asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan chronic obstructive pulmonary diseases
Post on 15-Jun-2015
4.617 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB IPendahuluan
Penyakit paru-paru obstruktif kronis (chronic obstructive pulmonary
diseases-COPD) merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk
sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh
peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi
utamanya.
Ketiga penyakit yang membentuk satu kesatuan yang dikenal dengan
CPOD adalah: brinkhitis kronis, efisema paru-paru, dan asma bronchial, sering
juga penyakit ini disebut dengan ‘choronic airflow limitation (CAL)’ dan
‘chronic obstructive lung disease (COLD)’
Meskipun semuanya memberikan kelainan berupa obstruksi saluran
napas, tetapi mekanisme terjadinya kelainan itu berbeda pada masing-masing
penyakit. Gangguan obstruksi yang terjadi menimbulkan dampak buruk
terhadap penderita karena menimbulkan gangguan oksigenisasi dengan segala
dampaknya. Obstruksi saluran napas
yang terjadi bisa bertambah berat jika ada gangguan lain seperti infeksi saluran
napas dan eksaserbasi akut penyakitnya. Pemberian bronkodilator yang
bertujuan mengatasi obstruksi yang terjadi, merupakan suatu tindakan yang
bersifat simptomatis, karena pengobatan ini tidak mengobati etiologi obstruksi;
walaupun demikian pengobatan ini perlu dilakukan untuk mengatasi gejala serta
menghindari perburukan penyakit dan kom-
plikasi.
Terdapat berbagai golongan bronkodilator dan cara pem- berian yang
berbeda. Pemilihan bronkodilator yang tepat dan cara pemberian yang akurat
perlu dilakukan agar diperoleh efek pengobatan yang optimal dengan efek
samping yang minimal.
1
BAB II
ISI
PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIS
I. Definisi
Penyakit paru obstruksi adalah penyakit atau gangguan paru yang memberikan
kelainan ventilasi berupa gangguan obstruksi saluran napas.
II. Mekanisme obstruksi saluran napas
Obstruksi saluran napas difus yang terjadi pada asthma terdiri dari empat unsur,
yaitu :
1. Hipertrofi otot polos bronkus
2. Peningkatan sekresi muk ke dalam lumen bronkus
3. Edema mukosa bronkus
4. Infiltrasi sel inflamasi oleh eosinofil dan netrofil pada dinding saluran napas
dan lumen.
Mekanisme obstruksi saluran napas yang terjadi pada asthma sangat kompleks,
tetapi interaksi dengan hiperaktivitas bronkus merupakan faktor utama.Pada bronkitis
kronik obstruksi saluran napas terjadi melalui mekanisme lain. Faktor pencetus
penyakit ini adalah suatu iritasi kronik yang disebabkan oleh asap rokok dan polusi.
Asap rokok merupakan campuran partikel dan gas. Pada tiap hembusan asap rokok
terdapat radikal bebas yaitu radikal hidroksida (OH-).
Sebagian besar radikal bebas ini akan sampai di alveolus waktu menghisap
rokok. Partikel ini merupakan oksidan yang dapat merusak paru. Parenkim paru yang
rusak oleh oksidan terjadi karena rusaknya dinding alveolus dan timbulnya modifikasi
fungsi anti elastase pada saluran napas. Anti elastase berfungsi menghambat
netrofil.Oksidan menyebabkan fungsi ini ter- ganggu, sehingga timbul kerusakan
jaringan intersititial alveolus.
2
Partikulat dalam asap rokok dan udara terpolusi mengendap pada lapisan mukus
yang melapisi mukosa bronkus, sehingga menghambat aktivita silia. Pergerakan
cairan yang melapisi mukosa berkurang, sehingga iritasi pada sel epitel mukosa
meningkat. Hal ini akan lebih merangsang kelenjar mukosa. Keadaan ini dit dengan
gangguan aktifitas silia menimbulkan gejala batuk kronik dan ekpektorasi. Produk
mukus yang berlebihan memudahkan timbulnya infeksi serta menghambat proses
penyembuhan, keadaan ini merupakan suatu lingkaran dengan akibat terjadi
hipersekresi. Bila iritasi dan oksidasi di saluran napas terus berlangsung maka terjadi
erosi epitel serta pembentukan jaringan parut. Selain itu terjadi pula metaplasi
skuamosa dan penebalan lapisan skuamosa. Hal ini menimbulkan stenosis dan
obstruksi saluran napas yang bersifat irreversibel.
Emfisema adalah keadaan terdapatnya pelebaran abnormal alveoli yang
permanen dan destruksi dinding alveoli. Dua jenis emfisema yang relevan dengan
penyakit paru obstruksi kronik(PPOK) yaitu emfisema pan acinar dan emfisema
sentri-acinar
Pada jenis pan-acinar kerusakan acinar relatif difus dan dihubungkan dengan
proses menua serta pengurangan permukaan alveolar. Keadaan ini menyebabkan
berkurangnya elastic recoil paru sehingga timbul obstruksi saluran napas. Pada jenis
sentri-acinar kelainan terjadi pada bronkiolus dan daerah perifer acinar, kelainan ini
sangat erat hubungannya dengan asap rokok dan penyakit saluran napas perifer
Pada sindrom obstruksi pasca Tb (SOPT) mekanisme obstruksi terjadi oleh
karena rusaknya parenkim paru akibat penyakit tuberkulosis timbulnya fibrosis
mengakibatkan
saluran napas yang tidak teratur, serta emfisema kompensasi karena proses fibrosis
dan atelektasis mungkin mempunyai peran dalam terjadinya obstruksi saluran napas
pada penyakit ini
3
III. Tujuan Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada penyakit paru obstruksi bertujuan untuk menghilangkan
atau mengurangi obstruksi yang terjadi seminimal mungkin dan secepatnya agar
oksigenisasi dapat kembali normal; keadaan ini dipertahankan dan diusahakan
menghindari perburukan penyakit atau timbulnya obstruksi kembali pada kasus
dengan obstruksi yang reversibel.
Dasar-dasar penatalaksanaan ini pada PPOK adalah:
1) Usaha mencegah perburukan penyakit
2) Mobilisasi lendir
3) Mengatasi bronkospasme
4) Memberantas infeksi
5) Penanganan terhadap komplikasi
6) Fisioterapi, terapi inhalasi dan rehabilitasi.
