airway, breathing, circulation
DESCRIPTION
AIRWAYTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Pengelolaan jalan nafas menjadi salah satu bagian yang terpenting dalam suatu tindakan anestesi.
Karena beberapa efek dari obat-obatan yang dipergunakan dalam anestesi dapat mempengaruhi keadaan
jalan napas untuk berjalan dengan baik.
Salah satu usaha untuk menjaga jalan napas pasien adalah dengan melakukan tindakan intubasi
endotrakheal, yakni dengan memasukkan suatu pipa ke dalam saluran pernapasan bagian atas. Karena
syarat utama yang harus diperhatikan dalam anestesi umum adalah menjaga agar jalan napas selalu bebas
dan napas dapat berjalan dengan lancar serta teratur. Tahap akhir dari pelaksanaan intubasi adalah
ekstubasi. Dalam pelaksanaan ekstubasi dapat terjadi gangguan pernapasan yang merupakan komplikasi
yang sering kita temui pasca anestesi. Komplikasi bisa terjadi setelah dilaksanakannya ekstubasi seperti :
pengeluaran sekret dari mulut yang menyumbat jalan napas, edema laring, dan bisa terjadi spasme laring.
Komplikasi pernapasan pasca anestesi bisa menyebabkan hipoventilasi dan hipoksemia.
Gejala komplikasi kadang-kadang datangnya tidak diduga kendatipun tindakan anestesi sudah
dilaksanakan dengan baik. Keberhasilan dalam mengatasi komplikasi tergantung dari deteksi gejala dini
dan tindakan koreksi untuk mencegah keadaan yang lebih buruk.
BAB II
Management Airway Breathing dan Circulation
2.1 Airway
Kurangnya pasokan oksigen yang dibawa oleh darah ke otak dan organ vital lainnya
merupakan penyebab kematian tercepat pada penderita gawat. Oleh sebab itu pencegahan
kekurangan oksigen jaringan (hipoksia) yang meliputi pembebasan jalan napas yang terjaga
bebas dan stabil, ventilasi yang adekuat, serta sirkulasi yang normal (tidak shock) menempati
prioritas pertama dalam penanganan kegawatdaruratan.
Sifat gangguan yang terjadi pada jalan napas bisa mendadak oleh karena sumbatan total,
atau bisa juga perlahan oleh karena sumbatan parsial (dengan berbagai sebab). Sumbatan
pada jalan napas dapat terjadi pada pasien tidak sadar atau pasien dengan kesadaran menurun
atau korban kecelakaan yang mengalami trauma daerah wajah dan leher.
Penanganan airway mendapat prioritas pertama karena jika tidak ditangani akan
mengakibatkan kematian yang cepat, dan penanganan segera perlu dilakukan. Pembebasan
jalan napas dapat dilakukan dengan dua cara yaitu tanpa alat (manual) maupun dengan alat.
Alat bantu pembebasan jalan napas yang digunakan ada berbagai macam disesuaikan dengan
jenis sumbatan dan tingkat kesadaran pasien yang pada intinya bertujuan mempertahankan
jalan napas agar tetap bebas.
2.1.1 Sumbatan Jalan Napas
Ada beberapa keadaan di mana adanya sumbatan jalan napas harus diwaspadai, yaitu:
a. Trauma pada wajah
b. Fraktur ramus mandibula, terutama bilateral, dapat menyebabkan lidah jatuh ke
belakang dan gangguan jalan napas pada posisi terlentang.
c. Perlukaan daerah leher mungkin menyebabkan gangguan jalan napas karena
rusaknya laring atau trakea atau karena perdarahan dalam jaringan lunak yang
menekan jalan napas.
d. Adanya cairan berupa muntahan, darah, atau yang lain dapat menyebabkan aspirasi
e. Edema laring akut karena trauma, alergi, atau infeksi.
2.1.2 Pembebasan Jalan Napas
Pembebasan jalan napas adalah tindakan untuk menjamin pertukaran udara secara normal
dengan cara membuka jalan napas sehingga pasien tidak jatuh dalam kondisi hipoksia dan
atau hiperkarbia.
