1bab ii tinjauan pustaka 2.1 kajian teori 2.1.1 manajemen ...repository.ub.ac.id/3044/3/bab...
Post on 06-Nov-2020
11 Views
Preview:
TRANSCRIPT
15
1BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kajian Teori
2.1.1 Manajemen Operasional
Kegiatan utama suatu perusahaan manufaktur adalah membuat atau
menciptakan suatu barang (produk) dengan mengubah bahan baku menjadi
barang setengah jadi atau barang jadi untuk kemudian dijual kepada
konsumen. Kegiatan ini memerlukan suatu sistem untuk merencanakan,
mengatur, melaksanakan, dan mengontrol faktor-faktor produksi seperti
mesin, uang, bahan baku, bahan pembantu, dan manusia. Sistem yang
seperti ini disebut manajemen operasional.
Manajemen operasional menurut Haizer dan Render (2015) adalah
serangkaian kegiatan menciptakan nilai pada suatu barang dan jasa melalui
pengubahan dari masukan menjadi keluaran.
Manahan P. Tampubolon (2004) menyebutkan bahwa manajemen
operasional atau manajemen produksi adalah manajemen proses konversi,
dengan bantuan fasilitas seperti tanah, tenaga kerja, modal, dan
manajemen masukan (input) yang diubah menjadi keluaran yang
diinginkan, berupa barang atau jasa atau layanan. Assauri (2008) juga
menerangkan tentang manajemen operasional atau produksi merupakan
kegiatan untuk mengatur menggunakan sumber daya manusia, sumber
daya alat, dan sumber daya dana secara efektif dan efisien untuk
16
menciptakan dan memberikan nilai tambah atas kegunaan barang atau
jasa.
2.1.2 Sepuluh Keputusan Manajemen Operasional
Keputusan operasi (operations decisions) adalah keputusan efektif
yang dibuat oleh manajer dalam sepuluh wilayah manajemen operasional
yang memungkinkan perusahaan untuk dapat melakukan diferensiasi,
biaya rendah, dan respons yang cepat. (Heizer dan Render, 2015). Berikut
sepuluh keputusan manajemen operasional yang mendukung misi dan
penerapan strategi:
1. Perancangan barang dan jasa. Perancangan barang dan jasa
berhubungan dengan kualitas produk dan sumber daya manusia.
Keputusan ini menentukan sebagian besar proses transformasi bahan
baku yang akan dilakukan sehingga juga sangat mempengaruhi
kualitas akhir produk, sehingga perlu memasukkan unsur kualitas atau
mutu (misalnya kualitas desain produk). Keputusan ini juga
menentukan jumlah SDM yang dibutuhkan untuk membuat produk.
2. Kualitas. Penentuan mutu atau kualitas harus dilaksanakan pada saat
perancangan produk dan perancangan proses dan kapasitas.
Ekspektasi pelanggan terhadap kualitas harus ditetapkan, peraturan
dan prosedur dibakukan untuk mengidentifikasi serta mencapai
standar kualitas tersebut.
3. Perancangan proses dan kapasitas. Keputusan proses dan kapasitas
yang diambil dibuat setelah perancangan barang dan jasa selesai.
Perancangan proses dan kapasitas berhubungan dengan mutu dan
17
SDM, dimana kualitas proses dan produk yang dihasilkan sangat
menentukan minat konsumen terhadap produk dan model proses itu
sendiri secara langsung menentukan jumlah SDM yang dibutuhkan.
Keputusan perancangan proses dan kapasitas ini juga menentukan
tingkat persediaan dan ketersediaan produk, penjadwalan, dan
pemeliharaan.
4. Pemilihan lokasi. Keputusan lokasi perusahaan berkaitan dengan
manajemen rantai pasok (supply chain), dimana faktor yang
berpengaruh antara lain transportasi dan jaringan distribusi.
5. Perancangan tata letak. Keputusan ini dibuat setelah melaksanakan
perancangan proses dan kapasitas. Perancangan tata letak berpengaruh
terhadap SDM, persediaan, penjadwalan, dan pemeliharaan.
6. Sumber daya manusia dan rancangan pekerjaan. Manusia merupakan
bagian yang mahal dari keseluruhan rancang sistem. Faktor ini
meliputi keselamatan, kesehatan, job description, lingkungan kerja,
dan upah.
7. Manajemen rantai pasokan. Rantai pasok dipengaruhi oleh kualitas
dan pemilihan lokasi perusahaan. Keputusan ini menjelaskan apa yang
harus dibuat dan apa yang harus dibeli.
8. Persediaan. Keputusan persediaan dipengaruhi oleh perancangan
proses dan kapasitas, SDM, dan perancangan tata letak.
9. Penjadwalan. Jadwal produksi yang harus dikerjakan dipengaruhi oleh
perancangan proses dan kapasitas, SDM, dan tata letak perusahaan.
18
10. Pemeliharaan. Keputusan harus dibuat agar perusahaan dapat berjalan
pada tingkat kehandalan dan stabilitas yang diinginkan. Keputusan ini
berkaitan dengan menjaga mutu atau kualitas.
Berdasarkan uraian diatas dapat dipahami bahwa persediaan
memiliki peranan yang signifikan dalam manajemen operasional. Tiga dari
sembilan keputusan manajemen operasional secara langsung dipengaruhi
dan mempengaruhi keputusan persediaan itu sendiri. Tiga keputusan
manajemen operasional yang dimaksud yaitu perancangan proses dan
kapasitas, perancanaan tata letak, dan SDM. Pengaruh dari persediaan
tidak berhenti pada tiga keputusan tersebut, namun dengan mempengaruhi
tiga keputusan tersebut berarti secara tidak langsung persediaan juga
memberikan pengaruh terhadap penentuan keputusan-keputusan
manajemen operasional yang lain. Hal tersebut menunjukkan bahwa
persediaan merupakan keputusan yang penting dan dengan demikian dapat
dijadikan alat bersaing. Jika perusahaan mampu membuat keputusan yang
tepat dalam hal persediaan (bersama faktor-faktor lainnya), maka
perusahaan akan mampu melakukan diferensiasi, biaya rendah, dan
respons yang cepat, dengan kata lain perusahaan akan mampu bersaing di
pasar (Heizer dan Render, 2015).
2.1.3 Persediaan (Inventory)
Setiap perusahaan, apakah perusahaan itu perusahaan jasa ataupun
perusahaan manufaktur, selalu memerlukan persediaan. Tanpa adanya
persediaan, para pengusaha akan dihadapkan pada risiko bahwa
perusahaannya pada suatu waktu tidak dapat memenuhi keinginan
19
pelanggannya. Persediaan merupakan sejumlah bahan-bahan, bagian-
bagian yang disediakan, dan bahan-bahan dalam proses yang terdapat
dalam perusahaan untuk proses produksi, serta barang-barang jadi/produk
yang disediakan untuk memenuhi permintaan dari konsumen atau
langganan setiap waktu (Freddy Rangkuti, 1998).
