al mustadʻafÎn dalam perspektif murtad mutahharÎ...

111
Al-MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ (PENAFSIRAN SÛRÂH (4): 97-99 DAN SÛRÂH (28): 5) Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag) Oleh: RIZKY SURYANA HIDAYAT NIM: 1112034000083 PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR'AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1439 H/2018 M

Upload: others

Post on 13-Oct-2019

13 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

Al-MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ

(PENAFSIRAN SÛRÂH (4): 97-99 DAN SÛRÂH (28): 5)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh:

RIZKY SURYANA HIDAYAT

NIM: 1112034000083

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR'AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1439 H/2018 M

Page 2: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa
Page 3: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa
Page 4: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa
Page 5: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

iv

ABSTRAK

RIZKY SURYANA HIDAYAT

Al-Mustaḍʻafȋn dalam Perspektif Murtadâ Mutahhari

Al-Qur’an ketika menjelaskan al-mustadʻafȋn selalu mengaitkannya dengan al-

mustakbirîn. artinya selama orang sombong, orang zalim, orang kaya masih berkuasa,

keberadaan al-mustaḍʻafȋn akan terus berkembang biak. Walaupun al-Qur’an

menganalogikan bahwa pengentasan kemiskinan adalah perjuangan yang sangat berat,

tetapi Islam menganjurkan agar selalu peduli terhadap al-mustaḍʻafȋn khususnya fakir

miskin.

Salah satu perjuangan Nabi ialah mengajak kaum al-mustaḍʻafȋn Mekah untuk

hijrah ke Madinah, agar terhindar dari penindasan kaum kafir Quraisy. Hal ini sudah

jelas dipaparkan di , dalam al-Qur’an Surat al-Nisâʼ ayat 97-98. Kemudian sebagai

ujung perjuangan al-mustaḍʻafȋn dijelaskan dalam surat al-Qisâs ayat 5.

Pandangan Murtadâ Mutahharî, dalam bukunya Tafsir Holistik dan Keadilan

Ilahi: Asas-asas Pandangan Dunia Islam, al-mustaḍʻafȋn Mu’min dan nonMu’min

yang tidak berhijrah disebabkan ketidakmampuannya, mereka adalah murjaʻûna lî

amrillâh, sedangkan para ulama lainnya hanya memfokuskan al-mustaḍʻafȋn dari

kalangan Mu’min saja.

Untuk mendapatkan pemahaman yang tepat, penulis mencoba

mengkomparasikan penafsiran dan pendapat para ulama mengenai siapa

sesungguhnya al-mustaḍʻafȋn dengan mengkategorikan penafsiran dari kalangan

sunni, mutaʻzilah, dan syiʻah serta penafsiran modern-kontemporer. Kemudian

sebagai rumusan masalahnya, penulis memfokuskan bagaimana penafsiran Murtadâ

Mutahhari terhadap al-mustaḍʻafȋn.

Sebagai kesimpulannya bahwa al-mustaḍʻafȋn dari kalangan Mu’min dan

nonMu’min di akhir zaman nanti akan mendapatkan suatu kemenangan. Ketika di

dunia, mereka mendapatkan karunia dengan munculnya sang pelopor terakhir yaitu

Imam Mahdi, sedangkan di akhirat kelak mereka adalah murjaʻûna lî amrillâh

(orang-orang yang ditangguhkan dan menunggu ketetapan Allah).

Page 6: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

v

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur bagi Allah yang Maha Bijaksana, yang mana karena atas

rahmat dan nikmat-Nya kita bisa melakukan segala aktivitas kita sehari-hari.

Shalawat teriring salam semoga tercurahkan keharibaan yaitu Nabi Muhammad Saw.

yang telah menyelamatkan umatnya dari ketertindasan dan kedzaliman menuju

kemerdekaan.

Maka dari itu, sudah sepantasnya bersyukur kepada Allah Swt. Yang telah

membimbing penulis untuk menyelesaikan skripsi yang berjudul “Al-Mustaḍʻafȋn

Dalam Perspektif Murtadâ Mutahharî”.

Atas dukungan dan kontribusi dari beberapa pihak maka penulis menyelesaikan

skripsi ini, penulis merasa berhutang budi yang tidak mampu membalasnya. Oleh

karena itu, penulis ucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Masri Mansoer, MA, selaku dekan Fakultas Ushuluddin UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA, selaku Ketua

Jurusan Tafsir Hadis, Dra. Banun Binaningrum, M.Pd, selaku Sekertaris

Jurusan Tafsir Hadis dan tidakclupa kepada Hani Halyati, S.Th.i, yang telah

memberikan kesempatan mengikuti perkuliahan serta memberikan

kemudahan, baik dalam hal administrasi maupun yang lainnya kepada saya.

Page 7: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

vi

2. Dr. Yusuf Rahman, MA, selaku dosen pembimbing skripsi yang selalu sabar

selama membimbing saya, untuk beliau semoga Allah Swt. memberkahkan

dan menambahkan ilmunya.

3. Dr. Kusmana, MA, selaku pembimbing akademik yang telah memberikan

saran-saran ataupun arahan selama penulis duduk di bangku perkuliahan.

4. Para dosen Tafsir Hadis dari tahun 2012-2017, khususnya Dr. Abd. Moqsith

Ghazali, MA, Eva Nugraha, M.Ag, Moh. Anwar Syarifuddin, MA, Jauhar

Ajizi, MA, Zuhdi Zaini, MA, umumnya yang tidak bisa penulis sebutkan

namanya satu persatu, terimakasih atas ketulusan ilmu yang telah

diberikannya, semoga ilmu yang telah diajarkan menjadi amal shalih bagi

mereka semua dan membawa berkah dan manfaat bagi penulis.

5. Ayahanda tersayang, Amin Hidayat dan ibunda Euis Sumiati yang telah

sepenuh jiwa dan raganya memberikan dukungan moril ataupun materil serta

yang selalu mengirimkan doa dan semangat kepada penulis sehingga bisa

melanjutkan pendidikan sampai saat ini, pun tak lupa kepada adik-adik saya

Muhammad Iskandar Hidayat dan Susi Halimatussaʻdiyah, semoga mereka

mendapatkan keridhaan dan selamat dunia dan akhirat.

6. Keluarga besar Ummul Qura, khususnya Abi H. RA. Syarif Rahmat, SQ,

MA, dan Umi Uswatun Hasanah, keluarga besar Al-Kinanah Shaleh

Maʻmun: Abah Syarmili Badru Zaman al-Bantani (al-Marhum), KH. Sofian

al-Anshari, keluarga besar Al-Mubarokah: KH. Zainal Akhyar, keluarga

Page 8: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

vii

besar Al-Maʻruf Kediri: KH. Nurul Anwar, mereka yang telah mengajarkan

segala Ilmu Agama.

7. Teman-teman senasib dan seperjuangan angkatan 2012 Jurusan Tafsir Hadis

Fakultas Ushuluddin:Aang Istikhari, Muhammad Afif, Aldi Yusuf, Riswan

Sulaiman, Imam Zamakhsyari, Muhammad RifaʻI, Indera Khairuddin, Acep

Sabiq, Adam Adnan, dan yang lainnya yang tidak dapat penulis sebut semua

namanya. Terimakasih atas kepercayaan dan persekawanan yang telah

diberikan kepada penulis selama aktif kuliah dan penulis mohon maaf

sebesar-besarnya jika ada kesalahan disengaja ataupun tidak.

8. Keluarga besar Riungan Kajian Sosial (RINGKAS), GPPI, SMGI-Raya,

GMI Khususnya bung Mumu Muakhir, bung Sofiyan, bung Rifki Arsilan,

bung Maslam Danoeri, bung Wika, bung Risman Sabo, bung Romi, bung

Ago, bung Wahid, bung Mas-e, mba Dian Maharani, mba Jenita Inayah, mba

Bibeh, bung Aghoy, Bung Firman Feylani, bung Isal dan yang lainnya yang

tidak dapat sebut semua namanya, namun tidak mengurangi rasa terimakasih

saya.

9. Sahabat selama belajar di pesantren, mang Nur Hidayat, mang Hadi Hidayat,

mang Ajiz, mang Muhammad Heri, Salim, mang Dodo, mang Dadan, Mang

Lepet, mang Amin Syihab, mang Nadi, Mang Ajiz Syahputra, mang Erwin

(al-Marhum), mang epul (al-marhum) dan yang lainnya, semoga mereka

semua mendapatkan keridhoan Allah Swt.

Page 9: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

viii

10. Terakhir, tak lupa kepada Siti Zulfa Asyura, Semoga selalu menjadi

makhluk kesayangan Allah Swt.

Page 10: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

ix

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAAN...........................................................................................i

PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING....................................................................ii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN...............................................................................iii

ABSTRAK…...................................................................................................................iv

KATA PENGANTAR….................................................................................................v

DAFTAR ISI…...............................................................................................................ix

PEDOMAN TRANSLITERASI….................................................................................x

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang…………………………………………..……….......1

B. Identifikasi Masalah............................................................................6

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah………………………..............7

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian……………………………………....7

E. Tinjauan Kepustakan ……………………………..……………........8

F. Metode Penelitian………………………………………………......11

G. Sistematika Penulisan...……………………………………….........12

BAB II MUSTADʻAFÎN DALAM ALQURʼAN

A. Pengertian Mustadʻafȋn………………………………………..........14

1. Tinjauan Etimologi…………………………………….….........14

2. Tinjauan Terminologi……………………………………..........15

B. Ayat-ayat tentang Mustadʻafȋn....…………………………..............35

1. Ayat dan Terjemah…………………………………………......35

2. Asbâb Al-Nuzûl QS. 4: 97-99 …………………………..….......40

C. Tafsir ayat…………………………………………..…....................43

Page 11: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

x

1. Tafsir Abad Pertengahan………………………………….........43

a. Penafsiran ʻAsyʻariyah (Fakhruddîn al-Râzi)…………........43

b. Penafsiran Muʻtazilah (Zamakhsyari)………………….......45

c. Penafsiran Syiʻah (al-Qummi)……………………..….........47

2. Tafsir Modern Kontemporer…...……………………….…........47

a. Tafsir Fî Zilalil Qur’an Sayyid Qutub………….…….........48

b. Tafsir Nûrul Qur’an Kamal Faqih Imani………….............52

c. Tafsir Al-Misbâh Quraisy Syihab…………………..….......55

BAB III BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN MURTADÂ MUTAHHARÎ

A. Biografi……………………………………………………..............68

1. Riwayat Hidup………………………………………….…........68

2. Pendidikan dan Karir…………………………………....….......69

3. Guru……………………………………………………….........71

4. Karya……...……………………………………........................72

B. Pemikiran………………………………………...............................73

BAB IV PENAFSIRAN MURTADÂ MUTAHHARÎ TERHADAP

MUSTADʻAFÎN

A. Penafsiran Mustadʻafȋn......................................................................76

1. Pengertian Mustadʻafȋn……………………...…….....................76

2. Tafsir QS. (4): 97-99 dan QS. (28): 5……………..…………....77

B. Perbandingan Penafsiran………………………..……...……...........86

C. Relevansi Penafsiran Murtada Mutahharî Dalam Konteks Indonesia

Modern...............................................................................................90

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan………………………………………….……..….........94

B. Saran-Saran…………………………………….…………...............96

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................97

Page 12: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

x

PEDOMAN TRANSLITERASI

Pedoman Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan buku

pedoman 2012/2013 yaitu sebagai berikut:

Panduan Aksara

Huruf Arab Huruf latin Keterangan

tidak dilambangkan أ

b be ب

t te ت

ts te dan es ث

j je ج

h Hha dengan garis bawah ح

kh ka dan ha خ

d de د

dz de dan zet ذ

r er ر

z zet ز

s es س

sy es dan ye ش

s es dengan garis bawah ص

d de dengan garis bawah ض

t te dengan garis bawah ط

Page 13: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

xi

z zet dengan garis bawah ظ

koma terbalik di atas hadap kanan „ ع

gh ge dengan ha غ

f ef ف

q ki ق

k ka ك

l el ل

m em م

n en ن

w we و

h ha dengan titik di atas ه

apostrof ' ء

y ye ي

Vokal

Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal

atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.

Untuk vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

a Fatḥah

i Kasrah

Page 14: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

xii

u Ḍhamah

Adapun untuk Vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ي ai a dan i

و au a dan u

Vokal panjang

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ȃ a dengan topi di atas

ȋ I dengan topi di atas

ȗ u dengan topi di atas

Ta' Marbȗtah

Jikat ta marbȗtah terdapat pada kata yang berarti sendiri, maka huruf tersebut

dialihaksarakan menjadi huruf “h”, begitu juga jika ta marbȗtah tersebut diikuti oleh kata sifat

(naʻt). namun jika huruf ta marbȗtah diikuti oleh kata benda (ism), maka huruf tersebut

dialihaksarakan menjadi huruf “t”.

Syiddah

Transliterasi Syiddah/Tasydȋd yang system dalam tulisan Arab dilambangkan dengan

sebuah tanda ( ) dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan

huruf yang diberi tanda Syiddah itu. Akan tetapi hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima

tanda Syiddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf Syamsiyyah,

Page 15: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

xiii

misalnya kata شمش tidak ditulis dengan kata asy-syamsyi melainkan al-syamsyi, demikianال

seterusnya.

Kata Sandang

Kata sandang , yang di dalam sistem bahasa aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu

dialihaksarakan menjadi huruf “l”, baik diikuti huruf syamsyyiah maupun qamariyyah. Contoh

al-rijȃl, al-dȋwȃn bukan ad-dȋwȃn.

Huruf Kapital

Huruf kapital yang digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang

Disempurnakan (EYD). Jika nama didahulukan oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan

huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan hurup awal atau kata sandangnya.

Contoh : المستضعفين = al-Mustadʻafȋn.

Page 16: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

ʻAli Syariʻati1 mengungkapkan bahwa kedudukan agama Islam sebagaimana yang

tampak dalam sejarah mempunyai dua wajah, pertama adalah apa yang disebutnya

"Islam Dekaden". Wajah Islam seperti ini memperlihatkan dirinya dalam kejahatan,

memelihara dan membiakkan reaksionerisme, inersia (kelembaman) dan pembiusan; ia

membendung semangat kemerdekaan dan dengan keliru dan palsu membenarkan status-

quo. Islam seperti itu memperlihatkan realitas anti-humanistik. Kedua, wajah Islam

yang lain dalam sejarah adalah "Islam Ideologi".2 Islam sebagai ideologi, adalah suatu

kepercayaan yang secara sadar dipilih untuk menjawab persoalan dan kebutuhan suatu

masyarakat. Islam seperti itu merupakan tindakan "kemerdekaan berkehendak" (free

will) yang berdasarkan pada diktum "Tiada tuhan kecuali Allah". Agama seperti itu

menggerakkan rakyat dan bangsa untuk mencapai cita-cita luhur yang telah lama

diperjuangkan. Siapa saja yang memilih ideologi tertentu pertama-tama memikirkan

status kelas sosialnya, kondisi politik dan ekonomi masyarakatnya serta lingkungan

jamannya. Dia tentunya akan mengetahui mengapa ia tidak puas dan bersikap kritis

1Anak pertama dari Muhammad Taqî dan Zahra, dilahirkan pada tanggal 24 November 1933 di

sebuah desa kecil di Kahak, 70 kilometer dari Sabzevar, provinsi Khorasan Iran. ia merupakan anak

pertama dengan nama kecil Muhammad Ali Mazinani, dengan tiga orang saudara perempuannya,

Teherah, Tayebeh, Batul (Afsaneh). Ali hidup dalam lindungan keluarga penyayang dari masyarakat

urban kelas menengah kebawah. Lihat, Ali Syariʻati, Islam Agama Protes, terj. Satria Pinandito

(Bandung: Pustaka Hidayah, 1993), h. 7 dan Ali Rahmena, ʽAli Syariʽati:Biografi Politik Intelektual

Revolusioner, terj. Dien Wahid dkk. (Jakarta: Erlangga, 2000), h. 53. 2 Bagi Syariʻati Islam yang ideal bukanlah Islam model Utsman bin Affan, melainkan Islam model

Abu Dzar Al-Ghiffari, sang sosialis pertama dalam sejarah Islam. Lihat, ʽAli Syariʽati, Pemimpin

Mustadʻafȋn: Sejarah Panjang Melawan Penindasan dan Kezaliman, terj. Rahmani Astuti (Bandung:

Muthahari Paperbacks, 2001), h. 23.

Page 17: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

2

terhadap sistem yang berlaku. Di sisi lain, sejarah juga telah menunjukan keunggulan

sifat humanistik dari wajah Islam. Realitas Islam yang inilah yang sejati, yaitu yang

mendasarkan diri pada kebenaran, cita-cita kemanusiaan dan aspirasi manusia yang

lebih tinggi.3

Sebagai agama, Islam juga memperlihatkan dua bentuk. Pertama, ia adalah agama

yang pada hakikatnya merupakan kumpulan dari tradisi asli dan kebiasaan masyarakat

yang memperlihatkan suatu semangat kolektif dari suatu kelompok masyarakat. Kedua,

Ia berisikan kumpulan kepercayaan nenek moyang, perasaan individual, tata cara, ritual,

aturan, kebiasaan dan praktek-praktek dari suatu masyarakat yang telah mapan,

berlangsung dari generasi ke generasi. Kebiasaan-kebiasaan itulah yang kemudian

dipelihara oleh penguasa politik untuk meligitimasikan kekuasaan.4

Dalam sejarah pra-Islam, perkembangan perekonomian kota Mekah yang sangat

maju, yang menjadi kota ini melimpah secara dinamis kekayaan dalam skala besar, dan

sebagai kota dagang yang ramai dan makmur, maka Mekah hampir-hampir memonopoli

pusat-pusat perdagangan lokal antara laut India dan laut Tengah. Permasalahan demi

permasalahan kemudian muncul, bangsa Arab yang telah terbiasa dengan corak

kehidupan feodalistik dan diskriminatif mendatangkan dampak-dampak yang destruktif

berupa konsentrasi kehidupan yang serba elistis, baik secara ekonomis, polistis, bahkan

elistisme religius.5

Elitisme dalam bidang ekonomi menyebabkan adanya monopoli yang didominasi

oleh orang-orang tertentu yang bermodal, yakni para saudagar. Perekonomian yang

3 ʽAli Syariʽati, Kritik Islam Atas Marxisme dan Sesat-Pikir Barat Lainnya, terj. Husin Anis al-

Habsyi (Bandung: Mizan, 1983), h. 17-18. 4 Ibid., h. 17

5 Lihat, Karen Armstrong, Sejarah Tuhan: Kisah pencarian Tuhan Yang Dilakukan Oleh Orang-

Orang Yahudi, Kristen, Dan Islam Selama 4000 Tahun, Cet. 6, terj. Zaimul Am (Bandung: Penerbit

Mizan, 2002), h. 188.

Page 18: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

3

berkembang tersebut menjadikan masyarakat Arab, khususnya bangsa Quraisy memiliki

pandangan bahwa kekayaan dan kapitalisme sebagai tujuan utama dan "juru selamat",

yang dapat menyelamatkan mereka dari kemiskinan, dan mara bahaya, dan memberikan

rasa aman. Mereka tidak lagi kelaparan, dan diganggu oleh suku-suku musuh. Uang

mulai mendapatkan posisi yang nyaris agamis. Namun, dalam pandangan Karen

Armstrong6, kapitalisme progresif yang muncul di kawasan Arab tersebut tidak sesuai

dengan etika kesukuan yang bersifat komunal. Kapitalisme secara alamiah mendorong

tumbuhnya keserakahan dan individualisme atau elitsime.

Kejadian ini terus berlangsung, hingga Nabi Muhammad Saw merasa risau dan

cemas melihat fenomena penyakit sosial tersebut, yang dicetuskannya bukan melalui

suatu gerakan revolusi sosial, melainkan melalui dorongan, motivasi dan saluran al-dîn

(agama).7

Nabi Muhammad Saw sendiri mengalami persekusi yang sangat akut; ia dihina,

dihakimi, dan diancam. Meski demikian, Nabi Muhammad Saw memiliki obat pelipur

lara; setiap kali merasa tertekan, ia akan mendapatkan kekuatan melalui pesan8 yang

turun dari langit.9

Allah swt. secara sengaja mengutus Nabi yang berasal dari kaum mustadʻafîn,

sebagian di antara mereka adalah pekerja dan mencari nafkah dengan keringat sendiri.

Saksikan saja Nabi Nûh adalah seorang guru yang juga tukang kayu, lalu Nabi Mûsa

adalah seorang pengembala, Nabi Syuʻaib dan Nabi Hûd adalah guru miskin. Malahan

6 Karen Armstrong, Sejarah Tuhan: Kisah pencarian Tuhan Yang Dilakukan Oleh Orang-Orang

Yahudi, Kristen, Dan Islam Selama 4000 Tahun, h. 189-190. 7 Munir Che Anam, Muhammad saw. dan Karl Marx Tentang Masyarakat Tanpa Kelas

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h. 85-88. 8"Pesan" diartikan sebagai wahyu Allah swt. yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw.

melalui malaikat Jibril yang berupa al-Qur’an. 9 Allan Menzies, Sejarah Agama-Agama, terj. Dion Yulianto dan EmIrfan (Yogyakarta : Grup

Relasi Inti Media, Anggota IKAPI, 2014), h. 264-265.

Page 19: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

4

Nabi Ibrâhim, seorang guru besar Tauhid hanyalah seorang tukang batu dan ʻÎsa

hanyalah seorang tukang kayu. Sosok yang paling kita mulyakan yakni Nabi

Muhammad saw. adalah seorang penggembala dan buruh.10

Islam memberikan anjuran untuk peduli terhadap masalah kemiskinan,

mengabaikan orang miskin sebagaimana tersurat dalam surat al-Mâ‘ûn, sama artinya

dengan mendustakan agama. Apabila kita tidak mau dikatakan sebagai pendusta agama,

maka kita harus peduli terhadap masalah kemiskinan.

Al-Qur’an menganalogikan bahwa pengentasan kemiskinan sebagai sebuah

perjuangan yang berat, sebagaimana menempuh jalan yang mendaki: "Dan tahukah

kamu apa jalan yang mendaki dan sukar itu? (yaitu) melepaskan perbudakan atau

memberi makan pada hari terjadinya kelaparan, (kepada) anak yatim yang ada

hubungan kerabat, atau orang miskin yang sangat fakir". (QS. Al-Balad ayat 12-16).11

Untuk membangun tatanan sosial yang sehat, al-Qur’an menggunakan dua istilah

lain yang sangat bermakna mustakbirîn (yang sombong) dan mustad‘afîn (yang

dilemahkan). Al-Qur’an mengutuk yang pertama dan bersimpati kepada yang kedua.

Al-Qur’an menyatakan bahwa orang-orang yang sombong (mustakbirîn) adalah

berdosa. Al-Qur’an juga menegaskan bahwa orang-orang yang kuat dan arogan

(mustakbirîn) senantiasa tidak beriman, yakni berdosa karena kufur. Sedangkan

mustadʻafîn (mereka yang tertindas dan dilemahkan) selalu merupakan kelompok

pertama yang beriman, (beriman kepada tuhan dan melakukan yang maʻruf). Al-Qur’an

menyatakan: orang-orang yang menyombongkan diri berkata: "Sesungguhnya kami

adalah orang yang tidak percaya pada apa yang kamu Imani itu". Dengan demikian,

10

Eko Prasetyo, Islam Kiri Melawan Kapitalisme Modal-dari Wacana Menuju Gerakan

(Yogyakarta : InsistPress, 2002), h. 2. 11

Jasmadi, "Pemberdayaan Masyarakat Kaum Mustad'afîn". Jurnal Ijtimaiyya, Vol. 6 (Lampung:

IAIN Raden Intan, 2013), h. 10-11.

Page 20: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

5

mustakbirîn dalam bahasa al-Qur’an adalah orang kafir sejati, sementara mustadʻafîn

adalah orang mukmin sejati.12

Menurut Muhammad Baqir al-Sadr13

, kontak manusia dengan manusia seperti

halnya sesama saudara dalam berbagai lapangan sosial. Termasuk hal-hal seperti

distribusi kekuasaan dan benturan berbagai budaya manusia maka kita berhadapan

dengan masalah lain. Kali ini masalahnya bukanlah pertentangan antara manusia dengan

alam, akan tetapi kontradiksi antara manusia dengan manusia.

Kontradiksi di antara manusia di berbagai lapangan sosial mempunyai banyak

bentuk dan nama tetapi pada dasarnya adalah pertentangan antara si kuat dengan si

lemah, antara yang berkuasa dengan yang tak berdaya. Manakala suatu makhluk yang

berkuasa tak mampu menyelesaikan pertentangannya sendiri, yakni konflik batinnya,

maka obsesinya akan segera muncul dalam bentuk apa saja, dan bisa berlabel hukum

atau aturan apapun. Namun dalam analisis akhir akan terbukti bahwa hal itu merupakan

bentuk pertentangan yang sama dengan pertentangan antara si kuat dengan si lemah.14

Baqir al-Sadr menegaskan bangsa-bangsa miskin yang terbelakanglah yang

menjadi kutub lain dalam pertentangan besar, yang oleh mereka dikategorikan sebagai

"Dunia Ketiga". Mereka adalah bangsa-bangsa Asia, Afrika dan Amerika Latin. Bangsa

Eropa dengan kondisinya yang mempunyai ketimpangan sosial bisa bersatu dan

bersekongkol untuk mengarahkan kekuatannya terhadap bangsa-bangsa miskin.

Pertentangan besar-besaran ini telah terjadi semenjak bangsa-bangsa Eropa dan

12

Asghaar Ali Engineer, Islam Dan Pembebasan (Yogyakarta: Lkis, 2007), h. 41-42. 13

Nama lengkapnya adalah Muhammad Baqir ibn Sayid Haidar ibn Ismâil Al-Sadr, ia dilahirkan

di Kazhimain, Baghdad, Irak pada 1350 H/1931 M, ia dipenjara pada tanggal 5 april 1980 dan dijatuhi

hukuman mati tiga hari kemudian. Lihat, Muhammad Baqir Sadr, Falsafatuna: Materi, Filsafat, dan

Tuhan dalam Filsafat Barat dan Rasionalisme Islam, cet. 5, terj. Arif Maulawi (Yogyakarta: Rausayan

Fikr Institute, 2016), h. xvii-xix. 14

Muhammad Baqir al-Sadr, Sejarah Dalam Perspektif Al-Quran, terj. M.S. Nasrullah (Jakarta:

Shadra Press, 2010), h. 24

Page 21: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

6

Amerika keluar dari tanah airnya untuk mengeruk kekayaan alam di negara-negara

dunia ketiga tanpa perhitungan dari negara-negara tersebut.15

Di era globalisasi ini orang miskin bukan hanya terlunta tapi bisa menjadi korban

bualan para penguasa. Korban bualan karena kemiskinan diringkas dalam sederet table

kemudian dikalkulasi dalam jejeran angka. Angka-angka itulah yang dikampanyekan

dengan gigih bahkan diucapkan dalam berbagai seminar. Seringnya kemiskinan jadi

topik pembicaraan di hotel-hotel berbintang makin membuat kemiskinan jadi topik yang

lebih baik untuk didiskusikan ketimbang menjadi elemen penting dari gerakan sosial.16

Banyaknya permasalahan yang menimpa umat Islam di segala lini mengakibatkan

para ulama berusaha menyibukan dirinya untuk menafsirkan al-Qur’an dengan cara

mengkontekstualisasikan ayat-ayatnya dengan ketetapan mempertahankan nilai

universalitas al-Qur’an. Metode ini dikatakan sebagai min al-wâqi ila al-nass,17

di

antaranya ialah Muhammad ʻAbduh, Rasyîd Rida, Sayyid Qutb, Muhammad Husein

Tabatabaʻî, Sirr Sayyid Ahmad Khan, Jamâluddîn Al-Afghânî, dan yang lainnya.18

Dengan persoalan di atas, penulis akan menelaah lebih mendalam mengenai

konsep Mustad‘afîn dalam interpretasi Murtada Mutahharî dalam QS. (4): 97-99 dan

QS. (28): 5.

B. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang di atas, penulis menemukan topik masalah seputar konsep

Mustad‘afîn dengan menghasilkan beberapa masalah, di antaranya:

15

Lilik Ummi Kaltsum, Metode Tafsir Tematis M. Baqir Al-Sadr-Mendialogkan Realitas Dengan

Teks (Surabaya: CV. Putra Media Nusantara, 2010), h. 230. 16

Eko Prasetyo, Orang kaya di Negeri Miskin (Yogyakarta: Resist Book, 2005), h. 22-24. 17

Lilik, Mendialogkan Realitas Dengan Teks., h. 267. Lihat juga M. Baqir, al-Madrasat al-

Qurʻaniyyah(Qum: Markaz al-Abhȃts wa al-Dirȃsȃt al-Takhashshushiyyah li al-syahȋd, 1929). 18

Nur Kholis Setiawan, Akar-Akar Pemikiran Progresif dalam Kajian Al-Qurʼan (Yogyakarta:

Elsaq Press, 2008), h. 28.

