analisis daya saing crude palm oil (cpo) indonesia di pasar internasional...
Post on 08-Jan-2020
7 Views
Preview:
TRANSCRIPT
ANALISIS DAYA SAING CRUDE PALM OIL (CPO) INDONESIA DI
PASAR INTERNASIONAL
MUHAMMAD FAISAL NUR
1114092000023
PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019 M/1440 H
ANALISIS DAYA SAING CRUDE PALM OIL (CPO) INDONESIA DI
PASAR INTERNASIONAL
Muhammad Faisal Nur
11140920000023
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana
Pertanian pada Program Studi Agribisnis
PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019 M / 1441 H
iv
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
DATA DIRI
Nama : Muhammad Faisal Nur
Tempat/Tanggal Lahir: Bogor/ 12 Oktober 1995
Jenis Kelamin : Laki-laki
Kewarganegaraan : Indonesia
Agama : Islam
Alamat : Kp. Cibitung RT 12/03, Desa Cibitung
Tengah, Kecamatan Tenjolaya, Kab. Bogor
No. Hp : 089619007276
E-mail : mfaisalrunz@gmail.com
RIWAYAT PENDIDIKAN
2002 – 2008 : SDN Cibitung 2 Bogor
2008 – 2011 : SMP Negeri 4 Bogor
2011 – 2014 : SMA Negeri 5 Bogor
2014 – 2019 : Strata-I Jurusan Agribisnis, Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
PENGALAMAN ORGANISASI
2015 – 2016 : Anggota Departemen Kewirausahaan HMJ Agribisnis
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2016 – 2017 : Kepala Departemen Kewirausahaan Ikatan Senat
Mahasiswa Pertanian Indonesia (ISMPI) Wilayah II
2016 – Sekarang : Anggota Paguyuban Sayang Rakyat Remaja Kota Bogor
(PASAREBO)
v
PENGALAMAN KERJA
1. 2016 : Volunteer Sosialisasi Hari Raya Idul Adha Dompet Duafa
2. 2017 : Tim Produksi Yoghurt dan Tourguide Edufarm
Sentulfresh Indonesia.
3. 2017 : Kuliah Kerja Nyata (KKN) UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Desa Mekar Baru, Kec. Kronjo, Kab. Tangerang.
4. 2018 : Surveyor PT.Indikator Politik Indonesia
vi
RINGKASAN
Muhammad Faisal Nur, Analisis Daya Saing Crude Palm Oil (CPO) Indonesia
di Pasar Internasional. Di bawah bimbingan Nunuk Adiarni dan Ujang Maman.
Penelitian ini bertujuan untuk 1) Menganalisis keunggulan komparatif
komoditas CPO Indonesia dan Malaysia di lima negara tujuan utama, 2)
Menganalisis keunggulan kompetitif komoditas CPO Indonesia dan Malaysia di
lima negara tujuan utama, 3) Mengetahui rekomendasi dalam meningkatkan daya
saing komoditas CPO Indonesia. Ruang lingkup penelitian ini mencakup
perdagangan komoditi CPO secara internasional dengan menggunakan kode
Harmonized System (HS) dengan HS 151110. Data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah data primer dan sekunder berupa data time series mulai tahun
2003 hingga tahun 2017. Data bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS),
Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian, Kementerian
Perindustrian, GAPKI dan UN Comtrade. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah Revealed Comparative Advantage (RCA) untuk mengukur
keunggulan komparatif, Export Product Dynamic (EPD) untuk mengukur
keunggulan kompetitif, Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP) untuk mengetahui
posisi perdagangan dan Porter’s Diamond untuk mengetahui situasi kondisi
dalam suatu industri.
Berdasarkan hasil pengujian RCA, Indonesia memiliki keunggulan
komparatif yang ditunjukan dengan nilai rata-rata RCA lebih dari satu. Nilai rata-
rata RCA Indonesia dari tahun 2003-2017 mencapai 315. Mampu melampaui nilai
RCA Malaysia sebagai pesaing utama yang hanya mencapai 39. Tingginya nilai
RCA Indonesia dikarenakan nilai ekspor CPO Indonesia lebih mendominasi
dibandingkan dengan nilai ekspor CPO dunia ke negara-negara tujuan ekspor.
Berdasarkan hasil pengujian EPD, komoditi CPO Indonesia berada posisi
Rising Star di negara India dan Itali, posisi Lost Opportunity berada di negara
Belanda, posisi Retreat berada di negara Singapura dan Spanyol, sementara posisi
Falling Star tidak dialami oleh komoditi CPO Indonesia di lima negara tujuan
ekspor.
Berdasarkan hasil pengujian ISP Indonesia memperoleh nilai positif sebesar
0,999. Hal ini menunjukkan bahwa komoditi CPO Indonesia cenderung sebagai
eksportir CPO di pasar internasional dalam tahap pematangan dengan standarisasi
teknologi yang dimiliki. Sedangkan nilai ISP Malaysia sebesar 0,62. Hal ini
menunjukkan bahwa komoditi CPO Malaysia berada pada tahap perluasan dan
pertumbuhan ekspor CPO di pasar internasional.
Berdasarkan hasil analisis Porter’s Dyamond Indonesia memiliki
keunggulan kompetitif yang dapat dilihat dari beberapa aspek diantaranya 1)
Faktor sumberdaya, 2) Industri terkait dan pendukung, 3) Kondisi permintaan, 4)
Kondisi persaingan, struktur dan strategi, 5) Peran pemerintah, dan 6) Peran
kesempatan memiliki keterkaitan yang saling mendukung antar setiap komponen
Kata Kunci: CPO, Keunggulan Komparatif, Keunggulan Kompetitif.
vii
ABSTRACT
Muhammad Faisal Nur, Analysis of Indonesian Crude Palm Oil (CPO)
Competitiveness in the International Market. Under the guidance of Nunuk
Adiarni and Ujang Maman.
This study aims to 1) Analyze the comparative advantage of Indonesian and
Malaysian CPO commodities in five main destination countries, 2) Analyze the
competitive advantage of Indonesian and Malaysian CPO commodities in the five
main destination countries, 3) Find out recommendations in improving the
competitiveness of Indonesian CPO commodities. The scope of this study
includes the trading of CPO commodities internationally using the Harmonized
System (HS) code with HS 151110. The data used in this study are primary data
and secondary data in the from of time series data starting in 2003 until 2017.
Data comes from Central Statistics Agency (BPS), Directorate General of
Plantations (Ditjenbun), Ministry of Agriculture, Ministry of Industry, GAPKI,
and UN Comtrade. The method used in this study is Revealed Comparative
Advantage (RCA) to measure comparative advantages, Export Product Dynamic
(EPD) to measure competitive advantages, Trade Specialization Index (ISP)
knowing the trading position and the Porter’s Diamond to find out the situation of
conditions in an industry.
Based on the results of RCA testing, Indonesia has a comparative advantage
which is indicated by an average RCA vaue of more than one. The average value
of RCA Indonesia from 2003-2017 reached 315. Able to surpass Malaysia’s RCA
as the main competitor with only 39. The high value of RCA Indonesia is because
the value of Indonesia CPO exports dominates compared to the value of world
CPO exports to export destination countries.
Based on the results of EPD testing, Indonesian CPO commodities are in the
Rising Star position in India and Italy, the position of Lost Opportunity is in the
Netherlands, Retreat positions are in Singapore and Spain, Falling Star is not
experienced by Indonesian CPO in five export destinations.
Based on the results of testing the Indonesian ISP obtained a positive value
of 0,999. This shows that Indonesian CPO commodities tend to be CPO exporters
in the international market in the maturation stage by standardizing the technology
they have. While the value of Malaysian ISP is 0,62. This shows that Malaysian
CPO commodities are at the stage of expanding and growing CPO exports in the
international market.
Based on the results of Porter’s Dyamond Indonesia’s analysis, it has a
competitive advantage that can be seen from several aspects including 1)
Resource factors, 2) Related and supporting industries, 3) Demand conditions, 4)
Competitive conditions, structure and strategy, 5) Government role, and 6) The
role of opportunity has a mutually supportive relationship between each
component.
Keywords : CPO, Comparative advantage, Comparative advantage.
viii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat, karunia,
dan hidayah-Nya, shalawat beserta salam selalu tercurahkan kepada junjungan
kita Nabi Besar Muhammad SAW, beserta keluarga dan sahabat-Nya.
Penyusunan skripsi yang berjudul “Analisis Daya Saing Crude Palm Oil (CPO)
Indonesia di Pasar Internasional” dapat diselesaikan dengan baik.
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Pertanian pada Program Studi Agribisnis, Fakultas Sains dan Teknologi,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada kesempatan ini,
penulis menyampaikan rasa terima kasih yang mendalam kepada semua pihak
yang telah ikut membantu serta menjadi motivasi penulis, yaitu kepada:
1. Orang Tua tercinta Ibunda Ela Holilah dan Ayahanda Aswandi yang telah
mencurahkan kasih sayang yang tiada henti, perhatian, dukungan moril
maupun materil, nasihat yang tak ternilai, serta doa yang tak pernah putus,
terima kasih, semoga Allah SWT selalu memberikan kesehatan untuk kalian
hingga penulis dapat meraih kesuksesan untuk membahagiakan kalian.
Aamiin.
ix
2. Ibu Prof. Dr. Lily Surayya E.P, M.Env.Stud selaku Dekan Fakultas Sains dan
Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta beserta
jajarannya.
3. Ibu Ir. Siti Rochaeni, M,Si, selaku Ketua Program Studi Agribisnis dan Ibu
Rizki Adi Puspita Sari, SP, MMA, selaku Sekretaris Program Studi
Agribisnis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Ibu Dr. Nunuk Adiarni, MM, dan Bapak Dr. Ujang Maman, M.Si, selaku
dosen pembimbing I dan II atas setiap bimbingan, arahan, saran, motivasi,
waktu, dan pemikiran yang telah diberikan disela-sela kesibukan Ibu dan
Bapak hingga selesainya skripsi ini. Semoga Allah SWT selalu memberikan
keberkahan untuk Ibu dan Bapak. Aamiin.
5. Seluruh dosen Agribisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang tidak dapat
disebutkan satu per satu tanpa mengurangi rasa hormat atas ilmu dan
pelajaran yang diberikan dalam perkuliahan atau di luar perkuliahan.
6. Kakak tercinta, Tatu Rizkia yang telah memberikan nasihat, do’a, motivasi
dan dukungan kepada penulis.
7. Lulu, Elfrida, Virdiana, dan Nurul Fitriani yang selalu memberikan semangat
dan perhatiannya agar penulis tidak pernah patah semangat sehingga dapat
segera menyelesaikan penulisan penelitian ini. Terima kasih, semoga Allah
SWT membalas segala kebaikan dan semoga dalam perlindungan Allah
SWT. Aamiin.
8. Rhistiyadi Wijaya dan Lintang Habibul Karim (Anggrek Squad) sahabat
seperjuangan yang selalu mensupport dan mendoakan serta memberikan
x
masukan yang positif sehingga penulis merasa beruntung dipertemukan
dalam waktu yang singkat. Semoga Allah SWT membalas segala kebaikan
kalian. Aamiin.
9. Dhimas Rozil Gufron, Sahrul Maulidian, Ridho Nurvani, dan Bayu Pramono
(Gubug Reborn) yang merupakan sahabat seperjuangan dalam mengerjakan
skripsi dan sebagai tempat bertukar pikiran, yang senantiasa memberikan
semangat dan motivasi dalam penelitian ini. Semoga Allah membalas segala
kebaikan kalian. Aamiin.
10. Teman teman Agribisnis 2014 yang selalu memberikan semangat dan
informasi dalam mengerjakan penelitian penulis. Semoga Allah SWT
memudahkan langkah kita menuju kebaikan. Aamiin.
11. Teman-teman KKN Berpadu 42 yang selalu mensupport penulis sehingga
penulis termotivasi untuk menyelesaikan penelitian ini. Semoga Allah SWT
mempertemukan kita dalam keadaan sukses dunia dan akhirat. Aamiin.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Penulis
berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun semua pihak
yang membutuhkan. Aamiin.
Wassalamu’alaikum Wr Wb
Jakarta, Juli 2019
Penulis
xi
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI .................................................................................................. xi
DAFTAR TABEL .......................................................................................... xiv
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xvi
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xviii
BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................... 12
1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................... 13
1.4 Manfaat Penelitian ......................................................................... 13
1.5 Ruang Lingkup Penelitian ............................................................. 14
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 16
2.1 Agribisnis Kelapa Sawit ................................................................ 16
2.2 CPO (Crude Palm Oil) .................................................................. 21
2.3 Ekspor ............................................................................................ 24
2.4 Perdagangan Internasional ............................................................. 26
2.5 Teori Daya Saing ........................................................................... 29
2.5.1 Teori Merkantilisme ............................................................. 30
2.5.2 Teori Keunggulan Komparatif ............................................. 30
2.5.3 Teori Keunggulan Kompetitif .............................................. 32
2.5.4 Teori Keunggulan Absolut ................................................... 34
2.5.5 Teori Heckscher-Ohlin ......................................................... 35
2.6 Penelitian Terdahulu ...................................................................... 36
2.7 Kerangka Pemikiran ...................................................................... 38
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ..................................................... 41
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ......................................................... 41
3.2 Jenis dan Sumber Data .................................................................. 41
3.3 Metode Pengumpulan Data ........................................................... 43
xii
3.4 Metode Analisis Data .................................................................... 44
3.4.1 Revealed Comparative Advantage (RCA) ........................... 45
3.4.2 Export Product Dynamic (EPD) .......................................... 46
3.4.3 Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP) ................................ 48
3.4.4 Teori Berlian Porter (Porter’s Diamond) ............................. 50
BAB IV. GAMBARAN UMUM KELAPA SAWIT ..................................... 53
4.1 Agribisnis Minyak Kelapa Sawit ................................................... 53
4.1.1 Perkembangan Luas Areal Kelapa Sawit Indonesia ............ 55
4.1.2 Perkembangan Produksi Minyak Sawit (CPO) Indonesia ... 56
4.1.3 Perkembangan Produktivitas Kelapa Sawit Indonesia ......... 57
4.2 Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia .......................... 58
4.3 Perkembangan Harga CPO Indonesia ........................................... 59
4.4 Perkembangan Ekspor-Impor Minyak Sawit Indonesia ................ 60
4.4.1 Perkembangan Volume Ekspor Minyak Sawit (CPO)
Indonesia ............................................................................... 61
4.4.2 Perkembangan Volume Impor Minyak Sawit (CPO)
Indonesia ............................................................................... 62
4.4.3 Negara Tujuan Ekspor Minyak Sawit CPO Indonesia ......... 63
4.4.4 Neraca Perdagangan Minyak Sawit (CPO) Indonesia ......... 64
4.5 Negara Produsen Utama Crude Palm Oil (CPO) Dunia ............... 64
4.6 Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) ...................................... 66
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................ 68
5.1 Analisis Keunggulan Komparatif Komoditas CPO Indonesia
Di Pasar Internasional .................................................................... 68
5.2 Analisis Keunggulan Kompetitif Komoditas CPO Indonesia
Di Pasar Internasional .................................................................... 71
5.2.1 Analisis Export Product Dynamic (EPD) CPO HS 151110 . 72
5.2.2 Analisis Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP) CPO
HS 151110 Indonesia Di Pasar Internasional ...................... 76
5.3 Analisis Berlian Porter (Porter’s Diamond) .................................. 79
5.3.1 Faktor Kondisi Sumber Daya ............................................... 81
5.3.2 Kondisi Permintaan .............................................................. 98
5.3.3 Industri Terkait dan Industri Pendukung .............................. 100
5.3.4 Struktur, Persaingan dan Strategi Industri CPO Nasional .... 109
5.3.5 Peran Pemerintah .................................................................. 118
5.3.6 Peran Kesempatan ................................................................ 130
5.4 Keterkaitan Antar Komponen Utama Sistem Berlian Porter ......... 133
xiii
5.5 Keterkaitan Komponen Pendukung Sistem Berlian Porter ............ 136
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................... 142
6.1 Kesimpulan ..................................................................................... 142
6.2 Saran ............................................................................................... 145
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 146
LAMPIRAN ................................................................................................... 151
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel Hal
1. 10 Sektor Penyumbang Devisa Terbesar Indonesia .................................... 1
2. Luas Areal Perkebunan Sawit dan Produksi CPO Indonesia
Tahun 2003-2017 ......................................................................................... 2
3. Luas Areal Perkebunan dan Produksi Kelapa Sawit Indonesia
Menurut Status Pengusahaannya Tahun 2017 ............................................. 3
4. Volume Ekspor CPO Indonesia Kelima Negara Tujuan Ekspor Tahun
2014-2017 .................................................................................................... 4
5. Nilai Ekspor CPO Indonesia Kelima Negara Tujuan Ekspor Tahun
2014-2017 .................................................................................................... 6
6. Nilai Ekspor-Impor CPO Indonesia dan Malaysia Tahun 2003-2017 ........ 8
7. Tingkat Kematangan Buah Sawit .............................................................. 23
8. Penelitian Terdahulu .................................................................................. 36
9. Jenis dan Sumber Data Penelitian ............................................................. 42
10. Keunggulan Komparatif CPO Berdasarkan Hasil Analisis Revealed
Comparative Advantage Indonesia dan Malaysia
Tahun 2003-2017 ....................................................................................... 69
11. Indikator Kondisi Industri Minyak Swait (CPO) Indonesia
Dengan Malaysia Tahun 2017 ................................................................... 70
12. Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP) CPO Indonesia
Tahun 2003-2017 ....................................................................................... 77
13. Faktor dan Indikator Teori Berlian Porter ................................................. 79
14. Tingkat Produktivitas Lahan Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia
Menurut Provinsi Tahun 2017 ................................................................... 82
15. 4 (Empat) Bagian Besar Anggaran Perkebunan Kelapa Sawit .................. 85
16. Distribusi Pabrik Minyak Goreng di Indonesia ....................................... 102
xv
17. Prinsip dan Kriteria Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) ............... 120
18. Keterkaitan Antar Komponen Utama Sistem Berlian Porter ................... 133
19. Keterkaitan Antar Komponen Penunjang dengan Komponen
Utama ....................................................................................................... 136
xvi
DAFTAR GAMBAR
Gambar Hal
1. Grafik Laju Pertumbuhan Volume Ekspor CPO Indonesia Kelima Negara
Tujuan Ekspor Tahun 2003-2017 ................................................................... 4
2. Grafik Laju Pertumbuhan Nilai Ekspor CPO Indonesia Kelima Negara
Tujuan Ekspor Tahun 2003-2017 ................................................................... 6
3. Kelapa Sawit ................................................................................................. 17
4. Pohon Industri Kelapa Sawit ........................................................................ 20
5. Crude Palm Oil (CPO) ................................................................................. 21
6. Proses Pengolahan Kelapa Sawit Menjadi CPO ........................................... 22
7. Kurva Perdagangan Internasional ................................................................. 29
8. Kerangka Pemikiran ..................................................................................... 40
9. Kuadran Posisi Daya Saing dengan Metode EPD ........................................ 47
10. The Complete System of National Advantage ............................................... 51
11. Lingkup Sistem Agribisnis Minyak Sawit .................................................... 54
12. Perkembangan Luas Areal Kelapa Sawit Menurut Status
Pengusahaan Di Indonesia Tahun 2003-2017 .............................................. 55
13. Perkembangan Produksi Minyak Sawit Menurut Status
Pengusahaan Di Indonesia Tahun 2003-2017 .............................................. 56
14. Perkembangan Produktivitas CPO Menurut Status Pengusahan
Di Indonesia Tahun 2003-2017 .................................................................... 57
15. Lima Provinsi dengan Perusahaan Kelapa Sawit Terbanyak ....................... 59
16. Perkembangan Harga Minyak Sawit (CPO) Tahun 2003-2017 ................... 60
17. Perkembangan Volume Ekspor Minyak Sawit (CPO) Indonesia
Tahun 2003-2017 .......................................................................................... 61
xvii
18. Perkembangan Volume Impor Minyak Sawit (CPO) Indonesia
Tahun 2003-2017 .......................................................................................... 62
19. Negara Tujuan Ekspor CPO Indonesia Terbesar 2014-2017 ....................... 63
20. Perkembangan Neraca Perdagangan Minyak Sawit (CPO)
Indonesia Tahun 2003-2016 ......................................................................... 64
21. Negara Produsen Utama Crude Palm Oil (CPO) Dunia .............................. 65
22. Kuadran Export Product Dynamic (EPD) Indonesia.................................... 72
23. Kuadran Export Product Dynamic (EPD) Malaysia .................................... 73
24. Hasil Perhitungan Indeks Spesialisasi Perdagangan CPO
HS 151110) Tahun 2003-2017 ..................................................................... 78
25. Saluran Pemasaran Minyak Sawit Indonesia Pada
Perkebunan Negara ..................................................................................... 104
26. Saluran Pemasaran Minyak Sawit Indonesia Pada
Perkebunan Swasta ..................................................................................... 105
27. Lingkup Operasional Musim Mas di Indonesia ......................................... 108
28. Keterangan Antar Komponen Sistem Berlian Porter
(Porter’s Diamond) .................................................................................... 141
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Hal
1. Lembar Pertanyaan Wawancara ................................................................. 151
2. Perkembangan Luas Areal Kelapa Sawit Menurut Status
Pengusahaan Di Indonesia Tahun 2003-2017 ............................................ 152
3. Perkembangan Produksi Minyak Sawit Menurut Status
Pengusahaan Di Indonesia Tahun 2003-2017 ............................................ 153
4. Perkembangan Produktivitas CPO Menurut Status Pengusahaan
Di Indonesia Tahun 2003-2017 .................................................................. 154
5. Data Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit Menurut Provinsi
Dan Pengusahaanya pada Tahun 2017 ....................................................... 155
6. Perkembangan Harga Minyak Sawit (CPO) Tahun 2003-2018 ................. 156
7. Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Minyak Sawit (CPO)
Indonesia Tahun 2003-2017 ....................................................................... 157
8. Perkembangan Volume dan Nilai Impor Minyak Sawit (CPO)
Indonesia Tahun 2003-2017 ....................................................................... 158
9. Xik : Nilai Ekspor CPO Indonesia Kelima Negara Tujuan
Tahun 2003-2017 ........................................................................................ 159
10. Xim : Nilai Ekspor Indonesia Kelima Negara Tujuan
Tahun 2003-2017 ........................................................................................ 160
11. Xwk : Nilai Ekspor CPO Dunia Kelima Negara Tujuan
Tahun 2003-2017 ........................................................................................ 161
12. Xwm : Nilai Ekspor Dunia Kelima Negara Tujuan
Tahun 2003-2017 ........................................................................................ 162
13. Perhitungan Revealed Comparative Advantage (RCA) di Lima
Negara Tujuan Ekspor CPO Indonesia Tahun 2003-2017 ......................... 163
14. Rata-rata Perhitungan Revealed Comparative Advantage (RCA)
di Lima Negara Tujuan Ekspor CPO Indonesia Tahun 2003-2017. ........... 166
xix
15. Perhitungan Revealed Comparative Advantage (RCA) di Lima
Negara Tujuan Ekspor CPO Malaysia Tahun 2003-2017 .......................... 167
16. Rata-rata Perhitungan Revealed Comparative Advantage (RCA)
di Lima Negara Tujuan Ekspor CPO Malaysia Tahun 2003-2017 ............ 170
17. Perhitungan Nilai Indeks Spesialisasi Perdagangan Negara
Indonesia dan Malaysia .............................................................................. 171
18. Luas Areal dan Produksi Minyak Sawit (CPO) pada Perkebunan
Rakyat (PR), Perkebunan Negara (PN), dan Perkebunan Swasta (PS)
Menurut Provinsi dan Keadaan Tanaman, 2017 ........................................ 172
19. Pertumbuhan Jumlah Petani dan Jumlah Tenaga Kerja Perkebunan
Kelapa Swit Indonesia Tahun 2017-2019 .................................................. 173
20. Daftar Anggota Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia ................... 174
21. Tarif Pungutan Dana Perkebunan Atas Ekspor Kelapa Sawit,
Crude Palm Oil (CPO), dan Produk Turunannya ....................................... 177
22. Mandatori Biodiesel Berdasarkan Peraturan Menteri ESDM
No.32/2008 dan Keputusan Menteri ESDM No.25/2013 ........................... 179
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Crude Palm Oil (CPO) adalah minyak nabati edibel yang didapatkan
melalui beberapa proses pengolahan buah kelapa sawit. CPO merupakan salah
satu komoditas ekspor unggulan Indonesia (GAPKI, 2018). Menurut Joko
(2016:3), industri kelapa sawit Indonesia khususnya produk CPO memiliki peran
strategis dalam sejumlah aspek; (1) Berkontribusi besar bagi perekonomian
negara dan tercatat sebagai penghasil devisa negara terbesar non-migas (Tabel 1),
(2) Membuka lapangan pekerjaan kepada 5,5 juta kepala keluarga, (3) Mampu
mengentaskan kemiskinan pedesaan, dan (4) Membantu pemerataan
pembangunan daerah.
Tabel 1. 10 Sektor Penyumbang Devisa Terbesar Indonesia Tahun 2017
No Sektor/Industri Nilai (Rp) Keterangan
1 Kelapa Sawit 300 triliun Ekspor
2 Jasa Pariwisata 190 triliun Jasa
3 Migas 170 triliun Ekspor
4 Tekstil 159 triliun Ekspor
5 Batubara 150 triliun Ekspor
6 Tenaga Kerja Indonesia (TKI) 140 triliun Jasa
7 Elektronik 80 triliun Ekspor
8 Hasil Kayu Hutan 70 triliun Ekspor
9 Karet 65 triliun Ekspor
10 Alas Kaki 60 triliun Ekspor Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) (2017)
Berdasarkan data Food and Agriculture Organization (FAO) tahun 2017,
Indonesia merupakan negara produsen dan negara eksportir CPO terbesar di
ASEAN maupun dunia. Negara produsen CPO lainnya adalah Malaysia, Thailand,
Nigeria, Kolumbia, dan Papua Nugini. Produksi CPO dunia didominasi oleh
2
Indonesia dan Malaysia. Kedua negara ini secara total menghasilkan sekitar 85-90
persen dari total produksi CPO dunia. Adapun perkembangan luas areal
perkebunan sawit dan produksi CPO Indonesia dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2. Luas Areal Perkebunan Sawit dan Produksi CPO Indonesia Tahun 2003-
2017
Tahun
Luas
Areal
(Ha)
Pertumbuhan
(%)
Produksi
(Ton)
Pertumbuhan
(%)
2003 5.283.557 10.440.834
2004 5.284.723 0.02 10.830.389 3.4
2005 5.453.817 3.2 11.861.615 9.5
2006 6.594.914 20.9 17.350.848 46.3
2007 6.766.836 2.6 17.664.725 1.8
2008 7.363.847 8.8 17.539.788 -0.7
2009 7.873.294 6.9 19.324.293 10.2
2010 8.385.394 6.5 21.958.120 13.6
2011 8.992.824 7.2 23.096.541 5.2
2012 9.572.715 6.5 26.015.518 12.6
2013 10.465.020 9.3 27.782.004 6.8
2014 10.754.801 0.03 29.278.189 5.4
2015 11.260.277 4.7 31.070.015 6.1
2016 11.201.465 -0.5 31.730.961 2.1
2017 14.048.722 25.4 37.965.224 19.6
Rata-rata 6.8 9.5 Sumber : Direktorat Jendral Perkebunan, Kementerian Pertanian (2019)
Berdasarkan Tabel 2. Luas areal perkebunan kelapa sawit dari tahun
2003-2017 selalu mengalami peningkatan, dimana pertumbuhan tertinggi dialami
pada tahun 2006 dan 2017 dengan nilai pertumbuhan sebesar 20.9 persen dan 25.4
persen. Perkembangan luas areal lahan juga diikuti dengan rata-rata pertumbuhan
produksi CPO sebesar 9.5 persen setiap tahunnya. Peningkatan luas areal dan
produksi tersebut menunjukkan bahwa permintaan terhadap produk CPO semakin
meningkat di pasar domestik maupun internasional. Data BPS tahun 2017
menyebutkan bahwa CPO yang dihasilkan oleh Indonesia, sebanyak 70 persen
diekspor ke berbagai negara, dan 30 persen lainnya digunakan untuk kebutuhan
3
dalam negeri. Konsumsi domestik tersebut, mencakup untuk industri hilir seperti
oleopangan, oleokimia, detergen/sabun, dan biodiesel. Sementara, luas
perkebunan kelapa sawit Malaysia berdasarkan data Malaysian Palm Oil Board
(MPOB) pada tahun 2017 seluas 5,85 juta hektar dengan hasil produksi CPO
sebanyak 19,9 juta ton.
Menurut Dirjen Perkebunan (2019), perkebunan kelapa sawit Indonesia
pada tahun 2017 diusahakan oleh Perkebunan Besar Swasta (PBS), Perkebunan
Rakyat (PR), dan Perkebunan Besar Negara (PBN). Luas areal perkebunan dan
produksi kelapa sawit sebagaimana ditunjukkan tabel berikut:.
Tabel 3. Luas Areal Perkebunan dan Produksi Kelapa Sawit Indonesia Menurut
Status Pengusahaannya, 2017
No. Status Pengusaha Luas Areal
(Ha) Produksi (Ton)
1 Perkebunan Besar Swasta (PBS) 7.712.687 22.912.772
2 Perkebunan Besar Negara (PBN) 638.143 1.861.263
3 Perkebunan Rakyat (PR) 5.697.892 13.191.189
Jumlah 14.048.722 37.965.224 Sumber: Direktorat Jendral Perkebunan (2019)
Berdasarkan Tabel 3, Perkebunan Besar Swasta (PBS) mengusahakan 7,7
juta hektar (54,9 persen) dengan jumlah produksi 22,9 juta ton (60,3 persen),
sementara Perkebunan Rakyat (PR) mengusahakan 5,7 juta hektar (40,5 persen)
dengan jumlah produksi 13,2 juta ton (34,7 persen), dan Perusahan Besar Negara
(PBN) tercatat hanya 638,1 ribu hektar (4,5 persen) dengan jumlah produksi 1,9
juta ton (4,9 persen).
Indonesia memiliki peluang ekspor CPO karena sebagian besar komoditas
tersebut diekspor ke negara-negara tujuan yang tidak mampu memproduksi
minyak sawit mentah sendiri. Beberapa negara yang menjadi lima besar negara
4
tujuan ekspor minyak sawit mentah Indonesia adalah India, Singapura, Belanda,
Itali, dan Spanyol. Kelima negara tersebut adalah negara yang paling banyak
mengimpor CPO dari Indonesia (Statistik Kelapa Sawit 2015-2017: 58). Tabel 4
dan 5 menunjukkan volume dan nilai ekspor CPO kelima negara tujuan ekspor
tahun 2014-2017.
Tabel 4. Volume Ekspor CPO Indonesia Kelima Negara Tujuan Ekspor Tahun
2014-2017
Sumber : UN Comtrade (2018)
Gambar 1. Grafik Laju Pertumbuhan Volume Ekspor CPO Indonesia Kelima
Negara Tujuan Ekspor Tahun 2014-2017. Sumber: UN Comtrade (2018), (diolah)
22
-8
4,3
-6,3
14
-10
-5
0
5
10
15
20
25
India Belanda Singapura Itali Spanyol
Laju Pertumbuhan (%) Linear (Laju Pertumbuhan (%))
Negara 2014 2015 2016 2017
Volume (ton) Volume (ton) Volume (ton) Volume (ton)
India 2.888.188 3.820.703 2.948.984 4.627.681
Belanda 866.087 1.044.091 680.073 615.548
Singapura 532.902 604.486 580.472 604.711
Itali 601.648 578.864 250.383 356.503
Spanyol 276.017 581.375 236.855 215.685
Total 5.164.842 6.629.519 4.696.767 6.420.129
14.8
5
Berdasarkan Tabel 4 diperoleh grafik laju pertumbuhan sebagaimana
digambarkan pada Gambar 1 bahwa, volume ekspor CPO Indonesia kelima
negara tujuan pada tahun 2014-2017 memiliki tren laju pertumbuhan yang
cenderung mengalami penurunan dengan rata-rata nilai sebesar 14,8 persen. Hal
ini dipengaruhi oleh jumlah permintaan CPO terutama di negara Belanda dan Itali
menurun dengan tren laju pertumbuhan di negara Belanda yang negatif sebesar 8
persen dan Itali sebesar 6,3 persen. Menurunnya laju pertumbuhan volume ekspor
CPO Indonesia di negara Belanda dan Itali disebabkan adanya upaya Uni Eropa
untuk mendorong pertumbuhan minyak nabati domestik, khususnya rapeseed,
sunflower oil, dan soybean oil dengan menciptakan kampanye “Palm Oil Free”
yang melarang dan menghapuskan secara bertahap penggunaan produk berbahan
dasar CPO dari Indonesia berdasarkan kebijakan Renewable Energy Directive I
(RED I) dan Delegate Act Renewable Energy Directive II, sehingga berdampak
pada menurunnya jumlah permintaan CPO Indonesia terhadap Uni Eropa sejak
tahun 2015 ke tahun berikutnya.
Disisi lain, pada tahun pada tahun 2017 volume ekspor CPO Indonesia ke
Itali kembali menguat dari tahun sebelumnya, dimana diperoleh fakta bahwa rata-
rata pertumbuhan (growth) produksi domestik minyak nabati Uni Eropa hanya
mencapai 2,8 persen per tahun, sementara laju pertumbuhan konsumsi domestik
Uni Eropa sebesar 4,8 persen per tahun (GAPKI, 2018). Sedangkan, laju
pertumbuhan volume ekspor CPO Indonesia dengan nilai positif terbesar terjadi di
negara India dengan nilai 22 persen. Hal ini dikarenakan India merupakan negara
importir CPO terbesar dari Indonesia yang membutuhkan pasokan minyak sawit
6
dalam jumlah besar untuk memenuhi kebutuhan domestiknya, dimana sekitar 50
persen impor minyak nabati India masih di supply oleh minyak sawit dari
berbagai negara produsen minyak sawit terutama Indonesia. Selain itu, harga
minyak nabati impor umumnya lebih kompetitif dibandingkan dengan produksi
domestik (GIMNI, 2019). Laju pertumbuhan dengan nilai positif lainnya terjadi di
Spanyol dengan nilai pertumbuhan sebesar 14 persen, dan Singapura sebesar 4,3
persen.
Tabel 5. Nilai Ekspor CPO Indonesia Kelima Negara Tujuan Ekspor Tahun
2014-2017
Sumber : UN Comtrade (2018)
Gambar 2. Grafik Laju Pertumbuhan Nilai Ekspor CPO Indonesia Kelima Negara
Tujuan Ekspor Tahun 2014-2017. Sumber : UN Comtrade (2018), (diolah)
18
-12,5
1
-9
1
-15
-10
-5
0
5
10
15
20
India Belanda Singapura Itali Spanyol
Laju Pertumbuhan (%) Linear (Laju Pertumbuhan (%))
Negara
2014 2015 2016 2017
Nilai
(.000 US$)
Nilai
(.000 US$)
Nilai
(.000 US$)
Nilai
(.000 US$)
India 2.101.736 2.112.621 1.868.494 3.068.293
Belanda 641.516 600.082 424.593 415.656
Singapura 396.982 332.928 359.879 398.616
Itali 455.262 340.498 150.431 231.394
Spanyol 208.144 338.527 139.889 138.607
Total 3.803.640 3.724.656 2.943.286 4.252.567
-0.3
7
Berdasarkan Tabel 5 diperoleh grafik laju pertumbuhan sebagaimana
digambarkan pada Gambar 2 bahwa, nilai ekspor CPO Indonesia ke-lima negara
tujuan pada tahun 2014-2017 memiliki tren laju pertumbuhan yang cenderung
mengalami penurunan dengan rata-rata laju pertumbuhan nilai ekspor yang negatif
sebesar 0,3 persen. Nilai negatif dari rata-rata laju pertumbuhan nilai ekspor CPO
Indonesia diperoleh dari besarnya angka negatif laju pertumbuhan negara Belanda
sebesar 12,5 persen dan Itali sebesar 9 persen. Menurunnya laju pertumbuhan
nilai ekspor CPO Indonesia di negara Belanda dan Itali, selain disebabkan adanya
kebijakan Uni Eropa yang melarang penggunaan produk CPO dari Indonesia, juga
dipengaruhi oleh turunnya harga CPO global dari USD 762,91 per metrik ton
menjadi USD 581,29 per metrik ton pada tahun 2015 atau turun sebesar 24 persen
dari tahun sebelumnya (Hudori, 2017). Sementara, laju pertumbuhan nilai ekspor
CPO Indonesia dengan nilai positif terjadi di negara India (18 persen), Singapura
(1 persen), dan Spanyol (1 persen).
Peranan Indonesia selain sebagai supporting kebutuhan minyak nabati
dunia, industri minyak sawit Indonesia juga berperan dalam memenuhi kebutuhan
minyak nabati Asia, salah satunya adalah dengan melakukan kegiatan ekspor
impor CPO terhadap Malaysia. Selain sebagai negara produsen minyak sawit
terbesar kedua dunia, Malaysia tetap melakukan impor CPO dari Indonesia guna
menstabilkan antara kebutuhan domestik dan pasokan ekspornya. Kegiatan ekspor
impor CPO yang dilakukan oleh Indonesia terhadap Malaysia terjadi pada saat
jumlah permintaan CPO lebih tinggi dari pada jumlah produksi CPO domestik.
Hal ini dikarenakan Malaysia memiliki kebutuhan untuk bahan baku industri
8
farmasi, tekstil dan industri hilirisasi dengan lebih dari 100 macam jenis produk
turunan (Kardiman, 2011).
Kemampuan Indonesia dalam memproduksi CPO merupakan peluang besar
bagi negara untuk meningkatkan industri CPO yang berdaya saing di pasar
Malaysia. Sejalan dengan hal tersebut, menjadikan Indonesia mampu bersaing
dengan negara produsen CPO lain seperti Malaysia dalam meningkatkan nilai
ekspor dan meminimalisir nilai impor sebagaimana ditunjukkan pada tabel
berikut:
Tabel 6. Nilai Ekspor-Impor CPO Indonesia dan Malaysia Tahun 2003-2017.
Tahun
Indonesia Malaysia
Ekspor
(US$)
Impor
(US$)
Ekspor
(US$)
Impor
(US$)
2003 1.062.214.890 24.348 512.074.232 148.012.253
2004 1.444.421.828 1067.327 539.812.095 355.315.723
2005 1.593.295.437 14.058 566.651.817 152.538.757
2006 1.993.666.661 46.109 924.627.185 233.840.193
2007 3.738.651.552 10.588 1.259.850.331 207.442.146
2008 6.561.330.490 1.427 1.879.389.747 496.393.697
2009 5.702.126.189 1.332.129 1.675.850.018 682.064.401
2010 7.649.965.932 3.360.560 2.312.971.826 1.005.899.191
2011 8.777.015.600 24.506.004 3.796.528.454 1.630.867.301
2012 6.676.503.846 0 4.468.118.528 791.965.295
2013 4.978.532.881 0 2.986.345.133 260.723.872
2014 4.206.741.340 0 3.428.710.388 225.867.096
2015 4.388.094.011 0 3.076.580.116 432.796.435
2016 3.305.575.089 3.874.877 2.335.674.952 128.852.507
2017 4.698.225.492 457 1.868.891.714 208.893.128
Total 61.797.828.357 34.237.884 31.632.076.536 6.961.471.995
Selisih Nilai Ekpor CPO Indonesia dan Malaysia (US$) 30.165.751.821
Selisih Nilai Impor CPO Indonesia dan Malaysia (US$) 6.927.234.111
Sumber: UN Comtrade. (2018), (diolah)
Berdasarkan Tabel 6 dapat dijelaskan bahwa, nilai ekspor-impor CPO
Indonesia dan Malaysia tahun 2003-2017 memiliki selisih dari total nilai ekspor
9
CPO sebesar 30,2 milyar USD dan selisih dari total nilai impor CPO sebesar 6,9
milyar USD. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia lebih unggul karena memiliki
nilai ekspor CPO yang lebih tinggi dengan nilai impor CPO yang rendah dari
Malaysia. Nilai ekspor-impor CPO Indonesia terbesar terjadi pada tahun 2011
dengan nilai ekspor sebesar 8,8 milyar USD dan nilai impor sebesar 24,5 juta
USD. Hal ini disebabkan pada tahun 2011 jumlah permintaan CPO global
meningkat seiring dengan keberadaan stok yang terbatas, sehingga Indonesia
perlu melakukan impor dari negara produsen CPO lain untuk menstabilkan
pasokan domestik dan permintaan pasar global, hal ini menyebabkan harga CPO
Indonesia menguat dari USD 826,73 menjadi USD 1.050,19 per metrik ton atau
naik 25,18 persen dari tahun sebelumnya. Sedangkan, nilai ekspor-impor CPO
Malaysia terbesar terjadi pada tahun 2012 dengan nilai ekspor sebesar 4,5 milyar
USD dan nilai impor sebesar 1,6 milyar USD pada tahun 2011. Hal ini disebabkan
pada tahun 2011 harga CPO Malaysia ikut menguat dari USD 900,83 menjadi
USD 1.125,42 per metrik ton (Hudori, 2017).
