aisyah aminy: karier politik dan pemikirannya (1987...
Post on 22-Mar-2019
237 Views
Preview:
TRANSCRIPT
AISYAH AMINY: KARIER POLITIK DAN
PEMIKIRANNYA (1987-2004)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum.)
Oleh
Sufiyati
NIM: 11130220000091
PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/2018 M
AISYAH AMINY: KARIER POLITIK
DAN PEMIKIRANNYA (1987-2004)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum.)
Oleh
Sufiyati
NIM: 11130220000091
Pembimbing,
Dr. Amelia Fauzia, M.A.
NIP: 19710325 199903 2 004
PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/2018 M
v
ABSTRAK
Skripsi yang berjudul “Siti Aisyah Aminy:Karier Politik dan Pemikirannya (1987-
2004)” ini bertujuan untuk menganalisa bagaimana peran Siti Aisyah Aminy
selama menjadi anggota legislatif dan pemikirannya mengenai perempuan dan
politik. Metode yang digunakan merupakan metode penelitian sejarah dengan
menggunakan wawancara sebagai sumber primer. Adanya asumsi bahwa
perempuan hanya pantas bekerja pada bidang domestik saja menjadi salah satu
faktor rendahnya keterwakilan perempuan di lembaga legislatif. Padahal
keterwakilan perempuan sangatlah dibutuhkan demi terwujudnya keadilan tanpa
membedakan jenis kelamin tertentu. Aisyah Aminy tampil sebagai politisi
perempuan dari partai Islam yang menggeser paradigma publik bahwa perempuan
mampu masuk ke dunia politik bahkan dari partai Islam sekalipun, pada masa
pemerintahan Orde Baru. Perjalanannya selama hampir tujuh belas tahun menjadi
anggota parlemen telah membutikan bahwa perempuan mampu mengembangkan
dirinya di ranah yang lebih luas tanpa harus meninggalkan perannya sebagai
seorang istri dan ibu. Menurutnya menyeimbangkan kedua tugas tersebut bisa
dilakukan oleh setiap perempuan tanpa harus mengabaikan salah satunya.
Meskipun ia seorang politisi perempuan muslim, pendapat yang ia suarakan tidak
selamanya berbasiskan Islam dan tidak banyak menyuarakan pendapatnya
mengenai perempuan. Ia lebih banyak berpendapat berdasarkan UUD 1945 dan
Pancasila. Itu artinya selama di legislatif ia tidak merepresentasikan gagasan atau
kelompok feminis. Namun kiprahnyalah yang membuat ia bisa disebut sebagai
seorang tokoh politik perempuan muslim yang cukup berhasil dari partai Islam
(Partai Persatuan Pembangunan).
Kata kunci: Perempuan, politik, Orde Baru.
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobil‟alamin segala puji bagi Allah atas segala rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini sebagai
persayaratan menuju sarjana. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan
kepada junjungan kita nabi Muhamad saw beserta keluarga, sahabat, dan para
pengikutnya. Dengan usaha dan tekad yang kuat akhirnya penulis mampu
menyelseaikan skripsi yang berjudul “SITI AISYAH AMINY: KARIER
POLITIK DAN PEMIKIRANNYA (1987-2004). Meskipun penulis sadar akan
banyaknya kekurangan dalam karya ini. Semoga karya ini bisa menjadi
sumbangsih bagi siapa yang ingin melakukan penelitian mengenai tokoh
perempuan muslim di bidang politik.
Di dalam proses menyelesaikan skripsi ini, tidaklah mungkin penilis
mengerjakanny atanpa ada partisipasi dari baerbagai pihak untuk membantu,
mensuport dan mendo‟akan penulis agar diberi kelancaran dan kemudahan dalam
menjalani proses ini. Maka dari itu, dengan segala kerendahan hati, serta niat yang
tulus dan ikhlas, penulis ingin menyampaikan terimakasih :
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A.selaku rektor Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Prof. Dr. Syukran Kamil, M.A. selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora
3. Nurhasan, M.A. selaku ketua Program Sudi Sejarah dan Kebudayaan Islam
Fakultas Adab dan Humaniora.
4. Dr. Amelia Fauzia, M.A. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
memberikan koreksi, masukan dan menginspirasi penulis dalam penulisan
skripsi ini.
5. H. Siti Aisyah Aminy S.H yang telah menginspirasi dan bersedia menjadi
tokoh yang penulis bahas dalam skripsi ini.
7. M. Didin Syarifudin dan Dede Nuryati selaku orangtua penulis atas segala
dukungan dan motivasinya selama ini.
vii
8. Ibu Tenny selaku petugas perpustakaan DPR/RI dan Arsip Museum DPR/RI
yang telah banyak membantu penulis mencari data yang dibutuhkan dalam
skripsi ini.
9. Teman-teman satu kelas, Prodi Sejarah dan Kebudayaan Islam yang sudah
mensuport penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
10. Shelly Fantri, Silvia Fitri, Anaziah Awaliah, Fadhilah Qurrotul‟Aini dan
Yuli Armila Sari selaku sahabat penulis yang telah banyak memberikan
dukungan, membantu di saat sulit dan saling mengingatkan.
Jakarta, 11 Januari 2018
Sufiyati
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................. ii
LEMBAR PERSETUJUAN ................................................................................ iii
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................. iv
ABSTRAK ............................................................................................................. v
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ....................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1
B. Identifikasi dan Perumusan Masalah ................................................ 7
C. Pembatasan Masalah dan Pertanyaan Penelitian............................... 7
D. Tujuan Penelitian .............................................................................. 8
E. Manfaat Penelitian ............................................................................ 8
F. Tinjauan Pustaka ............................................................................... 8
G. Kerangka Teori................................................................................ 11
H. Metode Penelitian............................................................................ 13
I. Sistematika Penulisan ..................................................................... 15
BAB II PEREMPUAN DAN POLITIK PADA MASA ORDE BARU .......... 17
A. Gerakan dan Organisasi Perempuan ............................................... 17
B. Posisi Perempuan dalam Sistem Politik Orde Baru ........................ 26
C. Seputar Peran Politik Perempuan .................................................... 32
BAB III LATAR BELAKANG SOSIAL AISYAH AMINY ........................... 35
A. Keluarga .......................................................................................... 35
B. Pendidikan ....................................................................................... 38
C. Aktifitas Organisasi ......................................................................... 40
BAB IV PERJALANAN POLITIK DAN PIMIKIRAN AISYAH AMINY .. 46
A. Aisyah Aminy dari Parmusi ke PPP ............................................... 46
B. Kiprah Aisyah Aminy Selama Menjadi Anggota Legislatif ........... 50
C. Perempuan dalam Pandangan Aisyah Aminy ................................. 58
BAB V PENUTUP ............................................................................................... 64
ix
A. Kesimpulan ..................................................................................... 64
B. Saran ................................................................................................ 65
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 67
LAMPIRAN-LAMPIRAN ................................................................................. 70
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Politik merupakan proses untuk menentukan dan melaksanakan tujuan-
tujuan dari sistem yang dianut oleh suatu negara.1 Dalam mencapai proses
tersebut tidak ada pengkhususan jenis kelamin tertentu untuk berperan
melaksanakan tujuan-tujuan yang akan dicapai.
Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdemokrasi secara tegas
memberi pengakuan yang sama bagi setiap warga negaranya, baik laki-laki
maupun perempuan. Berbagai hak dan kewajiban berbangsa dan bernegara
dianggap setara tanpa membedakan jenis kelamin tertentu.2 Namun dalam
kenyataannya pelaksanaan mengenai hal tersebut dalam berbagai sektor terutama
dalam bidang politik, justru didominasi oleh laki-laki. Ruang publik di Indonesia
masih memperlihatkan pemandangan yang menampilkan ketidakadilan terhadap
perempuan.
Kendala yang bersifat kultural, misalnya peran perempuan diasumsikan
hanya dalam bidang domestik seperti pekerjaan rumah tangga, menjadi satu
dengan berbagai faktor yang menjadi kendala terbatasnya peran perempuan untuk
mengekpresikan dirinya ke ranah yang lebih luas. Padahal partisipasi perempuan
sangat dibutuhkan dalam upaya pengintegrasian kebutuhan gender dalam berbagai
kebijakan publik agar persoalan yang bersifat sensitif gender dapat disuarakan
supaya tidak menghambat kemajuan perempuan dalam berbagai sektor
kehidupan.3
Sebetulnya berbagai perangkat hukum telah menjamin keterwakilan
perempuan pada bidang politik, antara lain adanya konvensi Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB) mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap
perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimantion Against
1 Miriam Budiarjo, Dasar Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: GramediaPustaka, 2003) h.8.
2 Romani Sihite, Perempuan Kesetaraan dan Keadilan, (Jakarta: Raja Grafindo, 2007) h.
156. 3 Budiarjo, Dasar Dasar Ilmu Politik, h.56.
2
Women) yang mana di dalamnya memuat hak-hak politik perempuan. Perempuan
dapat memberikan suara dalam setiap pemilihan, dengan syarat-syarat yang sama
dengan laki-laki. Tidak ada diskriminasi. Bahkan perempuan berhak memegang
jabatan publik dan menjalankan semua fungsi publik.4 Indonesia sudah
meratifikasi konvensi tersebut dengan peraturan mengenai penghapusan segala
bentuk diskriminsi terhadap perempuan melalui UU No.7 tahun 1984. Undang-
undang ini secara tegas mengatur hak-hak politik perempuan, untuk menghapus
segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, dalam bidang politik (Pasal 7)
atau dalam berbagai bidang lainnya di dalam masyarakat5 Oleh karenanya hak
perempuan untuk tampil di panggung politik sudah diwadahi dan dijamin oleh
peraturan tersebut.
Undang-undang tersebut memang penting untuk melegitimasi hak-hak
politik perempuan. Tapi sebenarnya jauh sebelum konvensi itu dilakukan,
perempuan Indonesia sudah lebih jauh merumuskan perbaikan kedudukan sosial
wanita. Misalnya pada awal abad ke-20 pergerakan wanita identik dengan
pergerakan pada wilayah sosial dan pendidikan. Mereka lebih banyak bergerak
pada peningkatan kecakapan melalui pendidikan serta meningkatkan kualitas
seorang wanita sebagai seorang ibu. Contoh yang paling nyata pada saat tersebut
adalah peran Rahmah el-Yunusiah yang menjadi pelopor pendidikan Islam
sebagai basis pembentukan masyarakat muslim yang menghargai derajat kaum
perempuan. Pada tahun 1923 ia mendirikan Madrasah Diniyah li-al Banat
(Diniyah School Putri) yang merupakan karya ternama di nusantara bahkan di
mancanegara.6 Namun urusan politik belum menjadi fokus utama pada saat itu.
Seiring dengan perkembangannya perempuan mulai mengalami berbagai
kemajuan dan menunjukan berbagai peningkatan dari segi kualitas. Tidak hanya
dalam bidang pendidikan tetapi juga dalam ranah perpolitikan. Kongres
perempuan pertama pada tanggal 28 Oktober 1928 membuktikan bahwa
4 “Convention on the Elimination of All Forms of Discrimantion against Women”, Comitte
on the Elimination of Desceimination Against Women:United Nation, 02 Agustus 2000, h.11 5 Suhartono, Sejarah Pergerakan Nasional: Dari Budi Utomo sampai Proklamasi 1908-
1945,(Yogyakarta: PustakaPelajar, 1994), h.102. 6 Jajat Burhanudin, ed., Ulama Perempuan Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka,2002), h.
2.
3
kesadaran politik perempuan Indonesia mulai tumbuh. Kemudian diikuti dengan
berbagai organisasi perempuan. Partisipasi nyata dan dijaminnya hak-hak
perempuan tercermin pada pemilu 1955, dimana perempuan Indonesia berhak
untuk dipilih dan memilih. Meskipun representasinya masih rendah.7
Dalam proses demokratisasi Indonesia, keterwakilan dan partisipasi
perempuan dalam lembaga perwakilan rakyat dan lembaga publik untuk
pengambilan keputusan politik dan perumusan kebijakan publik merupakan hal
yang mutlak diperlukan. Jumlah perempuan Indonesia hampir sama dengan
jumlah laki-laki, tetapi partisipasi dan keterwakilan perempuan dalam lembaga
perwakilan rakyat dan lembaga publik lainnya masih sangat rendah.8
Jika ditelurusi mengenai keterwakilan perempuan di badan legislatif
semenjak tahun 1950 sampai dengan pemilu tahun 1999 hal tersebut belum
menunjukan perubahan yang signifikan.9 Partisipasi mereka yang duduk di
parlemen juga tidak memegang peranan yang sentral. Bahwa keterlibatan mereka
dalam kancah politik hanya terkait dengan profesi dan karir suaminya, rekrutmen
partai lebih karena keinginan untuk mendukung profesi dan kedudukan suami
mereka,10
dengan kata lain istri aktif dalam organisasi politik karena kegiatan
suami.
Menurut H. Moore dalam banyak sistem politik di dunia sekarang ini
perempuan mempunyai kekuasaan politik tetapi tidak mempunyai kekuatan,
legitimasi, dan otoritas. Mereka juga kurang memiliki otoritas yang nyata dalam
menjalankan kekuasaan tersebut. Terutama pada masa Orde Baru, terjadi
pengendalian yang kuat terhadap berbagai gerakan termasuk gerakan perempuan.
Citra perempuan dalam wacana rezim Soeharto digambarkan pasrah dan patuh
7 Sihite, Perempuan Kesetaraan dan Keadilan, h.158.
8 Siti Hariti Sastriyani,ed. Gender and Politics,(Pusat Studi Wanita Universitas Gadjah
Mada dengan Penerbit Tiara Wacana, 2005), h. 63. 9 Data ini diperoleh dari hasil Sekretariat DPR, 2001 yang diolah kembali oleh Divisi
Perempuan dan Pemilu CETRO (Data dan Fakta Kterwakilan Perempuan Indonesia di Paspol dan
Lembaga Legislatif) yang menunjukan tingkat representasi perempuan hanya mencapai 3,8 %
yakni 9 perwakilan perempuan dari 236 perwakilan laki-laki. 10
Sihite,Perempuan Kesetaraan dan Keadilan, h.161.
4
atas subordinasi yang dialaminya.11
Padahal gerakan perempuan dan
pemaksimalan keterwakilan perempuan dalam lembaga pemerintahan legislatif,
eksekutif maupun yudikatif sangatlah diperlukan demi terwujudnya perempuan
yang jauh lebih bermartabat, untuk berkontribsi demi kemajuan dan kesejahteraan
masyarakat dalam berbagai hal. Menumbuhkan budaya emansipatif juga dianggap
dibutuhkan agar terwujudnya masyarakat yang adil dan demokratis.
Tapi di bawah pemerintahan Orde Baru yang terkenal represif, muncul
seorang perempuan yang dijuluki sebagai “Singa Betina dari Senayan”, vokal
menyuarakan berbagai pendapatnya dan mampu bertahan cukup lama di legislatif.
Politisi kawakan tersebut adalah Siti Aisyah Aminy. Ia lahir di Padang Panjang,
Sumatera Barat pada 1 Desember 1931. Ayahnya ialah haji Muhamad Amin dan
Ibunya Hajah Jalisah. Orangtua Aisyah selain pedagang terkemuka di Padang
Panjang juga seorang pendukung gerakan pembaharuan Islam kaum muda. Ia
mengenyam pendidikan sekolah dasar di Diniyah Putri dan lulus pada 1946.
Setelah itu ia melanjutnya studinya ke Sekolah Guru Agama (SGA) di Sumatera
Barat dan tamat pada tahun 1950.12
Ketika ia ingin melanjutkan ke salah satu
Universitas di Yogyakarta namun ijazah SGA-nya tidak diakui sehingga harus
mengulang pendidikan SMA-nya dan tamat pada 1951. Hal tersebut bukan
masalah besar baginya karena berasal dari keluarga yang berada maka persoalan
biaya tidaklah menjadi masalah serius yang dialaminya. Setelah itu ia masuk di
Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia (UII) dan memperoleh gelar sarjana
pada tahun 1957.13
Pada saat menjadi mahasiswi UII, Aisyah bukanlah mahasiswi
yang hanya aktif di dalam kelas tetapi juga aktif di luar kelas dan pernah
mengikuti beberapa organisasi, seperti Pelajar Islam Indonesia (PII), Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI) dan Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII). Bahkan
sebelum menjadi mahasiswi Aisyah sudah aktif dalam berbagai kegiatan sosial
dan organisasi. Ia aktif dalam Nasyiatul Asyiah, yakni Organisasi Pemudi
11
Women Research Institute, “Gerakan Perempuan Bagian Gerakan Demokrasi Indonesia,
Studi Kasus: Jakarta, Lampung, Sumatera Utara, Padang dan Lombok”,Afirmasi, vol.02
(Januari,2013): h. 1. 12
Ramli HM.Yusuf, ed., Aisyah Aminy Dedikasi Tanpa Batas, (Jakarta:LASPI, 2002) h. 14. 13
Nurlena Rifa‟i, Aisyah Aminy Aktifis Politik di Partai Islam, dalam Jajat Burhanudin,
Ulama Perempuan Indonesia, h. 230.
5
Muhamadiyah (1943-1945) dan PII (1946-1949) ketika Ia duduk di bangku SMP
dan SMA.14
Kegiatan Aisyah terus meningkat setelah lulus dari UII, ia tetap aktif di
GPII dan terpilih menjadi pengurus pusat GPII bagian keputrian pada 1958-1961.
Tahun 1961 juga ia terpilih menjadi pengurus pusat Himpunan Seni Budaya Islam
(HSBI). Prestasi yang tidak kalah penting adalah ketika ia menjadi ketua
Kesatuan Wanita Indonesia (KAWI) yang didirikan untuk melawan organisasi
komunis. Aisyah juga aktif dalam Wanita Islam (WI) dan menjadi ketua umum
pusat WI pada 1968-1985.
Tidak hanya kegiatan organisasi Islam dan kesenian saja, ia juga terlibat
dalam berbagai organisasi hukum. Seperti beberapa organisasi ini, pada tahun
1967-1968 ia menjadi sekretaris pusat Persatuan Advokat Indonesia (Peradin),
Ketua seksi hukum Dewan Pusat Kowani pada 1978-1986, anggota Dewan Film
Nasional pada 1979-1984, anggota Pimpinan Pusat Parmusi (PPP) pada 1967-
1970, ketua PPP pada 1985-1987 dan wakil ketua Dewan Penasihat Pimpinan
Pusat PPP, anggota Lembaga Hak Asasi Manusia pada 1966-1968, serta anggota
Komisi Kedudukan Wanita Indonesia (KKW) pada 1977-1984.15
Dari berbagai kegiatan di atas itu menunjukan bahwa Aisyah merupakan
salah satu perempuan yang aktif dan produktif. Di dalam berbagai pendapatnya
Aisyah juga sering sekali secara vokal menyuarakan pembelaan terhadap kaum
perempuan yang menjadi korban perkawinan dan kasus yang berhubungan dengan
kehidupan keluarga. Dengan itu ia bersama beberapa rekannya mendirikan
Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum untuk Wanita dan Keluarga
(LKBHUWK). Aisyah menjadi direktur lembaga tersebut pada 1980-1982.
Keahlian dan aktifitasnya dalam bidang hukum menghantarkan Aisyah untuk
berperan lebih pada ranah pemerintahan, setelah ia menjadi advokat independen
atas berbagai kasus yang ditangani Muhamad Roem tahun 1957-1987.16
14
Nurlena Rifa‟i, “Muslim Women In Indonesia‟s Politics an Historical Examination of the
Political Career of Aisyah Aminy”, (Thesis Master Institute of Islamic Studies McGill University
Montreal,Canada 1993), h. 89-91. 15
H.M Yusuf, Aisyah Aminy Dedikasi Tanpa Batas, h. 17-20 16
Nurlena Rifa‟i, Aisyah Aminy Aktifis Politik di Partai Islam, dalam Jajat Burhanudin,
Ulama Perempuan Indonesia h. 233.
6
Kemudian resmi menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tahun
1987, farksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Kegigihan Aisyah untuk membela kaum perempuan sudah sangat dikenal di
kalangan pemerintahan dan masyarakat luas, ini tentu saja tidak muncul begitu
saja, pendidikannya yang berlatar belakang hukum serta berbagai organisasi yang
diikutinya menjadikan Aisyah sebagai seorang pemikir dan pejuang perempuan
Muslim. Tidak hanya itu faktor keluarga Minangkabau yang menganggap
pendidikan adalah sesuatu yang penting dan menempatkan perempuan dalam
posisi yang penting pula, juga menjadi salah satu faktor penyebabnya.17
Dalam pemikirannya mengenai politik Aisyah termasuk orang yang kurang
setuju bahwa partai politik Islam merupakan sarana yang efektif untuk perjuangan
umat Islam Indonesia. Menurutnya bukan simbol Islam yang menjadikan suatu
partai menjadi sangat Islami, tetapi kegiatan yang memberikan peluang bagi para
pembuat keputusan tersebut untuk mempraktekkan ajaran agama.18
Pendapat ini
sesuai dengan pendapatnya Nurcholis Madjid yang sejalan dengan kegiatan
Aisyah di dunia politik. Hal ini setidaknya dibuktikan oleh fakta bahwa Aisyah
menerima Undang-Undang No.3 tahun 1985 tentang Asas Tunggal. Berdasarkan
Undang-Undang tersebut semua partai politik harus menerima Pancasila sebagai
satu-satunya asas dalam kehidupan sosial, nasional dan negara. 19
Pandangannya ini hanya sebagian kecil gambaran atas peran Aisyah dalam
kiprahnya sebagai seorang tokoh perempuan. Oleh karenanya, menurut hemat
saya Aisyah merupakan tokoh yang ideal untuk dibahas. Terlihat dari kiprahnya
yang cukup lama, dari tahun 1987-2002 ia menduduki bangku legislatif dan
beberapa kali menjabat bagian penting di pemerintahan. Tidak hanya
pemikirannya mengenai perempuan yang kadang berbeda dengan arus utama demi
meningkatkan martabat perempuan, tetapi keberaniannya patut menjadi contoh
17
Saadah Alim, Minangkabau Beberapa Cukilan dari Kehidupan Masyarakat, dalam Maria
Ulfah Subadio, Peranan dan Kedudukan Wanita Indonesia Bunga Rampai Tulisan-Tulisan.
(Gadjah Mada University Press: 1986) h. 30. 18
Nurlena Rifa‟i, “Muslim Women In Indonesia‟s Politics an Historical Examination of the
Political Career of Aisyah Aminy”, h.1 09. 19
H.M Rasyidi, Koreksi terhadap Drs.Nurcholis Madjid tentang Sekularisasi. (Jakarta:
Bulan Bintang, 1972), h. 129.
7
untuk perempuan-perempuan pada generasi sesudahnya. Sebagai seorang tokoh
perempuan, ia mempunyai kontribusi yang banyak terhadap perkembangan
kemajuan perempuan Indonesia melalui pendapatnya yang kerap kali ia suarakan
selama menjadi anggota legislatif. Sehingga sangat perlu untuk ditulis agar
perjuangan Siti Aisyah Aminy bisa terekam dalam sebuah karya ilmiah.
B. Identifikasi dan Perumusan Masalah
Sedikitnya perempuan yang berada di ranah pemerintahan pada masa Orde
Baru, salah satu penyebabnya adalah adanya asumsi masyarakat mengenai politik
yang dirasa kurang cocok dengan sikap “keperempuanan”, sebagaimana
pandangan masyarakat pada umumnya. Hal itu membuat peran perempuan
menjadi terbatas. Salah satunya pada lembaga perwakilan. Selain itu, Orde Baru
yang dikenal kurang berpihak terhadap partai Islam juga membuat partai Islam
tidak dapat melebarkan langkahnya dalm dunia perpolitikan Orde Baru.
Maka, dalam skripsi ini penulis ingin mencari tau bagaimana peran dan
pemikiran seorang tokoh perempuan dari partai Islam ketika menyuarakan
berbagai pendapatnya di lembaga perwakilan sebagai seorang politisi permpuan
muslim yang berasal dari partai Islam.
C. Pembatasan Masalah dan Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah yang sudah di uraikan di atas, penulis
membatasi penulisan skripsi pada duah hal, pertama pemabatasan tokoh yang
dibahas dalam skripsi adalah Siti Aisyah Aminy. Seorang politisi perempuan
muslim dari partai Islam. Kedua, pembatasan waktu. Aisyah Aminy berkiprah
menjadi anggota parlementer tahun 1987-2004. Maka fokus kajiannya tahun
tersebut.
Adapun pertanyaan penelitian dalam skripsi ini sebagai berikut:
1. Apa yang menghantarkan Aisyah Aminy menjadi seorang politisi?
2. Apa saja yang diperjuangkan oleh aisyah aminy sebagai seorang perempuan
dan partai politik Islam?
3. Bagaimana pandangan Siti Aisyah Aminy mengenai posisi perempuan?
8
D. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui peran Aisyah Aminy sebagai tokoh perempuan di dalam
perpolitikan Orde Baru.
2. Memberikan gambaran mengenai situasi politik Orde Baru.
3. Mengengatuhi posisi perempuan dalam perpolitikan Orde Baru.
4. Mengetahui pemikiran Aisyah Aminy mengenai perempuan.
E. Manfaat Penelitian
Mendapatkan pengetahuan mengenai
1. Mendapatkan pengetahuan mengenai sosok Aisyah Aiminy sebagai seorang
politisi perempuan.
2. mendapatkan gambaran mengenai situasi politik dan peran perempuan pada
masa Orde Baru.