Pengertian lain yang hampir sama mengenai persediaan adalah
sejumlah bahan-bahan yang disediakan dan bahan-bahan untuk proses
produksi perusahaan serta barang jadi atau produk yang disediakan untuk
memenuhi permintaan pelanggan (Assauri, 2008).
Haming dan Nurnajamudin (2012) mendefinisikan persediaan
sebagai sumberdaya ekonomi yang berwujud dan perlu diadakan dan
dipelihara untuk menunjang proses produksi, meliputi bahan baku, produk
jadi, komponen rakitan, bahan pembantu, dan barang dalam proses.
Definisi-definisi persediaan tersebut menunjukkan bahwa persediaan
adalah suatu hal yang penting, karena persediaan menunjang proses
produksi dan akan terus dibutuhkan setiap waktu. Persediaan dapat berupa
bahan mentah atau bahan baku (raw material), bahan setengah jadi (WIP)
yang pada beberapa model proses produksi merupakan hasil dari separuh
proses pengolahan bahan mentah, barang jadi (finished goods), komponen
rakitan, dan bahan pembantu lainnya.
2.1.4 Tujuan Persediaan
Persediaan merupakan unsur utama dari modal kerja (aktiva lancar)
dan merupakan investasi yang sangat berarti pada banyak perusahaan
20
(Sjahrial, 2007). Tujuan perusahaan perlu mengadakan persediaan adalah
sebagai berikut (Assauri, 2008):
1. Menghilangkan resiko keterlambatan barang atau bahan yang
dibutuhkan oleh perusahaan.
2. Menghilangkan resiko kualitas bahan yang dipesan sehingga bahan
tersebut harus dikembalikan.
3. Menjaga stok bahan-bahan yang bersifat musiman.
4. Mempertahankan stabilitas operasi perusahaan.
5. Mencapai penggunaan mesin yang optimal.
6. Memaksimalkan pelayanan kepada pelanggan dimana keinginan
pelanggan bisa tetap terus terpenuhi.
2.1.5 Fungsi Persediaan
Freddy Rangkuti (2004;15-16) menyebutkan fungsi-fungsi
persediaan adalah sebagai berikut:
1. Fungsi Decoupling
Persediaan memungkinkan perusahaan dapat memenuhi permintaan
pelanggan tanpa tergantung pada suplier, dimana terkadang supplier
tidak selalu bisa menyediakan bahan baku tersebut, sehingga resiko
gangguan proses produksi dapat dikurangi.
2. Fungsi Economic Lot Sizing
Persediaan berfungsi mengurangi biaya-biaya per unit saat produksi
dan membeli sumberdaya-sumberdaya. Persediaan ini perlu
mempertimbangkan penghematan-penghematan (potongan
pembelian, biaya pengangkutan lebih murah, dan sebagainya) karena
21
perusahaan melakukan pembelian dalam kuantitas yang lebih besar,
dibandingkan dengan biaya-biaya yang timbul karena besarnya
persediaan (biaya sewa gudang, investasi, resiko kerusakan, dan
sebagainya).
3. Fungsi Antisipasi
Persediaan berfungsi sebagai pengaman bagi perusahaan, terutama
jika perusahaan sering menghadapi ketidakpastian waktu
pengiriman, permintaan yang fluktuatif, atau resiko lainnya. Dalam
hal ini perusahaan memerlukan persediaan ekstra yang disebut
persediaan pengaman (safety stock).
Disamping tiga poin tersebut, Handiguna (2009: 95) menambahkan
beberapa fungsi persediaan sebagai kesimpulan dari beberapa literatur,
yaitu:
1. Stok tersumbat (congestion stock)
Persediaan dari produk yang diproduksi berkaitan dengan adanya
batasan kapasitas produksi, dimana banyak produk yang diproduksi
pada peralatan produksi yang sama khususnya jika biaya pemesanan
produksinya relatif besar.
2. Stok pengamanan
Jumlah persediaan secara rata-rata harus mampu untuk memenuhi
permintaan dan distribusi yang tak tentu dalam jangka waktu
pendek.
22
3. Fungsi pipeline
Persediaan mampu meredam ketersediaan produk yang berada dalam
perjalanan, yakni produk yang masih ada pada alat angkutan seperti
truk.
Heizer dan Render (2015: 533) juga menjelaskan fungsi persediaan
menjadi empat poin sebagai rangkuman dari enam poin yang diutarakan
pada buku versi terdahulunya (2001; 314), yaitu:
1. Memberikan ketersediaan barang untuk dapat memenuhi permintaan
pelanggan yang diantisipasi dan menghindarkan perusahaan dari
kegagalan akibat fluktuasi permintaan.
2. Memisahkan beberapa tahapan dalam proses produksi.
3. Mengambil keuntungan dari potongan harga akibat jumlah
pembelian yang besar.
4. Menghindari inflasi harga material.
2.1.6 Jenis dan Tipe Persediaan
Persediaan dapat dibedakan menjadi beberapa jenis. Setiap jenisnya
memiliki karakteristik dan status yang berbeda-beda. Jenis-jenis
persediaan dibedakan sebagai berikut (Assauri, 2008):
1. Persediaan Bahan Baku (Raw Material Stock)
Persediaan dari barang-barang berwujud yang digunakan dalam
proses produksi, barang dapat diperoleh dari sumber-sumber alam
ataupun dibeli dari supplier atau perusahaan penghasil bahan baku
yang dibutuhkan.
23
2. Persediaan Bagian Produk (Purchased Part Stock)
Persediaan barang-barang yang terdiri dari part atau bagian yang
diterima dari supplier atau perusahaan lain yang secara langsung
dapat dirakit (assembling) dengan produk utama perusahaan atau
part lain tanpa memerlukan pengolahan terlebih dahulu.
3. Persediaan Bahan Pembantu atau Pelengkap (Supplies Stock)
Persediaan barang-barang yang digunakan dalam proses produksi
untuk membantu berhasilnya produksi atau yang dipergunakan
dalam bekerjanya suatu perusahaan, tetapi bukan merupakan bagian
atau komponen dari barang jadi.
4. Persediaan Barang Setengah Jadi (Work in Process Stock)
Persediaan barang yang keluar dari tiap-tiap bagian dalam satu
pabrik sebagai hasil dari pengolahan dan menjadi suatu bentuk, tapi
masih memerlukan proses lebih lanjut untuk dapat menjadi barang
jadi (finished goods).
5. Persediaan Barang Jadi (Finished Goods Stock)
Barang atau produk yang telah selesai diproses dalam pabrik dan
siap untuk dijual kepada konsumen.
