adat istiadat jawa pada masa kehamilan dan kelairan anak

12
Adat Istiadat Jawa Pada Masa Kehamilan dan Kelairan Anak A. Macam-Macam Upacara Adat Jawa Saat Prosesi Kehamilan Kehamilan merupakan masa-masa yang tidak terlupakan bagi seorang ibu, di adat Jawa terdapat beberapa upacara saat prosesi kehamilan yang sudah turun-temurun diwariskan oleh nenek moyang, upacara-upacara tersebut antara lain sebagai berikut: a. Upacara Tiga Bulanan Upacara ini dilaksanakan pada saat usia kehamilan adalah tiga bulan. Di usia ini roh ditiupkan pada jabang bayi, biasanya upacara ini dilakukan berupa tasyakuran. b. Upacara Tingkepan atau Mitoni Upacara tingkepan disebut juga mitoni, berasal dari kata “pitu” yang berarti tujuh, sehingga upacara mitoni dilakukan pada saat usia kehamilan tujuh bulan, dan pada kehamilan pertama. Dalam pelaksanaan upacara tingkepan, ibu yang sedang hamil tujuh bulan dimandikan dengan air kembang setaman, disertai dengan doa-doa khusus B. Macam-Macam Upacara Adat Untuk Bayi Bukan hanya pada saat kehamilan saja upacara adat atau ritual dilaksanakan. Ketika bayi itu pun lahir masih ada ritual dan upacara adat. Upacara ini pun berlangsung hingga si anak menginjak usia satu tahun. Namun, pelaksanaan upacaara ini 1 | Halaman

Upload: agung-dwi-prasetyo

Post on 10-Feb-2016

46 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

pembahasan lengkap tentang adat istiadat jawa sejak masa kehamilan

TRANSCRIPT

Page 1: Adat Istiadat Jawa Pada Masa Kehamilan Dan Kelairan Anak

Adat Istiadat Jawa Pada Masa Kehamilan dan Kelairan

Anak

A.    Macam-Macam Upacara Adat Jawa Saat Prosesi Kehamilan

Kehamilan merupakan masa-masa yang tidak terlupakan bagi seorang ibu, di adat Jawa

terdapat beberapa upacara saat prosesi kehamilan yang sudah turun-temurun diwariskan oleh

nenek moyang, upacara-upacara tersebut antara lain sebagai berikut:

a.      Upacara Tiga Bulanan

Upacara ini dilaksanakan pada saat usia kehamilan adalah tiga bulan. Di usia ini roh ditiupkan

pada jabang bayi, biasanya upacara ini dilakukan berupa tasyakuran.

b.      Upacara Tingkepan atau Mitoni

Upacara tingkepan disebut juga mitoni, berasal dari kata “pitu” yang berarti tujuh, sehingga

upacara mitoni dilakukan pada saat usia kehamilan tujuh bulan, dan pada kehamilan pertama.

Dalam pelaksanaan upacara tingkepan, ibu yang sedang hamil tujuh bulan dimandikan dengan

air kembang setaman, disertai dengan doa-doa khusus

B.    Macam-Macam Upacara Adat Untuk Bayi

Bukan hanya pada saat kehamilan saja upacara adat atau ritual dilaksanakan. Ketika bayi

itu pun lahir masih ada ritual dan upacara adat. Upacara ini pun berlangsung hingga si anak

menginjak usia satu tahun. Namun, pelaksanaan upacaara ini dilaksanakan hanya di usia tertentu

saja, berikut jenis-jenis upacara adat Jawa yang berkaitan dengan kelahiran anak:

a.      Upacara Adat Barokahan

Barokahan memiliki makna adalah pengungkapan rasa syukur dan rasa sukacita atas kelahiran

yang berjalan lancar dan selamat. Ditinjau dari maknanya barokahan juga bisa berarti

mengharapkan berkah dari Yang Maha Pencipta.

Tujuan dari upacara ini adalah untuk keselamatan dan perlindungan bagi sang bayi. Selain itu

harapan bagi sang bayi agar kelak menjadi anak yang memiliki prikaku yang baik.

Rangkaian upacara ini berupa memendam ari-ari atau olasenta bayi. Setelah itu dilanjunkan

dengan membagikan sesajen barokahan kepada sanak saudara dan para tetangga.