3. Memberikan informasi kepada para pembaca, khususnya perempuan
Muslim Indonesia bahwa adanya seorang tokoh perempuan Muslim yang
berjuang di tengah dominasi laki-laki dalam perpolitikan Orde Baru.
F. Tinjauan Pustaka
Sejauh yang penulis ketahui, ada 3 karya ilmiah yang membahas tentang
Siti Aisyah Aminy, sebagai berikut:
Literatur pertama adalah Thesis Master Nurlena Rifa‟i yang berjudul
“Muslim Women In Indonesia‟s Politics an Historical Examination of the
Political Career of Aisyah Aminy” dalam karyanya ini Nurlena menggambarkan
mengenai partisipasi politik perempuan Muslim Indonesia dari awal abad ke-20
sampai Orde Baru.20
Namun menekankan pada karir politik Aisyah Aminy
sebagai perempuan terkemuka yang mewakili perempuan Muslim Indonesia di
bidang politik. Pada bab pertama, Nurlena menggambarkan mengenai perempuan
Indonesia dalam perspektif sejarah. Ia menjelaskan mengenai bagaimana posisi
perempuan dalam literatur kebudayaan Indonesia. Dalam hal ini sesuai dengan
20
Nurlena Rifa‟i, “Muslim Women In Indonesia‟s Politics an Historical Examination of the
Political Career of Aisyah Aminy”, h. 5.
9
asal Siti Aisyah Aminy dari Minangkabau, Nurlena menjelaskan bagaimana posisi
perempuan dalam tradisi Minangkabau terutama dalam bidang politik pada adat
Minangkabau.21
Ia juga menjelaskan mengenai politik independen perempuan
Muslim Indonesia meliputi latar belakang sejarah gerakan perempuan Indonesia
dan dinamika gerakan perempuan Indonesia dari masa ke masa.22
Serta peranan
gerakan perempuan pada masa itu dengan menghadirkan presentasi hasil
Pemilihan Umum dari waktu ke waktu.
Pada bab terakhir Nurlena membahas Siti Aisyah Aminy dan karir
politiknya. Termasuk di dalamnya latar belakang kehidupan Aisyah Aminy, dari
mulai keluarga, pendidikan, aktifitas sosial dan organisasi, serta kepribadian
seorang Aisyah Aminy.23
Selanjutnya dijelaskan mengenai karir politik Aisyah
Aminy. Meliputi awal mula masuknya Aisyah Aminy sampai masuk ke dalam
anggota DPR, pemikiran Aisyah Aminy tentang politik, kedudukan perempuan,
ilmu pengetahuan dan teknologi, serta kontribusinya dalam menyuarakan
perempuan di ranah pemerintahan. Tidak luput juga ia tuliskan secara lugas
bagaimana seorang Aisyah Aminy yang sangat kritis, beberapa kali Aisyah
mengomentari situasi politik dan kebijakan pemerintahan dari Orde Lama sampai
Orde Baru.24
Tokoh yang dibahas dalam thesis ini sama dengan tokoh yang saya angkat.
Secara komperhensif Nurlena menjelaskan mengenai dinamika pergerakan
perempuan dari awal kemerdekaan Indonesia sampai Orde Baru, bahkan Nurlena
sempat menyinggung perempuan Muslim Indonesia dalam literatur tradisi
Indonesia, tidak jarang ditemukan pada masa kolonial Belanda bahkan pada masa
awal kedatangan Islam ke Nusantara. Sehingga cangkupan penelitiannya
sangatlah luas. Berbeda dengan penelitian ini yang hanya memfokuskan pada
21
Nurlena Rifa‟i, “Muslim Women In Indonesia‟s Politics an Historical Examination of the
Political Career of Aisyah Aminy”, h. 9. 22
Nurlena Rifa‟i, “Muslim Women In Indonesia‟s Politics an Historical Examination of the
Political Career of Aisyah Aminy”, h. 44. 23
Nurlena Rifa‟i, “Muslim Women In Indonesia‟s Politics an Historical Examination of the
Political Career of Aisyah Aminy”, h. 84-96. 24
Misalnya tentang dukungan Aisyah terhadap terbukanya kuota 30% untuk perempuan di
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Bisa dilihat di thesis Nurlena Rifa‟I ”Muslim Women In
Indonesia‟s Politics an Historical Examination of the Political Career of Aisyah Aminy” h. 78 atau
pada buku Saparinah Sadli “Berbeda Tapi Setara” (Jakarta: Kompas, 2010), h. 111.
10
masa Orde Baru saja, sehingga tidak banyak menyinggung mengenai corak
gerakan perempuan dari masa ke masa tetapi lebih kepada dinamika gerakan
perempuan dan status perempuan pada masa Orde Baru. Sementara kontribusi
thesis ini adalah memberi gambaran yang sangat luas mengenai posisi perempuan
dalam prespektif sejarah Indonesia dan menghadirkan fakta ilmiah mengenai
status perempuan dalam adat Minangkabau, serta thesis ini mencantumkan data
hasil presentasi atas keterwakilan perempuan dari masa ke masa yang sangat
dibutuhkan oleh penulis.
Selain itu, penulis juga membaca buku “100 Great Women, Suara
Perempuan yang Menginsipirasi Dunia” salah satu tokoh yang dituliskan dalam
buku tersebut adalah Siti Aisyah Aminy. Di dalam buku ini Aisyah Aminy
dituliskan secara sangat singkat mengenai latar belakang kehidupan, pendidikan
dan menyebutkan beberapa organisasi yang pernah Aisyah Aminy ikuti, serta
aktifnya Aisyah Aminy dalam dunia parlementer.25
Ini jelas berbeda dengan
penelitian saya, jika di buku tersebut menyebutkan secara singkat biografi Aisyah
Aminy, sementara penelitian ini tidak hanya memfokuskan pada tokoh yang
diangkat tetapi juga menjelaskan situasi politik masa Orde Baru dan dinamika
pergerakan perempuan pada masa tersebut. Sehingga cakupan penelitian ini lebih
luas dari apa yang dijelaskan di dalam buku tersebut. Kontribusi buku ini
membantu mempelajari secara singkat seputar aktifitas Aisyah Aminy
Tinjauan literatur selanjutnya adalah buku yang ketiga yakni “Aisyah Aminy
Dedikasi Tanpa Batas” ini merupakan buku terbitan Lembaga Studi
Pembangunan Indonesia (LASPI) dalam rangka memperingati hari lahir 70
tahun Aisyah Aminy, sehingga buku ini menceritakan perjalanan panjang
Aisyah Aminy dari lahir sampai karirnya di legislatif. Bahkan juga
menggambarkan pemikiran-pemikiran Aisyah Aminy.
Buku ini murni mengenai perjalanan kehidupan Aisyah dari lahir sampai
berusia 70 tahun. Berbeda dengan penelitian ini, meskipun pada bab II
menceritakan latar belakang Aisyah Aminy, tapi titik tekan dalam penelitian ini
25
Fenita Agustina.ed, 100 Great Women yang Menginspirasi Dunia, (Yogyakarta: Jogja
Bangkit Publisher, 2010 h),.19-20.
11
bukanlah perjalanan atau biografi Aisyah seperti pada buku tersebut. Penelitian ini
menggambarkan Aisyah Aminy sebagai seorang perempuan politisi pada masa
Orde Baru yang tidak jarang menyuarakan hak-hak perempuan di tengah
dinamika politik pada saat itu. Kontribusinya dalam penelitian ini, memberikan
informasi yang sangat luas dari sisi yang berbeda. Aisyah Aminy tidak hanya
digambarkan sebagai seorang politisi, tetapi juga mengenai kehangatan kehidupan
keluarga Aisyah Aminy. Sehingga tergambar jelas salah satu penyebab
kepribadian Aisyah Aminy berasal dari nilai-nilai yang ditanamkan oleh
keluarganya.
G. Kerangka Teori
Studi ini menggunakan perspektif feminisme muslim. Feminis berasal dari
bahasa latin , femina yang berarti juga perempuan. Sesuai dengan yang saya
ungkapkan sebelumnya istilah ini mengacu pada teori kesetaraan antara laki-laki
dan perempuan untuk memperoleh hak-hak perempuan. 26
Sedangkan menurut
Monsur Fakih feminisme merupakan gerakan dan kesadaran yang berangkat dari
asumsi bahwa kaum perempuan pada dasarnya ditindas dan dieksploitasi, serta
usaha untuk mengakhiri penindasan tersebut. 27
Istilah feminis berasal dari Eropa, ketika meletusnya revolusi Perancis pada
abad-18. Ada dua gelombang gerakan feminis, gelombang pertama terjadi pad
tahun 1780-an di Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan
Marie Jean Antonie Nicolas de Caritat yang pada tahun 1785, mendirikan sebuah
perkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan Middleburg. Seorang aktivis
sosial utopis bernama Charles Fourier pada tahun 1837 memunculkan istilah
feminis yang kemudian tersebar ke seluruh Eropa dan benua Amerika.28
Sedangkan gelombang kedua terjadi setelah berakhirnya perang dunia
kedua, yang ditndai dengan lahirnya dunia-duniabaru yang terbebas dari
penjajahan negara-negara Eropa. Maka lahirlh gerakan feminis gelombang kedua
26
Asmaeni Azis, Feminisme Profetik, ( Yogjakarta:Kreasi Wacana, 2007) h.78 27
Mansour Fakih, Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1995) h.230 28
Herlen Puspitawati, Konsep, Teori dan Analisis Gender (Bogor: PT IPB Press, 2013), h.5.
12
tahun 1960-an dimana fenomena ini mencapai puncaknya dengan
diikutsertakannya kaum perempuan dan hak suara dalam hak suara parlemen.29
Beberapa ilmuan membagi beberapa aliran feminis. Dalam penelitian ini
saya menggunakan feminis islamis ini sebagai pisau analisis saya, karena menurut
saya Siti Aisyah Amini termasuk ke dalam feminis Islamis. Aliran feminis ini
berkeyakinan bahwa Allah maha adil. Agama yang dianutnya yakni Islam
membawa misi keadilan bagi siapapun, termasuk jika berbeda jenis kelamin.
Kitab suci yang diyakininya yakni al-Qur‟an dipercaya mengedepankan wacana
keadilan dan kesetaraan gender. Islam hadir dengann konsepsi keadilan atas
kedudukan laki-laki dan perempuan. Laki-laki memiliki kewajiban bagi
perempuan dan perempuan mempunyai kewajiban bagi laki-laki. Dalam hal ini al-
Qur‟an dianggap memiliki pandangan yang revolusioner terhadap hubungan
kemanusiaan yakni memberi keadilan hak antara laki-laki dan perempuan.30
Dengan demikian feminisme bukanlah suatu gerakan pemberontakan terhadap
kaum laki-laki, pranata sosial, atau bahkan melupakan kodratnya sebagai seorang
perempuan. Akan tetapi feminisme ini lahir untuk mengakhiri eksploitasi
perempuan demi tercapainya keadilan terhadap perempuan itu sendiri. 31
Feminisme adalah sebuah paham yang muncul ketika perempuan mulai
menyadari untuk mendapatkan kesetaraan hak yang sama dengan pria. Menurut
June Hannam:
“A recognition of an imbalance of power between the sexes, with a woman
in a subordinate role to men”32
Yakni pengakuan tentang ketidakseimbangan kekuatan antara dua jenis
kelamin, dengan peranan wanita dibawah pria. Feminisme bukanlah perempuan
versus dengan laki-laki dalam segala bidang. Hal-hal yang disoroti oleh beberapa
29
Sarah Gemble, ed., Pengantar Memahami Feminisme dan Postfeminisme atau The
Routledge Companion to Feminism and Postfeminism (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), cet ke-1 h. 19 30
Mansour Fakih, h. 50 31
Mansour Fakih, h. 51 32
June Hannam, Feminism (Newyork: Pearson Education Limited, 2012) h.51
13
orang yang gencar melakukanya adalah kesetaraan dan keadilan dalam bidang
sosial, hukum, hak-hak sebagai warga-negara. Bukan dalam bidang biologis.
Secara garis besar tidak ada perbedaan mendasar antara feminisme yang
berkembang di Barat dan feminisme Islam, kecuali seperti yang dijelaskan di atas
bahwa feminisme Islam berdasarkan pada teks-teks kitab suci yang di
percayanya.33
H. Metode Penelitian
Adapun dalam penelitian ini penulis menggunanakan metode sejarah yaitu
proses menguji dan menganalisis secra kritis rekaman dan peninggalan masa
lampau. 34
dibawah ini beberapa tahapan dalam metode penelitian sejarah :
Heuristik yaitu usaha pengumpulan informasi yang berkaitan dengan topik
yang akan diteliti. Baik sumber primer yakni kesaksian langsung melalui panca
indera atau alat yang hadir pada peristwa tersebut. Bisa juga tulisan yang ditulis
secara langsung oleh tokoh yang akan penulis angkat dalam penelitian ini. Atau
kesaksian orang lain atas berlangsungnya peristiwa sejarah.
Pengumpulan sumber sejarah telah dilakukan Library Reseach yaitu metode
peulurusan perpustakaan. Mengunjungi beberapa perpustakaan seperti
perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Nasional
Republik Indonesia (PNRI) secara langsung atau online di website Ipusnas
(Perpustakaan Nasional RI berbasis online) untuk mencari buku, tesis dan
desertasi mengenai Siti Aisyah Aminy, Gender dan gerakan perempuan Indonesia.
Perpustakaan Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
(PKPP-PA) untuk mencari jurnal dan buku kebijakan KPP-PA terhadap keadilan
gender dan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) untuk mncari dokumen
hasil kebijakan yang dikeluarkan Siti Aisyah Amini selama menjabat legislatif,
juga tulisan-tulisan Siti Aisyah Amini dalam koran dan Jurnal. Perpustakaan
33
Andik Wahyun Muqoyyid, “Feminisme Islam: Prespektif Islam Kontemporer.”
Universitas Pesantren Tinggi Darul „Ulum Jombang, Wahana Akademia, vol. 15, no. 2, (Oktober
2013) h. 211. 34
Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, diterjemahkan oleh Nugroho Notosusanto. (Jakarta:
UI Press 2008) h.39.
14
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan Perpustakaan
Universitas Indonesia untuk mencari buku, tesis atau desertasi terutama mengenai
karya Taufik Abdullah tentang kemodernan di Minangkabau, serta buku hasil
Lembaga Studi Pembangunan Indonesia (LASPI) mngenai perjalanan Aisyah
Aminy dari lahir sampai karirnya di legislatif.
Dari jelajah pustaka tersebut, sumber primer yang berhasil ditemukan
penulis yakni buku yang ditulis langsung oleh Aisyah Aminy yang berjudul
“Pasang Surut Peran DPR-MPR (1945-2004)” buku ini termasuk ke dalam
sumber primer karena ditulis secara langsung oleh tokoh yang penulis angkat
dalam penelitian ini. Meskipun sepanjang yang penulis ketahui, buku tersebut
hanya karya satu-satunya yang ditulis langsung tetapi sebagai seorang politisi
Aisyah juga sering menulis di koran, seperti harian Kompas, koran SINDO,
Republika dan beberapa media popular seperti majalah Kartini, Swara dan
majalah Tokoh Indonesia.
Selain itu penulis juga akan melakukan wawancara kepada beberapa
narasumber, sebagai berikut:
1. Siti Aisyah Aminy sebagai pelaku sejarah.
2. Bachtiar Chamsyah selaku rekan Aisyah Aminy selama di legislatif dan
teman seperjuangan ketika di PPP sampai saat ini.
Sementara sumber sekunder yang ditemukan sangatlah melimpah, salah
satunya ialah buku “Aisyah Aminy Dedikasi Tanpa Batas”, editor ialah Ramli
HM.Yusuf. Meskipun buku ini tidak langsung ditulis oleh Aisyah tetapi buku ini
dipersembahkan untuk memperingati 70 tahun Aisyah Aminy kala itu. Selain itu
ada juga buku Fenita Agustina yang menulis secara singkat biografi Aisyah
Aminy, serta thesis Nurlena Rifa‟i mengenai karir politik Aisyah Aminy.
Selebihnya sumber sekunder yang penulis temukan terdapat di berita online,
website Partai Persatuan Pembangunan, website DPR-RI dan beberapa jurnal atau
sumber yang otoritatif lainnya. Kemudian sumber-sumber ini di pilah berdasarkan
tema bahasan dalam sub judul yang akan di tulis.
Setelah pengumpulan sumber, kemudian penulis melakukan kritik sumber.
Pada tahap ini penulis menganalisi, membadingkan, dan mengkritisi sumber.
15
Penulis berusaha memilah sumber yang dianggap otoritatif dan yang paling
relevan dengan topik yang akan diteliti.
Selanjutnya adalah tahap interpretasi data yaitu pada tahap ini penulis
mendapat informasi yang lebih (fakta) dari berbagai sumber yang sudah melewati
beberapa tahapan atas topik yang akan penulis teliti. Penulis sudah dapat
memetakan dan menemukan pemecahan masalah dari sumber-sumber yang sudah
dibaca secara baik.
Tahap terakhir yaitu Historiografi, yaitu hasil dari penelitian sejarah yang
sudah dilakukan dalam berbagai tahapan di atas dan dituangkan dalam bentuk
tulisan yang sesuai dengan kaidah ilmiah.
I. Sistematika Penulisan
Dalam skripsi ini, penulis membagi pembahasan menjadi lima bab yang
didalamnya terdapat beberapa sub bab, sebagai berikut:
BAB I, berisi pendahuluan yang terdiri dari, penjabaran singkat, identifikasi
dan perumusan masalah, pertanyaan penelitian dan batasan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, metode penelitian, sistematika
penulisan.
BAB II, dalam bab ini kontkes kajian yang akan dibahas adalah Orde Baru
maka bab ini berisi mengenai situasi politik dan posisi perempuan pada masa
Orde baru yang dibagi menjadi tiga bagian, posisi perempuan dalam system
politik Orde Baru, peran politik perempuan, serta gerakan dan organisasi
perempuan.
BAB III, tokoh yang akan di bahas dalam skripsi ini adalah Aisyah Aminy.
Maka dalam bab ini fokus membahas mengenai latar belakang Aisyah Aminy,
yang terbagi menjadi tiga bagian, keluarga, pendidikan, organisasi.
BAB IV, ini merupakan bab yang akan menjawab pertanyaan penelitian
mengenai bagaimana peran dan pemikiranAisyah Aminy selama di legislatif. Pad
bab ini, dibagi tiga bagian, Aisyah Aminy dari Parmusi ke PPP, Perjalanan Politik
Aisyah Aminy dan Pemikiran Aisyah Aminy.
16
BAB V PENUTUP, skripsi ini ditutup dengan kesimpulan yang diambil dari
pembahasan dan analisis yang telah penulis dikemukakan pada bab-bab
sebelumnya.
17
BAB II
PEREMPUAN DAN POLITIK PADA MASA ORDE BARU
Ketika Aisyah Aminy tampil sebagai seorang politisi, ia cukup lama berada
di bawah kekuasaan Orde Baru. Sehingga kebijakan dan stabilitas politik pada
masa itu sangat mempengaruhi perannya sebagai anggota parlemen. Terutama ia
berasal dari partai Islam yang mengalami banyak kesulitan dalam memperlebar
langkah politiknya.
Oleh karena itu dalam bab ini penulis akan menjelaskan mengenai
bagaimana hubungan antara situasi politik Orde Baru dan kebjakannya terhadap
perempuan pada masa itu.
A. Gerakan dan Organisasi Perempuan
Peralihan politik dari masa Orde Lama ke Orde Baru tentu juga membawa
perubahan ke dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak
hanya struktur pemerintahan dan ideologi yang dibawa oleh pemimpin Orde Baru,
tetapi juga isu mengenai perempuan menjadi salah satu tema menarik untuk dikaji
oleh beberapa akademisi.
Banyak cara yang dipakai oleh negara dan pemerintah untuk
melegitimasikan kekuasaan. Salah satunya adalah dengan cara konstruksi
ideologi. Negara Orde Baru memainkan peran penting dalam kontruksi ideologi,
bukan hanya ideologi negara yang formal, melainkan juga ideologi informal.
Salah satu ideologi yang dikontruksikan oleh pemerintah pada saat itu adalah
suatu ideologi gender yang mendefinisikan perempuan dalam arti dan peran yang
sempit, terbatas dan stereotype.1
Menurut Julia Suryakusuma, negara Orde Baru mempertahankan kekuasaan
melalui strategi-strategi ekonomi dan politik dengan metode rekayasa sosial yang
meliputi represi serta manipulasi kekuatan dan ideologi.2 Apabila kontruksi
1Julia Suryakusuma, Seksualitas dalam Pengaturan Negara, dalam Perempuan dan
Wacana Politik Orde Baru, (Jakarta:LP3S,2002) h.377. 2Julia Suryakusuma, Ibuisme Negara Kontruksi Sosial Keperempuanan Orde Baru,
(Depok: Komunitas Bambu, 2011) h.16.
18
ideologi yang dibangun oleh elite penguasa negara, maka kekuatan ideologi
tersebut menjadi dahsyat karena didukung oleh sumber ekonomi, struktur politik
dan kekuatan militer. Mungkin salah satunya ialah penghapusan atas organinsasi
yang berafiliasi pada partai komunis saat itu, dengan cara membuat organisasi
baru yang menjadi payung bagi semua organisasi wanita baik organisasi
profesional, sosial, keagamaan, sampai organisasi-organisasi fungsional.
Ketika masa ini berlangsung, Orde Baru membatasi segala bentuk
organisasi. Akibatnya, gerakan perempuan yang sebelumnya sangat berpengaruh
secara politik dihancurkan. Bahkan partai politik yang ada pada saat itupun dibuat
tak berdaya. Salah satu contoh yang paling konkrit adalah Gerwani.3 Organisasi
perempuan sosialis yang memiliki lebih dari dua juta anggota di seluruh
Indonesia, serta memainkan peran cukup penting pada masa Orde Lama. Orde
Baru tidak hanya menghancurkan Gerwani sebagai organisasi massa tetapi juga
gerakan perempuan sendiri secara keseluruhan.4 Kegiatan organisasi perempuan
yang berhubungan dengan kebutuhan perempuan miskin dibatasi pada saat itu,
kecuali kegiatan-kegiatan filantropis. Peran perempuan diatur dalam ranah
domestik saja, akibatnya selama masa ini peran organisasi perempuan yang
3Gerakan Wanita Indonesia atau Gerwani merupakan organisasi perempuan sosialis. Cikal
bakal organisasi ini adalah Gerwis (Gerakan Wanita Sedar) yang berdiri pada tanggal 04 Juni 1950
di Semarang, merupakan kolisi dari 6 organisasi perempuan, yaitu Rukun Putri Indonesia
(Rupindo), dari Semarang, Persatuan Wanita Sedar dari Surabaya, Istri Sedar dari Bandung,
Gerakan Wanita Indonesia (Gerwindo), dari Kediri, Wanita Madura, dan Perjuangan Putri
Republik Indonesia dari Pasuruan. Gerwis mempunyai tujuan bersama yakni kemerdekaan
nasional dan berakhirnya praktek feodal. Semangat komunisme menjadi basis perjuangan dalam
membangun gerakan perempuan. Dalam kongres pertamanya pada Desember 1948 Gerwis
kemudian dirubah menjadi Gerwani. Organisasi perempuan ini juga mempunyai anggota yang
cukup banyak dan cukup berpengaruh terhadap situasi politik pada masa Orde Lama. Lihat Saskia
Wieringa “Penghancuran Gerakan Perempuan, Politik Seksual di Indonesia. (Jakarta: Galang
Press, 2010) h. 235. 4Penghancuran ini dilakukan oleh pemerintah Orde Baru dengan cara menumpas habis
elemen kekuatan Gerwani yang didukung oleh kaum perempuan di tingkat daerah dan pusat, baik
rakyat kelas bawah maupun kelas menengah. Penghancuran terhadap Gerwani ini sangat berhasil
dilakukan melalui penciptaan citra perempuan yang kejam terhadap Gerwani yang digambarkan
melakukan berbagai tindakan keji seperti pencongkelan mata 7 Jendral di Lubang Buaya, menyilet
dan menari-nari. Berita ini tidak hanya di kabarkan di koran pada saat itu tetapi juga dijadikan film
“Penghianatan G-30-S/PKI” yang ditayangkan secara nasional setiap tanggal 30 Sptember selama
pemerintah Orde Baru berlangsung. Lihat, Saskia Wieringa, “The Politization Gender Relation in
Indonesia: The Indonesian Women‟s Movement and Gerwani until The New Order State”,
disertasi ISS, Den Haag, 1995.
19
independen kehilangan sebagian besar atau bahkan semua pengaruhnya di dalam
masyarakat.5
Pembatasan ini dilakukan dalam konteks politik gender Orde Baru yang
juga mengkooptasi organisasi perempuan sebelumnya, serta mendirikan
organisasi perempuan yang baru. Itu mengakibatkan absennya organisasi
perempuan pada awal masa Orde Baru. Organisasi-organisasi perempuan
Indonesia masuk ke dalam era Orde Baru dan menjadi Organisasi fungsional.
Perwari (Persatuan Wanita Republik Indonesia) yang pernah menentang Soekarno
berpoligami, kini tinggal sebagai organisasi yang beranggotakan istri-istri pegawai
dengan kegiatan yang mengarah pada kesejahteraan keluarga khas menengah atas.
