acara iii egdp baru edit revisi arifah.doc

Upload: ratih-ismawanti

Post on 16-Oct-2015

23 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

ACARA III

EVALUASI KADAR PROTEIN TERLARUT PADA KEDELAI DAN PRODUK OLAHANNYA

A. PENDAHULUAN

1. Latar belakang

Protein merupakan salah satu makronutrien bagi tubuh selain karbohidrat dan lemak. Protein tersusun atas asam amino yang dihubungkan satu sama lain dengan ikatan peptida. Protein berfungsi sebagai zat pembangun karena protein merupakan bahan utama pembentuk sel tubuh. Protein terdapat dalam berbagai bahan makanan, baik bahan makanan yang berasal dari tumbuhan (protein nabati) maupun berasal dari hewan (protein hewani). Setiap bahan makanan memiliki kandungan protein yang berbeda-beda. Protein hewani, umumnya mempunyai susunan asam amino yang paling sesuai untuk kebutuhan manusia karena asam amino dalam protein hewani lebih lengkap jika dibandingkan dari sumber protein nabati tetapi harganya relatif mahal. Contoh sumber protein hewani adalah susu, daging, keju, udang, cumi, telur, dan ikan. Sedangkan contoh sumber protein nabati antara lain kacang tanah, kacang merah, kedelai, dan lain-lain.

Kedelai adalah salah satu tanaman polong-polongan yang telah banyak dimanfaatkan manusia untuk diolah menjadi berbagai macam produk makanan olahan. Kedelai merupakan salah satu sumber protein nabati. Produk makanan yang berbahan baku kedelai antara lain kecap, tauco, tahu, tempe, susu kedelai, tepung kedelai, dan sebagainya. Ketika kedelai diolah menjadi produk makanan, tentunya kedelai akan mengalami proses pengolahan yang dapat menurunkan kandungan zat gizi maupun zat antigizinya termasuk protein yang ada dalam kedelai. Pada proses pembuatan susu kedelai misalnya, kedelai diberikan perlakuan pencucian, perebusan, perendaman, penggilingan, dan sebagainya dapat mempengaruhi perubahan struktur pada protein dan juga mempengaruhi sifat protein diantaranya adalah daya larut protein. Protein terlarut pada berbagai perlakuan pengolahan terhadap kedelai akan diuji pada praktikum acara III Evaluasi Kadar Protein Terlarut Pada Kedelai dan Produk Olahannya.2. Tujuan

Tujuan dari praktikum acara III Evaluasi Kadar Protein Terlarut Pada Kedelai dan Produk Olahannya adalah untuk mengetahui kadar protein terlarut pada kedelai mentah, kedelai rebus, kecambah kedelai, dan tempe kedelai.

B. TINJAUAN PUSTAKA

Protein dalam bahan makanan yang dikonsumsi manusia akan diserap oleh usus dalam bentuk asam amino. Beberapa asam amino yang merupakan peptida dan molekul-molekul protein kecil dapat juga diserap melalui dinding usus, masuk ke dalam pembuluh darah. Hal semacam inilah yang akan menimbulkan reaksi-reaksi alergik dalam tubuh yang sering kali timbul pada orang yang makan bahan makanan yang mengandung protein (Winarno, 1984).

Kandungan gizi pada biji sebelum dikecambahkan, berada dalam bentuk terikay (tidak aktif), tetapi setelah perkecambahan bentuknya menjadi aktif, sehingga meningkatkan daya cerna. Melalui perkecambahan, waktu pemasakan atau pengolahan menjadi singkat. Pada saat perkecambahan juga terjadi hidrolisis komponen karbohidrat, protein, dan lemak menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana (Winarsi, 2010).