Prioritas utama dalam manajemen jalan napas adalah membebaskan jalan napas dan
mempertahankan agar jalan napas tetap bebas untuk menjamin jalan masuknya udara ke
paru secara normal sehingga menjamin kecukupan oksigen tubuh. Pengelolaan jalan
napas dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu dengan alat dan tanpa alat (cara manual). Cara
manual dapat dilakukan di mana saja, dan kapan saja, walaupun hasil lebih baik bila
menggunakan alat namun pertolongan cara manual yang cepat dan tepat dapat
menghindarkan resiko kematian atau kecacatan permanen. Pada kasus trauma,
pengelolaan jalan napas tanpa alat dilakukan dengan tetap memperhatikan kontrol tulang
leher.
Langkah yang harus dikerjakan untuk pengelolaan jalan napas yaitu:
1. Pasien diajak berbicara. Jika pasien dapat menjawab dengan jelas itu berarti jalan
napasnya bebas. Pasien yang tidak sadar berpotensi terjadi sumbatan jalan napas sehingga
memerlukan tindakan pembebasan jalan napas. Penyebab obstruksi pada pasien tidak
sadar umumnya adalah jatuhnya pangkal lidah ke belakang.
2. Berikan oksigen. Oksigen diberikan dengan sungkup muka (simple masker) atau masker
dengan reservoir (rebreathing/non rebreathing mask) atau nasal kateter atau nasal prong
walaupun belum sepenuhnya jalan napas dapat dikuasai dan dipertahankan bebas. Jika
memang dibutuhkan pemberian ventilasi bisa menggunakan jackson-reese atau BVM.
3. Nilai jalan napas. Sebelum melakukan tindakan untuk membebaskan jalan napas lanjut
maka yang harus dilakukan pertama kali yaitu memeriksa jalan napas sekaligus
melakukan pembebasan jalan napas secara manual apabila pasien tidak sadar atau kesadaran menurun berat (coma). Cara pemeriksaan *Look-Listen-Feel (LLF) dilakukan secara simultan, menilai jalan napas sekaligus fungsi pernapasan:
L – Look (lihat) Lihat pengembangan dada, adakah retraksi sela iga otot-otot
napas tambahan lain, warna mukosa/kulit dan kesadaran. Lihat apakah korban
mengalami kegelisahan (agitasi), tidak dapat berbicara, penurunan kesadaran,
sianosis (kulit biru dan keabu-abuan) yang menunjukkan hipoksemia. Sianosis
dapat dilihat pada kuku, lidah, telinga, dan bibir.
L – Listen (dengar). Dengar aliran udara pernapasan. Adanya suara napas
tambahan adalah tanda ada sumbatan parsial pada jalan napas. Suara mendengkur,
berkumur, dan stridor mungkin berhubungan dengan sumbatan parsial pada daerah
faring sampai laring. Suara parau (hoarseness, disfonia) menunjukkan sumbatan
pada faring.
F – Feel (rasakan). Rasakan ada tidaknya udara yang hembusan ekspirasi dari
hidung dan mulut. Hal ini dapat dengan cepat menentukan apakah ada sumbatan
pada jalan napas. Rasakan adanya aliran udara pernapasan dengan menggunakan
pipi penolong.
4. Obstruksi jalan napas
Obstruksi jalan napas dibagi macam, obtruksi parsial dan obstruksi total.
a. Obstruksi partial dapat dinilai dari ada tidaknya suara napas tambahan yaitu:
Mendengkur (snoring), disebabkan oleh pangkal lidah yang jatuh ke
posterior. Cara mengatasinya dengan head tilt, chin lift, jaw thrust,
pemasangan pipa orofaring/nasofaring, pemasangan pipa endotrakeal,
pemasangan Masker Laring (Laryngeal Mask Airway).
Suara berkumur (gargling), penyebabnya adalah adanya cairan di daerah
hipofaring. Cara mengatasi: finger sweep, suction atau pengisapan.
