alergi pernapasan
DESCRIPTION
Makalah Alergi PernapasanTRANSCRIPT
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
DAFTAR ISI
A. SISTEM IMUNITAS..........……………………………………………………………..2
B. REAKSI HIPERSENSITIVITAS…………………………………..…………………..11
C. TONSILITIS……………………………………………………………………………20
D. RHINITIS………………………………………………………………………………24
E. FARINGITIS…………………………………………………………………………...40
F. SINUSITIS……………………………………………………………………………..45
G. ASMA BRONKIAL……………………………………………………………………59
H. STATUS ASMATIKUS……………………………………………………………….75
I. POLIP NASI…………………………………………………………………………..82
J. PEMERIKSAAN PENUNJANG ALERGI…………………………………………..104
K. EDUKASI………………………………………………………………………….…114
2012 Page 1
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
A. SISTEM IMUNITAS
SISTEM IMUN NON-SPESIFIK
1. Non Spesifik
1. Peradangan
Rangkaian Peristiwa:
a. Produksi Faktor- Faktor Kimia Vasoaktif
Meliputi: Histamin (dari sel mast), serotonin (dari trombosit), derifat asam
arakidonat (leukotrien, prostaglandin, dan tromboksan), kinin (protein plasma
teraktivasi)
Efeknya:
Vasodilatasi pada area yang rusak
Peningkatan permeabilitas kapiler
Pembatasan area cidera
b. Kemotaksis
Gerakan fagosit kea rah cidera, terjadi dalam satu jam setelah permulaan
inflamasi
Migrasi perlekatan fagosit (neutrofil dan monosit) ke dinding endotel
kapiler yang rusak
Diapedesis migrasi fagosit melalui dinding kapiler menuju cidera, yang
pertama kali sampai adalah neutrofil kemudian disusul monosit yang
akhirnya menjadi makrofag
c. Fagositosis
Neutrofil dan magkrofag akan terurai secara enzimatik dan mati setelah
menelan sejumlah besar mikroorganisme
Leukosit mati, sel jaringan mati dan berbagai bentuk cairan tubuh
membentuk pus yang terus terbentuk sampai infeksi teratasi
Abses/ granuloma terbentuk jika respon inflamasi tidak dapat mengatasi
cidera atau invasi
d. Pemulihan
Melalui regenerasi jaringan atau pembentukkan jaringan parut
2. Respon interferon
2012 Page 2
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
Protein yang menjaga tubuh dari infeksi virus, dibuat dan dikeluarkan oleh sel- sel
system imun (Contoh: sel- sel darah putih, sel pembunuh alami, fibroblast-
fibroblast, dan sel epithelia)
Jenis Interferon:
IFN α diproduksi oleh leukosit yang terinfeksi virus
INF β diproduksi oleh fibroblast- fibroblast yang terinfeksi virus
INF γ diproduksi oleh dua jenis limfosit imun
3. Respon sel nk
Setelah sel NK teraktivasi, sel ini bekerja dengan 2 cara:
Pertama, protein dalam granula sitoplasma sel NK dilepaskan menuju sel yang
terinfeksi, yang mengakibatkan timbulnya lubang di membran plasma sel
terinfeksi dan menyebabkan apoptosis. Mekanisme sitolitik oleh sel NK
serupa dengan mekanisme yang digunakan oleh sel T sitotoksik. Hasil akhir
dari reaksi ini adalah sel NK membunuh sel pejamu yang terinfeksi.
Kedua yaitu sel NK mensintesis dan mensekresi interferon-γ (IFN-γ) yang
akan mengaktivasi makrofag. Sel NK dan makrofag bekerja sama dalam
memusnahkan mikroba intraselular: makrofag memakan mikroba dan
mensekresi IL-12, kemudian IL-12 mengaktivasi sel NK untuk mensekresi
IFN-γ, dan IFN-γ akan mengaktivasi makrofag untuk membunuh mikroba
yang sudah dimakan tersebut.
4. Respon komplemen
Aktivasi komplemen terdiri dari 3 jalur yaitu:
Jalur alternatif dipicu ketika protein komplemen diaktivasi di permukaan
mikroba dan tidak dapat dikontrol karena mikroba tidak mempunyai protein
pengatur komplemen (protein ini terdapat pada sel tuan rumah).
Jalur klasik dipicu setelah antibodi berikatan dengan mikroba atau antigen
lain. Jalur ini merupakan komponen humoral pada imunitas spesifik.
Jalur lektin teraktivasi ketika suatu protein plasma yaitu lektin pengikat
manosa (mannose-binding lectin) berikatan dengan manosa di permukaan
mikroba. Lektin tersebut akan mengaktivasi protein pada jalur klasik, tetapi
karena aktivasinya tidak membutuhkan antibodi maka jalur lektin dianggap
sebagai bagian dari imunitas non spesifik.
Selain itu, mekanisme lain dari sistem imunitas non spesifik antara lain :
Fisik
2012 Page 3
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
Kulit memiliki pertahanan non spesifik pertama dalam tubuh, flora-flora
normal yang dimiliki kulit sangat kompetitif untuk menghalangi masuknya
mkroorganisme jahat ke dalam tubuh.
Silia pada hidung bertugas untuk menyaring debu-debu yang masuk dan juga
mengeluarkannya.
Batuk serta bersin juga merupakan bentuk pertahanan tubuh dalam upaya
mengeluarkan benda asing yang diterima tubuh.
Larut
Biokimia
- Lisozim yang terdapat pada keringat, air ludah, air mata dan ASI
melindungi tubuh kita dengan merusak membrane sel mikroorganisme
- HCl memiliki enzim proteolitik yang dapat membunuh bakteri yang
masuk ke dalam lambung
- Asam laktat dan asam lemak yang dikeluarkan oleh kelenjar sebasea
melindungi tubuh dari masuknya bakteri.
Humoral
Komplemen
Peran : Membantu proses lisis mebran, sebagai opsonin (zat pengikat
antigen) yang meningkatkan fagositosis.
Interferon
Sifat : Antivirus, menginduksi sel-sel sekitar yang terinfeksi virus supaya
resisten terhadap virus, pengaktif sel NK untuk meminimalisasi penyebaran
virus/
Ada 3 macam interferon, yaitu :
o IFN α = IFN yang dihasilkan oleh keukosit yang terinveksi virus
o IFN β = IFN yang dihasilkan fibroblast yang terinveksi virus
o IFN φ = IFN yang diproduksi Sel T
CRP : Membantu pengaktifan komplemen
Selular
Fagosit
2012 Page 4
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
Sel utama yang berperan adalah sel mononuclear serta
polimorfonuklear (PMN) sel
Sel fagosit penting untuk menangkap antigen, mengolah dan
mempresentasikan antigen tersebut ke Sel T sehingga disebut APC ( antigen
presenting cell)
Mononuklear Cell
a) Monosit cell
Fungsi : - menyerang mikroba dan sel kanker
- APC
- Remodelling dan perbaikan jaringan
b) Makrofag cell
- Fungsi : Fagositosis dan pinositosis
- Sel makrofag merupakan monosit yang sudah differensiasi di jaringan
- Makrofag memiliki nama khusus di setiap jaringan, yaitu :
PMN
a) Neutrofil
- 70 % leukosit adalah neutrofil
- Jumlah lebih meningkat jika terkena infeksi,exercise
extreme,inflamasi, dan lain lain
- Neutrofil merupakan sel yang pertama menuju daerah inflamasi
- Pembunuh bakteri
b) Eosinofil
- Berperan pada sel yang terkena infeksi oleh parasit
- Diaktivasioleh allergen / mediator inflamasi dengan IgE
Sel NK
- NK sel merupakan 5-a5 % dari leukosit sirkulasi
- Membunuh sel yang terinfeksi virus dan cacing
- Diaktivkan oleh sitokin yang berasal dari makrofag sehingga sel-sel
yang terinfeksi lisis
Basofil dan Sel Mast
2012 Page 5
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
- Jumlah basofil < 5 % dari leukosit
- Sel mast adalah sel yang mirip basofil di jaringan
- Merupakan sel mediator karena melepas banyak mediator.
SISTEM IMUN SPESIFIK
Kekebalan tubuh spesifik adalah system kekebalan yang diaktifkan oleh
kekebalan tubuh nonspesifik dan merupakan system pertahanan tubuh yang ketiga.
Ciri-cirinya: Bersifat selektif terhadap bendaasing yang masuk ke dalam tubuh.
Sistem reaksi ini tidak memiliki reaksi yang sama terhadap semua jenis benda asing,
Menurut Anwar (2009) komponen yang terlibat dalam kekebalan tubuh
spesifik adalah:
a. Antigen:
Merupakan zat kimia asing yang masuk ke dalam tubuh dan dapat merangsang
terbentuknya antibody.Antigen memiliki struktur tiga dimensi sengan dua atau
lebih determinant site. Determinant site merupakan bagian dari antigen yang dapat
melekat pada bagian sisi pengikatan pada antibody.Antigen dapat berupa
protein ,sel bakteri,atau zat kimia yang dikeluarkan mikroorganisme.
Jenis –jenis antigen:
Heteroantigen: antigen yang berasal dari spesies lain
Isoantigen: Antigen dari spesies sama tetapi struktur genetiknya berbeda
Autoantigen: Antigen yang berasal dari tubuh itu sendiri.
b. Hapten:
Merupakan suatu determinant site yang lepas dari struktur antigen. Hapten hanya
dapat berikatan dengan antibody apabila disuntikkan ke dalam tubuh.
c. Antibodi ( Imunoglobulin / Ig):
Merupakan zat kimia( protein plasma ) yang dapat mengidentifikasi antigen.
Antibodi dihasilkan oleh sel limfosit B. Ketika sel limfosit B mengidentifikasi
antigen,dengan cepat sel akan bereplikasi untuk menghasilkan sejumlah besar sel
plasma.Sel plasma lalu akan menghasilkan antibody dan melepaskanya ke dalam
cairan tubuh. Sel limfosit B juga menghasilkan sel memori B, dengan struktur
yang sama dengan sel limfositB,dan dapat hidup lebih lama daripada sel plasma.
Sistem kekebalan spesifik. ada 2 jenis kekebalan spesifik, yaitu
a. kekebalan selular (sel limfosit T)
b. kekebalan humoral (sel limfosit B yang memproduksi antibodi).
2012 Page 6
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
Sistem imun spesifik dapat mengenal benda yang dianggap asing bagi dirinya. Benda
asing yang pertama timbul dalam badan akan dikenal dengan cepat dan segera dihancurkan
bila benda asing tersebut telah masuk ke tubuh host untuk yang kedua kalinya karena sistem
imun spesifik ini mempunyai memori. Pada saat ada antigen yang mensensitisasinya maka
sistem imun jenis ini akan memperbanyak pasukannya.Sistem imun spesifik dibagi menjadi :
Sistem Imun Spesifik Humoral
Sistem imun spesifik humoral diperankan oleh sel B. Sel B bila dirangsang akan berpoliferasi
membentuk Sel Plasma, Sel Plasma inilah yang nantinya akan mengeluarkan zat Antibodi
( Ab) . Antibodi/ imunoglobulin (Ig) adalah golongan protein yang dibentuk oleh sel plasma
akibat kontak dengan antigen. Antibodi akan mengikat antigen secara spesifik. Macam-
macam Imunoglobulin (Ig) adalah sebagai berikut :
a. Ig G
Ig G merupakan komponen utama dalam serum. Dengan BM 160000 D. Kadarnya sekitar
75% dari total kandungan dalam serum.Ig G dapat menembus plasenta oleh karena itu
berperan dalam imunitas bayi sampai umur 6-9 bulan.. Kadar Ig G dapat meningkat pada
infeksi kronis maupun autoimun. Ig G dapat mengaktifkan komplemen waktu terjadi reaksi
antigen-antibodi dengan membentuk opsonin. Opsonin efektif pada sel fagosit, monosit yang
mempunyai reseptor untuk fraksi Fc dr IgG.
b. Ig A
Terdapat 2 bentuk, yaitu serum IgA dan sekresi IgA ( sIgA ). Kadarnya sebagai serum Ig A
sedikit dibandingkan kadarnya sebagai sIgA pada ASI, sekresi saluran pencernaan, saluran
kemih, saluran pernapasan , air mata, keringat, dan ludah. Selain itu IgA juga dapat bereaksi
dengan molekul adhesi dari patogen potensial dan mencagah adhesi dan kolonisasi pada sel
host, melakukan Opsonin, menetralkan toksin yang diakibatkan oleh cacing pita.
c. Ig M
Ig M mempunyai rumus bangun pentamer dan merupakan Ig terbesar. Ig M merupakan
antibodi yang mengikan komplemen pada jalur klasik dengan kuat. Ig M merupakan petanda
bahwa infeksi sedang berlangsung dan Mencagah gerakan mikroorganisme patogen,
memudahkan fagositosis, aglutinator poten Ag. Ig M tidak dapat menembus plasenta.
d. Ig D
Ig D ditemukan dengan kadar yang sangat rendah dalam darah. Ig D tidak mengikat
komplemen , mempunyai aktifitas antibodi terhadap antigen berbagai makanan dan
2012 Page 7
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
autoantigen seperti komponen nukleus. Antibodi terhadap Antigen berbagai makanan dan
autoantigen.
e. Ig E
IgE ditemukan dalam serum dengan jumlah sangat sedikit dan akan meningkat pada alergi,
cacing, skistosomiasis. IgE mudah diikat oleh sel mast, basophil dan eosinophil yang pada
permukaannya punya reseptor Fc IgE. IgE Dibentuk oleh sel plasma dalam mukosa saluran
napas dan saluran cerna
Sistem Imun Spesifik Seluler
Sistem imun spesifik seluler diperankan oleh limfosit T atau sel T. Sel tersebut juga berasal
dari sel multipoten sama seperti sel B. Tetapi poliferasi dan diferensiasinya terjadi dalam
kelenjar Thimus. Berbeda dangan sel B, sel T terdiri atas beberapa subset yang mempunyai
fungsi berlainan, yaitu :
f. Sel Th (T helper)
Sel Th membantu sel B dalam memproduksi antibodi. Untuk membentuk antibodi,
kebanyakan antigen (T dependent antigent) harus dikenal terlebih dahulu, baik oleh sel T
maupun sel B. Sel Th berpengaruh atas sel Tc dalam mengenal sel yang terkena virus dan
jaringan cangkok alogenik. Istilah sel T inducer dipakai untuk menunjukkan aktifitas sel Th
yang mengaktifkan subset Sel T lainnya. Sel T juga melepas limfokin yang mengaktifkan
makrofag dan sel-sel lain.
g. Sel Ts (T supresor)
Sel Ts menekan aktivitas sel T lain dan sel B. Menurut funsinya sel Ts dapat dibagi menjadi
sel Ts spesifik untuk antigen tertentu dan sel Ts non spesifik.
h. Sel Tdh atau Td (T delayed hypersensitivity)
Sel Tdh adalah sel yang berperan pada pengerahan makrofag dan sel inflamasi lainnya ke
tempat terjadinya reaksi infeksi.
i. Sel Tc (T cytotoxic)
Sel Tc adalah Sel T yang mempunyai kemampuan untuk menghancurkan sel alogenik dan sel
sasaran yang mengandung virus. Sel Th dan sel Ts disebut sebagai sel T regulator, sedangkan
sel Tdh dan sel Tc disebut sebagai sel efektor.
Mekanisme Sitem Imun Spesifik
a. Mekanisme Imunitas Humoral
2012 Page 8
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
Keterangan:
Langakah pertama adalah pengenalan antigen asing oleh makrofag dan sel B serta sel T
Helper. Sel T helper yang tersentisasi menyajikan antigen pada sel B. Sel B yang teraktivasi
mulai membelah berkali-kali yang membentuk sel B memori yang mengingat antigen spesifik
dan sel plasma yang menghasilkan antibodi. Antibodi kemudian berikatan dengan antigen.
Ikatan kompleks ini menyebabkan opsonisasi yang berarti bahwa antigen sekarang di label
untuk di fagosit oleh makrofag atau neutrofil, kompleks antigen antibodi juga menstimulasi
fiksasi komplemen.
Jika antigen asingnya seluler maka protein komplemen mengikat komplek antigen antibogi
lalu berikatan satu sama lain dan menyusun cincin enzimatik yang membentuk suatu lubang
dalam sel yang dapat menyebabkan kematian sel. Fiksasi ini disebut fiksasi komplet. Apabila
antigen asin bukan sel misal virus maka beberapa komplemen berikatan dengan kompleks
antigen antibodi yang merupakan kemotaktik (sinyal kimia) bagi makrofag untuk memangsa
dan merusak virus. Bila antigen asing asing telah di rusak , sel T supresor tersensitisasi untuk
menghentikan respon imun
2012 Page 9
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
b. Mekanisme Imunitas Selular
Keterangan :
Langkah pertama adalah pengenalan antigen asing oleh makrofag dan sel T helper yang
membuat sel T menjadi teraktivasi. Sel T yang teraktivasi akan membelah berkali-kali
membentuk sel T memori yang berfungsi mengingat antigen asing, sel T sitotoksik yang
yang secara kimiawi mampu merusak antigen asing dengan merusak membrannya. Selain itu
sel T akan memproduksi sitokin yan secara kimiawi menarik makrofag ke area tersebut dan
mengaktifkan makrofag untuk memfagosit antigen asing, sel T yang teraktivasi juaga akan
membentuk sel T supresor yang menghentikan respon imun ketika gen asing telah dirusak.
2012 Page 10
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
B. REAKSI HIPERSENSITIVITAS
1. Reaksi Hipersensitivitas Tipe I
Hipersensitivitas tipe 1 merupakan suatu respons jaringan yang terjadi secara cepat (secara
khusus hanya dalam bilangan menit) stelah terjadi interaksi antaraalergen dengan antibody IgE
yang sebelumnya berikatan pada permukaan sel mast dan basofil pada pejamu yang
tersensitisasi. Bergantung pada jalan masuknya, hipersensitivitas tipe 1 dapat terjadi sebagai
reaksi local yang benar-benar mengganggu (misalnya rhinitis alergi) atau sangat melemahkan
(asma) atau dapat berpuncak pada suatu gangguan sistemik yang fatal (anafilaksis).
Urutan kejadian reaksi hipersensitivitas tipe 1 adalah sebagai berikut:
Fase sensitasi
Yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE samapi diikatnya oleh reseptor
spesifik (Fc-R) pada permukaan sel mast dan basofil
Fase aktivasi
Yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang spesifik dan sel
mast melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi.
Fase efektor
Yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator-mediator
yang dilepas sel mast dengan aktivitas farmakologik
Banyak reaksi tipe 1 yang terlokalisasi mempunyai dua tahap yang dapat ditentukan
secara jelas:
Respon awal, diatandai dengan vasodilatasi, kebocoran vascular, dan
spesme otot polos, yang biasanya muncul dalam rentang waktu 5 hingga
30 menit stelah terpajan oleh allergen dan menghilang setelah 60 menit.
Reaksi fase lambat, yang muncul 2 hingga 8 jam kemudian dan
berlangsung selama beberapa hari. Reaksi fase lambat ini ditandai dengan
infiltrasi eosinofil serta sel radang akut dan kronis lainnya yang lebih
hebat pada jaringan dan juga ditandai dengan penghancuran jaringan
dalam bentuk kerusakan sel epitel mukosa.
Mediator Primer
Setelah pemicuan IgE, mediator primer (praformasi) di dalam granula sel mast
dilepaskan untuk memulai tahapan awal reaksi hipersensitivitas tipe 1. Histamin, yang
merupakan mediator praformasi terpenting, menyebabkan meningkatnya permeabilitas
vascular, vasodilatasi, bronkokonstriksi, dan meningkatnya sekresi mukus. Mediator
2012 Page 11
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
lain yang segera dilepaskan meliputi adenosine (menyebabkan bronkokonstriksi dan
menghambat agregasi trombosit) serta factor kemotaksis untuk neutrofil dan eosinofil.
Mediator lain ditemukan dalam matriks granula dan meliputi heparin serta protease
netral (misalnya triptase). Protease menghasilkan kinin dan memecah komponen
komplemen untuk menghasilkan factor kemotaksis dan inflamasi tambahan (misalnya),
C3a).
Mediator Sekunder
Mediator ini mencakup dua kelompok senyawa : mediator lipid dan sitokin. Mediator
lipid dihasilkan melalui aktivasi fosfolipase A2, yang memecah fosolipid membrane sel
mast untuk menghasilkan asam arakhidonat. Selanjutnya, asam arakhidonat merupakan
senyawa induk untuk menyintesis leukotrien dan prostaglandin.
Leukotrien berasal dari hasil kerja 5-lipooksigenase pada precursor asam
arakhidonat dan sangat penting dalam pathogenesis hipersensitivitas tipe 1.
Leukotrien tipe C4 dan D4 merupakan vasoaktif dan spasmogenik yang dikenal
paling poten; pada dasar molar, agen ini ada beberapa ribu kali lebih aktif
daripada histamin dalam meningkatkan permeabilitas vaskular dan dalam
menyebabkan kontraksi otot polos bronkus. Leukotrien B4 sangat kemotaktik
untuk neutrofil, eosinofil dan monosit.
Prostaglandin D2 adalah mediator yang paling banyak dihasilkan oleh jalur
siklooksigenasi dalam sel mast. Mediator ini menyebabkan bronkospasme hebat
serta meningkatkan sekresi mucus.
Faktor pengaktivasi trombosit merupakan mediator sekunder lain,
mengakibatkan agregasi trombosit, pelepasan histamin, dan bronkospasme.
Mediator ini juga bersifat kemotaktik untuk neutrofil dan eosinofil. Meskipun
produksinya diawali oleh aktivasi fosfolipase A2, mediator ini bukan produk
metabolism asam arakhidonat.
Sitokin yang diproduksi oleh sel mast (TNF, IL-1, IL-4, IL-5, dan IL-6) dan
kemokin berperan penting pada reaksi hipersensitivitas tipe 1 melalui
kemampuannya merekrut dan mengaktivasi berbagai macam sel radang. TNF
merupakan mediator yang sangat poten dalam adhesi, emigrasi, dan aktivasi
leukosit. IL-4 juga merupakan faktor pertumbuhan sel mast dan diperlukan
untuk mengendalikan sintesis IgE oleh sel B.
2012 Page 12
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
Manifestasi Klinis
Reaksi tipe 1 dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi local. Seringkali
hal ini ditentukan oleh rute pajanan antigen. Emberian antigen protein atau obat
(misalnya bias lebah atau penisilin) secara sistemik (parenteral) menimbulkan
anafilaksis. Dalam beberapa menit stelah pajanan pada pejamu yang tersensitisasi akan
muncul rasa gatal, urtikaria (bintik merah dan bengkak), dan eritema kulit, diikuti
kesulitan bernapas berat yang disebabkan oleh bronkokonstriksi paru dan diperkuat
dengan hipersekresi mucus. Edema laring dapat memperberat persoalan dengan
menyebabkan obstruksi saluran pernapasan bagian atas. Salian itu, otot semua saluran
pencernaan dapat terserang, dan mengakibatkan vomitus, kaku perut dan diare. Tanpa
intervensi segera, dapat terjadi vasodilatasi sistemik (syok anafilaksis), dan penderita
dapat mengalami kegagalan sirkulasi dan kemtian dalam beberapa menit.
Reaksi local biasanya terjadi bila antigen hanya terbatas pada tempat tertentu sesuai
dengan jalur pemajannya, seperti kulit (kontak, menyebabkan urtikaria), traktus
gastrointestinal (ingesti, menyebabkan diare), atau paru (inhalasi, menyebabkan
bronkokonstriksi).
Kerentanan terhadap reaksi tipe 1 yang terlokalisasi dikendalikan secara genetic, dan
istilah atopi digunakan untuk menunjukkan kecenderungan familial terhadap reaksi
terlokalisasi tersebut. Pasien yang menderita alergi nasobronkial (seperti asma)
seringkali mempunyai riwayat keluarga yang menderita kondisi serupa. Dasar genetic
atopi belum dimengerti secara jelas; namun studi menganggap adanya suatu hubungan
dengan gen sitokin pada kromosom 5q yang mengatur pengeluaran IgE dalam sirkulasi.