1 | H a l a m a n

Page 2: Adat Istiadat Jawa Pada Masa Kehamilan Dan Kelairan Anak

b.      Upacara Adat Sepasaran atau Pupuk PusarSepasaran merupakan salah satu upacara adat bagi bayi berumur lima hari. Upacara ini umumnya diselengarakan

secara sederhana, tetepi jika bersamaan dengan pemberian nama pada si bayi upacara ini bisa dilakukan secara

meriah.

Acara ini biasanya dilaksanakan dengan mengadakan hajatan yang mengundang saudara dari tetangga. Suguhan

yang disajikan biasanya berupa minuman serta jajanan pasar. Selain itu juga terkadang pula ada yang dibungkus

tapi menggunakan besek (tempat makanan terbuat dari anyaman bambu) ataupun lainnya untuk dibawa pulang.

c.       Upacara Adat Selapan

Dalam bahasa Jawa, selapan berarti tiga puluh lima hari. Tradisi ini dilakukan pada peringatan

hari kelahiran. Setelah 35 hari dari hari dimana bayi dilahirkan, maka diadakan perayaan dengan

nasi tumpeng, jajan pasar dan berbagai macam makanan sebagai symbol dari makna-makna

yang tersirat dalam tradisi Jawa.

Namun dalam perkembangannya, saai ini selapan sebagai ungkapan syukur atas kesehatan

dan keselamatan bayi, diwujudkan cukup dengan nasi tumpeng beserta lauk seadanya.

Kemudian mengundang tetangga untuk kendurenan (selamatan), berdoa besama-sama dan

diujung acara, tumpeng dibagi rata untuk dibawa pulang sebagai oleh-oleh. Selapan sebagai

harapan orang tua dan keluarga agar bayi selalu sehat, jauh dari marabahaya, dan apa yang

diharapkan bisa terlaksana.

d.      Upacara Adat Mudhun Siti

Upacara ini dilakukan untuk bayi yang telah berusia 7 bulan. Di Yogyakarta, upacara ini disebut

dengan tedhan siten. Upacara ini sebagai pelambang bahwa si anak telah siap untuk menjalani

hidup lewat tuntunan dari si orang tua. Acara ini dilaksanakan pada saat anak berumur 7selapan

atau 245 hari. Prosesi upacaranya adalah tedhak sega pitung warna, mudhun tangga tebu,

ceker0ceker, sebar udik-udik, dan siraman.

Adat Istiadat Jawa Pada Masa perkawinanserah-Serahan

Setelah dicapai kata sepakat oleh kedua belah pihak orang tua tentang perjodohan putra-putrinya, maka dilakukanlah 'serah-serahan' atau disebut juga 'pasoj tukon'. Dalam kesempatan ini pihak keluarga calon mempelai putra menyerahkan barang-barang tertntu kepada calon mempelai putri sebagai 'peningset', artinya tanda pengikat. Umumnya berupa pakaian lengkap, sejumlah uang, dan adakalanya disertai cincin emas buat keperluan 'tukar cincin'.

2 | H a l a m a n

Page 3: Adat Istiadat Jawa Pada Masa Kehamilan Dan Kelairan Anak

PingitanSaat-saat menjelang perkawinan, bagi calon mempelai putri dilakukan 'pingitan' atau

'sengkeran' selama lima hari, yang ada pada perkembangan selanjutnya hanya cukup tiga hari saja. Selama itu calon mempelai putri dilarang keluar rumah dan tidak boleh bertemu dengan calon  mempelai putra. Seluruh tubuh pengantin putri dilulur dengan ramu-ramuan, dan dianjurkan pula berpuasa. Tujuannya agar pada saat jadi pengantin nanti, mempelai putri tampil cantik sehingga membuat pangling orang yang menyaksikannya.

Pasang Bleketepe/ TarupUpacara pasang 'tarup' diawalkan dengan pemasangan 'bleketepe' (anyaman daun kelapa)

yang dilakukan oleh orangtua calon mempelai putri, yang ditandai pula dengan pengadaan sesajen. Tarup adalah bangunan darurat yang dipakai selama upacara berlangsung. Pemasangannya memiliki persyaratan khusus yang mengandung makna religius, agar rangkaian upacara berlangsung dengan selamat tanpa adanya hambatan. Hiasan tarup, terdiri dari daun-daunan dan buah-buahan yang disebut 'tetuwuhan' yang  memiliki nilai-nilai simbolik.

SiramanMakna upacara ini, secara simbolis merupakan persiapan dan pembersihan diri lahir batin

kedua calon mempelai yang dilakukan dirumah masing-masing. Juga merupakan media permohonan doa restu dari para pinisepuh. Peralatan yang dibutuhkan, kembang setaman, gayung, air yang diambil dari 7 sumur, kendi dan bokor.