2.1.7 Faktor-faktor Persediaan
Besar kecilnya persediaan yang di miliki perusahaan menurut
Riyanto (2001) dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
1. Volume yang dibutuhkan untuk melindungi jalannya perusahaan
terhadap gangguan kehabisan persediaan yang akan dapat
menghambat jalannya proses produksi.
24
2. Volume produksi atau penjualan yang direncanakan, dimana volume
produksi juga sangat tergantung pada volume penjualan yang
direncanakan.
3. Besarnya pembelian persediaan setiap kali pemesanan untuk
mendapatkan biaya pembelian minimum.
4. Estimasi tentang fluktuasi harga persediaan di waktu yang akan
datang.
5. Peraturan pemerintah yang terkait dengan persediaan tersebut.
6. Harga pembelian persediaan.
7. Biaya penyimpanan dan resiko penyimpanan di gudang.
8. Umur dan kualitas persediaan.
Tidak jauh berbeda dengan Riyanto, Ahyari (2003) menyebutkan
faktor-faktor berikut ini mempengaruhi kebijakan persediaan dan
semuanya saling berhubungan, yaitu:
1. Perkiraan pemakaian bahan baku
Sebelum perusahaan mengadakan pembelian persediaan, maka
manajemen perusahaan harus melakukan penyusunan perkiraan
permintaan atau pemakaian. Hal ini dapat dilakukan dengan
melakukan perencanaan produksi dan penjualan. Jumlah persediaan
yang dibeli dapat diperthitungkan dengan cara menambahkan jumlah
kebutuhan selama periode produksi ditambah jumlah persediaan
akhir yang direncanakan dan dikurangi dengan persediaan awal
periode.
25
2. Harga bahan baku
Harga persediaan merupakan salah satu faktor penentu utama
seberapa besar dana yang harus disediakan oleh perusahaan bila
perusahaan akan mengadakan persediaan dalam jumlah tertentu. Hal
ini akan mempengaruhi biaya modal atau nilai investasi yang
tersimpan dalam persediaan tersebut.
3. Biaya-biaya persediaan
Terdapat tiga macam biaya yang dikenal dalam persediaan, yaitu
biaya penyimpanan, biaya pemesanan, dan biaya tetap persediaan.
Besarnya biaya penyimpanan dan biaya pemesanan dipengaruhi oleh
besarnya jumlah unit yang disimpan dan frekuensi pembelian
persediaan. Sedangkan biaya tetap persediaan tidak dipengaruhi oleh
kedua faktor tersebut (hingga titik atau batas tertentu).
4. Kebijakan pembelanjaan
Besarnya persediaan dapat dipengaruhi oleh seberapa besar dana
yang dapat digunakan untuk investasi di dalam persedian bahan
baku. Selain itu kondisi keuangan perusahaan secara keseluruhan
juga akan mempengaruhi kemampuan perusahaan untuk membiayai
seluruh kebutuhan akan persediaan.
5. Pemakaian bahan
Perusahaan harus menganalisa perkiraan pemakaian persediaan
dengan pemakaian sebenarnya secara teratur, sehingga perusahaan
dapat mengetahui apakah metode perkiraan yang selama ini
dilakukan telah sesuai dengan keadaan sebenarnya.
26
6. Waktu tunggu (lead time)
Tenggang waktu antara waktu pemesanan dan waktu barang diterima
oleh perusahaan harus diperhitungkan dalam melakukan pembelian
persediaan. Jika perusahaan tidak memperhitungkan waktu tunggu,
perusahaan akan beresiko mengalami kehabisan persediaan. Namun
sebaliknya, jika perhitungan dilakukan secara berlebihan, maka akan
terjadi resiko penumpukan barang.
7. Model pembelian persediaan
Model pembelian akan sangat mempengaruhi besarnya persediaan
yang dibeli. Pemilihan model pembelian yang digunakan oleh suatu
perusahaan disesuaikan dengan situasi dan kondisi dari jenis
persediaan tersebut, sehingga menghasilkan jumlah pembelian
optimal yang berbeda pula.
8. Persediaan pengaman (safety stock)
Persediaan pengaman digunakan perusahaan jika terjadi kekurangan
persediaan atau keterlambatan datangnya persediaan yang dipesan.
Nilai persediaan pengaman adalah tetap selama periode yang
diperhitungkan.
9. Pembelian kembali (reorder point)
Pembelian kembali adalah titik yang ditentukan perusahaan untuk
melakukan pembelian persediaan sehingga pesanan persediaan
tersebut dapat diterima perusahaan tepat waktu.
27
2.1.8 Masalah Umum Persediaan
Persediaan merupakan faktor esensial dalam menunjang kegiatan
operasi perusahaan terutama perusahaan manufaktur. Persediaan
membutuhkan tempat penyimpanan dan biasanya jumlah persediaan yang
diadakan oleh perusahaan disesuaikan dengan kapasitas yang dimiliki
perusahaan. Semakin besar persediaan maka semakin besar pula biaya
penyimpanannya. Ada dua masalah umum yang dihadapi perusahaan
dalam mengelola persediaan, yaitu (Nasution, 2008:116):
a. Masalah kuantitatif, yaitu masalah yang berkaitan dengan penentuan
kebijakan persediaan, antara lain:
Jumlah barang yang akan dipesan.
Waktu pemesanan harus dilakukan.
Jumlah persediaan pengaman.
Pemilihan metode pengendalian persediaan yang tepat.
b. Masalah kualitatif, yaitu masalah yang berkaitan dengan sistem
pengoperasian persediaan yang menentukan kelancaran pengelolaan
sistem persediaan, antara lain:
Jenis barang yang dimiliki.
Letak barang tersebut berada.
Jumlah barang yang dipesan.
Siapa saja yang menjadi pemasok masing-masing jenis barang.
2.1.9 Manajemen Persediaan
Pengendalian persediaan merupakan salah satu kegiatan dalam
proses operasi perusahaan sesuai dengan apa yang direncanakan baik
28
waktu, jumlah, dan biayanya. Jumlah bahan baku yang terlalu banyak
dapat menimbulkan biaya yang cukup besar, sedangkan jika jumlah bahan
baku terlalu sedikit maka akan dapat mengganggu proses produksi di
dalam perusahaan. Oleh sebab itu jumlah persediaan perlu diatur dan
dianalisis dengan baik sesuai dengan kapasitas dan kebutuhan perusahaan
(Assauri, 2008: 176).
Manajemen persediaan merupakan hal yang harus diperhatikan oleh
setiap perusahaan yang mempunyai persediaan. Perusahaan harus mampu
untuk menentukan jumlah persediaan yang disimpan, jumlah persediaan
yang harus dipesan, serta kapan persediaan harus diisi kembali (Lestari,
2012: 8)
Manajemen persediaan dalam suatu perusahaan bertujuan untuk
(Ristono, 2008):
1. Untuk dapat memenuhi kebutuhan atau permintaan konsumen
dengan cepat (memuaskan konsumen)
2. Untuk menjaga kontinuitas produksi atau menjaga agar perusahaan
tidak mengalami kehabisan persediaan yang mengakibatkan
terhentinya proses produksi, hal ini dapat terjadi karena:
a. Kemungkinan barang (bahan baku dan penolong) menjadi
langka sehingga sulit untuk diperoleh
b. Kemungkinan supplier telambat mengirimkan barang yang
dipesan.
