 2013). Berdasarkan rata-rata luas area perkebunan
kakao pada tahun 2011, Indonesia menempati urutan ke-2 sebagai negara dengan
luas area perkebunan kakao terbesar dunia di bawah negara Pantai Gading
(Gambar 2.7). Pantai Gading memiliki luas area perkebunan terbesar dunia
dengan total luas hampir 2,5 juta ha atau berkontribusi sebesar 25,28 % dari total
luas area kakao dunia (FAO, 2013).
Gambar 2.7 Negara dengan rata-rata luas area kakao terbesar dunia tahun 2011.Indonesia berada diperingkat kedua setelah negara Pantai Gading(FAO, 2013).
2.2.2 Permasalahan Budidaya Kakao di Indonesia
Indonesia merupakan negara produsen kakao terbesar kedua di dunia karena
memiliki luas area perkebunan kakao terluas kedua di dunia (Gambar 2.6).
Namun dalam hal produktivitas, perkebunan kakao di Indonesia hanya mampu
menghasilkan biji kakao dengan jumlah yang sangat rendah untuk setiap hektar
Pengaruh Kinetin Terhadap..., Puji Rahayu, FKIP, UMP, 2013
18
lahannya. Produktivitas kakao tersebut juga menurun selama lima tahun terakhir
(Gambar 1.1). Pada tahun 2007, produktivitas perkebunan kakao di Indonesia
mencapai 800 kg per hektar lahan, sedangkan pada tahun 2011 produktivitas
tersebut menurun hampir setengahnya menjadi sekitar 400 kg per hektar. Angka
tersebut hampir sepertujuh produktivitas perkebunan kakao di Guatemala dan
Thailand (lebih dari 2,6 ton biji kering per hektar; Gambar 1.1).
Banyak faktor yang diduga menjadi penyebab rendahnya produktivitas
kakao di Indonesia, diantaranya adalah adanya serangan hama dan penyakit
seperti layu pentil (cherelle wilt) yaitu kematian pada buah kakao yang masih
muda (pentil) dengan persentase kematian mencapai 60 – 90 % (Oktaviani, 2008;
Widiancas, 2010). Tanaman kakao juga sering terkena penyakit Vascular-streak
Dieback (VSD) yang menyerang pembuluh kayu kakao sehingga merusak
tanaman kakao. Hama penggerek buah kakao (PBK) juga dapat mengurangi
produksi kakao hingga 90 % karena larva hama ini memakan plasenta buah
sehingga mengakibatkan menurunnya produksi dan mutu biji kakao (Susilo &
Sari, 2011; Limbongan, 2011).
Faktor lain yang diduga menjadi penyebab rendahnya produktivtias kakao di
Indonesia adalah penerapan teknologi budidaya seperti pemupukan dan
pemangkasan yang belum optimal dan umur tanaman yang telah tua (Basri, 2009;
Limbongan, 2011). Pemupukan bertujuan menambah unsur hara tertentu yang
dibutuhkan tanaman. Namun, petani cenderung memberikan dosis pupuk yang
berlebihan sehingga menyebabkan berkurangnya kesuburan tanah dan merusak
Pengaruh Kinetin Terhadap..., Puji Rahayu, FKIP, UMP, 2013
19
sifat fisik tanah yang dapat mengurangi produktivitas kakao (Prawoto &
Soedarsono, 2010). Pemangkasan juga harus dilakukan secara tepat sehingga
tidak menyebabkan kematian pada cabang dan meningkatkan kepekaan tanaman
terhadap serangan penyakit. Pemangkasan yang terlalu kurang dapat
mengakibatkan jumlah buah yang dihasilkan sedikit (Prawoto & Soedarsono,
2010).
Kondisi tanaman yang telah tua (lebih dari 20 tahun) mulai menurun
produktivitasnya sekitar 0,2 – 0,3 kg per pohon (Firdaus dan Ariyoso, 2010;
Soedarto & Bulu, 2013). Kondisi demikian tidak dapat dipertahankan sehingga
memerlukan adanya rehabilitasi atau peremajaan tanaman untuk kembali
meningkatkan produktivitas kakao.