Walaupun kadar seratnya baik untuk pencernaan, protein kedelai segar tidak dapat diserap tubuh. Kecuali bila kedelai diolah lebih lanjut melalui tahap perebusan dan penggumpalan (pada tahu) atau fermentasi (pada tempe, kecap, taoco, dan miso). Bahan baku tempe adalah biji kedelai yang kemudian difermentasikan dengan ragi/laru, yang melekat pada daun pohon waru atau jati. Ragi tersebut sebenarnya adalah spora atau benih tanaman yang disebarluaskan oleh angin. Akibat proses fermentasi, masing-masing biji kedelai akan diselimuti oleh jamur (kapang) yang berbulu halus, berwarna putih keabuan. Jamur inilah yang membantu kandungan nutrisi kedelai dapat diserap oleh pencernaan manusia (Boga, 2005).

Protein kedelai sebagian besar merupakan globulin, mempunyai titik isoelektris 4,1-4,6. Globulin akan mengendap pada pH 4,1 sedangkan protein lainnya seperti proteosa, prolamin, dan albumin bersifat larut dalam air sehingga diperkirakan penurunan kadar protein dalam perebusan disebabkan terlepasnya ikatan struktur protein karena panas yang menyebabkan terlarutnya komponen protein dalam air. Untuk mendapatkan protein yang dapat dilarutkan dalam air semaksimal mungkin, protein kedelai harus dipisahkan dari bahan lain, seperti karbohidrat, serat, arau protein tidak larut. Pemisahan ini dilakukan dengan cara ekstraksi. Susu kedelai sebagian besar mengandung protein terlarut. Sebelum digiling kedelai direndam dalam air, dengan tujuan mendapatkan kedelai yang lunak sehingga sehingga proses penggilingan dapat berlangsung sempurna dan mendapatkan bubur kedelai yang betul-betul halus dan lembut. Perendaman juga dapat mempermudah pengupasan kulit kedelai akan tetapi perendaman yang terlalu lama dapat mengurangi total padatan (Anglemier dan Montgomery, 1976; Sundarsih dan Yuliana Kurniaty, 2009 dalam Darmajana, 2012)

Dari segi pandang ilmu gizi, kedelai merupakan kacang-kacangan yang sangat bermanfaat bagi kesehatan. Kedelai memiliki kadar protein yang tinggi, yaitu rata-rata 35%, bahkan pada varietas unggul dapat mencapai 40-44%. Protein kedelai memiliki susunan asam amino esensial yang lengkap, serta daya cerna yang sangat baik. Proses fermentasi menyebabkan tempe memiliki beberapa keunggulan dibandingkan kacang kedelai. Pada tempe, terdapat enzim-enzim pencernaan yang dihasilkan oleh kapang tempe, sehingga protein, lemak, dan karbohidrat menjadi lebih mudah dicerna. Kapang yang tumbuh pada tempe mampu menghasilkan enzim protease untuk menguraikan protein menjadi peptida dan asam amino bebas (Astawan, 2009).

Kelarutan protein adalah jumlah dari protein otot total dalam larutan di bawah kondisi spesifik. Kelarutan protein tergantung pada struktur protein, pH, konsentrasi garam, suhu, durasi ekstraksi, dan berbagai faktor intrinsik lainnya. Susunan protein, yang berhubungan dengan lingkungan yang mana terbuka, memegang peran penting dalam menentukan sifat fungsional protein (Zayas, 1997 dalam Ghelichpour dan Shabanpour, 2011).

Dalam biji kedelai, protein cadangan akan dihidrolisis menjadi asam amino untuk membentuk jenis protein baru. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kandungan protein kotiledon semakin menurun dengan bertambahnya umur kecambah sampai dengan hari ke 12. Pada hari ke 14, kandungan protein kotiledon meningkat. Diduga setelah hari ke 12 kecambah kedelai telah memasuki fase autotrof dan tidak lagi memanfaatkan cadangan makanan yang terdapat di kotiledon (Miswar, 2013).

