al mustadʻafÎn dalam perspektif murtad mutahharÎ...
TRANSCRIPT
Al-MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ
(PENAFSIRAN SÛRÂH (4): 97-99 DAN SÛRÂH (28): 5)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
RIZKY SURYANA HIDAYAT
NIM: 1112034000083
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR'AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/2018 M
iv
ABSTRAK
RIZKY SURYANA HIDAYAT
Al-Mustaḍʻafȋn dalam Perspektif Murtadâ Mutahhari
Al-Qur’an ketika menjelaskan al-mustadʻafȋn selalu mengaitkannya dengan al-
mustakbirîn. artinya selama orang sombong, orang zalim, orang kaya masih berkuasa,
keberadaan al-mustaḍʻafȋn akan terus berkembang biak. Walaupun al-Qur’an
menganalogikan bahwa pengentasan kemiskinan adalah perjuangan yang sangat berat,
tetapi Islam menganjurkan agar selalu peduli terhadap al-mustaḍʻafȋn khususnya fakir
miskin.
Salah satu perjuangan Nabi ialah mengajak kaum al-mustaḍʻafȋn Mekah untuk
hijrah ke Madinah, agar terhindar dari penindasan kaum kafir Quraisy. Hal ini sudah
jelas dipaparkan di , dalam al-Qur’an Surat al-Nisâʼ ayat 97-98. Kemudian sebagai
ujung perjuangan al-mustaḍʻafȋn dijelaskan dalam surat al-Qisâs ayat 5.
Pandangan Murtadâ Mutahharî, dalam bukunya Tafsir Holistik dan Keadilan
Ilahi: Asas-asas Pandangan Dunia Islam, al-mustaḍʻafȋn Mu’min dan nonMu’min
yang tidak berhijrah disebabkan ketidakmampuannya, mereka adalah murjaʻûna lî
amrillâh, sedangkan para ulama lainnya hanya memfokuskan al-mustaḍʻafȋn dari
kalangan Mu’min saja.
Untuk mendapatkan pemahaman yang tepat, penulis mencoba
mengkomparasikan penafsiran dan pendapat para ulama mengenai siapa
sesungguhnya al-mustaḍʻafȋn dengan mengkategorikan penafsiran dari kalangan
sunni, mutaʻzilah, dan syiʻah serta penafsiran modern-kontemporer. Kemudian
sebagai rumusan masalahnya, penulis memfokuskan bagaimana penafsiran Murtadâ
Mutahhari terhadap al-mustaḍʻafȋn.
Sebagai kesimpulannya bahwa al-mustaḍʻafȋn dari kalangan Mu’min dan
nonMu’min di akhir zaman nanti akan mendapatkan suatu kemenangan. Ketika di
dunia, mereka mendapatkan karunia dengan munculnya sang pelopor terakhir yaitu
Imam Mahdi, sedangkan di akhirat kelak mereka adalah murjaʻûna lî amrillâh
(orang-orang yang ditangguhkan dan menunggu ketetapan Allah).
v
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur bagi Allah yang Maha Bijaksana, yang mana karena atas
rahmat dan nikmat-Nya kita bisa melakukan segala aktivitas kita sehari-hari.
Shalawat teriring salam semoga tercurahkan keharibaan yaitu Nabi Muhammad Saw.
yang telah menyelamatkan umatnya dari ketertindasan dan kedzaliman menuju
kemerdekaan.
Maka dari itu, sudah sepantasnya bersyukur kepada Allah Swt. Yang telah
membimbing penulis untuk menyelesaikan skripsi yang berjudul “Al-Mustaḍʻafȋn
Dalam Perspektif Murtadâ Mutahharî”.
Atas dukungan dan kontribusi dari beberapa pihak maka penulis menyelesaikan
skripsi ini, penulis merasa berhutang budi yang tidak mampu membalasnya. Oleh
karena itu, penulis ucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Dr. Masri Mansoer, MA, selaku dekan Fakultas Ushuluddin UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA, selaku Ketua
Jurusan Tafsir Hadis, Dra. Banun Binaningrum, M.Pd, selaku Sekertaris
Jurusan Tafsir Hadis dan tidakclupa kepada Hani Halyati, S.Th.i, yang telah
memberikan kesempatan mengikuti perkuliahan serta memberikan
kemudahan, baik dalam hal administrasi maupun yang lainnya kepada saya.
vi
2. Dr. Yusuf Rahman, MA, selaku dosen pembimbing skripsi yang selalu sabar
selama membimbing saya, untuk beliau semoga Allah Swt. memberkahkan
dan menambahkan ilmunya.
3. Dr. Kusmana, MA, selaku pembimbing akademik yang telah memberikan
saran-saran ataupun arahan selama penulis duduk di bangku perkuliahan.
4. Para dosen Tafsir Hadis dari tahun 2012-2017, khususnya Dr. Abd. Moqsith
Ghazali, MA, Eva Nugraha, M.Ag, Moh. Anwar Syarifuddin, MA, Jauhar
Ajizi, MA, Zuhdi Zaini, MA, umumnya yang tidak bisa penulis sebutkan
namanya satu persatu, terimakasih atas ketulusan ilmu yang telah
diberikannya, semoga ilmu yang telah diajarkan menjadi amal shalih bagi
mereka semua dan membawa berkah dan manfaat bagi penulis.
5. Ayahanda tersayang, Amin Hidayat dan ibunda Euis Sumiati yang telah
sepenuh jiwa dan raganya memberikan dukungan moril ataupun materil serta
yang selalu mengirimkan doa dan semangat kepada penulis sehingga bisa
melanjutkan pendidikan sampai saat ini, pun tak lupa kepada adik-adik saya
Muhammad Iskandar Hidayat dan Susi Halimatussaʻdiyah, semoga mereka
mendapatkan keridhaan dan selamat dunia dan akhirat.
6. Keluarga besar Ummul Qura, khususnya Abi H. RA. Syarif Rahmat, SQ,
MA, dan Umi Uswatun Hasanah, keluarga besar Al-Kinanah Shaleh
Maʻmun: Abah Syarmili Badru Zaman al-Bantani (al-Marhum), KH. Sofian
al-Anshari, keluarga besar Al-Mubarokah: KH. Zainal Akhyar, keluarga
vii
besar Al-Maʻruf Kediri: KH. Nurul Anwar, mereka yang telah mengajarkan
segala Ilmu Agama.
7. Teman-teman senasib dan seperjuangan angkatan 2012 Jurusan Tafsir Hadis
Fakultas Ushuluddin:Aang Istikhari, Muhammad Afif, Aldi Yusuf, Riswan
Sulaiman, Imam Zamakhsyari, Muhammad RifaʻI, Indera Khairuddin, Acep
Sabiq, Adam Adnan, dan yang lainnya yang tidak dapat penulis sebut semua
namanya. Terimakasih atas kepercayaan dan persekawanan yang telah
diberikan kepada penulis selama aktif kuliah dan penulis mohon maaf
sebesar-besarnya jika ada kesalahan disengaja ataupun tidak.
8. Keluarga besar Riungan Kajian Sosial (RINGKAS), GPPI, SMGI-Raya,
GMI Khususnya bung Mumu Muakhir, bung Sofiyan, bung Rifki Arsilan,
bung Maslam Danoeri, bung Wika, bung Risman Sabo, bung Romi, bung
Ago, bung Wahid, bung Mas-e, mba Dian Maharani, mba Jenita Inayah, mba
Bibeh, bung Aghoy, Bung Firman Feylani, bung Isal dan yang lainnya yang
tidak dapat sebut semua namanya, namun tidak mengurangi rasa terimakasih
saya.
9. Sahabat selama belajar di pesantren, mang Nur Hidayat, mang Hadi Hidayat,
mang Ajiz, mang Muhammad Heri, Salim, mang Dodo, mang Dadan, Mang
Lepet, mang Amin Syihab, mang Nadi, Mang Ajiz Syahputra, mang Erwin
(al-Marhum), mang epul (al-marhum) dan yang lainnya, semoga mereka
semua mendapatkan keridhoan Allah Swt.
viii
10. Terakhir, tak lupa kepada Siti Zulfa Asyura, Semoga selalu menjadi
makhluk kesayangan Allah Swt.
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAAN...........................................................................................i
PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING....................................................................ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN...............................................................................iii
ABSTRAK…...................................................................................................................iv
KATA PENGANTAR….................................................................................................v
DAFTAR ISI…...............................................................................................................ix
PEDOMAN TRANSLITERASI….................................................................................x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang…………………………………………..……….......1
B. Identifikasi Masalah............................................................................6
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah………………………..............7
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian……………………………………....7
E. Tinjauan Kepustakan ……………………………..……………........8
F. Metode Penelitian………………………………………………......11
G. Sistematika Penulisan...……………………………………….........12
BAB II MUSTADʻAFÎN DALAM ALQURʼAN
A. Pengertian Mustadʻafȋn………………………………………..........14
1. Tinjauan Etimologi…………………………………….….........14
2. Tinjauan Terminologi……………………………………..........15
B. Ayat-ayat tentang Mustadʻafȋn....…………………………..............35
1. Ayat dan Terjemah…………………………………………......35
2. Asbâb Al-Nuzûl QS. 4: 97-99 …………………………..….......40
C. Tafsir ayat…………………………………………..…....................43
x
1. Tafsir Abad Pertengahan………………………………….........43
a. Penafsiran ʻAsyʻariyah (Fakhruddîn al-Râzi)…………........43
b. Penafsiran Muʻtazilah (Zamakhsyari)………………….......45
c. Penafsiran Syiʻah (al-Qummi)……………………..….........47
2. Tafsir Modern Kontemporer…...……………………….…........47
a. Tafsir Fî Zilalil Qur’an Sayyid Qutub………….…….........48
b. Tafsir Nûrul Qur’an Kamal Faqih Imani………….............52
c. Tafsir Al-Misbâh Quraisy Syihab…………………..….......55
BAB III BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN MURTADÂ MUTAHHARÎ
A. Biografi……………………………………………………..............68
1. Riwayat Hidup………………………………………….…........68
2. Pendidikan dan Karir…………………………………....….......69
3. Guru……………………………………………………….........71
4. Karya……...……………………………………........................72
B. Pemikiran………………………………………...............................73
BAB IV PENAFSIRAN MURTADÂ MUTAHHARÎ TERHADAP
MUSTADʻAFÎN
A. Penafsiran Mustadʻafȋn......................................................................76
1. Pengertian Mustadʻafȋn……………………...…….....................76
2. Tafsir QS. (4): 97-99 dan QS. (28): 5……………..…………....77
B. Perbandingan Penafsiran………………………..……...……...........86
C. Relevansi Penafsiran Murtada Mutahharî Dalam Konteks Indonesia
Modern...............................................................................................90
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan………………………………………….……..….........94
B. Saran-Saran…………………………………….…………...............96
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................97
x
PEDOMAN TRANSLITERASI
Pedoman Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan buku
pedoman 2012/2013 yaitu sebagai berikut:
Panduan Aksara
Huruf Arab Huruf latin Keterangan
tidak dilambangkan أ
b be ب
t te ت
ts te dan es ث
j je ج
h Hha dengan garis bawah ح
kh ka dan ha خ
d de د
dz de dan zet ذ
r er ر
z zet ز
s es س
sy es dan ye ش
s es dengan garis bawah ص
d de dengan garis bawah ض
t te dengan garis bawah ط
xi
z zet dengan garis bawah ظ
koma terbalik di atas hadap kanan „ ع
gh ge dengan ha غ
f ef ف
q ki ق
k ka ك
l el ل
m em م
n en ن
w we و
h ha dengan titik di atas ه
apostrof ' ء
y ye ي
Vokal
Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal
atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.
Untuk vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
a Fatḥah
i Kasrah
xii
u Ḍhamah
Adapun untuk Vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ي ai a dan i
و au a dan u
Vokal panjang
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ȃ a dengan topi di atas
ȋ I dengan topi di atas
ȗ u dengan topi di atas
Ta' Marbȗtah
Jikat ta marbȗtah terdapat pada kata yang berarti sendiri, maka huruf tersebut
dialihaksarakan menjadi huruf “h”, begitu juga jika ta marbȗtah tersebut diikuti oleh kata sifat
(naʻt). namun jika huruf ta marbȗtah diikuti oleh kata benda (ism), maka huruf tersebut
dialihaksarakan menjadi huruf “t”.
Syiddah
Transliterasi Syiddah/Tasydȋd yang system dalam tulisan Arab dilambangkan dengan
sebuah tanda ( ) dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan
huruf yang diberi tanda Syiddah itu. Akan tetapi hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima
tanda Syiddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf Syamsiyyah,
xiii
misalnya kata شمش tidak ditulis dengan kata asy-syamsyi melainkan al-syamsyi, demikianال
seterusnya.
Kata Sandang
Kata sandang , yang di dalam sistem bahasa aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu
dialihaksarakan menjadi huruf “l”, baik diikuti huruf syamsyyiah maupun qamariyyah. Contoh
al-rijȃl, al-dȋwȃn bukan ad-dȋwȃn.
Huruf Kapital
Huruf kapital yang digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang
Disempurnakan (EYD). Jika nama didahulukan oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan
huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan hurup awal atau kata sandangnya.
Contoh : المستضعفين = al-Mustadʻafȋn.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
ʻAli Syariʻati1 mengungkapkan bahwa kedudukan agama Islam sebagaimana yang
tampak dalam sejarah mempunyai dua wajah, pertama adalah apa yang disebutnya
"Islam Dekaden". Wajah Islam seperti ini memperlihatkan dirinya dalam kejahatan,
memelihara dan membiakkan reaksionerisme, inersia (kelembaman) dan pembiusan; ia
membendung semangat kemerdekaan dan dengan keliru dan palsu membenarkan status-
quo. Islam seperti itu memperlihatkan realitas anti-humanistik. Kedua, wajah Islam
yang lain dalam sejarah adalah "Islam Ideologi".2 Islam sebagai ideologi, adalah suatu
kepercayaan yang secara sadar dipilih untuk menjawab persoalan dan kebutuhan suatu
masyarakat. Islam seperti itu merupakan tindakan "kemerdekaan berkehendak" (free
will) yang berdasarkan pada diktum "Tiada tuhan kecuali Allah". Agama seperti itu
menggerakkan rakyat dan bangsa untuk mencapai cita-cita luhur yang telah lama
diperjuangkan. Siapa saja yang memilih ideologi tertentu pertama-tama memikirkan
status kelas sosialnya, kondisi politik dan ekonomi masyarakatnya serta lingkungan
jamannya. Dia tentunya akan mengetahui mengapa ia tidak puas dan bersikap kritis
1Anak pertama dari Muhammad Taqî dan Zahra, dilahirkan pada tanggal 24 November 1933 di
sebuah desa kecil di Kahak, 70 kilometer dari Sabzevar, provinsi Khorasan Iran. ia merupakan anak
pertama dengan nama kecil Muhammad Ali Mazinani, dengan tiga orang saudara perempuannya,
Teherah, Tayebeh, Batul (Afsaneh). Ali hidup dalam lindungan keluarga penyayang dari masyarakat
urban kelas menengah kebawah. Lihat, Ali Syariʻati, Islam Agama Protes, terj. Satria Pinandito
(Bandung: Pustaka Hidayah, 1993), h. 7 dan Ali Rahmena, ʽAli Syariʽati:Biografi Politik Intelektual
Revolusioner, terj. Dien Wahid dkk. (Jakarta: Erlangga, 2000), h. 53. 2 Bagi Syariʻati Islam yang ideal bukanlah Islam model Utsman bin Affan, melainkan Islam model
Abu Dzar Al-Ghiffari, sang sosialis pertama dalam sejarah Islam. Lihat, ʽAli Syariʽati, Pemimpin
Mustadʻafȋn: Sejarah Panjang Melawan Penindasan dan Kezaliman, terj. Rahmani Astuti (Bandung:
Muthahari Paperbacks, 2001), h. 23.
2
terhadap sistem yang berlaku. Di sisi lain, sejarah juga telah menunjukan keunggulan
sifat humanistik dari wajah Islam. Realitas Islam yang inilah yang sejati, yaitu yang
mendasarkan diri pada kebenaran, cita-cita kemanusiaan dan aspirasi manusia yang
lebih tinggi.3
Sebagai agama, Islam juga memperlihatkan dua bentuk. Pertama, ia adalah agama
yang pada hakikatnya merupakan kumpulan dari tradisi asli dan kebiasaan masyarakat
yang memperlihatkan suatu semangat kolektif dari suatu kelompok masyarakat. Kedua,
Ia berisikan kumpulan kepercayaan nenek moyang, perasaan individual, tata cara, ritual,
aturan, kebiasaan dan praktek-praktek dari suatu masyarakat yang telah mapan,
berlangsung dari generasi ke generasi. Kebiasaan-kebiasaan itulah yang kemudian
dipelihara oleh penguasa politik untuk meligitimasikan kekuasaan.4
Dalam sejarah pra-Islam, perkembangan perekonomian kota Mekah yang sangat
maju, yang menjadi kota ini melimpah secara dinamis kekayaan dalam skala besar, dan
sebagai kota dagang yang ramai dan makmur, maka Mekah hampir-hampir memonopoli
pusat-pusat perdagangan lokal antara laut India dan laut Tengah. Permasalahan demi
permasalahan kemudian muncul, bangsa Arab yang telah terbiasa dengan corak
kehidupan feodalistik dan diskriminatif mendatangkan dampak-dampak yang destruktif
berupa konsentrasi kehidupan yang serba elistis, baik secara ekonomis, polistis, bahkan
elistisme religius.5
Elitisme dalam bidang ekonomi menyebabkan adanya monopoli yang didominasi
oleh orang-orang tertentu yang bermodal, yakni para saudagar. Perekonomian yang
3 ʽAli Syariʽati, Kritik Islam Atas Marxisme dan Sesat-Pikir Barat Lainnya, terj. Husin Anis al-
Habsyi (Bandung: Mizan, 1983), h. 17-18. 4 Ibid., h. 17
5 Lihat, Karen Armstrong, Sejarah Tuhan: Kisah pencarian Tuhan Yang Dilakukan Oleh Orang-
Orang Yahudi, Kristen, Dan Islam Selama 4000 Tahun, Cet. 6, terj. Zaimul Am (Bandung: Penerbit
Mizan, 2002), h. 188.
3
berkembang tersebut menjadikan masyarakat Arab, khususnya bangsa Quraisy memiliki
pandangan bahwa kekayaan dan kapitalisme sebagai tujuan utama dan "juru selamat",
yang dapat menyelamatkan mereka dari kemiskinan, dan mara bahaya, dan memberikan
rasa aman. Mereka tidak lagi kelaparan, dan diganggu oleh suku-suku musuh. Uang
mulai mendapatkan posisi yang nyaris agamis. Namun, dalam pandangan Karen
Armstrong6, kapitalisme progresif yang muncul di kawasan Arab tersebut tidak sesuai
dengan etika kesukuan yang bersifat komunal. Kapitalisme secara alamiah mendorong
tumbuhnya keserakahan dan individualisme atau elitsime.
Kejadian ini terus berlangsung, hingga Nabi Muhammad Saw merasa risau dan
cemas melihat fenomena penyakit sosial tersebut, yang dicetuskannya bukan melalui
suatu gerakan revolusi sosial, melainkan melalui dorongan, motivasi dan saluran al-dîn
(agama).7
Nabi Muhammad Saw sendiri mengalami persekusi yang sangat akut; ia dihina,
dihakimi, dan diancam. Meski demikian, Nabi Muhammad Saw memiliki obat pelipur
lara; setiap kali merasa tertekan, ia akan mendapatkan kekuatan melalui pesan8 yang
turun dari langit.9
Allah swt. secara sengaja mengutus Nabi yang berasal dari kaum mustadʻafîn,
sebagian di antara mereka adalah pekerja dan mencari nafkah dengan keringat sendiri.
Saksikan saja Nabi Nûh adalah seorang guru yang juga tukang kayu, lalu Nabi Mûsa
adalah seorang pengembala, Nabi Syuʻaib dan Nabi Hûd adalah guru miskin. Malahan
6 Karen Armstrong, Sejarah Tuhan: Kisah pencarian Tuhan Yang Dilakukan Oleh Orang-Orang
Yahudi, Kristen, Dan Islam Selama 4000 Tahun, h. 189-190. 7 Munir Che Anam, Muhammad saw. dan Karl Marx Tentang Masyarakat Tanpa Kelas
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h. 85-88. 8"Pesan" diartikan sebagai wahyu Allah swt. yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw.
melalui malaikat Jibril yang berupa al-Qur’an. 9 Allan Menzies, Sejarah Agama-Agama, terj. Dion Yulianto dan EmIrfan (Yogyakarta : Grup
Relasi Inti Media, Anggota IKAPI, 2014), h. 264-265.
4
Nabi Ibrâhim, seorang guru besar Tauhid hanyalah seorang tukang batu dan ʻÎsa
hanyalah seorang tukang kayu. Sosok yang paling kita mulyakan yakni Nabi
Muhammad saw. adalah seorang penggembala dan buruh.10
Islam memberikan anjuran untuk peduli terhadap masalah kemiskinan,
mengabaikan orang miskin sebagaimana tersurat dalam surat al-Mâ‘ûn, sama artinya
dengan mendustakan agama. Apabila kita tidak mau dikatakan sebagai pendusta agama,
maka kita harus peduli terhadap masalah kemiskinan.
Al-Qur’an menganalogikan bahwa pengentasan kemiskinan sebagai sebuah
perjuangan yang berat, sebagaimana menempuh jalan yang mendaki: "Dan tahukah
kamu apa jalan yang mendaki dan sukar itu? (yaitu) melepaskan perbudakan atau
memberi makan pada hari terjadinya kelaparan, (kepada) anak yatim yang ada
hubungan kerabat, atau orang miskin yang sangat fakir". (QS. Al-Balad ayat 12-16).11
Untuk membangun tatanan sosial yang sehat, al-Qur’an menggunakan dua istilah
lain yang sangat bermakna mustakbirîn (yang sombong) dan mustad‘afîn (yang
dilemahkan). Al-Qur’an mengutuk yang pertama dan bersimpati kepada yang kedua.
Al-Qur’an menyatakan bahwa orang-orang yang sombong (mustakbirîn) adalah
berdosa. Al-Qur’an juga menegaskan bahwa orang-orang yang kuat dan arogan
(mustakbirîn) senantiasa tidak beriman, yakni berdosa karena kufur. Sedangkan
mustadʻafîn (mereka yang tertindas dan dilemahkan) selalu merupakan kelompok
pertama yang beriman, (beriman kepada tuhan dan melakukan yang maʻruf). Al-Qur’an
menyatakan: orang-orang yang menyombongkan diri berkata: "Sesungguhnya kami
adalah orang yang tidak percaya pada apa yang kamu Imani itu". Dengan demikian,
10
Eko Prasetyo, Islam Kiri Melawan Kapitalisme Modal-dari Wacana Menuju Gerakan
(Yogyakarta : InsistPress, 2002), h. 2. 11
Jasmadi, "Pemberdayaan Masyarakat Kaum Mustad'afîn". Jurnal Ijtimaiyya, Vol. 6 (Lampung:
IAIN Raden Intan, 2013), h. 10-11.
5
mustakbirîn dalam bahasa al-Qur’an adalah orang kafir sejati, sementara mustadʻafîn
adalah orang mukmin sejati.12
Menurut Muhammad Baqir al-Sadr13
, kontak manusia dengan manusia seperti
halnya sesama saudara dalam berbagai lapangan sosial. Termasuk hal-hal seperti
distribusi kekuasaan dan benturan berbagai budaya manusia maka kita berhadapan
dengan masalah lain. Kali ini masalahnya bukanlah pertentangan antara manusia dengan
alam, akan tetapi kontradiksi antara manusia dengan manusia.
Kontradiksi di antara manusia di berbagai lapangan sosial mempunyai banyak
bentuk dan nama tetapi pada dasarnya adalah pertentangan antara si kuat dengan si
lemah, antara yang berkuasa dengan yang tak berdaya. Manakala suatu makhluk yang
berkuasa tak mampu menyelesaikan pertentangannya sendiri, yakni konflik batinnya,
maka obsesinya akan segera muncul dalam bentuk apa saja, dan bisa berlabel hukum
atau aturan apapun. Namun dalam analisis akhir akan terbukti bahwa hal itu merupakan
bentuk pertentangan yang sama dengan pertentangan antara si kuat dengan si lemah.14
Baqir al-Sadr menegaskan bangsa-bangsa miskin yang terbelakanglah yang
menjadi kutub lain dalam pertentangan besar, yang oleh mereka dikategorikan sebagai
"Dunia Ketiga". Mereka adalah bangsa-bangsa Asia, Afrika dan Amerika Latin. Bangsa
Eropa dengan kondisinya yang mempunyai ketimpangan sosial bisa bersatu dan
bersekongkol untuk mengarahkan kekuatannya terhadap bangsa-bangsa miskin.
Pertentangan besar-besaran ini telah terjadi semenjak bangsa-bangsa Eropa dan
12
Asghaar Ali Engineer, Islam Dan Pembebasan (Yogyakarta: Lkis, 2007), h. 41-42. 13
Nama lengkapnya adalah Muhammad Baqir ibn Sayid Haidar ibn Ismâil Al-Sadr, ia dilahirkan
di Kazhimain, Baghdad, Irak pada 1350 H/1931 M, ia dipenjara pada tanggal 5 april 1980 dan dijatuhi
hukuman mati tiga hari kemudian. Lihat, Muhammad Baqir Sadr, Falsafatuna: Materi, Filsafat, dan
Tuhan dalam Filsafat Barat dan Rasionalisme Islam, cet. 5, terj. Arif Maulawi (Yogyakarta: Rausayan
Fikr Institute, 2016), h. xvii-xix. 14
Muhammad Baqir al-Sadr, Sejarah Dalam Perspektif Al-Quran, terj. M.S. Nasrullah (Jakarta:
Shadra Press, 2010), h. 24
6
Amerika keluar dari tanah airnya untuk mengeruk kekayaan alam di negara-negara
dunia ketiga tanpa perhitungan dari negara-negara tersebut.15
Di era globalisasi ini orang miskin bukan hanya terlunta tapi bisa menjadi korban
bualan para penguasa. Korban bualan karena kemiskinan diringkas dalam sederet table
kemudian dikalkulasi dalam jejeran angka. Angka-angka itulah yang dikampanyekan
dengan gigih bahkan diucapkan dalam berbagai seminar. Seringnya kemiskinan jadi
topik pembicaraan di hotel-hotel berbintang makin membuat kemiskinan jadi topik yang
lebih baik untuk didiskusikan ketimbang menjadi elemen penting dari gerakan sosial.16
Banyaknya permasalahan yang menimpa umat Islam di segala lini mengakibatkan
para ulama berusaha menyibukan dirinya untuk menafsirkan al-Qur’an dengan cara
mengkontekstualisasikan ayat-ayatnya dengan ketetapan mempertahankan nilai
universalitas al-Qur’an. Metode ini dikatakan sebagai min al-wâqi ila al-nass,17
di
antaranya ialah Muhammad ʻAbduh, Rasyîd Rida, Sayyid Qutb, Muhammad Husein
Tabatabaʻî, Sirr Sayyid Ahmad Khan, Jamâluddîn Al-Afghânî, dan yang lainnya.18
Dengan persoalan di atas, penulis akan menelaah lebih mendalam mengenai
konsep Mustad‘afîn dalam interpretasi Murtada Mutahharî dalam QS. (4): 97-99 dan
QS. (28): 5.
B. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang di atas, penulis menemukan topik masalah seputar konsep
Mustad‘afîn dengan menghasilkan beberapa masalah, di antaranya:
15
Lilik Ummi Kaltsum, Metode Tafsir Tematis M. Baqir Al-Sadr-Mendialogkan Realitas Dengan
Teks (Surabaya: CV. Putra Media Nusantara, 2010), h. 230. 16
Eko Prasetyo, Orang kaya di Negeri Miskin (Yogyakarta: Resist Book, 2005), h. 22-24. 17
Lilik, Mendialogkan Realitas Dengan Teks., h. 267. Lihat juga M. Baqir, al-Madrasat al-
Qurʻaniyyah(Qum: Markaz al-Abhȃts wa al-Dirȃsȃt al-Takhashshushiyyah li al-syahȋd, 1929). 18
Nur Kholis Setiawan, Akar-Akar Pemikiran Progresif dalam Kajian Al-Qurʼan (Yogyakarta:
Elsaq Press, 2008), h. 28.
7
1. Bagaimana konsep Mustad‘afîn menurut Mufassir abad pertengahan-
kontemporer?