Salah satu faktor utama yang diduga menjadi penyebab rendahnya
produktivtias kakao di Indonesia adalah rendahnya kualitas bibit yang ditanam
(Martede & Basri, 2011; Sugiharti, 2006). Oleh karena itu, penyediaan bibit
unggul dalam jumlah yang banyak dan waktu yang singkat sangat dibutuhkan
untuk meningkatkan produktivitas kakao di Indonesia.
2.3 Pembibitan Kakao di Indonesia
Penyediaan bibit kakao yang banyak dilakukan di Indonesia adalah secara
generatif atau melalui biji. Biji kakao yang berkualitas direndam dalam air kapur
2,5 % selama kurang lebih 30 detik kemudian dicuci guna mengupas kulit biji
(testa). Selanjutnya biji dikering anginkan sampai kadar air 40 % kemudian
Pengaruh Kinetin Terhadap..., Puji Rahayu, FKIP, UMP, 2013
20
disemai selama 12 hari. Benih yang telah berkecambah kemudian dipelihara
selama 4 - 5 bulan sampai siap ditanam di lahan (Gambar 2.8; Rahardjo, 2011).
Gambar 2.8 Bibit hasil semaian biji kakao berumur 2 bulan yang dipeliharasampai siap untuk ditanam di lahan (Prihastanti, 2012).
Pembibitan secara generatif tersebut relatif mudah dilakukan dan sederhana
(Winarsih et al., 2003). Namun, kendala yang dihadapi adalah bibit yang
dihasilkan memiliki variasi genetik yang tinggi dan tidak sama dengan induknya
(Li et al., 1998; Traore et al., 2002). Hal ini karena bunga kakao bersifat protogini
yang artinya putik masak lebih awal daripada kepala sari (Prawoto, 2008)
sehingga penyerbukan yang terjadi pada bungakakao termasuk penyerbukan
silang (cross-polination; Issali et al., 2011).
Cara lain yang mulai banyak diupayakan untuk mengatasi kekurangan
pembibitan kakao melalui biji adalah dengan pembibitan secara vegataif melalui
stek (cuttings) dan okulasi (budding, Rahardjo, 2010). Stek dilakukan dengan
memotong batang atau pucuk tanaman kakao yang masih muda kemudian ditanam
ke dalam pot yang telah berisi medium lalu disungkup. Akar akan mulai tumbuh
pada cabang setelah berumur tiga minggu dan siap untuk ditanam ke lahan setelah
berumur enam bulan. Teknik ini mudah dilakukan dan tanaman hasil stek
Pengaruh Kinetin Terhadap..., Puji Rahayu, FKIP, UMP, 2013
21
biasanya akan cepat berbunga dan berbuah (Rahardjo, 2010). Namun, pada
tanaman kakao penerapan teknik ini memiliki tingkat keberhasilan yang rendah,
merusak tanaman induk yang dijadikan sumber stek, serta jumlah bibit yang
dihasilkan terbatas (Hendrata dan Sutardi, 2009; Rahardjo, 2010).
Cara vegetatif lain yang dikembangkan untuk menghasilkan bibit kakao
adalah melalui okulasi. Mata tunas yang berwarna hijau dari pohon kakao
berkualitas ditempelkan ke batang bawah bibit kakao berumur satu tahun yang
diperoleh dari perkecambahan biji. Mata tunas kemudian diikat dengan tali plastik
dan dibiarkan tumbuh sampai berdaun sekitar 8 lembar. Bibit hasil okulasi
kemudian dipelihara selama 12 bulan sebelum ditanam ke lahan. Kelebihan teknik
ini adalah pertumbuhannya cepat dibandingkan bibit asal setek dan tingkat
keberhasilannya tinggi yaitu lebih dari 90%. Namun, teknik okulasi membutuhkan
mata tunas yang banyak sehingga merusak tanaman induknya. Disamping itu,
jumlah mata tunas yang terbatas menyebabkan jumlah bibit yang dihasilkan juga
terbatas (Rahardjo, 2010).