Kelarutan adalah sifat-sifat fisikokimia dan fungsional penting dari protein kedelai. Kehilangan kelarutan telah banyak digunakan indikasi denaturasi. Kelarutan tinggi biasanya properti fungsional yang diinginkan. Namun, pada temperatur tertentu dan tekanan, ada tidak bisa menjadi termodinamika didefinisikan kelarutan yang unik untuk protein amorf heterogen seperti protein kedelai (Shen et al., 1976).

Diantara sifat-sifat fungsional dari protein, kelarutan adalah sifat yang paling penting dikarenakan pengaruhnya yang signifikan pada sifat fungsional protein yang lain. Pada umumnya, protein yang digunakan untuk fungsionalitas diperlukan mempunyai kelarutan tinggi, dalam rangka membentuk sifat emulsi yang baik, busa, gelatinisasi, dan whipping. Dengan kata lain, penurunan pada kelarutan protein menjadi sisi yang tidak menguntungkan pada fungsionalitasnya. Kelarutan protein berhubungan pada interaksi permukaan hidrofobik (protein-protein) dan hidrofilik (protein-solvent); pada kasus makanan, pelarut merupakan air, dan oleh karenanya kelarutan protein diklasifikasikan sebagai sifat hidrofilik (Nakai & Chan, 1985, Wit, 1989; Vojdani, 1996 dalam Pelegrine dan Gomes , 2008).

Kualitas protein bungkil kedelai tergantung pada dua parameter, pengurangan faktor anti-gizi dan optimalisasi daya cerna protein. Kebanyakan bungkil kedelai kini diproduksi menggunakan proses ekstraksi pelarut dimana kedelai dipecah-pecah, dipanaskan, dan dipipihkan sebelum minyak diekstraksi dengan pelarut heksana. Setelah minyak telah diambil, serpihan dipanggang dan ditumbuk menjadi pakan. Selama proses produksi, suhu sangat penting dalam rangka untuk menonaktifkan faktor anti- gizi yang alami hadir dalam kedelai mentah. Namun, untuk menjaga nilai gizi optimal, pakan tidak boleh mengalami panas berlebihan, karena hal ini akan mendenaturasi protein, sehingga kurang larut dan kurang dapat dicerna. Panas yang berlebihan atau waktu pemanasan mengurangi ketersediaan asam amino karena reaksi Maillard dan cenderung menghancurkan asam amino tertentu (Caprita dan Caprita, 2013).

Itu berarti bahwa hanya karena kelarutan yang rendah, proporsi yang signifikan dari protein tidak dapat belajar sama sekali menggunakan beberapa yang paling kuat dan informatif metode (seperti yang digunakan untuk studi struktural) yang membutuhkan konsentrasi protein tinggi. Memecahkan masalah protein kelarutan dapat meningkatkan hingga dua kali lipat jumlah protein setuju untuk studi struktural, yang pada gilirannya akan proporsional meningkatkan jumlah target untuk aplikasi seperti rasional desain obat. Optimasi kondisi penyangga untuk yang terbaik kelarutan sering dicapai oleh skrining, dimana pH, garam konsentrasi, jenis buffer, dan aditif bervariasi sistematis. Untuk protein dengan kelarutan awal yang sangat rendah, beberapa iterasi optimasi penyangga mungkin diperlukan, yang dapat membatasi penggunaan layar tersebut (Golovanov, 2004).

C. METODOLOGI

1. Alat

a. Mortar

b. Timbangan analitik

c. Labu takar 100 ml

d. Kertas saring Whatman 41

e. Pipet volume

f. Pro pipet

g. Corong

h. Erlemeyer

i. Tabung reaksi

j. Gelas beaker

k. Spektrofotometer

2. Bahan

a. Sampel (kedelai mentah, kedelai rebus, kecambah kedelai, dan tempe kedelai)

b. Aquadest

c. Larutan Lowry A

d. Larutan Lowry B

3. Cara kerja

a. Persiapan Kurva Standar Larutan Protein

b. Penyiapan Sampel

D. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 3.1 Kurva Standar Protein Lowry BSA 3,7 mg/5 ml