Page 22: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

7

1. Bagaimana konsep Mustad‘afîn menurut Mufassir abad pertengahan-

kontemporer?

2. Apakah terjadi pergeseran makna dalam memahami Mustad‘afîn?

3. Apakah masih relevan solusi yang ditawarkan para ulama dengan masa kini

dalam memberdayakan Mustad‘afîn?

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Untuk memperjeas dan menghindari pembahasan yang tidak mengarah pada

maksud dan tujuan peneliti skripsi ini, maka peneiti akan membatasi permasalahan

dengan menitikberatkan pada penafsiran para ulama abad pertengahan-kontemporer dan

pemikiran Murtada Mutahharî terhadap QS. (4): 97-99 dan QS. (28): 5

Berdasarkan pembahasan di atas, maka peneliti merangkum pokok yang menjadi

permasalahan dalam penelitian skripsi ini yaitu bagaimana Murtada Mutahharî

menafsirkan Mustad‘afîn dalam QS. (4): 97-99 dan QS. (28): 5?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Dalam pembahasan skripsi ini, tentunya penulis meneliti permasalahan dengan

berdasarkan tujuan, yaitu sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui ayat-ayat yang berhubungan dengan Mustad‘afîn ?

2. Untuk mengkaji lebih mendalam penafsiran para ulama terhadap konsep

Mustad‘afîn ?

3. Menganalisis perbedaan mufassir dalam memberikan solusi terhadap

pemberdayaan Mustad‘afîn ?

4. Untuk mengetahui pemikiran Murtada Mutahharî terhadap konsep Mustad‘afîn ?

Adapun manfaat dari penelitian ini ialah:

Page 23: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

8

1. Secara akademik, penelitian ini kiranya mampu memberikan sumbangsih

pemikiran para mufassir abad pertengahan-kontemporer, khususnya penafsiran

Mustad‘afîn yang saat ini masih menjadi persoalan di masyarakat Indonesia.

2. Sebagai syarat memperoleh gelar Strata-1 bidang Ushuuddin pada program studi

Tafsir-Hadis di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

E. Tinjauan Kepustakaan

Sesuai dengan pokok permasalahan yang telah dirumuskan di atas, penulis

menemukan beberapa literatur yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas,

antara lain:

1) Abad Badruzaman19

, yang berjudul Teologi Kaum Tertindas (Kajian tematik

Ayat-Ayat Mustad‘afîn dengan Pendekatan Keindonesiaan). Buku ini

menjelaskan ayat-ayat secara terperinci yang berkaitan dengan Mustad‘afîn dan

memaparkan kaum Mustad‘afîn yang ada di Indonesia dari segala aspeknya serta

memberikan dorongan motivasi supaya selalu memperjuangkan kaum fakir

miskin yang ada di Indonesia.

2) ʽAli Syariʽati, Paradigma Kaum Tertindas. Buku ini sebelumnya merupakan hasil

skriptualisasi dari literatur terpisah yang ditulis oleh 'Ali Syari'ati di antaranya On

the Sociology of Islam dan The Visage of Muhammad, kemudian diterjemahkan ke

dalam bahasa Indonesia oleh Saifullah Mahyudin dan Husen Hashem. Dalam

buku ini ia memaparkan bagaimana cara memahami Islam dengan menggunakan

pendekatan humanistik, dan sebagai contohnya ialah adanya Qabil dan Habil itu

19

Abad Badruzaman, Lc., M.Ag., dilahirkan di Ciamis, Jawa Barat pada 4 Agustus 1973, ia

adalah dosen tetap Jurusan Ushuluddin Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Tulungagung sejak

tahun 2001 dan sebagai Ketua Jurusan Ushuluddin tahun 2006-sekarang. Lihat, Abad Badruzaman,

Teologi Kaum Tertindas: Kajian Tematik Ayat-ayat Mustad‘afîn Dengan Pendekatan Keindonesiaan

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 245.

Page 24: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

9

sebagai pendeskripsian kehidupan manusia atas golongan antara kaum yang

lemah dan kuat.20

3) Muslim, yang berjudul Pemikiran Murtada Mutahharî Tentang Filsafat Sejarah,

mahasiswa Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, 2011. Dalam skripsi ini dijelaskan bahwa sejarah

merupakan satu ilmu dalam empat pengertian, pertama, bahwa sejarah ditinjau

secara khusus sebagai ilmu tentang fenomena serial dari pribadi dan individual,

kedua sebagai narasi, ketiga, ilmu tentang being (maujud atau eksistensi), bukan

sebaliknya sebagai ilmu becoming, keempat, ilmu tentang masa lalu, bukan masa

sekarang.

4) Siska Wulandari, yang berjudul Konsep Manusia dan Implementasinya Dalam

Perumusan Tujuan Pendidikan Islam Menurut Murtada Mutahharî, mahasiswa

Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, 2013. Dalam skripsi ini dijelaskan bahwa akhlak Islam

ditunjukan untuk mendidik manusia agar sesuai dan selaras dengan apa yang

diinginkan oleh Islam. Sasaran utama pendidikan dipandang dari sisi sebuah

kerangka pengantar terbentuknya masyarakat yang baik, maka pembentukan

kepribadian seseorang sangatlah penting. Islam sangat menjaga dan menghormati

kesejatian individu dan masyarakat.

5) Munawaroh, yang berjudul Keadilan Tuhan Atas Perbuatan Baik Non Muslim

dalam Perspektif Murtada Mutahharî, mahasiswa Aqidah dan Filsafat Fakultas

Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014. Dalam skripsi ini ia

memaparkan pandangan Muthahharî mengenai pertimbangan non Muslim dalam

20

ʽAli Syariʽati, Pemimpin Mustadʻafȋn: Sejarah Panjang Melawan Penindasan dan Kezaliman,

terj. Rahmani Astuti (Bandung: Muthahari Paperbacks, 2001).

Page 25: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

10

ketetapan Allah swt. karena untuk mencapai kebaikan fâ‘ili manusia tidak perlu

harus berupa taqarrub kepada Allah. Apabila seseorang melakukan atas dasar

kasih sayang yang menguasai hatinya, hal tersebut sudah cukup untuk mencapai

kebaikan fâ‘ili untuk amalnya. Hal tersebut sudah cukup apabila yang menjadi

niatnya bukan egoisme. Jadi tak dapat dipungkiri lagi, Allah tidak akan

membiarkan orang-orang yang melakukan kebaikan seperti non Muslim.

6) Muniroh, yang berjudul Konsep Fitrah Murtada Mutahharî, mahasiswa Aqidah

dan Filsafat Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012. Dalam

skripsi ini terdapat suatu pandangan Fitrah menurut Mutahharî, ia menjelaskan

bahwa fitrah memiliki kekerabatan yang sangat erat dengan pendidikan.

Pendidikan yang benar adalah pendidikan mengembangkan suatu potensi dan

bakat manusia secara alami. Jika manusia memiliki bakat yang sangat tinggi

ataupun potensi, maka potensi dan bakat tersebut harus lebih dikembangkan

bukan dibumihanguskan.

7) Hairus Saleh, Studi Komparatif antara Abdurrahman Wahid dan Murtada

Mutahharî, mahasiswa Aqidah dan Filsafat Fakultas Ushuluddin UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, 2014. Dalam skripsi ini dijelaskan bahwa ada suatu

perbedaan mengenai dimensi manusia. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)

menjelaskan bahwa dimensi-dimensi manusia yang dikembangkan itu berujung

pada ranah sosial. Sedangkan Mutahharî menjelaskan bahwa dimensi-dimensi

manusia tersebut berpakngkal pada keimanan dan keilmuan.

Dari beberapa pustaka yang telah dipaparkan di atas, penulis masih memiliki

peluang untuk mengkaji secara khusus terhadap interpretasi pemikiran Murtada

Page 26: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

11

Mutahharî dengan membahas konsep al-Mustad‘afîn dalam QS. (4): 97-99 dan QS.

(28): 5.

F. Metode Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan Jenis penelitian kepustakaan

(Library Reserch). Studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan

mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku, litertur-literatur, catatan-catatan, dan

laporan-laporan yang ada sehingga diperoleh data-data yang diperlukan yang

berhubungan dengan masalah yang akan dipecahkan21

Dengan metode penelitian

sebagai berikut :

1. Pengumpulan Data

Penulis mengumpulkan data-data kepustakaan yang tidak terikat dengan lapangan,

tetapi melalui bacaan dan literatur-literatur yang ada kaitannya dengan pembahasan

penulis. Sebagai sumber pokoknya adalah buku Keadilah Ilahi: Asas Pandangan Dunia

Islam, Tafsir Holistik: Kajian Seputar Relasi Tuhan, Manusia, dan Alam, Manusia dan

Alam Semesta: Konsepsi Islam Tentang Jagat Raya, Islam Agama Keadilan, Tema-

Tema Pokok Nahj al-Balaghah, Pengantar Ilmu-Ilmu Islam, Menguak Masa Deoan

Umat Manusia, Fitrah, Islam dan Tantangan Zaman yang semuanya itu ditulis oleh

Murtada Mutahharî, dan sebagai penunjangnya yaitu buku-buku yang membahas secara

khusus tentang al-Mustad‘afîn.

Adapun teknik penulisan proposal skripsi ini mengacu pada pedoman penulisan

skripsi dalam buku Pedoman Akademik UIN Syarif Hidayatullah Program Strata 1

2012/2013 yang disusun oleh Tim Penyusun dan diterbitkan pada tahun 2012.

21

Winarmo Surachmad, Dasar dan Teknik Research Pengantar Metodologi Ilmiah (Bandung:

Tarsio, 1972), h. 132.

Page 27: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

12

2. Analisis Data

Melalui metode ini, penulis menggunakan metode pendekatan penafsiran al-

Qurʼan secara muqarîn. Metode tafsir muqarîn secara bahasa berarti membandingkan.

Sedangkan menurut istilah adalah mengemukakan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang

ditulis oleh sejumlah para penafsir. Metode ini mencoba untuk membandingkan ayat al-

Qur’an antara yang satu dengan yang lain atau membandingkan ayat al-Qur’an dengan

hadis Nabi yang tampak bertentangan serta membandingkan pendapat ulama

menyangkut penafsiran ayat-ayat al-Qur’an.22

Untuk lebih jelasnya, penulis menelaah lebih mendalam terhadap ayat al-Qurʼan

yang berkenaan dengan Mustad‘afîn, kemudian menyusunnya berdasarkan periode

penafsiran yang disusun dengan cara mengkategorikan madzhab mufasir serta kaitannya

dengan penafsiran Murtada Mutahharî.

G. Sistematika Penulisan

Sebelum menginjak bab pertama dan bab berikutnya, maka sistematika penulisan

skripsi ini diawali dengan halaman judul, halaman pernyataan, halaman pengesahan,

halaman motto, abstrak, halaman kata pengantar, halaman persembahan, transliterasi,

daftar isi dan untuk selanjutnya diikuti oleh bab pertama.

Bab Pertama merupakan Bab Pendahuluan. Bab ini berisi tentang latar belakang

masalah, rumusan masalah, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, tujuan penelitian

skripsi, dan sistematika penulisan skripsi.

Bab Kedua merupakan Kerangka Teori. Dalam bab ini penulis akan membahas

tentang ruang lingkup Mustad‘afîn dalam perspektif al-Qur’an. Di antaranya ditinjau

secara etimologi dan terminologi serta menjelaskan QS. (4): 97-99 dan QS. (28): 5, dan

22

Badri Khaeruman, Sejarah Perkembangan Tafsir al-Qurʼan (Pustaka Setia: Bandung, 2004), h.

94.

Page 28: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

13

ayat-ayat lain yang terkait kemudian memaparkan penafsiran ulama klasik dan

kontemporer.

Bab Ketiga merupakan penjelasan Biografi. Dalam bab ini penulis akan

membahas biografi dan pemikiran Murtada Mutahharî.

Bab Keempat merupakan Bab inti. Dalam bab ini akan dibahas beberapa item

yaitu: Sketsa Biografi dan pemikiran Murtada Mutahharî yang meliputi riwayat hidup

Murtada Mutahharî, pendidikan, para gurunya, karya-karyanya serta pemikirannya

dalam menafsirkan al-Mustad‘afîn. Kemudian penulis menambahkan pembahasan

tentang perbandingan penafsiran Murtada Mutahharî dengan para mufasir lainnya.

Bab Kelima merupakan Bab Penutup. Di dalam bab ini penulis menuangkan

kesimpulan dan saran dari hasil pembahasan skripsi.

Page 29: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

14

BAB II

Al-MUSTADʻAFÎN DALAM AL-QUR’AN

Dalam bab ini penulis membahas pengertian al-mustadʻafȋn dalam tinjauan etimologi

dan terminologi serta menerangkan al-mustadʻafȋn dalam beberapa perspektif para ulama,

kemudian menjelaskan kelompok yang menyebabkan penindasan serta mengkategorikan

golongan-golongan yang termasuk al-mustadʻafȋn agar lebih sistematis dalam memposisikan

golongan yang menindas dan yang tertindas.

A. Pengertian Al-Mustadʻafȋn

1. Tinjauan Etimologi

Akar kata mustadʻafȋn )يضتضعفى( atau يضتضعف adalah daʻufa (ضعف). Kata daʻufa

mempunyai ragam arti seperti lemah, kurus, sakit dan hilang يسض وذهبت قىته أو صحته ،هزل()

kekuatannya atau kesehatannya.1

Dalam QS. Al-Hajj (22): 73 dijumpai kata ini:

Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan

itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-sekali tidak dapat menciptakan

seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu

merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu.

Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah pulalah yang disembah.2

1 Abad Badruzaman, Teologi Kaum Tertindas: Kajian Tematik Ayat-Ayat Mustadʻafȋn Dengan

Pendekatan Keindonesian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 1. Lihat juga kamus, Muʽjam al-Wasît,

(Qahirat: Maktabah al-Syurûq al-Dawaliyah, 2004), h. 530. 2 Baca Juga, QS. Ali 'Imrân (3): 146.

Page 30: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

15

Dalam Lisân al-ʻArab dijelaskan kata عف عف و انض ف ان yang berarti انض قىة خلا (kebalikan

daripada kuat). عف عف dengan damah diartikan sebagai kelemahan fisik, sedangkan انض انض

dengan Fatah diartikan sebagai kelemahan intelektual atau akal.3

Sebagaimana firman Allah:

Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menciptakan

(kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah

kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan

Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa4

Dengan demikian, menurut Ishfahani bahwa ضتضعف adalah bentuk mudâriʽ dari

Sementara itu disebutkan pula bahwa kata .(menghina, merendahkan) ضترل berarti اصتضعف

aku menemukannya dalam keadaan lemah atau sebagai orang وجدته ضعفب berarti اصتضعفته

lemah.5

2. Tinjauan Terminologi

Mustadʻafȋn secara istilah adalah orang-orang yang dianggap lemah dan rendah oleh

orang-orang yang kuat sehingga orang-orang kuat ini menindas dan berbuat seweang-wenang

terhadap mereka. Pada kenyataannya bahwa kaum mustadʻafȋn adalah orang-orang miskin

dan berpenampilan sangat sederhana. Dalam ungkapan lain, para penindas yang kuat

menganggap kaum mustadʻafȋn sebagai orang-orang lemah. Kelemahan inilah yang

mendorong para penindas untuk menindas mereka.6

3 Abî al-Fadl Jamâl al-Dîn Muhammad Mukram ibn Manzûr al-Faryaqî al-Misrî, Lisân al-ʻArab, Jilid 7,

cet. 3 (Beirut: Dâr Sadr, 2010), h. 203. 4 Al-Rûm (30): 54.

5 Al-ʻAllâmah al-Râghib al-Isfahânî, Mufradât Alfâz al-Qur'ân (Damasyqi: Dar al-Qalam, 2009), h. 507.

6Badruzzaman, Teologi Kaum Tertindas: Kajian Tematik Ayat-Ayat Mustadʻafîn dengan Pendekatan

Keindonesiaan, h. 6-7.

Page 31: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

16

Al-Qur‟an tidak menyebutkan bangsa penjajah dan bangsa terjajah, tetapi al-Qur‟an

berkisah tentang kelompok-kelompok manusia-boleh jadi terdiri dari satu bangsa atau

bangsa-bangsa lain yang berlainan yang berhubungan satu sama lain dengan sistem yang

tidak adil. Alih-alih menyebut penjajah dan yang dijajah, al-Qur‟an menyebut "alladzîna

"istakbarrû" dan "alladzîna ustudʻifu." Ada kelompok yang arogan dan penindas serta ada

kelompok yang dilemahkan atau ditindas.7

Kisah kaum mustadʻafȋn dalam al-Qur‟an menghadirkan tiga kutub: pertama, kekuatan

penindas yang tiran (mustadʻifȋn), kedua, kelompok yang ditindas (mustadʻafȋn), ketiga,

kekuatan pembebas dan pembela kaum tertindas dalam melawan kekuatan penindas. Yang

disebut terakhir adalah kekuatan yang dipimpin dan dipelopori oleh para nabi dan utusan

Tuhan.8

1) Kelompok Penindas (mustadʻifȋn)

Dalam perkembangan dan evolusi sosial, kutub ini9 terpolarisasi menjadi tiga dimensi

yang terpisah. Manifestasi politiknya ialah kekuasaan, manifestasi ekonominya adalah harta,

dan manifestasi keagamaannya adalah kependetaan yang dalam al-Qurʼan disebut sebagai

malaʼ, mutraf, dan ruhbâni.

Dari beberapa literatur yang telah ditelaah, penulis menyimpulkan ada lima kelompok

penindas dalam al-Qur‟an, yaitu:

a) Mala‟

7 Eko Prasetyo, Islam Kiri Melawan Kapitalisme Modal-Dari Wacana Menuju Gerakan (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2002), h. 315-316. 8 Abad Badruzzaman, Dari Teologi Menuju Aksi- Membela yang Lemah, Menggempur Kesenjangan,

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 105. 9 Kutub dimaksud adalah "Qabil" yaitu kelas yang berkuasa seperti raja, pemilik tanah dan kaum ningrat.

Lihat, ʻAli Syariʻati,Sosiologi Islam, terj. Saifullah Wahyudin (Yogyakarta: Ananda, 1982), h. 159.

Page 32: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

17

Mala‟ secara bahasa ialah األشسف ي انبس (kalangan terpandang). Dinamai demikian

karena mereka dipenuhi dengan kemuliaan. Mereka adalah:

ووجىههى وزؤصبؤهى ويقديهى انري سجع انى قىنهى أشساف انقىو

(kalangan terpandang, para pemuka, para pemimpin, dan kalangan terhormat yang

dijadikan rujukan oleh suatu kaum)10

Golongan yang berpangkat tinggi daripada golongan manusia, seolah-olah mereka

dipenuhi oleh kemuliaan (terhadap pandangan manusia).11

Term يأل dalam al-Qurʼan terdapat di-13 surat, di antaranya; Al-Baqarah (2): 236, al-

Aʻrâf (7): 60, 66, 75, 88, 90, 103, 109, 127, Yûnus (10): 83, Hûd (11), 27, 38, 97, Yûsuf (12):

43, 75, 83, 88, al-Muʼminûn (23): 24, 33, al-Syuʽarâʼ (26): 34, al-Naml (27): 29, 32, 38, al-

Qisas (28): 20, 32, 38, al-Sâfât (37): 8, Sad (38): 6, 69, al-Muʼminûn (23): 46, al-Zukhruf

(43): 46.12

b) Mutrafȋn

Kaum Mutrafȋn selalu menentang para Nabi di sepanjang sejarahnya, dalam al-Qur‟an

disebutkan bahwa Allah tidak mengutus seorang nabi kecuali kaum Mutrafȋn (mereka yang

hidup mewah dan berlebihan) dan mereka yang menikmati kekayaan menentang Nabi

tersebut, dan mereka berkata bahwa mereka tidak akan mengikutinya dan akan mengikuti

jejak agama leluhur. Yang dimaksud di sini adalah bahwa isu ini dinyatakan dalam al-Qurʼan

sebagai kaidah dan realitas sejarah yang pasti.13

10

Badruzzaman, Teologi Kaum Tertindas: Kajian Tematik Ayat-Ayat Mustadʻafȋn dengan Pendekatan

Keindonesiaan, h. 31. Lihat Juga Abȗ al-Husain Ahmad Ibnu Fȃris, Muʻjam al-Maqȃyȋs fi al-Lughah, cet. 1

(Beirut: Dar al-Fikr lȋ al-Thibȃʻah wa al-Nasyr wa al-Tawzȋ, 1994), h. 994. 11

Abî Muhammad bin Ahmad bin Abî Bakr al-Qurtubî, Al-Jâmi Li Ahkâm al-Qurʼân, juz 2 (Beirut: al-

Resalah, 2006), h. 222. 12

Muhammad Fuʽâd ʻAbdul Bâqî, al-Muʻjam al-Mufaharas Li Alfâdz al-Qurʼân al-Karîm (Qahirat: Dar

al-Kitâb al-Misriyah, 1945), h. 672.

13 Isu ini sudah ada dalam sejarah setiap nabi. Ini terjadi pada kasus Nabi Nuh, nabi pertama yang

kisahnya diceritakan secara detail dalam Al-Qurʼan. Dan biasanya mutrafȋn dalam al-Qurʼan selalu berhadapan

Page 33: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

18

Kelompok mala‟ dan mutraf bersama-sama merupakan kelas yang selalu

mengeksploitir. Mereka selalu menentang para nabi, sedangkan kaum mustadʻafȋn yang

teraniaya mereka yang ditindas dan mereka yang bertakwa selalu berpihak kepada para nabi

dan syuhada.14

Al-Qur‟an sangat mengecam terhadap orang-orang kaya yang suka pamer, dan

kehidupan seperti inilah membawa kepada kehancuran.

"Dan bila kami bermaksud untuk menghancurkan sebuah kota, kami berikan perintah

kepada orang-orang yang hidup dengan kemewahan supaya patuh,15

Namun mereka melanggar perintah itu.

Maka sepantasnyalah berlaku kutukan bagi mereka, lalu kamipun

membinasakannya."16

Kemudian, al-Qur‟an juga tidak hanya menentang penimbunan harta17

, namun juga

menentang kemewahan dan tindakan orang-orang yang menghambur-hamburkan uang.18

Hal

ini merupakan tindakan jahat, dan mereka mengganggu keseimbangan sosial (social

balance), sehingga terjadi bencana.19

dengan kaum arȃdzil. Perhatikanlah, ketika Nabi Nuh menyeru kepada kaumnya untuk menghindarkan diri dari

kejahatan, salah satu pernyataan mereka adalah: “Mereka berkata, „Haruskah kami beriman padamu sedangkan

yang mengikutimu adalah mereka yang paling hina di antara kami?” (QS. 26:111). Orang-orang kafir berkata:

“kecuali mereka yang hina di antara kami yang lekas percaya saja” (QS. 11:27). Mereka berkata bahwa

bagaimana kami akan mengikutimu jika kami melihat pengikutmu adalah orang-orang yang paling hina di

antara kami? (Tentu saja, kata arȃdzil yang berarti “bangsat” yang kini kita gunakan berbeda dari maknanya

dalam bahasa Arab. Dengan kata arȃdzil mereka merujuk pada kelas terendah dalam masyarakat, para pekerja

kasar, dan orang-orang miskin). Inti dari perkataan mereka terhadap Nabi Nuh adalah bagaimana mereka akan

mengikutinya dan akan mendukung gerakan yang dipelopori terutama oleh kelas-kelas tertindas. Lihat,ʻAli

Akbar Hashemi Rafsanjani, Keadilan Sosial: Pandangan Islam Tentang HAM, Hegemoni Barat dan Solusi

Dunia Modern, terj. Anna Farida (Bandung: Nuansa Cendekia, 2001), h. 223-226. 14

ʽAli Syarʽati, Paradigma Kaum Tertindas, terj. Saifullah Mahyudin dan Husen Hashem (Jakarta: al-

Huda, 2001), h. 27. 15

Baca, Al-Baqarah (2): 219. 16

Baca, Al-ʼIsrâ' (17): 16. 17

dengan artian tidak disumbangkan kepada fakir miskin atau anak yatim ataupun juga kaum mustad'afîn 18

untuk kemewahan dan kesenangan dirinya sendiri sementara banyak orang miskin yang

membutuhkannya. 19

Ashgar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, terj. Agung Prihantoro (Yogyakarta, Pustaka

Pelajar, 2009), h. 60.

Page 34: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

19

Suatu kerjasama dari kekuatan mala‟ bersama mutrafîn akan melahirkan kaum

mustad‟afîn yang secara alami mereka adalah kaum yang serba kekurangan yang direkayasa

untuk tetap lemah, hak-haknya tidak dipenuhi oleh sistem sosial yang ada, sejatinya bahwa

mereka selalu dibatasi oleh mutrafîn dengan perlindungan mala‟.20

Dari segala derivasinya, term mutrafîn terdapat dalam beberapa ayat, yaitu; Hûd (11):

116, al-'Isrâʼ (17): 16, al-Anbiyâʼ (21): 13, al-Muʼminûn (23): 33, 64, Sabâ (34): 34, al-

Zukhruf (43): 23, al-Wâqiʻah (56): 45.21

c) Ruhbâni

Ibnu Taimiyyah mengatakan "Keadilan itu suatu tatanan yang universal. Anehnya,

kehidupan di dunia yang berlangsung adil, akan tetapi pemimpinnya justru tidak

mendapatkan pahala di akhirat kelak."Namun para ulama yang mendapatkan keuntungan

dari kemapanan justru sebaliknya, memperoleh pahala di akhirat.22

Mereka mengikuti pemerintah yang tiran, meskipun mereka orang yang saleh. Bagi

mereka takwa itu dipahami secara konvensional dan ritualistik, serta lebih penting daripada

keadilan. Ironisnya, justru prinsip keadilan itu berada di tangan para ulama sendiri. Sejarah

Islam mengatakan kepada kita dengan bukti yang cukup bahwa ulama berada dalam satu

pihak dengan kemapanan yang menindas atas nama Islam.23

Dalam Al-Qur‟an term ruhbâni terdapat tiga surat yaitu; Al-Maʼidah (5): 82, al-Taubah

(9): 4, 31, al-Hadîd (57), 27.24

d) Mustakbirȋn

20

St. Nasriah AR, "Dakwah dan Problematika Kemiskinan Struktural", Tabligh, edisi 24, (Makassar:

UIN Alauddin, 2011), h. 57. 21

ʽAbdul Bâqî, al-Muʻjam al-MufaharasâLi Alfadz al-Qurʼân al-Karîm, h. 153. 22

Ahmad bin Taimiyyah, Majmû'Fatâwâ, jilid 28 (Madinah, 2004), h. 146. 23

Engineer, Islam dan Teologi Penindasan, h. 70. 24

ʽAbdul Bâqî, al-Muʻjam al-Mufaharas Li Alfâdz al-Qurʼân al-Karîm, h. 325.

Page 35: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

20

Isfahanî dalam kitab Mufradât Alfâz al-Qur‟ân mengatakan bahwa mustakbirîn adalah

orang yang mencari-cari manusia diminta untuk membesarkannya, di situasi apapun atau di

segala tempat dan waktu harus ada yang memujinya. Kemudian ketika bosan, ia akan

menunjukan dirinya yang bukan darinya. Ini adalah perbuatan tercela. Kemudian,

mustakbirîn tidak akan selalu menerima mustadʻafîn karena mereka menyombongkan dirinya

dari kekuatannya, badannya ataupun dari uangnya.25

Al-Qurʼan menggambarkan para penguasa, pimpinan, dan mereka yang di atas sebagai

mustakbirîn (sombong, mabuk kekuasaan), dan menyebut rakyat jelata dan masyarakat awam

dengan mustadʽafîn. Raja Firʽaun disebut sebagai mustakbirîn sedangkan bangsa Israel

disebut sebagai mustadʽafîn.26

Dalam segala derivasinya, mustakbirîn dalam al-Qur‟an terbagi dalam 4 term, yaitu:27

a) اصتكببز, Fâtir (35): 43, Nûh (71): 7.

b) يضتكبسا, Lukmân (31): 7, al-Jâsyiyah (35): 8.

c) يضتكبسو, al-Nahl (16): 22, al-Munâfiqûn (63): 5.

d) يضتكبس, al-Nahl (16): 23, al-Mu‟minûn (23), 67.

e) Mufsidȋn

Isfahanî dalam kitabnya menjelaskan bahwa mufsidîn adalah mengeluarkan sesuatu

secara berlebian dengan sedikit ataupun banyak. Mufsidîn kebalikan daripada memperbaiki.