Wanita Demokrat yang sebelumnya mempunyai kegiatan bergaris massa dan
berhubungan erat dengan PNI (Partai Nasional Indonesia) menunjukan keadaan
yang serupa setelah PNI difusikan ke dalam PDI (Partai Demokrasi Indonesia).6
Jadi organisasi perempuan pada saat itu mengalami domestikasi dengan implikasi
terjadinya penjinakan dan depolitisasi. Anggota organisasi perempuan yang
progresif-revolusioner dikatakan sebagai “perempuan kejam” kemudian
dihadapkan dengan “perempuan baik” yang dicitrakan menurut dan melulu
melakukan kegiatan keperempuanan dan tidak melakukan perlawanan terhadap
pemerintahan. Hal ini semakin terlihat jelas ketika Dharma Wanita dibentuk dan
Dharma Pertiwi diresmikan sebagai organisasi istri pegawai negeri sipil dan istri
anggota ABRI.7
Sebelum membahas itu, kita perlu mengetahui bahwa ada organisasi
sukarela jauh sebelum politik gender dan penghapusan organisasi-organisasi
perempuan dilakukan. Ada organisasi perempuan yang cukup besar saat itu yakni
Kowani8 merupakan federasi organisasi-organisasi wanita terpelajar jauh sebelum
5Yanti Muchtar, Tumbuhnya Gerakan Perempuan Indonesia Masa Orde Baru,
(Jakarta:Institut Kapal Perempuan 2016), h.65. 6 Ruth Indiah Rahayu, Politik Gender Orde Baru, Tinjauan Organisasi Perempuan sejak
1980-an, dalam Perempuan dalam Wacana Politik Orde Baru (Jakarta: LP3S, 2002)h. 423. 7Julia Suryakusuma, Ibuisme Negara Kontruksi Sosial Keperempuanan Orde Baru, h.10
8Kowani adalah Kongres Wanita Indonesia yang merupakan federasi organisasi
kemasyarakatan wanita Indonesia sesuai dengan undang-undang yang berlaku dalam lingkup
nasional. Kowani didirikan pada tahun 1928 berlokasi di Jakarta. Ikrar yang diucapkan pada
tanggal 28 Oktober 1928 membakar semangat pergerakan wanita Indonesia untuk melakukan
20
Indonesia merdeka.9 Pada 1966 ketika pembasmian kaum komunis dilakukan,
para petinggi organisasi Sekber Golkar (Sekretariat Bersama Golongan Karya)
meningkatkan jumlah mereka dalam pengurus Kowani. Pada saat Kongres
Kowani ke-16 pada Mei 1947 hasilnya dari 11 pengurus pusat Kowani berasal
dari Golkar.10
Organisasi yang mengklaim sebagai sarana tunggal wanita
Indonesia itu mendapatkan pengesahan resmi dari pemerintah dalam panca
Dharma Wanita,11
yaitu:
1. Wanita sebagai pendamping setia suami
2. Wanita sebagai pencetak penerus bangsa
3. Wanita sebagai pencetak dan pembimbing anak
4. Wanita sebagai pengatur rumah tangga
5. Wanita sebagai anggota masyarakat yang berguna
Menurut Julia Suryakusuma, dengan demikian Kowani berhenti sebagai alat
perjuangan independen kaum wanita. Organisasi tersebut membiarkan dirinya
mengikuti budaya “ikut suami” yang salah satu ciri pokok ibuisme negara.12
Pada saat itu “kegiatan peranan wanita” disegregasikan ke dalam Kantor
Menteri Urusan Peranan Wanita (UPW). Ideologi gender Orde Baru tersebut
sangatlah terstruktur, itu terbukti pada “Peran Wanita” dalam pembangunan yang
selalu masuk ke dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita Pemerintah)
salah satu isi dalam dokumen tersebut adalah “meningkatkan peranan wanita
dalam pembangunan yang lebih luas berarti meningkatkan pemahaman mereka
mengenai perannya sebagai ibu dan isteri dalam keluarga suatu masyarakat yang
sedang membangun dan sebagai partisipan aktif dalam pembangunan”.13
Akan
tetapi pemerintah tidak lupa memasukan peringatan bahwa mereka punya hak,
Kongres Perempuan Indonesia yang pertama di Yogyakarta. Kongres tersebut bertujuan untuk
menggalang persatuan dan kesatuan antara organisasi wanita pada saat iu. Lihat Susan Blackburn,
Kongres Perempuan Indonesa Pertama, Tinjauan Ulang. (Jakarta:Yayasan Obor, 2007)h.17 atau
Sukanti Suryocondro, Potret Pergerakan Wanita Indonesia (Jakarta: Rajawali Pres,1984) h.85-86 9Cora Vreede-De Stuers, Sejarah Perempuan Indonesia Gerakan dan Pencapaian.
(Depok:Komunitas Bambu,2008), h. 134. 10
David Reeve, Golkar of Indonesia: an Alternative to Party System,(Singapura:Oxford
University Press) h.330. 11
Anggaran Rumah Tangga Dharma Wanita, 18 September 1979. 12
Julia Suryakusuma, Ibuisme Negara Kontruksi Sosial Keperempuanan Orde Baru, h.17 13
Dokumen Repelita IV 1983, hal.xiv.
21
kewajiban dan kesempatan yang sama tidak berarti ini mengurangi peran mereka
sebagai pencipta keluarga yang bahagia dan sejahtera, atau bahwa wanita harus
meninggalkan kodrat mereka. Jadi, sementara di dalam hukum secara resmi
kesederajatan wanita diakui, tetapi subordinasi juga tersirat di dalamnya. Maka,
itu sama dengan pemerintah memobilisasi kelompok-kelompok sosial untuk
mencapai tujuan mereka. Tidak hanya itu, pemerintah juga melatih dan mendanai
organisasi-organisasi wanita terkemuka. Apabila organisasi tersebut menolak
maka sama saja mereka tidak bisa beroperasi karena hal tersebut sifatnya wajib
dilakukan. Dengan demikian, mengenai cara itulah organisasi seperti Kowani
menjadi semi-pemerintah yang berlaku sebagai mitra Kantor Menteri Negara
UPW. Meskipun mengaku sebagai organisasi non-pemerintah tetapi Kowani
banyak kehilangan otonominya dan banyak di kontrol oleh pemerintah. Bahkan
organisasi sangat terkait dengan Golkar terutama dengan Dharma Wanita dan
Dharma Pertiwinya.14
Fenomena Dharma Wanita dan Dharma Pertiwi menjadi simbol
terstrukturnya politik gender yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru. Pada
tanggal 5 Agustus 1974, Dharma Wanita secara resmi didirikan. Jika sebelumnya
organisasi departmental dipisahkan seperti Idhata (Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan), OWD Dukita Handayani (Organisasi Wanita Deplu, Departemen
Luar Negeri), Tat Twam Asi (Departemen Sosial), Niaga Ekasari (Departemen
Perdagangan) dan sebagainya, organisasi-organisasi ini kemudian dihapuskan dan
untuk membentuk satu organisasi tunggal yaitu Dharma Wanita. Organisai ini
kemudian menjadi organisasi wajib bagi setiap istri pegawai negeri dan diarahkan
sejalan dengan birokrasi negera. Dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Dasar
Darma Wanita, tujuannya organisasi tersebut adalah:15
1. Memajukan istri pegawai negeri Republik Indonesia dalam rangka
mengembangkan kesadaran dan tanggung jawab kepada bangsa,
14
Julia Suryakusuma, Ibuisme Negara Kontruksi Sosial Keperempuanan Orde Baru, h.20. 15
Anggaran Rumah Tangga Dharma Wanita, 18 September 1979.
22
2. Mengembangkan perasaan solidaritas dan kebersamaan untuk meningkatkan
kesadaran dan kemasyarakataan, kesadaran sebagai keluarga, kesatuan dan
persatuan diantara istri-istri pegawai negeri Republik Indonesia.
3. Mengintegrasikan kegiatan-kegiatan istri pegawai negeri Republik
Indonesia agar sejalan dan sesuai dengan tugas pegawai negara Republik
Indonesia sebagai aparat dan abdi negara.
4. Meningkatkan peran wanita Indonesia di seluruh sector kehidupan ke
negaraan dan kemasyarakatan.
Untuk mencapai tujuan itu Dharma Wanita16
berusaha:
1. Membimbing dan membina istri pegawai negeri Republik Indonesia dalam
rangka pemupukan dan pengembbangan rasa persatuan dan kesatuan serta
rasa senasib sepenangguangan dan seperjuangan.
2. Membimbing dan membina istri pegawai negeri Republik Indonesia dalam
rangka peningkatan peran sertanya mensukseskan pembangunan nasional,
sesuai dengan kodrat dan kedudukan wanita Indonesia sebagai istri, ibu dan
anggota masyarakat.
3. Menyelenggarakan pendidikan bagi istri pegawai negeri Republik Indonesia
untuk meningkatkan rasa kesadaran dan rasa tanggung jawab
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sesuai dengan kebijaksanaan
pemerintah.
Dengan intruksi yang sangat terarah dari atas kebawah, aturan ini jelas tidak
memberikan ruang kepada perempuan untuk mengekspresikan dirinya di dalam
kehidupan bermasyarakat yang sesuai dengan kebutuhanya. Hal itu sangat terlihat
jelas dari tujuan yang tertulis di dalam AD/ART di atas. Tugas seorang istri
adalah pendamping setia suami. Dengan dalih tersebut Darma Wanita dibentuk
dan dirancang untuk mengendalikan istri-istri pegawai negeri agar mengikuti apa
yang diperintahkan oleh pemegang kekuasaan pada saat itu.
Negara mengontrol pegawai negerinya, melalui kontrol suami terhadap
istrinya. Sementara melalui Dharma Wanita negara langsung sebaliknya
mengontrol suami mereka dan juga istri para yunior dan juga anak-anak mereka.
16
Anggaran Rumah Tangga Dharma Wanita, 18 September 1979.
23
Dengan demikian ada jaminan pengendalian masyarakat dan penyebaran nilai-
nilai tertentu dengan keluarga batih sebagai intinya yang instrumental dan
mendukung kekuasaan negara.17
Itulah yang di istilahkan sebagai “Ibuisme
Negara” oleh Julia Suryakusuma, konsep yang mencangkup unsur-unsur
ekonomis, politis, dan kultural. Dalam Ibuisme, perempuan harus meladeni suami,
anak-anak, keluarga, masyarakat dan negara. Wanita harus merelakan tenaganya
dengan cuma – cuma dan tanpa mengharapkan prestise ataupun kekuasaan
sebagai imbalannya. Sejalan dengan itu, paham negara sebagai “keluarga”
ideologi gender Orde Baru sebenarnya adalah Bapak-Ibuisme yang mencangkup
seluruh masyarakat, dimana Bapak adalah sumber utama kekuasaan dan Ibu
adalah salah satu perantara bagi kekuasaan tersebut.18
Jadi, dapat disimpulkan
bahwa kegiatan Dharma Wanita adalah bagian tak terpisahkan dari tujuan negara
untuk merekayasa dan mengendalikan masyarakat. Agar pemerintah dapat
mencapai tujuan-tujuannya dengan tanpa adanya pihak yang merongrong
kekuasaanya.
Akibatnya dari semua itu adalah absennya gerakan perempuan yang
independen pada tahun-tahun awal Orde Baru. Meskipun demikian satu
pergeseran dalam wacana perempuan, yang dikembangkan sebagai bagian dari
politik gender Orde Baru dan oposisi pada tingkat tertentu telah
mentransformasikan kesadaran perempuan kelas menengah yang mendorong
mereka untuk memperjuangkan kepentingan perempuan dan berpartisipasi dalam
kegiatan politis yang tidak diizinkan oleh politik Orde Baru. Interaksi wacana
WID (Women in Development)19
dan feminisme di satu sisi dan proses
demokratisasi yang mulai terjadi pada akhir 1980-an di sisi lain, telah
memberikan kesempatan bagi perempuan kelas menengah tersebut untuk
17
Julia Suryakusuma, Seksualitas dalam Pengaturan Negara, dalam Perempuan dan
Wacana Politik Orde Baru, h.359. 18
Julia Suryakusuma, Ibuisme Negara Kontruksi Sosial Keperempuanan Orde Baru, h.15 19
WID Merupakan sebuah pendekatan dimana perempuan terintegrasi sepenuhnya dalam
derap pembangunan sebagaimana termaktub dalam Garis Besar Haluan Negara yang menyebutkan
bahwa “Wanita mempunyai hak, kewajiban, kesempatan yang sama dengan pria untuk ikut serta
dalam segala kegiatan pembangunan”.
24
mendirikan organisasi perempuan yang lebih otonom dan independen sejak awal
tahun 1980-an.20
Menurut Yanti Muchtar ada 71 kelompok dan koalisi perempuan Orde Baru
yang otonom dan independen. Terdiri atas organisasi Wanita dan Perempuan,
dibentuk di Pulau Jawa, Sumatra, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur,
Timor Timur, dan Papua. Dua puluh satu darinya dibentuk selama tahun 1980-an.
Tabel 1. Perkembangan organisasi perempuan berdasarkan periode dan
lokasi,
Periode Tahun Jumlah
Organisasi Lokasi
1980
1982 1 Yogyakarta
1983 1 Jakarta
1984 1 Mataram
1985 4 Jakarta, Mataram, Irian Jaya,
Sumbawa (NTB)
1986 1 Jakarta
1987 1 Padang (Sumetara Barat)
1988 4 Mataram, Solo, Yogyakarta,
Jakarta
1989 7 Yogayakarta, Jakarta, Aceh
1990
1991 4 Jakarta, Yogyakarta
1992 7
Yogyakarta, Lampung, Flores
Timur, Sumba (NTT), Kupang
(NTT), Jakarta
1993 11 Jakarta, Yogyakarta, Solo,
Surabaya, Kupang (NTT)
1994 6 Jakarta, Yogyakarta
1995 6 Jakarta
1997 8 Jakarta, NTT, Timor Timur,
Irian Jaya
1998 2 Jakarta
Sumber : Yanti Muchtar, Desember 1997-Juni 1998.
Ada perbedaan yang signifikan antara kedua periode tersebut. Pergeseran
dalam wacana tentang perempuan pada politik gender di kalangan oposisi,
peningkatan kesadaran perempuan, serta percepatan proses demokratisasi,
20
Yanti Muchtar, h. 65.
25
menandai perkembangan yang berbeda dari gerakan permpuan Orde Baru selama
kedua periode tersebut.
Pada awalnya tahun 1980-an gerakan ini di dominasi oleh organisasi wanita
yang dihegomoni oleh WID dan politik gender Orde Baru. Pada masa ini gerakan
perempuan digambarkan sebagai suatu gerakan yang apolitis. Berfokus pada
kegiatan pembangunan masyarakat. Tetapi ketika organisasi perempuan yang
menentang politik gender muncul bersamaan dengan gelombang demokratisasi di
tahun 1980-an sifat gerakan perempuan ini berubah. Sejak saat itu gerakan
perempuan Orde Baru telah mendapatkan kekuatan dan akses pada ranah publik.
Dengan memasukan prespektif feminis yang lebih kuat, sifat gerakan menjadi
semakin politis.21
Namun sayangnya Yanti Muchtar dalam penelitiannya ini tidak
menjelaskan sejauh mana organisasi ini melanggengkan kegiatanya dan
seberpengaruh apa terhadap Orde Baru.
Akan tetapi, kita menemukan sisi lain dari perkembangan organisasi
perempuan pada masa Orde Baru. Bahwa tidak sepenuhnya politik gender yang
dilakukan oleh Orde Baru berhasil, fakta yang di temukan di lapangan ada
organisasi-organisasi yang dibuat secara sukarela. Penerimaan atas isu perempuan
dan feminisme di kalangan pro-demokrasi meningkat, komunikasi dan saling
pengertian antar organisasi perempuan yang berbasis di Jakarta dan daerah
lainnya juga telah membaik, dan banyak organisasi yang berusaha melepaskan
ketergantungannya dari lembaga dana. Sehingga gerakan ini menjadi lebih
percaya diri. Meskipun secara politis kekuatan mereka tidak bisa menandingi
Dharma Wanita.
Meski begitu, kita dapat melihat titik balik atas respon dari sikap dan
kebijakan pemerintah Orde Baru kepada organisasi perempuan. Seperti tabel yang
disuguhkan Yanti Muchtar di atas, kita melihat temuan yang dikemukakannya atas
hal itu ada kemiripan dengan apa yang dikatakan Ruth Indiah Rahayu. Bahwa
pada tahun 1980-an tumbuh kelompok-kelompok diskusi perempuan mahasiswa
di berbagai kota seperti Kognitari, Forum Perempuan Yogya, Forum Diskusi
Perempuan Yogya, Suara Hati Perempuan Yogya, Suara Hati Perempuan
21
Yanti Muchtar, h. 65.
26
Rumpun, Kelompok Diskusi Cut Nyak Dien (Jakarta), Kelompok Diskusi Lilin
(Surabaya).22
Kelompok-kelompok tersebut tidak mau dikooptasi oleh
pemerintah. Organisasi ini kemudian membantu mendampingi, membela, kaum
perempuan agar mempunyai kekuatan berhadapan elemen-elemen yang
mengeksploitasi tenaga dan mendiskriminasi hak-haknya.23
Sikap politik ini juga
membawa implikasi pada peran organisasi perempuan sebagai pembela dan
pembawa suara yang mewakili perempuan-perempuan tertindas yang dilakukan
dengan cara memprotes, mengkritik atau hanya mengingatkan.24
Dengan kata lain,
temuan kedua akademisi tersebut menunjukan bahwa tidak semua kebijakan Orde
Baru yang banyak dikritik oleh para feminis setelahnya atas ketidakberpihakannya
terhadap organisasi perempuan tidak berhasil sepenuhnya. Ada beberapa
kelompok yang tetap berperan sebagai lembaga bantuan kaum perempuan pada
saat itu.
B. Posisi Perempuan dalam Sistem Politik Orde Baru
Masa Pemerintahan Orde Baru mewajibkan kaum wanita untuk berperan
dalam proses pembangunan nasional dan mensukseskan program pemerintah
dalam pembangunan tersebut. Orde Baru mengembangkan kebijakan depolitisasi
sistemis peran dan posisi perempuan Indonesia. Soeharto menempatkan diri
sebagai “Bapak Pembangunan” yang mengharuskan pengabdian kaum perempuan
baik sebagai ibu maupun istri dalam pembangunan. Julia Suryakusuma
mengistilahkan hal tersebut dengan sebutan “State Ibuism” atau Ibuisme Negara
yaitu konsep yang mencangkup unsur-unsur ekonomis, politis dan kultural.
Konsep ini berasal dari aspek yang paling menekan dari housewifization.25
Selain
22
Ibid, Ruth Indiah Rahayu, Politik Gender Orde Baru, Tinjauan Organisasi Perempuan
sejak 1980-an, dalam Perempuan dalam Wacana Politik Orde Baru. h.425. 23
Ibid, Ruth Indiah Rahayu, Politik Gender Orde Baru, Tinjauan Organisasi Perempuan
sejak 1980-an, dalam Perempuan dalam Wacana Politik Orde Baru h.425. 24
Ibid, Ruth Indiah Rahayu, Politik Gender Orde Baru, Tinjauan Organisasi Perempuan
sejak 1980-an, dalam Perempuan dalam Wacana Politik Orde Baru, h.426. 25
Istilah ini dipakai oleh Maria Mies yang berarti wanita didefinisikan secara sosial sebagai
ibu rumah tangga yang bergantung kepada suami untuk memenuhi kehidupan mereka terlepas
secara de facto mereka Ibu rumah tangga atau bukan. Sementara laki-laki di definisikan sebagai
pencari nafkah terlepas dari kontribusi nyata yang diberikan kepada keluarga. Lihat Maria Mies
Patriachy and Acumulation on World Scale (London: Zeed Press, 1986) h.180.
27
aspek ibuisme26
priyayi. Menurutnya, “Dalam housewifization perempuan harus
meladeni suami, masyarakat, anak-anak, dan negara tanpa mengharapkan
kekuasaan sebagai imbalannya.”27
Sejalan dengan pemahaman tersebut, paham negrara diartikan dengan
“keluarga”, ideologi gender Orde Baru sebenarnya adalah Bapak-Ibuisme yang
mencangkup seluruh masyarakat, dimana Bapak adalah sumber utama kekuasaan
dan Ibu adalah salah satu perantara untuk mencapai kekuasaan yang diinginkan.28
Menurut Julia Suryakusuma Orde Baru melakukan manipulasi ideologis, seruan
untuk berpartisipasi kepada negara untuk proses pembangunan sesungguhnya
adalah manipulasi yang cerdik atas dua model keperempuanan. Negara
mengambil kontruksi keperempuanan dari aspek yang paling opresif dari ideologi
gender borjuis maupun priyayi yaitu yang disebut olehnya sebagai “ibuisme”.29
Perempuan disegregasikan ke dalam program-program keperempuanan yang
khusus untuk perempuan. Sementara citra perempuan kelas menengah di media
semakin meningkat. Negara membuat organisasi isteri yang wajib ikut suami,
keluarga dan negara. Sejalan dengan terpusatnya negara Orde Baru, pengarahan
untuk program perempuan semua berasal dari pemerintahan pusat. Strukturnya
mulai dari presiden sampai Ibu kepala desa. Jabatan suamilah yang menjadi status
seorang isteri, bukan prestasinya sendiri. Jadi semakin tinggi jabatan suami maka
status sosial isteri juga semakin tinggi. Namun pada kenyataanya program-
program yang diberikan justru bukannya memperkuat malah membebani mereka,
kebijakan dan program yang berasal dari negara atas ideologi ibuisme membuat
mereka tak berdaya, karena apa yang dikembangkan sering kali tidak ada
hubungannya dengan kenyataan kaum perempuan desa.
26
Ibuisme adalah istrilah yang dipakai oleh Mdelon Djajadiningrat yang merupakan
kombinasi antra nilai-nilai borjuis kecil Belanda dan nilai-nilai tradisional priyayi. Ideologi ini
didefinisikan dengan menerima tindakan apapun yang diambil seorang wanita yang dilakukannya
untuk keluarga, kelompok, kelas, perusahaan atau negara, tanpa mengharapkan kekuasaan sebagai
imbalan. Lihat Madelon Djajadiningrat “Ibuism and Priyayization: Path to Power?” dalam Locher
Scholeten and Niehf, Indonesia Women in Focus, KITLV, Foris Puliation, 1987, h.44. 27
Julia Suryakusuma, “Ibuisme Negara, Kontruksi Sosial Keperempuanan Orde Baru”
h.19. 28
Ibid, Julia Suryakusuma “Seksualitas dalam Pengaturan Negara” dalam “Perempuan
dalam Wacana Politik Orde Baru”, h.360. 29
Ibid, Julia Suryakusuma, “Ibuisme Negara, Kontruksi Sosial Keperempuanan Orde
Baru”, h.19.
28
Dharma Wanita, Dharma Pertiwi dan PKK yang dibuat pemerintah tidak
mempunyai pandangan tentang perempuan. Mereka hanya melihat wawasan
anggotanya perlu dikembangkan agar dapat membantu tugas suami sebagai aparat
negara. Persoalan-persoalan tentang perempuan tidak dapat dilihat sebagai sesuatu
yang berdiri sendiri, melinkan turut menjadi bagian dari proses pembangunan
secara keseluruhan harus terus menerus meningkatkan kualitas sumberdaya.
Namun ketiga organisasi tersebut tidak memihak kepada pemberdayaan kaum
perempuan. Mereka ditekan untuk melakukan kewajiban sosial sebagai istri
daripada memikirkan persoalan sebagai perempuan. Persoalan perempuan seperti
pemerkosaan, penganiyayaan istri, atau pelecehan seksual dipandang sebagai
persoalan orang lain. Organsiasi ini hanya mensosialisasikan Panca Dharma
Wanita dan penyampaian pesan pembangunan.30
Setelah diketahui ketidakberpihakan organisasi buatan pemerintah tersebut
kepada kaum perempuan, ada permasalahan yang lebih kompleks yang
menyangkut posisi dan peran perempuan. Misalnya kaum perempuan seringkali
menjadi sasaran kekerasan sehubungan dengan seksulitasnya yang khas. Industri
hiburan yang menjamur pada dasarnya menjual perempuan pada konsumen yang
mewakili kepentingan laki-laki. Itu merupakan menifestasi keinginan laki-laki
memperoleh obyek yang dinilainya sebagai barang dan jasa. Persisnya dalam
globalisasi kapitalisme serta ketimpangan gender yang berlangsung,
mengondisikan kaum laki-laki untuk merampok, merampas dan memiliki
seksualitas perempuan.31
Fenomena tersebut memperlihatkan posisi kaum
perempuan Indonesia hanyalah objek yang melayani kepentingan ekonomi politik.
Buruh perempuan melayani kepentingan pengusaha besar, pembantu rumah
tangga melayani kaum borjuis kota, tenaga kerja wanita melayani orang asing dan
devisa negara, organisasi perempuan Orde Baru melayani kepentingan birokrasi
negara, ibu rumah tangga melayani suami, konsumen melayani pemasaran produk
barang, seksualitas perempuan melayani seksual laki-laki. Keterampilan atau
30
Ibid, Ruth Indiah Rahayu “Politik Gender Orde Baru, Tinjauan Organisasi Perempuan
Sejak 1980-an” h.429. 31
Ibid, Ruth Indiah Rahayu “Politik Gender Orde Baru, Tinjauan Organisasi Perempuan
Sejak 1980-an” h.429.
29
peningkatan wawasan seperti banyak yang dilakukan organsiasi perempuan tidak
mengubah posisi wanita meningkat menjadi subjek ekonomi politik.32
Tetapi tidak bijak bila kita memandang hal tersebut dari satu sudut pandang.