3. Untuk mempertahankan dan bila mungkin meningkatkan penjualan
dan laba perusahaan
29
4. Menjaga agar ongkos pesan barang tidak terlalu besar karena
peemesanan yang terlalu sering
5. Menjaga agar biaya penyimpanan tidak terlalu besar karena
persediaan yang terlalu besar atau menumpuk.
2.1.10 Biaya Persediaan
Biaya yang menyangkut pada kegiatan pengendalian persediaan
dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu biaya tetap dan biaya variabel.
Biaya tetap yang dimaksud adalah harga dari persediaan itu sendiri karena
harga persediaan tersebut relatif tidak berubah. Sedangkan biaya variabel
dalam persediaan terdiri dari (Haming, 2012):
1. Biaya pemesanan (ordering cost)
Biaya pemesanan meliputi biaya-biaya untuk melakukan pemesanan
(misalnya biaya telepon, biaya internet, biaya kirim surat, dan
sebagainya), biaya pengiriman, biaya penerimaan, dan biaya
pemeriksaan pemesanan. Jika perusahaan melakukan pemesanan
dalam jumlah yang kecil maka frekuensi pemesanan akan menjadi
tinggi. Namun semakin besar jumlah pesanan, maka frekuensi
pemesanan akan semakin berkurang. Keadaan tersebut dapat
menyebabkan perhitungan titik keseimbangan antara frekuensi
dengan jumlah pemesanan yang dapat berpengaruh terhadap besar
kecilnya biaya pemesanan.
2. Biaya penyimpanan (storage/holding/carrying cost)
Biaya penyimpanan merupakan biaya persediaan yang muncul akibat
adanya aktivitas penyimpanan persediaan. Biaya penyimpanan
30
umumnya terdiri dari biaya sewa gudang, biaya penerangan, dan
biaya perawatan.
Pada literatur lain Arman Hakim (2008) menyebutkan bahwa biaya
persediaan terdiri dari biaya pembelian, biaya pemesanan, biaya
penyimpanan, dan biaya kekurangan persediaan. Biaya-biaya tersebut akan
dijelaskan secara singkat sebagai berikut:
1. Biaya Pembelian (Purchasing Cost = Pc)
Biaya pembelian adalah biaya yang dikeluarkan untuk membeli
barang. Besarnya biaya pembelian ini tergantung pada jumlah barang
yang dibeli dengan harga satuan barang. Biaya pembelian menjadi
faktor yang penting ketika harga barang yang dibeli tergantung pada
ukuran pembelian. Situasi ini akan diistilahkan sebagai quantity
discount atau price break dimana harga barang per-unit akan turun
bila jumlah barang yang dibeli meningkat pada titik tertentu. Pada
kebanyakan teori persediaan, komponen biaya pembelian tidak
dimasukkan ke dalam total biaya pembelian untuk periode tertentu
(misalnya satu tahun) konstan dan hal ini tidak akan mempengaruhi
tingkat jumlah barang optimal yang harus dipesan.
2. Biaya Pengadaan (Procurement Cost)
Biaya pengadaan dibedakan menjadi dua jenis sesuai asal usul
barang, yaitu biaya pemesanan bila barang yang diperlukan
diperoleh dari pihak luar (supplier) dan biaya pembuatan bila barang
diperoleh dengan memproduksi sendiri. Kedua biaya ini memiliki
peran yang sama, yaitu pengadaan, sehingga dalam sistem
31
persediaan biaya tersebut sering disebut sebagai biaya pengadaan
(procurement cost). Berikut adalah penjelasan masing-masing biaya
tersebut:
a. Biaya pemesanan (Ordering Cost = Oc)
Biaya pemesanan adalah semua pengeluaran yang timbul
untuk mendatangkan barang dari luar perusahaan. Biaya ini
meliputi biaya untuk menentukan pemasok, pengetikan
pesanan, pengiriman pesanan, biaya pengangkutan, biaya
penerimaan, dan sebagainya. Biaya ini diasumsikan konstan
untuk setiap kali melakukan pesanan.
b. Biaya Pembuatan (Setup Cost = Sco)
Biaya pembuatan adalah semua pengeluaran yang ditimbulkan
untuk persiapan produksi barang. Biaya ini biasanya timbul di
dalam pabrik yang meliputi biaya penyusunan peralatan
produksi, ongkos menyetel mesin, ongkos mempersiapkan
gambar benda kerja, dan sebagainya.
3. Biaya Penyimpanan (Holding/Carrying Cost = Hc)
Biaya penyimpanan adalah semua pengeluaran yang timbul akibat
penyimpanan barang. Biaya ini meliputi:
a. Biaya memiliki persediaan (biaya modal)
Penumpukan barang di gudang dapat berarti penumpukan
modal, dimana modal perusahaan mempunyai biaya (expense)
yang dapat diukur dengan suku bunga bank. Oleh karena itu,
biaya yang ditimbulkan karena memiliki persediaan harus
32
diperhitungkan dalam biaya persediaan. Biaya memiliki
persediaan diukur sebagai persentasi nilai persediaan untuk
periode tertentu.
b. Biaya gudang
Barang yang disimpan memerlukan tempat penyimpanan
sehingga timbul biaya gudang. Bila gudang dan peraltannya
disewa maka biaya gudan merupakan biaya sewa, sedangkan
bila perusahaan mempunyai gudang sendiri maka biaya
gudang diambil dari biaya depresiasi atau penyusutan gudang.
c. Biaya kerusakan dan penyusutan
Barang yang disimpan dapat mengalami kerusakan dan
penyusutan karena beratnya berkurang ataupun jumlahnya
berkurang karena hilang. Biaya kerusakan dan penyusutan
biasanya diukur dari pengalaman sesuai dengan persentasenya.
d. Biaya kadaluarsa (obsolence)
Barang yang disimpan dapat mengalami penurunan nilai
karena perubahan teknologi dan model seperti barang-barang
elektronik. Biaya kadaluarsa biasanya diukur dengan besarnya
penurunan nilai jual dari barang tersebut.
e. Biaya asuransi
Barang yang disimpan diasuransikan untuk menjaga hal-hal
yang tidak diinginkan, seperti kebakaran. Biaya asuransi
tergantung pada jenis barang yang diasuransikan dan
perjanjian yang dilakukan dengan perusahaan asuransi.
