american+and+scandinavian+realism
DESCRIPTION
AMERICAN and scandinavian realismTRANSCRIPT
TUGAS FILSAFAT HUKUM
AMERICAN AND SCANDINAVIAN REALISM
Disusun Oleh:
SANTA MARELDA SARAGIH
NPM: 0806478203
Nomor Absen : 29
TANTRIE I. SIHOMBING
NPM:
Nomor Absen :
AGUNG
NPM:
Nomor Absen :
FAKULTAS HUKUM
PASCA SARJANA
UNIVERSITAS INDONESIA
2009
American and Scandinavian Realism
REALISME AMERIKA DAN SKANDINAVIA (AMERICAN AND SCANDINAVIAN REALISM)
A. Pendahuluan Pada abad ke sembilan belas dan di awal abad sekarang ini, laissez
faire1 merupakan prinsip yang dominan di Amerika. Prinsip tersebut
dihubungkan dalam lingkup intelektual dengan suatu pemikiran tertentu yang
dinamakan dengan formalism dalam ilmu-ilmu sosial dan filsafat.2 Hal ini
ditandai oleh suatu penghormatan untuk peranan logika dan matematika,
serta alasan a priori3 yang diterapkan terhadap filsafat, ekonomi dan
yurisprudensi, dengan sedikit keinginan untuk menghubungkannya secara
empiris terhadap fakta-fakta kehidupan.4 Seiring dengan berkembangnya
prinsip di atas, ilmu empiris dan teknologi sangat mendominasi masyarakat
Amerika, dan dengan perkembangan ini, bangkitlah suatu pergerakan
intelektual yang hendak mengkaji filsafat dan ilmu-ilmu sosial, bahkan logika
sebagai studi yang bersifat empiris, tidak berbasis pada formalism yang
bersifat abstrak.5 Di Amerika pergerakan ini dihubungkan dengan beberapa
tokoh, yaitu: Wiliam James dan Dewey dalam bidang filsafat dan logika,
Veblen dalam ekonomi, Beard dan Robinson dalam bidang sejarah dan
Holmes dalam yurisprudensi.6 Tokoh-tokoh di atas dengan lingkup studi
mereka yang beragam, memiliki ketertarikan untuk menegaskan kebutuhan
dalam memperluas pengetahuan secara empiris, dan untuk
menghubungkannya dengan solusi dari permasalahan-permasalahan praktis
yang dihadapi oleh individu dalam lingkungan masyarakat sekarang ini.
1 Suatu prinsip yang membuka kesempatan kepada masyarakat atau pihak swasta untuk mengembangkan usaha mereka dalam kegiatan ekonomi tanpa pengaruh atau campur tangan dari pihak pemerintah. Dalam Black’s Law Dictionary: laissez-faire,n. [French”let (people) do (as they choose)”] ; Governmental abstention from interfering in economic or commercial affairs.
2 Morton G. White, Social Thought in America: The Revolt Against Formalism.3 Dalam Black’s Law Dictionary:. A priori: [Latin “from what is before] Deductively;from
general to the particular.4 Ibid.5 Ibid.6 Perlu diketahui bahwa pergerakan ini bertentangan dengan “British Empirical
School” yang berasal dari Hume, yang mana Bentham, Austin dan Mill mengikuti paham tersebut, baca “ Bahan Bacaan Filsafat Hukum Buku ke 1” yang disusun oleh Dr. Agus Brotosusilo, SH., MA, halaman 656.
Filsafat Hukum
1
American and Scandinavian Realism
Dewey lebih lanjut menegaskan pendekatan empiris, dengan
memandang pengetahuan sebagai suatu jenis pengalaman yang berasal dari
kegiatan manusia, yang melahirkan suatu masalah, dan tercapai dengan
melalui suatu proses ketika masalah tersebut terpecahkan.7 Disamping itu,
Veblen juga menegaskan pentingnya mempelajari institusi-institusi secara
empiris, khususnya hubungan antara institusi ekonomi dan aspek-aspek
budaya lainnya. Para ahli baru di bidang sejarah menekankan pengaruh-
pengaruh ekonomi dalam kehidupan sosial dan kebutuhan untuk mempelajari
sejarah sebagai suatu alat yang bersifat pragmatis dari kendali masa depan
manusia.8 Seluruh pemikiran-pemikiran baru di atas memiliki peranan penting
dalam pergerakan berkelanjutan di Amerika Serikat, dari suatu bentuk yang
sangat individualis menjadi suatu bentuk masyarakat kolektif pada
pertengahan pertama abad XX.
B. Pengertian RealismePergerakan intelektual yang mendukung realisme (realism) dan
menentang formalisme (formalism) diperkirakan mencapai popularitasnya di
akhir tahun sembilan belas dua puluhan.9 Holmes, seorang hakim yang
merupakan salah satu tokoh realis Amerika menyatakan kehidupan dari
hukum merupakan pengalaman sebagaimana juga dengan logika,dan
pandangannya tentang hukum sebagai prediksi tentang apa yang akan
diputuskan pengadilan, menitikberatkan pada aspek empiris dan pragmatis
dari hukum.10 Refleksi pandangan Holmes tentang hukum dapat dilihat dari
kecenderungan karakter dari bidang ilmu sosiologi, terutama
ketergantungannya terhadap ilmu-ilmu sosial lainnya.
Pandangan-pandangan yang telah dikemukakan oleh Holmes, Dewey
dan Veblen memberikan suatu deskripsi bahwa realisme atau “realism”
adalah suatu paham yang mengkaji pengetahuan secara empiris11 dan
7 Morton G. White, op.cit. halaman 2.8 Ibid .9 Op.cit,halaman 4.10 Op.cit, halaman 2.11 Dalam Black’s Law Dictionary: empirical,adj. of, relating to, or based on experience,
experiment, or observation.