2. Apakah terjadi pergeseran makna dalam memahami Mustad‘afîn?
3. Apakah masih relevan solusi yang ditawarkan para ulama dengan masa kini
dalam memberdayakan Mustad‘afîn?
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Untuk memperjeas dan menghindari pembahasan yang tidak mengarah pada
maksud dan tujuan peneliti skripsi ini, maka peneiti akan membatasi permasalahan
dengan menitikberatkan pada penafsiran para ulama abad pertengahan-kontemporer dan
pemikiran Murtada Mutahharî terhadap QS. (4): 97-99 dan QS. (28): 5
Berdasarkan pembahasan di atas, maka peneliti merangkum pokok yang menjadi
permasalahan dalam penelitian skripsi ini yaitu bagaimana Murtada Mutahharî
menafsirkan Mustad‘afîn dalam QS. (4): 97-99 dan QS. (28): 5?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Dalam pembahasan skripsi ini, tentunya penulis meneliti permasalahan dengan
berdasarkan tujuan, yaitu sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui ayat-ayat yang berhubungan dengan Mustad‘afîn ?
2. Untuk mengkaji lebih mendalam penafsiran para ulama terhadap konsep
Mustad‘afîn ?
3. Menganalisis perbedaan mufassir dalam memberikan solusi terhadap
pemberdayaan Mustad‘afîn ?
4. Untuk mengetahui pemikiran Murtada Mutahharî terhadap konsep Mustad‘afîn ?
Adapun manfaat dari penelitian ini ialah:
8
1. Secara akademik, penelitian ini kiranya mampu memberikan sumbangsih
pemikiran para mufassir abad pertengahan-kontemporer, khususnya penafsiran
Mustad‘afîn yang saat ini masih menjadi persoalan di masyarakat Indonesia.
2. Sebagai syarat memperoleh gelar Strata-1 bidang Ushuuddin pada program studi
Tafsir-Hadis di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
E. Tinjauan Kepustakaan
Sesuai dengan pokok permasalahan yang telah dirumuskan di atas, penulis
menemukan beberapa literatur yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas,
antara lain:
1) Abad Badruzaman19
, yang berjudul Teologi Kaum Tertindas (Kajian tematik
Ayat-Ayat Mustad‘afîn dengan Pendekatan Keindonesiaan). Buku ini
menjelaskan ayat-ayat secara terperinci yang berkaitan dengan Mustad‘afîn dan
memaparkan kaum Mustad‘afîn yang ada di Indonesia dari segala aspeknya serta
memberikan dorongan motivasi supaya selalu memperjuangkan kaum fakir
miskin yang ada di Indonesia.
2) ʽAli Syariʽati, Paradigma Kaum Tertindas. Buku ini sebelumnya merupakan hasil
skriptualisasi dari literatur terpisah yang ditulis oleh 'Ali Syari'ati di antaranya On
the Sociology of Islam dan The Visage of Muhammad, kemudian diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia oleh Saifullah Mahyudin dan Husen Hashem. Dalam
buku ini ia memaparkan bagaimana cara memahami Islam dengan menggunakan
pendekatan humanistik, dan sebagai contohnya ialah adanya Qabil dan Habil itu
19
Abad Badruzaman, Lc., M.Ag., dilahirkan di Ciamis, Jawa Barat pada 4 Agustus 1973, ia
adalah dosen tetap Jurusan Ushuluddin Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Tulungagung sejak
tahun 2001 dan sebagai Ketua Jurusan Ushuluddin tahun 2006-sekarang. Lihat, Abad Badruzaman,
Teologi Kaum Tertindas: Kajian Tematik Ayat-ayat Mustad‘afîn Dengan Pendekatan Keindonesiaan
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 245.
9
sebagai pendeskripsian kehidupan manusia atas golongan antara kaum yang
lemah dan kuat.20
3) Muslim, yang berjudul Pemikiran Murtada Mutahharî Tentang Filsafat Sejarah,
mahasiswa Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2011. Dalam skripsi ini dijelaskan bahwa sejarah
merupakan satu ilmu dalam empat pengertian, pertama, bahwa sejarah ditinjau
secara khusus sebagai ilmu tentang fenomena serial dari pribadi dan individual,
kedua sebagai narasi, ketiga, ilmu tentang being (maujud atau eksistensi), bukan
sebaliknya sebagai ilmu becoming, keempat, ilmu tentang masa lalu, bukan masa
sekarang.
4) Siska Wulandari, yang berjudul Konsep Manusia dan Implementasinya Dalam
Perumusan Tujuan Pendidikan Islam Menurut Murtada Mutahharî, mahasiswa
Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2013. Dalam skripsi ini dijelaskan bahwa akhlak Islam
ditunjukan untuk mendidik manusia agar sesuai dan selaras dengan apa yang
diinginkan oleh Islam. Sasaran utama pendidikan dipandang dari sisi sebuah
kerangka pengantar terbentuknya masyarakat yang baik, maka pembentukan
kepribadian seseorang sangatlah penting. Islam sangat menjaga dan menghormati
kesejatian individu dan masyarakat.
5) Munawaroh, yang berjudul Keadilan Tuhan Atas Perbuatan Baik Non Muslim
dalam Perspektif Murtada Mutahharî, mahasiswa Aqidah dan Filsafat Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014. Dalam skripsi ini ia
memaparkan pandangan Muthahharî mengenai pertimbangan non Muslim dalam
20
ʽAli Syariʽati, Pemimpin Mustadʻafȋn: Sejarah Panjang Melawan Penindasan dan Kezaliman,
terj. Rahmani Astuti (Bandung: Muthahari Paperbacks, 2001).
10
ketetapan Allah swt. karena untuk mencapai kebaikan fâ‘ili manusia tidak perlu
harus berupa taqarrub kepada Allah. Apabila seseorang melakukan atas dasar
kasih sayang yang menguasai hatinya, hal tersebut sudah cukup untuk mencapai
kebaikan fâ‘ili untuk amalnya. Hal tersebut sudah cukup apabila yang menjadi
niatnya bukan egoisme. Jadi tak dapat dipungkiri lagi, Allah tidak akan
membiarkan orang-orang yang melakukan kebaikan seperti non Muslim.
6) Muniroh, yang berjudul Konsep Fitrah Murtada Mutahharî, mahasiswa Aqidah
dan Filsafat Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012. Dalam
skripsi ini terdapat suatu pandangan Fitrah menurut Mutahharî, ia menjelaskan
bahwa fitrah memiliki kekerabatan yang sangat erat dengan pendidikan.
Pendidikan yang benar adalah pendidikan mengembangkan suatu potensi dan
bakat manusia secara alami. Jika manusia memiliki bakat yang sangat tinggi
ataupun potensi, maka potensi dan bakat tersebut harus lebih dikembangkan
bukan dibumihanguskan.
7) Hairus Saleh, Studi Komparatif antara Abdurrahman Wahid dan Murtada
Mutahharî, mahasiswa Aqidah dan Filsafat Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2014. Dalam skripsi ini dijelaskan bahwa ada suatu
perbedaan mengenai dimensi manusia. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
menjelaskan bahwa dimensi-dimensi manusia yang dikembangkan itu berujung
pada ranah sosial. Sedangkan Mutahharî menjelaskan bahwa dimensi-dimensi
manusia tersebut berpakngkal pada keimanan dan keilmuan.
Dari beberapa pustaka yang telah dipaparkan di atas, penulis masih memiliki
peluang untuk mengkaji secara khusus terhadap interpretasi pemikiran Murtada
11
Mutahharî dengan membahas konsep al-Mustad‘afîn dalam QS. (4): 97-99 dan QS.
(28): 5.
F. Metode Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan Jenis penelitian kepustakaan
(Library Reserch). Studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan
mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku, litertur-literatur, catatan-catatan, dan
laporan-laporan yang ada sehingga diperoleh data-data yang diperlukan yang
berhubungan dengan masalah yang akan dipecahkan21
Dengan metode penelitian
sebagai berikut :
1. Pengumpulan Data
Penulis mengumpulkan data-data kepustakaan yang tidak terikat dengan lapangan,
tetapi melalui bacaan dan literatur-literatur yang ada kaitannya dengan pembahasan
penulis. Sebagai sumber pokoknya adalah buku Keadilah Ilahi: Asas Pandangan Dunia
Islam, Tafsir Holistik: Kajian Seputar Relasi Tuhan, Manusia, dan Alam, Manusia dan
Alam Semesta: Konsepsi Islam Tentang Jagat Raya, Islam Agama Keadilan, Tema-
Tema Pokok Nahj al-Balaghah, Pengantar Ilmu-Ilmu Islam, Menguak Masa Deoan
Umat Manusia, Fitrah, Islam dan Tantangan Zaman yang semuanya itu ditulis oleh
Murtada Mutahharî, dan sebagai penunjangnya yaitu buku-buku yang membahas secara
khusus tentang al-Mustad‘afîn.
Adapun teknik penulisan proposal skripsi ini mengacu pada pedoman penulisan
skripsi dalam buku Pedoman Akademik UIN Syarif Hidayatullah Program Strata 1
2012/2013 yang disusun oleh Tim Penyusun dan diterbitkan pada tahun 2012.
21
Winarmo Surachmad, Dasar dan Teknik Research Pengantar Metodologi Ilmiah (Bandung:
Tarsio, 1972), h. 132.
12
2. Analisis Data
Melalui metode ini, penulis menggunakan metode pendekatan penafsiran al-
Qurʼan secara muqarîn. Metode tafsir muqarîn secara bahasa berarti membandingkan.
Sedangkan menurut istilah adalah mengemukakan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang
ditulis oleh sejumlah para penafsir. Metode ini mencoba untuk membandingkan ayat al-
Qur’an antara yang satu dengan yang lain atau membandingkan ayat al-Qur’an dengan
hadis Nabi yang tampak bertentangan serta membandingkan pendapat ulama
menyangkut penafsiran ayat-ayat al-Qur’an.22
Untuk lebih jelasnya, penulis menelaah lebih mendalam terhadap ayat al-Qurʼan
yang berkenaan dengan Mustad‘afîn, kemudian menyusunnya berdasarkan periode
penafsiran yang disusun dengan cara mengkategorikan madzhab mufasir serta kaitannya
dengan penafsiran Murtada Mutahharî.
G. Sistematika Penulisan
Sebelum menginjak bab pertama dan bab berikutnya, maka sistematika penulisan
skripsi ini diawali dengan halaman judul, halaman pernyataan, halaman pengesahan,
halaman motto, abstrak, halaman kata pengantar, halaman persembahan, transliterasi,
daftar isi dan untuk selanjutnya diikuti oleh bab pertama.
Bab Pertama merupakan Bab Pendahuluan. Bab ini berisi tentang latar belakang
masalah, rumusan masalah, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, tujuan penelitian
skripsi, dan sistematika penulisan skripsi.
Bab Kedua merupakan Kerangka Teori. Dalam bab ini penulis akan membahas
tentang ruang lingkup Mustad‘afîn dalam perspektif al-Qur’an. Di antaranya ditinjau
secara etimologi dan terminologi serta menjelaskan QS. (4): 97-99 dan QS. (28): 5, dan
22
Badri Khaeruman, Sejarah Perkembangan Tafsir al-Qurʼan (Pustaka Setia: Bandung, 2004), h.
94.
13
ayat-ayat lain yang terkait kemudian memaparkan penafsiran ulama klasik dan
kontemporer.
Bab Ketiga merupakan penjelasan Biografi. Dalam bab ini penulis akan
membahas biografi dan pemikiran Murtada Mutahharî.
Bab Keempat merupakan Bab inti. Dalam bab ini akan dibahas beberapa item
yaitu: Sketsa Biografi dan pemikiran Murtada Mutahharî yang meliputi riwayat hidup
Murtada Mutahharî, pendidikan, para gurunya, karya-karyanya serta pemikirannya
dalam menafsirkan al-Mustad‘afîn. Kemudian penulis menambahkan pembahasan
tentang perbandingan penafsiran Murtada Mutahharî dengan para mufasir lainnya.
Bab Kelima merupakan Bab Penutup. Di dalam bab ini penulis menuangkan
kesimpulan dan saran dari hasil pembahasan skripsi.
14
BAB II
Al-MUSTADʻAFÎN DALAM AL-QUR’AN
Dalam bab ini penulis membahas pengertian al-mustadʻafȋn dalam tinjauan etimologi
dan terminologi serta menerangkan al-mustadʻafȋn dalam beberapa perspektif para ulama,
kemudian menjelaskan kelompok yang menyebabkan penindasan serta mengkategorikan
golongan-golongan yang termasuk al-mustadʻafȋn agar lebih sistematis dalam memposisikan
golongan yang menindas dan yang tertindas.
A. Pengertian Al-Mustadʻafȋn
1. Tinjauan Etimologi
Akar kata mustadʻafȋn )يضتضعفى( atau يضتضعف adalah daʻufa (ضعف). Kata daʻufa
mempunyai ragam arti seperti lemah, kurus, sakit dan hilang يسض وذهبت قىته أو صحته ،هزل()
kekuatannya atau kesehatannya.1
Dalam QS. Al-Hajj (22): 73 dijumpai kata ini:
Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan
itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-sekali tidak dapat menciptakan
seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu
merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu.
Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah pulalah yang disembah.2
1 Abad Badruzaman, Teologi Kaum Tertindas: Kajian Tematik Ayat-Ayat Mustadʻafȋn Dengan
Pendekatan Keindonesian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 1. Lihat juga kamus, Muʽjam al-Wasît,
(Qahirat: Maktabah al-Syurûq al-Dawaliyah, 2004), h. 530. 2 Baca Juga, QS. Ali 'Imrân (3): 146.
15
Dalam Lisân al-ʻArab dijelaskan kata عف عف و انض ف ان yang berarti انض قىة خلا (kebalikan
daripada kuat). عف عف dengan damah diartikan sebagai kelemahan fisik, sedangkan انض انض
dengan Fatah diartikan sebagai kelemahan intelektual atau akal.3
Sebagaimana firman Allah:
Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menciptakan
(kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah
kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan
Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa4
Dengan demikian, menurut Ishfahani bahwa ضتضعف adalah bentuk mudâriʽ dari
Sementara itu disebutkan pula bahwa kata .(menghina, merendahkan) ضترل berarti اصتضعف
aku menemukannya dalam keadaan lemah atau sebagai orang وجدته ضعفب berarti اصتضعفته
lemah.5
2. Tinjauan Terminologi
Mustadʻafȋn secara istilah adalah orang-orang yang dianggap lemah dan rendah oleh
orang-orang yang kuat sehingga orang-orang kuat ini menindas dan berbuat seweang-wenang
terhadap mereka. Pada kenyataannya bahwa kaum mustadʻafȋn adalah orang-orang miskin
dan berpenampilan sangat sederhana. Dalam ungkapan lain, para penindas yang kuat
menganggap kaum mustadʻafȋn sebagai orang-orang lemah. Kelemahan inilah yang
mendorong para penindas untuk menindas mereka.6
3 Abî al-Fadl Jamâl al-Dîn Muhammad Mukram ibn Manzûr al-Faryaqî al-Misrî, Lisân al-ʻArab, Jilid 7,
cet. 3 (Beirut: Dâr Sadr, 2010), h. 203. 4 Al-Rûm (30): 54.
5 Al-ʻAllâmah al-Râghib al-Isfahânî, Mufradât Alfâz al-Qur'ân (Damasyqi: Dar al-Qalam, 2009), h. 507.
6Badruzzaman, Teologi Kaum Tertindas: Kajian Tematik Ayat-Ayat Mustadʻafîn dengan Pendekatan
Keindonesiaan, h. 6-7.
16
Al-Qur‟an tidak menyebutkan bangsa penjajah dan bangsa terjajah, tetapi al-Qur‟an
berkisah tentang kelompok-kelompok manusia-boleh jadi terdiri dari satu bangsa atau
bangsa-bangsa lain yang berlainan yang berhubungan satu sama lain dengan sistem yang
tidak adil. Alih-alih menyebut penjajah dan yang dijajah, al-Qur‟an menyebut "alladzîna
"istakbarrû" dan "alladzîna ustudʻifu." Ada kelompok yang arogan dan penindas serta ada
kelompok yang dilemahkan atau ditindas.7
Kisah kaum mustadʻafȋn dalam al-Qur‟an menghadirkan tiga kutub: pertama, kekuatan
penindas yang tiran (mustadʻifȋn), kedua, kelompok yang ditindas (mustadʻafȋn), ketiga,
kekuatan pembebas dan pembela kaum tertindas dalam melawan kekuatan penindas. Yang
disebut terakhir adalah kekuatan yang dipimpin dan dipelopori oleh para nabi dan utusan
Tuhan.8
1) Kelompok Penindas (mustadʻifȋn)
Dalam perkembangan dan evolusi sosial, kutub ini9 terpolarisasi menjadi tiga dimensi
yang terpisah. Manifestasi politiknya ialah kekuasaan, manifestasi ekonominya adalah harta,
dan manifestasi keagamaannya adalah kependetaan yang dalam al-Qurʼan disebut sebagai
malaʼ, mutraf, dan ruhbâni.
Dari beberapa literatur yang telah ditelaah, penulis menyimpulkan ada lima kelompok
penindas dalam al-Qur‟an, yaitu:
a) Mala‟
7 Eko Prasetyo, Islam Kiri Melawan Kapitalisme Modal-Dari Wacana Menuju Gerakan (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2002), h. 315-316. 8 Abad Badruzzaman, Dari Teologi Menuju Aksi- Membela yang Lemah, Menggempur Kesenjangan,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 105. 9 Kutub dimaksud adalah "Qabil" yaitu kelas yang berkuasa seperti raja, pemilik tanah dan kaum ningrat.
Lihat, ʻAli Syariʻati,Sosiologi Islam, terj. Saifullah Wahyudin (Yogyakarta: Ananda, 1982), h. 159.
17
Mala‟ secara bahasa ialah األشسف ي انبس (kalangan terpandang). Dinamai demikian
karena mereka dipenuhi dengan kemuliaan. Mereka adalah:
ووجىههى وزؤصبؤهى ويقديهى انري سجع انى قىنهى أشساف انقىو
(kalangan terpandang, para pemuka, para pemimpin, dan kalangan terhormat yang
dijadikan rujukan oleh suatu kaum)10
Golongan yang berpangkat tinggi daripada golongan manusia, seolah-olah mereka
dipenuhi oleh kemuliaan (terhadap pandangan manusia).11
Term يأل dalam al-Qurʼan terdapat di-13 surat, di antaranya; Al-Baqarah (2): 236, al-
Aʻrâf (7): 60, 66, 75, 88, 90, 103, 109, 127, Yûnus (10): 83, Hûd (11), 27, 38, 97, Yûsuf (12):
43, 75, 83, 88, al-Muʼminûn (23): 24, 33, al-Syuʽarâʼ (26): 34, al-Naml (27): 29, 32, 38, al-
Qisas (28): 20, 32, 38, al-Sâfât (37): 8, Sad (38): 6, 69, al-Muʼminûn (23): 46, al-Zukhruf
(43): 46.12
b) Mutrafȋn
Kaum Mutrafȋn selalu menentang para Nabi di sepanjang sejarahnya, dalam al-Qur‟an
disebutkan bahwa Allah tidak mengutus seorang nabi kecuali kaum Mutrafȋn (mereka yang
hidup mewah dan berlebihan) dan mereka yang menikmati kekayaan menentang Nabi
tersebut, dan mereka berkata bahwa mereka tidak akan mengikutinya dan akan mengikuti
jejak agama leluhur. Yang dimaksud di sini adalah bahwa isu ini dinyatakan dalam al-Qurʼan
sebagai kaidah dan realitas sejarah yang pasti.13
10
Badruzzaman, Teologi Kaum Tertindas: Kajian Tematik Ayat-Ayat Mustadʻafȋn dengan Pendekatan
Keindonesiaan, h. 31. Lihat Juga Abȗ al-Husain Ahmad Ibnu Fȃris, Muʻjam al-Maqȃyȋs fi al-Lughah, cet. 1
(Beirut: Dar al-Fikr lȋ al-Thibȃʻah wa al-Nasyr wa al-Tawzȋ, 1994), h. 994. 11
Abî Muhammad bin Ahmad bin Abî Bakr al-Qurtubî, Al-Jâmi Li Ahkâm al-Qurʼân, juz 2 (Beirut: al-
Resalah, 2006), h. 222. 12
Muhammad Fuʽâd ʻAbdul Bâqî, al-Muʻjam al-Mufaharas Li Alfâdz al-Qurʼân al-Karîm (Qahirat: Dar
al-Kitâb al-Misriyah, 1945), h. 672.
13 Isu ini sudah ada dalam sejarah setiap nabi. Ini terjadi pada kasus Nabi Nuh, nabi pertama yang
kisahnya diceritakan secara detail dalam Al-Qurʼan. Dan biasanya mutrafȋn dalam al-Qurʼan selalu berhadapan
18
Kelompok mala‟ dan mutraf bersama-sama merupakan kelas yang selalu
mengeksploitir. Mereka selalu menentang para nabi, sedangkan kaum mustadʻafȋn yang
teraniaya mereka yang ditindas dan mereka yang bertakwa selalu berpihak kepada para nabi
dan syuhada.14
Al-Qur‟an sangat mengecam terhadap orang-orang kaya yang suka pamer, dan
kehidupan seperti inilah membawa kepada kehancuran.
"Dan bila kami bermaksud untuk menghancurkan sebuah kota, kami berikan perintah
kepada orang-orang yang hidup dengan kemewahan supaya patuh,15
Namun mereka melanggar perintah itu.
Maka sepantasnyalah berlaku kutukan bagi mereka, lalu kamipun
membinasakannya."16
Kemudian, al-Qur‟an juga tidak hanya menentang penimbunan harta17
, namun juga
menentang kemewahan dan tindakan orang-orang yang menghambur-hamburkan uang.18
Hal
ini merupakan tindakan jahat, dan mereka mengganggu keseimbangan sosial (social
balance), sehingga terjadi bencana.19
dengan kaum arȃdzil. Perhatikanlah, ketika Nabi Nuh menyeru kepada kaumnya untuk menghindarkan diri dari
kejahatan, salah satu pernyataan mereka adalah: “Mereka berkata, „Haruskah kami beriman padamu sedangkan
yang mengikutimu adalah mereka yang paling hina di antara kami?” (QS. 26:111). Orang-orang kafir berkata:
“kecuali mereka yang hina di antara kami yang lekas percaya saja” (QS. 11:27). Mereka berkata bahwa
bagaimana kami akan mengikutimu jika kami melihat pengikutmu adalah orang-orang yang paling hina di
antara kami? (Tentu saja, kata arȃdzil yang berarti “bangsat” yang kini kita gunakan berbeda dari maknanya
dalam bahasa Arab. Dengan kata arȃdzil mereka merujuk pada kelas terendah dalam masyarakat, para pekerja
kasar, dan orang-orang miskin). Inti dari perkataan mereka terhadap Nabi Nuh adalah bagaimana mereka akan
mengikutinya dan akan mendukung gerakan yang dipelopori terutama oleh kelas-kelas tertindas. Lihat,ʻAli
Akbar Hashemi Rafsanjani, Keadilan Sosial: Pandangan Islam Tentang HAM, Hegemoni Barat dan Solusi
Dunia Modern, terj. Anna Farida (Bandung: Nuansa Cendekia, 2001), h. 223-226. 14
ʽAli Syarʽati, Paradigma Kaum Tertindas, terj. Saifullah Mahyudin dan Husen Hashem (Jakarta: al-
Huda, 2001), h. 27. 15
Baca, Al-Baqarah (2): 219. 16
Baca, Al-ʼIsrâ' (17): 16. 17
dengan artian tidak disumbangkan kepada fakir miskin atau anak yatim ataupun juga kaum mustad'afîn 18
untuk kemewahan dan kesenangan dirinya sendiri sementara banyak orang miskin yang
membutuhkannya. 19
Ashgar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, terj. Agung Prihantoro (Yogyakarta, Pustaka
Pelajar, 2009), h. 60.
19
Suatu kerjasama dari kekuatan mala‟ bersama mutrafîn akan melahirkan kaum
mustad‟afîn yang secara alami mereka adalah kaum yang serba kekurangan yang direkayasa
untuk tetap lemah, hak-haknya tidak dipenuhi oleh sistem sosial yang ada, sejatinya bahwa
mereka selalu dibatasi oleh mutrafîn dengan perlindungan mala‟.20
Dari segala derivasinya, term mutrafîn terdapat dalam beberapa ayat, yaitu; Hûd (11):
116, al-'Isrâʼ (17): 16, al-Anbiyâʼ (21): 13, al-Muʼminûn (23): 33, 64, Sabâ (34): 34, al-
Zukhruf (43): 23, al-Wâqiʻah (56): 45.21
c) Ruhbâni
Ibnu Taimiyyah mengatakan "Keadilan itu suatu tatanan yang universal. Anehnya,
kehidupan di dunia yang berlangsung adil, akan tetapi pemimpinnya justru tidak
mendapatkan pahala di akhirat kelak."Namun para ulama yang mendapatkan keuntungan
dari kemapanan justru sebaliknya, memperoleh pahala di akhirat.22
Mereka mengikuti pemerintah yang tiran, meskipun mereka orang yang saleh. Bagi
mereka takwa itu dipahami secara konvensional dan ritualistik, serta lebih penting daripada
keadilan. Ironisnya, justru prinsip keadilan itu berada di tangan para ulama sendiri. Sejarah
Islam mengatakan kepada kita dengan bukti yang cukup bahwa ulama berada dalam satu
pihak dengan kemapanan yang menindas atas nama Islam.23
Dalam Al-Qur‟an term ruhbâni terdapat tiga surat yaitu; Al-Maʼidah (5): 82, al-Taubah
(9): 4, 31, al-Hadîd (57), 27.24
d) Mustakbirȋn
20
St. Nasriah AR, "Dakwah dan Problematika Kemiskinan Struktural", Tabligh, edisi 24, (Makassar:
UIN Alauddin, 2011), h. 57. 21
ʽAbdul Bâqî, al-Muʻjam al-MufaharasâLi Alfadz al-Qurʼân al-Karîm, h. 153. 22
Ahmad bin Taimiyyah, Majmû'Fatâwâ, jilid 28 (Madinah, 2004), h. 146. 23
Engineer, Islam dan Teologi Penindasan, h. 70. 24
ʽAbdul Bâqî, al-Muʻjam al-Mufaharas Li Alfâdz al-Qurʼân al-Karîm, h. 325.
20
Isfahanî dalam kitab Mufradât Alfâz al-Qur‟ân mengatakan bahwa mustakbirîn adalah
orang yang mencari-cari manusia diminta untuk membesarkannya, di situasi apapun atau di
segala tempat dan waktu harus ada yang memujinya. Kemudian ketika bosan, ia akan
menunjukan dirinya yang bukan darinya. Ini adalah perbuatan tercela. Kemudian,
mustakbirîn tidak akan selalu menerima mustadʻafîn karena mereka menyombongkan dirinya
dari kekuatannya, badannya ataupun dari uangnya.25
Al-Qurʼan menggambarkan para penguasa, pimpinan, dan mereka yang di atas sebagai
mustakbirîn (sombong, mabuk kekuasaan), dan menyebut rakyat jelata dan masyarakat awam
dengan mustadʽafîn. Raja Firʽaun disebut sebagai mustakbirîn sedangkan bangsa Israel
disebut sebagai mustadʽafîn.26
Dalam segala derivasinya, mustakbirîn dalam al-Qur‟an terbagi dalam 4 term, yaitu:27
a) اصتكببز, Fâtir (35): 43, Nûh (71): 7.
b) يضتكبسا, Lukmân (31): 7, al-Jâsyiyah (35): 8.
c) يضتكبسو, al-Nahl (16): 22, al-Munâfiqûn (63): 5.
d) يضتكبس, al-Nahl (16): 23, al-Mu‟minûn (23), 67.
e) Mufsidȋn
Isfahanî dalam kitabnya menjelaskan bahwa mufsidîn adalah mengeluarkan sesuatu
secara berlebian dengan sedikit ataupun banyak. Mufsidîn kebalikan daripada memperbaiki.
Dalam melakukannya dengan dirinya, badannya ataupun yang lainnya yang dapat
mengeluarkan sesuatu secara terus-menerus.28
25
Al-Isfahânî, Mufradât Alfâzal-Qur'ân, h. 696. 26
Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, h. 92. 27
'Abdul Bâqî, al-Muʻjam al-Mufaharas Li Alfâdz al-Qurʻân al-Karîm, h. 589. 28
Al-Isfahânî, Mufradât Alfâz al-Qurʼân, h. 636.