Dalam melakukannya dengan dirinya, badannya ataupun yang lainnya yang dapat

mengeluarkan sesuatu secara terus-menerus.28

25

Al-Isfahânî, Mufradât Alfâzal-Qur'ân, h. 696. 26

Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, h. 92. 27

'Abdul Bâqî, al-Muʻjam al-Mufaharas Li Alfâdz al-Qurʻân al-Karîm, h. 589. 28

Al-Isfahânî, Mufradât Alfâz al-Qurʼân, h. 636.

Page 36: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

21

Perusakan adalah aktifitas yang mengakibatkan sesuatu yang memenuhi nilai-nilanya

atau berfungsi dengan baik atau bermanfaat menjadi kehilangan sebagian atau seluruh

nilainya sehingga berkurang fungsi dan manfaatnya disebabkan oleh si perusak.29

Membuat kerusakan di bumi meliputi usaha untuk memusnahkan manusia dengan

pembunuhan atau penganiayaan, usaha merusak harta dengan mencuri dan merampas,30

merusak agama yaitu dengan kufur dan melakukan maksiat, serta merusak akal dengan

minuman yang memabukan.31

Dari term al-Fasâd, yang paling banyak digunakan dalam al-Qur‟an adalah mufsidîn,

sebanyak 18 kali, al-fasâd, 8 kali, yufsidûn, 5 kali, tufsidu, 4 kali, fasadan 3 kali, lafasadât,

yufsidu, al-mufsidûn, masing-masing 2 kali dan selainnya masing-masing satu kali.32

Kemudian, penggunaan term al-fasâd kebanyakan mempunyai pengertian kebinasaan,

kerusakan, membuat kerusakan (yang rugi), kekacauan di muka bumi, menimbulkan

kerusakan, atau mengadakan kerusakan di muka bumi. Misalnya dalam QS. Al-Baqarah (2):

27, 205, al-Maʼidah (5): 32, al-Anfâl (8): 73, Hûd (11): 116, al-Râd (13): 25, al-Nahl (16):

88, al-Syuʽarâ' (26): 152, al-Naml (27): 48, al-Qasas (28): 77, ar-Rûm (30): 41, al-Mukmin

(30): 41, al-Fajr (89): 12. Dalam surat Hûd (11): 85 ditegaskan bahwa mengurangi takaran

dan timbangan merupakan kezaliman. Demikian pula dalam surat QS. al-Aʽrâf (7): 85, atau

QS al-Baqarah (2): 205, ditegaskan tentang perintah menyempurnakan takaran dan

29

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah-Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an, vol. 9 (Jakarta: lentera

hati, 2002), h. 311. 30

HAMKA menjelaskan bahwa nikmat Allah berupa harta kekayaan digunakan kepada perbuatan yang

tidak bermanfaat, berfoya-foya tidak berketentuan, boros, durhaka, menyembah harta dan sebagainya. Lihat,

HAMKA, Tafsir al-Azhar, juz 19 (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982), h. 132. 31

Ibrahim, Tafsîr al-Qur'ân al-Majîd al-Nûr, jilid 3 (Jakarta: Cakrawala Publising, 2011), h. 628. 32

'Abdul Bâqî, al-Muʻjam al-Mufaharas Li Alfâdz al-Qurʻân al-Karîm, h. 518-519.

Page 37: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

22

timbangan disandingkan dengan larangan mengadakan kerusakan (kezaliman) di muka

bumi.33

2) Kelompok Tertindas (Mustad‟afin)

Menurut Sayid Sabiq, yang dimaksud golongan lemah di dalam suatu masyarakat, ialah

golongan wanita, fakir miskin, para orang yang lanjut usia, para buruh, para yatim piatu dan

para orang yang tertindas dan teraniaya. Bagi merekalah agama Islam berseru kepada

umatnya agar mengulurkan tangan meringankan penderitaannya, membalut luka-luka

hatinya, mengangkatnya dari lembah kemiskinan dan kemelaratan, memenuhi kebutuhan

hidup vitalnya, menanamkan kembali rasa harga dirinya sebagai manusia yang sama

derajatnya dengan manusia-manusia yang lain. Demikianlah Islam mendidik para

penganutnya agar berhati rahmat, berbelas kasihan dan mempunyai rasa kemanusiaan

terhadap sesamanya yang karena satu dan lain hal, di luar kekuasaan dan kehendaknya

menjadi lemah, tidak berdaya dan bertenaga memikul beban kehidupan secara normal seperti

sesama hamba Allah yang lain.34

Penulis menyimpulkan bahwa setidaknya dalam al-Qur‟an telah disebutkan beberapa

kelompok yang mengalami ketertindasan, antara lain :

a. Fakir Miskin

Kata فقس yang berarti ضد انغى kebalikan daripada kaya.35

Jadi, orang fakir adalah orang

yang tidak memiliki harta untuk menunjang kehidupan dasarnya. Kefakirannya tersebut

disebabkan ketidak mampuannya mencari nafkah disebabkan karena ketidakmampuan dari

33

Lukman Fauroni, "Rekontruksi Etika Bisnis Perspektif al-Quʼan", IQTISAD, Journal of Islamic

Ekonomics, vol. 4, no.1 (Yogyakarta: Sekolah Tinggi Ilmu Syariʻah, 2003), h. 99. 34

Sayid Sabiq, Islam Dipandang Dari Segi Rohani-Moral-Sosial. Terj. Zainuddin, dkk. (Jakarta: PT

Rineka Cipta, 1994), h. 263. 35

Muhammad Murtada al-Husaini al-Zabidî, Tȃj al-„Urus Min Jawȃhir al-Qamûs (Kuwait: Matbah

Hukumah, 1974), juz 3, h. 224.

Page 38: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

23

fisiknya, seperti orang tua jompo dan cacat badan.36

Imam Syafiʽi dan dan Imam Hanbali

mendefefinisikan انفقس dalah orang yang tidak mempunyai harta dan tidak mempunyai

penghasilan.37

Isfahanî dalam Mufradât Alfâz al-Qurʼân mendefinisikan kata فقس dalam empat wajah.

Pertama, adanya suatu kebutuhan darurat (Primer), artinya bahwa makna ini berlaku umum

untuk seluruh manusia, bahkan semua makhluk yang berada selama di dunia. Kedua, fakir

tidak adanya suatu penghasilan. Ketiga, kefakiran jiwa. Yang sudah tercatat dalam hadis Nabi

Saw."kefakiran akan mendekatkan kepada kekufuran". Keempat, kefakiran yang bergantung

kepada Allah.38

Kemudian Miskȋn (يضك) berasal dari kata صك yang artinya اقطع ع انحساكت (diam tidak

bergerak), هدأ tenang, reda, انرانم yang rendah, hina.39

Jadi, orang miskin berbeda dengan

orang fakir, orang miskin adalah orang yang tidak memiliki harta untuk kebutuhan dasarnya,

namun ia mampu mencari nafkah, hanya penghasilannya tidak mencukupi bagi kehidupan

dasarnya untuk kehidupannya sendiri atau keluarganya.40

Dari Abu Hurairah, ia berkata,

“Rasulullah Saw. Bersabda: orang miskin bukanlah orang yang berkeliling kepada manusia

kemudian mendapatkan sekepal atau dua kepal roti, sebiji atau dua biji kurma. Tetapi orang

miskin adalah orang yang tidak mempunyai kekayaan yang dapat memenuhi kebutuhannya,

dan tidak diketahui hal tersebut sehingga harus dibantu, serta tidak berdiri untuk meminta-

minta kepada manusia.”41

Dalam buku Tafsir Ayat-Ayat Ahkam bahwa fakir merupakan orang yang

penghasilannya belum dapat menutupi separuh dari kebutuhannya. Sedangkan miskin

36

Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fikih (Jakrata: Kencana, 2003), h. 48. 37

Wahbah al-Zuhaily, al-Wajȋr Fi al-Fiqhi al-Islâm, Juz 2 (Beirut: Dar al-Fikr, 2006), h. 300. 38

Al-Isfahânî, Mufradât Alfâz al-Qur'ân, h. 641. 39

Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir: Kamus Besar Arab-Indonesia, cet. 14 (Surabaya: Pustaka

Progressif, 1997), h. 646-647. 40

Amir Syarifuddin, Garis-garisBesar Fikih, h. 49. 41

Syaikh Faisal bin ʻAbdul ʻAzîz al-Mubarâk, Ringkasan Nailul Authar. Terj. Amir Hamzah Fachruddin

dan Asep Saefullah (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), h 301.

Page 39: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

24

merupakan orang yang penghasilannya belum dapat menutupi keseluluruhan dari

kebutuhannya.42

Sedangkan HAMKA43

menjelaskan bahwa fakir ialah membungkuk tulang punggung,

Jadi sebutan bagi orang yang telah bungkuk memikul beban kehidupan, sedangkan miskin

diam menahan diri dari penderitaan hidup.44

Kemudian Rasyid Ridha dalam Tafsir al-Manâr menjlaskan bahwa fakir ialah orang

tidak mampu yang suka minta-minta, sedangkan miskin ialah, orang tidak mampu, tetapi tahu

harga diri, sehingga tidak mau minta-minta.

Menurut Yusuf Qardawi, pengarang kitab Musykilât al-Faqr wa kaifa ʽAlajahâ al-

Islâm, fakir miskin ada dua macam, ialah:

a) Orang yang masih mampu bekerja/berusaha dan bisa mencukupi kebutuhan

hidupnya, tetapi ia kekurangan modal usaha/bekerja, seperti pedagang, petani,

tukang (orang punya keterampilan tertentu), dan sebagainya. Mereka wajib diberi

zakat secukupnya sehingga mereka mampu mandiri.mereka itu juga bisa

dipekerjakan di lapangan-lapangan pekerjaan yang sesuai dengan keterampilan

mereka yang didirikan dari hasil zakat.

b) Orang yang tidak/ belum mampu bekerja/ berusaha, seperti orang yang sudah

lanjut usiannya, anak yatim, janda, orang yang cacat fisik atau mentalnya, maka

mereka ini pun harus diberi zakat secara teratur setiap bulan sampai akhir

hayatnnya atau sampai mereka mampu mandiri.45

Dalam Muʽjam, kata yang berasal dari wazan فقس disebutkan sebanyak 14 ayat dari 11

surat, di antaranya, QS. al-Baqarah (2): 268, 271, 273, al-ʽImrȃn (3): 181, al-Nisȃ‟ (4): 6, 135,

42

L. Ummi Kaltsum dan A. Moqsith G, Tafsir Ayat-Ayat Ahkam (Ciputat: UIN Press, 2015), h. 35. 43

(Haji Abdul Malik Karim Amrullah) dan dikenal dengan sebutan Prof. Dr. Hamka, Beliau dilahirkan di

Padang pada tahun 1907. Pada tahun 1965 beliau menulis kitab Tafsir al-Azhar dan mulai diterbitkan pada

1967. HAMKA, Tafsir al-Azhar, Jilid 1. 44

HAMKA, Tafsir al-Azhâr, Jilid 5, h. 247. 45

Masjfuk Zuhdi, Masâil Fiqiyah, cet.10 (Jakarta: PT Toko Gunung Agung, 1997), h. 263.

Page 40: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

25

al-Taubah (9): 60, al-Hajj (22): 27, al-Nȗr (24): 32, al-Qisas (28), 34, Fȃtir (35): 15,

Muhammad (47), 38, al-Hasyr (59): 8, al-Qiyamah (75): 25.46

Sedangkan term miskin di dalam al-Qur‟an terdapat 23 ayat dari 18 surat, di antaranya,

Al-Baqarah (2): 83, 177, 184, 215, al-Nisȃʼ (5): 8, 36, al-Maidah (6): 79, 95, al-Anfȃl (8): 41,

at-Taubah (9): 60, al-Isrȃ' (17): 26, al-Kahfi (18): 79, al-Nȗr (24): 22, al-Rȗm (30): 37, al-

Mujadalah (58): 4, al-Hasyr (59): 7, al-Qalâm (68): 25, al-Haqqah (69): 34, al-Mudatsir (74):

44, al-Insȃn (76): 8, al-Fajr (89): 18, al-Balȃd (90): 16, al-Maʽȗn (108): 3.47

b. Anak Yatim

Dalam bahasa Arab anak yatim berasal dari kata تى yang berarti انفسد artinya yang

sendirian.48

Zuhaili mengatakan bahwa anak yatim merupakan anak yang telah kehilangan ayahnya

dan tidak ada yang mencarikan nafkah untuknya. Keadaan mereka sangat membutuhkan

bantuan untuk mengatasi kerasnya menjalani kehidupan dan membantu memberikan jalan

kehidupan bagi masa depannya. Baik dengan pendidikan, kerajinan tangan ataupun pekerjaan

industri dan yang lainnya. Agar mereka tidak menjadi perusak ketika dewasa yang mana akan

membahayakan dirinya sendiri ataupun masyarakat.49

Kata yang berasal dari تى terdapat 22 ayat dalam 14 surat, diantaranya al-Baqarah (2):

83,177, 215, 220, al-Nisȃʼ (4): 2, 3, 6, 8, 10, 127, al-Anʽȃm (6): 152, al-Anfȃl (8): al-Isrȃʼ

(17): 41, al-Kahfi (18): 94, al-Anbiyȃ (21): 96, al-Ahzȃb (33): 13, al-Hasyr (59): 7, al-Insȃn

(76): 8, al-Fajr (89): 17, al-Balȃd (90): 15, al-Duha (93): 9, al-Maʽȗn (108): 6.50

c. Peminta-minta

46

'Abdul Bâqî, al-Mu'jam al-Mufaharas Li Alfâdz al-Qur'ân al-Karîm, h. 524. 47

Ibid., h. 354. 48

Munawwir, al-Munawwir: Kamus Besar Arab-Indonesia, cet. 14 (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997),

h. 1587. 49

Wahbah al-Zuhaily, al-Tafsȋr al-Munȋr Fi 'Aqidah Wa Syariʻah wa al-Manȃhij, Juz 5 (Damasyqi: Dar

al-Fikr, 2006), h. 462. 50

'Abdul Bâqî, al-Muʽjam al-Mufaharas, h. 770.

Page 41: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

26

Dalam al-Qurʼan untuk peminta-minta adalah انضبئم atau انضبئه. Namun demikian tidak

semua kata انضبئه dalam al-Qurʼan adalah peminta-minta. Ada juga yang berarti orang-orang

yang bertanya. انضبئم adalah bentuk isim Fâʽil dari صئم .51

Ishfahanî dalam kitabnya menjelaskan bahwa انضإال bentuk masdar dari صأل yang

mempunyai dua arti: dengan meminta suatu ilmu dan yang dapat menyampaikan pada suatu

pengetahuan, dan kedua, meminta harta atau yang dapat menyampaikan pada harta.52

Zuhailî menjelaskan bahwa انضبئهى ialah orang yang meminta pasokan uang kepada

orang lain yang dilakukan di pinggiran. Mereka adalah orang-orang yang menjauhkan dirinya

dari hal-hal yang tidak halal atau pun syubhat. Sebagaimana firman Allah swt. Al-Baqarah

ayat 273. Kemudian dari hasil pemberiannya itu tidak menjadikan suatu kekayaan sama

sekali.53

Di antara derivasinya kata peminta-minta yang terdapat dalam al-Qurʼan antara lain:54

a) صبئم/انضبئم, Al-Dzariyat (15): 19, al-Maʻarij (70): 1, 25, al-Duha (93): 10.

b) انضبئه, Al-Baqarah (2): 177, Yusuf (12): 7, Fusilat (14): 10, al-Isrȃ‟ (17): 34, 36.

d. Budak

Dalam al-Qur‟an budak diterangkan dengan kata زقبت /انسقبة yang berasal dari kata زقت

yang berarti انحبفظ (menjaga, mengawal). Sedangkan dalam Munajjad Fi al-Lughah dijelaskan

sebaga teman setianya orang-orang kaya. Kaʽab bin Zuhair menjelaskan Keledai jantan dan

betina, yaitu sebagai analogi dari orang yang rendahan yang sangat lemah. Diartikan juga

sebagai orang yang giat, yang rajin ataupun pekerja keras atau suatu saham dari sebagian

sahamnya orang kaya.55

51

Engineer, Teologi Kaum Tertindas, h. 122. 52

Al-Isfahânî, Mufradât Alfâz al-Qurʼân, h. 224-225. 53

Wahbah, Al-Tafsir al-Munir Fi ʽAqidah Wa Syariʽah wa al-Manahij, Juz 2, h 462. 54

'Abdul Bâqî, al-Muʽjam al-Mufaharas, h. 338. 55

Abî al-Hasan „Alî bin al-Hasan al-Hunaʼi, Munajjad Fi al-Lughah: Aqdam Muʻjam Syâmil Li al-

Musytarâk al-Lafzi (Qahirat: ʽAlim al-Kitab,1998), h. 217.

Page 42: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

27

Lebih tepatnya, Qardawi, Muhammad Syaltut dan Rasyid Rida mengartikan bahwa

riqâb dikembangkan kepada pembebasan bangsa yang terjajah oleh kolonialisme, karena

semuanya mengandung sifat perbudakan.56

Di antara derivasinya kata budak dalam al-Qurʼan terbagi dalam dua term, yaitu:57

a) زقبت , al-Nisȃ‟ (4): 91, 92, al-Maidah (5): 77, al-Mujadalah (57): 3.

b) انسقبة, al-Baqarah(2): 177, al-Taubah (9): 60, Muhammad (47): 4, al-Balȃd (90):

13.

e. Perempuan

Sejarah menginformasikan bahwa sebelum turunya al-Qurʼan terdapat sekian banyak

peradaban besar, seperti Yunani, Romawi, India, dan Cina. Dunia juga mengenal agama-

agama seperti Yahudi, Nasrani, Budha, Zoroaster, dan sebaganya.58

Masyarakat Yunani yang terkenal dengan pemikiran-pemikiran filsafatnya, tidak

banyak membicarakan hak dan kewajiban wanita. Di kalangan elit mereka, wanita-wanita di

tempatkan (disekap) dalam istana-istana. Dan di kalangan bawah, nasib wanita sangat

menyedihkan, mereka diperjualbelikan, sedangkan yang berumah tangga sepenuhnya berada

di bawah kekuasaan suaminya.

Dalam peradaban Romawi, wanita sepenuhnya berada di bawah kekuasaan ayahnya.

Setelah kawin, kekuasaan tersebut pindah ke suaminya. Kekuasaan ini menyangkut

kewenangan menjual, mengusir, menganiaya, bahkan membunuh.

56

Saefuddin Zuhri, Zakat Kontekstual (Semarang: Bima Sejati, 2004), h. 64. Lihat juga, Yusuf Qardawi,

Ijtihad Kontemporer (Surabaya: Risalah Gusti, 1994), h. 24-25, Rasyid Rida, Tafîr al-Manâr (Beirut: Dar al-

Fikr, 1983), h. 598. Muhammad Syaltut, Al-Islam Aqidah wa Syari‟ah (Darul Qalam, h. 111. 57

ʼAbdul Bâqî, al-Muʽjam al-Mufaharas, h. 323-324. 58

M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur‟an: Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat, cet. 2

(Bandung: PT Mizan Pustaka, 2013), h. 391.

Page 43: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

28

Peradaban Hindu dan Cina, tidak lebih baik dari peradaban-peradaban sebelumnya, hak

hidup seorang wanita harus berakhir pada saat kematian suaminya. Isteri harus dibakar hidup-

hidup pada saat mayat suaminya dibakar.

Dalam ajaran Yahudi, mereka menganggap wanita sebagai sumber laknat karena dialah

yang menyebabkan Adam terusir dari surga.59

Dalam al Qurʼan perempuan sering disebut dengan lafadz al-Nisȃ‟, Marʼatu, dan al

Untsa. Kata nisȃʼ sendiri menurut etimologi bahasa diambil dari kata nasia (ض) yang artinya

ada dua yaitu melupakan sesuatu dan meninggalkan sesuatu. Sebagaimana ditegaskan dalam

firman Allah : ضىانههفضهى "Mereka melupakan Allah, maka Allah melupakan mereka".60

Kata an-nisȃ‟ berarti perempuan, sepadan dengan kata al-rijȃl yang berarti laki-laki.

Kata al-nisȃʼ dalam berbagai bentuknya terdapat dalam 55 ayat dan terulang sebanyak 59 kali

dalam al-Qurʼan. Adapun kata al-untsa diambil dari kata (اش) yang berarti lembut, lunak dan

halus. Kata al-untsa (perempuan) merupakan lawan dari al-dzakar (laki-laki) dari segala jenis

binatang, tumbuh-tumbuhan dan manusia. Jika al-untsa dan al-dzakar digunakan untuk jenis

manusia, tumbuh-tumbuhan dan hewan, maka kata al-rajȗl, an-nisaaʼ dan al-marʻȃh dalam

al-Qurʼan hanya digunakan untuk manusia. Dalam al-Qurʼan kata al-untsaʼ dalam berbagai

bentuknya terulang sebanyak 30 kali yang kesemuanya diartikan jenis kelamin perempuan.

Sedangkan kata marʻah dan imraʻah yang diartikan perempuan terulang sebanyak 26 kali

dalam al-Qurʼan.61

Banyak tuduhan kepada perempuan bahwa mereka adalah makhluk penggoda yang

menjadikan adam terusir dari surga. Bahkan ada anggapan bahwa perempuan diciptakan

59

Quraish, Wawasan al-Qurʼan:Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat, h. 392. 60

Zaitunah Subhan, al-Qurʼan dan Perempuan Menuju Kesetaraan Gender dalam Penafsiran (Jakarta:

Permada Media Group, 2015), h. 17, baca juga QS. Al-Taubah (9): 67 dan QS. Taha (20): 115. Lihat juga

kamus, al-Misrî, Lisân al-ʻArab, h. 807. 61

Zaitunah Subhan, al-Qurʼan dan Perempuan Menuju Kesetaraan Gender dalam Penafsiran, h. 26.

Page 44: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

29

hanya untuk pemuas laki-laki. Ungkapan ini muncul karena sering kali perempuan

diposisikan dibawah dominasi dan kekuasaan laki-laki. Perempuan hanya menjadi objek

sementara laki-laki menjadi subjeknya. Adanya anggapan bahwa perempuan adalah sarana

untuk melanjutkan keturunan dan diciptakan hanya pemuas birahi laki-laki, sungguh tidak

selaras dengan semangat dan nilai-nilai ajaran Islam.62

Di antara bukti yang menunjukan

terhadap yang disebutkan itu adalah, apa yang dinyatakan oleh konsili Roma yang

menyebutkan bahwa; "sesungguhnya wanita itu adalah makhluk yang najis! tak punya roh

dan tak ada keabadian baginya, sehingga dengan demikian, wajib baginya untuk mengabdi

dan melakukan kebaktian. Dan hendaknya mulutnya dikekang laksana unta dan anjing yang

suka mengigit agar dia tidak bisa ketawa dan berbicara, sebab dia adalah jerat setan".63

Perempuan-perempuan dapat dikemukakan dalam dua kelompok utama, yakni

perempuan teladan dalam al-Qurʼan dan perempuan teladan dari lingkungan, tempat Islam

secara bertahap berkembang.

Semua perempuan teladan yang disebutkan al-Qurʼan, kecuali seorang, hidup dalam

umat-umat terdahulu, yang sejarahnya begitu akrab di kalangan Yahudi, Nasrani, dan Islam.

Perempuan-perempuan ini terbagi dalam dua sub kelompok; yang saleh dan yang sangat

dipuji, serta yang jahat dan dikutuk. Mereka yang termasuk shaleh diantaranya Maryam as.,

ibunda Maryam, ibunda Nabi Yahya as., ibunda Nabi Mûsa as., isteri Firʻaun, isteri Nabi

Ibrahim as., isteri Ayyûb as., dan ratu negeri Saba. Sedangkan yang jahat adalah isteri Nabi

Nûh as., isteri Lût as., isteri gubernur Mesir, dan isteri Abû Lahâb (yang suaminya

62

Ibid., h. 79. 63

Syaikh Imad Zaki al-Barudi, Tafsiral-Qur'an Al-ʻAzhim li An-Nisȃ:Tafsir Wanita, terj. Samson

Rahman (Jakartah: Pustaka al-Kautsar, 2004), h. 3. Lihat juga, 'Ali Hasan, Al-Mar'ah al-Yahudiyah Baina

Fadoihâ al-Taurât wa Qabdât al-Khakamât (Damaskus: Al-Awail), h.20. penulis berpendapat bahwa wanita

dianggap najis oleh pendeta Roma di dasarkan pada dogma yang terdapat dalam Kitab Perjanjian Lama Bab

Imamat Ayat 15: 19-15:30.

Page 45: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

30

merupakan figur utama di kota Mekah pada masa awal Islam).64

Tipologi perempuan dalam

al-Qurʼan setidaknya ada lima tipe. Pertama, perempuan tipe pejuang memiliki ketangguhan,

kemandirian, dan kepribadian kuat. Ia berani menanggung resiko apa pun saat keimanannya

diusik dan kehormatannya dilecehkan. Tipe ini diwakili oleh Siti Aisyah binti Mazahim, isteri

Firʻaun.65

Kedua, tipe perempuan salehah yang menjaga kesucian dirinya. Tipe ini diwakili

Maryam binti Imran. Hari-harinya ia isi dengan ketaatan kepada Allah.66

Ketiga, tipe

penghasut, tukang fitnah, dan biang gosip. Tipe ini diwakili Hindun, isterinya Abû Lahâb. Al-

Qurʼan menyebut dirinya sebagai "pembawa kayu bakar" alias penyebar fitnah.67

Keempat,

tipe perempuan penggoda. Tipe ini diperankan oleh Zulaikha saat menggoda Nabi Yûsuf as.68

Dan kelima, tipe perempuan penghianat dan ingkar terhadap suaminya. Allah Swt. memuji

perempuan yang tidak taat kepada suaminya yang zalim, seperti dilakukan perempuan

Firʻaun.69

3) Kekuatan Pembebas70

Dalam Teologi Islam dijelaskan bahawa para Rasul sebagai seorang pemimpin yang

membebaskan kaum tertindas.

Nabi Saleh disebutkan dalam al-Qur‟an diutus kepada kaum Tsamud.71

Al-Qur‟an

menginformasikan bahwa kaum Tsamud memiliki kemahiran dalam bidang pertanian.

64

A.H Jemala Gembala, Membela Perempuan-Menakar Feminisme Dengan Nalar Agama (Jakarta: Al-

Huda, 2005), h. 77. 65

Baca QS. Al-Tahrîm (66): 12. 66

Baca QS. Maryam (19): 16-34. 67

Baca QS. al-Lahâb (111): 1-5. 68

Baca QS. Yûsuf (12): 24. 69

Zaitunah, Al-Qurʼan dan Perempuan Menuju kesetaraan Gender dalam Penafsiran, h. 380-381. 70

Dalam hal ini, ʻAli Syariʻati menyebutnya "Rausyanfikr" yaitu seorang pemikir tercerahkan yang

mengikuti ideologi yang dipilihnya secara sadar. Ideologi akan membimbingnya kepada pewujudan tujuan

ideologi tersebut, ia akan memimpin gerakan progresif dalam sejarah dan menyadarkan ummat terhadap

kenyataan kehidupan. Ia akan memprakarsai gerakan revolusioner untuk merombak stagnasi. Sebagaimana

rasul-rasul selalu muncul untuk mengubah sejarah dan menciptakan sejarah baru. Memulai gerakan dan

menciptakan revolusi sistemik. Lihat, pengantar ʽAli Syariʽati, Ideologi Kaum Intelektual: Suatu Wawasan

Islam, terj. Syafiq Bashri dan Haidar Baqir (Bandung: Mizan, 1994), h. 14-15. 71

Tsamud adalah sebuah kabilah yang masyhur yang namanya diambil dari kakek mereka, saudara

Judais, keduanya anak Atsir bin Irȃm bin Sȃm bin Nȗh. Mereka adalah bangsa Arab 'aribah', tinggal di Hijr,

sebuah kawasan yang terletak antara Hijaj dan Tabuq. Tsamud adanya setelah kaum 'Ad, mereka menyembah

Page 46: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

31

Mereka juga memiliki kecakapan di bidang konstruksi. Mereka membangun istana-istana

megah di tanah datar dan membangun perumahan mewah di dataran tertinggi. Namun kaum

Tsamud menolak ajakan untuk beriman kepada Allah dari Nabi Saleh. Alasan mereka karena

ajaran Nabi Saleh mengusik keyakinan tradisional mereka. Maka merekapun menganggap

Nabi Saleh orang yang terkena sihir. Hanya golongan tertindas yang mau mengikuti

ajarannya. Golongan mustadʻafȋn memang yang merasakan langsung ketimpangan sistem

sosial pada waktu itu, sehingga relatif lebih mudah menerima seruan Nabi Saleh.