Indonesia sebagai negara produsen dan eksportir CPO terbesar dunia tidak
terlepas dari problematik (internal) dan tantangan (eksternal) dalam bentuk
regulasi atau kebijakan dan penggalangan opini negatif terhadap industri CPO.
Problematik industri CPO Indonesia dari sisi internal mencatat bahwa; (1)
Kebijakan sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dalam
penerapannya masih belum merata secara menyeluruh (Komisi ISPO, 2018).
Kementerian Pertanian (2018) menyebutkan bahwa, lahan sawit Indonesia saat ini
seluas 14,3juta hektar, akan tetapi baru 2,349 juta hektar lahan sawit yang
10
tersertifikasi (ISPO) dengan total produksi CPO mencapai 10,2 juta ton per tahun,
sehingga berdampak pada rendahnya keberterimaan pasar atas ISPO, (2)
Kebijakan Moratorium atau Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan
Kelapa Sawit berdampak negatif pada kehidupan para petani kecil yang hidup dari
perkebunan sawit, (3) Adanya tumpang tindih lahan petani dengan perusahaan
yang mengarah pada konflik legalitas lahan, (4) Rendahnya kompetensi petani
dalam mengelola perkebunan sawit dan minimnya modal petani, sehingga
produktivitas sawit masih rendah lantaran benih yang digunakan tidak
tersertifikasi dan kebanyakan tanaman yang digunakan sudah mencapai umur
teknis dan umur ekonomis yang jenuh.
Dalam skala global (eksternal), ekspor CPO Indonesia mengalami perang
dagang (trade war) dalam bentuk kebijakan negara importir dan kampanye hitam
(black campaign) yang mendiskriminasi sawit Indonesia; (1) Parlemen Uni Eropa
dalam Renewable Energy Directive (RED) dan Delegated Acts RED (Renewable
Energy Directive) II yang akan membatasi dan menghapuskan secara bertahap
penggunaan minyak nabati berbahan dasar CPO sepanjang tahun 2020-2030
dengan menetapkan kelapa sawit dalam kategori tanaman pangan dengan risiko
tinggi dan risiko rendah Indirect Land Usage Change (ILUC). Hal tersebut akan
berdampak pada 5,3 juta petani sawit terancam dan Indonesia akan kehilangan
pasar ekspor CPO ke negara tujuan terbesar ke-2 dunia, (2) Hambatan tarif
barrier yang di terapkan oleh India dengan menaikan tarif bea masuk CPO asal
Indonesia dari 30 persen menjadi 44 persen dan produk turunannya dari 40 persen
menjadi 54 persen (Darmin, 2018), (3) Indonesia dan Malaysia memiliki
11
keinginan dalam mengatur harga CPO dunia. Malaysia merupakan negara
produsen CPO terbesar ke-2 setelah Indonesia dengan total volume ekspor CPO
ke dunia pada tahun 2018 mencapai 3,3 juta ton. Sementara volume ekspor CPO
Indonesia ke dunia pada tahun 2018 mencapai 6,6 juta ton (UN Comtrade, 2019).
Kedua negara tersebut tidak lepas dari aktivitas perang dagang untuk memperluas
pasar ke berbagai negara di dunia. Hal ini dikarenakan masing-masing negara
memiliki hubungan bilateral yang berbeda dengan negara lain di dunia, terutama
negara-negara tujuan ekspor CPO dari Indonesia-Malaysia, (4) Adanya Perang
dagang antara negara-negara produsen minyak nabati dari komoditas selain
minyak sawit terutama negara-negara Uni Eropa yang memiliki produk minyak
nabati berbahan dasar rapeseed oil dan sunflower oil dengan menekan laju ekspor
ke Uni Eropa guna mengamankan produk domestiknya dengan tujuan mengurangi
ketergantungan yang semakin tinggi terhadap impor CPO dari Indonesia
(GAPKI, 2017).
Persaingan dagang memunculkan tantangan yang bernilai positif bagi
kemajuan industri CPO. Kemunculan daya saing dapat membuat pelaku industri
atau stakeholders meningkatkan kualitas dari berbagai sisi dan mencoba
mengatasi problematik dan tantangan yang ada. Kemampuan Indonesia sebagai
negara produsen CPO terbesar dunia dalam menghadapi tantangan dan
problematik yang dialami secara global dapat diwujudkan dengan meningkatkan
daya saing dengan memaksimalkan keunggulan pembeda dari yang lain seperti
keunggulan komparatif (comparative advantage) dan keunggulan kompetitif
(competitive advantage).
12
Berdasarkan seluruh uraian di atas, maka penelitian yang dilakukan adalah
menganalisis daya saing CPO Indonesia dengan CPO Malaysia di lima negara
tujuan utama yaitu; India, Singapura, Belanda, Italia, dan Spanyol. Perbandingan
daya saing tersebut dilakukan karena secara bilateral hubungan Indonesia dan
Malaysia dalam ekspor impor CPO memiliki persaingan yang cukup kuat dalam
merebut pangsa pasar di pasar internasional terutama di lima negara tujuan utama,
sedangkan secara multilateral Indonesia dan Malaysia memiliki hubungan yang
sangat baik dalam menghadapi permasalahan-permasalahan yang terjadi pada
industri CPO dunia. Perbandingan daya saing tersebut menggunakan data yang
berkaitan dengan nilai ekspor CPO Indonesia dan Malaysia di lima negara tujuan,
nilai ekspor dunia di lima negara tujuan, dan nilai impor CPO Indonesia dan
Malaysia, sehingga diharapkan Indonesia dapat menjadi negara produsen dengan
keunggulan daya saing nomor satu di dunia. Dari latar belakang ini peneliti
melakukan riset dengan judul “Analisis Daya Saing Crude Palm Oil (CPO)
Indonesia di Pasar Internasional”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka
dirumuskan beberapa permasalahan dalam penelitian ini, yaitu:
1. Bagaimana keunggulan komparatif komoditas CPO Indonesia dan Malaysia
di lima negara tujuan utama?
2. Bagaimana keunggulan kompetitif komoditas CPO Indonesia dan Malaysia
di lima negara tujuan utama?
13
3. Bagaimana rekomendasi dalam meningkatkan daya saing komoditas CPO
Indonesia ?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian dari latar belakang dan permasalahan diatas, maka
tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Menganalisis keunggulan komparatif komoditas CPO Indonesia dan
Malaysia di lima negara tujuan utama.
2. Menganalisis keunggulan kompetitif komoditas CPO Indonesia dan
Malaysia di lima negara tujuan utama.
3. Mengetahui rekomendasi dalam meningkatkan daya saing komoditas CPO
Indonesia.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada berbagai pihak,
antara lain:
1. Bagi penulis, untuk menambah wawasan dan pengetahuan serta sebagai
salah satu sarana penerapan ilmu-ilmu yang telah diperoleh selama
perkuliahan.
2. Bagi akademisi, sebagai bahan referensi dan sumber data bagi kepentingan
edukasi dalam penelitian selanjutnya.
3. Bagi pengambil kebijakan, instansi serta lembaga terkait lainnya diharapkan
dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan guna
14
mendukung daya saing ekspor minyak sawit Indonesia di pasar
internasional.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini fokus pada komoditas minyak sawit (CPO) berdasarkan kode
Harmonized System (HS). Untuk menganalisis daya saing CPO digunakan kode
HS 151110. Penelitian ini membahas mengenai daya saing CPO yang dimiliki
oleh Indonesia terhadap pesaing utamanya, yaitu Malaysia. Analisis dilakukan
dari tahun 2003-2017 dan data yang diolah adalah data nilai ekspor CPO dari dua
negara eksportir dunia yaitu Indonesia dan Malaysia di lima negara tujuan utama
ekspor CPO yaitu India, Singapura, Belanda, Italia, dan Spanyol, nilai ekspor
dunia ke lima negara tujuan utama, dan nilai impor CPO Indonesia dan Malaysia.
Penelitian ini diperkaya dengan fenomena terkini yang dialami oleh industri
CPO Indonesia baik secara nasional maupun internasional yang meliputi
tantangan baru dan problematika yang bergerak dinamis dalam pemenuhan
pasokan minyak nabati selain minyak kedelai, minyak bunga matahari, minyak
kelapa, dan minyak nabati lainnya.
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data deret waktu
(time series), cross section, data kualitatif dan kuantitatif. Penelitian ini dilakukan
dengan menganalisis keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif
komoditas CPO Indonesia dan Malaysia dengan menggunakan alat analisis
Revealed Comparative Advantages (RCA), Export Product Dynamic (EPD),
Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP).
15
Penelitian ini juga menggunakan Teori Porter’s Diamond untuk mengetahui
kondisi industri CPO Indonesia setelah ditemukan hasil analisis berdasarkan data
kulitatif untuk memperkuat hasil analisis keunggulan komparatif dan keunggulan
kompetitif yang diperoleh berdasarkan hasil perhitungan data kuantitatif.
16
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Agribisnis Kelapa Sawit
Bersadasarkan ilmu taksonomi, semua tumbuhan diklasifikasikan untuk
memudahkan dalam identifikasi secara ilmiah. Metode pemberian nama ilmiah ini
dikembangkan oleh Carolus Linnaeus. Klasifikasi kelapa sawit dapat dijelaskan
sebagai berikut:
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi: Angiospermae
Kelas : Liliopsida
Ordo : Arecales
Famili : Arecaceae
Genus : Elaeis
Species : 1. Elaeis guineensis Jacq
2. Elaeis oleifera (H.B.K) Cortes
3. Elaeis odora
Kelapa sawit dapat tumbuh dengan baik pada daerah beriklim tropis pada
ketinggian 0-500 meter di atas permukaan laut dan mampu mencapai ketinggian
sekitar 25 meter. Kelapa sawit membutuhkan tanah yang subur seperti tanah
latosol, ultisol, alluvial dengan drainase yang baik serta solum yang cukup kira-
kira 1 meter, dengan kelembapan 80-90 persen serta dengan curah hujan 2000-
2500 mm/tahun dengan suhu sekitar 22-32˚C (Anonim, 2014).
17
Tanaman kelapa sawit sudah mulai menghasilkan pada umur 24-30 bulan.
Bunga dan buahnya berupa tandan, bercabang banyak dengan ukuran buah kecil,
lebih masak berwarna merah kehitaman dan daging buahnya padat. Berat tandan
kelapa sawit berkisar 3-4 kg, setiap tandan dan ditumbuhi oleh buah, dengan berat
10-20 gram/butir yang duduk pada bulir. Setiap bulir terdiri dari 10-18 butir,
tergantung pada kesempurnaan penyerbukan. Beberapa bulir membentuk tandan
yang mana buah sawit dipanen dalam bentuk tandan dan disebut tandan buah
sawit. Berikut disajikan gambar tanaman kelapa sawit.
Gambar 3. Kelapa Sawit Sumber: Greenpeace (2018)
Pada era tahun 1980 hingga pertengahan 1990 kelapa sawit mengalami
pertumbuhan yang paling pesat dibandingkan subsektor perkebunan lainnya.
Perkembangan perkebunan kelapa sawit tidak lagi hanya sebatas usaha budidaya
kelapa sawit (on-farm) namun sudah berkembang dan lebih modern menjadi
sistem agribisnis. Kelapa sawit terdiri dari empat subsistem yang masing-masing
memiliki fungsi yang berbeda namun merupakan suatu orkestra ekonomi.
Pertama, subsistem hulu kelapa sawit merupakan penghasil barang-barang modal
bagi usaha perkebunan kelapa sawit yakni benih, pupuk, pestisida dan mesin
18
perkebunan. Kedua, subsistem usaha kelapa sawit yang menggunakan barang
modal tersebut untuk budidaya. Ketiga, subsistem hilir kelapa sawit yang
mengolah minyak sawit atau Crude Palm Oil (CPO) dan minyak inti sawit atau
Palm Kernel Oil (PKO) menjadi produk produk setengah jadi (semi-finish)
maupun produk jadi (finish-product). Keempat, subsistem penyedia jasa bagi
subsistem hulu hingga hilir kelapa sawit (Sipayung, 2015:5).
Pusat Penelitian Kelapa Sawit (2009) menyatakan bahwa produk hulu dari
kelapa sawit yaitu minyak sawit dan minyak inti sawit merupakan komoditas
ekspor non-migas andalan dari kelompok agroindustri. Hal ini dapat dilihat dari
kondisi; (1) Secara komparatif terdapat ketersediaan lahan yang dapat digunakan
untuk perluasan produksi, berbeda halnya dengan negara pesaing terberat
Indonesia, Malaysia yang luas areal produksinya telah mencapai titik jenuh, (2)
Secara kompetitif pesaing Indonesia hanya sedikit, (3) Kelapa sawit merupakan
tanaman perkebunan yang memiliki produktivitas tertinggi dibandingkan tanaman
perkebunan lainnya. Kontribusi minyak sawit terhadap ekspor nasional adalah
tertinggi dibandingkan ekspor hasil perkebunan lainnya, (4) Minyak sawit dan
minyak inti sawit dapat digunakan sebagai bahan baku industri. Berbagai manfaat
minyak sawit dan minyak inti sawit inilah yang mendorong tingginya permintaan
akan minyak sawit dan minyak inti sawit.
Minyak sawit digunakan sebagai bahan baku minyak goreng, margarin,
sabun, kosmetika, industri baja, kawat, radio, kulit dan industri farmsi. Minyak
sawit dapat digunakan untuk beragam peruntukkan karena keunggulan sifat yang
dimilikinya yaitu tahan oksidasi dengan tekanan tinggi, mampu melarutkan bahan
19
kimia yang tidak larut oleh bahan pelarut lainnya, mempunyai daya melapis yang
tinggi dan tidak menimbulkan iritasi pada tubuh dalam bidang kosmetik. Bagian
yang populer untuk diolah dari kelapa sawit adalah buah. Bagian daging buah
menghasilkan minyak kelapa sawit mentah yang diolah menjadi bahan baku
minyak goreng dan berbagai jenis turunannya. Minyak inti sawit menjadi bahan
baku minyak alkohol dan industri kosmetika. Berikut adalah pohon industri
kelapa sawit yang disajikan pada Gambar 4.
20
Gam
bar
4.
Po
ho
n I
ndust
ri K
ela
pa
Saw
it
Su
mb
er:
Kem
ente
ria
n P
erin
du
stri
an (
20
18
)
21
2.2 CPO (Crude Palm Oil)
Buah kelapa sawit merupakan buah yang kaya akan dengan minyak. Dalam
tandan buah sawit yang dipanen, terdiri dari kulit dan tandan 29 persen, biji atau
inti sawit 11 persen, dan daging buah 60 persen. Kelapa sawit mampu
menghasilkan dua jenis minyak dari buah yang sama (GAPKI, 2010:6). Hal ini
yang menjadi karakteristik unik dan unggul dari beberapa jenis tanaman penghasil
minyak lainnya.
Gambar 5. Crude Palm Oil (CPO) Sumber: Global Sources (2018)
Sejarah penggunaan minyak sawit menyebar ke berbagai negara karena
minyak sawit dikenal dan dipercaya masyarakat sebagai miyak yang aman.
Catatan arkeologi yang ditemukan di Abydos, Mesir, menunjukkan bahwa minyak
sawit telah digunakan sejak sekitar 5.000 tahun yang lalu. Proses pengolahan
daging buah sawit menghasilkan minyak sawit kasar (crude palm oil, CPO) dan
inti sawit yang berasal dari biji sawit akan menghasilkan minyak inti sawit kasar
(palm kernel oil, PKO) (GAPKI, 2009:5); sebagaimana terlihat pada Gambar 6.
22
Gambar 6. Proses Pengolahan Kelapa Sawit Menjadi CPO
Proses pengolahan kelapa sawit sampai menjadi minyak kelapa sawit (CPO)
terdiri dari beberapa tahapan yang dimulai dari:
a. Jembatan Timbang
Jembatan timbang adalah salah satu tahap awal dalam proses pembuatan
kelapa sawit menjadi CPO. Jembatan timbang bertujuan untuk mengetahui berat
kelapa sawit yang diangkut oleh mobil pengangkut dengan menghitung selisih
berat truk sebelum mengangkut kelapa sawit dengan berat truk setelah
mengangkut kelapa sawit.
b. Penyortiran Kelapa Sawit
Buah kelapa sawit yang masuk ke pabrik harus melewati tahap
pemeriksaan buah atau sortir buah, jenis buah yang masuk ke pabrik sawit pada
umumnya merupakan jenis tenera atau jenis dura. Kriteria matang panen
merupakan faktor yang sangat penting dalam pemeriksaan buah sawit di stasiun
penerimaan buah. Tingkat kematangan buah sawit mempengaruhi terhadap
23
rendamen minyak dan Asam Lemak Buah (ALB) atau Free Fatty Acid (FFA)
yang dapat dilihat pada Tabel 7 sebagai berikut:
Tabel 7. Tingkat Kematangan Buah Sawit
Sumber: Unknown (2018)
c. Proses Perebusan Buah Sawit (Sterilizer)
Proses perebusan minyak yang terbuang kurang lebih 0,8 persen. Dalam
melakukan proses perebusan diperlukan uap untuk memanaskan sterilizer yang
disalurkan dari boiler. Uap yang masuk ke sterilizer 2,7-3 kg/cm2, dengan suhu
140˚C dan direbus selama 90 menit. Proses perebusan bertujuan untuk
mengurangi peningkatan asam lemak bebas, mempermudah proses pelepasan
buah sawit pada threser, menurunkan kadar air buah sawit, dan melunakkan
daging buah sawit, sehingga daging buah sawit mudah lepas dari biji (nut).
d. Proses Penebah (Threser Process)
Pada proses penebah terdapat beberapa mesin yang memiliki fungsi
berbeda yaitu, (1) Hoisting Crane: untuk mengangkat lori buah dan menuangkan
isi lori buah sawit ke bunch feeder. Dimana lori yang diangkat berisi tandan buah
sawit yang sudah direbus, (2) Threser: untuk melepaskan buah sawit dari
janjangannya dengan cara mengangkat dan membantingnya serta mendorong
janjang kosong ke empty bunch conveyor, (3) Proses pengempanan: proses ini
dimulai dari pengambilan minyak dari buah kelapa sawit dengan jalan pelumatan
(di mesin digester) dan pengempanan (di mesin screw press sawit, (4) Pemurnian
Kematangan Buah Rendemen Minyak (%) Kadar ALB (%)
Mentah 13-17 1,6-2,8
Setengah Matang 18-24 1,7-3,3
Matang 25-31 1,8-4,4
Lewat Matang 27-31 3,8-6,1
24
Minyak (Clarification Station): setelah melewati proses screw press maka
didapatlah minyak kasar/ Crude Palm Oil. Kemudian CPO masuk ke stasiun
klarifikasi yang melewati proses Sand Trap Tank (Tangki Pemisah Pasir),
Vibrating Screen (Ayakan Getar) untuk memisahkan serabut-serabut (fiber),
Continuous Setting Tank (CST)/ Vertical Clarifier Tank (VCT) untuk
memisahkan minyak, air dan kotoran, Oil Tank sebagai tempat sementara minyak
sebelum diolah oleh Purifier, Oil Purifier (Pemurnian Minyak) untuk mengurangi
kadar air dalam minyak produksi, Vacuum Dryer, Sludge Tank (Tangki Lumpur),
Sand Cyclone untuk menangkap pasir yang terkandung dalam lumpur, Rotary
Brush Strainer (Saringan Berputar) untuk mengurangi serabut yang terdapat pada
lumpur, Sludge Separator untuk mengambil minyak yang masih terkandung
dalam lumpur dengan prinsip gaya sentrifugal, dan Storage Tank (Tangki Timbun
CPO) untuk penyimpanan sementara minyak produksi yang dihasilkan.
2.3 Ekspor
Produk barang maupun produk jasa yang dimiliki suatu negara atau
perseorangan memiliki peluang untuk diperdagangkan di pasar internasional
dengan tujuan memperoleh keuntungan, istilah ini sering disebut kegiatan ekspor.
Ekspor merupakan kegiatan menjual produk dari satu negara ke negara lain
melewati batas terluar wilayah kapabeanan suatu negara, dengan tujuan
mendapatkan devisa yang sangat dibutuhkan negara, menciptakan lapangan kerja
bagi pasar tenaga kerja domestik, mendapatkan pemasukan bea keluar dan pajak
lainnya, serta menjaga keseimbangan antara arus barang dan arus uang beredar di
dalam negeri (Budi, 2013: xii).
25
Berdasarkan Keputusan Menteri Perdagangan No. 07/M-DAG/PER/4/2005
tanggal 19 April 2005, secara definitif ekspor adalah kegiatan mengeluarkan
barang dari daerah pabean. Daerah pabean adalah wilayah Republik Indonesia
yang meliputi wilayah daratan, perairan, dan ruang udara di atasnya, serta tempat-
tempat tertentu di Zona Ekonomi Ekslusif dan Landasan Kontinen yang
didalamnya berlaku Undang-Undang No. 10 Tahun 1995 tentang Kapabeanan.
Menurut Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 145/PMK. 04/2007
tentang Ketentuan Pabean di Bidang Ekspor, maka secara definitif yang dimaksud
dengan:
a. Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan barang dari daerah pabean
b. Barang ekspor adalah barang yang dikeluarkan dari daerah pabean
c. Eksportir adalah orang perseorangan atau badan hukum yang melakukan
kegiatan mengeluarkan barang dari daerah pabean
d. Bea keluar adalah pungutan negara berdasarkan undang-undang kapabeanan
yang dikenakan terhadap barang ekpor.
e. Pemberitahuan pabean ekspor adalah pernyataan yang dibuat oleh orang
dalam rangka melaksanakan kewajiban kepabeanan di bidang ekspor dalam
bentuk tulisan di atas formulir atau data elektronik.
Sedangkan menurut Undang-Undang RI No. 10 Tahun 1995 tentang
Kepabeanan, dapat disampaikan beberapa contoh pemberitahuan pabean lainnya,
yang meliputi:
a. Pemberitahuan kedatangan sarana pengangkut, yakni kapal laut, pesawat
udara, dan angkutan darat seperti gerbong kereta api, truk, dan sejenisnya.
26
b. Pemberitahuan impor untuk dipakai (PIB) bagi barang-barang impor.
c. Pemberitahuan impor sementara.
d. Pemberitahuan pemindahan barang dari kawasan pabean ke tempat
penimbunan berikat.
e. Pemberitahuan pemindahan barang dari suatu kantor pabean ke kantor
pabean lain dalam daerah pabean.
f. Pemberitahuan ekspor barang.
Rangkaian atau mekanisme realisasi ekspor sejak awal sampai akhir dapat
disusun secara definitif bahwa: Manajemen ekspor adalah ilmu manajemen yang
fokus mengatur realisasi ekspor agar barang ekspor bisa dikapalkan tepat waktu
dan tepat administratif, agar eksportir bisa menerima uang hasil ekspor tepat
jumlah serta guna menghindari terjadinya unpaid serta berbagai resiko kerugian
lainnya bagi pihak ketiga.
2.4 Perdagangan Internasional
Perdagangan Internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh
penduduk suatu negara atas dasar kesepakatan bersama. Penduduk yang dimaksud
dapat berupa individu dengan individu, antara individu dengan pemerintah suatu
negara, atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain. Teori
perdagangan internasional pertama kali dikemukakan oleh David Ricardo tahun
1817, jika suatu negara dapat memproduksi barang atau jasa lebih murah, maka
negara tersebut akan memproduksi barang dan jasa tersebut dari pada membeli
dari negara lain, tetapi jika biaya produksi relatif lebih mahal bila dibandingkan
27
dengan ongkos produksi di negara-negara lainnya, maka barang atau jasa tersebut
dibeli atau mengimpor dari negara lain.
Pengertian perdagangan internasional adalah suatu proses yang timbul
sehubungan dengan pertukaran komoditas antar negara. Adam Smith dalam
Salvatore (1997:2) menyatakan bahwa perdagangan antara dua negara didasarkan
pada keuunggulan absolut (absolute advantage). Jika sebuah negara lebih efisien
dari pada (memiliki keunggulan absolut terhadap) negara lain dalam
memproduksi sebuah komoditi, namun kurang efisien dibanding (memiliki
kerugian absolut terhadap) negara lain dalam memproduksi komoditas lainnya,
maka kedua negara tersebut dapat melakukan spesialisasi dalam memproduksi
komoditas yang memiliki keunggulan absolut dan menukarnya dengan komoditas
lain yang memiliki kerugian absolut.
Teori mengenai timbulnya perdagangan internasional, Heckscher-Ohlin
dalam Salvatore (2012:118) menganggap bahwa negara dicirikan oleh faktor
bawaan yang berbeda, sedangkan fungsi produksi di semua negara adalah sama.
Penggunaan asumsi tersebut akan memperoleh kesimpulan bahwa dengan fungsi
produksi yang sama dan faktor bawaan yang berbeda antar negara, suatu negara
cenderung untuk mengekspor komoditas yang secara relatif intensif dalam
menggunakan faktor produksinya lebih banyak dan mengimpor barang-barang
yang menggunakan faktor-faktor produksi yang relatif langka dan intensif.
Menurut Nopirin (1999:7) teori perdagangan internasional menjelaskan
arah komposisi perdagangan antar beberapa negara serta efeknya terhadap struktur
perekonomian suatu negara. Perdagangan internasional adalah suatu proses
28
pertukaran barang (perdagangan) yang timbul antar negara untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat di negara-negara tersebut. Hal yang dapat mendorong
terjadinya perdagangan internasional diantaranya dikarenakan perbedaan
permintaan dan penawaran antar negara. Perbedaan ini terjadi karena: (1) tidak
semua negara memiliki dan mampu menghasilkan komoditi yang diperdagangkan,
karena faktor-faktor alam negara tersebut tidak mendukung, seperti letak
geografis serta kandungan buminya dan (2) perbedaan pada kemampuan suatu
negara dalam menyerap komoditi tertentu pada tingkat yang lebih efisien.
Secara teoritis, suatu negara (negara A) akan mengekspor suatu komoditi ke
negara lain (negara B) apabila harga domestik negara A (sebelum terjadi
perdagangan internasional) relatif lebih rendah dibandingkan dengan harga
domestik negara B. Stuktur harga yang terjadi di negara A lebih rendah karena
produksi domestiknya lebih besar daripada konsumsi domestiknya sehingga di
negara A telah terjadi excess supply (kelebihan produksi). Dengan demikian,
negara A mempunyai kesempatan menjual kelebihan produksinya ke negara lain.
Di sisi lain, negara B terjadi kekurangan supply karena konsumsi domestiknya
lebih besar daripada produksi domestiknya (excess demand) sehingga harga yang
terjadi di negara B lebih tinggi. Dalam hal ini negara B berkeinginan untuk
membeli suatu produk dari negara lain yang relatif lebih murah. Jika kemudian
terjadi konsumsi antara negara A dengan negara B, maka akan terjadi
perdagangan antara keduanya dengan harga yang diterima oleh kedua negara
adalah sama (Kementerian Perdagangan, 2011: 7).
29
Gambar 7. Kurva Perdagangan Internasional Sumber : Salvatore (1997)
2.5 Teori Daya Saing
Daya saing ekspor merupakan kemampuan suatu komoditi untuk memasuki
dan bertahan dalam pasar luar negeri. Suatu negara akan berusaha untuk
meningkatkan daya saing produk, barang dan jasa agar dapat masuk dan
mempertahankan produk di pasar internasional (Tambunan, 2003). Daya saing
dapat diidentikkan dengan produktivitas, yakni tingkat output yang dihasilkan
untuk setiap input yang digunakan. Peningkatan produktivitas ini dapat
disebabkan oleh peningkatan jumlah input fisik modal maupun tenaga kerja,
peningkatan kualitas input yang digunakan, dan peningkatan teknologi (total
factor productivity).
Menurut Organization for Economic Cooperation and Development (2014)
daya saing sebagai kemampuan suatu negara untuk menghasilkan barang dan jasa
yang berskala internasional melalui mekanisme perdagangan yang adil dan bebas,
sekaligus menjaga dan meningkatkan pendapatan riil masyarakat dalam jangka
panjang.
QA Q* QB
30
2.5.1 Teori Merkantilisme
Teori ini terjadi sekitar abad ke-16 sampai abad ke-18 di Inggris, Perancis,
Belanda, dan Spanyol. Penganut teori ini mengatakan bahwa satu-satunya cara
sebuah negara untuk menjadi kaya dan kuat adalah dengan memperbanyak ekspor
dan mengurangi impor. Kaum merkantilisme mengukur kekayaan dengan
cadangan logam mulia yang dimiliki. Sebaliknya, saat ini kekayaan sebuah negara
diukur dengan cadangan sumber daya manusia, hasil produksi manusia, serta
kekayaan alam yang tersedia untuk memproduksi barang dan jasa. Semakin besar
cadangan tersebut, maka semakin besar pula arus barang dan jasa untuk
memenuhi keinginan manusia dan dengan demikian akan semakin besar pula
standar hidup masyarakat negara tersebut (Salvatore, 1997: 23).
2.5.2 Teori Keunggulan Komparatif
Keunggulan komparatif yang dikemukakan oleh David Ricardo merupakan
perluasan dari teori keunggulan absolut Adam Smith, di mana keunggulan absolut
merupakan kasus khusus dari keunggulan komparatif (Griffin, 2006:76). Jika
masing-masing negara yang memiliki keunggulan komparatif dalam suatu
komoditi mengkhususkan berproduksi dalam komoditi tersebut, maka produksi
dunia akan mampu ditingkatkan sehingga akan memberikan peluang bagi setiap
negara untuk melakukan perdagangan serta memperoleh manfaat dari
perdagangan tersebut. Keunggulan komparatif itu sendiri timbul karena adanya
negara-negara yang mempunyai biaya dan kesempatan yang berbeda dalam
memproduksi barang atau komoditi tertentu.
31
Konsep daya saing berpijak dari konsep keunggulan komparatif yang
pertama kali dikenal dengan model Ricardian. Konsep keunggulan komparatif
(The Law of Comparative Advantage) yang dipopulerkan oleh Ricardo (1823)
dalam Salvatore (1997:3) menyatakan bahwa meskipun negara mempunyai
kerugian absolut terhadap negara lain dalam memproduksi suatu komoditi, namun
perdagangan yang menguntungkan kedua belah pihak masih dapat berlangsung.
Hal ini dapat terjadi jika salah satu negara melakukan spesialisasi dalam
memproduksi dan mengekspor komoditi yang memiliki kerugian absolut lebih
kecil (komoditi yang memiliki keunggulan komparatif) dan mengimpor yang
memiliki kerugian absolut lebih besar (yang memiliki kerugian komparatif).
Menurut Heberler (1936) dalam Salvatore (1997:18) Hukum keunggulan
komparatif berdasarkan teori biaya imbangan (Opportunity Cost Theory)
menerangkan biaya sebuah komoditi adalah jumlah komoditi kedua harus
dikorbankan untuk memperoleh sumber daya yang cukup untuk memproduksi
satu unit tambahan komoditi pertama. Konsekuensi dalam teori ini adalah negara
yang memiliki biaya opportunitas lebih rendah dalam memproduksi sebuah
komoditi akan memiliki keunggulan komparatif dalam komoditi tersebut dan
memiliki kerugian komparatif dalam komoditi kedua.
Menurut Porter (1993:105) faktor-faktor yang dapat membuat suatu negara
memiliki keunggulan komparatif dapat berupa kondisi alam, yakni sesuatu yang
sudah tersedia atau dikarenakan usaha-usaha manusia. Selain itu, keunggulan
suatu negara bergantung pada perusahaan-perusahaan didalam negara tersebut
32
untuk berkompetisi dalam menghasilkan produk yang dapat bersaing di pasar,
khususnya di pasar internasional.
2.5.3 Teori Keunggulan Kompetitif
Keunggulan kompetitif adalah keunggulan yang harus dimiliki suatu negara
agar mampu bersaing di pasar internasional. Menurut Porter (1996:49-50), konsep
keunggulan kompetitif yaitu suatu bangsa atau negara yang memiliki competitive
advantage of nation dapat bersaing di pasar internasional jika memiliki empat
faktor utama yaitu kondisi faktor (factor condition), kondisi permintaan (demand
condition), industri terkait dan industri pendukung yang kompetitif (related and
supporting industry) serta kondisi struktur, persaingan dan strategi industri (firm
strategy, structure and rivalry). Selain keempat faktor utama di atas, terdapat dua
faktor yang mempengaruhi interaksi antara ke empat faktor tersebut yaitu faktor
kesempatan (chance event) dan faktor pemerintah (government). Secara bersama-
sama faktor-faktor ini membentuk sistem dalam peningkatan keunggulan daya
saing yang disebut Porter’s Diamond Theory.
Berikut ini merupakan penjelasan lebih lanjut mengenai Porter’s Diamond
Theory :
1. Kondisi Faktor (Factor Condition)
Kondisi faktor merupakan suatu gambaran faktor sumberdaya yang dimiliki
suatu negara yang berkaitan dengan proses produksi suatu industri. Peran faktor
sumberdaya sangat penting dalam proses industri, karena faktor sumberdaya
merupakan modal utama dalam membangun keunggulan kompetitif suatu industri.
33
Menurut Porter, 1990 dalam Cho dan Moon (2003:55), faktor sumber daya
diklasifikasikan menjadi lima kelompok yaitu : sumberdaya alam, sumberdaya
manusia, ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), modal, dan infrastruktur.
Kelima kelompok tersebut akan menggambarkan keunggulan yang dimiliki oleh
suatu negara dan segala potensi yang dapat dikembangkan oleh negara tersebut.
2. Kondisi Permintaan (Demand Condition)
Kondisi permintaan merupakan faktor penting yang mempengaruhi posisi
daya saing nasional. Faktor ini dapat dirinci menjadi komposisi pasar domestik,
ukuran dan pola pertumbuhan pasar domestik, pertumbuhan pasar domestik yang
cepat dan trend permintaan di kancah internasional. Tingkat pertumbuhan
permintaan negara asal dapat lebih penting bagi keunggulan kompetitif dari pada
ukuran absolutnya.
3. Industri Terkait dan Industri Pendukung
Keberadaan industri terkain dan pendukung yaitu keberadaan industri
pemasok atau industri pendukung yang mampu bersaing secara internasional.
Faktor ini menggambarkan hubungan dan dukungan antar industri dimana ketika
suatu perusahaan memiliki keunggulan kompetitif maka industri-industri
pendukungnya juga akan memiliki keunggulan kompetitif.
4. Persaingan, Struktur dan Strategi Perusahaan (Firm Strategy, Structure, and
Rivalry)
Persaingan dalam negeri mendorong perusahaan untuk mengembangkan
produk baru, memperbaiki produk yang telah ada, menurunkan harga dan biaya,
mengembangkan teknologi baru, dan memperbaiki mutu serta pelayanan.
34
Akhirnya, persaingan di dalam negeri yang kuat akan mendorong perusahaan
untuk mencari pasar internasional.
Penentu akhir dari kemampuan bersaing sebuah negara mencerminkan
konteks dimana perusahaan diciptakan, diorganisir, dan dikelola. Faktor ini
diperlukan untuk menjaga dan memelihara keunggulan daya saing, terjadi melalui
kontak dan koordinasi yang baik dengan pemasok, dan keterkaitan produksi antar
industri, serta spesialisasi berdasarkan distribusi kerja internasional.
5. Peran Pemerintah (Government)
Peran pemerintah merupakan faktor yang menentukan posisi daya saing
industri. Melalui kebijakan fiskal dan kebijakan moneter yang dapat
mempengaruhi permintaan secara tidak langsung, sedangkan peran pemerintah
secara langsung dengan bertindak sebagai pembeli produk dan jasa.
6. Peran Kesempatan (Chance Event)
Kesempatan memainkan peranan dalam membentuk lingkungan bersaing
karena peluang merupakan peristiwa yang terjadi diluar kendali perusahaan,
industri dan pemerintah. Peran kesempatan merupakan suatu hal yang bersifat
kecelakaan (accidental), sehingga dalam kenyataan peran kesempatan bisa terjadi
atau tidak terjadi. Peran kesempatan bisa menguntungkan atau merugikan para
pelaku usaha.
2.5.4 Teori Keunggulan Absolut
Pada teori ini diungkapkan bahwa sebuah negara akan melakukan
perdagangan secara sukarela jika keduanya memperoleh keuntungan. Adam Smith
35
berpendapat bahwa perdagangan antar dua negara didasarkan keunggulan absolut
yaitu keunggulan negara dalam memproduksi sebuah komoditi namun kurang
efisien dibanding negara lain dalam memproduksi komoditi lainnya, maka negara
tersebut dapat memperoleh keuntungan dengan cara masing-masing melakukan
spesialisasi dalam memproduksi komoditi yang memiliki keunggulan absolut dan
menukarkannya dengan komoditi lain yang memiliki kerugian absolut. Melalui
proses ini, sumber daya di kedua negara dapat digunakan dalam cara yang efisien.
Adam Smith percaya bahwa semua negara dapat memperoleh keuntungan
dari perdagangan dan dengan tegas menyarankan untuk menjalankan kebijakan
yang dinamakan laissez-faire, yaitu suatu kebijakan yang menyarankan sesedikit
mungkin intervensi pemerintah terhadap perekonomian. Melalui perdagangan,
sumber daya manusia dapat didayagunakan secara efisien dan dapat
memaksimumkan kesejahteraan dunia. Dalam laissez-faire terdapat pengecualian
yang paling penting adalah proteksi terhadap berbagai industri penting sebagai
pertahanan negara (Salvatore, 1997: 25).
2.5.5 Teori Heckscher-Ohlin
Teori H-O menyatakan bahwa sebuah negara akan mengekspor komoditi
yang produksinya lebih banyak menyerap faktor produksi yang relatif melimpah
dan murah di negara tersebut, dan dalam waktu bersamaan negara tersebut akan
mengimpor komoditi yang produksinya memerlukan sumber daya yang relatif
langka dan mahal di negara tersebut. Model H-O sering disebut sebagai teori
kelimpahan faktor. Teori tersebut menyatakan bahwa setiap negara akan
melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor komoditi yang tersedia di
36
negara itu dalam jumlah banyak dan berharga relatif murah, serta mengimpor
komoditi yang banyak menyerap faktor produksi yang di negara tersebut relatif
langka dan mahal (Salvatore, 1997: 129).
2.6 Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu digunakan oleh peneliti sebagai bahan kajian dan
referensi untuk melakukan penelitian mengenai daya saing CPO Indonesia di
pasar internasional. Sumber penelitian terdahulu yang digunakan dalam penelitian
meliputi jurnal ilmiah yang dikeluarkan oleh pemerintah dan skripsi yang sesuai
dengan penelitian daya saing CPO maupun skripsi dengan metode yang sama.
Tabel 8. Penelitian Terdahulu
No Penelitian Terdahulu
1 Nama dan
Sumber
Ai Aisha Safitri (2018), Skripsi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Program Studi Agribisnis, FST
Judul Analisis Daya Saing Teh Indonesia di Pasar Internasional
Tujuan Menganalisis struktur pasar, keunggulan komparatif,
keunggulan kompetitif, dan mengetahui posisi perdagangan
komoditas teh Indonesia dalam perdagangan internasional.
Metode 1. Concentration Ratio (CR) dan Herfindahl Index (HI)
2. Revealed Comparative Advantage (RCA)
3. Export Product Dynamic (EPD)
4. Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP)
Persamaan Metode analisis yang digunakan adalah RCA, EPD, dan ISP
untuk mengukur keunggulan komparatif dan kompetitif dan
tingkat daya saing suatu komoditas.