ml larutanKonsentrasiAbsorbansi

000,042

0,20,1480,227

0,40,2960,389

0,60,4440,550

0,80,5920,689

1,00,7400,815

Sumber: Laporan sementara

Pengujian protein terlarut pada praktikum acara III menggunakan metode Lowry. Untuk dapat mengetahui kadar protein sampel dibutuhkan kurva standar dari larutan standar yang dibuat dengan cara melarutkan BSA sebanyak 3,7 mg/5ml. sebanyak 0, 0,2, 0,4, 0,6, 0,8, dan 1 ml larutan BSA dimasukkan kedalam tabung reaksi dan ditambah akuades hingga volumenya mencapai 1 ml. kemudian pada masing-masing tabung reaksi ditambah reagen Lowry B sebanyak 8 ml dan dibiarkan selama 10 menit. Setelah itu, masing-masing tabung reaksi ditambahkan 1 ml reagen Lowry A dan dibiarkan selama 20 menit. Larutan kemudian ditera absorbansinya dengan panjang gelombang 600 nm dan dibuat persamaan regresi linier hubungan antara absorbansi larutan standar dan konsentrasi protein BSA.

Beradasarkan data absorbansi larutan standar yang tercantum pada Tabel 3.1 Kurva Standar Protein Lowry BSA 3,7 mg/5 ml, maka konsentrasi protein telarut dalam larutan sampel dapat ditentukan dengan mensubstitusikan data absorbansi sampel kedalam persamaan garis regresi linear larutan protein standarnya. Persamaan garis regrsi linear protein standar adalah Y= 1,044787X+0,065428, dimana Y adalah absorbansi dan X adalah kadar protein. Perhitungan konsentrasi protein terlarut dalam sampel kecambah kedelai kelompok 3 dan 7 sebagai berikut:

Diketahui ; Y= 1,044787X+0,065428

Absorbansi pada sampel kecambah kedelai = 0,554 = Y

Y = bx + a

0,554 = 1,044787X+0,065428

x (berat protein terlarut) = 0,4676 mg/mL

= 9,353%Saat protein terlarut direaksikan dengan Folin dalam suasana sedikit basa, ikatan peptida pada protein akan membentuk senyawa kompleks yang berwarna biru yang dapat dideteksi menggunakan spektrofotometer. Semakin tinggi intensitas warna biru menandakan banyaknya senyawa kompleks yang terbentuk yang berarti semakin besar konsentrasi protein terlarut dalam sampel.Tabel 3.2 Hasil Kadar Protein Terlarut Kedelai dan Produk Olahannya