Mereka kaum Tsamud melakukan dosa-dosa ekonomi berupa pemborosan, korupsi/

kerusakan. Nabi Saleh berkata: "Dan janganlah kamu menaati orang-orang yang melampaui

batas" dan juga ungkapannya: "Dan janganlah kamu merajalela di muka bumi membuat

kerusakan", sehingga dengan dosa-dosa yang dilakukan mereka, Azab Allah turun dalam

bentuk kehancuran dalam segalanya.72

Dalam al-Qur‟an juga dikenal pejuang pembela kaum mustadʻafȋn bernama Nabi

Syuʻaib yang diutus kepada kaum Madyan73

. Seruan Nabi Syuʻaib ini direkam Allah dalam

al-Qur‟an

“Dan kami telah mengutus kepada penduduk madyan saudara mereka, Syuʻaib. Ia

berkata:‟Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Ilah bagimu selain-Nya.

Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Rabbmu. Maka sempurnakanlah

takaran dan timbangannya, dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah

Allah memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-

orang yang beriman. Dan janganlah kamu duduk di tiap-tiap jalan dengan menakut-nakuti

berhala seperti halnya kaum ʽÂd. Lihat Ibnu Katsir, Qisas al-Anbiyȃ‟: Kisah Para Nabi, cet. 3, terj. Umar

Mujtahid (Jakarta: Ummul Qura, 2015), h. 193. 72

QS. Al-Naml (27): 51-52. 73

Penduduk Madyan dikenal melekat dengan profesi dagang, akan tetapi dalam perdagangannya

melakukan berbagaikecurangan. Dikisahkan, mereka membeli gandum dan bahan-bahan pokok lainnya

kemudian menimbunnya sampai dating masa harga melonjak. Merekalah yang memulai praktik monopoli

pertama kali. Lihat, Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an, Pembangunan Ekonomi Umat: Tafsir al-Qur‟an

Tematik, cet. 2 (Jakarta: Perpustakaan Nasional RI, 2012), h. 272.

Page 47: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

32

dan menghalang-halangi orang-orang yang beriman dari jalan Allah, dan menginginkan

agar jalan Allah itubengkok. Dan ingatkah diwaktu dahulunya kamu berjumlah sedikit, lalu

Allah memperbanyak jumlah kamu. Dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang

yang berbuat kerusakan.”74

Menariknya dari seruan Nabi Syuʻaib itu salah satunya adalah untuk menyempurnakan

takaran dan timbangan setelah seruan untuk beriman kepada Allah. Dimensi muamalah

menjadi satu yang sangat penting sehingga berhubungan erat dengan seruan untuk iman

kepada Allah. Penduduk Madyan yang menolak ajaran Nabi Syuʻaib pun mempertanyakan

seruannya dengan argumentasi bahwa apa yang mereka sembah adalah ajaran nenek moyang

dan mereka berhak untuk melakukan apapun tentang harta mereka sendiri. Seruan Nabi

Syuʻaib dibalas dengan ancaman pengusiran oleh para pembesar kaum Madyan sebagaimana

dijelaskan dalam al-Qur‟an “Pemuka-pemukakaum Syuʻaib yang menyombongkan

diriberkata:‟Sesungguhnya kami akan mengusir kamu hai Sua‟ib dan orang-orang yang

beriman bersamamu dari kota kami, kecuali kamu kembali kepada agama kami‟. Berkata

Syuʻaib:‟Dan apakah (kamu akan mengusir kami), kendatipun kami tidak menyukainya.”75

Para pemilik modal yang menimbun harta mereka dengan cara-cara yang keji tentu saja

tidak terima jika kepentingan ekonominya diganggu. Sistem kepercayaan yang mereka tata

untuk melanggengkan kepentingan ekonomi dan sosial, tak boleh ada yang mengganggu

gugat. Para pejuang kaum tertindas seperti Nabi Syuʻaib dan para pengikutnya pun mereka

intimidasi. Namun, tentu saja perlakuan buruk seperti itu tak menggoyahkan iman para

pembela kaum mustad‟afȋn. Perjuangan mereka tak berhenti dengan segala bentuk

intimidasi.76

74

QS. Al-Aʻrȃf (7): 85-86 75

QS. Al-Aʻrȃf (7): 88. 76

Ashad Kusuma Djaya, Islam Bagi Kaum Tertindas-Kerangka Pembebasan Kaum mustadhʻafȋn dari

Teologi Ke Sosiologi (Bantul: Kreasi Wacana, 2016), h. 28-36.

Page 48: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

33

Nabi Mûsa diangkat sebagai rasul, dipundaknya terpikul beban untuk menyampaikan

wahyu kebenaran kepada umat manusia. Tugas menyampaikan kebenaran itu ternyata tidak

tanggung-tanggung, kepada Fir‟aun77

penguasa Mesir. Penguasa Mesir yang mempunyai

istana, dimana ia pernah dibesarkan, dimanjakan dan diberi berbagai kesenangan duniawi di

istana itu78

. Mûsa ditugaskan menjumpai Firʽaun, raja lalim raja disembah. Raja yang telah

berbuat kezaliman kepada kaum Banî Isrâil. Mereka diperbudak beratus-ratus tahun di Mesir

itu. Firʽaun memerintah dengan sangat bengis, tidak berperikemanusiaan, diktaktor adikara.

Tidak ada seorangpun yang boleh membantahnya. Kalau membantahnya akibatnya hukuman

pancung. Apalagi terhadap kaum Banî Isrâil, masyarakat budak-budak, kelas kambing yang

tidak punya harkat dan martabat. Inilah tindakan thaga (yang telah melampaui batas).79

Demikian Nabi Muhammad saw. diutus oleh Allah swt. untuk memberikan peringatan

dan membebaskan rakyat Arab pada masa itu dari belenggu krisis moral dan sosial. Belenggu

tersebut lahir dari penumpukan kekayaan yang berlebihan sehingga menibulkan

kebangkrutan sosial.80

Kaum mutrafîn membantah Nabi Muhammad saw. dengan mengatakan bahwa beliau

tidak layak untuk memikul amanat kenabian karena miskin. Alasan lain yang dikemukakan

oleh mereka karena Nabi Muhammad saw. tidak memiliki rumah yang terbuat dari emas atau

penuh dengan perhiasan serta kemewahan. Mereka berkata kepada Nabi Muhammad saw.

77

Dalam Encyclopedia Britannica, mulanya isilah “Firʽaun” dalam istana kerajaan di Mesir kuno dipakai

untuk raja di bawah Kerajaan baru, dan sejak dinasti ke-22 (sekiar tahun 945-730 PM) dimulai pada dinasti ke-

18, tahun 1539-1292 PM, ia dipakai sebagai gelar kehormatan. Sejak iu istilah tersebut menjadi umum untuk

semua raja Mesir kuno, kendati bukan suatu gelar raja secara resmi. Lihat Ali Audah, Nama dan Kata Dalam

Al-Qur‟an- Pembahasan dan Perbandingan (Jakarta: PT. Pustaka Litera Antarnusa, 2011), h. 139. 78

Pada masa Firʽaun dan ribuan tahun yang lalu, Mesir adalah salah satu negara yang berperadaban

tinggi di dunia. Sampai saat ini bangsa Eropa belum bisa menemukan rahasia di balik konstruksi Piramid di

Mesir. Sepanjang sejarah manusia, wilayah di sekitar sungai Nil memiliki peradaban yang cemerlang. Lihat,

Keadilan Sosial: Pandangan Islam Tentang HAM, Hegemoni Barat dan Solusi Dunia Modern, terj. Anna

Farida(Bandung: Penerbit Nuansa, 2001), h. 62. 79

M. Yunan Yusuf, Tafsir Juz „Amma As-Sirajul Wahhaj (Jakarta: Penaadani dan Az-Zahrah, 2010), h.

72. 80

Sudarto, Wacana Islam Progresif(Jogjakarta: Ircisod, 2014), h. 36.

Page 49: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

34

jika beliau memiliki harta melimpah dan tidak miskin, maka Jibril akan menyampaikan

wahyu kepada beliau, dan jika beliau kaya, maka beliau bisa menjadi pemimpin mereka.81

Pembebasan mustadʻafȋn di zaman Nabi Muhammad saw. terbagi menjadi dua fase:

fase Makkah, dan fase Madinah. Pada fase Mekah, dalam menghadapi penghinaan,

gangguan, dan penindasan kaum kafir, kaum muslim lebih banyak diperintah untuk bersabar

atau menghindar dengan cara berhijrah.82

Nabi Muhammad saw. yang di-backup oleh

kelompok-kelompok marginal atau para budak dan orang-orang tidak ahli berdagang di satu

sisi, serta pemuda progresif di sisi yang lain, secara langsung maupun tidak langsung, telah

melakukan "revolusi bawah tanah" dengan rumusan yang didakwahkan, "Lâ Ilâha illa Allah".

Dengan konsepsi ini, beliau dan koalisi kecilnya tidak saja menolak tuhan-tuhan selain Allah

swt. yang dipajang di sekitar Kaʻbah, tetapi juga menolak mengakui otoritas kelompok

kepentingan yang berkuasa dan struktur sosial yang mulai bangkrut pada masanya.83

Ada beberapa tindakan dan peristiwa yang dapat dikategorikan sebagai perjuangan Nabi

saw. bersama kaum Muslimin sewaktu masih di Mekah, baik dalam rangka penyebaran

dakwah maupun untuk menyelamatkan diri dari penindasan kaum kafir Quraisy. Tindakan

dan peristiwa itu diantaranya menjadikan rumah al-Arqâm bin Abi al-Arqâm sebagai pesat

dakwah, hijrah pertama dan kedua ke Ethopia84

, Ba‟iat ʻAqabah pertama dan kedua, dan

hijrah ke Madinah. Sedangkan pada fase Madinah, kaum Muslimin sudah mulai diperintah

berjuang (melawan) secara fisik. Ini seperti terlihat antara lain dalam QS. Al-Hajj (22): 39.

81

ʽAli Akbar Hashemi Rafsanjani, Keadilan Sosial-Pandangan Islam tentang HAM, Hegemoni Barat,

dan Solusi dunia Modern, h. 229. 82

Badruzzaman, Dari Teologi Menuju Aksi- Membela yang Lemah, Menggempur Kesenjangan, h.55. 83

Sudarto, Wacana Islam Progresif, h. 40. 84

Di masa-masa awal Islam ketika al-Najasyi (Raja Negus di Abbisinia: Ethiopia) menerima informasi

tentang Islam, ia menjadi orang pertama yang menyebarkan Islam di Ethiophia. Lihat,Keadilan Sosial:

Pandangan Islam Tentang HAM, Hegemoni Barat dan Solusi Dunia Modern, h. 62.

Page 50: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

35

“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya

mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa enolong

merekaitu.”

Yang dimaksud dengan "mereka telah dianiaya" adalah Nabi saw. dan para

sahabatnya ketika mereka diusir dari Mekah. Ini merupakan ayat pertama turun tentang jihad

fisik (perang). Demikian Ibnu Katsir dalam tafsirnya. Ibnu Kâtsir juga mengutip riwayat dari

Ibnu „Abbas yang mengatakan bahwa ketika Nabi saw di usir dari Mekah, Abu Bakar

berkata: “Mereka mengusir Nabinya.Inna lillâhi wa inna ilaihi râjiʻȗn.” Kemudian Allah

menurunkan ayat di atas, Abû Bakar berkata lagi: “Maka akupun tahu bahwasannya akan

ada perang.”85

Nabi Muhammad saw. pada dasarnya terikat janji untuk membebaskan golongan

masyarakat yang lemah secara biologis maupun ekonomi. Perempuan, seperti telah

disinggung di muka, sangat tidak berdaya di dunia Arab khususnya dan di seluruh dunia pada

umumnya. Namun kemudian, Nabi Muhammad saw. melalui al-Qur‟an mendeklarasikan

hak-hak perempuan.86

B. Ayat-ayat Tentang Al-Mustadʻafin

1. Ayat dan Terjemah

Dalam Kitab al-Istidʻaf Wa Ahkȃmuhu, Terkait lafadz istadʻifu, mustadʻafȋn,

mustadʻafȗn, istadʻafunȋ, yastadʻafu, yang semua itu adalah al-mustadʻafȋn, dalam al-Qur‟an

terdapat 13 ayat dalam 5 surat, yaitu:87

a. Q.S Al-Nisȃ‟ (4) : 75.

85

Badruzaman, Dari Teologi Menuju Aksi- Membela yang Lemah, Menggempur Kesenjangan, h.56. 86

Badruzaman, Islam dan Teologi Pembebasan, h. 50. 87

Ziyâd bin ʻAbidu al-Masywakhi, al-Istidʻaf Wa Ahkamuhu (Riyâd: Dar Kunûz Isybiliyân, 2012), h. 23.

Page 51: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

36

"Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang

lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdoa: "Ya Tuhan

kami,keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekah) yang zalim penduduknya dan berilah kami

pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau!."

b. Q.S Al-Nisȃ‟ (4): 97

Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri

sendiri, (kepada mereka) ma-laikat bertanya : "Dalam keadaan bagaimana kamu ini?."

Mereka menjawab: "Adalah kami orangorang yang tertindas di negeri (Mekah)." Para

malaikat berkata: "Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi

itu?." Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk

tempat kembali.

c. Q.S Al-Nisȃ‟ (4): 98

Kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak

mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah).

d. Q.S Al-Nisȃ‟ (4): 127

Page 52: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

37

Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah: "Allah memberi

fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Al-Qur'an (juga

memfatwakan) tentang para wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa

yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu ingin mengawini mereka dan tentang anak-anak

yang masih dipandang lemah. Dan (Allah menyuruh kamu) supaya kamu mengurus anak-

anak yatim secara adil. Dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, maka sesungguhnya

Allah adalah Maha Mengetahuinya.

e. Al-Aʻrȃf (7): 75

Pemuka-pemuka yang menyombongkan diri di antara kaumnya berkata kepada

orangorang yang dianggap lemah yang telah beriman di antara mereka: "Tahukah kamu

bahwa Shaleh di utus (menjadi rasul) oleh Tuhannya?." Mereka menjawab: "Sesungguhnya

kami beriman kepada wahyu, yang Shaleh diutus untuk menyampaikannya."

f. Al-Aʻrȃf (7): 137

Dan Kami pusakakan kepada kaum yang telah ditindas itu, negerinegeri bahagian

timur bumi dan bahagian baratnya yang telah Kami beri berkah padanya. Dan telah

sempurnalah perkataan Tuhanmu yang baik (sebagai janji) untuk Bani Isra‟il disebabkan

kesabaran mereka. Dan Kami hancurkan apa yang telah dibuat Firʽaun dan kaumnya dan

apa yang telah dibangun mereka.

g. Al-Aʻrȃf (7): 150

Page 53: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

38

Dan tatkala Musa telah kembali kepada kaumnya dengan marah dan sedih hati

berkatalah dia: "Alangkah buruk-nya perbuatan yang kamu kerjakan sesudah kepergianku!

Apakah kamu hendak mendahului janji Tuhanmu? Dan Musapun melemparkan luh-luh

(Taurat) itu dan memegang (rambut) kepala saudaranya (Harun) sambil me-nariknya ke

arahnya, Harun berkata: "Hai anak ibuku, sesungguhnya kaum ini telah menganggapku

lemah dan hampir-hampir mereka membunuhku, sebab itu janganlah kamu menjadikan

musuh-musuh gembira melihatku, dan janganlah kamu masukkan aku ke dalam golongan

orang-orang yang zalim"

h. Al-Anfȃl (8): 26

Dan ingatlah (hai para muhajirin) ketika kamu masih berjumlah sedikit, lagi tertindas

di muka bumi (Mekah), kamu takut orang-orang (Mekah) akan menculik kamu, maka Allah

memberi kamu tempat menetap (Madinah) dan dijadikan-Nya kamu kuat dengan

pertolongan-Nya dan diberi-Nya kamu rezeki dari yang baik-baik agar kamu bersyukur.

i. Al-Qishȃs (28): 4

Sesungguhnya Firʽaun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan

penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak

lakilaki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya

Firʽaun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.

j. Al-Qishȃs (28): 5

Page 54: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

39

Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi

(Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang

yang mewarisi (bumi).

k. Sabâ (34): 31

Dan orang-orang kafir berkata: "Kami sekali-kali tidak akan beriman kepada Al

Qurʼan ini dan tidak (pula) kepada kitab yang sebelumnya." Dan (alangkah hebatnya) kalau

kamu lihat ketika orang-orang yang zalim itu dihadapkan kepada Tuhannya, sebahagian dari

mereka menghadap kan perkataan kepada sebagian yang lain; orang-orang yang dianggap

lemah berkata kepada orang-orang yang menyombongkan diri: "Kalau tidaklah karena kamu

tentulah kami menjadi orang-orang yang beriman."

l. Sabâ (34): 32

Orang-orang yang menyombongkan diri berkata kepada orang-orang yang dianggap

lemah: "Kamikah yang telah menghalangi kamu dari petunjuk sesudah petunjuk itu datang

kepadamu? (Tidak), sebenarnya kamu sendirilah orang-orang yang berdosa."

m. Sabâ (34): 33

Dan orang-orang yang dianggap lemah berkata kepada orang-orang yang

menyombongkan diri: "(Tidak) sebenarnya tipu daya(mu) di waktu malam dan siang (yang

Page 55: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

40

menghalangi kami), ketika kamu menyeru kami supaya kami kafir kepada Allah dan

menjadikan sekutu-sekutu bagi-Nya." Kedua belah pihak menyatakan penyesalan tatkala

mereka melihat azab. Dan kami pasang belenggu di leher orang-orang yang kafir. Mereka

tidak dibalas melainkan dengan apa yang telah mereka kerjakan.

Dari beberapa ayat di atas penulis menyimpulkan bahwa ayat-ayat mengenai

mustadaʽfin selalu dikaitkan dengan mustakbirîn mendapatkan cacian dan hinaan oleh

mustadʽifîn atau mustakbirîn. Bahkan di akhirat pun mereka saling memperdebatkan tentang

keimanannya di hadapan Tuhan dengan saling menyalahkan satu sama lain.

2. Asbab Al-Nuzul QS. (4): 97-99

Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa beberapa orang Muslim dulu

tinggal bersama orang-orang musyrik sehingga memperbanyak jumlah orang-orang musyrik

yang menyerang Rasulullah. Lalu terkadang anak panah yang dilemparkan orang-orang

muslim yang bersama Rasulullah mengenai salah satu dari orang-orang muslim tersebut

hingga terbunuh atau mati karena tertebas pedang orang-orang muslim yang bersama

Rasulullah terebut. Maka turun Firman Allah, "Sesungguhnya orang-orang yang dicabut

nyawanya oleh malaikat dalam keadaan menzalimi sendiri..."88

Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa di antara pasukan musyrikin terdapat Kaum

Muslimin Mekah (yang masih lemah imannya) yang turut berperang menentang Rasulullah

saw, sehingga ada yang terbunuh karena panah atau pedang pasukan Rasulullah. Maka

turunlah ayat ini;

88

Jalaluddin as-Suyuthi, Lubâb al-Nuqûl Fî Asbâb al-Nuzûl, terj. Tim Abdul Hayyie (Depok: Gema

Insani, 2015), h. 191.

Page 56: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

41

Sebagai penjelasan hukum bagi Muslimin yang lemah imannya, yang menganiaya

dirinya (mampu membela Islam tetapi tidak melakukannya).89

Dalam riwayat lain yang diriwayatkan oleh Ibnu Marduwih dikemukakan bahwa nama

orang-orang yang menambah jumlah musyrikin itu antara lain Qais bin Wâlid bin Mughîrah,

Abu Qais bin al-Fâqih bin Mughîrah, Wâlid bin ʻUtbah bin Rabiʻah, ʻAmr bin ʻUmayah bin

Sufyân, dan ʻAli bin ʻUmayah bin Khâlaf. Dan selanjutnya dikemukakan bahwa peristiwanya

terjadi pada peperangan Badr, di saat mereka melihat jumlah kaum Muslimin sangat sedikit,

timbulah rasa keragu-raguan pada mereka dan berkata: "Tertipu mereka dengan Agamanya".

Orang tersebut di atas mati terbunuh di perang Badr itu.

Menurut Ibnu Abî Hatim: Di antara orang-orang tersebut dalam hadits di atas, termasuk

juga al-Harts bin Zam'ah bin al-Aswâd dan al-ʻAsh bin Munabbih bin al-Hajjaj.

Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa ketika segolongan orang-orang Mekah telah

masuk Islam dan Rasulullah hijrah, mereka enggan ikut dan takut berhijrah. Maka Allah

menurunkan ayat tersebut di atas90

sebagai ancaman hukuman bagi yang enggan dan takut

memisahkan diri dari kaum yang memusuhi agama, kecuali orang yang tidak berdaya.91

Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa, adalah segolongan orang Mekah yang telah

masuk Islam, tetapi menyembunyikan ke Islamannya. Di waktu perang Badr, mereka dipaksa

menyertai kaum Quraisy untuk berperang melawan Rasulullah sehingga banyak yang mati

terbunuh. Berkatalah Kaum Muslimin Madinah: "Mereka itu adalah orang-orang Islam, tapi

dipaksa ikut berperang, hendaklah mintakan ampun bagi mereka". Maka turunlah ayat ini92

89

Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Ibnu ʻAbbas. 90

Al-Nisȃʼ (4): 97-98. 91

Diriwayatkan oleh al-Thabrani dari Ibnu ʻAbbȃs 92

Al-Nisȃʼ (4): 97.

Page 57: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

42

Kemudian mereka menulis surat kepada Kaum Muslimin yang masih ada di Mekah

dengan ayat tadi, dan tidak ada alasan untuk tidak hijrah. Kemudian mereka hijrah ke

Madinah, tetapi masih dikejar dan dianiaya oleh kaum musyrikin, akhirnya mereka terpaksa

pulang kembali ke Mekah. Maka turunlah ayat yangberkenaan dengan peristiwa diatas

sebagai teguran terhadap keluhan mereka yang menganggap siksaan yang dialaminya sebagai

adzab dari Allah.93

Ayat inipun dikirimkan lagi kepada Kaum Muslimin Mekah, dan mereka merasa sedih.

Maka turunlah ayat yang menerangkan janji Allah untuk melindungi orang yang hijrah dan

bersabar.94

Ayat ini dikirimkan pula pada Kaum Muslimin Mekah, dan mereka berhijrah ke

Madinah dan tidak luput dari kejaran kaum musyrikin, di antaranya ada yang selamat, tapi

ada juga yang gugur.95

Ikrimah berkata, orang Muslim Madinah mengirim surat mengenai hal itu kepada orang

Islam yang ada di Mekah. Lalu seorang laki-laki dari Banî Bakar yang sedang sakit berkata

kepada anak-anaknya, bawalah aku keluar menuju Madinah. Lalu mereka membawanya

menuju ke Madinah di atas tandu. Ketika sampai di al-Hash-hash dia mati. Lalu Allah

menurunkan firmannya:

"Barangsiapa keluar dari tempatnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan

Rasulnya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke yempat yang di tuju. Maka

sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha

Penyayang".96

93

Baca QS. (29): 10. 94

QS. Al-Anâm (6): 110. 95

Diriwayatkan oleh Ibnu Mundzir dan Ibnu Jarir yang bersumber dari Ibnu ʻAbbȃs, dan diriwayatkan

pula oleh Ibnu Jarir dari berbagai jalan seperti itu. Lihat, K.H.Q. Shaleh, dkk. Asbâb al-Nuzûl-Latar Belakang

Historis Turunnya Ayat-Ayat Al-Qur‟an (Bandung: CV. Diponogoro, 1995), h. 151-153. 96

Al-Wahidi an-Naisaburi, Sebab-Sebab Turunnya Ayat-Ayat al-Qur'an, terj. Moh Syamsyi (Surabaya:

Amelia Surabaya, 2014), h. 273.

Page 58: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

43

3. Tafsir Ayat

1. Tafsir Abad Pertengahan

Tafsir pertengahan yaitu penafsiran sekitar pada abad ke-13 sampai abad ke-18 Masehi,

periode ini dimulai dengan munculnya produk penafsiran yang sistematis dan sampai ke

tangan generasi sekarang dalam bentuk buku. Dalam peta sejarah pemikiran Islam, periode

pertengahan dikenal sebagai zaman keemasan ilmu pengetahuan. Tafsir yang pertama kali

lahir pada masa ini ialah Tafsir Ibn „Abbâs.97

a. Penafsiran Asyʻariyah (Imam Fakhruddin al-Râzi)

Al-Rȃzi98

menegaskan dalam tafsirnya bahwa mustadʻafȋn ialah orang-orang yang

dibuang oleh orang kafir Mekah yang sangat kuat. Ibnu ʻAbbâs pernah berkata aku dan ibuku

merupakan orang di antara orang-orang yang tertindas dari perempuan dan anak-anak.

Karakteristik orang-orang kafir adalah mustakbirȋn, sedangkan orang-orang yang

beriman mereka adalah mustadʽafin. Dan mustakbirȋn selalu mencela kepada mustadʻafȋn,

mereka mendapatkan cacian atau makian. Hal ini bukanlah karena keadaan karakteristiknya

97

„Ali Hasan al-Aʻridi, Sejarah dan Metodologi Tafsir, terj. Ahmad Akrom, (Jakarta: Rajawali Pers,

1994), h. 23. Penulis berpendapat bahwa di abad pertengahan ini sangat pesat perkembangan ilmu pengetahuan..

Dengan pesatnya itu berdampak kepada pemikiranpara mufasir, sehingga dalam peta ideologi mufasir berbeda.

Perbedaan ideologi bukan hanya dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan, tetapi di sisi lain disebabkan oleh konflik

antara Muawiyah dengan Ali.Dengan demikian, penulis lebih fokus mengkategorikan tafsir abad pertengahan

dengan mazhabnya 98

Fakhruddȋn al-Rȃzȋ (554 H/ 1150-1210) bernama asli Muhammad bin ʻUmar bin Hasan bin Husain al-

Taimȋ al-Bakrȋ. Dia seorang imam ahli tafsir; orang yang paling cemerlang pada masanya, baik itu di bidang

logika, teks agama, maupun ilmu-ilmu kuno. Ia bernasabkan suku Quraisy dan berasal dari Tabaristan, Iran. Ia

dilahirkan di kota Ray yang menjadi nisbah namanya. Al-Rȃzȋ biasa dipanggil dengan nama Ibnu al-Khȃthib al-

Ray. Ia melakukan perjalanan ke Khawarizm, Transoxiana, dan Khurasan, sampai akhirnya wafat di Herat.

Lihat, pengantar Imam Fakhruddȋn al-Rȃzȋ, Kitab al-Firȃsat: Ilmu Membaca Sifat dan Karakter Orang dari

Bentuk Tubuhnya, terj. Fuad Syaifuddin Nur (Jakarta: Turos Khazanah Pustaka Islam, 2015), h. 24-23. Al-Rȃzi

penganut aliran ʻAsyʻariyyah dan menolak aliran Muʻtazilah. Dalam hal fikih, ia menganut mazhab Imam

Syȃfiʻȋ. salah satu kitabnya adalah Tafsȋr al-Kabȋr Mafȃtih al-Ghaib. Dalam metode ataupun coraknya, tafsir al-

Rȃzȋ secara global lebih pantas digolongkan sebagai ensiklopedia yang besar dalam ilmu alam, biologi, dan

ilmu-ilmu yang ada hubungannya, baik secara langsung ataupun tidak langsung, dengan ilmu tafsir dan semua

ilmu yang menjadi sarana untuk memahaminya. Lihat, Faizah. Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas

Kitab Tafsir Klasik-Modern (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2011), h. 54-61.

Page 59: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

44

atau tingkah lakunya, akan tetapi sifat mustakbirȋn yang menganggap dirinya benar dan

mereka menganggap musuh kepada orang yang dicelanya itu.99

Sedangkan mustadʻafȋn pada surat al-Nisâʼ ayat 97 adalah orang-orang yang menzalimi

dirinya sendiri. Para ulama menjelaskan bahwa zalim di sini yaitu pertama ditunjukan kepada

orang Islam yang tinggal menetap di negara kafir, yang mana mereka tidak mau berhijrah ke

negara Islam; dan kedua ditunjukan kepada mereka yang tinggal dalam suatu kaum di antara

orang-orang munafik yang mana untuk menampakan keimanannya sebagai orang-orang

Muʼmin sangat takut, sehingga mereka kembali kepada kaumnya yang sudah jelas

kekafirannya bagi mereka dan mereka enggan untuk berhijrah ke Madinah. Dengan demikian

penjelasan Allah swt. pada ayat ini bahwa kezaliman mereka pada dirinya adalah mereka

yang munafik, kafir dan orang yang meninggalkan hijrah.