21
Perusakan adalah aktifitas yang mengakibatkan sesuatu yang memenuhi nilai-nilanya
atau berfungsi dengan baik atau bermanfaat menjadi kehilangan sebagian atau seluruh
nilainya sehingga berkurang fungsi dan manfaatnya disebabkan oleh si perusak.29
Membuat kerusakan di bumi meliputi usaha untuk memusnahkan manusia dengan
pembunuhan atau penganiayaan, usaha merusak harta dengan mencuri dan merampas,30
merusak agama yaitu dengan kufur dan melakukan maksiat, serta merusak akal dengan
minuman yang memabukan.31
Dari term al-Fasâd, yang paling banyak digunakan dalam al-Qur‟an adalah mufsidîn,
sebanyak 18 kali, al-fasâd, 8 kali, yufsidûn, 5 kali, tufsidu, 4 kali, fasadan 3 kali, lafasadât,
yufsidu, al-mufsidûn, masing-masing 2 kali dan selainnya masing-masing satu kali.32
Kemudian, penggunaan term al-fasâd kebanyakan mempunyai pengertian kebinasaan,
kerusakan, membuat kerusakan (yang rugi), kekacauan di muka bumi, menimbulkan
kerusakan, atau mengadakan kerusakan di muka bumi. Misalnya dalam QS. Al-Baqarah (2):
27, 205, al-Maʼidah (5): 32, al-Anfâl (8): 73, Hûd (11): 116, al-Râd (13): 25, al-Nahl (16):
88, al-Syuʽarâ' (26): 152, al-Naml (27): 48, al-Qasas (28): 77, ar-Rûm (30): 41, al-Mukmin
(30): 41, al-Fajr (89): 12. Dalam surat Hûd (11): 85 ditegaskan bahwa mengurangi takaran
dan timbangan merupakan kezaliman. Demikian pula dalam surat QS. al-Aʽrâf (7): 85, atau
QS al-Baqarah (2): 205, ditegaskan tentang perintah menyempurnakan takaran dan
29
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah-Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an, vol. 9 (Jakarta: lentera
hati, 2002), h. 311. 30
HAMKA menjelaskan bahwa nikmat Allah berupa harta kekayaan digunakan kepada perbuatan yang
tidak bermanfaat, berfoya-foya tidak berketentuan, boros, durhaka, menyembah harta dan sebagainya. Lihat,
HAMKA, Tafsir al-Azhar, juz 19 (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982), h. 132. 31
Ibrahim, Tafsîr al-Qur'ân al-Majîd al-Nûr, jilid 3 (Jakarta: Cakrawala Publising, 2011), h. 628. 32
'Abdul Bâqî, al-Muʻjam al-Mufaharas Li Alfâdz al-Qurʻân al-Karîm, h. 518-519.
22
timbangan disandingkan dengan larangan mengadakan kerusakan (kezaliman) di muka
bumi.33
2) Kelompok Tertindas (Mustad‟afin)
Menurut Sayid Sabiq, yang dimaksud golongan lemah di dalam suatu masyarakat, ialah
golongan wanita, fakir miskin, para orang yang lanjut usia, para buruh, para yatim piatu dan
para orang yang tertindas dan teraniaya. Bagi merekalah agama Islam berseru kepada
umatnya agar mengulurkan tangan meringankan penderitaannya, membalut luka-luka
hatinya, mengangkatnya dari lembah kemiskinan dan kemelaratan, memenuhi kebutuhan
hidup vitalnya, menanamkan kembali rasa harga dirinya sebagai manusia yang sama
derajatnya dengan manusia-manusia yang lain. Demikianlah Islam mendidik para
penganutnya agar berhati rahmat, berbelas kasihan dan mempunyai rasa kemanusiaan
terhadap sesamanya yang karena satu dan lain hal, di luar kekuasaan dan kehendaknya
menjadi lemah, tidak berdaya dan bertenaga memikul beban kehidupan secara normal seperti
sesama hamba Allah yang lain.34
Penulis menyimpulkan bahwa setidaknya dalam al-Qur‟an telah disebutkan beberapa
kelompok yang mengalami ketertindasan, antara lain :
a. Fakir Miskin
Kata فقس yang berarti ضد انغى kebalikan daripada kaya.35
Jadi, orang fakir adalah orang
yang tidak memiliki harta untuk menunjang kehidupan dasarnya. Kefakirannya tersebut
disebabkan ketidak mampuannya mencari nafkah disebabkan karena ketidakmampuan dari
33
Lukman Fauroni, "Rekontruksi Etika Bisnis Perspektif al-Quʼan", IQTISAD, Journal of Islamic
Ekonomics, vol. 4, no.1 (Yogyakarta: Sekolah Tinggi Ilmu Syariʻah, 2003), h. 99. 34
Sayid Sabiq, Islam Dipandang Dari Segi Rohani-Moral-Sosial. Terj. Zainuddin, dkk. (Jakarta: PT
Rineka Cipta, 1994), h. 263. 35
Muhammad Murtada al-Husaini al-Zabidî, Tȃj al-„Urus Min Jawȃhir al-Qamûs (Kuwait: Matbah
Hukumah, 1974), juz 3, h. 224.
23
fisiknya, seperti orang tua jompo dan cacat badan.36
Imam Syafiʽi dan dan Imam Hanbali
mendefefinisikan انفقس dalah orang yang tidak mempunyai harta dan tidak mempunyai
penghasilan.37
Isfahanî dalam Mufradât Alfâz al-Qurʼân mendefinisikan kata فقس dalam empat wajah.
Pertama, adanya suatu kebutuhan darurat (Primer), artinya bahwa makna ini berlaku umum
untuk seluruh manusia, bahkan semua makhluk yang berada selama di dunia. Kedua, fakir
tidak adanya suatu penghasilan. Ketiga, kefakiran jiwa. Yang sudah tercatat dalam hadis Nabi
Saw."kefakiran akan mendekatkan kepada kekufuran". Keempat, kefakiran yang bergantung
kepada Allah.38
Kemudian Miskȋn (يضك) berasal dari kata صك yang artinya اقطع ع انحساكت (diam tidak
bergerak), هدأ tenang, reda, انرانم yang rendah, hina.39
Jadi, orang miskin berbeda dengan
orang fakir, orang miskin adalah orang yang tidak memiliki harta untuk kebutuhan dasarnya,
namun ia mampu mencari nafkah, hanya penghasilannya tidak mencukupi bagi kehidupan
dasarnya untuk kehidupannya sendiri atau keluarganya.40
Dari Abu Hurairah, ia berkata,
“Rasulullah Saw. Bersabda: orang miskin bukanlah orang yang berkeliling kepada manusia
kemudian mendapatkan sekepal atau dua kepal roti, sebiji atau dua biji kurma. Tetapi orang
miskin adalah orang yang tidak mempunyai kekayaan yang dapat memenuhi kebutuhannya,
dan tidak diketahui hal tersebut sehingga harus dibantu, serta tidak berdiri untuk meminta-
minta kepada manusia.”41
Dalam buku Tafsir Ayat-Ayat Ahkam bahwa fakir merupakan orang yang
penghasilannya belum dapat menutupi separuh dari kebutuhannya. Sedangkan miskin
36
Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fikih (Jakrata: Kencana, 2003), h. 48. 37
Wahbah al-Zuhaily, al-Wajȋr Fi al-Fiqhi al-Islâm, Juz 2 (Beirut: Dar al-Fikr, 2006), h. 300. 38
Al-Isfahânî, Mufradât Alfâz al-Qur'ân, h. 641. 39
Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir: Kamus Besar Arab-Indonesia, cet. 14 (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997), h. 646-647. 40
Amir Syarifuddin, Garis-garisBesar Fikih, h. 49. 41
Syaikh Faisal bin ʻAbdul ʻAzîz al-Mubarâk, Ringkasan Nailul Authar. Terj. Amir Hamzah Fachruddin
dan Asep Saefullah (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), h 301.
24
merupakan orang yang penghasilannya belum dapat menutupi keseluluruhan dari
kebutuhannya.42
Sedangkan HAMKA43
menjelaskan bahwa fakir ialah membungkuk tulang punggung,
Jadi sebutan bagi orang yang telah bungkuk memikul beban kehidupan, sedangkan miskin
diam menahan diri dari penderitaan hidup.44
Kemudian Rasyid Ridha dalam Tafsir al-Manâr menjlaskan bahwa fakir ialah orang
tidak mampu yang suka minta-minta, sedangkan miskin ialah, orang tidak mampu, tetapi tahu
harga diri, sehingga tidak mau minta-minta.
Menurut Yusuf Qardawi, pengarang kitab Musykilât al-Faqr wa kaifa ʽAlajahâ al-
Islâm, fakir miskin ada dua macam, ialah:
a) Orang yang masih mampu bekerja/berusaha dan bisa mencukupi kebutuhan
hidupnya, tetapi ia kekurangan modal usaha/bekerja, seperti pedagang, petani,
tukang (orang punya keterampilan tertentu), dan sebagainya. Mereka wajib diberi
zakat secukupnya sehingga mereka mampu mandiri.mereka itu juga bisa
dipekerjakan di lapangan-lapangan pekerjaan yang sesuai dengan keterampilan
mereka yang didirikan dari hasil zakat.
b) Orang yang tidak/ belum mampu bekerja/ berusaha, seperti orang yang sudah
lanjut usiannya, anak yatim, janda, orang yang cacat fisik atau mentalnya, maka
mereka ini pun harus diberi zakat secara teratur setiap bulan sampai akhir
hayatnnya atau sampai mereka mampu mandiri.45
Dalam Muʽjam, kata yang berasal dari wazan فقس disebutkan sebanyak 14 ayat dari 11
surat, di antaranya, QS. al-Baqarah (2): 268, 271, 273, al-ʽImrȃn (3): 181, al-Nisȃ‟ (4): 6, 135,
42
L. Ummi Kaltsum dan A. Moqsith G, Tafsir Ayat-Ayat Ahkam (Ciputat: UIN Press, 2015), h. 35. 43
(Haji Abdul Malik Karim Amrullah) dan dikenal dengan sebutan Prof. Dr. Hamka, Beliau dilahirkan di
Padang pada tahun 1907. Pada tahun 1965 beliau menulis kitab Tafsir al-Azhar dan mulai diterbitkan pada
1967. HAMKA, Tafsir al-Azhar, Jilid 1. 44
HAMKA, Tafsir al-Azhâr, Jilid 5, h. 247. 45
Masjfuk Zuhdi, Masâil Fiqiyah, cet.10 (Jakarta: PT Toko Gunung Agung, 1997), h. 263.
25
al-Taubah (9): 60, al-Hajj (22): 27, al-Nȗr (24): 32, al-Qisas (28), 34, Fȃtir (35): 15,
Muhammad (47), 38, al-Hasyr (59): 8, al-Qiyamah (75): 25.46
Sedangkan term miskin di dalam al-Qur‟an terdapat 23 ayat dari 18 surat, di antaranya,
Al-Baqarah (2): 83, 177, 184, 215, al-Nisȃʼ (5): 8, 36, al-Maidah (6): 79, 95, al-Anfȃl (8): 41,
at-Taubah (9): 60, al-Isrȃ' (17): 26, al-Kahfi (18): 79, al-Nȗr (24): 22, al-Rȗm (30): 37, al-
Mujadalah (58): 4, al-Hasyr (59): 7, al-Qalâm (68): 25, al-Haqqah (69): 34, al-Mudatsir (74):
44, al-Insȃn (76): 8, al-Fajr (89): 18, al-Balȃd (90): 16, al-Maʽȗn (108): 3.47
b. Anak Yatim
Dalam bahasa Arab anak yatim berasal dari kata تى yang berarti انفسد artinya yang
sendirian.48
Zuhaili mengatakan bahwa anak yatim merupakan anak yang telah kehilangan ayahnya
dan tidak ada yang mencarikan nafkah untuknya. Keadaan mereka sangat membutuhkan
bantuan untuk mengatasi kerasnya menjalani kehidupan dan membantu memberikan jalan
kehidupan bagi masa depannya. Baik dengan pendidikan, kerajinan tangan ataupun pekerjaan
industri dan yang lainnya. Agar mereka tidak menjadi perusak ketika dewasa yang mana akan
membahayakan dirinya sendiri ataupun masyarakat.49
Kata yang berasal dari تى terdapat 22 ayat dalam 14 surat, diantaranya al-Baqarah (2):
83,177, 215, 220, al-Nisȃʼ (4): 2, 3, 6, 8, 10, 127, al-Anʽȃm (6): 152, al-Anfȃl (8): al-Isrȃʼ
(17): 41, al-Kahfi (18): 94, al-Anbiyȃ (21): 96, al-Ahzȃb (33): 13, al-Hasyr (59): 7, al-Insȃn
(76): 8, al-Fajr (89): 17, al-Balȃd (90): 15, al-Duha (93): 9, al-Maʽȗn (108): 6.50
c. Peminta-minta
46
'Abdul Bâqî, al-Mu'jam al-Mufaharas Li Alfâdz al-Qur'ân al-Karîm, h. 524. 47
Ibid., h. 354. 48
Munawwir, al-Munawwir: Kamus Besar Arab-Indonesia, cet. 14 (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997),
h. 1587. 49
Wahbah al-Zuhaily, al-Tafsȋr al-Munȋr Fi 'Aqidah Wa Syariʻah wa al-Manȃhij, Juz 5 (Damasyqi: Dar
al-Fikr, 2006), h. 462. 50
'Abdul Bâqî, al-Muʽjam al-Mufaharas, h. 770.
26
Dalam al-Qurʼan untuk peminta-minta adalah انضبئم atau انضبئه. Namun demikian tidak
semua kata انضبئه dalam al-Qurʼan adalah peminta-minta. Ada juga yang berarti orang-orang
yang bertanya. انضبئم adalah bentuk isim Fâʽil dari صئم .51
Ishfahanî dalam kitabnya menjelaskan bahwa انضإال bentuk masdar dari صأل yang
mempunyai dua arti: dengan meminta suatu ilmu dan yang dapat menyampaikan pada suatu
pengetahuan, dan kedua, meminta harta atau yang dapat menyampaikan pada harta.52
Zuhailî menjelaskan bahwa انضبئهى ialah orang yang meminta pasokan uang kepada
orang lain yang dilakukan di pinggiran. Mereka adalah orang-orang yang menjauhkan dirinya
dari hal-hal yang tidak halal atau pun syubhat. Sebagaimana firman Allah swt. Al-Baqarah
ayat 273. Kemudian dari hasil pemberiannya itu tidak menjadikan suatu kekayaan sama
sekali.53
Di antara derivasinya kata peminta-minta yang terdapat dalam al-Qurʼan antara lain:54
a) صبئم/انضبئم, Al-Dzariyat (15): 19, al-Maʻarij (70): 1, 25, al-Duha (93): 10.
b) انضبئه, Al-Baqarah (2): 177, Yusuf (12): 7, Fusilat (14): 10, al-Isrȃ‟ (17): 34, 36.
d. Budak
Dalam al-Qur‟an budak diterangkan dengan kata زقبت /انسقبة yang berasal dari kata زقت
yang berarti انحبفظ (menjaga, mengawal). Sedangkan dalam Munajjad Fi al-Lughah dijelaskan
sebaga teman setianya orang-orang kaya. Kaʽab bin Zuhair menjelaskan Keledai jantan dan
betina, yaitu sebagai analogi dari orang yang rendahan yang sangat lemah. Diartikan juga
sebagai orang yang giat, yang rajin ataupun pekerja keras atau suatu saham dari sebagian
sahamnya orang kaya.55
51
Engineer, Teologi Kaum Tertindas, h. 122. 52
Al-Isfahânî, Mufradât Alfâz al-Qurʼân, h. 224-225. 53
Wahbah, Al-Tafsir al-Munir Fi ʽAqidah Wa Syariʽah wa al-Manahij, Juz 2, h 462. 54
'Abdul Bâqî, al-Muʽjam al-Mufaharas, h. 338. 55
Abî al-Hasan „Alî bin al-Hasan al-Hunaʼi, Munajjad Fi al-Lughah: Aqdam Muʻjam Syâmil Li al-
Musytarâk al-Lafzi (Qahirat: ʽAlim al-Kitab,1998), h. 217.
27
Lebih tepatnya, Qardawi, Muhammad Syaltut dan Rasyid Rida mengartikan bahwa
riqâb dikembangkan kepada pembebasan bangsa yang terjajah oleh kolonialisme, karena
semuanya mengandung sifat perbudakan.56
Di antara derivasinya kata budak dalam al-Qurʼan terbagi dalam dua term, yaitu:57
a) زقبت , al-Nisȃ‟ (4): 91, 92, al-Maidah (5): 77, al-Mujadalah (57): 3.
b) انسقبة, al-Baqarah(2): 177, al-Taubah (9): 60, Muhammad (47): 4, al-Balȃd (90):
13.
e. Perempuan
Sejarah menginformasikan bahwa sebelum turunya al-Qurʼan terdapat sekian banyak
peradaban besar, seperti Yunani, Romawi, India, dan Cina. Dunia juga mengenal agama-
agama seperti Yahudi, Nasrani, Budha, Zoroaster, dan sebaganya.58
Masyarakat Yunani yang terkenal dengan pemikiran-pemikiran filsafatnya, tidak
banyak membicarakan hak dan kewajiban wanita. Di kalangan elit mereka, wanita-wanita di
tempatkan (disekap) dalam istana-istana. Dan di kalangan bawah, nasib wanita sangat
menyedihkan, mereka diperjualbelikan, sedangkan yang berumah tangga sepenuhnya berada
di bawah kekuasaan suaminya.
Dalam peradaban Romawi, wanita sepenuhnya berada di bawah kekuasaan ayahnya.
Setelah kawin, kekuasaan tersebut pindah ke suaminya. Kekuasaan ini menyangkut
kewenangan menjual, mengusir, menganiaya, bahkan membunuh.
56
Saefuddin Zuhri, Zakat Kontekstual (Semarang: Bima Sejati, 2004), h. 64. Lihat juga, Yusuf Qardawi,
Ijtihad Kontemporer (Surabaya: Risalah Gusti, 1994), h. 24-25, Rasyid Rida, Tafîr al-Manâr (Beirut: Dar al-
Fikr, 1983), h. 598. Muhammad Syaltut, Al-Islam Aqidah wa Syari‟ah (Darul Qalam, h. 111. 57
ʼAbdul Bâqî, al-Muʽjam al-Mufaharas, h. 323-324. 58
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur‟an: Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat, cet. 2
(Bandung: PT Mizan Pustaka, 2013), h. 391.
28
Peradaban Hindu dan Cina, tidak lebih baik dari peradaban-peradaban sebelumnya, hak
hidup seorang wanita harus berakhir pada saat kematian suaminya. Isteri harus dibakar hidup-
hidup pada saat mayat suaminya dibakar.
Dalam ajaran Yahudi, mereka menganggap wanita sebagai sumber laknat karena dialah
yang menyebabkan Adam terusir dari surga.59
Dalam al Qurʼan perempuan sering disebut dengan lafadz al-Nisȃ‟, Marʼatu, dan al
Untsa. Kata nisȃʼ sendiri menurut etimologi bahasa diambil dari kata nasia (ض) yang artinya
ada dua yaitu melupakan sesuatu dan meninggalkan sesuatu. Sebagaimana ditegaskan dalam
firman Allah : ضىانههفضهى "Mereka melupakan Allah, maka Allah melupakan mereka".60
Kata an-nisȃ‟ berarti perempuan, sepadan dengan kata al-rijȃl yang berarti laki-laki.
Kata al-nisȃʼ dalam berbagai bentuknya terdapat dalam 55 ayat dan terulang sebanyak 59 kali
dalam al-Qurʼan. Adapun kata al-untsa diambil dari kata (اش) yang berarti lembut, lunak dan
halus. Kata al-untsa (perempuan) merupakan lawan dari al-dzakar (laki-laki) dari segala jenis
binatang, tumbuh-tumbuhan dan manusia. Jika al-untsa dan al-dzakar digunakan untuk jenis
manusia, tumbuh-tumbuhan dan hewan, maka kata al-rajȗl, an-nisaaʼ dan al-marʻȃh dalam
al-Qurʼan hanya digunakan untuk manusia. Dalam al-Qurʼan kata al-untsaʼ dalam berbagai
bentuknya terulang sebanyak 30 kali yang kesemuanya diartikan jenis kelamin perempuan.
Sedangkan kata marʻah dan imraʻah yang diartikan perempuan terulang sebanyak 26 kali
dalam al-Qurʼan.61
Banyak tuduhan kepada perempuan bahwa mereka adalah makhluk penggoda yang
menjadikan adam terusir dari surga. Bahkan ada anggapan bahwa perempuan diciptakan
59
Quraish, Wawasan al-Qurʼan:Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat, h. 392. 60
Zaitunah Subhan, al-Qurʼan dan Perempuan Menuju Kesetaraan Gender dalam Penafsiran (Jakarta:
Permada Media Group, 2015), h. 17, baca juga QS. Al-Taubah (9): 67 dan QS. Taha (20): 115. Lihat juga
kamus, al-Misrî, Lisân al-ʻArab, h. 807. 61
Zaitunah Subhan, al-Qurʼan dan Perempuan Menuju Kesetaraan Gender dalam Penafsiran, h. 26.
29
hanya untuk pemuas laki-laki. Ungkapan ini muncul karena sering kali perempuan
diposisikan dibawah dominasi dan kekuasaan laki-laki. Perempuan hanya menjadi objek
sementara laki-laki menjadi subjeknya. Adanya anggapan bahwa perempuan adalah sarana
untuk melanjutkan keturunan dan diciptakan hanya pemuas birahi laki-laki, sungguh tidak
selaras dengan semangat dan nilai-nilai ajaran Islam.62
Di antara bukti yang menunjukan
terhadap yang disebutkan itu adalah, apa yang dinyatakan oleh konsili Roma yang
menyebutkan bahwa; "sesungguhnya wanita itu adalah makhluk yang najis! tak punya roh
dan tak ada keabadian baginya, sehingga dengan demikian, wajib baginya untuk mengabdi
dan melakukan kebaktian. Dan hendaknya mulutnya dikekang laksana unta dan anjing yang
suka mengigit agar dia tidak bisa ketawa dan berbicara, sebab dia adalah jerat setan".63
Perempuan-perempuan dapat dikemukakan dalam dua kelompok utama, yakni
perempuan teladan dalam al-Qurʼan dan perempuan teladan dari lingkungan, tempat Islam
secara bertahap berkembang.
Semua perempuan teladan yang disebutkan al-Qurʼan, kecuali seorang, hidup dalam
umat-umat terdahulu, yang sejarahnya begitu akrab di kalangan Yahudi, Nasrani, dan Islam.
Perempuan-perempuan ini terbagi dalam dua sub kelompok; yang saleh dan yang sangat
dipuji, serta yang jahat dan dikutuk. Mereka yang termasuk shaleh diantaranya Maryam as.,
ibunda Maryam, ibunda Nabi Yahya as., ibunda Nabi Mûsa as., isteri Firʻaun, isteri Nabi
Ibrahim as., isteri Ayyûb as., dan ratu negeri Saba. Sedangkan yang jahat adalah isteri Nabi
Nûh as., isteri Lût as., isteri gubernur Mesir, dan isteri Abû Lahâb (yang suaminya
62
Ibid., h. 79. 63
Syaikh Imad Zaki al-Barudi, Tafsiral-Qur'an Al-ʻAzhim li An-Nisȃ:Tafsir Wanita, terj. Samson
Rahman (Jakartah: Pustaka al-Kautsar, 2004), h. 3. Lihat juga, 'Ali Hasan, Al-Mar'ah al-Yahudiyah Baina
Fadoihâ al-Taurât wa Qabdât al-Khakamât (Damaskus: Al-Awail), h.20. penulis berpendapat bahwa wanita
dianggap najis oleh pendeta Roma di dasarkan pada dogma yang terdapat dalam Kitab Perjanjian Lama Bab
Imamat Ayat 15: 19-15:30.
30
merupakan figur utama di kota Mekah pada masa awal Islam).64
Tipologi perempuan dalam
al-Qurʼan setidaknya ada lima tipe. Pertama, perempuan tipe pejuang memiliki ketangguhan,
kemandirian, dan kepribadian kuat. Ia berani menanggung resiko apa pun saat keimanannya
diusik dan kehormatannya dilecehkan. Tipe ini diwakili oleh Siti Aisyah binti Mazahim, isteri
Firʻaun.65
Kedua, tipe perempuan salehah yang menjaga kesucian dirinya. Tipe ini diwakili
Maryam binti Imran. Hari-harinya ia isi dengan ketaatan kepada Allah.66
Ketiga, tipe
penghasut, tukang fitnah, dan biang gosip. Tipe ini diwakili Hindun, isterinya Abû Lahâb. Al-
Qurʼan menyebut dirinya sebagai "pembawa kayu bakar" alias penyebar fitnah.67
Keempat,
tipe perempuan penggoda. Tipe ini diperankan oleh Zulaikha saat menggoda Nabi Yûsuf as.68
Dan kelima, tipe perempuan penghianat dan ingkar terhadap suaminya. Allah Swt. memuji
perempuan yang tidak taat kepada suaminya yang zalim, seperti dilakukan perempuan
Firʻaun.69
3) Kekuatan Pembebas70
Dalam Teologi Islam dijelaskan bahawa para Rasul sebagai seorang pemimpin yang
membebaskan kaum tertindas.
Nabi Saleh disebutkan dalam al-Qur‟an diutus kepada kaum Tsamud.71
Al-Qur‟an
menginformasikan bahwa kaum Tsamud memiliki kemahiran dalam bidang pertanian.
64
A.H Jemala Gembala, Membela Perempuan-Menakar Feminisme Dengan Nalar Agama (Jakarta: Al-
Huda, 2005), h. 77. 65
Baca QS. Al-Tahrîm (66): 12. 66
Baca QS. Maryam (19): 16-34. 67
Baca QS. al-Lahâb (111): 1-5. 68
Baca QS. Yûsuf (12): 24. 69
Zaitunah, Al-Qurʼan dan Perempuan Menuju kesetaraan Gender dalam Penafsiran, h. 380-381. 70
Dalam hal ini, ʻAli Syariʻati menyebutnya "Rausyanfikr" yaitu seorang pemikir tercerahkan yang
mengikuti ideologi yang dipilihnya secara sadar. Ideologi akan membimbingnya kepada pewujudan tujuan
ideologi tersebut, ia akan memimpin gerakan progresif dalam sejarah dan menyadarkan ummat terhadap
kenyataan kehidupan. Ia akan memprakarsai gerakan revolusioner untuk merombak stagnasi. Sebagaimana
rasul-rasul selalu muncul untuk mengubah sejarah dan menciptakan sejarah baru. Memulai gerakan dan
menciptakan revolusi sistemik. Lihat, pengantar ʽAli Syariʽati, Ideologi Kaum Intelektual: Suatu Wawasan
Islam, terj. Syafiq Bashri dan Haidar Baqir (Bandung: Mizan, 1994), h. 14-15. 71
Tsamud adalah sebuah kabilah yang masyhur yang namanya diambil dari kakek mereka, saudara
Judais, keduanya anak Atsir bin Irȃm bin Sȃm bin Nȗh. Mereka adalah bangsa Arab 'aribah', tinggal di Hijr,
sebuah kawasan yang terletak antara Hijaj dan Tabuq. Tsamud adanya setelah kaum 'Ad, mereka menyembah
31
Mereka juga memiliki kecakapan di bidang konstruksi. Mereka membangun istana-istana
megah di tanah datar dan membangun perumahan mewah di dataran tertinggi. Namun kaum
Tsamud menolak ajakan untuk beriman kepada Allah dari Nabi Saleh. Alasan mereka karena
ajaran Nabi Saleh mengusik keyakinan tradisional mereka. Maka merekapun menganggap
Nabi Saleh orang yang terkena sihir. Hanya golongan tertindas yang mau mengikuti
ajarannya. Golongan mustadʻafȋn memang yang merasakan langsung ketimpangan sistem
sosial pada waktu itu, sehingga relatif lebih mudah menerima seruan Nabi Saleh.