Pada asthma dan PPOK, suatu serangan akut atau eksaserbasi akut memerlukan
penatalaksanaan yang tepat agar obstruksi yang terjadi dapat diatasi seoptimal
mungkin sehingga risiko komplikasi dan perburukan penyakit dapat dihindari sedapat
mungkin.
Pada obstruksi kronik yang terdapat pada PPOK dan SOPT penatalaksanaan
bertujuan untuk memperlambat proses perburukan faal paru dengan menghindari
eksaserbasi akut dan faktor-faktor yang memperburuk penyakit. Pada penderita
PPOK penurunan faal paru lebih besar dibandingkan orang normal. Penelitian di
RSUP Persahabatan menunjukkan bahwa nilai volume ekspirasi paksa detik pertama
(VEP1) pada penderita PPOK menurun sebesar 52 ml setiap tahunnya.
IV. Penatalaksanaan PPOK
a. penatalaksanaa Umum
Termasuk dalam penatalaksanaan umum ini adaIah:
1) Pendidikan terhadap penderita dan keluarga.
Mereka hendaklah mengetahui penyakitnya, yang meliputi berat penyakit, faktor-
faktor yang dapat mencetuskan eksaserbasi serta faktor yang bisa memperburuk
penyakit. Perlu peranan aktif penderita untuk usaha pencegahan dan pengobatan.
4
2) Menghindani rokok dan zat-zat inhalasi yang bersifat iritasi.
Rokok merupakan faktor utama yang dapat memperburuk perjalanan penyakit.
Penderita harus berhenti merokok. Di samping itu zat-zat inhalasi yang bersifat
iritasi harus dihindari, karena zat itu juga dapat menimbulkan eksaserbasi/memper-
buruk perjalanan penyakit.
3) Menghindan infeksi
Infeksi saluran napas sedapat mungkin dihindan oleh karena dapat menimbulkan
suatu eksaserbasi akut penyakit.
4) Lingkungan sehat
Perubahan cuaca yang mendadak, udara terlalu panas atau dingin dapat
meningkatkan produksi sputum dan obstruksi saluran napas. Tempat ketinggian
dengan kadar oksigen rendah dapat menurunkan tekanan oksigen dalam arteri. Pada
penderita PPOK terjadinya hipertensi pulmonal dan kor pulmonale dapat
diperlambat bila penderita pindah dari dataran tinggi ke tempat di permukaan laut.
5) Mencukupkan kebutuhan cairan
Hal ini penting untuk mengencerkan sputum sehingga mudah dikeluarkan. Pada
keadaan dekompesasi kordis, pemakaian kortikosteroid dan hiponatremi
memperbesar kemungkinan terjadinya kelebihan cairan.
6) Nutrien yang cukup
Pemberian makanan yang cukup perlu dipertahankan oleh karena penderita sering
mengalami anoreksia oleh karena sesak napas, dan pemakaian obat-obatan yang
menimbulkan rasa mual.
b. Pemberian Obat-obatan
1. Bronkodilator
Bronkodilator merupakan obat utama untuk mengatasi atau mengurangi
obstruksi saluran napas yang terdapat pada penyakit paru obstruksi. Ada 3 golongan
bronkodilator utama yaitu golongan simpatomimetik, golongan antikolinergik dan
golongan xanthin; ke tiga obat ini mempunyai cara kerja yang berbeda dalam
mengatasi obstruksi saluran napas. Dalam otot saluran napas persarafan langsung
simpatometik hanya sedikit; meskipun banyak terdapat adenoreseptor beta dalam
5
otot polos bronkus, reseptor ini terutama adalah beta-2. Pemberian beta agonis
menimbulkan bronkodilatasi. Reseptor beta berhubungan erat dengan adenilsiklase,
yaitu substansi penting yang menghasilkan siklik AMP yang menyebabkan
bronkodilatasi.
Persarafan bronkus berasal dan sistem parasimpatis melalui nervus vagus Pada
asthma aktifitas refleks vagal dianggap sebagai komponen utama bronkokonstriksi;
tetapi peranan vagus yang pasti tidak diketahui. Substansi penghantar saraf tersebut
adalah asetilkolin yang dapat menimbulkan bronkokonstniksi. Atropin adalah zat
antagonis kompetitif dan asetilkolin dan dapat menimbulkan relaksasi otot polos
bronkus sehingga timbul bronkodilatasi.
Obat golongan xanthin bekerja sebagai bronkodilator melalui mekanisme
yang belum diketahui dengan jelas. Beberapa mekanisme yang diduga
menyebabkan terjadinya bronkodilator, adalah:
Blokade reseptor adenosin
Rangsangan pelepasan katekolamin endogen
Meningkatkan jumlah dan efektivitas sel T supresor
Meningkatkan ambilan kalsium ke dalam sel otot polos
dan penghambatan penglepasan mediator dan sel mast.
Obat golongan simpatomimetik seperti adrenalin dan efedrin selain
memberikan efek bronkodilatasi juga menimbulkan takikardi dan palpitasi;
pemakaian obat-obat yang selektif terhadap reseptor beta mengurangi efek samping
ini. Golongan agonis beta-2 yang dianggap selektif antara lain adalah terbutalin,
feneterol, salbutamol, orsiprenalin dan salmeterol. Di samping bersifat sebagai
bronkodilator, bila diberikan secara inhalasi dapat memobilisasi lendir.
Pemberian beta-2 dapat menimbulkan tremor tetapi bila terus diberikan maka
gejala akan berkurang. Pemberian salbutamol lepas lambat juga dapat diberikan.
Pada penderita asma obat ini mungkin bisa mengu- rangi timbulnya serangan
asthma malam. Dosis salbutamol lepas lambat 2 x 4 mg mempunyai manfaat yang
sama dengan dosis 2 x 8 mg dengan efek samping yang lebih minimal.
Antikolinergik seperti ipratropium bromide merupakan bronkodilator utama
pada PPOK, kanena pada PPOK obstruksi saluran napas yang terjadi lebih dominan
6
disebabkan oleh komponen vagal. Kombinasi obat antikolinergik dengan golongan
bronkodilator lain seperti agonis beta-2 dan xanthin memberikanefek bronkodilatasi
yang lebih baik, sehingga dosis dapat di turunkan sehingga efek samping
jugamenjadi sedikit.