Salah satu upaya untuk mengatasi kelemahan pembibitan kakao secara
konvensional adalah dengan menggunakan teknik kultur jaringan tumbuhan (in
vitro). Kultur Jaringan tumbuhan merupakan teknik perbanyakan dengan
mengisolasi jaringan tanaman dan ditumbuhkan dalam medium dan lingkungan
tumbuh yang sesuai secara aseptis (Marlina, 2004). Teknik ini dapat
menghasilkan bibit yang seragam dan sama dengan induknya. Teknik ini juga
dapat memperbanyak tanaman dalam jumlah yang besar dengan waktu yang
Pengaruh Kinetin Terhadap..., Puji Rahayu, FKIP, UMP, 2013
22
singkat (Avivi et al., 2010). Namun, tingkat keberhasilan penggunaan teknik
kultur jaringan untuk menghasilkan bibit masih sangat terbatas. Disamping itu
teknik ini memerlukan keahlian khusus, dan harus dilakukan di laboratorium
sehingga biaya yang dibutuhkan relatif mahal (Hendaryono dan Wijayani, 1994).
Ada beberapa macam teknik kultur jaringan yang telah dikembangkan untuk
menghasilkan bibit suatu tumbuhan seperti teknik kultur meristem, kultur pucuk,
tunas aksiler maupun organogenesis (Zulkarnain, 2009). Kultur meristem
merupakan salah satu teknik perbanyakan tanaman dengan menggunakan eksplan
meristem dengan beberapa primordia daun. Teknik ini biasanya digunakan untuk
mendapatkan tanaman yang bebas virus. Teknik ini telah diterapkan pada berbagai
jenis tanaman seperti, kentang (Solanum tuberosum), pisang (Musa), dan anyelir
(Dianthus caryophyllus) tetapi belum berhasil diaplikasikan pada tanaman kakao
(Zulkarnain, 2009).
Teknik lainnya yaitu kultur tunas aksiler dan kultur pucuk merupakan teknik
perbanyakan tanaman dengan menggunakan tunas aksiler maupun pucuk
tanaman. Kedua teknik tersebut memiliki kelebihan yaitu pertumbuhannya lebih
cepat karena hanya memerlukan tahap pemanjangan tunas dan diferensiasi akar
untuk mendapatkan tanaman lengkap (plantlet) sehingga tidak membutuhkan
waktu yang lama. Teknik tersebut banyak diaplikasikan untuk perbanyakan bibit
berbagai tanaman, namun kedua teknik tersebut belum berhasil diaplikasikan pada
tanaman kakao (Figuera et al., 1991).
Pengaruh Kinetin Terhadap..., Puji Rahayu, FKIP, UMP, 2013
23
Organogenesis merupakan proses pembentukan organ yang berlangsung
setelah periode pertumbuhan kalus. Teknik ini dapat menghasilkan tanaman
dalam jumlah yang banyak, tetapi belum berhasil diaplikasikan pada tanaman
kakao (Zulkarnain, 2009).
Salah satu teknik yang mulai dikembangkan untuk memperbanyak kakao
secara in vitro adalah melalui teknik embryogenesis somatik.
2.4 Perkembangan Penelitian Embriogenesis Somatik Kakao
Embriogenesis somatik adalah proses pembentukan embrio suatu tumbuhan
yang berasal dari sel-sel somatik (Purnamaningsih, 2002). Teknik ini telah banyak
diterapkan pada beberapa tumbuhan diantaranya, jati (Tectona grandis L.
Armaniar, 2002); kopi arabika (Coffea arabica, Oktavia et al., 2003; Riyadi &
Tirtoboma, 2004); kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq., Sumaryono, 2007),
meranti (Shorea pinanga; Yelnititis, 2008), dan lamtoro (Leucaena leucocephala;
Sapsuha et al., 2011).