Mereka kaum Tsamud melakukan dosa-dosa ekonomi berupa pemborosan, korupsi/
kerusakan. Nabi Saleh berkata: "Dan janganlah kamu menaati orang-orang yang melampaui
batas" dan juga ungkapannya: "Dan janganlah kamu merajalela di muka bumi membuat
kerusakan", sehingga dengan dosa-dosa yang dilakukan mereka, Azab Allah turun dalam
bentuk kehancuran dalam segalanya.72
Dalam al-Qur‟an juga dikenal pejuang pembela kaum mustadʻafȋn bernama Nabi
Syuʻaib yang diutus kepada kaum Madyan73
. Seruan Nabi Syuʻaib ini direkam Allah dalam
al-Qur‟an
“Dan kami telah mengutus kepada penduduk madyan saudara mereka, Syuʻaib. Ia
berkata:‟Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Ilah bagimu selain-Nya.
Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Rabbmu. Maka sempurnakanlah
takaran dan timbangannya, dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah
Allah memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-
orang yang beriman. Dan janganlah kamu duduk di tiap-tiap jalan dengan menakut-nakuti
berhala seperti halnya kaum ʽÂd. Lihat Ibnu Katsir, Qisas al-Anbiyȃ‟: Kisah Para Nabi, cet. 3, terj. Umar
Mujtahid (Jakarta: Ummul Qura, 2015), h. 193. 72
QS. Al-Naml (27): 51-52. 73
Penduduk Madyan dikenal melekat dengan profesi dagang, akan tetapi dalam perdagangannya
melakukan berbagaikecurangan. Dikisahkan, mereka membeli gandum dan bahan-bahan pokok lainnya
kemudian menimbunnya sampai dating masa harga melonjak. Merekalah yang memulai praktik monopoli
pertama kali. Lihat, Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an, Pembangunan Ekonomi Umat: Tafsir al-Qur‟an
Tematik, cet. 2 (Jakarta: Perpustakaan Nasional RI, 2012), h. 272.
32
dan menghalang-halangi orang-orang yang beriman dari jalan Allah, dan menginginkan
agar jalan Allah itubengkok. Dan ingatkah diwaktu dahulunya kamu berjumlah sedikit, lalu
Allah memperbanyak jumlah kamu. Dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang
yang berbuat kerusakan.”74
Menariknya dari seruan Nabi Syuʻaib itu salah satunya adalah untuk menyempurnakan
takaran dan timbangan setelah seruan untuk beriman kepada Allah. Dimensi muamalah
menjadi satu yang sangat penting sehingga berhubungan erat dengan seruan untuk iman
kepada Allah. Penduduk Madyan yang menolak ajaran Nabi Syuʻaib pun mempertanyakan
seruannya dengan argumentasi bahwa apa yang mereka sembah adalah ajaran nenek moyang
dan mereka berhak untuk melakukan apapun tentang harta mereka sendiri. Seruan Nabi
Syuʻaib dibalas dengan ancaman pengusiran oleh para pembesar kaum Madyan sebagaimana
dijelaskan dalam al-Qur‟an “Pemuka-pemukakaum Syuʻaib yang menyombongkan
diriberkata:‟Sesungguhnya kami akan mengusir kamu hai Sua‟ib dan orang-orang yang
beriman bersamamu dari kota kami, kecuali kamu kembali kepada agama kami‟. Berkata
Syuʻaib:‟Dan apakah (kamu akan mengusir kami), kendatipun kami tidak menyukainya.”75
Para pemilik modal yang menimbun harta mereka dengan cara-cara yang keji tentu saja
tidak terima jika kepentingan ekonominya diganggu. Sistem kepercayaan yang mereka tata
untuk melanggengkan kepentingan ekonomi dan sosial, tak boleh ada yang mengganggu
gugat. Para pejuang kaum tertindas seperti Nabi Syuʻaib dan para pengikutnya pun mereka
intimidasi. Namun, tentu saja perlakuan buruk seperti itu tak menggoyahkan iman para
pembela kaum mustad‟afȋn. Perjuangan mereka tak berhenti dengan segala bentuk
intimidasi.76
74
QS. Al-Aʻrȃf (7): 85-86 75
QS. Al-Aʻrȃf (7): 88. 76
Ashad Kusuma Djaya, Islam Bagi Kaum Tertindas-Kerangka Pembebasan Kaum mustadhʻafȋn dari
Teologi Ke Sosiologi (Bantul: Kreasi Wacana, 2016), h. 28-36.
33
Nabi Mûsa diangkat sebagai rasul, dipundaknya terpikul beban untuk menyampaikan
wahyu kebenaran kepada umat manusia. Tugas menyampaikan kebenaran itu ternyata tidak
tanggung-tanggung, kepada Fir‟aun77
penguasa Mesir. Penguasa Mesir yang mempunyai
istana, dimana ia pernah dibesarkan, dimanjakan dan diberi berbagai kesenangan duniawi di
istana itu78
. Mûsa ditugaskan menjumpai Firʽaun, raja lalim raja disembah. Raja yang telah
berbuat kezaliman kepada kaum Banî Isrâil. Mereka diperbudak beratus-ratus tahun di Mesir
itu. Firʽaun memerintah dengan sangat bengis, tidak berperikemanusiaan, diktaktor adikara.
Tidak ada seorangpun yang boleh membantahnya. Kalau membantahnya akibatnya hukuman
pancung. Apalagi terhadap kaum Banî Isrâil, masyarakat budak-budak, kelas kambing yang
tidak punya harkat dan martabat. Inilah tindakan thaga (yang telah melampaui batas).79
Demikian Nabi Muhammad saw. diutus oleh Allah swt. untuk memberikan peringatan
dan membebaskan rakyat Arab pada masa itu dari belenggu krisis moral dan sosial. Belenggu
tersebut lahir dari penumpukan kekayaan yang berlebihan sehingga menibulkan
kebangkrutan sosial.80
Kaum mutrafîn membantah Nabi Muhammad saw. dengan mengatakan bahwa beliau
tidak layak untuk memikul amanat kenabian karena miskin. Alasan lain yang dikemukakan
oleh mereka karena Nabi Muhammad saw. tidak memiliki rumah yang terbuat dari emas atau
penuh dengan perhiasan serta kemewahan. Mereka berkata kepada Nabi Muhammad saw.
77
Dalam Encyclopedia Britannica, mulanya isilah “Firʽaun” dalam istana kerajaan di Mesir kuno dipakai
untuk raja di bawah Kerajaan baru, dan sejak dinasti ke-22 (sekiar tahun 945-730 PM) dimulai pada dinasti ke-
18, tahun 1539-1292 PM, ia dipakai sebagai gelar kehormatan. Sejak iu istilah tersebut menjadi umum untuk
semua raja Mesir kuno, kendati bukan suatu gelar raja secara resmi. Lihat Ali Audah, Nama dan Kata Dalam
Al-Qur‟an- Pembahasan dan Perbandingan (Jakarta: PT. Pustaka Litera Antarnusa, 2011), h. 139. 78
Pada masa Firʽaun dan ribuan tahun yang lalu, Mesir adalah salah satu negara yang berperadaban
tinggi di dunia. Sampai saat ini bangsa Eropa belum bisa menemukan rahasia di balik konstruksi Piramid di
Mesir. Sepanjang sejarah manusia, wilayah di sekitar sungai Nil memiliki peradaban yang cemerlang. Lihat,
Keadilan Sosial: Pandangan Islam Tentang HAM, Hegemoni Barat dan Solusi Dunia Modern, terj. Anna
Farida(Bandung: Penerbit Nuansa, 2001), h. 62. 79
M. Yunan Yusuf, Tafsir Juz „Amma As-Sirajul Wahhaj (Jakarta: Penaadani dan Az-Zahrah, 2010), h.
72. 80
Sudarto, Wacana Islam Progresif(Jogjakarta: Ircisod, 2014), h. 36.
34
jika beliau memiliki harta melimpah dan tidak miskin, maka Jibril akan menyampaikan
wahyu kepada beliau, dan jika beliau kaya, maka beliau bisa menjadi pemimpin mereka.81
Pembebasan mustadʻafȋn di zaman Nabi Muhammad saw. terbagi menjadi dua fase:
fase Makkah, dan fase Madinah. Pada fase Mekah, dalam menghadapi penghinaan,
gangguan, dan penindasan kaum kafir, kaum muslim lebih banyak diperintah untuk bersabar
atau menghindar dengan cara berhijrah.82
Nabi Muhammad saw. yang di-backup oleh
kelompok-kelompok marginal atau para budak dan orang-orang tidak ahli berdagang di satu
sisi, serta pemuda progresif di sisi yang lain, secara langsung maupun tidak langsung, telah
melakukan "revolusi bawah tanah" dengan rumusan yang didakwahkan, "Lâ Ilâha illa Allah".
Dengan konsepsi ini, beliau dan koalisi kecilnya tidak saja menolak tuhan-tuhan selain Allah
swt. yang dipajang di sekitar Kaʻbah, tetapi juga menolak mengakui otoritas kelompok
kepentingan yang berkuasa dan struktur sosial yang mulai bangkrut pada masanya.83
Ada beberapa tindakan dan peristiwa yang dapat dikategorikan sebagai perjuangan Nabi
saw. bersama kaum Muslimin sewaktu masih di Mekah, baik dalam rangka penyebaran
dakwah maupun untuk menyelamatkan diri dari penindasan kaum kafir Quraisy. Tindakan
dan peristiwa itu diantaranya menjadikan rumah al-Arqâm bin Abi al-Arqâm sebagai pesat
dakwah, hijrah pertama dan kedua ke Ethopia84
, Ba‟iat ʻAqabah pertama dan kedua, dan
hijrah ke Madinah. Sedangkan pada fase Madinah, kaum Muslimin sudah mulai diperintah
berjuang (melawan) secara fisik. Ini seperti terlihat antara lain dalam QS. Al-Hajj (22): 39.
81
ʽAli Akbar Hashemi Rafsanjani, Keadilan Sosial-Pandangan Islam tentang HAM, Hegemoni Barat,
dan Solusi dunia Modern, h. 229. 82
Badruzzaman, Dari Teologi Menuju Aksi- Membela yang Lemah, Menggempur Kesenjangan, h.55. 83
Sudarto, Wacana Islam Progresif, h. 40. 84
Di masa-masa awal Islam ketika al-Najasyi (Raja Negus di Abbisinia: Ethiopia) menerima informasi
tentang Islam, ia menjadi orang pertama yang menyebarkan Islam di Ethiophia. Lihat,Keadilan Sosial:
Pandangan Islam Tentang HAM, Hegemoni Barat dan Solusi Dunia Modern, h. 62.
35
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya
mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa enolong
merekaitu.”
Yang dimaksud dengan "mereka telah dianiaya" adalah Nabi saw. dan para
sahabatnya ketika mereka diusir dari Mekah. Ini merupakan ayat pertama turun tentang jihad
fisik (perang). Demikian Ibnu Katsir dalam tafsirnya. Ibnu Kâtsir juga mengutip riwayat dari
Ibnu „Abbas yang mengatakan bahwa ketika Nabi saw di usir dari Mekah, Abu Bakar
berkata: “Mereka mengusir Nabinya.Inna lillâhi wa inna ilaihi râjiʻȗn.” Kemudian Allah
menurunkan ayat di atas, Abû Bakar berkata lagi: “Maka akupun tahu bahwasannya akan
ada perang.”85
Nabi Muhammad saw. pada dasarnya terikat janji untuk membebaskan golongan
masyarakat yang lemah secara biologis maupun ekonomi. Perempuan, seperti telah
disinggung di muka, sangat tidak berdaya di dunia Arab khususnya dan di seluruh dunia pada
umumnya. Namun kemudian, Nabi Muhammad saw. melalui al-Qur‟an mendeklarasikan
hak-hak perempuan.86
B. Ayat-ayat Tentang Al-Mustadʻafin
1. Ayat dan Terjemah
Dalam Kitab al-Istidʻaf Wa Ahkȃmuhu, Terkait lafadz istadʻifu, mustadʻafȋn,
mustadʻafȗn, istadʻafunȋ, yastadʻafu, yang semua itu adalah al-mustadʻafȋn, dalam al-Qur‟an
terdapat 13 ayat dalam 5 surat, yaitu:87
a. Q.S Al-Nisȃ‟ (4) : 75.
85
Badruzaman, Dari Teologi Menuju Aksi- Membela yang Lemah, Menggempur Kesenjangan, h.56. 86
Badruzaman, Islam dan Teologi Pembebasan, h. 50. 87
Ziyâd bin ʻAbidu al-Masywakhi, al-Istidʻaf Wa Ahkamuhu (Riyâd: Dar Kunûz Isybiliyân, 2012), h. 23.
36
"Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang
lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdoa: "Ya Tuhan
kami,keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekah) yang zalim penduduknya dan berilah kami
pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau!."
b. Q.S Al-Nisȃ‟ (4): 97
Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri
sendiri, (kepada mereka) ma-laikat bertanya : "Dalam keadaan bagaimana kamu ini?."
Mereka menjawab: "Adalah kami orangorang yang tertindas di negeri (Mekah)." Para
malaikat berkata: "Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi
itu?." Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk
tempat kembali.
c. Q.S Al-Nisȃ‟ (4): 98
Kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak
mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah).
d. Q.S Al-Nisȃ‟ (4): 127
37
Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah: "Allah memberi
fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Al-Qur'an (juga
memfatwakan) tentang para wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa
yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu ingin mengawini mereka dan tentang anak-anak
yang masih dipandang lemah. Dan (Allah menyuruh kamu) supaya kamu mengurus anak-
anak yatim secara adil. Dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, maka sesungguhnya
Allah adalah Maha Mengetahuinya.
e. Al-Aʻrȃf (7): 75
Pemuka-pemuka yang menyombongkan diri di antara kaumnya berkata kepada
orangorang yang dianggap lemah yang telah beriman di antara mereka: "Tahukah kamu
bahwa Shaleh di utus (menjadi rasul) oleh Tuhannya?." Mereka menjawab: "Sesungguhnya
kami beriman kepada wahyu, yang Shaleh diutus untuk menyampaikannya."
f. Al-Aʻrȃf (7): 137
Dan Kami pusakakan kepada kaum yang telah ditindas itu, negerinegeri bahagian
timur bumi dan bahagian baratnya yang telah Kami beri berkah padanya. Dan telah
sempurnalah perkataan Tuhanmu yang baik (sebagai janji) untuk Bani Isra‟il disebabkan
kesabaran mereka. Dan Kami hancurkan apa yang telah dibuat Firʽaun dan kaumnya dan
apa yang telah dibangun mereka.
g. Al-Aʻrȃf (7): 150
38
Dan tatkala Musa telah kembali kepada kaumnya dengan marah dan sedih hati
berkatalah dia: "Alangkah buruk-nya perbuatan yang kamu kerjakan sesudah kepergianku!
Apakah kamu hendak mendahului janji Tuhanmu? Dan Musapun melemparkan luh-luh
(Taurat) itu dan memegang (rambut) kepala saudaranya (Harun) sambil me-nariknya ke
arahnya, Harun berkata: "Hai anak ibuku, sesungguhnya kaum ini telah menganggapku
lemah dan hampir-hampir mereka membunuhku, sebab itu janganlah kamu menjadikan
musuh-musuh gembira melihatku, dan janganlah kamu masukkan aku ke dalam golongan
orang-orang yang zalim"
h. Al-Anfȃl (8): 26
Dan ingatlah (hai para muhajirin) ketika kamu masih berjumlah sedikit, lagi tertindas
di muka bumi (Mekah), kamu takut orang-orang (Mekah) akan menculik kamu, maka Allah
memberi kamu tempat menetap (Madinah) dan dijadikan-Nya kamu kuat dengan
pertolongan-Nya dan diberi-Nya kamu rezeki dari yang baik-baik agar kamu bersyukur.
i. Al-Qishȃs (28): 4
Sesungguhnya Firʽaun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan
penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak
lakilaki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya
Firʽaun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.
j. Al-Qishȃs (28): 5
39
Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi
(Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang
yang mewarisi (bumi).
k. Sabâ (34): 31
Dan orang-orang kafir berkata: "Kami sekali-kali tidak akan beriman kepada Al
Qurʼan ini dan tidak (pula) kepada kitab yang sebelumnya." Dan (alangkah hebatnya) kalau
kamu lihat ketika orang-orang yang zalim itu dihadapkan kepada Tuhannya, sebahagian dari
mereka menghadap kan perkataan kepada sebagian yang lain; orang-orang yang dianggap
lemah berkata kepada orang-orang yang menyombongkan diri: "Kalau tidaklah karena kamu
tentulah kami menjadi orang-orang yang beriman."
l. Sabâ (34): 32
Orang-orang yang menyombongkan diri berkata kepada orang-orang yang dianggap
lemah: "Kamikah yang telah menghalangi kamu dari petunjuk sesudah petunjuk itu datang
kepadamu? (Tidak), sebenarnya kamu sendirilah orang-orang yang berdosa."
m. Sabâ (34): 33
Dan orang-orang yang dianggap lemah berkata kepada orang-orang yang
menyombongkan diri: "(Tidak) sebenarnya tipu daya(mu) di waktu malam dan siang (yang
40
menghalangi kami), ketika kamu menyeru kami supaya kami kafir kepada Allah dan
menjadikan sekutu-sekutu bagi-Nya." Kedua belah pihak menyatakan penyesalan tatkala
mereka melihat azab. Dan kami pasang belenggu di leher orang-orang yang kafir. Mereka
tidak dibalas melainkan dengan apa yang telah mereka kerjakan.
Dari beberapa ayat di atas penulis menyimpulkan bahwa ayat-ayat mengenai
mustadaʽfin selalu dikaitkan dengan mustakbirîn mendapatkan cacian dan hinaan oleh
mustadʽifîn atau mustakbirîn. Bahkan di akhirat pun mereka saling memperdebatkan tentang
keimanannya di hadapan Tuhan dengan saling menyalahkan satu sama lain.
2. Asbab Al-Nuzul QS. (4): 97-99
Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa beberapa orang Muslim dulu
tinggal bersama orang-orang musyrik sehingga memperbanyak jumlah orang-orang musyrik
yang menyerang Rasulullah. Lalu terkadang anak panah yang dilemparkan orang-orang
muslim yang bersama Rasulullah mengenai salah satu dari orang-orang muslim tersebut
hingga terbunuh atau mati karena tertebas pedang orang-orang muslim yang bersama
Rasulullah terebut. Maka turun Firman Allah, "Sesungguhnya orang-orang yang dicabut
nyawanya oleh malaikat dalam keadaan menzalimi sendiri..."88
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa di antara pasukan musyrikin terdapat Kaum
Muslimin Mekah (yang masih lemah imannya) yang turut berperang menentang Rasulullah
saw, sehingga ada yang terbunuh karena panah atau pedang pasukan Rasulullah. Maka
turunlah ayat ini;
88
Jalaluddin as-Suyuthi, Lubâb al-Nuqûl Fî Asbâb al-Nuzûl, terj. Tim Abdul Hayyie (Depok: Gema
Insani, 2015), h. 191.
41
Sebagai penjelasan hukum bagi Muslimin yang lemah imannya, yang menganiaya
dirinya (mampu membela Islam tetapi tidak melakukannya).89
Dalam riwayat lain yang diriwayatkan oleh Ibnu Marduwih dikemukakan bahwa nama
orang-orang yang menambah jumlah musyrikin itu antara lain Qais bin Wâlid bin Mughîrah,
Abu Qais bin al-Fâqih bin Mughîrah, Wâlid bin ʻUtbah bin Rabiʻah, ʻAmr bin ʻUmayah bin
Sufyân, dan ʻAli bin ʻUmayah bin Khâlaf. Dan selanjutnya dikemukakan bahwa peristiwanya
terjadi pada peperangan Badr, di saat mereka melihat jumlah kaum Muslimin sangat sedikit,
timbulah rasa keragu-raguan pada mereka dan berkata: "Tertipu mereka dengan Agamanya".
Orang tersebut di atas mati terbunuh di perang Badr itu.
Menurut Ibnu Abî Hatim: Di antara orang-orang tersebut dalam hadits di atas, termasuk
juga al-Harts bin Zam'ah bin al-Aswâd dan al-ʻAsh bin Munabbih bin al-Hajjaj.
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa ketika segolongan orang-orang Mekah telah
masuk Islam dan Rasulullah hijrah, mereka enggan ikut dan takut berhijrah. Maka Allah
menurunkan ayat tersebut di atas90
sebagai ancaman hukuman bagi yang enggan dan takut
memisahkan diri dari kaum yang memusuhi agama, kecuali orang yang tidak berdaya.91
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa, adalah segolongan orang Mekah yang telah
masuk Islam, tetapi menyembunyikan ke Islamannya. Di waktu perang Badr, mereka dipaksa
menyertai kaum Quraisy untuk berperang melawan Rasulullah sehingga banyak yang mati
terbunuh. Berkatalah Kaum Muslimin Madinah: "Mereka itu adalah orang-orang Islam, tapi
dipaksa ikut berperang, hendaklah mintakan ampun bagi mereka". Maka turunlah ayat ini92
89
Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Ibnu ʻAbbas. 90
Al-Nisȃʼ (4): 97-98. 91
Diriwayatkan oleh al-Thabrani dari Ibnu ʻAbbȃs 92
Al-Nisȃʼ (4): 97.
42
Kemudian mereka menulis surat kepada Kaum Muslimin yang masih ada di Mekah
dengan ayat tadi, dan tidak ada alasan untuk tidak hijrah. Kemudian mereka hijrah ke
Madinah, tetapi masih dikejar dan dianiaya oleh kaum musyrikin, akhirnya mereka terpaksa
pulang kembali ke Mekah. Maka turunlah ayat yangberkenaan dengan peristiwa diatas
sebagai teguran terhadap keluhan mereka yang menganggap siksaan yang dialaminya sebagai
adzab dari Allah.93
Ayat inipun dikirimkan lagi kepada Kaum Muslimin Mekah, dan mereka merasa sedih.
Maka turunlah ayat yang menerangkan janji Allah untuk melindungi orang yang hijrah dan
bersabar.94
Ayat ini dikirimkan pula pada Kaum Muslimin Mekah, dan mereka berhijrah ke
Madinah dan tidak luput dari kejaran kaum musyrikin, di antaranya ada yang selamat, tapi
ada juga yang gugur.95
Ikrimah berkata, orang Muslim Madinah mengirim surat mengenai hal itu kepada orang
Islam yang ada di Mekah. Lalu seorang laki-laki dari Banî Bakar yang sedang sakit berkata
kepada anak-anaknya, bawalah aku keluar menuju Madinah. Lalu mereka membawanya
menuju ke Madinah di atas tandu. Ketika sampai di al-Hash-hash dia mati. Lalu Allah
menurunkan firmannya:
"Barangsiapa keluar dari tempatnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan
Rasulnya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke yempat yang di tuju. Maka
sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang".96
93
Baca QS. (29): 10. 94
QS. Al-Anâm (6): 110. 95
Diriwayatkan oleh Ibnu Mundzir dan Ibnu Jarir yang bersumber dari Ibnu ʻAbbȃs, dan diriwayatkan
pula oleh Ibnu Jarir dari berbagai jalan seperti itu. Lihat, K.H.Q. Shaleh, dkk. Asbâb al-Nuzûl-Latar Belakang
Historis Turunnya Ayat-Ayat Al-Qur‟an (Bandung: CV. Diponogoro, 1995), h. 151-153. 96
Al-Wahidi an-Naisaburi, Sebab-Sebab Turunnya Ayat-Ayat al-Qur'an, terj. Moh Syamsyi (Surabaya:
Amelia Surabaya, 2014), h. 273.
43
3. Tafsir Ayat
1. Tafsir Abad Pertengahan
Tafsir pertengahan yaitu penafsiran sekitar pada abad ke-13 sampai abad ke-18 Masehi,
periode ini dimulai dengan munculnya produk penafsiran yang sistematis dan sampai ke
tangan generasi sekarang dalam bentuk buku. Dalam peta sejarah pemikiran Islam, periode
pertengahan dikenal sebagai zaman keemasan ilmu pengetahuan. Tafsir yang pertama kali
lahir pada masa ini ialah Tafsir Ibn „Abbâs.97
a. Penafsiran Asyʻariyah (Imam Fakhruddin al-Râzi)
Al-Rȃzi98
menegaskan dalam tafsirnya bahwa mustadʻafȋn ialah orang-orang yang
dibuang oleh orang kafir Mekah yang sangat kuat. Ibnu ʻAbbâs pernah berkata aku dan ibuku
merupakan orang di antara orang-orang yang tertindas dari perempuan dan anak-anak.
Karakteristik orang-orang kafir adalah mustakbirȋn, sedangkan orang-orang yang
beriman mereka adalah mustadʽafin. Dan mustakbirȋn selalu mencela kepada mustadʻafȋn,
mereka mendapatkan cacian atau makian. Hal ini bukanlah karena keadaan karakteristiknya
97
„Ali Hasan al-Aʻridi, Sejarah dan Metodologi Tafsir, terj. Ahmad Akrom, (Jakarta: Rajawali Pers,
1994), h. 23. Penulis berpendapat bahwa di abad pertengahan ini sangat pesat perkembangan ilmu pengetahuan..
Dengan pesatnya itu berdampak kepada pemikiranpara mufasir, sehingga dalam peta ideologi mufasir berbeda.
Perbedaan ideologi bukan hanya dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan, tetapi di sisi lain disebabkan oleh konflik
antara Muawiyah dengan Ali.Dengan demikian, penulis lebih fokus mengkategorikan tafsir abad pertengahan
dengan mazhabnya 98
Fakhruddȋn al-Rȃzȋ (554 H/ 1150-1210) bernama asli Muhammad bin ʻUmar bin Hasan bin Husain al-
Taimȋ al-Bakrȋ. Dia seorang imam ahli tafsir; orang yang paling cemerlang pada masanya, baik itu di bidang
logika, teks agama, maupun ilmu-ilmu kuno. Ia bernasabkan suku Quraisy dan berasal dari Tabaristan, Iran. Ia
dilahirkan di kota Ray yang menjadi nisbah namanya. Al-Rȃzȋ biasa dipanggil dengan nama Ibnu al-Khȃthib al-
Ray. Ia melakukan perjalanan ke Khawarizm, Transoxiana, dan Khurasan, sampai akhirnya wafat di Herat.
Lihat, pengantar Imam Fakhruddȋn al-Rȃzȋ, Kitab al-Firȃsat: Ilmu Membaca Sifat dan Karakter Orang dari
Bentuk Tubuhnya, terj. Fuad Syaifuddin Nur (Jakarta: Turos Khazanah Pustaka Islam, 2015), h. 24-23. Al-Rȃzi
penganut aliran ʻAsyʻariyyah dan menolak aliran Muʻtazilah. Dalam hal fikih, ia menganut mazhab Imam
Syȃfiʻȋ. salah satu kitabnya adalah Tafsȋr al-Kabȋr Mafȃtih al-Ghaib. Dalam metode ataupun coraknya, tafsir al-
Rȃzȋ secara global lebih pantas digolongkan sebagai ensiklopedia yang besar dalam ilmu alam, biologi, dan
ilmu-ilmu yang ada hubungannya, baik secara langsung ataupun tidak langsung, dengan ilmu tafsir dan semua
ilmu yang menjadi sarana untuk memahaminya. Lihat, Faizah. Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas
Kitab Tafsir Klasik-Modern (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2011), h. 54-61.
44
atau tingkah lakunya, akan tetapi sifat mustakbirȋn yang menganggap dirinya benar dan
mereka menganggap musuh kepada orang yang dicelanya itu.99
Sedangkan mustadʻafȋn pada surat al-Nisâʼ ayat 97 adalah orang-orang yang menzalimi
dirinya sendiri. Para ulama menjelaskan bahwa zalim di sini yaitu pertama ditunjukan kepada
orang Islam yang tinggal menetap di negara kafir, yang mana mereka tidak mau berhijrah ke
negara Islam; dan kedua ditunjukan kepada mereka yang tinggal dalam suatu kaum di antara
orang-orang munafik yang mana untuk menampakan keimanannya sebagai orang-orang
Muʼmin sangat takut, sehingga mereka kembali kepada kaumnya yang sudah jelas
kekafirannya bagi mereka dan mereka enggan untuk berhijrah ke Madinah. Dengan demikian
penjelasan Allah swt. pada ayat ini bahwa kezaliman mereka pada dirinya adalah mereka
yang munafik, kafir dan orang yang meninggalkan hijrah.
Dengan demikian, ketika mereka yang zalim ditanya oleh malaikat, mereka mengaku
sebagai al-mustadʻafȋn. Jawaban mereka hanya sebuah kebohongan yang mengklaim dirinya
sebagai al-mustadʻafȋn, padahal sejatinya mereka mampu untuk berhijrah, tetapi mereka tidak
mau berhijrah, sehingga dari kesalahan mereka, malaikat mengelakannya bahkan
menyalahkannya.100
Maksudnya ialah orang-orang yang mampu untuk keluar dari kota Mekah ke sebagian
kota yang tidak mencegah mereka untuk menegakan agamanya. Tetapi mereka tetap tinggal
di antara orang-orang kafir dan enggan untuk berpisah. Padahal mereka mampu untuk
berpisah.