Fakta mengenai kontruksi ideologi atas politik gender Orde Baru di barengi
dengan wacana pembangunan yang gencar dilakukan oleh pemerintahan pada saat
itu. Tema mengenai pembangunan di segala sektor menjadi ciri khas Orde Baru.
Orde Baru mengetengahkan program-program yang berorientasi pada persoalan
praktis yang berhubungan dengan kebutuhan hidup masyarakat. Proses
pembangunan itu telah melahirkan berbagai perbaikan, termasuk nasib kaum
perempuan.33
Disinilah kita menemukan fakta unik, satu sisi ideologi gender Orde
Baru mendomestiksi peran perempuan, tapi di sisi lain Orde Baru juga
menjadikan perempuan sebagai partner yang manis bagi pembangunan. Akibatnya
banyak kalangan intelektual Muslim yang berkembang, berada dalam kerangka
pembangunan ideologi Orde Baru.
Perkembangan pemerintahan Orde Baru telah melahirkan
pembaharuan pemikiran Islam yang sejalan dengan perubahan sosial menyusul
proses modernisasi yang memang inheren dalam pembangunan. Salah satunya
ditandai dengan munculnya pemikiran intelektual muslim tahun 1970-an
mengenai penafsiran ulang bagaimana posisi agama, negara dan politik yang
dinilai sudah tidak sesuai dengan konteks Indonesia belakangan.34
Salah satu
intelektual muslim yang ikut mempengaruhinya ialah Nurcholis Madjid, lewat
pernyataannya yang sangat terkenal “Islam Yes, Partai Islam No” ia
memfokuskan pada dua gagasan utama,yaitu sekularisasi dan penolakan untuk
menjadikan Islam sebagai sebuah ideologi politik. Ini merupakan salah satu
bentuk respon sejumlah intelektual muslim terhadap proses sebuah modernisasi
32
Ibid, Ruth Indiah Rahayu “Politik Gender Orde Baru, Tinjauan Organisasi Perempuan
Sejak 1980-an” h.430. 33
Jajat Burhanudin dan Oman Faturahman,.ed Tentang Perempuan Isam, Wacana dan
Gerakan, (Jakarta: Gramdia Pustaka,2004)h.80. 34
Ibid, Jajat Burhanudin dan Oman Faturahman,.ed Tentang Perempuan Isam, Wacana
dan Gerakan, h.81.
30
Orde Baru.35
gagasan Nurcholis Majdid tersebut telah memberi landasan kepada
umat Islam Indonesia untuk terlibat dan mengisi serta memberi makna subtantif
dalam merespon modernisasi.
Pemikiran Islam tersebut semakin berkembang kuat dan memiliki pengaruh
di kalangan muslim Indonesia. Tak tekecuali kaum santri, yang tampil dengan
rumusan yang akrab dengan nilai-nilai modern. Proses ini tumbuh melalui
peningkatan kesempatan memperoleh pendidikan bagi muslim Indonesia. Ini
dibarengi dengan proses modernisasi lembaga-lembaga pendidikan khususnya
Madrasah Ibtidaiyah, Aliyah, Tsanawiyah, dan juga IAIN (Institut Agama Islam
Negeri).36
Dari data yang ditemukan daya serap madrasah dari tingkat dasar
sampai menengah rata-rata memiliki peningkatan berkisar antara 9-15% dari
jumlah penduduk usia sekolah saat itu. Letak penting lembaga pndidikan Islam di
atas diperkuat dengan kebijakan pemerintah dengan menyejajarkan madrasah dan
IAIN dengan lembaga pendidikan umum yang berada di bawah Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud).37
Dengan demikian, lahirlah kaum santri yang termobilisasi menjadi kelas
menengah baru dalam hal pendidikan. Kaum santri tidak lagi ketinggalan zaman,
mereka bisa menjadi orang-orang yang bekerja di berbagai bidang. Tidak melulu
di bidang keagamaan. Maka dari itu, dalam suasana yang demikian muncul
bersamaan dengan tumbuhnya gerakan dan pemikiran perempuan muslim
Indonesia. Barangkali diantaranya munculah tokoh-tokoh perempuan seperti
Zakiah Daradjat, Huzaemah Tahido Yanggo dan Siti Baroroh Baried. Selain
ketiga tokoh tersebut, pada masa ini juga muncul dan berkembang majelis taklim
yang memiliki peran penting dalam pembentukan wacana keagamaan yang juga
berorientasi pembangunan. Tokoh tersebut adalah Suryani Thahir dan Tuty
Alawiyah.
35
Arief Subhan Prof.Zakiah Daradjat: Pendidik dan Pemikir dalam Jajat Burhanudin.,Edt
Ulama Perempuan Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2002), h.140. 36
Ibid, Jajat Burhanudin dan Oman Faturahman,.ed Tentang Perempuan Isam, Wacana
dan Gerakan, h.90. 37
Ibid, Jajat Burhanudin dan Oman Faturahman,.ed Tentang Perempuan Isam, Wacana
dan Gerakan, h.91.
31
Zakiah Daradjat meraih gelar Doktor di Universitas Eins Shams Mesir
sebagai satu-satunya perwakilan pelajar perempuan dari Indonesia. Ia juga
menulis sejumlah karya dalam berbagai bidang terutama psikologi. Selain
keberhasilannya dalam hal pendidikan Zakiah juga menempati sejumlah jabatan
penting di pemerintahan. Salah satunya ketika ia di angkat sebagai Kepala Dinas
dan Penelitian Kurikulum Perguruan Tinggi Kementrian Agama dan semenjak
1972 ia menjabat sebagai Direktur Pendidikan Agama dan masih banyak jabatan
lainnya di beberapa perguruan tinggi Islam Indonesia.38
Selama menjadi direktur
Kementrian Agama ia termasuk orang berpengaruh terhadap kebijakan pembaruan
madrasah. Zakiah menginginkan peningkatan penghargaan penghargaan terhadap
status madrasah, salah satunya ialah memberikan pengetahuan agama 30 % dan
pengetahuan umum 70%. Aturan tersebut berpengaruh terhadap lulusan madrasah
untuk diterima di perguruan tinggi dan sekolah-sekolah umum.39
Menurut Zakiah perempuan harus memperkuat peran domestiknya, tidak
mesti meninggalkan tanggung jawab sebagai seorang perempuan terhadap
keluarga. Tetapi dia juga setuju apabila perempuan harus berkarir di luar rumah
tanpa meninggalkan perannya sebagai istri dan seorang ibu. Setelah kita
mengetahui sekilas tokoh perempuan muslim pada masa Orde baru, terlihat bahwa
pemikiran dan praktik sosial keagamaan Zakiah berada di bawah kerangka
ideologi gender Orde Baru. Sehingga kita bisa mengatakan Zakiah berusaha
menggeser ruang domestik perempuan ke tengah publik dan mempengaruhi
masyarakat untuk terlibat di dalamnya.40
Terutama di dalam wacana
pembangunan pemerintah Orde Baru.
Dua sisi yang dihadirkan dalam penelitian di sub-bab ini menunjukan bahwa
kerangka ideologi gender Orde Baru yang dirancang sedemikian sistemis oleh
pemerintah untuk melanggengkan kekuasaanya, tidak sepenuhnya merugikan dan
memperlemah perempuan Indonesia, dalam perekembangannya juga tidak terlalu
38
Ibid, Arief Subhan Prof.Zakiah Daradjat: Pendidik dan Pemikir dalam Jajat
Burhanudin.,Edt Ulama Perempuan Indonesia, h.140. 39
Ibid, Arief Subhan Prof.Zakiah Daradjat: Pendidik dan Pemikir dalam Jajat
Burhanudin.,Edt Ulama Perempuan Indonesia, h.146. 40
Ibid, Jajat Burhanudin dan Oman Faturahman,.ed Tentang Perempuan Isam, Wacana
dan Gerakan, h.97.
32
berhasil. Pada kenyataannya wacana pembangunan yang di usung Orde Baru bisa
dijadikan kesempatan untuk mengembangkan diri dalam bidang yang dimiliki.
Seperti Zakiah Dradjat dan Aisyah Aminy sebagai salah satu contoh konkritnya.
C. Seputar Peran Politik Perempuan
Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia yang dikeluarkan PBB pada 10
Desember 1948 antara lain menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk
mengambil bagian dalam pemerintahan negaranya. Indonesia sebagai salah stau
anggotanya, pada tanggal 18 Agustus 1945 dalam pasal 27 UUD-nya menyatakan
bahwa: “Segala warga negara bersamaan dengan kedudukannya di dalam hukum
dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya”. Artinya dalam pernyataan tersebut menegaskan bahwa
baik pria maupun wanita mempunyai hak yang sama tanpa perbedaan.
PBB telah mendorong bangsa-bangsa di dunia langkah demi langkah agar
warga negaranya tanpa terkecuali, mengambil bagian dalam pembangunan bangsa
dan negaranya. Tahun 1975 sebagai tahun internasional untuk wanita dengan
maksud setiap penduduk dunia pria ataupun wanita nersama-sama bahu-membahu
dengan tema persamaan, perdamaian, pembangunn dan perdamaian. Dengan hal
tersebut, Indonesia menyambutnya dengan membuat program tentang peranan
wanita dalam GBHN 1978.41
Orde Baru pada saat itu belum menempatkan
perempuan dalam kabinetnya, maka organisasi wanita seperti Kowani dan Sekber
Golkar meminta Presiden Soeharto menempatkan wanita dalam kabinet baru. hal
tersebut di respon oleh pemerintah dengan menempatkan Ibu Lasiah Susanto
sebagai Menteri Peranan Perempuan.42
Pada Pemilu pertama Orde Baru tahun 1971 presentase perempuan di dalam
legislatif cukup meningkat dari angka 6,3 % menjadi 7,8 % dan mencapai
pucaknya pada Pemilu 1987 menjadi 13%. Data fraksi yang memiliki anggota
DPR wanita pada tahun 1992-1997 secara berurutan adalah Golkar 17%, PDI
10,7%, PPP 6,4% dan ABRI 5,3%. Data tersebut memperlihatkan betapa kecil
41
Ruth Indiah Rahayu “Politik Gender Orde Baru, Tinjauan Organisasi Perempuan Sejak
1980-an” h.430. 42
Ibid,Julia Suryakusuma, “Ibuisme Negara, Konstruksi Keperempuan Orde Baru”, h.18.
33
jumlah wanita di lembaga perwakilan pusat. Sementara itu, di DPRD I dan DPRD
II keadannya hampir sama. Dalam jajaran pimpinan baik di DPR RI maupun MPR
RI tidak ada seorang wanitapun yang duduk sebagai wakil ketua apalagi sebagai
ketua. Pada 27 DPRD I hanya ada satu orang wanita sebagai ketua yaitu Lampung
dans eorang wanita pula sebagai wakil ketua di DPRD I Sumatera Barat. Pada
DPRD II ada 6 orang wanita dari 425 orang ketua da nada 5 orang wanita dari 241
orang wakil ketua DPRD I serta ada 5 orang wanita dan 233 wakil ketua DPRD
II.Sedangkan dalam eksekutif, pada tingkat provinsi tidak ada seorangpun wanita
yang menjadi Gubernur dari 30 jumlah provinsi. Adapun dalam tingkat menteri
hanya ada 2 orang wanita yang menjadi menteri dari 27 orang menteri.43
Dari data tersebut terlihat bahwa peran wanita Indonesia dibidang
perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan masih rendah. Hal tersebut
menjadi kurang terakomodasinya aspirasi dan kepentingan perempuan dalam
peembangunan bangsa secara keseluruhan. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa
peran politik perempuan ini sudah meningkat lebih baik dibanding masa
sebelumnya. Pada masa Orde Lama keterwakilan perempuan justru tidak
sebanyak yang ada pada saat masa Orde Lama.
Banyak faktor yang mempengaruhi keterwakilan perempuan pada masa
tersebut, salah satunya adalah sebagian besar politisi wanita yang menjadi politisi
justru disebabkan oleh karir suaminya juga yang mapan di pemerintahan.
Meskipun kebanyakan dari mereka dicalonkan (semisal di lembaga legislatif)
karena posisinya di organisasi-organisasi kewanitaan namun tidak menghilangkan
penilaian bahwa posisi di organisasi kewanitaan tersebut diperoleh karena jabatan
suami. Sebab bisa dipastika bahwa istri gubernur ia akan menjadi ketua Dharma
Wanita di wilayah kekuasaan suaminya. Seelain itu, usia politisi wanita saat itu
juga kebanyakan mengisi bangku legislatifnya berusia sekitar 35 tahun (46%), Itu
mengindikasikan bahwa wanita yang yang duduk di legislatif pada saat itu bukan
melalui titian karir dari bawah namun dicapai melalui jalan pintas.44
43
Data ini diperoleh dari Sekretariat Jendral DPR/MPR RI Masa kerja 1971-1976 sampai
dengan 1997-1998. 44
Muhamad Asfar, “Wanita dan Politik Antara Karir Pribadi dan Jabatan Suami” dalam
Perempuan dalam Wacana Politik Orde Baru (Jakarta: LP3S, 2002)h.413.
34
Satu sisi adanya Menteri Urusan Peranan Wanita (UPW) sebagai satu-
satunya menteri wanita dan kementrian yang memperhatikan urusan kewanitaan
menjadi salah satu kemajuan pemerintah pada saat itu. Pengkuan resmi mengenai
perannya seolah-olah menjadi kemajuan negara dalam memberikan perhatian
pada persoalan wanita. Begitupun dengan meningkatnya jumlah wanita di
lembaga legislatif dibanding masa sebelumnya (Orde Lama), merupakan satu
kemajuan yang harus diakui. Akan tetapi, seperti apa yang di kritik oleh para
feminis dan akademisi bahwa keadaan tersebut masih berada di bawah ideologi
gender Orde Baru. Bahkan 46% perempuan yang menduduki jabatan
pemerintahan adalah mereka yang suaminya juga bekerja di ranah pemerintah.
Namun tidak bisa dipungkiri hal ini mengindikasikan mulai terbukanya dunia
politik bagi para wanita.
Dari uraian di atas, kita menemukan bahwa kebijakan politik sangatlah
berpengaruh terhadap kontribusi perempuan di ranah publik. Satu sisi politik
gender yang dibangun sedemikian sistemis oleh Orde Baru merugikan dan
memperlemah kaum perempuan, namun pada sisi lain hal tersebut tidak
selamanya berhasil. Pada perkembangannya program pembangunan yang
digalakan pemerintah justru membawa keuntungan bagi beberapa aktifis
perempuan, salah satunya Aisyah Aminy. Meskipun, ia tetap berada di dalam
koridor peran domestiknya. Maka pada bab selanjutnya penulis akan membahas
mengenai siapa sosok Aisyah Aminy dan bagamana latar belakangnya.
35
BAB III
LATAR BELAKANG SOSIAL AISYAH AMINY
Menjadi seorang politisi perempuan yang cukup lama berada pada lembaga
legislatif , tentu bukan hal yang instan. Berbagai faktor telah mempengaruhi
Aisyah Aminy dalam menjalankan setiap kegiatannya. Diantaranya adalah peran
keluarga, latar belakang pendidikan dan organisasinya.
Sehingga dalam bab ini, penulis akan menjelaskan bagaimana latar belakang
keluarga Aisyah Aminy dan pendidikannya, serta proses Aisyah Aminy dari awal
karirnya sebagai seorang advokat sampai menjadi parlemen dari PPP.
A. Keluarga
Pada 1 Desember 1931 di Padang Panjang Sumatera Barat, Siti Aisyah
Aminy dilahirkan dari seorang ibu yang bernama Hj.Jalisah dan ayahnya H.
Muhamad Amin.1 H.Muhamad Amin dan Hj.Jalisah merupakan Orangtua yang
mendidik anak-anaknya dengan didikan yang religius. Meskipun keduanya tidak
pernah mendapatkan pendidikan agama secara formal seperti anak-anaknya, tetapi
mereka belajar agama secara otodidak. Terutama belajar dari pengajian yang
diikutinya, seperti ceramah Dr.H Karim Amrullah (ayah Buya Hamka). Sehingga
tidak mengherankan jika pengetahuan Orangtua Aisyah ini cukup mendalam.
Menjamurnya pendidikan agama di Padang Panjang juga merupakan salah satu
faktor yang menjadi latar belakang pengetahuan agamanya, karena pada saat itu
Padang Panjang terkenal dengan banyaknya perguruan agama disana, seperti
Perguruan Diniyah yang didirikan oleh Zainudin Labay el-Yunusiah, Perguruan
Diniyah Putri oleh Rahmah el-Yunusiah, H.I.S, Kulliyatul
Muballighien/Muballighat, serta Madrasah Irsyadun Nas (MIN).2
H.Muhamad Amin merantau dari Magek ke Padang Panjang dan
mendirikan sebuah toko eceran dan grosir disana, lalu menjadi seorang pedagang
terkemuka. Selain itu ia juga terkenal sebagai orang yang mendukung gerakan
1 HM.Yusuf, Aisyah Aminy Dedikasi Tanpa Batas, h.3.
2 “Politisi Perempuan Religius”, Tokoh Indonesia,25 Juli-28 Agustus 2005, h.16.
36
pembaharuan Islam kaum muda. Latar belakangnya sebagai pedagang terkemuka
menjadikan Aisyah dan beberapa saudaranya dapat mengenyam pendidikan
tinggi, sementara latar belakang pengetahuan agama menjadikan keluarganya
tumbuh dan berkembang dalam kehidupan yang agamis, disiplin, serta
menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran.3
Aisyah merupakan anak ke-7 dari delapan bersaudara. Dari perkawinan
H.Muhamad Amin dan Hj.Jalisah, yakni Anwar, Djam‟an (Dt.Bagindo)4, Butiyah,
Adnan, Rusli, Rahmah, Aisyah, dan Wardiyah. Sementara dari pernikahan
sebelumnya, Aisyah mempunya tiga orang saudara yang ketiganya sudah wafat.
Anak Hj.Jalisah yang pertama, yaitu Anwar dikirim ke Jawa untuk bersekolah di
H.I.K, namun tidak dapat menamatkan sekolahnya itu dikarenakan sakit dan
meninggal di usia muda. Djam‟an, anak keduanya sekolah di Sumatera Thawalib
juga tidak bisa meneruskan pendidikannya karena pada saat itu ayahnya pergi ke
Mekkah, sehingga ia harus membantu meneruskan usaha orangtuanya. Anak
ketiganya yaitu Butiyah Aminy adalah lulusan Kulliyatul Mu‟alimat,Padang
Panjang. Ia sempat akan dikirim ke luar negeri untuk meneruskan pendidikan di
sana akan tetapi tidak diizinkan oleh kedua Orangtuanya. Lalu ia menikah dengan
M.Risan Dt.Tumaro dan mempunya enam orang anak. Ke-empat ialah Adnan
Syamni, ia pernah bersekolah di H.I.K di Jawa, namun karena pada saat itu Jepang
masuk ke Indonesia ia tidak bisa melanjutkan pendidikannya itu. Adnan kemudian
melanjutkan sekolahnya dan sempat masuk ke UI tapi tidak tamat. Dalam
organisasinya Adnan adalah orang aktif di GPII, organisasi yang berafiliasi
dengan Masyumi. Oleh karenanya ia mempunyai hubungan yang sangat dekat
dengan M.Natsir, dan sempat dikirim ke Pakistan untuk mempelajari Undang
Undang Pakistan pada masa Kemerdekaan. Tidak hanya itu, ketika Soekarno-
Hatta sudah memproklamirkan kemerderkaan bagi bangsa Indonesia, ia di kirim
ke Sumatera bersama beberapa temannya atas nama pejuang
3 H.M Yusuf, Aisyah Aminy Dedikasi Tanpa Batas, h.5.
4 Dalam tradisi Minang, orang yang memiliki tanggung jawab dalam suku diberi gelar
Datuk. Apabila orang tersebut meninggal maka gelar tersebut diwariskan kepada kemenakkannya,
dalam keluarga Aisyah, Djam‟anlah yang mendapatkan tanggung jawab tersebut dan di beri gelar
Datuk (Dt) oleh masyarakat.
37
kemerdekaan/pemuda pelopor untuk menyampaikan berita bahwa Indonesia telah
meraih kemerdekaan. Ia juga pernah aktif di Himpunan Pengusaha Muslim
Indonesia (HUSAMI), dan Ikatan Motor Indonesia (IMI). Adnan mempunyai
sebuah karya dalam bentuk buku yang berjudul “Sumatera Pulau Harapan”.5 Ke-
lima, Rusli Aminy juga kuliah di UI dan mendapatkan gelar Sarjana Ekonomi,
dan pernah menjadi dosen di beberapa perguruan tinggi seperti Trisakti, UNAS,
UPN, dan Perbanas. Ke-enam ialah Rahmah Aminy sampai saat ini masih
menjadi dosen Universitas Islam Jakarta. Sementara yang ke-tujuh adalah Aisyah
Aminy, dan yang terakhir adalah Wardiyah Aminy. Wardiyah adalah lulusan
sarjana kedokteran, pernah memimpin sebuah poliklinik Departemen Agama
ketika masa Dr.Tarmizi Taher menjadi Menteri Agama, bahkan sampai saat
inipun Wardiyah masih praktik dokter di Rumah Sakit Rawamangun.6
Begitulah latar belakang keluarga Aisyah dari Orangtua sampai ke adiknya.
Dari paparan di atas terlihat bahwa keluarga Aisyah merupakan keluarga yang
berpendidikan. Semua anak-anaknya pernah mengenyam pendidikan formal,
hanya Djam‟an saja sebagai kakak ke-duanya tidak dapat melanjutkan ke
perguruan tinggi karena beberapa hal, sementara yang lainnya dapat melanjutkan
ke perguruan tinggi. Termasuk Aisyah sendiri.
Ayahnya sebagai seorang pedagang terkemuka menjadikannya mampu
membiayai pendidikan anak-anaknya. Sehingga tidak sulit bagi Aisyah dan
saudaranya untuk bersekolah sampai ke luar pulau Sumatera. Maka dapat
disimpulkan bahwa dari segi ekonomi, keluarga Aisyah dapat digolongkan
sebagai kalangan menengah atas.7
Religiusitas orangtuanya juga tertanam dalam kehidupan anak-anaknya
kelak. Termasuk dalam kehidupan Aisyah, lingkungan keluarganya yang religius
terbawa sampai Aisyah tumbuh dewasa dan menjadi anggota DPR.8 Sehingga ia
terkenal sebagai politisi yang agamis.9
5 H.M Yusuf, Aisyah Aminy Dedikasi Tanpa Batas, h.7.
6 H.M Yusuf,Aisyah Aminy Dedikasi Tanpa Batas,h.8.
7 “Wanita I yang Memimpin Komisi I DPR”, Kartini, 7-20 Desember 1992, h. 101.
8 “Politisi Perempuan Religius”, Tokoh Indonesia 25 Juli-28 Agustus 2005, h.13.
9 Agustina, ed., 100 Great Women Suara Perempuan yang Menginspirasi Dunia, h. 19
38
Tidak hanya sampai pada Aisyah Aminy, nlai-nilai Islam yang sudah
tertanam dalam pribadinya juga ia tanamkan kepada anak dan keponakannya.
Aisyah dan suaminya Dr.Desril Kamal selalu mendidi dengan cara yang agamis
adan penuh kedisiplinan. Sampai saat ini anak-anak dan keponakannya menjadi
orang yang berhasil dan tidak pernah menyimpang dari prinsip-prinsip keluarga.10
Bahkan ada salah satu keponakannya yang membangun masjid di samping
kantornya yang bersebalahan dengan terminal Blok M, masjid tersebut diberi
nama al-Amin sesuai dengan nama ayahnya Aisyah Aminy, banyakk orang yang
melaksanakan ibadah sholat disini dan apabila bulan ramadahn disediakan
makanan bagi para musafir.
B. Pendidikan
Aisyah mengawali pendidikan di Sekolah Rakyat (SR) pada tahun 1937 dan
melanjutkan ke H.I.S Muhamadiyah Padang Panjang sampai pada tahun 1942.
Ketika sekolahnya di H.I.S Muhamadiyah hampir selesai, Jepang mengambil alih
kekuasaan Indonesia dari Belanda, sehingga Aisyah dan seluruh anak perempuan
yang tamat dari berbagai sekolah meneruskan sekolahnya di Diniyah Bahagian B
atau setingkat SMP.11
Sekolah tersebut dibuka karena kekhawatiran para orangtua
kepada anak-anak perempuannya atas datangnya serdadu Jepang yang sikapnya
dikenal tidak baik terhadap perempuan, anak-anak perempuan kerap kali di
jadikan objek pemuas nafsu para serdadu Jepang yang ada di Indonesia. Meskipun
begitu Aisyah merasa beruntung karena dipertemukan dengan siswa yang
merupakan tamatan dari berbagai sekolah seperti Shakel, H.I.S dan lain-lain
sedangkan ia belum tamat dari H.I.S Muhamadiyah dan menjadi siswa terkecil.12
Sehingga itu merupakan pengalaman baru untuknya, bisa belajar bersama orang-
orang yang lebih dewasa darinya.
10
Politisi Perempuan Religius”, Tokoh Indonesia,25 Juli-28 Agustus 2005, h.17 11
Pada saat Hindia Belanda di ambil alih kekuasaanya oleh pemerintahan Jepang, para
tentara Jepang membangun “Rumah Kuning”, yaitu tempat penampungan para perempuan yang
didatangkan dari luar untuk melayani hasrat seksual serdadu Jepang kala itu. Oleh karenanya
orang-orang pribumi sangatlah khawatir terhadapnya sikap tentara Jepang yang tidak senonoh.