Pada penderita athsma akut pemberian antikolinergik tidak direkomendasikan
oleh karena efeknya lebih rendah dibandingkan golongan agonis beta-2; tetapi
penambahan obat antikolinergik dapat meningkatkan efek bronkodilatasi. Pada
asthma kronik antikolinergik cukup aman,bronkodilatasi terjadi melalui blokade
reseptor muskaninik non spesifik. Meskipun efeknya kurang dari gonis beta-2 tapi
penambahan obat ini memberikan efek tambahan terutama pada penderita asthma
yang lebih tua.
Golongan xanthin mempunyai efek bronkodilator yang lebih rendah, selain
bersifat bronkodilator obat ini juga berperan dalam meningkatkan kekuatan otot
diafragma. Pada penderita emfisema dan bronkitis kronik metabolisme obat
golongan xanthin ini dipengaruhi oleh faktor uimur, merokok, gagal jantung, infeksi
bakteri dan penggunaan obat simetidin dan eitromisin. Oleh karena itu penggunaan
obat xanthin pada PPOK membutuhkan pemantauan yang ketat. Pemberian
bronkodilator secara inhalasi sangat dianjurkan oleh kanena cara ini memberikan
berbagai keuntungan yaitu:
Obat bekerja langsung pada saluran napas
Onset kerja yang cepat
Dosis obat yang kecil
Efek samping yang minimal karena kadar obat dalam
darah rendah
Membantu mobilisasi lendir.
Ada berbagai cara pemberian obat inhalasi yaitu dengan inhalasi dosis terukur,
alat bantu spacer, nebuhaler, turbuhaler, dischaler, rotahaler dan nebuliser. Hal
yang perlu diperhatikan adalah cara pemakaian yang tepat dan benar sehingga obat
dapat mencapai saluran napas dengan dosis yang cukup.Pada orang tua dan anak-
anak serta pada suatu serangan akut yang berat mungkin obat tidak bisa dihisap
7
dengan baik sehingga sukar mendapatkan bronkodilatasi yang optimal pada
pemakaian inhalasi dosis terukur.
Pemberian inhalasi fenoterol 1 ml konsentrasi 0,1% dengan nebuliser pada
serangan asthma memberikan perbaikan faal paru yang sangat bermakna pada 32
penderita asthma yang berobat ke poli Asthma RSUP Persahabatan; tetapi pada 19
orang penderita PPOK dengan eksaserbasi akut, inhalasi ini memberikan perbaikan
subjektif sedangkan peningkatan faal paru tidak bermakna.
Pada penderita PPOK pemberian bronkodilator harus selalu dicoba, meskipun
tidak terdapat perbaikan faal paru. Apabila selama 23 bulan pemberian obat tidak
terlihat perubahan secara objektif maupun secara subjektif maka tidaklah tepat
untuk meneruskan pemberian obat. Tetapi pemberian bronkodilator tetap
diindikasikan pada suatu serangan akut.Pemberian bronkodilator jangka lama pada
penderita sebaiknya diberikan dalam bentuk kombinasi, untuk mendapatkan efek
yang optimal dengan efek samping yang minimal.
2. Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid pada suatu serangan akut baik pada asthma maupun
PPOK memberikan perbaikan penyakit yang nyata. Steroid dapat diberikan
intravena selama beberapa hari, dilanjutkan dengan prednison oral 60 mg selama 47
hari, kemudian diturunkan bertahap selama 710 hari. Pemberian dosis tinggi kurang
dari 7 hari dapat dihentikan tanpa turun bertahap.Pada penderita dengan
hipereaktivitas bronkus pem- berian kortikosteroid inhalasi menunjukkan perbaikan
fungsi paru dari gejala penyakit. Pemberian kortikosteroid jangka lama
memperlambat progresivitas penyakit.
3. Antibiotika
Infeksi sangat berperan pada perjalanan penyakit paru obstruksi, terutama
pada keadaan eksaserbasi., Infeksi virus paling sering menimbulkan eksaserbasi
diikuti oleh infeksi bakteri. Bila infeksi berlanjut maka perjalanan penyakit akan
makin memburuk.Penanganan infeksi yang cepat dan tepat sangat perlu dalam
penatalaksanaan penyakit. Pemberian antibiotika dapat mengurangi lama dan
beratnya eksaserbasi.Perubahan warna sputum dapat merupakan indikasi infeksi
8
bakteri. Antibiotika yang biasanya bermanfaat adalah golongan penisilin,
eritromisin dan kotrimoksasol, biasanya diberikan selama 710 hari. Apabila
antibiotika tidak memberikan perbaikan maka perlu dilakukan pemeriksaan
mikroorganisme.
4. Ekspektorans dan mukolitik
Pemberian cairan yang cukup dapat mengencerkan sekret, tetapi pada
beberapa keadaan seperti gagal jantung perlu dilakukan pembatasan cairan. Obat
yang menekan batuk seperti kodein tidak dianjurkan karena dapat mengganggu
pembersihan sekret dan menyebabkan gangguan pertukaran udara; di samping itu
obat ini dapat menekan pusat napas. Tetapi bila batuk sangat mengganggu seperti
batuk yang menetap, iritasi saluran napas dan gangguan tidur obat ini dapat
diberikan. Ekspektorans dan mukolitik lain seperti bromheksin, dan karboksi
metil sistein diberikan pada keadaan eksaserbasi. Asetil sistem selain bersifat
mukolitik juga mempunyai efek anti oksidans yang melindungi saluran napas dan
kerusakan yang disebabkan oleh oksidans.
c. Terapi Oksigen
Pada penderita dengan hipoksemi, yaitu Pa 02 < 55 mmHg pemberian
oksigen konsentrasi rendah 13 liter/menit secara terus menerus memberikan
perbaikan psikis, koordinasi otot, toleransi beban kerja dan pola tidur. Hipoksemi
dapat mencetuskan dekompensatio kordis pada penderita PPOK terutama pada
saat adanya infeksi saluran napas. Gejala gangguan tidur, gelisah dan sakit kepala
mungkin merupakan petunjuk perlunya oksigen tambahan. Pada penderita dengan
infeksi saluran napas akut dan dekompensasi kordis pemberian Inspiratory
Positive Pressure Breathing (IPPB) bermanfaat untuk mencegah dan
menyembuhkan atelektasis.
d. Rehabilitasi
Rehabilitasi meliputi tindakan fisioterapi, rehabilitasi psikis dan pekerjaan.