Orangtua calon mempelai putri mengambil air dari 7 sumur, lalu dituangkan ke wadah kembang setaman. Orangtua calon mempelai putri mengambil air 7 gayung untuk diserahkan kepada panitia yang akan mengantarnya ke kediaman calon mempelai putra. Upacara ini dimulai dengan sungkeman kepada orangtua calon pengantin serta para pini sepuh.

Siraman dilakukan pertama kali oleh orangtua

calon pengantin, dilanjutkan oleh para pinih sepuh, dan terakhir oleh ibu calon mempelai mempelai putri, menggunakan kendi yang kenudian dipecahkan ke lantai sembari mengucapkan, "Saiki wis pecah pamore" ("Sekarang sudah pecah pamornya").

Paes/ NgerikSetelah siraman, dilakukan upacara ini, yakni sebagai lambang upaya memperindah diri

secara lahir dan batin. 'Paes' (Rias)nya baru pada tahap 'ngalub-alubi' (pendahuluan), untuk memudahkan paes selengkapnya pada saat akan dilaksanakan temu. Ini dilakukan dikamar calon mempelai putri, ditunggui oleh para ibu pini sepuh.

Sembari menyaksikan paes, para ibu memberikan restu serta memanjatkan do'a agar dalam upacara peran nanti berjalan lancar dan khidmat. Dan semoga kedua mempelai nanti saat berkeluarga dan menjalani kehidupan dapat rukun 'mimi lan mintuno', dilimpahi keturunan dan rezeki.

Dodol DawetProsesi ini melambangkan agar dalam upacara  pernikahan yang akan dilangsungkan,

diknjungi para tamu yang melimpah bagai cendol dawet yang laris terjual. dalam upacara ini, ibu calon mempelai putri bertindak sebagai penjual dawet, didampingi dan dipayungi oleh bapak calon mempelai putri, sambil mengucapkan : "Laris...laris". 'Jual dawet' ini dilakukan dihalaman rumah. Keluarga. kerabat adalah pembeli dengan pembayaran 'kreweng' (pecahan genteng)

Selanjutnya adalah 'potong tumpeng' dan 'dulangan'. Maknanya, 'ndulang' (menyuapi) untuk yang terakhir kali bagi putri yang akan menikah. Dianjurkan dengan melepas 'ayam dara'

3 | H a l a m a n

Page 4: Adat Istiadat Jawa Pada Masa Kehamilan Dan Kelairan Anak

diperempatan jalan oleh petugas, serta mengikat 'ayam lancur'  dikaki kursi mempelai putri. Ini diartikan sebagai simbol melepas sang putri yang akan mengarungi bahtera perkawinan.

Upacara berikutnya, 'menanam rikmo' mempelai putri dihalaman depan dan 'pasang tuwuhan' (daun-daunan dan buah-buahan tertentu). Maknanya adalah 'mendem sesuker', agar kedua mempelai dijatuhkan dari kendala yang menghadang dan dapat meraih kebahagiaan.

MidodareniIni adalah malam terakhir bagi kedua calon

mempelai sebagai bujang dan dara sebelum melangsungkan pernikahan ke esokan harinya. Ada dua tahap upacara di kediaman  calon mempelai  putri. Tahap pertama, upacara 'nyantrik', untuk  meyakinkan bahwa calon mempelai putra akan hadir pada upacara

pernikahan yang waktunya sudah ditetapkan. Kedatangan calon mempelai putra diantar oleh wakil orangtua, para sepuh, keluarga serta kerabat untuk menghadap calon mertua.

Tahap kedua, memastikan bahwa keluarga calon mempelai putri sudah siap melaksanakan prosesi pernikahan dan upacara 'panggih' pada esok harinya. Pada malam tersebut, calon mempelai putri sudah dirias sebagaimana layaknya. Setelah menerima doa restu dari para hadirin, calon mempelai putri diantar kembali masuk ke dalam kamar pengantin, beristirahat buat persiapan upacara esok hari. Sementara para pni sepuh, keluarga dan kerabat bisa melakukan 'lek-lekan' atau 'tuguran', dimaksudkan untuk mendapat rahmat Tuhan agar seluruh rangkaian upacara berjalan lancar dan selamat.