Mereka khawatir jika anak-anak perempuan mereka akan diperlakukan tidak baik bahkan
dijadikan pelayan kebuasan tentara Jepang pada saat itu. 12
H.M Yusuf, Aisyah Aminy Dedikasi Tanpa Batas, h.9.
39
Setelah lulus di Diniyah Putri Bahagian B kemudian Aisyah melanjutkan ke
KMI Diniyah Putri pimpinan Rahmah el-Yunusiah pada tahun 1946 dan selesai
pada tahun 1948. Sebetulnya sekolahnya tersebut belumlah tamat, namun pada
saat tersebut tepat di bulan Desember Belanda melancarkan serangannya kembali
ke Indonesia yang disebut dengan Agresi Militer Belanda II13
sehingga ia tidak
bisa menamatkan sekolahnya akibat kejadian tersebut. Pada saat perang
kemerdekaan tersebut Aisyah yang juga aktif di Keputrian Republik Indoensia
(KRI) dipercaya menjadi ketua Badan Penolong Kecelakaan Korban Perang
(BKKP), ia bertugas menolong orang-orang korban perang dan menyediakan
makanan di dapur umum untuk para korban perang bersama para tentara kala itu.
Lalu pada tahun 1949 ia melanjutkan sekolahnya di Kulliyatul Mubalighien (KM)
Muhamadiyah bersama 35 orang siswa lainnya dan Aisyah lulus pada tahun
1950.14
Setelah lulus ia berniat meneruskan pendidikannya tersebut, namun pada
saat itu ijazahnya tidak diakui sehingga ia harus bersekolah lagi dan melakukan
ujian Sekolah Menengah Atas (SMA). Setelah satu tahun ia kemudian lulus dan
diterima di Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Lalu
ia menjadi mahasiswa rantauan dari Padang Panjang ke Yogyakarta. Ia tinggal
bersama keluarga mertua dari kakaknya yakni Adnan, ia juga sempat tinggal di
rumah Buya A.R Sutan Mansur15
bersama anak-anaknya yang sudah ia anggap
sebagai saudaranya sendiri. Disanalah ia mendapatkan bimbingan agama Islam
yang menurutnya sangat bermanfaat bagi kehidupannya di perantauan.
Semasa kuliah Aisyah juga dikenal sebagai mahasiswi yang aktif dalam
berbagai organisasi. Antara lain, ia aktif dalam organisasi kedaerahan yang
bernama Baringin Mudo, dibantu oleh pemerintah Sumatera Barat organisasi ini
mampu membangun asrama untuk mahasiswa/i yang berasal dari Minangkabau.
14
H.M Yusuf, Aisyah Aminy Dedikasi Tanpa Batas, h.16. 15
Ia merupakan seorang tokoh dan pemimpin Muhamadiyah asal Agam Sumatera Barat,
serta seorang da‟i terkenal di Yogyakarta. Pada tahun 1920 ia pindah ke pulau Jawa kemudian
hidup dan mengembangkan organisasi Muhamadiyah disana. Selama hidupnya ia juga menulis
beberapa karya seperti Pokok-pokok Pergerakan Muhamadiyah, Penerangan Asas Muhamadiyah,
dan sebagainya.
40
Selain itu ia juga aktif di Pelajar Islam Indonesia (PII) Yogyakarta, ia sempat
menjadi pengurus dan menjadi ketua Keputrian (1951-1953). Aisyah juga aktif di
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan menjadi pengurus HMI cabang
Yogyakarta (1953-1957).
Tidak hanya organisasi di dalam kampus, selama kuliah ia juga aktif
mengajar di Pendidikan Guru Agama Atas Negeri (PGAAN) Puteri Yogyakarta
(1954-1956) dan pada tahun 1956 ia juga menjadi pengajar di SMA Puteri
Yogayakarta. Lalu pada masa akhir kuliahnya ia sempat menjadi dosen di
Universitas Tjokroaminoto (1957-1958). Sebetulnya kakak Aisyah yakni Djam‟an
ingin Aisyah konsentrasi pada kuliahnya, tetapi ia tetap aktif dalam berbagai
kegiatan. Namun niat awalnya untuk berkuliah tidak ia abaikan, ia lulus dan
mendapatkan gelar Mester in de Rechten (Sarjana Hukum) dan menjadi
perempuan pertama yang lulus dari UII.
C. Aktifitas Organisasi
Sudah di singgung di atas bahwa Aisyah merupakan perempuan yang aktif
di berbagai organisasi. Keikutsertaannya di dalam organisasi bukan hanya sebatas
mengisi waktu belaka, tapi ia mempunyai alasan dan pemikiran yang kuat
terhadap keterlibatannya tersebut. Menurut Aisyah aktifnya ia di dalam organisasi
sosial-kemasyarakatan merupakan usahanya untuk memperbaiki kualitas hidup
masyarakat.16
Aisyah beranggapan bahwa turut serta dalam pemecahan masalah-
masalah sosial di dalam masyarakat adalah tugas seorang Muslim.
Seperti yang sudah dsebutkan di atas juga Aisyah pernah bergabung dalam
perjuangan Agresi Militer Belanda II pada bulan Dessember tahun 1948. Ia
menolong masyarakat yang luka pada saat perang dan mengurus dapur umum,
serta menyediakan makanan untuk masyarakat. Memasak dan membagikan
makanan bukanlah hal yang mudah pada saat itu, karena tidak boleh ada makanan
yang tersisa sedikitpun. Jika ada makanan yang tersisa dan Belanda melihatnya
maka ia akan marah dan membabi buta dengan cara membakar rumah-rumah
16
Nurlena Rifa‟i, ““Muslim Women In Indonesia‟s Politics an Historical Examination of
the Political Career of Aisyah Aminy”, h.90.
41
warga dan menembakkan pelurunya dengan sembarangan. Sehingga butuh
kehati-hatian dalam melakukannya. Selain itu Aisyah juga bergabung dalam
Palang Merah Indonesia (PMI) dan ditugaskan menjadi mata-mata karena mampu
berbahasa Belanda. Guna memperoleh informasi dari kolonial Belanda,
penyamaranpun dilakukan olehnya, ia berpura-pura menjadi penjual makanan atau
petani dengan pakaian yang kotor agar tidak di curigai. Oleh karenanya ketika
para gadis yang lain mengungsi ke tempat yang lebih aman seperti desa lain,
Aisyah tetap tinggal di rumahnya untuk memperolah informasi yang lebih.17
Pamannya pun menyarankan ia untuk segera mengungsi ke desa yang lebih aman
tetapi ia tetap bertahan disana.
Akhirnya suatu hari tentara Belanda mengobrak-abrik kampungnya, rumah
Aisyah pun di geledah. Orang-orang banyak yang berlindung di balik semak-
semak dan ilalang namun akhirnya tertangkap oleh pesawat tentara Belanda,
tercatat 35 orang gugur dalam peristiwa tersebut.18
Semua keluarga Aisyah sudah
melarikan diri, namun Aisyah masih tertinggal di rumah akhirnya ia bersembunyi
di balik pintu, ketika tentara Belanda mendobrak kamar, melirik ke dalam dan
mengambil sebuah lampu senter kemudian keluar lagi, Aisyah kemudian bernafas
lega karena bisa terbebas dari Belanda. Kejadian tersebut menjadi salah satu
pengalaman berharga untuk seorang Aisyah muda.19
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya selama kuliah Aisyah aktif di
beberapa organisasi, seperti di PII Yogyakarta (1951-1953) dan HMI (1953-
1957). Di tengah kekacauan dan ketidakstabilan politik pada masa Demokrasi
Terpimpin, Aisyah pada waktu sudah lulus di UII memutuskan untuk pindah ke
Jakarta pada tahun 1958 dan memulai aktfitasnya disana. Di tahun itu pula Aisyah
berkesempatan ke India untuk mengikuti Leadership Training selama tiga bulan
yang diselenggarakan oleh World Assembly of Youth. Di tahun berikutnya Aisyah
aktif di GPII, keaktifannya di GPII jug merupakan ajakan dari kakaknya yakni
17
Tokoh Indonesia, “Perempuan Baja Vokalis Senayan”. Artikel ini diakses pada 14 April
2017 dari http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/285-ensiklopeedia/348-peerempuan-
baja-vokalis-senayan, h.2. 18
Tokoh Indonesia, “Perempuan Baja Vokalis Senayan”, h.3. 19
Nurlena Rifa‟i, “Muslim Women In Indonesia‟s Politics an Historical Examination of the
Political Career of Aisyah Aminy”, h.91.
42
Adnan Syamni dan istrinya Maryati Adnan. Kemudian Aisyah di percaya menjadi
anggot Pengurus Pusat GPII Puteri periode 1959-1963.20
Ketika ia memutuskan untuk memulai karirnya di Jakarta, ia dihadapkan
pada dua pilihan. Menjadi pegawai negeri yang sesuai dengan budaya berkarir di
lingkungan keluarganya atau justru mencari pekerjaan yang sesuai dengan gelar
yang didapatnya.
Keaktifan kakak Aisyah dalam GPII juga membawanya mengenal tokoh-
tokoh Masyumi seperti Muhamad Roem, tidak mengherankan karena GPII
merupakan organisasi yang berafiliasi dengan tokoh Masyumi oleh karenanya
banyak anggotanya yang masuk ke dalam Masyumi. Disinilah karir Aisyah
sebagai seorang advokat dimulai. Aisyah dikenalkan dengan Muhamad Roem,
dengan pengarahan dari kakaknya Aisyah langsung di terima dalam tim Muhamad
Roem, Djamaluddin Datuk Singo Mangkuruto dan Maduratna.21
Disinilah
berbagai petualangannya sebagai seorang advokat dimulai. Aisyah yang bisa di
kategorikan sebagai junior dalam tim ini sering diajak untuk menangani berbagai
kasus besar. Seperti kasus Mr.Kasman Singodimejo, merupakan salah seorang
tokoh Masyumi yang dituduh melakukan makar terhadap pemerintahan Soekarno,
Aisyah ke Yogyakarta bersama Muhamad Roem untuk menangani kasus ini.
Namun relasi Aisyah dengan para kliennya, memperluas hubungan Aisyah dengan
berbagai orang termasuk tokoh-tokoh besar dan pejabat pemerintahan.
Misalnya pada kasus H.Abdul Ajid, Aisyah menghadapi aparat Kodim yang
semena-mena menahan warga yang tidak mau menjual tanahnya untuk dijadikan
real estate. Akibatnya H.Abdul Ajid di panggil karena dianggap menghalangi
pembangunan. Aisyah diminta menangani kasus ini, ia bersitegang dengan
anggota Kodim dan sempat diminta untuk tidak usah mendampingi H.Abdul Ajid
dalam kasus ini, tetapi Aisyah menolaknya dan tetapi mendampingi H.Abdul
20
Gerakan Pemuda Islam Indonesia atau disingkat GPII merupakan organisasi kepemudaan
yang berideoologikan Islam, didirikan pada tanggal 02 Oktober 1945 di Jakarta dengan
Harsonosebagai ketuanya. Tujuan gerakan ini adalah membela membela agama Islam dan
menentukan perjuangan pemuda Islam Indonesia, serta mempertahankan Negara Kesatuan
Republik Indonesia berdasakan ke-Tuhanan yang Maha Esa. Lihat Subagio LN, Harsono
Tjokroaminoto Mengikuti Jejak Perjuangan Sang Ayah,(Jakarta; Gunung Agung, 1985) h.83. 21
H.M Yusuf, Aisyah Aminy Dedikasi Tanpa Batas, h.16.
43
Ajid. Karena Aisyah mempunyai relasi juga dengan peejabat Kodim akhirnya
H.Abdul Ajid di bebaskan dan tanahnya berhasil di pertahankan.
Kedekatan Aisyah dengan kalangan militer bermula dari keaktifan Aisyah di
kesatuan-kesatuan aksi. Aisyah sering di undang oleh Pangdam Amir Mahmud
untuk mendiskusikan berbagai masalah, pada saat diskusi tersebut Aisyah sering
menanggapi pernyataan Amir Mahmud. Puncaknya ketika Amir berkeinginan
untuk membentuk KOKAR Mendagri yang tidak boleh masuk partai politik
kecuali dalam GOLKAR karena menurutnya GOLKAR merupakan kelompok
karya bukan partai. PPP menentang kebijakan tersebut dan perjuangan PPP pada
saat itu di berlangsung selama bertahun-tahun.
Sikap pemerintahan Orde Lama yang sering menangkap orang-orang yang
dianggap makar lalu dibiarkan ditahan dan tidak diproses secara hukum dengan
adil menurut Aisyah sangatlah bertentangan dengan prinsip demokrasi, UUD
1945, dan norma-norma hukum membuatnya berniat mendirikan sebuah Lembaga
Pembela Hak Asasi Manusia (LP HAM) dengan rekan-rekannya seperti Anwar
Haryono, Djamaludin Datuk Singo Mangkuto, Hasim Mahdan, Haryono
Tjitrosubono, Sjarif Usman, dan lain sebagainya. Lembaga ini didirikan untuk
menegakkankeadilan dan membela hak asasi manusia dan melakukan segala
usaha untuk mengangkat martabat manusia dalam bidang politik, ekonomi, sosial,
budaya. Meskipun dalam anggota tersebut banyak yang lebih senior dari Aisyah
tapi Aisyah yang ditunjuk menjadi ketuanya. Untuk mewujudkkan tujuan awal
berdirinya LP-HAM langkah pertama yang dimbil adalah melakukan tuntunan
untuk pembebasan para tokoh Masyumi dan PSI yang ditangkap Soekarno secara
terang-terangan. Akhirnya usaha Aisyah dan rekan-rekannya tersebut
membuahkan hasil seiring dengan dibebaskannya para tahanan seperti M.Nastir,
Muhamad Roem, Buya Hamka, Syafrudin Prawir Negara, Sutan Syahrir, dan lain-
lain.22
Tidak hanya dalam bidang hukum, pada tahun 1975 Aisyah juga aktif di
Wanita Islam. Kegiatan organisasi ini pada waktu itu antara lain mengadakan
kegiatan sosial dan pendidikan. Aisyah sempat menjadi ketua pengurus pusat
22
H.M Yusuf, Aisyah Aminy Dedikasi Tanpa Batas, h.26.
44
Wanita Islam sampai tahun 1985. Untuk mewakili Wanita Islam, Aisyah juga
aktif di KOWANI. Penglaman Aisyah sebagai advokat selama 28 tahun
membuatnya dipercaya menjadi ketua bidang hukum tahun 1978 sampai tahun
1988.23
KOWANI yang beerafiliasi dengan Golkar pada saat itu memiliki
kecendrungan untuk menjadikan anggota-anggotanya yang non-Golkar tidak
berkesempatan untuk menjadi ketua umum KOWANI, meskipun perarturan
tersebut tidak tertulis akan tetapi hal tersebut sudah lumrah dan manjadi budaya
pada saat itu, karena itulah Aisyah mulai merasa PPP pada saat itu sangatlah di
pinggirkan. Menrutnya, jangankan kader PPP menjadi menteri, menjadi kepala
desa juga tidak bisa. Dari sinilah ia merasa perjuangannya di PPP harustetap
dilanjutkan. Ini adalah masalah dan juga tantangan yang harus segera diselesaikan
olehnya.
Dalam organisasi seni juga ia turut berkontribusi, misalnya ketika Aisyah
aktif di organisasi HSBI yang waktu itu dikuati oleh Yunan Helmi Nasution. Pada
tahun 1979 ia juga aktif menjadi Dewan Film Nasional. Tujuan terbentuknya
Dewan Film Nasional untuk memajukan perfilman Indonesia dan membangun
insan manusia yang lebih kreatif dan maju agar bisa menjadi tuan rumah bagi
daerahnya sendiri.24
Aisyah juga aktif dalam pelestarian daerah asalnya yakni Minang. Itu
terlihat dari dibentuknya Gerakan Seribu Minang. Lembaga tersebut berdiri untk
membantu dan menggiatkan usaha-usaha dan taraf hidup orang-orang Minang
yang ada di daerah asalnya atau di perantauan.25
Setahun setalah dibentuknya Gebu Minang, dibentuklah Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang diketuai oleh B.J Habibie. ICMI
merupakan organisasi kemasyarakatan yang bersifat keislamab dan bercirikan
kebudayaan, keilmuan. Dan kecendekiawanan. Pada saat kepemimpinan Adi
Sasono, Aisyah aktif dalam Dewan Penasihat ICMI.
23
Suara Pembangunan, “Perempuan Pejuang yang tak kenal lelah” artikel ini dikases pada
15 April 2017 dari: http://suarapembangunan.net/index.php/option=xom
_conten&view=article&id=15&limited=5 24
H.M Yusuf, Aisyah Aminy Dedikasi Tanpa Batas, h.36. 25
Lembaga Gebu Minang,Panduan Musyawarah Besar III dan Semiloka Gebu Minang,
(Bukittinggi: Yayasan Gebu Minang, 2001) h.17.
45
Kegiatan Aisyah juga merambah ke bidang yang lebih luas. Tahun 1980-
10982 Aisyah menjadi Pimpinan Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum untuk
Wanita dan Keluarga yang didirikan oleh MUI bersama Humaika. Lembaga ini
bertujuan untuk membantu wanita-wanita, baik sebagai pribadi, ibu, istri, maupun
menantu yang sering mengalami masalah yang kompleks. Ia juga aktif dari tahun
1987 sampai sekarang di Badang Penasihat Pembinaan Pelestarian Pernikahan.
Dari mulai menjadi aktifis organisasi Islam di kampusnya, bahkan setelah ia lulus
ia juga aktif dalam berbagai organisasi dari mulai hukum, sosial, kesenian dan
agama.
Pembahasan pada bab tiga ini menemukan gambaran bahwa,latar belakang
keluarga dan lingkungan sosial-budaya dimana ia tumbuh dan berkembang sangat
menunjang keberhasilannya di kemudian hari. Kemampuan finansial keluarganya
yang cukup mumpuni menjadikan Aisyah Aminy mudah untuk melanjutkan
sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi. Sehingga tidak heran jika ia bisa
menyelsaikan pendidikannya di Universitas Islam Indonesia. Kepribadiannya
yang agamis juga tak luput dari peran serta keluarga yang menanamnkan nilai-
nilai Islam sejak dini.
Selain dari itu kontribusi Aisyah Aminy dalam berbagai organisasi yang
diikutinya, merupakan hal yang paling menonjol dalam memperlacar jalannya
menuju seorang politisi perempuan. Relasi yang ia bangun dengan para akifis
organisasi yang lebih senior menjadi jembatan baginya untuk melngkah maju
menjadi seorang anggota dewan. Lalu bagaimana ia akan tetap mampu bertahan
dan konsisten menyuarakan pandangan-pandangannya di lembaga legislatif
sebagai seorang perempuan muslim dari partai Islam, akan dibahas pada bab
selanjutnya.
46
BAB IV
PERJALANAN POLITIK DAN PIMIKIRAN AISYAH AMINY
Menjadi seorang politisi perempuan melalui partai Islam bukanlah hal yang
mudah ketika berada dalam kekuasaan Orde Baru. Sebagai seorang anggota
parlemen dari partai Islam, ia mengalami berbagai kesulitan. Namun tetap
konsisten dengan berbagai pendapatnya dan mampu cukup lama berada di bangku
legislatif. Ia membuktikan bahwa perempuan bisa berperan aktif di dunia politik
tanpa harus meninggalkan perannya sebagai seorang istri. Pada bab inilah akan
dibahas mengenai apa saja yang ia suarakan dari awal karirnya di partai Islam
sampai akhir jabatannya di parlemen, serta pandangannya terhadap perempuan.
A. Aisyah Aminy dari Parmusi ke PPP
Dengan naiknya pemerintahan Orde Baru banyak aktifis politik Islam yang
berharap besar terhadapnya. Petinggi Masyumi yang disudutkan dan tidak
mendapat peradilan pada saat Soekarno memimpin, agaknya berharap bahwa
pemerintahan yang baru dapat memperbaiki kondisi yang tengah dihadapi oleh
umat Islam pada saat itu. Apalagi ketika beberapa tokoh Masyumi dapat
pembebasan dari pemerintah Orde Baru, ini menjadi angin segar bagi aktifis
Masyumi untuk membangun partainya kembali yang sempat dibubarkan oleh
pemerintah sebelumnya.1 Harapan itu bukan tanpa sebab, mereka merasa sudah
ikut andil dalam keberhasilannya membasmi PKI dan pemberhentian kekuasaan
Soekarno pada masa Orde Lama. Sehingga mereka memperkirakan akan
kembalinya Islam dalam diskursus politik nasional.2
Soeharto tampil menjadi pemegang kekuasaan negara dengan
mengedepankan program pembangunan nasional. Babak baru demokrasi
Indonesia yang disebut olehnya sebagai Demokrasi Pancasila menjadi alasan
baginya untuk menjadikan pembangunan nasional sebagai fokus utama. Konflik
ideologi yang sempat terjadi pada masa Soekarno dijadikan alasan atas
1Din Syamsudin, Islam dan Politik Era Orde Baru (Jakarta:Logos,2001),h.37.
2Al-Chaidir, Reformasi Prematur Jawaban Islam terhadap Reformasi Total ,
(Jakarta:Darul Falah,1998) h.32.
47
terhambatnya kemajuan pembangunan disegala bidang karena perdebatan ideologi
yang tak berkesudahan. Demokrasi pancasila dianggap sebagai koreksi total atas
sistem demokrasi terpimpin yang menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945.
Meskipun sebetulnya hal tersebut dilakukan untuk melanggengkan kekuasaan atas
politik ideologi yang dikendalikan penuh oleh pemerintah Orde Baru dan ini
merupakan bentuk kepentingan Orde Baru demi terciptanya stabilitas politik agar
tidak ada kekuatan yang mampu mengusik kursi kekuasaanya.
Sebab pada kenyataannya para aktifis Masyumi sangatlah diawasi dan
pemerintah Orde Baru keberatan untuk merehabilitasi Masyumi ke dalam
panggung perpolitikan Orde Baru. Harapan hanya sebatas harapan, apa yang
diperkirakan tidak bisa terwujud. Irinonya lagi kegiatan-kegiatan yang berbau
Islam sangatlah dicurigai, seperti misalnya para khatib yang akan berceramah di
masjid atau majelis taklim selalu dikontrol dan isi ceramahnya harus disensor
terlebih dahulu sebelum diberikan izin kepada aparat yang berwenang.
Itu tidak mengherankan karena ABRI sebagai pendukung Orde Baru pada
tanggal 21 Desember 1966 telah menyatakan bahwa Masyumi sama dengan PKI,
yakni sam-sama mempunyai ideologi yang ekstrim (ekstrim kanan dan ekstrim
kiri) yang berrtentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, oleh karenanya ABRI
akan menindak tegas bagi individu atau kelompok yang menyimpang dari dua hal
tersebut.3 Dengan dalih tersebut Soeharto menolak menghidupkan kembali
Masyumi, sehingga Masyumi tidak bisa lagi menjadi partai politik yang menjadi
wadah aspirasi umat Islam. Soeharto menganggap apabila Masyumi
diperbolehkan naik lagi ke dalam kancah polik nasional itu sama saja kita
mengulang sejarah pada masa Orde Lama, dimana pada masa itu Masyumi
dianggap sebagai oposisi pemerintah dan menolak pancasila.
Sebagai jalan tengahnya, Soeharto meminta agar dibuat partai baru yang
dapat menampung aspirasi umat Islam dan keluarga Bulan Bintang. Melalui
prakarsa Amal Muslimin dan Keputusan Presiden No.70 tahun 1968 Pejabat
3Faisal Ismail, Ideologi, Hegemoni dan Otoritas Agama, (Yogyakarta: Tiara Wacana,
1999), h.122.
48
Presiden Seoharto mengesahkan berdirinya Parmusi tanggal 20 Febuari 1968.4
Dengan demikian muncullah partai politik baru menggantikan Masyumi.
Aisyah Aminy sejak awal terlibat dalam kepengurusan terbentuknya
Parmusi. Ia masuk ke dalam kepengurusan pusat Parmusi sampai tahun 1970.
Apalagi ketika muktamar pertama Parmusi dilaksanakan dan Muhamad Roemlah
yang terpilih menjadi ketua umum Parmusi secara aklamasi. Seperti yang sudah
dijelaskan dalam bab sebelumnya, Aisyah sangatlah dekat dengan Muhamad
Roem sehingga tidak mengherankan jika pada saat Roem memimpin ia meminta
Aisyah untuk menjadi sekretarisnya, tidak hanya dengan Roem, Aisyah juga
dengan tokoh-tokoh Masyumi lainnya seperti Prowoto Mangunsasmito, Kasman
Sangudimejo, Muhamad Natsir dan Rahma el-Yunusiyah. Aisyah sering
berdiskusi dengan mereka tentang banyak hal. Kedekatan dan intensnya
pertemuan-pertemuan diskusi dengan mereka secara tidak langsung berpengaruh
terhadap kepribadian Aisyah sehingga tidah heran ia menjadi anggota dewan yang
aktif di parlemen.