33
f. Biaya administrasi dan pemindahan
Biaya ini dikeluarkan untuk mengadministrasikan persediaan
barang yang ada, baik pada saat pemesanan, penerimaan
barang maupun penyimpanannya dan biaya untuk
memindahkan barang dari dan ke dalam tempat penyimpanan,
termasuk upah buruh dan peralatan handling.
Dalam manajemen persediaan, terutama yang berhubungan dengan
masalah kuantitatif, biaya simpan per-unit diasumsikan linier
terhadap jumlah barang yang disimpan (misalnya Rp/unit/tahun).
4. Biaya Kekurangan Persediaan (Shortage cost = Sc)
Biaya ini kadang-kadang disebut juga biaya kesempatan (oportunity
cost). Bila perusahaan kehabisan barang pada saat ada permintaan,
maka akan terjadi keadaan kekurangan persediaan. Keadaan ini akan
menimbulkan kerugian karena proses produksi akan terganggu dan
perusahaan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan keuntungan
atau mungkin kehilangan konsumen karena kecewa, sehingga
konsumen beralih ke produk lain. Biaya kekurangan persediaan
dapat diukur dari:
a. Kuantitas yang tidak dapat dipenuhi
Biasanya diukur dari keuntungan yang hilang karena tidak
dapat memenuhi permintaan atau kerugian akibat terhentinya
proses produksi. Kondisi ini diistilahkan sebagai biaya penalty
34
(p) atau hukuman kerugian bagi perusahaan dengan satuan
perhitungan misalnya Rp/unit.
b. Waktu pemenuhan
Lamanya gudang kosong sama dengan lamanya proses
produksi terhenti atau dengan kata lain perusahaan tidak
mendapatkan keuntungan dari penjualan, sehingga waktu
menganggur tersebut dapat diartikan sebagai uang yang hilang.
Biaya waktu pemenuhan diukur bedasarkan waktu yang
diperlukan untuk memenuhi gudang dengan satuan misalnya
Rp/unit.
c. Biaya pengadaan darurat
Agar konsumen tidak kecewa maka dapat dilakukan
pengadaan darurat yang biasanya menimbulkan biaya yang
lebih besar dari pengadaan normal. Kelebihan biaya ini dapat
dijadikan ukuran untuk menentukan biaya kekurangan
persediaan dengan satuan misalnya Rp/unit.
2.1.11 Economic Order Quantity (EOQ)
Economic Order Quantity adalah suatu metode pengendalian
persediaan yang paling populer sejak dipublikasikan oleh Ford W. Harris
pada tahun 1915, bahkan organisasi dan perusahaan pada masa kini pun
masih menggunakan metode tersebut. Metode ini merupakan dasar dari
berbagai pengembangan metode-metode persediaan. Heizer dan Render
(2015:561) menyebutkan bahwa metode EOQ adalah salah satu teknik
pengendalian persediaan yang sederhana untuk permintaan-permintaan
35
produk yang bersifat independen (permintaan suatu produk yang tidak
terpengaruh oleh permintaan produk lain). Tujuan metode pengendalian
persediaan ini adalah untuk menentukan jumlah barang atau bahan baku
(Q) setiap kali pemesanan (EOQ) sehingga biaya total persediaan dapat
diminimalkan. Sejalan dengan pandangan Bambang Riyanto (2001:78)
bahwa Economic Order Quantity adalah jumlah kuantitas barang yang
dapat diperoleh dengan biaya yang minimal atau sering dikatakan sebagai
jumlah pembelian yang optimal.
Gambar 2.1
Penggunaan Persediaan dalam Waktu Tertentu
Sumber: Heizer dan Render (2015)
Metode EOQ tersebut dapat diterapkan dengan menggunakan
asumsi-asumsi sebagai berikut (Zulian Yamit, 2005):
1. Kebutuhan bahan baku dapat ditentukan, relatif tetap, dan terus
menerus.
2. Tenggang waktu pemesanan dapat dilakukan dan relatif tetap.
36
3. Tidak diperkenankan adanya kekurangan persediaan, artinya setelah
kebutuhan dan tenggang waktu dapat ditentukan secara pasti berarti
kekurangan persediaan dapat dihindari.
4. Pemesanan datang sekaligus dan akan menambah persediaan.
5. Struktur biaya tidak berubah. Biaya pemesanan atau persiapan sama
tanpa terpengaruh jumlah yang dipesan. Biaya simpan adalah
berdasarkan fungsi linier terhadap rata-rata persediaan, dan harga
beli atau biaya pembelian per unti adalah konstan (tidak ada
potongan atau quantity discount).
6. Kapasitas gudang dan modal cukup untuk menampung dan membeli
pesanan.
7. Pembelian yang dilakukan adalah untuk satu jenis barang.
Pada literatur yang lain, Heizer dan Render (2015) juga membahas
tentang asumsi-asumsi yang digunakan dalam mengaplikasikan konsep
EOQ, yaitu:
1. Jumlah permintaan diketahui, cukup konstan dan independen.
2. Adanya waktu tunggu yang diketahui dan bersifat konstan.
3. Setiap pesanan diterima segera dan langsung selesai seluruhnya.
4. Tidak ada diskon kuantitas.
5. Biaya variabel hanya terdiri dari biaya pemesanan dan biaya
penyimpanan persediaan dalam waktu tertentu.
6. Kehabisan persediaan dapat sepenuhnya dihindari.
Adapun keuntunganan yang dimiliki metode Economic Order
Quantity (EOQ) adalah sebagai berikut:
37
1. Metode EOQ memperhitungkan safety stock sehingga persediaan
bahan baku untuk proses produksi tetap terjamin.
2. Penggunaan metode EOQ akan memperkecil frekuensi pemesanan
yang diamati, sehingga biaya pemesanan (atau biaya penyiapan)
menjadi lebih kecil.
3. Mudah diaplikasikan pada proses produksi yang outputnya telah
memiliki standar tertentu.
Di sisi lain, terdapat pula kelemahan pada metode EOQ tersebut,
yaitu:
1. Pada metode EOQ biaya penyimpanan bahan baku akan lebih besar,
karena ada sejumlah bahan baku yang harus disimpan selama
beberapa periode tertentu, sebelum akhirnya bahan baku tersebut
digunakan.
2. Penjualan harus diasumsikan atau dapat diketahui.
3. Pemakaian bahan baku harus terjadi sepanjang tahun.
4. Persediaan harus dapat segera diperoleh (sesuai lead time yang di
gunakan dan bersifat tetap).