Perbedaan Penelitian ini menambahkan metode analisis Porter’s
Diamond untuk mengetahui kondisi industri suatu negara
pada komoditas CPO. Sedangkan, penelitian Ai (2018)
menggunakan metode Concentration Ratio (CR) dan
Herfindahl Index (HI) untuk mengukur tingkat konsentrasi
dalam sebuah industri,
37
Tabel 8. Penelitian Terdahulu (Lanjutan)
No Penelitian Terdahulu
2 Nama dan
Sumber
Dewi Susilawati (2017), Skripsi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Program Studi Agribisnis, FST
Judul Analisis Daya Saing dan Faktor-Faktor yang mempengaruhi
Volume Ekspor Lada Indonesia di Pasar Internasional.
Tujuan Mengetahui daya saing lada Indonesia secara komparatif dan
kompetitif, serta mengidentifikasi dan menganalisis faktor-
faktor yang mempengaruhi volume lada Indonesia di pasar
internasional.
Metode 1. Revealed Comparative Advantage (RCA)
2. Export Product Dynamic (EPD)
3. Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP)
4. Gravity Model
Persamaan Metode analisis yang digunakan adalah RCA, EPD, dan ISP
untuk mengukur keunggulan komparatif dan kompetitif dan
tingkat daya saing suatu komoditas.
Perbedaan Penelitian ini menambahkan metode analisis Porter’s
Diamond untuk mengetahui kondisi industri suatu negara
pada komoditas CPO. Sedangkan, penelitian Dewi (2017)
menggunakan metode Gravity Model untuk mengukur
volume ekspor yang dipengaruhi oleh variabel-variabel yang
berhubungan dengan perdagangan internasional.
3 Nama dan
Sumber
Eko Agus Nurhadi (2015), Skripsi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Program Studi Agribisnis, FST
Judul Analisis Daya Saing Minyak Sawit (CPO) Indonesia
Tujuan Menganalisis struktur pasar, dan menganalisis keunggulan
komparatif dan keunggulan kompetitif industri CPO
Indonesia.
Metode 1. Revealed Comparative Advantage (RCA)
2. Revealed Symmetric Comparative Advantage (RSCA)
3. Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP)
4. Porter’s Diamond
5. Concentration Ratio (CR)
6. Herfindahl Index (HI)
Persamaan Menganalisis daya saing minyak sawit (CPO) dengan
menggunakan metode analisis RCA, ISP, dan Porter’s
Diamond
Perbedaan Penelitian ini menambahkan metode analisis EPD untuk
mengetahui keunggulan kompetitif dengan mengukur posisi
pasar suatu negara di negara tujuan ekspornya dan mengukur
dinamis atau tidaknya suatu produk. Sedangkan penelitian
Eko (2015) menggunakan metode RSCA, HI, dan CR untuk
mengetahui keunggulan kompatarif dan konsentrasi pasar.
38
2.7 Kerangka Pemikiran
Crude Palm Oil (CPO) bagi Indonesia merupakan salah satu komoditas
yang dianggap penting dalam pertumbuhan ekonomi nasional. Komoditas
subsektor perkebunan ini memiliki peran strategis sehingga menjadi sektor
unggulan Indonesia. Hal tersebut dikarenakan industri CPO mampu berkontribusi
besar sebagai penghasil devisa negara terbesar non-migas dengan nilai 300 triliun
rupiah (29,5 persen) dari jumlah Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 1,016
triliun rupiah pada tahun 2017 (GAPKI, 2018), penyedia lapangan kerja, dan
membantu pemerataan pembangunan daerah. Pertambahan luas lahan guna
meningkatkan produksi dipacu oleh peningkatan kebutuhan energi terbarukan
baik secara nasional maupun dunia sehingga mendorong pemerintah untuk terus
meningkatkan persediaan CPO untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan
dunia. Adanya persaingan global serta trade war dalam bentuk kebijakan dan
black campaign yang mendiskriminasi sawit Indonesia, memicu pemerintah dan
para pelaku industri sawit nasional untuk terus berupaya mengembangkan
regulasi, memperluas hubungan bilateral dan multilateral dengan negara-negara
internasional dan meningkatkan industri minyak sawit dengan memperluas
hilirisasi produk.
Penelitian ini menggunakan analisis kuantitatif yaitu Revealed Comparative
Advantage (RCA). Analisis RCA digunakan untuk menjelaskan kekuatan daya
saing komoditas CPO Indonesia secara relatif terhadap produk sejenis dari negara
lain yang juga menggunakan posisi komparatif Indonesia sebagai produsen CPO
dibandingkan dengan negara lainnya dalam pasar CPO internasional.
39
Penelitian ini juga menggunakan teori Porter’s Diamond untuk
menganalisis secara deskriptif faktor-faktor yang menjadi kendala pertumbuhan
industri minyak sawit Indonesia. Analisis Export Product Dynamic (EPD) yang
digunakan untuk mengukur posisi pasar suatu negara di negara tujuan ekspornya
dan mengukur dinamis atau tidaknya suatu produk di pasar. Analisis Indeks
Spesialisasi Perdagangan (ISP) digunakan untuk menilai kecenderungan suatu
jenis produk di sebuah negara menjadi eksportir atau importir. Indeks ini dapat
menjelaskan secara kompetitif sebuah produk yang ada di suatu negara.
40
Gambar 8. Kerangka Pemikiran
Masalah yang dihadapi Indonesia:
Internal
a. ISPO minim pengakuan dari dunia
internasional
b. Moratorium CPO
c. Tumpang tindih lahan petani dengan
perusahaan (legalitas lahan)
d. Rendahnya kompetensi petani dan minimnya
modal bagi petani.
Eksternal
a. Kebijakan UE dalam Renewable Energy
Directive (RED)
b. India tingkatkan tarif bea masuk CPO sebesar
44 persen
c. Malaysia sebagai pesaing utama dalam
merebut pasar internasional
d. Perang Dagang antar negara produsen minyak
nabati selain CPO
Kekuatan dan Peluang CPO
Indonesia:
1. Indonesia sebagai negara
produsen CPO terbesar di
dunia
2. Luas lahan Kelapa Sawit
meningkat dari tahun 2003-
2017 dengan rata-rata 6,8
persen
3. Produksi CPO meningkat
dari tahun 2003-2017
dengan rata-rata 9,5 persen
4. Kebutuhan minyak nabati
dunia untuk bahan bakar
terbarukan (biofuel)
meningkat
Analisis Daya Saing Crude Palm Oil (CPO)
Indonesia Di Pasar Internasional
Analisis Keunggulan
Komparatif CPO Indonesia
dan Malaysia
Hasil dan Interpretasi
Daya saing Crude Palm Oil (CPO) Indonesia di
pasar internasional
Rekomendasi
Analisis Revealed
Comparative Advantage
(RCA)
Analisis Keunggulan
Kompetitif CPO Indonesia
dan Malaysia
1. Analisis Export Product
Dynamic (EPD),
2. Analisis Indeks
Spesialisasi Perdagangan
(ISP)
3. Teori Berlian Porter
(Porter’s Diamond)
41
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Indonesia berdasarkan tujuan
penelitian, yaitu menganalisis daya saing CPO Indonesia di pasar internasional.
Penelitian ini merupakan studi kasus dengan pengambilan data pada beberapa
lembaga diantaranya; Badan Pusat Statistik (BPS), Gabungan Pengusaha Kelapa
Sawit Indonesia (GAPKI), Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian
Pertanian, Kementerian Perindustrian, serta mengakses website yang berkaitan
dengan judul penelitian yang terdiri dari UN Comtrade. Penelitian ini berlangsung
pada bulan Desember 2018 – Juni 2019.
3.2 Jenis dan Sumber Data
Jenis dan sumber data yang digunakan pada penelitian ini merupakan data
kualitatif dan data kuantitatif. Data primer merupakan sumber data yang langsung
memberikan data kepada pengumpul data (Sugiyono, 1999:129). Data primer
diperlukan untuk mengetahui perkembangan dan fenomena ter-update terhadap
industri minyak sawit (CPO) Indonesia.
Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari pihak lain bukan
diusahakan sendiri dalam pengumpulannya (Supranto, 2012:21). Data sekunder
menggunakan bahan yang bukan dari sumber pertama sebagai sarana untuk
memperoleh data atau informasi untuk menjawab masalah yang diteliti. Jenis data
yang digunakan adalah data luas lahan, produksi, harga, produktivitas kelapa
42
sawit, ekspor-impor CPO, dan gambaran umum CPO. Selain itu sumber data yang
menunjang penelitian ini diperoleh dari buku-buku literatur, jurnal, dan internet
yang di kumpulkan dari berbagai sumber website seperti UN Comtrade, Badan
Pusat Statistik (BPS), Direktorat Jendral Perkebunan Kementerian Pertanian,
Kementerian Perindustrian, Food and Agriculture Organization (FAO), dan
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI).
Tabel 9. Jenis dan Sumber Data Penelitian
No Sumber
Data
Lembaga Penyedia
Data Jenis Data
1 Primer Narasumber :
1. Yanuar (Ditjen
Perkebunan)
2. Iqbal Karana
(Industri Agro)
3. Togar Sitanggang
(GAPKI)
4. Tofan Mahdi
(ISPO)
Permasalahan industri minyak
sawit (CPO) Indonesia
Tantangan Industri minyak
sawit (CPO) Indonesia
Peluang industri minyak sawit
(CPO) Indonesia
Harga CPO Indonesia
Kebijakan, program, dan
strategi industri minyak sawit
(CPO) Indonesia
2 Sekunder BPS
Ditjend Perkebunan
Kementerian Pertanian
Kementerian
Perindustrian
Luas lahan perkebunan kelapa
sawit Indonesia (Ha)
Produksi CPO Indonesia (Ton)
Produktivitas CPO Indonesia
(%)
3 Sekunder UN Comtrade
Nilai ekspor CPO Indonesia
dan Malaysia ke negara
importir
Nilai ekspor CPO dunia ke
negara importir
Total nilai ekspor CPO
Indonesia dan Malaysia ke
negara importir
Total nilai ekspor CPO dunia
ke negara importir
Nilai impor CPO Indonesia dan
Malaysia dari negara importir
43
3.3 Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan data sekunder dengan data-data kurun waktu
(time series) skala tahunan. Data sekunder yang digunakan adalah data kurun
waktu dari tahun 2003-2017. Deret waktu adalah rangkaian data yang berupa nilai
pengamatan yang diukur selama kurun waktu tertentu, berdasarkan waktu dengan
interval yang uniform sama. Analisis deret waktu merupakan metode yang
mempelajari deret waktu, baik dari segi teori yang menaunginya maupun untuk
membuat peramalan (prediksi).
Metode yang digunakan dalam pengumpulan data dan informasi lainnya
yang menjadi pendukung dalam penelitian ini adalah:
1. Studi Literatur
Studi literatur adalah kegiatan yang meliputi mencari literatur, melokalisasi,
dan menganalisis dokumen yang berhubungan dengan masalah yang akan diteliti.
Dokumen bisa berupa teori-teori dan bisa pula hasil penelitian yang telah
dilakukan mengenai permasalahan yang akan diteliti (Sangadji, 2010). Menurut
Sarwono, Jonathan (2006) tujuan utama melakukan studi literatur ialah; (1)
Menemukan variabel-variabel yang akan diteliti, (2) Membedakan hal-hal yang
sudah dilakukan dan menentukan hal-hal yang perlu dilakukan, (3) Melakukan
sintesa dan memperoleh perspektif baru, (4) Menentukan makna dan hubungan
antar variabel.
2. Penelitian Internet (Internet Research)
Penelitian Internet (Internet Research) adalah kegiatan penggunaan internet
untuk penelitian, sebagai bahan penunjang suatu penelitian. Penelitian
44
menggunakan internet bertujuan untuk memperoleh data dan informasi terkini
setiap saat.
3. Wawancara (Interview)
Menurut Supranto (2012), wawancara ialah proses tanya jawab yang telah
tersistematis untuk memperoleh data atau informasi dari narasumber. Wawancara
yang baik ialah suatu wawancara yang menghasilkan banyak informasi dalam
waktu yang relatif singkat. Berdasarkan Supranto (2012) mengenai metode
wawancara, maka penelitian ini mewawancarai empat narasumber sebagaimana
tercantum pada Tabel 9, dengan menggunakan panduan wawancara yang
terlampir pada Lampiran 1.
3.4 Metode Analisis Data
Metode analisis data pada penelitian ini dilakukan secara kuantitatif dan
kualitatif. Daya saing secara kuantitatif dianalisis menggunakan Revealed
Comparative Adventage (RCA) untuk mengetahui daya saing CPO secara
komparatif, Export Product Dynamic (EPD) dan Indeks Spesialisasi Perdagangan
(ISP), untuk mengetahui daya saing CPO secara kompetitif yang diolah dengan
menggunakan software Microsoft Excel. Sedangkan analisis secara kualitatif
dilakukan dengan menganalisis situasi dan kondisi faktor strategis dalam
menghadapi persaingan di pasar internasional. Analisis daya saing secara
kualitatif dilakukan dengan menggunakan Teori Berlian Porter (Porter’s
Diamond).
45
3.4.1 Revealed Comparative Adventage (RCA)
Analisis Revealed Comparative Adventage (RCA) merupakan salah satu
metode analisis untuk mengukur kekuatan daya saing secara komparatif. Konsep
RCA pertama kali diperkenalkan oleh Balassa pada tahun 1965 yang
membandingkan kinerja ekspor relatif. Penggunaan indeks RCA bertujuan untuk
mengetahui posisi keunggulan bersaing dari komoditas CPO Indonesia di pasar
internasional dibanding dengan negara produsen lainnya. Selain itu, indeks ini
juga dapat mengukur daya saing industri suatu negara, apakah industri tersebut
cukup tangguh di pasar internasional atau tidak dapat diketahui secara kuantitatif
dengan menggunakan indeks ini. Pada metode RCA, variabel yang diukur
meliputi kinerja ekspor suatu produk pada wilayah terhadap total ekspor wilayah
tersebut yang kemudian dibandingkan dengan pangsa nilai produk dalam
perdagangan dunia. Adapun rumus RCA adalah sebagai berikut (Basri dan
Munandar, 2010:42):
𝑹𝑪𝑨 =𝐗𝐢𝐤/𝐗𝐢𝐦
𝐗𝐰𝐤/𝐗𝐰𝐦
Keterangan
RCA : Keunggulan komparatif Indonesia
Xik : Nilai ekspor CPO Indonesia ke negara tujuan tahun 2003-2017
Xim : Nilai ekspor Indonesia ke negara tujuan tahun 2003-2017
Xwk : Nilai ekspor CPO dunia ke negara tujuan tahun 2003-2017
Xwm : Nilai ekspor dunia ke negara tujuan tahun 2003-2017
Nilai daya saing dari suatu komoditi ada dua kemungkinan, yaitu:
1. Jika nilai RCA > 1, maka Indonesia memiliki keunggulan komparatif di atas
rata-rata dunia sehingga komoditi tersebut memiliki daya saing yang kuat.
46
2. Jika nilai RCA < 1, maka Indonesia memiliki keunggulan komparatif di
bawah rata-rata dunia sehingga suatu komoditi memiliki daya saing yang
lemah.
Kelemahan metode ini adalah 1) campur tangan pemerintah dan berbagai
macam distorsi pasar cenderung akan membuat nisbah ekspor-impor menjadi bias
untuk mengukur tingkat keunggulan komparatif suatu komoditas, 2) pengukuran
keunggulan komparatif dengan nisbah ekspor-impor memang bisa
menggambarkan pola perdagangan yang ada, namun tidak mampu mencerminkan
apakah pola tersebut merupakan yang optimal (Basri dan Munandar, 2010:41-42).
3.4.2 Export Product Dynamic (EPD)
Export Product Dynamic (EPD) adalah salah satu metode analisis yang
digunakan untuk mengukur posisi pasar suatu negara di negara tujuan ekspornya
dan mengukur dinamis atau tidaknya suatu produk di pasar menggunakan empat
kuadran yang terdiri dari Rising Star, Falling Star, Lost Opportunity, dan Retreat.
Posisi pasar tersebut dapat diketahui dengan menggunakan share export total (X)
dan share export commodity (Y) yang dapat dilihat pada Gambar 9.
Posisi pasar ideal adalah yang mempunyai pangsa pasar tertinggi pada
ekspornya sebagai “Rising star”, yang menunjukkan bahwa negara tersebut
memperoleh tambahan pangsa pasar pada produk mereka yang bertumbuh cepat.
“Lost Opportunity”, terkait dengan penurunan pangsa pasar pada produk-produk
yang dinamis, adalah yang posisi yang paling tidak diinginkan. “Falling Star”
juga tidak disukai, meskipun masih lebih baik jika dibandingkan dengan “Lost
47
Opportunity”, karena pangsa pasarnya tetap meningkat. Sementara itu, “Retreat”
biasanya tidak diinginkan, tetapi pada kasus tertentu ‘mungkin’ diinginkan jika
pergerakannya menjauhi produk-produk yang stagnan dan menuju produk-produk
yang dinamik (Bappenas, 2009).
Gambar 9. Kuadran Posisi Daya saing dengan metode EPD Sumber: Bappenas, 2009
Adapun perhitungan Export Product Dynamic (EPD) secara sistematis
dapat dilakukan dengan menggunakan rumus adalah sebagai berikut (Ningsih,
2013:14):
Pangsa Pasar Indonesia (Sumbu X)
∑ 𝟏 (𝑿𝒊𝒋
𝑾𝒊𝒋) 𝒕 × 𝟏𝟎𝟎% − ∑ 𝟏 (
𝑿𝒊𝒋
𝑾𝒊𝒋) 𝒕 − 𝟏 × 𝟏𝟎𝟎%
𝒕
𝒕
𝒕
𝒕
T
Pangsa Pasar Produk (Sumbu Y)
∑ 𝟏 (𝑿𝒕
𝑾𝒕) 𝒕 × 𝟏𝟎𝟎% − ∑ 𝟏 (
𝑿𝒕
𝑾𝒕) 𝒕 − 𝟏 × 𝟏𝟎𝟎%
𝒕
𝒕
𝒕
𝒕
T
Lost Opportunity Rising Star
Falling Star Retreat
+ +
+
+
- -
-
-
Y
X
48
Keterangan :
Xij : Nilai ekspor CPO Indonesia ke negara tujuan tahun 2003-2017 (ton)
Xt : Nilai total ekspor Indonesia ke negara tujuan tahun 2003-2017 (ton)
Wij : Nilai ekspor CPO dunia ke negara tujuan tahun 2003-2017 (ton)
Wt : Nilai total ekspor dunia ke negara tujuan tahun 2003-2017 (ton)
t : Tahun analisis
t-1 : Tahun analisis sebelumnya
T : Total tahun analisis
3.4.3 Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP)
Indeks Spesialisasi Perdagangan digunakan untuk menganalisis posisi atau
tahapan suatu komoditas. ISP dapat menggambarkan apakah posisi Indonesia
cenderung menjadi negara eksportir atau importir komoditas CPO. Secara umum
perhitungan ISP dapat digunakan dengan rumus sebagai berikut (Kementerian
Perdagangan, 2014):
𝑰𝑺𝑷 = 𝑿𝒊𝒂 − 𝑴𝒊𝒂
𝑿𝒊𝒂 + 𝑴𝒊𝒂
Keterangan:
Xia : Nilai ekspor komoditas CPO Indonesia (ton)
Mia : Nilai Impor komoditas CPO Indonesia (ton)
i : Komoditas CPO (ton)
a : Negara-negara atau seluruh dunia (ton)
Nilai indeks ini mempunyai kisaran antara -1 sampai dengan +1. Jika nilai
ISP positif diatas 0 sampai 1 (0<ISP≤1), maka negara yang bersangkutan
cenderung sebagai pengekspor dari komoditi tersebut (suplai domestik lebih besar
daripada permintaan domestik). Sebaliknya, jika nilai ISP negatif dibawah 0
hingga -1 (-1<ISP<0), maka negara tersebut cenderung sebagai negara importir.
Apabila nilai ISP mengalami peningkatan maka daya saing juga akan mengalami
49
peningkatan, dan sebaliknya, apabila nilai ISP mengalami penurunan maka daya
saing juga akan menurun.
Selain itu, Indeks Spesialisasi Perdagangan tersebut juga dapat digunakan
untuk mengidentifikasi tingkat pertumbuhan suatu komoditi dalam perdagangan,
menurut Kementerian Perdagangan (2014), hal tersebut dibagi menjadi 5 tahap,
yaitu sebagai berikut:
1. Tahap pengenalan
Ketika suatu industri (forerunner) disuatu negara A mengekspor produk-
produk baru dan industri pendatang belakangan (latecomer) di negara B impor
produk-produk tersebut. Dalam tahap ini, nilai indeks ISP dari industri latecomer
ini adalah -1,00 sampai -0,50.
2. Tahap substitusi impor
Nilai indeks ISP naik antara -0,50 sampai 0,00. Pada tahap ini, industri di
negara B menunjukkan daya saing yang sangat rendah, dikarenakan tingkat
produksinya tidak cukup tinggi untuk mencapai skala ekonominya. Industri
tersebut mengekspor produk-produk dengan kualitas yang kurang bagus dan
produksi dalam negeri masih lebih kecil daripada permintaan dalam negeri.
3. Tahap pertumbuhan
Nilai indeks ISP naik antara 0,01 sampai 0,80 dan industri di negara B
melakukan produksi dalam skala besar dan mulai meningkatkan ekspornya. Di
pasar domestik, penawaran untuk komoditi tersebut lebih besar dari pada
permintaan.
50
4. Tahap kematangan
Nilai indeks ISP berada pada kisaran 0,81 sampai 1,00. Pada tahap ini
produk yang bersangkutan sudah pada tahap standardisasi menyangkut teknologi
yang dikandungnya. Pada tahap ini negara B merupakan negara eksportir.
5. Tahap kembali mengimpor
Nilai indeks ISP kembali menurun antara 1,00 sampai 0,00. Pada tahap ini
industri di negara B kalah bersaing dipasar domestiknya dengan industri dari
negara A, dan produksi dalam negeri lebih sedikit dari permintaan dalam negeri.
3.4.4 Teori Berlian Porter (Porter’s Diamond)
Analisis Porter’s Diamond digunakan untuk mengetahui situasi dan kondisi
dari setiap atribut yang ada. Sebelum melakukan analisis, dilakukan pengumpulan
semua informasi yang berkaitan dengan industri CPO di Indonesia dengan cara
studi literatur dari berbagai sumber, wawancara khusus (elite interviewing)
dengan kelompok elit tertentu dalam dunia perkelapasawitan di Indonesia.
Menurut Porter (1990) analisis komponen Teori Berlian Porter meliputi hal-
hal berikut:
1. Kondisi Faktor Sumberdaya, berupa analisis sumberdaya fisik atau alam,
sumberdaya manusia, sumberdaya ilmu pengetahuan dan teknologi,
sumberdaya modal, dan sumberdaya infrastruktur.
2. Kondisi Permintaan, berupa analisis komposisi permintaan domestik,
jumlah permintaan dan pola pertumbuhan.
51
3. Industri Terkait dan Industri Pendukung, berupa analisis industri hulu dan
industri hilir.
4. Struktur, Persaingan, Strategi Perusahaan, berupa analisis struktur pasar,
tingkat persaingan, dan strategi industri.
5. Peran Pemerintah, berupa analisis terhadap kebijakan yang dikeluarkan,
penetapan standar produk nasional, dan berbagai kebijakan terkait lainnya.
6. Peran Kesempatan, berupa analisis faktor yang berada di luar kendali
industri atau pemerintah.
Gambar 10. The Complete System of National Competitive Advantage Sumber: Porter (1990).
Keterangan: Garis menunjukkan keterkaitan antara komponen utama yang saling mendukung
Garis menunjukkan keterkaitan antara komponen penunjang yang mendukung komponen
utama
Persaingan, Struktur,
dan Strategi Perusahaan
1. Persaingan Domestik
2. Struktur dan Strategi
Perusahaan
Kondisi Permintaan
Domestik
1. Komposisi
Permintaan Domestik
2. Besar dan pola
Pertumbuhan
permintaan domestik
Kondisi Faktor
Sumberdaya
1. Sumberdaya Alam
2. Sumberdaya
Manusia
3. Sumberdaya IPTEK
4. Sumberdaya Modal
5. Sumberdaya
Infrastruktur
Industri Terkait
dan Pendukung
1. Industri pemasok
2. Industri terkait
Peran
Kesempatan
Peran
Pemerintah
52
Melalui Porter’s Diamond System dapat dilihat bagaimana keterkaitan antar
komponen, sehingga akan tampak komponen-komponen yang saling mendukung
atau tidak saling mendukung. Daya saing dalam sistem Berlian Porter dikatakan
kuat apabila banyak keterkaitan antar komponen yang saling mendukung,
sementara daya saing dikatakan lemah apabila banyak keterkaitan antar komponen
yang tidak saling mendukung (Porter, 1990). Hasil keseluruhan interaksi antar
komponen yang saling mendukung sangat menentukan perkembangan yang dapat
menjadi competitive advantage dari suatu industri.
53
BAB IV
GAMBARAN UMUM
4.1 Agribisnis Minyak Kelapa Sawit
Agribisnis kelapa sawit merupakan salah satu langkah yang diperlukan
sebagai kegiatan pembangunan subsektor perkebunan dalam rangka revitalisasi
sektor pertanian. Kelapa sawit bagi Indonesia mempunyai peran yang sangat
strategis dalam menggerakan roda perekonomian negara. Kondisi geografis
Indonesia yang cocok untuk tanaman kelapa sawit membuat luas lahan
perkebunan kelapa sawit Indonesia meningkat dari 133,3 Ha pada tahun 1970
menjadi 14.3 juta Ha pada tahun 2018 (Ditjen Perkebunan, 2019).
Secara umum industri minyak sawit dalam konseptualisasi agribisnis
memiliki lingkup sebagai berikut; Pertama, subsistem agribisnis hulu minyak
sawit (up-stream palm oil agribusiness) yakni seluruh industri-industri yang
menghasilkan barang-barang modal untuk perkebunan kelapa sawit (industri
perbenihan/pembibitan, industri pupuk, industri pestisida, dan industri alat dan
mesin perkebunan).
Kedua, subsistem perkebunan kelapa sawit (on-farm palm oil agribusiness)
yakni kegiatan budidaya tanaman kelapa sawit dan pengelolaan TBS menjadi
minyak sawit yang menggunakan barang-barang modal untuk menghasilkan
minyak sawit (CPO, PKO dan produk turunan lainnya) serta jasa lingkungan
seperti: penyerapan CO, serta konservasi tanah dan air.
54
Ketiga, subsistem agribisnis hilir minyak sawit (down-stream palm oil
agribusiness) yakni industri-industri yang mengolah CPO, PKO dan produk lain
menjadi (sampai) produk jadi (finish product) beserta pemasarannya seperti
oleopangan, oleokimia, biodiesel/biofuel, biosurfaktan, biolubrikan/pelumas, dan
lain-lain.
Keempat, subsistem penyedia jasa untuk agribisnis minyak sawit (service
for palm oil agribusiness) yakni kegiatan industri atau lembaga yang
menghasilkan serta menyediakan jasa bagi agribisnis minyak sawit. Termasuk
dalam hal industri logistik, perbankan, transportasi, lembaga penelitian dan
pengembangan, lembaga pendidikan, kebijakan pemerintah seperti kebijakan tata
ruang, pertanahan, fiskal, moneter, infrastruktur, dan lain-lain.
Berdasarkan uraian diatas, industri minyak sawit dalam konseptualisasi
agribisnis memiliki lingkup sebagaimana disajikan pada Gambar 11.
Gambar 11. Lingkup Sistem Agribisnis Minyak Sawit Sumber: Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (2015)
Subsistem Agribisnis
Hulu Minyak Sawit:
Industri Pembibitan
Industri Pupuk
Industri Pestisida
Industri ALSINTAN
Subsistem Agribisnis
Hilir Minyak Sawit:
Industri Oleokimia
Industri Oleofood
Industri Biodiesel
Industri Surfactan
Industri Lubrican
Subsistem Jasa untuk Agribisnis (Services for Agribusiness):
Perbankan
Transportasi
Logistik dan Pelabuhan
Riset dan Pengembangan
Pendidikan SDM
Infrastruktur
Kebijakan Fiskal
Kebijakan Moneter
Kebijakan Tata Ruang
Asosiasi Komoditas
Subsistem Perkebunan
Kelapa Sawit:
Perkebunan Rakyat
Perkebunan Swasta
Perkebunan Negara
Pabrik Kelapa Sawit
55
0
2.000.000
4.000.000
6.000.000
8.000.000
10.000.000
12.000.000
14.000.000
16.000.000
Hek
tar
PR PBN PBS Indonesia
4.1.1 Perkembangan Luas Areal Kelapa Sawit Indonesia
Perkembangan luas areal kelapa sawit di Indonesia pada kurun waktu 2003-
2017 cenderung meningkat. Jika pada tahun 2003 luas areal kelapa sawit
Indonesia sebesar 5,3 juta hektar, maka pada tahun 2017 telah mencapai 14.04
juta hektar (Ditjen Perkebunan, 2019). Pertumbuhan rata-rata selama periode
tersebut sebesar 6,8 persen per tahun. Berdasarkan status pengusahaannya, dapat
dilihat pada Gambar 12. Perkebunan kelapa sawit terbagi atas tiga status yaitu
perkebunan negara (government estate), perkebunan swasta (private estate), dan
perkebunan rakyat (smallholders). Berdasarkan data Ditjen Perkebunan tahun
2019 luas perkebunan swasta adalah yang terbesar yakni mencapai 7,7 juta hektar
(54,9 persen) luas perkebunan rakyat sebesar 5,7 juta hektar (40,5 persen)
sedangkan luas lahan yang dimiliki oleh perkebunan negara sebesar 638,1 ribu
hektar (4,5 persen). Perkembangan luas areal perkebunan kelapa sawit menurut
status pengusahaan di Indonesia selengkapnya disajikan pada Lampiran 2.
Gambar 12. Perkembangan Luas Areal Kelapa Sawit Menurut Status Pengusahaan
di Indonesia Tahun 2003-2017 Sumber: Kementerian Pertanian (2019)
56
0
5.000.000
10.000.000
15.000.000
20.000.000
25.000.000
30.000.000
35.000.000
40.000.000
To
n
PR PBN PBS Indonesia
4.1.2 Perkembangan Produksi Minyak Sawit (CPO) Indonesia
Peningkatan luas areal perkebunan kelapa sawit Indonesia juga diikuti
dengan peningkatan produksi minyak sawit dalam wujud CPO. Pertumbuhan
produksi CPO Indonesia yang begitu cepat menjadikan Indonesia sebagai pangsa
utama produksi CPO dunia. Berdasarkan data Ditjen Perkebunan tahun 2019,
dapat dilihat pada Gambar 13. Pada tahun 2003 sampai dengan tahun 2017 rata-
rata pertumbuhan produksi minyak sawit Indonesia sebesar 9.5 persen. Pada tahun
2003 produksi CPO mencapai 10.44 juta ton, meningkat menjadi 37.9 juta ton
pada tahun 2017. Salah satu provinsi yang memproduksi CPO terbesar adalah
Provinsi Riau, pada tahun 2017 menghasilkan CPO sebesar 8.1 juta ton atau
sekitar 24.7 persen dari total produksi CPO Indonesia. Perkembangan produksi
CPO Indonesia menurut status pengusahaannya dari tahun 2003-2017 disajikan
pada Lampiran 3.
Gambar 13. Perkembangan Produksi Minyak Sawit Menurut Status Pengusahaan
di Indonesia Tahun 2003-2017 Sumber: Kementerian Pertanian (2019)
57
4.1.3 Perkembangan Produktivitas Kelapa Sawit Indonesia
Perkembangan produktivitas kelapa sawit di Indonesia selama tahun 2003-
2017 pada Gambar 14, menunjukkan pola yang berfluktuasi. Perkembangan
produktivitas kelapa sawit berdasarkan status pengusahaannya, secara umum (1)
produktivitas rakyat (PR) mengalami peningkatan dari 1.61 ton menjadi 2.92 ton
per hektar, (2) produktivitas perkebunan negara (PN) mengalami peningkatan dari
2.9 menjadi 3.6 ton per hektar, dan (3) produktivitas perkebunan swasta (PS)
menunjukkan peningkatan yang konsisten dari 2.65 ton menjadi 3.25 ton
perhektar. Selama periode tersebut rata-rata pertumbuhan produktivitas kelapa
sawit Indonesia mengalami sedikit peningkatan sebesar 0,72 persen per tahun,
dimana penurunan produktivitas umumnya terjadi saat krisis moneter hingga masa
pemulihan krisis. Produktivitas tertinggi dicapai pada tahun 2017 sebesar 3,6
ton/hektar dan terendah tahun 2003 sebesar 2,5 ton/hektar. Perkembangan
produktivitas kelapa sawit di Indonesia selengkapnya disajikan pada Lampiran 4.
Gambar 14. Perkembangan Produktivitas CPO Menurut Status Pengusahaan di
Indonesia Tahun 2003-2017 Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan (2019)
0
1
2
3
4
To
n/H
A
Produktivitas (Ton/Ha)
58
4.2 Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia
Berdasarkan data Survei Perusahaan Perkebunan Triwulan Komoditas
Kelapa Sawit tahun 2017 (SKB17-Kelapa Sawit) menyebutkan bahwa terdapat
1.826 perusahaan perkebunan kelapa sawit dengan rincian 1.514 perusahaan
berstatus aktif, 260 perusahaan berstatus non-response, 5 perusahaan berstatus
tutup sementara, 2 perusahaan berstatus tidak ditemukan, dan 45 perusahaan
berstatus tutup. Tercatat sebanyak 1.779 perusahaan perkebunan kelapa sawit
yang berasal dari perusahaan berstatus aktif, non-response, dan tutup sementara
tersebar di 25 provinsi di Indonesia.
Dilihat dari persebaran perusahaan perkebunan kelapa sawit menurut pulau
di Indonesia, dapat dilihat pada Gambar 15. Pada tahun 2017 persentase
perusahaan perkebunan kelapa sawit yang berada di Pulau Sumatera adalah
sebesar 57 persen, yang berada di Pulau Kalimantan sebesar 38 persen, Pulau
Sulawesi sebesar 3 persen, dan sisanya sebesar 2 persen tersebar di Pulau Jawa,
Pulau Maluku, dan Pulau Papua. Provinsi Sumatera Utara merupakan provinsi
dengan jumlah perusahaan perkebunan kelapa sawit terbanyak di Indonesia yaitu
sebanyak 336 perusahaan, provinsi Kalimantan Barat sebanyak 322 perusahaan,
provinsi Riau sebanyak 200 perusahaan, provinsi Sumatera Selatan sebanyak 143
perusahaan, dan provinsi Kalimantan Tengah sebanyak 141 perusahaan.
Perusahaan perkebunan kelapa sawit yang berjumlah 1.799 perusahaan,
sebanyak 1.615 perusahaan merupakan perkebunan besar swasta, dan 164
perusahaan merupakan perkebunan besar negara. Hal ini menunjukkan bahwa
perkebunan kelapa sawit didominasi oleh perkebunan besar swasta. Adapun
59
336; 29%
322; 28%
200; 18%
143; 13%
141; 12%
Sumatera Utara Kalimantan Barat Riau
Sumatera Selatan Kalimantan Tengah
jumlah perusahaan perkebunan kelapa sawit menurut Provinsi dan
pengusahaannya pada tahun 2017 dapat dilihat pada Lampiran 5.
Gambar 15. Lima Provinsi dengan Perusahaan Kelapa Sawit Terbanyak Sumber:Direktori Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit (2017)
4.3 Perkembangan Harga CPO Indonesia
Harga CPO di pasar domestik diambil pada spot sentra produsen di Medan,
Sumatera Utara sesuai pantauan yang dilaksanakan oleh Badan Pengawas
Perdagangan Berjangka Indonesia (Bappebti). Selama tahun 2012-2016, harga
domestik CPO sangat berfluktuatif dan cenderung menurun dari bulan ke bulan,
kecuali pada tahun 2013 dan 2016. Rata-rata harga domestik CPO selama periode
2012-2016 mengalami peningkatan sebesar 0,24 persen yakni dari Rp 8.887,-/kg
pada tahun 2012 menjadi Rp 9.910,-/kg pada tahun 2016.
Sementara, harga CPO di pasar global pada spot pasar lelang di Rotterdam
sesuai berdasarkan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Indonesia
(Bappebti), dapat dilihat pada Gambar 16. Selama tahun 2003-2018, harga CPO di
pasar global juga sangat berfluktuatif dan cenderung menurun dari bulan ke bulan.
60
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
US
$
Tahun (Desember)
Harga
Harga CPO dunia selama periode tersebut mengalami perubahan yang fluktuatif
yakni US$ 510,-/ton pada januari 2003 menjadi US$ 527,10,-/ton pada bulan
Oktober 2018.
Gambar 16. Perkembangan Harga Minyak Sawit (CPO) Tahun 2003-2017 Sumber: Kementerian Pertanian, (2019)
4.4 Perkembangan Ekspor-Impor Minyak Sawit Indonesia
Ekspor-impor minyak sawit Indonesia dalam beberapa tahun belakangan ini
cenderung mengalami peningkatan walaupun terdapat tahun-tahun dimana grafik
perdagangan tidak mengalami perubahan yang signifikan, ditambah lagi
problematik dan tantangan baik dari segi internal maupun eksternal yang
berdampak pada terhambatnya aktivitas perdagangan.
Minyak sawit Indonesia diminati secara global karena harganya yang lebih
murah dibanding dengan harga minyak nabati lainnya. Sebagai negara eksportir
CPO terbesar, Indonesia sudah selayaknya memegang peran dalam pasar CPO di
dunia. India dan China merupakan konsumen terbesar CPO dari negara Indonesia.
61
0
2.000.000
4.000.000
6.000.000
8.000.000
10.000.000
12.000.000
Ton
Volume Ekspor (Ton)
Di samping itu, Indonesia pun mengimpor CPO dari negara lain seperti Malaysia
sebagai langkah untuk menstabilkan harga dan menjaga stok pasokan dalam
negeri.
4.4.1 Perkembangan Volume Ekspor Minyak Sawit (CPO) Indonesia
Ekspor-impor kelapa sawit Indonesia dilakukan dalam wujud minyak sawit,
minyak inti sawit dan produk turunannya. Namun demikian, proporsi terbesar
ekspor Indonesia dalam wujud CPO. Perkembangan ekspor CPO Indonesia
selama tahun 2003-2017 fluktuatif. Gambar 17 menunjukkan, bahwa volume
ekspor tertinggi terjadi pada tahun 2010 sebesar 11,16 juta ton senilai US$ 9,1
milyar. Sedangkan nilai ekspor terbesar dialami pada tahun 2011 dengan nilai
US$ 10,9 milyar. Perkembangan volume dan nilai ekspor CPO secara rinci tersaji
pada Lampiran 7.
Gambar 17. Perkembangan Volume Ekspor Minyak Sawit (CPO) Indonesia
Tahun 2003-2017 Sumber: Ditjen Perkebunan (2019)
62
0
10.000
20.000
30.000
40.000
50.000
60.000
70.000
Ton
Volume Impor (Ton)
4.4.2 Perkembangan Volume Impor Minyak Sawit (CPO) Indonesia
Sebagai negara eksportir utama CPO di dunia, Indonesia masih melakukan
impor CPO dari negara luar namun dalam volume yang sangat kecil dibandingkan
ekspornya. Pada Gambar 18 terlihat bahwa, realisasi volume impor CPO tahun
2003-2017 sangat berfluktuasi. Volume impor CPO terbesar terjadi pada tahun
2013 sebesar 65,6 ribu ton dengan nilai US$ 46,9 juta. Sedangkan, volume impor
CPO terendah terjadi pada tahun 2014 sebesar 299 ton dengan nilai US$ 393 ribu.
Besarnya laju pertumbuhan volume impor kelapa sawit disebabkan oleh
peningkatan impor yang sangat signifikan. Pada tahun 2017 volume impor kelapa
sawit ke Indonesia tercatat sebesar 2,6 ribu ton dengan nilai impor mencapai US$
1,8 juta. Perkembangan volume dan nilai impor CPO secara rinci tersaji pada
Lampiran 8.
Gambar 18. Perkembangan Volume Impor Minyak Sawit (CPO) Indonesia
Tahun 2003-2016 Sumber: Ditjen Perkebunan (2019)
63
0
1.000.000.000
2.000.000.000
3.000.000.000
4.000.000.000
5.000.000.000
2014 2015 2016 2017
Kil
ogra
m
India Belanda Singapura Itali Spanyol
4.4.3 Negara Tujuan Ekspor CPO Indonesia
Indonesia memiliki peluang ekspor CPO karena sebagian besar komoditas
tersebut diekspor ke negara-negara tujuan yang tidak mampu memproduksi
minyak sawit mentah sendiri. Beberapa negara yang menjadi lima besar negara
tujuan ekspor minyak sawit mentah Indonesia adalah India, Singapore, Belanda,
Italia, dan Spanyol. Kelima negara tersebut adalah negara yang paling banyak
mengimpor minyak sawit mentah dari Indonesia.