2. Reaksi Hipersensitivitas Tipe II
Manifestasi: Antibodi terhadap sel
Mekanisme: Ig G atau Ig M
Disebut juga: reaksi sitotoksik
Mekanisme:
Ag → masuk tubuh → menempel pada sel tertentu → ditangkap makrofag →
dikenalkan kepada sel t → sel t merangsang sel limfosit B untuk membentuk Ig G
atau Ig M → mengaktifkan komplemen → menimbulkan lisis
Mediator yang dihasilkan makrofag dapat merangsang sel NK dan sel NK sendiri
menimbulkan lisis
Contoh: reaksi transfusi, anemia hemolitik, reaksi obat
2012 Page 13
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
Penyakit oleh autoantibodi terhadap antigen jaringan
Penyakit Antigen target Mekanisme Manifestasi klinopatologi
Anemia hemolitik autoimun
Protein membran eritrosit (antigen golongan darah Rh)
Opsonisasi dan fagositosis eritrosit
Hemolisis, anemia
Purpura trombositopenia autoimun (idiopatik)
Protein membran platelet (gpIIb:integrin IIIa)
Opsonisasi dan fagositosis platelet
Perdarahan
Pemfigus vulgaris Protein pada hubungan interseluler pada sel epidermal (epidemal cadherin)
Aktivasi protease diperantarai antibodi, gangguan adhesi interseluler
Vesikel kulit (bula)
Sindrom Goodpasture Protein non-kolagen pada membran dasar glomerulus ginjal dan alveolus paru
Inflamasi yang diperantarai komplemen dan reseptor Fc
Nefritis, perdarahan paru
Demam reumatik akut Antigen dinding sel streptokokus, antibodi bereaksi silang dengan antigen miokardium
Inflamasi, aktivasi makrofag
Artritis, miokarditis
Miastenia gravis Reseptor asetilkolin Antibodi menghambat ikatan asetilkolin, modulasi
Kelemahan otot, paralisis
2012 Page 14
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
reseptor
Penyakit Graves Reseptor hormon TSH Stimulasi reseptor TSH diperantarai antibodi
Hipertiroidisme
Anemia pernisiosa Faktor intrinsik dari sel parietal gaster
Netralisasi faktor intrinsik, penurunan absorpsi vitamin B12
Eritropoesis abnormal, anemia
(Dikutip dengan modifikasi dari dari Abbas AK, Lichtman AH, 2004)
3. Reaksi Hipersensitivitas Tipe III
Reaksi tipe III disebut juga reaksi kompleks imun adalah reaksi yang terjadi bila
kompleks antigen-antibodi ditemukan dalam jaringan atau sirkulasi/ dinding pembuluh
darah dan mengaktifkan komplemen. Antibodi yang bisa digunakan sejenis IgM atau IgG
sedangkan komplemen yang diaktifkan kemudian melepas faktor kemotatik makrofag.
Faktor kemotatik yang ini akan menyebabkan pemasukan leukosit-leukosit PMN yang
mulai memfagositosis kompleks-kompleks imun. Reaksi ini juga mengakibatkan
pelepasan zat-zat ekstraselular yang berasal dari granula-granula polimorf, yakni berupa
enzim proteolitik, dan enzim-enzim pembentukan kinin.
Antigen pada reaksi tipe III ini dapat berasal dari infeksi kuman patogen yang persisten
(malaria), bahan yang terhirup (spora jamur yang menimbulkan alveolitis alergik
ekstrinsik) atau dari jaringan sendiri (penyakit autoimun). Infeksi dapat disertai dengan
antigen dalam jumlah berlebihan, tetapi tanpa adanya respons antibodi yang efektif.
Penyebab reaksi hipersensitivitas tipe III yang sering terjadi, terdiri dari :
1. Infeksi persisten
Pada infeksi ini terdapat antigen mikroba, dimana tempat kompleks mengendap
adalah organ yang diinfektif dan ginjal.
2. Autoimunitas
Pada reaksi ini terdapat antigen sendiri, dimana tempat kompleks mengendap adalah
ginjal, sendi, dan pembuluh darah.
3. Ekstrinsik
Pada reaksi ini, antigen yang berpengaruh adalah antigen lingkungan. Dimana tempat
kompleks yang mengendap adalah paru.
2012 Page 15
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
Reaksi hipersensitivitas tipe III sebagai bentuk penggabungan bentuk antigen dan
antibodi dalam tubuh akan mengakibatkan reaksi peradangan akut. Jika komplemen
diikat, anafilaktoksin akan dilepaskan sebagai hasil pemecahan C3 dan C5 dan ini
akan menyebabkan pelepasan histamin serta perubahan permeabilitas pembuluh
darah. Faktor-faktor kemotaktik juga dihasilkan, ini akan menyebabkan pemasukan
leukosit-leukosit PMN yang mulai menfagositosis kompleks-kompleks imun. Deretan
reaksi diatas juga mengakibatkan pelepasan zat-zat ekstraselular yang berasal dari
granula-granula polimorf yakni berupa enzim-enzim proteolitik (termasuk kolagenase
dan protein-protein netral), enzim-enzim pembentukan kinin protein-protein
polikationik yang meningkatkan permeabilitas pembuluh darah melalui mekanisme
mastolitik atau histamin bebas. Hal ini akan merusak jaringan setempat dan
memperkuat reaksi peradangan yang ditimbulkan.
Kerusakan lebih lanjut dapat disebabkan oleh reaksi lisis dimana C567 yang telah
diaktifkan menyerang sel-sel disekitarnya dan mengikat C89. Dalam keadaan tertentu,
trombosit akan menggumpal dengan dua konsekuensi, yaitu menjadi sumber yang
menyediakan zat-zat amina vasoaktif dan juga membentuk mikrotrombi yang dapat
mengakibatkan iskemia setempat.
Kompleks antigen- antibodi dapat mengaktifkan beberapa sistem imun sebagai
berikut :
1. Aktivasi komplemen
a. Melepaskan anafilaktoksin (C3a,C5a) yang merangsang mastosit untuk
melepas histamine
b. Melepas faktor kemotaktik (C3a,C5a,C5-6-7) mengerahkan polimorf yang
melepas enzim proteolitik dan enzim polikationik
2. Menimbulkan agregasi trombosit
a. Menimbulkan mikrotrombi
b. Melepas amin vasoaktif
3. Mengaktifkan makrofag
Melepas IL-1 dan produk lainnya
Pada reaksi hipersensitivitas tipe III terdaapt dua bentuk reaksi, yaitu :
1) Reaksi Arthus
Maurice Arthus menemukan bahwa penyuntikan larutan antigen secara
intradermal pada kelinci yang telah dibuat hiperimun dengan antibodi
2012 Page 16
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
konsentrasi tinggi akan menghasilkan reaksi eritema dan edema, yang
mencapai puncak setelah 3-8 jam dan kemudian menghilang. Lesi bercirikan
adanya peningkatan infiltrasi leukosit-leukosit PMN. Hal ini disebut fenomena
Arthus yang merupakan bentuk reaksi kompleks imun. Reaksi Arthus di
dinding bronkus atau alveoli diduga dapat menimbulkan reaksi asma lambat
yang terjadi 7-8 jam setelah inhalasi antigen.
Reaksi Arthus ini biasanya memerlukan antibodi dan antigen dalam jumlah
besar. Antigen yang disuntikkan akan memebentuk kompleks yang tidak larut
dalam sirkulasi atau mengendap pada dinding pembuluh darah. Bila agregat
besar, komplemen mulai diaktifkan. C3a dan C5a yang terbentuk
meningkatkan permeabilitas pembuluh darah menjadi edema. Komponen lain
yang bereperan adalah fakor kemotaktik. Neutrofil dan trombosit mulai
menimbun di tempat reaksi dan menimbulkan stasisi dan obstruksi total aliran
darah. Neutrofil yang diaktifkan memakan kompleks imun dan bersama
dengan trombosit yang digumpalkan melepas berbagai bahan seperti protease,
kolagenase, dan bahan vasoaktif.
2) Reaksi serum sickness
Istilah ini berasal dari pirquet dan Schick yang menemukannya sebagai
konsekuensi imunisasi pasif pada pengobatan infeksi seperti difteri dan tetanus
dengan antiserum asal kuda. Penyuntikan serum asing dalam jumlah besar
digunakan untuk bermacam-macam tujuan pengobatan. Hal ini biasanya akan
menimbulkan keadaan yang dikenal sebagai penyakit serum kira-kira 8 hari
setelah penyuntikan. Pada keadaan ini dapat dijumpai kenaikan suhu,
pembengkakan kelenjar-kelenjar limpa, ruam urtika yang tersebar luas, sendi-
sendi yang bengkak dan sakit yang dihubungkan dengan konsentrasi
komplemen serum rendah, dan mungkin juga ditemui albuminaria sementara.
Pada berbagai infeksi, atas dasar yang belum jelas, dibentuk Ig yang kemudian
memberikan reaksi silang dengan beberapa bahan jaringan normal. Hal ini
kemudian yang menimbulkan reaksi disertai dengan komplek imun. Contoh
dari reaksi ini adalah :
a) Demam reuma
2012 Page 17
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
Infeksi streptococ golongan A dapat menimbulkan inflamasi dan kerusakan
jantung, sendi, dan ginjal. Berbagai antigen dalam
membran streptococ bereaksi silang dengan antigen dari otot jantung, tulang
rawan, dan membran glomerulus. Diduga antibodi
terhadap streptococ mengikat antigen jaringan normal tersebut dan
mengakibatkan inflamasi.
b) Artritis rheumatoid
Kompleks yang dibentuk dari ikatan antara faktor rheumatoid (anti IgG yang
berupa IgM) dengan Fc dari IgG akan menimbulkan inflamasi di sendi dan
kerusakan yang khas.
c) Infeksi lain
Pada beberapa penyakit infeksi lain seperti malaria dan lepra, antigen
mengikat Ig dan membentuk kompleks imun yang ditimbun di beberapa
tempat.
d) Farmer’s lung
Pada orang yang rentan, pajanan terhadap jerami yang mengandung banyak
spora actinomycete termofilik dapat menimbulkan gangguan pernafasan
pneumonitis yang terjadi 6-8 jam setelah pajanan. Pada tubuh orang tersebut,
diproduksi banyak IgG yang spesifik terhadap actynomycete termofilik dan
membentuk kompleks antigen-antibodi yang mengendap di paru-paru.
4. Reaksi Hipersensitivitas Tipe IV
Hipersensitifitas lambat (>24 jam)
Di bagi menjadi:
2012 Page 18
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
1. Delayed Type Hypersensitivity(melalui sel CD4+ yg berfungsi mengaktifkan
makrofag dan berperan sebagai sel efektor)
2. T sel Mediated Cytolysis(melalui sel CD8+ spesifik untuk antigen dapat
membunuh sel dengan langsung)
Patogenesis DTH(Delayed Hypersensitivity)
Antigen merangsang T CD4+ menjadi Th1 Th1 melepaskan INF alfa
reaktif,oksida nitrat dan sitokin proinflamasikerusakan jaringan
Contoh: reaksi granuloma,dermatitis kontak
Patogenesis T cell Mediated Cytolisis
Sel CD8+ berubah CTL(yg membunuh)bertemu dengan jaringan tubuh yang
dikenal sebagai musuhkerusakan jaringan
Contoh:penyakit autoimun
C. TONSILITIS
Tonsilitis akut
a. Tonsillitis viral
Gejalanya seperti common cold yang disertai rasa nyeri tenggorok.
2012 Page 19
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
Penyebab paling sering adalah virus Epstein Barr. Hemofilus inflienzae.
Jika terjadi infeksi virus coxschakie, maka pada pemeriksaan rongga
mulut akan tampak luka-luka kecil pada palatum dan tonsil yang sangat
nyeri dirasakan pasien.
Terapinya cukup istirahat, cukup minum, analgetika, dan antivirus jika
gejala berat.
b. Tonsillitis bakterial
Disebabkan oleh kuman grup A Streptokokus hemolitikus.
Infiltrasi bakteri pada lapisan epitel jaringan tonsil akan menimbulkan
reaksi radang berupa keluarnya leukosit polimorfonuklear sehingga
terbentuk detritus (kumpulan leukosit, bakteri yang mati, dan epitel yang
terlepas)
Masa inkubasi 2-4 hari.
Gejala dan tanda yang sering ditemukan adalah nyeri tenggorok, nyeri
telan, demam, badan lesu, nyeri sendi, tidak nafsu makan, rasa nyeri di
telinga.
Pada pemeriksaan tampak tonsil membengkak, hiperemis, suara pasien
seperti mulut yang penuh dengan makanan, mulut berbau, adanya nyeri
tekan, kelenjar submandibula membengkak.
Terapinya dapat menggunakan antibiotika spektrum lebar penisilin,
eritromisin, antipiretik, dan obat kumur yang mengandung desinfektan.
Komplikasi yang dapat ditimbulkan antara lain otitis media akut, sinusitis, abses
peritonsil, abses parafaring, bronchitis, glomerulonefritis akut, miokarditis,
arthritis, septikemia, pasien tidur bernafas melalui mulut, tidur mendengkur,
gangguan tidur karena sleep apnea
1. Tonsilitis Membranosa
1. Tonsilitis Septik
Tonsilitis yang disebabkan oleh bakteri Streptokokus hemolitikus yang ada
dalam susu sapi. Penyakit ini jarang ditemukan karena susu sapi telah dimasak
terlebih dahulu dengan cara pasteurisasi
2. Tonsilitis Difteri
3. Angina Plaut Vincent (Stomatitis Ulsero Membranosa)
No. Pembeda Tonsilitis Difteri Angina Plaut Vincent
2012 Page 20
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
1. Etiologi Corynebacterium diphteriae Bakteri spirochaeta
Kurangnya higiene mulut
2. Gejala a. Gejala Umum
Demam subfebris
Nyeri kepala
Tidak nafsu makan
Badan lemah
Nadi lambat
Nyeri lambat
b. Gejala Lokal
Tonsil membengkak
dengan bercak putih
kotor
Kelenjar limfe
membesar
(Burgemeester’s hals)
c. Akibat eksotoksin
Miokarditis sampai
dekompensatio cordis
Demam sampai
39OC
Nyeri kepala
Badan lemah
Nyeri di mulut
Hipersalivasi
Gigi dan gusi mudah
berdarah
3. Diagnosis Pemeriksaan preparat
langsung kuman yang
diambil dari permukaan
bawah pseudomembran dan
ditemukan Corynebacterium
diphteriae
Mukosa mulut dan
faring hiperemis
Pseudomembran di
tonsil, uvula, dinding
faring, dan gusi
Mulut berbau
Kelenjar
submandibula
membesar
4. Terapi Anti Difteri Serum
dengan dosis 20.000-
100.000 unit
Antibiotik Penisilin /
Eritromisin dengan
dosis 25-50 mg/kg bb.
Antibiotik spektrum
lebar selama 1
minggu
Perbaiki higiene
mulut
2012 Page 21
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
Diminum 3 dosis
dalam 14 hari
Kortikosteroid dengan
dosis 1,2 mg/kg bb
Antipiretik
Istirahat dan isolasi
selama 2-3 minggu
Pemberian vitamin C
dan B kompeks
Tonsilitis kronis
1. Definisi
Tonsillitis yang onsetnya tiba-tiba, biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri atau
virus.
2. Etiologi
Kuman penyebab tonsillitis kronik dan akut adalah kuman golongan streptococcus
Beta Hemolitikus, Streptococcus Virridans, dan Streptococcus pyogenesis yang
merupakan penyebab pada 50% dari kasus.
Sisanya disebabkan oleh infksi virus yaitu Adenovirus Echo, Virus influenza,
serta Hervez. Cara infeksinya adalah percikan ludah (droplet infection). Penykit ini
ada kecenderungan residif secara berulang tetapi kadang-kadang berubah menjadi
kuman golongan gram negative
Faktor predisosisi timbulnya radang kronik adalah rangsangan yang menahun
(rokok dan makanan), pengaruh cuaca, pengobatan radang akut yang tidak adekuat,
hygiene mulut yang buruk, dan kelelahan fisik.
3. Patofisiologi
Karena proses radang berulang yang timbul maka selain epitel mukosa juga jaringan
limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid digantioleh
jaringan parut yang akan mengalami pengerutan sehingga kripti melebar. Secara
klinik kripti ini diisi oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga menembus kapsul
tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan dengan jaringan disekitar fosa tonsilaris.
Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfa submandibula.
4. Gejala
2012 Page 22
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak rata, kriptus
melebar, dan bebrapa kripti terisi oleh detritus. Rasa ada yang mengganjal di
tenggorok, dirasakan kering di tenggorok dan napas berbau.
2. Penatalaksanaan
Terapi lokal pada higiene mulut dengan obat kumur dan obat hisap. Pada kasus yang
sudah parah dilakukan tonsilektomi.
3. Komplikasi
Rinitis kronik
Sinusitis kronik
Otitis media
Bronkitis kronik
Odinofagia
Dispneu
7. DD
Angina Plaut Vincent, tonsilitis difteri, abses parafaring, toksemia, septikemia,
bronkhitis, nefritis akut, miokarditis, dan artritis.
2012 Page 23
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
D. RHINITIS
1. RHINITIS ALERGI
DEFINISI
a. Merupakan Penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasian
atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta
dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan
alergen spesifik (Von Pirquet,1986)
b. Atau juga dapat diartikan sebagai Kelainan hidung dengan gejala bersin-
bersin,rinore,rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen
yang diperantarai oleh IgE (WHO ARIA,2001)
Rinitis Alergika secara klinis didefinisikan sebagai gangguan fungsi
hidung, terjadi setelah paparan alergen melalui peradangan mukosa hidung yang
diperantarai IgE. Respons hidung terhadap stimuli dari luar diperankan pertama-
tama oleh mukosa kemudian baru oleh bentuk anatomi tulang. Fungsi utama
hidung adalah untuk saluran udara, penciuman, humidifikasi udara yang dihirup,
melindungi saluran napas bawah dengan cara filtrasi partikel, transport oleh silia
mukosa, mikrobisidal, antivirus, imunologik, dan resonan suara. Reaksi mukosa
hidung akan menimbulkan gejala obstruksi aliran udara, sekresi, bersin, dan rasa
gatal. Bila tidak terdapat deformitas tulang hidung maka sumbatan hidung
disebabkan oleh pembengkakan mukosa dan sekret yang kental. Penelitian
epidemiologik memperlihatkan bahwa penyakit alergi dapat diobservasi mulai
dari waktu lahir sampai kematian. Sesuai dengan umur penderita, dapat
dibedakan penampakan dan lokalisasi jenis alergi.
Rinitis alergi merupakan salah satu bentuk rinitis yang mekanismenya
secara umum melalui sistem imun, atau IgE secara khusus. Prevalensinya
berkisar antara 10-15% dari masyarakat. Penderitanya pun beragam, mulai dari
usia anak hingga dewasa. Gejalanya dapat berupa rinorea, hidung gatal, bersin
dan hidung tersumbat. Terkadang disertai rasa gatal di mata. Akibatnya,
mengganggu kualitas hidup penderitanya. Seperti, gangguan tidur, gangguan
aktivitas, hingga absen dari sekolah atau pekerjaan. Berdasarkan lama dan
seringnya gejala rinitis dapat diklasifikasikan sebagai rinitis alergi intermiten
2012 Page 24
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
atau persisten. Dikatakan rinitis intermiten bila gejala berlangsung kurang dari
empat hari per minggu dan lamanya kurang dari empat minggu. Sedangkan rinitis
persisten gejala berlangsung lebih dari empat hari/ minggu dan lamanya lebih
dari empat minggu. Derajatnya dikatakan sedang atau berat bila gejalanya
menggangu kualitas hidup penderitanya. Yang perlu diwaspadai adalah
komplikasi terjadinya sinusitis, polip hidung, dan gangguan pendengaran.
Rinitis alergi merupakan salah satu faktor risiko terjadinya asma. Sering
pasien baru datang ke dokter jika telah terjadi komplikasi. Dengan pengobatan
yang baik, gejala rinitis dapat terkontrol. Sehingga kualitas hidup penderitanya
meningkat kembali dan menjalani hidup layaknya orang normal.
PATOFISIOLOGI
Mekanisme terjadinya rinitis oleh polutan akhir-akhir ini telah diketahui lebih
jelas.
Gejala rinitis alergik dapat dicetuskan oleh berbagai faktor, diantaranya adalah pajanan
udara dingin, debu, uap, bau cat, polusi udara, tinta cetak, bau masakan, bubuk
detergen, serta bau minuman beralkohol. Umumnya faktor pencetus ini berupa iritan
non spesifik.
Alergen penyebab pada bayi dan anak sering disebabkan oleh makanan alergen
ingestan, sedangkan alergen inhalan lebih berperan dengan bertambahnya usia.
Manifestasi klinis reaksi hipersensitivitas tipe I pada telinga, hidung dan tenggorok
anak menjelang usia 4 tahun jarang ditemukan.
Pada kontak pertama dengan alergen (tahap sensitisasi )
1. Makrofag atau monosit (berperan sebagai APC >>Antigen presenting Cell)
menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung.Setelah diproses
antigen membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung dengan HLA kelas II
membentuk MHC kelas II (Major Compactibility Complex) lalu dipresentasikan
pada sel T help (Th 0)
2. Sel penyaji melepaskan sitokin sperti IL 1 kemudian mengaktifkan Th 0 untuk
berproliferasi menjadi Th 1 dan Th2
3. Th 2 menghasilkan sitokin IL3,IL 4,IL5,IL 13
2012 Page 25
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
4. IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptor di permukaan Limfosit B,sehingga
limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi IgE
5. Ig E di sirkulasi masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di sel mastosit atau
sel basofil (sel mediator) sehingga aktif
6. Bila terpapar alergen yang sama (PROVOCATION)
7. Kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecagnya
dinding sel) mastosit atau basofil dan terlepasnya mediator kimia yang sudah
terbentuk (Performed Mediator)terutama histamin
8. Selain histamin dihasilkan juga PGD 2(Prostaglandin D2),Leukotrien D4 dan
C4,Bradikinin,PAF (Platelet Activiting Factor) dan berbagai sitokin( IL
3,IL4,IL5,IL6)
Reaksi alargi ada 2 :
a. RAFC (Reaksi Alergi Fase Cepat) >> terjadi sejak kontak dengan alergen
sampai 1 jam setelahnya
b. RAFL (Reaksi Alergi Fase Lambat )>> terjadi 2-4 jam puncaknya 6-8 jam
Macam Rinitis Alergi :
a. Rinitis Alergi Musiman
1. Di Indonesia tidak dikenal istilah penyakit ini,hanya ada di negara yang punya
4 musim
2. Alergen penyebabnya adalah tepung sari (pollen),spora jamur
3. Dapat mengenai semua umur
4. Faktor herediter sangat berperan
b. Rinitis Alergi Perenial (tahunan)
1. Timbul intermitten atau terus – menerus
2. Penyebab tersering :
#alergen inhalan (debu buku yangditumpuk,gorden,selimut,kasur,jamur,pollen)
# alergen ingestan
Berdasarkan cara masuknya alergen di bagi atas :
1. Alergen Inhalan yang masuk bersama dengan udara pernapasan seperti
debu.
2. Alergen Ingestan yang masuk ke saluran cerna berupa makanan seperti
susu, telur, seafood, dll.
3. Alergen Injektan yang masuk melalui suntikan atau tusukan seperti
penisilin dan sengatan lebah.
2012 Page 26
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
4. Alergen Kontaktan yang masuk melalui kontak kulit / jaringan mukosa,
misal bahan kosmetik, perhiasan.
GEJALA
Gejala rinitis alergika dapat dicetuskan oleh beberapa faktor :
a. Alergen
Alergen hirupan merupakan alergen terbanyak penyebab serangan gejala rinitis
alergika. Tungau debu rumah, bulu hewan, dan tepung sari merupakan alergen
hirupan utama penyebab rinitis alergika dengan bertambahnya usia, sedang pada
bayi dan balita, makanan masih merupakan penyebab yang penting
b. Polutan
Fakta epidemiologi menunjukkan bahwa polutan memperberat rinitis. Polusi dalam
ruangan terutama gas dan asap rokok, sedangkan polutan di luar termasuk gas buang
disel, karbon oksida, nitrogen, dan sulfur dioksida.
1. Bersin berulang
a. Fisiologi >> proses membersihkan sendiri (self cleaning process)
b. Patofisiologi >> lebih dari 5 kali setiap serangan (RAFC)
2. Rinorea (sekret encer dan banyak)
3. Hidung tersumbat (kongesti nasal)
4. Hidung dan mata gatal
5. Air mata keluar (lakrimasi)
Keterangan : gejala di atas dialami oleh sebagian besar orang dewasa sedangkan
anak –anak hanya mengalami beberapa dari gejal di atas.Namun terdapat ciri khas
pada anak yaitu terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata
MANIFESTASI KLINIK
Manifestasi alergi pada hidung paling sering terjadi dibandingkan dengan
organ lain, karena fungsi hidung sebagai penyaring partikel dan alergen hirup untuk
melindungi saluran pernapasan bagian bawah. Partikel yang terjaring di hidung akan
dibersihkan oleh sistem mukosilia.
2012 Page 27
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
a. Aspirin, Aspirin dan obat anti inflamasi non steroid dapat mencetuskan rinitis
alergika pada penderita tertentu.
b. Histamin merupakan mediator penting pada gejala alergi di hidung. Hal ini berbeda
dengan alergi saluran napas bagian bawah (lihat bab tentang asma bronkial dan
reaksi hipersensitivitas). Histamin bekerja langsung pada reseptor histamin selular,
dan secara tidak langsung melalui refleks yang berperan pada bersin dan
hipersekresi. Melalui sistem saraf otonom, histamin menimbulkan gejala bersin dan
gatal, serta vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler yang menimbulkan
gejala beringus encer (watery rhinorrhoe) dan edema lokal. Reaksi ini timbul
segera setelah beberapa menit pasca pajanan alergen.
c. Refleks bersin dan hipersekresi sebetulnya adalah refleks fisiologik yang berfungsi
protektif terhadap antigen yang masuk melalui hidung. Iritasi sedikit saja pada
daerah mukosa dapat seketika menimbulkan respons hebat di seluruh mukosa
hidung. Newly formed mediator adalah mediator yang dilepas setelah terlepasnya
histamin, misalnya leukotrien (LTB4, LTC4), prostaglandin (PGD2), dan PAF.