Lebih lanjut Heizer dan Render (2015) menjabarkan langkah-
langkah dalam mencari jumlah pemesanan yang dapat meminimalkan
biaya sebagai berikut:
1. Mengembangkan sebuah persamaan untuk biaya pemesanan.
2. Mengembangkan sebuah persamaan untuk biaya penyimpanan.
3. Menentukan biaya pemesanan sama dengan biaya penyimpanan.
4. Menyelesaikan persamaan untuk kuantitas pesanan yang optimal.
38
Berdasar pada asumsi dan langkah-langkah yang sudah dijabarkan
diatas, maka perhitungan Economic Order Quantity (EOQ) dapat
dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Heizer dan
Render, 2015):
√
Keterangan:
= Optimum order size atau jumlah unit yang dipesan
D = Jumlah permintaan (per tahun)
S = Biaya pemesanan (per pemesanan)
H = Biaya penyimpanan (per unit per tahun)
Penggunaan konsep EOQ untuk mengendalikan persediaan memang
dapat membantu perusahaan untuk menentukan jumlah pemesanan
persediaan yang tepat, namun pada kenyataannya permintaan (demand)
tetap saja bersifat tidak pasti sehingga kemungkinan perusahaan
mengalami kehabisan stok masih tetap ada. Metode yang paling cocok
untuk mengurangi resiko kehabisan stok dengan menggunakan konsep
EOQ ini adalah dengan mengadakan jumlah persediaan tertentu yang
digunakan sebagai persediaan cadangan atau pengaman (safety stock).
Penggunaan safety stock ini dilakukan dengan menghitung jumlah
persediaan pengaman berdasarkan standar deviasi permintaan bahan baku,
tingkat pelayanan (yang ditentukan perusahaan), dan waktu tunggu
kedatangan pesanan atau Lead Time. Perhitungan safety stock secara
matematis ditunjukkan dengan rumus berikut:
39
dimana:
√∑( )
dan
Keterangan:
= Safety Stock atau persediaan pengaman
= nilai tabel service level
= Standar deviasi
D = Jumlah permintaan (per tahun)
= Rata-rata permintaan per bulan
= Jumlah bulan dalam periode hitung
Frekuensi pembelian optimal (F) juga dapat diketahui setelah jumlah
unit optimal (QEOQ) ditemukan dan jumlah permintaan (D) per periode
diketahui, yaitu dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
Keterangan:
F = Frekuensi pembelian optimal dalam satu periode produksi
D = Jumlah permintaan (per tahun)
= Optimum order size atau jumlah unit yang dipesan
40
Titik pesan kembali atau reorder point dalam konsep EOQ
merupakan titik (jumlah persediaan) dimana perusahaan harus melakukan
pemesanan persediaan dengan memperhitungkan jumlah permintaan (d)
selama waktu tunggu pesanan datang atau Lead Time (L) ditambah dengan
jumlah safety stock (SS), atau dapat dituliskan sebagai berikut:
Keterangan:
= Reorder Point atau titik pesan kembali
= Safety Stock atau persediaan pengaman
= Rata-rata permintaan per hari
= Lead Time atau waktu tenggang pesanan
Total biaya persediaan bahan baku dalam metode ini dihitung
dengan menjumlahkan biaya pemesanan per tahun dengan biaya
penyimpanan per tahun, atau dapat disajikan dengan rumus sebagai
berikut:
[
] [
]
Keterangan:
= Total Biaya Persediaan dengan metode EOQ
S = Biaya pemesanan (per pemesanan)
H = Biaya penyimpanan (per unit per tahun)
= Jumlah pemesanan per tahun
41
= Rata-rata persediaan
Pada beberapa kasus, metode EOQ digunakan bersamaan dengan
penggunaan safety stock (SS) atau persediaan pengaman. Jika demikian,
maka perhitungan biaya persediaan akan menjadi sedikit berbeda, yaitu
ada perhitungan jumlah SS pada variabel biaya penyimpanan, sehingga
rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:
[
] [(
) ]
Keterangan:
= Total Biaya Persediaan dengan metode EOQ
S = Biaya pemesanan (per unit per tahun)
H = Biaya penyimpanan (per unit per tahun)
= Jumlah pemesanan per tahun
= Rata-rata persediaan
= Safety Stock atau persediaan pengaman
2.1.12 Periodic Order Quantity (POQ)
Metode POQ merupakan salah satu metode dalam pengendalian
persediaan bahan baku yang bertujuan menghemat total biaya persediaan
dengan menekankan pada efektifitas frekuensi pemesanan bahan baku.
Metode POQ merupakan salah satu pengembangan dari metode EOQ,
yaitu dengan mentransformasikan kuantitas pesanan menjadi frekuensi
pemesanan yang optimal (Divianto, 2011). Keunggulan metode ini sama
42
dengan metode EOQ, namun terdapat kesulitan yang unik pada metode ini,
yaitu terdapat kemungkinan bahwa diskontinuitas pemesanan kebutuhan
bersih terdistribusi sedemikian rupa sehingga interval pemesanan yang
telah ditentukan sebelumnya menjadi tidak berlaku lagi. Hal ini dapat
terjadi jika besarnya kebutuhan bersih adalah nol saat interval pemesanan
telah terlewati.
Perhitungan frekuensi pemesanan dengan metode POQ secara umum
menggunakan rumus sebagai berikut:
dimana:
√
√
Keterangan:
= Frekuensi pemesanan bahan baku
n = Periode waktu (hari/ minggu/ bulan)
= Economic Order Interval
= Optimum order size atau jumlah unit yang dipesan
= Permintaan rata-rata bahan baku per bulan
S = Biaya pemesanan (per tahun)
43
H = Biaya penyimpanan (per unit per tahun)
Seperti halnya metode EOQ, metode POQ juga menggunakan safety
stock untuk meredam resiko kehabisan stok jika terjadi masalah.