Maka sudah pasti apa yang dikatakan oleh Allah (mereka itu tempatnya nereka
Jahannam, dan neraka Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali).
99
Muhammad al-Rȃzȋ Fakhruddȋn Ibnu al-'Alamȋ Diyau‟ddȋn 'Umar, Tafsir al-Fakhru al-Rȃzȋ: al-Kabȋr
Wa Mafȃtih al-Ghaib, juz 14 (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), h. 127. 100
Al-Râzi, Tafsir al-Fakhru al-Razi: al-Kabȋr Wa Mafȃtih al-Ghaib, juz 11, h. 11-12.
45
Sedangkan mustadʻafȋn pada ayat 98 diartikan sebagai orang-orang yang tidak mampu
berhijrah dari tempat keadaannya. Maksudnya ialah orang yang tidak mampu atas
kekuatannya dan tidak mempunyai bekal atau dalam keadaan sakit, ataupun juga mereka
mengalami tekanan di bawah paksaan orang-orang yang mencegah mereka untuk
berhijrah.101
Sehingga mereka diberikan dispensasi sebagaimana firman Allah."Mereka itu mudah-
mudahan Allah memaafkannya. Maaf-Nya tidak bisa di gambarkan sama seperti halnya
sebuah dosa. Kemudian "عضى" merupakan kalimat االطبع (pengharapan), dan ini adalah
suatu permintaan dari keinginannya untuk mendapatkannya dengan memperoleh pemaafan
bagi hakya mereka.
b. Penafsiran Muʻtazilah (Imam al-Zamakhsyari)
Zamaksyari102
mengatakan bahwa mustadʻafȋn merupakan orang-orang miskin
minoritas dari kalangan Mu‟min. Sedangkan apabila merujuk kepada mustadʻafȋn yang
bukan dari kalangan minoritas, mereka itu bisa dari kalangan orang-orang yang berimanatau
bisa dari kalangan orang-orang kafir.103
Dalam surat al-Nisâ‟ ayat 97 beliau menjelaskan bahwa orang-orang yang menzalimi
dirinya sendiri ditanya oleh malaikat “dalam keadaan bagaimana kamu?” Maksudnya
sesuatu dari perkara agama mereka atau mereka adalah orang Islam dari kalangan Mekah
yang mana mereka tidak mau berhijrah sebagaimana yang telah diwajibkan.Kemudian
101
Ibid, al-Tafsir al-Razi, juz 11, h. 13. 102
Nama lengkapnya adalah Abû al-Qâsim Mahmud ibn Muhammad al-Khawarizmî yang diberi gelar
dengan sebutan Jârullah. Beliau di lahirkan di salah satu desa Khawarizmi yang bernama Zamakhsyar yang
terletak di Asia tengah pada bulan Rajab tahun 467 H. Kemudian akhir hayatnya pada tahun 538 H di
Jarjaniyah, salah satu daerah Khawarizm. Salah satu kitabnya ialah Tafsîr al-Kasyâf yang di karang saat detik-
detik akhir hayatnya. Metode yang ia gunakan dalam tafsirnya ialah dengan menggunakan metode tahlily,
sedangkan ciraknya dengan memakai pendekatan balaghah, maʽani dan ilmu-ilmu bahasa lainnya. Lihat, ,
Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h. 39-51, Lihat juga, Muhammad Husain al-Dzahabî, Tafsir wa al-
Mufassirûn, juz 1, (Qâhirat: Maktabah Wa Hasibah, 1986), h. 304-315 103
Abi al-Qasim Muhammad bin ʽUmar al-Zamakhsyari, al-Kasysyaf, juz 2, (Riyadh: Maktabah al-
'Abikan, 1998), h. 466.
46
jawaban dari mereka itu; “Kami adalah orang-orang tertindas di dalam bumi”. Jawaban
mereka hanya sebuah kebohongan yang mengklaim dirinya sebagai al-mustadʼafîn, padahal
sejatinya mereka mampu untuk berhijrah, tetapi mereka tidak mau berhijrah. Kemudian
malaikat memalingkannya dengan berkata (bukankah bumi Allah itu luas sehingga kalian
bisa berhijrah di dalammya). Sebenarnya mampu untuk keluar dari kota Mekah kepada
sebagian kota yang tidak ada orang yang mencegah mereka dalam menyiarkan agamanya.
Sebagaimana telah dilakukan oleh orang-orang yang berhijrah kepada Rasulullah saw. ke
kota Habsyah.
Kemudian pada ayat selanjutnya beliau menjelaskan pengecualian kepada orang-orang
desa bahwa mereka adalah mustadʻafȋn yang tidak mempunyai kekuatan untuk keluar,
mereka adalah fakir miskin, orang tua, dan orangyang tidak mengetahui suatu cara, dan
mereka adalah anak kecil dari kalangan laki-laki dan perempuan yang tidak mempunyai
kekuatan dan tidak mengetahui petunjuk jalan. Akan tetapi alasan untuk keluar adalah laki-
laki dan perempuan dari kalangan pemuda desa yang berjumlah banyak.104
Selanjutnya dalam surat Qisâs ayat 5, Zamakhsyari menjelaskan sama seperti
penafsiran al-Râzi. ia mengatakan bahwa Apabila kamu bertanya bagaimana mengumpulkan
orang-orang yang tertindas itu dan bagaimana Allah memberikan karunia terhadap mereka,
dan apakah karunia Allah terhadap sesuatu itu tidak akan berakhir sampai kiamat?
Maka aku menjawab telah terbukti karunia Allah dengan selamatnya orang-orang yang
tertindas dari Firʽaun dari suatu desa yang telah ditetapkan. Allah menjadikan hal ini sebagai
perbandingan dari penindasan Firaʽun terhadap mereka.105
104
Zamakhsyari, al-Kasyȃf, juz 2, h. 137-138. 105
Ibid., h. 794-795.
47
c. Penafsiran Syiʻah (Imam al-Qummi)
Al-Qummȋ106
mengatakan dalam tafsirnya bahwa mustadʻafȋn dalam ayat ini ditunjukan
kepada orang-orang lemah Makkah yang mana mereka tidak mengetahui tentang
kebenaran.107
akan tetapi mereka orang-orang yang telah mengetahui suatu panduan atau
pedoman dan petunjuk suatu kebenaran. jelasnya, agama Allah dan kitab-Nya sangat luas.
Kemudian al-Qummȋ meriwayatkan dari ayahnya, dari Yahya bin Abî ʻImrân dari
Yunus dari Muhammad dari Ibnu Toyyar dari Abu Jaʻfar telah berkata: dia menyanyakan
tentang orang-orang yang tertindas, dan dia berkata:
"Mereka adalah orang-orang yang tidak mampu untuk membantah orang-orang Kafir
Mekkah sehingga mereka termasuk dari golongan tersebut. Mereka tidak mempunyai
petunjuk atas keimanannya sehingga dikatakan mereka itu adalah orang-orang yang tidak
mampu beriman dan tidak mampu pula untuk kafir, mereka adalah anak-anak kecil dan dari
kalangan laki-laki ataupun kalangan perempuan”.108
2. Tafsir Modern-Kontemporer
Periode ini dimulai dari akhir abad ke-19 hingga masa kini. Tafsir masa kini dipelopori
oleh tokoh dan pejuang muslim yang berupaya untuk melakukan perbaikan dalam dunia
Islam. Tafsir yang pertama kali muncul pada periode ini ialah tafsir al-Manâr karya
Muhammad Abduh dan Rasyid Rida di Mesir. 109
106
Nama lengkapnya adalah Abû al-Hasan ʽAli bin Ibrâhim al-Qummî, ia dilahirkan di Kufah Irak
Kemudian pindah ke kota Qum. Tidak diketahui tanggal lahirnya namun dipastikan ia sezaman dengan Imam al-
ʻAskari pada tahun 307 H. dan menurut catatan sejarah diperkirakan ia meninggal pada 991 M. Thabathabaʻi
menilai bahwa ia adalah seorang periwayat hadis yang tsiqah dan shahih, sedangkan al-Dzahabi menyebutnya
sebagai seorang Syiʽah Rafhidi, syiah ekstrim. Merujuk pada penanggalan yang ada, maka tafsir al-Qummî
termasuk tafsir generasi abad ketiga hijriyah, tafsir generasi awal dari tradisi tafsir al-Qurʼan. Metode yang
digunakan dalam tafsirnya ialah deskriptif-komparatif. Ini digunakan untuk mendeskripsikan ayat-ayat al-
Qurʼan yang terindikasi ditafsir dan ditakwilkan dengan berkecenderungan tashayyu'untuk kemudian dibuat
kesimpulan umum bahwa tafsir ini benar-benar mengandung penafsiran yang ideologis, politis, dan tendensius.
Metode komparatif untuk mengetahui perbandingan dengan tafsir dari sumber lain. Standar umum yang
digunakan untuk memperbandingkan makna yang dirujuk dan diidentifikasi berkecenderungan tashayyu'. Lihat,
Ahmad Zainal Abidin, Tafsir al-Qummî dan Politik: Telaah atas Kecenderungan Tashayyu'dalam Penafsiran
Surat al-Baqarah, Al-Tahrir, Vol. 16, No. 2, (IAIN Tulungagung, 2016), h.442-444. 107
'Ali bin Ibrâhim al-Qummȋ, Tafsir al-Qummȋ, juz 1, (Qum: Muassasah Dar al-Kitȃb li al-Tabȃʻah wa
al-Nasyr, 1404), h. 218. 108
Ibid., al-Qummî, juz 1, h. 219. Baca juga Hadis Shahih Bukhari. 109
Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir (Bandung:Tafakur, 2009), Cet.II, h. 25-26.
48
a. Penafsiran Sayyid Qutȗb
Sayyid Qutȗb110
dalam tafsirnya menjelaskan tentang segolongan orang-orang yang
duduk saja, yaitu orang-orang yang tinggal di negeri kufur dengan tidak mau berhijrah dari
sana karena tertahan oleh harta dan kepentingan mereka, atau tertahan oleh kelemahan
mereka untuk menanggung beban penderitaan berhijrah, padahal mereka mampu berhijrah
kalau mereka berminta dan mau berkorban, sehingga tiba ajal mereka dan malaikat datang
untuk mencabut nyawa mereka.
Surat al-Nisâ‟ Ayat 97 membicarakan mereka dengan gambaran yang hina dan amat
buruk, yang dapat mengunggah semangat orang-orang yang duduk untuk segera bangkit dan
berlari dengan membawa agama dan akidahnya, untuk mendapatkan tempat kembali di sisi
Tuhannya.
Nash ini dihadapkan pada kondisi rill di Jazirah Arabia, di Mekah dan lain-lainnya-
sesudah hijrah Rasulullah saw. Dan sesudah berdirinya Daulah Islamiah di Mekah. Pasalnya,
di Mekah masih ada orang-orang Muslim yang tidak melakukan hijrah karena tertahan oleh
harta benda dan kepentingan mereka. Kaum musyrikin tidak membiarkan seorang pun unuk
berhijrah dengan membawa harta bendanya atau, karena takut menanggung resiko hijrah,
sebab kaum musyrikin tidak membiarkan seorang muslim pun pergi berhijrah melainkan
mereka halang-halangi dan mereka intai di jalan. Ada juga segolongan orang yang memang
terhalang untuk hijrah karena memang benar-benar lemah kondisinya, yaitu orang-orang
110
Nama lengkapnya adalah Sayyid bin Qutb bin Ibrâhim, lahir di musyah, provinsi Asiyut, Mesir pada
tanggal 9 Oktober 1906. Ia dibesarkan dalam sebuah keluarga yang menitikberatkan pada ajaran Islam dan
mencintai al-Qur'an. Di dalam Ikhwanul Muslimin ia terkenal sebagai "Pemikir Islam" yang berorientasi pada
ideologi Islam, menggantikan kedudukan Hasan al-Banna. Qutb dinyatakan bersalah dan dihukum gantung pada
tanggal 29 Agustus 1966 atau 13 JumadilAwwal 1386 H.Buah karyanya adalah Tafsîr Fi zilâl al-Qur'an. Ia
menafsirkan dengan metode tahlily, sedangkan coraknya memiliki kecenderungan corak adabi ijtimâʻi. Lihat,
Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h. 138-139. Lihat juga, Imam Ghazali Said, Ideologi Kaum
Fundamentalis, (Surabaya: Diantama, 2003), h, 190. Atau lihat juga tafsirnya, Sayyid Qutub, Tafsir Fi Zilâlil
Qur'an, jilid 12 (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), 406.
49
lanjut usia, kaum wanita, dan anak-anak yang tidak berdaya unuk melarikan diri dan tidak
mendapatkan jalan untuk hijrah.
Sebagian mereka ada yang terfitnah dan sebagian lagi terpaksa menampakan kekafiran
sebagian taktik dan turut serta melakukan peribadatan kaum musyrikin. Taktik semacam ini
boleh dilakukan kalau mereka tidak mempunyai negara tempat berhijrah, kalau mereka
mampu. Adapun setelah berdirinya negara atau Daulah Islamiah, setelah adanya Darul Islam,
maka tunduk kepada fitnah (ajakan murtad) atau berlindung dengan Taqiyyah111
'taktik
menjaga diri', padahal mereka memiliki kelonggaran untuk berhijrah dan menjalankan Islam
secara terang-terangan serta hidup di Darul Islam tidak dapat diterima.
Demikianlah nash-nash ini turun, dengan menyebut orang-orang yang tidak berhijrah
demi menjaga harta benda dan kepentingan mereka, atau karena takut resiko hijrah dan
penderitaan dijalan, hingga datang ajal mereka, sebagai "orang-orang yang menjalimi dirinya
sendiri", karena mereka telah mengharamkan dirinya untuk hidup di Darul Islam, dengan
kehidupan yang tinggi, bersih, mulia, dan bebas merdeka. Mereka menetapkan dirinya untuk
hidup di negeri kafir dengan kehidupan yang hina, lemah, dan tertindas. Mereka diancam
dengan "neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali."112
Jadi nash ini menunjukan bahwa mustadʻafȋn yang dimaksud adalah orang-orang yang
terfitnah dari agamanya secara praktis di Mekah. Akan tetapi, al-Qurʼan dengan metodenya
mengungkapkannya dalam suatu gambaran, dan melukiskannya dalam suatu pemandangan
yang berdenyut dan bergerak serta dapat berdialog.
111
Taqiyyah secara etimologi diartikan sebagai pemeliharaan atau penghindaran. Sedangkan secara istilah
ialah sebagai sebuah tindakan meninggalkan kewajiban untuk memelihara hidup atau menghindar dari ancaman
yang membahayakan hidup. Lihat, M. Quraish Shihab, Sunnah-Syiʻah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?
Kajian atas Konsep Ajaran dan Pemikiran, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), h. 199. 112
Sayid Qutub, Di Bawah Naungan al-Qurʼan, Jilid 3 (Jakarta:Gema Insani Press, 2001), h. 61.
50
Mereka yang duduk, tidak mau berhijrah itu telah menganiaya diri mereka sendiri dan
malaikat datang kepada mereka untuk mencabut nyawa mereka sedang keadaan mereka
seperti itu. Ini saja sudah cukup menggerakan dan menggetarkan jiwa, karena sudah
menakutkan kiranya seseorang membayangkan dirinya dicabut nyawanya oleh malaikat
sedang dia dalam keadaan menjalimi dirinya dan di depannya sudah tidak ada kesempatan
lagi untuk memperbaiki dirinya, karena ini merupakan saat yang terakhir
Akan tetapi malaikat tidak hanya mencabut nyawa mereka dengan diam saja,
melainkan menghadapkan kepada mereka masa lalu mereka, dan menunjukan kemungkaran
perbuatan mereka serta mengajukan pertanyaan kepada mereka kemana mereka habiskan
hari-hari dan malam-malam mereka? Apa kesibukan dan cita-cita mereka di dunia?"..(kepada
mereka) malaikat bertanya, "Dalam keadaan bagaimana kamu ini?'..."Sesungguhnya mereka
selalu terlantar, seakan tidak ada kesibukan bagi mereka kecuali ditelantarkan.
Orang-orang yang menghadapi kematian itu menjawab, pada saat menghadapi ajal, atas
pengingkaran malaikat ini, dengan jawaban yang hina dan mereka menganggap sebagai
alasan pembenar untuk menerima kehinaan itu. "Kami ditindas, oleh orang-orang yang kuat.
Kami dihinakan di negeri ini dan kami tidak memiliki kekuasaan sedikit pun."
Semua jawabannya hanya berisi kehinaan yang menggelikan, yang setiap jiwa merasa
ngeri kalau keadaan seperti ini pada waktu menjelang kematiaan, setelah seperti itu sikapnya
selama hidupnya, karena malaikat tidak akan membiarkan mereka yang tertindas dan
menzalimi dirinya sendiri, melainkan malaikat itu menempelak mereka dengan realitas yang
sebenarnya dan memberitahukan kepada mereka tentang tidak adanya usaha mereka, sedang
kesempatan masih ada waktu itu.113
113
Sayid Qutub, Di Bawah Naungan al-Qurʼan, Jilid 3, h. 62-64.
51
Kalau begitu, sebenarnya bukan kelemahan yang mendorong mereka menerima
kehinaan dan penindasan serta pemfitnahan dari iman itu, melainkan ada sesuatu yang lain,
yaitu keinginan mereka terhadap harta benda, keuntungan, dan jiwanyalah yang menahan
mereka di darul kufr itu, padahal di sebelah sana ada negeri Islam. Mereka bertahan di dalam
kesempitan, padahal di sana ada bumi Allah yang luas, dan untuk berijrah ke sana pun
memungkinkan, meskipun harus menanggung penderitaan dan pengorbanan.
Di sini diakhirilah pemandangan yang mengesankan itu dengan menyebutkan akibat
yang menakutkan
"...Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk
tempat kembali."
Kemudian dikecualikanlah bagi orang-orang yang tidak berdaya sehingga tetap tinggal
di negeri kafir, menghadapi fitnah di dalam agama, dan terhalang untuk hidup di negeri
Islam. Mereka itu adalah orang-orang lanjut usia, kaum wanita, dan anak-anak. Untuk mereka
digantungkan harapan untuk mendapatkan pemaafan, pengampunan, dan rahmat Allah,
disebabkan mereka memiliki uzur yang jelas dan tidak mampu pergi berhijrah.114
Hukum ini berlaku hingga akhir zaman, melampaui kondisi khusus yang dihadapi nash
ini dalam masa dan lingkungan tertentu. Ia berlaku sebagai hukum yang umum, meliputi
setiap muslim yang difitnah dalam beragamanya di bumi mana pun, yang bertahan oleh harta
benda dan kepentingan pribadinya, kerabatnya, teman-temannya, atau takut risiko mana pun
di muka bumi ada negeri Islam, yang dia dapat menjalankan agamanya dengan aman, dapat
menyatakan akidahnya dengan terang-terangan, dapat menunaikan ibadahnya, dapat hidup
secara Islam di bawah naungan syari'at Allah, dan dapat menikmati kedudukan yang tinggi
itu.115
114
Ibid., h. 64-65. 115
Sayid Qutub, Di Bawah Naungan al-Qurʼan, Jilid 3, h. 65-66.
52
Kemudian, dalam surat Qisâs ayat 5 ia menjelaskan bahwa ayat ini membicarakan
tentang orang-orang lemah yang diperlakukan oleh Fir'aun tiran dengan hawa nafsunya yang
kejam dan sombong. Sehingga, dia pun membunuh anak-anak lelaki mereka dan membiarkan
hidup anak-anak wanita mereka , sambil menimpakan pelbagai azab dan siksa yang pedih.
Meskipun demikian, ia merasa takut dan khawatir terhadap jiwa dan kerajaannya, sehingga ia
menugaskan mata-mata, dan mengawasi keturunan mereka yang berkelamin laki-laki, untuk
kemudian dia bunuh bayi-bayi lelaki itu dengan cara seperti jagal.
Orang-orang yang lemah itu mengharapkan agar Allah memberikan anugerah-Nya
kepada mereka dengan tanpa batas, dan menjadikan mereka sebagai para imam dan
pemimpin, bukan hamba sahaya juga bukan pengikut. Juga supaya mereka mewarisi tanah
yang diberkahi (yang diberikan kepada mereka oleh Allah ketika mereka berhak terhadap
tanah itu, setelah mereka beriman dan mencapai derajat kesalehan). Serta meneguhkan di
tempat itu, sehingga membuat mereka kuat, berakar, dan damai. Mereka juga mengharapkan
agar Allah mewujudkan apa yang ditakutkan Fir'aun , Haman dan tentara mereka, dan yang
membuat mereka itu tak dapat tidur karena takutnya, dengan tanpa mereka sadari.116
b. Penafsiran Kamal Faqih Imani
Fakih Imani117
dalam tafsirnya menjelaskan bahwa sebelum terjadinya perang Badar,
orang-orang kafir Makkah memanggil warga Mekah untuk berperang melawan kaum
Muslim. Mereka memerintahkan agar semua laki-laki ikut serta dalam berperang. Mereka
mengancam seseorang bahwa siapa saja yang menentang,akan dihancurkan dan harta benda
116
Ibid., Jilid 9, h. 28. 117
Nama lengkapnya Kamal Fakih Imani, Ia lahir pada tahun 1934 M di kota Isfahan di lingkungan
keluarga yang taat beragama. Ia menyelesaikan sekolah dasarnya di kota Isfahan, kemudian ia melanjutkan
pendidikan agamanya di Hawzah Ilmiyyah di Isfahan, setamat dari itu ia melanjutkan ke jenjang pendidikan
yang lebih tinggi yaitu Hawzah Ilmiyyah di Qum. Lihat, Allamah Faqih Imani dan Tim Ulama, Tafsir Nûr al-
Qur'an: Sebuah Tafsir Sederhana Menuju Cahaya al-Qur'an, terj. R Hikmat Danaatmaja, cet 2, jilid 1, (Jakarta:
Nûr al-Huda, 2013), h. 420.
53
mereka disita. Sebagian orang-orang Muslim yang tinggal di Mekah dan belum hijrah ke
Madinah, karena takut dibunuh, lalu mengikuti orang-orang kafir dalam perang melawan
kaum Muslim dalam perang Badar, di mana mereka terbunuh, ayat di atas lalu diturunkan,
yang mempermasalahkan mereka yang tidak berhijrah dan tetap tinggal di lingkungan
kekafiran.
Malaikat menyalahkan mereka karena mereka telah menzalimi diri mereka sendiri. Jadi,
adalah wajib untuk berhijrah dari pusat kekafiran, dan tinggal disana untuk menjadi
sekumpulan tentara kafir adalah haram. Jika anda bisa merubah lingkungan, lakukanlah.
Tetapi jika tidak bisa, anda harus berhijrah dari situ agar tidak dimintai pertanggungjawaban
karena membiarkan kekeliruan tidaklah diterima. Mareka mengatakan “Kami adalah orang-
orang tertindas”
Kita harus tahu bahwa prinsipnya adalah tujuan iman, bukan agar tetap hidup dan
mempunyai rumah, atau dengan kata lain, kita harus hati-hati dan cermat bahwa yang
menjadi prinsip adalah keyakinan kepada Tuhan, bukan patriotisme. Menurut litelatur Islam,
mustadʻafîn adalah orang yang tidak tahu jalan yang bertanggung jawab serta perbedaan
antara yang benar dan yang salah.
Beberapa hadis Islam menyatakan bahwa orang yang berhijrah sejauh tertentu, bahkan
yang cuma sejengkal, dengan tujuan untuk melindungi agama, akan dimasukan ke dalam
surga dan akan menjadi teman Nabi saw. dan Nabi Ibrahim as. Orang-orang yang mengetahui
kebenaran dan mampu bergerak dan mengubah lingkungan tidaklah tergolong mustadʻafîn
Orang-orang seperti ini tidak mempunyai dalih untuk berhijrah. Kemudian, orang-orang yang
54
tidak mempunyai alat untuk menolak kekafiran dan tidak mengetahui jalan kebenaran, adalah
mustadʻafîn, dan orang-orang seperti itu tidak mempunyai kewajiban agama.118
Akan tetapi apologi-apologi yang benar adalah diterima, mungkin mencari-cari dalih
tidaklah bisa diterima.
Al-Qur‟an menyiratkan bahwa orang-orang ini mungkin akan menerima ampunan dari
Allah karena Dia selamanya adalah Maha Pemaaf dan Maha Pengampun kepada hamba-
hambanya.119
Kemudian dalam surat Qisâs ayat 5 ia menjelaskan bahwan suatu pemerintahan duniawi
orang-orang tertindas dan dukungannya di sepanjang sejarah adalah kehendak Allah swt.
Tidak ada keraguan lagi bahwa manakala kehendak Allah swt. Dikeluarkan untuk sesuatu
agar terjadi, maka hal itu pasti akan terlaksana dan tidak akan ada penghalang yang mampu
merintanginya. Al-Qur‟an suci mengatakan:
“Sesungguhnya manakala Dia menghendaki sesuatu, maka perintah-Nya adalah
„Jadilah‟, maka jadilah ia!.120
Kemudian ia menerangkan bahwa mustadʻafîn di sini tidak berarti seseorang yang
lemah, tak mampu, dan tidak memiliki kekuatan. Ia berarti seseorang yang memiliki kekuatan
baik dalam aktualisas ataupun potensialitas, tetapi berada dalam tekanan serius dari pihak
yang zalim dan para tiran sehingga berada dalam kelemahan, dirantai dan terbelenggu. Ia
selalu memutuskan rantai-rantai tersebut untuk membebaskan diri dan mengusir para
penindas sehingga mampu menegakan agama yang benar dan menghidupkan keadilan di
mana-mana.
118
Hadis diriwayatkan dari Imam Baqir as., Al-Shâfî, Jilid 1, hal. 454. 119
Faqih Imani, Tafsir Nurȗl Qur‟an: Sebuah Tafsir Sederhana Menuju Cahaya al-Qur‟an, Jilid 4, cet.
2, terj. Ahsin Muhammad, (Jakarta: Nur Al-Huda, 2014), h. 173. 120
Ibid., juz 13, h. 231.
55
Allah swt. telah menjanjikan kelompok seperti itu, bahwa Dia akan menolong mereka
dan memberikan mereka pemerintahan di bumi. Janji ini bukan untuk mereka yang malas dan
orang-orang pengecut yang tidak siap, bahkan untuk berteriak sekalipun, apalagi memasuki
medan perjuangan dan mengorbankann diri.121
c. Penafsiran Quraish Shihab
Quraish Syhihab122
menjelaskan bahwa Ayat ini merupakan kecaman terhadap mereka
yang enggan berjihad, demikian juga yang enggan berhijrah dan yang telah disinggung pada
ayat-ayat sebelumnya, dan tentu termasuk juga mereka yang duduk tanpa uzur yang
dibicarakan ayat sebelum ini. Keengganan mereka disertai berbagai dalih. Ayat ini
menggambarkan keadaan mereka saat kematian. Dengan menggunakan kata yang
mengandung makna penekanan, yaitu; sesungguhnya ditegaskan dan diancamnya oleh
malaikat maut setelah diwafatkan oleh malaikat, yakni dicabut nyawanya oleh malaikat maut
setelah sempurna waktu yang ditetapkan Allah bagi masing-masing untuk kehidupannya
didunia, sedang yang bersangkutan sebelumnya hidupdalam keadaan menganiaya diri mereka
sendiri, antara lain enggan berjihad dan enggan berhijrah sehingga tidak dpat melaksanakan
tuntunan agama, padahal sebenarnya mereka mempunyai kemampuan, mereka itu sungguh
celaka. Mereka, yakni para malaikat pencabut ruh bertanya dengan mengancam, dalam
keadaan bagaimana kamu dahulu ketika hidup, sehingga kamu tidak melaksanakan tuntunan
agama, tidak juga berjihad dan berhijrah? "mereka menjawab sebagai dalih:"Kami orang-
121
Faqih Imani, Tafsir Nurȗl Qur‟an: Sebuah Tafsir Sederhana Menuju Cahaya al-Qur‟an, jilid 13, h.
238. 122
Muhammad Quraish Shihab lahir di Rappang, Sulawesi Selatan, pada tanggal 16 Februari 1944.