Berdasarkan data UN Comtrade (2019), pada Gambar 19 menunjukkan
bahwa ekspor CPO Indonesia ke India sepanjang 2017 mencapai 4,6 juta ton,
ekspor CPO Indonesia ke Belanda sebesar 615,5 ribu ton, Singapura sebesar 605
ribu ton, Itali sebesar 356,5 ribu ton, dan Spanyol sebesar 217 ribu ton.
Gambar 19. Negara Tujuan Ekspor CPO Indonesia Terbesar 2014-2017 Sumber : UN Comtrade (2019)
64
4.4.4 Neraca Perdagangan Minyak Sawit Indonesia
Nilai ekspor dan nilai impor kelapa sawit menunjukkan perkembangan yang
sejalan dengan perkembangan volume ekspor maupun volume impornya. Neraca
perdagangan kelapa sawit dihitung berdasarkan selisih antara ekspor dengan
impornya. Selama periode 2003-2016, pada Gambar 20 memperlihatkan bahwa
neraca perdagangan kelapa sawit Indonesia berada pada posisi surplus, dan
cenderung mengalami peningkatan. Pada tahun 2003 surplus neraca perdagangan
kelapa sawit sebesar US$ 2,45 milyar dan tahun 2016 mencapai US$ 14,36
milyar.
Gambar 20. Perkembangan Neraca Perdagangan Minyak Sawit (CPO) Indonesia
Tahun 2003-2016 Sumber: Ditjen Perkebunan (2017)
4.5 Negara Produsen Utama Crude Palm Oil (CPO) Dunia
Kebutuhan dunia akan minyak nabati dan kemampuan industri
perkelapasawitan mampu memberikan grafik besar terhadap perekonomian negara
menyebabkan banyaknya perusahaan swasta dan negara meningkatkan luasan
0
5.000.000
10.000.000
15.000.000
20.000.000
US
$
Neraca (000 US$ )
65
37.965.22420.500.000
2.700.000
1.630.000 970.000
740.000 593.000
545.000 530.000
Indonesia Malaysia ThailandColumbia Nigeria GuatemalaEcuador Honduras Papua New GuineaGhana
perkebunan atau membuka lahan perkebunan baru. Kebutuhan akan minyak
nabati yang berasal dari kelapa sawit atau CPO di produksi oleh beberapa negara,
dengan produsen terbesar yaitu Indonesia dan Malaysia.
Berdasarkan data United States Department of Agriculture tahun 2017,
Indonesia dikenal sebagai negara penghasil minyak sawit (CPO) terbesar dunia.
Sepanjang tahun 2017 Indonesia mampu memproduksi CPO sebanyak 37,96 juta
MT (metrik ton), jumlah ini lebih besar jika dibandingkan dengan negara
Malaysia yang menghasilkan minyak kelapa sawit (CPO) sebesar 20,5 juta MT
(metrik ton), sedangkan Thailand menempati peringkat ketiga dengan jumlah
produksi CPO sebesar 2,7 juta MT (metrik ton). Berikut adalah daftar 10 negara
penghasil minyak sawit (CPO) terbesar di dunia (Gambar 21).
Gambar 21. Negara Produsen Utama Crude Palm Oil (CPO) Dunia Sumber: Ditjen Perkebunan (2017)
66
4.6 Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO)
Berdasarkan Komisi ISPO tahun 2018, Indonesian Sustainable Palm Oil
(ISPO) adalah suatu kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Indonesia dalam hal
ini Kementerian Pertanian dengan tujuan untuk meningkatkan daya saing minyak
sawit Indonesia di pasar dunia dan ikut berpartisipasi dalam rangka memenuhi
komitmen Presiden Republik Indonesia untuk mengurangi gas rumah kaca serta
memberi perhatian terhadap masalah lingkungan. ISPO dibentuk pada tahun 2009
oleh pemerintah Indonesia untuk memastikan bahwa semua pihak pengusaha
kelapa sawit memenuhi standar pertanian yang diizinkan. ISPO merupakan
standar nasional minyak sawit pertama bagi suatu negara, dan negara lain kini
mencoba mempertimbangkan untuk mengimplementasikan standar serupa di
antara produsen minyak sawit. Beberapa hal yang diterapkan dalam pembukaan
lahan kelapa sawit baru sesuai prinsip ISPO yaitu:
a) Tersedia SOP/ Instruksi atau prosedur teknis pembukaan lahan baru kelapa
sawit.
b) Pembukaan lahan dilakukan tanpa bakar dan memperhatikan konservasi lahan.
c) Sebelum pembukaan lahan dilakukan, pelaku usaha wajib melakukan studi
kelayakan dan AMDAL.
d) Lahan tidak dapat ditanami dengan kemiringan < 30%, lahan gambut dengan
kedalaman < 3 meter dan hamparan lebih dari 70%; lahan adat, sumber air,
situs sejarah dan sebagainya tetap dijaga kelestariaanya.
e) Untuk pembukaan lahan gambut hanya dilakukan pada lahan kawasan
budidaya dengan ketebalan gambut 3 meter, kematangan saprik (matang)
67
dan hemik (setengah matang) dan di bawah gambut bukan merupakan lapisan
pasir kuarsa atau lapisan tanah sulfat asam serta mengatur drainase untuk
mengurangi emisi gas rumah kaca.
f) Khusus untuk lahan gambut harus dibangun sistem tata air (water
management) sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
g) Pembuatan sarana jalan, terasering, rorak, penanaman tanaman penutup tanah
dalam rangka konservasi lahan.
h) Tersedianya rencana kerja tahunan (RKT) pembukaan lahan baru.
i) Kegiatan pembukaan secara terdokumentasi (dan pernyataan pelaku usaha
bahwa pembukaan lahan dilakukan tanpa bahan bakar).
68
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Analisis Keunggulan Komparatif Komoditas CPO Indonesia Di Pasar
Internasional
Analisis keunggulan komparatif komoditas CPO Indonesia di pasar
internasional dilakukan dengan menganalisis kode HS 151110. Analisis
keunggulan komparatif dianalisis menggunakan metode Revealed Comparative
Advantage (RCA). Keunggulan komparatif merupakan analisis yang
membandingkan kemampuan daya saing pada beberapa negara produsen utama
suatu komoditi. Nilai RCA diperoleh dari perhitungan kinerja ekspor CPO
terhadap total ekspor Indonesia dan Malaysia yang kemudian dibandingkan
dengan pangsa nilai produk dalam perdagangan dunia.
Negara yang memiliki keunggulan komparatif dan berdaya saing kuat
ditunjukkan dengan semakin tingginya nilai indeks RCA atau komoditi dengan
nilai RCA diatas satu dapat dikatakan memiliki keunggulan komparatif.
Sebaliknya, jika nilai indeks RCA lebih rendah dari satu maka negara tersebut
tidak memiliki keunggulan komparatif. Suatu negara dikatakan memiliki
keunggulan komparatif apabila mampu memproduksi suatu barang secara lebih
efisien atau lebih baik dibandingkan dengan barang lainnya (Griffin, 2006:132).
Analisis keunggulan komparatif komoditas CPO Indonesia dan Malaysia
dilakukan berdasarkan kode HS 151110 selama kurun waktu 2003-2017.
69
Tabel 10. Keunggulan Komparatif CPO Berdasarkan Hasil Analisis Revealed
Comparative Advantage Indonesia dan Malaysia Tahun 2003-2017
Tahun Indonesia Malaysia
2003 400 28,8
2004 459 26,5
2005 340 38,8
2006 624 29,2
2007 985 17,4
2008 303 17,6
2009 477 10
2010 88,3 30,1
2011 60,8 45,2
2012 542 61,8
2013 73,1 35
2014 84,2 64,6
2015 123 54,7
2016 86,6 68,3
2017 80,3 56,3
Rata-rata 315 39 Sumber: Lampiran 13,14,15, dan 16
Berdasarkan hasil analisis RCA pada Tabel 10 menunjukkan bahwa
Indonesia dan Malaysia memiliki nilai RCA lebih dari satu, sehingga kedua
negara tersebut dapat dikatakan memiliki keunggulan komparatif. Dari kedua
negara tersebut yang memiliki nilai RCA tertinggi adalah Indonesia dengan rataan
nilai RCA sebesar 315. Sedangkan Malaysia memiliki rataan nilai RCA sebesar
39. Nilai RCA tertinggi negara Indonesia terjadi pada tahun 2007 dengan nilai
sebesar 985, nilai RCA terendah terjadi pada tahun 2011 sebesar 60,8. Sedangkan
nilai RCA tertinggi negara Malaysia terjadi pada tahun 2016 dengan nilai sebesar
68,3, nilai RCA terendah terjadi pada tahun 2009 dengan nilai sebesar 10.
Pada tahun 2003-2009 Indonesia memiliki nilai RCA yang tinggi. Hal
tersebut disebabkan karena nilai ekspor CPO dari Indonesia lebih mendominasi
dibandingkan dengan nilai ekspor CPO dunia ke negara-negara tujuan ekspor
70
tersebut. Adapun tabel indikator kondisi industri minyak sawit (CPO) Indonesia
dengan Malaysia sebagai berikut:
Tabel 11. Indikator Kondisi Industri Minyak Sawit (CPO) Indonesia dengan
Malaysia Tahun 2017.
No. Indikator
Komparatif Indonesia Malaysia
1 Luas Perkebunan 14,04 juta hektar 5,85 juta hektar
2 Produksi 37, 96 juta ton 19,9 juta ton
3 Produktivitas 3,6 ton/hektar 3,42 ton/hektar
4 Total Ekspor
(CPO)
7 juta ton
4,7 milyar US$
2,3 juta ton
1,9 milyar US$
5 Total Impor
(CPO)
2,5 ribu ton
1,8 juta US$
270 ribu ton
208 juta US$
6 Sistem Sertifikasi Indonesian Sustainable
Palm Oil (ISPO)
Malaysian Sustainable
Palm Oil (MSPO)
7 Jumlah
Perusahaan 1779 perusahaan -
8 Penetapan Pajak US$ 50 per Metrik Ton Ditangguhkan
9 Kelembagaan Forum Komunikasi
Produsen Benih Sawit
Indonesia (FKPBSI)
Gabungan Pengusaha
Kelapa Sawit
Indonesia (GAPKI)
Asosiasi Industri
Minyak Makan
Indonesia (AIMMI)
Gabungan Industri
Minyak Nabati
Indonesia (GIMNI)
Asosiasi Produsen
Oleochemical
Indonesia (APOLIN)
Asosiasi Produsen
Biodesel Indonesia
(APROBI)
Asosiasi Petani Kelapa
Sawit Indonesia
(APKASINDO)
Serikat Petani Kelapa
Sawit (SPKS)
Malaysian Palm Oil
Board (MPOB)
Malaysian Palm Oil
Association (MPOA)
Palm Oil Refiners
Association of Malaysia
(PORAM)
Malaysian Palm Oil
Council (MPOC)
Sumber: UN Comtrade, GAPKI, dan MPOB (2019)
71
Tabel 11. Indikator Kondisi Industri Minyak Sawit (CPO) Indonesia dengan
Malaysia Tahun 2017 (Lanjutan)
No. Indikator
Komparatif Indonesia Malaysia
Gabungan Asosiasi
Petani Perkebunan
Republik Indonesia
(GAPPERINDO)
Masyarakat Perkelapa-
sawitan Indonesia
(MAKSI)
Dewan Minyak Sawit
Indonesia (DMSI)
Sumber: UN Comtrade, GAPKI, dan MPOB (2019)
Berdasarkan Tabel 11, dapat dijelaskan bahwa dari sembilan indikator
komparatif kondisi industri minyak sawit (CPO), industri minyak sawit (CPO)
Indonesia lebih unggul dibandingkan dengan industri minyak sawit (CPO)
Malaysia. Perbedaan keunggulan komparatif pada industri minyak sawit antara
Indonesia dan Malaysia secara mendasar disebabkan karena perbedaan kondisi
luas areal perkebunan yang mempengaruhi pada besarnya produksi dan
produktivitas minyak sawit.
5.2 Analisis Keunggulan Kompetitif Komoditas CPO Indonesia Di Pasar
Internasional
Keunggulan kompetitif atau keunggulan bersaing dinilai dari faktor yang
mempengaruhi daya saing CPO Indonesia di dalam negeri. Faktor-faktor daya
saing tersebut antara lain; volume produksi, nilai dan volume ekspor, nilai dan
volume impor. Keunggulan kompetitif CPO Indonesia dianalisis dengan
menggunakan metode Export Product Dynamic (EPD), Indeks Spesialisasi
72
Perdagangan (ISP), dan Porter’s Diamond untuk menjelaskan secara deskriptif
keunggulan kompetitif yang dimiliki CPO Indonesia.
5.2.1 Analisis Export Product Dynamic (EPD) CPO HS 151110
Analisis Export Product Dynamic (EPD) digunakan untuk mengidentifikasi
suatu komoditas dalam kondisi dinamis atau tidak, atau digunakan untuk
mengetahui pertumbuhan suatu komoditas pada arus perdagangan ekspor suatu
negara. Analisis EPD yang digunakan yaitu 5 (lima) negara tujuan ekspor CPO
Indonesia di pasar internasional, diantaranya India, Belanda, Singapura, Itali, dan
Spanyol. Gambar berikut menunjukkan hasil perhitungan EPD CPO Indonesia di
negara-negara tujuan ekspornya:
Gambar 22. Kuadran Export Product Dynamic (EPD) Indonesia.
73
Berdasarkan Gambar 22, kuadran perdagangan CPO Indonesia di lima
negara tujuan ekspor dalam pasar internasional berada di tiga posisi. Posisi pangsa
pasar ekspor dan pangsa pasar CPO negara Indonesia terhadap lima negara tujuan
berada pada posisi Rising Star, Lost Opportunity, dan Retreat. Dimana posisi
Rising Star terjadi di negara India dan Itali, posisi Lost Opportunity terjadi di
negara Belanda, dan posisi Retreat terjadi di negara Singapura dan Spanyol.
Hasil perhitungan EPD CPO Malaysia di negara-negara tujuan ekspornya
dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 23. Kuadran Export Product Dynamic (EPD) Malaysia
Berdasarkan Gambar 23, kuadran perdagangan CPO Malaysia di lima
negara tujuan ekspor dalam pasar internasional berada di tiga posisi. Posisi pangsa
74
pasar ekspor dan pangsa pasar CPO negara Indonesia terhadap lima negara tujuan
berada pada posisi Rising Star, Retreat, dan Falling Star. Dimana posisi Rising
Star terjadi di negara Itali, posisi Retreat terjadi di negara Belanda dan
Singapura, dan posisi Falling Star terjadi di negara India dan Spanyol. Secara
keseluruhan, posisi CPO Indonesia dan Malaysia di pasar internasional adalah
sebagai berikut:
1) Posisi Rising Star (RS)
Pertumbuhan pangsa pasar ekspor dan pangsa pasar CPO Indonesia naik
sebesar 13 persen dan 0,36 persen di India. Begitu pula di Itali yang memiliki
pertumbuhan pangsa pasar ekspor dan pangsa pasar CPO Indonesia sebesar 14
persen dan 0,07 persen. Dengan demikian, hal ini menunjukkan bahwa India dan
Itali merupakan posisi pasar yang berpotensi sebagai negara tujuan ekspor dalam
mempertahankan pangsa pasar CPO Indonesia. Pangsa pasar CPO Indonesia di
India dan Itali naik disebabkan karena kebutuhan minyak nabati di negara tersebut
meningkat dan India belum mampu memproduksi CPO secara mandiri, dan
negara tersebut telah membuktikan bahwa minyak nabati yang berasal dari CPO
tidak berbahaya pada kesehatan tubuh. Sedangkan pertumbuhan pangsa pasar
ekspor dan pangsa pasar CPO Malaysia naik sebesar 17 persen dan 0,01 persen di
negara Itali.
2) Posisi Faling Star (FS)
Pangsa pasar ekspor dan pangsa pasar CPO Indonesia tidak mengalami
penurunan daya tarik atau tidak memiliki posisi falling star terhadap lima negara
tujuan ekspor, hal ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki tingkat daya saing
75
yang tinggi di negara-negara tersebut. Sedangkan, posisi falling star terjadi pada
negara Malaysia di India dengan nilai pertumbuhan pangsa pasar ekspor sebesar 2
persen dan nilai penurunan pangsa pasar CPO sebesar 1 persen. Hal ini
menunjukkan bahwa CPO Malaysia mengalami perurunan daya tarik dan dapat
dikatakan pertumbuhan pangsa pasar Malaysia ke India tidak dinamis, namun
pangsa pasar ekspor masih mengalami peningkatan.
3) Posisi Lost Opportunity (LO)
Posisi lost opportunity terjadi di pangsa pasar ekspor dan pangsa pasar CPO
Indonesia di negara Belanda. Pangsa pasar ini menunjukkan bahwa terjadinya
penurunan pangsa pasar pada produk-produk yang dinamis sehingga posisinya
adalah yang paling tidak diinginkan karena Indonesia tidak dapat merebut pangsa
pasar CPO di negara tersebut meski permintaannya mengalami peningkatan.
Indonesia mengalami penurunan pangsa pasar ekspor sebesar 7 persen di saat
permintaan CPO meningkat sebesar 0,14 persen di Belanda. Menurunnya pangsa
pasar ekspor Indonesia di Belanda dikarenakan adanya pesaing utama Indonesia
lebih mampu mengusai pasar. Posisi lost opportunity menunjukkan bahwa
Indonesia kehilangan kesempatan memperluas pasar komoditas CPO di Belanda,
dikarenakan Belanda merupakan negara Uni Eropa yang mengeluarkan kebijakan
Renewable Energy Directive (RED) dan Delegate Act RED II yang menghapus
kontribusi minyak sawit (biofuel) sebagai salah satu sumber energi terbarukan
pada tahun 2030 mendatang (GAPKI, 2019). Sementara, negara Malaysia tidak
mengalami posisi lost opportunity di lima negara tujuan ekspornya. Hal tersebut
76
dikarenakan negara Malaysia lebih mengutamakan ekspor produk olahan minyak
sawit ketimbang produk minyak sawitnya (CPO).
4) Posisi Retreat (R)
Posisi retreat merupakan posisi yang kurang baik karena ekspor CPO
Indonesia sudah tidak diinginkan lagi di negara tersebut. Posisi ini terjadi di
pangsa pasar ekspor dan pangsa pasar CPO Indonesia di negara Singapura dan
Spanyol. Di negara Singapura pangsa pasar ekspor dan pangsa pasar CPO
menurun sebesar 3014 persen dan 0,03 persen, sementara di negara Spanyol
pangsa pasar ekspor dan pangsa pasar CPO menurun 2 persen dan 0,04 persen.
Kondisi tersebut disebabkan adanya perang dagang antara China dan Amerika
Serikat yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi beberapa negara tertekan
selama delapan bulan terakhir di tahun 2018. Selain itu menurunnya ekspor
Indonesia ke Singapura disebabkan karena saat ini Indonesia sudah memiliki
infrastruktur bongkar muat yang memadai sehingga Indonesia tidak lagi
ketergantungan kepada Singapura atas produk ekspor yang mengharuskan transit
ke Singapura (GAPKI, 2017). Sedangkan posisi retreat dialami CPO Malaysia di
negara Belanda dan Singapura. Pangsa pasar ekspor dan pangsa pasar CPO di
negara Belanda menurun sebesar 17 persen dan 0,04 persen, sementara di negara
Singapura menurun sebesar 101 persen dan 1,2 persen.
5.2.2 Analisis Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP) CPO HS 151110
Indonesia di Pasar Internasional
Analisis Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP) digunakan untuk melihat
apakah suatu jenis produk di suatu negara cenderung menjadi negara eksportir
77
atau menjadi negara importir. Selama kurun waktu 2003-2017, tahapan
perkembangan posisi perdagangan Indonesia dibandingkan dengan negara
Malaysia adalah sebagai berikut:
Tabel 12. Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP) CPO Indonesia
Tahun 2003-2017
Tahun
Indonesia Malaysia
Ekspor
(US$)
Impor
(US$) ISP
Ekspor
(US$)
Impor
(US$) ISP
Xia Mia Xia Mia
2003 1062214890 24348 1 512074232 148012253 0,552
2004 1444421828 1067327 0,999 539812095 355315723 0,206
2005 1593295437 14058 1 566651817 152538757 0,576
2006 1993666661 46109 1 924627185 233840193 0,596
2007 3738651552 10588 1 1259850331 207442146 0,717
2008 6561330490 1427 1 1879389747 496393697 0,582
2009 5702126189 1332129 1 1675850018 682064401 0,421
2010 7649965932 3360560 0,999 2312971826 1005899191 0,394
2011 8777015600 24506004 0,994 3796528454 1630867301 0,399
2012 6676503846 0 1 4468118528 791965295 0,699
2013 4978532881 0 1 2986345133 260723872 0,839
2014 4206741340 0 1 3428710388 225867096 0,876
2015 4388094011 0 1 3076580116 432796435 0,753
2016 3305575089 3874877 0,998 2335674952 128852507 0,895
2017 4698225492 457 1 1868891714 208893128 0,799
Rata-
rata
0,999 0,62
Sumber: Lampiran 17
Berdasarkan Tabel 12, ekspor CPO Indonesia di pasar internasional selama
kurun waktu 2003-2017 secara keseluruhan memiliki nilai rata-rata ISP yang
positif sebesar 0,99. Nilai positif ini menunjukkan bahwa Indonesia cenderung
menjadi negara eksportir CPO di negara-negara tujuan ekspornya, hal ini
menunjukkan bahwa komoditas CPO Indonesia pada perdagangan internasional
telah berada pada tahap pematangan atau memiliki daya saing yang kuat sebagai
78
pengekspor CPO dunia dan telah masuk pada tahap standarisasi teknologi yang
dimiliki karena nilai ISP Indonesia berada diantara 0,81 s/d 1,0. Sedangkan nilai
rata-rata ISP Malaysia dari tahun 2003-2017 sebesar 0,62. Nilai positif ini juga
menunjukkan bahwa Malaysia berada pada tahap perluasan/pertumbuhan ekspor
CPO di pasar internasional dan memiliki daya saing yang kuat. Hal tersebut
dibuktikan dengan nilai ISP Malaysia berada diantara 0,1 s/d 0,8. Nilai ISP
berdasarkan Tabel 12 yang disusun dalam bentuk grafik, terlihat perbedaan
sebagaimana gambar berikut:
Gambar 24. Hasil Perhitungan Indeks Spesialisasi Perdagangan CPO (HS151110)
Tahun 2003-2017 Sumber: Tabel 11 (diolah)
Berdasarkan Gambar 24, dapat dilihat bahwa, grafik perhitungan ISP CPO
Indonesia dari tahun 2003 sampai tahun 2017 selalu berada pada posisi yang stabil
di antara nilai 0,8 s/d 1,0. Sementara, grafik perhitungan ISP CPO Malaysia dari
tahun 2003 sampai tahun 2017 selalu mengalami posisi yang berfluktuatif pada
kisaran nilai 0,1 s/d 0,8. Selain menunjukkan posisi suatu negara, grafik tersebut
juga menunjukkan tingkat persaingan Malaysia yang hampir mendekati posisi
0
0,2
0,4
0,6
0,8
1
1,2
Nilai
ISP
Hasil Perhitungan ISP CPO HS 1511100000 Tahun 2003-2017
Indonesia Malaysia
79
Indonesia sebagai negara eksportir CPO terbesar dunia. Hal ini disebabkan karena
Malaysia melakukan produksi dalam skala besar dan mulai meningkatkan
ekspornya.
5.3 Analisis Kompetitif Berlian Porter (Porter’s Diamond)
Daya saing suatu negara ditentukan oleh kemampuan industri melakukan
inovasi dan meningkatkan kemampuannya. Analisis daya saing CPO di Indonesia
menggunakan pendekatan Teori Berlian Porter (Porter’s Dyamond Theory). Teori
Berlian Porter terdiri dari empat faktor yang menentukan ukuran daya saing CPO
yaitu; 1. faktor kondisi (factor conditions), 2. faktor permintaan (demand
conditions), 3. faktor industri terkait dan industri pendukung (related and
supporting industries), 4. faktor struktur, persaingan dan strategi perusahaan (firm
strategy, structure and rivalry). Selain keempat faktor tersebut terdapat dua faktor
lain yang mempengaruhi daya saing yaitu; 5. faktor peran pemerintah dan 6.
faktor kesempatan. Faktor dan indikator teori Berlian Porter secara rinci disajikan
pada Tabel 13.
Tabel 13. Faktor dan Indikator Teori Berlian Porter (Porter’s Diamond).
No Faktor Indikator
1 Kondisi
Sumberdaya
1. Sumber Daya Alam:
1) Kondisi dan Potensi Lahan
2) Produktivitas Lahan
3) Aksesibilitas Terhadap Input:
a) Alat dan Mesin Perkebunan
b) Alat Pengolahan Minyak Sawit
4) Biaya-biaya Terkait
2. Sumber Daya Manusia
3. Sumber Daya IPTEK
4. Sumber Daya Modal
5. Sumber Daya Infrastruktur
80
Tabel 13. Faktor dan Indikator Teori Berlian Porter (Porter’s Diamond),
(Lanjutan)
No Faktor Indikator
2 Kondisi
Permintaan
1. Komposisi Permintaan Domestik
2. Permintaan dan Pola Pertumbuhan
3 Industri
Terkait dan
Industri
Pendukung
1. Industri Terkait:
a) Industri Pemasok
b) Industri Penyedia dan Pengolahan Kelapa Sawit
2. Industri Pendukung:
a) Industri Jasa Tataniaga
b) Industri Jasa Riset dan Pendidikan SDM
c) Industri Jasa Pemasaran
4 Struktur,
Persaingan,
dan Strategi
1. Struktur Pasar
2. Persaingan
3. Strategi:
a) Strategi Korporasi
b) Strategi Bisnis
c) Stretegi Fungsional
5 Peran
Pemerintah
1. Kebijakan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO)
2. Kebijakan PIR dan PBSN
3. Kebijakan Alokasi dan Harga Maksimum CPO
Domestik
4. Kebijakan Pajak Ekspor dan Bea Keluar Minyak Sawit
5. Kebijakan Mandatori Biodiesel
6. Kebijakan Hilirisasi
7. Kebijakan Pemerintah dalam Menghadapi Problematik
Internasional
6 Peran
Kesempatan
Faktor yang Berada Diluar Jangkauan stakeholders CPO
Nasional. Sumber : Porter (1994)
5.3.1 Faktor Kondisi Sumber Daya
Faktor kondisi mengacu pada input yang digunakan sebagai faktor produksi,
seperti sumber daya alam, sumber daya manusia, sumber daya ilmu pengetahuan
dan teknologi, sumber daya modal, dan sumber daya infrastruktur. Kelima faktor
sumber daya tersebut mempengaruhi tingkat daya saing CPO Indonesia.
81
1. Sumber Daya Alam
A. Kondisi dan Potensi Lahan
Kondisi perkebunan kelapa sawit di Indonesia saat ini tersebar di 25
provinsi dari 34 provinsi. Pulau Sumatera dan Kalimantan merupakan sentra
perkebunan kelapa sawit yang secara keseluruhan menyumbang 96 persen dari
total luas lahan perkebunan kelapa sawit Indonesia, selanjutnya diikuti dengan
pulau Sulawesi dengan luas sebesar 3,2 persen, pulau Maluku dan Papua sebesar
0,9 persen dan pulau Jawa sebesar 0,2 persen. Terdapat lima provinsi terbesar
sebagai sentra perkebunan kelapa sawit, antara lain Riau, Sumatera Utara,
Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat. Luas areal dan
produksi minyak sawit (CPO) pada Perkebunan Rakyat, Negara dan Swasta
menurut provinsi dan keadaan tanaman selengkapnya ditampilkan pada Lampiran
18.
B. Produktivitas Lahan
Produktivitas berkaitan dengan luas area tanam dan volume produksi yang
dihasilkan. Tingkat produktivitas lahan untuk tanaman kelapa sawit dapat dilihat
dari kemampuan lahan tersebut menghasilkan Tandan Buah Segar (TBS) tiap
hektar lahan. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perkebunan tahun 2017 tingkat
produktivitas lahan kelapa sawit nasional tertinggi terdapat pada perkebunan besar
swasta, yaitu sebesar 3.990 kg/ha disusul oleh perkebunan besar negara sebesar
3.349 kg/ha, dan perkebunan rakyat sebesar 3.165 kg/ha.
82
Tabel 14. Tingkat Produktivitas Lahan Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia
Menurut Provinsi Tahun 2017
No Provinsi Produktivitas (Kg/Ha)
PR PBN PBS
1 Aceh 3.151 2.874 2.641
2 Sumatera Utara 3.525 3.777 3.618
3 Sumatera Barat 2.907 4.551 4.327
4 Riau 3.755 3.983 5.526
5 Kepulauan Riau 2.160 - 1.601
6 Jambi 2.814 4.320 3.326
7 Sumatera Selatan 4.104 2.593 3.792
8 Kep. Bangka Belitung 2.971 - 4.582
9 Bengkulu 3.528 3.640 3.499
10 Lampung 2.444 2.806 2.810
11 Jawa Barat 1.814 2.918 2.917
12 Banten 956 2.532 1.747
13 Kalimantan Barat 2.186 3.518 2.381
14 Kalimantan Tengah 1.514 - 4.634
15 Kalimantan Selatan 2.129 2.200 4.582
16 Kalimantan Timur 2.850 1.474 3.581
17 Kalimantan Utara 4.293 - 5.305
18 Gorontalo 414 - 1.332
19 Sulawesi Tengah 2.026 - 4.553
20 Sulawesi Selatan 2.968 1.202 1.928
21 Sulawesi Barat 2.670 - 5.791
22 Sulawesi Tenggara 1.820 1.391 1.803
23 Maluku 985 - 1.161
24 Maluku Utara - - -
25 Papua 2.646 2.692 4.225
26 Papua Barat 3.794 159 2.964
Indonesia 3.165 3.349 3.990
Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan (2019)
C. Aksesibilitas Terhadap Input
Tingkat kemudahan dalam memperoleh input produksi merupakan hal yang
dibutuhkan perusahaan secara kontinu, tepat waktu, tepat jumlah serta tepat jenis.
Kemudahan yang dimaksud umumnya menyangkut ketersediaan input di pasar,
83
serta kondisi harga ideal yang dapat dijangkau oleh produsen, serta distribusi
input dari pemasok kepada produsen. Aksesibilitas produsen minyak sawit (CPO)
terhadap input sangat mempengaruhi kinerja serta capaian hasil dalam produksi
minyak sawit tersebut.
C.1 Alat dan Mesin Perkebunan
Alat dan mesin perkebunan merupakan sarana yang penting untuk
mendukung peningkatan produksi, mutu hasil, dan pendapatan pelaku usaha
perkebunan. Alat dan mesin perkebunan berperan penting dalam meningkatkan
luas areal tanam, areal panen dan produksi perkebunan, serta tuntutan
pemanfaatan teknologi mekanisme perkebunan maka kebutuhan alat dan mesin
perkebunan terus meningkat. Kebijakan pemerintah diperlukan dalam fasilitasi
alat dan mesin perkebunan.
Pada tahun 2017 pemerintah memberikan dukungan anggaran kegiatan
pengelolaan sistem penyediaan dan pengawasan Alsintan sebesar 3.7 triliun
rupiah. anggaran tersebut digunakan untuk mendukung kegiatan belanja alat dan
mesin pertanian, fasilitasi bantuan alat dan mesin pertanian dan layanan
perkantoran.
Karakteristik komoditas perkebunan dalam hal ini Tandan Buah Segar
(TBS) umumnya mudah rusak (perishable), memakan tempat (bulky) dan
memiliki volume yang besar (voluminous) sehingga memerlukan alat transportasi
yang cepat dan efisien agar TBS dari kebun langsung dikirim ke Pabrik Kelapa
Sawit (PKS) dan Pabrik Minyak Kelapa Sawit (PMKS). Dengan transportasi yang
cepat dan efisien maka akan menjamin kelancaran pengolahan TBS menjadi CPO
84
pada PKS. Umumnya alat transportasi yang digunakan pada perkebunan kelapa
sawit tergolong dalam tiga jenis, yaitu transportasi darat ( dumptruk, truk¸ wheel
tractor), transportasi railban, transportasi air (kapal kargo) serta transporter
fastrex yang dikembangkan guna memudahkan evakuasi TBS sawit dari lahan
kebun ketempat pengumpulan hasil.
C.2 Alat Pengolahan Minyak sawit
Direktorat Jenderal Perkebunan (2011) menyatakan bahwa pabrik
pengolahan CPO dapat dikatakan feasible apabila mampu memproses 30 ton TBS
per jam. TBS harus segera diproses dalam 24 jam sejak dipanen untuk menjaga
kualitasnya agar tetap memenuhi syarat. Hal tersebut mengakibatkan perusahaan
harus membangun pabrik pemrosesan CPO di sekitar areal perkebunan kelapa
sawit untuk mempermudah proses produksi. Pada perkebunan besar swasta dan
negara umumnya sudah memiliki pabrik kelapa sawit sendiri yang terintegrasi
dengan perkebunan.
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) telah mengembangkan
teknologi pabrik kelapa sawit berukuran mini guna membantu petani sawit pada
perkebunan rakyat untuk dapat memproduksi CPO secara mandiri. Pabrik Kelapa
Sawit (PKS) mini tersebut berkapasitas 5 ton dan 10 ton TBS per jam dibangun
dilahan seluas 1000 ha - 2000 ha. Investasi pada pembangunan PKS mini dengan
kapasitas 5 ton TBS/jam sekitar Rp 17,6 milyar, sedangkan investasi untuk
kapasitas 10 ton TBS/jam sebesar Rp 28,15 milyar. Besarnya biaya investasi
tersebut akan ditanggung bersama oleh pemerintah, perbankan, dan petani. BPPT
saat ini sudah mendirikan PKS mini di Kabupaten Kampar,Riau dengan kapasitas
85
2 ton TBS/jam, di Kabupaten Bengkalis, Riau dengan kapasitas 5 ton TBS/jam,
dan Muaro, Jambi dengan kapasitas 5 ton TBS/jam.
D. Biaya-Biaya Terkait
Usaha perkebunan kelapa sawit terdiri dari berbagai macam kegiatan antara
lain pembibitan, pembukaan lahan, penanaman kelapa sawit, pemeliharaan kelapa
sawit TBM (Tanaman Belum Menghasilkan), pemeliharaan kelapa sawit TM
(Tanaman Menghasilkan), dan panen. Sedangkan bagian-bagian yang terkait
dengan bidang usaha perkebunan kelapa wasit antara lain bagian tanaman,
kendaraan dan alat berat, bengkel, administrasi dan keuangan, bagian umum dan
SDM, dan bagian keamanan. Anggaran di perusahaan perkebunan kelapa sawit
terdiri dari berbagai macam kegiatan yang disusun secara sistematis, teratur, dan
terperinci.
Tabel 15. 4 (Empat) Bagian Besar Anggaran Perkebunan Kelapa Sawit
Kegiatan Uraian
Anggaran
Produksi TBS
Anggaran produksi antara lain tahun tanam (menyangkut
umur dan komposisi tanaman), jenis bahan tanaman, luas
areal yang dipanen, jumlah pokok dalam satu hektar
(populasi pokok), jenis tanah, pemupukan, pemeliharaan
tanaman, pencapaian produksi tahun-tahun sebelumnya, pola
panen (secara umum produksi kelapa sawit mempunyai 3
pola panen, yaitu panen rendah, sedang, dan panen puncak),
dan tren produksi.
Anggaran Biaya
Tanaman (Biaya
Langsung)
Anggaran biaya tanaman sesuai dengan jenis kegiatannya
dapat dibagi atas:
a. Anggaran Pembibitan
Pembibitan merupakan awal kegiatan lapangan yang
harus dimulai setahun sebelum penanaman di lapangan.
b. Anggaran Tanaman Baru
Kegiatan tanaman baru terdiri dari persiapan lahan,
pembuatan prasarana, pembuatan terasan dan tapak
kuda, perawatan lahan, penanaman kacangan,
penanaman kelapa sawit, dan pembuatan prasarana. Sumber: Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) (2010).
86
Tabel 15. 4 (Empat) Bagian Besar Anggaran Perkebunan Kelapa Sawit (Lanjutan)
Kegiatan Uraian
c. Anggaran Pemeliharaan TBM
TBM adalah masa sebelum panen (dari saat tanam
sampai panen pertama), berlangsung 30-36 bulan.
d. Anggaran Pemeliharaan TM
Kegiatan pemeliharaan TM antara lain; merumput,
melalang, pemupukan, pemberantasan hama dan
penyakit, penunasan, penyisipan dan konsolidasi,
pemeliharaan teresan dan tapak kuda, dan pemeliharaan
prasarana.
e. Anggaran Panen
Kegiatan panen antara lain memotong tandan matang,
mengumpulkan, mengawasi pelaksanaan pemotongan,
menghitung jumlah TBS yang dipotong, mengangkut
TBS yang dipotong ke PKS.
Anggaran Biaya
Tak Langsung
(BTL)
Anggaran yang merencanakan secara terperinci tentang
biaya tidak langsung selama periode yang akan datang, yang
di dalamnya meliputi rencana tentang jenis biaya tak
langsung, jumlah biaya tang langsung, dan waktu (kapan)
biaya tak langsung tersebut dibebankan. Biaya tak langsung
sering juga disebut dengan istilah general chargei.
Anggaran
Capital
Expenditure
(Capex)/
Investasi Non
Tanaman
Capex adalah perolehan sumber daya/aktiva tetap yang akan
memberikan peningkatan pada nilai produksi selama lebih
dari satu tahun.
Sumber: Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) (2010).
Dengan terlibatnya semua unsur yang mewakili semua bagian yang ada di
perusahaan dalam penyusunan anggaran, maka anggaran yang tersusun
merupakan hasil kerja besama semua bagian. Kerja sama ini sangat penting agar
pelaksanaan anggaran nantinya benar-benar didukung oleh seluruh bagian yang
ada dalam perusahaan.
87
2. Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia merupakan salah satu faktor yang sangat penting
dalam sebuah perusahaan atau organisasi sebagai individu produktif yang perlu
dikelola dengan baik untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi perusahaan.
Industri perkebunan kelapa sawit dinilai berperan strategis dalam ekonomi
Indonesia, terutama dalam penyerapan tenaga kerja. Hal tersebut menunjukkan
bahwa industri perkebunan kelapa sawit merupakan padat karya yang mampu
menyerap tenaga kerja. Perkebunan kelapa sawit secara umum lebih akomodatif
terhadap tenaga kerja yang tersedia dikawasan pedesaan. Hal ini menunjukkan
bahwa adanya perkebunan kelapa sawit menjawab permasalahan tenaga kerja
yang bertempat tinggal disekitar perkebunan.
Semakin berkembang usaha perkebunan, manajemen semakin menyadari
bahwa ketersediaan SDM merupakan hal yang sangat mempengaruhi dalam
meningkatkan daya saing perusahaan sehingga pembangunan perkebunan kelapa
sawit membutuhkan SDM yang terampil, andal, menguasai ilmu pengatahuan dan
teknologi serta inovatif. Sehingga industri perkebunan kelapa sawit Indonesia
menjadi bagian sektor penting dalam mengurangi pengangguran atau membuka
kesempatan kerja bagi masyarakat pedesaan.
Sumberdaya manusia dalam kegiatan industri minyak sawit Indonesia
didukung oleh sumberdaya manusia ahli yang terlibat dalam proses pengolahan
hingga pemasaran. Dalam proses pabrikasi, subsistem hilir minyak sawit disokong
oleh tenaga kerja ahli mesin, quality control, dan tenaga ahli lainnya. Pada bagian
pemasaran minyak sawit, didukung oleh sumberdaya manusia yang profesional
88
dalam bidang marketing, pencarian info pasar (market intelligent), agen (trader)
dan pembeli internasional yang berpengalaman dan menuntut produsen untuk
terus meningkatkan kualitasnya, serta beberapa ahli lainnya.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perkebunan tahun 2017-2019
menyebutkan bahwa, Industri perkebunan kelapa sawit pada tahun 2017 tercatat
menyerap 2.6 juta petani dan 4.3 juta pekerja langsung, tahun 2018 menyerap 2.6
juta petani dan 4.4 juta pekerja langsung, sedangkan pada tahun 2019 menyerap
2.7 juta petani dan 4.5 juta pekerja langsung. Penyerapan tenaga kerja pada
perkebunan kelapa sawit di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun
seiring dengan perluasan kebun, pertumbuhan jumlah petani dan jumlah tenaga
kerja perkebunan kelapa sawit Indonesia tahun 2017-2019, selengkapnya
disajikan pada Lampiran 19.