Pada teknik embriogenesis somatik ada beberapa tahap, yaitu (1) induksi
kalus embrionik, (2) induksi embryo somatik, (3) perkecambahan, dan (4)
hardening (aklimatisasi; Purnamaningsih, 2002). Pada tahap induksi kalus
embrionik, eksplan yang telah diisolasi ditumbuhkan dalam medium tanam
dengan penambahan zat pengatur tumbuh tertentu. Umumnya, zat pengatur
tumbuh yang digunakan adalah golongan auksin yang memiliki daya aktivitas
kuat atau dengan konsentrasi tinggi (Purnamaningsih, 2002).
Pengaruh Kinetin Terhadap..., Puji Rahayu, FKIP, UMP, 2013
24
\Tahap induksi embryo somatik yaitu tahap perkembangan kalus embrionik
menjadi embryo. Secara spesifik tahap perkembangan embrio somatik kakao
dimulai dari fase globular, fase hati (heart), fase torpedo, kotiledon, dan planlet
(Gambar 2.9; Li,et al.,1998). Pada tahap ini biasanya digunakan auksin dengan
konsentrasi rendah. Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan menunjukkan
bahwa tahap ini merupakan tahap yang paling sulit (Purnamaningsih, 2002).
Gambar 2.9 Tahap perkembangan morfologi embrio somatik kakao; (a) embriosomatik pada tahap globular; (b) embrio tahap heart; (c)pembentukan embrio sekunder; (d) embrio tahap torpedo; (e) tahapkotiledon; (f dan g) plantlet; (h) aklimatisasi plantlet (Li et al.,1998)
Tahap selanjutnya adalah perkecambahan yaitu fase pembentukan tunas dan
akar. Medium yang digunakan untuk perkecambahan yaitu dengan penambahan
zat pengatur tumbuh dengan konsentrasi yang sangat rendah atau samasekali tidak
ditambahkan zat pengatur tumbuh (Purnamaningsih, 2002).
Tahap akhir dalam embriogenesis somatik yaitu hardening. Pada tahap ini
dilakukan aklimatisasi bibit embrio somatik dari kondisi in vitro ke lingkungan
baru di rumah kaca (ex vitro) dengan cara menurunkan kelembaban dan
meningkatkan intensitas cahaya (Purnamaningsih, 2002).
a
f g h
b dc
e
Pengaruh Kinetin Terhadap..., Puji Rahayu, FKIP, UMP, 2013
25
Melalui teknik embryogenesis somatik, bibit kakao dapat dihasilkan secara
cepat dan dapat diproduksi secara masal serta tidak merusak tanaman induk
(Purnamaningsih, 2002). Namun, untuk mengaplikasikan teknik ini dalam skala
besar untuk penyediaan bibit kakao measih mengalami kendala berupa tingkat
keberhasilan yang masih sangat rendah yaitu kurang dari 50 % (Winarsih et al.,
2003).
Beberapa upaya telah dilakukan untuk meningkatkan keberhasilan teknik
embriogenesis somatik kakao, diantaranya dengan menggunakan berbagai jenis
eksplan dari tanaman kakao, beberapa medium dasar maupun penambahan zat
aditif ke dalam medium tanam.
Beberapa eksplan telah dujikan untuk menari jenis eksplan terbaik dalam
menginduksi embryogenesis somatik kakao. Ekplan embryo buah muda dari
beberapa genotipe kakao telah dicobakan dan hasilnya menunjukkan bahwa
persentase keberhasilannya masih rendah yaitu kurang dari 28 % (Dinarti, 1991).
Selain itu, eksplan kotiledon pernah digunakan Chantrapradist & Kanchanapoom
(1995), namun tidak terbentuk embrio dari kalus yang terbentuk.