Efek mediator ini menyebabkan vasodilatasi dan meningkatnya permeabilitas
vaskular sehingga menyebabkan gejala hidung tersumbat (nasal blockage),
meningkatnya sekresi kelenjar sehingga menimbulkan gejala beringus kental
(mucous rhinorrhoe).
d. Kurang lebih 50% rinitis alergik merupakan manifestasi reaksi hipersensitivitas tipe
I fase lambat. Gejala baru timbul setelah 4-6 jam pasca pajanan alergen akibat
reaksi inflamasi jaringan yang berkepanjangan. Prostaglandin (PGD2) banyak
terdapat di sekret hidung ketika terjadi fase cepat, tetapi tidak terdapat pada fase
lambat, karena mediator ini banyak dihasilkan oleh sel mast. Fase cepat diperankan
oleh sel mast dan basofil, sedangkan fase lambat lebih diperankan oleh basofil.
Gejala rinitis alergik fase lambat seperti hidung tersumbat, kurangnya penciuman,
dan hiperreaktivitas lebih diperankan oleh eosinofil. Mekanisme eosinofilia lokal
pada hidung masih belum sepenuhnya dimengerti. Beberapa teori mekanisme
terjadinya eosinofilia antara lain teori meningkatnya kemotaksis, ekspresi molekul
adhesi atau bertambah lamanya hidup eosinofil dalam jaringan
Sejumlah mediator peptida (sitokin) berperan dalam proses terjadinya eosinofilia.
Sitokin biasanya diproduksi oleh limfosit T, tapi dapat juga oleh sel mast, basofil,
makrofag, dan epitel. IL-4 berperan merangsang sel limfosit B melakukan isotype
2012 Page 28
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
switch untuk memproduksi IgE, di samping berperan juga meningkatkan ekspresi
molekul adhesi pada epitel vaskuler (VCAM-1) yang secara selektif mendatangkan
eosinofil ke jaringan. IL-3 berperan merangsang pematangan sel mast. IL-5
berperan secara selektif untuk diferensiasi dan pematangan eosinofil dalam
sumsum tulang, mengaktifkan eosinofil untuk melepaskan mediator, dan
memperlama hidup eosinofil dalam jaringan. Akibat meningkatnya eosinofil dalam
jaringan maka terjadilah proses yang berkepanjangan dengan keluhan hidung
tersumbat, hilangnya penciuman, dan hiperreaktivitas hidung.
Secara klasik rinitis alergika dianggap sebagai inflamasi nasal yang terjadi
dengan perantaraan IgE. Pada pemeriksaan patologi, ditemukan infiltrat inflamasi
yang terdiri atas berbagai macam sel. Pada rinitis alergika selain granulosit,
perubahan kualitatif monosit merupakan hal penting dan ternyata IgE rupanya
tidak saja diproduksi lokal pada mukosa hidung. Tetapi terjadi respons selular yang
meliputi: kemotaksis, pergerakan selektif dan migrasi sel-sel transendotel.
Pelepasan sitokin dan kemokin antara lain IL-8, IL-13, eotaxin dan RANTES
berpengaruh pada penarikan sel-sel radang yang selanjutnya menyebabkan
inflamasi alergi
Aktivasi dan deferensiasi bermacam-macam tipe sel termasuk: eosinofil, sel
CD4+T, sel mast, dan sel epitel. Alergen menginduksi Sel Th-2, selanjutnya terjadi
peningkatan ekspresi sitokin termasuk di dalamnya adalah IL-3, IL-4, IL-5, IL-9,
IL-10 yang merangsang IgE, dan sel Mast. Selanjutnya sel Mast menghasilkan IL-
4, IL-5, IL-6, dan tryptase pada epitel. Mediator dan sitokin akan mengadakan
upregulasi ICAM-1. Khemoattractant IL-5 dan RANTES menyebabkan infiltrasi
eosinofil, basofil, sel Th-2, dan sel Mast. Perpanjangan masa hidup sel terutama
dipengaruhi oleh IL-5.
Pelepasan mediator oleh sel-sel yang diaktifkan, di antaranya histamin dan
cystenil-leukotrien yang merupakan mediator utama dalam rinitis alergika
menyebabkan gejala rinorea, gatal, dan buntu. Penyusupan eosinofil menyebabkan
kerusakan mukosa sehingga memungkinkan terjadinya iritasi langsung polutan dan
alergen pada syaraf parasimpatik, bersama mediator Eosinophil Derivative
Neurotoxin (EDN) dan histamin menyebabkan gejala bersin
Terdapat hubungan antara system imun dan sumsum tulang. Fakta ini
membuktikan bahwa epitel mukosa hidung memproduksi Stem Cell Factor (SCF)
dan berperan dalam atraksi, proliferasi, dan aktivasi sel Mast dalam inflamasi
2012 Page 29
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
alergi pada mukosa hidung. Hipereaktivitas nasal merupakan akibat dari respons
imun di atas, merupakan tanda penting rinitis alergika
TANDA DAN GEJALA KLINIS
Manifestasi utama adalah rinorea, gatal hidung, bersin-bersin dan sumbatan
hidung. Pembagian rinitis alergika sebelum ini menggunakan kriteria waktu pajanan
menjadi rinitis musiman (seasonal allergic rhinitis), sepanjang tahun (perenial
allergic rhinitis), dan akibat kerja (occupational allergic rhinitis). Gejala rinitis sangat
mempengaruhi kualitas hidup penderita. Tanda-tanda fisik yang sering ditemui juga
meliputi perkembangan wajah yang abnormal, maloklusi gigi, allergic gape (mulut
selalu terbuka agar bisa bernafas), allergic shiners (kulit berwarna kehitaman dibawah
kelopak mata bawah), lipatan tranversal pada hidung (transverse nasal crease), edema
konjungtiva, mata gatal dan kemerahan. Pemeriksaan rongga hidung dengan
spekulum sering didapatkan sekret hidung jernih, membrane mukosa edema, basah
dan kebiru-biruan (boggy and bluish).
Pada anak kualitas hidup yang dipengaruhi antara lain kesulitan belajar dan
masalah sekolah, kesulitan integrasi dengan teman sebaya, kecemasan, dan disfungsi
keluarga. Kualitas hidup ini akan diperburuk dengan adanya ko-morbiditas.
Pengobatan rinitis juga mempengaruhi kualitas hidup baik positif maupun negatif.
Sedatif antihistamin memperburuk kualitas hidup, sedangkan non sedatif antihistamin
berpengaruh positif terhadap kualitas hidup. Pembagian lain yang lebih banyak
diterima adalah dengan menggunakan parameter gejala dan kualitas hidup, menjadi
intermiten ringan-sedang-berat, dan persisten ringan-sedang-berat.
Manifestasi klinis rinitis alergik baru ditemukan pada anak berusia di atas 4-5
tahun dan insidensnya akan meningkat secara progresif dan akan mencapai 10-15%
pada usia dewasa. Manifestasi gejala klinis rinitis alergik yang khas ditemukan pada
orang dewasa dan dewasa muda. Pada anak manifestasi alergi dapat berupa
rinosinusitis berulang, adenoiditis, otitis media, dan tonsilitis.
Sesuai dengan patogenesisnya, gejala rinitis alergik dapat berupa rasa gatal di
hidung dan mata, bersin, sekresi hidung, hidung tersumbat, dan bernapas melalui
mulut. Sekret hidung dapat keluar melalui lubang hidung atau berupa post nasal drip
yang ditelan. Hidung tersumbat dapat terjadi bilateral, unilateral atau bergantian.
Gejala bernapas melalui mulut sering terjadi pada malam hari yang dapat
menimbulkan gejala tenggorokan kering, mengorok, gangguan tidur, serta gejala
kelelahan pada siang hari. Gejala lain dapat berupa suara sengau, gangguan
2012 Page 30
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
penciuman dan pengecapan, dan gejala sinusitis. Gejala kombinasi bersin, ingusan,
serta hidung tersumbat adalah gejala yang paling dirasakan mengganggu dan
menjengkelkan.
Anak yang menderita rinitis alergik kronik dapat mempunyai bentuk wajah
yang khas. Sering didapatkan warna gelap (dark circle atau shiners) serta bengkak
(bags) di bawah mata. Bila terdapat gejala hidung tersumbat yang berat pada anak,
sering terlihat mulut selalu terbuka yang disebut sebagai adenoid face. Keadaan ini
memudahkan timbulnya gejala lengkung palatum yang tinggi, overbite serta
maloklusi. Anak yang sering menggosok hidung karena rasa gatal menunjukkan tanda
yang disebut allergic salute.
Menurut saat timbulnya, maka rinitis alergik dapat dibagi menjadi rinitis alergik
intermiten (seasonal-acute-occasional allergic rhinitis) dan rinitis alergik persisten
(perennial-chronic-long duration rhinitis).
Rinitis alergik intermiten
Rinitis alergik intermiten mempunyai gejala yang hilang timbul, yang hanya
berlangsung selama kurang dari 4 hari dalam seminggu atau kurang dari empat
minggu. Rinitis alergik musiman yang sering juga disebut hay fever disebabkan oleh
alergi terhadap serbuk bunga (pollen), biasanya terdapat di negara dengan 4 musim.
Terdapat 3 kelompok alergen serbuk bunga yaitu: tree, grass serta weed yang tiap
kelompok ini berturut-turut terdapat pada musim semi, musim panas dan musim
gugur.
Penyakit ini sering terjadi yaitu pada sekitar 10% populasi, biasanya mulai
masa anak dan paling sering pada dewasa muda yang meningkat sesuai
bertambahnya umur dan menjadi masalah pada usia tua. Gejala berupa rasa gatal
pada mata, hidung dan tenggorokan disertai bersin berulang, ingus encer dan hidung
tersumbat. Gejala asma dapat terjadi pada puncak musim. Gejala ini akan memburuk
pada keadaan udara kering, sinar matahari, serta di daerah pedesaan.
Rinitis alergik persisten
Rinitis alergik persisten mempunyai gejala yang berlangsung lebih dari 4 hari
dalam seminggu dan lebih dari 4 minggu. Gejala rinitis alergik ini dapat terjadi
sepanjang tahun, penyebabnya terkadang sama dengan rinitis non alergik.
Gejalanya sering timbul, akan tetapi hanya sekitar 2-4 % populasi yang mengalami
gejala yang berarti. Rinitis alergik biasanya mulai timbul pada masa anak,
sedangkan rinitis non alergik pada usia dewasa. Alergi terhadap tungau debu
2012 Page 31
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
rumah merupakan penyebab yang penting, sedangkan jamur sering pada pasien
yang disertai gejala asma dan kadang alergi terhadap bulu binatang. Alergen
makanan juga dapat menimbulkan rinitis tetapi masih merupakan kontroversi. Pada
orang dewasa sebagian besar tidak diketahui sebabnya.
Gejala rinitis persisten hampir sama dengan gejala hay fever tetapi gejala gatal
kurang, yang mencolok adalah gejala hidung tersumbat. Semua penderita dengan
gejala menahun dapat bereaksi terhadap stimulus nonspesifik dan iritan.
Sedangkan klasifikasi rinitis alergik yang baru menurut ARIA terdapat dua jenis
sesuai dengan derajat beratnya penyakit. Rinitis alergik dibagi menjadi rinitis
alergik ringan (mild) dan rinitis alergik sedang-berat (moderate-severe). Pada
rinitis alergik ringan, pasien dapat melakukan aktivitas sehari-harinya (seperti
bersekolah, bekerja, berolahraga) dengan baik, tidur tidak terganggu, dan tidak ada
gejala yang berat. Sebaliknya pada rinitis alergik sedang-berat, aktivitas sehari-hari
pasien tidak dapat berjalan dengan baik, tidur terganggu, dan terdapat gejala yang
berat
DIAGNOSA
Diagnosis rinitis alergika berdasarkan pada keluhan penyakit, tanda fisik dan
uji laboratorium. Keluhan pilek berulang atau menetap pada penderita dengan riwayat
keluarga atopi atau bila ada keluhan tersebut tanpa adanya infeksi saluran nafas atas
merupakan kunci penting dalam membuat diagnosis rinitis alergika. Pemeriksaan fisik
meliputi gejala utama dan gejala minor. Uji laboratorium yang penting adalah
pemeriksaan in vivo dengan uji kulit goresan, IgE total, IgE spesifik, dan pemeriksaan
eosinofil pada hapusan mukosa hidung. Uji Provokasi nasal masih terbatas pada
bidang penelitian.
Riwayat atopi dalam keluarga merupakan faktor predisposisi rinitis alergik yang
terpenting pada anak. Pada anak terdapat tanda karakteristik pada muka seperti
allergic salute, allergic crease, Dennie’s line, allergic shiner dan allergic face seperti
telah diuraikan di atas, namun demikian tidak satu pun yang patognomonik.
Pemeriksaan THT dapat dilakukan dengan menggunakan rinoskopi kaku atau
fleksibel, sekaligus juga dapat menyingkirkan kelainan seperti infeksi, polip nasal
atau tumor. Pada rinitis alergik ditemukan tanda klasik yaitu mukosa edema dan pucat
kebiruan dengan ingus encer. Tanda ini hanya ditemukan pada pasien yang sedang
dalam serangan. Tanda lain yang mungkin ditemukan adalah otitis media serosa atau
hipertrofi adenoid.
2012 Page 32
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
Meskipun tes kulit dapat dilakukan pada semua anak tetapi tes kulit kurang bermakna
pada anak berusia di bawah 3 tahun. Alergen penyebab yang sering adalah inhalan
seperti tungau debu rumah, jamur, debu rumah, dan serpihan binatang piaraan,
walaupun alergen makanan juga dapat sebagai penyebab terutama pada bayi. Susu
sapi sering menjadi penyebab walaupun uji kulit sering hasilnya negatif. Uji
provokasi hidung jarang dilakukan pada anak karena pemeriksaan ini tidak
menyenangkan.
Pemeriksaan sekret hidung dilakukan untuk mendapatkan sel eosinofil yang
meningkat >3% kecuali pada saat infeksi sekunder maka sel neutrofil segmen akan
lebih dominan. Gambaran sitologi sekret hidung yang memperlihatkan banyak sel
basofil, eosinofil, juga terdapat pada rinitis eosinofilia nonalergik dan mastositosis
hidung primer
DIAGNOSA BANDING
Rinitis alergika harus dibedakan dengan :
1. Rinitis vasomotorik
2. Rinitis bacterial
3. Rinitis virus
KOMPLIKASI
1. Sinusitis kronis (tersering)
2. Poliposis nasal
3. Sinusitis dengan trias asma (asma, sinusitis dengan poliposis nasal dan sensitive
terhadap aspirin)
4. Asma
5. Obstruksi tuba Eustachian dan efusi telingah bagian tengah
6. Hipertyopi tonsil dan adenoid
7. Gangguan kognitif
PEMERIKSAAN
a. Anamnesis : + 50 % diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja
b. Pemeriksaan rinoskopi anterior ( mukosa edema,basah,berwarna pucat,livid,sekret
encer yang banyak)
c. Pemeriksaan naso endoskopi
2012 Page 33
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
d. Pemeriksaan sitologi hidung
1. ditemukan jumlah eosinofil ( )
2. ditemukan jumlah basofil ( )
3. ditemukan jumlah PMN ( )
e. Hitung eosinofil dalam darah tepi
f. Uji Kulit
4. Biasanya yang sering dipakai adalah Prick Test
5. Teknis : mencukit epidermis dengan blood lancet (jangan sampai terjadi
pendarahan) pada bagian volar lengan bawah yang telah ditetesi dengan
alergen dan histamin
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan rinitis alergika meliputi edukasi, penghindaran alergen,
farmakoterapi dan imunoterapi. Intervensi tunggal mungkin tidak cukup dalam
penatalaksanaan rinitis alergika, penghindaran alergen hendaknya merupakan
bagian terpadu dari strategi penatalaksanaan, terutama bila alergen penyebab dapat
diidentifikasi. Edukasi sebaiknya selalu diberikan berkenaan dengan penyakit yang
kronis, yang berdasarkan kelainan atopi, pengobatan memerlukan waktu yang lama
dan pendidikan penggunaan obat harus benar terutama jika harus menggunakan
kortikosteroid hirupan atau semprotan. Imunoterapi sangat efektif bila penyebabnya
adalah alergen hirupan. Farmakoterapi hendaknya mempertimbangkan keamanan
obat, efektifitas, dan kemudahan pemberian. Farmakoterapi masih merupakan
andalan utama sehubungan dengan kronisitas penyakit. Tabel 3 menunjukkan obat-
obat yang biasanya dipakai baik tunggal maupun dalam kombinasi. Kombinasi yang
sering dipakai adalah antihistamin H1 dengan dekongestan.
a. Pemilihan obat-obatan
Pemilihan obat-obatan dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa hal antara
lain :
1. Obat-obat yang tidak memiliki efek jangka panjang.
2. Tidak menimbulkan takifilaksis.
3. Beberapa studi menemukan efektifitas kortikosteroid intranasal. Meskipun
demikian pilihan terapi harus dipertimbangkan dengan kriteria yang lain.
2012 Page 34
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
4. Kortikosteroid intramuskuler dan intranasal tidak dianjurkan sehubungan
dengan adanya efek samping sistemik
b. Terapi
1. Terapi yang ideal dengan menghindari kontak alergen penyebab dan eliminasi
2. Simtomatis
b. Antihistamin
A.H GENERASI 1 (KLASIK) A.H GENERASI 2
Lipofilik Lipofobik
Dapat menembus sawar darah otak,plasenta Sulit menembus sawar darah otak
Punya efek kolinergik Tidak punya efek
antikolinergik,antiadrenergik,nonsedatif
Ex : difenhidramin,klorfeniramin,prometasin Ex : astemisol,terfenadin,fexonadin
c. Preparat simpatomimetik
d. Preparat kortikosteroid (bila gejala terutama sumbatan hidung akibat respon fase
lambat tidak berhasil diobati
e. Operasi konkotomi
2. RHINITIS VASOMOTOR
DEFINISI
Adalah suatu keadaan idiopatik yang didiagnosis tanpa adanya infeksi,
alegi, eosinofilia, perubahan hormonal, dan pajanan obat.
2012 Page 35
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
ETIOLOGI
Tidak spesifik, diduga akibat gangguan keseimbangan fungsi vaso-motor Tidak spesifik, diduga akibat gangguan keseimbangan fungsi vaso-motor
dimana fungsi para simpatis bertambah.dimana fungsi para simpatis bertambah.
Faktor yang mempengaruhi :
1. Obat-obatan yang menekan kerja saraf simpatis misalnya anti hipertensi, Obat-obatan yang menekan kerja saraf simpatis misalnya anti hipertensi,
ergotamin, CPZ, vaso konstriktor topicalergotamin, CPZ, vaso konstriktor topical
2. Faktor fisik a.l. udara dingin, kelembaban udara yang tinggi, asap rokokFaktor fisik a.l. udara dingin, kelembaban udara yang tinggi, asap rokok
3. Faktor endokrin a.l. bumil, pemakaian pil KB, hypothyroidFaktor endokrin a.l. bumil, pemakaian pil KB, hypothyroid
4. Faktor psikisFaktor psikis
PATOFISIOLOGI
Adanya pengaruh saraf parasimpatis yang akan menyebabkan vasodilatasi
pembuluh darah yang nantinya akan mengakibatkan edema mukosa, dan
permeabilitas vaskuler menurun sehingga terjadi transudasi secret yang berlebih.
GEJALA
Berdasarkan gejala yang menonjol dibedakan 3 golongan yaitu gol obstruksi
(blokers), rhinore (runners) dan sneezers
PEMERIKSAAN
Pemeriksaan fisik : edema, mukosa berwarna merah gelap
TERAPI
Hindari faktor pencetus
Simptomatis : dekongestan, diatermi, kaustik, kortiko-steroid topikal.
operasi
1. DD
Rinitis alergi
Rinitid infeksi
2012 Page 36
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
2. KOMPLIKASI
Sinusitis akut maupun kronis
3. PERBEDAAN RINITIS ALERGI DAN VASOMOTOR
RINITIS ALERGI RINITIS VASOMOTOR
Mulai serangan Belasan tahun (terdapat
riwayat terpapar alergen)
Decade 3-4 (tidak terdapat
riwayat terpapar alergen)
Etiologi Reaksi Ag-Ab terhadap
rangsangan spesifik
Reaksi neurovaskuler
terhadap beberapa
rangsangan mekanis atau
kimia, psikologis
Penampakan Mukosa tampak pucat Mukosaya biru
Septum nasinya pink
Gatal dan bersin Menonjol Tidak menonjol
Gatal di mata Sering dijumpai Tidak dijumpai
Test kulit Positif Negative
Secret hidung Peningkatan eosinofil Eosinifil tidak meningkat
Eosinofil darah Meningkat Normal
Ig E Meningkat Tidak meningkat
Neurektomi n. vidianus Tidak membantu Membantu
3. RINITIS MEDIKAMENTOSA
DEFINISI
Rhinitis medikamentosa adalah suatu kelainan hidung berupa gangguan
respons normal vasomotoryang diakibatkan oleh pemakaian vasokonstriktor
2012 Page 37
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
topical(tetes hidung atau semprot hidung) dalam waktu lama dan berlebihan,
sehingga menyebabkan sumbatan hidungyang menetap.
ETIOLOGI
“rebound effect “ ( pemakaian tetes hidung yang lama )
PATOFISIOLOGI
Pemakaian topical vasokonstriktor yang berulang dalam waktu lama akan
menyebabkan terjadinya fase dilatasi berulang (rebound dilatation) setelah fase
konstriksi, sehingga timbul gejala obstruksi. Pada keadaan ini ditemukan kadar
agonis alfa adrenergic yang tinggi di ukosa hidung. Hal ini akan diikuti dengan
penurunan sensitivitas reseptor alfa-adrenergik di pembuluh darah sehingga terjadi
suatu toleransi. Aktivitas dari simpatis yang menyebabkan vasokonstriksi
menghilang.
Kerusakan yang terjadi pada mukosa hidung pada pemakaian obat tetes hidung
dalam waktu yang lama ialah: silia rusak, sel goblet berubah ukuran, membrane
basal menebal, pembuluh darah melebar, stroma tampak edema, hipersekresi
kelenjar mucus dan perubahan pH secret hidung, lapisan submuksa menebal,
lapisan periostium menebal. Oleh karena itu, pemakaian obat sebaiknya tidak lebih
dari 1 minggu dan bersifat isotonic dengan secret hidung normal.
GEJALA
hidung tersumbat terus-menerus
rhinorea
PEMERIKSAAN
Pada pemeriksaan fisik tampak:
- Mukosa tampak udim, hiperemi
- Konka nasi hipertrofi
- Secret hidung berlebihan
1. TERAPI
2012 Page 38
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
- Hentikan pemakaian obat
- kortiko-steroid
- Dekongestan oral
2. DD
a. Rinitis vasomotor
b. Rinitis medikamentosa
c. Rinitis infeksi
d. Common cold
3. KOMPLIKASI
Sinusitis
E. FARINGITIS
a. Definisi
Adalah peradangan pada mukosa faring dan sering meluas ke jaringan sekitarnya, biasanya timbul bersama dengan tonsillitis, rhinitis, dan laryngitis.
2012 Page 39
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
Faringitis akut adalah suatu sindrom inflamasi dari faring dan/atau tonsil yang disebabkan oleh beberapa grup mikroorganisme yang berbeda. Faringitis dapat menjadi bagian dari infeksi saluran napas atas atau infeksi lokal didaerah faring.
b. Etiologi
Bakteri streptococcus pyogenes (streptococcus group A hemoliticus)
Streptokokus group C
Corynebacteria diphteriae
Neisseria gonorrhoe
Non bakteri misalnya adenovirus, influenza virus, parainfluenza, rhinovirus,
RSV, echovirus, coxsackievirus, herpes simplex virus, EBV,dll.
Kebanyakan disebabkan oleh virus, termasuk virus penyebab common cold,
flu, adenovirus, mononukleosis atau HIV (40-60%).
Bakteri yang menyebabkan faringitis adalah streptokokus grup A, korine
bakterium, arkano bakterium, Neisseria gonorrhoeae atau Chlamydia
pneumonia (5-40%).
Bisa juga karena alergi, toksin, dan trauma.
c. Patofisiologi
Penularan terjadi melalui droplet. Kuman menginfiltrasi lapisan epitel, kemudian bila epitel terkikis maka jaringan limfoid superfisial bereaksi, terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear. Pada stadium awal terdapat hiperemi, kemudian edema dan sekresi yang meningkat. Eksudat mula - mula serosa tapi menjadi menebal dan kemudian cendrung menjadi kering dan dapat melekat pada dinding faring. Dengan hiperemi, pembuluh darah dinding faring menjadi lebar. Bentuk sumbatan yang berwarna kuning, putih atau abu-abu terdapat dalam folikel atau jaringan limfoid. Tampak bahwa folikel limfoid dan bercak-bercak pada dinding faring posterior, atau terletak lebih ke lateral, menjadi meradang dan membengkak.
d. Gejala
o Demam tiba-tiba
o Faring, palatum, tonsil berwarna merah dan bengkak
o Nyeri tenggorokan
o Terdapat eksudat purulen
o Nyeri telan
o Leukositosis dan dominasi neutrofil
2012 Page 40
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
o Adenopati servikal
o Malaise
o Mual
Khusus untuk Faringitis oleh streptokokus :
o Demam tiba-tiba
o Sakit kepala
o Anoreksia
o Nyeri tenggorokan
o Nyeri abdomen
o Rash/urtikaria
o Tonsillitis eksudatif
o Muntah
o Adenopati servical anterior
o Malaise
Gejala tersebut bisa ditemukan pada infeksi karena virus maupun bakteri, tetapi lebih merupakan gejala khas untuk infeksi karena bakteri.