Filsafat Hukum
2
American and Scandinavian Realismpragmatis12 berdasarkan permasalahan yang dialami manusia dan solusi
yang ditemukannya untuk memecahkan masalah tersebut.
Gambar 1. Pengertian Realisme
Frank memaparkan bahwa ada dua kelompok realis, yaitu:
1. rule-skeptics ; kelompok yang menghubungkan ketidapastian
hukum dengan peraturan-peraturan hukum yang tertulis secara
prinsipil dan kelompok ini berusaha untuk menemukan persamaan-
persamaan dalam putusan-putusan hakim.
2. fact-skeptics ; kelompok yang berpikir bahwa putusan-putusan
pengadilan yang tidak dapat diprediksi didasarkan pada fakta-fakta
yang tidak jelas.
Gambar 2. Pembagian Kelompok Realis Oleh Frank C. Pemikiran Para Realis Amerika
12 Dalam Logman Dictionary Contemporary English: pragmatic,adj. dealing with problems in a sensible, practical way instead of strictly following a set of ideas.
Filsafat Hukum
REALISME(REALISM)
Pengetahuan
Empiris(empirical)
Pragmatis (pragmatis)
Masalah-MasalahHidupManusia
Solusi
3
REALIST
Rule-skeptics
Facts-skeptics
American and Scandinavian Realism
Setelah memberikan gambaran tentang latar belakang realisme di
Amerika Serikat dan pengertian tentang realisme, penulis akan membahas
pemikiran para realis Amerika sebagai berikut.
1. Holmes, O.W : The Path of the Law
Dalam artikelnya yang berjudul “The Path of Law”, Holmes mengajukan
suatu pertanyaan kepada para pembacanya, yaitu:
Take the fundamental question, what constitutes the law ?13
Kemudian Holmes menjawab pertanyaan di atas :
You will find some text writers telling you that it is something different from what is decided by the courts of Massachusetts or England, that it is a system of reason, that it is a deduction from principles of ethics or admitted axioms or what not, which may or may not coincide with the decisions. But if we take the view of our friend the bad man we shall find that he does not care two straws for the axioms or deductions,but that he does want to know what the Massachusetts or English courts are likely to do in fact. I am much of his mind. The prophecies of what the courts will do in fact, and nothing more pretentious, are what I mean by the law. 14
Pertanyaan di atas mengungkap suatu permasalahan tentang apa yang
menjadi unsur pembentuk hukum atau dengan bahasa lain apa makna dari
hukum tersebut. Holmes menjawab, sebagian penulis menyatakan ; hukum
adalah suatu perbedaan diantara putusan-putusan para hakim yang berasal
dari pengadilan Massachussets atau pengadilan Inggris, suatu sistem
pemberian putusan yang merupakan deduksi dari prinsip-prinsip etika atau
peraturan-peraturan yang diakui maupun yang tidak diakui, yang sesuai
maupun tidak sesuai dengan putusan-putusan tersebut. Tetapi jika kita
melihat dari sisi “bad man”, kita akan mengetahui dia tidak peduli terhadap
dua unsur yang dinamakan dengan peraturan-peraturan atau deduksi, namun
dia hendak mengetahui apa yang sesungguhnya diputuskan oleh pengadilan
Massachussets atau pengadilan Inggris. Holmes menyatakan baginya hukum
adalah prediksi-prediksi tentang apa sesungguhnya yang akan diputuskan
oleh pengadilan atau apa yang menjadi putusan para hakim.
13 (1897) 10 Harv. L. Rev. 457-478, copyright 1897, by the Harvard Law Review Association; reprinted in O.W. Holmes, Collected Papers.
14 Ibid.
Filsafat Hukum
4
American and Scandinavian Realism
Holmes memandang hukum sebagai “prediksi” yang dilakukan oleh
badan litigasi maupun para pengacara professional di tengah-tengah
lapangan hukum.15 Pernyataan Holmes tentang hukum adalah putusan hakim
dan bukan deduksi abstrak dari peraturan-peraturan umum, memfokuskan
perhatiannya pada faktor-faktor empiris yang menimbulkan suatu sistem
hukum.16 Hal di atas membuat pendekatan baru ini lebih diterima dalam
sistem hukum Amerika, khususnya oleh pengacara-pengacara Amerika.17
2. Twining W: The Bad Man Revisited Teori “ Bad Man” yang dikemukakan oleh Holmes menimbulkan
beberapa kritik. Kritik-kritik tersebut, yaitu :
a. konsep-konsep seperti pengadilan atau pejabat18 hukum bergantung
pada suatu sistem hukum;
b. teori prediksi tentang hukum membuat suatu keadaan yang
membingungkan terhadap ide tentang prediksi dengan ide tentang
peraturan;
c. teori prediksi tidak memenuhi syarat sebagai teori hukum karena teori
ini tidak melibatkan pandangan-pandangan dari pihak-pihak yang
terlibat dalam proses hukum seperti hakim, advokat dan legislator.
15 The American Legal System, baca “ Bahan Bacaan Filsafat Hukum Buku ke 1” yang disusun oleh Dr. Agus Brotosusilo, SH., MA, halaman 658.
16 Ibid .17 [Pendapat Penulis] : Teori yang dikemukakan Holmes ini melahirkan suatu adagium
yang menyatakan: “All the law are judges made law ” (keseluruhan hukum adalah putusan-putusan para hakim.
18 Dalam bacaan asli disebut dengan istilah “official”. [ Official : someone who is in a position of authority,especially the government- Longman Dictionary of Contemporary English].