Eksplan petala dan staminodia juga telah dicobakan untuk menginduksi
embryo somatik kakao dengan hasil yang lebih baik dari jenis eksplan yang lain
(Winarsih et al., 2003; Avivi et al., 2010). Persentase keberhasilan embriogenesis
somatik kakao dengan menggunakan kedua jenis eksplan tersebut sangat
bervariasi tergantung genotipe yang digunakan yaitu 0 – 52 % (petala) dan 0 – 8,5
% (staminodia; Avivi et al., 2010). Hasil yang lebih baik dilaporkan oleh
Pengaruh Kinetin Terhadap..., Puji Rahayu, FKIP, UMP, 2013
26
Winarsih et al., (2003) dengan persentase keberhasilan 46,67 % (petala) dan 32,3
% (staminodia).
Upaya peningkatan keberhasilan induksi embryo somatik kakao juga telah
dilakukan dengan menggunakanbeberapa medium dasar seperti medium
Murashige & Skoog (MS; Alemanno et al., 1996) dan Driver Kuniyuki (DKW;
Maximova et al., 2002; Tan dan Furtek, 2004). Medium MS telah dicobakan
untuk meningkatkan keberhasilan embriogenesis somatik kakao. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa persentase keberhasilannya hanya sekitar 0 – 11,6 %
(Alemanno et al., 1996).
Medium lain yang juga pernah dicobakan dalam embriogenesis somatik
kakao yaitu DKW. Persentase keberhasilannya sekitar 4 – 70 % tergantung
genotipe yang digunakan sebagai eksplan (Maximova et al., 2002). Hasil ini lebih
baik jika dibandingkan dengan Tan & Furtek (2004) yang hanya mampu
menginduksi embrio dengan persentase keberhasilan berkisar 0 – 16,7 % (Tan &
Furtek, 2004).
Penambahan zat aditif ke dalam medium juga pernah dilakukan, diantaranya
yaitu penambahan 10 % air kelapa ke dalam medium hanya mampu menginduksi
embrio somatik denga persentase 0 – 11,67 % (Siregar, 1991) sedangkan
penambahan sulfat (K2S04 dan MgSO4) ke dalam medium mampu menginduksi
embrio dengan keberhasilan antara 0 – 55,6 % (Emile et al.,2008). Hasil ini lebih
kecil jika dibandingkan dengan hasil yang diperoleh Minyaka et al., (2008)
Pengaruh Kinetin Terhadap..., Puji Rahayu, FKIP, UMP, 2013
27
dengan tingkat keberhasilan yang lebih baik, yaitu 5,77 % - 64,91 % tergantung
konsentrasi sulfat yang ditambahkan dan genotipe eksplan yang digunakan.
Salah satu faktor utama yang berperan dalam meningkatkan keberhasilan
embryogenesis somatik adalah pemilihan zat pengatur tumbuh dengan jenis dan
konsentrasi yang tepat (Lengkong, 2009).
2.5 Zat Pengatur Tumbuhan
Zat pengatur tumbuh (ZPT) merupakan senyawa organik baik yang
disintesis oleh tumbuhan itu sendiri (hormon) maupun senyawa sintetik yang
dalam konsentrasi sangat rendah mampu mendukung, menghambat, atau
menimbulkan suatu respons fisiologis (Salisburry & Ross, 1995). Ada lima
kelompok ZPT yaitu sitokinin, auksin, giberelin, etilen, dan asam absisat. Setiap
ZPT mempunyai ciri khas dan pengaruh yang berbeda terhadap proses fisiologis
tanaman (Hendaryono dan Wijayani, 1994; Salisburry & Ross, 1995).
Sitokinin merupakan senyawa yang dapat meningkatkan pembelahan sel
pada jaringan tumbuhan, merangsang pembentukan pucuk, dan mengontrol
perkecambahan biji. Penambahan sitokinin ke dalam medium kultur jaringan
sangat penting karena mampu menginduksi pertumbuhan eksplan dan proliferasi
pucuk, tetapi aktivitas sitokinin juga dapat menghambat pembentukan dan
pertumbuhan akar sehingga sitokinin tidak digunakan untuk tahap perakaran pada
kultur jaringan tumbuhan. Sitokinin yang banyak digunakan dalam kultur jaringan
yaitu kinetin, benziladenin, dan zeatin (Zulkarnain, 2009).