Saat Aisyah dipilih oleh Muhamad Roem untuk menjadi sekretarisnya,
Aisyah secara halus menolak permintaan tersebut, sebab banyak dari organisasi
lain yang juga menginginkan posisi tersebut, seperti misalnya Muhamadiyah dan
Wanita Islam yang mencalonkan anggotanya untuk menjadi sekretaris, akhirnya
Aisyah mengembalikan keputusan tersebut kepada forum dan terpilihlah
Drs.Hasbullah dari Muhamadiyah yang menjadi Sekjen mendampingi Muhamad
Roem.5
Namun campur tangan pemerintah terhadap partai ini semakin terlihat
ketika diawasinya aktifis Masyumi agar tidak mendapatkan kedudukan yang
penting di Parmusi. Misalnya ketika pengangkatan Muhamad Roem di Parmusi
dimentahkan oleh pemerintah dengan tidak memberikan clearance6 Pemerintah
bisa kapan saja mencopot-pasang Ketua Umum sesuai kemamuan pemerintah.
Sehingga seperti yang sudah direkomendasikan sebelumnya oleh pemerintah,
4 Ramly H.M Yusuf, h.47.
5 Ramly H.M Yusuf, h.49.
6 Ramly H.M Yusuf, h.51.
49
Djarnawi H dan Lukman Harun menjadi Ketua Umum dan Sekjen Parmusi.7
Namun kembali lagi kursi ini digoyang oleh pemerintah dan mengajukan Jailani
Naro sebagai Ketua Umum dengan Imran Kadir sebagai Sekjen. Ini
memperlihatkan bahwa pemerintah sangat mengintervensi parti ini, kapan saja
pemimpinnya bisa digantikan sesuai kepentingan pemerintah. Maka sejak saat
itulah banyak kelompok “penjilat” di dalam tubuh partai.8
Menurut Utrech sebagaimana yang dikutip oleh Rusli Karim, kemunculan
Parmusi tidak semata-mata karena menampung aspirasi keluarga Bulan Bintang
tetapi untuk mengekang pengaruh politik NU yang cukup besar pada saat itu,
Angkatan Darat membantu bekas pendukung orang yang bersimpati, dalam hal ini
anggota Masyumi untuk membentuk partai baru.9 Kemudian pada
perkembagannya, pemerintah juga membaca bahwa ada dukungan yang besar
terhadap Parmusi dari kalangan Bulan Bintang dan umat Islam. Dalam hal ini
pemerintah mendukung manuver politik yng dilakukan Jailani Naro dan
Sekjennya untuk melakukan pembajakan partai dan yaitu dengan menuduh
Parmusi menentang ABRI sehingga timbul kemelut dalam tubuh partai dan
kembali pemerintah menunjuk orang untuk menggantikan HM. Mintadireja
sebagai ketua umum baru. Kemudian Naro berusaha menyingkirkan kalangan
Bulan Bintang dan menarik masa pendukungnya.10
Tidak sampai disitu, strategi politik Orde Baru mendepolitiasasi setiap
kelompok-kelompok yang dianggap mempunyai potensi besar untuk menentang
pemerintah, terutama di kalangan umat Islam. Penyerderhanaan partai misalnya,
dilakukan Orde Baru untuk menjinakkan potensi politik umat Islam yaitu NU,
PSII, Perti yang difusikan pada PPP, PNI, Partai Krsiten Indonsia, Partai Katolik,
Partai Murba,IPKI difusikan pada PDI. Rencana Undang-Undang kepartaian an
7 al-Chaidir, Reformasi Prematur Jawaban Islam terhadap Reformasi Total, h.32
8 M.Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik,(Yogyakarta: Tiara Wacana,
1999) h,111. 9 M.Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik,h.112.
10 Abdul Munir Mulkham, Perubahan Perilaku Politik dan Polarisasi Umat Islam 1965-
1987, (Jakarta: Rajawali Cet-1,1989) h.133.
50
Golkar ini diajukan pada Desember 1974, kemudian disahkan pada 14 Agustus
1975 sebagai Undang-UndangNo.3 1975.11
Ini merupakan strategi politik yang dilakukan Soeharto untuk semakin
menjinakan partai politik Islam, serta menjadi salah satu taktik agar pemerintah
Orde Baru dapat memenangkan pemilu secara mutlak, karena dalam
kenyataannya penyederhanaan partai ini telah menimbulkan persoalan di dalam
tubuh partai itu sendiri. Pemerintah semakin mengontrol PPP dan para aktifisnya.
Sebagai satu-satunya partai Islam yang dalam perjalanannya tidak terlepas dari
konflik internal, telah mengundang campur tangan pemerintah sebagai
“penengah” antara NU dan Muslimin Indonesia, dua pendukung PPP yang
berujung pada keluarnya NU dari tubuh PPP pada tahun 1984.12
Tidak sampai disitu, pucak restukturisasi yang dilakukan pemerintah
adalah ketika Pancasila ditetapkan sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan
sosial dan politik. Asas Tunggal Pancasila sebagai sau-satunya asas dalam
berbangsa dan bernegara di tetapkan melalui Undang-Undang No.3/1985.
Penerapan Asas Tunggal tersebut agaknya tidak saja berlaku bagi partai-partai
politik, melainkan juga berlaku bagi semua organisasi apapun sesuai dengan nafas
Islam.13
B. Kiprah Aisyah Aminy Selama Menjadi Anggota Legislatif
Pasca Parmusi di fusi-kan ke PPP maka sudah barang tentu Aisyah Aminy
masuk ke dalam kepengurusan partai. Keaktifan Aisyah di Parmusi dan kemudian
di PPP menghantarkannya menjadi anggota MPR RI periode 1977-1987. Selama
menjadi anggot MPR yang paling menonjol dari apa yang disuarakan Aisyah
antara lain membahas tentang rancangan ketetapaan MPR No.2 tahun 1978
tentang Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila, menurut fraksinya
dengan ditetapkannya hal itu menjadi Tap MPR akan menimbulkan kecendrungan
11
Muh Syamsudin, “Dinamika Islam Pada Masa Orde Baru”, Jurnal Dakwah. vol.XI No.2
(Juli-Desember 2010): h.150. 12
Rusli Karim, Negara dan Peminggiran, h,152-158. 13
Faisal Ismail, Ideologi, Hegemoni dan Otoritas Agama, (Yogyakarta: Tiara Wacana,
1999), h.205-207.
51
mengkaramatkan pancasila secara berlebihan dan masyarakat Indonesia
kemungkinan akan lebih mempercayai pancasila daripada agamanya sendiri.
Tetapi usaha ini gagal karena rantap tersebutsudah menjadi Tap MPR No.2 tahun
1978. F-PP melakukan walk out sebagai bentuk penolakan.
Selain itu F-PP juga menolak asas tunggal Pancasila dengan berbagi alasan,
meskipun akhirnya menerima juga demi eksistensinya. Dengan syarat bahwa
penggunaan asas hanya untuk partai. Namun hal tersebut juga tidaklah sesuai,
sebab ketika sudah masuk GBHN bukan hanya partai yang berasas tunggal tetapi
juga seluruh organisasi yang ada. Ini menimbulkan reaksi yang cukup serius di
kalangan organisasi Islam, salah satunya adalah Wanita Islam. Tapi pada
akhirnyapun Wanita Islam setuju dengan hal tersebut. Aisyah menganggap bahwa
hal tersebut adalah “kesuksesan” Soeharto dalam membuat strategi agar apa yang
diinginkannya terwujud.
Setelah periode 1978-1987 ia menjadi anggota MPR, kemudian terpilihlah
ia sebagai anggota DPR/MPR RI di Komisi II yang membidangi masalah politik
dalam negeri dan pertanahan. Di kursi inilah Aisyah Aminy mulai banyak
mengecam dan mengkritik pemerintah yang tidak sejalan dengan UUD 1945.14
Pertama, Aisyah mengkritisi soal pelaksanaan pemilu. Meskipun secara
sistem demokrasi telah di laksanakan, namun pada masa Orde Baru demokrasi
secara nilai belumlah diterapkan sepenuhnya. Itu terlihat dari kemenangan Golkar
dalam beberapa kali Pemilu. Ia berdialog dengan Mentri Dalam Negeri bahwa
seharusnya pemerintah tidak usah memaksa masyarakat untuk memilih Golkar,
karena itu tidak sesuai dengan apa yang tertuang dalam UUD 1945. Kebebasan
memilih harusnya dilindungi oleh pemerintah bukan malah pemerintah yang
mengharuskan masyarkat untuk berbuat tidak demokratis seperti yang sudah
dijelaskan dalam sub-bab di atas dari mulai penyederhanaan partai dan politik
sampai dengan penetapan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam berpartai dan
berorganisasi merupakan usaha pemerintah untuk merestukturisasi partai-partai
yang bersaing dengan Golkar, khususnya partai Islam. Dalam hal ini PPP
mendapatkan situasi yang amat sulit dihadapi. Di deskriditkannya Islam oleh
14
HM.Yusuf, Aisyah Aminy Dedikasi Tanpa Batas, h.55.
52
pemerintahan Orde Baru berampak tidak hanya di panggung politik, tetapi juga
dalam aspek kehidupan lainnya. Seperti yang juga dikritisi oleh Aisyah
Aminy,banyak kader PPP yang dipersulit untuk mengambil rapor anaknya di
sekolah. Padahal sesungguhnya hal ini tidak sangkut pautnya dengan dunia
politik. Jika dalihnya adalah agar stabilitas politik tetap terjaga, lantas apa
hubungannya antara tetap terjaganya situasi dan kondisi politik dengan rapor
anak. Aisyah Aminy sangat tidak bisa menerima perlakuan pemerintah yang
dianggapnya berlebihan ini.15
Hal ini juga berpengaruh terhadap kedudukan kader-kader PPP yang berada
di Pemda tingkat II, mereka di bersihkan sampai ke tingkat desa. Bahkan yang
hanya sebatas simpatisan PPP juga di teror oleh sejumlah orang. Menurut Aisyah,
ini merupakan cara pengerdilan dari pemerintah terhadap PPP. Seperti apa yang
sudah dijelaskan di bab II, pembersihan atas kampanye yang dilakukan PPP di
tingkatan desa juga di tentang oleh Aisyah. Masyarajat desa di khawatirkan akan
terlibat konflik jika ada partai politik yang memasuki ranah pedesaan sehingga
menganggu keamanan dan menjadi beban ABRI. Hal tersebut kemudian di bantah
oleh Aisyah, berdasarkan fakta kampanye tahun 1955 ada banyak partai politik
yang berkampanye di desa-desa dan dibebaskan untuk berargumen dan bahkan
mengkritisi partai lain. Seperti Masyumi yang mengkritisi PKI, namun tidak ada
konflik apapun. Masyarakat tidak terlibat konflik fisik dengan masyarakat lain
yang bertentangan secara pemikiran dan perbedaan hak memilih. Aisyah menjadi
semakin yakin bahwa peralangan berkiprahnya partai di desa-desa merupakan
strategi rezim Soeharto untuk memangkas masa partai lain selain Golkar di desa-
desa. Buktinya Golkar masih saja berseliweran di desa-desa melalui kegiatan PKK
misalnya, sementara partai lain di larang. Sehingga ini merupakan alasan
pemerintah untuk tetap menjaga kekuasaan agar tetap utuh. Alasan stabilitas
politik inilah yang dipakai untuk membuat Undang-Undang Subversif yang sudah
sejak lam di teentang oleh F-PP, peralangan ini dalam rangka mempertahankan
kekuasaan bukan keamanan.16
15
HM.Yusuf, Aisyah Aminy Dedikasi Tanpa Batas, h.58 16
HM.Yusuf, Aisyah Aminy Dedikasi Tanpa Batas, h.60.
53
, Selanjutnya yang di soroti Aisyah selama periode ini adalah mengenai
GBHN. Pada masa Orde Baru GBHN menjadi salah stau tema yang amat penting
diperbincangkan. Pada prosesnya Aisyah sering di undang oleh sekjen
Wanhamkamnas untuk merancang GBHN yang nantinya akan disampaikan
Presiden ke MPR. Aisyah berusaha keras menuangkan gagasannya ke dalam
GBHN. Namun Aisyah menemukan berbagai kesulitan dalam proses penuangan
ide-idenya. Jika di terimpun itu hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat umum
saja.17
Kedua, Aisyah menyoroti masalah GBHN. Materi GBHN adalah trilogi
pembangunan: pertumbuhan, pemerataan, dan stabilitas. Sementara F-PP ingin
menitikberatkan pada pemerataan tetapi pemerintah menekankan keapada
pertumbuhan yang didukung oleh stabilitas. Pada kenyataannya pertumbuhan
hanya memfokuskan di daerah pulau Jawa saja dan ini sangat kontras dengan apa
yng terjadi di daerah-daerah. Pembangunan sarana ekonomi kurang di perhatikan,
jalan dan penunjang sarana ekonomi belum cukup. Misalnya hal kecil yang terjadi
di daerah Sumatera Barat, Djamaludin Malik pernah berupaya mendirikan indutri
tekstil di Sumatera Barat, tetapi tidak berlanjut karena prasarana yang tidak
memadai. Suatu ketika menjelang Pemilu didirikan tiang listrik di desanya,
kemudian PPP memperoleh suara terbanyak pada Pemilu tersebut dan tiang listrik
yang sudah di pasang kemudian dicabut kembali. Hal kecil seperti ini saja sangat
dipolitisi oleh pemerintahan saat itu, Aisyah merasa lucu sekaligus menyakitkan
melihat hal ini terjadi.18
Ketiga, Aisyah mengangkat masalah transmigrasi. Masih berhubungan
dengan pemerataan pembangunan. Apa yng tertuang di materi GBHN yang
menekankan pada pertumbuhan yang di dukung oleh stabilitas tidak serta merta
bisa dilaksanakan tanpa pemerataan pertumbuhan. Sentralisasi pebangunan di
pulau Jawa menurut Aisyah seperti gula yang dikerumuni semut. Atau seperti
lampu yang dikejar dan diburu laron. Oleh karennya, program transmigrasi tidak
akan berhasil dilaksanakan jika penduduk yang dikirim ke luar Jawa lebih sedikit
17
Wawancara Pribadi dengan Aisyah Aminy. 18
HM.Yusuf, Aisyah Aminy Dedikasi Tanpa Batas, h.65.
54
daripada penduduk yang berdatangan ke pulau Jawa. Menurut Aisyah hal itu
disebabkan oleh tidak meratanya pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah
sehingga Jawa menjadi pulau yang menjanjikan untuk mengadu nasib orang-orang
di daerah dan terjadilah kesenjangan antar masyarakat.19
Ke-empat Aisyah bersama fraksinya mengangkat gaji pegawai negeri sipil
yang rendah. Gaji kecil jelas tidak akan memenuhi kebuutuhan keluarga, inilah
salah satu penyebab korupsi. Masalah ini dibicarakan dengan pemerintah namun
tetap saja tidak pernah berhasil. Kebocoran dana pembangunan karena KKN yang
mencapai 30% juga diingatkan olehnya namun Aisyah merasa pemerintah
menganggap serius persoalan korupsi ini. Dengan dalih bahwa, jika ada
kebocoran 30% dana pembanguunan maka negara akan bangkrut. Jadi pemerintah
terkesan “menggampangkkan” hal ini,akibatnya korupsi teruslah berjalan dan
sudah menjadi budaya yang sulit di musnahkan.
Satu lagi maslaah korupsi yang ia kritisi adalah besarnya gaji pegawai
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang cukup besar dibandingkan dengan
pegawai negeri lainnya. Ini tentu tidak hanya menimbulkan kecemburuan tetapi
juga menimbulkan langkah yang menyimpang diantara mereka.
Ke-lima, masalah pertanahanan yang tidak kalah pentingnya. Dengan dalih
“demi kepentingan umum” pemerintah mengambil paksa tanah milik warga
tanpaganti rugi. Aisyah kemudian mempertanyakan maksud demi kepentingan
umum, dan demi kepentingan umum siapa. Misalnya, tanah milik warga cimacan
Jawa Barat di paksa untuk menjadi lapangan Golf tanpa ganti rugi yang jelas dan
kasus yang sama terjadi di Pulau Bintan. Pertanahan menjadi masalah seirus kala
itu, bahkan sampai Aisyah menjadi anggota Komnas HAM tahun 1993. Demi
pembangunan daerah pemerintah merampas tanah milik warga dan dijadikan
bangunan sesuai dengan yang direncanakan pemerintah seehingga banyak di
kritisi namun tetap saja belum ada jalan keluar yang mendasar dari pemerintah.20
Pada tahun 1992, Aisyah kembali terpililh menjadi angggota DPR/MPR RI
bahkan dipercaya menjadi ketua komisi I yang membidangi pertanahan,
19
HM.Yusuf, Aisyah Aminy Dedikasi Tanpa Batas, h.66. 20
HM.Yusuf, Aisyah Aminy Dedikasi Tanpa Batas, h.68.
55
keamanan, luar negeri dan penerangan. Bahkan pada 1997 ia kembali dipercaya
menjadi ketua komisi I. Ini merupakan pencapaian yang memberikan kesan
tersendiri bagi Aisyah karena sebelumnya tidak pernah ada seorang perempuan
yang menjadi ketua komisi I DPR RI. Apalagi perempuan tersebut datang daru
partai Islam. Ruang geraknya terbatas apabil aberasal daru partai Islam. Pada sata
itu perempun yang berada di pemerintahan dikesankan hanya bisa membidangi
aslaah peranan wanita, sosial, kesehatan, pendidikan dan agama. Kemudian
Aisyah tampil sebagai seorang politisi muslim dari partai Islam yang
menghilangkan kesan tersebut.
Pada masa di komisi ini, banyak kritik, gugatan dan juga saran yang
dikemukakan oleh Aisyah. Pertama, tentang tindakan represif ABRI. Tempat
hiburan yang di-backing oleh pejabat atau aparat keamanan, tempat hiburan
dijadikan sebagai tempat pengedaran narkoba, sert Undang-Undang yang bisa
disalahgunakan untuk kepentingan penguas. Misalnya Undang-Undang Pers
khususnya peraturan Menteri Penerangan No.01 tahun 2984 yang dapat
mematikan media massa dan peratiran pemerintah tentang Undang-Undang
perfileman yang bisa mempersulit sineas perfileman di Indonesia.21
Kedua, bidang luar negeri juga ia kritisi karena kurang aktifnya para
diplomat Indonesia di luar negeri. Menurut Aisyah hal itu karena kurangnya
rekrutment, pelatihan dan pendidikan bagi calon diplomat khususnya dalam
meenangani tenaga kerja wanita yang sering mengalami perlakuan yang tidak
manusiawi majikannya. 22
Ketiga, apabila ia berkunjung ke daerah-daerah banyak menerima keluhan
dari masyarakat tentang kinerja para penegak hukum. Menurutnya banyak sekali
penegak hukum yang melakukan penyimpangan hukum oleh aparat hukum utu
sendiri, misalnya polisi, jaksa, hakim dan bahkan pengacara. Perkara hukum
sering diselesaikan dengan uang, sehingga sudah menjadi sangat berbudaya.23
21
HM.Yusuf, Aisyah Aminy Dedikasi Tanpa Batas, h.69. 22
HM.Yusuf, Aisyah Aminy Dedikasi Tanpa Batas, h.70. 23
HM.Yusuf, Aisyah Aminy Dedikasi Tanpa Batas, h.70. 23
HM.Yusuf, Aisyah Aminy Dedikasi Tanpa Batas, h.3.al 71.
56
Setelah tidaklagi meenjadi komisi I pada periode 1999-2004 Aisyah
dipercaya menjadi sebagai wakil ketua panitia Ad Hoc II Badan Pekrja MPR yang
mempersiapkan rancangan ketetapan-ketetapan selain GBHN dan perubahan
UUD 1945.
Pada masa Orde Lama dan Orde Baru TAP MPRS No XX/MPRS/1966
sebagai landasan penyusunan peraturan perundang-undangan menimbulkan
kerncuan pengertian dan penafsiran. Kerancuan ini dimanfaatkan oleh penguasa
untuk kepentingan kekuasaan. Oleh karenan dalam siding tahunan MPR RI 7-18
Agustus 2000, MPR menghasilkan TAP MPR RI No.III/MPR2000 tentang
sumber hukum dan Tata Aturan Peraturan Perundang-undangan. Pada pasal 2
TAP ini dijelaskan tentang Tata Urutan Perundang-udangan sebagai pedoman
pembuatan hukum di bawahnya. Tata urutanya adalah Undang-Undang Dasar
1945, ketetpan MPR RI, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perpu), Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden dan
Daerah.24
Dengan TAP ini sesuai dengan pasal 4 TAP RI No.III/MPR/2000
dinyatakan bahwa “sesuai dengan tata urutan peraturan perundang-undangan ini,
maka aturan hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan
hukum yang lebih tinggi”.
Hal ini sempat di perdebatkan di tengah-tengah masyarakat, namun Aisyah
berpendapat Perpu berada di bawah Undang-Undang dengan alasan pertama,
proses pembuatannya berbeda karena Undang-Undang dibuat oleh DPR dan
pemerintah sementara Perpu hanya dibuat oleh pemerintah. Kedua, perpu harus
mendapatkan persetujuan pemerintah jika ditolak ya harus dicabut. Ketiga, bila
status Perpu persis sama dengan Undang-Undang maka akan menimbulkan
kepastian hukum karena Undang-Undang sewaktu-waktu dapat diubah.25
TAP MPR lain yang dihasilkan pada Sidang Tahunan 2000 adalah TAP
tentang peran TNI dan polri. Akibat penggabungan TNI dan Polri terjadi tumpang
tindih antara peran dan fungsi TNI sebagai kekuatan pertahanan negara dengan
peran dan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai kekuatan
24
.HM.Yusuf, Aisyah Aminy Dedikasi Tanpa Batas, h.3.al 71. 25
HM.Yusuf, Aisyah Aminy Dedikasi Tanpa Batas,h.80.
57
keamanan, ketertiban masyarakat, penegak hukum, dan pelayan masyarakat. Serta
peran sosial politik yang sesuai dengan dwifungsi ABRI menyebabkan terjadinya
penyimpangan peran dan fungsi TNI dan Kepolisian Negara Republik Indonesia
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Setelah kita membahas mengenai apa saja yang disoroti Aisyah Aminy
seama menjadi anggota legislatif, selama hampir tiga periode ternyata
diperjuangkan lagi pada masa reformasi. Lewat siding istimewa MPR 1998
sehingga kemudian berhasil diyakini sebagai kebenaran bersama adalah sebagai
berikut:
1. Rantap tentang Pencabutan Ketetapan MPR RI No.II/MPR/1978 tentang
Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila.
2. Rantap tentang Pencabutan Ketetapan MPR RI No.IV/MPR/1983 tentang
Referendum.
3. Rantap tentang Perubahan dan tambahan atas Ketetapan MPR RI
No.1/MPR/1998 tentang Peraturan Tata Tertib MPR RI.
4. Rantap tentang Pencabutan Ketatapan MPR RI No.II/MPR/1998 tentang
Garis Bsar Haluan Negara.
5. Rantap tentang Pencabutan Ketetapan MPR RI No.III/MPR/1998 tentang
Pemilihan Umum.
6. Rantap tentang Pencabutan Ketetapan MPR RI No.V/MPR/1998 tentang
Pemberian Tuga sdan Wewenang Khusus kepada Presiden/Mandataris
MPR dalam rangkapenyuksesan dan Pengamanan Pembangunan Nasional
sebagai Pengalaman Pancasila.
7. Rantap tentang Pemilihan Umum.
8. Rantap tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden
Republik Indonesia.
9. Rantap tentang Demokrasi Ekonomi.
10. Rantap tentang Penugasan kepada Presiden untuk Melaksanakan Program
Penyelamatan, Rehabilitasi, dan Stabilitasi Kehidupan berbangsa dan
Bernegara.
58
11. Rantap tentang Penugasan Kepada Presiden untuk memerika Kekayaan
Mantan Presiden Soeharto dan Pejabat Pemerintah Negara beserta keluarga
dan krooni-kroninya.
12. Rantap tentang hak asasi manusia.
Apa yang selalu diperjuangkan F-PP dahulu akhirnya mendapatkan
angina segar setalah rezim Soeharto tumbang. Beberapa yang di sarakan
akhirnya dapat benar-benar disuarakan dan diyakini menjadi kebenaran
bersama.
C. Perempuan dalam Pandangan Aisyah Aminy
Sebagai seorang politisi perempuan, selama hampir 17 tahun malang
melintang di dunia perpolitikan Indonesia, tentu banyak pengalaman yang
melahirkan pemikiran-pemikiran yang dituangkan ke dalam setiap tindakan-
tindakannya. Perjalanannya dari masa kolonial Belanda, Jepang, Orde Lama, Orde
Baru sampai masa reformasi sudah dilalui. Ia juga banyak mencermati betul apa
yang seharusnya dipebaiki dalam sistem pemerintahan Indonesia, itu tertuang
dalam sebuah karya yang berjudul “Pasang Surut Peran DPR-MPR 1945 sampai
masa reformasi” di dalam buku tersebut ia menuliskan keadaan yang terjadi
dalam tubuh legislatif dari masa kemerdekaan sampai masa reformasi dan juga
mengkritik apa yang menurutnya tidak sesuai dengan Undang-Undang dan
kepentingan masyarakat banyak. Tidak hanya dalam buku tersebut, bahkan dalam
beberapa kesempatan sebagai seorang perumus kebijakan di lembaga legislatif,
Aisyah juga sering menyuarakan berbagai pendapatnya apabila menurutnya apa
yang dilakukan pemerintah sudah tidak berpihak terhadap kepentingan
masayarakat pada umumnya dan perempuan pada khususnya. Berikut beberapa
pandangan Aisyah Aminy:
A. Perempuan dan Islam
Menurut Aisyah Aminy, perempuan sangat mulia dalam ajaran agama
Islam. Adanya hadist Nabi “Surga ada di telapak kaki ibu” merupakan isyarat
tentang peran dan fungsi perempuan sebagai penerus kehidupan manusia dan
59
orang yang akan mencetak generasi penerus bangsa dan negara. Menjadi seorang
perempuan tidak hanya mengenai melahirkan, menyusui dan mengurus suami
akan tetapi membentuk anak manusia yang akan merajut bangunan peradaban
manusia. Oleh sebab itu, di dalam Islam diajarkan bahwa pada saat seorang ibu
sedang mengandung seorang bayi dianjurkan untuk mengkonsumsi maknana yang
halal dan baik bukan yang bergizi. Itu sebabnya makanan yang halal dan baik
akan mempengaruhi anaknya dalam beramal shalih dikemudian hari. Sehingg
ibulah yang pertama kali menanamkan nilai-nilai luhur kepada seorang
anak.Dengan demikian menjadi seroang permpuan, harus mempunyai pendidikan
yang baik. Aisyah Aminy mengutip hadist Nabi tentang jawaban Nabi atas
pertanyaan siap tentang seharusnya di hormati dan jawaban Nabi selama tiga kali
adalah Ibu, baru seteah itu bapak.