Filsafat Hukum
5
HUKUMPrediksi-prediksitentangputusan-putusan pengadilan
Aspek Hukum
empiris
pragmati
Gambar 3. Pengertian Hukum dari O.W. Holmes
American and Scandinavian Realism
Gambar 4. Bad Man Theory Oleh O.W. Holmes
Kritikan pertama di atas, mengemukakan bahwa peraturan
menjelaskan konsep atau peraturan mengatur jalannya suatu sistem hukum.
Untuk menjelaskan hukum dalam suatu prediksi tentang apa yang akan
dilakukan oleh pengadilan dan para pejabat hukum, melibatkan suatu unsur
penyangkalan, karena istilah “pengadilan” dan “pejabat hukum” harus dengan
sendirinya diartikan dalam terminologi hukum.
Kemudian kritikan ke dua menguraikan tentang suatu ambigu terhadap
keberadaan prediksi dan peraturan. Hal ini dapat digambarkan secara
sederhana dengan suatu pernyataan.19 “ Dalam masalah X, terdapat suatu
kewajiban untuk tidak…….” Untuk menyatakan bahwa suatu pernyataan
adalah suatu prediksi melibatkan suatu pengubahan terhadap bahasa umum
dan menyebabkan suatu kebingungan. Dalam penggunaan umum pernyataan
“Y memiliki kewajiban” berarti “Y wajib”; merupakan pernyataan
normatif,dimana suatu prediksi adalah suatu pernyataan empiris yang dapat
diverifikasi.20 Menyamakan peraturan-peraturan dengan prediksi-prediksi
dapat membuat perbedaan-perbedaan yang berarti menjadi tidak jelas,
misalnya perbedaan antara keberadaan suatu peraturan dan penegakannya
19 Dalam bacaan aslinya disebut dengan istilah “proportion” [proportion: a statement that consits of a carefully considered opinion or judgement-Logman Dictionary of Contemporary English].
20 W.Twining, The Bad Man Revisited (1973) Criticisms of the bad man concept as a theory of law”, baca Bahan Bacaan Filsafat Hukum Buku ke 1” yang disusun oleh Dr. Agus Brotosusilo, SH., MA, halaman 671.
Filsafat Hukum
6
BAD MANDoes not care
Axioms ordeductions
Do care
What the courts are likely to do In facts
American and Scandinavian Realismyang aktual. Selain itu juga dapat menyebabkan suatu kesalahan dalam
mendeskripsikan situasi-situasi dimana peraturan secara nyata
mempengaruhi tingkah laku .
Dalam kritikan ke tiga dinyatakan bahwa teori prediksi tidak memenuhi
syarat sebagai teori hukum karena teori ini tidak melibatkan pandangan-
pandangan dari pihak-pihak lain yang terlibat dalam proses hukum, seperti
hakim, advokat dan legislator. Hal yang menarik dalam kritik ini adalah suatu
asumsi tentang suatu konsep dari teori hukum umum yang layak, yang
menunjukkan adanya pergeseran dari bentuk hukum tradisional sebagai
suatu sistem peraturan ke arah bentuk proses hukum sebagai suatu sistem
dari peranan-peranan.21
Teori “Bad Man” yang dikemukakan oleh Holmes , walaupun
membingungkan, namun memiliki karakter embryonic, dan kerapuhannya
terhadap kritik-kritik dasar sepertinya menarik perhatian dua golongan,
yaitu:22
1. golongan yang merasa pendekatan tradisional terhadap hukum yang
terwujud dalam tulisan-tulisan hukum, literatur-literatur hukum,
penelitian hukum, dan pendidikan hukum berkembang menjadi sesuatu
yang terlalu bersifat akademis atau tidak realistis atau terpisah dari
kenyataan hukum dalam pelaksanaannya (law in action ); dan
2. golongan yang mengetahui; banyak teori analitis para ahli hukum dari
Austin sampai dengan Hart masih sempit dan steril atau jauh dari
kenyataan.
Dari teori di atas, dapat disimpulkan suatu kunci untuk menjadikan hukum
lebih realistik23 adalah dengan mengembangkan bentuk-bentuk dari sistem
21 W.Twining, The Bad Man Revisited (1973) Criticisms of the bad man concept as a theory of law” , baca Bahan Bacaan Filsafat Hukum Buku ke 1” yang disusun oleh Dr. Agus Brotosusilo, SH., MA, halaman 672.
22 Op.cit, halaman 284.
23 Ibid .
Filsafat Hukum
7
American and Scandinavian Realismhukum dan proses hukum yang setidaknya mencakup tugas-tugas pokok dari
orang-orang yang terlibat dalam proses hukum tersebut. 24
3. Dewey, J: Logical Method and LawLogika adalah suatu disiplin empiris dan konkrit yang bersifat
ultimum.25 Keberadaan konsep logika yang dikembangkan dalam pemikiran
hukum dan keputusan-keputusan dapat dikaji dengan memeriksa perbedaan-
perbedaan nyata yang terletak diantara perkembangan hukum aktual dan
syarat-syarat mutlak dari teori hukum. Holmes telah mengeneralisasikan hal
di atas dengan menyatakan, “keseluruhan garis besar dari hukum adalah
hasil dari suatu konflik pada setiap titik antara logika dan perasaan yang
baik, elemen yang satu berjuang untuk mengungkapkan hasil-hasil yang
bersifat tetap, sementara elemen yang lain membatasi dan pada akhirnya
mengatasi usaha tersebut ketika hasil-hasil di atas menjadi kelihatan terlalu
tidak adil.26 Dari pernyataan di atas, terdapat suatu makna tersirat, yakni
logika bukanlah metode dari perasaan yang baik27, tetapi logika adalah suatu
unsur yang memiliki hakikatnya sendiri, yang bertentangan dengan unsur-
unsur dari keputusan-keputusan baik, yang berkaitan dengan pokok-pokok
permasalahan.