Crowing Stridor, oleh karena sumbatan di plika vokalis, biasanya karena
edema. Cara mengatasi: cricotirotomi, trakeostomi.
b. Obstruksi total, dapat dinilai dari adanya pernapasan “see saw” pada menit-
menit pertama terjadinya obstruksi total, yaitu adanya paradoksal breathing
antara dada dan perut. Dan jika sudah lama akan terjadi henti napas yang ketika
diberi napas buatan tidak ada pengembangan dada.
Menjaga stabilitas tulang leher, ini jika ada dugaan trauma leher, yang ditandai
dengan adanya trauma wajah/maksilo-facial, ada jejas di atas clavicula, trauma dengan
riwayat kejadian ngebut (high velocity trauma), trauma dengan defisit neurologis dan
multiple trauma.
Pembebasan Jalan Napas Tanpa Alat.
Pada pasien yang tidak sadar, lidah akan terjatuh ke posterior, yang jika didengarkan seperti suara
orang ngorok (snoring). Hal ini mengakibatkan tertutupnya trakea sebagai jalan napas. Untuk
penanganannya ada tiga cara yang lazim digunakan untuk membuka jalan napas, yaitu head
tilt, chin lift dan jaw thrust.
head-tilt (dorong kepala ke belakang).
chin-lift Maneuver (tindakan mengangkat dagu).
jaw-thrust Maneuver (tindakan mengangkat sudut rahang bawah ke atas).
Head Tilt
Dilakukan dengan cara meletakkan 1 telapak tangan pada dahi pasien, pelan-pelan
tengadahkan kepala pasien dengan mendorong dahi ke arah belakang sehingga kepala
menjadi sedikit tengadah (slight Extention).
Chin Lift
Dilakukan dengan cara menggunakan jari tengah dan jari telunjuk untuk memegang
tulang dagu pasien, kemudian angkat dan dorong tulangnya ke depan. Jika korban
anak-anak, gunakan hanya jari telunjuk dan diletakkan di bawah dagu, jangan terlalu
menengadahkan kepala.
Chin lift dilakukan dengan maksud mengangkat otot pangkal lidah ke depan.
Tindakan ini sering dilakukan bersamaan dengan tindakan head tilt. Tehnik ini
bertujuan membuka jalan napas secara maksimal.
Perhatian : Head Tilt dan Chin Lift sebaiknya tidak dilakukan pada pada pasien
dengan dugaan adanya patah tulang leher; dan sebagai gantinya bisa digunakan teknik
jaw thrust.
Jaw Thrust
Jika dengan head tilt dan chin lift pasien masih ngorok (jalan napas belum terbuka
sempurna) maka teknik jaw thrust ini harus dilakukan. Begitu juga pada dugaan patah
tulang leher, yang dilakukan adalah jaw thrust (tanpa menggerakkan leher). Walaupun
tehnik ini menguras tenaga, namun merupakan yang paling sesuai untuk pasien
trauma dengan dugaan patah tulang leher.
Caranya adalah dengan mendorong sudut rahang kiri dan kanan ke arah atas sehingga
barisan gigi bawah berada di depan barisan gigi atas. Tetap pertahankan mulut korban
sedikit terbuka, bisa dibantu dengan ibu jari.
Gambar 2.1 Manuver jaw thrust hanya dilakukan oleh orang terlatih
Pembebasan Jalan Napas Dengan Alat
Cara ini dilakukan bila pengelolaan tanpa alat yaitu secara manual tidak berhasil
sempurna atau pasien memerlukan bantuan untuk mempertahankan jalan napas dalam
jangka waktu lama bahkan ada indikasi pasien memerlukan definitive airway. Alat yang
digunakan bermacam-macam sesuai dengan jenis sumbatan dan tingkat kesadaran pasien
yang intinya bertujuan mempertahankan jalan napas agar tetap terbuka.
a. Oropharyngeal Tube (pipa orofaring)
Pipa orofaring digunakan untuk mempertahankan jalan napas tetap terbuka
dan menahan pangkal lidah agar tidak jatuh ke belakang yang dapat menutup jalan
napas pada pasien tidak sadar. Yang perlu diingat adalah bahwa pipa orofaring ini
hanya boleh dipakai pada pasien yang tidak sadar atau penurunan kesadaran yang
berat (GCS ≤ 8).