ShiftKelSampelAbsorbansi% Protein terlarut

I1 & 5Kedelai mentah1,03818,618

2 & 6Kedelai rebus0,2493,514

3 & 7Kecambah kedelai0,5549,353

4 & 8Tempe kedelai0,1451,523

II9 & 13Kedelai mentah0,98217,546

10 & 14Kedelai rebus0,1451,523

11 & 15Kecambah kedelai0,70412,224

12 & 16Tempe kedelai0,2142,844

Sumber: Laporan sementara

Kedelai merupakan salah satu serealia yang kandungan proteinnya lengkap. Menurut Muchtadi (2010), kedelai mengandung asam amino esensial yaitu; 248 mg/ g N isoleusin, 486 mg/ g N leusin, 399 mg/ g N lisin, 162 mg/ g N methionin, 309 mg/ g N fenilalanin, 241 mg/ g N treonin, 78 mg/ g N tritophan, dan 300 mg/ g N valin. Pada praktikum acara III. Evaluasi Kadar Protein Terlarut Pada Kedelai dan Produk Olahannya digunakan sampel berupa kedelai mentah, kedelai rebus, kecambah kedelai, dan tempe kedelai. Untuk dapat menghitung kadar protein terlarut pada sampel, sampel dihancurkan terlebih dahulu dengan mortar kemudian diambil 5 gram sampel halus untuk dilakukan pengujian. Langkah pembuatan larutan sampel sama seperti dalam pembuatan larutan standar. Sebanyak 5 gram sampel dimasukkan dalam labu takar 100 ml dan ditambah akuades sampai tanda tera. Larutan kemudian disaring dan diambil 10 ml kemudian dimasukkan dalam labu takat 100 ml dan ditambahkan akuades sampai tanda tera. Setelah itu, 1 ml larutan diambil dimasukkan dalam tabung reaksi dan ditambahkan reagen Lowry B sebanyak 8 ml dan didiamkan 10 menit. Setelah itu, ditambahkan 1 ml reagen Lowry A dan didiamkan selama 20 menit kemudian diukur absorbansinya dengan spektrofotometer panjang gelombang 600 nm. Setelah diketahui absorbansi masing-masing sampel, konsentrasi protein terlarut sampel dapat diketahui dengan menggunakan persamaan regresi linier kurva standar dan kadar protein terlarut juga dapat diketahui. Dari hasil praktikum didapatkan kadar protein terlarut masing-masing sampel pada shift I, yaitu; 18,618% pada kedelai mentah; 3,514% pada kedelai rebus; 9,353% pada kecambah kedelai, 1,523% pada tempe kedelai. Sedangkan kadar protein terlarut masing-masing sampel pada shift II, yaitu; 17,546% pada kedelai mentah; 1,523% pada kedelai rebus; 12,224% pada kecambah kedelai, 2,844% pada tempe kedelai. Dari data tersebut didapatkan rata-rata kadar protein terlarut tiap sampel, yaitu 18,082% pada kedelai mentah; 2,519% pada kedelai rebus; 10,789% pada kecambah kedelai, dan 2,184% pada tempe kedelai.