Dalam pandangannya, ini menandakan bahwa kedudukan perempuan
dalam Islam sangatlah di hormati. Seorang perempuan harus menjadi pendidik
yang baik terhadap anak-anaknya, karen yang dipertaruhkan adalah generasi muda
penerus bangsa.
Namun ada banyak penafsiran ayat al-Qur‟an yang dipahami dengan tidak
komperhensif namun sudah menyebar luas dan menjadi sebuah presepsi yang
menimbulkan kontruksi sosial masyarakat atas rendahnya perempuan disbanding
dengan laki-laki. Aisyah Aminy kemudian mengutip salahsatu ayat al-Qur‟an
yang mengatakn bahwa “Laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan” dan kata
pemimpin yang terkandung dalam ayat tersebut diartikan sebagai pemimpin dalam
segala bidangkehidupan. Menurut Aisyah Aminy:
“Interpretasi semacam ini pada gilirannya amenggiring umat kepada pemaknaan umum bahwa
kaum laki-laki adalah pemimpin dan superior yang pendapatnya tidak bisa ditentang, ayat al-
Qur‟an juga sering digunakan sebagai basis legitimasi pensubordinasian perempuan ini adalah
dalam hal warisan dan budaya”26
26
HM.Yusuf, Aisyah Aminy Dedikasi Tanpa Batas, h.156.
60
Jadi,berbagai penafsiran yang sudah banyak mencokol di kepala masyarakat
umum menjadi salah satu patokan bahwa perempuan berada jauh di bawah laki-
laki. Sementara menurut Aisyah, kata “pemimpin” dalam hadist tersebut banyak
penafsiran lainnya yang berpendapat bahwa kata pemimpin itu bukan dalam
segala bidang. Aisyah menganggap bahwa perempuan di dalam Islam sangatlah
dimuliakan, derajat perempuan terutama ibu juga sangat tinggi. Jadi perempuan
dan laki-laki dapat hidup berdampingan di ranah publik tanpa saling ingin merasa
ditinggikan satu sama lain karena perbedaan jenis kelamin.
B. Perempuan dan Politik
Menurutnya demokrasi tanpa kehadiran perempuan tidaklah dapat dikatakan
sebagai sebuah demokrasi. Wujud demokrasi merupakan keikutsertaan perempuan
dan laki-laki untuk menentukan kebijakan bangsa dan negaranya. Meskipun
keikutsertaan tersebut tidak selamanya dapat diikuti secara langsung oleh setiap
warga negara, namun ada lembaga perwakilan yang bertugas menyampaikan
aspirasi rakyat. Tapi dalam hal tersebut, keterwakilan perempuan di ranah
pemerintahan di rasa Aisyah masih sangatlah rendah. Padahal posisi penentu
kebijakan bagi wanita saat ini sangat penting dalam menentukan kehidupan
bermasayarakat, berbangsa dan bernegara.27
Menurut penulis, Aisyah membagi dua hal yang menyebabkan rendahnya
keterwakilah perempuan di ranah pemerintahan. Pertama, Aisyah melihat
ketimpangan ini salah satu faktornya adalah budaya. Adanya adat pingitan untuk
para perempuan seperti yang tergambar dalam buku “Habis Gelap Terbitlah
Terang” atau budaya “kawin paksa” yang menjodohkan seorang gadis dengan
seorang laki-laki yang tidak dikenalnya seperti dalam novel “Siti Nurbaya”
demikian juga dengan sasanti yang sering diucapkan “suorgonanut neroko katut”
bagi para isteri serta kodrat yang diartikan mengurus wanita untuk hamil,
melahirkan, menyusui dan mengurusi rumah tangga telah mengkondisikan wanita
untuk tinggal di rumah dan kemudian terbentuklah pandangan bahwa peran dan
fungsi wanita hanyalah mengurus rumah tangga. Itu salah satu penyebab
27
HM.Yusuf, Aisyah Aminy Dedikasi Tanpa Batas, h.118.
61
mengapa masih rendahnya tingkat keterwakilah perempuan di lembaga
pemerintahan.28
Dalam pandangan Aisyah Aminy, perempuan bisa melakukan berbagai
tugas di luar kewajibannya sebagai seorang isteri dan ibu. Misalnya menjadi
seorang politisi, guru, karyawan, atau apapun yang bisa membuat potensi
perempuan dapat diberdayakan di tengah masyarakat.29
Tapi itu bukan berarti
perempuan harus meninggalkan tugas domestiknya. Misalnya menjadi seorang
politisi perempuan, ia menceritakan bahwa ia bisa mengatur waktu antara
mengurus rumah tangga dan menjalankan tugasnya sebagai seorang anggota
legislatif. 30
Hal itu kemudian mematahkan pandangan bahwa perempuan yang
bekerja di luar rumah tidak dapat lagi mengurus rumah tangga.
Kedua, pandangan bahwa dunia politik adalah dunia yang kejam dan kotor,
tidak sesuai dengan sikap perempuan yang lemah lembut dan anggun juga
mengasumsikan bahwa politik adalah dunia yang tidak cocok dengan kepribadian
seorang perempuan. Hal tersebut sangat bertolakbelakang dengan image
perempuan. Selama ini keengganan-keengganan pada wanita untuk aktif di arena
politik mungkin disebabkan karena praktek-praktek yang kurang baik dan
khawatir akan berimbas pada kehidupan keluarganya. Padahal menurutnya
Sehingga perempuan menjadi tidak tertarik dengan politik dan memilih untuk
tidak menjadi seorang politisi. Sedikitnya dua hal tersebut yang masih menjadi
penyebab tidak sejajarnya antara peran laki-laki dan perempuan dalam pandangan
Aisyah Aminy di Indonesia. Ia juga mengatakan
“Saat ini perempuan harus lebih maju dibandingkan dahulu, perempuan era ini dan harus
menempati posisi strategis di dunia politik”31
Meskipun berbagai upaya terobosan terus dilaukan untuk meningkatkan
peranan pemberdayaan perempuan, contohnya seperti yang tercermin dalam
GBHN, BAB IV, Pola umum Pelita ketiga tentang peranan wanita daam
pembangunan melalui Tap MPR No. IV/MPR/1978 yang mengandung arti
28
Wawancara Pribadi dengan Aisyah Aminy. 29
HM.Yusuf, Aisyah Aminy Dedikasi Tanpa Batas, h. 113. 30
Wawancara Pribadi dengan Aisyah Aminy. 31
Wawancara Pribadi dengan Aisyah Aminy.
62
perempuan mempunyai hak, kewajiban dan kesempatan yang sama dengan pria
untuk ikut serta dalam segala kegiatan pembangunan dan pembinaan manusia
Indonesia.32
Kemudian diimplementasikan oleh pemerintah era Orde Baru dengan
diangkatnya seorang Mentri Muda Urusan Peranan Wanita denga tugas dan
kewajiban untuk mengkoordinir dan membina usaha usaha peningkatan peranan
dan partisipasi wanita dalam segala bidang pembangunan. Dengan upaya-upaya
untuk mncoba memberdayakan permpuan terlihat adanya paradigm dalam
menyikapi masalah gender. Apalagi seiring dengan diangkatnya tema-tema
emansipasi wanita, tidak heran jika pada saat ini sudah banyak perempuan-
perempuan dalam bidang sosial ekonomi khususnya dalam lapangan kerja kaum
perempuan sudah banyak memasuki lapangan pekerjaan yang dahulunya
dimonopoli oleh laki-laki. namun tenaga kerja permepuan hanya terbatas pada
tingkat menengah dan rendah adapun level yang lebih tinggi tetap di dominasi
oleh laki-laki.33
Oleh karenanya, ketika masa reformasi tiba dan muncul seorang Megawati
Soekarno Putri sebagai seorang Presiden Aisyah Aminy sangatlah mendukung hal
tersebut meskipun ini bertentangan dengan sikap PPP yang bersikap tidak setuju
terhadap adanya Presiden perempuan. Sebagai seorang perempuan tertentu ia
menganggap ini adalah sebuah kemjuan bagi kaum perempuan di Indonesia.34
Dalam hal ini, penulis mengkategorikan Aisyah Aminy ke dalam politisi
perempuan muslim yang moderat ketika berada di ranah pemerintah untuk
menyuarakan apa yang menurutnya pantas untuk diperjuangankan. Hanya saja
pada saat yang sama perannya tersebut masih dalam koridor peran domestik yang
mereka emban. Itu terlihat dari pernyataanya bahwa perempuan tidak harus
meningalkan tugasnya sebagai seorang istri dan ibu di dalam rumah tangga.
Aisyah Aminy telah memudarkan asumsi bahwa perempuan harus
meninggalkan peran domestiknya sebagai seorang ibu dan istri apabila ingin aktif
di ranah publik. Menurutnya tetap menjalankan peran domestik dan terus
32
HM.Yusuf, Aisyah Aminy Dedikasi Tanpa Batas, h.115. 33
HM.Yusuf, Aisyah Aminy Dedikasi Tanpa Batas, h.116. 34
Wawancara Pribadi dengan Bachtyar Chamsyah.
63
mengembangkan potensi di ruang yang lebih luas bisa dilakukan oleh setiap
perempuan.
Sebagai seorang perempuan dan dari partai Islam, ternyata tidak serta merta
membuat Aisyah Amini menyuarakan soal keadilan dan hak-hak perempuan, serta
tidak semua pendapatnya berbasiskan Islam sebagaimana agama yang dianutnya,
tapi gagasannya selalu dilontarkan berdasarkan pancasila dan UUD 1945. Itu
artinya, meskipun sebagai seorang perempuan, ia tidak merepresentasikan gerakan
atau pandangan feminis namun ia seorang feminis muslim. Sehingga yang
diperlihatkan dari Aisyah adalah kiprahnya sebagai seorang anggota parlemen
perempuan muslim dari partai Islam. Secara tidak langsung ia menjadi tonggak
bagi perempuan muslim di ranah perpolitikan Indonesia.
64
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Demikianlah perjalanan karir politik Aisyah Aminy beserta
pemikirannya. Meski ia bukanlah satu-satunya perempuan yang aktif di
kancah perpolitikan Indonesia, namun sikapnya sebagai seorang politisi
perempuan muslim yang konsisten, serta pengalamannya di berbagai
organisasi mampu membawanya bertahan selama tujuh belas tahun di dunia
parlemen bahkan menjadi salah satu tokoh penting di partai Islam. Meskipun
jabatan yang diembannya tidak setinggi kaum laki-laki yang mendominasi
ranah politik tetapi ia membuktikan bahwa perempuan mampu bersaing di
tengah dominasi laki-laki tanpa melupakan peran domestik yang di
embannya. Oleh karena itu, penulis memiliki temuan sebagai berikut:
1. Lingkungan keluarga, sosial dan ekonomi sangat berperan menunjang
keberhasilannya sebagai seorang politisi. Paling tidak ada tiga hal yang
melatarbelakangi Aisyah Aminy menjadi seorang yang berhasil sebagai
politisi perempuan yang religius. Pertama, keluarganya sudah menanamkan
nilai-nilai Islam sejak dini sehingga ia tumbuh dan berkembang menjadi
sosok yang religi. Kedua, keadaan ekonomi keluarganya yang mumpuni
telah membuatnya menjadi seorang sarjana hukum, hal itu tidak
mengherankan karena ayahnya adalah seorang pedagang terkemuka di
Padang Panjang. Ketiga, keaktifannya di berbagai organisasi juga menjadi
ciri yang paling dominan dalam menghantarkan karirnya. Hubungan yang
dibangun dengan para seniornya diberbagai organisasi telah menjembatani
ia untuk bisa masuk dan berkiprah di ranah politik.
2. Sebagai seorang politisi perempuan dari partai Islam, ia tidak melulu
menyatakan pendapat berdasarkan ide-ide keislaman. Pendapat yang selama
ini ia suarakan selalu berbasis pada UUD 1945 dan Pancasila. Hal tersebut
wajar saja dilakukannya karena sangat sesuai dengann keadaan pada masa
Orde Baru. Politik yang digunakan pemerintah Orde Baru bukanlah politik
65
keagamaan tetapi mengutamakan politik kebangsaan yang sekuler. Selain
dari pada itu, Aisyah juga tidak banyak menyuarakan pendapatnya tentang
hak-hak perempuan. Kondisi pada masa Orde Baru memang mendorong
perempuan untuk tidak aktif di ranah publik terutama di bidang politik. Jadi,
sebagai perempuan muslim ia bukanlah orang yang secar avokal
menyuarakan hak-hak perempuan tetapi ia menjadi model yang secara tidak
langsung merepresentasikan perempuan muslim yang cukup berhasil
menjadi politisi perempuan dari partai Islam pada masa Orde Baru dan
reformasi.
3. Pemikirannya mengenai perempuan dan politik . perempuan bisa melakukan
berbagai tugas di luar kewajibannya sebagai seorang isteri dan ibu.
Misalnya menjadi seorang politisi, guru, karyawan, atau apapun yang bisa
membuat potensi perempuan dapat diberdayakan di tengah masyarakat. Tapi
itu bukan berarti perempuan harus meninggalkan tugas domestiknya.
Misalnya menjadi seorang politisi perempuan, ia menceritakan bahwa ia
bisa mengatur waktu antara mengurus rumah tangga dan menjalankan
tugasnya sebagai seorang anggota legislatif. Dalam hal ini ia setuju bahwa
perempuan harus mampu berada di ranah publik. Aisyah Aminy menjadi
model yang mendobrak paradigma lama bahwa perempuan bisa berkarir di
luar rumah tanpa meninggalkan peran domestiknya. Ia menginisiasi secara
tidak langsung bahwa perempuan mampu aktif di ruang publik. Menjadi
seorang politisi yang menjabat cukup lama, bahkan menjadi salah satu tokoh
penting di partai politik Islam.
B. Saran
Dengan segala kerendahan hati, penulis menyarakan beberapa hal yang
sekiranya dianggap penting, sebagai berikut:
1. Perlu penelitian yang lebih mendalam mengenai tokoh-tokoh perempuan
muslim Indonesia. Agar peneliti selanjutnya tidak kesulitan mencari
literatur.
66
2. Perlu riset yang mendalam mengenai peran polik perempuan di
Indonesia,karena tidak banyak sumber mengenai hal tersebut.
3. Perlunya riset mengenai seberapa besar kontribusi perempuan muslim yang
duduk di ranah pemerintahan.
Wallohu‟alam bis showab.
67
DAFTAR PUSTAKA
Abdurahman, Dudung. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
cet. Ke-2 1999.
Alim, Saadah Minangkabau Beberapa Cukilan dari Kehidupan Masyarakat,
dalam Maria Ulfah Subadio, Peranan dan Kedudukan Wanita Indonesia
Bunga Rampai Tulisan-Tulisan. Gadjah Mada University Press: 1986.
Aminy, Aisyah. Pasang Surut Peran DPR-MPR 1945-2004. Jakarta:Yayasan
Pancur Siwah,2004.
Andik,Wahyun Muqoyyid, “Feminisme Islam: Prespektif Islam Kontemporer.”
Universitas Pesantren Tinggi Darul „Ulum Jombang, Wahana Akademia,
vol. 15, no. 2, Oktober 2013.
Asfar,Muhamad “Wanita dan Politik Antara Karir Pribadi dan Jabatan Suami”
dalam Perempuan dalam Wacana Politik Orde Baru, Jakarta: LP3S, 2002.
Azis, Asmaeni Feminisme Profetik, Yogjakarta:Kreasi Wacana, 2007.
Budiarjo,Miriam Dasar Dasar Ilmu Politik, Jakarta: GramediaPustaka, 2003.
Burhanudin,Jajat ed., Ulama Perempuan Indonesia, Jakarta: Gramedia
Pustaka,2002.
_____________, dan Oman Faturahman,.ed Tentang Perempuan Isam, Wacana
dan Gerakan, Jakarta: Gramdia Pustaka.
Convention on the Elimination of All Forms of Discrimantion against Women”,
Comitte on the Elimination of Desceimination Against Women:United
Nation, 02 Agustus 2000.
Effendy, Bachtyar. Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik
Politik di Indonesia. Jakarta : Paramadina 1998.
Fakih, Mansour Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar 1995.
Fenita, Agustina.ed, 100 Great Women yang Menginspirasi Dunia, Yogyakarta:
Jogja Bangkit Publisher, 2010.
Gemble,Sarah ed., Pengantar Memahami Feminisme dan Postfeminisme atau The
Routledge Companion to Feminism and Postfeminism Yogyakarta:
Jalasutra, 2010.
Gottschalk, Louis Mengerti Sejarah, diterjemahkan oleh Nugroho Notosusanto.
Jakarta: UI Press 2008.
H.M Rasyidi, Koreksi terhadap Drs.Nurcholis Madjid tentang Sekularisasi.
Jakarta: Bulan Bintang, 1972.
H.M.Yusuf, Ramli, ed., Aisyah Aminy Dedikasi Tanpa Batas, Jakarta:LASPI,
2002.
68
Hannam,June Feminism (Newyork: Pearson Education Limited, 2012.
Hasan, Riffat dan Fatima Mernisi. Setara di Hadapan Allah, Yogyakarta: LSPA,
2010.
Indiah, Ruth Rahayu, Politik Gender Orde Baru, Tinjauan Organisasi Perempuan
sejak 1980-an, dalam Perempuan dalam Wacana Politik Orde Baru,
Jakarta: LP3S, 2002.
Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah. Yogya: Tiara Wacana Yogya, edisi ke-2 2003.
Lembaga Gebu Minang, Panduan Musyawarah Besar III dan Semiloka Gebu
Minang, Bukittinggi: Yayasan Gebu Minang, 2001.
LN, Subagio Harsono Tjokroaminoto Mengikuti Jejak Perjuangan Sang
Ayah,(Jakarta; Gunung Agung, 1985.
Majid, M.Din dan Johan Wahyudi. Ilmu Sejarah Sebuah Pengantar.
Jakarta:Kencana, 2014.
Muchtar,Yanti Tumbuhnya Gerakan Perempuan Indonesia Masa Orde Baru,
Jakarta:Institut Kapal Perempuan 2016.
Nugroho, Taufiq. Pasang Surut Hubungan Islam dan Negara Pancasila,
Yogyakarta: Padma Cet.1, 2003.
Puspitawati,Herlen Konsep, Teori dan Analisis Gender.Bogor: PT IPB Press,
2013
Reeve,David Golkar of Indonesia: an Alternative to Party System,
Singapura:Oxford University Press
Rifa‟i,Nurlena “Muslim Women In Indonesia‟s Politics an Historical Examination
of the Political Career of Aisyah Aminy”, Thesis Master Institute of Islamic
Studies McGill University Montreal,Canada 1993.
Rittzer, George. Teori Sosiologi Dari Sosiologi Klasik sampai Perkembangan
Terakhir Post Modrnisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2012.
Saptari, Ratna dan Bridge Holttzer. Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial .
Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 1997.
Sastriyani, Siti Hariti,ed. Gender and Politics, Pusat Studi Wanita Universitas
Gadjah Mada dengan Penerbit Tiara Wacana, 2008.
Sihite, Romani Perempuan Kesetaraan dan Keadilan, Jakarta: Raja Grafindo,
2007.
Subhan, Arief Prof.Zakiah Daradjat: Pendidik dan Pemikir dalam Jajat
Burhanudin.,Edt Ulama Perempuan Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka,
2002
Suhartono, Sejarah Pergerakan Nasional: Dari Budi Utomo sampai Proklamasi
1908-1945,(Yogyakarta: PustakaPelajar, 1994).
69
Suryakusuma ,Julia Seksualitas dalam Pengaturan Negara, dalam Perempuan
dan Wacana Politik Orde Baru, Jakarta:LP3S,2002.
Thaba, Abdul Azis. Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru. Jakarta : Gema
Insani Press, 1996.
Tokoh Indonesia, “Perempuan Baja Vokalis Senayan”. Artikel ini diakses pada 14
April 2017 dari http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/285-
ensiklopeedia/348-peerempuan-baja-vokalis-senayan.
Umar, Nasarudin. Teologi Gender: Antara Mitos dan Kitab Suci. Jakarta: Pustaka
Cicero,2003.
Vreede-De, Cora Stuers, Sejarah Perempuan Indonesia Gerakan dan Pencapaian.
Depok:Komunitas Bambu,2008
Women Research Institute, “Gerakan Perempuan Bagian Gerakan Demokrasi
Indonesia, Studi Kasus: Jakarta, Lampung, Sumatera Utara, Padang dan
Lombok”,Afirmasi, vol.02 Januari, 2013.
70
LAMPIRAN-LAMPIRAN
71
Lampiran 1: Karya Aisyah Aminy
Lampiran 2: Biodata Aisyah Aminy sebagai anggota legislatif
72
Sumber:
Buku Kenangan Anggota DPR/MPR RI TAHUN 1987-1992
Lampiran 3: Wawancara dengan Aisyah Aminy
73
Lampiran 4: Wawancara dengan Bachtyar Chamsyah
Lampiran 5: Majalah Tokoh Indonesia yang memuat AisyahAminy
74
Transkrip Wawancara
Wawancara I
Narasumber: Aisyah Aminy
Pertanyaan :Buku saya itu sudah pernah baca?
Jawaban :sudah
Pertanyaan :Udah memahami tuh? jadi itu adalah pendapat-pendapat saya
mengenai bagaimana peranan DPR-DPR dulu
Pertanyaan :dari masa sukarno sampai era reformasi yah kalau gak salah
didalam buku itu yah?
Jawaban :sampai 2004
Pertanyaan : ibu kan Sebagai Perempuaan , Bahkan Pernah Menjadi Ketua
Komisi I DPR dan Itu Dominasi nya itu Laki-Laki pada saat itu.
Gimana bu kesuliatan nya gimana bu ??
Jawaban :saya melihat Begini, yang penting kalau sudah memikirkan
sesuatu, kita arus tekuni betul, sampai menguasai masalahnya
kalauau kita sudah menguasai Berarti kita sudah bisa
Mengembangkan apa yang perlu kita perlukan, misalnya saya
pertama kali jadi anggota DPR tuh, dalam masih zaman Sukarno
oeau pindah ke Suharto kan ,nah itu berarti saya harus menguasi
apa sih DPR itu ? itu yang perlu kita kuasai .kadang-kadang orang
jadi anggota DPR tapi tidak memahami apa sih DPR, lalu sampai
disana cuman denger-denger aja,nah itu yang harus dikuasai,
seseorang yang mendalami yang masuk pada suatu Bidang dan
ingin menguasai dia harus pelajari apa sih bidang itu. Saya dulu
sebelum jadi Anggota DPR saya adalah advokat saya adalah
Pengacara, saya menguasai betul ,bagaimana menjadi pengacara ,
lalu apa yang harus saya perjuangkan segala macam. Dan itu
alhamdulliah selama saya menjadi advokat mulai tahun 60, saya
menjadi advokat itu bersama dengan pak. Rum Beliau adalah
seorang advokat ulung yang agung beliau itu pernah menjadi
75
menteri sebelum nya lalu beliau itu punya kantor lalu kakak saya
kenalan dengan beliau lalu menyampaikan saya punya ade dia
kepingin menjadi,bergabung dengan pak rum untuk bisa menjadi
pendamping bapak nah pada waktu itu lah saya langsung
mendalami bagaimana menjadi advokat itu.saya diajak pak. Rum
untuk menghadiri sidang pertama yang dihadiri oleh pak rum yang
penting itu adalah saya masih inget orang nya lupa nama nya yang
dulu pernah menjadi jaksa agung tau gak? tokoh masyumi,ga kenal
dengan tokoh-tokoh masyumi yah? kasmanjadi dituduh oleh
sukarno orang yang tidak sejalan dengan sukarno pikiran nya,jadi
dia diadli di jogja saya diajak oleh pak rumdan asya dipelakukkan
pak rum sebagai teman, saya itukan tidak hanya junior tetapi juga
anak bawang. Belia tu memperlakukan saya sebagai teman beliau
menunjukan gimana caranya jadi waktu say adiajak ke yogya saya
di dudukan di samping beliau dan say akaget juga saya harus bicara
tapi karena kita dipercaya ya beliau ngomong yak ta tiru aja. Klao
kit asudah berada pada satu bidang kita harus kuasai betul bidang
itu. Sampai waktu itu saya megang perkara. Saya diserahkan ole
Pak Rum untuk menangani kasus ahli waris Orang Belanda, dan
dalam perkara itu saya menang dan saya di beri mobil oleh orang
Belanda itu. Nah dari situlah saya punya mobil.