Holmes mengartikan logika sebagai konsistensi formal, konsistensi dari
konsep-konsep yang tidak mempengaruhi satu sama lain terhadap
konsekuensi-konsekuensi dari penerapannya untuk menjelaskan masalah-
masalah yang nyata.28 Kita dapat menyatakan fakta tersebut dengan
mengatakan bahwa konsep-konsep sekali dikembangkan memiliki suatu sifat
tetap yang tidak akan berubah pada prinsipnya; sekali dikembangkan hukum
kebiasaan diterapkan dalam konsep tersebut. Konsep “siap pakai” (ready at
hand) lebih bersifat ekonomis dan praktis daripada memakan waktu untuk
24 Orang-orang yang dimaksud adalah para hakim, legislator dan advokat yang memiliki tugas untuk merancang undang-undang, menafsirkan undang-undang, mencari fakta dan memprediksikan.
25 J. Dewey, Logical Method and Law (1924), Bahan Bacaan Filsafat Hukum Buku ke 1” yang disusun oleh Dr. Agus Brotosusilo, SH., MA, halaman 677.
26 Ibid ,27 Dalam bacaan aslinya disebut dengan istilah “good sense” [good sense: the quality
someone has when they are able to make sensible decisions about what to do-Longman Dictionary of Contemporary English].
28 Loc.cit.
Filsafat Hukum
8
American and Scandinavian Realismmengubah sesuatu atau untuk membuat sesuatu yang baru. Ilustrasi di atas
memberikan suatu rasa yang bersifat stabil dari jaminan yang menentang
pengubahan peraturan yang bersifat tiba-tiba dan semena-mena.
Gambar 5. Garis Besar Hukum Menurut Holmes
di sisi lain Holmes juga secara tersirat menyatakan logika harus
mengurangi pengaruh dari hukum kebiasaan, dan hal ini dapat disimpulkan
dalam pernyataannya berikut.
“ The actual life of law has not been logic: it has been experience “.29
Praktek di lapangan menunjukkan, para pejabat pemerintahan bahkan para
hakim melakukan penyimpangan atau kolusi dalam memutuskan perkara
daripada menggunakan silogisme dalam menetapkan peraturan
sebagaimana masyarakat seharusnya diatur. Dari pernyataan di atas,
Holmes sedang berpikir, logika sama dengan silogisme. Dalam pandangan
silogisme, sesuai dengan bentuk logika baru yang dibuat oleh scholasticism,
terdapat suatu antithesis antara pengalaman dan logika, antara logika dan
perasaan baik (good sense). Dengan demikian dibutuhkan suatu jenis lain
dari logika, yaitu ; silogisme, yang dapat mengurangi pengaruh dari kebiasaan 29 J. Dewey, Logical Method and Law (1924), Bahan Bacaan Filsafat Hukum Buku ke
1” yang disusun oleh Dr. Agus Brotosusilo, SH., MA, halaman 678.
Filsafat Hukum
Resultant
LAW
9
Logic Good Sense
CONFLICT
American and Scandinavian Realismdan yang akan memfasilitasi penggunaan dari perasaan baik berkaitan
dengan masalah-masalah dari konsekuensi sosial. Silogisme memberikan
pengaruh yang sangat besar dalam putusan-putusan hukum.30
Gambar 6. Silogisme
4. Frank, J: Law and Modern MindKaum realis memiliki suatu karakter negatif yang telah dikenal oleh
umum, karakter tersebut adalah suatu skeptisme yang didorong oleh suatu
keinginan kuat untuk mengubah beberapa metode pengadilan demi
kepentingan keadilan.31 Seperti yang sudah dikemukakan sebelumnya, J.
Frank membagi kaum realis ke dalam dua golongan, berdasarkan perbedaan
cara pandang mereka. Kedua golongan tersebut, yaitu :
a. golongan yang skeptis terhadap peraturan (rule-skeptics); dan
b. golongan yang skeptis terhadap fakta ( fact-skeptics).
Golongan pertama yang dinamakan rule-skeptics, bertujuan untuk
mencapai kepastian hukum yang lebih besar. Mereka menganggap penting
bagi pengacara untuk dapat memprediksikan putusan-putusan hakim yang
mana tidak banyak dilakukan oleh orang lain sebelum mengajukan tuntutan
hukum. Mereka percaya, mereka dapat menemukan gambaran dari
persamaan-persamaan atau keteraturan-keteraturan dalam putusan hakim
30 Ibid.31 J.Frank, Law and the Modern Mind (English ed., 1949), dalam Bahan Bacaan
Filsafat Hukum Buku ke 1” yang disusun oleh Dr. Agus Brotosusilo, SH., MA, halaman 679.
Filsafat Hukum
10
Syllogism
Antithesis
experience
Logic Logic Good sense
American and Scandinavian Realismyang aktual di balik kitab-kitab peraturan, dan peraturan-peraturan yang
bersifat riil tersebut dapat menjadi alat-alat prediksi yang lebih dipercaya,
serta akan menjadi prediksi yang bermanfaat untuk tuntutan-tuntutan
selanjutnya.32 Dalam hal ini, golongan rule-skeptics memfokuskan kajiannya
secara istimewa terhadap pendapat pengadilan di tingkat yang lebih tinggi.
Dengan kata lain, golongan tersebut berusaha untuk menghasilkan prediksi
yang akurat terhadap keputusan pengadilan di tingkat yang lebih tinggi ketika
mereka mengajukan banding terhadap putusan pengadilan di tingkat
sebelumnya.