3. Sumber Daya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi memberikan sumbangsih besar
dalam meningkatkan subsistem yang tergabung dalam alur industri kelapa sawit
nasional. Beberapa aspek yang termasuk dalam sumber daya ini adalah lembaga
penelitian, organisasi pengusaha, asosiasi petani dan lembaga pendidikan dalam
hal ini perguruan tinggi.
a) Lembaga Penelitian
Dalam upaya mencapai target pembangunan berkelanjutan, industri CPO
nasional perlu mendapat dukungan riset yang terencana, terstruktur, dan
terintegrasi lintas bidang. Penerapan proses budidaya, pengolahan sawit,
89
pengembangan produk, dan pengelolaan lingkungan yang didasarkan kepada hasil
riset akan berdampak kepada efektivitas dan efisiensi penggunaan input produksi,
yang selanjutnya akan berdampak pada peningkatan produktivitas dan efisiensi
biaya.
Indonesia memiliki beberapa lembaga penelitian kelapa sawit baik itu
instansi pemerintah maupun perguruan tinggi yang berperan dalam
mengembangkan produksi CPO Indonesia seperti Pusat Penelitian Kelapa Sawit
(PPKS), Balai Besar Mekanisasi Pertanian Departemen Pertanian, Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) di Puspitek dan lembaga penelitian
yang dimiliki oleh perusahaan swasta dan organisasi yang bergerak pada industri
CPO. Hasil penelitian dan pengembangan tersebut meliputi bibit, proses budidaya
hingga produksi pasca-panen.
Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) mempunyai tugas utama yaitu
melakukan penelitian dan pengembangan dalam segala aspek industri kelapa
sawit, dan menyalurkan hasil penelitian tersebut dalam bentuk pelayanan kepada
masyarakat industri kelapa sawit.
Lingkup penelitian yang dilakukan PPKS saat ini meliputi; (1) Pemuliaan
dan bioteknologi tanaman, (2) Ilmu tanah dan agronomi, (3) Proteksi tanaman, (4)
Rekayasa teknologi dan pengelolaan lingkungan, (5) Pengolahan hasil dan mutu,
dan (6) Sosio tekno ekonomi. (http://www.iopri.org/tentang-ppks/profil).
Pada tahun 2017, BPDP Sawit telah mengeluarkan biaya untuk 110
penelitian dibidang budidaya, lahan, tanah, biomaterial, bioenergi,
pangan/kesehatan, lingkungan, pengolahan limbah, sosial ekonomi, dan
90
manajemen yang melibatkan 24 lembaga penelitian dari perguruan tinggi dan 13
non perguruan tinggi, 271 peneliti senior, 146 mahasiswa dan telah menghasilkan
3 publikasi buku 11 paten yang telah didaftarkan, dan 101 publikasi ilmiah di
jurnal nasional dan internasional. (Kementerian Riset dan Teknologi, 2017).
Peranan riset dalam berbagai aspek akan semakin meningkat di masa
mendatang sejalan dengan persaingan global yang semakin ketat. Intensifikasi
riset di bidang kelapa sawit penting dilakukan secara komprehensif dan hasilnya
dipublikasikan secara internasional. Melalui penyaluran dan untuk litbang, akan
dapat digali informasi komprehensif kebutuhan perkebunan dan industri sawit dari
hulu hingga hilir. Pemanfaatan hasil litbang produk turunan sawit yang nilai
tambahnya lebih tinggi akan mendorong hilirisasi industri sawit di Indonesia
untuk semakin berkembang.
b) Asosiasi Pengusaha
Dalam agribisnis minyak sawit, berkembang asosiasi perusahaan yang
bergerak di sektor hulu hingga hilir. Pada agribisnis hulu (up-stream) terdapat
beberapa asosiasi seperti; Asosiasi Produsen Pupuk Indonesia (APPI), Asosiasi
Produsen Pupuk Kecil Menengah (APPKM), Asosiasi Perusahaan Pestisida
Multinasional (APPM), dan Forum Komunikasi Produsen Benih Sawit Indonesia
(FKPBSI).
Pada usaha perkebunan kelapa sawit (on-farm) terdapat asosiasi seperti
GAPKI (Gabungan Pengusaha Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia). GAPKI
merupakan asosiasi perusahaan perkebunan kelapa sawit yang menjadi wadah
perusahaan produsen minyak sawit (CPO) dan mitra pemerintah dalam menyusun
91
berbagai kebijakan tentang perkelapasawitan, termasuk menetapkan kebijakan
tataniaga minyak sawit yang memberikan harga jual yang menarik sehingga akan
merangsang untuk melakukan investasi pada perkebunan kelapa sawit. Asosiasi
ini berjumlah 704 perusahaan yang terdiri dari Perusahaan Perkebunan Nusantara,
Perusahaan Perkebunan Swasta Nasional dan Asing serta peladang kelapa sawit
yang tergabung dalam Koperasi (GAPKI Members, 2019). GAPKI telah berperan
dalam menyediakan minyak sawit sebagai bahan baku untuk kepentingan industri
dalam negeri maupun ekspor untuk memenuhi kebutuhan minyak nabati dan
produk turunan lain dari minyak sawit. (http://www.gapki.or.id).
Sedangkan pada agribisnis hilir minyak sawit (down-stream), terdapat
beberapa asosiasi seperti, Asosiasi Industri Minyak Makan Indonesia (AIMMI),
Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) dengan jumlah anggota 38
perusahaan (Lampiran 20), Asosiasi Produsen Oleochemical Indonesia
(APOLIN), Asosiasi Produsen Biodesel Indonesia (APROBI). Pada penyedia jasa
terdapat juga beberapa asosiasi seperti; Asosiasi Peneliti Perkebunan Indonesia
(APPI), Asosiasi Perbankan, Asosiasi Eksportir dan lain-lain.
c) Asosisasi Petani
Asosiasi perkebunan kelapa sawit ditingkat petani dalam rangka
pembangunan perkebunan kelapa sawit rakyat dibentuklah Asosiasi Petani Kelapa
Sawit Indonesia (APKASINDO) yang didirikan pada tanggal 28 Oktober 2000
dan merupakan organisasi profesi petani kelapa sawit yang disahkan serta dibina
oleh Kementerian Pertanian, Gabungan Asosiasi Petani Perkebunan Republik
92
Indonesia (GAPPERINDO) dan Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI).
(https://www.dpp-apkasindo.com/tentang.html).
APKASINDO bertujuan untuk membentuk para petani agar lebih mandiri
dalam mengembangkan usaha tani (produksi, pengolahan dan pemasaran),
mengembangkan kemitraan antar petani dan pelaku usaha, memfasilitasi
dukungan kebijakan dari instansi pemerintah secara transparan dan menyentuh
petani kelapa sawit diberbagai wilayah Indonesia, memperkuat akses petani dalam
pasar domestik maupun internasional, dan memfasilitasi petani kepada pengusaha
perkebunan dan pemerintah. Saat ini, APKASINDO telah memiliki jumlah
anggota sebanyak 3,8 juta kepala keluarga petani dengan total luas lahan
mencapai 4,8 juta hektar, yakni 42 persen dari luas total kebun sawit di Indonesia.
Selain APKSINDO terdapat pula lembaga lain yang menghimpun para
petani kelapa sawit yaitu Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS). SPKS merupakan
organisasi petani kelapa sawit skala kecil yang didirikan pada 9 Juni 2006 dan
dideklarasikan pada 2013 untuk memperkuat skala berkelanjutan, kesejahteraan
dan kemandirian petani melalui pembangunan kapasitas, kelembagaan ekonomi
dan fasilitasi akses petani dalam berbagai sektor keuangan, kebijakan yang
berpihak, dan akses pemasaran dan keberlanjutan. (https://www.spks-
nasional.org/)
d) Dewan Minyak Sawit Indonesia
Pembangunan kelapa sawit nasional memerlukan adanya sebuah lembaga
yang mampu mengakomodasikan seluruh kepentingan bersama dari para pelaku
usaha kelapa sawit nasional. Lembaga termaksud harus berfungsi sebagai
93
himpunan seluruh kekuatan nasional, baik unsur pemerintah maupun seluruh
pelaku usaha, untuk membangun industri kelapa sawit nasional yang berdaya
saing global. Sebagai pelaksanaan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2004 tentang perkebunan, maka segenap pemangku kepentingan dalam industri
kelapa sawit nasional mulai dari perbenihan, perkebunan sampai dengan produk
turunannya memandang perlu untuk membentuk Dewan Minyak Sawit Indonesia
(DMSI) melalui deklarasi pada tanggal 7 Desember 2006 di Nusa Dua Bali yang
dihadiri oleh beberapa asosiasi/organisasi dan beberapa perwakilan pemerintah
seperti; Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Asosiasi
Produsen Oleochemical Indonesia (APOLIN), Asosiasi Petani Kelapa Sawit
Indonesia (APKASINDO), Gabungan Pengusaha Perkebunan Indonesia (GPPI),
Masyarakat Perkelapa-sawitan Indonesia (MAKSI), Direktorat Jenderal
Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, dan Direktorat Jenderal Perkebunan.
DMSI bertujuan untuk meningkatkan kerjasama dan koordinasi antar pelaku
usaha serta memfasilitasi perumusan regulasi dan kebijakan perkelapasawitan
nasional yang mampu membawa pelaku usaha untuk bersaing, tangguh dipasar
internasional dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan.
DMSI sebagai pusat koordinasi program dan kebijakan kelapa sawit
nasional bertugas memfasilitasi secara aktif antara lain: (1) Perumusan program
pembangunan industri kelapa sawit nasional, (2) Perumusan regulasi dan
kebijakan pembangunan industri kelapa sawit nasional yang berdaya saing,
tangguh di pasar internasional dan berkelanjutan untuk dilaksanakan oleh seluruh
instansi yang berwenang dan pihak-pihak terkait, (3) Perumusan pedoman jangka
94
panjang program pembangunan kelapa sawit nasional, dan (4) Pemantauan dan
evaluasi implementasi regulasi dan kebijakan pembangunan industri kelapa sawit
nasional. (http://www.dmsi.or.id/index.php/public/profil/detail/1)
e) Masyarakat Perkelapa-Sawitan Indonesia (MAKSI)
MAKSI merupakan organisasi yang dibentuk pada tahun 1998 oleh tujuh
PAU Biosains (PAU Bioteknologi ITB, PAU Ilmu Hayati ITB, PAU Pangan dan
Gizi UGM, PAU Bioteknologi Ilmu Hayati IPB), Pusat studi Pembangunan IPB
dan Pusat Penelitian Kelapa Sawit Medan. MAKSI memiliki visi menjadi
organisasi profesional terpercaya dalam bidang perkelapasawitan di dunia untuk
membantu pencapaian industri kelapa sawit nasional yang berdaya saing tinggi
dan berkelanjutan. Misi dari MAKSI adalah menjadi mitra terbaik pemerintah,
perusahaan swasta, BUMN, petani perkebunan sawit, dan para pemangku
kepentingan industri kelapa sawit lainnya dalam kegiatan penelitian,
pengembangan, pendidikan, pelatihan serta advokasi pengembangan industri
kelapa sawit Indonesia yang berkelanjutan, terutama demi kemakmuran dan
kesejahteraan bagi rakyat Indonesia dan berdaya saing tinggi secara ekonomi,
ekologi, dan sosial budaya. (MAKSI, 2011).
f) Lembaga Statistik
Indonesia sebagai negara produsen minyak sawit di dunia dan memiliki
aktivitas rantai nilai dan rantai pasok yang panjang mulai dari subsektor hulu
sampai subsektor hilir dalam hal ini diperlukan pencatatan yang secara
komprehensif agar informasi agribisnis kelapa sawit dapat tersebar secara luas.
Lembaga statistik berperan sebagai pengolah segala informasi dan data yang
95
bersifat kuantitatif untuk dipublikasikan sehingga hasilnya dapat digunakan untuk
keperluan umum seperti data statistik perkebunan kelapa sawit baik dari sektor
hulu hingga hilir yang meliputi luas areal, jumlah produksi, produktivitas
perkebunan kelapa sawit dan volume ekspor-impor hasil perkebunan kelapa sawit.
Peran dari lembaga statistik ini diwakili oleh Direktorat Jenderal Perkebunan,
Departemen Pertanian, Badan Pusat Statistik (BPS), dan Pusat Data dan Informasi
(PUSDATIN) disetiap kementerian terkait.
4. Sumber Daya Modal
Modal merupakan satu aspek penting dalam mengembangkan industri CPO
Indonesia, dengan modal yang memadai industri pengolahan CPO akan
berkembang dengan baik dan dapat bersaing di pasar internasional. Permodalan
merupakan faktor kunci dalam industri sawit karena usaha pengembangan kelapa
sawit merupakan kegiatan ekonomi yang padat modal (capital intensive).
Sektor pertanian memiliki potensi yang besar dalam memberikan kontribusi
pembangunan nasional. Potensi tersebut dapat dioptimalkan dengan adanya
dukungan aspek pembiayaan yang berasal dari beberapa sumber
permodalan/pembiayaan sehingga tercapai tujuan pembangunan pertaniaan yang
tepat sasaran dan berkelanjutan. Permasalahan utama yang dihadapi petani dalam
melaksanakan usaha tani adalah kesulitan dalam akses terhadap sumber-sumber
atau fasilitasi pembiayaan serta keterbatasan lembaga sosial ekonomi yang
mampu menyediakan modal dan mendorong pertumbuhan ekonomi petani.
Kegiatan utama yang dilaksanakan pemerintah dalam hal menangani
permasalahan antara lain: 1) Fasilitasi pembiayaan melalui program KUR dan
96
penyusunan RPP mengenai Unit Khusus Pertanian; 2) Pemberdayaan dan
penguatan Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKM-A) dan koperasi; dan 3)
Pelaksanaan asuransi pertanian meliputi asuransi usaha tanaman padi dan asuransi
ternak sapi. Kegiatan fasilitasi pembiayaan pertanian lain seperti pembiayaan
pertanian inklusif, Badan Layanan Umum Pertanian dan fasilitator pembiayaan
petani swadaya sudah mulai diinisiasi pada tahun 2017.
Pada perusahaan swasta sumber modal yang dibutuhkan dalam rangka
pengembangan perkebunan maupun pabrik kelapa sawit sudah tersedia karena
didukung oleh perusahaannya sebagai investor utama dan tambahan modal dari
perusahaan asing yang tertarik dengan prospek bisnis minyak sawit (CPO). Selain
itu, dalam rangka menarik investor dalam mengembangkan sektor hilir industri
minyak sawit. Pemerintah menjanjikan tiga macam insentif kepada para pelaku
industri hilir minyak sawit (CPO). Ketiga insentif tersebut berupa subsidi bunga
pinjaman untuk program peremajaan mesin-mesin produksi, pembebasan pajak
(tax holiday), dan dukungan infrastruktur dasar. Pada insentif subsidi bunga,
Kemenperin akan mengikuti pola program restrukturisasi mesin di sektor tekstil
dan produk tekstil (TPT) yang artinya subsidi bunga kredit akan diberikan bagi
sektor hilir CPO yang melakukan peremajaan mesin.
Sebagian besar permodalan untuk perusahaan sawit besar berasal dari FSPs
yang berbasis di negara-negara Asia, seperti Jepang, Malaysia, Indonesia dan
Singapura. Dan secara keseluruhan, permodalan ini tidak menerapkan kebijakan
Lingkungan, Sosial, dan Tata kelola (ESG) yang cukup.
97
5. Sumber Daya Infrastuktur
Sumber daya infrastruktur merupakan sarana dan prasarana fisik yang
menentukan daya saing CPO Indonesia. Kebutuhan prasarana industri CPO sangat
penting guna menunjang aktivitas industri lain yang menggunakan bahan baku
CPO. Adapun prasarana untuk mendukung industri CPO nasional antara lain
pembudidayaan kelapa sawit, penyimpanan dan pengangkutan, jalan, jembatan,
sarana air, listrik, transportasi, dan pelabuhan, serta prasarana pendukung lainnya.
Salah satu infrastruktur yang berperan dalam menjamin kelancaran distribusi CPO
ke luar negeri adalah pelabuhan. Fungsi pelabuhan pada industri minyak sawit
meliputi jasa bongkar muat, jasa kepabeanan, dan jasa pergudangan termasuk jasa
tangki timbun CPO.
Pemerintah sejak tahun 2011 melalui program Masterplan Percepatan dan
Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (M3PEI) merencanakan
pembangunan Kawasan Industri Hilir Sei Mangkei. Pembangunan Kawasan
Industri Hilir Sei Mangkei tahap pertama menganggarkan investasi sebesar Rp 1,8
triliun dan tahap berikutnya sebesar Rp 20 triliun. Sumber pendanaan
pembangunan kawasan tersebut berasal dari pemerintah pusat, Badan Usaha Milik
Negara (BUMN), swasta serta kolaborasi antara ketiganya. Pada tahap pertama
Kawasan Sei Mangke menempati area 64 hektar dan tahap berikutnya menjadi
104 hektar. Kawasan industri Sei Mangke akan diintegrasikan dengan
pembangunan rel kreta api dari Kawasan Industri Hilir Sei Mangke pun dibangun,
seperti Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Pesangan I dan II berkapasitas 88
megawatt (mw) di Takengon, Aceh dengan investasi Rp 3,5 triliun; pembangunan
98
broadband sebanyak 2,42 juta homepage dengan investasi Rp 4,1 triliun yang
dilaksanakan PT Telkom; peningkatan jalan dari Kota Tebing Tinggi menuju
Kisaran (Kabupaten Asahan), Rantau Prapat (Labuhanbatu) hingga perbatasan
Riau sepanjang 326,71 km dengan anggaran Rp 365 miliar. Begitu juga dengan
pembangunan jalan kereta api. Proyek ini mulai dilaksanakan tahun 2012 dan
sudah terjalin kesepakatan antara PTPN III dan PT Kereta Api Indonesia (KAI).
Tahun 2013 terdapat beberapa pelabuhan CPO yang telah operasional di
Indonesia seperti Belawan, Kuala Tanjung, Teluk Bayur, Dumai, Tanjung Priok,
Tanjung Perak, Surabaya, Maloy, Tanjung Api-api, dan lain-lain. Peningkatan
ketersediaan infrastruktur pada industri perkelapasawitan akan meningkatkan
produksi CPO, hilirisasi, pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan.
5.3.2 Kondisi Permintaan
Kondisi permintaan mengacu pada tersedianya pasar domestik yang siap
berperan menjadi elemen penting dalam menghasilkan daya saing. Pasar seperti
ini ditandai dengan kemampuan untuk menjual produk-produk superior, hal ini
didorong dengan adanya permintaan barang dan jasa berkualitas serta adanya
kedekatan hubungan antara perusahaan dan pelanggan. kondisi permintaan akan
dijelaskan melalui dua faktor yaitu komposisi permintaan domestik, permintaan
dan pola pertumbuhan.
a) Komposisi Permintaan Domestik
Komposisi permintaan domestik untuk CPO digolongkan dalam bentuk
bahan pangan dan nonpangan. Pemanfaatan CPO untuk produk olahan
99
diantaranya yaitu oleh industri pangan (minyak goreng, margarin, shortening,
cocoa butter substitutes, vegetable ghee) dan industri nonpangan seperti
oleokimia (fatty acid, fatty alcohol, gliserin) dan biodiesel. Dalam kurun waktu
lima belas tahun terakhir, total produksi CPO dalam negeri memiliki rata-rata
peningkatan sebesar 9,53 persen. Konsumsi CPO domestik cenderung mengalami
peningkaan, namun sempat mengalami penurunan pada tahun 2007-2009 dan
meningkat kembali di tahun 2010. Susanto (2011) menyebutkan bahwa
peningkatan konsumsi CPO domestik disebabkan oleh semakin meningkatnya
kebutuhan minyak goreng masyarakat. Hal ini dikarenakan CPO merupakan
bahan baku utama industri minyak goreng.
Peningkatan konsumsi CPO domestik ini ditunjang dengan adanya Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) sebagaimana dituangkan dalam
Kebijakan Pembangunan Industri Nasional menetapkan bahwa industri berbasis
CPO sebagai prioritas yang pengembangannya dapat dilakukan dengan
pendekatan klaster.
Sejak diberlakukannya mandatori biodiesel 20 persen (B20) pada bulan
september 2018, kebijakan ini sudah memiliki hasil positif berupa meningkatnya
serapan CPO di dalam negeri untuk biodiesel. Dari bulan Januari-Agustus serapan
biodiesel hanya mampu mencapai 215-290 ribu ton per bulan, sedangkan pada
bulan September 2018 serapan biodisel meningkat menjadi 400 ribu ton dan pada
bulan Oktober 2018 mencapai 519 ribu ton per bulan.
100
b) Permintaan dan Pola Pertumbuhan
Sejalan dengan peningkatan penggunaan dalam negeri, ekspor juga
mengalami peningkatan. Sepanjang Oktober 2018, volume ekspor minyak sawit
Indonesia (CPO dan turunannya, Oleochemical dan Biodiesel) tercatat naik
sebesar 5 persen dibandingkan dengan bulan sebelumnya atau dari 3,19 juta ton
naik menjadi 3,35 juta ton. Sementara itu, dibulan yang sama pada bulan oktober
volume ekspor CPO, PKO dan turunannya saja (tidak termasuk oleochemical dan
biodiesel) mencapai 3,14 juta ton (naik 5 persen) dibandingkan bulan sebelumnya
yang hanya mecapai 2,99 juta ton. Ekspor di bulan oktober ini terdiri dari CPO
sekitar 760,82 ribu ton atau sekitar 24 persen dari total volume ekspor dan sisanya
sebanyak 2,34 juta ton atau 76 persen merupakan produk turunan atau olahan dari
CPO. Samapai dengan Oktober 2018, Indonesia sudah mengekspor 4,9 juta ton
CPO atau 18 persen dan produk turunan sebesar 21, 17 juta ton atau 82 persen.
5.3.3 Industri Terkait dan Industri Pendukung
Faktor industri terkait dan industri pendukung mengacu pada tersedianya
serangkaian dan adanya keterkaitan kuat antara industri pendukung dan
perusahaan, hubungan dan dukungan ini akan menjadi positif jika berujung pada
peningkatan daya saing perusahaan. Kedua industri tersebut dapat memberikan
nilai lebih dan menjadi salah satu penyokong keberhasilan industri CPO
Indonesia.
101
1) Industri Terkait
Industri terkait merupakan industri yang berada pada sistem komoditas
secara vertikal, seperti industri pengadaan bahan baku, bahan tambahan, bahan
kemasan sampai pemasaran.
a. Industri Pemasok
Minyak sawit (CPO) merupakan produk utama dari tanaman kelapa sawit.
Sebagai negara produsen CPO terbesar di dunia, Indonesia memiliki banyak
pemain di bisnis perkebunan kelapa sawit. Pada Perkebunan Besar Negara (PBN),
pelaku utamanya adalah PT Perkebunan Nusantara (PTPN). Saat ini terdapat 10
PTPN yang merupakan produsen CPO di Indonesia antara lain PTPN I- PTPN
VIII, PTPN XIII dan PTPN XIV. Sementara itu, pada pelaku utama pada
Perkebunan Besar Swasta (PBS) kelapa sawit diantaranya adalah Astra Agro
Lestari, Sinarmas (SMART), Indofood, Permata Hijau Group, Sampoerna Agro,
Musim Mas, Asian Agri, Wilmar Corporation, Bakrie Sumatera Plantation, dan
PP London Sumatera. Selain itu masih banyak lagi perusahaan-perusahaan
perkebunan daerah yang kecil-kecil dan jumlahnya mencapai ratusan.
b. Industri Penyediaan dan Pengolahan Kelapa Sawit
Industri minyak sawit (CPO) terdiri dari pabrik yang mengolah CPO
menjadi produk CPO turunan lainnya. Industri yang bergerak di sektor ini
memanfaatkan CPO sebagai bahan baku utama dalam pembuatan produknya.
Industri yang termasuk ke dalam sektor ini diantaranya adalah industri pangan dan
nonpangan. Dalam industri pangan, CPO digunakan sebagai bahan untuk
102
membuat minyak goreng, margarin, lemak pangan, kue, pelumas, sabun, mesin
diesel, dan kosmetika.
Pada tahun 2010 Indonesia tercatat memiliki 94 pabrik minyak goreng yang
tersebar di 19 provinsi (Tabel 16).
Tabel 16. Distribusi Pabrik Minyak Goreng di Indonesia
No Provinsi Jumlah Pabrik (unit)
1 Nanggroe Aceh Darussalam 2
2 Sumatera Utara 13
3 Sumatera Barat 3
4 Riau 8
5 Jambi 2
6 Sumatera Selatan 5
7 Lampung 4
8 DKI Jakarta 8
9 Jawa Barat 8
10 Jawa Tengah 5
11 Jawa Timur 9
12 Banten 1
13 Kalimantan Barat 11
14 Kalimantan Timur 2
15 Sulawesi Utara 5
16 Sulawesi Tengah 1
17 Sulawesi Selatan 5
18 Gorontalo 1
19 Papua Barat 1
Indonesia 94 Sumber: Dewan Minyak Sawit Indonesia (2010)
Selain industri minyak goreng, Indonesia juga terus mengembangkan
industri turunan minyak sawit, salah satunya industri oleokimia. Pada tahun 2017
terdapat 18 perusahaan yang bergerak dibidang oleokimia, namun produsen
oleokimia dasar baru ada 9 perusahaan yang bergabung dengan APOLIN dimana
diantaranya PT Musim Mas dengan kapasitas 450 ribu ton per tahun, PT Ecogreen
dengan kapasitas 419 ribu ton per tahun, dan PT Wilmar Nabati Indonesia 132
ribu ton per tahun. Berdasarkan data APOLIN (2017) total kapasitas produksi
103
olekimia yang dimiliki seluruh anggota APOLIN sebesar 3.7 juta ton per tahun
untuk fatty acid, 2.1 juta ton per tahun untuk fatty alcohol, 854.000 ton per tahun
untuk glyserin, 1,9 juta ton per tahun untuk methyl ester, dan 1,8 juta ton per
tahun untuk soap noodle. Fokus persebaran industri oleokimia didominasi di
Sumatera Utara.
Semakin menipisnya cadangan energi berbasis fosil mendorong dunia
mencari energi alternatif pengganti minyak fosil, salah satunya biodiesel dari
sawit (fatty acid methyl ester). Berdasarkan riset yang telah dilakukan, biodiesel
sawit memiliki emisi jauh lebih rendah dari minyak fosil. Saat ini di Indonesia
tercatat memiliki sekitar 20 produsen biodiesel sawit yang terdaftar di Asosiasi
Produsen Biofuel Indonesia (APROBI), diantaranya PT Wilmar Bioenergi
Indonesia yang berlokasi di Riau dengan kapasitas produksi 1.3 juta ton per tahun,
PT Musim Mas di Medan (235 ribu ton per tahun), PT Eterindo Whanatama
Gresik (80 ribu ton per tahun), PT Wilmar Nabati Indonesia di Gresik (1.3 juta ton
per tahun), PT Sumi Asih Oleochem di Bekasi (100 ribu ton per tahun), PT
Darmex Biofuels di Cikarang (150 ribu ton per tahun), PT Darmex Biofuels di
Dumai (410.5 ribu ton per tahun) , PT Indo Biofuels Energy di Kalimantan Barat
(100 ribu ton per tahun), PT Permata Hijau Palm Oleo di Medan (140 ribu ton per
tahun), PT Nusa Energy di Kalimantan Timur (100 ribu ton per tahun), PT Bits
Energy di Kalimantan Timur (100 ribu ton per tahun), PT Multi Biofuel Indonesia
di Sulawesi Utara (160 ribu ton per tahun), dan lainnya.
104
2) Industri Pendukung
Selain industri terkait terdapat juga industri pendukung yang merupakan
industri yang memberikan kontribusi secara tidak langsung dalam sistem
komoditas secara vertikal.
a. Industri Jasa Tataniaga
Minyak sawit (CPO) yang diperdagangkan di Indonesia berasal dari dua
sumber, yaitu perkebunan negara dan perkebunan swasta. Sesuai dengan
kesepakatan diantara perkebunan negara, pemasraan CPO harus melalui PT.
Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (PT KPBN). untuk pasar dalam negeri,
KPBN bisa langsung menjual ke industri pengolahan melalui jatah alokasi yang
telah ditetapkan. Sementara itu, untuk konsumen luar negeri, pemasaran dilakukan
bertahap, KPBN menjual CPO kepada importir luar negeri yang kemudian
memasarkannya untuk konsumen luar negeri. Hal ini seperti digambarkan pada
Gambar 25.
Gambar 25. Saluran Pemasaran Minyak Sawit Indonesia Pada Perkebunan Negara Sumber: Pahan (2011)
Pada perusahaan perkebunan swasta, penjualan produknya dilakukan secara
sendiri-sendiri tanpa melalui Kantor Pemasaran Bersama. Kesepakatan harga
Perkebunan Negara
PT. Kharisma Pemasaran
Bersama Nusantara (KPBN)
Konsumen
Luar Negeri
Importir Luar
Negeri
Konsumen
Dalam Negeri
105
ditetapkan melalui mekanisme pasar yang mengacu pada harga CPO internasional
pada bursa berjangka Kuala Lumpur dan pasar fisik Rotterdam, sebagaimana
digambarkan pada Gambar 26.
Gambar 26. Saluran Pemasaran Minyak Sawit Indonesia Pada Perkebunan Swasta Sumber: Pahan (2011)
b. Industri Jasa Riset dan Pendidikan Sumber Daya Manusia
Pada era persaingan bebas, tersedianya tenaga kerja terdidik dan terampil
menjadi semakin penting, karena dengan demikian dapat diharapkan mampu
meningkatkan produktivitas tanaman dan mutu CPO yang dihasilkan. Pelatihan
tenaga kerja ini dititikberatkan pada praktek kerja nyata di kebun dan pabrik
secara langsung. Sistem seperti ini diharapkan agar materi yang disampaikan di
kebun dan pabrik dapat diterapkan secara langsung.
Indonesia memiliki beberapa tempat pendidikan dalam rangka penyediaan
SDM teknis pada industri minyak sawit nasional yaitu INSTIPER, Politeknik
Kelapa Sawit Citra Widya Edukasi (CWE), dan Lembaga Pendidikan Perkebunan.
Kebun
Rakyat/PIR
Kebun Sendiri PKS Perusahaan
Lain PKS Perusahaan
Sendiri
Bagian Pemasaran
Broker Lokal
Importir
Luar Negeri
Konsumen di
Dalam Negeri
Konsumen di
Luar Negeri
106
Sementara itu, dalam memenuhi kebutuhan SDM di bidang riset dan
pembangunan (R&D) industri minyak nasional, ada beberapa lembaga yang
berkecimpung di dalamnya, antara lain Pusat Penelitian Kelapa Sawit, SEAFAST
Center IPB, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi IPB, Pusat
Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan IPB, Pusat Penelitian Bioteknologi
ITB, Pusat Penelitian Ilmu Hayati ITB, Pusat Penelitian Bioteknologi UGM,
Pusat Studi Pangan dan Gizi UGM. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi,
Balai Penelitian Bioteknologi dan Perkebunan Indonesia, Forum Biodiesel
Indonesia, Universitas Lampung, dan SEAMEO Biotrop IPB.
c. Industri Jasa Pemasaran
Industri jasa pemasaran merupakan lembaga perantara pemasaran, seperti
pedagang pengumpul, pedagang besar, pedagang eceran, distributor, dan
eksportir. Industri ini diharapkan mampu meningkatkan volume penjualan, pangsa
pasar dan jumlah pelanggan. Selain itu juga beberapa perusahaan kelapa sawit
telah masuk ke pasar saham di Indonesia, Malaysia, Singapura, dan London.
3) Gambaran Operasional Industri Kelapa Sawit PT Musim Mas Group
Persebaran perusahaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia berkembang
sangat pesat seiring pertumbuhan permintaan minyak nabati dunia dan Bahan
Bakar Nabari (BBN) terbarukan sebagai alternatif Bahan Bakar Fosil.
Perkembangan perusahaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia tidak hanya
sebatas bertambahnya luas areal dan produksi kelapa sawit saja, akan tetapi
industri-industri pengolahan kelapa sawit (oleopangan, oleokimia, dan biofuel)
yang turut serta meningkat. saat ini jumlah perusahaan perkebunan kelapa sawit di
107
Indonesia sebanyak 1779 perusahaan yang terdiri dari 164 perusahaan milik
negara, dan 1615 perusahaan milik swasta.
Salah satu perusahaan swasta kelapa sawit terbesar di Indonesia adalah PT
Musim Mas Group. Musim Mas merupakan perusahaan yang beroperasi secara
global diseluruh spektrum bisnis kelapa sawit yang berkantor pusat di Singapura.
Kegiatan usahanya meliputi keseluruhan rantai suplai minyak sawit mulai dari;
pengolahan perkebunan kelapa sawit, penyulingan minyak sawit dan manufaktur
produk bernilai tambah. Musim Mas secara global memiliki keberadaan
operasional di 13 negara (Brazil, China, Jerman, India, Indonesia, Italy, Malaysia,
Belanda, Singapura, Spanyol, Inggris, Amerika Serikat, dan Vietnam).
Keberadaan Musim Mas di Indonesia meliputi kepemilikian perkebunan, pabrik,
pabrik penghancur biji, pabrik penyulingan, industri biodiesel, industri
oleokimia/lemak khusus, dan kantor. Sedangkan di 12 negara lainnya mayoritas
tidak memiliki perkebunan, pabrik, pabrik penghancur biji, dan industri biodiesel.
Musim Mas Group memiliki lokasi produksi di Asia dan Eropa dengan
sumber bahan baku dari Indonesia dan Malaysia. Perusahaan memiliki 16
perkebunan dan 14 pabrik kelapa sawit sebagai basis produksi di Indonesia. Ada
juga 17 pabrik penyulingan yang terletak di Indonesia (Sumatera, Kalimantan,
Jawa, dan Sulawesi), Malaysia (Johor Bahru), India (Andhra Pradesh dan Tamil
Nadu), dan Spanyol (Castellon, La Coruna, dan Murcia). Perusahaan ini juga
memiliki 8 pabrik pengolahan inti yang terletak di Indonesia (Sumatera,
Kalimantan, Jawa, dan Sulawesi). Berikut adalah peta operasional PT Musim Mas
Group yang beroperasi di Indonesia:
108
Gambar 27. Lingkup Operasional Musim Mas di Indonesia. Sumber: PT. Musimmas (2019)
Sebagai gambaran lingkup operasional industri kelapa sawit di Indonesia
yang diperoleh dari domain umum PT. Musim Mas, menunjukkan peta
operasional yang mencakup lokasi perkebunan kelapa sawit, pabrik kelapa sawit,
pabrik penyulingan, dan pabrik pengolahan minyak sawit. Berdasarkan gambar di
atas lingkup operasional industri kelapa sawit PT. Musim Mas di Indonesia yang
berpusat di pulau Sumatera dan Kalimantan terdiri dari;
1. Perkebunan (Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan,
Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Papua).
2. Pabrik Kelapa Sawit (PKS) (Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Riau,
Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah).
3. Pabrik Penghancur Inti Sawit (Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera
Selatan, Riau, Kalimantan Tengah, dan Sulawesi Utara).
4. Pabrik Penyulingan (Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan,
Jawa Barat, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan).
109
5. Pabrik Biodiesel (Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, dan Kalimantan
Tengah).
6. Pabrik Oleokimia (Sumatera Utara, dan Kepulauan Riau).
7. Pabrik Specialty Fats (Sumatera Utara, Jawa Timur, dan Jawa Barat).
5.3.4 Struktur, Persaingan dan Strategi Industri CPO Nasional
Struktur, Persaingan dan Strategi Industri mengacu pada strategi dan
struktur yang ada pada sebagian besar perusahaan dan intensitas persaingan pada
industri tertentu. Faktor strategi dapat terdiri dari dua aspek; pasar modal dan
pilihan karir individu. Struktur mengikuti strategi, dimana struktur dibangun guna
menjalankan strategi. Sedangkan intensitas persaingan yang tinggi akan
mendorong sebuah inovasi.
A. Struktur Pasar
a) PT Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (PT KPBN)
PT Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (KPBN) dibentuk sebagai
badan pemasaran terpusat PTPN yang ada di Indonesia yang memiliki tujuan
utama untuk menyelenggarakan pemasaran hasil produksi PTPN dengan
berpegang pada prinsip ekonomi dan tugas-tugas BUMN agar PTPN mendapat
manfaat yang sebesar-besarnya. Bentuk pemasaran CPO di PT KPBN adalah
tender, dimana diawali dengan penawaran jumlah CPO oleh PT KPBN
berdasarkan PTPN yang ada lalu para peserta tender yang berminat akan
melakukan penawaran harga sesuai dengan informasi yang mereka miliki hingga
tercapainya harga tertinggi. PT KPBN akan menerima penawaran harga tersebut
110
bila berada di atas harga ancar-ancar yang telah ditetapkan di awal tender oleh PT
KPBN atau minimal sama dengan harga ancar-ancar tersebut. Dengan begitu
dapat dikatakan bahwa CPO telah terjual kepada pembeli tersebut.
PT KPBN sebagai sebuah lembaga pemasaran bagi PTPN menjadi acuan
bagi produsen lain dalam menetapkan standar kualitas produk dan harga minyak
sawit nasional. Selain sebagai lembaga pemasaran, PT KPBN juga menjalankan
fungsinya dalam quality control, pencarian informasi pasar, promosi, konsultasi,
jasa pergudangan, pengapalan, customer service termasuk dalam bantuan
penyelesaian klaim.
Saat ini ada 10 PTPN yang merupakan produsen CPO Indonesia antara lain
PTPN I – PTPN VIII, PTPN XIII dan PTPN XIV. Oleh sebab itu ada 10 produsen
CPO yang ada di PT KPBN. Selain itu pembeli untuk CPO lokal yang terdaftar di
PT KPBN berjumlah sekitar 50 perusahaan dengan pelanggan utama seperti:
Astra Agro Lestari, Musim Mas, Multi Nabati Asahan, PT Bukit Kapur Reksa,
Permata Hijau Sawit, SMART Tbk, Wilmar Nabati Indonesia, Nagamas Palmoil
Lestari, Bina Karya Prima, Darmex Oil & Fats, Pelita Agung Agrindustri, Inti
Benua Perkasatama, Sinar Alam Permai, Palm Mas Asri, Tunas Baru Lampung,
Pacific Palmindo Industri, Indokarya Internusa, dll. Sedangkan pelanggan utama
untuk CPO ekspor antara lain Uni Eropa (Wilmar, ISISA, Safic Alcan), India
(Protea), China (Wilmar), Malaysia, Singapura (Glade Ltd, Wilmar), dll.
Produk CPO yang dipasarkan di PT KPBN adalah jenis (homogen) yang
memiliki kualitas seragam dan telah terstandar di seluruh Indonesia (SNI). Setiap
pembeli dan penjual (PTPN) adalah penerima harga dimana pergerakan harga
111
sangat bergantung pada harga CPO internasional (MDEX Malaysia dan pasar fisik
Rotterdam), kurs/nilai tukar rupiah, serta harga-harga minyak nabati dunia sebagai
substitusinya (pasar minyak kedelai USA/CBOT, Argentina/GERA,
Brazil/SYBV, India/NBTI, China/DCE, pasar minyak kelapa filipina, dll).
Disamping itu KPBN juga menerima produsen CPO lain yang ingin bergabung
untuk menjual produknya melalui tender di KPBN.
b) PT Bursa Berjangka Jakarta
Sejak tahun 2009 pemasaran CPO Indonesia juga dilakukan dalam bentuk
perdagangan fisik CPO melalui PT Bursa Berjangka Jakarta. PT Bursa Berjangka
Jakarta adalah penyelenggara pasar fisik minyak sawit mentah (CPO) terorganisir
yang melaksanakan lelang fisik CPO secara online. Lelang secara online inilah
yang memfasilitasi pihak penjual dapat melakukan penawaran jual sebagian atau
melakukan penawaran jual keseluruhan dengan menggunakan harga patokan jual
(reverse price) dan memfasilitasi pihak pembeli untuk dapat memberikan
penawaran beli kepada pihak penjual.