Teknik Pemasangan Oropharyngeal Tube
Siapkan pipa orofaring yang tepat ukurannya. Bersihkan dan basahi agar licin.
Ukuran yang tepat dapat diperoleh dengan cara mencari pipa orofaring yang
panjangnya sama dengan jarak dari sudut bibir sampai ke tragus atau dari
tengah bibir sampai ke angulus mandibula pasien.
Buka mulut pasien (chin lift atau gunakan ibu jari dan telunjuk).
Arahkan lengkungan menghadap ke langit-langit (ke palatum). Masuk
separoh, putar 180º (sehingga lengkungan mengarah ke arah lidah).
Dorong pelan-pelan sampai posisi tepat. Pada anak-anak arah lengkungan
tidak perlu menghadap ke palatum tapi langsung menghadap bawah dan
untuk lidahnya ditekan dengan tongue spatle.
Yakinkan lidah sudah tertopang pipa orofaring, lihat, dengar, dan raba
napasnya.
b. Nasopharyngeal Tube (pipa nasofaring)
Untuk pipa nasofaring kontra indikasi relatifnya adalah adanya fraktur basis cranii
yang ditandai dengan adanya brill hematon, bloody rhinorea, bloody otorea, dan
battle sign.
Teknik Pemasangan Nasopharyngeal Tube
1. Nilai lubang hidung, septum nasi, tentukan pilihan ukuran pipa.
2. Ukuran pipa yang tepat dapat diperoleh dengan cara mencari pipa
nasofaring yang panjangnya sama dengan jarak dari ujung hidung sampai
ke tragus dan diameternya sesuai dengan jari kelingking tangan kanan
pasien.
3. Pakai sarung tangan.
4. Beri jelly pada pipa dan kalau ada tetesi lubang hidung dengan obat tetes
hidung atau larutan vasokonstriktor (efedrin).
5. Hati-hati dengan kelengkungan tube yang menghadap ke arah depan,
ujungnya diarahkan ke arah telinga.
6. Masukkan pipa nasofaring ke lubang hidung dengan posisi ujung yang
tajam menjauhi septum nasi. Masukkan sekitar 2 cm.
7. Kemudian lihat arah lengkungan dari pipa nasofaring, jika sudah
menghadap bawah maka pipa nasofaring tinggal dimasukkan secara tegak
lurus dengan dasar. Tapi jika arah lengkungan pipa nasofaring menghadap
atas maka putar pipa nasofaring tersebut 180º sehingga lengkungannya
menghadap ke bawah.
8. Kemudian dorong pelan-pelan hingga seluruhnya masuk, lalu pasang
plester (kalau perlu).
Bila dengan pemasangan jalan napas buatan pipa orofaring atau pipa
nasofaring ternyata masih tetap ada obstruksi jalan napas, pernapasan belum juga
baik atau karena indikasi cedera kepala berat; maka dilakukan pemasangan definitive
airway yaitu pipa endotrachea (ETT – Endotracheal Tube). Pemasangan pipa
endotrachea akan menjamin jalan napas tetap terbuka, menghindari aspirasi dan
memudahkan tindakan bantuan pernapasan.
c. Laringeal Mask Airway (LMA)
LMA adalah alat pembebasan jalan napas yang non-invasif yang dipasang di
supraglotis. Secara umum terdiri dari 3 bagian: airway tube, mask, dan Inflation line.
LMA disebut juga sebagai alternative airway, karena bagi tenaga yang belum
berpengalaman melakukan intubasi endotrachea maka LMA inilah yang menjadi
alternatif pilihan yang paling baik untuk membebaskan jalan napas.