Golongan ke dua yang dinamakan dengan fact-skeptics, juga memiliki
hubungan dengan rule-skeptics, dan mereka juga mencari penjelasan dibalik
peraturan-peraturan tertulis. Bersama dengan rule-skeptics mereka memiliki
ketertarikan dalam beberapa faktor, mempengaruhi putusan pengadilan tinggi
(upper-court decisions) yang seringkali tidak memberikan penjelasan secara
langsung.33 Namun, fact-skeptics bergerak lebih jauh dari golongan rule-
skeptics. Fokus dasar mereka adalah pengadilan tingkat pertama. Mereka
menyatakan, sekalipun peraturan-peraturan hukum itu jelas dan pasti,
sekalipun persamaan-persamaan dapat ditemukan dibalik peraturan-
peraturan yang bersifat formal tersebut, namun hal tersebut mustahil, dan
selalu menjadi mustahil, karena ketidakjelasan dari fakta-fakta yang
mendasari putusan-putusan hakim. Memprediksi putusan-putusan mendatang
dalam kebanyakan tuntutan-tuntutan hukum, belum dimulai atau belum
dicoba. Disamping itu, mereka juga berpikir, dengan demikian usaha untuk
meningkatkan kepastian hukum yang lebih besar adalah sia-sia dan usaha ini
akan menyebabkan ketidakadilan daripada meningkatkan keadilan hukum.34
5. Frank, J: Court on Trial“ Court on Trial “ merupakan sebuah tulisan yang ditulis oleh J.Frank
untuk mengemukakan kritiknya terhadap beberapa axioma dari pemikiran
hukum tradisional tentang apa yang terjadi di dalam ruang persidangan.
32 Ibid .33 Ibid, halaman 680.34 Ibid.
Filsafat Hukum
11
American and Scandinavian RealismBeberapa axioma dari pemikiran hukum tradisional yang dikumpulkan oleh J.
Frank adalah sebagai berikut.
1. “Unsur personal” dalam suatu proses hukum seharusnya tidak
memiliki pengaruh yang banyak terhadap hah-hak hukum maupun
putusan-putusan pengadilan. Bahkan jika kita mengakui, personil-
personil dari para saksi, pengacara, juri dan hakim memiliki pengaruh,
kita harus menepis unsur-unsur dari para personil tersebut yang
merupakan sesuatu yang bersifat tidak adil.
2. Peraturan-peraturan hukum adalah faktor dominan dalam
pengambilan keputusan.
3. Ketika peraturan-peraturan tersebut jelas, peraturan-peraturan
tersebut biasanya mencegah litigasi; dan, jika litigasi terjadi, akan lebih
mudah memprediksi putusan-putusan hakim.
4. Para hakim dan juri dalam persidangan hanya memiliki kebijakan yang
terbatas yang diberikan oleh peraturan-peraturan hukum; mereka tidak
memiliki kebijakan ketika peraturran-peraturan tersebut bersifat jelas.
5. Hasil dari putusan-putusan dari penerapan peraturan-peraturan hukum
terhadap fakta-fakta aktual terkandung dalam tuntutan-tuntutan
hukum………………..35
Suatu kekurangan dari asumsi pemikiran hukum tradisional yang
dikemukakan oleh Frank adalah para pihak yang mencampurkan dua sikap,
yaitu :
a. “ This is true” atau “ “Ini benar”; dan
b. “ This is should be true” atau “ Ini seharusnya benar ”.
Dengan mencampurkan kedua sikap di atas, para pihak tanpa disadari
berbalik dan kembali menyatakan, “ Inilah yang terjadi di pengadilan-
pengadilan sekarang” ( “This is what now happens in courts”) dan “ Inilah
yang saya inginkan terjadi di pengadilan-pengadilan “ ( “This is what I would
like to have happen in courts. “ ), antara suatu gambaran dari suatu
35 J. Frank: Courts on Trial (1949) Questioning Some Legal Axioms, dalam Bahan Bacaan Filsafat Hukum Buku ke 1” yang disusun oleh Dr. Agus Brotosusilo, SH., MA, halaman 683.
Filsafat Hukum
12
American and Scandinavian Realismkeberadaan dan suatu program di masa depan.36 Dari ilustrasi di atas, dapat
disimpulkan, para pihak yang tidak puas dengan keputusan pengadilan akan
membuat suatu asumsi yang tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya
terjadi dalam praktek pengadilan. Frank menyebut asumsi tesebut dengan
istilah wish assumptions atau wish postulates atau programmatic postulates.37
Gambar 7. Wish Assumptions oleh J. Frank
Berdasarkan kedua asumsi di atas, Frank memberikan beberapa
rekomendasi untuk melakukan reformasi, agar kita dapat mendeskripsikan
aktualitas dari aktivitas-aktivitas pengadilan. Rekomendasi-rekomendasi
tersebut , yaitu :
1. Mengurangi kelebihan dari metode pelaksanaan pemeriksaan
persidangan yang bersifat melawan:
a. Meminta pemerintah lebih bertanggung jawab untuk mengawasi
semua bukti yang penting dan yang tersedia diajukan dalam
suatu persidangan dari suatu tuntutan civil.
b. Meminta para hakim di persidangan untuk lebih aktif dalam
memeriksa para saksi.
c. Menyediakan ruang sidang untuk pemeriksaan saksi yang lebih
manusiawi dan cerdas.
d. Menggunakan “kesaksian ahli” non-partisan, yang disebut oleh
hakim, untuk memberi kesaksian berkenaan dengan kesalahan
saksi yang mungkin dapat dideteksi secara akurat dengan
menggunakan “alat tes kebohongan”.
e. Menghapus sebagian besar aturan bukti eksklusioner.36 Ibid, halaman 684.37 Ibid.
Filsafat Hukum
13
TraditionalLegal Thinking
This is what now happen in courts.
This is what I would like to happen in courts.
Wish assumptions
American and Scandinavian Realism
f. Menyediakan liberal pre-trial “discovery” untuk para terdakwa
dalam kasus pidana.