Dengan demikian, ketika mereka yang zalim ditanya oleh malaikat, mereka mengaku

sebagai al-mustadʻafȋn. Jawaban mereka hanya sebuah kebohongan yang mengklaim dirinya

sebagai al-mustadʻafȋn, padahal sejatinya mereka mampu untuk berhijrah, tetapi mereka tidak

mau berhijrah, sehingga dari kesalahan mereka, malaikat mengelakannya bahkan

menyalahkannya.100

Maksudnya ialah orang-orang yang mampu untuk keluar dari kota Mekah ke sebagian

kota yang tidak mencegah mereka untuk menegakan agamanya. Tetapi mereka tetap tinggal

di antara orang-orang kafir dan enggan untuk berpisah. Padahal mereka mampu untuk

berpisah.

Maka sudah pasti apa yang dikatakan oleh Allah (mereka itu tempatnya nereka

Jahannam, dan neraka Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali).

99

Muhammad al-Rȃzȋ Fakhruddȋn Ibnu al-'Alamȋ Diyau‟ddȋn 'Umar, Tafsir al-Fakhru al-Rȃzȋ: al-Kabȋr

Wa Mafȃtih al-Ghaib, juz 14 (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), h. 127. 100

Al-Râzi, Tafsir al-Fakhru al-Razi: al-Kabȋr Wa Mafȃtih al-Ghaib, juz 11, h. 11-12.

Page 60: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

45

Sedangkan mustadʻafȋn pada ayat 98 diartikan sebagai orang-orang yang tidak mampu

berhijrah dari tempat keadaannya. Maksudnya ialah orang yang tidak mampu atas

kekuatannya dan tidak mempunyai bekal atau dalam keadaan sakit, ataupun juga mereka

mengalami tekanan di bawah paksaan orang-orang yang mencegah mereka untuk

berhijrah.101

Sehingga mereka diberikan dispensasi sebagaimana firman Allah."Mereka itu mudah-

mudahan Allah memaafkannya. Maaf-Nya tidak bisa di gambarkan sama seperti halnya

sebuah dosa. Kemudian "عضى" merupakan kalimat االطبع (pengharapan), dan ini adalah

suatu permintaan dari keinginannya untuk mendapatkannya dengan memperoleh pemaafan

bagi hakya mereka.

b. Penafsiran Muʻtazilah (Imam al-Zamakhsyari)

Zamaksyari102

mengatakan bahwa mustadʻafȋn merupakan orang-orang miskin

minoritas dari kalangan Mu‟min. Sedangkan apabila merujuk kepada mustadʻafȋn yang

bukan dari kalangan minoritas, mereka itu bisa dari kalangan orang-orang yang berimanatau

bisa dari kalangan orang-orang kafir.103

Dalam surat al-Nisâ‟ ayat 97 beliau menjelaskan bahwa orang-orang yang menzalimi

dirinya sendiri ditanya oleh malaikat “dalam keadaan bagaimana kamu?” Maksudnya

sesuatu dari perkara agama mereka atau mereka adalah orang Islam dari kalangan Mekah

yang mana mereka tidak mau berhijrah sebagaimana yang telah diwajibkan.Kemudian

101

Ibid, al-Tafsir al-Razi, juz 11, h. 13. 102

Nama lengkapnya adalah Abû al-Qâsim Mahmud ibn Muhammad al-Khawarizmî yang diberi gelar

dengan sebutan Jârullah. Beliau di lahirkan di salah satu desa Khawarizmi yang bernama Zamakhsyar yang

terletak di Asia tengah pada bulan Rajab tahun 467 H. Kemudian akhir hayatnya pada tahun 538 H di

Jarjaniyah, salah satu daerah Khawarizm. Salah satu kitabnya ialah Tafsîr al-Kasyâf yang di karang saat detik-

detik akhir hayatnya. Metode yang ia gunakan dalam tafsirnya ialah dengan menggunakan metode tahlily,

sedangkan ciraknya dengan memakai pendekatan balaghah, maʽani dan ilmu-ilmu bahasa lainnya. Lihat, ,

Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h. 39-51, Lihat juga, Muhammad Husain al-Dzahabî, Tafsir wa al-

Mufassirûn, juz 1, (Qâhirat: Maktabah Wa Hasibah, 1986), h. 304-315 103

Abi al-Qasim Muhammad bin ʽUmar al-Zamakhsyari, al-Kasysyaf, juz 2, (Riyadh: Maktabah al-

'Abikan, 1998), h. 466.

Page 61: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

46

jawaban dari mereka itu; “Kami adalah orang-orang tertindas di dalam bumi”. Jawaban

mereka hanya sebuah kebohongan yang mengklaim dirinya sebagai al-mustadʼafîn, padahal

sejatinya mereka mampu untuk berhijrah, tetapi mereka tidak mau berhijrah. Kemudian

malaikat memalingkannya dengan berkata (bukankah bumi Allah itu luas sehingga kalian

bisa berhijrah di dalammya). Sebenarnya mampu untuk keluar dari kota Mekah kepada

sebagian kota yang tidak ada orang yang mencegah mereka dalam menyiarkan agamanya.

Sebagaimana telah dilakukan oleh orang-orang yang berhijrah kepada Rasulullah saw. ke

kota Habsyah.

Kemudian pada ayat selanjutnya beliau menjelaskan pengecualian kepada orang-orang

desa bahwa mereka adalah mustadʻafȋn yang tidak mempunyai kekuatan untuk keluar,

mereka adalah fakir miskin, orang tua, dan orangyang tidak mengetahui suatu cara, dan

mereka adalah anak kecil dari kalangan laki-laki dan perempuan yang tidak mempunyai

kekuatan dan tidak mengetahui petunjuk jalan. Akan tetapi alasan untuk keluar adalah laki-

laki dan perempuan dari kalangan pemuda desa yang berjumlah banyak.104

Selanjutnya dalam surat Qisâs ayat 5, Zamakhsyari menjelaskan sama seperti

penafsiran al-Râzi. ia mengatakan bahwa Apabila kamu bertanya bagaimana mengumpulkan

orang-orang yang tertindas itu dan bagaimana Allah memberikan karunia terhadap mereka,

dan apakah karunia Allah terhadap sesuatu itu tidak akan berakhir sampai kiamat?

Maka aku menjawab telah terbukti karunia Allah dengan selamatnya orang-orang yang

tertindas dari Firʽaun dari suatu desa yang telah ditetapkan. Allah menjadikan hal ini sebagai

perbandingan dari penindasan Firaʽun terhadap mereka.105

104

Zamakhsyari, al-Kasyȃf, juz 2, h. 137-138. 105

Ibid., h. 794-795.

Page 62: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

47

c. Penafsiran Syiʻah (Imam al-Qummi)

Al-Qummȋ106

mengatakan dalam tafsirnya bahwa mustadʻafȋn dalam ayat ini ditunjukan

kepada orang-orang lemah Makkah yang mana mereka tidak mengetahui tentang

kebenaran.107

akan tetapi mereka orang-orang yang telah mengetahui suatu panduan atau

pedoman dan petunjuk suatu kebenaran. jelasnya, agama Allah dan kitab-Nya sangat luas.

Kemudian al-Qummȋ meriwayatkan dari ayahnya, dari Yahya bin Abî ʻImrân dari

Yunus dari Muhammad dari Ibnu Toyyar dari Abu Jaʻfar telah berkata: dia menyanyakan

tentang orang-orang yang tertindas, dan dia berkata:

"Mereka adalah orang-orang yang tidak mampu untuk membantah orang-orang Kafir

Mekkah sehingga mereka termasuk dari golongan tersebut. Mereka tidak mempunyai

petunjuk atas keimanannya sehingga dikatakan mereka itu adalah orang-orang yang tidak

mampu beriman dan tidak mampu pula untuk kafir, mereka adalah anak-anak kecil dan dari

kalangan laki-laki ataupun kalangan perempuan”.108

2. Tafsir Modern-Kontemporer

Periode ini dimulai dari akhir abad ke-19 hingga masa kini. Tafsir masa kini dipelopori

oleh tokoh dan pejuang muslim yang berupaya untuk melakukan perbaikan dalam dunia

Islam. Tafsir yang pertama kali muncul pada periode ini ialah tafsir al-Manâr karya

Muhammad Abduh dan Rasyid Rida di Mesir. 109

106

Nama lengkapnya adalah Abû al-Hasan ʽAli bin Ibrâhim al-Qummî, ia dilahirkan di Kufah Irak

Kemudian pindah ke kota Qum. Tidak diketahui tanggal lahirnya namun dipastikan ia sezaman dengan Imam al-

ʻAskari pada tahun 307 H. dan menurut catatan sejarah diperkirakan ia meninggal pada 991 M. Thabathabaʻi

menilai bahwa ia adalah seorang periwayat hadis yang tsiqah dan shahih, sedangkan al-Dzahabi menyebutnya

sebagai seorang Syiʽah Rafhidi, syiah ekstrim. Merujuk pada penanggalan yang ada, maka tafsir al-Qummî

termasuk tafsir generasi abad ketiga hijriyah, tafsir generasi awal dari tradisi tafsir al-Qurʼan. Metode yang

digunakan dalam tafsirnya ialah deskriptif-komparatif. Ini digunakan untuk mendeskripsikan ayat-ayat al-

Qurʼan yang terindikasi ditafsir dan ditakwilkan dengan berkecenderungan tashayyu'untuk kemudian dibuat

kesimpulan umum bahwa tafsir ini benar-benar mengandung penafsiran yang ideologis, politis, dan tendensius.

Metode komparatif untuk mengetahui perbandingan dengan tafsir dari sumber lain. Standar umum yang

digunakan untuk memperbandingkan makna yang dirujuk dan diidentifikasi berkecenderungan tashayyu'. Lihat,

Ahmad Zainal Abidin, Tafsir al-Qummî dan Politik: Telaah atas Kecenderungan Tashayyu'dalam Penafsiran

Surat al-Baqarah, Al-Tahrir, Vol. 16, No. 2, (IAIN Tulungagung, 2016), h.442-444. 107

'Ali bin Ibrâhim al-Qummȋ, Tafsir al-Qummȋ, juz 1, (Qum: Muassasah Dar al-Kitȃb li al-Tabȃʻah wa

al-Nasyr, 1404), h. 218. 108

Ibid., al-Qummî, juz 1, h. 219. Baca juga Hadis Shahih Bukhari. 109

Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir (Bandung:Tafakur, 2009), Cet.II, h. 25-26.

Page 63: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

48

a. Penafsiran Sayyid Qutȗb

Sayyid Qutȗb110

dalam tafsirnya menjelaskan tentang segolongan orang-orang yang

duduk saja, yaitu orang-orang yang tinggal di negeri kufur dengan tidak mau berhijrah dari

sana karena tertahan oleh harta dan kepentingan mereka, atau tertahan oleh kelemahan

mereka untuk menanggung beban penderitaan berhijrah, padahal mereka mampu berhijrah

kalau mereka berminta dan mau berkorban, sehingga tiba ajal mereka dan malaikat datang

untuk mencabut nyawa mereka.

Surat al-Nisâ‟ Ayat 97 membicarakan mereka dengan gambaran yang hina dan amat

buruk, yang dapat mengunggah semangat orang-orang yang duduk untuk segera bangkit dan

berlari dengan membawa agama dan akidahnya, untuk mendapatkan tempat kembali di sisi

Tuhannya.

Nash ini dihadapkan pada kondisi rill di Jazirah Arabia, di Mekah dan lain-lainnya-

sesudah hijrah Rasulullah saw. Dan sesudah berdirinya Daulah Islamiah di Mekah. Pasalnya,

di Mekah masih ada orang-orang Muslim yang tidak melakukan hijrah karena tertahan oleh

harta benda dan kepentingan mereka. Kaum musyrikin tidak membiarkan seorang pun unuk

berhijrah dengan membawa harta bendanya atau, karena takut menanggung resiko hijrah,

sebab kaum musyrikin tidak membiarkan seorang muslim pun pergi berhijrah melainkan

mereka halang-halangi dan mereka intai di jalan. Ada juga segolongan orang yang memang

terhalang untuk hijrah karena memang benar-benar lemah kondisinya, yaitu orang-orang

110

Nama lengkapnya adalah Sayyid bin Qutb bin Ibrâhim, lahir di musyah, provinsi Asiyut, Mesir pada

tanggal 9 Oktober 1906. Ia dibesarkan dalam sebuah keluarga yang menitikberatkan pada ajaran Islam dan

mencintai al-Qur'an. Di dalam Ikhwanul Muslimin ia terkenal sebagai "Pemikir Islam" yang berorientasi pada

ideologi Islam, menggantikan kedudukan Hasan al-Banna. Qutb dinyatakan bersalah dan dihukum gantung pada

tanggal 29 Agustus 1966 atau 13 JumadilAwwal 1386 H.Buah karyanya adalah Tafsîr Fi zilâl al-Qur'an. Ia

menafsirkan dengan metode tahlily, sedangkan coraknya memiliki kecenderungan corak adabi ijtimâʻi. Lihat,

Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h. 138-139. Lihat juga, Imam Ghazali Said, Ideologi Kaum

Fundamentalis, (Surabaya: Diantama, 2003), h, 190. Atau lihat juga tafsirnya, Sayyid Qutub, Tafsir Fi Zilâlil

Qur'an, jilid 12 (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), 406.

Page 64: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

49

lanjut usia, kaum wanita, dan anak-anak yang tidak berdaya unuk melarikan diri dan tidak

mendapatkan jalan untuk hijrah.

Sebagian mereka ada yang terfitnah dan sebagian lagi terpaksa menampakan kekafiran

sebagian taktik dan turut serta melakukan peribadatan kaum musyrikin. Taktik semacam ini

boleh dilakukan kalau mereka tidak mempunyai negara tempat berhijrah, kalau mereka

mampu. Adapun setelah berdirinya negara atau Daulah Islamiah, setelah adanya Darul Islam,

maka tunduk kepada fitnah (ajakan murtad) atau berlindung dengan Taqiyyah111

'taktik

menjaga diri', padahal mereka memiliki kelonggaran untuk berhijrah dan menjalankan Islam

secara terang-terangan serta hidup di Darul Islam tidak dapat diterima.

Demikianlah nash-nash ini turun, dengan menyebut orang-orang yang tidak berhijrah

demi menjaga harta benda dan kepentingan mereka, atau karena takut resiko hijrah dan

penderitaan dijalan, hingga datang ajal mereka, sebagai "orang-orang yang menjalimi dirinya

sendiri", karena mereka telah mengharamkan dirinya untuk hidup di Darul Islam, dengan

kehidupan yang tinggi, bersih, mulia, dan bebas merdeka. Mereka menetapkan dirinya untuk

hidup di negeri kafir dengan kehidupan yang hina, lemah, dan tertindas. Mereka diancam

dengan "neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali."112

Jadi nash ini menunjukan bahwa mustadʻafȋn yang dimaksud adalah orang-orang yang

terfitnah dari agamanya secara praktis di Mekah. Akan tetapi, al-Qurʼan dengan metodenya

mengungkapkannya dalam suatu gambaran, dan melukiskannya dalam suatu pemandangan

yang berdenyut dan bergerak serta dapat berdialog.

111

Taqiyyah secara etimologi diartikan sebagai pemeliharaan atau penghindaran. Sedangkan secara istilah

ialah sebagai sebuah tindakan meninggalkan kewajiban untuk memelihara hidup atau menghindar dari ancaman

yang membahayakan hidup. Lihat, M. Quraish Shihab, Sunnah-Syiʻah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?

Kajian atas Konsep Ajaran dan Pemikiran, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), h. 199. 112

Sayid Qutub, Di Bawah Naungan al-Qurʼan, Jilid 3 (Jakarta:Gema Insani Press, 2001), h. 61.

Page 65: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

50

Mereka yang duduk, tidak mau berhijrah itu telah menganiaya diri mereka sendiri dan

malaikat datang kepada mereka untuk mencabut nyawa mereka sedang keadaan mereka

seperti itu. Ini saja sudah cukup menggerakan dan menggetarkan jiwa, karena sudah

menakutkan kiranya seseorang membayangkan dirinya dicabut nyawanya oleh malaikat

sedang dia dalam keadaan menjalimi dirinya dan di depannya sudah tidak ada kesempatan

lagi untuk memperbaiki dirinya, karena ini merupakan saat yang terakhir

Akan tetapi malaikat tidak hanya mencabut nyawa mereka dengan diam saja,

melainkan menghadapkan kepada mereka masa lalu mereka, dan menunjukan kemungkaran

perbuatan mereka serta mengajukan pertanyaan kepada mereka kemana mereka habiskan

hari-hari dan malam-malam mereka? Apa kesibukan dan cita-cita mereka di dunia?"..(kepada

mereka) malaikat bertanya, "Dalam keadaan bagaimana kamu ini?'..."Sesungguhnya mereka

selalu terlantar, seakan tidak ada kesibukan bagi mereka kecuali ditelantarkan.

Orang-orang yang menghadapi kematian itu menjawab, pada saat menghadapi ajal, atas

pengingkaran malaikat ini, dengan jawaban yang hina dan mereka menganggap sebagai

alasan pembenar untuk menerima kehinaan itu. "Kami ditindas, oleh orang-orang yang kuat.

Kami dihinakan di negeri ini dan kami tidak memiliki kekuasaan sedikit pun."

Semua jawabannya hanya berisi kehinaan yang menggelikan, yang setiap jiwa merasa

ngeri kalau keadaan seperti ini pada waktu menjelang kematiaan, setelah seperti itu sikapnya

selama hidupnya, karena malaikat tidak akan membiarkan mereka yang tertindas dan

menzalimi dirinya sendiri, melainkan malaikat itu menempelak mereka dengan realitas yang

sebenarnya dan memberitahukan kepada mereka tentang tidak adanya usaha mereka, sedang

kesempatan masih ada waktu itu.113

113

Sayid Qutub, Di Bawah Naungan al-Qurʼan, Jilid 3, h. 62-64.

Page 66: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

51

Kalau begitu, sebenarnya bukan kelemahan yang mendorong mereka menerima

kehinaan dan penindasan serta pemfitnahan dari iman itu, melainkan ada sesuatu yang lain,

yaitu keinginan mereka terhadap harta benda, keuntungan, dan jiwanyalah yang menahan

mereka di darul kufr itu, padahal di sebelah sana ada negeri Islam. Mereka bertahan di dalam

kesempitan, padahal di sana ada bumi Allah yang luas, dan untuk berijrah ke sana pun

memungkinkan, meskipun harus menanggung penderitaan dan pengorbanan.

Di sini diakhirilah pemandangan yang mengesankan itu dengan menyebutkan akibat

yang menakutkan

"...Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk

tempat kembali."

Kemudian dikecualikanlah bagi orang-orang yang tidak berdaya sehingga tetap tinggal

di negeri kafir, menghadapi fitnah di dalam agama, dan terhalang untuk hidup di negeri

Islam. Mereka itu adalah orang-orang lanjut usia, kaum wanita, dan anak-anak. Untuk mereka

digantungkan harapan untuk mendapatkan pemaafan, pengampunan, dan rahmat Allah,

disebabkan mereka memiliki uzur yang jelas dan tidak mampu pergi berhijrah.114

Hukum ini berlaku hingga akhir zaman, melampaui kondisi khusus yang dihadapi nash

ini dalam masa dan lingkungan tertentu. Ia berlaku sebagai hukum yang umum, meliputi

setiap muslim yang difitnah dalam beragamanya di bumi mana pun, yang bertahan oleh harta

benda dan kepentingan pribadinya, kerabatnya, teman-temannya, atau takut risiko mana pun

di muka bumi ada negeri Islam, yang dia dapat menjalankan agamanya dengan aman, dapat

menyatakan akidahnya dengan terang-terangan, dapat menunaikan ibadahnya, dapat hidup

secara Islam di bawah naungan syari'at Allah, dan dapat menikmati kedudukan yang tinggi

itu.115

114

Ibid., h. 64-65. 115

Sayid Qutub, Di Bawah Naungan al-Qurʼan, Jilid 3, h. 65-66.

Page 67: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

52

Kemudian, dalam surat Qisâs ayat 5 ia menjelaskan bahwa ayat ini membicarakan

tentang orang-orang lemah yang diperlakukan oleh Fir'aun tiran dengan hawa nafsunya yang

kejam dan sombong. Sehingga, dia pun membunuh anak-anak lelaki mereka dan membiarkan

hidup anak-anak wanita mereka , sambil menimpakan pelbagai azab dan siksa yang pedih.

Meskipun demikian, ia merasa takut dan khawatir terhadap jiwa dan kerajaannya, sehingga ia

menugaskan mata-mata, dan mengawasi keturunan mereka yang berkelamin laki-laki, untuk

kemudian dia bunuh bayi-bayi lelaki itu dengan cara seperti jagal.

Orang-orang yang lemah itu mengharapkan agar Allah memberikan anugerah-Nya

kepada mereka dengan tanpa batas, dan menjadikan mereka sebagai para imam dan

pemimpin, bukan hamba sahaya juga bukan pengikut. Juga supaya mereka mewarisi tanah

yang diberkahi (yang diberikan kepada mereka oleh Allah ketika mereka berhak terhadap

tanah itu, setelah mereka beriman dan mencapai derajat kesalehan). Serta meneguhkan di

tempat itu, sehingga membuat mereka kuat, berakar, dan damai. Mereka juga mengharapkan

agar Allah mewujudkan apa yang ditakutkan Fir'aun , Haman dan tentara mereka, dan yang

membuat mereka itu tak dapat tidur karena takutnya, dengan tanpa mereka sadari.116

b. Penafsiran Kamal Faqih Imani

Fakih Imani117

dalam tafsirnya menjelaskan bahwa sebelum terjadinya perang Badar,

orang-orang kafir Makkah memanggil warga Mekah untuk berperang melawan kaum

Muslim. Mereka memerintahkan agar semua laki-laki ikut serta dalam berperang. Mereka

mengancam seseorang bahwa siapa saja yang menentang,akan dihancurkan dan harta benda

116

Ibid., Jilid 9, h. 28. 117

Nama lengkapnya Kamal Fakih Imani, Ia lahir pada tahun 1934 M di kota Isfahan di lingkungan

keluarga yang taat beragama. Ia menyelesaikan sekolah dasarnya di kota Isfahan, kemudian ia melanjutkan

pendidikan agamanya di Hawzah Ilmiyyah di Isfahan, setamat dari itu ia melanjutkan ke jenjang pendidikan

yang lebih tinggi yaitu Hawzah Ilmiyyah di Qum. Lihat, Allamah Faqih Imani dan Tim Ulama, Tafsir Nûr al-

Qur'an: Sebuah Tafsir Sederhana Menuju Cahaya al-Qur'an, terj. R Hikmat Danaatmaja, cet 2, jilid 1, (Jakarta:

Nûr al-Huda, 2013), h. 420.

Page 68: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

53

mereka disita. Sebagian orang-orang Muslim yang tinggal di Mekah dan belum hijrah ke

Madinah, karena takut dibunuh, lalu mengikuti orang-orang kafir dalam perang melawan

kaum Muslim dalam perang Badar, di mana mereka terbunuh, ayat di atas lalu diturunkan,

yang mempermasalahkan mereka yang tidak berhijrah dan tetap tinggal di lingkungan

kekafiran.

Malaikat menyalahkan mereka karena mereka telah menzalimi diri mereka sendiri. Jadi,

adalah wajib untuk berhijrah dari pusat kekafiran, dan tinggal disana untuk menjadi

sekumpulan tentara kafir adalah haram. Jika anda bisa merubah lingkungan, lakukanlah.

Tetapi jika tidak bisa, anda harus berhijrah dari situ agar tidak dimintai pertanggungjawaban

karena membiarkan kekeliruan tidaklah diterima. Mareka mengatakan “Kami adalah orang-

orang tertindas”

Kita harus tahu bahwa prinsipnya adalah tujuan iman, bukan agar tetap hidup dan

mempunyai rumah, atau dengan kata lain, kita harus hati-hati dan cermat bahwa yang

menjadi prinsip adalah keyakinan kepada Tuhan, bukan patriotisme. Menurut litelatur Islam,

mustadʻafîn adalah orang yang tidak tahu jalan yang bertanggung jawab serta perbedaan

antara yang benar dan yang salah.

Beberapa hadis Islam menyatakan bahwa orang yang berhijrah sejauh tertentu, bahkan

yang cuma sejengkal, dengan tujuan untuk melindungi agama, akan dimasukan ke dalam

surga dan akan menjadi teman Nabi saw. dan Nabi Ibrahim as. Orang-orang yang mengetahui

kebenaran dan mampu bergerak dan mengubah lingkungan tidaklah tergolong mustadʻafîn

Orang-orang seperti ini tidak mempunyai dalih untuk berhijrah. Kemudian, orang-orang yang

Page 69: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

54

tidak mempunyai alat untuk menolak kekafiran dan tidak mengetahui jalan kebenaran, adalah

mustadʻafîn, dan orang-orang seperti itu tidak mempunyai kewajiban agama.118

Akan tetapi apologi-apologi yang benar adalah diterima, mungkin mencari-cari dalih

tidaklah bisa diterima.

Al-Qur‟an menyiratkan bahwa orang-orang ini mungkin akan menerima ampunan dari

Allah karena Dia selamanya adalah Maha Pemaaf dan Maha Pengampun kepada hamba-

hambanya.119

Kemudian dalam surat Qisâs ayat 5 ia menjelaskan bahwan suatu pemerintahan duniawi

orang-orang tertindas dan dukungannya di sepanjang sejarah adalah kehendak Allah swt.

Tidak ada keraguan lagi bahwa manakala kehendak Allah swt. Dikeluarkan untuk sesuatu

agar terjadi, maka hal itu pasti akan terlaksana dan tidak akan ada penghalang yang mampu

merintanginya. Al-Qur‟an suci mengatakan:

“Sesungguhnya manakala Dia menghendaki sesuatu, maka perintah-Nya adalah

„Jadilah‟, maka jadilah ia!.120

Kemudian ia menerangkan bahwa mustadʻafîn di sini tidak berarti seseorang yang

lemah, tak mampu, dan tidak memiliki kekuatan. Ia berarti seseorang yang memiliki kekuatan

baik dalam aktualisas ataupun potensialitas, tetapi berada dalam tekanan serius dari pihak

yang zalim dan para tiran sehingga berada dalam kelemahan, dirantai dan terbelenggu. Ia

selalu memutuskan rantai-rantai tersebut untuk membebaskan diri dan mengusir para

penindas sehingga mampu menegakan agama yang benar dan menghidupkan keadilan di

mana-mana.

118

Hadis diriwayatkan dari Imam Baqir as., Al-Shâfî, Jilid 1, hal. 454. 119

Faqih Imani, Tafsir Nurȗl Qur‟an: Sebuah Tafsir Sederhana Menuju Cahaya al-Qur‟an, Jilid 4, cet.

2, terj. Ahsin Muhammad, (Jakarta: Nur Al-Huda, 2014), h. 173. 120

Ibid., juz 13, h. 231.

Page 70: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

55

Allah swt. telah menjanjikan kelompok seperti itu, bahwa Dia akan menolong mereka

dan memberikan mereka pemerintahan di bumi. Janji ini bukan untuk mereka yang malas dan

orang-orang pengecut yang tidak siap, bahkan untuk berteriak sekalipun, apalagi memasuki

medan perjuangan dan mengorbankann diri.121

c. Penafsiran Quraish Shihab

Quraish Syhihab122

menjelaskan bahwa Ayat ini merupakan kecaman terhadap mereka

yang enggan berjihad, demikian juga yang enggan berhijrah dan yang telah disinggung pada

ayat-ayat sebelumnya, dan tentu termasuk juga mereka yang duduk tanpa uzur yang

dibicarakan ayat sebelum ini. Keengganan mereka disertai berbagai dalih. Ayat ini

menggambarkan keadaan mereka saat kematian. Dengan menggunakan kata yang

mengandung makna penekanan, yaitu; sesungguhnya ditegaskan dan diancamnya oleh

malaikat maut setelah diwafatkan oleh malaikat, yakni dicabut nyawanya oleh malaikat maut

setelah sempurna waktu yang ditetapkan Allah bagi masing-masing untuk kehidupannya

didunia, sedang yang bersangkutan sebelumnya hidupdalam keadaan menganiaya diri mereka

sendiri, antara lain enggan berjihad dan enggan berhijrah sehingga tidak dpat melaksanakan

tuntunan agama, padahal sebenarnya mereka mempunyai kemampuan, mereka itu sungguh

celaka. Mereka, yakni para malaikat pencabut ruh bertanya dengan mengancam, dalam

keadaan bagaimana kamu dahulu ketika hidup, sehingga kamu tidak melaksanakan tuntunan

agama, tidak juga berjihad dan berhijrah? "mereka menjawab sebagai dalih:"Kami orang-

121

Faqih Imani, Tafsir Nurȗl Qur‟an: Sebuah Tafsir Sederhana Menuju Cahaya al-Qur‟an, jilid 13, h.

238. 122

Muhammad Quraish Shihab lahir di Rappang, Sulawesi Selatan, pada tanggal 16 Februari 1944.