Fisioterapi bertujuan memobilisasi dahak dan mengendalikan kondisi fisik
penderita ke tingkat yang optimal. Berbagai cara fisioterapi dapat dilakukan yaitu
latihan relaksasi, latihan napas, perkusi dinding dada, drainase postural dan
9
program uji latih. Rehabilitasi psikis berguna untuk menenangkan penderita yang
cemas dan mempunyai rasa tertekan akibat penyakitnya. Sedangkan rehabilitasi
pekerjaan dilakukan untuk memotivasi penderita melakukan pekerjaan yang
sesuai dengan kemampuan fisiknya.
5.KLASIFIKASI
A. ASTHMA BRONKHIAL
Definisi
Suatu gangguan pada saluran bronkhial dengan ciri bronkospasme
periodik ( kontraksi spasme pada saluran napas ). Asthma merupakan penyakit
kompleks yang dapat diakibatkan oleh factor biokimia, endokrin, infeksi,
otonomik, dan psikologi.
Tipe Asthma
Asthma terbagi menjadi :
a. Asma alergik atau ekstrintik
Suatu jenis asthma yang disebabkan oleh allergen ( misalnya bulu
binatang, debu, ketombe, tepung sari, makanan, dan lain-lain). Alergen
yang paling umum adalah airborne (perantaraan penyebarannya melalui
udara ) dan seasonal ( muncul seacara musiman ). Pada pasien ini biasanya
mempunyai riwayat penyakit alergi pada keluarga dan riwayat pengobatan
ekzema atau rhinitis alergik. Gejala umumnya dimulai saat kanak-kanak.
b. Idiopatik atau nonallergik asthma ( intrinsik )
Suatu jenis asthma yang tidak berhubungan secara langsung
dengan alergen spesifik. Faktor-faktor seperti common cold, infeksi
saluran nafas atas, aktivitas, emosi, dan emosi lingkungan dapat
menimbulkan serangan asthma. Beberapa agen farmakologi antagonis
beta-adrenergik dan agen sulfite ( penyedap makanan ) juga dapat
berperan sebagai faktor pencetus. Serangan asthma ini dapat menjadi lebih
berat dan berkembang menjadi bronkhitis dan emfisema. Pada beberapa
pasien asama jenis ini dapat berkembang menjadi athsma campuran dan
bentuk asthma ini biasanya dimulai pada saat dewasa (>35 tahun).
10
c. Asthma campuran ( mixed asthma )
Suatu jenis asma yang sering kali ditemukan. Dikarakteristikan
dengan bentuk kedua jenis asthma alergi dan idiopatik atau alergi.
Etiologi
Serangan asthma mudah terjadi akibat berbagai rangsang baik fisik,
metabolisme, kimia, alergen, infeksi, dan sebagainya. Faktor-faktor penyebab
yang sering menimbulkan asma perlu diketahui dan sedapat mungkin
dihindarkan. Faktor-faktor tersebut adalah :
a. Alergen utama : debu rumah, spora jamur, dan tepung sari rerumputan
b. Iritan seperti asap, bau-bauan, dan polutan
c. Infeksi saluran napas terutama yang disebabkan oleh virus
d. Perubahan cuaca yang ekstrem
e. Aktivitas fisik yang berlebihan
f. Lingkungan kerja
g. Obatan-obatan
h. Emosi
i. Lain-lain : seperti refluks gastro esofagos
Gambaran Klinis
Gejala asthma terdiri atas triad: dispnea, batuk, dan mengi ( bengek atau
sesak napas ). Gejala sesak nafas sering dianggap sebagai gejala yang harus
ada ( ’sinequa non’ ). Hal tersebut bearti jika penderita menganggap
penyakitnya adalah asma namun tidak mengeluhkan sesak nafas, maka
perawat harus yakin bahwa pasien bukan menderita asthma.
Gambaran klinis pasien yang mendeerita asthma:
a. Gambran objektif
Kondisi pasien dalam keadaan :
Sesak nafas parah dengan ekspirasi memanjang disertai wheezing
Dapat disertai batuk dengan sputum kental dan sulit dikeluarkan
Bernafas dengan menggunakan otot-otot tambahan
Sianosis, takikardia, gelisah, dan pulsus paradoksus
11
Fase ekspirasi memanjang disertai wheezing ( di apeks dan hilus )
b. Gambaran subjektif
Pasien mengeluhkan :
Sukar bernafas
Sesak
Anoreksia
c. Gambaran Psikososial
Cemas
Takut
Mudah tersinggung
Kurangnya pengetahuan pasien terhadap penyakitnya
Patofisiologi
Asthma akibat alergi bergantung kepada respon IgE yang dikendalikan
oleh limfosit T dan B dan diaktifkan oleh interaksi antara antigen dengan molekul
IgE yang berikatan dengan sel mast. Sebagian besar alergen yang mencetuskan
asthma bersifat airborne dan supaya dapat menginduksi keadaan sensitivitas,
alergen tersebut harus tersedia dalam jumlah banyak untuk periode waktu
tertentu. Akan tetapi sekali sensitisasi telah terjadi pasien akan memperlihatkan
respon yang sangat baik sehingga sejumlah kecil alergen yang mengganggu sudah
dapat menghasilkan eksaserbasi penyakit yang jelas.
Obat yang paling sering berhubungan dengan induksi episode akut asthma
adalah aspirin, bahan pewarna seperti tartazin, antagonis beta-adrenergik dan
bahan sulfat. Sindroma pernafasan sensitif-aspirin khusus terutama mengenai
orang dewasa, walaupun keadaan ini juga dapat dilihat pada masa kanak-kanak.
Masalah ini biasanya berawal dari rhinitis vasomotor perennial yang diikuti oleh
rhinosinusitis hiperplastik dengan polip nasal. Baru kemudian muncul asthma
progresif.
Pasien yang sensitif terhadap aspirin dapat didesentisasi dengan pemberian
obat setiap hari. Setelah menjalani bentuk terapi ini, toleransi silang juga akan
terbentuk terhadap agen anti-inflamasi non-steroid lain. Mekanisme dengan
12
aspirin dan obat lain dapat menyebabkan bronkospasme tidak diketahui tetapi
mungkin berkaitan dengan pembentukan leukotrien yang diinduksi secara khusus
oleh aspirin.