Informasi penjualan CPO pada lelang wajib mencantumkan informasi
seperti lokasi barang, mutu, jumlah, jenis dan tempat penyerahan serta harga
patokan jual yang akan dilelang dalam satu sesi tertentu (khusus informasi
mengenai harga patokan jual ini tidak dapat dilihat oleh pembeli sampai
berakhirnya lelang pada sesi tersebut). Peserta pada Bursa Berjangka Jakarta ini
terdiri dari pembeli dan penjual. Pembeli terbagi menjadi dua, yaitu pembeli
prosesor dan pembeli nonprosesor (pedagang). Sejak dibukanya pasar ini, tercatat
ada 12 penjual dan 9 pembeli resmi terdaftar sebagai peserta kontrak perdagangan
112
fisik CPO. Para penjual terdiri dari PT Perkebunan Nusantara (PTPN) I hingga
PTPN VIII, PTPN XIII, PTPN XIV, PT Rajawali Nusantara Indonesia dan PT
Bina Karya Prima. Sedangkan pembelinya adalah PT Bina Karya Prima, PT
Musim Mas, PT Pelita Agung Agri Industri, PTPN II, PTPN XIV, PT Fath
Indonesia dan PT Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk.
Industri CPO di Indonesia di dominasi oleh perusahaan swasta dan
perusahaan negara. Perusahaan di Indonesia saat ini mencapai 1779 perusahaan
yang terdiri dari 164 perusahaan Perkebunan Besar Negara (PBN) dan 1615
perusahaan Perkebunan Besar Swasta (PBS). Pada Industri minyak sawit di
Indonesia struktur pasar yang terbentuk adalah struktur pasar oligopoli (oligopoly
market) karena dalam industri minyak sawit Indonesia, perkebunan kelapa sawit
sebagai pemasok minyak sawit nasional hanya usahakan oleh tiga bentuk
pengusahaan atau tiga stakeholders yaitu; (1) Perusahaan Besar Swasta, (2)
Perusahaan Besar Negara, dan (3) Perkebunan Rakyat (Kardiman, 2011).
Perkembangan tingkat konsentrasi pada industri minyak sawit Indonesia
semakin meningkat seiring dengan peningkatan pangsa pasar yang dimiliki para
perusahaan terbesar begitu juga dengan hambatan masuk yang juga meningkat
bagi pemain baru untuk memasuki industri minyak sawit. Struktur pasar
merupakan fungsi dari hambatan masuk dan tingkat konsentrasi, dimana akan
mempengaruhi perilaku perusahaan dalam membuat keputusan untuk
berkompetisi atau berkolusi.
113
Dewasa ini sering terjadi persaingan usaha yang tidak sehat dalam proses
persaingan pasar, salah satunya adalah praktek kartel minyak goreng yang
dilakukan 20 pelaku usaha minyak goreng di Indonesia. Mereka terbukti
melakukan kartel harga karena melanggar ketentuan Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 11
UU No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat yang tertuang di dalam Putusan KPPU No.24/KPPU-1/2009 tentang
kartel minyak goreng (Fatria, 2018).
Perusahaan-perusahaan yang melakukan kartel akan menjadikan
perusahaan-perusahaan dalam industri tersebut memiliki keuntungan di atas
normal. Inti dari perbuatan kartel adalah untuk menghilangkan persaingan, artinya
pelaku usaha tidak mau lagi bersaing dengan pelaku usaha dan bermaksud
menghilangkan persaingan diantara mereka, sehingga unsur pelaku usaha
pesaingnya harus terpenuhi. Sebenarnya kartel masih diperbolehkan dilakukan
oleh pelaku usaha di Indonesia asal kartel tersebut tidak menimbulkan praktek
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. kartel masih diperbolehkan oleh
Indonesia karena berdasarkan rumusan Pasal 11 UU No.5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang mengatur
tentang kartel menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian
dengan para pesaingnya untuk mempengaruhi harga hanya jika perjanjian itu
dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha
tidak sehat (Fatria, 2018).
114
B. Persaingan
Seiring dengan permintaan CPO dunia dengan rata-rata peningkatan sebesar
persen setiap tahun dan juga meningkatnya kebutuhan industri terhadap CPO
mendorong pelaku industri minyak sawit di Indonesia memacu produksi dan
tingkat produktivitas dari perkebunan kelapa sawit. Industri pengolahan kelapa
sawit di Indonesia didominasi oleh perusahaan swasta dan perusahaan negara.
Industri pengolahan CPO di Indonesia didominasi oleh perusahaan swasta besar
seperti: Astra Agro Lestari, Sinarmas, Indofood, Permata hijau Group, Sampoerna
Agro, Musim Mas, Asian Agri, Wilmar Corporation, dan PP London Sumatera
yang mempunyai modal besar untuk pembangunan unit pengolahan CPO. Pada
umumnya perusahaan besar swasta ini merupakan perusahaan yang terintegrasi
secara keseluruhan dari hulu hingga hilir.
C. Strategi
Pengembangan industri CPO Indonesia sangat didukung oleh adanya
strategi yang diterapkan secara tepat. Dengan digunakannya prinsip strategi oleh
perusahaan, maka strategi dalam mengembangkan industri CPO dapat
mengunakan tiga level strategi, yaitu:
a) Strategi Korporasi :
Strategi korporasi menggambarkan arah kebijakan pemerintah terhadap arah
pengembangan industri minyak sawit di Indonesia. Sejak Mei 2011, pemerintah
meluncurkan program Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia (MP3EI). Program ini memiliki visi yaitu mengangkat
Indonesia menjadi negara maju dan merupakan kekuatan 12 besar dunia di tahun
115
2025 dan 8 besar dunia pada tahun 2045 melalui pertumbuhan ekonomi tinggi
yang inklusif dan berkelanjutan. Salah satu komoditas yang menjadi program
utama pertanian pada MP3 EI adalah minyak sawit (CPO).
b) Strategi Bisnis
Strategi bisnis lebih menekankan pada perbaikan posisi persaingan produk.
Hal ini menuntut produsen minyak sawit di Indonesia untuk mengolah CPO yang
dihasilkan agar memiliki nilai tambah. Sesuai dengan Peraturan Presiden No. 28
tahun 2008, tentang Kebijakan Industri Nasional, industri pengolahan kelapa
sawit merupakan salah satu prioritas untuk dikembangkan dan mempunyai nilai
tambah yang lebih tingi, seperti industri olefood, oleochemical, energi dan
pharmaceutical.
c) Strategi Fungsional
i. Strategi Sumber Daya Manusia
Dalam rangka menghadapi persaingan global yang semakin ketat,
diperlukan kompetensi sumberdaya manusia unggulan, yang mampu
melaksanakan pengembangan industri minyak sawit nasional dengan cara yang
berkelanjutan yang diberikan oleh lembaga riset dan pendidikan milik pemerintah
atau swasta. Dalam pemenuhan SDM teknis, Indonesia memiliki beberapa tempat
pendidikan seperti INSTIPER, Politeknik Kelapa Sawit Citra Widya Edukasi, dan
Lembaga Pendidikan Perkebunan. Sementara itu, dalam memenuhi kebutuhan
SDM dibidang riset dan pengembangan (R&D) industri minyak sawit nasional,
ada beberapa lembaga yang berperan di dalamnya, seperti Pusat Penelitian Kelapa
Sawit (PPKS), SEAFAST Center IPB, Pusat Sumberdaya Hayati dan
116
Bioteknologi IPB, Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan IPB, Pusat
Penelitian Bioteknologi ITB, Pusat Penelitian Ilmu Hayati ITB, Pusat Penelitian
Bioteknologi UGM, Pusat Studi Pangan dan Gizi UGM, Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi, Balai Penelitian Bioteknologi dan Perkebunan Indonesia,
Forum Biodiesel Indonesia, Universitas Lampung, dan SEAMEO Biotrop IPB.
ii. Strategi Produksi dan Pemasaran
Produksi CPO Indonesia setiap tahun terus meningkat seiring dengan
pemanfaatan teknologi penunjang dan pengembangan industri hiliriasasi,
Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertanian telah berupaya meningkatkan
produksi CPO bermula dari sektor onfarm yakni dengan melaksanakan
peremajaan (replanting) lahan dengan menggunakan benih unggul guna
meningkatkan produktivitas.
Harga jual CPO yang dijual dipasaran dipengaruhi oleh kualitas yang
terkandung pada CPO. Pada pasar dalam negeri, CPO yang dijual harus memiliki
standar yang jelas yaitu SNI. Selain SNI, bagi produsen CPO harus memiliki
sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dan Roundtable on
Sustainable Paml Oil (RSPO) yang menunjukkan bahwa produsen CPO
mendukung usaha berkelanjutan mempertahankan dan memperkuat posisi
Indonesia dalam perkelapasawitan dunia, sehingga harga jual CPO yang sudah
bersertifikasi ISPO dan RSPO akan memiliki harga yang lebih tinggi
dibandingkan dengan harga jual CPO yang tidak bersertifikasi.
Harga yang tingi untuk komoditi CPO di pasar internasional akan
menyebabkan produsen meningkatkan penjualannya. Pemasaran keluar negeri
117
dapat dilakukan melalui pasar berjangka. Untuk mengatasi lonjakan harga luar
negeri yang sering berfluktuasi karena CPO sebagai salah satu minyak nabati
yang banyak digunakan sebagai bahan baku biodiesel, pemerintah menetapkan
harga dan biaya keluar ekspor (BKE). Kebijakan ini merupakan salah satu reglasi
agar pasokan kebutuhan CPO dalam negeri tercukupi.
Dari aspek promosi, akses informasi pasar minyak sawit sangat penting bagi
pengetahuan konsumen industri CPO. Melalui promosi yang dilakukan oleh
produsen, informasi komoditas yang ditawarkan dapat dikenal oleh para
konsumen dalam maupun luar negeri. Berbagai macam informasi dapat dilakukan
melalui promosi yang berupa jurnal ilmiah, buletin, buku, seminar, simposium,
pameran, iklan surat kabar, dan iklan elektronik.
Aspek pemasaran selanjutnya adalah aktivitas distribusi yang dilakukan
setelah produksi dan penetapan harga. Perusahaan besar yang mempunyai kebun
dan pabrik pengolahan sendiri mendistribusikan hasil produksi didalam maupun
luar negeri didistribusikan melalui kantor pemasaran yang sudah terintegerasi
kepada konsumen, sehingga saluran tataniaga yang dilakukan perusahaan dan
konsumen lebih efektif dibandingkan dengan perusahaan yang tidak mempunyai
kantor pemasaran sendiri. Berdasarkan keputusan Menteri Pertanian No.
339/Kpts/PD.300/5/2007 mengenai pasokan CPO untuk kebutuhan dalam negeri
guna stabilisasi harga minyak goreng. Dengan keputusan ini, pengusaha yang
tergabung dengan GAPKI dan Non-GAPKI wajib menyalurkan CPO kepada
Asosiasi Minyak Nabati Indonesia untuk diolah menjadi minyak goreng.
118
iii. Strategi Keuangan
Pada perusahaan besar swasta, modal dalam pengembangan perkebunan
maupun pabrik kelapa sawit sudah tersedia karena didukung oleh perusahaannya
sebagai investor utama dan tambahan modal dari modal perusahaan asing yang
tertarik dengan prospek bisnis minyak sawit (CPO).
5.3.5 Peran Pemerintah
Peran pemerintah tercermin melalui kebijakan, regulasi, maupun dukungan
terhadap upaya-upaya pengembangan minyak sawit. Hingga saat ini, terdapat
beberapa kebijakan, regulasi maupun sikap pemerintah yang mempengaruhi
kelangsungan kegiatan industri minyak sawit Indonesia. Berikut adalah beberapa
bentuk kebijakan maupun sikap yang dinilai paling berpengaruh terhadap industri
minyak sawit nasional:
a. Kebijakan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO)
Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) adalah suatu sistem kebijakan yang
diambil oleh pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementerian Pertanian dengan
tujuan untuk meningkatkan daya saing minyak sawit Indonesia di pasar dunia,
ikut berkontribusi dalam rangka memenuhi komitmen pemerintah untuk
mengurangi gas rumah kaca, meningkatkan skala ekonomi dan memberi perhatian
terhadap kualitas lingkungan hidup. ISPO dibentuk pada tahun 2009 oleh
pemerintah Indonesia untuk memastikan bahwa semua pihak pengusaha kelapa
sawit,baik perkebunan miliki negara, swasta dan petani dapat memenuhi standar
perkebunan yang diizinkan. ISPO merupakan standar nasional minyak sawit
119
pertama bagi suatu negara, dan negara lain kini mencoba mempertimbangkan
untuk mengimplementasikan standar serupa di antara produsen minyak sawit.
Implementasi penerapan ISPO termuat pada peraturan Menteri Pertanian No
11/2011 tentang Pedoman Pembangunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia,
Permentan No 11/2015 tentang Sistem Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan
Indonesia (ISPO System), dan Permentan No.21 tahun 2017 tentang Pedoman
Perizinan Usaha Perkebunan. Beberapa hal yang diterapkan dalam pembukaan
lahan kelapa sawit baru sesuai prinsip ISPO yaitu: (1) Tersedia SOP/Instruksi atau
prosedur teknis pembukaan lahan baru kelapa sawit, (2) Pembukaan lahan
dilakukan tanpa bakar dan memperhatikan konservasi lahan, (3) Sebelum
pembukaan lahan dilakukan, pelaku usaha wajib melakukan studi kelayakan
dan AMDAL, (4) Lahan tidak dapat ditanami dengan kemiringan < 30%,
lahan gambut dengan kedalaman < 3 meter dan hamparan lebih dari 70%; lahan
adat, sumber air, situs sejarah dan sebagainya tetap dijaga kelestariaanya, (5)
Untuk pembukaan lahan gambut hanya dilakukan pada lahan kawasan budidaya
dengan ketebalan gambut 3 meter, kematangan saprik (matang)
dan hemik (setengah matang) dan di bawah gambut bukan merupakan lapisan
pasir kuarsa atau lapisan tanah sulfat asam serta mengatur drainase untuk
mengurangi emisi gas rumah kaca, (6) Khusus untuk lahan gambut harus
dibangun sistem tata air (water management) sesuai dengan ketentuan yang
berlaku, (7) Pembuatan sarana jalan, terasering, rorak, penanaman tanaman
penutup tanah dalam rangka konservasi lahan, (8) Tersedianya rencana kerja
tahunan (RKT) pembukaan lahan baru, (9) Kegiatan pembukaan secara
120
terdokumentasi (dan pernyataan pelaku usaha bahwa pembukaan lahan dilakukan
tanpa bahan bakar).
Terdapat prinsip dan kriteria Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) yang
diberlakukan untuk tiga kategori usaha perkebunan kelapa sawit yakni; (1)
Perusahaan perkebunan terintegrasi, (2) Usaha kebun plasma, dan (3) Usaha
kebun swadaya Tabel 17.
Tabel 17. Prinsip dan Kriteria Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) Jenis Usaha Prinsip dan Kriteria ISPO
Usaha Kebun
Swadaya
1. Legalitas usaha kebun swadaya (sertifikat tanah, STD-B, dokumen
kerjasama)
2. Manajemen usaha kebun plasma (SOP, GAP, Pencatatan) 3. Pengelolaan dan pemantauan lingkungan (izin lingkungan SPPL)
4. Tanggung jawab terhadap Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)
Usaha Kebun
Plasma
1. Legalitas usaha kebun plasma (sertifikat tanah, STD-B, dok
kerjasama) 2. Manajemen usaha kebun plasma (SOP, GAP, Pencatatan)
3. Pengelolaan dan pemantauan lingkungan (izin lingkungan SPPL)
4. Tanggung jawab terhadap kesehatan dan keselamatan kerja (K3) 5. Tanggung jawab sosial dan pemberdayaan masyarakat
6. Peningkatan usaha secara berkelanjutan
Perusahaan
Perkebunan Terintegrasi
1. Legalitas usaha perkebunan
2. Manajemen perkebunan 3. Perlindungan terhadap pemanfaatan hutan alam primer dan lahan
gambut
4. Pengelolaan dan pemantauan lingkungan 5. Tanggung jawab terhadap pekerja
6. Tanggung jawab sosial dan pemberdayaan ekonomi masyarakat
7. Peningkatan usaha secara berkelanjutan Sumber : Sekretariat Komisi ISPO (2018)
Komisi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian
Sustainable Palm Oil /ISPO) saat ini sudah berjalan selama 8 tahun dan telah
menerbitkan 502 Sertifikat ISPO yang terdiri dari 493 perusahaan, 5 Koperasi
Swadaya, dan 4 KUD Plasma. Sertifikat yang diterbitkan oleh Komisi ISPO
meliputi luas total areal perkebunan sebesar 4,1 juta hektar, dengan tanaman
menghasilkan seluas 2,8 juta hektar, total produksi TBS 52,2 juta ton per tahun
121
dan CPO 11,6 juta ton per tahun, serta produktivitas TBS 18,81 ton per hektar
dengan rendemen rata-rata 22,2 persen. Dari jumlah sertifikasi yang telah
diterbitkan, terdapat 722 pelaku usaha yang telah berpartisipasi memenuhi
Permentan No.11 Tahun 2015 tentang Sistem Sertifikasi ISPO yang terdiri dari
707 perusahaan, 11 KUD/KSU Kebun Plasma, 1 Bumdes, dan 3
Koperasi/Asosiasi Kebun. Dalam penerapan sertifikasi ISPO, pemerintah masih
menghadapi permasalahan utama yang terdiri dari; (1) Aspek legalitas atau
kepemilikan lahan yang sebagian besar berupa Surat Keterangan Tanah (SKT), (2)
Sebagian areal terindikasi masuk kawasan hutan, (3) Pengurusan Surat Tanda
Daftar Budidaya (STDB), (4) Keengganan membentuk koperasi pekebun, dan (5)
Pendanaan prakondisi dan biaya audit yang dinilai cukup tinggi.
b. Kebijakan PIR dan PBSN
Perkembangan industri minyak sawit Indonesia tidak dapat dilepaskan dari
kebijakan ekonomi yang dikeluarkan pemerintah, khususnya sejak tahun 1970.
Kebijakan ekonomi yang dimaksud adalah kebijakan Perkebunan Inti Rakyat
(PIR) dan Perkebunan Besar Swasta Nasional (PBSN), dan kebijakan
perdagangan internasional CPO dan produk turunannya.
Pola kemitraan perkebunan kelapa sawit di Indonesia yakni PIR telah
membuka akses sekaligus menjadikan petani sebagai salah satu aktor penting
dalam perkebunan kelapa sawit Indonesia. Keberhasilan Indonesia menjadi
produsen CPO terbesar dunia tahun 2006 dimana sekitar 40 persen bersumber dari
perkebunan rakyat yang datang dari hasil kebijakan ekonomi agribisnis minyak
sawit. Model pembangunan perkebunan inti rakyat merupakan bentuk sinergitas
122
antara modal sosial dengan modal ekonomi. Tujuannya untuk mendorong
pertumbuhan sekaligus pemerataan kesempatan ekonomi dalam perkebunan
kelapa sawit serta mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Kelembagaan
kemitraan juga mengorganisir sinergi investasi korporasi (swasta dan BUMN),
rakyat, pemerintah menjadi suatu big-push strategy investment. Kemitraan sawit
rakyat-korporasi telah membawa revolusi sawit Indonesia yang antara lain
ditandai oleh peningkatan pangsa sawit rakyat, menghantarkan Indonesia menjadi
raja CPO dunia, dan menggeser dominasi minyak kedelai oleh minyak sawit
dalam pasar 4 minyak nabati utama dunia.
Kebijakan PIR dan PBSN dapat dikategorikan sebagai kebijakan ekonomi
yang berhasil. Kebijakan tersebut bergerak dari fase bantuan modal, kemudian
beralih menjadi fase subsidi modal dan kemudian menuju fase modal komersial
(mandiri). Pertama, kebijakan tersebut berhasil meningkatkan luas perkebunan
khususnya perkebunan rakyat sesuai dengan target. Kedua, kebijakan tersebut
berhasil secara bertahap memperbesar peran dunia usaha dan mengurangi
tanggung jawab/beban pemerintah sehingga tidak menciptakan ketergantungan
pada bantuan pemerintah. Ketiga, kebijakan tersebut berhasil menstimulus
investasi swasta dan masyarakat sehingga dengan investasi pemerintah yang tidak
terlalu besar dikeluarkan, dapat menarik investasi swasta/masyarakat yang jauh
lebih besar. Keempat, kebijakan tersebut mampu memenuhi kewajiban dalam
pembangunan.
Pola kemitraan perkebunan kelapa sawit di Indonesia yakni PIR khusus, PIR
Lokal, PIR Transmigrasi, PIR KKPA dan PIR Revitalisasi Perkebunan, telah
123
membuka akses sekaligus menjadikan petani sebagai salah satu aktor penting
dalam perkebunan kelapa sawit Indonesia. Dengan kata lain, kebijakan PIR dan
PBSN merupakan kebijakan yang bersifat memberi manfaat bagi semua pihak
baik petani/perkebunan rakyat, perusahaan perkebunan swasta dan negara,
pemerintah maupun masyarakat secara keseluruhan.
c. Kebijakan Alokasi dan Harga Maksimum CPO Domestik
Pada periode tahun 1973-1990, pemerintah menempuh kebijakan
pengalokasian dan harga CPO domestik. Tujuan dari kebijakan tersebut adalah
untuk memenuhi kebutuhan bahan baku minyak goreng yang saat itu mengalami
kekurangan bahan baku dari kelapa/kopra.
Kebijakan pemerintah juga mengharuskan penggunaan produksi CPO di
Indonesia diutamakan untuk kebutuhan domestik. Kebijakan pengutamaan pasar
domestik ini bukan hanya berlaku bagi CPO tetapi juga berlaku untuk palm kernel
oil (PKO). Dampak dari kebijakan tersebut adalah pangsa untuk ekspor CPO
mengalami penurunan dan untuk konsumsi domestik meningkat, sehingga industri
minyak sawit Indonesia mengalami perubahan drastis dalam orientasi pasar, yakni
semula berorientasi ekspor (export orientation), menjadi berorientasi pada pasar
domestik (domestic market orientation).
Dalam memperbaiki kebijakan untuk memproteksi industri kelapa sawit,
pemerintah dalam Perpres No 61 Tahun 2015, soal penghimpunan dan
penggunaan dana perkebunan sawit, membentuk Badan Pengelola Dana
Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) untuk mengelola dana perkebunan kelapa
sawit agar industri sawit nasional bisa dikelola secara berkelanjutan.
124
d. Kebijakan Pajak Ekspor dan Bea Keluar Minyak Sawit
Kebijakan pemerintah mengendalikan ekspor minyak sawit dengan
mengenakan pajak ekspor adalah untuk menjaga stabilitas harga minyak sawit
dipasar domestik. Kebijakan tarif bea kelar untuk hilirisasi industri sawit bersifat
eskalatif yang artinya tarif produk hulu dari minyak sawit dikenakan bea keluar
lebih tinggi dibandingkan dengan produk hilirnya. Hal ini bertujuan untuk
memberikan insentif bagi pelaku usaha dalam mengembangkan industri hilir di
dalam negeri. Kebijakan bea keluar untuk kelapa sawit, CPO, dan produk
turunannya untuk hilirisasi industri sawit dituangkan dalam Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 128/PMK.011/2011 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 67/PMK.011/2010 tentang Penetapan Barang Ekspor yang
Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar.
Pada tahun 2016, BPDPKS berhasil menghimpun dana sawit sebesar Rp
11,7 triliun. Pengumpulan dana ini dari pungutan ekspor CPO dan turunannya.
Terdapat lima eksportir terbesar yang membayar pungutan periode 2015, yakni;
Wilmar Nabati Indonesia, Sumber Indah Perkasa, Maskapai Perkebunan Leidong
West Indonesia, Musim Mas dan Sari Dumai Jati. Tarif pungutan dana
perkebunan atas ekspor kelapa sawit, ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan No. 81 Tahun 2018. Besaran pungutan untuk CPO sebesar 50 US$/ton.
Selengkapnya telah disajikan pada Lampiran 21.
e. Kebijakan Mandatori Biodiesel
Biodiesel adalah bahan bakar nabati untuk mesin/motor diesel berupa ester
metil asam lemak (fatty acid methyl ester/FAME) yang terbuat dari minyak nabati
125
atau lemak hewani melalui proses esterifikasi/transesterifikasi. Bahan baku
biodiesel di Indonesia berasal dari minyak sawit (CPO). Selain CPO, terdapat
tanaman lain yang berpotensi untuk bahan baku biediesel seperti tanaman jarak,
jarak pagar, kemiri sunan, kemiri cina, nyamplung dan lain-lain. Biodiesel
digunakan sebagai energi alternatif pengganti Bahan Bakar Minyak untuk jenis
diesel/solar. Pengembangan biodiesel disetiap negara termasuk di Indonesia,
ditujukan pada tiga hal pokok yaitu; (1) Mengurangi ketergantungan pada fosil-
fuel; (2) Mengurangi Emisi Gas Rumah Kaca (GHG) khususnya CO2 yang
menjadi kontributor utama dalam pemanasan global; dan (3)
Menciptakan/memperluas pasar komoditas pertanian untuk mendorong
pembangunan pedesaan. Biodiesel dapat diaplikasikan baik dalam bentuk 100
persen (B100) atau campuran dengan minyak solar pada tingkat konsentrasi
tertentu seperti B10, B15, B20, dan lain-lain.
Kebijakan pengembangan bahan bakar nabati di Indonesia telah dimulai
sejak tahun 2004. Pertama, kebijakan pramandatori dalam Permen ESDM
No.2/2004 tentang pengembangan energi terbarukan dan konservasi energi;
Perpres No.5/2006 tentang kebijakan energi nasional yang menekan pentingnya
upaya mengurangi pemakaian bahan bakar minyak dan meningkatkan pemakaian
sumber energi baru dan terbarukan dengan target bauran energi primer pada tahun
2025 dimana 17 persen sumber energi berasal dari energi terbarukan. Landasan
konstitusi untuk mengembangkan biodiesel baru terbentuk tahun 2007 dengan
disahkannya UU No.30/2007 tentang energi. Tahun 2009 melalui Perpres No
45/2009 tentang penyediaan dan pendistribusian jenis BBM tertentu, kebijakan ini
126
merupakan revisi dari Perpres No.71/2005 yang mengatur pemberian subsidi pada
bahan bakar nabati.
Kedua, Kebijakan Mandatori Biodiesel. Melalui Permen ESDM N0.32/2008
tentang penyediaan, pemanfaatan dan tataniaga bahan bakar nabati sebagai bahan
bakar lain, kebijakan ini menetapkan kewajiban pemanfaatan bahan bakar nabati
secara bertahap hingga 2025 di sektor rumah tangga, transportasi dan industri.
Kemudian kebijakan mandatori tersebut dipercepat sejak september 2013 melalui
Keputusan Menteri ESDM N0.25/2013 yang mengubah target bauran menjadi 10
persen pada tahun 2013, 20 persen pada tahun 2016, dan 25 persen pada tahun
2025. Program mandatori B20 yang dicanangkan pemerintah bertujuan untuk
percepatan pemanfaatan green energy sekaligus menghemat devisa, dengan
pengurangan potensi impor solar. Langkah yang dilakukan yakni mendorong
pencampuran FAME (Fatty Acid Methyl Ester) baik untuk Bahan Bakar Diesel
baik PSO (Public Service Obligations/Subsidi) maupun non-PSO. Selengkapnya
disajikan pada Lampiran 22.
Kebijakan pemerintah untuk memperluas mandatori biodiesel B20 akan
berlaku efektif terhitung sejak 1 september 2018, ketentuan penggunaan bahan
bakar hasil pencampuran 20 persen biodiesel dengan solar berlaku untuk
penggunaan di sektor bersubsidi dan nonsubsidi. Pemerintah telah menerbitkan
empat peraturan untuk memayungi kebijakan tersebut antara lain; Perpres No 66
tahun 2018 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa
Sawit, Kepmen ESDM No 1935 K/10/MEM/2018 tentang Perubahan atas
Kepmen ESDM No 1803 K/10/MEM/2018 tentang Penetapan Badan Usaha
127
Bahan Bakar Nabati Jenis Biodiesel pada PT Pertamina (Persero) dan PT AKR
Corporindo Tbk Periode Mei-Oktober 2018, dan Kepmen ESDM No 1936
K/10/MEM/2018 tentang Pengadaan Bahan Bakar Nabati Jenis Biodiesel untuk
Pencampuran Jenis Bahan Bakar Minyak Umum Periode September-Desember
2018. Keempat kebijakan tersebut telah secara lengkap memayungi pelaksanaan
kebijakan perluasan mandatori biodiesel B20, mulai dari aspek penghimpunan
dana sawit yang digunakan untuk membiayainya, hingga teknis pelaksanaan di
lapangan, termasuk mengenai sanksi bagi pihak terkait yang tidak
melaksanakannya.
Implementasi kebijakan mandatori biodiesel telah berhasil menciptakan
pasar Bahan Bakar Nabati (BBN) di dalam negeri yang tumbuh secara signifikan
dari tahun 2009 hingga 2014. Dengan meningkatnya porsi biodiesel pemerintah
telah berhasil melakukan penghematan devisa sebesar USD 831 juta dengan
meningkatkan pemanfaatan biodiesel untuk kebutuhan dalam negeri sebesar 1,05
juta KL (meningkat sebesar 56,6 persen dari pemanfaatan biodiesel tahun 2012).
Hal ini berhasil mengurangi ketergantungan Indonesia pada energi fosil dan
memberikan nilai tambah pada perekonomian, mengurangi emisi Gas Rumah
Kaca (GRK), serta untuk mengurangi impor BBM yang semakin meningkat. Pada
tahun 2016, produksi biodiesel Indonesia mencapai 2,5 juta ton. Pertumbuhan
biodiesel dunia rata-rata meningkat 14,1 persen per tahun. Sedangkan Asia
tumbuh lebih pesat dengan rata-rata 25 persen per tahun. Rata-rata pertumbuhan
biodiesel di negara China adalah 14,6 persen, India 12,7 persen, Indonesia 65,4
persen, Korea Selatan 45,4 persen, dan Thailand 39,9 persen.
128
f. Kebijakan Hilirisasi
Industri hilirisasi minyak sawit nasional merupakan salah satu bagian
penting dalam pembangunan jangka panjang industri minyak sawit Indonesia.
Sejak tahun 2011 Indonesia telah mendorong hilirisasi minyak sawit di dalam
negeri melalui tiga jalur hilirisasi. Tujuannya selain meningkatkan nilai tambah
juga mengurangi ketergantungan Indonesia pada pasar CPO dunia. Secara garis
besar terdapat tiga jalur hilirisasi minyak sawit didalam negeri, (1) Hilirisasi
oleopangan (oleofood complex), yaitu industri-industri yang mengolah produk
industri refinery untuk menghasilkan produk antara oleopangan (intermediate
oleofood) sampai pada produk jadi oleopangan (oleofood product), (2) Hilirisasi
Oleokimia untuk menghasilkan produk produk antara oleokimia, oleokimia dasar,
hingga produk jadi seperti biosurfaktan (produk detergen, sabun, dan sampo),
biolubrikan (biopelumas), dan biomaterial (bioplastik), dan (3) Hiliriasi biofuel
dengan mengolah produk industri refinery untuk menghasilkan produk-produk
antara biofuel hingga produk jadi biofuel. Produk yang dihasilkan diantaranya
biodiesel, biogas, biopremium, bioavtur, dan lain-lain. Jalur hilirisasi biofuel
dikaitkan dengan kebijakan mandatori biodiesel dari B-5 (2010), B-10 (2012), B-
15 (2014), B-20 (2016) dan direncanakan akan menjadi B-30 (2020). Jalur ini
bertujuan untuk mengurangi ketergantungan Indonesia pada impor BBM fosil
juga mengurangi emisi dari BBM fosil.
Kebijakan hilirisasi yang ditempuh mencakup; (1) Kebijakan insentif pajak
(tax allowanceI, tax holiday, pembebasan impor atas mesin serta barang dan
bahan) yang mengacu pada PP 52 tahun 2011 dan Peraturan Menteri Keuangan
129
No 130/PMK.0.11/2011, (2) Pengembangan kawasan industri hilir sawit
terintegrasi dengan fasilitas/jasa pelabuhan seperti Sei Mangkei (Sumatera Utara),
Dumai-Kuala Enok (Riau), Tanjung Api-Api (Sumatera Selatan), dan Maloy
(Kalimantan Timur), (3) Kebijakan Bea Keluar (duty) dan pungutan ekspor (levy)
mengacu pada PMK No. 136/2015 dan PMK No.114/2015, dan (4) Kebijakan
mandatori biodiesel untuk substitusi solar impor.
Kebijakan hilirisasi minyak sawit nasional telah berhasil memperbaiki
komposisi ekspor minyak sawit Indonesia dari dominasi minyak mentah menjadi
dominasi minyak sawit olahan. Jika pada tahun 2008 ekspor minyak sawit
Indonesia sekitar 55 persen masih berupa minyak sawit mentah, tahun 2016
berubah menjadi 78 persen sudah dalam bentuk minyak sawit olahan dan 22
persen dalam bentuk CPO.
g. Kebijakan Pemerintah dalam Menghadapi Problematik Internasional
Aktivitas perdagangan dan industri CPO Indonesia dipasar internasional
tidak terlepas dari permasalahan yang dinamis, baik yang merugikan secara
langsung atau secara tidak langsung, salah satu permasalahan yang dihadapi
industri CPO Indonesia adalah kebijakan Parlemen Uni Eropa dalam Renewable
Energy Directive (RED) dan tindak lanjut Delegate Acts RED II yang akan
membatasi dan menghapuskan penggunaan minyak nabati berbahan dasar CPO
yang ditetapkan secara bertahap hingga 2030 dengan menetapkan kelapa sawit
dalam kategori tanaman pangan dengan risiko tinggi dan risiko rendah Indirect
Land Usage Change (ILUC).
130
Dampak dari ditetapkannya Delegate Acts RED II oleh Uni Eropa bagi
Industri CPO akan menyebabkan penggunaan biofuel yang berasal dari CPO, baik
dari Indonesia maupun dari negara lain akan mulai dikurangi penggunaannya
sampai dengan nol persen di tahun 2030, sehingga akan berdampak pada
hilangnya pasar ekspor CPO ke negara tujuan terbesar ke-2 dunia dan
merununkan kinerja ekonomi nasional serta mengancam pada 5,3 juta petani di
Indonesia.
Pemerintah dalam hal ini sangat merespon kebijakan UE yang dinilai
mendiskriminasi industri CPO tidak hanya di Indonesia akan tetapi produsen CPO
di negara lain. Indonesia bersama-sama dengan negara ASEAN atau negara
penghasil kelapa sawit lain seperti Malaysia telah melakukan upaya-upaya
diplomasi. Pemerintah melalui Kementerian Luar Negeri mengajukan RED II
beserta Delegate Act ini ke dewan pertimbangan World Trade Organization
(WTO) Dispute Settlement dengan aduan substansi RED II diskriminatif dan
menyampaikan sejumlah pertanyaan ke Uni Eropa.
5.3.6 Peran Kesempatan
Faktor kesempatan merupakan suatu faktor yang berada di luar jangkauan
stakeholder CPO nasional. Keberadaan faktor ini dapat menjadi suatu momen
yang bisa mengangkat posisi daya saing CPO Indonesia. Perkebunan kelapa sawit
di Indonesia merupakan salah satu usaha yang menjadi andalan sektor pertanian
dalam penyumbang devisa terbesar non-migas dan berkontribusi besar bagi
perekonomian nasional. Penyerapan tenaga kerja dan peluang investasi yang
131
terbuka di Indonesia menyebabkan perkebunan kelapa sawit masih merupakan
primadona dari sektor pertanian. Produksi minyak sawit (CPO dan produk
turunannya) yang dihasilkan Indonesia merupakan bahan pangan (oleofood),
bahan baku industri dan bahan energi (biodiesel), yang diperlukan masyarakat
dunia.
Pertumbuhan penduduk dunia yang akan terus meningkat seiring dengan
ekonomi global yang berkembang dan teknologi yang semakin maju membuat
kebutuhan akan energi terbarukan dari CPO semakin meningkat. Dimasa depan
masyarakat dunia akan lebih banyak mengkonsumsi minyak nabati terutama yang
berasal dari CPO, hal ini dikarenakan bahwa CPO sangat kompetitif baik sebagai
subsitusi maupun komplemen dalam konsumsi komposit minyak nabati
diberbagai negara atau kawasan dunia. Secara teori ekonomi (consumer’s
behaviours) ketersediaan CPO yang lebih murah, dapat mensubstitusi minyak
nabati lain yang lebih mahal, sehingga dapat menahan laju kenaikan harga yang
lebih tinggi pada minyak nabati lain.
Ketersediaan minyak sawit yang cukup besar dan relatif murah secara
global, juga dapat membantu mengurangi fuel-food trade-off yang dihadapi
masyarakat Eropa dan USA, dalam kebijakan mandatori biodiesel. Trade-off yang
demikian dapat dikurangi jika Eropa dan USA bersedia meningkatkan konsumsi
minyak sawit yang lebih besar sehinga dapat mengurangi tekanan pada minyak
nabati produksi domestiknya.
Adanya standarisasi kualitas CPO akan mendorong produsen tanah air untuk
melengkapi produk CPOnya dengan atribut sertifikasi yang menunjukkan
132
kepedulian mereka terhadap pekerja, lingkungan, serta kegiatan kelapa sawit yang
berkelanjutan. Saat ini ada dua jenis sertifikasi internasional dan nasional yang
berlaku pada CPO, yaitu RSPO, ISCC, dan ISPO.
Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) adalah lembaga internasional
yang menetapkan delapan prinsip pengelolaan sawit lestari, meliputi komitmen
terhadap transparansi, memenuhi hukum dan peraturan yang berlaku, komitmen
terhadap kelayakan ekonomi dan keuangan jangka panjang, penggunaan praktek
terbaik dan tepat oleh perkebunan dan pabrik, tanggung jawab lingkungan dan
konservasi kekayaan alam dan keanekaragaman hayati, tanggung jawab terhadap
pekerja, individu dan komunitas dari kebun dan pabrik. Keuntungan sertifikasi
RSPO adalah diakui sebagai produsen ramah lingkungan dan harga yang premium
atau lebih tinggi US$ 6 per ton dari harga pasaran internasional.
International Sustainability and Carbon Certification (ISCC) merupakan
sistem sertifikasi bertaraf internasional untuk membuktikan sustainability,
traceability dan penghematan dari efek gas rumah kaca untuk segala jenis
produksi energi yang terbarukan. Dengan sertifikasi ini berarti produsen mampu
menyediakan minyak sawit sesuai Standar Energi Terbarukan Uni Eropa. Selain
itu, CPO bersertifikasi ISCC berpotensi untuk mendapatkan premium sekitar
US$20- US$30 per ton dari harga di pasar dunia.
Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) merupakan sistem kebijakan yang
diberlakukan pemerintah melalui Kementerian Pertanian yang ditujukan pada
setiap stakeholders dengan tujuan untuk meningkatkan daya saing minyak sawit
133
Indonesia dipasar dunia dan ikut berpartisipasi dalam rangka mengurangi gas
rumah kaca serta memberi perhatian terhadap lingkungan.
5.4 Keterkaitan Antar Komponen Utama Sistem Berlian Porter
Setelah menganalisis sistem industri CPO di Indonesia, maka akan terlihat
keterkaitan antara komponen utama dan komponen penunjang. Keterkaitan antar
komponen utama Sistem Berlian Porter pada komoditas CPO dapat dilihat pada
tabel berikut:
Tabel 18. Keterkaitan Antara Komponen Utama Sistem Berlian Porter.
No Komponen A Komponen
B
Keterkaitan
Antar
Komponen
Keterangan
1 Kondisi
Faktor
Sumberdaya
Industri
Terkait dan
Pendukung
Saling
Mendukung
Kondisi faktor sumberdaya telah
mampu menyokong industri
terkait dan pendukung minyak sawit nasional. Salah satunya
dalam pemenuhan bahan baku
untuk pengolahan CPO
2 Kondisi Faktor
Sumberdaya
Kondisi Permintaan
Saling Mendukung
Kondisi faktor sumberdaya telah menjadikan Indonesia sebagai
negara eksportir CPO terbesar
dunia dan masih mampu dalam memenuhi kebutuhan domestik
3 Kondisi
Permintan
Industri
Terkait dan
Pendukung
Saling
Mendukung
Industri terkait dan pendukung
sudah mampu memenuhi
permintaan domestik. Bahkan produk olahan CPO berupa
minyak goreng dan produk
hilirisasi lainnya sudah diekspor keluar negeri.