Berdasarkan hasil praktikum sampel yang memiliki kadar protein terlarut dari yang terbesar hingga terkecil adalah kedelai mentah, kecambah kedelai, kedelai rebus, dan tempe kedelai. Walaupun kadar seratnya baik untuk pencernaan, protein kedelai segar tidak dapat diserap tubuh. Kecuali bila kedelai diolah lebih lanjut melalui tahap perebusan dan penggumpalan (pada tahu) atau fermentasi (pada tempe, kecap, taoco, dan miso). Dalam kecambah kedelai, enzim protease biji menghidrolisis protein kedelai sehingga meningkatkan kadar protein terlarut kedelai karena protein diubah menjadi asam amino yang lebih sederhana. Kandungan gizi pada biji sebelum dikecambahkan, berada dalam bentuk terikay (tidak aktif), tetapi setelah perkecambahan bentuknya menjadi aktif, sehingga meningkatkan daya cerna. Pada saat perkecambahan juga terjadi hidrolisis komponen karbohidrat, protein, dan lemak menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana. Proses fermentasi menyebabkan tempe memiliki beberapa keunggulan dibandingkan kacang kedelai. Pada tempe, terdapat enzim-enzim pencernaan yang dihasilkan oleh kapang tempe, sehingga protein, lemak, dan karbohidrat menjadi lebih mudah dicerna. Kapang yang tumbuh pada tempe mampu menghasilkan enzim protease untuk menguraikan protein menjadi peptida dan asam amino bebas (Boga, 2005; Astawan, 2009; Winarsi, 2010). Oleh karena itu, berdasarkan teori seharusnya urutan protein terlarut sampel dari yang terbesar hingga terkecil adalah tempe, kecambah, kedelai rebus, dan kedelai mentah.Secara umum, pengolahan bahan pangan berprotein dapat dilakukan secara fisik, kimia, atau biologis. Secara fisik biasanya dilakukan dengan penghancuran atau pemanasan. Secara kimia dengan penggunaan pelarut organik, pengoksidasi, alkali, asam atau belerang dioksida, dan secara biologis dengan hidrolisa enzimatis atau fermentasi. Pengolahan bahan pangan kaya kandungan zat gizi protein yang tidak terkontrol dengan baik dapat menyebabkan terjadinya penurunan nilai gizi (Asrullah dkk, 2012). Pada praktikum, sampel kedelai mentah mempunyai jumlah protein terlarut yang paling tinggi karena pada kedelai mentah belum mengalami perlakuan yang dapat merusak kandungan protein kedelai. Pada kecambah, zat gizi dalam biji digunakan untuk sumber energi dalam perkembangan kecambah. Menurut, Miswar (2013) dalam biji kedelai, protein cadangan akan dihidrolisis menjadi asam amino untuk membentuk jenis protein baru. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kandungan protein kotiledon semakin menurun dengan bertambahnya umur kecambah sampai dengan hari ke 12. Meskipun pada kecambah protein telah dihidrolisis menjadi asam amino yang lebih sederhana, kadar protein terlarut pada kecambah kedelai lebih rendah dibandingkan dengan kadar protein terlarut kedelai mentah karena protein dalam biji kedelai digunakan sebagai sumber energi dalam perkecambahan.Anglemier dan Montgomery (1976) dalam Darmajana (2012) menjelaskan bahwa protein kedelai sebagian besar merupakan globulin, mempunyai titik isoelektris 4,1-4,6. Globulin akan mengendap pada pH 4,1 sedangkan protein lainnya seperti proteosa, prolamin, dan albumin bersifat larut dalam air sehingga diperkirakan penurunan kadar protein dalam perebusan disebabkan terlepasnya ikatan struktur protein karena panas yang menyebabkan terlarutnya komponen protein dalam air. Selain itu, menurut Ghelichpour dan Shabanpour (2011), penurunan protein terlarut pada sampel yang dilakukan perebusan dikarenakan gugus hidrofobik pada protein lebih banyak dibandingkan dengan gugus hidrofilik. Wong et al. (1996) dalam Pelegrine dan Gomes (2008) menambahkan bahwa suhu juga merupakan faktor yang mempengaruhi kelarutan protein. Pada umumnya kelarutan protein meningkat dengan suhu 45-50C. Ketika suhu larutan meningkat, protein terdenaturasi. Protein terdenaturasi oleh efek suhu pada ikatan non kovalen yang melibatkan kestabilan dari struktur sekunder dan tersier, contohnya, ikatan hidrogen, hidrofobik, dan elektrostatik. Ketika protein terdenaturasi, protein berubah menjadi senyawa yang sederhana dan protein terlarut semakin tinggi. Namun, suhu yang tinggi dan lama perebusan mengakibatkan kandungan protein seperti albumin pada kedelai turun akibat denaturasi dan protein terlarut kedelai turun. Pada praktikum, sampel tempe memiliki kadar protein terlarut paling rendah. Pembuatan tempe dilakukan dengan cara pencucian, perendaman, perebusan, dan fermentasi. Proses pengolahan tersebut dapat meningkatkan daya cerna protein karena protein terurai menjadi senyawa yang lebih sederhana. Rendahnya nilai protein terlarut tempe pada praktikum diakibatkan karena proses-proses yang dilakukan terhadap kedelai sebelum fermentasi dapat merusak dan menurunkan kandungan protein kedelai. Walaupun proses fermentasi dapat meningkatkan daya cerna dan protein terlarut kedelai, namun akibat menurunnya kandungan protein kedelai sebelum fermentasi mengakibatkan protein terlarut tempe paling rendah jika dibandingkan dengan sampel lain pada praktikum. Pada proses perendaman, sebagian protein larut air akan terlarut. Perebusan menyebabkan terlepasnya ikatan struktur protein karena panas yang menyebabkan terlarutnya komponen protein dalam air (Anglemier dan Montgomery, 1976 dalam Darmajana 2012). Menurut Pelegrine dan Gomes (2008), kelarutan protein dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti faktor lingkungan, terutama pH dan suhu. Suhu menjadi faktor yang mempengaruhi kelarutan protein karena pada umumnya kelarutan protein meningkat pada suhu antara 40-50C. Ketika suhu dari larutan meningkat cukup tinggi dalam suatu rentang waktu, protein terdenatuasi. Denaturasi merupakan perubahan pada struktur sekunder atau tersier protein. Ketika struktur protein sekunder dan tersier yang membuka, bagian hidrofobik (misalnya gugus sulfidril SH, terdapat dalam molekul protein) berinteraksi dan mengurangi pengikatan air. Setiap interaksi hidrofobik dimulai dengan agregasi, diikuti oleh koagulasi dan presipitasi. Denaturasi menurunkan kelarutan protein dibandingkan dengan protein asal, dan mengarah ke agregasi dan sulit untuk kembali pada pendinginan. Menurut Ghelichpour dan Shabanpour (2011), kelarutan protein tergantung pada struktur protein, pH, konsentrasi garam, suhu, durasi ekstraksi, dan berbagai faktor intrinsik lainnya. Daya cerna protein adalah kemampuan suatu protein untuk dihidrolisis menjadi asam-asam amino oleh enzim-enzim pencernaan, di mana daya cerna protein tinggi berarti protein dapat dihidrolisis dengan baik menjadi asam-asam amino sehingga jumlah asam amino yang dapat diserap dan digunakan oleh tubuh tinggi, sedangkan daya cerna protein rendah berarti protein sulit untuk dihidrolisis menjadi asam amino sehingga jumlah asam amino yang dapat diserap dan digunakan oleh tubuh rendah karena sebagian besar akan dibuang oleh tubuh bersama feses. Sehingga semakin tinggi kadar protein terlarut maka semakin mudah protein untuk diserap oleh tubuh. Daya cerna protein berbanding lurus dengan sifat protein terlarut. Semakin tinggi protein terlarut maka daya cerna protein juga semakin tinggi. Hal tersebut karena protei yang terlarut akan lebih mudah dicerna oleh enzim dan diserap oleh tubuh.