Setelah 1967 saya diajak oleh teman, bu Aisyah masuk DPR ajalah
kan sebagai advokat. Kalo tidak salah yan ngajak say aitu adalah
Pakk Hasan Matarium, Fakultas Hukum UI. Nah, disanalah saya
belajar politik karen assay ahru sngerti apasih yang dikrjakan
anggota DPR. Memang kita belum puny ailmu politik karena
bidang politik. Saya jadi anggota DPR karen adiajak ikut, tidak
pernah sebeumnya saya tidak jadi orang politik. Sehingga saya
harus pelajari betul. Di DPR itu ada komisi satu, dua, tiga dan lain
lain. Komisi VII misalnya itu adalah yang berhubungan dengan
76
Departemen Agama, Perempuan, atau apa nanti di liat. Jadi, ada
bidang bidang yang menangani.
Pertanyaan : Sebelum masuk di politik juga kan ibu aktif di berbagai organisasi,
misalnya HMI, GPII dan sebagainya?
Jawaban :Nah begini kalo orang-orang NU itu biasanya kalo mahasiswa itu ikut
PMII misalnya, kalo orang Muhamadiyah atau umum biasanya di
HMI. Nah itu macam-macam. Saya mulai dari kecil tu saya pernah
jadi PII pusat di Yogya, pengurus HMI Yogya, terakhir saya di
ICMI. Sebagai dewan kehormatan ICMI. Ketuanya adalah Pak
Habibie.
Disana saya sering dimintai pendapat soal perempuan, soal hak-hak
perempuan. Dulu itu di zaman Belanda perempuan mau sekolah itu
susuah. Ibu saya itu tidak pernah sekolah. Sekarang ini kita
bagaimana meningkatkan kulitas perempuan, dahulu dikatakan
dalam bahasa Jawa Jadi kalo datang tamu dia harus memasak, kalo
ada orang bicara laki-laki bidangnya. Tapi perjuangan wanita itu
harus maju. Sekarang Mentri Pemberdayaan Perempuan kan wanit
dari Papua, ketika memperingati Sumatera Barat di Padang nah di
aoergi kesana sesudah acara dia naik kapal terbang yang jadi
pilotnya perempuan tapi yang melayani di kapal terbangnya juga
perempuan. Di bilang baru sekali saya lihat yang jadi pilot dan co-
pilotny adalah perempuan, di negeri saya itu tidak ada kaya gitu.
Daerah masing kemajuannya tergantung dari masyarakatnya. Jadi
pengusah aja luarbiasa. Kalo ad apasar yang jual baju atau apa
yang jualnya adalah perempuan. Sekarang polisi tu tingkat
Kapoldanya uda ad aperempuan, Angkatan Laut jug ada
perempuan dan kepolisian juga. Kemajuan-kemajuan perempuan
sudah ada. Dan perempuan jug akita berharap mampu dipercaya.
Sekarang menteri perempuan itu ad adelapan orang, padahal yan
menteri kelautan itu hanya sampai SMP tidak sekolah. Seperti ap
ayang saya bilang jika kita ada dalam satu bidang maka kuasai
77
betulah bidnag itu sehingga memperlihatkan kemampuan baik laki-
laki maupun perempuan sama saja, yang penting kita berusaha
menjadi orang yang mampu untuk menginovasi sesuatu. Anda
harus berusah jadi orang yang inovatif menjadi orang yang hebat.
Jadilah orang –orang yang inovatif yang anda mau dengan begitu
anda maju jangan lalu anda hanya jadi pesuruhan orang. Anda bisa
dihargai karena anda itu punya kelebihan. Saya suka baca koran itu
banyak orang yang inovatif, sekarang banyak orang ke Bandung
karena ada sesuatu yang disajikan. Orang sunda juga begitu, lapis
talas Bogor. Nah itulah menjadi orang-orang yang inovatif.
Saya waktu muda itu tahun 1988, waktu perang Belanda-Indonesia
karena dikota Belanda yang berkuasa. Saya pulang kampong dan
membantu membuat makanan, nasi bungkus untuk orang-orang
tentara itu, membantu orang-orang yang kena tembakan. Saya juga
diangkat waktu oleh tentara menjadi wartawan perang. Kerja saya
ya mencari berita, menyampaikan berita, tapi ya itu itu aja kerja
saya sebagai wartawan perang. Waktu disini orang mendapatkan
jabatan, saya sampaikan orang-orang diberi penghargaan saya di
angkat menjadi apa namanya, saya sekarang sebagai pensiunan
DPR, pensiunan Tentara dan saya kalo bayar rumah ini dapet
karting 75% itu karena ada karya kita yang dihargai.
Saya waktu itu diminta sebagai ketua komisi satu, saya enggamau
itu berat. Orang-orang komisi satu itu orangnya keras-keras, tapi
waktu ketua PPP mau ajalah katanya, dan itu berat jadi komisi
satu. Dulu pak Anwar Harsono, tokoh masyumi di zaman dia . dia
bilang mulai dari saya menjadi anggot DPR sampai sekarang.
Saya sebelum menjadi ketua komisi I saya selalu membawa mobil.
Jadi sampai saya menadi anggota DPR pun saya masih bawa mobil
tapi suami say amengakatan anda jadi ketua komisi satu, pasangan
anda jendral semunya nanti nyuruuh anak buah. Saya gak boleh
lagi bawa mobil sendiri sama suami saya. Tapi bener juga saya
78
dihargai oleh tentara. Bahwa yang penting kita ini jadi sesuatu di
tengah tengah orang terutama orang-orang Islam tu yang terbanyak
yang miskin, coba lihat sekian persen orang miskin itu ya orang
Islam karena kekurangannya itu karena mempunyai
ketidakmampuan dalam berbagai bidang. Makanya kita harus
menolong orang-orang di lingkungan kita, apakah kita jadi sarjana
atau tidak. Memang tergantung nasib tapi ada usaha kita untuk
sesuatu, say aharus berjuang itu aj aintinya. Memang tidk ada
orang yang terlalu hebat pasti ada orang yang lebih dari kita tapi
minimal kita berusaha yang sesuai dengan lingkungan. Jadi intinya
apa/ anda sebagai manusia , diciptakan oleh Tuhan ada tenaga ada
akal. Jadi harus berusaha, say aini diciptakan Tuhan sebagai
manusia punya alat-alat yang diberi tangan aki, kaki, apa
kekurangan kita dari orang lain. Sekarang anda menyiapkan ujian
kan? Nah bacalah.
Pertanyaan :Saya juga pernah baca di tesisnya bu Nurlena, pemikiran ibu
tentang politik masa Soeharto, Orde Baru, menurut ibu apakah
susah menyuarakan pendapat-pendapat ibu sebagai anggota DPR
pada saat itu?
Jawaban : Ya, tapi kita mencari jalan keluar. saya tu dari
PPP dan PPP itu adalah syang paling dikucilkan oleh Soeharto.
Gaboleh ini gak boleh itu.saya kalo mau kampanye di daerah saya
anu saya disana . Kita itu tau kita selalu dikucilkan saya kampanye
di daerah laut, ini daerah saya, saya tidak izinkan ketika melakukan
kampanye disana. Kita tu susah mau kampanye susah, akhirnya
kita ke kampus aja, kita datang kesana ceritalah apa yang mau
ceritakan lalu mereka mau dengarkan. Lalu terjadi reformasi dan
yang dulu kita kampanyekan jurjil jurjil diketawakan oleh Golkar.
Dan ketika pemilu reformasi dikampanyekan opemilu yang jurjil,
itu darimana? Jadi apa yang kita perjuangkanj itu udah menjadi
perjuangan. Ketika saya di komisi satu saya kenalan dnegan
79
menteri-menteri. Di daerah saya susah tidak punya lampu lalu saya
perjuangkan, saya hubungi dia saya bilang kalo kita jalan pakai
monil, mobilnya itu terbenam di jalan karena jalannya rusak.
Akhirnya jalan tersebut dibetulkan dan di beri nama jalan aisyah
aminy karena kita punya kesemoatan aoa salahnya kita
perjuangkan apa salahnya. Jadi kenapa saya lalu bilang mereka
ada sesuat yang kita kepinginkan dan itu baik untuk kita
perjuangkan jadimereka lihat bu Aisyah itu bagus udah
memperjuangkan.
Ya itu, hanya itu saja. Perjuangan say asgitu saja. Saya
tidak minta tapi justru saya yang dipinta untuk menjadi ketua
komisi satu dan saat ini belum ada lagi perempuan yang duduk di
bangku itu.
Pertanyaan : ini bu saya sih melihat nya dari buku-buku ibu, saya baca ternyata
ibu itu unik nya tidak menampilkan keperempuanan nya gtu, gak
selalu bilang saya perempuan saya perempuan tapi berjalan aja
gitu berjalan saya berjuang gimana nanti hasil nya yah pokok nya
saya berjuang bermanfaat kira-kira betul gak bu tafsiran seperti itu
?
Jawaban : memang iya saya gak pernah mengatakan karna saya perempuan
,enggak, saya melakukan yang saya yakini itu adalah benar, saya
waktu perang dengan belanda itu, saya oleh orang-orang tua saya
disuruh minggir lagi lah bahaya tentara belanda nih klau dia
masuk, saya bilang engga gapapa dia suruh ano lagi ketempat yang
lebih aman sebab perumpuan itu bahaya biasa di ano oleh belanda
kan. Saya bilang gak takut biarin aja saya bilang saya masih
ngurusin nasi bungkus segala macem untuk tentara tapi dalam
kondisi seperti itu saya memang hadapi ini, belanda itu datang ke
rumah saya orang gak ada di rumah, orang sudah pada lari aduh
saya mau lari kemana saya rumah berumah tingkat di sana rumah
di bawah itu adalah untuk ayam untuk apa gitu yah, kita tinggal
80
diatas rumah dibawah rumah itu ada ayam kita pelihara saya masuk
ke lubang ke kadang ayam tuh, saya liat kaki belanda tuh disana
aduhh saya ngeri dia takut nanti dia liat kaki saya, saya lari lagi ke
atas rumah, saya ngumpet dikamar yang gelap ,aduhh mau masuk
dia ke kamar yang gelap tapi dia liat ada senter disana senter itu
dia bawa keluar dia kelaur , Alhamdullilah saya aman kalau engga
saya ketangkap sama belanda tapi akhirnya yah Cuma itu
kekuasaan tuhan, tuhan yang mengaman saya, ada saudara lelaki
saya di belakang rumah saya itu dibawa sama belanda pokok nya
anak muda di bawa ole belanda tapi Alhamdullilah saya aman gitu
yah, jadi akhirnya kita harus, saya Cuma baca ayat Qu‟ran aja Laa
haula walaa quwwata illa billahil „aliyyil „adziim itu aja saya baca,
yah Alhamdullilah saya aman padahal saya sudah liat kaki nya dan
dia sudah masuk ke rumah saya dia liat ada foto kakek saya besar
dia angkat tapi ga dia bawa tapi yah akhir nya yang penting adalah
kita yakin bahwa semua itu akhir nya tuhan yang menentukan jadi
keyakinan itu aja yang kita punyai bahwa akhir nya tuhan yang
tahu segala nya , saya gak pernah banggakan saya apa-apa ko saya
berjuang disana tapi saya yang dipilih jadi ketua nya, yang ibu-ibu
tuh semua nya saya ajak, yuu kita ngumpulkan nasi bungkus
mereka mau aja, ya kita beramal lah nama nya juga itu hanya
perintah Allah aja.
Pertanyaan :terus bu banyak juga nih tokoh-tokoh perempuan atau yang
mengaku mereka feminis lalu apa ya, pemikiran nya tuh seolah
perempuan itu harus meninggalkan pekerjaan domesitik untuk
terjun kebidang lain
Jawaban :saya pendidikan orangtua saya dari kecil, saya sudah saya tinggal
dengan kakak ipar saya, kakak ipar saya punya toko dikota saya
tinggal dengan dia , ngajar kita yang anak-anak masih smp di
ajarnya bagi waktu jadi saya dengan kakak saya itu umur nya
hampir sama kan, lalu dibagi . dia pagi-pagi bangun dia
81
membersihkan rumah bersihkan apa, saya masak nasi pagi-pagi
jadi saya itu masih ingat saya bangun tidur itu saya rumah saya di
atas lalu dapur nya dibawah saya mau wudhu saya turun tapi
malam nya sebelum tidur saya di sana belum ada listrik kompor
ya, saya sediakan tungku yah.tungku tempat masak ya saya sedia
kan kayu tuh sudah bersilang-silang gitu,saya sediakan apa yang
mau saya masak pagi, bangun tidur saya mau wudhu saya
hidupkan dulu api masak air dulu masak nasi saya masak air dan
lalu masak nasi saya terus sembayang, nah sesudah, sembayang tuh
kan gak lama. Kalau kita gak panjang-panjang bacaan nya, ya lima
menit juga selesai gak sampai sepuluh menit selesai, saya turun
kebawah itu nasi saya sudah mau masak jadi saya berangkat
sekolah itu nasi sudah ada. Kakak saya sudah bersihkan rumah, itu
sudah dilatih kita mulai dari kecil. Jadi sampai disini saya ditanya
wartawan ibu gimana cara bagi waktu ? saya sudah terlatih dari
kecil bagi waktu itu, oleh orangtua saya, saya dari kecil sudah
pandai masak saya bilang dan itu adalah ajaran orangtua, dan
bapak saya untuk belanja kepasar dia, anak laki-laki dia suruh
ngangkat dia belanja, tapi kalau masak, ibu saya dirumah kalau
misalnya kami main-main anak kecil main dia panggil ibu kamu
didapur bantu dulu ibu, nah itu kita sudah dilatih dari kecil jadi
membagi waktu itu sudah pintar kita dari kecil, bagaimana semua
nya biasa dikerjakan dalam waktu yang terbatas, Alhamdullilah
sampai sekarang pun saya pengalaman-pengalaman waktu masih
kecil tuh berguna betul
Pertanyaan : jadi factor keluarga juga mempengaruhi yah bu, factor keluraga
pendidikkan keluarga sangat berpengaruh sekali yah bu ?
Jawaban :oh iya dalam keluarga itu lah semua nya di olah mau jadi apa anak
kita mau jadi bagaimna anak itu, nah kepatuhan pada orangtua itu
juga di ajarkan. Bapak saya tuh rajin nya pergi dan ngaji ke masjid
mendengarkan pengajian, itu bapak nya buya hamka itu adalah
82
juga tokoh, dokter nama nya bapak nya buya hamka buya rasul
nama nya dia ngaji dimasjid-masjid ngajarin bapak-bapak yang
pengusaha kan kalau ada waktu ke mesjid mendengarkan kajian-
kajian gitu aja beliau dan itu yang dilatihkan ke anak-anak nya.
Dari kakak saya tuh pernah cerita kejujuran dalam berusaha kakak
saya dia punya usaha toko yang jadi anak buah nya anak-anak nya
ponakan nya, nah kakak saya ini cerita saya waktu jualan bapak
jualan dia jual apa waktu itu dia harus kembali uang nya tapi dia
sudah pergi aja dia panggil kakak saya eh agnan. Nama nya agnan,
itu kamu liat tadi gak orang yang belanja coba kejar dia kasihkan
uang kembalikan nya dia belum terima. Nah itu ngajar kejujuran
dia, dia kejar sudah masuk pasar tapi dia berdiri mau beli rokok,
tadi bapak yang ketoko saya yah ? oh yang sana iya tadi saya
belanja disana,bapak ini ada uangnya kelebihan bapak belum ambil
sisa nya itu di antarkan . masih ingat dia jadi anak-anak yang
membantu dia di toko itu di ajarnya jujur. Lalu ada orang yang
belanja, ahh sini ko harga nya mahal disana lebih murah katanya,
dia jual segala macam barang lah,jadi waktu dimana kamu
beli,disana !, berapa harga nya sekian berapa berat nya sekian,
bawa kesini dia timbang dengan timbangan, tuh kan barang yang
kamu beli kurang berat nya maka nya lebih murah harga saya gak
bias kurang karna modal nya juga mahal nah itu ngajar orang jujur,
dalam agama itu maka nya dalam agama kita itu banyak betul
pelajaran nya, ngajar orang jujur ngajar orang bisa berterimakasih
segala macam. Nah dasar itu harus dikuasi dalam keluarga dasar
agama itu diajarkan pada anak-anak misalnya Annadhoofatu minal
iimaan gitu yah, bersih lah itu diajarkan agama yang kecil-kecil
diajarkan agama . kenapa sih kita kotor ga ngerti aturan, yah
apalagi masih ada gak ada lagi yah, saya sudah sampaikan semua
yang saya alamin mulai dari kecil sampai saya tua
Pertanyaan :bagaimana ibu memandang partai islam bu terakhir paling itu?
83
Jawaban :soal nya begini sekarang orang banyak melihatnya dari segi materi
semata,semua nya dari uang semuanya dari uang akhir nya karakter
anak-anak sekarang itu yang punya uang yang ternyata bisa, nah
bagaimana merubah itu ? itu gak gampang memang harus
membutuhkan bagaimana orang-orang tua harus ngajarkan pada
anak nya, dan sekarang yang jadi anggota DPR tuh banyak orang-
orang yang tidak pernah ngerti apa itu DPR tapi dia punya duit
sekarang kan pemilu punya duit berapa baca aja Koran berapa
modal nya untuk itu,padahal anak dari P3 pinter dia bagus, dia
sudah keluar banyak duit di banten, dia yakin dia pasti menang dan
sudah banyak yang dia kasih duit juga ternyata ada yang ngasih
duit lebih banyak yahh itu yang maju, nahh itu lah kondisi yang
kita lihat sekarang nah itu harus diajarkan , semua nya tidak berasal
dari uang saja jadi harus dari ilmu dan amal.
Wawancara II
Narasumber: Bachtyar Chamsyah
Pertanyaan : Direkam gak apa apa ya pak ?
Jawaban : boleh - boleh
Pertanyaan : iya ya jadi saya butuh data untuk Penulisan*** saya tertarik sama
salah satu Tokoh P3
Jawaban : emm
Pertanyaan : Nama nya bu Siti Aisyah Amini gitu. Nah ketika saya Wawancara
dengan Beliau Beberapa kali beliau menyebut nama bapak gitu
sebagai rekan nya selama di p3 gitu, salah satu nya . apa namanya
84
Jawaban :apa saja sebut ?
Pertanyaan : iya waktu itu pernh di tv di pas lagi apa, mau *** kan bapak kalau
tidak salah ada bersama beliau gitu bapak yang ini nya
Jawaban : oh iya iya
Pertanyaan : heemmm nah saya juga liat di google oh iya ini ada bpk **
akhirnya saya cari informasi dan saya pikir bapak ini apa ee..
tempat untuk jadi narasumber saya gitu.
Jawaban : apa yang perlu kira-kira
Pertanyaan : iya pak sejauh yang bapak tahu selama
Jawaban : Judul ny apa nih ?
Pertanyaan : oh judulnya ini pak,
Jawaban : Judul skripsi nya apa ??
Pertanyaan : judul skripsi nya SITI AISYAH AMINI, TOKOH
PEREMPUAN, GERAKAN POLITIK dan PEMIKIRAN nya
Selama 1987 sampai 2004 jadi
Jawaban : iyaa
Pertanyaan : Saya mengakaji peran beliau selama beliau di Legislatif gitu pak.
Jawaban :heehm
Pertanyaan : Pak.. Bapak kan salah satu rekan nya gitu ya pak? menurut bapak
pandangan bapak mengenai sosok aisyah amini selama di Partai
P3 gimana nih pak ?
Jawaban : Eee.. di aapa ya.. bagaimana elimhat nya ya.. saya termasuk orang
yang mengagumi dia. wanita yang tangguh .
Pertanyaan : emmm
Jawaban : Usia dia dari saya dia lebih tua ya
Narasumber : Eee… Dia itu Bicara nya Terartur (suara angsa) Jangan di liat
sekarang, sekarang usia nya seperti itu (suara Angsa ), dia kalau
bicara berulang-ulang sekarang dia ya. pada waktu masa - masa
dia di DPR, eee… kalau dia berbicara teratur, susunan bahasa nya
teratur dan eee.. tajam. tajam tapi santun gitu. saya menilai
gambaran intelektual, orang yang intelektual itu ada pada diri dia.
85
di antara ciri-ciri intelektual itu menurut saya disamping sismatika
bagus ya, keteraturan bahasa, kemudian kesantuanan, dia tajam tapi
Santun, itu dia miliki ya, ini yang saya liat. ang kedua ee.. nih orng
tepat waktu disiplin sama waktu (bunyi notif HP ) Coba
Perhatikan mbak kalau dia berjanji dia tepati tuh. ga ada dia mau
gini - gitu dan dia ee.. pengagum tokoh tokoh *** sama dengan
saya mengagumi itu, yaa terutama pak nasir saya rasa dia pun juga
seperti itu ya. mengapa ee.. Akhlak nya akhlak , jadi ee Ibu
aisayah tipe nya Seperti itu ( Bunyi lantai Dipukul-pukul )
Pertanyaan : Ketika keliau di legislatif ( Bunyi lantai Dipukul-pukul ) pak ee..
apa yah kan banyak yang menyebutkan bahwa Beliau itu Singa
betina dari senayan gitu.
Jawaban : iya iya betul
Pertanyaan : Karna vocal sekali menyuarakan hal-hal yang menurut dia harus
di suarakan yahh dia suarakan gitu. Nah tapi kerap kali bertenta.
apa yah engga bertentangan maksudnya misalnya PPP Waktu itu
ee.. Ketika ada wacana presiden perempuan gtu nah PPP itu kan
mengambil sikap tidak setuju nah sementara sbu aisyah amini ini
malah apa ya maksud nya, setuju gtu malah itu kan keluar dari
arus mainstream nya gitu pak memang orang nya .
Jawaban : Tentu dia harus menghormati Gender nya ya ? aa.. dia itu tidak
mau hak-hak Politik Wanita ee.. seolah ee.. kurang dari Pria dia
gak mau dong dan Biasa nya dia dia sampaikan dengan Bahasa
yang, yang Menurut Saya Santun dan Biasa nya Argumentasi nya
itu jelas, itu membuat dia di komisi satu itu dikenal, kritis ya, dia
disegani ya, dia kan dikomisi satu . komisi satu. ketua komisi Satu
iya walaupun saya pimpinan praksi*** saya tau gitu, jadi dia
sangat itu, sangat apa, sangat sangat kritis gitu, apalagi ada
kebijakan-kebijakan yang secara apa dianggap itu merugikan umat
islam dia kritis itu, pasti ya, jadi bagi PPP sampai hari ini agak
sulit mencari pengganti seperti itu ya, agak sulit. Rajin, Tepat
86
Waktu, Cerdas ya, Tutur kata nya Teratur dan kemudian
Penyampaian nya Santun itu agak
Pertanyaan : Ngomong-ngomong soal komisi satu nih pak. kan beliau apa ya,
orang pertama lah yang menjadi ketua komisi satu sebagai
perempuan gitu sebelumnya kan gak Pernah
Jawaban :iya
Pertanyaan :di duduki oleh Perempaun kan, Beliau doang gitu dan sejumlah
media itu menyebutkan bahwa beliau ini pejuang gender gitu
Jawaban : iya
Pertanyaan : Kira-kira bapak setuju gak pak sama hal tersebut.
Jawaban : saya kira ee.. saya setuju saja yah ee.. bagi P3 masa itu dia tuh
termasuk apa ya ,bintang, bintang PPP ya Bintang PPP walaupun
bukan dia satu2 nya ya saya Anggota 10 Anggota Terbaik
Pertanyaan : hehehe
Jawaban : Diperiksa saja itu
Pertanyaan : oh iya
Jawaban : kita ini kan orang yang vocal, mengapa dia dekat sama saya
karena dia juga mengagumi saya dia tuh. Pasti itu
Pertanyaan :iya tentu pak hehehe
Jawaban : Karena dia sering liat statmen-Statmen saya di media, dia orang
nya seperti itu maka dia ingin PPP itu apa nya ee.. anggota DPR
nya itu Vocal karna anggota DPR itu itu kan etalese. Etalse
Partai apa dia tuh ingin itu, apa dia itu tidak dekat dengan orang-
orang Anggota DPR yang Kerja nya diam saja ( suara Burung) dia
gak deket gitu, pasti lah gak dekat, **alesan nya kemana nih, saya
punya pesantren pak . oh iy ee terus sampai apa ya, sampai beliau
udah se,se, apa ya sesepuh ini gitu istilahnya
Pertanyaan : Bahkan beliau masih Menyampatkan diri untuk Terus ini terus
beraktivitas gitu pak.
Jawaban : Iyaa
87
Pertanyaan : Jadi emang beliau ini memng sangat aktif gitu ya pak? Ketika P3
ketika beliau jadi legislatif gitu
Jawaban : Iya ee. Kalau di PPP dia tuh cinta ke PPP yah, walau dalam **
ada masa naik nya ada juga masa turun nya ya, ketika masa turun
nya nih saya kira banyak orang yang minta dia tapi dia gak mau.
Dia tetap di PPP
Pertanyaan : Loyalitas
Jawaban :Sampai sekarang dia gak akan mau, kenapa ? dia pernah bilang
sama saya. (Bunyi peluit) Harus kita perbaiki kata nya, kan kita
yang mendirikan PPP masa kita tinggalkan **
Pertanyaan : Emang loyal sekali ya pak
Jawaban : Heehmm
Pertanyaan : Dan dedikasi terhadap partai nya yah pak
top related