Antagonis beta-adrenergik biasanya menyebabkan obstruksi jalan nafas
pada pasien asthma demikian juga dengan pasien lain dengan peningkatan
reaktifitas jalan nafas dan harus dihindarkan pada pasien ini. Obat sulfat, seperti
kalium metabisulfit, kalium dan natrium bisulfit, natrium sulfit dan sulfat klorida,
yang secara luas digunakan dalam industri makanan dan farmasi sebagai agen
sanitasi dan pengawet juga dapat menimbulkan obstruksi jalan nafas akut pada
pasien yang sensitif. Pajanan biasanya terjadi setelah menelan makanan atau
cairan yang mengandung senyawa ini, misal,salad, buah segar, kentang, kerang
dan anggur.
Pencetus-pencetus serangan di atas ditambah cetusan lainnya dari internal
pasien akan mengakibatkan timbulnya reaksi antigen dan antibodi yang
mengakibatan dikeluarkan substansi pereda alergi yang sebetulnya merupakan
mekanisme tubuh dalam menghadapi serangan yang dapat berupa dikeluarkannya
histamin, bradikinin dan anafilatoksin. Hasil dari hal tersebut timbul 3 gejala yaitu
berkontraksinya otot polos, peningkatan permeabilitas kapiler dan peningkatan
sekresi mukus.
13
Skema patofisiologi asthma bronkial
Pencetus serangan
( alergen, emosi/stres, obat-obatan, dan infeksi )
Reaksi antigen dan antibodi
Dikeluarkannya subtansi vasoakatif
( histamin, bradikinin, dan anafilatoksin )
Kontaksi otot polos Permeabilitas Kapiler Sekresi mukus
Broncospasme Kontraksi otot polos Produksi mukus Edema mukosa bertambah Hipertensi
Obstruksi saluran nafas ketidakseimbangan
Bersihan jalan nafas nutrisi : kurang dari
Tidak efektif kebutuhan tubuh
( risiko / aktual )
Hipoventilasi
Distribusi ventilasi tak merata dengan sirkulasi darah paru-paru
Gangguan difusi gas di alveoli
Kerusakan pertukaran gas
Hipoksemia
Hiperkapnia
14
Untuk melihat derajat beratnya asthma biasanya dilakukan pemeriksaan secarakomprehensif dengan menggunakan alat ukur seperti pada tabel di bawah ini .
Pengkajian untuk menentukan derajat berat asthma
Manifestasi klinis Skor 0 Skor 1
a. Penurunan
tolenrasi beraktivas
b. Penggunaan
otot nafas tambahan, adanys
retraksi interkostal
c. Wheezing
d. Respiratory
rate per menit
e. Pulse rate per
menit
f. Teraba
pulsus paradoksus
g. Puncak
expiratory flow rate ( L /
menit )
Ya
Tidak ada
Tidak ada
< 25
< 120
Tidak ada
> 100
Tidak ada
Ada
Ada
> 25
> 120
Ada
> 100
Keterangan : jika terdapat skor empat atau lebih, maka pasien diperkirakan mengalami asthma berat.
Selanjutnya pasien harus diobservasi untuk menentukan ada tidaknya respons dari terapi atau segera
dikirim ke rumah sakit.
Perubahan dalam arteri blood gas yang berhubungan dengan asthma
Ringan Sedang Berat Status Asmatikus
PO2
PCO²
pH
Meningkat
Menurun
Alkalosis
Normal sampai hipoksemia ringan
Menurun sampai normal
Alkalosis
Hipoksemia
Meningkat
Alkalosis
Hipoksemia berat
Peningkatan jelas
Asidosis
15
Penatalaksanaan
Prinsip-prinsip penatalaksanaan asthma bronkial :
a. Diagnosis status asmatikus. Faktor penting yang harus diperhatikan :
1. Waktu terjadinya serangan
2. Obat-obatan yang telah diberikan ( jenis dan dosis )
b. Pemberian obat brokodilator
c. Penilaian terhadap perbaikan serangan
d. Pertimbangan terhadap pemberian kortikosteriod
e. Setelah serangan mereda :
1. Cari faktor penyebab
2. Modifikasi pengobatan penunjang selanjutnya.
mempengaruhi secara langsung dan mempunyai efek samping yang lebih
kecil.
B. BRONCHITIS KRONIS
DEFINISI
Bronchitis akut adalah radang mendadak pada bronchus yang biasanya
mengenai trachea dan laring, sehingga sering dinamai juga dengan
“laringotracheobronchitis”. Radang ini dapat timbul sebagai kelainan jalan nafas
tersendiri atau sebagai bagian dari penyakit sistemik, misalnya pada morbili,
pertusis, difteri dan typhus abdominalis.
Istilah bronchitis kronis menunjukkan kelainan pada bronchus yang
sifatnya menahun (berlangsung lama) dan disebabkan oleh berbagai faktor, baik
yang berasal dari luar bronchus maupun dari bronchus itu sendiri, merupakan
keadaan yang berkaitan dengan produksi mukus takeobronkial yang berlebihan
16
sehingga cukup untuk menimbulkan batuk dengan ekspektorasi sedikitnya 3 bulan
dalam setahun untuk lebih dari 2 tahun secara berturut-turut.
Bronchitis kronis bukanlah merupakan bentuk menahun dari bronchitis
akut. Walaupun demikian, pada perjalanan penyakit bronchitis kronis dapat
ditemukan periode akut, yang menunjukkan adanya serangan bakteri pada dinding
bronchus yang tidak normal. Infeksi sekunder oleh bakteri ini menimbulkan
kerusakan yang lebih banyak sehingga akan memperburuk keadaan.
ETIOLOGI
Terdapat 3 jenis penyebab bronchitis akut, yaitu :
a. Infeksi : stafilokokus, sterptokokus, pneumokokus, haemophilus influenzae.
b. Alergi
c. Rangsang : misal asap pabrik, asap mobil, asap rokok dll.
Bronchitis kronis dapat merupakan komplikasi kelainan patologik yang
mengenai beberapa alat tubuh, yaitu :
a. Penyakit Jantung Menahun, baik pada katup maupun myocardium.
Kongesti menahun pada dinding bronchus melemahkan daya tahannya
sehingga infeksi bakteri mudah terjadi.
b. Infeksi sinus paranasalis dan Rongga mulut, merupakan sumber bakteri
yang dapat menyerang dinding bronchus.
c. Dilatasi Bronchus (Bronchiectasi), menyebabkan gangguan susunan dan
fungsi dinding bronchus sehingga infeksi bakteri mudah terjadi.
d. Rokok, yang dapat menimbulkan kelumpuhan bulu getar selaput lendir
bronchus sehingga drainase lendir terganggu. Kumpulan lendir tersebut
merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri.