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi daya cerna protein, misalnya natiye dari kacang-kacangan mentah lebih sulit dicerna daripada yang sudah mengalami denaturasi oleh panas. Demikian pula terdapatnya faktor anti gizi seperti antitrypsin, antikimotripsin/hemaglutinin, dapat merendahkan daya cerna suatu protein. Disamping itu terjadi reaksi antara protein atau asam amino dengan komponen lain (gula pereduksi, polifenol, lemak, dan produksi oksidasi) dan bahan kimia aditif (alkali, belerang oksida atau hidrogen peroksida) dapat mengakibatkan menurunnya daya cerna protein (Asrullah dkk, 2012). Dalam pemasakan yang ditambahkan garam, jika konsentrasi garam terlalu tinggi juga kana menyebabkan salting out dan protein akan terendap sehingga kadar protein terlarut juga menurun. Proses perendaman yang lama dan air perendaman tidak diganti dapat menjadikan pertumbuhan bakteri yang nantinya akan menyebabkan penurunan pH yang juga dapat mempengaruhi kadar protein terlarut. E. KESIMPULAN

Dari hasil praktikumdidapatkan kesimpulan yaitu;

1. Kadar protein terlarut masing-masing sampel pada shift I, yaitu; 18,618% pada kedelai mentah; 3,514% pada kedelai rebus; 9,353% pada kecambah kedelai, 1,523% pada tempe kedelai. 2. Kadar protein terlarut masing-masing sampel pada shift II, yaitu; 17,546% pada kedelai mentah; 1,523% pada kedelai rebus; 12,224% pada kecambah kedelai, 2,844% pada tempe kedelai. 3. Rata-rata kadar protein terlarut tiap sampel, yaitu 18,082% pada kedelai mentah; 2,519% pada kedelai rebus; 10,789% pada kecambah kedelai, dan 2,184% pada tempe kedelai 4. Sampel yang memiliki kadar protein terlarut dari yang terbesar hingga terkecil pada praktikum adalah kedelai mentah, kecambah kedelai, kedelai rebus, dan tempe kedelai.