PernikahanPernikahan, merupakan upacara puncak yang dilakukan menurut keyakinan agama si calon

mempelai. Bagi pemeluk Islam, pernikahan bisa dilangsungkan di masjid atau di kediaman calon mempelai putri. Bagi pemeluk Kristen dan Katolik, pernikahan bisa dilangsungkan di gereja.

Ketiga pernikahan berlangsung, mempelai putra tidak diperkenankan memakai keris. Setelah upacara pernikahan selesai, barulah dilangsungkan upacara adat, yakni upacara 'panggih' atau 'temu'.

Panggih (Temu)Sudah menjadi tradisi, prosesi ini berurutan secara tetap, tapi

dimungkinkan hanya dengan penambahan variasi sesuai kekhasan daerah di Jawa Tengah. Diawali dengan kedatangan rombongan mempelai putra yang membawa 'sanggan', berisi 'gedang ayu suruh ayu', melambangkan keinginan untuk selamat atau 'sedya rahayu'. sanggan tersebut diserahkan kepada ibu mertua sebagai penebus.

Upacara dilanjutkan dengan penukaran 'kembang mayang'. Konon, segala peristiwa yang menyangkut suatu formalitas peresmian ditengah masyarakat, perlu kesaksian. Fungsi kembang mayang, konon sebagai saksi dan sebagai penjaga serta penangkal (tolak bala). Setelah berlangsungnya upacara, kembang mayang tersebut ditaruh di perempatan jalan, yang bermakna bahwa  setiap orang yang melewati jalan itu, menjadi tahu bahwa di daerah itu baru saja berlangsung upacara perkawinan. 'Panggih' atau 'temu' adalah dipertemukannya mempelai putri dan mempelai putra, yang berlangsung sebagai berikut :

Balangan gantal/ SirihMempelai putri dan mempelai putra dibimbing menuju 'titik panggih'. Pada jarak lebih

kurang lima langkah, masing-masing mempelai saling melontarkan sirih atau gantal yang telah disiapkan.Arah lemparan mempelai putra diarahkan ke dada mempelai putri, sedangkan mempelai putri mengarahkannya ke paha mempelai putra. Ini sebagai lambang cinta kasih suami terhadap istrinya, dan si istri pun menunjukan baktinya kepada sang suami.

Wijik

4 | H a l a m a n

Page 5: Adat Istiadat Jawa Pada Masa Kehamilan Dan Kelairan Anak

Mempelai putra menginjak telur ayam hingga pecah. Lalu mempelai putri membasuh kaki mempelai putra dengan air kembang setaman, yang kemudian dikeringkan dengan handuk. Prosesi ini malambangkan kesetiaan istri kepada suami. Yakni, istri selalu berbakti dengan sengan hati dan bisa memaafkan segala hal yang kurang baik yang dilakukan suami. Setelah wijik dilanjutkan dengan 'pageran', maknanya agar suami bisa betah di rumah. Lalu diteruskan dengan sembah sungkem mempelai putri kepada mempelai putra.

PupukIbu mempelai putri mengusap ubun-ubun mempelai putra sebanyak tiga kali dengan air

kembang setaman. Ini sebagai lambang penerimaan secara ikhlas terhadap menantunya sebagai suami dari putrinya.

Sinduran/ BinayangProsesi ini menyampirkan kain sindur yang berwarna merah ke

pundak kedua mempelai (memperlai putra di sebelah kanan) oleh bapak dan ibu mempelai putri. Saat berjalan perlaham-lahan menuju pelaminan dengan iringan gending, Paling depan di awali bapak mempelai putri mengiringi dari belakang dengan memegangi kedua ujung sindur. Prosesi ini menggambarkan betapa kedua mempelai telah diterima keluarga besar secara utuh, penuh kasih sayang tanpa ada perbedaan anatara anak kandung dan menantu.

Bobot TimbangKedua mempelai duduk dipangkuan bapak mempelai putri. Mempelai putri berada dipaha

sebelah kiri, mempelai putra dipaha sebelah kanan. Upacara ini disertai dialog antara ibu dan bapak mempelai putri. "Abot endi bapakne?" ("Berat yang mana, Pak) kata sang ibu. "Podo, podo abote," ("Sama beratnya") sahut sang bapak. Makna dari upacara ini adalah kasih sayang orangtua terhadap anak dan menantu sama besar dan beratnya.