PATOFISIOLOGI
Bronchitis akut dapat timbul dalam serangan tunggal atau dapat timbul
kembali sebagai eksaserbasi akut dari bronchitis kronis. Pada infeksi saluran
nafas bagian atas, biasanya virus, seringkali merupakan awal dari serangan
bronchitis akut. Dokter akan mendiagnosa bronchitis kronis jika klien
17
mengalami batuk atau produksi sputum selama beberapa hari + 3 bulan dalam 1
tahun dan paling sedikit dalam 2 tahun berturut-turut.
Bronchitis timbul sebagai akibat dari adanya paparan terhadap agent infeksi
maupun
non-infeksi (terutama rokok tembakau). Iritan akan menyebabkan timbulnya
respon inflamasi yang akan menyebabkan vasodilatasi, kongesti, edema mukosa
dan bronchospasme. Tidak seperti emfisema, bronchitis lebih mempengaruhi
jalan nafas kecil dan besar dibandingkan pada alveolinya. Aliran udara dapat
atau mungkin juga tidak mengalami hambatan. Klien dengan bronchitis kronis
akan mengalami :
a. Peningkatan ukuran dan jumlah kelenjar mukus pada bronchi besar, yang
mana akan meningkatkan produksi mukus.
b. Mukus lebih kental
c. Kerusakan fungsi cilliary sehingga menurunkan mekanisme pembersihan
mukus.
Oleh karena itu, “mucocilliary defence” dari paru mengalami kerusakan dan
meningkatkan kecenderungan untuk terserang infeksi. Ketika infeksi timbul,
kelenjar mukus akan menjadi hipertropi dan hiperplasia sehingga produksi
mukus akan meningkat. Dinding bronchial meradang dan menebal
(seringkali sampai dua kali ketebalan normal) dan mengganggu aliran udara.
Mukus kental ini bersama-sama dengan produksi mukus yang banyak akan
menghambat beberapa aliran udara kecil dan mempersempit saluran udara
besar. Bronchitis kronis mula-mula mempengaruhi hanya pada bronchus
besar, tetapi biasanya seluruh saluran nafas akan terkena. Mukus yang
kental dan pembesaran bronchus akan mengobstruksi jalan nafas, terutama
selama ekspirasi. Jalan nafas mengalami kollaps, dan udara terperangkap
pada bagian distal dari paru-paru. Obstruksi ini menyebabkan penurunan
ventilasi alveolar, hipoxia dan asidosis. Klien mengalami kekurangan
oksigen jaringan ; ratio ventilasi perfusi abnormal timbul, dimana terjadi
penurunan PaO2. Kerusakan ventilasi dapat juga meningkatkan nilai
PaCO2. Klien terlihat cyanosis. Sebagai kompensasi dari hipoxemia, maka
18
terjadi polisitemia (overproduksi eritrosit). Pada saat penyakit memberat,
diproduksi sejumlah sputum yang hitam, biasanya karena infeksi
pulmonary. Selama infeksi klien mengalami reduksi pada FEV dengan
peningkatan pada RV dan FRC. Jika masalah tersebut tidak ditanggulangi,
hipoxemia akan timbul yang akhirnya menuju penyakit cor pulmonal dan
CHF.
MANIFESTASI KLINIK BRONCHITIS KRONIS
a. Penampilan umum : cenderung overweight, cyanosis akibat pengaruh
sekunder polisitemia, edema (akibat CHF kanan), barrel chest.
b. Usia : 45 – 65 tahun
c. Pengkajian :
Batuk persisten, produksi sputum seperti kopi, dyspnea dalam beberapakeadaan, variabel wheezing pada saat ekspirasi, sering infeksi pada sistem respirasi.
Gejala biasanya timbul pada waktu yang lamad. Jantung : pembesaran jantung, cor pulmonal, dan hematokrit > 60 %e. Riawayat merokok positif (+)
MANAGEMENT MEDIS BRONCHITIS KRONIS
Pengobatan yang utama ditujukan untuk mencegah dan mengontrol infeksi
dan meningkatkan drainase bronchial menjadi jernih. Pengobatan yang diberikan :
a. Antimikrobial
b. Postural Drainage
c. Bronchodilator
d. Aerosolized Nebulizer
e. Surgical Intervention
C. EMFISEMA PARU
DEFINISI
Emfisema merupakan gangguan pengembangan paru-paru yang ditandai oleh
pelebaran ruang udara di dalam paru-paru disertai destruksi jaringan (WHO).
Sesuai dengan definisi tersebut, maka jika ditemukan kelainan berupa pelebaran
19
ruang udara (alveolus) tanpa disertai adanya destruksi jaringan maka keadaan ini
sebenarnya tidak termasuk emfisema, melainkan hanya sebagai “overinflation”.
PATOGENESIS
Terdapat 4 perubahan patologik yang dapat timbul pada klien emfisema,
yaitu :
a. Hilangnya elastisitas paru.
Protease (enzim paru) merubah atau merusakkan alveoli dan saluran nafas
kecil dengan jalan merusakkan serabut elastin. Akibat hal tersebut, kantung
alveolar kehilangan elastisitasnya dan jalan nafas kecil menjadi kollaps atau
menyempit. Beberapa alveoli rusak dan yang lainnya mungkin dapat menjadi
membesar.
b. Hyperinflation Paru
Pembesaran alveoli mencegah paru-paru untuk kembali kepada posisi
istirahat normal selama ekspirasi.
c. Terbentuknya Bullae
Dinding alveolar membengkak dan berhubungan untuk membentuk suatu
bullae (ruangan tempat udara) yang dapat dilihat pada pemeriksaan X-ray.
d. Kollaps jalan nafas kecil dan udara terperangkap
Ketika klien berusaha untuk ekshalasi secara kuat, tekanan positif
intratorak akan menyebabkan kollapsnya jalan nafas.