2012 Page 41
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
No FARINGITIS VIRUS FARINGITIS BAKTERI
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Biasanya tidak ditemukan nanah di tenggorokan
Demam ringan atau tanpa demam
Jumlah sel darah putih normal atau agak meningkat
Kelenjar getah bening normal atau sedikit membesar
Tes apus tenggorokan memberikan hasil negative
Pada biakan di laboratorium tidak tumbuh bakteri
Sering ditemukan nanah di tenggorokan
Demam ringan sampai sedang
Jumlah sel darah putih normal – sedang
Pembengkakan ringan sampai sedang pada kelenjar getah bening
Tes apus tenggorokan memberikan hasil positif untuk strep throat
Pada biakan di laboratorium tumbuh bakteri
e. Pemeriksaan
Manifestasi klinis berbeda-beda tergantung apakah streptokokus atau virus yang menyebabkan penyakit tersebut. Bagaimanapun, terdapat banyak tumpang tindih dalam tanda-tanda serta gejala penyakit tersebut dan secara klinis seringkali sukar untuk membedakan satu bentuk faringitis dari bentuk lainnya.Faringitis oleh virus biasanya merupakan penyakit dengan awitan yang relatif lambat, umumnya terdapat demam, malaise, penurunan nafsu makan disertai rasa nyeri sedang pada tenggorokan sebagai tanda dini. Rasa nyeri pada tenggorokan dapat muncul pada awal penyakit tetapi biasanya baru mulai terasa satu atau dua hari setelah awitan gejala-gejala dan mencapai puncaknya pada hari ke-2-3. Suara serak, batuk, rinitis juga sering ditemukan. Walau pada puncaknya sekalipun, peradangan faring mungkin berlangsung ringan tetapi kadang-kadang dapat terjadi begitu hebat serta ulkus-ulkus kecil mungkin terbentuk pada langit-langit lunak dan dinding belakang faring. Eksudat-eksudat dapat terlihat pada folikel-folikel kelenjar limfoid langit-langit dan tonsil serta sukar dibedakan dari eksudat-eksudat yang ditemukan pada penyakit yang disebabkan oleh streptokokus. Biasanya nodus-nodus kelenjar limfe servikal akan membesar, berbentuk keras dan dapat mengalami nyeri tekan atau tidak. Keterlibatan laring sering ditemukan pada penyakit ini tetapi trakea, bronkus-bronkus dan paru-paru jarang terkena. Jumlah leukosit berkisar 6000 hingga lebih dari 30.000, suatu jumlah yang meningkat (16.000-18.000) dengan sel-sel polimorfonuklear menonjol merupakan hal yang sering ditemukan pada fase dini penyakit tersebut. Karena itu jumlah leukosit hanya kecil artinya dalam melakukan pembedaan penyakit yang disebabkan oleh virus dengan bakteri. Seluruh masa sakit dapat
2012 Page 42
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
berlangsung kurang dari 24 jam dan biasanya tidaka kan bertahan lebih lamna dari 5 hari. Penyulit-penyulit lainnya jarang ditemukan.Faringitis streptokokus pada seorang anak berumur lebih dari 2 tahun, seringkali dimulai dengan keluhan-keluhan sakit kepala, nyeri abdomen dan muntah-muntah. Gajala-gajala tersebut mungkin berkaitan dengan terjadinya demam yang dapat mencapai suhu 40OC (104O F); kadang-kadang kenaikan suhu tersebut tidak ditemukan selama 12 jam. Berjam-jam setelah keluhan-keluhan awal maka tenggorokan penderita mulai terasa sakit dan pada sekitar sepertiga penderita mengalami pembesaran kelenjar-kelenjar tonsil, eksudasi serta eritem faring. Derajat rasa nyeri faring tidak tetap dan dapat bervariasi dari yang sedikit hingga rasa nyeri demikian hebat sehingga membuat para penderita sukar menelan. Dua per tiga dari para penderita mungkin hanya mengalami eritema tanpa pembesaran khusus kelenjar tonsil serta tidak terdapat eksudasi. Limfadenopati servikal anterior biasanya terjadi secara dini dan nodus-nodus kelenjar mengalami nyeri tekan. Demam mungkin berlangsung hingga 1-4 hari; pada kasus-kasus sangat berat penderita tetap dapat sakit hingga 2 minggu. Temuan-temuan fisik yang paling mungkin ditemukan berhubungan dengan penyakit yang disebabkan oleh streptokokus adalah kemerahan pada kelenjar-kelenjar tonsil beserta tiang-tiang lunak, terlepas dari ada atau tidaknya limfadenitis dan eksudasi-eksudasi. Gambaran-gambaran ini walaupun sering ditemukan pada faringitis yang disebabkan oleh streptokokus, tidak bersifat diagnostik dan dengan frekuensi tertentu dapat pula dijumpai pada faringitis yang disebabkan oleh virus. Konjungtivitis, rinitis, batuk, dan suara serak jarang terjadi pada faringitis yang disebabkan streptokokus dan telah dibuktikan, adanya 2 atau lebih banyak lagi tanda-tanda atau gejala-gejala ini memberikan petunjuk pada diagnosis infeksi virus.Bahan biakan tenggorokan merupakan satu-satunya metode yang dapat dipercaya untuk membedakan faringitis oleh virus dengan streptokokus2,4. Menurut Simon, diagnosa standar streptokokus beta hemolitikus kelompok A adalah kultur tenggorok karena mempunyai sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi tergantung dari teknik, sample dan media. Bakteri yang lain seperti gonokokus dapat diskrening dengan media Thayer-Martin hangat. Virus dapat dikultur dengan media yang khusus seperti pada Epstein-Bar virus menggunakan monospot. Secara keseluruhan dari pemeriksaan laboratorium ditemukan adanya leukositosis. Anamnesa
- Tenggorok terasa kering dan panas, kemudian timbul nyeri menelan di
bagian tengah tenggorok.
- Demam, sakit kepala, malaise.
Pemeriksaan
2012 Page 43
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
Tampak folikel limfoid dan bercak-bercak pada dinding faring posterior atau terletak lebih lateral menjadi radang dan membengkak. Tampak hiperemi, serta sekresi mucus meningkat.
f. Tata laksana
Untuk mengurangi nyeri tenggorokan diberikan obat pereda nyeri (analgetik).
Obat hisap atau berkumur dengan larutan garam hangat.
Aspirin tidak boleh diberikan kepada anak-anak dan remaja yang berusia
dibawah 18 tahun karena bisa menyebabkan sindroma Reye.
Jika diduga penyebabnya adalah bakteri, diberikan antibiotik.
Untuk mengatasi infeksi dan mencegah komplikasi (misalnya demam rematik).
Jika penyebabnya streptokokus, diberikan tablet penicillin. Jika penderita
memiliki alergi terhadap penicillin bisa diganti dengan erythromycin atau
antibiotik lainnya.
Anti panas bila penderita panas
Makanan lembek, panas & pedas dilarang
g. Komplikasi
Sinusitis
Otitis media
Mastoidis
Abses Peritonsilar
Demam rematik
Glomerulonefritis
Komplikasi terpenting yaitu Deman Rematik (DR). Merupakan penyakit
peradangan akut yang menindak lanjuti faringitis yang disebabkan oleh
Streptococcus beta-hemolyticus grup A. Penyakit ini cenderung berulang dan
dipandang sebagai penyebab penyakit jantung didapat pada anak dan dewasa
muda.
F. SINUSITIS
2012 Page 44
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
BERDASARKAN ETIOLOGI
1. SINUSITIS DENTOGEN
Definisi
peradangan pada sinus merupakan salah satu penyebab penting sinusitis kronis
Etiologi dan patofisiologi
infeksi gigi rahang atasseperti infeksi apikal akar gigi atau inflamasi jaringan
periodontal menyebar secara langsung ke sinus atau ke pembuluh darah dan
limfe.
Gejala
o hidung tersumbat disertai nyeri tekan pada muka.
o Ingus purulen
o demam, lesu.
o Sakit kepala, hiposmia
o batuk dan sesak pada anak
Pemeriksaan
Pada rhinoskopi anterior, posterior dan nasoendoskopi ditemukan
adanya pus di meatus medius atau di meatus superior, mukosa edema dan
hiperemis. Selain itu dilakukan foto polos dan CT SCAN untuk melihat
adanya perselubungan, batas udara-cairan atau penebalan mukosa.
Pada pemeriksaan transiluminasi sinus yang sakit akan menjadi suram
atau gelap.
Pada pemeriksaan mikrobiologi dan tes resistensi dilakukan dengan
mengambil sekret dari meatus medius atau superior untuk mendapat antibiotik
yang tepat guna.
Sinuskopi dilakukan dengan pungsi menembus dinding media sinus
maksila melalui meatus inferior dengan alat endoskop bisa di lihat kondisi
sinus maksila yang sebenarnya.
Terapi
2012 Page 45
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
Prinsip pengobatan adalah membuka sumbatan di KOM sehingga
drainase dan ventilasi sinus pulih kembali. antibiotik untuk menghilangkan
infeksi.
Dekongestan untuk menghilangkan pembengkakan mukosa serta
membuka sumbatan ostium sinus. Selain itu, jika diperlukan dapat di beri
terapi analgesik, mukolitik, steroid oral atau topikal, pencucian rongga hidung
dengan NaCl atau pemanasan.
Bila ada alergi sebaiknya diberikan antihistamin generasi ke 2. Irigasi
sinus maksila juga merupakan terapi tambahan yang sangat bermanfaat.
Jika tidak sembuh dengan terapi diatas maka dilakukan tindakan operasi bedah
sinus endoskopi fungsional.
Komplikasi
Kelainan orbita disebabkan oleh sinus paransala yang berdekatan
dengan mata. Kelainan intra kranial dapat berupa meningitis, abses ekstradural
atau subdural dan abses otak.
Osteomielitis dan abses superiostal. Paling sering timbul akibat
sinusitis frontal kronis.
Kelainan paru seperti bronkitis kronis dan bronkiektasis.
2. SINUSITIS JAMUR
Definisi
adalah infeksi jamur pada sinus paranasal, suatu keadaan yang tidak jarang
ditemukan.
Etiologi
jamur aspergillus dan Candida.
Patofisiologi
Sinusitis jamur dibagi menjadi bentuk invasif dan noninvasif. Sinusitis
jamur invasif terbagi menjadi invasif akut fulminan dan invasif kronis indolen.
Sinusitis jamur invasif akut ada invasi jamur ke jaringan dan vaskuler.
2012 Page 46
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
Sinusitis jamur invasif kronik biasanya terjadi pada pasien dengan gangguan
imunologi. Bersifat kronis progresif dan bisa menginvasi sampai ke orbital
atau intra kranial.
Sinusitis jamur noni nvasif merupakan kumpulan jamur didalam
rongga sinus tanpa invasi kedalam mukosa dan tidak mendekstruksi tulangf.
Gejala
rhinore purulen
post nasal drip
nafas berbau
massa jamur di cavum nasi
Terapi
pembedahan
debridemen
anti jamur sistemik dan pengobatan terhadap penyakit dasarnya
obat standart adalah amfoterisin B, rifampicin atau flucitocin.
BERDASARKAN LOKASI
1. SINUSITIS MAKSILARIS
Berdasarkan waktunya dibedakan :
1. Sinusitis maks. Akut : < 4 mgg didapatkan tanda-tanda radang akut
2. Sinusitis maks. Sub akut : 4mgg-3 bln tanda akut (-)
3. Sinusitis maks. Kronis : > 3 bln perub. Mukosa hidung sinus irrev.
( polip, kista, fibrosis)
Sinusitis maks paling sering dijumpai oleh karena :
Letak ostiumnya tinggi
Letak ostiumnya paling rendah diantara sinus lain
Dasar S.M adalah dasar akar gigi ( proc. Alveolaris )
Terdapat 2 sumber infeksi yaitu :
– Rhinogen :
• Dari rinitis akut oleh karena buang ingus yang salah
• Sept. deviasi
• Polip nasi / rinitis alergi
– Dentogen :
2012 Page 47
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
• Karies gigi P2 - M3
• Abses gigi
• Post ekstraksi gigi→ fistel oro anthral
1. Sinusitis Maksilaris akut
• Gejala :
– Pdu didahului kel. Rinitis akut
– Febris / sub febris
– Pipi kemeng, sefalgi t.u sore hari
– Pilek 1 sisi kadang bercampur darah dan berbau
• Pemeriksaan fisik :
– Inspeksi : - Udim di daerah pipi
- Hiperemi di daerah pipi terutama jika kulit putih – Palpasi : - nyeri tekan pada drh fossa kanina
– Rinoskopi anterior : - Mukosa cavum Nasi udim, hiperemi
- Pus di meatus med. Transluminasi : pdu gelap pada sisi yang sakit
– Untuk sinus maxillaris dan frontalis
– Apabila hasil menunjukkan gelap di daerah infraorbital berarti pada sinus
terisi pus atau mukosa menebal atau ada neoplasma di dalam antrum
– Dilakukan di kamar gelap
– Lampu bertangkai dimasukkan ke dalam rongga mulut, sinar lampu akan
menembus rongga sinus maksila, terlihat di pipi, bandingkan kanan dan kiri.
Sinus yang terisi cairan tampak suram/gelap
– Bermakna bila ada perbedaan kanan & kiri
2012 Page 48
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
Kamar gelap
Gambaran Pemeriksaan Penunjang Transiluminasi
X foto water’s : perselubungan pd sisi yang sakit
Tx :
– A B
– Dekongestan lokal = TH
– Analgetik
– Hilangkan faktor penyebab
2. Sinusitis Maksilaris sub akut
2012 Page 49
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
• Gx : seperti sinusitis maks. akut hanya tanda-tanda radang akut sudah reda
• Tx :
– Irigasi sinus
– TH
– Diatermi SWD : Short Wave Diathermy
– Hilangkan faktor penyebab
3. Sinusitis Maksilaris Kronis
• Terjadi perubahan mukosa sinus : degenerasi cystous, polip, fibrosis, metaplasi.
• Sering terjadi pada Penyakit alergi
• Dapat merupakan lanjutan dari SMA yang tidak diobati
• Gx bervariasi ;
– Pilek berbau 1 sisi
– Gejala tenggorok : rasa tidak nyaman, batuk
– Sakit kepala 1 sisi
• Pemeriksaan RA : terdapat pus di meatus med.
• Pemeriksaan RP : Post nasal drip
• Tx :
– Medika mentosa
– Irigasi SM 1x/minggu
– Op. Caldwell luc/ Claue
– Hilangkan faktor penyebab
• Komplikasi : Osteomyelitis, selulitis orbita – abses orbita
• DD : Ca Sinus Maksilaris
– Orang tua
– Nyeri kontinu & progresif
– Sakit geraham tapi obyektif tak ada
– Sekret hemorhagis
2. SINUSITIS FRONTALIS
2012 Page 50
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
Sinus frontalis akut hampir bersama-sama dengan infeksi dengan infeksi sinusitis etmoidalis anterior. Sinusitis ini berkembang dari sel-sel udara etmoidalis anterior dan duktus nasalis frontalis yang berlekuk-lekuk.
Gejalanya :
- Nyeri kepala yg khas. Nyeri ini berlokasi di alis mata biasanya pada
pagi hari dan memburuk pada menjelang tengah hari, dan kemudian
perlahan-lahan mereda pada malam hari.
- Dahi terasa nyeri bila disentuh dan terdapat pembengkakakn
supraorbita.
Pengobatan :
Pemberian antibiotic yang tepat, dekongestan dan tetes hidung vasokonstriktor.
Terapi :operasi ( hilangkan faktor obstruksi)
Komplikasi:
- osteomyelitis frontalis
- infiltrat/ abses orbitainfiltrat/ abses orbita
- trombosis sinus kavernosustrombosis sinus kavernosus
- endo kranialendo kranial
BERDASARKAN LAMA TERJADINYA
1. SINUSITIS AKUT
5. Sinusitis Akut
• Berdasarkan waktunya dibedakan :
1. Sinusitis maksilaris Akut : < 4 mgg didapatkan tanda-tanda radang akut
2. Sinusitis maksilaris Sub akut : 4mgg-3 bln tanda akut (-)
3. Sinusitis maksilaris Kronis : > 3 bln perub. Mukosa hidung sinus
irreversibel ( polip, kista, fibrosis)
• Sinusitis maksilaris paling sering dijumpai oleh karena :
– Letak ostiumnya tinggi
– Letak ostiumnya paling rendah diantara sinus lain
– Dasar sinus maksila adalah dasar akar gigi ( proc. Alveolaris )
• Terdapat 2 sumber infeksi yaitu :
2012 Page 51
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
– Rhinogen :
• Dari rinitis akut oleh karena buang ingus yang salah
• Sept. deviasi
• Polip nasi / rinitis alergi
– Dentogen :
• Karies gigi P2 - M3
• Abses gigi
• Post ekstraksi gigi→ fistel oro anthral
2. SINUSITIS KRONIS
Defenisi
Sinusitis kronis adalah sinusitis yang berlangsung lebih 3 bulan.
Etiologi
Infeksi kronis pada sinusitis kronis dapat disebabkan :
- Gangguan drainase. Gangguan drainase dapat disebabkan obstruksi mekanik dan
kerusakan silia.
- Perubahan mukosa. Perubahan mukosa dapat disebabkan alergi, defisiensi
imunologik, dan kerusakan silia.
- Pengobatan. Pengobatan infeksi akut yang tidak sempurna.
Sebaliknya, kerusakan silia dapat disebabkan oleh gangguan drainase, perubahan
mukosa, dan polusi bahan kimia.
- Polusi bahan kimia menyebabkan silia rusak, sehingga terjadi perubahan mukosa
hidung. Perubahan tersebut juga dapat disebabkan oleh alergi dan defisiensi
imunologik, sehingga mempermudah terjadinya infeksi, dan infeksi menjadi kronis
apabila pengobatan sinusitis akut tidak sempurna.
Gejala Subjektif
Bervariasi dari ringan sampai berat, terdiri dari :
2012 Page 52
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
- Gejala hidung dan nasofaring, berupa sekret pada hidung dan sekret pasca nasal
(post nasal drip) yang seringkali mukopurulen dan hidung biasanya sedikit
tersumbat.
- Gejala laring dan faring yaitu rasa tidak nyaman dan gatal di tenggorokan.
- Gejala telinga berupa pendengaran terganggu oleh karena terjadi sumbatan tuba
eustachius.
- Ada nyeri atau sakit kepala.
- Gejala mata, karena penjalaran infeksi melalui duktus nasolakrimalis.
- Gejala saluran nafas berupa batuk dan komplikasi di paru berupa bronkhitis atau
bronkhiektasis atau asma bronkhial.
- Gejala di saluran cerna mukopus tertelan sehingga terjadi gastroenteritis.
Gejala Objektif
Temuan pemeriksaan klinis tidak seberat sinusitis akut dan tidak terdapat
pembengkakan pada wajah. Pada rinoskopi anterior dapat ditemukan sekret kental,
purulen dari meatus medius atau meatus superior, dapat juga ditemukan polip, tumor
atau komplikasi sinusitis. Pada rinoskopi posterior tampak sekret purulen di
nasofaring atau turun ke tenggorok.
Dari pemeriksaan endoskopi fungsional dan CT Scan dapat ditemukan
etmoiditis kronis yang hampir selalu menyertai sinusitis frontalis atau maksilaris.
Etmoiditis kronis ini dapat menyertai poliposis hidung kronis.
Pemeriksaan Mikrobiologi
Merupakan infeksi campuran oleh bermacam-macam mikroba, seperti kuman
aerob S. aureus, S. viridans, H. influenzae dan kuman anaerob Pepto streptococcus
dan fuso bakterium.
Diagnosis Sinusitis Kronis
Diagnosis sinusitis kronis dapat ditegakkan dengan :
1. Anamnesis yang cermat
2. Pemeriksaan rinoskopi anterior dan posterior
2012 Page 53
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
3. Pemeriksaan transiluminasi untuk sinus maksila dan sinus frontal, yakni pada
daerah sinus yang terinfeksi terlihat suram atau gelap.
4. Pemeriksaan radiologik, posisi rutin yang dipakai adalah posisi Waters, PA dan
Lateral. Posisi Waters, maksud posisi Waters adalah untuk memproyeksikan
tulang petrosus supaya terletak di bawah antrum maksila, yakni dengan cara
menengadahkan kepala pasien sedemikian rupa sehingga dagu menyentuh
permukaan meja. Posisi ini terutama untuk melihat adanya kelainan di sinus
maksila, frontal dan etmoid. Posisi Posteroanterior untuk menilai sinus frontal dan
posisi lateral untuk menilai sinus frontal, sphenoid dan etmoid.
5. Pungsi sinus maksilaris
6. Sinoskopi sinus maksilaris, dengan sinoskopi dapat dilihat keadaan dalam sinus,
apakah ada sekret, polip, jaringan granulasi, massa tumor atau kista dan
bagaimana keadaan mukosa dan apakah osteumnya terbuka. Pada sinusitis kronis
akibat perlengketan akan menyebabkan osteum tertutup sehingga drenase menjadi
terganggu.
7. Pemeriksaan histopatologi dari jaringan yang diambil pada waktu dilakukan
sinoskopi.
8. Pemeriksaan meatus medius dan meatus superior dengan menggunakan naso-
endoskopi.
9. Pemeriksaan CT –Scan, merupakan cara terbaik untuk memperlihatkan sifat dan
sumber masalah pada sinusitis dengan komplikasi. CT-Scan pada sinusitis akan
tampak : penebalan mukosa, air fluid level, perselubungan homogen atau tidak
homogen pada satu atau lebih sinus paranasal, penebalan dinding sinus dengan
sklerotik (pada kasus-kasus kronik).
Hal-hal yang mungkin ditemukan pada pemeriksaan CT-Scan :
a) Kista retensi yang luas, bentuknya konveks (bundar), licin, homogen, pada
pemeriksaan CT-Scan tidak mengalami ehans. Kadang sukar
membedakannya dengan polip yang terinfeksi, bila kista ini makin lama
makin besar dapat menyebabkan gambaran air-fluid level.
b) Polip yang mengisi ruang sinus
c) Polip antrokoanal
d) Massa pada cavum nasi yang menyumbat sinus
2012 Page 54
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
e) Mukokel, penekanan, atrofi dan erosi tulang yang berangsur-angsur oleh
massa jaringan lunak mukokel yang membesar dan gambaran pada CT Scan
sebagai perluasan yang berdensitas rendah dan kadang-kadang pengapuran
perifer.
f) Tumor
Terapi
Terapi untuk sinusitis kronis :
a) Jika ditemukan faktor predisposisinya, maka dilakukan tata laksana yang
sesuai dan diberi terapi tambahan. Jika ada perbaikan maka pemberian
antibiotik mencukupi 10-14 hari.
b) Jika faktor predisposisi tidak ditemukan maka terapi sesuai pada episode akut
lini II + terapi tambahan. Sambil menunggu ada atau tidaknya perbaikan,
diberikan antibiotik alternative 7 hari atau buat kultur. Jika ada perbaikan
teruskan antibiotik mencukupi 10-14 hari, jika tidak ada perbaikan evaluasi
kembali dengan pemeriksaan naso-endoskopi, sinuskopi (jika irigasi 5 x tidak
membaik). Jika ada obstruksi kompleks osteomeatal maka dilakukan tindakan
bedah yaitu BSEF atau bedah konvensional. Jika tidak ada obstruksi maka
evaluasi diagnosis.
c) Diatermi gelombang pendek di daerah sinus yang sakit.
d) Pada sinusitis maksila dilakukan pungsi dan irigasi sinus, sedang sinusitis
ethmoid, frontal atau sfenoid dilakukan tindakan pencucian Proetz.
e) Pembedahan
1. Radikal
- Sinus maksila dengan operasi Cadhwell-luc.
- Sinus ethmoid dengan ethmoidektomi.
- Sinus frontal dan sfenoid dengan operasi Killian.
2. Non Radikal
- Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF). Prinsipnya dengan
membuka dan membersihkan daerah kompleks ostiomeatal.
2012 Page 55
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
KOMPLIKASI SINUSITIS
CT-Scan penting dilakukan dalam menjelaskan derajat penyakit sinus dan
derajat infeksi di luar sinus, pada orbita, jaringan lunak dan kranium. Pemeriksaan ini
harus rutin dilakukan pada sinusitis refrakter, kronis atau berkomplikasi.
2. Komplikasi orbita
Sinusitis ethmoidalis merupakan penyebab komplikasi pada orbita
yang tersering. Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi
ethmoidalis akut, namun sinus frontalis dan sinus maksilaris juga terletak di
dekat orbita dan dapat menimbulkan infeksi isi orbita.