Perhitungan nilai safety stock pada metode POQ tidak jauh berbeda
dengan metode EOQ, yaitu nilai EOI diperhitungkan dengan
menambahnkannya pada faktor waktu tunggu atau Lead Time (L). Rumus
yang digunakan dalam perhitungan safety stock dengan metode POQ
adalah sebagai berikut:
√
Keterangan:
= Safety Stock atau persediaan pengaman
= nilai tabel service level
= Standar deviasi
= Economic Order Interval
= Lead Time atau waktu tenggang pesanan
Metode POQ sedikit berbeda dengan EOQ, dimana terdapat
perhitungan khusus untuk menentukan tingkat persediaan maksimum
(Imax) dengan tujuan agar persediaan mampu memenuhi kebutuhan
produksi selama waktu periode (POQ) dan waktu tunggu (L). Rumus yang
digunakan untuk perhitungan persediaan maksimum adalah sebagai
berikut:
Keterangan:
44
= Tingkat persediaan maksimum
= Safety Stock atau persediaan pengaman
= Permintaan rata-rata bahan baku per bulan
= Economic Order Interval
= Lead Time atau waktu tenggang pesanan
Average Inventory Level ( ) atau rata-rata persediaan
diperhitungkan dalam metode ini dengan menggunakan rumus berikut:
Keterangan:
= Average Inventory Level
= Safety Stock atau persediaan pengaman
= Permintaan rata-rata bahan baku per bulan
= Economic Order Interval
Sedangkan untuk menghitung kuantitas pemesanan bahan baku
dengan menggunakan metode POQ yaitu dengan menghitung rata-rata
permintaan bahan baku perhorizon waktu dibagi dengan frekuensi
pemesanan POQ. Rumus matematis dari perhitungan tersebut adalah
sebagai berikut:
Keterangan:
= Kuantitas pesanan dengan metode POQ
= Tingkat persediaan maksimum
45
= Average Inventory Level
Total biaya persediaan bahan baku juga dihitung dalam metode POQ
ini dengan menjumlahkan biaya pemesanan per tahun dengan biaya
penyimpanan per tahun, atau dapat disajikan dengan rumus sebagai
berikut:
[ ] [(∑
) ]
Keterangan:
= Total Biaya Persediaan dengan metode POQ
= Frekuensi pemesanan bahan baku
S = Biaya pemesanan (per tahun)
= Rata-rata persediaan
= Safety Stock atau persediaan pengaman
H = Biaya penyimpanan (per unit per tahun)
2.1.13 Min-Max Stock Level
Konsep tingkat persediaan minimum dan maksimum merupakan
konsep pengendalian persediaan yang sederhana dan paling mudah
diaplikasikan. Konsep ini tidak menggunakan dasar perhitungan berkala
tetap, melainkan dapat dilakukan setiap waktu, dengan konsep titik
pemesanan kembali atau reorder point (Indrajit, 2005). Metode Min-Max
mengoptimalkan persediaan dengan menentukan jumlah maksimum dan
jumlah minimum persediaan yang menentukan kapan pemesanan kembali
(reorder) harus dilakukan. Jika persediaan sudah mencapai jumlah
46
minimum maka segera dilakukan pembelian barang hingga jumlah barang
mencapai persediaan maksimum. Jika barang dalam persediaan dipakai
secara terus menerus maka suatu saat persediaan tersebut akan mencapai
tingkat minimum lagi, sehingga dilakukan pembelian kembali, demikian
seterusnya (Subagyo, 2000). Konsep Min-Max dirumuskan sebagai
berikut:
dimana:
dengan:
Keterangan:
= Jumlah yang perlu dipesan untuk pengisian
persediaan kembali
= Tingkat persediaan maksimum
= Tingkat persediaan minimum
= Permintaan rata-rata bahan baku per bulan
= Lead Time atau waktu tenggang pesanan
= Safety Stock atau persediaan pengaman
D = Jumlah permintaan (per tahun)
= Jumlah bulan dalam periode hitung
47
Konsep Min-Max diatas menunjukkan secara teoritis tingkat
persediaan akan selalu berada pada siklus yang konstan dan selalu berada
diatas nilai safety stock, sehingga perhitungan tingkat persediaan rata-rata
(Average Inventory Level) dapat dirumuskan sebagai berikut:
Keterangan:
= Tingkat persediaan rata-rata (Average Inventory
Level)
= Jumlah yang perlu dipesan untuk pengisian
persediaan kembali
= Safety Stock atau persediaan pengaman dengan
metode Min-Max
Jika seluruh faktor persediaan dalam metode persediaan Min-Max
sudah diketahui, maka perhitungan biaya persediaan dengan metode
tersebut dapat dilakukan menggunakan rumus berikut:
[
] *(∑ ) +
Keterangan:
= Total Biaya Persediaan dengan metode Min-Max
D = Jumlah permintaan (per tahun)
= Jumlah yang perlu dipesan untuk pengisian
persediaan kembali
S = Biaya pemesanan (per pesan)
48
H = Biaya penyimpanan (per unit per tahun)
2.2 Penelitian Terdahulu
2.2.1 Metode Pengendalian Persediaan Bahan Baku Crude Oil yang
Optimal Pada PT. PSE
Penelitian ini dilakukan oleh Siti Nur Fadillah, et al., dengan judul
“Metode Pengendalian Persediaan Bahan Baku Crude Oil yang Optimal
Pada PT. PSE” pada tahun 2008. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui metode apa yang paling mampu mengoptimalkan inventory
bahan baku Crude Oil. Metode-metode inventory bahan baku yang
dibandingkan dalam penelitian tersebut adalah metode Economic Order
Quantity (EOQ), metode Economic Order Interval (EOI), dan metode
Min-Max.
Peneliti membandingkan ketiga metode tersebut dengan
menggunakan asumsi-asumsi yang mampu memberikan input seimbang
untuk ketiga metode tersebut. Kesimpulan yang didapat adalah bahwa
Fixed Order Size System (EOQ) merupakan metode yang paling baik
dengan melakukan pesanan sebesar 2770 mT setiap pesanan dan dengan
biaya persediaan untuk 36 bulan sebesar Rp 4.371.019.395,00. Sebagai
perbandingan, biaya yang timbul dari perhitungan dengan metode EOI
adalah Rp 4.544.761.614,00 dan metode Min-Max adalah Rp.
110.176.283.884,00.
49
2.2.2 Pengendalian Persediaan Pozzolan di PT. Semen Padang
Penelitian ini dilakukan oleh P. Fithri, et al., dengan judul
“Pengendalian Persediaan Pozzolan di PT. Semen Padang” pada tahun
2014. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membandingkan metode
Economic Order Quantity (EOQ), metode Periodic Order Quantity (POQ)
dan metode aktual pengendalian persediaan yang sudah diterapkan PT.
Semen Padang (Min-Max). Peneliti ingin mengetahui metode mana yang
lebih mampu menghasilkan biaya persediaan bahan baku pozzolan paling
kecil. Peneliti juga melakukan peramalan kebutuhan bahan baku untuk
tahun 2014.
Hasil dari penelitian ini adalah bahwa kebutuhan bahan baku
pozzolan pada tahun berikutnya (2014) adalah lebih banyak dari tahun-
tahun sebelumnya yaitu dengan total pemakaian sebanyak 1.135.355,77
ton dan metode pengendalian persediaan yang lebih mampu menghasilkan
biaya persediaan paling minimum adalah metode POQ dengan biaya
sebesar Rp 1.775.179.959,61. Sebagai perbandingan, biaya yang
ditimbulkan oleh metode EOQ adalah sebesar Rp 1.777.645.170,20 dan
metode Min-Max adalah sebesar Rp 3.287.620.918,97.
2.2.3 Pengendalian Bahan Baku Vulkanisir Ban (Studi Kasus: PT. Gunung
Pulo Sari)
Penelitian ini dilakukan oleh D. Meilani, et al. dengan judul
“Pengendalian Bahan Baku Vulkanisir Ban (Studi Kasus: PT. Gunung
Pulo Sari)” pada tahun 2013. Penelitian ini bertujuan agar perusahaan
mampu menentukan tingkat safety stock dan reorder point yang optimal,
50
dan biaya minimum dengan menggunakan metode dinamis. Peneliti
membandingkan tiga metode dinamis pengendalian persediaan, yaitu
metode Silver Meal, metode Least Unit Cost (LUC), dan metode Periodic
Order Quantity (POQ).