2. Memperbaharui pendidikan hukum dengan memindahkannya lebih
dekat dengan kantor pengadilan dan aktualitas kantor pengacara, serta
dengan lebih banyak menggunakan metode pemagangan dalam
mengajar.
3. Menyediakan dan mengharuskan pendidikan khusus untuk para hakim
di masa yang akan datang, seperti pendidikan yang meliputi psikologi
intensif berbasis eksplorasi diri oleh masing-masing calon hakim.
4. Menyediakan dan mengharuskan pendidikan khusus untuk para
penuntut yang akan memfokuskanpada kewajiban dari para penuntut
untuk memperoleh semua bukti penting, termasuk yagn memberatkan
tertuduh.
5. Menyediakan dan mengharuskan suatu pendidikan khusus untuk para
polisi sehingga mereka tidak ingin menggunakan “third
degreee”……..38
6. Llewellyn, K: Some Realism About RealismDalam tulisannya yang berjudul “Some Realism About Realism”,
Liewellyn menyatakan, pengelompokan kaum realis tidak didasarkan pada
persamaan mereka dalam keyakinan atau pekerjaan yang mereka lakukan,
namun didasarkan pada unsur-unsur umum dari cara atau teknik modern
yang membagi mereka dalam bidang-bidang pekerjaaan, yang kelihatannya
menyatukan mereka secara keseluruhan, yang tidak direncanakan oleh
siapapun, diprediksikan oleh siapapun dan mungkin juga belum cukup
dimengerti oleh siapapun.39 Unsur-unsur umum dari teknik modern tersebut,
yaitu :40
1. Konsep hukum yang dinamis, hukum yang bergerak, dan putusan
hakim.
38 Baca : J. Frank: Courts on Trial (1949) Questioning Some Legal Axioms, dalam Bahan Bacaan Filsafat Hukum Buku ke 1” yang disusun oleh Dr. Agus Brotosusilo, SH., MA, halaman 686.
39 K. Llewellyn, Some Realism About Realism (1831), Real Realists, dalam Bahan Bacaan Filsafat Hukum Buku ke 1” yang disusun oleh Dr. Agus Brotosusilo, SH., MA, halaman 687.
40 Ibid .
Filsafat Hukum
14
American and Scandinavian Realism
2. Konsep hukum sebagai suatu alat untuk menyelesaikan sengketa-
sengketa sosialdan bukan suatu akhir dari hukum tersebut; dengan
semikian beberapa bagian perlu diperiksa secara tetap berdasarkan
tujuannya, dan berdasarkan pengaruhnya, dan untuk diadili dari dua
sudut pandang di atas dan juga dari hubungannya satu sama lain.
3. konsep masyarakat yang dinamis, dan lebih dinamis dari hukum,
sehingga kemungkinan untuk memeriksa kembali beberapa porsi dari
hukum selalu ada, supaya dapat menentukan sejauh mana hukum
dapat melayani masyarakat.
4. Pemisahan sementara dari “is” dan “ought” untuk tujuan dari
pengkajian.41
5. Ketidakpercayaan pada peraturan-peraturan hukum tradisional dan
konsep-konsep sejauhmana mereka menggambarkan apa yang
sekarang ini dilakukan oleh pengadilan dan masyarakat.
6. Saling berkaitan dengan poin di atas, timbul ketidakpercayaan
terhadap teori, formulasi hukum tradisional yang bersifat preskriptif
adalah faktor operatif yang berat dalam menghasilkan putusan-putusan
pengadilan.
7. Keyakinan dalam pengutamaan pengelompokan kasus-kasus dan
permasalahan-permasalahan hukum ke dalam kategori-kategori yang
lebih sempit daripada yang telah dipraktekkan di masa lalu.
8. Suatu penegasan terus menerus pada evaluasi dari beberapa bagian
hukum yang berkaitan dengan pengaruh-pengaruhnya, dan
penegasan terus-menerus pada pengutamaan untuk mencoba
menemukan pengaruh-pengaruh ini.
9. Penegasan terus-menerus pada serangan yang bersifat
berkesinambungan dan terencana pada masalah-masalah hukum yang
berkaitan dengan beberapa garis berikut.
a. Konsep rasional yang merupakan garis awal dan membuahkan
serangan psikologi.
41 Baca K. Llewellyn, Some Realism About Realism (1831), Real Realists, dalam Bahan Bacaan Filsafat Hukum Buku ke 1” yang disusun oleh Dr. Agus Brotosusilo, SH., MA, halaman 688.
Filsafat Hukum
15
American and Scandinavian Realism
b. Garis serangan ke dua yang telah mendiskriminasikan
peraturan-peraturan berdasarkan signifikansinya yang bersifat
relatif.
c. Garis serangan yang lebih jauh, terdapat pada konflik nyata
dan ketidakpastian antara putusan-putusan di pengadilan
banding, memerlukan pernyataan yang lebih dapat dimengerti
dengan mengelompokkan fakta-fakta baru, tetapi tidak selalu
dalam bentuk kategori-kategori yang lebih sempit.
7. Llwellyn, K : Using the New JurisprudenceLlwellyn memaparkan dua metode inti dan penyelesaian dari
Yurisprudensi terbaru dalam tulisannya yang berjudul “Using the New
Jurisprudence”. Kedua metode tersebut adalah sebagai berikut.42
1. Mempelajari doktrin yang diterima dan memeriksa kata-katanya secara
berlawanan dengan hasil-hasilnya, secara khusus dan menyeluruh.
Metode ini mencoba untuk menerima suduut pandang baru dan secara
berkelanjutan berhati-hati terhadap apa yang terjadi. Metode ini
kemudian mencoba untuk mengingat seluruh hasil-hasil yang relevan
dalam waktu yang sama; melihat apakah hasil-hasil di hari Selasa
diperiksa dengan hasil-hasil di hari Senin maupun di hari Rabu; dan
tidak berisi formulasi yang tidak berhubungan dengan seluruh hasil
tersebut.