Terdapat lima tahapan :
a) Peradangan atau reaksi edema yang ringan. Terjadi pada isi orbita
akibat infeksi sinus ethmoidalis didekatnya. Keadaan ini terutama
ditemukan pada anak, karena lamina papirasea yang memisahkan
orbita dan sinus ethmoidalis sering kali merekah pada kelompok
umur ini.
b) Selulitis orbita, edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif
menginvasi isi orbita namun pus belum terbentuk.
c) Abses subperiosteal, pus terkumpul diantara periorbita dan dinding
tulang orbita menyebabkan proptosis dan kemosis.
d) Abses orbita, pus telah menembus periosteum dan bercampur
dengan isi orbita. Tahap ini disertai dengan gejala sisa neuritis
optik dan kebutaan unilateral yang lebih serius. Keterbatasan gerak
otot ekstraokular mata yang tersering dan kemosis konjungtiva
merupakan tanda khas abses orbita, juga proptosis yang makin
bertambah.
e) Trombosis sinus kavernosus, merupakan akibat penyebaran bakteri
melalui saluran vena kedalam sinus kavernosus, kemudian
terbentuk suatu tromboflebitis septik.
Secara patognomonik, trombosis sinus kavernosus terdiri dari :
2012 Page 56
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
Oftalmoplegia.
Kemosis konjungtiva.
Gangguan penglihatan yang berat.
Kelemahan pasien.
Tanda-tanda meningitis oleh karena letak sinus kavernosus yang berdekatan
dengan saraf kranial II, III, IV dan VI, serta berdekatan juga dengan otak.
3. Mukokel
Mukokel adalah suatu kista yang mengandung mukus yang timbul dalam
sinus, kista ini paling sering ditemukan pada sinus maksilaris, sering disebut sebagai
kista retensi mukus dan biasanya tidak berbahaya.
Dalam sinus frontalis, ethmoidalis dan sfenoidalis, kista ini dapat membesar
dan melalui atrofi tekanan mengikis struktur sekitarnya. Kista ini dapat bermanifestasi
sebagai pembengkakan pada dahi atau fenestra nasalis dan dapat menggeser mata ke
lateral. Dalam sinus sfenoidalis, kista dapat menimbulkan diplopia dan gangguan
penglihatan dengan menekan saraf didekatnya.
Piokel adalah mukokel terinfeksi, gejala piokel hampir sama dengan mukokel
meskipun lebih akut dan lebih berat.
Prinsip terapi adalah eksplorasi sinus secara bedah untuk mengangkat semua
mukosa yang terinfeksi dan memastikan drainase yang baik atau obliterasi sinus.
4. Komplikasi Intra Kranial
a) Meningitis akut, salah satu komplikasi sinusitis yang terberat adalah
meningitis akut, infeksi dari sinus paranasalis dapat menyebar sepanjang
saluran vena atau langsung dari sinus yang berdekatan, seperti lewat dinding
posterior sinus frontalis atau melalui lamina kribriformis di dekat sistem sel
udara ethmoidalis.
b) Abses dura, adalah kumpulan pus diantara dura dan tabula interna kranium,
sering kali mengikuti sinusitis frontalis. Proses ini timbul lambat, sehingga
pasien hanya mengeluh nyeri kepala dan sebelum pus yang terkumpul
mampu menimbulkan tekanan intra kranial. Abses subdural adalah kumpulan
2012 Page 57
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
pus diantara duramater dan arachnoid atau permukaan otak. Gejala yang
timbul sama dengan abses dura.
c) Abses otak, setelah sistem vena, dapat mukoperiosteum sinus terinfeksi,
maka dapat terjadi perluasan metastatik secara hematogen ke dalam otak.
Terapi komplikasi intra kranial ini adalah antibiotik yang intensif, drainase
secara bedah pada ruangan yang mengalami abses dan pencegahan
penyebaran infeksi.
5. Osteomielitis dan abses subperiosteal
Penyebab tersering osteomielitis dan abses subperiosteal pada tulang
frontalis adalah infeksi sinus frontalis. Nyeri tekan dahi setempat sangat berat.
Gejala sistemik berupa malaise, demam dan mengigil.
2012 Page 58
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
G. ASMA BRONKIAL
a. Definisi
Asma bronkhial adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermitten, reversible
dimana trakeobronkial berespon secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu. Asma
bronchial adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon bronkus
terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan jalan nafas
yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah baik secara spontan maupun hasil
dari pengobatan (The American Thoracic Society).
Asma merupakan penyakit yang hilang – timbul, dengan eksaserbasi akut
menyebar. Umumnya waktu serangan pendek, terjadi antara beberapa menit
hingga beberapa jam, dan secara klinis pasien dapat pulih sempurna setelah
serangan. Walaupun jarang terjadi, serangan akut dapat menimbulkan kematian.
b. Faktor Resiko
1. Genetik
2. Faktor atopi
3. Airwayhipperresponsivness
4. Alergen indoor
5. Alergen outdoot
6. Occupational sensitizer
7. Asap rokok
8. Polusi udara
9. Infeksi pernafasan
10. Infeksi parasit
11. Status sosioekonomi
12. Jumlah keluarga
13. Diet dan obat-obatan
14. Obesitas
a. Etiologi
Sampai saat ini etiologi dari asma bronchial belum diketahui. Berbagai teori
sudah diajukan, akan tetapi yang paling disepakati adalah adanya gangguan
parasimpatis (hiperaktivitas saraf kolinergik), gangguan Simpatis (blok pada
reseptor beta adrenergic dan hiperaktifitas reseptor alfa adrenergik).
2012 Page 59
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
Berdasarkan penyebabnya, asma bronkhial dapat diklasifikasikan menjadi 3
tipe, yaitu :
Ekstrinsik (alergik)
Ditandai dengan reaksi alergik yang disebabkan oleh faktor-faktor pencetus
yang spesifik, seperti debu, serbuk bunga, bulu binatang, obat-obatan
(antibiotic dan aspirin) dan spora jamur. Asma ekstrinsik sering dihubungkan
dengan adanya suatu predisposisi genetik terhadap alergi. Oleh karena itu jika
ada faktor-faktor pencetus spesifik seperti yang disebutkan di atas, maka akan
terjadi serangan asma ekstrinsik.
Intrinsik (non alergik)
Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap pencetus
yang tidak spesifik atau tidak diketahui, seperti udara dingin atau bisa juga
disebabkan oleh adanya infeksi saluran pernafasan dan emosi. Serangan asma
ini menjadi lebih berat dan sering sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat
berkembang menjadi bronkhitis kronik dan emfisema. Beberapa pasien akan
mengalami asma gabungan.
Asma gabungan
Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik dari
bentuk alergik dan non-alergik.
Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi timbulnya
serangan asma bronkhial.
Faktor Predisposisi Genetik.
Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui
bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan penyakit alergi
biasanya mempunyai keluarga dekat juga menderita penyakit alergi. Karena
adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkhial
jika terpapar dengan foktor pencetus. Selain itu hipersentifisitas saluran
pernafasannya juga bisa diturunkan.
Faktor presipitasi
– Alergen, dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan (debu, bulu binatang,
serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan polusi)
Ingestan, yang masuk melalui mulut (makanan dan obat-obatan)
2012 Page 60
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit (perhiasan, logam dan
jam tangan)
- Rangsangan Farmakologis
Obat yang paling sering berhubungan dengan fase akut asma adalah
aspirin (NSAIDs), zat warna seperti tartazin, antagonis ß-adrenergik, dan
senyawa sulfit. Tipe yang sensitif aspirin terutama pada orang dewasa,
walaupun terdapat juga pada anak-anak. Terdapat reaktivitas silang antara
aspirin dengan NSAIDs yang menginhibisi prostaglandin G/H sintase 1.
Pasien dengan sensitivitas terhadap aspirin dapat didesensitisasi dengan
pemberian aspirin harian, sehingga terjadi toleransi silang dengan NSAIDs
lainnya.
Antagonis ß-adrenergik pada individ dengan asma dapat menghambat
saluran napas dengan meningkatkan reaktivitas saluran napas dan harus
dihindari. Bahkan antagonis ß-adrenergik selektif beta 1 memiliki
kecenderungan tersebut dalam dosis yang lebih tinggi. Terdapat fakta bahwa
penggunaan lokal penghambat beta 1 pada mata untuk mengobati glaukoma
berhubungan dengan memburuknya asma.
- Senyawa sulfit, yang digunakan secara luas pada makanan dan industri
farmasi sebagai zat untuk sanitasi dan pengawet, dapat menimbulkan
penyumbatan saluran napas bagi orang yang sensitif. Paparan terjadi karena
memakan makanan dan obat-obatan yang mengandung zat-zat tersebut.
– Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma.
Atmosfir yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan
asma. Kadang-kadang serangan berhubungan dengan musim, seperti musim
hujan, musim kemarau, musim bunga. Hal ini berhubungan dengan arah angin
serbuk bunga dan debu.
– Stress
Stress/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga
bisa memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma
yang timbul harus segera diobati penderita asma yang mengalami
stress/gangguan emosi perlu diberi nasehat untuk menyelesaikan masalah
2012 Page 61
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
pribadinya. Karena jika stressnya belum diatasi maka gejala asmanya belum
bisa diobati.
– Lingkungan kerja
Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan asma. Hal
ini berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang yang bekerja di
laboratorium hewan, industri tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas. Gejala ini
membaik pada waktu libur atau cuti.
– Olahraga/ aktifitas jasmani yang berat
Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan
aktifitas jasmani atau olahraga yang berat. Lari cepat paling mudah
menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena aktifitas biasanya terjadi
segera setelah selesai aktifitas tersebut.
Atopi merupakan faktor resiko yang paling banyak dalam perkembangan asma. Asma
alergik seringkali dihubungkan dengan riwayat penyakit individu dan/atau keluarga
seperti rhinitis, urtikaria, dan eksim; dengan reaksi bengkak dan rasa terbakar pada
kulit terhadap injeksi ekstrak antigen dari udara secara intradermal; dengan
peningkatan kadar IgE dalam serum; dan/atau dengan respon positif terhadap tes
provokasi yang melibatkan inhalasi antigen spesifik.
Penderita asma tanpa riwayat alergi individu maupun keluarga, dengan tes kulit yang
negatif, dan dengan kadar IgE serum yang normal, yang oleh karena itu tidak dapat
dikelompokkan menurut mekanisme imunologis yang telah dijelaskan sebelumnya,
disebut asma idiosinkratik atau asma nonatopik. Pada umumnya, asma yang terjadi
pada usia anak-anak memiliki komponen alergik yang kuat, sedangkan asma yang
berkembang kemudian memiliki etiologi nonalergik atau campuran.
Hal-hal yang dapat meningkatkan hiperreaktivitas saluran napas (HSN) adalah :
a. Inflamasi saluran napas
Sel-sel inflamasi serta mediator kimia yang dikeluarkan pada proses inflamasi,
seperti histamine, prostaglandin, leukotrien, platelet activating factor (PAF),
bradikinin, tromboksin,dll. Akan memengaruhi organ sasaran sehingga menyebabkan
peningkatan permeabilitas vascular, edema saluran napas, infiltrasi sel-sel radang,
sekresi mucus dan fibrosis sel epitel dan akhirnya terjadilah hiperreaktivitas saluran
pernapasan.
2012 Page 62
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
b. Kerusakan Epitel
Salah satu konsekuensi inflamasi adalah kerusakan epitel. Kerusakan tersebut
akan meningkatkan penetrasi allergen, mediator inflamasi serta iritasi ujung-ujung
saraf otonom. Sel epitel bronkus sendiri mengandung mendiator yang bersifat
bronkodilator. Kerusakan sel epitel tersebut menyebabkan bronkokonstriksi lebih
mudah terjadi
c. Mekanisme neurologis
Pada pasien asma, terjadi peningkatan respon saraf parasimpatis
d. Gangguan intrinsik
Otot polos saluran napas dan hipertrofi otot polos diduga berpengaruh pada
HSN
e. Obstruksi saluran napas
a. Patofisiologi
Asma ditandai dengan kontraksi spastik dari otot polos bronkus yang
menyebabkan sukar bernafas. Penyebab yang umum adalah hipersensitivitas
bronkhioulus terhadap benda-benda asing di udara. Reaksi yang timbul pada asma
tipe alergi diduga terjadi dengan cara sebagai berikut : seorang yang alergi
mempunyai kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibody IgE abnormal
dalam jumlah besar dan antibodi ini menyebabkan reaksi alergi bila reaksi dengan
antigen spesifikasinya. Pada asma, antibody ini terutama melekat pada sel mast
yang terdapat pada interstisial paru yang berhubungan erat dengan brokhiolus dan
bronkhus kecil. Bila seseorang menghirup alergen maka antibody IgE orang
tersebut meningkat, alergen bereaksi dengan antibodi yang telah terlekat pada sel
mast dan menyebabkan sel ini akan mengeluarkan berbagai macam zat,
diantaranya histamin, zat anafilaksis yang bereaksi lambat (yang merupakan
leukotrient), faktor kemotaktik eosinofilik dan bradikinin.
Efek gabungan dari semua faktor-faktor ini akan menghasilkan adema lokal
pada dinding bronkhioulus kecil maupun sekresi mukus yang kental dalam lumen
2012 Page 63
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
bronkhioulus dan spasme otot polos bronkhiolus sehingga menyebabkan tahanan
saluran napas menjadi sangat meningkat.
Pada asma, diameter bronkiolus lebih berkurang selama ekspirasi daripada
selama inspirasi karena peningkatan tekanan dalam paru selama ekspirasi paksa
menekan bagian luar bronkiolus. Karena bronkiolus sudah tersumbat sebagian,
maka sumbatan selanjutnya adalah akibat dari tekanan eksternal yang
menimbulkan obstruksi berat terutama selama ekspirasi. Pada penderita asma
biasanya dapat melakukan inspirasi dengan baik dan adekuat, tetapi sekali-kali
melakukan ekspirasi. Hal ini menyebabkan dispnea. Kapasitas residu fungsional
dan volume residu paru menjadi sangat meningkat selama serangan asma akibat
kesukaran mengeluarkan udara ekspirasi dari paru. Hal ini bisa menyebabkan
barrel chest.
Hal ini mengakibatkan udara distal tempat terjadinya obstruksi terjebak
dan tidak dapat diekspirasi, dan terjadi peningkatan volume residu, kapasitas
reidu fungsional (KRF) dan pasien akan bernapas pada volume yang tinggi
mendekati kapasitas total paru (KTP). Keadaan hiperinflasi bertujuan agar saluran
napas tetap terbuka dan pertukaran gas berjalan lancer. Untuk mempertahankan
keadaan hiperinflasi tersebut diperlukan otot-otot bantu pernapasan.
Gangguan yang berupa obstruksi saluran npas dapat dilihat secara
obyektis secara obyektif dengan VEP1(volume ekspirasi paru detik pertama ) atau
APE ( Arus Puncak Ekspirasi ), sedangkan penurunan KVP ( Kapasitas Vital Paru)
menggambarkan derajat hiperinflasi paru. Gejala mengi menandakan ada
penyempitan di saluran napas besar, sedangkan batuk dan sesak lebih dominan
dibanding mengi.
Proses inflamasi kronis yang kompleks, melibatkan dinding saluran nafas
dengan mengakibatkan hambatan aliran udara dan peningkatan airway
responsivness, yang selanjutnya merupakan predisposisi penyempitan sluran
nafas sebagai respon terhadap berbagai stimuli. Karakteristik inflamasi saluran
nafas ditandai adanya peningkatan jumlah eosinofil teraktifasi, sel mast,
makrofag, dan limfosit T (terutama sub tipe Th2) pada mukosa saluran nafas,
yang disebut conductor of inflamation orchestra. Proses ini berlangsung terus
bahkan saat asma asymptomatik. Bersamaan dengan proses inflamasi kronik,
2012 Page 64
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
jejas pada epitel bronkus merangsang proses perbaikan yang berakibat pada
perubahan struktur dan fungsi yang dikenal sebagai remodelling. Inflamasi,
remodiling, dan perubahan kantrol saraf sluran nafas berperan dalam
eksaserbasi asma dan obstruksi aliran udara lebih permanen.
b. Klasifikasi
Derajat Gejala Gejala malam Faal
paru
Intermite
n
Gejala kurang dari 1x/minggu
Asimtomatik
Kurang dari 2 kali
dalam sebulan
APE >
80%
Mild
persistan
-Gejala lebih dari 1x/minggu tapi
kurang dari 1x/hari
-Serangan dapat menganggu
Aktivitas dan tidur
Lebih dari 2 kali
dalam sebulan
APE
>80%
Moderate
persistan
-Setiap hari,
-serangan 2 kali/seminggu, bisa
berahari-hari.
-menggunakan obat setiap hari
-Aktivitas & tidur terganggu
Lebih 1 kali dalam
seminggu
APE 60-
80%
Severe
persistan
- gejala Kontinyu
-Aktivitas terbatas
-sering serangan
Sering APE
<60%
STATUS
Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan
etiologi, berat penyakit dan pola keterbatasan
aliran udara. Klasifikasi asma berdasarkan berat
penyakit penting bagi pengobatan dan
perencanaan penatalaksanaan jangka panjang,
semakin berat asma semakin tinggi tingkat
pengobatan. Derajat asma
Gejala Fungsi Paru
I. Intermiten Siang hari < 2 kali per Variabilitas APE < 20%
2012 Page 65
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
minggu
Malam hari < 2 kali per
bulan
Serangan singkat
Tidak ada gejala antar
serangan
Intensitas serangan
bervariasi
VEP1 > 80% nilai
prediksi
APE > 80% nilai
terbaik
II. Persisten Ringan Siang hari > 2 kali per
minggu, tetapi < 1 kali
per hari
Malam hari > 2 kali per
bulan
Serangan dapat
mempengaruhi aktifitas
Variabilitas APE 20 -
30%
VEP1 > 80% nilai
prediksi
APE > 80% nilai
terbaik
III. Persisten Sedang Siang hari ada gejala
Malam hari > 1 kali per
minggu
Serangan
mempengaruhi aktifitas
Serangan > 2 kali per
minggu
Serangan berlangsung
berhari-hari
Sehari-hari
menggunakan inhalasi
β2-agonis short acting
Variabilitas APE > 30%
VEP1 60-80% nilai
prediksi
APE 60-80% nilai
terbaik
c. Gejala Klinis
Penyakit asma mempunyai manifestasi fisiologis berbentuk penyempitan yang
meluas pada saluran udara pernafasan yang dapat sembuh spontan atau sembuh
dengan terapi. Penyakit ini brsifat episodik dengan eksaserbasi akut yang diselingi
oleh periode tanpa gejala.
2012 Page 66
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
Keluhan utama penderita asma adalah sesak napas mendadak disertai inspirasi
yang lebih pendek dibandingkan dengan fase ekspirasi dan diikuti oleh bunyi
mengi (wheezing), batuk yang disertai serangan sesak napas yang kumat-kumatan.
Pada beberapa penderita asma keluhan tersebut dapat ringan, sedang atau berat
dan sesak napas penderita timbul mendadak, dirasakan makin lama makin
meningkat atau tiba-tiba menjadi berat. Hal ini sering terjadi terutama pada
penderita dengan rhinitis alergika atau radang saluran napas bagian atas.
Sedangkan pada sebagian besar penderita keluhan utama ialah sukar bernapas
disertai rasa tidak enak di daerah retrosternal.
f. Diagnosis banding
Bronkitis kronis
Ditandai dengan batuk kronik menegluarkan sputum 3 bulan dalam setahun
paling sedikti terjadi dua tahun. Gejala utama batuk disertai sputum biasanya
terjadi pada penderita > 35 tahun dan perokok berat. Gejalanya berupa batuk
di pagi hari, lama-lama disertai mengi, menurunya kemampuan kegiatan
jasmani pada stadium lanjut ditemukan sianosis dan tanda-tanda kor pumonal.
Emfisema paru
Sesak merupakan gejala utama emfisema, sedangkan batuk dan mengi jarang
menyertainya. Penderita biasanya kurus. Berbeda dengan asma, emfisema
biasanya tida ada fase remisi, penderita selalu merasa sesak pada saat
melakukan aktivitas. Pada pemeriksaan fisik di dapat dada seperti tong,
gerakan nafas terbatas, hipersonor, pekak hati menurun, suara vesikuler sangat
lemah. Pada foto dada di dapat adanya hiperinflasi.
Gagal jantung kiri
Gejala gagal jantung yang sering terjadi pada malam hari dikenal sebagai
paroksisimal dispneu. Penderita tiba-tiba terbangun pada malam hari karena
sesak, tetapi sesak berkurang jika penderita duduk. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan adanya kardiomegali dan udem paru.
Emboli paru
Hal-hal yang dapat menimbulkan emboli paru adalah gagal jantung dan
tromboflebitis dengan gejala sesak nafas, pasien terbatuk-batuk disertai darah,
nyeri pleura, keringat dingin, kejang, dan pingsang. Pada pemeriksaan fisik
didapat ortopnea, takikardi, gagal jantung kanan, pleural friction, gallop,
sianosis, dan hipertensi.
2012 Page 67
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
g. Diagnosis asma bronkial
Anamnesa
– Keluhan sesak nafas, mengi, dada terasa berat atau tertekan, batuk
berdahak yang tak kunjung sembuh, atau batuk malam hari.
– Semua keluhan biasanya bersifat episodik dan reversible.
– Mungkin ada riwayat keluarga dengan penyakit yang sama atau penyakit
alergi yang lain.
Pemeriksaan Fisik
– Keadaan umum : penderita tampak sesak nafas dan gelisah, penderita lebih
nyaman dalam posisi duduk.
– Jantung : pekak jantung mengecil, takikardi.
– Paru :
Inspeksi : dinding torak tampak mengembang, diafragma terdorong ke
bawah.
Auskultasi : terdengar wheezing (mengi), ekspirasi memanjang.
Perkusi : hipersonor
Palpasi : Vokal Fremitus kanan=kiri
- Pemeriksaan Penunjang :
a. Spirometri
Melihat respon saluran napas setelah pemakaian
bronkodilator sebelum dan sesudah pemakaian,peningkatan VEP1
atau KVP sebanyak 20 % menunjukkan diagnosis asma. Jika kurang
dari 20 % tidak berarti itu bukan asma, tapi kemungkinan itu
merupakan asma yang akan sembuh
b. Uji provokasi bronkus.
Menguji reaksi bronkus dengan berbai variabel
c. Pemeriksaan sputum
Eosinofil sangat karakterisitik untuk asma sedangkan neutrofil
sangat dominan pada bronchitis kronik. Selain untuk melihat adanya
eosinofil,Kristal Charcot-Leyden, dan Spiral Curcsmann,pemeriksaan
penting untuk melihat Aspergillus fumigatus
d. Pemeriksaan eosinofil total
2012 Page 68
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
Penting untuk melihat seberapa besar kebutuhan untuk pemakain
kortikosteroid
e. Uji kulit allergen
f. Pemeriksaan kadar IgE Total dan IgE spesifik dalam sputum
g. Foto dada
h. Analisis gas darah
i. Elektrokardiografi
Gambaran elektrokardiografi yang terjadi selama serangan dapat dibagi menjadi 3 bagian, dan disesuaikan dengan gambaran yang terjadi pada empisema paru yaitu :
Perubahan aksis jantung, yakni pada umumnya terjadi right axis
deviasi dan clock wise rotation.
Terdapatnya tanda-tanda hipertropi otot jantung, yakni terdapatnya
RBBB ( Right bundle branch block).
Tanda-tanda hopoksemia, yakni terdapatnya sinus tachycardia,
SVES, dan VES atau terjadinya depresi segmen ST negative.
j. Scanning paruDengan scanning paru melalui inhalasi dapat dipelajari bahwa
redistribusi udara selama serangan asma tidak menyeluruh pada paru-paru.
Pemeriksaan laboratorium
– Darah rutin didapat peningkatan eosinofil dan IgE
– Sputum didapat adanya eosinofil, spiral crushman, kristal charcot Leyden.
– Foto toraks dapat normal diluar serangan, hiperinflasi saat serangan,
adanya penyakit lain
– Faal paru (spirometri /peak flow meter) menilai berat obstruksi,
reversibilitas, variabilitas
Uji provokasi bronkus untuk membantu diagnosis
h. PrognosisAngka kematian akibat asma adalah kecil. Gambaran terakhir menunjukkan
kurang dari 5.000 kematian setiap tahun dari populasi beresiko yang berjumlah kira-
kira 10 juta. Angka kematian cenderung meningkat di pinggiran kota yang memiliki
fasilitas kesehatan terbatas.
2012 Page 69
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
Informasi mengenai perjalanan klinis asma menyatakan prognosis yang baik,
terutama pada penderita dengan penyakit asma ringan dan asma pada anak-anak.
Jumlah anak yang masih menderita asma 7 sampai 10 tahun setelah diagnosa awal
bervariasi antara 26-78%, rata-rata 46 %, persentasi anak-anak yang berlanjut
dengan penyakit yang berat relatif rendah yaitu 6-19 %.
Walaupun ada laporan pasien asma mengalami perubahan ireversibel pada
fungsi paru-paru, pasien-pasien ini biasanya memiliki stimulus komorbid seperti
merokok. Walaupun tidak diobati, penderita asma tidak berkembang dari bentuk
ringan menjadi bentuk berat selama perjalanan waktu. Perjalanan kliniknya terdiri
dari eksaserbasi dan remisi. Beberapa penelitian mengatakan bahwa remisi spontan
terjadi pada kira-kira 20 % pada pasien yang menderita penyakit asma pada saat
sudah dewasa, dan kira-kira 40 % dapat diharapkan membaik dengan serangan yang
lebih ringan dan lebih jarang saat pasien menjadi semakin tua.
i. Pencegahan
Serangan eksaserbasi akut asma dapat dicegah dengan menghindari faktor
pencetus asma yang tergantung pada penyebab asma masing-masing pasien.