Hasil dari penelitian ini adalah bahwa ketiga metode tersebut
menghasilkan biaya persediaan yang sama, yaitu Rp 133.991.672,00. Hasil
perhitungan safety stock yang di dapat adalah sebesar 18 unit dengan level
reorder point 93 unit. Pada Penelitian tersebut peneliti tidak menyebutkan
berapa tepatnya biaya yang timbul dari pengendalian persediaan metode
aktual perusahaan, namun peneliti hanya menyebutkan bahwa PT. Gunung
Pulo Sari hanya menggunakan perkiraan pemilik untuk melakukan
pengendalian persediaan.
2.2.4 Analisis Pengelolaan dan Pengendalian Persediaan BBM Pada SPBU
PT. Manasri Usman
Penelitian ini dilakukan oleh Jonathan dengan judul “Analisis
Pengelolaan dan Pengendalian Persediaan BBM Pada SPBU PT. Manasri
Usman” pada tahun 2015. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pengelolaan dan pengendalian persediaan pada SPBU PT. Manasri Usman
dengan membandingkan metode Economic Order Quantity (EOQ) dan
metode Min-Max. Peneliti menggunakan metode peramalan Moving
Average, Weighted Moving Average, Exponential Smoothing, Exponential
Smoothing with Trend, dan Linear Regression untuk meramalkan
permintaan konsumen pada periode berikutnya.
51
Hasil dari Penelitian ini adalah bahwa metode peramalan yang
terbaik dengan MAD dan MSE terkecil adalah metode Linear Regression
dan metode pengendalian persediaan yang terbaik adalah metode Min-Max
karena menghasilkan biaya total terkecil.
Tabel 2.1
Penelitian Terdahulu
No Judul
Penelitian
Variabel
Penelitian
Metode
Analisis Hasil Penelitian
1. Metode
Pengendalian
Persediaan
Bahan Baku
Crude Oil
yang Optimal
Pada PT. PSE
(Oleh Siti Nur
Fadillah, et
al., 2008)
Kuantitas
pesanan
Demand
Total cost
Ordering cost
Holding cost
Lead time
Service Level
EOQ
EOI
Min-
Max
Fixed Order Size
System (EOQ)
menghasilkan total
biaya persediaan
yang paling rendah,
di ikuti oleh metode
EOI, dan metode
Min-Max
menghasilkan biaya
yang paling besar.
2. Pengendalian
Persediaan
Pozzolan di
PT. Semen
Padang (Oleh
P. Fithri, et
al., 2014)
Kuantitas
pesanan
Demand
Total cost
Ordering cost
Holding cost
Lead time
Service Level
EOQ
POQ
Min-Max
Metode EOQ dan
metode POQ
memberikan total
biaya yang relatif
sama dan jika
dibandingkan
dengan metode
aktual perusahaan
(Min-Max) metode
EOQ dan POQ
memberikan total
biaya yang lebih
rendah, namun
kedua metode
tersebut
menyebabkan terlalu
seringnya melakukan
pemesanan
(Purchase Order)
yaitu pemesanan
52
Lanjutan Tabel 2.1
No Judul
Penelitian
Variabel
Penelitian
Metode
Analisis Hasil Penelitian
dilakukan setiap
hari.
3. Pengendalian
Bahan Baku
Vulkanisir
Ban (Studi
Kasus: PT.
Gunung Pulo
Sari) (Oleh D.
Meilani, et al.,
2013)
Kuantitas
pesanan
Demand
Total cost
Ordering cost
Holding cost
Lead time
Service Level
Silver
Meal
Least
Unit
Cost
(LUC)
POQ
Tiga metode yang
diperbandingkan
mampu memberikan
total biaya
persediaan yang
sama dan biaya
tersebut lebih rendah
jika dibandingkan
dengan metode
pengendalian
persediaan aktual
perusahaan
(perkiraan pemilik).
4. Analisis
Pengelolaan
dan
Pengendalian
Persediaan
BBM Pada
SPBU PT.
Manasri
Usman (Oleh
Jonathan,
2015)
Kuantitas
pesanan
Demand
Total cost
Ordering cost
Holding cost
Lead time
Service Level
EOQ
Min-
Max
Hasil dari penelitian
ini menunjukkan
bahwa metode
pengendalian
persediaan yang
terpilih adalah
metode Min-Max
karena menghasilkan
biaya total terkecil.
Sumber: data diolah, 2016
2.3 Kerangka Pemikiran
Uma Sekaran (2007) mengatakan bahwa kerangka pemikiran adalah
model konseptual tentang bagaimana teori berhubungan dengan berbagai
faktor yang telah di identifikasi sebagai masalah yang penting.
Biaya merupakan faktor yang sangat penting untuk diperhatikan
dalam setiap kegiatan perusahaan, terutama dalam kegiatan produksi.
53
Berbagai cara mungkin sudah dilakukan oleh perusahaan agar dalam
menjalankan kegiatan produksinya perusahaan tidak mengalami
pemborosan biaya akibat kurang tepatnya metode yang digunakan. Metode
pengendalian persediaan yang digunakan perusahaan merupakan bagian
yang sangat riskan akan terjadinya pemborosan, dimana jika metode yang
digunakan kurang tepat maka biaya yang timbul pasti akan lebih tinggi.
Penelitian ini akan membandingkan empat metode pengendalian
persediaan (metode aktual perusahaan, metode EOQ, metode POQ, dan
metode Min-Max) dengan mengolah data historis penggunaan bahan baku
plastik Perum Jasa Tirta I. Hasil yang muncul akan digunakan untuk
menilai metode manakah yang lebih mampu menghasilkan biaya total
persediaan minimum jika digunakan dalam kondisi perusahaan yang
sekarang.
54
Gambar 2.2
Kerangka Pemikiran
Sumber: Data diolah, 2016
Pengendalian Persediaan Bahan Baku Cup
120 ml Perum Jasa Tirta I Malang
Data Pengendalian
Persediaan Bahan Baku
dan Biaya Persediaan
Landasan Teori:
Haizer dan Render
(2015)
Manahan P.
Tampubolon (2004)
Assauri (2008)
Freddy Rangkuti
(2004)
Hamming dan
Nurnajamudin (2012)
Sjahrial (2007)
Handiguna (2009)
Bambang Riyanto
(2001)
Ahyari (2003)
Nasution (2008)
Ristono (2008)
Arman Hakim (2008)
Divianto (2011)
Subagyo (2000)
Penelitian Terdahulu:
Siti Nur Fadillah, et
al., (2008)
P. Fithri, et al.,
(2014)
D. Meilani, et al.,
(2013)
Jonathan (2015)
Metode EOQ, POQ, dan
Min-Max
Hasil dan Kesimpulan
top related