Pengaruh Kinetin Terhadap..., Puji Rahayu, FKIP, UMP, 2013
28
Auksin berfungsi meningkatkan pembelahan sel, pemanjangan sel, dan
pembentukan akar adventif. Penambahan auksin dengan konsentrasi tinggi ke
dalam medium kultur akan merangsang pembentukan kalus, sedangkan
penambahan auksin konsentrasi rendah akan meningkatkan pembentukan akar
adventif. Auksin yang banyak digunakan dalam kultur jaringan diantaranya, 2,4-
dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D), indole-3-acetic acid (IAA), dan α-
naftalenacetic acid (α-NAA; Zulkarnain, 2009).
Dalam kultur jaringan, giberelin berperan meningkatkan perkecambahan biji
dan pemanjangan pucuk. Sedangkan etilen menyebabkan penuaan pucuk-pucuk
muda tanaman sehingga akan menghambat pertumbuhan tanaman. Etilen jarang
digunakan dalam kultur jaringan karena tidak tahan panas sehingga tidak dapat
diautoklaf (Zulkarnain, 2009). Asam absisat jarang sekali digunakan dalam kultur
jaringan, namun menurut George dan Sherringtone (1984) dalam Zulkarnain
(2009), asam absisat dapat merangsang pembentukan embrioid dari kalus.
Salah satu ZPT yang biasa digunakan dalam kultur jaringan dari golongan
auksin adalah 2,4-Dichlorocfenoxyacetat acid (2,4-D) dan 6-furfuryl amino purine
(Kinetin) dari golongan sitokinin (Lestari, 2011).
2.5.1 2,4- Dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D)
2,4-dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D; Gambar 2.9) merupakan zat
pengatur tumbuh golongan auksin sintetis dengan rumus kimia C8H6Cl2O3 dengan
berat molekul 221,04 g mol-1 (Kartikasari, 2013). ZPT ini bersifat stabil dan tidak
mudah mengalami kerusakan oleh cahaya maupun pemanasan saat sterilisasi
Pengaruh Kinetin Terhadap..., Puji Rahayu, FKIP, UMP, 2013
29
(Hendaryono dan Wijayani, 1994; Rahayu et al., 2002). 2,4-D dapat
meningkatkan sintesis protein, memacu pembelahan dan pembesaran sel serta
memacu pembentukan kalus (Hendaryono dan Wijayani, 1994; Rahayu et al.,
2002; Lestari, 2011). 2,4-D merupakan auksin yang paling efektif untuk
menginduksi kalus embriogenik (Purnamaningsih, 2002).
Gambar 2.10 Rumus bangun 2,4 – D (Salisburry & Ross, 1995)
Penelitian tentang penggunaan 2,4-D dalam menginduksi embriogenesis
somatik tanaman telah banyak dilaporkan, diantaranya adalah pengaruh
pemberian 2,4-D pada tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq; Sumaryono
et al., 2007), jati (Tectona grandis, L; Armaniar, 2002), dan kopi arabika (Coffea
arabica; Oktavia et al., 2003).
Penggunaan 2,4-D terhadap embriogenesis somatik kakao juga sudah
banyak dilakukan. Avivi et al., (2010) melaporkan penambahan 2,4-D dengan
konsentrasi 9 x 10-6 M dapat menginduksi embrio dengan persentase keberhasilan
berkisar 0,9 – 52 % pada eksplan petala dan 0 – 8,5 % pada eksplan staminodia.