Indikasi penggunaan LMA:
Keadaan di mana terjadi kesulitan menempatkan masker (BVM) secara tepat
Dipergunakan sebagai back up apabila terjadi kegagalan dalam intubasi
endotracheal
Dapat dipergunakan sebagai “second-last-ditch airway“ apabila pilihan
terakhir untuk secure airway adalah dengan pembedahan
Kontraindikasi pemasangan LMA:
Usia kehamilan lebih dari 14-16 minggu
Pasien dengan trauma masif atau multipel
Cedera dada masif
Trauma maksilofasial yang masif
Efek Samping Pemasangan LMA:
Nyeri tenggorokan
Rasa kering pada ternggorokan ataupun mukosa sekitarnya
Efek samping lebih banyak berhubungan dengan penempatan LMA yang tidak
tepat
Peralatan yang diperlukan untuk pemasangan LMA:
LMA dengan ukuran yang sesuai
Syringe untuk mengembangkan cuff LMA
Water soluble lubricant
Perlengkapan ventilasi
Stetoskop
Tape
Persiapan untuk pemasangan LMA:
1. Pemilihan Ukuran sesuai dengan pasien
Ukuran yang direkomendasikan (disesuaikan dengan berat badan):
Size 1 : < 5 kg
Size 1.5 : 5 s.d 10 kg
Size 2 : 10 s.d 20 kg
Size 2.5 : 20 s.d 30 kg
Size 3 : 30 kg s.d Small adult
Size 4 : Adult/Dewasa
Size 5 : Large adult(dewasa besar)/poor seal with size 4
2. Pengecekan LMA
Sebelum digunakan, periksa dulu apakah ada kebocoran/tidak dengan cara
mengembang kempiskan cuffnya
3. Pemberian jelly (water soluble) pada bagian belakang Mask LMA
4. Ekstensikan kepala dan fleksikan daerah leher.
Teknik Pemasangan LMA:
1. Pegang tube LMA, seperti memegang pena sedekat mungkin dengan bagian
akhir masker LMA.
2. Letakkan ujung LMA pada bagian dalam mulut pasien, di atas gigi (hard
palate)
3. Dengan sedapat mungkin melihat secara langsung Tekan ujung masker ke arah
atas menyusuri hard palate
4. Dengan jari telunjuk, tetap susuri searah dengan palatum sampai masker LMA
masuk faring. Pastikan ujung LMA tetap kempes dan hindari mengenai lidah
5. Jaga leher tetap dalam posisi fleksi dan kepala eksntensi, Tekan masker ke
arah dinding faring posterior dengan menggunakan jari telunjuk
6. Lanjutkan mendorong LMA dengan jari telunjuk, arahkan mask LMA ke
bawah sesuai posisi yang diharapkan
7. Pegang tube LMA dengan tangan yang lain, Tarik jari telunjuk dari faring
8. Secara gentle tangan yang lain menekan LMA ke bawah sampai benar-benar
mask LMA sudah masuk sepenuhnya.
9. Kembangkan masker LMA sesuai dengan udara sesuai volume yang
direkomendasikan. Berikut volume maksimal dari pengembangan cuff:
Size 1 : 4 ml
Size 1.5 : 7 ml
Size 2 : 10 ml
Size 2.5 : 14 ml
Size 3 : 20 ml
Size 4 : 30 ml
Size 5 : 40 ml
10. Hubungkan LMA dengan BVM atau low pressure ventilator
11. Ventilasi pasien sambil mendengarkan suara napas simetris atau tidak,
pastikan tidak ada suara udara masuk ke lambung
12. Masukkan bite block atau kasa gulung untuk mencegah oklusi tube karena
tergigit pasien
13. Fiksasi LMA
d. Endotracheal Tube
Pipa Endotracheal berbagai ukuran
Intubasi endotrachea adalah gold standard untuk pembebasan jalan napas. Sehingga
Intubasi endotrachea disebut juga definitive airway. Intubasi endotrakhea adalah
proses memasukkan pipa endotrakheal ke dalam trakhea, bila dimasukkan melalui
mulut disebut intubasi orotrakhea, bila melalui hidung disebut intubasi
nasotrakhea. Intubasi endotrakhea.