2. Jikalau doktrin yang diterima tersebut kelihatan tidak menyatu secara
sempurna dengan seluruh hasil, maka kita mencoba sudut pandang
baru yang lain, dari beberapa sisi;namun jika cara ini juga tidak
berhasil, maka kita dapat menggunakan kebiasaan hakim sebagai
pedoman untuk memecahkan masalah yang dihadapi.
Llwellyn juga menyatakan, ide yang terkandung dalam yurisprudensi modern
adalah suatu kajian yang lebih sulit dan intensif tentang apa yang terjadi, dan
di atas segalanya merupakan kajian yang lebih berkesinambungan tentang
kebijaksanaan dan bagian dari kebijaksanaan yang tertulis dalam buku-buku,
42 Llwellyn, K : Using the New Jurisprudence, dalam Bahan Bacaan Filsafat Hukum Buku ke 1” yang disusun oleh Dr. Agus Brotosusilo, SH., MA, halaman 691-692.
Filsafat Hukum
16
American and Scandinavian Realismmemeriksanya lagi dan lagi secara berlawanan dengan apa yang terjadi,
sehingga dapat menetapkan pondasi untuk doktrin yang lebih tegas.43
Gambar 8. Modern Jurisprudence oleh K. Llwelyn
8. Llewellyn, K: The Common Law TraditionLlwellyn menyatakan, terdapat suatu periode gaya atau “period style”
yang digunakan oleh pengadilan-pengadilan dalam sistem hukum Amerika.44
Dalam “common law”, praktek pengadilan-pengadilan berubah-ubah diantara
dua jenis gaya yang dinamakan dengan “Grand Style” dan “Formal Style”.
Grand style didasarkan secara esensial pada permintaan banding terhadap
suatu putusan hakim, dan tidak mengandung salinan yang mengikuti
preseden45; pertimbangan diberikan terhadap reputasi dari hakim dalam
memutuskan kasus terdahulu, dan prinsip didiskusikan untuk memastikan
preseden tidak merupakan suatu alat verbal yang penting, tetapi suatu
generalisasi yang menjawab secara jelas dan teratur. Di sisi lain, formal style
menyatakan, peraturan-peraturan hukum menjadi landasan dalam memutus
43 Ibid, halaman 692.44 The Common Law Tradition, dalam Bahan Bacaan Filsafat Hukum Buku ke 1” yang
disusun oleh Dr. Agus Brotosusilo, SH., MA, halaman 663.
45 Dalam bacaan asli disebut dengan istilah “precedent” [a decided case that furnishes a basis for determining later cases involving similar facts or issues.-Black Law Dictionary].
Filsafat Hukum
17
ModernJurisprudence
Harder and intensive study of what goes on.
Above all more sustained study of the wisdoms and part- wisdoms in the book.
Checking them again and against what goes on.
Can lay the foundation for more solid doctrine.
American and Scandinavian Realismkasus-kasus; kebijakan diperuntukkan bagi lembaga legislatif, bukan untuk
pengadilan, dan dengan demikian pendekatan ini bersifat otoriter46, formal
dan logis.
Llwellyn juga menambahkan; grand style memiliki karakter “situation
sense” sedangkan sebaliknya formal style tidak memperhatikan faktor-faktor
sosial. Lebih lanjut, grand style memberikan pedoman terhadap masa depan
yang lebih jauh daripada formal style.
Gambar 9. Period Style of Common Law in America oleh K.Llwellyn9. Liewellyn, K: My Philosophy of Law
Ada masanya dimana hukum menjadi perhatian para filsuf, dan
dikonsepsikan sebagai bagian dari filsafat.47 Dalam masa sekarang ini, hukum
dianggap sebagai ilmu sosial oleh para ahli sosial. Para pengacara
menganggap hukum sebagai suatu keahlian dan sebagai suatu profesi;
mereka juga mengenalnya sebagai suatu badan hukum; mereka jarang
disibukkan untuk menemukan hubungan diantara fase-fase ini.48 Para
negarawan telah mengenal hukum sebagai aspek kunci dari masyarakat,
sebagai pedoman, sebagai suatu alat, sebagai suatu kewajiban yang bersifat
46 Dalam bacaan asli disebut dengan istilah “authoritarian” [strictly forcing people to obey a set of rules or laws, especially ones that are wrong or unfair-Longman Dictionary of Contemporary English].
47 K.Llwellyn, My Philoshopy of Law (1941), dalam Bahan Bacaan Filsafat Hukum Buku ke 1” yang disusun oleh Dr. Agus Brotosusilo, SH., MA, halaman 703.
Filsafat Hukum
Grand Style Formal Style
Is based essentially on an appeal to reason and do not slavish following of precedent;…….
The rules of law decide the cases;policy is for the legislature, not for the courts, and therefore is authoritarian, formal and logical.
18
Period Style
American and Scandinavian Realismterbatas, namun mereka jarang memperdebatkan tentang bagaimana semua
ini menyatu bersama. 49
Dalam tulisannya yang berjudul “My Philoshophy of Law” ini, Llwellyn
memaparkan garis-garis dari tugas hukum50, yaitu :
1. Disposisi dari kasus-kasus yang bermasalah: suatu kesalahan, suatu
ketidakadilan, suatu persengketaan. Hal ini merupakan bengkel kerja
atau suatu fokus berkelanjutan terhadap masyarakat, dengan (seperti
ditunjukkan oleh yurisprudensi) pengaruhnya yang berkelanjutan
terhadap pembangunan dari keteraturan masyarakat.