4 Struktur,
Persaingan,
dan Strategi
Kondisi
Faktor
Sumberdaya
Saling
Mendukung
Hasil-hasil penelitian yang
merupakan sumberdaya IPTEK
mendukung strategi promosi dan publikasi yang dilakukan untuk
pengembangan minyak sawit.
5 Struktur, Persaingan,
dan Strategi
Industri Terkait dan
Pendukung
Saling Mendukung
Struktur pasar CPO menyebabkan berkembangnya
industri terkait, seperti industri
pengolahan CPO dan industri
hilirisasi lain.
134
Tabel 18. Keterkaitan Antara Komponen Utama Sistem Berlian Porter (Lanjutan)
No Komponen A Komponen
B
Keterkaitan
Antar
Komponen
Keterangan
6 Struktur,
Persaingan, dan Strategi
Kondisi
Permintaan
Saling
Mendukung
Peningkatan konsumsi CPO
domestik masih dapat dipenuhi oleh produksi CPO dalam
negeri. Adanya strategi produk
CPO yang menggunakan standar kualitas SNI serta penerapan
sistem sertifikasi ISPO sehingga
CPO Indonesia mampu bersaing dengan CPO negara lain.
Penjelasan dari Tabel 18 mengenai keterkaitan antar komponen utama pada
Sistem Berlian Porter (Porter’s Diamond) sebagai berikut:
1) Kondisi Faktor Sumberdaya dengan Industri Terkait dan Industri Pendukung
Kondisi faktor sumberdaya telah mampu menyokong industri terkait dan
pendukung minyak sawit nasional sehingga memiliki keterkaitan yang saling
mendukung. Salah satunya dalam pemenuhan bahan baku untuk pengolahan CPO.
Namun, industri pengolahan CPO masih mengandalkan minyak goreng, margarin,
dan olein sebagai produk olahan utamanya, sehingga dibutuhkan komitmen dari
seluruh stakeholder agar industri hiliriasi CPO dalam negeri dapat terus
dikembangkan dan memiliki daya saing yang kuat.
2) Kondisi Faktor Sumberdaya dengan Kondisi Permintaan
Kondisi faktor sumberdaya dengan kondisi permintaan memiliki keterkaitan
yang saling mendukung. Hal ini terlihat pada kondisi faktor sumberdaya minyak
sawit yang sudah mampu memenuhi kebutuhan domestik. Bahkan sejak tahun
2007, Indonesia merupakan eksportir CPO terbesar di dunia.
135
3) Kondisi Permintaan dengan Industri Terkait dan Industri Pendukung
Tingginya permintaan CPO dalam bentuk olahan seperti minyak goreng,
margarin, dan sabun membuat berkembangnya industri pengolahan CPO di dalam
negeri. Sedangkan untuk industri terkait dan industri pendukung sendiri
mendukung kondisi permintaan domestik. Hal ini dikarenakan industri terkait dan
industri pendukung sudah mampu memenuhi permintaan domestik. Bahkan untuk
produk olahan CPO berupa minyak goreng sawit sudah diekspor keluar negeri.
4) Struktur, Persaingan, dan Strategi dengan Kondisi Faktor Sumberdaya
Keterkaitan antar komponen utama yang saling mendukung dapat dilihat
pada komponen struktur, persaingan, dan strategi dengan kondisi faktor
sumberdaya industri minyak sawit. Hal ini terlihat pada strategi promosi yang
banyak dilakukan sebagai upaya untuk mengembangkan industri minyak sawit di
Indonesia. Sedangkan untuk faktor sumberdaya sendiri seperti sumberdaya
IPTEK telah menghasilkan berbagai hasil penelitian yang mampu mendukung
strategi promosi dan publikasi yang dilakukan berupa jurnal ilmiah, buletin, buku,
seminar, simposium, pameran, iklan surat kabar, iklan elektronik, dan lain-lain
yang digunakan untuk membantu pengembangan minyak sawit di Indonesia.
5) Struktur, Persaingan, dan Strategi dengan Industri Terkait dan Industri
Pendukung
Struktur pasar CPO yang terbentuk di Indonesia merupakan struktur pasar
oligopoli (oligopoly market). Hal ini disebabkan karena kondisi industri CPO di
Indonesia hanya memiliki beberapa produsen atau penjual yang diusahakan oleh
tiga stakeholders, yakni; (1) Perusahaan Besar Swasta, (2) Perusahaan Besar
136
Negara, dan (3) Perkebunan Rakyat, sehingga menyebabkan berkembangnya
industri terkait, seperti industri pengolahan CPO dari tiga stakeholders tersebut.
6) Struktur, Persaingan, dan Strategi dengan Kondisi Permintaan
Kondisi permintaan dengan struktur, persaingan, dan strategi memiliki
keterkaitan yang saling mendukung. Hal ini dikarenakan struktur pasar yang
terbentuk merupakan pasar oligopoli (oligopoly market) dimana hanya terdapat
beberapa produsen atau penjual dan banyak pembeli di pasar, akan tetapi
peningkatan konsumsi CPO domestik masih dapat dipenuhi oleh produksi CPO
dalam negeri. Selain itu, strategi produk CPO sudah menggunakan standar
kualitas CPO berdasarkan SNI yang dikeluarkan pada tahun 2006 sehingga CPO
Indonesia mampu bersaing dengan CPO dari negara lain. Hal inilah yang
mendukung kondisi permintaan domestik.
5.5 Keterkaitan Komponen Pendukung Sistem Berlian Porter
Keterkaitan antar komponen penunjang dengan komponen utama daya saing
CPO dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 19. Keterkaitan Antar Komponen Penunjang dengan Komponen Utama
Sistem Berlian Porter
No Komponen
Penunjang
Komponen
Utama
Keterkaitan
Antar
Komponen
Keterangan
1 Peranan
Pemerintah
Kondisi
Faktor
Sumberdaya
Mendukung Pemerintah memberikan
bantuan kredit berupa PKS
mini pada perkebunan
rakyat (PR) serta adanya
riset yang dilakukan oleh
PPKS.
Industri
Terkait dan
Pendukung
Mendukung Adanya program
pengembangan Industri
Hilir Kelapa Sawit (IHKS)
137
Tabel 19. Keterkaitan Antar Komponen Penunjang dengan Komponen Utama
Sistem Berlian Porter (Lanjutan)
No Komponen
Penunjang
Komponen
Utama
Keterkaitan
Antar
Komponen
Keterangan
Kondisi
Permintaan
Mendukung Penetapan industri berbasis
CPO sebagai prioritas dalam
RPJM
Struktur,
Persaingan,
dan Strategi
Mendukung Dukungan terhadap
Program Promosi dan
Publikasi
2 Peranan
Kesempatan
Kondisi
Faktor
Sumberdaya
Mendukung Kondisi agroklimat
Indonesia yang mendukung
sebagai negara yang
memiliki lahan kelapa sawit
yang cukup luas dan
potensial
Industri
Terkait dan
Pendukung
Mendukung Peningkatan kebutuhan
CPO dunia, menyebabkan
pengembangan industri
CPO nasional
Kondisi
Permintaan
Mendukung Peningkatan konsumsi CPO
domestik akan mengalami
peningkatan seiring
bertambahnya jumlah
penduduk Indonesia dan
penerapan program biofuel
dari CPO oleh pemerintah
untuk menggantikan bahan
bakar fosil menjadi bahan
bakar terbarukan
Struktur,
Persaingan,
dan Strategi
Mendukung Adanya standarisasi kualitas
produk minyak sawit yang
berkelanjutan yang termuat
dalam kebijakan sistem
Indonesian Sustainable
Palm Oil (ISPO), baik
berupa sertifikat RSPO
maupun ISCC.
Penjelasan dari Tabel 19 mengenai keterkaitan antar komponen penunjuang
dengan komponen utama pada Sistem Berlian Porter (Porter’s Diamond) sebagai
berikut:
138
1) Peran Pemerintah mendukung semua komponen utama
a) Kondisi Faktor Sumberdaya
Peran pemerintah mendukung faktor sumberdaya yang ditunjukkan dengan
adanya dukungan pemerintah dalam pemberian bantuan anggaran kegiatan sistem
penyediaan dan pengawasan Alsintan sebesar 3.7 triliun rupiah, program bantuan
peremajaan (replanting) dengan menggunakan bibit bersertifikat, pembangunan
Pabrik Kelapa Sawit (PKS) untuk membantu petani sawit, pengembangan Pusat
Penelitan Kelapa Sawit (PPKS) serta fasilitasi pembiayaan perkebunan untuk
petani kelapa sawit dengan program KUR.
b) Industri Terkait dan Industri Pendukung
Pada industri terkait dan pendukung, peran pemerintah sebagai pendukung
semua komponen utama mencanangkan beberapa program, yaitu program
pengembangan Industri Hilir Kelapa Sawit (IHKS) yang merupakan salah satu
prioritas untuk dikembangkan dan mempunyai nilai tambah yang lebih tinggi,
seperti industri oleofood, oleochemical, energi dan pharmaceutical.
c) Kondisi Permintaan
Kondisi permintaan ditunjang dengan adanya keputusan pemerintah yang
menetapkan industri berbasis CPO sebagai prioritas dalam Rencana Pembangunan
Jangka Menengah (RPJM) sebagaimana dituangkan dalam Kebijakan
Pembangunan Industri Nasional.
d) Struktur, Persaingan, dan Strategi
Dalam hal struktur, persaingan, dan strategi, pemerintah memberikan
dukungan terhadap program promosi dan publikasi. Promosi dan publikasi yang
139
telah dilakukan berupa jurnal ilmiah, buku, seminar, pameran, simposium, buletin,
dan lain-lain.
2) Peran Kesempatan mendukung seluruh komponen utama
a) Kondisi Faktor Sumberdaya
Peran kesempatan mendukung komponen sumberdaya yaitu, kondisi
agroklimat Indonesia yang terletak di daerah tropis beriklim basah menjadikan
Indonesia sebagai produsen CPO terbesar dunia. Selain itu, pada tahun 2017
perkebunan kelapa sawit Indonesia sebesar 14 juta hektar dengan total produksi
37,9 juta ton dan mampu menyerap 4,3 juta tenaga kerja dan 2,6 juta petani
b) Industri Terkait dan Industri Pendukung
Peran kesempatan memiliki peran yang mendukung industri terkait dan
pendukung yang ditunjukkan dengan peningkatan kebutuhan CPO dunia serta
domestik. Dan Indonesia telah mampu menjadi negara produsen CPO terbesar
dunia, sehingga mendorong berkembangnya industri pengolahan CPO sehingga
menyebabkan negara konsumen lebih banyak menggunakan CPO dari Indonesia.
c) Kondisi Permintaan
Peran kesempatan juga mendukung kondisi permintaan yang ditunjukkan
dengan adanya peningkatan konsumsi CPO domestik. Peningkatan ini sesuai
dengan peningkatan jumlah penduduk Indonesia dan penerapan program biofuel
dari CPO berdasarkan peraturan Mandatori Biodiesel oleh pemerintah.
d) Struktur, Persaingan, dan Strategi
Peran kesempatan juga mendukung struktur, persaingan, dan strategi yang
ditunjukkan dengan adanya standarisasi kualitas produk mulai dari pengelolaan
140
kebun, manajemen, serta tanggung jawab terhadap lingkungan dan kelangsungan
perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan berdasarkan sistem Indonesian
Sustainable Palm Oil (ISPO). Hal tersebut akan mendorong produsen dalam
negeri untuk melengkapi produk CPOnya dengan sertifikasi yang menunjukkan
kepedulian terhadap pekerja, lingkungan dan keberlangsungan kegiatan
perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan. Saat ini terdapat tiga jenis sertifikasi
yang berlaku pada CPO, yaitu ISPO, RSPO, dan ISCC.
141
Berdasarkan Tabel 18, 19 dan uraian diatas, keterkaitan antar komponen
pada sistem Berlian Porter secara singkat dapat di simpulkan pada Gambar 28.
Gambar 28. Keterkaitan Antar Komponen Sistem Berlian Porter (Porter’s
Diamond) Keterangan: Garis menunjukkan keterkaitan antar komponen utama yang saling
mendukung.
Garis menunjukkan keterkaitan antar komponen utama dan komponen
penunjang yang saling mendukung.
Peran Kesempatan:
1. Konsumsi CPO domestik
dan dunia terus meningkat
2. Adanya standarisasi
kualitas produk CPO dalam
bentuk sertifikasi RSPO,
ISPO, dan ISCC
Peran Pemerintah:
1. Penerapan Kebijakan ISPO
2. Pengembangan IHKS
3. Program peremajaan lahan,
bantuan distribusi bibit
bersertifikasi
Persaingan, Struktur, dan Strategi:
1. Persaingan dengan minyak nabati unggulan
lainnya, seperti minyak kedelai, minyak bunga
matahari
2. Struktur pasar pada pelaksanaan tender CPO
lokal di KPBN dan perdagangan fisik CPO
melalui PT Bursa Berjangka Jakarta cenderung
mendekati bentuk pasar bersaing (competitive
market)
3. Strategi yang dilakukan berupa Strategi
Koperasi, Strategi Bisnis, dan Strategi
Fungsional yang mencakup strategi keuangan,
produksi, pemasaran (produk, harga, promosi,
dan distribusi), dan sumberdaya manusia
Industri Terkait dan Pendukung :
1. Industri Terkait
Industri Pemasok (PBN, PR, dan PBS)
Industri Kelapa Sawit Olahan (Pabrik
Minyak Goreng, Industri Oleokimia< dan
Produsen Biodiesel)
2. Industri Pendukung
Industri Jasa Tataniaga (PT KPBN dan PT
BBJ)
Industri Jasa Riset dan Pendidikan
Sumberdaya Manusia (Instiper, Citra
Widya Edukasi, LPP, dan PPKS)
Kondisi Faktor Sumberdaya :
1. Sumberdaya Alam
2. Sumberdaya Manusia
3. Sumberdaya IPTEK
4. Sumberdaya Modal
5. Sumberdaya Infrastruktur
Kondisi Permintaan Domestik:
1. Komposisi Permintaan Domestik:
Digolongkan dalam bentuk bahan
pangan dan non pangan.
Pemanfaatan CPO untuk produk
olahan diantarnya industri tri
pangan (minyak goreng, margarin,
shortening, cocoa butter
substitutes, vegetable ghee) dan
industri non pangan seperti
oleokimia (fatty acid, fatty alcohol,
gliserin) dan biodiesel.
2. Besar dan pola pertumbuhan
permintaan domestik:
Konsumsi CPO domestik
cenderung mengalami peningkatan
142
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan dalam penelitian dengan judul “Analisis
Daya Saing Crude Palm Oil (CPO) Indonesia di Pasar Internasional” selama
tahun 2003-2017 dapat disimpulkan beberapa hal berikut:
1. Keunggulan komparatif komoditas CPO HS 151110 Indonesia
Komoditas CPO HS 151110 Indonesia memiliki keunggulan komparatif. Hal
ini ditunjukkan melalui perhitungan nilai Revealed Comparative Advantage
(RCA) yang lebih dari satu. Nilai RCA Indonesia mampu melampaui nilai
RCA Malaysia yang merupakan pesaing utama ekportir CPO. Nilai RCA
tertinggi Indonesia terjadi pada tahun 2007 yaitu sebesar 985,423 sedangkan
nilai RCA tertinggi Malaysia terjadi pada tahun 2016 dengan nilai 68,344.
Rata-rata nilai RCA Indonesia dari tahun 2003-2017 mencapai 315,232 lebih
ungul dari Malaysia yang hanya mencapai 38,962.
2. Keunggulan kompetitif komoditas CPO HS 151110 Indonesia
a. Komoditas CPO HS 151110 Indonesia memiliki keunggulan kompetitif.
Hal ini ditunjukkan melalui perhitungan Export Product Dynamic (EPD)
yang menunjukkan bahwa komoditas CPO Indonesia berada pada posisi
Rising Star di negara India dan Itali, sementara posisi Falling Star tidak
dialami oleh CPO Indonesia di lima negara tujuan, posisi Lost
Opportunity berada di negara Belanda, dan posisi Retreat berada di
negara Singapura dan Spanyol. Dengan kata lain, Indonesia sudah layak
143
menjadi negara eksportir CPO dunia dengan tingkat pertumbuhan dan
kematangan.
b. Komoditas CPO HS 151110 Indonesia memiliki keunggulan kompetitif
yang ditunjukkan dengan nilai rata-rata Indeks Spesialisasi Perdagangan
(ISP) dari tahun 2003-2017 sebesar 0,999. Sedangkan negara Malaysia
memiliki nilai rata-rata ISP dari tahun 2003-2017 sebesar 0,62.dapat
diartikan bahwa kemampuan Indonesia dalam produksi CPO sangat tinggi
dan memiliki daya saing yang kuat serta telah masuk pada tahap
standarisasi teknologi yang dimiliki.
c. Berdasarkan hasil analisis Teori Berlian Porter (Porter’s Diamond),
kondisi faktor sumberdaya, industri terkait dan pendukung, kondisi
permintaan, persiangan, struktur, dan strategi, peran pemerintah, dan
peran kesempatan pada industri minyak sawit (CPO) Indonesia memiliki
keterkaitan yang saling mendukung antar setiap komponen.
3. Rekomendasi
a. Berdasarkan hasil perhitungan Revealed Comparative Advantage (RCA)
yang menunjukkan keunggulan komparatif CPO Indonesia lebih unggul
dari pada CPO Malaysia, maka rekomendasi yang diperoleh adalah
diperlukannya konsistensi pemerintah dan stakeholders lainnya dalam
menjalankan regulasi guna menjamin keberlangsungan industri kelapa
sawit baik dari subsistem hulu hinga hilir.
b. Berdasarkan hasil perhitungan Export Product Dynamic (EPD) diperoleh
beberapa rekomendasi sebagai berikut; (1) Perlu adanya pengembangan
144
sistem promosi dan sosialisasi produk CPO berbasis data dan riset, (2)
Melakukan sosialisasi dalam meningkatkan penerapan sistem Indonesian
Sustainable Palm Oil (ISPO) secara menyeluruh disetiap stakeholders, dan
(3) Mengamati isu nasional dan internasional dengan mengevaluasi
kebijakan dan pola kerjasama antar stakeholders agar mampu berjalan
secara terintegerasi.
c. Berdasarkan hasil perhitungan Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP) yang
menunjukkan komoditas CPO Indonesia pada perdagangan internasional
telah berada pada tahap pematangan dan standarisasi teknologi, maka
diperoleh rekomendasi sebagai berikut; (1) Meningkatkan dan
mengembangkan produksi Industri Hilirisasi Kelapa Sawit (IHKS) sebagai
produk unggulan ekspor, dan (2) Memperbaiki dan menambah
infrastruktur yang mendukung aktivitas industri kelapa sawit.
d. Berdasarkan hasil analisis teori Porter’s Diamond diperoleh beberapa
rekomendasi sebagai berikut; (1) Pengembangan dan peningkatan
sumberdaya manusia sebagai pelaku industri minyak sawit dengan
melakukan pelatihan dan peningkatan kegiatan R&D, (2) Meningkatkan
kesejahteraan petani melalui program bantuan dan kemitraan, (3)
Pengembangan industri hulu dan hilir minyak sawit (CPO) dengan
memperhatikan manajemen budidaya sampai manajemen produksi dan
pemasaran.
145
6.2 Saran
Adapun saran yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Meningkatkan produktivitas CPO nasional. Produktivitas CPO yang tinggi
akan mampu menambah persediaan CPO nasional. Sehingga, selain untuk
memenuhi kebutuhan dalam negeri dan kebutuhan minyak nabati dunia,
produktivitas CPO yang tinggi akan meningkatkan devisa bagi negara
apabila diimbangi dengan keberlangsungan industri CPO nasional.
b. Pelaku industri kelapa sawit, baik pemerintah, swasta maupun petani harus
menjaga dan menjamin mutu minyak sawit dan turunanny agar nilai
ekspor dan keunggulan yang dimiliki dapat ditingkatkan.
c. Penanganan isu nasional dan internasional yang berpengaruh negatif pada
industri minyak sawit harus dilakukan secara masif dengan melakukan
sosialisasi, mediasi, dan promosi berdasarkan hasil penelitian kepada
negara global.
d. Diperlukan penelitian yang lebih lanjut untuk mengetahui daya saing
minyak sawit Indonesia dimasa yang akan datang seiring dengan adanya
intensifikasi dan ekstensifikasi yang bergerak secara dinamis serta
kebijakan pemerintah khsusnya dalam hal pengembangan industri hilir
minyak sawit.
146
DAFTAR PUSTAKA
Amirudin, Achmad. 2017. Analisis Daya Saing dan Dinamika Ekspor Produk
Kelapa Sawit Indonesia dalam Perdagangan Internasional. [Skripsi].
Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB.
Annonim. 2014. Global Competitiveness Index 2014-2015. Diakses dari Global
Competitive Forum (GCF 2015).
http://www.weforum.org/docs/WEF_GlobalCompetitivenessReport_2014-
2015.pdf pada tanggal 12 November 2018.
Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO). 2018. Profil
APKASINDO. Jakarta: APKASINDO. Diakses melalui https://www.dpp-
apkasindo.com/tentang.html. pada tanggal 10 Februari 2019.
Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI). 2018. Indonesia Siap Gunakan
Biodiesel. Jakarta: APROBI. Diakses melalui
http://www.aprobi.or.id/indonesia-siap-gunakan-biodiesel/ pada tanggal 10
April 2019.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). 2009. Perdagangan
dan Investasi di Indonesia: Sebuah Catatan Tentang Daya Saing dan
Tantangan ke Depan. Jakarta: Kementerian Negara Perencanaan
Pembangunan Nasional.
Badan Pusat Statistik (BPS). 2017. Direktori Perusahaan Perkebunan Kelapa
Sawit Indonesia 2017. ISSN: 2310-6817. BPS: Jakarta.
Badan Pusat Statistik (BPS). 2018. Statistik Perdagangan Luar Negeri Menurut
Kelompok Komoditi Dan Negara. ISSN : 2252-8563. BPS: Jakarta.
Badan Pusat Statistik (BPS). 2018. Statistik Perdagangan Luar Negeri Menurut
Harmonized System. ISSN : 2252-8563. BPS: Jakarta.
Basri, F., & Munandar, H. 2010. Dasar-dasar Ekonomi Internasional Pengenalan
dan Aplikasi Metode Kuantitatif. Jakarta: Kencana Prenada Group.
Cho, Dong-Sung dan Hwy-Chang Moon. 2003. Evolusi Teori Daya Saing.
Jakarta: Salemba Empat.
Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI). 2013. Peluang dan Tantangan Industri
Minyak Sawit Indonesia. Jakarta: DMSI.
Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia. 2009. Roadmap Industri
Pengolahan CPO. Jakarta: Departemen Perindustrian.
Direktorat Jenderal Perkebunan. 2017. Statistik Perkebunan Indonesia Komoditas
Kelapa Sawit 2015-2017. Jakarta: Kementerian Pertanian.
147
Direktorat Jenderal Perkebunan. 2019. Statistik Perkebunan Indonesia Komoditas
Kelapa Sawit 2017-2019. Jakarta: Kementerian Pertanian.
Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI). 2019. Ketergantungan
India Terhadap Minyak Sawit Makin Tinggi. Jakarta: GIMNI. Diakses
melalui http://gimni.org/ketergantungan-india-terhadap-minyak-sawit-
makin-tinggi/ pada tanggal 20 Mei 2019.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI). 2009. Mengenal Minyak
Sawit Dengan Beberapa Karakter Unggulnya. Jakarta: GAPKI.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI). 2010. Petani Plasma
Sawit: Berbicara Fakta. Jakarta: PT Mitra Media Nusantara.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI). 2017. Perkembangan
Biodiesel di Indonesia dan Terbesar di Asia. Jakarta : Tim Riset PASPI.
Diakses melalui https://gapki.id/news/3250/perkembangan-biodiesel-di-
indonesia-dan-terbesar-di-asia pada tanggal 5 April 2019.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI). 2018. Analisis Ekspor
CPO Indonesia ke Uni Eropa : Faktor Apa yang Mendorong Trend
Positif. Jakarta : GAPKI. Diakses melalui
https://gapki.id/news/4268/analisis-ekspor-cpo-indonesia-ke-uni-eropa-
faktor-apa-yang-mendorong-trend-positif pada tanggal 25 April 2019.
Griffin, Ricky dan W. Ebert, Ronald. 2006. Bisnis. Edisi Kedelapan. Jilid 1.
Jakarta: Erlangga.
Hikmatiar, Fatria. 2018. Kajian Hukum Terhadap Kasus Kartel Minyak Goreng di
Indonesia (Studi Putusan KPPU Nomor 24/KPPU-1/2009). Jurnal Hukum
Bisnis Bonum Commune Vol 1 No.1. Surabaya: Universitas Airlangga.
Hudori. 2017. Perbandingan Kinerja Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia dan
Malaysia. Jurnal Citra Widya Edukasi Vol IX No.1 ISSN. 2086-0412.
Diakses melalui http://www.academia.edu/32721980 pada tanggal 25 Juli
2019.
Kardiman. 2011. Analisis Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Kelapa Sawit di
Malaysia dan Implikasinya Bagi Pengembangan Industri Sawit Indonesia.
[Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB.
Kementerian Pertanian. 2016. Laporan Tahunan Biro Perencanaan Kementerian
Pertanian Tahun 2015. Jakarta: Kementerian Pertanian.
Kementerian Pertanian. 2016. Outlook Kelapa Sawit Komoditas Pertanian
Subsektor Perkebunan. Jakarta: Pusdatin.
Kementerian Pertanian. 2017. Laporan Tahunan Biro Perencanaan Kementerian
Pertanian Tahun 2016. Jakarta: Kementerian Pertanian.
Kementerian Pertanian. 2017. Statistik Perkebunan Indonesia 2015-2017. Jakarta:
Kementerian Pertanian.
148
Kementerian Pertanian. 2018. Laporan Tahunan Biro Perencanaan Kementerian
Pertanian Tahun 2017. Jakarta: Kementerian Pertanian.
Kementerian Pertanian. 2019. Statistik Perkebunan Indonesia 2017-2019. Jakarta:
Kementerian Pertanian.
Komisi ISPO. 2018. Peran ISPO dalam Meningkatkan Kredibilitas Pembangunan
Industri Kelapa Sawit Berkelanjutan di Indonesia. Yogyakarta: Komisi
ISPO.
Mangoensoekarjo, S. Haryono Semangun. 2008. Manajemen Agrobisnis Kelapa
Sawit. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Nopirin, Ph. D. 1999. Ekonomi Internasional. Edisi 3. Yogyakarta: BPFE
Yogyakarta.
Nurhadi, Eko Agus. 2015. Analisis Daya Saing Minyak Sawit (CPO) Indonesia.
[Skripsi]. Jakarta: Fakultas Sains dan Teknologi UIN.
Pahan, Iyung. 2006. Panduan Lengkap Kelapa Sawit. Jakarta: Penebar Swadaya.
Palm Oil Agibusiness Strategic Policy Institute (PASPI). 2015. Ekonomi
Agribisnis Minyak Sawit. Bogor: PASPI
Palm Oil Agibusiness Strategic Policy Institute (PASPI). 2017. Mitos dan Fakta
Industri Minyak Sawit Indonesia dalam Isu Sosial, Ekonomi dan
Lingkungan Global. Bogor: PASPI.
Pardamean, Maruli. 2011. Cara Cerdas Mengelola Perkebunan Kelapa Sawit.
Yogyakarta: Lily Publisher.
Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Nomor 32 Tahun 2008
tentang Penyediaan, Pemanfaatan Dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati
(Biofuel) Sebagai Bahan Bakar Lain.
Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya mineral Republik Indonesia Nomor
25 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Energi Dan
Sumber Daya Mineral Nomor 32 Tahun 2008 Tentang Penyediaan,
Pemanfaatan, Dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Sebagai
Bahan Bakar Lain.
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 81/PMK.05/2008
tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana
Perkebunan Kelapa Sawit Pada Kementerian Keuangan.
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 136/PMK.010/215
tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor
75/PMK.011/2012 Tentang Penetapan Barang Ekspor Yang Dikenakan
Bea Keluar Dan Tarif Bea Keluar.
Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor
11/Permentan/OT.140/3/215 tentang Sistem Sertifikasi Kelapa Sawit
149
Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil Certification
System/ISPO).
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2018 tentang Perubahan
Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2015 Tentang
Penghimpunan Dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit.
Porter, Michael E. 1993. Strategi Bersaing: Teknik Menganalisis Industri dan
Pesaing. Jakarta: Erlangga.
Porter, Michael E. 1994. Keunggulan Bersaing. Jakarta: PT. Binarupa Aksara.
Safitri, Ai Aisha. 2018. Analisis Daya Saing Teh Indonesia di Pasar
Internasional. [Skripsi]. Jakarta: Fakultas Sains dan Teknologi UIN.
Salvatore, Dominick. 1997. Ekonomi Internasional. Jakarta: Erlangga.
Salvatore, Dominick. 2012. Ekonomi Internasional. Edisi Kelima, Jilid 1. Jakarta:
Erlangga.
Salvatore, Dominick. 2012. Ekonomi Manajerial dalam Perekonomian Global.
Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga.
Salvatore, Dominick. 2014. Ekonomi Internasional. Edisi 9 Jilid 1. Jakarta:
Salemba Empat.
Sangadji, Etta Mamang. 2010. Metode Penelitian – Pendekatan Praktis dalam
Penelitian. Yogyakarta: CV Andi Offset.
Sarwono, Jonathan. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif Dan Kualititatif.
Yogyakarta: CV Andi Offset.
Sasono, Herman Budi. 2013. Manajemen Ekspor dan Perdagangan Internasional.
Yogyakarta: CV Andi Offset.
Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS). 2019. Profil SPKS. Jakarta: SPKS. Diakses
melalui https://www.spks-nasional.org/. Pada tanggal 10 Februari 2019.
Sipayung, T. Jan Horas V. Purba. 2015. Ekonomi Agribisnis Minyak Sawit.
Bogor: PASPI.
Sugiyono. 1999. Metode Penelitian Bisnis. Bandung: Alfabeta.
Supranto, J. M. A. 2012. Metode Riset: Aplikasinya dalam Pemasaran. Edisi 7.
Jakarta: Rineka Cipta.
Susilawati, Dewi. 2017. Analisis Daya Saing dan Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Volume Ekspor Lada Indonesia di Pasar Internasional.
[Skripsi]. Jakarta: Fakultas Sains dan Teknologi UIN.
Tambunan. T.H. 2003. Perdagangan Internasional dan Neraca Pembayaran:
Teori dan Temuan Empiris. Jakarta: PT. Pustaka LP3ES Indonesia.
150
Usdiana, Ira. 2011. Analisis Daya Saing Crude Palm Oil (Minyak Sawit Mentah)
Pada PT. Cipta Usaha Sejati dengan Metode Herifindahl Indeks dan
Analisa SWOT dalam Menghadapi Perdagangan CPO Dunia. Jurnal
PASTI Volume VIII No.2, 203. Surabaya: Universitas Tujuh Belas
Agustus.
151
Lampiran 1. Lembar Pertanyaan Wawancara
Lembar Pertanyaan Wawancara
Narasumber : ................................
No. Pertanyaan Instansi
1 Apa saja peluang yang dapat dicapai dalam industri CPO
Indonesia saat ini?
2 Apa saja tantangan yang dihadapi oleh industri CPO
Indonesia?
3 Apa saja permasalahan terkini yang dialami oleh industri
CPO Indonesia baik secara internal maupun eksternal?
4 Bagaimana upaya GAPKI dalam menangani
permasalahan yang muncul pada industri CPO Indonesia?
5 Apa saja keunggulan yang dimiliki oleh CPO Indonesia?
6 Negara apa saja yang menjadi tujuan ekspor terbesar CPO
Indonesia ?
7 Bagaimana hubungan dagang antara Indonesia dengan
negara tujuan ekspor tersebut?
8 Bagaimana solusi GAPKI dalam menghadapi kebijakan
negara eksportir apabila dianggap merugikan industri
CPO Indonesia?
9 Strategi apa saja yang dilakukan GAPKI dalam
meningkatkan daya saing CPO Indonesia di pasar
internasional?
10 Apa rekomendasi yang dapat dilakukan dalam upaya
meningkatkan saya saing CPO Indonesia di pasar
internasional?
152
Lampiran 2. Perkembangan Luas Areal Kelapa Sawit Menurut Status
Pengusahaan di Indonesia Tahun 2003-2017.
Tahun Luas Areal (Ha)
PR
(Smallholders)
PBN
(Government) PBS (Private) Jumlah/ Total
Pertumb.
(%)
2003 1.854.394 662.803 2.766.360 5.283.557
2004 2.220.338 605.865 2.458.520 5.284.723 0,02
2005 2.356.895 529.854 2.567.068 5.453.817 3,2
2006 2.549.572 687.428 3.357.914 6.594.914 20,9
2007 2.752.172 606.248 3.408.416 6.766.836 2,6
208 2.881.898 602.963 3.878.986 7.363.847 8,8
2009 3.061.413 630.512 4.181.369 7.873.294 6,9
2010 3.387.257 631.520 4.366.617 8.385.394 6,5
2011 3.752.480 678.378 4.561.966 8.992.824 7,2
2012 4.137.620 683.227 4.751.868 9.572.715 6,5
2013 4.356.087 727.767 5.381.166 10.465.020 9,3
2014 4.422.365 729.022 5.603.414 10.754.801 0.03
2015 4.535.400 743.894 5.980.982 11.260.277 4,7
2016 4.739.318 707.428 5.754.719 11.201.465 -0.5
2017 5.697.892 638.143 7.712.687 14.048.722 25.4 Sumber: Statistik Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia, Kementerian Pertanian (2019)
153
Lampiran 3. Perkembangan Produksi Minyak Sawit Menurut Status Pengusahaan
di Indonesia Tahun 2003-2017.
Sumber: Statistik Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia, Kementerian Pertanian (2019)
Tahun
Produksi (Ton) PR
(Smallholders
)
PBN
(Government) PBS (Private) Jumlah/ Total
Pertumb.
(%)
2003 3.517.324 1.750.651 5.172.859 10.440.834
2004 3.847.157 1.617.706 5.365.526 10.830.389 3,4
2005 4.500.769 1.449.254 5.911.592 11.861.615 9,5
2006 5.783.088 2.313.729 9.254.031 17.350.848 46,3
2007 6.358.389 2.117.035 9.189.301 17.664.725 1,8
208 6.923.042 1.938.134 8.678.612 17.539.788 -0,7
2009 7.517.716 2.005.880 9.800.697 19.324.293 10,2
2010 8.458.709 1.890.503 11.608.907 21.958.119 13,6
2011 8.797.924 2.045.562 12.253.055 23.096.541 5,2
2012 9.197.728 2.133.007 14.684.783 26.015.518 12,6
2013 10.010.728 2.144.651 15.626.625 27.782.004 6,8
2014 10.205.395 2.229.336 16.843.459 29.278.190 5,4
2015 10.527.791 2.346.822 18.195.402 31.070.015 6,1
2016 11.575.542 1.887.999 18.267.420 31.730.961 2,1
2017 13.191.189 1.861.263 22.912.772 37.965.224 19,6
154
Lampiran 4. Perkembangan Produktivitas CPO Menurut Status Pengusahaan di
Indonesia Tahun 2003-2017.
Tahun Luas Areal (Ha) Produksi (Ton) Produktivitas
(Ton/Ha)
2003 5.283.557 10.440.834 2,5
2004 5.284.723 10.830.389 2,7
2005 5.453.817 11.861.615 2,9
2006 6.594.914 17.350.848 2,8
2007 6.766.836 17.664.725 3,0
2008 7.363.847 17.539.788 2,8
2009 7.873.294 19.324.293 3,2
2010 8.385.394 21.958.120 3,1
2011 8.992.824 23.096.541 3,5
2012 9.572.715 26.015.518 3,2
2013 10.465.020 27.782.004 3,3
2014 10.754.801 29.278.189 3,4
2015 11.260.277 31.070.015 3,3
2016 11.201.465 31.730.961 3,5
2017 14.048.722 37.965.224 3,6 Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan (2019)
155
Lampiran 5. Data Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit Menurut Provinsi dan
Pengusahaannya pada tahun 2017.
Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan (2019)
No. Provinsi PBN PBS Jumlah
1 Aceh 10 75 85
2 Sumatera Utara 86 250 336
3 Sumatera Barat 3 35 38
4 Riau 18 182 200
5 Jambi 7 88 95
6 Sumatera Selatan 9 134 143
7 Bengkulu 2 48 50
8 Lampung 3 25 28
9 Kep. Bangka Belitung - 41 41
10 Kep. Riau - 3 3
11 DKI Jakarta - - -
12 Jawa Barat 3 3 6
13 Jawa Tengah - - -
14 DI Yogyakarta - - -
15 Jawa Timur - - -
16 Banten 3 2 5
17 Bali - - -
18 Nusa Tenggara Barat - - -
19 Nusa Tenggara Timur - - -
20 Kalimantan Barat 7 315 322
21 Kalimantan Tengah - 141 141
22 Kalimantan Selatan 3 79 82
23 Kalimantan Timur 5 109 114
24 Kalimantan Utara - 21 21
25 Sulawesi Utara - - -
26 Sulawesi Tengah - 15 15
27 Sulawesi Selatan 2 2 4
28 Sulawesi Tenggara 1 10 11
29 Gorontalo - 2 2
30 Sulawesi Barat - 12 12
31 Maluku - 4 4
32 Maluku Utara - - -
33 Papua Barat 1 8 9
34 Papua 1 11 12
Indonesia 164 1615 1779
156
Lampiran 6. Perkembangan Harga Minyak Sawit (CPO) Indonesia Tahun 2003-
2018.
Sumber: Outlook Komoditi Kelapa Sawit, Pusat Data dan Informasi Pertanian, Kementerian
Pertanian (2017)
Tahun Harga Produsen/US$ Pertumbuhan (%)
2003 510
2004 423 -17
2005 429 1,42
2006 583 35,9
2007 950 63
2008 503 -47
2009 792 57,5
2010 1228 55,1
2011 1027 -16
2012 776 -24
2013 912 17,5
2014 693 -24
2015 505 -27
2016 720 42,6
2017 589 -18
2018 499 -15,28
Rata-
rata
696,2 7,04
157
Lampiran 7. Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Minyak Sawit (CPO)
Indonesia Tahun 2003-2017.
Sumber: Badan Pusat Statistik dan Ditjen Perkebunan (2019)
Tahun
Ekspor
Volume
(Ton)
Pertumbuhan
(%)
Nilai
(000 US$)
Pertumbuhan
(%)
2003 2.892.130 1.062.215
2004 3.819.927 32,08 1.444.422 36
2005 4.565.788 19,53 1.592.823 10,3
2006 5.199.287 13,87 1.993.667 25,2
2007 5.701.286 9,655 3.738.652 87,5
2008 7.904.179 38,64 6.561.331 75,5
2009 11.119.997 40,69 6.709.762 2,26
2010 11.158.124 0,343 9.084.888 35,4
2011 10.428.085 -6,54 10.960.993 20,7
2012 7.262.831 -30,4 6.676.504 -39
2013 6.584.732 -9,34 4.978.533 -25
2014 5.726.820 -13 4.206.741 -16
2015 7.788.550 36 4.388.094 4,31
2016 5.283.953 -32,2 3.305.575 -25
2017 7.076.061 33,92 4.698.220 42,1
158
Lampiran 8. Perkembangan Volume dan Nilai Impor Minyak Sawit (CPO)
Indonesia Tahun 2003-2017.
Sumber: Badan Pusat Statistik dan Ditjen Perkebunan (2019), (diolah)
Tahun
Impor
Volume
(Ton)
Pertumbuhan
(%)
Nilai
(000 US$)
Pertumbuhan
(%)
2003 4.014 2.201
2004 4.320 7,623 1.937 -12
2005 10.810 150,2 5.374 177,4
2006 1.645 -84,8 1.287 -76,1
2007 1.067 -35,1 1.023 -20,5
2008 8.822 726,8 5.013 390
2009 21.139 139,6 13.191 163,1
2010 46.720 121 37.801 186,6
2011 23.299 -50,1 24.939 -34
2012 616 -97,4 832 -96,7
2013 65.561 10543 46.979 5547
2014 299 -99,5 393 -99,2
2015 7.572 2432 4.623 1076
2016 2.658 -64,9 4.116 -11
2017 2.518 -5,27 1.812 -56
159
Lampiran 9. Nilai Ekspor CPO Indonesia ke Lima Negara Tujuan Tahun 2003-
2017.