Peralatan Intubasi
1. Pipa oro/nasofaring.
2. Suction/alat pengisap.
3. Sumber Oksigen
4. Kanula dan masker oksigen.
5. BVM/Ambu bag, atau jackson reese.
6. Pipa endotrakheal sesuai ukuran dan stylet.
7. Pelumas (jelly).
8. Forcep magill.
9. Laringoscope (handle dan blade sesuai ukuran, selalu periksa baterai&lampu)
10. Obat-obatan sedatif i.v.
11. Sarung tangan.
12. Plester dan gunting.
13. Bantal kecil tebal 10 cm (bila tersedia)
Teknik Intubasi
1. Sebelum intubasi berikan oksigen, sebaiknya gunakan bantal dan pastikan jalan
napas terbuka (hati-hati pada cedera leher).
2. Siapkan endotracheal tube (ETT), periksa balon (cuff), siapkan stylet, beri jelly.
3. Siapkan laringoskop (pasang blade pada handle), lampu harus menyala terang.
4. Pasang laringoskop dengan tangan kiri, masukkan ujung blade ke sisi kanan
mulut pasien, geser lidah pasien ke kiri.
5. Tekan tulang rawan krikoid (untuk mencegah aspirasi = Sellick Maneuver).
6. Lakukan traksi sesuai sumbu panjang laringoskop (hati-hati cedera gigi, gusi,
bibir). Lihat adanya pita suara. Bila perlu isap lendir/cairan lebih dahulu.
7. Masukkan ETT sampai batas masukny di pita suara, keluarkan stylet dan
laringoskop secara hati-hati dan kembangkan balon (cuff) ETT.
8. Pasang pipa orofaring, periksa posisi ETT apakah masuk dengan benar (auskultasi
suara pernapasan atau udara yang ditiupkan). Hubungkan dengan pipa oksigen
Amankan posisi (fiksasi) ETT dengan plester.
2.2Breathing
Oksigen sangat penting bagi kehidupan. Sel-sel tubuh memerlukan pasokan konstan O2 yang
digunakan untuk menunjang reaksi kimiawi penghasil energi, yang menghasilkan CO2 yang
harus dikeluarkan secara terus-menerus. Kegagalan dalam oksigenasi akan menyebabkan
hipoksia yang diikuti oleh kerusakan otak, disfungsi jantung, dan akhirnya kematian. Pada
keadaan normal, oksigen diperoleh dengan bernafas dan diedarkan dalam aliran darah ke
seluruh tubuh. Airway yang baik tidak dapat menjamin pasien dapat bernafas dengan baik pula.
Menjamin terbukanya airway merupakan langkah awal yang penting untuk pemberian oksigen.
Oksigenasi yang memadai menunjukkan pengiriman oksigen yang sesuai ke jaringan untuk
memenuhi kebutuhan metabolik, efektivitas ventilasi dapat dinilai secara klinis.
Frekuensi/jumlah pernapasan 12-20x/menit (dewasa), anak (20-30x/menit), bayi (30-40x/menit)
Pernapasan dikatakan tidak baik/tidak normal jika terdapat keadaan berikut ini:
o Ada tanda-tanda sesak napas : peningkatan frekuensi napas dalam satu menit
o Ada napas cuping hidung (cuping hidung ikut bergerak saat bernafas)
o Ada penggunaan otot-otot bantu pernapasan (otot sela iga, otot leher, otot perut)
o Warna kebiruan pada sekitar bibir dan ujung-ujung jari tangan
o Tidak ada gerakan dada
o Tidak ada suara napas
o Tidak dirasakan hembusan napas
o Pasien tidak sadar dan tidak bernapas
Tindakan-tindakan ini dapat dilakukan bila pernapasan seseorang terganggu:
o Cek pernapasan dengan look, listen and feel.