Guno Koyo - Kacar-kucurPemberian 'guno koyo' atau 'kacar-kucur' ini melambangkan pemberian nafkah yang pertama

kali dari suami kepada istri. Yakni berupa : kacang tolo merah, keledai hitam, beras putih, beras kuning dan kembang telon ditaruh didalam 'klasa bongko' oleh mempelai putra yang dituangkan ke pangkuan mempelai putri. Di pangkuan mempelai putri sudah disiapkan serbet atau sapu tangan yang besar. Lalu guno koyo dan kacar-kucur dibungkus oleh mempelai putri dan disimpan.

5 | H a l a m a n

Page 6: Adat Istiadat Jawa Pada Masa Kehamilan Dan Kelairan Anak

Adat Istiadat Jawa Pada Masa kematian

Brobosan

Yakni suatu upacara yang diselenggarakan di halaman rumah orang yang meninggal. Waktunya pun dilaksanakan ketika jenazah akan diberangkatkan ke peristirahatan terakhir (dimakamkan) dan dipimpin oleh salah satu anggota keluarga yang paling tua. Tata cara pelaksanaannya antara lain: 1) Keranda/peti mati dibawa keluar menuju ke halaman rumah dan dijunjung tinggi ke atas setelah doa jenazah selesai; 2) Secara berturutan, para ahli waris yang ditinggal (mulai anak laki-laki tertua hingga cucu perempuan) berjalan melewati keranda yang berada di atasnya (mbrobos) selama tiga kali dan searah jarum jam; 3) Secara urutan, yang pertama kali mbrobosi keranda adalah anak laki-laki tertua dan keluarga inti, selanjutnya disusul oleh anak yang lebih muda beserta keluarganya mengikuti di belakang.

Upacara ini dilakukan untuk menghormati, menjunjung tinggi, dan mengenang jasa-jasa almarhum semasa hidupnya dan memendam hal-hal yang kurang baik dari almarhum. Dalam istilah jawanya disebut “Mikul dhuwur mendhem jero”.

Surtanah

Kata “surtanah” berasal dari ungkapan “ngesur tanah” yang bermakna membuat pekuburan. Istilah ini dilakukan dengan membuat sajian saat almarhum baru saja dimakamkan.

Tigang dinten

Yaitu semacam kenduri/slametan yang dilakukan pada hari ketiga dari kematian almarhum.

Pitung dinten

Sama halnya dengan kenduri tigang dinten, yakni dilakukan pada hari ketujuh dari kematian almarhum.

Petang puluh dinten

Yakni kenduri pada hari keempat puluh dari kematian almarhum.

Nyatus dinten

Yakni kenduri pada hari keseratus dari kematian almarhum.

Mendhak

6 | H a l a m a n

Page 7: Adat Istiadat Jawa Pada Masa Kehamilan Dan Kelairan Anak

Yakni kenduri yang dilakukan setelah satu tahun (pendhak siji) dan dua tahun (pendhak pindho) dari kematian almarhum.

Nyewu

Yakni kenduri pada hari keseribu dari kematian almarhum.

Kol (kirim-kirim)

Sebagaimana kenduri yang dilakukan pada hari ketujuh, keempat puluh, keseratus dan keseribu dari kematian almarhum, namun diselenggarakan setelah kenduri keseribu dan dilakukan pada waktu bertepatan dengan hari dan bulan meninggalnya.

Adapun syarat sajian yang mesti disiapkan dalam acara kematian, merujuk pada adat yang telah ditradisikan Keraton Yogya, antara lain:

Surtanah

Sajian yang harus disiapkan antara lain nasi gurih (sekul uduk), ingkung (ayam yang dimasak utuh), urap (daun sayuran rebus dengan kelengkapannya), cabe merah utuh, bawang merah yang sudah dikupas kulitnya, kedelai hitam, krupuk rambak, garam yang sudah dihaluskan, bunga kenanga, dan tumpeng yang sudah dibelah dan diletakkan dengan saling membelakangi (tumpeng ungkur-ungkuran). Maknanya ialah bahwa orang mati itu telah terpisah antara ruh dan jasadnya, sehingga upacara ini dimaksudkan untuk mendoakan almarhum yang telah berpindah dari alam dunia ke alam kubur.

Tigang dinten

Sajian yang dipersiapkan antara lain: 1) Takir pontang berisi nasi putih dan nasi kuning yang dilengkapi dengan sudi-sudi yang berisi kecambah, kacang panjang yang sudah dipotong, bawang merah yang sudah diiris, garam yang sudah dihaluskan, kue apem putih, uang, dan gantal dua buah; 2) Nasi asahan tiga tampah, daging sapi yang sudah dimasak, lauk-pauk yang kering, sambal santan, sayur menir dan jenang merah; 3) Dan makanan yang disukai almarhum juga dibuat dan diletakkan di samping kuburannya selama tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari setelah kematiannya.