2. Hubungan yang preventif dari tindakan dan harapan untuk mencegah
masalah, dan sejalan dengan kajian efektif dari tindakan dan harapan
dalam bentuk yang sama.
3. Alokasi dari kewenangan dan pengaturan terhadap prosedur-prosedur
yang digolongkan sebagai tindakan authoritative; yang meliputi
beberapa konstitusi dan lain-lain.
4. Bagian positif dari pekerjaan hukum, terlihat sebagai keseluruhan
jaringan: jaringan organisasi dari masyarakat sebagai suatu
keseluruhan yang mengatur integrasi, kontrol dan insentif.
5. “Metode hukum”, untuk menggunakan suatu slogan dalam
penanganan tugas dan membangung tradisi yang bersifat efektif dalam
penanganan, materi dan alat-alat hukum dan para personil
dikembangkan untuk pekerjaan-pekerjaan lain-hingga akhirnya materi-
materi, alat-alat dan para personil tersebut tetap melakukan tugas
hukumnya, dan melakukannya dengan lebih baik, hingga mereka
menjadi sumber dari kemungkinan dan pencapaian baru.
10.Ross, A : Tû-tûA. Ross, seorang realis Skandinavia merumuskan suatu konsep hukum
yang dinamakan dengan Tû-tû. Konsep yang dirumuskan oleh A. Ross ini
menguraikan hubungan antara fakta hukum dan konsekuensi hukum (jurisctic
fact and legal consequence). Salah satu contoh yang dipaparkan oleh A.Ross
berkaitan dengan konsep di atas adalah sebagai berikut.48 Ibid.49 Ibid.50 Dalam bacaan aslinya disebut dengan istilah “law-job”
Filsafat Hukum
19
American and Scandinavian Realism
…….We find the following phrases, for example, in legal language as used in statutes and the administration of justice:51
1. If a loan is granted, there comes into being a claim;2. If a claim exists, then payment shall be made on the day it falls due,Which is only a round about way of saying:3. If a loan is granted, then payment shall be made on the day it falls due.
“Klaim” yang disebutkan dalam poin 1 dan 2, tetapi tidak disebutkan dalam
poin 3, secara jelas merupakan : “Tû-tû”.52 Penjelasan kita tentang pengaruh
yang menyebabkan si peminjam (borrower) berjanji berhubungan dengan
cerita rakyat yang menyatakan bahwa : jikalau seseorang membunuh hewan-
hewan totem akan menjadi “Tû-tû”.53 Contoh di atas, menunjukkan adanya
suatu hasil dari hubungan pertalian antara fakta hukum dengan konsekuensi
hukum yang bersifat kondisional. Hasil tersebut dinamakan dengan suatu
klaim, suatu hak, seperti suatu hubungan kausal yang membawa sebuah
pengaruh atau yang mendasari konsekuensi hukum tersebut.
Dalam jumlah besar peraturan-peraturan hukum hubungan antara
fakta hukum dengan konsekuensi hukum dapat dideskripsikan sebagai
berikut:
F1-C1 F2-C1 F3-C1 Fp-C1
F1-C2 F2-C2 F3-C2 Fp-C2
F1-C3 F2-C3 F3-C3 Fp-C3
- - - -
- - - -
- - - -
51 A.Ross , Tû-tû, dalam Bahan Bacaan Filsafat Hukum Buku ke 1” yang disusun oleh Dr. Agus Brotosusilo, SH., MA, halaman 778.
52 Dalam artikel yang ditulisnya, A. Ross menyatakan : Tû-tû, bukanlah suatu hal yang nyata, hanyalah sebuah kata yang kurang memiliki makna jikalau diartikan secara harafiah.
53 A.Ross, op.cit.
Filsafat Hukum
20
American and Scandinavian Realism
F1-Cn F2-Cn F3-Cn Fp-Cn
( Baca: Fakta kondisional atau conditional fact F1 dihubungkan dengan
konsekuensi hukum atau legal consequence C1, dan seterusnya. ). Hal di
atas beerarti setiap fakta adalah suatu jumlah tertentu dari fakta-fakta
kondisional yang ada (F1-Fp) dihubungkan dengan setiap konsekuensi dari
suatu kelompok konsekuensi-konsekuensi hukum tertentu (C1-Cn).54
Perkalian antara n dan p (n x p ) peraturan-peraturan hukum tersebut
dapat dijelaskan secara sederhana dalam skema berikut.55
F1 C1
F2 C2
F3 C3
- O -
- -
- -
Fp Cn
Dari skema di atas, kita mengandaikan bahwa “ownership” atau kepemilikan
adalah suatu hubungan kausal antara F dan C, setiap pengaruh yang dibuat
oleh F, yang mana dalam perubahannya merupakan suatu jumlah
keseluruhan dari konsekuensi-konsekuensi hukum. Ilustrasi di atas dapat
dicontohkan sebagai berikut.56
(1) Jikalau A membeli suatu objek secara legal (F2), kepemilikan
dari objek tersebut dengan demikian berada di tangannya.
54 Baca A. Ross : Tû-tû, dalam Bahan Bacaan Filsafat Hukum Buku ke 1” yang disusun oleh Dr. Agus Brotosusilo, SH., MA, halaman 780.
55 Ibid.
56 Ibid.
Filsafat Hukum
21
American and Scandinavian Realism
(2) Jikalau A adalah pemilik dari suatu objek, dia memiliki hak untuk
memperbaikinya (C1).
Dengan demikian, (1) + (2) hanyalah pengulangan dari aturan-aturan yang
merupakan hasil dari (F2-C1), dimana pembelian sebagai suatu fakta
kondisional menyebabkan kemungkinan untuk perbaikan sebagai suatu
konsekuensi hukum.57
57 Ibid.
Filsafat Hukum
22