TIPE EMFISEMA
Terdapat tiga tipe dari emfisema :
a. Emfisema Centriolobular
20
Merupakan tipe yang sering muncul, menghasilkan kerusakan
bronchiolus, biasanya pada region paru atas. Inflamasi berkembang pada
bronchiolus tetapi biasanya kantung alveolar tetap bersisa..
b. Emfisema Panlobular (Panacinar)
Merusak ruang udara pada seluruh asinus dan biasanya termasuk pada
paru bagian bawah. Bentuk ini bersama disebut centriacinar emfisema, timbul
sangat sering pada seorang perokok.
c. Emfisema Paraseptal
Merusak alveoli pada lobus bagian bawah yang mengakibatkan isolasi dari
blebs sepanjang perifer paru. Paraseptal emfisema dipercaya sebagai sebab dari
pneumothorax spontan. Panacinar timbul pada orang tua dan klien dengan
defisiensi enzim alpha-antitripsin.
Pada keadaan lanjut, terjadi peningkatan dyspnea dan infeksi pulmoner,
seringkali timbul Cor Pulmonal (CHF bagian kanan) timbul.
PATOFISIOLOGI
Emfisema merupakan kelainan dimana terjadinya kerusakan pada dinding
alveolar, yang mana akan menyebabkan overdistensi permanen ruang udara.
Perjalanan udara terganggu akibat dari perubahan ini. Kesulitan selama ekspirasi
pada emfisema merupakan akibat dari adanya destruksi dinding (septum) diantara
alveoli, kollaps jalan nafas sebagian dan kehilangan elastisitas recoil. Pada saat
alveoli dan septa kollaps, udara akan tertahan diantara ruang alveolar (disebut
blebs) dan diantara parenkim paru (disebut bullae). Proses ini akan menyebabkan
peningkatan ventilatory pada “dead space” atau area yang tidak mengalami
pertukaran gas atau darah.
Kerja nafas meningkat dikarenakan terjadinya kekurangan fungsi jaringan
paru untuk melakukan pertukaran oksigen dan karbon dioksida. Emfisema juga
menyebabkan destruksi kapiler paru, lebih lanjut terjadi penurunan perfusi
21
oksigen dan penurunan ventilasi. Pada beberapa tingkat emfisema dianggap
normal sesuai dengan usia, tetapi jika hal ini timbul pada awal kehidupan (usia
muda), biasanya berhubungan dengan bronchitis kronis dan merokok.
Mekanisme Penyakit
Asap tembakau dan Predisposisi genetik Faktor-faktor yang tidak
Polusi udara ( defisiensi antitripsin ) diketahui
Gangguan pembersihan Sekar & jaringan penyokong Seumur hidup
Paru-paru hilang
Peradangan bronkus dan Saluran nafas kecil kolaps
Bronkhiolus saat ekspresi
Obstruksi jalan nafas PLE ( emfisema panlobular ) PLE asimptomatik pada orang
tua akibat peradangan
Hipoventilasi alveolus Dinding bronkhiolus melemah
dan alveoli pecah
Bronkhiolitis kronis Saluran napas kecil kolaps CLE dan PLE
Sewaktu ekspirasi
22
CLE Bronkhitis kronis CLE ( emfisema sentriolobulari )
MANIFESTASI KLINIK
a. Penampilan Umum
Kurus, warna kulit pucat, flattened hemidiafragma
Tidak ada tanda CHF kanan dengan edema dependen pada stadium akhir.
b. Usia 65 – 75 tahun.
c. Pengkajian fisik
Nafas pendek persisten dengan peningkatan dyspnea
Infeksi sistem respirasi
Pada auskultasi terdapat penurunan suara nafas meskipun dengan nafas
dalam.
Wheezing ekspirasi tidak ditemukan dengan jelas.
Produksi sputum dan batuk jarang.
d. Pemeriksaan jantung
Tidak terjadi pembesaran jantung. Cor Pulmonal timbul pada stadium akhir.
Hematokrit < 60%
e. Riwayat merokok
Biasanya didapatkan, tapi tidak selalu ada riwayat merokok.
Manajemen Medis
Penatalaksanaan utama pada klien emfisema adalah untuk meningkatkan
kualitas hidup, memperlambat perkembangan proses penyakit dan mengobati
obstruksi saluran nafas yang berguna untuk mengatasi hipoxia. Pendekatan terapi
mencakup :
23
Pemberian terapi untuk meningkatkan ventilasi dan menurunkan kerja nafas.
Mencegah dan mengobati infeksi
Teknik terapi fisik untuk memperbaiki dan meningkatkan ventilasi paru
Memelihara kondisi lingkungan yang memungkinkan untuk memfasilitasi
pernafasan.
Support psikologis
Patient education and rehabilitation.
Jenis obat yang diberikan :
Bronchodilators
Aerosol therapy
Treatment of infection
Corticosteroids
Oxygenation
VI. PENGKAJIAN DIAGNOSTIK COPD
1. Chest X-Ray : dapat menunjukkan hiperinflation paru, flattened diafragma,
peningkatan ruang udara retrosternal, penurunan tanda vaskular/bulla (emfisema),
peningkatan bentuk bronchovaskular (bronchitis), normal ditemukan saat periode
remisi (asthma)
2. Pemeriksaan Fungsi Paru : dilakukan untuk menentukan penyebab dari dyspnea,
menentukan abnormalitas fungsi tersebut apakah akibat obstruksi atau restriksi,
memperkirakan tingkat disfungsi dan untuk mengevaluasi efek dari terapi, misal :
bronchodilator.
3. TLC : meningkat pada bronchitis berat dan biasanya pada asthma, menurun pada
emfisema.
4. Kapasitas Inspirasi : menurun pada emfisema
5. FEV1/FVC : ratio tekanan volume ekspirasi (FEV) terhadap tekanan kapasitas
vital (FVC) menurun pada bronchitis dan asthma.
6. ABGs : menunjukkan proses penyakit kronis, seringkali PaO2 menurun dan PaCO2
normal atau meningkat (bronchitis kronis dan emfisema) tetapi seringkali
24
menurun pada asthma, pH normal atau asidosis, alkalosis respiratori ringan
sekunder terhadap hiperventilasi (emfisema sedang atau asthma).
7. Bronchogram : dapat menunjukkan dilatasi dari bronchi saat inspirasi, kollaps
bronchial pada tekanan ekspirasi (emfisema), pembesaran kelenjar mukus
(bronchitis)
8. Darah Komplit : peningkatan hemoglobin (emfisema berat), peningkatan eosinofil
(asthma).
9. Kimia Darah : alpha 1-antitrypsin dilakukan untuk kemungkinan kurang pada
emfisema primer.