Pitung dinten

Sajian yang dipersiapkan antara lain: 1) Takir berisi kue apem, uang logam, ketan dan kolak; 2) Nasi asahan tiga tampah, daging goreng, pindang merah yang dicampur dengan kacang panjang yang  diikat kecil-kecil, daging jerohan yang ditaruh di dalam conthong (wadah berbentuk kerucut), dan pindang putih.

Petang puluh dinten Nyatus dinten

Sajian yang dihidangkan sama dengan sajian ketika tujuh hari, kemudian ditambah nasi uduk, ingkung, kedelai hitam, cabe merah utuh, kerupuk kulit rambak, bawang merah yang sudah dikupas kulitnya, garam dan bunga kenanga.

Pendhak siji lan pendhak pindho

Sama halnya dengan sajian yang dihidangkan pada saat hari keempat puluh dan keseratus.

Nyewu

7 | H a l a m a n

Page 8: Adat Istiadat Jawa Pada Masa Kehamilan Dan Kelairan Anak

Sama halnya dengan sajian yang dihidangkan pada saat mendhak. Lalu ditambah: 1) daging kambing/domba yang dimasak becek. Sehari sebelum disembelih, kambing/domba tersebut disiram dengan bunga setaman, dicuci bulunya dan diselimuti dengan kain mori selebar satu tangan, diberi kalungan bunga dan diberi makan daun sirih. Keesokan harinya, domba tersebut ditidurkan di tanah dan diikat talinya, badan domba digambar dengan ujung pisau, kemudian disembelih dan dimasak becek; 2) sepasang burung merpati yang dikurung dan diberi rangkaian bunga. Setelah doa selesai dilakukan, burung tersebut dilepas dan diterbangkan. Hal ini dimaksudkan agar arwah orang yang meninggal diberi tunggangan agar cepat kembali kepada Tuhan dalam keadaan suci, bersih dan tanpa beban sedikitpun; 3) Sesaji yang terdiri atas tikar bangka, benang lawe sebanyak empat puluh helai, jodhog, clupak berisi minyak kelapa dan uceng-uceng (sumbu lampu), minyak kelapa satu botol, sisir, serit, cepuk berisi minyak tua, cermin/kaca, kapun, kemenyan, pisang raja dan gula kelapa setangkep, kelapa utuh satu butir, beras satu takir, sirih dan perlenglapannya untuk nginang, dan bunga boreh. Semua perlengkapan ini ditaruh di atas tampah dan diletakkan di tangah-tengah orang yang berkenduri untuk melakukan doa.

Kol (kirim-kirim)

Kol atau ngekoli dilakukan dengan cara kenduri dengan bahan-bahan yang dipersiapkan: apem, kolak, ketan yang semuanya ditaruh di dalam takir, pisang raja setangkep, uang dan dupa.

Semua rangkaian upacara dan persiapan sesajen diatas kemudian oleh wali songo di-islamisasi-kan dengan ditambah doa-doa mayit, yasinan, fida’an, tahlilan yang dilakukan pada waktu-waktu itu. Walaupun tradisi yang telah diwariskan oleh nenek moyang ini terlihat sangat kental dengan aura mistik yang sangat mendekati kemusyrikan dan kejahiliyyahan, namun oleh gagasan kreatif wali songo, tradisi tersebut dimodifikasi kembali hingga sesuai dengan ajaran Islam. Pelaksanaan kenduri lebih ditekankan pada pembacaan doa yang ditujukan kepada almarhum, sedangkan sesaji nantinya dimaksudkan untuk bersedekah. Sehingga tradisi tahlilan dan semacamnya ini bertujuan untuk bahan pembelajaran masyarakat (piwulang) yang lebih baik dan lebih Islami, dan bukan untuk tujuan nihayah (meratapi si mayit).

Selain itu, acara semacam ini dimaksudkan sebagai sarana dakwah yang mampu melebur dengan budaya setempat dan menumbuhkan kesadaran kepada masyarakat lokal bahwa kematian bukan merupakan sesuatu yang harus ditakuti dan dikeramatkan, melainkan sebagai proses penyadaran akan beratnya proses kematian yang dialami seseorang sehingga timbul rasa bakti dan hormat kepada orang tua yang dapat dimplementasikan dalam wujud doa.

8 | H a l a m a n