5. Faktor-faktor yang mempengaruhi protein terlarut adalah struktur protein, pH, konsentrasi garam, suhu, lama pemanasan, dan berbagai faktor intrinsik lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Asrullah, Muhammad, Ayu Hardiyanti Mathar, Citrakesumasari, Nurhaedar Jafar, dan St Fatimah. 2012. Denaturasi dan Daya Cerna Protein pada Proses Pengolahan Lawa Bale (Makanan Tradisoinal Sulawesi Selatan). Media Gizi Masyarakat Indonesia, Vol.1,No.2: 84-90

Astawan, Made. 2009. Sehat dengan Hidangan Kacang dan Biji-Bijian. Penebar Swadaya. Depok

Boga, Yasa. 2005. Tahu dan Tempe plus Susu Kedelai. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Caprita, Rodica dan A. Caprita. 2013. Reasearch on Some Chemical Analysis Methods for Evaluating the Soybean Meal Quality. Bonat University of Agricultural Science and Vererinary Medicine Timisoara, Vol. 52, Seria Zootehnie

Darmajana, Doddy A. 2012. Pengaruh Suhu dan Waktu Perendaman terhadap Bobot Kacang Kedelai sebagai Bahan Baku Tahu. Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan PKM: Sains, Teknologi, dan Kesehatan

Ghelichpour, M dan B. Shabanpour. 2011. The Investigation of Proximate Composition and Protein Solubility in Processed Mullet Fillets. International Food Research Journal, Vol. 18, No. 4: hal 1343-1347

Golovanov, Alexander P. et al. 2004. A Simple Method for Improving Protein Solubility and Long-Term Stability. J. AM. Chem. SOC, Vol. 126

Miswar. 2013. Isolasi dan Purifikasi Fitase dari Kotiledon Kedelai [Glycine max (L.) Merr.] Hasil Perkecambahan. Pusat Penelitian Biologi Molekul dan Fakultas Pertanian Universitas Jember, Jember

Pelegrine, Daniela H. G. dan M. T. de Moraes Santos Gomes. 2008. Whey Protein Solubility Curves at Several Temperatures Values. Ciencia e Natura, UFSM, Vol. 30, No. 1: hal 17-25

Shen, J. L. 1976. Soy Protein Solubility: The Effect of Experimental Coditions on the Solubility of Soy Protein Isolates. Cereal Chemistry, Vol. 53, No. 6: hal 902-909

Winarno., F.G. 1984. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Winarsi, Hery. 2010. Protein Kedelai dan Kecambah Manfaatnya Bagi Kesehatan. Kanisius. YogyakartaSampel dihaluskan lalu diambil 5 gram

Sampel dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml lalu diberi aquadest sampai tanda tera dan di gojog

Disaring dengan kertas saring Whatman 41

Filtrat di ambil 10 ml lalu dimasukkan labu takar 100 ml dan ditambah aquades sampai tanda tera

Hasil pengenceran tadi diambil 1 ml dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi

Tambahkan 8 ml larutan lowry B dan diamkan 10 menit

Tambahkan lowry A sebanyak 1 ml, gojog dan diamkan selama 20 menit

Ukur absorbansinya pada panjang gelombang 600 nm

Buatlah kurva standar yang menjukkan hubungan antara absorbansi (ordinat) dan konsentrasi (absis)

Ukur absorbansinya pada panjang gelombang 600 nm

Tambahkan 1 ml reagen Lowry A, gojog dan biarkan 20 menit

Tambahkan ke masing-masing tabung 8 ml reagen lowry B dan biarkan 10 menit

Siapkan larutan protein tersebut dalam tabung reaksi sehingga kadarnya bertingkat dari 30-300 g/ml

Siapkan larutan protein BSA (Bovien Serum Albumin) 300 g/ml

_1303929055.unknown

_1303928726.unknown