Identifikasi dan penghindaran alergen di rumah dan tempat kerja harus sebisa
mungkin dilakukan. Penghindaran yang benar-benar terhadap paparan tungau debu
rumah, hewan-hewan peliharaan, dan faktor pekerjaan berhubungan dengan
perbaikan nyata pada gejala-gejala pernapasan, fungsi paru-paru dan
hiperresponsivitas saluran napas. Membuang hewan peliharaan, terutama kucing,
dari dalam rumah akan sangat efektif bila disertai pembersihan dan pencucian
rumah untuk menghilangkan alergen yang mungkin tertinggal yang bisa tetap berada
pada konsentrasi yang cukup untuk merangsang asma dalam waktu yang lama.
j. TerapiTerapi medikasi asma dibagi menjadi 2 kategori, yaitu quick relief dan medikasi kontrol jangka panjang.
Quick relief :
- mengatasi eksaserbasi akut asma
- Beta agonis aksi pendek, antikolinergik dan kortikosteroid sistemik.
- Pemulihan cepat dari eksaserbasi akut
Medikasi kontrol jangka panjang :
2012 Page 70
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
- kortikosteroid inhalasi
- cromolyn sodium
- nedocromil
- beta agonis jangka panjang
- methylxantine
- leukotrien antagonis
Bronkodilator
Merupakan pengobatan simptomatis dari bronkospasme pada eksaserbasi akut asma/
kontrol gejala jangka panjang : Albuterol, levalbuterol, salmeterol, ipratropium (atrovent),
teofilin.
Antagonis reseptor leukotrien
Antagonis direk dari mediator yang menyebabkan inflamasi jalan napas pada asma.
Alternatif pengobatan jangka panjang selain kortikosteroid inhalasi dosis rendah :
montelukast
Kortikosteroid
Obat pilihan untuk pengobatan asma kronis dan pencegahan eksaserbasi akut asma.
Beberapa kortikosteroid inhalasi yang digunakan pada asma : beclomethasone, budenoside,
turbuhaler, flunisolide, fluticasone, triamcinolone.
Mast cell stabilizer
Mencegah pelepasan mediator dari sel mast yang menyebabkan inflamasi jalan napas
dan bronkospasme. Diindikasikan untuk terapi rumatan untuk asma ringan hingga
moderat :cromolyn
k. Komplikasi
Pneumothorax
Pneumomediastinum dan empysema sub kutis
Atelektaksis
Aspergilosis
Bronkopulmoner
Alergik
Gagal nafas
Bronkitis
2012 Page 71
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
l. Pengobatan
Sampai sejauh ini belum ada obat yang dapat menyembuhkan asma, karena itu
dipakai istilah terkendali dalam pengobatan asma. Suatu asma dikatakan terkendali jika,
gejala asma kronik minimal, termasuk gejala asma malam, serangan eksaserbasi akut
minimal, kebutuhan agonis beta 2 sangat minimal, tidak ada keterbatasan
aktivitas,variasi APE kurang dari 20 %, nilai APE normal, efek samping obat minimal,
ridak memerlukan pertolongan gawat darurat.
Berikut ini adalah metode pengobatan berdasarkan system anak tangga
a. Asma intermitten
Gambaran klini sebelum pengobatan:
Gejala intermitten ( < satu kali seminggu)
Serangan singkat ( beberapa jam sampai hari )
Gejala asma < 2x sebulan
Nilai APE dan VEP1 > 80 % dari nilai prediksi, variabilitas < 20 %
Obat yang dipakai agonis beta 2 hirup, obat lain tergntung serangan bila berat tambah
kortikosteroid oral
b. Asma persisten ringan
Gambaran klini sebelum pengobatan:
Gejala > satu kali seminggu, tapi < 1x perhari
Serangan menggangu aktivitas dan tidur
Gejala asma >2x sebulan
Nilai APE dan VEP1 > 80 % dari nilai prediksi, variabilitas 20-30 %
Obat yang dipakai tiap hari adalah obat pencegah,agonis beta 2 hirup bila
perlu.
c. Asma persisten sedang
Gambaran klinis sebelum pengobatan:
Gejala setiap hari
Serangan menggangu aktivitas dan tidur
Gejala asma >1x seminggu
2012 Page 72
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
Nilai APE dan VEP1 60-80 % dari nilai prediksi, variabilitas > 30 %
Obat yang dipakai setiap hari obat pencegah (kortikosteroid hirup), bronkodilator
kerja jangka panjang.
d. Asma persisten berat
Gambaran klinis sebelum pengobatan:
Gejala terus menerus, sering mendapat serangan.
Gejala asma malam sering
Aktivitas fisik terbatas
Serangan menggangu aktivitas dan tidur
Gejala asma >2x sebulan
Nilai APE dan VEP1 < 80 % dari nilai prediksi, variabilitas >30 %
Obat yang dipakai tiap hari adalah obat pencegah, dosis tinggi, korikosteroid hirup,
bronkodilator kerja panjang, kortikosteroid kerja panjang
Pengobatan dapat juga dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut :
1. Mencegah ikatan alergen dengan IgE.
a. Menghindari alergen
b. Hiposensitisasi
Dosis alergen ditingkatkan → disuntikkan dengan dosis kecil
→merangsang tubuh membentuk IgG → mencegah alergen berikatan
dengan IgE.
2. Mencegah pelepasan mediator.
a. Pemberian natrium kromolin (hanya untuk terapi pemeliharaan tidak
pada saat spasme otot)
b. Golongan agonis beta 2
c. Golongan teofilin
3. Melebarkan saluran nafas dengan broncodilator
a. Simpatomimetik :
Golongan agonis beta 2 contoh : salbutanol, terbutalin, fenoterol,
procaterol.
2012 Page 73
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
Diberikan secara inhalasi melalui MDI (metere dosed inhaler) dan
nebulizer
Epinefrin
Pengganti golongan beta 2 pada serangan asma yang berat
b. Aminofilin :
Dipakai sewaktu serangan asma akut
c. Kortikosteroid :
Melebarkan saluran napas padasaat asma akut atau terapi pemeliharaan
d. Antikolinergik (ipatropium bromide)
Sebagai suplemen bronkodilator agonis beta 2
4. Menguasai respon dengan jalan meredam inflamasi saluran napas
ASMA CARDIACA gaa ada bahan dr kelp F
Gaa sesuai mapping
OTITIS gaa ada bahan dr kelp G
H. STATUS ASMATIKUS
a. Definisi
2012 Page 74
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
Status asmatikus adalah asma yang berat dan persisten yang tidak berespons terhadap terapi konvensional. Serangan dapat berlangsung lebih dari 24 jam. Infeksi, ansietas, penggunaan tranquiliser berlebihan, penyalahgunaan nebulizer, dehidrasi, peningkatan blok adrenergic, dan iritan nonspesifik dapat menunjang episode ini. Epidsode akut mungkin dicetuskan oleh hipersensitivitas terhadap penisilin.
b. Etiologi
Banyak faktor pencetus status asmatikus yakni asma berat. Status asmatikus diawali serangan asam biasa, yang dalam perjalannya kemudian resisten terhadap bronkudilator jadi kebanyakan status asmatikus ditimbulkan oleh faktor-faktor pencetus yang biasa seperti :
1. Infeksi alat pertnafasan
Bakterial
Nonbakterial
2. Alergen
o Inhalan : debu rumah, tungau, tepung sari, serpihan binatang, bulu,jamur.
o Ingestan : susu sapi, telur, ikan, biah-biahan, biji-bijian dan sebagainya.
3. Kegiatan Jasmani
Terutam lari : diperberat bila cuaca dingin
4. Keadaan emosi
o Emosi yang meluap
o Marah, takut
o Tertawa/menagis
5. Konflik dalam keluarga
Ketegangan di rumah
Proteksi yang berlebihan
6. Cuaca
o Perubahan cuaca
o Kabut, angin
o Cuaca dingin
7. Lain-lain.
Aspirin
Anti biotik dan sebagainya
2012 Page 75
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
c. Patofisiologi
Karakteristik dasar dari asma ( konstriksi otot polos bronchial, pembengkakan mukosa bronchial, dan pengentalan sekresi ) mengurangi diameter bronchial dan nyata pada status asmatikus. Abnormalitas ventilasi – perfusi yang mengakibatkan hipoksemia dan respirasi alkalosis pada awalnya, diikuti oleh respiratori asidosis.
Terhadap penurunan PaO2 dan respirasi alkalosis dengan penurunan PaCO2 dan peningkatan pH. Dengan meningkatnya keparahan status asmatikus, PaCO2 meningkat dan pH turun, mencerminkan respirasi asidosis.
d. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik status asmatikus adalah sama dengan manifestasi yang terdapat pada asma hebat – pernapasan labored, perpanjangan ekshalasi, perbesaran vena leher, mengi. Namun, lamanya mengi tidak mengindikasikan keparahan serangan. Dengan makin besarnya obstruksi, mengi dapat hilang, yang sering kali menjadi pertanda bahaya gagal pernapasan.
Mengenal suatu serangan suatu asma akut pada dasarnya sangat mudah. Dengan pemeriksaan klinis saja diagnosis sudah dapat ditegakkan, yaitu dengan adanya sesak napas mendadak disertai bising mengi yang terdengar diseluruh lapangan paru. Namun yang sangat penting dalam upaya penganggulangannya adalah menentukan derajat serangan terutama menentukan apakah asam tersebut termasuk dalam serangan asma yang berat.
Asma akut berat yang mengancam jiwa terutama terjadi pada penderita usia pertengahan atau lanjut, menderita asma yang lama sekitar 10 tahun, pernah mengalami serangan asma akut berat sebelumnya dan menggunakan terapi steroid jangka panjang. Asma akut berat yang potensial mengancam jiwa, mempuyai tanda dan gejala sebagai berikut.
a. Bising mengi dan sesak napas berat sehingga tidak mampu menyelesaikan satu
kalimat dengan sekali napas, atau kesulitan dalam bergerak.
b. Frekuensi napas lebih dari 25 x / menit
c. Denyut nadi lebih dari 110x/menit
d. Arus puncak ekspirasi ( APE ) kurang dari 50 % nilai dugaan atau nilai
tertinggi yang pernah dicapai atau kurang dari 120 lt/menit
e. Penurunan tekanan darah sistolik pada waktu inspirasi. Pulsus paradoksus,
lebih dari 10 mmHg.
2012 Page 76
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
e. Evaluasi Diagnostik1. Pemeriksaan fungsi paru
Pemeriksaan fungsi paru adalah cara yang paling akurat dalam mengkaji obstruksi jalan napas akut. Fungsi paru yang rendah mengakibatkan dan menyimpangkan gas darah ( respirasi asidosis ), mungkin menandakan bahwa pasien menjadi lelah dan akan membutuhkan ventilasi mekanis, adalah criteria lain yang menandakan kebutuhan akan perawatan di rumah sakit. Meskipun kebanyakan pasien tidak membutuhkan ventilasi mekanis, tindakan ini digunakan bila pasien dalam keadaan gagal napas atau pada mereka yang kelelahan dan yang terlalu letih oleh upaya bernapas atau mereka yang kondisinya tidak berespons terhadap pengobatan awal.
2. Pemeriksaan gas darah arteri
Dilakukan jika pasien tidak mampu melakukan maneuver fungsi pernapasan karena obstruksi berat atau keletihan, atau bila pasien tidak berespon terhadap tindakan. Respirasi alkalosis ( CO2 rendah ) adalah temuan yang paling umum pada pasien asmatik. Peningkatan PCO2 ( ke kadar normal atau kadar yang menandakan respirasi asidosis ) seringkali merupakan tanda bahaya serangan gagal napas. Adanya hipoksia berat, PaO2 < 60 mmHg serta nilai pH darah rendah.
3. Arus puncak ekspirasi
APE mudah diperiksa dengan alat yang sederhana, flowmeter dan merupakan data yang objektif dalam menentukan derajat beratnya penyakit. Dinyatakan dalam presentase dari nilai dungaan atau nilai tertinggi yang pernah dicapai. Apabila kedua nilai itu tidak diketahui dilihat nilai mutlak saat pemeriksaan.
4. Pemeriksaan foto thoraks
Pemeriksaan ini terutama dilakukan untuk melihat hal – hal yang ikut memperburuk atau komplikasi asma akut yang perlu juga mendapat penangan seperti atelektasis, pneumonia, dan pneumothoraks. Pada serangan asma berat gambaran radiologis thoraks memperlihatkan suatu hiperlusensi, pelebaran ruang interkostal dan diagfragma yang meurun. Semua gambaran ini akan hilang seiring dengan hilangnya serangan asma tersebut.
5. Elektrokardiografi
Tanda – tanda abnormalitas sementara dan refersible setelah terjadi perbaikanklinis adalah gelombang P meninggi ( P pulmonal ), takikardi dengan atau tanpa aritmea supraventrikuler, tanda – tanda hipertrofi ventrikel kanan dan defiasi aksis ke kanan.
f. Penatalaksanaan
Semua penderita yang dirawat inap di rumah sakit memperlihatkan keadaan obstruktif jalan napas yang berat. Perhatian khusus harus diberikan dalam
2012 Page 77
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
perawatan, sedapat mungkin dirawat oleh dokter dan perawat yang berpengalaman. Pemantauan dilakukan secara tepat berpedoman secara klinis, uji faal paru ( APE ) untuk dapat menilai respon pengobatan apakah membaik atau justru memburuk. Perburukan mungkin saja terjadi oleh karena konstriksi bronkus yang lebih hebat lagi maupun sebagai akibat terjadinya komplikasiseperti infeksi, pneumothoraks, pneumomediastinum yang sudah tentu memerlukan pengobatan lainnya. Efek samping obat yang berbahaya dapat terjadi pada pemberian drips aminofilin. Dokter yang merawat harus mampu dengan akurat menentukan kapan penderita meski dikirim ke unit perawatan intensif.
Penderita status asmatikus yang dirawat inap di ruangan, setelah dikirim dari UGD dilakukan penatalaksaanan sebagai berikut :
Pemberian terapi oksigen dilanjutkan
Terapi oksigen dilakukan megnatasi dispena, sianosis, danhipoksemia. Oksigen aliran rendah yang dilembabkan baik dengan masker Venturi atau kateter hidung diberikan. Aliran oksigen yang diberikan didasarkan pada nilai – nilai gas darah. PaO2 dipertahankan antara 65 dan 85 mmHg. Pemberian sedative merupakan kontraindikasi. Jika tidak terdapat respons terhadap pengobatan berulang, dibutuhkan perawatan di rumah sakit.
Agonis β2
Dilanjutkan dengan pemberian inhalasi nebulasi 1 dosis tiap jam, kemudian dapat diperjarang pemberiannya setiap 4 jam bila sudah ada perbaikan yang jelas. Sebagian alternative lain dapat diberikan dalam bentuk inhalasi dengan nebuhaler / volumatic atau secara injeksi. Bila terjadi perburukan, diberikan drips salbutamol atau terbutalin.
Aminofilin
Diberikan melalui infuse / drip dengan dosis 0,5 – 0,9 mg/kg BB / jam. Pemberian per drip didahului dengan pemberian secara bolus apabila belum diberikan. Dosis drip aminofilin direndahkan pada penderita dengan penyakit hati, gagal jantung, atau bila penderita menggunakan simetidin, siprofloksasin atau eritromisin. Dosis tinggi diberikan pada perokok. Gejala toksik pemberian aminofilin perlu diperhatikan. Bila terjadi mual, muntah, atau anoreksia dosis harus diturunkan. Bila terjadi konfulsi, aritmia jantung drip aminofilin segera dihentikan karena terjadi gejala toksik yang berbahaya.
Kortikosteroid
Kortikosteroid dosis tinggi intraveni diberikan setiap 2 – 8 jam tergantung beratnya keadaan serta kecepatan respon. Preparat pilihan adalah hidrokortison 200 – 400 mg dengan dosis keseluruhan 1 – 4 gr / 24 jam. Sediaan yang lain dapat juga diberikan sebagai alternative adalah triamsiolon 40 – 80 mg, dexamethason / betamethason 5 – 10 mg. bila tidak tersedia kortikosteroid
2012 Page 78
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
intravena dapat diberikan kortikosteroid per oral yaitu predmison atau predmisolon 30 – 60 mg/ hari.
Antikolonergik
Iptropium bromide dapt diberikan baik sendiri maupun dalam kombinasi dengan agonis β2 secara inhalasi nebulisasi terutama penambahan – penambahan ini tidak diperlukan bila pemberian agonis β2 sudah memberikan hasil yang baik.
Pengobatan lainnya
a. Hidrasi dan keseimbangan elektrolit
Dehidrasi hendaknya dinilai secara klinis, perlu juga pemeriksaan elektrolit serum, dan penilaian adanya asidosis metabolic. Ringer laktat dapat diberikan sebagai terapi awal untuk dehidrasi dan pada keadaan asidosis metabolic diberikan Natrium Bikarbonat.
b. Mukolitik dan ekpetorans
Walaupun manfaatnya diragukan pada penderita dengan obstruksi jalan berat ekspektorans seperti obat batuk hitam dan gliseril guaikolat dapat diberikan, demikian juga mukolitik bromeksin maupun N-asetilsistein.
c. Fisioterapi dada
Drainase postural, fibrasi dan perkusi serta teknik fisioterapi lainnya hanya dilakukan pada penderita hipersekresi mucus sebagai penyebab utama eksaserbasi akut yang terjadi.
d. Antibiotic
Diberikan kalau jelas ada tanda – tanda infeksi seperti demam, sputum purulent dengan neutrofil leukositosis.
e. Sedasi dan antihistamin
Obat – obat sedative merupakan indikasi kontra, kecuali di ruang perawatan intensif. Sedangkan antihistamin tidak terbukti bermanfaat dalam pengobatan asma akut berat malahan dapat menyebabkan pengeringan dahak yang mengakibatkan sumbatan bronkus.
Terapi serangan asma akut
Berat
ringannya
serangan
Terapi Lokasi
Ringan Terbaik : agonis beta 2 inhalasi diulang setia 1 jam
Di rumah
2012 Page 79
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
Alternatif : agonis beta 2 oral 3 X 2
mg
Sedang Terbaik : oksigen 2-4 liter/menit dan agonis beta 2 inhalasi
Alternatif : agonis beta 2
IM/adrenalin subkutan. Aminofilin 5-
6mg/kgbb
- Puskesmas
- Klinik rawat jalan
- IGD
- Praktek dokter umum
- Rawat inap jika tidak
ada respons dalam 4 jam.
Berat Terbaik :
- Oksigen 2-4 liter/menit
- Agonis beta 2 nebulasi diulang s/d 3
kali dalam 1 jam pertama
- Aminofilin IV dan infuse
- Steroid IV diulang tiap 8 jam
- IGD
- Rawat inap apabila
dalam 3 jam belum ada
perbaikan
- Pertimbangkan masuk
ICU jika keadaan
memburuk progresif.
Mengancam jiwa
Terbaik
- Lanjutkan terapi sebelumnya
- Pertimbangkan intubasi dan
ventilasi mekanik
ICU
Terapi Edukasi kepada pasien/keluarga bertujuan untuk :
o Meningkatkan pemahaman (mengenai penyakit asma secara umum
dan pola penyakit asma sendiri)
o Meningkatkan keterampilan (kemampuan dalam penanganan asma
sendiri/asma mandiri)
o Membantu pasien agar dapat melakukan penatalaksanaan dan
mengontrol asma
g. Komplikasi
Komplikasi terjadi akibat :1. Keterlambatan penanganan.2. Penanganan yang tidak adekuat.
2012 Page 80
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
Komplikasi yang mungkin terjadi adalah :1.Akut :- Dehidrasi- Gagal nafas- Infeksi saluran nafas
2. Kronis :- Kor-pulmonale- PPO kronis- Pneumotorak.
- Pada umumnya bila segera ditangani dengan adekuat pronosa adalah baik.- Asma karena faktor imunologi (faktor ekstrinsik) yang muncul semasa kecil prognosanya lebih baik dari pada yang muncul sesudah dewasa.- Angka kematian meningkat bila tidak ada fasilitas kesehatan yang memadai.
h. Prognosis
Tergantung pada tipe awal : manifestasi alergik mungkin akan berkurang
dengan bertambahnya usia.
Pengobatan diantara waktu seranga sering mencegah seranga akut.
Status asmatikus tetap merupakan sindrom yang mengancam jiwa pasien.
i. Pencegahan
Menjauhi alergen, bila perlu desensitisasi
Menghindari kelelahan
Menghindari stress psikis
Mencegah/mengobati ISPA sedini mungkin
Olahraga renang, senam asma
I. POLIP NASI
2012 Page 81
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
DEFINISI
Polip nasi ialah massa lunak yang bertangkai di dalam rongga hidung yang terjadi
akibat inflamasi mukosa. Permukaannya licin, berwarna putih keabu-abuan dan agak
bening karena mengandung banyak cairan. Bentuknya dapat bulat atau lonjong, tunggal
atau multipel, unilateral atau bilateral. Polip dapat timbul pada penderita laki-laki
maupun perempuan, dari usia anak-anak sampai usia lanjut. Bila ada polip pada anak di
bawah usia 2 tahun, harus disingkirkan kemungkinan meningokel atau
meningoensefalokel.
Dulu diduga predisposisi timbulnya polip nasi ialah adanya rinitis alergi atau penyakit
atopi, tetapi makin banyak penelitian yang tidak mendukung teori ini dan para ahli
sampai saat ini menyatakan bahwa etiologi polip nasi masih belum diketahui dengan
pasti.
Polip nasi merupakan kelainan mukosa hidung berupa massa lunak yang bertangkai,
berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabuan, dengan permukaan licin dan agak
bening karena mengandung banyak cairan. Polip nasi bukan merupakan penyakit
tersendiri tapi merupakan manifestasi klinik dari berbagai macam penyakit dan sering
dihubungkan dengan sinusitis, rhinitis alergi, fibrosis kistik dan asma.
Polip yang multipel dapat timbul pada anak-anak dengan sinusitis kronik, rhinitis
alergi, fibrosis kistik atau sinuisitis jamur alergi. Polip sangat bervariasi pada setiap
individu, polip dapat berupa polip antro-koanal, polip jinak yang besar ataupun polip
multipel yang dapat merupakan lesi jinak atau merupakan suatu keganasan seperti:
glioma, hemangioma, papiloma, limfoma, neuroblastoma, sarcoma, karsinoma
nasofaring dan papiloma inverted.
Kita harus mewaspadai setiap anak dengan polip jinak yang multipel yang
dihubungkan dengan fibrosis kistik dan asma.
Polip yang paling sering dibahas adalah jinak lesi hidung semitransparan (lihat
gambar di bawah) yang timbul dari mukosa rongga hidung atau dari satu atau lebih dari
sinus paranasal, sering pada saluran keluar dari sinus.
2012 Page 82
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
Kaku endoskopik pandangan pandangan hidung kiri, rongga endoskopi shRigid dari
rongga hidung kiri, menunjukkan septum di sebelah kiri. Polip dengan beberapa darah dan
perdarahan berada di atas mereka di bagian tengah. Tepi putih 01:00-04:00 menunjukkan
depan hidung dinding lateral. Polip menutupi turbinate inferior, yang sebagian terlihat
pada 4 dan 5 pagi.
Endoskopi pandangan rongga hidung kiri, menunjukkan pandangan Endoskopi dari
rongga hidung kiri, menunjukkan polip menonjol dari proses uncinate. The turbinate
tengah adalah ke kiri. Sebuah hisap terlihat di atas bagian inferior proses uncinate dan
bagian inferior dari polip. Dinding nasal lateral adalah di paling kanan.
Polip ini langsung di pusat dan pucat, berkilau, dan putih. Endoskopi pandangan
meatus tengah kiri. Pandangan sepEndoscopic dari meatus tengah kiri. Septum adalah di
paling kiri. The turbinate tengah adalah sebelah septum di sebelah kiri. A, besar berkilau,
2012 Page 83
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
polip tembus terlihat di tengah layar berikutnya ke turbinate tengah. Dinding nasal lateral
adalah di sisi kanan layar. The turbinate rendah nub posterior adalah di sudut kanan
bawah.
Beberapa polip dapat terjadi pada anak-anak dengan sinusitis kronis, rhinitis alergi, cystic
fibrosis (CF), atau sinusitis jamur alergi (AFS). Sebuah polip individu dapat menjadi polip
antral-choanal, polip besar jinak, atau tumor jinak atau ganas (misalnya, encephaloceles,
glioma, hemangioma, papillomas, remaja angiofibromas nasofaring, rhabdomyosarcoma,
limfoma, neuroblastoma, sarkoma, Chordoma, karsinoma nasofaring, papiloma pembalik).
Mengevaluasi semua anak dengan polyposis hidung jinak ganda untuk CF dan asma.
EPIDEMIOLOGI
Di Amerika insiden polip nasi pada anak adalah 0,1%, namun insiden ini
meningkat pada anak-anak dengan fibrosis kistik yaitu 6-48%.
Insiden pada orang dewasa adalah 1-4% dengan rentang 0,2-28%. Insiden di
seluruh dunia tidak jauh berbeda dengan insiden di Amerika
Polip nasi terjadi pada semua ras dan kelas ekonomi. Walaupun ratio pried an
wanita pada dewasa 2-4: 1, ratio pada anak – anak tidak dilaporkan. Dilaporkan
prevalensinya sebanding dengan pasien dengan asma.