Pengabdian dalam bidang pendidikan mengantarkannya menjadi Rektor UIN (dulu IAIN) Syarif Hidayatullah
pada tahun 1992-1918. Kiprahnya begitu luar biasa dalam bidang akademis. Pada tahun 1985-1998 menjabat
sebagai MUI Pusat. Tahun 1982-1987 dan 1987-2002 sebagai anggota MPR RI. Pada tahun 1998 dipercaya
Menteri Agama RI. Dikenal juga sebagai penulis yang aktif. Dan juga merupakan sosok yang aktif di berbagai
media untuk member siraman rohani. Karyanya terhitung 18 karya yang salah satunya Tafsir al-Misbah. Dalam
penulisan tafsirnya, beliau menggunakan metode tahlili, terkadang juga memakai metode maudhu'i atau tematik.
Kemudian mengenai coraknya, adalah ijtima'i atau kemasyarakatan sebab uraian-uraiannya mengarah pada
masalah yang dihadapi masyarakat. Tafsir al-Misbah mulai ditulis pada tanggal Rabi'ul Awal 1480 H/18 Juni
1999 M di Kairo, Mesir. Dan selesai pada tanggal 8 Rajab 1483 H/5 September 2003 di Jakarta. Lihat, M.
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 759.
56
orang yang sangat lemah dan ditindas dibumi, yakni diMekah". Mereka, yakni para malaikat
itu berkata menlak dalih ini: "Bukankah bumi Allah luas, sehingga kamu dapat berhijrah
disana? "disana kamu dapat melaksanakan tuntunan agama dapat juga berkerja untuk
mendapatkan rezeki. Orang-orang itu tidak dapat menjawab, bahkan hati kecil mereka
seketika itu mengakui kesalahan mereka. Maka oleh sebab itu, orang-orang itu tempatnya
neraka jahanam, dan dia yakni neraka jahanam itu adalah seburuk-buruknya tempat tinggal.
Firman Nya: dalam keadaan bagaimana kamu dahulu? Dipahami oleh sementara ulama
dalam arti, apakah kamu dahulu benar-benar lemah atau kamu memiliki kemampuan?
Bagaimana sikap kamu terhadap agama Islam yang telah menganjurkan kamu berhijrah?123
Ayat ini mengecualikan sekelompok orang-orang yang sangat lemah dari ancaman ayat
di atas. Yaitu orang-orang yang sangat lemah dan tertindas baik laki-laki, atau perempuan
atau anak-anak yang kelemahan dan penindasan yang mereka alami menjadikan mereka
termasuk orang-orang yang tidak mengetahui jalan keluar yang tepat menghadapi kesulitan
dan ancaman. Mereka itu, mudah-mudahan, yakni harapkanlah kiranya Allah memaafkan
mereka itu, mudah-mudahan, yakni harapkanlah kiranya Allah memaafkan mereka, dan Allah
sejak dahulu hingga kini dan akan datang selalu Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.
Sementara ulama ada yang membatasi makna berdaya upaya dan tidak mengetahui
jalan yakni mencari daya untuk berhijrah dan tidak mengetahui jalan menuju Madinah.
Pembatasan ini, kalaupun dapat dibenarkan bila ditinjau dari segi konteks masa turunnya
ayat, namun dari redaksional dan tuntutan ayat, ia dapat berlaku umum. Karena itu Imam al-
Qurthubi mengingatkan bahwa kata hilah mengandung segala cara yang memungkinkan
untuk mengatasi kesulitan.124
123
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah-Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur‟an, jilid 10, (Jakarta,
lentera hati, 2002), h. 537-538. 124
Quraish, Tafsir al-Misbah-Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur‟an, jilid, 2, h. 539.
57
Penyebutan kata anak-anak dalam ayat di atas adalah untuk menggambarkan betapa
hijrah merupakan sesuatu hal yang sangat penting, dan orang tua hendaknya membawa serta
anak-anaknya ketika berhijrah, guna menyelamatkan mereka dan agar mereka mendapat
lingkungan yang sesuai bagi pendidikan mereka.
Rujukan ke uraian ayat 84 surah ini untuk lebih mengetahui lebih jelas makna kata ʻasa
dan penggunaannya. Hanya di sini, perlu ditambahkan bahwa penyebutan kata yang
mengandung makna harapan itu-dalam konteks orang-orang yang sebenarnya dapat
ditoleransi untuk tidak berhijrah, penyebutannya itu memberi isyarat bahwa persoalan hijrah
sangat penting , dan kepada mereka yang ditoleransi agar berpikir ulang dan mencari jalan
agar dapat berhijrah, jangan sampai mereka tidak termasuk kelompok yang ditoleransi itu.
Ulama sepakat bahwa kewajiban berhijrah dari Mekah ke Madinah telah gugur dengan
hancurnya rezim kufur di Mekah dan dikuasainya kota tersebut oleh Nabi Muhammad Saw.
Kendati demikian, melalui ayat ini para ulama mengambil beberapa kesimpulan berkaitan
dengan kewajiban meninggalkan lokasi kekufuran, atau kerugian jiwa dan harta bendanya.
Jika keberadaannya di satu negeri mengharuskan ia tunduk pada hukum-hukum yang
bertentangan dengan hukum-hukum Allah swt, maka ini pun tidak direstui oleh banyak
ulama, bahkan ada yang mengharamkannya.125
Semua ayat di atas menjanjikan kebebasan dan kelapangan rezeki bagi mereka yang
meninggalkan lokasi kekufuran. Diamati oleh sementara sosiolog bahwa ummat manusia
telah mengenal sekian banyak peradaban , sejak peradaban sumaria hingga apa yang dinamai
dewasa ini dengan peradaban di Amerika. Kesemua peradaban itu lahir benihnya dari satu
hijrah/meninggalkan lokasi semula. Orang-orang Amerika yang meninggalkan Inggris dalam
rangka menyelamatkan kepercayaan mereka berhasil memperoleh kebebasan bahkan
125
Quraish, Tafsir al-Misbah-Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur‟an, jilid 2, h. 539.
58
membangun masyarakat baru. Memang, masyarakat mereka dewasa ini berada dalam jurang
kehancuran, karena mereka meninggalkan nilai-nilai agama. Umat Islampun setelah
keberhasilan hijrah dan keberhasilan membangun peradaban Islam, terancam hal serupa bila
mereka meninggalkan nilai-nilai ajaran Islam.126
Kemudian, dalam surat Qisâs ayat lima, ia menjelaskan bahwa Kata istadʻifu terambil
dari kata daʻufa yang berarti lemah. Patron kata yang digunakan ayat ini mengisyaratkan
bahwa mereka adalah kaum tertindas dan dipinggirkan oleh sistem pemerintahan yang
diselenggarakan oleh Fir‟aun. Penyebutan kata itu oleh ayat ini dari satu sisi mengisyaratkan
kesewenangan Fir‟aun dan di sisi lain menunjukan bahwa kau memang itu memperoleh kasih
sayang dan anugerah Allah swt. yaitu:
a. Menjadikan mereka para pemimpin
b. Menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi,
c. Akan menumbuhkan kedudukan mereka dibumi
d. Membinasakan kekuasaan Firʽaun.
Anugerah-anugerah lainnya tidak disebut disini, tetapi banyak dikemukakan dalam QS.
Al-Baqarah. Menjadikan mereka pemimpin dalam arti menjadikan mereka bebas merdeka
tidak tunduk dalam kekuasaan bangsa lain. Ini serupa dengan firman Nya QS. Al-Maidah
(5):20.
Firman Nya: "menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi" dipahami oleh
sementara ulama dalam arti menguasai wilayah yang pernah dikuasai oleh Fiʽraun. Pendapat
lain menyatakan, mewarisi dalam arti memperoleh kekuasaan yang serupa dengan kekuasaan
yang diperoleh oleh Firʽaun. Ini, karena setelah Firʽaun ditenggelamkan di Laut Merah dan
126
Quraish, Tafsir al-Misbah-Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur‟an, jilid, 2, h. 541.
59
setelah Bani Israil berhasil menyebrang ke Palestina mereka tidak pernah lagi kembali ke
Mesir. Mereka berhasil memantapkan kekuasaan di Palestina itu.127
Dari pembahasan di atas, penulis menyimpulkan bahwa dalam perkembangan sejarah,
kisah mustadʽafîn terbagi dalam beberapa kutub, di antaranya pertama, kaum penindas
(mustadʽifîn) yaitu malaʼ, mutrafîn, ruhbâni, mustakbirîn, dan mufsidîn; kedua, kelompok
yang tertindas (mustadʽafîn) antara lain ialah fakir miskin, anak yatim, peminta-minta, budak,
dan perempuan; ketiga pembebas mustadʽafîn adalah orang-orang yang ingin
memperjuangkan hak dan kemerdekaan mustadʽafîn, perjuangan mereka selalu muncul
secara estafet di dalam perjalan sejarah.
Selanjutnya, dari penafsiran para ulama, yang dimaksud mustadʽafîn dalam surat al-
Nisâʼ ayat 97-98 adalah kaum tertindas yang disebabkan oleh dirinya sendiri yang enggan
berhijrah ke Madinah padahal telah datang sang pembebas untuk menyelamatkan mereka
dengan cara berhijrah sedangkan mereka mempunyai kekuatan untuk hijrah sehingga dengan
itu semua malaikat mencabut nyawa mereka dan mempertanyakan kenapa mereka menjadi
mustadʽafîn. Kemudian para ulama mengecualikan bagi mustadʽafîn yang tidak mampu
untuk berhijrah yaitu dari kalangan orang tua, anak kecil, dan perempuan yang mana mereka
tidak mempunyai kekuatan, bekal, dan tidak mengetahui jalan ataupun pedoman kebenaran
untuk berhijrah.
Dengan demikian, dari penafsiran ayat di atas, mustadʽafîn terbagi dalam dua golongan
yaitu, pertama, mustadʽafîn yang masuk ke dalam neraka, dan kedua, mustadʽafîn yang
mendapatkan harapan ke dalam surga, walaupun itu semua pada akhirnya mereka akan
mendapatkan suatu karunia dari Allah yaitu sebuah kemenangan di dunia.
127
Quraish, Tafsir al-Misbah-Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur‟an, jilid, 2, h. 308-309
68
BAB III
BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN MURTADÂ MUTAHHARI TENTANG
MUSTAD’AFÎN
Murtadâ Mutahharî adalah salah satu pelopor yang mencoba
mengaktualisasikan ayat-ayat al-Qurʼan dengan masa kini. Bahkan dalam
pembahasannya, ia menjadikan ayat-ayat al-Qurʼan itu sebagai langkah-langkah
menuju kemenangan orang-orang yang tertindas.
Dalam Bab 3 ini, penulis akan memaparkan sketsa perjalanan hidup
Murtadâ Mutahharî, menjelaskan penafsirannya mengenai tentang mustadʻafȋn
dalam QS. (4): 97-99 dan QS. (28): 5, serta membandingkan penafsirannya
dengan penafsir lain,.
A. BIOGRAFI
1. Riwayat Hidup
Murtadâ Mutahharî bin Muhammad Husein Mutahharî lahir pada tanggal 2
Februari tahun 1920 di Dusun Fariman, kurang lebih 60 km dari kota Masyad,
pusat belajar dan ziarah yang besar di Iran Timur. Ayah Mutahharî seorang ulama
saleh dan terkemuka yang belajar di Najaf dan menghabiskan beberapa tahun di
Mesir dan Hijaz sebelum kembali ke Fariman.1
Di sepanjang perjalanan hidupnya, Mutahharî banyak mencurahkan untuk
membela Islam, baik melalui aktivitas politiknya maupun karya-karyanya.2 Ia
adalah Ulama Intelektual pada abad ke-20 yang dianggap sebagai salah satu
1
Muh. Abdurrahman, Murtadâ Mutahharî: Filosof dan Pejuang, (Bandung: Penerbit
Nuansa, 2009), h. 7. 2Baca, Pengantar Arif Mulyadi, Murtada Mutahharî, Tema-Tema Pokok Nahj al-Balaghah,
Terj. Arif Mulyadi, (Jakarta: Islamic Center Jakarta, 2002), h. v.
69
model sarjana Muslim dalam hal pemilikan tiga syarat yang banyak diimpikan,
tetapi jarang bertemu dalam satu pribadi yaitu akar yang kokoh pada studi Islam
tradisional, penguasaan memadai atas ilmu-ilmu nonagama, serta concern dan
karya nyata di bidang sosial, sebagai aktivis Muslim dan penulis prolific, seperti
tampak dalam perjalanan hidupnya.3
Perjuangan Mutahharî dalam menegakan prinsip-prinsip Islam, yaitu
kebenaran dan keadilan, akhirnya harus ditebus dengan nyawanya. Ia syahid pada
tanggal 2 mei 1979, ditembak oleh kelompok ekstrem, Furqan.4
2. Pendidikan dan Karir
Mutahharî kecil mulai belajar di Madrasah Fariman, sebuah Madrasah kuno
yang mengajarkan membaca dan menulis Juz ‘Amma serta pendahuluan-
pendahuluan mengenai sastra Arab.
Pada usia dua belas tahun, Mutaharî mulai belajar agama secara formal di
lembaga pengajaran di Masyad. Di Masyad inilah Mutaharî menemukan kecintaan
kepada filsafat, teologi, dan tasawuf5. Kecintaan demikian mendarah daging
dalam dirinya sehingga membentuk pandangan menyeluruh tentang agama.6
Pada tahun 1937, Mutahharî meninggalkan Masyad untuk belajar di
lembaga pengajaran di Qum yang diminati oleh banyak siswa. Setelah menjadi
mahasiswa di Qum, ia sudah menunjukan minatnya terhadap filsafat dan ilmu
pengetahuan modern.7
3 Baca, Pengantar Haidar Bagir, Murtadâ Mutahharî, Islam Agama Keadilan, terj. Agus
Effendi, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1988), h. 1. 4 Baca, Pengantar Haidar Bagir, Murtadâ Mutahharî, Pengantar Ilmu-Ilmu Islam, terj.
Ibrahim Husein al-Habsyi dan dkk., (Jakarta: Pustaka Zahra, 2003), h. xxii. 5 Dalam tradisi Islam Iran disebut dengan “‟Irfan”
6 Muh. Abdurrahman, Murtadâ Mutahharî: filosof dan Pejuang, h. 7-9.
7 Murtadâ Mutahharî, Pengantar Ilmu-Ilmu Islam, h. xxi.
70
Pada tahun 1940, Mutahharî berkenalan dengan Mirza ʽAli al-Syirazi al-
Isfahanî di Isfahan, melalui sahabatnya yang mulia, Ayatullah Muntazeri.
Perkenalan ini menyebabkan Mutahharî dapat menimba ilmu dari Nahj al-
Balaghah yang baginya merupakan sesuatu yang tak ternilai harganya.8
Pada tahun sekitar 1946, Imam Khomeini mulai memberikan kuliah kepada
sekelompok kecil siswa, yang mencakup Mutahharî dan teman sekelasnya di
Madrasah Faizia, Ayatullah Muntazeri. Dalam perkuliahannya, ia mempelajari
dua buku utama filsafat, Asfar al-Arba‟ah karya Mulla Sadra dan Syarh Munzuma
karya Hadi Sabzavarî, di samping itu kitab-kitab bahasa Arab seperti al-
Mutawwâl, Syarh al-Tajrid mengenai kalam, al-Rasâil dan al-Kifayah mengenai
ushul, al-Makâsib mengenai fikih. Keikutsertaan Mutahharî dalam kelompok ini
sampai sekitar tahun 1951, membuatnya dapat membina hubungan-hubungan
yang lebih dekat dengan Ayatullah Khomeini.9
Mutahharî juga mendalami karya-karya kaum komunis, antara lain
penerbitan yang diterbitkan oleh Partai Tudeh, suatu organisasi Marxis dan
kekuatan penting di arena politik. Selain itu, ia juga membaca tulisan-tulisan Taqi
Arani, teoritisi utama Partai Tudeh.
Tidak hanya itu, Mutahharî juga sebenarnya telah banyak menelaah karya-
karya Aristoteles, Will Durant, Sartre, Freud, Betrand Russell, Einstein, Erich
Fromm, Alexis Carrel dan pemikir Barat lainnya.10
8 Nahj al-Balaghah adalah sebuah kitab berisi kumpulan pidato, surat-surat dan nasihat-
nasihat yang dinisbatkankepada Imam Ali bin Abi Thalib kalifah ke-4 Islam. Lihat, Muh.
Abdurrahman, Murtadâ Mutahharî: filosof dan Pejuang, h. 15. 9 Murtadâ Mutahhaî, Filosof dan Pejuang, h. 19-20.
10 Ibid., h 21.
71
Pada usia relative muda, ia sudah mengajar logika, filsafat, dan fikih di
Fakultas Teologi, Universitas Teheran. Ia juga menjabat sebagai Ketua Jurusan
Filsafat. Di samping itu, ia juga mumpuni dalam bidang ushul, kalam dan irfan.
Dalam perjalanan sejarah hidupnya, ia tidak memiliki ketenangan, justru
memilih badai daripada damai. Ia aktif di politik berjuang bersama Ayatullah
Khumeini menentang rezim Syah Pahlevi yang lalim. Pada tahun 1963, bersama
Imam Khumeini ia ditahan. Ketika Imam Khumeini dibuang ke Turki, ia
mengambil alih kepemimpinan dan menggerakkan para ulama mujahid untuk
meneruskan perjuangan sang Imam. Langkah-langkah politiknya jelas terlihat,
bersama-sama dengan ulama lainnya ia mendirikan Husainiyayi Irsyad yang
menjadi basis kebangkitan Intelektual Islam. Ia juga menggalang bantuan untuk
rakyat Palestina dan pernah menjadi Imam Masjid al-Jawad serta menjadikan
masjid tersebut sebagai pusat pergerakan Islam. Mutahharî juga merupakan salah
satu tokoh Revolusi Islam Iran. Dan pada saat Revolusi Islam Iran 1979, ia
menjadi Anggota Dewan11
Revolusi.12
3. Guru13
1. Mirza ʼAli al-Syirâzî al-Isfahanî (1235-1266 H)
2. Ayatullah Hujjat Kuhkamari (1301-1372 H)
3. Ayatullah Sayyid Muhammad Damad (1325-1388 H)
11
Ketika Imam Khomaini meninggalkan Najaf menuju Paris, Mutahharî termasuk di antara
mereka yang pergi ke Paris untuk bertemu dan berkonsultasi kepada Imam Khomaini. Kemudian
sang Imam menunjuk ia sebagai Ketua Dewan Revolusi Iran yang diumumkan pada tanggal 12
Januari 1979. Anggotanya terdiri atas Bazargan, Yazdi, Qotbzadeh, Bahesti, Babonar, Rafsanjani,
Taleqani dan Bani Shadr. Baca, M. Abdurrahman, Murtadâ Mutahharî: Filosof dan Pejuang, h.
34-35. 12
Murtadâ Mutahharî, Pengantar Ilmu-Ilmu Islam, h. xxi. 13
M. Abdurrahman , Murtadâ Mutahharî: Filosof dan Pejuang, h. 13-18.
72
4. Sayyid Muhammad Riza al-Gulpayagani (W. 1414 H)
5. Sayyid Sadr al-Din Sadr (W. 1299 H)
6. Ayatullah Burujerdi (1292-1380 H)
7. Ayatullah al-Khameini (1320-1409 H)
8. Sayyid Muhammad Husein Tabaʼtabaʼî. (1321 H)
4. Karya
Karya-karya Mutahharî sangat banyak. Selain berbentuk buku yang
ditulisnya secara khusus, ada juga artikel dan rekaman ceramah. Karya-karya
tersebut antara lain:14
a. Politik
1. A Discourse in the Islamic Republic15
.
2. The Concept the Islamic Republic (An Analysis of teh Revolution in Iran)
3. Extracts from Speeches of Ayatullah Mutahharî.
4. Al-Islam wa Iran termasuk The Burning of Library in Iran and Alexandria.
5. Islamic Movement in the Twentieth Century16
.
6. Jihad17
.
7. The Nature of Imam Husein Movement? Haqiqah al-Nadah al-Huseiniyah.
8. Polariation Around the Character of „Ali bin Abi Talib.
14
M. Abdurrahman, Murtadâ Mutahharî: Filosof dan Pejuang, h. 41-42. 15
Risalah ini telah diterbitkan dalam bahasa Indonesia yang berjudul Falsafah Pergerakan
Islam, disunting oleh Mohammad Sidik dan diterbitkan oleh Amanah Press, Jakarta pada tahun
1988. 16
yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh M. Hashem dengan judul
Gerakan Islam Abad XX dengan penjelasan evaluatif dari Fachry Ali diterbitkan oleh Beunebi
pada tahun 1986. 17
Versi Indonesianya diterbitkan oleh YAPPI, Bandarlampung tahun 1987 diterjemahkan
oleh M. Hashem.
73
b. Filsafat dan Teologi
1. Etika Sosial dalam Islam.
2. On the Islamic Hijab.
3. Qasas al-Abrar.
4. Scholastic Theology.
c. Umum
1. Glimses on Nahj al-Balaghah.
2. Maqalat Islamiyyah.
3. Ashnaʼi ba Ulumi al-Islam.
d. Logika
1. Logic.
B. Pemikiran
Dari pengakuan Mutahharî di dalam beberapa tulisannya, dapat
dikonklusikan sebagai berikut.
Pertama, bagi Mutahharî, berpikir dan melakukan perenungan serta
pemahaman intelektual adalah tujuan hidup seorang Muslim. Baginya, bahwa
pencerahan intelektual adalah salah satu kebahagiaan tertinggi. Ini semacam teori
eudaimonia18
Aristotelian, yang menjadi tujuan filosof dan pemikir. Hal ini
18
Suatu kebahagiaan dalam bahasa Yunani dikenal dengan istilah eudaimonia yang
memiliki arti kebahagiaan. Kata ini terdiri dari dua kata "en", (baik, bagus) dan "daimon" (roh,
dewa, kekuatan batin). Secara harfiah eudaimonia berarti memiliki roh penjaga yang baik. Bagi
bangsa Yunani eudaimonia berarti kesempurnaan, atau lebih tepat lagi mempunyai daimon yang
baik dan yang dimaksud dengan daimon adalah jiwa. Lihat, K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani,
(Yogyakarta: Kanisius, 1999), h. 108. Hal ini adalah sebuah ajaran etika Aristoteles, yang
beranggapan bahwa kebahagiaan adalah tujuan hidup. Dalam segala perbuatannya manusia
mengejar suatu tujuan. Ia mencari sesuatu yang baik baginya tetapi ada banyak macam aktivitas
manusia yang terarah pada macam-macam tujuan tersebut, dan menurut Aristoteles tujuan
74
kiranya dapat dipahami jika melihat ajaran Islam yang mempunyai tujuan hidup
kepada Maʽrifat Allah.
Kedua, Mutahharî bukanlah orang semata-mata bersifat individualistis.
Budaya Syiah yang disimbolkan oleh Imam Ali as. dan sahabat dekatnya dalam
kehidupan Syiah, termasuk Abu Dzar, dan Miqdad yang kesemuanya merupakan
aktivis-aktivis Jihad terlalu dominan dalam diri Mutahharî sehingga sikap
demikian tak terbayangkan bagi dirinya. Ia telah menetapkan bagi dirinya tugas
untuk menjelaskan ajaran-ajaran Islam dalam suatu cara yang sesuai dengan
kebutuhan manusia modern akan pemikiran-pemikiran yang bersifat rasional.
Ketiga, dalam bukunya Masyarakat dan sejarah ia mengatakan bahwa "Saat
ini di kalangan penulis-penulis Muslim tertentu (kecenderungan terhadap
Marxisme dan berpandangan bahwa Islam mengangandung paham-paham
Marxistik) mendapatkan penerimaan yang luas dan dipandang sebagai tanda
keluasan pikiran dan mode yang lagi trend". Pada saat yang sama, Mutahharî juga
mengkritik materialisme yang merupakan soko guru berbagai paham yang muncul
dalam peradaban Barat modern. Dalam hal ini, ia menyadari benar peran
epistemologi sebagai akar dari setiap metodologi di dalamnya. Dengan demikian,
al-Qurʼan pun perlu dibahas secara khusus dalam pandangan epistomologi al-
Qurʼan.19
Keempat, di balik segala kegetolan Mutahharî, untuk membangun landasan
filosofis dan pandangan dunia Islam ini adalah kesadarannya akan perlunya suatu
landasan yang kuat dan koheren bagi pembangunan sistem-sistem Islam di
berbagai kehidupan, termasuk di dalamnya sistem politik, sistem sosial, ekonomi,
tertinggi adalah kebahagiaan (eudaimonia). Lihat, Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani,
(Jakarta: Tintamas, 1986), h. 133. 19
Murtadâ Mutahharî, Pengantar Ilmu-Ilmu Islam, h. xvi.
75
dan sebagainya. Mutahharî memang dikenal juga dengan tulisannya mengenai
soal-soal politik, sosial, ekonomi, bahkan budaya dalam sorotan Islam. Dalam
Pengantar Kepada Pandangan Dunia Islam itu Mutahharî memasukan beberapa
tema pembahasan yang dianggapnya sebagai unsur-unsur pandangan dunia, di
antaranya; Konsepsi Tentang Manusia, Pandangan Dunia Tauhid, Konsepsi
Kenabian dan Wahyu, Konsepsi Masyarakat dan Sejarah, Imamah, dan Konsepsi
Hari Akhir.20
Dari pembahasan di atas, penulis melihat bahwa Murtadâ Mutahharî adalah
seorang ulama intelektual yang mencoba mengkolaborasikan antara epistemologi
Barat dengan ilmu keislaman secara komperenship. Kemudian menempatkan
dirinya sebagai seorang generalis. Di sisi lain, penulis menyimpulkan bahwa
Mutahharî ketika membahas di dalam bukunya, ia tidak lepas dari ideologi ke
syiʽahannya.
20
Ibid., xviii.
76
BAB IV
PENAFSIRAN MURTADÂ MUTAHHARÎ TERHADAP Al-
MUSTADʻAFÎN
A. Penafsiran Murtadha Muthahhari Terhadap al-Mustadʻafȋn
1. Konsep al-Mustadʻafȋn
Dalam pandangan Mutaharî, sebelumnya ia menjelaskan bahwa al-Qurʼan
memberikan beragam konsepsi sosial kepada dunia. Dalam studi tentang
masyarakat ada sekitar lima puluh istilah1 yang mengandung arti sosial. Kalau
ayat-ayat sosial al-Qurʼan dan penggunaan istilah-istilah ini dalam al-Qurʼan
ditelaah, maka kelihatan bahwa dari sudut pandang al-Qurʼan, masyarakat terdiri
atas dua golongan orang yang bertentangan, dari satu sudut, al-Qurʼan
mengindikasikan eksistensi masyarakat yang berdua kutub berdasarkan
kemakmuran material. Al-Qurʼan menyebut satu kutub malaʼ (golongan orang
yang suka memanjakan diri dalam kesenangan, kelompok kecil ekslusif yang
berkuasa), mustakbirȋn (kaum yang arogan, penindas, eksesif, tiran, tidak moderat,
1 Dalam pembahasan lain, Mutahharȋ menjelaskan bahwa dalam al-Qur'an terdapat kata-
kata yang fungsinya adalah sebagai identifikasi sosial bagi semua kelompok orang. Dengan kata-
kata inilah maka dapat diketahui sudut pandang al-Qur'an mengenainya. Kata-kata tersebut adalah
qaum (kaum), ummah (umat, komunitas), nâs (manusia), syu‟ûb (bangsa-bangsa), qabâ‟il (suku-
suku), rasûl (utusan Allah), nabî (nabi), imâm (pemimpin), walî (wali), mu‟min (orang beriman),
kâfir (orang tidak beriman), munâfiq (munafik), musyrik (orang musyrik), mudzabdzab (orang
yang tidak punya pendirian), siddiq (orang yang benar, setia), syahid (saksi), muttaqi (orang
takwa), salih (orang saleh), muslih (pembaru), mufsid (perusak), amr bi al-ma‟ruf (menyuruh
kebaikan), nahi „an al-munkar (mencegah kejahatan), „âlim (orang berilmu), nasih (pemberi
peringatan), zalim (tiran), khalifah (wakil), rabbani (pendeta, biasanya ahli teologi), rabbi
(pendeta Yahudi ), kâhin (tukang tenung, tukang ramal), ruhbân (rahib), ahbar (teolog dan ahli
hukum Yahudi), jabbâr (yang kuat, lalim), „alî (yang kuat, tinggi), musta‟lî (superior), mustakbir
(yang angkuh), mustad‟af (yang tertindas), musrif (yang royal, boros), mutraf (yang hidup
mewah), taghut (penindas, berhala), mala‟ (orang terkemuka, tokoh), ghanî (kaya), fâqir (miskin),
mamluk (yang diperintah, yang dikuasai), mâlik (pemilik, tuan), hurr (yang merdeka), „abd
(hamba), rabb (Tuhan) dan sebagainya. Lihat, Murtadâ Mutahharî, Tafsir Holistik: Kajian Seputar
Relasi Tuhan, Manusia, dan Alam, terj. Ilyas Hasan, (Jakarta: Penerbit Citra, 2012), h. 387.