Pada penelitian tersebut Avivi et al., (2010) menggunakan medium dasar MS
untuk menginduksi pembentukan embryo somatik. Penelitian serupa juga
dilakukan oleh Winarsih et al., (2003) dengan menggunakan medium dasar
Pengaruh Kinetin Terhadap..., Puji Rahayu, FKIP, UMP, 2013
30
maupun konsentrasi 2,4 - D yang sama pula. Hasil penelitiannya menunjukkan
bahwa persentase keberhasilan induksi embryo masih cukup rendah, yaitu 46,67
% pada eksplan petala serta 32,33 % pada eksplan staminodia. Namun, penelitian
yang lain menunjukkan bahwa penambahan 2,4-D sebesar 4 x 10-7 M ke dalam
medium tanam tidak mampu menginduksi pembentukan embryo somatik kakao
dari eksplan petala dan staminodia. Pada penelitian tersebut digunakan medium
dasar DKW (Tan & Furtek, 2004).
Keberhasilan yang rendah pada penggunaan 2,4-D dalam menginduksi
embrio somatik kakao tersebut terjadi karena belum ditemukannya konsentrasi
2,4-D yang tepat untuk ditambahkan ke dalam medium tanam, sehingga dalam
penelitian ini diujikan beberapa konsentrasi 2,4-D yang tepat untuk menginduksi
kalus dan embrio somatik kakao.
2.5.2 6-Furfuryl amino purine (Kinetin)
Kinetin adalah zat pengatur tumbuh dari golongan sitokinin sintetik yang
mengandung karbon dan hidrogen tinggi dengan rumus kimia C10H9N5O dengan
berat molekul 215,2 g mol-1 (Gambar 2.10; Amasino, 2005). Kinetin merupakan
ZPT yang berfungsi memacu pembelahan sel, menunda penuaan pada tanaman,
dan memacu perkembangan kloroplas dan sintesis klorofil (Salisburry & Ross,
1995) serta merangsang pertumbuhan tunas (Lestari, 2011).
Pengaruh Kinetin Terhadap..., Puji Rahayu, FKIP, UMP, 2013
31
Gambar 2.11 Rumus bangun kinetin (Salisburry & Ross, 1995).
Penelitian tentang pengaruh kinetin terhadap embriogenesis somatik
berbagai tanaman telah banyak dilaporkan, diantaranya adalah pengaruh
pemberian kinetin terhadap embriogenesis pada bawang merah (Allium cepa;
Hellyanto, 2008); jati (Tectona grandis; Armaniar, 2002); dan kelapa sawit
(Elaeis guineensis Jacq.; Sumaryono et al., 2007).
Kemampuan kinetin dalam meningkatkan keberhasilan induksi embrio
somatik tersebut diduga karena kinetin memiliki cincin adenin yang merupakan
suatu basa purin yang terdapat pada asam nukleat sehingga kinetin diduga
berperan penting dalam metabolisme asam nukleat maupun sintesis protein. Selain
itu, kinetin juga mampu merangsang pembelahan sel, pembesaran sel, dan
meningkatkan volume sel (Wattimena, 1987).
Penelitian tentang pengaruh kinetin terhadap keberhasilan induksi embrio
somatik pada tanaman kakao secara in vitro sudah banyak dilakukan, di antaranya
yaitu penambahan 1 x 10-6 M kinetin ke dalam medium MS telah dicobakan oleh
Alemanno et al., (1996). Hasil penelitian menunjukkan persentase
keberhasilannya masih sangat rendah yaitu 0 – 11,6 %, sedangkan penambahan
4,6 x 10-7 M kinetin ke dalam medium DKW yang ditambah dengan vitamin MS
(Murashige Skoog’s vitamin) menginduksi embrio somatik dengan persentase
Pengaruh Kinetin Terhadap..., Puji Rahayu, FKIP, UMP, 2013
32
yang juga masih sangat rendah (4,4%). Selain itu juga dilaporkan bahwa
penambahan kinetin yang dikombinasikan dengan ZPT lain seperti 2,4-D dan
NAA (Naftalen acetat acid) justru menginduksi embrio dengan tingkat
keberhasilan kurang dari 4% (Tan & Furtek, 2004). Oleh karena itu, dalam
penelitian ini akan digunakan kinetin untuk meningkatkan keberhasilan induksi
embriogenesis somatik kakao.
Pengaruh Kinetin Terhadap..., Puji Rahayu, FKIP, UMP, 2013