Angka mortalitas polip nasi tidaklah signifikan, namun polip nasi dihubungkan
dengan turunnya kualitas hidup seseorang. Tidak ada perbedaan insiden polip nasi
yang nyata diantara
2012 Page 84
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
bangsa-bangsa di dunia dan diantara jenis kelamin. Polip multipel yang jinak
biasanya timbul setelah usia 20 tahun dan lebih sering pada usia diatas 40 tahun. Polip
nasi jarang ditemukan pada anak usia dibawah 10 tahun
HISTOPATOLOGI
Secara makroskopik polip merupakan massa
dengan permukaan licin, berbentuk bulat atau
lonjong, berwarna pucat keabu-abuan, lobular,
dapat tunggal atau multipel dan tidak sensitif (bila
ditekan/ditusuk tidak terasa sakit). Warna polip
yang pucat tersebut disebabkan oleh sedikitnya
aliran darah ke polip. Bila terjadi iritasi kronis atau
proses peradangan warna polip dapat berubah
menjadi kemerah-merahan dan polip yang sudah menahun warnanya dapat menjadi
kekuning-kuningan karena banyak mengandung jaringan ikat.
Tempat asal tumbuhnya polip terutama dari tempat yang sempit di bagian atas
hidung, di bagian lateral konka media dan sekitar muara sinus maksila dan sinus
etmoid. Di tempat-tempat ini mukosa hidung saling berdekatan. Bila ada fasilitas
pemeriksaan dengan endoskop, mungkin tempat asal tangkai polip dapat dilihat. Dari
penelitian Stammberger didapati 80% polip nasi berasal dari celah antara prosesus
unsinatus, konka media dan infundibulum.
Ada polip yang tumbuh ke arah belakang dan membesar di nasofaring, disebut
polip koana. Polip koana kebanyakan berasal dari dalam sinus maksila dan disebut
juga polip antro-koana. Menurut Stammberger polip antrokoana biasanya berasal dari
kista yang terdapat pada dinding sinus maksila. Ada juga sebagian kecil polip koana
yang berasal dari sinus etmoid posterior atau resesus sfenoetmoid.
Berdasarkan histologisnya terdapat 4 tipe dari polip nasi:
a. Eosinofilik edematous Tipe ini merupakan jenis yang paling banyak ditemui yang
meliputi kira-kira 85% kasus. Tipe ini ditandai dengan adanya stroma yang edema,
2012 Page 85
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
peningkatan sel goblet dalam jumlah normal, jumlah eosinofil yang meningkat tinggi,
sel mast dalam stroma, dan penebalan membran basement.
b. Polip inflamasi kronik Tipe ini hanya terdapat kurang dari 10% kasus polip nasi. Tipe
ini ditandai dengan tidak ditemukannya edema stroma dan penurunan jumlah dari sel
goblet. Penebalan dari membran basement tidak nyata. Tanda dari respon inflamasi
mungkin dapat ditemukan walaupun yang dominan adalah limfosit. Stroma terdiri
atas fibroblas.
c. Polip dengan hiperplasia dari glandula seromusinous. Tipe ini hanya terdapat kurang
dari 5% dari seluruh kasus. Gambaran utama dari tipe ini adalah adanya glandula dan
duktus dalam jumlah yang banyak.
d. Polip dengan atipia stromal Tipe ini merupakan jenis yang jarang ditemui dan dapat
mengalami misdiagnosis dengan neoplasma. Sel stroma abnormal atau menunjukkan
gambaran atipikal, tetapi tidak memenuhi syarat untuk disebut sebagai suatu
neoplasma.2
Pada polip nasi, tapi peningkatan IgE merupakan jenis yang paling tinggi
ditemukan bahkan apabila dibandingkan dengan tonsil dan serum sekalipun. Kadar
IgG, IgA, IgM terdapat dalam jumlah bervariasi, dimana peningkatan jumlah
memperlihatkan adanya infeksi pada saluran napas.
Beberapa mediator inflamasi juga dapat ditemukan di dalam polip. Histamin
merupakan mediator terbesar yang konsentrasinya di dalam stroma polip 100-1000
konsentrasi serum. Mediator kimia lain yang ikut dalam patogenesis dari nasal polip
adalah Gamma Interferon (IFN-γ) dan Tumour Growth Factor β (TGF-β). IFN-γ
menyebabkan migrasi dan aktivasi eosinofil yang melalui pelepasan toksiknya
bertanggungjawab atas kerusakan epitel dan sintesis kolagen oleh fibroblas . TGF-β
yang umumnya tidak ditemukan dalam mukosa normal merupakan faktor paling kuat
dalam menarik fibroblas dan meransang sintesis matrik ekstraseluler. Peningkatan
mediator ini pada akhirnya akan merusak mukosa rinosinusal yang akan
menyebabkan peningkatan permeabilitas terhadap natrium sehingga mencetuskan
terjadinya edema submukosa pada polip nasi.
ETIOLOGI
2012 Page 86
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
Polip hidung biasanya terbentuk sebagai akibat reaksi hipersensitif atau reaksi
alergi pada mukosa hidung. Peranan infeksi pada pembentukan polip hidung belum
diketahui dengan pasti tetapi ada keragu-raguan bahwa infeksi dalam hidung atau
sinus paranasal seringkali ditemukan bersamaan dengan adanya polip. Polip berasal
dari pembengkakan lapisan permukaan mukosa hidung atau sinus, yang kemudian
menonjol dan turun ke dalam rongga hidung oleh gaya berat. Polip banyak
mengandung cairan interseluler dan sel radang (neutrofil dan eosinofil) dan tidak
mempunyai ujung saraf atau pembuluh darah. Polip biasanya ditemukan pada orang
dewasa dan jarang pada anak – anak. Pada anak – anak, polip mungkin merupakan
gejala dari kistik fibrosis.
Yang dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya polip antara lain :
Faktor- faktor predisposisi
Setiap kondisi yang memicu peradangan kronis di saluran hidung atau sinus,
seperti infeksi atau alergi, dapat meningkatkan resiko terkena polip hidung.
Kondisi sering dikaitkan dengan faktor resiko terbentuknya polip hidung antara
lain:
Asma
Asma merupakan penyakit yang menyebabkan peradangan
saluran napas secara keseluruhan dan penyempitan
Asma yang dimulai pada saat usia dewasa , dimana sekitar 20-
40% orang dengan polip hidung juga memiliki asma.
Rhinitis alergi
Rhinitis alergi adalah pilek yang disebabkan oleh reaksi alergi
dimana merupakan penyakit inflamasi yang disebabkan oleh
reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya telah
tersensitasi dengan alergen yang sama.
Tanda dan gejala rinitis alergi sangat beragam mulai dari hidung,
mata bahkan sampai ke telinga dan tenggorokan. Gejala dan
tanda pada hidung seperti hidung mengeluarkan air/ingus
(rinore), hidung tersumbat, bersin-bersin, gatal pada hidung,
berkurangnya indera penciuman, Gejala dan tanda pada mata
seperti gatal pada mata, mata kemerahan, bengkak dan
berwarna biru kegelapan pada kulit di bawah mata yang disebut
2012 Page 87
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
dengan istilah allergic shiners. Gejala dan tanda pada telinga dan
tenggorokan seperti nyeri tenggorokan, suara serak, gatal pada
tenggorokan atau telinga dan bengkak pada telinga
Cystic fibrosis
Cystic fibrosis merupakan suatu kelainan genetik yang
diturunkan secara autosomal resesif yang menyebabkan
produksi dan sekresi dari mukus dan lendir yang abnormal,
lengket, cair dan tebal dari membran mukosa hidung dan sinus.
Produksi mukus yang abnormal ini akan menyebabkan
mudahnya terjadinya infeksi oleh bakteri sehingga dapat
menimbulkan peradangan atau inflamasi.
Penyakit ini bersifat resesif, sehingga apabila kedua orang tua
merupakan carier (pembawa) gen penyakit ini, maka satu dari
empat anak mereka kemungkinan dapat menderita cystic
fibrosis.
Sekitar 25% orang dengan cystic fibrosis kemungkinan
menderita polip hidung.
Rhinosinusitis Kronis
Rhinosinusitis Kronis merupakan suatu proses peradangan yang
melibatkan satu atau lebih sinus paranasal yang biasanya terjadi
setelah reaksi alergi atau infeksi virus pernapasan atas. Dalam
beberapa kasus, rhinosinusitis dapat terjadi karena adanya
peningkatan produksi bakteri pada permukaan rongga sinus.
Gejala penyakit ini dapat berupa rasa sakit pada wajah terutama
apabila di tekan, demam, sakit kepala, mulut berbau, batuk,
sakit tenggorokan dan dapat komplikasi ke telinga sehingga
dirasakan nyeri dan penuh pada telinga.
Etiologi yang pasti belum diketahui tetapi ada 3 faktor penting pada terjadinya polip,
yaitu :
1. Adanya peradangan kronik yang berulang pada mukosa hidung dan sinus.
2. Adanya gangguan keseimbangan vasomotor.
3. Adanya peningkatan tekanan cairan interstitial dan edema mukosa hidung.
2012 Page 88
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
Fenomena Bernoulli menyatakan bahwa udara yang mengalir melalui tempat
yang sempit akan mengakibatkan tekanan negatif pada daerah sekitarnya. Jaringan
yang lemah akan terhisap oleh tekanan negatif ini sehingga mengakibatkan edema
mukosa dan pembentukan polip. Fenomena ini menjelaskan mengapa polip
kebanyakan berasal dari daerah yang sempit di kompleks ostiomeatal (KOM) di
meatus medius. Walaupun demikian polip juga dapat timbul dari tiap bagian mukosa
hidung atau sinus paranasal dan seringkali bilateral dan multipel.
Selain dari fenomena Bernouli terdapat beberapa hipotesa lainnya.
1. Perubahan Polisakarida
Di postulatkan pada 1971 oleh Jackson dan Arihood.
2. Infeksi
Infeksi berulang pada sinus predisposisi pada mukosa menjadi
perubahan polipoid.
3. Alergi
Alergi telah di implikasikan sebagai penyebab, sejak sekresi hidung
mengandung eosinofil dan pasien mempunyai gejala alergi, sering dikaitkan
dengan asma dan atopi.
4. Teori vasomotor
Gangguan keseimbangan otonomik di duga mungkin sebagai penyebab pada
individu non atopi. Juga di kaitkan dengan mediator inflamasi, faktor
anatomi lokal, dan tumor. Predisposisi genetik diketahui sebagai penyebab
polipoid pada fibrosis kistik.
Peradangan kronis (dari sumber apapun) ternyata memiliki peran awal
dalam patogenesis polip hidung. Beberapa polip terjadi pada anak-anak
dengan sinusitis kronis, rhinitis alergi, CF, dan AFS. Sebuah polip terisolasi
bisa menjadi polip antral-choanal, polip besar jinak, kista duktus nasolacrimal
(seperti yang ditunjukkan di bawah), atau lesi kongenital atau tumor jinak atau
ganas tercantum di bawah ini.
Nasolacrimal ductus cysts
Frontal duktus bayi 2-hari-tua dengan
pembengkakan pandangan iFrontal dari bayi 2-
2012 Page 89
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
hari-tua dengan pembengkakan di daerah canthal rendah medial pada kedua belah
pihak. Sisi kanan tampak lebih menonjol pada gambar ini. CT scan menunjukkan
terinfeksi kista duktus lakrimal hidung.
Kaku endoskopik pandangan rongga hidung kiri. Pandangan endoskopik
rongga hidung kiri. Septum adalah di sebelah kiri, dan dinding nasal lateral adalah
di sebelah kanan. The turbinate inferior di tengah gambar, dan turbinat tengah
terlihat di bagian tengah tubuh superior dari gambar. Kista duktus hidung
lacrimalis adalah lesi melebar kuning di bawah turbinate inferior.
Axial CT scan bagian melalui orbit, menunjukkan Axial CT scan melalui bagian
orbit, menunjukkan saluran hidung membesar lacrimal di daerah anterior medial
dibandingkan dengan orbit. Skala di kanan bawah dalam sentimeter.
2012 Page 90
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
Axial CT scan melalui rongga hidung inferior, Axial CT scan melalui rongga
hidung rendah, menunjukkan hidung kista membesar saluran lakrimal di lokasi
rendah. Skala di kanan bawah dalam sentimeter. Kista membesar berada di tengah
gambar.
Sebuah tampilan frontal dari pandangan hidung didekompresi lacrimal Sebuah
frontal dari saluran-saluran didekompresi lacrimal hidung mengikuti marsupialization
bedah. Pembengkakan di daerah rendah canthal medial sebelum operasi tidak lagi
terlihat.
Encephaloceles (lihat gambar di bawah)
2012 Page 91
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
Seorang bayi 3-bulan-tua dengan hipertelorisme dan bulginA 3-bulan-tua bayi
dengan hipertelorisme dan menonjol dari dorsum hidung, sekunder untuk
encephalocele.
Glioma (lihat gambar di bawah)
Interior view dari hidung dan rongga hidung. Untuk tInterior pandangan hidung
dan rongga hidung. Di sebelah kanan lubang hidung kiri pasien, rongga hidung kanan
memiliki halangan. Di sebelah kiri gambar, polip kemerahan terlihat. Massa
kemerahan adalah glioma hidung.
Sebuah tampilan close-up dari rongga hidung kanan dan poliA close-up
pandangan rongga hidung kanan dan polip # 5 pada bayi 5-bulan-tua. Polip
menghalangi terlihat kemerahan. Ini adalah glioma intranasal yang timbul dari
lampiran anterior turbinate rendah, itu transnasally dihapus.
Dermoid tumor (lihat gambar di bawah)
2012 Page 92
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
Pandangan lateral dari seorang anak preteenaged menunjukkan pandangan
infectLateral seorang anak preteenaged menunjukkan dermoid hidung terinfeksi.
Perhatikan tonjolan dari dorsum hidung.
Axial CT scan (jendela tulang) menunjukkan 5-bulan-oldAxial CT scan (jendela
tulang) menunjukkan bayi 5-bulan-tua dengan hidung dermoid anterior ke tulang
hidung dan rahang. Tidak ada dehiscence tulang atau kelainan tulang yang terlihat.
Scan MRI koronal melalui dermoid hidung dari scan MRI A koronal melalui dermoid
hidung bayi 5-bulan-tua. Skala di sebelah kiri adalah 2 mm per bar kecil dan 1 cm per
batang tinggi. Panah menunjuk ke lesi. Lesi muncul menjadi sekitar 6-7 mm dalam
dimensi ini. Pandangan interoperative penghapusan dermoid dari pandangan
interoperative 5AN penghapusan dermoid dari bayi 5-bulan-tua.
Hemangioma
2012 Page 93
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
Papiloma (lihat gambar di bawah)
Anterior hidung papilloma yang timbul dari septum. Anterior hidung papilloma
yang timbul dari septum. Kulit dari depan hidung terlihat sekitar papilloma di tengah
gambar.
Juvenile nasofaring angiofibromas
Rhabdomyosarcoma
Limfoma
Neuroblastomas
Sarkoma
Chordomas
Nasofaring karsinoma
Inverting papilloma
Mengevaluasi semua anak dengan polyposis hidung jinak untuk CF dan asma
PATOGENESIS
Mekanisme patogenesis yang
bertanggungjawab terhadap pertumbuhan
2012 Page 94
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
polip nasi sulit ditentukan. Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pembentukan
polip, antara lain:
1. Proses inflamasi yang disebabkan penyebab multifaktorial termasuk familiar dan
faktor herediter
2. Aktivasi respon imun lokal
3. Hiperaktivitas dari persarafan parasimpatis.
Semua jenis imunoglobulin dapat ditemui pada polip nasi, tapi peningkatan IgE
merupakan jenis yang paling tinggi ditemukan bahkan apabila dibandingkan dengan
tonsil dan serum sekalipun. Kadar IgG, IgA, IgM terdapat dalam jumlah bervariasi,
dimana peningkatan jumlah memperlihatkan adanya infeksi pada saluran napas.
Beberapa mediator inflamasi juga dapat ditemukan di dalam polip. Histamin
merupakan mediator terbesar yang konsentrasinya di dalam stroma polip 100-1000
konsentrasi serum. Mediator kimia lain yang ikut dalam patogenesis dari nasal polip
adalah Gamma Interferon (IFN-γ) dan Tumour Growth Factor β (TGF-β). IFN-γ
menyebabkan migrasi dan aktivasi eosinofil yang melalui pelepasan toksiknya
bertanggungjawab atas kerusakan epitel dan sintesis kolagen oleh fibroblas . TGF-β yang
umumnya tidak ditemukan dalam mukosa normal merupakan faktor paling kuat dalam
menarik fibroblas dan meransang sintesis matrik ekstraseluler. Peningkatan mediator ini
pada akhirnya akan merusak mukosa rinosinusal yang akan menyebabkan peningkatan
permeabilitas terhadap natrium sehingga mencetuskan terjadinya edema submukosa pada
polip nasi.
Fenomena bernouli menyatakan bahwa udara yang mengalir melalui celah yang
sempit akan mengakibatkan tekanan negatif pada daerah sekitarnya, sehingga jaringan
yang lemah akan terhisap oleh tekanan negatif ini sehingga menyebabkan polip,
fenomena ini dapat menjelaskan mengapa polip banyak terjadi pada area yang sempit di
kompleks osteomatal.
Patogenesis polip pada awalnya ditemukan bengkak selaput permukaan yang
kebanyakan terdapat pada meatus medius, kemudian stroma akan terisi oleh cairan
interseluler sehingga selaput permukaan yang sembab menjadi berbenjol-benjol. Bila
proses terus membesar dan kemudian turun ke dalam rongga hidung sambil membentuk
2012 Page 95
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
tangkai sehingga terjadi Polip.
Polip sering ditemukan pada penderita:
a. Asma Bronkiale, 20-50% penderita asma mengalami polip
b. Ciystic Fibrosis - Polyps terjadi sekitar 6-48% pada penderita CF
c. Rinitis ALERGI
d. allergic fungal sinusitis - Terjadi sekitar 85%
e. Rinosinusitis kronik
f. Primary ciliary dyskinesia
g. Aspirin intolerance - Terjadi sekitar 8-26% pada penderita polip
h. Alcohol intolerance – Terjadi sekitar 50% pada penderita polip
i. Churg-Strauss syndrome – Terjadi sekitar 50 % pada penderita Churg-Strauss
syndrome
j. Young syndrome (chronic sinusitis, nasal polyposis, azoospermia)
k. Nonallergic rhinitis with eosinophilia syndrome (NARES) – Terjadi sekitar 20 %
pada penderita NARES
GEJALA KLINIS
Gejala utama yang ditimbulkan oleh polip hidung adalah rasa sumbatan di hidung.
Sumbatan ini tidak hilang – timbul dan makin lama semakin berat keluhannya. Pada
sumbatan yang hebat dapat menyebabkan gejala hiposmia atau anosmia. Bila polip ini
menyumbat sinus paranasal, maka sebagai komplikasinya akan terjadi sinusitis
dengan keluhan nyeri kepala dan rinore.
Bila penyebabnya adalah alergi, maka gejala yang utama ialah bersin dan iritasi di
hidung. Pasien dengan polip yang masif biasanya mengalami sumbatan hidung yang
meningkat, hiposmia sampai anosmia, perubahan pengecapan, dan drainase post nasal
persisten. Sakit kepala dan nyeri pada muka jarang ditemukan dan biasanya pada
daerah periorbita dan sinus maksila. Pasien polip dengan sumbatan total rongga
hidung atau polip tunggal yang besar memperlihatkan gejala sleep apnea obstruktif
dan pernafasan lewat mulut yang kronik.
Pasien dengan polip soliter seringkali hanya memperlihatkan gejala obstruktif
hidung yang dapat berubah dengan perubahan posisi. Walaupun satu atau lebih polip
2012 Page 96
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
yang muncul, pasien mungkin memperlihatkan gejala akut, rekuren, atau rinosinusitis
bila polip menyumbat ostium sinus. Beberapa polip dapat timbul berdekatan dengan
muara sinus, sehingga aliran udara tidak terganggu, tetapi mukus bisa terperangkap
dalam sinus. Dalam hal ini dapat timbul perasaan penuh di kepala, penurunan
penciuman, dan mungkin sakit kepala. Mukus yang terperangkap tadi cenderung
terinfeksi, sehingga menimbulkan nyeri, demam, dan mungkin perdarahan pada
hidung.
Manifestasi polip nasi tergantung pada ukuran polip. Polip yang kecil mungkin
tidak menimbulkan gejala dan mungkin teridentifikasi sewaktu pemeriksaan rutin.
Polip yang terletak posterior biasanya tidak teridenfikasi pada waktu pemeriksaan
rutin rinoskopi posterior. Polip yang kecil pada daerah dimana polip biasanya tumbuh
dapat menimbulkan gejala dan menghambat aliran saluran sinus, menyebabkan
gejala-gejala sinusitis akut atau rekuren.
GEJALA SUBJEKTIF
a. Hidung terasa tersumbat
b. Hiposmia atau Anosmia (gangguan penciuman)
c. Nyeri kepala
d. Rhinore
e. Bersin
f. Iritasi di hidung (terasa gatal)
g. Post nasal drip
h. Nyeri muka
i. Suara bindeng
j. Telinga terasa penuh
k. Mendengkur
l. Gangguan tidur
m. Penurunan kualitas hidup
GEJALA OBJEKTIF
a. Oedema mukosa hidung
b. Submukosa hipertropi dan tampak sembab
2012 Page 97
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
c. Terlihat masa lunak yang berwarna putih atau
d. Kebiruan
e. Bertangkai
DIAGNOSIS
ANAMNESA
Pada anamnesa kasus polip, keluhan utama biasanya ialah hidung tersumbat.
Sumbatan ini menetap, tidak hilang dan semakin lama semakin berat. Pasien sering
mengeluhkan terasa ada massa di dalam hidung dan sukar membuang ingus. Gejala
lain adalah gangguan penciuman. Gejala sekunder dapat terjadi bila sudah disertai
kelainan organ didekatnya berupa: adanya post nasal drip, sakit kepala, nyeri muka,
suara nasal (bindeng), telinga terasa penuh, mendengkur, gangguan tidur dan
penurunan kualitas hidup.
Selain itu juga harus di tanyakan riwayat rhinitis alergi, asma, intoleransi
terhadap aspirin dan alergi obat serta makanan.
PEMERIKSAAN FISIK
a. Inspeksi
Polip yang masif sering sudah menyebabkan deformitas hidung luar. Dapat
dijumpai pelebaran kavum nasi terutama polip yang berasal dari sel-sel etmoid.
b. Rinoskopi Anterior
Memperlihatkan massa translusen pada rongga hidung. Deformitas septum
membuat pemeriksaan menjadi lebih sulit. Tampak sekret mukus dan polip
multipel atau soliter. Polip kadang perlu dibedakan dengan konka nasi inferior,
yakni dengan cara memasukan kapas yang dibasahi dengan larutan efedrin 1%
(vasokonstriktor), konka nasi yang berisi banyak pembuluh darah akan mengecil,
sedangkan polip tidak mengecil. Polip dapat diobservasi berasal dari daerah sinus
etmoidalis, ostium sinus maksilaris atau dari septum.
c. Rinoskopi Posterior
Kadang-kadang dapat dijumpai polip koanal. Sekret mukopurulen ada kalanya
berasal dari daerah etmoid atau rongga hidung bagian superior, yang menandakan
adanya rinosinusitis.
2012 Page 98
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
d. Naso endoskopi
Adanya fasilitas nasoendoskopi akan sangat membantu diagnosis kasus baru.
Polip stadium awal tidak terlihat pada pemeriksaan rinoskopi anterior tetapi
tampak dengan pemeriksaan
nasoendoskopi. Pada kasus polip koanal juga sering dapat terlihat tangkai polip
yang berasal dari ostium assesorius sinus maksila.
e. Pemeriksaan Radiologi
Foto polos sinus paranasal (posisi waters, lateral, Caldwell dan AP) dapat
memperlihatkan penebalan mukosa dan adanya batas udara cairan di dalam sinus,
tetapi sebenarnya kurang bermanfaat pada kasus polip nasi karena dapat
memberikan kesan positif palsu atau negative palsu dan tidak dapat memberikan
informasi mengenai keadaan dinding lateral hidung dan variasi anatomis di daerah
kompleks osteomeatal. Pemeriksaan tomografi computer sangat bermanfaat untuk
melihat dengan jelas keadaan di hidung dan sinus paranasal apakah ada
proses radang, kelainan anatomi, polip atau sumbatan pada kompleks osteomeatal.
Terutama pada kasus polip yang gagal diobati dengan terapi medikamentosa, jika
ada komplikasi dari sinusitis dan pada perencanaan tindakan bedah terutama
bedah endoskopi. Biasanya untuk tujuan penapisan dipakai potongan koronal,
sedangkan polip yang rekuren juga diperlukan potongan aksial.
f. Tes alergi
Evaluasi alergi sebaiknya dipertimbangkan pada pasien dengan riwayat alergi
lingkungan atau riwayat alergi pada keluarganya.
g. Laboratorium
Untuk membedakan sinusitis alergi atau non alergi. Pada sinusitis alergi
ditemukan eosinofil pada swab hidung, sedang pada non alergi ditemukannya
neutrofil yang menandakan adanya sinusitis kronis.
h. Temuan histologis
1. Pseudostratified ciliated columnar epithelium
2. Epithelial basement membrane yang menebal
3. Oedematous stroma
DIAGNOSIS BANDING
2012 Page 99
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
Polip didiagnosa bandingkan dengan konka polipoid, yang ciri – cirinya
sebagai berikut:
a. Tidak bertangkai
b. Sukar digerakkan
c. Nyeri bila ditekan dengan pinset
d. Mudah berdarah
e. Dapat mengecil pada pemakaian vasokonstriktor (kapas adrenalin).