Tahun India Belanda Singapura Itali Spanyol
2003 523183022 129468217 95550499 12954052 21785327
2004 665726729 179287634 129873800 38560755 31149738
2005 622778700 239089062 150946672 29662869 21921663
2006 738263037 322370141 185473429 32810896 37927587
2007 1812059186 370062746 318365161 84385461 42131496
2008 3294367660 786712815 409488761 260583858 87506607
2009 2611278770 637874768 357997804 361701494 155011832
2010 3629076473 800848886 460368142 474097791 230485099
2011 4465022137 601834422 669973605 488576651 326476753
2012 3308546141 1031539048 601391773 518376593 183703180
2013 2331771685 832438706 417899758 529876776 315382330
2014 2101736375 641515557 396982438 455261516 208143675
2015 2112621224 600081722 332927715 340498425 338527185
2016 1868494354 424593186 359878747 150430692 139888710
2017 3068293254 415656273 398616492 231393992 138607280
Sumber : UN Comtrade (2019), (diolah)
160
Lampiran 10. Nilai Ekspor Indonesia ke Lima Negara Tujuan Tahun 2003-2017.
Tahun India Belanda Singapura Itali Spanyol
2003 1742487661 1401474395 5399657659 843862629 1022438133
2004 2170506761 1797521202 5999058039 922552486 837474263
2005 2878347700 2233540708 7836584739 1007183208 1205484156
2006 3390790230 2518358053 8929849215 1212978776 1641122136
2007 4943905977 2749459376 10501617246 1380002074 1906222913
2008 7163336232 3926404315 12862045173 1900691792 1665335009
2009 7432892524 2909074571 10262665108 1651082911 1830457715
2010 9915038943 3722455122 13723265578 2369981370 2328695767
2011 13335706464 5132476545 18443890221 3168307186 2427861565
2012 12496314269 4664300841 171350254 2277010430 2069250741
2013 13031302738 4105967064 16686238643 2128608268 1810444480
2014 12248959579 3984581541 16752339986 2286858978 1937638786
2015 11731001096 3442165722 12632634348 1872932508 1481288142
2016 10093804356 3254915907 11246431902 1572117669 1579275490
2017 14083572994 4038084310 12767192917 1937660213 2011925568
Sumber : UN Comtrade (2019), (diolah)
161
Lampiran 11. Nilai Ekspor CPO Dunia ke Lima Negara Tujuan Tahun 2003-2017.
Tahun India Belanda Singapura Itali Spanyol
2003 1295621208 320125338 1355271 66258139 63471678
2004 742955705 376314085 2014331 78804459 77979414
2005 832154945 489135170 2742159 94684666 77854785
2006 1071168371 599023154 1770977 97389000 106537446
2007 1341707907 984944300 1773887 134493513 165543804
2008 1912815763 1591741429 9642676 336538453 261217951
2009 2753276832 0 5374862 467755600 317885720
2010 3654230007 1232115278 107270845 591248883 460479788
2011 5557516992 1543480258 434114218 683274799 595276344
2012 6197199694 2443238506 548181959 701640546 514552410
2013 4884714825 2301648726 171523753 785434436 595301680
2014 5319597146 1893834476 57456100 711993508 473756112
2015 4571715458 1532275162 25659640 570596974 597008951
2016 3666906925 1379733272 43007756 437449769 373185979
2017 4576688315 1659480211 55316698 465582810 466951195
Sumber : UN Comtrade (2019), (diolah)
162
Lampiran 12. Nilai Ekspor Dunia ke Lima Negara Tujuan Tahun 2003-2017.
Tahun India Belanda Singapura Itali Spanyol
2003 72430524382 2,33997E+11 1,36264E+11 2,97403E+11 2,08549E+11
2004 98981129472 2,84014E+11 1,73581E+11 3,55267E+11 2,59265E+11
2005 1,40862E+11 3,10591E+11 2,00724E+11 3,84836E+11 2,89611E+11
2006 1,78212E+11 3,5851E+11 2,3992E+11 4,42565E+11 3,29976E+11
2007 2,18645E+11 4,21368E+11 2,64766E+11 5,11823E+11 3,91237E+11
2008 3,15712E+11 4,94937E+11 3,2302E+11 5,6096E+11 4,18728E+11
2009 2,66402E+11 3,8219E+11 2,47216E+11 4,14784E+11 2,87502E+11
2010 3,50029E+11 4,39987E+11 3,10791E+11 4,86984E+11 3,15547E+11
2011 4,62403E+11 4,92838E+11 3,6577E+11 5,58832E+11 3,62835E+11
2012 4,88976E+11 5,00605E+11 3,79723E+11 4,89104E+11 3,25835E+11
2013 4,66046E+11 5,06162E+11 3,73016E+11 4,79336E+11 3,32267E+11
2014 4,59369E+11 5,08033E+11 3,66247E+11 4,74083E+11 3,50978E+11
2015 3,90745E+11 3,93728E+11 2,96745E+11 4,10933E+11 3,05266E+11
2016 3,56705E+11 3,98336E+11 2,91908E+11 4,04578E+11 3,02539E+11
2017 4,44052E+11 4,50076E+11 3,2771E+11 4,51416E+11 3,50922E+11
Sumber : UN Comtrade (2019), (diolah)
163
Lampiran 13. Perhitungan Revealed Comparative Advantage (RCA) di Lima
Negara Tujuan Ekspor CPO Indonesia Tahun 2003-2017.
Sumber : UN Comtrade (2019), (diolah)
Sumber : UN Comtrade (2019), (diolah)
India Xik Xim Xwk Xwm Xik/Xim Xwk/Xwm RCA
2003 523183022 1742487661 1295621208 72430524382 0,30025 0,017887779 16,785
2004 665726729 2170506761 742955705 98981129472 0,30671 0,007506034 40,862
2005 622778700 2878347700 832154945 1,40862E+11 0,21637 0,005907604 36,625
2006 738263037 3390790230 1071168371 1,78212E+11 0,21773 0,006010626 36,224
2007 1812059186 4943905977 1341707907 2,18645E+11 0,36652 0,006136459 59,729
2008 3294367660 7163336232 1912815763 3,15712E+11 0,45989 0,006058734 75,906
2009 2611278770 7432892524 2753276832 2,66402E+11 0,35131 0,010335063 33,992
2010 3629076473 9915038943 3654230007 3,50029E+11 0,36602 0,010439781 35,06
2011 4465022137 13335706464 5557516992 4,62403E+11 0,33482 0,012018779 27,858
2012 3308546141 12496314269 6197199694 4,88976E+11 0,26476 0,012673822 20,89
2013 2331771685 13031302738 4884714825 4,66046E+11 0,17894 0,010481196 17,072
2014 2101736375 12248959579 5319597146 4,59369E+11 0,17158 0,011580215 14,817
2015 2112621224 11731001096 4571715458 3,90745E+11 0,18009 0,011700005 15,392
2016 1868494354 10093804356 3666906925 3,56705E+11 0,18511 0,010279949 18,007
2017 3068293254 14083572994 4576688315 4,44052E+11 0,21786 0,010306641 21,138
31,357
Belanda Xik Xim Xwk Xwm Xik/Xim Xwk/Xwm RCA
2003 129468217 1401474395 320125338 2,33997E+11 0,09238 0,001368076 67,525
2004 179287634 1797521202 376314085 2,84014E+11 0,09974 0,001324984 75,278
2005 239089062 2233540708 489135170 3,10591E+11 0,10704 0,001574851 67,971
2006 322370141 2518358053 599023154 3,5851E+11 0,12801 0,001670871 76,612
2007 370062746 2749459376 984944300 4,21368E+11 0,13459 0,002337494 57,581
2008 786712815 3926404315 1591741429 4,94937E+11 0,20036 0,003216051 62,301
2009 637874768 2909074571 0 3,8219E+11 0,21927 0 0
2010 800848886 3722455122 1232115278 4,39987E+11 0,21514 0,002800347 76,826
2011 601834422 5132476545 1543480258 4,92838E+11 0,11726 0,003131823 37,441
2012 1031539048 4664300841 2443238506 5,00605E+11 0,22116 0,004880568 45,314
2013 832438706 4105967064 2301648726 5,06162E+11 0,20274 0,004547254 44,585
2014 641515557 3984581541 1893834476 5,08033E+11 0,161 0,003727779 43,189
2015 600081722 3442165722 1532275162 3,93728E+11 0,17433 0,003891707 44,796
2016 424593186 3254915907 1379733272 3,98336E+11 0,13045 0,003463739 37,661
2017 415656273 4038084310 1659480211 4,50076E+11 0,10293 0,003687114 27,917
54,643
164
Lampiran 13. Perhitungan Revealed Comparative Advantage (RCA) di Lima
Negara Tujuan Ekspor CPO Indonesia Tahun 2003-2017
(Lanjutan)
Sumber : UN Comtrade (2019), (diolah)
Sumber : UN Comtrade (2019), (diolah)
Singapura Xik Xim Xwk Xwm Xik/Xim Xwk/Xwm RCA
2003 95550499 5399657659 1355271 1,36264E+11 0,0177 9,94591E-06 1779,2
2004 129873800 5999058039 2014331 1,73581E+11 0,02165 1,16045E-05 1865,6
2005 150946672 7836584739 2742159 2,00724E+11 0,01926 1,36613E-05 1410
2006 185473429 8929849215 1770977 2,3992E+11 0,02077 7,38153E-06 2813,8
2007 318365161 10501617246 1773887 2,64766E+11 0,03032 6,69983E-06 4524,9
2008 409488761 12862045173 9642676 3,2302E+11 0,03184 2,98517E-05 1066,5
2009 357997804 10262665108 5374862 2,47216E+11 0,03488 2,17415E-05 1604,5
2010 460368142 13723265578 107270845 3,10791E+11 0,03355 0,000345154 97,193
2011 669973605 18443890221 434114218 3,6577E+11 0,03632 0,001186849 30,606
2012 601391773 171350254 548181959 3,79723E+11 3,50972 0,001443637 2431,2
2013 417899758 16686238643 171523753 3,73016E+11 0,02504 0,00045983 54,465
2014 396982438 16752339986 57456100 3,66247E+11 0,0237 0,000156878 151,05
2015 332927715 12632634348 25659640 2,96745E+11 0,02635 8,64705E-05 304,78
2016 359878747 11246431902 43007756 2,91908E+11 0,032 0,000147333 217,19
2017 398616492 12767192917 55316698 3,2771E+11 0,03122 0,000168798 184,97
1235,7
Itali Xik Xim Xwk Xwm Xik/Xim Xwk/Xwm RCA
2003 12954052 843862629 66258139 2,97403E+11 0,01535 0,000222789 68,903
2004 38560755 922552486 78804459 3,55267E+11 0,0418 0,000221818 188,43
2005 29662869 1007183208 94684666 3,84836E+11 0,02945 0,000246039 119,7
2006 32810896 1212978776 97389000 4,42565E+11 0,02705 0,000220056 122,92
2007 84385461 1380002074 134493513 5,11823E+11 0,06115 0,000262774 232,71
2008 260583858 1900691792 336538453 5,6096E+11 0,1371 0,000599933 228,52
2009 361701494 1651082911 467755600 4,14784E+11 0,21907 0,00112771 194,26
2010 474097791 2369981370 591248883 4,86984E+11 0,20004 0,001214102 164,77
2011 488576651 3168307186 683274799 5,58832E+11 0,15421 0,001222684 126,12
2012 518376593 2277010430 701640546 4,89104E+11 0,22766 0,001434542 158,7
2013 529876776 2128608268 785434436 4,79336E+11 0,24893 0,001638587 151,92
2014 455261516 2286858978 711993508 4,74083E+11 0,19908 0,001501834 132,56
2015 340498425 1872932508 570596974 4,10933E+11 0,1818 0,001388539 130,93
2016 150430692 1572117669 437449769 4,04578E+11 0,09569 0,00108125 88,496
2017 231393992 1937660213 465582810 4,51416E+11 0,11942 0,001031384 115,79
148,31
165
Lampiran 13. Perhitungan Revealed Comparative Advantage (RCA) di Lima
Negara Tujuan Ekspor CPO Indonesia Tahun 2003-2017.
(Lanjutan)
Sumber : UN Comtrade (2019), (diolah)
Spanyol Xik Xim Xwk Xwm Xik/Xim Xwk/Xwm RCA
2003 21785327 1022438133 63471678 2,08549E+11 0,02131 0,000304349 70,009
2004 31149738 837474263 77979414 2,59265E+11 0,03719 0,000300771 123,66
2005 21921663 1205484156 77854785 2,89611E+11 0,01818 0,000268826 67,646
2006 37927587 1641122136 106537446 3,29976E+11 0,02311 0,000322864 71,58
2007 42131496 1906222913 165543804 3,91237E+11 0,0221 0,000423129 52,235
2008 87506607 1665335009 261217951 4,18728E+11 0,05255 0,000623836 84,23
2009 155011832 1830457715 317885720 2,87502E+11 0,08468 0,001105683 76,59
2010 230485099 2328695767 460479788 3,15547E+11 0,09898 0,001459306 67,824
2011 326476753 2427861565 595276344 3,62835E+11 0,13447 0,001640628 81,963
2012 183703180 2069250741 514552410 3,25835E+11 0,08878 0,00157918 56,218
2013 315382330 1810444480 595301680 3,32267E+11 0,1742 0,001791637 97,23
2014 208143675 1937638786 473756112 3,50978E+11 0,10742 0,001349818 79,582
2015 338527185 1481288142 597008951 3,05266E+11 0,22854 0,001955701 116,86
2016 139888710 1579275490 373185979 3,02539E+11 0,08858 0,001233514 71,809
2017 138607280 2011925568 466951195 3,50922E+11 0,06889 0,001330643 51,774
77,948
166
Lampiran 14. Rata-rata Perhitungan Revealed Comparative Advantage (RCA) di
Lima Negara Tujuan Ekspor CPO Indonesia Tahun 2003-2017.
RCA India Belanda Singapura Itali Spanyol Rata2
2003 16,785 67,5255 1779,19 68,903 70,009 400
2004 40,862 75,2776 1865,565 188,43 123,66 459
2005 36,625 67,9714 1409,952 119,7 67,646 340
2006 36,224 76,6116 2813,785 122,92 71,58 624
2007 59,729 57,5808 4524,865 232,71 52,235 985
2008 75,906 62,3015 1066,507 228,52 84,23 303
2009 33,992 0 1604,463 194,26 76,59 477
2010 35,06 76,8262 97,19294 164,77 67,824 88,3
2011 27,858 37,4415 30,60623 126,12 81,963 60,8
2012 20,89 45,3136 2431,167 158,7 56,218 542
2013 17,072 44,5849 54,46488 151,92 97,23 73,1
2014 14,817 43,1891 151,0547 132,56 79,582 84,2
2015 15,392 44,7959 304,7813 130,93 116,86 123
2016 18,007 37,6607 217,1907 88,496 71,809 86,6
2017 21,138 27,9172 184,9664 115,79 51,774 80,3
Rata2 31,357 54,6427 1235,717 148,31 77,948 315
Sumber : UN Comtrade (2019), (diolah)
167
Lampiran 15. Perhitungan Revealed Comparative Advantage (RCA) di Lima
Negara Tujuan Ekspor CPO Malaysia Tahun 2003-2017.
India Xik Xim Xwk Xwm Xik/Xim Xwk/Xwm RCA
2003 202946389 2533820928 1295621208 72430524382 0,080095 0,017888 4,5
2004 139544413 3014994826 742955705 98981129472 0,04628347 0,007506 6,2
2005 84378644 3997779998 832154945 1,40862E+11 0,02110638 0,005908 3,6
2006 110722426 5124277668 1071168371 1,78212E+11 0,02160742 0,006011 3,6
2007 164196321 5881466613 1341707907 2,18645E+11 0,02791758 0,006136 4,5
2008 311139497 7411517603 1912815763 3,15712E+11 0,04198054 0,006059 6,9
2009 368400097 4829344247 2753276832 2,66402E+11 0,07628367 0,010335 7,4
2010 475781373 6516310689 3654230007 3,50029E+11 0,07301392 0,01044 7
2011 1,154E+09 9209461687 5557516992 4,62403E+11 0,12529317 0,012019 10,4
2012 1,971E+09 9492710234 6197199694 4,88976E+11 0,20764449 0,012674 16,4
2013 1,256E+09 8161429153 4884714825 4,66046E+11 0,15391802 0,010481 14,7
2014 1,857E+09 9748022284 5319597146 4,59369E+11 0,19052859 0,01158 16,5
2015 1,802E+09 8128612215 4571715458 3,90745E+11 0,22171554 0,0117 19
2016 1,336E+09 7713560900 3666906925 3,56705E+11 0,1731888 0,01028 16,8
2017 917831613 7995228877 4576688315 4,44052E+11 0,11479742 0,010307 11,1
9,9
Sumber : UN Comtrade (2019), (diolah)
Belanda Xik Xim Xwk Xwm Xik/Xim Xwk/Xwm RCA
2003 208014571 3430599360 320125338 2,33997E+11 0,06063505 0,001368 44,3
2004 270266825 4152351047 376314085 2,84014E+11 0,06508766 0,001325 49,1
2005 322966001 4730958301 489135170 3,10591E+11 0,06826651 0,001575 43,3
2006 496584772 5846114846 599023154 3,5851E+11 0,0849427 0,001671 50,8
2007 729919406 6867039331 984944300 4,21368E+11 0,10629317 0,002337 45,5
2008 839230969 7025132969 1591741429 4,94937E+11 0,11946122 0,003216 37,1
2009 598872406 5233491198 0 3,8219E+11 0,11443077 0 0
2010 698355808 6286028046 1232115278 4,39987E+11 0,11109651 0,0028 39,7
2011 1,135E+09 6307106967 1543480258 4,92838E+11 0,17995365 0,003132 57,5
2012 1,245E+09 6007455520 2443238506 5,00605E+11 0,20730081 0,004881 42,5
2013 974253482 6569679845 2301648726 5,06162E+11 0,14829543 0,004547 32,6
2014 971481317 7162913020 1893834476 5,08033E+11 0,13562657 0,003728 36,4
2015 726212344 6005469229 1532275162 3,93728E+11 0,12092516 0,003892 31,1
2016 490262501 5285787732 1379733272 3,98336E+11 0,09275108 0,003464 26,8
2017 486027347 6224154134 1659480211 4,50076E+11 0,07808729 0,003687 21,2
39,8
Sumber : UN Comtrade (2019), (diolah)
168
Lampiran 15. Perhitungan Revealed Comparative Advantage (RCA) di Lima
Negara Tujuan Ekspor CPO Malaysia Tahun 2003-2017 (Lanjutan)
Singapura Xik Xim Xwk Xwm Xik/Xim Xwk/Xwm RCA
2003 3755375 16522635091 1355271 1,36264E+11 0,00022729 9,95E-06 22,9
2004 3315680 18931037132 2014331 1,73581E+11 0,00017515 1,16E-05 15,1
2005 2625964 22078782553 2742159 2,00724E+11 0,00011894 1,37E-05 8,71
2006 2159156 24757812004 1770977 2,3992E+11 8,7211E-05 7,38E-06 11,8
2007 983183 25590474681 1773887 2,64766E+11 3,842E-05 6,7E-06 5,73
2008 252503 29064212702 9642676 3,2302E+11 8,6878E-06 2,99E-05 0,29
2009 5939149 21931898495 5374862 2,47216E+11 0,0002708 2,17E-05 12,5
2010 102031793 26552829603 107270845 3,10791E+11 0,0038426 0,000345 11,1
2011 108939765 28812576549 434114218 3,6577E+11 0,00378098 0,001187 3,19
2012 238856215 30931145663 548181959 3,79723E+11 0,00772219 0,001444 5,35
2013 120148832 31778865871 171523753 3,73016E+11 0,00378078 0,00046 8,22
2014 33024101 33262665974 57456100 3,66247E+11 0,00099283 0,000157 6,33
2015 6297544 27842989314 25659640 2,96745E+11 0,00022618 8,65E-05 2,62
2016 26873480 27581069045 43007756 2,91908E+11 0,00097435 0,000147 6,61
2017 36020351 30985647954 55316698 3,2771E+11 0,00116249 0,000169 6,89
8,49
Sumber : UN Comtrade (2019), (diolah)
Itali Xik Xim Xwk Xwm Xik/Xim Xwk/Xwm RCA
2003 0 621946437 66258139 2,97403E+11 0 0,000223 0
2004 0 768742376 78804459 3,55267E+11 0 0,000222 0
2005 13151352 704721957 94684666 3,84836E+11 0,01866176 0,000246 75,8
2006 10083458 988284213 97389000 4,42565E+11 0,01020299 0,00022 46,4
2007 0 1102027480 134493513 5,11823E+11 0 0,000263 0
2008 18707149 933716783 336538453 5,6096E+11 0,02003514 0,0006 33,4
2009 6594890 801596238 467755600 4,14784E+11 0,0082272 0,001128 7,3
2010 68658019 1072400126 591248883 4,86984E+11 0,06402276 0,001214 52,7
2011 74110094 1179107639 683274799 5,58832E+11 0,0628527 0,001223 51,4
2012 109307090 953054235 701640546 4,89104E+11 0,11469136 0,001435 79,9
2013 93803975 1016500452 785434436 4,79336E+11 0,09228129 0,001639 56,3
2014 106566674 902402977 711993508 4,74083E+11 0,11809211 0,001502 78,6
2015 182288559 933377459 570596974 4,10933E+11 0,19529994 0,001389 141
2016 185449571 965006320 437449769 4,04578E+11 0,19217446 0,001081 178
2017 166164106 1058388546 465582810 4,51416E+11 0,15699726 0,001031 152
63,5
Sumber : UN Comtrade (2019), (diolah)
169
Lampiran 15. Perhitungan Revealed Comparative Advantage (RCA) di Lima
Negara Tujuan Ekspor CPO Malaysia Tahun 2003-2017 (Lanjutan)
Spanyol Xik Xim Xwk Xwm Xik/Xim Xwk/Xwm RCA
2003 9007017 408169429 63471678 2,08549E+11 0,02206686 0,000304 72,5
2004 11102238 594851018 77979414 2,59265E+11 0,0186639 0,000301 62,1
2005 9803297 584413632 77854785 2,89611E+11 0,01677459 0,000269 62,4
2006 10086963 934747604 106537446 3,29976E+11 0,01079111 0,000323 33,4
2007 11246663 854573096 165543804 3,91237E+11 0,01316056 0,000423 31,1
2008 6089644 942198858 261217951 4,18728E+11 0,00646323 0,000624 10,4
2009 6378765 446541191 317885720 2,87502E+11 0,01428483 0,001106 12,9
2010 35082379 598071880 460479788 3,15547E+11 0,05865913 0,001459 40,2
2011 107299954 632698451 595276344 3,62835E+11 0,16959099 0,001641 103
2012 132281714 507406222 514552410 3,25835E+11 0,2607018 0,001579 165
2013 52186378 460964922 595301680 3,32267E+11 0,11321117 0,001792 63,2
2014 136079473 544165713 473756112 3,50978E+11 0,25006991 0,00135 185
2015 93750977 595826356 597008951 3,05266E+11 0,15734614 0,001956 80,5
2016 78830576 561828435 373185979 3,02539E+11 0,14031076 0,001234 114
2017 74360029 621934120 466951195 3,50922E+11 0,11956255 0,001331 89,9
75,1
Sumber : UN Comtrade (2019), (diolah)
170
Lampiran 16. Rata-rata Perhitungan Revealed Comparative Advantage (RCA) di
Lima Negara Tujuan Ekspor CPO Malaysia Tahun 2003-2017
RCA India Belanda Singapura Itali Spanyol Rata2
2003 4,478 44,32 22,852 0 72,51 28,8
2004 6,166 49,12 15,093 0 62,05 26,5
2005 3,573 43,35 8,7061 75,85 62,4 38,8
2006 3,595 50,84 11,815 46,37 33,42 29,2
2007 4,549 45,47 5,7345 0 31,1 17,4
2008 6,929 37,15 0,291 33,4 10,36 17,6
2009 7,381 0 12,455 7,295 12,92 10
2010 6,994 39,67 11,133 52,73 40,2 30,1
2011 10,42 57,46 3,1857 51,41 103,4 45,2
2012 16,38 42,47 5,3491 79,95 165,1 61,8
2013 14,69 32,61 8,2221 56,32 63,19 35
2014 16,45 36,38 6,3287 78,63 185,3 64,6
2015 18,95 31,07 2,6157 140,7 80,46 54,7
2016 16,85 26,78 6,6132 177,7 113,7 68,3
2017 11,14 21,18 6,8868 152,2 89,85 56,3
9,903 39,85 8,4854 63,5 75,06 39
Sumber : UN Comtrade (2019), (diolah)
171
Lampiran 17. Perhitungan Nilai Indeks Spesialisasi Perdagangan Negara
Indonesia dan Malaysia.
Indonesia Xia Mia Xia-Mia Xia+Mia ISP
2003 1062214890 24348 1062190542 1062239238 1
2004 1444421828 1067327 1443354501 1445489155 0,999
2005 1593295437 14058 1593281379 1593309495 1
2006 1993666661 46109 1993620552 1993712770 1
2007 3738651552 10588 3738640964 3738662140 1
2008 6561330490 1427 6561329063 6561331917 1
2009 5702126189 1332129 5700794060 5703458318 1
2010 7649965932 3360560 7646605372 7653326492 0,999
2011 8777015600 24506004 8752509596 8801521604 0,994
2012 6676503846 0 6676503846 6676503846 1
2013 4978532881 0 4978532881 4978532881 1
2014 4206741340 0 4206741340 4206741340 1
2015 4388094011 0 4388094011 4388094011 1
2016 3305575089 3874877 3301700212 3309449966 0,998
2017 4698225492 457 4698225035 4698225949 1
Rata-Rata ISP 0,999 Sumber: UN Comtrade (2019), (diolah)
Malaysia Xia Mia Xia-Mia Xia+Mia ISP
2003 512074232 148012253 364061979 660086485 0,552
2004 539812095 355315723 184496372 895127818 0,206
2005 566651817 152538757 414113060 719190574 0,576
2006 924627185 233840193 690786992 1158467378 0,596
2007 1259850331 207442146 1052408185 1467292477 0,717
2008 1879389747 496393697 1382996050 2375783444 0,582
2009 1675850018 682064401 993785617 2357914419 0,421
2010 2312971826 1005899191 1307072635 3318871017 0,394
2011 3796528454 1630867301 2165661153 5427395755 0,399
2012 4468118528 791965295 3676153233 5260083823 0,699
2013 2986345133 260723872 2725621261 3247069005 0,839
2014 3428710388 225867096 3202843292 3654577484 0,876
2015 3076580116 432796435 2643783681 3509376551 0,753
2016 2335674952 128852507 2206822445 2464527459 0,895
2017 1868891714 208893128 1659998586 2077784842 0,799
Rata-Rata ISP 0,62 Sumber: UN Comtrade (2019), (diolah)
172
Lampiran 18. Luas Areal dan Produksi Minyak Sawit (CPO) pada Perkebunan
Rakyat (PR), Perkebunan Negara (PN), dan Perkebunan Swasta
(PS) Menurut Provinsi dan Keadaan Tanaman, 2017.
No Provinsi Luas Areal Perkebunan (Ha) Produksi
(Ton) PR PN PS
1 Aceh 282.234 29.343 222.668 911.697
2 Sumatera Utara 581.747 316.508 807.880 5.119.497
3 Sumatera Barat 236.536 8.405 233.376 1.302.952
4 Riau 1.529.012 67.876 1.106.311 8.113.852
5 Kepulauan Riau 3.760 - 19.954 28.664
6 Jambi 576.142 24.041 287.612 1.849.969
7 Sumatera Selatan 566.876 31.711 566.080 3.199.481
8 Kep. Bangka B 71.402 - 191.941 853.648
9 Bengkulu 236.513 1.283 122.652 893.322
10 Lampung 141.685 13.601 104.053 486.714
P. Sumatera 4.225.908 492.768 3.662.527 22.759.795
11 DKI Jaya - - - -
12 Jawa Barat 1.094 11.843 4.483 43.660
13 Banten 7.761 9.605 2.892 32.581
14 Jawa Tengah - - - -
15 D.I Yogyakarta - - - -
16 Jawa Timur - - -
P. Jawa 8.856 21.448 7.375 76.241
17 Bali - - - -
18 NTB - - - -
19 NTT - - - -
Nusa Tenggara - - - -
20 Kalimantan B 416.071 27.407 1.061.309 2.784.180
21 Kalimantan Te 171.697 - 1.309.291 5.778.611
22 Kalimantan S 147.956 8.872 430.971 1.933.721
23 Kalimantan Ti 350.745 36.230 673.015 2.840.710
24 Kalimantan U 43.082 - 206.870 219.223
P. Kalimantan 1.129.551 72.509 3.681.456 13.556.44
25 Sulawesi Utara - - - -
26 Gorontalo 5.157 - 12.123 1.709
27 Sulawesi Tengah 90.854 - 97.680 456.608
28 Sulawesi Selatan 36.380 24.378 3.740 113.972
29 Sulawesi Barat 107.136 - 81.512 568.719
30 Sulawesi Tenggr 11.127 1.314 58.688 99.427
P. Sulawesi 250.653 25.692 253.743 1.240.435
31 Maluku 2.280 - 10.251 11.959
32 Maluku Utara - - 5.525 -
33 Papua 67.045 11.649 33.944 176.728
34 Papua Barat 13.600 14.077 57.866 143.622
Maluku+Papua 82.926 25.726 107.586 332.310
Indonesia 5.697.892 638.143 7.712.687 37.965.224 Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan (2019)
173
Lampiran 19. Pertumbuhan Jumlah Petani dan Jumlah Tenaga Kerja Perkebunan
Kelapa Sawit Indonesia Tahun 2017-2019.
Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan (2019)
No Provinsi
2017 2018 2019
Jumlah
Petani
(KK)
Jumlah
Tenaga
Kerja
Jumlah
Petani
(KK)
Jumlah
Tenaga
Kerja
Jumlah
Petani
(KK)
Jumlah
Tenaga
Kerja
1 Sumatera 1.987.271 2.104.738 2.025.036 2.149.199 2.068.676 2.210.613
2 Jawa 7.199 14.412 7.602 14.413 7.870 14.568
3 Nusa Tenggara
- - - - - -
4 Kalimantan 459.870 2.006.458 470.558 2.039.721 486.514 2.072.695
5 Sulawesi 98.309 144.936 99.465 149.046 101.631 154.715
6 Maluku
Papua 65.478 70.304 71.149 69.927 76.056 74.122
Indonesia 2.618.127 4.340.848 2.673.810 4.422.226 2.740.747 4.526.713
174
Lampiran 20. Daftar Anggota Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia.
Provinsi No Nama Perusahaan No Keanggotaan
(Crushing Plant)
No.
Keanggotaan
(Palm Oil
Refinery)
Sumatera
Utara
1 PT. Agro Jaya Perdana 001.01.II.G-
AJP/2017
2 PT Berlian Eka Sakti
Tangguh
002.02.II.G-
BEST/2017
3 PT Bintang Tenera 003.02.II.G-
BT/2017
4 PT Indah Pontjan 005.02.II.G-
IP/2017
5 PT Multimas Nabati
Asahan
006.02.II.G-
MNA/2017
006.01.II.G-
MNA/2017
6 PT Musim Mas 007.02.II.G-
MM/2017
007.01.II.G-
MM/2017
7 PT Permata Hijau
Palm Oleo
008.02.II.G-
PHPO/2017
008.01.II.G-
PHPO/2017
8 PT Pacific Palmindo
Industri
009.02.II.G-
PPI/2017
9 PT Permata Hijau
Sawit
010.02.II.G-
PHS/2017
10 PT Sawit Asahan
Tetap Utuh
011.02.II.G-
SATU/2017
11 PT Sintong Abadi 012.02.II.G-
SA/2017
012.01.II.G-
SA/2017
12 PT Victorindo Alam
Lestari
015.01.II.G-
VAL/2017
13 PT Inno Wangsa Oils
and Fats
042.02.II.G-
IWOF/2017
Riau 14 PT Intibenua
Perkasatama
016.02.III.G-
IBP/2017
016.01.III.G-
IBP/2017
15 PT Nagamas Palm Oil
Lestari
017.02.III.G-
NPL/2017
16 PT Pelita Agung
Agrindustri
018.01.III.G-
PAA/2017
17 PT Sari Dumai Sejati 019.02.III.G-
SDS/2017
019/012.II.G-
SDS/2017
18 PT Wilmar Nabati
Indonesia
020.02.III.G-
WINA/2017
020.01.III.G-
WINA/2017 Sumber: Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (2019)
175
Lampiran 20. Daftar Anggota Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia
(Lanjutan)
Provinsi No Nama Perusahaan No Keanggotaan
(Crushing Plant)
No.
Keanggotaan
(Palm Oil
Refinery)
Sumatera
Barat
19 PT Incasi Raya 021.02.V.G-
IR/2017
20 PT Wira Inno Mas 022.01.V.G-
WIM/2017
022.02.V.G-
WIM/2017
Jambi 21 PT Kurnia Tunggal
Nugraha
023.02.VI.G-
KTN/2017
Sumatera
Selatan
22 PT Indokarya
Internusa
024.02.VIII.G-
IKI/2017
23 PT Sinar Alam
Permai
025.02.VIII.G-
SAP/2017
025.01.VII.G-
SAP/2017
Lampung 24 PT Louis Dreyfus
Commodities
Indonesia
026.02.X.G-
LDCI/2017
DKI Jaya 25 PT Multi Guna Gas
Refinery
027.02.XII.G-
MGG/2017
Jawa Barat 26 PT Mikie Oleo
Nabati Industri
028.02.XIII.G-
MONI/2017
27 PT Royal Industries
Indonesia
029.02.XIII.G-
RII/2017
28 PT Wilmar Cahaya
Indonesia
030.02.XIII.G-
WICA/2017
29 PT Megasurya Mas 031.02.XVI.G-
MSM/2017
30 PT Wilmar Nabati
Indonesia (GSK)
032.02.XVI.G-
WINA/2017
Kalimantan
Barat
31 PT Wilmar Cahaya
Indonesia (PTK)
033.02.XVIII.G-
WCI/2017
Kalimantan
Selatan
32 PT Golden Hope
Nusantara
037.02.XIX.G-
GHN/2017
Kalimantan
Tengah
33 PT Citra Borneo
Utama
034.02.XX.G-
CBU/2017
034.01.XX.G-
CBU/2017
34 PT Sinar Alam
Permai (KMI)
035.02.XX.G-
SAP/2017
35 PT Sukajadi Sawit
Mekar
036.02.XX.G-
SSM/2017
036.01.XX.G-
SSM/2017 Sumber: Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (2019)
176
Lampiran 20. Daftar Anggota Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia
(Lanjutan)
Provinsi No Nama Perusahaan No Keanggotaan
(Crushing Plant)
No.
Keanggotaan
(Palm Oil
Refinery)
Sulawesi
Utara
36 PT Agro Makmur
Raya
038.02.XXIII.G-
AMR/2017
038.02.XXIII.G-
AMR/2017
37 PT Cargill
Indonesia
PT Cargill
Indonesia
38 PT Multi Nabati
Sulawesi
040.02.XXIII.G-
MNS/2017
040.01.XXIII.G-
MNS/2017 Sumber: Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (2019)
177
Lampiran 21. Tarif pungutan Dana Perkebunan Atas Ekspor Kelapa Sawit, Crude
Palm Oil (CPO), dan Produk Turunannya.
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia
Nomor 81/PMK.05/2018
Tentang
Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa
Sawit Pada Kementerian Keuangan
No Jenis Layanan
Termasuk
dalam Pos
Tarif
Satuan Tarif
(US$)
1 Tandan Buah Segar 1207.99.50 Per Ton 0
2 Biji Sawit, dan Kernel Kelapa Sawit
Buah Sawit
1207.10.10
1207.10.30
1207.10.90
ex 1207.99.90
Per Ton 20
3 Bungkil ( Oil Cake) dan residu padat
lainnya dari Buah Sawit dan Kernel
Sawit
ex 2306.60.10
ex 2306.60.90
ex 2306.90.90
Per Ton 20
4 Tandan Buah Kosong dari Kelapa
Sawit
1404.90.92 Per Ton 10
5 Cangkang Kernel Sawit dalam
bentuk serpih; dan bubuk dengan
ukuran partikel > 50 mesh
ex 1404.90.91 Per Ton 3 s.d
10
6 Crude Palm Oil (CPO) 1511.10.00 Per Ton 50
7 Crude Palm Kernel Oil (CPKO) 1513.21.10 Per Ton 50
8 Crude Palm Olein 1511.90.42
1511.90.49
Per Ton 50
9 Crude Palm Stearin 1511.90.41 Per Ton 50
10 Crude Palm Kernel Olein 1513.29.13 Per Ton 50
11 Crude Palm Kernel Stealin 1513.29.11 Per Ton 50
12 Palm Fatty Acid Distillate (PFAD) 3823.19.20 Per Ton 40
13 Palm Kernel Fatty Acid Distillate
(PKFAD)
3823.19.30 Per Ton 40
14 Split Fatty Acid dari Crude Palm
Oil, Crude Palm Kernel Oil,
dan/atau fraksi mentahny dengan
kandungan asam lemak bebas > 2%
ex 3823.19.90 Per Ton 30
Sumber: Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 81/PMK.05/2018
178
Lampiran 21. Tarif pungutan Dana Perkebunan Atas Ekspor Kelapa Sawit, Crude
Palm Oil (CPO), dan Produk Turunannya (Lanjutan).
No Jenis Layanan
Termasuk
dalam Pos
Tarif
Satuan Tarif
(US$)
15 Split Palm Fatty Acid Distillate
(SPFAD) dengan kandungan asam
lemak bebas > 70%
ex 3823.19.90 Per Ton 30
16 Split Palm Kernel Fatty Acid
Distillate (SPKFAD) dengan
kandungan asam lemak bebas >70%
ex 3823.19.90 Per Ton 30
17 Refined, Bleached, and Deodorized
(RBD) Palm Olein
1511.90.36
1511.90.37
1511.90.39
Per Ton 30
18 RBD Palm Oil 1511.90.20 Per Ton 20
19 RBD Palm Stealin 1511.90.31
1511.90.32
Per Ton 20
20 RBD Palm Kernel Oil 1513.29.95 Per Ton 20
21 RBD Palm Kernel Olein 1513.29.94 Per Ton 20
22 RBD Palm Kernel Stealin 1513.29.91 Per Ton 20
23 RBD Palm Olein dalam kemasan
bermerk dan dikemas dengan berat
netto < 25kg
ex 1511.90.36 Per Ton 20
24 Biodiesel dari minyak sawit dengan
kandungan Metil Ester lebih dari
96,5% - volume
ex 3826.00.21
ex 3826.00.22
ex 3826.00.90
Per Ton 20
Sumber: Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 81/PMK.05/2018
179
Lampiran 22. Mandatori Biodiesel Berdasarkan Peraturan Menteri ESDM
No.32/2008 dan Keputusan Menteri ESDM No.25/2013.
Permen ESDM No. 32/2008
Jenis
Sektor
2008 2009 2010 2015 2020 2025 Keterangan
Transportasi
PSO 1 % 1% 2,5% 5% 10% 20%
Terhadap
kebutuhan total
Transportasi
Non-PSO - 1% 3% 7% 10% 20% -
Industri dan
Komersial 2,5% 2,5% 5% 10% 15% 20%
Terhadap
kebutuhan total
Pembangkit
Listrik 0,1% 0,25% 1% 10% 15% 20%
Terhadap
kebutuhan total Sumber: Peraturan Menteri dan Sumber Daya Mineral Nomor 32 Tahun 2008
Permen ESDM No. 25/2013
Jenis
Sektor
2013 2014 2015 2016 2020 2025 Keterangan
Transportasi
PSO 10% 10% 10% 20% 20% 25%
Terhadap
kebutuhan total
Transportasi
Non-PSO 3% 10% 10% 20% 20% 25%
Terhadap
kebutuhan total
Industri dan
Komersial 5% 10% 10% 20% 20% 25%
Terhadap
kebutuhan total
Pembangkit
Listrik 7,5% 20% 25% 30% 30% 30%
Terhadap
kebutuhan total Sumber: Peraturan Menteri dan Sumber Daya Mineral Nomor 25 Tahun 2013
top related