77
dan suka mengamburkan kemewahan dan hawa nafsu) dan menyebut kutub
lainnya mustadʻafȋn (kaum tertidas dan tidak menikmati standar hidup dan hak
yang layak dalam masyarkat)2, nâs (massa, kaum mayoritas), zurriya (kaum udik,
rendah, hina, dan tidak penting yang beda dengan malaʼ). Al-Qurʼan
menempatkan dua kutub ini atau dua golongan ini dalam posisi bersebrangan.
Dari sudut lain, al-Qurʼan menggambarkan masyarakat berdua kutub berdasarkan
konsepsi spiritual dan konsepsi moral dan membagi masyarakat menjadi dua
kelompok. Kelompok pertama terdiri atas orang kafir, orang musyrik dan orang
jahat. Kelompok kedua terdiri atas orang saleh, orang takwa, pembaru, orang-
orang yang memperjuangkan tujuan suci dan orang-orang yang mengorbankan
jiwa mereka untuk tujuan suci itu.3
Lebih mendasar lagi, Mutahharî mengatakan bahwa makna-makna ayat al-
Qurʼan yang menunjukan eksistensi dua kategori material dan dua kategori
spiritual ini, maka kita akan ketahui keselarasan antara kategori material pertama
2 Sejatinya, di dalam Islam, benar-benar dikatakan bahwa terdapat hak-hak orang-orang
miskin dan orang-orang lemah di dalam harta orang-orang yang berkecukupan (orang kaya). Allah
swt. berfirman "dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada
orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. al-Isra': 26
Kemudian firman-Nya "dan orang-orang yang didalam hartanya tersedia bagian tertentu
bagi orang (miskin) yang meminta dan orang-orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak
mau meminta). al-Maʽarij: 24-25
Orang-orang lemah dan orang-orang yang tidak mampu, yang tidak memiliki kemampuan
untuk bekerja dan berusaha, atau yang mana usaha dan kemampuannya tidak mencukupi, mereka
tidak dibebani kewajiban untuk bekerja dan berusaha, atau mereka tidak dibebani kewajiban untuk
bekerja melebihi batas ketentuannya. Dengan demikian, kewajiban telah gugur dari diri mereka.
Benar, mereka tidak produktif dan tidak mampu melaksanakan kewajiban kerja dan pemakmuran,
namun tentu kita tidak bisa menelantarkan mereka. Karena, berdasarkan hukum pokok pertama
dan hukum hubungan tujuan antara mereka dengan bahan-bahan makanan yang terdapat di alam
ini, hidangan inipun dibentangkan juga mereka. Allah swt. berfirman: "dan Allah telah meratakan
bumi untuk seluruh makhluk-Nya". al-Rahman: 10
Jika mereka mampu dan mereka tidak menunaikan apa yang menjadi kewajibannya, maka
mereka tidak berhak atas hidangan alam ini. Namun, karena mereka tidak mampu, maka hak
pertama mereka tetap ada pada tempatnya. Sungguh orang-orang yang lemah dan orang-orang
miskin mempunyai hak pada harta orang-orang kaya. Lihat, Murtada Mutahhari, Ceramah-
Ceramah Seputar Persoalan Penting Agama dan Kehidupan, terj. Ahmad Subandi, (Jakarta: PT
Lentera Basritama, 2000), h. 88-89. 3 Murtadâ Mutahharî, Manusia dan Alam Semesta: Konsepsi Islam Tentang Jagat Raya,
terj. Ilyas Hasan, (Jakarta: Lentera, 2002), h. 368.
78
dan kategori spiritual pertama, dan juga antara kategori material kedua dan
kategori spiritual kedua. Kaum kafir, kaum musyrik, kaum munafik dan kaum
jahat adalah juga yang suka mengumbar hawa nafsu, dan kemewahan, kaum yang
arogan, dan juga kaum yang eksesif. Begitu juga kaum mu‟min, kaum memegang
tauhid (muwahhidȋn), kaum saleh, prajurit, dan pejuang suci (mujahidȋn) tak lain
adalah orang-orang miskin, tertindas, dan tidak menikmati standar hidup dan hak
yang layak dalam masyarakat. Karena itu dengan mempertimbangkan segala yang
relevan, dalam masyarakat hanya ada dua kutub, tidak lebih atau dua kelompok
yang bersebrangan. Golongan pertama adalah kaum kaya, kaum pengeksploitasi,
kaum tiran dan mustakbirîn. Mereka ini adalah kafir dan tidak beriman. Golongan
kedua adalah mustadʻafȋn yang tidak menikmati standar hidup dan hak yang layak
dalam masyarakat. Mereka ini adalah orang-orang beriman. Dari sini jelaslah
bahwa karena masyarakat terdiri atas kaum penindas dan kaum tertindas, maka
dalam masyarakat ada dua golongan anggota masyarakat, yaitu kaum beriman dan
kaum kafir, perilaku menindas melahirkan kekafiran, kemunafikan, kejahatan dan
kerusakan moral, sedangkan keadaan tertindas melahirkan iman, kesalehan, dan
kebajikan.
Untuk memahami persamaan di atas, dengan jelas disebutkan di dalam QS.
Al-ʽArâf 59-137. Dalam ayat ini kisah-kisah para nabi seperti nabi Nûh, Hûd,
Saleh, Lut, Su‟aib dan Mûsa as. dipaparkan secara singkat. Dalam semua kisah
ini, kecuali kisah Nabi Lut as. dapat dicatat bahwa kelas para nabi adalah kelas
yang tidak menikmati standar hidup atau hak yang baku dalam masyarakat,
mereka adalah sebagian dari kelompok mustadʻafȋn, sedangkan kelas yang
bersebrangan dengan kelas ini adalah kelas kafir, kelas aristokrat yang arogan.
79
Dengan demikian, dari sudut pandang al-Qur'an, konfrontasi antara iman dan
kekufuran hanyalah refleksi dari konfrontasi antara kaum mustakbirîn dan kaum
terindas (mustadʻafȋn).4
Dari pembahasan di atas, penulis menyimpulkan bahwa yang disebut
mustadʻafȋn dalam pandangan Mutahharî ialah kaum minoritas beriman yang
mengalami ketertindasan di dalam hidupnya dan tidak pernah menikmati standar
hidup dan hak layak di dalam masyarakat. Ketertindasan ini bukan disebabkan
oleh mereka sendiri, tetapi oleh para penguasa yang arogan, angkuh dan kafir
yang semena-mena menindas.
2. Tafsir QS. 4: 97-99 dan QS. 28: 5
إ
4 Murtadâ Mutahharî, Manusia dan Alam Semesta: Konsepsi Islam Tentang Jagat Raya,
terj. Ilyas Hasan, h. 369. Mutahhari menjelaskan bahwa al-Qurʼan memandang semua kelompok
yang disebutkan di atas itu sebagai manifestasi dan produk dari dua kelas yang benar-benar saling
bertentangan yaitu, kelas angkuh (mustakbîrn); dan kelas tertindas (mustad‟afîn). Al-Qurʼan
menyebutkan sejumlah kualitas baik seperti bersahaja, jujur, tulus, beribadah, berwawasan, baik
hati, penyayang, ksatria, patuh, khidmat, murah hati, mau bekorban, takwa dan rendah hati. Al-
Qurʼan juga menyebutkan sejumlah kualitas buruk seperti berdusta, berkhianat, cabul, sok,
berlagak, tidak bermoral, keras kepala, keras hati, kikir, angkuh dan yang semacamnya. Al-Qur‟an
memandang kualitas jenis pertama sebagai kualitas yang dimiliki mustadʻafȋn, dan kualitas jenis
kedua sebagai kualitas yang dimiliki mustadʻafȋn, karena itu keadaan sebagai penindas dan
keadaan sebagai tertindas bukan saja merupakan ciri dari dua kelas yang berbeda dan bertentangan
ini, namun juga melahirkan dua jenis kualitas yang saling bertentangan. Menjadi penindas dan
menjadi tertindas merupakan basis dari semua orientasi, kecenderungan dan pilihan, dan
merupakan akar dari semua fenomena budaya dan publik. Etika, filsafat, seni, sastra dan agama
yang datang dari mustadʻafȋn, menggambarkan orientasi kelas itu, berfungsi membenarkan status
quo dan menyebabkan terjadinya stagnasi dan fosilisasi. Sebaliknya, etika, filsafat, sastra, seni atau
agama yang datang dari mustadʻafȋn selalu informatif, membangkitkan semangat, dinamis dan
revolusioner.
Kaum yang arogan, karena mereka penindas dan memiliki prestise sosial, mereka tidak
tercerahkan, tidak lapang hati. Mereka anti pencerahan, konservatif dan suka damai. Sebaliknya,
kaum tertindas suka perubahan dan revolusioner. Lihat, Murtadâ Mutahharî, Tafsir Holistik:
Kajian Seputar Relasi Tuhan, Manusia, dan Alam, terj. Ilyas Hasan, (Jakarta: Penerbit Citra,
2012), h. 390.
80
Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan
menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: "Dalam keadaan
bagaimana kamu ini?". mereka menjawab: "Adalah kami orang-orang yang
tertindas di negeri (Mekah)". Para malaikat berkata: "Bukankah bumi Allah itu
luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?". Orang-orang itu tempatnya
neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali,
Kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-
anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk
hijrah),
Mereka itu, Mudah-mudahan Allah memaafkannya. dan adalah Allah Maha
Pemaaf lagi Maha Pengampun.
Mutaharî mengatakan bahwa sebagian manusia ada yang tertindas
(mustadʻafȋn) atau orang yang urusannya ditangguhkan dan diserahkan kepada
keputusan Allah di akhirat (murjawna li amrlllah). Urusan mereka dikembalikan
kepada Allah Swt. Dialah yang akan mengambil tindakan kepada mereka sesuai
kebijaksanaan dan rahmat-Nya.5
Pada ayat pertama, terjadi sebuah dialog antara malaikat dan sebagian orang
setelah mati. Hasilnya, ada manusia yang dinilai tidak mau berusaha, dan berhak
5 Dalam QS. Al-Taubah dijelaskan:
علين حكين ا يتىب عليهن وٱلله بهن وإهه ا يعذ إهه وءاخزوى هزجىى لهز ٱلله
Dan adapula orang-orang lain yang ditangguhkan sampai ada keputusan Allah (murjawna li
amrillah); adakalanya Allah akan mengazab mereka dan adakalanya Allah menerima tobat
mereka. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.
Imam al-Baqir mengomentari ayat tersebut sebagai berikut: “ada golongan orang yang
dulunya musyrik, kemudian melakukan dosa-dosa besar; mereka membunuh Hamzah, Ja‟far, dan
orang-orang Islam lainnya. Kemudian mereka masuk Islam, menauhidkan Allah swt. dengan
meninggalkan kemusrikan, tapi keimanan belum memasuki hati mereka sehingga disebut sebagai
Mu‟min ahli surga; dan pada saat yang sama, mereka tidak mengingkari kemusyrikan sehingga
mereka termasuk orang kafir ahli neraka. Dalam keadaan seperti itu, mereka adalah orang-orang
yang ditangguhkan (al-murjauna li amrillah); bisa saja Allah menimpakan azab atas mereka atau
menerima tobat mereka.”lihat, Murtada Mutahhari, Keadilan Ilahi: Asas Pandangan Dunia Islam,
terj. Agus Efendi, (Jakarta, Mizan Media Utama, 2009), h. 328-329.
81
mendapatkan siksa. Pada ayat kedua, disebutkan tentang orang-orang yang betul-
betul tertindas (mustadʻafȋn). Adapun ayat ketiga menyebutkan adanya harapan
bagi orang-orang mustadʻafȋn untuk mendapatkan ampunan Allah Swt. Menurut
Allamah Tabataba‟i dalam tafsirnya, al-Mizân, tentang ayat-ayat tersebut.
“Sesungguhnya Allah swt. memasukan kebodohan tentang agama dan
setiap bentuk rintangan menegakan syiar-syiar agama sebagai suatu kezaliman
yang tidak mendapatkan ampunan Ilahi. Kemudian, Dia mengecualikan kaum
mustadʻafȋn, dengan menerima alasan yang mereka kemukakan tentang terjadinya
ketertindasan dan keterbedayaan. Allah mendefinisikan mustadʻafȋn dengan sifat
yang berlaku untuk mereka dan selain mereka, yaitu sifat ketidakberdayaan untuk
menolak bahaya yang mengancam atau ketidakmampuan memikul beban yang
menimpa diri mereka. Sifat ini berlaku untuk orang yang tinggal di daerah yang
tidak ada sarana untuk mencari ilmu agama karena tidak ada alim yang mengerti
perincian agama, atau tidak ada sarana untuk melaksanakan tuntutan ajaran-
ajaran (agama) tersebut lantaran besarnya derita yang harus ditanggung dalam
melaksanakannya, disertai ketakmampuannya untuk keluar (dari daerah itu) atau
hijrah ke Negara Islam untuk dapat bertemu dengan kaum Muslim. Alasan
ketertindasan dan ketakberdayaan lain adalah kelemahan dalam pikiran, penyakit
atau cacat fisik atau kemiskinan ekonomi, dan sebagainya. Demikian pula, orang
yang benaknya tidak menerima kebenaran pasti tentang ajaran-ajaran agama,
atau pikirannya tidak menunjukan kebenaran itu, padahal dia termasuk yang
tidak menentang atau menyombong terhadap kebenaran sama sekali. Sedemikian
sehingga bila kebenaran itu tampak baginya, dia akan segera mengikutinya.
Tetapi, kebenaran itu tersembunyi darinya karena faktor-faktor yang
menyebabkannya demikian.”6
Banyak sekali riwayat yang memasukan orang-orang lemah, dengan
berbagai alasan yang dapat diterima, dalam kelompok mustadʻafȋn.
Di dalam Tafsîr al-„Iyâsyi, terdapat sebuah hadis yang diriwayatkan dari
Humran bin A‟yan: “Saya bertanya kepada Imam Sadiq tentang
mustadʻafȋn.”Imam Sadiq menjawab, “Mereka (mustadʻafȋn) tidak termasuk orang
kafir, juga tidak termasuk orang Mukmin; merekalah yang ditangguhkan sampai
6 Lihat, Al-„Allamah al-Sayidi Muhammad Husain Taba‟taba‟î, al-Mîzân fî Tafsîr al-
Qur‟an, Juz 5, (Beirut: Mu‟asasah al-„Alam li al-Matba‟at, 1997), h. 51-52.
82
datang keputusan Allah (al-murjauna li amrillah). Sejauh yang dapat disimpulkan
dari ayat tentang “orang-orang yang ditangguhkan” itu, maka amal-amal mereka
akan ditentukan oleh Allah. Tetapi, ayat tentang “kaum mustadʻafȋn”
mengisyaratkan kemahahalusan ampunan dan magfirah Allah kepada mereka.
Di dalam al-Kâfî7, ada hadis yang diriwayatkan dari Hamzah bin al-Thayyar
yang berkata, “Imam Sâdiq berkata kepada saya, „manusia terbagi menjadi enam
golongan yang akhirnya menjadi tiga golongan, yaitu kelompok Iman, kelompok
kafir, dan kelompok sesat. Semua kelompok ini terkait dengan janji dan ancaman
Allah akan surga dan neraka. Enam kelompok itu adalah orang-orang Mu‟min,
kafir, mustadʻafȋn, kelompok yang urusan mereka ditangguhkan sampai datangnya
keputusan Allah (al-murjauna li amrillah), kelompok yang mengakui dosa-
dosanya, yaitu orang-orang yang mencampuradukan amal-amal baik dengan amal-
amal jahat, dan kelompok al-ʼArâf. Kemudian di dalam al-Kâfi juga disebutkan
pula hadis dari Zurarah yang berkata “Saya bersama Hamran berkunjung kepada
Imam al-Baqir. Saya berkata kepadanya, saya membentangkan al-mitmar. Imam
Baqir bertanya, Apakah yang kau maksud mitmar itu? Saya menjawab, Mitmar
adalah benang pengukur. Siapa saja yang menyetujui kami, baik dari keturunan
Ali atau orang lain, kami akan mengikutinya, tapi jika mereka tidak setuju dengan
kami, kami akan berlepas diri dari mereka. Lalu Imam Baqir berkata, Hai Zurarah,
firman Allah lebih benar ketimbang perkataanmu. Lantas di mana tentang orang-
orang yang termasuk dalam firman Allah ini:
Dan di mana pula yang murjau‟na li amrillah? Di mana golongan yang
mencampuradukan amal baik dengan amal buruk? Di mana golongan al-A‟raf? Di
7 Lihat, Muhammad bin Ya‟qûb al-kulainî, al-Kâffî, jilid 2, (Beirut: Mansyârât al-Fajr,
2007), h, 282-383.
83
mana pula golongan orang-orang yang baru masuk Islam?” Hammad, yang
meriwayatkan hadis ini dari Zurarah, menambahkan: “Imam Baqir dan saya, pada
saat itu, beradu mulut dengan keras sehingga kedengaran dari luar rumah”. Jâmil
bin Durrâj, yang juga meriwayatkan hadis ini dari Zurarah, menambahkan:
“Ketika pembicaraan telah larut antara aku dan Imam Baqir, Imam Baqir berkata,
„Hai Zurarah Allah memang akan memasukan orang-orang yang tersesat ke dalam
surga”.8
Yang dimaksud oleh riwayat di atas adalah bahwa Allah telah menjanjikan
pahala untuk orang Mu‟min saja. Dan tentu Allah akan menempati janji tersebut.
Akan tetapi, dalam hubungannya dengan orang-orang non-Mu‟min, Allah tidak
pernah mewajibkan Diri-Nya untuk menepati janji kepada mereka. Dengan
demikian, urusan mereka terserah kepada Allah, apakah Dia akan memberikan
pahala kepada mereka, ataukah tidak. Dengan ucapannya tersebut, Imam ingin
memberi pengertian kepada orang-orang yang diajak bicara bahwa diberi pahala
atau tidaknya orang nonMu‟min adalah sama hukumnya dengan para mustadʻafȋn
dan orang-orang yang ditangguhkan keputusannya murjau‟na li Amrillah. Urusan
mustadʻafȋn nonMu‟min tersebut terpulang kepada Allah.9
Dalam penafsiran di atas, Mutahharî mengklasifikasikan mustadʻafȋn dalam
dua bagian. Pertama, orang yang mengaku dirinya mustadʻafȋn, tetapi tidak mau
untuk berusaha. Kedua orang yang benar-benar mustadʻafȋn. ketiga mustadʻafȋn
dari kalangan nonMuʼmin.
8 Murtada, Mutahharî, Keadilan Ilahi: Asas Pandangan Dunia Islam, h. 329-330.
9 Mutahharî, Keadilan Ilahi: Asas Pandangan Dunia Islam, h. 334-335.
84
Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi
(Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka
orang-orang yang mewarisi (bumi)10
Mutahharî mengatakan bahwa al-Qurʼan percaya dalam konflik ini
kemenangan terakhir ada di tangan kaum mustadʻafȋn. Dalam hubungan ini al-
Qur'an menggaris-bawahi arah tak terelakkan dari proses sejarah, dan
menunjukkan bahwa kelas yang memiliki kualitas revolusioner selalu
memperoleh kemenangan dalam konfliknya dengan kelas yang pada dasarnya
berkualitas reaksioner dan konservatif dan bahwa kelas yang memiliki kualitas
revolusioner akan menggantikan kelas yang berkualitas reaksioner dan konservatif
dalam penguasaan atas bumi.
Pandangan al-Qurʼan bahwa sejarah bergerak menuju kemenangan kaum
tertindas dan tereksploitasi. Sebelumnya dari teori materialisme sejarah yang
substansi umumnya adalah bahwa reaksionisme dan konservatisme merupakan
sifat khas eksploitasi. Yang lebih menarik adalah dukungan dari Allah dan semua
fenomena dunia untuk kaum tertindas. Tak dapat dipungkiri bahwa, menurut pola
10
QS. al-Qisas (28): 5. Dalam ayat lain juga dikatakan:
زبها ٱله زق ٱلرض وهغ ءيل بوا وأورثا ٱلقىم ٱلهذيي كاىا يستضعفىى هش ت كلوت ربك ٱلحسى على بي إسز زكا فيها وتوه تي ب
زا ها كاى يصع فزعىى وقىههۥ وها كاىا يعزشىى ودهه ٧٣١صبزوا
“Dan Kami pusakakan kepada kaum yang telah ditindas itu negeri-negeri bagian timur dan
baratnya yang telah Kami beri berkah. Dan telah sempurnalah perkataan Tuhanmu yang baik
(sebagai janji) untuk Bani Isra 'il disebabkan kesabaran mereka. Dan Kami hancurkan apa yang
telah dibuat Fir'aun dan kaumnya dan apa yangtelah mereka bangun”.(QS. al-ʽArâf: 137)
85
pikir al-Qurʼan, kaum mustadʻafȋn ini adalah massa tertindas yang tak dapat ikut
menentukan nasibnya sendiri. Kalau melihat posisi massa ini dan dukungan Allah
untuk mereka, maka pertanyaannya adalah, Siapakah kaum yang melaksanakan
kehendak Allah ini? Jawabnya sudah jelas. Kalau masyarakat diakui terbentuk
sedemikian rupa sehingga ada dua kelas yang saling berseberangan, yaitu kelas
penindas (mustakbirîn) dan kelas tertindas (mustadʻafȋn), dan juga diketahui
bahwa kehendak Allah lah yang pada akhimya membuat mustadʻafȋn mewarisi
bumi dan menjadi pemimpin di muka bumi dan mustakbirîn harus lenyap, maka
jelaslah bahwa kehendak Allah dilaksanakan oleh mustadʻafȋn dengan
kepemimpinan para pemimpin dan intelektualnya. Dengan kata lain, para nabi dan
martir dari kalangan kelas tertindas.11
Dengan demikian, munculnya Imam Mahdi merupakan karunia Allah bagi
kaum tertindas dan kaum lemah, dan juga merupakan sarana bagi kekuasaan
mereka serta mendapatkan pemerintahan yang dijanjikan Allah di seluruh dunia.
Sabda Rasulullah saw. yang terkenal menjelaskan bahwa Allah akan
memenuhi bumi ini dengan keadilan setelah dipenuhi kezaliman. Hadis ini
memberikan kesaksian bahwa pada saat munculnya al-Mahdi akan ada dua kelas
11
Dalam tesis di atas ada beberapa poin: pertama, Menurut Al-Qurʼan, masyarakat
memiliki dua kutub, selalu ada dua kelas yang berseberangan dalam masyarakat, yaitu kelas
penindas (mustadʻifȋn) dan kelas tertindas (mustadʻafȋn). kedua, Kehendak Allah (atau, dalam kata-
kata artikel terkutip di atas, dukungan dari Allah dan semua fenomena) arahnya adalah
mewujudkan kepemimpinan kelas tertindas dan diwarisinya bumi oleh kelas tertindas sebagai
norma universal. Dalam hal ini, tak ada bedanya antara kaum beriman dan kaum kafir atau antara
ahli tauhid dan kaum musyrik. Ayat terkutip di atas merumuskan norma umum dan universal.
Allah selalu menganugerahkan kemenangan kepada mustadʻafȋn. Dengan kata lain, dalam sejarah
selalu ada konflik terutama antara kaum tertindas (mustadʻafȋn) dan kaum penindas (mustadʻifȋn),
dan hukum evolusi menghentiaki kemenangan mustadʻafȋn atas mustadʻifȋn Ketiga, Kehendak
Allah terealisasi dalam masyarakat melalui kaum mustadʻafȋn. Pemimpin, perintis, nabi dan martir
berasal dari kalangan kaum mustadʻafȋn, bukan dari kelas lain. Keempat, Selalu ada keselarasan
antara basis intelektual dan sosial masyarakat di satu pihak dan basis kelas di pihak lain. lihat,
Manusia dan Alam Semesta: Konsepsi Islam Tentang Jagat Raya, h. 374.
86
(gologan), pertama, kelompok penindas (mustadʻafȋn); kedua kelompok tertindas
(mustadʻafȋn).
Syeikh Saduq meriwayatkan suatu hadis dari Imam Jaʽfar al-Sadiq, bahwa
al-Mahdi akan muncul hanya jika orang yang shaleh menjadi paling saleh, dan
orang yang jahat menjadi paling jahat. Dari keterangan ini sudah jelas bahwa
orang yang saleh dan orang yang jahat pasti ada.
Ada beberapa hadis lain menjelaskan bahwa akan ada beberapa kelompok
yang bergabung dengan Imam al-Mahdi setelah ia muncul. Maka dari keterangan
ini jelas, bahwa pada suatu saat orang yang saleh akan tetap ada, walaupun
keberadaannya susah tidak mempunyai peranan apa-apa, tetapi keberadaan
mereka tetap merupakan umat yang mempunyai kualitas keimanan yang terbaik,
serta dapat disamakan dengan para sahabat Imam Husein r.a.12
B. Perbandingan Penafsiran
Pendapat
Mufasir
Perbedaan Persamaan
Muhammad al-
Rȃzȋ Fakhruddȋn
Ibnu al-'Alamȋ
Diyau‟ddȋn
'Umar, Tafsir al-
Fakhru al-Rȃzȋ:
al-Kabȋr Wa
Mafȃtih al-Ghaib
Karena tidak
hijrahnya sehingga
mereka tertindas
dan kafir
Dari kalangan
pemuda yang
menolak ajakan
rasulullah sehingga
mereka mengalami
ketertindasan dan
juga dimasukan
kedalam golongan
orang-orang kafir,
terkecuali dari
kalangan laki-laki
dan perempuan yang
tidak mempunyai
kekuatan fisiknya
yaitu para orang tua
yang sebentar lagi
tutup usia, dan juga
12
Murtada Mutahharî, Menguak Masa Depan Umat Manusia: Suatu Pendekatan Filsafat
Sejarah, (Jakarta: Pustaka Hidayah), h. 85.
87
Mustadʻafîn
dalam surah
(4): 97-99
dan (28): 5
anak-anak kecil.
Abi al-Qasim
Muhammad bin
ʽUmar al-
Zamakhsyari, al-
Kasysyaf
orang-orang yang
menzalimi dirinya
sendiri dengan tidak
mau berhijrah
kepada kalangan
Muʼmin, padahal
mereka mampu
untuk berhijrah dan
orang-orang dari
kalangan minoritas
Mu'min yang tidak
mampu untuk
berhijrah.
'Ali bin Ibrâhim
al-Qummȋ, Tafsir
al-Qummȋ
Karena tidak
mampu membantah
orang-orang kafir
dan tidak
mempunyai
petunjuk atas
keimanannya
sehingga mereka
disebut sebagai
orang-orang yang
tidak mampu
beriman dan tidak
mampu juga kafir
Sayyid Qutub,
Tafsir Fi Zilâlil
Qur'an
Karena tertahan
oleh harta benda
dan kepentingannya
sehingga mereka
tertindas di negara
kafir
Allamah Faqih
Imani, Tafsir Nûr
al-Qur'an: Sebuah
Tafsir Sederhana
Menuju Cahaya
al-Qur'an
Tidak mempunyai
alat untuk menolak
orang-orang kafir
dan tidak
mempunyai
petunjuk untuk
keluar dari
golongan kafir
M. Quraish
Shihab, Tafsir al-
Misbah-Pesan,
Karena dari
ketertindasannya
sehingga mereka
88
Kesan, dan
Keserasian Al-
Qur‟an
tidak berhijrah
dengan mengetahui
jalan keluar dan
selalu mendapatkan
kesulitan
Murtada
Mutahharî
Di dunia mereka
selalu mendapatkan
sang pembebas atau
sang pelopor yang
mengarahkannya ke
ke jalan kebenaran
dan kemenangan,
kemudian di akhirat
nanti mereka adalah
orang yang
urusannya
ditangguhkan dan
diserahkan kepada
keputusan Allah di
akhirat (murjawna
li amrlllah). Urusan
mereka
dikembalikan
kepada Allah Swt.