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior cukup mudah untuk membedakan polip dan
konka polipoid, terutama dengan pemberian vasokonstriktor yang juga harus hati – hati
pemberiannya pada pasien dengan penyakit kardiovaskuler karena bisa menyebabkan
vasokonstriksi sistemik, maningkatkan tekanan darah yang berbahaya pada pasien
dengan hipertensi dan dengan penyakit jantung lainnya.
Polip Polipoid mukosa
Bertangkai, dapat digerakkan Tidak bertangkai, sukar digerakkan
Konsistensi lunak Konsistensi keras
Tidak nyeri bila ditekan Nyeri pada penekanan
Tidak mudah berdarah Mudah berdarah
Berwarna putih kebiruan Berwarna merah muda
Tidak mengecil pada pemberian
vasokonstriktor (adrenalin)
Mengecil pada pemberian
vasokonstriktor
2.9 PENATALAKSANAAN
Karena etiologi yang mendasari pada polip nasi adalah reaksi inflamasi, maka
penatalaksanaan medis ditujukan untuk pengobatan yang tidak spesifik. Pada terapi
medikamentosa dapat diberikan kortikosteroid. Kortikosteroid dapat diberikan secara
sistemik ataupun intranasal.
Pemberian kortikosteroid sistemik diberikan dengan dosis tinggi dalam waktu
yang singkat, dan pemberiannya perlu memperhatikan efek samping dan
kontraindikasi.
Kortikosteroid oral adalah pengobatan paling efektif untuk pengobatan jangka pendek
2012 Page 100
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
dari polip nasi, dan kortikosteroid oral memiliki efektivitas paling baik dalam
mengurangi inflamasi polip.
Kortikosteroid juga dapat diberikan secara intranasal dalam bentuk spray
steroid, yang dapat mengurangi atau menurunkan pertumbuhan polip nasi yang kecil,
tetapi secara relatif tidak efektif untuk polip yang masif. Steroid intranasal paling
efektif pada periode post operatif untuk mencegah atau mengurangi relaps.
Pengobatan juga dapat ditujukan untuk mengurangi reaksi alergi pada polip
yang dihubungkan dengan rhinitis alergi. Pada penderita dapat diberikan antihistamin
oral untuk mengurangi reaksi inflamasi yang terjadi. Bila telah terjadi infeksi yang
ditandai dengan adanya sekret yang mukopurulen maka dapat diberikan antibiotik.
a. Pengobatan Medis sebagai berikut :
1. Steroid oral dan topikal di berikan pada pengobatan pertama pada nasal polip.
Antihistamin, dekongestan dan sodium cromolyn memberikan sedikit
keuntungan. Imunoterapi mungkin dapat berguna untuk pengobatan rhinitis
alergi, tapi bila di gunakan sendirian, tak dapat berguna pada polip yang telah
ada, pemberian antibiotik bila terjadi superimposed infeksi bakteri.
2. Kortikosteroid adalah pengobatan pilihan, baik secara topikal maupun sistemik.
Injeksi langsung pada polip tidak dibenarkan oleh Food and Drug Administration
karena dilaporkan terdapat 3 pasien dengan kehilangan penglihatan unilateral
setelah injeksi intranasal langsung dengan kenalog. Keamanan mungkin
tergantung pada ukuran spesifik partikel. Berat molekuler yang besar seperti
Aristocort lebih aman dan sepertinya sedikit yang di pindahkan ke area
intrakranial. Hindari injeksi langsung ke dalam pembuluh darah.
3. Steroid oral paling efektif pada pengobatan medis untuk nasal polipoid. Pada
dewasa penulis banyak menggunakan prednison (30-60mg) selama 4-7 hari dan
diturunkan selama 1-3 minggu. Variasi dosis pada anak-anak, tetapi maksimum
biasanya 1mg/kb/hari selama 5-7 hari dan diturunkan selama 1-3 minggu.
4. Respon dengan kortikosteroid tergambar dari ada atau tidaknya eosinofilia, jadi
pasien dengan polip dan rhinitis alergi atau asma seharusnya respon dengan
pengobatan ini.
2012 Page 101
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
5. Pasien dengan polip yang sedikir eosinofil mungkin tidak respon terhadap
steroids. Penggunaan steroid oral jangka panjang tidak direkomendasikan karena
efek sampingnya yang merugikan ( seperti gangguan pertumbuhan, Diabetes
Melitus, hipertensi, gangguan psikis, gangguan pencernaan, katarak, glukoma,
osteoporosis)
6. Pemberian topikal kortikosteroid di berikan secara umum karena lebih sedikit
efek yang merugikan dibandingkan pemberian sistemik karena bioavaibilitasnya
yang terbatas. Pemberian jangka panjang khususnya dosis tinggi dan kombinasi
dengan kortikosteroid inhalasi, terdapat resiko penekanan hipotalamus-pituari-
adrenal aksis, pembentukan katarak, gangguan pertumbuhan, perdarahan hidung,
dan pada jarang kasus terjadi perforasi septum.
b. Pembedahan dilakukan jika:
1. Polip menghalangi saluran nafas
2. Polip menghalangi drainase dari sinus sehingga sering terjadi infeksi sinus
3. Polip berhubungan dengan tumor
4. Pada anak-anak dengan multipel polip atau kronik rhinosinusitis yang gagal
pengobatan maksimum dengan obat- obatan.
Tindakan pengangkatan polip atau polipektomi dapat dilakukan dengan
menggunakan senar polip dengan anestesi lokal, untuk polip yang besar tetapi belum
memadati rongga hidung. Polipektomi sederhana cukup efektif untuk memperbaiki
gejala pada hidung, khususnya pada kasus polip yang tersembunyi atau polip yang
sedikit. Bedah sinus endoskopik (Endoscopic Sinus Surgery) merupakan teknik yang
lebih baik yang tidak hanya membuang polip tapi juga membuka celah di meatus
media, yang merupakan tempat asal polip yang tersering sehingga akan membantu
mengurangi angka kekambuhan. Surgical micro debridement merupakan prosedur
yang lebih aman dan cepat, pemotongan jaringan lebih akurat dan mengurangi
perdarahan dengan visualisasi yang lebih baik.
Untuk persiapan prabedah, sebaiknya lebih dulu diberikan antibiotik dan
kortikosteroid untuk meredakan inflamasi sehingga pembengkakan dan perdarahan
berkurang, dengan demikian lapang-pandang operasi lebih baik dan kemungkinan
trauma dapat dihindari.
2012 Page 102
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
Pasca bedah perlu kontrol yang baik dan teratur mengunakan endoskop, dan
telah terbukti bahwa pemberian kortikosteroid intranasal dapat menurunkan
kekambuhan.
PROGNOSIS
Polip nasi dapat muncul kembali selama iritasi alergi masih tetap berlanjut.
Rekurensi dari polip umumnya terjadi bila adanya polip yang multipel. Polip tunggal
yang besar seperti polip antral-koanal jarang terjadi relaps.
Polip hidung sering tumbuh kembali, oleh karena itu pengobatannya juga
perlu ditujukan kepada penyebabnya, misalnya alergi. Terapi yang paling ideal pada
rinitis alergi adalah menghindari kontak dengan alergen penyebab dan eliminasi.
Secara medikamentosa, dapat diberikan antihistamin dengan atau tanpa
dekongestan yang berbentuk tetes hidung yang bisa mengandung kortikosteroid atau
tidak. Dan untuk alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah berlangsung lama
dapat dilakukan imunoterapi dengan cara desensitisasi dan hiposensitisasi, yang
menjadi pilihan apabila pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang
memuaskan.
J. PEMERIKSAAN PENUNJANG ALERGI
Tes Cukit ( Tes Cukit ( Skin Prick TestSkin Prick Test ) pada Diagnosis Penyakit Alergi ) pada Diagnosis Penyakit Alergi
PendahuluanPendahuluan
Lebih dari 1 abad tes kulit sudah sering dilakukan untuk mendiagnosis alergi, saat ini test
alegi pada kulit banyak dilakukan pada penyakit alergi seperti Hay fever, asma, rinitis alergi dan
2012 Page 103
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
dermatitis. Tes kulit merupakan alat diagnosis yang paling banyak digunakan untuk membuktikan
adanya IgEspesifik yang terikat pada sel mastosit dan memiliki sensitivitas yang tinggi. 1,2
Untuk pasien penderita alergi dan dokter pemeriksa, diagnosis alergi dengan skin prick test
punya banyak keuntungan. Tes ini relatif mudah dan nyaman untuk pasien serta tidak mahal. Untuk
dokter hasil pemeriksaan bisa didapatkan hanya dalam waktu 20 menit sehingga penjelasan bisa
diberikan kepada pasien seketika itu juga. 2
Efek samping dan resiko skin prick test amat jarang, dapat berupa reaksi alergi yang
memberat dan benjolan pada kulit yang tidak segera hilang. Pemberian oral antihistamain dan
kortikosteroid bisa dilberikan apabila terjadi reaksi yang tidak diinginkan tersebut.3
Untuk lebih informatif terhadap pasien, maka anamnesis dan pemeriksaan klinis tetap harus
mendahului tes cukit ini. Dokter juga harus waspada akan kemungkinan terjadinya false-positive dan
false-negative dalam menginterpreasikan hasil tes cukit ini.
Tinjauan pustaka ini bertujuan untuk memberikan pemahaman dan penyegaran kembali
kepada sejawat residen mengenai skin prick test yang selama ini sudah kita laksanakan untuk
diagnostik alergi di klinik THT RS. Dokter Kariadi. Kami berharap tulisan ini dapat bermanfaat untuk
keakuratan hasil test dan penyampaian serta edukasi terhadap pasien.
Tes Alergi pada Kulit
Macam tes kulit untuk mendiagnosis alergi :1
- Puncture, prick dan scratch test biasa dilakukan untuk menentukan alergi oleh karena
alergen inhalan, makanan atau bisa serangga.
- Tes intradermal biasa dilakukan pada alergi obat dan alergi bisa serangga
- Patch test (epicutaneus test) biasanya untuk melakukan tes pada dermatitis kontak
Skin Prick Test adalah salah satu jenis tes kulit sebagai alat diagnosis yang banyak digunakan
oleh para klinisi untuk membuktikan adanya IgE spesifik yang terikat pada sel mastosit kulit.
Terikatnya IgE pada mastosit ini menyebabkan keluarnya histamin dan mediator lainnya yang dapat
menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah akibatnya timbul
flare/kemerahan dan wheal/bentol pada kulit tersebut.1
Kelebihan Skin Prick Test dibanding Test Kulit yang lain : 2
a. karena zat pembawanya adalah gliserin maka lebih stabil jika dibandingkan dengan zat
pembawa berupa air.
2012 Page 104
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
b. Mudah dialaksanakan dan bisa diulang bila perlu.
c. Tidak terlalu sakit dibandingkan suntik intra dermal
d. Resiko terjadinya alergi sistemik sangat kecil, karena volume yang masuk ke kulit sangat
kecil.
e. Pada pasien yang memiliki alergi terhadap banyak alergen, tes ini mampu dilaksanakan
kurang dari 1 jam.
Tujuan Tes Kulit pada alergi:
Tes kulit pada alergi ini untuk menentukan macam alergen sehingga di kemudian hari bisa
dihindari dan juga untuk menentukan dasar pemberian imunoterapi.1
Indikasi Tes Cukit ( Skin Prick Test ) : 4
o Rinitis alergi : Apabila gejala tidak dapat dikontrol dengan medikamentosa sehingga
diperlukan kepastian untuk mengetahui jenis alergen maka di kemudian hari alergen tsb bisa
dihindari.
o Asthma : Asthma yang persisten pada penderita yang terpapar alergen (perenial).
o Kecurigaan alergi terhadap makanan. Dapat diketahui makanan yang menimbulkan reaksi
alergi sehingga bisa dihindari.
o Kecurigaan reaksi alergi terhadap sengatan serangga.
Persiapan Tes Cukit ( Skin Prick Test)
Sebagai dokter pemeriksa kita perlu menanyakan riwayat perjalanan penyakit pasien, gejala
dan tanda yang ada yang membuat pemeriksa bisa memperkirakan jenis alergen, apakah alergi ini
terkait secara genetik dan bisa membedakan apakah justru merupakan penyakit non alergi, misalnya
infeksi atau kelainan anatomis atau penyakit lain yang gambarannya menyerupai alergi. 4
2012 Page 105
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
Persiapan Tes Cukit :1,4
1. Persiapan bahan/material ekstrak alergen.
o gunakan material yang belum kedaluwarsa
o gunakan ekstrak alergen yang terstandarisasi
2. Pesiapan Penderita :
o Menghentikan pengobatan antihistamin 5-7 hari sebelum tes.
o Menghentikan pengobatan jenis antihistamin generasi baru paling tidak 2-6 minggu
sebelum tes.
o Usia : pada bayi dan usia lanjut tes kulit kurang memberikan reaksi.
o Jangan melakukan tes cukit pada penderita dengan penyakit kulit misalnya urtikaria,
SLE dan adanya lesi yang luas pada kulit.
o Pada penderita dengan keganasan,limfoma, sarkoidosis, diabetes neuropati juga
terjadi penurunan terhadap reaktivitas terhadap tes kulit ini.
3. Persiapan pemeriksa :
o Teknik dan ketrampilan pemeriksa perlu dipersiapan agar tidak terjadi interpretasi
yang salah akibat teknik dan pengertian yang kurang difahami oleh pemeriksa.
o Ketrampilan teknik melakukan cukit
o Teknik menempatkan lokasi cukitan karena ada tempat2 yang reaktifitasnya tinggi
dan ada yang rendah. Berurutan dari lokasi yang reaktifitasnya tinggi sampai
rendah : bagian bawah punggung > lengan atas > siku > lengan bawah sisi ulnar > sisi
radial > pergelangan tangan.
Prosedur Tes Cukit :1,6
Tes Cukit ( Skin Prick Test ) seringkali dilakukan pada bagian volar lengan bawah. Pertama-
tama dilakuakn desinfeksi dengan alkohol pada area volar, dan tandai area yang akan kita tetesi
dengan ekstrak alergen. Ekstrak alergen diteteskan satu tetes larutan alergen ( Histamin/ Kontrol
positif ) dan larutan kontrol ( Buffer/ Kontrol negatif)menggunakan jarum ukuran 26 ½ G atau 27 G
atau blood lancet.
Kemudian dicukitkan dengan sudut kemiringan 45 0 menembus lapisan epidermis dengan
ujung jarum menghadap ke atas tanpa menimbulkan perdarahan. Tindakan ini mengakibatkan
sejumlah alergen memasuki kulit. Tes dibaca setelah 15-20 menit dengan menilai bentol yang
timbul.
Mekanisme Reaksi pada Skin TestMekanisme Reaksi pada Skin Test
2012 Page 106
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
Dibawah permukaan kulit terdapat sel mast, pada sel mast didapatkan granula-granula yang
berisi histamin. Sel mast ini juga memiliki reseptor yang berikatan dengan IgE. Ketika lengan IgE ini
mengenali alergen (misalnya house dust mite) maka sel mast terpicu untuk melepaskan granul-
granulnya ke jaringan setempat, maka timbulah reaksi alergi karena histamin berupa bentol (wheal)
dan kemerahan (flare).5
A C
B B
Gambar 1. A. Cara menandai ekstrak alergen yang diteteskan pada lengan
B. Sudut melakukan cukit pada kulit dengan lancet
C. Contoh reaksi hasil positif pada tes cukit
Kesalahan yang Sering terjadi pada Kesalahan yang Sering terjadi pada Skin Prick TestSkin Prick Test
a. Tes dilakukan pada jarak yang sangat berdekatan ( < 2 cm )
b. terjadi perdarahan, yang memungkinkan terjadi false positive.
2012 Page 107
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
c. Teknik cukitan yang kurang benar sehingga penetrasi eksrak ke kulit kurang,
memungkinkan terjadinya false-negative.
d. Menguap dan memudarnya larutan alergen selama tes.
Faktor-faktor yang mempengaruhi skin testFaktor-faktor yang mempengaruhi skin test
1. Area tubuh tempat dilakukannya tes
2. Umur
3. Sex
4. Ras
5. Irama sirkardian
6. Musim
7. Penyakit yang diderita
8. Obat-obatan yang dikonsumsi
Interpretasi Tes Cukit ( Skin Prick Test ): 1,6
Untuk menilai ukuran bentol berdasarkan The Standardization Committee of Northern
(Scandinavian) Society of Allergology dengan membandingkan bentol yang timbul akibat alergen
dengan bentol positif histamin dan bentol negatif larutan kontrol. Adapun penilaiannya sebagai
berikut :
- Bentol histamin dinilai sebagai +++ (+3)
- Bentol larutan kontrol dinilai negatif (-)
- Derajat bentol + (+1) dan ++(+2) digunakan bila bentol yang timbul besarnya antara bentol
histamin dan larutan kontrol.
- Untuk bentol yang ukurannya 2 kali lebih besar dari diameter bento histamin dinilai ++++
(+4).
Di Amerika cara menilai ukuran bentol menurut Bousquet (2001) seperti dikutip Rusmono sebagai
berikut :1,3
- 0 : reaksi (-)
- 1+ : diameter bentol 1 mm > dari kontrol (-)
- 2+ : diameter bentol 1-3mm dari kontrol (-)
- 3+ : diameter bentol 3-5 mm > dari kontrol (-)
2012 Page 108
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
- 4+ : diameter bentol 5 mm > dari kontrol (-) disertai eritema.
Tes kulit dapat memberikan hasil positif palsu maupun negatif palsu karena tehnik yang
salah atau faktor material/bahan ekstrak alergennya yang kurang baik.6
Jika Histamin ( kontrol positif ) tidak menunjukkan gambaran wheal/ bentol atau
flare/hiperemis maka interpretasi harus dipertanyakan , Apakah karena sedang mengkonsumsi obat-
obat anti alergi berupa anti histamin atau steroid. Obat seperti tricyclic antidepresan,
phenothiazines adalah sejenis anti histamin juga. 6
Hasil negatif palsu dapat disebabkan karena kualitas dan potensi alergen yang buruk,
pengaruh obat yang dapat mempengaruhi reaksi alergi, penyakit-penyakit tertentu, penurunan
reaktivitas kulit pada bayi dan orang tua, teknik cukitan yang salah (tidak ada cukitan atau cukitan
yang lemah ).1 Ritme harian juga mempengaruhi reaktifitas tes kulit. Bentol terhadap histamin atau
alergen mencapai puncak pada sore hari dibandingkan pada pagi hari, tetapi perbedaan ini sangat
minimal. 6
Hasil positif palsu disebabkan karena dermografisme, reaksi iritan, reaksi penyangatan
(enhancement) non spesifik dari reaksi kuat alergen yang berdekatan, atau perdarahan akibat
cukitan yang terlalu dalam. 6
Dermografisme terjadi pada seseorang yang apabila hanya dengan penekanan saja bisa
menimbulkan wheal/bentol dan flare/kemerahan. Dalam rangka mengetahui ada tidaknya
dermografisme ini maka kita menggunakan larutan garam sebagai kontrol negatif. Jika Larutan
garam memberikan reaksi positif maka dermografisme.6
Semakin besar bentol maka semakin besar sensitifitas terhadap alergen tersebut, namun
tidak selalu menggambarkan semakin beratnya gejala klinis yang ditimbulkan. Pada reaksi positif
biasanya rasa gatal masih berlanjut 30-60 menit setelah tes.6
Tes Cukit untuk alergen makanan kurang dapat diandalkan kesahihannya dibandingkan
alergen inhalan seperti debu rumah dan polen. Skin test untuk alergen makanan seringkali negatif
palsu.6
Daftar Obat-obatan yang dapat mempengaruhi tes kulit sehingga harus dibebaskan beberapa hari
sebelumnya :2
2012 Page 109
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
Anti histamin generasi I dibebaskan
klorfeniramin 1-3 hari
klemastin 1-10 hari
ebastin 3-10 hari
hidroksisin 1-10 hari
ketotifen 3-10 hari
mequisatin 3-10 hari
Antihistamin generasi II setirisin
3-10 hari
loratadin
feksofenadin
desloratadin
Astemizole 6 minggu
Antidepresan Imipramin
10 hariFenotiazine
Kortikosteroid jangka pendek
< 1 minggu
Cimetidin juga
mempengaruhi tes
kulitRanitidin
Kromolin tidak
mempengaruhi tes
kulit.B 2 adrenergik agonis
Teofilin
2012 Page 110
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
Ringkasan
1. Tes kulit merupakan alat diagnosis yang paling banyak digunakan untuk membuktikan
adanya IgE spesifik yang terikat pada sel mastosit dan memiliki sensitivitas yang tinggi,
mudah murah dan cepat.
2. Efek samping dan resiko skin prick test amat jarang, dapat berupa reaksi alergi yang
memberat dan benjolan pada kulit yang tidak segera hilang. Pemberian oral antihistamain
dan kortikosteroid bisa dilberikan apabila terjadi reaksi yang tidak diinginkan tersebut.
3. Tes Cukit untuk alergen makanan kurang dapat diandalkan kesahihannya dibandingkan
alergen inhalan seperti debu rumah dan polen. Skin test untuk alergen makanan seringkali
negatif palsu.
4. Pentingnya pemahaman test alergi mengenai indikasi, teknik dan interpretasinya dapat
meningkatkan kemampuan kita dalam menerangkan pasien dan melakukan terapi
selanjutnya.
TES ALERGI (SKIN PRICK TEST)
A. Kelebihan
1. Lebih stabil karena zat pembawanya berupa gliserin
2. Mudah dilakukan dan bisa berulang
3. Tidak terlalu sakit dibandingkan dengan suntik intradermal
4. Resiko alergi sistemik lebih kecil
5. Tes mampu dilakukan dengan cepat, kurang dari 1 jam
B. Indikasi
1. Rinitis alergi
2. Asma yang persisten
3. Kecurigaan alergi pada makanan
4. Kecurigaan alergi pada sengatan serangga
C. Faktor yang mempengaruhi
1. Area tubuh yang dilakukan tes harus bebas dari urtikaria dan lesi
2. Umur. Pada bayi dan usia lanjut kurang merespon dari tes alergi
3. Sex
4. Ras
5. Irama sirkadian
6. Musim
7. Penyakit yang diderita
2012 Page 111
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
8. Obat yang dikonsumsi
D. Interpretasi hasil
The Standarization of Northern Society of Allergology1. Besarnya bentol sama dengan histamin : +++ (+3)
2. Besarnya bentol sama dengan larutan kontrol : negatif
3. Besarnya bentol diantara histamin dan larutan kontrol : + (+1) atau ++ (+2)
4. Besarnya bentol dua kali dari histamin : ++++ (+4)
Bosquet1. 0 : tidak ada respon
2. +1 : besarnya bentol 1mm > kontrol negatif
3. +2 : besarnya bentol 1-3mm > kontrol negatif
4. +3 : besarnya bentol 3-5mm > kontrol negatif
5. +4 :besarnya bentol 5mm > kontrol negatif
1. PATCH TEST Untuk memeriksa alergi kontak terhadap bahan kimia. Dilakukan di kulit punggung Hasil diketahui dalam waktu 48 jam setelah pemeriksaan. Bila positif timbul bercak kemerahan. Syarat sebelum tes dalam keadaan sehat, tidak boleh melakukan aktivitas yang
berkeringat selama tes berlangsung, dan 2 hari sebelum tes tidak boleh mengkonsumsi steroid
2. RADIO ALLERGO SORBENT TEST Untuk memeriksa alergi terhadap alergen hirup dan makanan misalnya debu,
tungau, udang, dsb. Sampel tes menggunakan serum darah 2cc Hasil diketahui dalam waktu 4 jam setelah pemeriksaan. Kelebihannya bisa dilakukan pada usia berapapun tidak dipengaruhi oleh obat-
obatan
3. TES PROVOKAS Untuk memeriksa alergi terhadap alergen hirup, obat dan makanan. Tes terhadap alergen hirup atau provokasi bronkial dan provokasi makanan jarang
digunakan karena beresiko menimbulkan serangan asma dan syok. Tes provokasi obat menggunakan metode uji samar ganda dengan menaikkan dosis
pemberian obat secara bertahap dengan interval 15-30 menit dalam 1 hari satu macam obat.
Hasil diketahui dalam waktu 48 jam setelah pemeriksaan.
2012 Page 112
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
K. EDUKASI
Atasi alergi bukan dengan obat tapi identifikasi dan hindari penyebabnya.
Menghindari faktor-faktor penyebab dan diskusi pada pasien ini penatalaksanaan yang
diberikan dapat berupa farmakologis maupun non farmakologis/edukasi. Hal yang perlu
diperhatikan adalah upaya pencegahan terulangnya kontak kembali dengan alergen
penyebab, dan menekan kelainan kulit yang timbul. Serta identifikasi agen-agen penyebab
dan jauhlan pasien dari paparan, walaupun seringkal hal ini sukar, khususnya pada kasus
kronik.
2012 Page 113
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7
2012 Page 114