Pengabdian dalam bidang pendidikan mengantarkannya menjadi Rektor UIN (dulu IAIN) Syarif Hidayatullah

pada tahun 1992-1918. Kiprahnya begitu luar biasa dalam bidang akademis. Pada tahun 1985-1998 menjabat

sebagai MUI Pusat. Tahun 1982-1987 dan 1987-2002 sebagai anggota MPR RI. Pada tahun 1998 dipercaya

Menteri Agama RI. Dikenal juga sebagai penulis yang aktif. Dan juga merupakan sosok yang aktif di berbagai

media untuk member siraman rohani. Karyanya terhitung 18 karya yang salah satunya Tafsir al-Misbah. Dalam

penulisan tafsirnya, beliau menggunakan metode tahlili, terkadang juga memakai metode maudhu'i atau tematik.

Kemudian mengenai coraknya, adalah ijtima'i atau kemasyarakatan sebab uraian-uraiannya mengarah pada

masalah yang dihadapi masyarakat. Tafsir al-Misbah mulai ditulis pada tanggal Rabi'ul Awal 1480 H/18 Juni

1999 M di Kairo, Mesir. Dan selesai pada tanggal 8 Rajab 1483 H/5 September 2003 di Jakarta. Lihat, M.

Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 759.

Page 71: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

56

orang yang sangat lemah dan ditindas dibumi, yakni diMekah". Mereka, yakni para malaikat

itu berkata menlak dalih ini: "Bukankah bumi Allah luas, sehingga kamu dapat berhijrah

disana? "disana kamu dapat melaksanakan tuntunan agama dapat juga berkerja untuk

mendapatkan rezeki. Orang-orang itu tidak dapat menjawab, bahkan hati kecil mereka

seketika itu mengakui kesalahan mereka. Maka oleh sebab itu, orang-orang itu tempatnya

neraka jahanam, dan dia yakni neraka jahanam itu adalah seburuk-buruknya tempat tinggal.

Firman Nya: dalam keadaan bagaimana kamu dahulu? Dipahami oleh sementara ulama

dalam arti, apakah kamu dahulu benar-benar lemah atau kamu memiliki kemampuan?

Bagaimana sikap kamu terhadap agama Islam yang telah menganjurkan kamu berhijrah?123

Ayat ini mengecualikan sekelompok orang-orang yang sangat lemah dari ancaman ayat

di atas. Yaitu orang-orang yang sangat lemah dan tertindas baik laki-laki, atau perempuan

atau anak-anak yang kelemahan dan penindasan yang mereka alami menjadikan mereka

termasuk orang-orang yang tidak mengetahui jalan keluar yang tepat menghadapi kesulitan

dan ancaman. Mereka itu, mudah-mudahan, yakni harapkanlah kiranya Allah memaafkan

mereka itu, mudah-mudahan, yakni harapkanlah kiranya Allah memaafkan mereka, dan Allah

sejak dahulu hingga kini dan akan datang selalu Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.

Sementara ulama ada yang membatasi makna berdaya upaya dan tidak mengetahui

jalan yakni mencari daya untuk berhijrah dan tidak mengetahui jalan menuju Madinah.

Pembatasan ini, kalaupun dapat dibenarkan bila ditinjau dari segi konteks masa turunnya

ayat, namun dari redaksional dan tuntutan ayat, ia dapat berlaku umum. Karena itu Imam al-

Qurthubi mengingatkan bahwa kata hilah mengandung segala cara yang memungkinkan

untuk mengatasi kesulitan.124

123

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah-Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur‟an, jilid 10, (Jakarta,

lentera hati, 2002), h. 537-538. 124

Quraish, Tafsir al-Misbah-Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur‟an, jilid, 2, h. 539.

Page 72: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

57

Penyebutan kata anak-anak dalam ayat di atas adalah untuk menggambarkan betapa

hijrah merupakan sesuatu hal yang sangat penting, dan orang tua hendaknya membawa serta

anak-anaknya ketika berhijrah, guna menyelamatkan mereka dan agar mereka mendapat

lingkungan yang sesuai bagi pendidikan mereka.

Rujukan ke uraian ayat 84 surah ini untuk lebih mengetahui lebih jelas makna kata ʻasa

dan penggunaannya. Hanya di sini, perlu ditambahkan bahwa penyebutan kata yang

mengandung makna harapan itu-dalam konteks orang-orang yang sebenarnya dapat

ditoleransi untuk tidak berhijrah, penyebutannya itu memberi isyarat bahwa persoalan hijrah

sangat penting , dan kepada mereka yang ditoleransi agar berpikir ulang dan mencari jalan

agar dapat berhijrah, jangan sampai mereka tidak termasuk kelompok yang ditoleransi itu.

Ulama sepakat bahwa kewajiban berhijrah dari Mekah ke Madinah telah gugur dengan

hancurnya rezim kufur di Mekah dan dikuasainya kota tersebut oleh Nabi Muhammad Saw.

Kendati demikian, melalui ayat ini para ulama mengambil beberapa kesimpulan berkaitan

dengan kewajiban meninggalkan lokasi kekufuran, atau kerugian jiwa dan harta bendanya.

Jika keberadaannya di satu negeri mengharuskan ia tunduk pada hukum-hukum yang

bertentangan dengan hukum-hukum Allah swt, maka ini pun tidak direstui oleh banyak

ulama, bahkan ada yang mengharamkannya.125

Semua ayat di atas menjanjikan kebebasan dan kelapangan rezeki bagi mereka yang

meninggalkan lokasi kekufuran. Diamati oleh sementara sosiolog bahwa ummat manusia

telah mengenal sekian banyak peradaban , sejak peradaban sumaria hingga apa yang dinamai

dewasa ini dengan peradaban di Amerika. Kesemua peradaban itu lahir benihnya dari satu

hijrah/meninggalkan lokasi semula. Orang-orang Amerika yang meninggalkan Inggris dalam

rangka menyelamatkan kepercayaan mereka berhasil memperoleh kebebasan bahkan

125

Quraish, Tafsir al-Misbah-Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur‟an, jilid 2, h. 539.

Page 73: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

58

membangun masyarakat baru. Memang, masyarakat mereka dewasa ini berada dalam jurang

kehancuran, karena mereka meninggalkan nilai-nilai agama. Umat Islampun setelah

keberhasilan hijrah dan keberhasilan membangun peradaban Islam, terancam hal serupa bila

mereka meninggalkan nilai-nilai ajaran Islam.126

Kemudian, dalam surat Qisâs ayat lima, ia menjelaskan bahwa Kata istadʻifu terambil

dari kata daʻufa yang berarti lemah. Patron kata yang digunakan ayat ini mengisyaratkan

bahwa mereka adalah kaum tertindas dan dipinggirkan oleh sistem pemerintahan yang

diselenggarakan oleh Fir‟aun. Penyebutan kata itu oleh ayat ini dari satu sisi mengisyaratkan

kesewenangan Fir‟aun dan di sisi lain menunjukan bahwa kau memang itu memperoleh kasih

sayang dan anugerah Allah swt. yaitu:

a. Menjadikan mereka para pemimpin

b. Menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi,

c. Akan menumbuhkan kedudukan mereka dibumi

d. Membinasakan kekuasaan Firʽaun.

Anugerah-anugerah lainnya tidak disebut disini, tetapi banyak dikemukakan dalam QS.

Al-Baqarah. Menjadikan mereka pemimpin dalam arti menjadikan mereka bebas merdeka

tidak tunduk dalam kekuasaan bangsa lain. Ini serupa dengan firman Nya QS. Al-Maidah

(5):20.

Firman Nya: "menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi" dipahami oleh

sementara ulama dalam arti menguasai wilayah yang pernah dikuasai oleh Fiʽraun. Pendapat

lain menyatakan, mewarisi dalam arti memperoleh kekuasaan yang serupa dengan kekuasaan

yang diperoleh oleh Firʽaun. Ini, karena setelah Firʽaun ditenggelamkan di Laut Merah dan

126

Quraish, Tafsir al-Misbah-Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur‟an, jilid, 2, h. 541.

Page 74: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

59

setelah Bani Israil berhasil menyebrang ke Palestina mereka tidak pernah lagi kembali ke

Mesir. Mereka berhasil memantapkan kekuasaan di Palestina itu.127

Dari pembahasan di atas, penulis menyimpulkan bahwa dalam perkembangan sejarah,

kisah mustadʽafîn terbagi dalam beberapa kutub, di antaranya pertama, kaum penindas

(mustadʽifîn) yaitu malaʼ, mutrafîn, ruhbâni, mustakbirîn, dan mufsidîn; kedua, kelompok

yang tertindas (mustadʽafîn) antara lain ialah fakir miskin, anak yatim, peminta-minta, budak,

dan perempuan; ketiga pembebas mustadʽafîn adalah orang-orang yang ingin

memperjuangkan hak dan kemerdekaan mustadʽafîn, perjuangan mereka selalu muncul

secara estafet di dalam perjalan sejarah.

Selanjutnya, dari penafsiran para ulama, yang dimaksud mustadʽafîn dalam surat al-

Nisâʼ ayat 97-98 adalah kaum tertindas yang disebabkan oleh dirinya sendiri yang enggan

berhijrah ke Madinah padahal telah datang sang pembebas untuk menyelamatkan mereka

dengan cara berhijrah sedangkan mereka mempunyai kekuatan untuk hijrah sehingga dengan

itu semua malaikat mencabut nyawa mereka dan mempertanyakan kenapa mereka menjadi

mustadʽafîn. Kemudian para ulama mengecualikan bagi mustadʽafîn yang tidak mampu

untuk berhijrah yaitu dari kalangan orang tua, anak kecil, dan perempuan yang mana mereka

tidak mempunyai kekuatan, bekal, dan tidak mengetahui jalan ataupun pedoman kebenaran

untuk berhijrah.

Dengan demikian, dari penafsiran ayat di atas, mustadʽafîn terbagi dalam dua golongan

yaitu, pertama, mustadʽafîn yang masuk ke dalam neraka, dan kedua, mustadʽafîn yang

mendapatkan harapan ke dalam surga, walaupun itu semua pada akhirnya mereka akan

mendapatkan suatu karunia dari Allah yaitu sebuah kemenangan di dunia.

127

Quraish, Tafsir al-Misbah-Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur‟an, jilid, 2, h. 308-309

Page 75: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

68

BAB III

BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN MURTADÂ MUTAHHARI TENTANG

MUSTAD’AFÎN

Murtadâ Mutahharî adalah salah satu pelopor yang mencoba

mengaktualisasikan ayat-ayat al-Qurʼan dengan masa kini. Bahkan dalam

pembahasannya, ia menjadikan ayat-ayat al-Qurʼan itu sebagai langkah-langkah

menuju kemenangan orang-orang yang tertindas.

Dalam Bab 3 ini, penulis akan memaparkan sketsa perjalanan hidup

Murtadâ Mutahharî, menjelaskan penafsirannya mengenai tentang mustadʻafȋn

dalam QS. (4): 97-99 dan QS. (28): 5, serta membandingkan penafsirannya

dengan penafsir lain,.

A. BIOGRAFI

1. Riwayat Hidup

Murtadâ Mutahharî bin Muhammad Husein Mutahharî lahir pada tanggal 2

Februari tahun 1920 di Dusun Fariman, kurang lebih 60 km dari kota Masyad,

pusat belajar dan ziarah yang besar di Iran Timur. Ayah Mutahharî seorang ulama

saleh dan terkemuka yang belajar di Najaf dan menghabiskan beberapa tahun di

Mesir dan Hijaz sebelum kembali ke Fariman.1

Di sepanjang perjalanan hidupnya, Mutahharî banyak mencurahkan untuk

membela Islam, baik melalui aktivitas politiknya maupun karya-karyanya.2 Ia

adalah Ulama Intelektual pada abad ke-20 yang dianggap sebagai salah satu

1

Muh. Abdurrahman, Murtadâ Mutahharî: Filosof dan Pejuang, (Bandung: Penerbit

Nuansa, 2009), h. 7. 2Baca, Pengantar Arif Mulyadi, Murtada Mutahharî, Tema-Tema Pokok Nahj al-Balaghah,

Terj. Arif Mulyadi, (Jakarta: Islamic Center Jakarta, 2002), h. v.

Page 76: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

69

model sarjana Muslim dalam hal pemilikan tiga syarat yang banyak diimpikan,

tetapi jarang bertemu dalam satu pribadi yaitu akar yang kokoh pada studi Islam

tradisional, penguasaan memadai atas ilmu-ilmu nonagama, serta concern dan

karya nyata di bidang sosial, sebagai aktivis Muslim dan penulis prolific, seperti

tampak dalam perjalanan hidupnya.3

Perjuangan Mutahharî dalam menegakan prinsip-prinsip Islam, yaitu

kebenaran dan keadilan, akhirnya harus ditebus dengan nyawanya. Ia syahid pada

tanggal 2 mei 1979, ditembak oleh kelompok ekstrem, Furqan.4

2. Pendidikan dan Karir

Mutahharî kecil mulai belajar di Madrasah Fariman, sebuah Madrasah kuno

yang mengajarkan membaca dan menulis Juz ‘Amma serta pendahuluan-

pendahuluan mengenai sastra Arab.

Pada usia dua belas tahun, Mutaharî mulai belajar agama secara formal di

lembaga pengajaran di Masyad. Di Masyad inilah Mutaharî menemukan kecintaan

kepada filsafat, teologi, dan tasawuf5. Kecintaan demikian mendarah daging

dalam dirinya sehingga membentuk pandangan menyeluruh tentang agama.6

Pada tahun 1937, Mutahharî meninggalkan Masyad untuk belajar di

lembaga pengajaran di Qum yang diminati oleh banyak siswa. Setelah menjadi

mahasiswa di Qum, ia sudah menunjukan minatnya terhadap filsafat dan ilmu

pengetahuan modern.7

3 Baca, Pengantar Haidar Bagir, Murtadâ Mutahharî, Islam Agama Keadilan, terj. Agus

Effendi, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1988), h. 1. 4 Baca, Pengantar Haidar Bagir, Murtadâ Mutahharî, Pengantar Ilmu-Ilmu Islam, terj.

Ibrahim Husein al-Habsyi dan dkk., (Jakarta: Pustaka Zahra, 2003), h. xxii. 5 Dalam tradisi Islam Iran disebut dengan “‟Irfan”

6 Muh. Abdurrahman, Murtadâ Mutahharî: filosof dan Pejuang, h. 7-9.

7 Murtadâ Mutahharî, Pengantar Ilmu-Ilmu Islam, h. xxi.

Page 77: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

70

Pada tahun 1940, Mutahharî berkenalan dengan Mirza ʽAli al-Syirazi al-

Isfahanî di Isfahan, melalui sahabatnya yang mulia, Ayatullah Muntazeri.

Perkenalan ini menyebabkan Mutahharî dapat menimba ilmu dari Nahj al-

Balaghah yang baginya merupakan sesuatu yang tak ternilai harganya.8

Pada tahun sekitar 1946, Imam Khomeini mulai memberikan kuliah kepada

sekelompok kecil siswa, yang mencakup Mutahharî dan teman sekelasnya di

Madrasah Faizia, Ayatullah Muntazeri. Dalam perkuliahannya, ia mempelajari

dua buku utama filsafat, Asfar al-Arba‟ah karya Mulla Sadra dan Syarh Munzuma

karya Hadi Sabzavarî, di samping itu kitab-kitab bahasa Arab seperti al-

Mutawwâl, Syarh al-Tajrid mengenai kalam, al-Rasâil dan al-Kifayah mengenai

ushul, al-Makâsib mengenai fikih. Keikutsertaan Mutahharî dalam kelompok ini

sampai sekitar tahun 1951, membuatnya dapat membina hubungan-hubungan

yang lebih dekat dengan Ayatullah Khomeini.9

Mutahharî juga mendalami karya-karya kaum komunis, antara lain

penerbitan yang diterbitkan oleh Partai Tudeh, suatu organisasi Marxis dan

kekuatan penting di arena politik. Selain itu, ia juga membaca tulisan-tulisan Taqi

Arani, teoritisi utama Partai Tudeh.

Tidak hanya itu, Mutahharî juga sebenarnya telah banyak menelaah karya-

karya Aristoteles, Will Durant, Sartre, Freud, Betrand Russell, Einstein, Erich

Fromm, Alexis Carrel dan pemikir Barat lainnya.10

8 Nahj al-Balaghah adalah sebuah kitab berisi kumpulan pidato, surat-surat dan nasihat-

nasihat yang dinisbatkankepada Imam Ali bin Abi Thalib kalifah ke-4 Islam. Lihat, Muh.

Abdurrahman, Murtadâ Mutahharî: filosof dan Pejuang, h. 15. 9 Murtadâ Mutahhaî, Filosof dan Pejuang, h. 19-20.

10 Ibid., h 21.

Page 78: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

71

Pada usia relative muda, ia sudah mengajar logika, filsafat, dan fikih di

Fakultas Teologi, Universitas Teheran. Ia juga menjabat sebagai Ketua Jurusan

Filsafat. Di samping itu, ia juga mumpuni dalam bidang ushul, kalam dan irfan.

Dalam perjalanan sejarah hidupnya, ia tidak memiliki ketenangan, justru

memilih badai daripada damai. Ia aktif di politik berjuang bersama Ayatullah

Khumeini menentang rezim Syah Pahlevi yang lalim. Pada tahun 1963, bersama

Imam Khumeini ia ditahan. Ketika Imam Khumeini dibuang ke Turki, ia

mengambil alih kepemimpinan dan menggerakkan para ulama mujahid untuk

meneruskan perjuangan sang Imam. Langkah-langkah politiknya jelas terlihat,

bersama-sama dengan ulama lainnya ia mendirikan Husainiyayi Irsyad yang

menjadi basis kebangkitan Intelektual Islam. Ia juga menggalang bantuan untuk

rakyat Palestina dan pernah menjadi Imam Masjid al-Jawad serta menjadikan

masjid tersebut sebagai pusat pergerakan Islam. Mutahharî juga merupakan salah

satu tokoh Revolusi Islam Iran. Dan pada saat Revolusi Islam Iran 1979, ia

menjadi Anggota Dewan11

Revolusi.12

3. Guru13

1. Mirza ʼAli al-Syirâzî al-Isfahanî (1235-1266 H)

2. Ayatullah Hujjat Kuhkamari (1301-1372 H)

3. Ayatullah Sayyid Muhammad Damad (1325-1388 H)

11

Ketika Imam Khomaini meninggalkan Najaf menuju Paris, Mutahharî termasuk di antara

mereka yang pergi ke Paris untuk bertemu dan berkonsultasi kepada Imam Khomaini. Kemudian

sang Imam menunjuk ia sebagai Ketua Dewan Revolusi Iran yang diumumkan pada tanggal 12

Januari 1979. Anggotanya terdiri atas Bazargan, Yazdi, Qotbzadeh, Bahesti, Babonar, Rafsanjani,

Taleqani dan Bani Shadr. Baca, M. Abdurrahman, Murtadâ Mutahharî: Filosof dan Pejuang, h.

34-35. 12

Murtadâ Mutahharî, Pengantar Ilmu-Ilmu Islam, h. xxi. 13

M. Abdurrahman , Murtadâ Mutahharî: Filosof dan Pejuang, h. 13-18.

Page 79: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

72

4. Sayyid Muhammad Riza al-Gulpayagani (W. 1414 H)

5. Sayyid Sadr al-Din Sadr (W. 1299 H)

6. Ayatullah Burujerdi (1292-1380 H)

7. Ayatullah al-Khameini (1320-1409 H)

8. Sayyid Muhammad Husein Tabaʼtabaʼî. (1321 H)

4. Karya

Karya-karya Mutahharî sangat banyak. Selain berbentuk buku yang

ditulisnya secara khusus, ada juga artikel dan rekaman ceramah. Karya-karya

tersebut antara lain:14

a. Politik

1. A Discourse in the Islamic Republic15

.

2. The Concept the Islamic Republic (An Analysis of teh Revolution in Iran)

3. Extracts from Speeches of Ayatullah Mutahharî.

4. Al-Islam wa Iran termasuk The Burning of Library in Iran and Alexandria.

5. Islamic Movement in the Twentieth Century16

.

6. Jihad17

.

7. The Nature of Imam Husein Movement? Haqiqah al-Nadah al-Huseiniyah.

8. Polariation Around the Character of „Ali bin Abi Talib.

14

M. Abdurrahman, Murtadâ Mutahharî: Filosof dan Pejuang, h. 41-42. 15

Risalah ini telah diterbitkan dalam bahasa Indonesia yang berjudul Falsafah Pergerakan

Islam, disunting oleh Mohammad Sidik dan diterbitkan oleh Amanah Press, Jakarta pada tahun

1988. 16

yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh M. Hashem dengan judul

Gerakan Islam Abad XX dengan penjelasan evaluatif dari Fachry Ali diterbitkan oleh Beunebi

pada tahun 1986. 17

Versi Indonesianya diterbitkan oleh YAPPI, Bandarlampung tahun 1987 diterjemahkan

oleh M. Hashem.

Page 80: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

73

b. Filsafat dan Teologi

1. Etika Sosial dalam Islam.

2. On the Islamic Hijab.

3. Qasas al-Abrar.

4. Scholastic Theology.

c. Umum

1. Glimses on Nahj al-Balaghah.

2. Maqalat Islamiyyah.

3. Ashnaʼi ba Ulumi al-Islam.

d. Logika

1. Logic.

B. Pemikiran

Dari pengakuan Mutahharî di dalam beberapa tulisannya, dapat

dikonklusikan sebagai berikut.

Pertama, bagi Mutahharî, berpikir dan melakukan perenungan serta

pemahaman intelektual adalah tujuan hidup seorang Muslim. Baginya, bahwa

pencerahan intelektual adalah salah satu kebahagiaan tertinggi. Ini semacam teori

eudaimonia18

Aristotelian, yang menjadi tujuan filosof dan pemikir. Hal ini

18

Suatu kebahagiaan dalam bahasa Yunani dikenal dengan istilah eudaimonia yang

memiliki arti kebahagiaan. Kata ini terdiri dari dua kata "en", (baik, bagus) dan "daimon" (roh,

dewa, kekuatan batin). Secara harfiah eudaimonia berarti memiliki roh penjaga yang baik. Bagi

bangsa Yunani eudaimonia berarti kesempurnaan, atau lebih tepat lagi mempunyai daimon yang

baik dan yang dimaksud dengan daimon adalah jiwa. Lihat, K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani,

(Yogyakarta: Kanisius, 1999), h. 108. Hal ini adalah sebuah ajaran etika Aristoteles, yang

beranggapan bahwa kebahagiaan adalah tujuan hidup. Dalam segala perbuatannya manusia

mengejar suatu tujuan. Ia mencari sesuatu yang baik baginya tetapi ada banyak macam aktivitas

manusia yang terarah pada macam-macam tujuan tersebut, dan menurut Aristoteles tujuan

Page 81: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

74

kiranya dapat dipahami jika melihat ajaran Islam yang mempunyai tujuan hidup

kepada Maʽrifat Allah.

Kedua, Mutahharî bukanlah orang semata-mata bersifat individualistis.

Budaya Syiah yang disimbolkan oleh Imam Ali as. dan sahabat dekatnya dalam

kehidupan Syiah, termasuk Abu Dzar, dan Miqdad yang kesemuanya merupakan

aktivis-aktivis Jihad terlalu dominan dalam diri Mutahharî sehingga sikap

demikian tak terbayangkan bagi dirinya. Ia telah menetapkan bagi dirinya tugas

untuk menjelaskan ajaran-ajaran Islam dalam suatu cara yang sesuai dengan

kebutuhan manusia modern akan pemikiran-pemikiran yang bersifat rasional.

Ketiga, dalam bukunya Masyarakat dan sejarah ia mengatakan bahwa "Saat

ini di kalangan penulis-penulis Muslim tertentu (kecenderungan terhadap

Marxisme dan berpandangan bahwa Islam mengangandung paham-paham

Marxistik) mendapatkan penerimaan yang luas dan dipandang sebagai tanda

keluasan pikiran dan mode yang lagi trend". Pada saat yang sama, Mutahharî juga

mengkritik materialisme yang merupakan soko guru berbagai paham yang muncul

dalam peradaban Barat modern. Dalam hal ini, ia menyadari benar peran

epistemologi sebagai akar dari setiap metodologi di dalamnya. Dengan demikian,

al-Qurʼan pun perlu dibahas secara khusus dalam pandangan epistomologi al-

Qurʼan.19

Keempat, di balik segala kegetolan Mutahharî, untuk membangun landasan

filosofis dan pandangan dunia Islam ini adalah kesadarannya akan perlunya suatu

landasan yang kuat dan koheren bagi pembangunan sistem-sistem Islam di

berbagai kehidupan, termasuk di dalamnya sistem politik, sistem sosial, ekonomi,

tertinggi adalah kebahagiaan (eudaimonia). Lihat, Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani,

(Jakarta: Tintamas, 1986), h. 133. 19

Murtadâ Mutahharî, Pengantar Ilmu-Ilmu Islam, h. xvi.

Page 82: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

75

dan sebagainya. Mutahharî memang dikenal juga dengan tulisannya mengenai

soal-soal politik, sosial, ekonomi, bahkan budaya dalam sorotan Islam. Dalam

Pengantar Kepada Pandangan Dunia Islam itu Mutahharî memasukan beberapa

tema pembahasan yang dianggapnya sebagai unsur-unsur pandangan dunia, di

antaranya; Konsepsi Tentang Manusia, Pandangan Dunia Tauhid, Konsepsi

Kenabian dan Wahyu, Konsepsi Masyarakat dan Sejarah, Imamah, dan Konsepsi

Hari Akhir.20

Dari pembahasan di atas, penulis melihat bahwa Murtadâ Mutahharî adalah

seorang ulama intelektual yang mencoba mengkolaborasikan antara epistemologi

Barat dengan ilmu keislaman secara komperenship. Kemudian menempatkan

dirinya sebagai seorang generalis. Di sisi lain, penulis menyimpulkan bahwa

Mutahharî ketika membahas di dalam bukunya, ia tidak lepas dari ideologi ke

syiʽahannya.

20

Ibid., xviii.

Page 83: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

76

BAB IV

PENAFSIRAN MURTADÂ MUTAHHARÎ TERHADAP Al-

MUSTADʻAFÎN

A. Penafsiran Murtadha Muthahhari Terhadap al-Mustadʻafȋn

1. Konsep al-Mustadʻafȋn

Dalam pandangan Mutaharî, sebelumnya ia menjelaskan bahwa al-Qurʼan

memberikan beragam konsepsi sosial kepada dunia. Dalam studi tentang

masyarakat ada sekitar lima puluh istilah1 yang mengandung arti sosial. Kalau

ayat-ayat sosial al-Qurʼan dan penggunaan istilah-istilah ini dalam al-Qurʼan

ditelaah, maka kelihatan bahwa dari sudut pandang al-Qurʼan, masyarakat terdiri

atas dua golongan orang yang bertentangan, dari satu sudut, al-Qurʼan

mengindikasikan eksistensi masyarakat yang berdua kutub berdasarkan

kemakmuran material. Al-Qurʼan menyebut satu kutub malaʼ (golongan orang

yang suka memanjakan diri dalam kesenangan, kelompok kecil ekslusif yang

berkuasa), mustakbirȋn (kaum yang arogan, penindas, eksesif, tiran, tidak moderat,

1 Dalam pembahasan lain, Mutahharȋ menjelaskan bahwa dalam al-Qur'an terdapat kata-

kata yang fungsinya adalah sebagai identifikasi sosial bagi semua kelompok orang. Dengan kata-

kata inilah maka dapat diketahui sudut pandang al-Qur'an mengenainya. Kata-kata tersebut adalah

qaum (kaum), ummah (umat, komunitas), nâs (manusia), syu‟ûb (bangsa-bangsa), qabâ‟il (suku-

suku), rasûl (utusan Allah), nabî (nabi), imâm (pemimpin), walî (wali), mu‟min (orang beriman),

kâfir (orang tidak beriman), munâfiq (munafik), musyrik (orang musyrik), mudzabdzab (orang

yang tidak punya pendirian), siddiq (orang yang benar, setia), syahid (saksi), muttaqi (orang

takwa), salih (orang saleh), muslih (pembaru), mufsid (perusak), amr bi al-ma‟ruf (menyuruh

kebaikan), nahi „an al-munkar (mencegah kejahatan), „âlim (orang berilmu), nasih (pemberi

peringatan), zalim (tiran), khalifah (wakil), rabbani (pendeta, biasanya ahli teologi), rabbi

(pendeta Yahudi ), kâhin (tukang tenung, tukang ramal), ruhbân (rahib), ahbar (teolog dan ahli

hukum Yahudi), jabbâr (yang kuat, lalim), „alî (yang kuat, tinggi), musta‟lî (superior), mustakbir

(yang angkuh), mustad‟af (yang tertindas), musrif (yang royal, boros), mutraf (yang hidup

mewah), taghut (penindas, berhala), mala‟ (orang terkemuka, tokoh), ghanî (kaya), fâqir (miskin),

mamluk (yang diperintah, yang dikuasai), mâlik (pemilik, tuan), hurr (yang merdeka), „abd

(hamba), rabb (Tuhan) dan sebagainya. Lihat, Murtadâ Mutahharî, Tafsir Holistik: Kajian Seputar

Relasi Tuhan, Manusia, dan Alam, terj. Ilyas Hasan, (Jakarta: Penerbit Citra, 2012), h. 387.