Dialah yang akan
mengambil
tindakan kepada
mereka sesuai
kebijaksanaan dan
rahmat-Nya
Dengan penafsiran para ulama di atas, penulis dapat mengkategorikan
mustad‟afîn dalam dua bagian, yaitu:
1. Mustadʽafîn yang menzalimi dirinya sendiri
Mustadʽafîn yang menzalimi dirinya sendiri merupakan orang-orang yang
enggan untuk berhijrah, berjihad dan berusaha di jalan Allah sehingga dengan
perbuatannya sendiri, mereka mengalami ketertindasan oleh kaum kafir. Hal ini
disebabkan oleh mereka yang masih cinta terhadap hartanya, tempat tinggalnya,
dan kepentingannya, mereka tidak menjadikan iman sebagai prinsip asar tertinggi
89
daripada harta bendanya. Dengan demikian, mereka diklaim sebagai orang
munafik dan kafir.
2. Mustadʽafîn yang benar-benar tidak mempunyai daya kekuatan.
Mustadʽafîn seperti ini merupakan orang-orang yang ingin berhijrah,
berjihad dan berusaha, tetapi mereka tidak mengetahui cara dan kekuatan untuk
itu semua, dan juga mereka tidak mengetahui antara yang benar dan yang salah.
Sebagian ulama lebih memfokuskan kepada, anak-anak kecil, orang tua, dan
perempuan.
Kemudian dari ayat yang telah dijelaskan, terdapat janji Allah bagi semua
kalangan mustadʽafîn.
1. Janji Allah di dalam dunia
Janji Allah di dalam dunia ialah suatu kemenangan bagi mustadʽafîn baik
yang mampu berhijrah atau tidak. mereka akan menjadi pemimpin dan mewarisi
bumi yang akan dipelopori oleh sang pemimpin yaitu Imam al-Mahdi.
Seperti yang dikatakan Mutahharî bahwa kehendak Allah lah yang pada
akhimya membuat mustadʽafîn mewarisi bumi dan menjadi pemimpin di muka
bumi dan mustakbirîn harus lenyap, maka jelaslah bahwa kehendak Allah
dilaksanakan oleh mustadʽafîn dengan kepemimpinan para pemimpin dan
intelektualnya. Dengan kata lain, para nabi dan martir dari kalangan kelas
tertindas.13
Dengan demikian, munculnya Imam Mahdi merupakan karunia Allah bagi
kaum tertindas dan kaum lemah, dan juga merupakan sarana bagi kekuasaan
mereka serta mendapatkan pemerintahan yang dijanjikan Allah di seluruh dunia.
13
Lihat, Murtada Mutahharî, Manusia dan Alam Semesta: Konsepsi Islam Tentang Jagat
Raya, h. 374.
90
2. Janji Allah di Akhirat
Bagi mustadʽâfin Mu'min atau nonMu'min dari kalangan anak kecil, orang
yang berlanjut usia, perempuan yang tidak mampu, tidak ada petunjuk dan tidak
mempunyai alat dan cara untuk berhijrah, Mutahharî mengatakan bahwa diberi
pahala atau tidaknya orang mereka adalah sama hukumnya dengan para
mustadʽâfin dan orang-orang yang ditangguhkan keputusannya murjaû‟na li
Amrillâh. Urusan mustadʽâfin nonMu‟min tersebut terpulang kepada Allah.14
C. Relevansi Penafsiran QS. (4): 97-99 dan QS. (28): 5 Dalam Konteks
Indonesia Modern
Dalam Konteks Indonesia, penulis meneliti bahwa para pendahulu kita di
antaranya Joyoboyo, Ranggawasita dan juga Prabu Siliwangi telah meramalkan
akan munculnya pemimpin mustad'afîn yang di sebut sebagai "Ratu Adil".
Lebih jelasnya, Soekarno menjelaskan tentang konsep Ratu Adil. Di dalam
sidang BPUPKI tahun 1945, ia berpidato, "apakah yang dimaksud dengan Ratu
Adil?. Yang dimaksud dengan paham Ratu Adil adalah sociale rechtvaardigheid.
Rakyat ingin sejahtera, rakyat ingin menciptakan dunia yang di dalamnya terdapat
keadilan di bawah pimpinan Ratu Adil. Oleh karena itu kalau kita memang betul-
betul mengerti, mengingat, mencintai rakyat Indonesia, marilah terima sociale
rechtvaardigheid ini. "Kesejahteraan yang berkeadilan ini yang didambakan
rakyat".15
Dalam sabda Prabu Siliwangi di jelaskan bahwa kelak akan ada orang
yang berusaha membuka misteri Pajajaran. Namun yang terjadi mereka yang
14
lihat, Murtada Mutahharî, Keadilan Ilahi: Asas Pandangan Dunia Islam, h. 334-335. 15
Asvi Warman Adam, Bung Karno Dibunuh Tiga Kali, (Jakarta, PT Kompas Media
Nusantara, 2010), h. 51.
91
berusaha mencari hanyalah orang-orang sombong dan takabur. Akan tetapi dalam
Naskah Wangsit Siliwangi Ini dikatakan pada akhirnya yang mampu membuka
misteri Pajajaran adalah sosok yang dikatakan "Budak Angon" (Anak Gembala).
Sebagai perlambang sosok yang dikatakan Prabu Siliwangi sebagai orang yang
baik perngainya.16
Tanda-tanda dari kemunculan Anak Gembala dijelaskan dalam naskah
Wangsit Siliwangi yaitu:
"Jayana buta-buta, hateu pati lila, tapi bongan kacarida teuing nyangsara
ka somah nu pada ngarep-ngarep caringin reuntas di alun-alun. Buta bakal jadi
wadal, wadal pamolahna sorangan, iranga mangsana? engke mun geus tembong
budak angon! Ti dinya loba nu ribut, ti dapur laju salembur, ti lembur jadi
sanagara! Nu barodo jadi gelo marantuan nu garelut? Ngarebutkeun warisan,. Nu
hawek hayang loba, nu baroga hak marenta bagianana.ngan nu areling caricing.
Arinyana mah ngalalajoan. Tapi kabarerang".
Artinya: kekuasaan penguasa buta tidak berlangsung lama, tapi karena
sudah lama menyengsarakan rakyat yang sudah berharap agar ada mu'jizat
datang untuk mereka. Penguasa itu akan menjadi tumbal, tumbal untuk
perbuatannya sendiri. Kapan waktunya? Nanti , saat munculnya anak gembala!
Di situ akan banyak huru-hara, yang bermula di satu daerah semakin lama
semakin besar meluas di seluruh negara. Yang tidak tahu menjadi gila dan ikut-
ikutan menyerobot dan bertengkar, dipimpin oleh pemuda gendut! Sebabnya
bertengkar? Memperebutkan tanah. Yang sudah punya ingin lebih, yang berhak
16
Tri Budi Marhaen Darmawan Nurahmad, Perjalanan Spiritual: Menelisik Jejak Satrio
Piningit, (Semarang: Cipta Karya Multimedia, 2007), h. 16.
92
meminta baginya. Hanya yang sadar pada diam, mereka hanya menonton, tetapi
tetap terbawa-bawa.
Situasi tersebut di atas adalah gambaran yang terjadi sekarang ini. Kalau
kita perhatikan dengan cermat ungkapan di atas, maka memang saat ini seluruh
rakyat sedang berharap-harap menunggu datangnya mu'jizat di tengah-tengah
carut marut permasalahan yang sedang berjalan saat ini.17
Syahdan, pada saat satria piningit muncul, Indonesia sedang menghadapi
goro-goro (bhs. Indonesia: kerusuhan besar). Tampilnya satria piningit sebagai
pemimpin akan menjadikan bangsa Indonesia akan menuju kemakmuran dan
kejayaan seperti pada jaman Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Ranggawarsita
dalam karangannya memaparkan tujuh kriteria pemimpin di antaranya, Satria
Kinunjara Murwa Kuncara Satria Kinunjara yaitu satria yang terpenjara, Satria
Mukti Wibawa Kesandung Kesampar yaitu satria berwibawa, Satria Jinumput
Sumela Atur yaitu satria terpungut. Satria Lelana Tapa Ngrame yaitu satria
pengembara. Satria Piningit Hamong Tuwuh yaitu satria yang disembunyikan dan
kemudian ke luar dari pertapaannya. Dengan segala kelemahan dan kelebihannya,
satria ini diramalkan akan berhasil hamong tumuwuh (merangkul segala
komponen) yang ada di bumi nusantara dan mengantarkan ke gapura pembuka
jaman keemasan. Satriya Boyong Pambukaning Gapura yaitu satria yang
berpindah tempat dan membuka gerbang. Pemimpin yang akan menjembatani ke
arah kemakmuran. Ia adalah negarawan tanpa pamrih. Ia mengemban tugas
meletakkan fondasi kenegaraan seperti membuka pintu gapura jaman keemasan
dan menggelar tikar. Satria Pinandita Sinisihan Wahyu yaitu satria yang berjiwa
17
Ibid, h. 26.
93
dan bersemangat religius yang kuat. Dialah pemimpin yang ditunggu yang akan
membawa kepada kemakmuran dan kesejatian bangsa. Dialah Ratu Adil yang
dinantikan kehadirannya di tengah-tengah bangsa yang sedang terpuruk secara
moral dan ekonomi saat ini.18
18
Stepanus Istata Raharjo, Kerajaan Allah dalam Dua Wajah: Datangnya Ratu Adil dan
Kerajaan Allah, Hadiwijaya, Tokoh-Tokoh Kejawen: Ajaran dan Pengaruhnya, (Yogyakarta:
Kelompok Penerbit Pinus, 2010), h. 87-93.
94
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara sadar bahwa agama Islam lebih memposisikan terhadap pembelaan
bagi mustadʽafîn dengan mengangkat martabat mereka dan juga memberikan
cara-cara untuk memperjuangkannya hak dan kemerdekaannya. Meskipun sulit
memperjuangkan mustadʽafîn, tetapi dalam fenomena sejarah itu tak lepas dari
adanya kontradiksi antara kaum mustadʽifîn dengan mustadʽafîn, sehingga dengan
hal ini Islam tetap dikatakan sebagai agama ideologi yang terus memperjuangkan
mustadʽafîn sampai akhir zaman. Sampai detik ini kemenangan masih digenggam
oleh kaum mustadʽifîn. Mereka kehidupannya hanya dengan bermegah-megahan,
berfoya-foya, mencaci dan menghina mustadʽafîn. namun, suatu saat nanti
kekuasaannya akan hancur oleh kaum mustadʽafîn, karena al-Qurʼan telah
meramalkan bahwa kemenangan kekuasaan akan diraih oleh kaum
mustadʽafîn.Ini sudah menjadi hak mutlak bagi mustadʽafîn atas janji dan karunia
Allah. Sejarah telah mengungkapkan bahwa dalam satu masa, mustadʽafîn
menang melawan mustadʽifin, seperti yang di lakukan Lenin di Uni Soviet
(sekarang Rusia), Mao Zhe Dong di Cina, atau Che Gue Vara di Kuba.
Kemenangan ini bukanlah suatu revolusi, tetapi hanya sebagai evolusi dari
perubahan menjadi masyarakat yang berkembang dan maju. Revolusi adalah
perubahan secara total yang di bawa oleh sang pemimpin tangguh dalam
menancapkan kebenaran dan luar biasa dalam menegakkan agama Allah. Ia akan
memberantas segala kejahatan dan keburukan manusia di dunia. Mutahhari
95
menjelaskan bahwa Ia adalah Imam al-Mahdi al-Muntazir. Inilah yang dimaksud
klimaks dari evolusi, yakni revolusi atas kemenangan Islam bagi mustadʽafîn yang
akan merubah keadaan dari masyarakat ber-kelas menuju masyarakat tanpa kelas
dan membumihanguskan peradaban buruk. Artinya, di dalam revolusi terakhir ini
sudah tidak ada lagi orang kafir, munafik, perusak, sombong, bermegah-megahan,
menindas dan selainnya. Yang ada hanyalah kaum saleh, bermoral, saling
membantu, menegakan keadilan, bergotong royong dan sama rasa atas hak
kemakmuran dan kesejahteraan (كان الناس أمة واحده).
Bahkan orang non-Mu’min dari kalangan mustadʽafîn secara posisi di akhirat
berbeda. mereka masih diberikan kesempatan untuk dimasukan ke dalam
surganya Allah. Namun, ada syarat tertentu bagi mereka, yaitu mereka tidak
menolak, ataupun mengelakan suatu kebenaran terhadap Islam. Walaupun mereka
hidup di Dar al-Kufr, di sisi lain mereka ingin keluar untuk hijrah, akan tetapi
tidak mampu dikarenakan mereka cacat, orang yang sudah tua, anak kecil,
perempuan, orang yang tidak mempunyai nafkah, dan mereka yang tidak
mengetahui petunjuk jalan, sehingga akhirnya mereka hanya meyakini dan
menerima kebenaran Islam dan bertaubat hanya di hatinya saja, maka mereka
adalah murjaʽûna li amrillâh (yang menunggu ketetapan Allah atau orang yang
ditangguhkan di akhirat). Walaupun demikian, Allah akan berlaku adil dan
mengampuni mereka, karena Keadilan dan Ampunan-Nya merupakan kewajiban
dari ke-Maha Bijaksanaan-Nya.
96
B. Saran-Saran
Dengan selesainya penulisan skripsi ini, penulis sangat mengharapkan
kepada seluruh elemen masyarakat, bahwa sampai hari ini masih banyak orang-
orang yang ditindas. Walaupun secara tersurat tidak terlihat bagaimana suatu
praktek ketertindasannya akan tetapi secara tersirat dan dirasakan oleh kesadaran
bahwa terdapat suatu ketertindasan yang masif, karena faktanya, kemiskinan,
kelaparan, orang-orang yang hidup di jalanan, para buruh dengan upah kecil itu
masih ada di dunia ini. Sekali lagi ini bukanlah kesalahan atas takdir Allah
ataupun kesalahan mereka sendiri, akan tetapi dari kesalahan kaum berkuasa atau
pemodalah yang serakah akan sesuatu khususnya harta.
Di akhir ini, penulis menyampaikan bahwa penulisan skripsi ini masih
terdapat kekurangan serta belum menduduki standar kesempurnaan di dalam
penulisan karya ilmiah. Penulis hanya mengkaji mustadʽafîn dalam pemikiran
Murtadâ Mutahharî, dan semoga di kemudian hari ada yang melanjutkannya
dengan pembahasan mustadʽafîn dan mustadʽifîn dalam pemikiran seluruh
mufasir.
97
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Muh. Murtadâ Mutahharî: Filosof dan Pejuang. Bandung: Penerbit
Nuansa, 2009.
Abidin, Ahmad Zainal. "Tafsir al-Qummî dan Politik: Telaah atas Kecenderungan
Tashayyu dalam Penafsiran Surat al-Baqarah", Al-Tahrir, Vol. 16, No. 2. IAIN
Tulungagung, 2016.
AR, St. Nasriah. "Dakwah dan Problematika Kemiskinan Struktural", Tabligh, edisi
24. Makassar: UIN Alauddin, 2011.
Adams, Cindy. Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat. Jakarta: Gunung Agung,
1966.
Anam, Munir Che. Muhammad saw. dan Karl Marx Tentang Masyarakat Tanpa
Kelas. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2008.
Armstrong, Karen. Sejarah Tuhan: Kisah pencarian Tuhan Yang Dilakukan Oleh
Orang-Orang Yahudi, Kristen, Dan Islam Selama 4000 Tahun, Cet. 6, Terj.
Zaimul Am. Bandung: Penerbit Mizan, 2002.
Audah, Ali. Nama dan Kata Dalam Al-Qur’an: Pembahasan dan Perbandingan.
Jakarta: PT. Pustaka Litera Antarnusa, 2011.
Badruzaman, Abad. Teologi Kaum Tertindas: Kajian Tematik Ayat-Ayat Mustadʻafȋn
Dengan Pendekatan Keindonesian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
____________, Dari Teologi Menuju Aksi- Membela yang Lemah, Menggempur
Kesenjangan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
98
Al-Barudi, Syaikh Imad Zaki. Tafsîr Al-Qur'an Al-ʻAzhim li Al-Nisȃ': Tafsir Wanita,
terj. Samson Rahman. Jakartah: Pustaka al-Kautsar, 2004.
Bâqî, Muhammad Fu'âd ʻAbdul. al-Muʻjam al-Mufaharas Li Alfadz al-Qurʻan al-
Karîm. Qahirat: Dar al-Kitâb al-Misriyah, 1945.
Djaya, Ashad Kusuma. Islam Bagi Kaum Tertindas-Kerangka Pembebasan Kaum
Mustadʻafȋn dari Teologi Ke-Sosiologi. Bantul: Kreasi Wacana, 2016.
Al-Dzahabî, Muhammad Husain. Tafsir wa al-Mufassirûn, juz 1. Qahirat: Maktabah
Wa Hasibah, 1986.
Engineer, Asghaar Ali. Islam Dan Pembebasan. Yogyakarta: Lkis, 2007.
____________, Islam dan Teologi Pembebasan, terj. Agung Prihantoro. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2009.
Fȃris, Abȗ al-Husayn Ahmad Ibnu. Muʻjam al-Maqȃyȋs fi al-Lughah, cet. 1. Beirut:
Dar al-Fikr lȋ al-Thibȃʻah wa al-Nasyr wa al-Tawzȋ, 1994.
Fauroni, Lukman. "Rekontruksi Etika Bisnis Perspektif al-Qur'an", IQTISAD, Journal
of Islamic Ekonomics, vol. 4, No.1. Yogyakarta: Sekolah Tinggi Ilmu
Syariʻah, 2003.
Gembala, A.H Jemala. Membela Perempuan-Menakar Feminisme Dengan Nalar
Agama. Jakarta: Al-Huda, 2005.
HAMKA, Tafsir al-Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982.
Al-Huna'i, Abî al-Hasan Alî bin al-Hasan. Munajjad Fi al-Lughah: Aqdam Muʻjam
Syamil Li al Musytarak al-Lafzi . Qahirat: 'Alim al-Kitab,1998.
99
Ibrahim, Tafsîr al-Qur'an al-Majîd al-Nûr. Jakarta: Cakrawala Publising, 2011.
Imani, Allamah Faqih, Tim Ulama. Tafsir Nûr al-Qur'an: Sebuah Tafsir Sederhana
Menuju Cahaya al-Qur'an, terj. R Hikmat Danaatmaja, cet. 2. Jakarta: Nûr al-
Huda, 2013.
Al-Ishfahani, Al-ʻAlamah ar-Raghib. Mufradat Alfaz al-Qur'an. Damasyqi: Dar al-
Qalam, 2009.
Jasmadi. "Pemberdayaan Masyarakat Kaum Mustad'afîn", Jurnal Ijtimaiyya, Vol. 6.
Lampung : IAIN Raden Intan, 2013.
Kaltsum, Lilik Ummi. Metode Tafsir Tematis M. Baqir Al-Sadr-Mendialogkan
Realitas Dengan Teks. Surabaya: CV. Putra Media Nusantara, 2010.
Katsir, Ibnu. Qisas al-Anbiyȃ’: Kisah Para Nabi, cet. 3, terj. Umar Mujtahid. Jakarta:
Ummul Qura, 2015.
____________, A. Moqsith G. Tafsir Ayat-Ayat Ahkam. Ciputat: UIN Press, 2015.
Khaeruman, Badri. Sejarah Perkembangan Tafsir al-Qur’an. Pustaka Setia: Bandung,
2004.
Al-Kulainȋ, Muhammad bin Yaʻqȗb. al-Kȃfȋ. Beirut: Mansyȗrȃt al-Fajr, 2007.
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an. Pembangunan Ekonomi Umat: Tafsir al-
Qur’an Tematik, cet 2. Jakarta: Perpustakaan Nasional RI, 2012.
Menzies, Allan. Sejarah Agama-Agama, terj. Dion Yulianto dan EmIrfan.
Yogyakarta : Grup Relasi Inti Media, Anggota IKAPI, 2014.
Al-Misrî, 'Abî al-Fadl Jamâl al-Dîn Muhammad Mukram ibn Manzûr al-Faryaqî,
Lisân al-ʻArab, cet. 3. Beirut: Dâr Sadr, 2010.
100
Al-Mubarâk, Syaikh Faisal bin ʻAbdul ʻAzîz. Ringkasan Nailul Authar, terj. Amir
Hamzah Fachruddin dan Asep Saefullah. Jakarta: Pustaka Azzam, 2006.
Munawwir, Ahmad Warson. al-Munawwir-Kamus Besar Arab-Indonesia, cet. 14.
Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.
Mutahharî, Murtada. Tema-Tema Pokok Nahj al-Balaghah, terj. Arif Mulyadi.
Jakarta: Islamic Center Jakarta, 2002.
____________, Islam Agama Keadilan, terj. Agus Effendi. Jakarta: Pustaka Hidayah,
1988.
____________, Pengantar Ilmu-Ilmu Islam, terj. Ibrahim Husein al-Habsyi dan dkk.,
(Jakarta: Pustaka Zahra, 2003), h. xxii.
___________, Tafsir Holistik: Kajian Seputar Relasi Tuhan, Manusia, dan Alam, terj.
Ilyas Hasan. Jakarta: Penerbit Citra, 2012.
____________, Ceramah-Ceramah Seputar Persoalan Penting Agama dan
Kehidupan, terj. Ahmad Subandi. Jakarta: PT Lentera Basritama, 2000.
____________, Manusia dan Alam Semesta: Konsepsi Islam Tentang Jagat Raya,
terj. Ilyas Hasan. Jakarta: Lentera, 2002.
__________, Keadilan Ilahi: Asas Pandangan Dunia Islam, terj. Agus Efendi. Jakarta,
Mizan Media Utama, 2009.
__________, Menguak Masa Depan Umat Manusia: Suatu Pendekatan Filsafat
Sejarah. Jakarta: Pustaka Hidayah: 1991.
Al-Naisaburi, Al-Wahidi. Sebab-Sebab Turunnya Ayat-Ayat al-Qur'an, terj. Moh
Syamsyi. Surabaya: Amelia Surabaya, 2014.
101
Prasetyo, Eko. Islam Kiri Melawan Kapitalisme Modal-dari Wacana Menuju
Gerakan. Yogyakarta : Insist Press, 2002.
__________, Orang kaya di Negeri Miskin. Yogyakarta: Resist Book, 2005.
Al-Qummȋ, 'Ali bin Ibrâhim. Tafsir al-Qummȋ. Qum: Muassasah Dar al-Kitȃb li al-
Tabȃ'ah wa al-Nasyr, 1404.
Al-Qurtubî, Abî Muhammad bin Ahmad bin Abî Bakr. Al-Jâmi Li Ahkâm al-Qur'an.
Beirut: al-Resalah, 2006.
Rafsanjani, ʻAli Akbar Hashemi. Keadilan Sosial: Pandangan Islam Tentang HAM,
Hegemoni Barat dan Solusi Dunia Modern, terj. Anna Farida. Bandung:
Nuansa Cendekia, 2001.
Qutub, Sayyid. Tafsir Fi Zilâlil Qur'an. Jakarta: Gema Insani Press, 2001.
Rahmena, Ali. Ali Syari'ati: Biografi Politik Intelektual Revolusioner, terj. Dien
Wahid dkk. Jakarta: Erlangga, 2000.
Sabiq, Sayid. Islam Dipandang Dari Segi Rohani-Moral-Sosial, terj. Zainuddin, dkk.
Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994.
Al-Sadr, Muhammad Baqir. Falsafatuna: Materi, Filsafat, dan Tuhan dalam Filsafat
Barat dan Rasionalisme Islam, terj. Arif Maulawi, cet. 5. Yogyakarta:
Rausayan Fikr Institute, 2016.
____________, Sejarah Dalam Perspektif Al-Quran, terj. M.S. Nasrullah. Jakarta:
Shadra Press. 2010.
____________, al-Madrasat al-Qur'aniyyah, Qum: Markaz al-Abhȃts wa al-Dirȃsȃt
al-Takhashshushiyyah li al-syahȋd, 1929.
Said, Imam Ghazali. Ideologi Kaum Fundamentalis. Surabaya: Diantama, 2003.
102
Setiawan, Nur Kholis. Akar-Akar Pemikiran Progresif dalam Kajian Al-Qur'an.
Yogyakarta: Elsaq Press, 2008.
Shaleh, K.H.Q, dkk. Asbabun Nuzul-Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat
Al-Qur’a. Bandung: CV. Diponogoro, 1995.
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah-Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, vol.
9. Jakarta: lentera hati, 2002.
____________,Wawasan al-Qur'an: Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat,
cet. 2. Bandung: PT Mizan Pustaka, 2013.
____________, Sunnah-Syiʻah Bergandengan Tangan! Mungkinkah? Kajian atas
Konsep Ajaran dan Pemikiran. Jakarta: Lentera Hati, 2007.
Surachmad, Winarmo. Dasar dan Teknik Research Pengantar Metodologi Ilmiah.
Bandung: Tarsio, 1972.
Subhan, Zaitunah. Al-Qur'an dan Perempuan Menuju kesetaraan Gender dalam
Penafsiran. Jakarta: Pernadamedia Group, 2015.
Sudarto. Wacana Islam Progresif. Jogjakarta: Ircisod, 2014.
Al-Masywakhi, Ziyâd bin ʻAbidu. Al-Istidʻaf Wa Ahkamuhu. Riyâd: Dar Kunûz
Isybiliyân, 2012.
Al-Suyuthi, Jalaluddin. Lubaabun Nuquul Fii Asbaabin Nuzuul, terj. Tim Abdul
Hayyie. Depok: Gema Insani, 2015.
Syari'ati, Ali. Islam Agama Protes, terj. Satria Pinandito. Bandung: Pustaka Hidayah,
1993.
____________, Pemimpin Mustadʻafȋn: Sejarah Panjang Melawan Penindasan dan
Kezaliman, terj. Rahmani Astuti. (Bandung: Muthahari Paperbacks, 2001.
103
____________,Kritik Islam Atas Marxisme dan Sesat-Pikir Barat Lainnya, terj.
Husin Anis al-Habsyi. Bandung: Mizan, 1983), h. 17-18.
____________, Paradiga Kaum Tertindas, terj. Saifullah Mahyudin dan Husen
Hashem. Jakarta: Al-Huda, 2001.
____________, Sosiologi Islam, terj. Saifullah Wahyudin. Yogyakarta: Ananda, 1982.
____________, Ideologi Kaum Intelektual: Suatu Wawasan Islam, terj. Syafiq Bashri
dan Haidar Baqir. Bandung: Mizan, 1994.
Syarifuddin, Amir. Garis-garis Besar Fikih. Jakrata: Kencana, 2003.
Syibromalisi, F. A, J Azizy. Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern. Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2011.
Taba’taba’ȋ, Al-ʻAllamah al-Sayidi Muhammad Husain. Al-Mȋzȃn fȋ Tafsȋr al-Qur’an.
Beirut: Mu’asasah al-‘Alamȋ li al-Matbȗʻȃt, 1997.
'Umar, Muhammad al-Rȃzȋ Fakhruddȋn Ibnu al-'Alamȋ Diyau’ddȋn. Tafsir al-Fakhru
al-Rȃzȋ: al-Kabȋr Wa Mafȃtih al-Ghaib. Beirut: Dar al-Fikr, 1981.
____________,Kitab al-Firȃsat: Ilmu Membaca Sifat dan Karakter Orang dari
Bentuk Tubuhnya, terj. Fuad Syaifuddin Nur. Jakarta: Turos Khazanah
Pustaka Islam, 2015.
Yusuf, M. Yunan. Tafsir Juz ‘Amma As-Sirajul Wahhaj. Jakarta: Penaadani dan Az-
Zahrah, 2010.
Al-Zabidî, Muhammad Murtada al-Husaini.Tȃj al-‘Urus Min Jawȃhir al-Qamûs.
Kuwait: Matbah Hukumah, 1974.
Al-Zamakhsyari, Abi al-Qasim Muhammad bin 'Umar. al-Kasyaf. Riyadh: Maktabah
al-'Abikan, 1998.
104
Al-Zuhaily, Wahbah. al-Wajȋr Fi al-Fiqhi al-Islam. Beirut: Dar al-Fikr, 2006.
____________ , al-Tafsȋr al-Munȋr Fi 'Aqidah Wa Syariʻah wa al-Manȃhij, Juz 5.
Damasyqi: Dar al-Fikr, 2006), h. 462.
Zuhdi, Masjfuk. Masâil Fiqiyah, cet 10. Jakarta: PT Toko Gunung Agung, 1997.