o Bila korban masih bernapas namun tidak sadar maka posisikan korban ke posisi mantap
(posisikan tubuh korban miring ke arah kiri) dan pastikan jalan napas tetap terbuka;
segera minta bantuan dan pastikan secara berkala (tiap 2 menit) di cek pernapasannya
apakah korban masih bernapas atau tidak
Jika korban bernapas tidak efektif (bernapas satu-satu, ngap-ngap, atau tidak bernapas) :
o Aktifkan sistem gawat darurat (bila ada orang lain minta orang lain untuk
mencari/menghubungi gawat darurat)
o Buka jalan napas dengan menengadahkan kepala korban dan menopang dagu korban
(head tilt dan chin lift)
o Pastikan tidak ada sumbatan dalam mulut korban, bila ada sumbatan dapat dibersihkan
dengan sapuan jari-balut dua jari anda dengan kain dan usap dari sudut bibir sapu ke
dalam dan ke arah luar
o Berikan napas buatan dengan menarik napas biasa lalu tempelkan bibir anda ke bibir
korban dengan perantaraan alat pelindung diri (face mask, face shield) lalu hembuskan
perlahan >1 detik sambil jari tangan anda menutup hidung korban dan mata anda
melihat ke arah dada korban untuk menilai pernapasan buatan yang anda berikan
efektif atau tidak (dengan naiknya dada korban maka pernapasan buatan dikatakan
efektif)
o Berikan nafas buatan 2x lalu periksa arteri carotis, bila tidak ada denyut maka masuk ke
langkah RJP. Bila ada denyut nadi maka berikan napas buatan dengan frekuensi
12x/menit/1 tiap 5 detik sampai korban sadar dan bernapas kembali atau tenaga
paramedis datang, dan selalu periksa denyut nadi korban.
2.3Circulation
Sistem sirkulasi atau pompa darah pada tubuh manusia dilakukan oleh jantung. Jantung
terdiri dari empat ruangan, yaitu atrium kanan, atrium kiri, bilik kanan dan bilik kiri. Jantung
berfungsi memompa darah ke seluruh tubuh. Pada keadaan henti jantung dimana jantung
berhenti berdenyut dan berhenti memompakan darah ke seluruh tubuh, maka organ-organ
tubuh akan kekurangan oksigen. Organ yang paling rentan untuk terjadi kerusakan akibat
kekurangan oksigen adalah otak. Hal ini disebabkan karena sel-sel otak mengkonsumsi energi
yang berasal dari oksigen saja. Tanpa oksigen, proses hidup sel otak akan terganggu. Dalam
waktu 4-6 menit tanpa oksigen, sel-sel otak akan mulai mengalami kerusakan. Setelah 8-10
menit sel otak akan rusak permanen. Tindakan resusitasi jantung paru dapat membantu
mengalirkan darah ke seluruh tubuh walaupun tidak seoptimal kerja jantung. Untuk membantu
sirkulasi dapat dilakukan kompresi jantung atau kompresi dada.
Langkah-langkah kompresi jantung :
1. Letakkan korban di tempat yang datar dan keras
2. Bebaskan dada korban dari baju yang dikenakan korban
3. Perlu diingat sebelum melakukan kompresi dada jalan nafas harus dipastikan tetap bebas
4. Letakkan punggung telapak tangan kanan atau tangan yang dominan tepat di tengah-
tengah tulang dada diantara kedua puting susu.
5. Letakkan tangan yang satu lagi diatas tangan yang dominan tadi.
6. Pastikan kedua tangan dapat saling terkait dengan stabil
7. Arahkan bahu agar tepat berada diatas kedua telapak tangan tersebut hingga lengan
menjadi lurus
8. Dengan menggunakan bantuan berat badan, lakukan penekanan ke dada korban hingga
kedalaman 4-5 cm.
9. Lakukan kompresi ini sebanyak 30 kali kemudian diselingi dengan nafas buatan sebanyak
2 kali. Ini merupakan satu siklus.
10. Setelah lima siklus, dapat diperiksa kembali apakah sudah ada denyut jantung. Bila belum
ada, ulangi kembali siklus.
DAFTAR PUSTAKA
1. Edward Morgan Jr, Maged S Mikhail. Clinical Anesthesiology Fifth Edition a Lange
Medical Book. 2014.
2. Eddy Rahardjo. Kumpulan Materi Kuliah Kegawatdaruratan Anestesi untuk S1
Kedokteran Universitas Airlangga. 2015.
3. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Ilmu dasar Anestesi in Petunjuk Praktis
Anestesiologi 2nd ed. Jakarta: FKUI; 2009, 3-8.
4. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Breathing System in Clinical Anesthesilogy 4th
ed. McGraw-Hill; 2007