Page 84: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

77

dan suka mengamburkan kemewahan dan hawa nafsu) dan menyebut kutub

lainnya mustadʻafȋn (kaum tertidas dan tidak menikmati standar hidup dan hak

yang layak dalam masyarkat)2, nâs (massa, kaum mayoritas), zurriya (kaum udik,

rendah, hina, dan tidak penting yang beda dengan malaʼ). Al-Qurʼan

menempatkan dua kutub ini atau dua golongan ini dalam posisi bersebrangan.

Dari sudut lain, al-Qurʼan menggambarkan masyarakat berdua kutub berdasarkan

konsepsi spiritual dan konsepsi moral dan membagi masyarakat menjadi dua

kelompok. Kelompok pertama terdiri atas orang kafir, orang musyrik dan orang

jahat. Kelompok kedua terdiri atas orang saleh, orang takwa, pembaru, orang-

orang yang memperjuangkan tujuan suci dan orang-orang yang mengorbankan

jiwa mereka untuk tujuan suci itu.3

Lebih mendasar lagi, Mutahharî mengatakan bahwa makna-makna ayat al-

Qurʼan yang menunjukan eksistensi dua kategori material dan dua kategori

spiritual ini, maka kita akan ketahui keselarasan antara kategori material pertama

2 Sejatinya, di dalam Islam, benar-benar dikatakan bahwa terdapat hak-hak orang-orang

miskin dan orang-orang lemah di dalam harta orang-orang yang berkecukupan (orang kaya). Allah

swt. berfirman "dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada

orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. al-Isra': 26

Kemudian firman-Nya "dan orang-orang yang didalam hartanya tersedia bagian tertentu

bagi orang (miskin) yang meminta dan orang-orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak

mau meminta). al-Maʽarij: 24-25

Orang-orang lemah dan orang-orang yang tidak mampu, yang tidak memiliki kemampuan

untuk bekerja dan berusaha, atau yang mana usaha dan kemampuannya tidak mencukupi, mereka

tidak dibebani kewajiban untuk bekerja dan berusaha, atau mereka tidak dibebani kewajiban untuk

bekerja melebihi batas ketentuannya. Dengan demikian, kewajiban telah gugur dari diri mereka.

Benar, mereka tidak produktif dan tidak mampu melaksanakan kewajiban kerja dan pemakmuran,

namun tentu kita tidak bisa menelantarkan mereka. Karena, berdasarkan hukum pokok pertama

dan hukum hubungan tujuan antara mereka dengan bahan-bahan makanan yang terdapat di alam

ini, hidangan inipun dibentangkan juga mereka. Allah swt. berfirman: "dan Allah telah meratakan

bumi untuk seluruh makhluk-Nya". al-Rahman: 10

Jika mereka mampu dan mereka tidak menunaikan apa yang menjadi kewajibannya, maka

mereka tidak berhak atas hidangan alam ini. Namun, karena mereka tidak mampu, maka hak

pertama mereka tetap ada pada tempatnya. Sungguh orang-orang yang lemah dan orang-orang

miskin mempunyai hak pada harta orang-orang kaya. Lihat, Murtada Mutahhari, Ceramah-

Ceramah Seputar Persoalan Penting Agama dan Kehidupan, terj. Ahmad Subandi, (Jakarta: PT

Lentera Basritama, 2000), h. 88-89. 3 Murtadâ Mutahharî, Manusia dan Alam Semesta: Konsepsi Islam Tentang Jagat Raya,

terj. Ilyas Hasan, (Jakarta: Lentera, 2002), h. 368.

Page 85: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

78

dan kategori spiritual pertama, dan juga antara kategori material kedua dan

kategori spiritual kedua. Kaum kafir, kaum musyrik, kaum munafik dan kaum

jahat adalah juga yang suka mengumbar hawa nafsu, dan kemewahan, kaum yang

arogan, dan juga kaum yang eksesif. Begitu juga kaum mu‟min, kaum memegang

tauhid (muwahhidȋn), kaum saleh, prajurit, dan pejuang suci (mujahidȋn) tak lain

adalah orang-orang miskin, tertindas, dan tidak menikmati standar hidup dan hak

yang layak dalam masyarakat. Karena itu dengan mempertimbangkan segala yang

relevan, dalam masyarakat hanya ada dua kutub, tidak lebih atau dua kelompok

yang bersebrangan. Golongan pertama adalah kaum kaya, kaum pengeksploitasi,

kaum tiran dan mustakbirîn. Mereka ini adalah kafir dan tidak beriman. Golongan

kedua adalah mustadʻafȋn yang tidak menikmati standar hidup dan hak yang layak

dalam masyarakat. Mereka ini adalah orang-orang beriman. Dari sini jelaslah

bahwa karena masyarakat terdiri atas kaum penindas dan kaum tertindas, maka

dalam masyarakat ada dua golongan anggota masyarakat, yaitu kaum beriman dan

kaum kafir, perilaku menindas melahirkan kekafiran, kemunafikan, kejahatan dan

kerusakan moral, sedangkan keadaan tertindas melahirkan iman, kesalehan, dan

kebajikan.

Untuk memahami persamaan di atas, dengan jelas disebutkan di dalam QS.

Al-ʽArâf 59-137. Dalam ayat ini kisah-kisah para nabi seperti nabi Nûh, Hûd,

Saleh, Lut, Su‟aib dan Mûsa as. dipaparkan secara singkat. Dalam semua kisah

ini, kecuali kisah Nabi Lut as. dapat dicatat bahwa kelas para nabi adalah kelas

yang tidak menikmati standar hidup atau hak yang baku dalam masyarakat,

mereka adalah sebagian dari kelompok mustadʻafȋn, sedangkan kelas yang

bersebrangan dengan kelas ini adalah kelas kafir, kelas aristokrat yang arogan.

Page 86: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

79

Dengan demikian, dari sudut pandang al-Qur'an, konfrontasi antara iman dan

kekufuran hanyalah refleksi dari konfrontasi antara kaum mustakbirîn dan kaum

terindas (mustadʻafȋn).4

Dari pembahasan di atas, penulis menyimpulkan bahwa yang disebut

mustadʻafȋn dalam pandangan Mutahharî ialah kaum minoritas beriman yang

mengalami ketertindasan di dalam hidupnya dan tidak pernah menikmati standar

hidup dan hak layak di dalam masyarakat. Ketertindasan ini bukan disebabkan

oleh mereka sendiri, tetapi oleh para penguasa yang arogan, angkuh dan kafir

yang semena-mena menindas.

2. Tafsir QS. 4: 97-99 dan QS. 28: 5

إ

4 Murtadâ Mutahharî, Manusia dan Alam Semesta: Konsepsi Islam Tentang Jagat Raya,

terj. Ilyas Hasan, h. 369. Mutahhari menjelaskan bahwa al-Qurʼan memandang semua kelompok

yang disebutkan di atas itu sebagai manifestasi dan produk dari dua kelas yang benar-benar saling

bertentangan yaitu, kelas angkuh (mustakbîrn); dan kelas tertindas (mustad‟afîn). Al-Qurʼan

menyebutkan sejumlah kualitas baik seperti bersahaja, jujur, tulus, beribadah, berwawasan, baik

hati, penyayang, ksatria, patuh, khidmat, murah hati, mau bekorban, takwa dan rendah hati. Al-

Qurʼan juga menyebutkan sejumlah kualitas buruk seperti berdusta, berkhianat, cabul, sok,

berlagak, tidak bermoral, keras kepala, keras hati, kikir, angkuh dan yang semacamnya. Al-Qur‟an

memandang kualitas jenis pertama sebagai kualitas yang dimiliki mustadʻafȋn, dan kualitas jenis

kedua sebagai kualitas yang dimiliki mustadʻafȋn, karena itu keadaan sebagai penindas dan

keadaan sebagai tertindas bukan saja merupakan ciri dari dua kelas yang berbeda dan bertentangan

ini, namun juga melahirkan dua jenis kualitas yang saling bertentangan. Menjadi penindas dan

menjadi tertindas merupakan basis dari semua orientasi, kecenderungan dan pilihan, dan

merupakan akar dari semua fenomena budaya dan publik. Etika, filsafat, seni, sastra dan agama

yang datang dari mustadʻafȋn, menggambarkan orientasi kelas itu, berfungsi membenarkan status

quo dan menyebabkan terjadinya stagnasi dan fosilisasi. Sebaliknya, etika, filsafat, sastra, seni atau

agama yang datang dari mustadʻafȋn selalu informatif, membangkitkan semangat, dinamis dan

revolusioner.

Kaum yang arogan, karena mereka penindas dan memiliki prestise sosial, mereka tidak

tercerahkan, tidak lapang hati. Mereka anti pencerahan, konservatif dan suka damai. Sebaliknya,

kaum tertindas suka perubahan dan revolusioner. Lihat, Murtadâ Mutahharî, Tafsir Holistik:

Kajian Seputar Relasi Tuhan, Manusia, dan Alam, terj. Ilyas Hasan, (Jakarta: Penerbit Citra,

2012), h. 390.

Page 87: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

80

Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan

menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: "Dalam keadaan

bagaimana kamu ini?". mereka menjawab: "Adalah kami orang-orang yang

tertindas di negeri (Mekah)". Para malaikat berkata: "Bukankah bumi Allah itu

luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?". Orang-orang itu tempatnya

neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali,

Kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-

anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk

hijrah),

Mereka itu, Mudah-mudahan Allah memaafkannya. dan adalah Allah Maha

Pemaaf lagi Maha Pengampun.

Mutaharî mengatakan bahwa sebagian manusia ada yang tertindas

(mustadʻafȋn) atau orang yang urusannya ditangguhkan dan diserahkan kepada

keputusan Allah di akhirat (murjawna li amrlllah). Urusan mereka dikembalikan

kepada Allah Swt. Dialah yang akan mengambil tindakan kepada mereka sesuai

kebijaksanaan dan rahmat-Nya.5

Pada ayat pertama, terjadi sebuah dialog antara malaikat dan sebagian orang

setelah mati. Hasilnya, ada manusia yang dinilai tidak mau berusaha, dan berhak

5 Dalam QS. Al-Taubah dijelaskan:

علين حكين ا يتىب عليهن وٱلله بهن وإهه ا يعذ إهه وءاخزوى هزجىى لهز ٱلله

Dan adapula orang-orang lain yang ditangguhkan sampai ada keputusan Allah (murjawna li

amrillah); adakalanya Allah akan mengazab mereka dan adakalanya Allah menerima tobat

mereka. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.

Imam al-Baqir mengomentari ayat tersebut sebagai berikut: “ada golongan orang yang

dulunya musyrik, kemudian melakukan dosa-dosa besar; mereka membunuh Hamzah, Ja‟far, dan

orang-orang Islam lainnya. Kemudian mereka masuk Islam, menauhidkan Allah swt. dengan

meninggalkan kemusrikan, tapi keimanan belum memasuki hati mereka sehingga disebut sebagai

Mu‟min ahli surga; dan pada saat yang sama, mereka tidak mengingkari kemusyrikan sehingga

mereka termasuk orang kafir ahli neraka. Dalam keadaan seperti itu, mereka adalah orang-orang

yang ditangguhkan (al-murjauna li amrillah); bisa saja Allah menimpakan azab atas mereka atau

menerima tobat mereka.”lihat, Murtada Mutahhari, Keadilan Ilahi: Asas Pandangan Dunia Islam,

terj. Agus Efendi, (Jakarta, Mizan Media Utama, 2009), h. 328-329.

Page 88: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

81

mendapatkan siksa. Pada ayat kedua, disebutkan tentang orang-orang yang betul-

betul tertindas (mustadʻafȋn). Adapun ayat ketiga menyebutkan adanya harapan

bagi orang-orang mustadʻafȋn untuk mendapatkan ampunan Allah Swt. Menurut

Allamah Tabataba‟i dalam tafsirnya, al-Mizân, tentang ayat-ayat tersebut.

“Sesungguhnya Allah swt. memasukan kebodohan tentang agama dan

setiap bentuk rintangan menegakan syiar-syiar agama sebagai suatu kezaliman

yang tidak mendapatkan ampunan Ilahi. Kemudian, Dia mengecualikan kaum

mustadʻafȋn, dengan menerima alasan yang mereka kemukakan tentang terjadinya

ketertindasan dan keterbedayaan. Allah mendefinisikan mustadʻafȋn dengan sifat

yang berlaku untuk mereka dan selain mereka, yaitu sifat ketidakberdayaan untuk

menolak bahaya yang mengancam atau ketidakmampuan memikul beban yang

menimpa diri mereka. Sifat ini berlaku untuk orang yang tinggal di daerah yang

tidak ada sarana untuk mencari ilmu agama karena tidak ada alim yang mengerti

perincian agama, atau tidak ada sarana untuk melaksanakan tuntutan ajaran-

ajaran (agama) tersebut lantaran besarnya derita yang harus ditanggung dalam

melaksanakannya, disertai ketakmampuannya untuk keluar (dari daerah itu) atau

hijrah ke Negara Islam untuk dapat bertemu dengan kaum Muslim. Alasan

ketertindasan dan ketakberdayaan lain adalah kelemahan dalam pikiran, penyakit

atau cacat fisik atau kemiskinan ekonomi, dan sebagainya. Demikian pula, orang

yang benaknya tidak menerima kebenaran pasti tentang ajaran-ajaran agama,

atau pikirannya tidak menunjukan kebenaran itu, padahal dia termasuk yang

tidak menentang atau menyombong terhadap kebenaran sama sekali. Sedemikian

sehingga bila kebenaran itu tampak baginya, dia akan segera mengikutinya.

Tetapi, kebenaran itu tersembunyi darinya karena faktor-faktor yang

menyebabkannya demikian.”6

Banyak sekali riwayat yang memasukan orang-orang lemah, dengan

berbagai alasan yang dapat diterima, dalam kelompok mustadʻafȋn.

Di dalam Tafsîr al-„Iyâsyi, terdapat sebuah hadis yang diriwayatkan dari

Humran bin A‟yan: “Saya bertanya kepada Imam Sadiq tentang

mustadʻafȋn.”Imam Sadiq menjawab, “Mereka (mustadʻafȋn) tidak termasuk orang

kafir, juga tidak termasuk orang Mukmin; merekalah yang ditangguhkan sampai

6 Lihat, Al-„Allamah al-Sayidi Muhammad Husain Taba‟taba‟î, al-Mîzân fî Tafsîr al-

Qur‟an, Juz 5, (Beirut: Mu‟asasah al-„Alam li al-Matba‟at, 1997), h. 51-52.

Page 89: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

82

datang keputusan Allah (al-murjauna li amrillah). Sejauh yang dapat disimpulkan

dari ayat tentang “orang-orang yang ditangguhkan” itu, maka amal-amal mereka

akan ditentukan oleh Allah. Tetapi, ayat tentang “kaum mustadʻafȋn”

mengisyaratkan kemahahalusan ampunan dan magfirah Allah kepada mereka.

Di dalam al-Kâfî7, ada hadis yang diriwayatkan dari Hamzah bin al-Thayyar

yang berkata, “Imam Sâdiq berkata kepada saya, „manusia terbagi menjadi enam

golongan yang akhirnya menjadi tiga golongan, yaitu kelompok Iman, kelompok

kafir, dan kelompok sesat. Semua kelompok ini terkait dengan janji dan ancaman

Allah akan surga dan neraka. Enam kelompok itu adalah orang-orang Mu‟min,

kafir, mustadʻafȋn, kelompok yang urusan mereka ditangguhkan sampai datangnya

keputusan Allah (al-murjauna li amrillah), kelompok yang mengakui dosa-

dosanya, yaitu orang-orang yang mencampuradukan amal-amal baik dengan amal-

amal jahat, dan kelompok al-ʼArâf. Kemudian di dalam al-Kâfi juga disebutkan

pula hadis dari Zurarah yang berkata “Saya bersama Hamran berkunjung kepada

Imam al-Baqir. Saya berkata kepadanya, saya membentangkan al-mitmar. Imam

Baqir bertanya, Apakah yang kau maksud mitmar itu? Saya menjawab, Mitmar

adalah benang pengukur. Siapa saja yang menyetujui kami, baik dari keturunan

Ali atau orang lain, kami akan mengikutinya, tapi jika mereka tidak setuju dengan

kami, kami akan berlepas diri dari mereka. Lalu Imam Baqir berkata, Hai Zurarah,

firman Allah lebih benar ketimbang perkataanmu. Lantas di mana tentang orang-

orang yang termasuk dalam firman Allah ini:

Dan di mana pula yang murjau‟na li amrillah? Di mana golongan yang

mencampuradukan amal baik dengan amal buruk? Di mana golongan al-A‟raf? Di

7 Lihat, Muhammad bin Ya‟qûb al-kulainî, al-Kâffî, jilid 2, (Beirut: Mansyârât al-Fajr,

2007), h, 282-383.

Page 90: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

83

mana pula golongan orang-orang yang baru masuk Islam?” Hammad, yang

meriwayatkan hadis ini dari Zurarah, menambahkan: “Imam Baqir dan saya, pada

saat itu, beradu mulut dengan keras sehingga kedengaran dari luar rumah”. Jâmil

bin Durrâj, yang juga meriwayatkan hadis ini dari Zurarah, menambahkan:

“Ketika pembicaraan telah larut antara aku dan Imam Baqir, Imam Baqir berkata,

„Hai Zurarah Allah memang akan memasukan orang-orang yang tersesat ke dalam

surga”.8

Yang dimaksud oleh riwayat di atas adalah bahwa Allah telah menjanjikan

pahala untuk orang Mu‟min saja. Dan tentu Allah akan menempati janji tersebut.

Akan tetapi, dalam hubungannya dengan orang-orang non-Mu‟min, Allah tidak

pernah mewajibkan Diri-Nya untuk menepati janji kepada mereka. Dengan

demikian, urusan mereka terserah kepada Allah, apakah Dia akan memberikan

pahala kepada mereka, ataukah tidak. Dengan ucapannya tersebut, Imam ingin

memberi pengertian kepada orang-orang yang diajak bicara bahwa diberi pahala

atau tidaknya orang nonMu‟min adalah sama hukumnya dengan para mustadʻafȋn

dan orang-orang yang ditangguhkan keputusannya murjau‟na li Amrillah. Urusan

mustadʻafȋn nonMu‟min tersebut terpulang kepada Allah.9

Dalam penafsiran di atas, Mutahharî mengklasifikasikan mustadʻafȋn dalam

dua bagian. Pertama, orang yang mengaku dirinya mustadʻafȋn, tetapi tidak mau

untuk berusaha. Kedua orang yang benar-benar mustadʻafȋn. ketiga mustadʻafȋn

dari kalangan nonMuʼmin.

8 Murtada, Mutahharî, Keadilan Ilahi: Asas Pandangan Dunia Islam, h. 329-330.

9 Mutahharî, Keadilan Ilahi: Asas Pandangan Dunia Islam, h. 334-335.

Page 91: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

84

Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi

(Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka

orang-orang yang mewarisi (bumi)10

Mutahharî mengatakan bahwa al-Qurʼan percaya dalam konflik ini

kemenangan terakhir ada di tangan kaum mustadʻafȋn. Dalam hubungan ini al-

Qur'an menggaris-bawahi arah tak terelakkan dari proses sejarah, dan

menunjukkan bahwa kelas yang memiliki kualitas revolusioner selalu

memperoleh kemenangan dalam konfliknya dengan kelas yang pada dasarnya

berkualitas reaksioner dan konservatif dan bahwa kelas yang memiliki kualitas

revolusioner akan menggantikan kelas yang berkualitas reaksioner dan konservatif

dalam penguasaan atas bumi.

Pandangan al-Qurʼan bahwa sejarah bergerak menuju kemenangan kaum

tertindas dan tereksploitasi. Sebelumnya dari teori materialisme sejarah yang

substansi umumnya adalah bahwa reaksionisme dan konservatisme merupakan

sifat khas eksploitasi. Yang lebih menarik adalah dukungan dari Allah dan semua

fenomena dunia untuk kaum tertindas. Tak dapat dipungkiri bahwa, menurut pola

10

QS. al-Qisas (28): 5. Dalam ayat lain juga dikatakan:

زبها ٱله زق ٱلرض وهغ ءيل بوا وأورثا ٱلقىم ٱلهذيي كاىا يستضعفىى هش ت كلوت ربك ٱلحسى على بي إسز زكا فيها وتوه تي ب

زا ها كاى يصع فزعىى وقىههۥ وها كاىا يعزشىى ودهه ٧٣١صبزوا

“Dan Kami pusakakan kepada kaum yang telah ditindas itu negeri-negeri bagian timur dan

baratnya yang telah Kami beri berkah. Dan telah sempurnalah perkataan Tuhanmu yang baik

(sebagai janji) untuk Bani Isra 'il disebabkan kesabaran mereka. Dan Kami hancurkan apa yang

telah dibuat Fir'aun dan kaumnya dan apa yangtelah mereka bangun”.(QS. al-ʽArâf: 137)

Page 92: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

85

pikir al-Qurʼan, kaum mustadʻafȋn ini adalah massa tertindas yang tak dapat ikut

menentukan nasibnya sendiri. Kalau melihat posisi massa ini dan dukungan Allah

untuk mereka, maka pertanyaannya adalah, Siapakah kaum yang melaksanakan

kehendak Allah ini? Jawabnya sudah jelas. Kalau masyarakat diakui terbentuk

sedemikian rupa sehingga ada dua kelas yang saling berseberangan, yaitu kelas

penindas (mustakbirîn) dan kelas tertindas (mustadʻafȋn), dan juga diketahui

bahwa kehendak Allah lah yang pada akhimya membuat mustadʻafȋn mewarisi

bumi dan menjadi pemimpin di muka bumi dan mustakbirîn harus lenyap, maka

jelaslah bahwa kehendak Allah dilaksanakan oleh mustadʻafȋn dengan

kepemimpinan para pemimpin dan intelektualnya. Dengan kata lain, para nabi dan

martir dari kalangan kelas tertindas.11

Dengan demikian, munculnya Imam Mahdi merupakan karunia Allah bagi

kaum tertindas dan kaum lemah, dan juga merupakan sarana bagi kekuasaan

mereka serta mendapatkan pemerintahan yang dijanjikan Allah di seluruh dunia.

Sabda Rasulullah saw. yang terkenal menjelaskan bahwa Allah akan

memenuhi bumi ini dengan keadilan setelah dipenuhi kezaliman. Hadis ini

memberikan kesaksian bahwa pada saat munculnya al-Mahdi akan ada dua kelas

11

Dalam tesis di atas ada beberapa poin: pertama, Menurut Al-Qurʼan, masyarakat

memiliki dua kutub, selalu ada dua kelas yang berseberangan dalam masyarakat, yaitu kelas

penindas (mustadʻifȋn) dan kelas tertindas (mustadʻafȋn). kedua, Kehendak Allah (atau, dalam kata-

kata artikel terkutip di atas, dukungan dari Allah dan semua fenomena) arahnya adalah

mewujudkan kepemimpinan kelas tertindas dan diwarisinya bumi oleh kelas tertindas sebagai

norma universal. Dalam hal ini, tak ada bedanya antara kaum beriman dan kaum kafir atau antara

ahli tauhid dan kaum musyrik. Ayat terkutip di atas merumuskan norma umum dan universal.

Allah selalu menganugerahkan kemenangan kepada mustadʻafȋn. Dengan kata lain, dalam sejarah

selalu ada konflik terutama antara kaum tertindas (mustadʻafȋn) dan kaum penindas (mustadʻifȋn),

dan hukum evolusi menghentiaki kemenangan mustadʻafȋn atas mustadʻifȋn Ketiga, Kehendak

Allah terealisasi dalam masyarakat melalui kaum mustadʻafȋn. Pemimpin, perintis, nabi dan martir

berasal dari kalangan kaum mustadʻafȋn, bukan dari kelas lain. Keempat, Selalu ada keselarasan

antara basis intelektual dan sosial masyarakat di satu pihak dan basis kelas di pihak lain. lihat,

Manusia dan Alam Semesta: Konsepsi Islam Tentang Jagat Raya, h. 374.

Page 93: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

86

(gologan), pertama, kelompok penindas (mustadʻafȋn); kedua kelompok tertindas

(mustadʻafȋn).

Syeikh Saduq meriwayatkan suatu hadis dari Imam Jaʽfar al-Sadiq, bahwa

al-Mahdi akan muncul hanya jika orang yang shaleh menjadi paling saleh, dan

orang yang jahat menjadi paling jahat. Dari keterangan ini sudah jelas bahwa

orang yang saleh dan orang yang jahat pasti ada.

Ada beberapa hadis lain menjelaskan bahwa akan ada beberapa kelompok

yang bergabung dengan Imam al-Mahdi setelah ia muncul. Maka dari keterangan

ini jelas, bahwa pada suatu saat orang yang saleh akan tetap ada, walaupun

keberadaannya susah tidak mempunyai peranan apa-apa, tetapi keberadaan

mereka tetap merupakan umat yang mempunyai kualitas keimanan yang terbaik,

serta dapat disamakan dengan para sahabat Imam Husein r.a.12

B. Perbandingan Penafsiran

Pendapat

Mufasir

Perbedaan Persamaan

Muhammad al-

Rȃzȋ Fakhruddȋn

Ibnu al-'Alamȋ

Diyau‟ddȋn

'Umar, Tafsir al-

Fakhru al-Rȃzȋ:

al-Kabȋr Wa

Mafȃtih al-Ghaib

Karena tidak

hijrahnya sehingga

mereka tertindas

dan kafir

Dari kalangan

pemuda yang

menolak ajakan

rasulullah sehingga

mereka mengalami

ketertindasan dan

juga dimasukan

kedalam golongan

orang-orang kafir,

terkecuali dari

kalangan laki-laki

dan perempuan yang

tidak mempunyai

kekuatan fisiknya

yaitu para orang tua

yang sebentar lagi

tutup usia, dan juga

12

Murtada Mutahharî, Menguak Masa Depan Umat Manusia: Suatu Pendekatan Filsafat

Sejarah, (Jakarta: Pustaka Hidayah), h. 85.

Page 94: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

87

Mustadʻafîn

dalam surah

(4): 97-99

dan (28): 5

anak-anak kecil.

Abi al-Qasim

Muhammad bin

ʽUmar al-

Zamakhsyari, al-

Kasysyaf

orang-orang yang

menzalimi dirinya

sendiri dengan tidak

mau berhijrah

kepada kalangan

Muʼmin, padahal

mereka mampu

untuk berhijrah dan

orang-orang dari

kalangan minoritas

Mu'min yang tidak

mampu untuk

berhijrah.

'Ali bin Ibrâhim

al-Qummȋ, Tafsir

al-Qummȋ

Karena tidak

mampu membantah

orang-orang kafir

dan tidak

mempunyai

petunjuk atas

keimanannya

sehingga mereka

disebut sebagai

orang-orang yang

tidak mampu

beriman dan tidak

mampu juga kafir

Sayyid Qutub,

Tafsir Fi Zilâlil

Qur'an

Karena tertahan

oleh harta benda

dan kepentingannya

sehingga mereka

tertindas di negara

kafir

Allamah Faqih

Imani, Tafsir Nûr

al-Qur'an: Sebuah

Tafsir Sederhana

Menuju Cahaya

al-Qur'an

Tidak mempunyai

alat untuk menolak

orang-orang kafir

dan tidak

mempunyai

petunjuk untuk

keluar dari

golongan kafir

M. Quraish

Shihab, Tafsir al-

Misbah-Pesan,

Karena dari

ketertindasannya

sehingga mereka

Page 95: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

88

Kesan, dan

Keserasian Al-

Qur‟an

tidak berhijrah

dengan mengetahui

jalan keluar dan

selalu mendapatkan

kesulitan

Murtada

Mutahharî

Di dunia mereka

selalu mendapatkan

sang pembebas atau

sang pelopor yang

mengarahkannya ke

ke jalan kebenaran

dan kemenangan,

kemudian di akhirat

nanti mereka adalah

orang yang

urusannya

ditangguhkan dan

diserahkan kepada

keputusan Allah di

akhirat (murjawna

li amrlllah). Urusan

mereka

dikembalikan

kepada Allah Swt.