10. Sputum Kultur : untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi patogen,
pemeriksaan sitologi untuk menentukan penyakit keganasan atau allergi.
11. ECG : deviasi aksis kanan, gelombang P tinggi (asthma berat), atrial disritmia
(bronchitis), gel. P pada Leads II, III, AVF panjang, tinggi (bronchitis, emfisema),
axis QRS vertikal (emfisema)
12. Exercise ECG, Stress Test : menolong mengkaji tingkat disfungsi pernafasan,
mengevaluasi keefektifan obat bronchodilator, merencanakan/evaluasi program.
VII. KOMPLIKASI COPD
1. Hipoxemia
Hipoxemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2 kurang dari 55 mmHg,
dengan nilai saturasi Oksigen <85%. Pada awalnya klien akan mengalami
perubahan mood, penurunan konsentrasi dan pelupa. Pada tahap lanjut timbul
cyanosis.
2. Asidosis Respiratory
Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2 (hiperkapnia). Tanda yang muncul
antara lain : nyeri kepala, fatique, lethargi, dizzines, tachipnea.
3. Infeksi Respiratory
Infeksi pernafasan akut disebabkan karena peningkatan produksi mukus,
peningkatan rangsangan otot polos bronchial dan edema mukosa. Terbatasnya
aliran udara akan meningkatkan kerja nafas dan timbulnya dyspnea.
4. Gagal jantung
25
Terutama kor-pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit paru), harus
diobservasi terutama pada klien dengan dyspnea berat. Komplikasi ini sering kali
berhubungan dengan bronchitis kronis, tetapi klien dengan emfisema berat juga
dapat mengalami masalah ini.
5. Cardiac Disritmia
Timbul akibat dari hipoxemia, penyakit jantung lain, efek obat atau asidosis
respiratory.
6. Status Asmatikus
Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asthma bronchial.
Penyakit ini sangat berat, potensial mengancam kehidupan dan seringkali tidak
berespon terhadap therapi yang biasa diberikan. Penggunaan otot bantu
pernafasan dan distensi vena leher seringkali terlihat.
VIII. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN COPDIntervensi dan rasional pada penyakit ini didasarkan pada konsep Nursing
Intervention
Classification (NIC) dan Nursing Outcome Classification (NOC)
Rencana Asuhan keperawatan Klien COPD
No. Diagnosis Keperawatan
( NANDA )
Perencanaan
Tujuan ( NOC ) Intervensi ( NIC )
1. Bersihkan jalan nafas tidak efektif yang
berhubungan dengan :
Bronkospasme
Peningkatan produksi sekret ( sekret
yang ter tahan kental )
Menurunnya energi / fatigue
Data-data :
Pasien mengeluh sulit untuk bernafas
Perubahan kedalaman / jumlah nafas, dan
penggunaan otot bantu pernafasan
Suara nafas abnormal seperti : wheezing,
Status respirasi :
Kepatenan jalan nafas
dengan skala ..... ( 1-5 )
setelah diberikan
perawatan selama .... hari
dengan kriteria :
a. Tidak ada demam
b. Tidak ada cemas
c. RR ( Respiratory Rate )
dalam batas normal
d. Irama nafas dalam
a. Manajemen jalan nafas
b. Penurunan kecemasan
c. Pencegahan aspirasi
d. Fisioterapi dada
e. Latihan batuk efektif
f. Terapi oksigen
g. Pemberian posisi
h. Memonitor respirasi
i. Memonitor keaadan
umum
j. Memonitor tanda vital
26
ronchi, dan crackles
Batuk ( persisten ) dengan atau tanpa
produksi sputum
batas normal
e. Pergerakan sputum
keluar dari jalan nafas
f. Bebas dari suara nafas
tambahan
2. Kerusakan pertukaran gas yang
berhubungan dengan :
Kurangnya suplai O² ( obstruksi jalan
nafas oleh sekret, bronkospasme, dan
terperangkapnya udara )
Destruksi alveoli
Data-data :
Dispnea
Bingung, lemah
Tidak mampu mengeluarkan sekret
Nilai ABGs abnormal
( hipoksia dan hiperkapnia )
Perubahan tanda vital
menurunnya toleransi aktivitas
Status Respirasi :
Pertukaran gas dengan
skala ..... ( 1-5 ) setelah
diberiakan perawatan
selama ....... hari dengan
kriteria :
a. Status mental dalam
batas normal
b. Benafas dengan mudah
c. Tidak ada sianosis
d. PO² dan PCO² dalam
batas normal
e. Saturasi O2 dalam
rentang normal
27
BAB IIIKesimpulan
Penyakit paru obstruksi saluran napas yang sering didapatkan adalah asthma
bronkial,PPOK dan SOPT. Mekanisme terjadi obstruksi saluran napas berbeda pada tiap
penyakit. Penatalaksanaan bertujuan mengatasi dan menghilangkan obstruksi,
mempertahankan bronkodilatasi dan mencegah atau mengurangi perburukan penyakit.
Bronkodilator merupakan obat utama pada penatalaksanaan penyakit. Obat yang teri
bronkodilator ini adalah golongan simpatoinimetik, antikolinergik dan xanthin.
Pemberian obat secara inhalasi merupakan pilihan karena mempunyai beberapa
keuntungan. Pemberian bronkodil ator secara kombinasi memberikan efek yang lebih
baik kanena bronkodilatasi yang terjadi lebih besar dan efek samping obat lebih rendah.
28
Daftar Pustaka1. http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/
10PenatalaksanaanPenyakitParuObstruksi114.pdf/
10PenatalaksanaanPenyakitParuObstruksi114.html
2. Faisal Yunus. Peranan Faal Pam pada Penyakit Pam Obstruktif Menahun. Dalam:
Penyakit Paru Obstruktif Menahun. Jakarta: Fakultas Kedokteran Cermin Dunia
Kedokteran No. 84, 1993 21 Universitas Indonesia, 1989: 33-44
3. Somantri Irman. Keperawatan Medikal Bedah Asuhan Keperawatan Pada Pasien
Dengan Gangguan Sistem Pernafasan. Dalam: Asuhan Keperawatan Pada Pasien
Dengan Gangguan Chronic Obstructive Pulmonary Diseases. Jakarta: Salemba
Medika, 2008: 45-58
4. http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/08UjiFaalParu084.pdf/
08UjiFaalParu084.html
29
top related