Dialah yang akan

mengambil

tindakan kepada

mereka sesuai

kebijaksanaan dan

rahmat-Nya

Dengan penafsiran para ulama di atas, penulis dapat mengkategorikan

mustad‟afîn dalam dua bagian, yaitu:

1. Mustadʽafîn yang menzalimi dirinya sendiri

Mustadʽafîn yang menzalimi dirinya sendiri merupakan orang-orang yang

enggan untuk berhijrah, berjihad dan berusaha di jalan Allah sehingga dengan

perbuatannya sendiri, mereka mengalami ketertindasan oleh kaum kafir. Hal ini

disebabkan oleh mereka yang masih cinta terhadap hartanya, tempat tinggalnya,

dan kepentingannya, mereka tidak menjadikan iman sebagai prinsip asar tertinggi

Page 96: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

89

daripada harta bendanya. Dengan demikian, mereka diklaim sebagai orang

munafik dan kafir.

2. Mustadʽafîn yang benar-benar tidak mempunyai daya kekuatan.

Mustadʽafîn seperti ini merupakan orang-orang yang ingin berhijrah,

berjihad dan berusaha, tetapi mereka tidak mengetahui cara dan kekuatan untuk

itu semua, dan juga mereka tidak mengetahui antara yang benar dan yang salah.

Sebagian ulama lebih memfokuskan kepada, anak-anak kecil, orang tua, dan

perempuan.

Kemudian dari ayat yang telah dijelaskan, terdapat janji Allah bagi semua

kalangan mustadʽafîn.

1. Janji Allah di dalam dunia

Janji Allah di dalam dunia ialah suatu kemenangan bagi mustadʽafîn baik

yang mampu berhijrah atau tidak. mereka akan menjadi pemimpin dan mewarisi

bumi yang akan dipelopori oleh sang pemimpin yaitu Imam al-Mahdi.

Seperti yang dikatakan Mutahharî bahwa kehendak Allah lah yang pada

akhimya membuat mustadʽafîn mewarisi bumi dan menjadi pemimpin di muka

bumi dan mustakbirîn harus lenyap, maka jelaslah bahwa kehendak Allah

dilaksanakan oleh mustadʽafîn dengan kepemimpinan para pemimpin dan

intelektualnya. Dengan kata lain, para nabi dan martir dari kalangan kelas

tertindas.13

Dengan demikian, munculnya Imam Mahdi merupakan karunia Allah bagi

kaum tertindas dan kaum lemah, dan juga merupakan sarana bagi kekuasaan

mereka serta mendapatkan pemerintahan yang dijanjikan Allah di seluruh dunia.

13

Lihat, Murtada Mutahharî, Manusia dan Alam Semesta: Konsepsi Islam Tentang Jagat

Raya, h. 374.

Page 97: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

90

2. Janji Allah di Akhirat

Bagi mustadʽâfin Mu'min atau nonMu'min dari kalangan anak kecil, orang

yang berlanjut usia, perempuan yang tidak mampu, tidak ada petunjuk dan tidak

mempunyai alat dan cara untuk berhijrah, Mutahharî mengatakan bahwa diberi

pahala atau tidaknya orang mereka adalah sama hukumnya dengan para

mustadʽâfin dan orang-orang yang ditangguhkan keputusannya murjaû‟na li

Amrillâh. Urusan mustadʽâfin nonMu‟min tersebut terpulang kepada Allah.14

C. Relevansi Penafsiran QS. (4): 97-99 dan QS. (28): 5 Dalam Konteks

Indonesia Modern

Dalam Konteks Indonesia, penulis meneliti bahwa para pendahulu kita di

antaranya Joyoboyo, Ranggawasita dan juga Prabu Siliwangi telah meramalkan

akan munculnya pemimpin mustad'afîn yang di sebut sebagai "Ratu Adil".

Lebih jelasnya, Soekarno menjelaskan tentang konsep Ratu Adil. Di dalam

sidang BPUPKI tahun 1945, ia berpidato, "apakah yang dimaksud dengan Ratu

Adil?. Yang dimaksud dengan paham Ratu Adil adalah sociale rechtvaardigheid.

Rakyat ingin sejahtera, rakyat ingin menciptakan dunia yang di dalamnya terdapat

keadilan di bawah pimpinan Ratu Adil. Oleh karena itu kalau kita memang betul-

betul mengerti, mengingat, mencintai rakyat Indonesia, marilah terima sociale

rechtvaardigheid ini. "Kesejahteraan yang berkeadilan ini yang didambakan

rakyat".15

Dalam sabda Prabu Siliwangi di jelaskan bahwa kelak akan ada orang

yang berusaha membuka misteri Pajajaran. Namun yang terjadi mereka yang

14

lihat, Murtada Mutahharî, Keadilan Ilahi: Asas Pandangan Dunia Islam, h. 334-335. 15

Asvi Warman Adam, Bung Karno Dibunuh Tiga Kali, (Jakarta, PT Kompas Media

Nusantara, 2010), h. 51.

Page 98: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

91

berusaha mencari hanyalah orang-orang sombong dan takabur. Akan tetapi dalam

Naskah Wangsit Siliwangi Ini dikatakan pada akhirnya yang mampu membuka

misteri Pajajaran adalah sosok yang dikatakan "Budak Angon" (Anak Gembala).

Sebagai perlambang sosok yang dikatakan Prabu Siliwangi sebagai orang yang

baik perngainya.16

Tanda-tanda dari kemunculan Anak Gembala dijelaskan dalam naskah

Wangsit Siliwangi yaitu:

"Jayana buta-buta, hateu pati lila, tapi bongan kacarida teuing nyangsara

ka somah nu pada ngarep-ngarep caringin reuntas di alun-alun. Buta bakal jadi

wadal, wadal pamolahna sorangan, iranga mangsana? engke mun geus tembong

budak angon! Ti dinya loba nu ribut, ti dapur laju salembur, ti lembur jadi

sanagara! Nu barodo jadi gelo marantuan nu garelut? Ngarebutkeun warisan,. Nu

hawek hayang loba, nu baroga hak marenta bagianana.ngan nu areling caricing.

Arinyana mah ngalalajoan. Tapi kabarerang".

Artinya: kekuasaan penguasa buta tidak berlangsung lama, tapi karena

sudah lama menyengsarakan rakyat yang sudah berharap agar ada mu'jizat

datang untuk mereka. Penguasa itu akan menjadi tumbal, tumbal untuk

perbuatannya sendiri. Kapan waktunya? Nanti , saat munculnya anak gembala!

Di situ akan banyak huru-hara, yang bermula di satu daerah semakin lama

semakin besar meluas di seluruh negara. Yang tidak tahu menjadi gila dan ikut-

ikutan menyerobot dan bertengkar, dipimpin oleh pemuda gendut! Sebabnya

bertengkar? Memperebutkan tanah. Yang sudah punya ingin lebih, yang berhak

16

Tri Budi Marhaen Darmawan Nurahmad, Perjalanan Spiritual: Menelisik Jejak Satrio

Piningit, (Semarang: Cipta Karya Multimedia, 2007), h. 16.

Page 99: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

92

meminta baginya. Hanya yang sadar pada diam, mereka hanya menonton, tetapi

tetap terbawa-bawa.

Situasi tersebut di atas adalah gambaran yang terjadi sekarang ini. Kalau

kita perhatikan dengan cermat ungkapan di atas, maka memang saat ini seluruh

rakyat sedang berharap-harap menunggu datangnya mu'jizat di tengah-tengah

carut marut permasalahan yang sedang berjalan saat ini.17

Syahdan, pada saat satria piningit muncul, Indonesia sedang menghadapi

goro-goro (bhs. Indonesia: kerusuhan besar). Tampilnya satria piningit sebagai

pemimpin akan menjadikan bangsa Indonesia akan menuju kemakmuran dan

kejayaan seperti pada jaman Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Ranggawarsita

dalam karangannya memaparkan tujuh kriteria pemimpin di antaranya, Satria

Kinunjara Murwa Kuncara Satria Kinunjara yaitu satria yang terpenjara, Satria

Mukti Wibawa Kesandung Kesampar yaitu satria berwibawa, Satria Jinumput

Sumela Atur yaitu satria terpungut. Satria Lelana Tapa Ngrame yaitu satria

pengembara. Satria Piningit Hamong Tuwuh yaitu satria yang disembunyikan dan

kemudian ke luar dari pertapaannya. Dengan segala kelemahan dan kelebihannya,

satria ini diramalkan akan berhasil hamong tumuwuh (merangkul segala

komponen) yang ada di bumi nusantara dan mengantarkan ke gapura pembuka

jaman keemasan. Satriya Boyong Pambukaning Gapura yaitu satria yang

berpindah tempat dan membuka gerbang. Pemimpin yang akan menjembatani ke

arah kemakmuran. Ia adalah negarawan tanpa pamrih. Ia mengemban tugas

meletakkan fondasi kenegaraan seperti membuka pintu gapura jaman keemasan

dan menggelar tikar. Satria Pinandita Sinisihan Wahyu yaitu satria yang berjiwa

17

Ibid, h. 26.

Page 100: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

93

dan bersemangat religius yang kuat. Dialah pemimpin yang ditunggu yang akan

membawa kepada kemakmuran dan kesejatian bangsa. Dialah Ratu Adil yang

dinantikan kehadirannya di tengah-tengah bangsa yang sedang terpuruk secara

moral dan ekonomi saat ini.18

18

Stepanus Istata Raharjo, Kerajaan Allah dalam Dua Wajah: Datangnya Ratu Adil dan

Kerajaan Allah, Hadiwijaya, Tokoh-Tokoh Kejawen: Ajaran dan Pengaruhnya, (Yogyakarta:

Kelompok Penerbit Pinus, 2010), h. 87-93.

Page 101: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

94

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Secara sadar bahwa agama Islam lebih memposisikan terhadap pembelaan

bagi mustadʽafîn dengan mengangkat martabat mereka dan juga memberikan

cara-cara untuk memperjuangkannya hak dan kemerdekaannya. Meskipun sulit

memperjuangkan mustadʽafîn, tetapi dalam fenomena sejarah itu tak lepas dari

adanya kontradiksi antara kaum mustadʽifîn dengan mustadʽafîn, sehingga dengan

hal ini Islam tetap dikatakan sebagai agama ideologi yang terus memperjuangkan

mustadʽafîn sampai akhir zaman. Sampai detik ini kemenangan masih digenggam

oleh kaum mustadʽifîn. Mereka kehidupannya hanya dengan bermegah-megahan,

berfoya-foya, mencaci dan menghina mustadʽafîn. namun, suatu saat nanti

kekuasaannya akan hancur oleh kaum mustadʽafîn, karena al-Qurʼan telah

meramalkan bahwa kemenangan kekuasaan akan diraih oleh kaum

mustadʽafîn.Ini sudah menjadi hak mutlak bagi mustadʽafîn atas janji dan karunia

Allah. Sejarah telah mengungkapkan bahwa dalam satu masa, mustadʽafîn

menang melawan mustadʽifin, seperti yang di lakukan Lenin di Uni Soviet

(sekarang Rusia), Mao Zhe Dong di Cina, atau Che Gue Vara di Kuba.

Kemenangan ini bukanlah suatu revolusi, tetapi hanya sebagai evolusi dari

perubahan menjadi masyarakat yang berkembang dan maju. Revolusi adalah

perubahan secara total yang di bawa oleh sang pemimpin tangguh dalam

menancapkan kebenaran dan luar biasa dalam menegakkan agama Allah. Ia akan

memberantas segala kejahatan dan keburukan manusia di dunia. Mutahhari

Page 102: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

95

menjelaskan bahwa Ia adalah Imam al-Mahdi al-Muntazir. Inilah yang dimaksud

klimaks dari evolusi, yakni revolusi atas kemenangan Islam bagi mustadʽafîn yang

akan merubah keadaan dari masyarakat ber-kelas menuju masyarakat tanpa kelas

dan membumihanguskan peradaban buruk. Artinya, di dalam revolusi terakhir ini

sudah tidak ada lagi orang kafir, munafik, perusak, sombong, bermegah-megahan,

menindas dan selainnya. Yang ada hanyalah kaum saleh, bermoral, saling

membantu, menegakan keadilan, bergotong royong dan sama rasa atas hak

kemakmuran dan kesejahteraan (كان الناس أمة واحده).

Bahkan orang non-Mu’min dari kalangan mustadʽafîn secara posisi di akhirat

berbeda. mereka masih diberikan kesempatan untuk dimasukan ke dalam

surganya Allah. Namun, ada syarat tertentu bagi mereka, yaitu mereka tidak

menolak, ataupun mengelakan suatu kebenaran terhadap Islam. Walaupun mereka

hidup di Dar al-Kufr, di sisi lain mereka ingin keluar untuk hijrah, akan tetapi

tidak mampu dikarenakan mereka cacat, orang yang sudah tua, anak kecil,

perempuan, orang yang tidak mempunyai nafkah, dan mereka yang tidak

mengetahui petunjuk jalan, sehingga akhirnya mereka hanya meyakini dan

menerima kebenaran Islam dan bertaubat hanya di hatinya saja, maka mereka

adalah murjaʽûna li amrillâh (yang menunggu ketetapan Allah atau orang yang

ditangguhkan di akhirat). Walaupun demikian, Allah akan berlaku adil dan

mengampuni mereka, karena Keadilan dan Ampunan-Nya merupakan kewajiban

dari ke-Maha Bijaksanaan-Nya.

Page 103: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

96

B. Saran-Saran

Dengan selesainya penulisan skripsi ini, penulis sangat mengharapkan

kepada seluruh elemen masyarakat, bahwa sampai hari ini masih banyak orang-

orang yang ditindas. Walaupun secara tersurat tidak terlihat bagaimana suatu

praktek ketertindasannya akan tetapi secara tersirat dan dirasakan oleh kesadaran

bahwa terdapat suatu ketertindasan yang masif, karena faktanya, kemiskinan,

kelaparan, orang-orang yang hidup di jalanan, para buruh dengan upah kecil itu

masih ada di dunia ini. Sekali lagi ini bukanlah kesalahan atas takdir Allah

ataupun kesalahan mereka sendiri, akan tetapi dari kesalahan kaum berkuasa atau

pemodalah yang serakah akan sesuatu khususnya harta.

Di akhir ini, penulis menyampaikan bahwa penulisan skripsi ini masih

terdapat kekurangan serta belum menduduki standar kesempurnaan di dalam

penulisan karya ilmiah. Penulis hanya mengkaji mustadʽafîn dalam pemikiran

Murtadâ Mutahharî, dan semoga di kemudian hari ada yang melanjutkannya

dengan pembahasan mustadʽafîn dan mustadʽifîn dalam pemikiran seluruh

mufasir.

Page 104: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

97

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Muh. Murtadâ Mutahharî: Filosof dan Pejuang. Bandung: Penerbit

Nuansa, 2009.

Abidin, Ahmad Zainal. "Tafsir al-Qummî dan Politik: Telaah atas Kecenderungan

Tashayyu dalam Penafsiran Surat al-Baqarah", Al-Tahrir, Vol. 16, No. 2. IAIN

Tulungagung, 2016.

AR, St. Nasriah. "Dakwah dan Problematika Kemiskinan Struktural", Tabligh, edisi

24. Makassar: UIN Alauddin, 2011.

Adams, Cindy. Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat. Jakarta: Gunung Agung,

1966.

Anam, Munir Che. Muhammad saw. dan Karl Marx Tentang Masyarakat Tanpa

Kelas. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2008.

Armstrong, Karen. Sejarah Tuhan: Kisah pencarian Tuhan Yang Dilakukan Oleh

Orang-Orang Yahudi, Kristen, Dan Islam Selama 4000 Tahun, Cet. 6, Terj.

Zaimul Am. Bandung: Penerbit Mizan, 2002.

Audah, Ali. Nama dan Kata Dalam Al-Qur’an: Pembahasan dan Perbandingan.

Jakarta: PT. Pustaka Litera Antarnusa, 2011.

Badruzaman, Abad. Teologi Kaum Tertindas: Kajian Tematik Ayat-Ayat Mustadʻafȋn

Dengan Pendekatan Keindonesian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.

____________, Dari Teologi Menuju Aksi- Membela yang Lemah, Menggempur

Kesenjangan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.

Page 105: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

98

Al-Barudi, Syaikh Imad Zaki. Tafsîr Al-Qur'an Al-ʻAzhim li Al-Nisȃ': Tafsir Wanita,

terj. Samson Rahman. Jakartah: Pustaka al-Kautsar, 2004.

Bâqî, Muhammad Fu'âd ʻAbdul. al-Muʻjam al-Mufaharas Li Alfadz al-Qurʻan al-

Karîm. Qahirat: Dar al-Kitâb al-Misriyah, 1945.

Djaya, Ashad Kusuma. Islam Bagi Kaum Tertindas-Kerangka Pembebasan Kaum

Mustadʻafȋn dari Teologi Ke-Sosiologi. Bantul: Kreasi Wacana, 2016.

Al-Dzahabî, Muhammad Husain. Tafsir wa al-Mufassirûn, juz 1. Qahirat: Maktabah

Wa Hasibah, 1986.

Engineer, Asghaar Ali. Islam Dan Pembebasan. Yogyakarta: Lkis, 2007.

____________, Islam dan Teologi Pembebasan, terj. Agung Prihantoro. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2009.

Fȃris, Abȗ al-Husayn Ahmad Ibnu. Muʻjam al-Maqȃyȋs fi al-Lughah, cet. 1. Beirut:

Dar al-Fikr lȋ al-Thibȃʻah wa al-Nasyr wa al-Tawzȋ, 1994.

Fauroni, Lukman. "Rekontruksi Etika Bisnis Perspektif al-Qur'an", IQTISAD, Journal

of Islamic Ekonomics, vol. 4, No.1. Yogyakarta: Sekolah Tinggi Ilmu

Syariʻah, 2003.

Gembala, A.H Jemala. Membela Perempuan-Menakar Feminisme Dengan Nalar

Agama. Jakarta: Al-Huda, 2005.

HAMKA, Tafsir al-Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982.

Al-Huna'i, Abî al-Hasan Alî bin al-Hasan. Munajjad Fi al-Lughah: Aqdam Muʻjam

Syamil Li al Musytarak al-Lafzi . Qahirat: 'Alim al-Kitab,1998.

Page 106: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

99

Ibrahim, Tafsîr al-Qur'an al-Majîd al-Nûr. Jakarta: Cakrawala Publising, 2011.

Imani, Allamah Faqih, Tim Ulama. Tafsir Nûr al-Qur'an: Sebuah Tafsir Sederhana

Menuju Cahaya al-Qur'an, terj. R Hikmat Danaatmaja, cet. 2. Jakarta: Nûr al-

Huda, 2013.

Al-Ishfahani, Al-ʻAlamah ar-Raghib. Mufradat Alfaz al-Qur'an. Damasyqi: Dar al-

Qalam, 2009.

Jasmadi. "Pemberdayaan Masyarakat Kaum Mustad'afîn", Jurnal Ijtimaiyya, Vol. 6.

Lampung : IAIN Raden Intan, 2013.

Kaltsum, Lilik Ummi. Metode Tafsir Tematis M. Baqir Al-Sadr-Mendialogkan

Realitas Dengan Teks. Surabaya: CV. Putra Media Nusantara, 2010.

Katsir, Ibnu. Qisas al-Anbiyȃ’: Kisah Para Nabi, cet. 3, terj. Umar Mujtahid. Jakarta:

Ummul Qura, 2015.

____________, A. Moqsith G. Tafsir Ayat-Ayat Ahkam. Ciputat: UIN Press, 2015.

Khaeruman, Badri. Sejarah Perkembangan Tafsir al-Qur’an. Pustaka Setia: Bandung,

2004.

Al-Kulainȋ, Muhammad bin Yaʻqȗb. al-Kȃfȋ. Beirut: Mansyȗrȃt al-Fajr, 2007.

Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an. Pembangunan Ekonomi Umat: Tafsir al-

Qur’an Tematik, cet 2. Jakarta: Perpustakaan Nasional RI, 2012.

Menzies, Allan. Sejarah Agama-Agama, terj. Dion Yulianto dan EmIrfan.

Yogyakarta : Grup Relasi Inti Media, Anggota IKAPI, 2014.

Al-Misrî, 'Abî al-Fadl Jamâl al-Dîn Muhammad Mukram ibn Manzûr al-Faryaqî,

Lisân al-ʻArab, cet. 3. Beirut: Dâr Sadr, 2010.

Page 107: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

100

Al-Mubarâk, Syaikh Faisal bin ʻAbdul ʻAzîz. Ringkasan Nailul Authar, terj. Amir

Hamzah Fachruddin dan Asep Saefullah. Jakarta: Pustaka Azzam, 2006.

Munawwir, Ahmad Warson. al-Munawwir-Kamus Besar Arab-Indonesia, cet. 14.

Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.

Mutahharî, Murtada. Tema-Tema Pokok Nahj al-Balaghah, terj. Arif Mulyadi.

Jakarta: Islamic Center Jakarta, 2002.

____________, Islam Agama Keadilan, terj. Agus Effendi. Jakarta: Pustaka Hidayah,

1988.

____________, Pengantar Ilmu-Ilmu Islam, terj. Ibrahim Husein al-Habsyi dan dkk.,

(Jakarta: Pustaka Zahra, 2003), h. xxii.

___________, Tafsir Holistik: Kajian Seputar Relasi Tuhan, Manusia, dan Alam, terj.

Ilyas Hasan. Jakarta: Penerbit Citra, 2012.

____________, Ceramah-Ceramah Seputar Persoalan Penting Agama dan

Kehidupan, terj. Ahmad Subandi. Jakarta: PT Lentera Basritama, 2000.

____________, Manusia dan Alam Semesta: Konsepsi Islam Tentang Jagat Raya,

terj. Ilyas Hasan. Jakarta: Lentera, 2002.

__________, Keadilan Ilahi: Asas Pandangan Dunia Islam, terj. Agus Efendi. Jakarta,

Mizan Media Utama, 2009.

__________, Menguak Masa Depan Umat Manusia: Suatu Pendekatan Filsafat

Sejarah. Jakarta: Pustaka Hidayah: 1991.

Al-Naisaburi, Al-Wahidi. Sebab-Sebab Turunnya Ayat-Ayat al-Qur'an, terj. Moh

Syamsyi. Surabaya: Amelia Surabaya, 2014.

Page 108: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

101

Prasetyo, Eko. Islam Kiri Melawan Kapitalisme Modal-dari Wacana Menuju

Gerakan. Yogyakarta : Insist Press, 2002.

__________, Orang kaya di Negeri Miskin. Yogyakarta: Resist Book, 2005.

Al-Qummȋ, 'Ali bin Ibrâhim. Tafsir al-Qummȋ. Qum: Muassasah Dar al-Kitȃb li al-

Tabȃ'ah wa al-Nasyr, 1404.

Al-Qurtubî, Abî Muhammad bin Ahmad bin Abî Bakr. Al-Jâmi Li Ahkâm al-Qur'an.

Beirut: al-Resalah, 2006.

Rafsanjani, ʻAli Akbar Hashemi. Keadilan Sosial: Pandangan Islam Tentang HAM,

Hegemoni Barat dan Solusi Dunia Modern, terj. Anna Farida. Bandung:

Nuansa Cendekia, 2001.

Qutub, Sayyid. Tafsir Fi Zilâlil Qur'an. Jakarta: Gema Insani Press, 2001.

Rahmena, Ali. Ali Syari'ati: Biografi Politik Intelektual Revolusioner, terj. Dien

Wahid dkk. Jakarta: Erlangga, 2000.

Sabiq, Sayid. Islam Dipandang Dari Segi Rohani-Moral-Sosial, terj. Zainuddin, dkk.

Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994.

Al-Sadr, Muhammad Baqir. Falsafatuna: Materi, Filsafat, dan Tuhan dalam Filsafat

Barat dan Rasionalisme Islam, terj. Arif Maulawi, cet. 5. Yogyakarta:

Rausayan Fikr Institute, 2016.

____________, Sejarah Dalam Perspektif Al-Quran, terj. M.S. Nasrullah. Jakarta:

Shadra Press. 2010.

____________, al-Madrasat al-Qur'aniyyah, Qum: Markaz al-Abhȃts wa al-Dirȃsȃt

al-Takhashshushiyyah li al-syahȋd, 1929.

Said, Imam Ghazali. Ideologi Kaum Fundamentalis. Surabaya: Diantama, 2003.

Page 109: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

102

Setiawan, Nur Kholis. Akar-Akar Pemikiran Progresif dalam Kajian Al-Qur'an.

Yogyakarta: Elsaq Press, 2008.

Shaleh, K.H.Q, dkk. Asbabun Nuzul-Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat

Al-Qur’a. Bandung: CV. Diponogoro, 1995.

Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah-Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, vol.

9. Jakarta: lentera hati, 2002.

____________,Wawasan al-Qur'an: Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat,

cet. 2. Bandung: PT Mizan Pustaka, 2013.

____________, Sunnah-Syiʻah Bergandengan Tangan! Mungkinkah? Kajian atas

Konsep Ajaran dan Pemikiran. Jakarta: Lentera Hati, 2007.

Surachmad, Winarmo. Dasar dan Teknik Research Pengantar Metodologi Ilmiah.

Bandung: Tarsio, 1972.

Subhan, Zaitunah. Al-Qur'an dan Perempuan Menuju kesetaraan Gender dalam

Penafsiran. Jakarta: Pernadamedia Group, 2015.

Sudarto. Wacana Islam Progresif. Jogjakarta: Ircisod, 2014.

Al-Masywakhi, Ziyâd bin ʻAbidu. Al-Istidʻaf Wa Ahkamuhu. Riyâd: Dar Kunûz

Isybiliyân, 2012.

Al-Suyuthi, Jalaluddin. Lubaabun Nuquul Fii Asbaabin Nuzuul, terj. Tim Abdul

Hayyie. Depok: Gema Insani, 2015.

Syari'ati, Ali. Islam Agama Protes, terj. Satria Pinandito. Bandung: Pustaka Hidayah,

1993.

____________, Pemimpin Mustadʻafȋn: Sejarah Panjang Melawan Penindasan dan

Kezaliman, terj. Rahmani Astuti. (Bandung: Muthahari Paperbacks, 2001.

Page 110: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

103

____________,Kritik Islam Atas Marxisme dan Sesat-Pikir Barat Lainnya, terj.

Husin Anis al-Habsyi. Bandung: Mizan, 1983), h. 17-18.

____________, Paradiga Kaum Tertindas, terj. Saifullah Mahyudin dan Husen

Hashem. Jakarta: Al-Huda, 2001.

____________, Sosiologi Islam, terj. Saifullah Wahyudin. Yogyakarta: Ananda, 1982.

____________, Ideologi Kaum Intelektual: Suatu Wawasan Islam, terj. Syafiq Bashri

dan Haidar Baqir. Bandung: Mizan, 1994.

Syarifuddin, Amir. Garis-garis Besar Fikih. Jakrata: Kencana, 2003.

Syibromalisi, F. A, J Azizy. Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern. Jakarta:

Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2011.

Taba’taba’ȋ, Al-ʻAllamah al-Sayidi Muhammad Husain. Al-Mȋzȃn fȋ Tafsȋr al-Qur’an.

Beirut: Mu’asasah al-‘Alamȋ li al-Matbȗʻȃt, 1997.

'Umar, Muhammad al-Rȃzȋ Fakhruddȋn Ibnu al-'Alamȋ Diyau’ddȋn. Tafsir al-Fakhru

al-Rȃzȋ: al-Kabȋr Wa Mafȃtih al-Ghaib. Beirut: Dar al-Fikr, 1981.

____________,Kitab al-Firȃsat: Ilmu Membaca Sifat dan Karakter Orang dari

Bentuk Tubuhnya, terj. Fuad Syaifuddin Nur. Jakarta: Turos Khazanah

Pustaka Islam, 2015.

Yusuf, M. Yunan. Tafsir Juz ‘Amma As-Sirajul Wahhaj. Jakarta: Penaadani dan Az-

Zahrah, 2010.

Al-Zabidî, Muhammad Murtada al-Husaini.Tȃj al-‘Urus Min Jawȃhir al-Qamûs.

Kuwait: Matbah Hukumah, 1974.

Al-Zamakhsyari, Abi al-Qasim Muhammad bin 'Umar. al-Kasyaf. Riyadh: Maktabah

al-'Abikan, 1998.

Page 111: Al MUSTADʻAFÎN DALAM PERSPEKTIF MURTADÂ MUTAHHARÎ ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40624/2/RIZKY... · Vokal dalam Bahasa arab, seperti vocal dalam Bahasa

104

Al-Zuhaily, Wahbah. al-Wajȋr Fi al-Fiqhi al-Islam. Beirut: Dar al-Fikr, 2006.

____________ , al-Tafsȋr al-Munȋr Fi 'Aqidah Wa Syariʻah wa al-Manȃhij, Juz 5.

Damasyqi: Dar al-Fikr, 2006), h. 462.

Zuhdi, Masjfuk. Masâil Fiqiyah, cet 10. Jakarta: PT Toko Gunung Agung, 1997.